1 PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang Secara geografis propinsi Bali terletak pada posisi 8º 03’ 40” - 8º 50’
48” LS dan 144º 50’ 48” BT. Luas propinsi Bali meliputi areal daratan sekitar 5.632,66 km² termasuk keseluruhan pulaunya. Panjang garis pantai Bali kurang lebih 470 km² termasuk lima pulau kecil lainnya yaitu, Nusa Penida, Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, Nusa Serangan dan pulau Menjangan. Wilayah pesisirnya meliputi seluruh daerah kabupaten dan kota madya, kecuali kabupaten Bangli yang tidak memiliki garis pantai. Berdasarkan pembagian wilayah, perairan laut Bali memiliki luas 9.500 km² (jarak dari garis pantai kurang lebih 12 mil laut) terbagi menjadi tiga wilayah perairan laut yaitu; (1)
Perairan Bali utara dengan luas ± 3.168 km² yang meliputi perairan pantai sepanjang Kabupaten Buleleng.
(2)
Perairan Bali Timur dengan luas ± 3.350 km² meliputi perairan sepanjang Kabupaten Karang Asem, Klungkung dan Gianyar.
(3)
Perairan Bali Barat dengan luas ± 2.982 km² melalui perairan laut sepanjang pantai Kabupaten Badung, Tabanan dan Jembrana (Negara).
Masing-masing wilayah tersebut memiliki potensi pesisir dan lautan yang dijumpai adalah perikanan tangkap, budidaya tambak, rumput laut, keramba jaring apung (KJA), terumbu karang, mangrove, industri, pemukiman penduduk peisisr, perhubungan, parawisata dan pertahanan keamanan (Suharnoto et al, 2000). Bali sendiri dikelilingi oleh lautan yang didalamnya terkandung berjenisjenis hewan dan tumbuhan laut yang merupakan potensi bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan panorama laut yang indah, belum tentu akan tetap lestari jika aparat Pemerintah Daerah setempat tidak mengambil langkahlangkah kebijakan untuk menjaga dan mengolahnya. Akibat yang ditimbulkan dari pemanfaatan sumberdaya alam yang salah akan merugikan Bali sendiri sebagai suatu marketing yang penting dalam memperdagangkan produkproduk perikanan. Keadaan ini diperkirakan masih terus berlangsung dan
2
mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar biasa (great depression) di tingkat manapun dalam struktur sosial masyarakat yang akan melumpuhkan sistem perekonomian nasional dan terjadi kehilangan generasi (lost generation) akibat pembodohan masal. Pembodohan dan kemiskinan ini lebih dirasakan kepada sejumlah masyarakat pesisir pantai yang bergantung mata pencaharianya sebagai nelayan. Yang menarik lagi disatu pihak, pada masa dimana hasil tangkapan banyak atau melimpah ruah yang menikmati keuntungan sebagaian besar ada pada pengusaha perikanan. Dilain pihak, pada masa paceklik, tidak ada solusi yang tepat untuk mengangkat taraf hidup nelayan, sehingga usaha yang digeluti hanya sebatas mengisi kebutuhan pokok. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka analisis potensi dan peluang di wilayah perairan pulau Bali diperlukan suatu cara yang membantu membuka wawasan, pengetahuan dan menjadi bekal atau dapat diterapkan dalam mengelola dan mengembangkan bidang perikanan di wilayah itu. Peningkatan kemampuan wadah kelembagaan nelayan atau petani sebagai salah satu cara yang telah dapat diterapkan dimaksud untuk memberdayakan dan mensinergiskan seluruh potensi yang dimiliki oleh masyarakat pulau Dewata. Kabupaten Klungkung merupakan kabupaten yang luasnya paling kecil dari 9 (sembilan) Kabupaten dan Kota di Bali. Terletak diantara 115º21’28’’ 115º37’43’’ Bujur Timur dan 80º27’37’’ - 80º49’00’’ Lintang Selatan dengan batas-batas di sebelah Utara Kabupaten Bangli, sebelah Timur Kabupaten Karangasem sebelah Selatan Samudra India dan sebelah Barat Kabupaten Gianyar dengan luas wilayah 315 km². Dua pertiga dari Kabupaten Klungkung di Kecamatan Nusa Penida dengan Nusa Lembongan, secara keseluruhan panjang pantai 70 km, sehingga merupakan potensi perekonomian laut dengan budidaya rumput laut dan penangkapan ikan laut (Biro Pusat Sataistik 2002). Kecamatan Nusa Penida serta Nusa Lambongan merupakan pulau yang dikelilingi oleh lautan dengan memiliki jumlah penduduk 47.503 orang dan bermata pencarian perikanan 277 orang, terdiri dari 7 kelompok nelayan yang bergerak dalam bidang budidaya laut, penangkapan dan pengolahan. Perikanan
3
laut yang digeluti mempergunakan jenis alat penangkap trawl dan pukat cincin. Trawl antara lain, pukat kantong, sedangkan pukat cincin antara lain, jaring insang, jaring angkat, pancing dan perangkap. Produk tangkapan untuk produksi pertahun yang terbanyak adalah ikan pelagis seperti, tongkol, cakalang dan tembang, sedangkan ikan demersal selalu mengalami fluktuasi. Walaupun terdapat beberapa jenis alat perangkap ikan yakni sero, jermal, bubu dan perangkap lain, namun belum menjamin adanya peningkatan produksi. Produksi perikanan tangkap menduduki peringkat kedua sesudah budidaya laut, jumlah total budidaya laut untuk tahun 2003 adalah 32,711,081 ton, sedangkan penangkapan adalah 16,741,500 ton. Dari alat tangkap perangkap yang digunakan oleh nelayan, untuk meningkatkan produksi perikanan tangkap masih sangat kurang dibandingkan, dengan alat tangkap yang digunakan dengan pukat kantong, jaring insang, jaring angkat dan pancing. Nelayan tradisional di Nusa Lambongan masih mengguanakan alat tangkap bubu konvensional terbuat dari rotan atau bambu. Untuk meningkatkan pendapatan nelayan maka, alat tangkap yang ada perlu mengalami adopsi teknologi, untuk memodivikasi salah satu jenis alat perangkap yaitu bubu. Secara tradisional bubu merupakan benda pasif yang terbanyak dibuat dari rotan atau bambu, sering membahayakan nelayan, apalagi pengaruh arus dasar yang kuat membuat ikan takut mendekatinya. Analisis komparasi membedakan bubu yang dilakukan secara tradisional atau bubu rotan diangkut menggunakan perahu dayung, diselam pada daerah karang tanpa pemberat, ada tali dengan pelampung, dengan teknologi bubu dari rangka besi, dimana sangat membantu nelayan dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi nelayan. Bubu yang telah diintroduksi teknologi dioperasikan dengan menggunakan kapal motor dan tentunya dapat dangkut lebih dari 1 buah, dengan dilengkapi dengan katrol, tali dan pelampung tanda. Penggunaan alat tangkap bubu dalam penangkapan ikan karang atau ikan demersal dibandingkan dengan penggunaan alat tangkap lainnya cukup selektif, (Rumajar 2002). Disamping itu juga penggunaan alat tangkap ini secara baik dan benar, sangat mendukung Code of Conduct for Responsible Fishing, yaitu pengembangan perikanan tradisional dengan penggunaan alat
4
tangkap yang selektif dan memperkecil hasil tangkapan non target (Monintja dan Badrudin, 1996). Jenis-jenis ikan pelagis yang biasanya dipergunakan sebagai umpan dalam bubu antara lain adalah kepala ikan cakalang, ikan kembung dan ikan layang. Ikan mempunyai daya tarik tersendiri apabila membuat suatu pancingan dengan menggunakan umpan. Umpan yang digunakan untuk menarik perhatian ikan biasanya berbeda-beda, ada melalui lelehan darah dari umpan itu ataupun tubuh ikan yang segar dan masih bercahaya. Alat tangkap bubu ternyata mempunyai spesifikasi tersendiri yang perlu kita ketahui, hal ini berdasarkan kondisi didalam laut yang dijadikan sebagai daerah penangkapan. Pengoperasian bubu dilaut dalam sering dilakukan berbagai macam cara untuk menarik perhatian ikan dengan meletakan umpan ataupun bubu dibuat semenarik mungkin. Dalam kebangkitan teknologi modern manusia mendapatkan suatu alat yang sangat membantu nelayan yakni echo sounder. Penggunaan echo sounder oleh nelayan amat kurang, hal ini dikarenakan alat ini kebanyakkan digunakan oleh bot-bot besar seperti bot pukat tunda dan pukat jerut serta masih mahal untuk dijangkau pada para nelayan pesisir. Sebenarnya echo sounder sangat membantu untuk operasi menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkapan bubu untuk mengetahui dasar laut yang berbatu dan topografi yang sesuai untuk meletakkan bubu, rawai atau pancing dan mengetahui kedalaman air untuk menentukan panjang tali bubu, rawai atau pancin. Bentuk rancangan dari bubu juga menentukan sampai sejauh mana kedudukan bubu dengan dipengaruhi oleh arus, upwelling, maupun tempat ikan itu berada. Bubu yang dirancang terbuat dari besi dengan menggunakan dua pintu, yang dilengkapi alat pemberat besi dengan perlengkapan tali dan pelampung.
5
1.2
Tujuan Penelitian (1) Mengetahui efisiensi dan spesifikasi teknis bubu yang secara tradisional digunakan nelayan. (2) Modifikasi bubu dengan teknologi yang diperbaiki (bubu besi). (3) Membandingkan rancang bangun (disain) bubu yang dimodifikasi dari bubu tradisional dan bubu besi yang diperbaiki. (4) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan bubu besi. (5) Menganalisis perbedaan pendapatan nelayan tradisional dan bubu besi.
1.3
Manfaat Penelitian Sebagai pembanding bubu tradisional dan bubu yang dimodifikasi
teknologi, alat tangkap bubu yang dibuat besi diharapkan nelayan dapat menerimanya sekaligus meningkatkan jumlah usaha hasil tangkapan dalam memenuhi kebutuhan nelayan.
1.4
Hipotesa Hipotesa dalam penelitian ini adalah : (1) Rancang
bangun
(disain)
alat
tangkap
bubu
lebih baik
performancenya dari pada bubu bambu. (2) Pada pengoperasian bubu hasil tangkapan akan lebih dan dapat meningkatkan pendapatan nelayan.