KAJIAN TEMATIK DIREKTORAT ANGGARAN BIDANG PEREKONOMIAN DAN KEMARITIMAN TAHUN 2016
ANALISIS STRATEGI PENCAPAIAN EFEKTIVITAS PELAKSANAAN ANGGARAN ASURANSI PERTANIAN DALAM APBN MELALUI ANALISIS SWOT
DIREKTORAT JENDERAL ANGGARAN TAHUN 2016
SUBDIREKTORAT ANGGARAN BIDANG PERTANIAN, KELAUTAN DAN KEHUTANAN DESEMBER 2016
DAFTAR ISI
A. B.
Pendahuluan ……………………………………………................ Landasan Teori……………………................................................. 1. Asuransi Pertanian…...……………………............................... 2. Efektivitas...........…………………………………….…........... 3. Teori SWOT...........................................…………………........ C. Pembahasan......…………………..………...................................... 1. Kekuatan (Strength).………………………………………...... 1.1. Keterlibatan BUMN Bidang Asuransi Sebagai Pelaksana Asuransi Pertanian......................................... 1.2. Dukungan dari Legislatif dan Eksekutif......................... 2. Kelemahan (Weakness).............................................................. 2.1. Kontribusi Pembayaran Premi Asuransi dari APBD Belum Memadai............................................................. 2.2. Belum Membudayanya Sadar Asuransi di Indonesia..... 3. Peluang (Opportunity)................................................................ 3.1. Cakupan dan Potensi Komoditas Yang Diasuransikan Akan Terus Berkembang................................................ 3.2. Cakupan dan Potensi Luasan Lahan yang Diasuransikan................................................................. 4. Ancaman (Threat)...................................................................... 4.1. Kebijakan Penghematan Anggaran Belanja................... 4.2. Bencana.......................................................................... D. Kesimpulan dan Saran.................................................................... 1. Kesimpulan................................................................................. 2. Saran........................................................................................... DAFTAR PUSTAKA
1 6 6 8 12 13 13 13 15 15 15 17 17 17 19 20 20 21 24 24 25
A. Pendahuluan Sektor pertanian mempunyai peran yang vital dalam menjaga stabilitas politik dan ekonomi suatu negara. Pertanian dapat menjadi alat pemersatu bangsa mengingat pangan, sebagai produk hasil pertanian, merupakan kebutuhan paling mendasar (primer) warga negara yang harus terpenuhi baik untuk kelangsungan hidup maupun untuk peningkatan kualitas gizi tiap individu. Stabilitas politik suatu negara tercermin dari stabilnya harga pangan dan tersedianya stok pangan dan cadangannya dalam jumlah yang cukup. Pertanian juga berperan fundamental dalam perekonomian negara mengingat banyak sektor lain yang berkaitan langsung dengan sektor pertanian karena kedudukannya selaku penyedia bahan baku (input) produksi. Pertanian termasuk dalam tiga sektor terbesar yang berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia bersama dengan sektor industri pengolahan (manufaktur) dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Tabel 1 Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Triwulanan Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Periode Tahun 2009 s.d. 2014 (dalam persen)
2009
2010
2011
2012
2013*
2014**
15,29
15,29
14,71
14,50
14,42
14,33
2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN
10,56
11,16
11,82
11,81
11,29
10,49
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
26,36
24,80
24,34
23,96
23,69
23,71
4. LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH
0,83
0,76
0,75
0,76
0,77
0,80
5. B A N G U N A N
9,90
10,25
10,16
10,26
9,98
10,05
LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN, PETERNAKAN, KEHUTANAN DAN PERIKANAN
13,28
13,69
13,80
13,96
14,32
14,60
7. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI
6,31
6,56
6,62
6,67
6,99
7,39
8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERSH.
7,23
7,24
7,21
7,27
7,52
7,65
10,24
10,24
10,58
10,81
11,01
10,98
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
91,71
92,17
91,60
92,21
92,65
93,03
6. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN
9. JASA - JASA
PRODUK DOMESTIK BRUTO PRODUK DOMESTIK BRUTO TANPA MIGAS
Keterangan: * Angka sementara ** Angka sangat sementara Sumber: Badan Pusat Statistik (2016), http://bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1207
1
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik di atas, terlihat bahwa sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan memberikan besaran kontribusi
antara 14,33%
s.d. 15,29 %
terhadap PDB selama periode tahun 2009 s.d. 2014. Sektor ini berada pada peringkat dua penyumbang PDB terbesar setelah sektor industri pengolahan selama kurun tahun 2009 s.d. 2013. Kemudian pada tahun 2014, kedudukan sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan sedikit menurun menjadi berada pada peringkat ketiga, dibawah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Selain berkontribusi terhadap PDB, sektor pertanian juga turut berperan dalam penyerapan tenaga kerja. Lebih dari 50% penduduk Indonesia bermukim di wilayah pedesaan dimana mayoritas rumah tangga bekerja dan mendapatkan penghasilan dari sektor pertanian. Pengembangan turunan dari sektor pertanian seperti: tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan menghasilkan beragam produk berbasis pertanian yang dimanfaatkan menjadi sumber pendapatan. Gambar 1 Peta Sebaran Rumah Tangga Usaha Pertanian
Sumber: Badan Pusat Statistik, Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, terdapat 26,14 juta rumah tangga usaha pertanian di Indonesia yang terkonsentrasi paling banyak berada di wilayah Jawa dan Sumatera Utara. Konsentrasi rumah tangga usaha pertanian terbanyak berikutnya berada di wilayah Lampung, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan sebagaimana terlihat pada gambar di atas.
2
Tabel 2 Jumlah Usaha Pertanian Menurut Subsektor dan Jenis Usaha
No
Sektor/Subsektor
SEKTOR PERTANIAN*) SUBSEKTOR 1. Tanaman Pangan Padi Palawija 2. Hortikultura 3. Perkebunan 4. Peternakan 5. Perikanan Budidaya Ikan Penangkapan Ikan 6. Kehutanan 7. Jasa Pertanian
Rumah Tangga Usaha Pertanian
Perusahaan Pertanian Berbadan Hukum
Usaha Pertanian Lainnya
26.135.469
4.165
5.922
17.728.162 14.147.861 8.624.228 10.602.142 12.770.571 12.969.206 1.975.249 1.187.604 864.506 6.782.956 1.078.308
114 75 47 185 2.216 636 379 279 100 656
1.316 589 950 1.455 1.451 2.196 979 950 35 964
Sumber: Badan Pusat Statistik, Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013 *) Keterangan: satu rumah tangga usaha pertanian dapat mengusahakan lebih dari 1 subsektor usaha pertanian sehingga jumlah rumah tangga usaha pertanian di sektor pertanian bukan merupakan penjumlahan rumah tangga usaha pertanian dari masing-masing subsektor.
Berdasarkan Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013, rumah tangga usaha pertanian terbesar berada pada subsektor tanaman pangan yaitu sebanyak 17,7 juta rumah tangga, diikuti dengan subsektor peternakan sebanyak 12,9 juta rumah tangga dan subsektor perkebunan sebanyak 12,7 juta rumah tangga. Adapun profil rumah tangga usaha pertanian berdasarkan luas kepemilikan lahan dapat dijelaskan melalui tabel berikut: Tabel 3 Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai
No 1 2 3 4 5 6 7
Gol Luas Lahan (m2) <1.000 1.000 – 1.999 2.000 – 4.999 5.000 – 9.999 10.000 – 19.999 20.000 – 29.999 ≥30.000 JUMLAH
Laporan Sensus Pertanian Tahun 2003 9.380.300 3.602.348 6.816.943 4.782.812 3.661.529 1.678.356 1.309.896 31.232.184
Tahun 2013 4.338.847 3.550.185 6.733.364 4.555.075 3.725.865 1.623.434 1.608.699 26.135.469
Perubahan (%) (53,75) (1,45) (1,23) (4,76) 1,76 (3,27) 22,81 (16,32)
Sumber: Badan Pusat Statistik, Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013
Berdasarkan perbandingan data Laporan Hasil Sensus Pertanian Tahun 2003 dengan Tahun 3
2013 di atas, terlihat bahwa dalam 10 tahun berjalan terjadi penurunan rumah tangga usaha pertanian sebesar 16,32%. Perubahan secara signifikan terjadi pada rumah tangga usaha pertanian dengan penguasaan lahan kurang dari 1.000 m2 dengan 9,3 juta rumah tangga pada tahun 2003 menjadi 4,3 juta rumah tangga pada tahun 2013. Tingginya potensi di sektor pertanian seharusnya dapat menjadi pendorong bagi pemerintah untuk melakukan pembangunan yang lebih intensif. Hal ini dibutuhkan mengingat ketahanan pangan nasional merupakan salah satu tujuan dari pembangunan nasional (Pasaribu et al. 2010). Pemerintah telah bertekad untuk mencapai kedaulatan pangan melalui swasembada pangan yang diturunkan melalui program peningkatan produksi pertanian. Namun diakui bahwa dalam upaya peningkatan produksi pertanian, dijumpai berbagai kendala dalam pelaksanaannya di lapangan khususnya terkait dengan dampak perubahan iklim global dan fenomena perdagangan internasional yang sulit dikendalikan. Pertanian merupakan salah satu sektor perekonomian yang paling rawan terhadap dampak negatif perubahan iklim (Yohe dan Tol, 2001). Perubahan iklim menunjukkan tren peningkatan setiap tahunnya. Banjir dan kekeringan merupakan salah satu peristiwa yang disebabkan oleh adanya
fenomena perubahan iklim. Carter, Cheng dan Sarris (2011)
menyatakan sektor pertanian merupakan salah satu sektor ekonomi yang paling rentan terhadap berbagai risiko bencana khususnya bencana banjir. Selain bencana banjir, Estiningtyas et al. (2011) menambahkan kejadian kekeringan sebagai faktor lainnya dari fenomena perubahan iklim yang mempengaruhi produktivitas pertanian. Bencana banjir menyebabkan kerusakan pada tanaman padi, sedangkan kekeringan menyebabkan kekurangan hasil produktivitas panen. Fenomena kekeringan merupakan bencana yang terjadi setiap tahun sedangkan banjir merupakan bencana yang terjadi per tiga tahun. Kementerian Pertanian dalam Andrayani (2013) memaparkan persoalan mendasar yang dapat menjadi ancaman bagi sektor pertanian yang meliputi: (i) meningkatnya jumlah penduduk,
(ii) meningkatnya
kerusakan
lingkungan dan perubahan iklim global,
(iii) ketersediaan infrastruktur lahan dan air, (iv) status kepemilikan lahan yang sempit, (v) lemahnya kemampuan sistem pembenihan dan pembibitan nasional, (vi) terbatasnya akses petani terhadap permodalan, (vii) masih tingginya suku bunga usahatani, (viii) lemahnya kapasitas kelembagaan petani dan penyuluh, (ix) rendahnya nilai tukar petani, (x) masih rawannya ketahanan pangan dan tahanan energi, (xi) belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik, (xii) belum padunya antar sektor dalam pembangunan pertanian, dan (xiii) kurang optimalnya kinerja dan pelayanan birokrasi pertanian. Untuk beradaptasi dengan bencana, para petani baik secara perorangan maupun 4
berkelompok telah mengembangkan berbagai pendekatan praktis tradisional seperti menyimpan sebagian hasil panen padi dalam lumbung, menanam umbi-umbian di pekarangan atau ladang, memelihara ternak, dan sebagainya yang lazim ditemui di Indonesia dan negara agraris lainnya. Sumaryanto dan Nurmanaf (2007) menjabarkan beberapa strategi yang diterapkan petani dalam menghadapi risiko sebagai berikut:
Strategi produksi Tercakup dalam kategori ini adalah diversifikasi atau memilih sistem usahatani yang sekuen kegiatannya fleksibel, usahatani yang pembiayaannya fleksibel, dan/atau cara pengelolaan produksinya fleksibel. Strategi yang diterapkan sebagian besar petani di Indonesia adalah diversifikasi usahatani.
Strategi pemasaran Tercakup dalam strategi ini adalah menjual hasil panen secara berangsur atau tidak sekaligus, memanfaatkan sistem kontrak untuk penjualan produk yang akan dihasilkan (forward contracting), ataupun melakukan perjanjian tingkat harga antara petani dengan pembeli tertentu untuk hasil panen yang akan datang (hedging on the future market). Yang paling banyak dilakukan oleh petani di Indonesia adalah dengan cara menjual hasil panen secara berangsur.
Strategi finansial Tercakup dalam strategi ini adalah: (a) melakukan pencadangan dana yang cukup, (b) melakukan investasi pada kegiatan berdaya hasil tinggi, ataupun (c) membuat proyeksi arus tunai berdasarkan estimasi biaya produksi, harga jual produk, dan produksi yang realistis. Di Indonesia strategi ini mungkin diterapkan oleh sebagian petani yang termasuk kategori mampu, itupun untuk beberapa petani yang menerapkan strategi (c) yang pada umumnya tidak tertuang dalam bentuk formal (tertulis).
Pemanfaatan kredit informal Contoh penerapan strategi ini adalah petani meminjam uang atau barang kebutuhan pokok dari pihak lain (pedagang, pemilik modal perorangan). Strategi ini relatif banyak diterapkan oleh petani di Indonesia, terutama rumah tangga petani kecil yang berpendapatan rendah.
Asuransi pertanian. Menjadi peserta asuransi pertanian formal untuk menutup sebagian atau semua kerugian yang diperkirakan akan terjadi. Strategi ini banyak ditempuh oleh petani di negara maju, ataupun sebagian petani di negara-negara berkembang. Di Indonesia asuransi pertanian
5
mulai dikembangkan sejak tahun 2015. Dilatarbelakangi oleh kecenderungan meningkatnya perubahan iklim, kerentanan terhadap bencana alam dan risiko usaha, globalisasi dan gejolak ekonomi global, serta sistem pasar yang tidak berpihak kepada petani itu pula kemudian dirumuskan kebijakan perlindungan dan pemberdayaan bagi petani yang ditetapkan melalui
Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Strategi perlindungan dan pemberdayaan petani dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: Tabel 4 Strategi Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
Strategi perlindungan petani
Strategi perberdayaan petani
1
Prasarana dan sarana produksi pertanian
1 Pendidikan dan pelatihan
2
Kepastian usaha
2 Penyuluhan dan pendampingan
3
Harga komoditas pertanian
3
4
Penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi
4 Konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian
5
Ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa
5 Penyediaan fasilitas pembiayaan dan permodalan
6
Sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim
6 Kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi
7
Asuransi pertanian
7 Penguatan kelembagaan petani
Pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian
Sumber: Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013
B. Landasan Teori 1. Asuransi Pertanian Kebijakan pemerintah yang cenderung hanya terfokus kepada bantuan langsung tidak dapat memberikan peningkatan ketahanan masyarakat secara signifikan dalam situasi bencana. Asuransi pertanian merupakan salah satu skema pembiayaan untuk melindungi petani dari risiko akibat fenomena perubahan iklim (Dong dalam Dodon dan Sagala, 2014). Skema asuransi memungkinkan untuk memastikan sebuah fenomena yang tidak pasti ke dalam rencana yang pasti (Duncan dan Myers, 2000). Selain itu, asuransi dianggap menjadi 6
salah satu skema pembiayaan yang paling efektif dalam usaha meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat (Hazell, Pomareda dan Valdes, 1986). Gambar 2 Peranan Asuransi dalam Meningkatkan Ketahanan Ekonomi Masyarakat
Sumber: Dodon dan Sagala (2014)
Gambar 2 menjelaskan ilustrasi bagaimana kinerja asuransi dalam merespon kejadian bencana kekeringan dan bencana banjir. Hasil survei di lapangan menunjukkan sebagian besar masyarakat yang bekerja sebagai petani umumnya mengalami kerugian yang besar sebagai dampak dari semakin menurunnya pendapatan dan kerugian akibat bencana yang dialami. Asuransi pertanian memungkinkan memberikan bantuan melalui pembayaran klaim asuransi
pertanian,
dimana
pembiayaan
ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk
mengganti kerugian yang dialaminya (Dodon dan Sagala, 2014). Pelaksanaan asuransi pertanian di Indonesia dimulai dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang dalam ketentuan pasal 37 ayat (1) mengamanatkan pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban melindungi usaha tani yang dilakukan oleh petani dalam bentuk asuransi pertanian. Dalam undang-undang diatas, asuransi pertanian didefinisikan sebagai perjanjian antara petani dan pihak perusahaan asuransi untuk mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko Usaha Tani. Secara lebih teknis, program asuransi
pertanian
diatur
melalui
Peraturan
Menteri
Pertanian
Nomor
40/Permentan/SR.230/7/2015 tentang Fasilitas Asuransi Pertanian. Dalam peraturan menteri tersebut, dijelaskan bahwa asuransi pertanian dilakukan untuk melindungi petani dari
7
kerugian gagal panen akibat: (i) bencana alam, (ii) serangan organisme pengganggu tumbuhan, (iii) wabah penyakit hewan menular, dan/atau (iv) dampak perubahan iklim.
2. Efektivitas Efektivitas adalah kesesuaian antara output dengan tujuan yang telah ditetapkan (Subagyo, 2000). Definisi secara lebih mendalam disampaikan Mandl, Dierx, dan Ilzkovitz (2008) dalam The Effectiveness and Efficieny of Public Spending yang mengemukakan bahwa efektivitas menghubungkan input atau output dengan tujuan akhir yang hendak dicapai (outcome). Efektivitas menggambarkan keberhasilan sumber daya yang digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hubungan keterkaitan antara input, output dan outcome dijelaskan melalui gambar di bawah ini. Gambar 3 Kerangka Konseptual Mengenai Efisiensi dan Efektivitas
Sumber: Mandl, Dierx, and Ilzkovitz (2008)
Rondonuwu, Tinangon, dan Budiarso (2015) menjelaskan bahwa, secara sederhana, efektivitas merupakan perbandingan antara outcome dengan output. Jika efisiensi berfokus pada output dan proses, maka efektivitas berfokus pada outcome (hasil). Suatu program atau kegiatan dinilai efektif apabila output yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan atau dikatakan spending wisely. Menurut Mahmudi (2010), tingkat efektivitas dinilai dengan mengukur hasil akhir suatu layanan dikaitkan dengan output-nya (cost of outcome). Karena output yang dihasilkan organisasi sektor publik lebih banyak bersifat
8
output tak berwujud (intangible) yang tidak mudah dikuantifikasi, maka pengukuran efektivitas biasanya dinyatakan secara kualitatif dalam bentuk pernyataan (judgement). Berkenaan dengan pelaksanaan asuransi pertanian, Sumaryanto dan Nurmanaf (2007) menjelaskan unsur-unsur kunci yang menentukan efektivitas, viabilitas operasional dan keberlanjutan suatu sistem asuransi pertanian yang mencakup: a. Petani sasaran Maksud dari petani sasaran disini adalah apakah sasarannya tertuju pada petani-petani tertentu berdasarkan kategori menurut skala usaha, partisipasinya dalam lembaga perkreditan, status garapan, dan sebagainya. Untuk kasus usahatani padi di Indonesia tampaknya lebih layak tidak dilakukan pemilahan menurut skala pengusahaan, partisipasinya dalam lembaga perkreditan ataupun status garapan. Jika difokuskan petani
dengan
pada
skala usaha tertentu maka kontraproduktif dengan pendekatan yang
ditempuh dalam implementasi struktur pokok landasan sebagaimana dibahas di atas. Seandainya difokuskan pada petani yang terkait dengan lembaga perkreditan tertentu, diperkirakan
skala
usaha
yang
efisien untuk
asuransi
pertanian
tidak
akan
tercapai karena secara empiris partisipasi petani dalam lembaga perkreditan sangat kecil. Sementara itu jika difokuskan pada petani dengan status garapan tertentu, maka akan
justru
terkendala dengan kondisi empiris di lapangan yaitu: umumnya transaksi status
garapan (sewa, bagi hasil) antara petani penggarap – pemilik lahan tidak bersifat formal; dan status garapan sering berubah antar tahun, bahkan antar musim sehingga kontraproduktif dengan upaya efisiensi biaya administrasi asuransi pertanian. Selain itu juga kontraproduktif dengan manifestasi dari struktur pokok landasan asuransi pertanian sebagaimana dibahas di atas. Mengacu pada kondisi empiris, tampaknya yang layak dipertimbangkan sebagai basis penentuan petani sasaran adalah kombinasi dari wilayah administratif dan daerah pengelolaan
irigasi;
atau
wilayah
tertentu
yang oleh
pemerintah diprogramkan sebagai wilayah pertanian yang dicagar (terkait dengan strategi pengendalian alih fungsi lahan sawah). b. Cakupan komoditas usahatani Cakupan komoditas disini adalah apakah mencakup semua komoditas ataukah komoditas tertentu saja. Berpijak pada kondisi empiris, tampaknya lebih layak mengembangkan asuransi pertanian pada komoditas tertentu, khususnya padi. Hal ini terkait dengan fakta bahwa: karakteristik komoditas berimplikasi pada risiko usahatani, dan untuk tahap inisiasi pengembangan maka asuransi pertanian komoditas tunggal lebih layak karena asuransi pertanian adalah sangat kompleks. 9
c. Cakupan asuransi Dalam konteks ini yang terutama adalah substansi permasalahan mengenai nilai jaminan dan penentuan kerugian. Faktor-faktor yang diperhitungkan dalam nilai jaminan dan penentuan kerugian lazimnya dikaitkan dengan peluang terjadinya claim yang memenuhi persyaratan dan kesanggupan petani membayar premi yang dikaitkan dengan kompensasi yang dinikmati petani untuk melanjutkan usahatani yang dijalankan. Secara teoritis, perhitungan
tentang
kisaran
nilai
jaminan
dan
penentuan
kerugian
memang
dapat diperoleh dari hasil studi empiris dengan pendekatan survey, tetapi hasil perhitungan akurat hanya dapat diperoleh dari hasil kajian empiris dengan pendekatan action research. d. Nilai premi dan prosedur pengumpulannya Strategi kebijakan yang selama ini ditempuh pemerintah dalam pengembangan produksi padi tidak hanya berhasil meningkatkan ketahanan pangan nasional, tetapi di sisi lain juga mempunyai ekses meningkatnya ketergantungan petani terhadap bantuan pemerintah. Hal ini tak lepas dari posisi padi dalam perekonomian nasional yang sangat strategis sehingga secara historis strategi kebijakan yang harus ditempuh seringkali sulit menghindar dari kepentingan politik. Fakta tersebut harus dipertimbangkan dengan seksama dalam penentuan nilai premi maupun prosedur pengumpulannya. e. Mekanisme penyesuaian kerugian Penentuan mekanisme penyesuaian kerugian harus
memperhitungkan
struktur
biaya
yang dihadapi oleh asuransi pertanian maupun struktur biaya dan risiko usahatani dengan pendekatan simultan. Oleh karena itu bentuk skim yang dipilih juga ikut menentukan. Secara teoritis, informasi dan data yang dibutuhkan dalam merancang mekanisme penyesuaian kerugian dapat disediakan dari hasil studi dengan pendekatan survey, tetapi harus disempurnakan melalui pemanfaatan informasi dan data yang dihasilkan dari penelitian dengan pendekatan kaji tindak. f. Struktur organisasi Struktur organisasi terkait dengan skim yang dipilih. Jika bentuk badan usaha adalah BUMN, dengan sendirinya persoalan yang berkenaan dengan aspek property right harus disesuaikan dengan kerangka hukum yang berlaku. Sementara itu substansi permasalahan yang berkenaan dengan batas yurisdiksi dan aturan representasi harus sinkron dengan sistem administrasi pemerintahan yang dianut. Di tingkat operasional, struktur organisasi yang dibentuk harus pula memperhatikan eksistensi kelembagaan di tingkat petani yang relevan dengan kepentingan asuransi pertanian. 10
g. Skim pendanaan Jika bentuk badan usaha yang dipilih adalah BUMN, maka kebijakan pemerintah yang diberlakukan untuk badan-badan usaha milik negara akan berlaku pula sebagai acuan pokok dalam skim pendanaan asuransi pertanian. Modifikasi mungkin diperlukan terkait dengan keunikan sistem asuransi pertanian usahatani padi, tetapi hal tersebut berada pada tataran operasional. h. Susunan penjaminan ulang Secara teknis, susunan penjaminan ulang harus diputuskan sejak asuransi pertanian akan didirikan. Meskipun demikian, sejumlah modifikasi dan penyempurnaan tentu sangat diperlukan seiring dengan makin banyaknya informasi dan data hasil evaluasi dan monitoring. i. Komunikasi dengan petani Di antara sembilan unsur kunci yang membentuk suprastruktur skim asuransi pertanian, komunikasi dengan petani merupakan unsur yang paling menentukan. Pembentukan sistem
komunikasi
dengan
petani
yang
kondusif
membutuhkan
pemahaman
komprehensif mengenai karakteristik komunitas agraris. Pengembangan sistem komunikasi harus memperhatikan implikasi dari eksistensi kelembagaan lokal komunitas agraris. Perlu dicatat bahwa pendekatan formal tidak selalu lebih efektif untuk mencapai tujuan mengingat jumlah petani sangat banyak dan tersebar. Jika pendekatan yang ditempuh adalah kelompok tani sehamparan, maka penguatan kelompok tani merupakan syarat mutlak. Dalam konteks ini, peningkatan kemampuan kelompok tani dalam pencatatan usahatani yang dijalankan (Farm Record Keeping – FRK) sangat diperlukan karena sangat kondusif untuk menekan biaya
operasional
asuransi
pertanian. Untuk jangka panjang kemampuan dan kebiasaan pembuatan FRK seyogyanya bukan hanya di tingkat kelompok, tetapi sampai ke tingkat petani. Dalam penciptaan sistem komunikasi, perusahaan asuransi pertanian dengan petani, peranan PPL sangat strategis. Peranannya tidak hanya diperlukan untuk menjembatani kepentingan pihak asuransi dengan kepentingan petani. Pengalaman yang diperoleh dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya dalam penyuluhan sangat kondusif untuk mendukung terciptanya sistem usahatani padi yang sinergis dengan usaha asuransi pertanian untuk usahatani padi. bahwa
informasi
adalah
bahan
baku utama untuk
pengambilan keputusan, maka arus informasi (untuk pengambilan keputusan tingkat strategis, taktis, ataupun tingkat teknis) antara berbagai pemangku kepentingan dalam sistem asuransi pertanian harus terjalin dengan baik dan up to date. 11
3. Teori SWOT SWOT adalah akronim dari Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (kesempatan/peluang), dan Threats (ancaman). Analisis SWOT adalah suatu bentuk analisis situasi dengan mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis terhadap kekuatan dan kelemahan suatu organisasi, juga kesempatan dan ancaman dari lingkungan untuk merumuskan strategi organisasi (Sumaryo, 2015). Melalui analisis SWOT akan diidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk kemudian dirumuskan strategi yang akan ditempuh oleh organisasi baik internal maupun eksternal. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Maksud dari analisis SWOT ini adalah untuk meneliti dan menentukan dalam hal manakah suatu organisasi/lembaga: a. Kuat (sehingga dapat dioptimalkan); b. Lemah (sehingga dapat segera dibenahi); c. Kesempatan-kesempatan di luar (untuk dimanfaatkan); d. Ancaman-ancaman dari luar (untuk diantisipasi). Whalley (2010) merumuskan matriks analisis SWOT sebagai berikut: Gambar 4 Matriks Analisis SWOT
Sumber: Whalley (2010)
Berdasarkan matriks SWOT dari Whalley di atas, kekuatan (strengths) agar diberdayakan sehingga sehingga peluang/kesempatan yang ada dapat dioptimalkan dan hambatan/ancaman (threats) yang ada dapat direduksi. Sementara, kelemahan (weaknesses) agar diatasi sehingga hambatan dalam memanfaatkan peluang/kesempatan yang ada dapat dicegah. USDA (2008) menambahkan bahwa analisis SWOT dapat diterapkan pada bidang pertanian dan peternakan. 12
Adapaun alur proses analisis SWOT dijelaskan melalui gambar berikut: Gambar 5 Alur Proses Analisis SWOT
Sumber: Riston (2008)
Berdasarkan alur proses SWOT dari Riston di atas, terdapat dua proses analisis yaitu analisis internal dan analisis eksternal. Analisis internal dilakukan untuk mengidentifikasi kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) yang berasal dari dalam organisasi, sedangkan analisis eksternal dilakukan untuk mengidentifikasi peluang (opportunities) dan ancaman (threats) yang berasal dari luar organisasi.
C. Pembahasan Strategi pencapaian efektivitas pelaksanaan anggaran asuransi pertanian dalam APBN melalui analisis SWOT dapat dijelaskan menggunakan masing-masing unsur sebagai berikut : 1.
Kekuatan (Strength)
1.1. Keterlibatan BUMN Bidang Asuransi Sebagai Pelaksana Asuransi Pertanian Struktur organisasi merupakan salah satu unsur kunci yang menentukan efektivitas dan keberlanjutan pelaksanaan asuransi pertanian. Jika bentuk badan usaha adalah BUMN, maka harus disesuaikan dengan kerangka hukum yang berlaku. Ketentuan pasal 38 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 mengatur bahwa pelaksanaan asuransi pertanian dapat dilakukan melalui penugasan pemerintah kepada BUMN di bidang asuransi. 13
Berdasarkan surat Menteri Badan Usaha Milik Negara RI nomor S-587/MBU/09/2015 tanggal 21 September 2015, PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) ditunjuk untuk melaksanakan penugasan sebagai Pelaksana Asuransi Usahatani Padi. Penugasan BUMN sebagai pelaksana asuransi pertanian telah sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku dan dapat dikategorikan sebagai unsur kekuatan (Strength). PT
Asuransi Jasa Indonesia (Persero) atau lebih dikenal dengan PT Asuransi Jasindo
merupakan salah satu BUMN yang bergerak di bidang usaha asuransi umum. BUMN ini mempunyai pengalaman yang panjang dan mumpuni di bidang perasuransian. Dalam situs resminya yang beralamat www.jasindo.co.id, dijelaskan sejarah berdirinya PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) yang berawal dari dilaksanakannya nasionalisasi atas NV Assurantie Maatschappij de Nederlander (perusahaan asuransi umum milik kolonial Belanda) dan Bloom Vander (perusahaan asuransi umum milik Inggris). Kebijakan nasionalisasi tersebut berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelah dilakukannya nasionalisasi, NV Assurantie Maatschappij de Nederlander berganti nama menjadi PT Asuransi Bendasraya yang bergerak di bidang asuransi umum dalam mata uang Rupiah. Sementara, Bloom Vander berganti nama menjadi PT Umum Internasional Underwriters (UIU) yang bergerak pada bidang asuransi umum dalam valuta asing. Selanjutnya melalui Keputusan Menteri Keuangan RI nomor 764/MK/IV/12/1972 tanggal
9 Desember 1972, pemerintah memutuskan untuk
menggabungkan (merger) PT Asuransi Bendasraya dan PT Umum Internasional Underwriters menjadi sebagai sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) asuransi dengan nama PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero).
PT Asuransi Jasindo juga menunjukkan kinerja yang gemilang sehingga berhasil dalam meraih kepercayaan publik baik dalam negeri maupun luar negeri. Layanan yang profesional dan terpercaya ditunjukkan melalui keterlibatan Asuransi Jasindo dalam pertanggungan dengan kategori mega risk. Penyelesaian atas klaim-klaim besar yang telah dilakukan antara lain adalah klaim Apogee Kick Motor Satelit Palapa B2 sebesar US$ 75 juta, BDC Failure Satelit Palapa C2 senilai US$ 31,2 juta, Battery Charging Failure Satelit Palapa C2 sebesar US$ 36,5 juta, dan Loss of DB Satelit Garuda milik Aces International hingga senilai US$ 101,5 juta. PT Asuransi Jasindo meraih banyak apresiasi dan penghargaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri diantaranya: a. Peringkat 1 Annual Report Award 2014 Kategori BUMN Keuangan Non Listed dari Kementerian BUMN; 14
b. Peringkat 1 Annual Report Award 2015 Kategori BUMN Keuangan Non Listed dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK); c. Penghargaan Good Corporate Governance Award 2015 sebagai Perusahaan Paling Terpercaya berdasarkan Corporate Governance Perception Index (CGPI) dari Indonesia Institute for Corporate Governance (IICG) dan Majalah SWA; d. Best Financial Performance General Insurance Company 2016 untuk Kategori Perusahaan dengan Aset lebih dari Rp 5 triliun dari Warta Ekonomi; e. Best's Financial Strength Rating B++ (Good) Tahun 2015 dan 2016 dari AM Best, badan pemeringkat internasional yang berbasis di Hongkong dan Amerika Serikat. 1.2. Dukungan dari Legislatif dan Eksekutif Asuransi pertanian telah mendapatkan dukungan dari parlemen dan pemerintah yang terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Dasar hukum berupa undangundang tersebut merupakan aturan hukum tertinggi yang menjadi acuan dalam menyusun aturan hukum turunan secara lebih rinci dengan melibatkan pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam usaha pertanian. Detail tata cara pelaksanaan asuransi pertanian yang telah ditetapkan saat ini adalah pengaturan dalam bentuk Peraturan Menteri Pertanian (Permentan). Dalam UU Nomor 19 Tahun 2013 disebutkan bahwa strategi perlindungan petani dilakukan melalui 7 (tujuh) langkah yaitu: (i) prasarana dan sarana produksi pertanian, (ii) kepastian usaha, (iii) harga komoditas pertanian, (iv) penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi, (v) ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa, (vi) sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim, dan (vii) asuransi pertanian. Semua langkah strategi perlindungan petani tersebut telah mulai diimplementasikan oleh pemerintah setelah ditetapkannya undang-undang tersebut, kecuali asuransi pertanian yang baru mulai dditerapkankan uji cobanya mulai tahun 2015. 2.
Kelemahan (Weakness)
2.1. Kontribusi Pembayaran Premi Asuransi dari APBD Belum Memadai Salah satu unsur kunci yang menentukan efektivitas dan keberlanjutan pelaksanaan asuransi pertanian adalah skim pendanaan. Pada tataran operasional, dapat dilakukan modifikasi skim pendanaan mengingat keunikan sistem asuransi pertanian. Ketentuan pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 mengatur bahwa pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban melindungi usaha tani yang dilakukan oleh petani dalam bentuk asuransi pertanian. Dalam pasal 39 juga dijelaskan bahwa 15
pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi setiap petani menjadi peserta asuransi pertanian melalui kemudahan pendaftaran untuk menjadi peserta, kemudahan akses terhadap perusahaan asuransi, sosialisasi program asuransi, dan/atau bantuan pembayaran premi. Dalam Keputusan Menteri Pertanian RI nomor 02/Kpts/SR.220/B/01/2016 tentang Pedoman Bantuan Premi Asuransi Usahatani Padi, ditetapkan harga pertanggungan sebesar Rp6.000.000,00 per hektar per musim tanam sebagai dasar perhitungan premi dan batas maksimum ganti rugi. Pemberian ganti rugi kepada peserta AUTP dilakukan apabila terjadi banjir, kekeringan dan atau serangan OPT yang mengakibatkan kerusakan tanaman padi yang dipertanggungkan dengan persyaratan sebagai berikut: (i) umur padi sudah melewati 10 hari (10 hari setelah tanam/HST), (ii) umur padi sudah melewati 30 hari (teknologi tabela), dan (iii) intensitas kerusakan mencapai ≥75% dan luas kerusakan mencapai ≥75% pada setiap luas petak alami. Total premi asuransi ditetapkan sebesar Rp180.000,00 per hektar (ha) per masa tanam (MT). Besaran bantuan premi dari pemerintah adalah sebesar 80% atau Rp144.000,00/ha/MT dan sisanya swadaya petani sebesar 20% atau Rp36.000,00/ha/MT. Jika luas lahan yang diasuransikan kurang atau lebih dari 1 (satu) hektar, maka besarnya premi (dan ganti rugi) dihitung secara proporsional. Sementara, melalui Keputusan Menteri Pertanian nomor 56/Kpts/SR.230/B/06/2016 tentang Pedoman Bantuan Premi Asuransi Usaha Ternak Sapi, ditetapkan harga pertanggungan sebesar Rp10.000.000,00 per ekor per tahun sebagai dasar perhitungan premi dan batas maksimum ganti rugi. Pemberian ganti rugi kepada peserta AUTS dilakukan apabila terjadi kematian sapi karena penyakit, kecelakaan, atau beranak maupun kehilangan sapi karena kecurian selama jangka waktu pertanggungan. Besaran bantuan premi dari pemerintah adalah sebesar 80% atau Rp160.000,00/ekor/tahun dan sisanya swadaya peternak sebesar 20% atau Rp40.000,00/ekor /tahun. Skim pendanaan yang telah berjalan selama ini adalah pembayaran premi asuransi pertanian ditanggung oleh 2 (dua) pihak yakni pemerintah sebesar 80% dan petani/peternak sebesar 20%. Sementara, kontribusi dari pemerintah daerah melalui APBD baru sebatas fasilitasi pendaftaran kepesertaan dan sosialisasi program asuransi pertanian. Belum adanya pemerintah daerah yang berinisiatif menyiapkan anggaran pembayaran premi melalui APBD dapat dikategorikan sebagai unsur kelemahan (weakness). Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013,
perlindungan usaha tani melalui asuransi pertanian merupakan
tanggung jawab bersama pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dapat dipahami bahwa kemampuan fiskal tiap-tiap daerah beragam dan tidak merata sehingga kontribusi pembayaran premi dari APBD tidak dapat diterapkan secara menyeluruh. Meski demikian, inisiasi ke arah 16
tersebut dipandang perlu untuk diterapkan secara bertahap dimulai dari pemerintah daerah dengan kategori kapasitas fiskal yang tinggi dan sangat tinggi. Daftar provinsi/kabupaten/kota sebagaimana termuat dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan nomor 37/PMK.07/2016 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah dapat digunakan sebagai dasar acuan. 2.2. Belum Membudayanya Sadar Asuransi di Indonesia Tingkat kesadaran masyarakat Indonesia berasuransi masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain. Hal tersebut disebabkan karena asuransi belum dianggap sebagai
kebutuhan utama bagi sebagian besar masyarakat.
Selain itu, pemahaman
masyarakat akan klaim juga masih kurang. Berdasarkan hasil analisis Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), asuransi masih menjadi kebutuhan tersier di Indonesia karena hal ini berkaitan erat dengan tingkat pendapatan dan pendidikan seseorang. Faktor pendapatan dan pendidikan inilah yang menyebabkan asuransi lebih banyak dimiliki oleh masyarakat dari golongan menengah ke atas. Oleh karena itu, perlu ditumbuhkembangkan asuransi mikro yang terjangkau oleh kelompok menengah ke bawah, seperti petani dan nelayan. Di Filipina dan Thailand, asuransi mikro sudah berjalan karena adanya kontribusi dari pemerintah. Dari sekitar 240 juta jiwa penduduk Indonesia, baru 18% atau sekitar 43,2 juta jiwa yang sudah mengerti dan memahami asuransi. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dari jumlah keseluruhan penduduk tersebut hanya 12% atau 28,8 juta jiwa yang benar-benar merasakan produk asuransi. Rendahnya penetrasi asuransi di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah minimnya literasi asuransi atau belum sadarnya masyarakat akan pentingnya memiliki asuransi. Sebagian masyarakat beranggapan masih banyak kebutuhan lain yang lebih mendesak ketimbang menyisihkan penghasilan mereka untuk keperluan proteksi diri dan harta bendanya. 3.
Peluang (Opportunity)
3.1. Cakupan dan Potensi Komoditas yang Diasuransikan Akan Terus Berkembang Salah satu unsur kunci yang menentukan efektivitas dan keberlanjutan pelaksanaan asuransi pertanian adalah cakupan asuransi. Gambaran umum insurance in emerging markets dijelaskan melalui gambar berikut:
17
Gambar 6 Densitas dan Penetrasi Asuransi di Emerging Markets Tahun 2015
Sumber: Swiss Re Economic Research & Consulting (Sigma, 2016)
Berdasarkan data World Insurance in 2015 di atas, posisi Indonesia dalam dunia perasuransian global menempati urutan ke-45 dari 58 emerging markets. Posisi ini sedikit meningkat dimana sebelumnya berada di peringkat ke-46 di tahun 2014. Pada gambar di atas terlihat posisi Indonesia, Filipina, India, Sri Langka, Vietnam, Pakistan dan Bangladesh berada di bawah rata-rata (average) emerging markets, sementara posisi Malaysia dan Thailand berada jauh diatas rata-rata. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia menempati posisi yang lebih baik dibandingkan dengan Filipina dan Vietnam berdasarkan nilai premi per kapita dan densitas asuransi. Namun berdasarkan penetrasi asuransi, posisi Filipina sedikit lebih tinggi dari Indonesia dan Vietnam. Penetrasi asuransi Indonesia yang masih di bawah 3% terhadap PDB menjadi potensi besar bagi pertumbuhan asuransi di masa mendatang sehingga hal ini dapat dikategorikan sebagai unsur peluang (Opportunity).
18
Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40/Permentan/SR.230/7/2015 tentang Fasilitas Asuransi Pertanian, diatur jenis asuransi pertanian yang dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian sebagai berikut: a. Asuransi Tanaman Asuransi Tanaman meliputi tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Mulai tahun 2015, telah diimplementasikan asuransi untuk usahatani padi yang berpedoman pada Keputusan Menteri Pertanian nomor 782/HK.160/B.1.1/10/2015 tentang Pedoman Bantuan Premi Asuransi Usahatani Padi. Untuk tahun 2016, pedoman tersebut diperbaharui melalui Keputusan Menteri Pertanian nomor 02/Kpts/SR.220/B/01/2016. b. Asuransi Ternak. Asuransi Ternak meliputi ruminansia, nonruminansia dan monogastrik/pseudoruminant. Untuk tahun 2016, telah diimplementasikan asuransi untuk usaha ternak sapi yang berpedoman pada Keputusan Menteri Pertanian nomor 56/Kpts/SR.230/B/06/2016 tentang Pedoman Bantuan Premi Asuransi Usaha Ternak Sapi. Perluasan cakupan asuransi pertanian pada tahun-tahun mendatang adalah suatu keniscayaan yang tentunya harus seiring sejalan dengan kapasitas fiskal pemerintah yang semakin baik. Asuransi pertanian untuk tanaman yang saat ini telah diterapkan baru meliputi salah satu tanaman pangan saja yakni usahatani padi. Sementara, dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40/Permentan/SR.230/7/2015 dijelaskan bahwa asuransi tanaman meliputi tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Masih terbuka peluang penerapan asuransi untuk jenis tamanan pangan lain seperti jagung dan sagu, juga untuk kelompok tanaman lainnya seperti buah dan sayur (hortikultura) atau karet, kakao, kopi, dan tebu (perkebunan). Hal yang sama pun berlaku untuk asuransi pertanian untuk ternak mengingat dalam Peraturan Menteri Pertanian di atas diatur bahwa asuransi ternak meliputi ruminansia, nonruminansia dan monogastrik/pseudoruminant. Asuransi pertanian untuk ternak yang saat ini telah diterapkan baru meliputi salah satu ruminansia saja yakni usaha ternak sapi. Masih terbuka peluang penerapan asuransi untuk kategori ruminansia lainnya seperti kambing dan domba, juga untuk kelompok ternak lainnya seperti unggas (monogastrik). 3.2. Cakupan dan Potensi Luasan Lahan yang Diasuransikan Selain pengembangan asuransi pertanian untuk komoditas sejenis lainnya, masih terbuka kemungkinan perluasan cakupan terkait luasan lahan yang diasuransikan pada tahun-tahun mendatang. Potensi ditemui mengingat terdapat gap yang lumayan jauh antara luas lahan pertanian yang terdata dengan luas lahan yang telah mendapatkan perlindungan 19
asuransi sebagaimana dijelaskan melalui tabel berikut: Tabel 5 Target dan Alokasi Anggaran Asuransi Pertanian
70.846.465
Luas Lahan Terasuransi (Ha) -
Cakupan Asuransi (%) -
14.116.638
75.397.841
1.000.000
7,14
15.035.736
79.141.352
3.000.000
19,95
Tahun
Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
2014
13.797.307
2015 2016 *
Sumber : Kementerian Pertanian
Melalui tabel 5 di atas, terlihat perbandingan luas lahan yang telah mendapatkan asuransi dengan luas lahan pertanian keseluruhan yang terdata. Cakupan asuransi pertanian untuk AUTP adalah sekitar 7,14% di tahun 2015 dan meningkat menjadi 19,95% di tahun 2016. 4.
Ancaman (Threat)
4.1. Kebijakan Penghematan Anggaran Belanja Mekanisme
pelaksanaan
AUTP
diserahkan
Kementerian
Pertanian
dengan
menggunakan anggaran Kementerian Pertanian (BA 018) yang berasal dari APBN untuk membayar premi asuransi. Skema pembayaran premi asuransi dibebankan kepada pemerintah sebesar 80% bersumber dari APBN dan sisa 20% dibebankan kepada petani. Besaran tanggungan premi atas beban APBN sebesar Rp144.000,00 per hektar per masa tanam untuk AUTP dan sebesar Rp160.000,00 per ekor per tahun menunjukkan adanya korelasi antara alokasi anggaran dengan target yang akan dicapai. Semakin besar anggaran yang tersedia, semakin besar cakupan target yang dapat dicapai, demikian pula sebaliknya. Dinamika kebijakan di level nasional, khususnya yang terkait dengan penghematan anggaran, sedikit banyak mempengaruhi pelaksanaan kegiatan asuransi pertanian di lapangan. Kebijakan penghematan anggaran tahun 2016 yang terakhir ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2016 tentang Langkah-Langkah Penghematan Belanja Kementerian/ Lembaga Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2016, berdampak pada penyesuaian target pelaksanaan asuransi pertanian. Gambaran mengenai pengaruh penghematan anggaran asuransi pertanian terhadap pencapaian target AUTP dijelaskan melalui tabel berikut:
20
Tabel 6 Target dan Alokasi Anggaran Asuransi Pertanian Pada Kementerian Pertanian (BA 018) Tahun Anggaran
Target
Alokasi
2015
1 juta ha
150 miliar
2016 – APBN
3 juta ha
473,1 miliar
0,7 juta ha
134 miliar
2016 – APBN Perubahan
Keterangan
Penghematan anggaran
Sumber : RKA-K/L Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian
Melalui Tabel 5 di atas, terlihat anggaran asuransi pertanian yang dialokasikan Kementerian Pertanian sebesar Rp150 miliar untuk uji coba AUTP pada tahun 2015 dengan target capaian seluas 1 juta hektar. Di tahun 2016, alokasi anggaran asuransi pertanian mengalami peningkatan menjadi sebesar Rp473,1 miliar dengan target capaian seluas 3 juta hektar.
Adanya
dinamika
kebijakan
terkait
penghematan
anggaran
belanja
kementerian/lembaga berdampak pada peghematan/pemotongan anggaran untuk AUTP dalam APBN-P TA 2016 menjadi sebesar Rp134 miliar. Hal ini membawa pengaruh pada target yang akan dicapai dari semula seluas 3 juta hektar menjadi seluas 700 ribu hektar. Karenanya, kebijakan penghematan anggaran belanja yang dilakukan pemerintah dapat dikategorikan sebagai unsur ancaman (threat). 4.2. Bencana Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rawan bencana di dunia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kondisi geografis dan faktor alam. Kondisi geografis Indonesia berada di atas pertemuan 3 lempeng tektonik dengan hampir 200 gunung berapi, dimana 70 gunung diantaranya termasuk dalam kategori sangat aktif. Dengan kata lain, wilayah Indonesia berada di atas jalur gempa dan letusan gunung berapi. Potensi bencana lainnya berasal dari faktor alam.
Iklim negeri kita yang tropis
dengan curah hujan yang cukup tinggi selain memudahkan terjadinya pelapukan, juga menyebabkan lapisan tanah menjadi tidak stabil. Banyaknya kondisi tanah yang rusak berpotensi memunculkan longsor dan banjir. Gambaran peta wilayah bencana di Indonesia yang dikaitkan dengan risiko mortalitas dan penurunan PDB adalah sebagai berikut:
21
Gambar 7 Hotspots Risiko Bencana di Indonesia: Risiko Mortalitas
Sumber: M. Dilley et al. dalam Bappenas (2006)
Gambar 8 Hotspots Risiko Bencana di Indonesia: Dampak terhadap GDP
Sumber: M. Dilley et al. dalam Bappenas (2006)
Bappenas (2006) menyampaikan bahwa bencana banjir menimbulkan risiko khusus mengingat kecenderungan dampaknya yang sangat tinggi pada PDB dan mortalitas. Bencana kebakaran juga patut diperhitungkan sebagaimana kerusakan akibat kebakaran lahan yang ditunjukkan selama musim El Nino. Pada Gambar 2 terlihat pulau Jawa dan sebagian kecil Sumatera menjadi wilayah dengan risiko bencana tertinggi dari segi korban jiwa (mortalitas). Sementara, melalui Gambar 3 terlihat pengaruh bencana terhadap penurunan PDB dimana sebagian besar wilayah Jawa, Sumatera dan Nusa Tenggara Timur mengalami penurunan PDB dengan proporsi yang tertinggi di Indonesia. Bencana yang terjadi di Indonesia memiliki keragaman jenis dan berkarakteristik merusak dan berdampak kerugian selain kematian dan kerusakan infratsruktur namun juga 22
kerusakan lahan. Data mengenai jenis dan frekuensi bencana yang berdampak pada kerusakan lahan di Indonesia dalam lima tahun terakhir serta data kerusakan lahan akibat bencana dijelaskan melalui tabel berikut: Tabel 7 Frekuensi Jenis Bencana yang Berdampak Kerusakan Lahan di Indonesia Tahun 2011 s.d. 2015 Jenis Bencana
2011
2012
2013
2014
2015
Total
Rata-rata
BANJIR
554
540
683
559
492
2.828
565,6
BANJIR DAN TANAH LONGSOR
26
51
47
37
31
192
38,4
GELOMBANG PASANG / ABRASI
17
29
36
20
7
109
21,8
KEBAKARAN
492
469
20
-
3
984
246,0
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
23
51
26
101
45
246
49,2
KEKERINGAN
221
264
66
7
7
565
113,0
4
7
8
5
10
34
6,8
PUTING BELIUNG
447
562
503
621
565
2.698
539,6
TANAH LONGSOR
329
291
296
600
504
2.020
404,0
2.113
2.264
1.685
1.950
1.664
9.676
1.935,2
LETUSAN GUNUNG API
TOTAL
Sumber : Badan Nasional Penanggulangan Bencana http://dibi.bnpb.go.id/data-bencana
Tabel 8 Kerusakan Lahan Akibat Bencana di Indonesia Tahun 2011 s.d. 2015 (dalam Ha) Jenis Bencana BANJIR BANJIR DAN TANAH LONGSOR GELOMBANG PASANG / ABRASI KEBAKARAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN KEKERINGAN LETUSAN GUNUNG API PUTING BELIUNG TANAH LONGSOR TOTAL
2011
2012
2013
18.265,0
38.924,5
86.719,0
116.612,0
46.120,3
306.640,7
Ratarata 61.328,1
39,0
1.473,2
2.915,0
206,0
70,4
4.703,6
940,7
125,0
168,0
0,0
0,0
0,0
293,0
58,6
55,0
12,0
0,0
-
0,0
67,0
16,8
0,0
0,0
0,0
214,0
0,0
214,0
42,8
48.545,0
43.067,0
4.068,0
0,0
434,0
96.114,0
19.222,8
0,0
0,0
0,0
5.146,0
0,0
5.146,0
1.029,2
0,0
14.189,5
875,5
0,0
1,0
15.066,0
3.013,2
165,7
162,3
5.393,7
9.358,2
1.203,8
16.283,6
3.256,7
67.194,7
97.996,4
99.971,2
131.536,2
47.829,4
444.527,9
88.905,6
2014
2015
Total
Sumber : Badan Nasional Penanggulangan Bencana http://dibi.bnpb.go.id/data-bencana
23
Melalui Tabel 7 di atas terlihat data bencana yang tercatat oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sepanjang periode tahun 2011 hingga 2015 secara rata-rata di Indonesia sebanyak 1.935 kejadian bencana setiap tahunnya yang berdampak pada kerusakan lahan. Jenis bencana yang paling sering terjadi pada periode tersebut adalah bencana banjir dengan frekuensi terbesar terjadi pada tahun 2013 sebesar 683 kejadian. Sementara, jenis bencana yang paling jarang terjadi dalam periode yang sama adalah bencana letusan gunung api. Sementara, melalui Tabel 8 di atas terlihat maka kerusakan lahan terbesar sepanjang lima tahun terakhir disebabkan oleh bencana banjir. Sementara, kerusakan lahan terkecil dalam periode yang sama disebabkan oleh bencana kebakaran. Adapun kerusakan lahan terbesar terjadi di tahun 2014 dengan luasan 131.536,2 hektar yang dominan disebabkan oleh bencana banjir. Total kerusakan lahan yang terjadi selama periode 2011 s.d. 2015 adalah seluas 306.640,7 hektar dengan
rata-rata kerusakan lahan yang ditimbulkan seluas
61.328,1 hektar per tahun. Tingginya luas kerusakan lahan yang disebabkan oleh bencana alam tersebut tentu merugikan aktivitas ekonomi nasional, tidak terkecuali sektor pertanian. Bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan puting beliung tidak hanya mengakibatkan lahan pertanian menjadi rusak dan petani tidak mampu melanjutkan usahanya kembali namun juga infrastruktur yang meliputi sektor pertanian sehingga mengganggu kinerja sektor pertanian serta merugikan petani sebagai pelaku usaha. Karenanya, kejadian bencana dapat dikategorikan sebagai unsur ancaman (threat). D. Kesimpulan dan Saran 1.
Kesimpulan Pertanian termasuk dalam tiga sektor terbesar yang berkontribusi terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Asuransi merupakan salah satu skema pembiayaan yang paling efektif dalam usaha meningkatkan ketahanan ekonomi petani. Pelaksanaan asuransi pertanian di Indonesia dimulai dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Dalam UU tersebut diuraikan strategi perlindungan petani dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: (i) prasarana dan sarana produksi pertanian, (ii) kepastian usaha, (iii) harga komoditas pertanian, (iv) penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi, (v) ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa, (vi) sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim, dan
24
(vii) asuransi pertanian. Asuransi pertanian telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2015 dalam bentuk uji coba. Kementerian Pertanian mengalokasikan anggaran untuk asuransi pertanian sebesar Rp150 miliar di tahun 2015 dan meningkat menjadi Rp473,1 miliar di tahun 2016. Unsur kunci yang menentukan efektivitas, viabilitas operasional dan keberlanjutan suatu sistem asuransi pertanian menurut Sumaryanto dan Nurmanaf (2007) mencakup 9
(sembilan)
hal
yaitu:
(i)
petani
sasaran,
(ii)
cakupan
komoditas
usahatani,
(iii) cakupan asuransi, (iv) nilai premi dan prosedur pengumpulannya, (v) mekanisme penyesuaian kerugian, (vi) struktur organisasi, (vii) skim pendanaan, (viii) susunan penjaminan ulang, dan (ix) komunikasi dengan petani. Kajian ini mengacu pada 9 (sembilan) unsur tersebut serta unsur tambahan lainnya yang berkorelasi. Gabungan dari pelbagai unsur tersebut kemudian diteliti menggunakan analisis SWOT dan diidentifikasi ke dalam 4 kelompok yaitu kekuatan (strength) sehingga dapat dioptimalkan, kelemahan (weakness) sehingga dapat dibenahi, peluang/kesempatan (opportunity) untuk dapat dimanfaatkan, dan hambatan/ancaman (threat) untuk dapat diantisipasi. Hasil analisis SWOT strategi pencapaian efektivitas pelaksanaan anggaran asuransi pertanian adalah sebagai berikut: a.
Keterlibatan BUMN bidang asuransi sebagai pelaksana asuransi pertanian dan dukungan dari legislatif dan eksekutif sebagai unsur kekuatan (strength).
b.
Kontribusi pembayaran premi asuransi dari APBD yang belum memadai dan belum membudayanya sadar asuransi di Indonesia sebagai unsur kelemahan (weakness).
c.
Cakupan dan potensi komoditas yang diasuransikan dan potensi luas lahan yang akan terus berkembang sebagai unsur peluang (opportunity).
d.
Kebijakan penghematan anggaran belanja dan bencana sebagai unsur ancaman (threat).
2.
Saran Upaya pemerintah untuk menerapkan asuransi pertanian sebagai wujud keberpihakan
kepada petani layak mendapatkan apresiasi. Besaran anggaran dan cakupan asuransi pertanian pada Kementerian Pertanian menunjukkan trend yang positif. Meski demikian, asuransi pertanian memiliki keterbatasan karena hanya memberikan perlindungan terhadap risiko gagal panen akibat bencana banjir, kekeringan dan atau serangan OPT, sementara terdapat risiko lain yang dihadapi para petani Indonesia seperti harga jual hasil panen yang rendah, kelangkaan pupuk sehingga menjadi mahal harganya, atau benih berkualitas yang sulit didapat. Karenanya, strategi perlindungan kepada petani tidak dapat hanya mengandalkan 25
pada asuransi pertanian saja, namun harus terpadu pelaksanaannya bersama dengan kebijakan lainnya seperti
peningkatan prasarana dan sarana produksi pertanian, stabilisasi harga
komoditas pertanian, penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi, maupun pemberian subsidi pupuk. Pelaksanaan asuransi pertanian yang fokus pada komoditas tertentu yakni usahatani padi dan usaha ternak sapi di tahun-tahun awal implementasi merupakan langkah yang tepat. Fokus pelaksanaan selanjutnya adalah ekstensifikasi cakupan sehingga luasan usahatani padi dan usaha ternak sapi yang diasuransikan meningkat pada wilayah yang tersebar secara lebih merata diiringi dengan ketepatan sasaran dan proses yang benar. Sehubungan dengan keterbatasan waktu dan sumber daya, dalam kajian ini belum dilakukan analisis pembobotan, rating dan scoring masing-masing faktor SWOT, juga belum dilakukan matriks formulasi strategi antara faktor internal dengan faktor eksternal. Meski demikian, adanya kajian ini diharapkan dapat memberikan gambaran sederhana mengenai pelaksanaan anggaran asuransi pertanian di Indonesia.
Mengingat asuransi
pertanian masih dalam tahun awal pelaksanaan, masih terbuka luas peluang untuk penelitian selanjutnya secara lebih mendalam dengan landasan teori dan metode yang berbeda dan terkini disertai alat analisis yang lebih terukur.
26
DAFTAR PUSTAKA
Andrayani, D. (2013). Asuransi Pertanian Sebagai Sarana Meningkatkan Kesejahteraan Petani; Analisis Simulasi pada PT. Saung Mirwan dan Mitra Taninya di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2016). Data dan Informasi Bencana Indonesia. Jakarta. http://dibi.bnpb.go.id/data-bencana Badan Pusat Statistik. (2013). Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013 (Pencacahan Lengkap). Jakarta. http://st2013.bps.go.id/st2013esya/booklet/at0000.pdf Badan Pusat Statistik. (2016). Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Triwulanan Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha, 2000-2014 (Persen). Jakarta. http://bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1207 Bappenas. (2006). Preliminary Damage and Loss Assessment: Yogyakarta dan Central Java Natural Disater. Paper presented at The 15th Annual Meeting of The Consultative Group on Indonesia, June. Jakarta Budiani, Ni Wayan. (2007). Efektivitas Program Penanggulangan Pengangguran Karang Taruna ”Eka Taruna Bhakti” Desa Sumerta Kelod Kecamatan Denpasar Timur Kota Denpasar. Jurnal Ekonomi dan Sosial INPUT. Vol. 2 No.1. Hal. 49-57. Denpasar: Universitas Udayana. http://ojs.unud.ac.id/index.php/input/article/viewFile/3191/2288 Carter, M., Cheng, L., dan Sarris, A. (2011). The Impact of Interlinked Index Insurance and Credit Contracts on Financial Market Deepening and Small Farm Productivity. Paper presented at the Annual Meeting of T he American Applied Economics Association, Pittsburgh PA, July. Duncan, J., dan Myers, R.J. (2000). Crop Insurance Under Catastropic Risk. American Journal of Agricultural Economics. Vo. 82 No.4 page 842-855.
i
Dodon, dan Sagala, Saut A.H. (2014). Asuransi Pertanian untuk Meningkatkan Ketahanan Ekonomi Masyarakat Petani dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B. SAPPK V4N1 Hal.57-63. Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Bandung: Institut Teknologi Bandung. Estiningtiyas, W. Boer, I, Buono, A. dan Rakhman, A. (2011). Delinasi Risiko Iklim dan Evaluasi Model Hubungan Curah Hujan dan Produksi Padi dalam Mendukung Pengembangan Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance) pada Sistem Usahatani Berbasis Padi. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Hazell, P.B.,
Pomareda, C., dan Valdes, A. (1986). Crop Insurance for Agricultural
Development: Issues and Experience. IICA Biblioteca. Venezuela. Kurniawan, Agung. (2005). Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta: Pembaruan. Mahmudi. (2010). Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN. Mandl U., Dierx A., & Ilzkovitz, Fabienne. (2008). Effectiveness and Efficiency of Public Spending. Economic Papers 201. February 2008. Brussels: European Commission. http://ec.europa.eu/economy_finance/publications/publication16267_en.pdf Pasaribu M.S., I.S. Agung, N.K. Agustin, E. M. Lokollo, H. Tarigan, Y. Supriyatna. (2010). Laporan Akhir Penelitian : Pengembangan Asuransi Usahatani
Padi
untuk
Menanggulangi Risiko Kerugian 75% Akibat Banjir, Kekeringan, dan Hama Penyakit. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian. Bogor Riston, Neil. (2008). Strategic Management. Neil Ritson & Ventus Publishing ApS. ISBN 97887-7681-417-5 http://www.kau.edu.sa/Files/0057862/Subjects/Strategic%20Management%20Book.pdf Rondonuwu R.H., Tinangon J.J., & Budiarso, Novi. (2015). Analisis Efisiensi dan Efektivitas Pengelolaan Keuangan Daerah pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Minahasa. Jurnal EMBA Vol.3 No.4 Desember 2015, Hal.23-32. Manado: Universitas Sam Ratulangi. Sigma. (2016). World Insurance in 2015: Steady Growth Amid Regional Disparities. Swiss Re Sigma No. 3/2016. June 2016 http://www.swissre.com/library/sigma3_2016_en.html
ii
Subagyo, A. Wito. (2000). Efektivitas Program Penanggulangan Kemiskinan dalam Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan: Studi Kasus di Kabupaten Kediri Jawa Timur. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Sumaryo. (2015). Strategi Pengembangan Widyaiswara Menghadapi Tunututan Peningkatan Kebutuhan Unit Pengguna. Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan. http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/168-artikel-pengembangansdm/21218-strategi-pengembangan-widyaiswara-menghadapi-tuntutan-peningkatankebutuhan-unit-pengguna Sumaryanto, dan Nurmanaf, A.R. (2007). Simpul-simpul Strategis Pengembangan Asuransi Pertanian untuk Usahatani Padi di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 25 No. 2 Hal 89-103, Desember 2007. Sumaryanto, dan Nurmanaf, A.R. (2007). Simpul-simpul Strategis Pengembangan Asuransi Pertanian untuk Usahatani Padi di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 25 No. 2 Hal 89-103, Desember 2007. USDA. (2008). SWOT Analysis: A Tool for Making Better Business Decisions. Washington D.C. United States Departement of Agriculture, Risk Management Agency. www.rma.usda.gov/pubs/2011/swot_brochure.pdf Whalley, Andrew. (2010). Strategic Marketing. Andrew Whalley and Ventus Publishing ApS. ISBN 978-87-7681-643-8. http://library.ku.ac.ke/wp-content/downloads/2011/08/Bookboon/Strategy/strategicmarketing.pdf Yohe, Gary., dan Tol, Richard S.J. (2001). Indicators for Social and Economic Coping Capacity – Moving Towards a Working Definition of Adaptive Capacity. September 2001. Global Environmental Change www.start.org/Projects/AIACC.../gyoheindicators.doc.pdf
Peraturan:
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 40/Permentan/SR.230/7/2015 tentang Fasilitas Asuransi Pertanian iii
Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 02/Kpts/SR.220/B/01/2016 tentang Pedoman Bantuan Premi Asuransi Usahatani Padi
Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 56/Kpts/SR.230/B/06/2016 tentang Pedoman Bantuan Premi Asuransi Usaha Ternak Sapi
iv