Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
FEBRUARI 2014
Peradilan Yang Berkualitas
Jarot Digdo Ismoyo1
[email protected]
Abstrak Kasus Sengkon dan Karta pada tahun 1970an adalah peristiwa fenomenal yang menjadi salah satu tonggak dalam penegakan hukum di Indonesia. Sengkon dan Karta disangka dan didakwa melakukan pembunuhan pada tahun 1974 di Kabupaten Bekasi. Keduanya disidik oleh Kepolisian dengan mendapatkan penyiksaan sehingga terpaksa mengaku melakukan pembunuhan yang disangkakan kepada keduanya. Proses berlanjut hingga proses peradilan yang menghukum penjara keduanya karena dinyatakan secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan sebagaimana didakwakan. Sengkon divonis hukuman penjara selama 12 tahun sedangkan Sengkon divonis hukuman penjara selama 7 tahun. Namun seiring berjalannya waktu, ternyata pelaku pembunuhan bukanlah Sengkon dan karta, namun oleh Gunel Dkk. Saat itu Indonesia belum memiliki peraturan yang baik dalam hal tata cara melakukan penegakan hukum guna pedoman bagi aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum, terutama penyidik sangat leluasa dalam mengejar target untuk menemukan tersangka, walaupun dengan cara – cara kekerasan. Memang didapatkan pengakuan, namun diakui secara terpaksa. Dampak dari penegakan hukum yang salah mengakibatkan salah vonis, yaitu menghukum orang yang tidak bersalah. Hal ini menimbulkan kesengsaraan lahir bathin bagi terpidana maupun bagi keluarganya. Hal ini menjadi suatu tonggak bersejarah bagaimana melakukan penegakan hukum yang baik yang pada gilirannya melahirkan Undang – Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP jauh lebih menghargai hak asasi manusia yang menjadi rambu rambu penegakan hukum baik bagi bagi aparat penegak hukum maupun bagi tersangka dan terdakwa. Jaminan HAM dalam KUHAP jauh lebih lengkap, misalnya Tersangka tidak boleh disiksa selama pemeriksaan, diberikan hak didampingi penasehat hukum dan hak – hak lainnya. Kendati demikian, hingga tahun 2007 masih terus terjadi salah vonis akibat penegakan hukum yang tidak menghargai hak-hak tersangka. Penegakan hukum bukan hanya soal aturan tertulis dalam KUHAP saja. Tanpa diimbangi Fair Trial yaitu pemahaman dan kesadaran dalam proses penegakan hukum, maka salah vonis terus terjadi. Bagi aparat penegak hukum Sikap kehati – hatian, profesionalisme dan penghargaan HAM bukan secara otomatis dapat dilaksanakan secara sempurna karena berbagai faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Pekerjaan rumah selanjutnya adalah bagaimana memulihkan harkat dan martabat setiap orang yang telah salah divonis. Sangat sulit mengukur kesengsaraan lahir batin bagi Terpidana dan keluarganya yang mengalami salah vonis. Peraturan yang ada masih sangat lemah sehingga belum mampu memenuhi rasa keadilan. Kata-kata Kunci : Penegakan hukum, aparat penegak hukum, penghargaan HAM, 1
Staf Pengajar pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM), Universitas Halmahera.
Page | 95
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
Pendahuluan Bagi masyarakat peminat ilmu hukum tentu saja tidak asing dengan “Kasus Sengkon – Karta”. Kasus ini mengingatkan kita tentang penegakan hukum yang serius dan mendalam tentang hukum, baik secara filosofis maupun yuridis. Kasus Sengkon – Karta sangat melegenda bahkan pasti diajarkan dan dibahas dalam pertemuan maupun perkuliahan di program studi atau Fakultas Hukum di seluruh Indonesia. Banyak aspek yang dapat dikaji dalam kasus fenomenal ini karena akan sangat mengiris hati nurani kita tentang arti keadilan yang hakiki. Masih jelas dalam ingatan para peminat ilmu hukum bahkan banyak orang tentang kasus Sengkon dan Karta. Sengkon bin Yakin dan Karta alias Karung alias Encep bin Salam adalah petani berasal dari Bojongsari, Bekasi, Jawa Barat. Keduanya disangka dan didakwa sebagai pelaku perampokan dan pembunuhan suami istri Sulaiman bin Nasir - Siti Haya binti Abu di Kampung Bojongsari, Desa Jatiluhur, Kecamatan Pondok Gede, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat pada Hari Kamis pukul 02.00 WIB tanggal 21 November 1974. Keduanya dijadikan tersangka dan ditahan peyidik Polri sejak 9 Desember 1974 hingga 28 Desember 1974. Berkas Perkara selesai pada tanggal 24 November 1975. Berkas perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Bekasi pada tanggal 3 Mei 1977 dan Keduanya ditahan lagi sejak 26 Juli 1977 hingga vonis dijatuhkan. Keduanya didakwa oleh kejaksaan Negeri Bekasi Bulan Agustus 1977 dengan dakwaan berlapis yaitu Primair melanggar Pasal 338 (pembunuhan) juncto Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana). Dakwaan subsider melanggar Pasal 351 ayat (3) yaitu penganiayaan yang mengakibatkan kematian juncto Pasal 354 ayat (2) tentang penganiayaan berat
FEBRUARI 2014
yang mengakibatkan kematian. Dakwaan lebih subsider melanggar Pasal 365 sub 1,2,3 dan ayat (3) tentang pencurian dengan pemberatan dan pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian. Setelah melalui proses pengadilan dengan mendengarkan saksi – saksi dan barang barang bukti berupa 3 (tiga) buah golok dan beberapa pentungan kayu, maka selanjutnya Oleh Penuntut Umum, Sengkon ditutuntut pidana penjara selama 15 tahun, sementara Karta dituntut pidana penjara selama 10 tahun. Akhirnya perkara ini diputus pada tanggal 27 Oktober 1977 oleh Majelis Hakim Djurnetty Sutrisno SB, Hindiati,SH dan Nafisah,SH dalam Putusan No. 2/K.T.S/Bks./1977. Dalam amar putusannya (Vonnis) Pengadilan Negeri Bekasi, Sengkon dijatuhi hukuman penjara 12 tahun sementara Karta dihukum 7 tahun penjara karena dinyatakan terbukti sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan (doodslag) sebagaimana diatur Pasal 338 KUHP dalam dakwaan primair. Dakwaan subsidair dan lebih subsidair dikesampingkan (Putusan Pengadilan Negeri Bekasi, 1977 : 31). Atas vonis tersebut Sengkon bin Yakin pada tanggal 20 Oktober 1977 mengajukan Banding yang dicatat dalam akta permohonan banding No. 2/a/1977/Pid/B/ek./Bks. Sengkon tidak mengajukan memori banding dan Penuntut Umum tidak mengajukan kontra memori banding. Dalam pemeriksaan di tingkat banding, Majelis Hakim Banding yaitu T. Bustomi,SH , R. Sasmito Surihadi,SH dan Retnowulan Sutianto,SH menyatakan dakwaan atas keduanya telah terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga Putusan Pengadilan Negeri Bekasi dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat dalam putusan Nomor : 38/1978 tanggal 25 Mei 1978 (Putusan Pengadilan Tinggi Bandung,1978 : 4). Page | 96
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
Putusan itu menjadi inkracht van gewijsde (berkekuatan hukum tetap) karena Sengkon dan Karta tidak menyatakan kasasi. Episode berikutnya Sengkon dan Karta menjadi penghuni LP Cipinang. Namun selanjutnya berita mengejutkan muncul saat keduanya menjalani hukuman di LP Cipinang. Dalam penjara itu mulai terkuak fakta yang mengejutkan. Karena merasa iba dengan nasib Sengkon dan Karta, maka Seorang penghuni LP bernama Gunel, yang ditahan karena perkara lain secara sadar mengaku sebagai pelaku perampokan dan pembunuhan yang dituduhkan kepada Sengkon dan Karta. Gunel bahkan meminta maaf kepada keduanya. Atas pengakuan ini selanjutnya Gunel dan kawan - kawan diproses dan diadili di Pengadilan Negeri Bekasi dalam dua berkas perkara. Dalam putusan Pengadilan Negeri Bekasi tanggal 15 Oktober 1980 Nomor 6/1980/Pid/PN Bks menjatuhkan hukuman kepada Gunel bin Kuru pidana 10 tahun penjara dan Siil bin Siin dengan 8 tahun pidana penjara. Sedangkan berkas lain diadili dan diputus Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 7/1980/Pid/PN Bks tertanggal 13 November 1980 menghukum Eli bin H. Senam pidana 7 tahun penjara, Nyamang bin Naim pidana 4 tahun penjara, Cholid bin Nair pidana 3 tahun penjara dan Joing Bin H. Paih pidana 3 tahun penjara (Permohonan Peninjauan Kembali Jaksa Agung, 1981 : 4). Dalam kedua putusan tersebut dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa Gunel dan kawan – kawan melakukan perampokan dan pembunuhan atas suami Istri Sulaiman bin Nasir dan Haya binti Abu pada Hari Kamis pukul 02.00 WIB tanggal 21 November 1974 di Kampung Bojongsari, Desa Jatiluhur, Kecamatan Pondok Gede, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Dengan demikian, maka
FEBRUARI 2014
Sengkon dan Karta bukanlah pelaku perampokan dan pembunuhan. Permasalahan baru muncul disini yaitu bagaimana nasib kedua “Terpidana” tersebut ? bukankah seharusnya Sengkon dan Karta harus dibebaskan. Vonis terhadap Gunel dan kawan – kawan dalam dua putusan Pengadilan Negeri Bekasi tersebut tidak secara otomatis membebaskan Sengkon dan Karta dari tahanan LP Cipinang karena telah inkracht van gewijsde (berkekuatan hukum tetap). Vonis ini menimbulkan diskusi berkepanjangan dari berbagai segi oleh masyarakat, bahkan menimbulkan kegoncangan hebat di kalangan penegak hukum terutama pertanggungjawaban hukum maupun moral. Kasus Sengkon dan Karta menggemparkan tanah air kala itu terutama solusi atas nasib keduanya. Albert Hasibuan, salah seorang anggota DPRRI yang berlatar belakang pengacara tersentuh hatinya mulai mengusahakan pembebasan Sengkon dan Karta dari LP Cipinang. (Kompas, 2009). Apa yang menimpa Sengkon dan Karta adalah salah satu sejarah kelam dunia peradilan kita. Sengkon dan Karta sering ditulis oleh para pengamat kita ketika berbicara mengenai penegakan hukum di Indonesia, Dampak bagi Sengkon dan Karta Sengkon dan Karta mengalami penderitaan luar biasa. Menurut pengakuan keduanya, mereka dipukuli aparat selama proses penyidikan untuk mengakui perampokan dan pembunuhan. Lebih memprihatinkan lagi, selama ditahan di LP Cipinang Sengkon terserang penyakit TBC. Ketika diwawancarai wartawan, Sengkon mengatakan: bahwa dia hanya berdoa agar cepat mati, karena penyakit TBC terus merongrongnya dan tidak Page | 97
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
ada biaya untuk meneruskan hidup. Seluruh harta yang dimilikinya Sudah habis terkuras untuk membiayai kasusnya yang panjang. Sementara keluarga Karta dengan seorang isteri dan 12 orang anak kocar kacir tak terurus. Semua sawah dan tanah mereka sudah dijual habis untuk biaya hidup dan membiayai perkara. Lebih tragis lagi, Karta mengalami musibah tewas tertabrak truck tidak lama setelah dibebaskan dari penjara (Merdeka.com, 2013). Kendati demikian, ada pelajaran berharga yang dipetik dari kasus Sengkon dan Karta, sebab Mahkamah Agung menghidupkan lembaga Peninjauan Kembali (herziening). Maka pada tahun 1980an, lembaga peninjauan kembali atau PK sebelum peristiwa Sengkon dan Karta tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia mulai diterapkan sebagai alternatif penanganan terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan tetap (inkracht van gewijsde). Pada tanggal 10 November 1980 melalui kuasa hukumnya R. Soedjono, Sengkon mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam akta Nomor 181/Pid/XI/1980, sedangkan Karta melalui kuasa hukumnya H. Sumrah,SH dan Murtani M.CH,SH mengajukan permohonan Peninjauan Kelmbali dalam akta nomor 52/B.P./k/XII/1980 kepada Mahkamah Agung. Demikian pula Jaksa Agung Ali Said,SH mengajukan kesimpulan tertulis atas peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung melalui Surat Nomor : B-012/A3/1/1981 atas kasus Sengkon – Karta. Hasil Peninjauan Kembali berdasarkan musyawarah Majelis Agung pada tanggal 24 Januari 1981 oleh Prof. Oemar Seno Adji,SH , Bushtanul Arifin,SH dan Purwosunu,SH dalam amar putusan
FEBRUARI 2014
Peninjauan Kembali yang dibacakan pada tanggal 31 Januari 1981 memutuskan Tertuduh – Tertuduh (sekarang para Terdakwa) Sengkon bin Yakin dan Karta bin salam menyatakan keduanya tidak terbukti sah, membebaskan dari segala tuduhan (dakwaan), memerintahkan barang bukti berupa tiga buah golok dan beberapa pentungan kayu dikembalikan kepada yang berhak. Atas putusan tersebut keduanya menghirup udara bebas. Setelah dibebaskan, Sengkon dan Karta melalui pengacaranya Murzani melakukan gugatan terhadap Pengadilan Negeri Bekasi menuntut ganti rugi Rp 100.000.000,(seratus juta rupiah). Hasilnya gugatan tersebut ditolak dengan alasan bahwa lembaga Pengadilan tidak dapat mengadili dirinya sendiri. Perlawanan sengkon - Karta berlanjut dengan melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Demikian juga di Pengadilan Tinggi Jawa Barat, tuntutan tersebut ditolak (Kompas, 2009). Upaya terakhir dilakukan dengan mengajukan Kasasi di tingkat Mahkamah Agung. Di tingkat Kasasi di Mahkamah Agung gugatan keduanya dinyatakan tidak diterima dengan alasan telah lewat waktu. MA tidak memeriksa berkas gugatan dengan alasan terlambat disampaikan. Menurut hukum acara pidana, seharusnya berkas sudah diterima 25 Oktober 1983, tapi berkas baru masuk tanggal 26 Oktober 1983. Menurut pengacara, keterlambatan disebabkan anak almarhum Karta mengalami kesulitan saat mengurus surat keterangan miskin yang perlu dilampirkan untuk meminta biaya pembebasan biaya perkara. Realitas kekinian Penegakan hukum haruslah dilakukan secara profesional sejak Page | 98
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
penyelidikan dan penyidikan hingga putusan sehingga tidak menimbulkan salah vonis. Bukankan dalam hukum dikenal adagium “ lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum seorang yang tidak bersalah “. Artinya secara etis maupun filosofis tidak boleh terjadi salah vonis. Tidak ada yang bisa menggantikan bahkan tidak dapat diukur penderitaan akibat penahanan terhadap seseorang yang tidak bersalah. Fenomena Sengkon – Karta ternyata terus terulang di berbagai daerah pada tahun – tahun berikutnya. Di Singkawang, Kalimantan Barat, pasangan suami istri Cu Kin Sun alias A Sun, dan Fu Jan Lie, serta putra kedua mereka Cu Jiu Liong atau A Liong terpaksa merasakan perihnya hidup di penjara selama satu setengah tahun di LP Singkawang dari vonis 10 tahun penjara. Mereka bertiga divonis melakukan pembunuhan terencana pada tetangga mereka Bun Lie Ngo pada April 1995 silam. Tragis, karena Fu Jan Lie saat itu tengah mengandung, dan akhirnya harus melahirkan bayinya di penjara. Padahal keluarga petani miskin itu tak tahu apa-apa soal kasus dan tuduhan yang ditimpakan pada mereka. Belakangan diketahui, ada “permainan” hukum di dalam kasus ini. Berkat perjuangan tak kenal lelah pengacara pro bono mereka, upaya kasasi mereka dikabulkan Mahkamah Agung. Mereka diputus tidak bersalah dan bebas murni. Namun ironis, 13 tahun pasca kebebasan mereka sejak Januari 1997, proses rehabilitasi nama baik mereka dari MA, belum pernah terealisasi hingga kini. Tahun 2002 kasus serupa menimpa suami – istri Risman Lakoro dan Rostin Mahaji, warga Kabupaten Boalemo, Gorontalo, yang sehari – hari sebagai petani penggarap yang didakwa melakukan pembunuhan atas anak kandungnya Alta Lakoro setelah
FEBRUARI 2014
ditemukan kerangka manusia. Pada tahun 2002, keduanya didakwa pelanggaran terhadap Pasal 170 dan 351 ayat 3 KUHP. suami istri tersebut divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Tilamuta atas pembunuhan terhadap anak gadisnya, Alta Lakoro mendekam di LP Gorontalo. Keduanya menghirup udara bebas tahun 2005. Pada tahun 26 Juni 2007 ternyata Alta Lakoro muncul di kampung halamannya dalam keadaan sehat, sementara keduanya terlanjur menjalani hukuman di balik jeruji besi atas kejahatan yang tak pernah dilakukannya. Yang lebih menyedihkan, Risman mengungkapkan bahwa keduanya dipaksa untuk mengakui penganiayaan yang mengakibatkan kematian terhadap anaknya. "Kami terus disiksa bahkan meninggalkan cacat di tubuh saya," ujarnya sambil memperlihatkan jari-jarinya yang tampak tak normal lagi akibat penganiayaan tersebut. "Kami awalnya tidak mau mengakui kesalahan yang dituduhkan, tetapi karena terus disiksa, kami akhirnya tak tahan lagi" (Antara news, 10 Juli 2007). Sementara kerangka yang diduga Alta dan dijadikan barang bukti pada tahun 2001, tidak masuk dalam kategori barang bukti karena ternyata tidak melalui proses identifikasi yang legal, yakni visum et repertum. "Siapa yang menemukan kerangka pun bagi kami belum jelas. Sedangkan yang memperkuat dugaan hanya baju Alta yang ditemukan bersama kerangka tersebut," ujarnya lagi. Sejak dari pemeriksaan di tingkat polisi, kemudian berlanjut ke Pengadilan Limboto dengan tuntutan tiga tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) hingga putusan oleh Hakim, keduanya bahkan tidak disediakan penasihat hukum secara cuma-cuma karena tak sanggup membayar. Padahal, ancaman hukuman atas pasal yang dituduhkan pada mereka Page | 99
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
lebih dari lima tahun penjara. "Kami akan mengajukan Peninjauan Kembali, merehabilitasi nama baik serta melaporkan hal ini ke Komnas HAM," kata Salahudin Pakaya, salah seorang anggota tim kuasa hukum RismanRostin. Terlebih lagi, katanya, vonis terhadap Risman-Rostin, dinilai cacat hukum karena hanya memenuhi satu unsur barang bukti, yakni pengakuan terdakwa. Di Bandung, Iwan Setiawan harus menerima kenyataan pahit, karena ditangkap dan ditahan polisi selanjutnya diadili atas tuduhan melakukan pembunuhan terencana terhadap mantan majikannya pada 31 Juli 2006. Faktanya, pada hari terjadinya pembunuhan Iwan sedang berada di rumah sakit menunggui sang bibi yang sedang dirawat. Iwan yang mengaku mengalami “pembinaan” saat interogasi penyidik, divonis penjara seumur hidup pada 2007. Iwan terpaksa mendekam di LP Sukamiskin Bandung selama 1 tahun 9 bulan, sebelum akhirnya kasasi tim kuasa hukumnya diterima Mahkamah Agung dan memutuskan ia tidak bersalah. Sementara kasus salah vonis yang cukup mengemuka dari Jombang, Jawa Timur, adalah kasus pembunuhan atas sesosok mayat yang diyakini sebagai Asrori, pada 2007 silam. Kasus ini “menyeret” Imam Khambali alias Kemat, David Eko Priyanto serta Maman Sugiyanto alias Sugik sebagai tiga tersangka utama pembunuhan. Kasus ini selanjutnya berkembang sangat rumit, karena Asrori ternyata merupakan salah satu korban pembunuhan berantai oleh Very Idham Henyansyah alis Ryan “si Jagal Jombang”, yang mengakui bahwa Asrori adalah salah satu korban yang dimutilasinya (Ari Juliano, 2008). Namun apa daya, Imam Khambali alias Kemat divonis hukuman penjara 17 tahun sementara David divonis
FEBRUARI 2014
hukuman penjara 12 tahun. Keduanya telah menjalani masa penahanan selama lebih dari setahun saat Ryan mengakui perbuatannya. Sementara Sugik, harus merasakan proses penyidikan dan persidangan lebih dari lima belas bulan atas tuduhan padanya. Penyidikan yang menghargai HAM Mengapa penegakan hukum bisa begitu salah arah sehingga menjadi “peradilan sesat” seperti itu ? Kasus Sengkon – Karta boleh jadi karena belum ditaatinya asas – asas penegakan hukum sejak penyidikan. Saat itu memang belum ada Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kasus ini menjadi titik balik penegakan hukum yang berkualitas dan menjadi pencerahan para penegak hukum di tanah air untuk berpikir keras mencari upaya pencegahan salah vonis atau peradilan sesat yang sangat mudah terjadi. Dengan kekuasaan yang sangat luas oleh penyidik serta tiadanya perlindungan HAM bagi tersangka atau terdakwa, maka sangat rentan terjadinya pemaksaan, terutama pada orang – orang yang lemah di bidang hukum. Sebelum berlakunya KUHAP, bahkan ada istilah “Batupun bisa mengaku dihadapan Polisi”, yang artinya semua orang dapat dipaksa mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya dengan cara “pembinaan”, mulai dari ancaman verbal kata – kata, penyiksaan ringan sampai mengakibatkan cacat tubuh jika tersangka belum mau mengakui perbuatan yang didakwakan padanya. Tidak ada jaminan HAM pada tersangka selama proses penyidikan. Hak – hak Tersangka baru diatur jelas dalam KUHAP. Sebelumnya Indonesia masih menggunakan hukum acara pidana peninggalan Belanda yaitu Inlands Reglement (IR) dalam Staablaad 57 Page | 100
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
yang dirubah menjadi Herziene Inlands Reglement (HIR) dalam Staatblaad 1926 Nomor 44. Maka pada tahun 1980 disusunlah Rancangan Undang – Undang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai tolok ukur dalam penegakan hukum. KUHAP akhirnya disahkan menjadi Undang – Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP. KUHAP mengatur ketentuan – ketentuan positif tentang tata cara beracara di badan – badan peradilan di Indonesia. Era KUHAP penyelidikan maupun penyidikan dilakukan secara lebih menusiawi, lebih teliti guna menghindari “peradilan Sesat” sebagaimana kasus – kasus diatas. BAB V KUHAP mengatur tata cara penangkapan, penahanan, penggeledahan hingga penyitaan. Bagian terpenting dalam KUHAP adalah kepada Tersangka diberikan jaminan perlindungan hukum dari ancaman kekerasan dan pemaksaan di setiap tingkat pemeriksaan yang diatur dalam BAB VI tentang Tersangka dan Terdakwa serta BAB VII tentang Bantuan Hukum mulai Pasal 69 sampai Pasal 74. Sejak ditetapkan sebagai Tersangka, maka waktu penahanan dibatasi secara tegas, diberi kesempatan mempersiapkan pembelaan, hak mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum. Cara – cara mengejar pengakuan dari tersangka atau terdakwa dengan kekerasan fisik dilarang secara tegas, sehingga tersangka atau Terdakwa bebas memberikan keterangan sesuai hati nuraninya. Kendati demikian, masih terius terjadi peradilan sesat yang menimpa mereka yang lemah baik secara ekonomi maupun secara hukum.
FEBRUARI 2014
Peradilan yang adil (Fair Trial) Sesungguhnya jika dikaji secara cermat dan komprehensif, KUHAP bukan sekedar perintah tertulis dalam rangkaian rumusan – rumusan positif semata, melainkan pemahaman orang akan jiwa atau raison d’etre tentang penegakan hukum. Pemahaman ini tidak didapat dari membaca atau menghafal aturan tertulis semata, melainkan sebagai fenomena hukum yang dilatari pemikiran mendalam mengenai dasar – dasar dan latar belakang filosofi maupun ideologi sehingga didapatkan asas hukum. Dengan demikian KUHAP bukanlah sekedar kitab yang memuat teks tertulis, melainkan bagian dari sebuah lembaga hukum yang hidup di tengah masyarakat yang berkembang secara dinamis. KUHAP bukan sekedar positive jurisprudence, namun lebih dalam sebagai sebuah institusi yang berfungsi menemukan kebenaran dengan penghargaan terhadap manusia dalam sebuah negara hukum. Peradilan dalam negara hukum semestinya merupakan peradilan yang sesungguhnya berdasarkan ide dan ideologi supremasi hukum sehingga bukan berdasarkan kemauan para penguasa. Dengan demikian maka KUHAP merupakan alat yang berfungsi menjamin berlangsungnya peradilan yang berjalan dalam ranah ideologi supremasi hukum. Kendati KUHAP telah mengatur idealnya pelaksanaan penegakan hukum, yang mewajibkan setiap aparat penegak hukum bersikap hati – hati dan menghargai Hak asasi manusia, bukan secara otomatis dilaksanakan dengan sempurna sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penegakan hukum. Kasus salah vonis tetap saja terjadi tahun demi tahun karena dalam konteks penegakan hukum. Hal ini dapat terjadi karena banyak faktor yang berperan. Page | 101
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
Hukum tidak berada di ruang hampa. Selalu saja terdapat faktor lain yang mempengaruhi penegakan hukum. Semakin kuat atau tinggi kedudukan atau derajat Tersangka, maka semakin lemah penegakan hukum, sebaliknya semakin lemah kedudukan tersangka, maka semakin kuat penegakan hukum. Maka tidak heran ada kritikan terhadap penegakan hukum yang menyatakan hukum bagaikan pisau dapur yang tajam kebawah, namun tumpul keatas. Untuk mewujudkan suatu peradilan yang adil dan tidak memihak dipengaruhi beberapa hal, Pertama, pelaksanaan yang cepat dan pasti (quick and certain enforcement) dalam pemeriksaan suatu perkara, kedua, diakomodasinya nilai – nilai rasa keadilan yang hidup di masyarakat, ketiga, adanya perlindungan terhadap hak – hak Tersangka atau terdakwa sebagaimana dimaksud dalam konvensi – konvensi HAM (YLBHI, 1997 : xii). Jika kita lihat secara seksama perkara salah vonis, maka setidaknya terdapat beberapa kesamaan. Pertama, Tersangka atau Terdakwa adalah orang – orang dalam golongan lemah (orang miskin dan tidak berpendidikan) yang jauh dari akses keadilan sehingga tidak sanggup melakukan pembelaan. Dalam keadaan tersebut mereka cenderung pasif dan tidak menerima keadaan. Kedua, terdapat kesewenang – wenangan oleh penyidik dalam mengejar pengakuan tersangka berdasarkan target penyelesaian perkara. Pengakuan tersangka didasarkan pada kekerasan fisik hingga tersangka terpaksa mengaku. Disini pengawasan terhadap penyidik dalam proses penyidikan perlu diperketat. Ketiga, tiadanya advokat dalam pendampingan penyidikan dan pengadilan. Hal ini disebabkan kurangnya advokat atau lembaga bantuan hukum di daerah – daerah. Akumulasi ketiga hal tersebut menjadi
FEBRUARI 2014
pekerjaan rumah yang tidak ringan dalam penegakan hukum di tanah air. Konsekuensi bagi Terpidana dalam salah vonis Selain kelemahan dalam proses penegakan hukum, masih ada pekerjaan rumah dalam penegakan hukum kita terutama bagi tersangka atau terdakwa, yaitu ganti rugi bagi salah pemidanaan bagi orang yang telah menjalani pengekangan baik penahanan oleh penyidik atau bahkan bagi mereka yang terlanjur menjalani hukuman penjara. Sengkon dan Karta, Cu Kin Sun, Risman Lakoro, David dan kemat telah mendekam di balik terali besi selama beberapa bulan hingga beberapa tahun. Semua terjadi karena salah dalam penerapan hukum, sehingga orang yang tidak bersalah menerima vonis hukuman penjara atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Harus dipikirkan pengembalian harkat dan martabat orang yang salah vonis seperti sediakala. Hal ini bukan pekerjaan mudah, karena mereka yang salah vonis telah menjalani hukuman penjara yang mengekang kebebasan, merampas kebersamaan hidup keluarga, kehilangan pekerjaan/mata pencaharian bahkan kehilangan harapan hidup. Bagaimana menilai atau mengganti seluruh kerugian tersebut? Secara materiil terhadap mereka yang salah vonis dapat dilakukan rehabilitasi atau pengembalian nama baik, biaya pengobatan atas penyiksaan, ganti rugi atas kehilangan penghasilan yang dialami dapat mudah saja diberikan, namun bagaimana mengganti kerugian immaterial seperti hilangnya rasa nyaman, rasa bahagia, rasa malu karena dianggap bersalah selama dalam tahanan di penjara ? Penderitaan bathin berupa hilangnya kebebasan dan kebahagiaan selama menjalani hukuman penjara tidak bisa diganti dengan Page | 102
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
FEBRUARI 2014
apapun. Lebih lanjut, dampak bagi keluarga yang ditinggalkan juga mengalami kepedihan yang tidak ringan. Salah vonis telah menimbulkan kesengsaraan terutama bagi orang yang menjalaninya dan tidak kalah berat bagi keluarga yang tak terurus bahkan terbengkelai. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP hanya mengatur ganti rugi akibat kesalahan penangkapan dan penahanan paling tinggi Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), sedangkan ganti rugi selama menjalani hukuman di penjara tidak diatur. Tentu saja sangat tidak adil. Celah inilah yang harus terus diperbincangkan, terutama bagi orang yang telah menjalani hukuman akibat salah vonis demi menegakkan harkat dan martabat manusia. Tentu saja kesimpulannya, proses penegakan hukum harus dilakukan secara hati – hati dan cermat dengan mengedepankan hak – hak asasi manusia berdasarkan prinsip Fair Trial.
sebagai manusia dan mengakibatkan tetesan airmata seseorang dan keluarganya. Doa dan sembahyang para korban salah vonis akan didengar Tuhan Yang Maha Kuasa. Terakhir, bagaimana jika anda menjadi polisi yang karena kesulitan menemukan tersangka kemudian melakukan penyiksaan, atau menjadi jaksa yang mendakwa dan menuntut orang yang tidak bersalah atau menjadi hakim yang menjatuhkan vonis hukuman penjara bagi orang yang ternyata tidak bersalah ?. Apa jawaban anda jika nanti di hari pengadilan terakhir di hadapan Sang Khalik ? Berikut harus kita pikirkan solusi bagi orang yang telah menjalani vonis yang salah. Besaran ganti rugi dalam bentuk rupiah dapat kita katakan, namun mengganti penderitaan selama di penjara bukanlah perkara yang mudah. Bagaimana mungkin kita mengukur kedalaman penderitaan seseorang ? hukum bisa saja tampil dalam wajah yang seram dan anti klimaks. selamat berefleksi untuk keadilan.
Penutup
Daftar Pustaka
Penegakan hukum atas tindak pidana haruslah menghargai hak – hak tersangka atau terdakwa. Untuk itu semua proses penyelidikan, penyidikan dan persidangan haruslah dilakukan secara teliti dan seksama dengan menjunjung tinggi nilai – nilai Hak asasi manusia sebagaimana jiwa KUHAP sebagai kaidah formal guna meminimalisir kesalahan vonis. Selain itu para penegak hukum harus benar – benar cermat dan profesional yang didasari dengan moral yang mulia. Tidak boleh lagi aparat penegak hukum memainkan hukum, main tangkap dan melakukan penyiksaan, dan proses peradilan yang teliti. Tanpa itu semua maka kasus Sengkon – Karta akan terus berulang yang mengiris hati nurani kita
Pengadilan Negeri Bekasi, 1977, Putusan No. 2/K.T.S/Bks./1977 tanggal 20 Oktober 1977 Pengadilan Tinggi Bandung, 1978, Putusan Nomor : 38/1978 tanggal 25 Mei 1978. Kejaksaan Agung, Permohonan Peninjauan Kembali Jaksa Agung, tanggal 22 Januari 1981 YLBHI, 1997, Fair Trial, Prinsip – Prinsip Peradilan yang Jujur dan Tidak Memihak, xii Kantor Berita Antara, Selasa, 10 Juli 2007 http://www.antaranews.com/ berita/69586 / tragedi-sengkonPage | 103
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
karta-gorontalo-kado-buruk-hut bhayangkara Merdeka.com, http://www.merdeka.com/peristi wa/kasus-sengkon-kartaantasari-dan - gonjang-ganjingsistem-hukum.html.) Kompas, http://umum.kompasiana.com/20 09/09/29/legenda-sengkonkarta-12347
FEBRUARI 2014
Tempo.co, http://www.tempo.co/read/news/ 2009/04/07/057168838/AhliHukum-Universitas - Indonesia-Kasus-Ryan-Salah-Format Kick andy, http://kickandy.com/2010/02/12/1 793/1/1/peradilan-sesat Ari Juliano Gema, http://arijuliano.blogspot.com/200 8/09/sengkon-karta-lingah-pacahdevid-kemat.html
Page | 104