3 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) Api-api merupakan salah satu tumbuhan mangrove yang termasuk kedalam Famili Avicenniaceae/Verbenaceae. Api-api banyak ditemukan di ekosistem mangrove yang terletak paling luar atau dekat dengan lautan. Hidup di tanah berlumpur agak lembek atau dangkal, dengan substrat berpasir, sedikit bahan organik dan kadar garam tinggi (Afzal et al. 2011). Klasifikasi Avicennia marina (Forks.)Vierh. menurut Bengen (2001) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Filum
: Thacheophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Sapindales
Famili
: Avicenniaceae
Genus
: Avicennia
Spesies
: Avicennia marina (Forks.)Vierh. (Gambar 1)
Gambar 1 Pohon api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) Sumber: Wibowo et. al (2009)
Api-api biasa berasosiasi dengan jenis mangrove Rhizophora sp. Tumbuhan Avicennia marina (Forks.)Vierh. ini mempunyai akar napas, tumbuh dengan tegak, serta memiliki banyak cabang. Akar napas api-api tumbuh lurus, berbentuk ramping dan berjumlah banyak, memiliki daun yang tumbuh berhadapan, bertangkai, berbentuk bulat telur terbalik dengan ujung tumpul dan pangkal yang rata. Api-api memiliki batang yang mengeluarkan getah dan memiliki rasa yang pahit. Bunga tumbuhan ini berwarna kuning dengan kelopak
4 bunga yang pendek dan pucat. Buah berbentuk kotak, berkatup, berbiji satu serta berkecambah sebelum rontok (Bandaranayake 1999). Beberapa jenis tumbuhan yang tergolong dalam Genus Avicennia menghasilkan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk keperluan pengobatan, pangan, pakan, perumahan dan farmasi. Tumbuhan api-api ini banyak mengandung senyawa aktif, yaitu triterpenoid, steroid, alkaloid, senyawa flavonoid, saponin, dan tanin (Yusuf 2010). Api-api termasuk pepohonan semak hingga medium dengan ketinggian 2 – 5 meter dan banyak ditemukan di ujung aliran sungai atau di area pasang terendah. Cukup toleran dengan salinitas yang cukup tinggi dan pertumbuhan optimal terdapat pada salinitas 0-30 (Afzal et al.2011). Spesies ini ditemukan dari daerah hilir hingga pertengahan perairan payau di semua kawasan pasang surut berlumpur hampir mendekati pantai (Bengen 2000). Api-api biasa dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk dijadikan obat berbagai penyakit. Batang api-api dijadikan obat rematik dan cacar. Getah kulit batang dijadikan obat sakit gigi, bagian buah dijadikan obat untuk sariawan (Bayu 2009). Mangrove sejati ini banyak mengandung senyawa aktif yang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Daun dan kulit batang api-api mengandung senyawa aktif alkaloid, triterpenoid, saponin, tanin, glikosida, dan flavonoid yang sangat potensial digunakan sebagai antioksidan, antimikroba, antifungi, dan antibiotik (Wibowo et al. 2009).
2.2 Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas dan dapat memutuskan reaksi berantai dari radikal bebas. Antioksidan berdasarkan fungsinya dikelompokkan menjadi antioksidan primer, antioksidan sekunder, antioksidan tersier, oxygen scavenger, dan chelators (Kumalaningsih 2006). Antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat reaksi radikal bebas dalam tubuh penyebab penyakit karsinogenik, kardiovaskuler dan penuaan dini (Rohman dan Riyanto 2005). Antioksidan diperlukan karena tubuh manusia tidak memiliki sistem pertahanan antioksidan yang berlebihan, sehingga apabila terjadi
5 paparan radikal bebas berlebihan, maka tubuh akan membutuhkan antioksidan eksogen (berasal dari luar) dari asupan makanan maupun vitamin (Waji dan Sugrani 2009). Sumber utama antioksidan dapat dibagi menjadi empat, yaitu enzim misal superoxide dismutase, glutation peroksidase, dan katalase; molekul-molekul besar (albumin, seruloplasmin, dan ferritin); molekul-molekul kecil (asam askorbat, glutation, tokoperol, karotenoid, polifenol); beberapa hormon yang juga berfungsi sebagai sumber antioksidan, yaitu esterogen, angiotensin, melatonin, dan lain-lain (Prior et al. 2005 dalam Rohman et al. 2006). 2.2.1 Fungsi antioksidan Fungsi utama antioksidan adalah untuk memperkecil terjadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, oksidasi radikal bebas, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi (Kuncahyo dan Sunardi 2007). Antioksidan dapat menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tak reaktif yang relatif stabil (Oktariana 2007). Musthafa dan Lawrence (2000) menjelaskan bahwa antioksidan juga berfungsi untuk menetralisir atau menekan dampak negatif yang diakibatkan radikal bebas. Antioksidan pada umumnya mengandung struktur inti yang sama, yaitu mengandung cincin benzena tidak jenuh disertai gugusan hidroksi atau gugusan amino (Cahyadi 2008). Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai radikal bebas dari lemak yang teroksidasi terdiri atas empat tahap (Rita et al. 2009), yaitu: 1) pelepasan hidrogen dari antioksidan 2) pelepasan elektron dari antioksidan 3) adisi lemak (molekul teroksidasi) ke dalam cincin aromatik antioksidan 4) pembentukan senyawa kompleks antara lemak (molekul teroksidasi) dan cincin aromatik antioksidan. Antioksidan yang sangat umum digunakan adalah senyawa fenol atau amina aromatis. Antioksidan dapat berperan sebagai inhibitor atau pemecah
6 peroksida. Efektivitas antioksidan p-amino-fenol dan fenolat tergantung adanya gugus hidroksil bebas karena ester dan esternya tidak mempunyai pengaruh. Efisiensi fenolat dapat ditingkatkan dengan alkilasi pada posisi 2, 4, dan 6 (Cahyadi 2008). Antioksidan akan kehilangan potensi jika tidak mempunyai kemampuan untuk mengikat hidrogen atau elektron. Beberapa jenis antioksidan, terutama golongan fenolat bersifat menguap pada suhu kamar. Kemampuan antioksidan berkurang akibat degradasi molekul, terutama pada suhu yang semakin meningkat. Antioksidan berdasarkan penggabungan sifat sinergis dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu antioksidan dengan jumlah fenol yang sangat banyak dan antioksidan dengan jumlah asam yang sangat banyak (Ketaren 2008). 2.2.2 Jenis-jenis antioksidan Antioksidan berdasarkan sumbernya dibagi kedalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami tanpa ada penambahan senyawa kimia) (Kuncahyo dan Sunardi 2007). 2.2.2.1 Antioksidan sintetik Antioksidan sintetik sudah banyak digunakan untuk menggantikan antioksidan alami, karena sifatnya yang mudah dicari dan mudah didapatkan. Antioksidan sintetik yang banyak digunakan adalah senyawa-senyawa fenol yang biasanya agak beracun dan memiliki efek samping (Siagian 2002). Penggunaan antioksidan ini harus memenuhi beberapa syarat, yaitu tidak berbahaya bagi kesehatan, tidak menimbulkan warna yang tidak diinginkan, penggunaannya efektif dalam konsentrasi rendah (0,01-0,02 %), dapat terkonsentrasi pada permukaan/lapisan lemak (lipofilik), mudah didapat, ekonomis, serta dapat bertahan dalam kondisi pengolahan pangan pada umumnya (Belitz et al. 2009) Empat macam antioksidan yang sering digunakan dalam produk makanan adalah butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), propylgallate (PG), dan nordihidro guaiaretic acid (NDGA) (Siagian 2002), tertbutilated hydroxyquinon (TBHQ) dan tokoferol (Winarno 2008). Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial.
7 Antioksidan BHT akan memberikan efek sinergis yang baik jika digunakan bersama antioksidan BHA, oleh karena itu BHT banyak ditambahkan pada produk pangan sebagai antioksidan yang berfungsi untuk mencegah ketengikan. Antioksidan BHT berbentuk kristal padat putih, stabil pada kondisi penggunaan serta penyimpanan yang normal, dan digunakan secara luas karena relatif murah (Herawati dan Akhlus 2006). Struktur kimia dari BHT dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur kimia butylated hydroxytoluene (BHT) (Sumber: Herawati dan Akhlus 2006)
Antioksidan BHT memilki nilai IC50 yang sangat kuat pada konsentrasi 5,85 ppm (Jacoeb et al. 2011). Penggunaan BHT secara terus menerus pada bahan makanan diduga dapat menyebabkan kanker dan mutasi gen pada manusia, oleh karena itu penggunaan BHT sudah mulai dilarang di beberapa negara antara lain Jepang, Rumania, Swedia, dan Australia (Rita et al. 2009).
2.2.2.2 Antioksidan alami Antioksidan alami umumnya mempunyai gugus hidroksi dalam struktur molekulnya. Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan spesies oksigen reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta mampu menghambat peroksidase lipid pada makanan. Meningkatnya minat untuk mendapatkan antioksidan alami terjadi beberapa tahun terakhir ini (Kumalaningsih 2006). Antioksidan alami banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan, baik dalam buah maupun sayuran. Antioksidan alami dalam buah dan sayuran berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas di dalam tubuh, mengikat logam yang terlibat dalam reaksi radikal bebas, dan memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak (Simamora 2011). Kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber
8 alami berasal dari tumbuhan. Senyawa antioksidan alami umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional (Pratt dan Hudson 1990).
2.3 Uji Aktivitas Antioksidan Senyawa antioksidan dapat diketahui keberadaanya menggunakan uji aktivitas antioksidan. Salah satu uji aktivitas antioksidan yang paling sering digunakan adalah metode 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH). Metode ini sering digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang berperan sebagai antikosidan. Metode pengujian ini berdasarkan pada kemampuan substansi antioksidan tersebut dalam menetralisir radikal bebas DPPH (Molyneux 2004). Kristal DPPH yang sudah dilarutkan akan berperan sebagai radikal bebas dan bereaksi dengan senyawa antioksidan, sehingga 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl akan berubah menjadi diphenilpycrilhydrazine yang bersifat non-radikal dan tidak berbahaya. Reaksi tersebut terjadi apabila radikal bebas bereaksi dengan senyawa antioksidan secara maksimal. Meningkatnya jumlah diphenilpycrilhydrazine ditandai dengan berubahnya warna ungu pada larutan menjadi warna kuning pucat (Molyneux 2004). Mekanisme perubahan warna ungu menjadi kuning pada radikal DPPH dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Mekanisme perubahan warna DPPH akibat pengaruh anitoksidan (Sumber: Yuhernita dan Juniarti 2011)
Parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan hasil uji aktivitas antioksidan dengan peredaman radikal bebas DPPH adalah nilai effective concentration (EC50) atau disebut nilai inhibitory concentration (IC50), yakni
9 konsentrasi yang menyebabkan hilangnya 50% aktivitas DPPH. Data yang diperoleh kemudian diolah ke dalam persamaan regresi linier (Molyneux 2004).
2.4 Ekstraksi Senyawa Bioaktif Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan komponen zat aktif dalam bahan menggunakan pelarut tertentu dan paling banyak digunakan. Ekstraksi dapat diartikan sebagai suatu proses penarikan atau pemisahan komponen bioaktif suatu bahan menggunakan pelarut yang sesuai dan dipilih, sehingga komponen yang diinginkan dapat larut (Ansel 1989). Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponenkomponen aktif (Harborne 1984). Faktor-faktor yang menentukan hasil ekstraksi adalah waktu ekstraksi, perbandingan antara jumlah sampel dan pelarut, ukuran bahan dan suhu ekstraksi. Semakin lama waktu ekstraksi, maka proses tumbukan atau sentuhan antara bahan dan pelarut semakin besar. Hal ini dapat mengoptimalkan komponen bioaktif yang dipisahkan atau dikeluarkan dari bahan. Perbandingan antara jumlah bahan dan pelarut berpengaruh terhadap efisiensi ekstraksi, jumlah pelarut yang berlebihan tidak akan mengekstrak lebih banyak, namun dalam jumlah tertentu pelarut dapat bekerja secara optimal. Selama proses ekstraksi terjadi perpindahan antara pelarut yang mengalir ke dalam sel bahan dan mengakibatkan zat yang terkandung dalam bahan akan larut sesuai dengan kelarutannya (Voight 1994). Metode ekstraksi yang paling banyak digunakan pada tumbuhan adalah metode maserasi. Maserasi merupakan metode perendaman tanpa adanya pengadukan dan dilakukan pada suhu ruang. Maserasi merupakan cara yang sederhana dengan cara merendam sampel dalam pelarut. Pelarut menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif sehingga zat aktif tersebut larut akibat adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif dengan pelarut (Guenter 1987 dalam Khunaifi 2010). Ekstraksi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus (Harborne 1987). Ekstraksi sederhana terdiri atas: a) Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam pelarut dengan atau tanpa pengadukan;
10 b) Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan; c) Reperkolasi, yaitu metode perkolasi dimana hasilnya digunakan untuk melarutkan sampel sampai senyawa kimianya terlarut; d) Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan udara. Ekstraksi khusus terdiri atas: a) Sokletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk melarutkan sampel kering menggunakan pelarut bervariasi; b) Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang berlawanan; c) Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi menggunakan alat yang menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz.
2.5 Metabolit Sekunder Metabolit sekunder adalah hasil akhir dari suatu proses metabolisme. Metabolit sekunder sangat bervarisai dalam jumlah dan jenisnya dari setiap organisme. Beberapa dari senyawa metabolit sekunder tersebut diantaranya dapat memberikan efek fisiologis dan farmakologis seperti senyawa aktif atau komponen bioaktif. Zat metabolit sekunder dapat diketahui jenisnya antara lain kumarin, salanin, liatriol, nimbin, dan azadirachtin (Copriady et al. 2005). Pemanfaatan dari zat metabolit sekunder sangat banyak. Metabolit sekunder dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan, antibiotik, antikanker, antikoagulan darah, menghambat efek karsinogenik (Copriady et al. 2005) Metabolit sekunder yang bersifat antioksidatif diantaranya adalah alkaloid, flavonoid, senyawa fenol, steroid dan terpenoid (Yuhernita dan Juniarti 2011). Sofia (2006) dalam Kuncahyo dan Sunardi (2007) menambahkan bahwa senyawa metabolit sekunder yang memiliki sifat sebagai antioksidan adalah flavonoid. Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang terdapat pada teh, buah-buahan, sayuran, anggur, bir dan kecap. Metabolit sekunder juga dapat dimanfaatkan untuk antiagen pengendali hama penyakit pada tanaman yang ramah lingkungan (Samsudin 2008).
11 2.6 Komponen Bioaktif Komponen bioaktif merupakan suatu senyawa fungsional yang terdapat dalam bahan pangan dan dapat memberikan pengaruh biologis maupun fisiologis. Alkohol aromatik, misalnya total fenol, polifenol dan komponen asam, merupakan kelompok besar dari komponen bioaktif (Kannan et al. 2009). Penapisan komponen bioaktif dapat dilakukan dengan cara uji fitokimia yang meliputi komponen alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, dan tanin. Uji fitokimia bertujuan untuk menentukan ciri senyawa aktif yang dapat dimanfaatkan maupun senyawa aktif penyebab efek racun dengan cara ekstrak kasar (Harborne 1987). Senyawa fitokimia bukanlah senyawa yang termasuk ke dalam zat gizi, namun dengan mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung senyawa ini dapat memberikan pengaruh yang positif bagi kesehatan tubuh (Astawan dan Kasih 2008). 2.6.1 Alkaloid Senyawa alkaloid merupakan senyawa organik yang paling banyak ditemukan di alam. Alkaloid bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen dalam bagian siklik (Harborne 1987). Alkaloid biasanya tidak berwarna, bersifat optis aktif, berbentuk kristal, namun terkadang ditemukan dalam bentuk cairan pada suhu ruang, dan terasa pahit di lidah (Harborne 1984). Alkaloid merupakan hasil metabolit sekunder dengan kelompok molekul substansi
organik
yang
tidak
bersifat
penting
bagi
organisme
yang
menghasilkannya atau memanfaatkannya. Senyawa alkaloid dikelompokan menjadi
tiga
bagian,
yaitu
alkaloid
sesungguhnya,
protoalkaloid,
dan
pseudoalkaloid. Alkaloid banyak terdapat pada tanaman maupun buah-buahan. Alkaloid yang diperoleh dari tanaman mangrove pada umumnya bersifat neurotoxin atau racun alami yang tidak terlalu membahayakan manusia (Bayu 2009). Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana di dalam nitrogen asam amino tidak terdapat cincin heterosiklik, dan diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam amino, dan biasanya senyawa ini bersifat basa (Sastrohamidjojo 1996).
12 Senyawa alkaloid, yakni indol memiliki kemampuan untuk menghentikan reaksi radikal bebas atau antioksidan secara efisien. Senyawa radikal turunan dari senyawa amina ini memiliki tahap terminasi yang sangat lama (Yuhernita dan Juniarti 2011). Alkaloid kerap kali bersifat racun bagi manusia, namun ada sebagian yang memiliki aktivitas fisiologis pada kesehatan manusia sehingga dapat digunakan secara luas dalam dunia pengobatan dan kesehatan (Harborne 1984). Fungsi alkaloid dari beberapa penelitian misal hasil penelitian Porto et al. (2009), menunjukan adanya aktivitas antioksidan serta perlindungan dari radiasi sinar UV. Penelitian Yuhernita dan Juniarti (2011) juga menunjukkan adanya aktivitas antioksidan yang tinggi dengan adanya alkaloid sebagai hasil dari metabolit sekunder. 2.6.2 Steroid/triterpenoid Triterpenoid merupakan senyawa dengan kerangka karbonilnya berasal dari enam satuan isoprene. Senyawa ini berstruktur siklik, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Triterpenoid tidak berwarna, berbentuk kristal, memiliki titik lebur yang tinggi dan merupakan komponen aktif yang sulit dikarakterisasi. Triterpenoid umumnya terasa pahit apabila terkena lidah. Keberadaan triterpenoid dapat diketahui dengan uji menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard, yang ditandai hasil positif dengan memberikan warna biruhijau pada sampel (Harborne 1984). Steroid merupakan turunan dari golongan senyawa triterpenoid. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dari triterpena yaitu lanosterol dan saikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987). Golongan triterpenoid/steroid ditemukan hampir pada semua jenis tanaman mangrove. Golongan ini memiliki banyak manfaat, yaitu antiradang, antiinflamasi, antikarsinogenik, dan pengontrol diabetes dalam fase uji klinis (Bayu 2009). 2.6.3 Flavonoid Flavonoid adalah sekelompok senyawa polifenol yang terdapat dalam tanaman. Tanaman mangrove banyak mengandung senyawa flavonoid, karena tanaman mangrove merupakan tanaman sejati yang memiliki daun, akar, batang sejati. Flavonoid yang ditemukan pada tanaman mangrove berperan sebagai
13 antioksidan dengan menghambat peroksidasi dari lipid dan berpotensi menginaktifkan oksigen triplet (Bayu 2009). Pada tanaman, flavonoid memiliki beragam fungsi, diantaranya dapat berfungsi sebagai antioksidan, antimikrobial, fotoreseptor, dan skrining cahaya. Flavonoid terutama dalam bentuk turunan glikosilat bertanggung jawab atas pemberian warna pada daun, bunga, dan buah (Simamora 2011). Struktur dasar flavonoid dapat dilihat pada Gambar 4.
C A
B
Gambar 4 Struktur dasar flavonoid (Sumber: Kumar et al. 2011a)
Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar, mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya, yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatis yang dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. Flavonoid sering terdapat sebagai glikosida. Flavonoid merupakan kandungan khas tumbuhan hijau yang terdapat pada bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah dan biji. Flavonoid bersifat polar karena mengandung sejumlah hidroksil yang tidak terikat bebas atau suatu gula (Markham 1988 dalam Silaban 2010). Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid yang mana pun, mungkin saja terdapat dalam satu tumbuhan dengan beberapa bentuk kombinasi glikosida. Menurut strukturnya, semua flavonoid merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat pada tumbuhan berupa tepung putih dan mempunyai sejumlah sifat yang sama. Golongan flavonoid dibagi menjadi 10 kelas, yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon, dan isoflavon (Harborne 1987). Sifat berbagai golongan flavonoid dapat dilihat pada Tabel 1.
14 Tabel 1 Sifat berbagai golongan flavonoid Golongan Flavonoid
Penyebaran
Ciri khas
Antosianin
pigmen bunga merah, biru larut dalam air, panjang dalam daun dan jaringan lain gelombang 515-545 nm
Proantosianidin
tanwarna, dalam galih, dan daun tumbuhan berkayu
menghasilkan antosianidin
Flavonol
tersebar luas dalam daun
terdapat bercak kuning bila disinari UV (350-386 nm)
Flavon
seperti flavonol
terdapat bercak coklat bila disinari UV (330-350 nm)
Glikoflavon
seperti flavonol
mengandung gula dengan ikatan C-C, tidak seperti flavon biasa
Biflavonil
terbatas hanya pada gimnospermae
bercak redup pada kromatogram BAA
Khalkon dan auron
pigmen bunga kuning
dengan ammonia berwarna merah (370-410 nm)
Flavanon
terdapat dalam daun dan buah
berwarna merah kuat dengan Mg/HCl, pahit
Isoflavon
dalam akar, hanya terdapat dalam satu suku
tidak ada uji warna yang khas
(Sumber: Harborne 1987)
Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh misalnya isoflavon dan biflavonol yang hanya terdapat pada beberapa suku tumbuhan, tetapi beberapa kelas, yakni flavon dan flavonol tersebar di semua tumbuhan. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali ditemukan dalam bentuk tunggal dalam jaringan. Selain itu, sering pula ditemukan campuran flavonoid dengan berbeda kelas (Harborne 1967). Konsumsi flavonoid dalam makanan berkisar 50-80 mg/hari (Silalahi 2006). Kebutuhan akan flavonol dan flavon sebesar 23 g/hari, disamping itu quersetin flavonol menyumbangkan 16 mg/hari dalam asupan makanan. Flavonoid dalam makanan diantaranya kuercetin, kaemferol, luteolin, morin, dan
15 katekin. Senyawa tersebut memiliki kemampuan mencegah kanker yang diduga melalui
sifatnya
sebagai
antioksidan,
penangkap
radikal
bebas,
dan
kemampuannya menonaktifkan kation polivalen. Sumber-sumber flavonoid lebih banyak dihasilkan oleh sayur, buah-buahan, kacang, bunga, daun teh dan lain-lain (Kumar et al. 2011a). Flavonoid dalam tumbuhan memberikan manfaat yang besar bagi tumbuhan tersebut. Flavonoid pada daun mengatur fungsi fisiologis agar dapat bertahan dari gangguan hewan pemakan tumbuhan, infeksi bakteri, dan melindungi dari sinar UV serta membantu dalam proses fotosintesis, transfer energi, respirasi. Pigmen seperti antosianin juga memberikan warna pada daun (Kumar et al. 2011b). Selain bagi tumbuhan, manusia pun dapat ikut merasakan manfaat adanya flavonoid dalam makanan yang mereka konsumsi. Flavonoid memiliki kemampuan antioksidan yang mampu mentransfer sebuah elektron ke senyawa radikal bebas dan membentuk kompleks dengan logam. Kedua mekanisme itu membuat flavonoid memiliki beberapa efek, diantaranya menghambat peroksidasi lipid, menekan kerusakan jaringan oleh radikal bebas dan menghambat beberapa enzim (Harborne 1987). Hubungan antara total fenol dan senyawa flavonoid dengan aktivitas antioksidan pada tumbuhan terutama buah-buahan adalah semakin meningkatnya konsentrasi total fenol atau senyawa flavonoid, maka semakin tinggi pula tingkat aktivitas antioksidan dari tumbuhan tersebut (Erukainure 2011). Flavonoid melakukan aktivitas antioksidan dengan cara menekan pembentukan spesies oksigen reaktif, baik dengan cara menghambat kerja enzim maupun dengan mengikat logam yang terlibat dalam produksi radikal bebas. Mekanisme kerja flavonoid sebagai antioksidan sebagai berikut: 1) Flavonoid menghambat kerja enzim yang terlibat dalam reaksi produksi anion superoksida, misalnya xanthin oksidase dan protein kinase. Flavonoid juga menghambat kerja siklooksigenase, lipooksigenase, mikrosomal
monooksigenase,
glutation-S-transferase,
suksinoksidase, dan NADH oksidase.
mitokondrial
16 2) Sejumlah senyawa flavonoid efisien dalam mengikat logam, diantaranya logam besi bebas dan tembaga bebas yang dapat meningkatkan pembentukan spesies oksigen reaktif. 3) Flavonoid mempunyai nilai potensial reduksi yang rendah, sehingga mudah mereduksi radikal superoksida, peroksil, alkoksil, dan hidroksil. Peredaman radikal bebas oleh flavonoid dicantumkan dalam Gambar 5.
Gambar 5 Struktur dasar senyawa flavonoid (A), Proses peredaman radikal bebas oleh senyawa flavonoid (B) (Sumber: Kumar et al. 2011a)
2.6.4 Saponin Saponin adalah golongan glikosida dan sterol yang apabila dihidrolisis secara sempurna akan menghasilkan gula dan satu fraksi non-gula yang disebut sapogenin atau genin. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya dalam membentuk busa dan menghemolisis darah (Silaban 2009). Hemolisis darah merah oleh saponin ini merupakan hasil interaksi antara saponin dengan senyawa-senyawa yang terdapat pada permukaan membran sel, seperti kolesterol, protein dan fosfolipid. Saponin larut dalam air, sedikit larut atau tidak sama sekali dalam etanol dan metanol pekat yang dingin (Harborne 1984). Komponen saponin berperan dalam mereduksi kolesterol dan melawan kanker kolon. Saponin juga memiliki aktivitas antimikroba, merangsang sistem imun, dan mengatur tekanan darah (Astawan dan Kasih 2008). Beberapa penilitian menunjukan bahwa ekstrak saponin yang diisolasi mampu digunakan sebagai agen pengendali nyamuk Aedes aegypti dan Culex pipiens, tetapi aman bagi mamalia (Wiesman dan Chapagain 2003). Penelitian Cui et al. (2004)
17 menunjukkan bahwa ekstrak saponin mampu digunakan untuk mengatasi penyakit kardiovaskuler seperti penyakit jantung, tonsillitis, dan hyperlipaemia. 2.6.5 Fenol hidrokuinon Fenol merupakan komponen fenolat dengan struktur aromatik yang berikatan dengan satu atau lebih gugus hidroksil, beberapa mungkin digantikan dengan gugus metil atau glikosil. Komponen fenolat bersifat larut air selama komponen tersebut berikatan dengan gula membentuk glikosida, dan biasanya terdapat dalam vakuola sel. Flavonoid merupakan kelompok yang terbesar di antara komponen fenolat alami yang strukturnya telah diketahui, tetapi fenol monosiklik sederhana, fenilpropanoid dan fenolat quinon terdapat dalam jumlah sedikit (Harborne 1984). Kuinon adalah senyawa bewarna dan mempunyai kromofor dasar, antara lain kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Tujuan identifikasi, quinon dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu benzoquinon, naftaquinon, antraquinon, dan isoprenoid quinon. Tiga kelompok pertama umumnya terhidrolisis bersifat fenol, sedangkan isoprenoid quinon terdapat pada respirasi seluler (ubiquinon) dan fotosintesis (plastoquinon) (Harborne 1984). 2.6.6 Tanin Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh dan memiliki batang sejati. Secara kimia terdapat dua jenis tanin, yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi hampir terdapat disemua tumbuhan pakupakuan dan gymnospermae, serta tersebar luas dalam angiospermae terutama pada tumbuhan berkayu. Tanin terhidrolisis, penyebarannya terbatas hanya pada tumbuhan berkeping dua. Tetapi kedua jenis tanin ini banyak dijumpai bersamaan dalam tumbuhan yang sama. Sebagian besar tumbuhan yang banyak mengandung tanin akan dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang pahit. Salah satu fungsi tanin pada tumbuhan adalah sebagai penolak hewan pemakan tumbuhan (Harborne 1987).