KATEKESE, MEMELIHARA IMAN Rm. Yosef lalu, Pr
PENDAHULUAN Saya diminta untuk menulis tentang “Katekese yang memelihara iman”. Kiranya ada tiga hal yang perlu diberi batasannya, supaya pembahasannya tidak menjadi terlalu meluas. Pertama: batasan untuk pengertian katekese. Disini tidak akan dibahas Katekese dalam arti yang luas, tetapi hanya terbatas pada katekese dalam bentuk pelajaran agama. Jadi katekese dalam bentuk Katekese Umat misalnya tidak akan disinggung. Kedua: batasan untuk pengertian iman. Kita tahu bahwa berbicara tentang iman, kita dapat membicarakannya dalam pelbagai aspek. Iman dapat dibicarakan, misalnya dari segi ajaran, penghayatan atan ungkapannya. Pada pembahasan ini kita akan lebih memusatkan perhatian kita pada penghayatan iman, walaupun menyangkut ajaran iman dan ungkapan iman tidak akan diabaikan, karena memang tidak dapat dipisahkan. Ketiga: batasan untuk pengertian memelihara iman. Usaha memelihara iman disini, kiranya tidak dimaksudkan memelihara
iman dalam waktu dan ruang hampa, tetapi memelihara iman dalam konteks zaman ini dan di tempat ini. Memelihara iman dalam konteks prahara globalisasi dewasa ini di negeri ini. Maka berbicara tentang “Katekese yang memelihara iman” ini secara sederhana dan singkat dapat diurutkan sebagai berikut: 1. Arti dan makna iman. 2. Tantangan beriman dewasa ini. 3. Katekese sebagai usaha untuk memelihara iman. Pembahasan selanjutnya ini tidaklah amat bersifat teologis dan pastoral ilmiah, tetapi lebih bersifat anthropologis-kateketis.
A. ARTI DAN MAKNA IMAN Teolog Tom Jacobs SJ sering membicarakan iman dari tiga aspek seperti sudah disinggung di atas, yaitu iman sebagai ajaran, iman sebagai penghayatan dan iman sebagai ungkapan. Bagaimana bisa menjelaskan ketiga aspek itu? Ceritera dan mystikus A de Mello berikut ini mungkin bisa sedikit membantu. Diceriterakan bahwa ada seorang uskup yang sedang berlayar dengan kapal prihadinya dan pada suatu Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
25
hari menyinggahi suatu pulau kecil yang terpencil. Ia bermaksud mau mempergunakan hari itu sebaik-baiknya. Ia berjalan-jalan menyusur pantai dan menjumpai tiga orang nelayan sedang memperbaiki pukat. Dalam bahasa pasaran para nelayan itu menerangkan, bahwa mereka telah dibaptis oleh para misionaris bertahun-tahun yang lampau. ‘Kami orang Kristen’, kata mereka sambil dengan bangga menunjuk dada. Uskup amat terkesan. Uskup bertanya: Apakah mereka tahu doa syahadat, dimana termaktub semua isi iman Kristen?. Ternyata mereka belum pernah mendengarnya. Uskup terkejut sekali, bagaimana orang-orang ini bisa menyebut diri mereka Kristen, kalau mereka tidak mengenal sesuatu yang begitu dasariah seperti doa syahadat itu! ‘Lantas, apa yang kamu ucapkan bila kamu berdoa?’ Para nelayan itu berkata: ‘Kami memandang ke langit. Kami berdoa: “Ya Allah, kami bertiga, kamu bertiga, terima kasih”. Uskup heran akan doa mereka yang primitif dan jelas bersifat bidaah ini. Masa Allah dibilang bertiga. Maka sepanjang hari uskup mengajar mereka berdoa sahadat. Nelayan-nelayan itu sulit sekali menghafal, tetapi mereka berusaha sebisa-bisanya. Sebelum berangkat lagi pada pagi hari berikutnya, uskup merasa puas, sebab mereka dapat mengucapkan doa syahadat
26
Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
dengan lengkap tanpa satu kesalahan pun. Beberapa bulan kemudian Uskup kebetulan melewati kepulauan itu lagi. Uskup mondar-mandir di geladak sambil berdoa malam. Dengan rasa senang ia mengenang, bahwa di salah satu pulau yang terpencil itu ada tiga orang yang mampu berdoa syahadat dengan lengkap berkat usahanya yang penuh kesabaran. Sedang ia termenung, secara kebetulan ia melihat seberkas cahaya dari arah timur. Cahaya itu bergerak mendekati kapal. Sambil memandang keheran-heranan, Uskup melihat tiga sosok tubuh manusia berjalan di atas air, menuju ke kapal. Kapten kapal mengehentikan kapalnya dan semua pelaut berjejal-jejal di pinggir geladak untuk melihat pemandangan ajaib ini. Pastilah ketiga sosok tubuh manusia itu adalah orang-orang suci. Bayangkan, sosok mereka bercahaya dan berjalan di atas air. Ketika mereka sudah dekat, barulah Uskup mengenali tiga sahabatnya, para nelayan dulu. ‘Bapa Uskup’, seru mereka, ‘Kami sangat senang bertemu dengan Bapak lagi. Kami dengar kapal Bapak melewati pulau kami, maka cepat-cepat kami datang’. ‘Apa yang kamu inginkan?’ Tanya Uskup tercengang-cengang kepada tiga orang suci itu. ‘Bapa Uskup’, jawab mereka, kami sungguh-sungguh amat menyesal. Kami lupa akan doa
yang bagus itu. Kami berdoa: Aku percaya akan Allah, Bapa yang mahakuasa, pencipta langit dan bumi, dan akan Yesus Kristus…., lantas kami lupa. Ajarilah kami sekali lagi seluruh doa itu!’. Uskup merasa rendah diri. Apa yang dapat dia katakan kepada orangorang suci itu? Akhirnya Uskup berkata: ‘Sudahlah, pulang saja, saudarasaudaraku yang baik. Dan setiap kali kamu berdoa, katakanlah saja: “Kami bertiga, kamu bertiga, terima kasih!”. Nah dari ceritera mistik di atas kiranya menjadi agak jelas bagi kita apa arti dan makna dari ketiga aspek dan iman itu. 1. Ajaran Iman. Apa yang dengan susah payah mau disampaikan sang Uskup kepada ketiga nelayan itu adalah ajaran iman. Doa syahadat itu pada dasarnya berisikan keseluruhan ajaran iman katolik yang dasariah. Tahu akan ajaran iman itu perlu dalam kehidupan beriman. Konsili Vatikan II mempertahankan bahwa dalam iman juga ada unsur pengetahuan yang sungguh rasional karena berakar dalam pengalaman hidup manusia. Pengetahuan iman merupakan salah satu aspek dalam hidup orang beriman. Orang tidak dapat beriman yang artinya menyerahkan diri kepada Allah jika ia tidak mengetahui siapakah Allah itu. Supaya dapat beriman dengan
sungguh-sungguh, manusia harus mengetahui kepada siapa ia menyerahkan diri. Selanjutnya dalam penyerahanan diri itu, orang memasuki pengetahuan yang lebih mendalam lagi tentang Allah. Perlu disadari bahwa pengetahuan kita tentang Allah tidak pernah akan memadai. Kita tahu tentang Allah terutama sejauh diwahyukan kepada kita. Memang Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa Allah dapat dimengerti dengan terang kodrati budi manusia, namun pengetahuan itu tidak boleh dilepaskan dari wahyu dan iman. Pengetahuan manusia bukan dasar iman. Jadi pengetahuan kita tentang Allah pada dasarnya datang dari wahyu. Allah dalam diriNya adalah mysteri yang tak terselami. Kita mengenalNya sejauh ia menyatakan diriNya. Wahyu Allah diungkapkan kepada kita sedikit demi sedikit. Sejarah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menunjukkan betapa dari waktu ke waktu Allah menyingkapkan mysteri diriNya. 2. Penghayatan Iman Namun lebih penting dari pengetahuan dan ajaran iman adalah penghayatan iman. Ketiga nelayan dalam ceritera tadi memiliki pengetahuan dan ajaran iman yang sangat sedikit, bahkan pengetahuan tentang Allah yang kurang sempurna, cenderung bersifat bidaah, namun relasi dan komunikasinya Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
27
dengan Allah sangat akrab. Kepasrahan mereka pada Allah sangat mendalam. Dan itulah pada dasarnya arti dari beriman. Mereka sungguh orang beriman. Mereka orang-orang mistik. Mereka adalah orang-orang suci. Jadi iman pada dasarnya adalah jawaban manusia terhadap sapaan Allah. Allah menyatakan diri kepada manusia dalam pertemuan pribadi Allah tidak hanya memperkenalkan diriNya saja, tetapi juga menyingkapkan kepada manusia rencana keselamatanNya. Wahyu Allah bukan informasi, melainkan komunikasi yang mengundang partisipasi. Manusia diajak bertemu dengan Allah dan hidup dalam kesatuan denganNya. Hubungan pribadi dengan Allah ini adalah inti wahyu dan inti iman. Sejarah pewahyuan Allah dimulai dengan pewahyuan kepada Abraham. Tidak dikatakan, bagaimana Tuhan bersabda kepada Abraham. Hanya dikatakan bahwa Tuhan bersabda dan bahwa Abraham taat. Abraham pergi menuju ketidakpastian, meninggalkan tanah air, dan pergi ke tempat yang tidak dikenal olehnya, tanpa bekal yang lain kecuali sabda Tuhan. Abraham yakin betul akan sabda Allah itu. Seluruh hidupnya ditentukan oleh janji Allah itu. Misteri wahyu Allah dari iman Abraham adalah misteri pertemuan Abraham dengan Allah. Sejarah pewahyuan itu berjalan terus, dari Abraham ke Musa, dan Musa
28
Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
ke zaman para raja dan nabi pada masa pembuangan, melalui sejarah Yahudi sampai kepada Yesus dan Gereja, dan akhirnya sampai kepada kita. Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa “melalui wahyu itu kebenaran sedalam-dalamnya tentang Allah dan keselamatan manusia tampak bagi kita dalam Kristus, yang sekaligus menjadi pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu”. Dalam diri Yesus, pewahyuan Allah mencapai puncak akraban dan kedekatannya. Kesempurnaan dan kepenuhan wahyu datang dalam Yesus Kristus, yang tidak hanya “menyampaikan firman Allah”, tetapi yang adalah “Firman Allah” sendiri. Yesus adalah “Imanuel, yang berarti Allah berserta kita”. Dalam diri Yesus, Allah memberikan diri secara penuh kepada manusia. Maka Yesus adalah wahyu Allah yang penuh dan menentukan. Menurut iman Kristen, Yesus tidak hanya meyampaikan wahyu Allah, tetapi mewujudkan wahyu itu dalam diriNya, dalam hidup, wafat, dan kebangkitanNya. Wahyu Allah bukanlah pertama-tama suatu ajaran, melainkan janji Allah mengenai karya keselamatanNya. Keselamatan itu tidak lain dari kesatuan Allah dengan manusia dan terlaksana dengan sepenuhnya dalam diri Yesus Kristus. Nah, terhadap wahyu Allah yang sedemikian intensif bagi keselamatan
manusia, patutlah manusia menyambutnya dengan rasa dan sikap tahu berterima kasih dan yakin serta percaya tanpa ragu akan ungkapan diri, karya dan kasih setia Allah itu. Kita boleh secara radikal percaya dan beriman kepada Allah. 3. Ungkapan Iman Kita kembali kepada ceritera mistik di atas. Tiga nelayan yang tidak tahu banyak teologi tentang Allah Tritunggal itu ternyata hidup mereka sangat dekat dengan Tuhan. Mereka sungguh beniman kepada Allah. Iman mereka itu mereka ungkapkan lewat doa yang sangat singkat, sederhana, tetapi sangat mengharukan karena keluguannya: “Ya Allah, kamu bertiga, kami bertiga, terima kasih”. Doa mereka begitu originil, begitu autentik dan begitu tulus. Tidak ada kata dan rumusan yang sulit, berbungabunga, dan panjang bertele-tele. Tuhan sendiri sudah berkata: “Dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan (Mat 6:7). Coba simak ceritera berikut ini: Hampir setiap saat, kalau sempat, A Fung selalu mampir ke Gereja untuk berdoa. Doanya sangat singkat. Pada suatu hari, pastor parokinya mencegatnya dan bertanya:
“A Fung, apa saja yang kamu doakan dalam waktu sesingkat itu?’ “Pastor, saya hanya menatap lurus-lurus ke tabernakel dan bilang pada Yesus: Yesus, ini A Fung!” lalu saya pamit pergi. Beberapa waktu kemudian, A Fung sakit dan masuk Rumah Sakit. la membawa kegembiraan bagi semua orang yang ada di Rumah Sakit itu. Orang-orang yang biasanya mengeluh menjadi riang, dan terkadang tertawa terbahak-bahak. “A Fung”, kata seorang perawat pada suatu hari, “Orang-orang berkata bahwa engkaulah yang menyebabkan perubahan suasana dalam Rumah sakit ini. Mereka berkata engkau selalu bahagia”. A Fung menjawab, “Benar Suster. Saya selalu bahagia. Pengunjungku setiap hari membuat saya bahagia”. “Pengunjungmu?”, tanya suster itu. “Kapan dia datang? Saya tidak pernah melihatnya!” A Fung menjawab, “Ya! Setiap hari pukul 12.00 Ia datang dan berdiri di sudut kaki tempat tidurku. Aku memandang Dia dan Dia tersenyum sambil berkata kepadaku: “A Fung, ini Yesus”. Kesimpulannya: Demikianlah menyangkut iman, ada segi ajarannya atau segi pengetahuannya. Pengetahuan tentang wahyu Allah. Pengetahuan tentang wahyu Allah harus dilakukan, diamalkan dan Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
29
dihayati. Itulah penghayatan iman. Iman tidak boleh tinggal pada kata-kata dan rumusan. Ajaran iman yang dihayati dapat diungkapkan dalam doa, dalam kebaktian, dalam liturgi. Itulah ungkapan iman. Jadi ajaran iman itu menyangkut teologi dogmatik. Penghayatan iman lebih menyangkut teologi moral dan ungkapaan iman menyangkut liturgi dalam kehidupan beriman. B. TANTANGAN IMAN DEWASA INI Kita sudah melihat bahwa beriman pada dasarnya adalah hidup yang berpasrah pada Allah. Hidup yang dekat kepada Allah. Hidup yang terarah kepada Allah. Hidup yang dekat dan terarah kepada Allah ternyata tidak gampang. Terlalu banyak tantangannya. Ada banyak tantangannya. Tapi dalam pembahasan ini kita akan membatasi diri pada tantangan dalam bentuk trend-trend yang tidak selalu sejalan dengan hidup beriman kita. Kita hanya akan mengikuti saja pokok pikiran dari Romo Magnis Suseno, filsuf dan teolog yang cukup diakui di negeri kita ini. Romo Magnis mengatakan bahwa budaya global yang dibangun oleh kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi, khususnya teknologi media informasi, telah membawa banyak perubahan, termasuk perubahan nilainilai. Perubahan-perubahan nilai-nilai ini bisa bersifat konstruktif, tetapi juga dekstruktif.
30
Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
Kita sebutkan beberapa trend dan pengaruh globalisasi itu, secara khusus yang lebih berkonotasi negatif. 1. Budaya materialistik dan hedonistik Pada tahun lima puluhan, enam puluhan, orang-orang Flores rata-rata ke Gereja pada hari minggu untuk kebaktian. Sesudah kebaktian orang pergi ke pasar untuk urusan ekonomi. Sekarang mungkin sudah cukup banyak yang pada hari minggu pergi ke pasar, dan kalau ada waktu baru pergi ke Gereja. Apa artinya gejala ini? Rupanya urusan ekonomi, urusan materi, mulai menggeser urusan rohani, urusan kedekatan dengan Tuhan. Sebenarnya urusan ekonomi sangat wajar. Tetapi kalau ia mulai menggeser Tuhan dari kehidupan kita, lalu menjadi masalah dengan kehidupan beriman kita. Manusia dewasa ini sering ditakar dari apa yang dia miliki (rumah, mobil) bukan karakter. Pengorbanan, askese dan tapa, kesederhanaan dan kerelaan untuk melepaskan kesenangan demi cita-cita luhur tidak mempunyai tempat dalam budaya itu. Budaya ini disuburkan melalui media audiovisual dan diperkuat oleh reklame yang telah meresap hampir semua tempat dan situasi hidup masyarakat. Dogma budaya materialistik dan hedonistik adalah: hidup yang betul adalah hidup yang berlimpah materi dan
kesenangan. Dalam budaya materialistik dan hedonistik hidup hanya mempunyai arti, dan kita hanya diakui oleh orang lain, apabila penuh kemewahan dan kenikmatan. Materi, khususnya uang menjadi ilah baru bagi manusia dewasa ini, khususnya di negeri kita ini. Betapa orang menjadi serakah untuk memperoleh uang ini. Segala cara ditempuh. Ingat saja korupsi yang sudah sangat menggurita di negeri ini. Mengapa orang menjadi sedemikian serakah? Karena dengan uang orang dapat membeli apa saja. Membeli kursi, membeli kekuasaan, membeli kehormatan, membeli harga diri dsbnya. Lebih lanjut: Budaya materialistik dan hedonistik itu antara lain melahirkan sikap konsumerisme. Konsumerisme adalah sikap orang yang terdorong untuk terus menerus menambahkan tingkat konsumsi, bukan karena konsumsi itu dibutuhkan, melainkan lebih demi status dan kenikmatan yang dikira akan diperolehnya melalui konsumsi tinggi itu. 2. Individualisme Dalam masyarakat tradisional pekerjaan para petani, nelayan maupun tukang dan saudagar tradisional tak terpisahkan dari kehidupan dalam keluarga. Aggota keluarga sama-sama tinggal di rumah, sama-sama pergi ke
kebun untuk bekerja, sama-sama ke pasar untuk menjual atau membeli barang. Hidup modern memisahkan dengan tajam antara dua bidang itu. Hidup dalam keluarga dan pekerjaan semakin tidak ada sangkut pautnya satu sama lain. Pagi hari ayah secara fisik dan emosional meninggalkan rumah dan keluarganya selama delapan sampai sebelas jam, menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan istri dan anak-anaknya. Istri mungkin pergi ke sekolah sebagai guru. Anak-anak? Apabila mereka malam hari pulang, dan andaikata tidak membawa pekerjaan kantoran, dan tidak terpaku di depan TV, barulah tersedia waktunya bagi keluarganya. Rumah menjadi seperti losmen, sekadar untuk numpang tidur. Dengan demikian budaya kampung, ketetanggaan dan kekeluargaan dalam arti luas berubah. Kekeluargaan dibatasi pada keluarga yang sungguh inti. Pergaulan dengan para tetangga serta partisipasi dalam kegiatan kampung semakin dirasakan sebagai gangguan. Budaya kelas menengah (apalagi kelas atas) modern dengan demikian menjadi individualistik dan privatistik. Orang semakin tidak mau tahu tentang orang lain di sekitar, bahkan anggota keluarga sendiri.
Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
31
3. Pluralisme Pluralisme itu berarti bahwa orang dan pelbagai suku dan daerah, agama dan keyakinan religius dan politik bercampur-baur di kampung-kampung, di tempat kerja, kendaraan umum, di rumah sakit, dan dimanapun juga. Tak akan ada masyarakat tertutup dari tradisional yang murni. Orang hidup dalam hutan keanekaragaman. Akibatnya kontrol sosial, termasuk terhadap pelaksanaan keagamaan makin berkurang. Umat Kristen tidak lagi berada di bawah tekanan sosial untuk mau datang, atau tidak datang ke gereja. Tidak ada lagi karena kebiasaan atau karena ketahuan tidak ke gereja. Orang semakin otonom. Orang menentukan sendiri keterlibatan dalam hidup keagamaan. Dalam arti ini agama akan menjadi urusan pribadi. Tetangga tidak mesti mengetahui dan tidak memperdulikan kepercayaan tetangganya. Di kampungpun semakin demikian. 4. Tantangan fundamentalisme Ada fundamentalisme Islam, fundamentalisme Kristen. Celakanya fundamentalisme agama ini sering ditunggangi untuk kepentingan politik tertentu, seperti yang kita alami di negeri kita saat ini. Selanjutnya selain fundamentalisme agama ada juga fundamentalismefundamentalisme non agama seperti: ragionalisme, sukuisme, nasionalisme,
32
Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
kebatinan dan sebagainya. Pelbagai fundamentalisme itu sering melahirkan pelbagai kekerasan yang sangat brutal dan berlarut-larut. Selain itu orang akan mencari juga suatu fundamentalisme baru dimana orang akan mencari yang metafisik dan adiduniawi, mereka pergi ke dukun, paranormal. Yang sebenarnya lebih berbahaya adalah ancaman dan sekte-sekte, kelompok-kelompok doa, kelompokkelompok injil dan karismatik tertentu. Mereka itu menawarkan keamanan dan pembebasan dari segala keraguankeraguan, tetapi dengan menutup diri terhadap dunia, dengan menjadi eksklusif dan anti rasional. 5. Masyarakat media audiovisual Ciri lain masyarakat kita di masa datang khususnya di kota-kota ialah bahwa nilai-nilai dan pandanganpandangan hidup masyarakat akan ditentukan oleh media massa, radio dan terutama televisi, video, internet, HP dan sabagainya. Dapat dipastikan bahwa pengaruh TV dan Video akan luar biasa mendalamnya. (Ingat akan “Budaya” kekerasan dan pornografi). Pengaruh TV dan video akan lebih kuat daripada segala indoktrinasi oleh negara atau kotbah-kotbah kita. Melalui antene parabola orang akan dapat menyedot program dari mana saja ke layarnya.
6. Krisis makna generasi muda Dapat dipastikan bahwa dalam situasi seperti yang dilukiskan di atas generasi muda akan mengalami krisis makna. Artinya mereka mengalami kesulitan dalam mencari makna hidup dan memberikan arti medalam bagi hidup mereka sendiri. Mereka akan bingung kalau harus menjawab pertanyaan: “untuk apa aku hidup?” Bagaimana generasi muda akan bereaksi terhadap kebingungan itu? Reaksi mereka dapat berupa hedonisme dan sindrom disco, lari ke fundamentalisme, dapat membuat orang muda membentuk geng-geng kriminal dan menjadi penghisap obat bius, membuat mereka mau memisahkan diri dari masyarakat orang dewasa. Apakah mereka akan menjadi skeptik dan tak percaya terhadap omongan luhur apapun dari generasi tua? Perlulah kita perhatikan bahwa krisis makna generasi muda itu adalah krisis generasi muda Gereja juga. Itulah tantangan yang nihilis, hedonistik dan destruktif! Menghadapi situasi yang memprihatinkan seperti itu, bagaimana dunia pendidikan, khususnya pendidikan agama harus membekali umat kita untuk menghadapi budaya global dan krisis multi dimensi yang sedang melanda negeri ini?
C. KATEKESE YANG MEMELIHARA IMAN Seperti sudah disinggung pada awal tulisan ini bahwa yang mau dibahas bukan katekese dalam arti luas, tetapi dibatasi dan difokuskan pada katekese dalam bentuk pelajaran agama. Dan pelajaran agama yang mau dikembangkan sekarang adalah pelajaran agama yang tidak terutama berbasis pada pengetahuan agama, tetapi terlebih pada kemampuan atau kompetensi untuk menginterpretasi dan mengaplikasikan pengetahuan atau ajaran iman dalam hidup nyata sehari-hari. Seorang pakar ilmu agama dan iman belum tentu lebih beriman dan diselamatkan, tetapi seorang petani yang senantiasa berusaha untuk melihat, menginterpretasi, menyadari dan menghayati kehadiran Allah dalam hidup nyatanya, ia akan menjadi seorang beriman dan diselamatkan. Jadi yang menyelamatkan bukan terutama pengetahuan imannya, tetapi kemampuannya untuk mencernakan dan mengaplikasikan pengetahuan iman itu dalam hidup nyata sehari-hari. Tentu saja dengan berkat Tuhan, sebab hidup beriman itu akhir-akhirnya berkat kasih karunia Tuhan. Lalu bagaimana proses pelajaran agama itu harus berlangsung supaya yang mengikuti pelajaran agama itu dapat mampu mengetahui dan kemudian menginterpretasikan dan mengaplikasikan pengetahuan dan ajaran imannya Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
33
dalam hidup nyata sehari-hari dan dengan demikian ia menjadi seorang beriman. Tentu saja ada banyak hal yang harus diperhatikan. Dalam pembahasan ini kita membatasi diri untuk membicarakan hanya 3 hal saja, yaitu: Pertama: Jenis-jenis kegiatan pendidikan agama yang harus dilakukan. Kedua: Kemampuan-kemam puan atau kompetensi yang dibutuhkan untuk hidup beriman. Ketiga: Pelajaran agama yang aktif-partisipatif.
1. JENIS-JENIS KEGIATAN PENDIDIKAN AGAMA YANG HARUS DILAKUKAN. Untuk jenis-jenis kegiatan pendidikan agama ini, kiranya “Empat Pilar Pendidikan” yang dicanangkan oleh UNESCO pada tahun 1998 dapat menjadi acuannya. Empat pilar itu adalah: · Learning to know · Learning to do · Learning to be · Learning to live together a. Learning to know Learning to know sedikit banyaknya bersangkut-paut dengan kemampuan akal budi peserta. Akal budi manusia hendaknya dikondisikan dan dirangsang untuk semakin mampu berpikir, menganalisa, menginterprestasi dan sebagainya secara kritis dan inovatif. Dengan demikian dia semakin tahu.
34
Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
Belajar mengetahui bukan sekedar menghafal atau mengulang, melainkan secara eksploratif dan produktif siswa sendiri menemukan pengetahuan yang baru, yakni pengetahuan yang tidak lagi bersifat reproduktif, tetapi produktif dan mengarah pada pembentukan diri secara terus menerus (formatif /on going formation). · Pengetahuan yang bersifat reproduktif artinya pengetahuan yang bersifat mengulang. Orang mengulang dari yang sudah diajarkan atau yang sudah dibaca. Pengetahuan itu bukan penemuannya sendiri. Dia hanya mengulang, meniru. Sayangnya, para guru umumnya senang kalau peserta ajar bisa mengulang persis apa yang sudah diajarkan. · Pengetahuan yang bersifat produktif artinya pengetahuan yang ditemukan oleh peserta ajar sendiri lewat obser vasi, penyelidikan, eksperimen dan imaginasi. Pengetahuan ini lebih ber mutu dan bertahan, sebab milik peserta sendiri. · Pengetahuan yang bersifat formatif artinya pengetahuan yang dapat membentuk karakter dan iman seseorang. Itu dapat dicapai dengan kegiatan refleksi atau merenung, yang dilakukan sesering mungkin. Dalam pendidikan agama sering terlalu ditekankan pengetahuan yang bersifat reproduktif itu. Peserta disuruh mengulang dan menghafal rumusan
iman, menghafal doa dan sebagainya. Pengetahuan seperti itu sulit bertahan dan mengantar peserta kepada sikap iman yang autentik. Guru sebenarnya dapat mendorong supaya peserta lebih produktif dalam pengetahuan imannya. Misalnya ganti menyuruh peserta untuk mengulang kotbah pastor minggu lalu, lebih baik mereka diajak untuk mengambil pesan perikope minggu lalu bagi dirinya sendiri. Biarlah peserta berimaginasi dan merenungkan pesan aktual bagi dirinya.
b. Learning to do Dalam proses belajar peserta tidak hanya mengenal dan memahami ilmu yang dipelajarinya (cognitive domain) seperti yang banyak terjadi pada saat ini, namun harus diupayakan supaya lebih ditingkatkan kedomaian yang lebih tinggi, yaitu kemampuan untuk menganalisis (to know why), mengkaitkannya dengan hal-hal lain untuk mengambil kesimpulan (synthesize) dan akhirnya mengaplikasikannya (learning to do). Mengaplikasi dan melakukan apa yang diketahuinya dapat dibuat secara berulang-ulang sehingga bisa menjadi kebiasaan dan dengan demikian berdaya formatif, berdaya membentuk karakter dan kebajikan beriman. Peserta yang telah mengetahui dan memahami apa itu doa misalnya,
diharapkan mampu menyusun doa itu sendiri dengan kata-katanya sendiri secara baik dan menjadi terbiasa berdoa; demikian juga, peserta yang telah memahami tentang kejujuran diharapkan ia akan berkata-kata secara jujur dan bertindak secara jujur. c. Learning to be Pilar pertama dan kedua (learning to know dan learning to do) lebih menitik beratkan pada ketrampilan hidup (life skill) dan keterampilan ini belumlah lengkap kalau tidak ditunjang oleh pilar ketiga dan keempat (learning to be dan learning lo live together). Learning to be menekankan pada penggalian potensi peserta, tidak hanya pada keterampilan hidup (life skills), namun juga pengembangan potensi kepribadiannya untuk mengembangkan eksistensinya. Untuk itu tidak hanya dibutuhkan daya nalar, tetapi terlebih kehendak, cita rasa, emosi, perasaan. Biasanya bila peserta sudah memahami doa dan berdoa secara terus-menerus dengan baik, lamakelamaan ia menjadi pribadi pendoa. Seorang peserta yang memahami kejujuran dan tenis menerus bertindak jujur, dia akan menjadi pribadi yang jujur. Kejujuran akan mempribadi dalam dirinya dalam situasi apapun.
Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
35
d. Learning to live together Manusia itu makhluk sosial. Dia hanya dapat berkembang dalam interaksi dan komunikasi dengan sesama. Ternyata peserta itu membutuhkan kata-kata, membutuhkan sapaan dan manusia lain untuk dapat bertumbuh dan berkembang. Rupanya selain makanan, minuman, pakaian, pangan dan sebagainya, manusia membutuhkan pula kata-kata sapaan. Kata-kata yang membuat dia gembira, didukung, bahagia, bertumbuh dan berkembang dalam kebersamaan. Semua sikap dan tindakan itu tentu saja menyangkut kemampuan dan kompetensi, bukan sekedar pengetahuan saja. Peserta hendaknya mampu berpikir (kognitif), mampu menentukan sikap (affektif) dan mampu bertindak (psikomotorik). Dengan demikian ia menjadi manusia yang bermartabat. Dalam bidang pendidikan agama pun seharusnya demikian. Pendidikan agama bukan sekedar proses pengalihan pengetahuan iman dari guru kepada peserta, tetapi suatu proses pergumulan untuk menginteprestasikan ajaran imannya dalam hidup nyata sehari-hari. Kalau proses ini dilatih terus menerus, apalagi dalam kebersamaan, maka peserta akan trampil dan kompeten untuk selalu melihat intervensi Allah dalam hidup nyatanya sehari-hari. Dan itulah artinya hidup beriman.
36
Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
Kalau begitu ketrampilan dan kompetensi ini akan merupakan bekal bagi hidupnya yang tak ternilai. Pengetahuan dapat berubah atau terlupakan, tetapi kemampuan dan kompetensi (untuk beriman) akan tetap melekat dalam diri seseorang untuk menghadapi arus zaman. 2. K E M A M P U A N - K E M A M P U A N (KOMPETENSI) YANG DIBUTUHKAN UNTUK HIDUP BERIMAN Kemampuan-kemampuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk mengembangkan dan mempertahankan hidup beriman seseorang dapat disebut antara lain: a) Kemampuan untuk mengenal dan menyadari diri. Orang dapat maju dan berkembang dalam hidup kalau dia mengenal diri. Dia sadar diri. Dia tahu diri. Orang yang tidak tahu diri sulit untuk maju. Demikian juga dalam hidup beriman. Dia harus tahu bahwa hidupnya tidak 100% berada ditangannya. Dia tergantung dari yang di atas. Dia tahu keunggulan dan kelemahannya. Dia tahu potensi dan keterbatasannya. Dia tahu kebajikan dan dosadosanya. Dia tahu pengalaman dan impiannya…dsbnya. Singkatnya dia tahu dan menyadari diri. Tahu dan menyadari diri adalah pijakan kokoh untuk mengenal dan mengimani Allah. Orang yang tidak
tahu diri tidak mungkin mengenal dan mengimani Allah.
Maka keterlibatan kita dalam hidup bergereja adalah mutlak.
b) Kemampuan untuk mengenal Yesus Kristus, dan lewat Yesus Kristus mengenal Allah. Untuk menjadi seorang beriman katolik orang harus mengenal dan mengimani Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah tokoh sentral dalam iman katolik. Dia adalah Jalan, Kebenaran dan Hidup. · Dia adalah jalan yang mengantar kita kepada Bapa. Kita mengenal Allah dan Kerajaan Allah lewat Dia. · Dia adalah kebenaran yang menjadi tolok ukur dan pedoman bagi hidup kita. · Dia adalah kehidupan yang membawa kehidupan abadi bagi kita. Mengenal dan mengimani Yesus Kristus adalah keselamatan.
d) Kemampuan untuk mengenal dan terlibat dalam masyarakat. Sebagai orang beriman kita mempunyai misi di dalam masyarakat Komunitas orang beriman atau Gereja tidak berada untuk dirinya sendiri. Gereja hanya sarana untuk membangun Kerajaan Allah di dalam masyarakat luas, di dalam dunia. Maka kita, Gereja, perlu mengenal situasi masyarakat (situasi sosial politik, ekonomi dan budaya) supaya keterlibatan kita tidak salah kaprah. Kita diutus oleh Allah untuk menjadikan masyarakat kita lebih manusiawi, lebih sejahtera lahir bathin, lebih menjadi ‘wilayah” Kerajaan Allah. Nah, kemampuan-kemampuan mengenal diri, Yesus Kristus, Gereja dan masyarakat serta berusaha untuk mengaktualisasikannya, akan membuat kita semakin beriman. Sekali lagi: tentu berkat kasih karunia Tuhan.
c) Kemampuan untuk mengena dan terlibat dalam Gereja sebagai komunitas orang beriman. Iman yang kita hayati bertumbuh dan berkembang dengan komunikasi iman dalam komunitas orang beriman, yang adalah Gereja. Iman kita tidak bertumbuh hanya secara individual, tetapi juga sosial. Ungkapanungkapan iman atau kebaktian sering terjadi dalam kebersamaan dengan sesama orang beriman. Iman selalu berdimensi pribadi sekaligus sosial.
3. PELAJARAN AGAMA YANG AKTIF PARTISIPATIF Hidup beriman akan lebih ditunjang kalau pelajaran agama dilaksanakan dengan partisipasi yang sangat aktif dari peserta. Mereka sungguh terlibat dalam proses pembelajaran itu. Mereka sungguh diberdayakan, sehingga apa yang dialaminya dalam pelajaran agama Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
37
sungguh meresap dan menjadi miliknya. Gambar berikut ini mungkin bisa memberi inspirasi dan wawasan tentang pelajaran agama yang aktif dan partisipatif dimana semua peserta dan semua panca indera peserta dilibatkan. Yang Diingat
Tingkat Keterlibatan
10%
Baca
20%
Dengar
Verbal
Lihat Gambar/ Diagram 30%
Lihat Video/Film
Visual
Lihat Demontrasi 50% 70%
Terlibat dalam diskusi
Terlibat
Menyajikan/Presen Bermain Peran
90%
Melakukan Simulasi
Berbuat
Mengerjakan hal yang nyata
Sumber: Sheal, Peter R. (1989), How To Develop and Present Staff Training Course, London: Kogan Page Ltd.
Kepustakaan: KWI, Iman Katolik, Penerbit Kanisius, 1996 Komkat KWI, Pendidikan Agama Katolik, 2004 Konsili Vatikan II, Konstitusi dogmatis “DEI VERBUM”, tentang Wahyu Ilahi.
38
Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013