0
Abstrak MUNAWIR IDRIS, NIM 271410050, POLITIK HUKUM KETETAPAN MPR DALAM HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP MEKANISME PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN DI INDONESIA, Oleh Pembimbing : (1) Prof. Dr. Johan Jasin, S.H., M.Hum., (2) Zamroni Abdussamad, S.H.,M.H Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana mekanisme pengujian norma peraturan perundang-undangan di Indonesia serta untuk mengetahui dan menganalisis politik hukum ketetapan MPR dalam hirarki peraturan perundangundangan terhadap mekaanisme pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia. Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian normatif, dengan pendekatan statuta approach (pendekatan Peraturan perundang-undangan), dan historical approach (pendekatan sejarah). Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian adalah bahan hukum primer atau autoritatif dan bahan hukum sekunder. Serta analisis data digunakan teknik analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian penulis memperoleh bahwa re-eksistensi TAP MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan merupakan kepentingan politik MPR yang pada saat proses pembentukan UU No. 12 Tahun 2011, TAP MPR tidak direkomendasikan dalam kajian akademis yang tertuaang dalam Naskah Akademik UU No. 12 Tahun 2011. Di samping itu, tidak diaturnya kewenangan pengujian TAP MPR secara hukum melalui Mahkamah Konstitusi mencerminkan bahwa pengujian TAP MPR secara politik yang dilakukan senddiri oleh MPR tidaklah mencerminkan konsep dan prinsip chek and balances. Oleh karena itu, jika TAP MPR tetap dipertahankan masuk dalam hirarki peraturan perundangundangan, maka sebaiknya mekanisme pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, sebab disamping meencerminkan prinsip chek and balances juga MK merupakan the guardian of constitution atau pelindung nilai-nilai konstitusi. Kata Kunci : Politik Hukum, TAP MPR, Hirarki Peraturan Perundangundangan.
1
A. Pendahuluan Indonesia sebagai negara yang mendaulat diri sebagai negara hukum sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar
NRI
19451.
Hal
itu
mengandung
konsekuensi
bahwa
setiap
penyelenggaraan kehidupan bernegara haruslah didasarkan atas hukum yang berlaku. Hal ini menjadi sangat penting agar terwujudnya sebuah kehidupan bernegara yang berkepastian hukum. Oleh karenanya, keberadaan hirarki norma merupakan salah satu implementasi dari tatanan kehidupan bernegara berdasarkan hukum. Ketetapan MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan telah menjadi salah satu norma hukum dalam UU No. 12 Tahun 2011. Dalam Pasal 7 tersebut menyatakan secara eksplisit bahwa hirarki norma di Indonesia sebagai berikut : (1) UUD 1945; (2) Ketetapan MPR; (3) UU/Perpu; (4) Peraturan Pemerintah; (5) Peraturan Presiden; (6) Peraturan Daerah Provinsi; (7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Tentang hirarki peraturan perundang-undangan tersebut di atas, sudah sangat jelas mekanisme pengujiannya, terkecuali adalah ketetapan MPR yang itu telah menjadi redaksi norma hukum dalam hirarki peraturan perundang-undangan, namun belum ada kejelasan tentang mekanisme pengujiannya. Padahal sebagaimana yang diketahui bahwa tidak ada norma hukum yang tidak dapat diuji. Jika produk hukum di bawah UU dapat diuji terhadap UU maka pengujiannya merupakan kewenangan Mahkamah Agung Republik Indonesia, sedangkan pengujian UU dapat dilakukan terhadap UUD 1945, pengujiannya merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka tidak demikian dengan ketetapan MPR. Belum ada peraturan yang mengatur tentang mekanisme pengujiannya dan lembaga manakah yang berwenang untuk mengujinya. Dari uraian di atas, dapat dilakukan penelitian dengan rumusan masalah sebagai berikut : (1) Bagaimana politik hukum kedudukan TAP MPR dalam Hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia? (2) Sejauh mana political
1
Selanjutnya akan disingkat dengan UUD 1945
2
riview ketetapan MPR dan Pengujian Peraturan peraturan perundang-undangan di Indonesia? B. Metode Penelitian Sesuai dengan judul penelitian ini, maka objek penelitian difokuskan pada menemukan, menunjukan dan menguraikan mekanisme pengujian norma peraturan perundang-undangan dan politik hukum Ketetapan MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan . Dengan demikian penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian ini diarahkan untuk menghasilkan argumentasi, dasardasar teori atau konsep baru dalam menyelesaikan masalah politik hukum ketetapan MPR dalam hirarki peraturam perundang-undangan dan mekanisme pengujian norma peraturan perundang-undangannya di Indonesia. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan statuta, yaitu dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu atau masalah hukum yang sedang dihadapi dan dikaji.2 Jadi, penelitian ini nanti akan mengkaji UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur tentang kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan, juga akan mengkaji Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang undangan yang salah satu materinya adalah hirarki peraturan perundang-undangan, dimana menempatkan ketetapan MPR menjadi salah satu hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu, pendekatan yang juga digunakan dalam peneltian ini adalah pendekatan Historical approach atau pendekatan histori (sejarah hukum). Pendekatan histori dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengetahuan mengenai isu yang dihadapi. penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah karena akan mengkaji sejarah politik hukum hirarki
peraturan
perundang-undangan
di
Indonesia
yang
salahsatunya
memasukan ketetapan MPR dalam hirarki tersebut, dan juga mengkaji bagaimana mekanisme pengujiannya. Penelitian ini menggunakan sumber hukum yang diperoleh dari dokumen resmi (otoritas) seperti UUD 1945, peraturan perundang-undangan, seperti UU Nomor 10 Tahun 2004 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan 2
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, hlm. 93
3
Peraturan Perundang-undangan. Selain itu, sumber penelitian ini juga diperoleh dari bahan sekunder yang berupa buku-buku, jurnal, yang berkaitan dengan kedudukan Tap MPR, Hirarki peraturan perundang-undangan, dan mekanisme pengujian peraturan. Analisis hukum yang digunakan didasarkan kepada ilmu hukum khususnya ilmu hukum ketatanegaraan yang mencakup hukum yang sedang berlaku (ius constitutum) maupun yang seharusnya (das sollen) berlaku di masa yang akan datang (ius contituendum)3. Analisis bahan merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa memberikan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan bahan yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya.4 Untuk menganalisis digunakan teknik kaulitatif, dimana proses pengolahan dilakukan secara deduktif, yakni di mulai dari dasar-dasar pengetahuan yang umum, kemudian hal-hal yang bersifat khusus sehingga proses analisis ini kemudian di tarik suatu kesimpulan. C. Pembahasan 1. Kedudukan TAP MPR Dalam Hirarki Peraturan PerundangUndangan 1.1 Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebelum Perubahan UUD 1945 Salah satu pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 adalah negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.5 Pokok pikiran tersebut diejawantahkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”6
3
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung; Alumni, 1994), hlm. 104. 4 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 183. 5 RM. AB. Kusuma, Lahirnya UUD 1945, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 358. 6 Ibid., hlm. 362. Dalam kesempatan ini Soepomo juga mengemukakan bahwa “Kedaulatan ada di tangan rakyat, yang menjelma dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan lain perkataan, Majelis Permusyawaratan Rakyat ialah penyelenggara negara yang tertinggi.” Disamping itu, “Karena Majelis memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas.”
4
Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut: “Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia
(Vertretungs organ des Willens des Staatsvolkes). Majelis Ini menetapkan Undang-Undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan negara, Majelis ini
mengangkat dan memberhentikan Kepala Negara (Presiden) dan Wakil
Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia ialah mandataris dari Majelis. Ia wajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak neben tetapi untergeordnet kepada Majelis.” Berdasarkan penjelasan Pasal 1 ayat (2) tersebut, MPR merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi dan sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Berkaitan dengan kedudukan MPR tersebut, Ismail Suny mengemukakan pendapat bahwa MPR sebagai lembaga tertinggi negara merupakan lembaga negara yang mempunyai supremasi, dan supremasi MPR mengandung dua prinsip, yaitu:7 MPR mempunyai legal power; dan no rival authority. 1.2 Majelis Permusyawaratan Rakyat Setelah Perubahan UUD 1945 Dasar
pemikiran
yang
melatarbelakangi
dilakukannya
perubahan
kedudukan MPR sebagai badan/lembaga perwakilan rakyat adalah UUD 1945 sebelum perubahan membentuk struktur
ketatanegaraan yang bertumpu pada
kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal seperti ini berakibat tidak terjadinya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks
and
balances
system) pada institusi-institusi
ketatanegaraan. Penyerahan kekuasaan tertinggi kepada MPR merupakan kunci
7
ibid.
5
yang menyebabkan kekuasaan pemerintahan negara seakan-akan tidak memiliki hubungan dengan rakyat.8 Selain itu, kelemahan paling mendasar adalah masalah jumlah anggota MPR yang terlalu banyak pada masa Orde Baru. Kondisi ini menjadi sebab MPR tidak dapat secara aktif menyelenggarakan sidang-sidang untuk menjalankan tugasnya. Dengan hambatan seperti ini, pada akhirnya MPR tidak melaksanakan tugasnya sebagai lembaga yang dapat menilai accountability pemerintah, yang merupakan syarat mutlak perwujudan dari konsep kedaulatan rakyat.9 Gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara secara konseptual ingin menegaskan bahwa MPR bukan satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Setiap lembaga yang mengemban tugas politik negara dan pemerintahan (tidak termasuk kekuasaan kehakiman) adalah pelaksana kedaulatan rakyat dan harus tunduk dan bertanggung kepada rakyat.10 Tuntutan perubahan pada tingkat hukum dasar (konstitusi) dari lembaga perwakilan rakyat tersebut diharapkan akan mampu memperbaiki kualitas kerja dan hasil kerja parlemen Indonesia untuk memajukan rakyat Indonesia.11 Proses perubahan kedudukan MPR tersebut dilakukan dengan cara mengubah ketentuan pasal-pasal yang berkaitan dengan MPR itu sendiri, yaitu Pasal 1 Ayat (2) yang menyatakan: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR” menjadi berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” (hasil perubahan ketiga) dan perubahan komposisi keanggotaan MPR sebagaimana tersebut pada Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “MPR terdiri dari anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan 8
Majelis Permusyawaratan Rakya, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan UUD RI Tahun 1945, (Jakarta; Sekretariat MPR, 2002), hlm. 6 9 Endah Widyaningsih, “Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Pengaruhnya Terhadap Struktur Parlemen dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945,” dikutip dalam Makalah Novendri M. Nggilu, Tinjauan Yuridis atas dimunculkannya kembali TAP MPR RI dalam Hirarki peraturan perundang-undangan Indonesia, hlm. 10 10 Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, (Yogyakarta; Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press, 2003), hlm.. 203 11 TA. Legowo, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, (Jakarta; Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, 2005), hlm. 3
6
yang ditetapkan dengan undang-undang” menjadi “Majelis
Permusyawaratan
Rakyat terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui Pemilihan Umum dan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” (hasil perubahan keempat). Dengan diubahnya ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 kedudukan MPR menjadi tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara.12 melainkan kedudukannya sejajar dengan
lembaga-lembaga negara lainnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 jo Pasal 8 Ayat (2) dan (3) UUD 1945 perubahan ketiga dan keempat, kewenangan MPR adalah:13 a. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar; b. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; c. Memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa
jabatannya menurut Undang-Undang Dasar; dan Memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan dalam jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. 2. Mekanisme Pengujian norma peraturan perundang-undangan di MPR Eksistensi TAP MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan telah menjadi kondisi hukum yang harus diterima, meskipun memunculkan sebuah kerancuan. Penerimaan tersebut dimaklumi dengan masih adanya ketetapan MPR yang masih berlaku, dan perlu dipertimbangkan mekanisme penngujiannya. Hasil perubahan UU No. 10 Tahun 2010 yang direvisi dengan UU No 12 Tahun 2011 memang tidak mengatur bagaimana mekanisme pengujian norma ketetapan MPR yang dimunculkan dalam hirarki peraturan perundang-undangan. 12
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi kedua cetakan kedua, (Jakarta; Sinar Grafika, 2011), hlm. 136-137. Ada tiga faktor penting yang mempengaruhi kedudukan MPR tersebut, yaitu : a. Pemisahan kekuasaan secara tegas dari cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; b. Pemilihan presiden secara langsung yang berkaitan dengan dengan konsep pertanggungjawaban Presiden langsung kepada rakyat; c. Restrukturisasi parlemen menjadi dua kamar dalam menampung aspirasi daerah-daerah yang terus berkembang makin otonom di masa mendatang. 13 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta; Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 146
7
Jika ditelisik juga pada tata tertib MPR, tidak adanya ketentuan yang mengatur secara khusus tentang mekanisme pengujian norm khususnya tentang ketetapaan MPR. Namun meski demikian, terdapat sebuah ketentuan yang secara umum yang digunakan oleh MPR dalam melakukan pengujian norma. Mekanisme pengujian norma dapat dilakukan dengan dua cara; yaittu dari internal MPR itu sendiri, misalnya usul yang disampaikan oleh Fraksi, Kelompok DPD yang didasarkan pada evaluasi ketetapan MPR yang ada, 14 Kedua, dapat dilakukan dengan cara usul yang diajukan oleh lembaga pengkajian yang didalamnya diisi pakar ketatanegaraan, anggota MPR yang pernah terlibat langsung dalam perubahan UUD NRI 1945 dan sosialisasi empat pilar MPR RI, hasil kajian lembaga tersebut dapat juga tentang norma atau ketetapan MPR.15 Tugas dari lembaga kajian ini sebagai berikut :16 1. Memberikan
masukan/pertimbangan/saran/usulan
yang
berkaitan
dengan pengkajian sistem ketatanegaraan; 2. Mengkaji dan merumuskan pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan dinamika masyarakat tentang tentang pemasyarakatan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. 3. Menyerap dinamika aspirasi masyarakat dalam rangka penyusunan pokok-pokok pikiran haluan negara; 4. Melaporkan hasil pelaksanaan tugas dalam rapat gabungan. Dalam kaitannya dengan adanya usul baik dari Fraksi, Kelompok DPD, atau lembaga pengkajian yang didasarkan atas aspirasi masyarakat, maka usul itu akan dibahas pada rapat yang dilakukan oleh MPR. Rapat MPR dalam pengambilan keputusan MPR dilakukan dalam 3 tahap, yaitu : 1. Tingkat 1 Pembahasan oleh sidang Paripurna MPR yang didahului oleh penjelasan Pimpinan MPR dan dilanjutkan dengan Pemandangan Umum Fraksi dan Kelompok DPD; 2. Tingkat II 14
Pasal 16 dan 17 Peraturan MPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib MPR RI, hlm 6. Pasal 60, ibid., hlm 16-17. 16 Pasal 65. Ibbid., hlm. 17 15
8
Pembahasan oleh Panitia Ad hock terhadap semua hasil pembicaraan tingkat I dan hasil pembahasan pada Tingkat II ini merupakan rancangan keputusan atau ketetapan MPR; 3. Tingkat III Pengambilan keputusan oleh sidang Paripurna MPR setelah mendengar laporan dari Pimpinan Panitia ad hock dan bilamana prlu dengan kata akhir dari Fraksi dan Kelompok DPD. Namun sebelum dilakukan pembicaraan tingkat I, tingkat II, da tingkat III sebagaimana disebutkan di atas dapat didahului dengan Rapat Gabungan. Mekanisme yang disebutkan di atas juga dilakukan pada saat MPR melakukan peninjauan terhadap materi ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Hasil peninjauan itulah yang kemudian dituangkan kedalam ketetapan MPR No. 1 Tahhun 2003. 3. Perbedaan Pengujian Norma Ketetapan MPR dengan Pengujian Norma Hukum Lainnya. Dalam teori pengujian sebuah norma atau yang juga dikenal dengan 3 norm control mecanisme menyebutkan bahwa ada tiga cara pengujiaan norma. Pertama, pengujian peraturan (regeling) yang biasa dikenal dengan pengujian konstitusionalitas UU (mekanisme ke MK) dan pengujian legalitas norma (mekanisme MA : menguji legalitas peraturan di bawah UU terhadap UU), kedua, pengujian keputusan (beschiking) atau pengujian terhadap surat keputusan yang dibuat oleh pejabat tata usaha negara dan alur pengujiannya ke PTUN, dan ketiga pengujian vonnis atau pengujian putusan peradilan yang melalui mekanisme banding, kasasi dan bahkan PK. Dalam konsepsi pengujian yang dikemukakan di atas, menunjukan bahwa tidak ada satu norma atau produk hukum yang tidak dapat diuji, atau dengan kata lain semua produk hukum dapat diuji, hanya mekanisme pengujiannya yang berbeda. Dalam konteks ketetapan MPR, memang menunjukan bahwa mekanisme pengujiannya melalui political riview yang dilakukan oleh lembaga yang mengeluarkan ketetapan tersebut. Hal ini sebetulnya menimbulkan kerancuan
9
tersendiri, sebab ketetapan MPR telah masuk dalam hirarki peraturan perundangundangan, maka semestinya mekanisme pengujiannya pun dilakukan melalui mekanisme yudisial bukan melalui mekanisme politik, sebab ketetapan MPR telah masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan dan dengan demikian menjadi sumber hukum bagi sistem hukum nasional dan berdampak secara luas. Jika dilihat mekanisme pengujian TAP MPR dengan produk hukum lainnya yang terdapat dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011, dan sebagaimana telah diurai di atas tentang mekanisme pengujian TAP MPR, maka terlihat perbedaan mekanisme. Jika pengujian terhadap produk hukum yang masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan dalam hal ini UU, PP, PerPres, Perda, maka terdapat dua metode pengujian, yakni pengujian secara formil yang dilakukan menguji apakah peraturan tersebut dibuat sesuai dengan tahapan dan proses pembentukan peraturan perundang-undangan, dan kedua pengujian secara materil atau isi daripada peraturan perundang-undangan tersebut. Hal ini berbeda dengan pengujian TAP MPR yang hanya memiliki satu metode saja, yakni metode pengujian secara materil atau substansi dan isi daripada ketetapan MPR tersebut. Hal ini sebagaimana yang dilakukan terhadap peninjauan terhadap materi ketetapan MPR No 1 Tahun 2003. Sebuah ketetapan MPR tidak akan memiliki kekuatan hukum mengikat lagi jika ketetapan MPR terssebut telah dicabut oleh MPR dan/atau digantikan dengan ketatapan MPR yang terbaru. 4. Politik Hukum TAP MPR Dalam kaitannya dengan TAP MPR sebagai sebuah produk hukum yang masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011, memang sangat memunculkan masalah, sebab semagat reformasi sebetulnya telah meletakkan dasar konsepsi check and balanches atau saling kontrol dan mengimbangi dalam sistem ketetanegaraan dan hukum nasional. Hal itu terlihat pada sistem presidential yang dapat dikontrol oleh DPR, DPR dalam pelaksanaan tugasnya saling kontrol dan mengimbangi dengan sebuah lembaga yang baru dibentuk yakni DPD. Dalam konteks produk hukum
10
yang kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPR bersama Presiden dan DPD, dapat diuji nilai konstitutionalismenya oleh Mahkamah Konstitusi (lembaga yang baru pula) melalui mekanisme pengajuan permohonan pengujian UU terhadap UUD, Komisi Yudisial yang memiliki tugas untuk menjaga marwah dan kode etik hakim dengan cara mengawasi Mahkamah Agung. Dengan kata lain reformasi konstitusi meletakan dasar tentang check and balanches dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal itupula yang menjadi dasar pada UU No. 10 Tahun 2004 bahwa ketetapan MPR tidak lagi dimasukan dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Akan tetapi hal itu muncul kembali pada saat UU No. 12 Tahun 2011 dibentuk. Hal yang menarik dalam proses pembentukan UU 12 Tahun 2011 yang merupakan hak inisiatif DPR. Dalam Naskah Akademik pembentukan UU ini, tidak tercantum TAP MPR sebagai produk hukum yang masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan, hal yang sama juga terlihat pada saat pemerintah menyampaikan pandangannya dalam proses pembentukan UU yang juga tidak memasukan TAP MPR sebagai produk hukum yang masuk dalam hirarki peraturan. Hal ini justru muncul karena adanya kepentingan PDIP dan Golkar dikarenakan adanya TAP MPR yang penting dan dilahirkan pada rezim Soekarno dan Soeharto.17 Jika mekanisme TAP MPR muncul kembali dalam hirarki peraturan perundang-undangan dan mekanisme pengujiannya dilakukan oleh MPR, maka hal ini tidak sesuai dengan sistem dan mekanisme check and balanches yang diletakkan oleh MPR pada reformasi konstitusi di tahun 1999, 2000, 2001, 2002. Sebab dalam konsep check and balanches harus ada lembaga yang mengimbangi dan mengontrol, khususnya dalam konteks TAP MPR, maka ada baiknya mekanisme pengujiannya dilakukan oleh lembaga yudisial, apalagi TAP MPR telah dimasukan kembali pada hirarki peraturan perundang-undangan. Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan kerancuan TAP MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan,
17
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie pada Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara kerja sama dengn MK dan ditayangkan dalam video Confrence, dan ditayangkan pula pada gedung video confrence Fakultas hukum UNG.
11
1. TAP MPR tetap menjadi hirarki peraturan perundang-undangan jika memang dianggap bahwa TAP MPR yang masih berlaku masih sangat penting dan norma yang tertuang dalam TAP MPR tersebut tidak dapat dipindahkan kedalam UU, maka perlu diatur tentang mekanisme pengujian TAP MPR lewat lembaga yudisial. Hal ini didasarkan karena ; pertama, sebagai konsekuensi ketatanegaraan yang mengharuskan adanya prinsip check and balanches dalam sistem ketatanegaraan dan hukum nasional, sebab jika pengujiannya masih tetap dilakukan oleh MPR, maka pengujiannya akan sangat kental sis subjektifitasnya. Kedua, kewenangan pengujian TAP MPR harus diberikan pada lembaga Mahkamah Konstitusi, sebab mahkamah konstitusi memiliki tugas untuk menjaga dan mengawal nilai-nilai konstitusional daripada UUD NRI Tahun 1945 (the guardian of constitution and democracy) 2. Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan harus direvisi khususnya terkait dengan Pasal 7 Ayat 1 yang menyatakan bahwa TAP MPR merupakan produk hukum dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang tingkatannya berada di bawah UUD dan di atas UU. Hal ini didasarkan pada pertimbangan : pertama, dimasukannya kembali TAP MPR dalam hirarki peraturan perundangundagan tidak sesuai dengan semangat reformasi yang terlihat pada kewenangan MK sebagaimana di atur dalam Pasal 24 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa MK berwenang menguji UU terhadap UUD NRI 1945. Jikalau memang politik hukum konstitusi ketika itu menganggap bahwa TAP MPR merupakan produk hukum yang harus dimasukan hirarki peraturan perundang, maka pasti akan adanya tambahan frasa pada kewenangan MK yang akan menyatakan bahwa MK berwenang menguji UU dan TAP MPR terhadap UUD, yang hal itu juga mencerminkan prinsip check and balanches dimana MPR dapat dikontrol dan diimbangi oleh MK, namun nyatanya tidak demikian, oleh sebab itu dimasukannya TAP MPR dalam Hirarki peraturan perundang-undangan tidak sesuai dengan semangat reformasi konstitusi. Kedua, lembaga MPR bukanlah
12
lagi merupakan lembaga tertinggi negara yang mengandung konsekuensi bahwa MPR tidak lagi memiliki legal power absolut (kekuasaan mutlak membentuk hukum) dan no rival authority (tidak adanya lembaga yang setara kedudukannya dengan MPR). Hal tersebut di atas dapat menjadi politik hukum hirarki peraturan perundang-undangan dan mekanisme pengujiannya kedepan, sehingga dengan demikian, akan terdapat kesesuaian antara politik hukum hirarki peraturan perundang-undangan dan mekanisme pengujiannya dengan konsep check and balances yang dianut di dalam UUD 1945, karena politik hukum pada dasarnya merupakan kebijakan negara dalam menentukan arah, bentuk, dan isi daripada hukum yang dicita-citakan. D. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Kedudukan ketetatapn MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan menimbulkan implikasi yang sangat besar, sebab dari segi penamaan, ketetapan berarti sifatnya konkrit individual, oleh sebab itu tidak cocok dimasukan dalam hirarki peraturan perundang-undangan, disamping itu, kedudukan TAP MPR tidaklah sesuai dengan semangat reformasi. Jikalau ada norma TAP MPR yang masih dianggap perlu, maka sebaiknya diakomodir dalam UU khusus misalnya UU tentang larangan ajaran Komunis dst. b. Political riview terhadap TAP MPR pernah dilakukan oleh MPR di tahun 2003, akan tetapi yang dilakukan pada saat itu adalah peninjauan bukanlah pengujian. Hal ini tentu berbeda, jika pengujian, maka proses yang dilakukan adalah menguji norma hukum dengan “batu uji” produk hukum yang lebih tinggi, sementara peninjauan berarti proses yang dilakukan dengan menggunakan batu uji politik. Hal itu yang dilakukan pada tahun 2003, bahwa political riview yang dilakukan oleh MPR adalah melakukan peninjaun TAP MPR yang sudah tidak diberlakukan lagi karena sifatnya yang einmalig (hanya berlaku sekali), dan TAP MPR mana yang masih terus diberlakukan. Selain itu, jika Indonesia ingin konsisten dengan
13
konsep check and balances sebagai sebuah konsep yang diletakkan sebagai dasar pada substansi perubahan UUD 1945 di tahun 1999-2002, maka seharusnya pengujian norma TAP MPR diserahkan dan dilakukan oleh lembaga yudisial yaitu Mahkamah Konstitusi, sebab, Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution (pelindung UUD). 2. Saran a. Pemerintah perlu melakukan kajian lebih mendalam tentang eksistensi Pasal 7 Ayat 1 yang memasukan kembali TAP MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan, sebab memiliki implikasi hukum bahwa terdapat kekosongan hukum tentang lembaga mana yang memiliki kewenangan hukum tentang pengujian TAP MPR. Implikasi lainnya adalah tentang kedudukan TAP MPR yang letaknya berada di bawah UUD dan di atas UU, hal ini dapat menjadikan bahwa TAP MPR akan menjadi acuan bagi pembentukan peraturan di bawahnya. b. Pemerintah perlu merevisi kembali UU No. 12 Tahun 2011 dan mengembalikan kembali tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang di atur dalam Pasal 7 Ayat 1 UU No. 10 Tahun 2004 yang tidak memasukan TAP MPR dalam hirarki peraturan perundangundangan. Kalaupun masih terdapat ketetapan MPR yang berlaku seperti Ketetapan MPR tentang larangan ajaran komunisme, maka norma yang terdapat dalam ketetapan MPR tersebut diatur kedalam UU, sehingga TAP MPR tidak perlu lagi dijadikan sebagai salah satu produk hukum yang masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan.
14
DAFTAR PUSTAKA Bagir Manan, 2003, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta; Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press. Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta; Raja Grafindo. Jimly Asshiddiqie, 2011, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi kedua cetakan kedua, Jakarta; Sinar Grafika. ------------, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta; Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Syafa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cetakan pertama, Jakarta, KONpress. Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2002, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan UUD RI Tahun 1945, Jakarta; Sekretariat MPR. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. RM. AB. Kusuma, 2004, Lahirnya UUD 1945, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Pada Akhir Abad ke-20, Bandung; Alumni. TA. Legowo, 2005, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, Jakarta; Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Cet. I Jakarta; Balai Pustaka.
15