Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
KATA PENGANTAR Seminar Nasional dengan tema “Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan” merupakan forum ilmiah yang pertama kali diselenggarakan oleh Program Studi Magister Pendidikan Biologi, Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat sejak didirikan pada tahun 2009. Seminar ini adalah sarana komunikasi ilmiah dan bertukar pikiran tentang hasil-hasil penelitian serta transfer pengetahuan dan teknologi, terutama berkaitan dengan pembelajaran biologi yang berkarakter dan berbasis lingkungan. Pada seminar tersebut disajikan 2 makalah dari narasumber kunci, yaitu Dr. Yuni Sri Rahayu dari Universitas Negeri Surabaya (UNESA) dan Prof. Dr. Ir. H. Yudi Firmanul Arifin, M.Sc dari Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM). Makalah narasumber pertama tidak dimuat dalam prosiding ini. Selain itu, disajikan juga 11 makalah lain. Makalah-makalah ini berkaitan dengan pendidikan biologi dan lingkungan. Pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih kepada Rektor Universitas Lambung Mangkurat yang memfasilitasi penyelenggaraan seminar. Penghargaan disampaikan juga kepada Panitia Seminar —diketuai oleh Drs. Juhrian dan dibantu oleh mahasiswa Program Magister Pendidikan Biologi, Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat serta mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat— yang menyukseskan kegiatan seminar. Semoga prosiding ini bermanfaat dan diharapkan seminar dapat diselenggarakan secara regular.
Banjarmasin, 20 Juli 2011 Ketua Prodi Magister Pendidikan Biologi
i
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Panitia Seminar Nasional ”PEMBELAJARAN BIOLOGI YANG BERKARAKTER DAN BERBASIS LINGKUNGAN” Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Biologi (MPPB ) Universitas Lambung Mangkurat Aula Rektorat Universitas Lambung Mangkurat tanggal 7 Maret 2011 1. 2.
Ketua Sekretaris
: Drs. Juhrian : 1. Ahmad Ready 2. Fathul Jannah, S.Pd. 3. Bendahara : Octa Belawati, S.Pd. 4. Seksi Persidangan : 1. Mujiman H.W., S.Pd. 2. Noraini, S.Pd. 3. Rahmi Widiati, S.Pd. 5. Seksi Penerima Tamu : 1. Irawati, S.Pd. 2. Salasiah, S.Pd. 3. Indah Rosmalina, S.Pd. 6. Seksi Konsumsi : 1. Amalia Rezeki, S.Pd. 2. Siti Norhasanah, S.Pd. 3. Hj. Misnawati, S.Pd. 4. Nadya Huda, S.Pd. 7. Seksi Pembawa Acara : 8. Seksi Publikasi/Dokumentasi : 1. Octa Belawati, S.Pd. 2. Nana Citrawati Lestari, S.Si. 3. Syahbudin, S.Pd. 9. Seksi Keamanan : 1. Guntariadi, S.Pd. 2. M. Arsyad, S.Pd. 3. Sarmadi, S.Pd. 10. Seksi Perlengkapan : 1. Yuseran, S. Pd. 2. Mujiman H.W, S.Pd. 11. Pembawa Acara Umum : 1. Ernawati, S.Pd. 2. Ida Zulfiati, S.Pd. 12. Moderator Umum : Pahmi Rohliansyah, S.Pd. 13. Pembawa Acara Ruang A : Masnurul Sholehah, S.Pd. 14. Moderator Ruang A : Nana Citrawati Lestari, S.Si. 15. Pembawa Acara Ruang B : Octa Belawati, S.Pd. 16. Moderator Ruang B : Syahbudin, S.Pd. 17. Pembawa Acara Ruang C : Fathul Jannah, S.Pd. 18. Moderator Ruang C : Mujiman H.W., S.Pd.
ii
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................
i
Panitia Seminar Nasional ............................................................................
ii
DAFTAR ISI .................................................................................................
iii
Lingkungan dan Permasalahannya Yudi Firmanul Arifin ..........................
1-6
Implementasi Perangkat Pembelajaran Biologi Berbasis Inkuiri dengan Setting Kooperatif Tipe Penyelidikan Kelompok pada Konsep Jenis-Jenis Limbah dan Daur Ulang Limbah terhadap Hasil Belajar dan Perilaku Berkarakter Siswa di SMA Najimatul Ilmiyah .........................................
7 - 22
Keefektifan Pembelajaran Biologi Melalui Inkuiri Terbimbing pada Konsep Ekosistem di SMA Norhasanah; H. Muhammad Zaini ...............
23 - 35
Pemahaman, Keterampilan Berpikir Kritis dan Etika Lingkungan Siswa pada Pembelajaran Konsep Ekosistem Melalui Pendekatan Inkuiri di SMPN I Kusan Hilir Kabupaten Tanah Bumbu Dini Pusparini ................
36 - 40
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dengan Pendekatan Lingkungan Rosita ..................................................................
41 - 49
Pola Kebiasaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Kaget dalam Pelestarian Suaka Margasatwa Pulau Kaget sebagai Habitat Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) Finna Rahmiati, Mochamad Arief Soendjoto, Dharmono .................................................................................. 50 - 57 Pemahaman Konsep Keanekaragaman Hayati dan Etika Lingkungan Siswa SMAN 3 Banjarbaru Melalui Pendekatan Lingkungan Wahyuli Dwindiasih .................................................................................................... 58 - 65 Pengaruh Penerapan Model-model Pembelajaran Konstruktivistik terhadap Proses IPA di Sekolah Dasar Rusdiyana; Supramono ............................. 66 - 74 Pengembangan Iklan di Televisi sebagai Media Pembelajaran Sistem Pencernaan terhadap Penguasaan Keterampilan Proses Sains Komunikasi Siswa SMP Rina Herawaty Nihe ............................................................... 75 - 81 Akumulasi Timbal (Pb) dan Struktur Daun Angsana (Pterocarpus indicus Willd) sebagai Tumbuhan Peneduh Jalan di Kota Banjarmasin Sri Amintarti ......................................................................................................
82 - 88
Pengaruh Pemberian Pellet Ikan Inkonvensional terhadap Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Suriani ................................................
89 - 97
Menggoda Minat Sains melalui Ice Breaking dalam Pembelajaran Aminuddin Prahatamaputra ........................................................................ 98 - 112
iii
LINGKUNGAN DAN PERMASALAHANNYA Yudi Firmanul Arifin (Guru Besar Ekologi Hutan pada Fakultas Kehutanan Unlam)
Abstrak Istilah lingkungan diartikan segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan juga bisa dibedakan menjadi lingkungan biotik dan abiotik. Aktifitas manusia berhubungan dengan lingkungan dan manusia diberi hak seluasluasnya untuk memanfaatkan lingkungan karena memang sebagai makhluk yang berakal tentunya hanya manusia yang mampu melakukan pengelolaan terhadap lingkungan. Cara pandang antroposentrisme inilah yang menyebabkan manusia mengekploitasi sumberdaya alam demi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sikap perilaku rakus dan tamak itulah yang menyebabkan manusia mengambil semua kebutuhan hidupnya tanpa mempertimbangkan kelestariannya. Berbagai peristiwa bencana alam yang terjadi dan melanda umat manusia di seluruh dunia telah banyak terjadi, seperti; gempa bumi, gelombang tsunami, letusan gunung berapi, awan panas, angin topan, dan lain-lain. Peristiwa-peristiwa itu pun akhir-akhir ini juga terjadi di Indonesia dengan menelan banyak jiwa, termasuk rusaknya unsur fisik yang mendukung lingkungan hidup. Peristiwa alam tersebut tidak dapat dicegah, akan tetapi dengan ilmu pengetahuan dapat diketahui gejala-gejalanya, sehingga dapat segera dilakukan evakuasi penduduk untuk mengurangi korban dan upaya mengatasi kalau bencana itu terjadi. Kata kunci: lingkungan, antroposentrisme, sikap, perilaku.
PENGERTIAN LINGKUNGAN Dalam kehidupan sehari-hari kita sudah sangat sering mendengar istilah lingkungan atau pun membaca referensi yang berkaitan dengan lingkungan. Kita sering mendengar istilah lingkungan alam dan lingkungan sosial, tentunya istilah lingkungan ini sudah melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kita sadar bahwa kita tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan, karena makanan yang dimakan, minuman yang diminum, kesehatan tubuh kita sangat tergantung pada lingkungan. Lingkungan yang sehat dan jauh dari pencemaran akan membuat makanan dan minuman yang diperlukan oleh tubuh pun akan sehat. Dalam referensi istilah lingkungan diartikan segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik secara langsung, maupun tidak langsung. Lingkungan juga bisa dibedakan menjadi lingkungan biotik dan abiotik. Jika kita berada di kampus, maka teman sejawat 1
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
sesama dosen, karyawan, dan mahasiswa adalah lingkungan biotik, sedangkan tanah, udara, meja, kursi, dan lain-lain yang berada di sekitar kita di kampus sebagai lingkungan abiotik. Seringkali segala aktifitas manusia berhubungan dengan lingkungan, dan manusia diberikan hak seluas-luasnya untuk memanfaatkan lingkungan karena memang sebagai makhluk yang berakal tentunya hanya manusia yang mampu melakukan pengelolaan terhadap lingkungan. Akan tetapi karakter manusia di bumi ini sangatlah beragam, ada yang bijaksana dalam mengelola dengan prosedur yang jelas dan taat kepada hukum-hukum alam, akan tetapi tidak sedikit manusia yang serakah dalam memanfaatkan sumberdaya alam sehingga merusak lingkungan. Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta (Keraf, 2002; Soemarwoto, 2004). Lebih lanjut dikatakan nilai tertinggi pada lingkungan adalah manusia dan kepentingannya. Teori ini juga dipakai sebagai teori filsafat yang mengatakan bahwa nilai dan prinsip moral hanya berlaku pada manusia, dan kepentingan manusia mempunyai nilai paling tinggi. Cara pandang antroposentrisme inilah yang menyebabkan manusia mengekploitasi sumberdaya alam demi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sikap perilaku rakus dan tamak itulah yang menyebabkan manusia mengambil semua kebutuhan hidupnya tanpa mempertimbangkan kelestariannya. Menurut Keraf (2002), teori antroposentrisme disebut juga sebagai etika theologies. Kalau dalam teori antroposentrisme dikatakan lingkungan dan alam semesta dibutuhkan manusia demi memuaskan kepentingannya. Adapun pandangan teori etika biosentrisme justru bertolak belakang dengan antroposentrisme. Dalam teori etika biosentrisme dikatakan bahwa setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Dalam pandangannya alam perlu diperlakukan secara moral, terlepas apakah ia bernilai bagi manusia atau tidak. Sehingga secara harfiah, biosentrisme juga dikenal sebagai teori lingkungan yang berpusat pada kehidupan. Inti teori ini adalah manusia mempunyai kewajiban moral terhadap alam. Teori inilah yang berkembang hingga saat ini dan dianut oleh sebagian besar manusia di bumi ini. Akan tetapi tidak semua manusia tahu bagaimana mengelola sumberdaya alam sehingga tetap lestari dan bermanfaat bagi generasi yang akan datang. Sebagai pendidik tentunya merubah sikap manusia tentang sesuatu merupakan tugas utama yang harus dilakukan. Bagaimana anak-anak didik dapat memahami arti dan peran lingkungan bagi mereka, dan apa yang akan terjadi kalau lingkungan itu rusak? pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu ada, mudah dijawab tetapi implementasinya sangat sulit dilakukan. Semua orang tahu bahwa rokok dapat merusak kesehatannya, tetapi sulit mengendalikan orang untuk tidak merokok. Sama saja seorang dokter melarang pasiennya untuk tidak merokok, tetapi dokter itu sendiri 2
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
sulit menghentikan dirinya untuk tidak merokok dengan berbagai alasan. Jadi tauladan merupakan contoh yang terbaik dalam kehidupan. LINGKUNGAN HIDUP Sering kita secara khusus menggunakan istilah lingkungan hidup dalam menyebut segala sesuatu yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup semua makhluk hidup di bumi. Berdasarkan UU RI No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Unsur-unsur lingkungan hidup dibagi atas 3 (tiga), yaitu. 1) Unsur hayati (biotik): manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan jasad renik. 2) Unsur sosial budaya: lingkungan sosial dan budaya yang dibuat manusia; sistem nilai, gagasan, dan keyakinan dalam perilaku sebagai makhluk sosial. 3) Unsur fisik (abiotik): tanah, air, udara, iklim, dan lain-lain, yang keberadaannya sangat penting dalam mendukung kelangsungan kehidupan di bumi. MASALAH LINGKUNGAN HIDUP DAN ALTERNATIF PEMECAHANNYA Secara umum dapat dikatakan bahwa penyebab kerusakan lingkungan hidup ada dua faktor, yaitu 1) peristiwa alam, dan 2) manusia. Berbagai peristiwa bencana alam yang terjadi dan melanda umat manusia di seluruh dunia telah banyak terjadi, seperti; gempa bumi, gelombang tsunami, letusan gunung berapi, awan panas, angin topan, dan lain-lain. Peristiwa-peristiwa itu pun akhir-akhir ini juga terjadi di Indonesia dengan menelan banyak jiwa, termasuk rusaknya unsur fisik yang mendukung lingkungan hidup. Peristiwa alam tersebut tidak dapat dicegah, akan tetapi dengan ilmu pengetahuan dapat diketahui gejala-gejalanya, sehingga dapat segera dilakukan evakuasi penduduk untuk mengurangi korban dan upaya mengatasi kalau bencana itu terjadi. Adapun rusaknya lingkungan hidup akibat manusia banyak sekali penyebabnya, antara lain karena ketidaktahuan, keserakahan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, globalisasi informasi yang begitu pesat yang dapat merubah cara berpikir manusia, dan lain-lain. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memang bertujuan untuk memudahkan manusia dalam melakukan berbagai hal, akan tetapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat berdampak negatif bagi perubahan sikap manusia, sebagai contoh; dengan kemajuan teknologi dibidang otomotif, menyebabkan semakin meningkatnya 3
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
pemanfaatan kendaraan bermotor untuk keperluan sehari-hari, dari sisi pemanfaatanya memang akan memudahkan manusia dalam melakukan aktifitas, tetapi dari gas CO yang keluar dari kendaraan itu menyebabkan semakin meningkatkan gas rumah kaca yang berdampak pada peningkatan pemanasan bumi, serta peningkatan polusi udara. Kemajuan teknologi merupakan tuntutan bagi manusia yang semakin tinggi dalam memanjakan kehidupan sehari-harinya termasuk penggunaan pendingin ruangan (AC), hampir semua kantor menggunakan AC, bahkan rumah pribadi sekali pun, yang mana dampaknya pada penggunaan energi yang semakin meningkat dan peningkatan emisi yang dikeluarkan oleh penggunaan AC tersebut juga meningkat. Globalisasi informasi sekarang juga mengakibatkan keinginan manusia untuk meniru sesuatu semakin meningkat, yang berakibat pada peningkatan kebutuhan dan selanjutnya mencari jalan pintas bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut, sekali pun berdampak pada lingkungan, seperti; penebangan kayu ilegal, penambangan ilegal, perburuan liar, dan lain-lain. Beberapa bentuk kerusakan lingkungan hidup karena faktor manusia, adalah 1) terjadinya pencemaran/polusi (udara, air, tanah, dan suara), sebagai dampak industri, kebakaran hutan dan lahan, pembuangan sampah, 2) terjadinya banjir, sebagai dampak dari buruknya drainase, kesalahan dalam menjaga daerah aliran sungai, dan pengrusakan hutan, 3) terjadinya tanah longsor, sebagai dampak rusaknya hutan. Beberapa perbuatan manusia yang baik secara langsung maupun tidak langsung membawa dampak bagi kerusakan lingkungan: a) Penebangan hutan secara ilegal b) Perburuan liar c) Penimbunan kawasan rawa untuk dijadikan pemukiman d) Pembuangan sampah tidak pada tempatnya e) Mendirikan bangunan liar di daerah aliran sungai (DAS) f) Ekploitasi sumberdaya alam yang berlebihan g) Penggunaan bahan kimia dalam pertanian h) Penggunaan bahan kimia dalam pengolahan tanah Semua kerusakan yang diakibatkan oleh manusia di atas berpangkal pada lemahnya etika terhadap lingkungan. Etika bermuara pada pendidikan dan tauladan yang diberikan kepada manusia. Pendidikan dan tauladan tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah dan di masyarakat. Penulis pernah membaca suatu artikel yang ditulis oleh Tina Afiatin dari Fakultas Psikologi UGM, dia mengungkapkan bahwa banyak siswa yang tahu dan hafal materi pelajaran, tetapi tidak mampu mengaflikasikan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh, siswa 4
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
tahu tentang makanan sehat, tetapi perilaku makannya tidak menunjukkan perilaku makan yang sehat, mereka lebih menyukai fast food dan soft drink dari pada makan nasi dengan sayur dan buah, serta minum susu. Siswa tahu bagaimana berperilaku sosial yang baik, tetapi mereka kurang mampu menghargai orang lain, berperilaku sopan dan bertoleransi. Sehingga makin banyak sekarang anak-anak terlibat tawuran dan melakukan kekerasan kepada orang lain. Kalau kita cermati, proses belajar yang diperoleh siswa lebih pada ”belajar tentang” (learning about thing) dari pada ”belajar menjadi” (learning how to be). Siswa belajar tentang hidup sehat, apa pengertian dan ciri-cirinya serta cara perilaku sehingga mencapai hidup sehat, tetapi siswa tidak belajar bagaimana mengubah perilaku untuk mencapai hidup sehat itu. Siswa diajarkan agar membuang sampah pada tempatnya dan diajarkan dampak yang terjadi kalau mereka membuang disembarang tempat, tetapi mereka tidak diajarkan bagaimana merubah kebiasaan agar selalu membuang sampah pada tempatnya. Memang kita pernah belajar tentang Student Centered Learning, dimana proses pembelajaran yang semula berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (learner centered) yang mana diharapkan dapat mendorong siswa untuk terlibat secara aktif dalam membangun pengetahuan, sikap, dan perilaku. Akan tetapi mengapa tetap saja belum bisa merubah sikap siswa sesuai dengan yang diharapkan. Perubahan sikap harus dimulai dari kesadaran tentang pentingnya nilai-nilai yang akan ditanamkan pada siswa. Menurut penulis, siswa perlu tauladan, prosedur yang benar, aturan, dan sanksi yang tegas bagi yang melanggar, tidak hanya teori dan berbagai tetek bengeknya. Tauladan itu bisa berasal dari teman-temannya yang sudah baik, guru, orang tua, dan masyarakat termasuk pemimpinnya. Hal ini yang sudah dilakukan di negara-negara maju. Penulis pernah ditanya oleh teman yang samasama sekolah di Jerman, ketika kamu pulang ke tanah air dan masuk kembali ke kampus, apa yang pertama-tama kamu rasakan ? jawabannya sangat sederhana masih banyak sampah yang bertebaran di sekitar kampus, walaupun hampir setiap hari disapu, tetapi masih saja ada sampah yang dibuang tidak pada tempatnya. Hal ini sangat berbeda ketika saya masih sekolah di Jerman, kampus selalu bersih dari sampah dan kesadaran mereka sangat tinggi akan pentingnya kebersihan, Bagaimana meningkatkan pentingnya etika lingkungan itulah salah satu kuncinya. Pemerintah menerbitkan berbagai aturan tentang pengelolaan lingkungan hidup, antara lain. Menerbitkan UU No. 4 Tahun 1982, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Memberlakukan Peraturan Pemerintah RI No. 24 Tahun 1986, tentang AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan). 5
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Pada tahun 1991, pemerintah membentuk Badan Pengendalian Lingkungan, dengan tujuan pokoknya 1) Menanggulangi kasus pencemaran, 2) Mengawasi bahan berbahaya dan beracun (B3), 3) Melakukan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). UU RI No. 32 tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pertanyaan yang sering muncul di benak kita, mengapa masih saja terjadi pencemaran lingkungan dan bencana lingkungan, tentunya berbagai aturan dan sanksi belumlah cukup bagi kita manusia. Yang dibutuhkan adalah bagaimana agar kita semua sadar akan pentingnya lingkungan bagi kehidupan. Bencana lingkungan hanya dipandang seperti ”pemadam kebakaran”, artinya kalau terjadi bencana dan menelan korban barulah gencar dibicarakan, tetapi ketika bencana sudah reda tidak dilakukan upaya-upaya penanggulangan selanjutnya. Pernahkah kita berpikir bahwa melakukan pengurukan lahan rawa untuk pemukiman dan jalan akan berdampak pada rusaknya habitat berbagai makhluk hidup lainnya? Sebenarnya makhluk hidup itu berperan dalam ekosistem di rawa. Pernahkan kita berpikir bahwa menebang pohon di hutan akan berdampak pada rusaknya habitat berbagai satwa, meningkatnya CO2 di udara yang berdampak pada meningkatnya pemanasan global, dan hilangnya sumber plasma nutfah? Memang terkadang dampak tidak dirasakan dalam jangka pendek, tetapi jangka panjang. Menumbuhkan kesadaran itulah yang harus kita tanamkan kepada siswa, dalam bentuk tauladan. Bagaimana guru bisa menegur muridnya untuk tidak merokok, kalau gurunya sendiri merokok? Bagaimana murid disuruh membuang sampah pada tempatnya, kalau gurunya sendiri tidak melakukannya?
DAFTAR PUSTAKA Keraf S., A. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Soemarwoto, O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Djambatan. Tina, Afiatin. Pembelajaran Berbasis Student-Centered Learning. www.inparametric. com
6
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
IMPLEMENTASI PERANGKAT PEMBELAJARAN BIOLOGI BERBASIS INKUIRI DENGAN SETTING KOOPERATIF TIPE PENYELIDIKAN KELOMPOK PADA KONSEP JENIS-JENIS LIMBAH DAN DAUR ULANG LIMBAH TERHADAP HASIL BELAJAR DAN PERILAKU BERKARAKTER SISWA DI SMA (Penelitian Eksperimen melalui Pengamatan dan Penyelidikan di Kawasan Pasar Amuntai) Najimatul Ilmiyah (Dosen STKIP Banjarmasin; Alumni Program Studi Magister Pendidikan Biologi PPs Unlam Banjarmasin)
Abstrak Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh implementasi perangkat pembelajaran berbasis inkuiri dengan setting kooperatif tipe penyelidikan kelompok terhadap hasil belajar siswa, mendeskripsikan perilaku berkarakter, kinerja siswa, aktivitas guru selama proses pembelajaran dan respon siswa terhadap proses pembelajaran. Rancangan kuasi eksperimen melibatkan kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan rancangan penelitian The Nonequivalent Control Group Design. Teknik pengumpulan data menggunakan hasil belajar siswa yang diambil dari tesawal dan tes-akhir, observasi perilaku berkarakter siswa, observasi kinerja siswa, observasi aktivitas guru selama proses pembelajaran, dan respon siswa terhadap proses pembelajaran. Rerata hasil belajar meningkat dari 50,97 menjadi 82,58 pada pertemuan I dan dari 60,65 menjadi 95,16 untuk pertemuan II. Rerata hasil belajar produk antara kelas perlakuan dengan menggunakan pembelajaran berbasis inkuiri dengan setting kooperatif tipe penyelidikan kelompok lebih baik daripada kelas kontrol. Perilaku berkarakter yang dilakukan siswa selama proses belajar mengajar berlangsung meningkat dari pertemuan I ke pertemuan II. Kinerja siswa menunjukkan perubahan yang sangat baik dan skor rerata secara umum meningkat dari pertemuan I ke pertemuan II. Aktivitas guru (kualitas, kemampuan) meningkat pada pertemuan II dibanding pertemuan I. Respon siswa terhadap pembelajaran yang disajikan guru sangat positif. Siswa sangat termotivasi dan berminat untuk mengikuti pembelajaran berikutnya dengan model serupa. Kata kunci: inkuiri, setting kooperatif, hasil belajar, berkarakter, limbah.
PENDAHULUAN Pasal I UU Sisdiknas Tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. Amanah Undang-Undang itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, tetapi juga 7
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama (Suyanto, 2009). Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah mencakup perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan proses pembelajaran. Proses pembelajaran harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik (Nur, 2011b). Oleh karena itu, seorang guru perlu membuat perangkat pembelajaran yang salah satu di dalamnya adalah memuat perilaku berkarakter bagi siswa. Perangkat pembelajaran merupakan syarat utama dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam pengembangan perangkat pembelajaran ini adalah pendekatan konstruktivis. Pembelajaran biologi yang didominasi oleh guru selama proses pembelajaran seperti ceramah, bersifat hafalan, dan kurang mementingkan proses masih dijumpai di kelas-kelas. Siswa pasif mendengarkan penjelasan guru dan konsep yang ada di buku kurang dikaitkan dengan lingkungan sekitar siswa. Hal ini membuat pembelajaran tidak efektif dan cenderung membosankan. Kemampuan awal yang dimiliki siswa —pelajaran IPA di SD merupakan dasar pelajaran biologi di SMP dan selanjutnya di SMP merupakan dasar pelajaran di SMA— sangat perlu diperhatikan dan digali oleh guru, agar siswa dapat menghubungkan materi yang telah dipelajari dengan materi yang akan dipelajari. Model pembelajaran ini mengaktifkan siswa dan menjadikan lingkungan sebagai salah satu sumber belajar, sehingga siswa sendiri yang aktif menemukan kajian isi pembelajaran dan mengkaitkan konsep yang sedang dipelajari dengan kondisi nyata di lingkungan sekitar Dengan demikian, konteks pembelajaran menjadi bermakna. Penanaman konsep, misalnya konsep biologi pokok bahasan jenis-jenis limbah dan daur ulang limbah pada siswa tidak cukup hanya sekedar melalui ceramah. Pembelajaran akan lebih bermakna, jika siswa diberi kesempatan tahu dan terlibat secara aktif dalam menemukan konsep dari fakta-fakta yang dilihat dari lingkungan dengan cara mengamati dan bereksperimen dengan bimbingan guru. Manusia merupakan bagian dari lingkungan. Lingkungan berfungsi penting untuk semua makhluk hidup. Pembelajaran biologi tidak saja menuntut siswa mampu mengaitkan materi biologi dengan perkembangan teknologi, tetapi juga harus mampu mengaplikasikannya di lingkungan sekitar. Biologi adalah ilmu yang mempelajari segala hal terkait dengan hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya. 8
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Penyajian materi yang bernuansa lingkungan dapat dilakukan dengan berbagai macam model pembelajaran; misalnya, melalui model inkuiri yang dipadukan dengan model pembelajaran kooperatif. Biologi sebagai salah satu bidang IPA menurut Subandi (2007), menyediakan berbagai pengalaman belajar untuk memahami konsep dan proses sains. Di dalam KTSP salah satu KD yang berhubungan dengan keterampilan proses adalah menganalisis jenis-jenis limbah dan daur ulang limbah. Keterampilan proses ini meliputi keterampilan mengamati, mengajukan hipotesis, menggunakan alat dan bahan secara baik dan benar dengan selalu mempertimbangkan keamanan dan keselamatan kerja, mengajukan pertanyaan, menggolongkan dan menafsirkan data, serta mengkomunikasikan hasil temuan secara lisan atau tertulis, menggali dan memilah informasi faktual yang relevan untuk menguji gagasan-gagasan atau memecahkan masalah sehari-hari. Ini semua merupakan proses-proses yang terdapat dalam pembelajaran berbasis inkuiri. Hasil tes ketuntasan belajar siswa bidang studi IPA/Biologi kelas X SMA Negeri 1 Amuntai menunjukkan masih ada siswa berada di bawah garis ketuntasan/tidak tuntas. Pembelajaran menggunakan model inkuiri dengan setting kooperatif tipe penyelidikan kelompok, khususnya pada konsep jenis-jenis limbah dan daur ulang limbah belum pernah dilakukan di SMAN 1 Amuntai. Pembelajaran konsep limbah dan daur ulang limbah biasa diajarkan dengan menggunakan metode ceramah, sehingga rerata kelas masih berada pada standar yang telah ditentukan. Pembelajaran dengan metode ceramah lebih banyak menuntut keaktifan guru dari pada siswa. Akhirnya, hanya terjadi komunikasi satu arah dari guru ke siswa, sehingga pelajaran menjadi kurang bermakna. Di samping itu, keaktifan siswa sangat kurang dan siswa kurang tertarik pada pembelajaran. Trianto (2009) menegaskan bahwa inkuiri merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkan. Tahap pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini mengadaptasi dari tahap pembelajaran inkuiri yang dikemukakan oleh Eggen dan Kauchak (1996), yaitu mengajukan pertanyaan tentang fenomena alam yang dihadapi, membuat hipotesis, merancang percobaan, melakukan percobaan untuk memperoleh informasi, mengumpulkan data dan membuat kesimpulan. Di dalam kurikulum SLTA tahun 2006 yang dikenal dengan KTSP, materi limbah dan daur ulang limbah diajarkan pada kelas X semester genap dan dituangkan dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dikuasai siswa dalam pembelajaran biologi. Standar Kompetensinya adalah menganalisis hubungan 9
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
komponen ekosistem, perubahan materi dan energi, serta peranan manusia dalam keseimbangan ekosistem. Kompetensi Dasarnya adalah menganalisis jenis-jenis limbah dan daur ulang limbah. METODE Penelitian kuasi eksperimen The Nonequivalent Control Group Design (Gage, 1996) melibatkan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Data kuantitatif diperoleh dari tes hasil belajar (tes-awal dan tes-akhir). Pengukuran deskriptif kualitatif adalah 1) mendeskripsikan perilaku berkarakter siswa, 2) mendeskripsikan kinerja siswa, 3) mendekripsikan aktivitas guru selama pembelajaran, dan 4) mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran berbasis inkuiri dengan setting kooperatif tipe penyelidikan kelompok pada konsep jenis-jenis limbah dan daur ulang limbah. Data hasil belajar diperoleh dari tes-awal dan tes-akhir siswa. Data perilaku berkarakter siswa diperoleh dari lembar pengamatan perilaku berkarakter. Data kinerja siswa diperoleh dari lembar pengamatan efektifitas pembelajaran (adaptasi dari Borich, 2005). Data aktivitas guru diperoleh dari lembar observasi aktivitas guru. Respon siswa terhadap pembelajaran diperoleh dari instrumen respon siswa. Data tes diolah dengan teknik persentase. Formulanya P=
f 100% N
Dalam hal ini, P = angka persentase, f = frequensi yang sedang dicari, N = jumlah frekuensi/banyaknya individu. Data kuantitatif diolah dengan teknik persentase dan ketuntasan belajar diolah menurut kriteria.
Secara klasikal, presentasi =
Jumlah siswa dengan nilai 75% x 100% Jumlah siswa keseluruhan
Secara individual, presentasi =
Jumlah jawaban soal yang benar X 100% Jumlah soal seluruhnya
Kriteria Ketuntasan Belajar: 1. Ketuntasan Individual (KI); jika siswa mencapai ketuntasan ≥75% 2. Ketuntasan Klasikal (KK); jika ≥ 85% dari seluruh siswa mencapai ketuntasan ≥ 75% (Usman dan Setiawati, 2003). 10
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
3. Respon siswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran berbasis inkuiri dengan setting kooperatif tipe penyelidikan kelompok dikatakan baik, apabila minimal 65% siswa menjawab Ya HASIL DAN PEMBAHASAN 1) Hasil Belajar Di kelas perlakuan pada tes-awal pertemuan I hanya 2 orang siswa yang mencapai nilai ≥ 75 (KI), sedangkan secara klasikal mencapai 6,45%. Ini menunjukkan bahwa secara klasikal hasil tes-awal pada pertemuan I belum tuntas. Setelah pembelajaran berbasis inkuiri dengan setting kooperatif tipe penyelidikan kelompok, hasil tes-akhir pada pertemuan I meningkat; 28 orang siswa mencapai nilai ≥ 75 dan secara klasikal mencapai ketuntasan 90,32%. Peningkatan nilai siswa berada pada rentang 20-80 pada tes-awal dengan nilai rerata 50,97. Pada tes-akhir nilai berada pada rentang 60-100 dengan rerata 82,58. Ini meningkat 31,61. Hasil pembelajaran sudah mencapai KK, tetapi peningkatan masih terbilang minim (5,32%). Diharapkan pengalaman pada pertemuan I sangat membantu selama pembelajaran pada pertemuan II. Di kelas kontrol pada tes-awal pertamuan I tidak ada siswa yang mencapai nilai 75 (KI). Secara klasikal pada tes-awal kelas kontrol semua siswa tidak tuntas atau 0%. Nilai siswa kelas kontrol pada tes-awal berada pada rentang 20-60 dengan nilai rerata 39,38. Pada tes-akhir nilai siswa berada pada rentang 40-80 dengan nilai rerata 65,63. Ini meningkat 26,25. Hasil belajar dengan pembelajaran konvensional menunjukkan KK 25%, tetapi ini masih jauh dari KK. Pada tes-awal pertemuan II di kelas perlakuan, 4 orang mencapai nilai ≥ 75, sedangkan secara klasikal mencapai ketuntasan sebesar 12,90%. Secara klasikal hasil tes-awal pertemuan II belum tuntas. Setelah pembelajaran, hasil tes-akhir pada pertemuan II meningkat. Semua siswa (31 orang) mencapai nilai ≥ 75 dan secara klasikal mengalami ketuntasan 100%. Nilai siswa berada pada rentang 30-80 dengan nilai rerata 60,65. Pada tesakhir nilai yang diperoleh siswa berada pada rentang 80-100 dengan nilai rerata 95,16. Secara keseluruhan hasil belajar siswa pada pertemuan II meningkat dari nilai rerata 60,65 menjadi 95,16 pada tes-akhir. Data hasil pembelajaran mencapai KK. Di kelas kontrol pertemuan II pada tes-awal, 4 orang siswa mencapai nilai ≥ 75, sedangkan secara klasikal 12,50%. Nilai berada pada rentang 30-80 dengan rerata 50, 94. Pada tes-akhir nilai nilai berada pada rentang 50-80 dengan rerata 70,94. Ini meningkat 20,00. Pembelajaran konvensional menunjukkan KK 28,13% dan ini masih jauh dari KK 85%.
11
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Berdasarkan pada peningkatan dari hasil tes-awal dan tes-akhir baik di kelas perlakuan maupun kelas kontrol, dapat diketahui bahwa hasil belajar pada kelas perlakuan lebih tinggi dibanding kelas kontrol. Peningkatan nilai hasil belajar terjadi pada semua siswa kelas perlakuan, karena siswa sudah bisa mengikuti pelajaran dengan baik, lebih antusias, dan termotivasi mengikuti pembelajaran berbasis inkuiri dengan setting kooperatif tipe penyelidikan. Materi pembelajaran yang dikaitkan dengan keadaan lingkungan sekitar siswa mampu membawa siswa ke dalam kajian isi pembelajaran dan konsep relevan bagi mereka dan memberi makna dalam kehidupan sehari-hari, sehingga siswa terlibat aktif dalam proses belajar mengajar atau. Dengan kata lain, guru hanya sebagai fasilitator bukan orang yang mendominasi pembelajaran. Suparno (1997) berpendapat ciri atau prinsip belajar berarti mencari makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Sardiman (2006) menegaskan bahwa seseorang akan berhasil dalam belajar, kalau pada dirinya sendiri ada keinginan untuk belajar. Inilah prinsip dan hukum pertama dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran. Keinginan atau dorongan untuk belajar inilah yang disebut dengan motivasi. Motivasi meliputi dua hal: (1) mengetahui apa yang akan dipelajari; dan (2) memahami mengapa hal tersebut patut dipelajari. Kedua unsur motivasi inilah dasar permulaan yang baik untuk belajar. Tanpa motivasi, kegiatan belajar mengajar sulit berhasil. Pembelajaran berbasis inkuiri dengan setting kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar siswa, karena pembelajaran bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, tetapi kegiatan yang memungkinkan siswa merekonstruksi atau membangun sendiri pengetahuannya (teori konstruktivisme). Siswa juga mencari sendiri makna dari yang mereka pelajari. Menurut Hisyam dkk. (2008), belajar aktif sangat diperlukan oleh peserta didik untuk mendapatkan hasil belajar maksimum. Ketika peserta didik pasif atau hanya menerima dari pengajaran, ada kecenderungan untuk cepat melupakan yang telah diberikan. Oleh sebab itu diperlukan perangkat tertentu untuk dapat mengikat informasi yang baru saja diterima dari guru/dosen. Pembelajaran akan lebih bermakna jika siswa diberi kesempatan untuk tahu dan terlibat secara aktif dalam menemukan konsep dari fakta-fakta yang dilihat dari lingkungan dengan cara mengamati dan bereksperimen dengan bimbingan guru. Pada dasarnya penggunaan pendekatan inkuiri dalam pembelajaran dapat meningkatkan proses dan hasil belajar siswa. Hal serupa juga dijumpai pada pembelajaran dengan menggunakan pendekatan lingkungan dan kooperatif. Bila ketiga pendekatan ini digunakan dalam pembelajaran, proses dan hasil belajar siswa meningkat serta guru
12
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
mudah mengajarkan konsep khususnya jenis-jenis limbah dan daur ulang limbah agar memberi makna dalam kehidupan sehari-hari siswa. Murtiani (2008) melaporkan bahwa penggunaan pendekatan inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa SMP Negeri 1 Batu Ampar pada materi difusi dan osmosis. Ketuntasan hasil belajar siswa mengalami peningkatan dan mencapai batas KK ( 85%). Pada siklus 1 hasil tes-awal 31,03% dan tes-akhir 96,55%, sedangkan pada siklus 2 58,62% pada tes-awal dan 86,20% pada tes-akhir. Pengetahuan siswa tergolong baik menjadi cukup baik, sedangkan hasil keterampilan tergolong baik. Rosmalina (2010) menunjukkan bahwa penerapan bahan ajar berbasis inkuiri berpengaruh positif terhadap pemahaman konsep saling ketergantungan di sekolah dasar Kecamatan Beruntung Baru, Kabupaten Banjar. Penerapan bahan ajar berbasis inkuiri ini dapat dijadikan pilihan yang baik dalam pembelajaran, karena pendekatan inkuiri memberi pengaruh positif terhadap hasil belajar siswa. Arisuweni (2006) menyatakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan lingkungan dapat meningkatkan hasil belajar siswa, meningkatkan penguasaan konsep, serta dapat meningkatkan sikap siswa terhadap lingkungannya. Kesan dan tanggapan siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan lingkungan pun meningkat dan positif. Kualitas pembelajaran siswa dalam memperoleh pengetahuannya melalui pengamatan dan penyelidikan di kawasan pasar sekitar sekolah dapat diketahui dari hasil pikiran yang mereka tuangkan dalam mengisi lembar kerja siswa (LKS) yang sudah di siapkan guru sebelumnya. Hasil lembar kerja siswa proses dan psikomotor melalui pembelajaran pada pertemuan I yang membahas jenis–jenis limbah mencapai 88% dan pada pertemuan II yang membahas daur ulang limbah 99,40%. Hasil lembar kerja siswa kelas perlakuan pada pertemuan I masih terdapat 1 kelompok siswa dengan kategori sedang (56-75%). Pada pertemuan II meningkat. Semua kelompok menunjukkan kategori baik (76-100%). Belajar menggunakan model inkuiri selain berorientasi kepada hasil belajar juga berorientasi pada proses belajar. Pembelajaran adalah proses interaksi, baik interaksi antara siswa maupun interaksi dengan guru, bahkan interaksi siswa dengan lingkungan. Menurut Dharma (2008), pembelajaran berbasis inkuiri menekankan kepada proses mencari dan menemukan. Materi pelajaran tidak diberikan secara langsung. Peran siswa dalam strategi ini adalah mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing siswa untuk belajar. Pembelajaran berbasis inkuiri merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu
13
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa. Strategi pemberlajaran ini juga dinamakan strategi heuristic, yang berarti saya menemukan. Hasil belajar siswa berupa proses dan psikomotor pada kelas kontrol tidak ada, karena siswa pada kelas kontrol hanya belajar di dalam kelas dengan bantuan bahan ajar dan buku paket pegangan siswa. Dari proses belajar tersebut siswa kelas perlakuan diharapkan memperoleh pengetahuannya sendiri dari data-data yang telah diperoleh dari lingkungan tempat belajarnya; dalam penelitian ini tempat belajarnya adalah lingkungan kawasan pasar di sekitar sekolah. Ahli konstruktivis Piaget, Vygotsky dalam Ibrahim dkk. (2000) menekankan kebutuhan siswa menyelidiki lingkungan dan membangun sendiri pengetahuan bermakna pada diri siswa. Menurut Susilo (2003), siswa melakukan serangkaian kegiatan intelektual agar pengalaman (masalahnya) dapat dipahami. Inkuiri menekankan pada adanya inisiatif siswa untuk mengalami proses belajarnya sendiri. Melalui pendekatan ini siswa diberi kesempatan mencari dan menemukan keteraturan-keteraturan dan hal-hal yang berhubungan dengan pengamatan dan pengalaman sendiri. Selain itu belajar melalui inkuri memperpanjang proses ingatan. Dengan kata lain, hal-hal yang dipelajari melalui inkuri lebih lama diingat oleh siswa (Dahar dan Liliasari, 1886). Steven dan Slavin (1995) menyatakan bahwa dengan pembelajaran kelompok/kooperatif, hasil belajar lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang diorganisasikan secara tradisional/konvensional. 2) Perilaku Berkarakter Siswa Perilaku berkarakter siswa dalam kegiatan belajar mengajar pertemuan I pada konsep jenis-jenis limbah menunjukkan skala kemajuan dan memerlukan perbaikan. Hal ini terlihat dari penilaian observer terhadap 7 perilaku berkarakter yang seharusnya ditunjukkan oleh siswa dalam pembelajaran: ketelitian, kejujuran, peduli, komunikasi, kerjasama, terbuka, menghargai teman, dan bertanggungjawab. Perilaku berkarakter yang diharapkan ada pada diri siswa secara umum menunjukkan peningkatan dari pertemuan I ke pertemuan II. Ini dapat dilihat dari kondisi siswa yang sudah mulai termotivasi dan merasa senang, ketika teman memperlakukannya dengan baik. Seyogyanya teman itu pun menginginkan perlakuan yang sama olehnya. Di sini siswa dapat mengontrol dan mempertimbangkan perilakunya agar satu sama lain merasa nyaman dan berjalan ke arah yang lebih baik. Tujuh perilaku berkarakter yang diamati selama kegiatan belajar mengajar dengan jumlah siswa 31 orang sudah tergolong dalam skala sangat baik dan memuaskan. Artinya, pembelajaran ini mampu meningkatkan perilaku berkarakter siswa. Pembelajaran ini tidak hanya meningkatkan hasil belajar, tetapi juga meningkatkan perilaku berkarakter siswa. Anitah dkk. (2008) berpendapat bahwa 14
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
pembelajaran kooperatif yang dipadukan dengan pembelajaran berbasis inkuiri memberi siswa kesempatan untuk membina rasa tanggung jawab, rasa toleransi. Lebih jauh siswa akan memahami materi pelajaran yang bersifat problematik dengan alternatif penyelesaiannya. Secara langsung siswa akan belajar berpikir logis, kritis, dan kooperatif dalam memberikan alternatif penyelesaian masalah melalui kesempatan kelompok. Oleh karena itu perlu dikembangkan dalam pembelajaran agar siswa memiliki kemampuan sosial, seperti bekerja sama, berkomunikasi, bermusyawarah, dan berinteraksi yang dibentuk melalui kelompoknya. Melalui belajar kelompok siswa tidak hanya mendapat kesempatan untuk mengembangkan konsep, tetapi juga kesempatan untuk mengembangkan aktivitas sosial, sikap dan nilai (Depdikbud, 1990 dalam Anitah dkk, 2008). Menurut Kunandar (2007), di dalam pembelajaran berbasis inkuiri yang mengikuti metode sains, siswa belajar menjadi seorang ilmuwan. Siswa tidak hanya belajar tentang konsep atau fakta, tetapi juga proses dan sikap. Dalam buletin Character Educator, yang terbitan Character Education Partnership diuraikan hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of MissouriSt. Louis yang menunjukkan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik (Suyanto, 2009). 3) Kinerja Siswa Skor rerata setiap perilaku siswa yang menunjukkan kinerja secara umum meningkat. Peningkatan skor rerata kinerja yang paling banyak dilakukan oleh siswa dari pertemuan I ke pertemuan II adalah interaksi antar-siswa dan juga penyelidikan (rerata sama, 1,84), menggabungkan instruksi di kelas dengan konteks realistis (rerata 1,00), standar yang kompoten di dunia nyata (rerata 0,83), kriteria proses (kreativitas, kerapian, penggunaan sumber daya, dan lain-lain) dan mewakili kehidupan nyata bukan buku kerja (nilai rerata sama, 0,67), integrasi pengetahuan (rerata 0,66), mendiskusikan ide/materi ajar dan mengkritik/menganalisis respon siswa lain serta melakukan hal-hal rutin dengan menggunakan informasi yang diperoleh (rerata 0,50), menulis tugas dan memberi pendapat secara informal (rerata 0,34), identifikasi peran siswa, kinerja oral, membaca/mempresentasikan tugas, membaca teks/bahan pembelajaran, kriteria produk (keakuratan, keterpakaian, dan lain-lain) (rerata sama, 0,33), interaksi guru dan siswa serta identifikasi tugas terhadap bahan pendukung atau bahan ajar (rerata 0,17), dan pertanyaan-pertanyaan lisan (0,16).
15
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Kinerja siswa dalam pembelajaran pada pertemuan I dan pertemuan II berubah sangat baik dan skor rerata setiap kategori perilaku siswa yang menunjukkan kinerja secara umum meningkat. Pada pertemuan I masih banyak aktivitas siswa yang kinerjanya kurang. Hal ini, karena siswa belum terkondisi dengan keadaan yang dibentuk dari perbedaan latar belakang dan taraf pengetahuan, lingkungan sosial ekonomi, dan gaya belajar. Siswa belum memahami cara belajar dari guru, sehingga masih banyak yang kurang melakukan aktivitas yang seharusnya, kurang motivasi dalam diri siswa sendiri untuk melaksanakan pembelajaran karena pembelajaran ini masih baru bagi mereka. Siswa masih bingung dan belum bisa melaksanakan sepenuhnya proses belajar mengajar. Belajar memerlukan motivasi. Hasilnya akan optimal, kalau ada motivasi. Makin tepat motivasi yang diberikan, makin berhasil pula pelajaran. Motivasi berarti serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin melakukan sesuatu. Bila tidak suka, siswa akan berusaha meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu. Jadi motivasi dapat dirangsang oleh faktor dari luar, tetapi tumbuh di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberi arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh siswa dapat tercapai. Jadi motivasi akan senantiasa menentukan intensitas usaha belajar para siswa (Sardiman, 2006). Pada pertemuan II semua kategori kinerja siswa dapat dimaksimalkan. Dari semua kategori kinerja siswa tersebut peningkatan skor rerata kinerja yang paling menonjol adalah interaksi siswa dengan siswa dan juga melakukan penyelidikan (rerata sama, 1,84), menggabungkan instruksi di kelas dengan konteks realistis (rerata 1,00), standar yang kompoten didunia nyata (rerata 0,83), kriteria proses (kreativitas, kerapian, penggunaan sumber daya, dan lain-lain) dan mewakili kehidupan nyata bukan buku kerja (rerata sama, 0,67), dan integrasi pengetahuan (rerata 0,66). Pada pertemuan II ini siswa sudah terkontrol dan lebih fokus terhadap masalah pada saat pembelajaran berlangsung. Siswa pun mengerti dan menyadari pentingnya pemahaman konsep jenis-jenis limbah dan daur ulang limbah, bukan sekedar teori, melainkan kebermaknaan nyata di lingkungan sekitar siswa sehingga mereka sudah mulai terpusat pada pembelajaran yang disajikan guru. Hal ini menggambarkan bahwa siswa bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan lebih termotivasi mengikutinya. Dengan demikian, pembelajaran berbasis inkuiri dengan setting kooperatif tipe penyelidikan kelompok dapat meningkatkan kinerja siswa selama proses belajar mengajar. Mulyanto (2005) menegaskan bahwa KTSP memberikan sinyal dalam implementasinya menggunakan strategi dengan menekankan pada aspek kinerja siswa (Contextual Teaching and Learning). CTL menyampaikan pesan yang 16
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
menekankan pada (1) menghubungkan pengetahuan dan keterampilan, (2) mempelajari konsep-konsep abstrak dengan melakukan aktivitas-aktivitas praktis, dan (3) menghubungkan pelajaran sekolah dan dunia nyata. Peran sentral ini memiliki arti bahwa belajar dengan melakukan sesuatu membuat hubungan-hubungan menghasilkan makna, dan pada saat melihat makna, pengetahuan dan keterampilan diperoleh dan diserap. Jadi, fungsi dan peranan guru hanya sebagai mediator-siswa untuk lebih proaktif merumuskan sendiri fenomena berkaitan dengan fokus kajian secara kontekstual, bukan tekstual. Pendekatan yang digunakan dalam implementasi perangkat pembelajaran ini adalah pendekatan konstruktivis, pendekatan yang berciri student centered yang ditekankan kepada learning, juga memerhatikan prinsip-prinsip Contextual Teaching and Learning (Mulyanto, 2005). Salah satu bentuk pembelajaran yang disarankan dari KTSP adalah pembelajaran berbasis inkuiri (Kunandar, 2007). Inkuiri merupakan kegiatan inti dari pembelajaran berbasis Contextual Teaching and Learning. Pengetahuan dari keterampilan yang diperoleh siswa bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Berlyne dalam Slavin (2008) menyatakan bahwa belajar menggunakan pendekatan inkuiri akan memacu kehendak-tahuan siswa, memotivasi untuk melanjutkan pekerjaan hingga menemukan jawaban. Selain itu, siswa juga dapat memecahkan masalah secara mandiri dan keterampilan berfikir kritis karena harus selalu menganalisis dan menangani informasi. Dengan demikian, jika pembelajaran dengan pendekatan inkuiri sudah dilaksanakan baik, tiga tujuan dapat dicapai sekaligus, yaitu (a) merangsang rasa ingin tahu pada siswa, (b) menemukan informasi atau pengetahuan yang merupakan jawaban pertanyaan dan masalah yang diajukan, dan (c) melatih keterampilan metode ilmiah melalui kerja ilmiah sehingga sekaligus menghayati bagaimana kerja keras dilakukan oleh para ilmuwan (Ibrahim, 2005). Pembelajaran berbasis inkuiri dengan setting kooperatif tipe penyelidikan kelompok merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan lingkungan siswa, sehingga menjadi konteks pembelajaran yang bermakna, yang akan mampu membawa siswa ke dalam kajian isi pembelajaran dan konsep yang relevan bagi mereka dan memberi makna dalam kehidupan sehari-hari. 4) Aktivitas Guru dalam Pembelajaran Pada pertemuan I hasil observasi aktivitas guru dari dua orang pengamat mulai dari tahap persiapan hingga tahap pelaksanaan hanya ada 3 aspek yang mendapat nilai cukup baik yaitu persiapan secara keseluruhan, selalu mengingatkan siswa untuk melakukan perilaku berkarakter dan keterampilan sosial dan suasana kelas. Guru belum maksimal melaksanakan pembelajaran (seperti pada pendahuluan 17
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
dalam bertanya jawab dengan siswa) serta kurang mengorganisasi dengan baik tahap kegiatan inti (terutama dalam hal meminta siswa memberi hipotesis, membimbing siswa dalam mendiskusikan hasil penyelidikan serta pengelolaan waktu). Keterbatasan waktu menjadi alasan, karena pelaksanaan pembelajaran ini membutuhkan waktu yang relatif banyak. Guru perlu memperhatikan alokasi waktu yang disediakan agar tujuan pembelajaran tercapai secara optimal. Pada pertemuan II, aktivitas guru sudah berkategori baik dan sesuai dengan prosedur. Terlihat jelas penurunan dominansi aktivitas guru. Sebaliknya, siswa terlibat aktif dalam pembelajaran. Siswa antusias mengikuti pelajaran. Pengelolaan waktu sudah baik, karena guru dan siswa sudah mulai termotivasi dan mampu melaksanakan tahapan-tahapan pembelajaran. Guru lebih memosisikan dirinya sebagai fasilitator, yang memberi kemudahan belajar kepada siswa. Peserta didik terlibat aktif dalam pembelajaran, sedangkan guru lebih banyak memberi arahan dan bimbingan serta mengatur sirkulasi dan jalannya pembelajaran. Sardiman (2006) menegaskan bahwa yang terpenting dalam pembelajaran adalah bagaimana guru menciptakan kondisi atau proses yang mengarahkan siswa melakukan aktivitas belajar. Sudah barang tentu peran guru sangat penting. Guru melakukan usaha-usaha untuk menumbuhkan dan memberikan motivasi agar anak didik melakukan aktivitas belajar dengan baik. Untuk belajar dengan baik diperlukan proses dan motivasi yang baik pula. Motivasi belajar siswa akan muncul apabila guru dapat memberikan suasana belajar yang kondusif, menyenangkan, dan efektif (Anitah dkk., 2008). Belajar efektif dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Kegiatan inkuiri dimulai ketika pertanyaan atau permasalahan diajukan dan siswa diminta merumuskan hipotesis. Menurut Anitah dkk. (2008), umumnya tujuan bertanya adalah memperoleh informasi. Namun, kegiatan bertanya guru juga meningkatkan interaksi guru dengan siswa serta siswa dengan siswa. Dengan demikian, pertanyaan guru tidak hanya mendapat informasi tentang pengetahuan siswa, tetapi juga mendorong siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Suparno (2001) mengemukakan bahwa sebelum mengajar (tahap persiapan), guru diharapkan mempersiapkan bahan ajar, mempersiapkan alat peraga/praktikum yang akan digunakan, mempersiapkan pertanyaan dan arahan untuk memancing siswa aktif belajar, mempelajari keadaan dan mengerti kelemahan dan kelebihan siswa, serta mempelajari pengetahuan awal siswa. Semuanya akan terurai pelaksanaannya di dalam perangkat pembelajaran. 5) Respon Siswa terhadap Pembelajaran Data terakhir yang juga sangat mendukung dalam peningkatan hasil belajar dan perilaku berkarakter siswa selama mengikuti proses belajar mengajar adalah 18
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
angket respon siswa terhadap pembelajaran. Siswa sangat menyukai proses belajar mengajar yang diterapkan karena pembelajaran tidak monoton, tidak membosankan dan memberikan respon positif, serta merasa termotivasi karena pelaksanaan pembelajaran yang menyenangkan dan jauh dari rasa tertekan. Siswa diberi kebebasan untuk mengeluarkan pendapat. Sardiman (2006) menegaskan belajar akan lebih efektif, bila didorong dengan motivasi, terutama motivasi dari dalam/dasar kebutuhan/kesadaran atau intrinsic motivation. Lain halnya bila belajar dengan rasa takut atau dengan rasa tertekan dan menderita. Menurut Anitah dkk. (2008), siswa akan termotivasi, bersemangat, dan tidak takut mengajukan pendapat, karena diberi keleluasaan menyampaikan pendapat kepada siswa lain, bisa bekerjasama dengan teman, peduli terhadap siswa lain, saling menghargai pendapat, tidak saling mencela (menunjukkan perilaku berkarakter dan keterampilan sosial). Penghargaan dari guru dan temanteman yang diberikan memotivasi siswa untuk tidak takut mengajukan pendapat. Penggunaan media yang dapat diproyeksikan (projected visual) berupa LCD dengan menayangkan macromedia flash tentang konsep pembelajaran jenis-jenis limbah dan daur ulang limbah digunakan untuk memotivasi siswa agar mengarah kepada tujuan pembelajaran. Menurut Anitah dkk. (2008), alat proyeksi berupa LCD bisa dimanfaatkan untuk menata pembelajaran lebih menarik lagi, karena bisa menampilkan berbagai hal terkait dengan pencapaian tujuan pembelajaran dibanding dengan alat proyeksi lain. Sistem pembelajaran dalam pandangan konstruktivis menurut Hudojo (1998) dalam Trianto (2009) mempunyai ciri-ciri (a) siswa terlibat aktif belajar dan belajar materi (pengetahuan) secara bermakna dengan bekerja dan berpikir serta (b) informasi baru harus dikaitkan dengan informasi sebelumnya sehingga menyatu dengan skema yang dimiliki siswa. Implikasi ciri-ciri pembelajaran dalam pandangan konstruktivis adalah penyediaan lingkungan belajar yang konstruktif. Lingkungan belajar yang konstruktif (1) menyediakan pengalaman belajar yang mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sehingga belajar merupakan proses pembentukan pengetahuan, (2) menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, (3) mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman kongkrit, (4) mengintegrasikan pembelajaran yang memungkinkan interaksi dan kerjasama antara siswa, (5) memanfaatkan berbagai media agar pembelajaran lebih menarik, dan (6) melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga biologi lebih menarik bagi siswa. AECT (1997) dalam Anitah dkk. (2008) menegaskan sumber belajar berupa lingkungan sekitar dapat dimanfaatkan menunjang kegiatan belajar mengajar secara optimal. Penyajian materi bernuansa lingkungan dapat dilakukan dengan berbagai 19
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
macam pendekatan; misalnya, pendekatan inkuiri dengan pendekatan kooperatif tipe penyelidikan kelompok yang dipadukan dengan pendekatan lingkungan. Pendekatan lingkungan adalah strategi pembelajaran yang memanfaatkan lingkungan sebagai sasaran belajar, sumber belajar, dan sarana belajar. Hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah lingkungan dan menanamkan sikap cinta lingkungan. Lingkungan dapat digunakan untuk merangsang dan menarik perhatian siswa. Meningkatkan kualitas pembelajaran memerlukan perangkat pembelajaran yang berorientasi pada model pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa serta memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif membangun pengetahuannya sendiri (Woolfolk, 1993 dalam Nur, 1996). Berdasarkan pemahaman tersebut, teori pembelajaran kontekstual berfokus pada multiaspek lingkungan belajar; dalam penelitian ini berupa ruang kelas yang dipadukan dengan pemanfaatan lingkungan sekitar sekolah (kawasan pasar) sebagai sumber belajar pada konsep jenis-jenis limbah dan daur ulang limbah. SIMPULAN DAN SARAN 1. Rerata hasil belajar produk kelas perlakuan meningkat, baik pada pertemuan I maupun pertemuan II, rerata hasil belajar produk dengan pembelajaran ini lebih baik daripada hasil belajar produk tanpa perangkat pembelajaran. 2. Pembelajaran ini berhasil dengan baik dalam peningkatan perilaku berkarakter. 3. Pembelajaran ini berhasil dengan baik dalam peningkatan kinerja siswa. 4. Aktivitas (keterlibatan) guru menurun. Sebaliknya, siswa terlibat aktif dalam pembelajaran pada pertemuan II dibanding dengan pada pertemuan I. 5. Respon siswa terhadap pembelajaran ini menunjukkan hasil positif. Artinya, pembelajaran ini dapat diterima sebagai alternatif model pembelajaran lain. Siswa sangat termotivasi dan senang terhadap pembelajaran yang dilatihkan dan berminat untuk mengikuti pembelajaran berikutnya dengan model serupa. Disarankan kepada guru 1) mempersiapkan perangkat pembelajaran beserta persyaratan lain sedini mungkin, agar pembelajaran bisa diterapkan dengan baik, 2) mempersiapkan dan mengelola waktu pembelajaran dengan sebaik-baiknya, karena pembelajaran berbasis inkuiri dengan setting kooperatif tipe penyelidikan kelompok ini berpusat pada siswa sehingga menuntut manajemen waktu baik.
DAFTAR PUSTAKA Anitah W, Sri. dkk. Terbuka.
2008. Strategi Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas 20
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Arisuweni. 2006. Penggunaan Pendekatan Lingkungan dalam Pembelajaran Saling Ketergantungan untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa: Penelitian Tindakan Kelas di SLTP Kelas I (http://digilib.upi.edu/pasca/available/etd1123106-151053/). Diakses tanggal 10 Mei 2011. Borich, G.D. 2005. Observation Skill for Effective Teaching. New York: Merrill Publishing Company. Dahar, Ratna Wilis, dan Liliasari. 1986. Interaksi Belajar Mengajar IPA. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Universitas Terbuka. Dharma, Surya. 2008. Strategi Pembelajaran dan Pemilihannya. Direktorat Tenaga Kependidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal. Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Departemen Pendidikan Nasional. Eggen, P.D. and D.P. Kauchack. 1996. Strategies for Teachers Teaching Content and Thinking Skills. Boston: Allyn and Bacon. Gage, N.L. 1966. Handbook of Research On Teching Project of The American Educational Research Association. Chicago: A Departement of The National Education Association. Hisyam, Z., M. Bermawy, dan A.S. Ayu. 2008. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta : Pustaka Insan Madani. Ibrahim, Muslimin, Fida Rachmadiati, Mohamad Nur, dan Ismono. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya University Press. Ibrahim, Muslimin. 2005. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) Hakikat, Filosofi, dan Contoh Implementasinya. Banjarmasin: Jurusan PMIPA FKIP UNLAM. Kunandar. 2007. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Mulyanto, H. 2005. Biologi SMA dan Madrasah Aliyah Kelas X Semester 2. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa. Murtiani. 2008. Penggunaan Pendekatan Inkuiri Dengan Pendekatan Kooperatif Untuk Meningkatkan Pemahaman Difusi dan Osmosis Pada Siswa SMP Negeri Batu Ampar. Skripsi. Banjarmasin: Program Studi Pendidikan Biologi FKIP UNLAM (tidak dipublikasikan). Nur, M. 1996. Pola Pembelajaran dan Sosok Tenaga Kependidikan yang Sesuai dengan Tantangan dan Tuntutan Kehidupan Tahun 2020. Makalah Konvensi Pendidikan Indonesia III. Ujung Pandang. 21
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Rosmalina, I. 2010. Penerapan Bahan Ajar Berbasis Inkuiri terhadap Pemahaman Konsep Saling Ketergantungan di Sekolah Dasar Kecamatan Beruntung Baru Kabupaten Banjar. Skripsi. Banjarmasin: Program Studi Pendidikan Biologi FKIP UNLAM.(tidak dipublikasikan). Sardiman, A.M. 2006. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Slavin, Robert E. 2008. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik Edisi Kedelapan Jilid 1. Jakarta: PT Indeks. Steven, R.J. dan R.E. Slavin. 1995. The Cooperative Elementary School Effect on Student Achievement, Attitudes, and Social Relations. American Educational Research journal, 32: 321+ Subandi, A. 2007. KTSP Biologi SMA/MA. (http: //aansma11. blogspot. com/ 2007/ 06/ ktsp-biologi-sma/ma. html). Diakses 13 Mei 2011. Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Suparno, Paul. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget.Yogyakarta: Kanisius. Susilo, Herawati. 2003. Kapita Selekta pembelajaran Biologi. Jakarta: Universitas Terbuka. Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. (http://www. mandikdasmen. depdiknas. go. id/web/pages/urgensi. html). Diakses 1 Desember 2011. Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Surabaya: Kencana Prenada Media Group. Usman, M.U. dan L. Setiawati. 1993. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
22
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN BIOLOGI MELALUI INKUIRI TERBIMBING PADA KONSEP EKOSISTEM DI SMA Norhasanah 1); H. Muhammad Zaini
2)
(1. Dosen FKIP Uvaya Banjarmasin; Alumni Magister Pendidikan Biologi Program Pascasarjana, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. 2. Dosen S1 dan S2 Pendidikan Biologi, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin)
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan pembelajaran biologi melalui inkuiri terbimbing pada konsep ekosistem di SMA. Metode penelitian kuantitatif ini menggunakan rancangan The Counterbalanced Design dengan dua kali pembelajaran. Populasi adalah siswa kelas X SMA Negeri 4 Barabai (157 orang siswa yang terbagi menjadi 6 kelas). Sampelnya 4 kelas yang terdiri atas dua kelas perlakuan dan dua kelas kontrol. Siswa kelas XA 25 orang, XB 28 orang, XE 25 orang, XF 22 orang. Pembelajaran biologi melalui inkuiri terbimbing tergolong efektif. Keterampilan inkuiri terbimbing berkategori baik (skor rerata 3,07), keterampilan menggunakan termometer berkategori baik (rerata 3,32), keterampilan sosial berkategori baik (rerata 3,04), dan perilaku berkarakter berkategori cukup baik (rerata 2,99). Hasil belajar proses dengan skor rerata 76,65% (baik). Hasil belajar kognitif produk antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berbeda secara signifikan; pada pembelajaran 1 (F = 93,31; p = 0,0001) dan pada pembelajaran 2 (F = 87,53; p = 0,0001). Pembelajaran prototipe ini perlu didesiminasikan dalam konteks yang lebih luas sesuai dengan lingkungan belajar yang setara dengan pelaksanaan penelitian. Kata kunci: inkuiri, lingkungan, keefektifan, pembelajaran
PENDAHULUAN Kompetensi pedagogik yang harus dimiliki oleh guru adalah merencanakan dan melaksanakan pembelajaran serta merencanakan dan melaksanakan penilaian. Wujud nyata kompetensi tersebut adalah kemampuan guru untuk mengembangkan perangkat pembelajaran kemudian mengimplementasikannya di dalam proses belajar mengajar di kelas. Menurut Susilo (2009), guru masa depan perlu memiliki pemahaman mendasar yang cukup mengenai materi yang akan diajarkan. Oleh karena itu, guru perlu berlatih agar tertarik dan termotivasi untuk mempelajari dan memiliki pengetahuan yang memadai. Perangkat pembelajaran adalah salah satu wujud persiapan yang dilakukan oleh guru sebelum melakukan pembelajaran. Menurut Supramono (2005), perangkat pembelajaran merupakan faktor yang ikut berperan menentukan keberhasilan sebuah pembelajaran di sekolah. Perangkat pembelajaran merupakan salah satu prasyarat 23
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
terlaksananya proses kegiatan belajar mengajar dengan baik dan benar. Oleh karena itu, perlu dikembangkan perangkat pembelajaran yang betul-betul cocok dengan kondisi karakteristik dan kebutuhan siswa, sehingga perlu penelitian dalam mengembangkan prototipe perangkat pembelajaran berbasis inkuiri terbimbing untuk mengefektifkan pembelajaran dan hasil belajar pada konsep ekosistem di SMA. Pembelajaran biologi dengan konsep ekosistem merupakan salah satu pendekatan lingkungan di SMA. Pembelajaran biologi di SMA pada konsep ekosistem merupakan salah satu contoh pembelajaran di luar kelas (lingkungan alami) untuk memberikan mendorong siswa mampu membangkitkan aktivitas dan kreativitas siswa, sehingga pembelajaran berlangsung secara efektif. Guru sebagai agen pembelajar harus mampu menyajikan pembelajaran secara kontekstual dengan melibatkan langsung peran serta siswa secara aktif. Diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berimplikasi cukup luas dan kompleks terhadap pembelajaran, pengalaman belajar, dan sistem penilaian. KTSP merupakan kurikulum yang mengharapkan pembelajaran di sekolah berorientasi pada penguasaan kompetensi-kompetensi yang telah ditentukan secara integratif. Salah satu bentuk pembelajaran yang disarankan KTSP adalah pembelajaran berbasis inkuiri (Kunandar, 2009). Pendekatan inkuiri merupakan pembelajaran yang dapat diadaptasikan dengan kemampuan siswa, dapat membangun struktur kognitif, dan dapat memotivasi siswa untuk berpikir kritis. Pendekatan inkuiri adalah strategi yang berpusat pada siswa. Kelompok-kelompok siswa dihadapkan pada suatu persoalan atau mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam suatu prosedur dan struktur kelompok yang digariskan secara jelas (Hamalik, 2004). Menurut Gulo (Trianto, 2007), pendekatan inkuiri adalah rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri temuannya dengan penuh percaya diri. Dengan demikian, siswa akan terbiasa dengan sikap para ilmuwan sains, yaitu teliti, tekun/ulet, objektif/jujur, dan menghormati pendapat orang lain. Pendekatan inkuiri terbimbing, menurut Bonnstetter (Ibrahim, 2007) merupakan tingkatan inkuiri yang ke-3. Siswa diberi kesempatan untuk bekerja merumuskan prosedur, menganalisis hasil dan mengambil kesimpulan secara mandiri, sedangkan dalam hal menentukan topik, pertanyaan dan bahan penunjang ditemukan siswa dalam buku petunjuk. Guru hanya berperan sebagai fasilitator. Teori belajar yang melandasi pembelajaran berbasis inkuiri adalah teori belajar konstruktivis. Teori belajar ini dikembangkan oleh Piaget. Menurut Piaget (Ansori, 2008), pengetahuan akan bermakna bila dicari dan ditemukan sendiri oleh siswa. Siswa tingkat SMA mampu menalar hal-hal yang abstrak. Mereka mampu 24
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
bergerak bebas dari satu sudut pandang ke sudut pandang lain. Mereka mampu berpikir secara sistematis dan logis serta bersikap cukup objektif dalam menilai peristiwa. Mereka juga mampu memusatkan perhatian pada beberapa sifat objek atau peristiwa secara serentak dan mengerti hubungan antara dimensi-dimensi. Pembelajaran berbasis inkuiri banyak dipengaruhi oleh aliran belajar kognitif. Menurut aliran ini belajar pada hakikatnya adalah proses mental dan proses berpikir dengan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki setiap individu secara optimal. Belajar lebih dari sekedar menghafal dan memupuk ilmu pengetahuan, tetapi memeroleh pengetahuan bermakna untuk siswa melalui keterampilan berpikir (Sanjaya, 2008). Kubicek (2005) melaporkan bahwa pembelajaran berbasis inkuiri dapat meningkatkan pemahaman siswa melalui pelibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran secara aktif, sehingga konsep yang dicapai lebih baik. Nurgiyanto (2011) melaporkan bahwa penerapan pembelajaran siklus belajar berbantuan media animasi komputer dapat meningkatkan keterampilan kerja ilmiah dan hasil belajar IPA. Amilasari dan Sutiadi (2008) melaporkan bahwa model pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan kecakapan akademik siswa, sedangkan menurut Rozi (2010), terdapat interaksi antara strategi inkuiri dan kemampuan kerja ilmiah terhadap kemampuan pemahaman konsep siswa. Menurut Nugroho (2010), ada pengaruh penerapan pembelajaran strategi inkuiri dengan teknik praktikum terhadap hasil belajar siswa. Menurut Ristanto (2010), terdapat perbedaan pengaruh pembelajaran berbasis inkuiri terbimbing dengan multimedia dan lingkungan riil. Pembelajaran dengan lingkungan riil memberi pengaruh positif pada prestasi dibandingkan dengan multimedia. Pembelajaran dengan menerapkan lingkungan riil sebagai wahana dalam belajar ekosistem cenderung lebih baik daripada menggunakan multimedia. Bilgin (2009) melaporkan bahwa siswa dengan kelompok inkuiri terbimbing yang belajar secara kooperatif mempunyai pemahaman yang lebih baik terhadap penguasaan konsep materi pelajaran dan menunjukkan sikap yang positif. Menurut Hidayat (2005), pendekatan Guide Inquiry dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa serta pengembangan sikap afektif dan psikomotor pada setiap kelompok. Pembelajaran biologi pada konsep ekosistem di SMA kelas X semester 2 melalui pendekatan inkuiri terbimbing belum pernah dilaksanakan. Berdasarkan pada alasan di atas muncul pertanyaan; bagaimana keefektifan pembelajaran biologi melalui inkuiri terbimbing pada konsep ekosistem di SMA?
25
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
METODE Penelitian kuasi eksperimen ini menggunakan The Counterbalanced Design (Campbell & Stanley, 1966). Populasi penelitian adalah siswa kelas X SMA Negeri 4 Barabai (157 orang siswa yang terbagi dalam 6 kelas). Sampel penelitian 4 kelas. Pada pembelajaran 1 kelas perlakuan adalah kelas XB (28 siswa) dan XF (22 siswa), sedangkan kelas kontrol XA (25 siswa) dan XE (25 siswa). Pada pembelajaran 2 kelas perlakuan adalah kelas XA dan XE dan kelas kontrol XB dan XF. Instrumen penelitian adalah prototipe perangkat pembelajaran berupa Silabus, RPP, LKS, Kunci LKS, Tabel Spesifikasi atau Kisi-kisi Lembar Penilaian, Lembar Penilaian Kognitif, Lembar Penilaian Psikomotor, Lembar Penilaian Afektif (perilaku berkarakter dan keterampilan sosial), Kunci Lembar Penilaian, Media, dan Bahan Ajar. Prototipe perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan berdasarkan pada Permendiknas No. 41 Tahun 2007 dan berbasis pendidikan karakter pada konsep ekosistem kelas X di SMA. Langkah-langkah pengembangan prototipe perangkat pembelajaran dirincikan sebagai berikut. (1) Mengembangkan bahan ajar sesuai dengan materi yang akan disampaikan. (2) Menetapkan indikator pencapaian kompetensi berdasarkan kompetensi dasar. (3) Menyusun silabus berdasarkan rambu-rambu dalam KTSP Biologi SMA. (4) Menyusun RPP sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi. (5) Menyusun LKS sesuai dengan materi yang akan disampaikan. (6) Menyusun soal evaluasi berdasarkan indikator pencapaian kompetensi dan kisikisi yang dilengkapi dengan kunci jawaban serta pedoman penskoran. (7) Menyusun instrumen penilaian (kognitif, psikomotor, dan afektif). (8) Menguji coba soal-soal tes kognitif, yang selanjutnya divalidasi dengan menggunakan Tabel FAN. (9) Merevisi prototipe perangkat pembelajaran sesuai dengan saran-saran ahli sehingga dapat diujikan/diterapkan. (10) Menguji/menerapkan prototipe perangkat pembelajaran yang telah divalidasi pada sekolah yang telah ditentukan. (11) Menganalisis data hasil penelitian untuk mengetahui hasil uji coba penerapan prototipe perangkat pembelajaran. (12) Merevisi prototipe perangkat pembelajaran sesuai dengan saran-saran ahli, sehingga dapat menghasilkan produk sebuah prototipe perangkat pembelajaran yang dapat diujikan pada penelitian berikutnya. Teknik pengumpulan data dilakukan secara deskriptif dan kuantitatif. Data keefektifan pembelajaran diperoleh dari hasil observasi keterampilan inkuiri terbimbing, keterampilan menggunakan termometer (LP 3), perilaku berkarakter (LP 26
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
4) dan keterampilan sosial (LP 5). Data hasil belajar proses diperoleh dari LKS dengan menggunakan instrumen kinerja proses (LP 2). Data hasil belajar kognitif produk diperoleh dari tes individual yang merupakan tes awal sebelum pembelajaran dan tes akhir setelah pembelajaran diberikan (LP 1). Teknik analisis data keefektifan pembelajaran terlihat dari keterampilan inkuiri terbimbing, keterampilan menggunakan termometer, perilaku berkarakter, keterampilan sosial di analisis secara deskriptif dengan menggunakan kategorikal. data hasil belajar proses dalam kegiatan inkuiri terbimbing diperoleh dari laporan LKS di analisis secara deskriptif dengan menggunakan kategorikal. Data hasil belajar kognitif produk diperoleh dari tes individual (tes awal dan tes akhir) dan dianalisis dengan teknik analisis kovarian (ANACOVA). Skor rerata tes awal digunakan sebagai kovarian dan diolah dengan Program SAS Release 6.03. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Keterampilan siswa dalam menganalisis dan menyimpulkan hasil pengamatan cukup baik, sedangkan merumuskan prosedur kerja dalam pengamatan dan menyelidiki melalui pengamatan baik (Tabel 1). Keterampilan inkuiri terbimbing siswa adalah baik (3,07). Tabel 1. Hasil observasi keterampilan siswa pada pembelajaran 1 dan 2 Keterampilan Inkuiri Terbimbing Merumuskan prosedur kerja dalam pengamatan Menyelidiki melalui pengamatan
Pembelajaran 1 Rerata Rerata kelas X.B kelas X.F
Pembelajaran 2 Rerata Rerata kelas X.A kelas X.E
Rerata
Kategori
3,00
3,00
3,20
3,10
3,08
Baik
3,20
3,30
3,30
3,50
3,33
Baik
Menganalisis hasil pengamatan
2,90
3,10
2,90
2,80
2,93
Cukup Baik
Menyimpulkan hasil pengamatan
2,90
2,90
3,10
3,00
2,95
Cukup Baik
3,07
Baik
Nilai Rerata Keterangan: (1-1,99) = Kurang; (2 – 2,99) = Cukup Baik; (3– 3,99) = Baik; (4– 4,99) = Sangat Baik
Keterampilan siswa menggunakan termometer (cara memegang, cara membaca skala sejajar, dan ketelitian membaca skala) baik (Tabel 2). Keterampilan siswa menggunakan termometer siswa adalah baik (3,32).
27
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Perilaku berkarakter siswa seperti peduli, kerja sama, terbuka dan menghargai teman rerata cukup baik (Tabel 3). Jujur, teliti, tekun, rasa ingin tahu dan tanggung jawab adalah rerata baik dengan skor rerata keseluruhan 2,99 (cukup baik). Tabel 2. Hasil observasi keterampilan menggunakan termometer pada pembelajaran 1 Pembelajaran 1 Keterampilan Menggunakan Termometer Cara memegang termometer Cara membaca skala sejajar dengan mata
Rerata kelas X.B 3,27 3,47
Rerata kelas X.F 3,47 3,33
Rerata
Kategori
3,37 3,40
Baik Baik
3,13
3,27
3,20
Baik
3,32
Baik
Ketelitian membaca skala Nilai Rerata
Keterangan: (1-1,99) = Kurang; (2 – 2,99) = Cukup Baik; (3– 3,99) = Baik; (4– 4,99) = Sangat Baik
Tabel 3. Hasil observasi perilaku berkarakter siswa pada pembelajaran 1 dan 2 Pembelajaran 1 Perilaku Berkarakter Jujur Teliti Tekun Peduli Rasa ingin Tahu Tanggung Jawab Kerja Sama Terbuka & Menghargai Teman
Pembelajaran 2
Rerata kelas X.B 3,00 3,02 2,66 2,64 3,04 2,72 2,60
Rerata kelas X.F 2,91 3,07 3,14 2,89 2,95 2,84 3,00
Rerata kelas X.A 3,32 2,98 3,06 3,20 3,30 3,34 3,04
Rerata kelas X.E 3,32 3,10 3,16 3,00 3,08 3,10 2,74
Rerata
Kategori
3.14 3.04 3.01 2.93 3.09 3.00 2.85
Baik Baik Baik Cukup Baik Baik Baik Cukup Baik
2,42
3,25
3,02
2,70
2.85
Cukup Baik
2.99
Cukup Baik
Nilai Rerata
Keterangan: (1-1,99) = Kurang, (2 – 2,99) = Cukup Baik, (3– 3,99) = Baik, (4– 4,99) = Sangat Baik
Keterampilan sosial siswa seperti menyumbang ide/pendapat adalah rerata cukup baik (Tabel 4). Bertanya, sebagai pendengar yang baik, dan berkomunikasi adalah rerata baik. Dengan skor rerata keseluruhan 3,04, kegiatan inkuiri adalah baik. Menganalisis hasil pengamatan adalah rerata sedang (Tabel 5). Merumuskan prosedur kerja dalam melakukan pengamatan, melakukan penyelidikan melalui pengamatan, dan membuat kesimpulan berdasarkan hasil pengamatan adalah rerata baik. Dengan skor rerata keseluruhan 76,65%, hasil belajar keterampilan proses dalam kegiatan inkuiri terbimbing siswa adalah baik.
28
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Tabel 4. Hasil observasi keterampilan sosial siswa pada pembelajaran 1 dan 2 Pembelajaran 1 Keterampilan Sosial
Rerata Rerata kelas X.B kelas X.F
Pembelajaran 2 Rerata Rerata Rerata kelas X.A kelas X.E
Kategori
Bertanya
3,00
3,00
3,16
3,14
3,08
Baik
Menyumbang Ide / Pendapat Menjadi Pendengar yang Baik Komunikasi
2,86 3,00 2,78
3,00 3,00 3,05
3,08 3,08 3,54
2,98 2,96 2,96
2,98 3,01 3,08
Cukup Baik Baik Baik
3,04
Baik
Nilai Rerata
Keterangan: (1-1,99) = Kurang; (2 – 2,99) = Cukup Baik; (3– 3,99) = Baik; (4– 4,99) = Sangat Baik
Tabel 5. Hasil belajar proses pada pembelajaran 1 dan 2. Pembelajaran 1 Rerata Rerata kelas X.B kelas X.F Merumuskan prosedur kerja 75,20 75,20 Melakukan penyelidikan 76,80 78,40 Menganalisis hasil pengamatan 75,20 76,80 Membuat kesimpulan 76,00 75,20 Hasil Belajar Keterampilan Proses
Pembelajaran 2 Rerata Rerata Rerata (%) kelas X.A kelas X.E 78,40 76,80 76,40 82,40 80,00 79,40 74,40 72,80 74,80 78,40 74,40 76,00
Nilai Rerata
76,65
Kategori Baik Baik Sedang Baik Baik
Keterangan: Baik (76-100%); Sedang (56-75%); Kurang (40-55%); Buruk (<40%) (Arikunto, 1998)
Pada pembelajaran 1 (konsep komponen ekosistem dan interaksinya), nilai rerata hasil belajar kognitif produk kelas perlakuan meningkat 35,64 dari tes awal 40,52 ke tes akhir 76,16 (Tabel 6). Nilai rerata hasil belajar kognitif produk kelas kontrol meningkat 19,36 dari tes awal 40,88 ke tes akhir 60,24. Selisih nilai hasil belajar kognitif produk pada kelas perlakuan dibandingkan dengan kelas kontrol adalah 16,28. Perbedaan nilai ini signifikan (Tabel 7). Tabel 6. Hasil belajar kognitif produk kelas eksperimen dan kelas kontrol pada pembelajaran 1. Pembelajaran 1 Jumlah Nilai Hasil Belajar Rerata Nilai Hasil Belajar
Kelas Perlakuan Tes awal Tes akhir 2026 3808 40,52 76,16
Kelas Kontrol Tes awal Tes akhir 2044 3012 40,88 60,24
29
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Tabel 7. Hasil analisis kovarian pada pembelajaran 1. Probabilitas Keterangan (α = 0,05)
Sumber
DF
JK/SS
RK/MS
F
Regresi Residual Total
2 97 99
12262,30 6373,70 1863,00
6131,14 65,70
93,31
0,0001
Signifikan
Keterangan: R-Square = 0,657990, C.V = 11,88573
Pada pembelajaran 2 (konsep aliran energi dan daur biogeokimia), nilai rerata hasil belajar kognitif produk kelas perlakuan meningkat 34,40 dari tes awal 40,64 dan tes akhir 75,04 (Tabel 8), sedangkan kelas kontrol meningkat 20,48 dari tes awal 40,56 dan tes akhir 61,04. Peningkatan hasil belajar kognitif produk pada kelas perlakuan dibandingkan dengan kelas kontrol adalah 13,92. Peningkatan hasil belajar kognitif produk kelas perlakuan dan kelas kontrol berbeda signifikan (Tabel 9). Tabel 8. Hasil belajar kognitif produk kelas eksperimen dan kelas kontrol pada pembelajaran 2. Pembelajaran 2 Jumlah Nilai Hasil Belajar Rerata Nilai Hasil Belajar
Kelas Perlakuan Tes awal Tes akhir 2032 3752 40,64 75,04
Kelas Kontrol Tes awal Tes akhir 2028 3052 40,56 61,04
Tabel 9. Hasil analisis kovarian pada pembelajaran 2. Sumber
DF
JK/SS
RK/MS
F
Probabilitas (α = 0,05)
Keterangan
Regresi Residual Total
2 97 99
8288,30 4592,45 12880,75
4144,14 47,34
87,53
0,0001
Signifikan
Keterangan: R-Square = 0,643464, C.V = 10,11133
Pembahasan Skor keterampilan inkuiri terbimbing secara keseluruhan (3,07 menunjukkan bahwa siswa melaksanakan pembelajaran dalam kegiatan inkuiri terbimbing sudah baik atau pembelajaran sudah efektif. Keefektifan pembelajaran tidak terlepas dari bimbingan guru kepada siswa, sehingga siswa mampu mencapai tujuan pembelajaran yang seharusnya dikuasai. Dalam pembelajaran efektif, hal yang dihasilkan harus dikuasai siswa setelah pembelajaran berlangsung. Melalui pembelajaran ini, guru membimbing siswa dalam menemukan sendiri jawaban dari permasalahan yang ingin dipecahkan. Materi 30
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
pelajaran bukan sebagai tujuan utama pembelajaran. Yang lebih dipentingkan adalah proses belajar. Menurut Kubicek (2005), pembelajaran berbasis inkuiri dapat meningkatkan pemahaman siswa dengan melibatkan siswa dalam proses kegiatan pembelajaran secara aktif, sehingga konsep yang dicapai lebih baik. Amilasari dan Sutiadi (2008) mengatakan bahwa efektivitas pembelajaran model pembelajaran inkuiri berada pada kriteria sedang dan dapat meningkatkan kecakapan akademik siswa. Rozi (2010) melaporkan pemahaman konsep siswa dari hasil belajar dan kemampuan kerja ilmiah dengan strategi inkuiri terbimbing lebih tinggi daripada dengan strategi inkuiri terstruktur. Ali (2011) menemukan bahwa keterlaksanaan pembelajaran inkuiri dengan pemberian umpan balik terhadap jurnal belajar IPA kategori baik dan dapat meningkatkan kemampuan unjuk kerja siswa kelas VII B SMP Negeri 5 Probolinggo. Pembelajaran inkuiri dapat mendorong siswa untuk belajar melalui keterlibatannya secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Guru mendorong serta memberikan bimbingan dana arahan pada siswa untuk memiliki pengalaman dan mengamati langsung lingkungan alami, sehingga memungkinkan siswa menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Keterampilan menggunakan termometer (psikomotor) siswa secara keseluruhan 3,32 (baik). Dengan bimbingan dan arahan guru, siswa mampu menggunakan termometer dengan baik, melaksanakan tugas atau aktivitas, serta mampu mendemonstrasikan suatu aktivitas kepada pembelajar yang lain. Skor perilaku berkarakter siswa dalam kegiatan inkuiri terbimbing secara 2,99 (cukup baik). Dalam pembelajaran siswa belum pernah dilaksanakan pembelajaran berbasis pendidikan karakter, sehingga siswa belum terbiasa dengan penilaian karakter siswa. Pembelajaran inkuiri menumbuhkan perilaku berkarakter seperti jujur, teliti, tekun, rasa ingin tahu dan tanggung jawab, peduli, kerja sama, terbuka dan menghargai teman. Dengan demikian, siswa akan mendapat pengetahuan, keterampilan dan penanaman sikap mental/nilai-nilai. Skor keterampilan sosial siswa dalam kegiatan inkuiri terbimbing 3,04 (baik). Hal ini sejalan dengan Bilgin (2009) yang melaporkan bahwa siswa dengan kelompok inkuiri terbimbing yang belajar secara kooperatif mempunyai pemahaman lebih baik dan menunjukkan sikap positif. Menurut Kartikowati (2011), pendekatan pembelajaran penemuan (Discovery) dapat meningkatkan keaktifan, kreativitas, realistik dan menyenangkan, serta meningkatkan rasa percaya diri pada siswa dan melatih siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya. Bertanya, menjadi pendengar yang baik, berkomunikasi, dan menyumbang ide/pendapat adalah keterampilan sosial dan aktivitas berhubungan dengan orang lain. Melalui pengalaman sosial, siswa tidak hanya dituntut untuk mempertimbangkan atau 31
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
mendengarkan pandangan orang lain, tetapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa ada aturan lain di samping aturan sendiri. Hasil belajar proses siswa adalah 76,65% (baik). Guru berperan memberi bimbingan dan arahan pada siswa pada saat proses belajar berlangsung. Menurut Ali (2011), implementasi pembelajaran inkuiri dengan pemberian umpan balik terhadap jurnal belajar IPA dapat meningkatkan kemampuan unjuk kerja dan prestasi belajar siswa. Kegiatan penyelidikan membantu siswa memahami apa yang terjadi dan membuat siswa lebih mengerti segala hal. Pada saat kegiatan belajar berlangsung siswa dibiarkan mencari atau menemukan sendiri makna segala hal yang dipelajari. Mereka diberi kesempatan berperan sebagai pemecah masalah seperti yang dilakukan para ilmuwan. Dengan cara tersebut, diharapkan siswa mampu memahami konsepkonsep dalam bahasa mereka sendiri. Menurut Nugroho (2010), ada pengaruh penerapan pembelajaran strategi inkuiri dengan teknik praktikum terhadap hasil belajar siswa. Menurut Basith (2011), penggunaan ICT dengan strategi inkuiri pada pembelajaran kontekstual memberikan pengaruh signifikan terhadap pembelajaran dan hasil belajar biologi. Hidayat (2005) melaporkan bahwa penggunaan pendekatan Guide Inquiry dengan kegiatan laboratorium menunjukkan hasil positif. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran dengan pendekatan inkuiri berpengaruh positif terhadap hasil belajar. Pembelajaran berbasis inkuiri merupakan pendekatan yang cocok untuk menemukan konsep-konsep secara mandiri, sehingga pembelajaran lebih efektif dan lebih bermakna. Dengan kalimat lain, pembelajaran berbasis inkuiri terbimbing melatih siswa SMA Negeri 4 Barabai untuk berpikir secara sistematis, logis, dan abstrak. Ini terjadi karena siswa berperan secara aktif dan bersungguh-sungguh, sehingga hasil belajar yang baik. Hasil belajar siswa yang baik tidak lepas dari faktor-faktor seperti sumber belajar dan media belajar. Sumber belajar pada konsep ekosistem menggunakan pendekatan lingkungan, karena pembelajaran dilaksanakan pada lingkungan alami. Di lingkungan alami, seperti ekosistem sawah, siswa diharapkan memperoleh pengetahuannya sendiri dari lingkungan tempat belajar. Ristanto (2010) mengemukakan bahwa pembelajaran dengan lingkungan riil memberikan pengaruh lebih positif dibandingkan dengan multimedia. Pada penelitian ini, media belajar macro media flash memudahkan siswa memahami konsep daur biogeokimia. Sebelumnya Wahyudin dalam Jurnal (2010) menjelaskan bahwa keefektifan pembelajaran berbantuan multimedia menggunakan metode inkuiri terbimbing meningkatan minat dan pemahaman siswa. Nurgiyanto
32
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
(2011) menjelaskan pembelajaran menggunakan media animasi komputer dapat meningkatkan kerja ilmiah dan hasil belajar IPA. Pembelajaran berbasis inkuiri banyak dianjurkan karena merupakan pembelajaran yang menekankan kepada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik secara seimbang, sehingga pembelajaran dianggap lebih bermakna. Hasil belajar yang dicapai siswa juga dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni faktor dari diri siswa itu sendiri dan faktor dari luar diri siswa. Menurut Slameto (2010), faktor internal terdiri atas 1) faktor fisiologis misalnya kondisi fisiologis, dan kondisi panca indera, 2) faktor psikologis misalnya intelegensi, minat bakat, motivasi, dan kemampuan kognitif. Implementasi pembelajaran inkuiri tidaklah semudah yang dibayangkan. Dalam penerapannya terdapat berbagai kesulitan. Selama ini guru yang sudah terbiasa dengan pola pembelajaran yang lebih menekankan kepada hasil belajar merasa keberatan untuk mengubah pola mengajarnya. Selain itu, pembelajaran inkuiri sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa, sulit dalam merencanakan pembelajaran oleh karena terbentur dengan kebiasaan siswa dalam belajar, serta memerlukan waktu yang panjang sehingga sering guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan. Pendekatan inkuiri memiliki keunggulan. Satu di antaranya adalah memberi ruang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka serta dapat melayani kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan di atas rerata. Pembelajaran inkuiri dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat pengalaman. Setiap keberhasilan proses belajar mengajar diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang dicapai siswa. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas pengkonstruksian pengetahuan, dan penciptaan makna, serta dari komunitas budaya tempat pengetahuan didesiminasikan dan diterapkan. Dalam pembelajaran dengan pendekatan inkuiri, siswa akan dihadapkan pada suatu permasalahan yang harus diamati, dipelajari, dan dicermati, yang pada akhirnya meningkatkan pemahaman konsep dalam kegiatan pembelajaran. Secara logika apabila partsipasi siswa meningkat dalam kegiatan pembelajaran, secara otomatis pemahaman konsep materi pembelajaran meningkat dan pada akhirnya prestasi belajar pun dapat meningkat. SIMPULAN DAN SARAN Pembelajaran biologi melalui inkuiri terbimbing pada konsep ekosistem di SMA tergolong efektif. Hasil belajar proses siswa berkategori baik. Hasil belajar kognitif produk antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berbeda signifikan.
33
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Pembelajaran dengan prototipe ini perlu didesiminasikan dalam konteks lebih luas sesuai dengan lingkungan belajar yang setara dengan pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Ali, Toni Gigih Pradono. 2011. Implementasi Pembelajaran Inkuiri dengan Pemberian Umpan Balik terhadap Jurnal Belajar untuk Meningkatkan Kemampuan Unjuk Kerja dan Prestasi Belajar pada Siswa Kelas VII B SMP Negeri 5 Probolinggo. Tesis, Program Studi Pendidikan Dasar Konsentrasi Pendidikan IPA SMP, PPs UM. (http://karya-ilmiah.um.ac.id/index. php/disertasi/ diakses 15 Juni 2011). Amilasari dan Asep Sutiadi. 2008. Peningkatan Kecakapan Akademik Siswa SMA dalam Pembelajaran Fisika melalui Penerapan Pembelajaran Inkuiri Terbimbing. Jurnal Pengajaran MIPA, 12(2). FPMIPA UPI Bandung (http://asep-sutiadi.staf.upi.edu/ publikasi-ilmiah/jurnal-penelitian, diakses tanggal 10 Juni 2011). Ansori, Mohammad. 2008. Psikologi Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima. Basith, Abdul, 2011, Pengaruh Pembelajaran Berbasis ICT dengan Strategi Inkuiri Pada Materi Virus dan Monera terhadap Motivasi dan Hasil Belajar Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Bangil Pasuruan. Tesis. Program Studi Pendidikan Biologi PPs UM. (http://pages-yourfavorite.com/ppsupi/abstrakipa 2005.html, diakses 10 Februari 2011). Bilgin, Ibrahim. 2009. The Effects of Guided Inquiry Instruction Incorporating a Cooperative Learning Approach on University Students’ Achievement of Acid and Bases Concepts and Attitude Toward Guided Inquiry Instruction. Scientific Research and Essay, 4(10):1038-1046. Hidayat, Wahyu. 2005. Abstrak Thesis 2005 Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam. Pendekatan Pembelajaran Guide Inquiry dengan Kegiatan Laboratorium pada Pokok Bahasan Koloid. (http://pagesyourfavorite.com/ppsupi/abstrakipa 2005.html, diakses 10 Februari 2011). Campbell, Donald T. & Julian C, Stanley. 1996. Experimental and QuasiExperimental Designs for Research On Teaching. Dalam: Gage N.L. (penyunting). Handbook of Research On Teaching. A Project of The American Educational Research Association. Department of The National Education Association. Chicago. Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Kartikowati, Tatik. 2011. Meningkatkan Keaktifan dan Prestasi Belajar Fisika dengan Pendekatan Pembelajaran Penemuan (Discovery) pada Siswa Kelas VIII-2 SMPN 3 Tulungagung.Tesis. Jurusan Program Studi Pendidikan Dasar Konsentrasi Pendidikan IPA SMP, PPs UM. (http://karya-ilmiah.um.ac.id/ index.php/disertasi/ article, diakses 15 Juni 2011).
34
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Kubicek, P. John. 2005. Inquiry-based learning, the nature of science, and computer technology: New possibilities in science education. Canadian Journal of Learning and Technology. 31(1):1-5. Kunandar. 2009. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Penerbit Raja Grafindo Persada. Nugroho, Cahyono. 2010. Pengaruh Penerapan Strategi Pembelajaran Inkuiri dengan Teknik Praktikum pada Materi Pembelahan Sel terhadap Motivasi dan Hasil Belajar Siswa Kelas XII-IPA SMA Negeri 8 Malang. Tesis. Program Studi Pendidikan Biologi, PPs, UM. (http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/ disertasi, diakses 15 Juni 2011). Nurgiyanto, Heru. 2011. Penerapan Pembelajaran Siklus Belajar Berbantuan Media Animasi Komputer untuk Meningkatkan Keterampilan Kerja Ilmiah dan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas VIII-H SMP Negeri 4 Kepanjen Kabupaten Malang. Tesis, Program Studi Pendidikan Dasar, Pendidikan IPA Terpadu, PPs UM. Ristanto, R. Hendi. 2010. Pembelajaran Berbasis Inkuiri Terbimbing dengan Multimedia dan Lingkungan Riil ditinjau dari Motivasi Berprestasi dan Kemampuan Awal. Tesis. PPS Universitas Sebelas Maret. Surakarta. (http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/pdf, diakses 9 Juni 2011). Rozi, Khusnur. 2010. Efektivitas Strategi Inkuiri Terbimbing terhadap Pemahaman Konsep Fisika Ditinjau dari Kerja Ilmiah Siswa SMA Negeri 1 Pandaan Tahun Pelajaran 2009/2010. Tesis. Jur. Pendidikan Fisika, PPs UM (http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article, diakses 15 juni 2011). Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran Berorentasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Slameto, 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Penerbit Rhineka Cipta. Supramono. 2005. Pengembangan Model Perangkat Pembelajaran dan Penerapannya dalam Kegiatan Belajar Mengajar dengan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Keterampilan Berpikir Siswa SD. Disertasi. PPs UM Malang. Tidak dipublikasi. Susilo, Herawati & Chotimah Husnul. 2009. Bagaimana menjadi Guru Masa Depan yang Cerdas dan Profesional? Malang: Surya Pena Gemilang. Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Surabaya. Wahyudin, Sutikno, A. Isa. 2010. Keefektifan Pembelajaran Berbantuan Multimedia Menggunakan Metode Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan Minat dan Pemahaman Siswa. Unnes. Jurnal Pend. Fis. Ind., 6(32):1 (http://journal.unnes.ac.id/index.php/JPFI/article/view/141/146, diakses 19 Juni 2011). 35
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
PEMAHAMAN, KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS, DAN ETIKA LINGKUNGAN SISWA PADA PEMBELAJARAN KONSEP EKOSISTEM MELALUI PENDEKATAN INKUIRI DI SMPN I KUSAN HILIR KABUPATEN TANAH BUMBU Dini Pusparini (Guru SMPN I Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Bumbu)
Abstrak Penelitian yang memadukan sejumlah pendekatan pada siswa SMP dengan kondisi alam spesifik belum pernah dilaksanakan. Hal itu juga terjadi di Kecamatan Kusan Hilir. Penelitian bertujuan untuk mengukur hasil belajar siswa, keterampilan berpikir kritis siswa, aktivitas siswa, etika lingkungan dan hubungan antara kemampuan kognitif dengan etika lingkungan siswa SMP Negeri I Kusan Hilir pada konsep ekosistem melalui pendekatan inkuiri. Data dianalisis secara deskriptif kuantitatif yang menggunakan tabulasi. Hubungan kemampuan kognitif dengan etika lingkungan diuji korelasi. Sembilan puluh lima persen siswa mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal sekolah (KKM = 70), kemampuan berpikir kritis melalui pengamatan dan inferensi menunjukkan kategori baik, etika lingkungan siswa menunjukkan 93,5% baik, 4,5% cukup baik dan 2% kurang baik. Aktivitas siswa yang paling dominan adalah penyelidikan (19,5%), pemasukan data ke dalam tabel (18%), dan berdiskusi (17%). Kemampuan kognitif berkorelasi baik dengan etika lingkungan secara statistik. Kata kunci: pemahaman, keterampilan berpikir, etika, ekosistem, inkuiri.
PENDAHULUAN Ekosistem mangrove di kawasan pesisir Pantai Pagatan Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan kurang lebih 20 tahun yang silam sangat berbeda dengan kondisi sekarang. Dalam pemanfaatan mangrove, masyarakat di sekitar pesisir tidak memikirkan pemulihannya, sehingga kondisi mangrove saat ini memrihatinkan. Abrasi memorakporandakan pesisir pantai sampai badan jalan. Untuk memerlambat abrasi, pemerintah berusaha untuk membuat bedeng. Pemulihan kelestarian ekosistem mangrove tentu tidak dapat ditumpukan pada orang tua sekarang, tetapi pada generasi saat ini. Menurut Supramono (2006), perlu diadakan pembenahan dalam bidang pembelajaran IPA di sekolah-sekolah. Bentuk pembenahannya adalah melalui penerapan inovasi pembelajaran sebagai upaya penanaman sikap dan kebiasaan yang benar dalam mengelola lingkungan pesisir
36
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
tempat mereka tinggal. Salah satu materi dalam pembelajaran KTSP yang berkaitan dengan masalah itu adalah konsep pelestarian ekosistem dan pengelolaan lingkungan. Pembelajaran yang mengajak anak ke lingkungan mampu menanamkan konsep etika lingkungan; seperti, bagaimana manusia harus hidup sebagai manusia yang mengatur perilaku dalam hubungannya dengan alam, serta nilai dan prinsif moral apa yang menjiwai perilaku tersebut. Salah satu metode pembelajaran yang mengajak siswa langsung ke lingkungan, sehingga siswa menemukan sendiri masalah-masalah yang ada di lingkungannya adalah pendekatan inkuiri. Pendekatan ini mampu meningkatkan pemahaman dan kemampuan berpikir siswa. Menurut Zaini (2007), lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Lingkungan bisa dibedakan menjadi lingkungan biotik dan abiotik. Berdasarkan Undang-Undang No.23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda dan kesatuan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang melangsungkan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Manusia sebagai penguasa lingkungan hidup di bumi berperan besar dalam menentukan kelestarian lingkungan hidup. Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang berakal budi mampu mengubah wajah dunia dari pola kehidupan sederhana ke bentuk kehidupan modern sampai sekarang ini. Seringkali apa yang dilakukan manusia tidak diimbangi dengan pemikiran akan masa depan kehidupan generasi kehidupan berikutnya. Banyak kemajuan yang diraih oleh manusia membawa dampak buruk terhadap kelangsungan hidup. Sidharta (2010) menjelaskan penerapan pembelajaran melalui pendekatan inkuiri pada mata pelajaran sains dapat meningkatkan hasil belajar dan keterampilan berpikir pada siswa SMP. Melalui peningkatan hasil belajar dan keterampilan berpikir kritis ini, siswa diharapkan lebih memahami konsep sebenarnya tentang lingkungan serta lebih berpikir kritis terhadap fenomena yang terjadi di lingkungan. Pada gilirannya, hal ini diharapkan memunculkan etika lingkungan terhadap lingkungan. Penelitian-penelitian yang memadukan sejumlah pendekatan pada siswa SMP dengan kondisi alam yang spesifik belum pernah dilaksanakan, khususnya di Kecamatan Kusan Hilir. Atas dasar inilah, penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengukur hasil belajar siswa, keterampilan berpikir kritis siswa, aktivitas siswa, etika lingkungan dan hubungan antara kemampuan kognitif dengan etika lingkungan siswa SMP Negeri I Kusan Hilir pada konsep ekosistem melalui pendekatan inkuiri..
37
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
METODE Subyek penelitian deskriptif kuantitatif adalah siswa SMPN I Kusan Hilir Kabupaten Tanah Bumbu. Data dikumpulkan melalui 1) hasil belajar (tes awal dan tes akhir, hasil dan tes formatif, 2) hasil keterampilan berpikir kritis (tes esai dan hasil tes inferensi), 3) aktivitas siswa merupakan data kualitatif yang diobservasi oleh guru dibantu tim observer lain, 4) etika lingkungan diperoleh dari angket yang dibagikan pada siswa, dan 5) analisis korelasi untuk mengukur hubungan kemampuan kognitif siswa dengan etika lingkungan. Indikator hasil belajar menggunakan kategorikal, yakni >95% (istimewa), 80-94,9% (sangat baik), 65-79,9% (baik), 55-64,9% (cukup), 40,1-54,9% (kurang), dan < 40% (sangat kurang) (Arikunto, 1998). HASIL DAN PEMBAHASAN Sembilan puluh lima persen siswa mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal sekolah (KKM = 70) (Dinas Pendidikan Kalimantas Selatan, 2004). Kemampuan berpikir kritis melalui pengamatan dan inferensi menunjukkan kategori baik. Etika lingkungan siswa menunjukkan 93,5% baik, 4,5% cukup baik, dan 2% kurang baik. Aktivitas siswa yang paling dominan adalah penyelidikan (19,5%), pemasukan data ke dalam tabel (18%), dan berdiskusi (17%). Kemampuan kognitif berkorelasi baik dengan etika lingkungan secara statistik. Hasil pada kelas VII C, r hitung 0,781 (≥ r tabel 0,497) dan pada kelas VII E, rhitung 0,570 (≥ r tabel 0,325). Keberhasilan KKM membuktikan bahwa efektifitas kegiatan penyelidikan berdasarkan masalah mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Kemampuan berpikir kritis diindikasikan oleh kemampuan mengamati, mengklasifikasikan temuan, dan manfaat dari hasil temuan. Siswa yang kemampuan mengamati dan mengklasifikasikan temuannya sangat baik serta mampu menjelaskan manfaatnya menunjukkan bahwa siswa telah menyiapkan diri sebelum pembelajaran dimulai serta memiliki motivasi dan percaya diri selama penyelidikan. Belajar berpikir kritis bergantung pada penataan suasana pembelajaran yang mendorong penerimaan pandangan divergen (berbeda) dan diskusi bebas. Penataan seharusnya juga lebih menekankan pada pemberian alasan atau pandangan daripada hanya memberikan jawaban benar. Keterampilan berpikir kritis paling baik dicapai bila siswa menghubungkan diri dengan topik-topik yang dikenalnya; misalnya, lingkungan di sekitar mereka tinggal. Kondisi ini juga dapat lebih memotivasi siswa untuk selalu peduli terhadap kondisi lingkungan. Tujuan pengajaran berpikir kritis adalah menciptakan semangat berpikir kritis yang mendorong siswa mempertanyakan yang mereka dengar dan mengkaji pikiran mereka sendiri untuk memastikan tidak terjadi logika tak-konsisten atau keliru. 38
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Pertanyaan yang diajukan pada tes esai tidak dapat dipisahkan dari konsep berpikir kritis. Konsep berpikir kritis tidak dapat dipisahkan dari konsep inteligensi. Inteligensi bukan sesuatu yang hanya dapat diukur, bukan pula sesuatu yang sematamata pembawaan genetis secara lahiriah. Inteligensi tidak dapat dipisahkan dari konteks tempat manusia hidup dan berkembang. Berpikir kritis pada siswa khususnya menginferensi keadaan nyata merupakan hal penting dalam pendidikan modern. Semua pendidik mestinya harus tertarik mengajarkan berpikir kritis kepada siswanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru tidak terlalu banyak memberi penjelasan. Para siswalah yang aktif menggali informasi yang ada. Dengan demikian, pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru, tetapi berpusat pada siswa. Hasil aktivitas yang terlihat pada pembelajaran melalui pendekatan inkuiri ini juga memperlihatkan tingginya kerjasama antar-siswa maupun antar-kelompok, karena termotivasi untuk menguasai materi pembelajaran dengan baik. Proses belajar dengan strategi kooperatif memungkinkan interaksi antar-anggota-kelompok, sehingga dapat meningkatkan penguasaan dan pemahaman konsep-konsep yang dipelajari Etika lingkungan menjadikan siswa merasa perlu meningkatkan solidaritas sosial di antara sesama serta solidaritas alam dan lingkungan hidup. Siswa juga perlu mengusahakan kecenderungan baru untuk mengurangi berbagai tuntutan dan beban pada lingkungan, sehingga mungkin siswa terpaksa hidup lebih sederhana, tetapi dalam lingkungan hidup yang baik dan lebih sehat. Secara keseluruhan antara kemampuan kognitif dengan kemampuan dalam etika lingkungan siswa berhubungan. Pembelajaran yang melibatkan siswa aktif secara mental selain dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan kemampuan berpikir kritis mereka juga memperoleh 3 hal yakni 1) kesadaran, yaitu memberi dorongan kepada individu untuk memperoleh kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan dan masalahnya, 2) Pengetahuan, yaitu membantu setiap individu untuk mengetahui berbagai pengalaman dan pemahaman dasar tentang lingkungan dan masalahnya, dan 3) Sikap, yaitu membentuk sikap yang lebih peduli terhadap masalah lingkungan. SIMPULAN 1. Hasil yang sangat baik berdasarkan KKM. 2. Kemampuan berpikir kritis siswa melalui pengamatan dan inferensi sederhana berkategori baik. 3. Siswa memiliki etika lingkungan yang baik, sekitar 90% 4. Korelasi antara kemampuan kognitif siswa dengan penilaian etika lingkungan siswa.
39
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Dinas Pendidikan Kalimantas Selatan, 2004. Klasifikasi Hasil Belajar Siswa. Banjarmasin. Supramono, 2006. Pendekatan Sains-Teknologi Masyarakat untuk Meningkatkan Keaktifan dan Konsepsi Siswa Tentang Keanekaragaman hayati dalam Pembelajaran Biologi di SMA. Landasan Jurnal Ilmiah Kependidikan dan Kemasyarakatan. Sidharta, Arief. 2010. Model pembelajaran asam Basa Berbasis Inkuiri laboratorium sebagai wahana Pendidikan Sains Siswa SMP. Jurnal Penelitian Kependidikan, TH.20. NO.1, April 2010. Malang. Zaini,
Muhammad. 2007. Modul tentang Model-model Pembelajaran Konstruktivisme. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin.
40
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW DENGAN PENDEKATAN LINGKUNGAN Rosita (Guru SMA Negeri 13 Banjarmasin)
Abstrak Penelitian bertujuan untuk mengetahui aktivitas siswa selama proses belajar mengajar, mengetahui hasil proses belajar siswa, dan mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dengan pendekatan lingkungan terhadap hasil belajar siswa. Variabel bebas adalah model pembelajaran dan variabel terikatnya hasil belajar siswa. Penelitian dengan rancangan Nonequevalent –Control Group Design dilaksanakan di SMA Negeri 13 Banjarmasin pada Pebruari-Maret 2011. Populasi penelitian 126 siswa dari 4 kelas X SMAN 13 Banjarmasin tahun pelajaran 2010/2011. Sampelnya adalah siswa Kelas X.1 dan Kelas X.3. Teknik pengambilan sampel nonprobability sampling non random. Kelas X.1 dijadikan kelas eksperimen dan kelas X.3 dijadikan kelas kontrol. Aktivitas siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar selama pembelajaran Kooperatif tipe jigsaw dengan pendekatan lingkungan cukup tinggi; 91.98% pembelajaran 1 dan 91.3% pada pembelajaran 2. Aktivitas paling dominan pada pembelajaran 1 maupun pembelajaran 2 adalah berdiskusi dan mengamati. Hasil proses belajar siswa pada pembelajaran 1 tentang Komponen Ekosistem dan Interaksi Organisme dikategorikan baik (75.7%), sedangkan pada pembelajaran 2 tentang Aliran Energi dan Siklus Biogeokimia dikategorikan sedang (74.5%). Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dengan pendekatan lingkungan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa SMA Negeri 13 Banjarmasin tahun pelajaran 2010/2011 (F = 9.12; p = 0.0004 pada pembelajaran 1 dan F = 16.47; p = 0.0004 pada pembelajaran 2. Peningkatan hasil belajar pembelajaran 1 pada kelas eksperimen 18.33 dan kelas kontrol 8.17, sedangkan pada pembelajaran 2 kelas eksperimen 28.26 dan kelas kontrol 3.2. Kata kunci: pembelajaran kooperatif, jigsaw, pendekatan lingkungan, hasil, proses.
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar siswa aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU RI No. 20/2003). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41/2007 tentang Standar Proses, pada bagian pendahuluan menyebutkan pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, serta 41
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologisnya. Berdasarkan pada karakter dan tuntutan materi KTSP untuk bidang studi biologi yang menyediakan berbagai pengalaman belajar untuk memahami konsep dan proses sains, keterampilan proses sains meliputi keterampilan mengamati, mengajukan hipotesis, menggunakan alat dan bahan secara baik dan benar dengan mempertimbangkan keamanan dan keselamatan kerja, mengajukan pertanyaan, menggolongkan dan menafsirkan data, serta mengkomunikasikan hasil temuan secara lisan atau tertulis, menggali dan memilah informasi faktual yang relevan untuk menguji gagasan-gagasan atau memecahkan masalah sehari-hari (BSNP, 2007). Hal ini menuntut guru lebih profesional dan dapat menjawab tantangan tersebut. Salah satu yang harus dilakukan guru adalah memilih dan menetapkan model yang sesuai dengan tuntutan kurikulum yang ada. Oleh karena itu guru harus selalu berusaha mempelajari dan berupaya menerapkan model-model pembelajaran yang membuat pelajaran menjadi lebih menarik dan disukai siswa. Suasana di kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat, agar siswa memperoleh kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain sehingga pada gilirannya diperoleh prestasi belajar yang optimal. Banyak model pembelajaran saat ini yang bisa diterapkan agar terjadi pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan dan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan keterampilan siswa. Di antaranya adalah model pembelajaran kooperatif seperti STAD, Jigsaw, dan Investigasi Kelompok. Jigsaw merupakan satu tipe dari model pembelajaran kooperatif yang bisa diterapkan untuk meningkatkan keaktifan partisipasi siswa pada saat pembelajaran berlangsung. Kenyataannya saat ini tidak semua guru menguasai dan mampu menerapkan model pembelajaran sesuai dengan materi yang diajarkannya. Berbagai pendekatan juga harus dikuasai dan diterapkan oleh guru selain model dalam pembelajaran, misalnya pendekatan tujuan pembelajaran, pendekatan konsep, pendekatan lingkungan, pendekatan proses, pendekatan pemecahan masalah, pendekatan sains teknologi dan masyarakat. Pendekatan lingkungan merupakan suatu pendekatan yang memanfaatkan lingkungan sebagai sasaran, sumber belajar, dan sarana belajar. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah lingkungan dan untuk menanamkan sikap cinta lingkungan. Pemanfaatan lingkungan sebagai sasaran, sumber, dan sarana belajar masih kurang. Umumnya guru jarang membawa siswa keluar kelas baik ke lingkungan sekolah terdekat maupun lingkungan agak jauh. Hal ini disebabkan beberapa faktor; di antaranya adalah waktu terbatas, bobot materi banyak, serta keterbatasan guru mengembangkan inovasi pembelajaran. Sumber belajar tersebar di lingkungan 42
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
dimana siswa tinggal. Jika dilaksanakan, ini membawa siswa ke dalam pembelajaran yang lebih bermakna dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan pendekatan lingkungan berarti mengaitkan lingkungan dalam suatu proses belajar mengajar. Lingkungan digunakan sebagai sumber belajar. Untuk memahami materi yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari sering digunakan pendekatan lingkungan. Saat ini di SMA Negeri 13 Banjarmasin khususnya, tidak semua guru mengetahui dan bisa menerapkan model dan pendekatan pembelajaran sesuai dengan tuntutan materi yang ada pada kurikulum. Berdasarkan latar belakang ini muncul pertanyaan; apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan pendekatan lingkungan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa? METODE Penelitian kuasi eksperimen melibatkan variabel bebas model pembelajaran kooperatif dan variabel terikat berupa hasil belajar siswa. Rancangannya Nonequevalent–Control Group Design. Data aktivitas siswa selama proses belajar mengajar menggunakan lembar observasi yang mengacu pada lembar observasi Borich (1994). Data hasil belajar siswa diperoleh dari kemampuan mengerjakan LKPD. Hasil belajar siswa adalah skor dari tes hasil belajar. Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 13 Banjarmasin mulai Pebruari sampai dengan Maret 2011. Populasi adalah 126 siswa pada 4 kelas X SMAN 13 Banjarmasin tahun pelajaran 2010/2011. Sampel penelitian ini adalah kelas X.1 dan kelas X.3. Teknik pengambilan sampel nonprobability sampling non random. Kelas X.1 dijadikan kelas eksperimen dan kelas X.3 sebagai kelas kontrol. Data dianalisis secara deskriptif. Nilai kategorikal yang digunakan adalah baik (76–100%), sedang (56–75%), kurang (40–55%) , dan buruk (< 40% ) (Arikunto, 1998). Perbedaan diuji dengan uji t dan hipotesis diuji dengan uji F. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian Aktivitas siswa yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar sangat tinggi, yaitu 91.98% pada pembelajaran 1 dan 91.3% pada pembelajaran 2 (Tabel 1). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar waktu pembelajaran digunakan untuk aktivitas yang berhubungan dengan pembelajaran. Aktivitas siswa yang dominan baik pada pembelajaran 1 maupun pembelajaran 2 adalah diskusi antar-siswa, antarkelompok, dan siswa-guru serta melakukan pengamatan.
43
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Tabel 1. Ringkasan aktivitas siswa pada pembelajaran 1 dan 2 Pembelajaran 1 2
Parameter yang Teramati (%) Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 (%) 9.3 8 14 12 16 6.7 10.7 8.02 7.34 8.02 100 8.0 7.4 17.3 10 15.2 5.3 10.7 10 7.3 8.7 100
1. Memperhatikan penjelasan guru 2. Membaca LKPD atau buku-buku yang relevan 3. Melakukan pengamatan /percobaan 4. Menulis hal-hal yang relevan dengan KBM 5. Berdiskusi antar siswa/kelompok/guru 6. Melakukan refleksi dan mengevaluasi penyelidikan 7. Bertanya kepada siswa lain atau kepada guru 8. Menyusun/melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan 9. Membuat/menulis rangkuman pelajaran 10. Melakukan kegiatan lain diluar KBM
Siswa antusias dalam berdiskusi karena mereka diberikan permasalahan yang menarik untuk dibahas. Siswa aktif berdiskusi membahas materi sesuai dengan kelompok ahli, karena siswa dari kelompok ahli akan menyampaikan hasil ke kelompok asal. Sesuai dengan Mulyawati (2009), penerapan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw meningkatkan kemampuan siswa dalam berdiskusi, mengemukakan pendapat, bekerja dalam kelompok ahli, dan menjelaskan materi kepada kelompok asal. Hal ini juga sesuai dengan teori pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, yaitu adanya diskusi dalam kelompok ahli untuk mempelajari dan menyelesaikan satu topik, setelah itu mereka akan kembali ke kelompok asal untuk mengajari anggota kelompok asal tentang topik yang mereka bahas (Slavin, 2009). Aktivitas pengamatan dominan karena siswa ingin mengetahui langsung objek-objek yang ada di lingkungan sesuai dengan materi yang dibahas. Konsepkonsep sains dan lingkungan sekitar siswa dapat dengan mudah dikuasai siswa melalui pengamatan pada situasi yang konkret. Melakukan kegiatan di luar KBM sangat rendah (8.02% pada pembelajaran 1 dan 8.3% pada pembelajaran 2). Ini menunjukkan bahwa aktivitas siswa lebih banyak sesuai KBM. Sebagian besar siswa menggunakan waktu untuk kegiatan pembelajaran seperti pengamatan, memasukkan data ke LKPD, membuat grafik, dan berdiskusi. Siswa terlihat bertanggung jawab terhadap tugas kelompoknya dan menggunakan lingkungan untuk mencari dan menemukan jawaban yang ada pada LKPD, sehingga aktivitas di luar KBM sedikit dilakukan. Hal ini juga sesuai dengan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, bahwa siswa bertanggung jawab atas pembelajaran dan pengajaran yang mereka terapkan pada orang lain (Sharan, 2009).
44
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Hasil proses belajar pada pembelajaran 1 mencapai 75.7% (baik) pada pembelajaran 2 persentase mencapai 74.6% (sedang) (Tabel 2). Hasil proses belajar siswa diperoleh dari hasil LKPD. Siswa dari kelompok asal yang mendapat tugas mengerjakan LKPD yang sama bergabung dalam satu kelompok ahli. Ada 3 kelompok ahli yang masing-masing mengamati ekosistem rawa, sawah dan parit. Setelah selesai diskusi kelompok ahli, setiap anggota kembali ke kelompok asal. Pada pembelajaran 1, siswa ke lingkungan dengan membawa LKPD 1 tentang Komponen Ekosistem dan Interaksi Organisme. Pada pembelajaran 2, siswa ke lingkungan dengan membawa LKPD 2 tentang Aliran Energi dan Siklus Biogeokimia. Melalui pendekatan ini, siswa langsung dapat melakukan pengamatan dan mendiskusikan hasil pengamatan dalam kelompok. Tabel 2. Hasil proses belajar pada pembelajaran 1 dan 2. Kelompok 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Skor Rerata Skor Maksimum % rerata
Pembelajaran 1 Rerata Nilai % Kategori 79 79 Baik 56.7 56.7 Sedang 78.7 78.7 Baik 78.7 78.7 Baik 78 78 Baik 77 77 Baik 81 81 Baik 72.7 72.7 Sedang 75.7 75.7 Baik 79.3 79.3 Baik 75.7 100 75.7
Baik
Pembelajaran 2 Rerata Nilai % Kategori 70.7 70.7 Sedang 75.3 75.3 Sedang 75.7 75.7 Baik 73 73 Sedang 73 73 Sedang 77.3 77.3 Baik 69.3 69.3 Sedang 80.7 80.7 Baik 71.7 71.7 Sedang 79.7 79.7 Baik 74.6 100 74.6 Sedang
Hasil proses pada pembelajaran 1 lebih baik dibanding pembelajaran 2. Faktor penyebabnya antara lain materi pembelajaran 1 sebagian sudah diterima pada saat siswa duduk di bangku SMP, seperti komponen ekosistem, satuan makhluk hidup, peran komponen ekosistem, dan sesuai dengan silabus yang ada di SMP kelas VII. Siswa bisa menghubungkan materi yang dibahas saat ini. Materi pembelajaran 2 lebih kompleks; di antaranya menyusun jaring-jaring makanan, membuat grafik, menganalisis gambar jaring-jaring makanan, menganalisis siklus biogeokimia. Materi pembelajaran 2 perlu didukung pengetahuan dan keterampilan matematika (seperti mengukur, membuat skala) serta ilmu kimia (seperti ion nitrat, nitrit, posfat, organik, anorganik).
45
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Sebelum pembelajaran dilakukan, siswa diberi tes awal. Tujuannya adalah untuk mendapat informasi pengetahuan siswa tentang materi bahasan. Jadi tidak ada perbedaan kemampuan pengetahuan antara siswa kelas eksperimen dengan siswa kelas kontrol. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol baik pada pembelajaran 1 maupun pada pembelajaran 2 (Tabel 3 dan 4). Tabel 3 Ringkasan aktivitas siswa pada pembelajaran 1 No 1 2
Kelas
Rerata
Eksperimen Kontrol
50.5 45.67
Standar Deviasi 10.83 13.70
Rerata Standar Error 2.01 2.54
Catatan: Standar Error Perbedaan Mean 1 dan Mean 2 = SE M1-M2 = 3.22 𝑀 −𝑀2
Nilai “t”tes =𝑆𝐸 1
𝑀1−𝑀2
= 1.495
Nilai ttabel pada taraf signikansi 5%, db 58 adalah 2.00
Tabel 4 Ringkasan hasil “t”tes nilai tes awal pembelajaran 2 No 1 2
Kelas
Rerata
Eksperimen Kontrol
28.27 31.2
Standar Deviasi 10.06 11.70
Rerata Standar Error 1.87 2.17
Catatan: Standar Error Perbedaan Mean 1 dan Mean 2 = SE M1-M2 = 2.865 𝑀 −𝑀2
Nilai “t”tes𝑆𝐸 1
𝑀1−𝑀2
= = 1.023
Nilai ttabel pada taraf signikansi 5 %, db 58 adalah 2.00.
Peningkatan hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol (Tabel 5 dan 6). Peningkatan hasil belajar pembelajaran 1 pada kelas eksperimen 18.33 dan kelas kontrol 10.16. Peningkatan hasil belajar pembelajaran 2 pada kelas eksperimen 28.26 dan kelas kontrol 3.2. Perbedaan peningkatan hasil belajar kelas eksperimen dengan kelas kontrol pada pembelajaran 1 adalah 8.17, sedangkan perbedaan peningkatan hasil belajar kelas eksperimen dengan kelas kontrol pada pembelajaran 2 adalah 25.06. Ini berarti materi pembelajaran 2 yang cukup abstrak bisa diperjelas dengan pendekatan lingkungan dan diskusi dalam kelompok jigsaw, sehingga hasil belajar lebih tinggi dibanding di kelas klasikal. Namun, nilai yang diperoleh belum maksimal (rerata 56.53), karena materi ini cukup kompleks.
46
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Tabel 5. Hasil belajar siswa kelas eksperimen dan kelas control pada Pembelajaran 1
Jumlah Nilai Hasil Belajar Rerata Nilai Hasil Belajar
Nilai Hasil Belajar Siswa pada Pembelajaran 1 Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Tes Awal Tes Akhir Tes Awal Tes Akhir 1515 2065 1370 1675 50.50 68.83 45.67 55.85
Tabel 6. Hasil belajar siswa kelas eksperimen dan kelas control pada Pembelajaran 2
Jumlah Nilai Hasil Belajar Rerata Nilai Hasil Belajar
Nilai Hasil Belajar Siswa pada Pembelajaran 1 Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Tes Awal Tes Akhir Tes Awal Tes Akhir 848 1696 936 1032 28.27 56.53 31.20 34.40
Di dalam pembelajaran 1 siswa mendapat nilai rerata lebih tinggi (68,83) tetapi peningkatannya hanya 8,17. Pada saat tes awal, nilai siswa sudah lebih baik karena materi ekosistem sudah pernah mereka terima waktu di bangku SMP, tetapi belum terbiasa dengan model pembelajaran yang digunakan. Namun demikian hasil belajar kelas eksperimen baik pada pembelajaran 1 maupun pembelajaran 2 lebih tinggi dibanding dengan kelas kontrol, karena kombinasi model ini memungkinkan adanya proses asimilasi dan akomodasi. Menurut teori konstruktivistik Piaget, pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek akan menjadi pengetahuan bermakna, sedangkan yang diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak bermakna. Pengetahuan itu hanya diingat sementara, setelah itu dilupakan (Sanjaya, 2009). Aplikasi pembelajaran berbasis pendekatan lingkungan dengan metode kerja kelompok efektif untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa (Anggaraini, 2010). Melalui pendekatan lingkungan pembelajaran lebih bermakna. Sikap verbalisme siswa terhadap penguasaan konsep dapat diminimalkan dan pemahaman siswa akan membekas dalam ingatannya. Peningkatan hasil belajar kelas eksperimen dan kelas kontrol pada pembelajaran 1 berbeda secara signifikan dengan F = 9,12, p = 0,.0004, Ftabel =3,15 pada α = 0,05, dk v1 = 2 , dan v2 = 57 (Tabel 7). Hal sama terjadi pada pembelajaran 2. Peningkatan hasil belajar kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda secara signifikan; F = 16,47; p = 0,0001; F tabel = 3,15 pada α = 0,05, dk v1 = 2 , dan v2 = 57 (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan pendekatan lingkungan yang dilaksanakan di SMA Negeri 13 Banjarmasin berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa.
47
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Tabel 7. Hasil analisis kovarian pada pembelajaran 1 Sumber
Db/df
Regresi Residual Total
2 57 59
JK/SS
RK/MS
F
0.37080353 0.18540176 1.15938981 0.02034017 1.53019333
Keterangan : R-Square = 0.242325
9.12
Probabilitas Keterangan (α=0,05) 0.0004 Signifikan
C.V = 8.040912
Tabel 8. Hasil analisis kovarian pada pembelajaran 2 Sumber Regresi Residual Total
Db/df 2 57 59
JK/SS
RK/MS
F
1.22559463 0.61279731 16.47 2.12089037 0.03720860 3.34648500
Keterangan: R-Square = 0.366233
Probabilitas (α=0,05) 0.0001
Keterangan Signifikan
C.V =11.94029
Menurut Anggaraini (2010), aplikasi pembelajaran berbasis pendekatan lingkungan dengan metode kerja kelompok efektif untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Menurut Lestari (2009), penerapan pendekatan lingkungan alam pada pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIIE SMP Negeri 2 Gatak Sukoharjo tahun pelajaran 2008/2009. Menurut Sanjaya (2006), keunggulan pembelajaran kooperatif antara lain siswa dapat belajar dari siswa lain, dapat meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial, meningkatkan motivasi dan rangsangan untuk berpikir. Keunggulan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajaran sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi juga harus siap memberi dan mengajarkan materi pada anggota kelompok lain. SIMPULAN Aktivitas siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar cukup tinggi, Aktivitas yang paling dominan pada pembelajaran 1 maupun pembelajaran 2 adalah berdiskusi dan melakukan pengamatan. Proses belajar siswa pada pembelajaran 1 dikategorikan baik (75.7%), sedang pada pembelajaran 2 dikategorikan sedang (74.5%). Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan pendekatan lingkungan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa SMA Negeri 13 Banjarmasin tahun pelajaran 2010/2011.
48
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Anggaraini, Titien, 2010, Aplikasi Pembelajaran Berbasis Pendekatan Lingkungan Dengan Metode Kerja kelompok Untuk Meningkatkan Keaktifan dan Pemahaman Konsep Biologi, (http:// etd.eprints.ums.ac.id/8529/Anggaraini, diakses 10 Nopember 2010). BSNP [Badan Standar Nasional Pendidikan] 2007, Petunjuk Teknis Pengembangan Silabus dan Contoh/Model Silabus SMA/MA, Mata Pelajaran Biologi, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Lestari, Agustin, 2009, Penerapan Pendekatan Pemanfaatan Lingkungan Alam Terhadap Pemahaman Konsep Keanekaragaman Makhluk Hidup pada Siswa Kelas VII E SMPN 2 Gatak Kabupaten Sukoharjo Tahun 2008/2009, (http://etd.eprints.ums.ac.id/4347/, diakses 3 Nop 2010). Mulyawati, Yuyun, 2009, Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Siswa Pada Materi Pokok Struktur Atom dan Sistem Periodik, (http://www.lpmpjabar.go.id/ index.php? option=com_content&view=article&id=65:p enerapan-model-pembelajarankooperatif-tipe-jigsaw-untuk-meningkatkan-hasil-belajar-kimia-siswa-padamateri-pokok-struktur-atom-an-sistem-periodik-penelitian-tindakan-kelasterhadap-siswa-kelas-x2-sman-21-bandung&catid=39:jurnal&Itemid=56, diakses 3 Nopember 2010). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses. Sanjaya, Wina, 2009, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana, Sharan, Shlomo, 2009. Cooperative Learning, Inovasi Pengajaran dan Pembelajaran untuk Memacu Keberhasilan Siswa di Kelas, terjemahan oleh Sigit Prawoto, , Yogyakarta: Imperium. Slavin, Robert,E, 2009, Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik, oleh Lita, , Bandung: Nusa media
terjemahan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia
49
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
POLA KEBIASAAN MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN SUAKA MARGASATWA PULAU KAGET DALAM PELESTARIAN SUAKA MARGASATWA PULAU KAGET SEBAGAI HABITAT BEKANTAN (Nasalis larvatus Wurmb) Finna Rahmiati 1), Mochamad Arief Soendjoto 2); Dharmono 3) (1. Guru SMAN 1 Banjarbaru (2. Fakultas Kehutanan dan Magister Pendidikan Biologi, Universitas Lambung Mangkurat (3. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan serta Magister Pendidikan Biologi, Universitas Lambung Mangkurat)
Abstrak Suaka Margasatwa Pulau Kaget (SMPK) ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 772/Kpts-II/1999 tanggal 27 September 1999. Populasi rambai padi (Sonneratia caseolaris), pakan utama bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) semakin menurun, sehingga diduga menyebabkan penurunan populasi bekantan. SMPK adalah bagian selatan Pulau Kaget. Bagian utara pulau ini dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Penelitian bertujuan untuk 1) mendeskripsikan perilaku, sikap dan pengetahuan masyarakat berdasarkan pada tingkat pendidikannya, 2) menentukan pola kebiasaan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan SMPK, 3) membandingkan pola kebiasaan masyarakat di Desa Podok dan Desa Tabunganen Muara dalam keranga pelestarian SMPK sebagai habitat bekantan. Penelitian dilaksanakan bulan Agustus 2010 - Februari 2011. Data dikumpulkan melalui kuesioner. Sampel penelitian adalah 76 KK masyarakat Desa Podok dan 46 KK di Desa Tabunganen Muara. Data dijelaskan secara deskriptif. Pola kebiasaan masyarakat di Desa Podok dan Desa Tabunganen Muara diuji dengan uji tanda. Perilaku, sikap, dan pengetahuan dalam pelestarian habitat bekantan tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan. Masyarakat Desa Tabunganen Muara memiliki kebiasaan cenderung melestarikan, sedangkan masyarakat Desa Podok cenderung tidak melestarikan kawasan SMPK sebagai habitat bekantan. Kata kunci: perilaku, sikap, pengetahuan, pendidikan, pola kebiasaan
PENDAHULUAN Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 772/Kpts-II/1999 tanggal 27 September 1999, sebagian Pulau Kaget ditetapkan sebagai suaka margasatwa. Pulau ini termasuk wilayah Kecamatan Tabunganen, Kabupaten Barito Kuala. Suaka Margasatwa Pulau Kaget (SMPK) merupakan tempat konservasi bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) (BKSDA Kalimantan Selatan, 2008). Bekantan merupakan satwa dilindungi dan maskot Provinsi Kalimantan Selatan. Keberadaannya di SMPK tidak lepas dari populasi rambai (Sonneratia 50
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
caseolaris). Daun dan buah rambai adalah pakan utama bekantan (Soendjoto dkk., 2005). SMPK terletak di muara Sungai Barito. Di sebelah baratnya terdapat Desa Podok, Kabupaten Banjar dan timurnya terdapat Desa Tabunganen Muara, Kabupaten Barito Kuala. Menurut BPS Kabupaten Banjar (2009) dan BPS Kabupaten Barito Kuala (2010), sebagian besar masyarakat kedua desa tersebut memiliki mata pencaharian sebagai petani. Keterlibatan masyarakat dalam pengrusakan SMPK terlihat jelas dan sangat berpengaruh. Kawasan SMPK dijadikan tempat mencari akar rambai untuk bahan baku bonggol shuttlecock dan tutup botol (Soendjoto dkk., 1998). Bagian pulau di utara SMPK dimanfaatkan penduduk sebagai lahan persawahan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Pertanyaannya kemudian adalah apakah masyarakat di Desa Podok dan Desa Tabunganen Muara terlibat dalam kegiatan melestarikan kawasan SMPK. METODE Penelitian dilakukan di Desa Podok dan Desa Tabunganen Muara Agustus 2010 - Februari 2011. Data dikumpulkan dengan kuesioner pada Januari 2011. Sampel penelitian adalah 76 KK masyarakat Desa Podok dan 46 KK Desa Tabunganen Muara. Parameter data adalah perilaku, sikap, pengetahuan, tingkat pendidikan yang disajikan deskriptif. Pola kebiasaan masyarakat Desa Podok dan Desa Tabunganen Muara dibandingkan dan diuji dengan uji tanda. HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut ini kondisi masyarakat dua desa sampel (pelestarian atau pengancaman SMPK) dalam hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku: 1. Ketidaksediaan diajak berburu bekantan menurut tingkat pendidikan masyarakat (Tabel 1). 2. Menegur orang yang mengambil kayu bakar di SMPK (Tabel 2). 3. Menegur orang yang mengambi akar rambai di SMPK (Tabel 3). Pada semua tingkat pendidikan, masyarakat Desa Podok tidak bersedia diajak berburu bekantan atau ikut melestarikan SMPK. Pada pendidikan dasar, hanya sebagian kecil masyarakat Desa Podok menegur orang yang mengambil kayu bakar. Hal yang sama terjadi pada perilaku menegur orang yang mengambil akar rambai padi. Secara umum perilaku masyarakat Desa Podok tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan. Penelitian ini bertentangan dengan penelitian Amani dan Hadi (2008) yang menyatakan bahwa pengetahuan dan perilaku saling berhubungan.
51
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Pengetahuan rendah dilatarbelakangi oleh tingkat pendidikan rendah yang merupakan cermin masyarakat Desa Podok. Tabel 1. Ketidaksediaan masyarakat bila diajak berburu bekantan menurut tingkat pendidikannya
No
Tingkat Pendidikan
Podok Melestarikan Mengancam SMPK (%) SMPK (%)
Tabunganen Muara Melestarikan Mengancam SMPK (%) SMPK (%)
1 Pendidikan Dasar
86.8
0
67.4
0
2 Pendidikan Menengah
11.8
0
28.3
0
3 Pendidikan Tinggi
1.3
0
4.3
0
Tabel 2. Menegur orang yang mengambil kayu bakar di SMPK menurut tingkat pendidikan
No 1 2 3
Tingkat Pendidikan Pendidikan Dasar Pendidikan Menengah Pendidikan Tinggi
Podok Melestarikan Mengancam SMPK (%) SMPK (%) 28.9 57.9 9.2 2.6 0 1.3
Tabunganen Muara Melestarikan Mengancam SMPK (%) SMPK (%) 41.3 26.1 21.7 6.5 4.3 0
Tabel 3. Menegur orang yang mengambil akar rambai di SMPK menurut tingkat pendidikannya
No
Tingkat Pendidikan
Podok Melestarikan Mengancam SMPK (%) SMPK (%) 21.1 65.8
Tabunganen Muara Melestarikan Mengancam SMPK (%) SMPK (%) 10.9 56.5
1
Pendidikan Dasar
2
Pendidikan Menengah
1.3
10.5
2.2
26.1
3
Pendidikan Tinggi
1.3
0
0
4.3
Faktor yang menyebabkan ketidakada-hubunganan perilaku dengan pendidikan adalah ketidakterangkatan substansi pembelajaran di sekolah berkaitan dengan kondisi lingkungan sekitar. Ini memicu ketidakacuhan masyarakat terhadap kelestarian vegetasi. Faktor lainnya adalah lokasi SMPK yang berada di luar Desa Podok yang memicu masyarakat tidak peduli terhadap SMPK. Perilaku masyarakat menjadi hal penting dalam pelestarian bekantan. Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) melaporkan bahwa 52
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
kerusakan terumbu karang disebabkan oleh perilaku masyarakat sekitar pantai, yakni nelayan dan semua orang yang terlibat langsung dengan aktivitas kelautan. Ketidakpedulian masyarakat Desa Podok ditunjukkan melalui perilaku yang tidak menegur atau melarang orang yang menebang dan mengambil kayu dan akar pohon rambai. Masyarakat menganggap bahwa ada petugas dari BKSDA di Tabunganen Muara yang menjaga SMPK. Masyarakat beranggapan bahwa menegur atau melarang akan membahayakan diri mereka. Oleh sebab itu, perlu sosialisasi atau penyuluhan kepada masyarakat Desa Podok tentang manfaat kawasan SMPK bagi kehidupan. Selain itu, SMPK adalah milik dan menjadi tanggung jawab semua masyarakat di sekitarnya. Yang terjadi dengan masyarakat Desa Podok berbeda sekali dengan masyarakat Desa Tabunganen Muara. Masyarakat desa terakhir ini tidak bersedia diajak berburu bekantan. Dengan kata lain, mereka ikut melestarikan SMPK. Sebagian masyarakat Desa Tabunganen Muara dengan tingkat pendidikan dasar menegur orang yang mengambil kayu bakar di SMPK. Begitu juga dengan masyarakat berpendidikan menengah dan tinggi. Pada semua tingkat pendidikan, masyarakat Desa Tabunganen Muara tidak menegur orang yang mengambil akar rambai padi di SMPK. Jelas bahwa di Desa Tabunganen Muara tidak ada hubungan antara pendidikan dan perilaku masyarakat. Tanggung jawab masyarakat pada SMPK lebih karena lokasinya di wilayah Tabunganen Muara. Terdapat jaringan kerjasama yang baik antara kelompok masyarakat, rasa saling percaya, dan kesamaan nilai bahwa kawasan itu harus dilindungi. Namun demikian, penyuluhan dan pengawasan dari BKSDA Kalimantan Selatan masih harus terus dilakukan. Hal ini untuk mengatasi perilaku yang justru mengancam SMPK, dalam hal ini berkaitan dengan pengambilan akar rambai. Data hubungan sikap dengan tingkat pendidikan sebagai berikut. 1. Sikap terhadap pernyataan "Melarang penebangan pohon rambai dan pohon lain di Pulau Kaget merupakan usaha melestarikan habitat bekantan” (Tabel 4). 2. Sikap terhadap pernyataan "Melakukan aktivitas pertanian di luar kawasan Pulau Kaget” (Tabel 5). 3. Sikap terhadap pernyataan "Kawasan Pulau Kaget merupakan tempat untuk mencari ikan” (Tabel 6). Hanya sebagian kecil masyarakat Desa Podok pada semua tingkat pendidikan setuju terhadap ketiga pernyataan. Hal ini berbeda dengan sebagian besar masyarakat Desa Tabunganen Muara yang setuju dengan pernyataan tersebut. Dengan demikian, masyarakat Desa Podok bersikap negatif terhadap pelestarian SMPK, sedangkan Desa Tabunganen Muara bersikap positif.
53
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Tabel 4. Sikap terhadap pernyataan "Melarang penebangan pohon rambai dan pohon lain yang ada di Pulau Kaget”
No
Tingkat Pendidikan
1 2 3
Pendidikan Dasar Pendidikan Menengah Pendidikan Tinggi
Podok Melestarikan Mengancam SMPK (%) SMPK (%) 5.3 81.6 1.3 10.5 0 1.3
Tabunganen Muara Melestarikan Mengancam SMPK (%) SMPK (%) 52.2 15.2 26.1 2.2 4.3 0
Tabel 5. Sikap terhadap pernyataan "Melakukan aktivitas pertanian di luar kawasan Pulau Kaget”
No 1 2 3
Podok Melestarikan Mengancam SMPK (%) SMPK (%) Pendidikan Dasar 14.5 72.4 Pendidikan Menengah 0 11.8 Pendidikan Tinggi 0 1.3 Tingkat Pendidikan
Tabunganen Muara Melestarikan Mengancam SMPK (%) SMPK (%) 65.2 2.2 26.1 2.2 4.3 0
Tabel 6. Sikap terhadap pernyataan "Kawasan Pulau Kaget merupakan tempat untuk mencari ikan”
No
Tingkat Pendidikan
1
Pendidikan Dasar
2 3
Pendidikan Menengah Pendidikan Tinggi
Podok Melestarikan Mengancam SMPK (%) SMPK (%)
Tabunganen Muara Melestarikan Mengancam SMPK (%) SMPK (%)
2.6
84.2
65.2
2.2
0 0
11.8 1.3
28.3 4.3
0 0
Sebagian besar masyarakat di Desa Podok memiliki tingkat pendidikan dasar sehingga mereka memiliki sikap rendah dalam menjaga kelestarian SMPK. Dalam pembelajaran di sekolah tidak ada muatan tentang bekantan dan pentingnya keberadaan SMPK bagi kehidupan bekantan. Faktor lain yang mempengaruhi adalah faktor letak SMPK yang secara administratif di wilayah Kabupaten Barito Kuala, bukan Kabupaten Banjar yang merupakan induk Desa Podok. Sebagian besar masyarakat kedua desa pada semua tingkat pendidikan tahu tentang bekantan, tetapi banyak tidak tahu manfaatnya dan banyak tidak tahu bahwa SMPK sudah mulai rusak (Tabel 7). Pada sisi lain, sebagian masyarakat berpendapat 54
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
bahwa kawasan Pulau Kaget merupakan tempat mengambil kayu bakar dan akar rambai, tetapi pada umumnya berharap penanaman kembali rambai di Pulau Kaget. Tabel 7. Pengetahuan masyarakat kedua desa menurut tingkat pendidikan Podok Pengetahuan
Pendidikan Pendidikan Pendidikan Dasar (%) Menengah (%) Tinggi (%)
Tabunganen Muara Pendidikan Dasar (%)
1. Bekantan merupakan monyet yang berwarna merah/coklat Ya 86.8 11.8 1.3 67.4 Tidak 0 0 0 0
Pendidikan Pendidikan Menengah (%) Tinggi (%)
28.3 0
4.3 0
2. Bekantan ada manfaatnya bagi lingkungan/ kehidupan Ya 39.5 1.3 1.3 19.6 6.5 4.3 Tidak 47.4 10.5 0 47.8 21.7 0 3. Pulau Kaget sudah mengalami kerusakan & tidak layak untuk tempat tinggal bekantan Ya 13.2 1.32 0 19.6 4.3 2.2 Tidak 73.7 10.5 1.3 47.8 23.9 2.2 4. Kawasan P Kaget merupakan tempat untuk mengambil batang dan akar pohon rambai Ya 19.7 0 0 2.2 0 2.2 Tidak 67.1 11.8 1.3 65.2 28.3 2.2 5. Ada penanaman kembali pohon rambai padi di kawasan Pulau Kaget Ya 0 0 0 34.8 10.9 2.2 Tidak 86.8 11.8 1.3 32.6 17.4 2.2
Pengetahuan yang baik tentang bekantan dan suaka margasatwa bukan karena tingkat pendidikan. Ada masyarakat yang memiliki pengetahuan baik walaupun tingkat pendidikannya rendah. Sebaliknya, ada masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan tinggi tetapi memiliki pengetahuan yang rendah tentang bekantan dan suaka margasatwa. Davis (1993) berpendapat bahwa sebenarnya melalui pendidikan masyarakat dibekali pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan, sehingga masyarakat menjadi tahu, mengerti, dapat melakukan dan mau melakukan sesuatu untuk peningkatan kualitas hidup. Semakin tinggi tingkat pendidikan sesorang semakin tinggi peran yang dapat dimainkan dalam kehidupan di masyarakat. Berkaitan dengan pola kebiasaannya, masyarakat Desa Podok cenderung tidak melestarikan. Hal sebaliknya terjadi pada masyarakat Desa Tabunganen Muara yang melestarikan SMPK. Pola kebiasaan masyarakat terbentuk dari pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat. Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan memiliki peran penting dalam rangka pelestarian hutan dan peranan dalam pengrusakan hutan. Ringkasnya, pola kebiasaan masyarakat yang melestarikan yaitu 1) tidak bersedia bila diajak untuk berburu bekantan, 2) menegur orang yang mengambil kayu 55
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
dan akar pohon rambai padi di kawasan SMPK, 3) masyarakat setuju bahwa melarang penebangan pohon rambai padi dan pohon lain yang ada di Pulau Kaget merupakan usaha untuk melestarikan habitat bekantan, 4) masyarakat setuju bila melakukan aktivitas pertanian di luar kawasan Pulau Kaget merupakan usaha untuk melestarikan habitat bekantan, 5) masyarakat tidak setuju bahwa kawasan Pulau Kaget merupakan tempat untuk mencari ikan, 6) masyarakat memiliki pengetahuan yang baik tentang bekantan, manfaat bekantan, penurunan kondisi suaka margasatwa, pemanfaatan potensi yang ada di kawasan suaka margasatwa, dan usaha-usaha pelestarian di kawasan tersebut. Bila dikaitkan dengan masyarakat Desa Podok dan Desa Tabunganen Muara yang hanya memiliki pendidikan dasar, pola disebabkan oleh letak pulau. Pulau Kaget di wilayah Tabunganen Barito Kuala, sehingga masyarakat Tabunganen Muara cenderung melestarikan SMPK. Mereka bertanggung jawab terhadap kelestarian SMPK dan bekantan. Eksploitasi potensi SMPK berdampak negatif. Kondisi lingkungan SMPK menurun. Kondisi ini selanjutnya secara langsung merusak habitat satwa langka, mempengaruhi kehidupan satwa yang ada di kawasan tersebut. Perubahan-perubahan yang terjadi di kawasan mengubah keseimbangan lingkungan secara keseluruhan. Faktor lain yang berpotensi mengancam kelestarian bekantan adalah perlakuan masyarakat terhadap bekantan seperti perburuan dan penangkapan bekantan. Punahnya flora dan fauna di SMPK tentu menurunkan keanekaragaman hayati. Pola kebiasaan yang melestarikan SMPK berdampak positif. Kondisi dan keseimbangan ekosistem hutan mangrove terjaga. Dari segi pariwisata, SMPK memiliki daya tarik. Bekantan adalah maskot Provinsi Kalimantan Selatan yang dipertahankan tidak hanya untuk meningkatkan nilai pariwisata tetapi juga meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar SMPK. Faktor lain yang juga menyebabkan perbedaan pola kebiasaan masyarakat kedua desa adalah lokasi kantor resor BKSDA, instansi yang menangani konservasi SMPK. Kantor berada di Desa Tabunganen, sehingga konsentrasi sosialisasi lebih pada masyarakat Desa Tabunganen Muara. Masyarakat Desa Podok tidak tersentuh oleh sosialisasi. Hal ini didukung oleh informasi dari Kepala Konservasi Alam Seksi II BSDA Kalimantan Selatan bahwa di Desa Podok tidak pernah ada sosialisasi dari BKSDA dan tidak ada petugas dari BKSDA Tabunganen yang melakukan sosialisasi di sana. Oleh karena itu, perlu kerjasama yang baik antara pemerintah Kabupaten Barito Kuala dan Kabupaten Banjar untuk menyamakan persepsi pelestarian SMPK.
56
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
SIMPULAN DAN SARAN 1. Perilaku, sikap dan pengetahuan masyarakat di Desa Podok dan Desa Tabunganen Muara dalam pelestarikan suaka margasatwa sebagai habitat bekantan tidak berhubungan dengan tingkat pendidikannya. 2. Masyarakat Desa Tabunganen Muara cenderung melestarikan, sedangkan masyarakat Desa Podok tidak melestarikan SMPK. 3. Pola kebiasaan masyarakat di Desa Podok dan Desa Tabunganen Muara berbeda signifikan secara statistik. 4. Penelitian perlu dilanjutkan untuk menguji hubungan pola kebiasaan masyarakat dengan faktor ekonomi atau pola kebiasaan masyarakat dengan usia. 5. Pengetahuan masyarakat tentang pelestarian SMPK sebagai habitat bekantan perlu ditingkatkan baik melalui sosialisasi tanpa melihat wilayah administratif SMPK maupun melalui bidang pemuatan materi pembelajaran tentang bekantan dan kawasannya yang diintegrasikan pada mata pelajaran IPA atau IPS.
DAFTAR PUSTAKA Amani, M. dan A. Hadi. 2008. Kajian Tentang Sikap, Faktor Sosial, Faktor Ekonomi, Dan Pola Hubungannya dengan Kebiasaan Masyarakat yang Tinggal Di Sekitar Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Kaget Kabupaten Batola Terhadap Menurunnya Populasi Bekantan (Nasalis larvatus). Laporan Penelitian. Banjarmasin: FKIP Unit Program Belajar Jarak Jauh UT. BPS Kabupaten Banjar. 2009. Kabupaten Banjar dalam Angka 2009. Martapura. BPS Kabupaten Banjar. BPS Kabupaten Barito Kuala. 2010. Barito Kuala dalam Angka 2010. Marabahan. BPS Kabupaten Barito Kuala. BKSDA Kalimantan Selatan [Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Selatan]. 2008. Kawasan Konservasi Kalimantan Selatan. Banjarbaru. Dephutbun Kalimantan Selatan. Davis dan Newston. 1993. Perilaku dalam Organisasi. Jakarta. Erlangga. Soendjoto, M.A., H.S. Alikodra, M. Bismark, dan H. Setijanto. 2005. Jenis dan Komposisi Pakan Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Karet kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Biodiversitas. 7 (1): 34 - 38. Soendjoto, M.A, A. Yamani, M. Akhdiyat, dan Kurdiansyah. 1998. Telaahan Vegetasi dan Keadaan Rambai (Soneratia caseolaris) di Suaka Margasatwa Pulau Kaget, Kalimantan Selatan. Kalimantan Scientae. 16 (49): 51 – 62.
57
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
PEMAHAMAN KONSEP KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN ETIKA LINGKUNGAN SISWA SMAN 3 BANJARBARU MELALUI PENDEKATAN LINGKUNGAN Wahyuli Dwindiasih (Guru Biologi SMAN 3 Banjarbaru)
Abstrak Keanekaragaman hayati merupakan sumber kekayaan alam yang sangat potensial untuk kesejahteraan manusia. Kesadaran masyarakat yang kurang dalam pengelolaan menyebabkan kondisi sumber daya alam hayati memprihatinkan. Penelitian bertujuan 1) untuk mengetahui pengaruh pendekatan lingkungan terhadap hasil belajar, 2) mengetahui proses belajar siswa, 3) mengetahui pemahaman etika lingkungan, 4) mengetahui aktivitas siswa pada pembelajaran konsep keanekaragaman hayati. Rancangan penelitian adalah rancangan kuasi eksperimen The Counterbalanced Design melalui tiga kali pembelajaran. Variabel bebas adalah pendekatan lingkungan dan variabel terikat adalah hasil belajar siswa. Dari 179 orang siswa kelas X SMAN 3 Banjarbaru tahun pelajaran 2010/2011, sampel penelitian adalah 91 orang siswa kelas XA, XC, dan XE. Hasil análisis kovarian pada pembelajaran 1,2, dan 3 menunjukkan bahwa Ho ditolak. Hasil proses belajar selama pembelajaran yang dilihat dari kemampuan siswa mengerjakan LKS pada pembelajaran 1, 2, dan 3 terkategori baik; skor rerata pembelajaran 1 31,5 (79,00%), pembelajaran 2 30,33 (76,83%), dan pembelajaran 3 31,16 (78,33%). Pemahaman etika lingkungan tergolong tinggi (rerata 89,98%). Pembelajaran menunjukkan pengaruh positif. Aktivitas siswa dalam pembelajaran konsep keanekaragaman hayati pada pembelajaran 1, 2 dan 3 menunjukkan keaktifan atau dominasi dalam pembelajaran. Pembelajaran konsep keanekaragaman hayati dengan menggunakan pendekatan lingkungan mendapatkan respon positif dari siswa. Kata kunci: etika, keanekaragaman hayati, lingkungan PENDAHULUAN Alam dan lingkungan dapat dijadikan sebagai sumber belajar dan menjadi solusi ketika terjadi kejenuhan terhadap metode pembelajaran. Asumsinya adalah bahwa pembelajaran akan menarik siswa, jika yang dipelajari diangkat dari lingkungan atau berhubungan dengan kehidupan dan berfaedah bagi lingkungan (Khusnin, 2008). Menerapkan pendekatan lingkungan dalam pembelajaran berarti mengajak para siswa belajar langsung di lapangan. Yulianto (2002) menjelaskan pendekatan lingkungan dalam pembelajaran berarti mengaitkan lingkungan dalam proses belajar mengajar yang menjadikan lingkungan sebagai sumber belajar. Lingkungan di sekitar merupakan salah satu 58
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
sumber belajar yang dapat dioptimalkan untuk mencapai proses dan hasil pendidikan berkualitas. Lingkungan dapat memperkaya bahan dalam kegiatan belajar. Pembelajaran yang memungkinkan siswa berinteraksi dengan lingkungan dapat dilakukan melalui pendekatan lingkungan. Salah satu pendekatan lingkungan yang dapat dilakukan adalah mengenalkan kepada siswa salah satu ekosistem yang khas di daerahnya. Kalimantan Selatan memiliki ekosistem khas, yaitu hutan mangrof dan hewan endemik bekantan (Nasalis larvatus) yang hidup di dalamnya. Salah satu contohnya adalah ekosistem mangrof Pulau Bakut. Dengan membawa siswa langsung ke ekosistem tersebut, pemahaman keanekaragaman hayati dan etika lingkungan serta kesadaran siswa terhadap pelestarian keanekaragaman hayati ditumbuhkembangkan. Karli dan Margaretha (2002) menjelaskan pendekatan lingkungan adalah strategi pembelajaran yang memanfaatkan lingkungan sebagai sasaran, sumber, dan sarana belajar. Pembelajaran dengan pendekatan lingkungan lebih bermakna bila dikombinasikan dengan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok dapat mengajak siswa dalam kerjasama kolaboratif (Ibrahim dkk. 2000). Hal ini dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah lingkungan dan menanamkan sikap cinta lingkungan. Hubungan manusia dengan lingkungan merupakan hubungan yang saling mempengaruhi, sehingga lahir interaksi (Tang, 2002). Perpaduan metodologi pendidikan dan rekreasi sangat berpotensi dilaksanakan pada kawasan konservasi, taman nasional, cagar alam, hutan raya. Kolaborasi konsep pendidikan dan wisata dapat dilakukan melalui program pendidikan di sekolah. Interaksi siswa dengan lingkungan dalam pembelajaran yang belum optimal menyebabkan pengalaman belajar bersifat konseptual, kurang mengasah kemampuan berpikir dan bernalar, serta siswa kurang kritis dan sensitif terhadap isu lingkungan. Menurut Zaini (2005) pembinaan kesadaran dan pengetahuan lingkungan terhadap pengelolaan sumber daya alam dapat dilakukan melalui pendidikan lingkungan. Pembelajaran konsep keanekaragaman hayati di SMA selama ini masih bersifat konseptual. Siswa mendapatkan pengetahuan tentang keanekaragaman hayati dari buku yang dibaca dan informasi dari guru. Di SMA Negeri 3 Banjarbaru pembelajaran konsep keanekaragaman hayati belum diajarkan secara kontekstual, lebih-lebih materi lahan basah yang menjadi ciri sebagian Provinsi Kalimantan Selatan. Bagaimana pemahaman konsep keanekaragaman hayati dan etika lingkungan pada siswa SMA Negeri 3 Banjarbaru melalui pendekatan lingkungan? METODE Penelitian menggunakan rancangan The Counterbalanced Design berdasarkan pada Champbell dan Stanley (1996) (Tabel 1). 59
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Tabel 1 Model rancangan penelitian The Counterbalanced Design Kelas A C E
1 X1O X0O X0O
Materi Pembelajaran 2 X0O X2O X0O
Keterangan: X1, 2, 3 (kelas eksperimen); X0 (kelas control); O
3 X0O X0O X3O
(Post test)
Data kuantitatif diperoleh dari tes hasil belajar dan penilaian selama proses belajar. Tes hasil belajar (tes awal dan tes akhir) di kelas kontrol dan eksperimen dianalisis secara berkombinasi dengan analisis kovarian. Penilaian selama proses belajar dari kemampuan mengerjakan LKS dianalisis secara deskriptif dengan menghitung skor rerata dan ditafsirkan baik (76-100%), sedang (56-75%), kurang (40-55%), dan buruk (<40%) (Arikunto, 1998). Data kualitatif berupa hasil tes etika lingkungan dan hasil observasi aktivitas siswa. Data dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pembelajaran 1 menunjukkan peningkatan hasil belajar kelas eksperimen dibandingkan dengan kelas kontrol sebesar 3,02 (Tabel 2). Begitu juga pada pembelajaran 2 sebesar 12,22 serta pembelajaran 3 sebesar 14,76. Peningkatan hasil belajar kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda signifikan (Tabel 3). Tabel 2. Ringkasan hasil belajar pada pembelajaran 1, 2 dan 3 Pembelajaran 1 2 3
Rerata Nilai Hasil Belajar Kelas eksperimen Kelas kontrol Tes Awal Tes Akhir Tes Awal Tes Akhir 54,00 72,93 43,91 59,86 36,36 73,00 38,19 62,62 38,77 73,50 45,68 65,65
Tabel 3. Analisis kovarian pada pembelajaran 1, 2 dan 3
Pembelajaran 1 2 3
Kelas Eksperimen Tes Tes Awal Akhir 54,00 72,93 36,36 73,00 38,77 73,50
Kelas Kontrol Tes Awal 43,95 38,19 45,68
Tes Akhir 59,86 62,62 65,65
Nilai F 33,63 30,29 10,87
Probabilitas Keterangan (α = 0,05) 0,0001 0,0001 0,0001
signifikan signifikan signifikan 60
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Hasil proses belajar pada pembelajaran 1 mencapai 79,75%, pembelajaran 2 76,83%; dan pembelajaran 3 78,33% (Tabel 4). Proses belajar pada pembelajaran 1, 2, dan 3 berkategori baik. Tabel 4. Hasil proses belajar pada pembelajaran 1, 2 dan 3 Kelompok I II III IV V VI Rerata Maksimum Rerata
Pembelajaran 1 Nilai % Kategori 31 78,00 Baik 34 85,0 Baik 32 80,00 Baik 29 72,50 Sedang 30 75,00 Baik 33 82,50 Baik 31,5 40 79,75 Baik
Pembelajaran 2 Nilai % Kategori 32 80,00 Baik 29 72,50 Sedang 28 70,00 Sedang 34 85,00 Baik 30 75,00 Baik 29 72,5 Sedang 30,33 40 76,83 Baik
Pembelajaran 3 Nilai % Kategori 34 85,00 Baik 30 75,00 Baik 33 82,50 Baik 28 70,00 Sedang 32 80,00 Baik 30 75,00 Baik 31,16 40 77,92 Baik
Hasil kuisioner atau tes etika lingkungan yang meliputi pengetahuan dasar, pentingnya topik dan nilai-nilai tentang etika lingkungan pada pembelajaran 1, 2, dan 3 disajikan pada Tabel 5. Aktivitas siswa yang sangat dominan pada pembelajaran 1 adalah berdiskusi antar siswa atau antar kelompok atau guru (33,45%) dan siswa kurang dominan pada parameter 6 dan 8 yaitu melakukan refleksi, dan evaluasi proses pengamatan (6,23%) dan menyajikan hasil penyelidikan (9,22%) (Tabel 6). Pada pembelajaran 2 hampir semua parameter didominasi siswa, kecuali menyajikan hasil penyelidikan (7,74%). Pada pembelajaran 3 aktivitas siswa yang paling dominan adalah melakukan pengamatan dan penyelidikan (22,63%). Aktivitas yang kurang mendominasi siswa adalah membaca LKS / bahan ajar (5,62%), melakukan refleksi, dan evaluasi proses pengamatan (2,15%), dan melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan (5,53%). Tabel 5. Hasil tes etika lingkungan
Uraian
Hasil Rerata Pembelajaran 1, 2 dan 3 Kelas Eksperimen 1 2 3 Tahu Tdk Ragu- Tahu Tdk Ragu- Tahu Tdk Ragu- Tahu Tahu ragu Tahu ragu Tahu ragu
Pengetahuan 90,14 3,26 Dasar Pentingnya 94,55 3,26 Topik Nilai-nilai 95,56 0
6,60 91,22
3,33
5,48
79,17 12,08
8,71
3,26
93,41
4,37
1,22
80,22
8,75
12,22
4,52
79,10
6,63
11,04 96,77
0
3,23
38,53
4 Tdk RaguTahu ragu 9,75
42,87
61
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Keterangan: Pengetahuan Dasar: 1. Kegiatan manusia mempengaruhi kelangsungan hidup flora dan fauna di kawasan mangrof sehingga mempengaruhi keanekaragaman hayati hutan mangrof. 2. Kegiatan manusia yang mengganggu tumbuhan di kawasan hutan mangrof dapat mengakibatkan rusaknya kawasan hutan mangrof. 3. Kegiatan manusia yang kurang memperdulikan lingkungan karena kurangnya pengetahuan mereka tentang manfaat keanekaragaman hayati. 4. Beragam opini yang berkenaan dengan isu-isu kegiatan manusia dalam memanfaatkan hutan mangrof mempengaruhi kelestarian kawasan hutan mangrof Pentingnya Topik: 1. Untuk mencegah kegiatan manusia mengganggu flora dan fauna di hutan mangrof kita harus memahami fungsi hutan mangrof. 2. Keterlibatan masyarakat sekitar di kawasan mangrof sangat dominan dan mempengaruhi ekosistem hutan mangrof sehingga penting dan perlu diberikan pengetahuan untuk memperbaiki sikap mereka terhadap lingkungan. 3. Kegiatan manusia yang mengganggu flora dan fauna di hutan mangrof sehingga mengakibatkan rusaknya kawasan hutan mangrof merupakan topik menarik dan penting demi menjaga kelangsungan hidup organisme. Nilai-nilai Etika Lingkungan 1. Saya senang dapat mengenal salah satu ekosistem yang khas didaerah saya, sehingga saya mengetahui pentingnya menjaga dan melindungi tumbuhan dan hewan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia 2. Saya meyakini mengangkat topik usaha-usaha mencegah kegiatan manusia yang mengganggu ekosistem hutan mangrof akan mengurangi kerusakan sumber daya hayati. 3. Saya merasakan, pengetahuan tentang pentingnya lingkungan bagi kelangsungan makhluk hidup, menyadarkan bahwa kekayaan keanekaragaman hayati harus dijaga kelestariannya.
Tabel 6. Ringkasan Aktivitas Siswa pada pembelajaran 1, 2 dan 3 Pembelajaran 1 2 3
1 10,50 15,30 17,93
Parameter yang Teramati (%) 2 3 4 5 6 7 13,80 17,47 6,03 33,45 6,23 11,90 10,70 13,00 19,70 17,90 12,10 15,50 5,62 22,63 14,42 14,07 2,15 13,00
8 9,22 7,74 5,53
Keterangan : 1. Memperhatikan penjelasan guru atau siswa lain. 2. Membaca LKS /bahan ajar 3. Melakukan pengamatan atau penyelidikan dan mengumpulkan data-data pengamatan 4. Menulis hal-hal yang releven dengan kegiatan pembelajaran. 5. Berdiskusi antar siswa atau antar kelompok atau guru 6. Melakukan refleksi dan mengevaluasi, proses pengamatan 7. Bertanya kepada siswa atau guru 8. Melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan
62
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Pembahasan Ada perbedaan signifikan antara hasil belajar kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Ini menunjukkan bahwa pendekatan lingkungan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa SMAN 3 Banjarbaru. Dengan kalimat lain, pemahaman siswa terhadap konsep keanekaragaman hayati juga meningkat. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan lingkungan melibatkan interaksi sosial antara siswa dengan lingkungan alami. Ini sejalan dengan Vygotsky yang mengatakan perkembangan kognitif sebagai suatu hasil pertumbuhan dan perkembangan sosial melalui interaksi dengan orang lain dan lingkungan. Siswa yang tadinya hanya disuguhi uraian konsep yang bersifat verbal, dengan melihat dan mengamati secara langsung akan terbentuk pengalaman belajar, sehingga pencapaian tujuan pembelajaran akan lebih tuntas. Kegiatan semacam ini menjadi salah satu faktor yang membangkitkan minat siswa terhadap gejala-gejala di alam. Zaini (2008) mendukung pernyataan bahwa penggunaan pendekatan lingkungan dalam pembelajaran berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Kemampuan siswa mengerjakan LKS berkategori baik. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran melalui pendekatan lingkungan berpengaruh baik terhadap pembelajaran dilihat dari besarnya persentase kemampuan siswa mengerjakan LKS. Pendekatan lingkungan juga dapat mengoptimalkan respon siswa yang meliputi kinerja siswa selama pembelajaran. Pendekatan lingkungan dalam pembelajaran selain membantu siswa memahami konsep keanekaragaman hayati, juga menumbuhkan etika lingkungan. Pengetahuan dasar siswa tentang pemahaman etika lingkungan tergolong baik, kecuali tentang beragam opini dan isu-isu berkaitan dengan kegiatan manusia di kawasan hutan mangrof. Faktor-faktor keraguan tersebut disebabkan oleh kurangnya informasi siswa tentang isu-isu lingkungan yang diperoleh dari narasumber, media cetak, maupun media elektronik lainnya. Pembelajaran yang dirancang membantu siswa meningkatkan pemahaman konsep keanekaragaman hayati dan melibatkan siswa melakukan pengamatan atau penyelidikan. Siswa mampu berpikir kritis terhadap berbagai permasalahan lingkungan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam dan kerusakan sumber daya alam. Kurangnya pengetahuan tentang lingkungan hidup jelas akan mempengaruhi kesadaran lingkungan. Neolaka (2007) mengungkapkan faktor ketidaktahuan siswa terhadap lingkungan menjadi faktor yang memengaruhi kesadaran lingkungan. Aktivitas pembelajaran siswa cukup tinggi. Pendekatan lingkungan pada dasarnya mempengaruhi aktivitas siswa dalam pembelajaran. Sekalipun melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan. Parameter ini menunjukkan 63
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
kemampuan melakukan analisis dan sintesis merupakan keterampilan proses tingkat tinggi (Zaini, 2008). Dominasi aktivitas siswa nampak positif dibandingkan dengan aktivitas guru dalam pembelajaran. Hal ini disebabkan pengalaman baru dalam mengikuti pembelajaran ekosistem mangrof secara langsung. Siswa antusias dan tergugah untuk mengetahui lebih banyak hal-hal yang baru dijumpai selama pengamatan. Aktivitas siswa dalam pembelajaran yang dikolaborasikan dengan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kerjasama siswa dalam kelompoknya. Pembelajaran kooperatif yang menonjol adalah keterampilan kerjasama dan keterampilan sosial siswa dalam membantu siswa memahami konsep-konsep (Depdiknas, 2003). Aktivitas siswa yang dominan adalah melakukan penyelidikan dan memperhatikan penjelasan guru/siswa lain waktu diskusi. Peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran melalui pendekatan PBM dan pendekatan lingkungan juga telah dilaporkan oleh peneliti sebelumnya (Zaini, 2008). SIMPULAN DAN SARAN 1. Penggunaan pendekatan lingkungan berpengaruh positif terhadap hasil belajar dan kemampuan siswa mengerjakan LKS pada konsep keanekaragaman hayati siswa SMAN 3 Banjarbaru. 2. Pemahaman etika lingkungan, pentingnya topik dan nilai-nilai etika lingkungan tergolong baik, kecuali pada pengetahuan dasar siswa tentang beragam opini dan isu-isu kegiatan manusia dalam memanfaatkan hutan mangrof. 3. Aktivitas siswa pada pembelajaran konsep keanekaragaman hayati menunjukkan keaktifan atau dominasi siswa dalam pembelajaran.
4.
Pendekatan lingkungan merupakan salah satu alternatif pembelajaran keanekaragaman hayati. Namun, pelaksanaan pembelajaran memerlukan waktu khusus, karena pembelajarannya di luar kelas. Guru pendamping pun diperlukan untuk mengawasi aktivitas siswa selama pembelajaran di luar kelas. Ini penting untuk mengantisipasi siswa yang kurang memperhatikan bahaya ketika belajar di lingkungan yang baru dikenalnya.
64
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Champbell, D.T. dan J. Stanley. 1996. Experimental and Quasi Experimental Design for Research On Teaching. Dalam N.L. Gage (penyunting). Handbook of Research On Teaching.A Project of the American Educational Research Association. Departemen of The National Education Association. Chicago. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Biologi SMA. Jakarta: Pusat Kurikulum balitbang Depdiknas. Ibrahim, M., F. Rachmadiarti, M. Nur, dan Ismono. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Unesa – University Press. Karli, H. dan Margaretha. (2002). Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Bina Media Informasi. Khusnin. 2008. http://khusnin.wordpress.com/2008/11/08/konsep-pembelajaranbahasa-indonesia-dengan-menggunakan-pendekatan-lingkungan/diakses pada tanggal 10 September 2010. Neolaka, Amos. 2007. Kesadaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta. Tang, M. 2002. Sampah Dapur Moluska Indikasi Perolehan Makanan Musiman pada Situs Liang Pattae Kabupaten Maro. Jurnal UNHAS. http://www.arkeologi.net./journal/unhas.muhammad-tang.html/ diakses pada tanggal 15 September 2009 Yulianto, E. 2002. Pendekatan Lingkungan pada Pembelajaran Fisika. Pelangi Pendidikan. Zaini, Muhammad; Warsono. 2005 Memanfaatkan Metode Debat Secara Formal untuk Mengoptimalkan Pemahaman Bioetika pada Perkuliahan Genetika Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unlam Tahun Akademik 2004/2005. Banjarmasin: Unlam Banjarmasin. Zaini, Muhammad; Naparin, Akhmad; Sumartono, H; Amintarti, Sri; Ajizah, Aulia; Karim,H; 2008.. Studi Pendahuluan Pendidikan Lingkungan di Sekolah Dasar. Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dengan Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
65
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
PENGARUH PENERAPAN MODEL-MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK TERHADAP PROSES IPA DI SEKOLAH DASAR Rusdiyana 1); Supramono 2) (1. Dosen FKIP Universitas Veteran Ahmad Yani Banjarmasin 2. Dosen S1 dan S2 Pendidikan Biologi Universitas Palangka Raya)
Abstrak Model inkuiri, model pembelajaran berdasarkan masalah, dan model pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran inovatif yang berlandaskan paradigma konstruktivistik yang dapat meningkatkan proses IPA. Keterampilan proses IPA yang digunakan di SD meliputi: mengamati, mengklasifikasi, mengukur, menggunakan alat, mengkomunikasikan, menafsirkan, memprediksi, dan melakukan eksperimen. Penelitian ini bertujuan untuk 1) menguji pengaruh penerapan model inkuiri terhadap proses IPA siswa SD, 2) menguji pengaruh model PBM terhadap proses IPA siswa SD, 3) menguji pengaruh pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok terhadap proses IPA siswa SD. Penelitian eksperimen semu dengan desain pretes dan posttest control group design. Sampel penelitian adalah siswa kelas V SDN Banjarbaru Utara 2, SDN Banjarbaru Kota 1, SDN Sungai Besar 2 dan SDN loktabat 1. Data dikumpulkan melalui tes tertulis dan pengamatan tentang proses IPA siswa. Data hasil belajar proses IPA dianalisis kovarian dan penilaian keterampilan proses IPA selama kegiatan pembelajaran dianalisis secara deskriptif kualitatif. Penerapan model inkuiri berpengaruh signifikan terhadap proses IPA siswa SD (F = 34.978; p = 0.000). Penerapan model PBM berpengaruh signifikan terhadap proses IPA siswa SD (F = 24.636; p = 0.000). Penerapan pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok berpengaruh signifikan terhadap proses IPA siswa SD (F = 9.361; p = 0.030). Ada perbedaan pengaruh ketiga model tersebut. Gain score model inkuiri adalah tertinggi (3,53), disusul dengan model PBM (3,21), dan model koperatif tipe Group Investigation (2,63). Kata kunci: inkuiri, kooperatif, masalah, pembelajaran, penyelidikan, proses IPA
PENDAHULUAN Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah mengisyaratkan pelaksanaan pembelajaran meliputi eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Proses eksplorasi yang harus dilakukan guru adalah menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran dan memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio atau lapangan. Selanjutnya Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang SKL 66
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
IPA SD/MI pembelajaran IPA menganjurkan siswa melakukan pengamatan terhadap gejala alam dan menceritakan hasil pengamatannya secara lisan dan tertulis. Menurut Sudibyo (2003), belajar IPA seharusnya memfokus pada pemberian pengalaman secara langsung dengan memanfaatkan dan menerapkan konsep, prinsip, serta fakta IPA temuan saintis. Siswa perlu dilatih mengembangkan sejumlah keterampilan ilmiah atau keterampilan proses IPA. Tujuannya adalah agar siswa memahami perilaku/gejala alam. Keterampilan proses IPA meliputi keterampilan mengamati, menggunakan alat dan bahan, mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesis, merencanakan percobaan, melaksanakan percobaan, menyimpulkan hasil percobaan, dan mengkomunikasikan temuan. Selama pembelajaran, siswa perlu dilatih membiasakan beberapa sikap ilmiah seperti sikap ingin tahu, kerja sama, terbuka, tekun, dan peduli lingkungan. Hal ini dapat dicapai bila siswa sejak dini dilatih melaksanakan keterampilan proses IPA. Beberapa guru SD Imbas di Banjarbaru Utara Gugus Mawar saat curah pendapat dalam kegiatan Kelompok Kerja Guru (KKG) mengemukakan permasalahan kemampuan proses IPA siswa di sekolah masing-masing. Mereka menemukan bahwa sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam mengemukakan pertanyaan, mengartikan data, merumuskan kesimpulan, dan mempresentasikan hasil kegiatan. Permasalahan tersebut diduga karena siswa belum memiliki keterampilan proses IPA. Dengan kata lain guru belum menerapkan pembelajaran penemuan, yakni memberi kesempatan siswa menemukan konsep sendiri melalui kegiatan eksperimen. Kesulitan melaksanakan keterampilan proses akan berdampak bagi siswa di kemudian hari dalam menghadapi tantangan kehidupan yang makin kompleks. Guru perlu mewujudkan pembelajaran yang dapat meningkatkan proses IPA. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menerapkan pembelajaran inovatif yang berlandaskan paradigma konstruktivistik. Tujuannya adalah membantu peserta didik untuk menginternalisasi, membentuk kembali, atau mentransformasi informasi baru. Trianto (2007) mengungkapkan beberapa model pembelajaran inovatif berlandaskan paradigma konstruktivistik, yakni: (1) model reasoning and problem solving; (2) model inquiry training; (3) model problem-based instruction; (4) model pembelajaran perubahan konseptual; (5) pembelajaran kooperatif tipe group investigation; (6) model problem-based learning; (7) model penelitian jurisprudensial; dan (8) model penelitian sosial. Model inkuiri, pembelajaran berdasarkan masalah (PBM) dan pembelajaran kooperatif merupakan model kegiatan pembelajaran yang dapat meningkatkan proses IPA karena siswa diberi kesempatan melakukan berbagai eksperimen. Kreativitas perlu dikembangkan melalui penciptaan situasi pembelajaran yang kondusif. Dalam hal ini, guru mendorong vitalitas 67
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
keingintahuan siswa untuk menciptakan dan memberi fungsi baru terhadap sesuatu yang ada, siswa dilatih untuk menguasai teknik-teknik bertanya sendiri, dan diberi kesempatan untuk melakukan berbagai eksperimen (Depdiknas, 2003). Model inkuiri dimulai dengan peristiwa membingungkan yang mendorong individu mencari tahu artinya. Individu secara alamiah ingin mengerti yang dihadapinya, dan melalui proses berpikir lebih terampil menghubung-hubungkan data menjadi konsep-konsep dan bagaimana menggunakan konsep-konsep ini ke dalam identifikasi prinsip-prinsip kausal. Di sini lebih dipentingkan proses inkuiri dan strategi inkuiri dan tidak pada isi dan penjelasan-penjelasan situasi problematis tadi (Rampengan, 1981). Model pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok menekankan pada partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri materi (informasi) pelajaran yang akan dipelajari melalui bahan-bahan yang tersedia, misalnya dari buku pelajaran atau siswa dapat mencari melalui internet. Siswa dilibatkan sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Tipe ini menuntut siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan proses kelompok. Pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok dapat melatih siswa menumbuhkan kemampuan berpikir mandiri. Keterlibatan siswa secara aktif dapat terlihat mulai dari tahap pertama sampai tahap akhir pembelajaran (Kiranawati, 2007). Pembelajaran kooperatif tipe ini menuntut para siswa memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan proses kelompok. Penerapan pembelajaran berdasarkan masalah menekankan keterlibatan siswa secara aktif, lebih berorientasi induktif daripada deduktif, dan penemuan oleh siswa sendiri atau pembangunan pengetahuan mereka sendiri. Guru tidak memberikan ideide atau teori-teori tentang dunia, yang merupakan cara yang dilakukan guru pada saat menggunakan pembelajaran langsung. Akan tetapi guru menggunakan inkuiri atau pendekatan PBM, mengajukan pertanyaan kepada siswa, dan memberi kesempatan kepada siswa sampai pada ide-ide atau teori-teori mereka sendiri (Nur, 2011). Semua tahapan yang dilaksanakan siswa dalam PBM tidak lepas dari keterampilan proses, sehingga dapat meningkatkan keterampilan proses IPA. Pertanyaannya kemudian adalah apakah penerapan model-model pembelajaran konstruktivistik berpengaruh terhadap proses IPA di sekolah dasar.
68
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
METODE Pada penelitian eksperimen semu dengan pretes dan posttest control group design (Tabel 1), variabel bebas adalah model-model pembelajaran kelompok eksperimen berupa model inkuiri (X 1), model PBM (X2), dan model pembelajaran kooperatif (X3). Variabel terikat adalah hasil tes tertulis proses IPA. Tabel 1. Desain Penelitian. Kelompok Eksperimen I Eksperimen II Eksperimen III Kontrol
Pretes O1 O1 O1 O1
Variabel X1 X2 X3 -
Posttes O2 O2 O2 O2
Keterangan: O1 (pre tes), O2 (pos tes), X1: pembelajaran menggunakan model inkuiri X2: pembelajaran menggunakan model PBM, X3: pembelajaran menggunakan pembelajaran kooperatif.
Sampel penelitian adalah siswa dari kelas VA SDN Banjarbaru Utara 2, kelas VA SDN Banjarbaru Kota 1, kelas VA SDN Sungai Besar 2, dan kelas VA SDN Loktabat 1. Penelitan dilaksanakan pada September 2011. Faktor-faktor internal yang dikontrol adalah kemampuan awal siswa dan materi yang disajikan, proses belajar sama, memberikan perlakuan yang berbeda sesuai dengan model yang digunakan pada kelas dari sekolah yang berbeda, dan situasi pembelajaran sealamiah mungkin. Penelitian menggunakan sejumlah perangkat pembelajaran, instrumen penilaian, dan instrumen pengamatan. Proses IPA diperoleh dari tes awal dan tes akhir pada pembelajaran. Proses IPA masing-masing model pembelajaran diperoleh dari lembar pengamatan keterampilan proses IPA. Rerata proses IPA dan pelaksanaan model-model pembelajaran dianalisis secara deskriptif. Data keterlaksanaan model melalui kategorikal yakni baik (76-100%), sedang (56-75%), kurang (40-55%) dan buruk (< 40%) (Arikunto, 2005). Data hasil pretes dan posttes dianalisis menggunakan teknik anacova. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Ada perbedaan kenaikan skor antara kelas eksperimen I dan kelas kontrol yang ditunjukkan nilai 3.531 untuk model inkuiri dan 1.271 untuk kelas control (Tabel 2). Penggunaan model pembelajaran inkuiri terhadap proses IPA berbeda signifikan (F = 34.978; p = 0.000).
69
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Tabel 2. Nilai rerata pretes-postes model inkuiri Uraian Nilai rerata Keterangan Kenaikan (E) Efektifitas (%)
Model Inkuiri U1 U2 3.203 6.734 Buruk Sedang 3.531 52.44
Kontrol U1 3.814 Buruk
U2 5.086 Kurang 1.271 24.99
Keterangan : U1 = pretes dan U2 = postes. Kenaikan skor (E) adalah selisih skor pretes dan postes (U2-U1). Tingkat efektifitas model pembelajaran adalah kenaikan skor masing-masing model dikurangi dengan kenaikan skor pada kelas kontrol atau (E/U2) x100%.
Ada perbedaan kenaikan skor antara kelas eksperimen II dan kelas kontrol yang ditunjukkan nilai 3.214 untuk model PBM dan 1.271 untuk kelas control (Tabel 3). Penggunaan model pembelajaran inkuiri terhadap proses IPA berbeda signifikan (F = 24.636; p = 0.000). Tabel 3. Nilai rerata pretes-postes model PBM Uraian Nilai rerata Keterangan Kenaikan (E) Efektifitas (%)
Model PBM U1 U2 3.625 6.839 Buruk Sedang 3.214 46.99
Kontrol U1 3.814 Buruk
U2 5.086 Kurang 1.271 24.99
Keterangan : U1 = pretes dan U2 = postes. Kenaikan skor (E) adalah selisih skor pretes dan postes (U2-U1). Tingkat efektifitas model pembelajaran adalah kenaikan skor masing-masing model dikurangi dengan kenaikan skor pada kelas kontrol atau (E/U2) x100%.
. Ada perbedaan kenaikan skor antara kelas eksperimen I dan kelas kontrol yang ditunjukkan nilai 2.629 untuk pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok dan 1.271 untuk kelas control (Tabel 4). Penggunaan model pembelajaran inkuiri terhadap proses IPA berbeda signifikan (F = 9.361; p = 0.030). Tabel 4. Perhitungan Nilai Rerata Pretes-Postes Proses IPA Uraian Nilai rerata Keterangan Kenaikan (E) Efektifitas (%)
Model Kooperatif tipe Penyelidikan Kelompok U1 U2 3.597 6.226 Buruk Sedang 2.629 42.23
Kontrol U1 3.814 Buruk
U2 5.086 Kurang 1.271 24.99
Keterangan : U1 = pretes dan U2 = postes. Kenaikan skor (E) adalah selisih skor pretes dan postes (U2-U1). Tingkat efektifitas model pembelajaran adalah kenaikan skor masing-masing model dikurangi dengan kenaikan skor pada kelas kontrol atau (E/U2) x100%.
70
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Pembahasan Penerapan model inkuiri memiliki pengaruh signifikan terhadap keterampilan proses IPA siswa SD. Dengan kata lain, model inkuiri lebih efektif bila dibandingkan dengan model tradisional dalam meningkatkan proses IPA siswa SD pada konsep kandungan zat makanan. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Nurjanah dan Suwarna (2011) bahwa skor kelompok inkuiri (6.561) lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelas kontrol (5.473) terhadap keterampilan proses IPA pada konsep kalor berbeda signifikan (t hitung = 4.35 > t tabel = 2.00). Model inkuiri lebih efektif daripada model tradisional dalam meningkatkan proses IPA siswa. Model inkuiri lebih dapat melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap tahapan proses sain selama kegiatan pembelajaran. Keterlibatan siswa dalam setiap tahapan proses IPA dapat mengembangkan sebagian besar potensi siswa secara optimal. Prinsip utama pelaksanaan pembelajaran menurut Djahiri (2002) dalam Kunandar (2011) adalah proses keterlibatan seluruh atau sebagian besar potensi diri siswa (fisik dan non fisik) dan kebermaknanya bagi diri dan kehidupannya saat ini dan di masa yang akan datang. Menurut Trianto (2007) model inkuiri merupakan model pembelajaran inovatif yang berlandaskan konstruktivis. Guru yang menerapkan pembelajaran inovatif yang berlandaskan paradigma konstruktivistik dapat membantu peserta didik untuk menginternalisasi, membentuk kembali, atau mentransformasi informasi baru sehingga dapat meningkatkan proses IPA. Penerapan model ini mendorong siswa untuk membangun pengetahuan sendiri berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Merrill (1991) dan Smorgansbord (1997) dalam Yulaelawati (2010) menyatakan tentang konstruktivis bahwa pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Model inkuiri melatih siswa untuk menemukan sendiri konsep yang sedang dipelajari dengan harapan siswa menjadi pembelajar yang mandiri. Hal ini sesuai dengan pendidikan karakter kemandirian bahwa siswa tidak diberi ikan, tetapi dilatih cara mengail untuk mendapatkan ikan. Jika siswa diberi ikan, siswa akan tergantung kepada pemberi ikan setelah ikan dimakan habis. Namun, jika siswa dilatih cara mengail, siswa akan mampu secara mandiri mendapatkan ikan sendiri. Dalam model inkuiri, siswa tidak menerima informasi langsung dari guru melainkan melalui suatu proses penemuan yang dilakukan secara berkelompok. Siswa dilatih cara menemukan konsep sendiri dengan menggunakan keterampilan proses IPA. Model inkuiri dalam proses kegiatan pembelajarannya memberikan pengalaman secara langsung kepada peserta didik; dalam penelitian ini, dengan memfasilitasi siswa melakukan percobaan tentang uji kandungan zat bahan makanan sehingga memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan 71
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
proses IPA. Dengan demikian siswa mampu membangun sendiri pengetahuannya melalui serangkaian pengalaman selama pembelajaran, sehingga sebagian besar potensi siswa dapat berkembang secara optimal. Pembelajaran menggunakan model PBM lebih efektif bila dibandingkan dengan model tradisional dalam meningkatkan proses IPA siswa SD pada konsep uji kandungan zat makanan. Dengan memperhatikan pembelajaran dalam model PBM dan komponen kemampuan berpikir kritis yang diharapkan, model PBM dapat melatih kemampuan berpikir kritis siswa. Ciri khas PBM adalah siswa mengajukan pertanyaan atau masalah. Menurut Yazdani (2002) dalam Nur (2011), pembelajaran berdasarkan masalah menghasilkan keterampilan pemecahan masalah. Dalam sintak PBM ini siswa melakukan kegiatan melalui tahapan menghasilkan karya nyata dan memamerkannya. Pada model PBM ini, hasil karya siswa adalah penuangan hasil pengamatan ke dalam tabel hasil pengamatan buatan siswa sendiri. Kegiatan membuat tabel hasil pengamatan memerlukan keterampilan berpikir tingkat tinggi bagi siswa SD. Pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok lebih efektif bila dibandingkan dengan model tradisional dalam meningkatkan proses IPA. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil peneltian Muhibbah (2009) bahwa rerata nilai kelompok pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok (7.61) lebih tinggi dari rerata nilai kelompok kontrol (7.01); perbedaannya signifikan (t hitung = 5.20 > t tabel = 2.02) pada materi pokok sifat fisika, sifat kimia dan pemisahan campuran. Model pembeajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok lebih efektif, karena pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok dapat lebih melibatkan peserta didik secara aktif dalam bekerjasama untuk melakukan investigasi permasalahan dan informasi yang terkait dengan konsep yang sedang dipelajari. Sejak tahap pembukaan pembelajaran, siswa sudah dilibatkan secara aktif dengan cara guru bersama siswa mengidentifikasi topik permasalahan yang akan dipecahkan melalui tahapan investigasi. Elemen penting model pembelajaran kooperatif yang dapat melatih kemampuan berpikir kritis siswa adalah pembelajaran keterampilan sosial yang menyangkut pembelajaran kepemimpinan, mengambil keputusan, membangun kepercayaan, komunikasi, dan penanganan masalah secara bersama-sama. Slavin (1995) mengemukakan bahwa model ini baik untuk melatih berbagai kemampuan siswa, yaitu analisis, sintesis, dan mengumpulkan informasi untuk memecahkan masalah. Menurut Kiranawati (2007), penyelidikan kelompok merupakan salah satu bentuk pembelajaran kooperatif yang menekankan pada partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri materi (informasi) pelajaran yang akan dipelajari melalui bahan-bahan yang tersedia, misalnya dari buku pelajaran atau buku siswa. 72
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok dapat melatih siswa menumbuhkan kemampuan berpikir mandiri. Keterlibatan siswa secara aktif dapat terlihat mulai dari tahap pertama sampai tahap akhir pembelajaran. Keefektifan pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok lebih rendah jika dibandingkan dengan model inkuiri dan PBM dalam penilaian proses IPA SD. Hal ini disebabkan pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok lebih menekankan pada proses kooperatif dalam kelompok dari pada pengembangan keterampilan untuk memproses informasi dengan keterampilan proses IPA. Saran terbaik adalah menggabungkan model inkuiri atau PBM dengan pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok, sehingga keterampilan siswa memproses informasi dan bekerjasama dapat berkembang secara simultan. Nilai rerata skor total proses IPA siswa setelah penerapan model inkuiri, PBM, pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok masih termasuk kategori sedang. Ada beberapa alasan penyebab nilai rerata belum mencapai kategori baik. Instrumen soal-soal tes tertulis proses IPA masih memiliki kekurangan, sehingga belum dapat mengukur proses siswa dengan tepat. Disadari oleh peneliti menyusun soal instrumen tes tertulis proses IPA bukanlah hal yang mudah. Alasan lain adalah penilaian proses IPA dalam bentuk pilihan ganda menurut Arikunto (2009) dalam Mahmuddin (2010) memiliki kelemahan yakni cenderung mengungkapkan daya pengenalan kembali dan memberi peluang tebakan. Kelebihannya adalah lebih representatif mewakili isi dan luas bahan atau materi. SIMPULAN DAN SARAN 1. Penerapan model inkuiri terhadap proses IPA siswa SD berpengaruh signifikan. 2. Penerapan model PBM terhadap proses IPA siswa SD adalah signifikan. 3. Penerapan pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok terhadap proses IPA siswa SD juga signifikan. 4. Pengaruh model inkuiri terhadap kenaikan skor penilaian proses IPA tes tertulis adalah paling tinggi yang kemudian disusul dengan model PBM, dan pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok. 5. Disarankan bahwa a) peneliti yang ingin mereplikasi penelitian pengaruh model inkuiri, PBM, dan pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok perlu teknik pengukuran yang mengkombinasikan tes tertulis dan penilaian praktik proses IPA supaya data yang diperoleh lengkap dan akurat, b) hasil kombinasi model inkuiri, PBM dan pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok diharapkan menjadi pilihan utama bagi guru dalam mengembangkan model pembelajaran yang lebih efektif. 73
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2005. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Bumi Aksara. Depdiknas [Departemen Pendidikan Nasional]. 2003. Pedoman Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar SD, SMP dan SMA. Jakarta: Depdiknas. Kunandar. 2011. Guru profesional: Implementasi KTSP dan menghadapi sertifikasi guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
persiapan
Kiranawati. 2007. Metode Investigasi Kelompok (Group Investigation). http: //gurupkn.wordpress.com/ 2007/11/13/ metode-investigasi-kelompok-groupinvestigation/. Diakses tgl 13 November 2007). Muhibbah. 2009. Pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe group investigation (GI) terhadap prestasi belajar siswa kelas VII SMP Negeri 4 Malang. (http://library.um.ac.id/free-contents/index.php/pub/detail/ pengaruhpenerapan-model-pembelajaran-kooperatif-tipe-group-investigation-giterhadap-prestasi-belajar-siswa-kelas-vii-smp-negeri-4-malang-lulukmuhibbah-40043. html. Diakses 25 Februari 2012) Nur, Mohamad, 2011. Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya Nurjanah dan Suwarna. 2011. Pengaruh penerapan model inkuiri terhadap keterampilan proses IPA. (http://iwanps.wordpress. com/2011/01/04/ -modelpembelajaran-inkuiri-terhadap-keterampilan-proses-IPA-kps-pada-konsepkalor.diakses 23 September 2011) Rampengan, 1981. Model-Model Mengajar Dalam Pendidikan IPA. Jakarta: Penataran Lokakarya Tahap II Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Slavin, Robert E. 2005. Cooperative Learning. Diterjemahkan oleh Nurulita. Bandung: Nusa Media Sudibyo, Elok. (2003). Keterampilan Proses IPA. Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu SLTP, Dit. PLP. Ditjen Dikdasmen, Depdiknas. Trianto, 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivisti Jakarta: Prestasi Pustaka. Yulaelawati, Ella, 2010. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Pakar raya.
74
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
PENGEMBANGAN IKLAN DI TELEVISI SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN SISTEM PENCERNAAN TERHADAP PENGUASAAN KETERAMPILAN PROSES SAINS KOMUNIKASI SISWA SMP Rina Herawaty Nihe (Guru SMP Negeri 9 Banjarbaru)
Abstrak Perkembangan iklan televisi yang menarik membuat konsumen atau penonton iklan lebih berpikir untuk mencerna maksud iklan. Penelitian bertujuan mendeskripsikan penguasaan keterampilan proses sains komunikasi, mengetahui kebermaknaan pembelajaran terhadap hasil belajar produk siswa, mendeskripsikan respon siswa terhadap iklan televisi yang dikembangkan sebagai media pembelajaran. Variabel bebas berupa media iklan, sedangkan variabel terikat adalah penguasaan keterampilan sains komunikasi. Untuk melihat keefektifan media yang dikembangkan diambil data dari hasil validasi tim ahli media. Instrumen untuk mengetahui respon siswa berupa angket respon siswa, soal tes awal dan tes akhir untuk hasil tes produk dan instrumen keterampilan sains komunikasi untuk data penilaian terhadap keterampilan proses sains komunikasi. Subjek uji lapangan I adalah 10 siswa kelas VIII D SMPN 9 Banjarbaru, sedangkan untuk uji lapangan II adalah siswa kelas VIII A dan VIII B yang berperan sebagai kelas kontrol dan kelas eksperimen. Kelas eksperimen menggunakan media iklan dan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS) dengan jumlah siswa 34 orang. Hasil validasi dan respon siswa terhadap media yang dikembangkan dianalisis deskriptif. Tes hasil belajar produk tentang materi sistem pencernaan pada tes awal dan tes akhir dianalisis kovarian (Anacova). Hasil penilaian keterampilan proses sains komunikasi dianalisis secara deskriprif kualitatif. Keterampilan sains berkomunikasi tergolong baik. Penggunaan iklan televisi sebagai media bermakna terhadap hasil belajar produk siswa. Siswa merespon positif pembelajaran dengan media iklan televisi. Pembelajaran dengan media iklan perlu dikembangkan, karena kemampuan siswa masih memungkinkan untuk ditingkatkan sekalipun sudah tergolong baik. Banyak iklan lain yang masih berhubungan dengan materi pelajaran IPA dapat dibuat sebagai media pembelajaran. Kata kunci: televisi, media, audio, keterampilan, komunikasi, produk
PENDAHULUAN Pembelajaran IPA di sekolah harus disajikan dengan cara menarik, efisien, dan efektif (Depdiknas, 2007). Banyak faktor yang menentukannya. Salah satu yang mendukung adalah tersedianya media yang memadai. 75
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Dalam kehidupan sehari-hari banyak media yang bisa diciptakan seorang guru untuk mencapai tujuan pembelajarannya. Masih banyak guru yang menyampaikan pembelajaran dengan media seadanya. Menurut Halimah (1998), pemanfaatan sumber-sumber belajar seperti lingkungan alam, lingkungan buatan, masyarakat, nara sumber dan media elektronik masih kurang. Hasil angket yang disebarkan peneliti pada 25 guru kelas VIII yang mewakili SMP/MTs negeri dan swasta di Banjarbaru menunjukkan bahwa dalam mengajarkan materi IPA khususnya materi Sistem Pencernaan terdapat keterbatasan pemilihan media. Keterbatasan guru dalam memilih media menyebabkan keterbatasan memilih metode pembelajaran. Jika dibiarkan, pembelajaran IPA menjadi kurang bermakna. Salah satu sumber belajar di lingkungan yang dapat dijadikan alternatif media adalah televisi. Televisi adalah jenis media yang bersifat audio visual. Televisi sudah sangat akrab dengan masyarakat termasuk siswa, bahkan sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Menurut Dale dan Schoenhals (1975), media audio-visual (pandang-dengar) memberikan pengalaman belajar yang lebih banyak kepada siswa. Di antara berbagai macam program, yang paling sering diputar di televisi adalah iklan. Perkembangan iklan televisi saat ini membuat konsumen atau penonton iklan TV menjadi lebih berpikir untuk mencerna maksud dari iklan tersebut sehingga menimbulkan kesan yang mendalam (Kusuma, 2008). Hal-hal yang ditampilkan dalam iklan di televisi umumnya adalah contoh nyata masalah sehari-hari serta cara singkat mengatasinya. Apabila mengaitkan pelajaran dengan iklan di televisi, maka siswa lebih antusias dan daya ingatnya menjadi lebih kuat sehingga berdampak baik pada hasil belajarnya (Press com.). Penggunaan media yang menarik, efektif dan efisien merupakan salah satu rangkaian untuk membelajarkan IPA secara utuh baik produk maupun proses. Sebagai proses, IPA memiliki berbagai keterampilan sains. di antaranya adalah keterampilan sains komunikasi secara tertulis dan lisan (Permen Diknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan). Menurut Susilo (2002), berkomunikasi adalah kegiatan berbagi informasi, ide, pikiran dan hasil pengamatan dengan orang lain secara lisan, tulisan, atau sarana tertentu. Nur (2002) menyatakan bahwa dapat menjelaskan ide-ide kepada orang lain merupakan bagian penting dari hidup sehari-hari, apakah saat membaca buku, menulis surat, maupun melihat program televisi. Setiap saat orang memberi pendapat dan berbagi informasi. Siswa yang mempelajari IPA sebagai proses diharapkan dapat mengkomunikasikan hasil belajar atau ide-idenya kepada orang lain. Keterampilan berkomunikasi memerlukan banyak latihan agar siswa mampu mengembangkannya. Banyak siswa mengalami kesulitan mengomunikasikan hasil belajarnya (Press com.). Penelitian Pradikta (2008) menunjukkan bahwa kemampuan 76
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
berbicara siswa, salah satu bagian dari kemampuan berkomunikasi dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan media rekaman iklan televisi. Kemampuan berkomunikasi awal siswa dapat dilatih dengan baik, jika iklan yang digunakan berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hasil pengamatan, banyak iklan yang ditayangkan berhubungan dengan sistem pencernaan manusia (Press com.). Materi pencernaan makanan di dalam silabus merupakan salah satu kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa di kelas VIII SMP/MTs. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana mengembangkan iklan di televisi sebagai media pembelajaran materi sistem pencernaan terhadap penguasaan keterampilan proses sains komunikasi siswa SMP. METODE Rancangan penelitian adalah The Counterbalanced Design (Campbell & Stanley, 1996) (Tabel 1). Variabel bebas adalah media iklan dalam pembelajaran, sedangkan variabel terikatnya penguasaan keterampilan sains komunikasi. Variabel kontrol adalah jenis dan waktu tes, jumlah jam pelajaran, waktu belajar siswa, kurikulum, model pembelajaran kooperatif tipe TPS, pelaksanan tes, dan guru. Tabel 1. Model rancangan penelitian The Counterbalanced Design Kelas VIII A VIII B
Kegiatan Pembelajaran Materi 1 Materi 2 X1O X0O X0O X2O
Keterangan: X1, X2 : Pembelajaran kelas eksperimen materi berbeda. X0: Pembelajaran kelas kontrol O: Tes akhir
Subjek kegiatan uji lapangan I adalah kelompok kecil (10 orang) siswa kelas VIII D SMPN 9 Banjarbaru, sedangkan uji lapangan II adalah siswa kelas VIII A dan VIII B sebagai kelas kontrol dan kelas eksperimen. Kelas eksperimen menggunakan media iklan dan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan jumlah 34 siswa. Instrumen penelitian untuk melihat keefektifan media yang dikembangkan diambil data dari hasil validasi tim ahli media. Instrumen untuk mengetahui respon siswa berupa angket respon siswa, soal tes awal dan tes akhir untuk produk dan instrumen keterampilan sains komunikasi untuk penilaian keterampilan proses sains komunikasi. Hasil validasi dan respon siswa terhadap media yang dikembangkan, dianalisis deskriptif. Tes hasil belajar produk dianalisis kovarian. Hasil penilaian keterampilan proses sains komunikasi dianalisis secara deskriprif kualitatif.
77
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
HASIL DAN PEMBAHASAN Rerata penguasaan keterampilan sains komunikasi baik PBM 1 maupun PBM 2 yang berupa keterampilan membuat tabel tergolong baik (82%), membuat pertanyaan tergolong baik (76%), dan membuat tulisan singkat tergolong sedang (74,03%). Dengan demikian, keterampilan sains berkomunikasi tergolong baik. Peningkatan hasil belajar pada pembelajaran 1 antara kelas kontrol dan kelas eksperimen (dari 56,60 ke 62,53) berbeda secara signifikan (Fo = 46,80; Pr 0,0001). Peningkatan hasil belajar pada pembelajaran 2 antara kelas kontrol dan kelas eksperimen (dari 45,11 ke 65,46) juga berbeda signifikan (Fo = 52.69; Pr 0,0001). Dengan menggunakan media iklan, 69 siswa (100%) menyatakan senang dan sangat berminat belajar, 49 siswa (71%) menyatakan bahwa pembelajaran itu merupakan hal baru dan sangat membantu, 20 siswa (29%) menyatakan pembelajaran itu bukan hal baru tetapi membantu dalam belajar, 90% menyatakan membuat mereka mengemukakan pendapat dalam kelompok, dapat berdiskusi dan mendengarkan pendapat teman lain (96%) serta membuat siswa mampu memahami materi yang disajikan (92%), 70% merasakan sangat bermanfaat dan 30% menyatakan cukup bermanfaat bagi mereka. Keterampilan proses sains komunikasi yang berupa membuat tabel, membuat pertanyaan, dan membuat tulisan singkat mampu dikuasai siswa dengan kategori baik, setelah siswa belajar mengamati media, menganalisis isi media, dan kemudian saling berbagi ide dengan teman pasangan dan kelompoknya. Kegiatan siswa ini sekaligus merupakan keterampilan kerja ilmiah. Penelitian Widyawati (2010) memasukkan keterampilan berkomunikasi sebagai variabel terikat dalam latihan inkuiri. Latihan inkuiri sejalan dengan penelitian ini karena siswa menggali dan menemukan sendiri konsep pengetahuan dengan terlebih dahulu mengamati dan mencermati media yang ditayangkan, kemudian saling bertukar ide dengan teman tentang konsep-konsep yang ditemukan pada tayangan iklan di media tersebut. Rerata keterampilan membuat tabel tergolong baik (82%). Pembuatan tabel pada awalnya membuat siswa agak bingung. Namun penggunaan iklan sebagai media pembelajaran memasukkan konsep-konsep yang dapat dilihat langsung oleh siswa sehingga mereka mampu mengklasifikasi terlebih dahulu dan dengan sedikit bimbingan guru mereka dapat membuat tabel tersebut. Keterampilan proses sains melibatkan keterampilan-keterampilan kognitif atau intelektual, manual, dan sosial (Nur, 2002). Keterampilan proses sains komunikasi merupakan wujud keterampilan sosial yang untuk mencapainya siswa harus berinteraksi dengan guru atau temannya dan saling berbagi pendapat. Keterampilan sosial menjadi hal penting dalam keterampilan proses sains 78
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
komunikasi, karena siswa berlatih menjadi pebelajar yang mampu mengemukakan pendapat, mampu mendengarkan pendapat orang lain, terbuka terhadap kritik dan saran, mampu bekerja sama dalam kelompoknya. Keterampilan sosial itu dicapai oleh siswa melalui pembelajaran yang berinteraksi dengan media yang digunakan. Penggunaan media iklan membantu penguasaan keterampilan sains komunikasi siswa. Hal ini telah dilaporkan oleh peneliti sebelumnya (Kartimi,2011: media berbasis komputer, Nurgiyanto, 2011: media animasi computer, Riwayati, 2010: macromedia flash 8.). Media iklan tergolong media audiovisual sejalan dengan media berbasis komputer. Penelitian menggunakan iklan televisi sebagai media mencoba menjembatani antara masalah konkret dan abstrak. Masalah-masalah dalam iklan yang ditayangkan merupakan konsep konkrit yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Alat-alat pencernaan manusia terutama bagian dalam merupakan konsep yang tidak bisa dilihat langsung oleh siswa. Animasi yang menggambarkan alat-alat pencernaan membantu siswa memahami konsep abstrak dengan contoh konkrit. Keberhasilan penelitian secara kuantiatitf merupakan kumulatif penggunaan media dan pendekatan kooperatif tipe TPS. Iklan yang dikembangkan sebagai media memuat pesan berupa konsep yang akan disampaikan kepada siswa, penerima pesan. Siswa mencermati media iklan dengan melihat, membaca, dan mendengar. Berdasarkan kerucut pengalaman Dale dan Schoenhals (1975), siswa menyerap pelajaran 50% dari yang dilihat dan yang didengar. Iklan yang dikembangkan sebagai media tidak sekedar ditayangkan, tetapi dilengkapi instruksi-instruksi yang meminta siswa mencermati, membaca, dan mendengarkan yang ditayangkan dengan baik sehingga perhatian siswa lebih fokus. Ini yang menyebabkan hasil belajar siswa yang menggunakan media iklan lebih baik daripada yang tidak menggunakannya. Selain penggunaan media iklan, pembelajaran juga dibantu dengan model kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS). Sintaks-sintaks pembelajaran tipe TPS memungkinkan perhatian siswa lebih fokus dan siswa dapat bekerja teratur. Sintaks ini tergambar jelas pada media dengan tayangan slide yang membimbing siswa secara langsung baik pada tahap Think, tahap Pair, maupun tahap Share. Kelas kontrol juga menggunakan tipe TPS ini dalam pembelajaran, namun hasilnya tidak sebaik kelas eksperimen. Hal ini disebabkan tidak adanya media yang menjadi pusat perhatian siswa. Bimbingan terhadap kerja siswa juga hanya dari guru yang berkeliling kelas, tidak didapatkan secara teratur seperti bimbingan yang tertera pada media. Penggunaan model kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS) juga memungkinkan siswa saling berinteraksi berdiskusi dengan pasangannya atau dalam kelompoknya terutama pada tahap Pair dan Share. Kedua tahapan ini memberi kesempatan kepada siswa untuk saling berbagi pendapat. Sejalan dengan kerucut pengalaman Dale dan Schoenhals (1975), siswa akan belajar 70% melalui yang 79
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
dikatakan dan yang ditulis. Setelah mengamati iklan, siswa mendiskusikan dengan pasangan kelompoknya kemudian menuliskan hasil diskusi mereka. Siswa mengatakan kepada pasangannya apa yang ada dalam pemikiran mereka, gagasan atau jawaban dari suatu pertanyaan. Keterampilan proses sains komunikasi secara tertulis dilakukan siswa pada saat menyelesaikan tugas yang ada pada Lembar Kegiatan Siswa dan pada tayangan media yang digunakan. Kegiatan ini melatih keterampilan proses sains komunikasi siswa baik secara lisan maupun tertulis. Respon siswa seperti positif terhadap media iklan yang digunakan dalam pembelajaran. Siswa sangat senang, karena pembelajaran tidak membosankan. Materinya adalah contoh nyata keseharian, sehingga bersifat konstekstual. Media memudahkan siswa memahami materi pelajaran, karena dalam iklan memuat konsep yang akan dicapai. Siswa yang mengatakan bahwa media iklan bukan hal baru, tetapi membantu dalam belajar (29%) adalah siswa yang pernah diajari bahwa bila di rumah mengamati iklan-iklan yang berhubungan dengan sistem tubuh manusia. Penggunaan media iklan yang memuat langkah-langkah pembelajaran secara teratur membuat siswa harus berkomunikasi dengan siswa lain. Mereka berbagi ide dan pendapat untuk menyelesaikan tugas. Walaupun banyak tugas yang harus diselesaikan dalam bentuk tulisan, mereka membagi hasil diskusi secara lisan. Prosesproses siswa berbagi ide, pendapat dan menuliskan pendapat merupakan proses untuk menguasai keterampilan proses sains komunikasi. SIMPULAN DAN SARAN 1. Rerata keterampilan membuat tabel tergolong baik, membuat pertanyaan tergolong baik, dan membuat tulisan singkat tergolong sedang. Dengan kalimat lain, keterampilan sains berkomunikasi tergolong baik. 2. Peningkatan hasil belajar pada pembelajaran 1 dan juga 2 baik antara kelas kontrol maupun kelas eksperimen berbeda signifikan. Penggunaan iklan televisi sebagai media bermakna terhadap hasil belajar produk. 3. Siswa merespon positif pembelajaran dengan menggunakan media iklan televisi. 4. Pembelajaran menggunakan media iklan masih perlu dikembangkan, karena kemampuan siswa memungkinkan ditingkatkan sekalipun sudah tergolong baik. 5. Pembelajaran ini perlu diterapkan pada kelas lain sebelum dijadikan model pembelajaran, khususnya di SMP Negeri Banjarbaru. 6. Banyak iklan lain yang berhubungan dengan pelajaran IPA dapat dijadikan media pembelajaran. 7. Nama produk yang tercantum dalam tayangan/slide hendaknya dikaburkan atau ditutupi, sehingga tidak muncul.
80
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
DAFTAR PUSTAKA Champbell, D.T. dan J. Stanley, 1996. Experimental and Quasi Experimental Design for Research on Teaching. Dalam N.L. Gage (penyunting). Handbook of Research on Teaching.A Project of the American Educational Research Association. Departemen of The National Education Association. Chicago. Dale, E. dan L. Schoenhals. 1975. A Self-Instructional Guide to Edgar Dale’s Core of Experience. Schoenhals Publisher Depdiknas. 2007. Model Pembelajaran IPA Terpadu. Jakarta Halimah, L.1998. Kemandirian Profesional Guru dalam Pemanfaatan Lingkungan sebagai Sumber Belajar. Jurnal Penelitian Pendidikan Dasar No: 5 Tahun III. Depdikbud. Kartimi. 2011. Pengembangan Model Pembelajaran Interaktif Berbasis Komputer Sebagai Wahana Pendidikan Siswa SLTP.Cirebon: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Cirebon. Kusuma, W. 2008. Pesan Pendidikan dalam Iklan //scooteris.multiply.com/feed.rss. Diakses: 7 Mei 2010.
Rinso.
http:
Nur, M. 2002. Buku Panduan Keterampilan Proses dan Hakikat Sains. Program Pasca Sarjana Unesa. Surabaya: University Negeri Surabaya Press. Nurgiyanto, Heru. 2011. Penerapan Pembelajaran Siklus Belajar Berbantuan Media Animasi Komputer untuk Meningkatkan Keterampilan Kerja Ilmiah dan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas VIII-H SMP Negeri 4 Kepanjen Kabupaten Malang. Tesis Program Studi Pendidikan Dasar, Pendidikan IPA Terpadu (tidak dipbulikasi). Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang. Pradikta, R.I. 2008. Peningkatan Kemampuan Berbicara melalui Kegiatan Bermain Peran Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Srengat Kabupaten Blitar dengan Menggunakan Media Rekaman Iklan TV. Abstrak. Diakses: 7 Mei 2010. Riwayati, Kristien Endah. 2010. Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa Kelas VIII SMPN 2 Pare melalui Pembelajaran Berbantuan Macromedia Flash 8, Tesis, Program Pascasarjana, Program Studi Pendidikan Dasar, (tidak dipublikasi). Malang: Universitas Negeri Malang Susilo, H. 2002. Kerja Ilmiah Komunikasi. Materi Pelatihan Terintegrasi Guru Biologi SLTP. Jakarta: Depdiknas. Widyawati, R. 2010. Penerapan Model Pembelajaran Latihan Inkuiri untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains dan Hasil Belajar Siswa Kelas VII3 SMPN 1 Tanjunganom, Nganjuk. Skripsi Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Fisika FMIPA (tidak dipublikasi). Malang: Universitas Negeri Malang. 81
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
AKUMULASI TIMBAL (Pb) DAN STRUKTUR DAUN ANGSANA (Pterocarpus indicus Willd) SEBAGAI TUMBUHAN PENEDUH JALAN DI KOTA BANJARMASIN Sri Amintarti (Dosen S1 dan S2 Pendidikan Biologi Universitas Lambung Mangkurat)
Abstract Angsana is roadside plant planted in Banjarmasin. It has compound leaves with enough dense canopy that is expected to be agents for the bioremediation of pollutans, especially metals Pb. This research aims to determine the potential of plants angsana to absorb and accumulate heavy metals Pb, also to know the structure of the leaf angsana related to its function as roadside plant. The method used is descriptive that is observations directly to the field with determine the 3 research sites namely A.Yani street, Belitung street and Kapten Tendean street. From each street is selected 5 angsana tree. Leaf samples taken from each tree for its Pb content was analyzed using AAS (Atomic Absorption Spectrophotometery) and were total chlorophyll analyzed using aspectrophotometer (UV-vis). Measured leaf structure includes leaf area and number of stomata. The results showed that the leaf angsana growing at A.Yani street Belitung street dan Kapten Tendean street undetectable levels of Pb metal, while the total amount of chlorophyll ranged 70.4673-93.9153 mg/l. The structure of leaf surface angsana slippery, with leaf area ranged from 255.72-314.41 cm2 and the number of stomata ranged from 304-384 piece Key word: lead (Pb), angsana, roadside, PENDAHULUAN Polusi udara umumnya terjadi di kota-kota besar yang menjadi pusat industri dan banyak kendaraan bermotor. Peningkatan suhu udara merupakan salah satu parameter terjadinya polusi udara. Hal ini dapat dirasakan oleh masyarakat Kota Banjarmasin dan kota-kota lainnya terutama pada jam-jam tertentu. Jumlah kendaraan meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertambahan jumlah penduduk kota ini. Emisi gas dari kendaraan bermotor merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran udara, karena di dalam gas buangan mengandung bahan-bahan beracun yang berasal dari logan berat; di antaranya Pb. Logam ini dapat masuk dalam tubuh manusia melalui gas yang terhirup. Setiawan (2009) menyatakan manusia menyerap Pb melalui udara, debu, air, dan makanan. Salah satu penyebab kehadiran Pb adalah pencemaran udara. Kegiatan transportasi darat menghasilkan bahan pencemar seperti gas CO2, NOx, hidrokarbon, SO2, dan tetraethyl lead yang merupakan bahan logam 82
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
timah hitam yang ditambahkan ke dalam bahan bakar berkualitas rendah untuk menaikkan nilai oktan. Emisi Pb yang masuk ke dalam atmosfir bumi dapat berbentuk gas atau partikel. Emisi Pb dalam bentuk gas terutama berasal dari buangan gas kendaraan bermotor. Emisi ini merupakan hasil samping pembakaran yang terjadi di dalam mesin-mesin kendaraan serta berasal dari senyawa tetrametyl Pb dan tetraethyl Pb. Kedua senyawa ini selalu ditambahkan ke dalam bahan bakar kendaraan bermotor sebagai antiknock pada mesin-mesin kendaraan. Di dalam pembakaran, masuknya Pb pada mesin menyebabkan jumlah Pb yang dibuang ke udara sangat tinggi. Berdasarkan perkiraaan sekitar 80-90% Pb di udara berasal dari pembakaran bensin dan konsentrasinya tidak sama antara satu tempat dan tempat lainnya karena tergantung dari kepadatan kendaraan bermotor (Setiawan, 2009). Berdasarkan uji emisi kendaraan bermotor di Banjarmasin yang dilakukan Pemko Banjarmasin dan Kementrian Lingkungan Hidup, 70% kendaraan berbahan bakar solar dan 25% kendaraan berbahan bakar bensin tidak lulus uji emisi. Dari 527 kendaraan yang diuji, hanya sekitar 30% dinyatakan lulus dan sesuai standar (Anonim, 2009b). Emisi Pb di udara yang berasal dari kendaraan bermotor dapat dihilangkan bila bahan bakarnya bebas Pb. Hal ini perlu diupayakan mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan Pb terhadap manusia. Cara lain adalah mereduksi Pb di udara adalah penggunaan tumbuhan sebagai bioremediasi. Menurut Larcher (1994) dalam Sembiring dan Sulistyawati (2006), tumbuhan dapat dikatakan sebagai agen bioremediasi untuk mereduksi polusi Pb di udara, bila mampu menyerap Pb dan tidak menunjukkan gejala kerusakan signifikan. Taman kota ataupun hutan kota sudah saatnya dikembangkan terutama di kota-kota besar yang sarat dengan polusi. Taman dan hutan kota selain berfungsi untuk keindahan dan kenyamanan, juga berfungsi sebagai paru-paru yang dapat membersihkan udara dari bahan pencemar yang dihasilkan oleh aktivitas industri dan kendaraan bermotor. Semakin padat penduduk serta semakin kotor dan panas udara menandakan semakin meningkat polusi udara. Pertambahan penduduk biasanya diikuti dengan perkembangan industri dan jumlah kendaraan bermotor yang tujuannya untuk kesejahteraan manusia. Tanpa disadari semua aktivitas itu menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Hutan kota dan ruang terbuka hijau (RTH) merupakan solusi praktis mengatasi polusi udara. Hutan kota juga berfungsi sebagai daerah resapan.
83
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Kota Banjarmasin baru memiliki RTH 22% dari luas kota (72 km2). Bila batas minimal RTH kota 30%, Banjarmasin masih kekurangan RTH 8% (Anonim, 2009b). Banjarmasin merupakan kota yang memiliki arus lalu lintas cukup padat. Angsana merupakan tumbuhan peneduh jalan yang banyak dijumpai di sepanjang jalan Banjarmasin. Tumbuhan ini mudah dikembangbiakan, mudah tumbuh, dan cepat menghasilkan biomasa. Angsana yang berdaun majemuk dan berkanopi rimbun diharapkan dapat menyerap logam Pb. Respon tumbuhan yang dapat mereduksi Pb dari udara perlu dikaji. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah angsana mampu menyerap Pb serta bagaimana struktur daun angsana. METODE Penelitian dilaksanakan di Banjarmasin selama 6 bulan (Maret-Agustus 2011). Kandungan Pb diuji di laboratorium Balai Pengembangan Teknologi dan Konstruksi Dinas PU Banjarmasin. Kandungan klorofil diui dan struktur anatomi daun angsana diamati di Laboratorium PMIPA FKIP Unlam. Sampel daun diambil dari angsana Jalan A. Yani, Jalan S. Parman, dan Jalan Kapten Tendean. Jumlah kendaraan di tiga lokasi itu dihitung tiga kali sehari, yaitu pada pagi, siang dan sore hari. Setiap waktu itu selama satu jam dan secara keseluruhan selama 3 hari. Kadar Pb diukur melalui pemanasan sampel daun dalam oven bersuhu 70 °C hingga didapat berat kering konstan. Sampel daun hasil pengeringan diabukan dalam furnace bersuhu 600 °C selama 1 jam. Abu daun diberi HNO3 pekat (65%) dan akuades masing-masing sebanyak 5mL, dipanaskan, dan ditambah air sampai tanda batas 25 mL. Larutan tersebut diukur kadar Pb nya dengan Atomic Absorption Spectrophotometery (AAS). Kadar Pb di dalam daun dihitung dengan rumus Cy'= Cy × V/ W Dalam hal ini: Cy’ = kandungan Pb pada jaringan daun (μg/g), Cy = konsentrasi Pb terukur pada AAS (μg/mL), V = volume pengenceran (mL), W = berat kering daun (g) Jumlah stomata dihitung melalui pengecatan permukaan bawah-daun dengan cutex bening, sehingga diperoleh lapisan cetak stomata. Setelah mengering lapisan disobek agar diperoleh luasan (1 x 1) cm2. Lapisan bening diamati dibawah mikroskop binokuler (perbesaran 100 x). menghitung luas daun angsana, kertas kalkir (1 x 1) cm² dibentuk dan ditimbang beratnya. Potongan bujur sangkar ini akan menjadi standar untuk mengukur luas daun. Pola setiap helai daun digambar pada kertas kalkir dan ditimbang beratnya. 84
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Luas masing-masing daun diukur dengan rumus: A = Wt/ Wi Dalam hal ini: A = luas daun (cm²); Wt = berat kertas dari masing-masing sampel daun (g); Wi = berat kertas yang dijadikan standar (g) Kandungan klorofil diperoleh dari 5 pohon sampel. Kandungan klorofil total diukur dengan cara menimbang 1 g sampel daun dan mengekstraksinya dengan 10 ml aseton 80% setelah menggerusnya dalam mortar sampai seluruh klorofil terlarut. Larutan yang diperoleh dimasukkan pada tabung kuvet spektofotometer (UV–vis). Absorbansi diukur dengan menggunakan optical density 645 dan 663 nm dengan banko aseton 80% Kandungan klorofil total dihitung dengan rumus: Klorofil total (g/mL) = 20,2 A645 + 8,02 A663 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Rerata jumlah kendaraan yang lewat pada 3 ruas jalan mulai dari terpadat, sedang, hingga kurang padat disajikan pada Tabel 1. Di daun angsana dari tiga lokasi tidak terdeteksi polutan udara berupa logam Pb. Tabel 1. Hasil pengukuran akumulasi Pb dan struktur daun angsana dari 3 lokasi No. Parameter 1 Kepadatan lalu lintas (kendaraan/jam) 2 KandunganPb daun angsana ( pm) 3 Jumlah stomata 4 Luas daun (cm2) 5 Kadar kolorofil (mg/l) Keterangan: Tt : Tidak Terdeteksi
Jl A.Yani 7961 Tt 375 314,41 93,9153
Jl Belitung Jl. Tendean 3555 1002 Tt Tt 384 304 255.72 285,75 89,7484 70,4673
Rerata jumlah stoma terbanyak diperoleh dari Jl. Belitung yang disusul kemudian dari Jl. A. Yani dan Jl. Kapten Tendean. Daun majemuk terluas diperoleh pada angsana yang tumbuh di Jl. A. Yani, sedangkan tersempit pada angsana Jl. Belitung. Pengukuran klorofil daun dilakukan hanya untuk mengetahui kadar klorofil total pada daun tumbuhan angsana dari masing –masing lokasi penelitian. Kadar klorofil-total tertinggi berasal dari angsana Jl. A. Yani, sedangkan terendah dari angsana Jl. Tendean. Pembahasan Kemampuan tanaman dalam menyerap Pb dipengaruhi keadaan permukaan daun. Daun yang berbulu (pubescent) atau daun yang permukaannya kesat (berkerut) 85
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
mempunyai kemampuan lebih tinggi dalam menyerap Pb daripada daun yang mempunyai permukaan lebih licin dan rata (Hendrasarie, 2007). Selanjutnya Strakman dalam Hendrasarie (2007) menyatakan bahwa kemampuan daun tanaman menyerap suatu polutan dipengaruhi oleh karakteristik morfologi daun, seperti ukuran dan bentuk daun, adanya rambut di permukaan daun, serta tektur daun. Secara umum kemampuan menyerap partikel Pb di udara pada setiap jenis tanaman berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh kerapatan dan ukuran stomata. Partikel Pb yang melayang layang di udara akan terakumulasi ke dalam tanaman melalui celah stomata dan akan menetap di dalam jaringan daun antara celah sel jaringan pagar (pallisade) dan jaringan bunga karang (spongi tissu) (Rachmawati, 2005). Kemampuan tanaman menyerap Pb dari udara dipengaruhi oleh bentuk kimiawi Pb. Senyawa Pb dapat diserap melalui adsorpsi atau absorpsi. Pada adsorpsi, Pb yang terlepas dari kendaraan bermotor hanya melekat pada bagian permukaan akar gantung, daun, dan batang. Adsorpsi Pb pada komponen tanaman ini hanya berdasarkan pada interaksi senyawa Pb dengan komponen tanaman (kohesi). Jika terkena air hujan, Pb dalam bentuk garam halida akan terlepas dari komponen tanaman tersebut dibandingkan dengan bentuk oksida. Pada absorpsi, Pb akan masuk dan terserap ke dalam jaringan tanaman melalui akar gantung maupun stomata daun. Pb yang terabsorpsi tidak terlepas dari jaringan tersebut (Lubis dan Suseno, 2002). Angsana mempunyai daun majemuk menyirip gasal dengan 5 atau lebih anak daun. Permukaan daun bagian atas licin, sedangkan permukaan bawah mempunyai trikoma yang jumlahnya sangat sedikit. Struktur daun demikian menyebabkan daun angsana tidak terdeteksi mengandung Pb. Anak daun yang tidak luas dan permukaan licin menyebabkan polutan mudah tercuci oleh air hujan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 dan pada bulan tersebut Banjarmasin masih diguyur hujan. Wajar apabila Pb di udara terbawa oleh air hujan. Menurut Palar (1994), Pb dapat masuk ke badan perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Wedling dalam Suhadiyah dkk (2011) menyatakan bahwa partikel-partikel logam berat yang menempel pada permukaan daun akan tercuci oleh hujan. Hujan juga dapat menurunkan konsentrasi kadar partikel Pb yang melayang-layang di udara, sehingga dapat mencuci partikel higroskopis berukuran 20-30 mm serta debu-debu berukuran lebih kecil lagi. Selanjutnya Suhadiyah dkk (2011) mengatakan bahwa keadaan udara lebih kering dengan suhu yang cenderung meningkat, angin yang bertiup lambat, serta curah hujan rendah meningkatkan polutan, karena tidak terjadi pengenceran polutan di udara. Angsana mampu dengan cepat menghasilkan biomasa dan mempunyai tajuk cukup rimbun yang dibentuk oleh daun-daun majemuk yang mudah bergerak bila 86
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
tertiup angin. Kondisi ini memengaruhi kemampuan angsana untuk menyerap partikel Pb di udara. Angsana pun cocok sebagai tumbuhan peneduh jalan, karena percabangannya lentur serta tidak mudah patah bila diterpa oleh angin. Bunganya indah dan buah tidak terlalu besar. Anonim (2008) menyatakan bahwa syarat pohon peneduh jalan adalah mudah tumbuh pada tanah padat, tidak mempunyai akar besar di permukaan tanah, tahan terhadap hembusan angin kuat, dahan dan ranting tidak mudah patah, pohon tidak mudah tumbang, buah tidak terlalu besar, serasah yang dihasilkan sedikit, tahan terhadap pencemar dari kendaraan bermotor dan industri, mudah menyembuhkan diri dari luka akibat benturan kendaraan, cukup teduh tetapi tidak terlalu gelap, kompatibel dengan tanaman lain, daun, bunga, buah, batang dan percabangannya secara keseluruhan indah. Kemampuan penjerapan partikel Pb oleh tanaman tergantung pada sifat permukaan daun dan tingkat kerapatan tajuknya. Sifat permukaan daun (licin atau kesat, lentur atau kakil. berambut halus di permukaan daun atau tidak) sangat memengaruhi jumlah partikel Pb yang tertangkap. Tingkat kerapatan tajuk jenis pohon dapat memengaruhi jumlah patikel Pb yang menempel di permukaan daun (Anonim, 2008). Tidak terdeteksinya Pb menyebabkan tumbuhan tidak mengalami gangguan pertumbuhan. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah stoma, luas daun, dan jumlah klorofil yang tidak terpengaruh oleh jumlah kendaraan yang lewat. Angsana di Jl. A. Yani dengan jumlah kendaraan lewat terbanyak mempunyai jumlah stomata rerata 375 dalam setiap luas bidang pandang, luas daun 314,41cm2, dan jumlah klorofil 93,9153 mg/l. Demikian juga angsana di Jl. Belitung. Angsana yang ditanam di Jl. Tendean dengan jumlah kendaraan yang lewat rerata 1.002 setiap jam tidak menunjukkan pertumbuhan daun yang lebih baik dibandingkan dengan angsana Jl. A. Yani dan Jl Belitung. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan pohon angsana tidak dipengaruhi oleh padatnya lalu lintas dan jumlah polutan yang dihasilkan. Jumlah dan ukuran stoma pada daun akan berpengaruh terhadap CO2 dan O2 yang berdifusi pada mesofil daun, walaupun stoma dapat membuka dan menutup. Jumlah stoma akan mempengaruhi difusi CO2 untuk fotosintesis. Jumlah stoma yang lebih banyak pada daun angsana di Jl. A. Yani akan berdampak pada laju fotosintesis yang lebih baik dibandingkan dengan daun angsana di Jl. Tendean. Seperti halnya jumlah stoma, jumlah klorofil juga mempengaruhi laju fotosintesis karena pigmen ini berperan dalam penangkapan energi radiasi. Klorofil total di ketiga lokasi penelitian menunjukkan jumlah yang berbeda. Berkaitan dengan laju fotosintesis maka jumlah klorofil total pada tumbuhan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatifnya.
87
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
SIMPULAN DAN SARAN Pada daun angsana di tiga lokasi penelitian tidak terdeteksi logam berat Pb. Angsana itu mempunyai struktur daun dengan permukaan licin, jumlah stoma 304384 buah, luas daun 255,72 _ 314,41cm2, dan jumlah klorofil total 70,467393,9153mg/l, sehingga memenuhi syarat sebagai tumbuhan peneduh jalan. Perlu penelitian pembanding untuk mengetahui keefektifan daya serap daun angsana terhadap polutan Pb di musim kemarau. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. Manfaat Hutan. http://greenlumut.wordpress.com/2008/04/10/ manfaat-hutan/2-2 .15 Oktober 2011. Anonim. 2009b. Banjarmasin Post, 28 Nopember 2009. Hendrasarie ,N. 2007. Kajian Efektifitas Tanaman dalam Menjerap Kandungan Pb di Udara. Jurnal Rekayasa Perencanaan, (3)2:. Teknik Lingkungan – FTSP – UPN “Veteran” Jatim, http://eprints.upnjatim.ac.id/1294/1/TLNovirina_32.pdf. 8 Oktober 2011. Lubis, E dan H. Suseno. 2002. Penyerapan Pb oleh Tanaman Bergantung Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif. http://www.google.co.id. 8 Oktober 2011. Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Rachmawati, D.S. 2005. Peranan Hutan Kota dalam Menjerap dan Menyerap Pb (Pb) di Udara Ambien. (Studi Kasus di Jalan Tol Jagorawi Bogor). Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. http://endesdahlan.staff.ipb.ac.id/files/2011/01/Dwi-SantiRachmawati- E03400042.pdf. 15 Oktober 2011. Sembiring,E dan E. Sulistyawati. 2006. Akumulasi Pb dan Pengaruhnya pada Kondisi Daun Swietenia macrophylla King. Makalah pada Seminar Nasional Penelitian Lingkungan PT di ITB 17-18 Juli 2006. Http://Www.Sith.Itb.Ac.Id/Profile/Databuendah/Publications/Ebinthalina_IA TPI2006.Pdf. 15 Oktober 2011. Setiawan, W. 2009. Pencemaran Pb. pencemaran-pb-Pb. 16 Juli 2011
http://www.scribd.com/doc/51140431/168-
Suhadiyah, S. Leong S. Surni. 2011. Studi Adsorbsi Pb (Pb) pada Kulit Batang Kersen (Muntingia calabura) dan Glodogan Tiang (Polyathia longifolia Bent & Hook. F. var Pendula) di Makassar, Sulawesi Selatan. FMIPA-UNHAS
88
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
PENGARUH PEMBERIAN PELLET IKAN INKONVENSIONAL TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Suriani (Guru SMP Negeri 6 Banjarmasin)
Abstrak Penelitian bertujuan menguji pengaruh pemberian pellet ikan inkonvensional terhadap bobot ikan nila, konversi pakan, efesiensi penggunaan pakan, dan pendapatan yang diterima (IOFC). Rancangan Acak Lengkap (RAL) digunakan. Perubahan yang diamati adalah bobot ikan, konversi pakan, efesiensi penggunaan pakan, IOFC, dan faktor lingkungan. Berdasarkan pada bobot ikan, konsumsi pakan, konversi pakan, gizi pakan, pendapatan petani ikan, dan faktor lingkungan yang mendukung, perlakuan P3 yang merupakan kombinasi 40%, tepung ikan + 30%, eceng gondok + 25%, air cucian beras + 5%, minyak ikan direkomendasikan digunakan dan dapat bersaing dengan pakan buatan pabrikan. Kualitas nutrisi pakan baik, biaya lebih murah Rp3.600/kg, konversi pakan mencapai 3,42, biaya pakan Rp 12.321, serta pertumbuhan bobot tubuh cenderung lebih tinggi 13,72 g.ekor-1 dibandingkan pakan jadi asal pabrikan, dan menghasilkan keuntungan (IOFC) tertinggi Rp10.688/kg. Kata kunci: inkonvensional, bobot, pakan, konversi, keuntungan (IOFC).
PENDAHULUAN Budidaya ikan nila tergantung pada kecukupan pakan, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Pakan ikan yang tersedia di pasaran cukup banyak, akan tetapi harganya mahal dan kurang terjangkau oleh petani ikan. Oleh karena itu perlu dicari alternatif formula pakan ikan nila yang berasal dari campuran bahan-bahan potensial yang bernilai gizi baik, banyak tersedia di lingkungan dan terjangkau harganya. Permasalahan petani ikan khususnya ikan nila saat ini adalah harga pakan. Jika komponen harga pakan ikan dapat ditekan, maka akan membantu keuntungan bagi petani ikan. Menekan komponen pakan mampu memberi nilai tambah bagi petani ikan dan meningkatkan keuntungan usaha, karena efisiensi harga pakan ikan (Carman dan Sucipto, 2009). Lingkungan di sekitar kita banyak sumber pakan inkonvensional yang belum digali ataupun diolah menjadi bahan pakan ikan bermutu, seperti eceng gondok, azolla pinnata, ducweed, atau limbah air cucian beras. Eceng gondok dan sejenisnya selama ini dikenal sebagai gulma atau tanaman pengganggu serta dapat mencemari 89
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
kolam ikan karena pertumbuhannya yang cepat, mendangkalkan kolam, menghambat penetrasi cahaya matahari dalam air dan menggangu transportasi air (Widyanto, 1980). Minyak hewani seperti minyak ikan diduga dapat meningkatkan nafsu makan ikan. Minyak ikan diperlukan sebagai aroma dalam pakan ikan, sehingga ikan lebih menyukai pakan (pellet). Minyak ikan juga mampu meningkatkan kandungan energi pakan atau meningkatkan kepadatan energi untuk mencapai bobot yang tinggi (Estiasih, 2009). Pembuatan pakan ikan dengan bahan pakan inkonvensional (eceng gondok, air cucian beras, minyak ikan) dan bahan pakan konvensional (tepung jagung, tepung ikan) diharapkan mampu menekan harga pakan ikan dengan tetap mempertahankan kualitas nutrisi sesuai fase pertumbuhannya. Pembuatan pakan nila dengan metode inkonvensional diharapkan mampu menstimuli pertumbuhan nila dengan cepat melalui penambahan minyak ikan dan mendapatkan bobot panen ikan nila yang baik dengan pengeluaran biaya pakan yang lebih efisien (murah) dibanding biaya pakan pellet pabrik. Ini akan mampu meningkatkan keuntungan atau income over feed cost (IOFC) usaha budidaya nila oleh peternak ikan. Peranan pakan ikan dalam suatu budidaya dapat ditinjau dari beberapa aspek seperti biologi dan bisnis. Berdasarkan aspek biologis, pakan ikan sangat dibutuhkan untuk kehidupan, pertumbuhan dan reproduksi. Dari aspek bisnis, pakan ikan merupakan komponen biaya terbesar dalam usaha perikanan. Sekitar 40-60% biaya produksi dialokasikan untuk biaya pakan; artinya, pemberian pakan ikan sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya keuntungan yang diperoleh petani ikan (Nugroho, 2008). METODE Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Basah Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Lambung Mangkurat. Alamat Jalan Unlam III Kotak Pos 6 Banjarbaru 70714. Rancangan percobaan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan. Pellet ikan inkonvensional dibuat dari berbagai kombinasi pakan nila yaitu air cucian beras, eceng gondok, minyak ikan, jagung, dan tepung ikan. Perlakuan penelitian meliputi: P1: Pellet pakan ikan komersial 100% (kontrol) diperoleh dari Sinar Intan SCA-2. Pakan Ikan Terapung. PT Matahari, Surabaya. P2: Pakan dari tepung ikan 40%, tepung jagung 30%, air cucian beras 25% dan minyak ikan 5%. Formula ini didasarkan pada tabel ramuan makanan buatan untuk benih ikan.
90
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
P3: Pakan dari tepung ikan 40%, tepung eceng gondok 30%, air cucian beras 25 % dan minyak ikan 5%. P4: Pakan dari tepung ikan 40%, tepung jagung 15%, tepung eceng gondok 15%, air cucian beras 25% dan minyak ikan 5%. Parameter yang diamati adalah pertumbuhan bobot ikan nila yang dipelihara di dalam bak air. 1. Pertumbuhan bobot ikan diukur dengan menghitung laju pertumbuhan (growth rate). Rumusnya (Afrianto dan Liviawati, 2005) Pertumbuhan bobot = W1 – W0 Dalam hal ini, W1 = bobot akhir (g) dan W0 = bobot awal (g) 2. Konsumsi pakan adalah selisih pakan yang diberikan dikurangi dengan pakan yang tersisa. Konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang riil dikonsumsi nila pada setiap perlakuan. 3. Efiseiensi penggunaan pakan atau konversi pakan adalah perbandingan antara bobot kering pakan yang dikonsumsi dan pertumbuhan bobot ikan. Rasio Konversi Pakan =
Jumlah pakan yang dikonsumsi Pertumbuhan bobot
Semakin kecil nilai rasio konversi pakan, semakin baik kualitas pakan buatan tersebut atau semakin efisien pakan menghasilkan capaian bobot ikan, Semakin besar nilai konversi pakan, semakin tidak efisien pakan menghasilkan bobot ikan. 4. Analisa pendapatan (Income Over Feed Cost / IOFC) Pembandingan antara harga total pakan (Rp) dengan total bobot ikan yang dihasilkan (g). Semakin kecil nilai biaya, semakin efisien penggunaan pakan. Biaya yang terjadi =
Harga total pakan yang digunakan (Rp) Total bobot ikan yang dihasilkan (g)
5. Analisa gizi dalam pakan Nutrisi pakan meliputi karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin. Protein dan mineral dianalisis dengan metode proximat. Jumlah pakan buatan yang telah diserap oleh tubuh ikan ditentukan dengan CD (Afrianto dan Liviawati, 2005).
CD =
Kandungan nutrien pakan
Kandungan nutrien feces
pada akhir penelitian
pada awal penelitian
Nutrien pakan buatan selama penelitian
91
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Data ditabulasi dan dianalisis dengan sidik ragam 5% dan 1%. Untuk melihat kecenderungan pengaruh perlakuan dilanjutkan dengan Uji Duncan (DMRT) (Hanafiah, 1993). pH oksigen terlarut dan suhu diukur dengan alat Horiba U-10. Kandungan amoniak (NH3) diukur dengan Spectopatometer dan DO dengan Nessler Methode Nach DR 2800. Parameter memengaruhi metabolisme sel, pertumbuhan bobot dan panjang ikan nila, serta kelangsungan hidup ikan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Bobot akhir ikan nila hasil perlakuan P4 paling tinggi dan diikuti perlakuan P3 dan P2 (Tabel 1). Perlakuan P1 menunjukkan pencapaian bobot ikan nila terendah. Hasil penelitian cukup baik, karena pakan P2, P3 dan P4 dibuat dari campuran bahan pakan yang kurang lazim digunakan (air cucian beras, eceng gondok, minyak ikan). Ini adalah diversifikasi pakan dari bahan berharga murah dan diabaikan masyarakat. Tabel.1. Pertumbuhan bobot nila pada awal dan akhir penelitian (g.ekor-1) Perlakuan P1 (kontrol) P2 P3 P4
Awal 9,65a 10,60a 10,09a 10,22a
Akhir 12,11a 13,08a 13,72a 15,88a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p > 0,05).
Perlakuan P2 menunjukkan tingkat konsumsi tertinggi, yang diikuti perlakuan kontrol (P1), P3, dan P4 (Tabel 2). Semua perlakuan menunjukkan bahwa variasi konsumsi baik rataan konsumsi per ekor maupun konsumsi per perlakuan tidak jauh berbeda. Variasi konsumsi perlakuan P4 menunjukkan konsumsi yang homogen pada tingkat 59,00 g.ekor-1. Perlakuan kontrol, P2, dan P3 menunjukkan sedikit variasi antar ulangan walaupun pada kisaran perbedaan kecil antara 1 g.ekor-1.ulangan-1. Tabel 2. Konsumsi dan efisiensi pakan nila Perlakuan P1 (Kontrol) P2 P3 P4
Konsumsi pakan (g.ekor-1) 59,60b 59,80b 59,20ab 59,00a
Efisiensi pakan (g.ekor-1) 3,44b 3,45b 3,42ab 3,41a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p < 0,05).
92
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Efisiensi penggunaan makanan terbaik dicapai oleh perlakuan P4 yang diikuti perlakuan P3, P1, dan P2 (Tabel 2). Perlakuan P4 menunjukkan nilai konversi pakan yang paling seragam di antara semua ulangannya. Variasi nilai konversi pakan terbesar (kurang efisien) dihasilkan oleh P1, P2. dan P3. Perlakuan P3 menghasilkan keuntungan tertinggi (Rp10.688/kg bobot ikan atau Rp146,64/ekor) dibandingkan tiga perlakuan lainnya (Tabel 3). P4 bobot bagus, FCR bagus, tetapi harga pakan kurang bagus. Tabel 3. Analisis pendapatan (Income Over Feed Cost) No.
Uraian
1 2 3 4 5 6 7
Harga pakan (Rp/kg) Biaya pakan (Rp/kg bobot ikan) Biaya pakan (Rp/kg bobot ikan) Harga jual ikan (Rp/kg) Bobot ikan (g) Analisis pendapatan (IOFC) (Rp/ekor) Analisis pendapatan (IOFC) (Rp/kg)
P1 6.000 3,44 20.640 23.000 12,11 28,58 2.360
Perlakuan P2 P3 4.800 3.600 3,45 3,42 16.560 12.312 23.000 23.000 13,08 13,72 84,24 146,64 6.440 10.688
P4 4.200 3,41 15.004 23.000 15,88 126,98 7.996
Keterangan : IOFC (f) = (d-c) x ((e): 1000) IOFC (g) = (1000 g : (e)) x f)
Protein pada P3 lebih kecil daripada P4 (Tabel 4). Ini terjadi, karena P3 tidak mengandung tepung jagung. Sebaliknya, P4 mengandung tepung jagung. Tabel 4 Analisis laboratorium kandungan gizi pakan Kode Sampel P1 P2 P3 P4 Metode
Karbohidrat 6,19 2,16 4,32 6,48 Luff Schoorl
Protein 12,78 8,40 16,63 27,83 Kjeldahl
Lemak (%) 2,01 11,06 13,65 14,18 Gravimetri
Keterangan: Data Lab. Dasar FMIPA UNLAM Banjarbaru.
Kualitas lingkungan air disajikan pada Tabel 5, sedangkan kandungan amoniakpada Tabel 6. Kadar amoniak (NH3) berfluktuasi pada semua perlakuan. Ikan nila dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada lingkungan perairan netral dan sebaiknya dipertahankan pada nilai 6,5–8,0 (Carman dan Sucipto, 2009).
93
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Tabel 5. Pengukuran kualitas air kolam (pH, DO dan Suhu)
Keterangan: Data sekunder. Pengukuran dilakukan 2 minggu sekali. Pengukuran I adalah minggu ke 0 (sebelum masuk ke perlakuan atau setelah adaptasi)
Tabel 6. Kadar amoniak (NH3) pada semua perlakuan (mg.l-1) Perlakuan P1 (kontrol) P2 P3 P4
Hasil Analisa Minggu ke I II III IV 1,34 1,41 0,01 0,13 0,02 0,33 1,51 0,09 0,03 1,32 2,02 0,17 0,04 1,90 0,40 0,16
Rataan 0,72 0,48 0,88 0,62
Keterangan: Data sekunder. Pengukuran dilakukan 2 minggu sekali. Pengukuran I adalah minggu ke 0 (sebelum masuk ke perlakuan atau setelah adaptasi)
Pembahasan Pertumbuhan bobot ikan nila pada perlakuan P3 diduga disebabkan oleh penambahan eceng gondok. Tumbuhan ini mengandung nutrisi tinggi, yaitu protein kasar 11,95%, serat kasar 37%, lemak 1,1%, Beta-N 25,78% serta mineral yang cukup baik, seperti Phosfor (P) 0,49%, Kalsium (Ca) 1,24%, Kalium (K) 1,45% dan Abu 23,87% (Zazemi, 2004). Dalam keadaan kering eceng gondok kaya akan kandungan potassium (zat kimia beracun). Faktor penyebab lainnya adalah air cucian beras. Air cucian beras potensinya cukup besar, karena kaya akan gizi yang penting sebagai sumber energi. Kandungan karbohidrat mencapai 76%, protein 8%, dan lemak 0,6%, serta kaya akan mineral (Ca,Mg,Na, K, P, Cl, S, Fe), serta vitamin B. Vitamin B berguna sebagai kofaktor enzim dalam pencernaan makanan. Air cucian beras banyak terbuang, sehingga sebaiknya diolah menjadi bahan bermanfaat, antara lain untuk campuran pakan ikan. Pemberian pakan P1, P2, P3 dan P4 menunjukkan perbedaan nyata yang signifikan terhadap pertumbuhan bobot dan juga terhadap konsumsi pakan ikan nila. 94
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Pemberian pellet ikan inkonvensional yang berbeda menyebabkan perbedaan efisiensi penggunaan pakan pada ikan nila. Efisiensi penggunaan makanan (konversi pakan) sangat ditentukan oeh aspek konsumsi pakan dan capaian bobot ikan nila. Konsumsi pakan yang tinggi ternyata tidak menjamin pencapaian bobot ikan yang tinggi atau sebaliknya. Kualitas pakan secara keseluruhan sangat berpengaruh terhadap konversi pakan menjadi bobot ikan. Semakin kecil nilai FCR semakin efisien penggunaan pakan (Mudjiman, 2009). Kandungan amoniak sangat tinggi disebabkan oleh sisa pakan yang mengandung protein tinggi. Amoniak merupakan salah satu senyawa beracun di dalam air. Senyawa ini berasal dari metabolisme protein dan pembusukan bahan organik yang dilakukan oleh bakteri. Di dalam kolam terjadi amoniak nitrogen selalu berada dalam keseimbangan sebagai berikut: NH3 + H2O
NH4OH (ammonium)
NH4 + OH
Ammonium tidak bersifat toksik bagi ikan, sebaliknya amoniak tak terionisasi (NH3) bersifat toksik. Prosentase NH3 dipengaruhi suhu dan pH. Semakin tinggi suhu dan pH, semakin tinggi juga prosentase NH3. Meskipun mekanismenya belum diketahui secara pasti tetapi secara fisiologi bahaya amoniak bisa dijelaskan sebagai berikut. Pada saat kandungan amoniak di air meningkat, ekskresi amoniak oleh ikan akan menurun sehingga kadar amoniak dalam jaringan dan darah ikan meningkat. Amoniak juga meningkatkan konsumsi oksigen oleh jaringan insang, serta menurunkan kemampuan darah untuk mentransportasikan oksigen. Secara histologi terjadi perubahan pada ginjal, limfa, thyroid dan darah. Ekspos amoniak secara kronis bisa menurunkan pertumbuhan dan peka terhadap penyakit. Tingginya kandungan amoniak di air juga mempengaruhi permeabilitas ikan serta menurunkan konsentrasi ion internal. Tiga kendala terjadi dalam penelitian ini. a. Air kolam tidak diganti selama penelitian. Penggantian (pengeringan dan pengisian kembali air ke kolam) memerlukan waktu lama, sehingga memungkinkan ikan jadi strees. b. Sampel air diambil oleh orang berbeda. c. Alat jarang dikalibrasi, sehingga memungkinkan hasil yang kurang konsisten. Ikan bertahan dan berkembang terbaik di perairan dengan pH antara 6–9. Jika pH berada di luar kisaran ini pertumbuhan ikan berkurang. Nilai-nilai di bawah 4,5 atau di atas 10, kematian ikan dapat terjadi. Oksigen merupakan gas yang sangat diperlukan oleh setiap organisme untuk kelangsungan hidup. Penurunan DO atau kondisi DO minimum menyebabkan stres 95
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
pada ikan yang pada gilirannya menurunkan nafsu makan. Metabolisme yang terganggu mengurangi kemampuan ikan mengubah makanan menjadi energi dan rentan terhadap penyakit. Apabila berlanjut, ikan akan mati. Pada sistem budidaya intensif, peningkatan DO diusahakan melalui sistem aerasi dan sirkulasi. Suhu memengaruhi pertumbuhan ikan. Menurut Bernard (2010), kualitas air yang menunjang pertumbuhan ikan adalah suhu kolam 25-300C. Suhu air selama penelitian masih berada dalam batas suhu optimum untuk pertumbuhan bobot ikan. SIMPULAN DAN SARAN 1. Perlakuan inkonvensional mampu meningkatkan pertumbuhan bobot badan dan mengefisiensikan penggunaan makanan dibandingkan tanpa perlakuan. 2. Kombinasi P 3 (40% tepung ikan, 30% eceng gondok, 25% air cucian beras, dan 5 % minyak ikan) berpengaruh paling baik menurunkan harga pakan ikan. 3. Perlakuan inkonvensional (P3) meningkatkan pendapatan usaha (IOFC) petani ikan nila.
DAFTAR PUSTAKA Afrianto, E dan Liviawaty, E. 2005. Pakan Ikan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Bernard, T, Wahyu Wiryanto Sunaryo, Astuti, M.B. Kurniawan. 2010. Buku Pintar Budi daya dan Bisnis Ikan Nila. Penerbit PT. Agro media Pustaka. Jakarta. Carman, O dan Sucipto, A. 2009. Panen Nila 2,5 Bulan. Penerbit Swadaya. Cimanggis Depok. Estiasih, Teti.2009. Minyak Ikan Teknologi dan Penerapan untuk Pangan dan Kesehatan. Penerbit Graha. Yogyakarta. Hanafiah, AK. 1993. Rancangan Percobaan dan Teori dan Aplikasi. PT. Rajawai Press. Jakarta. http://cikaciko.blogspot.com/2009/01/pengaruh.konsentrasi-air/cuci-beras.html. http://id.answers:yahoo.com/question/index/2010. http://ikan-nila.com/Fish-Food/membuat-pakan-ikan-sendiri/2010. http://ikannila.com/membuat-formula-pakan-ikan-sendiri/2010. http://ikannila.com/The-most-Informative-Place-On-Farming. Membuat-Pakan-IkanSendiri.2010.
96
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
http://suaramerdeka.com/VI/index.php/read/cetak/2009/03/Pilihan-Baru-Nata-DeCoco-dari-Air-Cucian-Beras.htm. (http://www/optimasi-pH-dan-salinitas/2011) http://www/show-article.php.html/2006/kontrol-amoniak-budidaya-ikan-dan-udang. Mudjiman, A. 2009. Makanan Ikan Cetakan XXII.Swadaya, Jakarta. Nugroho, E. dan Kristanto, A.H. 2008. Panduan Lengkap Ikan Konsumsi Air Tawar Populer. Cetakan 1. Penerbit Swadaya, Masyarakat. Widiyanto, L.S. dan Soeryani. 1976. Peranan Eceng Gondok sebagai Pembersih Lingkungan. Puslitbang Biologi Tropika IPB (Biotrop). Bogor. Zazemi, Dakhyar. 2004. Identifikasi rumputdan gulma yang ada di rawa-rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Banjarbaru Kalimantan Selatan. Agroscientiae Journal. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.
97
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
MENGGODA MINAT SAINS MELALUI ICE BREAKING DALAM PEMBELAJARAN Aminuddin Prahatamaputra (Dosen S1 dan S2 Pendidikan Biologi, Universitas Lambung Mangkurat)
Abstrak Ice breaking merupakan kegiatan yang menyenangkan bila diberikan pada hari pertama masuk kelas. Kegiatan ini membantu siswa untuk mengenal konsep ilmu pengetahuan sebagai suatu proses dan aspek dari pengetahuan. Dalam pembelajaran sains, guru harus mampu menumbuhkan minat siswa, membuat kewenangan dan keleluasaan untuk membuat indikator pembelajaran pada setiap materi pelajaran dan mengembangkannya sesuai dengan konteks lingkungan tempat siswa berada. Guru pun tidak membatasi diri dengan konsep-konsep yang ada di buku saja, tetapi juga mengajarkan konsep baru atau hal berkaitan yang tujuannya menghangatkan dan menyegarkan suasana, serta meningkatkan motivasi belajar. Kata kunci: motivasi, pembelajaran, sains, ice breaking. PENDAHULUAN Ice breaking atau pemecah kebekuan adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru guna menyegarkan atau membikin suasana kelas menjadi akrab dan menyenangkan. Seperti diketahui, proses pembelajaran kebanyakan diikuti oleh para manusia yang kadang bersikap negatif, sehingga bisa menghambat proses pembelajaran. Sikapsikap negatif itu antara lain adalah merasa pintar sendiri, ingin selalu menonjolkan diri, suka menyepelekan sesuatu, menutup diri terhadap hal-hal baru, sungkan, enggan bergaul dengan orang asing, kurang percaya diri, minder, dan masih banyak lagi yang lainnya, padahal salah satu azas penting bagi keberhasilan suatu proses pembelajaran adalah interaksi yang terbuka, jujur, spontan, dan keakraban antara guru dan siswa guna terciptanya komunikasi dialogis dan kritis selama pembelajaran. Dua keuntungan pokok diperoleh, jika suasana kelas menjadi akrab. Pertama, peserta didik merasa senang mengikuti kegiatan, sehingga tidak merasa bosan dan lelah. Kedua, tujuan pembelajaran lebih mudah tercapai secara optimal, karena para peserta didik terlibat secara aktif tanpa harus dipaksa. Menurut Demers (2009), kegiatan ini merupakan pengenalan yang tidak hanya bagus untuk kelas pembelajaran sains yang berfokus pada ilmu biologi, tetapi juga cocok untuk ilmu alam lainnya. Di kelas biologi, kegiatan dapat digunakan sebagai pengantar hubungan penting antara struktur dan fungsi.
98
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Banyak sekali bentuk perhatian yang dapat dimunculkan yang menjadi pembicaraan hangat di kalangan siswa, jadi mengapa tidak dimasukkan dalam pembelajaran di kelas. Memberi kesempatan kepada siswa untuk berkreasi dan berinovasi lebih mendalam dan menyeluruh serta memperlakukan mereka sebagai subjek pembelajar yang nantinya diharapkan tidak hanya memperoleh konsep sains tetapi juga mampu mengembangkan kemampuan berpikir dan sejumlah keterampilan proses. Pemanfaatan ice breaking dalam pembelajaran sains sekarang ini sudah mulai marak dan dikembangkan lebih lanjut dalam upaya meningkatkan atensi anak. Menurut Sulzer-Azaroff & Mayer, (1986) dalam Nur (1998), seseorang harus menaruh perhatian atau atensi agar dapat belajar melalui pengamatan. Seseorang khususnya menaruh perhatian kepada orang yang menarik, populer, kompeten, atau dikagumi. Solso et al. (2008) menyatakan bahwa atensi adalah pemusatan upaya mental pada peristiwa-peristiwa sensorik atau peristiwa-peristiwa mental. Menurut Sunartombs (2008), berdasarkan hasil penelitian, untuk dapat berkonsentrasi pada satu fokus tertentu rerata setiap orang membutuhkan waktu sekitar 15 menit dan setelah itu konsentrasinya sudah tidak lagi fokus. Dalam proses pembelajaran atau pelatihan, hal itu perlu mendapat perhatian serius. Seorang guru ataupun fasilitator harus peka, ketika melihat gejala yang menunjukkan bahwa peserta didik sudah tidak dapat konsentrasi lagi, mulai bosan, lelah, atau malah mengantuk. Apa yang harus dilakukan oleh seorang guru atau fasilitator ketika melihat gejala demikian? Tentunya perlu adanya suatu penyegaran berupa ice breaking atau energizer. Banyak tulisan yang penulis baca menyatakan ice breaking terbukti bernilai positif bila diberikan dalam kegiatan pembelajaran. Siswa termotivasi untuk memperoleh pengetahuan serta memahami kompleksitas isu-isu yang dibahas. Semuanya menunjukkan peningkatan dalam pengetahuan siswa dan pemahaman topik yang diberikan. Banyak kendala yang mungkin akan dihadapi dalam menggunakan ice breaking sebagai metode pembelajaran. Namun bila kendala tersebut dapat teratasi, ice breaking dapat mempercepat penanaman konsep, memperkaya wawasan siswa, meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan proses, dan kelak dapat tertanam etika serta pertimbangan moral atas isu-isu sains yang berkembang saat ini yang cenderung mengabaikan etika. B. MOTIVASI DALAM PEMBELAJARAN Setiap individu memiliki kondisi internal yang turut berperan dalam aktivitas dirinya sehari-hari. Salah satu dari kondisi internal tersebut adalah motivasi. 99
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Menurut Uno (2007), motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakkan seseorang bertingkah laku. Dorongan ini berada pada diri seseorang yang menggerakkan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan dorongan dalam dirinya. Oleh sebab itu, perbuatan seseorang yang didasarkan atas motivasi tertentu sesuai dengan motivasi yang mendasarinya. Seluruh siswa pada umumnya termotivasi. Pertanyaannya adalah termotivasi untuk melakukan apa. Sejumlah siswa lebih termotivasi untuk begadang atau nonton televisi daripada mengerjakan pekerjaan sekolah. Tugas pendidik bukan meningkatkan motivasi itu sendiri tetapi menemukan, menggugah, dan mempertahankan motivasi siswa untuk belajar, dan terlibat dalam aktivitas yang menuju pada pembelajaran (Nur, 2008). Pada saat mulai mengajar dan mengenal lingkungan sekolah, seorang guru pemula menghadapi beberapa hambatan, seperti pengenalan karakteristik peserta didik, budaya sekolah, beradaptasi dan berkomunikasi dengan warga sekolah, padahal pengenalan guru pemula terhadap situasi sekolah akan menentukan karir dan profesionalitasnya sebagai seorang guru (Depdiknas, 2009). Ice breaking dalam pembelajaran, perkuliahan, atau pelatihan sangat membantu membuat suasana belajar yang menyenangkan. Kegiatan dapat diintegrasikan dalam pembelajaran atau secara khusus diberikan dalam sela atau jeda saat pembelajaran. Guru yang berhasil membuat siswa senang dan merasa diterima dan dihormati sebagai individu, lebih besar peluangnya untuk membantu siswa bersemangat belajar demi pembelajaran dan bersedia berkorban untuk menjadi kreatif dan terbuka terhadap ide-ide baru. Apabila dikehendaki menjadi pelajar mandiri, siswa harus yakin bahwa guru akan merespon secara adil dan konsisten serta tidak menertawakan atau menghukum siswa yang murni berbuat keliru (Nur, 2008). Motivasi pada dasarnya dapat membantu dalam memahami dan menjelaskan perilaku individu, termasuk perilaku individu yang sedang belajar. Menurut Uno (2009), peranan penting dari motivasi dalam belajar dan pembelajaran, antara lain adalah (a) menentukan hal-hal yang dapat dijadikan penguat belajar, (b) memperjelas tujuan belajar yang hendak dicapai, (c) menentukan ragam kendali terhadap rangsangan belajar, dan (d) menentukan ketekunan belajar. C. INFORMASI YANG TERSIMPAN DALAM MEMORI Memori adalah elemen pokok dalam sebagian besar proses kognitif. Tidaklah mengherankan bahwa memori menjadi subyek penelitian para pakar dalam bidang pendidikan dan psikologi. Menurut Solso et al. (2008), sebagai topik penelitian, memori sempat diabaikan ketika dunia psikologi Amerika terobsesi dengan 100
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
behaviorisme. Meskipun demikian, pendekatan behaviorisme pada paruh pertama abad ke-20 itu jugalah yang akhirnya memunculkan minat terhadap cara manusia menyimpan yang telah dipelajari dan bagaimana manusia mengubah pengetahuan itu menjadi memori. Model memori dari William James menyatakan bahwa memori bersifat dikotomi. Ketika manusia mengamati sejumlah objek, informasinya memasuki memori dan kemudian hilang, sedangkan beberapa informasi menetap di memori selamanya. Ada beberapa teori yang berkaitan dengan konsep memori. Pertama, teori interferensi yang menyatakan bahwa manusia lupa tidak disebabkan oleh kehilangan memori, tetapi oleh adanya informasi lain yang menghalangi hal yang ingin diingati. Kedua, teori kemerosotan (decay theory) yang menjelaskan sebab-sebab manusia dapat melupakan sesuatu. Sebab-sebab itu terdiri atas dua jenis "penganggu” (interference), yakni interferensi proaktif dan interferensi retroaktif. Interferensi proaktif terjadi ketika informasi yang dipelajari sebelumnya mengganggu pengingatan kembali hal yang dipelajari kemudian. Ini bermasalah ketika informasi yang baru tidak dapat digunakan dengan benar akibat diganggu informasi lama. Interferensi retroaktif adalah kebalikan dari interferensi proaktif. Dalam hal ini, informasi baru menggangu informasi lama. Akhirnya, dengan mempertimbangkan pentingnya manfaat ice breaking serta beberapa teori yang berkaitan dengan konsep memori atau penurunan daya tangkap otak serta, ice breaking merupakan kegiatan yang perlu digunakan dalam proses pembelajaran. D. MENGGODA MINAT ANAK TERHADAP SAINS Menurut Harian Kompas (2010), Deputi Rektor Universitas Paramadina Wijayanto mengatakan bahwa kemampuan para guru menghadirkan pembelajaran sains yang menyenangkan masih terbatas, sehingga perlu terus diasah lewat pelatihan-pelatihan. Sementara itu, Sanny Djohan dari PT Kuark International mengatakan, komik sains dalam PBM hanyalah alat untuk mendukung guru yang berada di garis depan dalam memberi pengertian dan pembelajaran pada anak didik. Dengan demikian, belajar sains tidak lagi menakutkan, tetapi justru sains menjadi sesuatu yang menarik dan menyenangkan. Gagasan penggunaan ice beraking dalam makalah ini bermula dari pandangan penulis yang melihat bahwa sains kurang menarik, membuat pusing, dan sangat menakutkan bagi sebagian anak. Hal ini diperparah dengan kondisi guru-guru di sekolah yang mengajar sains secara textbook dan tidak kreatif. Akibatnya, pendidikan sains tidak berkembang, padahal negara ini butuh banyak ilmuwan untuk bisa
101
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
memanfaatkan kekayaan alam sebagai sumber ilmu dan penghidupan bagi kemajuan bangsa pada masa depan. E. ICE BREAKING DALAM PEMBELAJARAN SAINS Dalam pembelajaran sains yang menurut sebagian orang adalah pelajaran yang monoton, penurunan konsentrasi perlu mendapatkan perhatian serius. Seorang guru/fasilitator harus peka ketika melihat gejala yang menunjukkan bahwa peserta didik sudah tidak dapat konsentrasi lagi. Apa yang harus dilakukan oleh seorang fasilitator ketika melihat gejala demikian? Berilah ice breaking atau energizer. Menurut Dryden & Vos (2000) dalam Holil (2009), belajar akan efektif bila proses pembelajaran dilaksanakan dengan suasana yang menyenangkan (joyfull learning). Hal yang mendukung efektivitas hasil belajar siswa diantaranya adalah siswa belajar dalam kondisi senang, guru menggunakan berbagai variasi metode dan teknik, menggunakan media belajar menarik dan menantang, penyesuaian dengan konteks, pola induktif, dan siswa sebagai subjek dalam pembelajaran. Ice breaking dalam pembelajaran, perkuliahan, atau pelatihan sangat membantu dalam membuat suasana belajar yang menyenangkan. Menurut Zigmond (2008), memberi ice breaking dapat mendorong siswa memecahkan masalah dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis, sehingga pembelajaran dapat berpusat pada siswa. Di samping itu, penggunaan ice breaking dengan pengajuan pertanyaan yang menggali kemampuan dapat meningkatkan ekspresi verbal dan keyakinan siswa. Buatlah waktu cukup untuk ice breaking pada minggu pertama kelas. Kegiatan ini tentu tidak hanya pada hari pertama saja. Biarkan kira-kira lima menit, setiap siswa berbicara. Pastikan memberi ice breaking kepada siswa setiap pembelajaran dengan waktu cukup. F. BENTUK ICE BREAKING Bermacam bentuk ice breaking telah digunakan dalam pembelajaran, mulai dari sekedar teka-teki, cerita-cerita lucu atau humor ringan yang memancing senyum, lagu-lagu atau nyanyian yang disertai gerakan tubuh (action song), sampai permainan-permainan berkelompok yang cukup menguras tenaga atau bahkan fikiran. Selain itu dapat juga dilakukan dengan melakukan brain gym (senam otak). Untuk mengenal lebih jauh tentang energizer atau ice breaking, kali ini akan penulis berikan beberapa uraian dari masing-masing jenis tersebut. 1. Ice Breaking Bentuk Perkenalan a. Siapa Dia? Ice breaking ini dapat digunakan dalam pembelajaran sains atau pendidikan dan pelatihan dalam bentuk kegiatan perkenalan.Petunjuk: 102
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
1) Minta semua peserta untuk berdiri dan membentuk lingkaran 2) Minta seorang peserta memperkenalkan nama dan hal lain mengenai dirinya dalam bentuk satu kalimat pendek (tidak boleh lebih dari 6 kata). Misalnya: nama saya Retno, Guru Biologi; nama saya Rachman, Pengajar Kimia. 3) Minta peserta kedua mengulang kalimat peserta pertama dan kemudian memperkenalkan dirinya sendiri. Misalnya: teman saya Retno, Guru Biologi, saya Mika, Guru Fisika. 4) Peserta ketiga harus mengulang kalimat 2 peserta sebelumnya, sebelum dia memperkenalkan diri. Demikian seterusnya sampai semua peserta mendapat giliran. 5) Apabila peserta tidak dapat mengingat nama dan apa yang dikatakan 2 peserta lainnya, maka ia harus menanyakan langsung pada yang bersangkutan. ‘Siapa nama anda?’ atau ‘Siapa nama anda dan apa yang anda katakan tadi?’ b. Kisah Angka-Angka Permainan ini dipakai agar peserta mengenal satu sama lain dengan cara santai dan menghapuskan kekakuan. Langkah langkah : 1) Mintalah seluruh peserta berhitung mulai 1 dan seterusnya sampai selesai. 2) Minta setiap peserta mengingat nomor urutnya masing-masing dengan baik. Jika perlu lakukan pengujian dengan menyebut secara acak beberapa angka dan minta peserta yang disebut nomornya untuk menyahut ‘ya’, atau tunjuk beberapa orang peserta secara acak dan tanyakan nomor urut berapa dia. 3) Tegaskan sekali lagi apakah mereka benar-benar mengingat nomor urut masingmasing. Setelah yakin, jelaskan bahwa anda akan menyampaikan suatu berita atau suatu cerita tertentu yang di dalamnya akan disebut sejumlah angka. Peserta yang disebut nomor urutnya diminta segera berdiri dan langsung meneriakkan namanya keras-keras kepada seluruh peserta lain. Jika terlambat 3 detik, peserta dikenai hukuman ramai-ramai oleh peserta lain. 4) Tanyakan kepada peserta apakah mereka paham peraturan tersebut? Jika perlu ulangi sekali lagi dan berikan contoh. 5) Mulailah bercerita. Misalnya, saudara-saudara, studi lingkungan ini sebenarnya sudah direncanakan sejak lima bulan yang lalu. Namun, karena beberapa hal, baru tiga bulan yang lalu ada kejelasan dan kemudian dipersiapkan oleh delapan orang panitia dan seterusnya. Anda bisa juga mengarang sendiri pada saat itu. Yang penting, dalam cerita itu disebutkan nomor urut peserta pada setiap satu kalimat atau setiap selang satu menit. 6) Lakukan diskusi dengan peserta tentang makna permainan ini, kegunaannya dalam kegiatan pembelajaran sains atau latihan, atau perasaan-perasaan peserta. 103
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
c. Mencari Jodoh Petunjuk : 1) Buatlah kalimat yang berhubungan dengan materi pelajaran yang akan diberikan. Misalnya, Berkembang Biak merupakan Ciri Organisme. Jumlah kalimat yang dibuat adalah setengah dari jumlah peserta. Jika pesertanya 20 orang, kalimat yang harus disediakan 10 kalimat. 2) Pecah kalimat tersebut ke dalam dua bagian dan tulis setiap pecahan kalimat pada sejumlah carikan kertas. Carikan-carikan kertas pertama berisi kalimat Berkembang Biak dan carikan-carikan kertas lainnya berisi kata Ciri Organisme. 3) Gulunglah carikan-carikan kertas yang berisi tulisan tadi. 4) Bagikan carikan-carikan tergulung kepada semua peserta. Apabila peserta ganjil, satu orang berpasangan dengan pemandu sendiri. 5) Minta peserta membuka gulungan kertas masing-masing dan membaca isinya yaitu sepotong kalimat yang belum lengkap. 6) Minta peserta mencari pasangannya, agar kalimat pada carikan itu lengkap. 7) Minta setiap pasangan berkenalan dan mendiskusikan arti kalimat tersebut. 8) Minta peserta berkumpul lagi dan minta setiap pasangan memperkenalkan pasangannya dan menyampaikan arti kalimat kepada peserta yang lain. F.2. Ice Breaking Bentuk Penyegaran a. Adu Panjang, Besar dan Tinggi Langkah-langkah; 1) Ajak semua peserta berdiri dan minta mereka bergabung dalam 3 kelompok. 2) Susunlah 3 kelompok itu secara berjajar. Lalu jelaskan bahwa 3 kelompok itu akan berlomba satu sama lainnya untuk masing-masing perintah dari wasitnya. Yang berperan sebagai wasit adalah pemandu atau salah seorang peserta. 3) Setelah semua menyiapkan kelompok masing-masing, segera mulai permainan. Misalnya, berlombalah untuk membuat barisan terpanjang tanpa terputus, atau buatlah kelompok anda menjadi yang paling tinggi, atau buatlah lingkaran kelompok besar 4) Jangan memberi komentar bahwa mereka berhak menggunakan apa saja untuk menang dan menjadi kelompok yang tertinggi, terlebar dan terpanjang. Jika ada peserta laki-laki yang sampai melepas kaos untuk digunakan sebagai penyambung tangan supaya barisannya paling panjang, biarkan saja. Hak dia untuk secara kreatif memenangkan lomba. 5) Jika permainan selesai, anda bias bertanya. Misalnya, kenapa kelompok A bisa mencapai panjang hingga ke luar ruangan, sedangkan kelompok B tidak, padahal 104
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
anggotanya sama-sama 5 orang. Itu untuk membuat peserta menikmati permainan dan melihat sesuatu yang tidak sekedar permainan. b. Badai Berhembus Petunjuk : 1) Susun posisi kursi-kursi sehingga membentuk sebuah lingkaran. Mintalah peserta untuk duduk di kursi yang telah disediakan. 2) Jelaskan kepada peserta aturan permainan. Untuk putaran pertama pemandu akan bertindak sebagai angin. 3) Pemandu yang bertindak sebagai angin mengatakan, “Angin berhembus kepada yang memakai, misalnya kacamata”, (apabila ada beberapa peserta memakai kacamata). 4) Para peserta berkacamata harus berpindah tempat duduk, bila mendengar ini dan pemandu sebagai angin ikut berebut kursi. 5) Tentu akan ada satu orang peserta yang berebut kursi tidak kebagian kursi. Orang inilah yang kemudian menggantikan pemandu sebagai angin. 6) Lakukan putaran kedua, dan seterusnya. Setiap putaran yang bertindak sebagai angin harus mengatakan, “Angin berhembus kepada yang … (sesuaikan dengan karakteristik peserta, misalnya baju biru, sepatu hitam, dan sebagainya). c. Lempar Spidol Langkah-langkah: 1) Mintalah semua peserta berdiri bebas di depan tempat duduk masing-masing. 2) Minta peserta bertepuk tangan ketika anda melemparkan spidol ke udara. Pada saat spidol anda tangkap lagi dengan tangan, semua peserta serta merta diminta berhenti bertepuk tangan. Ulangi ini sampai beberapa kali. 3) Ulangi langkah 2 dengan tambahan selain bertepuk tangan juga bersenandung (bergumam); misalnya, “Mmmmm….!”. 4) Ulangi langkah 3 beberapa kali. Setiap kali semakin cepat gerakannya dan kemudian akhiri dengan satu anti klimaks. Spidol tidak dilambungkan, tapi anda melambungkan tangan seperti akan melambungkan spidol ke atas (gerak tipu yang cepat!). Amati apakah peserta masih bertepuk tangan dan bergumam atau tidak? 5) Mintalah tanggapan dan kesan, lalu diskusikan dan analisa bersama kemudian simpulkan.
105
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
F.3. Ice Breaking Bentuk Kerjasama Tim a. Sepatu Lapangan Langkah-langkah: 1) Kelompokkan peserta menjadi kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota 5-6 orang. Salah satunya bertindak menjadi pembicara kelompok. 2) Mintalah setiap kelompok untuk mendiskusikan sepatu lapangan yang cocok untuk bekerja di “kebun percobaan” dan peralatan apa lagi yang dibutuhkan. Waktu diskusi sekitar 5 menit. 3) Mintalah pembicara kelompok untuk mengingat pendapat yang berbeda dan pendapat yang sama dari setiap orang di kelompoknya masing-masing. 4) Mintalah pembicara kelompok untuk menyampaikan hasil diskusi ini sekaligus memperkenalkan nama anggota kelompoknya dan pendapatnya mengenai topik diskusi di atas. 5) Setelah semua kelompok selesai, kemudian diskusikan: Apakah pembicara telah menyampaikan pendapat semua anggota kelompoknya secara tepat? Adakah pendapat itu dikurangi atau ditambahi? Bila ada, sebutkan! Apa yang tidak tepat? b. Kalimat Sulit Langkah-langkah: 1) Siapkan beberapa kata dan tulis setiap kata dalam sebuah kartu. 2) Kelompokkan peserta menjadi dua tim. 3) Letakkan kartu yang telah ditulisi tersebut di lantai (termasuk kata-kata yang saling berhubungan dengan pelajaran sains yang diberikan). 4) Kedua tim membuat kalimat dengan menggunakan kartu-kartu tersebut. 5) Seorang anggota tim memulai sebuah kalimat dengan kata yang pertama. Anggota lainnya mengikuti secara bergantian hingga kalimatnya selesai. Satu kata di dalam kalimat bernilai 5 poin bila kalimatnya benar. 6) Bila kalimatnya salah maka setiap kata yang salah kehilangan 5 poin. Bila seluruh kalimat menjadi tidak bermakna, tim kehilangan 50 poin. Bila kalimatnya merupakan kalimat yang belum sempurna, tim kehilangan 25 poin. Setelah setiap kalimat selesai, letakkan kembali kartu kata-kata untuk digunakan oleh peserta yang lain. c. Bercermin Langkah-langkah: 1) Minta setiap peserta berpasangan. Satu orang menjadi bayangan di cermin dan 1 orang lainnya menjadi orang yang sedang berdandan di depan cermin. 2) Bayangan harus mengikuti gerak-gerik orang yang berdandan. 106
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
3) Keduanya harus bekerja sama agar bisa bergerak secara kompak dengan kecepatan yang sama. 4) Minta peserta untuk mendiskusikan apa pesan dalam permainan ini. F.4. Ice Breaking Bentuk Komunikasi a. Menghitung Mundur Langkah-langkah: 1) Minta peserta untuk berdiri dan membentuk suatu lingkaran. Setiap peserta menghitung secara bergiliran mulai dari 1 sampai 50 (atau sejumlah peserta). 2) Pada saat menghitung, minta peserta memenuhi peraturan. Setiap angka “tujuh” atau “kelipatan tujuh”, angka itu tidak disebutkan, melainkan diganti dengan tepuk tangan. 3) Apabila ada peserta yang salah melaksanakan tugasnya, maka permainan dimulai dari awal. 4) Sesudah 3 – 4 ronde, permainan tahap 1 selesai. 5) Permainan tahap 2 dimulai dengan cara yang sama seperti di atas, tetapi hitungannya dimulai dari angka 50 mundur terus sampai dengan angka 1. Peraturan yang diterapkan juga sama, yaitu setiap angka “tujuh” atau angka “kelipatan tujuh”, angka itu tidak disebutkan, melainkan diganti dengan tepuk tangan. 6) Setelah 3 - 4 ronde, permainan selesai. 7) Minta peserta untuk mendiskusikan. Manakah yang lebih baik banyak terjadi kesalahan, cara 1 atau cara 2? Mengapa demikian? Kira-kira, apa hubungannya permainan ini dengan cara kerja kita dalam kelompok belajar atau di tengahtengah kehidupan masyarakat kita? (Mudahkah mengganti kebiasaan pendekatan dari atas dengan yang dari bawah?). b. Memahat Patung Langkah-langkah: 1) Minta beberapa orang peserta untuk tampil ke depan. 2) Minta satu orang menjadi pemahat patung. Satu orang lainnya menjadi patung itu sendiri. 3) Minta pemahat patung untuk mulai bekerja menjadikan patung itu sesuai dengan keinginannya dengan cara membimbing posisi kepala, kaki, tangan, tubuh patungnya (misal: tangan kanan ke atas, tangan kiri memegang kepala, lutut kanan bertumpu di lantai, kepala belok ke kiri, dan sebagainya). 4) Minta patung untuk menuruti semua posisi yang diminta oleh pemahat (selama proses, pemahat dan patung tidak boleh saling berbicara). 107
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
5) Setelah selesai, ajukan pertanyaan kepada para pemahat, “Apakah menyenangkan membuat patung sesuai keinginannya sendiri?” 6) Ajukan juga pertanyaan kepada terpahat, “Apakah menyenangkan untuk dibentuk sedemikian rupa oleh orang lain?” 7) Kemudian diskusikan bersama peserta. Apakah manusia bisa dibentuk sedemikian rupa oleh orang lain? Apakah hal bisa dilakukan pada anak-anak bisa? Apakah ini juga bisa dilakukan pada orang dewasa? Bagaimana tanggapan peserta tentang permainan ini? c. Jenis Yel-Yel Walaupun sederhana, yel-yel mempunyai tingkat “penyembuh” yang paling baik dibanding jenis lain. Dengan melakukan yel-yel, konsentrasi menjadi pulih kembali dan semangat tinggi untuk melanjutkan pembelajaran tumbuh pada peserta didik. Selain itu terbukti efektif, yel-yel menanamkan kekompakan tim dalam suatu proses pembelajaran. Biasanya bila ingin memusatkan perhatian kembali, pengajar harus berteriakteriak, ”Anak-anak mohon ketenangannya karena materi berikut sangat penting!”. Hal itu tentu sangat tidak efektif. Semakin keras pengajar berteriak, semakin gaduh pula suasana ruang kelas. Semakin sering kita berteriak, semakin tidak terhormat pula seorang pengajar di mata siswa. Perlu strategi untuk mengatasi hal ini. Terlebih dahulu kita membuat kesepakatan-kesepakatan untuk melakukan yel-yel tertentu. Yel yang paling sering untuk tujuan ini adalah model-model sapa jawab. Contoh: Pengajar menyapa Halo Sains Apakabar Selamat pagi Selamat siang Kita kembali ke… Are you ready? dan sebagainya
Peserta didik menjawab Sains Halo Bioumum Himbio Praktikum Laptop Yes
Yel-yel juga sering digunakan untuk memompa semangat kerja tim dalam kerja kelompok. Yel-yel model ini disuarakan untuk mengawali pekerjaan kelompok ataupun mengakhirinya. Misalnya, pada saat pembelajaran peserta didik dibagi dalam kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok dipersilahkan membuat yel-yel yang dapat memotivasi mereka untuk lebih semangat atau bahkan mempunyai daya kompetisi yang tinggi. Yel-yel yang mereka ciptakan akan sangat bervariasi. Jika ada 10 kelompok, terdapat 10 yel yang berbeda-beda. 108
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Yel-yel yang muncul seperti: Pring reketek, gunung gamping ambrol Pasti Kelompok anggrek yang paling jempol Oke-oke.. yes.. d. Jenis tepuk tangan Tepuk tangan pada awalnya merupakan salah satu ekspresi kegembiraan di samping tertawa. Biasanya kegembiraan yang diekspresikan dengan tepuk tangan adalah saat mendengar atau melihat diri kita atau orang lain yang memiliki hubungan dekat dengan kita mengalami suatu keberhasilan tertentu. Ice breaking atau energizer jenis tepuk dapat dilakukan oleh siapa saja. Bagi peserta yang kurang suka menyanyi atau juga peserta yang kurang memiliki rasa percaya diri biasanya memilih model ini. Tepuk tangan juga sangat bagus dilakukan oleh siapa saja tanpa melihat usia. Dari anak kecil sampai orang dewasa tetap pantas melakukan jenis ini. Untuk kepentingan ice breaking dalam pelatihan, tepuk tangan dapat dimodifikasi menjadi banyak sekali modelnya. F.5. Ice Breaking Bentuk Singkat a. Harta benda dalam dompet/tas Minta peserta memilih dua benda yang mereka bawa di dompet atau tas yang penting bagi mereka. Minta setiap peserta untuk menjelaskan kenapa itu penting. b. Yang Menarik dari Saya… 1) Minta peserta mengenalkan dirinya dengan menyebut nama dan sesuatu yang menarik tentang dirinya. Misalnya, nama saya Agus pernah menjadi donor darah di PMI. 2) Orang berikutnya mengenalkan diri dan juga orang sebelum dia yang telah mengenalkan diri. Misalnya, nama saya Bagus pengelola taman sekolah dan dia Agus pernah menjadi donor darah di PMI. 3) Proses berlanjut sampai semuanya telah dikenalkan dan seluruh kelompok membantu jika ada yang terlupakan. c. Halo-Hai Fasilitator mengucapkan kata HALO dan peserta diminta menjawab HAI atau sebaliknya. Variasikan dengan mengucapkannya menjadi 2 atau 3 kata. Hal tersebut dapat membantu mengembalikan konsentrasi peserta.
109
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
d. Menuliskan Huruf Peserta menulis huruf tetapi dengan menggunakan anggota tubuh sambil mengucapkan huruf tersebut dengan keras. e. Menggambar Sebuah Daun Peserta menggambar sebuah daun dengan anggota tubuh. f. Mencari Teman Mencari teman dengan cara menirukan bunyi, menirukan gerakan atau tanya jawab untuk membentuk kelompok. g. Menghitung Jumlah Segi Empat pada Papan Catur Beri peserta gambar papan catur dan minta mereka menghitung berapa jumlah segi empat yang ada dalam waktu yang sangat singkat. h. Deskripsikan Hasil Pengamatan Beri benda (pena, pensil, penghapus, atau benda apa saja yang ada di meja) dan minta mereka menuliskan deskripsi tentang benda tersebut minimal 50 kalimat (kemampuan mengobservasi). i. Lempar Bola Tepuk Tangan Minta peserta bertepuk tangan satu kali setiap kali guru atau fasilitator melempar bola atau bola terlepas dari tangan fasilitator. Beri hukuman bagi peserta yang salah bertepuk tangan atau tidak bertepuk tangan. j. Teka-Teki Memberi teka-teki ringan dan lucu dan memberi penghargaan bagi yang bisa menjawab. k. Menggambar Sambil Menutup Mata Peserta berpasangan. Salah seorang memberi instruksi kepada pasangannya untuk menggambar sesuatu dalam keadaan mata tertutup. Cari yang tercepat selesai gambarnya dan bagus. l. Menonton Film Memutarkan film singkat, video clip dan meminta mereka mengapresiasinya. Cari jawaban yang paling masuk akal atau sebaliknya.
110
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
m. Kekuatan Memori Tunjukan sederet kata kepada peserta. Kemudian hapus tulisan dan minta mereka menyebutkan atau menuliskan lagi kata-kata tersebut. Lalu tampilkan lagi sederet kata yang berbeda dan ajak peserta menyanyikannya dengan melodi lagu yang sangat akrab di telinga mereka. Hapus tulisan dan minta mereka menulis/menyebutkan kata–kata yang ada dalam lagu. Minta mereka membandingkan perolehan kata pertama dan yang kedua. Minta mereka mengambil benang merah dari kegiatan tersebut. n. Mencari Teman dengan Suara Hewan Tulislah nama-nama hewan dalam sebuah kertas kecil dan berikan kepada peserta untuk mencari anggota kelompok dengan menyuarakan suara hewan. Perlu diperhatikan bahwa nama hewan harus yang tidak sensitif dengan kultur masyarakat. o. Kereta Api Peserta diminta berbaris berurutan dengan memegang pundak peserta yang ada di depannya. Ajak peserta berkeliling ruangan sambil menyanyi “naik kereta api tut..tut..tut..siapa hendak turut dan seterusnya…..” G. PROGRAM PENYAJIAN Penggunaan ice breaking dalam pembelajaran sains bertujuan untuk meningkatkan motivasi peserta didik sehingga berdampak positif pada ketuntasan belajar siswa secara klasikal. Alur program penyajian ice breaking dalam pembelajaran dapat disajikan sebagai berikut. Kegiatan 1. Pada pendahuluan guru menginformasikan indikator, tujuan pembelajaran, produk-produk yang harus dihasilkan dalam KBM, dan strategi pembelajaran, kemudian beri ice breaking. Kegiatan 2. Curah pendapat mengenai pengalaman, isu-isu dan masalah sains dalam buku teks. Peserta didik mempelajari modul berbasis isu dan masalah sains yang ditemukan dalam curah pendapat. Kegiatan 3. Pemberian ice breaking untuk menyegarkan suasana sebelum kegiatan inti dilakukan. Peserta didik mengidentifikasi masalah sains dalam pembelajaran yang akan dibahas. Berdasarkan masalah tersebut peserta berlatih menyusun instrumen yang diperlukan untuk koleksi data. Mengingat waktu yang terbatas instrumen yang diperlukan tidak perlu lengkap cukup yang mewakili dari aspek ranah sehingga setiap peserta didik memiliki kesempatan melakukan eksperimen.
111
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011 Banjarmasin, 7 Maret 2011
Kegiatan 4.
Kegiatan 5.
Setiap kelompok mempresentasikan instrumen yang dikembangkan dan data yang dihasilkan dalam eksperimen berdasarkan masalah yang diangkat. Peserta menanggapi dan mengkritisi. Setiap kelompok merevisi instrumen dan data yang belum selesai sesuai dengan saran-saran dari peserta didik lain dan fasilitator. Peserta melakukan refleksi mengenai KBM. Instrumen dan data yang belum sempurna diselesaikan peserta dalam tugas mandiri yang menjadi bagian dari portofolio sebagai tagihan program kbm. Setelah membuat kesimpulan sebelum mengakhiri kegiatan, kembali diberikan ice breaking agar ketegangan dan kepenatan peserta didik bisa berkurang.
H. PENUTUP 1. Ice breaking merupakan kegiatan yang dilakukan oleh guru atau fasilitator guna menyegarkan suasana kelas atau membikin suasana kelas menjadi akrab dan menyenangkan. 2. Bentuk ice breaking dalam pembelajaran sains adalah perkenalan, penyegaran, menghangatkan suasana, kerjasama tim, komunikasi, dan bentuk singkat. 3. Penggunaan ice breaking dalam pembelajaran sains bertujuan menghangatkan suasana, penyegaran serta untuk meningkatkan motivasi belajar. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. 2009. Draft Petunjuk Teknis Program Induksi Guru Pemula. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Demers, N.E. 2009. Structure-function lab in a bag. Journal of College Science Teaching 39(2):58. Diakses: 21 Januari 2011. Holil, A. 2009. Ice Breaker dalam Pembelajaran. http://lipi.go.id./ig. Diakses: 30 Nopember 2010. Kompas. 2010. Guru dan Siswa yang Terintimidasi. Kompas, 11 November 2010. Nur, M. 2008. Pemotivasian Siswa untuk Belajar. Cet. Ke-3. Surabaya: Unesa PSMS. Solso, R.L. et al. 2008. Cognitive Psychology, 8th ed. Pearson Education. USA. Sunartombs. 2008. Menjadi Fasilitator Idola. http:/lipi.go.id./ig. Diakses: 17 Desember 2010. Uno, B. Hamzah. 2009. Teori Motivasi & Pengukurannya (Analisis di Bidang Pendidikan). Jakarta: PT. Bumi Aksara. Zigmond, R.H. "Ask a provocative question to break the ice." College Teaching 56.3 (2008): 154+. Educator's Reference Complete. Diakses: 21 Januari 2011. 112