KUALITAS SENSORIK CHIP PUTIH TELUR FERMENTASI (CPTF) PADA PENAMBAHAN JENIS DAN LEVEL BAHAN PENGISI YANG BERBEDA N. Nahariah1, A. M. Legowo2, E. Abustam1 , A. Hintono2, H. Hikmah1 1
Laboratorium Ilmu dan Teknologi Daging dan Telur Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar 2Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang Email:
[email protected]
ABSTRAK Beberapa penelitian telah menggunakan bahan pengisi pada proses pembuatan chip telur untuk meningkatkan kualitas chip. Bahan pengisi yang umum digunakan adalah jenis karbohidrat antara lain tepung tapioka, tepung sagu dan tepung maizena. Informasi penilaian kualitas sensorik chip putih telur fermentasi (CPTF) yang diberi tambahan bahan pengisi yang berbeda masih terbatas sehingga penelitian ini penting dilakukan. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi kualitas sensorik CPTF pada jenis dan level bahan pengisi yang berbeda. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola factorial 3x3 dengan perlakuan jenis bahan pengisi meliputi tepung tapioka, tepung sagu dan tepung maizena. Level bahan pengisi yang digunakan adalah (%) 0 ; 5 dan 10. Chip putih telur fermentasi (CPTF) sebanyak 720 biji, setiap unit perlakuan diulang 4 kali dengan jumlah panelis sebanyak 20 orang. Parameter yang diukur adalah warna, aroma dan kerapuhan CPTF. Hasil penelitian menunjukkan bahwa level bahan pengisi berpengaruh sangat nyata (P≤ 0,01) terhadap kerapuhan CPTF. Jenis bahan pengisi tidak menunjukkkan pengaruh yang nyata namun ada interaksi antara keduanya terhadap kerapuhan CPTF. Level dan jenis bahan pengisi berpengaruh sangat nyata (P≤ 0,01) dan keduanya menunjukkan interaksi yang nyata terhadap nilai warna CPTF yang dihasilkan. Penambahan jenis dan level bahan pengisi tidak berpengaruh nyata terhadap aroma CPTF yang dihasilkan. Namun, keduanya menunjukkan interaksi yang berbeda nyata (P ≤0,01) terhadap aroma. Penambahan tepung sagu sebagai bahan pengisi sebanyak 10% dapat memperbaiki warna dan aroma CPTF. Kerapuhan chip putih telur fermentasi dapat diperbaiki dengan penambahan tepung sagu 5% dan cenderung menurun dengan penambahan level yang lebih tinggi. Kata Kunci: Bahan Pengisi, Chip Telur, Kualitas Sensorik, Panelis
PENDAHULUAN Telur merupakan salah satu bahan pangan penyedia protein tinggi asal ternak. Harga yang relatif terjangkau dan mudah diperoleh juga merupakan kelebihan dari komoditi ini. Namun, kandungan protein yang tinggi pada telur mudah mengalami kerusakan sehingga diperlukan pengolahan lebih lanjut untuk memperpanjang masa simpan. Telur sebagai bahan pangan telah mengalami banyak modifikasi pengolahan antara lain pembuatan chip telur. Chip telur dapat berasal dari putih telur atau telur utuh yang diolah menjadi bentuk padatan. Chip putih telur fermentasi (CPTF) merupakan produk olahan telur yang berasal dari putih telur yang telah mengalami proses fermentasi terlebih dahulu. Putih telur hasil fermentasi mikroba (Nahariah et al., 2015), ditepungkan dan diberi tambahan bahan pengisi dan selanjutnya dipadatkan. Chip putih telur fermentasi (CPTF) dapat menambah variasi olahan, memperpanjang masa simpan, dan dapat meningkatkan nilai manfaat telur (Nahariah dkk., 2015a). Pengolahan telur menjadi chip membutuhkan bahan pengisi untuk memberikan bentuk chip yang baik. Secara umum, jenis karbohidrat telah banyak digunakan dalam 146
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
industri framasi untuk pembuatan padatan/tablet yang baik. Karbohidrat dalam industri farmasi digunakan sebagai bahan pengikat, pengisi dan penghancur (Wicaksono dan Syifa, 2008). Komponen amilosa dan amilopektin pada karbohidrat dapat meningkatkan kekompakan dan kekerasan tablet/padatan (Herawati, 2011; Suryani dkk., 2013). Karbohidrat yang dapat digunakan sebagai bahan pengisi antara lain tepung tapioka, tepung sagu dan tepung maizena. Pemanfaatan bahan pengisi diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap kualitas chip yang dihasilkan. Hasil penelitian Nahariah dkk. (2015a) menghasilkan kualitas fisikokimia yang baik. Penggunaan tepung sagu 10% dapat memperbaiki kekerasan dan kelarutan chip putih telur fermentasi yang dihasilkan. Beberapa penelitian telah dikembangkan untuk mengevaluasi kualitas chip telur namun penilaian kualitas sensorik masih terbatas sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas sensorik CPTF pada jenis dan level bahan pengisi yang berbeda METODE PENELITIAN Bahan dan alat Bahan baku yang digunakan adalah tepung putih telur fermentasi. Karbohidrat yang digunakan sebagai bahan pengisi adalah tepung tapioka, tepung sagu dan tepung maizena masing-masing sebanyak 1 kg. Alat yang digunakan timbangan analitik, sendok sample, piring kecil, pengaduk, plastik clip, wadah stainless dan alat pembuat chip berbahan stainless still. Instrumen pengujian berupa kuisioner (terlampir). Desain percobaan Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap pola factorial (3x3). Faktor I adalah jenis bahan pengisi yaitu tepung sagu, tapioka, dan maizena. Faktor II adalah level bahan pengisi yaitu 0%, 5%, dan 10%. Perlakuan dilakukan sebanyak 4 kali ulangan. Panelis semi terlatih sebanyak 20 orang. Metode penelitian Pembuatan chip telur Pembuatan CPTF dilakukan dengan mencampur tepung putih telur fermentasi dengan jenis bahan pengisi sesuai dengan level masing masing perlakuan pada wadah stainless (Yoshada et al., 2008). Campuran tepung diaduk rata dan ditimbang sebanyak 1gr. Selanjutnya, dicetak pada pencetak chip berbentuk selinder (diameter 18 mm) dan dipress pada tekanan 60 kg/cm2 selama 15 menit untuk menghasilkan 1 buah CPTF. Pengujian kualitas sensorik Pengujian kualitas sensorik antara lain kerapuhan, warna, dan aroma dilakukan dengan menggunakan inderawi manusia. Sampel disiapkan dalam piring kecil, air minum sebagai penetralisir, lembar isian uji, dan panelis (sebelumnya panelis sudah diadaptasikan terlebih dahulu dengan produk). Penilaian sensorik dilakukan dengan menggunakan metode skor. Panelis diminta untuk melakukan penilaian pada sample dan memberikan skor pada lembar uji yang disajikan pada Tabel 1.
147
Nahariah, dkk.
Tabel 1. Skor penilaian sensorik Skor
Kerapuhan
Warna
Aroma
5
Tidak Rapuh
Amat sangat putih
Amat sangat beraroma telur
4
Sedikit Rapuh
Sangat putih
Sangat beraroma telur
3 2
Rapuh Sangat rapuh
Beraroma telur Kurang beraroma telur
1
Amat sangat rapuh
Putih Agak putih Tidak putih
Tidak beraroma telur
Sumber : Setyaningsih dkk. (2010) yang dimodifikasi
Analisis data Data yang diperoleh dianalisis ragam (Steel dan Torrie, 1991) berdasarkan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial (3 x 3). Analisis ragam tersebut didasarkan pada model matematika, sebagai berikut : Yijk = + i + j + ( )ij + k(ij)
Keterangan : Yijk
i j ( )ij k(ij)
= Variabel respon hasil observasi ke-k yang terjadi karena pengaruh Jenis bahan pengisi ke-i dan Level bahan pengisi ke-j. = Rataan umum = Pengaruh Jenis bahan pengisi ke-i, i = 3 = Pengaruh Level bahan pengisi ke-j, j = 3 = Pengaruh interaksi Jenis bahan pengisi ke-i dan Level bahan pengisi ke-j = Galat percobaan
Uji lanjut yang digunakan untuk mengetahui pola perubahan nilai tiap peubah menggunakan uji Duncan (Steel dan Torrie, 1991). Pengolahan data dengan menggunakan software SPSS. HASIL DAN PEMBAHASAN Kerapuhan Hasil sidik ragam pada Tabel 2. menunjukkan bahwa level bahan pengisi berpengaruh sangat nyata (P≤ 0,01) terhadap kerapuhan CPTF. Namun, jenis bahan pengisi yang digunakan tidak berpengaruh nyata namun ada interaksi antara keduanya. Penambahan bahan pengisi sebesar 5% cenderung mengalami peningkatan nilai kerapuhan dibandingkan tanpa pemberian bahan pengisi, meskipun keduanya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Penambahan 10% bahan pengisi menurunkan nilai kerapuhan dan berbeda nyata dengan level lainnya. Berdasarkan hasil penilaian sensorik menunjukkan bahwa kerapuhan CPTF dari sangat rapuh sampai rapuh (2-3) sejalan dengan peningkatan level bahan pengisi yang digunakan.
148
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
Tabel 2. Nilai kerapuhan chip tepung putih telur fermentasi pada level dan jenis bahan pengisi yang berbeda Level (%)
Jenis Bahan
Rataan
0
5
10
Tepung Sagu
3,01 ± 0,41bx
3,31 ± 0,36ax
2,49 ± 0,27cx
2,94 ± 0,49
Tepung Tapioka
3,01 ± 0,37ax
3,05 ± 0,30 ay
2,92 ± 0,20 ay
3,00 ± 0,30
Tepung Maizena
3,05 ± 0,31ax
2,86 ± 0,19 aby
2,73 ± 0,27by
2,88 ± 0,29
Rata-rata
3,02 ± 0,36 a
3,07 ± 0,34 a
2,71 ± 0,30 b
2,94 ± 0,37
Keterangan : Superskrip berbeda a,b pada baris dan x,y ada kolom yang sama menunjukkan perbedaaan sangat nyata (P < 0,01)
Uji statistik tidak menunjukkan pengaruh yang nyata pada penambahan jenis bahan pengisi yang digunakan pada pembuatan CPTF. Hal ini menunjukkan bahwa jenis bahan pengisi tidak memberi konstribusi pada rapuh atau tidaknya CPTF yang dihasilkan. Namun menunjukkan pengaruh yang nyata jika dikombinasikan dengan level bahan pengisi yang digunakan. Gambar 1 menunjukkan adanya interaksi antara level dan jenis bahan pengisi yang berbeda terhadap kerapuhan chip CPTF yang dihasilkan. Kenaikan level bahan pengisi optimal pada 5% untuk semua jenis bahan pengisi. Penambahan sagu pada chip menunjukkan sedikit rapuh dan berbeda nyata dengan jenis bahan lainnya. Tidak ada perbedaan kerapuhan pada chip yang ditambahkan 5% tapioka dan maizena (rapuh). Penambahan 10% sagu berbeda nyata dengan jenis bahan lainnya menurunkan nilai kerapuhan (sangat rapuh) pada CPTF. Penambahan 10% tapioka dan maizena menunjukkan kerapuhan (rapuh) dan tidak ada perbedaan antara keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa jenis karbohidrat yang digunakan kurang mampu memberikan kekuatan mengikat antara komponen bahan.
Gambar 1.
Interaksi level dan jenis bahan pengisi terhadap kerapuhan chip tepung putih telur fermentasi
tingkat
Chip telur memiliki sifat cenderung rapuh sejalan dengan penambahan level bahan pengisi yang diberikan. Hal ini berbeda dengan pendapat (Suryani dkk., 2013) yang menyatakan bahwa penambahan karbohidrat dalam hal ini amilum sebagai bahan pengikat atau pengisi pada pembuatan produk padat. Amilum berfungsi untuk menyatukan partikel serbuk dalam sebuah butir granulat dan juga dapat meningkatkan kekompakan dan kekerasan padatan.
149
Nahariah, dkk.
Warna Hasil sidik ragam pada Tabel 3 menunjukkan level dan jenis bahan pengisi berpengaruh sangat nyata (P≤ 0,01) dan keduanya menunjukkan interaksi yang nyata terhadap nilai warna CPTF. Penambahan 5% bahan pengisi menghasilkan warna yang tidak berbeda nyata dengan tanpa penambahan bahan pengisi. Penambahan 10% bahan pengisi menunjukkan perbedaan yang nyata dengan level lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah bahan pengisi menghasilkan warna yang relative sama yakni agak putih (skala 2) meskipun nilai warnanya menunjukkan perbedaan nyata pada level 10% bahan. Tabel 3. Nilai warna chip tepung putih telur fermentasi pada level dan jenis bahan pengisi yang berbeda Jenis Bahan
Level (%)
Rataan
0
5
Tepung Sagu
2,04 ± 0,24bx
2,21 ± 0,3bx
2,49 ± 0,31ax
2,25 ± 0,34 x
Tepung Tapioka
2,06 ± 0,22ax
1,89 ± 0,24ay
2,03 ± 0,23ay
1,99 ± 0,24 y
Tepung Maizena
2,05 ± 0,16ax
1,99 ± 0,24ay
2,15 ± 0,29ay
2,06 ± 0,24 y
Rata-rata
2,05 ±
0,21b
2,03 ±
10
0,29b
2,22 ±
0,34a
2,1 ± 0,29
Keterangan : Superskrip berbeda a, b pada baris yang sama menunjukkan perbedaaan (P < 0,05) dan superskrip berbeda x,y pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P < 0,01)
Penambahan tepung sagu, tapioka dan maizena memberi warna CPTF yang agak putih (skala 2-3) namun warna putihnya menunjukkan perbedaan nyata antara ketiganya. Warna CPTF yang ditambahkan tepung sagu lebih putih dibandingkan dengan CPTF yang diberi tambahan tepung lainnya. Warna pada CPTF yang ditambahkan tepung tapioka dan maizena cenderung kurang putih dan tidak menunjukkan perbedaan nyata antara keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa jenis bahan pengisi yang ditambahkan dapat menentukan warna CPTF yang dihasilkan.
Gambar 2. Interaksi level dan jenis bahan pengisi terhadap nilai warna chip tepung putih telur fermentasi Ada hubungan antara jenis bahan pengisi yang digunakan dengan penambahan level bahan pengisi pada pembuatan CPTF. Penambahan jenis bahan pengisi memberi kontribusi warna yang agak putih sejalan dengan peningkatan level bahan pengisi yang ditambahkan. Semakin banyak bahan pengisi yang ditambahkan maka akan memberikan nilai warna yang relative putih (skala 1-3). Penambahan 10% tepung sagu memberi warna yang lebih putih pada chip putih telur fermentasi yang dihasilkan. 150
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
Warna chip yang ditambahkan tepung tapioka dan maizena cenderung kurang putih kemungkinan diakibatkan oleh warna tepung tapioka dan maizena pada dasarnya memang kurang putih. Pati singkong atau tapioka banyak mengandung senyawa polifenol dan mengalami oksidasi pada proses pemanasan dan menyebabkan reaksi pencoklatan (enzimatis) oleh enzim fenolase sehingga warna tepung yang dihasilkan kurang putih (Prabawati dkk., 2011). Pati jagung memiliki kandungan protein dan gula yang tinggi (Fatkurahman dkk., 2012) sehingga mudah mengalami reaksi pencoklatan. Proses penepungan, mengakibatkan senyawa protein-gula akan mengalami reaksi pencoklatan (non enzimatis) selama proses pemanasan sehingga warna tepung yang dihasilkan menjadi kurang putih (Miranda et al., 2011). Aroma Hasil sidik ragam pada Tabel 4 menunjukkan bahwa level dan jenis bahan pengisi tidak berpengaruh nyata namun keduanya menunjukkan interaksi yang berbeda nyata (P ≤0,01) terhadap aroma CPTF yang dihasilkan. Tabel 4.
Aroma chip tepung putih telur fermentasi pada level dan jenis bahan pengisi yang berbeda
Jenis Bahan Tepung Sagu Tepung Tapioka Tepung Maizena Rata-rata
Level (%)
Rataan
0
5
10
2,58 ± 0,57abx
2,28 ± 0,48 bx
2,76 ± 0,40 ax
2,54 ± 0,52
2,57 ±
0,50abx
2,79 ±
0,42ay
2,30 ±
0,40by
2,55 ± 0,47
2,60 ±
0,47ax
2,56 ±
0,41axy
2,43 ±
0,54axy
2,53 ± 0,47
2,58 ± 0,50
2,54 ± 0,48
2,50 ± 0,48
2,54 ± 0,49
Keterangan : Superskrip berbeda a dan b pada baris yang sama, dan x dan y pada kolom yang sama menunjukkan perbedaaan sangat nyata (P < 0,05)
Ada indikasi panelis memberi penilaian aroma yang sama pada CPTF yang diujikan sehingga perlakuan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Umumnya panelis menilai chip pada semua level bahan pengisi dengan nilai aroma sama yakni chip yang beraroma telur (2- 3). Penambahan jenis bahan pengisi yang berbeda pada pembuatan chip juga memberi penilaian aroma yang sama pada semua panelis. Hal ini menunjukkan bahwa level dan jenis bahan pengisi tidak memberi kontribusi pada aroma CPTF yang dihasilkan. Namun akan memberikan pengaruh yang nyata jika keduanya dikombinasikan. Gambar 3 menunjukkan adanya interaksi antara level dan jenis bahan pengisi terhadap aroma CPTF yang dihasilkan. Chip tanpa bahan pengisi menghasilkan CPTF yang beraroma telur. Penambahan sagu 5% menunjukkan penurunkan nilai aroma CPTF (kurang beraroma telur). Penambahan tepung sagu pada level yang lebih tinggi 10% berbeda nyata meningkatkan nilai aroma chip atau semakin beraroma telur dibandingkan penambahan jenis bahan lainnya.
151
Nahariah, dkk.
Gambar 3.
Interaksi level dan jenis bahan pengisi terhadap nilai aroma chip tepung putih telur fermentasi
Penambahan tepung tapioka dan maizena pada pembuatan chip dinilai oleh masingmasing panelis beraroma telur dan menurun sejalan dengan bertambahnya level bahan pengisi yang ditambahkan atau semakin tidak beraroma telur. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan karakteristik bahan pengisi yang berbeda pada ketiga jenis bahan pengisi yang digunakan. Aroma chip tepung putih telur fermentasi yang dihasilkan bervariasi dari kurang beraroma telur sampai beraroma telur, tergantung jenis bahan pengisi yang digunakan. KESIMPULAN Pemanfaatan 10% tepung sagu pada pembuatan chip telur dapat memperbaiki warna, dan aroma namun menurunkan kelarutan chip tepung putih telur fermentasi. Kerapuhan chip putih telur fermentasi dapat diperbaiki dengan penambahan tepung sagu 5% dan cenderung menurun dengan penambahan level yang lebih tinggi. DAFTAR PUSTAKA Fatkurahman,R., W. Atmaka, dan Basito. 2012. Karakteristik sensoris dan sifat fisikokimia cookies dengan substitusi bekatul beras hitam (Oryza sativa L.) dan tepung jagung (Zea mays L.). J. Teknosains Pangan. 1(1):49-57. Herawati, H. 2011. Potensi pengembangan produk pati tahan cerna sebagai pangan fungsional. Jurnal Litbang Pertanian. 30(1):31-39. Miranda, L. T., C. Rakovski and, L. M. Were. 2011. Effect of mailard reaction product on oxidation product in ground chicken breast. Meat Sci. 90: 352 - 360. Nahariah, N., A. M. Legowo, E. Abustam, A. Hintono, dan H.Hikmah. 2015. Pengaruh Penambahan Level dan Jenis Karbohidrat yang Berbeda Terhadap Kekerasan dan Kelarutan Chip Putih Telur Fermentasi (CPTF). Seminar Nasional Fakultas Peternakan dan Pertanian Undip Semarang. Tanggal 18-19 November 2015. Nahariah, N., A. M. Legowo, E. Abustam, dan A. Hintono. 2015a. Angiotensin I-Converting Enzyme Inhibitor Activity on Egg Albumen Fermentation. Asian Australas. J. Anim. Sci., 28(6) : 855-861. Suryani, N., M. Y. Musdja, dan A. Suhartini. 2013. Penggunaan amilum umbi suweg (Amorphophallus campanulatus BI. Decne) sebagai pengikat tablet ibuprofen dengan metode granulasi basah. Prosiding Seminar Nasional : Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III. Universitas Andalas, Padang. Hal: 122-127. 152
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016 Wicaksono, Y dan N. Syifa. 2008. Pengembangan pati singkong-avicel PH 101 menjadi bahan pengisi co-prosess tablet cetak langsung. Farmasi Indonesia. 19 (4):165 -171. Prabawati, S., N. Richana, dan Suismo. 2011. Inovasi Pengolahan Singkong Meningkatkan Pendapatan dan Diversifikasi Pangan. Agroindustri. Edisi 4-10 Mei 2011 No 3404. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Setyaningsih, D., A. Apriyantono dan M. P. Sari. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. IPB Press. Bogor. Steel, R. G. D and J. H. Torrie. 1991. Principle and Procedure of Statistics. 2nd .ed. International Book Company. Tokyo. Yoshada, K. P., V. K. Modi, R. J. Rao, and N. S. Mahendrakar. 2007. Eggs chips prepared by using different millet flour as binders and change in product quality during storage. Food Control. 19: 170 -177.
153