LAPORAN KEMAJUAN TERM I PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA (PKPP) TAHUN 2012
KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN HAMBATAN ALIH TEKNOLOGI DARI MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME (MTCR)
Peneliti Utama : Drs. J. Bakara Anggota Peneliti : Drs. Husni Nasution Dra. Euis Susilawati, M.Si Drs. Pardamean Hutahaean, M.Eng Intan Perwitasari, SE Jakarta, 8 JUNI 2012
PUSAT PENGKAJIAN DAN INFORMASI KEDIRGANTARAAN DEPUTI BIDANG SAINS, PENGKAJIAN DAN INFORMASI KEDIRGANTARAAN LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL (LAPAN)
ABSTRAK
Salah satu program dalam kegiatan keantariksaan yang perlu mendapat perhatian yang serius adalah program pengembangan peroketan nasional. Selama ini Indonesia telah memanfaatkan teknologi peroketan negara lain untuk berbagai kepentingan pembangunan nasional, namun belum pada tahap penguasaan. Indonesia sebagai negara berkembang dengan wilayah yang sangat luas sudah saatnya mempercepat penguasaan teknologi di bidang peroketan untuk mendukung kemandirian bangsa di sektor-sektor startegis lainnya. Namun dalam upayanya mencapai kemandirian ini sangat berkaitan dengan item-item teknologi peroketan yang diatur dalam MTCR. Sampai saat ini Indonesia belum menjadi anggota MTCR, sehingga mendapat kesulitan di dalam transfer teknologi. Penelitian ini akan merumuskan strategi pengembangan peroketan nasional sehubungan dengan adanya hambatan alih teknologi dari MTCR tersebut. Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yang menggambarkan penerapan MTCR dalam pengembangan peroketan negara-negara, program peroketan negara-negara baik anggota maupun non anggota MTCR, kebijakan dan kemampuan Indonesia terkait peroketan nasional sebagai instrumental/ environmental input. Analisis SWOT digunakan untuk menganalisis instrumental input/environmental input dalam rangka perumusan strategi dan kebijakan antariksa nasional (national space policy) pengembangan peroketan nasional. Hasil kajian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam pemecahan masalah hambatan yang dialami dari MTCR terkait pengembangan peroketan nasional
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Saat ini Indonesia telah memanfaatkan teknologi antariksa negara lain untuk berbagai
kepentingan pembangunan nasional, namun belum pada tahap penguasaan. Dengan melihat makna strategis dari teknologi keantariksaan tersebut,
Indonesia sebagai negara
berkembang dengan wilayah yang sangat luas sudah saatnya mempercepat penguasaan teknologi di bidang keantariksaan khususnya dalam teknologi peroketan untuk mendukung kemandirian bangsa di sektor-sektor startegis lainnya. Selain itu penguasaan teknologi tersebut juga diperlukan dalam rangka memberikan konrtibusi yang nyata dan besar terhadap upaya pemerintah Indonesia untuk menjamin integritas dan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun untuk memperoleh teknologi tersebut tidaklah mudah.
Beberapa negara, terutama kelompok
negara maju yang menguasai
teknologi antariksa sangat protektif di dalam alih teknologi terhadap negara-negara lain. Proteksi alih teknologi ini didasarkan pada peraturan perundang-undangan nasionalnya secara sendiri ataupun perjanjian
yang ditetapkan secara bersama oleh negara-negara
dalam suatu kelompok tertentu. Salah satu perjanjian yang saat ini cukup menonjol dalam alih teknologi peroketan adalah Missile Technology Control Regime (MTCR).
MTCR
ditetapkan pada tahun 1987 oleh beberapa negara maju yang tergabung
dalam kelompok negara industri G-7 yaitu Amerika Serikat (AS), Inggris, Perancis, Jerman Barat, Italia, Kanada, dan Jepang. MTCR bertujuan untuk membatasi dan mengawasi alih teknologi (termasuk di dalamnya teknologi keantariksaan) yang dapat berperan dalam teknologi misil, senjata pemusnah massal, dan guna ganda (untuk sipil dan militer). Sampai dengan saat ini 34 negara telah bergabung menjadi anggota MTCR. Negara-negara yang telah menjadi anggota MTCR ini memperoleh kemudahan alih teknologi di antara sesama anggota MTCR, yang tidak diperoleh oleh negara non anggota MTCR (Deborah A. Ozga, 1994).
Meskipun banyak kemudahan yang bisa diperoleh, tetapi Indonesia sampai saat ini belum menjadi anggota MTCR, sehingga untuk dapat memperoleh alih teknologi tentunya akan mendapat kendala dari negara-negara yang tergabung dalam MTCR, di mana negara2
negara tersebut telah mempunyai kemampuan dalam penguasaan teknologi keantariksaan. Dalam hal menghadapi kebijakan dari MTCR yang menghambat, membatasi dan mengawasi alih teknologi tersebut (khususnya terkait peroketan), pada tahun 1997 Indonesia (d.h.i. LAPAN) melakukan pertemuan Gali Pendapat mengenai MTCR untuk memperoleh pandangan sikap Indonesia terhadap MTCR. Kesepakatan mengenai sikap Indonesia pada Gali Pendapat tersebut adalah bahwa untuk sementara Indonesia belum waktunya untuk menjadi anggota MTCR. Kesepakatan ini didasarkan kepada bahwa Indonesia belum mempunyai suatu program pembangunan kedirgantaraan yang terintegrasi. Dalam rangka mewujudkan upaya bangsa Indonesia ke depan yaitu mempunyai kemampuan yang mandiri dalam penguasaan iptek kedirgantaraan, Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua yang berlangsung di Jakarta tahun 2003 merekomendasikan antara lain perlunya Indonesia untuk mengkaji kembali sikapnya terhadap MTCR (LAPAN, 2004).
Menindaklajuti Kongres tersebut, pada tahun 2005 LAPAN menyelenggarakan Round Table Discussion yang dipimpin Kepala LAPAN dan dihadiri pejabat/wakil instansi terkait untuk membahas Sikap Indonesia Terhadap MTCR. Dari diskusi tersebut disepakati bahwa kebijakan Indonesia dalam MTCR ini masih sama seperti yang disepakati pada tahun 1997, yaitu untuk sementara ini Indonesia belum waktunya untuk masuk menjadi anggota, dan masih perlu dikaji yang lebih mendalam dari berbagai aspek (Pussisfogan, LAPAN, 2005).
Kebijakan
LAPAN
saat
ini
terkait
dengan
teknologi
antariksa
(peroketan)
sebagaimana dimuat dalam Renstra LAPAN 2010-2014 adalah bahwa untuk jangka panjang diharapkan LAPAN mempunyai kemampuan yang mandiri dalam teknologi dan produksi Roket Pengorbit Satelit (RPS) dan roket senjata terkendali. Namun disisi lain bahwa untuk memperoleh kemampuan
yang mandiri tersebut sangat berkaitan dengan item-item
teknologi yang dimuat dalam Annex MTCR.
Substansi MTCR itu sendiri terdiri dari (i) ketentuan (Guidelines) yang memuat prinsip-prinsip umum, dan (ii) annex (Equipment, Software, and Technology) yang terdiri dari 2 Kategori. Prinsip-prinsip umum merupakan pedoman dalam mengendalikan ekspor atau perdagangan terhadap item-item yang dimuat dalam annex. Keseluruhan prinsip-prinsip umum yang dimuat dalam MTCR disebut
“Guidelines
for Sensitive Missile-Relevant
Transfer”.Dua parameter pengawasan kritis yang dimuat dalam Kategori I dari annex ialah batasan jarak jangkauan 300 km dan daya angkut muatan 500 kg. Artinya bahwa item-item dalam annex akan dikenakan ketentuan MTCR, apabila item-item tersebut dapat berperan 3
dalam membuat sistem pengangkut atau peluncur yang mempunyai jarak jangkau 300 km atau lebih, dan daya angkut muatan 500 kg lebih.
Untuk menguasai teknologi roket secara penuh, LAPAN merasakan adanya kesulitan terkait dengan kebijakan MTCR, yaitu kesulitan dalam memperoleh komponen roket (Pussisfogan, LAPAN, 2005), a.l: (i) Komponen propulsi dan peralatan (item 3 kategori II), (ii) Komponen bahan kimia dan pemroduksi propelan (Item 4 kategori II), (iii) Instrumen, navigasi dan pemandu arah (Item 9 kategori II), dan (iv) Sistem kendali (Item 10 kategori II).
Selama ini Indonesia (d.h.i. LAPAN) telah berupaya melakukan kerja sama bilateral dengan negara-negara yang mempunyai kemampuan dalam teknologi peroketan (misalnya Ukraina), di mana pada umumnya negara yang mempunyai kemampuan ini adalah anggota MTCR. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini Indonesia masih tetap mengalami kesulitan untuk memperoleh alih teknologi peroketan tersebut. Bahkan negara maju yang akan dijadikan mitra kerja sama bilateral pun selalu menanyakan mengenai posisi keanggotaan Indonesia dalam MTCR. Dengan demikian tentunya akan sulit bagi Indonesia untuk mempunyai kemampuan yang mandiri dalam teknologi peroketan mengingat kebijakan Indonesia sampai saat ini adalah belum menjadi anggota MTCR.
1.2.
Rumusan Masalah Dalam pengusaan teknologi peroketan nasional secara penuh, dirasakan adanya
kesulitan terkait dengan kebijakan MTCR, antara lain
kesulitan untuk memperoleh
komponen-komponen roket. Untuk mengatasi kesulitan ini, Indonesia (d.h.i LAPAN) telah berupaya melakukan kerja sama bilateral dengan negara-negara yang mempunyai kemampuan dalam teknologi peroketan seperti Ukraina, China, dan Rusia. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini Indonesia masih tetap mengalami kesulitan untuk memperoleh alih teknologi roket. Maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi pengembangan peroketan nasional dengan adanya hambatan alih teknologi dari MTCR. 1.3.
Tujuan dan Sasaran a.
Tujuan Penelitian ini ditujukan untuk menguraikan perkembangan dan rencana pengembangan
peroketan nasional,
dan hambatan yang
selama ini
dialaminya, program peroketan negara-negara maju baik negara anggota 4
MTCR maupun non anggota MTCR (seperti China, India) yang diperkirakan dapat memberikan peluang bagi Indonesia, makna MTCR dan penerapannya dalam alih teknologi guna ganda (peroketan), serta menganalisis strategi pengembangan teknologi roket nasional dengan adanya hambatan alih teknologi dari MTCR tersebut. b.
Sasaran Tersusunnya naskah kajian yang memuat strategi atau langkahlangkah dalam pengembangan teknologi peroketan nasional dengan adanya hambatan alih teknologi peroketan dari MTCR yang dapat dijadikan bahan masukan di dalam perumusan national space policy.
1.4
Hasil dan Manfaat Yang Diharapkan Tersusunnya naskah penelitian yang memuat strategi pengembangan peroketan
nasional dalam menghadapi atau menyikapi hambatan alih teknologi peroketan dari MTCR. Strategi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi national space policy dalam memberikan masukan berupa upaya pemecahan terhadap hambatan yang selama ini dialami dalam pengembangan peroketan nasional.
1.5
Metodologi Metodologi ataupun pendekatan yang diterapkan dalam kajian ini adalah deskriptif
analitis. Metodologi deskriptif analitis diterapkan utamanya pada pengumpulan dan pengolahan data atau informasi peroketan internasional dan nasional (Indonesia), serta permasalahannya terkait hambatan alih teknologi dari MTCR, sehingga menjadi informasi yang bersifat ekplanatoris. Data ataupun informasi yang diperlukan dalam penelitian ini dikelompokan menjadi dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder.
Metoda pengumpulan data primer dilakukan secara langsung di lapangan melalui kegiatan wawancara ke instansi/unit kerja tertentu di lingkungan LAPAN yang terkait dengan pengembangan peroketan nasional, atau dengan nara sumber yang mempunyai kepakaran terkait peroketan.
5
Data primer yang dibutuhkan dari instansi tersebut antara lain dapat dilihat dalam Tabel 1-1. TABEL 1-1: Kebutuhan Data Primer NO. 1.
2.
3. 4
INSTANSI PT LEN, Bandung
DATA YANG DIBUTUHKAN Kemampuan yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan peroketan nasional, khususnya produksi instrumen, navigasi dan pemandu arah, dan sistem kendali PT Dahana Tasikmalaya, Kemampuan yang dapat dimanfaatkan dalam peroketan Jawa Barat nasional, yang berkaitan dengan produksi bahan baku bahan bakar roket. LAPAN Rumpin Kondisi pengembangan teknologi roket saat ini, dan kemampuan dalam pengembangan teknologi roket Industri Jasa Importir di Produk-produk negara-negara asing yang masuk melelui Batam Batam yang berkaitan dengan, produk bahan baku pembuatan bahan bakar roket, dan komponenkomponen roket.
Sedangkan metoda pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara melakukan studi kepustakaan (library reseacrh) dari berbagai referensi baik buku, jurnal ilmiah, maupun sumber-sumber lain yang dinilai relevan. Referensi tersebut diperoleh dari perpustakaan dan situs internet. Data sekunder yang dibutuhkan antara lain perkembangan MTCR dan penerapannya dalam program keantariksaan (peroketan), program peroketan negara-negara anggota dan non anggota MTCR, serta kemampuan nasional (Indonesia) terkait pengembangan peroketan.
Data dan informasi yang telah dihimpun tersebut diatas, selanjutnya dianalisa dengan menggunakan analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, and Treath). Analisa SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan sebuah strategi. Analisa ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis ini selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan sebuah insitusi (d.h.i. LAPAN).
Analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, and Treath) Analisa SWOT adalah identifikasi berbagai faktor internal dan eksternal secara sistematis untuk merumuskan sebuah strategi. Analisa SWOT ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun 6
secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats).1
Strength (Kekuatan) merupakan setiap faktor/kondisi positif yang berasal dari dalam (internal) organisasi (d.h.i. Indonesia/LAPAN) yang memungkinkan organisasi tersebut dapat terus tumbuh, berkembang, atau mencapai kondisi yang lebih baik.
Weakness (Kelemahan) merupakan setiap faktor/kondisi negatif yang berasal dari dalam (internal) organisasi yang memungkinkan organisasi tersebut mengalami kehancuran, kekalahan, degradasi atau penurunan keadaan. Opportunity (Peluang) merupakan setiap faktor/kondisi positif yang berasal dari luar (exsternal) organisasi yang memungkinkan organisasi tersebut mengalami kemajuan, perkembangan, atau pencapaian kondisi yang lebih baik.
Sedangkan Threath (Ancaman) merupakan setiap faktor/kondisi negatif yang berasal dari luar organisasi yang dapat mengakibatkan organisasi tersebut mengalami kehancuran, kemunduran, atau jatuh ke kondisi yang lebih buruk.
Untuk keperluan tersebut diperlukan kajian dari aspek lingkungan baik yang berasal dari lingkungan internal maupun eskternal yang mempengaruhi pola strategi institusi/lembaga dalam mencapai tujuan. Tahapan kegiatan yang dilakukan dalam analisis SWOT adalah sebagai berikut: 1) Perumusan faktor internal yaitu kekuatan dan kelemahan, dan faktor eksternal yaitu peluang dan ancaman. 2) Penilaian faktor internal dan eksternal Pada tahap ini dilakukan penilaian terhadap faktor-faktor tersebut yang paling berpengaruh atau mendukung terhadap pencapaian sasaran. Penilaian terhadap faktor
internal yaitu variable-variabel yang merupakan kekuatan dan peluang
digunakan skala likert atas lima tingkat yang terdiri dari: Sangat baik (5), Baik (4), Cukup baik (3), Kurang baik (2), dan Tidak baik (1). Sedangkan untuk kelemahan dan ancaman dari luar yang kemudian digunakan skala likert atas lima tingkat yang terdiri dari: Sangat berat (5), Berat (4), Cukup berat (3), Kurang berat (2), dan Tidak berat (1). 3) Pembuatan matrik SWOT
1
Hero Wirasmara Kusuma, 2009, Freddy Rangkuti Rangkuman Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis, http://id.shvoong.com/business-management/entrepreneurship/1871535-analisis-swot-teknik-membedahkasus/#ixzz1kWqGni9O
7
Matrik SWOT
ini memuat peta kekuatan sebagai hasil analisis dari penilaian
terhadap faktor internal dan eksternal. Lebih lanjut disusun berbagai alternatif strategi yang bisa dipilih. Dengan menghubungkan empat dimensi tersebut, akan diperoleh empat kuadran, yaitu: alternatif strategi SO (Strenghts and Opportunities), alternatif strategi ST (Strenghts and Threats), alternatif strategi WO (Weaknesses and Opportunities) dan alternatif strategi WT (Weaknesses and Threats). TABEL 1-2 : MATRIK SWOT*) KEKUATAN (S) SWOT
KELEMAHAN (W)
1. 2. 3.
1. 2. 3.
PELUANG (O)
I : STRATEGI S-O Bagaimana memanfaatkan kekuatan yang ada untuk meraih peluang
ANCAMAN (T)
II: STRATEGI S-T Bagaimana menggunakan kekuatan internal yang ada untuk bertahan dari ancaman
III : STRATEGI W-O Bagaimana menghilangkan kelemahan untuk mendapatkan peluangpeluang IV: STRATEGI W-T Bagaimana membuat strategi untuk menghindari kelemahan yang mungkin menjadi sasaran ancaman
1. 2. 3.
1. 2. 3.
*) Keterangan: I - Merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Jalankan rencana sesuai agenda/program yang telah disusun. Kekuatan dan peluang yang dimiliki organisasi relatif lebih besar ketimbang kelemahan dan ancaman yang ada, sehingga kemungkinan sukses terbuka lebar. II - Meskipun menghadapi berbagai ancaman, organisasi ini masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi, Atau, bisa juga pelaksanaan rencana tersebut ditunda atau dibatalkan sama sekali jika waktu dan potensi yang ada tidak memungkinkan buat melakukan perbaikan. III- Organisasi menghadapi peluang pasar yang sangat besar, namun di lain pihak menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Di sini, fokus strategi adalah meminimalkan kelemahan internal sehingga dapat merebut peluang pasar yang lebih baik. Lakukan penguatan terlebih dahulu sebelum rencana dilaksanakan. Perbaiki kelemahan yang ada, dan susun terlebih dahulu rencana antisipasi ancaman dengan lebih baik. Jika ini bisa dilakukan, baru rencana bisa dilaksanakan. IV- Merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, organisasi menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal. Strategi bagaimana menekan/ mengeliminir ancaman dan kelemahan. Atau rencana sebaiknya dibatalkan karena tidak ada daya dukung yang memungkinkan organisasi dapat sukses menjalankan organisasi tersebut. Terlalu besar kelemahan dibanding kekuatan, dan terlalu banyak ancaman dibanding peluang. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Kebijakan (Policy) Bagaimana sumber daya dialokasikan dalam pelaksanaan upaya-upaya dalam mencapai tujuan.2 Kebijakan merupakan proses pembuatan keputusan untuk menentukan tujuan dan cara atau alternatif terbaik dala mencapai tujuan tersebut. 3 2.1.2 Strategi Terdapat beberapa pengertian strategi, a.l: Strategi
Strategi
adalah pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Di dalam strategi yang baik terdapat koordinasi tim kerja, memiliki tema, mengidentifikasi faktor pendukung yang sesuai dengan prinsip-prinsip pelaksanaan gagasan secara rasional, efisien dalam pendanaan, dan memiliki taktik untuk mencapai tujuan secara efektif.4 adalah proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai (secara umum).
Pada umumnya proses atau langkah-langkah dalam merumuskan strategi antara lain meliputi: i) Mengidentifikasi misi atau sasaran organisasi ii)
Menganalisa lingkungan luar/eksternal (identifikasi peluang dan ancaman)
iii) Menganalisis lingkungan dalam/internal (identifikasi kekuatan dan kelemahan) iv) Merumuskan strategi 2.2
Kajian Terdahulu a.
Pertemuan Nasional Gali Pendapat mengenai MTCR
(Alfred Sitindjak,
1997) Pada tahun 1997 Indonesia (d.h.i. LAPAN) melakukan pertemuan Gali Pendapat
dengan Instansi-instansi nasional terkait dengan Kedirgantaraan
mengenai MTCR untuk memperoleh pandangan sikap Indonesia terhadap MTCR. Berdasarkan diskusi gali pendapat
2
mengenai
Modern business, R.C. Davis, M.E. MA; A.C. Filley, B.S, M.B.A, Ph.d, Management Philosophy T. Keban, Enam Dimensi Strategis Admmistrasi Publik, Konsep, Teori, dan Isu, 2004 : 10 4 Strategi, http://id.wikipedia.org/wiki/Strategi, terakhir diubah pada 10 Desember 2011. 3
9
MTCR kaitannya
dengan
pengembangan
teknologi
roket
di
dunia,
kemudian
status
pengembangan teknologi roket nasional kaitannya dengan MTCR, maka diperoleh kesepakatan mengenai sikap Indonesia pada Gali Pendapat tersebut adalah bahwa untuk sementara Indonesia belum waktunya untuk menjadi anggota MTCR. Kesepakatan ini didasarkan kepada bahwa Indonesia belum mempunyai suatu program pembangunan kedirgantaraan yang terintegrasi. Dalam rangka mewujudkan upaya bangsa Indonesia ke depan yaitu mempunyai
kemampuan
yang
mandiri
dalam
penguasaan
iptek
kedirgantaraan.
b.
Kajian Pemikiran Tentang Kepentingan Indonesia Terhadap Missile Technology Control Regime-MTCR Euis Susilawati dalam kajian yang berjudul Suatu Pemikiran Tentang Kepentingan Indonesia Terhadap Missile Technology Control Regime (MTCR) menguraikan mengenai (Euis Susilawati, 1997):
(i) latar belakang dan
kronologi pembentukan MTCR, (ii) ketentuan-ketentuan MTCR, (iii) penerapan MTCR
terhadap
program-program
teknologi
keantariksaan
khususnya
peroketan baik yang dilakukan sendiri maupun dilakukan melalui kerja sama antar negara, dan (iv) kekuatan dan kelemahan MTCR.
MTCR adalah
perjanjian atau rejim multilateral yang memuat suatu kebijakan pembatasan atau pengendalian penyebaran misil dan teknologi misil. MTCR yang dibentuk pada tahun 1987 ini dilatarbelakangi kekhawatiran Amerika Serikat (AS) pada saat itu terhadap bahaya yang ditimbulkan pengembangan misil negaranegara. MTCR ini ditujukan untuk mengurangi resiko penyebaran nuklir dengan mengawasi alih peralatan dan teknologi yang dapat berperan dalam pengembangan sistem pengangkut atau peluncur persenjataan nuklir yang bukan berupa pesawat udara berawak. MTCR terdiri dari ketentuan (Guidelines) dan summary of items yang dimuat dalam annex.
Terdapat 2 (dua) pengawasan kritis yang dimuat dalam annex ini yaitu batasan jarak jangkauan 300 km dan daya angkut muatan 500 kg. Artinya item-item dalam annex akan dikenakan ketentuan MTCR, apabila item-item tersebut dapat berperan dalam membuat sistem pengangkut atau peluncur yang mempunyai jarak jangkau 300 km atau lebih, dan daya angkut muatan 500 kg atau lebih. MTCR memberikan sanksi terhadap negara-negara yang di 10
anggap
melanggar
ketentuan-ketentuan
MTCR
tersebut.
Berdasarkan
data/informasi MTCR ini dan dengan melihat kepentingan nasional secara
umum
maupun
terkait
kedirgantaraan,
penulis
baik
menyimpulkan
mengenai manfaat dan resiko dari setiap sikap Indonesia terhadap MTCR.
Manfaat yang akan diperoleh Indonesia apabila menjadi anggota MTCR, meliputi: (i) Indonesia akan memperoleh kepercayaan yang lebih besar dari negara-negara, bahwa Indonesia tidak akan membangun kemampuan untuk menyerang negara lain kecuali untuk mempertahankan diri, (ii) Berdasarkan kepercayaan tersebut
di atas, Indonesia akan lebih mudah
memperoleh alih teknologi antara lain memperoleh alih teknologi dirgantara, (iii) Upaya Indonesia dalam menetapkan kepentingan nasional yang bersifat tetap akan meningkat, yaitu yang menyangkut kelangsungan pembangunan nasional
terutama
pembangunan
kedirgantaraan,
dan
ketertiban dunia melalui keterbukaan dan tanggung jawab
pemeliharaan negara-negara
dalam pemasaran secara global teknologi misil dan yang terkait, (iv) Amerika Serikat dan sekutunya dan anggota MTCR lainnya tidak akan
mencurigai
program kedirgantaraan Indonesia, dengan adanya pertukaran informasi secara teratur dalam pertemuan-pertemuan MTCR, (v) Amerika Serikat dan anggota MTCR lainnya tidak akan menerapkan kebijakan nasionalnya dalam upaya alih teknologi
yang dilakukan Indonesia, karena telah tersalurkan
melalui MTCR, (vi) Indonesia tidak termasuk negara yang berperilaku sebagai “roque/pariah nations”, sehingga tidak akan pernah dalam proses menjadi anggota MTCR,
mengalami kesulitan
dan tentunya tidak akan pernah
menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk menyerang negara lain, kecuali untuk mempertahankan diri.
Sedangkan resikonya apabila Indonesia menjadi anggota MTCR adalah terbukanya upaya-upaya pengembangan misil dan yang terkait. Apabila Indonesia tidak menjadi anggota MTCR maka tidak ada manfaat tambahan khusus yang diperoleh Indonesia dalam semua parameter kepentingan nasional. Disisi lain resikonya ialah kemudahan alih teknologi dari anggota MTCR tidak akan diperoleh Indonesia sebagaimana yang diperoleh antar sesama anggota MTCR, dan upaya-upaya pengembangan misil dan yang terkait tetap akan terbuka melalui upaya-upaya intelijen negara-negara 11
anggota MTCR yang dapat mengundang dikenakannya sanksi bagi Indonesia dalam berbagai bentuk. Diakhir tulisannya penulis menyarankan (i) untuk memperlancar proses keanggotaan Indonesia dalam MTCR, sebaiknya Indonesia melengkapi peraturan perundang-undangan nasional terkait dengan teknologi misil dan yang terkait, dan (ii) hendaknya Indonesia menyiapkan strategi dalam mengambil kesempatan untuk memanfaatkan kekuatan dan kelemahan MTCR. c.
Kongres Kedirgantaraan Nasional ke-2 Jakarta, 22-24 Desember 2003. Berdasarkan
kajian
yang
dilakuakan
Panitia
Nasioanl
Pekan
Kedirgantaraan Nasional (PDN) 2003 mengidentifikasi 10 (sepuluh) isu strategis pembangunan kedirgantaraan nasional, yaitu (i) Sumber Daya Manusia (SDM), (ii) Penegakan Kedaulatan Atas Wilayah Udara Nasional, (iii) Penguasaan Teknologi Dirgantara (Peroketan, Satelit, dan Pesawat Terbang); (iv) Industri (Manufakturing) Dirgantara; (v) Pengelolaan Ruang Udara Nasional,Keselamatan dan Keamanan Jasa Transportasi Udara; (vi) Flight Information Region(FIR); (vii)
Frekuensi Untuk Jasa Telekomunikasi dan
Kegiatan telekomunikasi lainnya; (viii) Definisi dan Delimitasi Antariksa (Batas antara Ruang Udara dan Antariksa); (ix) Wawasan berfikir Bangsa Indonesia tentang Kedirgantaraan; (x) Penyempurnaan Organisasi DEPANRI. Kongres di ikuti instansi-instansi nasional terkait di bidang kedirgantaraan dan Presiden sebagai Ketua DEPANRI. Berdasarkan Hasil Kongres atau Saran Kebijakan Strategis Berdasarkan Isu-Isu Strategis, salah satunya adalah Dalam rangka penentuan Sikap Indonesia mengenai MTCR perlu dilakukan:” Analisis Perlu-Tidaknya Indonesia menjadi anggota MTCR”.
d.
Penyelenggaraan Round Table Discussion. Menindaklanjuti
Kongres
tersebut,
pada
tahun
2005
LAPAN
menyelenggarakan Round Table Discussion yang dipimpin Kepala LAPAN dan dihadiri pejabat/wakil instansi terkait untuk membahas Sikap Indonesia Terhadap MTCR. Dari diskusi tersebut disepakati bahwa kebijakan Indonesia dalam MTCR ini masih sama seperti yang disepakati pada tahun 1997, yaitu untuk sementara ini Indonesia belum waktunya untuk masuk menjadi anggota, dan masih perlu dikaji yang lebih mendalam dari berbagai aspek (Pussisfogan, LAPAN, 2005). 12
f.
Kajian Stratergi Alih Teknologi Semntara Indonesia Belum Anggota Missile Technologt Control Regime -MTCR. Pada tahaun 2005 melakukan pengkajian Strategi Alih Teknologi sementara Indonesia belum anggota MTCR, melalui Riset Unggulan Kemandirian (RUK) Kedirgantaraan. Kajian status pengembangan teknologi peroketan nasional dan kajian
penyerapan MTCR terhadap negara-negara
yang melanggar ketentuan telah dilakukan. Kemudian dilakukan kajian perkembangan
teknologi peroketan negara-negara yang belum anggota
MTCR. Berdasarkan metode
kajian yang digunakan maka menghasilkan
pokok-pokok strategi alih teknologi peroketan yang akan dilakukan dalam kurun waktu 10 tahun kedepan, meliputi (i) Alih teknologi
pengembangan
roket nasional, dilakukan dengan kerja sama dengan negara-negara maju; (ii) Upaya alih teknologi hendaknya dilakukan dengan
pendekatan hubungan
politik dan kerjasama Indonesia dengan negara-negara antara lain India dan China, yang selama ini ada hubungan politik kerjasama di bidang keantariksaan. (iii) Pengembangan peroketan nasional hendaknya secara nasional terintegrasi.
g.
Sudi Kelayakan: Manfaat dan Urgensi Keanggotaan Indonesia Dalam Missile Technology Control Regime – MTCR. Dalam keanggotaan MTCR, alasan yang paling sering dikemukakan oleh negara-negara untuk bergabung dalam MTCR adalah
niat negara-
negara tersebut untuk ikut serta dalam aturan-aturan nonproliferasi global. Tetapi terdapat sejumlah alasan ekonomi dan politik untuk bergabung dalam MTCR. Bagi negara-negara yang industri teknologi misilnya belum maju atau masih kecil, alasan untuk bergabung dengan MTCR adalah untuk mencegah negaranya untuk dijadikan sebagai suatu titik pemindahan (transhipment). Irlandia dan Selandia Baru telah mengemukakan hal ini sebagai alasan untuk bergabung dengan rejim.
Ada persepsi lain di antara negara-negara yang ingin bergabung dalam MTCR, yaitu bahwa
anggota MTCR akan memperoleh kemudahan akses
terhadap teknologi guna ganda yang diawasi. Sementara anggota yang berstatus penuh dapat mempromosikan beberapa bentuk kerja sama 13
teknologi. Persepsi lainnya
adalah bahwa keanggotaan dalam MTCR dan
rejim-rejim pengawasan ekspor lainnya mengakibatkan bahwa negara di dalam melakukan
impor
dianggap akan selalu memperhatikan ketentuan
pengawasan pengembangan misil, sehingga negara tesebut dipandang kurang terlibat dalam proliferasi, dan mendapatkan kemudahan akses terhadap teknologi guna ganda.
Keanggotaan MTCR saat ini terdiri dari 34 negara telah bergabung dalam
MTCR,
Kemudian
Kriteria
keanggotaan
MTCR
pada
umumnya,anggota MTCR mempertimbangkan permintaan keanggotaan suatu negara berdasarkan; (i) efektivitas dari pengawasan ekspor negara pelamar (dilihat dari peraturan perundang - undangan nasionalnya); (ii) manfaat terhadap rejim (memperkuat atau memperlemah MTCR); (iii) catatan perilaku terkait dengan keamanan global (track record); (iv) dukungan dan bantuan dari anggota MTCR yang berpengaruh, pengesahan keanggotaan melalui konsensus
oleh
seluruh
negara
anggota
MTCR.Kemudian
Proses
Keanggotaan MTCR, apabila suatu negara ingin menjadi anggota MTCR, maka proses yang harus ditempuh adalah sebagai berikut: (i) Permohonan (aplikasi) secara resmi dari negara calon anggota untuk dapat bergabung dalam
MTCR; (ii) Penilaian oleh anggota MTCR terhadap calon anggota,
tentang efektivitas dari pengawasan ekspor negara pelamar (dilihat dari peraturan perundang -undangan nasionalnya), manfaat terhadap rejim ( memperkuat atau memperlemah MTCR), catatan perilaku terkait dengan keamanan global (track record); (iii) Dialog antara ketua MTCR dengan negara calon anggota tentang substansi MTCR ; (iv) Kunjungan tim MTCR yg terdiri dari
3-4
negara
anggota
MTCR
ke
negara
calon
anggota
untuk
memeriksa/meneliti ; Fasilitas yang dimilikinya yang berkaitan dengan substansi MTCR (proliferasi misil), dan meneliti
Perundang-undangan
nasional negara calon anggota;(v) Tukar menukar informasi (bilateral exchange) antara negara anggota dengan negara calon anggota;(vi) Pengesahan sebagai anggota melalui konsensus dari negara anggota MTCR pada pertemuan pleno MTCR.
Berdasarkan
kajian pengembangan teknologi roket negara-negara
anggota MTCR dan proses negara-negara masuk anggota dan negara-negara 14
belum anggota MTCR, maka jika Konsekuensi yang harus dipenuhi
Indonesia masuk anggota
MTCR,
oleh bangsa Indonesia yaitu meliputi;
(i)Indonesia membuat Program Peroketan nasional ( dilakukan oleh Instansi pemerintah dan Swasta
terkait), antara lain
LAPAN, PT. Dirgantara
Indonesia(PT. DI), PT. PINDAD(PT. Perindistrian Angkata Darat), dan Menteri
Hankam
(Menteri
Pertahanan
Keamanan),
bersama-sama
membuat Program Pengembagan Teknologi dan penetapan Anggaran Peroketan Nasioanal
secara konprehensip;(ii) Indonesia
mengalokasikan
dana yang sangat besar dalam program pengembangan teknologi roket; (iii) Indonesia
dalam pengembangan teknologi antariksa terutama teknologi
Peroketan nasional harus terbuka dan siap dikunjungi dunia luar (anggota MTCR), bahwa pengembangan teknologi roket adalah untuk kebutuhan ilmiah atau keperluan sipil, pertahanan keamanan untuk perdamaian; (iv) Indonesia membuat
peraturan
perundang-undangan
nasioanl
Eksport
Control,
disesuaikan dengan Annex MTCR. h.
Studi Komparasi Pengembangan Teknologi Roket India dan Indonesia. Pengembangan teknologi roket negara India dan negara Indonesia dilakukan pada saat bersamaan pada tahun 1962. India telah berhasil mengembangkan teknologi misil ballistik antar benua (Intercontinental ballastic missile-ICBM) untuk keperluan pertahanan dan keamanan. Pengembangan roket peluncur satelit India telah berhasil mengembangkan roket
SLV
(Satellite Launch Vehicle), membawa satelit ke orbit LEO (low Earth Orbit)), roket ASLV (Augmented Satellite Launch Vehicle ), membawa satelit ke orbit polar,
PSLV
(Polar
Satellite
Launch
Vehicle)
dan
roket
GSLV
(Geosynchronous Satellite Launch Vehicle), membawa satelit ke orbit GSO (Geostationary Orbit). Sedangkan pengembangan teknologi roket Indonesia, sampai saat ini masih dalam taraf peluncuran percobaan-percobaan. Pengembangan teknologi roket India sangat dipengaruhi aspek geopolotik, yaitu pengembangan ditujukan untuk memelihara stabilitas strategi jangka panjang dikawasan Asia Pasifik dan melindungi terhadap ancaman nuklir dari China dan Pakistan. Sedamgkan Indonesia pengembangan teknologi roket Indonesia dipengaruhi, politik luar negeri
bebas dan aktif, artinya negara
damai dan tidak ada musuh, walau pun kenyatannya perlu pengamanan diperbatasan negara tetangga, 15
yang
telah terjadi dan konplik, dan
pengawasan
pulau-pulau
terjauh,
sangat
memerlukan
pengembangan
teknologi roket.
Keberhasilan negara India dimana pengembangan teknologi roket, ditujukan untuk memelihara stabilitas strategi jangka panjang di kawasan Asia Pasifik,
dalam
memenuhi
tujuan
tersebut
telah
memiliki
program
pengembangan teknologi roket, komitmen pemerintah dalam pengembangan dengan mempersiapkan sumber daya, dalam pengembangan teknologi roket dilakukan dengan kerjasama dengan negara maju,
memiliki Sistem
perundang-undangan nasional yang mengatur produk yang berkaitan dengan item produk yang termuat dalam annex MTCR. Kemudian
negara India
adalah negara yang taat terhadap aturan MTCR, dan politik luar negeri India sangat bertanggung jawab terhadap keamanan umuat manusia di dunia. Maka negara India dalam melakukan kerja sama sangat dipercayai negara maju dan negara anggota MTCR, bahwa pengembangan teknologi roket adalah untuk maksud damai, dan mempertahankan diri.
16
BAB III MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME (MTCR) DAN PENERAPANNYA TERHADAP PROGRAM KEANTARIKSAAN
3.1
Substansi Pengaturan MTCR Terkait Keantariksaan Missile Technology Control Regime (MTCR) adalah regim multilateral yang memuat
suatu kebijaksanaan misil.
5
pembatasan atau pengendalian
penyebaran
misil
dan teknologi
Misil adalah senjata roket militer yang bisa dikendalikan atau memiliki sistem
pengendali otomatis untuk mencari target atau menyesuaikan arah. Ide pemikiran pembentukan MTCR muncul pada tahun 70-an, ketika Amerika Serikat mengkuatirkan atas bahaya
yang dapat ditimbulkan oleh program pengembangan misil dari negara-negara
termasuk negara berkembang. Kekuatiran Amerika Serikat ini di sebabkan antara lain uji coba misil ballistik Korea Selatan tahun 1978, upaya Irak membeli roket-roket bertingkat (yang tidak digunakann lagi) dari Italia tahun 1979, uji coba Satelit Launch Vehicle (SLV-3 ) oleh India tahun 1980, dan uji coba roket oleh perusahaan Jerman Barat di Libia tahun 1981.
Pada saat pembentukannya tahun 1987, MTCR ditujukan untuk mengurangi resiko penyebaran nuklir dengan mengawasi alih peralatan dan teknologi yang dapat berperan dalam pengembangan sistem pengangkut atau peluncur persenjataan nuklir yang bukan berupa pesawat udara berawak. Kemudian pada tahun 1993 ruang lingkup rejim diperluas hingga meliputi tidak hanya sistem pengangkut nuklir, tetapi juga untuk senjata pemusnah masal
seperti senjata kimia dan biologi. Begitu juga dengan annex MTCR, dalam
perkembangannya yang semula hanya memuat equipment and technology, menjadi equipment, software and technology.
Secara substansi MTCR terdiri dari Ketentuan (Guidelines 6
Relevant Transfer) dan Annex.
for Sensitive Missile-
Ketentuan memuat prinsip-prinsip umum yang merupakan
pedoman dalam mengendalikan ekspor atau perdagangan terhadap item-item yang dimuat dalam Annex. Sedangkan Annex (Equipment, Software
and Technology) terdiri dari 20
kelompok item yang dibagi ke dalam 2 (dua) kategori item. Pengkatagorian item tersebut didasarkan pada tingkat sensitivitas dari item yang bersangkutan.
5 6
Deborah A. Ozga, A Chronology of The Missile Technology Control Regime, The Nonproliferation Review/Winter 1994 Ibid
17
3.1.1 Ketentuan (Guidelines for Sensitive Missile-Relevant Transfer) Secara garis besar Ketentuan (Guidelines for Sensitive Missile-Relevant Transfer) memuat hal-hal sebagai berikut:7 •
MTCR tidak menghambat program keantariksaan nasional atau kerja sama internasional, sejauh program tersebut tidak berkontribusi terhadap sistem pengangkut senjata pemusnah masal.
•
Dasar pengendalian transfer untuk tujuan apapun: Kategori I Kategori I memuat sistem-sistem atau sub-sub sistem secara utuh/ lengkap termasuk peralatan, software, dan teknologi produksi yang dirancang secara khusus untuk sistem-sistem tersebut; Kecenderungan yang kuat untuk menolak pemberian atau ekspor item Kategori I kepada negara lain; Transfer hanya
akan dimungkinkan apabila pemerintah negara pengekspor
memperoleh jaminan
penggunaan akhir yang bersifat mengikat dari pemerintah
negara penerima. Negara pengekspor bertanggungjawab terhadap seluruh langkah-langkah yang perlu untuk menjamin penggunaan akhir. Kategori II Kategori II memuat komponen-komponen dan teknologi yang kurang sensitif yang pada umumnya mempuyai aplikasi guna ganda. Jaminan antar pemerintahan diperlukan apabila item yang ditransfer dapat berkontribusi terhadap sistem pengangkut WMD. •
Seluruh transfer dari item yang dimuat dalam Annex dikaji kasus-per- kasus.
•
Tukar menukar informasi yang relevan antar pemerintah dalam penerapan Guidelines
•
National legislations: Pemerintah mengimplementasikan Guidelines ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasionalnya.
Guidelines secara lengkap dapat dilihat dalam Lampiran 1.
3.1.2
Annex Annex (Equipment, Software and Technology) terdiri dari 20 kelompok item yang
dibagi ke dalam 2 (dua) kategori item.8 Pengkatagorian item tersebut didasarkan pada tingkat
7
Handbook MTCR, 2010
18
sensitivitas dari item yang bersangkutan. Kategori I terdiri dari 2 item yaitu (i) Item 1 : Sistem Pengangkut Lengkap (Complete Delivery Systems) yang terdiri dari sistem roket lengkap (mencakup
sistem misil balistik, wahana peluncur antariksa, dan roket sonda) dan sistem
wahana udara tidak berawak (mencakup reconnaisaance drones, dan
ystem misil jelajah, target drones
dan
(ii) Item 2: Subsistem yang dapat membangun Sistem
Pengangkut Lengkap tersebut.
Terdapat 2 (dua) parameter pengawasan kritis yang dimuat dalam Kategori I yaitu batasan jarak jangkauan 300 km dan daya angkut muatan 500 kg. Artinya bahwa item-item dalam annex akan dikenakan ketentuan MTCR, apabila item-item tersebut dapat berperan dalam membuat sistem pengangkut atau peluncur yang mempunyai jarak jangkau 300 km atau lebih, dan daya angkut muatan 500 kg lebih. Pembatasan muatan hingga 500 kg ini didasarkan pada pertimbangan bahwa negara-negara nuklir akan mengembangkan senjatasenjata nuklir yang relatif berat dan besar. Sedangkan batasan jangkauan 300 km berkorelasi terhadap jarak dari cakupan strategi wilayah konflik, di mana penggunaan misil nuklir masih dipertimbangkan. Sedangkan Kategori II terdiri dari 18 item yaitu:
Item 3
:
Item 4 Item 5 Item 6
: : :
8
Propulsion Components and Equipment, a.l: Lightweight turbojet and turbofan engines (including turbocompound engines), that are small and fuel efficien Ramjet/scramjet/pulse jet/combined cycle engines, including devices to regulate combustion, and specially designed components therefor, usable in the systems specified in item 1 Rocket motor cases, „insulation‟ components and nozzles therefor, usable in the systems specified in item 1 Staging mechanisms, separation mechanisms, and interstages therefor, usable in the systems specified in item 1 Liquid and slurry propellant (including ystem r ) control systems, and specially designed components therefor, usable in the systems specified in item 1, designed or modified to operate in vibration environments greater than 10 g rms between 20 Hz and 2 kHz. Hybrid rocket motors and specially designed components therefor, usable in the systems specified in item 1, item 19. Propellants, Chemicals and Propellant Production RESERVED FOR FUTURE USE Production of Structural Composites, Pyrolytic Deposition and Densification, and Structural Materials Item ini memuat, a.l : Struktur komposit, laminates, dan hasil industri yang berkaitan, yang didesain untuk digunakan pada sistem sesuai spesifikasi 1.A dan pada subsistem sesuai spesifikasi 2.A. ;
Ibid
19
Item 7 Item 8 Item 9 Item 10
: : : :
Item 11
:
Item 12
:
Item 13
:
Item 14
:
Item 15
:
Item 16 Item 17 Item 18
: : :
Item 19
:
Item 20
:
Komponen Pyrolised tidak jenuh (contoh carbon-carbon) yang terdapat pada: (i) hasil desain untuk sistem roket, dan (ii) bahan yang digunakan untuk system pada spesifikasi 1.A Peralatan untuk keperluan produksi struktur komposit, serat optik (fibre), prepregs atau preforms yang digunakan untuk sistem pada spesifikasi 1.A, dan komponen yang didesain serta aksesoris untuk itu; RESERVED FOR FUTURE USE RESERVED FOR FUTURE USE Instrumentation, Navigation and Direction Finding Flight Control Memuat peralatan (a.l.:Hydraulic, mechanical, electro-optical, or electromechanical flight control systems including fly-by-wire systems, Attitude control, Flight control servo valves), pengujian dan produksi peralatan, perangkat lunak, dan teknologi yang dirancang atau dimodifikasi khusus untuk item 1 Avionics Memuat peralatan (a.l: Radar and laser radar systems, including altimeters), perangkat lunak, dan teknologi (design) yang dirancang atau dimodifikasi untuk penggunaan dalam ystem-sistem yang ditetapkan dalam item 1. Launch Support Memuat peralatan (a.l. Apparatus and devices, Vehicles, Gravity meters, gravity gradiometers, Telemetry and telecontrol equipment), perangkat lunak, dan teknologi yang dirancang atau dimodifikasi untuk penggunaan dalam ystem-sistem yang ditetapkan dalam item 1 dan 19. Computers Memuat peralatan (a.l. Analogue computers, digital computers or digital differential analysers) dan teknologi yang dirancang atau dimodifikasi untuk penggunaan dalam ystem-sistem yang ditetapkan dalam item 1 Analogue to Digital Converters, Memuat peralatan (a.l. Analogue-to-digital converters) yang akan digunakan pada sistem Item 1 Test Facilities and Equipment Antara lain memuat peralatan pengujian getaran yang digunakan untuk sistem-sistem yang ditetapkan dalam item 1 Modelling-Simulation and Design Integration Stealth Nuclear Effects Protection Memuat beberapa perlengkapan yang digunakan untuk melindungi ystem roket dan wahana udara tak berawak terhadap radiasi nuklir, x rays, radiasi panas, dan elektromagnetik, yang digunakan untuk ystem dalam Item 1 Other Complete Delivery Systems Complete rocket systems: meliputi misil balistik, wahana peluncur, roket sonda, dan wahana udara tak berawak yang tidak dicover pada item 1 namun diperkirakan dapat mempunyai jarak terbang maksimum hingga 300 km. Complete unmanned aerial vehicle systems: meliputi cruise missile systems, target drones and reconnaissance drones yang tidak dicover pada item 1 namun diperkirakan dapat mempunyai jarak terbang maksimum hingga 300 km. Other Complete Subsystems Tidak dicakup dalam item 2, tetapi digunakan pada sistem di Item 19, 20
termasuk individual rocketstoges dan solid atau liquid propellant rocket engines
3.1.3
Keanggotaan MTCR Pada saat pembentukan tahun 1987 MTCR beranggotakan 7 (tujuh) negara, dan
sampai dengan tahun 2010
MTCR beranggotakan 34 negara. Bulgaria menjadi negara
anggota ke 34 pada tahun 2004. Beberapa negara seperti China, India, Israel, Romania, dan Slovakia, telah berjanji untuk mematuhi Guidelines MTCR.9 Ke 34 negara anggota MTCR dan tahun masuknya menjadi anggota MTCR dapat dilihat dalam Tabel 3-1.
TABEL 3-1: ANGGOTA MTCR NEGARA
TAHUN KEANGGOTAAN 1987 1987 1987
Italy United Kingdom United States of America Canada France Germany Japan Australia Belgium Denmark Spain Luxembourg Netherlands Norway Austria Czech Republic New Zealand Sumber: MTCR Partners, 2009
3.4
1987 1987 1987 1987 1990 1990 1990 1990 1990 1990 1990 1991 1991 1991
NEGARA Sweden Greece Ireland Portugal Switzerland Argentina Hungary Iceland Brazil Russian Federation South Africa Turkey Finland Ukraine Poland Republic of Korea Bulgaria
TAHUN KEANGGOTAAN 1991 1992 1992 1992 1992 1993 1993 1993 1995 1995 1995 1997 1998 1998 1998 2001 2004
Penerapan MTCR Terhadap Program Keantariksaan Sebagaimana dinyatakan dalam Guidelines bahwa MTCR
tidak ditujukan untuk
menghambat atau merintangi program keantariksaan nasional atau kerja sama internasional, sejauh program tersebut tidak berkontribusi terhadap sistem pengangkut senjata pemusnah masal Namun dalam penerapannya, kenyataan yang berlangsung adalah pengendalian tidak hanya ditujukan bagi negara/pihak pemasok (supplier) tetapi juga bagi negara penerima,
9
MTCR, Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes © Center for Nonproliferation Studies, Last Update: 6/21/2010
21
bahkan pengendalian telah diberlakukan terhadap alih teknologi antara sesama negara nonMTCR. Selain itu walaupun negara penerima (non-anggota MTCR) menyatakan jaminan bahwa teknologi yang diimpor dari negara lain (anggota dan non- anggota MTCR) sematamata ditujukan untuk program antariksa nasional dengan maksud damai (tidak untuk sistem pengangkut senjata pemusnah massal) dan masih berada di bawah batas parameter MTCR (300 Km, 500 Kg), alih teknologi tersebut sulit dilakukan. Alih teknologi wahana peluncur (roket) yang dibatasi dengan parameter MTCR sebenarnya masih jauh di bawah keperluan teknologi wahana peluncur LEO yang merupakan tahapan pertama bagi suatu negara untuk mempunyai akses terhadap antariksa secara mandiri.
Selain itu dalam MTCR juga tidak memuat ketentuan penerapan sanksi apabila suatu negara melanggar MTCR (Center for Nonproliferation Studies,
2010).
Namun dalam
penerapannya Amerika Serikat menerapkan sanksi hukum kepada negara lain yang dipandang telah melanggar MTCR. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa MTCR ini dibentuk utamanya atas prakarsa Amerika Serikat. Bertitik tolak pada peran kepemimpinan Amerika Serikat dalam MTCR dan posisinya yang sangat berpengaruh dalam sistem internasional, tidak mengherankan apabila dalam penerapan MTCR, Amerika Serikat merupakan aktor yang dominan di antara anggota MTCR lainnya. Walaupun tidak ada ketentuan penerapan sanksi peraturan dalam negerinya
dalam MTCR, Amerika Serikat menggunakan dalam penerapan MTCR, yaitu
Arms Export
sejumlah Control Act
(AECA), the Export Admiistration Act (EAA), Missile Control Act dan the National Defence Authorization Act. Presiden Amerika Serikat akan mengenakan paling sedikit 1 dari 3 sanksi kepada pengusaha-pengusaha Amerika Serikat dengan negara-negara lain yang melanggar MTCR, tergantung kepada sifat pelanggarannya, untuk periode 2 sampai dengan 5 tahun. Sanksi-sanksi ini meliputi: penolakan lisensi ekspor Amerika Serikat, pelarangan kontrak dengan pemerintah Amerika Serikat, dan pelarangan pencarian produk atau jasa dari pemerintah Amerika Serikat. Presiden dapat meniadakan
sanksi-sanksi tersebut
apabila produk dan jasa tersebut perlu untuk keamanan nasional, penerima dari sanksi adalah pemasok satu-satunya dari sebuah produk/jasa, dan produk/jasa yang dipasok ke Pemerintah Amerika Serikat, atau yang dipasok sesuai dengan perjanjian bersama atau sesuai dengan program kerja sama NATO.
Bagi
Amerika
Serikat,
MTCR
adalah
wahana
utama
dalam
menerapkan
kebijaksanaan nasionalnya yang berkaitan dengan non-proliferasi misil. Amerika Serikat, dengan kemampuannya yang cukup besar, kadang-kadang menerapkan MTCR dan 22
kebijaksanaan nasionalnya secara bersamaan untuk saling mendukung dalam mencampuri alih teknologi yang berkaitan dengan misil/wahana peluncur di antara negara-negara. Dalam rangka mempromosikan kebijakan non-proliferasi misilnya, AS telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melakukan diskusi bilateral dengan Argentina, Brazil, Cina, Jerman, Italia, dan bekas Uni Soviet.
Amerika Serikat merupakan negara yang paling menonjol di antara anggota lainnya dalam mempromosikan penegakan hukum
MTCR. Pada tahun 1990 AS menetapkan
peraturan perundang-undangan terkait kebijakan ekspor dan seluruh anggota MTCR diminta untuk menerapkannya. AS nampaknya cukup keras dalam mengenakan sanksi-sanksi terhadap negara yang tidak mematuhi MTCR. Sebaliknya, sebagian besar negara anggota lainnya menggunakan pendekatan yang lunak (low-key) dalam kaitannya dengan MTCR. Bahkan pada saat penetapan MTCR, Perancis, Italia, dan Jerman Barat tidak mengumumkan secara resmi dan luas bahwa mereka adalah sebagai negara pendiri rejim.
Sebagai
kelompok yang low-profil, negara anggota tidak memberikan komentar secara terbuka terhadap MTCR. Demikian juga, negara anggota tidak mengungkapkan kritik atau simpati tentang sanksi yang diberikan AS, kecuali negara tersebut secara langsung terlibat dalam transaksi tersebut. Negara anggota lainnya seperti Jepang, selalu menghindari penerapan ekonomi sebagai alat kebijakan dan lebih memilih pemecahannya melalui diskusi diplomatik.
Beberapa negara baik yang melakukan maupun yang menerima alih teknologi dan atau produk (komponen) yang berkaitan dengan pengembangan misil balistik atau roket telah menjadi korban sanksi yang dikenakan Amerika Serikat. Brasil dan India adalah 2 (dua) negara dari banyak negara yang telah menderita kerugian besar sebagai penerima alih teknologi dan komponen roket.
Brazil telah mengembangkan serangkaian roket sonda sejak 1970-an dan awal 1980an, di mana beberapa dari roket sonda tersebut mereka diubah menjadi misil surface-tosurface dengan jarak jangkau yang pendek untuk diekspor ke Libya, Saudi Saudi, dan Irak. Namun pada awal 1990-an, Brazil menghentikan program untuk mengembangkan misil yang lebih banyak, seperti SS Avibras-300 dan Orbita-MB/EE-600 dan 1000 - yang mempunyai jangkauan (lebih dari 300 kilometer) sekelas dengan yang dibatasi oleh MTCR. Secara paralel sejak tahun 1980-an, Brasil juga mulai mengembangkan roket 4 (empat) tingkat yaitu VLS (Satellite Launch Vehicle) yang dirancang untuk meluncurkan satelit ke orbit rendah. Namun, proyek pengembangan VLS ini sebagian besar tergantung pada teknologi misil dari 23
luar (navigasi inersia dan sistem kendali wahana), dan MTCR melarang ekspor teknologi peluncuran antariksa ke Brazil.
Karena kekhawatiran proliferasi misil maka kemudian Washington membujuk anggota MTCR untuk menghentikan ekspor teknologi peluncuran antariksa dan teknologi strategis lainnya ke Brazil. Pemerintahan Bush berupaya mencegah pemerintah Perancis untuk tidak mentsransfer teknologi motor roket
Viking (Arianespace) ke Brazil untuk VLS yang
berpotensi dapat digunakan untuk misil balistik (Deborah A. Ozga, 1994). Selain itu juga mencegah terjadinya kontrak kerja sama, di mana Arianespace menawarkan motor roket Viking berbahan bakar cair kepada Brazil untuk meluncurkan 2 satelit Brasil. AS menyatakan bahwa transfer tersebut akan menghambat upaya internasional dalam mencegah proliferasi misil mengingat Brasil dalam pengembangan roket militer dengan menggunakan teknologi dari program antariksa sipilnya. Kekhawatiran AS lainnya adalah adanya kemungkinan pengalihan teknologi tersebut ke negara-negara seperti Irak dan adanya potensi Brazil untuk mengembangkan misil senjata nuklir dengan jarak jangkau yang jauh.
Dengan alasan tersebut di atas, maka pada bulan Juni 1992, Departemen Perdagangan AS memasukan Roket Sonda-3, Sonda-4, dan VLS, dan misil SS-300, SS1000, dan MB/EE pada daftar proyek misil yang dikhawatirkan (Wyn Q. Bowen, 1996). Memang, sampai awal tahun 1990-an embargo MTCR tersebut telah berhasil membatasi akses Brasil untuk memperoleh teknologi yang dibutuhkan dalam menyelesaikan proyek VLS. Namun, Brazil memperoleh bahan yang diperlukannya dengan bantuan dari anggota non-MTCR seperti Russia.
Untuk
mendapatkan
teknologi
misil
ini,
Pemerintah
Brazil
mengumumkan
keputusannya pada tanggal 11 Februari 1994, untuk mematuhi kriteria dan standar MTCR tersebut, dan menyetujui untuk membatasi ekspor misil (dan komponen utama misil) yang mampu mengangkut senjata pemusnah massal untuk jarak di atas 300-km (Wyn Q. Bowen, 1996). Pada Pertemuan Pleno MTCR di Bonn, tanggal 10 Oktober 1995 Brasil diterima secara resmi sebagai anggota MTCR, setelah terlebih dahulu Kongres Brasil pada tanggal 5 Oktober 1995 mengesahkan suatu perundangan nasional yang sejalan dengan MTCR yaitu Export Control Law 9112 (Wyn Q. Bowen, 1996).
Dengan keanggotaan dalam MTCR, Brasil tidak lagi mengalami hambatan dalam memperoleh teknologi dari luar yang diperlukan dalam pelaksanan program peluncur wahana 24
antariksa. Brasil kemungkinan akan memperoleh dua manfaat utama dari aksesinya terhadap MTCR. Pertama, memungkinkan Brasil untuk mengimpor teknologi peluncur antariksa sipil dari negara anggota lain, di mana teknologi ini dibutuhkan untuk menyelesaikan VLS, Kedua juga akan meningkatkan kesempatan Brasil untuk
memasarkan fasilitas peluncuran
Alcantara kepada perusahaan asing dan organisasi-organisasi untuk peluncuran satelit dan atau untuk peluncuran roket-roket eksperimen.
Pada tahun 1992 dalam rangka meningkatkan kemampuan teknologi wahana peluncurnya, India bekerja sama dengan Rusia dengan menandatangani kontrak senilai US $200 juta tentang penjualan “liquid hydrogen cryogenic engines” oleh
Rusia ke
India
(Susilawati, 1997). Dalam kerja sama tersebut disepakati bahwa Rusia akan menjual 2 unit mesin roket cryogenik dan teknologinya ke India. “Mesin” tersebut akan digunakan untuk roket peluncur satelit
yang ditempatkan di orbit geostasioner (Geosynchronous Satellite
Launch Vehicle - GSLV), sedangkan teknologinya digunakan untuk membuat “mesin” yang serupa di India dengan membayar royalti kepada Rusia untuk setiap “mesin” yang dibuat. Semula India telah menjajaki pembelian “mesin” dan teknologi yang serupa kepada Amerika Serikat dan negara-negara Barat (terutama Perancis). Namun karena harganya yang sangat tinggi
(US$500 juta), maka India beralih ke Rusia yang kontraknya lebih murah. AS
menuduh bahwa kerja sama tersebut telah melanggar MTCR dengan alasan bahwa mesin tersebut dapat digunakan untuk kepentingan militer.
Kerja sama tersebut ditentang AS dengan alasan bahwa penjualan mesin dan teknologi tersebut telah melanggar MTCR, dan mengancam akan memberikan sanksi kepada Rusia (d.h.i. Glavkosmos) dan India (d.h.i. ISRO) selama 2 tahun (Deborah A. Ozga, 1994). Kemudian pada tanggal 11 Mei 1992, AS memberlakukan sanksi kepada Rusia dan India. Sanksi yang diberlakukan kepada Rusia ialah membatasi peluncuran komersil dan melarang
partisipasi
Rusia untuk memasuki pasar
Rusia dalam pembangunan
Stasiun
Antariksa Internasional (International Space Station -ISS) pimpinan AS. Sedangkan sanksi terhadap India berupa penolakan pasokan komponen elektronika dan komponen satelit, terutama untuk satelit komunikasi dan remote sensing, buatan perusahaan India ke AS.
Dalam perjalanannya, sanksi kepada India benar-benar direalisasikan sejak tanggal 11 Mei 1992 hingga akhir tahun 1993. Sedangkan sanksi kepada Rusia, berkat kelicinan upaya diplomasinya dalam mendekati Pemerintah AS, tidak pernah direalisasikan. Namun dalam hal ini, pihak Rusia telah membatalkan kontrak dengan pihak India pada tanggal 1 25
Nopember 1993. Sebagai penggantinya, Rusia
dan India membuat
kontrak baru yang
hanya mencakup 7 unit “cryogenic rocket engines” (tanpa teknologi) pada tahun 1994. Kontrak baru inipun tidak sempat terrealisasikan, karena ditentang keras
oleh AS dan
negara anggota MTCR lainnya. Rusia yang pada saat itu belum menjadi anggota MTCR, karena alasan bantuan keuangan AS untuk pengembangan industri antariksa Rusia, berjanji mematuhi MTCR. Rusia akhirnya menjadi anggota MTCR pada athun 1995 setelah pada tahun 1993 pemerintahnya menetapkan kebijakan sistem pengendalian ekspor yang merefleksikan ketentuan MTCR.10
India sendiri (d.h.i. Ketua ISRO) mengkritik secara keras MTCR dengan menyatakan bahwa MTCR yang dimotori AS telah bertindak sembarangan dan tidak adil (Deborah A. Ozga, 1994). Ketua ISRO juga menyatakan bahwa sanksi AS hanyalah suatu alasan untuk mengurangi kompetisi dalam pasar peluncuran wahana antariksa komersil
dengan cara
menghambat kemampuan negara lain dalam peluncuran wahana antariksa. Akibat dari pembatalan kontrtak-kontrak tersebut, India terpaksa
harus melakukan pembuatan
“cryogenic rocket engines” dengan kemampuan sendiri. India melalui upaya India Space Research Organization (ISRO) dan industri dalam negeri merasa mampu untuk itu, karena selama 2 tahun (1992-1994) para “scientist” dan “engineers” India yang belajar dan bekerja di Rusia telah menguasai rancang bangun “mesin” yang diperlukan. Dalam kenyataannya, program pengembangan GSLV telah mengalami pengunduran waktu selama 6 tahun. Tadinya direncanakan
peluncuran GSLV pada akhir tahun 1995, dan baru berlangsung
peluncurannya dengan berhasil pada tanggal 18 April 2001 dengan membawa
satelit
(GSAT-1) seberat 1540 kg. Keberhasilan inipun masih tetap menggunakan produk jadi 1 unit “cryogenic engine” dari 7 unit “cryogenic engine” yang dibeli dari Rusia pada tahun 2000 dengan harga seleuruhnya kurang lebih US$400 juta. Saat ini India masih belum menjadi anggota MTCR, tetapi pada Pertemuan Pleno MTCR tahun 2005 India telah menyatakan secara sepihak (unilaterally) untuk mentaati MTCR (MTCR, 2005).
Sampai saat ini China belum menjadi anggota MTCR, namun dengan berbagai alasan, AS telah menerapkan MTCR dalam kepada kegiatan keantariksaan China. Sejak tahun 1990-an China telah mempertimbangkan untuk menjadi anggota MTCR. Hal ini dikarenakan MTCR telah digunakan Amerika Serikat untuk membatasi alih teknologi kepada China. China tidak termasuk dalam perundingan awal pembentukan MTCR, sehingga pada
10
Russia: International Organization Membership , http://www.nti.org/db/nisprofs/russia/intorgs/intorgs.htm#MTCR
26
saat itu China merasa tidak perlu untuk mentaatinya aturan MTCR. Namun dalam kenyataannya, Amerika Serikat dengan menggunakan power nya selalu campur tangan dalam kegiatan keantariksaan China. Hal ini terlihat ketika pada tahun 1991 China mengekspor misil M-11 ke Pakistan, Amerika Serikat dengan menggunakan peraturan perundang-undangannya menjatuhkan sanksi kepada China karena dianggap melanggar MTCR, walaupun China membantahnya bahwa ekspor tersebut tidak melanggar MTCR. China beralasan bahwa misil yang diekspor ke Pakistan mempunyai jangkauan 290 km dan muatan 800 kg.11 Sanksi yang diberikan kepada China tersebut adalah berupa larangan peluncuran satelit buatan Amerika Serikat oleh roket China, dan penghentian penjualan komponen satelit Amerika Serikat ke China.
Walaupun pada awalnya China tidak mau mentaati MTCR, karena sanksi yang dikenakan terhadap China, maka akhirnya pada tahun 1992 China berjanji untuk mentaati MTCR melalui suratnya yang disampaikan kepada Presiden Bush.12
Janji China ini
menyebabkan Amerika Serikat mencabut sanksinya. Namun pada tahun 1993 Amerika Serikat kembali menjatuhkan sanksi kepada China dengan dugaan bahwa China telah menstransfer teknologi misil ke Pakistan.13 Atas tekanan Amerika Serikat tersebut, pada tahun 2003 Menteri Luar Negeri China menyatakan secara resmi kepada Amerika Serikat mengenai keinginannya untuk
menjadi anggota MTCR. Keinginan China ini kemudian
dibahas pada pertemuan Pleno MTCR di Korea Selatan tahun 2004.14 Kemudian pada tahun 2004 China mulai melakukan konsultasi dengan MTCR, dan pada tahun 2005 kembali China menyampaikan keinginannya untuk menjadi anggota MTCR. Namun sampai saat ini Amerika Serikat enggan untuk merespon keinginan China ini.15 Sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 tercatat Amerika Serikat telah menjatuhkan sanksi sebanyak 115 kali kepada perusahaan negara-negara yang dianggapnya melanggar ketentuan alih teknologi dalam MTCR. Dari jumlah sanksi ini sebanyak 80 kali dijatuhkan kepada perusahaan China dengan alasan yang sama (Niels Aadal Rasmusse, 2007).
11
China and the MTCR, Missile Technology Control Regime (MTCR), http://www.nti.org/db/china/mtcrorg.htm Ibid 13 Deborah A. Ozga, A Chronology of the Missile Technology Control Regime, The Nonproliferation Review/Winter 1994. 14 Victor Zaborsky, Bringing China Closer to MTCR, 18 October 2005, Space News Bussiness Report, h tp://www.space.com/spacenews/archive05/Zaborsky_101705.html 15 Ibid 12
27
BAB IV PERKEMBANGAN PEROKETAN NEGARA ANGGOTA DAN NON- ANGGOTA MTCR
4.1
Negara Anggota MTCR
4.1.1
Brazil
a.
Motivasi Pengembangan Kegiatan Keantariksaan Bagi Brazil, antariksa merupakan investasi yang strategis16 dan mengamankan akses
ke antariksa menjadi sebuah prioritas. Salah satu pengamat menjelaskan posisi sebuah fasilitas peluncuran sebagai hal yang kritis (critical item) yang menggambarkan kekuatan sebuah negara17. Dan komersialisasi memiliki peran penting untuk pengembalian investasi (return of investment), karenaya Brazil membangun 2 fasilitas yakni CLA yang mendekati peluncuran equatoriar dan clbi.
Gambar 4.1 Fasilitas Kegiatan Keantariksaan Brazil18
16
Ibid, Ansdell.Page 18 Bartels. 2010, Bartels, Walter. “Prioridade da indústria quanto ao Programa Nacional de Atividades Espaciais PNAE e cooperação internacional.” In A Política Espacial Brasileira - Parte 1, by Conselho de Altos Estudos e Avaliação Tecnológica, 147-153. Brasília: Edições Câmara, 2010. Dalam tulisan Ansdell,M. Delgado,L. Hendrickson,D. 2011. Analyzing the Development Paths of Emerging Spacefaring Nations: Opportunities or Challenges for Space Suistanability?IAFF 6159: Capstone Research. Hal 149 17
18
Bowen,Wyn Q. 1996. Brazil’s Accesion to The MTCR. Report The Nonproliferation Review/ Spring-Summer
28
b.
Kelembagaan Program keantariksaan Brazil berawal dari program peroketan dan eksplorasi
antariksa tahun 1961 sampai dengan saat ini. Sejak awal tahun 1960-an, kegiatan keantariksaan Brazil didukung dan berada di bawah ministry of aeronautis (air force), termasuk didalamnya kegiatan sipil. Dalam perkembangannya, berbagai tahap kelembagaan mulai dirintis sampai dengan keberadaan Brazilian Space Agency (AEB) pada tahun 1994 berdasarkan ketetapan federal law 8.854.19 AEB terbentuk setelah satu tahun mengorbitnya scd-1 (satelite de coleta de dados- data collection satellite) yakni satelit pertama yang didesain dan dibuat di Brazil.
Berikut adalah milestone atau sejarah perubahan dan perkembangan kelembagaan yang memperkuat program keantariksaan di Brazil: 1961
1963
1964
1965
1971
1972 1979
19
Pemerintah Brazil membentuk kantor lembaga antariksa pertama yakni GOCNAE‟s (the organizing group for the national commission on space activities), sebuah unit kerja dibawah koordinasi CNPQ (the national research council). Resmi berdiri pada tanggal 22 januari 1962 GOCNAE menerima instalasi untuk ruas bumi dari kementerian antaraiksa, yang berubah menjadi CTA (the aerospace technical center) yang berasosiasi dengan ita (technological institute of aeronautics) Bulan juni, kementerian antariksa membentuk getepe ( the executive group for space studies and projetcs dan mengawali misi CLFBI (the barreira do inferno rocket range) di natal, negara bagian rio gande di Brazilia tenggara. CLFBI resmi terbentuk pada 15 desember 1965 dengan ditandai peluncuran dan tracking roket nike apache (roket kecil amerika yang merupakan kerjasama antara GOCNAE, kementerian antariksa dan nasa) dengan payload buatan Brazil - Pada 20 januari presiden gen emilio garrastazu medici, menandatangani degree noo. 68.099 sebagai dasar terbentuknya COBAE (the Brazilian commisoin for space activities). COBAE terbentuk sebagai mandat untuk merencanakan dan mengimplementasikan program prioritas nasional di bidang space research melalui pndae (the national plan for the development of space activities) - 3 bulan setelah berdiri COBAE, pada 22 april ditandatangani degree no. 68.532, membekukan GOCNAE dan membentuk INPEI (the institute of space research), dibawah koordinasi CNPQ Inpe ikut terlibat dalam program keantariksaan amerika COBAE mengadakan seminar untuk mendefinisikan kegiatan keantariksaan Brazil dimasa mendatang. Cat: Dampak perang dingin terhadap perekonomian, militer dan keterbatasan akses akan high technology, memaksa kementerian antariksa Brazil mereveiws postur yang ada. Hasilnya adalah tugas prioritas untuk menghilangkan hambatan dalam transfer teknologi antariksa dari negara maju ke Brazil.
Filho, Jose Monserrat. 1995. The New Brazilian Space Agency: A Political And Legal Analysis. Space Policy 11(2) Pg. 121-130. Mei 1995.
29
1993
1994
COBAE bertanggungjawab untuk manajemen program keantariksaan Brazil dan menentukan hambatan besar dalam pengembangan program keantariksaan. 16 september 1994, semua tugas dan kewajiban dari COBAE beralih ke AEB. AEB difungsikan untuk membuka jalan untuk transfer teknologi ke Brazil, mengintegrasikan keputusan pemerintah dengan tujuan yg ingin dicapai.
AEB merupakan pusat dari sistem program keantariksaan Brazil. Koordinasi dengan kementerian bersifat administrasi sedangkan AEB bersifat operasional. AEB mengoperasikan empat badan atau lembaga yakni tiga badan atau lembaga tersebut adalah bandar antariksa Alcantara (CLA), fasilitas peluncuran roket di Barreira Do Inferno atau CLBI (The Barreira do Inferno Launch Centre), dan CTA dibawah Kementerian Antariksa (Ministry of Aeronautics), sedangkan INPE dibawah Kementerian Sains dan Teknologi (MCT). INPE berperan dalam kemampuan launch vehicles, launch sites, and satellite manufacturing atau pengembangan dan konstruksi satelit bekerjasama dengan industri nasional Brazil20 Walaupun demikian, operasional ketiganya sangat tergantung pada program AEB.21 AEB mengembangkan kebijakan kerjasama pengembangan teknologi yang menguntungkan bagi program keantariskaan. Pada tahap awal Brazil menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat, namun dalam
perkembangannya
mengalami
kesulitan
dalam
transfer
teknologi
Brazil
mengembangkan kerjasama dengan negar alain seperti China, India Russia and Ukraine22.
20 21
22
opcit. Filho, josse m. Page. 127 http://en.wikipedia.org/wiki/expedition_12
30
Gambar 4.2 organisasi keantariksaan Brazil23 Fungsi dari AEB adalah24 : 1.
Menyusun kebijakan kegiatan keantariksaan nasional atau the national policy of space activities development (pndae), sebagai pedoman
(guidelines) dan
implementasi kebijakan tersebut. 2.
Melakukan updating dari kebijakan nasional
3.
Menyiapkan dan mengupdate the space activities national programs (pnae) dan sesuai proposal pendanaan
4.
Melakukan promosi internal dan hubungan luar negeri dengan institusi sejenis
5.
Menganalisia
proposal
perjanjian
kerjasama
antariksa
internasional
dan
menandatanganinya, dengan ijin dari kementerian luar negeri dan mct dan memonitor implemtasinya
23 24
----------1991. The Brazilian space programme an overview. Reports. Space policy. Februari 1991 opcit, filho, josse m. Page. 128
31
6.
Menjawab isu dan memberikan opini in liaison dengan kementerian luar negeri dan mct terkait dengan keantariksaan dalam forum organisasi internasional dan pastisipasi dalam berbagai pertemuan
7.
Mendorong
perguruan
tinggi,
dan
entitas
pendidikan
lainnya,
litbang
keantariksaan lainnya 8.
Mendorong sektor swasta berpatisipasi pada kegiatan keantariksaan
9.
Mengidentifikasi peluang partisipasi sektor swasta dalam menyediakan jasa (pelayanan) dan manufactur barang-barang yang terkait dengan area antariksa
10. Mendorong kerjasama penggunaan fasilitas teknis antariksa, mengintegrasikan fungsi dan mengoptimalisasi pemakaiannya 11. Mengeluarkan standart dan peraturan (regulation) terkait kegiatan keantariksaan di negaranya. AEB memiliki hubungan langsung (direct lingking) ke presiden yang mampu memberi new impulse pada effort antariksa Brazil, khususnya keuntungan langsung yang sangat tergantung pada prioritas kebijakan yang efektif, stabil dan bersifat jangka panjang (long range), dengan dukungan nasional dan bebas terhadap goyangan atau perubahan pemerintah yang dibutuhkan dalam kegiatan keantariksaan.25
c.
Kebijakan terkait peroketan Program keantariksaan nasional Brazil dalam pndae sejak tahun 1998 hingga 2007
terdiri dari delapan inisiatif program yakni:26 A)
space application
B)
Satellite and payloads
C)
Satellite launching vehicles and sounding rockets
D)
Space science
E)
Space infrastructure
F)
Space science
G)
R&d on space technologies
H)
Training and development of human resources and support to the qualifitcation of the national space industry
Ketidakadaan pendefinisian yang baik visi dan misi dan dukungan masyarakat Brazil digambarkan sebagai penyebab utama dari kesulitan-kesulitan yang ada.27 keberhasilan dari
25 26 27
opcit, jose, page 129 the space sector in Brazil-an overview ibid.
32
program keantariksaan Brazil sangat tergantung bagaimana manajemen terkait isu-isu alokasi sumber daya dan dukungan publik.28
Brazil merupakan salah satu negara anggota mtcr yang bergabung sejak oktober 1995 pada 10th plenary meeting di bonn, jerman. Keanggotaan dalam mtcr merupakan hasil dari serentetan perubahan kebijakan pada awal tahun (yakni februari) 1994 konsen terhadap missile proliferation di lingkungan internasional dengan mendirikan AEB untuk kepentingan sipil29. Brazil mengumumkan kebijakannya untuk mematuhi mtcr guidelines dan berniat untuk bergabung pada rezim ini pada posisi yang sama di masa mendatang. Sebagai tindak lanjutnya, penonaktifan COBAE mengurangi secara signifikan peran militer dalam program antariksa Brazil. Hal tersebut ditindaklanjuti dengan pengontrolan terhadap perdagangan missile.30
Implikasi keanggotaan Brazil pada mtcr berdampak pada manfaat yang diperoleh 31
yakni:
Pertama,
keanggotaan memperbolehkan Brazil untuk mengimpor teknologi peluncuran antariksa
untuk kepentingan sipil yang dibutuhkan untuk
melengkapi pengembangan vls dengan negara anggota rezim lainnya. Kedua,
keanggotaan berperan dalam
kesuksesan komersialisasi fasilitas
peluncuran roket alcantara pada perusahaan asing dan organisasi peluncuran satelit atau untuk melalukan peluncuran roket eksperimen. d.
Kemampuan peroketan Dalam membangun misi Satellite Launch Vehicle (VLS), Sejak tahun 1960-
andikembangkan berbagai seri dari roket sonda . Yakni roket Sonda I, II, III, IV dengan asistensi Amerika. Brazil mendirikan MECB (The Brazilian Complete Space Mission) untuk merealisasikan 3 objek yakni (i) desain, pengembangan dan contruction of indigenous satellite; (ii) desain, pengembangan dan konstruksi roket VLS untuk membawa satelit ke orbit LEO; dan (iii) desain dan konstruksi pusat peluncuran Alcantara (CLA).
28
Ansdell.a, delgado.l, hendrickson.d. 2011. Analyzing the development paths of emerging spacefaring nations: opportunities or challenges for space sustainability?. Iaff 6159: capstone research. April 2011. Page. 18 29 foster, angus. 1994. Brazil eyes the satellite launch market. The financial times. 25 april 1994. 30 bowen. Wyn q.1996. Brazil’s accession to the mtcr. The nonproliferation reviews/ spring summer. Page 88. 31 ibid, bowen, page 88-89
33
Tabel 4-1:
Roket Brazil : Sonda-2,3,4 dan VLS Launcher
Aspirasi pengembangan missile di Brazil termotivasi atas kegiatan pengembangan mediumrange Condor -2 Ballistic missile. Pengembangan missile dari penguasaan teknologi sonda telah mulai dirintis sebelum tahun 1980-an. Keberadaan asistensi negara Irak pada tim engineers Brazil
dilakukan dalam upaya memperluas jangkauan pasokan dari Scub-B
ballistic missile dari Uni Soviet. Tabel 4-2:
Missiles Derived Sonda Technology and reportly Under Development in the 1980s
Dalam perkembangannya atas desakan dari wahington, missile proliferation telah memaksa anggota mtcr untuk melarang eksport
teknologi peluncuran (space lunch) dan teknologi
strategis lainnya ke Brazil. 4.1.2
Ukraina PM
34
4.1.3
Korea Selatan
a.
Motivasi pengembangan kegiatan keantariksaan Perkembangan dan kemajuan teknologi roket di Korea Selatan tidak terlepas dari
aspek geopolitik negaranya. Korea Selatan yang juga dikenal sebagai Republik Korea, adalah sebuah negara di Asia Timur yang meliputi bagian Selatan Semenanjung Korea. Di sebelah Utara, Korea Selatan berbatasan dengan Korea Utara, di mana keduanya bersatu sebagai sebuah negara hingga tahun 1948.32 Penemuan arkeologi menunjukkan bahwa Semenanjung Korea telah didiami sejak masa Paleolitik Awal. Sejarah Korea dimulai dari pembentukan Gojoseon pada 2333 SM oleh Dan-gun. Setelah unifikasi tiga kerajaan Korea di bawah Silla pada 668 M, Korea menjadi satu di bawah Dinasti Goryeo dan Dinasti Joseon hingga akhir Kekaisaran Han Raya pada tahun 1910 karena dianeksasi oleh Jepang. Setelah liberalisasi dan pendudukan oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat pada akhir Perang Dunia II, wilayah Korea akhirnya dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Korea Selatan dan Korea Utara.
Pada tahun 1948, pemerintahan Korea Selatan
yang terbentuk sebagai Korea
Demokratik dan Korea Utara sebagai Komunis. Pada tahun 1950, Korea Utara menginvasi Korea Selatan sehingga terjadilah perang yang dikenal dengan nama Perang Korea. Korea Selatan dibantu oleh Amerika Serikat dan sekutunya, sedangkan Korea Utara yang komunis dibantu oleh China dan Uni Soviet.
Permusuhan atau perang dingin antara kedua negara Korea tersebut terus berlangsung hingga saat ini. Isu yang menghangatkan hubungan antara kedua negara atau kubu ini bukan semata masalah nuklir
Pyongyang, tidak pula sebatas pembangunan
kekuatan militer China yang eksesif, tetapi, tetapi menyangkut juga sengketa batas maritim antara Jepang – Korea Selatan dan China. Patroli kapal perang masing-masing negara di wilayah sengketa adalah hal biasa, begitu pula dengan penagkapan nelayan salah satu negara yang memasuki perairan yang diklaim oleh negara lain juga hal biasa.
Pertarungan geopolitik di kawasan ini cukup rimit, sebab bercampur aduk antara prestise nasionaol, kebutuhan energi, (dendam) sejarah masa lalu dan peran kekuatan ekstra kawasan. Sebagai ilustrasi, meskipun Tokyo dan Seoul yang merupakan sekutu Washington dalam menghadapi Beijing dan Pyongyang, akan tetapi antara Jepang dan Korea Selatan masih ada sengketa wilayah maritim dan dendam sejarah pula. Hubungan kedua negara
32
Korea Selatan, id.wikipedia.org/wiki/korea_selatan, download tanggal 23 April 2012.
35
sangat dipengaruhi oleh kemampuan Amerika Serikat ”mengatur” mereka. Semua negara yang terlibat pertarungan geopolitik di kawasan Asia Timur, kecuali Korea Utara, saat ini mempunyai kekuatan laut yang mampu melaksanakan operasi ekspedisionari atau setidaknya akan mampu melaksanakan operasi Angkatan Laut jarak jauh dalam beberapa tahun ke depan. Kemampuan ekspedisionari dibangun salah satunya karena kepentingan untuk mengamankan pasokan energi untuk menjamin lancarnya perputaran mesin-mesin pabrik di negara-negara tersebut.
Demikian juga perseteruan antara Korea Seletan dan Utara sejak berakhirnya Perang Korea terus berlanjut. Kedua Korea ini saling intip di dalam membangun teknologinya termasuk dalam pembangunan teknologi peroketan. Teknologi roket yang identik dengan teknologi rudal merupakan teknologi yang dapat digunakan untuk menyerang negara lain. Meskipun embargo ekonomi dari Barat tidak membuat perkembangan iptek Korea Utara melambat. Sebaliknya mereka justru secara mandiri dan diam-diam kerap memiliki teknologi yang mengancam teknologi produksi Barat yang diandalkan Korea Selatan maupun Jepang.
Proyek luar angkasa Korea Utara dikembangkan di bawah asistensi China sejak tahun 1990-an tentu saja dengan tujuan geopolitik untuk menandingi Korea Selatan yang diasistensi Amerika Serikat dan Eropa. Demikian juga Korea Selatan, membangun teknologi peroketannya dilatar belakangi oleh situasi geopolitiknya di satu sisi masih ada permasalahan dengan Jepang dan satu sisi lagi perseteruan dengan saudaranya sendiri yang komunis Korea Utara sejak pecahnya perang Korea. Di samping itu juga, sebagaimana disampaikan oleh Eligar Sadeh dalam ”The Politics of Space: A Survey”, sejak tahun 1995 Seoul mempunyai target menjadi salah satu dari sepuluh negara penguasa angkasa luar pada tahun 2015. Untuk mewujudkan impiannya itu, Korea Selatan tidak main-main, untuk tahun 2001 saja sudah menganggarkan biaya sejumlah US $ 4,26 juta dolar.
b.
Kelembagaan Kegiatan keantariksaan Korea Selatan diwadahi di dalam suatu organisasi yang
disebut Korean Aerospace Research Institute (KARI) yang dipimpin oleh seorang Presiden KARI. Struktur organisasi KARI sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 4-3.
36
President
Auditor Auditing Division
Vice President Policy & Cooperation Center
Public Relations Division
Infrastructure Management Division Administration Division Management & Planning Division Aerospace Safety & Certification Center Navigation Research Center CNS/ATM and Satellite NARO Space Center Satellite Information Research Center Aerospace Convergence Tech Researh Laboratory KSLV Technology Laboratory Satellite Technology Research Laboratory Aeronautics Innovative Technology Laboratory Aerospace Systems Laboratory KSLV-I (Korea Space Launch Vehicle-I) Prog Office KSLV-II R&D Program Executive Office Aviation Safety R&B Office Smart UAV Development Office
Gambar 4-3: Struktur Organisasi KARI
c.
Kebijakan terkait Peroketan Kebijakan Korea Selatan di bidang teknologi roket diawali dengan pemeliharaan dan
kegiatan modifikasi rudal taktis yang diberikan oleh Amerika Serikat. Kemudian, pada tahun 1990,
mengembangkan kemampuan secara mandiri untuk memproduksi motor roket
propelan padat yang beratnya sampai dengan satu ton. Pada tahun yang sama, Korean Aerospace Research Institute (KARI) membangun roket pertama yang dikenal dengan KRS-1 dan kemudian dilanjutkan dengan KRS-2. KARI juga diberi izin untuk melanjutkan pengembangan oksigen cair/motor roket pengorbit tetapi hal ini tidak dilakukan, dikarenakan 37
Pemerintah Korea Selatan memutuskan ingin menjadi salah satu di antara 10 (sepuluh) negara teratas spacefaring tahun 2015.
Dalam rangka mewujudkan ambisinya ini, Korea Selatan melakukan lompatan teknologi dengan membangun roket peluncur antariksa yang dikenal dengan KSLV-1 (Korean Space Launch Vehicle). Pada tahun 2000, Kementerian Ilmu Pengetahunan dan Teknologi Korea memperkirakan akan dapat menyelesaikan pengembangan KSLV-1 pada tahun 2005, namun perkiraan ini meleset, dikarenakan permasalahan pengembangan mesin. Untuk mempercepat pembangunan wahana peluncur ini, Korea Selatan melakukan kerjasama dengan Rusia. Kerjasama ini jiga didorong oleh keprihatinan Korea Selatan terhadap rudal dan kemampuan militer Korea Utara. Korea Selatan juga mengontrak perusahaan Rusia untuk membantu membangun sebuah pusat peluncuran di Doheung, Ujung Selatan Semenanjung Korea dan wahana peluncur yang besar berdasarkan modul roket Angara Khrunichev.
Sebenarnya, sebelum kerjasama dengan Rusia, Pemimpin KARI telah mencoba untuk melakukan kerjasama dengan Amerika Serikat terkait dengan pengembangan mesin ini, tetapi Amerika Serikat menolaknya, meskipun kedua negara memiliki perjanjian kerja sama. Kerjasama Korea Selatan dan Amerika Serikat adalah pengembangan roket untuk tujuan sipil. Amerika Serikat mempertahankan kebijakan untuk tidak langsung memberikan kontribusi bagi program wahana peluncur antariksa tambahan lainnya.
Kerjasama tingkat tinggi dengan Rusia dimulai pada bulan September tahun 2004, ketika Presiden Korea Selatan Mu-Hyon berkunjung ke Moscow dan menandatangani kerjasama
antar
kedua
negara
di
bidang
keantariksaan.
Kerjasama
percepatan
pengembangan peroketan memerlukan proses yang cukup panjang. Antara Korea Selatan dan Rusia terlebih dahulu harus melakukan perjanjian terkait dengan TSA (Technology Safeguard Agreement) yaitu perjanjian perlindungan teknologi. Seoul dan Moscow menandatangani TSA pada bulan Oktober 2006.
Sebelum Rusia dapat memulai transfer teknologi tahap pertama Space Launch Vehicle (SLV) ke Korea Selatan, Majelis Rendah Parlemen Nasional Rusia (Duma) terlebih dahulu harus meratiifikasi perjanjian tersebut. Majelis Nasional Korea Selatan meratifikasi perjanjian tersebut pada bulan Oktober 2006. Sedangkan Duma menundanya dikarenakan terkait dengan beberapa negoisasi tentang transfer teknologi. 38
Pada tanggal 28 Maret s.d 2 April 2007, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Korea Selatan Kim U-Sik mengunjungi Rusia dalam upaya memperdalam dan mempercepat kerjasama ilmiah antara Seoul dan Moscow. Tujuan penting lainnya adalah untuk mendorong para pejabat Rusia untuk pengesahan perjanjian kedua negara tentang TSA. Pada kunjungan tersebut, tepatnya pada tanggal 31 Maret Kim juga menghadiri upacara pembukaan pusat kerjasama baru antara Korea Selatan dan Rusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Korea Selatan menawarkan untuk memberikan dukungan kepada kerjasama dua lembaga penelitian di bidang kedirgantaraan dan optik, namun Rusia hanya menyetujui untuk pembentukan sebuah lembaga penelitian tunggal bersama ilmu pengetahuan umum dan teknologi.
Meskipun Duma belum meratifikasi perjanjian kedua negara di bidang keantariksaan, kerjasama Korea Selatan dan Rusia
terus berjalan. Menurut informasi, pada bulan
Desember 2005, enjiner Rusia telah lengkap mendisain tingkat pertama KSLV-1 berdasarkan roket pendorong Angara di Khrunichev State Space Research and Production Center, tetapi Rusia menunda pengirimannya ke Korea Selatan sampai Duma meratifikasi TSA.
Meskipun terjadi pengunduran pengiriman, melalui Menteri Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Korea Selatan terus berupaya untuk meningkatkan kerjasama dengan Rusia dalam kegiatan keantariksaan diantaranya adalah terkait dengan penerbangan manusia ke antariksa. Saat berkunjung ke Moscow Kim U-sik juga menemui Direktur Badan Antariksa Federal Rusia Anatoly Perminov, membicarakan kerjasama bilateral di bidang keantariksaan, termasuk di dalamnya pengembangan KSLV-1 dan pelatihan dua astronaut Korea Selatan di Rusia. Satu diantaranya telah ikut misi ke International Space Station tahun 2008.
Teknologi roket adalah teknologi guna ganda (untuk kepentingan sipil dan militer), sehingga kerjasama Korea Selatan dan Rusia dalam program keantariksaan berada di bawah pembatasan perjanjian multilateral MTCR (Missile Technology Control Regime). MTCR merupakan sebuah regime yang beranggotakan kelompok informal 34 negara yang bertujuan untuk mencegah proliferasi rudal dan teknologi terkait yang dapat digunakan untuk persenjataan. Termasuk di dalamnya roket yang dapat membawa muatan beratnya 500 kg dan jarak jangkau 300 km.
39
Dengan adanya pengendalian dari MTCR ini dan dalam rangka meningkatkan kemampuan di bidang pengembangan teknologi wahana peluncur, pada bulan Maret 2001 Korea Selatan masuk menjadi anggota MTCR. Sebagai anggota dari regime Seoul berpotensi memenuhi syarat untuk menerima transfer teknologi canggih rudal dan terkait lainnya dari anggota MTCR, termasuk “kategori satu” yaitu teknologi paling sensitive, selama hal tersebut untuk eksplorasi antariksa tujuan damai. d.
Pencapaian Sistem Pengembangan Roket Korea Selatan melalui Korean Aerospace Research Institute (KARI) memulai
membuat roket sonda untuk keperluan ilmiah pada tahun 1990. Pada tahun 1993, KARI berhasil membuat dan meluncurkan roket sonda pertamanya yaitu KSR-1 (Korean Sounding Rocket-1). KRS-1 bertingkat satu dengan panjang 6,7 m, diameter 0,42 m mampu membawa muatan seberat 1,2 ton dan juga telah mampu mengukur distirbusi ozon di atas Peninsula, Korea. Dengan pengalaman yang diperoleh dalam pembuatan roket KSR-1, kemudian KARI berhasil membuat roket bertingkat dua yaitu KSR-II dan diluncurkan pada tahun 1997. Roket KRS-II memiliki panjang 11,04 m, diameter 0,42 m dan
mampu mengangkat muatan
seberat 2 ton. Roket ini digunakan untuk mengukur distribusi vertikal ozon dengan menggunakan radiometer ultraviolet, kerapatan elektron di lapisan ionosfer dll.33
Kemajuan yang diraih oleh Korea Selatan dalam pengembangan roket ini disemangati oleh visi yang dipunyai, bahwa pada tahun 2015 Korea Selatan akan menjadi salah satu dari 10 negara terkemua dalam industri
antariksa, dan bertekad
untuk dapat meluncurkan
satelit-satelitnya dari bumi Korea Selatan. Untuk mewujudkan tekadnya tersebut, Korea Selatan
telah menetapkan
Rencana Pembangunan Keantariksaan Jangka Panjang
Nasional (the National Longterm Space Development Plan)
untuk 20 tahun
ke depan
dengan total dana US $ 6 milyar untuk pengembangan teknologi antariksa. Rencana Pembangunan Keantariksaan Jangka Panjang tersebut antara lain memuat : (i) rencana peluncuran 20 satelit yang terdiri dari 5 satelit komunikasi, 8 satelit multi-purpose, dan 7 satelit percobaan ilmiah sampai dengan tahun 2015, (ii) membangun dan mengoperasikan tempat peluncuran untuk satelit LEO pada tahun 2005 (berlokasi di Go-Hoeung, selatan Peninsula, Korea),
dan (iii) dapat mengembangkan wahana
meluncurkan satelit kecil ke orbit LEO pada tahun 2005.
33
KSR Korea Sounding Rocket,
40
peluncur yang mampu
Terkait dengan rencana pembangunan tempat peluncuran, pada tahun 2000 Korea Selatan dengan bantuan Rusia, mulai membangun Pusat Antariksa Naro yang berlokasi di Pulau Naro di
Goheung.
Pada tanggal 28 November 2002, Korea Selatan berhasil
meluncurkan roket sonda KSR-3 dengan bahan bakar cair dan berat 6000 kg dari Pusat Antariksa tersebut. Pusat Antariksa Naro terdiri dari : Landasan Pacu (Launch Pad), control tower, fasilitas assembly dan pengujian roket, facilities for satellite control testing and assembly, a media center, an electric power station, a space experience hall and a landing field. Selanjutnya, pada tanggal 8 Agustus 2003 bertepatan dengan perayaan tempat peluncuran roket pertamanya, Korea Selatan juga mencanangkan keinginannya untuk menjadi negara ke-13 yang mempunyai sebuah pusat antariksa.34
Pembangunan pusat
peluncuran tersebut yang dijadwalkan akan selesai paling lambat tahun 2005 yang lalu diperkirakan memerlukan dana sekitar 150 milyar Won (US $126.45 juta). Sasaran pertama dari Pusat Peluncuran ini adalah untuk meluncurkan satelit seberat 100 kg dengan roket buatan sendiri yaitu KSLV-1.35 Dalam perkembangannya pembangunan pusat antariksa ini menghabiskan dana sebesar 312 milyar Won (US $ 250 juta). Pusat ruang angkasa Naro ini terletak sekitar 485 kilometer bagian Selatan Seoul dan di atas tanah seluas 5,11 juta meter persegi, dilengkapi dengan fasilitas terbaru dan tercanggih termasuk tempat peluncuran, menara kontrol peluncuran, gedung perakitan, radar pengintaian, sistem pendeteksi optikal elektro, pusat ramalan cuaca dan fasilitas pendidikan.36
Dalam rangka untuk merancang dan mengembangkan komplek peluncuran yang dapat meluncurkan roket sekelas KSLV-1 (Korean Space Launch Vehicle), maka tanggal 26 Oktober 2004, Korea Selatan menandatangani kontrak dengan Rusia.
37
pada
Proyek ini
merupakan sebuah pengembangan bersama, yaitu: tingkat pertama KSLV-1 dibangun dengan nama MV Khrunichev, dan tingkat kedua dirancang dan dikembangkan di Korea Selatan. Sedangkan pengembangan komplek peluncuran KSLV-1 merupakan hasil dari perjalanan waktu yang lama yaitu lebih dari 2 tahun. Korea Selatan selama ini telah meluncurkan sebanyak 10 satelitnya ke orbit, dimulai dari Uribyeol-1 atau KITSAT-1 pada tahun 1992. Namun semua satelit tersebut diluncurkan dari pusat antariksa milik negara lain. Baru kemudian, setelah mengalami 7 kali penundaan selama 7 tahun, akhirnya pada tanggal 25 Agustus 2009 roket Korea Selatan yang pertama (KSLV-1), yang berharga sekitar 502,5 milyar Won, menjadi wahana antariksa pertama yang diluncurkan dari teritorinya sendiri
34
South Korea Begins Construction Of New Space Center, http://www.spacedaily.com/news/korea-03b.html, Aug 12, 2003 Ibid 36 Naro Space Center, http://en.wikipedia.org/wiki/Naro_Space_Center 37 Space rocket complex KSLV (South Korea) 35
41
dengan membawa satelit, meskipun setelah beberapa detik peluncuran satelit tersebut mengalami kegagalan. Pemerintah Korea Selatan memiliki rencana yang ambisius untuk menjadi negara adidaya di bidang keantariksaan ke-10 di dunia sampai tahun 2017. Korea akan meluncurkan satelit pertamanya ke Bulan hingga tahun 2020, dan peluncuran modul pendaratan di Bulan pada tahun 2025.
Gambar 4-4 di bawah ini adalah ketika roket KSLV-1 diangkut menuju lauhch pad dari komplek assembling di Naro.38 Peluncuran KSLV-1 ini dikendalikan dari Pusat kendali sebagaimana dilihat dalam Gambar 4-5.
Gambar 4-4: Roket KSLV-1 diangkut menuju Launch Pad
38
Seoul's 1st space rocket enroute to launch pad, http://en.youth.cn/news/world/200908/t20090818_993639.htm, 18 Agustus 2009
42
Gambar 4-5:39 Pusat Kendali Peluncuran KSLV-1
4.2.
Negara Non-Anggota MTCR
4.2.1. China a.
Motivasi Pengembangan Peroketan Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa sampai saat ini China belum menjadi
anggota MTCR. Tetapi walaupun dalam pengembangan peroketan mendapat hambatan dari AS, China telah memiliki kemampuan peroketan yang maju. Kemampuan yang dimiliki China ini adalah
merupakan sebuah hasil dari proses yang telah lama. China mulai
mengembangkan kemampuan keantariksaan sejak tahun 1950-an yaitu dengan tujuan saat itu untuk memperoleh senjata nuklir yang didorong oleh dua alasan politis yaitu kepentingan pertahanan wilayahnya dan untuk kepentingan prestise.40
Deng Xiaoping, Sekjen Partai Komunis China (Chinese Communist Party - CCP) lebih lanjut memainkan perannya yang penting dalam memajukan dan membuka China ke dunia luar.41 Saat itu Deng Xiaoping yang dianggap sebagai pemimpin pragmatis mencoba membangun China dengan cara yang modern, bertahap, dan tidak revolusioner.
39
http://www.cleveland.com/world/index.ssf/2009/08/joining_the_rocket_race_s_kore.html Rosita Dellios, China's Space Program: A Strategic and Political Analysis, Culture Mandala, Vol. 7 no. 1, December 2005 - Copyright © Rosita Dellios 2005, Hal 1. 41 Rosita Dellios, China's Space Program: A Strategic and Political Analysis, Culture Mandala, Vol. 7 no. 1, December 2005 - Copyright © Rosita Dellios 2005, Hal 1. 40
43
Sejarah China dalam penguasaan teknologi antariksa juga tidak lepas dari peran seorang warga China yaitu Prof. Tsien Xue- Shen seorang ahli fisika dan spesialis misil yang sebelumnya belajar dan bekerja di Amerika Serikat. Kemudian pada tahun 1955 Tsien XueShen kembali ke China setelah gerakan komunis pimpinan Mao Tse-tung berhasil menguasai China dan menyebabkan Tsien dicurigai oleh pemerintah Amerika Serikat.
Pada tanggal 8 Oktober 1956, Komite Pusat Partai Komunis China yang dipimpin Mao Tse-tung membentuk the Fifth Research Academy di bawah Menteri Pertahanan Nasional untuk mengembangkan keantariksaan.42 Inilah permulaan yang sebenarnya program keantariksaan China, dan empat tahun kemudian yaitu pada tanggal 5 November 1960, China meluncurkan roket pertamanya. Peluncuran ini menjadikan China sebagai negara keempat setelah Jerman, Amerika Serikat dan Uni Soviet yang memasuki era antariksa.43
Dalam awal pengembangan teknologi antariksa ini China memperoleh bantuan dan alih teknologi dari Uni Soviet, dan terhenti pada tahun 1960 ketika hubungan kedua negara mulai mengalami ketegangan. Sejak tahun 1960 kemudian China mengembangkan kemampuan dalam teknologi antariksa baik untuk kepentingan militer maupun untuk sipil dengan upayanya sendiri. Saat ini program keantariksaan China mempunyai ruang lingkup yang luas dan telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan serta telah berkontribusi terhadap kekuatan militer, pembangunan ekonomi, dan stabilitas keamanan di dalam negeri. Salah satu sisi dari program keantariksaan China adalah secara terus menerus memberikan kemampuan untuk mengumpulkan dan mengeksploitasi informasi medan tempur kepada PLA. Sisi lainnya adalah meningkatkan kemampuan seperti sistem senjata anti satelit (ASAT) baik yang menggunakan kinetik maupun senjata antariksa non-kinetik, dan meningkatkan kemampuan offensive kekuatan China dalam rangka mendominasi kekuatan antariksa.
Selain itu keantariksaan juga telah menjadi landasan dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi China. Beijing terus mengembangkan program antariksanya untuk dapat diakui sebagai kekuatan keantariksaan secara internasional. Pemimpin China yang pada saat itu dipimpin Jiang Zemin (1993-2003) menginginkan China menjadi sebuah negara yang kuat, modern, dan kaya, atau dengan kata lain menginginkan China menjadi
42
Lieutenant Colonel William R. Morris, USAF, The Role Of China’s Space Program In Its National Development Strategy, , Air War College,Maxwell Air Force Base, Alabama, August 2001, Hal 2. 43 Ibid
44
sebuah negara besar (great power).44
Dengan sumber daya alamnya, tenaga kerjanya,
kekuatan nuklirnya, keanggotaannya dalam Dewan Keamanan PBB, dan pertumbuhan ekonominya, China menginginkan
keseimbangan dengan negara great power
lainnya.
Untuk itu China terus mengembangkan kemampuannya dalam keantariksaan untuk mewujudkan status great powernya.
Bagi China upaya keantariksaan untuk keperluan sipil dan militer mempunyai nilai yang sama. Kegiatan keantariksaan untuk kepentingan sipil ditujukan antara lain guna memperoleh devisa. Sedangkan kegiatan keantariksaan untuk kepentingan militer ditujukan guna keamanan nasional, dan dukungan bagi China menjadi salah satu negara dalam kepemimpinan keamanan global yang diawali dari tingkat subregion Asia Timur dan region Asia – Pasifik. Pasca Perang Dingin, lingkungan Asia Timur mengandung banyak persoalan dan pertentangan, baik yang merupakan sisa masalah lama maupun persoalan politik yang baru muncul.45
China berpendapat bahwa teknologi antariksa sangat potensial dalam menghadapi kemampuan negara-negara tertentu yang terlibat dalam situasi yang dapat mengganggu keamanan nasional dan kepemimpinan keamanan tersebut. Situasi-situasi dimaksud, antara lain:46 i)
keamanan Laut China Selatan dan perebutan atas Kepulauan Spratly (China, Filipina, Taiwan, Malaysia, Viet Nam, dan Brunai Darul Salam),
ii)
status Taiwan, di mana Amerika Serikat untuk melindungi kepentingannya masih memberikan dukungan militer kepada Taiwan,
iii) permusuhan di Semenanjung Korea (antara Korea Selatan dan Korea Utara), yang
dalam permusuhan ini Korea Selatan telah mengundang penggelaran
“Theater Ballistic Missile Defence (TMD)” oleh Amerika Serikat di Semenanjung Korea, iv) permusuhan
dengan Jepang (baik terang-terangan ataupun diam-diam) yang
berlatarbelakang sejarah yang cukup panjang. Kerja sama keamanan antara Jepang dan Amerika Serikat dengan mengundang kekuatan militer Amerika Serikat dan TMDnya di Jepang serta pengembangan satelit pengintai/mata-mata
44
Ibid Abdul Irsan, op.cit.,Hal 198. 46 Alfred Sitindjak, Pemanfaatan Teknologi Antariksa Untuk Maksud Militer dan Implikasinya, Hasil Litbang Pusat Analisis dan Informasi Kedirgantaraan LAPAN 2002, Jakarta, Hal. 25. 45
45
yang cukup
canggih oleh Jepang dianggap
merupakan ancaman terhadap
keamanan nasional China, v)
ketegangan dengan Rusia terutama antara tahun 1960 sampai dengan pertengahan 1980-an.
Ching Yu, seorang diplomat China menggambarkan kerentanan terhadap lingkungan keamanan sekeliling China, sebagai berikut:47
Lingkungan China mempersatukan dua kekuatan militer utama yaitu Rusia dan India, dua kekuatan raksasa ekonomi yaitu Jepang dan Korea Selatan, dan sedang munculnya pasar di mana seluruh Kekuatan utama akan bersaing (India, ASEAN, dll).
China dikepung oleh sekutu militer Amerika Serikat, dan
Amerika terus menerus
mengirimkan militernya ke Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Pilipina.
Terdapat titik konflik regional di sekeliling China yaitu di Semenanjung Korea, Kashmir dan Afganistan.
b.
China menghadapi gerakan pro-kemerdekaan di Taiwan, Tibet dan Turkistan Timur.
Kelembagaan Sebagaimana telah dinyatakan di atas bahwa pengembangan keantariksaan awalnya
dilakukan oleh the Fifth Research Academy yang pada saat itu berada di bawah Menteri Pertahanan Nasional. Untuk meningkatkan kemampuannya, pada Kongres Nasional ke-14 Partai Komunis China (CPC) tahun 1992 ditetapkan bahwa tanggung jawab program keantariksaan didelegasikan kepada dua organisasi yaitu antariksa China National Space Administration (CNSA) dan the China Aerospace Science and Technology Corporation (CASC).48 Salah satu dari tugas CNSA tersebut adalah membuat dan melaksanakan perjanjian internasional mengenai pembangunan keantariksaan. Sedangkan CASC bertugas mengembangkan dan membuat wahana peluncur dan satelit. Walaupun ke dua organisasi ini mempunyai peran yang terpisah, sebenarnya dua organisasi tidak terpisah, karena ke dua organisasi ini bersama-sama memakai beberapa pegawai yang sama.
Namun seiring dengan perkembangan yang meningkat dari badan-badan pemerintah dan perusahaan-perusahaan milik negara, maka mulai tahun 1998 CNSA dan CASC menjadi
47
Dr. Subhash Kapila, China’s Foreign Policy Challenges, South Asia Analysis Group, http://www.southasiaanalysis.org, 06.12.2005. 48 Shinichi Ogawa, China’s Space Development- A Tool for Enhancing National Strength and Prestige, East Asian Strategic Review 2008, The National Institute for Defense Studies Japan, The Japan Times, April 2008, Hal. 22.
46
organisasi yang terpisah seutuhnya. CASC adalah sebuah perusahaan utama yang secara langsung dikendalikan oleh pemerintah nasional melalui the State-owned Assets Supervision and Administration Commission, di mana ketuanya adalah juga anggota Komite Pusat CPC. Kemudian CASC membentuk anak perusahaan the China Aerospace Science and Industry Corporation (CASIC). Namun dalam kenyataanya, kedua perusahaan milik negara ini tetap di bawah arahan CNSA, sedangkan CNSA sendiri berada di bawah pengawasan Commission of Science, Technology, and Industry for National Defense (COSTIND),49 sehingga dapat diartikan bahwa pengembangan program keantariksaan mempunyai kaitan erat dengan militer China. Hal ini juga dapat dilihat dalam salah satu bagian yang dilakukan CASC selain melakukan penelitian dan pengembangan keantariksaan, juga mengembangkan teknologi wahana peluncur dan misil balistik. Keterkaitannya dengan militer juga dapat dilihat dalam pelaksanaan peluncuran yang diarahkan oleh the China Satellite Launch and Tracking Control General (CLTC), salah satu unit dari PLA.50 Secara skematis birokrasi pembuatan keputusan terkait dengan penyelenggaraan program keantariksaan di China sebagaimana terlihat dalam Gambar 4-7. President and General Secretary of CCP State Council/ Perdana Menteri
COSTIN D
PLA
CNS A
CASC
CGWI G
CAME C/CAS IC
CAST C
CGWI C
CAST
CPMIE C
CALT SAST
Gambar 4-6: Organisasi Penyelenggaraan Keantariksaan China
49
Pada Kongres Nasional China Ke-11 Maret 2008, COSTIND digabungkan dalam salah satu birokrasi yang baru dalam Ministry of Industry and Information Technology (MIIT) dan namanya diganti menjadi SASTIND (State Administration for Science, Technology and Industry for National Defence), http://medlibrary.org/medwiki/COSTIND, 19 February 2009. 50 Lieutenant Colonel William R. Morris, Op.cit , Hal 8.
47
Keterangan Gambar 4-1: CNSA CASC COSTIND CGWIG CGWIC CPMIEC CAMEC CASIC CASTC CAST CALT SAST CLTC c.
- China National Space Administration - China Aerospace Corporation - Committee of Science, Technology, and Industry for National Defense - China Great Wall Industrial Group - China Great Wall Industry Corporation - China National Precision Machinery Import/Export Corporation - China Aerospace Machinery and Electronic Corporation - China Aerospace Science and Industry Corporation - China Aerospace Science and Technology Corporation - China Academy of Space Technology - China Academy of Launch Vehicle Technology - Shanghai Academy of Spaceflight Technology - China Satellite Launch and Tracking Control General
Kebijakan terkait Peroketan Sampai dengan saat ini, China telah menerbitkan 3 (tiga) kali Kebijakan atau Buku
Putih Keantariksaan, yaitu pada tahun 2000, 2006, dan yang terakhir pada tanggal 29 Desember 2011.
Ketiga Buku Putih ini telah digunakan pemerintah China untuk
menunjukkan tujuan yang akan dicapai di tahun-tahun mendatang dalam bidang keantariksaan dan ilmu pengetahuan dan teknologi terkait.
Dalam buku putihnya yang pertama yang berjudul White Paper on Space Activities in 2000, China menetapkan secara jelas bahwa maksud dan prinsip pengembangan keantariksaan dikaitkan dengan istilah national interest, comprehensive development strategy dan comprehensive national strength, sebagaimana dinyatakan berikut ini:51
The Chinese government has all along regarded the space industry as an integral part of the state's comprehensive development strategy ….The aims and principles of China's space activities are determined by their important status and function in protecting China's national interests and implementing the state's development strategy. Maksud dan prinsip tersebut dinyatakan kembali dalam Buku Putih berikutnya yang diterbitkan pada bulan Oktober 2006 dengan judul China’s Space Activities in 2006.52 Selain itu dalam Buku Putih tahun 2006 ini juga dimuat pencapaiannya dalam teknologi dan aplikasi antariksa selama untuk kurun waktu lima tahun sejak dikeluarkannya Buku Putih tahun 2000, serta rencananya dalam lima tahun kedepan.
51 52
Information Office of the State Council (China), White Paper on China's Space Activities, 22 November 2000, Hal 1. Information Office of the State Council of the People’s Republic of China, China’s Space Activities in 2006, Hal. 3
48
Buku Putih Keantariksaan China yang terakhir yaitu yang diterbitkan tahun 2011 selain memuat keberhasilan China sejak tahun 2006 juga secara jelas menunjukkan bahwa Beijing bertekad untuk muncul sebagai sebuah kekuatan keantariksaan utama yang setara dengan Amerika Serikat (AS). China sangat yakin bahwa pada akhirnya akan
mampu
menyamai AS dalam bidang-bidang penting seperti navigasi dan misi-misi antariksa. Untuk mencapai ke arah ini Buku Putih menyoroti sebuah sebuah rencana yang sistimatis.
Menurut Buku Putih ini, sasaran utama yang akan dicapai dalam lima tahun kedepan meliputi “conducting studies for a human lunar landing, conduct special project demonstration in deep-space exploration, complete the construction of the Hainan space launch site and put it into service, improve its ground facilities for data management and calibration, develop and launch Shijian-9 new technology test satellite, and returnable satellites.” d.
Kemampuan Peroketan Pada tahun 2003 China telah mencatat sejarahnya dalam keantariksaan yaitu
menjadi negara ketiga yang mempunyai kemampuan dalam penerbangan antariksa berawak. Keberhasilan ini sebenarnya merupakan hasil upaya China yang telah lama dirintis sejak tahun 1992 melalui sebuah proyek yang dikenal dengan Project 921 dengan misinya adalah penerbangan antariksa berawak. Dalam proses penguasaan teknologi antariksa tersebut, China bekerja sendiri dengan bertumpu pada teknologi yang dikembangkan sendiri mengingat terdapat batasan alih teknologi dari Amerika Serikat. Untuk mewujudkan misinya ini, proyek ini dilaksanakan melalui tiga tahapan.
Tahap pertama (telah selesai), yaitu meluncurkan pesawat-pesawat tidak berawak dan pesawat berawak ke orbit dekat bumi, melakukan observasi bumi dan percobaan ilmiah di antariksa, dan membawa astronot kembali ke bumi dengan selamat.
Hasil tahap pertama
dari Project 921 tersebut adalah diluncurkannya Shenzou V dengan membawa 1 orang taikonaut pada tahun 2003. Keberhasilan ini menempatkan China menjadi negara ketiga setelah Amerika Serikat dan Rusia yang mempunyai kemampuan dalam meluncurkan misi berawak. Sebelumnya China meluncurkan Shenzou I sampai IV tetapi tanpa awak.
Tahap kedua (telah selesai), mulai dengan Shenzou VI yang menerbangkan dua taikonaut China pada tahun 2005 untuk lima hari misinya di antariksa, kemudian Shenzou VII dengan tiga hari misi di antariksa dan berjalan di antariksa pada tanggal 25 September 49
2008.53 Sedangkan tahap ketiga adalah pembangunan sebuah stasiun antariksa permanen dan sebuah sistem engineering antariksa. Astronot dan ilmuwan akan bekerja di bumi dan stasiun antariksa ini untuk melakukan eksperimen ilmiah dengan skala lebih besar. Keberhasilan China meluncurkan satelit Chang‟e-1 pada tahun 2007 merupakan bagian dari upaya pelaksanaan tahap ketiga. Biaya yang telah dikeluarkan untuk peluncuran Shenzhou I sampai dengan 5 adalah sekitar 2 milyar dolar Amerika, dan untuk Shenzhou sekitar 110 dolar juta Amerika.54
Dalam buku putihnya tahun 2011 tersebut juga dinyatakan antara lain bawa China berhasil meluncurkan roket Long March sebanyak 67 dan mengirimkan 79 wahana antariksa ke berbagai orbit sejak tahun 2006. 4.2.2. India Pengembangan Teknologi India, dilihat dari Aspek Geopolitik, Kelembagaan, Kebijakan, Capaian Pengembangan Teknologi Roket. a.
Motivasi pengembangan kegiatan keantariksaan Pengembangan Teknologi roket di India, sangat dipengaruhi aspek geopolotik. Hal ini
diakibatkan terjadinya ketegangan hubungan negara India, Pakistan dan China, terutama mengenai masalah-masalah perbatasan negara mereka. Ketegangan hubungan India dan Pakistan adalah warisan sejarah pasca-klonial yang berkelanjutan, pertama-tama selama lima puluh tahun terakhir, Pakistan perang dengan India, seperti perang yang terjadi pada tahun
1947-1948,
1965,1971,
1999,
disamping
masalah
perbatasan
juga
untuk
menormalisasikan kerjasama ekonomi antara negara tetangga. Kemudian hubungan konflik negara India dengan China pada tahun 1962 terjadi perang antara kedua negara karena sengketa lama tentang perbatasan. Dengan peperangan dan konflik yang terjadi secara berkelanjutan, maka program pengembangan roket India ditujukan untuk memmelihara stabilitas dan strategis keamanan jangka panjang dan melindungi terhadap ancaman nuklir dari China dan Pakistan55. Untuk mempercepat memperkuat pertahanan, pengembangan roket dilakukan dengan kerjasama dengan negara-negara maju antara lain Amerika Serikat, Rusia, Perancis, Jerman Barat,
dan Israel. Kerja sama yang dilakukan, adalah yang
53
Hu Yinan, Shenzhou VII launched for 1st spacewalk , September 2008 http://www.chinadaily.com.cn/china/2008-09/26/ content_7060750.htm 54 Marcia S. Smith, China’s Space Program: An Overview, CRS Report for Congress, 18 Oktober 2005, Hal 4 55 Racine, Jean-Lue, “ The uncertain triangle: India, China, and Pakistan , the regional and international dimensions, South Asia Programe, 2001.
50
berkaitan pelatihan-pelatiahan pembuatan komponen roket dan alih teknologi, kerja sama peluncuran-peluncuran,dan kerja sama pembelian-pembelian komponen-komponen roket 56. b.
Kelembagaan Pengembangan teknologi roket dimulai dengan mendirikan komite riset antariksa
India (The Indian Committee for Space Research-INCOSPAR) pada tahun 1962. Kedudukan INCOSPAR di bawah Departemen Tenaga Atom India. INCOSPAR melakukan penelitian dan
pengembangan
teknologi
roket
dan
merumuskan
program
pengembangan.
Pengembangan teknologi roket dilakukan dengan kerja sama dan penandatanganan kerja sama pengembangan dengan negara maju dilakukan langsung oleh Menteri departemen tenaga
Atom.
Kemudian
sikakukan
pengembangan
Laboratorium
penelitian
dan
pengembangan pertahanan (The Defence Research and Development Laboratory-DRDL), dengan misi untuk pembuatan dasain dan pengembangan misil. Untuk menangani khusus keantariksaan dibentuk rganisasi Riset Antariksa India (The Indian Space Research Organization-ISRO) pada tahun 1969.
Kedudukan ISRO di bawah Departemen Tenaga
Atom (Department of Atomic Energy). ISRO melakukan penelitian dan pengembangan teknologi roket peluncur satelit. Pada tahun 1970 DRDL membangun infrastruktur terkait misil, termasuk fasilitas uji aerodinamika, struktur dan lingkungan, fasilitas pembuatan bahan bakar cair dan bahan bakar padat, fasilitas fabrikasi rekayasa, panduan pengendalian, dan fasilitas komputer. Kemudian pada tahun 1972 di bentuk Departemen Antariksa dan Komisi antariksa, maka kedudukan ISRO dipindakhan dari Departemen Tenaga Atom (Department of AtomicEnergy) menjadi dibawah Departemen Anatariksa. c.
Kebijakan terkait Peroketan Kebijakan dalam pengembangan teknologi roket India dilakukan dengan kerjasama
pembelian dan kerjasama pengembangan, seperti kerjasama yang dilakukan Departemen Tenaga Atom India (India’s Department of Atomic Energy- IDAE), dengan Pusat Antariksa Perancis (The Centre National d’ Etudes Spatiales-CNES), menandatangani Memorandum of Understanding (MoU), mengenai memasok empat roket Centaure dengan muatan percobaan uap awan
CNES Perancis (tahun 1964). Kerjasama India dan Rusia (Uni Soviet)
menandatangani MoU tentang kerjasama di bidang pengembangan Roket Sonda di stasiun peluncuran Thumba (tahun 1970).
India dan Perancis menandatangani perjanjaian
kerjasama dibidang antariksa (tahun1977). India dan Amerika Serikat menandatangani MoU
56
Chronology of India's Missile Milestone comparing with other countries, 27 Mei 2011,hal 1-6 http://www.indianofficer.com/forums/1778-chronology-indian-missile-technology.html
51
tentang perjanjian yang berkaitan dengan peluncuran dan asosiasi pelayanan satelit India (tahun 1978). India dan Rusia bekerja sama melakukan misi antariksa berawak (tahun 1982). Kemudian delegasi senior India di pimpin oleh Deputi Menteri Electronik Dr. Sanjeeve Rao, berkunjung ke Uni Soviet (Rusia) dalam melakukan kerjasama membeli komputer bertenaga tinggi untuk pertahanan India dan merupakan fasilitas dalam mendukung pengembangan roket senjata balistik untuk partahanan dan untuk mendukung industri nuklir (tahun 1984). Atas kunjungan tersebut, Uni Soviet setuju untuk memasok generasi terbaru nya “Elbrus” sistem komputer ke India.57
Dalam kelangsungan hidup pengembangan teknologi roket India, juga mengambil kebijakan membangun sistem perundang-undangan nasional India (Sistem Pengendalian Ekspor India) yang mengatur distribusi yang berkaitan dengan misil ballistik)
(roket dan senjata
dan tennologi misil, serta senjata pemusnah masal meliputi senjata kimia dan
senjata biologi. Pada tahun 1998 kebijakan sistem pengendalian ekspor India dengan judul” Indian Policy to Control Dual Use Technology”. Kebijakan sistem pengendalian ekspor India menghasilkan dampak yang positip, anatara lain pemerintah India telah menandatangani fakta bilateral dengan Amerika Serikat untuk menjamin keamanan informasi produk-produk dual use dan penggunaan teknologi dual use. India telah mempunyai kemampuan memproduksi sub komponen misil (roket dan senjata balistik) dan senjata nuklir sejak tahun 1980 an. Kemajuan teknologi India ini, dapat memperkaya negaranya yang masih miskin, namun konsekuensi dalam sistem perundang-undangan nasional India (Sistem Pengendalian Ekspor India) yang mengatur distribusi yang berkaitan dengan misil
(roket dan senjata
ballistik) dan tennologi misil, dapat menahan diri untuk tidak mendistribusikan atau menjual ke negara lain, seperti negara Libya dan negara Iran menawarkan sejumlah besar uang ke India
dengan
imbalan
senjata
misil
dan
senjata
nuklir.
Negara
India
berhasil
mempertahankan komitmennya, yaitu kebijakan India mengendalikan ekspor adalah sebuah keyakinan politik yang tegas bahwa menyebarkan teknologi berbahaya
di dunia secara
moral berbahaya bagi India. Kebijakan ini juga muncul dari keinginan yang kuat untuk menunjukkan bahwa India adalah yang bertanggung jawab dari masyarakat internasional meskipun sebuah negara yang berkembang dan negara miskin.58
57
Wikimedia, “India National for committee Space Research” 2010. http://en.wikipedia.org/wiki/ Indian_National_Committee_for_Space_Research 58 India Export Control Policy Political Commitment, Institusional Capacity, and Nonproliferation Record
52
Dalam pengembangan teknolodi roket lebih lanjut, badan antariksa India ISRO dan Rusia Glavcosmos menyepakati kerjasama kontrak bernilai US$ 200 juta, untuk penjualan “liquid hydrogen cryogenik engines” dan teknologi cryogenik engines ke India. Kerjasama meliputi penjualan 2 unit engines dan teknologinya. Engines akan digunakan untuk roket peluncur satelit yang ditempatkan ke orbit Geosyncronous Satellite Launch Vehicle (GSLV). Sedangkan Teknologinya digunakan untuk membuat engine yang sama di India dengan membayar royalti kepada Rusia untuk setiap engines yang di buat. Sehubungan dengan kerjasama kontrak ini terjadi peristiwa, Amerika Serikan mengancam untuk menggunakan sanksi kepada Rusia dan India selama 2 tahun karena dinilai tidak mentaati MTCR. Dimana MTCR adalah perkumpulan negara-negara informal dan tidak berdasarkan perjanjian membuat kebijakan pembatasan penyebaran misil dan teknologi misil. (The Missile Technology Contril Regime-MTCR is an informal, non treaty assosiotion of states that have an astablised policy or interest limithing the spreed of missiles and missiles technology, by Deborah A. Ozga, 1994).
Dalam persyaratan keanggotaan MTCR salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah tidak boleh mendistribusikan dan mengalihkan komponen dan teknologi yang dapat membuat sistem pengangkut atau wahan peluncur, dimana Engines akan digunakan untuk roket peluncur satelit yang ditempatkan ke orbit. Sedangkan India tidak anggota MTCR, juga dikenakan sanksi
oleh Amerika Serikat dengan menggunakan perundang-undangan
negaranya, sehingga dalam penerapan MTCR negara-negara yang dianggab melanggar walaupun bukan anggota, juga dikenakan sanksi. Dalam hal ini Rusia adalah anggota MTCR, sedangkan India tidak termasuk anggota MTCR, kedua negara dikenakan sanksi. Sanksi terhadap Rusia dan India dimulai pada tanggal 11 Mei 1992, yaitu sanksi untuk India penghentian pemasokan komponen elektronika dan konmponen satelit terutama komponen untuk satelit komunikasi dan remote sensing. Sedangkan sanksi terhadap Rusia membatasi Rusia untuk memasuki pasar peluncuran komersil dan melarang partisipasi Rusia dalam upaya pembangunan stasiun antariksa internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Namun Rusia dengan berbagai cara
dan taktik berupaya menghindari adanya sanksi
tersebut. Namun transfer teknologi produksi Rusia ke India dihentikan. Akibat dihentikannya transfer teknologi ini, maka program pengembangan GSLV telah mengalami pengunduran waktu. Semula peluncuran pertama GSLV direncanakan pada tahun 1995 kemudian mundur terus, di informasikan diluncurkan pada tahun 1999.
53
Pengembangan lebih lanjut badan antariksa india ISRO menandatangani beberapa kerjasama antara lain di bidang keantariksaan dengan badan antariksa Eropa( 1993), India dan Amerika Serikat menyepakati bawah langkah dalam kemitraan strategis dengan India (the Next Steps in Strategic Partnership with India-NSSP) untuk memperluas kerjasama dalam program nuklir sipil, program antariksa sipil, dan perdagangan teknologi tinggi, termasuk pembicaraan di perluas pada misil pertahanan (2004), India dan Rusia menandatangani 10 perjanjian antariksa, pertahanan, dan penerbangan, termasuk kesepakatan bekerjasama dalam pembuatan dan peluncuran satelit Rusia, Pada tahun 2008 Amerika Serikat dan India mempertimbangkan membangun proyek misil untuk pertahanan bersama59. Disamping itu juga India mengembangkan Amonium perklorat Experimental dan memperluas produksi ammonium perklorat (AP) dari 300 metrik ton menjadi 800 ton metrik pada tahun 2005. India juga telah berhasil menguji penyalaan Prithvi II misil balistik permukaan-ke-permukaan (yang”diperbaiki”) dengan berbagai ukuran dari panjang 250 km dan “akurasi yang jauh lebih tinggi.” d.
Capaian Pengembangan Teknologi Roket Pengembangan teknologi roket negara India diawali dengan pembangunan Stasiun
Peluncuran Roket
Equatorial Thumba (Thumba Equatorial Rocket Launching Station-
TERLS) oleh INCOSPAR, berlangsung antara tahun 1963-1975. Tempat peluncuran Thumba ini telah digunakan negara-negara lain untuk melakukan pelucuran satelit, antara lain negara Amerika Serikat, Prancis, Rusia (Uni Soviet ), dan Inggris. Kemudian juga dibangun Pusat Teknologi antariksa (the Space Technology Center-STC) di Thumba (tahun 1967). Stasiun peluncuran Thumba telah berkemampuan dan telah melakukan peluncuran roket tipe Centaur-2 (tahun 1969). Pengembangan teknologi roket India meliputi pengembangan misil untuk pertahanan dan keamanan dan roket peluncur satelit. 1).
Pengembangan Roket Misil Pengemabangan
misil
untuk
pertahanan
keamanan
India,
telah
mengembangkan dan memproduksi misil anti-tank di bawah lisensi Perancis ( tahun 1970 an). Kemudian DRDL telah mengembangkan beberapa prasarana dan sarana untuk dapat melakukan desain dan pengembangan misil. ISRO mengembangkan
59
Report, “Missile Defence, the Space Relationship, and the Twenty-First Century” The Institute for Foreig Policy Analysis, 2009. http://www.ifpar.org/pdf/IWG2009.pdf
54
program misil terpadu (Integrated Guided Missile Development Program-IGMDP). Sebagai bagian dari program ini yaitu, Interim Test Range di Balasore, dikembangkan untuk pengujian misil (tahun 1983).
Tujuan utama dari IGMDP adalah untuk
mengembangkan misil dalam lima kategori yang berbeda secara bersamaan, yaitu: misil jarak pendek permukaan ke udara, misil jarak menengah darat ke udara, generasi anti-tank misil terkendali ketiga, misil jarak pendek permukaan ke permukaan (Prithvi), dan misil jarak menengah permukaan ke permukaan (Agni). Pengembangan misil jarak pendek dan jarak menengah Prithvi dan Agni60 melakukan uji penerbangan pertama misil ballistik Prithvi permukaan kepermukaan (surface-tosurface), program di bawah pimpinan DRDL (tahun 1987). Pada tahun 1997 India melakukan peluncuran percobaan pertama misil Agni berkemampuan membawa nuklir, dengan menggunakan bahan bakar padat, membawa muatan 1.000 kg di ketinggian 2.000 kilometer, kemudian berhasil menguji Nishant sebuah kendaraan udara tak berawak (UAV) dirancang untuk melakukan pengintaian udara dari medan pertempuran, juga para ilmuwan India mengumumkan mereka mengembangkan misil balistik antarbenua (intercontinental ballistic missile-ICBM) dengan jangkawan melebihi 5.000km.
Pada tahun 1999 India mengembangkan misil balistik Agni-III,
memiliki jangkawan 3.500 km, ini merupakan peningkatan kemampauan dan jangkauan Agni-II yang hanya 2500 km. Kemudian peluncurn misil balistik seri Prithvi I, II, dan III diluncurkan pada tahun 1988, 1996, 2004, dan peluncuran seri Agni, I, II, III diluncurkan pada tahun 1999, 2002 dan tahun 2011.61 India juga memperoleh dari Israel beberapa unit sistem anti misil yang mampu mencegah ancaman misil masuk ke negara India.62 2).
Pengembangan Roket Peluncur Satelit Pengembangan roket peluncur satelit
yang pertama adalah Rohini-75,
diluncurkan dari peluncuran Thumba pada tahun 1967. Kemudian pada tahun 1971 membuat roket dua tingkat, dan roket sonda diproduksi secara reguler. Seri Rohini yang dikembangkan antara lain Rohini-100, RH-300 dan RH-560, diluncurkan dengan membawa muatan penelitian atmosfer dan pengujian subsistem roket peluncur yang lebih besar. Lebih lanjut telah meluncurkan lebih dari 1.000 roket sonda mulai dari
60
61
62
Integrated Guided Missile Development Program, 27 Mei 2011,hal 2 http://en.wikipedia.org/wiki/Integrated_Guided_Missile_Development_Program Satellite launch Vehicle http://en.wikipedia.org/wiki/Satellite_Launch_Vehicle Report, “Missile Defence, the Space Relationship, and the Twenty-First Century” The Institute for Foreig Policy Analysis, 2009. http://www.ifpar.org/pdf/IWG2009.pdf
55
roket bertingkat satu dengan berat 100 kg, dan roket bertingkat empat dengan berat masing-masing 17. 000 kg, seluruhnya roket terkendali. India menjadi negara keenam di dunia telah mencapai kapasitas peluncuran satelit terbesar. Pengembangan kemajuan roket sonda dikembangkan mengarah pada pengembangan desain roket peluncur satelit (Satellite Launch Vehicle-SLV). Pada 1980-an, melalui penelitian dan pengembangan telah menghasilkan Roket Peluncuran Satelit yaitu Augmented Satellite Launch Vehicle (ASLV), Polar Satellite Launch Vehicle (PSLV) dan Geosynchronous Satellite Launch Vehicle (GSLV).63
Roket Peluncur Satelit
SLV adalah berbahan bakar padat bertingkat 4,
dengan jangkauan ketinggian 500 km dan membawa muatan 40 kg. Peluncuran percobaan pertamanya berlangsung pada tahun 1979, kemudian peluncuran ke-2, bermuatan Rohini-1A Teknologi Eksperimen, berat satelit 30kg,
diluncurkan dari
tempat peluncura Sriharikota, (1979), peluncuran ke-3, bermuatan RS -1B Rohini-1 Teknologi Eksperimen, dengan berat 35 kg, diluncurkan dari peluncuran Sriharikota (1981), peluncuran ke-4 bermuatan Rohini D-2 RS-1 Teknologi Eksperimental, 41,5 kg, diluncurkan dari peluncuran Shriharkota.64
ASLV adalah Roket peluncur satelit berbahan bakar padat bertingkat 5 dengan kemampuan menempatkan satelit seberat 150 kg ke orbit
LEO.
Percobaan
peluncuran pertama dilakukan pada tahun 1987,diluncurkan dari peluncuran Sriharikota, dengan
muatan satelit Sross A, beratnya 150 kg (satatus gagal).
Peluncuran kedua pada tahun 1988, diluncurkan dari peluncuran Sriharikota, dengan muatan satelit Sross B, beratnya 150 kg (status gagal). Peluncuran ketiga 1992, diluncurkan dari peluncuran Sriharikota, dengan muatan satelit Sross C, beratnya106 kg ( status sauses). Peluncuran keempat pada tahun 1994, diluncurkan dari tempat peluncuran Sriharikota, dengan muatan Sross C2, beratnya 113 kg 65.
PSLV adalah suatu sistem peluncuran yang dikembangkan untuk meluncurkan satelit Remote Sengsing India (India Remote Sensing-IRS) ke orbit polar, dan juga bisa meluncurkan satelit kecil ke orbit transfer geostasioner (GTO). Peluncuran
63
Indian Space Research Organisation, 27 Mei 2011,hal 4 http://en.wikipedia.org/wiki/Indian_Space_Research_Organisation 64 Indian Space Research Organisation, 27 Mei 2011, http://en.wikipedia.org/wiki/Indian_Space_Research_Organisation 65 n Space Research Organisation, 27 Mei 2011,hal 4 http://en.wikipedia.org/wiki/Indian_Space_Research_Organisation
56
pertaman pada tahun 1993, diluncurkan dari tempat peluncuran Sriharikota, dengan muatan IRS 1E, beratnya 846 kg (status gagal), pelincuran ke-2,3 sukses, kemudian peluncuran ke-4 gagal, dan peluncuran selanjutnta berhasil.
Keandalan dan
fleksibilitas dari PSLV ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa telah meluncurkan 30 pesawat antariksa (14 dari India dan 16 dari negara-negara lain) ke berbagai orbit jauh. Pada bulan April 2008 berhasil meluncurkan 10 satelit sekaligus.(ibit) Pada tahun 20 April 2009 meluncurkan 2 satelit mata-mata RISAT-2 dengan berat 300 kg dan satelit
Anuasat
dengan berat 40 kg.
Pada tanggal 23 September 2009
meluncurkan 7 satelit, yaitu satelit Oceansat-2, Rubin 9.1, Rubin 9.2, Swiss Cube-1, BeeSat, UWE-2, dan
ITUpSAT1.Peluncuran pada tahun 2010, terdiri dari 5 satelit,
yaitu satelit Cartosat-2B, ALSAT-2A, AISSat-1, TIsat-1, Studsaat. Peluncuran pada tanggal 20 April 2011, meluncurkan 3 satelit yaitu Satelit ResourceSat-2, X-Sat, dan YouthSat. 66
Pengembangan Sistem roket GSLV ditujukan untuk peluncuran jenis satelit INSAT ke orbit geostasioner. Roket ini mampu menempatkan muatan total sampai 5 ton ke orbit LEO. Roket ini dibangun India dengan kerjasama pembelian cryonic engines dan teknologi dari Rusia. Melalui pembelian teknologinya dan pelatihan yang dilakukan di Rusia, ISRO
telah mampu mengembangkan program cryonic
engines sendiri, dan telah berhasil diluncurkan roket-koket GSLV (ibid). Peluncuranpeluncuran
GSLV
dari tahun 2001 samapai dengan tahun 2010 dari 7 kali
peluncuran, hanya peluncuran peluncura ke-2 da 3 yang berhasil, yaitu Peluncuran tahun 2003 GSLV Mk. I a , dengan muatan GSAT-2, beratnya 1.825 kg, dan peluncuran tahun 2004 . dengan muatan Edusat, beratnya 1950 kg.67
GSLV III (Geosynchronous Satellite Launch Vehicle Mark-III) adalah roket peluncuran yang saat ini sedang dikembangkan oleh ISRO. GSLV III dikembangkan untuk meluncurkan satelit ke orbit geostasioner. Dengan pelumcuran GSLV III ini, maka India tidak akan bergantung pada roket asing.
Roket merupakan penerus
teknologi ke GSLV, peluncuran dijadwalkan berlangsung pada tahun 2012.68
66
Indian Space Research Organisation, 27 Mei 2011,hal 4 http://en.wikipedia.org/wiki/Indian_Space_Research_Organisation 67 Launch Vehicle GSLV, 27 Mei 2011, hal 1, http://en.wikipedia.org/wiki/GSLV 68 Indian Space Research Organisation, 27 Mei 2011,hal 5, http://en.wikipedia.org/wiki/Indian_Space_Research_Organisation
57
Pengembangan teknologi roket nasional di awali dengan pembentukan Panitia Austronautika oleh
Menteri pertama RI,
Ir. Juanda selaku Ketua Dewan
Penerbangan RI dan R.J.Salatun selaku Sekretaris Dewan Penerbangan RI, pada tanggal 31 Mei 1962. Pengembangan roket dimulai pada tanggal 22 September 1962 dengan dibentuknya Proyek Roket Ilmiah dan Militer Awal (PRIMA) afiliasi Angkatan Udara Repuplik Indonesia (AURI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Proyek PRIMA berhasil membuat dan meluncurkan dua roket seri Kartika berikut telemetrinya pada tahun 1964.Untuk melembagakan penyelenggaraan progranprogram pengembangan kedirgantaraan (anatariksa, dan penerbangan) masional, maka dibentuk Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasiona (LAPAN) Kepres No. 236 Tahun 1963 tentang LAPAN, kemudian disempurnakan organisasi LAPAN dan telah melalui beberapa Kepres, yang terakhir dengan Kepres No. 9 Tahun 2004. Pengembangan roket yang telah dilakukan LAPAN samapai saat ini adalah roket seri R dan seri RX roket percoban-perconaan. Kemudia pengembangan lebihlanjut merencanakan pengembangan roket peluncur satelit. 4.3.3. Iran a.
Motivasi pengembangan kegiatan keantariksaan Pengembangan Teknologi Roket Iran dilakukan dalam 3 (tiga) periode, yaitu periode
pertama pre- Revolusi (1977-1979, dilakukan pengembangan misil dan pengembangan roket altileri. Periode ke-dua post-Revolusi (1980-1988), terjadinya peperangan dengan Irak. Pengembangan roket di Iran sangat dipengaruhi oleh perang Iran dan Irak. Periode ke-tiga setelah selesai perang (1989-samapai saat ini), pengembangan roket dilakukan setelah pasang surut perang Iran dengan Irak, Iran melakukan modernisasi dan perluasan fasilitas desain dan pembuatan sistem bahan bakar roket.69 b.
Kelembagaan PM
c.
Kebijakan PM
d.
Capaian Pengembangan Teknoologi Roket PM
69
Iran, 25-04-2012, http://www.nti.org/country-profiles/iran/delivery-systems/
58
BAB V KONDISI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET DI INDONESIA
5.1.
Kelembagaan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang dibentuk pada tahun
1963 dengan Keputusan Presiden No. 236 tanggal 27 November 1963 merupakan lembaga focal point yang secara khusus ditugaskan untuk menangani penelitian dan pengembangan (litbang) dalam keantariksaan termasuk di dalamnya peroketan. Dalam rangka melaksanakan litbangnya ini utamanya terkait peroketan, LAPAN telah melakukan berbagai upaya termasuk penataan dalam pengorganisasian yang mewadahi terlaksananya kegiatan litbang peroketan. Saat ini kegiatan yang terkait dengan peroketan di LAPAN dilakukan oleh Pusat Teknologi Roket.70 Struktur organisasi LAPAN sebagaimana dilihat dalam Gambar 5-1.
Gambar 5-1 : Struktur Organisasi LAPAN
70
Peraturan Kepala LAPAN No. 02 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja LAPAN, 4 Maret 2011.
59
Lebih lanjut untuk melakukan litbang dalam peroketan, Pusat Teknologi Roket membaginya ke dalam 4 bidang, yaitu (i) teknologi motor roket, (ii) teknologi struktur dan mekanik, (iii) propelan, dan (iv) kendali dan telemetri.
Dalam struktur organisasi pemerintahan, LAPAN merupakan lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri yang mengkoordinasikan.71 Kementerian Riset dan Teknologi telah ditunjuk sebagai koordinator untuk LPNK.72
Selain itu LAPAN juga mempunyai tugas untuk
melaksanakan tugas Sekretariat Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (DEPANRI). DEPANRI adalah forum koordinasi forum koordinasi tingkat tinggi di bidang kebijakan pemanfaatan wilayah udara nasional dan antariksa bagi penerbangan, telekomunikasi dan kepentingan nasional lainnya. DEPANRI yang diketuai Presiden, dan Menteri Negara Riset dan Teknologi sebagai wakil Ketua, serta beranggotakan beberapa menteri mempunyai tugas membantu Presiden RI dalam merumuskan kebijaksanaan umum di bidang penerbangan dan antariksa. Struktur organisasi dari lembaga-lembaga yang terkait dengan kedirgantaraan (termasuk di dalamnya keantariksaan) adalah sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 5-2.
71
Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, 6 November 2008 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005. 72
60
GAMBAR 5-2: Kelembagaan Kedirgantaraan Nasional
5.2.
Kebijakan IndonesiaTerkait Peroketan Sebagaimana dimuat dalam Renstra LAPAN 2010-2014, misi untuk Bidang Teknologi
Roket adalah “Memperkuat kemampuan penguasaan teknologi roket, satelit, dan penerbangan serta pemanfaatannya untuk menjadi mitra industri strategis penerbangan dan pembina nasional pengembangan roket dan satelit.” Sedangkan Tujuan, Sasaran Strategis, dan Target Utamanya adalah: a.
Tujuan Meningkatkan Penguasaan Teknologi Dirgantara (Roket, Satelit, Penginderaan Jauh,
Pengetahuan Antariksa) Untuk Mencapai Kemandirian dalam rangka mendukung/ menjaga Keutuhan NKRI dan pembinaan instansi terkait.
61
b.
Sasaran Strategis 1)
Terbangunnya kemampuan dan kemandirian dalam pengembangan dan peluncuran Roket Pengorbit Satelit (RPS) sebagai dasar pendayagunaan kemampuan penguasaan teknologi roket untuk mendukung penguatan industri roket untuk pertahanan;
2)
Terbangunnya kemampuan dalam pengembangan teknologi propulsi, kendali, dan aerostruktur;
c.
Target utama 1)
Peluncuran RPS produksi dalam negeri dengan jarak jangkau lebih dari 300 km;
2)
Penguatan pengembangan dan pemanfaatan roket untuk pertahanan dan keamanan nasional dan roket untuk pemanfaatan lainnya (roket suar, roket modifikasi cuaca, dll.);
3)
Pengembangan kapasitas produksi bahan baku propelan untuk membangun kemandirian bahan baku roket;
Sebagaimana dimuat dalam Renstra LAPAN 2010-2014, kebijakan pengembangan roket adalah dalam rangka mendukung arah kebijakan pembangunan nasional untuk peningkatan kemampuan peluncuran satelit, pertahanan, dan industri strategis pertahanan. Penguasaan teknologi peroketan sendiri ditujukan untuk membangun kemandirian nasional dalam teknologi peroketan dalam rangka memenuhi kebutuhan nasional secara bertahap untuk keperluan sipil, ilmiah dan senjata.
Sedangkan sasarannya adalah dalam jangka
menengah untuk mengembangkan teknologi dan produksi roket keperluan ilmiah dan keperluan senjata jangkauan sedang, dan sasaran Jangka panjang untuk membangun kemampuan mandiri nasional dalam teknologi dan produksi roket peluncur satelit (RPS) dan roket senjata terkendali.
Untuk itu, tahapan pengembangan kemampuan pembangunan roket pengorbit satelit (RPS) sebagaimana dilihat dalam Gambar 5-3 di bawah ini.
62
2014
Orbiter Launch
2013 Uji Terbang Roket SOB 420 Dan 420-420-420-320 dan SOB 420
Uji Terbang
2012
Roket 420-420320 Uji Terbang Dan Fairing Roket 420-420320
2011
Roket 420-420
Orbiter
2010
Uji Terbang
Roket
Roket 420
Pengembangan
Uji Terbang
2009
Gambar 5-3: Tahapan Pengembangan Roket
Guna mencapai sasaran yang telah ditetapkan, maka kegiatan pengembangan teknologi roket terdiri dari sub-kegiatan berikut : a. Pengembangan Roket Pengorbit Satelit; b. Pengembangan Roket Konversi; c. Pengembangan Roket Kendali; d. Pengembangan Roket Cair; e. Pengembangan Sarana dan Prasarana.
Atas dasar sub-kegiatan tersebut, maka target pengembangan teknologi roket LAPAN 2010- 2014 sebagaimana dalam Tabel 5-1 berikut.
TABEL 5-1 : TARGET PEROKETAN LAPAN 2010-2014 No.
Kegiatan
Sasaran 2010
2011
2012
1.
Pengembangan US RX-550 Roket Pengorbit Satelit (RPS)
US RX-550 US Separasi UT RX-550 UT RX550/550
2.
Pengembangan 22 RX-122Roket Derivat 1000 TNI (Konversi): US RX-1222000 4 RX-200 (40 km)
100 RX122-1000 20 RX122-2000 20 RX-200
100 RX122-1000 50 RX122-2000 50 RX-200
80 RUM 20 RX-70
2 RX-450 (200 km) 20 RX-70
5 RKX-200
10 RKX200
3.
Pengembangan 3 RKX-100 Roket Kendali 3 RKX-200 2 HSPF
63
2013
2014
US Separasi UT RX550/550/5 50 150 RX122-1000 100 RX122-2000 75 RX-200
UT RX550/550/550/3 20
1 RX550/550 5 RX-450 50 RX-70 10 RKX300
1 RX550/550/550 5 RX-550 5 RX-450 10 RKX-300
150 RX-1221000 100 RX-1222000 75 RX-200
No.
Kegiatan
Sasaran 2010
4
5
6
2011
2012
Pengembangan US RCX-300 US RCXRoket Cair 1000 UT RCX1000 Pengembangan 2 Mixer Sarana dan 100 L & Prasarana Bangunan TT&C & Launcher Peralatan Bengkel
Dana
26 M
130 M
US RCX1000 UT RCX1000 1 Mixer 500 L, Casting, NDT Lab Integrasi , Mobile Launcher Lab Kendali , Separator Lab Propulsi Produksi AP 200 M
2013
2014
US RCX2000
UT RCX-2000
Lab Propelan Lab Struktur Lab Kendali Lab Propulsi Lab Integrasi Lab Uji Statik & Terbang Produksi AP 175 M
Lab Propelan Lab Struktur Lab Kendali Lab Propulsi Lab Uji Statik & Terbang
100 M
Setelah terjadinya reorganisasi di LAPAN pada tahun 2010, target yang akan dicapai dalam jangka waktu sampai tahun 2014 tersebut disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan yang ada di Pusat Teknologi Roket. Perubahan atau penyesuaian kebijakan LAPAN tersebut utamanya dalam pentargetan sasaran jangka pendek (sampai akhir 2014), yaitu mampu meluncurkan roket sonda dua tingkat yang terbang sampai ketinggian 100 km dengan jangkauan lebih dari 300 km.73 Untuk melaksanakan Sasaran itu pada tahun 2014 LAPAN telah memiliki fasilitas yang memenuhi syarat teknis dan syarat keamanan untuk laboratorium struktur, laboratorium produksi propelan dan bahan baku propelan, fasilitas desain, uji, dan simulasi, serta laboratorium telemetri penjejak, dan kendali (TT&C) dan fasilitas uji terbang yang memenuhi syarat teknis dan keamanan.74
Tabel berikut adalah sasaran jangka pendek, menengah, dan panjang untuk peroketan LAPAN.75
73
LAPAN, 2012, Target Kinerja LAPAN 2012, hal 3 Ibid 75 Ir Lilis Maryani, 2012, Road Map Roket Bidang Teknologi Struktur dan Mekanik, Bahan Presentasi pada Rapat tanggal 19 Maret 2012 di PUSJIGAN, LAPAN 74
64
TABEL 5-2 : Sasaran Jangka Pendek, Menengah, Panjang Peroketan LAPAN
SASARAN Roket Peluncur
2010-2014 Dua tingkat Kaliber 550 mm 50 kg Diagnostik Limited Rocket Health monitoring FTS optional
2015-2019 Multi tingkat Kaliber >1000 mm 50 kg ACS Rocket Health Monitoring FTS
Ketinggian Propelan
100 km Booster Padat, Isp 230
LEO 300 km Booster Padat, Isp 250 Thruster Cair
Struktur
Telecommand dan Tracking
Sistim 3-D Radar Tracking
Launch Site
Penguatan Infrastruktur Pameungpeuk
Muatan Potensial
Rasio Massa 0,35 Thermal Insulation (UHTC, CRFP) Separasi Tingkat
Rasio Massa 0,3 Thermal Insulation (C-C composites Separasi Tingkat dan fairing Radio dan Antenna Ground Telecommand Alternatif launch site (Biak vs Morotai)
2020-2025 Multi tingkat Kaliber >2000 mm 100 kg ACS Rocket Health Monitoring Research Payload FTS LEO 300 km Booster Padat, Isp 260 Upper Stage Cair, Isp 300 Rasio Massa 0,25 Thermal Protection System Separasi Tingkat dan fairing Radio dan Antenna untuk RPS Satellite telecommand Penguatan infrastruktur ground system untuk RPS
Sedangkan tahapan pencapaian sasaran untuk 2010-2014 itu sendiri adalah sebagaimana dalam Tabel 5-3 berikut. TABEL 5-3: Sasaran Tahapan Peroketan LAPAN 2010-2014 TAHUN 2010 2011 2012 2013 2014
5.3.
SASARAN Design Motor Rocket Static Firing Test 1 Motor Rocket Static Firing Test 2 & 3 Single Stage Sounding Rocket Maiden Flight Stage Separation StaticTest Single Stage Sounding Rocket Flight test Two-Stage Sounding Rocket Maiden Flight
Kemampuan Indonesia Dalam Peroketan (PM)
5.4.
Hambatan Dalam Pengembangan Peroketan Dan Upaya Pemecahannya (PM) 65
BAB IV KONDISI INDUSTRI NASIONAL YANG DAPAT MENDUKUNG PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET
6.1.
PT. DAHANA (Persero)76 PT. Dahana (Persero) berperan utama di “Bidang Material Energytic (ME)” atau
Propelan. Disamping peranan utama yang dilakukan, PT. Dahana terlibat dalam kajian tim identifikasi kebutuhan propelan di bawah koordinasi Kementerian Perindustrian. PT.Dahana juga telah mengajukan propelan untuk kebutuhan Allusista. PT DAHANA telah ditunjuk sebagai leading sector di bidang Energetic Material, termasuk didalamnya Propelan. Dalam kaitan dengan Propelan yang akan digunakan LAPAN khususnya jenis komposit maka untuk produksi skala besar tidak mungkin oleh LAPAN yang peranannya lebih sebagai institusi penelitian. Oleh karena itu harus ada institusi industri yang menangani pemenuhan kebutuhan akan propelan tersebut, dalam hal ini sesuai dengan sektornya adalah PT DAHANA. Yang memerlukan propelan komposit nantinya bukan hanya LAPAN, tetapi juga beberapa institusi atau BUMN lain. Adapun bahan baku untuk komposit tentu harus dipikirkan untuk dimiliki juga khususnya AP dan HTPB, dimana untuk membeli teknologi AP sangat diawasi oleh dunia. Masalah propelan ini memang menjadi hal yang strategis dan sedang hangat dibicarakan lintas intansi karena menjadi bagian penting dari alutsista.
Fasilitas yang dimiliki di PT DAHANA Tasikmalaya adalah Pabrik Emulsi dan Pabrik Shapedcharges. emulsion
Pabrik Emulsi memproduksi jenis bahan peledak (explosive) catridge
dengan
kapasitas
produksi
2.000/ton/shift.
Sedangkan
Shapedcharges
memproduksi jenis bahan peledak untuk perforasi di Sektor Minyak dan Gas. Pabrik ini merupakan kerjasama operasi antara PT DAHANA dengan Oil Tech Singapura. Produk shapedcharges itu sendiri telah digunakan untuk memasok kebutuhan bahan peledak dalam negeri dan telah diekspor ke mancanegara. Sedangkan terkait propellant, sesuai dengan penugasan saat ini PT DAHANA telah mulai mengarahkan kebijakannya untuk dapat memenuhi kebutuhan bahan baku propelan. Dalam kaitan ini telah dibangun pabrik energetic material (bahan berenergi tinggi) di Subang, Jawa Barat yang nantinya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku propelan.
76
Hasil Survei, April 2012
66
6.2.
PT. LEN PT LEN Industri berdiri sejak tahun 1965. Pada tahun 1991, PT Len Industri kemudian
bertransformasi menjadi sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sejak saat itu, PT Len Industri bukan lagi merupakan kepanjangan dari Lembaga Elektronika Nasional, tetapi telah menjadi sebuah entitas bisnis profesional dengan nama PT Len Industri. Saat ini Len berada di bawah koordinasi Kementrian Negara BUMN.77
PT Len Industri juga menyediakan berbagai solusi atas kebutuhan pelanggan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi. Berpengalaman dalam mengembangkan produkproduk seperti peralatan broadcasting, tracking system, peralatan navigasi, dll, yang memungkinkan pelanggan untuk dapat memanfaatkan teknologi yang tepat dan seimbang dengan biaya yang efektif.78
PT Len Industri merupakan pemain utama dalam industri pengembangan dan aplikasi peralatan elektronika untuk pertahanan di Indonesia saat ini. PT Len Industri telah berhasil mengembangkan peralatan tactical communication yang mempunyai matriks hopping yang dirancang khusus untuk mengurangi resiko penyadapan oleh pihak lain. Selain itu, PT Len Industri juga mengembangkan peralatan surveillance yang canggih dan combat management system yang mampu memberikan solusi terhadap kebutuhan pertahanan di Indonesia, dengan biaya yang dapat menghemat devisa, serta dukungan tenaga ahli dalam negeri.79
Terkait dengan teknologi roket (sebagai ilustrasi), bahwa menurut National Administration Space Agency (NASA) bahwa roket sonda dibagi ke dalam 2 (dua) bagian besar yaitu terdiri dari motor roket berbahan bakar padat (solid-fuelled rocket motor) dan muatannya (payload).80 Secara lebih rinci
muatan itu sendiri terdiri dari firing, recovery,
altitude control, telemetry antenna, radar tracking beacon, dan experiment (experiment, nose cane).
Spesifikasi yang dimiliki di dalam muatan roket ini, PT Len Industri yang telah
berpengalaman dalam mengembangkan produk-produk seperti peralatan tracking system, dan peralatan navigasi ini dapat berperan dalam mendukung pengembangan teknologo roket di Indonesia.
77 78 79 80
www.len.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=30, download tgl 5 Juni 2012. ibid len.co.id Ibid, len.co.id NASA, 2007, What is a Sounding Rocket?, http://www.nasa.gov/missions/research/f_sounding.html, 22 November 2007.
67
6.3
PT PINDAD (Persero) PT. PINDAD adalah perusahaan industri manufaktur Indonesia yang bergerak dalam
bidang produk militer dan produk komersial. Kegiatan PT. PINDAD mencakup desain dan pengembangan, rekayasa, perakitan dan fabrikan serta perawatan. Berdiri pada tahun 1808 sebagai bengkel peralatan militer di Surabaya dengan nama Artillerie Constructie Winkel (ACW), bengkel ini berkembang menjadi sebuah pabrik dan sesudah mengalami perubahan nama pengelola kemudian dipindahkan lokasinya ke Bandung pada tahun 1923. Pemerintah Belanda pada tahun 1950 menyerahkan pabrik tersebut kepada Pemerintah Indonesia, kemudian pabrik tersebut diberi nama Pabrik Senjata dan Mesiu (PSM) yang berlokasi di PT. PINDAD sekarang ini.81
Sejak saat itu PT. PINDAD berubah menjadi sebuah industri alat peralatan militer yang dikelola oleh Angkatan Darat. PT. PINDAD berubah status menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan nama PT. PINDAD (Persero) pada tanggal 29 April 1983, kemudian pada tahun 1989 perusahaan ini berada dibawah pembinaan Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang kemudian pada tahun 1999 berubah menjadi PT. Pakarya Industri (Persero) dan kemudian berubah lagi namanya menjadi PT. Bahana Pakarya Industri Strategis (Persero). Pada tahun 2002 PT. BPIS (Persero) dibubarkan oleh Pemerintah, dan sejak itu PT. PINDAD beralih status menjadi PT. PINDAD (Persero) yang langsung berada dibawah pembinaan Kementerian BUMN.
PT. PINDAD memiliki tradisi yang kuat dalam bidang desain dan produksi senjata maupun amunisi. Aktivitas utama PT. PINDAD adalah melakukan bisnis alat dan peralatan yang dapat mendukung kebijakan yang independen dalam bidang pertahanan dan keamanan. Dilihat dari produk yang dihasilkan, PT. PINDAD terdiri dari dua direktorat yaitu Direktorat Produk Militer dan Produk Komersial. Direktorat Produk Militer membawahi Divisi Amunisi, Divisi Senjata dan Unit Bisnis Workshop dan Prototipe. Sedangkan Direktorat Produk Komersial membawahi Divisi Mekanik, Listrik, Forging dan Pengecoran, Unit Bisnis Tool Shop, Stamping dan Laboratorium.
Divisi Amunisi memiliki fasilitas produksi yang berlokasi di Turen, Malang, Jawa Timur, untuk memenuhi kebutuhan permintaan pemerintah dan juga pengembangan produk, fasilitas produksi dilengkapi dengan pendirian Filling Plant untuk mendukung produksi mortar
81
Profil Perusahaan PT PINDAD
68
shells, bom, TNT blocks, shaped charges dan lain-lain. Pada saat ini, Divisi Amunisi telah menjadi divisi yang dapat diandalkan dan tetap mampu memproduksi berbagai jenis amunisi dan logistik militer, pyrotechnics dan peralatan untuk mendukung kebutuhan pemerintah maupun swasta. Hampir semua produk Divisi Amunisi telah melalui berbagai pengujian sesuai dengan standar NATO dan juga militer Amerika Serikat. Penelitian dan pengembangan telah dilakukan untuk mendapatkan analisis yang akurat terhadap desain dan kinerja produk.
Fasilitas laboratorium kimia dan pengujian tembakan juga tersedia untuk mencapai standar yang diinginkan. Fasilitas produksi saat ini sudah dapat memproduksi peluru kaliber 9 mm, 5,56 mm (SS109 and M193), 7,62 mm, 12,7 mm, 0.38", dan mempunyai filling plant, pyrotechnic, tool shop, stamping, serta perlakuan panas. Untuk mendapatkan produk yang berkualitas tinggi, kontinuitas produksi dan pasokan, pemeliharaan fasilitas produksi dilakukan secara teratur dan berkala. Tenaga kerja ahli bidang produksi dilatih secara profesional baik di dalam maupun luar negeri untuk meningkatkan SDM. Bantuan teknis disediakan untuk memandu proses produksi agar menghasilkan pasokan produk yang optimal. Divisi ini juga telah mendapat sertifikat ISO 9001 dari SGS Yearsly-International Certification Services Ltd, Inggris pada tahun 1994. Semua proses produksi harus memenuhi standar ini. Salah satu unsur penting dalam menerapkan standar ini adalah menyediakan penggunaan sistem Statistical Process Control (SPC).
Pabrik Divisi Amunisi PT. PINDAD didesain menghasilkan sekitar 150 juta amunisi per tahun, mortir, dan bom dengan berbagai kaliber dan ukuran. Sebagian besar yang diproduksi adalah peluru kaliber 5,56 mm. Porsi produksi peluru kaliber 5,56 mm mencakup 75% dari total jumlah produksi. Peluru kaliber 5,56 mm merupakan peluru senapan serbu SS1 yang merupakan senjata organik TNI/Polri.
PT. PINDAD juga telah mampu membuat aneka bom dan ranjau laut yang diisi bahan peledak hingga 750 kg. Selain itu, PT PINDAD juga mengembangkan peluru yang dapat menembus pelat baja kemudian meledak dan mempunyai daya bakar. Peluru ini dipasangkan dengan senjata untuk sniper atau penembak jitu. PT. PINDAD sudah menguasai teknologi untuk amunisi kaliber kecil. Tahun tahun mendatang, PT PINDAD akan mengembangkan amunisi kaliber besar. Amunisi kaliber 20 mm dan kaliber 120 mm telah dilakukan pengembangannya pada tahun 2009. Kemudian pada tahun 2010 ini, PT PINDAD merencanakan akan memproduksi amunisi kaliber 105 mm. 69
Selanjutnya pada tahun 2011, akan dikembangkan warhead dan rudal dengan mode proximity fuse. Proximity fuse menyebabkan kepala rudal akan meledak pada jarak yang telah ditentukan dari target. Teknologi proximity fuse ini menggunakan kombinasi satu atau beberapa sensor di antaranya radar, sonar aktif, infra merah, magnet, foto elektrik. Tidak hanya itu, PT PINDAD juga merencanakan akan memproduksi rudal darat pada tahun 2012 mendatang.
Di samping untuk memenuhi kebutuhan peluru TNI/Polri, PT. PINDAD juga telah mengekspor peluru ke beberapa negara tetangga antara lain Singapura, Filipina dan Bangladesh. PT. PINDAD (Persero) juga telah mengekspor satu juta butir amunisi ke sebuah klub olahraga menembak di Amerika Serikat. dengan nilai transaksi ekspor tersebut mencapai 200.000 dollar AS. Pemasaran produk amunisi di AS sangat menjanjikan, permintaan amunisi untuk keperluan olahraga menembak di AS sangat tinggi. Pemenuhan pesanan dari klub olahraga menembak di AS tersebut juga diharapkan dapat membuka jalan bagi pemasaran amunisi produksi PT. PINDAD untuk militer AS. Produk PT PINDAD juga dinilai berkualitas baik.
Dengan melihat kemampuan yang dimiliki PT. PINDAD dan dalam rangka menunjang program revitalisasi industri pertahanan dalam negeri, maka menjadi kewajiban semua pihak termasuk TNI/Polri untuk menggunakan senjata dan amunisi buatan PT. PINDAD untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Hal ini senada dengan petunjuk Presiden RI yang mewajibkan penggunaan industri pertahanan dalam negeri, kecuali hal – hal yang belum bisa diproduksi sendiri
70
BAB VII ANALISIS
7.1
Identifikasi Lingkungan Strategi
7.2
Matrik SWOT
7.3
Strategi Pengembangan Teknologi Roket Nasional
71
BAB VIII PENUTUP
8.1
Kesimpulan
8.1
Saran
72
Lampiran 1 Guidelines for Sensitive Missile-Relevant Transfers
73
Guidelines for Sensitive Missile-Relevant Transfers 1.
2.
3.
4.
The purpose of these Guidelines is to limit the risks of proliferation of weapons of mass destruction (i.e. nuclear, chemical and biological weapons), by controlling transfers that could make a contribution to delivery systems (other than manned aircraft) for such weapons. The Guidelines are also intended to limit the risk of controlled items and their technology falling into the hands of terrorist groups and individuals. The Guidelines are not designed to impede national space programs or international cooperation in such programs as long as such programs could not contribute to delivery systems for weapons of mass destruction. These Guidelines, including the attached Annex, form the basis for controlling transfers to any destination beyond the Government's jurisdiction or control of all delivery systems (other than manned aircraft) capable of delivering weapons of mass destruction, and of equipment and technology relevant to missiles whose performance in terms of payload and range exceeds stated parameters. Restraint will be exercised in the consideration of all transfers of items within the Annex and all such transfers will be considered on a case-by-case basis. The Government will implement the Guidelines in accordance with national legislation. The Annex consists of two categories of items, which term includes equipment and technology. Category I items, all of which are in Annex items 1 and 2, are those items of greatest sensitivity. If a Category I item is included in a system, that system will also be considered as Category I, except when the incorporated item cannot be separated, removed or duplicated. Particular restraint will be exercised in the consideration of Category I transfers regardless of their purpose, and there will be a strong presumption to deny such transfers. Particular restraint will also be exercised in the consideration of transfers of any items in the Annex, or of any missiles (whether or not in the Annex), if the Government judges, on the basis of all available, persuasive information, evaluated according to factors including those in paragraph 3, that they are intended to be used for the delivery of weapons of mass destruction, and there will be a strong presumption to deny such transfers. Until further notice, the transfer of Category I production facilities will not be authorised. The transfer of other Category I items will be authorised only on rare occasions and where the Government (A) obtains binding government-to-government undertakings embodying the assurances from the recipient government called for in paragraph 5 of these Guidelines and (B) assumes responsibility for taking all steps necessary to ensure that the item is put only to its stated end-use. It is understood that the decision to transfer remains the sole and sovereign judgement of the Government. In the evaluation of transfer applications for Annex items, the following factors will be taken into account: A. Concerns about the proliferation of weapons of mass destruction; B. The capabilities and objectives of the missile and space programs of the recipient state; C. The significance of the transfer in terms of the potential development of delivery systems (other than manned aircraft) for weapons of mass destruction; D. The assessment of the end use of the transfers, including the relevant assurances of the recipient states referred to in sub paragraphs 5.A and 5.B below; E. The applicability of relevant multilateral agreements. F. The risk of controlled items falling into the hands of terrorist groups and individuals. The transfer of design and production technology directly associated with any items in the Annex will be subject to as great a degree of scrutiny and control as will the equipment itself, to the extent permitted by national legislation. 74
5.
6.
7.
8.
Where the transfer could contribute to a delivery system for weapons of mass destruction, the Government will authorize transfers of items in the Annex only on receipt of appropriate assurances from the government of the recipient state that: A. The items will be used only for the purpose stated and that such use will not be modified nor the items modified or replicated without the prior consent of the Government; B. Neither the items nor replicas nor derivatives thereof will be re transferred without the consent of the Government. In furtherance of the effective operation of the Guidelines, the Government will, as necessary and appropriate, exchange relevant in formation with other governments applying the same Guidelines. The Government will : A. provide that its national export controls require an authorisation for the transfer of non-listed items if the exporter has been informed by the competent authorities of the Government that the items may be intended, in their entirety or part, for use in connection with delivery systems for weapons of mass destruction other than manned aircraft ; B. and, if the exporter is aware that non-listed items are intended to contribute to such activities, in their entirety or part, provide, to the extent compatible with national export controls, for notification by the exporter to the authorities referred to above, which will decide whether or not it is appropriate to make the export concerned subject to authorisation. The adherence of all States to these Guidelines in the interest of international peace and security would be welcome.
75