Kajian usulan pembentukan lembaga pengelola perikanan tuna yang berkelanjutan dan bertanggungjawab
Ditulis oleh Dr. Purwito Martosubroto untuk WWF-Indonesia
Kajian usulan pembentukan lembaga pengelola perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab
Ditulis oleh Dr. Purwito Martosubroto untuk WWF-Indonesia, 2012
Ilustrasi sampul oleh: Bogam Disclaimer Diijinkan mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dan data yang tercantum didalam laporan ini dengan mencantumkan WWF-Indonesia sebagai sumber.
ii
SINGKATAN ASTUIN
:
Asosiasi Tuna Indonesia
ATLI
:
Asosiasi Tuna Long Line Indonesia
BPSDMKP
:
Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kelautan
dan Perikanan
CMM
:
Conservation and Management Measure
CPUE
:
Catch per unit of fishing effort
DJPT
:
Direktorat Jendral Perikanan Tangkap
DKP PROVINSI
:
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
DJ PSDKP
:
Direktorat Jendral Pengawasan Sumberdaya Kelautan
Dan Perikanan
EU
:
European Union
FAD
:
Fish Aggregating Device
IMACS
:
Indonesia Marine and Climate Support
MENPAN
:
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
MKP
:
Menteri Kelautan dan Perikanan
MSC
:
Marine Stewardship Council
PDN
:
Direktorat Pemasaran dalam Negeri
P4KSI
:
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi
Sumberdaya Ikan
PLN
Direktorat Pemasaran Luar Negeri
:
POKMASWAS
:
Kelompok Masyarakat Pengawas
RPP
:
Rencana Pengelolaan Perikanan
RFMO
:
Regional Fisheries Management Organization
SATKER
:
Satuan Kerja
SDI
:
Direktorat Sumberdaya Ikan
SFP
:
Sustainable Fisheries Partnership
iii
DAFTAR ISI
SINGKATAN
iii
1. Pendahuluan
5
2. Pengelolaan Perikanan Tuna
6
2.1 Rencana Pengelolaan Perikanan
7
2.2 Kewenangan pengelolaan
8
3. Lembaga Pengelolaan
14
3.1 Opsi kelembagaan pengelola perikanan tuna
14
3.1.1 Formalisasi Komisi Tuna Indonesia (KTI)
14
3.1.2 Usulan disusunnya Undang-Undang Pengelolaan Perikanan 16 3.1.3 Restrukturisasi Kementerian Kelautan dan Perikanan
17
3.1.4 Jalur di luar birokrasi
18
3.2 Struktur dan peran staf di lembaga pengelola perikanan
19
4. Dampak tidak hadirnya pengelolaan perikanan
24
5. Kesimpulan dan Rekomendasi
28
Daftar Pustaka
30
iv
1. Pendahuluan Tuna merupakan salah satu komoditi perikanan penting di Indonesia tidak hanya untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri tetapi juga untuk keperluan ekspor. Ikan yang termasuk kelompok tuna cukup banyak, namun hanya empat jenis memberikan kontribusi cukup besar bagi perikanan tuna di Indonesia yaitu cakalang (Katsuwonus pelamis), madidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (T. obesus) dan tuna sirip biru selatan (T.maccoyii). Ikan-ikan tersebut ditangkap dengan berbagai alat tangkap dan terdapat tujuh jenis perikanan tuna berdasarkan alat tangkap di Indonesia yaitu perikanan pancing ulur (hand line), pole and line, longline, pancing tonda, purse seine, purse seine mini, dan gillnet. Jenis ikan tuna hidup di perairan dengan kadar garam yang relatif tinggi sehingga umumnya menyenangi perairan yang jauh dari muara sungai. Perairan di Indonesia bagian Timur seperti Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Banda, Laut Flores dan Samudra Pasifik serta Samudra Hindia yang merupakan perairan Indonesia di bagian barat dan selatan menjadi tempat hunian mereka. Perikanan tuna berkembang pesat akhir-akhir ini, bahkan beberapa armada kapal ikan Indonesia telah melakukan operasi penangkapan di laut lepas dan sudah menjelajah Samudra Hindia bagian barat sampai ke perairan sekitar Maldives dan Mauritius. Selain itu, penangkapan tuna dengan purse seine yang dilengkapi dengan alat bantu penangkapan rumpon (FAD) berkembang pesat di wilayah perairan nusantara, khususnya di Indonesia timur dan di selatan Jawa. Rumpon yang dipasang di laut menarik ikan-ikan tuna untuk mencari makan di daerah tersebut karena biasanya ikan-ikan mangsa seperti ikan teri, selar serta jenis ikan pelagis kecil lainnya senang berkumpul di sekitar rumpon. Dengan tertangkapnya sebagian ikan-ikan tuna yang masih muda / juvenil (juvenile) di sekitar rumpon ini telah menjadi keprihatinan para peneliti dan pengelola perikanan tuna sehingga perlu adanya pemantauan terhadap perikanan purse seine yang menggunakan alat bantu rumpon. Seperti sudah diuraikan di depan ikan tuna mempunyai kemampuan berenang cepat dan jangkauan yang cukup jauh dalam mencari mangsa, tidak terbatas pada perairan
5
pantai tapi bahkan ke laut lepas dan menjangkau perairan antar negara, sehingga perikanan tuna ini menjadi perhatian negara-negara penghasil tuna di dunia di mana dalam kaitannya dengan upaya pengelolaan negara-negara tersebut bergabung ke dalam organisasi perikanan regional seperti Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC). Karena nilai ekonomi yang sangat tinggi bagi ikan sirip biru selatan mendorong enam negara bergabung dalam Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dalam rangka pengelolaan ikan tersebut, yaitu Australia, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan New Zealand.
Pendaratan ikan tuna di Bitung, Sulawesi utara. © WWF-Indonesia / Des SYAFRIZAL
2. Pengelolaan Perikanan Tuna
6
Sumberdaya ikan walaupun mampu berkembang biak bukan tidak terbatas, sehingga upaya pengelolaan perikanan menjadi penting untuk menjamin keberlanjutan perikanan itu sendiri. Dalam pengelolaan perikanan ini upaya pengendalian penangkapan menjadi persyaratan utama. Pengendalian penangkapan ini tidak hanya pengendalian terhadap jumlah kapal yang menangkap tetapi juga termasuk pengendalian terhadap penangkapan ikan-ikan muda yang akan lebih menguntungkan bila ikan-ikan tersebut ditangkap sesudah dewasa. Mengingat bahwa ikan-ikan tuna hidup di perairan yang cukup luas dan tidak mengenal jurisdiksi suatu negara, maka pengelolaan perikanan tuna menuntut upaya bersama antara pemerintah lokal, propinsi dan pemerintah pusat, bahkan sampai ke organisasi perikanan regional seperti yang diuraikan di depan. Upaya pengendalian penangkapan akan berhasil kalau dibarengi dengan upaya pemantauan. Pemantauan penangkapan termasuk pemantauan terhadap jumlah peserta penangkapan (jumlah, jenis dan ukuran kapal), jenis dan ukuran alat tangkap, serta jumlah dan jenis hasil tangkapan. Semua data dan informasi yang terkait ini akan menjadi bahan dasar bagi penyusunan suatu Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) yang sangat diperlukan dalam upaya menjamin keberlanjutan usaha perikanan.
2.1 Rencana Pengelolaan Perikanan Dalam upaya pengelolaan perikanan diperlukan suatu rencana pengelolaan. Rencana pengelolaan perikanan (RPP) ini disusun oleh Pemerintah sebagai stakeholder (pemangku kepentingan) utama bersama-sama dengan stakeholder lainnya, khususnya para pelaku penangkapan yang diwakili oleh asosiasi atau organisasi pelaku penangkapan. Di sinilah perlunya para pelaku penangkapan bergabung dalam suatu wadah seperti asosiasi untuk dapat menampung aspirasi mereka. Dalam konteks perikanan tuna, ASTUIN (Asosiasi Tuna Indonesia) dan ATLI (Asosiasi Tuna Longline Indonesia) merupakan dua asosiasi tuna yang sudah banyak dikenal di tanah air. Dalam hal penyusunan RPP untuk berbagai perikanan di Indonesia, Direktorat
7
Jendral Perikanan Tangkap melalui Direktorat Sumberdaya Ikan (SDI) hingga sekarang telah menyusun RPP untuk berbagai jenis sumberdaya ikan, misalnya RPP perikanan lemuru Selat Bali, dan RPP perikanan pelagis kecil Laut Jawa. Direktorat SDI bekerjasama dengan WCPFC pada tahun 2011 telah berusaha menyusun RPP perikanan tuna, sementara itu WWF bekerjasama dengan Direktorat Pemasaran Luar Negeri - DJ P2HP, melibatkan Direktorat terkait di Kementrian Kelautan dan Perikanan beserta P4KSI (Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan) dan perusahaan pengekspor tuna menindak lanjuti hasil evaluasi awal (pre-assessment) terkait dengan sertifikasi MSC (Marine Stewardship Council), juga mencoba menyusun RPP perikanan tuna. Upaya penyusunan RPP tuna ini masih memerlukan diskusi dan pendalaman lebih lanjut khususnya dalam rangka mencari jalan agar pengelolaan perikanan tuna ini dapat berdiri tegak dan RPP menjadi acuannya. Secara umum isi RPP menggambarkan kondisi perikanan terkini termasuk tingkat eksploitasi sumberdaya ikannya, stakeholders yang terlibat serta masalah-masalah yang dihadapi. Kemudian RPP berisi juga rencana aksi dalam rangka menanggulangi masalah termasuk upaya pemantauan dan pengawasan terhadap kegiatan penangkapan, semuanya itu dalam rangka menegakkan perikanan yang bertanggung jawab.
2.2 Kewenangan pengelolaan Unsur penting dalam pengelolaan perikanan adalah siapa yang memegang kewenangan dalam pengelolaan. Sebagaimana disebutkan di depan salah satu tugas utama dalam pengelolaan adalah pengendalian. Upaya pengendalian ini sangat terkait dengan kewenangan dalam perijinan penangkapan. Sebagai acuan dalam pengelolaan perikanan adalah UU Perikanan No. 31/2004 (yang telah diperbaharui dengan UU 45/2009) dan UU Pemerintahan Daerah No. 32/2004. Dalam UU 31/2004 Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan. Sedangkan dalam UU Pemerintahan Daerah, kewenangan pengelolaan
8
sumberdaya perikanan dikaitkan dengan yurisdiksi pemerintahan di kawasan perairan yaitu Pemerintah Daerah Tk I (Propinsi) mempunyai yurisdiksi 12 mil dari pantai, sedangkan Pemerintah Tingkat II (Bupati/Walikota) mempunyai kewenangan perairan sepertiga dari yurisdiksi Pemerintah Provinsi. Disamping kedua hal tersebut di atas terdapat pula pembagian kewenangan ijin penangkapan yang terkait dengan ukuran kapal yaitu bila mengacu kepada PP No. 54/2002 di mana Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan perijinan bagi kapal ikan yang berukuran > 30GT, Pemerintah Provinsi bagi kapal >10GT sampai 30GT dan Pemerintah Kabupaten/Kota bagi kapal > 5GT sampai dengan 10GT. Kewenangan ini terbatas kepada ijin penangkapan, di mana ijin penangkapan dimaksudkan untuk mengendalikan penangkapan. Kewenangan lain yang penting adalah kewenangan dalam rangka mengawasi kepatuhan para pelaku penangkapan terhadap peraturan yang dibuat dalam rangka pengendalian. Untuk Pemerintah Pusat, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mempunyai Direktorat Jendral PSDKP (Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan) yang mempunyai tugas pemantauan dan pengawasan, sedangkan Pemerintah Daerah pada umumnya tidak dilengkapi dengan unit pengawasan daerah. Kegiatan pengawasan di laut selain unsur KKP juga dibantu oleh TNI AL dan POLRI, sedangkan koordinasi pengawasan yang menyangkut semua sektor di laut dilaksanakan oleh BAKORKAMLA (Badan Koordinasi Keamanan Laut) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Kegiatan pengawasan ini mempunyai cakupan yang luas karena menyangkut juga pengawasan terhadap penyelundupan barang maupun penyelundupan manusia. Terkait dengan masalah kewenangan pengelolaan tentu termasuk juga kewenangan dalam penyusunan RPP. Seperti sudah disampaikan di atas bahwa RPP disusun oleh Pemerintah dengan stakeholders yang terkait. Beberapa RPP sudah berhasil disusun oleh Pemerintah (Direktorat Sumber Daya Ikan, DJPT) bersama dengan
9
Pemerintah Daerah (Dinas Perikanan Daerah) dan para stakeholders yang terkait seperti diungkapkan di depan. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa di lapangan RPP belum dapat berfungsi sebagaimana diharapkan artinya masih belum menjadi acuan pengelolaan. Salah satu sebab utama adalah adanya kekosongan kelembagaan yang bertanggung jawab terhadap implementasi RPP tersebut. Sebelum membahas siapa yang bertanggung jawab tentang pelaksanaan RPP, beberapa elemen dari RPP perlu dicermati dan dibahas lebih mendalam. Dalam kaitan ini beberapa pertanyaan yang sering timbul antara lain : 1. Siapakah yang bertanggung jawab terhadap pengumpulan data dan penyusunan database perikanan tuna? 2. Siapakah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan di lapangan? 3. Siapakah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan review status sumberdaya ikan dan perikanannya? 4. Bagaimana mekanisme review dan kapan dilaksanakan? 5. Bagaimana agar para stakeholders selalu berpartisipasi mendukung dan patuh terhadap aturan pengelolaan? Secara umum RPP tuna dimaksudkan untuk tercapainya pengelolaan perikanan yang menjamin keberlanjutan perikanan tuna, sehingga RPP tersebut diharapkan berisi : 1. Menetapkan target tangkapan; 2. Merancang tujuan dan menetapkan strategi dalam rangka menuju tujuan; 3. Mengidentifikasi hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian termasuk data tentang hasil tangkapan dan upaya tangkapan (CPUE); 4. Menetapkan sumber-sumber dana yang dibutuhkan bagi penetapan
10
rencana; 5. Menggambarkan karakteristik biologis, ekonomi dan sosial perikanan; 6. Mengidentifikasi dampak atau kemungkinan dampak yang ditimbulkan oleh perikanan terhadap ekosistem, termasuk dampak terhadap species non-target dan sumberdaya akuatic lainnya; 7. Mengidentifikasi faktor-faktor ekologis yang dapat memberikan dampak terhadap kinerja perikanan; 6. Melakukan penilaian potensi resiko terhadap ekosistem dan menetapkan strategi untuk mengatasi risiko tersebut; Disamping itu perlu dirancang metode untuk memantau kinerja dan efektivitas RPP, termasuk indikator keberhasilan, faktor pemicu untuk peninjauan ulang, penetapan tindakan dan pelaporan kemajuan. Jelas bahwa suatu pengelolaan perikanan akan mempunyai arti serta menjadi kuat (robust) kalau didukung dengan RPP di mana para stakeholders terlibat langsung dalam penyusunan sehingga ikut merasa memiliki. Namun sebaliknya RPP hanya akan menjadi dokumen mandul kalau tidak ada yang mempunyai ketertarikan serta komitmen untuk pelaksananaannya di lapangan. Masalah pengelolaan perikanan bukan hanya masalah domestik di suatu negara, tetapi telah menjadi masalah internasional. Ahli-ahli perikanan dunia selama beberapa tahun dalam awal kurun waktu 1990an berdiskusi dan berdialog dengan masyarakat perikanan di dunia dan pada akhirnya berhasil menyusun Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995) sebagai suatu panduan bagaimana membangun perikanan yang bertanggung jawab di mana para stakeholders mempunyai peran dalam menyusun RPP dan melaksanakan pengelolaan perikanan. Seiring dengan CCRF juga diterbitkan beberapa pedoman khusus berbagai aspek perikanan, mulai dari penelitian, pengoperasian dan pemantauan kapal, pengelolaan sampai kepada penanganan hasil tangkapan hingga pemasaran, hal mana penting sebagai panduan.
11
Sudah lebih dari 15 tahun sejak terbitnya CCRF, namun hingga kini masih banyak perikanan di dunia termasuk di negara kita yang belum dikelola dengan baik. Sejalan dengan itu akhir-akhir ini muncul perkembangan global tentang sertifikasi hasil tangkapan yang dikembangkan oleh ahli-ahli perikanan di negara-negara maju dan diterapkan terhadap ikan-ikan maupun produk perikanan yang diekspor ke beberapa negara maju. Upaya ini tidak lain dimaksudkan untuk mendorong diterapkannya pengelolaan yang baik terhadap perikanan di mana ikan-ikan tersebut berasal. Sebagai contoh Uni Eropa telah menetapkan sertifikasi hasil tangkapan yang bertujuan agar ikan-ikan yang masuk ke Uni Eropa bebas dari hasil kegiatan IUU fishing karena bukan rahasia umum bahwa IUU fishing merupakan salah satu penyebab gagalnya pengelolaan perikanan. Disamping itu tidak sedikit negaranegara maju yang menerapkan sertifikasi hasil tangkapan yang dikembangkan oleh badan swasta yang independen, sebagai contoh sertifikasi dari Marine Stewardship Council atau MSC yang mendorong ditegakkannya pengelolaan perikanan di negara pengekspor agar ikan-ikan yang diekspor dikelola dengan baik. Suatu kelebihan dari konsep sertifikasi MSC adalah bila suatu perikanan gagal memperoleh sertifikasi MSC, maka akan ditindak lanjuti dengan penyusunan program FIP (Fisheries Improvement Programme) yang merupakan tindak lanjut menuju proses perbaikan dalam rangka memperkuat pengelolaan perikanan agar pada saatnya nanti dengan proses perbaikan ini sertifikat dapat diperoleh.
12
Tuna juvenil seringkali juga ditangkap oleh nelayan kecil karena tidak ada pilihan daripada pulang dengan tangan kosong. Foto © WWF-Indonesia / Dwi ARIYOGAGAUTAMA
13
3. Lembaga Pengelolaan Dalam UU Perikanan No. 31/2004 telah digariskan bahwa pengelolaan perikanan merupakan tanggung jawab Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) sebagaimana tertera dalam Bab IV pasal 6 dan 7 yang kemudian ditegaskan lagi dalam pasal 7 ayat 1(a) bahwa MKP mempunyai tanggung jawab menyusun RPP dan dalam pasal 7 ayat 3 dan 4 MKP menentukan potensi perikanan. Namun hingga sekarang belum ada ketentuan yang jelas di KKP tentang lembaga pengelolaan perikanan. Yang ada di organisasi lingkup KKP adalah unit-unit kerja yang bertanggung jawab terhadap sebagian unsur pengelolaan seperti ijin penangkapan terdapat di Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, pemantauan dan pengawasan kepatuhan terhadap peraturan pengelolaan terdapat di Direktorat Jendral Pengawasan Sumberdaya Perikanan (PSDKP). Selanjutnya penyusunan RPP merupakan tanggung jawab Direktorat Sumberdaya Ikan, yang merupakan salah satu Direktorat pada Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. Dengan kata lain tanggung jawab unsur pengelolaan tersebar di berbagai eselon I di lingkup KKP, namun lembaga pengelola yang bertanggung jawab secara terus menerus terhadap pengelolaan perikanan hingga sekarang belum ada. Masih dalam kaitannya dengan pengelolaan perikanan, MKP juga mendelegasikan beberapa fungsi pengelolaan kepada unit non-struktural yang sengaja dibentuk seperti Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan (Komnas Kajiskan) yang mempunyai tugas membuat estimasi potensi perikanan secara nasional. Kemudian juga dibentuk Komisi Tuna Indonesia (KTI) yang mempunyai tugas memberikan rekomendasi kepada MKP dalam kaitannya dengan perkembangan perikanan tuna.
3.1 Opsi kelembagaan pengelola perikanan tuna Dalam rangka menyikapi terhadap perlunya lembaga pengelola perikanan untuk memastikan keberlanjutan sumberdayanya, dibawah ini disampaikan pemikiran tentang berbagai kemungkinan pilihan (opsi) bagi terbentuknya lembaga tersebut.
14
3.1.1 Formalisasi Komisi Tuna Indonesia (KTI) Salah satu opsi yang dibahas akhir-akhir ini dalam berbagai fora terkait dengan penyusunan RPP perikanan tuna sebagai tindak lanjut dari hasil pre assessment MSC pada tahun 2010 di Bogor yang diprakarsai oleh WWF adalah mengusulkan diformalkannya KTI menjadi unit struktural langsung dibawah MKP dan bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan tuna. Gagasan ini muncul mengingat organisasi KTI beranggotakan stakeholders yang tidak hanya berasal dari berbagai unsur Pemerintah tetapi juga dari asosiasi perikanan tuna. Dengan demikian KTI dapat menjadi embrio lembaga pengelola perikanan tuna. Namun hal ini belum pernah dibahas di lingkup KKP secara mendalam tentang kemungkinan atau untung ruginya KTI menjadi unit struktural di KKP. Usulan ini dapat menjadi bahan pemikiran jangka pendek untuk mengatasi kekosongan yang ada. Ini penting karena ekspor tuna yang sudah berjalan lama hingga saat ini perlu didukung pengelolaan perikanannya yang memadai. Dan apabila kegiatan pengelolaan perikanan tuna tetap dibiarkan seperti sekarang (status quo) akan merupakan tantangan berat bagi para eksportir tuna untuk dapat memperoleh sertifikasi MSC. Dengan opsi ini KKP melalui KTI perlu memobilisasi unit-unit kerja yang terkait dengan pengelolaan perikanan termasuk pula Dinas-Dinas Perikanan di daerah agar masalah sertifikasi ini menjadi agenda utama KKP dan Dinas Perikanan, sampai terciptanya pemahaman bersama tentang perlunya lembaga pengelola perikanan tuna ini. Disamping itu FIP (yang dijadwalkan memakan waktu 5 tahun) yang merupakan kegiatan tindak lanjut dari pre-assessment setelah perikanan tuna gagal memperoleh sertifikasi MSC tahun 2010 lalu, harus menjadi pekerjaan rumah DJPT yang utama dalam rangka memperbaiki pengelolaan perikanan tuna, agar ekspor tuna terbebas dari penolakan negara pengimpor akibat tidak memperoleh sertifikat MSC. Pertanyaan selanjutnya adalah di mana unit struktural baru ini akan diintegrasikan, dan unit struktural mana yang akan melebur dengan KTI menjadi lembaga pengelola
15
perikanan tuna. Pembahasan lebih mendalam masih diperlukan.
3.1.2
Usulan
disusunnya
Undang-Undang
Pengelolaan
Perikanan Opsi yang kedua ini bersifat jangka panjang mengingat dalam kenyataannya masalah sertifikasi tidak hanya berlaku untuk komoditi tuna tetapi juga yang lain sehingga pengelolaan perikanan lainnya juga harus mendapatkan perhatian. Dengan kata lain dalam opsi ini ditekankan bahwa “pengelolaan perikanan” menjadi agenda utama tugas KKP. Untuk menampung hal ini sudah saatnya perlu inisiatif dari KKP untuk mengusulkan kepada DPR tersusunnya UU Pengelolaan Perikanan. Inisiatif membuat draft UU ini harus dimulai dari sekarang, dan sebagai penginisiasinya tentu saja adalah Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. Dalam pembuatan draft UU pengelolaan perikanan ini harus bermuara pada pembuatan lembaga pengelolaan yang dilengkapi dengan kewenangan penuh dan dana serta sumberdaya manusia yang memadai. Perlu dipahami bahwa pengelolaan perikanan bukan hanya kewenangan Pemerintah Pusat, namun juga Pemerintah Daerah sebagaimana tercantum dalam UU Pemerintah Daerah No. 32/2004. Oleh karenanya UU Pengelolaan Perikanan harus mencakup juga keterlibatan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah. Dengan hadinya UU Pengelolaan Perikanan sudah dapat dipastikan bahwa struktur organisasi KKP juga akan berubah sehingga terlihat jelas lembaga pengelolaan perikanan. Dengan adanya lembaga pengelolaan perikanan, tugas-tugas penyusunan RPP suatu perikanan akan melekat pada lembaga ini, sehingga diharapkan pengelolaan perikanan Indonesia akan kuat dan dapat menjamin keberlanjutan perikanan di tanah air serta kesejahteraan masyarakat. Pertanyaan penting terkait dengan opsi ini adalah masalah waktu, mengingat pada saat ini KKP juga harus melakukan amandemen UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai konsekwensi putusan Mahkamah Konstitusi akhir-akhir ini, karena di dalamnya terdapat elemen-elemen yang bertentangan dengan UU 45. Pertanyaan selanjutnya adalah akan memakan waktu
16
berapa lama bagi DPR menyusun Undang-Undang mengingat kesibukan DPR saat ini juga terkait dengan kegiatan dalam rangka menyongsong Pemilu 2014?
3.1.3 Restrukturisasi Kementerian Kelautan dan Perikanan Sekiranya proses penyusunan UU dianggap terlalu lama, opsi lain adalah merestrukturisasi organisasi KKP sehingga mencerminkan bahwa pengelolaan perikanan secara keseluruhan merupakan tugas pokok KKP, dengan tujuan akhir perikanan yang bertanggung jawab seperti yang digariskan oleh CCRF. Opsi ini bisa lebih cepat dan relatif mudah dilaksanakan mengingat tidak perlu melalui proses di DPR tetapi cukup konsultasi dengan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPan) untuk sampai menjadi Keputusan Presiden. Yang penting perlu disusun telaah akademis sebagai dasar pembentukan organisasi baru KKP. Bila perlu pada tingkat awal dibuat kajian bersama oleh ahli perikanan dan ahli organisasi pemerintahan dari MenPan. Hanya saja perlu diingat bahwa pengelolaan perikanan bukan hanya tanggung jawab Pemerintah Pusat (KKP) saja tetapi juga Pemerintah Daerah sebagaimana tercantum dalam UU Pemerintahan Daerah No. 32/2004, sehingga perlu pemikiran yang mendalam bagaimana mengkaitkannya dengan tugas Pemerintah Daerah. Sekali lagi Direktorat Jendral Perikanan Tangkap sebagai penginisiasi harus proaktif berkonsultasi dengan unit-unit kerja eselon I lainnya dan juga stakeholders dalam mempersiapkan naskah akademik. Kalau kita cermati usulan terhadap perlunya lembaga yang menangani pengelolaan (management advisory council atau pun apa namanya) tentu saja menyentuh birokrasi yang ada di tanah air kita. Idealnya dalam lembaga pengelolaan ini berisi anggota bukan hanya wakil pemerintah tetapi juga wakil dari stakeholders. Anggota lembaga pengelolaan ini sebaiknya diisi oleh ahli-ahli perikanan, anggota asosiasi pelaku penangkapan, peneliti tuna dan seorang Ketua yang independen. Namun tidak boleh dilupakan bahwa hingga saat ini reformasi birokrasi yang digulirkan semenjak era reformasi berjalan sangat lambat. Reformasi birokrasi di KKP misalnya baru menyentuh kepada identifikasi parameter kinerja, dengan kata lain masih berputar
17
di sekitar upaya bagaimana meningkatkan kinerja unit-unit kerja dalam konteks srtuktur organisasi yang ada dalam rangka peningkatan efisiensi kerja KKP secara keseluruhan. Oleh karena itu dalam rangka mencari jalan keluar dalam upaya memperkuat pengelolaan perikanan tuna, opsi di luar jalur birokrasi dalam rangka penyusunan kelembagaan pengelolaan menjadi penting.
3.1.4 Jalur di luar birokrasi Mencermati kondisi yang sedang berkembang terkait dengan berkembangnya sertifikasi hasil tangkapan dan tantangan penerapannya di tanah air, perlu kita tindak lanjuti hal-hal berikut : 1. Kesepakatan (MOU) antara KKP dan WWF menjadi modal dasar bagi kegiatan lapangan antara lain kegiatan yang menyangkut penyuluhan (extension) khusus perikanan tuna melalui forum diskusi, seminar di berbagai media yang mengetengahkan tantangan yang sedang dihadapi oleh perikanan tuna Indonesia. Hal ini penting dalam rangka membangun pemahaman yang sama terhadap perlunya pengelolaan perikanan tuna dan pada saat yang sama memanfaatkan momentum gencarnya tuntutan sertifikasi; 2. Menindak lanjuti elemen kegiatan FIP yang telah diidentifikasi dalam Workshop Tuna di Widya Chandra tahun 2011 dan mendorong lembagalembaga yang terkait terus mencermati dan melaksanakan kegiatan yang terkait dengan FIP; 3. Dengan sistem yang sudah ada saat ini dan mengacu pada ketertarikan pemerintah untuk melakukan pengelolaan perikanan dengan pendekatan WPP, maka diperlukan satuan kerja untuk memastikan kegiatan perencanaan pengelolaan, implementasi, pemantauan dan evaluasi terkoordinasi dengan baik antara Direktorat SDI, FKPPS (Forum
18
Komunikasi Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan) dan lembaga pengelola di tingkat WPP terkait serta industri perikanan dan LSM. 4. Selama ini secara rutin WWF dan Direktorat SDI meng-update elemen kegiatan FIP dengan mengadakan pertemuan rutin tentang pelaksanaan FIP bersama stakeholders yang terkait, suatu kegiatan yang perlu dipertahankan. Bukan tidak mungkin bahwa opsi jalur birokrasi dan non-birokrasi bisa berjalan bersama-sama sehingga mempercepat proses bagi terselenggaranya pengelolaan perikanan tuna yang bertanggung jawab sehingga pada akhirnya berdampak positif bagi terjaminnya kesejahteraan nelayan.
3.2 Struktur dan peran staf di lembaga pengelola perikanan Mengacu kepada diskusi yang berkembang dalam menindak lanjuti FIP antara WWF, KKP dan stakeholders lainnya, berikut ini disampaikan usulan tentang struktur dan tugas dari lembaga pengelola perikanan tuna. Lembaga pengelola perikanan, sebagai organisasi independen memberikan laporan kepada FKPPS. Secara resmi lembaga tersebut melaksanakan tanggung jawab atas perencanaan pengelolaan perikanan beserta implementasinya oleh KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten maupun para stakeholders lainnya. Lembaga ini beranggotakan stakeholder utama/para pihak terkait (sebagaimana tercermin dalam Gambar 1). Menteri (diharapkan) yang akan memutuskan dan mengangkat anggota-anggota lembaga tersebut. Berikut ini adalah usulan tentang komposisi anggota lembaga tersebut: •
Seorang ketua yang independen, mempunyai visi pengelolaan serta pengalaman luas dalam memimpin suatu diskusi;
•
Seorang pengelola perikanan yang memiliki dedikasi tinggi (dari KKP);
•
Perwakilan dari Dinas Perikanan Provinsi (terdiri dari 4 orang yang berasal dari pusat produksi utama tuna seperti Manado, Kendari, Bali,
19
dst.) •
Pemimpin industri perikanan yang berasal dari masing-masing subsektor (perikanan industri maupun perikanan skala kecil);
•
Perwakilan dari perusahaan pembeli dan pengepul utama;
•
Dua orang peneliti/ilmuwan di bidang perikanan (seorang bertanggung jawab untuk wilayah perairan Samudera Hindia dan seorang lagi Samudera Pasifik);
•
Seorang ahli ekonomi perikanan;
•
Seorang spesialis alat tangkap (KAPI)
•
Seorang petugas terkait dengan kepatuhan (Ditjen PSDKP);
•
Wakil dari LSM yang bergerak di bidang lingkungan, seperti WWF;
•
Lain-lain, yang dianggap tepat (misalnya berbagai unit di lingkup Ditjen Perikanan Tangkap termasuk Dit Sumber Daya IKan serta BPSDMKP, Dit PLN, Dit PDN).
Ketua komisi haruslah seorang yang benar-benar independen, tidak memiliki hubungan tertentu dengan para pihak terkait. Ketua harus mampu mempromosikan penerapan rencana pengelolaan secara efektif. Akan lebih baik jika ketua dan anggota lainnya yang dipilih dari industri memiliki karisma yang kuat untuk memastikan dukungan industri dalam skala yang lebih luas, namun tetap independen dan dapat bekerja berdasarkan persyaratan operasional. Fungsi lembaga pengelola perikanan tuna adalah sebagai berikut: 1. menyusun RPP Tuna dan mengawasi pelaksanaannya, termasuk menetapkan indikator-indikator pengelolaan (kelimpahan stok, jumlah hasil tangkapan per unit usaha/CPUE, indikator-indikator ekonomi) dan merevisi Rencana Pengelolaan ketika dianggap perlu;
20
2. mengusulkan
langkah-langkah
pengelolaan
agar
RPP
dapat
terimplementasi secara efektif, dan memperhatikan pula ketentuan pengelolaan yang diterapkan RMFO; 3. melakukan peninjauan ulang terhadap rencana pengelolaan berdasarkan hasil penilaian stok serta dampak ekosistem yang terjadi; 4. secara rutin mengumpulkan informasi, termasuk pengetahuan lokal serta menjelaskan bagaimana informasi tersebut
diintegrasikan ke dalam
proses pengambilan keputusan; 5. mendukung penelitian, program pendidikan dan pelatihan yang berhubungan dengan perikanan dan pengelolaan perikanan; 6. mengusulkan dana untuk mendukung penelitian dan pengembangan serta kebutuhan operasional; 7. mempersiapkan serta mempromosikan kode praktis tentang hal-hal yang berkenaan dengan otoritas perikanan dan pihak terkait lainnya. MKP
LSM : WWF, ASTUIN,ATLI, SFP, IMACS, Purse seiners, etc
Komisi Tuna Indonesia/Lembaga Pengelola
Para ahli yang ditunjuk MKP dan unsur Pemerintah (DJPT, DPSDKP, P4KSI, BPSDMKP, PLN, PDN, DKP Provinsi (4 daerah penghasil tuna utama)
Direktorat Jendral Perikanan Tangkap
Desain RPP
Rencana Nasional Koordinasi dan Pelaporan
Pengelola PerIkanan Tuna/Satker
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
UU 31/ 2004, Peraturan RFMO (CMMs) dan Perda
Dinas Kelautan dan Perikanan Kab/Kota
Implementasi RPP Nasional
Kelompok Penangkap Ikan PSDKP/Kelompok Kerja Masalah Kepatuhan
10-30 GT: Purse Seine, Pole &line, Troll & line, Long line
> 30 GT: Purse seine, Long line, Pole & line
POKMASWAS
Kepatuhan
Hand-line, Ring net and Gill net (< 10 GT)
Perikanan terkelola dengan efektif
Gambar 1. Usulan Posisi Lembaga Pengelola Perikanan Tuna
21
Frekuensi pertemuan seyogyanya dilakukan setiap triwulan, kecuali bila ada masalah khusus yang harus dibahas segera, maka pertemuan adhoc diperlukan. Dalam rangka mendukung FKPPS (Forum Komunikasi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan) nasional, FKKPS Provinsi atau FKPPS regional bertugas untuk memastikan bahwa perikanan-perikanan yang berlokasi di daerah dikelola pada tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Strategi pemanfaatan dan perangkat pengelolaan akan dirumuskan di tingkat nasional, dan tindakan-tindakan serta batasan-batasan yang ditetapkan untuk daerah juga dibahas dalam RPP Tuna, sedangkan fungsi utama dari lembaga tersebut adalah memastikan penerapan RPP Tuna tersebut. Dalam rangka menindak lanjuti opsi usulan kelembagaan pengelolaan, evaluasi awal dapat pula dilakukan untuk mengetahui opsi mana yang lebih prospektif untuk dapat segera dilaksanakan sebagaimana terlihat dalam Tabel 1 berikut ini. OPSI USULAN A. Formalisasi
PROSPEK PELAKSANAAN
Komisi
Tuna Indonesia (KTI)
a. Kelebihan : sudah ada unsur organisasinya. b. Tantangan : menambah 1 eselon II di DJPT, berarti mengganti 1 eselon II yang ada yang kurang bermanfaat. c. Segi waktu : bisa cepat karena hanya usulan penggantian salah satu eselon II.
B. Penyusunan
UU
a. Kelebihan : (i) mencakup pengelolaan perikanan
P e n g e l o l a a n
secara keseluruhan tidak hanya perikanan tuna;
Perikanan
(ii) ruang lingkup UU tersebut. mencakup juga kewenangan Pemerintah Daerah. b. Tantangan : (i) memakan waktu lama karena melibatkan proses di DPR. c. Segi waktu : kemungkinan baru bisa dilaksanakan setelah Pemilu 2014.
22
C. Restrukturisasi KKP
a. Kelebihan : (i) Prosesnya bisa lebih cepat karena hanya melibatkan KKP dan Kementerian Aparatur Negara; (ii) Saat ini merupakan waktu yang paling tepat agar hasilnya dapat sekaligus turun pada saat terbentuknya Kabinet Baru 2014. b. Tantangan : Naskah akademisnya harus lebih lengkap daripada opsi A (Formalisasi Komisi Tuna Indonesia), karena diperluas untuk pengelolaan perikanan secara keseluruhan. c. Segi waktu : Diharapkan selesai 2 tahun, agar keputusannya bisa turun sekaligus dalam Kabinet Baru.
D. Jalur non-birokrasi
a. Kelebihan : memanfaatkan dan memperkuat peran LSM (WWF) yang sudah ada dalam mendorong terbentuknya lembaga pengelolaan perikanan. b. Tantangan : Sangat tergantung kepada respon pihak pemerintah/birokrasi baik di pusat maupun di daerah. c. Segi waktu : memakan waktu lama karena belum semua
unsur
pemerintah/birokrasi
menyadari
pentingnya pengelolaan perikanan. Tabel 1. Prospek tindak lanjut dari opsi usulan lembaga pengelolaan perikanan Dalam melaksanakan tindak lanjut opsi usulan tersebut diatas tentu saja tergantung kepada sumberdaya manusia dan dana. Pada saat ini sudah banyak ahli-ahli perikanan baik di Lembaga Penelitian maupun di Perguruan Tinggi atau bahkan di luar pemerintah yang dapat dimanfaatkan untuk ikut terlibat dalam melaksanakan tindak lanjut. Dalam kaitannya dengan dana, tentu saja dana yang diperlukan tidak hanya yang dibutuhkan dalam rangka menyusun naskah akademis, workshop, sosialisasi, dll. tetapi juga dana yang mungkin diperlukan dalam negosiasi dengan DPR, walaupun
23
besar kemungkinan di era reformasi sekarang ini prosesnya sudah lebih transparan dibanding era sebelumnya, sehingga dananya tidak terlalu membengkak.
Pengelolaan tuna yang berkelanjutan akan memberikan dampak positif dari industri tersebut di hulu sampai ke hilir, salah satunya membuka lapangan pekerjaan. Foto © WWFIndonesia / Des SYAFRIZAL
24
4. Dampak tidak hadirnya pengelolaan perikanan Pengelolaan perikanan cukup komplek karena menyangkut berbagai pemangku kepentingan sedangkan sumberdaya ikan sendiri selama masih di dalam air merupakan “milik semua orang (common property)” sehingga mendorong setiap orang yang berminat untuk ikut berpartisipasi dalam penangkapan. Di pihak lain sumberdaya ikan bukan tidak terbatas, sehingga perlu adanya pengendalian penangkapan. Kalau tidak dikendalikan maka tekanan penangkapan terhadap sumberdaya ikan akan semakin meningkat dan “overfishing” tidak dapat dihindari. Biomassa sumberdaya ikannya makin menipis dan makin sulit bagi sumberdaya ikan untuk tumbuh kembali mencapai boiomassa sebelum terjadi tekanan penangkapan yang tinggi. Akibatnya hasil tangkapan para pelaku penangkap ikan juga akan semakin berkurang dan dapat mengakibatkan usaha perikanan tidak menguntungkan lagi secara ekonomi.
Rekomendasi penting yang perlu diadopsi oleh industri perikanan ini adalah penggunaan ala tangkap yang tidak menimbulkan atau meminimalisasi tangkapan sampingan seperti penggunaan pancing lingkar dalam armada rawai panjang. Foto © Simon Buxton / WWF-Canon
25
Pengelolaan perikanan menuntut upaya yang serius baik dari pihak Pemerintah (Pusat dan Daerah) maupun para stakeholders lainnya, karena kondisi overfishing akan merugikan pelaku penangkapan maupun Pemerintah sendiri. Menurunnya hasil tangkapan dari para pelaku penangkapan selain merugikan mereka juga sekaligus merugikan Pemerintah karena menurunkan kontribusi pajak dari pelaku penangkapan. Kegiatan IUU fishing juga merupakan unsur yang menodai pengelolaan perikanan, karena selain ikut menguras sumberdaya ikannya, kehadiran IUU fishing menyebabkan tidak masuknya data hasil tangkapan, hal mana merupakan bagian integral dari data yang diperlukan dalam pengelolaan perikanan. Suatu studi perikanan di Arafura mengindikasikan bahwa kerugian ekonomi yang disebabkan oleh kegiatan IUU fishing di perairan Arafura yang meliputi satu kawasan WPP 718 saja, dapat mencapai mencapai Rp 11 – 17 triliun per tahunnya (Wagey dkk, 2009). Dapat dibayangkan, berapa kerugian finansial yang dihasilkan dari total 11 WPP yang dimiliki oleh Indonesia. Ketidak hadiran upaya pengelolaan akan mengakibatkan peningkatan jumlah kapal yang tidak terkendali sehingga terjadi kelebihan kapasitas penangkapan (excessive fishing capacity). Banyak pejabat pemerintah di berbagai negara di dunia yang masih berjuang untuk menegakkan pengelolaan perikanan di negaranya. Masalah yang dihadapi bukan hanya masalah IUU fishing baik yang dilakukan oleh armada kapal nasional maupun oleh armada kapal asing, namun juga karena tidak adanya upaya pengendalian penangkapan yang serius dan terintegrasi mengingat sektor perikanan tidak berdiri sendiri tetapi juga terkait dengan sektor lain. Belum hadirnya pengelolaan perikanan yang baik di beberapa negara di dunia, menyebabkan kerugian ekonomi cukup tinggi. Suatu studi yang disponsori oleh World Bank dan FAO pada tahun 2009 menunjukkan bahwa kerugian ekonomi dari sektor perikanan akibat belum tegaknya pengelolaan perikanan mencapai USD 50 milyar setiap tahunnya (World Bank, 2009).
26
Kondisi perikanan global yang demikian inilah yang ikut mendorong munculnya sertifikasi hasil tangkapan yang dikaitkan dengan kinerja pengelolaan perikanan. Sertifikasi yang dikembangkan oleh Komunitas Eropa (EU) bertujuan agar produk perikanan yang diekspor ke Uni Eropa harus bebas dari kegiatan IUU fishing. Sedangkan sertifikasi yang dikembangkan oleh MSC bertujuan agar produk ikan yang berasal dari daerah yang tidak dikelola dengan baik dari negara manapun tidak dapat masuk ke negara yang menerapkan sertifikasi MSC. Mengacu kepada perkembangan kondisi global di atas, Indonesia, sebagai negara pengekspor ikan mau tidak mau harus berjuang menegakkan pengelolaan perikanan agar keberlanjutan pena ngkapan terjamin, sehingga kegiatan eksporpun tetap berjalan sebagaimana biasa. Memang pada saat ini masih ada beberapa negara pengimport ikan yang belum menerapkan sertifikasi seperti di kawasan Asia dan Timur Tengah sehingga peluang untuk ekspor masih belum tertutup secara total. Namun dalam jangka panjang konsep sustainability akan terus bergema dan menjadi acuan dalam pembangunan ekonomi global di mana Indonesia merupakan bagian darinya.
Tangkapan sampingan (bycatch) adalah salah satu masalah yang harus ditangani dalam industri perikanan tuna. Dampak ekonomi dari kelalaian penanganan masalah ini, serta dampak ekologis di masa depan adalah kerugian besar yang harus dibayar. Foto © WWF-Indonesia / Observer Program / Teguh PRAWIRA / Ahmad Hafizh
27
5. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Kerugian negara di dunia akibat lemahnya atau tidak efisiennya pengelolaan perikanan telah diestimasikan oleh World Bank dan FAO mencapai USD $ 50 milyard setiap tahunnya. Di Indonesia, kerugian akibat lemahnya pengelolaan perikanan sehingga marak terjadinya kegiatan IUU fishing di perairan Arafura mencapai sekitar Rp 11 – 17 milyard per tahunnya (Wagey dkk, 2009). 2. Pengelolaan perikanan tuna sebagaimana pengelolaan perikanan lainnya di Indonesia masih belum berdiri tegak sehingga rentan terhadap hadirnya overfishing dan IUU fishing. Bahkan sebagai komoditas ekspor penting dari indonesia, perikanan tuna
menghadapi tekanan dari luar yaitu
dengan diterapkannya sertifikasi hasil tangkapan yang dikaitkan dengan status pengelolaan seperti oleh Uni Eropa. Tanpa upaya yang serius dalam memperkuat pengelolaan, semakin besar ancaman penerapan sertifikasi hasil tangkapan. 3. Mengacu kepada kondisi perikanan tuna pada saat ini di Indonesia, beberapa opsi usulan ditawarkan sebagai rekomendasi dalam rangka memperkuat pengelolaan tuna sebagai berikut : •
Opsi usulan agar Komisi Tuna Indonesia (KTI) menjadi lembaga pengelolaan perikanan tuna dan berada dalam struktur di Direktorat Jendral Perikanan Tangkap.
•
Opsi usulan disusunnya UU Pengelolaan Perikanan agar pengelolaan perikanan di KKP merupakan mandat utama dan lembaga pengelolaan yang terbentuk melibatkan pula Pemerintah Daerah tidak hanya menangani pengelolaan perikanan tuna saja tetapi juga perikanan lainnya.
•
28
Opsi usulan untuk merombak struktur organisasi di KKP dimana
dibentuk lembaga pengelola setingkat eselon II di KKP yang khusus menangani mandat pengelolaan perikanan. •
Opsi usulan memanfaatkan jalur non-birokrasi antara lain dengan lebih meningkatkan kelanjutan kerjasama antara KKP dengan WWF agar lebih efisien dan sekaligus menjangkau keterlibatan langsung para pelaku penangkapan dalam pengelolaan perikanan.
4. Kelebihan dan kekurangan dari masing-masing opsi rekomendasi disampaikan secara rinci dalam tulisan ini. Tulisan ini merupakan kontribusi pemikiran bagi terselenggaranya pengelolaan perikanan tuna di tanah air yang saat ini sedang mengalami tantangan dengan diterapkannya sertifikasi hasil tangkapan yang dikembangkan oleh Uni Eropa maupun oleh pihak ketiga seperti yang dikembangkan oleh MSC.
29
Daftar Pustaka FAO (1995) : Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome, FAO,41p. FAO (1997) : Fisheries Management. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries No. 4, Rome, FAO 82p. UU R.I. No. 31/2004 tentang Perikanan. UU R.I. No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU R.I No. 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Wagey, G. A., S. Nurhakim, V.P.H. Nikijuluw, Badrudin and T.J. Pitcher (2009) : A study of Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing in the Arafura Sea, Indonesia. Research Center for Capture Fisheries. Agency for Marine and Fisheries Research, Ministry of Marine Affairs and Fisheries, 54p. World Bank (2009) : The Sunken Billions. The Economic Justification for Fisheries Reform. The World Bank, 129 p.
30