KUALITAS FISIKOKIMIA PUTIH TELUR FERMENTASI (PTF) MELALUI PENAMBAHAN LEVEL SUSU YANG BERBEDA A. Maulana1, N. Nahariah2, F. N. Yuliati3 1Alumni 2
Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar
Laboratorium Ilmu dan Teknologi Daging dan Telur Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar 3 Laboratorium Mikrobiologi Hewan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar
Email :
[email protected]
ABSTRAK Putih telur fermentasi (PTF) merupakan salah satu produk olahan baru pada telur. Putih telur menggunakan mikroba untuk proses fermentasi. Glukosa diperlukan sebagai sumber energi sehingga dapat memicu pertumbuhan mikrobia. Kandungan glukosa pada putih telur yang rendah sehingga dibutuhkan bahan tambahan yang kaya glukosa. Penambahan susu pada telur fermentasi berfungsi sebagai sumber energi bagi mikroorganisme dalam pembuatan telur fermentasi. Belum banyak penelitian yang mengkaji level penambahan susu terhadap kualitas fisikokimia PTF sehingga penelitian ini penting dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kualitas fisikokimia PTF dengan penambahan level susu yang berbeda. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 kali ulangan. Tiap perlakuan menggunakan 100 ml putih telur. Penelitian ini menggunakan kultur starter campuran (Lactobacillus bulgaricus, Lactobacillus achidopillus, dan Streptococcus thermopillus). Perlakuan penelitian adalah level penambahan susu(%) 0, 2, 4, dan 6. Parameter penelitian adalah pH, kadar air, warna, dan kekentalan PTF. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan level susu tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai pH PTF pada semua level penambahan susu. Penambahan susu pada semua level menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap kadar air PTF. Demikian pula adanya pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap perbaikan warna pada PTF pada semua level penambahan susu. Namun,
penambahan susu tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) pada semua level terhadap kekentalan PTF. Penambahan susu pada semua level tidak memberikan kontribusi terhadap penurunan pH dan kekentalan PTF. Penambahan susu sebanyak 4% dapat memperbaiki warna dan menurunkan kadar air putih telur fermentasi. Kata kunci : Fisikokimia, Putih Telur, Fermentasi, susu dan kultur starter. PENDAHULUAN Telur adalah salah satu bahan makanan hewani yang dikonsumsi selain daging, ikan dan susu. Telur merupakan bahan pangan yang mempunyai banyak keunggulan antara lain, sebagai sumber protein, kandungan asam amino yang lengkap mempunyai citarasa yang enak dan harganya murah sehingga digemari oleh banyak orang. Telur dapat berfungsi sebagai bahan dasar pada aneka ragam pengolahan bahan pangan. Namun, telur tidak dapat bertahan lama dan akan mengalami penurunan mutu yang akhirnya dapat menyebabkan kerusakan pada telur. Penurunan mutu ini tidak dapat dicegah namun dapat diperlambat dengan berbagai perlakuan salah satunya dengan pembuatan telur fermentasi.
154
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
Telur fermentasi merupakan produk yang telah mengalami rekontruksi atau perubahan pada bagian tertentu melalui proses fermentasi menggunakan mikrobia (Nahariah et al., 2015). Telur fermentasi merupakan produk olahan yang inovatif yang memiliki nilai fungsional yang tinggi dan diharapkan dapat memberikan kontribusi penyedian pangan yang baik. Proses fermentasi telur biasanya dilakukan pada putih telur (albumin) dan kuning telur (yolk). Proses fermentasi telur dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa mikrobia. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menghasilkan telur fermentasi. Penggunaan Lactobacillus plantarum pada putih telur telah menghasilkan karakteristik telur fermentasi yang baik (Nahariah et al., 2015). Pemanfaatan Lactobacillus plantarum untuk meningkatkan kualitas telur infertil juga telah dilakukan (Mangalisu dkk., 2015) namun belum optimal. Pemanfaatan mikrobia antara lain Lactobacillus bulgaricus, Lactobacillus achidopillus, dan Streptococcus thermopillus telah banyak dilakukan pada produk susu namun penggunaannya belum pernah dilakukan pada telur. Penambahan tiga jenis mikroorganisme tersebut pada diharapkan dapat meningkatkan kualitas fisikokimia putih telur seperti pH, kadar air, warna, dan kekentalan. Telur memiliki kandungan glukosa yang rendah sehingga diperlukan bahan tambahan yang dapat memicu pertumbuhan mikrobia ada proses fermentasi. Susu merupakan pangan yang kaya nutrisi dan memiliki kandungan glukosa yang baik untuk pertumbuhan mikrobia. Penambahan susu pada telur fermentasi bertujuan untuk memberikan sumber energi bagi mikroorganisme yang ditumbuhkan pada putih telur. Namun penelitian mengenai fermentasi telur dengan penambahan level susu masih terbatas sehingga penelitian ini penting dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh penambahan level susu yang berbeda terhadap kualitas fisikokimia PTF yang meliputi pH, kekentalan, kadar air dan warna. METODE PENELITIAN Materi penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung sampel, tabung reaksi, mixer, micropipet, tip, spoit, timbangan analitik, gelas ukur, pH meter, rak tabung, rak telur,autoclave, cawan petri, gelas plastik, dan PCR Hood. Bahan yang digunakan adalah telur ayam yang berumur 0 hari yang diperoleh dari Laboratorium Ilmu Ternak Unggas Fakultas Peternakan Univerisitas Hasanuddin Makassar sebanyak 80 butir, kultur starter campuran (L. achidopilus, L. bulgaricus dan Streptococcus thermopilus), susu full cream, formalin, KMnO4, clorin, dan alkohol 70%. Metode penelitian Penelitian ini dilakukan secara eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 kali ulangan. Setiap unit perlakuan menggunakan 100 ml putih telur. Perlakuan penelitian meliputi penambahan level susu(%) 0;2;4;6 Propagasi kultur Pembuatan kultur starter dimulai dengan pengenceran kultur induk. Pengenceran kultur induk dilakukan dengan melakukan pencampuran sebanyak 20g kultur induk kedalam botol sample yang berisi cairan susu sebanyak 300 ml. Campuran bahan selanjutnya dihomogenisasi dan difermentasi pada suhu 37○C selama 24 jam. Pembuatan kultur starter dilakukan dengan mengambil 100 ml kultur induk dan melakukan pencampuran dengan susu cair sebanyak 200 ml selanjutnya dihomogenisasikan kemudian dilakukan fermentasi pada suhu 37○C selama 24 jam. 155
A. Maulana, dkk.
Sterilisasi alat dan bahan Sterilisasi alat dilakukan dengan menggunakan autoclave pada suhu 120oC selama 15 menit. Sterilisasi bahan baku dengan cara melakukan fumigasi telur ayam ras. Fumigasi dilakukan dengan menggunakan campuran formalin dan KMnO4 selama 5 menit. Selanjutnya, telur dibersihkan dengan menggunakan air panas suhu 70○ C. Telur selanjutnya dibersihkan dengan larutan clorin dan dibilas dengan menggunakan alkohol 70%. Preparasi dan pengujian sampel Telur ayam dipecahkan selanjutnya dipisahkan antara putih dan kuningnya, kemudian putih telur sebanyak 100 ml dihomogenisasikan dengan menggunakan mixer. Selanjutnya, ditambahkan 10ml kultur starter dan susu sesuai dengan perlakuan yang digunakan. Campuran sample putih telur dihomogenisasi dan difermentasi pada suhu 37○ C selama 24 jam. Pengujian sample meliputi pH (AOAC, 2003), dan kadar air (AOAC,
2003). Pengujian warna dan kekentalan menggunakan metode organoleptik (Setyaningsih dkk., 2010). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian evaluasi kualitas fisikokimia yang meliputi pengukuran nilai pH dan kadar air putih telur fermentasi disajikan pada Tabel 1 berikut : Tabel 1. Nilai pH dan kadar putih air telur fermentasi dengan penambahan level susu yang berbeda. Level susu
PARAMETER
pH Kadar Air (%) Tanpa penambahan susu 7,00 ±0,05 84,94 ±1,23b Penambahan 2% susu 7,02 ±0,16 83,24 ±0,99b Penambahan 4% susu 7,05 ±0,11 81,05 ±0,69a Penambahan 6% susu 6,76 ±0,32 80,67 ±1,84a Rata-rata 6,96 ±0,21 82,48 ±2,11 Keterangan : superskripabyang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05).
Nilai pH Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan level susu tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai pH PTF pada semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan level susu 2, 4 dan 6% tidak memberikan kontribusi terhadap perubahan nilai pH putih telur fermentasi. Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pemberian level susu tidak memberikan kontribusi terhadap nilai pH putih telur fermentasi. Hal ini diduga terjadi karena starter bakteri yang digunakan pertumbuhannya belum efektif sehingga penurunan nilai pH tidak terjadi secara signifikat. Waktu fermentasi yang singkat mengakibatkan pertumbuhan mirobia kurang optimal (Nahariah et al., 2015). Starter bakteri yang digunakan memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru yang diberikan, kecepatan pertumbuhan bakteri didasarkan adanya sumber energi dan nutrisi serta lingkungan yang cocok (Nahariah et al., 2015). Waktu fermentasi berpengaruh terhadap nilai pH produk fermentasi. Waktu fermnetasi dapat menurunkan nilai pH. Penelitian Nahariah dkk. (2013), menunjukkan bahwa fermentasi 30 jam dapat menurunkan nilai pH telur fermentasi sebesar 6,353. Menurut Mahdian dan Tehrani (2007), terdapat hubungan yang
156
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
erat antara pertumbuhan starter kultur dengan peningkatan keasaman selama fermentasi berlangsung, kadar asam laktat meningkat dan menurunkan nilai pH. Pertumbuhan bakteri pada suatu medium diduga berhubungan erat dengan kemampuan bakteri tersebut dalam memetabolisme nutrisi yang ada terutama kemampuan memecah protein. Selama pertumbuhannya, bakteri asam laktat memecah protein menjadi asam amino dan peptida yang digunakan sebagai sumber nitrogen bagi pertumbuhan dan perbanyakan sel (Nisa dkk et al., 2008 ; (Nahariah et al., 2015) ). Nilai pH telur fermentasi hasil penelitian lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian lainnya yang menggunakan level susu skim pada proses fermentasi (Aju dan Arik. 2013). Penambahan susu 6% pada pembuatan yogurt menghasilkan nilai rata-rata pH paling rendah sebesar 4,25 (Aju dan Arik, 2013). Penambahan susu skim dalam proses pembuatan yogurt meningkatkan kandungan laktosa (Hadiwiyoto, 1994), sehingga energi banyak yang tersedia untuk pertumbuhan mikrobia. Nahariah dkk. (2013), menyatakan bahwa penurunan pH disebabkan oleh adanya aktivitas fermentasi yang mengubah karbohidrat atau gula dalam bahan makanan menjadi asam dan air serta produk – produk akhir lainnya. Asam laktat sebagai produk utama fermentasi mudah terdisosiasi menghasilkan H+ dan CH3CHOHCOO-. Adanya ion H+ semakin mempengaruhi nilai pH, semakin banyak asam laktat yang dihasilkan maka konsentrasi ion H+ semakin meningkat dan terukur dipengukuran pH. Akumulasi asam laktat yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat dapat menurunkan pH media fermentasi Nahariah dkk. (2013). Nilai pH yang terhitung merupakan konsentrasi H+ yang terbebaskan selama proses fermentasi. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Manglizu dkk. (2015) yang menggunakan telur utuh yang berasal dari telur infertil sisa hasil indutri penetasan. Terjadi penurunan pH selama proses fermentasi Manglizu dkk.(2015). Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan bahan baku yang digunakan. Kadar air Hasil analisis ragam pada yang disajikan pada Tabel 1, menunjukkan bahwa penambahan susu pada level yang berbeda pengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar air PTF pada semua perlakuan. Hasil lanjut uji LSD menunjukkan bahwa nilai kadar air putih telur fermentasi berbeda nyata antara penambahan susu 2% dan penambahan susu 4% masing- masing sebesar 83,24%dan 81,05%. Hal ini diduga terjadi starter bakteri yang digunakan memerlukan adaptasi untuk pertumbuhannya Kondisi ini berpengaruh terhadap kinerja bakteri yang digunakan. Masa adaptasi kemungkinan mengakibatkan adanya kematian pada mikroba sehingga proses fermentasi dan metabolisme tidak berjalan dengan baik. Hal ini mengakibatkan air sebagai salah satu produk akhir fermentasi juga akan rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Syahrir (2002) yang berpendapat bahwa kadar air merupakan hasil metabolisme yang dihasilkan dari proses fermentasi, semakin banyak mikroba yang tumbuh maka hasil metabolismnya juga semakin tinggi. Penambahan level susu 2%, berbeda nyata menurun sejalan penambahan level susu 6% masing- masing sebesar 83,24% dan 80,67%. Hal ini diduga terjadi karena tidak terjadi aktivitas amilolitik dari kultur starter yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Zummah dan Wikandari (2013) yang menyatakan bahwa adanya aktivitas metabolisme bakteri pada produk fermentasi akan menghasilkan aktivitas amilolitik bakteri asam laktat karena adanya peningkatan jumlah bakteri. Aktivitas amilolitik akan mampu menghidrolisis gula protein sederhana, dengan adanya hidrolisis gula maka akan dihasilkan glukosa dan gula – gula lain yang lebih banyak. Glukosa dan gula tersebut akan diubah menjadi piruvat dengan membebaskan molekul air, sehingga kadar air juga lebih banyak.
157
A. Maulana, dkk.
Penambahan level susu 4% dan 6% tidak berbeda nyata dengan nilai masing – masing sebesar 81,05% dan 80,67%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi penurunan kadar air yang signifikan terhadap PTF yang diberi tambahan 4% dan 6%. Hal ini berarti bahwa penambahan susu pada 4% optimal dapat menurunkan kadar air PTF Hal ini sesuai dengan pendapat dari Nahariah dkk.(2013), bahwa adanya kondisi media yang sesuai dapat berpengaruh terhadap metabolisme dari mikroba. Hasil metabolisme akan diikuti oleh produk sampingan, salah satunya berupa H2O yang mengakibatkan nilai kadar air meningkat. Semakin lama waktu inkubasi, semakin banyak bakteri membutuhkan makanan untuk pertumbuhan dan perkembangannya. protein, lemak, karbohidrat dan komponen lainnya menjadi senyawa yang lebih sederhana, kemudian diserap ke dalam sel sehingga bakteri dapat untuk tumbuh dan berkembang Melia dkk. (2009). Pengukuran karakteritik fisikikimia PTF pada penambahan level susu berbeda yang meliputi pengujian warna dan kekentalan PTF disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai organoleptik warna dan kekentalan putih telur fermentasi dengan penambahan level susu yang berbeda. Parameter Level Susu Warna Kekentalan Tanpa penambahan susu Penambahan 2% susu Penambahan 4% susu Penambahan 6% susu
1,67 ±0,30a 2,36 ±0,06b 2,73 ±0,11c 3,00 ±0,32c
3,81 ±0,33 3,70 ±0,29 3,55 ±0,29 3,30 ±0,35
Rata-rata
2,44 ±0,55
3,59 ±0,34
Keterangan : superskripabcyang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0.01).
Warna Kekentalan
: 1. Kekuningan 2. Putih kekuningan 3. Agak putih 4. Putih 5. Sangat putih : 1. Sangat kental 2. Kental 3. Agak kental 4. Agak encer 5. Enc
Warna Hasil analisis ragam pada Tabel 2, menunjukkan bahwa penambahan level susu berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap warna PTF. Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa nilai rata- rata warna pada telur fermentasi berbeda nyata pada PTF tanpa penambahan level susu dengan penambahan level susu 2% masing – masing 1,67(kekuningan), dan 2,36(putih kekuningan). Hal ini diduga terjadi karena penambahan level susu dan kultur starter yang digunakan menyebabkan perubahan warna pada telur fermentasi. Hal ini seusai dengan pendapat dari Afriani dkk. (2011) yang menyatakan bahwa warna dari produk fermentasi di pengaruhi oleh bahan dasar yang digunakan. Penambahan level susu 2% dan 4%berbeda nyata dengan nilai masing – masing 2,36(putih kekuningan) dan 2,73(putih kekuningan). Hal ini diduga terjadi karena kultur starter yang digunakan dalam proses fermentasi berperan dalam memperbaiki warna produk fermentasi menjadi lebih cerah. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Selamat (1992) yang menyatakan bahwa keterlibatan bakteri asam laktat dalam suatu proses fermentasi tidak hanya membantu memperpanjang masa simpan produk pangan, namun juga memperbaiki sifat-sifat sensori terutama flavor dari bahan pangan yang difermentasi serta memperbaiki warna produk fermnetasi menjadi lebih cerah dan ikut dalam kegiatan meningkatkan kesehatan tubuh. Penambahan susu 4% dan 6% tidak berbeda nyata dengan nilai masing – masing yaitu 2,73 (putih kekuningan) dan 3,00 (Agak putih). Hal ini diduga terjadi karenapenambahan level susu serta penambahan kultur starter yang digunakan dalam proses fermentasi menyebabkan adanya perubahan warna, Perubahan warna ini terjadi karna bahan utama yaitu putih telur yang dominan berwarna agak putih bening setelah ditambahkan susu akan 158
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
berubah menjadi lebih putih ini dikarenakan warna dasar susu yang putih. Afriani dkk. (2011) yang menyatakan bahwa warna dari produk fermentasi di pengaruhi oleh bahan dasar yang digunakan. Proses fermentasi juga berpengaruh terhadap warna produk yang dihasilkan, kultur starter yang digunakan berperan dalam proses metabolismenya memperbaiki sifat fisik dari produk fermentasi salah satunya adalah warna, starter bakteri akan membuat produk menjadi lebih cerah sehingga penampilannya lebih menarik. Keterlibatan bakteri asam laktat dalam suatu proses fermentasi tidak hanya membantu memperpanjang masa simpan produk pangan, namun juga memperbaiki sifat-sifat sensori terutama flavor dari bahan pangan yang difermentasi serta memperbaiki warna produk fermentasi menjadi lebih cerah dan ikut dalam kegiatan meningkatkan kesehatan tubuh (Selamat,1992). Kekentalan Hasil analisis ragam pada Tabel 2, menunjukkan perlakuan pengolahan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap Kekentalan telur fermentasi pada semua perlakuan. Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai rataan akan kekentalan pada telur fermentasi yaitu tanpa penambahan susu (3,81), susu 2% (3,70), susu 4% (3,55) dan susu 6% (3,30) agak kental. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan level susu tidak memberikan kontribusi terhadap nilai kekentalan pada putih telur fermentasi. Hal ini dikarenakan kadar air yang menurun sehingga membuat kekentalan meningkat selain itu penambahan level susu juga dapat mempengaruhi kekentalan hal ini disebabkan penggunaan susu bubuk full cream yang mengandung cukup banyak total padatan atau total solid (lemak, protein, laktosa dan abu). Hal ini sesuai dengan Wahyudi dan Samsundari (2008), terbentuknya asam laktat selama proses fermentasi menyebabkan peningkatan total asam dan koagulasi protein pembentuk gel. Gel membentuk tekstur semi padat dan meningkatkan kekentalan. Kekuatan gel kasein yang terbentuk ditentukan oleh kekuatan ikatan antara misel kasein dengan misel kasein yang kekuatan ikatannya dipengaruhi oleh pH, konsentrasi kalsium, dan suhu. Tekstur yang kental didukung dengan hasil viskositas yang juga tinggi (Hess et al., 1997). Kekentalan pada telur juga dipengaruhi oleh kerusakan pada telur kerusakan ini biasanya ditandai dengan rusaknya isi telur dan bila dipecah isi tidak menggumpal lagi. Kerusakan isi telur karena CO2 yang terkandung didalamnya sudah banyak yang keluar sehingga derajat keasaman telur meningkat. Penguapan yang terjadi juga membuat bobot telur menurun dan putih telur juga lebih encer. Masuknya mikroba kedalam telur melalui poro- pori kulit telur juga akan merusak isi telur. (Heath, 1976). KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penambahan level susu tidak menurunkan nilai pH pada putih telur fermentasi tetapi dapat menurunkan nilai kadar air. Penambahan level susu memberikan perubahan warna dari kekuningan menjadi agak putih dan dapat meningkatkan kekentalan dari putih telur fermentasi. DAFTAR PUSTAKA Afriani. 2010. Pengaruh penggunaan starter bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus fermentum terhadap total bakteri asam laktat, kadar asam dan nilai pH dadih susu sapi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. 8(6) : 279-285.
159
A. Maulana, dkk.
Afriani, Suryono dan H Lukman, 2011. Karakteristik dadih susu sapi hasil fermentasi beberapa starter bakteri asam laktat yang diisolasi dari dadih asal kabupaten kerinci. Agrinak. 1 (1) : 36 – 42. Aju Tjatur Nugroho Krisnaningsih Dan Arik Effendi. 2013. Pengaruh penggunaan level susu skim dan masa inkubasi pada suhu ruang terhadap ph dan organoleptik stirred yogurt. Jurnal Ilmiah Fakultas Peternakan Universitas Kanjuruhan. Malang. AOAC. 2003. Official Methods of Analysis. 17th Ed (2 revision) AOAC Internasional. Gaitherburg, MD. USA. Apriyantono, A., S. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sendarwati dan S. Budiyanto. 1989. Analisa Pangan, Petunjuk Laboratorium, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2008. SNI 3926:2008 Tentang Telur Ayam Konsumsi. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Balows, A. H., and G. Trupen., 1991. Artikel. http//en.Wikipedia.org/wiki/ lactobacillus_bulgaricus. Diakses: 20-12-2015. Bottazzi. 1983. Other Fermented Dairy Products. In: Biotechnology. Fifth volume. H.J.REHM and G.REED(Ed.). G.REED (vol. ed.). Verlag Chemie. Florida, Basel. Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M Wooton. 1985. Ilmu pangan. Terjemahan hadi purnomo dan adiono. UI Press, Jakarta. Darwis, A.A dan E Sakura. 1989. Teknologi Mikrobial. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institus Pertanian Bogor. Bogor. Gaspersz, V. 1991. Metode Rancangan Percobaan. Arminco. Bandung. Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil – Hasil Olahan : Susu, Ikan, Daging, dan Telur. Liberty. Yogyakarta. Hadiwiyoto, S. 1994. Studi pengolahan dendeng dengan oven pengeringrumah tangga. Buletin Peternakan. 18:119-126. Haryoto. 1993. Pengawetan Telur Segar. Penebar Swadaya. Jakarta. Heath, J.L. 1976. Factors Affecting the Vitelline Membrane og Hen’s Egg. Poultry Sci. 55:936-942. Helferich, W. dan D. Westhoff. 1980. All About Yoghurt. Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs. New Jersey. Hess, S.J., R.F. Robert, and G. R. Ziegler. 1997. Rheological properties on nonfat yoghurt stabilized using Lactobacillus delbrueckii ssp. bulgaricus producing exopolysaccharide or using commercial stabilizer systems. Journal of Dairy Science, 80 : 252 – 263. Jawet, Melnick, dan Adelberg’s. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Salemba Medica. Jakarta. Nahariah, N., A. M. Legowo, E. Abustam, dan A. Hintono. 2015a. Angiotensin I-Converting Enzyme Inhibitor Activity on Egg Albumen Fermentation. Asian Australas.J.Anim.Sci. 28(6) : 855-861. Nahariah, A. M. Legowo, E. Abustam, A. Hintono, Y. B. Pramono, dan F. N. Yuliati. 2013. Kemampuan tumbuh bakteri Lactobacillus plantarum pada putih telur ayam ras dengan lama fermentasi yang berbeda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan. 3(1) : 33-39. Nisa, F. C., J. Kusnadi, dan R. Chrisnasari. 2008. Viabilitas dan deteksi subletal bakteri probiotik pada susu kedelai fermentasi instan metode pengeringan beku (kajian jenis isolate dan konsentrasi sukrosa sebagai krioprotektan). Jurnal Teknologi Pertanian. 9(1) : 40 – 51. Nurzainah Ginting, Elsegustri Pasaribu,2005. “Pengaruh Temperatur Dalam Pembuatan Yoghurt dari Berbagai Jenis Susu Dengan Menggunakan Lactobacillus .Bulgaricus dan Streptococcus Thermophilus”, Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2. Mahdian, E., dan Tehrani, M.M. 2007. Evaluation the Effect of Milk Total Solids onthe Relationship Between Growth and Activity of Starter Cultures and Quality of Concentrated Yoghurt. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci. 2 (5):587-592. 160
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
Mangalizu A., Nahariah, W. Hatta. 2015. Kemampuan fermentasi Lactobacillus plantarum pada telur infertil dengan waktu inkubasi yang berbeda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar. 4(2):70-73. Melia, S., I. Juliyarsi, dan Africon. 2009. Teknologi Pengawetan Telur Ayam Ras dalam Larutan Gelatin dari Limbah Kulit Sapi. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Padang. Muchtadi, D. dan T.R. Sugiyono, 1989. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Oberman, H. 1985. Fermented Milk. Di dalam wood B.J.B (ed). Microbiology of fermented food. Volume 1. Elsevier Applied Science, New York. Rachmawan, O. 2001. Pengeringan, pendinginan dan pengemasan, komoditas pertanian. Depdiknas. Medan. Rahman, A., S. Fardiaz, W.P. Rahayu, Suliantari dan C.C. Nurwitri. 1992. Bahan Pengajaran: Teknologi Fermentasi Susu. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor. Robinson, R. K. 1999. Yoghurt. Di dalam, R.K., S. A. Batt, dan P. D. Patel (eds). 1999. Encyclopedia of Food Microbiology. Academic Press. Selamat, D.P. 1992. Mutu Simpan Yakult Kedelai Yang Difermentasi Oleh Lactobacillus casei Galur Shirota dan Lactobacillus casei Subsp. Rhamnosus pada Suhu Ruang dan Suhu Lemari Es. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Setyaningsih, D., A. Apriyantono dan M.P. Sari. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. IPB Press. Bogor. Sneath, P.H.A, N.S. Mair, M.E. Sharpe, J.G. Holt. 1986. Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology. Vol 2. Williams and Wilkins. Baltimore. Sudaryani. 2003. Kualitas Telur. Penebar Swadaya. Jakarta. Suprapti, L.M, 2002. Pengawetan Telur, Telur Asin Tepung Telur dan Telur Beku, Kanisius. Yogyakarta. Syahrir, I.H. 2002. Karakteristik Fisik, Kimia dan Mikrobiologi Dadih Susu Sapi dengan Kombinasi Starter Lactobacillus plantarum, Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus termophillus. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tamime, A.Y. dan Robinson, R.K. 2000. Yogurt Science and Technology. Second Edition. Woodhead Publishing Limited, England Tzanetaki, E.L. dan Tzanetakis. N. 1999. Fermentes Milk Department of Food Science. Faculty of Agriculture, Aristole University of Thessaloniki, Greece. Winarno, F. G. 2002. Telur , Komposisi, Penanganan, dan Pengolahannya. M-Brio Press. Bogor. Williams, R.A.D. 1982. A review of biochemical techniques in the classification of Lactobacilli. Biochemistry : 351 – 367. Yuniati, S. 2000. Faktor Penyebab Penurunan Kualitas Interior Telur Ayam. FMIPA Universitas Terbuka. Jakarta. Zummah, A. dan P. R. Wikandari. 2013. Pengaruh waktu fermentasi dan penambahan kultur starter bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum B1765 terhadap mutu bekasam ikan bandeng (Chanos chanos). UNESA J of Chemistry. 2(3) : 14 – 24.
161