1
Dikala shubuh aku terlahir ke dunia ini, tepatnya pada hari ketiga dibulan juni, dua puluh lima tahun yang lalu. Dalam cerita ini aku tidak ingin menyebutkan dimana daerah tempat aku dilahirkan, karena rasanya itu tidak perlu, hanya salah satu desa kecil yang ada di negeri ini. Biarlah aku sendiri yang menyimpan kebanggan terhadap tanah kelahiranku. Dalam keluarga, aku adalah anak satusatunya. Hingga sekarang ayahku masih seorang petani yang hanya memiliki sepetak sawah sebagai lahan utama untuk menghidupi keluarga. Tapi, dia belum melupakan pekerjaan serabutan yang lain, karena dari dulu dia cukup cekatan untuk melakukan berbagai pekerjaan yang sering dilakukan oleh lakilaki. Kalau untuk yang satu ini mungkin bukan pekerjaan ayah, lebih pantas dikatakan panggilan
hati dan kewajiban yang harus dia tunaikan. Ayah juga seorang ustad yang cukup dihormati di desa. Sedangkan mengenai Ibu, dia hanya seorang Ibu rumah tangga biasa, pekerjaan yang sering dilakukan adalah membantu ayah di sawah. Namun yang sangat berarti dari sikapnya adalah jiwa penyayang dan penyabarnya terhadap keluarga, dia Ibu yang sekaligus menjadi istri soleha dalam keluarga kami. Aku dan Ayah sangat menyayanginya. Dari segi ekonomi aku menilai kami adalah keluarga yang sangat sederhana, meski tidak juga dikatakan berkekurangan. Cukuplah sepetak sawah dan beberapa kerjaan serabutan ayah untuk menafkahi kami, keluarga kecilnya. Rumah kami kerap terlihat sepi, hanya dihuni ayah, Ibu dan saya sebagai satu-satunya anak mereka. Tapi menilik latar belakang ayah dan Ibu, sebenarnya mereka berasal dari keluarga yang besar, aku punya banyak sanak famili yang sama-sama
2
tinggal di desa ini, dan sebagian lagi ada juga yang sudah merantau ke kota. Kami biasanya berkumpul pada saat Idul Fitri atau acara keluarga tertentu. Dalam hal agama, keluarga kami sangat menjunjung tinggi itu.
Sejak berusia muda ayah
sudah dikenal sebagai ustad di desa, dan tentunya sebagai Imam keluarga, dia juga disiplin memberikan pendidikan agama kepada kami. Sedari kecil aku sudah diajarkan tentang disiplin dan Islam. Shalat, mengaji, dan berprilaku sebagai seorang muslim. Aku diberi pemahaman tentang kewajban mutlak manusia hidup di dunia ini melalui kebenaran agama yang kuyakini. Suatu ketika ayah pernah berkata padaku “Belajar agama dari kecil seperti mengukir di atas batu, sedangkan jika di usia tua sama saja seperti mengukir di atas air. Meski sebenarnya tidak pernah ada kata terlambat untuk memahami agama, tapi lebih baik jika dimulai dari usia dini”.
3
Seperti ini rutinitas yang biasa kulakukan tiap hari, pagi mengantarkan sarapan ayah ke sawah, yang selepas shubuh ayah sudah berada di sana, kemudian baru berangkat ke sekolah. Di sore harinya kembali ke sawah untuk membantu ayah atau melakukan pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan di rumah, kadang juga mengisi waktu kosong dengan mengerjakan tugas sekolah dan bermain bersama teman-teman. Menjelang maghrib aku dan ayah sudah berada di mesjid, shalat dan mengaji, hingga setelah isya baru kami pulang kerumah. Di rumah, Ibu sudah menunggu kami dengan makan malam yang sudah dia sediakan. Malam hari adalah waktu untuk kami berkumpul, berbincang tentang kejadian apa saja yang seharian ini kami alami. Sebenarnya tetap seperti malam-malam biasanya, tidak ada yang berubah, tapi nilai yang terasa dari saat-saat seperti
4
itu adalah moment kedekatan antara ayah, ibu dan aku yang kian bertambah hari demi hari. Di sekolah aku bisa dikatakan sebagai siswa yang pandai, jika itu dilihat dari nilai raportku yang selalu mendapat peringkat 5 besar. Aku bersekolah di satu-satunya sekolah dasar negeri yang ada di desa. Mungkinkah karena aku anak dari seorang ustad yang dihormati, juga termasuk siswa yang dikatakan pandai, maka guru, teman-teman dan masyarakat desa banyak yang senang padaku ?. Tapi yang jelas, itu bukan menjadikan aku sombong. Aku merasa waktu itu hanyalah seorang anak kecil yang masih lugu, coba menjadi bocah baik sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh kedua orang tuanya. Setelah melewati beberapa tahun, akhirnya aku menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar, begitu besar niatku untuk dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya. Itu juga menjadi keinginan dari
5
kedua
orang
tuaku,
khususnya
mereka
mengharapkan aku bisa masuk ke pesantren. Mungkin saja karena di pesantren biaya pendidikanya lebih murah, atau mungkin mereka tidak mampu membiyayai sekolahku di SMP umum lainya. Tapi rasanya itu sama sekali bukan menjadi alasanya. Dari dulu ayah berharap agar nanti aku dapat memperdalam ilmu agama di pesantren, selain itu menurutnya sekarang ini pesantren bukan hanya lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu agama saja, sehingga dengan bersekolah disana artinya aku bisa mendapatkan manfaat yang lebih dibandingkan sekolah umum lainya. Dengan keinginan sendiri, aku menyetujui pendapat ayah. Bukan berarti aku menurut saja apa katanya, lagipula ayah tipe orang yang demokratis dalam keluarga, bukan orang tua yang suka memaksakan kehendak. Lebih dari semua itu, aku
6
yakin pastilah kedua orang tuaku selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Di desa kami waktu itu hanya ada dua sekolah dasar, dua sekolah menengah pertama, satu sekolah menengah atas, dan tidak ada pesantren yang termasuk di antaranya. Maka ayah harus pergi ke luar desa untuk mencari pesantren bagiku, menuju kesana harus menempuh perjalanan selama empat jam menggunakan bus umum. Rasanya tidak perlu juga aku menyebutkan nama pesantrenku. Diantara banyaknya pesantren yang ada di negeri ini, pesantrenku mungkin tidak terlalu dikenal, lokasinya terletak di pelosok, santrinya pun tidak terlalu banyak. Maka biarlah pesantren itu tetap kukenang sendiri sebagai tempat pertama kali aku mencari ilmu agama dan pengalaman hidup.
7
Cerita yang begulir selanjutnya, adalah aku yang mulai hidup dalam dunia santri. Berteman dengan sesama santri dan secara khusus belajar tentang segala hal yang berhubungan dengan agama Islam. Mungkin itu bukanlah hal yang baru, karena sejak
kecil
aku
memang
dibesarkan
dalam
lingkungan keluarga yang taat. Tapi ada yang sedikit berbeda, ilmu agama yang kutemukan di pesantren diajarkan secara lebih mendetail, santri tidak hanya dibimbing oleh satu orang guru, tapi beberapa orang yang paham akan agama. Tingkat pengetahuan agama ustad-ustad disana bahkan mungkin lebih dari ayahku, pernah ayah bercerita bahwa salah satu guru di pesantren ini adalah guru yang pernah membimbing ayah juga, hanya saja waktu itu ayah tidak sempat mengecap pendidikan di sekolah pesantren, diwaktu muda dia belajar agama hanya secara otodidak dengan
8
mencari guru yang mau secara sukarela membagi pengetahuanya. Menurutku memang begitu seharusnya ilmu agama disebarkan, itu termasuk dalam metode dakwah yang harusnya tak kenal pamrih dan tandeng aling-aling. Ayahku sama seperti Ibuku, hanya tamatan sekolah dasar saja. InsyaAllah dengan niat dan kesungguhan yang tulus aku dapat menjadi semakin mengerti tentang kebenaran Islam melalui pendidikan di pesantren ini. Tentunya kita semua tahu bahwa pesantren memang institusi pendidikan yang lebih identik dengan
pendidikan
agama
selain
pendidikan
formalnya, tapi kehidupan di dalam pesantren tidak terlepas dengan berbagai tingkah laku kami sebagai santri yang turut mewarnai institusi pendidikan ini. Pesantren tempat sekolahku tidak semewah pesantren lain atau sekolah-sekolah yang juga menyediakan asrama bagi siswanya. Sama halnya
9
jika dibandingkan dengan sekolah umum, sekolah pesantrenku ini terdiri dari tingkatan SMP hingga SMA. Bangunanya tidak seluruhnya terbentuk dari coran semen, sebagian dinding kelas masih terbuat dari anyaman bambu dan beratap rumbia. Asrama tempat kami menginap juga sekedar menjadi tempat yang aman buat tidur dan berteduh saja, kadang kami terlelap beralaskan tikar jika bosan tidur di atas ranjang bambu. Ruangan kamar kami mungkin bisa dikatakan cukup luas, tapi bisa terlalu sesak karena dihuni oleh sepuluh hingga lima belas santri. Hanya untuk urusan mandi, cuci atau buang air yang mungkin tidak terlalu dipersoalkan, ada tempat permandian umum yang terletak di belakang asrama, terdapat dua sumur dan dua kakus disana. Jika ingin lebih leluasa lagi melakukan semua aktifitas keseharian itu, lokasi asrama kami juga sangat dekat dengan sungai, hingga disana bisa
10
bebas untuk mencuci, mandi, atau buang hajat, yang tentunya tetap dengan cara yang benar. Sehari-hari
kami
terbiasa
melakukan
segalanya secara bersama-sama, shalat, mengaji, belajar, mengerjakan tugas, tidur, makan, dan hal umum lainya. Untuk makan, kami memiliki ruang khusus yang sekaligus menjadi dapur umum di pesantren ini. Pihak pesantren mengupah tukang masak yang bertugas untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan ketersediaan makanan di pesantren. Didalam ruangan makan berjejer bangkubangku dan meja-meja panjang. Pada saat jadwal makan, tiap bangku harus ditempati sesuai dengan orang-orangnya, ada yang ditempati oleh guru atau para ustad, dan yang lainya ditempati santri-santri yang dibedakan dari angkatan masuk ke pesantern ini. Waktu makan hanya akan dimulai sesuai jadwal, dan didahului dengan doa bersama yang tiap harinya
11
dipimpin secara bergantian dan teratur oleh masingmasing santri. Jadwal makan adalah termasuk saat yang paling ditunggu oleh para santri, ada kebersamaan dalam acara santap bersama ini. Sebenarnya ketika dalam ruangan itu, kami masih terikat oleh peraturan tentang adab makan yang benar, namun sebagai santri muda kamipun masih saja kerap bersenda
gurau. Peraturan
jadi tidak terlalu
diindahkan, karena tidak terlalu digubris juga oleh para ustad atau senior kami, mungkin selagi itu masih dalam batas yang normal. Jika mengenang kisah waktu di pesantren dulu, aku menjadi sadar bahwa tidak semua orang tua memilki tujuan utama menyekolahkan anaknya di pesantren untuk memperdalam ilmu agama. Kadang
pesantren
dianggap
sebagai
tempat
penampungan untuk anak mereka yang berulah, atau nakal. Hingga dengan belajar agama mungkin
12
orang tua mereka berpendapat tabiat dari anaknya tersebut dapat berubah. Dipesantren aku bertemu dengan para santri yang memiliki beragam sikap dan tabiat, tapi biar bagaimanapun diantaranya
jika
ada
memang
yang
masih
ada tetap
kenakalan, menjadi
kawajaran di usia kami, meski ada juga santri yang sudah keterlaluan. Tabiat asli memang sulit untuk dirubah tapi perlahan-lahan kami dapat mengambil faedah dari tujuan utama menempuh pendidikan di pesantren. Banyak kisah yang terjadi, menceritakan bagaimana prilaku keseharian kami sebagai anak santri yang keseharianya tidak terlepas dari adab dan tata tertib, aturan mengikat supaya kami bisa disiplin berdasarkan ajaran agama Di dalam pesantren kami adalah keluarga, makan, tidur bahkan mandi sering beramai-ramai. Kisah suka duka, bagaimana kami saling berbagi di
13
dalam satu asrama, terkadang tetap ada silang sengketa kecil untuk masalah-masalah sepele. Kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan dan akan mendapat
sanksi
yang
sangat
keras
adalah
menjalankan shalat lima waktu, mengaji dan mengkaji ajaran agama berdasarkan bimbingan ustad pesantren kami. Kedisplinan aturan pesantren kadang juga pernah menjadi kisah konyol yang pernah terjadi, rambut kawan-kawanku pernah digunduli secara sembarangan oleh para senior karena kedapatan merokok. Ada juga santri yang sedikit pelit, menyembunyikan makanan dalam lemari hingga busuk dan dikerubungi semut, kalau sampai ketahuan
sudah
pasti
dia
akan
jadi
bahan
pergunjingan. Unsur senioritas berperan dalam kehidupan selama di asrama, kami harus menuruti apa yang mereka katakan. Beberapa diantara mereka ada
14
yang benar-benar pantas untuk dijadikan panutan, tapi sebagian lagi ada yang menganggap kami hanya junior yang pantas dijadikan kacung dan bulanbulanan mereka. Selama di pesantren, para santri tidak hanya dididik menjadi pandai dalam hal ilmu agama atau pengetahuan umum lainya saja, tapi juga harus menjadi manusia yang sehat, karena tanpa itu semuanya
rasanya
tidak
berarti.
Kegiatan
extrakurikuler yang paling kugemari adalah olahraga silat. Sebenarnya sejak usia tujuh tahun aku sudah mulai berlatih silat, guru silatku adalah ayah sendiri.
15
16