KUALITAS FISIKOKIMIA CHIP TELUR INFERTIL SISA HASIL INDUSTRI PENETASAN DENGAN PENAMBAHAN JENIS DAN LEVEL BAHAN PENGISI BERBEDA
SKRIPSI
OLEH KARTINA I 111 12 017
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016 i
KUALITAS FISIKOKIMIA CHIP TELUR INFERTIL SISA HASIL INDUSTRI PENETASAN DENGAN PENAMBAHAN JENIS DAN LEVEL BAHAN PENGISI BERBEDA
Oleh
KARTINA I 111 12 017
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016 ii
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Kartina
NIM
: I 111 12 017
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa: a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi ini, terutama Bab Hasil dan Pembahasan, tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku. 2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.
Makassar,
Mei 2016
Kartina
iii
HALAMAN PENGESAHAN
: Kualitas Fisikokimia Chip Telur Infertil Sisa Hasil
Judul Skripsi
Industri Penetasan Dengan Penambahan Jenis Dan Level Bahan Pengisi Yang Berbeda
Nama
: Kartina
Nomor Induk Mahasiswa
: I 111 12 017
Fakultas
: Peternakan
Skripsi ini Telah Diperiksa dan Disetujui oleh :
Dr. Nahariah, S.Pt, M.P Pembimbing Utama
Dr. Fatma Maruddin, S.Pt, M.P Pembimbing Anggota
Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc Dekan
Prof. Dr. drh. Hj. Ratmawati Malaka, M.Sc Ketua Program Studi
Tanggal Lulus :
iv
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., atas rahmat dan taufikNya sehingga dapat menyelesaikan skripsi pada waktu yang tepat. Penulis dengan rendah hati mengucapakan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing dalam menyelesaikan skripsi ini utamanya kepada :
1.
Ibu Dr. Nahariah, S.Pt, M.P sebagai pembimbing utama dan Ibu Dr. Fatma Maruddin,
S.Pt,
M.P
sebagai
pembimbing
anggota,
atas
segala
keikhlasannya meluangkan banyak waktu untuk membimbing, memberi nasihat dan memotivasi sejak awal penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini. 2.
Bapak Dr. Muh. Irfan Said, S.Pt, M.P, Ibu Dr. Wahniyathi Hatta, M.Si dan Bapak Dr. Ir. M. Ihsan Dagong, M.Si, yang telah banyak memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.
3.
Bapak Dekan Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc, Ibu Wakil Dekan I, Ibu Wakil Dekan II dan Bapak Wakil Dekan III.
4.
Ketua Program Studi Peternakan Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Ratmawati Malaka, M.Sc dan Ketua Bagian Teknologi Hasil Ternak Bapak Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt, M.P.
5.
Bapak Prof. Dr. Ir. Abd. Latif Tolleng, M.Sc sebagai Penasehat Akademik yang telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis.
6.
Bapak dan Ibu Dosen dan Pegawai Fakultas Peternakan tanpa terkecuali yang telah membimbing penulis sepanjang proses perkuliahan .
7.
KEMENRISTEK DIKTI yang telah memberikan beasiswa BIDIKMISI v
8.
Ayahanda
Marsuki
(almarhum),
Ibunda
Nurmi
dan
Ayahanda
Hasanuddin, atas segala doa, dukungan dan kasih sayang yang tiada henti sehingga penulis memiliki semangat yang tinggi. 9.
Sahabat-sahabatku Irma, Aulya, Ayu, Yuyu, Sari, Appe, yang telah menemani, berbagi ilmu, memberi semangat dan tempat berkeluh kesah penulis diawal menjadi mahasiswa.
10. Keluarga Kecilku Andi Sri Wahyuni, S.Sos, Sukri.B, Ibrahim, Nurseha, Irma Juwita, Supi Asriani, Suardi, Muh.Rusliadi, Kak Fitra, Nurul Asri Rahayu, Aridah, Nurmala, Ika Ristiana, Reni, S.P, Herman, Yusuf, Anwar.G, Wahyuddin Abbas, S.P, Muhammad Harianto, Saharia, Lia, Syiar, Winda, Serli, Jannah, Diana, Diani, dan Leha yang senantiasa menemani penulis dengan canda tawa dan wawasan yang baru. 11. Teman tim penelitian telur infertil Hasrianti, Yuyu, Nanda, Agus, kak Aby dan kak Jaya terima kasih atas bantuan dan kerja samanya. Kak Trias Devianti A.K. yang telah memberikan bantuan dan arahan kepada penulis selama melaksanakan penelitian. 12. Teman Kelas A, Flock Mentality 2012 dan tim PKL Teaching Industry terimakasih telah berbagi ilmu pengetahuan dengan penulis dan terima kasih atas kebersamaannya. 13. Teman-teman HIMATEHATE_UH (2010, 2011, 2012, 2013, 2014 dan 2015), yang telah menjadi wadah bagi penulis untuk belajar. 14. Tim Asisten Dasar Teknologi Hasil Ternak dan Pengawasan Mutu Industri, terima kasih karena kalian telah berbagi ilmu dan tanggung jawab.
vi
15. Kakanda Syamsuddin, S.Pt, Syachroni, S.Pt, Haikal, S.Pt, Andri Teguh Prabowo, S.Pt, Arham Janwar, S.Pt, Basri, S.Pt, Lukman Hakim,S.Pt, Azmi Mangalisu, S.Pt, Kiki Rezki Muchlis, S.Pt, Syahriana Sabil, S.Pt, Muh. Fuad S.Pt. Aprisal Nur, S.Pt, Ichwan Husain, Andar, Iwan, Asmi terima kasih atas bimbingan dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 16. SEMA
FAPET-UH,
IKAB
UNHAS
(IKAB
periode
2012/2013,
2013/2014, 2014/2015, dan 2015/2016), KKMB KOM. UNHAS terima kasih telah menjadi wadah bagi penulis untuk belajar banyak hal. 17. Teman-teman KKN Reguler UNHAS Gel. 90, Desa Aska, Kec. Sinjai Selatan, Kab. Sinjai, terima kasih atas kerjasamanya. 18. Sahabat-sahabat kecilku Wiwik, Tanti, Vivi, Lili, Yayat, Tuti, Fitri, Putri, Ella, Jida, Awal dan Mala yang telah memberikan banyak pengalaman. 19. Wahyuddin Abbas, terima kasih atas doa, motivasi, kebersamaan dan semangat yang diberikan. 20. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan, terima kasih atas dukungan dan kerja samanya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu penulis memohon saran untuk memperbaiki kekurangan tersebut. Saran dan kritik yang membangun dari pembaca akan membantu kesempurnaan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca. Amin. Makassar, Mei 2016
Penulis
vii
ABSTRAK
KARTINA (I 111 12 017). Kualitas Fisikokimia Chip Telur Infertil Sisa Hasil Industri Penetasan dengan Penambahan Jenis dan Level Bahan Pengisi Berbeda. Dibawah bimbingan NAHARIAH sebagai pembimbing utama dan FATMA MARUDDIN sebagai pembimbing anggota. Telur infertil umumnya hanya menjadi limbah industri penetasan sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitasnya dengan mengolah menjadi produk pangan yang bentuknya berupa lempengan tipis, kecil, dan padat (chip). Pembuatan chip telur infertil membutuhkan bahan pengisi yang baik untuk menghasilkan kualitas fisikokimia yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas fisikokimia meliputi kekerasan, kerapuhan, waktu larut dan kadar air chip dari telur infertil hasil afkir industri penetasan berdasarkan jenis bahan pengisi (tepung kedelai, tepung tapioka dan tepung kombinasi) dengan level yang berbeda. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 3x3. Faktor pertama adalah jenis bahan pengisi yang terdiri dari tepung kedelai, tepung tapioka dan tepung kombinasi (tepung tapioka 50% dan tepung kedelai 50%), sedangkan faktor kedua adalah level bahan pengisi (0%, 3% dan 6%). Parameter yang diukur pada penelitian ini yaitu kekerasan, kerapuhan, waktu larut dan kadar air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis bahan pengisi berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap waktu larut. Penambahan level bahan pengisi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kekerasan, kerapuhan dan waktu larut. Terdapat interaksi antara jenis dan level bahan pengisi terhadap kekerasan dan waktu larut. Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa penambahan jenis dan level bahan pengisi yang berbeda dapat memperbaiki kualitas fisikokimia chip telur infertil sisa hasil industri penetasan. Kekerasan, kerapuhan dan waktu larut chip telur infertil dapat menggunakan bahan pengisi tepung tapioka pada level 3%.
Kata kunci: telur infertil, penetasan, bahan pengisi, chip telur
viii
ABSTRACT
KARTINA (I 111 12 017). Physicochemical quality Chip Infertile Egg Hatching Results of salvage industry with Addition Type and Level Fillers Differents. Guided by NAHARIAH as main supervisor and FATMA MARUDDIN as Co-supervisor.
Infertile egg generally only be industrial waste hatching so that the necessary efforts to improve its quality by processed into a food product that was shaped in the form of thin plates, small and dense (chip). Infertile egg chip manufacture requires excipients to good quality physicochemical product. The purpose of this research was to determine the physicochemical qualities include hardness, friability, a chip soluble and water content of infertile egg hatching results of salvage industry based on the type of filler (soy powder, tapioca powder and combination powder) with different levels. This study uses a completely randomized design (CRD) 3x3 factorial design. The first factor was the types of filler composed of soy powder, tapioca powder and combination powder (50% cassava powder and soy powder 50%), while the second factor was the level of excipients (0%, 3% and 6%). The parameters measured in this studes, namely hardness, friability, solubility time and moisture content. The results showed that the type of filler material was highly significant (P <0.01) with respect to time to dissolve. The addition of filler levels significantly (P <0.05) against violence, fragility and soluble time. There was no interaction between the types and levels of fillers to violence and soluble time. Based on research, it can be concluded that the addition of different types and different levels of fillers can improve the quality of the rest of the physicochemical chip infertile eggs hatching industrial products. Hardness, friability and solubility time chip infertile eggs can use tapioca starch filler material at the level of 3%.
Keywords: infertile eggs, hatching, fillers, eggs chip
ix
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI.............................................................................................................
x
DAFTAR TABEL.....................................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................
xiv
PENDAHULUAN ....................................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Telur .......................................................................................
4
Tinjauan Umum Telur Infertil ...........................................................................
6
Kekerasan dan Kerapuhan (Friabilitas) ............................................................
8
Waktu Larut dan Kadar Air ...............................................................................
9
Penambahan Bahan Pengisi pada Chip Telur....................................................
11
Hipotesis............................................................................................................
13
MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ............................................................................................
14
Materi Penelitian ...............................................................................................
14
Metode Penelitian..............................................................................................
14
Analisis Data .....................................................................................................
18
Diagram Alir .....................................................................................................
19
x
HASIL DAN PEMBAHASAN Kekerasan ..........................................................................................................
20
Kerapuhan .........................................................................................................
23
Waktu Larut ......................................................................................................
25
Kadar Air...........................................................................................................
27
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .......................................................................................................
29
Saran..................................................................................................................
29
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
30
LAMPIRAN..............................................................................................................
33
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................................
44
xi
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1. Komposisi telur ayam ...........................................................................
6
2. Komposisi kimia tepung kedelai ..........................................................
11
3. Komposisi kimia tepung tapioka ..........................................................
12
4. Rataan kekerasan (kg/cm3) chip telur infertil sisa hasil industri penetasan pada penambahan jenis dan level bahan pengisi yang berbeda .................................................................................................
20
5. Rataan kerapuhan chip telur infertil sisa hasil industri penetasan pada penambahan jenis dan level bahan pengisi yang berbeda ............
23
6. Rataan waktu larut (menit) chip telur infertil sisa hasil industri penetasan pada penambahan jenis dan level bahan pengisi yang berbeda .................................................................................................
25
7. Rataan kadar air chip telur infertil sisa hasil industri penetasan pada penambahan jenis dan level bahan pengisi yang berbeda ............
27
8. Syarat Mutu Gula Pasir atau Sukrosa .......................................................
12
xii
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1. Struktur telur.........................................................................................
5
2. Diagram alir penelitian .........................................................................
19
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1. Analisis ragam pengaruh jenis dan level penambahn bahan pengisi yang berbeda terhadap kekerasan chip telur infertil .............................
33
2. Analisis ragam pengaruh jenis dan level penambahan bahan pengisi yang berbeda terhadap kerapuhan chip telur infertil ............................
35
3. Analisis ragam pengaruh jenis dan level penambahan bahan pengisi yang berbeda terhadap waktu larut chip telur infertil ...........................
37
4. Analisis ragam pengaruh jenis dan level penambahan bahan pengisi yang berbeda terhadap kadar air telur infertil .......................................
39
5. Dokumentasi penelitian ........................................................................
41
xiv
PENDAHULUAN Telur merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki nilai gizi tinggi, namun memiliki umur simpan yang relatif pendek. Telur dapat mengalami penurunan kualitas selama penyimpanan. Penurunan kualitas telur dapat diminimalkan dengan teknik yang sering dilakukan yaitu dengan mengolah telur menjadi produk yang dikenal dengan tepung telur. Tepung telur dapat diolah lebih lanjut menjadi chip telur untuk mencegah kerusakan dan menambah nilai jual telur. Telur konsumsi yang umumnya beredar di masyarakat yaitu telur infertil dan fertil. Telur infertil merupakan telur yang tidak dibuahi oleh pejantan. Telur infertil dapat berasal dari telur konsumsi yang umum dijual di pasaran dengan harga yang murah. Telur infertil saat dilakukan proses candling ternyata tidak ditemukan embrio dalam telur sehingga telur tidak dapat menetas dan harus diafkir dari industri penetasan. Telur infertil adalah hasil candling pada proses penetasan menggunakan mesin tetas. Telur infertil dapat disebabkan oleh berbagai kemungkinan seperti perbandingan antara pejantan dan induk yang kurang seimbang, gizi pejantan dan induk kurang sempurna, umur pejantan atau induk ayam yang sudah terlalu tua (Nuryati dkk., 2002). Telur infertil memiliki kualitas fisik yang rendah karena putih telur dan kuning telur menyatu meskipun masih layak dikonsumsi. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan hasil olahan dari telur infertil agar tetap layak digunakan sebagai bahan baku. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membuat chip telur. Chip telur merupakan produk 1
pangan yang bentuknya berupa lempengan tipis, kecil, dan padat. Pembuatan chip putih telur telah diteliti dengan penambahan sagu pada level 10% dan menghasilkan kualitas chip telur yang baik. Namun, pembuatan chip telur berbahan dasar telur infertil belum pernah dilakukan penelitian. Telur infertil umumnya hanya menjadi limbah industri penetasan sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitasnya dengan mengolah menjadi produk pangan yang bentuknya berupa lempengan tipis, kecil, dan padat (chip). Telur infertil memiliki kualitas yang rendah sehingga menggunakan alat pengering freeze dryer. Freeze dryer dapat mempertahankan mutu hasil pengeringan, menghindari perubahan aroma, warna dan unsur organoleptik lain, mempertahankan stabilitas struktur bahan. Pembuatan chip telur infertil membutuhkan bahan pengisi yang baik untuk menghasilkan kualitas chip telur yang baik. Bahan pengisi yang dimaksud yaitu tepung tapioka, tepung kedelai dan tepung kombinasi. Tepung tapioka mengandung kerbohidrat tinggi dan tepung kedelai mengandung protein tinggi yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas fisikokimia chip telur infertil sisa hasil industri penetasan dan memperbaiki nilai gizi serta memperpanjang masa simpan. Penambahan bahan pengisi, produk akan mempunyai keunggulan kualitas, baik dari secara fisikokimia (kekerasan, kerapuhan, waktu larut dan kadar air), rasa maupun warna. Oleh karena itu, dilakukan penelitian mengenai kualitas fisikokimia chip telur infertil sisa hasil industri penetasan pada pemberian jenis dan level bahan pengisi yang berbeda.
2
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas fisikokimia meliputi kekerasan, kerapuhan, waktu larut dan kadar air chip dari telur infertil sisa hasil industri penetasan berdasarkan jenis bahan pengisi (tepung kedelai, tepung tapioka dan tepung kombinasi) dengan level yang berbeda. Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai kualitas fisikokimia chip telur infertil hasil industri penetasan dengan penambahan jenis dan level bahan pengisi yang berbeda. Selain itu, sebagai informasi kepada industri penetasan bahwa telur infertil dapat diolah menjadi sebuah produk.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Telur Telur merupakan bahan pangan sempurna, karena mengandung zat gizi yang dibutuhkan untuk makhluk hidup seperti protein, lemak, vitamin dan mineral dalam jumlah cukup. Di masyarakat telur dapat disiapkan dalam berbagai bentuk olahan, harganya relatif murah, sangat mudah diperoleh dan selalu tersedia setiap saat (Indrawan dkk., 2012). Rasyaf (1996) menyatakan bahwa ciri-ciri telur yang baik antara lain: kerabang bersih, halus, rongga kecil, kuning telurnya terletak di tengah dan tidak bergerak. Ciri-ciri lainnya adalah putih telur bagian dalam kental dan tinggi. Bagian putih telur maupun kuning telur tidak terdapat noda darah maupun daging (Sudaryani, 1997). Telur yang baik dilihat dari struktur fisik adalah putih telur yang masih kental dan bening. Biasanya putih telur ini masih terbagi atas dua lapisan yaitu lapisan yang kental di dekat kuning telur dan lapisan yang encer di bagian terluar kuning telur. Bila semua lapisan telurnya sudah encer maka kualitas telur itu mulai merosot. Telur dikelilingi oleh kulit setebal 0,2-0,4 mm yang berkapur dan berporipori. Kulit telur ayam berwarna putih-kuning sampai coklat, telur bebek berwarna kehijauan dan warna kulit telur burung puyuh ditandai dengan adanya bercak-bercak (totol-totol) dengan warna tertentu. Bagian sebelah dalam kulit telur ditutupi oleh dua lapisan yang menempel satu dengan yang lain, tetapi keduanya akan terpisah pada ujung telur yang tumpul membentuk kantung udara.
4
Kantung udara mempunyai diamater sekitar 5 mm pada telur segar dan bertambah besar ukurannya selama penyimpanan (Sriyuniarti, 2000). Sebutir telur terdiri atas kulit telur, lapisan kulit telur (kutikula), membran kulit telur, putih telur (albumen), kuning telur (yolk), bakal anak ayam (germ spot) dan kantung udara. Telur terdiri dari tiga komponen utama, yaitu bagian kulit telur 8-11%, putih telur (albumen) 57-65% dan kuning telur 27-32% (Bell and Weaver, 2002; Cunningham, 1976). Struktur telur dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Potongan melintang telur (Suprapti, 2002). Keterangan gambar : 1. Kulit luar (shell) dengan lapisan tipis di bagian luar (mucus) 2. Selaput tipis yang menempel pada shell selaput tipis lain yang melekat pada putih telur (membrane) 3. Lapisan putih telur (egg white) pada 2 tempat, dekat dengan kulit (3a) dan yang dekat dengan kuning telur (3b) kondisinya lebih encer 4. Lapisan putih telur kental (diapit 2 lapisan putih telur encer) 5. Kuning telur (yolk) 6. Titik benih (lembaga) atau germ spot 5
7. Tali pengikat kulit telur (chalazeae) 8. Rongga udara (air space) 9. Lapisan luar kuning telur (vitellin). Telur mempunyai pelindung yang keras dalam bentuk kulit telur/kerabang, sehingga secara umum kualitas telur ditentukan dari kualitas internal, yaitu dari komposisi gizinya. Komposisi gizi telur disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Telur Ayam Tiap 100 Gram Komponen Telur utuh Putih Telur Air (%) 73,70 88,57 Protein (%) 13,00 10,30 Lemak (g) 11,50 0,03 Karbohidrat (g) 0,65 0,65 Abu (g) 0,90 0,55 Sumber: Winarno dan Koswara (2002)
Kuning Telur 48,50 16,15 34,65 0,60 1,10
Telur merupakan solusi kekurangan gizi pada masalah gizi sekarang yang dihadapi. Telur bersifat ekonomis dan mudah didapat. Selain itu, penanganan yang tepat dapat memperpanjang daya simpan telur segar yaitu pengawetan dan pengolahan merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penurunan kualitas telur (Sudaryani, 2003). Tinjauan Umum Telur Infertil Telur infertil merupakan telur hasil seleksi (candling) dari perusahaan penetasan (hatchery) yang tidak bisa ditetaskan karena dalam proses produksinya telur tersebut tidak terbuahi. Telur infertil biasanya telah diseleksi dan dipisahkan dari mesin penetas pada hari ke-10 penetasan. Secara fisik kualitas telur ini sudah turun karena komponen putih telur dan kuning telur sudah menyatu namun masih
6
layak untuk dikonsumsi. Telur infertil biasanya dijual ke konsumen dengan harga sangat rendah dibanding dengan telur segar (Ningrum dkk., 2013). Telur tampak terang pada saat candling disebabkan karena telur infertil atau embrio dalam telur mengalami mati dini. Telur infertil sendiri dapat disebabkan karena perbandingan antara pejantan dan induk kurang seimbang pada saat proses pembuahan, gizi pejantan dan induk ayam kurang sempurna (vitamin A dan E), umur pejantan dan induk yang terlalu tua atau muda, dan kurang aktif atau kualitas sperma kurang baik. Embrio di dalam telur mengalami mati dini disebabkan karena faktor penyimpanan telur tetas yang kurang baik dan penyimpanan terlalu lama, sehingga menyebabkan mikrobia masuk ke dalam telur dan merusak isi telur serta fumigasi terlalu lama atau dosis fumigan terlalu tinggi juga dapat menjadikan embrio telur mati dini (Nuryati dkk., 2002). Telur yang digunakan pada proses penetasan di mesin tetas adalah berasal dari ayam betina yang dipelihara bersama dengan ayam jantan sehingga diharapkan dari perkawinan tersebut dapat menghasilkan telur yang fertil. Namun, pada kenyataannya tidak seluruh telur yang dihasilkan fertil. Fertilitas telur tetas dihitung dengan membandingan telur tetas fertil dengan keseluruhan telur tetas yang masuk ke dalam mesin penetas (Wibowo dan Juarini, 2008). Telur infertil dideteksi dengan cara diteropong (candling) menggunakan cahaya. Telur infertil akan tampak terang saat candling. Telur yang nampak terang saat proses candling sebenarnya tidak hanya telur infertil saja tetapi juga telur yang embrionya mengalami mati dini. Namun pada proses candling semua telur tampak terang disebut telur infertil karena penampakannya sama (Nuryati dkk., 2002).
7
Telur infertil hasil candling pada proses penetasan menggunakan mesin tetas tergolong telur yang sudah tidak segar lagi karena sudah mengalami pemeraman hingga berhari-hari dengan suhu 38oC. Faktor lingkungan atau kondisi pemeraman serta waktu pemeraman telur dapat mempengaruhi sifat telur. Suhu pemeraman yang lebih tinggi daripada suhu ruang yakni 38oC merupakan suhu fisiologis yang dapat mengakibatkan mikrobia cepat sekali berkembang sehingga dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis protein dan lemak dalam telur. Perubahan sifat telur terutama disebabkan oleh adanya kontaminasi mikrobia dari luar yang masuk melalui pori-pori pada kerabang sehingga merusak isi telur. Telur biasanya dimanfaatkan sebagai telur konsumsi dan sebagai bahan pada industri pengolahan pangan. Sebagai telur konsumsi, zat gizi di dalam telur tersebut perlu diperhatikan (Almunifah, 2013). Kekerasan dan Kerapuhan (Friabilitas) Kekerasan merupakan salah satu parameter mutu yang menggambarkan ketahanan chip telur terhadap gangguan mekanis. Kekerasan chip telur diukur secara mekanis digunakan sebagai parameter kualitas fisik chip telur untuk mengetahui kekompakan chip telur setelah pencetakan. Chip telur yang kompak diperkirakan mampu bertahan selama proses pendistribusian dan penyimpanan. Selain itu, energi mekanik pengepresan, kekerasan chip telur juga dipengaruh oleh komponen bahan yang mengalami perubahan bentuk ketika pengepresan, sehingga masing-masing butiran saling mengunci satu sama lain. Marais dkk. (2003) menyatakan bahwa jika gaya tekan yang digunakan saat pencetakan chip kecil, maka kecil pula tekanan yang diterima oleh bahan, 8
sehingga kekerasan chip juga semakin rendah atau bersifat rapuh. Selain energi mekanik pengepresan, komposisi bahan pengisi juga berpengaruh terhadap kekerasan chip. Kerapuhan merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur ketahanan permukaan chip terhadap gesekan yang dialaminya sewaktu pengemasan dan pengiriman. Chip dianggap baik bila kerapuhan tidak lebih dari 1% (Parrott, 1971). Uji kerapuhan berhubungan dengan kehilangan bobot akibat abrasi yang terjadi pada permukaan chip. Semakin besar persentase kerapuhan, maka semakin besar massa chip yang hilang. Kerapuhan yang tinggi akan mempengaruhi konsentrasi/kadar zat aktif yang masih terdapat pada chip. Chip dengan konsentrasi zat aktif yang kecil (chip dengan bobot kecil), adanya kehilangan massa akibat rapuh akan mempengaruhi kadar zat aktif yang masih terdapat dalam chip (Lachman dkk., 1994). Waktu Larut dan Kadar Air Waktu larut bertujuan untuk mengetahui waktu yang diperlukan oleh chip telur larut. Kelarutan sempurna tercapai jika produksi gas CO2 di dalam air terhenti (Mohrle, 1989). Semakin besar energi mekanik pengepresan yang digunakan, tekstur chip juga semakin tinggi, sehingga kelarutannya semakin lama. Tekstur chip telur yang tinggi akan menyebabkan chip telur tenggelam terlebih dahulu kemudian naik kepermukaan, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk larut semakin lama. Sedangkan chip telur yang rapuh, akan langsung larut dan pecah di permukaan air, sehingga kelarutannya relatif lebih cepat.
9
Marais dkk. (2003) bahwa chip yang rapuh biasanya memiliki waktu larut yang lebih cepat. Energi mekanik pengepresan yang tinggi menyebabkan densitas chip menjadi kecil, sehingga panetrasi cairan ke dalam struktur chip menjadi sulit. Mekanisme proses kelarutan chip telur dalam air mineral dapat dikemukakan dengan 3 (tiga) tahapan, yaitu: o Pertama, pada awal pencelupan, chip telur diselimuti oleh lapisan air yang akan terserap ke dalam chip telur. o Kedua, setelah air terabsorpsi ke dalam chip telur, ikatan antar butiran lepas yang mengakibatkan terbentuknya butiran-butiran kecil di dalam air. Pelepasan ikatan antar butiran mengeluarkan energi yang cukup besar yang ditandai dengan terjadinya pembentukan gelembung-gelembung udara yang berlanjut dengan terbentuknya gas CO2 di dalam air. o Ketiga, terjadi perubahan bentuk dari butiran-butiran kecil menjadi butiranbutiran halus yang secara kasat mata tidak dapat diindera lagi. Pada tahapan ini gelembung-gelembung udara juga sudah tidak tampak lagi, hal ini menunjukkan bahwa antara zat terlarut (chip telur) dengan pelarut (air mineral) berada dalam kondisi kesetimbangan. Kadar air adalah banyaknya kandungan air yang terdapat dalam suatu bahan. Nilai kadar air dapat ditentukan dari pengurangan berat suatu bahan yang dipanaskan pada suhu pengujian. Kadar air erat hubungannya dengan tekstur produk, cita rasa penampakan, daya simpan suatu bahan pangan (Winarno, 2002). Menurut deMan (1997) air merupakan faktor pendukung yang sangat mempengaruhi laju perubahan kimiawi maupun fisik pada bahan makanan.
10
Prinsip dalam pengukuran kadar air adalah dengan cara mengeringkan bahan o
o
dalam oven dengan suhu 105 C-121 C hingga dicapai berat yang konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan. Nilai kadar air yang rendah akan mencegah tumbuhnya bakteri dan jamur yang dapat menyebabkan kerusakan pada produk (Winarno, 2002). Penambahan Bahan Pengisi Pada Chip Telur Beberapa jenis bahan pengisi yang biasa digunakan pada bahan pangan diantaranya tepung kedelai dan tepung tapioka. Tepung kedelai merupakan tepung yang terbuat dari biji kedelai kering yang digiling halus. Kedelai utuh mengandung 35-40% protein, paling tinggi dari segala jenis kacang-kacangan. Ditinjau dari segi mutu, protein kedelai adalah yang paling baik mutu gizinya yaitu hampir setara dengan protein daging. Diantara jenis kacang-kacangan, kedelai merupakan sumber protein paling baik karena mempunyai susunan asam amino esensial paling lengkap. Disamping itu kedelai juga dapat digunakan sebagai sumber lemak, vitamin, mineral dan serat (Sundarsih dan Kurniaty, 2009). Tabel 2. Komposisi Kimia Tepung Kacang Kedelai Klasifikasi Energi (kalori) Protein (gr) Karbohidrat (gr) Lemak (gr) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) Vitamin A (IU) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Sumber: Anonim (1970)
Keterangan 347 35,9 29,9 20,6 195 554 8 140 0,77 0
11
Tepung kedelai merupakan salah satu bahan pengikat yang dapat meningkatkan daya ikat air pada bahan makanan karena di dalam tepung kedelai terdapat pati dan protein yang dapat mengikat air. Daya ikat air mempengaruhi ketersediaan air yang diperlukan oleh mikroorganisme sebagai salah satu faktor penunjang pertumbuhannya. Semakin meningkat daya ikat air maka ketersediaan air yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme semakin berkurang, sehingga aktivitas bakteri dalam bahan makanan yang dapat menyebabkan kebusukan menurun (Virgo, 2007). Tepung tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong. Tepung tapioka mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Komposisi zat gizi tepung tapioka lebih baik bila dibandingkan dengan tepung jagung, kentang, dan gandum atau terigu, tapioka juga dapat digunakan sebagai bahan bantu pewarna putih. Tepung tapioka juga banyak digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat dalam industri makanan, seperti dalam pembuatan puding, sop, makanan bayi, es krim, pengolahan sosis daging, industri farmasi, dan lain-lain (Tri dan Agusto, 1990). Komposisi kimia tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Kimia Tepung Tapioka Komposisi Serat (%) Air (%) Karbohidrat (%) Protein (%) Lemak (%) Energi (kalori/100 gr) Sumber: Grace (1977)
Jumlah 0,5 1,5 85 0,5-0,7 0,2 307
12
Hipotesis Penelitian Hipotesis dari penelitian ini adalah : 1. Penambahan jenis dan level bahan pengisi yang berbeda diduga dapat memperbaiki kualitas fisikokimia chip telur infertil sisa hasil industri penetasan. 2. Terdapat interaksi antara jenis dan level penambahan bahan pengisi terhadap kualitas fisikokimia chip telur infertil sisa hasil industri penetasan.
13
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Desember 2015 sampai Januari 2016, bertempat di Laboratorium Terpadu dan Laboratorium Teknologi Pengolahan Daging dan Telur Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Materi Penelitian Alat yang digunakan antara lain gelas ukur, wadah plastik, mixer, timbangan, freeze dryer, cawan petri, blender, plastik clip, filter paper press, inkubator dan cetakan chip. Bahan yang digunakan adalah telur ayam ras infertil dengan masa pengeraman 9 hari. Telur diperoleh dari industri penetasan PT. Multibreeder Adirama Indonesia (MBAI) Tbk. Cabang Maros, tepung tapioka, tepung kedelai, glukosa, alkohol dan larutan klorin. Metode Penelitian A. Rancangan Penelitan Penelitian ini disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 3x3 dengan masing-masing 3 ulangan. Faktor I adalah jenis bahan pengisi yang terdiri dari tepung kedelai, tepung tapioka dan tepung kombinasi (tepung tapioka 50% dan tepung kedelai 50%). Faktor II adalah level bahan
14
pengisi yang terdiri dari level 0%, 3% dan 6% dari berat tepung telur. Setiap ulangan menggunakan 3 butir telur. Jumlah telur yang digunakan adalah 81 butir. B. Prosedur Penelitian Pembuatan Tepung Telur dengan Menggunakan Metode Kering Beku (Freeze dreyer) Telur dibersihkan menggunakan air yang telah dipanaskan pada suhu 700C, kemudian telur difumigasi dan dibersihkan dengan larutan klorin serta alkohol. Kemudian telur dipecahkan pada wadah tanpa memisahkan bagian kuning telur dan putih telur sebanyak 3 butir. Telur ditimbang dan ditambahkan glukosa sebanyak 4% dari berat telur, lalu dikocok tanpa menghasilkan busa dengan menggunakan mixer. Kemudian telur dituang ke dalam cawan petri dengan dibekukan selama 24 jam, kemudian dimasukkan ke dalam frezee dryer pada tekanan 0,37 Mb, ketebalan 5 mm dan suhu -37oC selama 48 jam. Pembuatan Chip Telur Telur yang telah kering diblender sampai halus. Selanjutnya pembuatan chip telur dengan penambahan bahan pengisi yaitu: tepung kedelai, tepung tapioka dan tepung kombinasi (tepung tapioka:tepung kedelai=1:1). Level masing-masing 0%, 3%, 6%. Pembuatan chip telur tersebut, menggunakan alat filter paper press dengan tekanan yang sama yaitu 60 N selama 1 menit. Selanjutnya chip dikemas menggunakan aluminium foil kamudian dikeringkan pada inkubator dengan suhu 700C selama 5 menit. Kemudian parameter chip telur diukur berdasarkan masingmasing perlakuan. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 2.
15
C. Parameter yang Diukur 1. Kekerasan (Nugrahani dkk., 2005) Tiap chip telur diukur kekerasannya dengan menggunakan alat pengukur kekerasan (Portable Hardness Tester). Nilai kekerasan chip tertera pada layar monitor.
2. Kerapuhan (Setyaningsih, 2010) Analisis kerapuhan dengan menggunakan metode organoleptik yaitu alat indera peraba dengan menggunakan jari tangan yaitu dengan meletakkan chip telur infertil diantara dua jari tangan. Kemudian chip tersebut ditekan diantara 2 (dua) jari tangan untuk mengetahui kerapuhan chip tersebut.
1
2
3
4
5
Keterangan: 1. Amat sangat rapuh 2. Sangat rapuh 3. Rapuh 4. Sedikit rapuh 5. Tidak rapuh
Waktu Larut (Ansel, 1989) Waktu larut adalah waktu yang dibutuhkan chip telur infertil untuk hancur dan menjadi bagian yang tersuspensi. Waktu larut diukur dengan menempatkan chip telur dalam air mineral dengan volume 200 ml pada suhu kamar kemudian dihitung waktu yang diperlukan oleh chip telur untuk benar-benar telah larut semuanya. Standar kelarutan chip telur infertil berdasarkan USP adalah 120 detik.
16
4. Analisa Kadar Air (AOAC, 2003) Kadar air ditentukan dengan mengeringkan chip telur ke dalam oven pada suhu 1000C selama 24 jam, kemudian ditimbang. Kadar air dihitung dengan rumus: W1 – W2 % Kadar air =
x 100 % W1
Keterangan
:
W1 : Berat awal sampel W2 : Berat setelah kering
17
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (Steel dan Torrie, 1991) sesuai dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial. Adapun model matematikanya yaitu : Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + €ijk
I = 1,2,3 j = 1,2,3 k = 1,2,3 (ulangan) Keterangan : Yijk
= Nilai pengamatan pada chip telur infertil ke-k yang menggunakan perbedaan jenis bahan pengisi ke-i dan level bahan pengisi ke-j.
μ
= Nilai rata-rata perlakuan.
αi
= Pengaruh perbedaan jenis bahan pengisi ke-i terhadap karakterikstik fisik chip telur infertil ke-k.
βj
= Pengaruh level bahan pengisi ke-j terhadap karakterikstik fisik chip telur infertil ke-k.
(αβ)ij
= Pengaruh interaksi perbedaan jenis bahan pengisi ke-i terhadap level bahan pengisi ke-j.
€ijk
= Pengaruh galat yang menerima perlakuan jenis bahan pengisi ke-i dan level bahan pengisi ke-j.
Selanjutnya apabila perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil.
18
Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 2. Telur Infertil
Telur dibersihkan menggunakan air yang telah dipanaskan pada suhu 700C, kemudian telur difumigasi dan membersihkan dengan larutan klorin dan alkohol
Telur dipecahkan
Telur ditambahkan glukosa lalu dikocok tanpa menghasilkan busa
Telur dituang ke dalam cawan petri dengan dibekukan selama 24 jam
Telur dimasukkan ke dalam frezee dryer pada tekanan 0,37 Mb, ketebalan 5 mm dan suhu -37oC selama 48 jam
Kemudian dibuat menjadi tepung telur menggunakan blender
Pembuatan chip telur dengan penambahan jenis dan level bahan pengisi yang berbeda dengan tekanan 60 N selama 1 menit
Tepung Telur
Bahan Pengisi 1. Tepung Kedelai 2. Tepung Tapioka 3. Tepung Kombinasi
Level 0% 3% 6%
Chip dikemas menggunakan aluminium foil kamudian dikeringkan pada inkubator dengan suhu 700C selama 5 menit Parameter Kekerasan
Waktu larut
Kerapuhan
Kadar Air 19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kekerasan Kekerasan dari chip telur infertil sisa hasil industri penetasan dengan penambahan jenis dan level bahan pengisi yang berbeda, disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan kekerasan (kg/cm3) chip telur infertil sisa hasil industri penetasan pada pemberian jenis dan level bahan pengisi yang berbeda Kekerasan Jenis Bahan Pengisi
Level Bahan Pengisi (%)
0 3 Tepung Kedelai 15,51±1.15 15,81±1,20 Tepung Tapioka 13,07±1,69 14,83±1,07 Tepug Kombinasi 13,90±1,40 14,55±1,71 a Rata-rata 14,16±1,64 15,06±1,31a Keterangan : Superskrip huruf yang berbeda pada kolom
6 15,81±1.14 18,75±1,68 14,84±0,90 16,47±2,08b
Rata-rata 15,71±1.02 15,55±2,84 14,43±1,27 15,23±1,90
atau baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P<0,05).
Nilai rataan kekerasan chip telur infertil sisa hasil industri penetasan mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya level penambahan bahan pengisi. Hasil analisis ragam (Tabel 4) menunjukkan bahwa jenis bahan pengisi tidak berpengaruh nyata terhadap kekerasan chip telur infertil sisa hasil industri penetasan. Namun, level bahan pengisi berpengaruh nyata (P<0,05) serta terdapat interaksi antara jenis dan level yang nyata (P<0,01) terhadap kekerasan chip telur infertil sisa hasil industri penetasan. Hasil uji lanjut level bahan pengisi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) antara level bahan pengisi terhadap kekerasan chip telur infertil sisa hasil industri penetasan. Penambahan level bahan pengisi antara 0% hingga 3% tidak berbeda nyata terhadap kekerasan chip telur infertil sisa hasil industri penetasan. Namun jika dilakukan penambahan level bahan pengisi 6% 20
akan meningkatkan kekerasan chip telur infertil sisa hasil industri penetasan hingga ±16,47 kg/cm3. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan bahan pengisi hingga level 6% dapat meningkatkan kekerasan pada chip telur infertil sisa hasil industri penetasan. Semakin banyaknya konsentrasi bahan yang digunakan dapat memiliki nilai kekerasan yang berbeda. Penelitian oleh Hasyim dkk. (2012) menunjukkan bahwa masing-masing tablet/chip memiliki sifat kompaktibilitas yang berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan konsentrasi bahan yang digunakan untuk tiap tablet/chip. Berdasarkan (Tabel 4) rata-rata kekerasan chip telur infertil sisa hasil industri penetasan pada level bahan pengisi memiliki kekerasan yang lebih tinggi. Namun hal ini disebabkan perbedaan konsentrasi bahan yang digunakan. Hal ini tidak sejalan dengan pendapat (Parrott, 1970) bahwa umumnya chip/tablet dikatakan baik, apabila mempunyai kekerasan antara 4-8 kg/cm3. Kekerasan chip telur kurang dari 4 kg/cm3 masih dapat diterima asalkan kerapuhannya tidak melebihi batas yang ditetapkan. Chip yang tidak keras akan mengalami kerapuhan pada saat pengemasan dan transportasi. Namun, lebih lanjut (Rhoihana, 2008) mengemukakan bahwa Kekerasan chip yang lebih dari 10 kg/cm3 masih dapat diterima, asalkan masih memenuhi persyaratan waktu hancur/desintegrasi dan disolusi yang dipersyaratkan.
21
kekerasan (kg/cm3)
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Tepung Kedelai Tepung Tapioka Tepung Kombinasi
0
3
6
Level Tepung (%) Gambar 2. Interaksi Jenis dan Level Bahan Pengisi Terhadap Kekerasan Chip Telur Infertil hasil afkir industri penetasan Berdasarkan analisis ragam, terdapat interaksi yang berpengaruh nyata (P<0,05) antara jenis dan level bahan pengisi terhadap kekerasan chip telur infertil hasil afkir industri penetasan. Pada interaksi terjadi peningkatan kekerasan chip telur infertil sisa hasil industri penetasan pada level 6%, baik penambahan tepung tapioka maupun tepung kombinasi. Penambahan tepung kedelai terjadi penurunan pada level 6%. Penambahan tepung tapioka pada level 6% menghasilkan nilai kekerasan chip telur infertil sisa hasil industri penetasan lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa level maksimum penambahan tepung tapioka dan tepung kombinasi untuk meningkatkan kekerasan chip telur infertil sisa hasil industri penetasan yaitu pada level 6%, dan pada tepung kedelai level yang digunakan untuk meningkatkan kekerasan yaitu pada level 3%. Hal ini disebabkan tepung tapioka memiliki daya hantar panas yang baik sehingga bisa mempercepat pemasakan dan pengeringan serta daya lekat yang baik (Dwicahyo, 2008). Sifat
22
daya lekat pada tepung tapioka dapat membuat chip telur infertil padat, sehingga chip telur tersebut memiliki kekerasan yang tinggi.
Kerapuhan Kerapuhan dari chip telur infertil sisa hasil industri penetasan dengan penambahan jenis dan level bahan pengisi yang berbeda disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan kerapuhan chip telur infertil sisa hasil industri penetasan pada pemberian jenis dan level bahan pengisi yang berbeda Kerapuhan Jenis Bahan Pengisi
Level Bahan Pengisi (%) 0 3,46±0,10 3,35±0,15 3,18±0,17 3,33 ±0,18b
3 3,14±0,10 3,15 ±0,16 2,81 ±0,28 3,03±0,24a
Rata-rata
6 3,12 ±0,08 3,11±0,45 3.26 ±0,10 3,16±0,25ab
Tepung Kedelai 3,24 ±0,18 Tepung Tapioka 3,20 ±0,28 Tepung Kombinasi 3.08 ±0,27 Rata-rata 3,17±0,25 Keterangan : Superskrip yang berbeda mengikuti nilai rataan pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) 1= amat sangat rapuh, 2= sangat rapuh, 3= rapuh, 4= sedikit rapuh, 5= tidak rapuh
Hasil analisis ragam (Tabel 5) menunjukkan bahwa penambahan level bahan pengisi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kerapuhan chip telur infertil sisa hasil industri penetasan. Jenis bahan pengisi serta interaksi antara jenis dan level bahan pengisi tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kerapuhan chip telur infertil sisa hasil industri penetasan. Hasil ini menunjukkan bahwa jenis bahan pengisi tidak memberikan kontribusi terhadap kerapuhan chip telur infertil sisa hasil industri penetasan. Chip telur infertil sisa hasil industri penetasan lebih baik pada penambahan level 0% yaitu sebesar 3,327 yang menunjukkan rapuh daripada penambahan level bahan pengisi 3% dan 6% yang menunjukkan sangat rapuh.
23
Berdasarkan Tabel 5, dapat diketahui bahwa analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) antara level bahan pengisi terhadap kerapuhan chip telur infertil sisa hasil industri penetasan. Penambahan tepung 0% dapat berpengaruh nyata terhadap penambahan bahan pengisi dengan level 3% dan 6% sedangkan penambahan pada level 3% terhadap level 6% tidak berpengaruh nyata. Hal ini menunjukkan bahwa level memberikan pengaruh terhadap kerapuhan chip telur infertil. Semakin tinggi penambahan level bahan pengisi maka tingkat kerapuhannya semakin rapuh. Chip/tablet dikatakan baik apabila kerapuhannya tidak lebih dari 1% (Parrott, 1971). Nilai rataan kerapuhan chip telur infertil sisa hasil industri penetasan mengalami peningkatan pada level 0% sebesar 3,327 yang merupakan chip telur tersebut rapuh dan mengalami penurunan pada level 3% dan 6% sebesar 3,033% dan 3,161% yang merupakan chip telur tersebut sangat rapuh. Penambahan bahan pengisi pada level 0% memiliki tingkat kerapuhan lebih baik dibandingan dengan penambahan bahan pengisi pada level 3% dan 6%. Chip yang mudah rapuh dan pecah pada pengemasan dan transportasi akan kehilangan bobot berat dari chip. Hasyim dkk. (2012), menyatakan bahwa uji kerapuhan berhubungan dengan kehilangan bobot akibat abrasi (pengikisan) yang terjadi pada permukaan chip telur. Kerapuhan yang tinggi akan mempengaruhi konsentrasi/kadar zat aktif yang masih terdapat pada chip.
24
Waktu larut Waktu larut dari chip telur infertil sisa hasil industri penetasan dengan penambahan jenis dan level bahan pengisi yang berbeda, disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Rataan waktu larut (menit) chip telur infertil sisa hasil industri penetasan pada pemberian jenis dan level bahan pengisi yang berbeda Waktu Larut Jenis Bahan Pengisi Tepung Kedelai Tepung Tapioka Tepung Kombinasi Rata-rata
Level Bahan Pengisi (%) 0 14,72±1,61 16,09 ±0,45 15,99±1,01 15,60±1,18a
3 29,13±2,09 22,61±0,65 21,27±1,03 24,34±3,84b
6 32,26 ±1,09 24,23±3,30 24,64±1,50 27,04±4,35c
Rata-rata 25,37±8,23b 20,98 ±4,09a 20,63±3,92a 22,33±5,96
Keterangan : Superskrip huruf yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).
Hasil analisis ragam, menunjukkan bahwa jenis dan level bahan pengisi memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap waktu larut chip telur infertil sisa hasil industri penetasan. Pada interaksi antara jenis bahan dan penambahan level memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap waktu larut pada chip telur infetil sisa hasil industri penetasan. Hasil uji lanjut level bahan pengisi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) antara level bahan pengisi terhadap waktu larut chip telur infertil sisa hasil industri penetasan. Berdasarkan rata-rata waktu larut chip telur infertil pada jenis bahan pengisi mengalami waktu larut lebih lama pada tepung kedelai dan mengalami waktu larut lebih cepat pada bahan pengisi tepung tapioka dan tepung kombinasi. Waktu larut dari bahan pengisi akan mempengaruhi kecepatan waktu larut pada chip telur infertil sisa hasil industri pebetasan. Tablet/chip yang rapuh mungkin saja mudah larut, akan tetapi chip ini
25
tidak tahan terhadap gangguan mekanis pada saat pendistribusian atau penyimpanan (Hasyim, dkk. 2012). Berdasarkan (Tabel 6) rata-rata waktu larut pada chip telur infertil pada level yang rendah menghasilkan nilai waktu larut yang lebih baik dibanding dengan penambahan level yang tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa level semakin rendah maka waktu larut chip telur infertil lebih cepat. Nilai rata-rata waktu larut yang tinggi dalam penelitian ini diperoleh pada level 6% sebesar 32,260.
Waktu Larut (Menit)
35 30 25 20 Tepung Kedelai
15
Tepung Tapioka
10 5
Tepung Kombinasi
0 0
3 Level Tepung (%)
6
Gambar 3. Interaksi Jenis dan Level Bahan Pengisi Terhadap Waktu Larut Chip Telur Infertil Hasil Afkir Industri Penetasan Berdasarkan analisis ragam, interaksi antara jenis dan level penambahan bahan pengisi berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap waktu larut chip telur infertil. Interaksi menunjukkan bahwa peningkatan waktu larut dari level 0% ke level 3%, baik dengan pemberian tepug kedelai, tepung tapioka maupun tepung kombinasi. Pada level 6% waktu larut dengan penambahan tapung kedelai
26
mengalami peningkatan yang lebih tinggi. Demikian halnya dengan tepung tapioka dan tepung kombinasi namun menunjukkan waktu larut yang lebih cepat.
Kadar air Kadar air dari chip telur infertil sisa hasil industri penetasan dengan penambahan jenis dan level bahan pengisi yang berbeda, disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Rataan kadar air (%) chip telur infertil sisa hasil industri penetasan pada pemberian jenis dan level bahan pengisi yang berbeda Kadar Air Jenis Bahan Pengisi Tepung Kedelai Tepung Tapioka Tepung Kombinasi Rata-rata
Level Bahan Pengisi (%) 0 3 6 0,120±0,070 0,120±0.010 0,077±0,153 0,123±0,066 0,090±0,036 0,083±0,025 0.093±0.025 0.077±0.045 0,060±0,026 0,112±0,052 0,096±0,035 0,073±0,022
Rata-rata 0,106±0,042 0,099±0,044 0,077±0,032 0,094±0,040
Analisi ragam (Tabel 8) menunjukkan bahwa level dan jenis bahan pengisi tidak berkontribusi pada kadar air (P>0,05) akan tetapi, dari rata-rata nilai kadar air yang dihasilkan mengalami penurunan seiring dengan penambahan level yang diberikan, secara berturut-turut 0,112%, 0,096% dan 0,073%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar air pada bahan pengisi yang digunakan itu rendah. Berdasarkan SNI 01-3451-1994 tentang syarat mutu tepung tapioka yang ditetapkan yaitu maksimal 15%. Tepung telur infertil yang dibuat menjadi chip dikeringkan dengan metode freeze dryer sehingga kadar air pada chip telur infetil sisa hasil industri penetasan rendah. Menurut Lestari (2012), pengeringan menggunakan alat freeze dryer lebih baik dibandingkan dengan oven karena kadar airnya lebih rendah. Menurut
27
SNI 01-4323-1996 menyatakan bahwa nilai kadar air tepung putih telur maksimal adalah sebesar 8%. Menurut Poedjiadi (1994) air yang terkandung dalam putih telur segar mencapai 87%. Proses pengeringan yang dilakukan dapat pula mengurangi jumlah air yang terdapat dalam putih telur. Penyebab kadar air yang tinggi disebabkan semakin lama proses fermentasi karena perubahan glukosa menjadi karbondioksida dan air semakin tinggi. Pada penelitian Nahariah dkk., 2010, menyatakan bahwa kadar air akibat penambahan ragi dan sukrosa berhubungan dengan aktivitas fermentasi yang dapat mengubah glukosa menghasilkan air yang mudah menguap selama pengeringan. Berdasarkan (Tabel 8) persentase interaksi antara jenis dan level tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap kadar air chip telur infertil hasil afkir industri penetasan. Hasil ini menunjukkan bahwa penambahan jenis dan level bahan pengisi yang berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap persentase kadar air chip telur infertil.
28
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Penambahan jenis dan level bahan pengisi yang berbeda dapat memperbaiki kualitas fisikokimia chip telur infertil sisa hasil industri penetasan. 2. Kualitas fisikokimia chip telur infertil sisa hasil industri penetasan yang dapat meningkatkan kekerasan, tidak rapuh, memiliki waktu larut yang cepat dengan menggunakan bahan pengisi tepung tapioka pada level 3%.
Saran Untuk pembuatan chip telur infertil sisa hasil industri penetasan dapat menggunakan bahan pengisi tepung tapioka pada level 3%.
29
DAFTAR PUSTAKA
Almunifah, M. 2013. Sifat fungsional telur ayam infertil dari proses pemeraman menggunakan mesin tetas dan aplikasinya pada pembuatan produk sponge cake. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Anonim. 1970. Tepung kedelai. http://www.organisasi.org/1970/01/isi kandungan-gizi-tepung-kacang-kedelai-komposisi-nutrisi-bahan makanan. html. Diakses pada tanggal 07 Oktober 2015 Ansel, H.C. 1989. Introduction to Pharmaceutical Dosage Forms. Lea and Febiger, Georgia. AOAC. 2003. Official Methods of Analysis. 17th Ed (2 revision) AOAC Internasional. Gaitherburg, MD. USA. Bell, D.D and W.D Weaver. 2002. Commercial Chicken Meat and Production. Kluwer Academic Publisher, United Stated of America. DeMan, J.M. 1997. Principles of Food Chemistry. Diterjemahkan oleh Padmawinata. K. Penerbit ITB. Bandung. Grace, M.R. 1977. Cassava Processing. Food and Agriculture Organization of United Nations, Roma. Hasyim, N., Mirawati dan S. Sulistiana. 2012. Pengembangan Formulasi Tablet Matriks Gastroretentive Floating dari Amoksilin Trihidrat. Laporan Penelitian. Universitas Hasanuddin. Makassar. 16 (3) : 131-138 Indrawan, I.G., I. M., Sukada dan I.K. Suada. 2012. Kualitas Telur dan Pengetahuan Masyarakat tentang Penanganan Telur Di Tingkat Rumah Tangga. Laporan Penelitian. Universitas Udayana. Bali. 1(5) : 607 – 620. Lachman, L., H. A., Lieberman and J. L. Kanig. 1994. Teori dan Praktek FarmasiIndustri II edisi III diterjemahkan oleh Siti Suyatmi dan lis Aisyah. UI press. Jakarta. Lestari, 2012. Mengenal lebih dekat alat pengering Freeze Dryer. http://tsffarmasiunsoed2012.wordpress.com/2012/06/15/mengenal-lebihdekat-alat-pengering-freeze-dryer/. Diakses pada tanggal 12 Februari 2016.
30
Marais, A.F., Song, M., and M.M. Villiers. 2003. Effect of compression force, humidity, and disintegrant concentration on the disintegration and dissolution of directly compressed furosemide tablets using croscarmellose sodium as disintegrant. Tropical Journal of Pharmaceutical Research, 2(1): 125 - 135. Mohrle, R. 1989. Effervescent Tablets, dalam Pharmaceutical Dosage Forms: Tablet. Vol. 1, 2nd Edition, Marcel Decker Inc., New York. Nahariah, E. Abustam, dan R. Malaka. 2010. Karakteristik fisikokimia tepung putih telur hasil fermentasi Saccharomyces cereviceae dan penambahan sukrosa pada putih telur segar. JITP.1 (1):37-38 Ningrum, E.M., M.I. Said dan M. Hatta. 2013. Pengaruh Penggunaan Daging Buah Semu Jambu Mete Dan Telur Infertil Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Abon Telur. Universitas Hasanuddin. Makassar. Nugrahani, Ilma, H. Rahmat dan J. Djajadisastra. 2005. Karakteristik granul dan tablet propranolo hidroklorida dengan metode granulasi peleburan. Jakarta: Juruan Farmasi. Majalah Farmasi Indonesia, 16 (3): 167-172. Nuryati, T., M. Khamim, P. Hardjosworo, dan Sutarto. 2002. Sukses Menetaskan Telur. Penebar Swadaya. Jakarta. Parrot, E. 1971. Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceutics. Burgess Publishing Company. United States of America. Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Penerbit UI Press: Jakarta Rasyaf, M. 1996. Beternak Ayam Petelur. Penebar Swadaya. Anggota IKAPI. Jakarta. Rhoihana, D. 2008. Perbandingan Availibilitas In Vitro Tablet Metronidazol Produk Generik dan Produk Dagang. Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta. Setyaningsih, D. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor Sriyuniarti, P. 2000. Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan Telur Konsumsi dan Telur Biologis terhadap Kualitas Interior Telur Ayam Kampung. Tesis. Universitas Terbuka. Fakultas Peternakan. Jakarta. Standar Nasional Indonesia 01-3451-1994. Tepung Tapioka. Badan Standar Nasional. Jakarta.
31
Standar Nasional Indonesia 01-4323-1996. Tepung Putih Telur. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta Sundarsih dan Y. Kurniaty. 2009. Pengaruh Waktu dan Suhu Perendaman Kedelai pada Tingkat Kesempurnaan Ekstraksi Protein Kedelai dalam Proses Pembuatan Tahu. Makalah Penelitian. Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro, Semarang. Sudaryani. 1997. Mengatasi Permasalahan Beternak Ayam. Penebar Swadaya. Jakarta. Sudaryani. 2003. Kualitas Telur. Penebar Swadaya. Jakarta. Suprapti, L.M. 2002. Pengawetan Telur, Telur Asin Tepung Telur dan Telur Beku, Kanisius, Yogyakarta. Steel, R.G.D. dan Torrie. J.H. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik (Terjemahan: Bambang Sumantri). Jakarta: PT. Gramedia. Tri Radiyati dan Agusto. W.M. 1990 Tepung tapioka (perbaikan). Subang : BPTTG Puslitbang Fisika Terapan – LIPI, 1990 Hal. 10-13. Virgo, S. D. Hanela. 2007. Pengaruh Pemberian Tepung Kedelai Terhadap Daya Simpan Nugget Ayam Ras Afkir. Skripsi.Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Padang. Wibowo, B. dan Juarini. E. 2008. Susteinabilitas usaha penetasan telur itik di Blitar Jawa Timur. Makalah Seminar Nasional Teknologi dan Veteriner. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Winarno, F.G. dan Koswara. S. 2002. Telur: Komposisi, Penanganan Dan Pengolahannya. M – Brio Press. Bogor. Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
32
LAMPIRAN Lampiran 1. Analisis Ragam Pengaruh Jenis dan Level Penambahan Bahan Pengisi yang Berbeda terhadap kekerasan chip telur infertil a. Deskripsi kekerasan chip telur infertil hasil penelitian Descriptive Statistics Dependent Variable:KEKERASAN TEPUNG
LEVEL
Tepung Kedelai
Tepung 0%
15.5067
1.15084
3
Tepung 3 %
15.8133
1.20401
3
Tepung 6%
15.8100
1.13715
3
Total
15.7100
1.01983
9
Tepung 0%
13.8967
1.40201
3
Tepung 3 %
14.5500
1.70880
3
Tepung 6%
14.8433
.89846
3
Total
14.4300
1.26465
9
Tepung 0%
13.0667
1.69403
3
Tepung 3 %
14.8267
1.07258
3
Tepung 6%
18.7467
1.68358
3
Total
15.5467
2.83804
9
Tepung 0%
14.1567
1.64142
9
Tepung 3 %
15.0633
1.30797
9
Tepung 6%
16.4667
2.08159
9
Total
15.2289
1.90432
27
Tepung Kombinasi
Tepung Tapoka
Total
Mean
Std. Deviation
N
33
b. Tabel Anova pengaruh perlakuan terhadap kerapuhan chip telur infertil Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:KEKERASAN Source Type III Sum of Squares df Mean Square Corrected Model 61.058a 8 7.632 Intercept 6261.815 1 6261.815 TEPUNG 8.736 2 4.368 LEVEL 24.382 2 12.191 TEPUNG * LEVEL 27.939 4 6.985 Error 33.229 18 1.846 Total
6356.101
27
94.287
26
Corrected Total
F 4.134 3391.970 2.366 6.604 3.784
Sig. .006 .000 .122 .007 .021
a. R Squared = .648 (Adjusted R Squared = .491)
c. Uji BNT pengaruh pemberial level bahan pengisi yang berbeda terhadap kekerasan chip telur infertil
Multiple Comparisons Dependent Variable:KEKERASAN (I) LEVEL
(J) LEVEL
95% Confidence Interval Mean
LSD
Tepung 0%
Difference
Std.
(I-J)
Error
Sig.
Lower
Upper
Bound
Bound
Tepung 3 %
-.9067
.64050
.174
-2.2523
.4390
Tepung 6%
-2.3100*
.64050
.002
-3.6556
-.9644
Tepung 3 % Tepung 0%
.9067
.64050
.174
-.4390
2.2523
Tepung 6%
-1.4033*
.64050
.042
-2.7490
-.0577
Tepung 0%
2.3100*
.64050
.002
.9644
3.6556
Tepung 3 %
1.4033*
.64050
.042
.0577
2.7490
Tepung 6%
Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1.846. *. The mean difference is significant at the .05 level.
34
Lampiran 2. Analisis Ragam Pengaruh Jenis dan Level Penambahan Bahan Pengisi yang Berbeda terhadap kerapuhan chip telur infertil a. Deskripsi kerapuhan chip telur infertil hasil penelitian Descriptive Statistics Dependent Variable:KERAPUHAN TEPUNG
LEVEL
Tepung Kedelai
Tepung 0%
3.4583
.10408
3
Tepung 3 %
3.1417
.10104
3
Tepung 6%
3.1167
.07638
3
Total
3.2389
.18418
9
Tepung 0%
3.1750
.17500
3
Tepung 3 %
2.8083
.28100
3
Tepung 6%
3.2583
.10104
3
Total
3.0806
.27006
9
Tepung 0%
3.3483
.15495
3
Tepung 3 %
3.1500
.15612
3
Tepung 6%
3.1083
.45369
3
Total
3.2022
.27548
9
Tepung 0%
3.3272
.17796
9
Tepung 3 %
3.0333
.23848
9
Tepung 6%
3.1611
.24657
9
Total
3.1739
.24695
27
Tepung Kombinasi
Tepung Tapoka
Total
Mean
Std. Deviation
N
35
b. Tabel Anova pengaruh perlakuan terhadap kerapuhan chip telur infertil Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:KERAPUHAN Source Corrected Model Intercept TEPUNG LEVEL TEPUNG * LEVEL Error
Type III Sum of Squares .784a 271.986 .124 .391 .269 .802
Total
df
273.572
27
1.586
26
Corrected Total
Mean Square .098 271.986 .062 .195 .067 .045
8 1 2 2 4 18
F
Sig. .079 .000 .275 .028 .241
2.200 6106.210 1.388 4.388 1.512
a. R Squared = .494 (Adjusted R Squared = .270)
c. Uji BNT pengaruh pemberial level bahan pengisi yang berbeda terhadap kerapuhan chip telur infertil Multiple Comparisons Dependent Variable:KERAPUHAN (I) LEVEL
(J) LEVEL
95% Confidence Interval Mean Difference (I-J)
LSD
Tepung 0%
Tepung 3 %
Tepung 6%
Std. Error
Sig.
Lower
Upper
Bound
Bound
Tepung 3 %
.2939*
.09949
.008
.0849
.5029
Tepung 6%
.1661
.09949
.112
-.0429
.3751
Tepung 0%
-.2939*
.09949
.008
-.5029
-.0849
Tepung 6%
-.1278
.09949
.215
-.3368
.0812
Tepung 0%
-.1661
.09949
.112
-.3751
.0429
Tepung 3 %
.1278
.09949
.215
-.0812
.3368
Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .045. *. The mean difference is significant at the .05 level.
36
Lampiran 3. Analisis Ragam Pengaruh Jenis dan Level Penambahan Bahan Pengisi yang Berbeda terhadap Waktu Larut chip telur infertil a. Deskripsi waktu larut chip telur infertil hasil penelitian Descriptive Statistics Dependent Variable:Waktu Larut TEPUNG
LEVEL
TEPUNG KEDELAI
Tanpa Tepung (0%)
14.717
1.6081
3
Tepung 3%
29.133
2.0877
3
Tepung 6%
32.260
1.0860
3
Total
25.370
8.2283
9
Tanpa Tepung (0%)
15.993
1.0053
3
Tepung 3%
21.267
1.0302
3
Tepung 6%
24.643
1.5020
3
Total
20.634
3.9161
9
Tanpa Tepung (0%)
16.090
.4451
3
Tepung 3%
22.607
.6543
3
Tepung 6%
24.230
3.3009
3
Total
20.976
4.0989
9
Tanpa Tepung (0%)
15.600
1.1787
9
Tepung 3%
24.336
3.8401
9
Tepung 6%
27.044
4.3493
9
Total
22.327
5.9623
27
TEPUNG KOMBINASI
TEPUNG TAPIOKA
Total
Mean
Std. Deviation
N
37
b. Tabel Anova pengaruh perlakuan terhadap waktu larut chip telur infertil
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:WAKTU LARUT Source
Type III Sum of Squares
df
876.338a
Mean Square
Corrected Model Intercept TEPUNG LEVEL TEPUNG * LEVEL Error
13458.961 125.559 643.870 106.909 47.949
8 1 2 2 4 18
Total
14383.248
27
924.287
26
Corrected Total
109.542 13458.961 62.779 321.935 26.727 2.664
F
Sig.
41.122 5052.500 23.567 120.855 10.033
.000 .000 .000 .000 .000
a. R Squared = .948 (Adjusted R Squared = .925)
c. Uji BNT pengaruh pemberial level bahan pengisi yang berbeda terhadap waktu larut chip telur infertil
Multiple Comparisons Dependent Variable: WAKTU LARUT (I) LEVEL (J) LEVEL BAHAN PENGISI BAHAN PENGISI
95% Confidence Interval Mean Difference (I-J)
LSD
Tanpa Tepung (0%)
Tepung 3%
Tepung 6%
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
Tepung 3%
-8.736*
.7694
.000
-10.352
-7.119
Tepung 6%
-11.444*
.7694
.000
-13.061
-9.828
8.736*
.7694
.000
7.119
10.352
Tepung 6%
-2.709*
.7694
.002
-4.325
-1.092
Tanpa Tepung (0%)
11.444*
.7694
.000
9.828
13.061
2.709*
.7694
.002
1.092
4.325
Tanpa Tepung (0%)
Tepung 3% *. The mean difference is significant at the .05 level.
38
Lampiran 4. Analisis Ragam Pengaruh Jenis dan Level Penambahan Bahan Pengisi yang Berbeda terhadap Kadar Air chip telur inferti a. Deskripsi kadar air chip telur infertil hasil penelitian
Descriptive Statistics Dependent Variable:KADAR.AIR TEPUNG
LEVEL
TEPUNG KEDELAI
Tanpa Tepung (0%)
.1200
.07000
3
Tepung 3%
.1200
.01000
3
Tepung 6%
.0767
.01528
3
Total
.1056
.04216
9
Tanpa Tepung (0%)
.0933
.02517
3
Tepung 3%
.0767
.04509
3
Tepung 6%
.0600
.02646
3
Total
.0767
.03240
9
Tanpa Tepung (0%)
.1233
.06658
3
Tepung 3%
.0900
.03606
3
Tepung 6%
.0833
.02517
3
Total
.0989
.04400
9
Tanpa Tepung (0%)
.1122
.05191
9
Tepung 3%
.0956
.03504
9
Tepung 6%
.0733
.02236
9
Total
.0937
.04030
27
TEPUNG KOMBINASI
TEPUNG TAPIOKA
Total
Mean
Std. Deviation
N
39
b. Tabel Anova pengaruh perlakuan terhadap kadar air chip telur infertil Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:KADAR.AIR Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
.012a .237 .004 .007 .001 .030
8 1 2 2 4 18
Total
.279
27
Corrected Total
.042
26
Corrected Model Intercept TEPUNG LEVEL TEPUNG * LEVEL Error
.002 .237 .002 .003 .000 .002
F .924 142.559 1.238 2.060 .199
Sig. .520 .000 .313 .156 .935
a. R Squared = .291 (Adjusted R Squared = -.024)
40
Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian
Pembersihan telur
Memasukkan sampel di freezer dryer
Telur sebelum dikeringkan
Pengeringan menggunakan freezer dryer
41
Telur setelah pengeringan
Pembuatan chip telur
Sampel ditepungkan
Pembuatan chip telur
42
Hasil pembuatan chip telur
Hasil pembuatan chip telur
Hasil pembuatan chip telur
Hasil pembuatan chip telur
43
RIWAYAT HIDUP Kartina, lahir pada tanggal 24 Februari 1994 di Batu Hulang, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Penulis adalah anak tunggal, lahir dari pasangan (Almarhum) Marsuki dan Nurmi. Pendidikan yang pernah ditempuh penulis adalah SD Negeri 304 Batu Hulang, Bulukumba dan lulus pada tahun 2006. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 6 Bulukumpa, Bulukumba dan lulus pada tahun 2009, kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Bulukumpa, Bulukumba dan lulus pada tahun 2012. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, penulis diterima sebagai mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melalui jalur Undangan di Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis aktif sebagai pengurus Ikatan Keluarga Mahasiswa Bidikmisi Universitas Hasanuddin (IKAB UNHAS), pengurus Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Ternak Universitas Hasanuddin
(HIMATEHATE_UH) dan pengurus di
Kerukunan Keluarga Mahasiswa Bulukumba (KKMB) komisarit UNHAS serta sebagai asisten praktikum Dasar Teknologi Hasil Ternak dan asisten praktikum Pengawasan Mutu Industri Peternakan.
44