K
alau bukan karena permintaan Ibu, sungguh mati aku enggan melakukan perjalanan ini. Lebih-lebih oleh Ibu permintaan itu diikuti sebuah kalimat yang mengiris hati, “Siapa tahu ini permintaan Ibu yang terakhir kali, Jayus. Ibu sudah tua, sudah tak punya keinginan apa-apa lagi. Berziarahlah kamu ke makam ayahmu.” “Apa masih bisa ditandai?” tanyaku. “Tidak sulit. Kuburannya berada di bawah pohon mahoni besar. Di nisannya juga ditulis namanya: Asikin!” Ibu mengatakan bahwa tiga hari yang lalu dia bermimpi bertemu Ayah. Menurutnya, itulah isyarat agar makamnya diziarahi. “Makam adalah tempat di mana anakcucunya bisa melakukan hubungan batin,” tutur
Ibu berfilsafat. “Juga merupakan satu saksi bahwa seseorang pernah hidup di dunia.” Walaupun ada rasa enggan, kupikir permintaan Ibu itu tidak berlebihan. Duapuluh tahun sudah makam Ayah di desa tidak pernah lagi kami tengok. Tepatnya semenjak kami meninggalkan desa itu untuk hijrah ke Jakarta. Rasa engganku ini tentulah bukan tanpa alasan. Desa itu terletak jauh di pedalaman, di mana dari kota kabupaten aku harus naik omprengan untuk kemudian menyambungnya lagi dengan andong. Itu pertama. Kedua, aku pernah punya pengalaman tidak sedap di desa tersebut lantaran terjadi konflik dengan warga setempat. Dan ketiga, terus terang aku enggan bertemu dengan kawan-kawan lama yang biasanya minta pekerjaan bila menganggap sahabatnya sukses di Jakarta.
Kurebahkan kepalaku di atas sandaran jok bus malam yang melaju kencang. Baru hari ini aku tahu bahwa dari Jakarta ada rute bus malam yang langsung ke kota T. Dengan mata yang didayu kantuk aku membayangkan besok pagi sudah berada di desa kelahiranku yang sebenarnya menampung seribu kenangan manis. Namun mengenangkannya sama artinya dengan mengingat Pak Banu, satu sosok yang pernah menyerang dan memusuhiku. Di desa itu terdapat sebuah pepunden bekas pertapaan seorang raja. Pepunden itu ramai dikunjungi orang dari daerah sekitar setiap malam Jumat Wage. Konon permintaan peziarah akan segera terkabul bila dipanjatkan di pepunden yang keramat itu. Kami, sejumlah pemuda desa yang berpikiran maju, tidak menginginkan hal itu terjadi di desa kami. Suatu hari aku dan kawan-kawan mengadakan semacam resolusi terhadap sesepuh desa yang sengaja mengelola pepunden itu. Kami menuntut agar tradisi itu ditutup. “Tidak!” kata Pak Banu yang mengetuai kepanitiaan pepunden. “Tuntutan kalian tidak punya dasar sama sekali.” “Kenapa tidak berdasar?” tolakku. “Menghidup-hidupkan pepunden itu menyesatkan keimanan. Orang hanya boleh meminta kepada Tuhan, bukan pada pohon beringin dan arwah yang semestinya kita doakan!” “Tahu kalian? Semakin banyak orang berkunjung ke desa ini, semakin banyak pula manfaat yang kita peroleh. Warga desa bisa mendapat tambahan rezeki dengan menjual kembang, minuman dan makanan. Desa kita dapat pemasukan sekaligus jadi terkenal....” “Cuma demi itu maka Bapak tega menjual keyakinan sekian banyak orang? Terlalu mahal harga yang harus kita bayar, Pak.” “Kalian anak kemarin sore mau ngoceh soal keyakinan. Kalian boleh saja berkeyakinan demikian, tetapi orang lain juga boleh tidak. Bukan salah kita kalau mereka mempercayai pepunden.” Tatkala itu umurku baru dua puluh tahun. Dan para pemuda seusiaku yang menganggap dirinya berpandangan lebih maju tidak begitu saja mau mengalah. Namun, aparat desa dan sebagian besar kaum tua lebih membela Pak Banu, membuat kami tak bisa berbuat apa-apa.
Pada saat itu jembatan kayu di tapal batas desa kedapatan ambrol sehingga andong-andong yang mengangkut peziarah tak dapat melewatinya. Pak Banu menuduh kamilah yang merusak jembatan, dan melapor kepada polisi. Beberapa tokoh pemuda desa, termasuk aku, dipanggil dan ditahan dua malam di kantor polisi. Ibu yang belum genap setahun menjanda itu jadi panik setengah mati. Lebih-lebih Pak Banu dan sekongkolnya makin menteror. Oleh Pak Banu aku akan diajukan ke pengadilan. Ketika itulah abang sulungku yang sudah hidup mapan di Jakarta berniat memboyong keluarga kami. Ibu cepat-cepat menyetujui, dan rumah pun segera dijual murah. Kami sekeluarga hijrah ke Ibu Kota tanpa rasa berat, sebab tak satu pun famili kami ada di desa itu. Matahari baru saja muncul ketika bus malam yang kutumpangi sampai di kota T. Di kota itu banyak sekali mobil omprengan yang mencari penumpang ke jurusan Desa Bumiayu desa tempat tinggalku dulu. Hari ini Kamis Pon, dengan demikian malam nanti Desa Bumiayu akan ramai dikunjungi orang yang berziarah ke pepunden. Dari kota T yang suasananya sudah jauh berubah itu aku naik mobil omprengan langsung ke Desa Bumiayu tanpa harus naik andong lagi. Dan terbukti perjalanan sangat lancar. Hatiku lega. Tujuanku sudah hampir sampai. Kalau ada yang masih kupikirkan adalah di mana aku harus menginap malam nanti. Kemungkinan yang terbaik aku akan menginap di rumah Muhtarom atau Mat Sani, sahabatku berjuang dulu. Tetapi itu pun bila mereka masih tinggal di sana. Kalau tidak, aku akan menginap di rumah Pak Lurah dengan harapan warga desa sudah tidak mengenaliku lagi. Sepanjang perjalanan aku berdecak kagum menyaksikan perubahan yang nyaris sulit kupercaya. Jalan yang dulu koyak dan berbatu kini sudah beraspal mulus. Sawah dan tegalan di sepanjang tepi jalan raya kini sudah penuh dengan rumah penduduk, dengan model bangunan tembok berkaca reyben. Hampir di tiap atap menyembul antena televisi, sehingga membuat pemandangan menjadi centang-perenang. Pohon-pohon randu yang tumbuh berjajar di pinggiran jalan sudah tak nampak lagi, diganti dengan tiang-tiang listrik.
Tiba di Desa Bumiayu pukul sembilan pagi. Keherananku makin bertambah. Aku hampir tak lagi mengenali desa kelahiranku. Desa yang dulu tenang dan sepi sekarang menjadi sebuah kota kecil yang ramai. Aku nyaris tak yakin terhadap penglihatanku sendiri. Sebuah hotel kecil dan indah berdiri di kaki bukit di belakang terminal. Ingin rasanya aku berteriak kegirangan karena tak perlu lagi berpikir ke mana harus menginap. Serta-merta aku menuju hotel itu seraya membayangkan empuknya kasur yang akan melenyapkan keletihanku akibat diguncang kendaraan semalaman. Aku akan tidur dulu barang tiga atau empat jam sebelum jalan-jalan dan ziarah ke makam Ayah sore nanti. “Dari Jakarta, Pak?” tanya room-boy yang mengantarku ke kamar. “Ya,” jawabku. “Sudah lama hotel ini dibangun?” “Sudah, Pak. Sekitar lima tahun yang lalu. Di sebelah sana juga banyak cottage, Pak.” “Cottage? Sejak kapan ada cottage di sini?” “Sudah lama, Pak, sejak desa ini dinyatakan sebagai objek wisata. Cottagecottage itu untuk pendatang dari kota besar. Kalau mereka datang bersama keluarga, biasanya lebih senang menginap di cottage. Baru kali ini Bapak datang kemari?” Aku mengangguk. “Mau ziarah ke pepunden, Pak?” “Ya,” jawabku asal saja. Room-boy yang masih muda itu menata bed-cover dengan cekatan. Ia lalu menyerahkan kunci kamar sambil menatapku malu-malu, seakan ada yang ingin ia katakan. Aku segera memberikan uang sepuluh ribu rupiah sebagai tip. Ia menerimanya seraya mengucapkan terima kasih dua kali, namun masih juga tak segera beranjak pergi. “Bapak sendirian?” tanyanya. “Ya. Kenapa?” “Anu, Pak, hhmm... Barangkali Bapak butuh teman?” “Teman?” tanyaku pura-pura bego, meskipun sebenarnya aku tahu yang dimaksud. “Teman apa?” “Yah, barangkali Bapak capek dan ingin pijat,” jawabnya provokatif. “Kalau butuh, saya bisa panggilkan, Pak. Orangnya cantik. Masih
muda kok, sekitar 25 tahun. Mau, ‘kan, Bapak?” Aku tersenyum. Kusadari bahwa hotel menjadi tidak afdol tanpa mampu menyediakan teman tidur buat tamu-tamunya. Terus terang aku memang bukan seorang yang moralis. Hal-hal seperti itu merupakan bagian dari keisenganku tiap kali pergi keluar kota sendirian. Maka aku pun mengangguk tanpa harus berpikir panjang. Setengah jam kemudian seorang perempuan muda masuk setelah pintu kamar separuh kubuka. Bau parfum murahan segera menerjang hidungku. Perempuan itu berparas cantik, berusia tak lebih dari 25 tahun. Wajahnya bulat telur. Pada bagian atas hidungnya, di antara dua matanya yang bening, ada tahi lalat besar yang justru menambah manisnya wajah itu. Ia duduk di kursi, tersipu-sipu memandangiku. Ia kupanggil, kusuruh berbaring di sebelahku. Kutatap perempuan muda itu sambil merasa heran bahwa di desa sekecil ini ada pelacur secantik dia. Sebelum kami menjadi binatang, aku mengajaknya berbincang-bincang terlebih dahulu. “Kamu dari desa ini?” tanyaku sambil meremas jemarinya. “Ya, Om. Om dari Jakarta ya?” ucapnya manja. “Ya. Kamu punya suami?” Ia menggeleng. Ia lalu bilang bahwa ia sudah bercerai dengan suaminya dua tahun yang lewat. Untuk menghidupi seorang anaknya, demikian ia bercerita, ia terpaksa menjual diri ketika desanya menjadi objek wisata dan ramai dikunjungi orangorang kota. “Namamu siapa?” “Nama saya jelek, Om. Nama orang desa. Malu, ah.” “Aku perlu tahu namamu. Siapa tahu ingin memakaimu lagi kalau suatu saat aku sampai ke sini?” “Nama saya Susini....”
Mendadak memori dalam otakku bekerja. Rasanya nama itu pernah kudengar. Su-si-ni. Nama perempuan desa yang agak unik juga. Aku mencoba menggali ingatanku. Tuhan! Bukankah perempuan ini putri Pak Banu yang tatkala itu berusia lima tahun? Aku tidak ragu lagi dengan tahi lalat di antara kedua matanya itu. “Ayahmu bernama Banu, ya?” tanyaku spontan. Perempuan itu tersentak. Ia tatap wajahku dalam-dalam. “Benar, Om. Om mengenalnya?” Tuhanku! Siapa menduga hari ini aku akan meniduri putri lelaki yang pernah memusuhiku? Kukatakan padanya bahwa aku pernah kenal dengan ayahnya duapuluh tahun silam. Dan ia bilang bahwa ayahnya sudah meninggal akibat kecelakaan, keruntuhah tembok saat pepunden dibangun lima tahun lalu. Katanya, ayahnya termasuk tokoh yang ikut memperjuangkan desa ini menjadi desa wisata. Mendadak antara kami menjadi demikian kaku dan canggung. “Maaf, aku tidak bisa melakukannya,” kataku seraya bangkit dan memberinya uang dua kali dari tarip biasa. Susini mendelong. Ia ragu menerima uang dariku. Tanpa banyak kata uang itu lantas kuselipkan di belahan dadanya. “Terima kasih, Om,” katanya menyerupai gumam. Sepeninggal Susini, aku tak bisa memicingkan mata. Pikiran busukku berseru agar aku menyesali keputusan itu. Bukankah meniduri putri lelaki yang pernah memusihiku itu akan membuatku merasa telah memperoleh semacam kepuasan politis? Demikian gugatan hati jahatku. Gelisah seorang diri di kamar, aku lantas memutuskan untuk jalan-jalan melihat suasana desa kelahiranku yang kini menjadi objek wisata. Di sepanjang jalan anak-anak kecil, lelaki maupun perempuan, menawarkan kerajinan tangan. Juga kulihat gadis-gadis remaja menjajakan kue-kue, minuman, dan kembang. Mereka cantik-cantik, berdandan ala gadis kota. Sadarlah aku bahwa zaman begitu cepat berlari. Tatkala aku masih tinggal di desa ini, gadis-gadis seusia mereka masih suka bermain kejar-kejaran dengan pakaian alakadarnya. Tetapi kini mereka
sudah paham bergincu dan berpupur. Bahkan begitu pintar mereka merayu calon pembeli. Tak segan-segan mereka menggayuti lengan lelaki seraya bertutur manja dan memainkan ekspresi wajah yang mampu mendebarkan hati. Aku lantas berjalan ke barat. Aku berdecak kagum melihat masjid yang dulu dari kayu kini berdiri megah dengan bangunan beton yang kokoh dan lantai marmer mengkilat. Teringat olehku semasa kanak aku bersama teman-teman sering tidur ngeringkel di masjid itu dengan tikar pandan. Bersamaan dengan itu suara azan dzuhur bergema dari pengeras suara, begitu merdu dan indah lagunya. Spontan aku teringat Muslikh yang dijuluki Syeh Abdul Basyid lantaran kelihaiannya melantunkan azan. Namun kini yang terdengar bukan lagi suara Muslikh atau anak yang lain, tetapi suara kaset yang bisa dipasang cuma dengan sekali menekan tombol. “Apa kalau malam masih ada anak-anak yang tidur di masjid?” tanyaku kepada salah se-orang anak lelaki penjual cindera mata. “Tidak, Om, menganggu kesehatan,” jawabnya tak acuh. Aku geleng-geleng kepala. Anak desa sekecil itu sudah tahu tentang teori kesehatan segala. Kepada seorang gadis aku membeli dua bungkus kembang untuk bekal ziarah ke makam Ayah sore nanti. Ketika aku kagum akan kecerdasan dan ketrampilannya bicara, kutanya di mana sekolahnya. “Sudah tidak sekolah, Om,” jawabnya polos. “Cuma tamat SD.” “Kenapa tidak melanjutkan ke SMP?” “Enakan berjualan, Om, bisa dapat duit. Habisnya, orangtua saya menganjurkan demikian. Semua juga begitu, Om. Malah banyak yang tidak tamat SD....” Aku mengangung-angguk sambil merasakan suatu keprihatinan yang dalam. Kulongokkan kepalaku untuk memandang ke arah cungkup. Ya, Tuhan! Cungkup pepunden itu juga mencengangkanku, sebab kini dibangun besar dan megah menyerupai museum. Sore harinya aku menuju makam di perut bukit. Tiba-tiba aku merasa terlempar ke suatu tempat yang sama sekali asing. Di mana makam itu? Inilah puncak keherananku. Lokasi makam itu lenyap bagai ditelan bumi. Yang ada di
hadapanku adalah deretan cottage-cottage mungil yang indah dan asri. “Bukankah dulu di sini ada makam, Pak?” tanyaku kepada seorang lelaki tua yang kebetulan lewat. “Oh, itu dulu, Pak. Bapak dari mana?” “Saya dari Jakarta. Saya dulu tinggal di desa ini. Dan ayah saya dimakamkan di kuburan itu.” “Makam itu sudah lama digusur untuk pembangunan cottage-cottage ini.” Hatiku terasa ngungun. Dengan lesu aku kembali ke hotel. Satu demi satu langkah kakiku kuayun seakan tak menapak bumi. Sebuah saksi bahwa lelaki bernama Asikin alias ayahku pernah hidup di muka bumi ini, telah sirna ditelah deretan cottage. Aku tak tahu apa yang mesti kukatakan kepada Ibu. *** Jakarta 1980