Laporan Akhir
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah subhanahu wata’ala atas rahmat serta hidayah-Nya, sehingga laporan “Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap
Inflasi
dan
Kemiskinan”
dapat
diselesaikan.
Analisis
ini
dilatarbelakangi oleh ditetapkannya beberapa kebijakan pemerintah yang seringkali diiringi dengan dampak atau efek negatif. Salah satunya adalah tekanan pada inflasi. Tekanan pada inflasi dapat menyebabkan tekanan pula pada daya beli masyarakat, khususnya pada kelompok masyarakat yang berkategori miskin dan hampir miskin. Dampak kebijakan pemerintah dapat berlangsung melalui kenaikan harga
kebutuhan
pokok.
Kebijakan
pemerintah
dalam
analisis
ini
direpresentasikan oleh kebijakan yang mempengaruhi dinamika harga energi, yaitu bensin, solar, dan elpiji. Sementara itu, barang-barang kebutuhan pokok direpresentasikan oleh beberapa komoditi, yaitu beras, jagung, terigu, kedelai, daging sapi, daging ayam, telur ayam, bawang merah, minyak goreng dan gula. Analisis ini diselenggarakan secara swakelola oleh Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri dengan tim peneliti internal yang dibantu oleh tenaga ahli dari Brighten Institute. Disadari bahwa laporan ini masih terdapat berbagai kekurangan baik ditinjau dari aspek substansi, analisa maupun data-data pendukung, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dalam kesempatan ini tim peneliti mengucapkan terimakasih terhadap semua pihak yang membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai akhir kata semoga penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi pimpinan dalam merumuskan kebijakan di bidang logistik, investasi dan fasilitasi usaha.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
i
ABSTRAK ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INFLASI DAN KEMISKINAN Kebijakan pemerintah terutama yang terkait dengan peningkatan harga energi dapat memberikan dampak terhadap harga barang kebutuhan pokok yang berujung pada peningkatan harga barang konsumsi dan penurunan daya beli masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhapap inflasi dan kemiskinan serta membangun model untuk memperkirakan dampak penerapan kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan. Model-model beserta simulasi yang dikembangkan dalam kajian ini, telah dapat menunjukkan bagaimana kebijakan yang ditetapkan pemerintah berdampak pada inflasi dan kemiskinan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa skenario-skenario kebijakan pemerintah yang menghasilkan kombinasi kenaikan harga komoditaskomoditas energi dapat dikembangkan untuk menghasilkan dampak yang minimal, utamanya untuk kemiskinan. Selain itu, patut dikembangkan juga skenario peningkatan tingkat konsumsi masyarakat untuk memkompensasi pergerakan garis kemiskinan yang memperbesar tingkat kemiskinan. Kata kunci: kemiskinan
kebijakan
pemerintah,
harga,
inflasi,
kemiskinan,
garis
ABSTRACT GOVERNMENT POLICY IMPACT ANALYSIS ON INFLATION AND POVERTY Government policy particularly which is related to the increasing of energy prices could have an impact on prices of basic need products which led to an increase in prices of consumer goods and a decrease in purchasing power. The purpose of this study was to analyze the impact of government policy on inflation and poverty and build a model to estimate the impact of government policies on inflation and poverty. The models and simulations developed in this study, has been able to show how the policies set by the government have an impact on inflation and poverty. The simulation results show that the scenarios of government policies that produce a combination of rising prices of energy commodities can be developed to minimalizing the impact, especially for poverty. Besides, it should be developed consumption rate increase scenario to compensate for the movement of the poverty line which increase the level of poverty. Keywords: government policy, prices, inflation, poverty, poverty line
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................i ABSTRAK ........................................................................................................ ii ABSTRACT ...................................................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ..............................................................................................v DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2
Tujuan Analisis................................................................................... 3
1.3
Output Kajian ..................................................................................... 3
1.4
Manfaat Kajian ................................................................................... 3
1.5
Ruang Lingkup ................................................................................... 3
1.6
Metodologi Penelitian......................................................................... 4
1.7
Sistematika Penelitian........................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 6 2.1
Pengaruh Harga Komoditas Terhadap Infllasi ................................... 6
2.2
Kebijakan Pemerintah Yang Mempengaruhi Harga Pangan .............. 6
2.2.1
Kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) ............................... 6
2.2.2
Kebijakan Tarif Dasar Listrik (TDL) .............................................. 9
2.2.3
Kebijakan Harga Pangan ........................................................... 15
2.3
Pentingnya Pengendalian Inflasi dalam Perekonomian ................... 24
2.4
Principal Component Analysis (PCA)............................................... 26
2.5
Tinjauan Penelitian Sebelumnya...................................................... 29
BAB III METODOLOGI.................................................................................. 31 3.1
Kerangka Pemikiran......................................................................... 31
3.2
Data dan Sumber Data .................................................................... 32
3.3
Metode Analisis................................................................................ 32
3.3.1
Struktur model dampak kebijakan pemerintah terhadap harga kebutuhan pokok dan Inflasi........................................................................ 32
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
iii
3.3.2
Struktur model dampak kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan ................................................................................. 34
3.3.3
Struktur simulasi dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan .......................................................................... 35
BAB IV ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INFLASI DAN KEMISKINAN ......................................................................... 37 4.1
Formulasi Indeks Harga dengan PCA .............................................. 37
4.2
Analisis Dampak kebijakan Pemerintah terhadap harga kebutuhan pokok dan Inflasi .............................................................................. 41
4.3
Model Dampak kebijakan Pemerintah terhadap kemiskinan ........... 47
4.4 Simulasi Dampak kebijakan Pemerintah terhadap Inflasi dan Kemiskinan ................................................................................................ 49 BAB V KESIMPULAN ................................................................................... 52 5.1
Kesimpulan ...................................................................................... 52
5.2
Rekomendasi Kebijakan .................................................................. 52
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 54
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kebijakan Harga BBM di Indonesia................................................. 7 Tabel 4.1 Perhitungan Indeks Harga Kelompok Makanan I .......................... 38 Tabel 4.2 Perhitungan Indeks Harga Kelompok Makanan II ......................... 39 Tabel 4.3 Perhitungan Indeks Harga Kelompok Makanan III ........................ 39 Tabel 4.4 Perhitungan Indeks Harga Kelompok Energi ................................ 40 Tabel 4.5 Pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga Kelompok Makanan I .................................................................... 42 Tabel 4.6 Pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga Kelompok Makanan II ................................................................... 43 Tabel 4.7 Pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga Kelompok Makanan III .................................................................. 45 Tabel 4.8 Pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga Konsumen ..................................................................................... 46 Tabel 4.9 Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Perubahan Harga terhadap Inflasi dan Kemiskinan (Kelompok-1) ............................................ 49 Tabel 4.10 Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Perubahan Harga terhadap Inflasi dan Kemiskinan (Kelompok-2) .......................................... 50 Tabel 4.11 Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Perubahan Harga terhadap Inflasi dan Kemiskinan (Kelompok-3) .......................................... 50
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Perkembangan subsidi listrik tahun 2000 – 2013...................................... 12 Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran .................................................................................. 31 Gambar 3.2 Ilustrasi Perubahan tingkat kemiskinan ..................................................... 35 Gambar 3.3 Tahapan dalam simulasi dampak kebijakan terhadap inflasi dan kemiskinan ........................................................................................ 36 Gambar 4.1 Distribusi penduduk dan tingkat kemiskinan (Maret 2013) ........................ 48
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
vi
1.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kebijakan
pemerintah
dapat
secara
langsung
mempengaruhi
perekonomian, khususnya harga dan dampaknya pada inflasi yang berujung pada kemampuan dayabeli masyarakat.
Pada era sebelum tahun 2010,
inflasi dapat dikendalikan melalui kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Namun, pergerakan ekonomi terus berubah dimana inflasi tidak hanya disebabkan oleh pengaruh makroekonomi saja seperti sukubunga, nilai tukar dan jumlah uang beredar tetapi juga peran komoditi (Bank Indonesia, 2014). Inflasi dapat menyebabkan perubahan yang sangat luas terhadap kegiatan ekonomi masyarakat. Inflasi mencerminkan stabilitas harga, semakin rendah nilai suatu inflasi berarti semakin besar adanya kecenderungan ke arah stabilitas harga. Namun masalah inflasi tidak hanya berkaitan dengan melonjaknya harga suatu barang dan jasa. Inflasi juga sangat berkaitan dengan purchasing power atau daya beli dari masyarakat.
Inflasi yang
rendah dan stabil merupakan salah satu penopang utama daya beli masyarakat Kebijakan pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu (misalnya pertumbuhan), seringkali diiringi dengan dampak atau efek negatif. Salah satunya adalah tekanan pada inflasi.
Tekanan pada inflasi dapat
menyebabkan tekanan pula pada daya beli masyarakat, khususnya pada kelompok masyarakat yang berkategori miskin dan hampir miskin. Sinyal dari kebijakan pemerintah melalui stabilitas harga pangan dan non pangan dan berujung pada inflasi.
Besarnya kebijakan pemerintah akan menentukan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
1
respon perubahan harga dari suatu komoditi yang berdampak pada kemampuan dayabeli masyarakat. Dalam rangka mengemban tugas untuk menciptakan kesejahteraan, keadilan, dan keberlanjutan dalam kehidupan masyarakat, pemerintah diberikan kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan. Setiap kebijakan yang dikeluarkan dapat berdampak positif atau negatif, dan dalam mekanisme transmisi yang langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu kebijakan yang diarahkan untuk memberikan dampak positif pada aspek tertentu, dapat melahirkan dampak negatif pada aspek yang lain. Oleh karena itu, suatu kebijakan seringkali perlu direspon oleh kebijakan yang lain untuk meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan. Salah satu visi Kementerian Perdagangan adalah menciptakan stabilitas harga dan memperlancar jaringan distribusi. Dalam mendukung ini, bagaimana memastikan tercapainya stabilisas harga bahan pokok, supaya kemampuan/ daya beli masyarakat terjaga. Terkait dengan hal ini, maka inflasi dan kemiskinan menjadi dua indikator yang perlu diperhatikan. Dari sini, kita dapat melihat dua sisi yang saling terkait, yaitu kebijakan pemerintah yang diarahkan pada aspek tertentu, dan aspek stabilitas harga pokok (inflasi) serta kemampuan daya beli masyarakat (tingkat kemiskinan) yang perlu dikelola.
Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak penerapan
suatu kebijakan terhadap inflasi dan kemiskinan.
Dalam konteks inilah
analisis ini sangat penting, yaitu bagaimana melihat keterkaitan (atau dampak) dari satu kebijakan terhadap inflasi dan tingkat kemiskinan. Hasil kajian ini sangat penting untuk dijadikan sebagai salah satu guidance dalam merespon satu kebijakan, dengan melihat dampaknya kepada masyarakat melalui indikator inflasi dan kemiskinan .
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
2
1.2 Tujuan Analisis Tujuan dari analisis ini adalah: a. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan b. Membangun model untuk memperkirakan dampak penerapan kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan 1.3 Output Kajian Output analisis dalam kajian ini adalah sebagai berikut: a. Respon dari setiap komoditi bahan pangan pokok terhadap dampak kebijakan pemerintah b. Respon Kebijakan Pemerintah terhadap indikator inflasi dan kemiskinan c. Tersusunnya suatu model (template) untuk memperhitungkan dampak kebijakan pemerintah terhadap perubahan harga (inflasi) dan kemiskinan 1.4
Manfaat Kajian Analisis ini menjadi salah satu bahan rujukan (Referensi) bagi
pemerintah untuk mengantisipasi
atau memitigasi dampak negatif dari
kebijakan pemerintah dalam menerapkan suatu kebijakan dan dapat merespon dampak tersebut secara cepat dan masukan dalam upaya mendukung kebijakan stabilisasi harga dan kelancaran distribusi. 1.5 Ruang Lingkup Analisis dalam kajian ini mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu: a. Aspek Komoditi; melihat dampak kebijakan terhadap inflasi bahan makanan meliputi komoditi bahan kebutuhan pokok yaitu beras, gula, minyak goreng, tepung terigu, kedelai, daging ayam, daging sapi, telur ayam, aneka cabai dan aneka bawang.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
3
b. Aspek kebijakan; meliputi identifikasi dan telaahan atas berbagai instrument kebijakan yang diperkirakan dapat
memberikan dampak
terhadap inflasi dan kemiskinan c. Aspek Ekonomi;
melihat dampak dari suatu kebijakan dengan
menggunakan besaran elastisitas. 1.6 Metodologi Penelitian a. Metode Analisis Analisis
ini
akan
dilakukan
dengan
menggunakan
pendekatan
ekonometrik dengan model persamaan Simultan 2 SLS (Two-Stages Least Squares (2-SLS) untuk estimasi elastisitas. b. Data yang dibutuhkan merupakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian ESDM dan sumberdata lainnya yang relevan. 1.7 Sistematika Penelitian Penulisan laporan didasarkan pada ketersediaan data dan informasi yang diperoleh dari hasil penelusuran data sekunder, publikasi berbagai sumber (media), institusi serta penggalian informasi di lapangan. Dari hasil kegiatan tersebut, sistematika penulisan meliputi : BAB I. Pendahuluan Pada bab ini disampaikan mengenai latar belakang pentingnya analisis, isu dampak kebijakan pemerintah dalam mempengaruhi inflasi baik komoditi pangan maupun non pangan serta dampaknya lanjutannya ke dayabeli masyarakat dan kemiskinan, permasalahan, tujuan analisis, keluaran,
manfaat
dan
ruang
lingkup
analisis
serta
sistematika
penulisan. Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
4
Bab II. Tinjauan Pustaka Pada
bab
ini
disampaikan
tentang
bagaimana
harga
dapat
mempengaruhi Inflasi (teori), kebijakan Pemerintah di Indonesia, pentingnya inflasi dalam perekonomian, serta tinjauan hasil penelitian sebelumnya terkait dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi. Bab III. Metodologi Pada bab ini disampaikan mengenai kerangka analisis yang digunakan, data dan sumber data serta pendekatan analisis yang digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan
pemerintah terhadap inflasi
dan
kemiskinan. Bab IV. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Inflasi dan Kemiskinan, Pada bab ini menjelaskan Model Dampak kebijakan Pemerintah terhadap harga kebutuhan pokok, model Dampak kebijakan Pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan serta model simulasi dampak kebijakan pemerintah terhadap harga kebutuhan bahan pokok, inflasi dan kemiskinan (bisa di aplikasikan dalam bentuk kerangka template). BAB V. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Pada bab ini dijelaskan mengenai intisari dari apa yang disampaikan dalam bab-bab sebelumnya serta menyimpulkan sesuai dengan hasil analisis dan simulasi dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan serta usulan rekomendasi kebijakan dalam mendukung stabilisasi harga bahan kebutuhan pokok.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
5
2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini, dibahas beberapa konsep dan literatur yang relevan dengan kajian ini. Pembahasan meliputi teori pengaruh harga komoditas terhadap inflasi, kebijakan pemerintah di Indonesia, pentingnya inflasi dalam perekonomian serta penelitian yang terkait dengan dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan. 2.1 Pengaruh Harga Komoditas Terhadap Infllasi Dalam hal hubungan harga komoditas terhadap inflasi, Furlong dan Ingenito (1996) menyatakan bahwa harga komoditi dapat dijadikan sebagai leading indicator inflasi dengan
dua argumen. Argumen pertama adalah
harga komoditas mampu merespon secara cepat shock yang terjadi dalam perekonomian secara umum, seperti peningkatan permintaan (aggregate demand shock). Kedua, harga komoditas juga mampu merespon terhadap non-economic shock seperti banjir, tanah longsor dan bencana alam lainnya yang menghambat jalur distribusi dari komoditas tersebut. Pergerakan harga komoditas pangan/pertanian akan selaras dengan perkembangan harga barang secara keseluruhan, walaupun besarannya akan berbeda. Respon harga yang cepat tersebut dapat memberikan sinyal bahwa kenaikan harga barang lainnya akan menyusul sehingga tekanan inflasi meningkat. 2.2 Kebijakan Pemerintah Yang Mempengaruhi Harga Pangan 2.2.1 Kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) Pasal 72 Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2004 mengatur bahwa harga bahan bakar minyak dan gas bumi diatur dan/atau ditetapkan oleh pemerintah. Sebelumnya, MK mengamanatkan bahwa dalam kebijakan penentuan harga komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak,
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
6
termasuk di dalamnya BBM dan gas bumi dibutuhkan campur tangan pemerintah. Hanya saja, campur tangan pemerintah dalam penentuan harga terbatas untuk BBM bersubsidi. Pengaturan mengenai BBM terdapat dalam Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran BBM. Kemudian, lebih lanjut pengaturan mengenai BBM bersubsidi dijabarkan dalam Peraturan Menteri ESDM No. 39 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri ESDM No. 4 Tahun 2014. Di dalam Permen ESDM tersebut ditetapkan bahwa BBM bersubsidi adalah solar dan minyak tanah. Arah kebijakan harga BBM di Indonesia secara umum dapat dilihat pada Tabel 2.1. Harga BBM diharapkan tidak mendapat subsidi lagi mulai tahun 2007. Meskipun pada akhirnya realisasinya tidak demikian. Tabel 2.1 Kebijakan Harga BBM di Indonesia
Sumber: BPH Migas
Keterangan:
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
7
R=Regulated
: Harga
ditetapkan
Pemerintah
(masih
mengandung subsidi harga) NR=Non Regulated
: Harga sudah tidak mengandung subsidi
NA
: Sudah tidak dipasarkan lagi
Kategori BBM (Tahap : Premium, minyak tanah, solar, diesel, II)
minyak bakar
Kategori Non BBM : Minyak bakar, avtur, avgas, LPG, pelumas, (Tahap III)
aspal, parasilin, dll
Sejak Desember 2014, Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru penetapan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Bersubsidi. Pemerintah mengklasifikasikan BBM menjadi tiga kategori dengan variasi harga didalamnya, tiga kategori tersebut yaitu, BBM Tertentu yaitu adalah BBM yang diberikan subsidi, BBM khusus penugasan dan BBM Umum. Mengenai kebijakan harga, Pemerintah telah menetapkan variasi harga BBM dengan formula perhitungannya.
Pertama, dua jenis BBM
Bersubsidi yaitu, minyak tanah harganya tidak berubah tetap pada harga Rp 2.500 per liter termasuk PPN, dan kedua minyak solar, cara penetapannya adalah dibuat formula yang terdiri dari harga dasar ditambah dengan PPN ditambah pajak bahan bakar kendaraan bemotor dikurangi dengan subsidi sebesar Rp. 1000. Apabila harga keekonomian solar naik atau turun maka harga subsidi akan naik turun. BBM
Penugasan
adalah
BBM
bukan
bersubsidi
yang
harus
didistribusikan ke wilayah-wilayah sudah ditentukan yang terkadang jauh/sulit sehingga memerlukan effort dari pemerintah, maka disebutnya sebagai BBM khusus penugasan. Kebijakan harga BBM Khusus penugasan ditetapkan dengan formula harga dasar ditambah dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) ditambah dengan biaya distribusi yang akan diberikan kepada badan usaha yang melaksanakan distribusi besarnya 2%. Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
8
Sedangkan, BBM Umum adalah BBM yang harganya akan mengikuti harga keekonomian pasar dan formula harga jualnya juga ditetapkan oleh pemerintah. Harga BBM Umum juga ditetapkan dengan formula, harga dasar ditambah dengan PPN ditambah dengan PBBKP ditambah dengan margin badan usaha. Karena ini adalah berkaitan dengan harga keekonomian, maka diserahkan sepenuhnya pada badan usaha, namun tetap berpedoman pada formula dari pemerintah. Pemerintah tidak ingin kompetisi antar badan usaha tidak sehat, karena itu diberi margin minimal 5% dan margin maksimal 10%. Sementara itu, harga dasar ditetapkan oleh pemerintah. Harga dasar
ini
meliputi biaya perolehan, biaya distribusi, ditambah biaya penyimpanan serta margin. Disinilah instrumen pemerintah untuk mengatur harga. Perhitungan harga dasar menggunakan rata-rata harga indeks pasar dan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika dengan kurs beli Bank Indonesia periode tanggal 25 sampai dengan tanggal 24 pada periode bulan sebelumnya. Selain itu, PBBKB untuk jenis BBM tertentu bersubsidi dan BBM khusus penugasan adalah 5%, sedangkan BBM Umum ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dengan patokan maksimal 10%. Hal ini dilakukan untuk mendorong agar antar Pemerintah Daerah berkompetisi, kalau daerah ingin harga BBMnya lebih murah maka PBBKBnya dapat dibuat lebih rendah. Sehingga diharapkan dapat mendorong Pemerintah Daerah membangun daya saing di masing-masing daerahnya. 2.2.2 Kebijakan Tarif Dasar Listrik (TDL) Energi listrik telah menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan modern manusia, tanpa listrik aktivitas menjadi lumpuh. Hampir seluruh aspek kehidupan akan terpengaruh termasuk roda pemerintahan dan perekonomian secara khusus bisa terganggu bila tidak ada listrik, hampir seluruh aktivitas kehidupan modern sangat bergantung pada listrik. Menyadari hal tersebut, Pemerintah terus berupaya menyediakan pasokan listrik kepada masyarakat. PT PLN (Persero) yang menjadi perpanjangan tangan Pemerintah dalam menyediakan listrik bagi masyarakat harus terus meningkatkan kapasitasnya Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
9
agar mampu mengimbangi tingginya pertumbuhan permintaan listrik di Indonesia. Kebutuhan listrik nasional rata-rata tumbuh sekitar 8 – 9 % per tahun. Angka ini berarti bahwa setiap tahun harus ada tambahan sekitar 5.700 MW kapasitas pembangkit baru. Hal ini menjadi tantangan besar bagi Pemerintah dalam penyediaan listrik karena dibutuhkan dana yang begitu besar dalam investasi
infrastruktur
ketenagalistrikan,
mulai
dari
pembangunan
pembangkit-pembangkit baru, jaringan transmisi, dan hingga jaringan distribusi agar listrik dapat disalurkan hingga ke konsumen. Tantangan berikutnya adalah bahwa kenyataan rasio elektrifikasi yang baru mencapai sekitar 80,5%, artinya masih ada sekitar 19,5% masyarakat belum memiliki akses terhadap listrik sehingga tidak dapat menikmati listrik. Tantangan besar lainnya adalah kebutuhan subsidi listrik yang terus meningkat jumlahnya seiring dengan pertumbuhan kebutuhan listrik yang dipicu oleh pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan jumlah penduduk yang relatif tinggi. Subsidi listrik yang harus ditanggung oleh Pemerintah dalam belanja APBN terus meningkat, dimana pada tahun 2013, jumlah subsidi listrik naik mencapai Rp 101,21 triliun. Padahal pada era tahun 2000-2004, subsidi listrik hanya berkisar Rp 3,3 triliun. Ini artinya subsidi listrik mengalami laju peningkatan yang luar biasa, lebih dari 30 kali lipat. Untuk itu diperlukan upaya pengendalian subsidi listrik agar anggaran yang seharusnya dapat digunakan untuk pembangunan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat tidak mampu, terus menerus tersedot oleh belanja subsidi listrik. Pada dasarnya subsidi listrik adalah selisih antara harga jual/tarif listrik dengan biaya produksinya. Saat ini masih terdapat selisih yang jauh antara biaya produksi dengan harga jualnya ke konsumen. Sebagai gambaran, data realisasi tahun 2013, rata-rata BPP tenaga listrik sebesar Rp.1.289/kWh, dengan margin 7% menjadi sebesar Rp. 1.379/kWh, sementara harga jual rata-rata (tarif) yang dibayar oleh pelanggan hanya sebesar Rp.819/kWh, sehingga ada selisih sebesar Rp. 560/kWh. Untuk menutup selisih ini, pada Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
10
tahun 2013, Pemerintah harus membayar selisih tersebut dalam bentuk subsidi kepada PT PLN (Persero), besarnya mencapai Rp. 101,21 triliun, untuk menjaga agar PLN dapat terus beroperasi menyediakan pasokan listrik. Kebijakan subsidi listrik diawali pada tahun 2000 dengan bentuk “corporate cash flow subsidy” atau defisit arus kas yaitu Pemerintah memberikan selisih antara biaya operasional PLN dalam penyediaan tenaga listrik dengan pendapatan tarif listrik yang diperoleh dari pelanggan PLN agar PLN tidak merugi. Kemudian pada tahun 2001 hingga tahun 2004 kebijakan subsidi listrik diganti menjadi subsidi konsumen terarah, yaitu hanya pelanggan dengan daya sampai dengan 450 VA yang diberikan subsidi, itupun hanya penggunaan 60 kWh pertama. Dengan adanya gejolak memburuknya kondisi perekonomian nasional pada tahun 2005, dimana terjadi terjadi pelemahan nilai tukar Rupiah dan naiknya harga minya dunia yang mempengaruhi kemampuan ekonomi masyarakat. Tentunya hal ini menyebabkan
biaya
menyebabkan
harga
penyediaan jual
listrik
listrik
akan
semestinya
membengkak
harus
dinaikkan
yang untuk
mengimbangi. Namun untuk menjaga agar masyarakat dapat membeli listrik dengan harga yang terjangkau maka Pemerintah mengubah kebijakan subsidi listrik menjadi subsidi konsumen diperluas. Dengan subsidi konsumen diperluas ini maka seluruh konsumen yang tarif listrik nya masih dibawah biaya penyediaannya wajib diberikan subsidi listrik oleh Pemerintah. Kebijakan ini yang terus berlangsung hingga saat ini dan menjadi beban keuangan Negara, dikarenakan jumlah subsidi yang terus membengkak ( Gambar 2.1 ).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
11
Gambar 2.1 Perkembangan subsidi listrik tahun 2000 – 2013 Untuk menjaga keuangan Negara, Pemerintah melakukan perubahan arah kebijakan. Subsidi listrik tidak boleh terus menggerus keuangan Negara. Untuk itu perlu suatu upaya bagaimana beban subsidi listrik ini dapat dikendalikan bahkan dikurangi secara bertahap. Apalagi mengingat bahwa subsidi listrik sesuai amanat Undang-undang No.30 Tahun 2007 tentang Energi
maupun
Undang-Undang
No.30
Tahun
2009
tentang
Ketenagalistrikan hanya untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka pada tahun 2013, dengan meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dalam pembahasan APBN Tahun 2013, maka Pemerintah melakukan penyesuaian tarif tenaga listrik dengan kenaikan rata-rata sebesar 15% melalui penyesuaian secara bertahap untuk periode triwulanan (4 kali dalam setahun). Pemerintah melakukan penyesuaian di tahun
2014 untuk
penghapusan subsidi bagi 4 (empat) golongan pelanggan, yaitu:
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
12
1. Pelanggan Rumah Tangga Besar (R-3, daya 6.600 VA ke atas), contoh: rumah mewah. 2. Pelanggan Bisnis Menengah (B-2, daya 6.600 VA s.d 200 kVA), contoh: hotel bintang 3, kantor perbankan, restoran besar. 3. Pelanggan Bisnis Besar (B-3, daya diatas 200 kVA), contoh: Shopping Center/Mall, Hotel bintang 4, hotel bintang 5, taman hiburan dan rekreasi komersil, stasiun TV swasta. 4. Pelanggan Kantor Pemerintah sedang (P-1, daya 6.600 VA s.d 200 kVA), contoh: Kantor Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pada tahun 2014, dalam rangka mengurangi beban subsidi listrik Pemerintah
kembali
mengusulkan
penghapusan
subsidi
listrik
untuk
pelanggan listrik golongan industri besar I-4 daya diatas 30.000 kVA dan industri menengah I-3 go public daya diatas 200 kVA. kebijakan
Pada awalnya,
penghapusan subsidi sekaligus terhadap kedua pelanggan
tersebut mendapat persetujuan, yang berarti bahwa tarifnya langsung dinaikkan ke tarif keekonomiannya yang dilakukan secara bertahap 4 x 2 bulanan. Seiring dengan adanya perubahan kurs yang melonjak tinggi, dari asumsi APBN 2014 yaitu Rp. 10.500/USD menjadi Rp.11.600/USD dalam APBN-P 2014, maka Pemerintah kembali mengusulkan penghapusan subsidi listrik untuk 6 (enam) golongan pelanggan, yaitu: 1. Industri I-3 non go public (daya diatas 200 kVA), melalui kenaikan tarif listrik secara bertahap rata-rata 11,57% setiap dua bulan, 2. Rumah Tangga R-1 (daya 1.300 VA), melalui kenaikan tarif listrik secara bertahap rata-rata 11,36% setiap dua bulan, 3. Rumah Tangga R-1 (daya 2.200 VA), melalui kenaikan tarif listrik secara bertahap rata-rata 10,43% setiap dua bulan, 4. Rumah Tangga R-2 (daya 3.500 VA s.d 5.500 VA), melalui kenaikan tarif listrik secara bertahap rata-rata 5,70 % setiap dua bulan,
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
13
5. Pemerintah P-2 (daya diatas 200 kVA), melalui kenaikan tarif listrik secara bertahap rata-rata 5,36 % setiap dua bulan, 6. Penerangan Jalan Umum P-3, melalui kenaikan tarif listrik secara bertahap rata-rata 10,69% setiap dua bulan, yang diberlakukan mulai 1 Juli 2014 sampai dengan Desember 2014. Kebijakan Pemerintah mengurangi subsidi listrik dengan penyesuaian TTL masih disambut negatif oleh berbagai kalangan. Namun demikian tidak selalu harus dipandang negatif, penyesuaian TTL juga memberi dampak positif, antara lain:
Selama ini masyarakat pelanggan listrik dimanjakan dengan tarif listrik yang disubsidi, mengakibatkan penggunaan listrik yang cenderung boros, dan sulit sekali diajak untuk hemat listrik. Dengan disesuaikannya tarif listrik pelanggan tersebut menjadi tarif listrik non subsidi, tentu akan memaksa
pengguna
dengan
sendirinya
untuk
lebih
berhemat
menggunakan listrik, jika dia tidak mau membayar tagihan yang besar.
Dengan adanya penghematan di sisi konsumen, tentu turut mengurangi tenaga listrik yang harus disediakan/dibangkitkan, terutama yang dibangkitkan dengan membakar BBM di pembangkit listrik, dan ini akan mengurangi biaya produksi listrik, dan pada akhirnya juga mengurangi subsidi listrik;
Dengan adanya penghapusan subsidi listrik bagi pelanggan industri menengah I-3 daya di atas 200 kVA dan industri besar I-4 daya 30.000 kVA ke atas akan merangsang pelanggan industri tersebut untuk mengusahakan kebutuhan listriknya sendiri dengan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan membeli dari PLN.
Subsidi listrik yang dihemat dapat dialihkan oleh Pemerintah untuk membangun
infrastruktur
listrik
di
Indonesia
dalam
rangka
meningkatkan rasio elektrifikasi yang saat ini baru mencapai 80,51%,
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
14
sehingga semakin banyak lagi daerah-daerah yang bisa menikmati listrik. 2.2.3 Kebijakan Harga Pangan Sistim perdagangan pangan dunia yang semakin terbuka atau pasar bebas menyebabkan harga produk pangan di dalam negeri ikut terpengaruh oleh situasi dan kondisi harga internasional. Kondisi tersebut dan berbagai masalah ketersediaan dan distribusi, menyebabkan harga komoditas pangan, terutama pangan strategis seperti beras, kedelai, daging sapi, cabai dan bawang merah menjadi berfluktuasi. Indonesia sebagai negara agraris menghasilkan berbagai macam produk pangan strategis, bahkan untuk komoditas tertentu sudah surplus. Agar produksi pangan dapat berkelanjutan, dan kebutuhan pangan masyarakat dapat terpenuhi, pemerintah harus melindungi masyarakat dan petani dari gejolak harga, seperti harga jatuh pada saat panen raya, dan harga melambung pada saat di luar panen. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan kebijakan stabilisasi harga pangan agar petani sebagai produsen mendapatkan hasil yang menguntungkan, dan masyarakat sebagai konsumen mampu membeli bahan pangan dengan harga yang terjangkau. Kebijakan stabilisasi harga pangan berperan dalam memantapkan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan/stabilitas politik nasional. Pengalaman Tahun 1996 dan Tahun 1998 membuktikan bahwa terjadinya goncangan ekonomi yang kemudian berubah menjadi krisis politik, terjadi karena harga pangan melonjak drastis dalam jangka waktu yang pendek. Untuk menghindari terulangnya kejadian tersebut, pemerintah berupaya merumuskan kebijakan stabilitas harga pangan yang komprehensif dan dapat merespon beberapa perubahan lingkungan strategis seperti dinamika ekonomi global dan perubahan sistem manajemen pemerintahan agar krisis ekonomi dan krisis politik tidak terulang kembali. Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
15
Secara umun, kebijakan harga pangan meliputi kebijakan perberasan (Harga Pembelian Pemerintah/HPP), kebijakan stabilisasi harga kedelai (SHK), pemantauan harga pangan pokok pada hari-hari besar keagamaan dan nasional (HBKN), prognosa ketersediaan dan kebutuhan pangan strategis, serta kebijakan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Secara rinci perumusan kebijakan dan stabilisasi harga tersebut diuraikan di bawah ini: Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah/Beras Salah satu masalah klasik yang sering dialami petani padi adalah anjloknya harga jual gabah/beras pada saat panen raya, dan meningkatnya harga pada saat diluar panen. Kondisi tersebut menyebabkan petani menjadi rugi dan usahatani padi tidak menguntungkan. Selain itu, kenaikan harga beras dapat menimbulkan gejolak sosial mengingat beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah berupaya membuat regulasi/kebijakan perberasan agar gabah/beras petani dibeli dengan harga tertentu yang bisa memberikan keuntungan yang layak bagi petani. Selain itu, beras dijual ke masyarakat/konsumen diatur dengan harga tertentu sehingga masyarakat mampu mengakses dalam batas wajar. Kebijakan tersebut dikenal dengan istilah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) procurement price policy. Penetapan HPP dilakukan dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, pengembangan ekonomi pedesaan, stabilitas ekonomi nasional, peningkatan ketahanan pangan, dan dalam rangka pengadaan cadangan pangan. Selain itu juga untuk mendukung peningkatan produktivitas petani padi dan produksi beras nasional. HPP gabah yang ditetapkan pemerintah diharapkan menjadi “semacam harga minimum” (floor price) yang berfungsi sebagai referensi harga (price reference) bagi petani dan pedagang yang melakukan transaksi jual-beli gabah/beras. Penetapan HPP gabah/beras pertama kali dilakukan pada tahun 2002 yang dituangkan melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2002. Sampai tahun Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
16
2012, sudah 8 (delapan) kali ditetapkan kebijakan HPP gabah/beras untuk menyesuaikan
situasi
perberasan
dalam
negeri,
terutama
akibat
perkembangan harga yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama periode tersebut, kenaikan HPP Gabah Kering Panen (GKP) berkisar 8-30 persen atau rata-rata 15,43 persen per tahun, kenaikan HPP Gabah Kering Giling (GKG) berkisar 4-27 persen atau rata-rata 13,82 persen per tahun, dan HPP beras berkisar 0-30 persen atau rata-rata 15,90 persen per tahun. Beberapa hal yang mendasari perubahan kebijakan HPP antara lain penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM), seperti kejadian pada tanggal 1 Oktober 2005 terjadi kenikan solar sebesar 124 persen yang berdampak
sangat
besar
terhadap
kinerja
sektor
pertanian.
Untuk
mempertahankan profitabilitas usahatani padi agar usaha tani padi menguntungkan (minimal 30 persen), pemerintah mengeluarkan kebijakan perberasan baru melalui Inpres No. 13/2005 yang menaikan HPP gabah/beras. Faktor lain yang menyebabkan perubahan HPP adalah harga gabah/beras di pasaran yang jauh lebih tinggi dibanding HPP, seperti pada akhir Tahun 2006 sampai awal 2007, harga gabah/beras sekitar 40-60 persen di atas HPP. Hal ini menyebabkan Bulog tidak dapat memenuhi target pengadaan
gabah/beras
pemerintah,
sehingga
pemerintah
kembali
mengeluarkan kebijakan perberasan melalui Inpres No. 3 Tahun 2007. Selain itu, tingginya harga beras dunia yang terjadi karena berbagai masalah di negara-negara produsen, seperti bencana alam dan tingginya harga minyak juga menjadi salah satu pertimbangan perubahan kebijakan HPP. Kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk subsidi pada April 2010 yang berdampak pada tingginya usahatani padi, juga menjadi salah satu alasan pemerintah kembali menaikkan HPP sebesar 10 persen dengan mengeluarkan Inpres No. 7 Tahun 2009 yang mulai diberlakukan pada Januari 2010. Diharapkan dengan penyesuaian HPP tersebut, pendapatan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
17
petani tidak menurun dan peningkatan produksi beras nasional tidak terganggu. Selama Tahun 2002 – 2004, harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani masih berada di bawah HPP (antara 41,6 – 66,67 persen), namun sejak Tahun 2005 – 2012, harga GKP selalu berada di atas HPP, yaitu pada kisaran 4,4 – 36,20 persen di atas HPP, seperti terlihat pada Gambar 1. Dengan demikian kenaikan HPP GKP berdampak positif dalam meningkatkan harga aktual GKP petani dengan persentase yang jauh lebih tinggi, baik pada bulan-bulan panen raya (Maret-April) maupun tahunan. Hal ini menunjukkan kenaikan harga aktual GKP di tingkat petani berdampak langsung terhadap keuntungan usahatani padi. Di tingkat konsumen, kebijakan perberasan dengan penetapan HPP juga dinilai cukup efektif mengendalikan harga beras dalam negeri. Pada Januari 2008, dunia internasional sedang mengalami krisis pangan yang menyebabkan harga komoditas pangan penting seperti beras, jagung, kedelai dan gandum melonjak tajam. Melonjaknya harga beras dunia pada periode tersebut tidak mempengaruhi harga beras dalam negeri. Stabilisasi Harga Kedelai (SHK) Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan yang sangat strategis karena merupakan bahan baku tahu dan tempe yang merupakan sumber lauk-pauk utama sebagian besar penduduk Indonesia. Bahkan pada tahun 60-an, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa tempe, karena tingginya konsumsi masyarakat pada komoditas tempe. Kebutuhan kedelai dari tahun ke tahun semakin meningkat, namun Indonesia mengalami berbagai permasalahan seperti ketersediaan dalam negeri yang belum mencukupi, rata-rata baru mencapai sekitar 40 persen sehingga untuk memenuhi kekurangannya melalui impor. Selain itu, tata niaga kedelai yang didominasi pengusaha importir sering berdampak pada instabilitas harga kedelai di tingkat masyarakat, baik produsen dalam hal ini pengrajin tahu dan tempe, maupun konsumen atau masyarakat luas. Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
18
Ketergantungan kedelai terhadap produk impor juga berpengaruh terhadap harga di dalam negeri akibat fluktuasi harga kedelai di pasar internasional. Kondisi tersebut menyebabkan kedelai berpengaruh terhadap perubahan inflasi. Selama periode 2002-2012, harga kedelai dalam negeri baik kedelai lokal ataupun kedelai eks-impor terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dengan perubahan kenaikan sekitar 11,46 persen per tahun seperti terlihat pada Gambar 3. Lonjakan kenaikan harga kedelai yang sangat signifikan terjadi pada tahun 2008, sebesar 58,41 persen dari Rp 5.389/kg menjadi Rp 8.536/kg, yang diakibatkan kenaikan harga kedelai di pasar internasional sebesar 48,16 persen. Melihat berbagai permasalahan seperti di atas, pemerintah mengambil langkah-langkah penanganan terhadap stabilitas dan pengendalian harga kedelai agar ketersediaan dan fluktuasi harga kedelai tidak menganggu stabilitas masyarakat. Seperti tahun 2008, untuk menurunkan harga kedelai dalam negeri, pemerintah membebaskan kebijakan bea masuk kedelai impor pada tahun 2008 dan menggalakan petani untuk menanam kedelai dengan memberikan subsidi. Mengingat kedelai merupakan komoditas strategis, dan banyaknya permasalahan dalam penanganannya, sejak tahun 2002 pemerintah telah berupaya untuk menjaga stabilitas harga kedelai. Pada tahun 2003 pemerintah telah menargetkan untuk tahun 2006 tidak akan melakukan impor kedelai terutama untuk kebutuhan industri, namun harus dipenuhi dari dalam negeri agar harga jual kedelai petani tidak jatuh. Untuk melindungi produsen lokal agar harga kedelai lebih murah, pada Tahun 2005 bea masuk kedelai impor ditetapkan 10 persen, jauh lebih rendah dari usulan sekitar 30 persen. Pada Tahun 2008, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menekan gejolak harga kedelai impor, yaitu bea masuk dibebaskan, PPh impor turun dari 2,5 persen ke 0,5 persen, dan pemberian subsidi bagi bahan baku kedelai Rp 1.000/kg selama 6 bulan. Selain itu, mengingat produksi Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
19
nasional kedelai masih rendah, pemerintah menargetkan alokasi dana Rp 1 triliun bagi pengembangan kedelai nasional yang akan digunakan untuk peningkatan produksi nasional kedelai menjadi 1 juta ton, dan pemberian bibit paritas unggul pagi petani. Sampai tahun 2012, produksi kedelai dalam negeri masih belum mencukupi kebutuhan nasional, sehingga pemenuhanya dilakukan melalui impor. Namun demikian, kebijakan tersebut berdampak pada gejolak harga di tingkat masyarakat. Harga jual kedelai petani biasanya anjlok pada saat panen raya akibat harga kedelai impor yang jauh lebih murah. Sedangkan pada saat tidak panen, harga jual kedelai ke pengrajin sangat mahal sehingga berdampak pada naiknya harga tahu dan tempe yang ujungnya berdampak pada terganggunya daya beli masyarakat. Pada Tahun 2013, Pemerintah mengeluarkan kebijakan Program Stabilisasi Harga Kedelai (Program SHK) yang bertujuan untuk stabilisasi harga kedelai di tingkat petani dan di tingkat pengrajin secara bersamaan. Hal ini dilakukan mengingat sejak bulan Agustus 2012, harga kedelai dalam negeri melonjak tinggi dan sulit dikendalikan sehingga menimbulkan gejolak dimasyarakat. Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian terlibat langsung dalam penyusunan kebijakan Program SHK, dari mulai proses penyusunan peraturan, hingga mekanisme pelaksanaan kebijakan, termasuk di dalamnya dalam penentuan harga beli kedelai di tingkat petani. Kebijakan SHK ditetapkan pada tanggal 28 Mei 2013 melalui Peraturan Menteri Perdagangan No.23/2013 tentang program Stabilisasi Harga Kedelai yang merupakan implementasi dari Perpres No.32/2013 tentang Penugasan Kepada Perum Bulog untuk Pengamanan Harga dan Penyaluran Kedelai. Melalui program stabilisasi harga kedelai, pemerintah berupaya mengatur tata niaga kedelai melalui pembelian kedelai petani dengan harga tertentu sehingga petani mendapat keuntungan yang layak, dan menjual kedelai kepada pengrajin tahu/tempe dengan harga tertentu sehingga harga jual produk terjangkau masyarakat. Untuk mendukung Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
20
pelaksanaan kebijakan ini, pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan tentang Penetapan Harga Pembelian/Penjualan Kedelai Petani
melalui
Permendag No.25/2013. Di dalam Program SHK, Harga Pembelian Kedelai Petani yang selanjutnya disebut HBP Kedelai adalah harga acuan pembelian kedelai di tingkat petani yang ditetapkan sebesar Rp 7.000/kg. HBP kedelai tersebut berlaku untuk masa panen raya triwulan III periode 1 Juli sampai dengan 30 September 2013. Sementara harga penjualan kedelai di tingkat pengrajin tahu/tempe disebut HJP kedelai berlaku 1 bulan, ditetapkan sebesar Rp 7.450/kg berlaku untuk bulan Juli 2013, dan Rp.7.700/kg untuk bulan Agustus 2013, dan akan ditinjau kembali untuk bulan selanjutnya. Apabila masa berlaku telah lewat, tetapi penetapan HJP yang baru belum ditetapkan, maka HJP kedelai yang berlaku masih sama dengan harga sebelumnya. Prognosa Kebutuhan dan Ketersediaan Pangan Upaya penyediaan pangan memerlukan perencanaan yang matang dimulai
dari
perencanaan
produksi,
pengolahan,
sampai
dengan
distribusinya. Upaya tersebut memerlukan waktu dan proses yang panjang serta melibatkan banyak pihak. Penyusunan prognosa tersebut harus dilakukan secara tepat dan akurat agar perencanaan dan kebijakan yang diambil juga tepat sasaran. Prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan sudah dimulai sejak tahun 2002. Prognosa tersebut merupakan informasi tentang kondisi kebutuhan dan ketersediaan pangan yang disusun dalam format bulanan. Pada awalnya penyusunan prognosa bertujuan untuk sosialisasi dan informasi perkiraan kondisi ketersediaan dan kebutuhan pangan menjelang Hari-hari Besar Keagamaan dan Nasional (HBKN). Bagi masyarakat, informasi tersebut diharapkan dapat dijadikan acuan untuk mengantisipasi, mencari alternatif bahan pangan dan mengatur tingkat konsumsi dalam mengatasi kebutuhan pangan yang relatif meningkat pada periode menjelang HBKN. Bagi pemerintah, informasi tersebut diperlukan untuk mengambil Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
21
langkah-langkah antisipasi menjaga stabilitas pasokan bahan pangan pokok dalam menghadapi HBKN agar volumenya mencukupi dengan harga yang tidak melonjak terlalu tinggi. Dengan berjalannya waktu, penyusunan prognosa mempunyai tujuan yang lebih luas lagi yaitu prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan dijadikan acuan dalam menentukan sasaran produksi, penyediaan pasokan impor, dan perumusan langkah-langkah antisipasi pemenuhan kebutuhan selama 1 (satu) tahun. Selama tahun 2005-2010, perhitungan prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan dilakukan pada 9 komoditas strategis yang pada harihari besar keagamaan mengalami gejolak harga dan mengalami peningkatan kebutuhan konsumen, yaitu beras, kacang tanah, gula pasir, minyak goreng, cabai merah, bawang merah, daging sapi, daging ayam dan telur ayam. Pada tahun 2011, meningkat menjadi 10 komoditas dengan penambahan komoditas jagung, dan mulai tahun 2012 menjadi 12 komoditas dengan penambahan kedelai dan cabai (cabai rawit dan cabai besar). Dalam beberapa tahun terakhir ini, prognosa kebutuhan dan ketersediaan bahan pangan sudah menjadi bahan utama dalam rapat koordinasi kebijakan stabilisasi harga pangan, baik dalam rapat teknis maupun rapat terbatas di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Selain itu, prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan juga menjadi acuan dalam pemberian rekomendasi impor oleh Kementerian Pertanian yang digunakan untuk memperoleh surat penerbitan impor (SPI) oleh Kementerian Perdagangan. Penyusunan prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan pokok minimal disusun berdasarkan kebutuhan dan angka sasaran produksi (prognosa
I).
Selanjutnya
prognosa
tersebut
akan
dievaluasi
dan
disempurnakan sesuai dengan perubahan angka prognosa produksi (BPS), angka realisasi produksi (Ditjen teknis), ekspor dan impor. Beberapa tahapan penyusunan prognosa, yaitu: (a) Revisi I: Prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan yang didasarkan pada prognosa produksi BPS (MaretPuska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
22
April); (b) Revisi II: Prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan yang didasarkan pada ARAM I BPS (Juli-Agustus); dan (c) Revisi III: Prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan yang didasarkan pada ARAM II BPS (November). Pemantauan Harga Hari-Hari Besar Keagamaan dan Nasional (HBKN) Indonesia adalah negara yang sangat beragam, baik dari aspek budaya, sosial dan agama, serta pendirian bangsa yang penuh dengan latar belakang historis. Hal tersebut menyebabkan banyaknya hari-hari besar keagamaan dan nasional (HBKN) seperti Puasa, Idul Fithri, Idul Adha, Natal dan lainnya. Kultur budaya sebagian besar masyarakat Indonesia dalam menyambut dan merayakan HBKN umumnya membutuhkan bahan pangan dalam jumlah yang lebih banyak dibanding hari biasa. Kondisi ini menyebabkan
tidak
seimbangnya
permintaan
masyarakat
dengan
ketersediaan yang ada dalam periode tertentu. Hal tersebut mengakibatkan fluktuasi harga yang cukup tinggi pada hampir semua komoditas pangan. Sejak tahun 2002-2012, secara umum kondisi harga pangan nasional cenderung berfluktuasi dan naik setiap tahunnya. Fluktuasi harga disebabkan adanya kenaikan permintaan menjelang HBKN seperti Idul Fitri, Idul Adha dan Natal, serta dampak dari kenaikan harga di pasar internasional. Kebijakan pemerintah seperti kenaikan harga BBM juga berpengaruh terhadap instabilitas harga. Sebagai contoh, pada pertengah tahun 2012 terjadi kenaikan harga BBM pada saat menjelang bulan puasa. Hal ini berdampak pada peningkatan harga bahan pangan pada hampir semua komoditas, terutama cabai, bawang merah, dan daging sapi yang membuat gejolak di masyarakat. Pemerintah mengantisipasi gejolak harga pada saat dan menjelang HBKN antara lain melalui pemantauan harga di pasar-pasar, baik pasar modern maupun tradisional untuk mengetahui kondisi riil serta upaya antisipasi kenaikan harga pangan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
23
2.3 Pentingnya Pengendalian Inflasi dalam Perekonomian Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Dampak negatif inflasi tersebut adalah pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah (Bank Indonesia, 2015). Pencapaian suatu target inflasi dengan tingkat fluktuasi yang minimal merupakan kerangka dasar tujuan kebijakan ekonomi makro di berbagai negara maju dan berkembang. Inflasi yang rendah dan stabil mencerminkan stabilitas
kondisi
ekonomi
makro.
Faktor
ini
sangat
penting
bagi
terselenggaranya proses pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berbagai penelitian telah menunjukkan adanya hubungan yang negatif antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi meskipun pada suatu batasan tertentu inflasi merupakan indikasi berjalannya roda kegiatan ekonomi. Inflasi yang melebihi batas tertentu (threshold) secara signifikan menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Threshold inflasi untuk negara maju antara 1 – 3%, sedangkan untuk negara berkembang 11 – 12% (Khan & Senhadji, 2000). Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
24
Inflasi yang cenderung tinggi berkaitan erat dengan besarnya variabel biaya yang harusdikeluarkan dalam aktivitas kegiatan ekonomi, yang pada gilirannya menentukan tingkatefisiensi suatu perekonomian. Besarnya variabel biaya “ekstra” yang harus dikeluarkan olehpelaku usaha ini akan mempengaruhi keputusan bisnis pengusaha dalam melakukanekspansi dan atau berproduksi. Situasi pergerakan inflasi yang berfluktuasi secara tajam menimbulkan ketidakpastian bagi pengusaha dalam menentukan rencana bisnisnya. Kondisi ini secara agregat berdampak pada peran investasi yang lebih konservatif dalam perekonomian dan menekan laju produktivitas kegiatan usaha (Fischer, 1993). Survei yang diselenggarakan oleh Bappenas 5 menunjukkan bahwa inflasi sebagai salah satu faktor penting yang mempengaruhi investasi baru. Tingginya inflasi maupun ketidakstabilannya akan dapat menghambat perkembangan investasi baru. Tingkat inflasi suatu negara turut menentukan daya saing ekspor dalam pasar internasional.Inflasi yang lebih tinggi relatif dibandingkan dengan inflasi di negara-negara pesaing dagang menyebabkan harga komoditas ekspor menjadi tidak kompetitif. Inflasi yang tinggi juga memicu turunnya pendapatan riil sehingga menggerus daya beli masyarakat. Kenaikan inflasi yang tinggi memiliki pengaruh yang negatif pada pendapatan per kapita masyarakat (Barro, 1995). Dalam jangka panjang, efek dari kenaikan inflasi ini secara substantif menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat suatu negara. Implikasi negatif yang ditimbulkan dari ketidakstabilan dan kenaikan inflasi yang tinggi menjadi suatu konsensus bagi para pengambil kebijakan ekonomi makro dan bank sentral untuk menitikberatkan pencapaian tingkat inflasi yang rendah dan stabil sebagai tujuan utama kebijakan (Pokjanas TPID, 2014).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
25
2.4 Principal Component Analysis (PCA) PCA digunakan untuk menjelaskan struktur matriks varians- kovarians dari suatu set variabel melalui kombinasi linier dari variabel-variabel tersebut. Secara umum komponen utama dapat berguna untuk reduksi dan interpretasi variabel-variabel. Misalkan saja terdapat p buah variabel yang terdiri atas n buah objek. Misalkan pula bahwa dari p buah variabel tersebut dibuat sebanyak k buah komponen utama (dengan k ≤ p) yang merupakan kombinasi linier atas p buah variabel tersebut. k komponen utama tersebut dapat menggantikan p buah variabel yang membentuknya tanpa kehilangan banyak informasi mengenai keseluruhan variabel. Umumnya PCA merupakan analisis intermediate yang berarti hasil komponen utama dapat digunakan untuk analisis selanjutnya. Dalam bentuk matematis, katakan saja bahwa Y merupakan kombinasi
linier
dari variabel-variabel X1, X2, … , Xp yang dapat
dinyatakan sebagai Y = W1X1 + W2X2 + … + WpXp dengan
Wi adalah bobot atau koefisien untuk variabel ke-i
Xi adalah variabel ke-i
Y adalah kombinasi linier dari variabel X Secara
prinsip
pembentukan
komponen
utama
merupakan
pembentukan kombinasi linier dari variabel-variabel yang diamati. Dalam PCA ditentukan suatu metode untuk mendapatkan nilai-nilai koefisien atau bobot dari kombinasi linier variabel-variabel pembentuknya dengan ketentuan sebagai berikut: a) Ada sebanyak p komponen utama, yaitu sebanyak variabel yang diamati dan setiap komponen utama adalah kombinasi linier dari variabel-variabel tersebut Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
26
b) Setiap komponen utama saling ortogonal (tegak lurus) dan saling bebas. c) Komponen utama dibentuk berdasarkan urutan varians dari yang terbesar hingga yang terkecil, dalam arti sebagai berikut
komponen utama pertama (KU1) merupakan kombinasi linier dari seluruh variabel yang diamati dan memiliki varians terbesar.
komponen utama kedua (KU2) merupakan kombinasi linier dari seluruh variabel yang
diamati yang
bersifat ortogonal
terhadap KU 1 dan memiliki varians kedua terbesar.
komponen utama ketiga (KU3) merupakan kombinasi linier dari seluruh variabel yang diamati yang bersifat ortogonal baik terhadap KU 1
maupun KU2, dan memiliki varians ketiga
terbesar.
komponen utama ke p (KUp) merupakan kombinasi linier dari seluruh variabel yang diamati yang bersifat ortogonal terhadap KU 1, KU2, … , KU(p-1) dan memiliki varians yang terkecil.
Untuk mendapatkan koefisien komponen utama secara bersamaan dapat menggunakan salah satu cara berikut ini
dekomposisi eigen value dan eigen vector dari matriks korelasi atau kovarians dari variabel-variabel yang diamati. Dalam hal ini eigen value merupakan varians setiap komponen utamanya dan eigen vector merupakan koefisien-koefisien komponen utamanya
dekomposisi nilai singular dari matriks data yang berukuran n x p. Interpretasi dari komponen utama adalah bahwa komponen utama
tersebut merupakan suatu sistem sumbu baru dalam ruang vektor berdimensi banyak peubah yang diamati. Melalui komponen utama salib sumbu
salib-
tersebut telah diubah skalanya dan dirotasi hingga
memiliki sifat varians yang terurut semakin kecil dan ortogona. Apabila Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
27
varians dari variabel-variabel yang diamati mempengaruhi besarnya bobot atau
koefisien
menggunakan
komponen
utamanya
maka
PCA
dapat
dilakukan
matriks varians-kovarians. Secara sederhana varians
merupakan suatu informasi dari variabel yang diamati yang berarti apabila sebuah variabel memiliki pengamatan yang semua nilainya sama maka variabel tersebut tidak memiliki informasi yang dapat membedakan antar pengamatan. Komponen utama adalah himpunan variabel baru yang merupakan kombinasi linier dari variabel-variabel yang diamati. Komponen utama memiliki sifat varians yang semakin mengecil, sebagian besar variasi (keragaman atau informasi) dalam himpunan variabel yang diamati cenderung berkumpul pada beberapa komponen utama pertama, dan semakin sedikit informasi
dari
variabel
asal
yang
terkumpul
pada
komponen utama terakhir. Hal ini berarti bahwa komponen-komponen utama pada urutan terakhir dapat diabaikan tanpa kehilangan banyak informasi. Dengan cara ini PCA dapat digunakan untuk mereduksi variabelvariabel. Untuk keperluan reduksi variabel tentu harus ditentukan berapa banyak komponen utama yang mesti diambil. Ada beberapa cara untuk menentukan
berapa
banyak
komponen
utama
yang
harus diambil
diantaranya adalah: (i) menggunakan scree plot. Banyak komponen yang diambil adalah pada titik kurva tidak lagi menurun tajam atau mulai melandai; dan (ii) menggunakan proporsi kumulatif varinas terhadap total varians Telah dijelaskan bahwa antar komponen utama bersifat ortogonal yang artinya bahwa setiap komponen utama merupakan wakil dari seluruh variabel asal sehingga komponen- komponen dijadikan
utama
pengganti variabel asal apabila analisis
tersebut dapat terhadap variabel
tersebut membutuhkan ortogonalitas, Dalam analisis regresi linier berganda memerlukan suatu syarat tidak adanya multikolinieritas antara variabelvariabel bebasnya. Apabila ternyata dalam data terdapat multikolinieritas Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
28
maka komponen utama dapat digunakan sebagai pengganti variabelvariabel bebas dalam model regresi tersebut. Dalam PCA diperoleh beberapa ukuran-ukuran berikut: 1. Nilai total varians merupakan informasi dari seluruh variabel asal yang dapat dijelaskan oleh komponen-komponen utamanya. 2. Proporsi varians komponen utama ke k terhadap total varians menunjukkan besarnya persentase informasi variabel-variabel asal yang terkandung dalam komponen utama ke-k. 3. Nilai koefisien korelasi antara komponen utama dengan variabelnya. 2.5 Tinjauan Penelitian Sebelumnya Secara empiris harga komoditas pangan (volatile foods) mempunyai peranan penting dalam pengendalian inflasi. Porsi sumbangannya yang cukup signifikan terhadap inflasi dan responnya yang cepat terhadap berbagai shocks membuatnya layak untuk dijadikan sebagai leading indicators inflasi. Permintaan konsumsi komoditas pangan yang telah menjadi kebutuhan pokok cenderung stabil sehingga gejolak harganya lebih dipengaruhi oleh shock di sisi penawaran seperti siklus panen, bencana, dan distribusi. Secara lebih spesifik, paper ini mencoba menelaah peran distribusi dalam pembentukan harga komoditas. Faktor distribusi yang diamati meliputi rantai distribusi,marjin keuntungan, biaya dan gangguan distribusi. Dalam kajian ini, analisis pengaruh distribusi terhadap harga dilakukan dengan membangun model pembentukan harga di tingkat konsumen dalam jangka pendek di mana harga di tingkat konsumen ditentukan oleh harga di tingkat petani/produsen
ditambah
biaya
pemasaran/distribusi
komoditas dari
petani/produsen sampai ke tingkat pedagang pengecer. Model pembentukan harga komoditas diformulasikan sebagai berikut:
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
29
Pt = 𝑓 (Pt-1,Pit,Pmt,Pst,Qt,XtDt,Zt) Dimana: Pt
: harga komoditas di tingkat konsumen (eceran)
Pit
: harga bahan baku/harga input
Pmt
: harga impor atau harga komoditas di pasar internasional
Pst
: harga komoditas subtitusi
Qt
: volume/jumlah produksi
Xt
: faktor-faktor dari sisi permintaan
Dt
: variabel yang menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi
distribusi Zt
: kebijakan pemerintah yang mempengaruhi pembentukan harga
komoditas Estimasi persamaan dalam model tersebut dilakukan dengan menggunakan data time series bulanan dengan periodisasi yang bervariasi untuk tiap komoditas sesuai dengan ketersediaan data. Untuk kepentingan estimasi, pada umumnya data ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma natural (ln). Hasil analisis menunjukkan bahwa Peningkatan harga BBM yang mendorong peningkatan biaya transportasi tidak signifkan terhadap harga komoditas produk industri seperti minyak goreng dan gula pasir. Namun signifkan terhadap komoditas non-industri dengan peningkatan biaya aktual sekitar 1%, namun peningkatan harga yang terjadi dapat mencapai 5%. Dengan demikian dampak peningkatan BBM terhadap harga komoditas dan inflasi secara keseluruhan lebih besar dari faktor distribusi lainnya.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
30
3. BAB III METODOLOGI
3.1 Kerangka Pemikiran Analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan dirumuskan dengan kerangka pemikiran sebagai berikut: (Gambar 3.1)
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Kerangka diatas menjelaskan bahwa transmisi dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan dapat berlangsung melalui kenaikan harga kebutuhan pokok. Kenaikan harga kebutuhan pokok ini kemudian dapat mendorong pergerakan inflasi. Selanjutnya, inflasi ini dapat menggeser garis kemiskinan naik, sehingga jika diasumsikan tidak terdapat kenaikan pendapatan atau tingkat pengeluaran penduduk (terutama yang miskin dan hampir miskin), maka dapat dipastikan tingkat kemiskinan juga akan bergerak naik. Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
31
3.2 Data dan Sumber Data Data utama yang digunakan untuk analisis ini adalah harga bahan kebutuhan pokok meliputi beras, jagung, terigu, kedelai, ayam, sapi, telur, gula, bawang, dan minyak goreng. Data tersebut adalah data time series periode bulanan mulai tahun 2011-2014. Karena umumnya data harga komoditas tersebut adalah data nominal, maka sebelum digunakan dalam proses pemodelan lebih lanjut, data tersebut akan di-riil-kan terlebih dahulu dengan menggunakan indeks harga konsumen (IHK) tahun dasar 2007. Selain menggunakan data harga, perhitungan analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan ini juga menggunakan beberapa data pendukung lainnya seperti harga komoditas energi (bensin, solar, elpiji, dan listrik), Indeks Harga Konsumen (IHK), jumlah/persentase penduduk miskin, garis kemiskinan, Data-data di atas utamanya bersumber dari beberapa instansi resmi seperti Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Perdagangan. 3.3 Metode Analisis 3.3.1
Struktur model dampak kebijakan pemerintah terhadap harga kebutuhan pokok dan Inflasi
Kebijakan pemerintah dalam hal ini direpresentasikan oleh kebijakan yang mempengaruhi dinamika harga energi, yaitu bensin, solar, dan elpiji. Sementara itu, barang-barang kebutuhan pokok direpresentasikan oleh beberapa komoditi, yaitu beras, jagung, terigu, kedelai, daging sapi, daging ayam, telur ayam, bawang merah, minyak goreng dan gula. Secara umum proses pemodelan adalah sebagai berikut: Pemodelan untuk mengukur dampak kebijakan pemerintah terhadap harga kebutuhan pokok. Di sini konteks kebijakan pemerintah yang dikaji adalah kebijakan yang berkait dengan harga energi (BBM (bensin dan solar), elpiji, dan listrik). Dengan demikian, pada tahap ini model akan mengukur dampak dari kebijakan fluktuasi harga energi ini terhadap dinamika sepuluh harga kebutuhan pokok. Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
32
Pada tahap ini, akan dibangun suatu model yang merepresentaiskan hubungan antara harga energi, harga komoditas pokok, dan inflasi. Hubungan tersebut dinyatakan dalam suatu model regresi linier berganda. Namun demikian, karena model regresi melibatkan jumlah indikator yang cukup besar, maka untuk menghindari gejala multikolinieritas dalam model, variabel-variabel komoditas akan dikelompokkan dalam suatu indeks harga dengan menggunakan pendekatan principal component analysis (PCA). PCA digunakan untuk menjelaskan struktur matriks varians-kovarians dari suatu set variabel melalui kombinasi linier dari variabel-variabel tersebut. Secara umum komponen utama dapat berguna untuk reduksi dan interpretasi variabel-variabel. Dalam hal ini, komponen utama adalah himpunan variabel baru yang merupakan kombinasi linier dari variabel-variabel yang diamati. Pengelompokkan variabel berdasarkan PCA disajikan sebagai berikut: PE W1BENSIN W2 SOLAR W3 ELPIJI W4 LISTRIK
………………......
PK1 W11BERAS W12 JAGUNG W13TERIGU W14 KEDELAI PK 2 W21 AYAM W22 SAPI W23TELUR
(1)
……………
(2)
………………………………......
(3)
PK 3 W31GULA W32 MIGOR W33 BAWANG
………………………………
(4)
Keterangan: Wi adalah bobot atau koefisien untuk variabel ke-i P
adalah harga yang mencerminkan dari kombinasi linier dari variabel
harga yang bersangkutan. Selanjutnya, berdasarkan variabel yang telah direduksi di atas, dapat dirumuskan model yang mencerminkan hubungan
antara harga energi,
harga komoditas, dan inflasi. Model tersebut dispesifikasikan sebagai berikut: PK1t 10 11PEt 12 PK 2t 13 PK 3t 1t PK 2t 20 21PEt 22 PK1t 23 PK 3t 2t
……………………………….....
(5)
………………………………....
(6)
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
33
PK 3t 30 31PEt 32 PK1t 33 PK 2t 3t
……………………………….....
IHK 40 41PK1t 42 PK 2t 43 PK 3t 4t
………………………………..
(7) (8)
Keterangan: PK 1t , PK 2t , PK 3t : menyatakan komponen harga kelompok komoditas.
βij : menyatakan parameter regresi ε: menyatakan error term
3.3.2
Struktur
model
dampak
kebijakan
pemerintah
terhadap
kemiskinan Analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan dilakukan dengan menggeser garis kemiskinan sebesar pergeseran IHK yang diperoleh dari model IHK (persamaan 8). Dari pergeseran garis kemiskinan tersebut, selanjutnya dilakukan perhitungan pergerakan angka tingkat kemiskinannya. Untuk
dapat
menghitung
pergerakan
tingkat
kemiskinan
tersebut
menggunakan data dasar (baseline) berupa tabel distribusi penduduk menurut kelompok pengeluarannya. Pada kajian ini, kita menggunakan tabel distribusi penduduk menurut kelompok pengeluaran sebagaimana yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik. Dengan pendekatan diatas, angka kemiskinan pada tingkat baseline diestimasi kembali. Estimasi tersebut akan menyimpang dari angka kemiskinan yang resmi. Penyimpangan tersebut bersumber dari perbedaan basis data yang digunakan dalam menghitung angka kemiskinan itu. Dalam angka kemiskinan yang resmi, perhitungan dilakukan dengan menggunakan basis data di tingkat rumahtangga, sedangkan dalam kajian ini, angka kemiskinan diperkirakan atau diestimasi dari data tabel frekuensi. Disini, jelas ada perbedaan dari sisi keakuratannya, Namun, hal itu tidak terlalu masalah karena yang akan kita analisis atau perhitungkan adalah pergerakan angka kemiskinan sebagai akibat adanya pergeseran pada garis kemiskinan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
34
Sementara itu, sebagaimana telah diulas di atas, pergeseran garis kemiskinan tersebut mengikuti besaran pergeseran (growth) dari IHK yang dihasilkan melalui model. Pendekatan
analisis
dampak
terhadap
kemiskinan
tersebut
diilustrasikan pada Gambar 3.2 berikut ini: Distribusi penduduk menurut kelompok pengeluaran (%) 35.00 30.00
GK2
%pov2
25.00 20.00 15.00
GK1
10.00
%pov1
5.00
>= 150000000
1000000 - 1499999
750000 -999999
500000 - 749999
300000-499999
200000 - 299999
< 150000
150000 - 199999
0.00
Gambar 3.2 Ilustrasi Perubahan tingkat kemiskinan 3.3.3
Struktur simulasi dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan Dengan
menggunakan
model-model
diatas,
maka
dapat
dikembangkan simulasi dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan. Simulasi ini mengikuti tahapan sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 3.3 berikut.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
35
Kebijakan
Perubahan Harga Energi Perubahan pada Indeks PE
Perubahan Harga Bahan Makanan Perubahan pada Indeks PK1, PK2, dan PK3
Perubahan pada IHK
Perubahan pada Garis Kemiskinan
Perubahan pada tingkat pengeluaran (asumsi)
Perubahan pada tingkat kemiskinan
Gambar 3.3 Tahapan dalam simulasi dampak kebijakan terhadap inflasi dan kemiskinan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
36
4. BAB IV ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INFLASI DAN KEMISKINAN 4.1 Formulasi Indeks Harga dengan PCA Sebagaimana telah dibahas pada bagian metode, variabel-variabel komoditas
akan
dikelompokkan
dalam suatu
indeks harga
dengan
menggunakan pendekatan principal component analysis (PCA).
PCA
digunakan untuk menjelaskan struktur matriks varians-kovarians dari suatu set variabel melalui kombinasi linier dari variabel-variabel tersebut. Secara umum komponen utama dapat berguna untuk reduksi dan interpretasi variabel-variabel. Dalam hal ini, komponen utama adalah himpunan variabel baru yang merupakan kombinasi linier dari variabel-variabel yang diamati. Pengelompokkan variabel berdasarkan PCA disajikan sebagai berikut: PE W1BENSIN W2 SOLAR W3 ELPIJI W4 LISTRIK
…………………..
PK1 W11BERAS W12 JAGUNG W13TERIGU W14 KEDELAI PK 2 W21 AYAM W22 SAPI W23TELUR
(1)
…………...
(2)
………………………………….
(3)
PK 3 W31GULA W32 MIGOR W33 BAWANG
……………………………..
(4)
Keterangan: Wi adalah bobot atau koefisien untuk variabel ke-i P
adalah harga yang mencerminkan dari kombinasi linier dari
variabel harga yang bersangkutan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
37
Hasil perhitungan indeks harga dengan menggunakan PCA ini disajikan pada Tabel 4.1 - Tabel 4.4 berikut :
Tabel 4.1 Perhitungan Indeks Harga Kelompok Makanan I PCA: Bahan Komoditas I (Beras, Jagung, Kedelai, Terigu) Principal components/correlation 48
Number of obs
=
Number of comp.
=
Trace
=
Rho
=
4 4 Rotation: (unrotated = principal) 1.0000
------------------------------------------------------------------------Component | Eigenvalue Difference Proportion Cumulative -------------+----------------------------------------------------------Comp1 | 2.14626 1.14039 0.5366 0.5366 Comp2 | 1.00587 .460662 0.2515 0.7880 Comp3 | .545209 .242548 0.1363 0.9243 Comp4 | .302661 . 0.0757 1.0000 ------------------------------------------------------------------------Principal components (eigenvectors) -------------------------------------------------------------------Variable | Comp1 Comp2 Comp3 Comp4 | Unexplained -------------+----------------------------------------+------------beras | 0.2096 0.9140 0.3450 -0.0406 | 0 jagung | 0.6114 -0.1084 0.0080 0.7839 | 0 kedelai | 0.5272 -0.3700 0.6047 -0.4685 | 0 terigu | -0.5517 -0.1264 0.7178 0.4055 | 0 -------------------------------------------------------------------Yg digunakan dalam model --> Comp3
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
38
Tabel 4.2 Perhitungan Indeks Harga Kelompok Makanan II
PCA: Bahan Komoditas II (Beras, Jagung, Kedelai, Terigu) Principal components/correlation 48
Number of obs
=
Number of comp.
=
Trace
=
Rho
=
3 3 Rotation: (unrotated = principal) 1.0000
------------------------------------------------------------------------Component | Eigenvalue Difference Proportion Cumulative -------------+----------------------------------------------------------Comp1 | 1.80417 .903436 0.6014 0.6014 Comp2 | .900734 .605638 0.3002 0.9016 Comp3 | .295096 . 0.0984 1.0000 ------------------------------------------------------------------------Principal components (eigenvectors) ---------------------------------------------------------Variable | Comp1 Comp2 Comp3 | Unexplained -------------+------------------------------+------------sapi | 0.3416 0.9344 0.1011 | 0 ayam | 0.6750 -0.1691 -0.7182 | 0 telur | 0.6539 -0.3136 0.6885 | 0 ---------------------------------------------------------Yg digunakan dalam model --> Comp1
Tabel 4.3 Perhitungan Indeks Harga Kelompok Makanan III PCA: Bahan Komoditas III (Minyak Goreng, Bawang, Gula) Principal components/correlation 48
Number of obs
=
Number of comp.
=
Trace
=
Rho
=
3 3 Rotation: (unrotated = principal) 1.0000
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
39
------------------------------------------------------------------------Component | Eigenvalue Difference Proportion Cumulative -------------+----------------------------------------------------------Comp1 | 1.98619 1.30416 0.6621 0.6621 Comp2 | .682026 .350239 0.2273 0.8894 Comp3 | .331787 . 0.1106 1.0000 ------------------------------------------------------------------------Principal components (eigenvectors)
---------------------------------------------------------Variable | Comp1 Comp2 Comp3 | Unexplained -------------+------------------------------+------------migor | 0.6349 -0.0634 -0.7700 | 0 bawang | 0.5306 0.7602 0.3748 | 0 bensin | 0.5616 -0.6466 0.5163 | 0 ---------------------------------------------------------Yg digunakan dalam model --> rata-rata Comp 1-4
Tabel 4.4 Perhitungan Indeks Harga Kelompok Energi PCA: Bahan ENERGI (Bensin, Solar, Elpiji, Listrik) Principal components/correlation 48
Number of obs
=
Number of comp.
=
Trace
=
Rho
=
4 4 Rotation: (unrotated = principal) 1.0000
------------------------------------------------------------------------Component | Eigenvalue Difference Proportion Cumulative -------------+----------------------------------------------------------Comp1 Comp2 Comp3 Comp4
| | | |
2.67577 .929992 .353142 .0410968
1.74578 .57685 .312045 .
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
0.6689 0.2325 0.0883 0.0103
0.6689 0.9014 0.9897 1.0000
40
------------------------------------------------------------------------Principal components (eigenvectors) -------------------------------------------------------------------Variable | Comp1 Comp2 Comp3 Comp4 | Unexplained -------------+----------------------------------------+------------bensin | 0.5932 -0.1751 0.1192 0.7767 | 0 solar | 0.5574 0.0913 0.6524 -0.5053 | 0 elpiji | 0.2780 0.9006 -0.3314 0.0415 | 0 listrik | -0.5100 0.3871 0.6711 0.3738 | 0 -------------------------------------------------------------------Yg digunakan dalam model --> Comp 1
4.2 Analisis Dampak kebijakan Pemerintah terhadap harga kebutuhan pokok dan Inflasi Dalam analisis ini, kita melakukan perhitungan untuk menduga atau mengestimasi parameter model dengan struktur yang telah dirumuskan pada bagian metode.
I.
Persamaan Indeks Harga Kelompok Makanan I ( Beras, Jagung, Terigu, dan Kedelai). Hasil pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga Kelompok
Makanan I (PK1) disajikan pada Tabel 4.5.
Hasil pendugaan parameter
memberikan nilai koefisien determinasi (R 2) sebesar 18,65 persen. Variabel endogen (PK1) di dalam persamaan dipengaruhi secara nyata oleh variabelvariabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata 5 persen. Hal ini diperlihatkan oleh nilai statistik-F sebesar 3,34.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
41
Tabel 4.5 Pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga Kelompok Makanan I Persamaan: PK 1t 10 11PEt 12 PK 2t 13 PK 3t 1t Dependent Variable: PK1 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
13.33001
0.725086
18.38405
0.0000
PE
0.057050
0.022978
2.482800
0.0169
PK2
0.092367
0.044461
2.077475
0.0436
PK3
-0.040538
0.028175 -1.438811
0.1573
R-squared
0.185478
Mean dependent var
15.11407
Adjusted R-squared
0.129942
S.D. dependent var
0.022022
S.E. of regression
0.020541
Akaike info criterion
-4.853094
Sum squared resid
0.018566
Schwarz criterion
-4.697161
Log likelihood
120.4743
Hannan-Quinn criter.
-4.794167
F-statistic
3.339798
Durbin-Watson stat
Prob(F-statistic)
0.027654
0.831381
Secara individual, variabel penjelas yang memeberikan pengaruh nyata terhadap variabel PK1 adalah Indeks Harga Kelompok Energi (PE), dan Indeks Harga Kelompok Makanan II (PK2). Koefisien estimasi PE sebesar 0,057 yang signifikan pada taraf nyata 5 persen menjelaskan bahwa kenaikan PE sebesar 1 persen, diduga menyebabkan kenaikan PK1 sebesar 0,057 persen, ceteris paribus. Begitu juga koefisien estimasi PK2 sebesar 0,092 yang signifikan pada taraf nyata 5 persen menjelaskan bahwa kenaikan PK2 sebesar 1 persen, diduga menyebabkan kenaikan P K1 sebesar 0,092 persen, ceteris paribus. Sementara itu, hasil estimasi memperlihatkan bahwa Indeks Harga Kelompok Makanan III (PK3) ditemui tidak berpengaruh signifikan terhadap PK1. Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
42
II. Persamaan Indeks Harga Kelompok Makanan II ( Daging Ayam, Daging Sapi, dan Telur). Hasil pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga Kelompok Makanan II (PK2) disajikan pada Tabel 4.6.
Hasil pendugaan parameter
memberikan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 22,62 persen. Variabel endogen (PK2) di dalam persamaan dipengaruhi secara nyata oleh variabelvariabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata 1 persen. Hal ini diperlihatkan oleh nilai statistik-F sebesar 4,29.
Tabel 4.6 Pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga Kelompok Makanan II Persamaan: PK 2t 20 21PEt 22 PK1t 23 PK 3t 2t Dependent Variable: PK2 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
0.986404
6.911190
0.142726
0.8872
PE
-0.078967
0.078491 -1.006064
0.3199
PK1
0.967085
0.465510
2.077475
0.0436
PK3
0.256594
0.084887
3.022757
0.0042
R-squared
0.226278
Mean dependent var
17.10995
Adjusted R-squared
0.173524
S.D. dependent var
0.073112
S.E. of regression
0.066467
Akaike info criterion
-2.504578
Sum squared resid
0.194384
Schwarz criterion
-2.348645
Log likelihood
64.10987
Hannan-Quinn criter.
-2.445651
F-statistic
4.289315
Durbin-Watson stat
Prob(F-statistic)
0.009694
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
0.868879
43
Secara individual, variabel penjelas yang memeberikan pengaruh nyata terhadap variabel PK2 adalah Indeks Harga Kelompok Makanan I (PK1) dan Indeks Harga Kelompok Makanan III (PK3). Koefisien estimasi PK1 sebesar 0,967 yang signifikan pada taraf nyata 5 persen menjelaskan bahwa kenaikan PK1 sebesar 1 persen, diduga menyebabkan kenaikan P K2 sebesar 0,967 persen, ceteris paribus. Begitu juga koefisien estimasi PK3 sebesar 0,256 yang signifikan pada taraf nyata 1 persen menjelaskan bahwa kenaikan PK3 sebesar 1 persen, diduga menyebabkan kenaikan P K2 sebesar 0,256 persen, ceteris paribus. Sementara itu, hasil estimasi memperlihatkan bahwa Indeks Harga Kelompok Energi (PE) ditemui tidak berpengaruh signifikan terhadap PK2. III. Persamaan Indeks Harga Kelompok Makanan III (Bawang, Gula, dan Minyak Goreng). Hasil pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga Kelompok Makanan III (PK3) disajikan pada Tabel 4.7 Hasil pendugaan parameter memberikan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 29,31 persen. Variabel endogen (PK3) di dalam persamaan dipengaruhi secara nyata oleh variabelvariabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata 1 persen. Hal ini diperlihatkan oleh nilai statistik-F sebesar 6,081.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
44
Tabel 4.7 Pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga Kelompok Makanan III Persamaan: PK 3t 30 31PEt 32 PK1t 33 PK 2t 3t Dependent Variable: PK3 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
10.78893
11.05248
0.976155
0.3343
PE
0.345248
0.117265
2.944166
0.0052
PK1
-1.108476
0.770411
-1.438811
0.1573
PK2
0.670136
0.221697
3.022757
0.0042
R-squared
0.293122
Mean dependent var
8.922797
Adjusted R-squared
0.244926
S.D. dependent var
0.123614
S.E. of regression
0.107414
Akaike info criterion
-1.544590
Sum squared resid
0.507665
Schwarz criterion
-1.388657
Log likelihood
41.07016
Hannan-Quinn criter.
-1.485663
F-statistic
6.081849
Durbin-Watson stat
Prob(F-statistic)
0.001484
0.412716
Secara individual, variabel penjelas yang memeberikan pengaruh nyata terhadap variabel PK3 adalah Indeks Harga Kelompok Energi (PE), dan Indeks Harga Kelompok Makanan II (PK2). Koefisien estimasi PE sebesar 0,345 yang signifikan pada taraf nyata 1 persen menjelaskan bahwa kenaikan indeks harga kelompok energi sebesar 1 persen, diduga menyebabkan kenaikan indeks harga kelompok makanan III sebesar 0,345 persen, ceteris paribus. Begitu juga koefisien estimasi PK2 sebesar 0,67 yang signifikan pada taraf nyata 5 persen menjelaskan bahwa kenaikan P K2 sebesar 1 persen, diduga menyebabkan kenaikan PK3 sebesar 0,67 persen, ceteris paribus. Sementara itu, hasil estimasi memperlihatkan bahwa Indeks Harga Kelompok Makanan I (PK1) ditemui tidak berpengaruh signifikan terhadap PK3. Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
45
IV. Persamaan Indeks Harga Konsumen (Inflasi) Hasil
pendugaan
parameter
untuk
persamaan
Indeks
Harga
Konsumen (IHK) disajikan pada Tabel 4.8. Hasil pendugaan parameter memberikan nilai koefisien determinasi (R 2) sebesar 43,69 persen. Variabel endogen (IHK) di dalam persamaan dipengaruhi secara nyata oleh variabelvariabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata 1 persen. Hal ini diperlihatkan oleh nilai statistik-F sebesar 11,379. Tabel 4.8 Pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga Konsumen Persamaan:
IHK 40 41PK1t 42 PK 2t 43 PK 3t 4t Dependent Variable: IHK Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
-16.37344
5.372667
-3.047545
0.0039
PK1
1.273335
0.367005
3.469532
0.0012
PK2
-0.053765
0.119738
-0.449020
0.6556
PK3
0.301019
0.068496
4.394723
0.0001
R-squared
0.436890
Mean dependent var
4.637849
Adjusted R-squared
0.398496
S.D. dependent var
0.068846
S.E. of regression
0.053395
Akaike info criterion
-2.942552
Sum squared resid
0.125444
Schwarz criterion
-2.786619
Log likelihood
74.62125
Hannan-Quinn criter.
-2.883625
F-statistic
11.37915
Durbin-Watson stat
Prob(F-statistic)
0.000012
0.280900
Secara individual, variabel penjelas yang memberikan pengaruh nyata terhadap variabel IHK adalah Indeks Harga Kelompok Makanan I (PK1) dan Indeks Harga Kelompok Makanan III (PK3). Koefisien estimasi PK1 sebesar Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
46
1,27 yang signifikan pada taraf nyata 5 persen menjelaskan bahwa kenaikan PK1 sebesar 1 persen, diduga menyebabkan kenaikan PK2 sebesar 1,27 persen, ceteris paribus. Begitu juga koefisien estimasi PK3 sebesar 0,301 yang signifikan pada taraf nyata 1 persen menjelaskan bahwa kenaikan P K3 sebesar 1 persen, diduga menyebabkan kenaikan IHK sebesar 0,301 persen, ceteris paribus. Sementara itu, hasil estimasi memperlihatkan bahwa Indeks Harga Kelompok Makanan II (PK2) ditemui tidak berpengaruh signifikan terhadap IHK. 4.3 Model Dampak kebijakan Pemerintah terhadap kemiskinan Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, model dampak kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan ini menggunakan hasil perhitungan perubahan IHK yang merupakan output dari model sebelumnya. Perubahan IHK ini kemudian menjadi input bagi pergeseran Garis Kemiskinan dan asumsi pergeseran tingkat konsumsi atau pengeluaran umum penduduk. Dari dua hal ini, kita dapat memperkirakan perubahan angka atau tingkat kemiskinan. Sebagai baseline, kita menggunakan data distribusi penduduk menurut kelompok pengeluaran yang dirilis oleh BPS pada Maret 2013 sebagai berikut: (Gambar 4.1)
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
47
Distribusi penduduk menurut kelompok pengeluaran (%) (Maret 2013) % 35.00
GK = Rp. 271.626
30.00 25.00
20.00
Pov = 11,37 % (official)
15.00 10.00
5.00
Rp/kapita/bulan
>= 150000000
1000000 - 1499999
750000 -999999
500000 - 749999
300000-499999
200000 - 299999
< 150000
150000 - 199999
0.00
Gambar 4.1 Distribusi penduduk dan tingkat kemiskinan (Maret 2013) Untuk mengembangkan simulasi menggunakan pendekatan distribusi penduduk menurut pengeluaran tersebut, diperlukan perhitungan proyeksi tingkat
kemiskinan
sebagai
data
dasar.
Hasil
perhitungan
untuk
memproyeksikan tingkat kemiskinan menggunakan data distribusi diatas (dengan
tingkat
garis
kemiskinan
Rp.
271.626),
diperoleh
tingkat
kemiskinannya sebesar 15,3 persen. Angka ini memang berbeda dengan data tingkat kemiskinan yang resmi (official) dikarenakan perbedaan besar dalam melakukan perhitungan angka kemiskinannya. Walaupun demikian, dalam simulasi ini, yang akan kita analisis adalah perubahan tingkat kemiskinan akibat terjadinya pergeseran pada garis kemiskinannya maupun pergeseran pada tingkat pengeluaran penduduk secara umum. Dengan demikian, angka tersebut dapat kita gunakan dalam simulasi.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
48
4.4 Simulasi Dampak kebijakan Pemerintah terhadap Inflasi dan Kemiskinan Dengan
menggunakan
model-model
diatas,
dilakukan
simulasi
perhitungan dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan. Dalam hal ini kita menggunakan dua kelompok skenario, yaitu (1) kelompok skenario dimana kenaikan hanya terjadi pada sebagian komoditi energi ( Tabel 4.9), (2) kelompok skenario dimana kenaikan terjadi di semua komoditi energi dengan besaran yang berbeda (Tabel 4.10), dan (3) kelompok skenario dimana kenaikan terjadi di semua komoditi energi dengan besaran yang sama (Tabel 4.11).
Tabel 4.9 Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Perubahan Harga terhadap Inflasi dan Kemiskinan (Kelompok-1)
Bensin Solar TDL Elpiji Growth (%) PE PK1 PK2 PK3 IHK POV LINE Pov Line Base Pov Line New % Poverty Base % Poverty New Delta % Pov
skenario-1 50 50 0 0
skenario-2 25 25 0 0
26.91 1.31 1.39 8.77 4.23 4.23 271,626 283,119 15.30 17.23 1.94
13.45 0.65 0.70 4.39 2.12 2.12 271,626 277,373 15.30 16.27 0.97
% Perubahan Harga Energi skenario-3 skenario-4 10 0 10 0 0 50 0 50 5.38 0.26 0.28 1.75 0.85 0.85 271,626 273,925 15.30 15.68 0.39
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
23.09 1.12 1.19 7.53 3.63 3.63 271,626 281,490 15.30 16.96 1.66
skenario-5 0 0 25 25
skenario-6 0 0 10 10
11.55 0.56 0.60 3.76 1.82 1.82 271,626 276,558 15.30 16.13 0.83
4.62 0.22 0.24 1.51 0.73 0.73 271,626 273,599 15.30 15.63 0.33
49
Pada Tabel 4.9 diatas, kita dapat melihat bahwa dampak inflasi akibat kenaikan harga pada kelompok komoditi bensin dan solar lebih besar dari pada akibat kenaikan harga pada kelompok TDL dan elpiji. Gambaran seperti ini juga terefleksikan pada skenario-skenario di kedua kelompok yang lain. Tabel 4.10 Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Perubahan Harga terhadap Inflasi dan Kemiskinan (Kelompok-2)
Bensin Solar TDL Elpiji Growth (%) PE PK1 PK2 PK3 IHK POV LINE Pov Line Base Pov Line New % Poverty Base % Poverty New Delta % Pov
skenario-1 50 50 5 5
skenario-2 50 50 10 10
29.22 1.42 1.51 9.52 4.59 4.59 271,626 284,105 15.30 17.40 2.10
31.53 1.53 1.63 10.28 4.96 4.96 271,626 285,092 15.30 17.57 2.27
% Perubahan Harga Energi skenario-3 skenario-4 50 5 50 5 25 50 25 50 38.45 1.87 1.99 12.54 6.05 6.05 271,626 288,051 15.30 18.07 2.77
25.78 1.25 1.33 8.41 4.05 4.05 271,626 282,639 15.30 17.15 1.86
skenario-5 10 10 50 50
skenario-6 25 25 50 50
28.47 1.38 1.47 9.28 4.48 4.48 271,626 283,788 15.30 17.35 2.05
36.55 1.78 1.89 11.91 5.75 5.75 271,626 287,236 15.30 17.93 2.63
Tabel 4.11 Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Perubahan Harga terhadap Inflasi dan Kemiskinan (Kelompok-3)
Bensin Solar TDL Elpiji Growth (%) PE PK1 PK2
skenario-1 5 5 5 5
skenario-2 10 10 10 10
5.00 0.24 0.26
10.00 0.49 0.52
% Perubahan Harga Energi skenario-3 skenario-4 25 30 25 30 25 30 25 30 25.00 1.22 1.29
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
30.00 1.46 1.55
skenario-5 40 40 40 40
skenario-6 50 50 50 50
40.00 1.94 2.07
50.00 2.43 2.58 50
PK3 IHK POV LINE Pov Line Base Pov Line New % Poverty Base % Poverty New Delta % Pov
1.63 0.79 0.79 271,626 273,762 15.30 15.66 0.36
3.26 1.57 1.57 271,626 275,897 15.30 16.02 0.72
8.15 3.93 3.93 271,626 282,304 15.30 17.10 1.80
9.78 4.72 4.72 271,626 284,440 15.30 17.46 2.16
13.04 6.29 6.29 271,626 288,711 15.30 18.18 2.88
16.30 7.86 7.86 271,626 292,983 15.30 18.90 3.60
Dalam hal dampak terhadap kemiskinan, keseluruhan ketiga kelompok skenario diatas mengasumsikan bahwa tidak ada peningkatan pada level konsumsi (income) masyarakat. Perubahan level konsumsi atau income masyarakat itu sangat penting dalam “mengkompensasi” pergeseran atau peningkatan garis kemiskinan akibat inflasi. Tabel-tabel diatas memberikan gambaran bagi pengambil kebijakan untuk melakukan pemilihan skenario atau kombinasi kenaikan harga komoditas energi. Salah satu pertimbangan penting lain yang dapat dijadikan dasar
untuk
pemilihan
skenario
yang
diambil
selain
pertimbangan
dampaknya pada inflasi dan kemiskinan adalah besarnya nilai subsidi yang dapat dihemat akibat kenaikan harga tersebut. Selain itu, dapat juga diambil pertimbangan skenario mana yang lebih memberikan landasan bagi pengelolaan energi ke depan. Jika melihat skenario-skenario diatas, atas beberapa pertimbangan tersebut, dapat saja pengambil kebijakan mengambil skenario yang memberikan dampak cukup besar pada inflasi dan kemiskinan. Dalam kasus ini, maka kebijakan tersebut perlu didampingi dengan kebijakan lain untuk mengkompensasi dampaknya terhadap kemiskinan. Kebijakan lain tersebut dapat berupa kebijakan yang diarahkan untuk meningkatkan konsumsi (daya beli) kelompok masyarakat yang diperkirakan akan terdampak kebijakan ini. Selain itu, kebijakan pendamping ini juga dapat diarahkan untuk meringankan beban masyarakat dalam mengakses atau membeli komoditi-komoditi pokok.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
51
5. BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bagian pembahasan sebelumnya, hasil analisis ini dapt disimpulkan sebagai berikut: a. Kebijakan pemerintah, khususnya yang sangat terkait atau berakibat pada peningkatan harga energi, dapat memberikan dampak pada inflasi dan kemiskinan. Model-model beserta simulasi yang dikembangkan dalam kajian ini, telah dapat menunjukkan bagaimana kebijakan tersebut berdampak pada inflasi dan kemiskinan. b. Hasil
simulasi
menunjukkan
bahwa
skenario-skenario
kebijakan
pemerintah yang menghasilkan kombinasi kenaikan harga komoditaskomoditas energi dapat dikembangkan untuk menghasilkan dampak yang minimal, utamanya terhadap kemiskinan. Selain itu, patut dikembangkan juga
skenario
mengkompensasi
peningkatan pergerakan
tingkat
konsumsi
garis
kemiskinan
masyarakat yang
untuk
melahirkan
pergerakan atau peningkatan tingkat kemiskinan. c. model-model ini, skenario-skenario berikutnya dapat terus dikembangkan yang berbasis pada dua instrumen diatas. 5.2 Rekomendasi Kebijakan Pengembangan kebijakan untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga energi (dan pangan) terhadap inflasi dan (terutama) kemiskinan ini sangat penting karena seringkali pengambilan kebijakan yang berakibat pada kenaikan harga tersebut sulit dihindari. Pendekatan terbaik selanjutnya adalah pada proses mitigasi atau meminimalkan dampaknya. Untuk ini skenario mitigasi yang berbasis pada dua instrumen (kombinasi kenaikan harga yang tepat, serta kompensasi pada masyarakat
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
52
untuk memastikan adanya peningkatan tingkat konsumsi) dapat penting untuk dikembangkan. Dalam kaitannya dengan tupoksi kementerian perdagangan, berbagai instrumen
perdagangan
dapat
dikembangkan
untuk
menghasilkan
peningkatan tingkat konsumsi masyarakat secara riil. Salah satu yang dapat dilakukan untuk ini adalah kegiatan operasi pasar untuk meningkatkan akses masyarakat miskin dan hampir miskin pada barang-barang kebutuhan pokok dengan harga yang lebih murah. Kegiatan ini, walaupun secara nominal tidak meningkatkan income masyarakat, namun secara riil daya beli atau konsumsinya terangkat (dengan akses harga yang murah tersebut). Sehingga, walaupun garis kemiskinan secara nominal meningkat, akses terhadap barang-barang kebutuhan pokok (khususnya bahan makanan) tetap terjaga.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
53
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia. (2015). Retrieved Juli 7, 2015, from Bank Indonesia: http://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/pengenalan/Contents/Pentingny a.aspx Barro, R. J. (1995). Inflation and Economic Growth. Working Paper National Bureau of Economic Research . Fischer, S. (1993). The Role of Macraeconomics Factor in Growth. Working Paper National Bureau of Economics Research . Furlong, F., & Ingenito, R. (1996). Commodity Price and Inflation. FRBSF Economic Review , 27-47. Khan, M. S., & Senhadji, A. S. (2000). Threshold Effect in Relationship Between Inflation and Growth. IMF Working Paper . Pokjanas TPID. (2014). Buku Petunjuk TPID. Prastowo, N. J., Yanuarti, T., & Depari, Y. (2008). Pengaruh Distribusi dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya terhadap Inflasi. Bank Indonesia.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
54
LAMPIRAN
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
55
NOTULENSI DISKUSI TERBATAS ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INFLASI DAN KEMISKINAN Jumat, 8 Mei 2015 A. PENDAHULUAN Diskusi terbatas Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Inflasi dan Kemiskinan dilaksanakan di ruang rapat Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri BP2KP, Lantai 15 Gedung Utama Kementerian Perdagangan. Diskusi terbatas dipimpin oleh Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri BP2KP dengan narasumber dari Kemenko Bidang Perekonomian, Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik. Tujuan diskusi terbatas adalah untuk mendapatkan masukan terkait dengan hasil sementara dari Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Inflasi dan Kemiskinan yang telah dilakukan. B. MASUKAN/TANGGAPAN 1. Elias Payong (Kemenko Bidang Perekonomian) a.
Salah satu hal yang perlu dicermati adalah bobot inflasi dari tiap komoditi pangan. Dalam analisis ini komoditi pangan adalah hal terkena kebijakan pemerintah dan selanjutnya akan berimbas kepada tingkat inflasi.
b. Target inflasi dalam RPJMN 2015-2019 berkisar 3,5 persen sampai dengan 4,7 persen per tahun. Sampai dengan bulan April tahun 2015 tingkat inflasi tahun kalender masih negatif, sehingga target asumsi inflasi tahun ini masih bisa tercapai. c.
Untuk menghitung elastisitas, saat ini terdapat model baru yang masih terus dikembangkan yaitu model Almost Ideal Demand System (AIDS
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
56
Model), model ini merupakan model yang bisa menghitung elastisitias dengan data sisaan/ error lebih kecil 2. Yunita (BPS) a.
Penghitungan inflasi sangat terkait dengan bobot komoditas. Bobot tersebut diperoleh dari survey biaya hidup (SBH) rumah tangga. Bobot komoditas menggambarkan seberapa besar persentase pengeluaran masing-masing komoditas. Perubahan harga sedikit saja pada komoditas yang mempunyai bobot yang besar, akan berpengaruh terhadap inflasi.
b. Akan lebih baik jika data bobot dalam analisis tidak menggunakan data Susenas, tetapi menggunakan data bobot hasil survei biaya hidup (SBH) karena penelitian ini terkait dengan inflasi. 3. Diana (BI) a.
Berdasarkan model yang ditayangkan dalam pemaparan, akan lebih baik jika variabel income (pendapatan) dimasukkan sehingga analisis terhadap kemiskinan tidak hanya dilihat dari satu sisi. Karena jika analisis kemiskinan tidak melihat variabel income atau mitigasi semacam bantuan langsung tunai (BLT) sebagai variabel kontrol, model penelitian ini hanya melihat satu sisi dan bisa jadi hasilnya akan bias.
b. Range data yang digunakan lebih baik diperpanjang tidak hanya dari tahun 2011 agar hasil analisis lebih kokoh (robust). Selain itu data kemiskinan dikeluarkan dua kali dalam setahun, sehingga jika range data hanya dari 2011 maka mungkin hanya didapatkan 12 titik pengamatan dan jumlah ini sangat sedikit jika akan dilakukan analisis ekonometri. 4. Wayan R Susila (CADS) Bagi negara berkembang seperti Indonesia, pasar produk makanan (pangan) merupakan salah satu pasar barang yang memegang peran kunci dalam penentuan laju inflasi. Dengan demikian dalam mengendalikan laju inflasi di Indonesia, salah satu aspek yang patut mendapat perhatian yaitu Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
57
pengendalian
terhadap
harga
kelompok
makanan.
Dengan
mempertimbangan prospek perekonomian Indonesia yang relatif belum menunjukkan perubahan yang substansial, peran kelompok pangan terhadap laju inflasi diperkirakan akan masih dominan.
C. PENUTUP/KESIMPULAN Analisis ini diharapkan dapat menghasilkan suatu model yang dapat diaplikasikan sehingga jika pimpinan membutuhkan analisis mengenai dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan, informasi yang dibutuhkan dapat disampaikan dengan lebih cepat. Masukan dan tanggapan dari narasumber dan peserta diskusi terbatas akan diakomodir untuk memperbaiki dan melengkapi proses analisis ini. Diskusi terbatas yang kedua akan diadakan lagi dengan agenda presentasi hasil akhir analisis dengan narasumber dan peserta yang hadir diharapkan tidak berbeda.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
58
NOTULENSI DISKUSI TERBATAS II ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INFLASI DAN KEMISKINAN Jumat, 26 Mei 2015 A. PENDAHULUAN Diskusi terbatas ini merupakan diskusi terbatas tahap kedua, yang dilaksanakan dengan maksud untuk mendapatkan masukan terkait dengan hasil akhir dari Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Inflasi dan Kemiskinan yang telah dilakukan. Diskusi terbatas Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Inflasi dan Kemiskinan dilaksanakan di ruang rapat Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri BP2KP, Lantai 15 Gedung Utama Kementerian Perdagangan. Diskusi terbatas dipimpin oleh Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri BP2KP dengan narasumber dari Kemenko Bidang Perekonomian, CADS, Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik. Pemaparan hasil penelitian dari tenaga ahli dan tim penelitian mencakup perbaikan berdasarkan masukan dari diskusi terbatas yang pertama dan juga perbaikan struktur data untuk menghindari gejala multikolinieritas dalam model. B. MASUKAN/TANGGAPAN 1. Elias Payong (Kemenko Bidang Perekonomian) a. Sebenarnya harga-harga komoditas dapat dijadikan sebagai leading indicator inflasi. Hal ini karena harga komoditas mampu merespon secara cepat shock yang terjadi dalam perekonomian secara umum, seperti peningkatan permintaan (aggregate demand shock). Selain itu, harga komoditas juga mampu merespon terhadap non-economic shock seperti banjir, tanah longsor dan bencana alam lainnya yang menghambat jalur distribusi.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
59
b. Pergerakan harga komoditas pangan/pertanian akan selaras dengan perkembangan harga barang secara keseluruhan, walaupun besarannya akan berbeda. Respon harga yang cepat tersebut dapat memberikan sinyal bahwa kenaikan harga barang lainnya akan menyusul sehingga tekanan inflasi meningkat. 2. Yunita (BPS) a. Model regresi melibatkan jumlah indikator yang cukup besar, maka untuk menghindari gejala multikolinieritas dalam model, variabelvariabel komoditas bisa dikelompokkan dalam suatu indeks harga dengan menggunakan pendekatan principal component analysis (PCA). PCA digunakan untuk menjelaskan struktur matriks varians- kovarians dari suatu set variabel melalui kombinasi linier dari variabel-variabel tersebut. b. Pasal 72 PP No. 36 Tahun 2004 mengatur bahwa harga bahan bakar minyak dan gas bumi diatur dan/atau ditetapkan oleh pemerintah. Sebelumnya, MK mengamanatkan bahwa dalam kebijakan penentuan harga komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak, termasuk di dalamnya BBM dan gas bumi dibutuhkan campur tangan pemerintah. 3. Diana (BI) a. Analisis ini mengacu pada suatu model yang dibangun secara terintegrasi. Dalam operasionalnya, analisis bisa dilakukan dengan menggunakan beberapa tahap pemodelan dengan spesifikasi yang berbeda. Maka dari itu bisa dibangun dua tahap model, pertama Pemodelan untuk mengukur dampak kebijakan pemerintah terhadap harga kebutuhan pokok dan kedua, pemodelan untuk melihat dampak dari kebijakan harga dan inflasi terhadap kemiskinan berdasarkan hasil tahap pertama. b. Sejak Desember 2014, Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru penetapan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Bersubsidi. Pemerintah Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
60
mengklasifikasikan BBM menjadi tiga kategori dengan variasi harga didalamnya, tiga kategori tersebut yaitu, BBM Tertentu yaitu adalah BBM yang diberikan subsidi, BBM khusus penugasan dan BBM Umum. 4. Wayan R Susila (CADS) Bagi negara berkembang seperti Indonesia, pasar produk makanan (pangan) merupakan salah satu pasar barang yang memegang peran kunci dalam penentuan laju inflasi. Dengan demikian dalam mengendalikan laju inflasi di Indonesia, salah satu aspek yang patut mendapat perhatian yaitu pengendalian
terhadap
harga
kelompok
makanan.
Dengan
mempertimbangan prospek perekonomian Indonesia yang relatif belum menunjukkan perubahan yang substansial, peran kelompok pangan terhadap laju inflasi diperkirakan akan masih dominan.
C. PENUTUP/KESIMPULAN Analisis ini telah menghasilkan suatu tempalate yang dapat diaplikasikan secara langsung Maka dari itu jika pimpinan membutuhkan analisis mengenai dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan informasi yang dibutuhkan dapat disampaikan dengan lebih cepat. Masukan dan tanggapan dari narasumber dan peserta diskusi terbatas merupakan hal yang sangat bermanfaat bagi pelaksanaan analisis ini. Diharapkan hasil penelitian ini dimanfaatkan terutama bagi para pengambil keputusan dan juga bisa dijadikan acuan bagi para akademisi dan juga masayarakat umum.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
61