Wāk Pārusya Dalam Persepektif Hukum Adat di Bali Oleh : I Nyoman Alit Putrawan Abstrac Masyarakat adalah kelompok manusia yang telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma, adat istiadat yang sama-sama ditaati dalam lingkungannya. Tatanan kehidupan, norma-norma dan adat istiadat yang dimiliki itu menjadi dasar kehidupan sosial sehingga dapat membentuk suatu kelompok manusia yang memiliki ciri-ciri kehidupan yang khas. Dalam berinteraksi, manusia berpatokan pada tatanan kehiupan, norma-norma dan adat istiadat yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Norma-norma termasuk norma hukum pasti ada dalam setiap masyarakat (ubi societas ibi ius). Begitu juga dalam masyarakat adat dalam berinteraksi dilandasi normanorma, tatanan kehidupan dan hukum adat yang berlaku setempat. Alam pikir masyarakat hukum adat adalah bersifat kosmis, meliputi : segala-galanya sebagai kesatuan (totaliter). Dalam masyarakat hukum adat, yang terpenting adalah keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, antara individu dengan masyarakat serta keseimbangan dengan Sang Pencipta. Segala tindakan, berupa pikiran, perkataan maupun perbuatan yang mengancam dan mengganggu keseimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan masyarakat wajib mengambil langkah-langkah untuk mengembalikan keseimbangan itu. Segala bentuk pelanggaran yang dapat mengganggu keseimbangan itu disebut dengan delik. Ada bermacam-macam delik adat yang terjadi. Wāk pārusya adalah pelanggaran adat yang terjadi karena berkata-kata kotor, menghina, berkata kasar, menghardik, memfitnah dan mencemarkan nama baik seseorang. Delik wāk pārusya dalam Hukum Adat dan Hukum Nasional adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum Adat dan hukum Nasional. Perbuatan ini melanggar aturan-aturan hidup yang terdapat dalam sumbersumber hukum Hindu, seperti Manawa Dharma Sastra, Bhagawadgita, Sārasamuccaya, Nitisastra dan sumber-sumber hukum Hindu yang lain. Delik wāk pārusya bertentangan dengan hukum Nasional karena bertentangan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Delik wāk pārusya dalam KUHP dibedakan menjadi delik penghinaan, fitnah atau kebohongan dan delik ancaman. Sedangkan akibat hukum yang ditimbulkan adalah : tercemarnya nama baik, kehormatan korban, dikenakannya sanksi kepada pelaku berupa prayascita, danda artha, pangaksama dan bersumpah untuk tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut dan letehnya desa atau tercemarnya nama seseorang.
Kata kunci : Wāk Pārusya, hukum adat, dan KUHP Abstract Society is a group of people who have had the order of life, norms, customs equally adhered to in its environment. Order of life, norms and customs held it to 1
be the basis of social life so as to form a group of people who have the characteristics of a typical life. In the interaction, based on the order of human life, norms and customs of life in the communities concerned. Norms, including the rule of law there must be in every society (ubi Societas Ibi ius). Similarly, in indigenous communities to interact based on the norms, the life and the local customary law. Minds of indigenous people is both cosmic, covering : everything as a whole (totalitarian). the indigenous people, the most important is the balance between the birth and the unseen, between the individual and society as well as the balance with the Creator. any action, in the form of thoughts, words and deeds that threaten and disrupt the balance is a violation of law and society must take steps to restore that balance. Any violation can disturb the balance is called the offense. There are various customs offenses that occur. Wak pārusya customs violations that occur are due to speak dirty, insult, rant, scolded, slander and defame someone. The offense wāk pārusya in Customary Law and National Law is an act contrary to customary law and national law. This act violated the rules of life contained in the sources of Hindu law, such as Manawa Dharma Sastra, Bhagawadgita, Sārasamuccaya, Nitisastra and sources of Hindu law to another. Wak pārusya offense contrary to national law as opposed to KUHP. The offense wāk pārusya in KUHP divided into offense insult, slander or defamation lies and threats. While legal consequences arising are: contamination of a good name, honor the victims, the perpetrators sanctions prayascita form, danda artha, pangaksama and vowed not to repeat such acts and the person's name tainted Keywords: Wāk Pārusya, customary law, and KUHP I. Latar Belakang Masalah Hakekatnya manusia adalah sebagai makhluk monodualisme, yaitu sebagai makhluk individu dan mahkluk sosial. Sebagai mahkluk individu artinya manusia sebagai dirinya sendiri atau sering disebut sebagai manusia perorangan. Sedangkan sebagai mahkluk sosial, manusia harus mengadakan hubungan dengan manusia lainnya dalam masyarakat untuk menciptakan keharmonisan. Manusia tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia yang tidak pernah bermasyarakat tidak mungkin menunaikan bakat-bakat kemanusiaannya, dalam artian mengembangkan diri untuk mencapai kebudayaan (Abu, 1997:54). Pernyataan tersebut memang benar. Seorang 2
petani yang menghasilkan bahan pangan tidak cukup memenuhi kebutuhan hidupnya hanya dari makanan. Petani juga membutuhkan pakaian, rumah dan hiburan. Kebutuhan-kebutuhan tadi hanya diperoleh jika terjadi interaksi dengan orang lain dalam suatu masyarakat, inilah yang sering di sebut hubungan timbal –balik saling menguntungkan “ Simbiosis Mutualisme”. Oleh karenanya setiap manusia sepatutnya hidup bermasyarakat, karena dalam masyarakat berkembang imajinasi dan talenta yang dimilikinya. Masyarakat adalah sekelompok manusia yang telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma, adat istiadat yang sama-sama ditaati dalam lingkungannya. Tatanan kehidupan, norma-norma dan adat istiadat yang dimiliki menjadi dasar kehidupan sosial sehingga dapat membentuk suatu kelompok manusia yang memiliki ciri-ciri kehidupan yang khas. Mencermati pengertian masyarakat di atas, jelas bahwa di dalam berinteraksi, manusia berpatokan pada tatanan kehidupan, norma-norma dan adat istiadat yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Norma-norma termasuk norma hukum pasti ada dalam setiap masyarakat (ubi societas ibi ius). Dalam hubungannya dengan hukum adat seperti yang dinyatakan Hadikusuma (1984:28), bahwa lapangan berlakunya suatu hukum adat adalah terbatas pada lingkungan masyarakat adat tertentu. Tidak bisa di pungkiri bahwa manusialah yang menentukan sesuatunya di muka bumi ini, karena manusia adalah mahluk ciptaan tuhan yang paling sempurna. Manusia adalah salah satu faktor penting dalam menentukan kelangsungan hidup semua makhluk di bumi. Adanya pemanasan global
3
(global warming) tidak hanya disebabkan oleh gejala alam, tetapi juga disebabkan oleh tindakan manusia yang tidak konservatif. Adanya polusi yang berlebihan, penggunaan freon pada refrigerator menyebabkan semakin tipisnya lapisan ozon pada atmosfer bumi, sehingga radiasi matahari ke bumi semakin kuat dan bumi semakin panas. Bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan pada musim kemarau. Semua bencana itu terjadi karena penebangan hutan secara liar. Banjir terjadi karena resapan air ke tanah yang berkurang, tanah longsor terjadi karena penyangga tanah yaitu akar tumbuhan sudah berkurang. Hal ini menunjukkan segala sesuatu saling mempengaruhi. Tindakan yang dilakukan manusia mempengaruhi segala hidup kosmis. Demikian sebaliknya, alam membalas dengan bencana yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Manusia haruslah senantiasa menjaga alam dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat hukum adat, yang terpenting adalah keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, antara individu dengan masyarakat serta keseimbangan dengan Sang Pencipta. Segala tindakan, berupa pikiran, perkataan
maupun
perbuatan
yang
mengancam
dan
mengganggu
keseimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan masyarakat wajib mengambil langkah-langkah untuk mengembalikan keseimbangan itu. Segala bentuk pelanggaran yang dapat mengganggu keseimbangan itu disebut delik. Dalam masyarakat Hukum Adat, dikenal adanya delik adat wāk pārusya,
yaitu pelanggaran adat yang terjadi karena berkata-kata kotor,
menghina, berkata kasar, memfitnah, berbohong, mencemarkan nama baik
4
seseorang dan sebagainya. Sering kita jumpai di masyarakat banyak sekali orang yang berkata kasar, menghina dan lain sebagainya, baik melalui situs jejaring sosial (facebook, twitter, Blogger, SMS, dll) maupun bertatap muka langsung. Dalam masyarakat Adat di Bali tentunya hal ini ada batasannya dan bila di teruskan akan mendapatkan Sanksi adat, yang disesuaikan dengan tingkat kesalahannya.
II. Pembahasan Wāk Pārusya berasal dari kata wāk dan pārusya. Istilah wāk berarti “kata” (Warna, 1993:789). P.J Zoetmulder (1995:1371), menyatakan wāk sebagai bicara, suara, bahasa, bunyi, kata, kalimat. Jadi secara umum istilah wāk dapat diartikan sebagai kata-kata atau perkataan. Kata pārusya berarti pedas (keras) (Warna, 1993:789). Dalam Kamus bahasa Kawi-Indonesia, pārusya berarti kekasaran; kata-kata menghina (Wojowasito, tt: 195). Kemudian P.J. Zoetmulder dalam kamus Jawa Kuno Indonesia memberi arti pārusya sebagai sekitar kekerasan, khusus tentang bahasa (kekerasan dalarn perkataan) (Zoetmulder, 1995:784). Dengan demikian pārusya berarti keras, pedas, menghina. Wāk Pārusya juga berarti mengucapkan kata-kata yang kotor kepada orang lain (MPLA, 1995:63). Dalam buku “Butir-butir Tercecer tentang Adat Bali” Wāk Pārusya diidentikkan dengan kata “camil”, yang berarti berkatakata yang tidak sesuai dengan desa, kala, patra; termasuk berkata dengan
5
kehendak mempengaruhi orang/pejabat/petugas, berkata kotor, memaki-maki tak menentu dan sebangsanya (Kaler, 1983:26). Acuan yang diberikan dari pengertian di atas, bahwa seseorang diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan “desa” tempat dilakukan komunikasi, “kala” waktu berkomunikasi dan “patra” keadaan saat berkomunikasi. Menurut penulis ketiga hal tadi sangat
menentukan
kelancaran suatu komunikasi. Dalam kehidupan sehari-hari manusia harus mampu menyesuaikan perkataannya dengan desa, kala dan patra. Berbicara di Pura berbeda dengan berbicara di rumah, berbicara di Kantor Gubernur berbeda dengan sikap bicara di pasar, begitun pula bagaimana berbicara dengan orang yang disucikan di Bali (Sulinggih) dan sebagainya. 2.1 Delik Adat Wāk Pārusya Dalam Hukum Adat. Di dalam kehidupan bermasyarakat, komunikasi memegang peranan yang sangat mendasar. Melalui komunikasi, interaksi antar individu dalam suatu masyarakat dapat berjalan dengan lancar. Dengan komunikasi seseorang dapat mengungkapkan isi hati, ide, gagasan, pikiran dan perasaan kepada oraang lain, sehingga menimbulkan suatu interaksi sosial. Menurut Abdillah (tt:27), bahasa adalah sistem dari lambang yang berupa bunyi yang dipakai untuk melahirkan pikiran dan perasaan. Bahasa dibedakan menjadi : bahasa lisan, bahasa tulisan dan bahasa isyarat. Menurut Jendra (200:42), bahasa lisan atau berbicara adalah aktivitas berbahasa yang paling awal atau paling tua diantara aktivitas berbahasa yang lain seperti membaca dan menulis.
6
Begitu pentingnya berbicara dalam sistem sosial, sehingga berbicara harus dijaga agar tidak menyinggung dan menyakiti perasaan orang lain, sebab dari berbicara seseorang dapat mencapai kebahagiaan maupun sebaliknya. Seperti yang tersurat dalam Nitisastra Sloka 65 sebagai berikut : “Wasita nimittanta manemu laksmi Wasita nimittanta pati kapangguh Wasita nimittanta manemu dukha Wasita nimittanta manemu mitra” Oleh Perkataan engkau mendapatkan bahagia Oleh perkataan engkau akan menemui ajal Oleh perkataan engkau mendapatkan kesusahan Oleh perkataan engkau akan mendapat sahabat Penjelasan sloka di tersebut menekankan berbicara atau berkata-kata sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena setiap perkataan yang keluar akan menentukan nasib selanjutnya. Kehidupan manusia sehari-hari, ditunut untuk mampu menyesuaikan perkataannya sesuai dengan Desa, Kala dan Patra. Desa berarti tempat. Setiap orang harus mampu menyesuaikan perkataannya di mana berbicara. Dalam Sarasamuccaya Sloka 75 disebutkan ada empat macam perkataan yang tidak boleh diucapkan sebagai berikut : “Yang tanpa prawettyaning wāk, pāt kwehnya Pratyekanya, uja’ ahala, uja’ aprgas, uja’ picuna Ujar mithyā, nahan tang pāt singgahaning wāk Tan ujarakena, tan agenan-agenan, kojaranya” Inilah yang tidak patut timbul dari kata-kata, Empat banyaknya, yaitu perkataan jahat, perkataan Kasar menghardik, perkataan memfitnah,perkataan Bohong (tak bisa dipercaya), itulah keempatnya Harus disingkirkan dari perkataan, jangan diucapkan, Jangan dipikir-pikirkan diucapkan (Kajeng, 1999:62-63)
7
Dari sloka di atas, dapat diketahui ada empat macam perkataan yang tergolong wāk pārusya, yaitu : 1) perkataan jahat; 2) menghardik; 3) fitnah; 3)perkataan bohong.
1. Perkataan Jahat Perkataan jahat adalah perkataan dengan maksud jahat, mencela, mengejek serta menghina. Kata-kata demikian tidak pantas diucapkan karena dapat melukai perasaan orang lain. Dalam Sàrasamuccaya Sloka 120 disebutkan : “Ikang ujar ahala-tan pahi lawan hru, songkabnya sakatêmpuhan denya juga alara, rêsêp ri hati, tàtan kênengpangan turu ring rahina wengi ikang wwang denya, matangnyat tan inujarakên ika de sang dhìra purusa, sang ahning maneb manah nira” “Perkataan yang mengandung maksud jahat tiada beda dengan anak panah, yang dilepaskan; setiap yang ditempuhnya merasa sakit; perkataan itu meresap ke dalam hati, sehingga menyebabkan tidak bisa makan dan tidur pada siang dan malam hari, oleh sebab itu tidak diucapkan perkataan itu oleh orang yang budiman dan wiraperkasa, pun oleh orang yang tetap suci hatinya” (Kajeng, 1999:100). Dari sloka di atas tersebut, dapat diketahui akibat dari perkataan jahat sangat luar biasa, dikatakan menyebabkan orang tidak dapat makan, tidur baik siang maupun malam karena terus dipikirkan oleh si korban. Perkataan dengan maksud jahat diibaratkan sebagai senjata yang dapat melukai sampai ke dalam hati, sehingga sulit untuk disembuhkan. Pernyataan tersebut, karena apabila seseorang dihina, dicerca, diejek dan sebagainya sulit sekali untuk melupakan hal itu, perlu proses yang lama untuk melupakannya, bahkan ada orang yang tidak bisa melupakannya orang Bali sering mengatakan “ nyakitin
8
hati ningehang munyi keto”. Sloka 271 Astamo’dhyayah Manawa Dharma Sastra menyatakan sebagai berikut : “Nama jatigraham twesam Abhidrohena kurwatah, Niksepyo’ yomayah camkar Jwalan nasyedaçanggulah” “Kalau ia menyebutkan nama dari golongan dwijati dengan sifat ejekan, diancam hukuman siksa dengan memasukkan kuku baja yang panjangnya sepuluh jari dalam keadaan panas ke dalam mulutnya” (Pudja, 2002). Apabila dicermati kedua pasal di atas, yang menyebutkan penghinaan atau ejekan dari golongan ekajati kepada golongan dwijati ternyata sanksinya sangat berat. Hal ini menunjukkan hukum lebih berpihak kepada golongan dwijati. Di jaman globalisasi sekarang ini, hukum tidak lagi berpihak kepada golongan dwijati atau eka jati, karena semua orang khususnya warga negara Indonesia memiliki persamaan hak dan kewajiban dalam hukum. Delik wāk pārusya sebagai suatu perbuatan yang melanggar kesopanan, sehingga pantas diancam dengan sanksi sebagai reaksi terhadap pelanggaran tersebut. Hukum Adat di Bali bersifat dinamis dan bukan hukum yang statis dan dogmatis, sehingga tidak menutup kemungkinan sanksi tersebut dapat berubah asal jiwa yang terkandung didalamnya tidak berubah dan tetap bersumber dari Weda. Namun Sulinggih sangat di hormati di Bali karena beliau adalah orang yang sangat disucikan. Kemudian disebutkan juga mengenai penghinaan pada pasal 275 Astamo’dhyayah Manawa Dharma Sastra, sebagai berikut : “Mataram pitaram jayam Bhrataram tanayam gurum, 9
Aksarayanchatam dapyah Panthanam cadadad guroh” “Ia yang menghina ibunya, ayahnya, istrinya, saudaranya, anaknya atau gurunya dan ia yang tidak memberi jalan lewat gurunya, dapat diancam hukuman denda 100 pana” (Pudja, 2002) Pasal di atas secara tegas menyatakan wāk pārusya adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan bukan hanya kepada orang lain, tetapi juga kepada kerabat seperti : ayah, ibu, istri, anak bahkan kepada guru. Agama Hindu mengenal konsep Catur Guru, yaitu : (1) Guru Rupaka adalah bapak, ibu yang telah melahirkan, (2) Guru Pengajian adalah guru yang memberi “aji” (ilmu pengetahuan), (3) Guru wisesa adalah guru yang memiliki kuasa, wewenang (pemerintah) dan (4) Guru Swadiaya adalah Hyang Widhi Wasa. Ke empat guru ini tidak boleh dihina, senantiasa dihormati, karena menghina guru dosanya sangat besar. Hal ini sesuai dengan sloka 234 Sàrasamuccaya, sebagai berikut : “Hana pwa drohaka ring pangajyanya, ring bapeku kunang, makakàranang kàya, wàk manah, ikang mangkana kramanya, agöng bhrùnaha, bhrùnaha ngaraning rurugarbha, sang ksepanya atyanta pàoanika” Terjemahannya: “Jika ada orang yang berkhianat terhadap guru, terhadap ibu dan bapa, dengan jalan perbuatan, perkataan dan pikiran, orang yang demikian perilakunya amat besarlah dosanya, lebih besar daripada dosa bhrunaha artinya menggugurkan kandungan; singkatnya, amat besarlah dosanya” (Kajeng, 1999:179). Bila ditinjau dari hukum nasional, penghinaan masuk pada pasal 134,136, 142 (penghinaan Kepala Negara) 154, 207 (pernyataan permusuhan di muka Umum), 310, 315 (penyerangan nama baik) Kitab Undang-undang
10
Hukum Pidana (KUHP), akan diancam dengan hukuman paling ringan empat bulan sampai yang terberat enam tahun penjara, jadi berhati-hatilah berbicara bila tidak ingin kena masalah di kemudian hari.
2. Perkataan Kasar Menghardik Menghardik berasal dari kata hardik. Hardik berarti kata yang keras untuk memarahi dan sebagainya, bentuk ancaman (Abdillah, tt:126). Perkataan menghardik disebabkan oleh emosi yang tidak terkontrol, hilangnya kesadaran diri seperti, mabuk, bingung, marah dan panik menyebabkan kata-kata yang diucapkan menjadi tidak terkontrol bahkan nadanya meninggi, agak kasar dan tidak sopan. Mengenai perkataan menghardik, disebutkan dalam sloka 117 Sàrasamuccaya, sebagai berikut : “Wwang inastuti lwirnya, ikang pasaningu Mujara kënang paruswacana, ikang pisaningu Kumira-kirang ulah tan yukti kunang, Samangkana ikang wwang pinùjin haneng ràt’ “Maka hamba berpendapat, bahwa adalah dua macam perbuatan yang menyebabkan orang terpuji, misalnya sekali-kali tidak mengucapkan perkataan kasar, pun berkali-kali tidak memikir-mikirkan perbuatan yang tidak layak; orang yang berkeadaan demikianlah yang terpuji di dunia” (Kajeng, 1999:98). Dari sloka di atas dapat diketahui bahwa berkata-kata yang tidak kasar (sopan)
menyebabkan orang akan terpuji di dunia. Hal ini tidak
mengherankan karena orang yang selalu sopan, santun dalam setiap ucapan atau perbuatannya akan dihormati, disanjung, dipuji bahkan dijadikan teladan dalam masyarakat. Manusia sering lupa bahwa hakikat jati dirinya sama dengan orang lain, oleh sebab itu manusia menjadi ego, rasa “aku-nya” muncul dan 11
mengira orang lain tidak sama dengan dirinya, bahkan ada orang yang merasa naik harga dirinya dengan memarahi dan berkata kasar kepada orang lain. Bertumpu pada konsep Tat Twam Asi, maka : “Jangan mengizinkan mulutmu mengeluarkan kata-kata kotor atau mencaci maki. Cemburu dan iri hati juga datang dari pikiran, egois.....(Murnianda, 1988:47).
Buku “Dharma Wacana dan Etika Berbicara” disebutkan ada empat macam kemarahan yang menyebabkan manusia berpenyakitan, lemah dan cepat tua, yaitu : a) Marah seperti menulis di air. Marah ini sebentar, sekedar melintas di benak dan tidak menimbulkan bekas kerusakan pada mental. b) Marah seperti menulis di pasir. Marah jenis ini lebih lama dibandingkan dengan yang pertama. Masih terlihat bekas, tetapi hanya sebentar. c) Marah seperti menulis di kayu. Marah jenis ini cukup lama sampai kayu rusak. d) Marah seperti menulis di tembaga. Kemarahan jenis ini relatif permanen, seperti prasasti di tembaga (Jendra, 2000:62).
3. Perkataan Memfitnah
Memfitnah berasal dari kata fitnah. Fitnah adalah perkataan yang bermaksud untuk menjelekkan orang (Abdillah, tt:103). Dalam ajaran Agama Hindu, memfitnah tergolong dalam “Sad Atatayi” adalah enam macam pembunuhan yang kejam. Memfitnah dalam ajaran ini diistilahkan dengan 12
Raja Pisuna (PHDI, 1978:57). Mengenai perkataan memfitnah, disebutkan pada sloka 132 Sarasamuccaya, sebagai berikut : “Satyām vacamahinsām ca vadedaparivādinìm Kalyopetāmaparuûā manåcaý samapai sunām” “Adapun kata-kata yang patut diucapkan, ialah kata-kata yang mengandung kebenaran; jangan yang berupa penusuk hati, jangan yang merupakan umpatan, hendaklah kata-kata yang bermanfaat, janganlah kata-kata yang kasar, jangan kata-kata yang terpengaruhi kemarahan, jangan kata-kata yang mementingkan diri sendiri, jangan kata-kata fitnahan; demikianlah misalnya kata-kata yang tidak patut dikeluarkan” (Kajeng, 1999:107-108). Berdasarkan sloka di atas, dapat diketahui bahwa menfitnah adalah salah satu perkataan yang tidak patut dikeluarkan atau diucapkan. Menurut Gunarta
(1990:42)
memfitnah
adalah
berkata-kata
dengan
maksud
menyebabkan sakit hati, memancing kemarahan, mengadu domba dan menguntungkan diri sendiri dengan mengorbankan nama baik orang lain. Penulis sependapat dengan pernyataan tersebut, mengingat fitnahan yang diterima seseorang menyebabkan sakit hati yang sulit disembuhkan. 4. Berbohong Bohong berarti tidak cocok dengan keadaan yang sebenarnya, dusta, palsu (Abdillah, tt:49). Perkataan bohong meliputi berkata-kata yang tidak benar, bersifat menipu, tidak jujur, tidak menepati janji, sumpah palsu dan sebagainya. Mengenai perkataan bohong, disebutkan pada sloka 118 Sarasamuccaya, sebagai berikut : “Samyagalpaý ca vakta vyama viksiptena cetasā Vākprabandho hi saýrāgā dvirāgādvā bhavedasan” “Ika tang ujarakena, rahayu ta ya, haywa ta winistārākën haywa hyunhyun kawarjana angucap, apan ikang ujar yan, jambat, hanang haras, hana ililik pinuharanya, tan rahayu ta ngaranika” 13
“Yang patut dikatakan itu hendaklah sesuatu yang membawa kebaikan, hal itu janganlah digembar-gemborkan; berkeinginan disebut pandai bicara; sebab kata-kata itu jika berkepanjangan, ada yang menyebabkan senang ada yang menimbulkan kebencian’ tak baik hal serupa itu (Kajeng, 1999:99).
Ada pepatah mengatakan “Silence is Gold” diam adalah emas yang mengisyaratkan agar orang lebih baik diam daripada berkata-kata yang banyak tetapi tidak ada artinya dan penuh kebohongan. Lebih lanjut mengenai perkataan bohong, juga disebutkan pada sloka 131 Sarasamuccaya, sebagai berikut : “Adalah orang yang berkata, yang mengakibatkan kesedihan orang lain, entahlah menyanggupi atas selesainya kerja orang lain, akan tetapi ternyata ia berbohong; orang yang demikian perilakunya tidak takut akan kawah neraka’ bukanlah ia berbuat celaka bagi dirinya sendiri, sekalipun orang lain sebenarnya yang mengalami malapetaka itu; singkatnya, janganlah mengucapkan perkataan yang demikian itu”(Kajeng, 1999:107). Berdasarkan sloka di atas, dapat diketahui kebohongan yang dimaksud adalah tidak menepati janji. Disebutkan atas perbuatan yang demikian menyebabkan orang masuk neraka setelah meninggal, oleh karena itu sebagai manusia yang baik jangan sekali-kali mengucapkan kata-kata bohong. Akan tetapi menurut konsep agama Hindu, pembicaraan yang tidak benar belum tentu suatu kebohongan, sebab dalam situasi kontekstual tertentu pembicaraan yang tidak benar dapat menimbulkan efek positif, kebaikan dan kesenangan. Apabila ada pembicaraan seperti itu, maka dianggap kebenaran atau satya. Sebaliknya, walaupun sesuatu dikatakan benar, sesuai dengan kenyataan atau fenomena yang terjadi, apabila menimbulkan akibat yang 14
kurang menyenangkan, maka perkataan tersebut dapat disebut kurang etik. Banyak contoh yang dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, misalnya seorang anak yang sedang sakit tidak mau minum obat. Kemudian obatnya dikatakan permen sehingga anak tersebut mau meminumnya dan sembuh. Kebohongan seperti itu dianggap tidak jelek dan dianggap kebenaran karena memenuhi tuntutan desa, kala, patra (situasi kontekstual). Kebohongan yang dianggap etik dan benar dalam ajaran agama Hindu ada lima yang disebut panca nrta, sebagai berikut : a) Kebohongan terhadap anak-anak b) Kebohongan terhadap (calon) istri c) Kebohongan terhadap musuh d) Kebohongan dalam dunia perdagangan dan e) Kebohongan terhadap orang sakit (Jendra, 2000:65). Lebih lanjut mengenai delik
wāk pārusya, agama Hindu juga
mengenal konsep karmaphala. Konsep karmaphala mengajarkan bahwa suatu perbuatan pasti akan menghasilkan phala atau buah dari perbuatan itu. Akibat dari suatu perbuatan dapat diterima dalam kehidupan sekarang atau dalam kehidupan yang akan datang. Jadi pada intinya sanksi dari suatu delik bukan hanya bersifat sekala tetapi juga bersifat niskala. Hukum karmaphala adalah salah satu sradha (keyakinan) yang harus diyakini dan menjadi landasan bertindak bagi umat Hindu. Setiap perbuatan baik yang dilakukan akan mendapatkan phala yang baik, sebaliknya apabila perbuatan yang dilakukan tidak baik, hasil yang diterima sudah pasti tidak baik.
15
Dalam pandangan KUHP Nasional, Perkataan bohong meliputi berkata-kata yang tidak benar, bersifat menipu, tidak jujur, keterangan palsu, tidak tepat janji dan sumpah palsu. Pasal 172, 220 (penipuan), 242 (keterangan palsu), 369 (mengancam) KUHP, jika terbukti melakukan kesalahan, maka dapat diancam dengan pidana kurungan tiga minggu sampai dengan empat tahun.
2.2 Sanksi yang Diterima Pelaku Wāk Pārusya Biasanya Setelah melalui berbagai proses mulai dari “nyelehin”, yaitu tindakan mengenali duduk perkara, dilanjutkan dengan proses “nyamudana”, yaitu menentukan siapa yang bersalah, diteruskan dengan proses “Matutang” yaitu tindakan menemukan asas dan norma hukum adat yang dilanggar, kemudian di lanjutkan dengan proses “ngeraremin” yaitu merumuskan dalam bentuk keputusan hukum, akhirnya dalam paruman desa. Windia mengatakan Berdasarkan jenis-jenis sanksi yang dinyatakna yang meliputi : (1) Danda Artha, yaitu denda yang berupa harta benda, (2) Danda Jiwa, berupa : kasepekang, katundung, kararung, maselong, mengaksama (minta maaf); (3) Danda Sangaskara, (sanksi upacara), ternyata sanksi yang dijatuhkan kepada Made Karta meliputi ketiganya, baik danda arta, danda jiwa dan danda sangaskara. Fungsi upacara prayascita adalah untuk menyucikan kembali sesuatu yang telah “leteh” (atau kotor). Membayar biaya upacara adalah sanksi material yang harus dipenuhi pelaku. Mengaksama atau meminta maaf adalah
16
sanksi yang dikenakan kepada pelaku. Dengan minta maaf kepada korban dan seluruh krama diharapkan pelaku menyadari kesalahannya dan tidak akan mengulanginya di kemudian hari.
III. Kesimpulan Delik wāk pārusya adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat, Hukum Hindu dan hukum Nasional. Bertentangan dengan hukum Hindu, karena perbuatan ini melanggar aturan-aturan hidup yang terdapat dalam sumber-sumber hukum Hindu, seperti Manawa Dharma Sastra, Bhagawadgita, Sārasamuccaya, Nitisastra dan sumber-sumber hukum Hindu yang lain. Delik wāk pārusya bertentangan dengan hukum Nasional karena bertentangan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Delik wāk pārusya dalam KUHP dibedakan menjadi delik penghinaan, fitnah atau kebohongan dan delik ancaman. Delik wāk pārusya dapat
menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat, sehingga diperlukan
kesadaran krama atau masyarakat
adat atau menghindari kata-kata yang
bertentangan dengan etika dan kata-kata yang dapat
menyebabkan
ketersinggungan orang lain. Disamping itu peran PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) sangat penting untuk memberi pencerahan kepada masyarakat
mengenai ajaran agama serta mengenai hidup bermasyarakat
yang dilandaskan kitab suci.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Pius dkk.tt. Kamus Mini Bahasa Indonesia. Surabaya: Arkola. Abu, Ahmadi,. 1997.Ilmu Sosia Dasar. Jakarta: PT.Rineka Cipta. Bantas, I Ketut dkk, 2000. Pendidikan Agama Hindu. Jakarta: Universitas Terbuka. Bungin, Burhan, 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metedologi ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Busher, Muhammad, 1983. Pokok-pokok Hukum Adat. Jakarta : Pradnya Paramita. Depdikbud, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-2. Jakarta: Balai pustaka. Ekasana, I Made Suasika., 2004. Peradilan Agama Hindu Sesudah Berlakunya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 Dalam kajian Ksetravidya dan Ekayana. Denpasar : Tesis STAHN Denpasar. Gorda, I Gusti Ngurah. 1999. Management dan Kepemimpinan Desa Adat di Proponsi Bali dalam Perspektif Era Globalisasi. Denpasar: PT. Widya Kriya Gematama. Gunarta, I Made, 1990. Wāk Pārusya Menurut Manawa Dharma Çastra dan Hukum Adat Bali (Skripsi). IHD Denpasar. Hadikusuma, Hilman, 1984. Hukum Pidana Adat badung: Alumni. Jendra, I Wayan, 2000. Metode Dharma Wacana dan Etika Berbicara Dalam Pembinaan dan Pengembangan Agama Hindu. Denpasar : PT.BP. Kajeng, I Nyoman, dkk 1999. Sarasamuscaya. Surabaya: Paramita. Kaler, I Gusti Ketut, 1983. Butir-butir Tercecer Tentang Adat Bali, Denpasar : Bali Agung.
Menaka, I Made, 1981. (Penerjemah) Nitisastra. Tabanan : Yayasan Kesejahteraan Guru Kecamatan Selemadeg.
18
Oka Gusti Ngurah, 2001. Himpunan Peraturan Tentang Pemberdayaan Desa Pakraman di Bali. Denpasar : Majelis Pembina Lembaga Adat Daerah Tingkat I Bali. Pendit, Nyoman S., 1986. Bhagawadgita. Jakarta : BP. Dharma Nusantara. Soerjono, Soekanto,. 1978. Kamus Hukum Adat. Badung: Alumni. Suasthawa, Dharmayuda,.1990. Hubungan Kebudayaan. Denpasar : CV. Kayumas.
Adat
dengan Agama
dan
__________________ 2001. Peranan Pakraman dalam Penyelesaian Kasus Adat. Denpasar: Biro Hukum Setda Propinsi Bali.
Windia, I Wayan, 2008. Menulis Awig-awig (Dialog Interaktif Bali TV Tanggal 18 Mei 2008 Pukul 22.30). Wojowasisto,tt. Kamus Kawi- Indonesia.CV. Pengarang. Zamroni.1992. Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana. Zoetmulder, 1995. Kamus Jawa Kuno – Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
19
20