1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Masyarakat memiliki beragam hal yang membuat kehidupan mereka tenang dan terarah. Salah satu hal itu adalah kepercayaan atau keimanan pada Tuhan dengan memeluk suatu agama atau aliran tertentu. Dalam hidup beriman, masyarakat atau yang biasa disebut umat, tentunya membutuhkan adanya tuntunan dan tawaran jalan hidup dari pemuka agama atau alirannya tersebut. Dalam ajaran Kristiani, kebutuhan akan adanya tuntunan dan tawaran jalan hidup memang sejalan dengan tugas Gereja untuk mengajar. Tugas Gereja yang utama biasa disebut dengan Tritugas, yakni: memimpin, mengajar, dan menguduskan.1 Tugas pengajaran Gereja inilah yang disebut dengan katekese. Katekese bisa dilihat melalui dua pengertian. Pertama, katekese merupakan pendidikan atau pengajaran agama untuk calon penerima pembaptisan, untuk pembinaan iman anak, dan untuk masyarakat umum dalam rangka menyampaikan kebenaran-kebenaran iman versi ajaran Kristiani guna memperdalam pemaknaan hidup melalui iman tersebut. Pengertian kedua yakni, usaha untuk memperkembangkan iman melalui komunikasi iman.2 Pelaksana katekese bisa saja seorang romo atau pastur, bisa juga guru agama atau orang awam yang memiliki minat sebagai katekis (pelaku katekese). Dalam pelaksanaannya, katekese memiliki beberapa wujud seperti: khotbah (homili) pada saat Misa atau Kebaktian, pelajaran agama Kristiani di sekolah, pendampingan iman anak dan remaja di gereja, sarasehan bersama umat dalam satu lingkungan, dan pertunjukan kesenian. Berbagai wujud pelaksanaan perlu ditempuh guna mencapai tujuan katekese, yakni terbentuknya mentalitas iman. Lewat katekese, umat dibiasakan untuk 1
V. Indra Sanjaya. 2011. Belajar dari Yesus “Sang Katekis”. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hlm.12. AP. Budiyono HD. 1982. Shanti Sasana Katekese. Surakarta: Pusat Pembinaan Katekis Vikep Surakarta. Hlm.1
2
2
mengerti lalu melaksanakan karya iman dengan sadar, sesuai dengan kondisi hidup yang konkret.3 Hasil yang diharapkan dari katekese adalah terwujudnya umat yang tangkas dalam berpikir, menilai, dan bertindak bagi diri sendiri dan sesama sesuai dengan iman dalam konteks masyarakat sekarang ini.Sebab itulah, tugas pengajaran iman tidak bisa jika melulu ditempuh lewat homili (khotbah) yang dilaksanakan pada waktu misa atau kebaktian, melainkan perlu dilaksanakan melalui berbagai terobosan yang akrab dan dekat dengan umat, salah satunya melalui kesenian. Kesenian merupakan satu alternatif media yang bisa menjangkau banyak lapisan umat karena sifat seni yang menarik. Kesenian juga berkaitan dengan serangkaian keterampilan berupa teknik, cara, dan metode yang pelatihan dan penerapannya sesuai dengan bakat pribadi tiap individu. Keterampilan tersebut memungkinkan penyampaian pengajaran iman ditempuh secara menggairahkan, memukau, dan meyakinkan. Bakat-bakat seni bisa berwujud fisik, artikulasi, jenis suara, mimik, gerak tubuh, kecerdasan mengolah dan memilih kata, dan sebagainya.4 Berbagai bakat kesenian itu bisadieksplorasi dan diwujudkan dalam seni pertunjukan, seperti orkestra, teater, tablo, dan kesenian tradisional seperti wayang. Salah satu seni pertunjukan dalam rangka katekese yang saat ini sedang banyak ditampilkan di Gereja, khususnya Gereja Katolik di wilayah Keuskupan Agung Semarang dan Keuskupan Purwokerto adalah wayang wahyu. Wayang wahyu merupakan nama jenis wayang yang bertujuan sebagai media komunikasi alternatif penyebaran wahyu Tuhan sebagaimana terdapat dalam Kitab Suci Kristiani.5 Wayang wahyu pada awalnya disebut wayang Katolik, lalu kemudian diganti menjadi wayang wahyu dengan rekomendasi dari Uskup I Jawa Mgr. Alb. Soegijopranoto. Kemunculannya pertama kali pada sekitar 1959 di Surakarta. Wayang ini adalah buah dari gagasan Bruder 3
Ibid.Hlm. 40 Tjatur Raharso. 2013. “Tempat Karya Seni dalam Hukum Gereja” dalam Iman dan Seni Religius. Antonius Denny Firmanto (Ed.), Adi Saptowidodo. Malang:STFT Widya Sasana. Hlm.88. 5 Marzanna Poplawska. 2004. "Wayang Wahyu" as an Example of Christian Forms of Shadow Theatre. Asian Theatre Journal, Vol. 21, No. 2 (Autumn, 2004), hlm. 196 194-202. http://www.jstor.org/stable/4145461 diakses pada 15 Juni 2016. 4
3
Timotheus L. Wignyosoebroto yang pada saat itu mengharapkan ada pertunjukan wayang serupa wayang purwa tetapi ceritanya diadaptasi dari kitab suci dan durasinya dipersingkat menjadi dua hingga empat jam.6 Selain
wayang
wahyu,
terdapat
beberapa
jenis
wayang yang
mengadaptasi cerita kitab suci dari berbagai ajaran agama yang diakui di Indonesia, seperti wayang sadat dan wayang budha. Wayang-wayang tersebut memiliki karakteristik ceritanya masing-masing. Wayang sadat diciptakan oleh Suryadi Warnosukarjo yang berasal dari Klaten. Wayang ini merupakan wayang kulit yang mengisahkan perjalanan para wali dalam menyebarkan agama Islam. Kata ‘sadat’ berasal dari kata ‘syahadattain’ yang bermakna nafas Islam dan dimaksudkan sebagai media dakwah. Satu keunikan wayang ini yakni dalang, para pengrawit, dan boneka wayangnya bersorban dan berjubah. Beberapa judul wayang sadat adalah “Kepyakan Masjid Demak”, “Wanasalam”, “Sunan Kalijaga”, “Ki Ageng Pandanaran”, dan “Wisuda Adipadi Demak”.7 Satu lakon wayang sadat yang belum lama ini ditampilkan adalah Ki Ageng Pandanaran, yang dipergelarkan di lapangan desa Panggungharjo Bantul pada 10 Maret 2013.8 Wayang budha diciptakan pada tahun 1978 oleh Prapto, AS. Budiono, dan Hajar Satoto di Surakarta. Wayang budha memiliki kisah hidup tokohtokoh yang ada pada ajaran agama Budha, seperti misalnya Sutosoma, Sidharta Gautama, dan Kinjara Karna. Satu keunikannya adalah wayang ini dimainkan oleh beberapa penari dengan diiringi suara dalang yang menuturkan jalan cerita lakon wayang.9 Wayang wahyu, sebagaimana yang sudah disebutkan, merupakan wayang yang menampilkan cerita Kitab Suci Kristiani dengan tujuan katekese. Apabila dibandingkan dengan seni pertunjukan lain sebagai media pengajaran 6
Yayasan Wayang Wahyu. 1975. Wayang Wahyu. Surakarta: Yayasan Wayang Wahyu. Hlm.18. S. Haryanto. 1995. Bayang-Bayang Adiluhung, Filsafat, Simbolis dan Mistik dalam Wayang. Semarang: Dahara Prize. Hlm.183. 8 Diambil dari berita berjudul “Pentas Wayang Sadat Ki Ageng Pandanaran oleh Dalang Ki Miftahul Khoir” dalam http://jogjanews.com/pentas-wayang-sadat-ki-ageng-pandanaran-oleh-dalang-ki-miftahul-khoir diakses pada 10 Juni 2016. 9 Tim Penulis Sena Wangi. 1999. Ensiklopedi Wayang Indonesia. Jakarta: Sena Wangi, Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia. Hlm.338. 7
4
iman, seperti teater, tablo, drama musikal, maupun orkestra, wayang bagi umat sebagai audiens memiliki kekuatan yang lebih besar dalam hal pengalaman estetis personal. Pengalaman estetis yang dimaksud adalah pengalaman audiens yang memiliki proses internalisasi terhadap tontonan yakni menonton dengan indera dan hatinya. Pengalaman tersebut terjadi secara kolektif. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa wayang memang memiliki posisi penting bagi audiens (umat) yang adalah masyarakat Jawa. Wayang bagi masyarakat Jawa memiliki kaitan erat secara spiritual, yakni sebagai media pengungkapan identitas dan media pengungkapan nilai yang bersifat reflektif, introspektif, dan transformatif. Kedekatan relasi performance-audience secara kultural tersebut hanya didapati dalam seni pertunjukan wayang, dan tidak didapati pada jenis seni pertunjukan lain seperti teater, tablo, orkestra, ataupun drama musikal.10 Pada awal semaraknya pertunjukan wayang wahyu, umat Katolik dan masyarakat yang tinggal di Jawa Tengah dan DIY pada umumnya memiliki wayang sebagai sarana hiburan utama. Kala itu, belum banyak masyarakat yang memiliki televisi, telepon genggam, komputer, dan sarana hiburan digital lain. Hal ini membuat wayang wahyu sempat mengalami masa kejayaannya hingga sekitar tahun 1975. Kemudian setelah tahun 1975, pamor wayang wahyu berangsur-angsur menurun. Wayang wahyu pun sempat merasakan “mati suri” ketika televisi mulai menjadi primadona hiburan ditambah dengan media komunikasi dan hiburan digital yang semakin berkembang. Namun, sejak pertengahan dekade 2000an, wayang wahyu mulai kembali digemari oleh para katekis. Penggemarnya pun mulai bermunculan kembali baik dari wilayah Gereja Katolik sendiri maupun dari Gereja Kristen. Salah satu judul pertunjukan wayang wahyu yang ditampilkan belum lama yakni pada Desember 2014 dalam rangka Perayaan Natal adalah “Juru Slameting Jagad” (Juru Selamat Dunia). Lakon yang ditampilkan oleh dalang Rm. Agustinus Handi Setyanto, Pr. ini tergolong masif sebab ditampilkan di 10
Ward Keeler. 1990. Javanese Shadow Plays, Javanese Selves. Asian Theatre Journal, Vol. 7, No. 1 (Spring, 1990), hlm. 110-113. http://www.jstor.org/stable/1124041 diakses pada 15 Juni 2016.
5
dua kesempatan, yakni melalui siaran rekaman di RRI Surakarta pada 25 Desember 2014 dan secara langsung di depan umat GKJ (Gereja Kristen Jawa) Adipala pada 26 Desember 2014. Pada pertunjukan wayang wahyu umumnya, karakter dan alur cerita diambil langsung sama seperti yang tertera dalam Kitab Suci. Namun lakon “Juru Slameting Jagad” ini memiliki beberapa keunikan. Lakon ini bercerita tentang inti ajaran iman Katolik, yakni tentang Tuhan yang menjelma menjadi manusia. Dalam penyampaiannya, dalang meramu cerita melalui cara yang unik, yakni dengan melibatkan dua tokoh tambahan yang tidak ada dalam cerita Kitab Suci, yakni tokoh Lusifer dan Adena. Cerita penjelmaan yang abstrak tersebut disampaikan dengan variasi karakter dan urutan adegan yang sedikit berbeda dari cerita yang tertera dalam Kitab Suci. Terkait dengan katekese, telah disebutkan bahwa pengertian katekese adalah mengembangkan iman umat melalui komunikasi iman. Wayang wahyu adalah salah satu wujud konkret komunikasi iman tersebut. Dalam proses komunikasi, pesan menjadi bagian yang sangat penting. Dalam konteks wayang, maka pesan terangkum dalam kisah atau cerita narasi lakon wayang tersebut. Cerita memiliki beberapa unsur yang tidak terpisahkan, seperti setting, tokoh (character), dan alur. Ketiga unsur tersebut dipadu dalam beberapa scene atau babak hingga membentuk satu cerita utuh. Karakter merupakan ruh dalam sebuah cerita narasi, sebab lewat karakter, pesan dari cerita narasi tersampaikan. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan melihat bagaimana pesan katekese disampaikan oleh karakter dalam pertunjukan wayang wahyu dengan lakon “Juru Slameting Jagad”.
B. PERTANYAAN PENELITIAN Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang yang telah disampaikan, maka rumusan penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimanakah pesan katekese disampaikan oleh karakter dalam pertunjukan wayang wahyu dengan lakon “Juru Slameting Jagad”?
6
C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menjawab perumusan masalah di atas. Hal terpenting yang hendak dicapai peneliti adalah mengetahui bagaimana pesan katekese disampaikan oleh karakter dalam pertunjukan wayang wahyu lakon “Juru Slameting Jagad”.
D. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pihak yang membaca hasil penelitian ini.Manfaat bagi peneliti adalah mengetahui pesan katekese yang disampaikan oleh karakter dalam pertunjukan wayang wahyu dengan lakon “Juru Slameting Jagad”. Harapannya, penelitian ini bisa memperkaya khasanah kajian komunikasi khususnya pesan dalam katekese melalui pertunjukan wayang wahyu, di mana wayang wahyu masih relevan dengan konteks masyarakat Indonesia meski sekarang masyarakat makin mengarah pada kehidupan digital. Adapun manfaat lain penelitian ini adalah: 1. Akademis Secara akademis, penelitian ini menjabarkan hasil analisis naratif dengan fokus karakter yang menyampaikan pesan katekese, khususnya dalam pertunjukan wayang wahyu. 2. Praktis Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan pertimbangan bagi para dalang dan katekispada umumnya untuk meningkatkan kreativitas dalam berkatekese dan untuk menjadi referensi pelaksanaan katekese yang efektif dan efisien. 3. Sosial Penelitian ini diharapkan dapat menciptakan pemikiran baru mengenai pertunjukan wayang wahyu di lingkup sosial dan dapat membuka pikiran masyarakat mengenai bentuk katekese baru yang lebih menarik, efektif, dan efisien.
7
E. KERANGKA PEMIKIRAN Penelitian ini berupaya mencari jawaban atas pertanyaan bagaimanakah penyampaian pesan katekese melalui pertunjukan wayang wahyu dengan lakon “Juru Slameting Jagad”. Dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian tersebut, penulis menyusun kerangka pemikiran yang berupa kata kunci penyampaian pesan, katekese, dan pertunjukan wayang kulit sebagai berikut: 1. Pesan Pesan dalam sebuah proses komunikasi merupakan hal yang sangat penting. Ia menempati posisi utama yang mendeterminasi tujuan sebuah komunikasi. Meminjam istilah says what (message) dalam formula komunikasi Harold Lasswell who – says what – to whom – in which channel – with what effect11, dapat disimpulkan bahwa pesan adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah proses komunikasi. Pesan menjadi isi atau inti tema dan ide dari proses komunikasi itu sendiri. Dalam pesanlah terdapat maksud dan makna yang ditransfer dari komunikator menuju pada komunikan.12 Dalam berbagai level komunikasi, pesan memiliki pengertian yang beragam. Pada level komunikasi interpersonal, pesan dirumuskan sebagai berikut: “A message may include verbal content (i.e., written or spoken words, sign language, e-mail, text messages, phone calls, snail-mail, sky-writing, etc.) and will include nonverbal content (meaningful behavior beyond words: e.g., body movement and gestures, eye contact, artifacts and clothing, vocal variety, touch, timing, etc.). Intentionally or not, both verbal and nonverbal content is part of the information that is transferred in a message.”13 Dalam level retoris, pesan lebih dilihat sebagai wujud dan garda depan sebuah upaya persuasif guna memperngaruhi dan menggerakkan orang, sebagaimana disampaikan berikut ini.
11
Disarikan dari http://www.geoffbarton.co.uk/files/studentresources/Communication/Theory%20Sheets/The%20Lasswell%20Formula.doc., diakses pada 2 Mei 2015. 12 Dikutip dari http://www.yourdictionary.com/message, diakses pada 2 Mei 2015. 13 Dikutip dari John O. Burtis and Paul D. Turman. 2010. Leadership Communication as Citizenship.California: Sage Publication, Inc. yang ditulis dalam http://grammar.about.com/od/mo/g/Message.htm, diakses pada 3 Mei 2015.
8
“A rhetorical act, however, is an intentional, created, polished attempt to overcome the challenges in a given situation with a specific audience on a given issue to achieve a particular end. A rhetorical act creates a message whose shape and form, beginning and end, are stamped on it by one or more human authors with goals for an audience."14
Kemudian, pada level komunikasi massa, sebuah pesan memiliki dia komponen: “first, it is simple, direct, and concise; second, it defines the issues on your own terms and in your own words”15. Komunikasi dalam level komunikasi massa tentu tidak bisa lepas dari media. Dalam level tersebut, pesan yang dibentuk dalam sebuah proses komunikasi pun lebih komplkes. Dalam bermedia, semakin seseorang memiliki literasi media yang tinggi, semakin mampu pula ia melihat berbagai makna dalam sebuah pesan. Ia memiliki kemampuan yang baik dalam memahami, mengendalikan diri untuk mengakses pesan sesuai dengan kebutuhannya, dan mengapresiasi pesan.16 Selain melalui ketiga saluran tersebut, pesan juga bisa disampaikan melalui saluran lain, yakni pertunjukan. Pesan dalam sebuah pertunjukan merupakan simbol yang dipertukarkan baik dalam komunikasi verbal maupun non-verbal. Komunikasi yang dibangun pada ranah seni pertunjukan bersifat interaksional. Oleh karenanya, pesan dalam seni pertunjukan sesungguhnya merupakan ruang proses komunikasi yang bersifat simbolik, interpretatif, transaksional, dan kontekstual. Transfer pesan dilakukan oleh sejumlah orang yang memberikan interpretasi dan harapan berbeda terhadap apa yang disampaikan.17 Pada praktiknya, pesan yang terdapat dalam seni pertunjukan dikomunikasikan bukan hanya secara interpersonal, melainkan secara publik.
14
Dikutip dari Karlyn Kohrs Campbell and Susan Schultz Huxman. 2009.The Rhetorical Act: Thinking, Speaking and Writing Critically, 4th ed. London: Wadsworth Cengage, yang ditulis dalam http://grammar.about.com/od/mo/g/Message.htm, diakses pada 3 Mei 2015. 15 Dikutip dari Peter Obstler. 1990. "Working With the Media."Fighting Toxics: A Manual for Protecting Your Family, Community, and Workplace, ed. by Gary Cohen and John O'Connor.Island Press, yang ditulis dalam http://grammar.about.com/od/mo/g/Message.htm, diakses pada 3 Mei 2015. 16 Dikutip dari W. James Potter. 2008. Media Literacy, 4th ed. California: Sage Publication, Inc., yang ditulis dalam http://grammar.about.com/od/mo/g/Message.htm, diakses pada 3 Mei 2015. 17 Alo Liliweri. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Lkis. Hlm.13
9
Selain pemahaman dalam berbagai level, pesan dalam komunikasi dapat dipandang dari dua sudut mazhab pesan, yakni mazhab proses (proses komunikasi linear, berfokus pada pengirim dan penerima pesan) dan mazhab makna (mengetengahkan konsep seperti tanda, kode, dan makna).18 Dalam penelitian ini, pesan dipandang dari mazhab proses, di mana pesan ada dalam proses komunikasi linear antara karakter dalam wayang wahyu sebagai komunikator dan penonton atau pendengar wayang sebagai komunikan.
2. Katekese Bagian ini akan menjabarkan tentang definisi katekese, tujuan katekese, sasaran katekese, dan proses katekese. Penjelasannya adalah sebagai berikut. a.
Definisi Katekese Sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian latar belakang,
katekese merupakan pelaksanaan salah satu Tritugas Gereja, yakni pengajaran.Katekese berfokus pada upaya memberikan pengajaran bagi umat Katolik yang telah secara sadar mengimani Kristus (memeluk agama Kristiani –baik Katolik maupun Kristen) dan menjadi anggota Gereja yang sah melalui Sakramen Permandian.19 Inilah yang bisa membedakannya dengan konsep pengajaran lain yang disebut evangelisasi. Jika evangelisasi
yang
juga
berarti
mengajar
memiliki
fokus
untuk
menyebarluaskan ajaran Kristiani, atau dengan kata lain mengajak umat yang sebelumnya bukan Kristiani menjadi pemeluk agama Kristiani, katekese menitikberatkan pada pengajaran untuk umat Kristiani guna memelihara dan mewujudnyatakan iman mereka dalam aksi pelayanan dan perayaan.20 18
Brent Ruben dan Lea Stewart. 2014. Komunikasi dan Perilaku Manusia (terj.). Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 139-140. 19 Sakramen permandian adalah ritual yang memiliki makna sebagai tanda kelahiran baru seseorang ke dalam Gereja dengan mengimani Yesus Kristus (dikutip dari http://www.imankatolik.or.id/sejarahpembatisan.html, diakses pada 29 Maret 2015) 20 Robert Hater. 1981. The Relationship Between Evangelization and Catechesis. Washington, D.C.: NCDD. Hlm.2.
10
Katekese berasal dari bahasa Yunani “katecho”, di mana ia terdiri atas kata “kat” yang berarti ke bawah atau meluas atau pergi, dan kata “echo” yang berarti bunyi atau suara atau mewartakan ke arah yang lebih luas.21Dalam konteks agama Katolik sendiri, kata katekese mengalami perkembangan definisi sejak awal mula persekutuan Gereja dibangun (Gereja Perdana) hingga pada masa sekarang. Namun demikian, makna katekese adalah pengajaran pemeliharaan iman bagi yang sudah percaya dan mengimani Yesus Kristus sebagai Tuhan, atau lazim disebut sebagai pewartaan Injil. Definisi katekese dapat dilihat secara luas maupun secara sempit. Secara luas, katekese berarti pengajaran Injil disesuaikan dengan konteks penerima pesan pengajaran, yakni umat. Katekese tidak hanya berupa instruksi, melainkan sebuah upaya pembentukan iman bagi para umat yang bertumpu pada pengalaman dan situasi konkrit yang dialami oleh umat itu sendiri. Katekese dalam definisi luas ini bisa dimaknai sebagai pengartian manusia pada keadaan saat ini, pemberian pengarahan tata hidup orang beriman untuk hidup pribadi dan bermasyarakat; serta bersifat biblis dan situasional yang berpusat pada Yesus Kristus.22 Di sisi lain, katekese dapat pula dimengerti sebagai rangkaian sesi pembelajaran dalam kelas agama bagi anak-anak (Pembinaan Iman Anak) dan persiapan bagi mereka yang ingin mengambil sakramen permandian. Itulah katekese dalam arti sempit. Katekese dalam arti sempit bisa dipahami sebagai upaya persiapan bagi mereka yang ingin memeluk agama Katolik maupun Kristen (calon umat yang akan dibaptis atau dipermandikan) dan bagi mereka yang hendak melaksanakan sakramensakramen23 sesuai dengan dogma dan ajaran Katolik. 21
AP. Budiyono HD. 1982. Shanti Sasana Katekese. Surakarta: Pusat Pembinaan Katekis Vikep Surakarta. Hlm.1. 22 Ibid. Hlm.37. 23 Sakramen merupakan ritual dalam Gereja Katolik yang menjadi simbol atau tanda keselamatan dan rahmat dari Tuhan dalam kehidupan manusia. Dibutuhkan persiapan khusus bagi para umat yang hendak menerima sakramen. Terdapat 7 sakramen dalam Gereja Katolik, yakni Sakramen Baptis, Sakramen Ekaristi (yang diterimakan pada setiap misa / ibadat suci), Sakramen Penguatan (Krisma), Sakramen Tobat, Sakramen
11
Kemudian, katekese dapat pula dipahami dengan menggunakan indikator sifat pada permukaan (informal) dan sifat mendasar (formal). Secara permukaan, katekese dengan sederhana dapat dipahami sebagai kegiatan pastoral, seperti persekutuan doa dalam keluarga dan lingkungan, kegiatan amal dan sosial, dan liturgi.24 Secara mendasar, katekese merupakan pelaksanaan kegiatan pastoral yang disadari oleh tujuan menghidupi firman Tuhan dalam cara yang deliberate, intentional, dan structured.25 Katekese dalam pengertian ini berupa proses pembelajaran yang menitikberatkan pada pemahaman, refleksi, dan transformasi. Dengan pemaknaan ini, katekese dapat mewujud dalam berbagai bentuk kegiatan, luwes pula pelaksanaannya, asalkan dasarnya terpenuhi.26 Penelitian ini akan menitikberatkan pada definisi katekese yang luas, yang melampaui pendefinisian bahwa katekese adalah rangkaian sesi pembelajaran dalam kelas agama bagi anak-anak dan melebihi persiapan bagi mereka yang ingin mengambil Sakramen Permandian. Katekese dalam definisi luas, yakni sebagai upaya pembentukan iman bagi para umat yang bertumpu pada pengalaman dan situasi konkrit yang dialami oleh umat itu sendiri. Dengan demikian, katekese dimaknai sebagai proses sekaligus sarana untuk memunculkan keimanan yang relevan dengan konteks jaman umat itu sendiri. Perwujudannya pun bisa ditempuh dengan berbagai macam cara seperti sesi pembelajaran, sarasehan, homili pada saat perayaan ekaristi27, drama, pantomim, dan seni pertunjukan tradisional.
Pengurapan Orang Sakit, Sakramen Imamat, dan Sakramen Perkawinan (disarikan dari http://www.imankatolik.or.id/sakramen.html, diakses pada 2 April 2015). 24 Robert Hater. 1981. The Relationship between Evangelization and Catecheses. Washington, DC: National Conference of Diocesan Directors of Religious Education. Hlm.3. 25 Ibid. Hlm.3. 26 Ibid. Hlm.4. 27 Perayaan Ekaristi adalah ritual dalam agama Katolik yang menjadi pusat, sumber dan puncak seluruh hidup Kristiani. (Disarikan dari http://indonesiaindonesia.com/f/105533-ekaristi/, diakses pada 27 April 2015)
12
b. Tujuan Katekese Tujuan utama katekese adalah membantu umat menanggapi Firman Tuhan dengan terlibat dalam perwujudannya, membentuk mentalitas iman yang kuat, dan melatih kebiasaan pengakuan iman.28 Dalam tujuannya membantu umat menanggapi Firman Tuhan, katekese memiliki sembilan aspek29, sebagai berikut: 1). Belajar Hidup dari Iman 2). Katekese memungkinkan pengalaman kedalaman hidup 3). Katekese menumbuhkan hidup rohani 4). “Tanpa tindakan, kosonglah iman” 5). Katekese menyerupai seni 6). Katekese menyangkut nilai-nilai 7). Katekese memperluas pandangan 8). Katekese menumbuhkan gereja 9). Katekese berakibat pembaharuan Tujuan katekese sebagai tindakan pengajaran selanjutnya adalah membentuk mentalitas iman yang kuat dan kebiasaan pengakuan iman.Mentalitas iman yang dimaksud adalah kebiasaan tangkas dalam menghadapi problem kehidupan berdasarkan arahan Kitab Suci, karya iman yang sadar, dan karya iman yang serasi dalam hidup.Kemudian, kebiasaan pengakuan iman memiliki dua dimensi yakni struktur kebiasaan dan dinamika kebiasaan.Struktur kebiasaan merupakan “keseluruhan susunan hirarkis kebenaran-kebenaran wahyu yang menjadi pendorong karya lahir dan batin manusia” (HD, Budiyono, 1982, hlm.40).Struktur itulah yang bagi seseorang menjadi pedoman untuk menilai segala sesuatu dan menjadi pendorong untuk mengambil sikap dalam menghadapi segala situasi hidup.Dinamika kebiasaan merupakan “ketangkasan menilai dan bertindak selalu dan selaras dengan budi dan waras yang diterangin iman”. 28
AP. Budiyono HD. 1982. Shanti Sasana Katekese. Surakarta: Pusat Pembinaan Katekis Vikep Surakarta. Hlm.43. 29 Ibid. Hlm.43-49.
13
Pada intinya, katekese bertujuan memampukan umat berpikir dan menilai dengan mata iman kejadian dan pengalaman hidup mereka. Apabila seorang umat telah memiliki kemampuan itu, ia dianggap mampu hidup seturut ajaran agama di lingkungannya. Ia pun mampu menjalankan peran sebagai anggota masyarakat Gereja, masyarakat sosial, dan warga negara. Kualitas itu disebut kedewasaan iman.30
c.
Sasaran Katekese31 Sasaran pelaksanaan katekese yang akan dibahas adalah tentang sasaran katekese pada konteks zaman modern, bukan pada era Gereja Perdana. 1). Katekese sekarang mendidik kepada hidup Kristen yang personalistis. 2). Katekese sekarang mendidik kepada penghayatan hidup iman yang bersumberkan Kitab Suci dan Liturgi. 3). Katekese sekarang berusaha mendidik orang kepada hidup iman yang real yang bepijak kepada bumi. 4). Katekese sekarang mendidik kepada hidup Kristiani yang terbuka dan penuh persaudaraan.
d. Proses Katekese32 Secara mendasar, katekese merupakan proses pembelajaran yang menitikberatkan pada pemahaman, refleksi, dan transformasi33. Dalam pelaksanaannya, terdapat empat elemen yang menyusun proses katekese: 1). Pengalaman Hidup 2). Pesan 3). Refleksi / Penemuan / Integrasi (Keterpaduan) 4). Respon 30
Ibid. Hlm.41 Ibid. Hlm.41-43. 32 Robert Hater. 1981. The Relationship between Evangelization and Catecheses. Washington, DC: National Conference of Diocesan Directors of Religious Education. Hlm.16. 33 Ibid. Hlm.4. 31
14
3.
Pertunjukan Wayang Kulit Pada bagian kata kunci pertunjukan wayang kulit ini akan dipaparkan definisi pertunjukan wayang kulit, fungsi dan karakteristik pertunjukan wayang kulit, perlengkapan panggung pertunjukan wayang, konsep dasar estetika pertunjukan wayang, dan wayang wahyu sebagai salah satu pengembangan wayang kulit. a.
Definisi Pertunjukan Wayang Kulit Dari banyak jenis wayang yang ada di Indonesia, wayang kulit
merupakan yang paling populer dan masih bertahan sampai sekarang, terutama bagi masyarakat Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Awal kemunculan wayang kulit diperkirakan pada abad ke-11 sampai 12 Masehi sebagaimana terdapat dalam Kakawin Arjuna Wiwaha, Kitab Wreta Sancaya, Kitab Bharatayudha, dan Prasasti Wukajana34. Menurut Hazeu dalam Soetarno dan Sarwanto (2010: 7), pada awal mula
kemunculannya,
wayang
bukan
hanya
merupakan
sebuah
pertunjukan melainkan ritual pemujaan kepada roh nenek moyang. Kepercayaan masyarakat pada masa itu adalah roh nenek moyang tetap hidup dalam rupa bayangan, maka dibuatlah gambar yang menyerupai nenek moyang. Gambar tersebut dijatuhkan ke kelir dan digerakkan oleh seorang pemuka sebab hanya pemuka lah yang dipercaya bisa menghadirkan arwah nenek moyang. Dari situlah muncul istilah wayang, yang berarti bayangan. Kemudian, Umar Kayam dalam Soetarno dan Sarwanto (2010: 8) menambahkan bahwa dalam perkembangannya pada masa Hindu, ditambahkan tokoh dalam epos Mahabharata dan Ramayana sebagai sumber lakonnya untuk ritual wayang. Kemudian pada masa Islam, Walisongo mengadopsi ritual ini dan mengemasnya menjadi sarana penyebaran Islam. Pada masa Walisongo inilah, wayang kulit telah bergeser maknanya dari ritual pemujaan menjadi pertunjukan yang memberikan tontonan dan tuntunan. 34
Soetarno dan Sarwanto. 2010. Wayang Kulit dan Perkembangannya. Solo: ISI Press Solo. Hlm.5-7.
15
Dalam pemahaman lain, kata wayang mengacu pada dua jenis pertunjukan yakni teater boneka yang bonekanya terbuat dari kulit kerbau atau sapi dan teater orang (wayang wong).35 Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan wayang adalah pertunjukan teater boneka wayang yang terbuat dari kulit kerbau atau sapi. Dalam konteks seni pertunjukan, wayang kulit merupakan salah satu jenis teater boneka nusantara, bersanding dengan jenis wayang lain yang perkembangannya saat ini tidak sepopuler wayang kulit: wayang gedog, wayang kancil, wayang potehi, wayang golek, wayang sadat, dan wayang suket. Wayang kulit dilengkapi dengan unsur iringan dan dalang sebagai narator dalam menyampaikan pesan lewat apa yang ditampilkan tokoh. b.
Fungsi dan Karakteristik Pertunjukan Wayang Kulit Menurut Soetarno (2011: 42-43), terdapat setidaknya empat fungsi
pertunjukan wayang kulit, yakni: (1) sarana pendidikan dan penerangan, (2) sarana refleksi nilai estetis dan aktivitas estetis itu sendiri, (3) sarana mencari nafkah, dan (4) sarana hiburan sosial. Dalam pelaksanaannya sendiri bagi masyarakat suku Jawa, wayang kulit menjadi bagian yang sering diintegralkan dalam upacara-upacara penting fase kehidupan, seperti pernikahan, tujuh bulan kehamilan, kelahiran anak, khitan, peringatan arwah, syukuran keberhasilan studi, syukuran keberhasilan dalam pekerjaan, perayaan hari besar keagamaan, peringatan bersih dusun, dan peringatan hari besar kenegaraan.36 Wayang
kulit
sebagai
sebuah
pertunjukan
juga
memiliki
karakteristik penting yang membedakannya dari pertunjukan yang lain, yakni adanya unsur utama yang menjadi penyampai pesan (komunikator) yakni dalang. Dalang merupakan penentu keberhasilan pertunjukan wayang sebab ia lah penentu seluruh peristiwa kesenian pada pertunjukan wayang. Hakikat seni pertunjukan wayang bersifat individual dan personal dengan pusatnya adalah pengalaman individu sang dalang (Soetarno,dkk., 35
Soetarno. 2011. Teater Nusantara. Solo: ISI Press Solo. Hlm.12. Op.Cit. Hlm.10.
36
16
2007: 23). Dengan kata lain, dalang menjadi komunikator utama. Dengan segala alat estetika dan pengalaman yang dimiliki, seorang dalang bisa mengemas cerita untuk membagikan pengalamannya yang bersifat individual dan personal tersebut kepada para audiens.Keunikan peran dan karakter dalang sebuah pertunjukan wayang ini “memperhalus ciri komunikasi menjadi suatu persentuhan rasa yang kental, yakni dengan menularkan kesan dan pengalaman subyektif dalang kepada audiensnya” (Soetarno,
2007,
hlm.23).Menurut
Ciptoprawiro
dalam
Soetarno,
dkk.(2007) “cerita yang disajikan dalang mengiaskan perilaku watak manusia dalam mencapai tujuan hidup baik lahir maupun batin”. c. Konsep DasarEstetika Pertunjukan Wayang Istilah konsep dasar estetika pertunjukan wayang disarankan oleh Sunardi37, sedangkan penulis lain, seperti Soetarno38 menyebutnya sebagai unsur-unsur estetika pedalangan. Namun esensi keduanya adalah sama, yakni merujuk pada empat hal unsur utama pertunjukan wayang atau pedalangan. Keempat hal itu adalah pelaku pertunjukan, garap pakeliran, perlengkapan panggung (alat pendukung), dan penghayat pertunjukan.39 Kempat unsur itu ada untuk membuat sebuah pertunjukan wayang kulit bermakna. 1). Pelaku Pertunjukan Pelaku pertunjukan wayang adalah dalang, pemain karawitan, dan penyanyi. Mereka merupakan komunikator dalam penyampaian pesan pertunjukan wayang kulit. Dalang adalah pelaku utama, sedangkan pemain karawitan dan penyanyi yang lazim disebut sindhen dan penggerong sebagai pelaku pendukung. Bersama dengan pemain karawitan, dalang mendesain sebuah sajian iringan yang mendukung inti cerita dalam lakon yang dibawakannya.
37
Sunardi. 2013. Nuksma dan Mungguh: Konsep Dasar Estetika Pertunjukan Wayang. Surakarta: ISI Press Surakarta. 38 Soetarno, dkk. 2007. Estetika Pedalangan. Surakarta: Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. 39 Ibid. Hlm.27
17
2).Garap Pakeliran Garap pakeliran memiliki unsur berupa lakon, catur, sabet, dan karawitan pakeliran. a) Lakon Lakon merupakan pesannya. Lakon berarti kisah yang didramatisasi lalu disampaikan oleh sejumlah pemain kepada publik. Menurut Soetarno, dkk. (2007: 49), dalam konteks pertunjukan wayang, lakon merupakan “perjalanan cerita atau rentetan peristiwa”. Dalam perjalanan cerita tersebut akan muncul alur narasi berupa pengenalan, konflik, dan penyelesaian. Dalam sebuah lakon terdapat empat hal penting: tema, gagasan pokok, penokohan, dan alur cerita (Soetarno, dkk. 2007: 53). Tema merupakan esensi atau visi yang akan diwujudkan dalam lakon. Ia merupakan pertanyaan mendasar yang akan dijawab menjadi amanat dari keseluruhan lakon. Jika tema merupakan visi, maka gagasan pokok adalah misinya. Ia merupakan penjabaran dari tema. Gagasan pokok memiliki orientasi utama membangun konflik yang dihadirkan. Ia berperan sebagai “bingkai penggarapan lakon, yang berarti lakon yang digarap harus selalu mengacu dan berpijak pada gagasan pokok tersebut” (Soetarno, dkk., 2007: 53). Kemudian, penokohan merupakan “proses penampilan tokoh sebagai peran watak tokoh dalam pementasan lakon” (Soetarno, dkk., 2007: 53). Penokohan tampak lewat ucapan, tindakan, pikiran, perasaan, kehendak, penampilan fisik, dan apa yang dirasakannya terhadap diri sendiri dan orang lain (Satoto dalam Soetarno, dkk., 2007: 53). Yang terakhir adalah alur cerita. Sebagaimana narasi pada umumnya, narasi dalam pertunjukan wayang kulit tidak terlepas dari batas ruang dan waktu (setting) dan alur. Rangkaian peristiwa dalam alur pertunjukan wayang diatur dalam bingkai hukum sebab-akibat dan itu pulalah yang menggerakkan pada konflik dan penyelesaiannya
(Sarumpaet
dalam
Soetarno,
dkk.,
2007:
53).
Istimewanya, alur dalam pertunjukan wayang kulit bersifat ajeg atau statis dan monoton, yaitu permulaan – konflik – penyelesaian yang diulang
18
polanya dalam tiga babak pertunjukan wayang (pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura). b). Catur Secara sederhana, catur adalah bahasa yang diucapkan tokoh boneka wayang. Aspek kebahasaan yang masuk dalam unsur catur antara lain: penggunaan bahasa pedalangan, janturan (dalang mengucapkan narasi) dan pocapan (dalang mengucapkan narasi singkat), ginem (dialog tokoh wayang), dan teknik antawecana (teknik dialog tokoh).40 c). Sabet Sabet merupakan teknik dalam memainkan boneka wayang. Terdapat beberapa istilah yang mendeskripsikan sabetan dalang, antara lain: cepengan
(teknik
memegang boneka wayang),
tancepan (teknik
menancapkan boneka wayang pada gedebog), bedholan (teknik mencabut boneka wayang dari posisi tancepan), solah (teknik gerak-gerik boneka wayang
di
kelir,
dan
entas-entasan
(teknik
menampilkan
dan
mengeluarkan boneka wayang di dan dari kelir).41 d). Karawitan Pakeliran Karawitan berarti kesenian memainkan instrumen musik gamelan. Secara spesifik, karawitan pakeliran berarti permainan alat musik gamelan berikut seni suara (vokal) untuk mengiringi pertunjukan wayang. Semua unsur yang terdapat dalam karawitan pakeliran terkait erat dengan suasana adegan dan suasana batin tokoh wayang. Karawitan pakeliran memiliki empat jenis yakni: gendhing (iringan berikut lirik), sulukan (teknik suara yag berfungsi menguatkan catur dan sabet), dan dhodhogan-keprakan (teknik memukul kotak wayang sebagai pemberi aba-aba kepada pemusik; berfungsi menguatkan adegan dan situasi batin tokoh wayang).42
40
Sunardi. 2013. Nuksma dan Mungguh: Konsep Dasar Estetika Pertunjukan Wayang. Surakarta: ISI Press Surakarta. Hlm. 80. 41 Ibid. Hlm. 85-92. 42 Ibid. Hlm.94-99.
19
3). Perlengkapan Pertunjukan Konsep dasar estetika pertunjukan wayang yang ketiga adalah perlengkapan panggung pertunjukan wayang kulit. Terdapat beberapa alat penting, yang secara jelas akan dipaparkan pada pokok pikiran selanjutnya. 4). Penghayat Pertunjukan Unsur terakhir dalam konsep estetika pertunjukan wayang adalah penghayat pertunjukan wayang. Penghayat adalah audiens atau komunikan pada proses komunikasi dalam pertunjukan wayang kulit. Kehadirannya diperhitungkan
untuk
menentukan
kebermaknaan
sebuah
proses
komunikasi penyampaian pesan dan menjadi barometer keberhasilan sebuah pertunjukan wayang kulit (Soetarno, dkk., 2007: 68). d. Perlengkapan Panggung Pertunjukan Wayang Kulit Beberapa perlengkapan panggung dibutuhkan untuk menunjang pertunjukan wayang kulit, seperti: boneka wayang, kelir, gedebog, kotak wayang, cempala, keprak, blencong, dan gamelan. Berikut adalah penjelasannya. 1).Boneka Wayang Boneka wayang berfungsi sebagai visualisasi pemeran tokoh. Boneka wayang terbuat dari bahan dasar kulit sapi atau kulit kerbau yang dibersihkan dan dikeringkan kemudian dipahat dan dilukis. Untuk menguatkan estetika pertunjukannya, dalam menyusun wayang di panggung, seorang dalang harus memperhatikan setidaknya tiga hal: jumlah dan jenis wayang lengkap, pahatan dan ukiran boneka wayang menarik, dan gapitan (tangkai boneka) yang mendukung teknik sabet wayang.43 2). Kelir Kelir merupakan latar tempat memunculkan bayangan wayang. Kelir adalah “selembar tabir yang terbuat dari kain putih dan dikelilingi kain merah atau hitam, dengan ukuran lebar satu setengah hingga dua meter 43
Ibid. Hlm. 59 dan 64.
20
dan panjang tiga hingga tiga setengah meter” (Soetarno dan Sarwanto, 2010: 39). Kelir pada umumnya berwarna putih sebab melambangkan alam semesta. 3).Gedebog Gedebog merupakan batang pisang yang berfungsi sebagai tempat menancapkan wayang. Ia diletakkan melintang di bawah kelir; panjangnya sekitar tiga sampai tiga setengah meter. Biasanya terdapat dua gedebog yang disebut gedebog atas (panggungan) untuk menancapkan wayangwayang tokoh raja dan tamu agung, dan gedebog bawah (paseban) untuk wayang tokoh patih raja, pangeran dan dayang (Soetarno dan Sarwanto, 2010: 40). Gedebog memiliki falsafah sebagai dasar atau bumi di mana semua perkara di dunia terjadi. Kelir dan gedebog melambangkan keseluruhan alam semesta, yang abadi dan yang fana, dengan kelir lambang keabadian dan gedebog lambang kefanaan. 4). Kotak Wayang Kotak wayang berfungsi sebagai tempat menyimpan wayang; terbuat dari kayu dengan ukuran panjang kira-kira 55 cm. Kapasitasnya adalah 200-300 keping wayang. Kotak wayang tidak bisa dilepaskan dari pertunjukan wayang kulit, sebab ia berfungsi sebagai dhodhogan (yang diketuk atau dipukul dalang). Suara yang dihasilkan adalah untuk mengiringi kedatangan dan kepergian tokoh tertentu serta untuk memberi kode iringan pada pemain karawitan. Kotak diletakkan di sebelah kiri dalang secara tertutup, lalu di atasnya terdapat beberapa wayang yang yang akan digunakan dalam pertunjukan sesuai dengan babak atau adegannya.44 5). Cempala Cempala adalah alat pemukul kotak wayang yang digunakan dalang yang terbuat dari kayu kemuning. Fungsinya adalah menghidupkan tokoh pada saat terjadi dialog. Terdapat dua jenis cempala, yakni cempala ageng (besar) yang dipegang oleh tangan kiri dalang, berfungsi untuk memberi 44
Soetarno dan Sarwanto. 2010. Wayang Kulit dan Perkembangannya. Solo: ISI Press Solo. Hlm.41.
21
tanda iringan tertentu, dan cempala alit (kecil) yang dijepit di antara jari kaki dalang untuk memberi tanda ganti atau pindah iringan ketika kedua tangan dalang memainkan wayang.45 6). Keprak Keprak merupakan “kepingan tembaga yang ditempelkan pada kotak wayang, ukuran lebar 12 cm dan ukuran tinggi 10 cm, terbuat dari timah putih dan tembaga yang berjumlah tiga keping”.46 Sebagaimana dhodhogan,
keprak
dibunyikan
untuk
mengiringi
kepergian
dan
kedatangan tokoh ke dalam panggung dan untuk memberi sinyal iringan tertentu kepada musisi karawitan. 7). Blencong Blencong merupakan lampu yang digunakan untuk menyinari panggung pertunjukan wayang. Ia terbuat dari perunggu bersumbu dan diisi dengan minyak kelapa. Pertunjukan wayang kulit umumnya dilaksanakan pada malam hari, sehingga dibutuhkan pencahayaan untuk memberi efek bayangan pada kelir, maka digunakanlah blencong. Ia berfungsi memberi kesan bayangan yang hidup yang misterius karena nyalanya yang menggetar (tidak stabil).47 Menurut Seno Sastroamidjoyo dalam Soetarno dan Sarwanto, blencong merupakan lambang cahaya abadi, yakni lambang Sang Maha Kuasa48. 8). Gamelan Gamelan merupakan seperangkat isntrumen musik pengiring pertunjukan wayang. Instrumen ini merupakan ensembel dengan dua laras, yakni pelog dan slendro. Ia terdiri dari beberapa instrumen seperti: saron ricik, saron demung, peking, kethuk dan kenong, kempyang, gong dan kempul, bonang, gambang, rebab, gender, kendang, dan seruling. Dalam
45
Ibid. Hlm.42. Ibid, Hlm.42. Ibid. Hlm.42. 48 Ibid. Hlm.44. 46 47
22
pertunjukan wayang kulit dewasa ini, biasanya ditambahkan instrumen seperti simbal dan bas untuk menghidupkan adegan perang.49 Keberadaan perlengkapan penting menunjukkan adanya satu kesatuan unsur pertunjukan wayang kulit. Keberadaanya mutlak harus ada dan apabila digantikan dengan alat lain maka makna filosofis pertunjukan wayang sendiri tidak tersampaikan secara utuh. Perlengkapan itulah yang membedakan pertunjukan wayang kulit dengan pertunjukan teater boneka yang lain. e. Wayang Wahyu sebagai Salah Satu Perkembangan Wayang Kulit Wayang kulit merupakan jenis wayang yang sampai saat ini masih bertahan karena setidaknya empat alasan (Bambang Murtiyoso,dkk., 1998: 1-2 dalam Soetarno dan Sarwanto, 2010: 9). Pertama, mengangkat epos Mahabharata dan Ramayana yang populer dan mendarah daging dalam masyarakat, terutama masyarakat Jawa. Kedua, karakter dalam wayang kulit berjumlah banyak dan beragam. Ketiga, alur dan garapan isi ceritanya
bisa
disesuaikan
untuk
mengakomodasi
secara
aktual
kecenderungan perkembangan masyarakat saat ini. Keempat, wayang kulit senantiasa dijadikan rujukan atau frame of reference dari masa ke masa. Selain keempat alasan tersebut, wayang kulit senantiasa terbuka terhadap berbagai perkembangan masyarakat, baik karena hasil interaksi dari luar dan karena karakternya yang luwes dan terbuka (Soetarno dan Sarwanto, 2010: 9-10). Sebagai salah satu bukti perkembangan, keluwesan, dan keterbukaan wayang kulit, muncullah satu genre wayang kulit yang disebut wayang wahyu. Wayang wahyu merupakan wayang genre baru yang dirancang sebagai bentuk inkulturasi budaya dengan pengalaman menggereja, khususnya guna berkatakese. Tujuannya adalah membumikan pengajaran iman Kristiani, dan bukan merupakan Jawanisasi ajaran Yesus Kristus ke dalam kosmologi masyarakat Jawa. Maksud pementasan wayang wahyu yakni menjadi media alternatif dalam proses katekese, yaitu memberi 49
Ibid. Hlm.46.
23
sarana alternatif bagi umat Kristiani yang berasal dan tinggal di Jawa guna memahami ajaran Kristus dalam Kitab Suci melalui bahasa ibu bahasa Jawa.50 Lakon pertunjukan wayang wahyu berasal dari Alkitab.Adaptasi yang dilakukan adalah mengambil tokoh-tokoh dalam Alkitab dan dijadikan tokoh baru dalam wayang wahyu secara realistik dengan ornamen yang mirip dengan sunggingan (pahatan) wayang kulit purwa. Seperti pertunjukan wayang kulit pada umumnya, pagelaran wayang wahyu juga diringi gamelan dengan mengambil nyanyian gereja yang kreatif tata penyajiannya. Namun nyanyian yang dikidungkan oleh dalang dalam pertunjukan wayang masih tetap menampilkan gaya dan irama tradisional seperti pada wayang kulit dengan kreasi lirik yang baru. Alur cerita yang dipakai pun masih mengikuti aturan amateritau pedoman baku dari pertunjukan wayang kulit pada umumnya. f. Wayang Wahyu sebagai Salah Satu Bentuk Komunikasi di Depan Publik Komunikasi di depan publik pada hakikatnya merupakan kegiatan komunikasi yang dilaksanakan di depan audiens dalam jumlah besar dan dengan topik materi yang relatif kontinyu. Beberapa hal perlu dilakukan oleh orang yang hendak menyampaikan komunikasinya di depan publik, yakni menentukan topik dan tujuan komunikasi, menganalisis khalayak, melakukan penelitian terhadap topik, mengenali beberapa problem yang bisa didapati dalam penyampaian topik, mengorganisasikan bahan topik, menyusun introduksi dan kesimpulan. Hal lain yang tidak kalah penting dalam komunikasi di depan publik adalah metode penyampaian. Beberapa di antaranya adalah metode impromptu, metode manuskrip, metode menghafal, dan metode ekstemporer.51 Selain sebagai seni pertunjukan yang memiliki konsep dasar estetikanya, wayang wahyu merupakan contoh komunikasi di depan publik
50 Dikutip dari http://sosbud.kompasiana.com/2013/04/12/menengok-wayang-wahyu-ngajab-rahayu-surakarta550242.html, diakses pada 23 September 2014. 51 Joseph A. DeVito. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Jakarta: Professional Books. Hlm. 361, 414.
24
dengan dalang sebagai komunikator utamamya. Melalui perlengkapan panggung sebuah pementasan wayang wahyu dan persiapan penggarapan lakon dan pengemasan ceritanya, dalang mengomunikasikan topik (dalam hal ini adalah lakon) di depan audiens. Metode yang dilakukan adalah metode ekstemporer sebab dalang tentu menggunakan naskah untuk membantunya menuturkan adegan demi adegan. Namun demikian, dalang memahami betul alur cerita secara utuh. Dalang membutuhkan naskah untuk membantunya mengucapkan dialog tiap karakter dan melakukan transisi dari satu adegan ke adegan lain. 4.
Karakter dalam Narasi Karakter merupakan tokoh yang menyusun rangkaian peristiwa dalam sebuah narasi cerita. Karakter memainkan peran tertentu yang akan membentuk plot dan struktur narasi, mengantar cerita dari bagian pengenalan hingga penyelesaian konflik. Dalam analisis naratif, terhadap setidaknya dua pendekatan karakter dalam narasi, yakni fungsi karakter Propp dan relasi karakter Greimas. Propp menyebutkan bahwa dalam sebuah cerita bisa didapati 32 fungsi karakter yang memainkan perannya dan membentuk plot cerita. Kemudian, Propp juga menyebutkan ada 7 karakter dalam setiap cerita yakni pahlawan, puteri, ayah, penolong/ penderma, pengirim, penjahat, dan pahlawan palsu. Selain karakter-karakter tersebut, terdapat pula relasi karakter, yakni relasi struktural antar karakter yang menunjukkan hubungan antar karakter. Menurut Algirdas Greimas dalam Eriyanto, cerita narasi dapat dianalogikan sebagai suatu struktur makna, seperti sebuah kalimat yang terdiri atas subjek, predikat, objek, dan seterusnya. Kata yang satu berhubungan dengan kata yang lain lalu membentuk makna.52 Greimas memandang interaksi antar karakter penting dalam membaca sebuah narasi.53
52 Ibid. Hlm. 95 53 Ibid. Hlm. 98
25
Di sisi lain, mirip dengan Propp, Greimas menggunakan beberapa istilah untuk menyebut karakter, hanya saja beberapa istilahnya berbeda akan
tetapi
maksudnya
relatif
sama.
Greimas
juga
melakukan
penyederhanaan dari karakter dan fungsi karakter yang ditawarkan Propp menjadi enam. Greimas menamainya aktan. Aktan-aktan tersebut adalah: (1) subjek, subjek adalah tokoh utama yang mengarahkan jalannya cerita; (2) objek, objek merupakan tujuan dari subjek, ia bisa berupa benda, orang, atau keadaan; (3) pengirim, pengirim adalah pemberi aturan dan nilai-nilai dalam narasi; (4) penerima, penerima adalah pembawa nilai dari pengirim; (5) pendukung, pendukung adalah pembantu subjek mencapai objek; dan (6) penghalang, penghalang adalah penghambat subjek mencapai objek. Aktan dalam Istilah Greimas Karakter dalam Istilah Propp Subjek Pahlawan Objek Puteri Pengirim Ayah Penerima Puteri Pendukung Penolong; penderma; pengirim Penghambat Penjahat; pahlawan palsu Tabel 1.1. Korespondensi Aktan (Greimas) dengan Karakter (Propp)
Meskipun aktan dan karakter sekilas tampak mirip, keduanya diterapkan secara berbeda. Model karakter fungsi milik Propp bersifat ajeg dari awal hingga akhir cerita, sehingga bersifat statis. Sementara itu, model aktan Greimas diterapkan pada setiap adegan, sehingga bersifat dinamis. Subjek dan objek setiap adegan bisa saja berbeda tergantung relasi strukturalnya, sehingga tampak lebih jelas kontribusi tiap karakter dalam keseluruhan cerita narasi.54 Relasi struktural yang terdapat di antara para aktan adalah sebagai berikut: (1) antara subjek versus objek, relasi yang terjadi di antara keduanya disebut sumbu hasrat (axis of desire); (2) antara pengirim versus penerima, relasi yang terjadi di antara mereka disebut sumbu pengiriman (axis of transmission); dan (3) antara pendukung dan penghambat, relasi 54 Ibid. Hlm.98
26
yang terjadi di antara kedua aktan adalah sebagai sumbu kekuasaan (axis of power).55 Relasi-relasi struktural tersebut dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut: Pengirim
Objek
Pendukung
Penerima
Subjek
Penghambat
Bagan 1.2. Relasi Model Aktan
Dalam penelitian ini, pendekatan karakter yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan adalah fungsi karakter Propp sebab penelitian ini menitikberatkan pada penyampaian pesan katekese oleh karakterkarakter, tidak memandang relasi structural apapun untuk mengungkap penyampaian pesannya. Alasan lain adalah pesan, dalam penelitian ini, diandaikan pesan yang disampaikan secara linear sebagaimana pesan yang dimaknai dalam proses komunikasi linear dalam mazhab proses, yakni pesan yang secara langsung disampaikan oleh komunikator ke komunikan dalam sebuah proses komunikasi. Karakter-karakter dalam wayang wahyu berlakon “Juru Slameting Jagad” inilah yang disebut komunikator dalam proses komunikasi melalui media seni pertunjukan wayang wahyu, sedangkan komunikan adalah penikmat dan pendengar wayang.
F.
KERANGKA KONSEP Kerangka
pemikiran
yang
telah
dijelaskan
di
atas
perlu
dikonseptualisasikan agar dapat digunakan sebagai pisau analisis guna menjawab pertanyaan penelitian ini. Konsep-konsep yang akan digunakan yakni: katekese dalam bentuk pertunjukan wayang wahyu dan penyampaian pesan pertunjukan wayang wahyu dilihat dari konsep dasar estetika pertunjukan wayang. Berikut ini adalah penjabaran kerangka konsep tersebut. 55 Ibid. Hlm.96-97
27
1.
Katekese dalam Bentuk Pertunjukan Wayang Wahyu Katekese merupakan upaya pengajaran dan pendalaman Kitab Suci iman
Kristiani yang bertujuan membentuk mentalitas iman. Dalam pengertian formal, katekese merupakan pelaksanaan kegiatan pastoral yang disadari oleh tujuan menghidupi firman Tuhan dalam cara yang deliberate, intentional, dan structured.56 Katekese dalam pengertian ini merupakan proses pembelajaran yang menitikberatkan pada pemahaman, refleksi, dan transformasi. Dengan pemaknaan ini, katekese dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan, luwes pula pelaksanaannya, asalkan dasarnya terpenuhi.57 Oleh karenanya, bentuk pertunjukan wayang wahyu dipahami sebagai bukti keluwesan pelaksanaan katekese. Sebagaimana yang telah disampaikan, wayang wahyu bukan bermaksud membumikan ajaran Kristiani dan keimanan akan Yesus Kristus ke dalam kosmologi Jawa sebagaimana wayang kulit purwa, melainkan merupakan inkulturasi dan alternatif upaya katekese yang bertujuan menyampaikan pesan ajaran Kristiani bagi masyarakat di Jawa dalam konteks pertunjukan yang telah mendarah daging bagi masyarakat Jawa dengan menggunakan bahasa ibu bahasa Jawa. 2.
Pesan Katekese yang Disampaikan oleh Karakter dalam Wayang Wahyu Pesan katekese yang dikemas dalam pertunjukan wayang wahyu banyak
disampaikan oleh tokoh atau karakter cerita. Karakter merupakan tokoh atau pemeran dalam sebuah cerita narasi, tidak terkecuali lakon sebuah pertunjukan wayang wahyu. Karakter
mewakili karakteristik (sifat,
pembawaan, dan kepribadian) dan fungsi dalam sebuah cerita narasi. Dari tutur kata, sikap dan pandangan, serta perilaku karakter lah sebuah cerita bergulir, dari satu scene ke scene berikutnya. Kemudian, relasi karakter menunjukkan bagaimana satu karakter berelasi dengan karakter lain dalam sebuah cerita. Melalui relasi yang tercipta, kepribadian dan fungsi (sebagai tokoh protagonis atau antagonis) tiap karakter juga tampak jelas. Dari 56
Ibid. Hlm.3. Robert Hater. 1981. The Relationship between Evangelization and Catechesis. Washington, DC: National Conference of Diocesan Directors of Religious Education. Hlm.4. 57
28
pemikiran, pandangan, sikap, tutur kata serta perilaku terhadap karakter lain lah pesan cerita tersampaikan.
G. OBJEK PENELITIAN Objek penelitian ini ialah pesan katekese yang disampaikan oleh karakter dalam pertunjukan wayang wahyu dengan lakon “Juru Slameting Jagad”. Pertunjukan wayang wahyu tersebut dibawakan oleh Dalang Rm. Agustinus Handi Setianto, Pr dan ditampilkan pada perayaan Natal di Aula Gereja Kristen Jawa Adipala Cilacap pada 26 Desember 2014.
H. METODE PENELITIAN Dalam bagian metode penelitian ini, akan dijelaskan metode penelitian, jenis penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Penjelasannya adalah sebagai berikut. 1.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan memakai analisis
naratif. Analisis naratif merupakan analisis mengenai narasi, baik narasi fiksi (novel, puisi, cerita rakyat, dongeng, film, komik, musik, dan sebagainya) ataupun fakta, contohnya berita. Menggunakan analisis naratif berarti menempatkan teks sebagai sebuah cerita sesuai dengan karakteristiknya, seperti memiliki jalan cerita, plot, karakter, dan penokohan.58 Cerita dalam wayang wahyu sendiri merupakan bentuk narasi sebab mengadopsi dari kitab suci. Oleh karena itu analisis naratif sebagai salah satu bentuk analisis konten pada teks memungkinkan peneliti untuk membedah teks, terutama melalui karakter guna menemukan pesan katekesenya. Data dalam penelitian ini membutuhkan rekaman pertunjukan wayang dan naskah wayang. Analisis naratif yang dipilih adalah analisis naratif Propp, di mana karakter merupakan pelaku cerita yang menjalankan fungsi-fungsi tertentu. Dalam
58 Eriyanto. 2013. Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hlm. 9.
29
melihat kesesuaian antara 31 fungsi narasi karakter Propp dengan cerita wayang wahyu “Juru Slameting Jagad”, peneliti akan mencocokkannya dengan adegan-adegan sebagaimana tertera pada naskah wayang. Pertama, akan dirumuskan terlebih dahulu tokoh-tokoh dalam lakon wayang tersebut sesuai dengan fungsi karakter Propp. Selanjutnya adalah menemukan fungsi yang
dimainkan
oleh
tokoh-tokoh
tersebut
yakni
dengan
cara:
mengidentifikasi seluruh adegan yang tertera dalam naskah wayang lalu membacanya dengan 31 fungsi karakter Propp, melakukan reduksi dari 31 fungsi (sejauh dibutuhkan), menuliskan fungsi karakter. Langkah terakhir adalah menuliskan pesan yang disampaikan oleh karakter.
2.
Jenis Penelitian Penelitian analisis naratif meliputi beberapa fokus seperti: cerita dan
alur,
struktur
narasi,
karakter
dalam
narasi,
narasi
dan
narator,
intertekstualitas, narasi dan oposisi biner, narasi dan oposisi segi empat, serta narasi dan ideologi.59 Penelitian ini menggunakan analisis naratif yang berfokus pada karakter dalam narasi, sebagaimana yang digagas oleh Vladimir Propp. Pemilihan pada fokus ini dikarenakan karakter dalam wayang wahyu merupakan bagian terpenting sebab karakter lah yang menyampaikan pesan katekese.
3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini akan menjabarkan pesan katekese yang disampaikan oleh karakter pada pertunjukan wayang wahyu dengan lakon “Juru Slameting Jagad”. Pertunjukan tersebut digelar di GKJ Adipala pada 26 Desember 2014 oleh dalang Rm.Agustinus Handi Setianto, Pr. Dalam penelitian ini, pengumpulan data ditempuh melalui dua teknik, yaitu menggunakan data primer, berupa rekaman wayang, naskah wayang dan studi pustaka, serta data sekunder melalui wawancara dengan narasumber. a. Data Primer 59
Ibid. Hlm. vi-ix
30
Dokumen Dokumen yang menjadi data primer adalah rekaman pertunjukan wayang dan naskah wayang wahyu “Juru Slameting Jagad”. Dari kedua dokumen tersebut akan diketahui semua karakter yang terlibat serta bagaimana penokohan untuk setiap tokoh atau karakter dilakukan. Studi Pustaka Studi pustaka merupakan proses penyusunan gagasan dan jawaban atas pertanyaan penelitian melalui buku-buku, jurnal, artikel on-line dan sumber referensi ilmiah lainnya. Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data yang tidak kalah penting dibanding dokumen. Studi ini berguna untuk mengumpulkan teori dan model guna mendampingi peneliti memahami fenomena komunikasi yang tengah diamati. b. Data Sekunder Wawancara Wawancara dilakukan pada narasumber kunci. Narasumber bisa memberikan informasi dan penjelasan tambahan terkait dengan tema penelitian. Dalam penelitian ini, data sekunder berupa wawancara dengan narasumber kunci yakni dalang Rm. Agustinus Handi Setianto, Pr. 4.
Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, cerita yang disajikan dalam wayang wahyu lakon
“Juru Slameting Jagad” akan dianalisis dengan metode analisis naratif Propp. Propp menekankan pada jenis karakter dan fungsi karakter dalam cerita narasi. Menurut Propp terdapat tujuh karakter dalam cerita yang sempurna, yaitu penjahat, donor (penderma), penolong, “puteri dan ayah sang puteri”, pengirim, pahlawan, dan pahlawan palsu.60 Berikut ini deskripsi dari setiap karakter yang dikemukakan oleh Propp.
60
Ibid. Hlm. 72.
31
Karakter Penjahat Donor (penderma)
Deskripsi Melawan pahlawan. Melawan pahlawan dengan kekuatan magis (supranatural). Penolong Membantu pahlawan menyelesaikan tugas berat. Puteri Mencari calon suami. Ayah sang puteri Memberikan tugas berat. Pengirim Mengirim pahlawan menjalankan misi. Pahlawan Mencari sesuatu dan menjalankan misi. Pahlawan palsu Mengklaim sebagai pahlawan tetapi kedok terbuka. Tabel 1.1. Karakter dalam Narasi versi Propp61
Kemudian, Propp juga menawarkan adanya 32 fungsi karakter dalam sebuah kisah narasi sempurna. Namun demikian, tidak setiap cerita narasi senantiasa memiliki ke-32 fungsi tersebut secara lengkap. No 0
Simbol α
Fungsi Situasi awal
1
β
Ketidakhadiran
2
γ
Pelarangan (penghalangan)
3
δ
Kekerasan
4
Ε
Pengintaian
5
ζ
Pengiriman
Deskripsi Fungsi Anggota keluarga / sosok pahlawan diperkenalkan. Pahlawan sering digambarkan sebagai orang biasa. Salah seorang anggota keluarga tidak berada di rumah. Dalam banyak cerita, ini menjadi awal dari sebuah malapetaka. Dunia yang teratur tiba-tiba terlihat akan menjadi kacau. Larangan yang ditujukan kepada pahlawan. Pahlawan diperingatkan agar tidak melakukan suatu tindakan (Jangan ke sana, jangan melakukan ini itu dan sebagainya). Larangan dilanggar. Pahlawan melanggar larangan. Ini umumnya menjadi pintu masuk hadirnya penjahat ke dalam cerita, meskipun tidak selalu menghadapi perlawanan. Mungkin mereka menyerang keluarga sementara pahlawan pergi. Penjahat melakukan usaha pengintaian. Penjahat membuat sebuah upaya pengintaian (misalnya mencoba untuk menemukan anakanak atau permata). Penjahat kerap kali menyamar, sebagai cara mencari informasi yang berharga atau dengan menghubungi anggota keluarga yang lugu. Penjahat menerima informasi mengenai korban. Para penjahat memperoleh beberapa
61
Ibid. Hlm. 72. Tabel tersebut bersumber dari rangkuman berbagai tulisan, yakni: Vladimir Propp, Morphology of the Folktale, Second Edition, Texas: Texas University Press, 1968, hlm. 79-80; Arthur Asa Berger, Narratives in Popular Culture, Media, and Everyday Life, London and Thousand Oaks: Sage Publication, 1997, hlm.27; Arthur Asa Berger, Media Anaylisis Techniques, Second Edition, New York: Sage Publication, 1998, hlm.20.
32
6
η
7
θ
8
A
9
B
10
C
bentuk informasi, misalnya mengenai pahlawan atau korban. Informasi lain juga boleh, misalnya tentang peta atau lokasi harta karun. Tipu daya Penjahat berupaya menipu korbannya. Penjahat menipu korban untuk menguasai korban atau barang-barang korban (tipu daya; penjahat menyamar, mencoba untuk memenangkan kepercayaan dari korban). Para penjahat menggunakan berbagai cara untuk menipu pahlawan atau korban. Misalnya menyamar, penangkapan korban, menculik, dan sebagainya. Keterlibatan Korban tertipu, tanpa disadari membantu musuhnya. Tipu daya dari penjahat bekerja dan pahlawan atau korban masuk dalam perangkap penjahat. Dalam banyak cerita ini bisa berupa memberikan penjahat suatu informasi yang penting (peta, tempat rahasia, gua persembunyian, senjata magis). Kejahatan atau Penjahat melukai anggota keluarga kekurangan pahlawan. Tindakan penjahat menyebabkan kerugian pada anggota keluarga (dengan berbagai tindakan kejahatan). Atau, seorang anggota keluarga tidak memiliki sesuatu (ramuan magis dan lain-lain). Ada dua pilihan untuk fungsi ini, salah satu atau keduanya yang mungkin muncul dalam cerita. Pada pilihan pertama, penjahat menyebabkan beberapa jenis bahaya, misalnya membawa pergi korban atau benda magis tertentu yang menjadi penyebab suatu bencana besar. Pada pilihan kedua, keluarga berada dalam situasi bahaya atau kekurangan, yang apabila tidak ditolong bisa menyebabkan kematian. Mediasi Terjadi keadaan yang malang, pahlawan dikirim untuk mengejar dan menumpas kejahatan. Pahlawan menemukan kondisi yang mengenaskan (misalnya menemui anggota keluarga yang dibawa lari penjahat, orang yang tidak berdosa terbunuh, dsb). Tindakan Seseorang setuju untuk melakukan aksi balasan balasan. Pahlawan bertekad menghentikan penjahat. Pahlawan memutuskan bertindak untuk mengatasi kekacauan, misalnya menemukan benda magis, menyelamatkan mereka yang ditangkap atau mengalahkan penjahat. Ini adalah saat yang menentukan karena keputusan yang diambil akan
33
11
Keberangkatan
12
D
Fungsi pertama seorang penolong
13
E
Reaksi dari pahlawan
14
F
Resep dari dukun/ paranormal
15
G
Pemindahan ruang
16
H
Perjuangan
17
J
Cap
18
I
Kemenangan
19
K
Pembubaran
20 21
Kembali Pr
Pengejaran
menentukan masa depan. Biasanya dalam bagian ini kerap ada pertentangan apakah menyerah ataukah memutuskan melakukan balasan kepada penjahat. Pahlawan meninggalkan rumah. Pahlawan memutuskan mengejar penjahat dan menghentikan kekacauan. Pahlawan mendapat ujian dan menerima pertolongan dari orang pintar (dukun/ paranormal). Pahlawan pertama kali kalah (menerima serangan, terluka, tidak bisa menemukan kelemahan penjahat). Pahlawan bertemu dengan orang pintar yang memberi benda-benda magis untuk mengalahkan penjahat. Penolong bereaksi terhadap penolong masa depannya, seperti penolong, dengan membebaskan tawanan, mendamaikan pihak yang berselisih, menggunakan kekuatan musuh terhadap dirinya, dan sebagainya. Pahlawan belajar menggunakan kekuatan magis yang bisa menghindarkan dirinya dari kesulitan besar. Kekuatan itu bisa didapat dengan makan/ minum ramuan tertentu, bertapa, menggunakan alat tertentu (cincin, pedang, dan sebagainya). Pahlawan mengarah pada objek yang diselidiki, yakni ke lokasi di mana objek berada, tempat di mana tawanan ditahan. Pahlawan dan penjahat bertarung secara langsung; hidup dan mati. Pahlawan mulai dikenal kepahlawanannya. Ia menunjukkannya dengan cincin atau pedang yang menentukan kemenangan. Atau naik naga/ kuda, di mana hanya orang tertentu yang bisa mengendalikan binatang tersebut. Penjahat dikalahkan. Penjahat terbunuh, menyerah. Kemalangan dan kesulitan berhasil dihilangkan. Kemenangan membawa awal baru yang baik. Tawanan bisa dibebaskan, orang yang terbunuh bisa dihidupkan kembali. Pahlawan kembali dari tugas. Pahlawan kembali dari peperangan, siap kembali ke rumah. Penjahat melakukan pengejaran, pahlawan dikejar. Penjahat atau pengikut penjahat tidak terima kekalahan. Mereka melakukan
34
22
Rs
23
O
24
L
25
M
26
N
27
R
28
Ex
29
T
30
U
31
W
pengejaran terhadap pahlawan dan merusak nama baik pahlawan. Pertolongan Pahlawan ditolong dari pengejaran. Pahlawan disembunyikan dan diselamatkan nyawanya. Kedatangan Pahlawan tidak dikenal, pulang ke rumah tidak dikenal atau ke negeri lain yang tidak dikenal. Pahlawan tidak dikenali kehadirannya, tiba di rumah atau di negara lain. Tidak bisa Pahlawan palsu hadir tanpa mendapatkan mengklaim kepahlawanannya. Muncul pahlawan palsu, mengaku mengalahkan pahlawan. Tugas berat Tugas berat ditawarkan kepada pahlawan. Pahlawan diberikan ujian untuk membuktikan dirinya asli, misalnya dengan uji kekuatan, pertarungan hidup-mati dengan pahlawan palsu. Solusi Tugas terselesikan. Pahlawan lolos dari ujian, bisa membuktikan dirinya adalah pahlawan asli. Pengenalan Pahlawan dikenali. Pahlawan asli dikenali dengan tanda yang melekat pada dirinya (tanda-tanda tubuh, ketrampilan khusus yang hanya dimiliki orang tertentu). Pemaparan Kedok terbuka: penjahat dan pahlawan palsu. Kedok pahlawan palsu terbuka. Pahlawan palsu menampilkan dirinya sebagai sosok yang jahat. Perubahan rupa Pahlawan mendapat penampilan baru, seperti tampil dengan wajah baru dan pakaian baru. Dibebaskan dari mantra atau kutukan, menjadi pangeran tampan atau putri yang cantik. Hukuman Penjahat dihukum. Penjahat mengalami depresi, gila, berubah menjadi jelek. Pernikahan Pahlawan menikah dan memperoleh tahta; seperti menikah dengan sang puteri, lalu menjadi raja baru, atau mendapat posisi baru misalnya menjadi panglima perang atau penasihat raja. Tabel 1.2. Fungsi Narasi Propp62
62 Ibid. Hlm. 66-71. Tabel tersebut dirangkum dari berbagai sumber seperti: Vladimir Propp, Morphology of the Folktale, Second Edition, Texas: Texas University Press, 1968, hlm. 25; Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, Second Edition, New York: Sage Publication, 1998, hlm.20; Arthur Asa Berger, Popular Culture Genres: Theories and Texts, Foundation of Popular Culture Vol.2, New York: Sage Publication, 1998, hlm.16; John Fiske, Television Culture, London and New York: Routledge, 1997, hlm.135-136.
35
Tokoh-tokoh dalam wayang wahyu dengan lakon “Juru Slameting Jagad” akan diidentifikasi dengan menggunakan analisis karakter Propp. Kemudian, fungsi narasi dalam lakon tersebut akan dibaca menggunakan fungsi narasi yang ditawarkan Propp, meskipun tentu saja tidak setiap fungsi Propp dapat dijumpai pada cerita lakon wayang tersebut.