MALUKU TERMISKIN KE-3 BUKAN KARENA KEKURANGAN SDA TETAPI KARENA KEGAGALAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PROSES PEMBANGUNAN DI MALUKU Oleh : Julius Latumaerissa Dosen UNITOMO Surabaya Diterbitkan Oleh Maluku Online www.malukuonline.co.id RINGKASAN Tanggapan Ketua DPRD Maluku atas pertanyaan media di Ambon tentang posisi Maluku termiskin urutan pertama di Indonesia, menurut saya tidak berdasarkan data yang akurat. Dan tanggapan Ketua Dewan dalam bentuk pernyataan bahwa Maluku kaya SDA tapi mengapa diposisikan urutan pertama miskin menurut saya juga kurang tepat. Maluku dikatakan sebagai provinsi TERMISKIN KETIGA dan BUKAN PERTAMA di Indonesia tidak diskarenakan Maluku KEKURANGAN sumber daya alam (SDA). Siapapun akan mengakui bahwa Maluku KAYA SDA, tetapi harap di pahami bahwa kekayaan yang dimiliki Maluku adalah kekayaan yang masih bersifat POTENSIAL dan belum menjadi suatu KEKUATAN EKONOMI yang efektif untuk mengangkat tingkat kesejahteraan Masyarakat melalui nilai tambah yang diciptakan. Fakta lain menunjukan bahwa daerah lain di Indonesia tidak memiliki SDA seperti Maluku tetapi mereka tidak dikategorikan sebagai Provinsi termiskin, hal itu karena kegiatan pembangunan di daerah berjalan dengan baik sehingga mendorong dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan. Jadi dalam kaitan ini maka harus kita sadari bahwa posisi Maluku termiskin ke 3 bukan pertama tidak ada kaitan dengan kepemimilikan SDA tetapi hal ini karena KEGAGALAN PEMERINTAH DAERAH dalam melaksanakan kegiatan pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu ikuti kajian dan analisis ekonomi berikut ini sesuai data BPS Pusat, BPS Maluku dan Bank Indonesia Perwakilan Maluk, tahun publikasi 2014
APA ITU KEMISKINAN SESUNGGUHNYA Perkataan kemiskinan sudah tidak asing lagi. Tetapi jawaban atas pertanyaan apa itu kemiskinan, masih simpang siur. kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standard hidup yang layak. Karena standard hidup itu berbeda, beda, maka tidak ada definisi kemiskinan yang diterima secara universal. Ada juga yang mengatakan bahwa kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-baran g dan pelayanan memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan social. Kemiskinan pada umumnya didefinisikan sebagai kekurangan pendapatan dalam bentuk ditambah dengan keuntungan-keuntungan nonmaterial yang diterima oleh seseorang. Secara luas kemiskinan diberi pengertian meliputi kekurangan atau tidak memiliki pedidikan, kondisi kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan masyarakat. Kemiskinan non-material meliputi berbagai macam kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga dan kehidupan yang layak Aspek-aspek kemiskinan saling berhubungan satu sama lainnya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hal ini berarti bahwa kemajuan atau kemunduran pada salah satu aspek kemiskinan dapat mempengaruhi kemajuan atau kemunduran pada aspek-aspek kemiskinan yang lainnya. Hubungan di antara aspek-aspek kemiskinan ini, oleh Lukas Hendratta disebut dengan istilahthe poverty spiral, (spiral kemiskinan), sebagaimana terilhat dalam gambar berikut ini. Sifat saling berhubungan di antara aspek-aspek kemiskinan ini adalah bahwa satu aspek atau faktor dapat mempengaruhi semua aspek atau faktor lainnya baik dalam arii pengaiuh yurrg positip maupun pengaruh yang negatip.Secara diagramatik, proses saling mernpengaruhi ini dapat digambarkan sebagai kekuatan pergerakan yang menjalar pada sebuah spiral. Cirri-ciri masyarakat miskin secara umum dapat digambarkan dalam empat kategori seperti dijelaskan di bawah ini 1. mereka umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup, modal ataupun ketrampilan. Faktor produksi yang dimiliki sedikit sekali sehingga kemampuan memperoleh pendapatan menjadi sangat terbatas .
2. Kedua, mereka tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri. pendapatan tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan ataupun modal usaha. Sedangkan syarat tidak terpenuhi untuk memperoleh kredit perbankan, seperti adanya jaminan kredit dan lain-lain, sehingga mereka yang perlu kredit terpaksa berpaling kepada lintah darat yang biasanya meminta syarat pelunasan yang berat dan memungut bunga yang tinggi. 3. tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar. waktu mereka tersita habis untuk mencari nafkah sehingga tidak tersisa lagi untuk belajar. Juga anak-anak mereka tidak bisa menyelesaikan sekolah, karena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan atau menjaga adik-adik di rumah, sehingga secara turun-temurun terjerat dalam keterbelakangan di bawah garis kemiskinan ini. 4. kebanyakan mereka tinggar di pedesaan. Banyak di antara mereka tidak memiliki tanah, kalaupun ada maka kecil sekali. umumnya mereka menjadi buruh tani atau pekerja kasar di luar pertanian. Karena pertanian bekerja derrian musiman maka kesinambungan kerja kurang terjamin. Banyak di antara mereka lalu menjadi pekerja bebas, (self employed) berusaha apa saja. Dalam keadaan penawaran tenaga yang besar, maka tingkat upah menjadi rendah sehingga mengurung mereka di bawah garis kemiskinan. Didorong oleh kesulitan hidup desa maka banyak di antara mereka mencoba berusaha di kota (urbanisasi).
Gambar-1: Lingkaran Setan Kemiskinan
Pengetahuan Rendah
Kinerja Rendah
Daya Beli, Pendidikan & Informasi rendah
Produksi Rendah
Pendapatan Rendah Produksi Rendah
Kesehatan Rendah
MISKIN Gisi Rendah
Konsumsi Rendah
Papan, Prasarana, Sarana Dasar KIM Rendah
Modal Kecil
Tabungan Rendah
Sumber: Julius R. Latumaerissa, diolah 2012
KONSEP DAN CARA PERHITUNGAN KEMISKINAN MENURUT BADAN PUSAT STATISTIK (BPS) Sementara konsep kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Karena objek kemiskinan adalah manusia sebagai makluk social maka yang dikatakan penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.Garis Kemiskinan (GK) menurut ukuran BPS terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM), sehingga jika hal itu diformulasikan maka GK= GKM + GKNM. Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki ratarata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.Garis kemiskinan makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kkalori per kapita per hari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbiumbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain). Ke 52 jenis komoditi ini merupakan komoditi-komoditi yang paling banyak dikonsumsi oleh orang miskin. Jumlah pengeluaran untuk 52 komoditi ini sekitar 70 persen dari total pengeluaran orang miskin.Garis kemiskinan non-makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan,
sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Sedangkan ukuran kemiskinan menurut BPS terdiri dari 3 bagian antara lain 1. Head Count Index (HCI-P0), yaitu persentase penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan (GK). 2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) adalah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. 3. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2) adalah ukuran yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
PERKEMBANGAN KEMISKINAN DI MALUKU Berdasarkan data BPS Pusat per September 2014, jumlah penduduk miskin Provinsi Maluku menurun 2,88% dari periode Maret 2014. Jumlah penduduk miskin di Provinsi Maluku pada September 2014 mencapai 307.020 jiwa (18,44%) atau mengalami penurunan dibanding periode Maret 2014 sebesar 316.110 jiwa. Searah dengan penurunan tersebut, persentase penduduk miskin terhadap jumlah penduduk, pada September 2014 menurun menjadi 18,44% dari periode sebelumnya yaitu Maret 2014 yang mencapai 19,13%. Menurunnya jumlah penduduk miskin merupakan imbas dari meningkatnya kondisi ekonomi Maluku pada tahun 2014. Jumlah penduduk miskin di kota per September 2014 menurun 2.250 orang atau 4,52% menjadi 47.580 orang dibandingkan dengan periode Maret 2014. Sedangkan jumlah penduduk miskin di desa per September 2014 menurun 6.840 orang atau 2,57% menjadi 259.440 orang dibandingkan dengan periode Maret 2014.
Gambar-2: Tingkat Kemiskinan Maluku Maret-September 2012 sampai dengan Maret-September 2014
Sumber: Badan Pusat Statistik Maluku, diolah
Sumber: Badan Pusat Statistik Maluku, diolah Sedangkan untuk Kawasan Sulampua (Sulawesi, Maluku dan Papua) Maluku termasuk Provinsi termiskin PERINGKAT KETIGA setelah Papua dan Papua Barat maupun di Indonesia. (lihat Gambar3). Dengan demikian jika dikatakan Maluku termiskin urutan pertama di Indonesia kurang tepat karena data 2014 menunjukan hal yang sebaliknya. Perlu dicermati bahwa jumlah penduduk miskin Maluku ternyata masih lebih tinggi dibanding Provinsi Papua Barat, meskipun secara persentase terhadap total jumlah penduduk lebih kecil. Mencermati Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) yang mengalami peningkatan 3,80 pada Maret 2014 menjadi 4,11 pada September 2014, mengindikasikan adanya perlambatan pertumbuhan kemampuan penduduk miskin untuk memenuhi kebutuhan.
Meningkatnya Indeks Kedalaman Kemiskinan terjadi baik di kota maupun di desa. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin jauh (lebih rendah) dari Garis Kemiskinan. Selain itu, hal yang perlu diwaspadai adalah meningkatnya Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) yang merupakan ukuran ketimpangan/disparitas pengeluaran penduduk miskin. Indeks keparahan kemiskinan tercatat meningkat dari 1,11 pada Maret 2014 menjadi 1,37 pada September 2014, atau merupakan yang tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Peningkatan Indeks Keparahan Kemiskinan terjadi khususnya di desa, yang meningkat dari 1,49 pada semester sebelumnya menjadi 2,08 pada September 2014.
Gambar-3: Sepuluh Provinsi Dengan Persentase Penduduk Miskin Tertinggi di Indonesia (Per September 2014)
Sumber: Badan Pusat Statistik Maluku, diolah
Tabel-1: Tingkat Kedalaman & Keparahan Kemiskinan Provinsi Maluku
Sumber: Badan Pusat Statistik Maluku, diolah
Gambar-4: Indeks Gini Rasio maluku
Sumber: Badan Pusat Statistik Maluku, diolah Memasuki triwulan I-2015 diperkirakan tingkat kemiskinan Maluku akan meningkat. Berdasarkan hasil Survei Konsumen yang dilakukan Bank Indonesia Maluku hingga Februari 2015, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) cenderung melemah. Di samping itu, optimisme konsumen terhadap peningkatan penghasilan, kesempatan kerja, dan kegiatan usaha pada triwulan I-2015 cenderung menurun, antara lain dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas strategis seperti BBM, TTL dan tarif angkutan. Berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU), ekspektasi terhadap kegiatan usaha menunjukan trend melemah hingga Triwulan I-2015, meskipun masih dalam kategori positif (SBT 4,36%).
Gambar-5: Hasil Survey Kegiatan Dunia Usaha (SKDU
Sumber: Badan Pusat Statistik Maluku, diolah
Gambar-6 Indeks Survey Konsumen Maluku Maret-September 2012 sampai dengan Maret-September 2014
Sumber: Badan Pusat Statistik Maluku, diolah
KEGAGALAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBANGUNAN 1. Pertumbuhan Ekonomi Rendah dan Tidak Kuat Perekonomian Provinsi Maluku pada triwulan IV-2014 seperti yang diukur dengan menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) dengan tahun dasar baru yaitu tahun 2010 mencapai Rp6,06 triliun, atau tumbuh sebesar 3,49% , lebih rendah daripada prakiraan (baseline) Bank Indonesia yang sebesar 3,97% dan berada di bawah rentang prakiraan Bank Indonesia yang sebesar 3,75-4,75% . Pertumbuhan ekonomi Provinsi Maluku pada triwulan laporan tercatat lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional pada periode yang sama sebesar 5,01% , namun lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan PDRB ADHK berdasarkan tahun dasar 2000 yang sebesar 3,05%. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi Maluku pada Triwulan IV-2014 terutama didukung oleh komponen konsumsi pemerintah, konsumsi rumah tangga, Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (investasi) dan Konsumsi Nirlaba (LNPRT) dengan andil/sumbangan masing-masing sebesar 14,42%, 6,00%, 1,10% dan 0,09%. Sementara itu komponen lainnya, yaitu Net Ekspor Antar Daerah dan Net Ekspor Luar Negeri memberikan andil negatif masing-masing sebesar 18,35% dan 0,11%. (lihat tabel-2) Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa FUNDAMENTAL EKONOMI Maluku sangat lemah karena tingkat pertumbuhan yang dicapai berasal dari sektor konsumsi, apalagi naiknya pengeluaran konsumsi masyarakat hanya pada atau menjelang hari-hari besar keagamaan atau karena adanya event-event di daerah. Demikian juga konsumsi pemerintah memberikan kontribusi sangta besar sebagai akibat dari belanja barang yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dengan kata lain bahwa tingkat pertumbuhan yang dicapai ini bersifat sangat fluktuatif sehingga sangat rentang terhadap berbagai perubahan situasi makroekonomi nasional maupun global. Selain itu lemahnya fundamental ekonomi Maluku yang bertumpu pada sektor konsumsi apabila pelemahan pengeluaran konsumsi rumah tangga sebagai akibat kenaikan harga-harga barang (inflasi) yang mengakibatkan rendahnya pendapatan riil masyarakat. Inflasi yang cendrung tinggi setiap triwulan, membuat masyarakat dapat menunda kegiatan konsumsi. Akibat penundaan tersebut berdampak pada turunnya pertumbuhan ekonomi dari siis permintaan ini. Untuk mengatasi masalah ini maka pemerintah daerah harus memperkuat fundamental ekonomi Maluku melalui pertumbuhan sektor riil atau sisi penawaran.
Tabel-2: Pertumbuhan Ekonomi Maluku, dari Sisi Permintaan Tahun 2012-Tw IV 2014(%)
Sumber: Badan Pusat Statistik Maluku, diolah
Dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi Maluku pada Triwulan IV-2014 berdasarkan tahun dasar 2010 ditopang oleh kinerja kategori Pertanian, Kehutanan dan Perikanan; Jasa Keuangan; dan Transportasi dan Pergudangan dengan andil/sumbangan berturut-turut sebesar 0,68% dengan tingkat pertumbuhan 2,770,58% dan 0,39%, berbeda saat menggunakan PDRB dengan tahun dasar 2000 dimana pertumbuhan ekonomi Maluku didorong oleh sektor utama Perdagangan, Hotel dan Perdagangan (PHR), sektor pertanian dan sektor jasa-jasa. Kategori pertanian, kehutanan dan perikanan Maluku pada triwulan IV 2014 mengalami laju pertumbuhan yang positif. Kategori pertanian, kehutanan dan perikanan mencapai pertumbuhan sebesar 2,77% pada triwulan laporan, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan total PDRB triwulan laporan yang tumbuh 3,49%. Kinerja kategori pertanian, kehutanan dan perikanan yang positif tersebut sejalan dengan meningkatnya kapasitas terpakai sektor pertanian di Maluku. Menurut hasil SKDU BI Maluku, kapasitas produksi terpakai pada sektor pertanian mencapai 68,54% dari kapasitas produksi normalnya yang sebesar 78,57%. Dengan demikian, rasio pemakaian kapasitas untuk kegiatan produksi pada sektor pertanian Maluku sebesar 0,87, meningkat dibandingkan rasio triwulan sebelumnya yang sebesar 0,81. Meningkatnya pemakaian kapasitas produksi sektor pertanian pada triwulan IV 2014 seiring dengan masuknya masa panen tanaman perkebunan, seperti: cengkih, pala dan kopra, serta meningkatnya Nilai Tukar Petani (NTP), baik dari pada indeks diterima maupun indeks dibayar. (lihat Tabel-3)
Tabel-3: Pertumbuhan Ekonomi Maluku, dari Sisi Penawaran Tahun 2012-Tw IV 2014(%)
Sumber: Badan Pusat Statistik Maluku, diolah
Gambar-7: Tahap-tahap Pertumbuhan Ekonomi Menurut W. W. Rostow
Sumber: Julius R. Latumaerissa, diolah 2012 Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa perekonomian Maluku masih di dominasi oleh sektor primer yaitu pertanian dalam arti yang luas, hal ini mengindikasikan bahwa proses pembangunan di Maluku gagal dalam menciptakan perubahan struktur ekonomi daerah yang seharusnya sudah beralih ke sektor Industri dan/atau sektor Jasa. Kalau kondisi seperti ini makan pertanyaan saya adalah kapan MALUKU TINGGAL LANDAS (take off). Salah satu kriteria suatu daerah tinggal landas adalah tercermin dalam perubahan struktur ekonomi yang dicapainya yaitu Pertanian, Industri dan Jasa (AIS) sedangkan Maluku sampai saat ini masih dalam pola pertanian, jasa dan industri (ASI). (lihat Gambar-7) Sebenarnya pada posisi saat ini Maluku sudah harus berada pada masa tinggal landas dengan posisi struktur ekonomi AIS, artinya sektor primer (pertanian, perikanan, perkebunan, dan kehutanan) masih mendominasi struktur ekonomi Maluku tetapi di dukung dengan kemampuan sektor industri khususnya industri pengolahan yang kuat sehingga memberikan kontrubsi yang besar dalam proporsi PDRB Maluku atau pertumbuhan ekonomi Maluku sekaligus memperkuat fundamental ekonomi Maluku. Untuk mencapai tujuan ini maka pemerintah daerah Maluku seyogyanya mendorong kegiatan investasi sektor riil dalam visi pembangunan di Maluku disertai dukungan iklim investasi yang sehat dan stabilitas keamanan terutama dukungan infrastruktur ekonomi yang kuat sebagai tanggung jawab publik (public responsibilities) dari pemerintah daerah (Gubernur dan DPRD, Bupati/Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota). Pada titik ini yang saya saya katakan pemerintah mempunyai andil dalam persoalan KETERTINGGALAN PEMBANGUNAN di Maluku. Logika ekonomi mengatakan bahwa jika pertumbuhan infrastruktur secara layak dan representative maka akan mendorong investasi yang dapat membuka kesempatan kerja bagi penduduk usia kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Naiknya pendapatan masyarakat akan mendorong konsumsi total sehingga apalagi di dukung dengan kapasitas produksi bahan makanan local sehingga menjamin ketersediaan pangan di pasaran sehingga mencegah terjadinya kenaikan harga secara umum dan dalam jangka waktu lama.
2. Inflasi Tinggi Inflasi Provinsi Maluku pada triwulan IV-2014 menunjukan kenaikan dibanding triwulan sebelumnya. Sebagaimana terlihat dalam tabel-4 di bawah, Inflasi tahunan Maluku pada triwulan laporan adalah sebesar 7,19%, lebih tinggi dibanding inflasi tahunan triwulan sebelumnya yang sebesar 2,79%, namun lebih rendah dari inflasi periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 8,82% . Secara umum inflasi tahunan Maluku mengalami kenaikan pada triwulan IV 2014, terlihat lebih tinggi dari pola historisnya, akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Dari sisi permintaan Inflasi Maluku pada triwulan IV-2014 didorong oleh inflasi pada komoditas beras, cabai merah, cabai rawit, bahan bangunan (volatile food) dan kelompok transportasi, sebagai dampak dari kebijakan pemerintah di bidang energi, faktor cuaca, pelemahan kurs, serta dinamika penawaran dan permintaan di hari-hari besar nasional dan keagamaan.
Tabel-4: Perkembangan Inflasi Provinsi Maluku 2012-2014
Sumber: Badan Pusat Statistik Maluku, diolah
Secara tahunan, laju inflasi di Kota Ambon dan Kota Tual menunjukan peningkatan pada triwulan IV2014, dengan rata-rata inflasi Kota Tual melebihi rata-rata inflasi tahunan Maluku. Inflasi tahunan Kota Tual yang sebesar 11,48% lebih tinggi dibanding inflasi Maluku pada triwulan laporan yang sebesar 7,19%. Sementara pencapaian inflasi Kota Ambon yang sebesar 6,81% masih berada di bawah inflasi Kota Tual maupun inflasi Maluku. Secara umum laju inflasi tahunan Kota Ambon dan Kota Tual berada dalam tren meningkat dibanding triwulan sebelumnya yang masing-masing hanya 2,27% dan 8,85% pada triwulan III-2014. Pada triwulan IV Inflasi triwulanan Kota Ambon cenderung meningkat tetapi lebih rendah dari inflasi Kota Tual. Inflasi terjadi pada seluruh kelompok komoditas kecuali kelompok sandang yang mengalami deflasi triwulanan sebesar -0,07%, Kelompok makanan jadi tercatat mengalami inflasi triwulanan sebesar 0,32%; kelompok perumahan 1,73%; kelompok makanan jadi 1,31%; kelompok kesehatan 2,67%; kelompok pendidikan 0,99%; dan kelompok transportasi 9,33%. Sementara Kota Tual inflasi pada triwulan IV 2014 menunjukan kecendrunga menaik pada semua komoditas kecuali sandang mengalami penurunan dari triwulan III sebesar 3.30% namun lebih tinggi dari Kota Ambon. Andil Kelompok makanan terhadap inflasi Kota Tual sebesar 11,34%; kelompok makanan jadi 2,45%; kelompok kesehatan 7,66%; kelompok pendidikan 1,00%; dan kelompok transportasi 9,29%. Secara umum inflasi Kota Tual dipicu oleh inflasi bahan makanan, terutama ikan segar dan sayur-sayuran. Komoditas ikan cakalang, ikan ekor kuning, dan ikan kakap putih, dan kelompok sayur-sayuran seperti daun singkong, bayam, dan sawi hijau. (lihat Tabel-5)
Tabel-5: Inflasi Kota Ambon dan Kota Tual Menurut Kelompok Makanan Tahun 2014
Sumber: Badan Pusat Statistik Maluku, diolah Paparan diatas menunjukan bahwa persoalan inflasi ini menjadi masalah ekonomi yang cuku berat bagi masyarakat Maluku dan hal ini dapat di atasi apabila pemerintah daerah memperhatikan secara serius pengembangan sektor pertanian sebagai sektor basis penyediaan pangan bagi masyarkat melalui pengembangan kapasitas produksi pertanian setiap tahun. Hal ini harus didukung dengan ketersediaan infrastruktur guna memperlancar proses distribusi hasil pertanian shingga pasokan kebutuhan pangan di Maluku akan semakin terjaga dengan baik. Disisi lain mahalnya ikan segara di kota Ambon disebabkan karena factor musim dan ini menuntut kebijakan pemerintah daerah untuk mempersiapkan coldstorage untuk menyimpan ikan pada musim panen ikan sehingga pada saat musim ombak ketersediaan ikan segar di pasar dapat diatasi dengan baik sehingga memperlambat atau menkan kecendrungan kenaikan harga. Pada titik ini terletak kegagalan pemerintah dalam menjaga stabilitas harga dan kesejahteraan masyarakat.
3. Pengangguran Tinggi Kegagalan pemerintah daerah Maluku dalam proses pembangunan adalah dalam mengatasi persoalan ketenaga kerjaan dan pengangguran di Maluku. Data ketenagakerjaan pada bulan Agustus 2014 menunjukkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka mengalami peningkatan dibandingkan periode sebelumnya. Jumlah penduduk usia produktif tercatat meningkat sebesar 1,33% dari periode semester sebelumnya, menjadi 1,103 juta jiwa. Pertumbuhan jumlah penduduk usia produktif tersebut tidak sejalan dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang mengalami penurunan dari 66,84% pada bulan Februari 2014 menjadi 60,92% pada bulan Agustus 2014. Hal tersebut disinyalir merupakan imbas dari pertumbuhan ekonomi Provinsi Maluku yang mengalami perlambatan akibat
penurunan kegiatan ekonomi pada sektor pertanian dan perikanan karena musim hujan dan musim angin timur. Kenaikan tingkat pengangguran yang terjadi cukup signifikan yaitu sebesar 3,92% jika dibandingkan dengan rasio TPT periode sebelumnya. Kondisi sebaran tenaga kerja di Provinsi Maluku mayoritas masih terpusat pada tiga sektor ekonomi andalan Maluku, antara lain Sektor Pertanian, perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor jasa-jasa dengan proporsi masing-masing yaitu sektor pertanian sebesar 48,09%, sektor jasa-jasa 20,43%, serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 13,36%. Peningkatan jumlah tenaga kerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama terjadi pada kelompok Perdagangan, Hotel, dan Restoran, kelompok jasa-jasa, serta kelompok sektor lainnya. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran mengalami peningkatan sebesar 0,27% menjadi 13,36%, sektor jasa-jasa mengalami peningkatan sebesar 1,16% menjadi 20,43% dan sektor lainnya secara agregat mengalami kenaikan pangsa sebesar 3,00% menjadi 14,75% Di sisi lain, tenaga kerja pada sektor pertanian dan industri pengolahan menurun masing-masing sebesar 2,46% dan 1,97%. Perlambatan pertumbuhan tenaga kerja yang terjadi pada sektor pertanian disinyalir akibat adanya perlambatan pada sub kategori perikanan yang bersifat seasonal karena pengaruh faktor cuaca dan musim angin timur yang menyebabkan gelombang tinggi yang menghambat aktivitas nelayan. Menilik perkembangan angkatan kerja menurut wilayah tempat tinggal, penurunan jumlah angkatan kerja yang cukup tinggi terjadi di wilayah pedesaan, dimana sebagian besar aktifitas perekonomiannya bergerak di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan. Pada periode Agustus 2014, angkatan kerja di wilayah desa menurun sebesar 10,86%, sementara tingkat pengangguran mengalami peningkatan sebesar 3,83% ke angka 9,32% dari total jumlah penduduk usia produktif di wilayah desa di Provinsi Maluku.
Tabel-6: Perkembangan Kondisi Penduduk Usia Kerja dan Angkatan Kerja di Provinsi Maluku Tahun 2011 -2014
Sumber: Badan Pusat Statistik Maluku, diolah
4. Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang Buruk Deselerasi laju perekonomian pada triwulan-IV 2014 berdampak pada perlambatan laju pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) bank umum di Maluku. DPK bank umum Maluku pada triwulan IV-2014 mencapai Rp10,4 triliun, atau tumbuh 12,19%, melambat dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh 19,99%. Perlambatan pertumbuhan terjadi pada semua komponen DPK Bank Umum. Komponen DPK bank umum Maluku pada akhir triwulan IV-2014 terdiri dari 18,30% giro, 53,01% tabungan, dan 28,69% deposito. Giro mengalami perlambatan pertumbuhan dari 16,23% pada triwulan III-2014 menjadi 10,81% pada triwulan IV-2014.
Gambar-8: Perkembangan Komponen DPK Maluku
Sumber: Baink Indonesia, Laporan Bank Umum (LBU) Sementara itu, pertumbuhan tabungan melambat dari 13,05% pada triwulan III-2014 menjadi 6,44% pada triwulan laporan. Komponen dana mahal perbankan, yaitu deposito, kendati mengalami pertumbuhan yang paling tinggi yaitu 25,76%, juga mengalami perlambatan dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 35,78% . Di tengah kenaikan suku bunga acuan, pertumbuhan DPK justru melambat, seiring dengan memburuknya kinerja ekonomi Maluku, terutama pada penurunan ekspor migas, tembaga, dan komoditas perikanan. Selain itu, dari sisi deposan individu, jumlah penghasilan yang ditabung terhadap total pendapatan terus mengalami penurunan. Pada triwulan IV-2014, porsi tabungan terhadap total pendapatan hanya sebesar 27,8%, turun dibanding triwulan sebelumnya yang mencapai 28,8%.
KESIMPULAN Pelambatan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di Maluku yang dikemukakan di atas menunjukan bahwa pemerintah daerah harus lebih mempertegas visi pembangunan. Maluku dilihat dari sumber daya alam sangat kaya tetapi kekayaan SDA tersebut masih bersifat potensial dan belum menjadi kekuatan ekonomi rill yang mampu mensejahterkan rakyat. Apa arti semua kekayaan itu kalau kemudian tidak memberikan manfaat besar kepada masyarakat Maluku. Pada titik ini pemerintah daerah diminta bertanggung jawab penuh untuk mengoptimalkan pemanfaatan SDA yang ada melalui penciptaan nilai tambah (value added) yang tinggi, meningkatkan kapasitas usaha daerah dan kapsitas produksi pertanian dan sektor-sektor lainnya sehingga roda pembangunan di Maluku mampu memebrikan efek ganda (multiplier effect) secara berkelanjutan. Pelambatan kegiatan pembangunan tersebut tentu akan bermuara kepada persoalan kemiskinan masyarakat secara menyeluruh sehingga dapat disimpulkan bahwa persoalan kemiskinan di Maluku yang memposisikan Maluku ada pada urutan KETIGA termiskin di Indonesia BUKAN karena Maluku kekuarangan SDA tetapi disebabkan oleh KEGAGALAN PEMERINTAH DAERAH MALUKU dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana terlihat dalam Gambar-1 di atas jelas menunjukan bahwa KEMISKINAN bukan disebabkan kekuarangan SDA semata. Pertumbuhan memang terjadi tetapi tidak memperbaiki kesejahteraan masyarakat secara signifikan. Hal ini disebabkan karena pilar pertumbuhan ekonomi Maluku ditopang oleh pengeluaran konsumsi dan bukan oleh sektor riil. Banyak daerah lain di Indonesia yang kekurangan SDA tetapi tidak dikelompokan sebagai wilayah miskin atau termiskin di Indonesia, hal ini karena kegiatan pembangunan yang dilakukan pemerintah daerahnya mampu merubah dan memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat secara signifikan. Bagi daerah-daerah yang kurang SDA-nya, secara aktif menjadikan yang TIDAK ADA menjadi ADA melalui proses restorasi, inovasi dan akselerasi pemangunan yang tertuang dalam perencanaan daerah yang sesuai dengan kebutuhan wilayah dan masyarakatnya masing-masing.
SEMOGA BERMANFAAT