Tan Tjiang Ay 12 September 2013 / 08:00-10:00, di Kantor Tan Tjiang Ay, Jatimurni 33B.
Saya ini selalu mendapatkan angka yang baik di masalah konstruksi. Saya melihat teman-temanteman seangkatan banyak yang bingung kalau melihat konstruksi bangunan lalu harus menggambarkan sesuatu. Sampai nangis-nangis. Kebetulan saya dikaruniai suatu kemampuan itu. Jadi saya sejak awal kalau melakukan ini, walaupun belum diajarin mekanika, saya bisa bilang ini akan ambruk. Tidak usah dibawa ke structural engineer, kalau kamu lakukan ini akan ambruk. Begitu dicek, iya ambruk. Dengan sendirinya, detail konstruksi itu saya selalu perhatikan. Jadi mungkin bukan karena apa, tapi karena terbawa dan ada karunia saja. Dari kecil saya juga sudah diberi mainan oleh orang tua yang berupa blok. Saya juga sudah membuat semacam lego ya. Dari kayu. Ada pen ada groove. SS: Saya juga main itu.
TTA: Tapi mungkin Anda kan sudah jaman sekarang, mungkin alatnya ini bukan... Ada itu kalau tidak salah... mungkin ada di salah satu keponakan saya. AA: Mungkin itu bisa kita bilang sebagai, kalau Pak Tan mungkin hanya bilang itu sebagai talenta untuk melihat suatu bahan bisa bekerja satu sama lain, tapi sebenarnya mungkin kita juga bisa bilang itu kepekaan terhadap struktur dan tektonika. TTA: Kerennya begitu.
AA: Kita harus keren-kerenan nih, Pak. Bisa dibilang bahwa jangan-jangan dimulai dari mainanmainan itu?
TTA: Ya, saya ini memang begitu. Saya punya satu kawan baik sampai sekarang. Dia hal-hal seperti ini lemah sekali. Saya kalau lihat tahu kalau itu bakal ambruk. Di tengah pelaksanaan ada gangguan baru bingung. Akhirnya karyanya tak bisa terlalu murni, karena tak bisa diantisipasi dari sebelumnya. Kemudian timbul setelah dijalani bertahun-tahun hubungannya kuat, konstruksi adalah soal joining two things together. Harus kuat, harus mesra hubungannya. Timbul setelah itu harus lebih manis dilihat. Dari situ mulai estetika masuk. Apakah itu yang dinamakan craft atau apa, saya tidak tahu lagi. Telur dulu atau ayam, sudah tidak tahu lagi. Sekarang tidak usah jauh-jauh. Meja. Manufacturer dari meja ini satu keluarga, tahun 1972. Coba Anda raba di sini, ada apa? AA: Ada sambungan, structure.
TTA: Ada structure untuk menyambung lempengan ini dan ini. Coba di sana itu ada apa, di bawahnya... AA: Ada bolong.
TTA: Bentuknya kayak apa? AA: panjang.
TTA: Panjang. There you go. Kok ga cuma bunder ya. Kalau diraba lagi, di dalam bolong, ada skrup yang ke atas. Lho kok kenapa panjang? Kenapa kira-kira?
AA: Buat supaya alatnya bisa masuk.
TTA: No. Kan sekrupnya ke arah sana. Cuma diputar. Kenapa panjang? Nah, udah ya. Sekarang kita gambar. Potongan meja ini digambar dulu. Wah senang ya kuliah begini.
(SS menggambar)
Sebilah papan itu akan memuai dan menyusut. Ke arah mana? SS: ke arah panjang?
TTA: Tidak ada itu kayu yang mengarah ke arah panjang. Kayu itu seperti sapu lidi. Ke sana ada, tapi sangat kecil. Nah, dia memerlukan suatu hubungan yang mesra, tapi tidak kaku ke arah pemuaian. Jadi saat ia memuai, tidak ada hambatan karena sekrupnya di dalam satu groove. Bagus nih ya pilihan contohnya. Jadi dari dulu ini tidak pernah terganggu. Pada waktu saya terima meja ini, kayunya masih basah. Kami bersyukur tahun 72 sudah ada AC, jadi mengering. Orang-orang yang membuat ini, backgroundnya adalah perkayuan skandinavia. Craftsmen semua itu. Sayangnya mereka sudah satu demi satu dipanggil pulang. Tidak ada yang menerus. AA: Walaupun sebenarnya masih ada lho Pak, workshopnya masih ada, tapi tradisinya tidak diteruskan.
TTA: Saya kan beberapa hari lalu diminta bahas soal scandinavian design. Saya sebetulnya dengan salah satu anggota keluarga yang tinggal ini tidak kenal, tapi dia minta untuk datang. Dia bilang, “Anak saya industrial designer tapi maunya kerja aja, tidak mau teruskan pekerjaan saya.” “Lah diapain dong Pak?” “Ya saya jual.” Sayang. Bahwa ada satu craftmanship yang disertai pengetahuan bahan, teknologi sedikit lah, whatever, itu menghasilkan sesuatu yang awet. Ini meja dari 1972, sekarang 2013. Ini saya ga mau miss.. Ini akan diturunkan. AA: Tapi begitu ya, craftmanship bukan hanya soal umurnya lebih panjang, tapi tradisi itu sendiri juga semacam sesuatu yang memang harusnya diturunkan.
TTA: Ya dilestarikan. Ya seharusnya. Jadi ada satu legacy lah antara keturunan berikutnya itu. Hehe. Bagus ya contohnya. Tiap hari dipegang tanpa ngeh. Meja.
SS: kadang-kadang objek yang tertutup memang tampil seakan tidak diapa-apakan. Tapi sebenarnya, groove-nya “mahal”.
TTA: O ini pemikirannya dalam. Ini yang tidak banyak yang tahu. AA: Tidak ada permainan ini.
SS: Mainnya di bawah semua.
TTA: Ini melawan beberapa tradisi perkayuan lain. Ada tradisi perkayuan yang mengatakan bahwa semua harus erat. Ini kan tidak erat, ini kan main. Bahan yangdipakainya berarti dianggap sebagai totally sudah mati. Mana ada di sini, tidak ada. Seperti ini saja, wuwung rumah. Saya tidak akan sebut nama. Ada satu objek. Di Indonesia ada satu bangunan relatif baru, dibuat atap panjangnya bukan main, pelana. Kebetulan dipakai bahan genteng. Seharusnya pakai jerami barangkali, tapi ini genteng, panjang sekali. Itu di wuwung di atas
bocor terus. Panggil kontraktor. Kontraktornya salah satu kontraktor saya yang cukup jeli, tapi sekarang sudah pensiun. Datang, diperbaiki, teliti. Dua minggu lagi bocor lagi. Kemudian saya iseng ngomong, “Kamu apain?” “Saya matikan.” Saya bilang, bangunan ini sesuatu yang hidup. Gerakannya macam-macam. Tapi diberi topi yang mati, yang ikut hidup. Ya pecah terus. Padahal, kalo kami dilihat diperkuliahan, namanya wuwung itu tidak mati. Wuwungnya sendiri harus waterproof. Tapi dia harus melalukan gerakan-gerakan di bawahnya. Itu tidak, dimatikan total. Ya pecah terus. Saya tidak tahu itu craft atau apa, tapi itu always done here everyday. AA: Di kuliah juga, jaman saya diajarkannya juga begitu. Wuwung, di bawahnya harus disemen.
TTA: Di jaman saya tidak begitu. Harusnya diisi bubuk, genteng pecahan, bukan semen. Kalo semen ya bubar, bocor terus. Hal-hal kayak begitu. Nah kemudian nanti, refining dari itu mudah-mudahan bisa menjadi suatu craft. Saya membuat beberapa.. sangat sederhana, tanpa panggil pabrik dari Jerman atau apa, saya membuat prinsip ini kosong, dengan cara sederhana saja. Begitulah kira-kira, Ini hal-hal kecil yang saya ungkapkan. Istilah dari craftmanship sendiri saya juga bingung. What is that actually? Dia mendapat kandungan apa saja selain dari penambahan hal-hal basic seperti ini. Kenapa kita ga sebut saja workmanship, kenapa jadi craft? Apakah itu satu tahap yang lebih tinggi lagi, lalu tingginya harus bagaimana, saya tidak tahu. Saya menantikan anda-anda ini. Basic things what a workman should know. AA: Jadi menurut bapak ini basic things ya?
TTA: Lucunya kan orang sekarang ini tidak tahu basic. Sebetulnya kalau kita tidak problemsolving, apa gak Anda tanya dulu masalahnya apa?
AA: Itu pertanyaan menarik. Mengapa craftmanship, kenapa gak workmanship? Memang benar kalau yang Pak Tan katakan adalah hal-hal basic yang harus diketahui. Tapi pada kenyataannya ada kesenjangan antara hal-hal yang basic dengan apa yang dikerjakan oleh orang-orang yang sehari-hari dan yang dikerjakan oleh Pak Tan. Kalau saya lihat, yang bapak lakukan bukan cuma sekadar basic things, tapi ada refinement. Sementara yang orang-orang kerjakan kualitas kerjaannya justru menurun. TTA: Kalau menurut saya masalah attitude saja. Anak belum cukup umur mau ngebut dengan mobil, it’s a basic thing. Itu kemarin saya lihat depan rumah saya anak umur 10 naik motor ngebut sambil jalannya turun. Basic. Kalau nanti konstruksinya ambruk ya kita sudah bisa bayangkan. Kita harus sudah tahu, jangan mengalami. Anda jangan bilang pengalaman itu guru terbaik. Pengalaman itu guru terbodoh. Karena kita harus mengalami digigit anjing dulu. Digigit, baru bilang anjing itu jangan diganggu. Kita harus sudah tiba saatnya bahwa anjing kalau sudah makan jangan diganggu. Gak usah ngalamin dulu. It’s a very stupid guru.
Kita harus tahu, kalau ini saya matikan, jadi tidak bikin groove yang panjang, tidak bikin tolerance. Tolerance ini adalah perkataan yang wuuuh. Tidak ada tolerance. Yang pecah semua ini entah dia melengkung, renggang, atau apa, karena tidak ada tolerance. Kembalikan lagi ke masyarakat, ketahuan, tidak ada tolerance. Simple aja kok.
AA: Walaupun simple ya pak, bapak bicara soal satu hal yang paling susah diubah: attitude. Kalau bicara craftmanship, selain bicara basic things, ada kemauan untuk melakukan segala sesuatu sebaik-baiknya. Tapi attitude itu ternyata memang tidak semua orang punya. Yang kami ingin tahu, bagaimana Pak Tan menularkan itu?
TTA: Mungkin begini, saya tidak menularkan. Saya memberi contoh, saya melakukan itu. Kalau ada orang yang memang bergaul sama saya setiap hari ya ketularan. Boleh dikata saya bukan menularkan, dianya ketularan sendiri. Saya lihat orang-orang yang sekarang itu tidak hidup. Karena terlalu banyak itu (nunjuk ke laptop). They move their fingers, but they don’t live in here. Itu katanya ada satu film yang bagus, The Internship. Saya belum nonton, tapi tadi pagi dapat laporan. Saya bisa bayangkan, ada angkatan muda dan angkatan tua. Yang ini nerd semua, tapi yang tua lebih hidup. Ada kesenjangan, itu katanya dibikin film. Saya harus dengan bangga mengatakan saya ini hidup, dan saya mengalami itu. Saya mengalami beberapa masa sih ya, makanya saya bilang saya beruntung karena saya dilahirkan di kurun waktu itu dan puji Tuhan ini saya masih hidup di waktu sekarang. Makin panjang lagi pengalaman saya. Pengalaman yang jelek itu kan. Tapi saya ini terpaksa saya lakukan sebagai manusia. Nah, jadi attitude itu karena orang tidak melek saja ya. Itu lho.
Tadi pagi saya masih mengatakan pada kawan saya, google... di dalam film itu google dipakai sebagai panggungnya. Google ini memang opens up the world buat manusia. Tapi yang membuat googlenya sendiri rasanya kok kayak bukan orang hidup. Coba saja lihat filmnya nanti akan mengatakan demikian. Yang hidup itu orang-orang yang tidak tahu google. Jadi sebetulnya orang-orang google ini kasihan. Mereka memberikan the facility, tapi mereka sendiri.... Sometimes kita jangan sampai do this things everyday. Kita membuat sepatu yang bagus untuk orang, tapi sepatu kita sendiri bolong. Saya cuma kuatir itu saja. Setiap hari buat sepatu untuk orang, tapi sepatu keluarga sendiri amburaduk. Ada toh ungkapan itu, a shoemaker, biasanya his shoes ga karu-karuan. AA: Kalau arsitek biasanya rumahnya tidak karu-karuan.
TTA: Atau arsitek pakai rumahnya sendiri untuk eksperimen. Apalagi yang harus ditanya? Sederhana ya? SS: Ya tapi kita bukan ruwet.
TTA: That’s your problem. Dibikin biennale.
SS: Sebetulnya devaluasi ya. Di kampus ga cukup waktunya. Belum apa-apa sudah didorong praktek. Kalau yang bapak dulu bilang sebagai ordinary, sekarang jadi extraordinary. Kalau pengamatan sejarahnya seperti itu.
AA: Tapi juga kalau saya lihat sepanjang pendidikan arsitektur, memang ada pergeseran apa yang pada awalnya kita anggap sebagai basic, jadi sebagai agenda tambahan, sementara yang kita utamakan adalah ide tentang arsitektur. Ada pergeseran itu.
TTA: Anak buah di Bandung itu ada satu yang mau melanjutkan studi. Dia mengatakan ada suatu program studi yang designing and making. Anak buah di Bandung, dia datang ke saya. Ini patut saya telusuri atau tidak. Designing and making. Lho, kalau kamu ga mau make, ngapain mesti design. Saya kuno lagi ini. Dia tanya saya apakah itu patut ditelusuri lebih lanjut. Saya lebih bengong lagi. If you are not going to make, why are you designing? Harusnya itu attitude yang sudah kita jalani waktu studi. Tapi ada beberapa yang masuk jurusan karena cuma pengen study the science, bukan the doing. Pada saat saya masuk dunia ini, saya bilang I want to make.
My attitude is I want to make, not just design. Kalau kita mulai mengarah di situ, workmanship kita lebih maju dari orang yang tidak berpikir demikian, dan mudah-mudahan kita jadi craft. Jadi bagaimana, sudah cukup membantu? SS: Ya sangat.
AA: Memang itu persis seperti apa yang kita pikirkan.
TTA: Kemudian begini, dalam perjalanan saya menjalani praktik arsitektur ini, yang namanya unsur craft itu hanya begini, yang diapresiasi oleh masyarakat, klien, itu hanya rapi saja. Saya di Indonesia ya. “Wah rapi ya.” “Wah bersih ya.” Kalau sudah begitu, unsur-unsur pekerjaan craft banyak yang kita hapus. Hubungan-hubungan yang bagus akhirnya ditutupi. Kalau sudah begitu, tapi kita tetap melakukan itu, bangunannya jadi mahal karena tanpa “guna”, karena tidak kita ekspresikan. AA: Maksudnya ditutupi?
TTA: Ya kita tutupi. Anda beli rendering, melapisi ini dengan rendering. Where is the craft. Craftnya adalah the rendering craft. Tapi on the lying nya sendiri ketutupan kabeh. Untuk dewasa ini hanya beberapa bagian kecil masyarakat yang bisa appreciate the beauty of joining things together. Wow, hebat juga nih.
AA: Akademis sekali nih Pak.
TTA: Saya sampai heran sendiri, not everyday saya memang begitu. SS: Boleh Pak, judul buku.
AA: Tapi memang iya sih Pak. Nah itu yang juga jadi pertanyaan kami. Hal yang begitu indah, pertemuan antara satu material dan material lain dengan sangat baik, kenapa itu jadi sulit diapresiasi ketimbang kosmetiknya. Apakah karena orang tidak tahu prosesnya? Kita tidak bicara soal klien, tapi juga arsiteknya.
TTA: Saya punya satu kontraktor, dia paling takut kalau saya sudah mulai membuat sesuatu yang tipis. Wah itu susah. Itu tidak boleh bengkak. Satu pengerjaan yang sempurna biasanya itu sangat tipis. AA: Literally atau metaphor?
TTA: Both. Kalimat dia sederhana banget: kenapa kamu tidak bikin saja plafon yang rata sehingga dosa saya tertutupi? Semua beres, ditutupi dengan rendering. Begitu saya sudah mau buat yang tipis, harus sempurna itu. Tolerance harus tetap ada tapi semakin kecil. Kalau ditutupi plafon yang rata, ditutupi rendering yang tebal, semua dosa tertutupi, tolerance jadi tinggi. Saya ini proyek di bandung saya ributin melulu, masalah tolerance. Beberapa jarak yang diizinkan. Minta satu setengah, sekarang lagi dicoba satu senti. AA: Jarak apa nih Pak?
TTA: Two different things. Tolerancenya tinggi, gimana kalau lebih kecil. Ribut. Kehidupan saya walaupun sehari-hari begitu, colourful banget lho, daripada googling. Karena doing. Sangat
menguasai, not just finding out. Googling is finding out. Belum tentu correct pula. And then we do. Itu dunianya lain lagi. AA: Itu yang Pak Tan bilang hidup. TTA: Iya. Wis, opoh meneh iki.
SS: Mungkin begini, saya cuma dengar-dengar Pak Tan sebelumnya... TTA: Last time bukan this guy ya?
SS: Bukan, different guy. Paketnya lain. AA: Ini paket hemat.
SS: Saya flashback dikit. Pak Hon, kontraktor, tiba-tiba terkenal di kalangan arsitek-arsitek muda. Di Cipanas dia open house rumahnya, yang flavornya sangat Pak Tan. TTA: Not mine yah?
AA: Bukan. Makanya kita bilang flavornya.
SS: Sangat kental sekali. Kita mulai lihat-lihat, Djuhara dsb jadi rekomendasi Pak Hon ke klienkliennya. Kebetulan saya sendiri juga pernah kenal Pak Rahmat. Ternyata setelah ngobrolngobrol, ternyata mereka teman Pak Tan di Unpar. Rasanya angkatan-angkatan awal ini seperti punya semacam gaya yang mirip dalam melakukan seperti ini. Seperti Pak Rahmat, saya diskusi dengan beliau enak sekali, walaupun eksekusi anak buahnya bisa beda. Saya pikir memang ada angkatan tua yang kental dengan doing, sedangkan gagasan spektakulernya datang setelahnya. Kita agak kebalik. Waktu itu pertama kali memulai sudah seperti itu, apakah ada yang mendorong untuk seperti itu? Maksudnya Pak Tan sebagai arsitek, Pak Hon sebagai kontraktor. Apa memang terjadi natural seperti itu? AA: Tepatnya konteks apa yang mengondisikan ada satu angkatan?
TTA: Gitu ya, seperti ada satu angkatan? Anda observe demikian? Saya rasa begini, itu hanya sebagian kecil. Itu kotak kecil.
SS: Terus terang Pak Tan, saya dibesarkan di lingkungan yang sangat kental Sie Fen. Karena om saya yang menghire Sie Fen. Rumah saya, kantor saya, itu desainnya Sie Fen. TTA: desainnya Sie Fen itu kontraktor saya senang sekali. Karena apa? Mudah.
SS: Finishingnya mahal.
TTA: Mudah. Semua dosa tertutupi.
SS: Betul. Saya tahu persis Om saya ngapain di proyek itu.
TTA: Salah satu kontraktor saya bilang, kenapa kamu ga buat sesuatu seperti itu supaya pekerjaan saya gampang, semua dosa bisa saya tutupi dengan elegan(?). Saya bilang tidak mau. Kalau begitu, bosen toh orang indonesia semua begitu. Kayak saya semua bosen toh, Indonesia tidak hidup. Ibu Indira itu, memang kita dulu itu seolah-olah kita ada janjian. Kamu di sana ya mancingnya, saya di sini. Oh oke. Demikian. Ada semacam perjanjian tidak tertulis.
SS: Termasuk kontraktornya?
TTA: Kalau kontraktor jualan kail di sini atau di sana ya jualan saja. Belakangan mungkin ada kontraktor yang bilang saya kok lebih senang jualan ke sana. Saya coba ungkapkan ini dalam bahasa sehari-hari. Kayak ada semacam perjanjian tidak tertulis. Saya ini tidak mujur, karena saya memilih tepi sungai yang salah. Ikannya kualitasnya bagus, tapi sedikit. Saya tidak mujur.
AA: Tapi disuruh pindah juga tidak mau.
TTA: tidak mau. Di sini indah. Di situ batu-batuan, wuuh. Kira-kira begitu. Ini mungkin pilihan. Terus Anda mengatakan saya mengondisikan saya sendiri, ya maybe ada benarnya. Tapi keseluruhan ini kan merupakan rentetan kejadian. Kalau saya mengubah detail A, hari ini saya ubah. Kalau saya tidak ubah, ada kemungkinan Napoleon tidak dilahirkan. Jadi, saya tidak bisa jawab apakah saya mengondisikan atau terkondisikan, tapi that is what I do.
Sekarang begini, apa yang saya lakukan, kalau kita balikkan ke arsitektur tradisional, sebetulnya saya ini sudah penyederhanaan sekali. Lihat aja semua itu, semua strukturnya kelihatan, craftman bagus atau tidak, kelihatan. Tidak ada dosa yang disembunyikan. Bagusnya bukan main. AA: Tapi sama seperti arsitektur tradisional, ada kesulitan untuk bergerak, tidak?
TTA: Ya sudah biarkan saja jadi tradisi. Maksudnya?
AA: Dalam praktiknya Pak Tan, beberapa teman yang kemudian menggunakan jasa kontraktor yang biasa pakai Pak Tan, kemudian terbentur satu kekekehan untuk sesuatu yang baru. TTA: Oh ya ya, jadi mereka tuh seperti mau tidak mau begini.
AA: Ya. Selain itu ada keengganan, atau sulit untuk bereksperimen dengan material baru. Atau untuk eksperimen dengan material baru harus sepuluh kali meeting dulu baru ok. Dalam praktik Pak Tan apakah Bapak dengan mudah mengadopsi dan memakai material baru? TTA: Retrospektif saja, saya tahun 1980an seperti ini. Sekarang tidak ada begitu.
AA: Tapi bentuknya saja atau materialnya lebih beragam? Apakah Pak Tan pakai tembaga, atau stainless steel.
TTA: Kita ini kan membangun, dari dulu saya katakan, saya tidak membangun dengan material. Saya bangun dengan uang dan dengan space. Not its material. AA: Apakah tidak ada kontroversi dengan apa yang Pak Tan lakukan? Kan pada waktu membangun Pak Tan menyadari kondisi material yang dipakai.
TTA: Saya tahu persis. Kamu cuma bisa afford pakai ini. Kita bangun dengan uang. Kamu cuma bisa punya baju dari polyester. Zaman dulu polyester lebih mahal dari cotton. Polyester tidak menyerap keringat, jadi kalau bikin rumah dari polyester, bolongnya harus banyak lho kalau tidak kamu harus sumuk. That’s it. Saya tidak bisa mengerti bahwa kalau kita memilih satu jalur yang ini ada keterbatasan itu saya tidak bisa mengatakan. Kita harus tahu bahwa yang dipilih adalah polyester yang tidak menyerap keringat, tapi what do you do in your design. Masih tetap konsisten lho. Zaman dulu, sebelum ini pun, kayu murah banget, beton yang mahal. Ada satu
masa kaca bisa lebih mahal dari beton. Sampai saya bingung. Jadi Indonesia ini mengalami fluktuasi yang aneh-aneh. Apa yang kamu lakukan bulan Juni dengan harga sekian dengan ekonomi nilai lima, tidak bisa saya lakukan bulan September. That’s nothing to do with craft.
Kembali aja ke apa yang Anda ingin membahas craftmanship di Indonesia dalam satu kurun waktu tertentu. Anda sinyalir bahwa itu bukannya maju dan malah mundur, atau stay?
AA: Kami tidak bilang begitu. Kami mencari.
TTA: Oh Anda cuma mau melihat itunya saja, sampai di mana itu di bawahnya? Kalau saya bilang makin mundur. Karena kita itu semua dikejar waktu. Sehingga semua dosa ditutupi saja. What is happen above there, I don’t care. AA: Tapi itu premis kita juga, bahwa craftmanship itu perlawanan terhadap capitalism. Karena kerja jadi komoditas. Sementara craftmanship, kerja itu seperti ibadah.
TTA: Ya. I think yeah. Ada kepuasan. Ada yang sangat terobsesi sekali dengan itu, ada. Saya klien saya begitu, saya bilang, kalau kamu begitu, nanti you lose the overall picture. Ributin satu sudut lalu lose the overall picture. Kita sebagai manusia, sebagai craftmanship yang bagus, tidak boleh lihat satu sudut dengan loosing the overall picture. Itu saya salah satu ciri good craftmanship. Dia harus tahu dia membuat ini untuk satu bagian yang lebih besar. Craftmanship itu onderdil, bukan tujuan. Kalau itu jadi tujuan, itu hanya happens in seminars and museums. Atau masuk di dalam pembahasan ilmiah. Tapi sebetulnya, the picture is this (Pak Tan mengangkat gelas). jangan menyampingkan the big picture. Saya mengalami macam-macam, ada yang aneh-aneh. Pernah ada klien yang insist atasnya very neat, tapi semua itu difinish seolah-olah mau ditonton seperti meja ini. It’s very expensive, tapi gpp, dia bilang tenteram. “It’s your trouble.” Saya pernah lakukan rumah begitu. Kalau dibongkar, very neat, mendekati finishing dari meja. Tapi kemudian ditutupi. “Gpp Pak, saya tidurnya enak.” Saya pernah membaca salah satu apprentice yang bekerja di Frank Lloyd Wright. Setelah FLW meninggal, karyanya di Jepang akan dibongkar. Entah Studio FLW kirim orang, atau ia memang terpanggil untuk menghadiri upacara pembongkaran karya FLW di Jepang. Dengan salah satu kontraktor di Jepang, mereka walk, last walk through the building. Room by room. Bangunan ini belum clean, disapu bersih. Sebelum dibongkar. Setelah sapu bersih, wakil dari FLW dan kontraktor, going through the last walk, saying goodbye to building. Attitude itu. Lah kalau satu bangsa ada satu attitude begitu, craftmanship dia pasti tinggi. Iya. Wong ini mau dibongkar.
AA: Sebenarnya dengan kata lain ada kaitan craftmanship ada kaitan dengan, lebih dari attitude, tapi juga spiritual.
TTA: Ya, tapi ini membongkar. Ada caranya. Ada tata cara. “Tata” “Cara”. Membongkar ada tatanya, bagaimana itu. The building di-broom clean. Ada orang yang punya tata cara. Walaupun ditutup, di atas sana harus bersih, dan difinish secara orderly. Harga naik, itu masalah lain. Sekarang mau serba murah dan cepat, ya tidak bisa. Tapi kalau ada tata cara begitu, you will find crazy things. Silly things sometimes you will see. Di the Louvre, Waktu proyek Louvre jalan, ketemu fondasi kuno zaman bahala. Sekarang kan jadi uang tuh. Itu kan begini, nobody suspect. Lalu, “sir, we found this.” Kalau arsiteknya tidak peka, ya terus. Tapi kalau arsiteknya peka, ya change. Minta duit. Sekarang dapat uang itu. You’ve been there lah. Karena mereka saat melaksanakan, ada tata, dan tidak sekadar cara.
AA: Tata cara itu jadi mahal ga sih kalau dibalikkan ke praktik sekarang? Tapi kan Pak Tan punya proyek-proyek yang budgetnya terbatas.
TTA: Ya kalau sudah tata cara saya harus ngotot. Yang ini boleh tapi yang itu tidak boleh Kalau sekarang mungkin mereka sudah pada tahu don’t fight with this old man. Mending keep away saja. Beres. Semua happy. Ada, people yang keep away. AA: Reputasi membantu ya.
TTA: Thank heaven also. Jadi saya juga berterima kasih. Kalau tidak, stress. SS: Kalau yang keep away, larinya ke kita. Saya pernah dapat Pak. AA: Lepehannya Pak Tan. Hahaha.
TTA: Ya nggak lah. Tapi it’s very difficult lho. Kalau lepehan dari saya it’s very difficult. Saya ada yang terpaksa tolak karena saya tidak bisa, istri saya sakit. Itu ternyata terbangun oleh anak saya. Kontraktor saya mulai garuk-garuk. Klien ini kok fengshui-nya justru segi yang takhayul. Fengshui itu kan ada macam-macam masa dan segi. Ini yang takhayulnya ada. Tapi ada sedikit yang based on certain logic. Tapi there ya, not here. Kalau sudah mulai ada tradisi yang anehaneh, saya keep away. Untung saja saya untung. Oke apalagi?
SS: Yang lebih praktis. Saat Pak Tan membuat sesuatu, bagaimana pola komunikasi dengan kontraktor? TTA: Saya erat. Seerat mungkin.
SS: Bagaimana eratnya, bisa dicontohkan?
TTA: Kadang-kadang kalau ada trouble dengan begitu, saya tanya dulu dengan yang paling bawah. Punten ye, masalah nai... Baru nanti ke jenjang kontraktornya. “Itu your man says gini gini... Ini ada benarnya kan. Ayo, let’s do it the other way.” Karena pada akhirnya akan turun ke sini, the doer, the craftsman, let’s say. Kalau kita cuma maunya nongkrong di sini, sambil ngopi... AA: Boleh tuh Pak gayanya.
TTA: Boleh ya. Waduh, cigar. Rasanya doesn’t help your... Mempunyai satu kenikmatan sendiri itu. Tidak terlalu nyata, tapi that’s what you do. Harus begitu kalau mau... Jadi bagaimana ya, doing. Kalau you just want to drawing on designing ya konyol. Drawing ini kan hanya satu alat. Memang membantu ya. Tapi that is not all. SS: Pak Tan desain, lalu seberapa jauh gambar harus dipersiapkan dimengerti kontraktor atau tukang? Atau ada gambar-gambar yang memang terjadi di lapangan? TTA: Banyak.
SS: Seberapa?
TTA: Gambarnya dikit.
SS: Saya pernah dengar juga, mungkin Pak Tan masih kenal satu namanya Imanuel Chandra, staf pak Tan dan Lemi dulu. TTA: Oh yang kurus itu.
SS: Dia bilang gambarnya tidak banyak. TTA: Tuh kan jelek-jelekin.
SS: Gambarnya ga banyak, tapi kontraktornya sudah mengerti.
TTA: Saya juga tidak punya kontraktor kok. Tidak banyak. Ini satu nih Pak Haji ini. Yang hubungan erat dengan saya ada empat. AA: Itu rata-rata berapa tahun kenal?
TTA: Yang terakhir sepuluh tahun, itu yang paling pendek. Yang paling lama mulai 1974. Tapi itu sudah pensiun. Diteruskan oleh keturunannya. Itu saja. Saya tidak punya banyak kontraktor karena saya itu mendidik kontraktor. Terus kadang-kadang ada klien yang mengatakan punya apotik sendiri. Pak, saya tidak punya waktu untuk mengajar apotik anda sendiri, waktu saya sudah tidak ada. Karena gambar saya sedikit, resep saya tulisannya jelek. Kalau apotiknya bego, nanti anda dapat obat yang salah. SS: Jadi istilahnya kontraktornya dididik ya?
TTA: Ada kontraktor yang tidak mau dibina. Dia merasa dirinya sudah lulus. Ada satu klien yang, saya tak usah sebut nama lagi, mengatakan kontraktor saya payah. Dia belum coba makan tapi dia sudah bilang tidak enak. Lalu ingin pakai kontraktor dia sendiri. Saya tanya, pernah tidak lakukan ini. Dia bilang belum, tapi bilang bisa. Baru jalan fondasi, sudah mau balik. Lah tidak mau dong kontraktor saya. Akhirnya diteruskan dengan ini. Tapi kalau dilihat buat saya rumah itu standarnya lain, dan saya tidak main. Kelihatan bengkak, terlalu watery, pipi bukannya gemuk tapi kayak menganduk air, sembab. Sembab karena mengandung air. Bangunannya kayak begitu. Gak eeeeh. Craftmanshipnya kurang. AA: Tapi Pak Tan ga dapat yang, istilahnya, ready made. Pada saat Pak Tan dapat yang cocok dengan Pak Tan, pasti kan ada proses dulu sampai standar yang Pak Tan inginkan.
TTA: Iya tapi itu tokonya kan ada variasi. Semua itu kita anggap lulus, tapi angka lulus itu kan beda-beda. Ada yang Summa Cum Laude, ada yang just barely. SS: Menarik ya Pak Tan pakai analogi dokter, apotik, dan pasien.
TTA: Itu bisa kita lakukan demikian. Tolerance itu ada di semua ilmu pengetahuan. Pesawat terbang, goyangan sayap, di dalam ilmu aviasi, disebut tolerance. Indah sekali. Dalam agama, tolerance.
SS: Menarik, karena kita punya contoh kontras. Eko Prawoto punya daya toleransi yang lebar sekali. Bahkan dari konseptual juga punya tolerance.
TTA: kalau saya punya ukuran tolerance tertentu. Di ilmu penerbangan ada. Tapi tidak berarti ini melambai seperti burung. Ada batasnya. Kalau cuma tolerance begitu ya bubar.
SS: Ada analogi dokter, psikiater, dia berangkat dengan sama-sama tidak tahu. Kalau Eko memosisikan diri berangkat dari dua orang yang sama-sama tidak tahu. TTA: Bisa juga.
AA: Yang lucu Pak Tan selalu dibandingkan dengan Pak Eko.
TTA: Saya tidak terlalu ekstrim kok. Kelihatannya saja saya intolerance, bangunan saya jarang bocor, berarti tolerance-nya tinggi. Sekarang dilihat saja, siapa yang bocor. AA: Nah itu yang gak tolerant. Itu sebenarnya ignorant Pak, bukan tolerant.
TTA: Bocor, you can’t fix, itu celaka. Bocor yang tidak bisa diperbaiki. Penyakit laten yang cacat dari awal. Kalau bisa cacat itu dihilangkan. Di Bandung ada satu segi satu saja, dari sebuah pintu, ributnya setengah mati sudah berapa minggu. Karena kita akan mengulangi pintu ini belasan kali, jadi satu ini masih harus...Itu masalah tolerance. Ok, how to make.. Karena workmanship yang dipakai kelas dua. Ini tidak bisa sempurna. Ada satu bidang yang lurus. Tolerance ini berapa yang boleh kita lakukan. Biasanya kan gini ya. Ini kuliah lagi ini. Tidak tahu ya ini diajari tidak di sekolah. A dan B, di dalam dunia membangun, harus ada C yang membantu agar dua ini tidak ribut. Ini dibuat oleh pabrik. Yang ini dibikin oleh pabrik lain. Arsiteknya harus bilang, saya pesan ini satu kali satu, ini seratus satu kali seratus satu, supaya ada tolerance. Lah, ini kan melompong. Nanti datang yang ketiga, yang isi C orang lain lagi. Itu kalau sudah di dalam industrialisasi, bukan local craftmanship setempat. Industrialisasi tidak bisa begitu. Saya pesan 100x100, kalau lebih dari itu tidak dibayar. Yang masang saya. Barang sudah ditaroh, melompong. Arsitek panggil orang yang isi. Beres. Lobang kedua, kok melompongnya 5 senti, bukan yang dijanjikan? Ya taroh, tidak mau pasang, karena dulu perjanjiannya tidak begitu. Yang lobang ketiga, kok tidak masuk? Taroh lagi, tidak mau pasang. Kalau ini berdasarkan ukuran yang kita janjikan, dia nanti akan datang untuk isi tolerance. Bedanya cuma sekian mili, it’s ok. Tapi ada yang main hajar saja, tidak bisa masuk lho. Ditaroh, tidak mau pasang. Ini adalah industrialisasi. Cuma, kalau di craftmanship tradisi, tolerance itu juga ada tapi dari segi lain. Tolerancenya tinggi. “Oh ini lubangnya piro sih? Dia bikin.” Ada segi kemanusiaannya lebih tinggi. Kalau industrialisasi beda.
Few years ago, kalau tidak sesuai, masih disesuaikan. Kalau di dunia modern sekarang, ini gue punya kerjaan, kamu ga boleh ambil piring kerjaan orang lain. Dalam hal ini, yang perlu dibahas adalah craftmanship seperti apa. Craftmanship yang sudah dimasuki kaedah-kaedah industrial atau belum. Saya mencoba mengawinkan itu semua, bahwa kita di Indonesia ini standardisasi ini semakin lama akan semakin kental. Makanya saya sangat memperhatikan moduls. Saya mau mempersiapkan, dengan perkataan lain, kita akan maju tapi kita akan beralih. Entah maju atau mundur saya tidak tahu. Kita harus bekerja lebih cepat. What kind of craft yang anda masukkan? Apakah yang harus dilakukan di pabrik, sementara banyak hal yang harus kita lakukan by hand. Tidak bisa semua di pabrik, ada something yang you harus join by hand. Dalam Anda punya persepsi, yang by hand atau by extension of hand. AA: Justru lagi-lagi kita tidak batasi itu. Justru kita cari tahu tentang itu. Yang ingin kita capture bagaimana craftmanship itu menyerap modernitas yang datang bersama fabrikasi, industrialisasi, dsb.
SS: Kita mau lihat Indonesia ini, pengindustrialisasi dunia ini, kerja tangan ganti mesin ini, kita pengen lihat sejauh mana. Benar yang Pak Tan bilang, kita ini kan di dalam proses transisi. Benda ini extension hand nya kan semakin jauh. Kita ingin tahu, seperti Pak Tan ingin mempersiapkan, apakah Pak Tan merasa standardisasi ini semakin ketat, atau justru kerjaan kasar tangan presisi masih ada atau bagaimana?
AA: Saya jawab dengan rumah saya yang ditempati anak saya. Saya mulai suatu desain dengan batu bata. Saya mulai, that was very late eighty. Saya mulai desain bangunan saya. Begitu kita mulai, tiba-tiba batu-bata menghilang dari pasaran. Padahal itu, is still, the most common structural method adalah batu bata dengan rangka beton. Paling disukai dan paling murah. Waduh cilaka. Saya pergi ke supplier saya yang membuat building block yang lebih besar. Saya dekati. Pak, saya kan belum pernah sempat pakai material yang Anda punya. Boleh tidak saya pakai dengan ekstra diskon, nanti saya kasih full report what’s wrong with your thing and what can be improve. Wuih seneng kan, saya lebih seneng lagi dapat ekstra diskon.
Nah, saya mikir, ini bata itu akan hilang dari pasaran... Kita punya bata itu menurun lho, sudah tidak memikul. Jadi saya terus berpikir, ini bagus ini tahun 90 Indonesia akan memasuki era baru di mana konstruksi bata yang sejak zaman nabi Musa—katanya dulu kan karyawan pabrik bata di mesir katanya, saya cuma baca saja—kita akan memasuki era di mana building unit jadi besar. Redo the drawings. Setengah mati juga. Saya punya satu anak buah yang leuken. SS: Bahasa inggrisnya meticulous.
TTA: Bahasa Sundanya meticulous. Bahasa inggrisnya leuken. Satu demi satu lapis digambar. Karena building blocks, harus presisi, tidak bisa sembarang dicut. Even then, setelah naik, mandornya datang ke saya sambil bingung. Ada yang salah. Jadi pada saat itu, workmanship belum mengarah ke teknologi. Masih sangat tradisional. Padahal satu demi satu lapis digambar. Pada saat itu, kemampuan membangun kita belum memadai untuk menyerap modularisasi. Nah lho, 99. Padahal building blok kan konsep lego. Itu tidak ada, dia mengambilnya tidak begitu. Kita juga tidak siap. Kita sebagai atasan juga tidak antisipasi bahwa dia bisa begitu. Eh, begitu rumah saya jadi, batu bata terus ada lagi. Jadi ngapain saya susah-susah. Ini pengalaman saya. AA: Berarti setiap perubahan material baru butuh komunikasi lagi.
TTA: Karena kita juga... SDM dalam dunia membangun kita itu bukan orang-orang yang terdidik lho. Itu petani yang in between panen. Mandor-mandor saya adalah mandor-mandor yang mengalami pahitnya berpengalaman dimarahi ngalor ngidul, akhirnya punya kemampuan manajerial. Itu di jalan sana ada sekolah mandor saya tidak tahu sekarang nasibnya gimana. Tidak tahu sekarang masih ada atau tidak. Di Pangeran Jayakarta ada sekolah Mandor, dari zaman Belanda. Masih bangunan kuno, pendidikan mandor. Nah di dalam kompleks itu, ada bangunan-bangunan yang agak kuno yang punya macam-macam craft. Jadi di situ dia bisa lihat bata begini, kayu begini. Entah sudah dibongkar atau belum. Bangunan kecil, tapi punya detaildetail, semua terekspresikan. Tapi sekarang kok jadi kemunduran ya. Dulu ada Mandor’s School (Balai Pelatihan Peralatan). Sekolah Mandor. Yang heran Anda nih tidak lihat ya.
SS: Cari sendiri. Dimarah-marahin dulu setahun, baru cari-cari dulu. Di kampus sudah tidak ada. Belakangan kita baru mulai lagi sekarang.
AA: Saya tidak tahu, tapi pendidikan di jaman Pak Tan pendidikannya memang mengarah ke ketukangan atau...
TTA: Ga semua lah, tapi please be observant. Saya kalau pulang kan di belakang aja, sopir di depan. Saya lihat kemarin di Bandung, trotoar awut-awutan, tapi di tengah lagi dikerjakan jalur untuk orang orang buta. Cuma ini sempit sekali, di tengah trotoar ada pohon, tiang, tapi mau bikin jalur orang buta. Orang buta itu ya ditabrakkan ke pohon itu. Lihat sambil macet, ngomel. Supir saya itu mengatakan, ibaratnya dia mengatakan, kamu kok rewel banget jadi orang. Dia mengatakan begitu. Tapi mungkin kerewelan itu yang menghasilkan arsitektur yang seperti saya. Kali, itu saja. Saya cuma observe dan berkoar. Saya sih inginnya, if you are observant enough, di Venezia observe. Sebenarnya tidak banyak yang bisa kita lihat di Venezia, tapi di China, banyak sekali yang bisa diobserve. Venezia terus terang ambience, tapi there is nothing useful yang bisa saya gunakan. Tapi ambience yes. Kayak gini saja kok ambience nya bisa keluar. Tapi di dalam fisik, tidak. Tapi kalau ke Cina atau Jepang, it’s so simple, why don’t we do this also. We can. Datang yang old cities, jangan yang new. Kalau yang new, town planningnya boleh lah. Cina itu gila, caranya itu karena guede. Saya bingung. Saya ke Cina few times, terakhir ke Beijing, pakai flight murah, dengan antisipasi gue akan masuk the biggest airport. Eh karena pakai budget, bolehnya mendarat di Tianjin. Nah, malam pertama nginepnya dijemput kira-kira dari Jakarta ke Malang. Itu our first night, harus menginap di Malang, karena kira-kira di Gunung Kawi sana ketemu satu kompleks gua baru yang ada buddhist yang di carve di gua. Nginap di sana, jam empat sampai, dijemput by high way, kita pergi ke Malang. Sampai di Malang jam 10. Ini boro-boro nginap di mana. Kita nginap hanya menyerempet kota Malang, nginapnya di pinggir. Waduh gila, that town yah, setelah saya lihat di google ternyata kita ga masuk Malang. Padahal Malang nya interesting. Jadi hanya nginap di Batu, bukan di Malang nya. Di Batu itu jalannya guede bukan main. Guede buanget. Bangunannya kecil-kecil, satu lantai. Saya pikir kenapa begitu? Masih belum ada jawaban. Setelah acara selesai nginap di Beijing. Di Beijing ada Tiananmen dan Summer Palace. Kita ke Tiananmen, tengah-tengah, ini yang ada tank kali ya. Jadi membayangkan. Lihat keliling. Itu gede bukan main. Saya berdiri di sini, saya tidak bisa melihat satu pun skyscraper. Tidak ada. Berarti jauhnya setengah mati. Saya tanya guidenya. Guidenya orang Cicalengka. “kok i don’t see any skyscraper?” “Di sana. Daerah sini tidak boleh.” I like Beijing. Yang lebih konyolnya lagi, di sini ada summer palace, di sini bisa ada Amman Hotel. Hebat sekali Amman ini. SS: Di India juga dapat.
TTA: Hebat sekali Aman ini. Banyak sekali variation di sini. Tapi kita tidak bisa belajar banyak dari kota-kota demikian. Tapi kalo ke XinJiang, arsitektur tradisinya itu lho. Ada detail begini begitu, kenapa kita tidak lakukan itu. Kalau ke Venice, kita cuma mikir ini pintu hotel kok besi ya? Why do they use steel door in hotel room? Di negara lain tidak ada. Wah itu. Ada kota kecil dekat Barcelona... AA: Yang dilindungi UNESCO ya?
TTA: Itu craft besi, iron, tinggi. Kalah kita. Mereka punya keterampilan besi yang bagus. Jepang kayunya bagus. Indonesia bagus, tapi kita sudah kehabisan kayu. It will they out. Jadi mana yang berlimpah, itu craftnya yang akan berkembang. Kalau di Indonesia semua dijual, ya goodbye. Nanti semua jadi plastik.