And They Said...
Pernahkah dalam hidupmu kamu mencintai seseorang di waktu yang tidak tepat? Mungkin itu terlalu cepat, mungkin juga sudah terlambat. Pernahkah kamu merasa telah menemukan seseorang yang tepat sebagai persinggahan terakhir dari petualangan cintamu? Pernahkah kamu mencintai seseorang tapi cintamu takkan pernah sampai kepadanya? Hingga kamu harus menjadikan cintamu padanya sebagai rahasia terbesarmu. Cinta, apakah kau yakin dengan cinta? Apakah cinta yang kamu rasakan saat ini adalah cinta yang sebenarnya? Apakah cinta itu akan terus menjadi cintamu untuk selamanya?. Entahlah, akupun takkan mengerti. Kadang aku merasa tak pantas untuk mencintainya. Ya, aku mencintai seorang wanita yang memiliki paras dan tutur kata serta perilaku laksana bidadari. Aku memanggilnya Sang Diva.
1 New Year’s Hope
Ruas
jalan Ibukota lebih ramai dibanding hari kemarin. Semua orang
tumpah ruah memenuhi ruas-ruas jalan Jakarta. Entah hanya untuk menanti pesta kembang api, atau sekedar berjalan kaki dari satu lapak kuliner ke kuliner lainnya. Momen pergantian tahun seakan menjadi salah satu dari sekian banyak momen terpenting yang tidak boleh dilewatkan dengan biasa-biasa saja. Aku dan keluargaku juga menjadi bagian dari golongan mayoritas tersebut. Kami sudah menjejakkan kaki tepat di depan Monas saat jarum jam membentuk sudut 90 derajat. Itu berarti kami masih harus menunggu 3 jam lagi untuk sampai ke perggantian tahun. Dan menunggu adalah hal yang paling membosankan bagiku. Maka tidak heran kalau malam itu aku seakan hilang antusias. “Ayo dong Mas yang ceria gitu. Kita kan jarang pergi bareng-bareng sekeluarga” ujar Ibuku. “Iya Mas Unad semangat dong. Cuma tiga jam lagi kok” Adikku, Dinar namanya juga ikut menimpali kalimat Ibu. Entahlah, kalau dipikir memang kami jarang pergi berlibur bersama. Kendala waktu yang melatarbelakanginya. Kedua orang tuaku sibuk kerja sedari pagi, adikku pun juga tengah disibukkan dengan jadwal tugas akhirnya. Sedangkan aku sendiri memang bukan orang yang senang bepergian. Ayah, Ibu, dan adik perempuanku nampak asyik menjajal satu per satu booth kuliner di sepanjang jalan pusat Jakarta. Orang-orang disini juga nampak bahagia dan menikmati sekali momen seperti ini. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa hanya aku yang merasa bosan berada di tempat ini. Jam demi jam coba kulalui dengan hati yang mencoba untuk bergembira. Kini hanya dalam hitungan menit lagi tahun 2013 berganti menjadi tahun yang baru. Diujung panggung sana, Bapak Walikota siap memimpin prosesi detik-detik pergantian tahun.
“SELAMAT TAHUN BARUUUUUUUUUUU!!!!” pekik Bapak Walikota dari atas panggung hiburan nan megah. Tanpa aba-aba suara terompet saling menyahut di kanan dan kiriku. Orangorang tidak lupa bertepuk tangan ketika kedua mata mereka menjadi saksi betapa indahnya langit malam ketika mereka bermandikan cahaya kembang api. Akupun sempat larut sejenak dalam euforia perayaan tersebut. Tapi tak lama, karena sebuah pesan singkat sempat mengambil alih seluruh fokusku. Pesan ini dari salah satu sahabat terbaikku, Rizki namanya. “Happy New Year Nad. Semoga tahun ini cepet dapet kerja. Cepet dapet jodoh dan cepet nikah. Kasian lo jomblo 2 tahun! Amin”. Miris memang membaca kalimat demi kalimatnya. Tapi memang itu faktanya. Tidak ada yang bisa dibanggakan dariku, padahal usiaku sudah menginjak kepala dua. Pikiranku langsung megawang jauh ke belakang. Kucoba untuk mengingat apa saja yang sudah kulalui dan apa saja yang belum tercapai di tahun sebelumnya. Jika malam tahun baru identik dengan sebuah perayaan yang meriah, maka bagiku malam tahun baru adalah waktu yang tepat untuk menyusun kembali rencana hidup, dan sebuah titik awal untuk sebuah tekad baru untuk hidup yang lebih baik. Resolusi? Aku tidak pernah beresolusi tiap tahunnya. Karena kadang bagiku resolusi hanyalah resolusi belaka yang bisa dengan mudahnya kita lupakan dalam hitungan hari. Bagiku, resolusi sebenarnya tidak ditentukan atau tergantung pada pergantian waktu, tapi lebih pada kemauan kita untuk segera bertindak kemudian konsisten untuk melakukan dan mempertahankannya. Toh, pada akhirnya yang terpenting dalam resolusi adalah pencapaian bukan sekedar ucapan. Aku mengadahkan kepalaku ke atas langit menyaksikan cahaya kembang api yang masih tersisa. Biarlah malam ini kujadikan malam yang tepat untuk menumbuhkan semangat dan harapan baru untuk meraih setiap pencapaian yang tertunda. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk mereka yang menaruh harapannya padaku. Jakarta, Januari 2014.
2 Kesempatan yang Lain
Seketika
aku teringat dengan apa yang pernah disampaikan oleh guruku
sewaktu Sekolah Dasar dulu. Dulu, Unad kecil adalah orang yang sangat tidak pandai dalam hal olahraga. Waktu itu guru olahraga kami memerintahkan kami untuk mencoba memasukkan sebuah bola basket ke dalam ring dari jarak hampir 5 meter. Bagi kami yang masih sangat minim pengalaman soal bola basket, tentu hal ini menjadi sesuatu yang sangat sulit bagi kami. Dan bisa ditebak hasilnya tidak ada satu pun dari kami yang berhasil memasukkan bola ke dalam keranjang. Saat itu juga ketika kami hampir putus asa, guru kami berbicara dengan lantangnya “Coba lagi. Sekali lagi!”. Kemudian kami bangkit dan mencoba sekali lagi untuk memasukkan bola ke dalam ring. “Coba lagi. Sekali lagi!”. Hanya satu kalimat itu yang selalu ia teriakkan pada kami ketika kami gagal. Makin sering kami gagal, maka guru kami semakin sering mengulang kalimat itu. Makin sering kami mengeluh maka semakin meninggi juga nada bicaranya. Hingga pada akhirnya selepas senja, masing-masing dari kami berhasil memasukkan bola ke dalam ring. Ya, kami semua berhasil. Hanya dengan satu buah kalimat yang selalu diteriakkan oleh guru kami.
Setidaknya kalimat itu yang selalu terngiang di telingaku ketika aku mengalami kegagalan. Nyatanya memang kalimat tadi seakan mampu memberikan tenaga ekstra untuk terus mencoba dan tidak menyerah. Hal yang sama juga kualami ketika satu per satu surat lamaran kerjaku ditolak mentah-mentah oleh beberapa perusahaan. Putus asa dan hampir menyerah tentu sempat terlintas dalam benakku kala itu. Terima kasih terdalam untuk guruku karena ketika terpikir untuk menyerah aku memilih untuk mencobanya lagi. Saat ku merasa inilah akhirnya, aku memilih untuk mencobanya sekali lagi. Aku bahkan tidak ingat sudah berapa banyak surat lamaran yang sudah kukirim tiap harinya. Aku juga tak mampu untuk mengingat berapa kali aku gagal dalam seleksi kerja. Ah, aku jadi teringat dengan kalimat yang pernah dikatakan Ayahku beberapa hari yang lalu. Beliau berkata seperti ini, “Kesuksesan adalah akumulasi dari kegagalan ditambah dengan keinginan untuk mencoba sekali lagi”. Ya, kegagalan demi kegagalan jua lah yang akhirnya membawaku berada disini. Di sebuah gedung bertingkat milik salah satu Bank swasta ternama di Indonesia. Untuk kesekian kalinya aku kembali berlomba dengan ribuan pencari kerja lain dari berbagai kota untuk memperebutkan satu buah predikat untuk menjadi yang terpilih. Tahapan demi tahapan berhasil aku lalui dengan cukup memuaskan. Hingga akhirnya tiba waktunya untuk sebuah diskusi kelompok. Secara ringkas, diskusi kelompok ini adalah membahas satu buah masalah dan mencari solusi yang harus didiskusikan dengan anggota kelompok lainnya. Akupun sempat membayangkan betapa sulitnya menyatukan pendapat dari tujuh orang dengan isi kepala yang berbeda. Belum lagi bekal pengetahuanku yang masih minim. Bisakah aku mengimbangi pemikiran mereka? Ah, semakin aku membayangkan makin ragu pula aku untuk melangkah. Tapi pada akhirnya kuberanikan diri untuk memasuki sebuah ruangan di lantai 25, tempat diskusi kelompok berlangsung. Seketika seorang wanita paruh baya menghampiriku dan mulai mengamatiku dengan sangat serius dari ujung rambut sampai mata kaki. Mungkin dalam hatinya ia agak heran karena aku tidak berdandan rapih seperti yang lainnya. Kemeja panjang agak lusuh, celana panjang hitam kusam, dan sepatu yang tidak
terikat dengan baik. Akupun menjadi tak heran bila ia sampai mengamatiku sampai seserius ini. “Siapa namanya Mas?” tanyanya dengan agak ketus. “Mmm. Unad” jawabku terbata. “Isi absen terus langsung masuk. Cari dimana kelompoknya” sambungnya lagi sambil menyodorkan sebuah map yang berisi daftar hadir. Nyaliku menciut. Aku sempat membayangkan betapa tidak bersahabatnya kantor ini. Pikirku mengawang-awang apa jadinya bila seluruh karyawan disini memiliki watak yang sama dengan wanita paruh baya nan ketus tadi. Kuseret langkah kakiku hingga tiba di sebuah ruangan besar dengan satu buah meja melingkar di tengahnya. Sepertinya aku adalah orang terakhir atau peserta ke tujuh yang sampai di ruangan ini. Disekeliling kami, berdiri tiga orang pria yang membawa sebuah buku saku kecil. Dari gelagatnya, ketiga orang ini memang disiapkan untuk menilai jalannya diskusi kami. Kemudian tak perlu lama tibalah waktu untuk saling memperkenalkan diri. Aku mendapat giliran pertama untuk memperkenalkan diri. “Halo, saya Unad. Umur 23 tahun. Saya dari Bekasi. Sarjana Ekonomi” ucapku. “Coba ceritakan apa yang menjadi kelebihanmu” tanya salah seorang penilai. Sempat aku termenung cukup lama karena memaksa otakku bekerja lebih cepat untuk menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaannya barusan. “Kelebihan saya? Mungkin saya adalah orang yang jarang sekali marah. Atau bisa dibilang saya tidak bisa marah” jawabku sekenannya. “Kalau gitu coba kalian semua pukul dia. Mumpung dia enggak bisa marah” sambar Bapak penilai lainnya, setengah bercanda. Kami hanya tersenyum kecil saja kala itu. Perkenalan pun berlanjut hingga tiba di orang terakhir. Dialah yang menjadi alasan untuk tiap kalimat demi kalimat yang kutulis saat ini. “Assalammualaikum. Selamat siang saya Rahma dari Lampung. Usia saya 23 tahun. Saya lulusan teknik sipil” jawabnya dengan senyum ramah. Taukah kamu betapa semesta seakan berhenti ketika mendengar suaramu?
Itulah yang aku rasakan saat itu. Aku seakan menjadi masa bodoh dengan apa yang ada disekitarku. Yang kutau saat itu, kedua mata ini hanya tertuju pada satu sosok nan elok yang berdiri tepat didepanku. Dengan balutan kemeja putih yang kau padupadankan dengan blazer hitam dan rok hitam, kau mampu mengalihkan sejenak kesadaranku yang paling dalam. Aku masih ingat betul semuanya. Bagaimana kamu menggerai rambutmu hingga bahu, atau saat tanpa sengaja kedua mata kita saling bertemu. Semuanya terasa indah hingga enggan untukku memejam walau sekejap. Akupun jadi bertanya-tanya sendiri, mengapa aku seperti ini? Kau tak terlalu cantik, ada perempuan lain di kantor ini yang lebih cantik. Kau manis? Ya, aku akui. Tapi bagaimana caranya suaramu, gesturmu, matamu, hidungmu, langkahmu yang malu-malu bisa mempercepat laju degup jantungku? Ada apa ini.
3 An Ugly Truth
Pagi
ini aku baru saja membuka mata, lebih pagi dari sebelumnya. Pintu
kamar Ayah dan Ibu masih tertutup dengan rapat, mungkin mereka masih tertidur gumamku. Kutengok adikku di kamarnya, ternyata ia juga masih terlelap dengan pulasnya. Ada satu alasan mengapa tidurku tak nyenyak hari ini, yaitu sebuah harapan besarku tentangmu. Ya, bahkan dalam tidurpun aku tak henti-hentinya berharap. Sebuah harapan yang sederhana sebenarnya. Andai aku sanggup untuk memutar waktu, pasti aku akan memilih untuk kembali pada moment saat pertama
kali kita bertemu. Satu hal yang kusesali sejak pertemuan pertama kita adalah aku tidak sempat untuk berbicara banyak denganmu. Bahkan untuk sekedar bertukar nomor handphone pun tak sempat. Sebenarnya ini bukanlah perkara sempat atau tidak sempat, tapi akulah yang tidak memiliki nyali untuk bertegur sapa denganmu. Akupun tak bisa memastikan kenapa. Mungkin karena saat itu kamu sedang cantikcantiknya hingga aku lebih memilih untuk menikmati pesonanya dari kejauhan, lewat tatap mata. Tapi pada akhirnya aku menyesal. Semuanya terasa sangat lama saat ini. Hari demi hari yang kulalui terasa amat lama dan menjemukan. Aku tidak bisa menolak apalagi mengelak bahwa aku memang ingin berjumpa lagi denganmu. Paling tidak melihatmu lagi meski hanya sekali. Percayalah sampai saat ini kamu masih menghantuiku. Kamu selalu ada di dalam sadar dan ketidak sadaranku. Ah, apa aku jatuh cinta denganmu? Terlalu cepat untuk menyebut ini cinta. Yang kutau, cinta itu datang karena biasa. Cinta itu bisa datang karena dua insan terbiasa untuk bersama, terbiasa untuk saling berbagi cerita, dan terbiasa untuk saling mengisi juga menerima. Mungkinkah ini cinta pada pandangan pertama? Atau hanya sebuah bentuk kekaguman? Aku jadi teringat dengan kalimat yang pernah disampaikan oleh adikku sendiri soal cinta pada pandangan pertama. Adikku pernah berkata seperti ini “Cinta itu beda dengan suka atau kagum pada pandangan pertama. Kamu bisa saja langsung suka dengan seseorang tapi belum tentu itu berarti kamu cinta dengan orang yang kamu suka. Karena cinta butuh proses untuk mendapatkannya”. Aku mengambil inisiatif kalau semua tanda tanya ini harus segera menemui jawaban. Kuberanikan diri untuk melakukan pembuktian. Kuambil secarik kertas dan pena yang tergeletak di atas meja dan dengan cepat kutuliskan sebuah judul diatasnya.
Ciri-ciri Orang Jatuh Cinta 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Ada sesuatu dalam diri dia yang menarik untuk ditelusuri Suka senyum-senyum atau ketawa-ketawa sendiri enggak jelas Suka curi-curi pandang ke arah target Jantung serasa mau copot waktu dia ngeliat ke arah kita Sedih kalau dia lagi enggak ada Berusaha mencari kabarnya walaupun sulit Gugup ketika kalian saling berpapasan
√ √ √ √ √ √ √
Celakanya ternyata aku memang jatuh cinta padamu! Hati dan akal sehatku bertengkar dengan hebatnya saat itu. Hatiku meyakini bahwa memang inilah cinta dan aku telah jatuh cinta. Tapi akal sehatku menentangnya dengan keras bahwa sangat tidak mungkin mencintai seseorang hanya dalam hitungan hari. Kumantapkan hati untuk melakukan pembuktian kedua dan yang terakhir. Kutulis namamu lewat internet dan dalam hitungan detik aku berhasil menemukan website pribadimu. Kuberanikan diri untuk melihat isi di dalamnya. Tak ada perasaan gembira kala itu. Tak ada hati yang mekar berbunga-bunga saat itu. Yang ada hanyalah sebuah hati yang telah patah menjadi dua bagian, berserakan dan hancur. Ternyata kamu sudah ada yang memiliki. Aku mengumpat sejadi-jadinya. Aku menyalahkan waktu yang membuat semua keadaan ini semakin runyam. Mengapa kita harus bertemu ketika aku dan kamu sama-sama tau bahwa tidak akan pernah ada kita. Dan aku menyesal mengapa bukan aku yang bersanding tepat disampingmu saat ini. Kuteguhkan hatiku untuk membaca kalimat-kalimat mesra yang senantiasa kau bagi dengannya. Aku tidak bisa memungkiri bahwa aku ingin berada di posisinya. Aku ingin hanya aku yang selalu kau sebut dalam ucapan selamat pagi dan aku jua yang selalu kau sapa di tiap indahnya mimpi malammu. Aku menyerah! Tiap kalimat yang tertulis disana semakin membuatku tidak karuan. Sepertinya aku memang benar-benar jatuh cinta kepadamu. *** Malam harinya, di meja makan hanya ada satu buah mangkuk sup yang sudah dingin, tak tersentuh sedikit pun. Semuanya masih terasa tidak karuan sampai saat ini. “Kok enggak dimakan sup nya? Keburu dingin lho” ujar Ayah coba memulai topik obrolan malam itu. Aku hanya menggeleng satu kali.
“Kamu kenapa Mas Nad? Kamu enggak kayak biasanya lho. Dari pagi tadi kamu lebih banyak diam. Kamu sakit?” tambah Ibuku sambil sesekali tangannya menyentuh dahi dan leherku. “Enggak ada apa-apa kok” jawabku seadanya. “Kamu enggak bisa bohong Mas. Mama tau kalo anaknya lagi ada beban pikiran”. “Yasudah kalau kamu enggak mau cerita sama Mama dan Bapak. Kamu ngadu aja sama Allah. Ceritain semua masalahmu. Biar kamu lega” ucap Ayahku sekaligus mengakhiri obrolan malam itu. Di sepertiga malam aku terjaga dari tidurku. Memang aku sengaja dan sudah berencana untuk mengikuti saran Ayah malam tadi. Temanku pernah berbicara seperti ini kepadaku “Jika tidak ada bahu untuk bersandar, maka bersujudlah. Karena selalu ada lantai untukmu bersujud”. Di sepertiga malam ini juga aku bersimpuh di hadapanNya. Tidak ada siapa-siapa, hanya aku dan Dia malam itu. “Ya Allah, doaku malam ini sangat sederhana. maafkanlah aku yang sempat menyalahkan takdirMu. Maafkan aku yang sempat kecewa dengan semua yang sudah Kau takdirkan untukku. Mungkin karena aku yang belum siap. Aku yang belum siap menerima kenyataan bahwa aku mencintai seseorang yang sudah mencintai orang lain. Aku tidak meminta banyak padaMu malam ini. Pintaku jika memang kami berjodoh maka dekatkanlah. Jika tidak, maka berikanlah dia bahagia untuk semua pilihan hidup yang ia pilih. Dan jika itu tak cukup, maka berikan aku satu kesempatan untuk bertemu dengannya sekali lagi untuk bisa memberinya bahagia walau sementara. Amin” Aku merasa lebih baik dari sebelumnya. Setidaknya untuk malam ini.