KARAKTERISTIK FUNGSIONAL TELUR INFERTIL HASIL AFKIR INDUSTRI PENETASAN PADA PEMBERIAN JENIS DAN LEVEL KARBOHIDRAT YANG BERBEDA
SKRIPSI
Oleh KIKI REZKI MUCHLIS I 111 11 283
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015
i
KARAKTERISTIK FUNGSIONAL TELUR INFERTIL HASIL AFKIR INDUSTRI PENETASAN PADA PEMBERIAN JENIS DAN LEVEL KARBOHIDRAT YANG BERBEDA
Oleh
KIKI REZKI MUCHLIS I 111 11 283
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015
ii
PERNYATAAN KEASLIAN 1. Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Kiki Rezki Muchlis NIM
: I 111 11 283
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa: a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi ini, terutama Bab Hasil dan Pembahasan, tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku. 2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.
Makassar, 7 September 2015
Ttd Kiki Rezki Muchlis
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., atas rahmat dan taufikNya sehingga dapat menyelesaikan skripsi pada waktu yang tepat. Penulis dengan rendah hati mengucapakan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing dalam menyelesaikan skripsi ini utamanya kepada :
1.
Ibu Dr. Nahariah, S.Pt, M.P sebagai pembimbing utama dan Bapak Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt, M.P sebagai pembimbing anggota, atas segala keikhlasannya meluangkan banyak waktu untuk membimbing, memberi nasihat dan memotivasi sejak awal penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.
2.
Bapak Prof. Dr. Ir. H. MS. Effendi Abustam, M.Sc, Ibu Dr. Wahniyathi Hatta, M.Si dan Bapak Ir. Mustakim Mattau, MS, yang telah banyak memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.
3.
Bapak Dekan Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc, Ibu Wakil Dekan I, Ibu Wakil Dekan II dan Bapak Wakil Dekan III.
4.
Ketua Program Studi Peternakan Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Ratmawati Malaka, M.Sc dan Ketua Bagian Teknologi Hasil Ternak Bapak Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt, M.P.
5.
Ibu Dr. Ir. Syahriani Syahrir, M.Si sebagai Penasehat Akademik yang telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis.
6.
Bapak Prof. Dr. Ir. Djoni Prawira Rahardja, M.Sc sebagai pembimbing seminar studi pustaka, yang telah memberikan banyak motivasi dan pencerahan kepada penulis.
v
7.
Bapak Dr. Hikmah M. Ali, S.Pt, M.Si sebagai pembimbing utama dan Ibu Dr. Nahariah, S.Pt, M.P sebagai pembimbing lapangan, yang telah meluangkan banyak waktunya untuk mengarahkan penulis selama pelaksanaan Praktek Kerja Lapang.
8.
Bapak dan Ibu Dosen tanpa terkecuali yang telah membimbing penulis sepanjang proses perkuliahan.
9.
Bapak dan Ibu Pegawai Fakultas Peternakan yang telah banyak membantu penulis.
10. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, atas beasiswa BIDIKMISI. 11. Ayahanda, Muchlis Nurdin dan Ibunda Yulfina Paressa, atas segala doa, dukungan dan kasih sayang yang tiada henti sehingga penulis memiliki semangat yang tinggi. Kepada saudara penulis, Fitriani Muchlis, Novayeni Muchlis dan Anugrah Wijaya Muchlis serta saudara ipar penulis Umar Muhammad, ST, MT atas bantuan dan dukungannya kepada penulis. 12. Abdi Eriansyah, terima kasih atas doa dan semangat yang diberikan. 13. Sahabat Sweety, Syahriana Sabil, S.Pt, Harumi Bunga Kasih, S.Pt, Siti Hardiyanti, S.Pt, Nurul Ilmi Harun, S.Pt dan Nurul Adha, S.Pt yang tiada henti menemani, berbagi ilmu, memberi semangat dan menjadi pendengar sejati penulis sejak awal menjadi mahasiswa. 14. Sahabat FAMZ, Gideon Tandungan, Brigita Veby Febriani, Lisa Ambalinggi, Inry Cesar Milan, S.E, Donny Yosua Abdi Nugraha Tappy, Ferry Wesdy dan Andy Oliver, yang senantiasa menemani penulis dengan
vi
canda tawa dan wawasan yang baru, meskipun jarak terlampau pulau, serta Maya Natalia Palilu yang telah menjadi teman berbagi cerita dengan penulis. 15. Teman tim penelitian telur infertil, Khaerunnisa, S.Pt, Azmi Mangalisu, S.Pt, Evo Tenri Ubba, S.Pt, Mustabsyirah Usman dan Rajma Fastawa, terima kasih atas bantuan dan kerja samanya. 16. Kak Trias Devianti A.K. yang telah banyak memberikan bantuan dan arahan kepada penulis selama melaksanakan penelitian. 17. Teman kelas kecil Kelas B tanpa terkecuali, terima kasih telah menjadi teman yang baik. 18. Teman-teman Solandeven 2011, terimakasih telah berbagi ilmu pengetahuan dengan penulis dan menjadi pelajaran bahwa perbedaan tidaklah menjadi penghalang. 19. HIMATEHATE_UH, yang telah menjadi wadah bagi penulis untuk belajar. Kepada Alifran Esarianto, Andi Muhammad Fuad, Andi Faisal, S.Pt, Rachmat Budianto Kahar, S.Pt, Aprisal Nur, Sarianti, Sitti Masita, S.Pt, Andi Pancawati, Handayani, Fitrianingsih, Sitti Sarah, Abi Rangga Kanino, Nur Aryati, Budi Utomo, S.Pt, Ahmad Yasir dan M. Saldy, terimakasih atas pengorbanan dan ilmu yang telah dibagikan. Terima kasih juga kepada adinda Kartina, Yusrawati, Iwan Herdiyadi, Nur Ichwan, Andi Dharmawan, Nurhamdayani, Aisyah, Hasrianti, Vina, Rudi, Agus, Asmiar, Indah dan Sari.
vii
20. Tim Asisten Dasar Teknologi Hasil Ternak dan Teknologi Pengolahan Hasil Ternak, terima kasih karena kalian telah berbagi ilmu, suka duka dan mengajarkan penulis tentang makna tanggung jawab. 21. Kakanda Syamsuddin, S.Pt, Selfin Tala, S.Pt, M.Si, Andri Teguh Prabowo, S.Pt, Syachroni, S.Pt, Arham Janwar, S.Pt, Basri, S.Pt, Haikal, S.Pt, Lukman Hakim, S.Pt dan Muhammad Amin, S.Pt, terima kasih atas bimbingan dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 22. SEMA FAPET-UH, terima kasih telah menjadi wadah bagi penulis untuk belajar banyak hal, juga terima kasih kepada HIMAPROTEK-UH, HUMANIKA-UH dan HIMSENA-UH. 23. Kepada Rumput 07, Bakteri 08, Merpati 09, Lion 10, Matador 10, Situasi 10, Flock Mantality 012, Larfa 013 dan Ant’ 014. 24. Teman-teman KKN Reguler UNHAS Gel. 87, Desa Ajjalireng, Kec. Tellu Siattinge, Kab. Bone, kepada Esmar Sulea Datu L., Fitriana Arifuddin, Fitra Imam Pratama, Sunarti dan Faisal P., S.T, terima kasih telah mengajarkan penulis tentang makna survive, mandiri dan bertanggungjawab. 25. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan, terima kasih atas dukungan dan kerja samanya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu penulis memohon saran untuk memperbaiki kekurangan tersebut. Saran dan kritik yang membangun dari pembaca akan membantu kesempurnaan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca. Amin. Makassar, 7 September 2015 Penulis
viii
RINGKASAN KIKI REZKI MUCHLIS (I 111 11 283). Karakteristik Fungsional Telur Infertil Hasil Afkir Industri Penetasan pada Pemberian Jenis dan Level Karbohidrat yang Berbeda. Dibimbing oleh NAHARIAH dan MUHAMMAD IRFAN SAID. Telur infertil hasil afkir industri penetasan telah mengalami penurunan karakteristik fungsional akibat adanya penyimpanan dan pemanasan, sehingga diperlukan upaya untuk memperbaiki karakteristik fungsionalnya. Salah satunya yaitu dengan melakukan penambahan karbohidrat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik fungsional telur infertil hasil afkir industri penetasan pada pemberian jenis dan level karbohidrat yang berbeda. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 2x3 dengan 4 ulangan. Faktor pertama adalah jenis karbohidrat (sukrosa dan maltodekstrin), sedangkan faktor kedua adalah level karbohidrat (0%, 4% dan 8%). Parameter yang diukur adalah daya busa, stabilitas busa, waktu koagulasi dan kekuatan gel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis karbohidrat berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap daya busa dan stabilitas busa serta berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap waktu koagulasi dan kekuatan gel. Level karbohidrat berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap daya busa, stabilitas busa, waktu koagulasi dan kekuatan gel. Terdapat interaksi antara jenis dan level karbohidrat terhadap daya busa, stabilitas busa dan kekuatan gel. Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa pemberian jenis dan level karbohidrat yang berbeda dapat meningkatkan daya busa, stabilitas busa dan waktu koagulasi serta dapat menurunkan kekuatan gel. Kata kunci : Telur Infertil, Fungsional, Sukrosa, Maltodekstrin.
ix
ABSTRACT KIKI REZKI MUCHLIS (I 111 11 283). Functional Characteristics of Infertile Eggs Hatching Result of Hatchery by Adding the Different Type and Level of Carbohydrates. Guided by NAHARIAH and MUHAMMAD IRFAN SAID. Infertile eggs hatching results of hatchery has declined in functional characteristics due to storage and heating, so that the necessary efforts to improve its functional characteristics. One of them is by adding a carbohydrate. The purpose of this study was to determine the functional characteristic of infertile eggs hatching results of hatchery by adding the different types and different levels of carbohydrate. The study design used Completely Randomized Design (CRD) 2x3 factorial design with four replications. The first factor is the type of carbohydrate (sucrose and maltodextrin), while the second factor is the level of carbohydrate (0%, 4% and 8%).The parameters that measured in this study were the foam capacity, foam stability, coagulation time and gel strength. The results showed that the type of carbohydrate was highly significant (P<0.01) to foam capacity and foam stability and also significant (P<0.05) to coagulation time and gel strength. Level of carbohydrates was highly significant (P<0.01) to the foam capacity, foam stability, coagulation time and gel strength. There is an interaction between the type and level of carbohydrates to foam capacity, foam stability and gel strength. Based on research, it can be concluded that the adding of different types and different levels of carbohydrate can increase the foam capacity, foam stability and coagulation time and can reduce the gel strength. Keywords: Infertile eggs, Functional, Sucrose, Maltodextrin.
x
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI.............................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL.....................................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................
xv
PENDAHULUAN ....................................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Telur ....................................................................................... Tinjauan Umum Telur Infertil ........................................................................... Karakteristik Fungsional Telur.......................................................................... Daya Busa dan Stabilitas Busa .......................................................................... Waktu Koagulasi dan Kekuatan Gel ................................................................. Penambahan Gula pada Telur ........................................................................... Hipotesis............................................................................................................
4 7 8 9 13 14 16
MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ............................................................................................ Materi Penelitian ............................................................................................... Metode Penelitian.............................................................................................. Analisis Data .....................................................................................................
17 17 17 20
HASIL DAN PEMBAHASAN Daya Busa ......................................................................................................... Stabilitas Busa .................................................................................................. Waktu Koagulasi .............................................................................................. Kekuatan Gel ....................................................................................................
22 24 26 29
KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................................
32
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
33
LAMPIRAN..............................................................................................................
36
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................................
46
xi
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Jenis-Jenis Telur yang Biasa Dikonsumsi ............................................
5
2. Perbandingan Porsi Kuning Telur, Putih Telur dan Kerabang .............
6
3. Komposisi Rata-Rata Telur ..................................................................
6
4. Peran Telur Dalam Sistem Pangan .......................................................
9
5. Rataan Daya Busa (%) Telur Infertil pada Pemberian Jenis dan Level Karbohidrat yang Berbeda....................................................................
22
6. Rataan Stabilitas Busa (%) Telur Infertil pada Pemberian Jenis dan Level Karbohidrat yang Berbeda .........................................................
25
7. Rataan Waktu Koagulasi (menit) Telur Infertil pada Pemberian Jenis dan Level Karbohidrat yang Berbeda ...................................................
27
8. Rataan Kekuatan Gel (gr/cm2) Telur Infertil pada Pemberian Jenis dan Level Karbohidrat yang Berbeda ..........................................................
29
xii
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Struktur Telur .......................................................................................
4
2. Mekanisme Pembentukan Busa............................................................
12
3. Struktur Bangun Glukosa .....................................................................
15
4. Struktur Bangun Maltodekstrin ............................................................
16
5. Diagram Alir Penelitian........................................................................
21
6. Interaksi Jenis dan Level Karbohidrat Terhadap Daya Busa Telur Infertil ...................................................................................................
23
7. Interaksi Jenis dan Level Karbohidrat Terhadap Stabilitas Busa Telur Infertil .........................................................................................
26
8. Interaksi Jenis dan Level Karbohidrat Terhadap Kekuatan Gel Telur Infertil .........................................................................................
30
xiii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Analisis Ragam Pengaruh Jenis dan Level PemberianKarbohidrat Yang Berbeda Terhadap Daya Busa Telur Infertil ...............................
35
2. Analisis Ragam Pengaruh Jenis dan Level PemberianKarbohidrat Yang Berbeda Terhadap Stabilitas Busa Telur Infertil ........................
37
3. Analisis Ragam Pengaruh Jenis dan Level PemberianKarbohidrat Yang Berbeda Terhadap Waktu Koagulasi Telur Infertil ....................
39
4. Analisis Ragam Pengaruh Jenis dan Level PemberianKarbohidrat Yang Berbeda Terhadap Kekuatan Gel Telur Infertil ..........................
41
5. Dokumentasi Penelitian ........................................................................
43
xiv
PENDAHULUAN Latar Belakang Telur merupakan produk hasil peternakan yang banyak dikonsumsi masyarakat. Konsumsi telur yang tinggi karena relatif mudah diperoleh dan harganya juga relatif murah dibandingkan protein hewani asal ternak yang lain. Telur memiliki kandungan gizi yang lengkap seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Telur yang beredar di masyarakat umumnya digunakan untuk bahan baku pengolahan pangan (Almunifah, 2014). Telur infertil merupakan telur yang tidak dapat menetas. Jenis telur yang dikategorikan telur infertil salah satunya adalah telur konsumsi yang umumnya beredar di masyarakat. Telur tersebut merupakan telur yang tidak dibuahi oleh pejantan. Selain itu, telur infertil juga dapat berasal dari industri penetasan. Telur tersebut awalnya untuk tujuan penetasan. Namun, saat dilakukan proses candling ternyata tidak ditemukan embrio dalam telur sehingga telur tidak dapat menetas dan harus diafkir dari industri penetasan. Jumlah telur infertil tergolong cukup banyak pada industri penetasan. Saat proses candling, jumlah telur infertil dari mesin penetasan dapat mencapai 26,7% dari jumlah keseluruhan telur yang ada pada mesin tetas sehingga untuk industri penetasan berskala besar jumlah telur infertil dapat mencapai ribuan butir. Telur infertil ini umumnya dijual ke pasaran dengan harga yang murah (Almunifah, 2014). Sifat fungsional telur infertil sisa hasil afkir industri penetasan telah mengalami penurunan akibat proses pemanasan dan penyimpanan. Penyimpanan
1
telur dalam jangka waktu yang cukup lama dapat membuat pH telur meningkat sehingga kestabilan busa menurun (Siregar dkk., 2012). Oleh karena itu diperlukan upaya untuk meningkatkan sifat fungsional dari telur infertil agar tetap layak digunakan sebagai bahan baku dalam pengolahan pangan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penambahan gula. Gula merupakan golongan karbohidrat. Penambahan gula pada telur akan meningkatkan pembentukan busa karena gula memiliki sifat higroskopik sehingga dapat menyerap air. Penambahan gula diperlukan untuk menjaga kestabilan busa. Gula akan mengikat protein agar tidak terjadi pengendapan protein sehingga busa yang dihasilkan akan lebih stabil (Stadelman dan Cotteril, 1995). Penambahan gula kemungkinan juga dapat memberikan efek terhadap waktu koagulasi dan kekuatan gel dari telur infertil karena adanya kontribusi gula terhadap air dan protein. Saat ini ada beberapa jenis gula yang umum digunakan dalam pangan, dua diantaranya adalah sukrosa dan maltodekstrin. Sukrosa merupakan golongan karbohidrat disakarida yang jika dihidrolisis akan terurai menjadi dua molekul monosakarida yaitu glukosa dan fruktosa. Sukrosa umumnya dibuat dari tebu (Sastrohamidjojo, 2005), sedangkan maltodekstrin merupakan hasil hidrolisis dari pati dan merupakan campuran dari glukosa, maltosa, oligosakarida dan dekstrin (DeMan, 1997). Perbedaan struktur kimia tersebut kemungkinan akan berpengaruh terhadap sifat fungsional telur infertil. Namun, jika dilakukan penambahan gula yang terlalu banyak maka proses pembentukan busa akan terhambat karena pada kondisi tertentu gula dapat menghambat stabilitas busa (Stadelman dan Cotteril, 1995)
2
sehingga level pemberian gula juga perlu diperhatikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai karakteristik fungsional telur infertil hasil afkir industri penetasan pada pemberian jenis dan level karbohidrat yang berbeda. Rumusan Masalah Telur infertil yang diperoleh dari industri penetasan telah mengalami penurunan karakteristik fungsional karena telah mengalami proses pemanasan dan penyimpanan sehingga sangat jarang digunakan dalam pengolahan pangan. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan sifat fungsional salah satunya yaitu dengan penambahan gula. Gula dapat memperbaiki karakteristik fungsional telur. Namun, jenis gula yang digunakan dan level optimum pemberian gula untuk menghasilkan sifat fungsional pada telur infertil yang baik belum diketahui. Berdasarkan hal tersebut sehingga perlu perbaikan karakteristik fungsional pada telur infertil hasil afkir industri penetasan melalui penambahan jenis dan level karbohidrat yang berbeda. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik fungsional dari telur infertil hasil afkir industri penetasan pada pemberian jenis dan level karbohidrat yang berbeda. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai jenis karbohidrat dan level optimum pemberian karbohidrat serta kaitannya dengan sifat fungsional telur infertil hasil afkir industri penetasan.
3
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Telur Telur merupakan bahan pangan hewani yang mudah dijangkau oleh masyarakat serta kaya akan kandungan gizi dan sifat fungsional. Protein dan lemak adalah zat gizi yang paling banyak terdapat dalam telur. Selain itu, sifat fungsional telur adalah hal yang menentukan kualitas dari suatu produk pangan sehingga telur memiliki fungsi yang luas dalam industri pengolahan pangan, misalnya pada pembuatan cake (Almunifah, 2014). Jenis-jenis telur yang biasa dikonsumsi disajikan pada Tabel 1. Setiap telur mempunyai bagian cangkang, kuning telur dan putih telur. Struktur telur dapat dilihat pada Gambar 1. Bagian putih telur dan kuning telur dipisahkan oleh suatu lapisan tipis yang disebut kalaza sementara kuning telur terletak di bagian pusat. Porsi putih telur, kuning telur dan kerabang disajikan pada Tabel 2.
Gambar 1. Struktur Telur (Romanoff dan Romanoff, 1949).
4
Tabel 1. Jenis-Jenis Telur yang Biasa Dikonsumsi Jenis Telur Deskripsi Telur ayam Mempunyai berat sekitar 45 - 50 gram/butir. Seekor induk kampung ayam kampung mampu menghasilkan rata-rata 200 butir telur per ekor per tahun. Bentuknya lonjong, ukurannya lebih kecil dari telur ayam negeri. Warnanya putih agak kecoklatan. Warna kuning telurnya lebih pekat daripada telur ayam negeri. Telur ayam negeri Tergolong jenis telur yang paling sering dan banyak di (ayam ras) konsumsi dan dimanfaatkan oleh masyarakat di Indonesia karena harganya yang terjangkau, ukurannya lebih besar dan mudah di dapat daripada telur ayam kampung maupun itik. Telur burung puyuh mempunyai ukuran yang kecil dengan berat 15 – 20 gram/butir, warna kulitnya bercakbercak hitam kecoklatan. Memiliki kulit kerabang yang tipis, dilapisi lapisan kulit atau membran yang alot, sehingga mudah robek. Telur bebek Memiliki ukuran lebih besar dari telur ayam. Beratnya sekitar 55 – 75 gram /butir. Kulitnya berwarna hijau kebiruan, meskipun ada yang berwarna putih. Selain itu, kulitnya lebih tebal dibandingkan dengan telur ayam. Pemakainnya terbatas, karena berbau amis. Telur penyu Memiliki berat kurang lebih 40-60 gram/butir, bentuknya bulat menyerupai bola pingpong, warnanya kelabu dan memiliki kulit yang lunak tetapi tidak mudah pecah. Telur angsa Memiliki berat kurang lebih 155 gram/butir, bentuknya lonjong dan besar serta memiliki warna kulit yang putih. Telur burung onta Memiliki berat mencapai 1,4 kg dengan panjang 15 cm dan lebar 13 cm, 20-24 kali berat telur ayam. Cangkangnya sangat tebal, diperlukan bantuan palu untuk memecahnya. Sumber : Budiman (2010). Menurut Hadiwiyoto (1983) telur ayam ras tergolong telur yang mempunyai ukuran besar yakni mempunyai berat 55-65 gram per butir. Warna kulit telur ayam ras biasanya coklat tetapi ada sedikit yang berwarna putih. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Budiman dan Rukmiasih (2007) sifat fungsional telur ayam ras tergolong baik dan optimum jika digunakan sebagai bahan baku atau campuran
5
dalam pembuatan olahan pangan daripada jenis telur itik maupun telur puyuh sehingga pemanfaatan telur ayam ras pada pengolahan produk pangan sangatlah luas. Tabel 2. Perbandingan Porsi Kuning Telur, Putih Telur dan Kerabang Berat Rata-Rata Persentase dari No. Komponen pada Tiap Telur seluruh telur (%) (g)* 1 Kuning telur 33,0 57 2 Putih Telur 18,5 31 3 Kerabang 6,0 11 4 Bagian lain yang dapat dimakan 51,5 89 *tidak termasuk telur burung puyuh, hanya telur ayam, telur itik dan sebangsanya Sumber : Stewart dan Abbot (1972). Berdasarkan Tabel 3, dapat diketahui bahwa komposisi lemak tertinggi terdapat pada bagian kuning telur. Adapun protein terdapat baik pada bagian putih telur ataupun kuning telur. Pada putih telur terdapat protein sebesar 10,9% sedangkan pada kuning telur sebanyak 16,5% dan secara keseluruhan protein pada telur terdapat sebanyak 12,7%. Meskipun kandungan air dari telur sekitar 74%, namun kandungan protein pada telur tergolong tinggi. Keadaan ini membuat para ahli gizi menjadikan telur sebagai standar saat ingin mengkaji kualitas protein dari bahan pangan lain (Stewart dan Abbot, 1972). Tabel 3. Komposisi Rata-Rata Telur No.
Komponen
Putih Telur (%)
1 Protein 10,9 2 Lemak Sedikit 3 Hidrat Arang 1,0 4 Air 87,0 Sumber : Stewart dan Abbot (1972).
Kuning Telur (%) 16,5 32,0 1,0 49,0
% Keseluruhan 12,7 11,3 1,0 74,0
6
Tinjauan Umum Telur Infertil Telur yang digunakan pada proses penetasan di mesin tetas adalah berasal dari ayam betina yang dipelihara bersama dengan ayam jantan sehingga diharapkan dari perkawinan tersebut dapat menghasilkan telur yang fertil. Namun, pada kenyataannya tidak seluruh telur yang dihasilkan fertil. Fertilitas telur tetas dihitung dengan membandingan telur tetas fertil dengan keseluruhan telur tetas yang masuk ke dalam mesin penetas (Wibowo dan Juarini, 2008). Telur dideteksi dengan cara diteropong (candling) menggunakan cahaya. Telur infertil akan tampak terang saat candling. Telur yang nampak terang saat proses candling sebenarnya tidak hanya telur infertil saja tetapi juga telur yang embrionya mengalami mati dini. Namun pada proses candling semua telur tampak terang disebut sebagai telur infertil karena penampakannya sama (Nuryati dkk., 2002). Telur tampak terang pada saat candling disebabkan karena telur infertil atau embrio dalam telur mengalami mati dini. Telur infertil sendiri dapat disebabkan karena perbandingan antara pejantan dan induk kurang seimbang pada saat proses pembuahan, gizi pejantan dan induk ayam kurang sempurna (vitamin A dan E), umur pejantan dan induk yang terlalu tua atau muda, dan kurang aktif atau kualitas sperma kurang baik. Embrio di dalam telur mengalami mati dini disebabkan karena faktor penyimpanan telur tetas yang kurang baik dan penyimpanan terlalu lama, sehingga menyebabkan mikrobia masuk ke dalam telur dan merusak isi telur serta fumigasi terlalu lama atau dosis fumigan terlalu tinggi juga dapat menjadikan embrio telur mati dini (Nuryati dkk., 2002).
7
Telur infertil merupakan telur hasil seleksi (candling) dari perusahaan penetasan (hatchery) yang tidak memungkinkan untuk ditetaskan karena dalam proses produksinya telur tersebut tidak sempat terbuahi atau tidak bertunas. Telur yang kosong atau mati (infértil) pada hari pemeriksaan pertama (hari ke 7), jangan dibuang karena masih cukup baik untuk dimakan atau dikonsumsi (Soedjarwo, 1991). Secara fisik kualitas telur ini sudah turun karena komponen putih telur (albumen) dan kuning telur (yolk) sudah menyatu namun masih layak untuk dikonsumsi. Telur infertil biasanya dijual ke konsumen dengan harga sangat rendah dibanding dengan telur segar (Ningrum dan Hatta, 2014; Ningrum dkk., 2013). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa telur infértil yang diolah menjadi abon telur dengan bahan pengisi buah semu jambu mete menghasilan nilai tekstur, kesukaan dan kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan telur segar (Ningrum dan Hatta, 2014; Ningrum dkk., 2013). Karakterisitik Fungsional Telur Sifat fungsional adalah sifat – sifat yang terdapat pada telur selain sifat gizinya yang berperan dalam proses pengolahan. Sifat fisik dan kimia protein sangat berperan dalam menentukan sifat fungsional telur. Oleh karena itu terjadinya perubahan terhadap sifat fisik dan kimia protein telur juga akan berpengaruh terhadap sifat-sifat fungsional telur tersebut (Siregar dkk., 2012).
Dalam
pengolahan pangan, sifat fungsional telur perlu untuk diperhatikan, diantaranya daya busa dan stabilitas busa (Jiwanggoro dkk., 2013). Sifat fungsional adalah sifatsifat yang terdapat pada telur selain sifat gizinya yang berperan dalam proses
8
pengolahan (Siregar dkk., 2012). Sifat fungsional yang lain yaitu waktu koagulasi dan kekuatan gel (Almunifah, 2014). Adapun peranan karakterisitik fungsional telur dalam sistem pangan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Peran Telur Dalam Sistem Pangan Fungsi Deskripsi Contoh Produk Pembentuk dan Protein putih telur membentuk Sponge cake penstabil busa busa menghasilkan produk yang mengembang dan stabil. Pengental Mengentalkan bahan pangan Saus dan custard sehingga tercapai sifat kental yang diinginkan Pembentuk gel Protein telur berubah dari Puding bentuk cair menjadi bentuk gel Sumber : Aini (2009). Telur infertil yang diperoleh dari mesin tetas merupakan telur yang tidak segar lagi. Telur tersebut telah berada dalam mesin tetas selama beberapa hari dengan suhu 38oC. Suhu tersebut merupakan suhu yang baik bagi mikroba untuk tumbuh. Keadaan ini dapat menyebabkan hidrolisis protein dan lemak dalam telur (Almunifah, 2014), sehingga telur infertil diduga telah mengalami penurunan sifat fungsional. Penurunan sifat fungsional dari telur disebabkan adanya kontaminasi mikroba melalui pori-pori pada kerabang telur. Daya Busa dan Stabilitas Busa Busa adalah dispersi koloid, yaitu fase gas terdispersi dalam fase cair. Ketika putih telur dikocok gelembung udara terperangkap di dalam putih telur dan terbentuk busa. Selama pengocokan putih telur, ukuran gelembung udara menurun dan jumlah gelembung udara meningkat, dan putih telur tembus cahaya berubah menjadi tidak tembus cahaya dengan penampakan lembab. Seiring dengan 9
peningkatan pengikatan udara, busa menjadi stabil dan kehilangan kemampuan mencair. Bila pengocokan dilanjutkan maka busa akan mudah rusak, kehilangan kelembaban serta tampak mengkilat (Stadelman dan Cotterill, 1995). Daya busa adalah ukuran kemampuan putih telur untuk membentuk busa jika dilakukan pengocokan. Nilai daya busa biasanya dinyatakan dalam persen terhadap bobot putih telur. Pengocokan tersebut akan menyebabkan ikatan-ikatan dalam molekul protein telur terbuka sehingga rantai protein menjadi lebih panjang (Stadelman dan Cotterill, 1995). Stabilitas busa menunjukkan kemampuan dari busa yang dibentuk untuk bertahan dalam waktu tertentu. Indikator kestabilan busa adalah besarnya tirisan busa selama waktu tertentu dan dinyatakan dalam bobot, volume, atau derajat pencairan busa. Tirisan busa yang banyak menunjukkan stabilitas busa yang rendah. Struktur busa yang stabil umumnya dihasilkan dari putih telur yang mempunyai elastisitas tinggi, sebaliknya volume busa yang tinggi diperoleh dari putih telur dengan elastisitas yang rendah. Elastisitas akan hilang jika putih telur terlalu banyak dikocok atau direnggangkan seluas mungkin (Stadelman dan Cotterill, 1995). Fraksi yang paling berperan dalam terbentuknya busa adalah protein, sehingga busa tidak hanya dapat dibentuk oleh putih telur melainkan busa juga dapat dibentuk oleh kuning telur, meskipun busa yang dihasilkan tidak sebanyak putih telur karena protein yang terdapat pada putih telur lebih banyak daripada yang dikandung kuning telur (Ikeme, 2008). Protein putih telur yang berperan dalam pembentukan busa adalah ovalbumin dan globulin. Sedangkan ovomucin dalam telur akan membuat telur
10
lebih stabil setelah terbentuk busa. Pembentukan busa diawali dengan terbukanya ikatan dalam molekul protein, sehingga rantai protein menjadi lebih panjang. Kemudian udara masuk diantara molekul protein yang terbuka dan bertahan sehingga volumenya mengembang (Cherry dan McWatters, 1981). Mekanisme pembentukan busa menurut Stadelman dan Cotterill (1973) adalah terjadinya proses penguraian molekul protein, sehingga rantai polipeptida membentuk sumbu memanjang yang sejajar dengan sumbu permukaan. Terbukanya ikatan-ikatan pada molekul protein yang memanjang tersebut kemudian dilanjutkan dengan proses pembentukan lapisan monolayer (adsorbsi). Cherry dan McWaters (1981) mengatakan adanya perlakuan pengocokan menyebabkan udara masuk ke dalam molekul-molekul protein yang terbuka rantainya dan tertahan sehingga volume putih telur menjadi bertambah. Lapisan monolayer ke dua kemudian terbentuk menggantikan lapisan yang terdenaturasi. Lapisan protein akan saling mengikat untuk mencegah keluarnya air. Lama kelamaan terjadi agregasi dan melemahnya ikatan yang telah terbentuk tersebut. Mekanisme pembentukan busa disajikan pada Gambar 2. Menurut
Romanoff
dan
Romanoff
(1949),
faktor-faktor
yang
mempengaruhi daya dan kestabilan busa putih telur antara lain lama pengocokan, pH, suhu, serta penambahan bahan kimia atau bahan tambahan lainnya. Volume busa putih telur akan meningkat seiring lamanya waktu pengocokkan, namun setelah lama pengocokan 6 menit, tidak ada lagi kenaikan volume busa. Kestabilan busa tertinggi didapat setelah lama pengocokkan 2 menit, sehingga untuk mendapatkan kestabilan busa yang diinginkan, putih telur sebaiknya tidak dikocok
11
hingga mencapai volume maksimum. Bell dan Weaver (2002) menyatakan bahwa produksi busa yang baik akan dicapai pada suhu ruangan. Pada suhu dingin akan menghasilkan volume busa yang lebih rendah tetapi stabilitasnya tidak terpengaruh.
Gambar 2. Mekanisme Pembentukan Busa (Cherry dan McWaters, 1981) Penambahan gula dimaksudkan untuk mempercepat waktu pengocokan dan memperbaiki kestabilan busa. Almunifah (2014) melakukan penelitian terhadap telur infertil dan melaporkan bahwa telur infertil dalam bentuk utuh mengalami peningkatan daya busa selama masa pemeraman.
12
Waktu Koagulasi dan Kekuatan Gel Koagulasi atau gelatinasi produk adalah proses kimia dimana cairan sol berubah menjadi gel. Koagulasi ditandai dengan perubahan dari molekul rantai panjang menjadi struktur tiga dimensi, dimana struktur makromolekul pada sol menjadi matriks gel tiga dimensi. Kekuatan elektrostatis yang kuat mengikat makromolekul di dalam fase sol dengan ikatan hidrogen, ikatan disulfide dan ikatan intermolekul menyebabkan makromolekul insoluble dalam gel. Makromolekul protein dan karbohidrat, baik putih maupun kuning telur mempunyai kemampuan membentuk gel (Bell dan Weaver, 2002). Koagulasi oleh panas terjadi akibat reaksi antara protein dan air yang diikuti dengan penggumpalan protein karena ikatan-ikatan antar molekul. Putih telur ayam akan terkoagulasi pada suhu 62oC. Sedangkan kuning telurnya terkoagulasi pada 65oC. Putih telur bebek terkoagulasi pada suhu yang lebih rendah, yaitu 55oC setelah 10 menit pemanasan. Kemampuan koagulasi ini memungkinkan telur untuk mengikat air dan mempertahankan kesan basah produk bakery selama penyimpanan (Winarno dan Koswara, 2002). Koagulasi oleh telur karena pemanasan tidak terjadi begitu saja melainkan juga ditentukan oleh waktu pemasan, dimana kecepatan terjadinya koagulasi pada telur akan bertambah dengan bertambahnya lama pemanasan yang diikuti oleh kenaikan suhu (Nahariah dkk, 2010). Penelitian oleh Nahariah dkk. (2010) melaporkan bahwa waktu koagulasi lebih cepat terjadi pada produk putih telur yang tidak diberi tambahan sukrosa dibandingkan dengan yang diberi tambahan sukrosa.
13
Kemampuan protein untuk membentuk gel sangat penting dalam proses pengolahan pangan. Teknik pengolahan pangan yang berhubungan dengan kemampuan pembentukan gel adalah perlakuan menggunakan panas. Pemanasan pada protein akan menyebabkan denaturasi. Adanya pemanasan dan keberadaan air, protein dapat membentuk matriks gel dengan menyeimbangkan interaksi antara protein-protein dan protein-pelarut di dalam produk pangan. Matriks gel ini dapat mengikat air, lemak, dan ingredient lainnya untuk dapat menghasilkan berbagai jenis produk, seperti adonan roti, tahu, keju dan yogurt (Andarwulan dkk., 2011). Kekuatan gel adalah kriteria yang sering digunakan untuk mengevaluasi protein pangan. Kualitas beberapa bahan pangan terutama tekstur dan mouthfeel ditentukan oleh kapasitas gel protein. Sifat unik dari protein gel adalah bentuknya yang padat tetapi memiliki karakteristik seperti cairan. Gel sebagai fenomena agregasi protein di mana interaksi polimer-polimer dan polimer-pelarut seimbang sehingga jaringan atau matriks tersier terbentuk (Kusnandar, 2005). Pada telur, sifat gelasi atau pelekatan yang kuat dari protein telur memberikan kekompakan antar bahan pada produk bakery. Protein telur dapat menyerap dan memerangkap berbagai bahan pencita rasa, mengikat butiran lemak, memerangkap air, dan gas/udara. Sifat elastis protein dan memerangkap berbagai bahan lain memberikan tekstur yang lembut (Murwati, 2012). Penambahan Gula pada Telur Saat ini ada banyak jenis gula yang dikenal dalam pangan, dua diantaranya adalah sukrosa dan maltodekstrin. Penambahan gula saat pengocokan akan meningkatkan pembentukan busa karena gula memiliki sifat higroskopik sehingga
14
dapat menyerap air. Penambahan gula diperlukan untuk menjaga kestabilan busa. Gula akan mengikat protein agar tidak terjadi pengendapan protein sehingga busa yang dihasilkan akan lebih stabil (Stadelman dan Cotteril, 1995). Penelitian oleh Nahariah dkk. (2010) mengenai penambahan sukrosa pada putih telur segar menunjukkan adanya peningkatan daya busa, yaitu pada level sukrosa 4%. Winarno dan Koswara (2002) juga menyatakan bahwa penambahan gula dapat memperbaiki daya busa. Sukrosa merupakan salah satu karbohidrat yang sering di gunakan sebagai bahan pemanis dan diperoleh dari bit atau tebu. Sukrosa adalah disakarida dengan rumus kimia C12H22O11 yang apabila dihidrolisis berubah menjadi dua molekul monosakarida yaitu glukosa dan fruktosa (DeMan, 1997). Rumus bangun penggabungan glukosa dan fruktosa disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Bangun Glukosa (Goutara dan Wijandi,1985) Maltodekstrin merupakan produk hidrolisis pati yang mengandung unit αD-glukosa yang sebagian besar terikat melalui ikatan 1,4 glikosidik dengan DE kurang dari 20 dengan rumus kimia [(C6H10O5)nH2O]. Maltodekstrin merupakan campuran dari glukosa, maltosa, oligosakarida dan dekstrin. Maltodekstrin biasanya dideskripsikan oleh DE (Dextrose Equivalent). Maltodekstrin dengan DE
15
yang rendah bersifat non higroskopis, sedangkan maltodekstrin dengan DE tinggi cenderung menyerap air. Sifat-sifat yang dimiliki maltodekstrin antara lain mengalami dispersi cepat, memiliki sifat daya larut yang tinggi maupun membentuk film, membentuk sifat higroskopis yang rendah, mampu membentuk body, sifat browning yang rendah, mampu menghambat kristalisasi dan memiliki daya ikat yang kuat. Kelebihan dari maltodekstrin dapat menambah viskositas dan memperbaiki tekstur tanpa menambah kemanisan pada produk (Hui, 1992). Rumus bangun maltodekstrin disajikan Gambar 4.
Gambar 4. Struktur Bangun Maltodekstrin (Hui, 1992). Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah : 1. Perlakuan penambahan jenis dan level karbohidrat yang berbeda diduga dapat memperbaiki karakteristik fungsional telur infertil. 2. Terdapat interaksi antara jenis dan level penambahan karbohidrat terhadap karakterisitik fungsional telur infertil.
16
MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Maret 2015 sampai Mei 2015, bertempat di Laboratorium Terpadu dan Laboratorium Teknologi Pengolahan Daging dan Telur Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Materi Penelitian Alat yang digunakan antara lain gelas ukur, wadah plastik berskala, mixer, timbangan, waterbath, tabung reaksi, stopwatch dan silinder. Bahan yang digunakan adalah telur ayam ras infertil dengan masa pengeraman 10 hari yang diperoleh dari industri penetasan PT. Multibreeder Adirama Indonesia (MBAI) Tbk. Cabang Maros, sukrosa dan maltodekstrin. Metode Penelitian A. Rancangan Penelitan Penelitian ini disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 2x3 dengan masing-masing 4 ulangan. Faktor I terdiri dari 2 jenis karbohidrat yaitu sukrosa dan maltodekstrin. Faktor II terdiri dari level karbohidrat yaitu 0%, 4% dan 8% dari berat telur. Setiap ulangan menggunakan 3 butir telur. Jumlah telur yang digunakan adalah 72 butir. B. Prosedur Penelitian Telur infertil diperoleh dari perusahaan hatchery yang sebelumnya telah melewati proses candling. Telur dibersihkan dan dipecahkan pada wadah tanpa memisahkan bagian kuning telur dan putih telur. Sukrosa dan maltodekstrin ditambahkan pada telur dalam wadah berdasarkan masing-masing level perlakuan
17
dan diaduk namun tidak sampai menghasilkan busa. Selanjutnya parameter telur diukur berdasarkan masing-masing perlakuan penambahan karbohidrat yaitu sukrosa (0%, 4%, 8%) dan maltodekstrin (0%, 4%, 8%). Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 5. C. Parameter yang Diukur 1. Daya Busa (Nahariah dkk., 2012). Pengukuran daya busa dilakukan dengan memecahkan telur pada wadah plastik berskala. Perhitungan daya busa dimulai dengan menghitung berat jenis dengan rumus : 𝐵𝐽 =
𝑊 𝑉
Keterangan : BJ = berat jenis telur W = berat putih telur dan kuning telur V = volume putih telur dan kuning telur Selanjutnya telur dikocok dengan kecepatan maksimal selama 5 menit. Kemudian dilakukan pengukuran berat busa (W busa) dan volume busa (V busa). Daya busa (F) dihitung dengan rumus : (BJ . V busa) Daya busa (F) = [ x 100%] − 100% W busa 2. Stabilitas Busa (Nahariah dkk., 2012). Pengukuran stabilitas busa dilakukan dengan mendiamkan telur yang telah dikocok, selama 5 menit. Tirisan yang terbentuk kemudian dituang pada gelas ukur dan dihitung volumenya. Stabilitas busa dihasilkan dari persentase tirisan busa (L), yang dihitung dengan rumus sebagai berikut:
18
Persentase tirisan busa (L) =
BJ. V tirisan x 100% W busa
Kestabilan busa (KB) dihitung dengan rumus: KB = (100 − L) 3. Waktu Koagulasi (Nahariah dkk., 2012). Waktu koagulasi diukur dengan memasukkan telur ke dalam tabung reaksi dan dimasukkan ke dalam waterbath pada suhu 80oC. Waktu koagulasi ditentukan dengan melakukan pengamatan waktu mulai saat dimasukkan tabung ke dalam waterbath sampai terbentuknya gumpalan larutan telur dalam satuan menit dengan rumus sebagai berikut : WK = W1 − W0 Keterangan : WK = Waktu koagulasi W1 = Waktu terbentuknya koagulasi W0 = Waktu tabung dimasukkan ke dalam waterbath 4. Kekuatan Gel (Fadilah dkk., 2010) Telur dimasukkan ke dalam wadah sampel kemudian dimasukan ke dalam waterbath dengan suhu 80oC, setelah itu didinginkan pada 4oC (suhu refrigator) selama 24 jam. Sampel kemudian diletakkan di atas timbangan. Batang silinder ditekan dengan tangan di atas permukaan sampel sampai pecah dan beratnya dicatat. Kekuatan gel adalah berat dibagi dengan luas penampang silinder dengan rumus sebagai berikut : Kekuatan Gel =
Berat Luas Penampang Silinder
19
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (Steel dan Torrie, 1991) sesuai dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial. Adapun model matematikanya yaitu : Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + €ijk
i = 1,2 j = 1,2,3 k = 1,2,3 (ulangan) Keterangan : Yijk
= Nilai pengamatan pada telur infertil ke-k yang menggunakan perbedaan jenis karbohidrat ke-i dan level karbohidrat ke-j.
μ
= Nilai rata-rata perlakuan.
αi
= Pengaruh perbedaan jenis karbohidrat ke-i terhadap karakterikstik fungsional telur infertil ke-k.
βj
= Pengaruh level karbohidrat ke-j terhadap karakterikstik fungsional telur infertil ke-k.
(αβ)ij = Pengaruh interaksi perbedaan jenis karbohidrat ke-i terhadap level karbohidrat ke-j. €ijk
= Pengaruh galat yang menerima perlakuan jenis karbohidrat ke-i dan level karbohidrat ke-j.
Selanjutnya apabila perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil.
20
Diagram Alir Penelitian Telur Infertil
Perlakuan
Sukrosa 0%
Maltodekstrin 0%
Sukrosa 4%
Maltodekstrin 4%
Sukrosa 8%
Maltodekstrin 8%
Analisis Karakteristik Fungsional
Daya Busa Stabilitas Busa Waktu Koagulasi Kekuatan Gel
Gambar 5. Diagram Alir Penelitian
21
HASIL DAN PEMBAHASAN Daya Busa Daya busa adalah ukuran kemampuan putih telur untuk membentuk busa jika dilakukan pengocokan. Nilai daya busa biasanya dinyatakan dalam persen terhadap bobot telur (Stadelman dan Cotteril, 1995). Analisis ragam menunjukkan bahwa level dan jenis karbohidrat berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap daya busa telur infertil. Interaksi antara jenis dan level karbohidrat memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap daya busa telur infertil (Tabel 5). Tabel 5. Rataan daya busa (%) telur infertil pada pemberian jenis dan level karbohidrat yang berbeda Daya Busa Jenis Karbohidrat
Sukrosa Maltodekstrin Rata-rata
Level Karbohidrat (%) 0 4 8 .......... % .......... 227,83 284,38 322.90 228,20 333,28 316,62 a b 228,02 308,83 319,76c
Rata-rata 278,37a 292,70b 285,54
Keterangan : Superskrip huruf yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).
Berdasarkan Tabel 5, dapat diketahui bahwa nilai rataan daya busa telur infertil dengan pemberian maltodekstrin lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian sukrosa dan terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01). Hal ini disebabkan karena maltodekstrin memiliki kemampuan mengikat yang kuat. Menurut Hui (1992), beberapa sifat yang dimiliki maltodekstrin salah satunya adalah daya ikat yang kuat. Analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) antara level karbohidrat terhadap daya busa telur infertil. Nilai rataan daya busa telur infertil mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya level
22
pemberian karbohidrat, berturut-turut 228,02%; 308,83% dan 319,76%. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan karbohidrat hingga level 8% dapat memperbaiki sifat fungsional telur infertil. Hal ini disebabkan karena semakin banyaknya jumlah gula yang menyerap air sehingga kandungan air semakin sedikit dan busa yang terbentuk semakin banyak. Penelitian oleh Puspitasari (2006) menunjukkan angka daya busa tertinggi diperoleh pada produk tepung putih telur dengan kadar air terendah. Nilai rataan total perlakuan pada penelitian ini adalah 285,54%. Nilai yang diperoleh lebih rendah dari penelitian Nahariah (2012) pada produk tepung putih telur hasil fermentasi Saccharomyces cereviciae yaitu 523,07% dan dari penelitian Sa’adah (2007) pada putih telur segar yaitu 688,32%. Hal ini kemungkinan disebabkan pada penelitian ini telur yang digunakan adalah campuran dari kuning dan putih telur. 350.00 Sukrosa
Daya Busa (%)
300.00
Maltodekstrin
250.00 200.00 150.00 100.00 50.00 0.00 0.00
4.00
8.00
Level Karbohidrat (%)
Gambar 6. Interaksi Jenis dan Level Karbohidrat Terhadap Daya Busa Telur Infertil Berdasarkan analisis ragam, terdapat interaksi yang berpengaruh sangat nyata (P<0,01) antara jenis karbohidrat dan level karbohidrat terhadap daya busa
23
telur infertil. Gambar 6 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan daya busa pada level 4%, baik dengan pemberian sukrosa maupun maltodekstrin. Pemberian maltodekstrin 4% menghasilkan daya busa yang lebih tinggi daripada sukrosa 4%. Pada pemberian sukrosa 8% terjadi peningkatan daya busa, sedangkan pada pemberian maltodekstrin 8% terjadi penurunan daya busa. Hal ini menunjukkan bahwa level optimum pemberian maltodekstrin untuk meningkatkan daya busa adalah 4% dan untuk penggunaan sukrosa daya busa masih mengalami peningkatan hingga level 8%. Penelitian oleh Nahariah dkk. (2012) menunjukkan adanya peningkatan daya busa pada produk tepung putih telur dengan penambahan sukrosa level 4%. Stabilitas Busa Stabilitas busa menunjukkan kemampuan dari busa yang dibentuk untuk bertahan dalam waktu tertentu. Indikator kestabilan busa adalah besarnya tirisan busa selama waktu tertentu dan dinyatakan dalam bobot, volume, atau derajat pencairan busa (Stadelman dan Cotteril, 1995). Analisis ragam menunjukkan bahwa jenis dan level karbohidrat berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap stabilitas busa telur infertil. Interaksi antara jenis dan level karbohidrat memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap stabilitas busa telur infertil (Tabel 6). Berdasarkan analisis ragam, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) antara jenis karbohidrat terhadap stabilitas busa telur infertil. Nilai rataan stabilitas busa yang dihasilkan lebih tinggi pada pemberian maltodekstrin dengan nilai 34,70%. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
24
kemampuan maltodekstrin mengikat protein yang lebih kuat untuk mencegah pengendapan protein sehingga menghasilkan busa yang lebih stabil. Menurut Romanoff dan Romanoff (1949), kestabilan busa dipengaruhi oleh adanya bahan lain yang ditambahkan. Tabel 6. Rataan stabilitas busa (%) telur infertil pada pemberian jenis dan level karbohidrat yang berbeda Stabilitas Busa Level Karbohidrat (%) Jenis Karbohidrat Rata-rata 0 4 8 …… % …… Sukrosa 30,59 34,57 35,59 33,58a Maltodekstrin 30,71 34,70 38,69 34,70b Rata-rata 30,65a 34,64b 37,14c 34,14 Keterangan : Superskrip huruf yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).
Analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat perbeddaan yang sangat nyata (P<0,01) antara level karbohidrat terhadap stabilitas busa telur infertil. Nilai rataan stabilitas busa meningkat seiring peningkatan level pemberian karbohidrat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh semakin banyaknya gula yang mengikat air dan protein sehingga peningkatan level penambahan karbohidrat diikuti peningkatan angka kestabilan busa. Penelitian oleh Puspitasari (2006) menunjukkan bahwa angka stabilitas busa tertinggi diperoleh pada tepung putih telur dengan kadar air rendah, sehingga dihasilkan busa yang baik (stabil). Nilai rataan total perlakuan dari penelitian ini adalah 34,14%. Nilai ini lebih rendah dari penelitian Nahariah dkk. (2012) pada produk tepung putih telur, yaitu 64,43% dan penelitian oleh Sa’adah (2007) pada putih telur ayam ras segar menunjukkan angka stabilitas busa sebesar 96,31%. Hal ini kemungkinan disebabkan karena dalam penelitian ini digunakan campuran kuning dan putih telur.
25
Berdasarkan analisis ragam, interaksi antara jenis dan level pemberian karbohidrat berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap stabilitas busa telur infertil. Gambar 7 menunjukkan peningkatan stabilitas busa dari level 0% ke level 4%, baik dengan pemberian sukrosa maupun maltodekstrin. Pada level 8%, stabilitas busa dengan penambahan sukrosa mengalami peningkatan. Demikian halnya dengan maltodekstrin namun maltodekstrin menunjukkan angka stabilitas busa yang lebih tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat daya larut maltodekstrin sehingga menyebabkan air menjadi kurang stabil dan volume tirisan sedikit. Menurut Hui (1992), maltodekstrin memiliki sifat daya larut yang tinggi. 45.00
Stabilitas Busa (%)
40.00 35.00 30.00 25.00
Sukrosa
20.00
Maltodekstrin
15.00 10.00 5.00 0.00 0
4
8
Level Karbohidrat (%)
Gambar 7. Interaksi Jenis dan Level Karbohidrat Terhadap Stabilitas Busa Telur Infertil Waktu Koagulasi Koagulasi atau gelatinasi produk adalah proses kimia dimana cairan sol berubah menjadi gel. Koagulasi ditandai dengan perubahan dari molekul rantai panjang menjadi struktur tiga dimensi, dimana struktur makromolekul pada sol menjadi matriks gel tiga dimensi (Bell dan Weaver, 2002). Analisis ragam
26
menunjukkan bahwa jenis karbohidrat berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap waktu koagulasi telur infertil, sedangkan level karbohidrat memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) dan tidak terdapat interaksi antara kedua faktor tersebut (P>0,05) (Tabel 7). Tabel 7. Rataan waktu koagulasi (menit) telur infertil pada pemberian jenis dan level karbohidrat yang berbeda Waktu Koagulasi Level Karbohidrat (%) Jenis Karbohidrat Rata-rata 0 4 8 …… menit …… Sukrosa 7,27 10,62 12,64 10,18a Maltodekstrin 7,43 10,49 13,02 10,31b Rata-rata 7,35a 10,55b 12,83c 10,24 Keterangan : Superskrip huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01). Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<,0,05).
Analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) antara jenis karbohidrat terhadap waktu koagulasi telur infertil, waktu koagulasi telur infertil dengan penambahan maltodekstrin lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan sukrosa, yaitu 10,31 menit. Penelitian oleh Triawati dkk. (2013) menunjukkan waktu koagulasi yang lebih rendah pada telur ayam segar yaitu 2,10 menit. Hal ini sesuai dengan pendapat Bell dan Weaver (2002) bahwa koagulasi dapat dicegah dengan penambahan gula. Berdasarkan analisis ragam, terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) antara level karbohidrat terhadap waktu koagulasi telur infertil. Nilai rataan waktu koagulasi meningkat seiring dengan peningkatan level pemberian karbohidrat. Waktu koagulasi tertinggi pada level 8% yaitu 12,83 menit dan terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) baik dengan level 0% maupun 4%. Waktu koagulasi pada telur berlangsung lebih lama karena adanya penambahan gula yang 27
menghambat denaturasi protein. Menurut Aini (2009), gugus hidroksil pada struktur gula akan membentuk ikatan hidrogen dengan air dan dapat memperlambat denaturasi. Penelitian oleh Said et al. (2007) menunjukkan waktu koagulasi pada tepung putih telur hasil fermentasi berlangsung lebih cepat karena terjadinya proses pengurangan glukosa dalam proses fermentasi produk tepung telur yang dapat menyebabkan suspensi mudah larut sehingga penyebaran panas lebih cepat dan homogen hingga akhirnya berdampak pada waktu koagulasi yang lebih cepat. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan gula dapat memperlambat waktu koagulasi. Nilai rataan total perlakuan dari peneltian ini adalah 10,24 menit. Nilai rataan waktu koagulasi yang lebih tinggi diperoleh pada penelitian Said (2013) yaitu 11,60 menit pada produk tepung putih telur hasil fermentasi. Nahariah dkk. (2012) menyatakan bahwa sifat gula yang mengikat air mengakibatkan suspensi tidak dapat larut sehingga penyebaran panas berlangsung lebih lama dan membutuhkan waktu yang lama untuk berkoagulasi. Analisis ragam menunjukkan tidak terdapat interaksi (P>0,05) antara jenis dan level pemberian karbohidrat terhadap waktu koagulasi telur infertil. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pengaruh jenis karbohidrat pada tiap level karbohidrat atau perbedaan pengaruh level karbohidrat pada tiap jenis karbohidrat. Kedua faktor bersinergi menurunkan waktu koagulasi telur infertil.
28
Kekuatan Gel Kekuatan gel adalah kriteria yang sering digunakan untuk mengevaluasi protein pangan. Sifat unik dari protein gel adalah bentuknya yang padat tetapi memiliki karakteristik seperti cairan. Gel sebagai fenomena agregasi protein di mana interaksi polimer-polimer dan polimer-pelarut seimbang sehingga jaringan atau matriks tersier terbentuk (Kusnandar, 2005). Analisis ragam menunjukkan bahwa jenis karbohidrat berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kekuatan gel telur infertil, sedangkan level karbohidrat berpengaruh sangat nyata (P<0,01). Interaksi antara jenis dan level karbohidrat memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekuatan gel (P<0,05) telur infertil (Tabel 8, Lampiran 4). Tabel 8. Rataan kekuatan gel (gr/cm2) telur infertil pada pemberian jenis dan level karbohidrat yang berbeda Kekuatan Gel Level Karbohidrat (%) Jenis Karbohidrat Rata-rata 0 4 8 …….. gr/cm2 ……. Sukrosa 119,71 104,45 97,67 107,28a Maltodekstrin 119,15 105,83 99,19 108,06b Rata-rata 119,43a 105,14b 98,43c 107,67 Keterangan : Superskrip huruf yang berbda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01). Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) antara jenis karbohidrat terhadap kekuatan gel telur infertil. Nilai rataan kekuatan gel dengan pemberian maltodekstrin sedikit lebih tinggi dari sukrosa, yakni 108,06 gr/cm2. Penelitian oleh Nahariah dkk. (2013) menghasilkan kekuatan gel tepung putih telur dengan rataan 0,219 kg/cm2. Terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) antara level karbohidrat terhadap kekuatan gel telur infertil. Kekuatan gel mengalami penurunan seiring 29
dengan peningkatan level pemberian karbohidrat dan terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) pada taraf 0% dengan 4% dan 8%. Penurunan kekuatan gel ini kemungkinan disebabkan terhambatnya denaturasi protein oleh glukosa. Aini (2009) menyatakan bahwa gula dapat memperlambat denaturasi protein. Nilai rataan total perlakuan pada penelitian ini adalah 107,67 gr/cm2. Penelitian Nahariah dkk. (2013) menghasilkan nilai rataan kekuatan gel sebesar 0,219 kg/m2. Hal ini disebabkan karena penelitian ini dilakukan penambahan karbohidrat yang dapat menghambat koagulasi sehingga kekuatan gel yang dihasilkan lebih rendah.
Kekuatan gel (gr/cm2)
125.000 120.000 115.000 110.000 105.000 100.000 95.000 90.000 0
4
8
Level Karbohidrat (%) Sukrosa
Maltodekstrin
Gambar 8. Interaksi Jenis dan Level Karbohidrat Terhadap Kekuatan Gel Telur Infertil
Analisis ragam menunjukkan interaksi jenis dan level pemberian karbohidrat berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kekuatan gel telur infertil. Gambar 8 menunjukkan bahwa, baik sukrosa maupun maltodekstrin, dapat menurunkan kekuatan gel pada telur infertil. Kekuatan gel pada pemberian sukrosa
30
lebih rendah dibandingkan dengan pemberian maltodekstrin, baik pada level 4% maupun 8%. Hal ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan struktur kimia antara sukrosa dan maltodekstrin. Aini (2009) menyatakan bahwa gugus hidroksil pada struktur gula dapat menghambat denaturasi protein.
31
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Pemberian jenis dan level karbohidrat yang berbeda dapat memperbaiki karakteristik fungsional telur infertil. 2. Terdapat interaksi antara jenis dan level karbohidrat terhadap daya busa, stabilitas busa dan kekuatan gel. 3. Pemberian jenis dan level karbohidrat yang berbeda dapat meningkatkan daya busa, stabilitas busa dan waktu koagulasi serta dapat menurunkan kekuatan gel.
Saran Untuk memperbaiki daya busa telur infertil dapat menggunakan maltodekstrin 4% atau sukrosa 8%. Untuk memperbaiki stabilitas busa, meningkatkan waktu koagulasi ataupun menurunkan kekuatan gel maka dapat menggunakan maltodekstrin ataupun sukrosa hingga level 8%.
32
DAFTAR PUSTAKA Aini, N. 2009. Lebih Jauh Tentang Sifat Fungsional Telur. http://kulinologi.biz/ index.php. [Diakses pada tanggal 15 Januari 2015]. Almunifah, M. 2014. Sifat fungsional telur ayam ras dan aplikasinya pada pembuatan produk sponge cake. Skripsi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Andarwulan, N., F. Kusnandar, dan D. Herawati. 2011. Analisis Pangan. Dian Rakyat. Jakarta. Bell, D.D., dan W.D. Weaver. 2002. Commercial Chicken Meat and Egg Production. Kluwer Academic Publishers. USA. Budiman, C. dan Rukmiasih. 2007. Karakteristik putih telur itik Tegal. Makalah Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Fakultas Peternakan. IPB. Bogor. Cherry, J.P. dan McWaters. 1981. Protein Functionality in Foods. American Chemical Soviety. Washington. DeMan, J.M. 1997. Principles of Food Chemistry. Diterjemahkan oleh Padmawinata. K. Penerbit ITB. Bandung. Fadilah, S. Distantina, D.B. Pratiwi, R. Muliapakarti, Y.C. Danarto, Wiratni dan M. Fahrurrozi. 2010. Pengaruh metode pengeringan terhadap kecepatan pengeringan dan kualitas karagenan dari rumput laut Eucheuma cottonii. Prosiding Seminar Rekayasa Kimia dan Proses 4-5 Agustus 2010. ISSN : 1411-4216. Goutara dan S. Wijandi. 1985. Dasar Pengolahan Gula. Departemen Teknologi Hasil Pertanian IPB. Bogor. Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-Hasil Olahan Susu. Ikan. Daging. dan Telur. Liberti. Jakarta. Hui, Y.H. 1992. Encyclopedia of Food Science and Technology. Jhon Wiley and Sons Inc. New York Ikeme, A.I. 2008. Poly-Functional Egg: How can it be replaced? Inaugural Lecture of the University of Nigeria. Nsukka. Kusnandar, F. 2005. Mengenal Sifat Fungsional Protein. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
33
Murwati, R. 2012. Functional ingredients from egg. Food Review Indonesia. 7(4): 545-560. Nahariah, E. Abustam dan R. Malaka. 2010. Karakteristik fisikokimia tepung putih telur hasil fermentasi Saccharomyces cereviceae dan penambahan sukrosa pada putih telur segar. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan. 1(1): 35-42. Nahariah, E. Abustam dan R. Malaka. 2012. Sifat fungsional tepung putih telur hasil fermentasi yeast dan penambahan gula pada putih telur ayam ras. Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan 4: Inovasi Agribisnis Peternakan untuk Ketahanan Pangan. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Bandung. Nahariah, A. Hintono dan Sutaryo. 2013. Karakteristik fisikokimia tepung putih telur hasil pengeringan vakum-freeze drying. Prosiding Seminar Nasional dan Forum Komunikasi Industri Peternakan dalam rangka Mendukung Kemandirian Daging dan Susu Nasional. Hal. 488-496. Ningrum, E.M. dan W. Hatta. 2014. Karakteristik organoleptik abon telur ayam dengan penambahan daging buah semu jambu mete sebagai bahan pengisi. Laporan Penelitian. Universitas Hasanuddin. Makassar. Ningrum, E.M., M.I. Said dan M. Hatta. 2013. Pengaruh penggunaan daging buah semu jambu mete dan telur infertil sebagai bahan dasar pembuatan abon telur. Universitas Hasanuddin. Makassar. Nuryati, T., M. Khamim, P. Hardjosworo, dan Sutarto. 2002. Sukses Menetaskan Telur. Penebar Swadaya. Jakarta. Puspitasari, R. 2006. Sifat Fisik dan Fungsional Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Waktu Desugarisasi Berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan IPB Bogor. Romanoff, A.L. dan A.J. Romanoff. 1949. The Avian Egg. John Wileyy and Sons. INC. New York. Sa’adah, U. 2007. Daya dan kestabilan buih putih telur ayam ras pada umur simpan dan level penambahan asam sitrat yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan IPB. Bogor. Said, M.I., J.C. Likadja dan Asteria. 2007. Karakteristik tepung telur ayam ras yang difermentasi dengan ragi tape secara anaerob. Laporan Penelitian. Program Studi Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar.
34
Sastrohamidjojo, H. 2005. Kimia Organik: Sterokimia, Karbohidrat, Lemak dan Protein. Gadjah mada University Press. Yogyakarta. Siregar, R., A. Hintono, dan S. Mulyani. 2012. Perubahan sifat fungsional telur ayam ras pasca pasteurisasi. Anim. Agriculture. J. 1(12):521-528. Soedjarwo. 1991. Penetasan. Fakultas Universitas Brawijaya. Malang. Stadelman, W.J. dan O.J Cotterill. 1973. Egg Science and Technology. The Avi Publishing Company Inc. Westport. Connecticut. th
____________________________. 1995. Egg Science and Technology. 4 Ed. Food Products Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc. New York. Stewart, G.F. dan Abbott, J.C. 1972. Marketing Eggs and Poultry. Food Agriculture Organization of The United Nation. Rome. Wibowo, B. dan E. Juarini. 2008. Susteinabilitas usaha penetasan telur itik di Blitar Jawa Timur. Makalah Seminar Nasional Teknologi dan Veteriner. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Winarno, F.G. dan S. Koswara. 2002. Telur: Komposisi, Penanganan Dan Pengolahannya. M – Brio Press. Bogor.
35
LAMPIRAN Lampiran 1. Analisis Ragam Pengaruh Jenis dan Level Pemberian Karbohidrat yang Berbeda terhadap daya busa telur infertil a. Deskripsi daya busa telur infertil hasil penelitian
Descriptive Statistics Dependent Variable:Daya Busa Jenis Karbohidrat
Level Karbohidrat
Sukrosa
0%
2.2783E2
1.77090
4
4%
2.8438E2
1.64470
4
8%
3.2290E2
4.38085
4
Total
2.7837E2
40.86245
12
0%
2.2820E2
1.18919
4
4%
3.3328E2
1.72146
4
8%
3.1662E2
2.77492
4
Total
2.9270E2
48.19547
12
0%
2.2802E2
1.41018
8
4%
3.0883E2
26.18218
8
8%
3.1976E2
4.77639
8
Total
2.8554E2
44.30591
24
Maltodekstrin
Total
Mean
Std. Deviation
N
b. Tabel Anova pengaruh perlakuan terhadap daya busa
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Daya Busa Source Corrected Model Intercept Faktor_A Faktor_B Faktor_A * Faktor_B Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares
df
45037.973a 1956736.520 1231.334 40177.143 3629.496 111.332 2001885.825 45149.305
Mean Square 5 1 1 2 2 18 24 23
9007.595 1956736.520 1231.334 20088.571 1814.748 6.185
F 1.456E3 3.164E5 199.080 3.248E3 293.405
Sig. .000 .000 .000 .000 .000
a. R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .997)
36
c. Uji BNT pengaruh pemberial level karbohidrat yang berbeda terhadap daya busa
Multiple Comparisons Dependent Variable:Daya Busa Mean (I) Level (J) Level Difference (IKarbohidrat Karbohidrat J) Std. Error LSD 0%
8%
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
-80.8133
*
1.24350
.000
-83.4257
-78.2008
-91.7401
*
1.24350
.000
-94.3526
-89.1276
0%
80.8133*
1.24350
.000
78.2008
83.4257
8%
-10.9269*
1.24350
.000
-13.5394
-8.3144
0%
91.7401
*
1.24350
.000
89.1276
94.3526
10.9269
*
1.24350
.000
8.3144
13.5394
4% 8%
4%
95% Confidence Interval
4%
*. The mean difference is significant at the .05 level.
37
Lampiran 2. Analisis Ragam Pengaruh Jenis dan Level Pemberian Karbohidrat yang Berbeda terhadap Stabilitas Busa Telur Infertil a. Deskripsi stabilitas busa telur infertil hasil penelitian Descriptive Statistics Dependent Variable:Stabilitas Busa Jenis Karbohidrat
Level Karbohidrat
Sukrosa
0%
30.5922
.09366
4
4%
34.5680
.18757
4
8%
35.5855
.12353
4
Total
33.5819
2.25382
12
0%
30.7115
.06041
4
4%
34.7030
.15001
4
8%
38.6943
.08526
4
Total
34.7029
3.40519
12
0%
30.6519
.09688
8
4%
34.6355
.17300
8
8%
37.1399
1.66460
8
Total
34.1424
2.88147
24
Maltodekstrin
Total
Mean
Std. Deviation
N
b. Tabel Anova pengaruh perlakuan terhadap stabilitas busa
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Stabilitas Busa Source Corrected Model Intercept Faktor_A Faktor_B Faktor_A * Faktor_B Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares
df
190.688a 27976.911 7.540 171.294 11.854 .278 28167.876 190.966
Mean Square 5 1 1 2 2 18 24 23
38.138 27976.911 7.540 85.647 5.927 .015
F 2.470E3 1.812E6 488.357 5.547E3 383.883
Sig. .000 .000 .000 .000 .000
a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)
38
c. Uji BNT pengaruh pemberial level karbohidrat yang berbeda terhadap stabilitas busa
Multiple Comparisons Dependent Variable:Stabilitas Busa (I) Level Karbohi drat LSD
0%
(J) Level Karbohi Mean Difference drat (I-J) Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
-3.9836
.06213
.000
-4.1141
-3.8531
-6.4880
*
.06213
.000
-6.6185
-6.3575
3.9836
*
.06213
.000
3.8531
4.1141
-2.5044
*
.06213
.000
-2.6349
-2.3739
0%
6.4880
*
.06213
.000
6.3575
6.6185
4%
2.5044*
.06213
.000
2.3739
2.6349
4% 0% 8%
8%
Sig.
*
8% 4%
95% Confidence Interval
*. The mean difference is significant at the .05 level.
39
Lampiran 3. Analisis Ragam Pengaruh Jenis dan Level Pemberian Karbohidrat yang Berbeda terhadap Waktu Koagulasi Telur Infertil a. Deskripsi waktu koagulasi telur infertil hasil penelitian
Descriptive Statistics Dependent Variable:Waktu Koagulasi Jenis Karbohidrat
Level Karbohidrat
Sukrosa
0%
7.2725
.03594
4
4%
9.5125
.78945
4
8%
12.6375
.52741
4
Total
9.8075
2.35095
12
0%
7.4300
.04397
4
4%
10.4850
.44785
4
8%
13.0225
.51636
4
Total
10.3125
2.41469
12
7.3513
.09203
8
4%
9.9988
.78947
8
8%
12.8300
.52519
8
Total
10.0600
2.34488
24
Maltodekstrin
Total
Mean
0%
Std. Deviation
N
b. Tabel Anova pengaruh perlakuan terhadap waktu koagulasi Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Waktu Koagulasi Source Corrected Model Intercept Faktor_A Faktor_B Faktor_A * Faktor_B Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares
df
a
122.349 2428.886 1.530 120.112 .707 4.115 2555.351 126.465
Mean Square 5 1 1 2 2 18 24 23
24.470 2428.886 1.530 60.056 .354 .229
F 107.027 1.062E4 6.693 262.673 1.547
Sig. .000 .000 .019 .000 .240
a. R Squared = .967 (Adjusted R Squared = .958)
40
c. Uji BNT pengaruh pemberial level karbohidrat yang berbeda terhadap waktu koagulasi
Multiple Comparisons Dependent Variable:Waktu Koagulasi (I) Level Karbohi drat LSD
0%
(J) Level Karbohi Mean Difference drat (I-J) Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
-2.6475
.23908
.000
-3.1498
-2.1452
-5.4787
*
.23908
.000
-5.9810
-4.9765
2.6475
*
.23908
.000
2.1452
3.1498
-2.8313
*
.23908
.000
-3.3335
-2.3290
0%
5.4787
*
.23908
.000
4.9765
5.9810
4%
2.8313*
.23908
.000
2.3290
3.3335
4% 0% 8%
8%
Sig.
*
8% 4%
95% Confidence Interval
*. The mean difference is significant at the .05 level.
41
Lampiran 4. Analisis Ragam Pengaruh Jenis dan Level Pemberian Karbohidrat yang Berbeda Terhadap Kekuatan Telur Infertil a. Deskripsi kekuatan gel telur infertil hasil penelitian
Descriptive Statistics Dependent Variable:Kekuatan Gel Jenis Karbohidrat
Level Karbohidrat
Sukrosa
0%
1.1971E2
.29904
4
4%
1.0445E2
.98746
4
8%
97.6682
.36417
4
Total
1.0727E2
9.64310
12
0%
1.1915E2
.19563
4
4%
1.0583E2
.86339
4
8%
99.1853
1.15974
4
Total
1.0806E2
8.70511
12
0%
1.1943E2
.37738
8
4%
1.0514E2
1.13133
8
8%
98.4268
1.13612
8
1.0766E2
8.99300
24
Maltodekstrin
Total
Mean
Total
Std. Deviation
N
b. Tabel Anova pengaruh perlakuan terhadap kekuatan gel Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Kekuatan Gel Source Corrected Model Intercept Faktor_A Faktor_B Faktor_A * Faktor_B Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares
df
a
1850.127 278201.623 3.654 1841.113 5.361 9.977 280061.727 1860.104
Mean Square 5 1 1 2 2 18 24 23
370.025 278201.623 3.654 920.556 2.680 .554
F 667.549 5.019E5 6.591 1.661E3 4.835
Sig. .000 .000 .019 .000 .021
a. R Squared = .995 (Adjusted R Squared = .993)
42
c. Uji BNT pengaruh pemberial level karbohidrat yang berbeda terhadap kekuatan gel
Multiple Comparisons Dependent Variable:Kekuatan Gel (I) Level Karbohi drat LSD
0% 4% 8%
(J) Level Karbohi Mean Difference drat (I-J) Std. Error
95% Confidence Interval
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
14.2915
*
.37226
.000
13.5094
15.0736
8%
21.0030
*
.37226
.000
20.2209
21.7851
0%
-14.2915*
.37226
.000
-15.0736
-13.5094
8%
6.7115*
.37226
.000
5.9294
7.4936
0%
-21.0030
*
.37226
.000
-21.7851
-20.2209
-6.7115
*
.37226
.000
-7.4936
-5.9294
4%
4%
*. The mean difference is significant at the .05 level.
43
Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian
44
45
RIWAYAT HIDUP Kiki Rezki Muchlis, lahir pada tanggal 9 November 1993 di Rantepao, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara, lahir dari pasangan Muchlis Nurdin dan Yulfina Paressa. Pendidikan yang pernah ditempuh penulis adalah TK Aisyah di Makale, Tana Toraja dan lulus pada tahun 1999, kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SDN No. 213 Inpres Lemo di Makale Utara, Tana Toraja dan lulus pada tahun 2005. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Makale, Tana Toraja dan lulus pada tahun 2008, kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Makale, Tana Toraja dan lulus pada tahun 2011. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, penulis diterima sebagai mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Ternak Universitas Hasanuddin (HIMATEHATE_UH) serta sebagai asisten praktikum Dasar Teknologi Hasil Ternak dan asisten praktikum Teknologi Pengolahan Hasil Ternak.
46