KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis Daerah penelitian terletak pada 105°07’55.5” BT - 105°08’20.4” dan 5°17’01.6” LS - 5°17’27.6” LS. Secara administratif lokasi penelitian termasuk ke dalam wilayah Desa Rejosari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. Jarak Unit Usaha Rejosari dari Ibukota Propinsi 12 km, dari kota Kabupaten Lampung Selatan 70 km, dari Pelabuhan Panjang 12 km, dan dari kantor direksi PTPN VII 12 km (PTP Nusantara VII, 2005). Keadaan Tanah dan Iklim Tanah Tanah pada lokasi penelitian menurut Klasifikasi Taksonomi Tanah pada tingkat sub group termasuk dalam Typic Kanhapludults dan Fluventic Dystropepts. Typic Kanhapludults termasuk ke dalam order Ultisol (Soil Survey Staff, 1992). Ultisol terbentuk dibawah iklim panas hingga tropik serta kurang subur (Soepardi, 1983). Pada horizon bawah terjadi penimbunan liat, bersifat masam dan kejenuhan basa pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah kurang dari 35 % (Hardjowigeno, 2003a). Fluventic Dystropepts adalah Dystropepts lain yang mempunyai kandungan karbon organik yang berkurang secara tidak teratur dengan bertambahnya kedalaman dan mempunyai lereng 25 %. Fluventic Dystropepts termasuk dalam order Inceptisol (Soil Survey Staff, 1992). Inceptisol merupakan tanah muda dan cukup subur karena belum berkembang lanjut (Hardjowigeno, 2003a).
19
Adapun macam tanah di lokasi penelitian adalah Podzolik Merah Kuning (berdasarkan Klasifikasi Dudal dan Soepraptohardjo, 1957;1961, dalam Sistem Klasifikasi Tanah menurut Pusat Penelitian Tanah 1983) dengan tekstur tanah berupa liat sampai liat berpasir dan kedalaman solum tanah yang beragam seperti disajikan pada Tabel 1. Sifat-sifat pada tanah tersebut antara lain yaitu sistem drainase jelek dengan kedalaman solum dangkal, struktur tanah masif, dan terdapat akumulasi liat hingga tekstur relatif berat, sehingga terjadi penggenangan (Hardjowigeno, 2003b). Tabel 1. Kedalaman Solum Tanah pada Setiap Perlakuan Perlakuan/Kedalaman solum Teras gulud Kontrol Rorak
< 0.7 m 1.1 1.5 0.0
0.7 - 1 m Luas (Ha) 0.3 2.3 0.0
>1m 10.4 10.4 6.3
Luas total (Ha) 11.8 14.2 6.3
Berdasarkan hasil analisis laboratorium, daerah penelitian memiliki kadar air kapasitas lapang antara 26-36 % dengan rataan kadar air titik layu permanen antara 18-26 % dan memiliki pori drainase sangat cepat. Adanya pori drainase sangat cepat menyebabkan pergerakan udara dan air terjadi sangat cepat sehingga kesempatan air berada dalam tanah hanya sebentar dan mengakibatkan kelembaban tanah
berkurang (Hardjowigeno, 2003a). Rataan air tersedia di
daerah penelitian berkisar antara 7.58 hingga 11.95 % volume. Tabel Lampiran 1 menunjukkan bahwa blok kontrol memiliki rataan air tersedia paling rendah dibanding blok lainnya, dengan demikian, air tersedia di blok kontrol akan lebih cepat habis. Lebih sedikitnya air tersedia di blok kontrol dikarenakan lapisan kedap air yang dangkal sehingga air tidak mampu masuk terlalu jauh ke dalam tanah karena lapisan kedap memperlambat gerakan air.
20
Topografi Daerah penelitian memiliki topografi datar hingga berombak dengan kemiringan lereng antara 3 hingga 8 %. Satuan lahan daerah penelitian merupakan grup vulkan yaitu dataran vulkan berombak agak tertoreh dengan bahan induk tuf dan lava intermedier dan basis (PPT, 1989). Struktur geologi daerah penelitian adalah bidang perlapisan pada satuan tufa dan struktur kekar berlembar pada satuan korok riodiasit. Satuan geomorfologi daerah penelitian dibagi menjadi satuan geomorfologi dataran kompleks (peneplain) dan satuan geomorfologi perbukitan sisa (monadnock) (Moedjimoeljanto, 1997). Pada daerah penelitian yaitu di bagian lembah memiliki sistem drainase yang buruk dengan kedalaman solum yang dangkal dan struktur tanah yang kurang baik (masif). Tanah dengan struktur masif memiliki pori-pori yang sedikit dan apabila terjadi hujan maka pori-pori tersebut akan cepat terisi air. Apabila hujan masih berlanjut maka tanah tidak mampu lagi menyerap air sehingga sering terjadi penggenangan. Selain itu juga ditemukan adanya lapisan kedap. Batuan induk dari tanah ini adalah batuan endapan bersilika, napal, batu pasir, batu liat, batuan volkanik masam (kompleks gunung api Rajabasa) dan berasal dari formasi Pulau Sebesi (Qvh) yang menghasilkan besi bertitan (Fe2O3,TiO2) (Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral, 2002).
21
Iklim dan Curah Hujan Curah hujan tahunan di daerah penelitian adalah 1500-2100 mm/tahun dengan jumlah hari hujan sebanyak 77-122 hari/tahun dan 3-4 bulan kering/tahun (PTP Nusantara VII, 2005). Berdasarkan data dari Badan Meteorologi dan Geofisika Lampung (2006), rata-rata suhu udara maksimum bulanan di daerah penelitian berkisar antara 31-36°C sedangkan rata-rata suhu udara minimum bulanan berkisar antara 21-23°C (Tabel Lampiran 2).
HASIL DAN PEMBAHASAN Curah Hujan Total curah hujan yang terukur pada perlakuan teras gulud, kontrol dan rorak adalah sebesar 841.49 mm, 731.17 mm dan 751.63 mm dengan total curah hujan rata-rata sebesar 769.11 mm yang berasal dari 62 hari hujan (Tabel 2). Total curah hujan yang jatuh pada perlakuan teras gulud lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya dengan curah hujan maksimum harian sebesar 98.90 mm dan curah hujan minimum harian sebesar 0.40 mm (Tabel Lampiran 3). Tabel 2. Total Curah Hujan Bulanan pada Masing-masing Perlakuan Bulan Februari Maret April Mei Juni Total
Perlakuan Rata-rata Teras gulud Kontrol Rorak ...............................................mm.............................................. 180.01 160.17 158.55 165.81 246.45 214.36 228.40 227.20 271.70 225.94 233.01 241.36 85.61 76.65 76.72 79.38 57.72 54.05 54.95 55.36 841.49 731.17 751.63 769.11
Jumlah hari hujan 9 20 14 13 6 62
Hujan sering terjadi pada bulan Maret (20 hari hujan) meskipun curah hujan total pada bulan tersebut lebih kecil dibandingkan bulan April (14 hari hujan). Kejadian hujan semakin berkurang mendekati musim kemarau yang ditandai dengan menurunnya jumlah curah hujan (Tabel 2). Pola curah hujan yang terjadi pada ketiga perlakuan adalah sama (Gambar 3). Pada musim hujan, curah hujan meningkat mulai dari bulan Februari 2006 hingga April 2006 dan pada awal musim kemarau mengalami penurunan yaitu dari bulan Mei 2006 hingga Juni 2006.
23
Curah Hujan (mm)
300 250 200 150 100 50 0 Februari
Maret
Teras gulud
April
Kontrol
Mei
Juni
Rorak
Gambar 3. Curah Hujan Bulanan Kurva Lengkung Debit Aliran Hasil pengukuran tinggi muka air dan debit aliran disajikan pada Tabel Lampiran 4. Data tinggi muka air tersebut digunakan untuk membuat kurva linier hubungan antara tinggi muka air dengan pulsa AWLR (Gambar Lampiran 3) sedangkan data debit aliran digunakan untuk membuat kurva lengkung debit aliran (Rating Curve) (Gambar 4). Korelasi antara nilai pulsa AWLR dan tinggi muka air yang dihasilkan dari kurva linier tinggi muka air diperoleh dari data yang diamati sejak bulan Februari 2006 hingga Juni 2006. Korelasi tersebut bersifat linier yang menunjukkan bahwa tinggi muka air semakin meningkat dengan meningkatnya nilai pulsa AWLR. Tinggi muka air kemudian diprediksi menggunakan kurva tersebut. Kurva lengkung debit aliran menunjukkan karakteristik tinggi muka air dalam hubungannya dengan debit aliran, dimana peningkatan tinggi muka air disertai dengan peningkatan debit aliran. Debit aliran kemudian diprediksi menggunakan kurva tersebut. Debit aliran pada AWLR 4 diprediksi dengan menggunakan karakteristik hubungan debit AWLR 3 dan 4 pada berbagai tinggi muka air. Hal tersebut dilakukan karena alat pencatat AWLR 4 tidak berfungsi dengan baik.
24
(b) 40
300
35 30
250 200
Debit (L/detik)
Debit (L/detik)
(a) 350
3.2095
y = 0.0041x
150
2
R = 0.99
100
25 2.9802
y = 0.003x 2 R = 0.99
20 15 10
50
5 0
0 0
10
20
30
0
40
5
10
TMA (cm)
(c) 35
1600
30
Debit AWLR 4 (L/detik)
1800
Debit (l/detik)
1400 1200 1000
2.9719
y = 0.0062x 2 R = 0.95
800 600
15
20
25
TMA (cm)
400
(d) y = 0.4149x + 2.0051 2 R = 0.89
25 20 15 10
200
5 0
0 0
10
20
30
40
50
60
0
70
20
40
60
80
Debit AWLR 3 (L/detik)
TMA (cm)
(e) 30
Debit (L/detik)
25 20 15 3.2485
y = 0.002x
10
2
R = 0.95
5 0 0
5
10
15
20
TMA (cm)
Gambar 4. Kurva Lengkung Debit Aliran pada AWLR I (a), AWLR II (b), AWLR III (c), AWLR IV (d) dan AWLR V (e). Aliran Permukaan Tabel 3 menunjukkan komponen hidrologi pada setiap perlakuan, dimana total aliran permukaan, overland flow dan base flow semakin tinggi dengan semakin besarnya curah hujan. Tabel 3 juga menunjukkan bahwa total aliran permukaan tertinggi terjadi pada perlakuan kontrol. Total aliran permukaan pada perlakuan tersebut adalah sebesar 527.59 mm, lebih tinggi 9.09 % dibandingkan dengan perlakuan teras gulud (479.61 mm) dan lebih tinggi 43.12 % dibandingkan perlakuan rorak (300.10 mm). Koefisien limpasan (perbandingan total run off
25
Tabel 3. Komponen Hidrologi pada Setiap Micro catchment (ada pada file Microsoft Excell)
26
terhadap curah hujan) pada perlakuan teras gulud adalah sebesar 0.57, pada perlakuan kontrol sebesar 0.72 dan pada perlakuan rorak sebesar 0.40. Tingginya total aliran permukaan pada perlakuan kontrol dikarenakan tidak adanya perlakuan konservasi. Dengan demikian, setelah terjadi hujan dan kapasitas lapang terpenuhi, kelebihan air akan langsung menjadi aliran permukaan dan akan segera terbuang keluar dari micro catchment. Adanya
bangunan
konservasi
teras
gulud
yang
searah
kontur
menyebabkan air hujan yang jatuh akan tertampung dalam saluran dan terhambat oleh guludan sehingga memberikan kesempatan kepada aliran permukaan untuk meresap ke dalam tanah. Peresapan air ke dalam tanah menjadi lebih efektif karena adanya mulsa vertikal. Mulsa vertikal mampu memperbaiki porositas tanah sehingga mempercepat peresapan air ke dalam tanah. Dengan demikian, lebih banyak air yang terinfiltrasi sehingga total aliran permukaan pada perlakuan teras gulud lebih kecil bila dibandingkan perlakuan kontrol. Penelitian Soleh dkk, (2003) menunjukkan bahwa guludan searah kontur dapat menekan aliran permukaan menjadi 333.34 m3/ha dari aliran permukaan sebesar 486.32 m3/ha atau turun sebesar 31.46 %. Adanya lubang resapan di dalam saluran juga menyebabkan kecilnya aliran permukaan pada perlakuan teras gulud, karena lubang resapan menambah luas permukaan resapan sehingga lebih banyak air yang dapat di tampung dan diresapkan di dalam saluran. Total aliran permukaan terkecil terjadi pada perlakuan rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal. Adanya bangunan rorak dapat mengurangi kecepatan aliran permukaan dan menangkap air sehingga
27
memungkinkan air masuk ke dalam tanah. Penelitian Noeralam dkk, (2003) menunjukkan bahwa teknik rorak yang dikombinasikan dengan mulsa vertikal efektif mengurangi laju aliran permukaan yaitu 6.45 cm/tahun dibandingkan tanah terbuka yaitu sebesar 40.22 cm/tahun. Efektivitas perlakuan teras gulud dan rorak dibandingkan kontrol disajikan pada Gambar 5. Pada bulan Februari, Maret dan April teras gulud efektif menurunkan aliran permukaan sebesar 19.31 %, 13.63 % dan 4.59 % dibandingkan kontrol. Pada bulan yang sama, perlakuan rorak efektif menurunkan aliran permukaan sebesar 80.37 %, 52.59 % dan 36.24 % dibandingkan kontrol. Perlakuan rorak lebih efektif dalam menurunkan aliran permukaan dibandingkan perlakuan teras gulud lebih dikarenakan topografi yang datar pada blok perlakuan rorak dibandingkan blok perlakuan teras gulud. Efektivitas perlakuan teras gulud dan rorak pada bulan Mei dan Juni (musim kemarau) dilihat dari kadar air tanah yang masih tinggi dan masih adanya aliran pada musim kemarau (base flow). 90
80,37
80
% Efektivitas
70
52,59
60 50 36,24
40 30
19,31
20
13,63 4,59
10 0 Februari
Maret Teras gulud
April
Rorak
Gambar 5. Efektivitas Perlakuan Teras gulud dan Rorak yang dilengkapi Lubang Resapan dan Mulsa Vertikal Hubungan Hujan dan Aliran Permukaan
28
Curah hujan sangat mempengaruhi aliran permukaan yang terjadi pada suatu daerah pengamatan. Pada umumnya, peningkatan curah hujan akan diikuti oleh peningkatan total aliran permukaan. Akan tetapi, curah hujan bukan merupakan parameter utama yang menentukan aliran permukaan karena aliran permukaan juga dipengaruhi oleh keadaan air tanah awal. Dengan demikian, curah hujan yang tinggi juga dapat menyebabkan aliran permukaan yang terjadi rendah (Gambar 6). Apabila keadaan air tanah awal rendah, maka curah hujan akan terinfiltrasi untuk memenuhi kapasitas lapang sehingga lebih banyak air yang masuk ke dalam tanah dan aliran permukaan yang terukur menjadi kecil. Sebaliknya, bila keadaan air tanah awal jenuh, maka hanya sedikit curah hujan yang akan terinfiltrasi, selebihnya akan mengisi cekungan-cekungan di permukaan yang akhirnya menjadi aliran permukaan dan debit aliran yang terukur menjadi besar. Berdasarkan gambar tersebut, aliran permukaan harian tertinggi pada masing-masing perlakuan yaitu pada perlakuan teras gulud terjadi pada tanggal 25 Februaari 2006 yaitu sebesar 36.58 mm/hari, pada perlakuan kontrol sebesar 60.77 mm/hari dan pada perlakuan rorak sebesar 8.32 mm/hari (Tabel Lampiran 5). Peningkatan nilai total aliran permukaan terjadi pada puncak musim hujan (Maret – April) (Tabel 3) dimana peningkatan terbesar terjadi pada perlakuan kontrol. Hal ini dikarenakan tidak adanya perlakuan pada blok kontrol sehingga tidak ada bangunan yang dapat menghambat aliran permukaan, adanya lapisan kedap sehingga air tidak dapat masuk terlalu jauh ke dalam tanah dan ketika tanah telah memasuki fase jenuh maka semua kelebihan hujan akan menjadi aliran permukaan. Selain itu juga dikarenakan tekstur tanah pada blok perlakuan kontrol
29
yang lebih berpasir sehingga tidak mampu mengikat air dalam jumlah yang banyak.
Pada musim kemarau (Mei – Juni), nilai total aliran permukaan pada ketiga perlakuan mengalami penurunan. Penurunan nilai total aliran permukaan terbesar terjadi pada perlakuan kontrol. Hal ini dikarenakan terhentinya aliran air air pada blok perlakuan kontrol. Pada perlakuan kontrol, berhentinya aliran air terjadi lebih dulu dibandingkan perlakuan teras gulud yaitu sejak tanggal 9 Mei dibandingkan tanggal 21 Juni. Berhentinya aliran air menyebabkan jumlah air yang tersedia dalam tanah akan lebih cepat habis karena jumlah air tersedia lebih sedikit (Tabel Lampiran 1). Pada perlakuan rorak, meskipun terjadi penurunan nilai total aliran permukaan, tetapi nilai total aliran permukaan pada perlakuan tersebut merupakan total aliran permukaan terbesar pada musim kemarau dibandingkan perlakuan lainnya. Nilai total aliran permukaan pada bulan Mei dan Juni pada perlakuan rorak menunjukkan nilai tertinggi dengan nilai overland flow terkecil. Tingginya nilai total aliran permukaan pada perlakuan rorak dibandingkan perlakuan lain lain pada bulan tersebut dikarenakan aliran air di saluran pengaliran pada perlakuan rorak tidak terhenti hingga akhir musim kemarau. Nilai base flow yang tinggi serta overland flow yang rendah menunjukkan bahwa rorak dan mulsa vertikal efektif dalam menginfiltrasikan air ke dalam tanah pada saat musim hujan dengan koefisien overland flow selama masa penelitian sebesar 0.01. Nilai ini lebih rendah dibandingkan perlakuan teras gulud dan kontrol yaitu 0.07 dan 0.13. Rendahnya nilai koefisien overland flow pada perlakuan rorak bukan semata-mata
21 /0 22 2 /0 /0 6 24 2 /0 /0 6 25 2 /0 /0 6 27 2 /0 /0 6 01 2 /0 /0 6 04 3 /0 /0 6 08 3 /0 /0 6 11 3 /0 /0 6 15 3 /0 /0 6 21 3 /0 /0 6 22 3 /0 /0 6 28 3 /0 /0 6 04 3 /0 /0 6 05 4 /0 /0 6 09 4 /0 /0 6 10 4 /0 /0 6 11 4 /0 /0 6 19 4 /0 /0 6 20 4 /0 /0 6 22 4 /0 /0 6 29 4 /0 /0 6 26 4 /0 /0 6 28 5 /0 /0 6 06 5 /0 /0 6 14 6 /0 /0 6 6/ 06
Curah Hujan (mm)
Curah Hujan (mm)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Curah Hujan (mm)
Curah Hujan (mm)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Curah Hujan (mm)
(c)
Curah Hujan (mm) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Aliran Permukaan (mm)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Aliran Permukaan (mm)
21 /0 22 2 /0 /0 6 24 2 /0 /0 6 25 2 /0 /0 6 27 2 /0 /0 6 01 2 /0 /0 6 04 3 /0 /0 6 08 3 /0 /0 6 11 3 /0 /0 6 15 3 /0 /0 6 21 3 /0 /0 6 22 3 /0 /0 6 28 3 /0 /0 6 04 3 /0 /0 6 05 4 /0 /0 6 09 4 /0 /0 6 10 4 /0 /0 6 11 4 /0 /0 6 19 4 /0 /0 6 20 4 /0 /0 6 22 4 /0 /0 6 29 4 /0 /0 6 26 4 /0 /0 6 28 5 /0 /0 6 06 5 /0 /0 6 14 6 /0 /0 6 6/ 06
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Aliran Permukaan (mm)
21 /0 22 2 /0 /0 6 24 2 /0 /0 6 25 2 /0 /0 6 27 2 /0 /0 6 01 2 /0 /0 6 04 3 /0 /0 6 08 3 /0 /0 6 11 3 /0 /0 6 15 3 /0 /0 6 21 3 /0 /0 6 22 3 /0 /0 6 28 3 /0 /0 6 04 3 /0 /0 6 05 4 /0 /0 6 09 4 /0 /0 6 10 4 /0 /0 6 11 4 /0 /0 6 19 4 /0 /0 6 20 4 /0 /0 6 22 4 /0 /0 6 29 4 /0 /0 6 26 4 /0 /0 6 28 5 /0 /0 6 06 5 /0 /0 6 14 6 /0 /0 6 6/ 06
30
dikarenakan perlakuan tersebut, tetapi lebih dikarenakan topografi pada perlakuan
kontrol yang lebih datar dan tanahnya lebih dalam dibandingkan pada perlakuan
lainnya.
(a)
Tanggal Aliran Permukaan (mm)
(b)
Tanggal
Aliran Permukaan (mm)
Tanggal
Aliran Permukaan (mm)
Gambar 6. Hubungan Curah Hujan dan Aliran Permukaan pada Perlakuan Teras gulud (a), Kontrol (b) dan Rorak (c).
Curah Hujan dan Overland flow
Pada perlakuan teras gulud, kontrol dan rorak, overland flow mulai terjadi
pada curah hujan sebesar 13.89 mm, 11.46 mm dan 15.69 mm (Tabel 4). Hal ini
menunjukkan bahwa overland flow pada perlakuan teras gulud, kontrol dan rorak
31
terjadi apabila curah hujan lebih besar atau sama dengan 13.89 mm, 11.46 mm dan 15.69 mm. Pada perlakuan kontrol, overland flow terjadi pada curah hujan yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan perlakuan teras gulud dan rorak. Hal ini dikarenakan pada perlakuan kontrol tidak ada bangunan konservasi yang dapat menghambat kelebihan air pada saat hujan sedangkan pada perlakuan teras gulud, adanya guludan menyebabkan kelebihan air terhambat sehingga mempunyai kesempatan untuk terinfiltrasi ke dalam tanah. Overland flow pada perlakuan rorak terjadi pada curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan teras gulud. Hal ini dikarenakan topografi pada perlakuan rorak lebih datar bila dibandingkan dengan perlakuan teras gulud. Overland flow tertinggi dihasilkan oleh curah hujan yang tertinggi pula. Overland flow tertinggi pada perlakuan teras gulud, kontrol dan rorak terjadi pada tanggal 25 Februari 2006. Pada perlakuan teras gulud, overland flow yang terjadi adalah sebesar 31.89 mm dari curah hujan sebesar 98.90 mm (Tabel 4) dengan persentase curah hujan yang menjadi overland flow adalah sebesar 32.24 %. Pada perlakuan kontrol, overland flow yang terjadi adalah sebesar 57.82 mm dari curah hujan sebesar 93.59 mm dengan persentase curah hujan yang menjadi overland flow adalah sebesar 61.78 %. Pada perlakuan rorak, overland flow yang terjadi adalah sebesar 2.45 mm dari curah hujan sebesar 88.60 mm) dengan persentase curah hujan yang menjadi overland flow adalah sebesar 2.76 %. Persentase curah hujan yang menjadi overland flow lebih besar terjadi pada perlakuan kontrol dibandingkan perlakuan teras gulud dan rorak. Hal ini dikarenakan tidak adanya perlakuan konservasi sehingga kelebihan air akan langsung menjadi aliran permukaan dan keluar dari catchment. Selain itu juga karena solum yang dangkal
32
dan adanya lapisan kedap yang luas pada blok perlakuan kontrol tersebut, serta adanya pori drainase sangat cepat dengan persentase yang lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel Lampiran 1). Adanya pori drainase sangat cepat menyebabkan terjadinya pergerakan udara dan air sangat cepat sehingga kesempatan air berada dalam tanah hanya sebentar dan air akan keluar dari catchment. Tabel 4. Curah Hujan dan Overland flow pada Masing-masing Perlakuan Tanggal 2/21/2006
Teras Gulud Kontrol Rorak Curah Hujan OLF Curah Hujan OLF Curah Hujan OLF ............................................................... mm.......................................................... 18.90 0.05 23.42 0.19 24.01 0.03
2/24/2006
14.68
0.08
9.02
0.00
6.39
0.00
2/25/2006
98.90
31.89
93.59
57.82
88.60
1.06
2/27/2006
21.88
0.09
18.79
0.81
20.12
0.26
3/01/2006
39.61
2.75
42.46
6.29
35.24
0.96
3/04/2006
19.74
0.29
9.72
0.00
9.87
0.00
3/08/2006
23.38
0.64
23.74
0.64
15.08
0.00
3/11/2006
16.09
0.04
13.06
0.18
7.49
0.00
3/15/2006
36.49
1.24
31.90
1.49
26.34
0.17
3/21/2006
18.25
0.06
13.81
0.11
19.49
0.10
3/22/2006
14.81
0.02
13.32
0.17
18.66
0.11
3/28/2006
16.36
0.00
13.07
0.11
19.49
0.10
4/04/2006
32.79
2.27
25.46
0.66
31.76
0.23
4/05/2006
13.89
0.05
17.36
0.14
27.64
0.19
4/09/2006
15.00
0.08
14.15
0.13
12.43
0.00
4/10/2006
40.26
2.27
19.74
0.18
20.29
0.12
4/11/2006
18.83
0.01
29.09
0.98
26.21
0.23
4/19/2006
18.60
0.30
8.22
0.00
5.75
0.00
4/20/2006
19.42
0.23
23.42
0.41
15.69
0.12
4/22/2006
80.52
16.14
61.80
25.17
69.54
0.19
4/29/2006
16.23
0.16
11.46
0.11
12.95
0.00
5/26/2006
27.92
0.001
24.52
0.00
26.42
0.10
5/28/2006
34.42
0.18
30.10
0.22
26.04
0.10
6/06/2006
26.75
0.08
22.92
0.03
22.49
0.03
33
6/14/2006
10.52
0.00
15.65
0
16.67
0.03
Total
694.24
58.92
609.79
95.84
604.66
4.13
Pada curah hujan sedang yaitu sebesar 36.49 mm (tanggal 15 Maret), overland flow yang terjadi pada perlakuan teras gulud sebesar 1.24 mm dengan persentase curah hujan yang menjadi overland flow sebesar 3.39 %. Pada perlakuan kontrol, curah hujan sedang sebesar 31.90 mm menghasilkan overland flow sebesar 1.49 mm dengan persentase curah hujan yang menjadi overland flow sebesar 4.67 %. Pada perlakuan rorak, curah hujan sedang sebesar 31.76 mm menghasilkan overland flow sebesar 0.23 mm dengan persentase curah hujan yang menjadi overland flow sebesar 0.72 %. Persentase curah hujan yang menjadi overland flow pada curah hujan sedang pada ketiga perlakuan jauh lebih kecil apabila dibandingkan dengan curah hujan tinggi yang menghasilkan overland flow terbesar dengan persentase curah hujan yang menjadi overland flow pada masingmasing micro catchment sebesar 32.58 %, 61.78 % dan 2.76 %. Hal ini menggambarkan bahwa pada curah hujan sedang overland flow tidak terlalu nyata terlihat pada masing-masing perlakuan. Aliran permukaan langsung (Overland flow) dapat diprediksi melalui curah hujan dengan membuat hubungan antara curah hujan dan aliran permukaan langsung. Gambar 7 menunjukkan bahwa aliran permukaan langsung meningkat dengan semakin meningkatnya curah hujan. Hal ini berlaku apabila curah hujan lebih besar dari 20 mm. Pada curah hujan yang lebih rendah dari 20 mm, hal tersebut tidak berlaku karena peningkatan overland flow yang terjadi tidak begitu nyata, maksudnya adalah peningkatan overland flow sangat rendah pada peningkatan curah hujan sampai 20 mm.
34
(b) 70
30
60 Overland flow (mm)
Overland flow (mm)
(a) 35
25 20 y = 0.3125x - 6.3215 R2 = 0.86
15 10 5 0
50 40 30
y = 0.6104x - 11.054 R2 = 0.84
20 10 0
0
20
40
60
80
100
0
20
40
60
80
100
CH (mm)
CH (mm)
(c)
3
Overland flow (mm)
2.5 2 y = 0.0316x - 0.4726 R2 = 0.90
1.5 1 0.5 0 0
20
40
60
80
100
CH (mm)
Gambar 7. Grafik Hubungan Curah Hujan dan Overland flow pada Perlakuan Teras gulud (a), Kontrol (b) dan Rorak (c). Hubungan Curah Hujan, Intensitas Maksimum dan Debit Puncak Overland flow Curah hujan yang tinggi menyebabkan terjadinya intensitas maksimum dan debit puncak yang tinggi pula. Pada perlakuan teras gulud, kontrol dan rorak, curah hujan tertinggi terjadi pada tanggal 25 Februari 2006 sebesar 98.90 mm, 93.59 mm dan 88.60 mm dengan intensitas maksimum yang sedang yaitu 55.54 mm/jam menghasilkan debit puncak sebesar 711.03 L/detik, 720.12 L/detik dan 20.06 L/detik (Tabel 5). Intensitas maksimum tertinggi pada ketiga perlakuan terjadi pada tanggal 22 April yaitu sebesar 101.7 mm/jam dengan curah hujan sebesar 80.52 mm, 61.80 mm dan 69.54 mm dan menimbulkan debit puncak tertinggi pula yaitu sebesar 746.21 L/detik, 767.52 L/detik dan 30.00 L/detik. Intensitas maksimum dan debit puncak pada tanggal 25 Februari 2006 lebih
35
rendah dibandingkan 22 April 2006 meskipun curah hujannya lebih besar. Hal ini dikarenakan curah hujan pada tanggal 25 Februari 2006 terjadi dalam waktu yang cukup lama yaitu sekitar 5 jam. Tabel 5. Curah Hujan, Intensitas Maksimum dan Debit Puncak Overland flow Perlakuan Tanggal
21/02/06 24/02/06 25/02/06 27/02/06 01/03/06 04/03/06 11/03/06 15/03/06 21/03/06 22/03/06 28/03/06 05/04/06 10/04/06 11/04/06 20/04/06 22/04/06 29/04/06 26/05/06 28/05/06 06/06/06 14/06/06
I max 30 mnt (mm/jam)
19.66 24.38 55.54 5.85 37.05 26.98 28.73 61.68 28.79 14.89 7.86 17.81 60.04 22.19 32.28 101.70 29.79 1.49 49.50 17.42 12.85
Teras gulud Debit CH Puncak (mm) (L/detik) 18.90 3.04 14.68 4.83 98.90 711.03 21.88 29.92 39.61 32.23 19.74 21.95 16.09 36.49 9.75 18.25 0.47 14.81 9.56 16.36 6.05 13.89 4.85 40.26 58.90 18.83 14.97 19.42 7.96 80.52 746.21 16.23 7.38 27.92 34.42 26.75 7.47 10.52 0.00
Kontrol Debit CH Puncak (mm) (L/detik) 23.42 6.77 9.02 0.00 93.59 720.12 18.79 35.56 42.46 241.10 9.72 0.00 13.06 17.73 31.90 66.73 13.81 12.36 13.32 16.64 13.07 11.44 17.36 7.56 19.74 12.65 29.09 58.88 23.42 21.48 61.80 767.52 11.46 10.82 24.52 1.71 30.10 7.59 22.92 2.21 15.65 0.76
CH (mm) 24.01 6.39 88.6 20.12 35.24 9.87 7.49 26.34 19.49 18.66 19.49 27.64 20.29 26.21 15.69 69.54 12.95 26.42 26.04 22.49 16.67
Rorak Debit Puncak (L/detik) 0.64 0.00 20.06 8.61 13.02 0.00 0.00 8.30 4.48 4.61 4.48 5.68 4.92 7.07 5.33 30.00 0.00 2.51 2.55 1.49 0.82
Berdasarkan Tabel 5 juga dapat dilihat bahwa curah hujan terkecil yang menghasilkan aliran permukaan pada musim hujan pada perlakuan teras gulud, kontrol dan rorak adalah 13.89 mm, 11.46 mm dan 15.69 mm. Sedangkan curah hujan yang menghasilkan aliran permukaan pada musim kemarau pada masingmasing perlakuan adalah 26.75 mm, 22.92 mm dan 16.67 mm. Pada musim kemarau, curah hujan yang menghasilkan aliran permukaan pada perlakuan rorak lebih kecil dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan masih adanya
36
aliran pada musim kemarau dan kadar air tanah yang masih tinggi di blok tersebut. Pada tanggal 11 Maret, 26 dan 28 Mei, debit puncak pada perlakuan teras gulud tidak dapat digunakan sebagai data karena adanya kesalahan pengukuran. Hal ini dikarenakan adanya lumut yang tersangkut pada alat current meter sewaktu pengukuran debit aliran sehingga debit yang terukur menjadi salah.