PENERAPAN KONSELING RASIONAL EMOTIF DENGAN TEKNIK ASSERTIVE ADAPTIF UNTUK MENINGKATKAN KEDISIPLINAN BAGI SISWA INDISIPLINER KELAS XBOGA1 SMK NEGERI 1 SERIRIT Kd Thera Oktariyani, Gd Sedanayasa,Ni Md Setuti Jurusan Bimbingan Konseling, FIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia email:{
[email protected],
[email protected],
[email protected]}.
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penerapan konseling rasional emotif untuk meningkatkan kedisiplinan bagi siswa indisipliner pada kelas X Boga 1 SMK Negeri 1 Seririt. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X Boga 1 SMK Negeri 1 Seririt yang memiliki kedisiplinan rendah. Penelitian ini adalah penelitian tindakan bimbingan konseling. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, observasi dan analisis data. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus, dan setiap siklus terdiri dari identifikasi, diagnosa, prognosa, konseling, evaluasi dan refleksi. Berdasarkan hasil analisis data skor awal diperoleh hasil bahwa terdapat 5 orang siswa yang memiliki kedisiplinan dengan kategori rendah. Kelima orang ini akan ditindak lanjuti pada penelitian siklus I. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya perubahan perilaku disiplin siswa. Hasil analisis data yang diperoleh pada siklus I nampak bahwa 2 orang siswa sudah menunjukkan perubahan perilaku disiplin dengan indikator memiliki ketaatan, ketepatan waktu dan konsistensi dalam menjalankan tugas. Sedangkan ketiga orang siswa yang belum menunjukkan perubahan akan ditindaklanjuti pada penelitian siklus II. Hasil analisis data yang diperoleh pada siklus II nampak bahwa dari ketiga orang siswa sudah menunjukkan sikap disiplin sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan di sekolah. Jadi dapat disimpulkan bahwa penerapan konseling rasional emotif dengan teknik assertive adaptif dapat meningkatkan kedisiplinan bagi siswa indisipliner.
Kata kunci: konseling rasional emotif, teknik assertif adaptif, kedisiplinan.
ABSTRACK The purpose of this study was to determine the effectiveness of rational emotive counseling to improve discipline for student indiscipline in class X Boga 1 SMK Negeri 1 Seririt. The subjects were students of class X Boga 1 SMK Negeri 1 Seririt who have low self-discipline. This research is action research guidance counseling. Data collection methods used in this study is a questionnaire, observation and data analysis. This study was conducted in two cycles, and each cycle consisted of the identification, diagnosis, prognosis, counseling, evaluation and reflection. Based on the analysis of the initial score the result that there are 5 people who have the discipline of students with low category. The five men will be followed up on the research cycle I. The results showed that a change in the behavior of student discipline. The analysis of data obtained in the first cycle appears that 2 students have shown discipline with behavior change indicators have obedience, punctuality and consistency in performing their duties. While the three students who have not shown changes will be followed up in the second cycle of research. The analysis of data obtained in the second cycle it appears that of the three students have shown discipline in accordance
with the rules that have been established in the school. So it can be concluded that the application of rational emotive counseling with adaptive assertive techniques can improve student discipline for indiscipline. Keywords: rational emotive counseling, adaptive assertif technique, discipline. .
PENDAHULUAN Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan harus ditujukan untuk mencapai tujuan pendidikan. Menurut UndangUndang RI No. 20 pasal 3 tahun 2003 bahwa tujuan Pendidikan Nasional yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara dan mengembangkan manusia seutuhnya dengan menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berprilaku baik, berbudi pekerti luhur, memiliki keterampilan dan pengetahuan serta memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi di masyarakat, berbangsa dan bernegara”. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Indikator keberhasilan pendidikan Indonesia menuju karakteristik manusia seutuhnya yaitu kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Salah satu indikator individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan sendiri dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang diperbuat. Oleh karena itu, sumber daya manusia menjadi salah satu aspek yang sangat besar peranannya dalam kemajuan suatu bangsa, karena dengan semakin tinggi kualitas sumber daya manusia, maka kualitas suatu bangsa juga semakin meningkat. Dii era globalisasi ini perkembangan dan kemajuan teknologi yang semakin pesat merupakan tantangan yang harus dihadapi. Akibat yang timbul dari fenomena ini antara lain munculnya persaingan dalam kehidupan, pergaulan anak menjadi bebas dan tidak terkontrol, karena realita di lapangan saat ini banyak remaja yang tidak bisa memanfaatkan
kemajuan teknologi untuk hal yang positif. Untuk menghadapi tantangan tersebut dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas melalui peningkatan mutu pendidikan. Mutu pendidikan sangat berkaitan erat dengan mutu siswa selama mengikuti proses belajar mengajar. Tercapainya tujuan pendidikan dalam proses belajar mengajar dipengaruhi oleh dua faktor antara lain ; faktor eksternal yakni faktor yang berasal dari luar diri siswa salah satunya lingkungan yang dapat mempengaruhi pola tingkah laku individu, faktor internal yakni faktor yang berasal dari dalam diri siswa. Salah satu faktor yang berasal dari dalam diri siswa yaitu disiplin belajar, sedangkan faktor yang berasal dari dalam diri siswa antara lain pola pikir, dan emosi. Pola pikir, perasaan dan emosi merupakan dua hal yang saling tumpang tindih dan saling terkait. Kedua hal tersebut sangat mempengaruhi bentuk tingkah laku yang ditunjukkan siswa. Salah satu faktor internal yang sangat mempengaruhi bentuk tingkah laku disiplin siswa di sekolah adalah pola pikirnya terhadap kedisiplinan. Pemikiran yang rasional akan mendorong siswa untuk menunjukkan perilaku disiplin yang tinggi di sekolah, begitu pula sebaliknya pemikiran yang irasional akan mendorong siswa untuk menunjukkan perilaku disiplin yang rendah di sekolah. Sikap indisipliner tersebut juga ditunjukkan oleh siswa selama proses pembelajaran, akibat hal tersebut banyak siswa yang memperoleh hasil belajar tidak sesuai yang diharapkan. Tercapainya hasil belajar yang optimal sangat dipengaruhi oleh sikap dan tingkah laku siswa selama mengikuti proses pembelajaran. Agar proses belajar mengajar menjadi lancar maka siswa harus mematuhi tata tertib dengan penuh rasa disiplin yang tinggi.
Dirjen Dikdasmen (1996:10) mendefinisikan disiplin sekolah sebagai “keadaan tertib dalam suatu sekolah yang didalamnya terdapat siswa dan guru yang harus taat pada tata tertib yang telah ditetapkan”. Perilaku belajar yang sesuai ketentuan seperti tertib, tepat waktu, rajin kesekolah, tekun belajar, dan mendengarkan serta mengikuti petunjuk guru adalah perilaku yang baik bagi siswa yang patut dikembangkan sehingga hasil belajar menjadi efektif. Perilaku diluar norma-norma di atas seperti tidak pernah mendengarkan guru dalam mengajar, sering terlambat, ribut di kelas, dan suka menganggu teman yang lain dapat dikategorikan sebagai perilaku tidak disiplin. Dalam meningkatkan hasil belajar siswa, komponen yang paling berperan di sekolah adalah guru. Guru merupakan salah satu subjek penentu dalam pendidikan di sekolah. Segala harapan dan tujuan pendidikan dibebankan kepada guru. Oleh karena itu, dalam proses belajar guru dituntut memiliki kualifikasi profesional dalam bidang disiplin ilmunya, agar dapat mengelola proses belajar mengajar secara normatif. Sikap disiplin anak tidak hanya ditanamkan di sekolah tetapi juga di keluarga. Pendidikan anak dalam keluarga sering kali berlangsung secara tidak sengaja, dalam arti tidak direncanakan atau dirancang secara khusus guna mencapai tujuan-tujuan tertentu seperti dalam pendidikan di sekolah. Orang tua memegang peranan penting dalam menanamkan sikap disiplin, karena orang tua merupakan pendidik pertama dalam keluarga yang menanamkan nilai-nilai disiplin, nilai moral, dan tata krama yang dapat diimplementasikan di masyarakat. Dari pengertian tersebut tampak jelas bahwa disiplin merupakan sikap moral seseorang yang tidak secara otomatis ada pada dirinya sejak ia lahir, melainkan dibentuk oleh lingkungannya melalui pola asuh serta perlakuan orang tua, guru, serta masyarakat. Berdasarkan hasil observasi awal di SMK Negeri 1 Seririt tentang perilaku disiplin ditemukan beberapa gejala perilaku siswa antara lain ; tampak bahwa siswa yang tidak disiplin menunjukkan perilaku
yang bervariasi. Sikap indisipliner siswa cenderung ditunjukkan dalam komunikasi yang tidak efektif, memiliki jumlah pelanggaran tata tertib yang banyak, prestasi serta pelanggaran tata tertib dalam proses belajar mengajar, ini dibuktikan melalui pengamatan yang dilakukan di sekolah dan perilaku yang ditunjukkan selama proses belajar mengajar. Pada saat proses pembelajaran berlangsung, terdapat beberapa orang siswa di kelas X Boga 1 masih memiliki sikap indisipliner yang tinggi. Hal ini terlihat selama proses pembelajaran siswa tersebut menunjukkan sikap disiplin yang masih rendah seperti menganggu teman saat proses pembelajaran berlangsung, tidak memperhatikan guru di kelas, sering tidak sekolah, dan tidak mampu berbicara dengan logis serta cenderung dilandasi dengan emosi. Oleh karena itu mereka perlu mendapat perhatian khusus agar mampu berpikir, beremosi dan bertingkah laku yang rasional dengan cara meningkatkan sikap asertif dalam dirinya. Sikap asertif dalam diri siswa sangat penting untuk ditanamkan khususnya di lingkungan sekolah, karena sikap asertif dapat melatih perilaku penyesuaian sosial melalui ekspresi diri dari perasaan, sikap, harapan, dan pendapat. Menurut Alberti (dalam Singgih Gunarsa, 2004:217) prosedur latihan assertive, antara lain; Latihan keterampilan, di mana perilaku verbal dan non verbal dilatih dan diintegrasikan ke dalam rangkaian perilakunya. Teknik untuk melakukan latihan ini adalah teknik peniruan, tugas pekerjaan rumah, dan latihan bermain peran. Mengurangi kecemasan yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung sebagai hasil tambahan dari latihan keterampilan. Teknik untuk melakukan hal ini melalui teknik pendekatan tradisional,) Menstruktur kembali aspek kognitif, di mana nilai-nilai, kepercayaan, sikap yang membatasi ekspresi diri pada klien diubah oleh pemahaman dan hal-hal yang dicapai dari perilakunya. Selain itu, untuk meningkatkan sikap asertif dalam diri, maka seseorang dituntut untuk jujur terhadap dirinya dan jujur pula dalam mengekspresikan perasaan, pendapat dan
kebutuhannya secara proporsional, tanpa ada maksud untuk memanipulasi, memanfaatkan ataupun merugikan pihak lainnya. Menurut Pratanti (dalam http://zhalabe.blogspot.com/2012/01/perilak u-asertif.html) seseorang dapat dikatakan asertif apabila memiliki kriteria merasa bebas untuk mengekspresikan perasaan, pikiran dan keinginan, mampu mengontrol kemarahan, mampu berbicara dengan baik dan logis tanpa dilandasi perasaan emosi. Seseorang yang sudah memiliki sikap asertif mampu mengekspresikan perasaannya dan mampu berkomunikasi dengan baik sehingga orang lain memberikan respon yang dikehendaki atau positif. Dengan kata lain, sikap asertif yang ditanamkan seseorang dapat mempengaruhi keterampilan sosial, dan penyesuaian diri individu. Selain itu, orang yang kurang asertif juga akan menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut: terlalu mudah mengalah/ lemah, mudah tersinggung, cemas, kurang yakin pada diri sendiri, sukar mengadakan komunikasi dengan orang lain, tidak mampu berbicara dengan logis dan cenderung menunjukkan sikap dan tingkah laku yang irasional. Dii lingkungan sekolah penanaman sikap asertif penting untuk ditanamkan dan memiliki hubungan terhadap disiplin siswa yang ditunjukkan selama di sekolah dan dalam proses pembelajaran. Upaya untuk mengatasi ketidak disiplinan siswa dilakukan dengan berbagai cara. Model konseling rasional emotif adalah salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, karena konseling ini menitik beratkan pada sikap, persepsi, cara berpikir, emosi, tindakan, keyakinan serta pandangan-pandangan konseli yang irasional agar menjadi rasional. Sasaran layanan ini adalah “menjadikan individu menginternalisasikan suatu filsafat hidup yang rasional sebagaimana individu menginternalisasikan keyakinan-keyakinan dogmatis yang berasal dari orang tuanya maupun kebudayaannya” (Corey, 2003:249). Konseling rasional emotif menekankan bahwa “manusia berpikir, beremosi dan bertindak simultan” (Corey, 2003:241). Artinya, ketika individu bertindak
dan beremosi terkait dengan pikiran yang rasional maupun irasional. Contoh perilaku siswa yang rasional seperti ; belajar sesuai dengan ketentuan yang berlaku seperti tertib, tepat waktu, rajin kesekolah, mendengarkan serta mengikuti petunjuk guru. Sedangkan contoh perilaku yang irasional seperti suka membolos, terlambat kesekolah, membangkang, melanggar tata tertib sekolah dan sebagainya. Berdasarkan gejala yang ditemukan tersebut mendorong peneliti untuk melakukan suatu penelitian tindakan bimbingan konseling (action research counseling) dengan judul “Penerapan konseling rasional emotif dengan teknik assertive adaptif untuk meningkatkan kedisiplinan bagi siswa indisipliner pada kelas X Boga 1 SMK Negeri 1 Seririt, Kabupaten Buleleng”, karena penerapan konseling rasional emotif dengan teknik assertive adaptif menekankan pada proses berpikir siswa untuk memperoleh tingkah laku baru sesuai dengan yang diharapkan. Konseling Rasional Emotif adalah “aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat” (Corey, 2003:241). Ellis (dalam Nelson & Jones, 1982:48) mengemukakan bahwa “virtually all humans have two goals : first, to saty alive, and second, to feel relatively happy and free of pain, artinya, hampir semua manusia memiliki dua tujuan: pertama, untuk tetap hidup dan kedua merasa relatif bahagia dan bebas dari rasa sakit)”. Konseling rasional emotif menekankan bahwa “manusia berpikir, beremosi dan bertindak secara simultan. Jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaanperasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas situasi yang spesifik” (Corey, 2003:241). Sejalan dengan pendapat tersebut, Burk & Stefflre Buford (1979:183) menyatakan konseling rasional emotif berasumsi bahwa “emotion is basic to human living and that without strong felling it is unlikely that people would either survive or live happily, artinya, emosi adalah kebutuhan dasar hidup manusia dan tanpa emosi yang kuat individu tidak mungkin akan bertahan hidup”. Selanjutnya, menurut
Ellis (dalam Surya, 2003:13) konseling rasional emotif berasumsi bahwa “berpikir dan emosi bukan dua proses yang terpisah. Pikiran dan emosi merupakan dua hal yang saling tumpang tindih dan dalam prakteknya kedua hal itu saling terkait”. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konseling rasional emotif adalah suatu pendekatan konseling yang dilakukan sebagai upaya pemberian bantuan oleh konselor kepada konseli yang menekankan pada proses berpikir, beremosi dan bertindak secara simultan untuk mengembalikan pemikiran yang irasional menjadi berfikir rasional sehingga terbentuknya perilaku baru sesuai yang diharapkan. Latihan asertif merupakan “suatu strategi konseling dalam pendekatan perilaku yang digunakan untuk mengembangkan perilaku asertif konseli” (Corey, 2003:197). Selanjutnya, menurut Akhmad Sudrajat (dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/ 01/23/pendekatan-konseling-rasionalemotif/) teknik asertif adaptif merupakan “salah satu teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan konseli untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan”. Latihan-latihan yang diberikan pada teknik ini lebih bersifat pendisiplinan diri konseli. Misalnya: seorang murid pemalu diberikan latihan pembiasaan diri agar perasaan malunya hilang melalui pelatihan berdiri didepan kelas, memimpin kelompok kecil, latihan berdiskusi, dan sebagainya. Namun latihan ini secara bertahap, sehingga konseli secara tidak langsung perasaan malunya hilang. Jika dalam tahap tertentu konselor menilai bahwa perasaan malu konseli telah berkurang, maka selanjutnya diberikan informasi penyadaran bahwa sesungguhnya perasaannya itu hanya disebabkan oleh penilaian dan persepsinya terhadap diri sendiri yang keliru dan tidak rasional. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teknik asertif merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan diri konseli untuk
mengembangkan perilaku sesuai dengan pola tingkah laku yang diharapkan. Teknik asertif adaptif pada dasarnya hampir sama dengan teknik assertive training, namun pada pelaksanaan teknik asertif adaptif yang menjadi fokus utama adalah kemampuan konseli untuk melatih dan membiasakan diri agar mampu menyesuaikan dirinya sesuai dengan tingkah laku yang diharapkan. Menurut Akmad Sudrajat (dalamhttp://akhmadsudrajat.wordpress.co m/2008/01/23/pendekatan-konselingrasional-emotif/) mengemukakan tujuan utama pelaksanaan teknik latihan assertive adaptif sebagai berikut : mendorong kemampuan konseli mengekspresikan berbagai hal yang berhubungan dengan emosinya, membangkitkan kemampuan konseli dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain, mendorong konseli untuk meningkatkan kepercayaan dan kemampuan diri, meningkatkan kemampuan untuk memilih tingkah laku assertive yang cocok untuk diri sendiri, melatih keberanian klien dalam mengekspresikan tingkah laku-tingkah laku tertentu Corey (2003:249) mengemukakan langkah-langkah konseling rasional emotif dengan teknik asertif adaptif adalah sebagai berikut : Langkah pertama, adalah menunjukkan kepada konseli bahwa masalah yang dihadapinya berkaitan dengan keyakinan-keyakinan irasionalnya, dan belajar memisahkan keyakinankeyakinan rasional dari keyakinankeyakinan irasionalnya. Langkah kedua, adalah membawa konseli ke seberang tahap kesadaran dengan menunjukkan bahwa dia sekarang mempertahankan gangguan-gangguan emosional untuk tetap aktif dengan terus menerus berpikir secara tidak logis. Langkah ketiga, adalah berusaha agar konseli memperbaiki pikiranpikirannya dan meninggalkan gagasangagasan irasionalnya. Konseling rasional emotif berasumsi bahwa keyakinankeyakinan yang tidak logis itu berakar dalam sehingga biasanya konseli tidak bersedia mengubahnya sendiri. Langkah keempat, adalah menantang konseli untuk mengembangkan filsafat-filsafat hidup yang
rasional sehingga dia bisa menghindari kemungkinan menjadi korban keyakinankeyakinan yang irasional. Hurlock (1993: 82) menyatakan, Disiplin berasal dari kata “disciple” yakni seorang yang belajar dari atau secara suka rela mengikuti seorang pemimpin”. Orang tua dan guru merupakan pemimpin dan anak merupakan murid yang belajar dari mereka cara hidup yang menuju ke hidup yang berguna dan bahagia. Jadi disiplin merupakan cara masyarakat mengajar anak perilaku moral yang disetujui kelompok. Selanjutnya Tulus Tu’u (2004:30-31) menjelaskan pengertian disiplin yang berarti “tertib, taat atau mengendalikan tingkah laku, penguasaan diri, kendali diri latihan membentuk, meluruskan atau menyempurnakan sesuatu sebagai kemampuan mental atau karakter moral”. Pendapat lain menyatakan bahwa tujuan utama penegakan disiplin adalah “untuk mengubah perilaku bukan untuk membuktikan siapa yang benar atau salah. Selanjutnya, Depdikbud Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Proyek Peningkatan Mutu (dalam Wita Udayani, 2011:19) disiplin merupakan “tingkat konsistensi dan konsekuen serta ketaatan seseorang terhadap suatu komitmen dan kesepakatan bersama, yang berhubungan dengan suatu tujuan yang akan dicapai, waktu dan proses pelaksanaan suatu kegiatan”. Sikap disiplin yang tinggi akan membantu seseorang untuk mengendalikan diri dari tindakan-tindakan yang dipandang negatif. Sejalan dengan pendapat tersebut, Lighter (2004:11) mengemukakan bahwa “penerapan disiplin yang efektif penting bagi keberhasilan dan kesejahteraan setiap anak”. Schaefer, (1996:3) menekankan bahwa “perilaku disiplin dapat dikatakan efektif apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : Menghasilkan atau menimbulkan suatu keinginan perubahan atau pertumbuhan pada anak, tetap terpelihara harga diri anak, dan tetap terpelihara suatu hubungan yang rapat antara orang tua dengan anak”. Dalam ruang lingkup sekolah disiplin menjadi sarana pendidikan dalam mendidik siswa dan berperan untuk mempengaruhi,
mengendalikan, mengubah dan membina perilaku tertentu sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan dan diajarkan. Oleh karena itu, perubahan perilaku seseorang termasuk pada prestasinya merupakan hasil dari suatu proses pendidikan dalam pembelajaran yang sudah terencana. Berdasarkan uraian tentang pengertian disiplin di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku disiplin adalah tingkat ketaatan siswa dalam menjalankan ketentuan terhadap peraturan/tata tertib dengan ketepatan waktu secara teratur yang didasarkan pada konsistensi terhadap suatu komitmen. Menurut Abdul Hadis (dalam http://www.gurumtsnu.blosgpot.com/2012/0 3/kedisiplinanbejarsiswa) mengemukakan bahwa ada empat tahapan dalam memelihara disiplin (termasuk disiplin kelas) yaitu: Tahap pencegahan, pada tahap pencegahan, para guru perlu menciptakan suasana kelas yang kondusif, ketetapan intruksional dan perencanaan pendidikan yang disiplin.Tahap pemeliharaan, pada tahap pemeliharaan, para guru perlu melakukan hubungan sosial emosional dengan peserta didik dalam menunjukan perilaku disiplin di dalam kelas.Tahap campur tangan, pada tahap campur tangan, para guru perlu menangani perilaku peserta didik yang melanggar disiplin dalam kelas dengan mempelajari gejalanya dan faktor permasalahan dengan menggunakan teknik-teknik yang berbasis psikologi pendidikan beripa pemberian sanksi/hukuman. Tahap pengaturan, pada tahap pengaturan, para guru perlu mengatur perilaku peserta didik yang menyimpang dari disiplin kelas dengan memberikan bimbingan dan pengarahan yang mendidik untuk para siswa agar peserta didik menyadari perilakunya yang menyimpang dan kembali mematuhi disiplin kelas. Melalui berbagai usaha tersebut diharapkan akan terciptanya suasana kegiatan belajar mengajar yang kondusif sehingga tercapai tujuan pendidikan yang optimal sesuai yang direncanakan.
METODE PENELITIAN Penelitian ini mengambil lokasi di SMK Negeri 1 Seririt, Kecamatan Seririt. Subjek dalam penelitian ini adalah siswasiswi Kelas X Boga 1 SMK Negeri 1 Seririt Tahun Pelajaran 2012/2013, sedangkan objek penelitian adalah: model konseling rasional emotif, teknik assertive adaptif dan kedisiplinan siswa. Pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini menetapkan dua siklus. Masing-masing siklus dilaksanakan melalui empat tahapan yaitu tahap perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi/evaluasi dan refleksi. Tahap Perencanaan meliputi: pertama, meminta ijin kepada kepala sekolah, guru BK, Guru wali kelas untuk melakukan penelitian dengan subjek penelitian siswa kelas X Boga 1 untuk meningkatkan kedisiplinan siswa, kedua, mengumpulkan data tentang siswa kelas X Boga 1 khususnya pada siswa yang memiliki perilaku disiplin masih rendah, ketiga, menghubungi guru BK untuk bekerjasama dalam pelaksanaan konseling individual, keempat, menyiapkan alat pemantau berupa kuesioner untuk menentukan siswa yang memiliki perilaku disiplin rendah, kelima, menggali atau mengumpulkan data dari dokumen guru BK dan guru wali kelas X Boga 1 tentang objek yang diteliti, keenam, menyusun pedoman observasi tingkat perilaku disiplin dan melakukan evaluasi, ketujuh, menyusun jadwal kegiatan dan rencana bimbingan konseling yang meliputi pembuatan RPBK, dan terakhir menghubungi/meminta izin siswa kepada guru mata pelajaran dan wali kelas X Boga 1 dan memohon bantuan dalam tahap observasi. Pelaksanaan tindakan konseling dilakukan menggunakan konseling rasional emotif dengan teknik assertive adaptif yang diimplementasikan melalui kegiatan konseling individu. Tahap pelaksanaan tindakan ini dirancang dalam dua siklus, siklus I dilakukan dalam 1 kali pertemuan tiap 2 minggu dan siklus II dilakukan dalam 2 kali pertemuan setiap minggu. Pelaksanaan konseling rasional emotif dilakukan melalui beberapa tahap konseling individu, antara lain: tahap Identifikasi (menganalisis masalah konseli dari beberapa sumber terkait), tahap diagnosa (menetapkan simpulan masalah pokok dan
penyebab permasalahan). Tahap diagnosa adalah suatu proses untuk menganalisis penyebab suatu masalah yang dihadapi klien. Setelah diidentifikasi siswa yang memiliki perilaku disiplin masih rendah, langkah selanjutnya adalah menentukan faktor penyebab siswa mengalami masalah tersebut. Tahap prognosa adalah suatu proses dan prosedur untuk menyiapkan rencana-rencana untuk melatih konseli atau sebuah upaya yang dilakukan dalam proses konseling dengan mengajak atau memperdayakan diri konseli untuk mencari alternative atau langkah-langkah untuk meningkatkan kedisiplinan siswa berdasarkan penyebab yang melatarbelakangi perilaku tersebut. Tahap konseling adalah tahap untuk mengajak konseli mendiskusikan alternatif jalan keluar untuk melihat kemungkinan yang tepat untuk membantunya. Tahap konseling/treatment bertujuan untuk membantu siswa yang memiliki perilaku menyimpang agar dapat diminimalisasi. Tahap follow up (evaluasi) untuk mengetahui perkembangan setelah terjadi implementasi tindakan). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : kueisoner, tentang perilaku disiplin siswa yang dilakukan melalui penyebaran instrumen perilaku disiplin (skala likert), dan observasi, yang dilaksanakan melalui pemantauan terhadap tindakan layanan konseling rasional emotif dengan teknik assertive adaptif. Pemantauan dilakukan setiap pertemuan, perubahan-perubahan yang terjadi dicatat terutama pada perilaku siswa. Selain itu, siswa diberikan pertanyaan terkait aspek-aspek yang terkandung dalam lembar observasi, demikian pula hambatan-hambatan yang dialami juga diamati. Refleksi dilakukan pada tiap akhir siklus, dasar refleksi adalah hasil observasi kedisiplinan siswa. Hasil refleksi siklus pertama ini, digunakan sebagai dasar untuk memperbaiki atau menyempurnakan perencanaan dan pelakasanaan pada siklus kedua. Analisis data terhadap kedisiplinan siswa dianalisis secara deskriptif dengan cara mengkonversi skor rerata dan simpangan baku masing-masing ke
pedoman konversi nilai absolut skala lima, kemudian data tentang respons siswa terhadap konseling rasional emotif dengan teknik assertive adaptif dianalisis secara deskriptif dan penyimpulannya didasarkan atas persentase, dengan kriteria keberhasilan tindakan berada pada kategori positif dan disesuaikan dengan presentase pencapaian skor minimal 65%. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penyebaran kuesioner awal dari 30 orang siswa diperoleh 5 orang siswa yang memiliki kedisiplinan rendah. kelima orang siswa ini akan diberikan tindakan konseling pada penelitian siklus I melalui penerapan konseling rasional emotif dengan teknik assertive adaptif untuk meningkatkan kedisiplinan bagi siswa indisipliner. Pelaksanaan penelitian pada siklus I dilakukan sebanyak 2x pertemuan
setiap 2 minggu. Hasil penelitian siklus I menunjukkan bahwa adanya peningkatan kedisiplinan siswa dengan rata-rata peningkatan 21%. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan yang ditunjukkan 2 orang siswa, sedangkan 3 orang siswa masih memiliki kedisiplinan tergolong rendah. Ketiga orang ini akan ditindak lanjuti pada pertemuan siklus II, namun 2 orang siswa yang sudah mengalami peningkatan akan tetap dipantau untuk mengetahui perkembangannya secara optimal. Pada pelaksanaan siklus II 3 orang siswa yang belum mencapai kriteria 65% sudah menunjukkan peningkatan, hal ini nampak bahwa ketiga orang siswa sudah menunjukkan sikap disiplin sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan di sekolah dengan rata-rata peningkatan 34%. Peningkatan kedisiplinan siswa pada siklus I dapat dilihat tabel 1 berikut :
Tabel 1. Hasil Evaluasi Terhadap Hasil Tindakan Bimbingan Siklus I No Subjek Pengamatan Persentase Keterangan Awal Siklus I Peningkatan Skor % Skor % % 1 AY 22 Meningkat 100 50.00 122 61.00 2 DN 98 49.00 114 57.00 16.32 Meningkat 3 DSP 121 60.50 161 80.50 33.05 Meningkat 4 IDK 114 57.00 123 61.50 7.89 Meningkat 5 AA 105 52.50 132 66.00 25.71 Meningkat Rata-rata 108 54 130.4 65.2 105/5 = 21
Berikut ini akan disajikan grafik peningkatan kedisiplinan siswa siklus I Sedangkan pada siklus II diketahui bahwa rata-rata presentase siklus I adalah 65.2% meningkat menjadi 86.6% dan persentase peningkatanya adalah 21.4%.
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
DATA AWAL
AY DN DSP IDK AA
DATA SIKLUS I
Gambar 1. Persentase Peningkatan Kedisiplinan Siswa Siklus I
Peningkatan kedisiplinan siswa dapat dilihat pada tabel 2 berikut.
Tabel 2. Peningkatan Skor Kedisiplinan Siswa dari Skor Awal sampai Siklus II Pengamatan Persentase Keterangan Subjek Awal Siklus I Siklus II Peningkatan % Skor % Skor % Skor % 1 AY 100 50.00 122 61.00 162 81.00 32.78 Meningkat 2 DN 98 49.00 114 57.00 165 82.50 44.73 Meningkat 3 DSP 121 60.50 161 80.50 190 95.00 18.01 Meningkat 4 IDK 114 57.00 123 61.50 170 85.00 38.21 Meningkat 5 AA 105 52.50 132 66.00 179 89.50 35.6 Meningkat Rata-rata 108 54 130.4 65.2 173.2 86.6 34 Meningkat
No
Berikut ini akan disajikan grafik kedisiplinan siswa siklus II 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
DATA AWAL DATA SIKLUS I DATA SIKLUS II AY DSP AA
Gambar 2. Persentase Peningkatan Kedisiplinan siswa Siklus II KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahsan pada bab IV, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan konseling rasional emotif dengan teknik assertif adaptif dapat meningkatkan kedisiplinan bagi siswa indisipliner pada kelas X Boga 1 SMK Negeri 1 Seririt, ini terbukti dari peningkatan persentase kedisiplinan siswa berdasarkan hasil penyebaran kuesioner perilaku disiplin. Peningkatan perilaku disiplin siswa 54% menjadi 65.2% pada siklus I dan dari 65.2% menjadi 86.6% pada siklus II. Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sebesar 11.2% dari kondisi awal ke siklus I dan 21.4% dari siklus I ke siklus II. Berdasarkan analisis data dan pembahasan
pada bab sebelumnya maka dinyatakan bahwa hipotesis alternatif yang diajukan diterima berdasarkan taraf signifikansi 5%. Peningkatan kedisiplinan siswa melalui penerapan konseling rasional emotif disebabkan karena beberapa hal, antara lain; Siswa sudah mampu mengubah pola pikitnya yang irasional menuju polka pikir yang rasional, dengan adanya pemikiran yang rasional, siswa bisa melihat gambaran positif pada dirinya sehingga mampu menilai dirinya sendiri. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh serta uraian diatas maka, dapat dikemukakan beberapa saran yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut. Pertama, kepada Kepada Sekolah rendahnya kedisiplinan siswa kelas X Boga 1 SMK Negeri 1 Seririt sebaiknya perlu mendapat penanganan dengan cara menanamkan nilai-nilai kedisiplinan pada siswa dan menumbuhkan kerjasama yang baik antara personil-personil sekolah. Kedua, kepada siswa diharapkan mampu untuk mengamati, menilai serta memahami diri sendiri, dapat berpikir rasional dan melihat gambaran positif tentang diri sendiri sehingga dapat menanamkan kedisiplinan yang tinggi. Ketiga, kepada Guru BK bagi guru BK diharapkan mampu menanamkan dan meningkatkan kedisiplinan dengan memberikan secara berkelanjutan untuk mengetahui perkembangan siswa dalam bertingkah laku, memberikan dorongan kepada siswa dan membentuk kepribadian siswa sehingga menjadi siswa yang memiliki nilai disiplin yang tinggi.
DAFTAR RUJUKAN Anonim. 2012. Kedisiplinan Belajar Siswa. www.gurumtsnu.blogspot.com Burker, Herbert, Stefflre. 1979. Theories Of Counselling. New York: McGraw-Hill Book Company. Correy, G. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama. Depdikbud. 1996. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Proyek Peningkatan Mutu Guru Pendidikan Dasar dan Menengah. Dharsana, Ketut. 2007. Dasar-Dasar konseling Seri 2. Singaraja: Undiksha. Gunarsa, Singgih. 2004. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia. Hurlock, E B. 1993. Perkembangan Anak (edisi keenam). Jakarta: Erlangga. Lighter, Dawn. 2002. 50 Cara Efektif Menanamkan Tingkah Laku Positif Pada Anak. Yogyakarta: Kanisius. Nelson, Richard, Jones. 1982. The Theory And Practice Of Counselling Psychology. London: Holt Rinehart and Winston. Pratanti. 2012. Perilaku http://zhalabe.blogspot.com.
Asertif.
Schaefer, Charles. 1996. Bagaimana Membimbing, Mendidik dan Mendisiplinkan Anak Secara Efektif. Jakarta: Restu Agung. Sudrajat, Akhmad. 2008. Pendekatan Konseling Rasional Emotif. http.wordpress.com. Surya, Mohamad. 2003. Teori-Teori Konseling. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Tu’u Tulus. 2004. Peran Displin Pada Perilaku dan Prestasi Siswa. Jakarta: Grasindo. Wita, Udayani. 2011. Penerapan Konseling Rasional Emotif Dalam Meningkatkan Kedisiplinan Siswa. Skripsi (tidak diterbitkan). Singaraja. FIP Undiksha.