Sejalan dengan semakin berkembang jenis dan modus kejahatan sebagaimana disebut di atas, ƟŶĚĂŬĂŶŵĞŶŐŚƵŬƵŵƉĞůĂŬƵƟŶĚĂŬƉŝĚĂŶĂƐĞĐĂƌĂ ďĂŐĂŝŶĚĞƉĞŶĚĞŶ͕ƚŚŝŶŬͲƚŚĂŶŬĚŝďĂǁĂŚhŶŝǀĞƌƐŝƚĂƐ WĂƌĂŵĂĚŝŶĂ;ǁǁǁ͘ƉĂƌĂŵĂĚŝŶĂ͘ĂĐ͘ŝĚͿ WWW/ďĞƌŬĞLJĂŬŝŶĂŶďĂŚǁĂŬĞďŝũĂŬĂŶƉƵďůŝŬLJĂŶŐďĂŝŬ ĚĂŶŝŵƉůĞŵĞŶƚĂƐŝLJĂŶŐĞĨĞŬƟĨĂŬĂŶŵĂŵƉƵŵĞŵ-‐ ďƵĂƚ/ŶĚŽŶĞƐŝĂŵĞŶŐŐĂůŝƉŽƚĞŶƐŝŶLJĂLJĂŶŐůƵĂƌďŝĂƐĂ͘ WWW/ŵĞŵŝůŝŬŝĨŽŬƵƐƵŶƚƵŬŵĞŶLJƵŵďĂŶŐŬĂŶƐĞŐĂůĂ ďĞŶƚƵŬƵƉĂLJĂĚĂůĂŵŵĞƌƵŵƵƐŬĂŶŬĞďŝũĂŬĂŶƉƵďůŝŬ LJĂŶŐďĂŝŬŬĞƉĂĚĂďĞƌďĂŐĂŝƉĞŵĂŶŐŬƵŬĞƉĞŶƟŶŐĂŶ͘ hŶƚƵŬŝƚƵ͕WWW/ŵĞŶũĂůĂŶŬĂŶďĞƌďĂŐĂŝŬĞŐŝĂƚĂŶ ƵŶƚƵŬŵĞŶĐĂƉĂŝƚƵũƵĂŶƚĞƌƐĞďƵƚ͕ĂŶƚĂƌĂůĂŝŶ͗
ͻ
DĞŶĚŽƌŽŶŐƉĞŵĞƌŝŶƚĂŚĂŶLJĂŶŐĞĨĞŬƟĨĚĂŶ
ŬŽǀĞŶƐŝŽŶĂůͲLJĂŝƚƵĚĞŶŐĂŶĐĂƌĂŵĞŶĞƌĂƉŬĂŶ
LEMBAGA PENGELOLA ASET TINDAK PIDANA
WĂƌĂŵĂĚŝŶĂWƵďůŝĐWŽůŝĐLJ/ŶƐƟƚƵƚĞ;WWW/ͿĂĚĂůĂŚůĞŵ-‐
ƉŝĚĂŶĂƉĞŶũĂƌĂďĂŐŝƉĞůĂŬƵ͕ƟĚĂŬƐĞůĂůƵďĞƌŚĂƐŝů ŵĞŶŐƵƌĂŶŐŝƟŶŐŬĂƚŬĞũĂŚĂƚĂŶŝƚƵ͘^ĞůĂŝŶŵĞŵďĞƌŝ ĞĨĞŬũĞƌĂďĂŐŝƉĂƌĂƉĞůĂŬƵ͕ďĞŶƚƵŬŚƵŬƵŵĂŶŚĂƌƵƐ ĚĂƉĂƚŵĞůƵĐƵƟƉĞůĂŬƵĚĂƌŝƉŽƚĞŶƐŝĞŬŽŶŽŵŝLJĂŶŐ ĚĂƉĂƚŵĞŶŐŐĞƌĂŬŬĂŶĂƚĂƵŵĞŶŐŚŝĚƵƉŬĂŶŬĞŵďĂůŝ ƟŶĚĂŬŬĞũĂŚĂƚĂŶ͘ ^ĂůĂŚƐĂƚƵƵƉĂLJĂƵŶƚƵŬŵĞůƵĐƵƟƉĞůĂŬƵƟŶĚĂŬ ƉŝĚĂŶĂĂĚĂůĂŚĚĞŶŐĂŶŵĞƌĂŵƉĂƐĂƐĞƚĂƚĂƵƉƌŽƉĞƌƟ ŵŝůŝŬƉĞůĂŬƵ͕ďĂŝŬĂƐĞƚƐĞďĂŐĂŝĂůĂƚLJĂŶŐĚŝŐƵŶĂŬĂŶ ƵŶƚƵŬŵĞůĂŬƵŬĂŶƟŶĚĂŬƉŝĚĂŶĂŵĂƵƉƵŶĂƐĞƚLJĂŶŐ ĚŝŚĂƐŝůŬĂŶĚĂƌŝƐƵĂƚƵƟŶĚĂŬƉŝĚĂŶĂ͘ŝƐŝƐŝLJĂŶŐůĂŝŶ͕ ĚĂƌŝƐŝƐŝŬĞƵĂŶŐĂŶŶĞŐĂƌĂƟŶĚĂŬĂŶƉĞƌĂŵƉĂƐĂŶ ĂƐĞƚƉĞůĂŬƵũƵŐĂĚŝŵĂŬƐƵĚŬĂŶƐĞďĂŐĂŝƵƉĂLJĂ
ƚƌĂŶƐƉĂƌĂŶ ͻ
LEMBAGA PENGELOLA ASET TINDAK PIDANA
DĞŵĂŶƚĂƵĚĂŶŵĞŶŐĂŶĂůŝƐĂŬƵĂůŝƚĂƐƉĞůĂLJ-‐ ĂŶĂŶƉƵďůŝŬ
ͻ
Merumuskan dan memberikan solusi atas ƉĞŶLJƵƐƵŶĂŶŬĞďŝũĂŬĂŶƉƵďůŝŬĚĞŶŐĂŶĚĂƐĂƌ kajian akademis
ͻ
ƉƵďůŝŬƉĂĚĂďĞƌďĂŐĂŝŝƐƵ͘ ͻ
DĞŶĚƵŬƵŶŐďĞƌďĂŐĂŝŐĞƌĂŬĂŶĂŶƟŬŽƌƵƉƐŝĚŝ /ŶĚŽŶĞƐŝĂ
WĂƌĂŵĂĚŝŶĂWƵďůŝĐWŽůŝĐLJ/ŶƐƟƚƵƚĞ;WWW/ͿŵĞŶŝůĂŝ ďĂŚǁĂĚĂůĂŵƉĞůĂŬƐĂŶĂĂŶasset recovery, suatu ƐŝƐƚĞŵƵŶƚƵŬŝĚĞŶƟĮŬĂƐŝ͕ŬůĂƐŝĮŬĂƐŝ͕ƉĞŶLJŝŵƉĂŶĂŶ͕ ƉĞŶŐĞůŽůĂĂŶ͕ĚĂŶƉĞůĞƉĂƐĂŶŵƵƚůĂŬĚŝƉĞƌůƵŬĂŶ͘ dĂŶƉĂƐŝƐƚĞŵƚĞƌƐĞďƵƚ͕ŚĂƐŝůĚĂƌŝƉƌŽƐĞƐƉĞŶLJŝƚĂĂŶ
dƵƌƵƚŵĞŵƉĞƌŬƵĂƚƉƌŽƐĞƐƉĞƌĞŶĐĂŶĂĂŶĚĞŶ-‐ gan memberikan rumusan-‐rumusan kebijakan
ƉĞŶŐĞŵďĂůŝĂŶŬĞƌƵŐŝĂŶŶĞŐĂƌĂ;asset recoveryͿ͘
ĚĂŶƉĞƌĂŵƉĂƐĂŶĂƐĞƚƟŶĚĂŬƉŝĚĂŶĂƟĚĂŬĂŬĂŶ
Penulis
ŝŵĂWƌŝLJĂ^ĂŶƚŽƐĂ dĞĚLJ:ŝǁĂŶƚĂƌĂ^ŝƚĞƉƵ Anita Maharani Nur Sodiq Junaidi
ŵĂŬƐŝŵĂů͘ĂŚŬĂŶ͕ŚĂƐŝůĚĂƌŝƉĞŶLJŝƚĂĂŶĚĂŶ ƉĞƌĂŵƉĂƐĂŶƚĞƌƐĞďƵƚƌĂǁĂŶĚŝƐĞůĞǁĞŶŐŬĂŶŽŬŶƵŵ ƉŝŚĂŬƉĞŶŐĞůŽůĂĚĂŶũƵƐƚƌƵŵĞŶũĂĚŝƵŶƐƵƌƟŶĚĂŬ ŬĞũĂŚĂƚĂŶďĂƌƵ͘
LEMBAGA PENGELOLA ASET TINDAK PIDANA
National Legal Reform Program
LEMBAGA PENGELOLA ASET TINDAK PIDANA PENULIS Bima Priya Santosa Tedy Jiwantara Sitepu Anita Maharani Nur Sodiq Junaidi
iv
Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana Penulis: Bima Priya Santosa, Tedy Jiwantara Sitepu, Anita Maharani, Nur Sodiq, Junaidi © Paramadina Public Policy Institute
Diterbitkan oleh Paramadina Public Policy Institute Jl. Gatot Subroto Kav. 97 Mampang, Jakarta 12790 t. +62-21 7918 1188 f. +62-21 799 3375 http://policy.paramadina.ac.id Penerbitan ini didukung oleh The Netherlands-Indonesia National Legal Reform Program (NLRP) Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Cetakan pertama, Desember 2010 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana viii + 130 halaman, 20 X 15 cm. ISBN 978-602-98252-0-6
v
Daftar Isi Daftar Isi Kata Pengantar
v vii
Bab 1 - Pendahuluan 1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Tujuan penelitian 4 1.3. Ruang Lingkup penelitian 4 1.4. Metodologi penelitian 5 1.5. Sistematika Penulisan 6 Bab 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana 9 2.1. Aturan Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana 9 2.2. Prosedur Penyitaan dan Perampasan 11 2.3. Para Pihak yang Terlibat Dalam Proses Benda Sitaan Dan Barang Rampasan 17 2.4. Penyimpanan Benda Sitaan dan Barang Rampasan 18 2.5. Rupbasan Sebagai Tempat Penyimpanan Benda Sitaan 19 Lampiran 1 Rupbasan Dalam Media 36 Lampiran 2 Aspek Perdata Benda Sebagai Obyek Penyitaan Dan Perampasan Pidana 40 Bab 3 - Pengelolaan Aset Tindak Pidana Sebagai Barang Milik Negara 47 3.1. Peraturan Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara 47 3.2. Keterkaitan Peraturan BMN dengan Aset Tindak Pidana 48 3.3. Pengelolaan Aset untuk Barang Milik Negara 49
vi
Bab 4 - Komparasi Pengelolaan Aset Tindak Pidana Beberapa Negara 53 4.1. Asset Forfeiture Program di Amerika 53 4.2. Proceeds of Crime Act di Inggris 58 4.3. Seized Property Management Act di Canada 61 Bab 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana 67 5.1. Prinsip-Prinsip Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana 67 5.2. Kelembagaan Pengelola Aset Tindak Pidana 71 5.3. Sistem Organisasi Lembaga Pengelola Aset 82 5.4. Asset Management Pada Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana 85 5.5. Siklus Asset Management pada Aset Tindak Pidana 86 5.6. Struktur Organisasi Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana 93 Lampiran 1 Definisi Aset 104 Lampiran 2 Berbagai Masalah Penyitaan dan Pengelolaannya 107 Lampiran 3 Badan Layanan Umum 110 Bab 6 - Roadmap Inisiasi Badan Pengelola Aset Tindak Pidana 121 6.1. Tahap I: Peletakan Pondasi 121 6.2. Tahap II: Implementasi Penuh 124 6.3. Tahap III: Penguatan 125 Bab 7 - Penutup 127 Referensi 129
vii
Kata Pengantar Seiring dengan perjalanan zaman, berbagai kemajuan terjadi dalam setiap aspek kehidupan manusia. Kejahatan atau perbuatan melawan hukum adalah masalah yang melekat pada kehidupan manusia juga terus mengalami perkembangan. Kejahatan mengikuti zamannya, tidak lagi dilakukan dengan cara-cara yang sederhana. Kecenderungan saat ini menunjukkan kejahatan dilakukan secara terorganisir, melibatkan banyak pihak, dan dilakukan dengan metode atau perangkat yang sangat maju, meliputi kejahatan-kejahatan serius yang memiliki motif ekonomi besar. Akibatnya, kejahatan tersebut memiliki daya rusak yang luar biasa secara ekonomi masyarakat dan negara. Sejalan dengan semakin berkembang jenis dan modus kejahatan sebagaimana disebut di atas, tindakan menghukum pelaku tindak pidana secara kovensional yaitu dengan cara menerapkan pidana penjara bagi pelaku, tidak selalu berhasil mengurangi tingkat kejahatan itu. Selain memberi efek jera bagi para pelaku, bentuk hukuman harus dapat melucuti pelaku dari potensi ekonomi yang dapat menggerakkan atau menghidupkan kembali tindak kejahatan. Salah satu upaya untuk melucuti pelaku tindak pidana adalah dengan merampas aset atau properti milik pelaku, baik aset sebagai alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana maupun aset yang dihasilkan dari suatu tindak pidana. Di sisi yang lain, dari sisi keuangan negara tindakan perampasan aset pelaku juga dimaksudkan sebagai upaya pengembalian kerugian negara (asset recovery).
viii
Paramadina Public Policy Institute (PPPI) menilai bahwa dalam pelaksanaan asset recovery, suatu sistem untuk identifikasi, klasifikasi, penyimpanan, pengelolaan, dan pelepasan mutlak diperlukan. Tanpa sistem tersebut, hasil dari proses penyitaan dan perampasan aset tindak pidana tidak akan maksimal. Bahkan, hasil dari penyitaan dan perampasan tersebut rawan diselewengkan oknum pihak pengelola dan justru menjadi unsur tindak kejahatan baru. Untuk itu, PPPI dengan dukungan dari National Legal Reform Program (NLRP) menerbitkan buku Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana yang merupakan hasil studi tentang lembaga pengelola aset tindak pidana, khususnya dalam aspek-aspek proses bisnis, desain organisasi, serta roadmap inisiasi lembaga. PPPI selaku penerbit berharap buku ini dapat memberikan masukan bagi pembenahan manajemen pengelolaan aset tindak pidana di Indonesia.
Penerbit Paramadina Public Policy Institute
1
Bab 1 Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai kemajuan terjadi dalam setiap aspek kehidupan manusia tak terkecuali kejahatan atau perbuatan melawan hukum. Kini, kejahatan atau perbuatan melawan hukum tidak lagi dilakukan dengan cara-cara yang sederhana, tetapi lebih terorganisir melibatkan banyak pihak dan dilakukan dengan metode atau perangkat yang sangat maju dengan motif ekonomi yang besar1. Akibatnya, kejahatan tersebut sulit diberantas, memiliki daya rusak yang luar biasa secara ekonomi, dan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai bentuk kejahatan tersebut adalah: penyelundupan, pembajakan, pemalsuan, tindak pidana korupsi, kejahatan perbankan, kejahatan pajak, tindak pidana penyalahgunaan narkotika, dan ilegal logging. Kejahatan-kejahatan tersebut tidak mudah untuk diberantas. Kesulitan tersebut disebabkan karena dua hal, yaitu: tingginya motif ekonomi kejahatan tersebut dan kompleksitas modus operandinya. Pengenaan hukuman dalam sistem hukum pidana di Indonesia terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, denda, dan pidana tambahan yang meliputi pencabutan hak-hak tertentu, barang-barang tertentu, dan putusan hakim.2 Sejalan dengan semakin berkembang jenis dan modus kejahatan sebagaimana disebut di atas, tindakan
1 Data yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung menunjukkan nilai kerugian negara yang akibat tindak kejahatan yang berhasil diselamatkan dalam periode 2004-2008 sebesar 8 triliun rupiah. www.beritabaru.com, 19 Oktober 2009 2 Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum PIdana (KUHP)
2
BAB 1 - PENDAHULUAN
menghukum pelaku tindak pidana secara kovensional, yaitu dengan cara menerapkan pidana penjara bagi pelaku, tidak selalu berhasil mengurangi tingkat kejahatan itu. Selain memberi efek jera bagi para pelaku, bentuk hukuman harus dapat melucuti pelaku dari potensi ekonomi yang dapat menggerakkan atau menghidupkan kembali tindak kejahatan. Untuk itu, diperlukan upaya yang sistematis untuk membasmi kejahatan-kejahatan tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah dengan membatasi penggunaan aset atau manfaat ekonomi yang terkait dengan kejahatan tersebut. Oleh karena itu, menjadi hal yang cukup penting dalam konteks memupus motivasi seseorang melakukan tindak pidana melalui pendekatan pelacakan, pembekuan, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana. Seseorang ataupun kejahatan terorganisir dengan sendirinya akan menjadi enggan atau tidak memiliki motivasi untuk melakukan suatu perbuatan pidana apabila hasil perbuatan pidana tersebut dikejar dan dirampas untuk negara.”3 Salah satu upaya untuk melucuti pelaku tindak pidana adalah dengan merampas aset atau properti milik pelaku, baik aset sebagai alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana maupun aset yang dihasilkan dari suatu tindak pidana. Di sisi yang lain, dari sisi keuangan negara tindakan perampasan aset pelaku juga dimaksudkan sebagai upaya pengembalian kerugian negara (asset recovery) . Pada tahun 2005, suatu kelompok kerja dari negara-negara G8 telah menyatakan pentingnya hukum yang dapat memperbaiki kecepatan dan efektivitas pembekuan aset para pelaku kejahatan dan terorisme. Untuk itu, kelompok kerja tersebut juga merekomendasikan beberapa prinsipprinsip dalam penelusuran, pembekuan, dan penyitaan aset tindak pidana. Beberapa prinsip tersebut adalah: 1. Perencanaan pra-penyitaan untuk antisipasi biaya dan keputusan yang tepat dalam target, bagaimana dan kapan penyitaan dilakukan. 2. Negara harus menerapkan mekanisme dengan biaya yang paling efisien dan efektif. Disarankan pula untuk membentuk asset confiscation/ forfeiture fund.
3 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
3
3. Pendirian lembaga dengan desain dan kewenangan untuk menjalankan pengelolaan aset tindak pidana tersebut. 4. Negara harus meyakinkan pengendalian yang kuat atas administrasi aset yang disita. Hal ini dapat dicapai dengan pemisahan fungsi atau bila adanya penggabungan fungsi harus diikuti dengan tanggung jawab mutlak pula. 5. Administrasi aset yang disita harus dilakukan secara transparan dan dapat diaudit oleh auditor independen, atau ahli yang setara sesuai dengan hukum nasional yang berlaku. Setiap temuan hendaknya disampaikan kepada publik. Dalam pelaksanaan asset recovery, suatu sistem untuk identifikasi, klasifikasi, penyimpanan, pengelolaan, dan pelepasan mutlak diperlukan. Tanpa sistem tersebut, hasil dari proses penyitaan dan perampasan aset tindak pidana tidak akan maksimal. Bahkan, hasil dari penyitaan dan perampasan tersebut rawan diselewengkan oknum pihak pengelola dan justru menjadi unsur tindak kejahatan baru. Dalam RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana, para perumus telah memasukkan aspek pengelolaan dalam rancangan tersebut. Hal ini merupakan suatu langkah maju bagi sistem hukum Indonesia. Dengan diaturnya aspek pengelolaan aset tindak pidana, kita berharap dapat meningkatkan keberhasilan program asset recovery di Indonesia. Selanjutnya, pokok-pokok aturan dalam rancangan undang-undang tersebut perlu dikaji lebih mendalam untuk memperoleh gambaran lebih nyata tentang apa dan bagaimana lembaga pengelola aset tindak pidana tersebut. Lebih jauh, diperlukan pula suatu telaah untuk memberikan masukan bagi rancangan undang-undang tersebut terutama pada aspek kelembagaannya. Untuk itu, Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dengan dukungan dari National Legal Reform Program (NLRP) melakukan studi tentang lembaga pengelola aset tindak pidana. Studi lembaga pengelolaan aset ini akan difokuskan pada aspek-aspek proses bisnis, desain organisasi, serta roadmap inisiasi lembaga.
4
BAB 1 - PENDAHULUAN
1.2. Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memberikan masukan dalam pembenahan manajemen pengelolaan aset tindak pidana. Fokus penelitian akan meliputi aspek-aspek proses bisnis, desain organisasi, serta roadmap inisiasi lembaga.
1.3. Ruang Lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian meliputi pembahasan tentang kewenangan, proses, struktur organisasi, dan sumber daya manusia. Penugasan penelitian yang dilakukan PPPI difokuskan pada aspek proses bisnis, desain organisasi, serta roadmap inisiasi lembaga. Adapun pokok-pokok pengembangan dari lembaga pengelola aset ini didasarkan pada dokumen rancangan undang-undang yang diperoleh dari NLRP. Penelitian dilakukan dalam lima kegiatan utama yaitu: 1. Melakukan studi literatur, adalah kajian yang dilakukan melalui dokumen, buku, karya ilmiah, dan peraturan-peraturan terkait dengan lembaga pengelolaan aset. Dari kajian ini diharapkan diperoleh gambaran yang komprehensif tentang lembaga pengelolaan aset ditinjau dari aspek teoritis maupun aspek hukum. 2. Melakukan studi banding (benchmark) terhadap organisasi sejenis. Pembandingan terutama dilakukan dalam aspek proses bisnis, organisasi, dan tata cara pembentukannya. Benchmark dilakukan secara studi pustaka. 3. Mengembangkan desain proses bisnis lembaga pengelolaan aset untuk melaksanakan tugas dan fungsi yang diatur dalam peraturan terkait. 4. Menyusun desain organisasi lembaga pengelolaan aset baik dengan memperhatikan dimensi horizontal dan dimensi vertikalnya. Dimensi horizontal organisasi adalah bagaimana departementalisasi yang membangun suatu organisasi. Dimensi vertikal adalah bagaimana menyusun penjenjangan manajerial dalam organisasi. 5. Penyusunan roadmap untuk tahapan pengembangan organisasi lembaga pengelolaan aset. Roadmap tersebut akan menyajikan tahapan-tahapan utama inisiasi organisasi.
5
1.4. Metodologi penelitian Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif ditujukan untuk pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan benda sitaan, mengumpulkan, menyusun, menganalisa dan menjelaskan datadata tersebut, dan merumuskan kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh. Tahapan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:
STUDI LITERATUR & STUDI BANDING
Pokok-pokok Organisai Pengelolaan Aset
DESAIN BUSINESS PROCESS
DEFINISI Core Process Pengelolaan Aset
DESAIN STRUKTUR ORGANISASI
RANCANGAN MAKRO ORGANISASI Dimensi Horizontal Dimensi Vertikal
Support Process Pengelolaan Aset
Gambar 1. Tahapan Studi
PENYUSUNAN ROADMAP
Tahapan-tahapan penting inisiasi organisasi pengelolaan aset
6
BAB 1 - PENDAHULUAN
1.5. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan Bab I berisi uraian mengenai latar belakang penelitian, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, metodologi, dan sistematika penulisan.
Bab II Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana: Aturan, Praktik, dan Permasalahannya Menjelaskan peraturan-peraturan yang berlaku saat ini untuk proses penyitaan, perampasan, dan penyimpanan aset tindak pidana. Bagian ini akan meliputi aturan pokok yang diatur dalam KUHAP, peraturan dalam undang-undang lain, serta aturan-aturan yang dibuat dalam lingkungan instansi tertentu. Bagian ini juga mengikhtisarkan pokok permasalahan saat ini yang selanjutnya menjadi dasar bagi arah penelitian untuk memberi usulan solusi bagi pembenahan manajemen aset tindak pidana.
Bab III Pengelolaan Aset Tindak Pidana Sebagai Barang Milik Negara Bab ini akan memaparkan overview berbagai peraturan tentang pengelolaan barang milik negara dan tentang keterkaitan peraturan barang milik negara dengan pengelolaan aset tindak pidana. Bab ini juga memaparkan tentang wewenang dan tanggung jawab lembaga-lembaga terkait dengan barang milik negara.
Bab IV Komparasi Pengelolaan Aset Tindak Pidana di Beberapa Negara Bab ini menjelaskan pelaksanaan pengelolaan aset tindak pidana di beberapa negara terkait aspek kelembagaan, kewenangan, dan manajemen. Selain itu, juga akan membahas pokok-pokok perbandingan yang relevan untuk menjadi rujukan inisiasi lembaga pengelolaan aset tindak pidana di Indonesia.
7
Bab V Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana Bab ini membahas tentang kerangka konseptual bagi inisiasi Lembaga Pengelolaan Aset Tindak Pidana. Pembahasan akan meliputi aspek-aspek kedudukan, bentuk keterlibatan dalam proses penyitaan perampasan, bentuk hukum, dan aspek manajerial kelembagaan tersebut.
Bab VI Roadmap Inisiasi Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana Bab VI akan membahas tentang tahapan pembenahan pengelolaan aset tindak pidana. Tahapan tersebut dibagi menjadi beberapa tahap yaitu tahapan peletakan pondasi, tahapan implementasi penuh, dan tahapan penguatan.
Bab VII Penutup Bab VII akan menutup seluruh tulisan hasil penelitian dengan berbagai catatan dan rekomendasi untuk berbagai pihak yang terkait.
8
BAB 1 - PENDAHULUAN
Foto 2: Benda Sitaan KPK pada Gudang Terbuka Rupbasan Jakarta Pusat
ASET TINDAK PIDANA Definisi aset termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Dalam Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan paragraf 60 (a) dan 61 diuraikan dengan jelas tentang definisi aset, yaitu bahwa: “Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/ atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.” Definisi barang milik negara yang dikategorikan sebagai aset dan/ atau kekayaan negara yaitu “semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara atau berasal dari perolehan lain yang sah”. Definisi tersebut di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 38 Tahun 2008, tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Sesuai dengan ketentuan pasal 2 PP Nomor 6 tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 38 Tahun 2008, salah satu perolehan sah barang milik negara adalah barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Merujuk pada peraturan perundang-undangan di atas maka aset pidana dapat didefinisikan sebagai berikut : “Aset Tindak Pidana adalah semua benda bergerak atau tidak bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud dan mempunyai nilai ekonomis yang diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana”
9
Bab 2 Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
2.1. Aturan Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana. Sesuai ketentuan perundang-undangan penyitaan dan perampasan benda dan barang milik seseorang harus didahului oleh suatu tindak pidana yang berhubungan langsung dengan benda atau barang tersebut. Tanpa adanya tindak pidana yang berhubungan dengan suatu benda maka penyitaan tidak dapat dilakukan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, penyitaan, perampasan, dan penyimpanan benda sitaan merupakan suatu rangkaian sub-sistem hukum pidana. Oleh karenanya, penyimpanan benda sitaan juga diatur secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana (KUHAP). Terkait dengan proses hukum suatu perkara, munculnya benda sitaan adalah mulai pada tahap penyidikan. Sebagaimana disebutkan dalam KUHAP menyatakan: “Setiap benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud yang diambil dan atau disimpan
Penyitaan adalah bagian dari proses penegakan hukum berupa upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk mengambil alih penguasaan atas benda milik seseorang yang berhubungan langsung dengan tindak pidana. Perampasan adalah pengambilalihan hak milik seseorang yang telah mendapatkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Rujukan: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
10
BAB 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
di bawah penguasaan penyidik untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”1 Pada tahap ini, benda sitaan umumnya digunakan sebagai barang bukti. Adapun benda yang menjadi obyek penyitaan adalah: 1. Benda milik pelaku tindak pidana baik yang diperoleh dari tindak pidana atau hasil dari tindak pidana. 2. Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau mempersiapkan tindak pidana. 3. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana. 4. Benda yang khusus dibuat untuk melakukan tindak pidana. 5. Benda yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana. Dalam praktiknya, perampasan barang tertentu dimungkinkan sebagai pengganti kerugian negara atau pidana tambahan di samping pidana pokok. Apabila kemudian putusan pengadilan memerintahkan perampasan terhadap benda sitaan tersebut, maka status benda tersebut menjadi barang rampasan negara. Barang rampasan pengganti kerugian negara atau pidana tambahan inilah yang umumnya memiliki nilai ekonomis lebih. Pengaturan khusus terhadap barang rampasan berlaku terhadap beberapa tindak pidana seperti tindak pidana kehutanan illegal logging, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, serta tindak pidana perikanan. Misalnya, dalam tindak pidana kehutanan (illegal logging) disebutkan bahwa semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkut yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk negara.2 1 KUHAP Pasal 1 angka 16 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal 78 ayat (5)
11
Pada tindak pidana korupsi, selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, sebagai pidana tambahan berupa perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.3 Ketentuan perampasan yang termuat dalam undang-undang perikanan menyebutkan bahwa benda dan/ atau alat yang dipergunakan dalam dan/ atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk Negara. Terhadap benda dan/ atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan dilelang untuk Negara.4 Pengaturan lebih khusus tentang penyitaan dan perampasan juga termuat dalam ketentuan Undang-Undang Pencucian Uang yang menyebutkan bahwa dalam hal diperoleh bukti yang cukup sebagai hasil pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap terdakwa, hakim memerintahkan penyitaan terhadap harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga hasil tindak pidana yang belum disita oleh penyidik atau penuntut umum. Bila dalam proses pemeriksaan di pengadilan terdakwa meninggal dunia sebelum putusan hakim dijatuhkan dan terdapat buktibukti yang meyakinkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim dapat mengeluarkan penetapan bahwa harta kekayaan terdakwa yang telah disita, dirampas untuk negara.5
2.2. Prosedur Penyitaan dan Perampasan A. Penyitaan Penyitaan adalah upaya paksa yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 16 KUHAP yang menyebutkan bahwa “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor Pasal 18 ayat (1) 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Pasal 104 (2) dan Pasal 105 (1) 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 35 dan Pasal 37
12
BAB 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.” Lebih lanjut aturan tentang penyitaan meliputi siapa yang dapat melakukan penyitaan, bagaimana penyitaan harus dilakukan dan obyek yang dapat dikenakan penyitaan diatur dalam pasal 38 sampai dengan pasal 46 KUHAP. Ketentuan pasal 38 sampai dengan pasal 46 yang mengatur kewenangan melakukan penyitaan, batasan, atau cakupan benda yang dapat dikenakan penyitaan, penanganan benda sitaan yang meliputi penyimpanan serta pelepasan benda sitaan yang meliputi pelelangan dan pengembalian benda sitaan serta tanggung jawab yuridis atas benda sitaan. Ketentuan tersebut sangat terkait antara satu pasal dengan pasal lainnya, lebih lanjut tentang ketentuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Kewenangan penyitaan (Pasal 38) Tindakan Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan keharusan adanya izin Ketua Pengadilan, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuan. Sesuai pasal 1 KUHAP maka penyidik yang dapat melakukan upaya paksa penyitaan adalah penyidik Kepolisian atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melaksanakan tugas penyidikan. 2. Pengenaan penyitaan (Pasal 39, 40, 41 dan 41) Benda yang berhubungan dengan suatu tindak pidana yang dapat dikenakan penyitaan berupa: a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana.
13
b. Benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya. c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana. d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana. e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara pidana maka penyitaan dapat dilakukan atas benda sitaan karena perkara perdata atau karena pailit. Dengan dasar, benda tersebut diduga diperoleh dari atau hasil tindak pidana atau dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau berhubungan langsung dengan tindak pidana. Dalam hal tertangkap tangan, penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. Disamping itu dalam hal tertangkap tangan, penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut berasal dari atau diperuntukkan bagi tersangka. Lebih lanjut, untuk kepentingan pemeriksaan penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepada penyidik. Terhadap surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dan tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana. Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau
14
BAB 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undangundang menentukan lain. 3. Penyimpanan, tanggung jawab atas benda sitaan, pelelangan, dan pengembalian (Pasal 44, 45 dan 46) Penyimpanan, benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara. Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaikbaiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga. Ketentuan KUHAP di atas, mengatur bahwa penyimpanan dilakukan di rumah penyimpanan benda sitaan negara. Namun demikian, penjelasan pasal 44 ayat (1) KUHAP memberi pengecualian bahwa selama belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara ditempat yang bersangkutan, penyimpanan benda sitaan dapat dilakukan di Kantor Kepolisian, Kantor Kejaksaan, di Kantor Pengadilan, di gedung bank pemerintah dan dalam keadaan memaksa dapat disimpan di tempat penyimpanan lain atau tetap di tempat semula benda itu disita. Tanggung jawab, pejabat penanggung jawab atas benda sitaan adalah sesuai dengan tingkatan pemeriksaan peradilan yang meliputi : a. Pejabat yang berwenang pada pemeriksaan di tingkat penyidik. b. Pejabat yang berwenang pada pemeriksan di tingkat penuntut umum. c. Pejabat yang berwenang pada tingkat pemeriksaan perkara di tingkat pengadilan. 4. Pelelangan Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut: a. apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;
15
b. apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang yang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya. Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti dan guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dari benda sebagaimana dimaksud. Terhadap benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan tidak termasuk dalam jenis barang yang dibenarkan untuk dijual lelang maka dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan. 5. Pengembalian Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila: a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak diperlukan lagi; b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana; c. perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana. Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagal barang bukti dalam perkara lain.
B. Perampasan Konsep legal (legal concept) perampasan menurut hukum pidana Indonesia adalah pengambilalihan barang milik seseorang pelaku tindak pidana sebagai hukuman tambahan yang dijatuhkan oleh hakim bersama-sama pidana pokok sebagaimana diatur dalam pasal 10, huruf (b) angka (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
16
BAB 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
Lebih lanjut pasal 39 sampai dengan pasal 42 KUHP mengatur perampasan barang-barang yang dapat dirampas dan prinsip pokok dalam perampasan. Ketentuan tersebut dapat uraikan sebagai berikut: Pengenaan Perampasan, barang-barang yang dapat dirampas adalah barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang. 1) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita sebelumnya. 2) Jika seorang di bawah umur enam belas tahun mempunyai, memasukkan atau mengangkut barang-barang dengan melanggar aturan-aturan mengenai pengawasan pelayaran di bagian-bagian Indonesia yang tertentu, atau aturan-aturan mengenai larangan memasukkan, mengeluarkan, dan meneruskan pengangkutan barangbarang, maka hakim dapat menjatuhkan pidana perampasan atas barang-barang itu. 3) Perampasan atas barang-barang yang disita sebelumya, diganti menjadi pidana kurungan, apabila barang-barang itu tidak diserahkan, atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim, tidak di bayar. 4) Segala biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dipikul oleh negara, dan segala pendapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara. Sesuai dengan ketentuan KUHAP, perampasan akan diikuti dengan perintah tindakan lebih lanjut sesuai keputusan pengadilan terhadap barang rampasan antara lain: 1. dirampas untuk kemudian dilelang, dan disetorkan kepada kas negara, 2. dirampas untuk kemudian dimusnahkan,
17
3. dirampas untuk diserahkan kepada instansi yang ditetapkan guna dimanfaatkan, dan 4. dirampas untuk digunakan sebagai bukti terhadap perkara pidana yang lain.
2.3. Para Pihak yang Terlibat Dalam Proses Benda Sitaan Dan Barang Rampasan Sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan terdapat beberapa pihak/instansi yang berperan dalam penyitaan-penyimpananperampasan. Para pihak tersebut berperan dalam setiap tahapan proses pemeriksaan perkara sejak penyitaan hingga penyetoran hasil pelelangan ke kas negara. Penyidik, adalah petugas penegak hukum yang pertama kali melakukan indentifikasi dan pemeriksaan terhadap perkara berserta benda yang terkait dengan tindak pidana. Penyidik adalah pihak yang berada paling sentral dalam melakukan tindakan penyitaan. Penuntut Umum, adalah pihak yang bertanggung jawab dalam proses pemeriksaan terhadap perkara beserta benda sitaan yang telah dilimpahkan oleh penyidik. Penuntut Umum yang kemudian sesuai dengan tugas dan kewenangan menuntut pidana atas perkara serta benda yang telah disita terkait perkara. Hakim, adalah pihak yang bertanggung jawab dalam pemeriksaan perkara beserta benda sitaan di pengadilan yang diajukan oleh penutut umum. Hakim juga merupakan pihak yang akan memutuskan suatu perkara dipidana atau tidak, dan memutuskan suatu benda yang telah disita sebulumnya dirampas atau tidak. Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan), adalah tempat benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan, proses peradilan yang adalah proses pemeriksaan perkara pada semua tingkatan pemeriksaan yaitu pemeriksaan di tingkat penyidik, pemeriksaan di tingkat penuntut umum dan pemeriksaan di tingkat pengadilan (pengadilan negeri, banding, dan kasasi). Jaksa Eksekutor, adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai pelaksana putusan pengadilan
18
BAB 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terhadap perkara dan barang yang diputuskan dirampas, termasuk dalam tanggung jawab dan kewenangannya untuk melakukan penjualan lelang dan menyetor hasilnya ke kas negara.
2.4. Penyimpanan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Sebagai upaya mengamankan benda sitaan, ketentuan hukum secara tegas mengatur bahwa berbagai benda sitaan disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara. Benda sitaan yang disimpan tersebut dapat berupa benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang sebagian atau seluruhnya diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana. Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab yuridis atas benda tersebut ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga. Sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, maka dalam rangka penyimpanan benda sitaan pengaturan lebih lanjut dan terperinci termuat di dalam peraturanperaturan berikut ini. 1. Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.05.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara. 2. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.04.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rutan dan Rupbasan. 3. Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E1.35.PK.03.10 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara. Penyimpanan benda sitaan negara dilakukan dengan baik dan tertib sesuai dengan Petunjuk Pelaksanaan (juklak) dan Petunjuk Teknis (juknis) pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara. Dengan demikian, diharapkan mudah dan cepat mendapatkannya saat dibutuhkan oleh yang berkepentingan. Melakukan pemeliharaan benda
19
sitaan negara dan barang rampasan negara berarti merawat benda dan barang tersebut agar tidak rusak serta tidak berubah kualitas maupun kuantitasnya sejak penerimaan sampai dengan pengeluarannya.
2.5. Rupbasan Sebagai TEMPAT Penyimpanan Benda Sitaan Ketentuan pasal 44 KUHAP mengatur penyimpanan benda sitaan. Lebih lanjut, penyimpanan benda sitaan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur bahwa Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) adalah tempat benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan disimpan. Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tersebut, ditegaskan bahwa pengelolaan, kedudukan, pengorganisasian, tugas, dan tanggung jawab Rupbasan berada di bawah Menteri Kehakiman. Menteri Kehakiman mengatur lebih lanjut tentang kelembagaan, tugas pokok, dan fungsi Rupbasan melalui Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.04.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rutan dan Rupbasan.
20
BAB 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
PENYIDIK: TIndakan Penyitaan Benda Sitaan
RUPBASAN: Menyimpan benda sitaan dalam setiap tingkat pemeriksaan
JAKSA PENUNTUT UMUM: Pemeriksaan dan Penuntutan Tuntutan Perampasan
Mengeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan Mengeluarkan untuk pelelangan
PENGADILAN/HAKIM: Pemeriksaan dan Putusan Perampasan & Lelang utk Negara
JAKSA EKSEKUTOR: Pelaksana Putusan Pengadilan Pelelangan & Penyetoran ke Kas Negara
KAS NEGARA
Gambar 2. Para Pihak dan Alur Penyitaan-Perampasan
Pasal 44 KUHAP mengatur dengan tegas bahwa penyimpanan benda sitaan harus dilakukan di rumah penyimpanan benda sitaan negara. Penyimpanan benda sitaan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun. 2.5.1. Aktifitas Penanganan Benda Sitaan Negara oleh Rupbasan
Seluruh rangkaian kegiatan dan proses penanganan benda sitaan dan barang rampasan yang dilakukan oleh Rumah Penyimpanan Benda Sitaan mengacu pada keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor: E1.35.PK.03.10 Tahun 2002.
21
Sesuai dengan Keputusan Dirjen Pemasyarakatan, Nomor: E1.PK.03.10 tahun 2002, proses yang dilakukan dalam Rupbasan dapat digambarkan sesuai diagram berikut.6
INPUT
PROSES 1. Penerimaan - Penilaian Pendaftaran & Penyimpanan
BENDA SITAAN
2. Pemeliharaan 3. Pemutasian 4. Pengeluaran & Penghapusan 5. Penyelamatan & Pengamanan
OUTPUT Barang Bukti Barang Rampasan yg siap dieksekusi
Gambar 3. Diagram Proses Penanganan Benda Sitaan pada Rupbasan
Pada petunjuk teknis tersebut telah disebutkan fungsi Rupbasan meliputi penerimaan, penelitian, penilaian dan penyimpanan benda sitaan dan barang rampasan. Selanjutnya, Rupbasan bertugas pula untuk memelihara, pemutasian, pengeluaran dan penghapusan, penyelamatan dan pengamanan benda sitaan dan barang rampasan. Berikut ini adalah uraian kegiatan dan proses teknis pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan negara di Rupbasan.
1. Penerimaan Penerimaan benda sitaan dilakukan oleh Petugas Penerima dan wajib didasarkan pada surat-surat yang sah. Petugas Penerima segera memeriksa sah tidaknya surat-surat yang melengkapinya dan mencocokkan jenis, mutu, macam dan jumlah benda sitaan yang diterima sebagaimana tertulis dalam surat-surat tersebut.
6 Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Nomor : E1.35.PK.03.10 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petujuk Teknis Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara
22
BAB 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
Selanjutnya Petugas Penerima mengantarkan benda sitaan berikut surat-suratnya kepada Petugas Peneliti. Terhadap benda sitaan yang tidak bergerak, Petugas Penerima setelah memeriksa surat-surat lalu mencocokkannya dan pemotretan ditempat barang bukti itu berada bersama-sama dengan petugas peneliti dan petugas yang menyerahkan. Setelah pemeriksaan, pencocokan, pemotretan selesai, Petugas Peneliti membuat berita acara penelitian dengan dilampiri spesifikasi, hasil identifikasi benda sitaan dan Petugas Penerima membuat berita acara serah terima, kemudian mengantarkan barang sitaan kepada Petugas Pendaftaran.
2. Penelitian dan Penilaian Petugas Peneliti melakukan penelitian, penilaian, pemeriksaan dan penaksiran tentang keadaan, jenis, mutu, macam dan jumlah benda sitaan dengan disaksikan oleh petugas yang menyerahkan. Penelitian, penilaian, pemeriksaan dan penaksiran dilaksanakan da!am ruangan khusus serta wajib dilakukan oleh Petugas Peneliti. Terhadap benda sitaan tertentu dilakukan pemotretan untuk kelengkapan alat bukti. Berita acara serah terima ditandatangani, setelah selesai melakukan penelitian, penilaian dan identifikasi benda sitaan.
3. Pendaftaran Petugas pendaftaran meneliti kembali sah tidaknya surat-surat penyitaan atau surat penyerahan beserta berita acara penelitian benda sitaan dan mencocokkan dengan benda sitaan yang dimaksud. Petugas pendaftaran mencatat dan mendaftarkan benda sitaan sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Setelah selesai dicatat dan didaftar benda sitaan tersebut diserahkan kepada petugas penyimpanan.
4. Penyimpanan Penyimpanan dilakukan oleh petugas penyimpanan. Benda sitaan yang baru diterima disimpan berdasarkan tingkat pemeriksaan, resiko, dan jenisnya.
23
Penyimpanan berdasarkan tingkat pemeriksaan adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
Tingkat penyidikan. Tingkat penuntutan. Tingkat pengadilan negeri. Tingkat pengadilan tinggi atau banding. Tingkat Mahkamah Agung (Kasasi).
Penyimpanan berdasarkan resiko adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
Benda sitaan umum. Benda sitaan berharga. Benda sitaan berbahaya. Benda sitaan terbuka. Benda sitaan hewan ternak.
Penyimpanan berdasarkan jenisnya adalah : 1. Kertas. 2. Logam. 3. Non logam. 4. Bahan kimia dan obat-obatan terlarang. 5. Peralatan listrik elektronik. 6. Peralatan bermesin mekanik. 7. Berbentuk gas. 8. Alat-alat rumah tangga. 9. Bahan makanan dan minuman. 10. Tumbuh-tumbuhan atau tanaman. 11. Hewan ternak. 12. Rumah, bangunan gedung. 13. Tanah. 14. Kapal laut dan kapal udara.
24
BAB 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
Terhadap benda sitaan yang tidak disimpan di Lembaga, dititipkan oleh Kepala Lembaga kepada Instansi atau badan organisasi yang berwenang atau yang kegiatannya bersesuaian. Sedangkan terhadap benda sitaan yang dipinjam oleh pihak peradilan dan diserahkan kembali ke Lembaga maka wajib dilakukan penelitian ulang, penilaian, pemeriksaan dan penyimpanan.
5. Pemeliharaan Kepala lembaga bertanggung jawab atas pemeliharaan keutuhan jenis, mutu, dan jumlah basan dan baran. Pelaksanaan tugas sehari-hari dilaksanakan oleh petugas pemeliharaan yang wajib: 1. Mengadakan pengawasan dan pemeriksaan secara berkala terhadap benda sitaan. 2. Memperhatikan benda sitaan yang memerlukan pemeliharaan khusus. 3. Mencatat dan melaporkan apabila terjadi kerusakan atau penyusutan benda sitaan. Sedangkan tugas pemeliharaan yang dilakukan antara lain: menjaga keutuhan benda sitaan untuk kepentingan proses peradilan pidana, mempertahankan mutu, jumlah dan kondisi benda sitaan agar tetap terjamin keutuhan dan keasliannya, dan mengadakan stock opname terhadap seluruh benda sitaan secara periodik.
6. Penyelamatan dan Pengamanan Tugas pokok penyelamatan dan pengamanan lembaga sebagai berikut: 1. Menjaga agar tidak terjadi pengerusakan, pencurian, kebakaran, kebanjiran, atau adanya gangguan bencana alam lainnya. 2. Melakukan pengamanan terhadap gangguan keselamatan dan keamanan. 3. Memelihara, mengawasi, dan menjaga barang-barang inventaris lembaga. 4. Melaksanakan administrasi keselamatan dan keamanan lembaga.
25
Sasaran penyelamatan dan pengamanan meliputi benda sitaan, pegawai, bangunan dan perlengkapan, aspek-aspek ketatalaksanaan, dan lingkungan sosial atau masyarakat luar.
7. Pemutasian Kegiatan mutasi dilakukan oleh petugas pemutasian yang didasarkan kepada surat permintaan dari pejabat yang bertanggung jawab menurut tingkat pemeriksaan antara lain: surat permintaan atau surat perintah pengambilan dari instansi yang menyita, surat permintaan penuntut umum, dan surat penetapan atau putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
8. Pengeluaran/Penghapusan Dasar pelaksanaan pengeluaran/penghapusan adalah: 1. Surat putusan/penetapan pengadilan. 2. Surat perintah penyidik/penuntut umum. 3. Surat permintaan dari instansi yang bertanggung jawab secara yuridis. Tugas pengeluaran ada tiga macam: 1. Pengeluaran sebelum adanya putusan pengadilan meliputi kegiatan: a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak diperlukan lagi. b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana. c. Perkara tersebut di kesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum. d. Pengeluaran benda sitaan melalui jual lelang yang dilakukan oleh penyidik, penuntut umum terhadap benda sitaan yang mudah rusak, membahayakan, biaya penyimpanan tinggi dan hasil lelang barang bukti tersebut berupa uang disimpan di Lembaga untuk dipakai sebagai barang bukti.
26
BAB 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
e. Pengeluaran benda sitaan berdasarkan permintaan pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis. 2. Pengeluaran benda sitaan dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. a. Benda tersebut akan dikembali kepada yang paling berhak, b. Dirampas untuk kepentingan negara dengan cara dilelang, dimusnahkan, dan atau diserahkan kepada instansi yang berkepentingan berdasarkan putusan pengadilan. 3. Pengeluaran yang dilakukan setelah proses penghapusan didasarkan atas usul kepala lembaga karena adanya kerusakan, penyusutan, kebakaran, bencana alam, pencurian, barang temuan, dan barang bukti tidak diambil.
9. Pelaporan Untuk kepentingan pengawasan dan pengendalian semua kegiatan pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara harus dilaporkan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan tembusannya kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
10. Pengeluaran Akhir Pengeluaran akhir Basan dan Baran laporannya disampaikan pada instansi yang berkepentingan, tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
Kejadian Luar Biasa Dalam hal terjadi peristiwa yang luar biasa, segera dilaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktur Jenderal Pemasyarakatan dan instansi-instansi yang berkepentingan melalui telepon atau dengan cara lain dan kemudian segera disusuli dengan laporan lengkap secara tertulis.
27
2.5.2. Kelembagaan Rupbasan Saat Ini
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, keberadaan Rupbasan dibentuk di setiap kabupaten/kota oleh Menteri Kehakiman. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.04.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rutan dan Rupbasan mengatur bahwa keberadaan rumah penyimpanan benda sitaan negara (Rupbasan) adalah untuk pelaksanaan penyimpanan benda sitaan negara dan barang rampasan negara yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman. Keputusan menteri kehakiman juga mengatur klasifikasi kelembagaan dan sub-unit kelembagaan masing-masing Rupbasan. Klasifikasi Rupbasan menurut keputusan tersebut dapat dilihat pada gambar 4. 2.5.3. Permasalahan Seputar Penyimpanan Benda Sitaan
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM DIRJEN PEMASYARAKATAN DIR. BINA REGISTRASI & STATISTIK KANWIL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM
Meskipun pengaturan RUPBASAN kelembagaan rumah Gambar 4. Kelembagaan Rupbasan Saat Ini penyimpanan barang sitaan negara telah diatur sejak beberapa tahun yang lalu, tetapi pada kenyataannya tidak semua kabupaten/kota di Indonesia memiliki Rupbasan. Demikian halnya dengan jumlah sumber daya manusia, infrastruktur pendukung dan anggaran untuk menyimpan dan memelihara benda sitaan masih minim. Sebagai rangkaian sub-sistem penegakan hukum pidana, penyimpanan benda sitaan juga tidak luput dari permasalahan, antara lain meliputi permasalahan yang berkaitan dengan (1) pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Rupbasan sebagai tempat penyimpanan benda sitaan Negara, (2) tata organisasi, (3) dukungan biaya operasional, (4) sumber daya manusia, dan (5) operasional penanganan benda sitaan.
28
BAB 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
1. Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Rupbasan Dari review terhadap pemberitaan media maupun hasil dari kunjungan lapangan, dapat diketahui bahwa pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Rupbasan belum optimal. Artinya, penyimpanan benda sitaan belum seluruhnya disimpan di Rupbasan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan penyimpanan benda sitaan dari penyidik masih sangat minim. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1. Adanya aturan pada KUHAP yang memungkinkan bagi penyidik menyimpan benda sitaan selain di Rupbasan.7 2. Kurangnya fasilitas, pengamanan, dan biaya pemeliharaan di Rupbasan. 3. Komitmen pemisahan fungsi penanganan perkara dan penanganan aset tindak pidana. Faktor-faktor tersebut membuat Rupbasan tidak berkembang sejak dari awal pendirian pada tahun 2000. Pola manajemen, infrastruktur, sumber daya manusia, dan sebaran wilayah kerja masih terbatas. Keberadaan dan jumlah Rupbasan yang tidak sebanding dengan jumlah lembaga penegak hukum yang melakukan penyitaan dan yang bertanggung jawab secara yuridis terhadap benda sitaan dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan dapat terlihat dalam tabel berikut: Tabel Perbandingan Jumlah Rupbasan dan Jumlah Polres Jumlah Polres
497*
Jumlah Kejaksaan Negeri/ Cabang Kejaksaan Negeri
358
Jumlah Pengadilan Negeri
315
Jumlah Rupbasan
62
Sumber: www.mahkamahagung.go.id dan www.kejaksaan.go.id
7 Penjelasan Pasal 44 KUHAP
29
Foto 3. Kondisi Benda Sitaan pada Gudang Terbuka di Rupbasan Cirebon
30
BAB 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
Jumlah Rupbasan yang jauh lebih sedikit dibanding dengan jumlah instansi penegakan hukum lainnya, yang bertanggung jawab secara yuridis terhadap benda sitaan, tentu akan berdampak pada pemenuhan ketentuan yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Selain itu, data laporan dan kunjungan lapangan juga menunjukkan bahwa sebagian besar benda sitaan yang dititipkan penyidik umumnya bukan barang bernilai ekonomis. Dari wawancara dengan pejabat terkait diketahui bahwa penyidik tidak/ belum menitipkan benda yang bernilai ekonomis tinggi dengan alasan kurangnya fasilitas dan pengamanan, minimnya biaya pemeliharan, atau memang karena keengganan penyidik yang bersangkutan. Namun demikian, di tengah kondisi tersebut terdapat beberapa praktik dan terobosan yang dilakukan pihak Rupbasan. Pertama, Sub Direktorat Benda Sitaan dan Barang Rampasan mulai menyusun standar pemeliharaan termasuk standar biaya pemeliharaan untuk setiap jenis item barang. Dengan pengajuan standar-standar tersebut, diharapkan dukungan terhadap operasional Rupbasan menjadi lebih baik. Kedua, terdapat beberapa inisiatif proaktif oleh Kepala Rupbasan untuk meningkatkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Pada Rupbasan Indramayu misalnya, Kepala Rupbasan menempatkan dua staf di Kantor Pengadilan untuk menerima benda sitaan yang mengikuti setiap berkas perkara yang diajukan oleh Jaksa. Metode ini menurut Kepala Rupbasan Indramayu dapat meningkatkan penitipan benda sitaan oleh aparat penyidik.
31
KANWIL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM
RUPBASAN KELAS 1
RUPBASAN KELAS 2
Sub Seksi ADM & Pemeliharaan
Sub Seksi ADM & Pengelolaan Rupbasan
Sub Seksi Pengamanan & Pengelolaan Rupbasan
Petugas Pengamanan
Petugas Tata Usaha
Petugas Tata Usaha
Gambar 5. Struktur Organisasi Rupbasan
Ketiga, dalam kunjungan lapangan Tim Peneliti juga menemukan praktik hubungan kerjasama yang berjalan baik antara KPK sebagai instansi penyidik dengan Rupbasan Jakarta Pusat. Dalam MoU kerjasama tersebut, dinyatakan bahwa Rupbasan Jakarta Pusat akan menyimpan benda sitaan KPK. Sementara itu, KPK membantu biaya operasional dari Rupbasan Jakarta Pusat.8 Hubungan kerjasama ini dilakukan hingga proses pelelangan benda sitaan yang dirampas dan diputuskan untuk dilelang. Pada proses tersebut, Rupbasan Jakarta Pusat dilibatkan dalam proses lelang. Selain terobosan pada tingkat operasional tersebut terdapat pula upaya-upaya pembenahan penanganan benda sitaan. Kesepakatan antara Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung dan Kapolri pada tanggal 4 Mei 2010 dikenal juga dengan MAHKUMJAKPOL. Dokumen tersebut disepakati akan meningkatkan kualitas penanganan benda sitaan. Peningkatan tersebut melalui: 8 Kesepakatan Bersama Nomor: PRJ-06/53/01/2010-Nomor: W7.EN.PR.02.10-5a Tahun 2010
Foto 3. Benda Sitaan pada Gudang Tertutup Rupbasan Cirebon
32
BAB 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
33
1. Menkumham segera membentuk Rupbasan di setiap Kab/ Kota; 2. Setiap barang sitaan disimpan di Rupbasan; dan 3. Setiap pelimpahan yang barang buktinya ada di Rupbasan, supaya ditembuskan ke Rupbasan. Sasaran dari upaya tersebut adalah terintegrasinya benda sitaan dan barang rampasan di Rupbasan sesuai peraturan perundang-undangan dan kejelasan adanya instansi yang bertanggungjawab secara yuridis. Pada kunjungan di Rupbasan, diperoleh informasi bahwa pokok-pokok kesepakatan tersebut belum sepenuhnya terlaksana.
2. Tata Organisasi Dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.04.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rutan dan Rupbasan menyebutkan terdapat dua jenis kelas Rupbasan yaitu Rupbasan Kelas I dan Rupbasan Kelas II. Berdasarkan keputusan tersebut disebutkan bahwa eseloneering Rupbasan Kelas I adalah setingkat Eselon 3A. Kenyataannya, saat ini seluruh Rupbasan tidak membedakan Kelas I ataupun Kelas II. Di samping itu, seluruh pimpinan Rupbasan ditetapkan pada eselon empat. Bila dipadankan dengan jabatan pemerintah daerah maka kepala Rupbasan disetarakan dengan Lurah. Dan bila dipadankan dengan Kepolisian, kepala Rupbasan disetarakan dengan Kapolsek. Dengan tingkat eseloneering yang demikian, membuat Kepala Rupbasan sulit untuk memberikan dorongan dan koordinasi dalam penanganan benda sitaan.
3. Dukungan Biaya Operasional Berdasarkan diskusi yang dilakukan dengan pejabat dari Kementerian Hukum dan HAM serta dengan beberapa Kepala Rupbasan diketahui bahwa biaya operasional pemeliharaan benda sitaan hanya sebesar Rp 2.250.000 per tahun. Dapat disimpulkan bahwa dengan biaya tersebut akan berdampak terhadap rendahnya kemampuan penyediaan fasilitas dan kegiatan pemeliharaan. Diketahui pula bahwa proses penganggaran Rupbasan belum dikaitkan dengan kinerja penyimpanan dan pemeliharaan benda sitaan. Penyebabnya adalah bahwa sebagian
34
BAB 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
besar benda sitaan belum dititipkan di Rupbasan dan nilai realisasi atas penjualan lelang menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bagi instansi penyidik.
4. Sumber Daya Manusia Hingga saat ini, Kementerian Hukum dan HAM belum mengembangkan pegawai khusus untuk menangani Rupbasan. Pegawai yang bekerja di Rupbasan merupakan pegawai dari pusat, dari departemen/bagian lain, yang kompetensinya tidak terkait dengan penanganan benda sitaan.
5. Operasional Penanganan Benda Sitaan Berdasarkan Pasal 39 KUHAP batasan, jenis, dan jumlah benda sitaan pidana bersifat relatif karena tergantung kepada pendapat penyidik dalam pemenuhan kebutuhan pembuktian tindak pidana yang melekat kepada benda tersebut. Pasal 39 tersebut menjelaskan benda sitaan sebagai berikut: 1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana. 2. Benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya. 3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana. 4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana. 5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Berdasarkan penjelasan tersebut maka beban penyimpanan terkait jumlah dan jenis benda sitaan tidak dapat diperkirakan sebelum benda tersebut disita oleh Rupbsan. Di sini terlihat bahwa peran Rupbasan hanya menyimpan benda sitaan. Rupbasan tidak memiliki kewenangan untuk menentukan jenis dan jumlah barang yang dapat disita.
35
Selain itu, dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk menyimpan dan memelihara barang dan benda sitaan sebagian Rupbasan menghadapi berbagai permasalahan yang dapat mempengaruhi keberadaan, kondisi, dan nilai benda yang disimpan. Berbagai permasalahan tersebut antara lain: 1. 2. 3. 4. 5.
Keterbatasan tempat penyimpanan atau gudang. Rendahnya anggaran untuk biaya perawatan. Tidak adanya batas waktu. Terbatasnya tenaga pengamanan. Eksekusi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tidak segera dilakukan terhadap barang yang dititipkan. 6. Beberapa permasalahan tersebut tentu akan berdampak pada keutuhan jumlah dan nilai dari benda sitaan dan barang rampasan yang disimpan di Rupbasan. Pada akhirnya, masalah tersebut menyebabkan hilangnya potensi perolehan negara baik berupa Barang Milik Negara (BMN) yang bersumber dari penetapan pengadilan maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bila proses hukum di Pengadilan menetapkan bahwa barang tersebut dirampas untuk digunakan oleh instansi negara maupun dilelang dan disetorkan ke kas negara.
36
BAB 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
Lampiran 1 Rupbasan Dalam Media 1. Rupbasan Lampung Rupbasan Lampung sebagai pihak yang menerima barang titipan dari pihak penyidik Kepolisian maupun Kejaksaan, sudah mengalami over kapasitas sejak beberapa waktu yang lalu. Hal ini terjadi karena Rupbasan Lampung menerima banyak titipan sementara hanya memiliki satu gudang penyimpanan yang terisi penuh dengan barang-barang sitaan. Disamping masalah tersebut, over kapasitas yang terjadi pada Rupbasan Lampung juga disebabkan belum adanya eksekusi oleh jaksa terhadap barang yang telah memperoleh keputusan pengadilan untuk dilelang9.
2. Rupbasan Kelas I Medan Banyak barang simpanan yang telah diterima dan belum dilakukan eksekusi putusan pengadilan membuat pada basan dan baran yang disimpan di Rupbasan Kelas I Medan menjadi barang rongsokan. Beberapa barang yang disimpan di Rupbasan Kelas I Medan telah disimpan selama lebih dari lima tahun, terhadap barang tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap namun belum dilakukan eksekusi oleh jaksa. Keterbatasan kemampuan Rupbasan Kelas I Medan mengakibatkan tidak tertanganinya basan dan baran secara tepat dan baik, banyak dari barang yang dititipkan ditempatkan di bawah terik matahari dan hujan di ruang terbuka atau halaman kantor. Disamping itu banyak barang-barang yang dari segi sifatnya sesuai dengan ketentuan KUHAP memungkinkan untuk dilelang meskipun masih dalam proses hukum namun tidak dilakukan pelelangan misalnya gula, sehingga ketika dilakukannya pelelangan gula tersebut tidak layak lagi untuk dikonsumsi10. 9 Harian Radar Lamsel, 15 Februari 2009, www.radarlamsel.com/150209109 10 www.greenmedia.com, 02 Februari 2009
37
3. Rupbasan Pangkal Pinang Permasalahan over kapasitas yang terjadi karena Rupbasan Pangkal Pinang menerima penitipan barang sitaan dari banyak instansi penegak hukum yang ada di provinsi Bangka Belitung. Sebanyak 10 instansi yang terdiri dari Polres Pangkal Pinang, Polda Bangka Belitung, Kejari Pangkal Pinang, Kejari Sungai Liat, Kejari Muntok, Pengadilan Negeri Pangkal Pinang, Pengadilan Tinggi Bangka Belitung, Mahkamah Agung dan Polair Polda Babel. Di samping itu, Rupbasan Pangkal Pinang juga mengalami permasalahan dalam menjaga keamanan barang titipan karena kekurangan petugas pengamanan. Berikut adalah statistik basan dan baran pada tahun 200911
No
Masuk
Keluar
1
Polresta Pangkal Pinang
Instansi Asal
18
1
2
Polres Basel
13
3
Polda Babel
10
4
Kejari Pangkalpinang
48
5
Kejari Sungailiat
45
6
Kejari Muntok
7
Pengadilan Negeri Pkp
20
9
Pengadilan Tinggi Babel
1
10
Mahkamah Agung
1
Jumlah
161
1
2
4. Rupbasan Bandung Kelas I Bandung Minimnya biaya perawatan dan pemeliharaan menyebabkan barang titipan yang disimpan Rupbasan Kelas I Bandung tidak terpelihara dengan baik dan dibiarkan begitu saja. Meskipun ada perawatan maka hal itu sangat minimal bisa dilakukan. Hal tersebut terjadi karena alokasi dana perawatan yang dapat digunakan oleh Rupbasan Kelas I Bandung hanya Rp 1.000.000, sementara barang yang harus dirawat jumlahnya ribuan. 11 www.posbelitung.com, 18 Januari 2010
38
BAB 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
Demikian juga untuk merawat 200 kendaraan bermotor hanya tersedia biaya untuk 10 liter bensin saja, hal lain yang menjadi permasalahan di Rupbasan Kelas I Bandung adalah pemilik tidak mengambil barang sitaan yang telah diperintahkan oleh Pengadilan untuk dikembalikan setelah memperoleh kekuatan hukum. Menurut data yang diperoleh sampai tahun 2008 Rupbasan Kelas I Bandung menyimpan sekitar 1.557 barang sitaan dan rampasan.12
Status Kasus
Isi Gudang Umum
Berharga
Berbahaya
Terbuka
Akumulasi Jmlh
A I Penyidik
1
-
5
9
15
A II Kejaksaan
1378
13
7
138
1536
A III PN
4
-
-
2
6
Jumlah
1383
13
12
149
1.557
5. Rupbasan Yogyakarta Masalah integritas data dan bukti fisik juga terjadi pada Rupbasan Yogyakarta. Terdapat perbedaan signifikan antara jumlah barang sitaan dan rampasan yang tertera pada daftar barang simpanan dengan barang yang ada di ruang penyimpanan atau gudang. Hal ini terungkap dalam temuan kunjungan kerja Komisi III DPR-RI di Rupbasan Yogyakarta pada 22 Juni 2010.13
12 www.hukumonline.com; 3 Juli 2008 13 www.parlemen.com; 24 juni 2010
39
40
BAB 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
Lampiran 2 Aspek Perdata Benda Sebagai Obyek Penyitaan Dan Perampasan Pidana Sebagai obyek penyitaan dan perampasan benda dan atau barang yang terkait dengan tindak pidana menjadikan pengaturan tentang benda secara perdata sebagai acuan. Ketentuan hukum yang mengatur tentang kebendaaan meliputi azas kebendaan, pembagian dan pembedaan benda serta hak kebendaaan terdapat dalam beberapa undang-undang antara lain Buku Ke II Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), Undang-Undang Pokok Pokok Agraria (UUPA Nomor 5 Tahun 1960), Undang-Undang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU Nomor 4 Tahun 1996) dan Undang-Undang Jaminan Fidusia (UUJF Nomor 42 Tahun 1999).
Pengertian Benda Benda terbagi ke dalam dua pengertian yaitu benda dalam artian sempit diartikan sebagai benda yang dapat dilihat atau berwujud sedangkan dalam artian luas diartikan dengan setiap benda dan hak-hak yang dapat dikuasai dengan hak milik sebagai disebut dalam Pasal 509 KUH Perdata. Pengertian lainnya seperti pada Pasal 499 KUHPer bahwa benda adalah setiap benda dan setiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik dan segala sesuatu yang dapat di-HAKI atau dijadikan obyek hak milik.
Azas Hukum Benda Azas hukum benda termuat dalam Buku II KUHPer mulai Pasal 499 sampai dengan 1232. Dijelaskan bahwa benda merupakan kumpulan aturan hukum tentang benda. Sistem pengaturan pada Buku II KUHPer adalah sistem tertutup yang berarti seseorang tidak dapat mengadakan hak-hak kebendaan yang baru selain yang ada di dalam Buku II tersebut yang memuat azas-azas hukum kebendaan sebagai berikut:
41
1. Hukum memaksa Aturan yang berlaku menurut undang-undang wajib dipatuhi atau tidak boleh disimpangi oleh para pihak. 2. Dapat dipindahkan Semua hak kebendaan dapat dipindahkan. Menurut perdata barat, tidak semua dapat dipindahkan (seperti hak pakai dan hak mendiami), tetapi setelah berlakunya UUHT, semua hak kebendaan dapat dipindahtangan. 3. Individualitas Hak kebendaan suatu benda yang dapat ditentukan secara individu artinya berwujud dan merupakan satu kesatuan bukan benda yang ditentukan menurut jenis jumlahnya, misalnya memiliki rumah, hewan, dll. 4. Totalitas Dalam azas totalitas ini mencakup suatu azas perlekatan. Seseorang memiliki sebuah rumah, maka otomatis dia adalah pemilik jendela, pintu, kunci, gerbang, dan benda-benda lainnya yang menjadi pelengkap dari benda pokoknya (tanah). 5. Tidak dapat dipisahkan Seorang pemilik tidak dapat memindahtangankan sebagian dari wewenang yang atas suatu hak kebendaan seperti memindahkan sebagian penguasaan atas sebuah rumah kepada orang lain. Penguasaan atas rumah harus utuh, karena itu pemindahannya juga harus utuh. Tetapi, Eigendom dapat dibebani dengan hak lain seperti hak tanggungan atau hak memungut hasil. Jika hak-hak tersebut dilepaskan, hal ini tidak berarti pemilik melepaskan sebagian wewenangnya karena hak miliknya masih utuh.
42
BAB 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
6. Prioritas Azas ini timbul sebagai akibat dari azas nemoplus yaitu azas yang menyatakan bahwa seseorang hanya dapat memberikan hak yang tidak melebihi apa yang dimilikinya atau seseorang tidak dapat memindahkan haknya kepada orang lain lebih besar daripada hak yang ada pada dirinya. 7. Azas percampuran Percampuran terjadi bila dua atau lebih hak melebur menjadi satu. 8. Pengaturan dan Perlakuan yang Berbeda terhadap Benda Bergerak dan Tidak Bergerak Pengaturan dan perlakuan dapat disimpulkan dari cara membedakan antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak serta manfaat atau pentingnya pembedaan antara kedua jenis benda tersebut. 9. Azas publisitas Azas ini berkaitan dengan pengumuman status kepemilikan suatu benda tidak bergerak kepada masyarakat. Sedangkan untuk benda tidak bergerak tidak perlu didaftarkan, artinya cukup melalui penguasaan dan penyerahan nyata. 10. Perjanjian kebendaan Perjanjian kebendaan, perjanjian yang mengakibatkan berpindahnya hak kebendaan. Perjanjian disini bersifat obligatoir artinya dengan selesainya perjanjian, tujuan pokoknya belum selesai karena baru menimbulkan hak dan kewajiban antara para pihak artinya hak belum beralih sebab masih harus dilakukan penyerahan bendanya terlebih dahulu.
43
Pembagian benda dan pentingnya pembagian 1. Benda-benda berwujud dan tidak berwujud (Pasal 503 KUHPer). Ini dikaitkan dengan cara penyerahan benda yang bersangkutan sebagai akibat hubungan hukum (misalnya: karena jual beli, pewarisan, pemberian, dll). 2. Benda-benda yang bila dipakai habis dan tidak habis (Pasal 505 KUHPer). a. Benda yang dipakai habis seperti nasi, kopi, gula, uang, lilin. b. Benda yang dipakai tidak habis seperti piring, sendok, mobil, dll. 3. Benda yang sudah ada dan benda yang akan masih ada. Benda yang akan masih ada terbagi dalam dua bagian yaitu absolut dan relatif. a. Absolut adalah benda tersebut pada suatu saat sama sekali belum ada, misalnya panen padi yang masih akan datang. b. Relatif yaitu benda yang suatu saat sudah ada, tetapi bagi orangorang tertentu belum ada, misalnya perabot rumah tangga yang sudah dibeli berdasarkan pesanan tapi belum diserahkan. 4. Benda di dalam perdagangan dan benda di luar perdagangan Hal ini terkait kepada obyek perjanjian. Benda dalam perdagangan merupakan benda-benda yang dapat dijadikan objek suatu perjanjian (dapat diperjual belikan dengan bebas). Sementara benda di luar perdagangan merupakan benda-benda yang tidak dapat dijadikan obyek perjanjian, tidak dapat diperjualbelikan (jalan umum, lapangan sepak bola, dll). 5. Benda yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi. a. Benda yang dapat dibagi adalah benda yang wujudnya apabila dibagi tidak akan menghilangkan sifat dan hakekat benda tersebut (misal : beras, kopi, nasi). b. Benda yang tidak dapat dibagi adalah benda yang wujudnya apabila dibagi akan mengakibatkan hilangnya sifat dan hakikat benda tersebut (misalnya kuda, ayam, sapi karena kalau dibagi tidak lagi berupa hewan tetapi berupa daging kuda, daging ayam, daging sapi, dll).
44
BAB 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
6. Benda yang dapat diganti dan tidak dapat diganti. 7. Benda yang terdaftar dan tidak terdaftar. Pentingnya: terletak pada pembuktian kepemilikan a. Benda terdaftar (benda atas nama) adalah benda-benda yang pemindahan dan pembebanannya harus didaftarkan dalam daftar buku atau register umum yang dapat dibuktikan dengan tanda pendaftaran atau sertifikat atas nama kepemilikannya. b. Benda tidak terdaftar (benda tidak atas nama) adalah benda bergerak yang tidak sulit membuktikan siapa pemiliknya karena berlaku Azas Bezit berlaku sebagai title yang sempurna untuk benda bergerak. 8. Benda bergerak dan tidak bergerak. Cara membedakannya : a. Benda bergerak didasarkan atas dua hal yaitu karena sifatnya merupakan benda-benda yang dapat berpindah (termasuk kapalkapal, perahu-perahu dan tempat pemandian yang dipasangi perahu pasal 510 KUHPer) dan karena ketentuan UU (Pasal 511 KUHPer) terkait hak pakai hasil dan hak pakai atas benda-benda bergerak, hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan, penagihanpenagihan atau piutang-piutang, saham-saham atau andil dalam persekutuan dagang, dll. b. Benda tidak bergerak didasarkan kepada tiga hal yaitu karena sifatnya, (Pasal 506 KUHPer) misalnya tanah dan segala sesuatu yang melekat di atasnya, barang-barang tambang, karena peruntukannya dan tujuan pemakaian (Pasal 507 KUHPer) misalnya pabrik dan barang-barang yang dihasilkannya, penggilingan-penggilingan, dsb. Dan terakhir karena undangundang yang terdiri dari hak pakai hasil, dan hak pakai atas kebendaan tidak bergerak, hak pengabdian tanah, hak numpang karang, hak usaha, dll (Pasal 508 KUHPer) dan Pasal 314 KUHD kapal-kapal berukuran berat kotor 20 M (kubik) ke atas juga termasuk benda tidak bergerak.
45
Pentingnya dibedakan karena: 1. Bezit (Kedudukan berkuasa) Pasal 1977 KUHPer ayat 1 KUHPer, siapa yang menguasai benda bergerak maka dia lah pemilik benda tersebut sedangkan untuk barang bergerak ketentuan tersebut belum tentu dapat diterapkan. 2. Lavering (Penyerahan) Pasal 612 KUHPer, lavering benda bergerak dengan penyerahan nyata di mana dengan sendirinya menjadi penyerahan yuridis. Pasal 616 KUHPer, lavering benda tidak bergerak dilakukan dengan pengumuman akta yang bersangkutan (ditentukan dalam Pasal 620 KUHPer) membukukannya dalam register. 3. Bezwaring (Pembebanan) Pasal 1150 KUHPer terkait benda bergerak dengan gadai, Pasal 1162 KUHPer terkait dengan benda tidak bergerak dilakukan dengan hipotik. Dengan diberlakukannya UUHT maka atas tanah hanya dapat dibebankan dengan hak tanggungan. Hipotik hanya untuk pesawat dan helikopter (Pasal 12 UU No. 15 Tahun 1992, tentang Penerbangan) dan juga untuk kapal (Pasal 314 KUHD dan Pasal 9 UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran). 4. Verjaring (Kadaluwarsa) Benda bergerak tidak mengenal kadaluwarsa (Pasal 1977 ayat 1) bezit atas benda bergerak dianggap sebagai Eigendom. Benda tidak bergerak dikenal daluwarsa (Pasal 610 KUHPer), hak milik atas sesuatu kebendaan diperoleh karena kadaluwarsa. Kadaluwarsa adalah seseorang yang telah dua puluh tahun menguasai suatu benda tidak bergerak, suatu bunga atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk dengan itikad baik dan dengan landasan hak yang sah dapat menjadi pemilik benda/hak yang bersangkutan.
46
BAB 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana
Hak Kebendaan Hak yang dapat dilekatkan pada suatu kebendaan meliputi hak langsung yang memberikan kenikmatan dan hak jaminan. Macam-macam hak tersebut berikut ini: 1. Hak langsung yang memberi kenikmatan meliputi: a. Bezit yaitu suatu keadaan lahir di mana seseorang menguasai suatu benda seolah-olah miliknya sendiri dilindungi oleh hukum dengan tidak mempersoalkan hak atas benda tersebut ada pada siapa; b. Eigendom merupakan suatu hak yang paling sempurna atas suatu hak yang diperoleh dari pengakuan, perlekatan, lewat waktu, pewarisan, dan penyerahan; c. Opstal adalah hak untuk memiliki bangunan atau tanaman atas tanah milik orang lain; d. Erpact adalah hak kebendaan untuk menarik penghasilan seluasluasnya dan dalam jangka waktu yang lama dengan kewajiban membayar pact; e. Vrucht Gebruik adalah suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan dari benda milik orang lain dengan kewajiban menjaga agar benda tersebut tetap dalam keadaan semula. 2. Hak sebagai jaminan meliputi: a. Gadai adalah hak yang diperoleh seseorang berpiutang atau suatu benda bergerak yang diserahkan oleh debitur yang memberikan kekuasaan pada kreditur untuk mengambil pelunasan dari barang dengan hak preferent; b. Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak untuk mengambil penggantian dari suatu pelunasan perikatan; c. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda, hak yang timbul atas perjanjian accesoire antar debitur dengan kreditur.
47
Bab 3 Pengelolaan Aset Tindak Pidana Sebagai Barang Milik Negara
3.1. Peraturan Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Sebagai rampasan negara, aset tindak pidana dengan sendirinya berubah status menjadi barang milik negara yang merupakan perolehan lain yang sah melalui penetapan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan peraturan pelaksana lainnya. Ketentuan pada perundang-undangan tersebut juga mengatur kewenangan dan tanggung jawab pihak-pihak yang terkait dalam penanganan barang milik negara baik sebagai pengelola barang, pengguna barang/kuasa pengguna barang. Ketentuan Pasal 4 ayat 1 PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana diubah dengan PP Nomor 38 Tahun 2008 menetapkan bahwa pengelola barang milik negara adalah Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan Pasal 6 ayat 1 menetapkan bahwa pengguna barang adalah menteri/pimpinan lembaga selaku pimpinan kementerian negara/lembaga negara.
Beberapa Peraturan Rujukan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas PP Nomor 6 tahun 2006 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/ PMK.06/2007 Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindah tanganan Barang Milik Negara/Daerah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 109/PMK.06/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Inventarisasi, Penilaian dan Pelaporan Barang Milik Negara/Daerah.
48
BAB 3 - Pengelolaan Aset Tindak Pidana Sebagai Barang Milik Negara
3.2. Keterkaitan Peraturan BMN dengan Aset Tindak Pidana Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan barang milik negara dan aset tindak pidana memiliki keterkaitan. Keterkaitan ini mencakup seluruh aspek tata kelola semua barang yang menjadi milik negara yang bersumber dari perolehan lain yang sah yaitu penetapan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Sesuai dengan ketentuan pasal 2 PP Nomor 6 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 38 Tahun 2008, perolehan barang milik negara dapat digambarkan sebagai berikut :
PEROLEHAN BARANG MILIK NEGARA PEROLEHAN LAIN YANG SAH barang yang diperoleh dari hibah/ sumbangan atau yang sejenis PEROLEHAN ATAS BEBAN APBN
barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan perjanjian/ kontrak barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap memutuskan bahwa benda sitaan dirampas dan digunakan untuk kepentingan negara atau instansi pemerintah maka tindak lanjut penanganan barang tersebut berupa penyerahan barang kepada pengelola barang. Selanjutnya, barang tersebut dicatat sebagai barang milik negara dan ditetapkan status penggunaannya.
49
BENDA SITAAN: Untuk Kepentingan Penyidikan/Penuntutan/ ! Pemeriksaan Perkara PROTOKOL KUHAP
INKRACTH Dirampas Untuk Negara
ASET NEGARA: Ditetapkan dan Dikelola sebagai BMN PROTOKOL PER-UU-an BMN
Gambar 6. Keterkaitan Benda Sitaan dengan Barang Milik Negara
Pada prinsipnya, perlakuan terhadap barang yang telah menjadi milik negara telah menjadi kekayaan negara atau sebagai pendapatan negara. Hal tersebut juga berlaku dalam praktik pengelolaan aset tindak pidana. Ketentuan KUHAP memungkinkan untuk dilakukannya pemindahtanganan dengan cara menjual barang rampasan dan menyetor hasil penjualan ke kas negara.
3.3. Pengelolaan Aset untuk Barang Milik Negara Ruang lingkup pengelolaan barang milik negara meliputi segala aktivitas yang dilakukan oleh pengelola dan pengguna barang berkaitan penanganan barang milik negara adalah sebagai berikut: 1. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran; 2. Pengadaan; 3. Penggunaan; 4. Pemanfaatan; 5. Pengamanan dan pemeliharaan; 6. Penilaian; 7. Penghapusan; 8. Pemindahtanganan; 9. Penatausahaan; 10. Pembinaan serta pengawasan dan pengendalian;
50
BAB 3 - Pengelolaan Aset Tindak Pidana Sebagai Barang Milik Negara
Sesuai dengan ketentuan, pejabat mengatur pengelolaan Barang Milik Negara adalah Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang Milik Negara yang berwenang menetapkan segala prosedur dan tata cara pengelolaan Barang Milik Negara. Menteri/ pimpinan lembaga selaku pimpinan kementerian negara/ lembaga negara sebagai pengguna Barang Milik Negara berwenang dan bertanggung jawab untuk: 1. Menetapkan pengguna barang dan menunjuk pejabat yang mengurus dan menyimpan barang milik negara; 2. Mengajukan rencana kebutuhan dan penganggaran barang milik negara; 3. Melaksanakan pengadaan barang milik negara; 4. Mengajukan permohonan penetapan status; 5. Menggunakan barang milik negara; 6. Mengamankan dan memelihara barang milik negara; 7. Mengajukan usul pemanfaatan dan pemindahtanganan; 8. Melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan barang milik negara yang ada dalam penguasaannya; 9. Melakukan pencatatan dan inventarisasi barang milik negara yang berada dalam penguasaannya; 10. Menyusun dan menyampaikan Laporan Barang Pengguna Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) yang berada dalam penguasaannya kepada pengelola barang. Sesuai dengan pokok-pokok wewenang dan tugas tersebut, hubungan menteri keuangan selaku pengelola barang dengan menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna barang dapat digambarkan sebagai berikut:
51
MENTERI KEUANGAN Sebagai Pengelola Barang Regulator
MENTERI / PIMPINAN LEMBAGA Selaku Pengguna Barang User
Gambar 7. Hubungan Menteri Keuangan dan Menteri/ Pimpinan Lembaga dalam Pengelolaan Barang Milik Negara
Peraturan terkait dengan pengelolaan barang milik negara dan hubungan kerja antara lembaga sebagaimana diuraikan di atas akan menjadi dasar bagi mekanisme kerja Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana.
53
Bab 4 Komparasi Pengelolaan Aset Tindak Pidana Beberapa Negara
Penanganan masalah aset tindak pidana tidak hanya menjadi isu yang serius bagi Indonesia. Dengan demikian, pengalaman beberapa negara yang telah mempraktikkan kebijakan penanganan aset tindak pidana telah mendatangkan manfaat yang positif dalam rangka penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan. Dampak positif tersebut dapat menambah potensi pendapatan negara yang dapat digunakan untuk pembiayaan penegakan hukum itu sendiri. Bab ini akan membahas penanganan aset tindak pidana di Amerika, Kanada, dan Inggris.
4.1. Asset Forfeiture Program di Amerika Tujuan dari program Asset Forfeiture adalah melucuti para kriminal dari keuntungan mereka, memperbaiki koordinasi penegakan hukum dan penegakan hukum melalui pembagian pendapatan hasil rampasan/ equitable revenue sharing. Program Asset Forfeiture ini merupakan salah satu kisah sukses penegakan hukum di Amerika, dan US Marshals memainkan peran penting di dalamnya. Program ini bermula pada tahun 1984 saat Kongres meloloskan perundang-undangan yang dapat mengontrol segala jenis kejahatan secara menyeluruh berupa Comprehensive Crime Control Act. Aturan ini memberikan kewenangan baru kepada jaksa federal untuk melakukan perampasan. Aturan ini juga menciptakan Asset Forfeiture Fund (AFF) pada departemen kehakiman Amerika. Hasil dari penjualan aset yang dirampas seperti properti, kendaraan, bisnis, instrumen finansial, kapal, pesawat terbang, dan perhiasan disimpan di AFF. Selanjutnya dana tersebut digunakan untuk upaya penegakan hukum.
54
BAB 4 - Komparasi Pengelolaan Aset Tindak Pidana Beberapa Negara
Lebih lanjut program Asset Forfeiture juga mengatur pendistribusian hasil rampasan dalam Equitable Sharing Program. Hasil penjualan kerap digunakan bersama oleh institusi penegakan hukum tingkat nasional maupun lokal dalam investigasi untuk menunjang proses perampasan aset. Asset Forfeiture di Amerika telah menjadi kebijakan besar negara melalui Department of Justice (departemen kehakiman). Kebijakan ini merupakan usaha negara untuk meminimalisir kejahatan money laundering para pelaku tindak pidana. Asset Forfeiture Policy di Amerika merupakan program bersama dari seluruh agency pemerintah dan merupakan program penting yang melibatkan lembaga pada tingkat state, lokal, dan federal. Program Asset Forfeiture terdiri dari Department Of Justice (DOJ), US Marshals Service (USMS), US Attorneys Offices (USAO), Federal Bureau of Investigation (FBI), Drug Enforcement Administration (DEA), Bureau of Alcohol, Tobacco, Firearms and Explosives (ATF), Justice Management Division (JMD), Asset Forfeiture Management Staff, Criminal Division, Asset Forfeiture and Money Laundering Section (AFMLS),US Departement of Agriculture, (USDA), Office of Inspector General (OIG), Department of Defense (DOD), Criminal Investigative Service, US Departement of State, Bureau of Diplomatic Security (DS),US Food and Drug Administration (USFDA), Office of Criminal Investigations (OCI); dan Postal Inspection Service. Dalam pelaksanaannya USMS yang berada di bawah DOJ bersama jaksa federal menjadi garda terdepan dalam melakukan koordinasi dan eksekusi penyitaan/perampasan aset pidana. USMS turut serta dengan seluruh institusi investigasi dalam perencanaan pra-penyitaan yang merupakan langkah yang sangat penting dalam memastikan keputusan perampasan yang berjalan baik. Masing-masing agency memiliki spesifikasi kompentensi yang dapat menentukan detail seluruh tahapan dan persoalan dalam perampasan aset. Koordinasi dan diskusi yang dilakukan antar agency untuk memutuskan perlu tidaknya dilakukan penyitaan, tidak harus dilakukan secara langsung dapat dilakukan hanya melalui telepon atau dengan menggunakan teknologi elektronik lainnya.
55
Dalam proses investigasi pada banyak kasus US Marshals juga sering menggunakan bantuan profesional untuk menghimpun informasi berkaitan inventarisasi, transportasi, dan penyimpanan barang rampasan. Keterlibatan pihak lain dalam proses investigasi tidak serta merta membuat informasi penting lainnya boleh diketahui oleh pihak profesional/kontraktor yang dilibatkan. US Marshals tetap harus menjaga kerahasiaan informasi penyidikan dan tidak ada informasi yang boleh disebarkan kepada pihak lain tanpa izin dari jaksa (USAO). 1. Department Of Justice (DOJ) 2. US Marshals Service (USMS
16. US Attorneys Offices (USAO)
3. Drug Enforcement Administration (DEA) 15. Office of Inspector General (OIG) 4. Asset Forfeiture and Money Laundering Section (AFMLS),
14. Federal Bureau of Investigation (FBI)
13. US Food and Drug Administration (USFDA)
5.Justice Management Division (JMD
Asset Forfeiture
12. US Departement of State, Bureau of Diplomatic Security (DS)
6. Department of Defense (DOD)
11. Postal Inspection Service.
7. Criminal Investigative Service
10 Bureau of Alcohol, Tobacco, Firearms and Explosives (ATF)
8.Criminal Division 9. Asset Forfeiture Management Staff
Gambar 8. Lembaga yang terlibat dalam Program Asset Forfeiture Amerika
Pentingnya US Marshals melibatkan banyak pihak dalam setiap tahapan kegiatan adalah agar tindakan penyitaan/perampasan telah melalui analisa dari segala aspek termasuk untung-ruginya suatu properti hak milik pribadi disita oleh negara. Sebagai contoh, US Attorney’s Office (USAO) dalam menentukan keputusan untuk menyita sebuah usaha harus terlebih dahulu mendapatkan hasil review dari USMS dan agency yang tergabung dalam AFO (Asset Forfeiture Office). Review tersebut dilakukan terhadap dokumen dan literatur aset serta situasi keuangan perusahaan yang ditargetkan untuk disita.
56
BAB 4 - Komparasi Pengelolaan Aset Tindak Pidana Beberapa Negara
Dalam hal ini beberapa analisa akan dilakukan untuk mengantisipasi dan membuat keputusan tentang siapa dan apa yang ditangkap/ditahan dan disita, bagaimana cara dan kapan hal itu akan dilakukan, dan yang paling penting adalah apakah hal itu harus dilakukan. Berikut beberapa hal penting yang menjadi bahan analisa sebelum penyitaan dilakukan: 1. Apa yang akan disita? Ini menentukan cakupan tindakan penyitaan. Sebagai contoh: jika suatu rumah ditetapkan untuk disita apakah barang lain yang ada dan melekat pada rumah tersebut juga ikut disita? Jika yang disita adalah usaha seseorang, apakah bangunan di mana usaha tersebut beroperasi juga ikut disita, rekening bank lainnya, piutang, hutang, dan lain-lain juga disita? Semua hal yang menyangkut target sitaan harus diidentifikasi sejauh mungkin. 2. Aset yang bagaimana akan disita? Apakah usaha atau aset yang secara ekonomis sedang berada pada posisi negatif pada saat akan dilakukan penyitaan atau setelah disita akan mengalami perubahan nilai menjadi negatif perlu juga disita? Apa manfaat bagi penegakan hukum sehingga aset tersebut harus disita? Apakah sitaan memerlukan sumber yang besar yang harus disediakan oleh USMS dan USOA untuk melakukan pengawasan? 3. Bagaimana dan kapan aset akan disita? Menentukan apakah penyitaan segera diperlukan atau jika hanya kontrol yang memadai, untuk menjaga aset, dan melindungi kepentingan pemerintah tanpa harus menguasai aset tersebut secara fisik. Segala jenis informasi yang diperlukan dan kewenangan hukum harus telah tersedia dan dimiliki oleh masing-masing pihak yang terlibat. Hal tersebut akan membantu masing-masing pihak melaksanakan tanggung jawab sesuai kewenangan setelah penyitaan.
57
4. Apakah manajemen dan penyelesaian dari kemungkinan adanya masalah telah diantisipasi, dan bagaimana hal itu diatasi? Contoh, setiap masalah logistik yang diharapkan terlibat dalam pemeliharaan, manajemen, atau penanganan aset harus dibicarakan dan diselesaikan sedini mungkin dalam penyelidikan. 5. Apakah ada rencana untuk publikasi? Untuk menangani masalah publisitas atau hubungan masyarakat maka dianjurkan untuk berkonsultasi dengan staf khusus yang mempuyai keahlian publisitas dan kehumasan yang memadai termasuk bagaimana menangani publikasi negatif. Dengan segala kewenangan yang dimilikinya USMS menjalankan peran yang luas dan meliputi perencaanaan penyitaan, identifikasi aset pidana sampai dengan menentukan pengelolaan dan penanganan aset hasil sitaan. Bersama agency lain yang tergabung AFO, USMS menangani benda sitaan walaupun hanya bersifat penguasaan administratif sementara keberadaan sitaan berupa properti atau usaha ditunjuk pihak yang mempunyai kapasitas, atau kontrak pengelolaan kepada provider untuk mengelola properti atau usaha tersebut. Hal ini dimungkinkan karena tugas US Marshals tidak hanya melayani sebagai kustodian dari barang yang disita dan dirampas, tetapi juga memberikan informasi dan membantu jaksa dalam membuat keputusan tentang target untuk perampasan. Dalam mengelola dan menjual seluruh aset yang disita, US Marshals memakai prosedur yang diterapkan oleh sektor swasta. Kontrak institusi dengan vendor yang baik untuk meminimalkan waktu aset dalam persediaan dan memaksimalkan penerimaan bagi negara. Kendati fisik properti atau usaha hasil sitaan/rampasan yang tidak berada di bawah penguasaan USAO, USMS, AFO namun agency-agency memiliki sistem untuk menjangkau seluruh informasi terhadap aset sitaan tersebut. Baik dalam hal pengelolaan maupun pendistribusian hasil penjualannya. Proses ini dikendalikan oleh Department of Justice Assets Forfeiture Fund (AFF) melalui progam Equitable Sharing of Federally Forfeited Property-E-Sharing. Program sharing tersebut adalah pembagian hasil penjualan kepada negara-negara bagian dan lembaga-lembaga
58
BAB 4 - Komparasi Pengelolaan Aset Tindak Pidana Beberapa Negara
penegak hukum sebagai insentif bagi penegakan hukum. Pembagian dana ini secara reguler diaudit dan secara online dapat diakses setiap saat.
4.2. Proceeds of Crime Act di Inggris Latar Belakang
Ketentuan yang mengatur penyitaan hasil tindak pidana diatur dalam Proceeds of Crime Act 2002 (POCA) yang mulai berlaku pada 24 Maret 2003. Sebelum berlakunya Proceeds of Crime Act 2002 (POCA), penyitaan dilakukan berdasarkan Criminal Justice Act 1988 (CJA) sebagaimana telah diubah dengan Proceeds of Crime Act 1995 yang memberikan kewenangan kepada Crown Court dan hakim pengadilan untuk membuat perintah penyitaan. Pada bulan Oktober 1998, perdana menteri melalui Performance & Innovation Unit (PIU) memeriksa pengaturan pemulihan aset dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi proses pemulihan dan meningkatkan jumlah pengembalian aset yang diperoleh secara ilegal. Laporan PIU diterbitkan oleh pemerintah pada bulan Juni 2000 dengan sejumlah proposal legislatif yang meliputi konsolidasi undang-undang yang berkaitan dengan penyitaan dan pencucian uang ke dalam sebuah kesatuan undang-undang (POCA). Pada 31 juli 2002 POCA mendapat persetujuan kerajaan dan dapat diimplementasikan.
59
Proses Asset Recovery
Penyitaan Pidana
Penyitaan pidana adalah metode utama untuk memperoleh kembali hasil tindak kejahatan bila dari penyelidikan awal ditetapkan kasus akan dilanjutkan. Penyelidikan untuk penyitaan akan berjalan paralel dengan penyelidikan kriminal. Di bawah POCA 2002, tindakan kriminal tertentu dapat dijadikan indikasi pola/gaya hidup kriminal. Tindakan kriminal tersebut antara lain: penggunaan obat bius, pemalsuan, pelecehan seksual, dan pemerasan. Bila seseorang dianggap memiliki gaya hidup kriminal, segala macam transfer properti selama enam tahun ke belakang atau yang dimiliki pada saat dakwaan dan semua pengeluaran yang terjadi berasal dari tindak pidana kecuali dapat dibuktikan lain. Bila kemudian seluruh hasil investigasi memperkuat dugaan, pengadilan akan memutuskan menerbitkan perintah penyitaan diikuti dengan perintah membayar pada jadwal dan jumlah tertentu. Perintah penyitaan tersebut juga diikuti dengan penetapan hukuman pidana bila perintah membayar tidak dipenuhi.
60
BAB 4 - Komparasi Pengelolaan Aset Tindak Pidana Beberapa Negara
Pengembalian Perdata
Bila penyitaan pidana tidak dapat dilakukan maka pengembalian perdata (civil recovery) dapat dilakukan. Civil recovery fokus pada aset yang diperoleh dari hasil kejahatan daripada individunya. Dengan demikian, sangat memungkinkan memperoleh aset dari seseorang tanpa keterlibatannya dalam kejahatan bila asetnya diperoleh dari hasil kejahatan.
Perpajakan
Bila pengembalian secara perdata tidak dapat dilakukan, Agency dapat mempertimbangkan penggunaan aspek perpajakan. Agency akan fokus pada kemungkinan penghasilan seseorang, keuntungan, atau laba berasal dari sumber-sumber kriminal. The Serious Crime Act 2007, Chapter 27, Part 3, Chapter 2, Proceeds of Crime, merevisi ketentuan dalam POCA 2002 berkaitan dengan ARA dihapuskan dan fungsi ARA didistribusikan kepada lembaga-lembaga yang lain. Penyitaan dan Revenue function yang selama ini melekat pada ARA dialihkan ke lembaga Serious Organised Crime Agency (SOCA). Sedangkan fungsi akreditasi dan fungsi pelatihan dialihkan ke National Policing Improvement Agency (NPIA).
Praktik Penyitaan oleh CPS
Protokol pelaksanaan penyitaan diatur berdasarkan Service Level Agreement (SLA) antara DPP dengan Association of Chief Police Officers of England and Wales (ACPO) sebagai panduan umum untuk kerjasama antara pihak-pihak tentang isu-isu yang timbul dari POCA. Perjanjian tersebut harus digunakan sebagai dasar untuk protokol lokal antara Jaksa Kepala Crown dan Chief polisi. Ini akan memperjelas peran dan tanggung jawab mereka yang terlibat di area/tingkat kekuatan dan menetapkan pengaturan kerja yang efektif untuk tujuan undang-undang tersebut. The Code for Crown Prosecutors memberi masukan kepada prosecutors/ jaksa penyita untuk: 1. Mempertimbangkan biaya yang ditimbulkan dan keseriusan kesalahan pelaku sehingga pengadilan dapat memberikan putusan yang memadai serta memungkinkan kasus disajikan secara jelas dan sederhana.
61
2. Asset recovery strategy membutuhkan agen untuk mengumpulkan data, menginformasikan target untuk meningkatkan penggunaan investigasi keuangan dan nilai pesanan.
Penanganan Aset yang Membutuhkan Pengelolaan Aktif
Section 48(2) POCA memberikan Crown Court kewenangan menunjuk suatu management receiver terkait properti yang terkena perintah blokir POCA. Pengelolaan management receiver termasuk menjual properti atau bagiannya atau kepentingan di dalamnya, membawa atau mengatur pihak lain untuk membawa aset dalam perdagangan atau usaha dan terjadi capital expenditure pada properti tersebut. Penggunaan mangement receiver terutama dilakukan untuk aset yang membutuhkan pengelolaan aktif. Di mana pada saat terdakwa dalam tahanan tidak dapat mengelola sendiri aset tersebut. Management Receiver adalah orang yang ditunjuk pengadilan dalam berkas penuntutan.
4.3. Seized Property Management Act di Canada Kedudukan
Seized Property Management Act merupakan undang-undang yang mengatur pengelolaan aset yang disita atau dirampas sehubungan dengan pelanggaran tertentu, pelepasan aset rampasan, dan pembagian hasil dari pelepasan (disposal) tersebut.
Tujuan Seized Property Management Act
Untuk memberi kewenangan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Jasa Pemerintah (Ministry of Public Works and Government Services) untuk memberikan data dan memberikan konsultasi dan layanan lainnya untuk badan penegakan hukum sehubungan dengan penahanan atau penyitaan properti yang terkait pidana tertentu. Peraturan tersebut juga memberi kewenangan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Jasa Pemerintah untuk mengelola dan melepaskan properti hasil tindak pidana atau pelanggaran yang berhubungan dengan properti.
62
BAB 4 - Komparasi Pengelolaan Aset Tindak Pidana Beberapa Negara
Manajemen Properti
Menteri Pekerjaan Umum dan Jasa Pemerintah bertanggung jawab terhadap kepemilikan dan pengendalian semua properti yang berada dibawah penguasaannya. Menteri akan terus bertanggung jawab atas penjagaan dan pengelolaannya hingga properti tersebut dilepas. Selain bertanggung jawab atas penjagaan dan pengelolaan properti dimaksud, menteri bertanggung jawab untuk pengawasan, pengelolaan dan sampai semua properti hasil kejahatan tersebut dijual. Penguasaan, pengelolaan benda oleh Menteri tidak menghalangi penegakan hukum yang berkaitan dengan properti tersebut. Setiap orang yang memiliki kewenangan terhadap properti yang dikenakan perintah pengelolaan sebagaimana disebutkan dalam Criminal Code; harus sesegera mungkin menyerahkan pengendalian properti kepada Menteri setelah perintah dikeluarkan, kecuali untuk properti, atau setiap bagian dari properti, diperlukan sebagai bukti atau diperlukan untuk kepentingan penyelidikan.
Kewenangan Menteri Pengelola
Dalam melaksanakan tujuan undang-undang ini, menteri dapat menyediakan jasa konsultasi dan lainnya untuk lembaga penegak hukum sehubungan dengan penyitaan atau pembatasan hak milik ataupun sehubungan dengan pelanggaran yang ditunjuk atau properti yang sedang atau mungkin hasil tindak pidana atau pelanggaran yang berkaitan dengan properti: 1. Mempertahankan operasi yang sedang berlangsung dari properti; 2. Melakukan perbaikan properti untuk mempertahankan nilai ekonomi yang memadai; 3. Melepaskan properti dengan merujuk pada peraturan dan ketentuan administrasi keuangan dan undang-undang yang berkaitan dengan keuangan publik; 4. Atas permintaan jaksa agung semua uang yang akan ditransfer ke Kanada sesuai perjanjian berdasarkan peraturan; 5. Kontrak untuk pelayanan orang lain; 6. Melakukan hal lain yang dipertimbangkan mendesak terkait dengan pelaksanaan tujuan undang-undang ini.
63
Dana Bagi Hasil
Dana bagi hasil diberikan kepada lembaga penegak hukum jika suatu lembaga penegakan hukum Kanada telah berpartisipasi dalam investigasi, penyitaan, perampasan terhadap suatu objek properti seperti diatur dalam Criminal Code, Controlled Drugs and Substances Act dan Proceeds of Crime (Money Laundering) and Terrorist Financing Act.
Keuangan dan Pendanaan
Dengan adanya Seized Property Management Act maka dibuat rekening untuk modal kerja yang dikenal dengan Seized Property Working Capital Account. Setiap pembayaran yang dibeban kepada rekening modal kerja dilaporkan dalam laporan pendapatan dana. Keuangan yang berada di bawah pengawasan menteri atau yang menjadi milik menteri yang berasal dari pelepasan properti harus dimasukkan ke dalam laporan pendapatan dana dan dikreditkan ke rekening modal kerja digunakan untuk keperluan operasional dan dicadangkan untuk potensi kerugian di masa depan dan potensi klaim pihak lain. Apabila jumlah dana tidak cukup untuk pembayaran yang diperlukan maka dibebankan pada rekening modal kerja. Menteri keuangan atas permintaan menteri dapat mengesahkan pengeluaran uang muka rekening modal kerja dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi pembayaran dan harus dibayarkan kembali dengan cara yang ditentukan oleh menteri keuangan. Uang muka yang diberikan dan bunganya dapat diminta penggantiannya oleh pengadilan yang berwenang atau dengan cara yang diatur oleh hukum.
Review
Tiga tahun setelah berlakunya undang-undang ini, ketentuan yang terkandung di dalam aturan ini akan di-review kembali dan dievaluasi dalam satu komite seperti House of Commons, Senat atau Houses of Parliament yang ditetapkan oleh parlemen. Komite yang ditunjuk atau ditetapkan oleh parlemen harus sesegera mungkin melakukan tinjauan yang komprehensif dan menyampaikan laporan serta rekomendasi perubahan yang diperlukan kepada parlemen.
64
BAB 4 - Komparasi Pengelolaan Aset Tindak Pidana Beberapa Negara
Komite yang ditunjuk atau ditetapkan oleh Parlemen harus sesegera mungkin, melakukan tinjauan yang komprehensif operasionalisasi ketentuan undang-undang ini. Dalam waktu satu tahun setelah melakukan tinjauan diberikan kuasa oleh House of Commons harus menyampaikan laporan dan rekomendasi perubahan yang diperlukan kepada Parlemen.
Ringkasan
Dari sistem penyitaan dan pengelolaan aset pada ketiga negara yang ditelaah tersebut dapat diketahui sebagai berikut: 1. Umumnya ketiga negara tersebut memisahkan fungsi kewenangan penyitaan dengan fungsi penyimpanan dan pengelolaan aset. 2. Fungsi penyitaan pada ketiga negara tersebut melekat pada penyidik, baik pada kejaksaan maupun instansi lainnya yang memiliki kewenangan penyidikan. 3. Fungsi penyimpan dan pengelolaan pada masing-masing sistem berbeda namun tetap mengutamakan independensi fungsi tersebut dari fungsi penyitaan. 4. Seluruh sistem mengacu pada program asset recovery sebagai framework terhadap penyitaan dan pengelolaan. 5. Dana yang diperoleh dari hasil pelepasan aset tindak pidana digunakan untuk penguatan kapasitas lembaga penegak hukum maupun upaya penegakan hukum lainnya. Tabel ringkasan pada halaman 65 merinci berbagai identifikasi pada masing-masing sistem penyitaan dan pengelolaan aset tindak pidana.
65
KEWENANGAN
USA U.S. Attorney IRS Special Agents (CI)
PENYITAAN
FBI ( Federal Bureau of Investigation),
INGGRIS Crown Prosecution Service (CPS) dibawah Proceeds of Crime Act 2002 (POCA)
KANADA Jaksa (Attorney General)
INDONESIA PENYIDIK KPK Kepolisian Kejaksaan PPNS lainya
DEA ( Drug Enforcement Administration) Instansi Lainnya
PENYIMPANAN
PENGELOLAAN
PELEPASAN (Pelelangan & Pengembalian)
HASIL
Akuntabilitas
US MARSHAL
ARA
Dengan Professional Contractor
Management Receiver (Petugas Pengadilan yang ditunjuk lewat aplikasi tuntutan)
US MARSHAL
ARA
Dengan Profesional Contractor
Management Receiver (Petugas Pengadilan yang ditunjuk lewat aplikasi tuntutan)
US MARSHAL
ARA
Dengan Profesional Contractor
Management Receiver (Petugas Pengadilan yang ditunjuk lewat aplikasi tuntutan)
Equitable Sharing Program (ESP) Laporan Keuangan Audit oleh auditor independen
Menteri (Minister of Public Work and Government Services)
Menteri (Minister of Public Work and Government Services
Rupbasan Penyidik
-----
Menteri (Minister of Public Work and Government Services)
Jaksa Eksekutor & Balai Lelang Negara
Put back into the fight against crime*
Equitable Sharing Program (ESP)
PNBP
Criminal Justice Joint Inspection (CJJI)
Audit oleh auditor independen
Laporan Satker LAKIP Audit oleh BPK Audit Operasional oleh Itjen
* Sumber: Criminal Justice Joint Inspection (CJJI) 2010: 51
67
Bab 5 Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
5.1. Prinsip-Prinsip Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana Sesuai dengan uraian pada Bab II dapat dirumuskan beberapa masalah dalam praktik penyitaan, perampasan, penyimpanan, dan pelepasan aset tindak pidana saat ini yang meliputi: pemisahan fungsi, keterlibatan lembaga dalam penyitaan, efektivitas fungsi penyimpanan, pelaksanaan fungsi pengelolaan, akuntabilitas, dan transparansi. Masing-masing masalah dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Pemisahan fungsi penyitaan, perampasan, dan penyimpanan yang diamanatkan KUHAP belum secara disiplin dilaksanakan. 2. Lembaga yang menyimpan aset tindak pidana tidak terlibat dalam perencanaan penyitaan, penyitaan, dan pelepasan. 3. Fungsi penyimpanan belum dapat dilaksanakan dengan baik karena belum kuatnya dukungan pendanaan, organisasi, dan SDM bagi institusi yang bersangkutan. 4. Fungsi pengelolaan aset tindak pidana belum diamanatkan dalam undang-undang atau peraturan untuk dilaksanakan oleh instansiinstansi yang saat ini terlibat. 5. Belum terbangunnya sistem administrasi dan pelaporan yang memadai untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi penanganan aset tindak pidana. Dengan memahami rumusan masalah di atas, penyusunan kerangka konseptual lembaga pengelola aset tindak pidana harus menjawab kelima masalah utama tersebut. Inisiasi lembaga pengelolaan aset tindak pidana harus dapat mewujudkan hal-hal berikut ini:
68
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
1. Pemisahan fungsi penyitaan-perampasan dengan penyimpananpengelolaan Berdasarkan perbandingan beberapa sistem pada Bab IV, pemisahan fungsi penyitaan-pengelolaan merupakan salah satu bagian penting dalam pendirian lembaga pengelolaan aset. Pemisahan fungsi merupakan salah satu rekomendasi kelompok kerja G-8 sebagaimana disebut sebelumnya. Dengan pemisahan fungsi, diharapkan instansi penyidik lebih fokus pada proses peradilan. Sedangkan Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana fokus pada penanganan aset yang disita baik sebagai barang bukti maupun sebagai rampasan untuk pengembalian kerugian negara. Pemisahan fungsi ini akan membuat proses bisnis (business process) pada peradilan dan pengelolaan aset tindak pidana menjadi independen. Kedua proses harus saling berinteraksi dalam suatu koridor service level agreement yang ditetapkan. Perlu ditegaskan bahwa tambahan tugas pengelolaan aset tidak mengurangi fungsi Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana sebagai support function bagi proses peradilan. Dalam proses tersebut Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana harus mampu melayani kebutuhan menghadirkan barang bukti di pengadilan secara tepat waktu, efisien, dan biaya yang ekonomis. 2. Keterlibatan Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana dalam prapenyitaan dan proses penyitaan Sebagai konsekuensi pemisahan fungsi penyitaan dari fungsi pengelolaan, Lembaga Pengelola Aset harus mampu memenuhi segala kebutuhan fasilitas penyimpanan. Untuk itu, Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana harus memiliki perencanaan yang tepat tentang fasilitas, metode, biaya operasional, dan SDM yang diperlukan. Salah satu sumber informasi untuk perencanaan tersebut adalah jenis, kuantitas, dan saat penyitaan yang dilakukan oleh penyidik. Melibatkan Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana dalam pra-penyitaan ataupun proses penyitaan akan meningkatkan kemampuan lembaga dalam melakukan perencanaan. Di samping untuk kebutuhan perencanaan, keterlibatan lembaga pada proses pra-penyitaan dan penyitaan akan meningkatkan akuntabilitas.
69
3. Pembenahan manajemen penyimpanan aset tindak pidana Beban kerja Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana akan meningkat signifikan begitu pemisahan fungsi ditetapkan. Dengan demikian, tanggung jawab terhadap benda yang diterima meningkat pula. Tanggung jawab tersebut baik terkait dengan pelayanan kebutuhan proses peradilan maupun terhadap kondisi barang sitaan. Untuk itu, Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana harus membangun sistem manajemen yang handal dan fasilitas yang memadai. Sistem informasi harus dilakukan secara komputerisasi agar dapat memantau berbagai jenis item barang dan pergerakannya masing-masing. Sistem tersebut harus memungkinkan penanganan aset dalam setiap tahap proses hukum dan menangani mutasi lintas wilayah. Fasilitas gudang harus memenuhi standar pergudangan yang baik. Tempat penyimpanan harus menjaga aman aset tindak pidana yang disimpan dari akses orang yang tidak berwenang. Tempat penyimpanan juga harus mampu mengamankan aset tindak pidana dari kerusakan akibat kondisi cuaca. Fasilitas tersebut tidak harus merupakan bangunan milik negara. Kerja sama dengan penyedia jasa penyimpanan yang baik dapat menghemat pengeluaran negara sekaligus memungkinkan memperoleh jasa penyimpanan dengan kualitas terbaik. Sementara itu, pembangunan fasilitas fisik untuk penyimpanan oleh pemerintah benar-benar dilakukan untuk fasilitas yang sangat prioritas dan tidak disediakan oleh rekanan. 4. Penetapan fungsi pengelolaan pada instansi yang ditunjuk Penetapan fungsi pengelolaan selain fungsi penyimpanan yang telah ada saat ini, bertujuan untuk memaksimalkan potensi penerimaan negara. Mengacu pada jenis aset tindak pidana berdasarkan status hukumnya, maka pengelolaan aset tindak pidana dilakukan terhadap benda sitaan negara dan barang rampasan negara. Dikarenakan status hukum antara keduanya berbeda maka pengelolaan terhadap keduanya juga berbeda. Benda sitaan negara disita dengan tujuan untuk keperluan barang bukti dalam proses peradilan sehingga belum dapat dilakukan tindakan apapun sampai ada kekuatan hukum tetap melalui keputusan pengadilan. Oleh karena itu, pengelolaan
70
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
terhadap benda sitaan negara hanya dapat dilakukan dalam bentuk penyimpanan dan pemeliharaan dengan tujuan untuk menjaga keutuhan nilai ekonomis benda tersebut baik jenis, macam, kadar, kuantitas dan kualitasnya tetap terjamin. Sedangkan barang rampasan negara telah memiliki kekuatan hukum tetap. Berbeda dengan benda sitaan negara, pengelolaan barang rampasan negara dapat dilakukan secara lebih maksimal dengan sasaran utama yaitu meningkatkan nilai ekonomis aset tersebut yang pada gilirannya nanti akan memberikan peluang peningkatan pendapatan bagi negara. Oleh karena itu, kegiatan pengelolaan aset (asset management) selanjutnya memiliki peran yang sangat penting di dalam mengelola aset tindak pidana berupa barang rampasan negara. Dengan demikian, terdapat dua tahapan pengelolaan aset tindak pidana yaitu pengelolaan aset tindak pidana berupa benda sitaan negara dan pengelolaan aset tindak pidana berupa barang rampasan negara. Pengelolaan benda sitaan merupakan pengelolaan tahap awal sebelum ada keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap atas sebuah aset tindak pidana. Sedangkan pengelolaan barang rampasan merupakan pengelolaan tahap berikutnya setelah ada keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap atas sebuah aset tindak pidana. Pengelolaan tahap pertama pada dasarnya adalah sebagaimana praktik penyimpanan dan pemeliharaan yang telah dilaksanakan saat ini. Pembahasan tentang pengelolaan tahap kedua akan disampaikan pada sub-bab berikutnya. 5. Penyusunan sistem administrasi dan pelaporan yang transparan dan akuntabel Sistem administrasi dan pelaporan salah satu bagian penting dalam program asset recovery. Rekomendasi kelompok kerja G-8 menyebutkan: “Administrasi aset yang disita harus dilakukan secara transparan dan dapat diaudit oleh auditor independen, atau ahli yang setara sesuai dengan hukum nasional yang berlaku. Setiap temuan hendaknya disampaikan kepada publik.”
71
Sistem administrasi dan pelaporan Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana harus mampu menyediakan informasi yang handal dan tepat waktu. Terutama informasi tentang berapa jumlah aset tindak pidana yang disita dan berapa hasil yang diperoleh negara dari pengelolaan tersebut. Laporan tersebut harus tersedia baik pada tingkat unit pelaksana teknis maupun tingkat nasional.
5.2. Kelembagaan Pengelola Aset Tindak Pidana Terdapat dua aspek yang harus diperhatikan dalam inisiasi Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana yaitu aspek makro organisasi yang meliputi bentuk keterlibatan dalam proses penyitaan dan perampasan, kedudukan kelembagaan, dan bentuk badan hukum. Aspek kedua adalah penetapan tugas pokok Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana. 2.5.1. Aspek Makro Organisasi Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
Alternatif Bentuk Keterlibatan Bentuk keterlibatan lembaga pengelola aset pidana akan mempengaruhi seluruh aktivitas dan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga tersebut dalam rangka penanganan aset pidana. Mengacu pada komparasi beberapa sistem yang dibahas pada bab sebelumnya, terdapat beberapa model keterlibatan Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana dalam proses penyitaan dan perampasan. Dalam konteks Indonesia, secara umum terdapat tiga model keterlibatan yang dapat diusulkan sebagai berikut: Alternatif 1. Lembaga Pengelolaan Aset Tindak Pidana terlibat sejak awal dalam proses penyitaan yang dilakukan oleh penyidik. Keterlibatan tersebut berupa masukan kepada lembaga pengelola kepada penyidik menyangkut obyek sitaan baik nilai, kondisi, dan manfaat. Dengan pola keterlibatan seperti ini Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana dapat berperan lebih aktif dalam memaksimalkan peran fungsi pengelolaan aset pidana dan menjadi fungsi pendukung (support function) bagi penyidik dalam upaya pengembalian aset pidana atau kerugian negara.
72
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
Peran dan fungsi ini dapat direalisasikan dengan kesepahaman bersama berbagai pemangku kepentingan antara lain, KPK, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Keuangan. Kesepahaman ini dapat dilanjutkan dengan sinkronisasi terhadap peraturan pemerintah yang mengatur benda sitaan dan barang rampasan serta sinkronisasi regulasi yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak menyangkut penanganan benda sitaan dan barang rampasan. Alternatif 2. Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana berfungsi sebagai penyimpan benda sitaan dan pengelola barang rampasan. Dengan pola keterlibatan seperti ini Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana tidak ditugaskan mendeteksi aset tindak pidana terlebih dahulu. Nilai, jenis, jumlah, dan manfaat benda sitaan bagi negara belum diketahui sebelum diserahkan oleh penyidik kepada lembaga tersebut. Namun demikian, pola ini memungkinkan Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana untuk melakukan upaya lebih maksimal terhadap aset pidana selain menyimpan selama proses peradilan. Upaya ini berupa ditambahnya tugas atau fungsi pengelolaan aset (asset management) pada lembaga penyimpan. Sama dengan alternatif pola keterlibatan yang pertama, untuk melaksanakan pola keterlibatan ini memerlukan kesepahaman bersama berbagai pemangku kepentingan antara lain KPK, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Keuangan. Alternatif 3. Bentuk lain keterlibatan Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana adalah keterlibatan lembaga tersebut dalam semua tahapan proses penyitaan, baik identifikasi benda yang berhubungan dengan tindak pidana maupun identifikasi dan penelusuran aset yang diduga dihasilkan dari tindak pidana. Pola keterlibatan aktif seperti ini akan memberi dampak yang sangat signifikan dalam upaya penegakan hukum dan pengembalian aset pidana atau kerugian negara. Pola keterlibatan seperti ini di samping
73
memerlukan kesepahaman dari berbagai pihak, juga memerlukan pengaturan khusus melalui undang-undang yang khusus pula. Alternatif Kedudukan Lembaga Selain berbagai alternatif bentuk keterlibatan seperti yang dijelaskan di atas, efektifitas pengelolaan aset pidana juga ditentukan oleh kedudukan kelembagaannya. Sebagaimana diuraikan pada Bab III, terdapat kaitan kewenangan dan tanggung jawab antara menteri keuangan dan kementerian/lembaga teknis dalam pengelolaan barang milik negara. Efektifitas tugas dan fungsi lembaga pengelola aset akan sangat tergantung pada kedudukan lembaga tersebut. Secara umum alternatif kedudukan lembaga pengelola aset tindak pidana dapat dibagi kedalam tiga jenis kedudukan sebagai berikut: Alternatif 1. Satu Atap Dua Fungsi Kelembagaan yang berfungsi sebagai penyimpan benda sitaan pidana dalam proses pemeriksaan perkara dan sebagai pengelola barang rampasan yang telah inkracht yang mempunyai nilai ekonomis. Kedua fungsi tersebut ditempatkan dalam satu atap sebuah lembaga. Dengan demikian, lembaga tersebut memiliki fungsi support bagi proses peradilan sekaligus fungsi pengelolaan barang milik negara dan penerimaan negara. Dengan demikian, lembaga tersebut membawa kewenangan yang semula berada pada kementerian hukum dan HAM dan kewenangan dari kementerian keuangan. Alternatif 2. Dua Atap Dua Fungsi Kelembagaan yang terpisah satu dengan lainya di mana masing-masing lembaga menjalankan tugas dan fungsi yang berbeda. Lembaga pertama sebagai lembaga yang menyimpan benda sitaan pidana, lembaga kedua sebagai pengelola barang rampasan yang telah inkracht yang mempunyai nilai ekonomis. Selanjutnya, kedua lembaga tetap berada pada kementerian asal kewenangan tersebut. Lembaga penyimpan benda sitaan tetap berada
74
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
di bawah kementerian hukum dan HAM. Lembaga pengelola aset tindak pidana berada di bawah kementerian keuangan. Alternatif 3. Kelembagaan Khusus Kedudukan lembaga ini mempunyai kewenangan yang besar. Lembaga khusus ini bersama dengan penyidik dan penuntut umum melakukan setiap tahapan penelusuran, penyitaan, penyimpanan dan pengelolaan aset pidana. Dengan kedudukan dan kewenangan yang khusus memungkinkan Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana ini untuk memberi hasil yang maksimal dalam upaya penegakan hukum dan recovery asset. Alternatif Bentuk Badan Hukum Beberapa alternatif bentuk badan hukum lembaga pengelola aset yang memungkin untuk di terapkan saat ini adalah : 1. Bentuk Kementerian/Lembaga, kelembagaan ini tidak harus menjadi suatu kementerian atau lembaga khusus namun cukup menjadi kelembagaan yang berada langsung di bawah suatu kementerian/ lembaga negara. 2. Bentuk Badan Layanan Umum (BLU), bila kedudukan lembaga pengelola aset menjalankan fungsi penyedia barang atau jasa (persyaratan substantif BLU) berupa pengelolaan dan pelelangan aset pidana maka sangat memungkinkan untuk dipertimbangkan kedudukan lembaga pengelola aset berbentuk BLU. Sejauh ketentuan dan persyaratan terpenuhi maka menjadikan lembaga pengelolaan aset pidana berbentuk BLU dapat dilakukan. 3. P asal 2 Peraturan Pemerinatah Nomor 23 Tahun 2005 menegaskan bahwa BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktik bisnis yang sehat. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam membentuk sebuah BLU
75
seperti persyaratan substantif, persyaratan teknis dan persyaratan administratif. 4. Bentuk Badan Usaha Milik Negara, sesuai dengan sifatnya badan usaha milik negara merupkan badan usaha yang sebagian atau seluruh kepemilikannya dimiliki oleh negara. BUMN dapat pula berupa perusahaan nirlaba yang bertujuan untuk menyediakan barang atau jasa bagi masyarakat. Sebagai lembaga yang menjalankan pengelolaan barang milik negara yang memiliki nilai ekonomis. Lembaga Pengelola Aset dapat juga dipertimbangkan berbentuk Badan Usaha Milik Negara. Ketiga pertimbangan di atas dapat digambarkan seperti tabel matriks berikut:
Bentuk keterlibatan
Kedudukan Kelembagaan
Badan Hukum Institusi
Terlibat sejak awal/Advice
Satu atap Dua fungsi
Model K/L
Penyimpan dan Pengelola
Dua atap Dua Fungsi
BLU
Aktif dalam setiap tahapan
Lembaga/Kewenangan ekstra ordinary dengan Ketentuan baru
BUMN
Dari berbagai kemungkinan tersebut, tim penelitian merumuskan pilihan bentuk lembaga pengelola aset sebagai berikut: 1. Lembaga terlibat sejak awal dalam pra-penyitaan dalam bentuk masukan dan koordinasi Memberikan tugas dan kewenangan kepada lembaga untuk terlibat sejak awal ditujukan agar penyitaan mencapai hasil yang maksimal. Terutama bila penyitaan dilakukan pada aset yang bernilai ekonomis tinggi. Pegawai dari lembaga dapat memberi masukan bagi penyidik untuk memilih aset-
76
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
aset yang tepat, tidak menyulitkan penyimpanan dan pengelolaan, serta memiliki nilai tinggi saat dieksekusi. Selain untuk memaksimalkan penyitaan, keterlibatan pegawai lembaga sejak awal juga diharapkan dapat menciptakan transparansi dan akuntabilitas yang lebih baik. Dengan keterlibatan tersebut, jenis, jumlah, kualitas, dan nilai aset yang akan disita dapat diidentifikasi dan dibandingkan dengan realisasinya. 2. Fungsi penyimpan dan pengelolaan aset tindak pidana berada dalam satu atap. Dengan adanya amanat pengelolaan aset perlu disusun kelembagaan yang dapat melaksanakan fungsi penyimpanan terpadu dengan fungsi pengelolaan. Pelaksanaan kedua fungsi-fungsi tersebut hendaknya dilakukan dalam satu atap. Hal ini dimaksudkan agar terjadi rangkaian proses yang tidak terputus dari proses penerimaan, penyimpanan, pelepasan, dan pengelolaan. Fungsi pengelolaan aset utamanya akan dilakukan setelah terjadinya keputusan pengadilan. Namun dengan keterpaduan fungsi dalam satu atap, fungsi pengelolaan dapat melakukan perencanaan yang lebih baik yang dilakukan sebelum keputusan ditetapkan. Untuk aset-aset tertentu dan kasus-kasus tertentu Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana dapat memulai fungsi pengelolaan sebelum keputusan diperoleh. Dengan demikian, nilai aset tersebut dapat dimaksimalkan saat terjadinya realisasi. 3. Lembaga berbentuk badan layanan umum Pelaksanaan fungsi pengelolaan aset, lembaga pengelola membutuhkan fleksibilitas keuangan yang memadai. Biaya untuk pemeliharaan dan pengelolaan harus memadai, baik berdasarkan beban perkara ataupun per-item benda sitaan. Proses penyimpanan maupun pengelolaan aset tindak pidana seharusnya tidak menjadi beban anggaran baru bagi negara. Sumber pembiayaan tersebut dapat berasal dari hasil pengelolaan aset tindak pidana itu
77
sendiri. Dengan demikian, dibutuhkan bentuk lembaga yang dapat melakukan pengelolaan dan menerima kembali hasil pengelolaan tersebut. Berdasarkan kebutuhan tersebut, salah satu bentuk hukum yang dapat memberikan fleksibilitas keuangan adalah badan layanan umum (BLU). Namun demikian, organ lembaga yang berbentuk BLU dapat dibatasi pada fungsi yang melakukan layanan proses pelelangan yang berhubungan dengan masyarakat luas. Sedangkan untuk fungsi yang terkait dengan proses peradilan tetap dapat dilakukan dalam bentuk instansi departemen atau badan. 2.5.2. Tugas Pokok Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
Berdasarkan hasil pembahasan mengenai peraturan dan perundangan tentang penyitaan dan perampasan, serta pengelolaan barang milik negara maka dapat diidentifikasi dua arus utama dalam pengelolaan aset tindak pidana. Arus pertama adalah proses penegakan hukum yaitu proses berjalannya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga jatuhnya putusan. Arus yang kedua adalah arus pengelolaan benda sitaan, dari mulai diidentifikasi, disita, disimpan, dikelola, hingga dieksekusi sesuai keputusan pengadilan. Memperhatikan berbagai aspek kajian di atas, konsep dasar penyusunan lembaga pengelola aset tindak pidana dapat digambarkan seperti bagan pada halaman 79. Sebagaimana digambarkan dalam diagram proses bisnis pengelolaan aset tindak pidana tersebut adalah: 1. Pemisahan aliran penegakan hukum dengan aliran pengelolaan aset tindak pidana. 2. Kedua aliran proses tersebut saling berinteraksi dengan mekanisme manajerial yang independen satu sama lainnya namun diatur melalui konsep service level agreement. 3. Fokus kepada aliran penegakan hukum adalah proses peradilan dan keputusan yang seadil-adilnya sedangkan fokus pada bagian pengelolaan aset adalah menjaga integritas barang sitaan, melayani permintaan proses peradilan, serta mencapai nilai aset yang paling optimal saat dieksekusi.
PENYIDIKAN
PENYITAAN
PENYIMPANAN
PENYELIDIKAN
PRA-PENYITAAN
ADVISE/ KOORDINASI
Gambar 9. Proses Bisnis
REKANAN PENYEDIA JASA
DJKN
PEMERIKSAAN PENGADILAN
BALAI LELANG
PENGELOLAAN
PENUNTUTAN
TERDAKWA/TERSANGKA/TERPIDANA
MASYARAKAT
FUNGSI PENDUKUNG LEMBAGA PENGELOLA ASET
PENUNTUT
PENYIDIK
KAS NEGARA
PERAMPASAN
PERAMPASAN/ PENGEMBALIAN
PELAKSANAAN KEPUTUSAN
HAKIM
KAS NEGARA
PENEGAKKAN HUKUM
78 BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
79
Tugas pokok Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana pada setiap tahapan proses sebagai berikut:
Pra –Penyitaan Aset apa yang harus disita
Memberikan masukan dalam penentuan jenis barang yang akan disita, spesifikasi dan karakteristik khusus yang dapat juga dijadikan acuan apakah penyimpanan dilakukan sendiri atau diserahkan kepada provider.
Bagaimana dan kapan harus disita
Memberikan masukan cara dan waktu yang tepat untuk melakukan penyitaan sehingga dapat meminimalisir kemungkinan hilangnya target sitaan
Kelengkapan surat izin penyitaan dan surat perintah penyitaan
Memastikan dasar yuridis penyitaan untuk mengantisipasi gugatan balik dari pelaku kejahatan
Tingkat potensi objek sitaan
Melakukan analisis dan perkiraan realistis kondisi dan hasil nilai sitaan, dan potensi kemungkinan klaim pihak ketiga.
Antisipasi biaya yang timbul akibat penyitaan
Melakukan perkiraan biaya manajemen selama pengelolaan dimulai dari penerimaan, pemeliharaan sampai dengan pelepasan
Ketersediaan provider yang Mengidentifikasi dan melakukan hubungan dapat merawat menyimpan kerjasama dengan pihak rekanan yang akan hasil sitaan menyimpan dan memelihara sitaan
80
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
Penyimpanan & Pemeliharaan oleh dalam Masa Penyitaan Standarisasi penyimpanan Menyusun standar penyimpanan dan pemeliharaan dan pemeliharaan benda serta memastikan pemenuhan standar tersebut. sitaan Memastikan provider yang menjadi rekanan Lembaga Penyimpan Aset Tindak Pidana harus memenuhi kualifikasi administrasi dan teknis sebagai penyedia jasa penyimpanan dan pemeliharaan sitaan. Pelayanan proses peradilan dan pelepasan aset
Memastikan provider penyedia jasa penyimpanan sitaan responsive terhadap permintaan Lembaga Penyimpan Aset Tindak Pidana bila sewaktuwaktu harus mengeluarkan dan membawa aset sitaan untuk dihadirkan dalam pemeriksaan perkara atau mengeluarkan sitaan untuk dilelang bilamana LPA berdasarkan keputusan penanggung jawab yuridis sitaan memerintahkan untuk melelang sitaan. Lembaga Penyimpan Aset Tindak Pidana dapat menetapkan pihak ketiga sebagai operator profesional untuk menjalankan kerjasama pengelolaan ekonomis aset pidana.
Akuntabilitas dan kepatuhan
Melakukan pemeriksaan administrative dan Stock Opname bersama penyidik secara regular terhadap sitaan yang disimpan.
81
Pasca Penyitaan-Pelepasan Mempersiapkan pengembalian kepada pemilik. Dalam hal benda sitaan tidak diambil oleh pemilik sah setelah putusan pengadilan Lembaga Penyimpan Aset menyampaikan pemberitahuan kepada yang bersangkutan agar benda yang disimpan oleh Lembaga Penyimpan Aset. Pelepasan dengan tindak lanjut pengembalian
Setelah pemberitahuan tentang benda sitaan yang masih tidak diambil, maka Lembaga Penyimpan Aset melelang benda tersebut dan membebankan biaya penyimpanan semenjak putusan pengembalian pada hasil penjualan. Mempersiapkan pelepasan pelelangan barang rampasan segera setelah salinan keputusan pengadilan diterima oleh jaksa dan disampaikan kepada Lembaga Penyimpan Aset.
Pelepasan-dengan tindak lanjut Pelelangan
Melakukan pelelangan dan menyetor hasil lelang sebesar persentase yang ditentukan ke kas negara paling lama 14 hari setelah salinan keputusan pengadilan.
82
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
Melakukan inventarisasi barang rampasan bersama Jaksa Eksekutor yang akan di tetapkan sebagai BMN Melakukan koordinasi dengan Dirjen Kekayaan Negara dalam rangka penetapan barang rampasan menjadi BMN dan dalam rangka penentuan calon pengguna barang milik negara. Pelepasan-dengan tindak lanjut Penetapan sebagai BMN
Menyampaikan laporan administrasi barang rampasan yang akan akan ditetapkan sebagai BMN meliputi salinan putusan pengadilan, Kertas Kerja Inventarisasi (KKI) kepada Menkeu c.q DIRJEN Kekayaan Negara selaku Pengelola BMN. Menyerahkan barang rampasan kepada calon pengguna BMN (K/L) yang ditetapkan oleh pengelola BMN dan dimuat dalam Berita Acara Serah Terima Barang (BASB) antara LPA dan K/L penerima yang disaksikan oleh Kejaksaan.
5.3. Sistem Organisasi Lembaga Pengelola Aset Setelah prinsip-prinsip proses pengelolaan aset dapat dirumuskan, selanjutnya perlu disusun fungsi-fungsi utama dan fungsi pendukung lembaga pengelolaan aset tersebut. Fungsi-fungsi utama lembaga ini disusun dengan mempertimbangkan rangkaian proses dan job family untuk penyusunan struktur nantinya. Secara garis besar, fungsi-fungsi yang harus ada dalam lembaga pengelola aset adalah sebagai bagan berikut:
83
PENERIMAAN
PENYIMPANAN
PENGELOLAAN
- Manajemen Aset
- Fungsi advice dan koordinasi pra-penyitaan
- Pengadaan jasa penyimpanan berbagai aset
- Identifikasi & Klarifikasi Aset
- Pengendalian pergerakan fisik nilai benda sitaan
- Manajemen BMN
- Pemeliharaan
- Pengelolaan PNBP
- Penilaian - Pencatatan
- Manajemen Pelepasan Aset
- Pengembalian
PERENCANAAN & PENGANGGARAN MANAJEMEN RESIKO
KEUANGAN INTERNAL AUDIT
HRD SISTEM
PELAPORAN KOMUNIKASI
Gambar 10. Fungsi Utama dan Fungsi Pendukung Lembaga Pengelola Aset
Fungsi Utama Pengelolaan Aset Tindak Pidana 1. F ungsi Penerimaan, menjalankan berbagai aktivitas sebagai kontak awal pra-penyitaan meliputi: aktivitas memberikan masukan penyitaan, melakukan identifikasi dan klasifikasi aset untuk keperluan pencatatan maupun untuk ketepatan penyimpanan, dan melakukan penilaian terhadap benda sitaan yang memiliki nilai ekonomis yang signifikan. 2. Fungsi Penyimpanan, menjalankan berbagai aktivitas setelah benda sitaan resmi dicatatkan dalam sistem lembaga. Pada fungsi ini dilakukan berbagai aktivitas meliputi: pengadaan dan koordinasi jasa penyimpanan benda sitaan dari pihak ketiga, mengendalikan pergerakan benda secara fisik, pencatatan, maupun perubahan nilai selama benda dalam penyimpanan, memberikan pelayanan mutasi barang untuk keperluan peradilan, dan melakukan pemeliharaan terhadap benda sitaan sesuai prosedur yang ditetapkan. 3. Fungsi Pengelolaan menjalankan fungsi manajemen aset untuk barang rampasan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada fungsi ini dilakukan aktivitas utama fungsi seperti perencanaan dan
84
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
penilaian aset, fungsi pengembangan aset, fungsi pelepasan aset, serta fungsi monitoring dan pengendalian. Bagian 5.4 akan membahas lebih rinci pelaksanaan fungsi pengelolaan pada Lembaga Pengelola Aset. Fungsi Pendukung Pengelolaan Aset Tindak Pidana Untuk terlaksananya ketiga fungsi utama tersebut, lembaga juga harus memiliki beberapa fungsi pendukung: 1. Perencanaan dan Penganggaran Fungsi pendukung untuk perencanaan dan penganggaran melakukan aktivitas menyusun rencana organisasi secara keseluruhan, penyusunan program kerja, kebutuhan anggaran keuangan, dan target kinerja lembaga pengelola aset. 2. Keuangan Fungsi pendukung untuk aspek keuangan melakukan aktivitas pengelolaan keuangan baik pengeluaran operasional maupun penerimaan dari hasil operasional. Fungsi ini juga akan menyusun laporan keuangan seusai dengan prinsip-prinsip keuangan yang ditetapkan untuk diaudit oleh auditor independen. 3. Human Resources & Development Fungsi pendukung untuk sumber daya manusia dan pengembangannya melakukan perencanaan, rekruitmen, pelatihan dan pengembangan, setting remunerasi dan penilaian kinerja, serta berbagai aspek SDM lainnya. 4. Komunikasi & Pelaporan Fungsi pendukung untuk pelaporan adalah menyediakan berbagai jenis laporan kepada berbagai pemangku kepentingan. Di mana salah satu pelaporan tersebut adalah laporan keuangan yang dihasilkan fungsi keuangan. Fungsi ini juga bertanggung jawab terhadap proses komunikasi kepada berbagai pemangku kepentingan. 5. Sistem dan IT Fungsi pendukung untuk sistem dan IT adalah untuk merencanakan, membangun, mengembangkan, dan memelihara berbagai sistem dan IT pada lembaga pengelola aset tindak pidana.
85
6. Internal Audit Fungsi pendukung internal audit adalah untuk melakukan audit secara internal guna memastikan aspek efektivitas, efisiensi, kehematan, serta kepatuhan terhadap prosedur pengelolaan aset tindak pidana. 7. Manajemen Risiko Fungsi pendukung untuk aspek manajemen risiko adalah untuk melakukan identifikasi, mengukur, dan melakukan mitigasi terhadap berbagai risiko lembaga pengelola aset tindak pidana. Terutama pada aspek pengelolaan aset, fungsi ini mengembangkan suatu register risiko untuk tiap-tiap jenis aset sitaan, metode penyimpanan, transportasi/ mutasi, pengelolaan, nilai aset, serta metode pelepasan.
5.4. Asset Management Pada Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana Seperti yang dijelaskan pada bagian 5.1 bahwa perlu ditetapkan fungsi pengelolaan aset tindak pidana pada Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana. Fungsi pengelolaan ini pada prinsipnya adalah asset management yang juga diterapkan pada sektor swasta. Terdapat beberapa definisi yang berbeda tentang manajemen aset sebagai berikut: 1. The Institute of Asset Management (IAM) mendefinisikan bahwa “asset management is the art and science of making the right decisions and optimising these processes. A common objective is to minimise the whole life cost of assets but there may be other critical factors such as risk or business continuity to be considered objectively in this decision making”. 2. Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) mendefinisikan manajemen aset sebagai berikut, “A systematic process of effectively maintaining, upgrading and operating assets, combining engineering principles with sound business practice and economic rationale, and providing the tools to facilitate a more organised and flexible approach to making decisions necessary to achieve the public’s expectations.”14 3. Pemerintah South Australia mendefinisikan manajemen aset sebagai “… a process to manage demand and guide acquisition, use and disposal of assets to make the most of their service delivery potential, and manage risks and costs over their entire life”. 14 www.austroads.com.au/asset/whatisasset.html
86
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
4. D epartemen Transportasi Amerika Serikat mendefinisikan manajemen aset sebagai “…a systematic process of maintaining, upgrading, and operating physical assets cost effectively. It combines engineering principles with sound business practices and economic theory, and it provides tools to facilitate a more organized, logical approach to decision making. Thus, asset management provides a framework for handling both short and longrange planning”. 5. The Association of Australian and New Zealand Road Transport and Traffic Authorities (Austroad), mendefinisikan manajemen aset sebagai berikut. “Asset management may be defined as a comprehensive and structured approach to the long term management of assets as tools for the efficient and effective delivery of community benefits. The emphasis is on the assets being a means to an end, not an end in themselves.”15 Di Indonesia, manajemen aset tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang menyebutkan bahwa “Pengelolaan barang milik negara/daerah meliputi perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian.”
5.5. Siklus Asset Management pada Aset Tindak Pidana Siklus hidup fisik dari suatu aset atau kelompok aset memiliki tiga fase yang berbeda yaitu pengadaan (acquisition), operasi, dan pelepasan (disposal). Kemudian ditambahkan fase keempat yaitu perencanaan yang merupakan proses lanjutan dimana output informasi dari setiap fase digunakan sebagai input untuk perencanaan.
15 Austroads 1997 Strategy for Improving Asset Management Practice, p4
87
Terkait dengan pengelolaan aset tindak pidana beberapa poin yang harus ditelaah lebih lanjut untuk memahami implikasinya bagi lembaga pengelola aset tersebut.
No
Poin Perhatian
Implikasi
1
Suatu proses yang sistematis, terorganisir dengan baik, dan fleksibel untuk pelayanan dan pengambilan keputusan.
Pengelolaan aset tindak pidana harus dilakukan secara sistematis, terorganisir dan fleksibel dalam memenuhi kebutuhan proses peradilan maupun dalam pengembalian kerugian negara.
2
Meliputi aspek perencanaan kebutuhan, penggunaan, pemeliharaan, pentausahaan, hingga disposal.
Lembaga pengelola aset harus dapat melakukan perencanaan dan perkiraan mengenai aset-aset yang akan diterima, baik jenis, jumlah, dan dampak pada biaya. Dengan demikian proses pengelolaan aset tindak pidana tidak menjadi beban baru bagi negara.
3
Memperhatikan aspek teknis, aspek manajemen yang baik (sound business practices).
Lembaga pengelola aset harus menggunakan metode-metode manajerial yang baik dalam pengelolaan fisik, penatausahaan, serta proses pelepasannya untuk mencapai nilai ekonomis yang paling optimal.
4
Bertujuan untuk memaksimalkan hasil bagi publik, mengelola risiko, dan biaya yang ditimbulkannya.
Lembaga pengelola aset harus berpegang pada azas manfaat bagi publik. Baik dari sisi penerimaan negara maupun dalam hal upaya penegakan hukum.
5
Berjalannya pembinaan, pengawasan, dan pengendalian pada proses manajemen aset tersebut.
Lembaga pengelola aset harus mengedepankan akuntabilitas dan transparansi, baik kepada antar instansi terkait maupun kepada publik. Pelaporan lembaga pengelola aset tersebut harus dapat diaudit oleh auditor independen, dan hasilnya disampaikan kepada masyarakat luas.
88
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
Asset Disposal
Asset Planning
Asset Utilization
Asset Creation
Asset Management Lifecycle
Berdasarkan siklus hidup pengelolaan aset tersebut maka dapat diketahui bahwa pada dasarnya terdapat beberapa fungsi di dalam pengelolaan aset (asset management). Fungsi-fungsi dimaksud antara lain: 1. Perencanaan dan Penilaian Petugas perencanaan melakukan identifikasi dan klasifikasi atas aset berupa barang rampasan negara yaitu barang bukti yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Aset diidentifikasi dan diklasifikasikan sesuai dengan jenisnya sehingga memudahkan di dalam proses pengelolaannya. Selanjutnya petugas perencanaan melakukan penilaian atas aset tersebut. Petugas perencanaan melakukan evaluasi risiko atas aset-aset tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat risiko dari setiap aset yang nantinya menjadi pertimbangan dalam menetapkan bagaimana model pengembangan aset yang akan dilakukan. Petugas perencanaan juga mengusulkan model pengembangan aset termasuk instrumen apa yang akan digunakan. Selanjutnya petugas perencanaan menyusun anggaran (budgeting) termasuk di dalamnya proyeksi perolehan pendapatan atas aset tersebut.
89
Aktivitas Penerimaan dan Indentifikasi Aktivitas Perencanaan diawali dari proses penerimaan, identifikasi dan klasifikasi atas aset berupa barang rampasan negara yaitu barang bukti yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Aset diidentifikasi dan diklasifikasikan sesuai dengan jenisnya sehingga memudahkan di dalam proses pengelolaannya. Setelah barang dapat diidentifikasi dan diklasifikasi dengan jelas selanjutnya dilakukan proses perencanaan aset lebih lanjut dalam aktivitas penilaian aset. Aktivitas Penilaian Aset Barang yang diterima oleh lembaga akan dikembangkan dan dikelola sebagai barang atau aset investasi yang nantinya diharapkan akan memberikan kontribusi bagi pendapatan negara. Dalam aktivitas penilaian ini, beberapa kegiatan yang dilakukan yaitu: Penetapan Profil Aset. Profil aset merupakan penetapan jenis dan atribut-atribut yang melekat pada aset setidaknya memuat status hak kepemilikannya, wilayah dan lokasi peruntukannya, penguasaan fisik yang ada, ataupun hal lainnya yang diperlukan sebagai dasar pengelolaan lebih lanjut. Pengukuran Tingkat Risiko Pengukuran tingkat risiko meliputi identifikasi risiko, pengukuran risiko aset serta usulan upaya mitigasi yang diusulkan. Pengukuran risiko ini nantinya sebagai dasar yang harus dipertimbangkan dalam membuat usulan pengelolaan aset. Penghitungan Tingkat Return yang diharapkan Penghitungan tingkat imbal (return) investasi dilakukan untuk memprediksi berapa hasil optimal yang bisa diperoleh oleh negara atas hasil pengelolaan aset yang ada tersebut. Penetapan ini harus melalui analisis mendalam terhadap seluruh parameter investasi yang ada. Oleh
90
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
karena itu di dalam aktivitas ini harus melibatkan sebuah kegiatan riset investasi baik sebagai fungsi perencanaan investasi maupun fungsi tersendiri diluar fungsi perencanaan namun hasilnya digunakan oleh fungsi perencanaan investasi. Menyusun Usulan Pengelolaan Aset Petugas Perencanaan juga mengusulkan model pengembangan aset termasuk instrumen apa yang akan digunakan. Selanjutnya petugas perencanaan menyusun anggaran (budgeting) termasuk di dalamnya proyeksi perolehan pendapatan atas aset tersebut.
2. Pengembangan Kegiatan pengembangan aset dilakukan oleh petugas pengembangan yang didasarkan kepada usulan model pengembangan dari bagian perencanaan. Model pengelolaan disesuaikan dengan jenis aset dan tingkat risiko. Bentuk pengelolaan aset dapat berupa kegiatan pemeliharaan, perawatan, kerjasama operasi (KSO), sewa menyewa, jual beli dan kegiatan investasi lainnya. Petugas pengembangan juga melakukan proses administrasi dan hukum sejalan dengan kompleksitas di dalam kegiatan pengelolaan. Fungsi pengembangan aset merupakan fungsi pengelolaan terhadap aset-aset yang diserahkan kepada lembaga untuk ditingkatkan nilainya sehingga bisa memberikan kontribusi lebih kepada negara. Input dari fungsi pengembangan aset adalah usulan pengembangan aset yang dibuat oleh fungsi perencanaan dan penilaian. Secara garis besar aktivitas dari pengembangan aset meliputi tiga aktivitas utama yaitu: 1. P enempatan (placement) surat berharga. 2. Pengelolaan aset tetap. 3. Administrasi aset.
91
Aktivitas penempatan (placement) surat berharga Dari usulan pengembangan dikatakan bahwa adanya pemisahan antara aset yang bersifat direct placement berupa barang rampasan yang memiliki tingkat likuditas tinggi dan dapat langsung diinvestasikan misalnya barang rampasan berupa uang, surat berharga, deposito/ tabungan, saham dan sejenisnya dengan aset yang tidak demikian. Pengembangan terhadap aset jenis ini lebih mudah secara adminsitrasi karena fungsi ini akan melakukan penempatan sesuai dengan jenis dan bauran investasi yang memungkinkan dengan pertimbangan utama tingkat risiko dan return maksimal yang dapat diperoleh oleh lembaga. Beberapa indikator utama yang diperlukan untuk menjalankan investasi ini adalah: 1. Kejelasan prosedur dan otorisasi penempatan investasi. 2. Penetapan tingkat return minimal. 3. Penetapan kriteria jenis investasi yang diijinkan misalnya Kriteria Bank yang memungkinkan, kriteria saham yang diijinkan dan sebagainya. Pengelolaan aset tetap Aktivitas pengelolaan aset tetap adalah pengelolaan terhadap barang rampasan yang memiliki sifat dan tingkat likuiditas selain yang dikategorikan aset lancar. Jenis-jenis barang rampasan yang dikelola oleh fungsi ini di antaranya tanah, gedung, kendaraan, pabrik, dan sejenisnya. Berdasarkan usulan pengembangan aset yang diterima, aktivitas pengembangan aset akan melakukan upaya-upaya realisasi baik dari sisi legal maupun teknis. Tujuannya adalah agar aset tersebut dapat dikelola secara optimal. Aktivitas penanganannya tentunya disesuaikan dengan jenis aset yang ada di antaranya: •
Perawatan atau pemeliharaan aset dengan tujuan aset tidak mengalami penurunan nilai.
•
Peningkatan kualitas aset dengan memperbaiki, melengkapi ataupun meningkatkan fungsi aset sehingga dapat diperoleh nilai yang lebih tinggi.
92
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
•
Melakukan upaya peningkatan aset lainnya seperti tindakan menyewakan, Kerjasama Operasi, Build on Tranfer dan sejenis.
Administrasi aset Aktivitas administrasi aset merupakan aktivitas pendukung (supporting) terhadap manajemen aset yang dilakukan oleh fungsi pengembangan aset di atas. Pengadminitrasian tersebut dilakukan baik sebagai penerapan administrasi manajemen aset yang tertib, maupun sebagai bagian dari akuntablitas peningkatan nilai aset yang telah dilakukan yang nantinya dapat diukur pada saat lembaga akan melakukan pelepasan aset. 3. Pelepasan dan Penyerahan Dari hasil kegiatan pengelolaan yang telah dilakukan petugas pengembangan merekomendasikan usulan pelepasan dan penyerahan aset dan hasilnya kepada petugas pelepasan dan penyerahan. Selanjutnya petugas tersebut mempersiapkan proses pelepasan dan penyerahan kepada negara dalam bentuk menyetorkan hasil pengelolaan aset kepada kas negara. Fungsi ini bertanggungjawab untuk melakukan eksekusi terhadap aset yang telah dikelola lembaga dan dinyatakan siap untuk dilepaskan pengelolaannya dari lembaga. 4. Pengendalian dan Pengawasan (Monitoring) Petugas pengendalian dan pengawasan melakukan pengendalian dan pengawasan (monitoring) dalam upaya untuk memastikan bahwa pengelolaan aset telah berjalan sesuai dengan perencanaan yang ada. Fungsi pengendalian dan pengawasan aset merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mengendalikan tiga fungsi yang ada agar sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam perkembangannya, fungsi ini juga dapat berfungsi “4-eyes control” terhadap fungsi yang dijalankan oleh ketiga fungsi eksekusi yang ada. Pengembangan lebih lanjut, fungsi pengendalian dan pengawasan dapat juga menjalankan fungsi pengendalian terhadap fungsi penyimpanan benda sitaan yang ada. Aktivitas yang dilakukan di antaranya : 1. Menerima penyerahan aset yang akan dilepaskan dari fungsi pengembangan aset.
93
2. M elakukan review terhadap kemungkinan pelepasan yang paling menguntungkan bagi negara. 3. Melakukan realisasi pelepasan sesuai ketentuan dan prosedur yang berlaku. seperti penjualan aset dan tender/lelang aset. 4. Penyerahan hasil pelepasan aset dan administrasinya kepada negara melalui departemen keuangan.
5.6. Struktur Organisasi Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana Dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip, tugas pokok dan fungsi, dan business process Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana, tim peneliti merumuskan struktur organisasi sebagai berikut: 1. L embaga Pengelola Aset diusulkan berbentuk badan. 2. Badan Pengelola Aset Tindak Pidana dipimpin oleh seorang kepala badan dibantu oleh satu sekretaris badan, dan empat Deputi. 3. Struktur organisasi badan pada tingkat pusat disusun seramping mungkin dengan memperkuat unit-unit pelaksana teknis (UPT) pada tiap-tiap wilayah hukum. 4. UPT pada wilayah hukum terdiri dari UPT penyimpan dan pemelihara benda sitaan dan UPT berbentuk badan layanan umum untuk mengelola aset tindak pidana yang telah dirampas. 5. Klasifikasi organisasi UPT disesuaikan dengan beban kerja tanpa mengurangi konsistensi pelaksanaan prinsip-prinsip pengelolaan aset tindak pidana.
94
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
KEPALA BADAN PENGELOLA ASET TINDAK PIDANA
SEKRETARIS BADAN
DEPUTI PENYIMPANAN DAN PEMELIHARAAN
UPT PENYIMPANAN & PEMELIHARAAN
UPT PENYIMPANAN & PEMELIHARAAN
DEPUTI PENGELOLAAN ASET TINDAK PIDANA
UPT PENYIMPANAN & PEMELIHARAAN
DEPUTI PENGELOLAAN DANA
UPT PENYIMPANAN & PEMELIHARAAN
DEPUTI HUBUNGAN KERJASAMA
ASET MANAGEMENT UNIT (BLU)
Gambar 11. Struktur Organisasi Badan Pengelola Aset Tindak Pidana
Pada tingkat unit pelaksana teknis, klasifikasi organisasi penyimpanan disesuaikan dengan beban kerja. Pada wilayah dengan beban kerja yang tinggi organisasi UPT yang diusulkan mengadopsi bentuk struktur organisasi Rupbasan saat ini dengan beberapa modifikasi sebagaimana gambar 12 berikut. Eseloneering unit tersebut diusulkan setingkat dengan eselon III.
KEPALA RUPBASAN
KASUBBAG SEKRETARIAT
KASIE PENERIMAAN
KASIE PENYIMPANAN & PEMELIHARAN
Gambar 12. Struktur Organisasi UPT Rumah Penyimpanan Benda Sitaan
95
Untuk wilayah dengan beban kerja yang masih rendah diusulkan pelayanan penyimpanan dilakukan oleh unit pelaksana teknis yang lebih kecil. Fasilitas unit tersebut dapat berupa semacam “counter” atau “loket” penyimpanan di kantor pengadilan negeri setempat. Eseloneering untuk unit ini diusulkan setingkat eselon IV. Struktur organisasi unit tersebut sebagaimana digambarkan pada Gambar 13 berikut: KEPALA PENYIMPANAN BENDA SITAAN
PETUGAS TU
PETUGAS PENYIMPANAN
PETUGAS PENCATATAN
Gambar 13. Struktur Organisasi UPT Pelayanan Penyimpanan Benda Sitaan
Untuk dapat menjalankan tugas penyimpanan benda sitaan, pegawai UPT harus memiliki kompetensi di bidang penyimpanan dan pemeliharaan benda sitaan. Berikut tabulasi kompetensi yang harus dimiliki pada baik pada UPT Rumah Penyimpanan Benda Sitaan maupun UPT Pelayanan Penyimpanan Benda Sitaan.
96
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
Kompetensi Inti (Core Competence) Kompetensi Inti (Core Competence) berlaku untuk semua personil pada semua jenjang dan fungsi
•
Integritas yang tinggi
•
Memahami KUHP dan KUHAP dan peraturan pelaksananya
•
Memahami undang-undang, peraturan, dan SOP pengelolaan benda sitaan
No
Jabatan
Kompetensi Teknis dan Manajerial
1
Kepala Rupbasan/
•
Kompetensi kepemimpinan-manajerial
Kepala Unit Penyimpanan Benda Sitaan
•
Kompetensi manajemen pergudangan
•
Kompetensi material handling
•
Kompetensi pengamanan bangunan dan material
•
Kompetensi material handling
•
Kompetensi klasifikasi dan penilaian barang
•
Kompetensi material handling
•
Kompetensi manajemen pergudangan
•
Kompetensi pengamanan gedung dan bangunan
•
Kompetensi pengelolaan APBN
•
Kompetensi pengadaan barang dan jasa
•
Kompetensi manajemen perkantoran
2
Kasie Penerimaan
3
Kasie Penyimpanan dan Pemeliharaan
4
5
6
Kasubbag Sekretariat
Petugas Penyimpanan
Petugas Pelaporan
•
Kompetensi pelaporan
•
Kompetensi klasifikasi dan penilaian barang
•
Kompetensi material handling
•
Kompetensi manajemen pergudangan
•
Kompetensi pengamanan gedung dan bangunan
•
Kompetensi pencatatan dan pelaporan
97
Kompetensi Inti (Core Competence) Kompetensi Inti (Core Competence) berlaku untuk semua personil pada semua jenjang dan fungsi
•
Integritas yang tinggi
•
Memahami KUHP dan KUHAP dan peraturan pelaksananya
•
Memahami undang-undang, peraturan, dan SOP pengelolaan benda sitaan
No
Jabatan
Kompetensi Teknis dan Manajerial
7
Petugas TU
•
Kompetensi administrasi perkantoran
•
Kompetensi pengelolaan APBN
Selain struktur UPT untuk pelayanan penyimpanan, terdapat juga struktur organisasi Unit Pengelola Aset yang berupa sebuah badan layanan umum. Gambar 14 menunjukkan struktur organisasi unit badan layanan umum yang dimaksud.
KEPALA BLU UNIT PENGELOLA ASET
DIVISI PERENCANAAN
DIVISI PENGEMBANGAN & PELEPASAN ASET
DIVISI DATA & PELAPORAN
BAGIAN ADMINISTRASI & GENERAL AFFAIR
Gambar 14. Struktur Organisasi Badan Layanan Umum Unit Pengelola Aset Tindak Pidana.
Untuk dapat menjalankan tugas unit pengelolaan aset, pegawai BLU harus memiliki kompetensi di bidang pengelolaan aset. Berikut tabulasi kompetensi yang harus dimiliki pegawai Unit Pengelola Aset seperti yang tertera pada tabel berikut:
98
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
Kompetensi Inti (Core Competence) Kompetensi Inti (Core Competence) berlaku untuk semua personil pada semua jenjang dan fungsi
•
Integritas yang tinggi
•
Manajemen aset
No
Jabatan
Kompetensi Teknis dan Manajerial
1
Kepala Unit Pengelolaan Aset
•
Kompetensi kepemimpinan-manajerial
•
Kompetensi pembangunan networking
•
Kompetensi pengembangan bisnis dan aset
•
Kompetensi pengelolaan keuangan
•
Kompetensi perencanaan
•
Kompetensi manajemen risiko
•
Kompetensi manajemen portofolio
2
Divisi Perencanaan
• 3
4
5
Divisi Pengembangan dan Pelepasan Aset
Divisi Data dan Pelaporan
Bagian Administrasi dan GA
•
Kompetensi manajemen risiko
•
Kompetensi manajemen portofolio
•
Kompetensi pengelolaan PNBP
•
Kompetensi sistem manajemen
•
Kompetensi sistem informasi
•
Kompetensi pengolahan data, pelaporan, dan arsip
•
Kompetensi administrasi perkantoran
•
Kompetensi manajemen keuangan
•
Kompetensi manajemen dan pengembangan SDM
•
Komptensi pengelolaan PNBP
99
I. Tugas Pokok dan Fungsi Badan Pengelolaan Aset Pidana
Tugas Pokok Melaksanakan tugas negara di bidang pengelolaan aset tindak pidana. Fungsi 1. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengelolaan aset tindak pidana. 2. Koordinasi kegiatan dalam pelaksanaan tugas Badan Pengelolaan Aset Tindak Pidana. 3. Pelaksanaan pendampingan kepada aparat penegak hukum dalam proses penyitaan. 4. Penyelenggaraan penerimaan, pengelolaan dan pelepasan aset tindak pidana. 5. Penyetoran hasil pelepasan lelang aset tindak pidana. 6. Pelaporan hasil pengelolaan aset tindak pidana secara nasional. Wewenang 1. Menyusun rencana kebijakan nasional pengelolaan aset tindak pidana. 2. Menyelenggarakan koordinasi pengelolaan aset tindak pidana dengan aparat penegak hukum. 3. Memberikan masukan kepada aparat penegak hukum dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan penyitaan. 4. Menerima tembusan berita acara penyitaan dari aparat penegak hukum dan memantau keberadaan aset yang telah disita oleh aparat penegak hukum.
100
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
5. Menerima hasil sitaan atau rampasan yang diserahkan oleh aparat penegak hukum beserta dengan dokumen pendukungnya. 6. Menjaga dan memelihara aset tidak pidana dengan prinsip-prinsip manajemen pengelolaan aset yang baik dan profesional. 7. Menyelenggarakan kegiatan pengelolaan dan pelepasan aset tindak pidana sesuai dengan ketentuan hukum dan azas profesionalitas. 8. Melakukan penyetoran hasil pelepasan lelang aset tindak pidana ke kas negara. 9. Menyusun laporan hasil pengelolaan dan pelepasan aset tindak pidana. II. TUGAS POKOK DAN FUNGSI PIMPINAN BADAN PENGELOLA ASET TINDAK PIDANA 1. Kepala Badan Pengelola Aset Tindak Pidana memiliki tugas pokok: 1. Menyusun dan menyelenggarakan rencana kebijakan strategis Badan Pengelola Aset Tindak Pidana. 2. Menyelenggarakan dan mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Pengelolaan Aset Tindak Pidana. 3. Menyelenggarakan pengembangan dan penguatan kelembagaan Badan Pengelola Aset Tindak Pidana. 2. Sekretaris Badan Sekretaris Badan memiliki tugas pokok: 1. Membantu kepala badan dalam penyusunan dan menyelenggarakan rencana kebijakan strategis Badan Pengelola Aset Tindak Pidana. 2. Membantu kepala badan dalam penyelenggaraan dan pengendalian pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Pengelola Aset Tindak Pidana.
101
3. Membantu kepala badan dalam pengembangan dan penguatan kelembagaan Badan Pengelola Aset Tindak Pidana. 4. Menyelenggarakan dukungan administratif dan operasional Badan Pengelola Aset Tindak Pidana. 5. Menyelenggarakan pengelolaan manajemen kinerja Badan Pengelola Aset Tindak Pidana. 3. Deputi Penyimpanan dan Pemeliharaan Deputi ini memiliki tugas pokok: 1. Menyusun standar penyimpanan dan pemeliharaan serta memastikan pemenuhan standar tersebut. 2. Memberikan masukan dalam penentuan jenis barang yang akan disita, spesifikasi, dan karakteristik khusus yang dapat juga dijadikan acuan apakah penyimpanan dilakukan sendiri atau diserahkan kepada provider. 3. Memberikan masukan cara dan waktu yang tepat untuk melakukan penyitaan sehingga dapat meminimalisir kemungkinan hilangnya target sitaan. 4. Memastikan dasar yuridis penyitaan untuk mengantisipasi gugatan balik dari pelaku kejahatan. 5. Melakukan analisis dan perkiraan realistis kondisi dan hasil nilai sitaan, dan potensi kemungkinan klaim pihak ketiga. 6. Mengidentifikasi dan melakukan hubungan kerjasama dengan pihak rekanan yang akan menyimpan dan memelihara sitaan. 7. Memastikan provider yang menjadi rekanan LPA harus memenuhi kualifikasi administrasi dan teknis sebagai Penyedia jasa penyimpanan dan pemeliharaan sitaan. 8. Melakukan pemeriksaan administratif dan stock opname bersama penyidik secara regular terhadap sitaan yang disimpan.
102
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
4. Deputi Pengelolaan Deputi Pengelolaan memiliki tugas pokok: 1. Menyusun standar pengelolaan serta memastikan pemenuhan standar tersebut. 2. Melakukan perkiraan biaya manajemen selama pengelolaan dimulai dari penerimaan, pemeliharaan sampai dengan pelepasan. 3. Memastikan provider penyedia jasa penyimpanan sitaan menindaklanjuti permintaan Lembaga Penyimpan Aset Tindak Pidana untuk mengeluarkan dan membawa aset sitaan untuk dihadirkan dalam pemeriksaan perkara atau mengeluarkan sitaan untuk dilelang bila mana LPA berdasarkan keputusan Penanggung Jawab Yuridis sitaan memerintahkan untuk melelang sitaan. 4. Menetapkan pihak ketiga sebagai operator profesional untuk menjalankan kerjasama pengelolaan ekonomis aset pidana. 5. Mempersiapkan dan melakukan pelepasan pelelangan bersama jaksa eksekutor terhadap barang rampasan segera setelah salinan keputusan pengadilan diterima. 5. Deputi Pengelolaan Dana Deputi ini memiliki tugas pokok: 1. Menyusun rencana pengelolaan dana hasil pelepasan aset tindak pidana. 2. Mengelola dana hasil pelepasan lelang aset tindak pidana 3. Melakukan penyetoran hasil lelang sebesar persentase tertentu ke kas negara. 4. Menyusun laporan pengelolaan dana hasil pelepasan lelang aset tindak pidana.
103
6. Deputi Hubungan Kerjasama Deputi Hubungan Kerjasama memiliki tugas pokok: 1. Melakukan koordinasi dengan Direktur Jenderal Kekayaan Negara dalam rangka penetapan barang rampasan menjadi barang milik negara dan dalam rangka menentukan calon pengguna barang milik negara. 2. Melakukan inventarisasi barang rampasan bersama jaksa eksekutor terhadap barang rampasan yang akan ditetapkan sebagai barang milik negara. 3. Melakukan koordinasi dengan Direktur Jenderal Kekayaan Negara dalam rangka penetapan barang rampasan menjadi barang milik negara dan dalam rangka penentuan calon pengguna barang milik negara. 4. Menyampaikan laporan administrasi barang rampasan yang akan ditetapkan sebagai badan milik negara meliputi salinan putusan pengadilan, kertas kerja inventarisasi (KKI) kepada menteri keuangan c.q Direktur Jenderal Kekayaan Negara selaku pengelola barang milik negara. 5. Menyerahkan barang rampasan kepada calon pengguna barang milik negara kementerian/lembaga yang ditetapkan oleh Pengelola BMN dan dimuat dalam Berita Acara Serah Terima Barang (BASB) antara LPA dan K/L Penerima yang disaksikan oleh Kejaksaan.
104
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
Lampiran 1 Definisi Aset Financial Accounting Standards Board (FASB) mendefinisi aset dalam kerangka konseptualnya sebagai “Assets are probable future economic benefits obtained or controlled by a perticular entity as a result of past transactions or events”. Sedangkan Australian Accounting Standard Board (AASB) mendefinisi aset sebagai “Assets are service potential or future economic benefits controlled by the reporting entity as a result of past transaction or other past events”. Kedua definisi tersebut menyatakan bahwa aset dinilai mempunyai sifat sebagai manfaat ekonomi (economic benefits) dan bukan sebagai sumber ekonomi (resources) karena manfaat ekonomi tidak membatasi bentuk atau jenis sumber ekonomi yang dapat dimasukkan sebagai aset. Peraturan Pemerintah RI Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan pada bagian Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan paragraf 60a dan 61 menetapkan definisi tentang aset bahwa aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari manfaat ekonomi dan atau sosial di masa depan yang diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non-keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya. Berdasarkan beberapa definsi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga karakteristik utama yang harus dipenuhi agar suatu obyek dapat disebut aset yaitu: 1. Manfaat ekonomi yang datang cukup pasti. Untuk dapat disebut sebagai aset, suatu objek harus mengandung manfaat ekonomik di masa datang yang cukup pasti. Uang atau kas mempunyai manfaat atau potensi jasa karena daya belinya atau daya tukarnya. Sumber selain kas mempunyai manfaat ekonomik karena
105
dapat ditukarkan dengan kas, barang, atau jasa, karena dapat digunakan untuk memproduksi barang dan jasa, atau karena dapat digunakan untuk melunasi kewajiban. 2. Dikuasai atau dikendalikan entitas. Untuk dapat disebut sebagai aset, suatu obyek tidak harus dimiliki oleh entitas tetapi cukup dikuasai oleh entitas. Oleh karena itu konsep penguasaan atau kendali lebih penting daripada konsep kepemilikan. Penguasaan di sini berarti kemampuan entitas untuk mendapatkan, memelihara/menahan, menukarkan, menggunakan manfaat ekonomi dan mencegah akses pihak lain terhadap manfaat tersebut. Hal ini dilandasi oleh konsep dasar substansi mengungguli bentuk yuridis (substance over form). Pemilikan (ownership) hanya mempunyai makna yuridis atau legal. 3. Timbul akibat transaksi masa lalu. Kriteria ini sebenarnya menyempurnakan kriteria penguasaan dan sekaligus sebagai kriteria atau tes pertama (first-test) pengakuan obyek sebagai aset. Aset harus timbul akibat transaksi atau kejadian masa lalu adalah kriteria untuk memenuhi definisi. Penguasaan harus didahului oleh transaksi atau kejadian ekonomik. Aset memiliki berbagai macam bentuk. Di dalam Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan paragraf 62-67, Standar Akuntansi Pemerintah, aset diklasifikasikan menjadi aset lancar (current assets) dan aset non lancar (noncurrent assets). Suatu aset diklasifikasikan sebagai aset lancar jika diharapkan segera untuk dapat direalisasikan atau dimiliki untuk dipakai atau dijual dalam waktu dua belas bulan sejak tanggal pelaporan. Sedangkan aset yang tidak dapat dimasukkan dalam kriteria tersebut diklasifikasikan sebagai aset non lancar. Aset lancar meliputi kas dan setara kas, investasi jangka pendek, piutang, dan persediaan. Sedangkan aset non lancar mencakup aset yang bersifat jangka panjang dan aset tak berwujud yang diklasifikasikan menjadi investasi jangka panjang, aset tetap, dana cadangan dan aset lainnya. Aset fisik non lancar yang disebut juga aset tetap (fixed assets) secara khas memiliki umur yang panjang. Aset-aset ini memerlukan sumber
106
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
daya untuk mendapatkan atau membuat dan untuk mempertahankan kondisinya agar tetap bisa beroperasi selama umur hidupnya. Kebanyakan keputusan tentang aset ini bertahan lama dan memiliki implikasi jangka panjang. Karena karakteristik seperti ini, maka penting untuk mempertimbangkan kegunaan aset dalam jangka waktu siklus hidupnya. Mengacu pada siklus hidup suatu aset, di dalam manajemen aset selanjutnya dikenal adanya siklus hidup pengelolaan aset atau disebut Lifecycle Asset Management yang terdiri dari: 1. Fase Perencanaan yaitu fase di mana permintaan atas aset direncanakan dan dibuat. Pada fase ini terdapat kegiatan identifikasi kebutuhan. 2. Fase Pengadaan yaitu fase dimana aset dibeli, dibangun atau dibuat. 3. Fase Pengoperasian dan Pemeliharaan yaitu fase di mana aset digunakan untuk tujuan yang telah ditentukan. Fase ini mungkin diselingi dengan pembaruan atau perbaikan besar-besaran secara periodik, penggantian atas aset yang rusak dalam periode penggunaan. 4. Fase Penghapusan yaitu fase ketika umur ekonomis suatu aset telah habis atau ketika kebutuhan atas pelayanan yang disediakan aset tersebut telah hilang.
107
Lampiran 2 Berbagai Masalah Penyitaan dan Pengelolaannya Setiap jenis aset memiliki karakteristik tersendiri yang penting diperhatikan saat melakukan penyitaan dan pengelolaannya. Berikut beberapa ringkasan terkait klasifikasi aset dan pengelolaannya. US Marshals melakukan klasifikasi aset dalam empat kategori yaitu real property tempat tinggal dan tanah, business dan commercial property, aset kuantitas besar yang memerlukan gudang atau pengamanan, aset dengan kesulitan khusus (binatang ternak, bahan kimia, barang pecah-belah), dan aset berlokasi di luar negeri16. Dalam perencanaan penyitaan dalam policy manual, wajib memperhitungkan net equity value. Tujuan penetapan net equity adalah mengurangi jumlah penyitaan namun meningkatkan kualitasnya. Net equity adalah perhitungan nilai apraisal dikurangi dengan biaya-biaya terkait, kewajiban yang melekat pada aset tersebut. Net equity masing-masing jenis aset sebagai berikut: 1. Real property tempat tingal dan tanah, minimum net equity paling tidak bernilai 20 persen dari nilai apraisalnya. 2. Kendaraan, minimum net equity paling kecil harus bernilai USD 5,000. 3. Cash, jumlah minimum sebesar USD 5,000. 4. Pesawat, nilai minimum net equity paling tidak bernilai sebesar USD 10,000, dalam penyitaan pesawat harus diperoleh log books karena tanpa log books tersebut nilai pesawat akan jatuh. 5. Kapal, nilai minimum net equity minimum sebesar USD 10,000. 6. Properti pribadi lainnya, nilai minimum net equity sebesar USD 1,000 secara keseluruhan. 16 Asset Forfeiture Policy Manual, Asset Forfeiture and Money Laundering Section
108
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
Penyitaan dan Pengelolaan Aset Berupa Entitas Bisnis Pada umumnya metode penyitaan-pengelolaan-pelepasan aset non entitas bisnis tidak berbeda jauh dari praktik di Indonesia. Untuk aset berupa entitas bisnis di Indonesia sendiri masih jarang dilakukan. Dengan demikian perlu memahami bagaimana US Marshals melakukan penyitaan-pengelolaan-pelepasan aset berupa entitas bisnis di Amerika. Untuk penyitaan atas aset yang berupa entitas bisnis, Asset Forfeiture Policy Manual mengingatkan kompleksitas penanganannya serta adanya potensi kerugian dan kewajiban yang signifikan. Penyitaan terhadap entitas bisnis hanya dilakukan setelah konsultasi yang memadai dengan berbagai pihak. Penyebutan suatu entitas bisnis untuk disita harus dihindarkan hingga semua aspek evaluasi telah dilakukan dan diperoleh keyakinan yang kuat atas kasus tersebut. Seringkali para pemegang saham menarik diri atau menutup bisnis mereka begitu mengetahui salah satu mitranya ditahan atau menjadi tersangka. Nilai perusahaan menjadi jatuh atau bahkan tidak bernilai sama sekali. Oleh karena itu, tindakan yang terlalu dini harus dihindari untuk menghindarkan negara dari kerugian pasca penyitaan. Penyitaan terhadap entitas bisnis harus dilakukan dengan cara yang paling tidak mengganggu kegiatan operasional usaha. Penghentian usaha hanya dilakukan bila kegiatan entitas tersebut merupakan kegiatan yang melanggar hukum. Demikian juga penyitaan rekening, aset, atau izin usaha dapat menyebabkan kegagalan operasi. Bila keputusan pengadilan kemudian memutuskan mengembalikan aset tersebut kepada pemilik, negara dapat mengalami tuntutan yang signifikan akibat kegagalan bisnis tersebut. Setelah penyitaan suatu entitas bisnis harus dilepaskan paling lambat dua belas bulan setelah ketetapan hukum yang pasti.17 Metode pelepasan aset berupa entitas bisnis dapat melalui beberapa metode sebagai berikut:
17 USMS Directives, Juni 2008
109
1. 2. 3. 4.
Penjualan melalui negosiasi tertutup (private negotiation). Penjualan oleh broker komersial. Pelelangan tertutup. Pelelangan terbuka.
Bila US Marshals menilai penjualan perusahaan sebagai entitas bisnis tidak menguntungkan, dapat dilakukan penjualan aset-asetnya secara terpisah dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan.
110
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
Lampiran 3 Badan Layanan Umum Ketentuan Kelembagaan dan Ketentuan Operasional A. Dasar Hukum Kelembagaan 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286). 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355). 3. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4502). 4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4503). 5. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005. B. Definisi Kelembagaan Badan Layanan Umum yang selanjutnya disebut BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah pusat yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas18.
18 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
111
C. Tujuan Pembentukan BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat. D. Azas Dalam melaksanakan tugas dan aktivitasnya Badan Layanan Umum berazaskan: 1. BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga/ pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan. 2. BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian negara/ lembaga/pemerintah daerah dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk. 3. Menteri/pimpinan lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikannya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan. 4. Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh menteri/pimpinan lembaga. 5. BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian keuntungan. 6. Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja kementerian negara/lembaga. 7. BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktek bisnis yang sehat.
112
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
E. Persyaratan Pembentukan Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan PPK BLU apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif. 1. Persyaratan substantif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan: • Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum. • Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum. • Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan atau pelayanan kepada masyarakat. 2. Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terpenuhi apabila: a. Kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/ kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya. b. Kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU. 3. Persyaratan administratif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan dapat menyajikan seluruh dokumen berikut: •
ernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja P pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat.
•
Pola tata kelola.
•
Rencana strategis bisnis.
•
Laporan keuangan pokok.
•
Standar pelayanan minimum.
•
Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
113
F. Kelembagaan, Pejabat Pengelola, dan Kepegawaian Dalam hal instansi pemerintah perlu mengubah status kelembagaannya untuk menerapkan PPK-BLU, perubahan struktur kelembagaan dari instansi pemerintah tersebut berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara, dengan ketentuan sebagai berikut; 1. Pejabat pengelola BLU terdiri atas pemimpin, pejabat keuangan, dan pejabat teknis. 2. Pemimpin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berfungsi sebagai penanggung jawab umum operasional dan keuangan BLU yang berkewajiban: • Menyiapkan rencana strategis bisnis BLU. • Menyiapkan RBA tahunan. • Mengusulkan calon pejabat keuangan dan pejabat teknis sesuai dengan ketentuan yang berlaku. • Menyampaikan pertanggungjawaban kinerja operasional dan keuangan BLU. 3. Pejabat keuangan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b berfungsi sebagai penanggung jawab keuangan yang berkewajiban: •
Mengkoordinasikan penyusunan RBA.
•
Menyiapkan dokumen pelaksanaan anggaran BLU.
•
Melakukan pengelolaan pendapatan dan belanja.
•
Menyelenggarakan pengelolaan kas.
•
Melakukan pengelolaan utang-piutang.
•
Menyusun kebijakan pengelolaan barang, aset tetap, dan investasi BLU.
•
Menyelenggarakan sistem informasi manajemen keuangan.
•
Menyelenggarakan akuntansi dan penyusunan laporan keuangan
4. Pejabat teknis BLU berfungsi sebagai penanggung jawab teknis di bidang masing-masing yang berkewajiban:
114
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
•
Menyusun perencanaan kegiatan teknis di bidangnya.
•
Melaksanakan kegiatan teknis sesuai menurut RBA.
•
Mempertanggungjawabkan kinerja operasional di bidangnya
5. Pejabat pengelola BLU dan pegawai BLU dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan atau tenaga profesional non-pegawai negeri sipil sesuai dengan kebutuhan BLU. Syarat pengangkatan dan pemberhentian pejabat pengelola dan pegawai BLU yang berasal dari pegawai negeri sipil disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang kepegawaian. G. Pola Pengelolaan Keuangan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang selanjutnya disebut PPK-BLU adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya. H. Perencanaan dan Penganggaran Kegiatan perencanaan dan penganggaran Badan Layanan Umum meliputi: 1. BLU menyusun rencana strategis bisnis lima tahunan dengan mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-K/L). 2. BLU menyusun RBA tahunan dengan mengacu kepada rencana strategis bisnis. 3. RBA sebagaimana disusun berdasarkan basis kinerja dan perhitungan akuntansi biaya menurut jenis layanannya. 4. RBA BLU disusun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan
115
5. 6. 7.
8.
9.
pendapatan yang diperkirakan akan diterima dari masyarakat, badan lain, dan APBN. BLU mengajukan RBA kepada menteri/pimpinan lembaga/ untuk dibahas sebagai bagian dari RKA-K/L. RBA disertai dengan usulan standar pelayanan minimum dan biaya dari keluaran yang akan dihasilkan. RBA BLU yang telah disetujui oleh menteri/pimpinan lembaga diajukan kepada menteri keuangan, sesuai dengan kewenangannya, sebagai bagian RKA-K/L. Menteri keuangan mengkaji kembali standar biaya dan anggaran BLU dalam rangka pemprosesan RKA-K/L sebagai bagian dari mekanisme pengajuan dan penetapan APBN. BLU menggunakan APBN yang telah ditetapkan sebagai dasar penyesuaian terhadap RBA menjadi RBA definitif.
I. Pendapatan dan Belanja 1. P enerimaan anggaran yang bersumber dari APBN diberlakukan sebagai pendapatan BLU. 2. Pendapatan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat dan hibah tidak terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan operasional BLU. 3. Hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan yang harus diperlakukan sesuai dengan peruntukan. 4. Hasil kerjasama BLU dengan pihak lain dan atau hasil usaha lainnya merupakan pendapatan bagi BLU. 5. Pendapatan dapat dikelola langsung untuk membiayai belanja BLU sesuai RBA. 6. Pendapatan dilaporkan sebagai pendapatan negara bukan pajak kementerian/lembaga. 7. Belanja BLU terdiri dari unsur biaya yang sesuai dengan struktur biaya yang dituangkan dalam RBA definitif.
116
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
8. P engelolaan belanja BLU diselenggarakan secara fleksibel berdasarkan kesetaraan antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah pengeluaran, mengikuti praktek bisnis yang sehat. 9. Fleksibilitas pengelolaan belanja berlaku dalam ambang batas sesuai dengan yang ditetapkan dalam RBA. 10. Belanja BLU yang melampaui ambang batas fleksibilitas harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan atas usulan menteri/ pimpinan lembaga sesuai dengan kewenangannya. 11. Bila terjadi kekurangan anggaran, BLU dapat mengajukan usulan tambahan anggaran dari APBN kepada Menteri Keuangan melalui menteri/pimpinan lembaga sesuai dengan kewenangannya, 12. Belanja BLU dilaporkan sebagai belanja barang dan jasa kementerian negara/lembaga. J. Pengelolaan Kas, Piutang dan Utang 1. Pengelolaan Kas, dalam rangka pengelolaan kas BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai berikut: 1. Merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas. 2. Melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan. 3. Menyimpan kas dan mengelola rekening bank. 4. Melakukan pembayaran. 5. Mendapatkan sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek. 6. Memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan. 2. Pengelolaan Piutang dan Utang. 1. BLU dapat memberikan piutang sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, dan atau transaksi lainnya yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan BLU.
117
2. Piutang BLU dikelola dan diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab serta dapat memberikan nilai tambah, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Piutang BLU dapat dihapus secara mutlak atau bersyarat oleh pejabat yang berwenang dengan nilai yang ditetapkan secara berjenjang. 4. Kewenangan penghapusan piutang secara ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. 5. BLU dapat memiliki utang sehubungan dengan kegiatan operasional dan atau perikatan peminjaman dengan pihak lain. 6. Utang BLU dikelola dan diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat. 7. Pemanfaatan utang yang berasal dari perikatan peminjaman jangka pendek ditujukan hanya untuk belanja operasional. 8. Pemanfaatan utang yang berasal dari perikatan peminjaman jangka panjang ditujukan hanya untuk belanja modal. 9. Perikatan peminjaman dilakukan oleh pejabat yang berwenang secara berjenjang berdasarkan nilai pinjaman. 10. Pembayaran kembali utang merupakan tanggung jawab BLU. 11. Hak tagih atas utang BLU menjadi kadaluarsa setelah lima tahun sejak utang tersebut jatuh tempo kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.
118
BAB 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana
K. Investasi dan Pengelolaan Barang 1. Investasi BLU tidak dapat melakukan investasi jangka panjang kecuali atas persetujuan menteri keuangan. Keuntungan yang diperoleh dari investasi jangka panjang merupakan pendapatan BLU. 2. Pengelolaan Barang Pengadaan barang/jasa oleh BLU dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi dan ekonomis sesuai dengan praktek bisnis yang sehat. Kewenangan pengadaaan barang/jasa diselenggarakan berdasarkan jenjang nilai yang diatur dalam peraturan menteri keuangan. Barang inventaris milik BLU dapat dialihkan kepada pihak lain dan atau dihapuskan berdasarkan pertimbangan ekonomis. Pengalihan kepada pihak lain dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, atau dihibahkan. Penerimaan hasil penjualan barang inventaris sebagai akibat dari pengalihan merupakan pendapatan BLU. Pengalihan dan atau penghapusan barang inventaris dilaporkan kepada menteri/ pimpinan lembaga terkait. L. Pelaporan, Pertanggungjawaban Keuangan dan Akuntabilitas Kinerja 1. Pelaporan dan Pertanggungjawaban Keuangan BLU menerapkan sistem informasi manajemen keuangan sesuai dengan kebutuhan dan praktek bisnis yang sehat dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Setiap transaksi keuangan BLU harus diakuntansikan dan dokumen pendukungnya dikelola secara tertib. 2. Akuntansi dan laporan keuangan BLU diselenggarakan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang diterbitkan oleh asosiasi profesi akuntansi Indonesia. 3. BLU dapat menerapkan standar akuntansi industri yang spesifik setelah mendapat persetujuan menteri keuangan.
119
4. BLU mengembangkan dan menerapkan sistem akuntansi dengan mengacu pada standar akuntansi yang berlaku sesuai dengan jenis layanannya dan ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga sesuai dengan kewenangannya. 2. Akuntabilitas Kinerja Pimpinan BLU bertanggung jawab terhadap kinerja operasional BLU sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan dalam RBA. Pimpinan BLU mengikhtisarkan dan melaporkan kinerja operasional BLU secara terintegrasi dengan laporan keuangan. M. Pembinaan dan Pengawasan 1. P embinaan teknis BLU dilakukan oleh menteri/pimpinan lembaga terkait dan pembinaan keuangan BLU dilakukan oleh Menteri Keuangan dengan kewenangannya. Dalam pelaksanaan pembinaan dapat dibentuk dewan pengawas. 2. P embentukan dewan pengawas berlaku hanya pada BLU yang memiliki realisasi nilai omzet tahunan menurut laporan realisasi anggaran atau nilai aset menurut neraca yang memenuhi syarat minimum yang ditetapkan oleh menteri keuangan. Dewan pengawas BLU di lingkungan pemerintah pusat dibentuk dengan keputusan menteri/pimpinan lembaga atas persetujuan menteri keuangan. 3. P emeriksaan intern BLU dilaksanakan oleh satuan pemeriksaan intern yang merupakan unit kerja yang berkedudukan langsung di bawah pemimpin BLU. Pemeriksaan ekstern terhadap BLU dilaksanakan oleh pemeriksa ekstern sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
121
Bab 6 Roadmap Inisiasi Badan Pengelola Aset Tindak Pidana
Terbentuknya Badan Pengelola Aset Tindak Pidana memiliki peran penting bagi upaya memerangi tindak kejahatan. Terutama upaya menekan para pelaku kejahatan ekonomi. Bagi Indonesia, memiliki suatu lembaga dengan fungsi meningkatkan kualitas peradilan, menjaga hakhak terdakwa, dan mengembalikan kerugian negara adalah kebutuhan yang sangat mendesak. Namun demikian, pembangunan organisasi tersebut harus dilakukan secara sistematis dan bertahap. Sistematis berarti pembangunan lembaga tersebut bukan sekedar tambal sulam dari fungsi-fungsi atau struktur yang ada saat ini. Pembangunan organisasi tersebut harus secara konsisten menerapkan prinsip-prinsip yang telah dirancang. Bertahap berarti pembangunan organisasi dilakukan dengan indikator pencapaian yang jelas dalam setiap prosesnya. Gambar di bawah ini adalah tahapan pembangunan organisasi Badan Pengelola Aset Tindak Pidana yang akan dilaksanakan dalam waktu lima tahun terhitung dari tahun 2011.
6.1. Tahap I: Peletakan Pondasi Tahap persiapan merupakan peletakan pondasi awal bagi pengembangan organisasi Badan Pengelola Aset Tindak Pidana. Tahap I disebut sebagai peletakan fondasi karena pada tahap ini fokus utama pembangunan organisasi hal-hal mendasar bagi efektivitas organisasi ke depan. Namun demikian, pada tahap ini organisasi harus mulai mampu melayani kebutuhan proses peradilan dan pengelolaan aset. Oleh karena itu, metode penerapan melalui pilot project menjadi penting. Beberapa aktivitas penting yang harus dilakukan dalam tahap persiapan adalah pengesahan RUU tentang perampasan aset, inventarisasi benda sitaan dan barang rampasan seluruh Indonesia, rancangan organisasi, penetapan pilot project, dan pembangunan jaringan kerja.
• Penguatan sistem dan prosedur • Peningkatan jaringan kerja • Peningkatan akuntabilitas dan transparansi
• Perluasan wilayah kerja dan kualitas layanan • Pelaksanaan audit dan pelaporan secara publik
• Penyusunan rancangan organisasi lembaga pengelola aset
• Penetapan berbagai pilot project
2015
• Implementasi penuh prinsip-prinsip organisasi Lembaga Pengelola Aset
2014
• Pelaksanaan inventarisasi benda sitaan dan rampasan seluruh Indonesia sebagai dasar beban kerja
2013
• Penguatan organisasi melalui pendidikan dan pelatihan personil
2012
Gambar 12. Roadmap Inisiasi Badan Pengelola Aset Tindak Pidana
Pelatihan, Sosialisasi, Komunikasi, Monitoring, dan Evaluasi
• Pembangunan jaringan kerja di dalam dan luar negeri
• Pengesahan peraturan perundangan yang mendasari pengelolaan aset tindak pidana
• Pemisahan fungsi penyitaan – pengelolaan aset tindak pidana secara penuh
2011
Peletakan Fondasi
Implementasi Penuh
Penguatan
122 BAB 6 - Roadmap Inisiasi Badan Pengelola Aset Tindak Pidana
123
Pengesahan RUU tentang Perampasan Aset
Untuk memberikan kewenangan pada organisasi dalam melakukan pengelolaan aset tindak pidana diperlukan landasan hukum yang kuat. Landasan hukum tersebut bukan hanya memungkinkan pendirian organisasi tersebut namun juga mendorong seluruh aparat penegak hukum taat pada koridor pengelolaan aset tindak pidana yang telah ditetapkan. Beberapa hal penting harus diyakinkan termuat dalam RUU yang akan ditetapkan tersebut. 1. Amanat pemisahan fungsi. 2. Kewenangan/tugas lembaga dalam masukan penyitaan. 3. Pokok-pokok kewenangan pengelolaan dana hasil pelepasan aset tindak pidana. 4. Penegasan aturan peralihan
Inventarisasi Benda Sitaan dan Barang Rampasan
Inventarisasi benda sitaan dan barang rampasan yang ada diseluruh instansi penyidik maupun Rupbasan saat ini mutlak diperlukan. Hal ini dilakukan sebagai upaya menetapkan saldo awal aset yang dikelola. Kondisi benda sitaan dan barang rampasan saat ini juga perlu diketahui untuk menentukan beban kerja yang sebenarnya dari organisasi yang akan dibentuk.
Rancangan Organisasi
Prinsip-prinsip organisasi yang telah disusun dalam penelitian ini perlu disempurnakan dan diturunkan menjadi rancangan organisasi yang lebih operasional. Rancangan organisasi mencakup visi dan misi organisasi, standard operating procedure, dan kode etik dan budaya organisasi. Dalam pengembangan organisasi selanjutnya perlu pula disusun sistem manajemen kinerja untuk tingkat instansi maupun individu pegawai lembaga.
Penetapan Pilot Project
Rancangan organisasi yang telah disusun diimplementasikan secara bertahap. Penggunaan pola pilot project diharapkan dapat meningkatkan efektivitas implementasi. Melalui pilot project pengembangan organisasi dapat dikelola dalam skala-skala kecil. Dengan hal tersebut, berbagai
124
BAB 6 - Roadmap Inisiasi Badan Pengelola Aset Tindak Pidana
kendala dan kekurangan mudah diidentifikasi dan diperbaiki. Selanjutnya setiap pilot project yang sukses segera dapat direplikasi kepada unit lain. Pilot project diterapkan di daerah-daerah yang memiliki benda sitaan dan barang rampasan yang signifikan secara jumlah ataupun nilainya. Kerjasama Rupbasan Jakarta Pusat dan KPK dapat menjadi contoh baik dalam implementasi pilot project tersebut.
Pembangunan Jaringan Kerja
Dalam operasinya Badan Pengelola Aset Tindak Pidana membutuhkan jaringan kerja yang luas. Baik jaringan instansi penegakan hukum dalam negeri maupun luar negeri. Untuk itu, pembangunan jaringan kerja Badan Pengelola Aset Tindak Pidana perlu menjadi prioritas pada tahap pertama inisiasinya.
6.2. Tahap II: Implementasi Penuh Tahap II disebut sebagai Tahap Implementasi Penuh. Hal ini menunjukkan pada tahap ini (dua tahun setelah peletakan fondasi) tugas pokok, fungsi, sistem dan prosedur pada organisasi Badan Pengelola Aset Tindak Pidana harus sudah beroperasi secara penuh. Di sisi fungsi penegakan hukum, pemisahan fungsi penyitaan dari penyidik harus sudah secara disiplin dilaksanakan. Pada tahap, ini beberapa aktivitas kunci yang harus dilaksanakan adalah pemisahan fungsi penyitaan-pengelolaan aset tindak pidana secara penuh, implementasi penuh prinsip-prinsip organisasi Badan Pengelola Aset Tindak Pidana, perluasan wilayah kerja dan kualitas layanan, dan pelaksanaan audit dan pelaporan secara publik.
Pemisahan Fungsi Penyitaan-Pengelolaan Aset Tindak Pidana Secara Penuh
Setelah tahap I selesai dilaksanakan Badan Pengelola Aset Tindak Pidana telah beroperasi secara penuh. Dengan demikian, layanan penyimpanan sudah dapat dilakukan secara maksimal untuk benda sitaan baik sebagai barang bukti maupun benda sitaan yang merupakan hasil tindak pidana. Kondisi ini akan memungkinkan penyidik tidak lagi mengelola benda sitaan yang dilakukannya. Penyimpanan benda sitaan oleh penyidik dibatasi hanya pada barang bukti yang diatur oleh undang-undang hanya dapat disimpan oleh penyidik.
125
Implementasi Penuh Prinsip-Prinsip Organisasi Badan Pengelola Aset Tindak Pidana
Setelah berbagai pilot project sukses dilaksanakan pada tahap I, tahap berikutnya adalah implementasi penuh pada seluruh organisasi. Perbaikan struktur, prosedur, dan peningkatan kualitas personil dilakukan dengan memperhatikan hasil evaluasi pada setiap pilot project. Dengan demikian, model organisasi Badan Pengelola Aset Tindak Pidana telah siap direplikasi untuk seluruh wilayah hukum Indonesia.
Perluasan Wilayah Kerja dan Kualitas Layanan
Langkah selanjutnya pada tahap II adalah memperluas wilayah kerja sebagai lanjutan dari tahap sebelumnya. Sesuai amanat undang-undang, seluruh wilayah Indonesia harus dijangkau oleh layanan lembaga ini. Adapun tingkatan organisasi pada masing-masing wilayah disesuaikan dengan beban kerja yang ada. Terlepas dari tingkatan organisasinya, mutu pelayanan harus mengikuti standar pelayanan yang ditetapkan. Pada tahap ini pula, unit kerja yang berfungsi melakukan pengelolaan aset diubah badan hukumnya menjadi berbentuk badan layanan umum. Perubahan ini dapat dilakukan setelah unit kerja yang bersangkutan sudah menjalankan fungsinya selama minimal tiga tahun.
Pelaksanaan Audit dan Pelaporan Secara Publik
Setelah tiga tahun berdiri, Badan Pengelola Aset Tindak Pidana harus sudah dapat menerbitkan laporan yang diaudit. Laporan tersebut selanjutnya dipertanggungjawabkan kepada masyarakat melalui publikasi yang luas
6.3. Tahap III: Penguatan Tahap III adalah tahap penguatan organisasi Badan Pengelola Aset Tindak Pidana. Penguatan dilakukan melalui: 1. Pendidikan dan pelatihan personil Pegawai yang kompeten merupakan syarat utama kemajuan organisasi. Dalam setiap tahapan pendidikan dan pelatihan terus dilakukan. Pada tahap penguatan, pendidikan dan pelatihan dilakukan untuk membentuk
126
BAB 6 - Roadmap Inisiasi Badan Pengelola Aset Tindak Pidana
spesialisasi dari kompetensi yang terkait dengan pengelolaan aset tindak pidana. Fokus pendidikan dan pelatihan bukan saja untuk memenuhi kebutuhan saat ini, namun juga untuk mengantisipasi kebutuhan organisasi di masa mendatang.
2. Penguatan sistem dan prosedur Semakin meningkatnya beban kerja akan membutuhkan sistem yang makin handal pula. Secara alamiah, bentuk dan kompleksitas kejahatan akan semakin rumit. Demikian pula dengan cara para kriminal melindungi hasil tindak kejahatannya. Untuk itu, sistem dan prosedur pengelolaan aset tindak pidana harus pula mampu memberi dukungan maksimal bagi upaya penegakan hukum dan perampasan aset tindak pidana tersebut. Sistem dan prosedur harus terus menerus disempurnakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan, integritas proses, dan efisiensi pengelolaan. 3. Peningkatan jaringan kerja Sebagai dukungan kepada upaya penegakan hukum pada skala nasional maupun internasional, Badan Pengelola Aset Tindak Pidana harus memiliki jaringan kerja yang luas dan kuat. Jaringan yang telah terbangun pada fase-fase sebelumnya harus terus dipelihara dan diperkuat. 4. Peningkatan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan Badan ini mengelola aset dalam jumlah besar dan sangat mudah terjadi penyimpangan. Akuntabilitas dan transparansi harus menjadi ruh dalam setiap lini operasi Badan Pengelola Aset Tindak Pidana. Akuntabilitas dan transparansi akan menjaga organisasi untuk terus berada pada jalur yang seharusnya dalam upaya penegakan hukum. Hanya dengan konsisten pada prinsip-prinsip pengelolaan yang baik eksistensi lembaga ini menjadi penting.
127
Bab 7 Penutup Penelitian Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana telah membahas pentingnya program assets recovery untuk memerangi kejahatan ekonomi termasuk tindak pidana korupsi. Penyitaan dan perampasan aset tindak pidana harus menjadi perhatian serius pada proses penegakan hukum. Dengan demikian, penyitaan dan perampasan tidak hanya berfungsi sebagai bentuk hukuman atas tuntutan pidana pokok, namun juga berfungsi untuk melucuti para pelaku dari aset-aset yang mendukung tindak pidananya tersebut. Perampasan juga menjadi upaya untuk mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendirian Badan Pengelola Aset Tindak Pidana memiliki peran penting, terutama untuk menekan para pelaku kejahatan ekonomi. Lembaga tersebut juga diperlukan untuk meningkatkan kualitas peradilan, menjaga hak-hak terdakwa, dan mengembalikan kerugian negara. Hasil penelitian juga telah merumuskan berbagai prinsip, tugas pokok, fungsi, serta struktur organisasi lembaga. Hasil kajian tersebut perlu ditindaklanjuti dan diturunkan menjadi tataran yang lebih operasional. Implementasi dari hasil penelitian ini perlu dilakukan secara sistematis dan bertahap sesuai dengan roadmap yang telah disusun. Diperlukan komitmen dan kerjasama para pemangku kepentingan dalam penegakan hukum di Indonesia. Sebagai suatu hasil penelitian, dokumen ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Untuk itu tim peneliti sangat mengharapkan masukan dan saran dari berbagai pihak untuk upaya penyempurnaan di masa mendatang. Demikian pula, hasil studi ini membuka kebutuhan terhadap penelitian yang lebih lanjut untuk menyempurnakan berbagai rumusan yang telah disusun. Akhir kata, tim peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada National Legal Reform Program yang telah mendukung secara penuh penelitian ini. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah secara langsung maupun tidak langsung membantu pelaksanaan penelitian ini.
129
Referensi Peraturan dan Perundang-undangan
1. 2. 3. 4. 5.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang No 41 Thn 1999 tentang Kehutanan Undang-undang No 31 THN 1999 tentang Pemberantasan Tipikor Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang pasal 35 dan pasal 37 6. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum 7. Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Nomor : E1.35. PK.03.10 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petujuk Teknis Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara 8. Kesepakatan Bersama Nomor: PRJ-06/53/01/2010-Nomor: W7.EN. PR.02.10-5a Tahun 2010
Buku dan Laporan
9. Austroads 1997 Strategy for Improving Asset Management Practice, p4 10. US Marshals, 2006, Asset Forfeiture Policy Manual: Asset Forfeiture and Money Laundering Section 11. USMS Directives, Juni 2008 12. Greenberg,Theodore S, Linda M Samuel, Wingate Grant and Larissa Gray,2009, Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide for NonConviction Based Asset Forfeiture, Washington DC, World Bank. 13. Joint Thematic Review Of Asset Recovery: Restrain And Confiscation Casework, 2010, Criminal Justice Joint Inspection, London. 14. The Assets Recovery Agency, 2007, National Audit Office, London
130
BAB 7 - Penutup
Website
15. www.u4.no, Februari 2007 16. www.beritabaru.com, 19 Oktober 2009 17. www.radarlamsel.com, 15 Februari 2009 18. www.greenmedia.com, 02 Februari 2009 19. www.posbelitung.com, 18 Januari 2010 20. www.hukumonline.com; 3 Juli 2008 21. www.parlemen.com; 24 juni 2010 22. www.austroads.com.au/asset/whatisasset.html