Wacana Penerapan Hukum Islam dalam Tinjauan Politik Hukum Nasional Oleh: Sirajuddin M∗ Abstrak Artikel ini membahas tentang wacana penerapan hukum Islam dalam tinjauan politik hukum nasional. Hukum Islam telah diakui eksistensinya sebagai bahan baku hukum nasional, di samping hukum adat dan hukum umum. Bahkan hukum Islam mempunyai kedudukan lebih strategis karena wataknya yang menekankan moralitas agama berupa adanya pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Walau syari’at Islam telah eksis dalam arti menjadi hukum yang hidup dan diamalkan di tengah-tengah masyarakat, sebagian kalangan umat Islam masih menganggapnya sebagai kekurangan jika syari’at Islam tidak dilegal-formalkan dalam UU atau mendapatkan support politik dari penguasa. Oleh karena itu, teriakan-teriakan atau tuntutan yang isinya mengarah pada usaha untuk mengqanunkan syari’at Islam masih sering kita dengar. Upaya secara simultan dari kelompok Islam untuk mewarnai konstruksi hukum nasional dengan nuansa keislaman secara historis telah dilakukan. Islamisasi hukum pidana di Indonesia telah berlangsung kurang lebih ribuan tahun hingga sekarang. Namun, rangkaian usaha itu selalu terbentur pada sempitnya penafsiran umat Islam. Mereka memandang hukum pidana Islam sebagai hukum yang ''ekstrem'' dengan mengidentikkan adanya hukuman rajam, pemotongan tangan, dan lainnya tanpa memandang sudut kemaslahatan penerapan hukum pidana itu sendiri. Hukum Islam dan dimensi politik merupakan pasangan yang senantiasa berdialektika. Hukum pasti didasari politik, karena hukum itu dibentuk oleh negara sebagai lembaga politik yang tertinggi. Sebaliknya politik baru mempunyai wujud bilamana dirumuskan dalam bentuk hukum. Hubungan antara keduanya adalah timbal balik, yang secara sederhana dapat dilukiskan dalam kalimat: politiklah yang membentuk hukum dan hukumlah yang memberikan wujud politik. Salah satu buktinya, upaya penegakan syari’at Islam di daerah Aceh yang mengemuka sejak awal kemerdekaan hingga era reformasi sangat diwarnai dengan dimensi politik. Kata kunci: penerapan hukum islam, politik hukum
∗
Dosen STAIN Bengkulu.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
806
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
A. Pendahuluan Para pakar syari’at Islam dalam banyak literatur yang ditulisnya telah menunjukkan bukti bahwa syari’at Islam adalah hukum yang dapat dijadikan tatanan dalam kehidupan modern. Para pakar syari’at Islam mendefinisikan hukum Islam dalam dua sisi: syari’at Islam sebagai ilmu, dan syari’at Islam sebagai produk ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari penalaran dan pemikiran melalui ijtihad. Syari’at Islam sebagai hukum dibuktikan dengan tiga karakteristik keilmuan. Pertama, bahwa hukum Islam tersusun melalui asas-asas tertentu. Kedua, pengetahuan itu terjaring dalam suatu kesatuan sistem dan kerja. Ketiga, mempunyai metodemetode tertentu dalam operasionalnya.1 Dari karakteristik ini menunjukkan bahwa apa pun yang dihasilkan oleh hukum Islam adalah produk pemikiran dan penalaran yang berarti pula menerima konsekuensikonsekuensi sebagai ilmu, yaitu skeptis, bersedia untuk diuji dan dikaji ulang, sudah tentu sebagai ilmu tidak kebal dari kritik. H.A.R Gibb dalam bukunya Muhammadanism, An Historical Survey, mengemukakan bahwa Hukum Islam memiliki jangkauan paling jauh dan alat yang efektif dalam membentuk tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat Islam. Menurut Muhammad Muslehuddin, hukum Islam memiliki norma-norma etika baik dan buruk, kejahatan dan kebaikan dimana masyarakat kecil secara ideal harus menyesuaikan diri dengannya, karena hukum ini mempengaruhi semua aspek kehidupan sosial, ekonomi dan cabang kesusasteraan. Dalam statemen ini, syari’at Islam merupakan ringkasan jiwa Islam yang benar dan meyakinkan. Dalam literatur syari’at Islam tidak ditemukan lafaz syari’at Islam secara khusus. Yang biasa dipergunakan adalah syari’at Islam, fiqh, syari’at atau syara’. Hukum Islam dalam literatur Barat diungkapkan dalam term Islamic Law2. Menurut Joseph Schacht, Islamic Law adalah keseluruhan khitab Allah yang mengatur kehidupan setiap individu Muslim dalam segala aspek kehidupan. Islamic law didefenisikan …is Divirely Ordered system, the Will of God to be established on earth. It is called Shari’ah or the (right) path. Qur’an and Sunnah (traditions of the Prophet) are its two primary and original sources.3 (Hukum Islam adalah sistem hukum produk Tuhan, kehendak Allah yang ditegakkan di atas bumi. Hukum Islam itu disebut syariah, atau jalan yang benar. Quran dan Sunnah merupakan dua sumber utama dan 1 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers; 2006,cet I), p. 59. 2 Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Clarendon Press, 1993), p. 1. 3 Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and the Orientalist: A Comparative Study of Islamic Legal System, (Lahore: Islamic Publication Ltd, t.t.), p. xii.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
807
asli bagi hukum Islam tersebut)4. Pengertian hukum Islam seperti ini menunjukkan bahwa hukum Islam lebih dekat kepada pengertian hukum syara’ atau syari’at Islam. Hasbi ash-Shiddieqy memberi definisi tentang hukum Islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syari’at atas kebutuhan masyarakat. Pengertian ini lebih dekat kepada fiqih, bukan kepada syari’at. Hukum Islam sebagai tatanan dalam hukum modern dan salah satu sistem hukum yang berlaku di dunia ini, substansinya mencakup seluruh aspek kehidupan manusia atau sekurang-kurangnya mencakup empat aspek. Pertama, mencakup aspek ibadah, yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan al-khaliq. Kedua, mencakup hukumhukum yang berhubungan dengan keluarga (al-ahwal asy-syahsyiyah) seperti nikah, talak, rujuk, wasiat, waris dan hadhanah. Ketiga, aspek muamalah (hukum sipil), yaitu hukum yang berhubungan dengan antarmanusia, seperti transaksi jual beli, gadai, hibah, utang-piutang, pinjam-meminjam, mudharabah, joint usaha, luqhatah, dan sebagainya yang bertujuan mengatur agar terjadi keserasian dan ketertiban. Keempat, mencakup aspek ekonomi, seperti hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan kekayaan dan pemakaiannya, termasuk hukum zakat, baitul maal, harta ghanimah, fa’i, pajak dan hal-hal yang diharamkan seperti riba, menimbun harta dan memakan harta anak yatim. B. Wacana Penerapan Hukum Islam Dalam Sketsa Historis Upaya secara simultan dari kelompok Islam sebagai penduduk mayoritas Indonesia untuk berkeinginan mewarnai dasar negara dengan nuansa keislaman secara historis telah dilakukan. Hal ini telah dimulai sejak awal kemerdekaan diperoleh dan berkesinambungan sampai era reformasi sekarang ini, misalnya: a). perbincangan Piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945 yang berakhir dengan kesepakatan penghapusan tujuh kata “… dengan kewajiban menjalankan syari`at Islam bagi pemeluknya”, dan penghapusan ini diganti dengan klausa “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai prinsip monotheisme yang sama-sama dimiliki seluruh anak bangsa sebagai penganut agama.5 Dengan hal ini, kelompok Islam juga turut merasa memiliki di dalamnya., b). perdebatan sengit Majelis Konsituante 4
Abdul Manan, Reformasi Hukum …..Ibid, p. 59. Kelompok Islam dapat menyetujui penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta itu dengan pemikiran bahwa; 1). rasa optimisme akan tercapainya kemenangan Islam lewat pemilu yang segera akan dilaksanakan pada waktu yang tidak lama lagi., 2). tingginya suhu politik di Jakarta saat itu sehingga mereka tidak ingin menciptakan suasana ketidaktenteraman, Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Grafiti Press, 1987), pp. 41-43. 5
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
808
(1956-1959). Partai-partai Islam yang dimotori oleh Masyumi, NU, dan PSII berupaya untuk menghidupkan kembali ide islamisme ini, tetapi karena kelompok ini tidak cukup kuat dibanding dengan kelompok Nasionalis, mereka hanya memperoleh 43 persen suara (114 kursi dari 257 kursi yang ada) lalu ide ini pun kandas juga,6 c) terakhir, ide menghidupkan kembali Piagam Jakarta lewat amandemen ke IV pasal 29 UUD 1945 tentang agama yang muncul di era reformasi ini oleh beberapa partai, juga tetap gagal.7 Dengan demikian, sampai saat ini bangsa Indonesia tetap konsisten dengan dasar negara yang netral agama tersebut. Hukum Islam telah diakui eksistensinya sebagai bahan baku hukum nasional, di samping hukum adat dan hukum umum.8 Bahkan hukum Islam mempunyai kedudukan lebih strategis karena wataknya yang menekankan moralitas agama berupa adanya pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Hal ini secara empirik sesungguhnya sudah menjadi komitmen para hakim dalam memutuskan perkara yaitu selalu berdasar kepada Tuhan YME. Dilihat dari akar sejarah, sebagai sumber hukum, syari’at Islam sangat mungkin dimasukkan di dalam undang-undang.9 Kedudukan syari’at Islam dalam tatanan hukum nasional di Indonesia telah diakui sebagai sebuah sistem hukum yang dapat dijadikan bahan bagi pembentukan hukum nasional.10 Dengan demikian, syari’at Islam dapat menjadi bahan baku hukum nasional, bukan hanya melalui pendekatan normatif akan tetapi dalam akademik dan analitis. Artinya secara akademis syari’at Islam mempunyai kesempatan menjadi sumber hukum nasional atas dasar keilmuan dan proses kerja ilmu hukum, bukan 6
Bahtiar Efendi, Islam dan Negara: Transrformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), p. 102, Endang Saepuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juli 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islamis dan Nasionalis Sekuler tentang Dasar Negara RI 1945-1959, (Jakarta : Rajawali, 1986), p. 99. 7 Pada mulanya panitia amandemen MPR Bidang Agama telah melakukan penelitian penjejakan akan hal ini dengan cara memperoleh masukan dari organisasiorganisasi keagamaan yang ada di Indonesia, seperti; MUI (Majelis Ulama Indonesia), DDI (Dewan Dakwah Islamiyah), WALUBI, PGI, dan KWI, dan yang lainnya, ternyata kecuali DDI, semua mereka berpendapat dalam rangka mempertahankan NKRI, integrasi bangsa, persatuan dan persatuan, harus mempertahankan dasar negara tetap dalam kenetralannya., Hal ini dikemukakan oleh Wakil Katib Syuriah PBNU Masdar Farid Mas`udi di kantor PBNU Jakarta pada tanggal 13 Pebruari 2002, PWNU Jawa Tengah, AULA, No. 4, (Surabaya : Majalah Nahdlatul Ulama, Tahun XXIV April 2002) 8Ibid., pp. 186-188. 9Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), p. 69. 10Mudzakir, "Integrasi Hukum Islam dalam Hukum Nasional: Upaya Restrukturisasi Perundang-Undangan Nasional", dalam Jurnal Mazhabuna, No. 2 Tahun II/2003, p. 23. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
809
semata-mata atas dasar pengikut agama. Oleh karena itu, langkah yang diperlukan adalah mempersiapkan secara matang rumusan syari’at Islam yang relevan dengan konteks Indonesia, supaya rumusan syari’at Islam tersebut dapat dijadikan aturan hukum nasional. Syari’at Islam sejak kedatangannya ke Nusantara hingga saat ini merupakan hukum yang hidup (living law), tidak hanya pada tataran simbol, melainkan juga pada tataran praktis. Hal tersebut bukan semata-semata sebuah tanda bahwa mayoritas pemeluk agama di Indonesia adalah agama Islam, melainkan syari’at Islam dalam realitas alaminya di beberapa daerah sudah menjadi tradisi (adat) yang terkadang dianggap sakral.11 Secara sosiologis dan kulutral, syari’at Islam merupakan hukum yang berurat dan berakar dalam budaya masyarakat. Hal ini disebabkan fleksibilitas dan elastisitas yang dimiliki syari’at Islam. Artinya meskipun ada kekuatan otonom yang terdapat dalam ketetapan Tuhan, namun syari’at Islam dalam realisasinya mampu melakukan upaya transformative-adaptif. Walau syari’at Islam telah eksis dalam arti menjadi hukum yang hidup dan diamalkan di tengah-tengah masyarakat, sebagian kalangan umat Islam masih menganggapnya sebagai kekurangan jika syari’at Islam tidak dilegal-formalkan dalam UU atau mendapatkan support politik dari penguasa. Oleh karena itu, teriakan-teriakan atau tuntutan yang isinya mengarah pada usaha untuk mengqanunkan syari’at Islam masih sering kita dengar.12 Kesadaran seperti ini telah menjadikan politik syari’at Islam senantiasa mengalami dinamika pada setiap masanya, mulai dari penjajahan Belanda dalam visi politik VOC, kemudian dilanjutkan dengan masa setelah merdeka, masa Orde Baru dan saat ini masa reformasi. Wajah konkrit dari perbedaan ini, tampak dalam kebijakan pemberlakuan syari’at Islam oleh masing-masing rezim politik. Syari’at Islam dalam aspek hukum Perdata pada zaman VOC (16021880) telah mendapatkan legalitas. Dalam hal ini, ia merupakan kelanjutan dari Stauta Batavia, yang menegaskan bahwa hukum kewarisan orang Indonesia yang beragama Islam harus menggunakan syari’at Islam, yaitu hukum yang biasanya dipakai oleh rakyat sehari-hari.13 Meskipun 11Fenomena
ini dapat dilihat di Minangkabau dengan semboyan “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah/Syara’ Mangato adat Mamakai”, baca, Salmadanis dan Duski Samad, Adat Basandi Syarak; Nilai dan Aplikasinya Menuju Kembali ke Nagari dan Surau, (Jakarta: Kartina Insan Lestari, 2003), p. 1. 12 Ali Trigiyatno, "Positifisasi Hukum Islam di Era Reformasi (Studi atas UU No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat), dalam Jurnal Al- Ahkam, (Surakarta; STAIN Surakarta, No. 1 Maret 2005, Volume 3), p. 99. 13Supomo Jokosutomo, Sejarah Politik Hukum Adat, (Jakarta: t.p, 1955), p. 8. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
810
kedatangan Belanda pada awalnya tidak berhubungan dengan Agama, namun dalam perkembangannya demi kepentingan penjajah, tidak bisa dihindari pergesekan dengan masalah syari’at Islam, sehingga ketika pemberlakuan hukum bagi bangsa Indonesia, berlakulah tiga teori, yaitu Receptio in Complexu, Receptie, Receptie Exit, Receptio A Contrario dan Eksistensi.14 Teori Receptio in Complexue mengatakan bahwa setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing, bagi yang beragama Islam berlaku syari’at Islam, pada masa ini teori Syari’at Islam digunakan Istilah godsdienstige watten, pada masa inilah muncul pembentukan pengadilan agama (Priesterrad). Teori Receptie muncul sebagai upaya menentang teori reception in complexu. Menurut teori ini, syari’at Islam tidak otomatis berlaku bagi orang Islam, ia akan berlaku jika sudah diterima menjadi hukum adat mereka. Teori Receptie Exit menentang teori receptie yang mensyaratkan berlakunya syari’at Islam dengan mengikuti hukum adat, penentangan ini memunculkan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada tanggal 22 juni 1945. Piagam ini merupakan hasil kompromi antara Islam dan kebangsaan.15 Teori Receptio A Contrario merupakan kebalikan dari teori Receptie, yaitu hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan syari’at Islam.16 Teori eksistensi adalah teori yang menguatkan keberadaan syari’at Islam dalam hukum nasional. Dengan demikian, semakin mempertegas bahwa syari’at Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hukum nasional, bahkan merupakan bahan utama hukum nasional. Melihat kuatnya tarik menarik syari'at Islam sejak masa prakolonial hingga datangnya penjajah, maka tidak diragukan lagi bahwa syari’at Islam sudah menjadi akar budaya masyarakat Indonesia, dan juga merupakan satusatunya sistem hukum yang dijalankan serta menjadi kesadaran hukum yang berkembang dalam sebagian besar masyarakat adat Indonesia.17 Kesadaran syari’at Islam ini pada zaman penjajahan Belanda ternyata masih tetap tumbuh dan berkembang. Kesadaran ini tampak menguat setelah penerapan syari’at Islam sebagai dasar putusan hukum dalam menyelesaikan perkara-perkara umat Islam, walaupun hanya menyangkut hukum perdata saja. Misalnya, keputusan pengadilan rapat 14Rifyal
Ka’bah, Hukum Islam…, p. 23. hukum Islam yang memunculkan teori ini adalah Hazairin. Lihat Hazairin, Tujuh Serangkai Hukum Islam, (Jakarta: Tintamas, 1974), p. 116. 16lihat Sajuti Thalib, Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), p. 58. 17Ismail Sunny, "Islam as a System of Law in Indonesia", dalam In Memorian Prof. Dr. Hazairin: Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1976), p. 19. 15Ahli
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
811
Pau (W. 1373, 168 a) yang isisnya menyebutkan: ”menurut ketentuan hukum Nias, anak perempuan tidak berhak atas harta peninggalan ayahnya” diappeal dan dalam tingkat appeal Raad van Justitie Padang (W. 1373, 168 b) dalam keputusannya menetapkan bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku bila yang bersangkutan telah menjadi Islam.18 Pada masa Orde Baru, syari’at Islam tidak pernah menjadi kebijaksanaan tersendiri secara khusus. Tak ada satu pointer pun dalam teks-teks politik hukum Orde Baru yang berkenaan dengan eksistensi syari’at Islam. Meskipun demikian, syari’at Islam bukan berarti tidak mendapatkan perhatian. Dalam kenyataan praktis-empiris syari’at Islam mempunyai tempat dalam tata hukum nasional, bahkan secara formal posisinya lebih baik dari masa sebelumnya. Melihat konteks tersebut, seolah-olah Orde Baru menempatkan syari’at Islam adalah bahagian dari agama, salah satu contoh kongkrit adalah dengan menyerahkan sepenuhnya persoalan syari’at Islam kepada departemen agama, bahkan persoalan peradilan agama (yang seharusnya dibawah departemen kehakiman). Hal tersebut tidaklah salah, namun akan menjadi bias bila agama berada pada wilayah sekuleristik.19 Hukum Islam sebagai hukum positif (lex positive/ius constitutum) diberlakukan Orde Baru pertama kali tercantum dalam UU NO. 1 tahun 1974 pasal (2) ayat (1), itupun masih bersifat universal dalam kerangka hukum agama, bukan hukum Islam. Kemudian diteruskan ke pasal 10 UU No. 14 tahun 1970, yang dimaksud dengan agama masing-masing adalah agama Islam dengan pengkhususan Pengadilan Agama. Pada zaman Orde Lama, UU No. 5 tahun 1960 juga menyandarkan hukum agraria pada hukum agama. Adalah suatu kemajuan eksistensial bagi hukum Islam dalam kerangka ius constitutuum, dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).20 Melihat dua hukum di atas, pada masa Orde Baru hukum Islam sudah menjadi bagian struktur hukum nasional, namun dalam aspek hukum materil masih belum sepenuhnya menjadi bagian dari political will dari aparatur negara. Eksistensi hukum Islam masih dipersimpangan jalan, dan wilayah hukumnya pun masih sangat terbatas, tidak sebanding dengan kapabilitas hukum Islam yang sesungguhnya.
18SM
Amin, Kodifikasi dan Unifikasi Hukum Nasional, (Jakarta: Hudaya, 1978), p.
15. 19Pardoyo,
Sekulerisasi dalam Polemik: Sekapur Sirih Nurcholis Madjid, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Utama Grafitri, 1993), p. 173. 20Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, (Jakarta: UII Press, 2003), p. 90. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
812
Hukum Islam pada masa Orde Baru sudah ditempatkan secara layak, namun yang perlu dicatat adalah bahwa kelayakannya hanya pada pengukuhan adanya hukum Islam atau sekedar penerapan saja. Menggunakan bahasa Marzuki Wahid, politik hukum Islam di Indonesia dari segi pembentukannya pada masa orde baru masih berkarakter semi responsif. Sementara dari segi materi hukumnya politik hukum Islam di Indonesia berkarakter otonom. Dari segi implementasi hukumnya politik hukum Islam di Indonesia berkarakter fakultatif. Dari segi fungsi hukum, politik hukum Islam di Indonesia berkarakter regulatif dan legitimatif.21 Ketika runtuhnya rezim Orde Baru, muncullah tuntutan atau aspirasi sebagian kelompok Islam untuk memformalkan Piagam Jakarta atau syari’at Islam. Namun disisi lain, ada kekhawatiran dari kelompok Islam yang lain, karena banyaknya ketentuan-ketentuan dalam syari'ah Islam yang dianggap tidak sejalan dengan demokrasi. Perbedaan di atas, memang dapat dimaklumi, sebab dilihat dari orientasi keberagamaan masyarakat Indonesia dapat dilihat dari beberapa aspek: Pertama, kelompok yang menjadikan Islam sebagai ideologi yang manifestasinya berbentuk penerapan syari’at Islam. Kedua, kelompok yang hanya berorientasi dari moral etik beragama, tanpa harus ada formalisasi syari’at Islam. Alasan dari kelompok ini, formalisasi syari’at Islam sesungguhnya merupakan langkah mundur dalam berdemokrasi. Menurutnya, formalisasi syari’at Islam kurang strategis dan efektif. Dalam konteks negara yang berdasar pancasila, meskipun undang-undang otonomi daerah telah diberlakukan, namun tidak berarti setiap daerah berhak menetapkan politik hukum sendiri berdasar atas kecenderungan dominasi satu kelompok atau etnis tertentu.22 Salah satu contoh kasus adalah penerapan Syari’at Islam di Aceh, banyak hal yang menjadi perdebatan di dalamnya, baik dari segi sistem peradilan maupun dari aspek perangkat hukumnya. Ketiga, kelompok yang mengambil jalan tengah, yaitu mendukung penerapan formalisasi syari'ah Islam, tapi hanya yang bersifat privat saja.23 C. Penerapan Hukum Islam dalam Perspektik Politik Hukum Islamisasi hukum pidana di Indonesia telah berlangsung kurang lebih ribuan tahun hingga sekarang. Namun, rangkaian usaha itu selalu 21Marzuki
Wahid, "Syari’at Islam: Antara Pemberlakuan, Formalisasi dan Politisasi, Bacaan Kritis atas Wacana dan Gerakan “Syari’at Islam” Pasca Orde Baru", (Pengantar Dari Gontor Ke Pulau Buru, Memoar H. Achmadi), (Yogyakarta: Syarikat, 2002)., pp. 213-216. 22Marzuki Wahid, Syari’at Islam..., p. vi 23Masykuri Abdullah, "Wacana Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia", (Makalah tidak diterbitkan), p. 6. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
813
terbentur pada sempitnya penafsiran umat Islam. Mereka memandang hukum pidana Islam sebagai hukum yang ''ekstrem'' dengan mengidentikkan adanya hukuman rajam, pemotongan tangan, dan lainnya tanpa memandang sudut kemaslahatan penerapan hukum pidana itu sendiri.24 Hukum Islam dalam dimensi qanun tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik dalam hukum keluarga maupun dalam hukum perdata lainnya. Ia dapat dilihat dalam Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU Nomor 19 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, dan yang terakhir UU NO 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Di samping itu, terdapat pula PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, UU no 10 tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui keberadaan Bank Syari'ah dengan prinsipprinsip syari’ahnya. 25 Keberpihakan politik dalam mengakomodasikan penerapan hukum Islam ini secara fenomenal ditandai dengan kelahiran UU Nomor 44 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh yang antara lain berisi kewenangan daerah Aceh untuk memberlakukan Syari`at Islam.26 Hal ini menandai telah menguatnya posisi daerah untuk mengatur dirinya sendiri, istimewa sekali Nangroe Aceh Darussalam (NAD) karena telah diberi kesempatan untuk menerapkan syari`at Islam. Era reformasi ternyata telah secara serta merta menggebrak pintu otonomi daerah di seluruh Indonesia, bahkan otonomi yang seluasluasnya bagi NAD untuk dapat melaksanakan syari`at Islam. Hal ini sejalan dengan maksud kelahiran UU No.44 Tahun 1999 tentang 24Daud
Rasyid, "Hukum Islam Dianggap Ekstrem", http://www.suaramerdeka.com/harian/ 0205 /23/nas10.htm, diakses tanggal 25 Desember 2005. 25Y. Sri Susilo, dkk., Bank dan Lembaga Keuangan lain, (Jakarta: Salemba Empat, 2000), p. 109. 26 http://freewebs.com/ikadabandung/arsip2.htm, diakses tanggal 25 Desember 2005. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
814
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839), yang lebih dipertegas lagi dengan lahirnya UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134). Terakhir, lebih dioperasionalkan lagi oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia (Kepres) 11 Tahun 2003 tanggal 3 Maret 2003 tentang Mahkamah Syari`ah dan Mahkamah Syari`ah Propinsi di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam.27 Dengan hal ini, dimungkinkan lahirnya hukum pidana Islam di NAD meskipun berbeda dengan hukum pidana Indonesia yang berlaku secara umum di Nusantara ini. Penerapan Syari’at Islam di Aceh menarik dikaji lebih mendalam mengingat sifatnya yang khusus (lex specialis) sebagai bagian dari kompromi, rekonsiliasi atau kompensasi politik dari pemerintah pusat dalam meredam pergolakan lokal. Meskipun lahir dalam suasana abnormal, melalui pemberlakuan Undang-Undang (UU) Nomor 18/2001 tentang Otonomi Khusus dan peresmian Mahkamah Syariah di Aceh telah memberikan kesempatan bagi rakyat Aceh untuk melakukan penerapan syari’at Islam secara formal. Pemberlakuan ini didukung dengan pembentukan Mahkamah Syari’at di Aceh berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2003 tanggal 3 Maret 2003. Berkaitan dengan hal, Hakim Agung, Rifyal Ka'bah berkomentar: Mahkamah Syari’at di NAD sebenarnya merupakan perluasan dari peradilan agama. Mahkamah itu akan menangani tiga bidang persoalan, yakni al-ahwal al-syakhshiyyah 'hukum keluarga', muamalat 'perdata', dan jinayat 'pidana'. Kendati wewenangnya cukup luas, tidak semua persoalan dapat dibawa ke mahkamah pada saat ini, ada kendala kelengkapan peraturan, khususnya peraturan daerah (qanun). Jadi, KUHP dan KUHAP masih tetap akan berlaku selama qanun yang diperlukan belum lahir,'. 28 Hingga kini, ada beberapa qanun yang sudah berlaku di NAD, yakni Qanun Nomor 11 tentang Pelaksanaan Akidah dan Ibadah, seperti keharusan menjalankan salat dan puasa, yang tidak mengandung sanksi apa pun, sedangkan pidana Islam diatur dengan Qanun Nomor 12 Tahun 2003, tentang minuman khamar dan sejenisnya, Qanun Nomor 13 Tahun 27 Pustaka Pelajar, Kumpulan Undang Undang Peradilan Terbaru, Cet. I, (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), pp. 239-246. 28 "Penegakan Syari’at Islam di NAD" , Artikel dalam Harian Umum Republika Kamis, 06 Maret 2003.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
815
2003, tentang maisir (perjudian), Qanun Nomor 14 Tahun 2003, tentang khalwat (mesum) dan Qanun Nomor 7 Tahun 2004, tentang Pengelolaan zakat. Dalam bentuk realitas belum ada perkara yang dimohonkan banding, apalagi kasasi ke Mahkamah Agung, karenanya belum terlihat adanya keputusan Mahkamah Agung yang membatalkan ataupun mengukuhkan putusan Mahkamah Syari`ah, dan Mahkamah Syari`ah Propinsi yang berdasar kepada qanun tersebut. Secara teoritis, dipahami bahwa Otonomi khusus yang seluas-luasnya bagi NAD untuk melaksanakaan syari`at Islam, mengantarkan kita untuk mempedomani prinsip hukum lex specialis derogat lex generalis (peraturan khusus dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum), artinya KUHP & KUHAP tidak diberlakukan bagi masyarakat muslim di NAD sepanjang telah diatur oleh qanun.29 Terkait dengan hal ini, Jimly Asshiddiqie mengatakan, kita tetap mempedomani prinsip hukum lex superiore derogat lex infiriore (secara hirarkis peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi) sepanjang kaitannya dengan bagian-bagian hukum dalam sistem negara yang masih tersentralisasi, karena adanya koridor hukum yang tegas yang berlaku secara nasional, misalnya bidang pertahanan kemanan, dan aspek tertentu dari keuangan seperti dikemukakan. Selain dari hal tersebut, maka daerah ditentukan sebagai ujung tombak pembangunan nasional, dan daerah diberi keleluasaan untuk mengatur dirinya sendiri dalam porsi yang lebih besar, termasuk dalam melahirkan Perda/Qanun sesuai dengan kekhasan dan keistimewaan daerah tersebut, karenanya sangat tepat memberlakukan prinsip hukum lex specialis derogat lex generalis (peraturan khusus dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum), daerah dapat saja memberlakukan Perda yang dibuatnya sendiri sepanjang dalam koridor kewenangan yang diberikan, meskipun dengan mengesampingkan hukum yang bersifat umum dengan status hirarkisnya yang lebih tinggi. Dengan demikian, NAD misalnya boleh saja memberlakukan hukum cambuk dalam rangka mengamalkan qanun, meskipun mengabaikan hukum penjara dalam rangka mengenyampingkan KUH Pidana. Hal ini bukan dalam rangka mengadakan perlawanan
29
Pagar, “Dualisme Hukum Pidana di Nangroe Aceh Darussalam: Analisis Terhadap Dampak Penerapan Hukum Islam” Makalah disampaikan dalam Annual Conference Kajian Islam, (Bandung: 2006), p. 2. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
816
hukum tetapi mengamalkan pesan otonomi daerah yang diamanatkan oleh UU No.18 Tahun 2001.30 Penerapan hukum Islam di Aceh tidak akan mengadopsi semua hukum Islam seperti yang berlaku di negara-negara Timur Tengah menjadi qanun. Langkah ini disesuaikan dengan latar belakang Indonesia yang berbeda dengan negara-negara Arab. Jadi, meskipun telah berlaku mahkamah syari’at, tetap saja harus sesuai dengan landasan hukum yang paling dasar di Indonesia. Oleh karena itu, pembentukan Mahkamah Syar'iyah di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) oleh Pemerintah, lebih didasari pada pertimbangan politis.31 Wacana penerapan syari’at Islam di Indonesia menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut. Gagasan lama yang selalu aktual ini menjadi polemik yang menurut penulis mengundang hasrat untuk urun rembuk pemikiran, sebagai manifestasi rasa tanggung jawab seorang warga negara. Dalam beberapa tulisan memberikan satu solusi menarik jika suatu saat pelaksanaan syari’at Islam ini menjadi konsensus bersama sebagai keputusan politik bangsa Indonesia, yaitu syari’at Islam ala Indonesia.32 Penerapan syari’at Islam 'ala Indonesia' sejauh ini belum dianggap sebagai solusi final bagi semua golongan umat Islam. Ada elemen umat Islam yang masih mempertanyakan syari’at Islam versi siapa yang akan diterapkan? Hal ini menjadi penting dibicarakan secara kritis dan jernih, sebab di Indonesia paling tidak terdapat empat mazhab besar: mazhab Maliki, Hanafi, Syafi'i, dan Hambali sebagai anutan syari’at Islam. Realitas sosial umat Islam juga terpecah dalam berbagai paham/aliran: ada Islam ala NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsad dan sebagainya. Hal ini merupakan problem serius yang harus dibicarakan ketika mencari formulasi dalam menemukan konsensus antarumat Islam sendiri. Mungkin yang perlu dilakukan segera adalah rekonsiliasi internal umat Islam dalam kerangka penyamaan visi, misi, dan orientasi guna memecahkan problem mendasar ini. Salah satu yang harus dilakukan adalah perlunya dekonstruksi pemikiran hukum Islam dalam rangka
30 Jimly Asshiddiqie, “Hukum Islam di Antara Agenda Reformasi Hukum Nasional”, dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, (Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam Depag RI., 2001), pp. 9-12. 31Koran Serambi Indonesia, Mahkamah Syar'iyah Aceh, Lebih Didasari Politis, Kamis, 06 Maret 2003. 32Nur
Sholihin, Dekonstruksi Pemikiran Hukum Islam, http://free.hostdepartment. com/i/ islamparty/LA4.HTM, di rilis tanggal 21 Desember 2005, Diakses tanggal 25 Desember 2005. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
817
mewujudkan syari’at Islam ala Indonesia yang sesuai dengan sosio-kultural dan jiwa bangsa Indonesia. Dalam konteks keindonesiaan, pemikiran hukum Islam sepertinya dihadapkan pada dua kelompok: sebagian menyuarakan anti perubahan/pembaharuan hukum Islam dan sebagian menyuarakan perlunya perubahan/pembaharuan. Dalam kerangka kelompok pertama, perubahan substansial yang meliputi esensi materi hukum tidak akan terjadi. Ketergantungan pada teks fiqh klasik yang begitu kuat, dan sempitnya peluang untuk menciptakan syarah interpretatif ketimbang syarah normatif, serta minimnya respons sosial-religius terhadap kasuskasus hukum yang banyak terjadi membuktikan ketidakberdayaan hukum Islam. Dalam kerangka kelompok kedua, perubahan/pembaharuan hukum dimungkinkan seiring dengan perubahan zaman, tempat dan kondisi adat-istiadat. 33 Menurut peneliti, setidaknya ada tiga alasan yang mendorong sebagian umat Islam merasa penting membicarakan posisi syari’at Islam dalam konstitusi. Pertama, dalam konsep negara modern hukum dasar yang akan dijadikan rujukan pembuatan undang-undang adalah konstitusi. Konstitusi yang jelas dan tertulis akan dijadikan acuan bagi pembuatan undang-undang di bawahnya mengingat konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam konteks kehidupan bernegara. Undang-undang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan konstitusi negara. Kedua konsep negara Islam dalam literatur klasik ada hubungannya dengan jaminan melaksanakan syari’at Islam bagi umat Islam. Negara yang memberikan kebebasan bagi umat Islam untuk melaksanakan syari’at Islam bisa disebut sebagai dar al-Islam ,sebaliknya negara yang tidak memberikan kebebasan bagi umat Islam untuk menjalankan syari’at Islam tidak bisa disebut sebagai dar al-Islam. 34 Ketiga adanya anggapan bahwa hukum Islam paling tidak sebagian darinya tidak bisa dilaksanakan tanpa adanya kekuasaan politik setingkat Negara, karena hukum Islam menurut mereka tidak hanya mengatur urusan privat tapi juga urusan publik. Oleh karena itu, keberadaan negara bagi umat Islam merupakan kemestian sesuai dengan kaidah ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib. Dalam mengungkap persoalan seputar dialektika antara hukum Islam dan politik dan sekaligus menarik makna dari fenomea ini bisa 33Juhaya S. Praja (pengantar), Hukum Islam di Indonesia; Perkembangan dan Pembentukan, cet-II, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991), p. ix. 34 Penjelasan lebih lanjut bisa dilihat pada Nurrohman, “ Syari’at Islam, Negara Islam dan Transformasi Hukum Islam”, dalam Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial, Forum Studi Asy-Syari’ah, Volume 25, Nomor 2, Juli-Desember 2002.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
818
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
didekati dengan teori politik hukum dan teori penerapan hukum. Politik hukum adalah suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.35 Politik hukum merupakan legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional dalam suatu negara.36 Politik hukum dalam pengertian formal hanya mencakup satu tahap saja yaitu menuangkan kebijakan pemerintah dalam bentuk produk hukum atau disebut legislative drafting, sedangkan politik hukum dalam pengertian materiil mencakup legislative drafting, legal eksecuting dan legal review.37 Menurut Sudarto, politik hukum bisa dipahami dalam konteks. Pertama, politik hukum sebagai usaha untuk mewujudkan peraturan yang baik sesuai dengan kondisi dan situasi pada suatu saat. Kedua, politik hukum sebagai kebijakan dari suatu negara melalui badan-badan yang berwewenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan bisa mengartikulasikan apa yang berkembang dan diinginkan masyarakat.38 Politik hukum adalah kebijakan pemerintah yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia meliputi dua hal. Pertama, pembangunan hukum yang berintikan perbuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Batasan itu menggambarkan bahwa politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.39 Menurut Solly Lubis, politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.40 Dengan dasar itu, Sudarto mengatakan politik hukum merupakan kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menerapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk 35Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, edisi III, (Yogyakarta: Liberty, 1993), p. 6. 36Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara; Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2001), p. 39, penjelasan lebih luas lihat, Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politk Hukum: Studi tentang Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: UGM, 1993), p. 74, (Disertasi, tidak diterbitkan) 37Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia,¸ (Jakarta: Gramedia, 1994), p. 24. 38Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung; Alumni, 1981), p. 159. 39 Muh. Mahfudh MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), p. 9. 40 Solly Lubis, Serba-Serbi Politik dan Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 1989), p. 49.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
819
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. 41 Pembentukan undang-undang merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas karena ia akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Dengan demikian, undang-undang memiliki dua fungsi: untuk mengekspresikan nilai-nilai dan instrumental. Politik hukum bertugas meneliti perubahan mana yang perlu dilakukan terhadap hukum yang sudah ada agar bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum tersebut meneruskan arah perkembangan tertib hukum. Dengan demikian, perubahan hukum perlu bersifat terbuka. Inisiatif akan perlunya perubahan hukum bisa datang dari atas, dengan melibatkan peran elit politik dalam merumuskan apa yang dianggap perlu dirubah. Oleh karena itu, kebutuhan membangun hukum dan perundang-undangan lebih kepada “permainan politik”.42 Meminjam pendapat Abdul Karim G. Nusantara, ada dua proses politik dalam suatu masyarakat untuk pembangunan hukum. Pertama, produk hukum yang dihasilkan melalui kerangka strategi pembangunan hukum yang dapat disebut ortodoks. Mekanisme ini bersifat kaku dan kurang terbuka bagi perubahan, yang akibatnya hukum kurang tanggap terhadap tuntutan-tuntutan kebutuhan masyarakat. Kedua, produk hukum yang dihasilkan bersifat opresif karena secara sepihak hukum memantulkan persepsi sosial para pengambil kebijakan.43 Bisa dikatakan, hukum sering kali memiliki hubungan secara berkelindan dengan politik. Keduanya merupakan pasangan. Hukum pasti didasari politik, karena hukum itu dibentuk oleh negara sebagai lembaga politik yang tertinggi. Hukum merupakan pedoman yang absah bagi kekuasan politik terutama ketika mengambil keputusan dan tindakantindakan dalam rangka melakukan rekayasa sosial demi ketertiban sosial. Seperti dikatakan oleh Max Radin, hukum adalah teknik untuk mengendalikan suatu mekanisme sosial yang kompleks. Di lain pihak, hukum tidak efektif kecuali bila ia mendapatkan pengakuan dan didukung dengan mekanisme sanksi yang diatur oleh kekuasaan politik. Atas dasar 41 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, (Bandung: Sinar Baru, 1983), p. 16. 42 Baca Robert B. Ahdieh, Russia’s Constitutional Revolution: Legal Consciousness and the Transition to Democracy, (Pennsylvania: Penn State Press, 1997), p. 83. 43 Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta; Rajawali, 2002), p. 139.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
820
ini, maka Maurice Duverger menyatakan bahwa hukum didukung oleh kekuasaan. Dia terdiri dari batang tubuh undang-undang dan prosedur yang dibuat atau diakui oleh kekuasaan politik.44 Konstitusi merupakan kaidah hukum pertama, yang pembentukannya melalui proses sosiologis.45 Dia mengatakan, tegaknya sebuah sistem konstitusi hanya berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Hukum dijadikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu, atau dengan kata lain hukum dijadikan sarana politik dengan maksud untuk menegakkan kehidupan bersama secara adil sesuai dengan tujuan dari hukum itu dibuat. Hukum sebagai sarana politik, maka sudah barang tentu negaralah yang melaksanakan, karena satu-satunya jalur yang bisa membentuk hukum positif adalah negara. Hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan politik sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingankepentingan tertentu. Dengan demikian, medan pembuatan undangundang menjadi medan pembenturan dan pergumulan kepentingankepentingan.46 Badan pembuat undang-undang akan mencerminkan konfigurasi kekuatan dan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat. Konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang menjadi penting karena pembuatan undang-undang modern bukan sekedar merumuskan materi hukum secara baku berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan membuat keputusan politik terlebih dahulu. Intervensi-intervensi dari luar tidak dapat diabaikan dalam pembentukan undang-undang. Intervensi tersebut dilakukan terutama oleh golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan baik secara sosial, politik maupun ekonomi.47 Dengan menggunakan asumsi dasar bahwa hukum sebagai produk politik maka politik akan sangat menentukan hukum sehingga kajian ini memposisikan politik sebagai variabel bebas dan hukum atau lembaga peradilan sebagai variabel terpengaruh. Kejadian ini berangkat dari perspektif bahwa dalam hubungan antara politik dan hukum maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik karena subsistem politik mempunyai energi paling kuat daripada hukum. Maka untuk melihat
44Maurice
Duverger, Sosiologi Politik, (Jakarta: Gama Media, 1981), p. 358. Syahuri, Hukum Konstitusi: Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesai 1945-2002, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), p. 43. 46 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, (Surakarta: UMS Press, 2002), p. 126. 47 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum,… p. 130. 45Taufiqurrahman
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
821
hukum dan lembaganya, menurut Daniel S. Lev, harus diamati dari bawah dan melihat peran sosial politik apa yang diberikan orang kepadanya.48 Karena lebih kuatnya energi politik dan intervensi politik terhadap hukum maka kerap kali otonomi hukum di bawah tekanan politik bukan saja pembuatannya tetapi juga implementasi hukum. Sri Sumantri melukiskan hubungan antara hukum dan politik Indonesia ibarat perjalanan lokomotif kereta api yang keluar dari relnya. Jika hukum diibaratkan rel, maka politik sebagai lokomotifnya, maka seringkali terlihat lokomotif itu keluar dari rel yang semestinya dilalui. 49 Adapun menyangkut persoalan posisi dan eksistensi hukum Islam dalam bangunan hukum nasional yang menjadi salah satu fokus dalam kajian ini dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan politik hukum. Pendekatan politik hukum dipakai untuk mendasari sebuah asumsi bahwa hukum dan politik merupakan pasangan. Hukum pasti didasari politik, karena hukum itu dibentuk oleh negara sebagai lembaga politik yang tertinggi. Sebaliknya politik baru mempunyai wujud bilamana dirumuskan dalam bentuk hukum. Hubungan antara keduanya adalah timbal balik, yang secara sederhana dapat dilukiskan dalam kalimat: politiklah yang membentuk hukum dan hukumlah yang memberikan wujud politik.50 Sebagaimana diakui oleh Abubakar51, dimensi politik mewarnai upaya penegakan syari’at Islam di daerah Aceh, yang mengemuka sejak awal kemerdekaan. Hal ini direalisasikan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui pembentukan dua lembaga yakni: SRI Negeri dan Pengadilan Agama serta dibarengi dengan penataan pemerintahan di desa. SRI Negeri dibuka atas perintah Residen Aceh pada tahun 1946 sebagai lembaga milik Pemerintah Daerah Aceh yang awalnya dibiayai dengan anggaran daerah. Kemudian pada tahun 1952 dibiayai oleh Pemerintah Pusat dan sejak tahun 1959 diambil alih secara resmi oleh Pemerintah Pusat. Pengadilan Agama dibentuk Residen Aceh mulai tahun 1948 dengan izin Gubernur Sumatera dan dibiayai oleh Pemerintah Pusat. Lembaga ini 48 Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Alih bahasa Zaini Ahmad Noeh dari judul asli, Islamic Courts in Indonesia A Study in the Political Bases of legal Institutions, (Jakarta: Intermasa, 1986), p. 25. 49 Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta; Rajawali, 2002), p. 18. 50 St. Harum Pudijarto RS, Memahami Politik Hukum di Indonesia (UU No. 3 Tahun 1971), (Yogyakarta; Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1998), p. 18. 51 Abubakar, Al-Yasa. 2001. “Upaya dan Proses Penerapan Hukum Islam di Daerah Istimewa Aceh”. Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Proses Transformasi Syari’at Islam di Daerah Istimewa Aceh, Sabang. 21 April 2001/27 Muharram 1422 H.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
822
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
dibubarkan pada tahun 1950 dan diakui kembali melalui PP. Nomor 29 Tahun 1957. Kebijakan Pemerintah Pusat dalam Pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh kembali dimunculkan melalui Keputusan Penguasa Perang Nomor: KPTS/PEPERDA/-061/3/1962 tentang kebijaksanaan pelaksanaan unsur-unsur Syari’at Islam bagi para pemeluknya di Aceh. Perjuangan dalam penerapan hukum Islam -yang muaranya adalah menyatu dengan sistem hukum nasional- telah melekat pada sebagian orang sejak awal kemerdekaan RI. Bagi mereka ide untuk melegalformalkan hukum Islam melalui institusi negara dianggapnya sebagai suatu hal hal yang penting. Kesadaran seperti ini secara akademis sebenarnya bisa dijelaskan karena dengan menyatunya hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional akan mempermudah pelaksanaan hukum Islam itu sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Syatibi bahwa tujuan Allah selaku syari’ dalam menurunkan syari’at adalah untuk dilaksanakan sesuai dengan apa yang dituntut-Nya (qasd al-syari’ fi wad’i al-syari’ah li altaklif bi muqtadaha. Tidaklah dianggap tuntutan syari’ah (taklif) apabila ia berada di luar batas kemampuan manusia.52 Imam Syathibi berkaitan dengan hal ini, mengatakan: “Setiap taklif yang di luar batas kemampuan manusia maka taklif tersebut secara syar‘i tidak sah meskipun akal membolehkannya. Apabila dalam teks Syari’ dijumpai sebuah redaksi yang mengisyaratkan perbuatan di luar kemampuan manusia maka harus dilihat pada konteks, unsur-unsur lain atau redaksi sebelumnya. Hal ini dapat disimak pada firman Allah: “Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim”. Ayat ini bukan berarti larangan untuk mati karena mencegah kematian adalah di luar batas kemampuan manusia. Maksud larangan ini adalah larangan untuk memisahkan antara keislaman dengan kehidupan di dunia ini karena datangnya kematian tidak akan ada yang mengetahui seorangpun. Pernyataan di atas mengandung konsekuensi hukum Islam harus diterapkan dalam kehidupan umat Islam. Gagasan penerapan Syari’at Islam pernah diungkapkan oleh Ibnu Muqaffa melalui ide taqnin-nya. Tujuan diadakannya taqnin atau penerapan hukum Islam oleh penguasa negara adalah untuk mengatur hubungan sesama manusia dalam suatu masyarakat.53 Karena, pengaruh kolonialis terutama Belanda, Indonesia termasuk salah satu Negara yang menganut paham taqnin. Dalam istilah lain, negara hukum Indonesia menganut aliran “positivisme yuridis”. Artinya, segala 52Abu Ishaq Ibrahim Ibn Musa al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, (Kairo: Mustafa Muhammad, tth, II), p. 93. 53 Masykuri Abdullah, Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia”, (Jakarta: Renaissance, 2005), p. 87.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
823
bentuk hukum yang diberlakukan secara efektif di Republik ini terlebih dahulu diundangkan secara resmi oleh penguasa. Sebaliknya, tanpa diundangkan terlebih dahulu maka sebaik dan selengkap apapun aturan hukum yang ada tetap tidak dapat diterapkan di Indonesia. Dalam konteks Indonesia, ide taqnin Ibnu Muqaffa’ sebenarnya telah diterima dan dipraktikkan dalam kehidupan bernegara. Buktinya, saat ini kita telah memiliki Undang-undang Perkawinan (UU No. 1/1974), Undang-undang Haji (UU No. 17/1999), Undang-undang Zakat (UU No. 38/1999) dan lain-lain, yang semuanya dikategorikan sebagai hukum positif yang berisi hukum Islam. 54 Secara khusus, ide taqnin ini telah diterapkan di Aceh melalui pemberlakukan qanun (Perda). Qanun ini digali dan lahir dari masyarakat NAD sebagai peraturan lokal yang bersifat khusus untuk masyarakat NAD yang dipahami sebagian besar memiliki perbedaan dengan ketentuan yang berlaku secara umum di Nusantra serta mendapat tempat istimewa untuk diberlakukan bagi umat Islam di NAD. Untuk persoalan masyarakat Aceh yang telah diatur oleh qanun maka qanunlah yang akan diberlakukan. Hal ini sejalan dengan Penjelasan Umum Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tersebut, dalam salah satu alineanya dinyatakan; “Qanun Propinsi NAD adalah Peraturan Daerah Propinsi NAD yang dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis, dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materil terhadap Qonun.”55 Dengan penjelasan ini, maka dipahami bahwa qanun sebagai suatu tatanan Peraturan Daerah akan dapat mengenyampingkan KUHP yang bersifat umum. D. Penutup Dalam konteks Indonesia, pelaksanaan syari’at (ajaran) agama bagi pemeluk masing-masing agama termasuk pelaksanaan syari’at Islam bagi umat Islam dijamin oleh Undang-undang Dasar. Hazairin memberikan enam arti kepada pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Tiga di antaranya menyangkut pemberlakukan hukum agama-agama termasuk syari’at Islam. Ketiga arti dari pasal tersebut yang berkaitan dengan pemberlakuan syari’ah menurut Hazairin yaitu: pertama, bahwa di dalam negara RI tidak boleh ada suatu yang bertentangan dengan kaidah agama-agama dan bagi umat Islam dengan kaidah syari’at Islam. Kedua, bahwa negara RI wajib melaksanakan syari’at agama-agama: syari’at Islam bagi umat Islam, syari’at Nasrani bagi umat Nasrani dan syari’at Hindu bagi umat Hindu 54 55
Masykuri Abdullah, Formalisasi Syari’at Islam…, p. 93. Ibid.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
824
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
sepanjang pelaksanaan syari’at memerlukan bantuan kekuasaan negara. Ketiga, syari’at yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk melaksanakannya, karena dapat dilaksanakan sendiri oleh masing-masing penganut agama, menjadi kewajiban pribadi bagi setiap orang itu yang dijalankannya sendiri sesuai dengan agamanya masing-masing.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
825
Daftar Pustaka "Penegakan Syari’at Islam di NAD", Artikel dalam Harian Umum Republika Kamis, 06 Maret 2003. Abdullah, Abdul Ghani, Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia dalam Mimbar Hukum No. 1 tahun V, Jakarta: al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI. Abdullah, Masykuri, Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia”, Jakarta: Renaissance, 2005. Abu Bakar, Al Yasa, “Upaya dan Proses Penerapan Hukum Islam di Daerah Istimewa Aceh”. Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Proses Transformasi Syari’at Islam di Daerah Istimewa Aceh, Sabang, 21 April 2001/27 Muharram 1422 H. Ahmad SF., Abdullah, dkk., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Ali, M. Daud, Asas-asas Hukum Islam (Hukum Islam I): Pengantar Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1990. Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Al-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim Ibn Musa, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, Kairo: Mustafa Muhammad, t.t. Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, Yogyakarta: Cakrawala, 2006. Asshiddiqie, Jimly, “Hukum Islam di Antara Agenda Reformasi Hukum Nasional”, dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam Depag RI., 2001. Azhary, M. Tahir, Negara Hukum “Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa kini”, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Azizy, A. Qodri, Ekletisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara Hukum Islam dan hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002. Barkatullah, Abdul Halim dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Basri, Cik Hasan, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
826
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
Biosard, Marcel A., Humanisme dalam Islam, terjemahan H.M. Rasjidi Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Bowen, John R., Islam, Law, and Equality in Indonesia, Cambridge: t.p., 2003. Coulson, Noel J., Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, (terj.) Hamid Ahmas dari judul asli The History of Islamic Law, Jakarta: P3M, 1987. Falaakh, M. Fajrul, et.al, “Membangun Peradilan Syari’ah di Nanggroe Aceh Darussalam” dalam Komisi Hukum Nasional RI online, Jakarta: KHN RI), Diakses pada tanggal 23 April 2008. Fanani, Muhyar, Membumikan Hukum Langit, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008. Hadisoeprapto, Hartono, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1993. Halim, Abdul, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 2002. Hosen, Ibrahim, “Fungsi dan Karakteristik Hukum Islam dalam Kehidupan Umat Islam” dalam Amrullah Ahmad, SF. dkk., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Ibrahim, Muslim, Langkah-langkah Penerapan Syariat Islam di Aceh, dalam Penerapan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta: Global Media Advertising, 2004. Ismail, Ahmad Satori, Pasang Surut Perkembangan Fiqh Islam, Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003. Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Universitas Yarsi, 1999. Kansil, CST, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Lev, Daniel, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Alih bahasa Zaini Ahmad Noeh dari judul asli, Islamic Courts in Indonesia A Study in the Political Bases of legal Institutions, Jakarta: Intermasa, 1986. ________, Islamic Courts in Indonesia 1985, Lubis, Solly, Serba-Serbi Politik dan Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1989. M. Zein, Satria Effendi, “Teori dan Praktek Hukum di Kerajaan Saudi Arabia” dalam Istiqra’, Nomor 3/TH. II/Januari-Juni 1989.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
827
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada, 2006. _______, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers; 2006. MD, Moh. Mahfud, Perkembangan Politk Hukum: Studi tentang Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia, Yogyakarta: UGM, 1993. Disertasi, tidak diterbitkan. _______, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998. Mubarok, Jaih, Gerakan Pelaksanaan Syari`At Islam, Bandung: Ikada, 2007. Muhammad, Rusdi Ali, TEORI GRADUALISME: Aplikasi Penerapan Syariáh Islam di NAD, Swara Ditpertais: No. 18 Th. II, 29 Oktober 2004. _______, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh 2003. Muslehuddin, Muhammad, Philosophy of Islamic Law and the Orientalist: A Comparative Study of Islamic Legal System, Lahore: Islamic Publication Ltd., t.t. Nurrohman, “ Syari’at Islam, Negara Islam dan Transformasi Hukum Islam”, dalam Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial, Forum Studi Asy-Syari’ah;, volume 25, Nomor 2, Juli-Desember 2002. Nusantara, A. Hakim G., “Kebijakan dan Strategi Pembangunan Hukum di Indonesia : Sebuah Tinjauan Kritis Politik Pembangunan Hukum Nasional” dalam Artidjo dan M. Sholeh Amin (Ed.), Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Jakarta: LBH Yogyakarta Bekerjasama dengan Rajawali Pers, 1996. Pagar, “Dualisme Hukum Pidana Di Nangroe Aceh Darussalam: Analisis Terhadap Dampak Penerapan Hukum Islam” Makalah disampaikan dalam Annual Conference Kajian Islam, Bandung: 2006. Podgorecki, Adam & Christoper J. Whelan, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Jakarta: Bina Aksara, 1978. Praja, Juhaya S., (pengantar), Hukum Islam di Indonesia; Perkembangan dan Pembentukan, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991. Pudijarto RS, St. Harum, Memahami Politik Hukum di Indonesia (UU No. 3 Tahun 1971), Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1998. Radhie, Teuku Mohammad, Politik dan Pembaharuan Hukum, dalam Prisma No. 6 tahun II Jakarta: LP3ES, 1973.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
828
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
Rafiq, Ahmad, "Kecenderungan Pembaharuen Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 197~1990-an (Sebuah Kajian Metodologi)", Laporan Penelitian Individual, lAIN Walisongo Semarang, Tidak diterbitkan, 1998. _______, Fiqh Kontekstual, Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Rasyid, Daud, Hukum Islam http://www.suaramerdeka.com/harian/ Diakses tanggal 25 Desember 2005.
Dianggap Ekstrem, 0205 /23/nas10.htm,
Riyanta, “Reposisi dan Signifikansi Hukum Pidana Islam dalam Tata Hukum Nasional”, Jurnal Penelitian Agama, Yogyakarta: Lemlit UIN Sunan Kalijaga, Vol. 15, No. 2, Mei-Agustus 2006. Rosyadi, Rahmat dan HM Rais Ahmad, Formalisasi Syari’at Islam, Bogor, Ghalia Indonesia, 2006. Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syariat dalam Agenda dan Wacana, Jakarta: Gema Insani Press, 2003. Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, Oxford: Clarendon Press, 1993. _______, An Introduction to Islamic Law, Oxford: Clarendom Press, 1964. Sholihin, Nur, Dekonstruksi Pemikiran Hukum Islam, http://free.hostdepartment. com/i/ islamparty/LA4.HTM, dirilis tanggal 21 Desember 2005, Diakses tanggal 25 Desember 2005. Soejoeti, Zarkowi, Pengantar Ilmu Fiqh, (Diktat Kuliah Bagian 1), Semarang: Walisongo Press, 1987. Soekanto, Soerjono dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: PT. Rajawali, 1982. SR, Mashudi, Syari'at Islam Yang Negotiable, artikel dalam www.acehinstitut.com, 2004. Sukardja, Ahmad, “Siyasah Syar`iyah dalam Konsep Abdul Wahab Khallaf” dalam Darul Hukum: Jurnal Dinamika Hukum, Forum Studi Hukum Islam (FSHI), 1993. Sunny, Ismail dkk., Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Logos, 1998. Syahuri, Taufiqurrahman, Hukum Konstitusi; Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesai 1945-2002, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sirajuddin M.: Wacana Penerapan Hukum Islam...
829
Syaifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984. _______, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1990. Thalib, Sajuti, Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1985. Trigiyatno, Ali, "Positifisasi Hukum Islam di Era Reformasi (Studi atas UU No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat), dalam Jurnal Al- Ahkam, Surakarta; STAIN Surakarta, No. 1 Maret 2005, Volume 3. Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2001. Widyanto, Anton, "Jalan Berliku Syariah Islam di Aceh", Makalah tidak diterbitkan, 06 November 2007. Yafie, Ali, Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Umat, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Yamani, Zaki, Syariat Islam yang Abadi: Menjawab Tantangan Masa Kini Bandung: Al-Ma’arif, 1980.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009