USUL DAFTAR BACAAN PEMULA (bagian penutup / terakhir dari sumbangan pikiran saya untuk sarasehan 23 September)
Oleh : Sitor Situmorang
Sebelum saya maju menyumbang pikiran di sini, saya telah menyampaikan sumbangan pikiran dalam bentuk tulisan. Tulisan ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi saran-saran saya mengenai dasar tujuan sarasehan. Bagian kedua-nya terfokus pada sejumlah usul konkrit, yang dapat dipertimbangkan kelak untuk followup dari kegiatan sarasehan ini; Sekarang saya membacakan sebuah uraian yang bertolak dari anjuran bacaan, yaitu beberapa buku-buku yang menyangkut tema topik pokok hari ini, terdiri dari empat judul : 1. buku terbitan Sekneg RI (kata pengantar oleh Moerdiono), 1994, yang berjudul ¨G 30 S (subjudul Pemberontakan PKI, Latar belakang dan penumpasannya) 2. Buku terbitan ¨Institut Studi Arus Informasi¨, judul ¨Pledoi Kol. A. Latief¨(subjudul : Soeharto Terlibat G 30 S PKI), tahunnya mungkin 2000 3. Buku berjudul ¨Peralihan Kekuasaan¨(kajian teoritis dan yuridis terhadap pidato Nawaksara), pengarang Suyoto Mulyosudarmo, 1977 4. Buku berjudul ¨Kehormatan bagi yang berhak¨, karangan Mansi Sophiaan, penerbit Yayasan Mencerdaskan Bangsa, Jakarta, 1994 Mungkin ada di antara ke-4 buku di atas sudah Saudara baca, bahkan boleh saja sudah membacanya semua. Saya mengemukakan ke-4 buku di atas, bukanlah suatu usul penelitian. Saya memilihnya adalah karena setelah saya diminta ikut dalam sarasehan ini, saya secara acak mencomot sejumlah buku rujukan sebagai persiapan. Pilihan jatuh kepada judul di atas. Pertimbangan dibalik pilihan itu terletak pada kenyataan, ingin menyegarkan ingatan pada kejadian-kejadian di masa lalu, dan mengharap membantu mengingat pokok-pokok pengalaman sebagai seorang aktivis politik di masa itu, kemudian sebagai akibat peristiwa, mengalami dipenjarakan selama 8 tahun oleh kekuasaa di bawah Soeharto, yang menggantikan kekuasaan sebelumnya, di bawah Soekarno. Ke-4 buku tersebut, dengan mengulang membaca isinya, memang membantu mengarahkan ingatan dan sejumlah pengamatan saya di masa itu. Panitia meminta saya menceritakan pengalaman saya (disebut penderitaan), termasuk dampaknya pada keluarga yang ditinggalkan, selama dipenjara. Dalam sambutan tertulis kepada panitia, saya telah menyatakan keengganan, kuatir terbawa subjektivosme, bahkan mungkin kecengengan dan agaknya juga akan kurang FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
1
mampu mencerminkan, apalagi mewakili pengalaman ratusan ribu bekas tapol, dan jutaan keluarga mereka yang ikut menderita bertahun-tahun, bahkan belasanan tahun, apalagi masih mungkin melanjut terus sampai sekarang bagi kebanyakan. Karena keengganan itu dan demi menghindari klaim, seperti akan mengatasnamakan penderitaan begitu banyak manusia dan begitu ragam kesulitan masing-masing, sambil membaca bukut-buku tsb, saya memutuskan untuk membuat catatan atas ke-4 buku secara ringkas, agar dengan demikian tercapai pengambaran yang mendekati objekctivitas tentang penderitaan akibat dan menyusul peristiwa 30 Sept. Alasan lainnya ialah karena isi buku-buku itu justru menyangkut masalah hukum dan dimensi pelanggaran HAM yang begitu luas dan sistematis berlaku selama ini, akibat peristiwa yang sama juga dan ¨penumpasan¨ yang melanjut dalam berbagai rupa, dibakukan dalam berbagai peraturan dan pelaksanaannya agaknya seperti sudah mendarah-daging pada baik instansi / alat negara tertentu dan pada mentalitas penegak hukum, yang bermentalitas ¨penumpas¨dan tunduk pada semboyan ¨cabut sampai keakar-akarnya¨. Jadi apabila saya diminta menceritakan ¨penderitaan¨, saya sekarang dapat menganjurkan supaya, misalnya mulai membaca buku Sekneg berjudul ¨G-30-S (Latar Belakang dan Penumpasannya¨). Penggunaan istilan ¨penumpasan¨dalam buku tsb, mengandung arti besar dalam katanya dan prakteknya. Semua tapol mempunyai cerita sendiri tentang arti ¨penumpasan¨. Sebagian besar tak lagi dapat bercerita, atau belum mampu mengungkapkannya sampai sekarang di jaman yang disebut jaman ¨Reformasi¨. Dengan membaca buku berisi versi birokrasi, yaitu sekneg ini, kita dapat halaman demi halaman membandingnya sekarang dengan data-data yang sebelumnya belum bisa kita ketahui, tapi kini bisa, sehingga terbuka kemungkinan dan kewajiban menelusur ¨sejarah¨. Dari teks buku Sekneg itu saja, sebelum membandingkan dengan informasi lama tapi baru sekarang terbuka, kita dapat menggunakan logika dalam menilai isi buku Sekneg tsb. Menggunakan hak kita memakai nalar bebas. Mencapai pengetahuan dan pengertian bermula dari bertanya. Orang yang tak diperbolehkan bertanya (dibungkam, disensor, dipenjarakan, tanpa tuntutan, tanpa hakim) seperti kebanyakan dari kita, bukan hanya bekas tapol, tapi juga dari generasi terbaru, yang mungkin saja belum lahir di tahun 1965. Buku ke-2 dalam daftar saya itu yakni ¨Pledoi Kol. A. Latief¨, sangat tepat didahulukan dan dibacakan bersama dengan buku Sekneg, untuk perbandingan. Kol. Latief mengucakan teks pledoi (pembelaand irid alam perkaranya) sebagai salah seorang tertuduh utama dalam peristiwa G 30 S. Kol. Latief sebagai tokoh G 30 S sudah ditangkap Oktober 1965, tapi apabila sejumlah yang dituduh tokoh-tokoh utama lainnya, sudah dihadapkan di pengadilan (Mahmilub di tahun 60-an), Kol. Latief ini baru menghadapi jaksa dan hakim di tahun 1978. Pertanyaan : Mengapa begitu lambat ? Teks pledoinyapenuh soal yang dipertanyakan, dan pertanyaanKol. Latief itu membantu kita sebagai pembaca, memajukan pertanyaan sendiri, apalagi kalau ternyata tak memuaskan bisa dijawab oleh Penuntut dalam peradilan tersebut, jadi terus menjadi pertanyaan sampai sekarang. Tapi telah kita katakan : memajukan FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
2
pertanyaan yang tepat adalah jaminan mendapat jawaban yang tepat pula, bukan bohong-bohongan. Buku Kol. Latief, pasti akan banyak membantu timbulnya pertanyaan yang tajam-tepat mengenai sasarannya. Di subjudul buku pledoi tercantum misalnya ¨Soeharto terlibat G 30 S¨. Selama saya dipenjarakan dari tahun 1967-1975 penjara Salemba, saya pernah mengalami di-¨hukum¨ oleh pemimpin penjara, yaitu hukuman isolasi total, yaitu di salah satu blok, yang disebut blok N (penjara terdirid ari blok-blok yang dinamai menurut huruf abjad, 18 blok dari A-R). Blok N itu sebagai blok isolasi-toal (tak boleh bergaul dengan tahanan lain, hidup dalam sel sendirian, ada 30 sel dalam blok). Kol. Latief bercerita kepada Hakim tentang situasi dalam penjara, yang dialami tapol secara mendetail dari pengalamannya hidup dikerangkeng selama 10 tahun isolasi dan sakit-sakitan di blok N tsb. Penderitaan tapol di penjara Salemba jelas diceritakan oleh Kol. Latief dalam pidato pembelaannya, yang balik ¨menggugat¨ jaksa penuntutnya, termasuk ragam penderitaan keluarga akibat¨pemenjaraan¨ yang tak menghormati hukum. Membaca Kol. Latief itu saya teringat pertanyaan dalam hati saya sendiri, yang tak pernah saya bisa peroleh jawabannya diantara sekian banyak pertanyaan lainnya : Dalam penjara Salemba waktu itu, Rumah Tahanan Khusus (RTK), seorang yang dianggap bersalah berat dalam penjara, bisa dihukum : 1. masuk ke blok E digabung dengan tahanan kriminal anggota ABRI, 2. atau masuk ke blok N, blok isolasi total, tempat Kol. Latief disekap. Suatu ketika saya dimasukkan kesana, tanpa diberitahu apa sebabnya, dan untuk berapa lama. Akhirnya saya di sana disekap selama 6 bulan. Sampai sekarang saya masihingin tahu apa dasar penguasa di penjara ¨menghukum¨saya, masuk dipenjara dalam penjara itu. Dalam situasi sekarang mestinya terbuka kesempatan yang wajar untuk mengetahui isi berkas ¨perkara¨ yang menyangkut diri, hingga ditahan bertahun-tahun. Apa dasar penahanan ? Hukum atau UU mana yang dilanggar ? Pertimbangan apa yang menentukan lamanya seseorang dipenjarakan, tanpa pernah maju di pengadilan. Dalam hal saya dan banyak tapol lain, tanpa ada surat penahanan resmi, pemeriksaan yang terjadi dalam hal saya sendiri, tak pernah ada yang berupa tuduhan, alasan ditahan dsb. Teks Pledoi Kol. Latief membantu saya sekarang merumuskan pertanyaan-pertanyaan bersama semua orang yang perlu bertanya, demi pembenahan pengalaman pahit maupun manis dimasa lalu, katakanlah sebagai terapi diri, atau terapi bersama, bahkan idealnya : jawaban-jawabann pertanyaan siapa yang bertanggungjawab, dalam pengambilan keputusan memenjarakan orang, di luar keputusan pengadilan tersebut, dsb. Diangkat ke latar nasional demi pemulihan kepercayaan bangsa kepada hukum, diperlukan penyaluran kemampetan dan ketersumbatan suara menuntut keadilan, bukannya sebagai kebutuhan ¨balas dendam¨, tetapi sebagai bagian dari proses pemulihan martabat kemanusiaan siapa saja,yang pernah jadi korban ketidakadilan dengan topeng ¨hukum¨ (ingat istilah-istilah : pengamanan, penumpasan, dalam rangka pemulihan keamanan dan ketertiban).
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
3
Komnas HAM yang sudah ada dan Komnas Pencari Fakta seperti yang saya usulkan dalam tulisan saya diperlukan sebagai semacam ¨terapi¨ menuju rekonsialisasi dengan keberadaan diri sendiri dan keberadaan kawan maupun yang pernah lawan. Buku ke-3 berjudul ¨Nawaksara¨, adalah suatu buku berisi telaah ilmiah Hukum Konstitusi dan sejarahnya di Indonesia, sekitar pergantian kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, lewat berbagai proses TAP MPR-S di tahun 66, 67, dan 68. Buku Nawaksara cukup objektif memajukan kritik tentang kurang dipenuhinya prasyarat konstitusional dalam proses tsb. Buku Prof. Suwoto Mulyosudarmo ini sangat membantu saya sebagai awam, dalam memulai mencari jawaban-jawaban sejarah tentang peristiwa pergantian kekuasaan dalam R.I., yang bagi banyak orang masih penuh teka-teki yang perlu dibuat jelas sekarang, deli kepastian hukum, sekaligus menambah pengertian tentang proses politik yang menyangkut nasib tapol, termasuk Bung Karno, yang berpulang dalam status tahanan. Pengalaman Bung Karno sebagai tahanan itu adalah bagian dari pengalaman bangsa, yang mencakup pertanyaan berdimensi bukan saja dimensi hukum atau konstitusi saja, tapi juga pertanyaan yang menyangkut ¨hukum¨atau ¨konstitusi¨ tak tertulis. Yang kita sebut konstitusi tak tertulis, karena hidup dalam nurani setiap orang dan bangsa yaitu pri-kemanusiaan. Pelanggaran konstitusi formal dan tertulis adalah berat, tapi lebih berat lagi apabila disertai pelanggaran ¨peri-kemanusiaan¨ alias konstitusi tak tertulis tersebut. Banyak produk dan praktek perundang-undangan di jaman Orde Baru, yang dengan sadar atau tidak, melanggar ¨konstitusi nurani¨, ¨konstitusi tak tertulis¨, alias perikemanusiaan tersebut. Dalam hubungan kasus tapol yang kebetulan bernama Soekarno, saya akan membuat catatan ada buku karangan Manai Sophiaan buku ke-4 dalam daftar. Buku tersebut mengemukakan kasus tapol Soekarno, Manai Sophiaan secara sistematis memasuki berbagai persoalan-persoalan sekitar G 30 S, dalam hubungannya dengan posisi Soekarno di masa itu. Di dalamnya dia berusaha menjernihkan posisi Soekarno yang pada hematnya mengalami ketidaklayakan dan ketidakadilan, sehingga mati dalam status tahanan pula. Alasan-alasan dan pertanyaan yang dikemukakan oleh Manai Sophiaan menyangkut proses hukum, pendapat dan catatannya pasti dapat membantu kita mengubah pengertian dan meluruskan hal-hal yang dibengkokkan untuk tujuan politik, sebagai peningkatan mutu dialog antara sesama kita dalam membenahi penulisan sejarah bangsayang morat-marit. Akhirnya saya tambahkan buku ke-5 untuk dibaca, sebuah karya sastra yang sekaligus salah satu buku dokumentasi terbaik dari apa yang disebut ¨derit¨ tapol. Buku yang saya maksud tak lain tak bukan ialah buku kesaksian sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yang berjudul ¨Nyanyian Sunyi Seorang Bisu¨, yang secar mendalam FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
4
melukiskan perlakuan yang diderita oleh tapol dalam pembuagan di Pulau Buru, pengalaman tapol dan penderitaan keluarganya sudah semakin sering terungkap sebagai tema sastra, berbentuk prosa maupun puisi dan saya yakin akan semakin bertambah sebagai bagian dari kebangkitan kembali dari nurani manusia Indonesia. Sekian. Terima kasih Sitor Situmorang
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
5