AKTIVITAS FISIK, KEBUGARAN, DAN PRESTASI BELAJAR PADA ANAK SEKOLAH DASAR NORMAL DAN KEGEMUKAN DI BOGOR
IMA KARIMAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aktivitas Fisik, Kebugaran, dan Prestasi Belajar pada Anak Sekolah Dasar Normal dan Kegemukan di Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014 Ima Karimah NIM I151114091
RINGKASAN IMA KARIMAH. Aktivitas fisik, kebugaran, dan prestasi belajar pada anak sekolah dasar normal dan kegemukan di Bogor. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN dan BUDI SETIAWAN. Peningkatan perilaku sedentary pada anak menyebabkan penurunan aktivitas fisik yang dapat meningkatkan kejadian obesitas atau overweight. Obesitas merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan massa lemak baik pada bagian-bagian tertentu atau seluruh bagian tubuh (Mahan & Escott-Stump 2004), atau kelebihan berat badan yang melebihi 20% dari berat badan normal (Siagian 2004). Aktivitas fisik merupakan bagian integral dari pertumbuhan dan perkembangan anak. Aktivitas fisik memiliki peranan penting dalam pengembangan fisik, psikososial, serta mental pada anak. Penurunan aktivitas fisik pada anak terutama yang mengalami kegemukan dapat menyebabkan ruang gerak anak menjadi sempit sehingga memungkinkan terjadinya penurunan kondisi fisik atau kebugaran. Kebugaran pada anak penting dalam mendukung prestasi belajarnya di sekolah. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aktivitas fisik, kebugaran, dan prestasi belajar pada anak sekolah dasar yang berstatus gizi normal dan kegemukan. Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini yaitu 1) Mengkaji tingkat aktivitas fisik, kebugaran, dan prestasi belajar anak kegemukan dan normal di Bogor; 2) Menganalisis konsumsi anak dan tingkat kecukupan zat gizi anak sekolah dasar kegemukan dan normal di Bogor; 3) Menganalisis hubungan antara konsumsi zat gizi dengan status gizi anak sekolah dasar di Bogor; dan 4) Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kebugaran dan prestasi belajar anak. Penelitian ini termasuk jenis penelitian observasional analitik dengan menggunakan desain studi cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di Bogor, berlangsung selama 3 bulan dari bulan Agustus sampai dengan Oktober 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah anak sekolah dasar kelas 5 di 2 Sekolah Dasar swasta favorit yang ada di Kota Bogor, yaitu SD Bina Insani dan SD Insan Kamil. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa kondisi sosial ekonomi menengah ke atas sehingga jumlah anak yang mengalami kegemukan cukup banyak. Sampel dalam penelitian ini adalah anak kegemukan (gemuk dan obes) dan anak yang berstatus gizi normal. Penentuan status gizi mengacu pada standar WHO. Anak dikategorikan kegemukan apabila IMT/U +1 SD < Z ≤ +2 SD dan IMT/U >+2 SD, dan normal apabila IMT/U -2 SD < Z ≤ +1 SD. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 108, terdiri dari 52 laki-laki dan 56 perempuan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data karakteristik anak, status gizi, tingkat aktivitas fisik, kebugaran, serta prestasi belajar. Karakteristik anak meliputi umur dan jenis kelamin. Data tingkat aktivitas fisik meliputi jenis kegiatan dan alokasi waktu setiap kegiatan tersebut selama 2x24 jam (hari libur dan hari sekolah). Tingkat aktivitas anak dinyatakan dalam Physical Activity Level (PAL). Nilai PAL diperoleh dengan mengalikan alokasi waktu jenis aktivitas tertentu dengan nilai PAR (jumlah energi yang dikeluarkan untuk jenis aktivitas per satuan waktu tertentu). Nilai tingkat aktivitas fisik
dikategorikan menjadi tiga, yaitu ringan (1.40-1.69), sedang (1.70-1.99), serta berat (2.00-2.40). Data kebugaran (physical fitness) diukur dengan melakukan observasi menggunakan panduan TKJI (Tes Kesegaran Jasmani Indonesia), meliputi lari cepat 40 meter, tes angkat tubuh (pull up) 30 detik, tes baring duduk (sit up) 30 detik, loncat tegak, dan lari 600 meter. Masing-masing tes diberi skor 1-5. Status kebugaran dinyatakan dengan jumlah skor yang diperoleh dari masing-masing tes. Kebugarannya dikategorikan baik sekali apabila skor total tes 22-25, baik 18-21, sedang 14-17, kurang 10-13, dan kurang sekali apabila skonya 5-9. Selanjutnya kebugaran dikelompokkan menjadi bugar dan tidak bugar, dengan dasar pertimbangan bahwa kebugaran anak dalam penelitian ini hanya berada pada kisaran sedang, kurang, dan kurang sekali. Kebugaran sedang dikategorikan menjadi bugar (14-17) sedangkan tingkat kebugaran kurang dan kurang sekali dikategorikan menjadi tidak bugar (5-13). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis statistika deskriptif dan analisis statistika inferensial. Analisis statistika inferensial yang digunakan adalah uji Chi Square, uji beda (independen t tes), dan regresi berganda. Tingkat aktivitas fisik anak lebih banyak tergolong katergori ringan baik pada anak yang berstatus gizi normal maupun kegemukan. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat aktivitas fisik antar anak yang berstatus gizi normal dan kegemukan (p>0.05). Kebugaran antara anak yang berstatus gizi normal dan kegemukan berbeda nyata (p<0.05). Rata-rata skor kebugaran anak yang berstatus gizi normal lebih tinggi (13.4±2.1) dibandingkan anak yang mengalami kegemukan (10.9±1.7). Aktivitas fisik tidak berhubungan dengan status gizi maupun kebugaran (p>0.05). Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi anak kegemukan lebih tinggi dibandingkan anak yang berstatus gizi normal. Tingkat kecukupan energi dan protein lebih tinggi pada anak yang berstatus gizi normal. Rata-rata tingkat kecukupan kalsium anak tergolong kategori berlebih (>120%). Rata-rata tingkat kecukupan besi pada anak yang berstatus gizi normal lebih rendah dibandingkan dengan anak yang mengalami kegemukan. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya tidak berhubungan dengan status gizi anak. Prestasi belajar pada anak yang berstatus gizi normal dan kegemukan tidak berbeda (p>0.05). Status gizi merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kebugaran anak (p<0.05), sedangkan aktivitas fisik tidak berpengaruh terhadap kebugaran (p>0.05). Faktor yang berpengaruh terhadap prestasi belajar adalah kebugaran dan status gizi (p<0.05). Kebugaran dan status gizi berpengaruh negatif terhadap prestasi belajar, namun pengaruhnya lemah.
Kata kunci: aktivitas fisik, anak sekolah dasar, kebugaran, prestasi belajar
SUMMARY IMA KARIMAH. Physical avtivity, physical fitness, and academic achievement in normal and overweight elementary school children in Bogor. Under Direction of ALI KHOMSAN and BUDI SETIAWAN. Sedentary lifestyle in children causes low physical activity and increase incident of overweight and obesity. Obesity is a condition characterized by fat mass increase in certain parts or the whole body (Mahan & Escott-Stump 2004), or excess weight more than 20% of normal weight (Siagian 2004). Physical activity is an integral part of children‟s growth and development. Physical activity is important for physical, psychosocial, and mental development in children. Low physical activity may causes physical fitness decline. Physical fitness among school children is important to support their academic achievement in school. The main objective of this research was to analyze physical activity, physical fitness, and academic achievement in overweight and normal elementary school children. Specifically, it was aimed to: 1) analyze physical activity, physical fitness, and academic achievement in overweight and normal children; 2) analyze nutrient intake and nutritional adequacy in overweight and normal children; 3) analyze the relationship between nutrient intake and nutritional status; and 4) analyze the factors that influence physical fitness and academic achievement in overweight and normal children. This research design was a cross sectional study. This research was conducted in Bogor City from August to October 2013. The population in this study was 5th grade elementary school students in two favorite private elementary schools in Bogor City, which was Bina Insani and Insan Kamil elementary schools. These two elementary schools were selected purposively with consideration they have the same characteristics. Inclusion criteria of school was predominantly upper middle class families. Samples are students who are overweight (include obese) and normal, according to WHO standards. Students categorized as obese if the BMI/age +1 SD < Z ≤ +2 SD, obese BMI/age > +2 SD, and normal if BMI/age -2 SD < Z ≤ +1 SD (Indonesia Ministry of Health 2011).The sample in this research are 108 children, consists of 52 male and 56 female aged 10-11 years old. Data collected includes children characteristics, nutritional status, physical activity level, physical fitness, and academic achievement. Children characteristics consist of age and gender. Children activity level expressed in physical activity level (PAL). PAL obtained by interviewing students about the activities done on school days and holidays. Data on physical activity including the duration and type of the activities. PAL values obtained by multiplying the time allocation of certain types of activity with PAR value (energy expenditure for this kind of activity per unit time). Physical activity values were categorized into three level, those are light (1.40-1.69), moderate (1.70-1.99), and severe (2:00 to 2:40) (FAO/WHO/UNU 2001). Physical fitness was measured by observation with physical fitness test of Indonesia Elementary School Children (Nurhasan & Cholil 2007). Those physical tests were sprint of 40 meters, pull up, sit up, jump up, and 600 meters run. Each
test was given score 1-5. Physical fitness was determined by the sum of score of each test. The categories were excellent (22-25 point), good (18-21 point), moderate (14-17 point), less (10-13 point), and poor (5-9). Futhermore, physical fitness was grouped into fit and non fit. The consideration of this classification was physical fitness of children in this research only range from moderate to poor, there were no excellent or good score. Fit physical fitness score was 14-17 point and non fit score was 5-13 point. In this research, measurement of physical test was helped by sport teacher with consideration they have skill to measure those test. Statistic analysis is used are descriptive and inferential. Inferentia statistic are Chi Square test, independent t test, and regression. Most children had light physical activity level, both in normal and overweight. This research showed that physical activity level between normal and overweight children was not different (p>0.05). The result in this research showed that normal children had better physical fitness than overweight children. Independent t-test showed that physical fitness between normal and overweight children was different (p<0.05). Average physical fitness score in normal children was higher than overweight, which were 13.4±2.1 point and 10.9±1.7 point respectively. Physical activity had not relationship with nutritional status or physical fitness (p>0.05). Average of energy intake and other nutrients on overweight was higher than normal. Nutrient adequacy level (energy and protein) was higher on normal than overweight. Most of calcium adequacy level on children were high. Average of iron adequacy level on normal children was lower than overweight. Nutrient adequacy level (energy, protein, calcium, and iron) had not relationship with nutritional status. Academic achievement of normal and overweight childrens were not different (p>0.05). Regression analysis showed that nutritional status had significant impact on physical fitness (p<0.05), but physical activity level did not influence physical fitness (p>0.05). Factors that affect academic achievement were physical fitness and nutritional status (p<0.05). Physical fitness and nutritional status had negative effect on academic achievement. But this effect was still weak.
Keyword: academic achievement, elementary schoolchildren, physical activity, physical fitness
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
i
AKTIVITAS FISIK, KEBUGARAN, DAN PRESTASI BELAJAR PADA ANAK SEKOLAH DASAR NORMAL DAN KEGEMUKAN DI BOGOR
IMA KARIMAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Hari Riyadi, MS
iii Judul
:
Nama : NIM :
Aktivitas Fisik, Kebugaran, dan Prestasi Belajar pada Anak Sekolah Dasar Normal dan Kegemukan di Bogor Ima Karimah I151114091
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS Ketua
Dr Ir Budi Setiawan, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN
Dr. Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
Judul
Aktivitas Fisik, Kebugaran, dan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Normal dan Kegemukan di Bogor
Nama NIM
ImaKarimah I151114091
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS Ketua
Dr If Budi Setiawan, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Masyarakat
--+HH<~fii'61·
Dr. If. Dodik Briawan, MeN
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
2 7 FEB
"014
iv
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah yang senantiasa dilimpahkan-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Selama penulisan tesis ini penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus kepada: 1. Prof. Dr. Ir Ali Khomsan, MS dan Dr. Ir. Budi Setiawan selaku komisi pembimbing yang senantiasa memberikan arahan, bimbingan, serta motivasi yang sangat berarti sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. 2. Ir. Fatchul Dzannah M. Pd dan Drs. H. Entis Sutisna selaku Kepala Sekolah SD Bina Insani dan kepala sekolah SD Insan Kamil yang telah bersedia melibatkan anaknya ikut serta dalam penelitian ini. 3. Bu Yeni, Pak Kamal, dan Pak Umar, selaku guru-guru yang telah membantu dalam pengumpulan data penelitian ini. 4. Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS selaku dosen penguji dan Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si selaku moderator, terimakasih atas segala masukannya. 5. Kedua orang tua, yang senantiasa memberikan dukungan kekuatan, kasih sayang, perhatian, finansial, dan doa yang tulus kepada penulis yang tidak henti-hentinya selama ini. 6. Rindu, Frida, Ida, Risma, Tatit, Resi sahabat terbaik yang senantiasa memberikan dorongan semangat saat suka maupun duka selama penyelesaian studi ini. 7. Panji Esa Putra S.Pi yang senantiasa memberikan dorongan semangat kepada penulis. Rekan-rekan yang telah membantu dalam penyelesaian studi ini (Nurlaely 8. Fitriana S.Gz; Catur Dwi Anggarawati, SP; Rian Diana, SP, M.Si; Alna Hotama; Babang Yusuf B, S.Gz, Dita, S.Gz dan Wulan, S.Gz). 9. Rekan-rekan seperjuangan GMS 2012 yang senantiasa memberikan semangat kepada penulis. 10. Adik-adikku Cecep, Ayang, Diksi terimakasih atas semangat dan kasih sayangnya selama ini. 11. Semua pihak yang mendukung. Semoga semua pengorbanan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan. Namun, penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, menambah keragaman ilmu pengetahuan terutama mengenai masalah kegemukan pada anak sekolah dasar.
Bogor, Februari 2014 Ima Karimah
v
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 3 3 3 4
2. TINJAUAN PUSTAKA Anak Usia Sekolah Kegemukan dan Obesitas Pada Anak Penilaian Status Gizi Konsumsi Pangan Kecukupan Gizi Food Recall 24 jam Aktivitas Fisik Physical Activity Level (PAL) Kebugaran Jasmani Prestasi Belajar Hubungan Aktivitas Fisik dengan Prestasi Belajar Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Prestasi Belajar
5 5 6 7 8 9 9 10 11 11 13 13 15
3. KERANGKA PEMIKIRAN
16
4. METODE Desain Penelitian Lokasi Penelitian Waktu Penelitian Teknik Pemilihan Sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Panduan Tes Kesegaran Jasmani Definisi Operasional
18 18 18 18 18 19 20 23 28
5. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Karakteristik Anak Karakteristik Sosial Ekonomi Orang Tua Konsumsi Energi dan Zat Gizi Anak Hubungan Asupan Energi dan Zat Gizi dengan Status Gizi Tingkat Aktivitas Fisik Kebugaran Anak Prestasi Belajar Anak
29 29 30 32 35 42 43 45 50
vi 6. SIMPULAN DAN SARAN
53
DAFTAR PUSTAKA
55
LAMPIRAN
64
vii
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5.
Angka kecukupan gizi anak usia sekolah Kategori status gizi berdasarkan IMT/U Penilaian skor tes lari cepat Penilaian tes angkat tubuh 60 detik Penilaian tes baring duduk 30 detik (6-9 tahun) dan 60 detik (10-12 tahun) 6. Penilaian tes loncat tegak 7. Penilaian tes lari 600 meter 8. Norma tes kesegaran jasmani indonesia 9. Jenis dan cara pengumpulan data 10. Sebaran karakteristik subjek penelitian 11. Sebaran uang saku menurut status gizi 12. Sebaran pendidikan orang tua menurut status gizi 13. Sebaran pekerjaan orang tua anak menurut status gizi 14. Sebaran pendapatan orang tua anak menurut status gizi 15. Sebaran jumlah anggota keluarga menurut status gizi 16. Sebaran rata-rata konsumsi zat gizi menurut status gizi anak 17. Sebaran kontribusi lemak menurut status gizi 18. Sebaran tingkat kecukupan energi menurut status gizi 19. Sebaran tingkat kecukupan protein menurut status gizi 20. Sebaran tingkat kecukupan kalsium menurut status gizi 21. Sebaran tingkat kecukupan besi menurut status gizi 22. Sebaran tingkat aktivitas fisik menurut status gizi 23. Sebaran status kebugaran anak menurut status gizi 24. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebugaran 25. Sebaran nilai anak menurut status gizi 26. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi belajar
5 8 23 24 25 25 26 26 27 31 32 33 34 35 35 36 37 38 39 40 41 43 45 48 50 52
DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka pemikiran aktivitas fisik, kebugaran, dan prestasi belajar pada anak sekolah dasar di Kota Bogor
17
DAFTAR LAMPIRAN 1. Sebaran pendidikan orang tua dan status bekerja ibu menurut status gizi 2. Sebaran tingkat aktivitas fisik menurut status gizi 3. Sebaran kebugaran menurut status gizi 4. Faktor yang mempengaruhi kebugaran 5. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi belajar 6. Foto kegiatan tes kesegaran jasmani anak sekolah dasar
65 65 65 65 66 67
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Dewasa ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dapat memudahkan segala hal, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Kemudahan yang terjadi dapat memberikan dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif dari perkembangan teknologi diantaranya adalah mempermudah akses informasi sehingga dapat memperluas ilmu pengetahuan dan wawasan. Namun, kemajuan IPTEK juga memiliki dampak negatif, salah satunya memicu sedentary lifestyle. Perkembangan akses internet dan mobile phone saat ini menyebabkan tidak perlu keluar rumah untuk berkomunikasi atau mencari informasi. Apapun yang diinginkan bisa di akses melalui handphone. Kondisi demikian membuat ruang gerak manusia semakin lama semakin menurun, sehingga dapat menyebabkan rendahnya pengeluaran energi yang berdampak kurang baik bagi kesehatan. Perkembangan mobile phone maupun gadget lainnya yang terjadi saat ini juga sudah berkembang pada anak-anak, terutama di daerah perkotaan yang ratarata orang tuanya berpenghasilan cukup. Dengan demikian, peningkatan sedentary lifestyle ini juga dapat terjadi pada anak-anak. Munculnya berbagai game baik yang online maupun yang tidak membuat anak lebih banyak menghabiskan waktunya di depan komputer. Perilaku ini membuat anak menjadi kurang bergerak sehingga dapat berdampak kurang baik bagi kesehatannya. Peningkatan perilaku sedentary pada anak menyebabkan peningkatan kejadian obesitas atau overweight. Obesitas merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan massa lemak baik pada bagian-bagian tertentu atau seluruh bagian tubuh (Mahan & Escott-Stump 2004), atau kelebihan berat badan yang melebihi 20% dari berat badan normal (Siagian 2004). Secara global, pada tahun 2008 lebih dari 40 juta anak prasekolah mengalami overweight. Obesitas pada anak-anak ini merupakan masalah yang menjadi tantangan di abad 21 karena obesitas pada anak akan berlanjut pada saat dewasa. Hasil follow-up studi pada anak-anak obesitas di Jepang menunjukkan bahwa sebanyak 54.7% anak yang pada saat kecilnya mengalami obesitas berlanjut sampai dewasa. Anak-anak yang mengalami obesitas juga akan berisiko terkena penyakit degeneratif dini, seperti penyakit diabetes mellitus dan penyakit jantung koroner. Data menunjukkan bahwa secara global 44% penyakit diabetes, 23% penyakit jantung iskemik, dan 7-41% penyakit kanker tertentu terjadi akibat overweight dan obesitas (WHO 2012). Studi pada anak-anak dan remaja yang mengalami overweight memiliki peningkatan risiko terkena penyakit kardiovaskuler pada masa dewasanya (Must et al. 1992; Oren et al. 2003; Wright et al. 2001). Prevalensi kegemukan di Indonesia terus mengalami peningkatan, 12.2% pada tahun 2007 menjadi 14.0% pada tahun 2010. Kegemukan di Indonesia banyak terjadi pada rentang usia 6-12 tahun. Secara nasional masalah kegemukan pada anak umur 6-12 tahun yaitu 9.2%, sedangkan kegemukan pada rentang usia 13-15 tahun dan rentang usia 16-18 tahun masing-masing 2.5% dan 1.4%. Kejadian kegemukan pada anak usia 6-12 tahun tergolong kategori tinggi karena masih diatas 5%. Prevalensi kegemukan pada anak laki-laki umur 6-12 tahun
2 lebih tinggi dibandingkan pada anak perempuan yaitu berturut-turut sebesar 10.7% dan 7.7%. Berdasarkan tempat tinggal prevalensi kegemukan lebih tinggi di daerah perkotaan dibandingkan dengan prevalensi di pedesaan yaitu berturutturut sebesar 10.4% dan 8.1% (Kemenkes 2010). Kegemukan dikaitkan dengan penurunan aktivitas fisik (Pramudita 2011; Suryaalamsyah 2009). Penelitian di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, menunjukkan bahwa pada beberapa dekade terakhir terdapat penurunan aktivitas fisik pada anak muda sejalan dengan peningkatan prevalensi obesitas. Demikian studi perbandingan di Australia pada anak usia 10-11 tahun dari tahun 1985 sampai 1997 juga terjadi penurunan aktivitas fisik (Dollman et al. 1999 dalam Yeung & Hills 2007). Aktivitas fisik merupakan bagian integral dari pertumbuhan dan perkembangan anak. Aktivitas fisik memiliki peranan dalam pengembangan fisik, psikososial, serta mental pada anak. Aktivitas fisik memiliki peranan penting dalam pengembangan fisik, psikososial, serta mental pada anak. Penurunan aktivitas fisik pada anak terutama yang mengalami kegemukan dapat menyebabkan ruang gerak anak menjadi sempit sehingga memungkinkan terjadinya penurunan kondisi fisik atau kebugaran. Menurut Karpovich, kebugaran (physical fitness) merupakan suatu kemampuan untuk melakukan suatu tugas tertentu yang memerlukan usaha otot (Nurhasan & Cholil 2007). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kebugaran seseorang yang aktif lebih tinggi dibandingkan dengan kebugaran orang yang tidak aktif. Wanita usia 7-17 tahun yang gemuk memiliki kebugaran yang lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang tidak gemuk Malina et al. (1995). Kebugaran anak laki-laki obes lebih rendah dibandingkan dengan anak laki-laki yang tidak obes Kim et al. (1993). Penurunan aktivitas fisik yang kemungkinan menyebabkan kegemukan dan penurunan status kebugaran dikaitkan dengan penurunan kecerdasan, sehingga kemungkinan berdampak pada prestasi belajar anak. Kecerdasan anak yang overweight atau obesitas lebih rendah dibandingkan dengan anak yang status gizinya normal. Penurunan kognitif terjadi sejalan dengan penurunan aktivitas fisik dan aerobic fitness serta peningkatan massa tubuh dan konsumsi energi (Vaynman et al. 2006; Hilman et al. 2008). Wechsler Intelligence Scale pada anak yang obes lebih rendah dibandingkan dengan anak yang status gizinya normal (Campos et al.1996). Skor kemampuan matematika dan membaca pada anak TK yang mengalami overweight lebih rendah dibandingkan dengan anak yang memiliki status gizi normal (Datar et al. 2006). Studi keterkaitan antara aktivitas fisik, kebugaran, dan prestasi akademik masih belum pasti. Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan namun bersifat lemah, studi lain menunjukkan tidak terdapatnya hubungan antara aktivitas fisik dengan prestasi belajar. Hubungan aktivitas fisik dengan peringkat di kelas pada anak kelas 9 dan 10 sangat lemah (Sigfusdottir et al. 2007). Namun, hasil studi Yu et al. (2006), tidak terdapat hubungan antara aktivitas fisik anak yang berusia 8-12 tahun di Hongkong. Kemampuan matematika dan membaca anak perempuan yang aktif sedikit lebih tinggi dibandingkan yang tidak aktif (Carlson et al. 2008). Hasil penelitian Agustina (2003), terdapat hubungan negatif tidak nyata antara aktivitas bermain dan olahraga dengan prestasi belajar. Maharani (2012)
3 menunjukkan bahwa waktu yang dihabiskan untuk berolahraga berhubungan negatif dengan prestasi belajar anak SMA. Berdasarkan data-data yang diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji kembali bagaimana kaitan aktivitas fisik, kebugaran, dan prestasi belajar pada anak kegemukan dan normal, dengan dasar pertimbangan bahwa penelitian yang terkait hasilnya masih berbeda-beda. Selain itu, di Indonesia penelitian yang mengkaji prestasi belajar pada anak kegemukan masih jarang dilakukan. Kota Bogor termasuk daerah dengan prevalensi kegemukan paling tinggi di Jawa Barat pada anak usia 6-12 tahun. Prevalensi kegemukan pada anak 6-12 tahun di Kota Bogor yaitu 15.4% pada laki-laki dan 8.6% pada perempuan (Kemenkes 2007). Berdasarkan pertimbangan tersebut maka penelitian ini dilakukan di Kota Bogor.
Perumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah terdapat perbedaan tingkat aktivitas fisik, kebugaran, dan prestasi belajar anak yang berstatus gizi normal dan kegemukan? 2. Bagaimana hubungan tingkat aktivitas fisik dengan status gizi maupun kebugaran? 3. Bagaimana hubungan status gizi dengan kebugaran? 4. Bagaimana hubungan konsumsi zat gizi dengan status gizi anak? 5. Faktor-faktor apakah yang berpengaruh terhadap kebugaran dan prestasi belajar anak?
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis aktivitas fisik, kebugaran, dan prestasi belajar pada anak kegemukan dan normal di sekolah dasar di Kota Bogor. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengkaji tingkat aktivitas fisik, kebugaran, dan prestasi belajar anak kegemukan dan normal di Kota Bogor. 2. Menganalisis konsumsi anak dan tingkat kecukupan zat gizi anak sekolah dasar kegemukan dan normal di Kota Bogor. 3. Menganalisis hubungan antara konsumsi zat gizi dengan status gizi anak sekolah dasar di Kota Bogor. 4. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kebugaran dan prestasi belajar anak. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan tingkat aktivitas fisik, kebugaran, dan prestasi belajar antara anak kegemukan dan normal. 2. Semakin tinggi aktivitas fisik maka status gizi anak semakin baik. 3. Semakin tinggi aktivitas fisik maka kebugaran anak semakin baik.
4 4. Semakin baik status gizi maka kebugaran anak semakin baik. 5. Status gizi dan tingkat aktivitas fisik berpengaruh positif terhadap kebugaran anak. 6. Status gizi, tingkat aktivitas fisik, dan kebugaran berpengaruh positif terhadap prestasi belajar anak.
Manfaat Penelitian Secara umum penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih dalam khasanah ilmu pengetahuan, khususnya kaitan antara tingkat aktivitas fisik, kebugaran, dengan prestasi belajar anak. Bagi pihak sekolah, informasi ini dapat menjadi masukan untuk memperhatikan pentingnya aktivitas fisik bagi anak dalam mendukung kesehatan dan prestasi belajar anak.
5
2. TINJAUAN PUSTAKA Anak Usia Sekolah Anak Usia Sekolah (AUS) adalah anak yang berusia 6–12 tahun. Menurut Hurlock (1994), masa ini sebagai akhir masa kanak-kanak (late childhood) yang berlangsung dari usia enam tahun sampai tibanya anak menjadi matang secara seksual, yaitu 13 tahun bagi perempuan dan 14 tahun bagi laki-laki, namun secara umum anak usia sekolah adalah anak yang masuk sekolah dasar (SD). Anak SD dibagi atas dua bagian, yaitu kelas rendah yang berumur 6-9 tahun dan kelas tinggi yang berumur 10-12 tahun. Kebutuhan energi AUS lebih besar karena mereka banyak melakukan aktivitas fisik, misalnya olah raga, bermain atau membantu orang tua. Kecukupan energi pada usia ini adalah 80-90 kkal/kg BB/hari dan kecukupan proteinnya adalah 1 gram/kg BB/hari (Judarwanto 2004). Kebutuhan energi umur 10-12 tahun lebih besar dari pada golongan umur 7-9 tahun, hal ini dikarenakan pertumbuhan mereka lebih cepat, terutama penambahan berat badan. Mulai umur 10-12 tahun, kebutuhan gizi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Anak laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas fisik, sehingga memerlukan energi yang lebih banyak dari anak perempuan (As‟ad 2002). AUS biasanya mempunyai banyak perhatian dan aktivitas di luar rumah, sehingga sering melupakan waktu makan. Nafsu makan AUS umumnya lebih baik daripada golongan anak kecil. Makan pagi (sarapan) perlu diperhatikan supaya anak mudah menerima pelajaran (As‟ad 2002). Menurut Judarwanto (2004), saat sarapan pagi anak harus terpenuhi sebanyak seperempat kebutuhan kalorinya sehari, yaitu sekitar 300 kkal. Selama tahap anak sekolah dan remaja, pada umumnya kebiasaan makan anak telah terbina. Kebutuhan zat gizi melonjak pada masa pubertas. Pada anak wanita, pubertas mungkin terjadi pada akhir bersekolah SD atau pada awal Sekolah Menengah Pertama (SMP). Nilai kecukupan gizi pada anak usia sekolah disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Angka kecukupan gizi anak usia sekolah Energi dan Zat Gizi Energi (kkal) Protein (g) Besi (mg) Vit A (RE) Vit B1 (mg) Vit B2 (mg) Vit C (mg) Vit D (mg) Vit E (mg) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Sumber: WKNPG (2004)
4-6 tahun 1550 39 9 450 0.8 0.6 45 5 7 500 400
7-9 tahun 1800 45 10 500 0.9 0.9 45 5 7 600 400
10-12 tahun Laki-laki Perempuan 2050 2050 50 50 13 14 600 600 1.0 1.0 1.0 1.0 50 50 5 5 11 11 1000 1000 1000 1000
6 Kegemukan dan Obesitas pada Anak Istilah kegemukan (overweight) sering kali disamakan dengan obesitas (obesity), padahal kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Kegemukan (overweight) adalah kondisi berat badan melebihi berat badan normal, sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak, untuk pria dan wanita masing-masing melebihi 20% dan 25% dari berat badan. Kegemukan dan obesitas dapat terjadi pada berbagai kelompok usia dan jenis kelamin, termasuk anak-anak. Obesitas pada anak-anak dikenal dengan nama juvenil obesity. Orang yang menderita kegemukan pada usia muda lebih berisiko tinggi menderita obesitas pada saat dewasa dibandingkan dengan orang yang memiliki berat badan normal (Rimbawan & Siagian 2004). Hasil penelitian Togashi et al. (2002) menunjukkan bahwa obesitas yang terjadi pada masa anak-anak usia 12 tahun di Jepang akan berlanjut sampai dewasa. Sebanyak 54.7% kasus obesitas yang terjadi pada anak berlanjut sampai dewasa. Sebanyak 36.7% yang tergolong obesitas berat cenderung menjadi obesitas pada saat dewasa dibandingkan yang tingkat obesitasnya tergolong sedang. Menurut WHO (1998) meningkatnya prevalensi kegemukan (overweight) dan obesitas ada hubungannya dengan 10 masalah kesehatan di dunia termasuk penyakit jantung. Must dan Strauss (1999) menyebutkan bahwa obesitas berkaitan dengan insiden hipertensi, diabetes mellitus tipe 2, dislipidemia, dan kanker. Anak-anak yang mengalami obesitas juga akan berisiko terkena penyakit degeneratif dini, seperti penyakit diabetes mellitus dan penyakit jantung koroner. Data menunjukkan bahwa secara global 44% penyakit diabetes, 23% penyakit jantung iskemik, dan 7-41% penyakit kanker tertentu terjadi akibat overweight dan obesitas (WHO 2012). Studi pada anak-anak dan remaja yang mengalami overweight memiliki peningkatan risiko terkena penyakit kardiovaskuler pada masa dewasanya (Must et al. 1992; Oren et al. 2003; Wright et al. 2001). Kegemukan atau obesitas merupakan manifestasi dari ketidakseimbangan energi, yaitu asupan energi lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran energi. Menurut Almatsier (2002), keseimbangan energi terjadi apabila energi yang diperoleh dari konsumsi pangan sama dengan penggunaan energi untuk metabolisme tubuh dan melakukan aktivitas otot. Penyebab kegemukan dan obesitas bisa karena faktor genetik maupun lingkungan. Menurut Efendi (2003), faktor keturunan berpengaruh terhadap gangguan keseimbangan energi. Apabila kedua orang tua tidak gemuk, maka kemungkinan anak menjadi gemuk adalah 9%. Apabila salah satu orang tua gemuk, maka kemungkinan anak menjadi gemuk menjadi 41-51%, sedangkan apabila kedua orang tua gemuk, maka kemungkinan anak menjadi gemuk sebesar 66-80%. Hasil penelitian Chaput et al. (2006) menunjukkan bahwa riwayat obesitas orang tua berhubungan signifikan dengan kejadian kegemukan (overweight) dan obesitas pada anak. Hasil penelitian Pramudita (2011) menunjukkan bahwa indeks massa tubuh ayah dan ibu merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian obesitas pada anak obesitas. Lingkungan juga dapat memengaruhi kejadian kegemukan maupun obesitas. Diet atau konsumsi pangan seseorang berpengaruh terhadap status gizinya. Dewasa ini, terjadi perubahan pola konsumsi makanan yang mengarah pada makanan siap saji dengan alasan kepraktisan maupun gengsi tertentu.
7 Kemajuan teknologi di bidang informasi dan teknologi pangan menyebabkan sebagian masyarakat, terutama di wilayah perkotaan mengalami perubahan gaya hidup dalam pemilihan makanan, yaitu cenderung menyukai makanan cepat saji yang kandungan gizinya tidak seimbang. Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi pangan yang mengarah pada konsumsi pangan tinggi lemak, gula, dan garam serta miskin akan serat dapat memicu kegemukan dan obesitas (Suryaalamsyah 2009). Pola makan yang tidak seimbang dapat memicu kegemukan atau obesitas. Hasil penelitian Pramudita (2011) menunjukkan bahwa pola konsumsi anak obesitas lebih banyak ngemil (87.5%). Makanan yang biasa dijadikan makanan cemilan anak adalah makanan yang padat kalori dan lemak sehingga dapat memicu timbulnya kelebihan berat badan, terutama apabila tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang cukup. Frekuensi konsumsi makanan berlemak dan frekuensi konsumsi fast food secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian obesitas pada anak. Hasil penelitian Suryaalamsyah (2009), menunjukkan bahwa konsumsi fast food berhubungan dengan kejadian kegemukan pada anak sekolah dasar. Selain pola konsumsi pangan yang tidak seimbang, aktivitas fisik juga berperan terhadap kejadian kegemukan maupun obesitas pada anak. Perkembangan teknologi menyebabkan kemudahan dalam mengakses segala hal sehingga memicu perilaku sedentary. Perkembangan akses internet dan mobile phone menyebabkan anak tidak perlu keluar rumah untuk berkomunikasi dengan temannya, dengan demikian kondisi ini dapat menyebabkan perilaku sedentary yang menyebabkan rendahnya pengeluaran energi. Hasil penelitian Sawello dan Malonda (2012), sebagian besar anak SMP N 1 Manado yang obes memiliki aktivitas fisik ringan (total MET 577.56 MET/minggu) dan anak tidak obes sebagian besar memiliki aktivitas fisik sedang (total MET 785.62 MET/minggu). Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan kejadian obesitas pada remaja di SMP N 1 Manado (p< 0.05; OR= 6.591). Hasil penelitian Chaput et al. (2006) menunjukkan bahwa penurunan aktivitas fisik berhubungan secara signifikan dengan kejadian kegemukan dan obesitas pada anak. Beberapa perilaku sedentary pada anak diantaranya adalah tidur, main game, bermain internet, dan menonton televisi. Durasi tidur yang panjang (12-13 jam) 1.42 kali lebih berisiko mengalami kegemukan dan obesitas dibandingkan dengan waktu tidur 10.5-11.5 jam dan 3.45 kali lebih berisiko jika dibandingkan dengan durasi tidur anak 8-10 jam. Hasil ini setelah disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, dan faktor risiko obesitas lainnya.
Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat, yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan konsumsi pangan. Menurut Supariasa (2001), pengukuran secara antropometri yaitu mengukur berbagai macam dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat gizi dan tingkat umur. Selain itu, pengukuran antropometri juga dapat menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan individu (Mahan & Escott-Stump 2004). Pengukuran tersebut bervariasi menurut umur dan derajat gizi sehingga bermanfaat terutama pada
8 keadaan terjadinya ketidakseimbangan energi dan protein secara kronis. Antropometri dapat mendeteksi malnutrisi derajat sedang dan berat. Keuntungan lain dari pengukuran antropometri adalah memberikan informasi mengenai riwayat gizi masa lampau (Riyadi 2003). Status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri, tetapi juga merupakan kombinasi antara ketiganya. lndikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini karena mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan tidak hanya dipengaruhi oleh umur tetapi juga oleh tinggi badan (TB). lndikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Soekirman 2000). Menurut WHO (2005) dalam Kemenkes RI (2011) bahwa pengukuran status gizi pada anak usia 5-19 tahun sudah tidak menggunakan indikator BB/TB akan tetapi menggunakan indeks massa tubuh berdasarkan umur (IMT/U). Kategori status gizi berdasarkan IMT/U dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kategori status gizi berdasarkan IMT/U Nilai Z-score Status Gizi <-3 SD Sangat kurus -3 SD < Z ≤ -2SD Kurus -2 SD
+2 SD Obesitas Sumber: WHO (2005) dalam Kemenkes RI (2011)
Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat (Sediaoetama 2010). Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang selanjutnya bertindak menyediakan energi bagi tubuh, mengatur proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan. Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang sangat memengaruhi konsumsi pangan adalah jenis, jumlah produksi, dan ketersediaan pangan. Faktor yang memengaruhi tingkat konsumsi, lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi (Sediaoetama 2010). Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya energi dan protein, pada tahap awal akan meyebabkan rasa lapar dan dalam jangka waktu tertentu berat
9 badan akan menurun yang disertai dengan menurunnya produktivitas kerja. Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi kurang dan gizi buruk. Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi, pada akhirnya tubuh akan mudah terserang penyakit infeksi yang selanjutnya dapat menyebabkan kematian (Hardinsyah & Martianto 1992). Pola konsumsi khususnya konsumsi pangan rumah tangga merupakan salah satu faktor penentu tingkat kesehatan dan produktivitas rumah tangga. Berdasarkan sisi norma gizi terdapat standar minimum jumlah makanan yang dibutuhkan seorang individu agar dapat hidup sehat dan aktif beraktivitas. Angka kecukupan energi dan protein masing-masing yang dibutuhkan yaitu 2000 kkal/kapita/hari dan 52 gram/kapita/hari (WKNPG 2004). Kekurangan konsumsi bagi seseorang dari standar minimum tersebut akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan, aktivitas, dan produktivitas kerja. Kekurangan konsumsi pangan, baik jumlah maupun kualitasnya (terutama pada anak balita) akan berpengaruh terhadap kualitas sumberdaya manusia (Hardinsyah & Tambunan 2004).
Kecukupan Gizi Kecukupan gizi adalah rata-rata asupan gizi harian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi hampir semua (97.5%) orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu. Nilai asupan harian zat gizi yang diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan gizi mencakup 50% orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu disebut dengan kebutuhan gizi (Hardinsyah & Tambunan 2004). Kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologis, kegiatan, efek termik, iklim dan adaptasi. Kecukupan protein dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologi, kualitas protein, tingkat konsumsi energi dan adaptasi (Hardinsyah & Tambunan 2004). Kebutuhan energi dan protein individu dihitung dengan membandingkan berat badan aktual individu dengan berat badan ideal dikalikan dengan angka kecukupan energi atau protein yang dianjurkan (Hardinsyah & Martianto 1992). Klasifikasi tingkat konsumsi energi dan protein dibagi menjadi lima golongan, yaitu defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70-79%), defisit tingkat ringan (80-90%), normal (90-119%), dan kelebihan (>120%) (Kementrian Kesehatan 1996).
Food Recall 24 jam Penilaian keadaan gizi masyarakat ada dua cara, yaitu penilaian langsung dan tidak langsung. Penilaian gizi secara tidak langsung diantaranya adalah penilaian konsumsi pangan. Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan pada tingkat individu, rumah tangga, dan populasi. Food recall merupakan salah satu metode penilaian konsumsi pangan tingkat individu yang biasa digunakan. Metode food recall yaitu metode penilaian konsumsi pangan yang mencatat jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu, biasanya dilakukan recall 24 jam. Langkah yang dilakukan dalam menilai konsumsi
10 pangan dengan cara recall ini pertama adalah menanyakan kepada individu mengenai jumlah pangan yang dikonsumsi dalam satuan URT (ukuran rumah tangga), selanjutnya dikonversi kedalam satuan berat dalam gram, kemudian dapat dihitung kandungan zat gizinya dengan bantuan DKBM (Daftar Konsumsi Bahan Makanan) (Kusharto & Sa‟diyyah 2012). Menurut Gibson (2005) recall 24 jam minimal dilakukan sebanyak dua kali supaya dapat menggambarkan asupan zat gizi yang representatif serta dapat menggambarkan kebiasaan makan individu. Keunggulan dari metode recall ini murah serta tidak membutuhkan waktu yang banyak (Kusharto & Sa‟diyyah 2012). Menurut Gibney (2008), kelebihan dari recall yaitu format pertanyaannya berujung terbuka (open-ended) sehingga tepat bagi semua pola makan, memberikan informasi yang sangat rinci tentang pola makan, serta metode ini tidak memengaruhi pemilihan makanan. Beberapa kekurangan metode recall adalah kurang akurat karena mengandalkan daya ingat seseorang serta tergantung dari keahlian tenaga pencatatan dalam mengonversikan URT ke dalam satuan berat serta adanya variasi URT antar daerah. Selain itu, interpretasi ukuran dari setiap individu bisa bervariasi.
Aktivitas Fisik Aktivitas fisik umumnya didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang dihasilkan oleh kontraksi otot rangka dan secara substansial meningkatkan pengeluaran energi (Bouchard 1990; U.S. Department of Health and Human Services 1996). Oleh karena itu, aktivitas fisik adalah istilah yang mencakup kegiatan olahraga, tari, dan rekreasi. Sebaliknya, latihan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan tujuan mengembangkan kesehatan dan kebugaran fisik (Corbin et al. 2000). Menurut Almatsier (2003) ativitas fisik merupakan salah satu bentuk penggunaan energi dalam tubuh, di samping metabolisme basal. Aktivitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure, yaitu sekitar 20-50% dari total energy expenditure. Penelitian di negara maju menunjukkan hubungan antara aktvitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar 5 kg. Penelitian di Jepang menunjukkan pada kelompok yang mempunyai kebiasaan olah raga berisiko 0.48 kali mengalami obesitas. Penelitian terhadap anak di Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa mereka yang menonton televisi 5 jam per hari mempunyai risiko obesitas sebesar 5.3 kali lebih besar dibandingkan mereka yang menonton televisi 2 jam setiap harinya (Hidayati et al. 2009). Aktivitas fisik mencakup kegiatan atau pergerakan tubuh yang bersifat santai (leisure) atau yang bersifat tidak santai (nonleisure). Aktivitas fisik menyebabkan peningkatan pengeluaran energi dibandingkan dengan pada saat istirahat (Warburton 2010). Cakupan aktivitas fisik meliputi pekerjaan, tipe pekerjaan (di lapangan atau di dalam ruangan), kegiatan transportasi seperti jalan atau menggunakan kendaraan, dan kegiatan leisure time seperti rekreasi, olahraga, latihan atau hobi. Kontinum aktivitas fisik dimulai dari tidak aktif sampai sangat
11 aktif. Contoh aktivitas fisik yang tergolong inaktif adalah menonton televisi, duduk, membaca, mengerjakan pekerjaan di kursi, dan lainnya. Beberapa bukti epidemiologi menunjukkan bahwa aktivitas fisik sangat bermanfaat bagi kesehatan. Tingkat aktivitas fisik harian yang lebih tinggi atau latihan fisik yang teratur berkaitan dengan penurunan angka mortalitas karena penyakit kardiovaskuler. Latihan fisik yang teratur dapat menurunkan risiko terkena penyakit jantung koroner dan penurunnya sama dengan pengaruh penghentian merokok. Latihan fisik yang teratur juga dapat mencegah atau memperlambat onset tekanan darah tinggi dan menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi, proteksi terhadap beberapa penyakit kanker, serta mengurangi risiko timbulnya penyakit diabetes mellitus tipe 2. Aktivitas fisik membantu mempertahankan keseimbangan energi sehingga dapat mencegah obesitas. Aktivitas yang bersifat weight bearing sangat penting bagi perkembangan skeleton selama masa anak-anak, remaja, serta dapat membantu mencapai massa tulang yang maksimal (peak bone mass) pada dewasa muda (Gibney et al. 2008). Penurunan aktivitas fisik menyebabkan rendahnya tingkat kesegaran jasmani dengan berkurangnya kekuatan, kelenturan, tenaga aerobik dan keterampilan atletik (Meredith 1996). Aktivitas fisik terutama latihan dapat memperbaiki kelenturan, kekuatan otot, daya tahan otot dan kesegaran kardiorespirasi (Johnson & Nelson 1986). Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan adanya korelasi positif yang bermakna antara aktivitas fisik dan kesegaran jasmani pada anak berusia 8-10 tahun (Rowland et al. 1999). Penelitian di Yunani (2003) menyatakan bahwa aktivitas fisik di sekolah melalui kurikulum pendidikan jasmani memengaruhi tingkat kesegaran jasmani yang berkaitan dengan kardiovaskuler dan motorik (Koutedakis & Bouziotas 2003). Penelitian di Oman menyimpulkan bahwa kesegaran aerobik berkorelasi negatif dengan aktivitas fisik sedentari seperti menonton televisi, main komputer dan video games (Barwani et al. 2001).
Physical Activity Level (PAL) Physical activity level (PAL) merupakan metode standar untuk mengukur total pengeluaran energi pada berbagai resting metabolic rate (RMR) (Westerterp 1999). Rata-rata PAL harian 1.75 atau lebih (rata-rata 75% diatas RMR) telah direkomendasikan untuk mencegah obesitas pada semua tahapan kehidupan (WHO 1998). Rekomendasi International Association for Study of Obesity melakukan aktivitas dengan intensitas sedang selama 60-90 menit/hari atau 35 menit/hari dengan intensitas tinggi untuk mencegah kejadian obesitas. Meskipun data epidemiologi dan laboratorium terbatas, muncul anjuran melakukan aktivitas fisik dengan intensitas sedang sekitar 45-60 menit/hari untuk mencegah transisi status gizi normal menjadi obesitas (Pietro et al. 2004). Kebugaran Jasmani Kebugaran fisik (physical fitness) merupakan satu set kualitas fisik yang dicapai atau telah dicapai masyarakat sehubungan dengan kemampuan melakukan
12 aktivitas fisik. Kebugaran fisik merupakan kualitas atau kondisi fisiologis sehingga berbeda dengan aktivitas fisik dan latihan fisik. Kebugaran fisik dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu kebugaran yang berkaitan dengan kesehatan dan kinerja. Kebugaran yang berkaitan dengan kesehatan mengacu pada komponen yang secara spesifik berhubungan dengan kesehatan dan pada keadaan tertentu berhubungan dengan kinerja. Komponen kebugaran yang berkaitan dengan kesehatan meliputi kebugaran kardiorespiratori (aerobik), kekuatan serta ketahanan otot, komposisi tubuh, dan fleksibilitas tubuh (Gibney et al. 2008). Kebugaran kardiorespiratori berhubungan dengan kemampuan sistem respirasi dan sirkulasi untuk memberikan oksigen kepada otot selama seseorang melakukan aktivitas fisik. Pengambilan maksimum (VO2max) seringkali digunakan sebagai indikator untuk kebugaran kardiorespiratori seseorang. VO2max biasanya diukur dengan kalorimetri indirect pada saat seseorang menjalani tes latihan fisik bertahap sampai terjadi kelelahan, indikator ini dianggap sebagai penanda terbaik untuk menunjukkan kebugaran aerobik. Tes latihan lain yang dikembangkan untuk mengukur kebugaran kardiorespiratori diantaranya adalah tes sepeda ergometrik dan tes melakukan gerakan berjalan. Kekuatan otot (muscle strength) merupakan kemampuan otot untuk mengeluarkan energi, sedangkan ketahanan otot (muscle endurance) merupakan kemampuan otot untuk terus-menerus melakukan aktivitas fisik tanpa merasa letih (Gibney et al. 2008). Komponen yang spesifik dari kebugaran yang berkaitan dengan kinerja adalah kekuatan otot, kecepatan, kelincahan, dan keseimbangan. Komponen ini hampir seluruhnya berkaitan dengan kinerja (performance) atletik. Kekuatan otot merupakan tingkat otot dalam melakukan pekerjaanya. Kelincahan merupakan kemampuan mengubah posisi tubuh dengan cepat dalam ruang, sedangkan kecepatan merupakan kemampuan melakukan gerakan seluruh tubuh dalam periode waktu yang singkat. Keseimbangan merupakan kemampuan mempertahankan/ekuilibrium dalam keadaan stasioner (diam) atau bergerak (Gibney et al. 2008). Kemampuan tubuh mengadakan adaptasi terhadap beban kerja inilah yang dinamakan “bugar”. Pengertian umum bugar adalah keadaan untuk dapat menyesuaikan fungsi alat-alat tubuh terhadap tugas jasmani tertentu yang harus diatasi dengan cara yang efisien, tanpa kelelahan yang berlebihan. Komponen kebugaran jasmani adalah: 1. Daya tahan, yaitu kemampuan untuk bekerja dalam waktu yang lama. 2. Kelincahan, yaitu kemampuan mengubah arah dengan cepat. 3. Kekuatan, yaitu kemampuan untuk menahan suatu tahanan. 4. Kecepatan, kemampuan menempuh jarak dalam waktu yang singkat. 5. Kelentukan, kemampuan untuk bergerak dalam ruang gerak sendi. Pada anak kesegaran jasmani ini seringkali terlupakan. Padahal kesegaran jasmani ini sangat bermanfaat untuk menunjang kapasitas kerja fisik anak yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan prestasinya. Daya tahan kardiovaskuler yang baik akan meningkatkan kemampuan kerja anak dengan intensitas lebih besar dan waktu yang lebih lama tanpa kelelahan. Daya tahan otot akan memungkinkan anak membangun ketahanan yang lebih besar terhadap kelelahan otot sehingga bisa belajar dan bermain untuk jangka waktu lebih lama (Utari 2007).
13 Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan output sekolah yang sangat penting, yang dijadikan alat ukur untuk mengukur kemampuan kognitif anak. Banyak faktor yang memengaruhi pencapaian prestasi belajar seseorang, baik yang ada di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Pola belajar anak juga menentukan keberhasilan anak untuk mencapai sebuah prestasi. Kebiasaan belajar teratur dan bertahap akan lebih menanamkan ilmu yang dipelajari dalam diri anak (Hartanto 1991). Beberapa faktor lingkungan yang memengaruhi prestasi belajar anak diantaranya adalah latar belakang sosial ekonomi orang tua, perhatian orang tua, teman, dan lingkungan belajar anak. Faktor lingkungan ini cukup berperan karena pada rentang usia 8-10 tahun (usia SD) anak sudah mulai berhubungan dengan kelompok sosial tertentu, yang pengaruhnya terhadap anak cukup besar. Lingkungan keluarga yang paling dekat dengan anak juga pengaruhnya cukup besar. Peran orang tua dalam membimbing belajar anak sangat berperan dalam menentukan keberhasilan pencapaian prestasi anak. Keterlibatan orang tua dalam membantu belajar anak dengan tulus, tidak menyalahkan maupun mengkritik akan mendorong minat belajar anak sehingga mendorong pencapaian prestasi belajar anak yang baik. Selain faktor lingkungan, faktor individu terkait dengan gizi secara tidak langsung juga berperan dalam mendukung prestasi belajar anak. Status gizi yang baik pada anak akan mendukung kemampuan anak untuk belajar dengan baik sehingga prestasi belajar anak akan baik. Terpenuhinya zat gizi pada anak dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan berlangsung baik sehingga kondisi fisik dan mental anak menjadi baik, dengan demikian anak akan belajar dengan lancar. Hasil penelitian Maharani (2012) menunjukkan adanya hubungan konsumsi protein dengan prestasi belajar remaja. Hasil penelitian Isdaryanti (2007) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara konsumsi protein dengan prestasi belajar anak sekolah dasar. Protein merupakan zat gizi yang berperan sebagai unsur pembangun, salah satunya dalam pembentukan jaringan tubuh, termasuk otak. Protein mempunyai fungsi penting dalam membangun dan memelihara sel jaringan tubuh. Protein juga merupakan prekursor untuk neurotransmitter yang mendukung perkembangan otak. Fungsi otak yang baik tergantung pada kapasitas menyerap dan memproses informasi. Neurotransmitter catecholaimes dibentuk dari asam amino penting. Tyrosine dan neurotransmitter serotonin dibentuk dari tryptophan. Serotonin menstimulasi tidur yang penting untuk perkembangan otak dalam memproses informasi, sedangkan catecholamine berkaitan dengan keadaan siaga yang membantu menyerap informasi di otak (Sediaoetama 2010).
Hubungan Aktivitas Fisik dengan Prestasi Belajar Pencapaian prestasi sekolah anak sangat berhubungan dengan perkembangan fisik dan aktivitasnya. Anak yang mendapat kesempatan untuk melatih fisiknya maka akan lebih memiliki kemampuan dalam aspek mental intelektual dibandingkan dengan anak yang kurang mendapatkan kesempatan
14 untuk melatih fisiknya (Kusumaningrum 2006). Aktivitas fisik yang teratur berhubungan dengan peningkatan kognitif seseorang. Seseorang yang melakukan aktivitas jasmani dengan teratur memiliki skor IQ yang lebih baik dibandingkan dengan seseorang yang melakukan aktivitas fisik secara tidak teraatur. Aktivitas fisik dapat berpengaruh langsung terhadap fungsi kognitif seseorang dengan cara meningkatkan fungsi otak (cerebrovaskuler) serta frekuansinya. Aktivitas fisik ini merupakan salah satu faktor yang memengaruhi prestasi belajar. Menurut Ahmadi dan Supriyono (2004), terdapat beberapa faktor yang memengaruhi prestasi belajar diantaranya adalah motivasi, sikap, kesehatan fisik dan mental, serta kepribadian dan ketekunan. Aktivitas fisik yang teratur dapat mendukung terwujudnya kesehatan fisik dan mental seseorang, yang merupakan salah satu poin penting dalam mendukung prestasi belajar seseorang. Pada saat seseorang melakukan aktivitas fisik maka ada gerakan yang terjadi pada tubuh. Gerak didefinisikan sebagai perubahan posisi yang terjadi pada tubuh. Salah satu mekanisme yang terjadi pada proses gerak adalah kontraksi otot. Kontraksi otot terjadi apabila ada perintah yang berasal dari otak dan sum-sum tulang belakang yang disampaikan oleh sel-sel syaraf, yaitu neuron motor. Proses gerak melibatkan kerja otak sehingga hal ini dapat merangsang fungsi otak, dengan demikian dapat mendukung pencapaian academic achievement yang optimal. Pengalaman aktivitas fisik menyebabkan terlatihnya beberapa indra tubuh seperti visual, tactile, auditory, vestibular kinestetic. Aktivitas fisik mendukung proses integrasi indra di dalam tubuh seseorang. Integrasi indra yang baik dapat mendukung kemampuan belajar seseorang. Teori gerak Kephart menjelaskan bahwa gerak telah terbukti meningkatkan kemampuan dan ferforma akademik seseorang. Rendahnya kemampuan belajar adalah akibat integrasi panca indra yang lemah. Integrasi panca indra merupakan langkah kritis dalam proses persepsi gerak. Integrasi tersebut dapat dipelajari dari kebiasaan-kebiasaan gerak yang dilakukan. Aktivitas fisik telah dihubungkan dengan dengan higher grade point average sementara obesitas dihubungkan dengan lower grade point average pada remaja. Sehingga fungsi motorik pada anak memiliki hubungan negatif yang tidak langsung terhadap academic achievment melalui rendahnya aktivitas fisik tetapi tidak pada cardiorespiratory fitness. Hasil studi yang dilakukan Kantomaa et al. (2012) menjelaskan bahwa aktivitas fisik dan obesitas mungkin memediasi hubungan antara fungsi motorik anak dan academic achievment pada remaja. Aktivitas fisik dapat menurunkan gejala depresi, kemungkinan stres, dan perasaan khawatir (Dunn et al. 2001). Perbedaan individu dalam pertumbuhan dan perkembangan berkontribusi untuk terjadinya variasi dalam pencapaian kemampuan motorik, kematangan fisik, dan beberapa penampilan spesifik anak seperti kesadaran untuk beraktivitas fisik, pengalaman percaya diri dan selfesteem, perasaan untuk menguasai maupun kompetensi (Hills et al.2007). Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur dapat mendorong perubahan struktural dalam wilayah hipocampus otak yang merupakan bagian penting untuk memori. Aktivitas fisik pada anak yang dilakukan secara teratur dapat mendukung perkembangan struktur syaraf pusat (Cabeza 2001). Hasil studi menunjukkan bahwa aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur dapat meningkatkan fungsi neuron, dendrit, dan sinap di seluruh sistem saraf baik saraf pusat maupun saraf
15 perifer. Blakemore menjelaskan bahwa selama melakukan aktivitas fisik maka otak akan aktif dengan meningkatkan aliran darah ke daerah-daerah yang penting, berperan dalam merangsang belajar. Hasil studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara otak kecil dan memori, persepsi spasial, perhatian bahasa, emosi, isyarat non-verbal dan kemampuan anak dalam pengambilan keputusan.
Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Prestasi Belajar Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 105 anak (responden), didapat bahwa prestasi belajar sebagian besar anak (41%) berada dalam kategori baik. Konsumsi energi sebagian besar (59.1%) anak dan protein pada sebagian besar (41.9%) anak sudah memenuhi kebutuhan energi protein yang dianjurkan. Sebagian besar anak berada dalam kategori kurang vitamin B1 (95.2% anak), vitamin B2 (85.7% anak) dan vitamin B12 (75.2%). Begitu pula dari hasil penelitian berdasarkan kecukupan mineral, sebagian besar anak berada dalam kategori kurang kalsium (47.6% anak), seng (79% anak) dan besi (71.4% anak), sedangkan status gizi sebagian besar anak berada dalam kategori normal (82.9% anak pada indikator BB/U, 88.6 % anak pada indikator TB/U, dan 72.4% anak pada indikator BB/TB (Minatun 2011). Hasil uji korelasi Rank Spearman antara prestasi belajar dengan status gizi berdasarkan indikator TB/U menunjukkan hubungan yang sangat nyata positif (p <0.01; r = 2.55 ). Hal ini berarti semakin baik status gizi responden jika dilihat pada nilai z–skor berdasarkan TB/U menunjukkan responden semakin berprestasi. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan hubungan yang nyata positif antara prestasi belajar dengan lingkungan belajar di sekolah meliputi persepsi tentang belajar di sekolah (p<0.01; r = 0.339), sarana belajar di sekolah (p<0.01; r = 0.395 ) dan kedisiplinan terhadap tata tertib di sekolah (p<0.05; r=0.198 ). Hal ini berarti semakin baik lingkungan belajar di sekolah menunjukkan responden semakin berprestasi.
16
3. KERANGKA PEMIKIRAN
Gaya hidup yang mengarah pada sedentary lifestyle menyebabkan penurunan aktivitas fisik. Dewasa ini, perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemudahan akses dalam segala hal, termasuk hiburan maupun makanan. Semua kemudahan yang ada memicu perilaku sedentary lifestyle. Perkembangan akses internet, mobile phone, game online, menyebabkan anak tidak perlu keluar rumah untuk berkomunikasi maupun bermain dengan temannya. Kondisi ini menyebabkan rendahnya pengeluaran energi. Selain itu, pola konsumsi anak lebih mengarah pada pola makan yang kurang sehat. Pola makan anak lebih banyak mengarah pada makanan yang padat kalori dan tinggi lemak. Penurunan aktivitas fisik yang dibarengi dengan konsumsi makanan tinggi kalori dan lemak dapat memicu kegemukan pada anak. Penurunan aktivitas fisik dapat menyebabkan ruang gerak anak terbatas sehingga otot-ototnya tidak terlatih. Penurunan aktivitas fisik menyebabkan berkurangnya kekuatan, kelenturan, tenaga aerobik, dan keterampilan atletik yang merupakan komponen kebugaran seseorang, sehingga dapat menyebabkan rendahnya tingkat kebugaran seseorang. Rendahnya aktivitas fisik pada anak gemuk dan obesitas menyebabkan kebugaran yang rendah karena ototnya tidak terlatih. Kebugaran anak laki-laki obesitas cenderung lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak obes. Kebugaran wanita yang mengalami kegemukan lebih rendah dibandingkan wanita tidak gemuk yang berusia 7-17 tahun. Remaja yang aktif memiliki tingkat kebugaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja yang kurang aktif. Penelitian di Inggris menunjukkan adanya korelasi positif yang bermakna antara aktivitas fisik dan kesegaran jasmani pada anak berusia 8-10 tahun. Pengalaman aktivitas fisik berkaitan dengan perkembangan gerak yang juga berkaitan dengan perkembangan kognitif seseorang. Teori Piaget menjelaskan bahwa salah satu tahapan perkembangan manusia adalah tahap sensorimotor. Teori ini menjelaskan bahwa kemampuan intelektual seseorang berkembang dari perilaku gerak. Melalui gerak seseorang akan berfikir dan hal ini dapat mendorong pengembangan kemampuan intelektual seseorang. Penurunan kognitif terjadi sejalan dengan penurunan aktivitas fisik dan aerobic fitness serta peningkatan massa tubuh dan konsumsi energi. Dengan demikian, kemampuan intelektual anak yang mengalami kegemukan diduga lebih rendah dibandingkan anak yang status gizinya normal. Teori gerak Kephart menjelaskan bahwa gerak telah terbukti meningkatkan kemampuan dan ferforma akademik seseorang. Rendahnya kemampuan belajar adalah akibat integrasi panca indra yang lemah. Integrasi panca indra merupakan langkah kritis dalam proses persepsi gerak. Integrasi tersebut dapat dipelajari dari kebiasaan-kebiasaan gerak yang dilakukan. Aktivitas fisik dan tingkat kebugaran berhubungan secara tidak langsung dengan prestasi akademik seseorang. Aktivitas fisik yang cukup dapat mendukung kebugaran seseorang. Seseorang yang memiliki kebugaran yang baik diduga memiliki prestasi akademik yang baik karena seseorang yang fit akan memiliki konsentrasi belajar yang baik.
17 Konsumsi zat gizi secara tidak langsung memengaruhi prestasi belajar anak. Konsumsi zat gizi yang cukup dapat memenuhi pertumbuhan dan perkembangan otak. Seseorang yang terpenuhi kebutuhan zat gizinya memungkinkan memiliki prestasi akademik yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang kekurangan gizi. Konsumsi zat gizi seseorang dipengaruhi oleh karakteristik keluarga seperti jumlah anggota keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, serta pendapatan orang tua. Skema kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 1:
Karakteristik Orang Tua Jumlah anggota keluarga Pendidikan orang tua Pekerjaan orang tua Pendapatan orang tua
Aktivitas Fisik Tidur Menonton televisi Main game Belajar di sekolah Belajar di tempat les Belajar di rumah Olahraga Membantu orang tua dll
Konsumsi zat gizi Energi Protein Lemak Fe dan Ca
Karakteristik Siswa Umur Jenis kelamin Uang saku
Fasilitas dan Pola Belajar
IQ Status Gizi (IMT/U) Normal dan Kegemukan
Prestasi Belajar Siswa
Physical fitness (Tes Kesegaran Jasmani Indonesia)
Gambar 1 Skema kerangka pemikiran kaitan antara aktivitas fisik, kebugaran, dan prestasi belajar anak sekolah dasar di Kota Bogor
Keterangan: : Variabel yang diteliti :
: : Variabel yang tidak diteliti
:Hubungan yang diteliti :Hubungan yang tidak diteliti
18
4. METODE PENELITIAN
Desain Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian observasional analitik dengan menggunakan desain studi cross sectional karena dilakukan untuk mengetahui hubungan antara exposure (aktivitas fisik, kebugaran) dan outcome (prestasi akademik) yang ada di masyarakat tertentu pada waktu tertentu. Desain studi cross sectional menggunakan pendeketan point time dimana penyebab dan efek diobservasi pada saat yang sama. Pengambilan data dilakukan hanya sekali dan digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan dan menilai hubungan antara variabel-variabel yang digunakan.
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di SD yang terletak di Kota Bogor, dengan pertimbangan bahwa jumlah anak yang mengalami kegemukan banyak terdapat di Kota Bogor. Penelitian ini dilakukan di dua SD yang yaitu SD Bina Insani dan SD Insan Kamil. Pemilihan sekolah-sekolah tersebut sebagai tempat penelitian dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa kondisi sosial ekonomi menengah ke atas sehingga jumlah anak yang mengalami kegemukan cukup banyak serta alasan sudah pernah bekerja sama dengan IPB. Hasil penelitian Suryaalamsyah (2009) menunjukkan bahwa prevalensi kegemukan pada anak kelas 4 dan 5 di SD Bina Insani sebanyak 18.4%. Prevalensi anak obesitas kelas 4 dan 5 di SD Insan Kamil adalah 15.1% (Pramudita 2011).
Waktu Penelitian Persiapan penelitian meliputi pemilihan lokasi dan sasaran, persiapan proposal, pembuatan kuesioner, uji coba kuesioner, dan pengambilan data di lapangan. Penelitian ini berlangsung selama 3 bulan yaitu pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2013.
Teknik Pemilihan Sampel Sampel atau contoh yang digunakan dalam penelitian adalah anak-anak SD dari kelas 5 berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Alasan pemilihan contoh dengan rentang usia demikian (9-12 tahun) karena menurut teori Piaget sudah memasuki tahap ketiga, yaitu konkrit operasional sehingga anak mampu berpikir tentang hal-hal atau objek yang konkrit (Davis 2013). Pertimbangan pemilihan contoh anak sekolah dasar sebagai sampel penelitian dengan dasar pertimbangan bahwa pada rentang usia demikian prevalensi kegemukan anak paling banyak dibandingkan dengan rentang usia lainnya.
19 Populasi dalam penelitian ini adalah anak-anak kelas V yang ada di SD Bina Insani dan SD Insan Kamil. Jumlah anak kelas V di SD Bina Insani adalah sebanyak 117 anak, sedangkan jumlah anak kelas V di SD Insan Kamil adalah 184. Contoh dipilih secara purposive berdasarkan kesediaan dari pihak sekolah dan anak untuk mengikuti penelitian ini. Kriteria inklusi sampel yaitu contoh terdaftar sebagai anak sekolah tersebut, tidak memiliki penyakit seperti asma, dan tergolong status gizi gemuk (termasuk obes dan overweight) dan status gizi normal. Anak dikategorikan kegemukan apabila IMT/U +1 SD < Z ≤ +2 SD dan IMT/U >+2 SD, serta normal apabila IMT/U -2 SD < Z ≤ +1 SD (Kemenkes 2011). Anak yang bersedia menjadi sampel di SD Insan Kamil sebanyak 60 anak dan anak yang bersedia menjadi sampel di SD Bina Insani sebanyak 48 anak, sehingga jumlah total contoh sebanyak 108 anak. Pertimbangan penggunaan kriteria inklusi adalah untuk menghindari terjadinya bias seleksi karena adanya kemungkinan pengaruh yang berbeda dari status gizi yang berbeda terhadap aktivitas fisik, kebugaran, dan prestasi akademik. Jumlah minimum sampel dihitung dengan rumus pendugaan proporsi sebagai berikut: Proporsi anak sekolah dasar gemuk sebesar 7.7% (Hermina dan Jahari 2007). Presisi Mutlaq n = p(1-p) Z2α/2 d2 n = Jumlah minimum sampel yang diambil = 95% (peluang) 1-α P = 7.7% proporsi anak sekolah dasar gemuk di Kota Bogor d = Kesalahan yang dapat ditaksir (presisi=0.05) Jumlah minimum sampel diperoleh sebagai berikut: n = p(1-p) Z2α/2 d2 n= 0.077 (0.915)(1.96)2 (0.05)2 n= 108
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data karakteristik sosial ekonomi orang tua, data karakteristik anak, aktivitas fisik 2x24 jam di hari sekolah dan hari libur, data status gizi, konsumsi pangan 2x24 jam pada hari sekolah dan hari libur, serta kebugaran (physical fitness). Data sekunder meliputi data mengenai gambaran umum lokasi penelitian dan jumlah anak SD di Kota Bogor, data prestasi belajar yaitu tes hasil belajar terakhir siswa. Jenis dan cara pengumpulan data secara rinci disajikan pada Tabel 9. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik. Data karakteristik sosial ekonomi orang tua, karakteristik anak, aktivitas fisik 2x24 jam
20 anak di hari sekolah dan hari libur, dan konsumsi zat gizi, diperoleh dengan menggunakan kuesioner. Data kebugaran (physical fitness) diukur dengan melakukan observasi menggunakan panduan (Nurhassan & Cholil 2007). Data status gizi anak diambil dengan mengukur secara langsung tinggi badan contoh menggunakan microtoise dengan ketelitian 0.1 cm, dan data berat badan anak diukur menggunakan timbangan berat badan merk Camry. Pengkategorian status gizi anak berdasarkan IMT/U standar (Kemenkes 2011). Data sekunder terdiri dari gambaran umum lokasi penelitian, jumlah anak kelas V, serta tes hasil belajar terakhir, diperoleh dari sekolah yang bersangkutan serta melalui penelusuran literatur.
Pengolahan dan Analisis Data Data yang didapatkan di lapangan diolah dengan menggunakan beberapa tahapan yaitu penyusunan kode untuk memudahkan proses entry data, pembersihan data/cleaning data untuk menghindari kesalahan dalam memasukan data, skoring terhadap nilai tingkat aktivitas fisik anak, kebugaran, serta kategorisasi terhadap data skor, analisis deskriptif, uji Chi Square, analisis pengaruh, serta uji beda (independen t-tes). Analisis korelasi dilakukan untuk menilai hubungan antara variabel (status gizi, aktivitas fisik, kebugaran, konsumsi pangan, dan prestasi belajar). Analisis pengaruh digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kebugaran dan prestasi belajar. Uji beda dilakukan untuk melihat perbedaan variabel antara kelompok status gizi normal dan kegemukan. Data karakteristik sosial ekonomi orang tua yang dikumpulkan terdiri dari jumlah anggota keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, serta pendapatan orang tua. Pengkategorian besar anggota keluarga mengacu pada BKKBN (1998), yaitu keluarga kecil apabila jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang, keluarga sedang 5-6 orang, serta keluarga besar apabila jumlah anggota keluarga ≥ 7 orang. Data pendidikan orangtua dikategorikan menurut jenjang pendidikan yang pernah diperoleh yaitu tidak sekolah, SD, SMP, SMA, dan Sarjana yang kemudian dianalisis secara deskriptif. Data pekerjaan orang tua dikategorikan menjadi tidak bekerja/ibu rumah tangga, PNS/TNI/POLRI, karyawan swasta, buruh, wiraswasta/pedagang, jasa, dan lainnya. Data kebugaran (physical fitness) diukur dengan melakukan observasi menggunakan panduan TKJI (Tes Kesegaran Jasmani Indonesia), yang terdiri dari 5 tes fisik. Tes fisik tersebut meliputi lari cepat 40 meter, tes angkat tubuh (pull up)30 detik, tes baring duduk (sit up) 30 detik, loncat tegak, dan lari 600 meter. Masing-masing tes diberi skor 1-5, dan status kebugaran dinyatakan dengan jumlah skor yang diperoleh dari masing-masing tes. Kebugarannya dikatakan baik sekali apabila skor total tes 22-25, baik 18-21, sedang 14-17, kurang 10-13, dan kurang sekali apabila skonya 5-9. Selanjutnya kebugaran dikelompokkan menjadi bugar dan tidak bugar, dengan dasar pertimbangan bahwa kebugaran anak dalam penelitian ini hanya berada pada kisaran sedang, kurang, dan kurang sekali. Kebugaran sedang dikategorikan menjadi bugar (14-17) sedangkan tingkat kebugaran kurang dan kurang sekali dikategorikan menjadi tidak bugar (5-13). Data aktivitas fisik yang dikumpulkan meliputi jenis kegiatan dan alokasi waktu
21 setiap kegiatan tersebut. Aktivitas fisik yang dilakukan seseorang dinyatakan dalam tingkat aktivitas fisik atau Physical Activity Level (PAL). Berikut adalah cara perhitungan aktivitas fisik menurut FAO/WHO/UNU (2001): PAL = Σ(PAR x alokasi waktu tiap aktivitas) 24 jam Keterangan: PAL : Physical Activity Level (tingkat aktivitas fisik) PAR : Physical Activity Ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk jenis aktivitas per satuan waktu tertentu) Menurut FAO (2001), tingkat aktivitas fisik dikategorikan menjadi tiga, yaitu ringan (1.40-1.69), sedang (1.70-1.99), serta berat (2.00-2.40). Nilai PAR setiap kegiatan anak mengacu pada nilai PAR remaja dan orang dewasa (FAO/WHO/UNU 2001). Data konsumsi pangan diperoleh dengan cara food recall 2x24 jam, kemudian dikonversikan ke dalam energi dan zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Menurut Hardinsyah dan Briawan (1994), rumus konversi adalah sebagai berikut: Kei = Bi x BDDi x Gi 100 100 Keterangan: Kei : Kandungan energi dari bahan makanan i yang dikonsumsi (g) Bi : Berat bahan makanan i yang dikonsumsi (g) Gi : Kandungan energi dalam 100 g BDD bahan makanan BDDi : Persen bahan makanan yang dapat dimakan (% BDD) Tingkat kecukupan zat gizi untuk energi dan protein memperhitungkan berat badan aktual dan berat badan ideal yang ada pada tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG). Berikut ini adalah rumus perhitungannya: AKE= (Ba/Bs) x AKGi AKP= (Ba/Bs) x AKGj Keterangan: AKP : Angka kecukupan protein (g) Ba : Berat badan aktual (Kg) Bs : Berat badan rujukan (Kg) AKGi : Angka kecukupan energi yang dianjurkan AKGj : Angka kecukupan protein yang dianjurkan Menurut Depkes (1996), berikut cut off point tingkat kecukupan defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70-79%), kurang (<90%), cukup (90119%), dan lebih (≥120%) (Kemenkes 1996).
22 Menurut Hardinsyah dan Briawan (1994), tingkat konsumsi zat gizi dihitung dengan rumus sebagai berikut: TKGi = Ki x 100% AKGi Keterangan: TKGi : Tingkat kecukupan zat gizi i Ki : Konsumsi zat gizi i AKGi : Kecukupan zat gizi i yang dianjurkan Data prestasi belajar diperoleh dari nilai tes hasil belajar akhir pada semester ganjil. Menurut Syah (2010), penilaian prestasi belajar dikategorikan menjadi 4, yaitu sangat baik (80-100), baik (70-79), cukup (60-69), kurang (5059). Data status gizi anak dikategorikan dengan menggunakan acuan Indeks Massa Tubuh/Umur menurut (Kemenkes 2011) sebagaimana disajikan dalam Tabel 2. Data mengenai karakteristik sosial ekonomi, karakteristik anak menggunakan analisis statistik deskriptif. Selain analisis deskriptif, dilakukan juga analisis statistik inferensia dengan menggunakan program Microsoft Excell 2007 dan SPSS 16 for Windows untuk melihat korelasi atau hubungan antar variabel yang diteliti serta faktor yang memengaruhi kebugaran dan prestasi belajar anak. Berikut ini adalah analisis yang dilakukan: 1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi orang tua dan karakteristik anak sekolah dasar kegemukan dan normal. 2. Mengkaji perbedaan tingkat aktivitas fisik, kebugaran, dan prestasi belajar anak kegemukan dan normal. 3. Menganalisis hubungan aktivitas fisik dengan status gizi. 4. Menganalisis hubungan aktivitas fisik dengan kebugaraan. 5. Menganalisis hubungan status gizi dengan kebugaran. 6. Menganalisis konsumsi anak dan tingkat kecukupan zat gizi anak sekolah dasar kegemukan dan normal. 7. Menganalisis hubungan antara konsumsi zat gizi dengan status gizi anak sekolah dasar kegemukan dan normal. 8. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kebugaran dan prestasi belajar anak kegemukan dan normal. Analisis faktor-faktor yang memengaruhi kebugaran dan prestasi akademik menggunakan regresi berganda. Berikut ini adalah model regresinya: Model 1: y1 = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + ε Keterangan: y1 = Kebugaran β0 = Intersep β1X1 = Umur β2X2 = Jenis kelamin β3X3 = Aktivitas fisik β4X4 = Status gizi (normal, kegemukan) ε = Galat (error)
23 Model 2: y2 = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + ε Keterangan: y2 = Prestasi belajar β0 = Intersep β1X1 = Aktivitas fisik β2X2 = Kebugaran β3X3 = Status gizi (normal, kegemukan) ε = Galat (error)
Panduan Tes Kesegaran Jasmani Indonesia Jenis tes kesegaran jasmani untuk sekolah dasar dikenal dengan TKJI (Tes Kesegaran Jasmani Indonesia). Tes untuk mengukur kesegaran jasmani anak sekolah dasar dibagi kedalam dua kelompok usia, yaitu untuk kelas 1-3 dan untuk kelas 4-6. Jenis-jenis tesnya hampir sama, yang membedakan dalam hal jarak untuk tes tertentu. Jenis tes kesegaran jasmani untuk kelas 1-3 terdiri dari lari cepat 30 meter, angkat tubuh 30 detik, baring duduk 30 detik, loncat tegak 30 detik, dan lari 600 meter. Jenis tes kesegaran jasmani untuk kelas 4-6 hampir sama hanya jarak lari cepatnya 40 meter. Berikut ini adalah petunjuk pelaksanaan setiap jenis tes yang dilakukan: Tes lari cepat 30 meter Tujuan : Mengukur kecepatan lari seseorang Alat/fasilitas : Lintasan lurus, rata, tidak licin, jarak antara garis start dan finish 30 meter (kelas 1-2) atau 40 meter (kelas 4-6) Peluit Stop watch Bendera start dan tiang pancang Pelaksanaan : Anak berdiri di belakang garis start dengan sikap berdiri, aba-aba „ya‟ subjek lari ke depan secepat mungkin menempuh jarak 40 meter. Pada saat subjek menyentuh/melewati garis finish stop watch dihentikan. Kesempatan lari diulang apabila: Pelari mencuri start Pelari terganggu oleh pelari lainnya Skor : Skor hasil tes yaitu waktu yang dicapai oleh pelari untuk menempuh jarak 40 meter. Waktu dicatat sampai sepersepuluh detik. Pencatatan waktu dalam satuan detik dengan satu angka dibelakang koma. Penilaian : Tabel 3 Penilaian skor tes lari cepat Umur 6-9 tahun Putra Putri sd-5.5” sd-5.8” 5.6”-6.1” 5.9”-6.6” 6.2”-6.9” 6.7”-7.8” 7.0”-8.6” 7.9”-9.2” 8.7”-dst 9.3”-dst
Nilai 5 4 3 2 1
Umur 10-12 tahun Putra Putri sd-6.3” sd-6.7” 6.4”-6.9” 6.8”-7.5” 7.0”-7.7” 7.6”-8.3” 7.8”-8.8” 8.4”-9.6” 8.9”-dst 9.7”-dst
24 Tes Angkat Tubuh 30 detik Tujuan : Mengukur kekuatan dan daya tahan otot lengan dan otot bahu Alat/fasilitas : Lantai yang rata dan bersih Palang tunggal, yang tinggi rendahnya dapat diatur sehingga anak dapat bergantung Stop watch Formulir pencatatan hasil Pelaksanaan : Anak bergantung pada palang tunggal, sehingga kepala, badan, dan tungkai lurus. Kedua lengan dibuka selebar bahu dan keduanya lurus. Kemudian anak mengangkat tubuhnya, dengan membengkokan kedua lengan, sehingga dagu menyentuh atau melewati palang tunggal, kemudian kembali ke sikap semula. Lakukan gerakan tersebut secara berulang-ulang, tanpa istirahat selama 30 detik. Penilaian : Tabel 4 Penilaian tes angkat tubuh 30 detik Umur 6-9 tahun Putra Putri 40 ke atas 33 ke atas 22-39 18-32 9-21 9-17 3-8 3-8 0-2 0-2
Nilai 5 4 3 2 1
Umur 10-12 tahun Putra Putri 51 ke atas 40 ke atas 31-50 20-19 15-30 8-19 5-14 2-7 0-4 0-1
Tes Baring Duduk 30 Detik (10-12 tahun) Tujuan : Mengukur kekuatan dan daya tahan otot perut Alat/fasilitas : Lantai/lapangan rumput yang bersih Stop watch Formulir pencatat hasil Alat tulis Pelaksanaan : Anak berbaring di atas lantai/rumput. Kedua lutut ditekuk ± 90°. Kedua tangan dilipat dan diletakan di belakang kepala dengan jari tangan saling berkaitan dan kedua lengan menyentuh lantai. Salah seorang teman membantu dengan cara memegang dan menekan kedua pergelangan kaki, agar kaki anak tidak terangkat. Pada aba-aba „ya‟ subjek bergerak mengambil sikap duduk, sehingga kedua sikunya menyentuh paha, kemudian kembali ke sikap semula. Lakukan gerakan itu berulang-ulang dengan cepat tanpa istirahat dalam waktu 30 detik. Gerakan gagal apabila: Kedua lengan lepas, sehingga jari-jari tidak terjalin Kedua tungkai ditekuk dengan sudut >90° Kedua siku tidak menyentuh paha Skor : Jumlah baring duduk yang dilakukan dengan benar selama 30 detik. Setiap baring duduk yang tidak benar diberi angka nol.
25 Penilaian
: Tabel 5 Penilaian tes baring duduk 30 detik (10-12 tahun)
Umur 6-9 tahun Putra Putri 17 ke atas 15 ke atas 13-16 11-14 7-12 4-10 2-6 2-3 0-1 0-1
Nilai 5 4 3 2 1
Umur 10-12 tahun Putra Putri 23 ke atas 20 ke atas 18-22 14-19 12-17 7-13 4-11 2-6 0-3 0-1
Tes Loncat Tegak Tujuan : Mengukur daya ledak (tenaga eksplosif) otot tungkai Alat/fasilitas : Dinding yang rata dan lantai yang rata serta cukup luas Papan berwarna gelap berukuran 30 x 150 cm, berskala satuan cm, yang digantung pada dinding, dengan ketinggian jarak antara lantai dengan angka nol (0) pada papan skala ukuran 150 cm. Kapur dan penghapus Formulir pencatatan hasil tes dan alat tulis Pelaksanaan : Anak berdiri tegak dekat dinding. Kedua kaki, papan dinding berada di samping tangan kiri atau kanannya. Kemudian tangan yang berada dekat dinding diangkat lurus ke atas, telapak tangan ditempelkan pada papan berskala, sehingga meninggalkan bekas raihan jarinya. Kedua tangan lurus berada di samping badan, kemudian subjek meloncat setinggi mungkin sambil menepuk papan berskala dengan tangan yang terdekat dengan dinding, sehingga meninggalkan bekas raihan pada papan berskala. Tanda ini menampilkan tinggi raihan loncatan subjek tersebut. Subjek diberi kesempatan sebanyak tiga kali loncatan. Skor : Ambil tinggi raihan yang tertinggi dari ketiga loncatan tersebut, sebagai hasil tes loncat tegak. Hasil loncat tegak diperoleh dengan cara hasil raihan tertinggi dari salah satu loncatan tersebut dikurangi tinggi raihan tanpa loncatan. Penilaian : Tabel 6 Penilaian tes loncat tegak Umur 6-9 tahun Putra Putri 38 ke atas 38 ke atas 30-37 29-37 22-29 22-28 13-21 13-21 0-12 1-12
Nilai 5 4 3 2 1
Umur 10-12 tahun Putra Putri 46 ke atas 42 ke atas 38-45 34-41 31-37 28-33 24-30 21-27 0-23 0-20
Tes Lari 600 Meter Tujuan : Mengukur daya tahan (cardio endurance) Alat/fasilitas : Lapangan yang rata atau lintasan yang telah diketahui panjangnya mudah untuk menentukan jarak 600 meter Bendera start dan tiang pancang Peluit
26 Stop watch Nomor dada Formulir pencatatan hasil tes dan alat tulis Tanda/garis untuk start dan finish Pelaksanaan : Anak berdiri dibelakang garis start. Pada aba-aba „siap‟ anak mengambil sikap start berdiri untuk siap lari, dengan menempuh jarak 600 meter. Apabila ada anak yang mencuri start maka anak tersebut dapat mengulangi tes tersebut. Skor : Hasil yang dicatat sebagai skor lari 600 meter adalah waktu yang dicapai dalam menempuh jarak 600 meter. Hasil dicatat sampai sepersepuluh detik. Penilaian : Tabel 7 Penilaian tes lari 600 meter Umur 6-9 tahun Putra Putri sd-2‟.39” sd-2‟.53” 2‟.40”-3.00” 2‟.54”-3.23” 3‟.01”-3‟.45” 3‟.24”-4‟.08” 3‟.46”-4‟.48” 4‟.09”-5‟.03” 4‟.49”-ke atas 5‟.04”-ke atas
Nilai 5 4 3 2 1
Umur 10-12 tahun Putra Putri sd-2‟.09” sd-2‟.32” 2‟.10”-2.30” 2‟.33”-2.54” 2‟.31”-2‟.45” 2‟.55”-3‟.28” 2‟.46”-3‟.44” 3‟.29”-4‟.22” 3‟.45”-ke atas 4‟.23”-ke atas
Tabel 8 Norma tes kesegaran jasmani indonesia No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jumlah Nilai 22-25 18-21 14-17 10-13 5-9
Klasifikasi Baik Sekali (BS) Baik (B) Sedang (S) Kurang (K) Kurang Sekali (KS)
27 Berikut adalah jenis dan cara pengumpulan data: Tabel 9 Jenis dan cara pengumpulan data No.
Data Primer 1. Karakteristik ekonomi orang tua
2.
Alat dan cara pengumpulan data
Peubah
Jenis data
sosial
Karakteristik anak
Wawancara langsung dipandu kuesioner
Wawancara langsung dipandu kuesioner
aku 3.
4.
Aktivitas fisik Tidur Menonton televisi Main game Belajar di sekolah Belajar di tempat les Belajar di rumah Olahraga Membantu orang tua Konsumsi zat gizi
Wawancara langsung dipandu kuesioner
Wawancara langsung dipandu kuesioner dengan metode food recall 2x24 jam, wawancara pada hari sekolah dan hari libur 6. Status gizi Pengukuran Kemenkes RI langsung titatif 2011) menggunakan microtoise dan timbangan 7. Physical Fitness (Tes Observasional Kesegaran Jasmani dengan panduan Indonesia) (Nurhassan dan Cholil 2007) Data Sekunder 8. Prestasi Belajar (Nilai tes Penelusuran literatur dari guru kelas hasil belajar terakhir) 9. Profil SD terpilih Penelusuran literatur 10. Jumlah anak SD terpilih Penelusuran literatur
28 Definisi Operasional Contoh adalah anak kelas 5 SD Bina Insani dan Insan Kamil yang normal dan kegemukan. Kegemukan adalah adalah status gizi lebih yang mencakup gemuk dan obesitas dengan IMT/U +1 SD < Z ≤ +2 SD, obes IMT/U >+2 SD (Kemenkes RI 2011). Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, kakak, atau adik serta anggota keluarga lainnya yang tinggal satu rumah dengan anak kegemukan dan normal. Pendidikan orang tua adalah pendidikan formal yang terakhir diikuti oleh orang tua contoh. Pendapatan orang tua adalah jumlah gaji yang dihasilkan oleh kedua orang tua (ayah dan ibu) dari pekerjaan atau usaha dalam jangka waktu satu bulan. Prestasi belajar adalah hasil pembelajaran anak dalam bentuk angka atau nilai kognitif yang tertera pada nilai tes belajar akhir contoh, dengan soal tes dari sekolah masing-masing. Status gizi anak adalah keadaan gizi anak yang diukur dengan IMT/U sesuai dengan standar Kemenkes (2011). Physical fitness (kebugaran) adalah kemampuan untuk melakukan suatu tugas tertentu yang memerlukan usaha otot. Unsur-unsur kesegaran jasmani yaitu, strength (kekuatan), power (daya), speed (kecepatan), flexibility (kelentukan), agility (kelincahan), dan endurance (daya tahan). Aktivitas fisik adalah alokasi waktu selama 24 jam yang digunakan anak kegemukan maupun normal untuk melakukan aktivitas setiap hari baik di sekolah maupun di rumah, baik pada hari sekolah maupun hari libur. Kegiatan tersebut meliputi tidur, menonton televisi, main game, belajar di sekolah, belajar di rumah, olahraga, membantu orang tua dan lainnya. Tingkat aktivitas fisik adalah aktivitas fisik anak dinyatakan dengan nilai PAL (physical activity level) dan dikategorikan menjadi kegiatan ringan, kegiatan sedang, dan kegiatan berat. Asupan energi dan protein adalah jumlah energi dan protein yang dikonsumsi anak diperoleh melalui recall 2x24 jam. Asupan zat besi dan kalsium adalah jumlah zat gizi besi dan kalsium yang dikonsumsi anak diperoleh melalui recall 2x24 jam. Tingkat kecukupan gizi adalah perbandingan antara jumlah zat gizi yang dikonsumsi dibandingkan dengan kebutuhan gizi dikali 100.
29
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian SD Bina Insani Sekolah Dasar Bina Insani terletak di Jalan KH. Sholeh Iskandar, Tanah Sereal Bogor. Visi SD Bina Insani yaitu “Menjadikan Sekolah Dasar yang Berkualitas Bernapaskan Islam, Dipercaya, Diminati Oleh Masyarakat dan Berorientasi Global”. Misi dari SD Bina Insani, yaitu: 1) Menyelenggarakan sekolah dasar yang bermutu dengan konsep pendidikan berbasis kompetensi; 2) Turut serta dalam membangun dan membentuk generasi muslim yang tangguh dan siap menghadapi tantangan zaman; 3) Menciptakan suasana belajar yang kondusif guna berkembangnya kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual; dan 4) Menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia, fasih membaca Al-Quran. Jumlah tenaga pengajar SD Bina Insani yaitu 49 orang. yaitu 47 orang guru tetap dan 2 orang guru honorer. SD Bina Insani memiliki 4 Rombel (rombongan belajar) untuk kelas 5, yaitu kelas 5A, 5B, 5C, dan 5D. Jumlah keseluruhan anak SD Bina Insani untuk tahun ajaran 2013/2014 adalah 711 anak, terdiri dari 400 anak dan 311 siswi. Jumlah anak kelas 5 yaitu 117 anak, terdiri dari 60 anak dan 57 siswi. Waktu belajar mengajar dilaksanakan selama 5 hari (Senin-Jum‟at) dimulai pada pukul 07.15-14.30 WIB. Waktu istirahat untuk para anak disediakan sebanyak dua kali, yaitu pada pukul 09.00-09.30 WIB dan pada pukul 11.45-12.15 WIB. Kurikulum yang digunakan SD Bina Insani yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sekolah Dasar Bina Insani menyediakan pelayanan katering bagi siswa dan siswi kelas 5 untuk makan siang. Pelayanan katering diserahkan kepada Jasa Katering. Seluruh tanggung jawab menu dan porsi makan diserahkan sepenuhnya pada pihak katering. Anak dan siswi SD Bina Insani diberikan kebebasan untuk memesan makanan melalui katering. Sarana pembelajaran yang disediakan oleh SD Bina Insani meliputi Lab Komputer, Perpustakaan Digital, Masjid, Kantin, dan Lapangan Olahraga. Bagi anak yang memiliki karakteristik Cerdas Istimewa (CI) dikelola dalam Program Akselerasi. Program ini untuk melayani anak yang mempunyai kemampuan istimewa/tinggi di bidang MIPA dengan masa studi selama 5 tahun. Kegiatan keanakan yang terdapat di SD Bina Insani meliputi Outdoor Study CIBI, Robotic, Pramuka, Keagamaan, Upacara Bendera, Drum Band, dan UKS. SD Insan Kamil Sekolah Dasar Insan Kamil terletak di Jalan Raya Dramaga Km. 6 Bogor. Visi SD Insan Kamil adalah “Dengan Berlandaskan Aqidah, Syari‟at dan Akhlakul Karimah SD Insan Kamil Unggul Dalam Berprestasi”. Sedangkan Misi SD Insan Kamil adalah “Mendidik Murid-Murid Agar Menghayati dan Mengamalkan Bahwa Hidup Adalah Ibadah, Belajar Adalah Ibadah, dan Berprestasi Adalah Ibadah”, sehingga murid-murid memiliki: 1) Penguasaan ilmu diniyah, ilmu pengetahuan, dan pengembangan teknologi; 2) Motivasi yang kuat
30 untuk memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya dan seluas-luasnya kepada masyarakat melalui Amaliah „Ubudiyah-Mu‟amalah; 3) Kesadaran yang mendalam bahwa keberhasilan hanya disandarkan pada pandangan dan penilaian Allah SWT. Jumlah tenaga pengajar SD Insan Kamil yaitu 82 orang. yaitu 51 orang guru tetap dan 31 orang guru honorer. SD Insan Kamil memiliki 7 Rombel (rombongan belajar) untuk kelas 5, yaitu kelas 5A, 5B, 5C, 5D. 5E, 5F, dan 5G Jumlah keseluruhan anak SD Insan Kamil untuk tahun ajaran 2013/2014 adalah 1221 anak, terdiri dari 667 siswa dan 554 siswi. Jumlah anak kelas 5 yaitu 184 anak, terdiri dari 93 anak dan 91 siswi. Waktu belajar mengajar kelas 3-6 dilaksanakan selama 5 hari (SeninJum‟at) dimulai pada pukul 07.00-13.00 WIB untuk hari senin sampai dengan kamis, sedangkan hari jumat dimulai pukul 07.00 WIB dan berakhir pukul 10.00 WIB. Sedangkan untuk kelas 1 dan 2 waktu belajar mengajar berlangsung dari pukul 07.00 sampai dengan 11.30 WIB. Waktu istirahat untuk para anak disediakan sebanyak satu kali, yaitu pada pukul 10.00-10.30 WIB. Kurikulum yang digunakan SD Bina Insani yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sarana yang dimiliki sekolah antara lain sarana pendidikan (2 gedung masing-masing 3 lantai), sarana ibadah (mesjid dan musola), sarana penunjang (laboratorium komputer, ruang serbaguna, aula, perpustakaan, dan Lab. IPA),sarana olah raga (lapangan futsal, tenis meja, senam dan tae kwon do, lapangan bulutangkis dan voli, lapangan basket, dan UKS), sarana kebersihan dan 31 lingkungan (saniter dengan 20 kamar mandi, WC keramik putih, air PDAM, dan lapangan parkir luas). Kantin yang dimiliki sebanyak 3 kantin, 1 kantin di Gedung A dan 2 kantin di Gedung B. Ektrakurikuler yang ada di sekolah di antaranya adalah Al-Qur,an, english course, jarimatika, klub sains, klub olimpiade matematika, biola, seni lukis, komputer, robotics, futsal, tae kwon do, dan karate. Setiap ekstrakurikuler memiliki jadwal kegiatan masing-masing, jam kegiatan dilaksanakan pada hari sabtu.
Karakteristik Anak Jenis Kelamin dan Umur Jumlah subjek dalam penelitian ini berjumlah 108 anak, terdiri dari 52 lakilaki dan 56 perempuan. Umur anak berkisar dari 10-11 tahun. Anak yang berumur 10 tahun lebih banyak (72.2%) dibandingkan anak yang berumur 11 tahun (27.8%). Jumlah anak yang berstatus gizi normal sebanyak 39 (36.1%) dan kegemukan 69 (63.9%). Anak yang mengalami kegemukan (gemuk dan obesitas) lebih banyak pada anak laki-laki (59.4%) dibandingkan anak perempuan (40.6%). Uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan status gizi pada lakilaki dan perempuan (p<0.05). Berdasarkan uji Chi Square terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan status gizi (p<0.05). Hasil penelitian Musadat (2010), menunjukkan bahwa jenis kelamin berhubungan nyata dengan status gizi. Karakteristik subjek penelitian disajikan dalam Tabel 10.
31 Tabel 10 Sebaran karakteristik subjek penelitian Karakteristik subjek Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total Umur (tahun) 10 11 Total
Normal n %
Kegemukan n %
Total n
%
11 28 39
28.2 71.8 100
41 28 69
59.4 40.6 100
52 56 108
48.1 51.9 100
32 7 39
82.1 17.9 100
46 23 69
66.7 33.3 100
78 30 108
72.2 27.8 100
p-value
0.002*
0.089
Hasil penelitian ini sejalan dengan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, yang menunjukkan bahwa kejadian kegemukan pada anak-anak usia sekolah dasar lebih banyak terjadi pada anak laki-laki (10.7%) dibandingkan dengan perempuan (7.7%). Demikian dengan penelitian Adiningrum (2008), proporsi terbesar kegemukan terjadi pada anak sekolah dasar laki-laki di Jakarta Selatan (7.1%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian di beberapa negara misalnya prevalensi overweight dan obesitas di Delhi, India lebih banyak terjadi pada lakilaki dibandingkan perempuan (Kaur et al. 2008; Chhatwal et al. 2004). Demikian pula penelitian di Australia, prevalensi obesitas pada anak sekolah dasar lebih tinggi pada laki-laki (6.4%) dibandingkan perempuan (5.6%). Prevalensi obesitas pada anak sekolah menengah atas juga sama lebih tinggi pada laki-laki (7.7%) dibandingkan perempuan (5.7%) (Odea 2008). Penelitian di Swis juga menunjukkan hasil yang sama. Prevalensi overweight pada anak laki-laki di Swis adalah 15% sedangkan anak perempuan 12.4%. Prevalensi obesitas anak laki-laki 1.8% sedangkan anak perempuan 1.7%. (Lasserre et al. 2007). Studi pada anakanak dan remaja di Cyprus (Savva et al. 2002) juga demikian. Prevalensi kegemukan (overweight dan obesitas) yang lebih banyak terjadi pada laki-laki kemungkinan berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Pada akhir masa anak-anak, perempuan sudah mulai pubertas. Massa pubertas anak perempuan lebih dulu terjadi dibandingkan dengan laki-laki. Oleh karena itu, anak perempuan sudah mulai memikirkan penampilan dan cenderung mengatur pola makannya, sementara anak laki-laki cenderung kurang peduli dengan penampilannya. Perbedaan cara pandang mengenai penampilan dikaitkan dengan beberapa penelitian yang mengkaji body image pada remaja. Kemungkinan anak perempuan pada usia sekolah dasar sekarang sudah memperhatikan body image nya. Penelitian Lingga (2011), menunjukkan bahwa sebagian besar remaja perempuan merasa cukup penting memperhatikan bentuk tubuhnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa permasalahan body image lebih banyak pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan cenderung mempermasalahkan berat badan atau bentuk badannya dibandingkan dengan lakilaki. Penelitian di Australia menunjukkan bahwa anak yang memiliki keinginan kurus lebih tinggi pada anak perempuan (39%) dibandingkan dengan laki-laki (26%) pada anak usia 8-12 tahun. Demikian dengan penelitian pada anak usia 9-
32 11 tahun suku Kaukasia, anak perempuan (33%) lebih khawatir terhadap lemak tubuhnya dibandingkan anak laki-laki (17%) (Thompson & Smolak 2001). Uang Saku Uang saku merupakan salah satu karakteristik anak yang mungkin berpengaruh terhadap status gizinya. Uang saku dapat menggambarkan akses pangan anak. Semakin besar uang saku maka kemungkinan akses terhadap pangan akan semakin baik. Sebaran uang saku anak disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran uang saku menurut status gizi Uang Saku (Rp) <10000 10000-15000 15000-20000 20000-25000 >25000 Total Rata-Rata±SD (Rp)
Normal n 9 19 4 6 1 39
% 23.1 48.7 10.3 15.4 2.6 100
13205±6534
Kegemukan n % 10 14.5 30 43.5 19 27.5 4 5.8 6 8.7 69 100 15384±7092
Total n 19 49 23 10 7 108
% 17.6 45.4 21.3 9.3 6.5 100
p-value
0.072
14559±6639
Besar uang saku anak baik yang berstatus gizi normal maupun gemuk berkisar antara 10000-15000. Rata-rata uang saku anak yang mengalami kegemukan (13205±6534) lebih besar dibandingkan anak yang berstatus gizi normal (15384±7092). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada uang saku anak (p>0.05). Berdasarkan uji Chi Square uang saku tidak berhubungan dengan status gizi (p>0.05). Hal ini terjadi karena kondisi sosial ekonomi orang tua relatif sama sehingga pemberian uang saku kepada anakpun cenderung sama, sehingga uang saku tidak berpengaruh terhadap status gizi anak. Karakteristik Sosial Ekonomi Orang Tua Pendidikan Orang Tua Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor lingkungan yang mungkin memengaruhi status gizi anak. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua diasumsikan pengetahuannya semakin baik sehingga dapat mengatur kehidupan keluarga dengan baik, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan konsumsi pangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar pendidikan orang tua anak baik yang berstatus gizi normal maupun kegemukan adalah tingkat universitas, yaitu masing-masing 83.5% dan 70.4%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara pendidikan ayah maupun ibu (p>0.05). Berdasarkan uji Chi Square pendidikan orang tua tidak berhubungan dengan status gizi (p>0.05). Hal ini diduga terjadi karena pendidikan orang tua pada anak yang berstatus gizi normal maupun gemuk relatif sama sehingga tidak akan memberikan pengaruh terhadap status gizi. Sebaran pendidikan orang tua anak disajikan dalam Tabel 12.
33 Tabel 12 Sebaran pendidikan orang tua menurut status gizi Pendidikan Ayah Universitas SMA SMP Total Ibu Universitas SMA SMP SD Total
Normal n % 33 84.6 5 12.8 1 2.6 39 100 25 14 0 0 39
64.1 35.9 0 0 100
Kegemukan n % 57 82.6 10 14.5 2 2.9 69 100 51 17 0 1 22
73.9 24.6 0.0 1.4 100
Total n 90 15 3 108
% 83.3 13.9 2.8 100
76 31 0 1 108
70.4 28.7 0 0.9 100
p-value
0.965
0.367
Pendidikan dapat mengambarkan pengetahuan orang tua, termasuk pengetahuan tentang gizi. Namun, pengetahuan tidak selalu sejalan dengan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan rendah pun dapat memiliki pengetahuan yang sama atau bahkan lebih dibandingkan dengan seseorang yang berpendidikan tinggi. Dengan demikian, tidak adanya hubungan antara pendidikan orang tua dengan status gizi pada anak karena pendidikan tidak selalu menggambarkan pengetahuan. Tingkat pengetahuan orang tua yang lebih mungkin berpengaruh terhadap status gizi. Penelitian ini tidak mengkaji pengetahuan gizi orang tua sehingga tidak dapat tergambarkan bagaimana pengetahuan orang tua anak yang berstatus gizi normal dan kegemukan. Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan seseorang dapat memengaruhi pendapatannya sehingga mungkin memengaruhi status gizi anak terkait dengan akses terhadap pangan. Selain itu, pekerjaan memengaruhi interaksi dengan anak. Orang tua yang sibuk biasanya kurang memperhatikan anak sehingga memungkinkan kurang terkontrolnya asupan gizi anak. Sementara anak pada usia sekolah dasar dapat dipengaruhi oleh lingkungan sebayanya. Lingkungan yang kurang baik memungkinkan pemilihan pangan anak menjadi kurang baik. Semakin meningkatnya jajanan anak yang tinggi kalori dapat memperbesar peluang anak mengalami kegemukan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekerjaan ayah lebih banyak karyawan swasta (40.7%), sisanya tidak bekerja (2.8%), PNS/TNI/Polisi (27.8%), wiraswasta (22.2%), dan lainnya (6.5%). Sementara ibu lebih banyak tidak bekerja/ibu rumah tangga (39.8%). Sebanyak 23.1% ibu bekerja sebagai PNS/TNI/Polisi, 18.5% sebagai karyawan swasta, 13.9% sebagai wiraswasta, 0.9% bekerja di bidang jasa, dan sisanya 3.7% bekerja di bidang lainnya seperti penulis. Uji beda menunjukkan bahwa pekerjaan ayah dan ibu antara kedua kelompok anak tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05). Berdasarkan uji Chi Square pekerjaan orang tua tidak berhubungan dengan status gizi (p>0.05). Sebaran pekerjaan orang tua anak disajikan dalam Tabel 13.
34 Tabel 13 Sebaran pekerjaan orang tua anak menurut status gizi Pekerjaan Ayah Tidak Bekerja PNS/TNI/Polisi Karyawan Swasta Wiraswasta/Pedagang Lainnya Total Ibu Tidak Bekerja/IRT PNS/TNI/Polisi Karyawan Swasta Wiraswasta/Pedagang Jasa Lainnya Total
Normal n % 1 2.6 12 30.8 14 35.9 8 20.5 4 10.3 39 100 19 6 4 7 0 3 39
48.7 15.4 10.3 17.9 0 7.7 100
Kegemukan n % 2 2.9 18 26.1 30 43.5 16 23.2 3 4.3 69 100 24 19 16 8 1 1 69
34.8 27.5 23.2 11.6 1.4 1.4 100
Total n 3 30 44 4 7 108
% 2.8 27.8 40.7 22.2 6.5 100
43 25 20 15 1 4 108
39.8 23.1 18.5 13.9 0.9 3.7 100
p-value
0.739
0.110
Penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang tidak bekerja lebih banyak pada kelompok anak yang berstatus gizi normal (48.7%) dibandingkan anak yang mengalami kegemukan (34.8%). Berdasarkan uji Chi Square status bekerja ibu tidak berhubungan dengan status gizi (p>0.05). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Purnama (2011), yang menunjukkan bahwa status bekerja ibu berhubungan dengan status gizi anak balita. Perbedaan hasil yang diperoleh diduga terjadi karena subjek yang berbeda. Subjek pada penelitian Purnama (2011) adalah balita, yang pola makannya masih tergantung pengaturan orang tua, sehingga status ibu bekerja berpengaruh terhadap status gizi. Sementara dalam penelitian ini subjek adalah siswa sekolah dasar. Pengaruh dari lingkungan sebaya anak mungkin besar terhadap pola makan anak. Meskipun ibu bekerja memiliki peluang mengatur pola makan anak dengan baik, namun karena lingkungan di sekolah berbeda maka anak akan terpengaruh oleh lingkungan, sehingga memungkinkan bahwa status ibu bekerja tidak ada kaitannya dengan status gizi. Pendapatan Orang Tua Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan orang tua tergolong cukup tinggi. Pendapatan orang tua lebih banyak pada kisaran antara 500000010000000 (40.7%) dan >1000000 (43.5%). Hanya 15.7% pendapatan orang tua yang berada dibawah 5000000. Keadaan sosial ekonomi secara tidak langsung berpengaruh terhadap status gizi anak. Prevalensi overweight dan obesitas pada anak sekolah di Delhi, India lebih banyak pada kelompok pendapatan tinggi masing-masing 6.8% dan 15.3% sedangkan prevalensi overweight dan obesitas pada kelompok pendapatan sedang atau rendah yaitu masing-masing 0.6% dan 6.5% serta 0.1% dan 2.7% (Kaur et al. 2008). Demikian juga dengan hasil penelitian Chhatwal et al. (2004). Semakin tinggi pendapatan orang tua maka akses terhadap pangan baik kualitas maupun kuantitas akan semakin meningkat.
35 Anak yang berasal dari strata ekonomi tinggi memiliki risiko obesitas lebih tinggi dibandingkan anak yang dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Sebaran pendapatan orang tua disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran pendapatan orang tua anak menurut status gizi Pendapatan orang tua (Rp) <5000000 5000000-1000000 >10000000 Total
Normal n 8 20 11 39
% 20.5 51.3 28.2 100
Kegemukan n 9 24 36 69
% 13.0 34.8 52.2 100.0
Total n 17 44 47 108
% 15.7 40.7 43.5 100
p-value
0.054
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pendapatan orang tua antara kedua kelompok anak tidak berbeda nyata (p>0.05). Berdasarkan uji Chi Square tingkat pendapatan orang tua tidak berhubungan dengan status gizi (p>0.05). Hal ini disebabkan karena keadaan ekonomi orang tua dari kedua kelompok anak sebagian besar sama, yaitu tergolong menengah ke atas yang mempunyai pendapatan cukup tinggi. Besar Keluarga BKKBN (1998) menggolongkan besar keluarga menjadi 4 golongan, yaitu keluarga kecil (≤4 orang), sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (≥8 orang). Sebaran jumlah anggota keluarga anak menurut status gizi disajikan dalam Tabel 15. Tabel 15 Sebaran jumlah anggota keluarga menurut status gizi Jumlah anggota keluarga Kecil (<=4 orang) Sedang (5-7 orang) Besar (>=8 orang) Total
Normal n % 14 35.9 25 64.1 0 0 39 100
Kegemukan n % 39 56.5 29 42.0 1 1.4 69 100
Total n 53 54 1 108
% 49.1 50.0 0.9 100
p-value
0.076
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga anak tergolong keluarga kecil dan sedang, masing-masing 49.1% dan 50.0%. Hanya ada satu orang anak yang termasuk keluarga besar (0.9%). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga dari kedua kelompok anak tidak berbeda (p>0.05). Berdasarkan uji Chi Square besar keluarga tidak berhubungan dengan status gizi. Konsumsi Energi dan Zat Gizi Anak Rata-Rata Konsumsi Energi dan Zat Gizi Anak Energi merupakan salah satu komponen penting yang dibutuhkan manusia untuk mempertahankan kehidupan. Energi digunakan untuk pertumbuhan, perkembangan, dan aktivitas sehari-hari. Energi digunakan untuk mempertahankan berbagai fungsi tubuh, meliputi respirasi, sirkulasi, kapasitas kerja, serta mempertahankan suhu tubuh (IOM 2005). Setiap orang memiliki
36 kebutuhan energi tertentu untuk dapat bertahan hidup. Kebutuhan energi seseorang sesuai dengan kelompok umur maupun keadaan fisiologis tertentu. Jumlah energi yang masuk harus sebanding dengan pengeluaran energi. Apabila energi yang masuk lebih banyak dibandingkan energi yang dikeluarkan terjadi keseimbangan energi positif, apabila sebaliknya akan terjadi keseimbangan energi negatif. Ketidakseimbangan antara energi yang dibutuhkan dengan yang dikeluarkan dapat menyebabkan masalah gizi. Keseimbangan energi positif yang berlangsung lama dapat menyebabkan kegemukan (overweight dan obesitas) sedangkan keseimbangan energi negatif memungkinkan terjadinya masalah kurang gizi seperti marasmus atau kwashiorkor. Sumber energi utama bagi tubuh adalah karbohidrat, protein, dan lemak (Hall et al. 2012). Karbohidrat dan protein menyumbangkan energi sebesar 4 Kalori sedangkan lemak 9 Kalori/gramnya. Rata-rata konsumsi energi, protein, dan lemak pada anak disajikan dalam Tabel 16. Tabel 16 Sebaran rata-rata konsumsi zat gizi menurut status gizi Zat Gizi Energi (Kalori) Karbohidrat (g) Protein (g) Lemak (g)
Status Gizi Normal Kegemukan 2604±1232 2839±983 367.6±177.6 390.2±135.2 79.6±49.4 82.8±36.1 92.3±52.6 104.9±50.3
p-value 0.281 0.701 0.459 0.221
Berdasarkan Tabel 16 diatas dapat diketahui bahwa rata-rata konsumsi energi anak yang mengalami kegemukan (2839±983 Kalori) lebih tinggi dibandingkan anak yang status gizinya normal (2604±1232 Kalori). Rata-rata konsumsi karbohidrat anak kegemukan (390.2±135.2 gram) lebih tinggi dibandingkan anak yang status gizinya normal (367.6±177.6 gram). Demikian dengan rata-rata konsumsi lemak anak yang kegemukan (104.9±50.3 gram) lebih tinggi dibandingkan anak yang status gizinya normal (92.3±52.6 gram). Rata-rata konsumsi protein anak yang kegemukan (82.8±36.1 gram) lebih tinggi dibandingkan anak yang normal (79.6±49.4 gram). Tingginya rata-rata konsumsi zat gizi pada anak kegemukan mungkin merupakan salah satu penyebab timbulnya kegemukan pada anak. Asupan gizi yang berlebih menyebabkan keseimbangan energi positif sehingga dapat meningkatan berat badan. Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan konsumsi zat gizi antara anak yang berstatus gizi normal dan kegemukan (p>0.05). Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian lainnya yang menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi zat gizi pada anak yang mengalami kegemukan lebih tinggi dibandingkan anak yang berstatus gizi normal (Suryaalamsyah 2009; Pramudita 2011). Persentase Kontribusi Konsumsi Lemak Kejadian overweight atau obesitas seringkali dikaitkan dengan kelebihan konsumsi lemak, terutama lemak jenuh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa presentase kontribusi lemak berlebih (>30%) pada anak kegemukan lebih tinggi dibandingkan anak yang berstatus gizi normal. Rata-rata kontribusi lemak anak kegemukan (32.2±7.8%) lebih tinggi dibandingkan anak yang berstatus gizi
37 normal (31.0±7.0%). Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan persen kontribusi lemak antara anak yang berstatus gizi normal dan kegemukan (p>0.05). Berdasarkan uji Chi Square persen kontribusi lemak tidak berhubungan dengan kejadian kegemukan (p>0.05). Presentase kontribusi lemak anak disajikan dalam Tabel 17. Tabel 17 Sebaran kontribusi lemak menurut status gizi Konsumsi Kontribusi Lemak Lebih (>30%) Cukup (<30%) Rata-Rata±SD Total
Status Gizi Normal Kegemukan n % n % 23 59.0 16 41.0 31.0±7.0 39 100
44 63.8 25 36.2 32.2±7.8 69 100
Total n
p-value %
67 62.0 41 38.0 31.8±7.5 108 100
0.622
Penelitian ini sejalan dengan Pramudita (2011) yang menunjukkan bahwa persen kontribusi lemak anak yang mengalami obesitas (33.4%) lebih tinggi dibandingkan anak yang berstatus gizi normal (30.4%). Menurut Almatsier (2003), kontribusi konsumsi lemak berkisar dari 25-30%. Dengan demikian kontribusi konsumsi lemak anak baik yang normal, maupun kegemukan tergolong berlebih. Hal ini kemungkinan terjadi akibat anak banyak mengonsumsi makanan yang tinggi lemak. Berdasarkan hasil recall konsumsi anak yang berstatus gizi normal maupun yang mengalami kegemukan banyak mengonsumsi makanan yang di goreng dan susu yang kontribusi lemaknya cukup tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan perlu adanya perhatian mengenai pemilihan jenis makanan yang baik agar konsumsi zat gizi anak seimbang. Hal ini dilakukan untuk menghindari peningkatan kejadian kegemukan di kalangan anak sekolah dasar. Tingkat Kecukupan Energi Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi anak, baik yang normal maupun kegemukan tergolong kategori berlebih (>120%). Apabila dibandingkan, presentase tingkat kecukupan gizi berlebih lebih tinggi pada anak yang berstatus gizi normal (59.0%) dibandingkan yang mengalami kegemukan (33.3%). Tingkat kecukupan energi anak yang tergolong cukup hampir sama antara anak yang berstatus gizi normal maupun kegemukan, yaitu masing-masing 23.1% dan 24.6%. Tingkat kecukupan energi yang tergolong kategori sedang lebih tinggi pada anak yang berstatus gizi kegemukan (15.9%). Presentase tingkat kecukupan energi yang tergolong defisit ringan hampir sama antara yang berstatus gizi normal (7.7%) dan kegemukan (8.7%). Presentase kecukupan energi yang tergolong defisit lebih tinggi pada anak kegemukan (17.4%) dibandingkan anak yang berstatus gizi normal (5.1%). Hasil uji beda menunjukkan terdapat perbedaan tingkat kecukupan energi antara anak yang berstatus gizi normal dan kegemukan (p<0.05). Rata-rata tingkat kecukupan energi anak normal lebih tinggi (144.1±70.5) dibandinhkan anak yang mengalami kegemukan (107.6±43.4). Berdasarkan uji Chi Square tingkat kecukupan energi tidak berhubungan dengan status gizi (p>0.05). Sebaran tingkat kecukupan energi pada anak disajikan dalam Tabel 18.
38 Tabel 18 Sebaran tingkat kecukupan energi menurut status gizi TKE Defisit Tingkat Berat (<70%) Defisit Tingkat Sedang (70-79%) Kurang (<90%) Cukup (90-119%) Lebih (>120%) Total Rata-Rata±SD
Normal n % 2 5.1 3 7.7 2 5.1 9 23.1 23 59.0 39 100 144.1±70.5
Kegemukan n % 12 17.4 6 8.7 11 15.9 17 24.6 23 33.3 69 100 107.6±43.4
Total n % 14 13.0 9 8.3 13 12.0 26 24.1 46 42.6 108 100 120.8±57.2
p-value
0.056
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian-penelitian lain, dimana tingkat kecukupan energi anak yang overweight atau obesitas lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak yang berstatus gizi normal. Misalnya penelitian Suryaalamsyah (2009), tingkat kecukupan energi anak gemuk (108.0%) lebih tinggi dibandingkan anak yang normal (104.1%). Hal ini dapat terjadi karena ratarata konsumsi energi anak tidak berbeda pada kedua kelompok. Sebagian besar konsumsi anak tergolong kategori berlebih baik pada anak normal maupun kegemukan. Tidak adanya perbedaan konsumsi anak kemungkinan terjadi akibat bias pengambilan data dalam penelitian ini cukup besar. Kemungkinan anak yang mengalami obesitas malu menyebutkan apa saja bahan makanan yang dikonsumsinya. Rasa percaya diri anak usia 8-11 tahun yang mengalami kegemukan lebih rendah dibandingkan anak yang berstatus gizi normal (Friedlander et al. 2003). Rasa percaya diri pada anak remaja awal yang mengalami obesitas lebih rendah (Strauss 2000). Hal ini kemungkinan yang memengaruhi anak dalam menjawab pertanyaan terkait dengan konsumsinya, anak cenderung mengunderestimate konsumsinya dengan alasan malu. Daya ingat yang terbatas pada seseorang juga mungkin memengaruhi keakuratan pengukuran. Gibney et al. (2008) menjelaskan bahwa metode recall konsumsi pangan kurang akurat karena mengandalkan daya ingat seseorang serta tergantung dari keahlian tenaga pencatatan dalam mengonversikan URT ke dalam satuan berat serta adanya variasi URT antar daerah. Selain itu, interpretasi ukuran dari setiap individu bisa bervariasi. Hal lain yang mungkin menyebabkan lebih rendahnya rata-rata tingkat kecukupan energy pada anak kegemukan yaitu adanya pergeseran pola konsumsi. Anak yang mengalami kegemukan kemungkinan sudah memiliki pola konsumsi yang baik. Semakin pedulinya masyarakat, terutama orang tua mengenai kesehatan anaknya kemungkinan yang menyebabkan pergeseran pola konsumsi anak kegemukan. Orang tua anak dalam penelitian ini sebagian besar berpendidikan tinggi, sehingga kemungkinan pengetahuan dan kepedulian terhadap kesehatan anaknya tinggi. Oleh karena itu, orang tua sudah mulai memperbaiki konsumsi anak yang mengalami kegemukan. Secara keseluruhan penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar konsumsi anak tergolong berlebih. Konsumsi anak yang berlebih kemungkinan memiliki dampak yang kurang baik bagi kesehatan pada massa dewasanya. Kelebihan konsumsi energi akan disimpan dalam bentuk lemak apabila tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang cukup. Dewasa ini, kebiasaan konsumsi makanan siap saji yang padat kalori dan tinggi lemak semakin meningkat. Beberapa makanan jajanan yang dikonsumsi anak-anak di sekolah, misalnya
39 burger, pizza, sosis, hotdog, dan memiliki kandungan energi, lemak, dan protein yang cukup tinggi. Apabila konsumsi energi terus berlebihan maka kemungkinan anak menjadi gemuk semakin besar. Meskipun kebutuhan energi anak usia sekolah lebih besar karena masih dalam pertumbuhan. Namun, perlu diperhatikan juga apabila konsumsinya sudah sangat berlebih dan tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang cukup, dapat berdampak kurang baik bagi kesehatan. Pada massa pertumbuhan, terjadi pertambahan sel, apabila konsumsi energi yang berlebihan maka sel akan terus mengalami pertambahan, termasuk sel-sel lemak. Bertambahnya jumlah sel lemak ini memungkinkan semakin tingginya risiko kegemukan pada anak. Selain itu, faktor kebiasaan akan terbawa sampai dengan dewasa. Apabila anak terbiasa mengonsumsi makanan yang kurang sehat maka akan terbawa sampai dengan dewasa. Hal ini yang mungkin dapat meningkatkan kejadian overweight atau obesitas di masyarakat. Tingkat Kecukupan Protein Protein merupakan zat gizi yang cukup penting bagi anak usia sekolah. Kebutuhan protein untuk anak dalam massa pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan kelompok usia dewasa. Anak membutuhkan protein untuk pembentukan komposisi tubuhnya (EFSA 2012). Protein dibutuhkan untuk pertumbuhan massa tulang. Bonjour et al (2001), menunjukkan terdapat hubungan positif antara konsumsi protein dengan penambahan massa tulang bagian tulang belakang, tulang paha, dan poros midfemoral. Sebaran tingkat kecukupan protein anak disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Sebaran tingkat kecukupan protein menurut status gizi TKP Defisit Tingkat Berat (<70%) Defisit Tingkat Sedang (70-79%) Kurang (<90%) Cukup (90-119%) Lebih (>120%) Total Rata-Rata±SD
Normal n % 4 10.3 1 2.6 1 2.6 6 15.4 27 69.2 39 100 181.3±118.6
Kegemukan n % 11 15.9 4 5.8 6 8.7 17 24.6 31 44.9 69 100 128.8±62.8
Total n % 15 13.9 5 4.6 7 6.5 23 21.3 58 53.7 108 100 147.8±90.2
p-value
0.176
Demikian dengan tingkat kecukupan protein anak, tingkat kecukupan protein anak lebih banyak yang berlebih (>120%), baik pada anak yang berstatus gizi normal maupun kegemukan. Sama dengan tingkat kecukupan energi, presentase tingkat kecukupan protein berlebih lebih banyak pada anak yang normal (69.2%) daripada anak kegemukan (44.9%). Hasil uji beda menunjukkan terdapat perbedaan nyata pada tingkat kecukupan protein anak (p<0.05). Rata-rata tingkat kecukupan protein anak normal (181.3±118.6) lebih tinggi dibandingkan anak kegemukan (128.8.4±62.8). Berdasarkan uji Chi Square tingkat kecukupan protein tidak berhubungan dengan status gizi (p>0.05). Tingkat kecukupan protein anak dalam penelitian ini lebih banyak yang berlebih. Kelebihan konsumsi protein anak diduga karena anak banyak mengonsumsi pangan yang kandungan proteinnya tinggi seperti ayam dan susu. Kelebihan konsumsi protein memiliki dampak yang kurang baik bagi tubuh,
40 terutama dalam jangka waktu lama. Konsumsi protein yang berlebih dapat memicu timbulnya kegemukan. Tubuh memiliki kapasitas untuk menyimpan protein, apabila berlebih maka akan disimpan dalam bentuk lemak di jaringan adiposa. Konsumsi protein yang berlebih juga memiliki dampak terhadap kesehatan organ. Ginjal akan bekerja keras untuk memetabolisme protein sehingga kerja organ ginjal akan berat. Peningkatan konsumsi protein dihubungkan dengan peningkatan pengeluaran kalsium dalam urin. Martin et al. (2005) menyebutkan bahwa peningkatan konsumsi protein dapat meningkatkan tekanan pada glomerulus serta hiperfiltrasi. Apabila konsumsi protein berlebih berlangsung lama kemungkinan ginjal akan rusak. Toleransi konsumsi protein berdasarkan IOM (2005) adalah 35% kebutuhan energi. Efek akut akan terjadi apabila konsumsi protein mencapai ≥45% kebutuhan energi. Namun, dalam penelitian ini rata-rata kontribusi protein masih di bawah 35% sehingga masih dalam batas aman. Rata-rata kontribusi protein pada anak normal dan kegemukan masingmasing 11.8% dan 11.6%. Tingkat Kecukupan Kalsium Kalsium merupakan mineral makro yang penting bagi tubuh. Bagi anak sekolah dasar yang masih dalam tahap pertumbuhan memerlukan kalsium untuk pertumbuhan tulang dan gigi. Menurut Almatsier (2003), kalsium berperan penting dalam mengatur fungsi sel, seperti untuk transmisi saraf, kontraksi otot, penggumpalan darah, dan menjaga permeabilitas membran sel. Kalsium mengatur pekerjaan hormon-hormon dan faktor pertumbuhan. Gangguan metabolisme kalsium dapat menyebabkan ketidakseimbangan reaksi di dalam tubuh, terutama perubahan konsentrasi ionisasi pada cairan ekstraseluler. Kondisi demikian dapat menyebabkan kerusakan pada struktur dan fungsi berbagai organ maupun sistem organ (IOM 2005). Tabel 20 Sebaran tingkat kecukupan kalsium menurut status gizi TKCa Defisit Tingkat Berat (<70%) Defisit Tingkat Sedang (70-79%) Kurang (<90%) Cukup (90-119%) Lebih (>120%) Total Rata-Rata±SD
Normal n % 12 30.8 0 0 0 0 9 23.1 18 46.2 39 100 159.0±161.8
Kegemukan n % 21 30.4 2 2.9 1 1.4 12 17.4 33 47.8 69 100 148.5±105.7
Total n % 33 30.6 2 1.9 1 0.9 21 19.4 51 47.2 108 100 152.3±128.2
p-value
0.713
Berdasarkan Tabel 20 diatas dapat diketahui bahwa rata-rata konsumsi kalsium anak yang berstatus gizi normal (1541.1±1549.0 mg) lebih tinggi dibandingkan anak kegemukan (1484.9±1057.1 mg). Tingkat kecukupan kalsium anak lebih banyak tergolong kategori berlebih (>120%). Hal ini karena rata-rata anak setiap hari mengonsumsi susu. Sebesar 50.9% anak selalu mengonsumi susu. Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan konsumsi maupun tingkat kecukupan kalsium dari kedua kelompok anak (p>0.05). Hal ini karena presentase frekuensi konsumsi susu (setiap hari) pada anak berstatus gizi normal dan
41 kegemukan hampir sama, yaitu 43.6% dan 44.9%. Berdasarkan uji Chi Square tingkat kecukupan kalsium tidak berhubungan dengan status gizi. Asupan kalsium yang cukup sebenarnya dapat menurunkan risiko kegemukan pada anak. Carruth dan Skinner (2001) menunjukkan rata-rata konsumsi kalsium yang lebih tinggi berhubungan dengan lemak tubuh yang rendah. Namun, perlu diperhatikan juga jenis susu yang dikonsumsi. Apabila mengonsumsi susu tinggi lemak mungkin bisa menyebabkan kegemukan, terutama jika tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang memadai. Beberapa dampak konsumsi kalsium yang berlebih adalah pembentukan batu ginjal (nefrolithiasis), hiperkalsemia, insufisiensi ginjal baik dengan atau tanpa alkalosis. Namun, kondisi ini tidak selalu disebabkan oleh kelebihan konsumsi kalsium sendiri (IOM 2005). Selain kalsium, nefrolhitiasis seringkali dihubungkan dengan beberapa zat gizi lainnya seperti tingginya konsumsi oksalat, protein, dan serat pangan (IOM 2005). Timbulnya efek negatif dari kelebihan konsumsi kalsium kemungkinan karena sumber kalsium berasal dari bahan sintesis, misalnya dalam bentuk suplemen. Konsumsi suplemen kalsium dapat meningkatkan risiko pembentukan batu ginjal. Namun, hubungan antara asupan kalsium dengan urinary calcium pada anak masih lemah dibandingkan dengan orang dewasa (IOM 2005), sehingga kemungkinan efek negatif dari kelebihan konsumsi kalsium pada anak-anak masih belum jelas diketahui. Tingkat Kecukupan Zat Besi Besi merupakan mineral mikro yang mempunyai peranan penting dalam tubuh. Beberapa fungsi esensial besi dalam tubuh adalah alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan terlibat dalam berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier 2003). Asupan besi bagi anak sekolah dasar, penting diperhatikan karena berperan dalam mendukung kondisi fisik yang mungkin berpengaruh terhadap kemampuan belajar anak. Seseorang yang kekurangan zat besi memiliki ciri penampilan fisik yang lemah, letih, lesu, maupun lunglai. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara asupan besi dengan prestasi belajar. Hasil penelitian Widayati (2009), menunjukkan bahwa status hemoglobin berpengaruh terhadap prestasi belajar anak. Rata-rata konsumsi besi anak yang berstatus gizi normal (15.7±8.9 mg) lebih rendah dibandingkan anak kegemukan (16.4±8.8 mg). Sebaran tingkat kecukupan besi anak disajikan dalam Tabel 21. Tabel 21 Sebaran tingkat kecukupan besi menurut status gizi TKFe Defisit Tingkat Berat (<70%) Defisit Tingkat Sedang (70-79%) Kurang (<90%) Cukup (90-119%) Lebih (>120%) Total Rata-Rata±SD
Normal n % 19 48.7 2 5.1 3 7.7 6 15.4 9 23.1 39 100 94.5±59.8
Kegemukan n % 19 27.5 8 11.6 6 8.7 11 15.9 25 36.2 69 100 109.1±67.1
Total n % 38 35.2 10 9.3 9 8.3 17 15.7 34 31.5 108 100 103.8±64.7
p-value
0.222
42 Presentase anak yang konsumsi besi nya defisit berat yaitu lebih tinggi pada kelompok anak yang berstatus gizi normal (48.7%) dibandingkan anak kegemukan ( 27.5%). Presentase tingkat kecukupan besi anak berlebih lebih tinggi pada anak obesitas (36.2%) dibandingkan anak yang berstatus gizi normal (20.5%). Hal ini kemungkinan karena konsumsi makanan sumber besi pada anak kegemukan lebih tinggi dibandingkan anak yang status gizinya normal. Makanan sumber protein hewani seperti ayam dapat menyumbangkan zat besi cukup besar. Namun, hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan konsumsi maupun tingkat kecukupan besi antara kedua kelompok anak (p>0.05). Rendahnya konsumsi besi pada anak dapat menyebabkan anemia gizi besi. Penurunan kadar zat besi dalam tubuh dapat menurunkan kadar hemoglobin dalam darah. Hemoglobin ini merupakan unsur penting dalam sistem sirkulasi darah. Hemoglobin akan membawa oksigen ke seluruh tubuh dan oksigen merupakan unsur penting dalam proses metabolisme dalam tubuh. Otak merupakan salah satu organ yang membutuhkan oksigen. Dengan demikian penurunan kadar hemoglobin dalam darah kemungkinan akan memengaruhi kerja dari sistem otak sehingga kemampuan berpikir seseorang akan menurun. Kondisi demikian mungkin dapat memengaruhi prestasi belajar anak di sekolah. Namun, dalam penelitian ini belum bisa menggambarkan kondisi anemia anak karena konsumsi zat besi saja tidak cukup untuk menggambarkan anemia dengan tepat. Perlu adanya pemerikasaan medis yaitu pemeriksaan kadar hemoglobin darah untuk mengetahui kondisi anemia anak. Hubungan Asupan Energi dan Zat Gizi dengan Status Gizi Status gizi seseorang dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, baik itu faktor genetik maupun lingkungan. Variabel konsumsi termasuk salah satu faktor lingkungan yang mungkin berpengaruh terhadap status gizi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi, protein, kalsium, dan zat besi tidak berhubungan dengan status gizi (p>0.05). Hasil penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian yang menunjukkan adanya hubungan positif antara tingkat kecukupan gizi dengan status gizi (Risma 2005; Novita 2007; Suryaalamsyah 2009; Musadad 2010). Perbedaan hasil yang diperoleh kemungkinan ada faktor lain yang lebih berpengaruh terhadap status gizi anak. Faktor genetik dalam penelitian ini tidak diteliti. Anak yang mengalami kegemukan mungkin terjadi karena memiliki sifat bawaan dari orang tuanya. Hasil penelitian Pramudita (2011), menunjukkan bahwa IMT ayah dan ibu menjadi faktor risiko kejadian obesitas pada anak sekolah dasar. Anak dari ayah yang status gizi obes akan berisiko 1.494 kali menjadi obes dibandingkan anak dari ayah yang memiliki status gizi tidak obes, sehingga anak yang memiliki ayah obes berisiko lebih tinggi untuk menjadi obes. Anak dari ibu yang status gizinya obes akan berisiko 1.446 kali menjadi obes dibandingkan anak dari ibu yang memilki status gizi tidak obes, sehingga anak yang memilki ibu obes memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menjadi obes. Demikian dengan penelitian Musadad (2010), faktor genetik berhubungan dengan status gizi anak. Seseorang yang membawa sifat gen gemuk dari orang tuanya memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi gemuk apabila dibandingkan dengan anak yang tidak membawa sifat gen gemuk tersebut. Sifat gen ini akan semakin muncul
43 apabila didukung oleh lingkungan yang kurang baik, termasuk tingginya konsumsi energi, protein, maupun lemak. Faktor lain yang mungkin memengaruhi hasil penelitian ini adalah adanya bias yang cukup besar dalam pengukuran konsumsi pangan anak. Anak yang gemuk atau obesitas merasa malu pada saat diwawancara mengenai konsumsinya sehingga cenderung mengunderestimate makanan yang dikonsumsinya. Rasa percaya diri anak yang gemuk, terutama wanita kemungkinan lebih rendah dibandingkan dengan anak yang berstatus gizi baik. Sehingga memungkinkan anak malu menjawab jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsinya.
Tingkat Aktivitas Fisik Aktivitas fisik umumnya didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang dihasilkan oleh kontraksi otot rangka dan secara substansial meningkatkan pengeluaran energi (Bouchard 1990; U.S. Department of Health and Human Services 1996). Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang meningkatkan pengeluaran tenaga dan energi (pembakaran kalori). Dalam kegiatan sehari-hari setiap individu melakukan berbagai aktivitas fisik (Nurcahyo 2008). Sebaran tingkat aktivitas fisik anak disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Sebaran tingkat aktivitas fisik menurut status gizi Status Gizi Normal Kegemukan Total Rata-Rata±SD
Tingkat Aktivitas Fisik Ringan Sedang Berat n % n % n % 33 35.5 4 36.4 2 50.0 60 64.5 7 63.6 2 50.0 93 100 11 100 4 100 1.38±0.12 1.85±0.1 2.25±0.18
Total n % 39 36.1 69 63.9 108 100 1.46±0.24
p-value
0.839
Secara umum, tingkat aktivitas fisik anak tergolong katergori ringan baik pada anak yang berstatus gizi normal maupun kegemukan. Presentase aktivitas fisik ringan lebih banyak pada anak kegemukan (64.5%) dibandingkan anak yang berstatus gizi normal (35.5%). Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat aktivitas fisik antara anak yang berstatus gizi normal dan kegemukan (p>0.05). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sawello dan Malonda (2012) yang menunjukkan bahwa anak yang tidak obesitas memiliki tingkat aktivitas yang sedang, sedangkan dalam penelitian ini presentase tingkat aktivitas sedang pada anak kegemukan lebih tinggi dibandingkan anak yang berstatus gizi normal, yaitu masing-masing 63.6% dan 36.4%. Uji Chi Square menunjukkan tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan tingkat aktivitas fisik anak. Hasil penelitian ini sejalan dengan Kaluski et al. (2008) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang jelas antara aktivitas fisik dengan kejadian obesitas pada anak sekolah di Israel. Aires et al. (2010) menunjukan tidak terdapatnya hubungan antara aktivitas fisik dengan indeks massa tubuh. Namun Botelho et al. (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif signifikan antara aktivitas yang ringan dengan indeks massa tubuh remaja. Berdasarkan hasil review beberapa studi hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian overweight belum dapat disimpulkan karena terlalu banyak
44 bias, terutama dalam pengukuran aktivitas fisik. Perlu adanya panduan pengukuran aktivitas fisik yang menilai durasi, intensitas, frekuensi, sehingga dapat menilai aktivitas fisik secara akurat. Hasil penelitian ini belum bisa membuktikan bahwa tingkat aktivitas fisik anak yang mengalami kegemukan (gemuk dan obesitas) lebih rendah dibandingkan dengan anak yang berstatus gizi normal. Hal ini kemungkinan terjadi karena aktivitas anak sekolah rata-rata seragam, sebagian besar waktunya banyak digunakan untuk kegiatan belajar dan bermain yang memerlukan sedikit pengeluaran energi. Dewasa ini banyak fakta yang menunjukkan bahwa kepedulian orang tua terhadap aktivitas anak cenderung rendah, kebanyakan orang tua lebih mengarahkan pada kegiatan yang bersifat peningkatan prestasi. Selain itu, berkembangnya game yang mengarah pada sedentary lifestyle di kalangan anak-anak yang menyebabkan anak-anak banyak menghabiskan waktunya dengan aktivitas yang ringan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata aktivitas sedentary lifestyle seperti bermain game, menonton TV pada anak yang berstatus gizi normal lebih rendah dibandingkan dengan anak yang gemuk atau obesitas. Ratarata durasi bermain game pada hari libur masing-masing adalah 40.6±65 menit dan 74.9±111.5 menit. Rata-rata durasi menonton televisi pada hari libur anak yang berstatus gizi normal lebih rendah (190.2±129.7 menit) dibandingkan anak kegemukan (221.7±155.5 menit). Namun secara statistik keduanya tidak berbeda nyata (p>0.05). Tingkat aktivitas fisik yang ringan pada anak sekolah dasar perlu diperhatikan karena kemungkinan akan berdampak kurang baik bagi masa depan anak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kejadian kegemukan sejalan dengan penurunan aktivitas fisik pada anak. Tingkat aktivitas fisik seseorang berkaitan dengan kesehatan baik fisik maupun mental. Tingkat aktivitas fisik yang cukup sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Aktivitas yang bersifat weight bearing sangat penting bagi perkembangan skeleton selama masa anak-anak, remaja, serta dapat membantu mencapai massa tulang yang maksimal (peak bone mass) pada dewasa muda (Gibney et al. 2008). Berdasarkan hasil penelitian ini, perlu adanya peningkatan aktivitas fisik pada anak. Hal ini dilakukan untuk mencegah peningkatan prevalensi kegemukan pada anak. Selain itu, kondisi kegemukan pada anak dapat terbawa sampai dewasa. Rimbawan dan Siagian (2004) menyebutkan bahwa kegemukan pada usia muda memiliki risiko lebih tinggi menderita obesitas dibandingkan dengan yang memiliki berat badan normal. Dr Winick menyebutkan bahwa anak yang menderita obesitas sekitar usia 4 tahun berpeluang 80% mengalami obesitas pada masa dewasanya. Obesitas dapat memicu timbulnya penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus, dislipidemia, dan hipertensi yang dapat menimbulkan peningkatan penyakit jantung koroner. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Duke sejumlah anak yang menderita obesitas mengalami perkembangan penyakit diabetes tipe II (Soenardi 2011). Anak yang mengalami overweight dan obesitas memiliki risiko terkena metabolic syndrome (OR 1.55; CI 1.16-2.08), terjadi peningkatan resistensi insulin (OR 1.12; CI 1.07-1.18). Peningkatan metabolic syndrome meningkat secara signifikan sejalan dengan peningkatan resistensi insulin (Weiss et al. 2004).
45 Kebugaran Anak Kebugaran jasmani merupakan kemampuan tubuh untuk melakukan kegiatan sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan fisik dan mental yang berlebihan. Kebugaran jasmani sangat penting dalam menunjang aktivitas kehidupan sehari-hari, akan tetapi nilai kebugaran jasmani seseorang bisa berbeda-beda sesuai dengan tugas/profesi masing-masing. Kebugaran jasmani terdiri dari komponen-komponen yang dikelompokkan menjadi kelompok yang berhubungan dengan kesehatan (health related physical fitness) dan kelompok yang berhubungan dengan keterampilan (skill related physical fitness) (Nurcahyo 2008). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak yang berstatus gizi normal memiliki tingkat kebugaran yang lebih baik dibandingkan anak yang berstatus kegemukan. Hal ini dapat digambarkan dari presentase bugar pada anak yang berstatus gizi normal (81%) lebih tinggi dibandingkan anak kegemukan (19.0%). Presentasi anak yang tidak bugar lebih tinggi pada anak kegemukan (74.7%) dibandingkan anak yang berstatus gizi normal. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada kebugaran anak (p<0.05). Rata-rata skor kebugaran anak normal (13.4±2.1) lebih tinggi dibandingkan anak kegemukan (10.9±1.7). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian He et al. (2011) yang menunjukkan bahwa kebugaran kardiorespirasi pada anak dengan status gizi normal lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang berstatus gizi overweight atau obesitas. Status kebugaran anak disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Sebaran status kebugaran anak menurut status gizi Status Gizi (IMT/U) Normal Kegemukan Total Rata-Rata±SD
Kebugaran Bugar Tidak Bugar n % n % 17 81.0 22 25.3 4 19.0 65 74.7 21 100 87 100 15.1±1.2 11.0±1.6
Total
p-value
n % 39 36.1 69 63.9 108 100 11.8±2.2
0.000**
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar status kebugaran anak baik yang mengalami kegemukan (gemuk dan obesitas) maupun yang berstatus gizi normal tergolong kategori kurang dan tidak ada satupun anak yang memiliki status kebugaran baik. Presentase tingkat kebugaran siswa yang tergolong sedang lebih tinggi pada siswa yang normal (43.6%) dibandingkan siswa kegemukan (19.4%). Presentase status kebugaran yang tergolong kurang sekali lebih tinggi pada siswa kegemukan (20.3%) dibandingkan siswa yang normal (5.8%). Namun, secara keseluruhan status kebugaran siswa baik yang normal maupun kegemukan tergolong kategori kurang (66.7%) (Lampiran 1). Hasil penelitian ini menggambarkan suatu keprihatinan karena menyangkut masalah status kesehatan anak. Menurut Ortega et al. (2008), kebugaran fisik merupakan suatu kondisi yang terintegrasi antara berbagai sistem di dalam tubuh manusia. Beberapa sistem yang terlibat diantaranya adalah skeletomuscular, cardiorespiratory, hematocirculatory, psychoneurological, dan endocrine–metabolic sehingga kebugaran dipertimbangkan sebagai biomarker
46 bagi kondisi kesehatan seseorang. Dengan demikian apabila status kebugaran anak banyak yang tergolong rendah memungkinkan kondisi beberapa sistem tubuhnya kurang baik. Beberapa penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara kondisi kebugaran seseorang dengan berbagai biomarker kesehatan. Misalnya, kebugaran dikaitkan dengan kesehatan tulang. Kandungan mineral tubuh pada remaja lakilaki dan perempuan di AVENA berhubungan dengan kebugaran (daya tahan jantung paru, daya tahan otot, dan kecepatan/kelincahan) dan massa tubuh bebas lemak (Ortega et al. 2008). Hasil studi longitudinal selama 2 tahun menunjukkan bahwa daya tahan jantung yang baik dapat meningkatkan pembentukan tulang dan penyerapan mineral pada remaja wanita (Schneider et al. 2007). Hal ini berkaitan dengan kekuatan otot rangka. Otot rangka merupakan komponen utama massa bebas lemak tubuh, peningkatan kebugaran otot dapat meningkatkan kekuatan pelekatan tulang, secara tidak langsung mestimulasi pertumbuhan tulang yang optimal. Peningkatan kebugaran cardiovascular diprediksikan dapat meningkatkan pembentukan tulang (P<0.01) dan penyerapan tulang (P<0.05) (Schneider et al. 2007). Namun, perlu diperhatikan juga bahwa mineralisasi tulang bukan hanya didukung oleh aktivitas fisik namun asupan kalsium. Efek aktivitas fisik dapat dirasakan manfaatnya apabila asupan kalsium dan hormon steroid jumlahnya cukup. Aktivitas fisik sedang berkorelasi dengan peningkatan mineral tulang pada anak-anak dan remaja. Namun, aktivitas fisik sedang tidak selalu menyebabkan masalah karena latihan yang terlalu intensif juga dapat menyebabkan peningkatan cedera yang merupakan faktor risiko osteopaenia dan fraktur tulang. Peningkatan kebugaran seseorang dapat diperbaiki dengan cara melakukan aktivitas fisik secara teratur. Rekomendasi WHO (2010), aktivitas fisik yang dianjurkan untuk kelompok usia 5-17 tahun sedikitnya 60 menit/hari, mulai dari aktivitas yang bersifat sedang sampai berat. Aktivitas fisik harian yang dianjurkan yaitu aktivitas aerobik. Jenis-jenis aktivitas fisik yang dapat dilakukan seperti jalan cepat, berlari, bersepeda, lompat tali, dan berenang. Aktivitas fisik tersebut dapat memperbaiki kebugaran kardiorespirasi dan kekuatan otot, kesehatan tulang, serta kesehatan kardiovaskular. Aktivitas fisik yang dapat menguatkan tulang dan otot paling sedikit dilakukan 3 kali dalam seminggu. Aktivitas fisik yang dianjurkan untuk anak yang kurang aktif harus dilakukan secara bertahap mulai dari durasi, frekuensi, dan intensitasnya agar tidak mengalami schok yang membahayakan kesehatan. Komponen kebugaran anak Penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan fisik anak yang mengalami kegemukan lebih rendah dibandingkan dengan anak yang berstatus normal. Komponen kebugaran anak yang dinilai dalam penelitian ini adalah kecepatan, daya tahan otot (lengan, bahu, dan perut), daya ledak otot, dan daya tahan jantung. Kecepatan. Kemampuan kecepatan anak dalam penelitian ini diukur dengan melakukan tes lari cepat 40 meter. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan lari cepat antara anak yang normal dan kegemukan. Rata-rata waktu tempuh lari cepat pada anak yang normal (7.6”±1.1) lebih rendah dibandingkan anak kegemukan (8.2”±1.2). Waktu tempuh yang
47 semakin kecil menunjukkan bahwa kemampuan anggota tubuh untuk menempuh jarak tertentu semakin baik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan kecepatan anak yang berstatus gizi normal lebih baik dibandingkan anak kegemukan. Daya tahan otot lengan, bahu, dan perut. Kemampuan daya tahan otot lengan dalam penelitian ini diukur dengan tes angkat tubuh (pull up) sedangkan untuk mengukur kemampuan daya tahan otot perut menggunakan tes baring duduk (sit up). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan angkat tubuh anak yang berstatus gizi normal (8.7±4.2 kali) lebih tinggi dibandingkan anak kegemukan (6.2±3.2 kali). Rata-rata kemampuan baring duduk (sit up) selama 30 detik pada anak yang berstatus gizi normal (17.3±6.0 kali) juga lebih tinggi dibandingkan anak kegemukan (14.2±5.9 kali). Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan pada daya tahan otot bahu dan lengan antara anak yang berstatus gizi normal dan kegemukan (p<0.05). Semakin tinggi rata-rata kemampuan angkat tubuh maupun sit up anak menunjukkan semakin baiknya daya tahan otot anak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa daya tahan otot lengan, bahu, dan perut anak yang berstatus gizi normal lebih baik dibandingkan anak kegemukan. Daya tahan (endurance) ini merupakan kemampuan tubuh dalam menyuplai oksigen yang diperlukan untuk melakukan suatu kegiatan. Daya tahan otot yang lebih rendah pada anak yang mengalami kegemukan (overweight dan obesitas) menggambarkan bahwa kemampuan bekerja dalam jangka waktu lama kurang baik atau tidak efisien. Namun, daya tahan seseorang ini dapat diperbaiki dengan cara melakukan latihan yang teratur. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa daya tahan otot yang baik menggambarkan kondisi kesehatan jantung yang baik. Rata-rata kadar trigliserida, LDL, dan glukosa lebih rendah pada remaja wanita yang memiliki daya tahan otot yang baik. Hasil penelitian tersebut menggambarkan bahwa risiko terkena penyakit jantung pada remaja wanita yang memiliki daya tahan jantung paru baik lebih rendah (Ortega et al. 2008). Daya ledak (tenaga eksplosif) otot tungkai. Tes loncat tegak dalam penelitian ini menggambarkan kemampuan daya ledak otot tungkai anak. Ratarata jangkauan loncat anak yang berstatus gizi normal (27.3±4.7 cm) lebih tinggi dibandingkan anak kegemukan (23.7±5.6 cm). Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan daya ledak otot antara anak yang berstatus gizi normal dan kegemukan (p<0.05). Daya tahan jantung (cardiovascular endurance). Daya tahan jantung dalam penelitian ini diukur dengan tes lari 600 meter. Hasil uji beda menunjukkan kemampuan lari 600 meter antara anak yang berstatus gizi normal berbeda signifikan dengan anak kegemukan (p<0.05). Rata-rata waktu tempuh lari pada anak kegemukan (6.03±0.94 menit) lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang berstatus gizi normal (5.22±0.80 menit). Semakin lama waktu tempuh lari menunjukkan bahwa semakin rendah daya tahan jantungnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan daya tahan jantung pada anak yang mengalami kegemukan lebih rendah dibandingkan anak yang berstatus gizi normal. Anak yang memiliki total adiposity atau abdominal adiposity lebih rendah memiliki daya tahan jantung paru lebih tinggi (Ortega et al. 2008). Apabila dikaitkan dengan risiko penyakit jantung, seseorang yang memiliki daya tahan jantung paru
48 yang baik maka risiko terkena penyakit jantungnya rendah dibandingkan dengan orang yang memiliki daya tahan jantung parunya rendah. Anak-anak dan remaja yang memiliki daya tahan jantung paru lebih tinggi berhubungan dengan profil cardiovaskuler yang sehat. Daya tahan jantung paru menggambarkan kemampuan sistem jantung, paru-paru, serta pembuluh darah untuk berfungsi secara optimal pada saat melakukan aktivitas sehari-hari dalam waktu yang cukup lama tanpa mengalami kelelahan yang berarti. Daya tahan jantung paru ini berkaitan dengan stamina yang merupakan komponen penting dalam mendukung kegiatan sehari-hari. Anak yang memiliki daya tahan jantung paru baik diduga memiliki stamina yang baik sehingga memungkinkan dapat mendukung kemampuan belajarnya. Pada awal latihan, kebutuhan energi otot meningkat secara instan. Peningkatan ini karena peningkatan stress pada sistem jantung dan paru untuk mengirimkan oksigen kepada sel yang bekerja dan untuk mengeluarkan karbondioksida dan zat sisa lainnya dari sel. Supaya memperoleh lebih banyak oksigen untuk otot yang sedang aktif maka aliran darah ke jaringan harus meningkat. Artinya jantung harus memompa banyak darah. Kardiak output merupakan sejumlah darah yang dipompa oleh ventrikel dalam waktu 1 menit. Kardiak output dapat meningkat 4-8 kali dari kondisi istrirahat selama melakukan aktivitas fisik yang maksimal, tergantung dari tingkat kebugaran seseorang. Apabila kardiak output meningkat maka terjadi peningkatan sirkulasi oksigen secara proporsional. Dalam kondisi ini stroke volume dan detak jantung meningkat. Pada kondisi ini dibutuhkan pengembalian volume darah di jantung dan latihan yang mengeluarkan katekolamin dapat membantu mengembalikan kondisi ini dengan meningkatkan kontraksi jantung. Dengan demikian apabila seseorang memiliki daya tahan jantung paru yang baik maka aliran oksigen ke selsel organ menjadi efektif dan organ-organ tersebut akan bekerja secara optimal (Ohara 2009). Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kebugaran Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa status gizi berpengaruh signifikan terhadap kebugaran anak (p<0.01). Sebesar 29.7% keragaman status kebugaran anak dapat dijelaskan oleh variabel status gizi (IMT/U). Setiap penambahan satu satuan indeks massa tubuh/umur, maka dapat menurunkan status kebugaran sebesar 0.6% (Tabel 24). Umur, jenis kelamin, dan tingkat aktivitas fisik tidak berpengaruh terhadap status kebugaran anak. Tabel 24 Faktor yang memengaruhi kebugaran Variabel Konstanta Indeks massa tubuh/umur R2 F (Sig)
B 13.018 -0.595
Sig. 0.000** 0.000** 0.297 44.826 (0.000)
**Signifikan pada α=1%
Hasil penelitian ini sejalan dengan Botelho et al. (2013), kondisi overweight dan obesitas berpengaruh signifikan terhadap performa fisik remaja usia 10-17 tahun. Semakin tinggi nilai IMT/U maka tingkat kebugaran anak semakin kecil atau kurang baik. Semakin tinggi IMT semakin rendah tingkat kesegaran jasmani
49 anak usia 12-14 tahun, pada anak laki-laki didapatkan nilai korelasinya (r=-0,666) lebih kuat dibandingkan anak perempuan (r=-0,442) (Utari 2007). Penelitian ini juga sejalan dengan He et al. (2011) dan Aires et al. (2010) yang menunjukkan adanya hubungan negatif antara indeks massa tubuh dengan kebugaran. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara IMT dan kebugaran pada anak (-0.16≤r≤0.45, P<0.05) (Brunet et al. 2007). Umur, jenis kelamin, dan tingkat aktivitas fisik tidak memengaruhi kebugaran anak. Umur anak dalam penelitian ini berkisar 10 dan 11 tahun. Rentang usia anak tidak berbeda jauh, sehingga hal ini yang menyebabkan umur tidak berpengaruh terhadap kebugaran anak. Demikian dengan jenis kelamin, tidak berpengaruh terhadap kebugaran anak. Menurut Giriwijoyo dan Sidik (2012), pada usia 10-12 tahun kekuatan otot per 1 cm² luas penampang melintang otot pada anak laki-laki dan perempuan sama sehingga tidak berpengaruh terhadap kebugaran. Meskipun secara teori, kekuatan otot perempuan kira-kira 2/3 dari lakilaki. Otot perempuan lebih kecil daripada otot laki-laki. Karena saat pubertas hormon testosteron akan meningkatkan massa otot sedangkan hormon estrogen cenderung meningkatkan jaringan lemak. Sehingga secara umum daya tahan otot perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Namun, peningkatan kekuatan otot terjadi lebih tajam pada laki-laki sekitar usia 13 tahun dibandingkan dengan wanita pada usia yang sama. Pada penelitian ini, tingkat aktivitas fisik tidak berpengaruh terhadap status kebugaran anak. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian di Inggris yang menunjukkan adanya korelasi positif bermakna antara aktivitas fisik dan kesegaran jasmani pada anak berusia 8-10 tahun (Rowland et al. 1999). Penelitian di Yunani (2003) menyatakan bahwa aktivitas fisik di sekolah melalui kurikulum pendidikan jasmani memengaruhi tingkat kesegaran jasmani yang berkaitan dengan kardiovaskuler dan motorik (Koutedakis & Bouziotas 2003). Penelitian di Oman menyimpulkan bahwa kesegaran aerobik berkorelasi negatif dengan aktivitas fisik sedentari seperti menonton televisi, main komputer dan video games (Barwani et al. 2001). Penelitian ini juga berbeda dengan Huang dan Malina (2002) yang menunjukkan bahwa remaja yang aktif di Taiwan lebih bugar dibandingkan remaja yang tidak aktif. Perbedaan hasil yang diperoleh diduga karena terdapatnya perbedaan instrumen yang digunakan atau kemungkinan adanya bias pada saat pengambilan data. Salah satu kendala dalam penelitian ini adalah pada saat wawancara menggunakan kuesioner. Pada saat di recall anak-anak seringkali lupa dengan aktivitas yang dilakukannya, dan banyak diantara dari anak yang menjawab dengan malas-malasan. Pengukuran yang dilakukan secara subjektif kemungkinan menyebabkan overestimation atau underestimation sehingga belum tepat dalam menggambarkan aktivitas fisik anak. Keterkaitan antara Status Gizi, Aktivitas Fisik, dan Kebugaran. Hasil review beberapa studi yang dilakukan Rauner et al. (2013), menjelaskan hubungan aktivitas fisik, status gizi, dan kebugaran masih belum jelas. Hasil penelitian ini juga masih menunjukkan hal yang sama. Hubungan kebugaran dengan indeks massa tubuh/umur terlihat jelas signifikan (p<0.05), semakin gemuk maka kebugaran anak semakin rendah. Namun, hasil penelitian ini
50 menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat aktivitas fisik dengan status gizi maupun kebugaran (p>0.05). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil review Rauner et al. (2013) yang menunjukkan bahwa hubungan antara status gizi dengan kebugaran lebih jelas dibandingkan hubungan aktivitas fisik dengan status gizi maupun kebugaran. Prestasi Belajar Anak Prestasi belajar dalam penelitian ini diperoleh dari nilai tes hasil belajar anak. Mengacu pada Syah (2010), penilaian prestasi belajar dikategorikan menjadi 4, yaitu sangat baik (80-100), baik (70-79), cukup (60-69), kurang (50-59). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prestasi belajar anak tergolong kategori sangat baik karena rata-ratanya antara 80-100. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai anak pada lima mata pelajaran. Sebaran rata-rata nilai pelajaran anak disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Sebaran nilai anak menurut status gizi Mata Pelajaran Matematika B. Indonesia IPA IPS B. Inggris
Normal Rata-Rata Rata-Rata 82.8±12.3 87.4± 9.4 85.2± 8.3 84.3±6.8 83.4±10.4 82.5± 7.0
Kegemukan Rata-Rata Rata-Rata 83.6±13.1 88.6± 7.6 87.8± 8.4 84.1±11.7 83.3±11.5
85.5±7.6
Hasil penelitian ini belum bisa membuktikan bahwa kemampuan anak yang berstatus gizi normal lebih baik dibandingkan anak kegemukan. Penelitian ini tidak sejalan dengan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa prestasi anak yang gemuk atau obesitas lebih rendah dibandingkan anak yang berstatus gizi normal. Cohen (2007) menunjukkan bahwa rata-rata nilai pada remaja yang overweight lebih rendah dibandingkan remaja yang berstatus gizi normal. Skor kemampuan matematika dan membaca pada anak TK yang mengalami overweight lebih rendah dibandingkan anak yang memiliki status gizi normal (Datar et al. 2004). Perbedaan hasil yang diperoleh kemungkinan terjadi karena terdapat faktor lain yang tidak diteliti pada penelitian ini, misalnya tingkat kecerdasan atau lingkungan belajar anak. Prestasi anak dapat dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan yang dimilikinya. Penelitian Maharani (2012) menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan berhubungan nyata dengan prestasi akademik anak SMA. Pada penelitian ini tidak diteliti tingkat kecerdasan dari masing-masing anak. Para ahli psikologi mengartikan kecerdasan sebagai keseluruhan kemampuan individu untuk memperoleh pengetahuan, menguasainya, dan mempraktekannya dalam pemecahan suatu masalah. Tingkat kecerdasan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi prestasi belajar anak. Menurur Ramadhy dan Permadi (2001), kecerdasan merupakan domain kemampuan intelektual manusia yang berkaitan dengan kemampuan melakukan sesuatu dengan tepat, cepat, dan cermat. Tingkat kecerdasan seseorang dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, maupun gizi. Tingkat kecerdasan orang tua berhubungan kuat dengan IQ anak dan status gizi (Webb et al. 2005).
51 Selain faktor tingkat kecerdasan, faktor lingkungan belajar mungkin berpengaruh terhadap anak. Fasilitas yang dimiliki sekolah maupun semua anak di rumah cukup lengkap. Sehingga diduga berpengaruh terhadap prestasi belajar anak. Novita (2007), menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara lingkungan belajar di rumah yang meliputi perhatian orang tua, sarana belajar, suasana belajar, dan pola belajar di rumah dengan prestasi anak sekolah dasar. Dugaan yang menyatakan bahwa prestasi belajar anak yang mengalami overweight atau obesitas lebih rendah dibandingkan anak yang status gizinya normal yaitu berkaitan dengan tingkat kecerdasan anak dan struktur otak. Obesitas dapat memengaruhi struktur dan fungsi otak bagian depan (frontal). Orang yang mengalami obesitas memiliki volume otak yang lebih rendah. Volume otak bagian gray matter pada orang yang obesitas lebih rendah sehingga kapasitas kerja otak akan menurun (Brooks et al. 2013). Kondisi demikian yang mungkin memengaruhi kemampuan kognitif. Dalam teori konsep pertumbuhan dan perkembangan, volume otak terbentuk maksimal pada usia 2 tahun. Berat otak anak sampai usia 2 tahun adalah 75% berat otak orang dewasa. Pertumbuhan otak pada usia ini sudah mencapai 90%. Overweight atau obesitas yang dikaitkan dengan penyempitan volume otak mungkin kurang berpengaruh ketika kejadian kegemukannya setelah pembentukan massa otak sempurna. Sehingga memungkinkan bahwa tidak terdapat perbedaan volume otak pada anak yang berstatus gizi normal dan obesitas. Selain itu, penelitian ini juga tidak mengkaji riwayat berat badan anak pada saat lahir yang mungkin berpengaruh terhadap kejadian obesitas anak pada saat sekarang. Apabila diketahui riwayat berat badan lahir dapat diprediksi bagaimana tahap pertumbuhan dan perkembangan anak termasuk organ otak. Tidak terdapatnya perbedaan prestasi belajar anak juga dapat disebabkan karena bias pengambilan data. Data prestasi yang digunakan adalah data tes hasil belajar anak dari guru. Saat ini sistem nilai di sekolah dituntut untuk mencapai ketuntasan sehingga anak didorong oleh guru untuk mencapai nilai standar ketuntasan belajar. Sehingga kemungkinan nilai yang diperoleh adalah nilai yang sudah mendapatkan perbaikan untuk mencapai ketuntasan belajar. Hal ini merupakan kelemahan dalam penelitian ini dalam mengukur prestasi belajar karena tidak menggunakan standar tes yang sama antara anak. Sehingga nilai yang diperoleh belum bisa menggambarkan prestasi belajar anak. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Prestasi Belajar Berdasarkan hasil uji regresi dapat diketahui bahwa status gizi dan kebugaran berpengaruh terhadap prestasi belajar anak. Namun, pengaruhnya lemah. Sebesar 6.1% keragaman prestasi belajar anak dapat dijelaskan oleh variabel kebugaran dan status gizi. Kebugaran dan status gizi memiliki pengaruh negatif terhadap prestasi belajar anak. Hal ini menunjukkan bahwa setiap penurunan satu satuan kebugaran dapat menambah 0.89% prestasi belajar anak. Demikian dengan status gizi, setiap penurunan satu satuan indeks massa tubuh/umur dapat meningkatkan 0.94% prestasi belajar anak. Hasil analisis regresi faktor-faktor yang memengaruhi prestasi belajar disajikan dalam Tabel 26.
52 Tabel 26 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi belajar Variabel Konstanta Kebugaran Indeks massa tubuh/umur R2 F (Sig)
B 97.098 -0.891 -0.935
Sig. 0.000** 0.023* 0.023* 0.061 3.433 (0.036)
**Signifikan pada α=1% *Signifikan pada α=5%
Hubungan antara kebugaran dengan prestasi belajar dalam penelitian ini tidak sejalan dengan teori yang ada. Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh positif dari kebugaran terhadap prestasi belajar anak. Hasil penelitian Castelli et al. (2007), menunjukkan adanya hubungan positif signifikan antara kemampuan matemaika dan membaca dengan total kebugaran anak kelas 3 dan kelas 5 di Illions, USA. Penelitian Grissom (2005), menunjukkan adanya hubungan positif signifikan antara skor kebugaran dengan prestasi akademik anak usia 5, 7, dan 9 tahun di California, USA. Demikian dengan hasil studi Dwyer et al. (2001) terdapat hubungan positif signifikan antara prestasi akademik dengan kebugaran cardiorespiratory pada anak usia 7-15 tahun di Australia. Perbedaan hasil yang diperoleh diduga karena data prestasi belajar yang digunakan merupakan data sekunder sehingga biasnya besar. Dengan demikian kebugaran tidak berpengaruh positif terhadap prestasi belajar anak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa status gizi berpengaruh negatif terhadap prestasi belajar anak. Semakin baik status gizi maka prestasi belajar akan semakin baik. Namun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya kecenderungan prestasi belajar (rata-rata nilai lima mata pelajaran) pada anak yang berstatus gizi kegemukan lebih tinggi dibandingkan anak yang berstatus gizi normal. Meskipun ada pengaruh negatif dari status gizi dan kebugaran terhadap prestasi belajar, hasil penelitian ini belum bisa menyimpulkan dengan pasti bahwa prestasi belajar anak yang mengalami kegemukan dan bugar lebih rendah dibandingkan dengan anak yang berstatus gizi normal, dikarenakan bias data prestasi belajar yang diperoleh.
53
6. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tingkat aktivitas fisik anak lebih banyak tergolong katergori ringan baik pada anak yang berstatus gizi normal maupun kegemukan (86.1%). Sebesar 10.2% termasuk tingkat aktivitas sedang dan 3.7% termasuk tingkat aktivitas berat. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat aktivitas fisik antar anak yang berstatus gizi normal dan kegemukan (p>0.05). Sebagian besar anak yang berstatus gizi normal memiliki tingkat kebugaran yang lebih baik dibandingkan anak yang berstatus kegemukan. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan kebugaran anak (p<0.05). Rata-rata skor kebugaran anak normal (13.4±2.1) lebih tinggi dibandingkan anak kegemukan (10.9±1.7). Prestasi belajar anak yang berstatus gizi normal dan kegemukan tidak berbeda nyata (p>0.05). Rata-rata konsumsi energi anak yang mengalami kegemukan (2839±983 Kalori) lebih tinggi dibandingkan anak yang status gizinya normal (2604±1232 Kalori). Rata-rata konsumsi karbohidrat anak kegemukan (390.2±135.2 gram) lebih tinggi dibandingkan anak yang status gizinya normal (367.6±177.6 gram). Demikian dengan rata-rata konsumsi lemak anak yang kegemukan (104.9±50.3 gram) lebih tinggi dibandingkan anak yang status gizinya normal (92.3±52.6 gram). Rata-rata konsumsi protein anak yang kegemukan (82.8±36.1 gram) lebih tinggi dibandingkan anak yang normal (79.6±49.4 gram). Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan konsumsi zat gizi antara anak yang berstatus gizi normal dan kegemukan (p>0.05). Rata-rata tingkat kecukupan energi anak normal lebih tinggi (144.1±70.5) dibandinhkan anak yang mengalami kegemukan (107.6±43.4). Rata-rata tingkat kecukupan protein anak normal (181.3±118.6) lebih tinggi dibandingkan anak kegemukan (128.8.4±62.8). Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat kecukupan energi dan protein pada anak yang berstatus gizi normal dan kegemukan (p<0.05). Rata-rata konsumsi kalsium anak yang berstatus gizi normal (1541.1±1549.0 mg) lebih tinggi dibandingkan anak kegemukan (1484.9±1057.1 mg). Rata-rata konsumsi besi anak yang berstatus gizi normal (15.7±8.9 mg) lebih rendah dibandingkan anak kegemukan (16.4±8.8 mg). Presentase anak yang konsumsi besi nya defisit berat yaitu lebih tinggi pada kelompok anak yang berstatus gizi normal (48.7%) dibandingkan anak kegemukan ( 27.5%). Presentase tingkat kecukupan besi anak kategori berlebih lebih tinggi pada anak obesitas (36.2%) dibandingkan anak yang berstatus gizi normal (20.5%). Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan konsumsi maupun tingkat kecukupan kalsium dan besi antara kedua kelompok anak (p>0.05). Penelitian ini menunjukkan tidak terdapatnya hubungan antara tingkat kecukupan energi maupun zat gizi lainnya dengan status gizi. Status gizi merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kebugaran anak (p<0.05), sedangkan aktivitas fisik tidak berpengaruh terhadap kebugaran (p>0.05). Faktor yang berpengaruh terhadap prestasi belajar adalah kebugaran dan status gizi (p<0.05). Kebugaran berpengaruh negatif terhadap prestasi belajar, artinya semakin bugar maka prestasi anak semakin kurang baik. Status gizi berpengaruh negatif terhadap prestasi belajar anak. Semakin rendah
54 status gizi maka prestasi belajar akan semakin baik. Meskipun demikian, hasil penelitian ini belum bisa menyimpulkan dengan pasti bahwa prestasi belajar anak yang mengalami kegemukan maupun bugar lebih rendah dibandingkan dengan anak yang berstatus gizi normal maupun tidak bugar, dikarenakan bias data prestasi belajar yang diperoleh.
Saran Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat aktivitas fisik dan kebugaran yang rendah di kalangan siswa sehingga perlu adanya peningkatan melalui program kurikulum sekolah. Dengan demikian diharapkan anak memiliki tingkat kebugaran yang lebih baik. Kegiatan yang bisa dilakukan misalnya mengadakan senam kebugaran jasmani yang diadakan secara rutin di sekolah dan merupakan bagian dari kurikulum sekolah. Kelemahan dalam penelitian ini adalah pengukuran aktivitas fisik dan prestasi belajar anak, sehingga perlu adanya ketelitian pada saat pengambilan data melalui wawancara sehingga dapat menggambarkan tingkat aktivitas anak yang sebenarnya. Demikian dengan pengukuran prestasi belajar hendaknya menggunakan instrumen yang sama seperti soal yang sama agar dapat menggambarkan prestasi anak. Kebugaran merupakan salah satu biomarker kesehatan sehingga perlu ada penelitian lebih lanjut yang mengkaji hubungan antara status kebugaran anak terhadap biomarker kesehatan yang meliputi kesehatan sistem tulang, kesehaatan sistem kardiovaskulari. Informasi ini penting untuk memprediksi kondisi kesehatan masa depan anak sekolah yang merupakan generasi penerus bangsa.
55
DAFTAR PUSTAKA
Adiningrum RD. 2008. Karakteristik kegemukan pada anak sekolah dan remaja di Medan dan Jakarta Selatan. Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Aires L, Silva P, Silva G, Santos MP, Ribeiro C, Mota J. 2010. Intensity of physical activity, cardiorespiratory fitness, and body mass index in youth. Journal of Physical Activity and Health. 7:54-59. Agustina H. 2003. Alokasi waktu anak untuk leisure dan hubungannya dengan prestasi belajar anak SD di Kota Medan. [skripsi]. Bogor (ID) :Institut Pertanian Bogor. Ahmadi A, Supriyono W. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta (ID):Rineka Cipta. Almatsier S, Soetadjo S, Soekarti M. 2002. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. As‟ad, Suryani. 2002. Gizi Kesehatan Ibu dan Anak. Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tertinggi. Jakarta (ID): Departemen Jenderal Pendidikan Nasional. Barwani SA, Abri MA, Hashmi KA, Shukeiry MA, Tahlilkar K, Zuhelbi TA, Rawas OA, Hassan MO. 2001. Assesment of aerobic fitness and its correlates in Omani adolescent using the 20-metre shuttle run test a pilot study. Medical Sciences. 3:77-80. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta (ID). Bouchard C. 1990. „Discussion: heredity, fitness and health‟, in C. Bouchard, R.J. Shephard, T. Stephens, J.R. Sutton, B.D. McPherson (eds) Exercise, Fitness and Health, Champaign, IL: Human Kinetics. Brunet M, Chaput JP, Tremblay A. 2007. The association between low physical fitness and high body mass index or waist circumference is increasing with age in children: the „Que´bec en Forme‟ Project. International Journal of Obesity. 31::637-643. DOI: 10.1038/sj.ijo.0803448. Brooks et al. 2013. Late-life obesity is associated with smaller global and regional gray matter volumes: a voxel-based morphometric study. International Journal of Obesity. 37:230-236. DOI: 10.1038/ijo.2013.60. Bonjour JP, Ammann P, Chevalley T, Rizzoli R. 2001. Protein intake and bone growth. Can J Appl Physiol [Internet]. [diunduh 2013 Desember 10]; 26:S153-66. Tersedia pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11897 891.
56 Botelho G, Aguiar M, Abrantes C. 2013. How critical is the effect of body mass index in physical fitness and physical activity performance in adolescents. Journal of Physical Education and Sport.13(1):19-26. Cabeza R. 2001. Functional neuroimaging of cognitive aging. In: Cabeza, R.; Kingstone, A., editors. Handbook of functional neuroimaging of cognition. Cambridge: MIT Press. Hal. 331-377. Campos ALR, Sigulem DM, Moraes DEB, Escrivao AMS, Fisberg M. 1996. Intelligent quotient of obese children and adolescents by the Weschler scale. Rev Saude Publica [Internet]. [diunduh 2013 Mei 14]; 30(1):85–90. Tersedia pada: http://pubget.com/paper/9008926 /Intelligent_quotient_of_ obese_children_and_adolescents_by_the_Weschler_scale_. Carlson SA, Fulton JE, Lee SM, Maynard LM, Brown DR, Kohl HW, Dietz WH. 2008. Physical education and academic achievement in elementary school: data from the Early Childhood Longitudinal Study. American Journal of Public Health. 98(4):721-727. DOI: 10.2105/AJPH.2007.117176. Carruth BR, Skinner JD. 2001. The role of dietary calcium and other nutrients in moderating body fat in preschool children [Internet]. [diunduh 2013 Desember 10]; 25(4):559-566. Tersedia pada http://europepmc. org/ abstract/MED/11319662. Castelli DM, Hillman CH, Buck SM, Erwin HE. 2007. Physical fitness and academic achievement in third and fifth grade student. Journal of Sport & Exercise Psychology. 29:239-252. Chaput JP, Brunet M, Tremblay A. 2006. Relationship between short sleeping hours and chilhood overweight/obesity: result from the „Quebec en Frome‟Project. International Journal of Obesity. 30:1080-1085. DOI: 10.1038/sj.ijo.0803291. Chhatwal J, Verma M, Riar SK. 2004. Obesity among pre-adolescent and adolescents of a developing country (India). Asia Pac J Clin Nutr. 13(3):231-5. Cohen MM. 2007. Adolescent body mass index in relation to depression, selfesteem, and academic achievement. Graduate Student Journal of Phychology. 9. Corbin CB, Pangrazi RP, Frank BD. 2000. „Definitions: health, fitness, and physical activity‟. Research Digest. 3:9. Datar A, Sturm R, Magnabosco JL. 2006. Childhood overweight and academic performance: national study of kindergartners and first-graders. Obes Re. 12:58–68. DOI: 10.1038/sj.ijo.0803311. Davis PM. 2013. Cognition and Learning: A Review of the Literature with Reference to Ethnolinguistic Minorities. SIL e-Books (SILEB). Dawyer T, Sallis JF, Blizard L, Lazarus R, Dean K. Relation of academic performance to physical activity and fitness in children. Pediatric Exercise Science. 13:225-237.
57 Dunn AL, Trivedi MH, O‟neal TA. 2001. Physical activity dose-response effects on outcomes of depression and anxiety. Med. Sci. Sports Exerc. 33(6):S587–S597. Effendi YH. 2003. Pengelolaan Obesitas. Bogor (ID): Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [EFSA] European Food Safety Authority. 2012. Scientific opinion on diatary reference value for protein. EFSA Journal. 10(2):2557. DOI: 2903/j.efsa.2012. 2557. Av. [FAO] Food and Nutrition Technical Report Series. 2001. Human Energy Requirement. Rome: FAO/WHO/UNU. Frieddlander SL, Larkin EK, Rosen CL, Palermo TM, Redline S. 2003. Decreased quality of life associated with obesity in school-aged children. Arch Pediatr Adolesc Med. 157:1206-1211. Gibney MJ, Margetts BM, Kearney JM, Arab L (editor). 2008. Judul Asli: Public Health Nutrition. Gizi Kesehatan Masyarakat, penerjemah Hartono A; editir edisi Bahasa Indonesia, Palupi Wudyastuti, Erita Agustin Hardiyanti. Jakarta (ID): EGC. Gibson RS. 2005. Principal of Nutritional Assesment. Oxford (GB): Oxford University. Giriwijoyo S, Sidik DZ. 2012. Ilmu Kesehatan Olahraga. Bandung (ID): PT. Remaja Rosdakarya. Grisson JB. 2005. Physical fitness and academic achievement. Pediatric Exercise Physiology. 8:1. Hall KD, Heymsfield SB, Kemnitz JW, Klein S, Schoeller DA, Speakman JR. 2012. Energy balance and its components: implications for body weight regulation. Am J Clin Nutr. 95:989-94. DOI:10.3945/ajcn.112.036350. Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). Hardinsyah, Martianto D. 1992. Gizi terapan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bogor (ID). Hardinsyah, Tambunan V. 2004. Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Serat Makanan. Dalam Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi. LIPI, Deptan, Bappenas, BPOM, BPS, Menristek, PERGIZI PANGAN, PERSAGI dan PDGMI. Jakarta (ID). Hartanto R. 1991. Kesukaan Balajar. Jakarta (ID): Universitas Trisakti. He Q, Wong TW, Du L, Jiang Z, Yu TI, Qiu H, Gao Y, Liu W, Wu J. 2011. Physical activity, cardiorespiratory fitness, and obesity among Chinese children. Preventive Medicine [Internet]. [diunduh 2013 Desember 3]; 52 (2):109-113. Tersedia pada http://www.sciencedirect.com/science/article/ pii/S0091743510004603.
58 Hermina, Jahari AB. 2007. Ukuran lingkar pergelangan tangan sebagai indikator kegemukan pada anak usia sekolah dasar di Kota Bogor Jawa Barat. Jurnal Gizi Indonesia. Puslitbang Gizi dan Makanan Depkes RI Bogor, 30(2):137-142. Hidayati SN, Irawan R, Hidayat B. 2009. Obesitas Pada Anak. Surabaya: Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Unair. Hills AP, King NA, Byrne NM. 2007. Children, Obesity and Exercise Prevention, Treatment and Management of Childhood and Adolescent Obesity. New York (US): Routledge 270 Madison Ave. Hillman CH, Erickson KI, Kramer AF. 2008. Be smart, exercise your heart: exercise effects on brain and cognition. Nat Rev Neurosci. [Internet]. Tersedia pada: [diunduh 2013 April 14]; 9:58–65. http://pubget.com/paper/18094706/Be_smart__exercise_your_heart__ exercise_effects_on_brain_and_cognition. Hurlock EB. 1994. Psikologi Anak. Jilid 1 (6th ed). Jakarta (ID): Erlangga. [IOM] Instititut of Medicine. 2005. Dietary reference intakes for energy, carbohydrate, fiber, fat, fatty acids, cholesterol, protein, and amino acid.National Academy Press. ISBN: 0-309-65520-X, 1357 pages, 6x9. Isdaryanti C. 2007. Asupan energi protein, status gizi, dan prestasi belajar anak sekolah dasar Arjowinangun I Pacitan [skripsi]. Yogyakarta (ID) Universitas Gajah Mada. Johnson B, Nelson J. 1986. Practical Measurements for Evaluation in Physical Education. 4th ed. New York (US): Macmillan Publishing Company. Judarwanto W. 2004. Mengatasi Kesulitan Makan Anak. Jakarta (ID): Puspa Swara. Kantoma MT, Stamatakis E, Kankaanpaa A, Kaakinen M, Rodriguez A, Taanila A, Ahonen T, Jarvelin M, Tammelin T. 2012. Physical activity and obesity mediate the association between childhood motor function and adolescent‟s academic achievement. Kaluski DN, Mazengia GD, Shimony T, Goldsmith R, Berry EM. 2008. Prevalence and determinants of physical activity and lifestyle in relation to obesity among schoolchildren in Israel. Public Health Nutrition. 12(6): 774-782. DOI:10.1017/S1368980008002991. Kaur S, Sachdev HPS, Dwivedi SN, Lakshmy R, Kapil U. 2008. Prevalence of overweight and obesity amongs school children in Delhi, India. Asia Pac J Clin Nutr. 17 (4):592-596. [Kemenkes] Kementerian Kesehatan RI. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan RI. [Kemenkes] Kementerian Kesehatan RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar Provinsi Jawa Barat. Jakarta (ID): Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
59 [Kemenkes] Kementerian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta (ID): Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. [Kemenkes] Kementerian Kesehatan RI. 2011. Keputusan meteri kesehatan RI Nomor: 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Kim HK, Matsuura Y, Tanaka K, Inagaki A. 1993. Physical fitness and motor ability in obese boys 12 through 14 years of age. Ann Physiol Anthropol [Internet]. [diunduh 2013 April 14]; 12(1):17-23. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8507290. Koutedakis Y, Bouziotas C. 2003. National physical education curriculum: motor and cardiovascular health related fitness in Greek adolescent. Br J Sport Med. 37:311-4. DOI: 10.1136/bjsm.37.4.311. Kusharto CM, Sa‟diyyah NY. 2012. Diktat Penilaian Konsumsi Pangan. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Kusumaningrum A. 2006. Keragaan anak-anak sibuk:prestasi belajar, kecerdasan emosional, status gizi, dan status kesehatan. Bogor [skripsi]. Bogor (ID) :Institut Pertanian Bogor. Lassere AM, Chiolero A, Catcat F, Paccaud F, Bovet P. 2007. Overweight in Swis children and associations with children‟s and parent‟s characteristic. Obesity. 15:2912-2919. Lingga M. 2011. Studi tentang pengetahuan gizi, kebiasaan makan, aktivitas fisik, status gizi dan body imange remaja putri yang berstatus gizi normal dan gemuk/obes di SMA Budi Mulia Bogor. Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mahan K, Escoot S. 2004. Krause’s, Food, Nutrition, & Diet Therapy 11thEdition. USA (US): Elsevies. Maharani EF. 2012. Tingkat kecerdasan, asupan energi dan protein, dan aktivitas fisik terhadap prestasi belajar anak SMA Negeri 6 Bogor [skripsi]. Bogor (ID) :Institut Pertanian Bogor. Malina et al. 1995. Fatness and physical fitness of girls 7 to 17 years. Obes Res [Internet]. [diunduh 2013 April 14]; 3(3):221-31. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov /pubmed/7627770. Martin WF, Armstrong LW, Rodriguez NR. 2005. Dietary protein intake and renal function. Nutr Metab (Lond). 2:25. Meredith C. Exercise and fitness. In: Rickert V, editor. 1996. Adolescent nutrition assesment and management. New York (US): Chapman & Hall. Hal 2541. Minatun S. 2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan prestasi belajar anak Kelas IV dan V MI Negeri 02 Cempaka Putih Ciputat Timur tahun ajaran
60 2010/2011 [skripsi]. Jakarta (ID): Univesitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Musadat A. 2010. Analisis faktor-faktor yang memengaruhi kegemukan pada anak usia 6-14 tahun di Provinsi Sumatera Selatan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Must A, Jacques PF, Dallal GE, Bajema CJ, Dietz WH. 1992. Long-term morbidity and mortality of overweight adolescents, A follow-up of the Harvard Growth Study of 1922 to 1935. N Engl J Med. 327 (19):1350–5. Must A, Strauss RS. 1999. Risks and consequences of childhood and adolescent obesity. Int J Obes Relat Metab Disord. [Internet]. [diunduh 2013 Mei 5]; 23:S2–11. Tersedia pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10340798. Novita. 2007. Pengaruh status gizi terhadap prestasi belajar anak sekolah dasar di beberapa kelurahan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nurcahyo H. 2008. Ilmu Kesehatan Jilid 2. Jakarta (ID): Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah,Departemen Pendidikan Nasional. Nurhassan H, Cholil DH. 2007. Modul tes dan pengukuran keolahragaan., Bandung (ID). FPOK, Universitas Pendidikan Indonesia. Odea JA. 2008. Gender, ethnicity, culture, and social class influences on childhood obesity among Australian schoolchildren: implication for treatment, prevention, and community education. Health and Social Care in the community. 16(3):282-290. DOI: 10.1111/j.13652524.2008.00768.x. Ohara CG. The Cardio-Respiratory System and Exercise. www. musclementors. com/the-cardio-respiratory-system-and-exercise/ [Internet]. [1 Desember 2013]. Oren A, Vos LE, Uiterwall CS, Gorissen WH, Grobbee DE, Bots et al. 2003. Change in body mass index from adolescence to young adulthood and increased carotid intima-media thickness at 28 years of age: the Atherosclerosis Risk in Young Adults study. International Journal of Obesity and Related Metabolic Disorders [Internet]. [diunduh 2013 Mei 5]; 27(11):1383–90. Tersedia pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov /pubmed/14574350. Ortega FB, Ruiz JR, Castillo MJ, Sjostrom M. 2008. Physical fitness in childhood and adolescence: a powerful marker of health. International Journal of Obesity. 32:1-11. Doi:10.1038/sj.ijo.0803774. Pietro LD, Dziura J, Blair SN. 2004. Estimated change in physical activity level (PAL) and prediction of 5-year weight change in men: the Aerobics Center Longitudinal Study. International Journal of Obesity. 28:1541–1547. DOI: 10.1038/sj.ijo.0802821. Pramudita RA. 2011. Faktor risiko obesitas pada anak sekolah dasar di kota Bogor [skripsi]. Bogor (ID) :Institut Pertanian Bogor.
61 Purnama U. 2011. Hubungan antara status ibu bekerja atau ibu tidak bekerja dengan status gizi anak balita di Kecamatan Medan Tembung [skripsi]. Medan (ID) :Universitas Sumatera Utara. Ramadhy S, Permadi D. 2001. Bagaimana Mengembangkan Kecerdasan (Metoda Baru untuk Mengoptimalkan Fungsi Otak Manusia). Bandung (ID): PT Sarana Panca Karya Nusa. Rauner A, Mess F, Woll A. 2013.The relationship between physical activity, physical fitness and overweight in adolescent: a systematic review of studies published in or after 2000. BMC Pediatric.13:19. Rimbawan, Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Jakarta (ID): Penebar Swadaya Risma KD. 2005. Keragaan keseimbangan energi pada remaja (kasus pada remaja yang memiliki status gizi normal dan obes) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Riyadi H. 2003. Metode Penelitian Status Gizi secara Antropometri. Bogor (ID): Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rowland A, Eston R, Ingledew D. 1999. Relationship between activity level, aerobic fitness, and body fat in 8-to 10-yr old children. J Appl Physiol. 86(4):1428-35. Savva SC, Kourides Y, Tornaritis M. Savva-Epiphaniou M, Chadjigeorgiou C, Kafatos A. 2002. Obesity in children and adolescents in Cyprus, prevalence and predisposing factors. Internationan Journal of Obesity. 26:1036-1045. DOI:10.1038/sj.ijo.0802042. Sawello MA, Malonda NS. 2012. Analisis aktivitas ringan sebagai faktor risiko terjadinya obesitas pada remaja di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Manado [skripsi]. Manado (ID). Universitas Sam Ratulangi Manado. Schneider M, Dunton GF, Bassin S, Graham DJ, Eliakim AF, Cooper DM. 2007. Impact of a school-based physical activity intervention on fitness and bone in adolescent females. J Phys Act Health. 4(1): 17-29. Sediaoetama AD. 2010. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta (ID): Dian Rakyat. Siagian A. 2004. Hubungan sarapan dan obesitas [Internet]. http://kesehatan.myh endra.web.id/2010/06/hubungan-sarapan-danobesitas. html [10 Januari 2013]. Sigfusdottir DI, Kristjansson AL, Allegrante JP. 2007. Health behaviour and academic achievement in Icelandic school children. Health Education Research. 22(1):70-80. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya: untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
62 Soenardi T. 2011. 100 Resep Masakan Sehat Untuk Anak Agar Terhindar Penyakit Degeneratif Saat Dewasa. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. Strauss RS. 2000. Chilhood obesity and self-esteem. Pediatrics. 105;e15. Suryaalamsyah II. 2009. Konsumsi fast food dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kegemukan anak sekolah di SD Bina Insani Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Supariasa IDN, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): EGC. Syah M. 2010. Psikologi Belajar. Jakarta (ID): Rajawali Press. Thompson JK, Smolak L. 2001. Body Image, Eating Disorders, and Obesity in Youth, Assesment, Prevention, and Treatment. United States of America (US): American Psychological Association. Togahsi K, Masuda H, Rankinen T, Tanaka S, Bouchard C, Kamiya H. A 12-year follow up study of treated obese children in Japan. International Journal of Obesity. 26:770-777. DOI: 10.1038=sj.ijo.0801992. Utari A. 2007. Hubungan indeks massa tubuh dengan tingkat kesegaran jasmani pada anak usia 12-14 tahun [tesis]. Semarang (ID) :Universitas Diponegoro. Vaynman S, Gomez-Pinilla F. 2006. Revenge of the “sit”: how lifestyle impacts neuronal and cognitive health through molecular systems that interface energy metabolism with neuronal plasticity. J Neurosci Res. Internet]. [diunduh 2013 Mei 3]; 84: 699–715. Tersedia pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16862541. Warburton D. 2010. The physical activity and exercise continum. Di dalam: Bouchard C, Katzmarzyk PT, editor. Physical Avtivity and Obesity. United States of America (USA). Webb KE, Horton NJ, Katz DL. 2005. Parental IQ and cognitive development of malnourished Indonesian children. European Journal of Clinical Nutrition. 59:618-620. DOI:10.1038/sj.ejcn.1602103. Weiss R et al. 2004. Obesity and the metabolic syndrome in children and adolescents. N Engl J Med. 350:2362-74. http://www.nejm.org/doi/pdf /10.1056/NEJMoa031049. Westerterp KR. 1999. Obesity and physical activity. Int J Obes Relat Metab Disord. 23:59–64. [WHO]. World Health Organization. 1998. Obesity Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva, Switzerland (CH): World Health Organization. [WHO]. World Health Organization. 2010. Global recommendation of physical activity for health. http://whqlibdoc.who.int/publications/2010 /9789241599979_eng.pdf. [WHO]. World Health Organization. 2012. 10 facts on obesity [Internet]. http://www.who. int/features/factfiles/obesity/facts/en/index1.html [10 Januari 2013].
63 [WKNPG] Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta (ID): LIPI. Widayati W. 2009. Analisis pola aktivitas, tingkat kelelahan, dan status anemia serta pengaruhnya terhadap prestasi belajar anak [tesis]. Bogor (ID) :Institut Pertanian Bogor. Wright CM, Parker L, Lamont D, Craft AW. 2001. Implications of childhood obesity for adult health: findings from thousand families cohort study, British Medical Journal [Internet]. [diunduh 2013 Mei 5]; 323:1280–8. Tersedia pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ar ticles/PMC60301/. Yeung J, Hills AP. 2007. Childhood obesity-an introduction. Di dalam: Hills AP, King NA, Byrne NM, editor. Children, Obesity, and Exercise: Prevention, Treatment and Management of Childhood and Adolescent Obesity; 2007; London, Inggris dan Newyork, Amerika Serikat. London (UK) dan Newyork (USA). Yu CCW, Chan S, Cheng F, Sung RYT, Hau KT. 2006. Are physical activity and academic performance compatible? Academic achievement, conduct, physical activity and self-esteem of Hong Kong Chinese primary school children. Educational Studies [Internet]. [diunduh 2013 Mei 5]; 32(4):311341. Tersedia pada http://hub.hku.hk/handle /10722/87882. DOI http://dx.doi.org/10.1080/030556906008500 16.
64
LAMPIRAN
65 Lampiran 1 Tabel Sebaran pendidikan orang tua dan status bekerja ibu menurut status gizi Status Gizi Normal Kegemukan n % n %
Sosek Pendidikan Ayah Universitas Tidak Universitas Total Pendidikan Ibu Universitas Tidak Universitas Total Status Bekerja Ibu Bekerja Tidak Bekerja Total
Total
p-value
n
%
33 6 39
84.6 15.4 100
57 12 69
82.6 17.4 100
90 18 108
83.3 16.7 100
0.788
25 14 39
64.1 35.9 100
51 18 69
73.9 26.1 100
76 32 108
70.4 29.6 100
0.284
20 19 39
51.3 48.7 100
45 24 69
65.2 34.8 100
65 43 108
60.2 39.8 100
0.155
Lampiran 2 Tabel Sebaran tingkat aktivitas fisik menurut status gizi PAL Ringan (1.40-1.69) Sedang (1.70-1.99) Berat (2.00-2.40) Total
Normal n 33 4 2 39
% 84.6 10.3 5.1 100
Kegemukan n % 60 87.0 7 10.1 2 2.9 69 100
Total n 93 11 4 108
% 86.1 10.2 3.7 100
Lampiran 3 Tabel Sebaran kebugaran menurut status gizi Kebugaran Kurang Sekali (5-9) Kurang (10-13) Sedang (14-17) Total
Normal n % 1 2.6 21 53.8 17 43.6 39 100
Kegemukan n % 14 20.3 51 73.9 4 5.8 69 100
Total n 15 72 21 108
% 13.9 66.7 19.4 100
Lampiran 4 Tabel Faktor yang mempengaruhi kebugaran Variabel Konstanta Indeks massa tubuh/umur R2 F (Sig)
B 13.018 -0.595
Sig. 0.000** 0.000** 0.297 44.826
66 Lampiran 5 Tabel Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi belajar Variabel Konstanta Kebugaran Tingkat aktivitas fisik Indeks massa tubuh/umur R2 F (Sig) **Signifikan pada α=1% *Signifikan pada α=5% Variabel Konstanta Kebugaran Indeks massa tubuh/umur R2 F (Sig)
B 17.090 -0.891 4.249 -0.903
Sig. 0.000** 0.018* 0.141 0.028* 0.081 3.050 (0.032)
B 97.098 -0.891 -0.935
Sig. 0.000** 0.023* 0.023* 0.061 3.433 (0.036)
67 Lampiran 10 Foto tes kesegaran jasmani anak sekolah dasar
Gambar 1 Tes lari cepat 40 meter
Gambar 2 Tes angkat tubuh 30 detik
Gambar 3 Tes baring duduk 30 detik
Gambar 4 Tes loncat tegak
Gambar 5 Tes lari 600 meter
68
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 05 Mei 1989. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara pasangan Kartiwa dan Eti Megawati. Jenjang pendidikan yang telah ditempuh penulis yaitu taman kanak-kanak TK Sejahtera Kecamatan Banjarsari, Ciamis (1994-1995), Sekolah Dasar Negeri di SDN Cakra Wijaya Kusumah, Kecamatan Banjarsari, Ciamis (1995-2001), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP N 1 Banjarsari, Ciamis (2001-1004), kemudian melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Atas di SMA N 1 Ciamis (2004-2007). Pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Saringan Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif dalam berbagai kegiatan antara lain Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama IPB tahun 2007/2008, anggota Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman 2007, dan anggota Himpunan Mahasiswa Gizi (HIMAGIZI). Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan kegiatan di dalam kampus, beberapa diantaranya MPKMB Patriot 45 2008, Gebyar Nusantara IPB 2008, Nutrition Fair 2009, Seminar Keprofesian Gizi 2009, dan berbagai kegiatan intra kampus lainnya. Selain mengikuti perkuliahan penulis juga pernah menjadi tenaga pendamping Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) pada tahun 2010, peserta program kreativitas mahasiswa (PKMP) yang didanai DIKTI tahun 2011, dan menjadi pengajar di PRIMAGAMA Darmaga tahun 2011. Pada tahun 2010 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Setu, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Pada tahun 2011, penulis pernah melaksanakan Internship Dietetik di RSUD Ciawi Kabupaten Bogor. Pada tahun 2008 dan 2011 penulis mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA). Penulis melanjutkan studi strata dua pada tahun 2012 di Sekolah Pascasarjana IPB, program studi Ilmu Gizi Masyarakat. Penulis melakukan penelitian pada tahun 2013 sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dengan judul AKTIVITAS FISIK, KEBUGARAN, DAN PRESTASI BELAJAR ANAK SEKOLAH DASAR NORMAL DAN KEGEMUKAN dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS dan Dr. Ir. Budi Setiawan, MS.