KATEKESE LITURGIS, KATEKESE PERAYAAN IMAN Dr. Yap Fu Lan
Pendahuluan Frasa “katekese liturgis” mengundang kita berpikir tentang pengajaran mengenai liturgi. Persiapan Komuni Pertama dan Perayaan Tubuh dan Darah Kristus, yang baru saja terjadi di paroki-paroki, bisa menjadi satu contoh. Sebelum Perayaan, anak-anak selama kurun waktu tertentu mempelajari pokokpokok iman, doa-doa, makna dan tata cara Ekaristi, dan pengakuan dosa. Gereja Katolik mengakui katekese liturgis sebagai satu dari berbagai bentuk katekese lanjut. Katekese liturgis, menyiapkan sakramen-sakramen dengan memajukan suatu pengertian dan pengalaman liturgi lebih dalam. Katekese ini memberikan penjelasan tentang isi doa-doa, arti tanda-tanda dan gerak-gerik, mendidik partisipasi aktif, kontemplasi, dan keheningan. Ini harus dipandang sebagai suatu bentuk katekese yang unggul.1 Sebenarnya, katekese liturgis memiliki multi-arti, yakni: katekese tentang liturgi, katekese untuk liturgi, dan liturgi sebagai katekese.2 Katekese tentang liturgi mengutamakan promosi pengetahuan mengenai makna liturgi dan sakramen-sakramen, supaya umat Kristiani berpartisipasi secara “penuh, sadar, dan aktif” di dalam liturgi.3 Katekese untuk atau bagi liturgi berkonsentrasi pada hal yang sama, yakni pemahaman yang mendalam tentang sakramen, penjelasan isi doa-doa kristiani, dan pengajaran mengenai partisipasi aktif, kontemplasi, dan keheningan. Namun, lebih dari itu, katekese bagi liturgi mengantar umat masuk ke dalam misteri sakramen yang dirayakan dan ke pertobatan. Tujuan utamanya ialah formasi dan transformasi orang beriman. Formasi dan transformasi umat beriman dilakukan bukan hanya oleh katekese, melainkan oleh katekese dan liturgi. Sebab perayaan-perayaan liturgi memiliki pula kekuatan untuk itu. Gereja menyatakan bahwa liturgi adalah “puncak yang dituju oleh kegiatan Gereja dan serta merta sumber segala daya kekuatannya. Dengan demikian, [liturgi] adalah tempat yang paling istimewa untuk katekese Umat Allah.”4 Bahkan, “partisipasi umat beriman dalam Ekaristi [merupakan] sarana pendidikan iman yang pertama.”5 Inilah ide pada latar belakang liturgi sebagai katekese. Di dalam kenyataan sekarang, banyak hal dari ketiga gagasan katekese liturgis itu kita lupakan. Hubungan katekese dengan liturgi semakin renggang; keduanya seringkali menjadi sebuah formalitas, kehilangan daya formatif dan transformatifnya masing-masing; keduanya semakin tidak relevan dengan kehidupan harian umat. Kita bisa menemukan berbagai kisah dan peristiwa yang menjadi 1 2
Petunjuk Umum Katekese (1997), art. 52; lih. juga Evangelii Nuntiandi, art. 28.
Linda L. Gaupin, “Liturgical Catechesis,” dalam Majalah Today’s Liturgy (Oregon: Catholic Press, 2004). Versi online diakses pada 18 Mei 2013. http://content.ocp.org/shared/pdf/general/tl051GaupinSections.pdf Bdk. Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis and Justice,” Living No Longer for Ourselves, Liturgy and Justice in the Nineties, ed. Kathleen Hughes and Mark R. Francis (Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1991), 179. Ostdiek menyebutkan 4 lingkup katekese liturgis, yakni: katekese tentang liturgi (liturgi sebagai isi pokok katekese); katekese yang dibingkai dengan liturgi (berintegrasi dengan doa dan berbagai bentuk perayaan iman); katekese melalui liturgi (liturgi berperan sebagai pengajaran iman, berdaya formatif dan transformatif); dan katekese dari liturgi (pengalaman berliturgi menjadi bahan refleksi iman). 3 Petunjuk Umum Katekese (1997), art. 85. 4 Katekismus Gereja Katolik, art. 1074; Sacrosanctum Concillium, art. 10. 5 Petunjuk Umum Katekese (1997), art. 52.
1
indikasi dari semua itu. Dengan keprihatinan ini, saya menawarkan sebuah bahan refleksi untuk melihat katekese dan liturgi sebagai rekan sekerja dalam pendidikan atau pengajaran iman. Tawaran ini lahir dari keyakinan bahwa hanya dengan kesatuan katekese dan liturgi, kita dapat sungguh merayakan dan mewartakan misteri Kristus.
Refleksi dilakukan dalam tiga langkah, yaitu: menghadirkan ingatan sejarah tentang kesatuan katekese dan liturgi di masa lalu; melihat peran-peran katekese dan liturgi di dalam formasi dan transformasi umat beriman; dan menemukan makna katekese liturgis sebagai katekese perayaan iman, serta catatan-catatan untuk mengembangkannya bagi umat di masa mendatang.
1. Katekese dan Liturgi dalam Sejarah Kisah Jemaat Perdana (Kis. 2:41-47) secara lugas berbicara kepada kita tentang katekese dan liturgi di dalam kehidupan awal umat kristiani. Ayat-ayat 41-42 menunjukkan 2 bentuk katekese yang diterapkan pada zaman itu: kerygma dan didache. Kerygma mengantar orang ke iman dan pembaptisan; didache membantunya mengembangkan iman dan mewujudkannya di dalam hidup (moral) sehari-hari. Penginjil Lukas mencatat ketekunan jemaat di dalam pengajaran para rasul berjalan bersama dengan ketekunan mereka di dalam persekutuan (ay. 41). Hidup persekutuan mereka nyatakan melalui tindakan-tindakan liturgis: memecah-mecahkan roti, makan dan berdoa bersama, serta saling berbagi sesuai kebutuhan. Tindakan-tindakan ini bersifat liturgis karena menampakkan iman dan hakekat komunitas kristiani kepada orang-orang lain.6 Tindakan-tindakan liturgis membuat komunitas kristiani “disukai semua orang” dan semakin banyak orang diselamatkan (ay. 47).
Sekitar abad III-IV, ketekese lebih dikaitkan dengan katekumenat, sebuah proses mempersiapkan seseorang untuk inisiasi kristen. Di dalam proses ini, para katekumen belajar pokok-pokok iman, menjalani berbagai latihan doa, mendengarkan Injil, menerima penumpangan tangan (dan pengusiran setan), dan menjaga sikap/perilaku hidup sehari-hari. Seluruh persiapan dilakukan selama 3 tahun, berakhir pada Malam Paskah dengan upacara baptis, dan dilanjutkan dengan penerimaan Sakramen Penguatan dan Perayaan Ekaristi. Di dalam proses katekumenat ini, homili berperan sebagai pengajaran publik yang ditujukan kepada orang-orang dewasa dan anak-anak. Selama berabad-abad kemudian, homili diakui sebagai bentuk katekese yang penting bagi orang-orang beriman yang akan dan sudah menerima inisiasi kristiani.7
Bersamaan dengan pemberian perhatian yang lebih besar pada permandian anak-anak, proses 3 tahun katekese katekumenat (dewasa), yang terjalin dengan liturgi itu, disederhanakan. Masa persiapan permandian diperpendek menjadi kira-kira 6 minggu sebelum Perayaan Paskah. Katekumenat menjadi semacam perkenalan singkat dengan berbagai upacara ritual Gereja. Perubahan, yang dibuat pada sekitar tahun 1200 ini, merupakan awal keterpisahan katekese dari liturgi. Pada zaman Reformasi (abad XVI), keterpisahan itu semakin tegas dengan pembagian demikian: liturgi adalah privilese para imam; katekese adalah tugas para katekis.8
Harapan akan kesatuan kembali katekese dan liturgi muncul dari gerak pembaruan masing-masing bidang di abad XX, diprakarsai oleh Konsili Vatikan II. Seorang dari antara para tokoh pembaruan itu 6
Bdk. Sacrosanctum Concilium, art. 2. Gerard Sloyan, “Religious Education: From Early Christianity to Medievel Times,” dalam Sourcebook for Modern Catechetics Vol.1, ed. Michael Warren (Winona: Saint Mary’s Press, 1983), 112; 115. 8 Katekis pada masa itu umumnya adalah relawan perempuan, ibu rumah tangga yang tidak mendapatkan pendidikan khusus untuk pengajaran iman. Lih. Anne Marie Mongove,”Forum: Catechesis and Liturgy,” dalam Worship 61(3), 248-259. 7
2
ialah Josef A. Jungmann (1889-1975). Di dalam tulisannya mengenai kerygma dalam konteks pastoral, Jungmann menyatakan bahwa kotbah dan katekese, seni religius dan organisasi pelayanan harus bersama-sama mem-promosi-kan kesadaran iman yang merupakan dasar hidup liturgis dan sakramental, serta sumber iman Kristen yang penuh sukacita.9 Duraiswami Simon Amalorpavadass (1932–1990) pun berbicara mengenai relasi antara katekese dan liturgi di dalam konteks karya misi di Asia. Ia menjelaskan: pelayanan Sabda mempersiapkan dan mengarah ke liturgi; liturgi mengandung sebuah pelayanan Sabda, sebuah pewartaan, dan melayani katekese. Keduanya memimpin umat beriman ke pelayanan kasih di dalam dunia.10
Penelusuran historis menyadarkan kita akan 2 hal mengenai relasi katekese dengan liturgi. Pertama, relasi itu bersifat mutual dan saling melengkapi. Katekese dan liturgi bekerjasama membangun, menghidupkan, dan menyuburkan komunitas beriman, Gereja.11 Kedua, relasi itu bersifat natural karena masing-masing, katekese dan liturgi, sebenarnya merupakan pengajaran iman yang berdaya formatif dan transformatif. Kedua pengajaran iman ini melibatkan umat beserta pengalaman hidup mereka. Inilah fokus permenungan kita selanjutnya. 2. Katekese dan Liturgi: Rekan Pengajar Iman
Katekese: Pengajaran Iman Berkelanjutan Pembaruan katekese, yang diinspirasi oleh Konsili Vatikan II, menetapkan kembali katekese sebagai pendidikan iman berkelanjutan bagi orang-orang Kristiani (Christian on-going formation). Untuk menjadi anggota komunitas Kristen, seseorang menjalani inisiasi. Untuk menjadi seorang Kristen yang matang iman dan pribadinya, ia mesti terus menerus bertobat dan bertumbuh di dalam tradisi Injil dan di dalam komunitas yang hidup.12 Katekese berkelanjutan merupakan proses pertobatan dan pertumbuhan bagi individu dan komunitas beriman.13 Kita telah melihat bagaimana formasi berkelanjutan ini menjadi dinamika hidup Jemaat Perdana yang bertekun di dalam pengajaran para rasul dan di dalam persekutuan (Kis. 2:41).
Sebagai formasi orang-orang kristiani, katekese “mempersiapkan orang Kristen untuk hidup dalam komunitas dan untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan dan perutusan Gereja.”14 Bagian Pendahuluan Petunjuk Umum Katekese (art. 14-33) menampakkan dimensi perutusan katekese. Menyadari situasi dunia, Gereja “melalui katekese” bermaksud “menggerakkan hati umat Kristiani ke [sumber-sumber] keadilan dan [rasa cinta] kepada kaum miskin.” Sebab, tema sentral ajaran dan hidup Yesus Kristus ialah Kerajaan Allah, dan tujuan utama katekese ialah memimpin orang bergerak ke luar (e-ducare) menuju Kerajaan Allah yang sudah mulai dibangun oleh Kristus di tengah-tengah dunia.15 Dalam upaya memimpin gerak ke luar ini, katekese merangkul liturgi sebagai partner pengajar iman.
Liturgi: Katekese Partisipatif 9
Josef Jugmann, “The Kerygma in the History of the Pastoral Activity of the Church,” dalam Sourcebook for Modern Catechetics Vo.1, 204. 10 D.S. Amalorpavadass, “Catechesis as a Pastoral Task of the Church,” dalam Sourcebook for Modern Catechetics Vol.1, 341. 11 Amalorpavadass, “Catechesis as a Pastoral Task of the Church,” 340. 12 Catherine Dooley, “Catechesis, Catechetics,” dalam The New Dictionary of Theology, ed. Joseph A. Komonchok and Mary Collins (Willmington: Michael Glazier Inc.), 161; John H. Westerhoff III, “The Challenge: Understanding the Problem of Fatihfulness,” dalam A Faithful Church: Issues in the History of Catechesis, ed. John H. Westerhoff III, O.C. Edwards (Eugene, Oregon: Wipf and Stock Publishers, 2003), 7. 13 Bdk. Petunjuk Umum Katekese (1997), art. 70. 14 Petunjuk Umum Katekese, art. 86. 15 Ostdiek, “Liturgical Catechesis and Justice,” 182. Gagasan ini dimunculkan Ostdiek di dalam tulisannya dengan merujuk pada pemikiran Thomas Groom tentang pendidikan religious untuk keadilan.
3
Konsili Vatikan II melihat liturgi sebagai: upaya yang sangat membantu kaum beriman untuk dengan penghayatan mengungkapkan Misteri Kristus serta hakikat asli Gereja yang sejati, serta memperlihatkan itu kepada orangorang lain […]. Liturgi setiap hari membangun mereka yang berada di dalam Gereja menjadi kenisah suci dalam Tuhan, menjadi kediaman Allah dalam Roh, sampai mereka mencapai kedewasaan penuh sesuai dengan kepenuhan Kristus.16
Di dalam pandangan ini, Konsili Suci mengakui bahwa liturgi merupakan proses pendidikan atau pengajaran iman yang juga berkelanjutan, menuju ke kedewasaan dan kepenuhan iman. “Hanya sedikit sajalah manfaat upacara-upacara betapa pun indahnya, atau himpunan-humpunan betapa pun suburnya bila semua itu tidak diarahkan untuk membina orang-orang menuju kedewasaan Kristiani.17
Sebagai pendidikan iman berkelanjutan, liturgi memiliki kekhasan. Liturgi mendidik umat beriman dengan mengajak mereka mengalami misteri Kristus lewat ritus, simbol, narasi, dan praktek.18 Mengalami misteri Kristus seperti memasuki ruang di mana ada sesuatu yang tersembunyi namun kelihatan, kelihatan namun tersembunyi; menakutkan, tetapi juga menggembirakan, menyenangkan, menenangkan; penuh ketidakpastian sehingga menantang orang untuk mengandalkan Allah yang diimaninya. Misteri Kristus mengundang orang beriman untuk mengembangkan imajinasi serta menjadi “seperti anak kecil ini” (Mat. 18:3-4). Liturgi mendidik umat beriman menjadi dewasa dengan sejumlah kualitas diri “seorang anak kecil” yang memiliki sifat alamiah untuk merasa kagum, keingin-tahuan yang besar, keberanian mengekspresikan diri, keterbukaan pada kejutan; yang murah percaya, murah mencinta, dan dengan imajinasinya, mampu melihat keagungan di dalam kesederhanaan.19 4 Kualitas “seorang anak kecil” adalah kualitas kemuridan yang Yesus harapkan dimiliki oleh para pengikut-Nya. Kualitas ini lahir dari partisipasi aktif orang beriman di dalam liturgi. Partisipasi aktif di dalam liturgi seringkali dimengerti sebagai aktivitas fisik (semata) selama mengikuti upacara liturgis, misalnya: beraklamasi, mendaraskan mazmur, bernyanyi, melakukan gerak-gerik dan menunjukkan sikap badan tetentu, serta berdiam diri/hening.20 Semua aktivitas ini merupakan ‘simbol-simbol’ ibadah yang bermakna hanya bila berakar di dalam relasi pribadi dengan Allah melalui Yesus Kristus. Sebab, relasi pribadi itulah partisipasi aktif di dalam liturgi yang sesungguhnya.21
Relasi pribadi memungkinkan seorang beriman semakin mengenal Allah dan karya cinta-Nya.22 Di dalam relasi itu pula ia mengenal dirinya, identitasnya sebagai anak Allah. Pengenalan akan Allah dan dirinya menggerakkan seorang beriman untuk melibatkan diri di dalam karya cinta Allah, karya 16
Sacrosanctum Concillium, art. 2. Presbyterorum Ordinis, art. 6. 18 Donna Eschenauer, “Liturgical Catechesis: Unlocking the Sacramental Imagination,” dalam National Conference for Catechetical Leadership website. Diakses pada 18 Mei 2013. https://nccl.wildapricot.org/Resources/Documents/White%20Papers%20%20Eucharist/Donna%20Eschenauer,%20Ph.D..pdf Artikel Eschenauer dapat pula diakses melalui website The Liturgical Catechist. Website ini memuat berbagai artikel/dokumen berkaitan dengan katekese dan liturgi. http://theliturgicalcatechist.weebly.com/index.html 19 Eschenauer, “Liturgical Catechesis,” 10-11; Susan K. Wood, “The Liturgy: Participatory Knowledge of God in the Liturgy,” dalam Knowing the Triune God: The Work of the Spirit in the Practices of the Church, ed. James J. Buckley, David S. Yeago (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Co., 2001), 96. 20 Lih. Sacrosanctum Concilium, art. 30. 21 Bdk. Eschenauer, “Liturgical Catechesis,” 9. 22 Catechesi Tradendae, art. 5. 17
keselamatan bagi dunia. Bersama dengan anak-anak Allah yang lain, ia melibatkan diri melalui jalanjalan kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus (Misteri Paskah). Singkatnya, berpartisipasi aktif di dalam liturgi berarti mengembangkan relasi dengan Allah, diri sendiri, komunitas beriman, dan dunia.
Berelasi dengan dunia adalah tugas perutusan komunitas beriman. Para Uskup Asia mengingatkan kita bahwa ritus penutup di dalam Perayaan Ekaristi, yang nampak sangat sederhana itu, merupakan sebuah moment perutusan bagi komunitas ekaristis. Ketika menanggapinya dengan ‘Amin’, kita mengucapkan sebuah komitmen baru untuk pergi kepada mereka yang menjadi korban ketidakadilan, kerusakan moral, dan bidaah-bidaah modern.23 Melalui liturgi pun, Gereja mengajar orang beriman untuk ke luar, ke dunia, mewujudkan Kerajaan Allah.
3. Katekese Liturgis: Katekese Perayaan Iman Dari uraian pada bagian kedua, kita sebenarnya sudah mendapatkan gambar katekese liturgis sebagai katekese perayaan iman. Untuk memasuki lebih lanjut gagasan katekese liturgis, kita mesti menyadari 2 hal ini. Pertama, liturgi lebih dari sebuah pelayanan doa, atau ibadah kepada Allah menurut rubrikrubrik tertentu. Liturgi sungguh merupakan kekayaan hidup Kristiani yang diwujudkan secara simbolik.24 Kedua, perayaan iman yang “tulus dan mencapai kepenuhannya” ialah perayaan yang “mendorong Umat ke arah pelbagai karya cinta kasih, usaha saling membantu, kegiatan missioner, dan aneka bentuk kesaksian Kristiani;” memampukan Umat “mengantar jiwa-jiwa kepada Kristus” melalui “cinta kasih, doa, teladan, dan ulah pertobatan.”25
Katekese liturgis memiliki karakter-karakter dasar katekese sebagai pendidikan murid-murid Kristus. Katekese liturgis menolong seorang beriman masuk ke dalam misteri Kristus, dan bergerak ke luar untuk men-sharing-kannya dengan orang-orang lain. Gerak ke dalam dan ke luar ini sendiri merupakan ‘simbol’ dinamika kematian-kebangkitan, dinamika penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus. Maka, katekese liturgis yang “asli” selalu menantang kita untuk mendengarkan dengan hati duka dan kecemasan dunia, dan memperbaiki (men-transformasi) kehidupan masyarakat serta kemanusiaan.26
Dengan kekhasan liturgi sebagai pengajaran iman, katekese liturgis membantu umat beriman untuk menggali bahasa, simbol, kisah, doa, lagu, dan gerak tubuh, dan menemukan misteri Allah yang tersembunyi.27 Imajinasi dan pengalaman liturgis merupakan 2 unsur katekese liturgis yang sangat penting. Imajinasi adalah kemampuan kita untuk melihat melampaui simbol-simbol yang ditangkap oleh mata; untuk melahirkan makna atau makna-makna melalui proses kreatif. Di dalam imajinasi ada kualitas/nilai transenden; kualitas yang memungkinkan transformasi.28 Pengalaman liturgis merupakan ‘tempat’ kita mengalami misteri Allah dan berjumpa dengan simbol-simbol itu, sekaligus ‘tempat’ kita menghidupkan makna-makna yang lahir dari imajinasi. Pengalaman liturgis mencakup
23
th
FABC, Living the Eucharist in Asia, the 9 FABC Plenary Assembly, Final Document, Introduction, E.3; dapat diaksses di http://www.fabc.org/plenari%20assembly/FABC. 24 Wood, “The Liturgy,” 98. 25 Presbyterorum Ordinis, art. 5. 26 Lih. Ostdiek, “Liturgical Catechesis and Justice,” 181; FABC IX IX, E.1. 27 Ostdiek, “Liturgical Catechesis and Justice,” 180; Eschenauer, “Liturgical Catechesis,” 1-2. 28 Lih. John Paul Lederach, The Moral Imagination: the Art and Soul of Building Peace (New York: Oxford University Press, 2005), 26-27.
5
pengalaman di dalam perayaan-perayaan liturgi dan juga pengalaman kehidupan-kematiankebangkitan di dalam hidup nyata sehari-hari.29
Mengingat semua ini, katekese liturgis perlu memilih suatu pendekatan yang tepat. Katekese liturgis tidak hanya memberikan informasi mengenai liturgi kepada umat. Katekese liturgis menyampaikan ajaran-ajaran pokok iman dalam rangka membentuk pola-pola hidup kristiani.30 Tawaran pendekatan seperti yang diberikan oleh Gilbert Ostdiek perlu kita dipertimbangkan. Ostdiek mengajak kita mengikuti paradigma aksi-refleksi, dengan proses yang dimulai dari mengungkapkan pengalaman iman, merefleksikan pengalaman iman itu dengan terang narasi Kristiani, dan mendapatkan pemahaman serta nilai-nilai untuk menjalani hidup sebagai murid-murid Kristus.31 Proses semacam ini mengikuti dinamika life–believe–celebrate–life yang diharapkan oleh para Uskup Asia.32
Namun, penting juga kita mengingat bahwa katekese liturgis adalah tanggung jawab liturgi juga. Maka, dengan upaya yang sungguh-sungguh, setiap doa dan perayaan liturgi menjadi ‘ruang’ untuk mengembangkan imajinasi dan merefleksikan pengalaman liturgis. Satu ‘ruang’ yang penting disebutkan di sini adalah homili. Homili merupakan tugas para imam. Konsili Suci menyapa mereka, para Gembala jiwa33, dan mengajak mereka untuk: dengan tekun dan sabar mengusahakan pembinaan Liturgi kaum beriman serta [partisipasi] aktif [mereka], baik lahir maupun batin, [di dalam liturgi,] sesuai dengan umur, situasi, corak hidup, dan taraf perkembangan religius mereka. Dengan demikian, mereka menunaikan salah satu tugas utama pembagi misteri-misteri Allah yang setia.34 Konsili meminta para imam “membimbing kawanan mereka bukan saja dengan kata-kata, melainkan juga dengan teladan.”35 Ajakan ini secara implisit menyatakan bahwa di dalam rangka berkatekese liturgi, Gereja pun mesti melakukan formasi para imam sebagai para pemimpin perayaan. Formasi mencakup kemampuan-kemampuan berkotbah, mensharingkan pengalaman iman, dan menata hidup pribadi.36
Penutup Masih ada 2 butir permenungan lagi mengenai katekese liturgis. Pertama, katekese liturgis sebagai pendidikan iman melibatkan imajinasi, simbol, dan praktek. Katekese ini merupakan ‘tempat latihan’
29
Theresa Berger di dalam artikelnya “Breaking Bread in a Broken World: Liturgy and Cartographies of the Real” (dalam Studia Liturgica Vol. 36, 2006, No. 1, 74-85) menegaskan bahwa makna liturgi dibangun oleh realita kehidupan. 30 Evangelii Nuntiandi, art. 44. 31 Ostdiek, “Liturgical Catechesis and Justice,” 180. 32 FABC, Living the Eucharist in Asia. 33 Sacrosanctum Concilium, art. 19. Di dalam Catechesi Tradendae, art. 18, Paus Yohanes Paulus II menyapa para imam sebagai Guru Iman. Kewajiban mereka ialah “menyelenggarakan katekese secara teratur dan terarah dengan baik.” 34 Sacrosanctum Concilium, art. 19. Kata-kata di dalam tanda kurung adalah tambahan dari saya. Merujuk teks ber-Bahasa Inggrisnya, saya menemukan ketidak-lengkapan terjemahan yang berakibat kejanggalan pada kalimat di dalam teks ber-Bahasa Indonesia. Demi kejelasan mengenai hal ini, bandingkan kedua salinan teks berikut: “Hendaklah para Gembala jiwa dengan tekun dan sabar mengusahakan pembinaan Liturgi kaum beriman serta secara aktif, baik lahir maupun batin, sesuai dengan umur, situasi, corak hidup, dan taraf perkembangan religious mereka.” “With diligence and patience pastors of souls should see to the liturgical instruction of the faithful and their active participation, internal and external, in the liturgy, taking into account their age, condition, way of life, and standard of religious culture.” 35 Sacrosanctum Concilium, art. 19. 36 Tugas para imam mengajar liturgi diuraikan oleh Konsili Vatikan II di dalam Presbyterorum Ordinis, art. 5.
6
yang bagus untuk membentuk habitus baru, yakni pola-pola berpikir, merasa, dan bertindak.37 Kedua, sebagai formasi seluruh komunitas beriman, maka katekese liturgis membawa serta di dalam dirinya tanggung jawab antar-generasi untuk meneruskan iman yang hidup. Antar generasi dapat dipandang dari usia pembaptisan (umat ‘lama’ dan umat/baptisan baru), tetapi terutama usia fisik (dari orang dewasa kepada anak dan kaum muda38). Dalam rangka memenuhi tanggung jawab ini, katekese liturgis harus mengikutsertakan keluarga kristiani, komunitas basis/lingkungan, dan kelompokkelompok Bina Iman anak dan remaja, termasuk kelompok putera altar dan puteri sakristi.
Dengan kedua butir permenungan ini, saya akhiri refleksi tidak dengan memberikan kesimpulan melainkan dengan membuka ruang untuk kita berbagi gagasan dan permenungan mengenai katekese liturgi. Sebab demikianlah kita memulai katekese liturgis, di sini dan sekarang.
KEPUSTAKAAN Amalorpavadass, D.S. “Catechesis as a Pastoral Task of the Church.” Sourcebook for Modern Catechetics Vol.1, ed. Michael Warren. Winona: Saint Mary’s Press, 1983, 339-360.
Berger, Theresa. “Breaking Bread in a Broken World: Liturgy and Cartographies of the Real.” Studia Liturgica Vol. 36, 2006, No. 1, 74-85.
Dooley, Catherine. “Catechesis, Catechetics.” The New Dictionary of Theology, ed. Joseph A. Komonchok and Mary Collins. Willmington: Michael Glazier Inc.
Eschenauer, Donna. “Liturgical Catechesis: Unlocking the Sacramental Imagination.” National Conference for Catechetical Leadership. https://nccl.wildapricot.org/Resources/Documents/White%20Papers%20%20Eucharist/Donna%20Eschenauer,%20Ph.D..pdf http://theliturgicalcatechist.weebly.com/index.html
FABC, Living the Eucharist in Asia, the 9th FABC Plenary Assembly, Final Document, Introduction http://www.fabc.org/plenari%20assembly/FABC.
Gaupin, Linda L. “Liturgical Catechesis.” Today’s Liturgy. Oregon: Catholic Press, 2004. http://content.ocp.org/shared/pdf/general/tl051GaupinSections.pdf
Jugmann, Josef. “The Kerygma in the History of the Pastoral Activity of the Church.” Sourcebook for Modern Catechetics Vo.1, ed. Michael Warren. Winona: Saint Mary’s Press, 1983, 198-206.
Katekismus Gereja Katolik. Terj. Herman Embuiru. Propinsi Gerejani Ende, 1995.
37
Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2005. Gagasan ini saya tulis dalam bentuk artikel “Living th the Eucharist in Asia: A New Habitus, Reflecting on the Final Statement of the 9 Plenary Assembly of the FABC in the Indonesian Pastoral Context,” dalam East Asian Pastoral Review, Vol. 47 (2010) No. 4. Artikel dapat diakses melalui link http://eapi.admu.edu.ph/content/living-eucharist-asia-new-habitus. 38 Catechesi Tradendae (art. 18) menjelaskan katekse sebagai pembinaan iman untuk semua usia ini.
7
Kongregasi untuk Imam. Petunjuk Umum Katekese (1997). Terj. Komisi Kateketik KWI. Jakarta: Dokpen KWI, 2000.
Konsili Vatikan II. Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam Presbyterorum Ordinis. Terj. R. Hardawiryana, SJ. Jakarta: Dokpen KWI dan Obor, 2004.
______________. Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium. Terj. R. Hardawiryana, SJ. Jakarta: Dokpen KWI dan Obor, 2004.
Lederach, John Paul. The Moral Imagination: the Art and Soul of Building Peace. New York: Oxford University Press, 2005.
Mongove, Anne Marie. ”Forum: Catechesis and Liturgy.” Worship 61(3), 248-259.
Ostdiek, Gilbert. “Liturgical Catechesis and Justice.” Living No Longer for Ourselves, Liturgy and Justice in the Nineties, ed. Kathleen Hughes and Mark R. Francis. Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1991.
Paulus II, Yohanes. Anjuran Apostolik tentang Katekese Masa Kini Catechesi Tradendae. Terj. Robert Hardawiryana. Jakarta: Dokpen KWI, 2011.
Paulus VI. Imbauan Apostolik Tentang Karya Pewartaan Injil Dalam Jaman Modern Evangelii Nuntiandi, 8 Desember 1975. Terj. J. Hadiwikarta. Jakarta: Dokpen KWI, 2012.
Sloyan, Gerard. “Religious Education: From Early Christianity to Medievel Times.” Sourcebook for Modern Catechetics Vol.1, ed. Michael Warren. Winona: Saint Mary’s Press, 1983, 110-139.
Westerhoff III, John H. “The Challenge: Understanding the Problem of Fatihfulness.” A Faithful Church: Issues in the History of Catechesis, ed. John H. Westerhoff III, O.C. Edwards. Eugene, Oregon: Wipf and Stock Publishers, 2003, 1-9.
Wood, Susan K. “The Liturgy: Participatory Knowledge of God in the Liturgy.” Knowing the Triune God: The Work of the Spirit in the Practices of the Church, ed. James J. Buckley, David S. Yeago. Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Co., 2001, 95-118.
Yap, Fu Lan. “Living the Eucharist in Asia: A New Habitus, Reflecting on the Final Statement of the 9th Plenary Assembly of the FABC in the Indonesian Pastoral Context.” http://eapi.admu.edu.ph/content/living-eucharist-asia-new-habitus.
8