KARAKTERISTIK KEGEMUKAN PADA ANAK SEKOLAH DAN REMAJA DI MEDAN DAN JAKARTA SELATAN
RADITA DWISEPTIANI ADININGRUM
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN RADITA DWISEPTIANI ADININGRUM. Karakteristik Kegemukan pada Anak Sekolah dan Remaja di Medan dan Jakarta Selatan. Di bawah bimbingan HADI RIYADI. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik kegemukan pada anak sekolah dan remaja di Medan dan Jakarta Selatan. Adapun tujuan khususnya adalah (1) mengidentifikasi karakteristik anak sekolah dan remaja di Medan dan Jakarta Selatan (2) mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi keluarga pada anak sekolah dan remaja (3) mempelajari persepsi anak sekolah dan remaja tentang body image (4) mempelajari kebiasaan makan, aktivitas fisik, dan gaya hidup anak sekolah dan remaja (5) menganalisis hubungan antara karakteristik contoh, karaktersitik sosial ekonomi keluarga contoh, persepsi tubuh, kebiasaan makan, aktivitas fisik, dan gaya hidup contoh dengan kejadian overweight dan obesitas di Medan dan Jakarta Selatan (6) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian overweight dan obesitas pada anak sekolah dan remaja di Medan dan Jakarta Selatan. Penelitian ini menggunakan disain cross sectional study. Jenis data adalah data sekunder, yaitu data Penelitian Status Gizi Anak Sekolah dan Remaja di 10 Kota Besar di Indonesia oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan serta Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI tahun 2005. Penelitian dilakukan pada bulan November dan Desember 2005. Jumlah populasi adalah 2849 contoh, terbagi menjadi 1430 contoh di Medan dan 1419 contoh di Jakarta Selatan. Data kemudian dihitung status gizinya menggunakan standar WHO 2007, lalu diolah dan dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 13.0 for windows. Data dianalisis secara univariat menggunakan crosstabs dan distribusi frekuensi. Metode chi square digunakan untuk mengetahui hubungan bivariat, sedangkan untuk hubungan multivariat menggunakan multiple logistic regression. Prevalensi contoh yang mengalami kegemukan di Medan adalah sebanyak 3.1% dengan proporsi terbesar terdapat pada contoh laki-laki dan pada tingkatan SMA, sedangkan di Jakarta Selatan sebanyak 7.1% dengan proporsi terbesar pada contoh laki-laki dan pada tingkatan SD. Karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh yang mengalami kegemukan secara umum adalah memiliki ibu berpendidikan SLTA, berasal dari keluarga besar (=4), memiliki motor, tidak memiliki mobil, ayah berpendidikan SLTA di Medan dan SLTP ke bawah di Jakarta Selatan, ibu tidak bekerja/tidak tetap di Medan dan dagang/swasta/wiraswasta di Jakarta Selatan, ayah bekerja dagang/swasta/wiraswasta di Medan dan PNS/TNI/POLRI di Jakarta Selatan. Secara umum contoh di Medan menganggap dirinya tidak gemuk, sedangkan di Jakarta Selatan berpendapat dirinya gemuk. Secara umum aktivitas fisik contoh yang berada di Medan maupun Jakarta Selatan masih kurang, terutama pada kegiatan olahraga dan melakukan pekerjaan rumah tangga, sementara kegiatan menonton TV yang menunjukkan sedentary life lebih sering dilakukan. Secara umum contoh yang mengalami kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan terbiasa sarapan dan makan malam bersama keluarga. Frekuensi konsumsi fast food, soft drink, dan makanan berlemak pun tidak terlalu sering. Contoh juga terbiasa ngemil dan menyukai makanan ringan sebagai jenis
camilan, menyukai jajan, serta tidak merokok dan tidak minum minuman beralkohol. Tidak ada hubungan yang signifikan (P>0.05) antara jenis kelamin contoh dengan kejadian kegemukan di Medan, tetapi terdapat hubungan di Jakarta Selatan. Terdapat hubungan yang signifikan (P<0.05) antara tingkat pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, dan pemilikan mobil dengan kejadian kegemukan di Medan. Sedangkan di Jakarta Selatan, terdapat hubungan yang signifikan (P<0.05) antara tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu, dan pemilikan mobil dengan kejadian kegemukan. Tidak ada hubungan yang signifikan (P>0.05) antara aktivitas tidur siang, menonton TV, olahraga, bermain, melakukan pekerjaan rumah tangga, cara transportasi ke sekolah dan bepergian dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan. Terdapat hubungan yang signifikan (P<0.05) antara kebiasaan makan malam bersama keluarga dan frekuensi konsumsi gorengan dengan kejadian kegemukan di Medan. Sedangkan di Jakarta Selatan, terdapat hubungan yang signifikan (P<0.05) antara frekuensi konsumsi sayuran, konsumsi buah-buahan, konsumsi makanan berlemak, dan konsumsi daging dengan kejadian kegemukan. Tidak ada hubungan yang signifikan (P>0.05) antara kebiasaan merokok dan konsumsi minuman beralkohol dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan. Faktor- faktor yang mempengaruhi kejadian kegemukan di Medan adalah pendidikan ibu (OR = 5.171), pemilikan mobil (OR = 2.646), dan aktivitas tidur siang per minggu (OR = 0.471). Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian kegemukan di Jakarta Selatan adalah jenis kelamin (OR = 0.657), pendidikan ibu (OR = 1.846), jumlah anggota rumah tangga (OR = 1.433), pemilikan mobil (OR = 1.838), dan pemilikan motor (OR = 1.524). Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian kegemukan di gabungan kedua kota adalah jenis kelamin (OR = 0.631), pendidikan ibu (OR = 2.290), pekerjaan ibu (OR = 1.703), jumlah anggota rumah tangga (OR = 1.477), pemilikan mobil (OR = 1.946), pemilikan motor (OR = 1.501), kebiasaan sarapan (OR = 1.750), kebiasaan makan bersama (OR = 0.561), dan frekuensi konsumsi soft drink dalam seminggu (OR = 1.443).
ABSTRACT RADITA DWISEPTIANI ADININGRUM. Characteristics of Overweight and Obesity among School-Age Children and Adolescence in Medan and South Jakarta. Under the direction of HADI RIYADI. The objective of this study was to analyze the characteristics and risk factors of overweight and obesity among school-age children and adolescents in Medan and South Jakarta. This was an analytic study and the design of this study is cross sectional. This study uses the secondary data which collected by Center of Research and Development of Food and Nutrition and Indonesian Ministry of Health, conducted at Medan and South Jakarta in November 2005. The analytical test was done to find univariate, bivariate, and multivariate association by crosstabs, chi square, and multiple logistic regression. There is a relation between parents’ education, parents’ occupation, car possession, body image, habit of having dinner together with family, and frequency of fried food intake with incident of overweight and obesity in Medan (P<0.05). While in South Jakarta, the relation which is significant with incident of overweight and obesity found in sex, mother’s education, mother’s occupation, car possession, frequency of vegetable intake, frequency of fruit intake, frequency of fatty food intake, and frequency of meat intake (P<0.05). Some risk factors that influenced overweight and obesity in Medan are mother’s education (OR = 5.171), car possession (OR = 2.646), and frequency of taking a nap for a week (OR = 0.471). The risk factors that found in South Jakarta are sex (OR = 0.657), mother’s education (OR = 1.846), mother’s occupation (OR = 1.703), number of family member (OR = 1.477), car possession (OR = 1.838), and motor cycle possession (OR = 1.524). While the risk factors of overweight and obesity in combination of that two cities are sex (OR = 0.631), mother’s education (OR = 2.290), mother’s occupation (OR = 1.703), number of family member (OR = 1.477), car possession (OR = 1.946), motor cycle possession (OR = 1.501), habit of having dinner together with family (OR = 0.561), habit of having breakfast (OR = 1.750), and frequency of soft drink intake for a week (OR = 1.443).
KARAKTERISTIK KEGEMUKAN PADA ANAK SEKOLAH DAN REMAJA DI MEDAN DAN JAKARTA SELATAN
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : RADITA DWISEPTIANI ADININGRUM A54104059
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RIWAYAT HIDUP Penulis yang biasa disapa dHe ini bernama lengkap Radita Dwiseptiani Adiningrum yang lahir pada tanggal 27 November 1986 dari pasangan Bapak Ahmad Hamid dan Ibu Sri Noorika Dara Satyawati. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, dan memiliki dua orang kakak bernama Erry dan Angie. Pendidikan formal pertama penulis terlaksana pada TK Estetika yang kemudian dilanjutkan ke SD Negeri Papandayan 2 Bogor lalu ke SMP Negeri 4 Bogor, serta SMA Negeri 1 Bogor. Penulis kemudian mengikuti Seleksi untuk masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004, dan diterima di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Selama kuliah penulis aktif di keorganisasian Himpunan Mahasiswa Peminat
Ilmu
Gizi
Pertanian
(HIMAGITA)
sebagai
bendahara
divisi
pengembangan masyarakat periode 2005-2006, serta aktif sebagai panitia berbagai acara-acara yang berlangsung di program studi maupun fakultas. Penulis juga pernah mengikuti seleksi mahasiswa berprestasi dan menjadi peringkat ketiga di GMSK, finalis Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang kewirausahaan, serta finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa (LKTM) bidang sosial. Selain itu, penulis juga aktif di organisasi luar kampus seperti Yayasan Insan Madani Sejahtera sebagai tutor dan Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia. Penulis juga menjadi guru privat untuk mengisi waktu luang selama kuliah.
PRAKATA Bismillahirrahmanirrahim Puji syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT atas nikmat sehat dan karunia-Nya yang telah diberikan. Banyak halangan yang dihadapi dalam penyelesaian skripsi ini, namun berkat pertolongan Allah SWT, serta bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS, selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan solusi untuk setiap permasalahan, serta mau meluangkan waktunya untuk berkonsultasi.
2.
Dr. Abas Basuni Jahari, M.Sc, yang telah memberikan ide kepada penulis dan mengizinkan penulis mempergunakan data hasil penelitiannya.
3.
Megawati Simanjutak, SP dan Muhammad Aries, SP yang banyak membantu penulis dalam pengolahan data.
4.
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS, selaku dosen penguji yang banyak memberikan kritikan serta saran yang membangun untuk perbaikan skripsi.
5.
Ir. Melly Latifah, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang banyak membantu penulis dalam kegiatan perkuliahan selama awal semester.
6.
Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc, selaku dosen pemandu seminar yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis.
7.
Staf Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI yang memudahkan penulis dalam perizinan penggunaan data.
8.
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc dan Dr. Ir. Lilik Kustiyah, MS yang telah bersedia rumahnya diacak-acak setiap bulan ramadhan dan meluangkan waktu untuk mendengarkan curhat penulis. Khusus untuk Ibu Lilik : you’re the best lecturer that I’ve ever had.
9.
Sahabat-sahabat penulis di GMSK 41: Gustia “Kuda” Mahardhika (dHenyuk loves kuda always), Fika “Nong” (untuk semua yang tak terungkap), Ceuceu Ima (for all of my tears), Ingah Cici (untuk banyak hal tak terhingga), Vika “Te” Huey (untuk cerita-ceritanya), Lenny (untuk cerita yang tak boleh diceritakan), dan Aini (untuk selalu direpotkan).
10. Rekan-rekan GMSK 41 tersayang yang selalu memberikan semangat, motivasi, support, dan banyak pelajaran berharga. Hari-hari penulis tidak
akan indah tanpa adanya kalian : Moniq, Friska, Nope, Pyn, Adin, Alia, Rizka, Inur Chayang, Icha, Bagus, Noorma, Wieke, Syifa, Ibnu, Yuli, Angel, Qq, Arin Cilik, Daroe, Sri, Jeki, Fera, Edo, DeviP, Venoy, Cha2, Novi, Merry, Ahma, Rena, Any, DeviR, Nyo, Prita, Rika, Ipit, Kokom, Retno, Mei, De2w, Ide, Icus, Hono, Ira, Na2d, LiaM, Daus, Lesto, Ni2ng, Noni, Lole, Arti, Eka, Er, Ari, Dvit, Sinta, Tice, LiaR, Yulia. Give the best for the last. Gamasakers GO!!! 11. SADDAMDINDA tercinta : Seto, Akang, Daniez (all I need is you), Daud, Aryo, Maris, Ibon (untuk semua telepon, sms, curhat, semuanya), Mba Dheiya (selalu berdoa untukmu), Notie, dan Ama. All of you are my happy life, glad to have you in my life. 12. Soulmate tersayang Pamz dan Niko. 13. Orang-orang yang selalu mendukung penulis baik secara moril maupun materi : Tante Dani dan keluarga, Oom Tonni, Eyang, Mas Abbas dan keluarga, serta Kel. H. Uki Djunaedi, khususnya untuk Mamam Uki, yang selalu baik hati, selalu berdoa, dan selalu membesarkan hati penulis. 14. Seluruh staf PS GMSK : Mas Rena, Teh Popon yang selalu penulis ganggu sebelum bertemu pembimbing, Bu Yati, Teh Yati, dan Pak Ugan. 15. Teman-teman GMSK angkatan 39 dan 40 serta GIZ 42. 16. Seseorang yang selalu sabar menghadapi sifat galak penulis selama ini, memberikan hiburan dan liburan serta selalu membuat penulis tertawa : Ltd. Psk. Wahyu Kurniawan, sukses untukmu dan untukku. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Mba Angie Buli (untuk jatah bulanan dan ajaran kepribadian gandanya), Popi (untuk hidangan tengah malamnya), Mba Rie, Abang Alex, serta Muhammad Jordan Aulia (my lovely nephew yang membuat rumah ceria, hingar-bingar, dan banyak semut). Terakhir dan paling penting untuk Momi sayang, the best mommy on earth, yang tak pernah putus berdoa, penuh kesabaran dan ketulusan dalam mendidik dan membesarkan penulis. Tak pernah hati ini berhenti bersyukur memiliki kalian semua di dalam hidup ini. Bogor, April 2008 Penulis
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vii PENDAHULUAN ............................................................................................. 1 Latar Belakang .................................................................................... 1 Tujuan .................................................................................................. 3 Kegunaan............................................................................................. 4 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 5 Pengertian Overweight dan Obesitas .................................................. 5 Anak Sekolah ....................................................................................... 6 Remaja ................................................................................................ 6 Penilaian Status Gizi Secara Antropometri ......................................... 7 Jenis Kelamin ....................................................................................... 8 Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga................................................ 8 Tingkat Pendidikan Orang Tua ............................................... 9 Pekerjaan Orang Tua .............................................................. 9 Jumlah Anggota Keluarga ....................................................... 9 Persepsi Tubuh ................................................................................... 10 Aktivitas Fisik ....................................................................................... 11 Perilaku dan Kebiasaan Makan .......................................................... 13 Kebiasaan Sarapan Pagi ........................................................ 13 Frekuensi Makan Harian ......................................................... 14 Kebiasaan Makan Keluarga .................................................... 15 Kebiasaan Ngemil ................................................................... 15 Konsumsi Sayur dan Buah ..................................................... 16 Konsumsi Daging dan Makanan Berlemak ............................ 16 Konsumsi Fast Food ............................................................... 17 Konsumsi Soft Drink ................................................................ 17 Kesukaan Jajan ....................................................................... 18 Gaya Hidup ......................................................................................... 19 KERANGKA PEMIKIRAN .............................................................................. 20 METODE PENELITIAN ................................................................................... 22 Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian .............................................. 22 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................... 22 Populasi dan Contoh ........................................................................... 22 Pengolahan dan Analisis Data ............................................................ 22 Analisis Univariat ................................................................... 25 Analisis Bivariat ..................................................................... 26 Analisis Multivariat ................................................................. 26 Asumsi dan Keterbatasan Penelitian .................................................. 27 Definisi Operasional ............................................................................ 28 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 29 Karakteristik Contoh ............................................................................ 29 Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Contoh .................................. 32 Tingkat Pendidikan Orang Tua .............................................. 33 Pekerjaan Orang Tua ............................................................ 35
ii
Jumlah Anggota Rumah Tangga ........................................... 37 Pemilikan Kendaraan Bermotor ............................................ 39 Persepsi Tubuh ................................................................................... 40 Aktivitas Fisik ....................................................................................... 42 Kebiasaan Makan ............................................................................... 51 Kebiasaan Sarapan Pagi ....................................................... 51 Frekuensi Makan Harian ....................................................... 52 Kebiasaan Makan Bersama Keluarga ................................... 53 Kebiasaan Ngemil .................................................................. 54 Konsumsi Sayuran dan Buah-Buahan .................................. 57 Konsumsi Fast Food dan Soft Drink ..................................... 59 Konsumsi Makanan Berlemak dan Gorengan ...................... 62 Kesukaan Jajan ..................................................................... 66 Gaya Hidup ......................................................................................... 71 Faktor Risiko Kegemukan ................................................................... 73 Faktor Risiko Kegemukan di Medan ................................................... 80 Faktor Risiko Kegemukan di Jakarta Selatan .................................... 82 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 83 Kesimpulan .......................................................................................... 84 Saran ................................................................................................... 85 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 86 LAMPIRAN ..................................................................................................... 89
iii
DAFTAR TABEL Halaman 1. ....................................................................................................................... Kate gori data karakteristik contoh .................................................................. 23 2. ....................................................................................................................... Kate gori data karakteristik sosial ekonomi keluarga ...................................... 23 3.
Kategori data kebiasaan makan contoh .................................................. 24
4. ....................................................................................................................... Kate gori data aktivitas fisik contoh .................................................................. 25 5. ....................................................................................................................... Kate gori data gaya hidup contoh .................................................................... 25 6. ....................................................................................................................... Seba ran contoh yang gemuk dan tidak gemuk di Medan dan Jakarta Selatan ......................................................................................... 29 7.
Sebaran contoh menurut tingkatan sekolah di Medan dan Jakarta Selatan ..................................................................................................... 30
8. ....................................................................................................................... Seba ran contoh menurut jenis kelamin dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.................................................................. 31 9. ....................................................................................................................... Seba ran contoh menurut jenis kelamin dan tingkatan sekolah dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan ................. 32 10. ..................................................................................................................... Seba ran contoh menurut pendidikan ibu dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.................................................................. 33 11. Sebaran contoh menurut pendidikan ayah dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.................................................................. 34 12. Sebaran contoh menurut pekerjaan ibu dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan...................................................................... 36 13. Sebaran contoh menurut pekerjaan ayah dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan...................................................................... 37 14. Sebaran contoh menurut jumlah anggota rumah tangga dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.............................................. 38 15. Sebaran contoh menurut pemilikan mobil dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.................................................................. 39
iv
16. Sebaran contoh menurut pemilikan motor dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.................................................................. 40 17. Sebaran contoh menurut persepsi tubuh dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.................................................................. 41 18. Sebaran contoh menurut aktivitas tidur siang dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.............................................. 43 19. Sebaran contoh menurut aktivitas menonton TV dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.............................................. 44 20. Sebaran contoh menurut aktivitas olahraga dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.................................................................. 45 21. Sebaran contoh menurut aktivitas bermain dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.................................................................. 46 22. Sebaran contoh menurut aktivitas pekerjaan rumah tangga dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan ............................... 47 23. Sebaran contoh menurut cara transportasi ke sekolah dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.............................................. 49 24. Sebaran contoh menurut cara transportasi bepergian dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.............................................. 50 25. Sebaran contoh menurut kebiasaan sarapan dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.............................................. 51 26. Sebaran contoh menurut frekuensi makan harian dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.............................................. 53 27. Sebaran contoh menurut kebiasaan makan bersama keluarga dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.................. 54 28. Sebaran contoh menurut kebiasaan ngemil dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.............................................. 55 29. Sebaran contoh menurut jenis camilan dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.............................................. 56 30. Sebaran contoh menurut konsumsi sayuran dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.............................................. 57 31. Sebaran contoh menurut konsumsi buah-buahan dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.............................................. 58 32. Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi fast food dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan ............................... 60 33. Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi soft drink dengan
v
kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan ............................... 61 34. Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi makanan berlemak dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.................. 63 35. Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi daging dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan ............................... 64 36. Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi gorengan dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan ............................... 65 37. Sebaran contoh menurut kesukaan jajan gorengan dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan ............................... 67 38. Sebaran contoh menurut kesukaan jajan makanan berlemak dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan ............................... 68 39. Sebaran contoh menurut kesukaan jajan makanan asin dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan ............................... 68 40. Sebaran contoh menurut kesukaan jajan makanan rebus/kukus dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.................. 69 41. Sebaran contoh menurut kesukaan jajan makanan manis dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan ............................... 70 42. Sebaran contoh menurut kesukaan merokok dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.............................................. 71 43. Sebaran contoh menurut kesukaan minum minuman beralkohol dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.................. 72 44. Faktor resiko kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan ....................... 74 45. Faktor resiko kegemukan di Medan ......................................................... 81 46. Faktor resiko kegemukan di Jakarta Selatan ........................................... 82
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan kerangka pemikiran karakteristik masalah kegemukan pada anak usia sekolah dan remaja ..........................................................
21
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil analisis chi square ............................................................................. 89 2. Hasil analisis multiple logistic regression ................................................... 102 2. Surat izin penggunaan data ......................................................................... 107 3. Jawaban surat izin penggunaan data ......................................................... 108
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang banyak menghadapi masalah yang berhubungan dengan pangan, gizi, dan kesehatan. Kasus gizi buruk dan busung lapar sangat marak saat ini. Tak luput juga penyebaran wabah penyakit infeksi yang tak kunjung henti bersemai. Kedua masalah tersebut saling berinteraksi satu sama lain sehingga menyebabkan tingkat kesehatan masyarakat Indonesia tidak meningkat secara signifikan. Khususnya dalam bidang gizi, Indonesia diperkirakan akan menghadapi masalah gizi ganda (double burden). Indonesia harus menanggulangi masalah gizi kurang, tetapi juga waspada terhadap munculnya masalah gizi lebih. Masalah kesehatan utama masyarakat di kota-kota besar Indonesia dipicu dengan adanya kelebihan gizi. Masalah gizi lebih dan obesitas dianggap sebagai sinyal pertama timbulnya penyakit-penyakit non infeksi seperti diabetes, jantung, kanker, ataupun hipertensi. Fenomena ini diberi nama “New World Syndrome” atau sindroma dunia baru dan telah menimbulkan beban sosial ekonomi serta kesehatan masyarakat yang sangat besar (Soekirman 2000; Hadi 2005 ). Adanya kemajuan teknologi dan ekonomi di negara-negara maju dan sebagian negara berkembang memacu terjadinya transisi pola kebiasaan hidup, yang nantinya akan mempengaruhi kebiasaan makan dan akan menimbulkan pola penyakit. Terdapat anggapan bahwa masalah gizi kurang dan penyakit infeksi hanya ada di negara berkembang dan miskin, sedangkan masalah yang ada pada negara maju dan kaya adalah masalah gizi lebih dan penyakit non infeksi. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, karena terbukti sebagian penduduk negara berkembang menderita penyakit non infeksi yang disebabkan oleh kebiasaan makannya. Organisasi kesehatan dunia (WHO) (1992) dalam Soekirman (2000) mencatat adanya perubahan pola kematian pada negara berkembang. Hal ini sangat berhubungan dengan pola penyakit akibat gizi lebih terutama gemuk dan obesitas. Penelitian di Amerika membuktikan bahwa 15-25% anak-anak dan 15% orang dewasa adalah gemuk, serta 40% anak dan 70% remaja yang gemuk akan menjadi obesitas pada saat mereka dewasa. Prevalensi overweight dan obesitas meningkat sangat tajam di kawasan Asia Pasifik. Contohnya seperti yang terjadi di Korea Selatan dimana 20,5% penduduknya tergolong overweight dan 1,5% tergolong obes. Di Thailand, 16% penduduknya mengalami overweight
2
dan 4% mengalami obes. Di daerah perkotaan Cina, prevalensi overweight adalah 12% pada laki-laki dan 14,4% pada perempuan, sedang di daerah pedesaan prevalensi overweight pada laki-laki dan perempuan masing-masing adalah 5,3% dan 9,8% (Inoue 2000 diacu dalam Hadi 2005). Bertambahnya jumlah orang gemuk juga diindikasikan dengan maraknya pusat kebugaran, serta berbagai buku dan obat untuk menurunkan berat badan. Prevalensi penderita gizi lebih pada masyarakat di Indonesia dan dunia internasional meningkat. Menurut WHO (2003) dalam Risma (2005) tidak kurang dari 1.2 miliar penduduk dunia mengalami obesitas. Prevalensi overweight dan obesitas di Australia pada tahun 2004 adalah 25.7% pada anak laki-laki sedangkan pada usia yang lebih dewasa mencapai 26.1%. prevalensi obesitas dan overweight untuk anak perempuan adalah 24.8% pada anak perempuan dan untuk usia yang lebih dewasa prevalensinya mencapai 19.8% (Booth, et al. 2007). Semakin bertambahnya anak muda yang gemuk sekarang ini juga disebabkan karena kemudahan akses menuju tempattempat untuk melakukan kegiatan. Khususnya pada daerah perkotaan, adanya perubahan keadaan sosial budaya, ekonomi, dan kemajuan teknologi yang diiringi dengan sarana otomatis menjadikan hidup yang dijalankan sekarang serba mudah. Kebutuhan zat gizi anak sekolah terus meningkat karena mereka sedang mengalami masa-masa pertumbuhan yang cepat. Asupan zat gizi ke dalam tubuh mereka tidak sesuai dengan kebutuhan, karena golongan ini termasuk ke dalam golongan yang memiliki pengetahuan gizi rendah dan mudah terpengaruh oleh hal-hal baru. Hal tersebut menyebabkan konsumsi pangan, yaitu kandungan gizi dan kuantitas makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dan menyebabkan obesitas akibat kebiasaan makan yang berlebihan (Risma 2005). Selain itu kelompok ini merupakan kelompok yang strategis, karena pada usia ini sedang sangat berkembang pendidikan yang merupakan bekal bagi kualitas sumberdaya manusia di masa mendatang. Apabila kelompok ini mengalami masalah gizi, maka proses pendidikan dan pembelajaran tidak akan berjalan secara maksimal. Akibatnya ketika tumbuh dewasa, kualitas yang dihasilkan pun tidak maksimal. Kegemukan sangat berbahaya karena dapat menyebabkan seseorang mudah sekali terserang penyakit. Bukti statistik menunjang kenyataan bahwa orang gemuk lebih mudah terkena penyakit dan memiliki angka kematian yang lebih tinggi daripada orang-orang yang tidak gemuk. Penyakit yang sering
3
menyertainya diantaranya adalah diabetes mellitus, hipertensi, dan jantung (Suyono 1986). Dilihat dari bukti-bukti yang ada, secara keseluruhan menunjukkan bahwa kegemukan merupakan masalah yang harus diperhatikan, sama pentingnya dengan penanggulangan gizi buruk. Bahkan di Amerika Serikat, obesitas merupakan penyebab kedua kematian setelah rokok (Wang, et al. 2006). Sampai saat ini belum ada data nasional tentang obesitas pada anak sekolah dan remaja, tetapi ada beberapa survei yang dilakukan terpisah di beberapa kota besar menunjukkan bahwa prevalensi obesitas pada anak sekolah dan remaja di Indonesia cukup tinggi (Hadi 2005). Angka prevalensi obesitas yang ada sudah merupakan peringatan bagi pemerintah dan masyarakat luas, bahwa obesitas merupakan ancaman serius bagi masyarakat Indonesia
khususnya
di
kota-kota
besar.
Banyak
faktor
yang
dapat
mempengaruhi seseorang menjadi gemuk. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih jauh lagi apa saja faktor-faktor yang menjadikan seseorang gemuk dan bagaimana karakteristik masalah kegemukan yang terjadi pada anak sekolah dan remaja. Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari karakteristik kegemukan (overweight dan obesitas) pada anak sekolah dan remaja khususnya di kota Medan dan Jakarta Selatan. Tujuan Khusus : 1. Mengidentifikasi karakteristik anak sekolah dan remaja di Medan dan Jakarta Selatan 2. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi keluarga pada anak sekolah dan remaja di Medan dan Jakarta Selatan. 3. Mempelajari persepsi anak sekolah dan remaja di Medan dan Jakarta Selatan tentang body image. 4. Mempelajari kebiasaan makan anak sekolah dan remaja di Medan dan Jakarta Selatan. 5. Mempelajari aktivitas siswa anak sekolah dan remaja di Medan dan Jakarta Selatan. 6. Mempelajari gaya hidup anak sekolah dan remaja di Medan dan Jakarta Selatan.
4
7. Menganalisis
hubungan
antara
karakteristik
siswa
dengan
kejadian
overweight dan obesitas. 8. Menganalisis hubungan antara karakteristik sosial ekonomi keluarga siswa dengan kejadian overweight dan obesitas. 9. Menganalisis hubungan antara kebiasaan makan siswa dengan kejadian overweight dan obesitas. 10. Menganalisis hubungan antara aktivitas siswa dengan kejadian overweight dan obesitas. 11. Menganalisis hubungan antara gaya hidup siswa dengan kejadian overweight dan obesitas 12. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian overweight dan obesitas pada anak sekolah dan remaja. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan manfaat bagi berbagai pihak, antara lain : 1.
Bagi peneliti dapat mengaplikasikan teori yang telah dipelajari semasa kuliah serta meningkatkan wawasan dan keterampilan dalam mengolah dan menganalisis data dan menuangkannya ke dalam bentuk karya ilmiah.
2.
Bagi daerah yang terkait (Medan dan Jakarta Selatan), penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai status gizi anak sekolah dan remaja sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk perbaikan status gizi dan kesehatan di masa mendatang.
3.
Bagi
Departemen
Kesehatan
dan
instansi
terkait,
sebagai
bahan
pertimbangan pengambilan kebijakan yang efektif untuk pencegahan kegemukan pada anak sekolah dan remaja khususnya dan masyarakat umumnya, sehingga dapat menekan biaya penanggulangan masalah kesehatan. 4.
Bagi masyarakat umum, menyadarkan bahaya masalah kegemukan (overweight dan obesitas) dan akibatnya.
5.
Bagi peneliti lain, dapat memberikan informasi mengenai prevalensi dan penyebab kegemukan khususnya anak sekolah dan remaja untuk digunakan pada penelitian selanjutnya.
5
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Overweight dan Obesitas Istilah gemuk, dapat dikategorikan ke dalam dua bagian yaitu overweight dan obesitas. Banyak orang yang menyamakan pengertian overweight dan obesitas, padahal keduanya merupakan hal yang berbeda walaupun sama-sama menggambarkan kelebihan berat badan. Seseorang yang kegemukan jelas menderita kelebihan berat, tetapi seseorang yang menderita kelebihan berat belum tentu kegemukan (Harjadi & Soejono 1986). Gizi lebih dapat terjadi pada seluruh lapisan umur, dimulai dari bayi hingga lansia, pria dan wanita. Kebiasaan makan yang salah dipengaruhi oleh gaya hidup seseorang meningkatkan faktor risiko dan berat badan pun akan meningkat. Persatuan ahli gizi RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) dalam Andriyanti (2002) menyatakan gizi lebih yang dapat menyebabkan kegemukan dibagi menjadi dua yaitu berat badan overweight yang berarti berat badan lebih dari 10-20% dari berat badan ideal serta obesitas, yang berarti memiliki berat badan 20% lebihnya dari berat ideal. Overweight adalah kondisi berat badan melebihi berat normal, sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan berat badan akibat tertimbunnya lemak, pada pria 20% sedangkan pada wanita 25% (Rimbawan dan Siagian 2004). Tingkat kegemukan atau obesitas dapat diketahui dengan menghitung indeks massa tubuh (body mass index). Indeks massa tubuh (IMT) dihitung dengan cara membagi berat tubuh (kg) dengan kuadrat tinggi tubuh (m). IMT =
BB = berat badan; TB = tinggi badan
Pengukuran melalui IMT bukan alat ukur yang sempurna mengenai lemak tubuh, ada pula saat-saat dimana IMT dapat meleset perkiraannya. Contohnya, seseorang yang memiliki otot yang padat mungkin akan memiliki IMT yang tinggi tanpa menjadi overweight. IMT dapat menjadi alat ukur yang sulit untuk menginterpretasikan keadaan tubuh selama masa puber. Harus diingat bahwa IMT merupakan indikator yang baik tetapi bukan pengukuran yang tepat untuk lemak tubuh (Gavin 2005). Obesitas adalah bahaya kesehatan yang sangat serius dan berkala dalam masyarakat. Obesitas berkembang dari ketidakseimbangan intake energi
6
dibandingkan dengan outputnya (Barasi & Mottram 1987). Kandungan normal lemak dalam tubuh dapat dipertahankan tetap apabila isi kalori dalam makanan yang dimakan diimbangi oleh pemakaiannya dalam tubuh. Pemasukan makanan yang berlebihan merupakan langkah pertama dalam serangkaian proses menuju kegemukan (Harjadi & Soejono 1986). Anak Sekolah Selama tahun-tahun sekolah dasar, anak perempuan menunjukkan kematangan lebih awal. Pada usia 9 atau 10 tahun, tinggi dan berat badan anak perempuan melewati anak laki-laki. Selama periode usia ini, seseorang memiliki pola pertumbuhan yang berbeda dan sangat nyata. Pada akhir tahun sekolah dasar (11 tahun), 12% dari anak perempuan telah mencapai perkembangan rangka yang bisa dicapai pada saat dewasa., yaitu kepadatan tulangnya sudah kokoh seperti pada saat dewasa. Pada usia ini, anak laki-laki akan berlanjut untuk tumbuh (Hui 1985). Anak-anak dapat bertambah berat badannya secara signifikan pada semua tingkatan usia, pertumbuhan itu bisa terjadi secara bertahap atau seketika. Penelitian longitudinal pada anak-anak menunjukkan bahwa anak-anak dapat mulai tumbuh ketika bayi. Hal ini akan berlanjut sampai remaja dan sulit dikendalikan, bahkan ketika teknik intervensi seperti penghambat makanan dilakukan. Karena metabolisme seseorang berbeda satu sama lain, asupan kalori anak-anak berhubungan dengan kebutuhannya (Hui 1985). Remaja Remaja
cenderung
memikirkan
tentang
keadaan
tubuhnya
dan
mengembangkan gambaran individu mengenai bentuk tubuhnya. Mereka bercermin setiap hari bahkan sampai berjam-jam untuk melihat apabila terjadi sesuatu yang berubah pada tubuhnya. Pemikiran tentang gambaran tubuh seseorang menjadi penting ketika melalui masa remaja, tetapi menjadi lebih penting lagi pada masa pubertas dibandingkan pada remaja akhir, suatu waktu dimana seorang remaja merasa tidak puas dengan kedaan tubuhnya (Wright 1989 diacu dalam Santroct 1997). Lebih lanjut Santroct (1997) menyatakan bahwa pada dekade terakhir sejumlah
besar
peneliti
telah
menemukan
bahwa
kematangan
awal
meningkatkan sensitivitas anak perempuan dalam menghadapi masalah. Anak perempuan yang dewasa lebih cepat cenderung lebih mudah merokok, konsumsi
7
minuman beralkohol, merasa depresi, dan memiliki masalah gangguan makan (eating disorder). Remaja adalah masa dimana rasa ingin tahu seseorang sangat tinggi, sehingga selalu ingin mencoba sesuatu, yang juga dapat menyebabkan asupan gizi yang buruk. Remaja yang mempertahankan individualismenya akan menolak kebiasaan makan yang berlaku di keluarganya. Peningkatan aktivitas sosial berhubungan dengan penetapan pola makan. Kesadaran diri dan tekanan dari lingkungan menyebakan asupan gizi yang buruk (Hui 1985). Penilaian Status Gizi Secara Antropometri Keadaan gizi adalah suatu kondisi dimana terdapat keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi serta penggunaannya, atau keadaan fisiologis akibat tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh. Sedangkan status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, Bakri, dan Fajar 2002). Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Metode penilaian gizi secara langsung adalah dengan cara antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan metode penilaian gizi secara langsung contohnya adalah survei konsumsi makanan, faktor ekologi, dan statistik vital. Apabila dilihat dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkatan umur dan tingkat gizi. Pengukuran berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan. Hal ini disebabkan pengukuran berat badan memberikan gambaran status gizi sekarang dan apabila dilakukan secara periodik dapat memberikan gambaran yang baik tentang pertumbuhan (Supariasa, Bakri, dan Fajar 2002). Sistem pelaporan indeks BB/U dapat dinyatakan dengan tiga cara, yaitu persen terhadap median, z-skor, persentil. Cara z-skor didefinisikan sebagai hasil pengurangan nilai pengamatan individu dengan nilai median referensi dibagi standar deviasi dari populasi referensi. Kriteria status gizi menurut indeks BB/U berdasarkan nilai z-skor dibandingkan dengan referensi WHO-NCHS adalah (1) status gizi buruk terjadi jika nilai z-skor < -3, (2) status gizi kurang terjadi jika nilai z-skor < -2, (3) status gizi baik terjadi jika -2 = z-skor = +2, (4) status gizi overweight terjadi jika nilai z-skor > +2, dan (5) status gizi obes terjadi jika nilai z-skor > +3 (Riyadi 2001). Jenis Kelamin
8
Jenis kelamin merupakan faktor internal yang menentukan kebutuhan gizi, sehingga terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan status gizi (Apriadji 1986). Beberapa cara untuk mengobservasi perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan adalah dalam penentuan body fat dan muscle. Perbedaan kandungan body fat antara jenis kelamin terus berlangsung selama rantai kehidupan. Selama usia prepubescent (8-13 tahun), body fat pada perempuan meningkat sangat cepat, dan sampai pada puncaknya setelah usia 11 tahun (Hui 1985). Lebih lanjut dikatakan bahwa masa prepubescent untuk anak laki-laki dimulai pada usia 8 sampai 12, ditandai dengan peningkatan body fat. Contohnya, pada usia 12 tahun perempuan memiliki sekitar 25-30% lebih banyak body fat dibandingkan laki-laki. Pada usia 14.5, perempuan pada umumnya memiliki 70-80% body fat lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Pada lakilaki, peningkatan kedua berkisar antara usia 14 dan 16 tahun, dan sampai pada puncaknya pada 19 tahun. WHO (2000) menyatakan bahwa perempuan cenderung mengalami peningkatan
penyimpanan
lemak.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa
perempuan cenderung mengonsumsi sumber karbohidrat yang lebih kuat sebelum masa pubertas, sementara laki-laki lebih cenderung mengonsumsi makanan yang kaya protein. Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Proper et al. (2006) menyatakan bahwa laki-laki secara signifikan lebih berkemungkinan untuk menjadi overweight atau obesitas daripada wanita, karena laki-laki cenderung untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk santai pada saat akhir minggu atau waktu senggang dibandingkan wanita. Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Kelas sosial dan status sosial ekonomi mempengaruhi prevalensi terjadinya overweight. Pada beberapa negara di dunia, status sosial ekonomi yang rendah berhubungan dengan peningkatan berat badan (Molarius et al., diacu dalam Institute of Medicine of the National Academies 2001). Pada beberapa negara berkembang dan masyarakat awam, obesitas merupakan suatu tanda kemakmuran. Menurut Gortmaker (1993) dalam Institute of Medicine of the National Academies (2001), beberapa peneliti berbeda pendapat mengenai obesitas menurunkan status ekonomi telah menambah kepercayaan yang beredar di Amerika Serikat bahwa status sosial ekonomi yang rendah menyebabkan
9
obesitas. Sedangkan pada negara berkembang, kelompok orang dengan status sosial ekonomi rendah jarang yang gemuk. Hal ini berhubungan dengan keterbatasan kemampuan seseorang dalam pengadaan pangan, yang juga berhubungan dengan pekerjaan yang berat dan memiliki akses yang sulit dalam menggunakan transportasi (WHO 2000). Sejalan dengan meningkatnya pendapatan per kapita, kecenderungan pola makan pun berubah, yaitu terjadi peningkatan dalam asupan lemak dan protein hewani serta gula, diikuti dengan penurunan lemak dan protein nabati serta
karbohidrat.
Peningkatan
pendapatan
juga
berhubungan
dengan
peningkatan frekuensi makan di luar rumah yang biasanya tinggi lemak (WHO 2000). Tingkat Pendidikan Orang Tua Seseorang yang hanya tamat SD belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi. Karena sekalipun berpendidikan rendah, apabila orang tersebut rajin mendengarkan siaran dan selalu ikut serta dalam penyuluhan gizi bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik. Hanya saja memang perlu dipertimbangkan, faktor pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi (Apriadji 1986). Hasil penelitian Padmiari dan Hadi (2001) di Denpasar menyatakan bahwa anak sekolah yang memiliki ayah berpendidikan SMA dan pendidikan tinggi berisiko 1.3 kali untuk menjadi obes dibandingkan dengan anak yang memiliki ayah berpendidikan SMA ke bawah. Hal ini ditimbulkan oleh adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan pendapatan. Semakin tinggi pendidikan ayah, makan semakin tinggi pendapatan dan konsumsi pangan pun akan meningkat. Pekerjaan Orang Tua Status ibu bekerja dapat mempengaruhi perilaku makan anak. Terdapat perbedaan dalam pembentukan kebiasaan makan anak apabila seorang ibu dalam keluarga juga berperan sebagai pencari nafkah. Seorang ibu yang bekerja di luar rumah akan menghabiskan sebagian waktunya di luar rumah. Hal ini akan menyebabkan timbulnya perasaan bersalah kepada anaknya, khususnya dalam hal penyiapan makan. Sehingga, ibu bekerja akan lebih sering membelikan makanan untuk anaknya di luar rumah untuk mengurangi rasa bersalah tersebut.
10
Biasanya pilihan terbatas pada fast food yang dijual di restoran cepat saji atau di tempat penjualan lainnya (WHO 2000). Jumlah Anggota Keluarga Program Keluarga Berencana merupakan salah satu upaya membenahi dan memperbaiki kesejahteraan keluarga yang patut dilihat dalam hubungannya dengan masalah gizi. Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak yang amat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah. Dalam acara makan bersama seringkali anak-anak yang lebih kecil akan mendapatkan jatah makan yang kurang mencukupi karena kalah dengan kakaknya yang makannya lebih cepat dan dengan porsi sekali suap lebih banyak pula (Apriadji 1986). Lebih lanjut Apriadji (1986) menyatakan bahwa anak yang terlalu banyak selain menyulitkan dalam mengurusnya, juga kurang bisa menciptakan suasana tenang di rumah. Lingkungan keluarga yang selalu ribut akan mempengaruhi ketenangan jiwa dan ini secara tidak langsung akan menurunkan nafsu makan anggota keluarga lain yang terlalu peka terhadap suasana yang kurang mengenakkan. Apabila pendapatan keluarga hanya cukup dan tidak berlebih sedangkan anak banyak, maka pemerataan dan kecukupan makanan di dalam keluarga kurang bisa dijamin dan bisa juga disebut keluarga rawan. Persepsi Tubuh Menurut perkiraan WHO saat ini terdapat satu milyar penduduk dunia yang mengalami kegemukan dan 300 juta diantaranya menderita obesitas. Di Amerika terdapat sekitar 97 juta penduduk mengalami kegemukan, tetapi hanya 15% dari mereka yang beranggapan dirinya gemuk (University of North Carolina 2006 diacu dalam Hardinsyah 2007). Sedangkan di Indonesia diperkirakan sekitar 30 juta orang mengalami kegemukan. Penelitian di kota Bogor menunjukkan sekitar 20% perempuan dewasa yang memiliki status gizi normal beranggapan dirinya gemuk (Hardinsyah 1998 diacu dalam Hardinsyah 2007). Sedangkan data survei IMT yang dilakukan oleh Depkes (2003) dalam Hardinsyah (2007) menunjukkan bahwa seperenam jumlah perempuan yang bergizi baik merasa mengalami kegemukan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kekhawatiran mengalami kegemukan dan ada usaha untuk mencegah peningkatan prevalensi kegemukan. Wanita yang mengalami overweight atau obesitas kebanyakan merasa tidak puas terhadap bentuk tubuhnya (Foster et al. 1997 diacu dalam Sarwer,
11
Foster, dan Wadden 2004). Ketidakpuasan ini seringkali berimplikasi pada sikap yang merugikan. Seseorang yang mengalami overweight dilaporkan memiliki kesadaran diri yang ekstrim, penyamaran yang berlebihan, dan penolakan untuk beraktivitas sebagai hasil dari berat badan dan kedaan bentuk tubuhnya (Rosen, Orosan, & Reiter 1995; Sarwer et al. 1998 diacu dalam Sarwer, Foster, & Wadden 2004). Ketidakpuasan mengenai bentuk tubuh akan memegang peranan signifikan dalam memotivasi usaha penurunan berat badan (Sarwer & Thompson 2002 diacu dalam Sarwer, Foster, & Wadden 2004). Menurut WHO (2000), bagi wanita bentuk tubuh yang kurus menandakan kesuksesan dan menarik untuk dilihat, sedangkan gemuk memperlihatkan rasa malas dan lemah. Aktivitas Fisik Aktivitas fisik merupakan komponen penting dari pengeluaran energi yang tidak tetap. Aktivitas fisik merupakan salah satu bentuk penggunaan energi dalam tubuh, disamping metabolisme basal dan specific dynamic action pada jenis-jenis makanan (Suyono 1986). Aktivitas fisik merupakan komponen yang penting dalam manajemen pengaturan berat badan. Walaupun penghambatan konsumsi energi dalam diet merupakan hal yang paling berpengaruh terhadap penurunan berat badan, aktivitas fisik yang teratur juga membantu hal ini dan untuk mencegah peningkatan kembali berat badan (Klein et al. 2004 ). Aktivitas fisik melibatkan peningkatan energi expenditure, oleh karena itu dapat menghambat pertambahan berat badan. Dewasa ini ada penurunan aktivitas fisik pada populasi yang mengkontribusi peningkatan kegemukan (Barasi & Mottram 1987). Frekuensi berolahraga empat kali seminggu dengan waktu sekitar 10 menit per hari lebih efektif untuk menurunkan berat badan daripada berolahraga sesekali selama 30 – 40 menit (Institute of Medicine of the National Academies 2001). Kemajuan
teknologi
berkontribusi
pada
meningkatnya
prevalensi
kegemukan. Tersedianya sarana pengangkutan, misalnya, membuat orang lebih memilih naik kendaraan daripada berjalan kaki walaupun pada jarak yang tidak jauh. Orang lebih memilih naik eskalator atau lift daripada naik tangga. Selain itu, diciptakannya mesin-mesin yang dapat menggantikan tugas manusia makin membuat ’manja’, serta membuat enggan mengeluarkan tenaganya. Akibatnya aktivitas fisik menurun yang berarti makin sedikit energi yang digunakan dan makin banyak energi yang ditimbun (Rimbawan dan Siagian 2004). Selain itu, peningkatan prevalensi juga disebabkan oleh pengurangan aktivitas fisik dan
12
peningkatan aktivitas sedentary. Salah satu contohnya yang diungkapkan dalam WHO (2000) adalah jumlah waktu menonton televisi serta jumlah kepemilikan mobil dalam rumah tangga. Penurunan aktivitas fisik yang terjadi pada masa kini sangat berpengaruh pada perubahan keseimbangan energi positif dan peningkatan berat badan pada masyarakat industri (Institute of Medicine of the National Academies 2001). Hal yang terjadi pada anak-anak masa kini adalah dengan adanya sedentary life. Anak-anak menghabiskan waktu yang cukup banyak bermain dengan peralatan elektronik, dari mulai komputer hingga video game, daripada bermain di luar. Anak yang berusia di bawah delapan tahun mengahabiskan rata-rata 2.5 jam untuk menonton televisi, dan anak yang berusia diatas delapan tahun menghabiskan 4.5 jam di depan televisi atau video game. Anak-anak yang menonton televisi lebih dari empat jam sehari lebih mudah menjadi gemuk daripada anak-anak yang menonton televisi dua jam sehari atau kurang (Gavin 2005). Penelitian lain di Amerika pada anak-anak menunjukkan bahwa anak dengan lama waktu menonton televisi 5 jam per hari memiliki risiko obesitas sebesar 5.3 kali lebih besar daripada anak dengan lama waktu menonton 2 jam per hari (Hidayati et al. 2006). Selain aktivitas menonton TV, jumlah waktu tidur juga berhubungan dengan kegemukan. Anak dengan waktu tidur lebih sedikit berisiko lebih tinggi untuk mengalami kegemukan (Chaput et al. 2006). Kemungkinan tersebut disebabkan karena orang yang gemuk memiliki kualitas tidur yang buruk, hal ini berhubungan dengan gangguan dari hormon dan kelenjar neuroendokrin (Vioque et al. 2000). Beberapa penelitian menyatakan bahwa hubungan antara aktivitas fisik dan berat badan tidak begitu kuat. Penelitian yang lain menyatakan bahwa tingkatan aktivitas fisik yang kuat berhubungan dengan berat badan yang lebih rendah (Bali, Owen, Salmon, Bauman, & Gore 2001; Dipietro 1995; Grilo 1995; Kromhout, Saris, & Horst 1988; Westerterp 1998 diacu dalam Sztainer & Haines 2004). Penurunan titik berat pada pelajaran olahraga di sekolah dibarengi dengan penurunan fitness pada anak-anak. Aktivitas fisik yang kurang adalah risiko utama untuk perkembangan obesitas pada anak-anak dan dewasa (Institute of Medicine of the National Academies 2001).
13
Selain aktivitas fisik dalam bentuk olahraga dan exercise, ada juga aktivitas fisik rumah tangga (household and other chores), yaitu aktivitas yang dilakukan sebagai bagian dari aktivitas dalam rumah. Tetapi dalam kehidupan modern saat ini, sudah diciptakan berbagai macam perlengkapan rumah tangga yang dapat membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga sehingga lebih mudah, cepat, dan ringkas. Pada dasarnya pekerjaan rumah tangga apabila dikerjakan secara manual akan memberikan kontribusi besar pada pembakaran kalori (WHO 2000). Perilaku dan Kebiasaan Makan Suhardjo (1989) dalam Andriyanti (2002) menyatakan bahwa kebiasaan makan adalah suatu gejala budaya dan sosial yang dapat memberi gambaran perilaku dengan nilai-nilai yang dianut seseorang atau suatu kelompok dalam masyarakat. Selanjutnya Khumaidi (1994) dalam Andriyanti (2002) menyatakan bahwa kebiasaan makan adalah bagaimana tindakan manusia terhadap makan dan makanan yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan perasaan apa yang dirasakan serta persepsi tentang hal tersebut. Pola makan memberi andil yang besar terhadap kegemukan atau obesitas. Pola makan yang tinggi kalori dan lemak menyebabkan keseimbangan energi positif (terjadi penimbunan energi dalam bentuk lemak). Pola makan yang sesuai untuk gaya hidup aktif dapat berlanjut setelah seseorang berubah menjadi gaya hidup lebih sedentary (Institute of Medicine of the National Academies 2001). Berperilaku makan sehat berarti mengonsumsi pangan secara seimbang dan mengurangi lemak (maksimum 30% dari kecukupan energi). Terlalu membatasi konsumsi karbohidrat bukan upaya yang tepat. Protein hanya menyebabkan kegemukan pada keadaan yang tidak lazim, yaitu pada konsumsi yang sangat berlebihan, serta tidak hanya memfokuskan pada konsumsi karbohidrat, lemak, dan protein saja, tetapi juga konsumsi vitamin dan mineral (Rimbawan dan Siagian 2004). Remaja memiliki beberapa kebiasaan makan yang buruk, seperti melewati waktu makan, terutama sarapan, dengan alasan tidak ada waktu yang cukup untuk makan. Selain itu juga kebanyakan dari mereka tidak menyukai makanan bergizi seperti susu, terlalu sering makan di luar rumah dan sangat memperhatikan berat badan. Masalah rambut dan kulit, terutama jerawat, dapat juga mempengaruhi kebiasaan makan (Hui 1985). Kebiasaan Sarapan Pagi
14
Beberapa contoh gaya hidup sehat yang akan mencegah seseorang menjadi gemuk adalah membiasakan sarapan pagi dan mengonsumsi makanan sehat. Para peneliti dari Divisi Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Massachussets melalui publikasinya pada American Journal of Epidemiology edisi Agustus 2003 mengungkapkan bahwa kebiasaan sarapan secara teratur menurunkan risiko menderita obesitas. Orang yang tidak pernah sarapan atau mengonsumsi makanan pada pagi hari berisiko menderita obesitas 4,5 kali lebih tinggi daripada orang yang sarapan secara teratur. Diketahui juga bahwa asupan energi cenderung meningkat ketika sarapan dilewatkan (Siagian 2004). Lebih lanjut dinyatakan bahwa hal tersebut disebabkan karena orang yang tidak sarapan merasa lebih lapar pada siang dan malam hari daripada mereka yang sarapan. Mereka akan mengonsumsi lebih banyak makanan pada waktu siang dan malam hari. Asupan makanan yang banyak pada malam hari akan berakibat pada meningkatnya glukosa yang disimpan sebagai glikogen. Karena aktivitas fisik pada malam hari sangat rendah, glikogen kemudian disimpan dalam bentuk lemak. Publikasi pada Journal of Nutrition terbitan Januari (2004) dalam Siagian (2004) menemukan bahwa melalui penelitiannya pada 375 pria dan 496 wanita, proporsi asupan pangan pagi hari berkorelasi negatif dengan asupan pangan total selama satu hari. Ini berarti, sarapan pagi menurunkan asupan pangan dan energi total. Hal tersebut terjadi karena melewati pagi hari tanpa sarapan mengakibatkan perubahan pada ritme, pola, dan siklus waktu makan. Orang cenderung lebih banyak makan pada siang dan malam hari apabila mereka tidak sarapan. Penjelasan kedua, yang juga berkaitan dengan penjelasan pertama, adalah makanan pada pagi hari lebih mengenyangkan daripada makanan pada siang dan malam hari. Sarapan pagi berperan mengurangi rasa lapar pada siang dan malam hari. Frekuensi Makan Harian Para peneliti dari Divisi Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas
Massachussets
menemukan
fakta
bahwa
semakin
sering
mengonsumsi makanan, maka semakin kecil risiko seseorang untuk menjadi gemuk. Seseorang yang mengonsumsi makanan sampai dengan tiga kali per hari menderita obesitas 45% lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang mengonsumsi makanan empat kali sehari atau lebih. Hal ini disebabkan karena
15
frekuensi makanan yang rendah berkaitan dengan sekresi insulin yang tinggi. Insulin dapat berperan sebagai penghambat enzim lipase (enzim yang memecah lemak). Semakin banyak insulin dieksresikan, semakin besar hambatan pada aktivitas enzim lipase. Akibatnya semakin banyak lemak yang ditimbun tubuh (Siagian 2004). Seseorang yang menderita obesitas cenderung untuk menukar waktu makan ke waktu yang berikutnya dan biasanya melangkahi sarapan (Berteus, Forslund, Lindroos, Sjostrom, & Lissner 2002; Ortega et al. 1998 diacu dalam Phelann & Wadden 2004). Seseorang yang melangkahi waktu makan utama atau memiliki pola makan yang berubah-ubah cenderung untuk mempunyai rasa lapar yang lebih besar. Kebiasaan makan keluarga Kebiasaan makan keluarga juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya obesitas pada seseorang. Penderita obesitas ternyata sering berasal dari keluarga yang punya kebiasaan makan dalam porsi besar, frekuensi lebih sering, selalu punya persediaan makanan kecil di dapur, dan makan di luar waktu makan (Taviano 2005). Makan adalah aktivitas sosial yang dilakukan berulang, dan banyak kebiasaan makan didapatkan dari keluarga atau tradisi. Anak cenderung untuk mengikuti pola makan orangtuanya, oleh karena itu kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan cenderung sudah terbentuk dari awal (Bhadrinath 1990 & Root 1990 diacu dalam Institute of Medicine of the National Academies 2001). Kebiasaan Ngemil Kebiasaan ngemil pada anak telah menjadi isu yang kontroversial pada bidang gizi. Telah diketahu bahwa peningkatan kegiatan ngemil terutama ketika mendekati waktu makan akan menurunkan selera makan. Tidak ada bantahan bahwa beberapa jenis camilan termasuk bergizi dan beberapa yang lain tidak. Pendidikan gizi yang agresif pada anak-anak dan orang tua dapat menjadi percontohan pola ngemil yang sehat (Hui 1985). Lebih lanjut dikatakan bahwa kebiasaan ngemil dinyatakan buruk apabila anak mengonsumsi makanan dengan tambahan gula, garam, dan lemak namun rendah protein, vitamin, dan mineral. Tetapi, ngemil menjadi suatu ide yang bagus apabila digunakan untuk penyediaan makanan bergizi bagi tubuhnya yang kurang dari makanan sehari-hari. Seiris keju, sebuah cracker gandum, atau sebuah pisang yang dimakan pada pertengahan pagi atau siang dapat
16
membantu penyediaan energi yang dibutuhkan untuk menjaga mereka dari kelelahan. Saat ini, kebiasaan ngemil yang dilakukan oleh remaja semakin meningkat. Apabila diestimasi, camilan per hari sampai dengan ¼ kebutuhan kalori remaja. Walaupun begitu, kebiasaan ngemil dikatakan baik atau buruk tergantung dari asupan makanannya. Beberapa jenis camilan menyumbangkan sejumlah zat gizi yang signifikan tanpa menurunkan selera makan utama. Fortifikasi yang dilakukan pada beberapa camilan untuk mengatasi masalah
kekurangan
dari
asupan
makanan.
Sebuah
penelitian
telah
menunjukkan bahwa para remaja yang terbiasa ngemil tidak tercukupi asupan kalsium dan zat besi (Hui 1985). Konsumsi sayur dan buah Sayur dan buah dapat mencegah kejadian obesitas karena dapat mengurangi lapar tetapi tidak menimbulkan kelebihan lemak dan sebagainya. Sayur dan buah juga mengandung serat kasar yang dapat membantu melancarkan pencernaan dan mencegah konstipasi(Hui 1985). Penelitian Newby et al. (2005) juga menyatakan bahwa pola makan tinggi serat, seperti konsumsi sayuran, buah-buahan, sereal, dan kacang-kacangan berhubungan terbalik dengan IMT, overweight, dan obesitas. Dikatakan pula bahwa seorang vegan secara signifikan berisiko lebih rendah untuk mengalami overweight dan obesitas. Selain itu penelitian Drapeau et al. (2004) menyatakan bahwa konsumsi sayuran dan buah-buahan yang tinggi dapat menurunkan berat badan atau mencegah kenaikan berat badan. Konsumsi Daging dan Makanan Berlemak Penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko obesitas sebanyak 1.46 kali. Hal ini disebabkan karena makanan berlemak memiliki energy density yang lebih besar dan tidak mengenyangkan, selain itu makanan berlemak memiliki rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan dan akan terjadi konsumsi yang berlebihan (Hidayati et al. 2006). Penyebab lain adalah lemak mengandung kalori dua kali lebih banyak dibandingkan protein. Makan makanan berlemak dengan jumlah yang sama dengan protein akan memberikan energi yang lebih besar. Selain itu, makanan berlemak terasa lezat dan memiliki ”mouth-feel” yang enak. Makanan berlemak
17
biasanya rendah serat, sehingga lebih lembut dan hanya memerlukan sedikit waktu untuk dikunyah dan ditelan daripada jenis makanan lain (Atkinson 2005). Penelitian lain mengemukakan bahwa konsumsi makanan yang digoreng berhubungan positif dengan kegemukan (baik itu general maupun central obesity). Hal ini terjadi hanya pada subjek dimana asupan tertinggi dari energinya berasal dari makanan gorengan. Seseorang yang mengonsumsi makanan gorengan lebih banyak berisiko 1.26 kali (pria) dan 1.25 kali (wanita) lebih tinggi untuk mengalami kegemukan (Castillon et al. 2007) Konsumsi Fast Food Maraknya restoran fast food mempermudah pula akses memperoleh makanan ini bagi masyarakat. Makanan yang dijual biasanya mengandung kalori tinggi dan terbentuk sebagian besar dari lemak. Faktor utama yang berkontribusi pada epidemi obesitas sekarang ini adalah meningkatnya proporsi makanan dari luar rumah (eating out) bersamaan dengan kemudahan akses mendapatkan makanan di bebagai lokasi. Perubahan ini disebabkan oleh banyak keluarga dimana kedua orangtuanya bekerja, sehingga menghabiskan waktu lebih banyak di luar rumah dan tidak memiliki waktu untuk mempersiapkan makanan seperti yang dahulu biasa dilakukan (Institute of Medicine of the National Academies 2001). Penelitian Young dan Nestle (2003) dalam Institute of Medicine of the National Academies (2001) menyatakan bahwa makanan yang dikonsumsi di restoran biasanya memiliki porsi yang lebih besar dan mengandung kalori lebih tinggi apabila dibandingkan dengan makanan yang ada di rumah. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa konsumsi fast food tidak memenuhi kebutuhan asupan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan optimal bagi anak. Kalori yang berlebih yang tidak diimbangi dengan peningkatan aktivitas fisik, akan menghasilkan peningkatan berat badan dan lemak tubuh. Peningkatan konsumsi fast food akan berkonstribusi pada peningkatan prevalensi overweight pada anak. Seseorang yang mengonsumsi fast food dibandingkan dengan yang tidak akan menyebabkan peningkatan asupan kalori, lemak dan lemak jenuh, jumlah karbohidrat, gula tambahan, peningkatan pada konsumsi minuman rigan, serta berkurangnya konsumsi susu, serat, serta sayuran (Asche 2005). Konsumsi Soft drink
18
Penelitian yang dilakukan oleh Cornell University (2003) menyatakan bahwa anak-anak yang minum lebih dari 12 ons soft drink meningkat berat badannya secara signifikan dibandingkan dengan anak-anak dengan konsumsi kurang dari 6 ons per hari. Hal ini disebabkan oleh anak-anak tidak mengurangi makanan utama yang dimakan dan ditambah dengan peningkatan kalori yang berasal dari minuman tersebut. Semakin banyak minuman yang dikonsumsi, maka semakin besar asupan kalori dan semakin tinggi pertambahan berat badannya. Soft drink berkarbonasi adalah salah satu sumber terbesar asupan kalori pada makanan di Amerika Serikat. Perusahaan minuman di negara itu memproduksi minuman soda untuk memenuhi kebutuhan setiap pria, wanita, dan anak-anak sekitar 52 galon. Tidak ada yang mengklaim bahwa soft drink merupakan satu-satunya penyebab masalah obesitas, namun penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menyebutkan soft drink di daftar utama penyebab kegemukan (Vartanian, Schwartz, & Brownell 2007). Lebih
lanjut
dinyatakan
terdapat
salah
satu
penemuan
yang
menerangkan bahwa terdapat hubungan antara asupan soft drink dengan peningkatan konsumsi kalori. Kasus yang terjadi dari 21 penelitian, 19 diantaranya menunjukkan bahwa seseorang yang minum lebih banyak soft drink, maka semakin tinggi pula konsumsi kalori. Beberapa penelitian menemukan bahwa selain kandungan kalori yang tinggi, konsumsi soft drink juga akan meningkatkan rasa lapar. Penemuan lain mengatakan bahwa hanya ada hubungan yang lemah antara konsumsi soft drink dengan berat badan, karena masih banyak sumber kalori lain dalam makanan. Bersamaan dengan itu, ditemukan juga hubungan yang lemah antara konsumsi soft drink dengan penurunan asupan susu, kalsium, buah dan serat. Kebiasaan Jajan Kebiasaan konsumsi makanan jajanan bertujuan untuk menghilangkan rasa lapar yang biasanya muncul 3 atau 4 jam setelah makan pada waktu-waktu tertentu. Konsumsi makanan jajanan akan meningkatkan kadar gula darah sehingga semangat dan konsentrasi belajar akan pulih. Hal positif lain dari jajan adalah membentuk keanekaragaman selera makan anak, sehingga pada saat dewasa nanti anak dapat menikmati beragam macam makanan. Jenis jajanan dibagi dua, yaitu meals dan snack. Meals yaitu makanan yang cukup mengandung karbohidrat dan lemak, tetapi mengandung sedikit
19
protein, seperti siomay, martabak, nasi uduk, dan lainnya. Sedangkan snack adalah makanan ringan yang mengandung zat pembangun dan sedikit zat pengatur, seperti biskuit susu, pisang goreng, dan jenis makanan lainnya serta minuman seperti cendol dan sirup. Jajanan dari jenis meals dipercaya ebih berisiko untuk menimbulkan obesitas dibandingkan jenis snack karena kadar kalorinya yang tinggi (Apriadji 1986). Gaya Hidup (Kebiasaan Merokok dan Konsumsi Alkohol) Gaya hidup dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan psikologis seseorang. Barasi dan Mottram (1987) menyatakan cara-cara seseorang dalam menekan keinginannya untuk makan datang dari orangtua, industri makanan, iklan, dan ketersediaan beragam makanan. Ada juga tekanan yang berhubungan dengan kelas sosial dan gender. Alkohol juga dapat mengkontribusi asupan energi yang berlebihan. Ketika seseorang mencoba untuk berhenti merokok atau konsumsi minuman beralkohol, maka ia akan makan lebih banyak dan meningkat berat badannya (Hui 1985). Merokok dapat meningkatkan kecepatan metabolisme dan membatasi asupan makanan. Peningkatan berat badan adalah salah satu akibat yang biasa terjadi apabila seseorang berhenti merokok (Perkins 1993; Russ et al. 2001 diacu dalam Institute of Medicine of the National Academies 2001). Konsumsi minuman beralkohol juga memiliki dampak pada berat badan. Energi yang dikonsumsi seiring dengan konsumsi alkohol melebihi kebutuhan sehari-hari dan tersimpan sebagai lemak. Konsumsi alkohol menunjukkan hubungan dengan asupan energi berlebih daripada minum minuman non alkohol, dan juga dapat meningkatkan nafsu makan (Tremblay & St-Pierre 1996; Tremblay et al. 1995 diacu dalam Institute of Medicine of the National Academies 2001). Sebuah studi cohort pada pria berusia 40-59 tahun menemukan bahwa indeks massa tubuh meningkat dengan signifikan pada kelompok yang konsumsi alkoholnya tinggi. Studi tersebut menyimpulkan bahwa konsumsi alkohol yang tinggi (lebih dari 30 g/hari) mempengaruhi peningkatan berat badan dan obesitas secara langsung, dan tidak dipengaruhi oleh jenis alkohol yang dikonsumsi (Wannamethee & Shaper 2003 diacu dalam Institute of Medicine of the National Academies 2001).
20
KERANGKA PEMIKIRAN Masalah gizi lebih baik itu yang dinamakan overweight atau obesitas merupakan salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian lebih oleh pemerintah. Maraknya kasus obesitas sekarang ini dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Masalah ini bukan hanya dapat terjadi pada orang dewasa saja tetapi juga dapat menimpa anak-anak, bahkan anak yang berusia kurang dari tiga tahun pun sudah dapat mengalami kasus kegemukan ini. Apabila tidak segera diterapi, maka di masa yang akan datang, dunia ini akan dipenuhi oleh orang-orang berberat badan lebih atau orang-orang yang memiliki kandungan lemak yang berlebih. Anak usia sekolah dan remaja merupakan kelompok umur yang sangat rentan teradap masalah ini karena pengetahuan gizi mereka yang masih rendah, selain itu pengaruh lingkungan sangat kental mewarnai kehidupan mereka. Masalah kegemukan pada anak sekolah dan remaja dapat dilihat berdasarkan karakteristik individu yang meliputi usia, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan, serta tingkat pendidikan yang sedang dijalankan. Selain itu, diperhatikan pula karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh yang akan diteliti, yaitu jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan serta kepemilikan kendaraan bermotor pribadi yang dapat mempengaruhi aktivitas fisik contoh. Karakteristik individu dan keluarga contoh nantinya akan berhubungan dengan persepsi diri serta pengetahuan gizi yang dimiliki oleh contoh. Pengetahuan contoh tentang gizi dan makanan akan mempengaruhi kebiasaan makan serta pola konsumsi pangan contoh. Selain pengetahuan gizi, keragaan teman sekolah atau peer group secara tidak langsung juga mempengaruhi konsumsi pangan contoh. Teman sekolah akan mempengaruhi gaya hidup contoh dan akan menentukan jenis pangan seperti apa yang akan dikonsumsi oleh contoh. Selanjutnya, konsumsi pangan tersebut akan mempengaruhi status gizi melalui pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT). Selain faktor-faktor yang telah disebutkan terdahulu, pola aktivitas fisik juga akan menetukan kecenderungan contoh menjadi gemuk. Aktivitas fisik yang kurang atau kemudahan-kemudahan akibat teknologi yang dialami oleh contoh menyebabkan contoh kurang berinteraksi secara fisik. Bagan kerangka pemikiran disajikan dalam Gambar 1.
21
Karakteristik Contoh : ü Usia ü Jenis kelamin ü Berat badan ü Tinggi badan Pengetahuan Gizi
Gaya Hidup : ü Kesukaan merokok ü Kesukaan minum alkohol
Kebiasaan Makan : ü Kebiasaan Sarapan Pagi ü Frekuensi Makan Sehari ü Kebiasaan Makan Bersama Keluarga ü Kebiasaan Jajan (Gorengan, Makanan Manis, Makanan Rebus, Makanan Kukus, Makanan Asin) ü Kebiasaan Ngemil ü Konsumsi Sayuran ü Konsumsi Buah-Buahan ü Konsumsi Daging ü Konsumsi Makanan Berlemak ü Konsumsi Gorengan ü Konsumsi Soft drink ü Konsumsi Fast food
Peer group/teman sekolah
Karakteristik Keluarga ü Pendidikan Orang Tua ü Pekerjaan Orang Tua ü Kepemilikan Kendaraan Bermotor ü Jumlah Anggota Rumah Tangga
Body Image
Aktivitas Fisik : ü Tidur Siang ü Menonton TV ü Olahraga ü Melakukan Pekerjaan Rumah Tangga
Obesitas/overweight
Genetik
Gambar 1 Kerangka pemikiran karakteristik masalah kegemukan pada anak usia sekolah dan remaja
Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti Hubungan yang diteliti Hubungan yang tidak diteliti
22
23
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi analitik dengan menggunakan desain cross sectional study. Penelitian ini dilakukan dengan mengolah data dari instansi terkait yang berupa data sekunder. Pengambilan data dilaksanakan di Medan dan Jakarta Selatan pada bulan November 2005 dan analisis data dilakukan mulai bulan Desember 2007 sampai Februari 2008. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data-data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data sekunder. Data yang digunakan adalah data Penelitian Status Gizi Anak Sekolah dan Remaja di 10 Kota Besar di Indonesia oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan serta Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI tahun 2005. Data yang dianalisis hanya sebagian saja, yaitu data anak sekolah dan remaja di kota Medan dan Jakarta Selatan. Penelitian ini terdiri dari variabel dependen (kejadian overweight dan obesitas) dan variabel independen (status sosial ekonomi, kebiasaan makan, aktivitas fisik, dan gaya hidup). Kota Jakarta Selatan diambil karena memiliki jumlah penderita overweight dan obesitas yang paling besar pada penelitian di 10 kota. Sedangkan kota Medan dianggap sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, sehingga diasumsikan memiliki pola hidup yang hampir sama dengan Jakarta, tetapi memiliki angka prevalensi rendah dalam hal overweight dan obesitas. Selain itu, data penelitian untuk kota ini belum pernah dianalisis lebih lanjut. Populasi dan Contoh Contoh pada penelitian ini adalah siswa SD, SMP, dan SMA yang berada di kota Medan dan Jakarta Selatan. Di kedua kota yang diteliti, contoh yang diambil berasal dari 20 sekolah pada setiap tingkatan, sehingga jumlahnya adalah 60 sekolah setiap kota, yang populasi seluruhnya berjumlah 1430 anak di kota Medan dan 1419 anak di Jakarta Selatan, sehingga jumlah populasi seluruhnya adalah 2849 anak. Contoh adalah anak yang berada pada tingkatan kelas 1 SD sampai 3 SMA, dan rentang usia antara 5 hingga 19 tahun. Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah diperoleh dan terkumpul kemudian dianalisis baik secara manual atau dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS 13.0 for Windows. Tahap pengolahan data yang pertama adalah cleaning dan editing
24
data yang sudah ada, kemudian dipilih berdasarkan variabel yang akan diteliti, serta menghitung Z-skor contoh berdasarkan IMT menurut umur dengan menggunakan standar WHO 2007, selanjutnya adalah pengentrian data Z-skor yang telah dihitung untuk menambah data sekunder yang sudah ada. Data karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh ditabulasi dengan menyertakan nilai rata-rata dan standar deviasi. Data jenis kelamin contoh ditabulasi dengan menyertakan persentasenya. Kategori data karakteristik contoh dan karakteristik keluarga contoh ditunjukkan pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1 Kategori data karakteristik contoh No 1.
Variabel Jenis kelamin
Skala Nominal
2.
Tingkatan sekolah
Nominal
3. 4. 5.
Usia Berat badan Tinggi Badan
Rasio Rasio Rasio
1 2 1 2 3
Kategori = Laki-laki = Perempuan = SD = SMP = SMA
Tabel 2 Kategori data karakteristik sosial ekonomi keluarga No 1.
Variabel Pendidikan ibu
Skala Ordinal
2.
Pendidikan ayah
Ordinal
3.
Pekerjaan ibu
Ordinal
4.
Pekerjaan ayah
Ordinal
5.
Jumlah anggota rumah tangga
Ordinal
6.
Kepemilikan mobil
Ordinal
7.
Kepemilikan sepeda motor
Ordinal
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 1 2 1 2
Kategori = SLTP ke bawah = SLTA/D1-D3 = S1-S3 = SLTP ke bawah = SLTA/D1-D3 = S1-S3 = tidak bekerja/tidak tetap = PNS/TNI/POLRI = swasta/dagang/wiraswasta = tidak bekerja/tidak tetap = PNS/TNI/POLRI = swasta/dagang/wiraswasta = =4 = >4 = Ya = Tidak = Ya = Tidak
Data kebiasaan makan dan pola konsumsi pangan contoh diberi kode sesuai dengan nomor kategori yang dibuat pada Tabel 3.
25
Tabel 3 Kategori data kebiasaan makan contoh No 1.
Variabel Kebiasaan sarapan pagi
Skala Ordinal
2.
Frekuensi makan utama/hari
Ordinal
3.
Kebiasaan makan bersama keluarga
Ordinal
4.
Kebiasaan ngemil
Ordinal
5.
Jenis camilan
Ordinal
7.
Frekuensi konsumsi sayuran dalam 1 minggu terakhir
Ordinal
8.
Frekuensi konsumsi minggu terakhir
1
Ordinal
9.
Frekuensi konsumsi makanan trendy (fast food) dalam 1 minggu terakhir
Ordinal
10.
Frekuensi konsumsi makanan berlemak dalam 1 minggu terakhir
Ordinal
11.
Frekuensi konsumsi makan gorengan dalam 1 minggu terakhir
Ordinal
12.
Frekuensi konsumsi soft drink dalam 1 minggu terakhir
Ordinal
13.
Kesukaan jajan makanan berlemak
Ordinal
14.
Kesukaan jajan makanan gorengan
Ordinal
15.
Kesukaan jajan makanan manis
Ordinal
16.
Kesukaan jajan makanan rebus/kukus
Ordinal
buah
dalam
Kategori 1 = Ya 2 = Tidak 1 = 3 kali/hari 2 = 2 kali/hari 3 = 1 kali/ hari 1 = Ya 2 = Tidak 1 = Ya 2 = Tidak 1 = Permen 2 = Makanan ringan 3 = Gorengan 4 = Lainnya 1 = Setiap hari 2 = 4-6 kali/minggu 3 = 1-3 kali/per minggu 4 = Tidak pernah 1 = Setiap hari 2 = 4-6 kali/minggu 3 = 1-3 kali/per minggu 4 = Tidak pernah 1 = Tidak pernah 2 = 1-3 kali/minggu 3 = 4-6 kali/minggu 4 = Setiap hari 1 = Tidak pernah 2 = 1-3 kali/minggu 3 = 4-6 kali/minggu 4 = Setiap hari 1 = Tidak pernah 2 = 1-3 kali/minggu 3 = 4-6 kali/minggu 4 = Setiap hari 1 = Tidak pernah 2 = 1-3 kali/minggu 3 = 4-6 kali/minggu 4 = Setiap hari 1 = Ya 2 = Tidak 1 = Ya 2 = Tidak 1 = Ya 2 = Tidak 1 = Ya 2 = Tidak
Data aktivitas fisik contoh diberi kode sesuai dengan nomor kategori yang dibuat. Kategori data aktivitas fisik contoh ditunjukkan pada Tabel 4.
26
Tabel 4 Kategori data aktivitas fisik contoh No 1.
Karakteristik Tidur siang dalam seminggu
Skala Ordinal
2.
Menonton televisi dalam seminggu
Ordinal
3.
Olahraga dalam seminggu
Ordinal
4.
Bermain dalam seminggu
Ordinal
5.
Melakukan pekerjaan rumah tangga dalam seminggu
Ordinal
6.
Cara transportasi ke sekolah
Ordinal
7.
Cara transportasi bepergian
Ordinal
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 1 2
Kategori = Jarang = Cukup = Sering = Jarang = Cukup = Sering = Sering = Cukup = Jarang = Sering = Cukup = Jarang = Sering = Cukup = Jarang = Jalan kaki/sepeda = Kendaraan = Jalan kaki/sepeda = Kendaraan
Data gaya hidup contoh diberi kode sesuai dengan nomor kategori yang dibuat. Kategori data gaya hidup contoh ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Kategori data gaya hidup contoh No 1. 2.
Karakteristik Kesukaan merokok
Skala Ordinal
Kesukaan minuman beralkohol
Ordinal
1 2 1 2
Kategori = Ya = Tidak = Ya = Tidak
Status gizi contoh yang berusia 5 – 19 tahun ditentukan dengan perhitungan IMT menurut umur dan dinyatakan dalam dua bentuk, yaitu : 1. Kode 0 jika z-skor = +2 2. Kode 1 jika z-skor > +2 Analisis Univariat Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan setiap variabel baik itu variabel dependen dan independen dengan gambaran distribusi frekuensinya menggunakan crosstabs. Variabel dengan jenis data numerik disajikan dalam bentuk statistik deskriptif yang meliputi nilai mean, standar deviasi, nilai minimum, dan nilai maksimum. Sedangkan variabel berjenis kategorik disajikan dalam bentuk jumlah dan persentase.
27
Analisis Bivariat Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel, yaitu variabel dependen dengan salah satu independen. Jenis variabel yang dianalisis berjenis kategorik, baik variabel dependen atau independen, sehingga analisis yang digunakan adalah chi square dengan rumus :
Analisis Multivariat Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui nilai faktor risiko atau Odds Ratio (OR) variabel independen terhadap variabel dependen. Seluruh variabel independen dianalisis bersama-sama untuk mengetahui variabel independen mana yang paling berpengaruh terhadap variabel dependen. Analisis ini menggunakan model multiple logistic regression dengan metode backward wald. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
Keterangan : π( )
: Peluang kejadian gemuk (1 = gemuk, 0 = tidak gemuk) : eksponensial
ß0
: konstanta
ß1 – ßn : koefisien regresi 1
: jenis kelamin contoh (0 = laki-laki, 1 = perempuan)
2
: pendidikan orang tua (0 = SMA ke bawah, 1 = pendidikan tinggi)
3
: pekerjaan orang tua (0 = tidak tetap/tidak bekerja, 1 = tetap)
4
: jumlah anggota rumah tangga (1 = =4, 2 = >4)
5
: kepemilikan mobil (0 = tidak, 1 = ya)
6
: kepemilikan motor (0 = tidak, 1 = ya)
7
: aktivitas tidur siang dalam seminggu (0 = <4, 1 = =4)
8
: aktivitas nonton TV dalam seminggu (0 = <4, 1 = =4)
9
: aktivitas olahraga dalam seminggu (0 = =4, 1 = <4)
10
: aktivitas bermain dalam seminggu (0 = =4, 1 = <4)
11
: aktivitas pekerjaan rumah tangga (0 = =4, 1 = <4)
12
: cara transportasi ke sekolah (0 = jalan kaki/sepeda, 1 = kendaraan)
28
13
: cara transportasi bepergian (0 = jalan kaki/sepeda, 1 = kendaraan)
14
: kebiasaan sarapan pagi (0 = ya, 1 = tidak)
15
: frekuensi makan sehari (0 = 3 kali, 1 = <3 kali)
16
: kebiasaan makan malam bersama keluarga (0 = ya, 1 = tidak)
17
: kebiasaan ngemil (0 = tidak, 1 = ya)
18
: jenis camilan yang dikonsumsi (0 = makanan ringan, 1 = gorengan)
19
: frekuensi konsumsi sayuran dalam seminggu (0 = =4, 1 = <4)
20
: frekuensi konsumsi buah-buahan dalam seminggu (0 = =4, 1 = <4)
21
: frekuensi konsumsi fast food dalam seminggu (0 = <4, 1 = =4)
22
: frekuensi konsumsi soft drink dalam seminggu (0 = <4, 1 = =4)
23
: frekuensi konsumsi makanan berlemak dalam seminggu (0 = <4, 1 = =4)
24
: frekuensi konsumsi daging dalam seminggu (0 = <4, 1 = =4)
25
: frekuensi konsumsi gorengan dalam seminggu (0 = <4, 1 = =4)
26
: kesukaan jajan gorengan (0 = tidak, 1 = ya)
27
: kesukaan jajan makanan berlemak (0 = tidak, 1 = ya)
28
: kesukaan jajan makanan rebus/kukus (0 = tidak, 1 = ya)
29
: kesukaan jajan makanan manis (0 = tidak, 1 = ya)
30
: kesukaan jajan makanan asin (0 = tidak, 1 = ya)
31
: kebiasaan merokok (0 = ya, 1 = tidak)
32
: konsumsi minuman beralkohol (0 = tidak, 1 = ya) Asumsi dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini menggunakan beberapa asumsi dan mempunyai beberapa
keterbatasan.
Asumsi-asumsi tersebut digunakan agar hasil penelitian dapat
diterima secara umum. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data-data sekunder yang digunakan dalam penelitian seluruhnya benar. 2. Keadaan wilayah yang diteliti stabil dan normal, yaitu tidak ada kejadian khusus yang meyebabkan terjadinya perubahan sosial dan ekonomi drastis seperti bencana alam, wabah dan konflik. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah : 1. Terbatas pada asumsi-asumsi tertentu. 2. Tergantung pada data-data sekunder yang digunakan.
29
3. Tergantung pada hasil penelitian lain seperti hasil dari penelitian asal yang dilakukan oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan tahun 2005.
Definisi Operasional Obesitas adalah keadaan gizi lebih contoh dimana terdapat penimbunan lemak tubuh yang menurut kriteria WHO tahun 2007 memiliki nilai Z-skor lebih dari +3 dan mempunyai risiko yang sangat tinggi terhadap penyakit. Overweight adalah keadaan contoh dimana memiliki berat badan lebih dari normal yang menurut WHO tahun 2007 memiliki nilai Z-skor lebih dari +2 dan mempunyai risiko yang cukup tinggi terhadap penyakit. Anak usia sekolah adalah contoh yang berada pada rentang usia 5-12 tahun dan masih bersekolah pada tingkat SD/MI. Remaja adalah contoh yang berada pada masa transisi antara kanak-kanak dan dewasa, memiliki rentang usia 13-19 tahun, atau yang masih bersekolah pada tingkat SLTP/Mts dan SMA/SMK/MA. Karakteristik siswa adalah data pribadi contoh yang meliputi usia yang digambarkan oleh tanggal lahir, berat badan, tinggi badan, jenis kelamin, serta tingkat pendidikan contoh. Karakteristik keluarga dan sosial ekonomi adalah keadaan sosial ekonomi keluarga contoh yang meliputi jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan orang tua, serta kepemilikan contoh terhadap mobil dan motor pribadi. Persepsi tubuh adalah penilaian contoh terhadap bentuk tubuh yang dimilikinya, yang terdiri dari gemuk atau tidak gemuk. Kebiasaan makan adalah perilaku contoh dalam mengonsumsi makanan seharihari, seperti kebiasaan makan keluarga, kebiasaan sarapan pagi, kebiasaan makan buah dan sayuran, daging, makanan berlemak dan gorengan, makan makanan trendy (fast food), minum soft drink, kebiasaan jajan dan jenis jajanan, kebiasaan ngemil dan jenis camilan. Aktivitas fisik adalah kegiatan yang dilakukan contoh sehari-hari, yang meliputi, tidur siang, menonton televisi, berolahraga, bermain, dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga
30
Gaya hidup adalah cara contoh hidup sehari-hari, termasuk ke dalamnya adaah kebiasaan merokok dan minum alkohol.
31
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Contoh Saat ini Indonesia tengah mengalami double burden, atau masalah gizi ganda, dimana masalah kurang gizi dan gizi lebih muncul secara bersamaan. Kegemukan menjadi masalah yang cukup kompleks dewasa ini. Kegemukan yang terjadi pada saat dewasa disinyalir akibat kegemukan pada masa muda. Harjadi dan Soedjono (1986) mengemukakan istilah gemuk dapat dikategorikan ke dalam dua bagian yaitu overweight dan obesitas. Banyak orang yang menyamakan pengertian overweight dan obesitas, padahal keduanya merupakan hal yang berbeda walaupun sama-sama menggambarkan kelebihan berat badan. Seseorang yang kegemukan jelas menderita kelebihan berat, tetapi seseorang yang menderita kelebihan berat belum tentu kegemukan. Tabel 6 menunjukkan proporsi contoh yang gemuk dan tidak gemuk pada anak sekolah dan remaja di Medan dan Jakarta Selatan. Tabel 6 Sebaran contoh yang gemuk dan tidak gemuk di Medan dan Jakarta Selatan Medan
Status Gizi n Tidak Gemuk Gemuk Total
Jakarta Selatan %
1386 44 1430
n 96.9 3.1 100
% 1318 101 1419
92.9 7.1 100
Pada Tabel 6 diketahui bahwa ternyata proporsi contoh yang mengalami kegemukan di Jakarta Selatan lebih besar, yaitu 7.1% apabila dibandingkan dengan contoh yang berada di Medan yang hanya sekitar 3.1%. Hal ini mungkin saja terjadi karena sifat kota Jakarta sebagai ibukota negara dan kota metropolitan, sehingga walaupun Medan juga termasuk dalam lima kota besar di Indonesia, namun kondisi kehidupannya cukup berbeda dengan Jakarta. Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung (Supariasa, Bakri, dan Fajar 2002). Penelitian ini menggunakan penilaian secara langsung dengan menggunakan metode antropometri. Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkatan umur dan tingkat gizi. Pengukuran berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan. Hal ini disebabkan pengukuran berat badan memberikan gambaran status gizi
32
sekarang dan apabila dilakukan secara periodik dapat memberikan gambaran yang baik tentang pertumbuhan (Supariasa, Bakri, dan Fajar 2002). Tingkat kegemukan dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut umur, kemudian dibandingkan hasilnya dengan
standar
WHO
2007.
Walaupun
begitu,
pengukuran
dengan
menggunakan IMT bukan alat ukur yang sempurna mengenai lemak tubuh, ada pula saat-saat dimana IMT dapat meleset perkiraannya. Menurut Gavin (2005), IMT dapat menjadi alat ukur yang sulit untuk menginterpretasikan keadaan tubuh selama masa puber. IMT merupakan indikator yang baik tetapi bukan pengukuran yang tepat untuk lemak tubuh. Dilihat dari proporsi contoh yang mengalami kegemukan pada Tabel 6 dapat dinyatakan bahwa masalah kegemukan belum menjadi sesuatu yang gawat. Padahal, Jakarta Selatan dan Medan termasuk ke dalam kota besar di Indonesia yang rentan sekali akan masalah tersebut. Hal ini mungkin sekali terjadi karena penelitian bukan dilakukan di sekolah-sekolah favorit. Gizi lebih dapat terjadi pada seluruh lapisan umur, dimulai dari bayi hingga lansia, pria dan wanita. Kebiasaan makan yang salah dipengaruhi oleh gaya hidup seseorang meningkatkan faktor risiko dan berat badan pun akan meningkat (Andiyanti 2002). Anak sekolah dan remaja menjadi sasaran penelitian ini karena dianggap merupakan masa yang paling kritis. Pada masa ini rasa ingin tahu tengah meningkat dan adanya pengaruh lingkungan serta peer group yang sangat kuat. Tabel 7 menunjukkan proporsi contoh yang mengalami kegemukan antar tingkatan sekolah di Medan dan Jakarta Selatan. Tabel 7 Sebaran contoh menurut tingkatan sekolah di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik
SD n
Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
%
Jenis Sekolah SMP n %
SMA n
%
467 12 479
97.5 2.5 100
465 15 480
96.9 3.1 100
454 17 471
96.4 3.6 100
428 48 476
89.9 10.1 100
441 40 481
91.7 8.3 100
449 13 462
97.2 2.8 100
Tabel 7 menggambarkan contoh yang berada di Medan, 12 dari 479 contoh yang gemuk (2.5%) adalah anak SD, anak SMP yang mengalami kegemukan sebesar 15 dari 480 contoh (3.1%), dan 17 dari 471 (3.6%) pada anak SMA. Sebanyak 48 dari 476 contoh yang berada di tingkatan SD di Jakarta
33
Selatan (10.1%) mengalami kegemukan, begitu pula dengan 40 dari 481 contoh yang berada di tingkatan SMP (8.3%), serta 13 dari 462 (2.8%) contoh SMA. Terdapat perbedaan proporsi yang dominan antara Medan dan Jakarta Selatan. Di Medan, contoh yang mengalami kegemukan paling banyak berada pada tingkatan SMA. Sedangkan di Jakarta Selatan, proporsi kegemukan paling banyak ada di tingkat SD. Menurut Hui (1985), anak-anak dapat bertambah berat badannya secara signifikan pada semua tingkatan usia, pertumbuhan itu bisa terjadi secara bertahap atau seketika. Beranjak pada usia remaja, pertambahan berat badan tersebut semakin sulit untuk dikendalikan, bahkan walaupun dilakukan tindakan intervensi untuk penghambat makanan. Tabel 8 Sebaran contoh menurut jenis kelamin dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan n % N % 631 26 657
96.0 4.0 200
755 18 773
97.7 2.3 100
654 62 716
91.3 8.7 100
664 39 703
94.5 5.5 100
P Value
0.075
0.023
Berdasarkan Tabel 8, diketahui bahwa 26 dari 657 contoh laki-laki (4.0%) di Medan mengalami kegemukan, sedangkan yang terjadi di Jakarta Selatan proporsinya adalah 62 dari 716 contoh laki-laki (8.7%) yang mengalami kegemukan. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh jenis kelamin perempuan, dimana 18 dari 773 contoh perempuan (2.3%) di Medan dan 39 dari 703 contoh perempuan (5.5%) di Jakarta Selatan yang mengalami kegemukan. Terlihat pada Tabel 8, diketahui bahwa proporsi contoh dominan yang mengalami kegemukan pada kedua kota sama-sama pada jenis kelamin laki-laki. Hasil uji statistik di Medan memperoleh nilai P = 0.075. Hal ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian kegemukan (overweight dan obesitas). Tetapi nilai uji statistik di Jakarta Selatan didapat P = 0.023, yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian kegemukan. Menurut Apriadji (1986), jenis kelamin merupakan faktor internal yang menentukan kebutuhan gizi, sehingga terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan status gizi. Ada beberapa cara untuk mengobservasi perbedaan antara
34
anak perempuan dan laki-laki, yaitu dengan penentuan body fat dan muscle (Hui 1985). Pada usia prepubescent, anak perempuan cenderung mengalami peningkatan penyimpanan lemak. Anak perempuan cenderung lebih banyak mengonsumsi makanan sumber karbohidrat, sedangkan anak laki-laki lebih menyukai pangan sumber protein. Tabel 9 Sebaran contoh menurut jenis kelamin dan tingkatan sekolah dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan SD Karakteristik
Laki-Laki n
%
SMP
Perempuan n
%
Laki-Laki n
%
SMA
Perempuan n
Laki-Laki
%
n
%
Perempuan n
%
Medan Gemuk
8
3.4
4
1.6
8
3.3
7
2.9
10
5.5
7
2.4
Tidak
227
96.6
240
98.4
232
96.7
233
97.1
172
94.5
282
97.6
Total Jakarta Selatan
235
100
244
100
240
100
240
100
182
100
289
100
28
11.4
20
8.7
25
10.1
15
6.4
9
4
4
1.7
Tidak
217
88.6
211
91.3
222
89.9
219
93.6
215
96
234
98.3
Total
245
100
231
100
247
100
234
100
224
100
238
100
Gemuk
Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui trend kegemukan yang terjadi antar jenis kelamin pada setiap tingkatan pendidikan. Baik di Medan maupun Jakarta Selatan, proporsi contoh yang mengalami kegemukan adalah pada jenis kelamin laki-laki, baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA. Berdasarkan jenis kelamin, contoh yang mengalami kegemukan di Medan, baik laki-laki maupun perempuan mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya pendidikan. Hal yang sebaliknya terjadi di Jakarta Selatan, dimana contoh yang mengalami kegemukan, baik laki-laki maupun perempuan menurun drastis seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa trend tubuh langsing ideal pada masa remaja terjadi di Jakarta Selatan, tetapi tidak terjadi di Medan. Hal ini diduga terjadi karena pengaruh lingkungan dan gaya hidup. Jakarta sebagai ibu kota negara lebih rawan terkena arus globalisasi. Salah satunya adalah trend langsing pada saat remaja. Selain itu, pada waktu remaja aktivitas fisik seseorang juga akan meningkatn dibandingkan pada masa kanakkanak. Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Contoh
35
Keluarga merupakan tempat pertama seorang anak berinteraksi. Keluarga juga yang menentukan jenis makanan yang akan dikonsumsi. Kondisi kegemukan biasanya terjadi pada keluarga yang memiliki perekonomian di atas rata-rata, karena kemampuannya untuk memberikan makanan yang penuh gizi pada anaknya. Berikut ini adalah faktor-faktor karakteristik sosial ekonomi keluarga yang diduga mempunyai pengaruh terhadap kejadian kegemukan. Tingkat Pendidikan Orang Tua Kualitas pendidikan dari orang tua mungkin saja mempengaruhi kualitas dari keluarga itu sendiri. Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan pengetahuan gizi seseorang. Kecenderungan seseorang yang berpengetahuan gizi tinggi dipengaruhi oleh tingginya tingkat pendidikan. Pengetahuan gizi inilah yang kemudian mempengaruhi perilaku pangan keluarga dan individu. Tabel 10 dan 11 merupakan gambaran distribusi dan statistik contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua. Tabel 10 Sebaran contoh menurut pendidikan ibu dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
SLTP ke bawah n %
Pendidikan Ibu SLTA-D1/D3 n %
S1-S3 n
P Value %
818 17 835
98.0 2.0 100
520 18 538
96.7 3.3 100
48 9 57
84.2 15.8 100
699 31 730
95.8 4.2 100
488 43 531
91.9 8.1 100
131 27 158
82.9 17.1 100
0.000
0.000
Tingkat pendidikan orang tua terutama ibu akan menentukan besarnya pengetahuan gizi yang dimilikinya. Tabel 10 menunjukkan tingkat pendidikan ibu contoh. Pada tingkat pendidikan ibu SLTP ke bawah di Medan, 17 dari 835 contoh (2.0%) mengalami kegemukan, hal tersebut terjadi juga pada 18 dari 538 contoh (3.3%) yang tingkat pendidikan ibunya berada pada tingkatan SLTA sampai D1-D3, serta 9 dari 57 contoh (15.8%) contoh yang berasal dari tingkat pendidikan sarjana. Berdasarkan uji statistik, didapatkan nilai P = 0.000, yang berarti ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian kegemukan. Pada kasus tingkat pendidikan ibu di Jakarta Selatan, sebesar 4.2% contoh yang memiliki ibu yang berpendidikan setingkat SLTP ke bawah mengalami kegemukan, begitu pula pada 8.1% contoh dengan pendidikan
36
setingkat SLTA dan akademi. Sedangkan pada tingkatan sarjana, sebanyak 27 dari 158 contoh (17.1%) yang mengalami kegemukan. Hasil uji statistik pada kota ini mendapatkan nilai P = 0.000, yang berarti ada hubungan yang sangat signifikan antara tingkat pendidikan ibu di Jakarta Selatan dengan kejadian kegemukan. Proporsi yang dominan untuk kategori pendidikan ibu contoh yang gemuk serupa pada kedua kota, yakni pada tingkatan SLTA atau D1-D3. Tabel 11 Sebaran contoh menurut pendidikan ayah dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
SLTP ke bawah n %
Pendidikan Ayah SLTA-D1/D3 N %
S1-S3
P Value
n
%
736 12 748
98.4 1.6 100
544 22 566
96.1 3.9 100
106 10 116
91.4 8.6 100
1318 101 1419
92.9 7.1 100
-
-
-
-
0.000
-
Apabila dilihat berdasarkan tingkat pendidikan ayah di Medan, 12 dari 748 contoh (1.6%) yang berpendidikan SLTP ke bawah mengalami kegemukan, 3.9% yang setingkat SLTA dan akademi juga mengalami kegemukan, serta 10 dari 116 contoh atau 8.6% yang setingkat sarjana yang mengalami kegemukan. Berdasarkan nilai P hasil uji statistik, didapat P = 0.000, yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ayah dengan kejadian kegemukan di Medan.
Hal ini juga berarti semakin tinggi tingkat pendidikan
ayah, maka semakin tinggi pula kecenderungan contoh untuk menjadi gemuk. Dapat dilihat juga berdasarkan Tabel 11 proporsi dominan untuk contoh gemuk berasal dari ayah yang berpendidikan SLTA/D1-D3. Hal yang berbeda terjadi di Jakarta Selatan, dimana seluruh contoh memiliki ayah yang berpendidikan SLTP ke bawah, dan 101 (7.1%) diantaranya gemuk. Pada kasus ini, data tidak dapat diuji secara statistik, karena tidak ada keragaman antar contoh sehingga menghasilkan nilai yang konstan. Adanya hubungan yang sangat signifikan antara kejadian kegemukan dengan pendidikan orang tua (ayah dan ibu) diduga karena pendidikan orang tua menentukan tingkat pengetahuan gizi yang dimiliki. Peran orang tua sangat besar dalam penentuan jenis makanan yang dikonsumsi anaknya. Oleh karena
37
itu pendidikan orang tua menentukan pengetahuan gizi yang dimilikinya dan berhubungan dengan kejadian kegemukan. Hasil penelitian Padmiari dan Hadi (2001) di Denpasar menyatakan bahwa anak sekolah yang memiliki ayah berpendidikan SMA dan pendidikan tinggi berisiko 1.3 kali untuk menjadi obes dibandingkan dengan anak yang memiliki ayah berpendidikan SMA ke bawah. Hal ini ditimbulkan oleh adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan pendapatan. Semakin tinggi pendidikan ayah, makan semakin tinggi pendapatan dan konsumsi pangan pun akan meningkat. Rendahnya tingkat pendidikan mungkin akan berpengaruh terhadap pengetahuan gizi yang dimiliki. Namun, seseorang yang hanya tamat SD belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persayaratan gizi dibandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi. Walaupun berpendidikan rendah, tetapi apabila rajin mendengarkan atau menyaksikan siaran yang berhubungan dengan gizi atau rajin mengikuti penyuluhan gizi, bukan mustahil pendidikan gizinya lebih tinggi. Faktor pendidikan disini berperan dalam menentukan mudah tidaknya seseorang dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang diberikan (Apriadji 1986). Sejalan berkaitan dengan pengetahuan gizi, tingkat pendidikan orang tua juga berhubungan dengan pendapatan keluarga. Semakin tinggi pendidikan tentu berpengaruh terhadap pendapatan pula. Menurut WHO (2000), sejalan dengan meningkatnya pendapatan per kapita, kecenderungan pola makan pun berubah, yaitu terjadi peningkatan dalam asupan lemak dan protein hewani serta gula, diikuti dengan penurunan lemak dan protein nabati serta karbohidrat. Peningkatan pendapatan juga berhubungan dengan peningkatan frekuensi makan di luar rumah yang biasanya tinggi lemak. Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan orang tua akan menentukan besarnya pendapatan keluarga dalam sebuah keluarga. Dalam penelitian ini, pekerjaan orang tua dikategorikan kepada
tiga,
yaitu
tidak
bekerja/tidak
tetap,
PNS/TNI/POLRI,
dan
swasta/dagang/wiraswasta. Jenis pekerjaan petani, nelayan, serta ibu rumah tangga termasuk ke dalam kategori tidak bekerja atau tidak tetap. Hasil distribusi frekuensi dan statistik contoh menurut pekerjaan orang tua dengan kejadian kegemukan dapat dilihat pada Tabel 12.
38
Tabel 12 Sebaran contoh menurut pekerjaan ibu dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Tdk Bekerja/Tdk Tetap n %
Pekerjaan Ibu PNS/TNI/POLRI n
%
Swasta/Dagan g/Wiraswasta n %
819 20 839
97.6 2.4 100
114 11 125
91.2 8.8 100
453 13 466
97.2 2.8 100
46 2 48
95.8 4.2 100
156 21 177
88.1 11.9 100
1116 78 1194
93.5 6.5 100
P Value
0.000
0.026
Tabel 12, memperlihatkan bahwa 20 dari 839 contoh yang gemuk di Medan (2.4%) memiliki ibu yang tidak bekerja atau tidak tetap. Contoh yang gemuk juga terlihat pada 11 dari 125 contoh yang ibunya bekerja sebagai PNS/TNI/POLRI (8.8%), dan 13 dari 466 contoh yang ibunya bekerja dagang/swasta/wiraswasta (2.8%). Proporsi contoh paling dominan yang mengalami kegemukan adalah mereka yang memiliki ibu tidak bekerja atau tidak tetap pekerjaannya. Sedangkan yang terjadi di Jakarta Selatan adalah 2 dari 48 contoh gemuk (4.2%) berasal dari ibu yang tidak bekerja, begitu juga dengan 21 dari 177 contoh yang berasal dari PNS/TNI/POLRI (11.9%), dan 78 dari 1194 contoh yang berasal dari ibu yang dagang/swasta/wiraswasta (6.5%). Berbeda dengan Medan, di kota ini proporsi contoh paling dominan yang mengalami kegemukan adalah mereka yang ibunya bekerja dalam bidang dagang/swasta/wiraswasta. Hasil uji statistik pada kedua kota mendapatkan nilai P < 0.05, yaitu P = 0.000 untuk Medan dan P = 0.026 untuk Jakarta Selatan. Hasil ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu di kedua kota dengan kejadian kegemukan. Hal ini diduga karena status pekerjaan ibu berhubungan dengan kuantitas waktu yang disediakan untuk mengolah makanan. Semakin sibuk ibu bekerja, maka semakin sedikit waktunya untuk mengolah makanan untuk keluarganya. Sehingga ibu cenderung untuk membeli makanan di luar rumah. Sesuai dengan WHO (2000), status ibu bekerja akan mempengaruhi perilaku makan anak. Ad a perbedaan dalam pembentukan kebiasaan makan
39
anak apabila sang ibu juga berperan sebagai pencari nafkah. Seorang ibu bekerja di luar rumah akan menghabiskan sebagian waktunya di luar rumah. Hal ini menyebabkan timbulnya perasaan bersalah kepada anaknya. Untuk mengurangi rasa bersalah itu, maka ibu bekerja akan lebih sering membelikan makanan di luar rumah untuk anaknya. Biasanya pilihan tersebut terbatas pada fast food yang kurang baik untuk kesehatan. Diperkuat oleh penelitian Young dan Nestle (2003) dalam Institute of Medicine of the National Academies (2001) bahwa makanan yang dikonsumsi di restoran biasanya memiliki porsi yang lebih besar dan mengandung kalori lebih tinggi apabila dibandingkan dengan makanan yang ada di rumah. Tabel 13 Sebaran contoh menurut pekerjaan ayah dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Pekerjaan Ayah PNS/TNI/POLRI
Tdk Bekerja/Tdk Tetap n %
n
%
Swasta/Dagan g/Wiraswasta n %
179 3 182
98.4 1.6 100
162 16 178
91.0 9.0 100
1045 25 1070
97.7 2.3 100
-
-
1318 101 1419
92.9 7.1 100
-
-
P Value
0.000
-
Berdasarkan Tabel 13 juga dapat diketahui distribusi frekuensi dan statistik contoh berdasarkan pekerjaan ayah. Di Medan, 3 dari 182 contoh yang memiliki ayah tidak bekerja/tidak tetap (1.6%) mengalami kegemukan, begitu juga pada 16 dari 178 contoh (9.0%) yang memiliki ayah PNS/TNI/POLRI. Selain itu, 25 dari 1070 contoh (2.3%) yang memiliki ayah dalam bidang dagang/swasta/wiraswasta, dalam bidang pekerjaan ini merupakan proporsi terbesar contoh yang mengalami kegemukan. Hasil uji statistik didapatkan nilai yang sangat signifikan pada P < 0.01, berarti terdapat hubungan yang nyata antara pekerjaan ayah di Medan dengan kejadian kegemukan. Sedangkan di Jakarta Selatan, seluruh ayah contoh bekerja sebagai PNS/TNI/POLRI. Dengan hasil demikian, variabel ini tidak dapat diuji lanjut karena tidak ada keragaman sehingga hasilnya akan konstan. Jumlah Anggota Rumah Tangga Jumlah anggota keluarga dibagi dua berdasarkan kategori BKKBN tahun 1997, yaitu keluarga kecil untuk keluarga dengan jumlah anggota = 4 orang,
40
serta keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga lebih dari 4 orang. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran contoh menurut jumlah anggota rumah tangga dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Jumlah Anggota Rumah Tangga =4 >4 n % n % 320 13 333
96.1 3.9 100
1066 31 1097
97.2 2.8 100
414 38 452
91.6 8.4 100
904 63 967
93.5 6.5 100
P Value
0.318
0.197
Tabel 14 menunjukkan bahwa yang terjadi di Medan, bahwa 13 dari 333 contoh yang gemuk (3.9%) berasal dari keluarga kecil, dan 31 dari 1097 contoh (2.8%) yang mengalami kegemukan berasal dari keluarga besar. Sedangkan di Jakarta Selatan, 38 dari 452 contoh (8.4%) dari keluarga kecil mengalami kegemukan, begitu pula 63 dari 967 (6.5%) contoh dari keluarga besar yang mengalami kegemukan. Hasil uji statistik pada kedua kota menunjukkan hasil yang sama, dimana didapatkan nilai P > 0.05, masing-masing yaitu 0.318 untuk kota Medan dan 0.197 untuk Jakarta Selatan. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah anggota rumah tangga dengan kejadian kegemukan di kedua kota. Pada kedua kota ditemukan proporsi terbesar untuk contoh yang mengalami kegemukan maupun tidak adalah pada kategori keluarga besar (jumlah anggota keluarga >4). Bahkan ada beberapa contoh baik di Medan maupun Jakarta Selatan yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari 10 orang. Besarnya jumlah anggota keluarga ini mempengaruhi distribusi pangan yang akan diterima oleh masing-masing individu. Terlalu banyaknya individu dalam sebuah keluarga selain dapat mengurangi distribusi pangan dapat juga mengurangi kenyamanan dalam hidup berkeluarga. Dalam buku Gizi Keluarga, Apriadji (1986) menyatakan keluarga dengan banyak anak dan jarak antar kelahiran dekat akan menimbulkan banyak masalah. Seharusnya, dengan lebih banyaknya anggota keluarga akan memperkecil kemungkinan seseorang untuk menjadi gemuk. Karena dapat
41
dikatakan bahwa anak yang terlalu banyak akan menghambat penciptaan suasana tenang di rumah. Pemilikan Kendaraan Motor Kepemilikan
kendaraan
bermotor
termasuk
ke
dalam
kategori
karakteristik sosial ekonomi keluarga. Hal ini penting untuk diketahui, selain untuk mengukur keadaan sosial ekonomi contoh juga berpengaruh terhadap aktivitas contoh. Data hasil distribusi dan statistik contoh menurut kepemilikan kendaraan bermotor dapat dilihat pada Tabel 15 dan 16. Tabel 15 Sebaran contoh menurut pemilikan mobil dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Pemilikan Mobil Karakteristik
Ya n
Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Tidak %
N
P Value %
221 19 240
92.1 7.9 100
1165 25 1190
97.9 2.1 100
292 39 331
88.2 11.8 100
1026 62 1088
94.3 5.7 100
0.000
0.000
Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa di kota Medan, 19 dari 240 contoh (7.9%) yang mengalami kegemukan memiliki mobil, dan 25 dari 1190 contoh gemuk (2.1%) tidak memiliki mobil. Sedangkan di Jakarta Selatan, 39 dari 331 contoh (11.8%) yang mengalami kegemukan memiliki mobil dan 62 dari 1088 contoh yang gemuk (5.7%) tidak memiliki mobil. Hasil uji statistik membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepemilikan mobil dengan kejadian kegemukan di kedua kota, terbukti dengan nilai P = 0.000 di kedua kota. Terlihat dari Tabel 15, bahwa proporsi terbesar di kedua kota, baik contoh yang gemuk maupun yang tidak gemuk termasuk ke dalam kategori yang tidak memiliki mobil. Adanya hubungan yang signifikan pada kategori ini diduga karena kepemilikan mobil berhubungan dengan aktivitas contoh dalam bepergian. Kepemilikan mobil sebagai kendaraan pribadi diduga akan menurunkan tingkat aktivitas contoh, sehingga keseimbangan energi menjadi positif. Menurut Suyono (1986), aktivitas fisik merupakan komponen penting dari pengeluaran energi tidak tetap, serta merupakan salah satu komponen pengaturan berat badan (Klein et al. 2004) selain mengatur konsumsi energi dalam diet. Selain itu,
42
kepemilikan mobil juga menunjukkan status ekonomi menengah ke atas sehingga kemampuan untuk mencukupi kebutuhan pangan juga lebih baik, bahkan berlebih. Kepemilikan mobil dewasa ini juga salah satu unsur pendukung gaya hidup sedentary seperti dinyatakan dalam WHO (2000). Tabel 16 Sebaran contoh menurut pemilikan motor dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Pemilikan Motor Karakteristik
Ya n
Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Tidak %
n
P Value %
717 29 746
96.1 3.9 100
669 15 684
97.8 2.2 100
772 68 840
91.9 8.1 100
546 33 579
94.3 5.7 100
0.064
0.085
Tabel 16 juga menunjukkan hubungan kejadian kegemukan dengan kepemilikan motor. Diantara 746 contoh yang memiliki motor di Medan, 29 contoh atau 3.9% diantaranya mengalami kegemukan, dan diantara 684 contoh yang tidak memiliki motor, 15 contoh (2.2%) diantaranya mengalami kegemukan. Sedangkan yang terjadi di Jakarta Selatan, dari 840 contoh yang memiliki motor, 68 contoh diantaranya gemuk (8.1%) dan pada 579 contoh yang tidak memiliki motor, 33 contoh diantaranya gemuk (5.7%). Berbeda dengan status kepemilikan mobil, proporsi terbesar untuk kategori ini adalah contoh yang memiliki motor. Uji statistik yang dilakukan mendapatkan nilai P = 0.064 untuk kota Medan dan P = 0.085 untuk Jakarta Selatan. Kedua hasil ini memberi arti bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kepemilikan motor dengan kejadian kegemukan. Tidak adanya hubungan yang signifikan antara kepemilikan motor dengan kejadian kegemukan diduga berkaitan dengan fungsi kepemilikan motor dengan status sosial ekonomi. Dewasa ini motor bukan lagi merupakan barang mewah, karena setiap orang dapat membelinya dengan mudah dan harga yang relatif terjangkau. Sifat kepemilikannya yang umum ini menyebabkan kategori ini tidak menghasilkan perbedaan yang nyata pada proporsi contoh yang gemuk dan tidak gemuk. Persepsi Tubuh Anak sekolah dan remaja merupakan masa yang paling kritis dimana mereka biasanya tidak puas akan bentuk tubuhnya. Apalagi di masa remaja,
43
banyak remaja yang merasa gemuk padahal sebenarnya tidak atau sebaliknya. Persepsi tubuh disini terbagi ke dalam dua kategori, yaitu gemuk dan tidak gemuk. Tidak gemuk merupakan gabungan dari contoh yang menganggap bahwa dirinya kurus, sedang, dan ideal, seperti ditunjukkan pada Tabel 16. Menurut perkiraan WHO saat ini terdapat satu milyar penduduk dunia yang mengalami kegemukan dan 300 juta diantaranya menderita obesitas. Di Amerika terdapat sekitar 97 juta penduduk mengalami kegemukan, tetapi hanya 15% dari mereka yang beranggapan dirinya gemuk (University of North Carolina 2006 diacu dalam Hardinsyah 2007). Tabel 17 Sebaran contoh menurut persepsi tubuh dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Persepsi Tubuh Gemuk Tidak Gemuk n % n % 203 41 244
83.2 16.8 100
1183 3 1186
99.7 0.3 100
877 71 948
92.5 7.5 100
441 30 471
93.6 6.4 100
P Value
0.000
0.440
Berdasarkan Tabel 17, dari 244 contoh di Medan yang merasa dirinya gemuk ternyata sebagian besar (83.2%) diantaranya termasuk ke dalam kategori tidak gemuk. Sementara itu, dari 1186 contoh yang menganggap dirinya tidak gemuk, ada 0.3% yang malah termasuk ke dalam kategori gemuk. Contoh yang termasuk ke dalam kategori ini tidak merasa bahwa dirinya gemuk. Pada contoh yang berada di
Jakarta Selatan, dari 948 contoh yang
merasa bahwa dirinya gemuk, ada 92.5% diantaranya yang tidak gemuk dan hanya 7.5% yang betul-betul gemuk. Sedangkan dari 471 contoh yang merasa dirinya tidak gemuk, terdapat 30 contoh (6.4%) yang ternyata termasuk dalam kategori gemuk. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan di kota Bogor (Hardinsyah 1998 diacu dalam Hardinsyah 2007) yang menyatakan bahwa sekitar 20% perempuan dewasa yang memiliki satus gizi normal beranggapan dirinya gemuk. Selain itu, data survey IMT (Depkes 2003) dalam Hardinsyah (2007) juga menemukan fakta bahwa seperenam jumlah perempuan yang bergizi baik merasa mengalami kegemukan. Fenomena-fenomena tersebut makin menguatkan pernyataan bahwa anak sekolah dan remaja cenderung takut untuk menjadi gemuk dan
44
selalu merasa bahwa dirinya gemuk. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kekhawatiran mengalami kegemukan dan ada usaha untuk mencegah peningkatan prevalensi kegemukan. Sedangkan yang paling berbahaya adalah contoh yang tidak merasa dirinya gemuk padahal termasuk dalam kategori gemuk. Apabila tidak disadari, contoh akan menjadi tidak disiplin dalam mengatur pola hidupnya, dan apabila dibiarkan akan mudah terserang penyakit-penyakit yang terjadi akibat kegemukan itu sendiri. Berdasarkan uji statistik, didapatkan nilai P yang berbeda. Nilai P yang didapat di Medan adalah P = 0.000, yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi tubuh dengan kejadian kegemukan pada contoh di Medan. nilai P = 0.440 didapatkan di Jakarta Selatan, yang artinya tidak terdapat hubungan signifikan antara persepsi tubuh dengan kejadian kegemukan. Ketidakpuasan mengenai bentuk tubuhnya akan memegang peranan yang signifikan dalam memotivasi usaha penurunan berat badan (Sarwer & Thompson 2002 diacu dalam Sarwer, Foster, dan Wadden 2004). Perasaan tidak puas tersebut biasanya muncul dari seseorang yang mengalami overweight atau obesitas (Foster et al. 1997 diacu dalam Sarwer, Foster, dan Wadden 2004). Aktivitas Fisik Keadaan overweight atau obesitas sangat berhubungan dengan aktivitas fisik yang sehari-hari dilakukan oleh seseorang. Overweight atau obesitas dapat terjadi karena adanya keseimbangan energi positif, yang berarti jumlah energi dari makanan yang dikonsumsi lebih besar daripada jumlah energi yang keluar, sehingga tertimbun menjadi lemak (Suyono 1986). Aktivitas
fisik
merupakan
komponen
penting
dalam
manajemen
pengaturan berat badan (Klein et al. 2004) . Penelitian ini menitikberatkan aktivitas fisik pada lima kegiatan, yaitu tidur siang, menonton televisi, olahraga, bermain, serta melakukan pekerjaan rumah tangga. Aktivitas fisik dihitung dalam waktu tujuh hari, kemudian diisi berapa lama contoh melakukan aktivitas tersebut. Jumlah hari contoh melakukan aktivitas-aktivitas yang telah ditentukan kemudian dikategorikan ke dalam tiga kategori, yaitu jarang apabila contoh melakukan aktivitas kurang dari tiga hari, cukup apabila contoh melakukan aktivitas antara tiga sampai lima hari, dan sering apabila contoh melakukan aktivitas lebih dari lima hari.
45
Tabel 18 Sebaran contoh menurut aktivitas tidur siang dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik
Jarang n
Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Aktivitas Tidur Siang Cukup % n %
n
Sering %
709 27 736
96.3 3.7 100
220 8 228
96.5 3.5 100
457 9 466
98.1 1.9 100
131 9 140
93.6 6.4 100
872 71 943
92.5 7.5 100
315 21 336
93.8 6.3 100
P Value
0.217
0.696
Berdasarkan Tabel 18 diatas, dapat diketahui bahwa 27 dari 736 contoh yang mengalami kegemukan di Medan (3.7%), jarang tidur siang. Sementara itu, 8 dari 228 contoh yang gemuk (3.5%) mengalami tidur siang yang cukup, dan 9 dari 466 contoh yang gemuk (1.9%) sering tidur siang. Sedangkan di Jakarta selatan, 9 dari 140 contoh yang gemuk (6.4%) jarang tidur siang, 71 dari 943 contoh yang gemuk (7.5%) cukup tidur siang, dan 21 dari 336 contoh yang gemuk (6.3%) sering tidur siang. Dilihat dari proporsi berdasarkan Tabel 18, contoh yang gemuk di Medan kebanyakan jarang tidur siang, sedangkan di Jakarta Selatan cukup. Rata-rata waktu contoh tidur siang di Medan adalah 1.27 jam, sedangkan di Jakarta Selatan 1.24 jam. Rata-rata contoh di Medan tidur siang selama seminggu adalah 3.04 hari, sedangkan di Jakarta Selatan adalah 4.00 hari. Hasil uji statistik yang dilakukan di kedua kota mendapatkan nilai P > 0.05, yaitu P = 0.217 dan 0.696 masing-masing untuk Medan dan Jakarta Selatan. Indikator ini menjelaskan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aktivitas tidur siang dengan kejadian kegemukan di kedua kota. Hal ini diduga disebabkan karena hanya melihat jumlah hari contoh melakukan tidur siang dan bukan jumlah waktunya. Padahal dalam hal ini yang paling menentukan adalah alokasi waktu contoh. Karena jumlah waktu tidur berhubungan dengan kegemukan. Anak dengan waktu tidur lebih sedikit berisiko lebih tinggi untuk mengalami kegemukan (Chaput et al.
2006). Kemungkinan
tersebut mungkin disebabkan karena orang yang gemuk memiliki kualitas tidur yang buruk, hal ini berhubungan dengan gangguan dari hormon dan kelenjar neuroendokrin (Viogue et al. 2000).
46
Tabel 19 Sebaran contoh menurut aktivitas menonton TV dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik
Jarang n
Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Aktivitas Menonton TV Cukup % n %
n
Sering %
134 7 141
95.0 5.0 100
104 2 106
98.1 1.9 100
1148 35 1183
97.0 3.0 100
139 11 150
92.7 7.3 100
1023 77 1100
93.0 7.0 100
156 13 169
92.3 7.7 100
P Value
0.326
0.943
Tabel 19 menunjukkan hubungan aktivitas menonton televisi dengan kejadian kegemukan. Distribusi hasil yang diperoleh di Medan adalah 7 dari 141 contoh yang jarang menonton TV (5.0%), 2 dari 106 contoh (1.9%) yang menonton TV dengan cukup, dan 35 dari 1183 contoh (3.0%) yang sering menonton TV, mengalami kegemukan. Proporsi dominan pada contoh yang gemuk maupun tidak gemuk berada pada kategori sering. Sedangkan di Jakarta Selatan didapatkan 11 dari 150 contoh yang jarang menonton TV (7.3%), 77 dari 1100 contoh yang menonton TV dengan cukup (7.0%), serta 13 dari 169 contoh yang sering menonton TV (7.7%) mengalami kegemukan. Proporsi dominan contoh yang gemuk dan tidak gemuk berada pada kategori cukup. Hasil uji statistik menunjukkan nilai P > 0.05 di kedua kota. Nilai P = 0.326 untuk Medan dan 0.943 untuk Jakarta Selatan. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aktivitas menonton TV dengan kejadian kegemukan, atau tidak ada perbedaan yang nyata antara proporsi kategori menonton televisi. Rata-rata waktu yang dihabiskan contoh untuk menonton televisi di Medan adalah 2.28 jam dan di Jakarta Selatan 2.36 jam. Tetapi, rata-rata jumlah hari menonton dalam seminggu di Medan 6.13 hari, sedangkan di Jakarta Selatan 4.24 hari. Ini berarti contoh yang berada di Jakarta Selatan memiliki frekuensi menonton televisi lebih sedikit tetapi dengan kuantitas yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan contoh di Medan. Menonton televisi merupakan salah satu bentuk sedentary life. Menurut Gavin (2005), anak yang berusia di bawah delapan tahun menghabiskan ratarata 2.5 jam untuk menonton televisi, dan anak yang berusia diatas delapan tahun menghabiskan 4.5 jam di depan televisi atau video game. Anak-anak yang
47
menonton televisi lebih dari 4 jam sehari lebih mudah menjadi gemuk daripada anak-anak yang menonton televisi 2 jam sehari atau kurang. Hasil uji statistik dalam penelitian ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aktivitas menonton televisi dengan kegemukan. Hal ini berbeda dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Menurut Hidayati et al. (2006), penelitian yang dilakukan di Amerika membuktikan bahwa anak dengan lama waktu menonton lima jam per hari memiliki risiko 5.3 kali lebih besar dibandingkan anak dengan waktu menonton dua jam per hari. Perbedaan ini disebabkan diduga karena waktu yang dihabiskan contoh untuk menonton televisi rata-rata kurang dari 2.5 jam, sehingga pengaruhnya tidak terlalu besar. Tabel 20 Sebaran contoh menurut aktivitas olahraga dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik
Sering n
Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
%
Aktivitas Olahraga Cukup n %
n
Jarang %
161 3 164
98.2 1.8 100
95 3 98
96.9 3.1 100
1130 38 1168
96.7 3.3 100
90 11 101
89.1 10.9 100
676 48 724
93.4 6.6 100
552 42 594
92.9 7.1 100
P Value
0.613
0.296
Berdasarkan Tabel 20 diatas, diketahui bahwa di Medan, 3 dari 164 contoh (1.8%) yang mengalami kegemukan sering berolahraga, 3 dari 98 contoh (3.1%) cukup berolahraga, dan 38 dari 1168 contoh (3.3%) jarang berolahraga. Sedangkan di Jakarta Selatan, 11 dari 101 contoh yang mengalami kegemukan (10.9%) sering berolahraga, 48 dari 724 contoh (6.6%) cukup berolahraga, dan 42 dari 594 contoh (7.1%) jarang berolahraga. Proporsi yang dominan baik untuk contoh yang gemuk dan tidak gemuk di Medan adalah pada kategori jarang, sedangkan di Jakarta Selatan pada kategori cukup. Pengkategorian ini didasarkan pada jumlah hari contoh melakukan aktivitas dalam waktu seminggu bukan berdasarkan lama waktu yang dijalankan. Rata-rata lama contoh melakukan olahraga di Medan adalah 0.88 jam, sedangkan di Jakarta Selatan 1.35 jam. Rata-rata jumlah hari olahraga dalam seminggu pada contoh di Medan 1.57 hari dan di Jakarta Selatan 2.71 hari. Keterangan ini menunjukkan bahwa contoh hanya berolahraga pada saat
48
pelajaran olahraga di sekolah sehingga belum dapat mencukupi. Penurunan titik berat pada pelajaran olahraga di sekolah dibarengi dengan penurunan fitness pada anak-anak. Aktivitas fisik yang kurang adalah risiko utama untuk perkembangan obesitas pada anak-anak dan dewasa (Institute of Medicine of the National Academies 2001). Jumlah waktu dan hari lama contoh melakukan aktivitas olahraga masih sangat minim, karena menurut Institute of Medicine of the National Academies (2001) frekuensi berolahraga empat kali seminggu dengan waktu sekitar 10 menit setiap hari lebih efektif untuk menurunkan berat badan daripada berolahraga sesekali selama 30–40 menit. Hasil uji statistik menghasilkan nilai P = 0.613 pada kota Medan dan P = 0.296 pada Jakarta Selatan. Nilai ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas berolahraga dengan kejadian kegemukan pada contoh di Medan dan Jakarta Selatan. Tabel 21 Sebaran contoh menurut aktivitas bermain dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik
Sering n
Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
%
Aktivitas Bermain Cukup n %
n
Jarang %
698 21 719
97.1 2.9 100
152 3 155
98.1 1.9 100
536 20 556
96.4 3.6 100
266 19 285
93.3 6.7 100
612 52 664
92.2 7.8 100
440 30 470
93.6 6.4 100
P Value
0.538
0.612
Tabel 21 menunjukkan distribusi dan statistik antara aktivitas bermain dengan kejadian kegemukan. Distribusi yang diperoleh pada kota Medan adalah diantara 719 contoh yang sering bermain, 21 dari mereka gemuk (2.9%). Pada 155 contoh yang cukup bermain, 3 diantaranya gemuk (1.9%), dan dari 546 contoh yang jarang bermain, 29 diantaranya gemuk (3.6%). Sedangkan di Jakarta Selatan, dari 285 contoh yang sering bermain 19 diantaranya gemuk (6.7%), dari 664 contoh yang cukup bermain 52 diantaranya gemuk (7.8%) dan dari 470 contoh yang jarang bermain, 30 diantaranya gemuk (6.4%). Proporsi dominan contoh yang mengalami kegemukan di Medan adalah pada kategori sering, sedangkan untuk Jakarta Selatan adalah kategori jarang. Rata-rata lama bermain pada contoh di Medan dalam sehari adalah 1.51 jam dan untuk contoh di Jakarta Selatan 1.72 jam. Sedangkan rata-rata jumlah hari
49
bermain dalam seminggu pada contoh di Medan adalah 4.07 hari dan 3.50 hari untuk contoh di Jakarta Selatan. Bermain disini dapat berarti aktivitas yang dilakukan di luar atau pun di dalam rumah. Tetapi yang terjadi kebanyakan pada saat ini adalah perubahan pola hidup menjadi sedentary life style, menurut Institute of Medicine of the National Academies (2001), anak-anak menghabiskan waktu yang cukup banyak bermain dengan peralatan elektronik, dari mulai komputer hingga video game, daripada bermain di luar. Hasil uji statistik menunjukkan nilai P di Medan adalah 0.538 dan 0.612 untuk Jakarta Selatan. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aktivitas bermain dengan kejadian kegemukan. Hal ini diduga karena adanya ketidakjelasan jenis aktivitas bermain apa yang dilakukan oleh contoh. Aktivitas bermain yang diharapkan berhubungan dengan kejadian kegemukan adalah aktivitas bermain di luar ruangan dengan melakukan permainan tradisional. Pada penelitian ini, fokus pertanyaan tidak jelas pada permainan tertentu, sehingga pengaruhnya tidak terlalu besar. Selain aktivitas fisik dalam bentuk olahraga, ada juga aktivitas fisik rumah tangga (household and chores), yaitu aktivitas yang dilakukan sebagai bagian dari aktivitas fisik dalam rumah (WHO 2000). Tetapi yang terjadi pada saat ini adalah tersedianya berbagai peralatan elektronik yang mendukung semua pekerjaan tersebut, sehingga aktivitas pekerjaan rumah tangga menjadi berkurang. Distribusi hasil dalam kategori ini ditunjukkan pada Tabel 21. Tabel 22 Sebaran contoh menurut aktivitas pekerjaan rumah tangga dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Aktivitas Pekerjaan Rumah Tangga Sering Cukup Jarang n % n % n % 765 22 787
97.2 2.8 100
100 5 105
95.2 4.8 100
521 17 538
96.8 3.2 100
21 2 23
91.3 8.7 100
538 32 570
94.4 5.6 100
759 67 826
91.9 8.1 100
P Value
0.543
0.195
Berdasarkan Tabel 22 diatas, dapat dilihat dari 787 contoh yang sering melakukan pekerjaan rumah tangga, 22 diantaranya gemuk (2.8%), dari 105 contoh yang cukup melakukan pekerjaan rumah tangga, 5 diantaranya mengalami kegemukan (4.8%), dan dari 538 contoh yang jarang melakukan
50
pekerjaan rumah tangga, 17 diantaranya gemuk (3.2%). Sedangkan di Jakarta Selatan, dari 23 contoh yang sering melakukan pekerjaan rumah tangga, 2 diantaranya gemuk (8.7%), dari 570 contoh yang sering melakukan pekerjaan rumah tangga, 32 diantaranya gemuk (5.6%), dan dari 826 contoh yang jarang melakukan pekerjaan rumah tangga, 67 diantaranya gemuk (8.1%). Terjadi perbedaan mendasar pada proporsi dominan antara kedua kota, di Medan proporsi dominan pada contoh yang gemuk justru pada kategori sering, sedangkan di Jakarta Selatan pada kategori jarang. Rata-rata lama contoh melakukan pekerjaan rumah tangga dalam sehari di Medan adalah 0.92 jam, sedangkan di Jakarta Selatan adalah 0.63 jam. Sedangkan rata-rata jumlah hari melakukan pekerjaan rumah tangga dalam seminggu pada contoh di Medan adalah 4.15 hari dan di Jakarta Selatan 2.06 hari. Dalam kehidupan modern saat ini, sudah diciptakan berbagai macam perlengkapan rumah tangga yang dapat membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga sehingga lebih mudah, cepat, dan ringkas. Pada dasarnya pekerjaan rumah tangga apabila dikerjakan secara manual akan memberikan kontribusi besar pada pembakaran kalori (WHO 2000). Hasil uji statistik menunjukkan hasil dengan nilai P sebesar 0.543 untuk Medan dan 0.195 untuk Jakarta Selatan. Kedua nilai P tersebut memberikan arti bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aktivitas pekerjaan rumah tangga dengan kejadian kegemukan, baik di Medan maupun di Jakarta Selatan. Hal ini diduga karena tidak ada kejelasan tentang jenis pekerjaan rumah tangga tertentu yang dilakukan oleh contoh, sehingga pengaruhnya tidak terlalu besar. Kejelasan dan persamaan persepsi amat dibutuhkan agar dicapai hasil yang lebih signifikan. Selain aktivitas yang biasa dilakukan sehari-hari oleh contoh, alat transportasi untuk bersekolah maupun bepergian patut diperhitungkan, karena hal tersebut juga akan mempengaruhi besar kecilnya aktivitas fisik yang dilakukan. Alat transportasi ke sekolah maupun bepergian dibagi ke dalam dua kategori, yaitu jalan kaki/bersepeda dan memakai kendaraan. Berkendaraan disini termasuk ke dalamnya mobil, sepeda motor, becak, dan angkutan umum. Sebaran contoh berdasarkan cara transportasi ke sekolah maupun bepergian dapat dilihat pada Tabel 23 dan 24.
51
Tabel 23 Sebaran contoh menurut cara transportasi ke sekolah dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Gemuk Tidak Gemuk Total Jakarta Selatan Gemuk Tidak Gemuk Total
Cara Transportasi Jalan Kaki/Sepeda Kendaraan N % n % 11 504 515
2.1 97.9 100
33 882 915
3.6 96.4 100
-
-
101 1318 1419
7.1 92.9 100
P Value
0.122
-
Berdasarkan Tabel 23 diketahui bahwa sebanyak 11 dari 515 contoh yang mengalami kegemukan di Medan (2.1%), berjalan kaki atau menggunakan sepeda ketika pergi ke sekolah, sedangkan contoh yang gemuk dan menggunakan kendaraan adalah sebanyak 33 dari 915 contoh (3.6%). Hal yang terjadi di Jakarta Selatan adalah seluruh contoh menggunakan kendaraan ketika pergi ke sekolah dan 7.1% diantaranya mengalami kegemukan. Proporsi dominan pada kedua kota baik contoh yang gemuk maupun tidak gemuk adalah kategori naik kendaraan. Hal ini diduga terjadi karena pertimbangan jarak antara rumah ke sekolah masing-masing yang tidak memungkinkan contoh untuk berjalan kaki. Walaupun begitu, dewasa ini ada penurunan aktivitas fisik pada populasi yang mengkontribusi peningkatan kegemukan (Barasi & Mottram 1987). Penggunaan sepeda sebagai salah satu alat transportasi saat ini merupakan suatu kebiasaan yang baik dan perlu dilestarikan. Selain dapat membakar kalori lebih banyak, alat transportasi ini juga ramah lingkungan dan sangat sesuai dengan isu global warming dewasa ini. Hasil uji statistik menggunakan chi square menghasilkan nilai P = 0.122, yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara cara transportasi contoh ke sekolah dengan kejadian kegemukan. Uji statistik tidak dapat dilakukan di Jakarta Selatan karena tidak ada keragaman dalam jawaban sehingga hasilnya konstan.
52
Tabel 24 Sebaran contoh menurut cara transportasi bepergian dan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Cara Transportasi Jalan Kaki/Sepeda Kendaraan n % n % 282 8 290
97.2 2.8 100
1104 36 1140
96.8 3.2 100
295 17 312
94.6 5.4 100
1023 84 1107
92.4 7.6 100
P Value
0.725
0.194
Tabel 24 diatas menunjukkan sebaran contoh dan uji statistik menurut cara transportasi ketika bepergian dengan kejadian kegemukan. Hal yang terjadi di Medan dari 290 contoh yang berjalan kaki atau bersepeda ketika bepergian, 8 diantaranya mengalami kegemukan (2.8%), dan dari 1140 contoh yang menggunakan kendaraan saat bepergian, 36 diantaranya gemuk (3.2%). Setelah diuji dengan menggunakan chi square, didapat nilai P = 0.725, yang mengindikasikan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara cara transporstasi saat bepergian dengan kejadian kegemukan di Medan. Sebaran contoh di Jakarta Selatan antara lain pada 312 contoh yang bersepeda atau berjalan kaki, 17 diantaranya gemuk (5.4%) dan dari 1107 contoh yang menggunakan kendaraan, 84 diantaranya gemuk (7.6%). Nilai P yang didapat dari uji statistik adalah 0.194, yang mengindikasikan tidak ada hubungan yang signifikan juga antara cara transportasi saat bepergian dengan kejadian kegemukan di Jakarta Selatan. Tidak berbeda dengan cara transportasi ke sekolah, pada variabel ini juga proporsi dominan di kedua kota baik yang gemuk maupun tidak termasuk dalam kategori naik kendaraan. Hal ini dapat terjadi diduga karena pertimbangan jarak dalam bepergian. Hal lain yang dapat menjadi penyebab adalah karena kemajuan teknologi, tersedianya sarana pengangkutan misalnya menurut Rimbawan dan Siagian (2004), membuat orang e l bih memilih naik kendaraan daripada berjalan kaki walaupun pada jarak yang tidak jauh. Selain itu, orang lebih memilih naik eskalator atau lift daripada naik tangga. Akibatnya adalah menurunnya aktivitas fisik yang berarti makin sedikit energi yang digunakan dan makin banyak energi yang ditimbun.
53
Kebiasaan Makan Pola makan akan menentukan status gizi seseorang. Pola makan dan kebiasaan makan terbentuk dari lingkungan yang paling kecil, yaitu keluarga, yang kemudian akan berkembang seiring pengaruh dari lingkungan tempat contoh berinteraksi. Khumaidi (1994) dalam Andiyanti (2002) menyatakan bahwa kebiasaan makan adalah bagaimana tindakan manusia terhadap makan dan makanan yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan perasaan apa yang dirasakan serta persepsi tentang hal tersebut. Perilaku makan didefinisikan oleh Barasi dan Mottram (1987) meliputi pemilihan makanan, cara makan, penyiapan makanan, jumlah makanan yang dimakan perhari, waktu makan, dan ukuran porsi makan. Kebiasaan makan yang dilihat disini sangat beragam, mulai dari kebiasaan sarapan pagi, kebiasaan makan bersama keluarga dan frekuensi makan sehari, kebiasan jajan (mulai dari jajan gorengan, makanan manis, makanan asin, makanan rebus/kukus), kebiasaan ngemil dan jenis camilan yang dikonsumsi, konsumsi sayur dan buah selama seminggu, konsumsi daging, konsumsi makanan berlemak, konsumsi gorengan, konsumsi fast food, dan konsumsi soft drink. Kebiasaan Sarapan Pagi Sarapan pagi merupakan waktu makan yang paling penting terutama bagi anak sekolah dan remaja karena asupan makanan yang cukup dapat membantu stimulasi otak mereka di sekolah untuk dapat melakukan kegiatan belajar. Tabel 25 menunjukkan distribusi dan statistik contoh berdasarkan kebiasaan sarapan pagi dan hubungannya dengan kegemukan. Tabel 25. Sebaran contoh menurut kebiasaan sarapan dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik n Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Kebiasaan Sarapan Ya Tidak % n %
1097 33 1130
97.1 2.9 100
289 11 300
96.3 3.7 100
949 72 1021
92.9 7.1 100
369 29 398
92.7 7.3 100
P Value
0.506
0.877
Sarapan pagi sudah menjadi budaya masyarakat terlihat pula dari sebaran contoh, hanya sebagian kecil contoh yang tidak terbiasa sarapan pagi. Pada kasus di Medan, sebanyak 33 dari 1130 contoh yang biasa sarapan pagi
54
mengalami kegemukan (2.9%) dan sebanyak 11 dari 300 contoh yang tidak biasa sarapan, mengalami kegemukan (3.7%). Sedangkan di Jakarta Selatan, dari 1021 contoh yang biasa sarapan, 72 diantaranya mengalami kegemukan (7.1%). Kemudian dari 398 contoh yang tidak biasa sarapan, 29 diantaranya mengalami kegemukan (7.3%). Menurut Siagian (2004), sarapan pagi dipercaya dapat berperan mengurangi rasa lapar pada siang dan malam hari sehingga seseorang cenderung lebih sedikit mengonsumsi makanan pada siang dan malam hari. Jenis sarapan yang biasa dikonsumsi oleh contoh beraneka ragam, tetapi sebagian besar contoh mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok ketika sarapan. Pada contoh di Medan, yang paling dominan adalah nasi dengan lauk ikan yang dikonsumsi untuk sarapan, sedangkan di Jakarta Selatan, nasi goreng dan nasi uduk yang dominan. Beberapa contoh mengonsumsi makanan tradisional daerahnya sebagai menu sarapan, seperti nasi gurih di Medan dan nasi ulam di Jakarta Selatan. Hasil uji statistik menggunakan chi square mendapatkan nilai P > 0.05 pada kedua kota, berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan sarapan pagi dengan kejadian kegemukan di Medan maupun Jakarta Selatan. Sedangkan menurut Siagian (2004), orang yang tidak pernah sarapan atau mengonsumsi makanan pada pagi hari berisiko menderita obesitas 4,5 kali lebih tinggi daripada orang yang sarapan secara teratur. Para peneliti juga menemukan bahwa asupan energi cenderung meningkat ketika sarapan dilewatkan. Frekuensi Makan Harian Suhardjo (1989) dalam Andiyanti (2002) menyatakan bahwa kebiasaan makan adalah suatu gejala budaya dan sosial yang dapat memberi gambaran perilaku dengan nilai-nilai yang dianut seseorang atau suatu kelompok dalam masyarakat. Budaya makan yang beredar di Indonesia adalah dengan frekuensi tiga kali per hari, tetapi masih ada juga yang kurang bahkan lebih dari itu. Tabel 26 menujukkan distribusi contoh berdasarkan frekuensi makan dalam sehari dan hubungannya dengan kejadian kegemukan.
55
Tabel 26 Sebaran contoh menurut frekuensi makan harian dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Frekuensi Makan Harian 3 kali/hari 2 kali/hari 1 kali/hari n % n % n % 988 32 1020
96.9 3.1 100
370 11 381
96.3 3.7 100
28 1 29
96.6 3.4 100
877 71 948
92.5 7.5 100
391 26 417
93.8 6.2 100
50 4 54
92.6 7.4 100
P Value
0.965
0.706
Frekuensi makan sehari yang umum adalah 3 kali sehari. Begitu juga dengan hasil pada penelitian ini, di Medan dari 1020 contoh dengan 3 kali makan, 32 diantaranya gemuk (3.1%), dari 381 contoh dengan 2 kali makan 3.7% dari mereka gemuk, dan diantara contoh yang hanya makan sekali sehari, 3.4% dari mereka gemuk. Lain halnya dengan keadaan di Jakarta Selatan, dimana pada 948 contoh dengan waktu makan 3 kali, 71 diantaranya gemuk (7.5%), dari 417 contoh dengan waktu makan 2 kali 6.2% dari mereka gemuk dan dari 54 contoh yang hanya makan sekali 7.4% diantaranya gemuk. Nilai P yang dihasilkan dari uji statistik bivariat mendapatkan 0.877 untuk Medan dan 0.532 untuk Jakarta Selatan. Hal ini berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara frekuensi makan harian contoh dengan kecenderungan contoh mengalami kegemukan. Tidak adanya hubungan yang signifikan pada kategori ini diduga disebabkan karena sebagian besar contoh terbiasa makan dengan frekuensi 3 kali sehari, sehingga keragaman kurang terjadi. Beberapa penelitian justru mengemukakan bahwa semakin sering seseorang mengonsumsi makanan, maka semakin kecil pula risikonya untuk menderita obesitas (Siagian 2004). Hal ini disebabkan karena frekuensi makan yang rendah berkaitan dengan sekresi insulin yang tinggi. Insulin disini berperan sebagai penghambat enzim lipase, sehingga proses pemecahan lemak terhambat. Makin banyak insulin dihasilkan, semakin banyak pemecahan lemak terhambat, maka semakin banyak pula lemak yang tertimbun dalam tubuh. Kebiasaan Makan Bersama Keluarga Kebiasaan makan keluarga juga merupakan faktor penentu seseorang menjadi gemuk. Hal ini terjadi pada keluarga yang memiliki kebiasaan makan dalam porsi yang besar, frekuensi lebih sering, selalu punya persediaan makanan kecil, serta sering makan di luar waktu makan (Taviano 2005). Selain
56
mempengaruhi kegemukan, kebiasaan makan bersama keluarga juga dapat mempererat kehangatan antar keluarga. Distribusi dan statistik contoh menurut kebiasaan makan malam keluarga dan hubungannya dengan kejadian kegemukan dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Sebaran contoh menurut kebiasaan makan bersama keluarga dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Makan Malam Bersama Keluarga Ya Tidak n % n % 736 31 767
96.0 4.0 100
650 13 663
98.0 2.0 100
632 53 685
92.3 7.7 100
686 48 734
93.5 6.5 100
P Value
0.023
0.381
Pada contoh yang berada di Medan, 31 dari 767 contoh yang terbiasa makan malam bersama keluarga mengalami kegemukan (4.0%), sedangkan 13 contoh gemuk lainnya tidak terbiasa makan malam bersama keluarga. Nilai uji statistik menghsilkan P = 0.023 (P < 0.05) yang mengindikasikan bahwa terdapat hubungan yang sgnifikan antara kebiasaan makan malam bersama keluarga dengan kejadian kegemukan di Medan. Berbeda dengan Medan, di Jakarta Selatan, 53 dari 632 contoh yang terbiasa makan malam bersama keluarga mengalami kegemukan (7.7%) dan 48 dari 734 contoh yang tidak terbiasa makan malam bersama keluarga yang mengalami kegemukan (6.5%). Tetapi nilai P yang didapat di kota ini adalah 0.381 (P > 0.05). Sehingga kebiasaan makan malam bersama keluarga tidak berhubungan signifikan di Jakarta Selatan dengan kejadian kegemukan. Fakta yang didapat dari hasil penelitian adalah proporsi dominan pada contoh yang gemuk terdapat pada kategori terbiasa makan malam bersama keluarga. Tetapi remaja adalah masa dimana terbentuknya suatu karakter yang sulit. Menurut Hui (1985), remaja yang mempertahankan individualismenya akan menolak kebiasaan makan yang berlaku di keluarganya. Peningkatan aktivitas sosial berhubungan dengan penetapan pola makan. Kebiasaan Ngemil Istilah ngemil biasa digambarkan untuk kegiatan makan diluar jam makan utama. Telah diketahui bahwa peningkatan kegiatan ngemil trutama ketika berdekatan dengan waktu makan utama akan menurunkan selera makan (Hui
57
1986). Berikut ini merupakan sebaran contoh berdasarkan kebiasaan ngemil dan hubungannya dengan kegemukan. Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan ngemil dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik
Ya n
Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Kebiasaan Ngemil Tidak % n %
1054 35 1089
96.8 3.2 100
332 9 341
97.4 2.6 100
1046 79 1125
93.0 7.0 100
272 22 294
92.5 7.5 100
P Value
0.592
0.784
Berdasarkan tabel diatas, diketahui dari 1089 contoh di Medan yang terbiasa ngemil, hanya 3.2% atau 35 contoh diantaranya yang mengalami kegemukan, dan dari 341 contoh yang tidak terbiasa ngemil, 9 contoh atau 2.6% diantaranya mengalami kegemukan. Hal yang terjadi di Jakarta Selatan adalah, dari 1125 contoh yang terbiasa ngemil, ada 79 contoh (7.0%) yang termasuk ke dalam kategori gemuk, dan dari 294 contoh yang tidak terbiasa ngemil, ada 22 conth (7.5%) yang mengalami kegemukan. Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan chi square, didapatkan nilai P > 0.05 untuk kedua kota. Hal ini sebagai indikator bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan ngemil dengan kejadian kegemukan di kedua kota. Walaupun hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan, tetapi dari sebaran data dapat terlihat bahwa contoh di kedua kota yang mengalami kegemukan cenderung terbiasa untuk ngemil. Kebiasaan ini tidak buruk apabila dimaksudkan untuk membantu penyediaan energi yang kurang dari asupan makanan utama sehari-hari, tetapi perlu diperhatikan jenis camilannya. Tidak adanya hubungan yang signifikan pada kedua kota diduga disebabkan oleh jenis camilan yang biasa dikonsumsi. Tidak ada bantahan bahwa beberapa jenis camilan tremasuk bergizi. Pendidikan gizi yang baik dari orang tua dapat mendorong kecenderungan pola ngemil yang baik pada contoh. Camilan dikatakan buruk apabila berlebihan kandungan gula, garam, dan lemak, tetapi rendah protein, vitamin, dan mineral (Hui 1985). Berikut ini merupakan sebaran contoh berdasarkan jenis camilan yang disukai dan hubungannya dengan kejadian overweight dan obesitas.
58
Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan jenis camilan dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik
%
Jenis Camilan Makanan Gorengan Ringan n % n %
136 3 139
97.8 2.2 100
600 24 624
96.2 3.8 100
202 7 209
64 6 70
91.4 8.6 100
698 50 748
93.3 6.7 100
86 4 90
Permen n
Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Lainnya n
%
96.7 3.3 100
120
100.0
120
100
95.6 4.4 100
198 19 217
91.2 8.8 100
P Value
0.239
0.672
Tabel 29 memperlihatkan berbagai macam kategori camilan, yaitu permen, makanan ringan, gorengan, dan lainnya. Pada contoh yang berada di Medan, 3 dari 139 contoh yang menyukai permen termasuk gemuk (2.2%), 24 dari 624 contoh yang menyukai makanan ringan termasuk gemuk (3.8%), begitu pula dengan 7 dari 209 contoh yang menyukai gorengan (3.3%). Sedangkan yang termasuk ke dalam kategori lainnya seluruhnya adalah contoh yang tidak gemuk. Pada contoh yang berada di Jakarta Selatan, 6 dari 70 contoh yang menyukai permen termasuk dalam kategori gemuk (8.6%), begitu juga dengan 50 dari 748 contoh yang menyukai makanan ringan (6.7%), 4 dari 90 contoh yang menyukai gorengan (4.4%), serta 19 dari 217 contoh menyukai selain dari kategori camilan diatas (8.8%). Jenis camilan yang paling banyak diminati pada kedua kota adalah makanan ringan. Makanan ringan disini termasuk ke dalam makanan kemasan yang biasa dijual di pasaran. Contoh camilan yang baik yang dapat membantu penyediaan energi untuk anak adalah seiris keju, sepotong cracker gandum, aau sebuah pisang yang dimakan pada pertengahan pagi atau siang hari (Hui 1986). Hasil uji statistik bivariat mendapatkan nilai P > 0.05 untuk kedua kota. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis camilan dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan. Tidak adanya hubungan antara kebiasaan ngemil dan jenis camilan dengan kejadian gemuk diduga karena jenis camilan yang paling banyak disukai adalah jenis makanan ringan. Pada jenis camilan ini kandungan kalori maupun lemak tidak terlalu tinggi, jenis ini hanya tinggi pada kandungan natrium. Sehingga, walaupun
59
contoh terbiasa biasa mengonsumsi camilan, hal tersebut tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kenaikan berat badan. Konsumsi Sayuran dan Buah-Buahan Sayuran dan buah-buahan sangat penting untuk pemenuhan kebutuhan vitamin, mineral, dan serat bagi tubuh, selain sebagai sarana untuk pencegah kegemukan. Oleh karena konsumsinya dianjurkan setiap hari. Tabel 30 menunjukkan distribusi dan statistik contoh berdasarkan frekuensi konsumsi sayuran dan hubungannya dengan kejadian kegemukan. Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi sayuran dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Frekuensi Konsumsi Sayuran dalam Seminggu Tidak Setiap Hari 4-6 kali 1-3 kali Pernah n % n % n % n % 693 23 716
96.8 3.2 100
135 6 141
95.7 4.3 100
491 13 504
97.4 2.6 100
67 2 69
97.1 2.9 100
80 7 87
92.0 8.0 100
222 10 232
95.7 4.3 100
742 47 789
94.0 6.0 100
274 37 311
88.1 11.9 100
P Value
0.771
0.002
Tabel 30 menggambarkan sebaran konsumsi sayuran contoh, dimana yang terjadi di Medan adalah 23 dari 716 contoh yang mengonsumsi sayuran setiap hari mengalami kegemukan (3.2%), begitu pula dengan 6 dari 141 contoh (4.3%) yang mengonsumsi 4-6 kali per minggu, 13 dari 504 (2.6%) contoh yang mengonsumsi 1-3 kali per minggu, serta hanya 2 dari 67 contoh (2.9%) yang tidak pernah mengonsumsi sayuran menjadi gemuk. Keadaan di Jakarta Selatan adalah sebanyak 7 dari 87 contoh (8.0%) yang mengonsumsi sayuran setiap hari mengalami kegemukan, begitu juga pada 10 dari 232 contoh (4.3%) yang mengonsumsi buah 4-6 kali per minggu. Sebanyak 47 dari 789 contoh (6.0%) yang mengonsumsi sayuran setiap hari termasuk ke dalam kategori gemuk, begitu juga dengan 37 dari 274 contoh (11.9%) yang tidak pernah mengonsumsi sayuran. Uji statistik dengan menggunakan chi square mendapatkan nilai P = 0.771 di Medan dan P = 0.002 di Jakarta Selatan. Kedua nilai P ini memberikan arti yang berbeda. Nilai P yang diperoleh mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan konsumsi sayuran dengan kejadian
60
kegemukan di Medan, tetapi berhubungan secara signifikan pada contoh yang berada di Jakarta Selatan. Menurut Hui (1985), sayuran dan juga buah-buahan dapat mencegah kejadian obesitas karena dapat mengurangi rasa lapar tetapi tidak menimbulkan kelebihan lemak dan sebagainya. Selain itu, juga membantu memperlancar pencernaan dan mencegah konstipasi pada anak. Hasil uji statistik di Medan yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara konsumsi sayuran dengan kegemukan diduga karena contoh yang berada di Medan cenderung lebih sering mengonsumsi sayuran dibandingkan dengan contoh yang ada di Jakarta Selatan. Sebaran data pada Tabel 30 menunjukkan bahwa proporsi dominan di kota ini adalah pada kategori setiap hari. Berbeda dengan Jakarta Selatan, dimana proporsi yang paling dominan adalah pada kategori 1-3 kali per minggu. Selain itu, hasil hubungan yang tidak signifikan diduga karena penelitian ini hanya memperhatikan frekuensi contoh dalam mengonsumsi dalam seminggu tanpa dilihat kuantitas dan kualitasnya. Walaupun contoh mengonsumsi sayuran setiap hari, tetapi dalam jumlah yang sedikit atau jenis yang tidak sesuai, maka belum tentu dapat memenuhi ketentuan untuk sampai kepada tindakan pencegahan kegemukan. Bahkan belum juga dapat diketahui apakah konsumsi contoh sudah memenuhi kebutuhan yang dianjurkan. Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi buah-buahan dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Frekuensi Konsumsi Buah dalam Seminggu Tidak Setiap Hari 4-6 kali 1-3 kali Pernah n % n % n % n % 266 12 278
95.7 4.3 100
170 6 176
96.6 3.4 100
900 26 926
97.2 2.8 100
50 0 50
100 0 100
495 34 529
93.6 6.4 100
181 9 190
95.3 4.7 100
621 53 674
92.1 7.9 100
21 5 26
80.8 19.2 100
P Value
0.346
0.039
Berdasarkan Tabel 31, sebanyak 4.3% dari 278 contoh di Medan yang mengonsumsi buah-buahan setiap hari akan menjadi gemuk, demikian pula dengan 3.4% dari 176 contoh yang konsumsinya 4-6 kali per minggu, serta 2.8% dari 926 contoh yang konsumsinya sebanyak 1-3 kali per minggu. Sedangkan
61
dari 50 contoh di Medan yang tidak pernah mengonsumsi buah-buahan, seluruhnya termasuk ke dalam kategori tidak gemuk. Pada contoh di Jakarta Selatan, dari 529 contoh yang mengonsumsi buah-buahan setiap hari, 6.4% diantaranya termasuk ke dalam ketegori gemuk, beigtu pula dengan 4.7% dari 190 contoh yang konsumsinya 4-6 kali per minggu, dan 7.9% dari 674 contoh yang konsumsinya 1-3 kali per minggu. Berbeda dengan kejadian di Medan, dari 26 contoh yang tidak pernah mengonsumsi buah-buahan, terdapat 5 contoh diantaranya atau 19.2% mengalami kegemukan. Nilai P yang didapat pada kategori ini adalah P = 0.346 untuk Medan dan P = 0.039 untuk Jakarta Selatan. Hal ini berarti frekuensi konsumsi buah-buahan tidak berhubungan secara signifikan di Medan, tetapi berhubungan secara signifikan di Jakarta Selatan. Penelitian Newby et al. (2005) menyatakan bahwa pola makan tinggi serat, seperti konsumsi sayuran, buah-buahan, sereal, dan kacang-kacangan berhubungan terbalik dengan IMT, overweight, dan obesitas. Selain itu penelitian Drapeau et al. (2004) menyatakan bahwa konsumsi sayuran dan buah-buahan yang tinggi dapat menurunkan berat badan atau mencegah kenaikan berat badan. Konsumsi Fast food dan Soft drink Konsumsi fast food dan soft drink yang berlebihan tidak baik untuk kesehatan, karena kedua jenis makanan tersebut mengandung kalori yang sangat tinggi. Tetapi usia anak sekolah dan remaja merupakan usia yang menjadi tujuan produsen fast food dan soft drink, karena mudah didapat di pusat perbelanjaan dan praktis. Maraknya restoran fast food mempermudah pula akses memperoleh makanan bagi masyarakat. Faktor utama yang berkontribusi pada epidemi dari obesitas sekarang ini adalah meningkatnya proporsi makanan dari luar rumah (eating out) bersamaan dengan kemudahan akses mendapatkan makanan di berbagai lokasi (Institute of Medicine of the National Academies 2001). Tabel 32 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan frekuensi fast food dan hubungannya dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.
62
Tabel 32 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi fast food dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Frekuensi Konsumsi Fast food dalam Seminggu Tidak Pernah 1-3 kali 4-6 kali Setiap Hari n % n % n % n % 506 10 516
98.1 1.9 100
747 29 776
96.3 3.7 100
106 5 111
95.5 4.5 100
27 0 27
100 0 100
40 2 42
95.2 4.8 100
510 47 557
91.6 8.4 100
173 7 180
96.1 3.9 100
595 45 640
93.0 7.0 100
P Value
0.172
0.198
Merajalelanya berbagai jenis rumah makan cepat saji dewasa ini juga memberikan kontribusi terhadap meningkatnya prevalensi kegemukan di Indonesia. Kesukaan masayarakat, terutama anak sekolah dan remaja terhadap produk fast food ini ditandai dengan frekuensi mereka mengonsumsi makanan jenis ini. Pada contoh di Medan, ternyata masih ada 516 contoh yang tidak pernah mengonsumsi fast food dalam seminggu terakhir, dan 10 contoh (1.9%) diantaranya gemuk. Selain itu, ada 776 contoh yang mengonsumsinya 1-3 kali dalam seminggu dan 29 contoh (3.7%) diantaranya gemuk. Ada pula 111 contoh yang mengonsumsi fast food 4-6 kali per minggu dan 5 contoh (4.5%) diantaranya gemuk, tetapi dari 27 contoh yang mengonsumsi fast food setiap hari tidak ada satu pun diantara mereka yang mengalami kegemukan. Hasil uji statistik mendapatkan nilai P = 0.172 yang artinya frekuensi konsumsi fast food tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian kegemukan. Pada contoh yang berada di Jakarta Selatan, terdapat 42 contoh yang tidak pernah mengonsumsi fast food selama seminggu terakhir, tetapi 4.8% diantaranya mengalami kegemukan. Pada 557 contoh yang mengonsumsi fast food 1-3 kali per minggu, sebanyak 8.4% diantaranya mengalami kegemukan, pada 180 contoh yang mengonsumsi fast food 4-6 kali per minggu, sebanyak 3.9% diantaranya mengalami kegemukan. Proporsi contoh paling banyak di Jakarta Selatan adalah yang mengonsumsi fast food setiap hari yaitu 674 contoh dan 7.0% diantaranya mengalami kegemukan. Hasil uji statistik dengan chi square mendapatkan nilai P = 0.198, yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara konsumsi fast food dengan kejadian kegemukan di kota ini. Hasil uji statistik pada kedua kota berbeda dengan hal yang dikemukakan pada teori. Beberapa teori menyatakan bahwa peningkatan konsumsi fast food akan berkonstribusi pada peningkatan overweight pada anak. Karena menurut
63
Asche (2005), konsumsi fast food akan menyebabkan peningkatan asupan kalori, lemak, dan lemak jenuh, jumlah karbohidrat , gula tambahan, peningkatan pada konsumsi minuman ringan, serta berkurangnya konsumsi susu, serat, serta sayuran. Konsumsi fast food juga dianggap tidak baik untuk kesehatan, karena konsumsi fast food tidak memenuhi kebutuhan asupan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan optimal bagi anak. Peningkatan
konsumsi
fast
food
biasanya
diikuti
juga
dengan
peningkatan konsumsi soft drink. Menurut Vartanian, Schwartz, dan Brownell (2007), soft drink berkarbonasi adalah salah satu sumber terbesar asupan kalori pada menu makanan di Amerika Serikat. Perusahaan minuman di negara itu memproduksi minuman soda untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya (sekitar 52 galon), baik pria, wanita, maupun anak-anak. Jumlah produksi yang demikian besar seolah membuktikan semakin besar pula kebutuhan dan keinginan masyarakat dewasa ini akan soft drink. Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi soft drink dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik
Frekuensi Konsumsi Soft drink dalam Seminggu Tidak 1-3 kali 4-6 kali Setiap Hari Pernah n
Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
%
n
%
n
%
459 10 469
97.9 2.1 100
755 24 779
96.9 3.1 100
83 5 88
-
-
674 45 719
93.7 6.3 100
-
n
%
94.3 5.7 100
89 5 94
94.7 5.3 100
-
644 56 700
92.0 8.0 100
P Value
0.172
0.202
Konsumsi soft drink dengan frekuensi yang sering juga tidak memberikan dampak yang baik, karena kandungan gula yang tinggi dalam soft drink. Bertolak dengan kandungannya yang berdampak buruk, masyarakat sangat menyukai jenis minuman ini. Pada kasus di Medan misalnya, terdapat 94 contoh yang setiap hari konsumsi soft drink dan 5.3% diantaranya gemuk, terdapat pula 88 contoh yang konsumsinya 4-6 kali dalam seminggu dan 5.7% diantara mereka gemuk, begitu pula pada 779 contoh yang konsumsinya 1-3 kali per minggu dan 3.1% diantaranya gemuk. Tetapi masih ada juga yang tidak pernah mengonsumsi jenis minuman ini, yaitu sebanyak 469 contoh dan 2.1% diantaranya termasuk ke dalam kategori gemuk. Pada kasus di Jakarta Selatan contoh hanya terbagi ke dalam dua kelompok kategori, yaitu kategori contoh yang konsumsinya 1-3 kali per minggu
64
dan contoh yang setiap hari mengonsumsi dengan proporsi yang hampir seimbang. Contoh dengan frekuensi konsumsi 1-3 kali per minggu sebanyak 719 contoh dan 45 contoh (6.3%) diantaranya mengalami kegemukan. Sedangkan contoh yang konsumsi minuman ini setiap hari sebanyak 700 contoh dan 56 contoh (8%) diantaranya mengalami kegemukan. Setelah diuji dengan menggunakan chi square, didapatkan nilai P > 0.05 untuk kedua kota. Nilai ini mengindikasikan bahwa frekuensi konsumsi soft drink tidak berhubungan secara nyata dengan kejadian kegemukan, baik di Medan maupun di Jakarta Selatan. Hal n i i diduga karena penelitian yang dilakukan hanya melihat frekuensi contoh dalam mengonsumsi tanpa memperhatikan kuantitasnya. Selain itu, walaupun kalori yang terkandung dalam soft drink sangat tinggi, namun masih banyak sumber kalori yang mungkin didapatkan dari sumber makanan yang lain. Seperti penelitian yang terdapat dalam Vartanian, Schwartz, dan Brownell (2007), yang mengemukakan bahwa hanya terdapat hubungan yang lemah antara konsumsi soft drink dengan berat badan, karena masih banyak sumber kalori lain dalam makanan. Bersamaan dengan itu, ditemukan bahwa terdapat hubungan yang lemah antara asupan soft drink dengan penurunan asupan susu, kalsium, buah, dan serat. Ada juga beberapa penelitian yang menyatakan walaupun soft drink bukan satu-satunya penyebab obesitas, namun termasuk ke dalam daftar utama penyebab obesitas (Vartanian, Schwartz, dan Brownell 2007). Soft drink dapat dinyatakan sebagai salah satu penyebab obesitas karena kandungan kalorinya yang tinggi. Kasus yang terjadi dari 21 penelitian, 19 diantaranya menunjukkan bahwa seseorang yang minum lebih banyak soft drink, maka semakin tinggi pula asupan kalori. Konsumsi Makanan Berlemak dan Gorengan Makanan berlemak, daging, dan gorengan tidak dapat dipungkiri terasa lezat di mulut, tetapi membawa dampak yang buruk bagi kesehatan. Selain kandungan lemaknya yang cukup tinggi dan menyebabkan kegemukan, kandungan kolesterolnya juga berbahaya bagi kesehatan jantung. Distribusi dan statistik contoh mengenai frekuensi konsumsi makanan berlemak, daging, dan gorengan selama seminggu dan hubungannya dengan kejadian kegemukan dapat dilihat pada Tabel 34, 35, dan 36.
65
Tabel 34 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makanan berlemak dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik
Frekuensi Konsumsi Makanan Berlemak dalam Seminggu Tidak 1-3 kali 4-6 kali Setiap Hari Pernah n
Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
%
n
%
n
%
497 14 511
97.3 2.7 100
791 27 818
96.7 3.3 100
73 3 76
123 18 141
87.2 12.8 100
726 52 778
93.3 6.7 100
193 11 204
n
%
96.1 3.9 100
25 0 25
100 0 100
94.6 5.4 100
276 20 296
93.2 6.8 100
P Value
0.725
0.046
Berdasarkan Tabel 34, frekuensi konsumsi makanan berlemak contoh yang paling banyak adalah 1-3 kali, dimana terdapat 818 contoh yang termasuk ke dalam kategori ini dan 3.3% diantaranya termasuk ke dalam kategori gemuk. Berikutnya adalah contoh yang tidak pernah konsumsi makanan berlemak sebanyak 511 contoh dan 2.7% diantaranya mengalami kegemukan. Contoh yang termasuk ke dalam kategori 4-6 kali per minggu ada 76 contoh dan 3.9% diantaranya termasuk ke dalam kategori gemuk. Masih ada juga 25 contoh yang mengonsumsi makanan berlemak setiap hari, tetapi seluruhnya termasuk ke dalam kategori tidak gemuk. Hasil uji statistik untuk kota ini adalah P = 0.725 yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi makanan berlemak dengan kejadian kegemukan. Tidak berbeda dengan di Medan, proporsi contoh yang paling besar di Jakarta Selatan juga terdapat ada kategori 1-3 kali per minggu, yaitu sebanyak 778 contoh dan 6.7% diantaranya mengalami kegemukan. Dilanjutkan dengan contoh yang setiap hari mengonsumsi makanan berlemak, yaitu sebnayak 296 contoh dan 6.8% diantaranya mengalami kegemukan. Sebanyak 204 contoh termasuk ke dalam kategori 4-6 kali per minggu dan 5.4% diantaranya mengalami kegemukan. Kategori yang paling kecil adalah contoh yang tidak pernah mengonsumsi makanan berlemak selama seminggu terakhir yaitu sebanyak 141 contoh dan 12.8% dari mereka termasuk gemuk. Hasil uji statistik mendapatkan nilai P = 0.046 yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi makanan berlemak dengan kejadian kegemukan di kota ini. Adanya
hubungan
yang
signifikan
disebabkan
karena
lemak
mengandung kalori dua kali lebih banyak dibandingkan protein. Makan makanan
66
berlemak dengan jumlah yang sama dengan protein akan memberikan energi yang lebih besar. Selain itu, makanan berlemak terasa lezat dan memiliki ”mouth-feel” yang enak. Makanan berlemak biasanya rendah serat, sehingga lebih lembut dan hanya memerlukan sedikit waktu untuk dikunyah dan ditelan daripada jenis makanan lain (Atkinson 2005). Tabel 35 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi daging dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik
Frekuensi Konsumsi Daging dalam Seminggu Tidak 1-3 kali 4-6 kali Setiap Hari Pernah n
Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
%
n
%
n
377 9 386
97.7 2.3 100
906 31 937
96.7 3.3 100
75 4 79
470 26 496
94.8 5.2 100
510 49 559
91.2 8.8 100
236 11 247
%
n
%
94.9 5.1 100
28 0 28
100 0 100
95.5 4.5 100
102 15 117
87.2 12.8 100
P Value
0.420
0.004
Konsumsi daging bukan hanya dapat mempengaruhi gemuk tidaknya seseorang, tetapi juga dapat memperlihatkan status ekonomi orang tersebut. Pada kedua kota proporsi terkecil adalah pada kategori setiap hari dan proporsi terbesar pada kategori 1-3 kali per minggu. Kasus di kota Medan, ada 386 contoh yang termasuk ke dalam kategori tidak pernah mengonsumsi daging dan 2.3% diantaranya gemuk. Ada juga 937 contoh yang termasuk dalam kategori 13 kali per minggu dan 3.3% diantaranya gemuk, dari 76 contoh yang mengonsumsi daging 4-6 kali per minggu, 5.1% diantaranya gemuk. Di kota ini, hanya 28 contoh yang mengonsumsi daging setiap hari dan seluruhnya termasuk dalam kategori tidak gemuk. Hasil uji statistik mendapatkan nilai P > 0.05, yang artinya frekuensi makan daging tidak berpengaruh secara nyata dengan kejadian kegemukan di Medan. Pada kasus di Jakarta Selatan, ada 496 contoh yang tidak pernah mengonsumsi daging dalam seminggu dan 5.2% diantaranya gemuk. Ada juga 559 contoh yang termasuk dalam ketgori 1-3 kali per minggu mengonsumsi daging dan 8.8% diantaranya gemuk, dari 247 contoh yang mengonsumsi daging 4-6 kali per minggu, 4.5% diantaranya gemuk. Jumlah contoh yang mengonsumsi daging setiap hari adalah 117 contoh dan 12.8% diantaranya termasuk gemuk. Hasil uji statistik di kota ini mendapatkan nilai P < 0.05, yang
67
berarti frekuensi konsumsi daging berpengaruh secara nyata terhadap kejadian kegemukan. Penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko obesitas sebanyak 1.46 kali. Hal ini disebabkan karena makanan berlemak memiliki energi density yang lebih besar dan tidak mengenyangkan, selain itu makanan berlemak memiliki rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan dan akan terjadi konsumsi yang berlebihan (Hidayati et al. 2006). Tabel 36 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi gorengan dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik
Frekuensi Konsumsi Gorengan dalam Seminggu Tidak 1-3 kali 4-6 kali Setiap Hari Pernah n
Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
%
n
%
n
%
n
111 5 116
95.7 4.3 100
737 25 762
96.7 3.3 100
219 12 231
94.8 5.2 100
319 2 321
99.4 0.6 100
136 6 142
95.8 4.2 100
580 42 622
93.2 6.8 100
221 14 235
94.0 6.0 100
381 39 420
90.7 9.3 100
P Value
%
0.014
0.146
Berdasarkan Tabel 36, proporsi dominan dalam konsumsi gorengan di kota Medan adalah pada kategori 1-3 kali per minggu yaitu sebanyak 762 contoh dan 3.3% diantaranya mengalami kegemukan. Pada kategori 4-6 kali per minggu terdapat 231 contoh dan 5.2% diantaranya mengalami kegemukan. Terdapat 321 contoh yang mengonsumsi gorengan setiap hari dan hanya 2 contoh (0.6%) diantaranya gemuk. Proporsi paling kecil adalah kategori tidak pernah mengonsumsi gorengan dan 4.3% diantaranya gemuk. Hasil uji statistik menunjukkan nilai P = 0.014, yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi gorengan dengan kejadian kegemukan di Medan. Tidak berbeda dengan yang terjadi di Medan, proporsi paling dominan di Jakarta Selatan adalah pada kategori 1-3 kali per minggu, yaitu sebanyak 622 contoh dan 6.8% diantaranya gemuk. Ada 235 contoh yang termasuk dalam kategori 4-6 kali per minggu dan 6.0% diantaranya mengalami kegemukan. Pada kategori setiap hari, terdapat 420 contoh dan 9.3% diantaranya gemuk. Proporsi yang paling kecil adalah tidak pernah mengonsumsi gorengan, dan 4.2% diantaranya mengalami kegemukan. Hasil uji stastistik mendapatkan nilai P >
68
0.05, yang artinya frekuensi konsumsi gorengan tidak berpengaruh secara nyata terhadap kejadian kegemukan di Jakarta Selatan. Perbedaan nilai signifikansi antara kedua kota diduga karena perbedaan jenis gorengan yang dikonsumsi. Penelitian ini tidak membahas secara spesifik jenis gorengan yang dikonsumsi, sehingga tidak dapat dilihat dengan jelas juga pengaruhnya. Terdapat suatu penelitian mengemukakan bahwa konsumsi makanan yang digoreng berhubungan positif dengan kegemukan (baik itu general maupun central obesity). Hal ini terjadi hanya pada subjek dimana asupan tertinggi dari energinya berasal dari makanan gorengan. Seseorang yang mengonsumsi makanan gorengan lebih banyak berisiko 1.26 kali (pria) dan 1.25 kali (wanita) lebih tinggi untuk mengalami kegemukan (Castillon et al. 2007) Kesukaan Jajan Tak dipungkiri lagi bahwa pada usia sekolah dan remaja kebiasaan jajan sangat menjamur. Kebiasaan konsumsi makanan jajanan bertujuan untuk menghilangkan rasa lapar yang biasanya muncul 3 atau 4 jam setelah makan pada waktu-waktu tertentu. Konsumsi makanan jajanan akan meningkatkan kadar gula darah sehingga semangat dan konsentrasi belajar akan pulih. Hal positif lain dari jajan adalah membentuk keanekaragaman selera makan anak, sehingga pada saat dewasa nanti anak dapat menikmati beragam macam makanan (Apriadji 1986). Begitu banyaknya makanan jajanan yang biasa ditemukan dalam masyarakat. Penelitian ini mengkategorikan kesukaan jajan contoh pada kesukaan jajan gorengan, jajan makanan berlemak, jajan makanan rebus/kukus, jajan makanan manis, dan jajan makanan asin. Menurut Apriadji (1986), jenis jajanan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu meals dan snack. Meals adalah makanan yang cukup mengandung karbohidrat dan lemak, tetapi mengandung sedikit protein, seperti siomay, martabak, nasi uduk, dan lainnya. Sedangkan snack adalah makanan ringan yang mengandung zat pembangun dan sedikit zat pengatur, seperti biskuit susu, pisang goreng, dan jenis makanan lainnya serta minuman seperti cendol dan sirup.
69
Tabel 37 Sebaran contoh berdasarkan kesukaan jajan gorengan dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik n Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Kesukaan Jajan Gorengan Ya Tidak % n %
1202 38 1240
96.9 3.1 100
184 6 190
96.8 3.2 100
1052 79 1131
93.0 7.0 100
266 22 288
92.4 7.6 100
P Value
0.945
0.700
Berdasarkan Tabel 37 diatas,diketahui proporsi contoh yang menyukai jajan gorengan dibandingkan lebih besar dengan yang tidak suka, hal ini terjadi baik di Medan maupun Jakarta Selatan. Pada kasus di kota Medan, sebanyak 1240 contoh menyukai jajan gorengan dan 3.1% diantarnya mengalami kegemuka, sedangkan dari 190 contoh yang tidak suka jajan gorengan ada 6 contoh (3.2%) yang mengalami kegemukan. Pada kasus di Jakarta Selatan, sebanyak 1131 contoh menyukai jajan gorengan dan 79 contoh (7.0%) diantaranya mengalami kegemukan. Sedangkan dari 288 contoh yang tidak menyukai jajan gorengan terdapat
22 contoh (7.6%) yang termasuk dalam
kategori gemuk. Hasil uji statistik dengan menggunakan analisis chi square mendapatkan nilai P > 0.05, yaitu masing-masing 0.945 untuk Medan dan 0.700 untuk Jakarta Selatan. Hal ini sebagai indikator bahwa kesukaan terhadap jajan gorengan tidak berpengaruh secara nyata terhadap kegemukan di kedua kota. Hasil yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan pada kedua kota diduga karena penelitian tidak secara spesifik menentukan jenis jajanan yang dimaksud. Kategori gorengan disini dapat beraneka ragam bentuknya. Selain itu, penelitian ini juga hanya mempertanyakan kesukaan contoh terhadap jenis jajanan ini tanpa mempertimbangkan frekuensi serta kuantitas contoh dalam mengonsumsi jajanan ini. Tetapi apabila jenis jajan gorengan dianalogikan contohnya sebagai pisang goreng, maka jajanan ini termasuk ke dalam kategori snack. Menurut Apriadji (1986), jajanan jenis snack lebih kecil kemungkinannya untuk menyebabkan obesitas dibandingkan dengan jenis meals.
70
Tabel 38 Sebaran contoh berdasarkan kesukaan jajan makanan berlemak dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Kesukaan Jajan Makanan Berlemak Ya Tidak n % n % 663 27 690
96.1 3.9 100
723 17 740
97.7 2.3 100
644 56 700
92 8 100
674 45 719
93.7 6.3 100
P Value
0.077
0.202
Berbeda dengan proporsi kesukaan contoh terhadap jajan gorengan, proporsi terbesar pada kategori kesukaan terhadap jajan makanan berlemak adalah tidak suka. Hal ini berlaku pada kedua kota, tetapi dengan perbedaan yang tidak terlalu mencolok. Di kota Medan, terdapat 690 contoh yang menyukai jajan makanan berlemak dan 27 contoh (3.9%) diantaranya gemuk. Terdapat 740 contoh yang tidak menyukai jajanan jenis ini dan 17 contoh (2.3%) diantaranya termasuk gemuk. Sedangkan di Jakarta Selatan, terdapat 700 contoh yang menyukai jajanan jenis ini dan 56 contoh (8%) diantaranya termasuk gemuk. Contoh yang tidak menyukai jajanan jenis ini berjumlah 719 contoh dan 6.3% diantaranya termasuk gemuk. Hasil uji statistik menunjukkan nilai P > 0.05 untuk kedua kota yang menindikasikan tidak ada hubungan yang signifikan antara kesukaan jajan makanan berlemak dengan kejadian kegemukan di kedua kota. Hasil yang tidak signifikan diduga karena data yang dimaksud tidak spesifik terhadap jenis makanan tertentu. Jajan makanan berlemak mungkin dapat termasuk ke dalam kategori snack atau meals. Terletak kerancuan data disini yang hanya menyebutkan kesukaannya saja dan menyebutkan kelompoknya secara umum. Tabel 39 Sebaran contoh berdasarkan kesukaan jajan makanan asin dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Kesukaan Jajan Makanan Asin Ya Tidak n % n % 512 19 531
96.4 3.6 100
874 25 899
97.2 2.8 100
716 54 770
93.0 7.0 100
602 47 649
92.8 7.2 100
P Value
0.399
0.867
71
Besarnya proporsi contoh terhadap kesukaan jajan makanan asin berbeda antara kedua kota. Kategori dominan di Medan adalah contoh yang tidak menyukai jajanan jenis ini, sedangkan kebalikannya di Jakarta Selatan proporsi dominan adalah contoh yang menyukai jajanan jenis ini. Pada kota Medan, sebanyak 531 contoh menyukai jajan makanan asin dan 19 contoh (3.6%) diantaranya mengalami kegemukan, sedangkan dari 899 contoh yang tidak menyukai jajan makanan asin ada 25 contoh (2.8%) diantaranya yang mengalami kegemukan. Pada kota Jakarta Selatan, ada sebanyak 770 contoh yang menyukai jajanan jenis ini dan 54 contoh (7.0%) diantaranya mengalami kegemukan, sedangkan yang tidak menyukai ada 649 contoh dan 47 contoh (7.2%) diantaranya mengalami kegemukan. Setelah dilakukan analisis statistik dengan menggunakan chi square didapatkan nilai P = 0.399 untuk Medan dan P = 0.867 untuk Jakarta Selatan. Kedua nilai P ini mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kesukaan jajan makanan asin dengan kejadian kegemukan baik di Medan maupun Jakarta Selatan. Hal ini diduga disebabkan karena ketidakjelasan jenis jajanan yang dimaksud. Makanan asin, bisa bervariasi jenisnya, dan dapat termasuk dalam kategori meals atau snack. Tabel 40 Sebaran contoh berdasarkan kesukaan jajan makanan rebus/kukus dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Kesukaan Jajan Makanan Rebus/Kukus Ya Tidak n % n % 688 20 708
97.2 2.8 100
698 24 722
96.7 3.3 100
878 66 944
93.0 7.0 100
440 35 475
92.6 7.4 100
P Value
0.585
0.794
Perbedaan besarnya proporsi yang dominan juga terjadi pada kategori kesukaan terhadap jajan makanan rebus/kukus. Contoh di Medan lebih banyak yang tidak menyukai jajanan jenis ini, sedangkan contoh di Jakarta Selatan cenderung menyukai jajanan jenis ini. Sebanyak 708 contoh di Medan menyukai jajan makanan rebus/kukus dan 20 contoh (2.8%) diantaranya mengalami kegemukan. Sedangkan yang tidak menyukai jajanan jenis ini ada 722 contoh dan 24 contoh (3.3%) diantaranya mengalami kegemukan.
72
Sebanyak 944 contoh di Jakarta Selatan menyukai jajan makanan rebus/kukus dan 66 contoh (7.0%) diantaranya termasuk dalam kategori gemuk. Contoh yang tidak menyukai jajanan jenis ini adalah sebanyak 475 contoh dan 35 contoh (7.4%) diantaranya termasuk dalam kategori gemuk. Hasil uji statistik mendapatkan nilai P > 0.05 pada kedua kota, yang berarti kesukaan terhadap jajan makanan rebus/kukus tidak berpengaruh secara nyata dengan kejadian kegemukan baik di Medan maupun di Jakarta Selatan. Hal ini diduga karena adanya kerancuan terhadap jenis makanan yang dimaksud. Apabila makanan rebus/kukus disini dapat dianalogikan sebagai siomay, maka sangat memungkinkan untuk meningkatkan risiko obesitas karena termasuk ke dalam jenis meals (Apriadji 1986). Tetapi bisa saja yang dimaksud adalah jenis bolu kukus yang termasuk ke dalam snack, sehingga risikonya menjadi lebih rendah. Oleh karena itu, kejelasan data sangat diperlukan. Tabel 41 Sebaran contoh berdasarkan kesukaan jajan makanan manis dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Kesukaan Jajan Makanan Manis Ya Tidak n % n % 1153 38 1191
96.8 3.2 100
233 6 239
97.5 2.5 100
1179 86 1265
93.2 6.8 100
139 15 154
90.3 9.7 100
P Value
0.578
0.180
Hampir setiap orang menyukai makanan manis, oleh karena itu pada penelitian ini pun proporsi terbesar contoh adalah pada kategori suka terhadap jajan makanan manis. Hal ini berlaku pada kedua kota baik Medan maupun Jakarta Selatan. Sebanyak 1191 contoh di Medan menyukai jajan makanan manis dan 38 contoh (3.2%) diantaranya mengalami kegemukan, sedangkan contoh yang tidak menyukai jajanan jenis ini ada sebanyak 239 contoh dan 6 contoh (2.5%) diantarnya mengalami kegemukan. Sebanyak 1265 contoh di Jakarta Selatan menyukai jajan makanan manis dan 86 contoh (6.8%) diantaranya termasuk dalam kategori gemuk, sedangkan yang tidak menyukai jajanan jenis ini ada sebanyak 154 contoh, dan 15 contoh (9.7%) diantarnya termasuk dalam kategori gemuk. Setelah dilakukan uji statistik dengan analisis chi square, didapatkan nilai P = 0.578 untuk Medan dan P = 0.180 untuk Jakarta Selatan. Kedua nilai P ini mengindikasikan bahwa
73
tidak ada hubungan yang signifikan antara kesukaan terhadap makanan manis demgan kejadian kegemukan di kedua kota. Gaya Hidup Gaya hidup tidak lepas sebagai faktor yang mempengaruhi gemuk tidaknya seseorang. Gaya hidup dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan psikologis seseorang (Barasi & Mottram 1987). Kesukaan seseorang untuk merokok, biasanya akan menurunkan nafsu makan, sedangkan yang terjadi dengan kesukaan terhadap minuman beralkohol adalah kebalikannya. Kesukaan terhadap minuman beralkohol akan membuat perut menjadi buncit. Tabel 42 dan 43 merupakan distribusi dan statistik contoh berdasarkan kesukaan terhadap minuman beralkohol dan hubungannya dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan. Tabel 42 Sebaran contoh berdasarkan kesukaan merokok dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik n Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Kesukaan Merokok Ya Tidak % n % 103 5 108
95.4 4.6 100
1283 39 1322
97.0 3.0 100
187 10 197
94.9 5.1 100
1131 91 1222
92.6 7.4 100
P Value
0.331
0.230
Berdasarkan Tabel 42, dapat diketahui bahwa proporsi contoh yang tidak merokok jauh lebih besar dibandingkan dengan contoh yang merokok baik di Medan maupun Jakarta Selatan. Contoh yang merokok di Medan sebanyak 108 contoh dan 5 diantaranya mengalami kegemukan (4.6%), sedangkan contoh yang tidak merokok adalah 1322 dan 39 contoh (3.0%) diantaranya mengalami kegemukan. Sebanyak 197 contoh di Jakarta Selatan merokok dan 10 conroh (5.1%) diantaranya termasuk dalam kategori gemuk. Sedangkan dari 122 contoh yang tidak merokok, terdapat 91 (7.4%) yang termasuk ke dalam kategori gemuk. Ketika ditanyakan lebih lanjut mengenai usia contoh mulai merokok, jawabannya bervariasi, yang paling dominan adalah ketika berusia 14 tahun. Alasannya pun bermacam -macam, mulai dari coba-coba, iseng, ikut teman, ikut orang tua, sampai karena sedang banyak masalah. Jumlah rokok yang dihisap per hari mulai dari 1 batang sampai 35 batang per hari.
74
Hasil uji statistik mendapatkan nilai P = 0.331 untuk Medan dan P = 0.230 untuk Jakarta Selatan. Kedua nilai P ini mengindikasikan bahwa kesukaan merokok tidak berpengaruh secara nyata terhadap kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan. Contoh yang mengalami kegemukan lebih banyak yang tidak merokok. Sesuai dengan Perkins (1993) dan Russ et al. (2001) dalam Institute of Medicine of the National Academies (2001), bahwa merokok dapat meningkatkan kecepatan metabolisme dan membatasi asupan makanan. Seseorang yang berhenti merokok biasanya akan mengalami peningkatan berat badan. Rendahnya prevalensi contoh yang merokok dalam penelitian ini juga disebabkan karena tidak seluruh contoh ditanyakan mengenai hal ini. Pertanyaan mengenai rokok tidak diberikan kepada contoh pada tingkat SD, karena dikhawatirkan akan menjadi semacam anjuran yang akan diikuti oleh contoh. Tabel 43 Sebaran contoh berdasarkan kesukaan minum minuman beralkohol dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Karakteristik Medan Tidak Gemuk Gemuk Total Jakarta Selatan Tidak Gemuk Gemuk Total
Kesukaan Minum Minuman Beralkohol Ya Tidak n % n % 24 0 24
100 0 100
1362 44 1406
96.9 3.1 100
48 5 53
90.6 9.4 100
1270 96 1366
93.0 7.0 100
P Value
0.379
0.504
Tabel 43 diatas menggambarkan bahwa proporsi contoh yang tidak mengonsumsi minuman beralkohol di kedua kota jauh lebih besar dibandingkan dengan yang mengonsumsi minuman tersebut. Di kota Medan misalnya, contoh yang mengonsumsi minuman beralkohol hanya sebanyak 24 contoh dan seluruhnya termasuk ke dalam kategori tidak gemuk. Sedangkan yang tidak mengonsumsi minuman tersebut sebanyak 1406 contoh dan 44 contoh (3.1%) diantaranya termasuk dalam kategori gemuk. Kasus yang terjadi di Jakarta Selatan tidak jauh berbeda, dimana perbedaan proporsi contoh yang mengonsumsi minuman beralkohol dan tidak sangat mencolok. Sebanyak 1366 contoh tidak mengonsumsi minuman beralkohol dan 96 (7.0%) diantaranya mengalami kegemukan, sedangkan yang mengonsumsi minuman tersebut hanya sebanyak 53 contoh dan 5 diantaranya atau 9.4% dari mereka mengalami kegemukan. Usia contoh mulai minum
75
minuman beralkohol yang paling dominan di kedua kota adalah pada saat berusia 15 tahun. Hasil uji statistik mendapatkan nilai P = 0.379 untuk Medan dan 0.504 untuk Jakarta Selatan. Kedua nilai P ini mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kesukaan minum minuman berlakohol dengan kejadian kegemukan di kedua kota. Hal ini bertentangan dengan hasil dari penelitian terdahulu yang pernah dilakukan, bahwa konsumsi minuman beralkohol akan berdampak pada berat badan. Energi yang dikonsumsi seiring dengan konsumsi alkohol melebihi kebutuhan sehari-hari dan tersimpan sebagai lemak. Konsumsi alkohol menunjukkan hubungan dengan asupan energi berlebih daripada minum minuman non alkohol, dan juga dapat meningkatkan nafsu makan (Tremblay dan St-Pierre 1996; Tremblay et al. 1995 diacu dalam Institute of Medicine of the National Academies 2001). Ketidaksesuaian hasil penelitian dengan teori yang ada diduga disebabkan karena tidak seluruh contoh diberikan pertanyaan mengenai kategori ini. Selain itu, tidak ditanyakan juga jumlah unit alkohol yang dikonsumsi dan frekuensi contoh dalam mengonsumsi alkohol. Sehingga tidak dapat ditentukan juga apakah jumlah pengaruh alkohol secara signifikan berpengaruh terhadap kegemukan. Kecuali itu, jenis alkohol tidak perlu dipertimbangkan, karena menurut Wannamethee dan Shaper dalam Institute of Medicine of the National Academies (2001), jenis alkohol tidak berpengaruh terhadap peningkatan berat badan dan obesitas. Faktor Risiko Kegemukan Kegemukan adalah bahaya kesehatan yang sangat serius dan berkala dalam masyarakat. Hal tersebut berkembang dari ketidakseimbangan intake energi dibandingkan dengan outputnya (Barasi & Mottram 1987). Kandungan normal lemak dalam tubuh dapat dipertahankan tetap apabila isi kalori dalam makanan yang dimakan diimbangi oleh pemakaiannya dalam tubuh. Pemasukan makanan yang berlebihan merupakan langkah pertama dalam serangkaian proses menuju kegemukan (Harjadi & Soejono 1986). Kegemukan merupakan salah satu masalah yang pelik pada masa sekarang ini. Kegemukan diantara anak sekolah dan remaja penting pula diperhatikan, karena dapat juga menjadi penyebab timbulnya kegemukan di saat dewasa nantinya. Hal ini menjadi penting, karena kegemukan dapat menjadi penyebab seseorang mengalami masalah psikologis. Beberapa kelompok
76
masyarakat memandang kegemukan sebagai suatu cacat fisik dan akan meninmbulkan perlakuan diskriminasi (Suyono 1986). Tabel 43 menunjukkan faktor risiko kegemukan gabungan di Medan dan Jakarta Selatan. Apabila contoh di kedua kota di gabung, maka didapatkan sebanyak 145 dari 2849 contoh atau 5.1% mengalami kegemukan, baik overweight maupun obesitas. Banyak faktor yang diduga dapat menyebabkan kegemukan (overweight dan obesitas) di kedua kota besar di Indonesia ini. Tetapi, setelah dianalisis lebih jauh dengan analisis multivariat, ada beberapa variabel yang sebelumnya signifikan tetapi setelah dibandingkan dengan variabel lain menjadi tidak signifikan. Hal ini dapat terjadi karena ada kemungkinan pengaruh variabel tersebut tidak begitu besar apabila dibandingkan dengan variabel-variabel lain, sehingga variabel tersebut akan keluar dengan sendirinya. Beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan dapat dilihat pada Tabel 44. Tabel 44 Faktor risiko kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan Faktor Risiko Jenis Kelamin Pendidikan ibu Pekerjaan ibu Jumlah anggota RT Pemilikan mobil Pemilikan motor Kebiasaan sarapan Kebiasaan makan bersama Frekuensi konsumsi softdrink seminggu terakhir
0 1 0 1
Kategori = laki-laki = perempuan = SMA ke bawah = pendidikan tinggi
0 = tidak tetap 1 = tetap 0 = >4 1 = =4 0 = tidak 1 = ya 0 = tidak 1 = ya 0 = ya 1 = tidak 0 = ya 1 = tidak 0 = <4 1 = =4
P Value
OR
0.010
0.631
0.000
2.290
0.033
1.703
0.036
1.477
0.001
1.946
0.028
1.501
0.037
1.750
0.029
0.561
0.042
1.443
Jenis kelamin termasuk ke dalam faktor risiko yang dapat menyebabkan kegemukan, dengan OR = 0.631. Hal ini berarti contoh perempuan memiliki peluang untuk menjadi gemuk sebesar 0.631 kali dibandingkan dengan contoh laki-laki atau perempuan bersifat protektif. Berbeda dengan beberapa teori yang menyatakan bahwa anak perempuan memiliki kandungan lemak tubuh (body fat) yang lebih banyak dibandingkan dengan anak laki-laki.
77
Hui (1985) menyatakan bahwa selama usia prepubescent (8-13 tahun), body fat pada perempuan meningkat sangat cepat, dan sampai pada puncaknya setelah usia 11 tahun. Selain itu juga dijelaskan bahwa pada usia 12 tahun, perempuan memiliki kandungan body fat sekitar 25-30% lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki, dan pada usia 14.5 tahun memiliki kandungan body fat 70-80% lebih banyak. Tingginya kandungan body fat pada perempuan seharusnya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perempuan lebih berisiko gemuk dibandingkan laki-laki. Lebih tingginya risiko laki-laki untuk menjadi gemuk pada penelitian ini diduga karena pada usia remaja, contoh perempuan cenderung lebih memperhatikan bentuk tubuhnya (terkait dengan konsep body image), seperti dinyatakan oleh Depkes (2003) dalam Hardinsyah (2007) yang menunjukkan bahwa seperenam jumlah perempuan yang bergizi baik merasa mengalami kegemukan, sehingga ada usaha untuk mencegah peningkatan prevalensi kegemukan. Banyak yang menganggap cantik identik dengan tubuh yang langsing, sehingga akan membuat perempuan lebih memperhatikan bantuk tubuhnya dengan menghindari gaya hidup yang dapat menyebabkan peningkatan risiko kegemukan. Sedangkan contoh laki-laki cenderung tidak terlalu peduli dengan penampilan dan bentuk tubuhnya, sehingga mereka lebih berisiko untuk menjadi gemuk. Menurut WHO (2000), bagi wanita bentuk tubuh yang kurus menandakan kesuksesan dan menarik untuk dilihat, sedangkan gemuk memperlihatkan rasa malas dan lemah. Penelitian lain yang dilakukan oleh Proper et al. (2006) ternyata menyatakan bahwa laki-laki secara signifikan lebih berkemungkinan untuk menjadi overweight atau obesitas daripada wanita, karena laki-laki cenderung untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk santai pada saat akhir minggu atau waktu senggang dibandingkan wanita. Faktor risiko kedua adalah pendidikan ibu. Hasil analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik mendapatkan nilai OR = 2.290. Hasil yang didapat sangat signifikan dengan nilai P < 0.01. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan ibu semakin tinggi pula kemungkinan contoh untuk gemuk. Contoh yang memiliki ibu dengan pendidikan terakhir pendidikan tinggi (D1-D3/S1-S3) berisiko untuk menjadi gemuk sebesar 2.290 kali
78
dibandingkan dengan contoh yang ibunya tidak sampai ke pendidikan tinggi (SMA ke bawah). Tingginya tingkat pendidikan orang tua akan mempengaruhi jenis pekerjaan yang akan didapatkannya, dan juga akan mempengaruhi besarnya pendapatan keluarga yang akan didapatkan. Pendapatan keluarga nantinya akan berpengaruh terhadap jenis makanan yang dapat dikonsumsi. Pendapatan yang lebih tinggi akan membuat kualitas makanan yang diberikan kepada keluarganya lebih baik pula. Ibu adalah orang yang paling berpengaruh dalam pengelolaan masalah gizi keluarga, karena seorang ibu yang biasa menentukan jenis makanan yang akan dikonsumsi oleh keluarga. Orang tua dan terutama ibu pula yang membentuk kebiasaan makan keluarga. Berdasarkan Apriadji (1986), tingkat pendidikan memang mempengaruhi pengetahuan gizi yang dimiliki, tetapi bukan berarti seseorang dengan pendidikan rendah pasti memiliki pengetahuan gizi yang rendah. Namun, pendidikan seseorang sangat mempengaruhi mudah tidaknya orang tersebut untuk menyerap ilmu gizi yang diberikan melalui penyuluhan ataupun dengan mendengarkan siaran di media elektronik. Apabila seorang ibu memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, maka dapat dikatakan bahwa pengetahuan gizi yang dimilikinya pun juga tinggi dan kemampuan daya serap yang dimilikinya juga lebih dari cukup. Seorang ibu pasti ingin anaknya terpenuhi kebutuhan gizinya, bahkan takut apabila anaknya kekurangan gizi. Karena ketakutan itu akhirnya ibu memberikan asupan makanan yang lebih dari cukup, sehingga akan menyebabkan seorang anak justru kelebihan gizi. Selain pendidikan ibu, pekerjaan ibu pun memberikan pengaruh terhadap kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan, dengan nilai OR = 1.703, artinya contoh dengan ibu yang memiliki pekerjaan tetap berpeluang untuk menjadi gemuk sebesar 1.703 kali dibandingkan dengan contoh dengan ibu tidak bekerja atau tidak tetap pekerjaannya. Pekerjaan ibu sebagai salah satu dari faktor risiko diduga disebabkan oleh kurangnya alokasi waktu ibu untuk berada di rumah, sehingga ibu juga tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengolah makanan untuk keluarga dan tidak dapat memantau jenis makanan yang dikonsumsi oleh anaknya. Menurut WHO (2000), status ibu bekerja akan mempengaruhi perilaku makan anak. Seorang ibu yang bekerja, akan menghabiskan sebagian waktunya berada di luar rumah.
79
Untuk mengurangi perasaan bersalah kepada anaknya, biasanya sang ibu akan membelikan makanan di luar rumah untuk anaknya. Jenis pilihan makanan itu biasanya terbatas pada makanan cepat saji. Penelitian Young dan Nestle (2003) dalam Institute of Medicine of the National Academies (2001) menyatakan bahwa makanan yang berada di restoran biasanya memiliki porsi yang lebih besar dan mengandung kalori lebih tinggi apabila dibandingkan dengan makanan yang ada di rumah. Faktor lain yang berpengaruh adalah jumlah anggota rumah tangga dengan OR = 1.477. Nilai ini memberikan arti bahwa contoh yang berasal dari keluarga kecil (dengan jumlah anggota rumah tangga = 4) memiliki kemungkinan untuk menjadi gemuk sebesar 1.477 kali dibandingkan dengan contoh yang berasal dari keluarga besar (jumlah anggota rumah tangga >4). Berdasarkan Apriadji (1986), program Keluarga Berencana yang dicanangkan oleh pemerintah bertujuan untuk memperbaiki kesejahteraan keluarga yang dapat dilihat hubungannya dengan masalah gizi. Keluarga dengan banyak anak dan jarak antar kelahiran amat dekat akan menimbulkan masalah. Mungkin saja karena jatah makan anak menjadi berkurang karena kalah dengan jatah saudaranya yang lain. Apabila jumlah anggota rumah tangga tidak terlalu besar, maka kebutuhan setiap anggota akan terpenuhi, atau bahkan dapat juga melebihi sehingga memperbesar kemungkinan anak untuk menjadi gemuk. Apriadji (1986) juga menambahkan tentang hubungan suasana tenang dengan selera makan yang akan muncul. Apabila terdapat banyak orang dalam suatu rumah, akan membuat rumah bising dan tidak nyaman untuk ditinggali sehingga akan menurunkan selera makan anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga yang tidak terlalu banyak, selain menjamin ketersediaan pangan juga akan membuat kehidupan menjadi lebih nyaman. Tersedianya kebutuhan pangan atau bahkan juga melebihi kebutuhan, diduga dapat menyebabkan seseorang menjadi gemuk. Faktor selanjutnya yang berpengaruh adalah household possessions dalam hal ini adalah kepemilikan mobil dan motor pribadi. Analisis statistik dengan menggunakan regresi logistik mendapatkan nilai OR = 1.946 untuk kategori kepemilikan mobil dan 1.501 untuk kategori kepemilikan motor, artinya contoh yang memiliki mobil berpeluang untuk mengalami kegemukan sebesar 1.946 kali dan contoh yang memiliki motor berpeluang untuk mengalami
80
kegemukan sebesar 1.501 kali dibandingkan dengan contoh yang tidak memiliki kedua jenis kendaraan tersebut. Hal ini diduga karena dengan memiliki kendaraan pribadi, maka kemungkinan gerak contoh menjadi lebih sedikit. Kategori ini ditanyakan selain untuk mengetahui status sosial ekonomi contoh juga berhubungan dengan aktivitas fisik contoh. Contoh yang mampu memiliki kendaraan berarti termasuk ke dalam keluarga yang berkecukupan. Sehingga, dapat dikatakan juga memiliki kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan gizi. Kepemilikan kendaraan juga berhubungan dengan aktivitas fisik, karena dapat mempengaruhi cara contoh dalam bepergian atau ke sekolah. Kepemilikan mobil dan motor dapat memperkecil kemungkinan contoh untuk berjalan kaki. Hal ini menjadi salah satu unsur pendukung dalam menciptakan gaya hidup sedentary (WHO 2000). Apalagi pada masa sekarang ini, motor sudah merajalela dan biasa dipakai oleh kaum remaja sebagai alat transportasi seharihari. Keadaan overweight atau obesitas sangat berhubungan dengan aktivitas fisik yang sehari-hari dilakukan oleh seseorang. Overweight atau obesitas dapat terjadi karena adanya keseimbangan energi positif, yang berarti jumlah energi dari makanan yang dikonsumsi lebih besar daripada jumlah energi yang keluar, sehingga tertimbun menjadi lemak. Kemajuan teknologi berkontribusi pada meningkatnya prevalensi kegemukan atau obesitas. Tersedianya sarana pengangkutan, membuat orang lebih memilih naik kendaraan daripada berjalan kaki walaupun pada jarak yang tidak jauh (Rimbawan dan Siagian 2004). Faktor selanjutnya adalah kebiasaan sarapan, dengan nilai OR = 1.750, artinya contoh yang tidak terbiasa sarapan pagi sebelum memulai aktivitas memiliki peluang untuk menjadi gemuk sebesar 1.750 kali dibandingkan dengan contoh yang terbiasa sarapan pagi. Hal ini diduga karena apabila seseorang tidak sarapan sebelum memulai aktivitasnya, maka ia cenderung untuk makan lebih banyak ketika siang dan malam hari. Melewati pagi hari tanpa sarapan mengakibatkan pula perubahan pada ritme dan pola makan makanan pada pagi hari lebih mengenyangkan daripada makanan pada siang dan malam hari, oleh karena itu sarapan berperan mengurangi rasa lapar pada siang dan malam hari. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Siagian (2004), sarapan pagi dapat mencegah obesitas karena kontribusi energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar ketika waktu sarapan, sehingga seseorang yang tidak sarapan
81
cenderung merasa lebih lapar pada siang dan malam hari. Hal itu menyebabkan kuantitas makanan mereka menjadi lebih banyak. Para peneliti dari Divisi Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Massachussets melalui publikasinya pada American Journal of Epidemiology edisi Agustus 2003 mengungkapkan bahwa kebiasaan sarapan secara teratur menurunkan risiko menderita obesitas. Kebiasaan makan malam bersama keluarga juga menjadi salah satu faktor risiko yang menyebabkan kegemukan dengan OR = 0.561. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa contoh yang tidak terbiasa makan bersama keluarga berpeluang untuk menjadi gemuk sebesar 0.561 kali dibandingkan dengan contoh yang terbiasa makan bersama keluarga atau kebiasaan makan malam bersama keluarga bersifat protektif. Hal ini diduga karena contoh terbiasa hidup dalam keluarga yang mengonsumsi makanan dalam jumlah besar atau terbiasa makan di luar jam makan. Acara makan malam bersama biasanya merupakan waktu dimana seluruh keluarga berkumpul untuk menceritakan kejadian yang telah dialami selama sehari penuh, keakraban dan kehangatan ini dapat juga menjadi penyebab tumbuhnya nafsu makan yang lebih tinggi sehingga anak cenderung lebih gemuk. Menurut Bhadrinath (1990) dan Root (1990) dalam Institute of Medicine of the National Academies 2001, kebiasaan makan didapatkan dari keluarga atau tradisi. Anak cenderung untuk mengikuti pola makan orangtuanya, oleh karena itu kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan serta cenderung sudah terbentuk dari awal. Taviano (2005) juga menyatakan bahwa kebiasaan makan keluarga juga menjadi salah satu penyebab obesitas. Penderita obesitas sering berasal dari keluarga yang punya kebiasaan makan dalam porsi besar, frekuensi lebih sering, selalu punya persediaan makanan kecil di dapur, dan makan di luar waktu makan. Faktor risiko yang terakhir adalah frekuensi konsumsi soft drink, yang dalam penelitian ini dihitung selama seminggu terakhir. Nilai OR yang diperoleh dari uji statistik adalah 1.443. Hal ini mengindikasikan bahwa contoh yang biasa mengonsumsi soft drink lebih dari sama dengan empat kali seminggu (termasuk dalam kategori sering) berpeluang 1.443 kali untuk mengalami kegemukan dibandingkan dengan contoh yang termasuk dalam kategori jarang.
82
Anak sekolah dan remaja pada masa kini sangat menyukai jenis minuman ini. Selain tersedia dalam kemasan yang praktis, minuman ini juga rasanya manis dan mudah didapatkan di mana saja. Jarang sekali anak sekolah dan remaja yang menyadari bahaya di balik konsumsi minuman jenis ini. Bukan saja karena soda atau karbonasi yang tidak baik untuk lambung, tetapi juga jumlah kalori yang terkandung di dalamnya juga sangat tinggi, dan rasanya yang manis juga tidak terlalu baik untuk kesehatan gigi. Penelitian yang dilakukan oleh Cornell University (2003) menyatakan bahwa anak-anak yang minum lebih dari 12 ons soft drink meningkat berat badannya secara signifikan dibandingkan dengan anak-anak dengan konsumsi kurang dari 6 ons per hari. Hal ini disebabkan oleh anak-anak tidak mengurangi makanan utama yang dimakan dan ditambah dengan peningkatan kalori yang berasal dari minuman tersebut. Semakin banyak minuman yang dikonsumsi, maka semakin besar asupan kalori dan semakin tinggi pertambahan berat badannya. Selain itu, ada juga penelitian yang membuktikan bahwa terdapat hubungan antara konsumsi soft drink dengan peningkatan asupan kalori. Kasus yang terjadi dari 21 penelitian, 19 diantaranya menunjukkan bahwa seseorang yang minum lebih banyak soft drink, maka semakin tinggi pula konsumsi kalori. Beberapa penelitian menemukan bahwa selain kandungan kalori yang tinggi, konsumsi soft drink juga akan meningkatkan rasa lapar (Vartanian, Schwartz, dan Brownell 2007). Konsumsi soft drink yang berhubungan dengan kejadian kegemukan juga didukung oleh penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat. Tidak ada yang mengklaim bahwa soft drink merupakan satu-satunya penyebab obesitas di negara itu. Namun penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya menyebutkan, bahwa soft drink termasuk ke dalam daftar utama penyebab obesitas (Vartanian, Schwartz, dan Brownell 2007). Faktor Risiko Kegemukan di Medan Medan, sebagai salah satu kota besar di Indonesia, hanya menunjukkan angka 3.1% dalam masalah kegemukan. Padahal, gaya hidup anak sekolah dan remaja di kota itu sudah terbawa arus metropolis pula, yang seharusnya akan berdampak kepada prevalensi kegemukan yang cukup tinggi. Dari beberapa faktor penduga penyebab kegemukan, terdapat beberapa faktor yang menjadi faktor risiko di kota ini, yang dapat dilihat pada Tabel 44.
83
Tabel 45 Faktor risiko kegemukan di Medan Faktor Risiko Pendidikan ibu Pemilikan mobil Kategori tidur siang per minggu
Kategori 0 = SMA ke bawah 1 = pendidikan tinggi 0 1 0 1
= tidak = ya = <4 = =4
P Value
OR
0.000
5.171
0.004
2.646
0.042
0.471
Faktor yang mempengaruhi kejadian kegemukan di kota Medan hanya ada dua faktor, yaitu pendidikan ibu dan kepemilikan mobil pribadi. Pendidikan ibu, sebagai salah satu faktor yang paling berpengaruh. Hal ini dilihat dari nilai P yang sangat signifikan (P < 0.01), dengan nilai OR = 5.171. Ini berarti bahwa contoh yang memiliki ibu dengan pendidikan terakhir pendidikan tinggi (D1D3/S1-S3) berpeluang untuk menjadi gemuk sebesar 5.171 dibandingkan dengan contoh yang memiliki ibu dengan pendidikan terakhir SMA ke bawah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, seorang ibu memang memliki peranan yang besar dalam mengatur makanan dalam keluarga. Oleh karena itu, tinggi rendahnya pendidikan ibu akan mempengaruhi secara langsung kualitas makanan yang ada dalam sebuah keluarga. Pendidikan yang tinggi akan meningkatkan kemampuan daya serap seseorang (Apriadji 1986). Apabila seorang ibu memiliki daya serap yang tinggi, maka ia akan mudah mengaplikasikan ilmu dan pengetahuan gizi yang didapat dari penyuluhan gizi yang ada. Faktor kedua yang mempengaruhi kegemukan di Medan adalah kepemilikan mobil pribadi. Hasil uji statistik dengan menggunakan regresi logistik mendapatkan nilai OR = 2.646. Hal tersebut memberi arti bahwa contoh yang memiliki mobil pribadi memiliki kemungkinan untuk gemuk sebesar 2.646 kali apabila dibandingkan dengan contoh yang tidak memiliki mobil pribadi. Tidak jauh berbeda dengan kepemilikan motor, selain berpengaruh terhadap tingkat aktivitas fisik contoh, kepemilikan mobil pribadi juga merupakan sebuah tanda yang dapat menentukan status sosial ekonomi contoh. Contoh yang memiliki mobil, berarti termasuk ke dalam keluarga menengah ke atas dengan asumsi mampu memenuhi kebutuhan gizi anak bahkan mungkin dapat berlebih. Faktor ketiga yang berpengaruh di Medan adalah aktivitas tidur siang selama seminggu dengan nilai OR = 0.471. Nilai ini memberikan arti bahwa contoh yang melakukan tidur siang lebih dari 4 kali seminggu memiliki peluang
84
untuk menjadi gemuk sebesar 0.471 kali dibandingkan dengan contoh yang tidur siang kurang dari itu. Berarti seringnya waktu tidur siang merupakan faktor protektif terhadap kejadian kegemukan. Hal ini mungkin saja terjadi karena dalam penelitian ini hanya dianalisis jumlah hari contoh melakukan tidur siang dan bukan menghitung lama waktu contoh tidur siang. Sebaiknya pada penelitian selanjutnya dianalisis juga alokasi waktu contoh dalam melakukan berbagai aktivitas yang diduga akan berhubungan dengan kejadian kegemukan, karena jumlah waktu tidur juga berhubungan dengan kegemukan anak dengan waktu tidur lebih sedikit berisiko lebih tinggi untuk mengalami kegemukan (Chaput et al. 2006). Kemungkinan tersebut mungkin disebabkan karena orang yang gemuk memiliki kualitas tidur yang buruk, hal ini berhubungan dengan gangguan dari hormon dan kelenjar neuroendokrin (Viogue 2000). Faktor Risiko Kegemukan di Jakarta Selatan Jakarta adalah ibu kota negara Indonesia, sekaligus merupakan kota terbesar di negara ini, dan tingkat sumber daya manusianya paling tinggi. Jakarta Selatan merupakan daerah yang termasuk padat penduduknya dengan tingkat gaya hidup masa kini yang cukup tinggi pada kalangan remajanya. Tetapi, dari hasil penelitiannya hanya menghasilkan kegemukan 7.1%, yang dapat dikatakan jumlah yang tidak besar. Berikut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian kegemukan di Jakarta Selatan. Tabel 46 Faktor risiko kegemukan di Jakarta Selatan Faktor Risiko Jenis Kelamin Pendidikan ibu Jumlah anggota RT Pemilikan mobil Pemilikan motor
Kategori laki-laki perempuan SMA ke bawah pendidikan tinggi
0 1 0 1
= = = =
0 1 0 1 0 1
= >4 = =4 = tidak = ya = tidak = ya
P Value
OR
0.049
0.657
0.025
1.846
0.099
1.433
0.017
1.838
0.058
1.524
Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian kegemukan di Jakarta Selatan pada umumnya sama dengan faktor-faktor pengaruh pada gabungan kedua kota, tetapi dengan nilai OR yang berbeda. Kesamaan ini makin menguatkan fakta bahwa faktor-faktor tersebut memang sangat berpengaruh terhadap kejadian kegemukan.
85
Faktor pertama adalah jenis kelamin dengan OR = 0.657. Walaupun faktor ini tidak muncul di kota Medan, namun jenis kelamin memberikan pengaruh dan berhubungan dengan kegemukan secara signifikan di Jakarta Selatan. Contoh perempuan memiliki risiko untuk menjadi gemuk sebesar 0.657 kali dibandingkan dengan contoh laki-laki. Atau dalam hal ini contoh laki-laki yang berisiko lebih tinggi untuk menjadi gemuk. Ini semakin menguatkan bahwa Jakarta sebagai kota metropolitan memiliki trend bahwa cantik itu langsing. Oleh karena itu contoh perempuan di kota ini, terutama remaja akan berlomba-lomba untuk membuat tubuhnya terlihat lebih kurus, sehingga merela akan lebih memperhatikan cara hidupnya. Pendidikan
ibu
dapat
dikatakan
sebagai
faktor
yang
paling
mempengaruhi kejadian kegemukan, karena faktor ini muncul di Medan, Jakarta Selatan, maupun gabungan antara keduanya. Faktor pendidikan ibu juga memiliki nilai P yang paling signifikan diantara faktor lain yang muncul, dan memiliki nilai OR yang paling tinggi dibandingkan dengan faktor lainnya. Di Jakarta Selatan, faktor pendidikan ibu memiliki nilai OR = 1.846, yang berarti contoh dengan pendidikan terakhir ibu mencapai pendidikan tinggi berisiko untuk menjadi gemuk sebesar 1.846 kali dibandingkan dengan contoh yang memiliki ibu berpendidikan SMA ke bawah. Faktor ketiga yang mempengaruhi kejadian kegemukan di Jakarta Selatan adalah jumlah anggota rumah tangga. Faktor ini signifikan pada kepercayaan 90%. Contoh yang berasal dari keluarga kecil (jumlah anggota keluarga =4) berpeluang 1.433 kali untuk menjadi gemuk dibandingkan dengan contoh yang berasal dari keluarga besar (jumlah anggota keluarga >4). Faktor terakhir yang berpengaruh pada kegemukan di Jakarta Selatan adalah kepemilikan mobil dan motor. Faktor ini juga muncul di Jakarta Selatan dan gabungan kedua kota. Kategori kepemilikan mobil signifikan pada selang kepercayaan 95% dengan nilai OR = 1.838. Nilai ini menunjukkan bahwa contoh yang memiliki mobil pribadi berisiko 1.838 kali lebih besar untuk menjadi gemuk dibandingkan dengan contoh yang tidak memiliki mobil pribadi. Sedangkan kategori kepemilikan motor pribadi signifikan pada selang kepercayaan 90% dan memiliki nilai OR = 1.524. Nilai ini menunjukkan bahwa contoh yang memiliki motor sebagai kendaraan pribadi berisiko 1.524 kali lebih besar dibandingkan dengan contoh yang tidak memiliki motor pribadi.
86
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.
Prevalensi contoh yang mengalami kegemukan di Medan adalah sebanyak 3.1% dengan proporsi terbesar terdapat pada contoh laki-laki dan pada tingkatan SMA, sedangkan di Jakarta Selatan sebanyak 7.1% dengan proporsi terbesar pada contoh laki-laki dan pada tingkatan SD.
2.
Karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh yang mengalami kegemukan secara umum adalah memiliki ibu berpendidikan SLTA, berasal dari keluarga
besar
(=4),
memiliki
motor,
tidak
memiliki
mobil,
ayah
berpendidikan SLTA di Medan dan SLTP ke bawah di Jakarta Selatan, ibu tidak bekerja/tidak tetap di Medan dan dagang/swasta/wiraswasta di Jakarta Selatan,
ayah
bekerja
dagang/swasta/wiraswasta
di
Medan
dan
PNS/TNI/POLRI di Jakarta Selatan. 3.
Secara umum contoh di Medan menganggap dirinya tidak gemuk, sedangkan di Jakarta Selatan berpendapat dirinya gemuk.
4.
Secara umum aktivitas fisik contoh yang berada di Medan maupun Jakarta Selatan masih kurang, terutama pada kegiatan olahraga dan melakukan pekerjaan rumah tangga, sementara kegiatan menonton TV yang menunjukkan sedentary life lebih sering dilakukan.
5.
Secara umum contoh yang mengalami kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan terbiasa sarapan dan makan malam bersama keluarga. Frekuensi konsumsi fast food, soft drink, dan makanan berlemak pun tidak terlalu sering. Contoh juga terbiasa ngemil dan menyukai makanan ringan sebagai jenis camilan, menyukai jajan, serta tidak merokok dan minum minuman beralkohol.
6.
Tidak ada hubungan yang signifikan (P>0.05) antara jenis kelamin contoh dengan kejadian kegemukan di Medan, tetapi terdapat hubungan antara keduanya di Jakarta Selatan (P<0.05).
7.
Terdapat hubungan yang signifikan (P<0.05) antara tingkat pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, dan pemilikan mobil dengan kejadian kegemukan di Medan. Terdapat hubungan yang signifikan (P<0.05) antara tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu, dan pemilikan mobil dengan kejadian kegemukan di Jakarta Selatan.
87
8.
Tidak ada hubungan yang signifikan (P>0.05) pada seluruh variabel aktivitas fisik baik di Medan maupun di Jakarta Selatan.
9.
Terdapat hubungan yang signifikan (P<0.05) antara kebiasaan makan malam bersama keluarga dan frekuensi konsumsi gorengan dengan kejadian kegemukan di Medan. Terdapat hubungan yang signifikan (P<0.05) antara frekuensi konsumsi sayuran, konsumsi buah-buahan, konsumsi makanan berlemak, dan konsumsi daging dengan kejadian kegemukan di Jakarta Selatan.
10. Tidak ada hubungan yang signifikan (P>0.05) antara kebiasaan merokok dan konsumsi minuman beralkohol dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan. 11. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian kegemukan di Medan adalah pendidikan ibu (OR = 5.171), pemilikan mobil (OR = 2.646), dan aktivitas tidur siang per minggu (OR = 0.471) 12. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian kegemukan di Jakarta Selatan adalah jenis kelamin (OR = 0.657), pendidikan ibu (OR = 1.846), jumlah anggota rumah tangga (OR = 1.433), pemilikan mobil (OR = 1.838), dan pemilikan motor (OR = 1.524). 13. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian kegemukan di gabungan kedua kota adalah jenis kelamin (OR = 0.631), pendidikan ibu (OR = 2.290), pekerjaan ibu (OR = 1.703), jumlah anggota rumah tangga (OR = 1.477), pemilikan mobil (OR = 1.946), pemilikan motor (OR = 1.501), kebiasaan sarapan (OR = 1.750), kebiasaan makan bersama (OR = 0.561), dan frekuensi konsumsi soft drink dalam seminggu (OR = 1.443). Saran 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian kegemukan lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki dan kelompok sosial ekonomi menengah ke atas. Oleh karena itu perlu ada perhatian lebih khusus pada kelompok ini, dengan cara mengadakan dilakukan penyuluhan atau pendidikan gizi dan mempermudah akses informasi untuk meningkatkan pengetahuan gizi. 2. Untuk penelitian selanjutnya dengan jumlah contoh yang lebih kecil hendaknya dalam mengukur konsumsi pangan dihitung pula kuantitasnya dan bukan hanya frekuensinya agar hasil yang diperoleh lebih akurat. Hal tersebut juga berlaku dalam pengukuran aktivitas fisik.
88
89
DAFTAR PUSTAKA Andriyanti, W. 2002. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian berat badan ideal pada ibu-ibu peserta senam yang mengalami overweight. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Apriadji, W.H. 1986. Gizi Keluarga. Jakarta : Penebar Swadaya. Asche, K. 2005. Fast foods May Increase Childhood Obesity Rates . [terhubung berkala]. www.extension.umn.edu. Diakses pada 7 Desember 2007. Atkinson, RL. 2005. Etiologies of Obesity dalam The Management of Eating Disorders and Obesity, 2nd Ed. D.J Goldstein, editor. Totowa : Humana Press, Inc. Barasi, M.E dan RF Mottram. 1987. Human Nutrition. London : Edward Arnold. Booth, M.L, T. Dobbins, A.D Okely, E.D Wilson, dan L.L Hardy. 2007. Trends in the Prevalence of Overweight and Obesity among Young Australians, 1985, 1997, and 2004 dalam The North American Association for the Study of Obesity hal. 1089-1095. [terhubung berkala]. www.naaso.org. Diakses pada 15 Mei 2007. Drapeau, V, et al. 2004. Modifications in Food-Group Consumption are Related to Long-Term Body-Weight Changes dalam American Journal of Clinical Nutrition 2004(80) hal 29-37. Castillón et al. 2007. Intake of Fried Foods is Associated with Obesity in the Cohort of Spanish adults from the European prospective Investigation into Cancer and Nutrition dalam American Journal of Clinical Nutrition 86(1) hal. 198-205. [terhubung berkala]. www.ajcn.org. Diakses pada 24 Maret 2008. Chaput, JP, M. Brunet, dan A. Tremblay. 2006. Relationship Between Short Sleeping Hours and Childhood Overweight/Obesity : Results from the ‘Québec en Forme’ Project dalam International Journal of Obesity 2006(30) hal. 1080-1085. [terhubung berkala]. www.npg.org. Diakses pada 24 Maret 2008. Cornell University. 2003. Too Many Sweetened Drinks, from Soda to Lemonade, Put Children at Risk of Obesity, Poor Nutrition, Study at Cornell Finds. [terhubung berkala]. http://www.sciencedaily.com. Diakses pada 7 Desember 2007. Gavin,
M.L. 2005. Overweight and Obesity. [terhubung www.kidshealth.org. Diakses pada 5 Juni 2007.
berkala].
Hadi, H. 2005. Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional dalam Pidato pengukuhan jabatan guru besar Fakultas Kedokteran, Universitas Gajah Mada.
90
Hidayati, Siti N, Rudi Irawan dan Boerhan Hidayat. 2006. Obesitas pada Anak. [terhubung berkala]. www.pediatrik.com. Diakses pada 27 Maret 2007. Hui, Y. H. 1985. Principles and Issues in Nutrition. Monterey : Wadsworth Health Sciences Division. Hardinsyah. 2007. Inovasi Gizi dan Pengembangan Modal Sosial Bagi Peningkatan Kualitas Hidup Manusia dan Pengentasan Kemiskinan dalam Orasi Ilmiah guru besar tetap Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Harjadi, FI dan S. Soejono. 1986. Ketidakseimbangan Kalori pada Kegemukan. W. Soerjodibroto dan A. Tjokronegoro, editor, dalam Kegemukan : Masalah dan Penanggulangannya, hal 1-7. Jakarta : Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Hartog, A.G., W.A. Van Staveren dan I.D. Brouwer. 1995. Manual for Sosial Surveys on Food Habits and Consumption in Developing Countries. Germany : Margraf Verlag. Institute of Medicine of the National Academies. 2001. Weight Management State of the Science Opportunities for Military Programs. Washington : The National Academic Press. Klein, S, et al. 2004. Weight Management through Lifestyle Modification for the Prevention and Management of Type 2 Diabetes: Rationale and Strategies. A Statement of the American Diabetes Association, the North American Association for the Study of Obesity, and the American Society for Clinical Nutrition dalam American Journal of Clinical Nutrition 2004(80) hal. 257-263. [terhubung berkala]. www.ajcn.org. Diakses pada 14 Juni 2007. Newby, PK, KL. Tucker, A. Wolk. 2005. Risk of Overweight and Obesity among Semivegetarians, Lactovegetarians, and Vegan Women dalam American Journal of Clinical Nutrition 2005(81) hal. 1267-1274. Padmiari, IAE dan H. Hadi. 2001. Konsumsi Fast Food sebagai Faktor Risiko pada Anak SD. [terhubung berkala]. www.tempo.co.id. Diakses pada 26 Februari 2008. Phelann, S dan TA. Wadden. 2004. Behavioral Assessment of Obesity. J. Kevin, editor, dalam Handbook of Eating Disorders and Obesity, hal 399-400. New Jersey : John Willey & Sons, Inc. Proper, KI, E. Cerin, WJ. Brown, N. Owen. 2006. Sitting Time and Sosioeconomic Differences in Overweight and Obesity dalam International Journal of Obesity 2007(31) hal. 169-176. [terhubung berkala]. www.npg.org. Diakses pada 7 Desember 2007. Rimbawan dan A. Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Bogor : Penebar Swadaya.
91
Risma, K.D. 2005. Keragaan keseimbangan energi pada remaja. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Riyadi, H. 2001. Metode Penilaian Gizi Secara Antropometri. Bogor : Jurusan Gizi masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor. Santroct, JW. 1997. Life Span Development. USA : Brown & Benchmark Publishers. Sarwer, DB, GD. Foster, TA. Wadden. 2004 Treatment of Obesity I – Adult Obesity. J. Kevin, editor, dalam Handbook of Eating Disorders and Obesity, hal 435. New Jersey : John Willey & Sons, Inc. Siagian, A. 2004. Hubungan Sarapan Pagi dengan Obesitas. [terhubung berkala]. www.kompas.co.id. Diakses pada 15 Mei 2007. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan TInggi Departeman Pendidikan Nasional. Sztainer, DN dan J. Haines. 2004. Psychosocial and Behavioral Consequences of Obesity. J. Kevin, editor, dalam Handbook of Eating Disorders and Obesity, hal 360. New Jersey : John Willey & Sons, Inc. Supariasa, IDN, B. Bakri, I. Fajar. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC. Suyono, S. 1986. Hubungan Timbal Balik antara Kegemukan dan Berbagai Penyakit. W. Soerjodibroto dan A. Tjokronegoro, editor, dalam Kegemukan : Masalah dan Penanggulangannya, hal 15-21. Jakarta : Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Taviano, D. 2005. Cegah Obesitas dengan Gaya Hidup Sehat. [terhubung berkala]. www.kompas.co.id. Diakses pada 14 Juni 2007. Vartanian, LR, MD. Schwatrz, KD. Brownell. 2007. Strong Evidence Links Soft drink Consumption to Obesity, Diabetes dalam The American Journal of Public Health 97(4) 2007. [terhubung berkala]. www.hbns.org. Diakses pada 7 Desember 2007. Vioque, J, A. Tores, dan J. Quiles. 2000. Time Spent Watching Television Sleep Duration, and Obesity in Adults Living in Valencia, Spain dalam International Journal of Obesity 2000(24) hal. 1683-1688. [terhubung berkala]. www.npg.org. Diakses pada 24 Maret 2008. Wang, Y, J. Mi, X. Shan, Q.J Wang, K. Ge. 2006. Is China Facing an Obesity Epidemic and the Consequences? The Trends in Obesity and Chronic Disease in China dalam International Journal of Obesity tanggal 2 Mei 2006 hal. 177-188. [terhubung berkala]. www.npg.org. Diakses pada 15 Mei 2007. WHO. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva: WHO Technical Report Series.
92
Lamp. 1
HASIL CHI SQUARE TEST Jenis Kelamin Kode Kota Medan
Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
3.159
1
0.075
Continuity Correction(a)
2.637
1
0.104
Likelihood Ratio
3.151
1
0.076
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test
Jakarta Selatan
Linear-by-Linear Association
3.157
1
0.076
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a)
5.195
1
0.023
4.735
1
0.030
Likelihood Ratio
5.241
1
0.022
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
5.191
N of Valid Cases
1419
1
Exact Sig. (1-sided)
0.091
0.052
0.023
0.015
0.023
a
Computed only for a 2x2 table
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20,22.
c
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 50,04.
Pendidikan Ibu Kode Kota Medan
Value Pearson Chi-Square
34.053
2
0.000
Likelihood Ratio
19.503
2
0.000
Linear-by-Linear Association
18.160
1
0.000
N of Valid Cases Jakarta Selatan
1430
Pearson Chi-Square
33.635
2
0.000
Likelihood Ratio
28.821
2
0.000
Linear-by-Linear Association
30.990
1
0.000
N of Valid Cases
1419
a
1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,75.
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11,25.
Pendidikan Ayah
Kode Kota Medan
Asymp. Sig. (2sided)
df
Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
Pearson Chi-Square
18.639
2
0.000
Likelihood Ratio
15.837
2
0.000
Linear-by-Linear Association
17.443
1
0.000
N of Valid Cases
1430
93
Jakarta Selatan
Pearson Chi-Square
,(b)
N of Valid Cases
1419
a
1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,57.
b
No statistics are computed because Pendidikan Ayah is a constant.
Pekerjaan Ibu Kode Kota Medan
Jakarta Selatan
Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
Pearson Chi-Square
15.209
2
0.000
Likelihood Ratio
10.837
2
0.004
Linear-by-Linear Association
0.556
1
0.456
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
7.283
2
0.026
Likelihood Ratio
6.464
2
0.039
Linear-by-Linear Association
1.481
1
0.224
N of Valid Cases
1419
a
1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,85.
b
1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,42.
Pekerjaan Ayah Kode Kota Medan
Jakarta Selatan
Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
Pearson Chi-Square
24.073
2
0.000
Likelihood Ratio
17.549
2
0.000
Linear-by-Linear Association
1.355
1
0.244
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
,(b)
N of Valid Cases
1419
a
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,48.
b
No statistics are computed because Pekerjaan Ayah is a constant.
Jumlah Anggota Rumah Tangga Kode Kota Medan
Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
0.995
1
0.318
Continuity Correction(a)
0.667
1
0.414
Likelihood Ratio
0.943
1
0.331
Linear-by-Linear Association
0.995
1
0.319
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
1.668
1
0.197
Continuity Correction(a)
1.394
1
0.238
Likelihood Ratio
1.624
1
0.202
Fisher's Exact Test
Jakarta Selatan
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
1.667
1
0.197
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1-sided)
0.364
0.204
0.223
0.120
94
N of Valid Cases
1419
a
Computed only for a 2x2 table
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,25.
c
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 32,17.
Kepemilikan Mobil Kode Kota Medan
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
Pearson Chi-Square
22.652
1
0.000
Continuity Correction(a)
20.744
1
0.000
Likelihood Ratio
17.538
1
0.000
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
22.636
N of Valid Cases Jakarta Selatan
1
0.000
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1-sided)
0.000
0.000
0.000
0.000
1430
Pearson Chi-Square
14.209
1
0.000
Continuity Correction(a)
13.304
1
0.000
Likelihood Ratio
12.763
1
0.000
14.199
1
0.000
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1419
a
Computed only for a 2x2 table
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,38.
c
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 23,56.
Kepemilikan Motor Kode Kota Medan
Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
Pearson Chi-Square
3.435
1
0.064
Continuity Correction(a)
2.891
1
0.089
Likelihood Ratio
3.507
1
0.061
Fisher's Exact Test
Jakarta Selatan
Linear-by-Linear Association
3.433
1
0.064
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a)
2.976
1
0.085
2.624
1
0.105
Likelihood Ratio
3.048
1
0.081
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
2.974
N of Valid Cases
1419
1
0.085
a
Computed only for a 2x2 table
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 21,05.
c
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 41,21.
Exact Sig. (2 sided)
Exact Sig. (1-sided)
0.067
0.044
0.093
0.051
95
Aktivitas Tidur Siang Kode Kota Medan
Jakarta Selatan
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
Pearson Chi-Square
3.057
2
0.217
Likelihood Ratio
3.308
2
0.191
Linear-by-Linear Association
2.735
1
0.098
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
0.725
2
0.696
Likelihood Ratio
0.739
2
0.691
Linear-by-Linear Association
0.128
1
0.720
N of Valid Cases
1419
a
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,02.
b
0 cells (,0%) have expected count less tha n 5. The minimum expected count is 9,96.
Aktivitas Menonton TV Kode Kota Medan
Jakarta Selatan
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
Pearson Chi-Square
2.244
2
0.326
Likelihood Ratio
2.065
2
0.356
Linear-by-Linear Association
0.979
1
0.322
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
0.118
2
0.943
Likelihood Ratio
0.116
2
0.944
Linear-by-Linear Association
0.020
1
0.888
N of Valid Cases
1419
a
2 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,26.
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,68.
Aktivitas Olahraga Kode Kota Medan
Jakarta Selatan
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
Pearson Chi-Square
0.978
2
0.613
Likelihood Ratio
1.118
2
0.572
Linear-by-Linear Association
0.902
1
0.342
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
2.438
2
0.296
Likelihood Ratio
2.161
2
0.339
Linear-by-Linear Association
0.483
1
0.487
N of Valid Cases
1419
a
1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,02.
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,19.
96
Aktivitas Bermain Kode Kota Medan
Jakarta Selatan
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
Pearson Chi-Square
1.240
2
0.538
Likelihood Ratio
1.317
2
0.518
Linear-by-Linear Association
0.430
1
0.512
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
0.983
2
0.612
Likelihood Ratio
0.983
2
0.612
Linear-by-Linear Association
0.097
1
0.755
N of Valid Cases
1419
a
1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,77.
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20,29.
Aktivitas Pekerjaan Rumah Tangga Kode Kota Medan
Jakarta Selatan
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
Pearson Chi-Square
1.221
2
0.543
Likelihood Ratio
1.088
2
0.581
Linear-by-Linear Association
0.185
1
0.667
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
3.270
2
0.195
Likelihood Ratio
3.357
2
0.187
Linear-by-Linear Association
2.358
1
0.125
N of Valid Cases
1419
a
1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,23.
b
1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,64.
Cara Transportasi ke Sekolah Kode Kota Medan
Value
df
Asymp. Si g. (2sided)
Pearson Chi-Square
2.390
1
0.122
Continuity Correction(a)
1.922
1
0.166
Likelihood Ratio
2.525
1
0.112
Exact Sig. (2-sided)
Fisher's Exact Test
Jakarta Selatan
0.151
Linear-by-Linear Association
2.388
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square N of Valid Cases
1
0.122
,(c) 1419
a
Computed only for a 2x2 table
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15,85.
c
No statistics are computed because Alat transportasi ke sekolah is a constant
Exact Sig. (1-sided)
0.080
97
Cara Transportasi Bepergian Kode Kota Medan
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
Exact Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
0.124
1
0.725
Continuity Corre ction(a)
0.026
1
0.872
Likelihood Ratio
0.127
1
0.722
Linear-by-Linear Association
0.123
1
0.725
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
1.685
1
0.194
Continuity Correction(a)
1.377
1
0.241
Likelihood Ratio
1.786
1
0.181
Fisher's Exact Test
Jakarta Selatan
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
1.684
N of Valid Cases
1419
1
Exact Sig. (1-sided)
0.850
0.450
0.214
0.118
0.194
a
Computed only for a 2x2 table
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,92.
c
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 22,21.
Kebiasaan Sarapan Pagi Kode Kota Medan
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
Exact Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
0.443
1
0.506
Continuity Correction(a)
0.228
1
0.633
Likelihood Ratio
0.425
1
0.515
Fisher's Exact Test
Jakarta Selatan
Linear-by-Linear Association
0.442
1
0.506
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
0.024
1
0.877
Continuity Correction(a)
0.002
1
0.969
Likelihood Ratio
0.024
1
0.878
Linear-by-Linear Association
0.024
1
0.877
N of Valid Cases
1419
Fisher's Exact Test
a
Computed only for a 2x2 table
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,23.
c
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 28,33.
0.572
0.307
0.909
0.479
Frekuensi Makan dalam Sehari Kode Kota Medan
Value Pearson Chi-Square
0.072
Asymp. Sig. (2-sided)
df 2
Exact Sig. (1-sided)
0.965
98
Jakarta Selatan
Likelihood Ratio
0.072
2
0.965
Linear-by-Linear Association
0.024
1
0.877
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
0.696
2
0.706
Likelihood Ratio
0.713
2
0.700
Linear-by-Linear Association
0.391
1
0.532
N of Valid Cases
1419
a
1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,89.
b
1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,84.
Kebiasaan Makan Malam Bersama Keluarga Kode Kota Medan
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
Pearson Chi-Square
5.164
1
0.023
Continuity Correction(a)
4.489
1
0.034
Likelihood Ratio
5.353
1
0.021
Exact Sig. (2-sided)
Fisher's Exact Test
Jakarta Selatan
Linear-by-Linear Association
5.160
1
0.023
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
0.769
1
0.381
Continuity Correction(a)
0.598
1
0.439
Likelihood Ratio
0.768
1
0.381
Linear-by-Linear Association
0.768
1
0.381
N of Valid Cases
1419
Fisher's Exact Test
a
Computed only for a 2x2 table
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20,40.
c
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 48,76.
Exact Sig. (1-sided)
0.031
0.016
0.409
0.220
Kebiasaan Ngemil Kode Kota Medan
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
Pearson Chi-Square
0.288
1
0.592
Continuity Correction(a)
0.127
1
0.721
Likelihood Ratio
0.297
1
0.585
Fisher's Exact Test
Jakarta Selatan
Linear-by-Linear Association
0.287
1
0.592
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
0.075
1
0.784
Continuity Correction(a)
0.021
1
0.884
Likelihood Ratio
0.074
1
0.786
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
0.720
0.371
0.799
0.434
99
Linear-by-Linear Association
0.075
N of Valid Cases
1419
1
0.784
a
Computed only for a 2x2 table
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,49.
c
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20,93.
Jenis Camilan Kode Kota Medan
Jakarta Selatan
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
Pearson Chi-Square
5.509
4
0.239
Likelihood Ratio
9.155
4
0.057
Linear-by-Linear Association
0.361
1
0.548
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
2.349
4
0.672
Likelihood Ratio
2.424
4
0.658
Linear-by-Linear Association
0.016
1
0.898
N of Valid Cases
1419
a
2 cells (20,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,69.
b
1 cells (10,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,98.
Frekuensi Konsumsi Sayuran dalam Seminggu Terakhir Kode Kota Medan
Jakarta Selatan
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
Pearson Chi-Square
1.126
3
0.771
Likelihood Ratio
1.081
3
0.782
Linear-by-Linear Association
0.311
1
0.577
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
15.233
3
0.002
Likelihood Ratio
14.060
3
0.003
Linear-by-Linear Association
6.673
1
0.010
N of Valid Cases
1419
a
2 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,12.
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,19.
Frekuensi Konsumsi Buah-Buahan dalam Seminggu Terakhir Kode Kota Medan
Jakarta Selatan
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
Pearson Chi-Square
3.310
3
0.346
Likelihood Ratio
4.696
3
0.195
Linear-by-Linear Association
2.689
1
0.101
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
8.348
3
0.039
Likelihood Ratio
6.846
3
0.077
Linear-by-Linear Association
2.650
1
0.104
100
N of Valid Cases
1419
a
1 cells (12,5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,54.
b
1 cells (12,5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,85.
Frekuensi Konsumsi Fast Food dalam Seminggu Terakhir Kode Kota Medan
Jakarta Selatan
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
Pearson Chi-Square
4.994
3
0.172
Likelihood Ratio
5.993
3
0.112
Linear-by-Linear Association
1.737
1
0.187
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
4.667
3
0.198
Likelihood Ratio
5.156
3
0.161
Linear-by-Linear Association
0.389
1
0.533
N of Valid Cases
1419
a
2 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,83.
b
1 cells (12,5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,99.
Frekuensi Konsumsi Soft Drink dalam Seminggu Terakhir Kode Kota Medan
Jakarta Selatan
Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
Exact Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
4.991
3
0.172
Likelihood Ratio
4.488
3
0.213
Linear-by-Linear Association
4.421
1
0.036
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
1.627
1
0.202
Continuity Correction(a)
1.374
1
0.241
Likelihood Ratio
1.629
1
0.202
Fisher's Exact Test
0.216
Linear-by-Linear Association
1.626
N of Valid Cases
1419
1
0.202
a
Computed only for a 2x2 table
b
2 cells (25,0%) have expected count less than 5. The mini mum expected count is 2,71.
c
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 49,82.
Frekuensi Konsumsi Makanan Berlemak dalam Seminggu Terakhir Kode Kota Medan
Jakarta Selatan
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
Pearson Chi-Square
1.319
3
0.725
Likelihood Ratio
2.077
3
0.557
Linear-by-Linear Association
0.041
1
0.839
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
8.003
3
0.046
Likelihood Ratio
6.880
3
0.076
Exact Sig. (1-sided)
0.121
101
Linear-by-Linear Association
2.286
N of Valid Cases
1419
1
0.131
a
2 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,77.
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,04.
Frekuensi Konsumsi Daging dalam Seminggu Terakhir Kode Kota Medan
Jakarta Selatan
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
Pearson Chi-Square
2.821
3
0.420
Likelihood Ratio
3.576
3
0.311
Linear-by-Linear Association
0.466
1
0.495
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
13.344
3
0.004
Likelihood Ratio
12.797
3
0.005
Linear-by-Linear Association
3.223
1
0.073
N of Valid Cases
1419
a
2 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,86.
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,33.
Frekuensi Konsumsi Gorengan dalam Seminggu Terakhir Kode Kota Medan
Jakarta Selatan
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
Pearson Chi-Square
10.654
3
0.014
Likelihood Ratio
13.088
3
0.004
Linear-by-Linear Association
4.115
1
0.042
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
5.387
3
0.146
Likelihood Ratio
5.458
3
0.141
Linear-by-Linear Association
4.019
1
0.045
N of Valid Cases
1419
a
1 cells (12,5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,57.
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,11.
Kesukaan Jajan Gorengan Kode Kota Medan
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
Pearson Chi-Square
0.005
1
0.945
Continuity Correction(a)
0.000
1
1.000
Likelihood Ratio
0.005
1
0.945
Fisher's Exact Test
Jakarta Selatan
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
1
Linear-by-Linear Association
0.005
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
0.148
1
0.945
1
0.700
0.541
102
Continuity Correction(a)
0.066
1
0.797
Likelihood Ratio
0.146
1
0.702
Fisher's Exact Test
0.701
Linear-by-Linear Association
0.148
N of Valid Cases
1419
1
0.391
0.700
a
Computed only for a 2x2 table
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,85.
c
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20,50.
Kesukaan Jajan Makanan Berlemak Kode Kota Medan
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
Pearson Chi-Square
3.126
1
0.077
Continuity Correction(a)
2.607
1
0.106
Likelihood Ratio
3.142
1
0.076
Exact Sig. (2-sided)
Fisher's Exact Test
Jakarta Selatan
Linear-by-Linear Association
3.124
1
0.077
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
1.627
1
0.202
Continuity Correction(a)
1.374
1
0.241
Likelihood Ratio
1.629
1
0.202
Linear-by-Linear Association
1.626
1
0.202
N of Valid Cases
1419
Fisher's Exact Test
a
Computed only for a 2x2 table
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 21,23.
c
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 49,82.
Exact Sig. (1-sided)
0.092
0.053
0.216
0.121
Kesukaan Jajan Makanan Asin Kode Kota Medan
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
Pearson Chi-Square
0.712
1
0.399
Continuity Correction(a)
0.469
1
0.493
Likelihood Ratio
0.698
1
0.403
Fisher's Exact Test
Jakarta Selatan
Linear-by-Linear Association
0.711
1
0.399
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
0.028
1
0.867
Continuity Correction(a)
0.004
1
0.949
Likelihood Ratio
0.028
1
0.867
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
0.028
1
0.867
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
0.430
0.245
0.918
0.474
103
N of Valid Cases
1419
a
Computed only for a 2x2 table
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16,34.
c
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 46,19.
Kesukaan Jajan Makanan Rebus/Kukus Kode Kota Medan
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
Pearson Chi-Square
0.299
1
0.585
Continuity Correction(a)
0.155
1
0.694
Likelihood Ratio
0.299
1
0.584
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1-sided)
0.647
0.347
0.827
0.436
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1-sided)
0.685
0.378
0.184
0.122
Fisher's Exact Test
Jakarta Selatan
Linear-by-Linear Association
0.299
N of Valid Cases
1430
1
0.585
Pearson Chi-Square
0.068
1
0.794
Continuity Correction(a)
0.023
1
0.880
Likelihood Ratio
0.068
1
0.795
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
0.068
N of Valid Cases
1419
1
0.794
a
Computed only for a 2x2 table
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 21,78.
c
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 33,81.
Kesukaan Jajan Makanan Manis Kode Kota Medan
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
Pearson Chi-Square
0.309
1
0.578
Continuity Correction(a)
0.123
1
0.726
Likelihood Ratio
0.325
1
0.569
Linear-by-Linear Association
0.309
1
0.579
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
1.797
1
0.180
Continuity Correction(a)
1.380
1
0.240
Likelihood Ratio
1.646
1
0.200
Fisher's Exact Test
Jakarta Selatan
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
1.796
N of Valid Cases
1419
1
0.180
a
Computed only for a 2x2 table
b
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,35.
c
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,96.
104
Kesukaan Merokok Kode Kota Medan
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
Pearson Chi-Square
0.944
1
0.331
Continuity Correction(a)
0.465
1
0.495
Likelihood Ratio
0.831
1
0.362
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1-sided)
0.375
0.234
0.295
0.145
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
0.944
1
0.331
1430 Jakarta Selatan
Pearson Chi-Square
1.442
1
0.230
Continuity Correction(a)
1.106
1
0.293
Likelihood Ratio
1.568
1
0.210
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
1.441
N of Valid Cases
1419
1
0.230
a
Computed only for a 2x2 table
b
1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,32.
c
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,02.
Kesukaan Konsumsi Minuman Beralkohol Kode Kota Medan
Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
Pearson Chi-Square
0.775
1
0.379
Continuity Correction(a)
0.081
1
0.776
Likelihood Ratio
1.513
1
0.219
Linear-by-Linear Association
0.774
1
0.379
N of Valid Cases
1430
Pearson Chi-Square
0.447
1
0.504
Continuity Correction(a)
0.157
1
0.692
Likelihood Ratio
0.410
1
0.522
Linear-by-Linear Association
0.446
1
0.504
N of Valid Cases
1419
Fisher's Exact Test
Jakarta Selatan
Fisher's Exact Test
a
Computed only for a 2x2 table
b
1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,74.
c
1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,77.
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1-sided)
1
0.469
0.421
0.324
105
Lamp. 2
LOGISTIC REGRESSION Case Processing Summary Unweighted Cases(a) Selected Cases
N
Included in Analysis
2849
100
0
0
2849
100
0
0
2849
100
Missing Cases Total Unselected Cases Total a.
Percent
If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Variables in the Equation B
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
95.0% C.I.for EXP(B) Lower
Sex2
Step 1(a)
Upper
-0.463
0.195
5.631
1
0.018
0.629
0.429
0.923
PendiIbu
0.732
0.236
9.643
1
0.002
2.079
1.310
3.300
PendAyah
0.134
0.353
0.145
1
0.704
1.144
0.573
2.283
PekIbu
0.507
0.265
3.659
1
0.056
1.661
0.988
2.792
PekAyah
0.526
0.608
0.748
1
0.387
1.692
0.514
5.575
JmlArmt
0.398
0.187
4.507
1
0.034
1.488
1.031
2.148
MlkMobil
0.566
0.212
7.120
1
0.008
1.761
1.162
2.669
MlkMotor
0.419
0.192
4.741
1
0.029
1.520
1.043
2.216
KatTidur
-0.137
0.184
0.559
1
0.455
0.872
0.608
1.249
KatNonton
-0.063
0.238
0.071
1
0.790
0.939
0.588
1.497
0.053
0.210
0.063
1
0.802
1.054
0.698
1.592
-0.090
0.192
0.220
1
0.639
0.914
0.628
1.331
KatPekRT
0.097
0.196
0.245
1
0.621
1.102
0.750
1.618
Sekolah
0.316
0.351
0.808
1
0.369
1.371
0.689
2.730
Pergi
0.228
0.241
0.898
1
0.343
1.256
0.784
2.013
Sarapan
0.563
0.290
3.767
1
0.052
1.756
0.994
3.100
KaliMakan
-0.015
0.207
0.005
1
0.943
0.985
0.656
1.479
MknKlrg
-0.607
0.277
4.795
1
0.029
0.545
0.316
0.938
Ngemil
0.060
0.222
0.074
1
0.786
1.062
0.688
1.640
sayuran
0.148
0.203
0.535
1
0.464
1.160
0.779
1.726
buah
0.068
0.191
0.128
1
0.720
1.071
0.736
1.557
FastFood
-0.028
0.202
0.019
1
0.891
0.973
0.654
1.446
MakanLemak
KatOlga KatBermain
-0.026
0.224
0.013
1
0.908
0.974
0.628
1.513
daging
0.025
0.236
0.011
1
0.915
1.025
0.646
1.627
gorengan
0.080
0.187
0.183
1
0.669
1.083
0.751
1.563
softdrink
0.252
0.264
0.914
1
0.339
1.287
0.767
2.158
JajanGoreng
0.050
0.243
0.043
1
0.835
1.052
0.654
1.692
JajanLemak
0.160
0.257
0.385
1
0.535
1.173
0.709
1.942
106
JajanAsin
Step 25(a)
0.056
0.182
0.096
1
0.757
1.058
0.741
1.511
JajanRebus
-0.077
0.191
0.162
1
0.688
0.926
0.637
1.346
JajanManis
-0.205
0.261
0.618
1
0.432
0.815
0.488
1.358
merokok
0.265
0.325
0.661
1
0.416
1.303
0.688
2.465
alkohol
0.257
0.535
0.230
1
0.631
1.293
0.453
3.692
Constant
-5.123
0.890
33.132
1
0.000
0.006
Sex2
-0.460
0.179
6.640
1
0.010
0.631
0.445
0.896
PendiIbu
0.828
0.221
14.082
1
0.000
2.290
1.485
3.529
PekIbu
0.532
0.249
4.568
1
0.033
1.703
1.045
2.775
JmlArmt
0.390
0.185
4.414
1
0.036
1.477
1.027
2.124
MlkMobil
0.666
0.205
10.556
1
0.001
1.946
1.302
2.908
MlkMotor
0.406
0.185
4.849
1
0.028
1.501
1.046
2.155
Sarapan
0.560
0.268
4.357
1
0.037
1.750
1.035
2.959
MknKlrg
-0.579
0.265
4.750
1
0.029
0.561
0.333
0.943
softdrink
0.367
0.180
4.148
1
0.042
1.443
1.014
2.055
Constant -3.938 0.284 192.053 1 0.000 0.019 Variable(s) entered on step 1: Sex2, PendiIbu, PendAyah, PekIbu, PekAyah, JmlArmt, MlkMobil, MlkMotor, KatTidur, KatNonton, KatOlga, KatBermain, KatPekRT, Sekolah, Pergi, Sarapan, KaliMakan, MknKlrg, Ngemil, sayuran, buah, FastFood, MakanLemak, daging, gorengan, softdrink, JajanGoreng, JajanLemak, JajanAsin, JajanRebus, JajanManis, merokok, alkohol.
a
LOGISTIC REGRESSION KODE KOTA = MEDAN Case Processing Summary Unweighted Cases(a) Selected Cases
N
Included in Analysis
Percent 1430
100
0
0
1430
100
0
0
Missing Cases Total Unselected Cases Total a
1430 100 If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
b
Kode Kota = Medan
Variables in the Equation B
Step 1(a)
Sex2
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
95.0% C.I.for EXP(B) Lower
Upper
-0.537
0.379
2.009
1
0.156
0.584
0.278
1.228
PendiIbu
1.480
0.500
8.772
1
0.003
4.391
1.649
11.689
PendAyah
-0.229
0.516
0.197
1
0.657
0.795
0.289
2.186
PekIbu
0.163
0.347
0.221
1
0.638
1.177
0.597
2.322
PekAyah
0.375
0.641
0.342
1
0.559
1.455
0.414
5.107
JmlArmt
0.343
0.368
0.868
1
0.351
1.409
0.685
2.899
107
MlkMobil
0.824
0.380
4.699
1
0.030
2.280
1.082
4.802
MlkMotor
0.273
0.359
0.578
1
0.447
1.314
0.650
2.659
KatTidur
-0.723
0.392
3.406
1
0.065
0.485
0.225
1.046
KatNonton
-0.383
0.444
0.743
1
0.389
0.682
0.285
1.629
KatOlga
0.339
0.565
0.360
1
0.549
1.403
0.464
4.247
KatBermain
0.168
0.345
0.236
1
0.627
1.182
0.602
2.323
KatPekRT
0.100
0.354
0.079
1
0.778
1.105
0.552
2.211
-0.126
0.405
0.096
1
0.756
0.882
0.399
1.949
0.205
0.441
0.216
1
0.642
1.228
0.517
2.914
Sekolah Pergi Sarapan
0.526
0.504
1.091
1
0.296
1.693
0.631
4.544
KaliMakan
-0.032
0.476
0.004
1
0.947
0.969
0.381
2.464
MknKlrg
-0.533
0.361
2.180
1
0.140
0.587
0.289
1.191
Ngemil
-0.017
0.416
0.002
1
0.967
0.983
0.435
2.221
Sayuran
-0.426
0.357
1.428
1
0.232
0.653
0.325
1.314
Buah
-0.261
0.358
0.532
1
0.466
0.770
0.381
1.555
0.100
0.558
0.032
1
0.858
1.105
0.370
3.296
-0.309
0.753
0.168
1
0.682
0.734
0.168
3.212
0.202
0.679
0.089
1
0.766
1.224
0.324
4.630
Gorengan
-0.472
0.379
1.549
1
0.213
0.624
0.297
1.312
Softdrink
0.382
0.430
0.786
1
0.375
1.465
0.630
3.404
JajanGoreng
0.279
0.510
0.300
1
0.584
1.322
0.487
3.592
JajanLemak
0.556
0.362
2.351
1
0.125
1.743
0.857
3.546
JajanAsin
0.168
0.343
0.241
1
0.623
1.183
0.605
2.316
JajanRebus
-0.277
0.349
0.630
1
0.428
0.758
0.383
1.502
JajanManis
0.001
0.485
0.000
1
0.998
1.001
0.387
2.591
0.589
0.534
1
0.465
0.650
0.205
2.064
Alkohol
-0.431 18.885
6927.384
0.000
1
0.998
0.000
0.000
Constant
-3.795
1.365
7.728
1
0.005
0.022
PendiIbu
1.643
0.362
20.616
1
0.000
5.171
2.544
10.509
MlkMobil
0.973
0.339
8.218
1
0.004
2.646
1.360
5.146
KatTidur
-0.753
0.370
4.140
1
0.042
0.471
0.228
0.973
FastFood MakanLemak Daging
Merokok
Step 31(a)
.
a
Constant -3.771 0.232 264.927 1 0.000 0.023 Variable(s) entered on step 1: Sex2, PendiIbu, PendAyah, PekIbu, PekAyah, JmlArmt, MlkMobil, MlkMotor, KatTidur, KatNonton, KatOlga, KatBermain, KatPekRT, Sekolah, Pergi, Sarapan, KaliMakan, MknKlrg, Ngemil, sayuran, buah, FastFood, MakanLemak, daging, gorengan, softdrink, JajanGoreng, JajanLemak, JajanAsin, JajanRebus, JajanManis, merokok, alkohol.
b
Kode Kota = Medan
108
Kode Kota = Jakarta Selatan Case Processing Summary(e) Unweighted Cases(d) Selected Cases(a,b,c)
N Included in Analysis Missing Cases Total
Percent 1419 0 1419 0
Unselected Cases Total
100.0 .0 100.0 .0
1419 100.0 a The variable Pendidikan Ayah (Dummy) is constant for all selected cases. Since a constant was requested in the model, it will be removed from the analysis. b The variable Pekerjaan Ayah (Dummy) is constant for all selected cases. Since a constant was requested in the model, it will be removed from the analysis. c The variable Alat transportasi ke sekolah (Dummy) is constant for all selected cases. Since a constant was requested in the model, it will be removed from the analysis. d If weight is in effect, see classification table for the total number of cases. e Kode Kota = Jakarta Selatan
Variables in the Equation B
Sex2
Step 1(a)
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
95.0% C.I.for EXP(B) Lower
Upper
-0.456
0.236
3.754
1
0.053
0.634
0.399
1.005
PendiIbu
0.468
0.289
2.618
1
0.106
1.596
0.906
2.813
PekIbu
0.260
0.748
0.121
1
0.728
1.297
0.300
5.617
JmlArmt
0.351
0.223
2.487
1
0.115
1.421
0.918
2.199
MlkMobil
0.512
0.267
3.689
1
0.055
1.668
0.990
2.813
MlkMotor
0.489
0.231
4.477
1
0.034
1.631
1.037
2.566
KatTidur
0.059
0.221
0.072
1
0.789
1.061
0.687
1.638
KatNonton
0.110
0.291
0.143
1
0.705
1.116
0.632
1.973
KatOlga
0.099
0.245
0.161
1
0.688
1.104
0.682
1.785
-0.245
0.245
0.994
1
0.319
0.783
0.484
1.267
KatPekRT
0.088
0.247
0.128
1
0.721
1.092
0.673
1.774
Pergi
0.270
0.297
0.830
1
0.362
1.310
0.733
2.343
Sarapan
-0.112
0.219
0.263
1
0.608
0.894
0.582
1.373
KaliMakan
-0.010
0.237
0.002
1
0.968
0.990
0.622
1.576
Ngemil
0.018
0.270
0.004
1
0.947
1.018
0.599
1.729
Sayuran
0.289
0.291
0.990
1
0.320
1.336
0.755
2.362
Buah
0.225
0.231
0.951
1
0.329
1.252
0.797
1.968
FastFood
-0.163
0.224
0.531
1
0.466
0.850
0.548
1.317
MakanLemak
-0.052
0.243
0.046
1
0.830
0.949
0.589
1.529
Daging
-0.005
0.260
0.000
1
0.984
0.995
0.598
1.656
Gorengan
0.330
0.225
2.157
1
0.142
1.391
0.895
2.162
Softdrink
17.55
40192.91
0.000
1
1.000
42035020.8
0.000
.
JajanGoreng
0.048
0.285
0.029
1
0.865
1.050
0.601
1.833
JajanLemak
-17.27
40192.91
0.000
1
1.000
0.000
0.000
.
JajanAsin
-0.106
0.225
0.221
1
0.638
0.900
0.579
1.399
KatBermain
109
Step 25 (a)
JajanRebus
0.006
0.238
0.001
1
0.978
1.006
0.631
1.605
JajanManis
-0.322
0.318
1.024
1
0.311
0.725
0.388
1.352
Merokok
0.601
0.406
2.185
1
0.139
1.824
0.822
4.046
Alkohol
0.724
0.567
1.628
1
0.202
2.062
0.678
6.268
Constant
-4.418
1.075
16.901
1
0.000
0.012
Sex2
-0.421
0.214
3.860
1
0.049
0.657
0.432
0.999
PendiIbu
0.613
0.274
5.016
1
0.025
1.846
1.080
3.156
JmlArmt
0.360
0.218
2.721
1
0.099
1.433
0.934
2.199
MlkMobi
0.609
0.255
5.691
1
0.017
1.838
1.115
3.030
MlkMotor
0.422
0.223
3.586
1
0.058
1.524
0.985
2.358
a
Constant -3.081 0.244 159.484 1 0.000 0.045893709 Variable(s) entered on step 1: Sex2, PendiIbu, PendAyah, PekIbu, PekAyah, JmlArmt, MlkMobil, MlkMotor, KatTidur, KatNonton, KatOlga, KatBermain, KatPekRT, Sekolah, Pergi , Sarapan, KaliMakan, MknKlrg, Ngemil, sayuran, buah, FastFood, MakanLemak, daging, gorengan, softdrink, JajanGoreng, JajanLemak, JajanAsin, JajanRebus, JajanManis, merokok, alkohol.
b
Kode Kota = Jakarta Selatan