Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi Volume 2, Januari 2017
PROSIDING SEMINAR NASIONAL TEKNOPRENEURSHIP &
ALIH TEKNOLOGI
Membangun Budaya Kreatif dan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
didukung oleh :
ISSN 2502-6607
ii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
KATA PENGANTAR KETUA PANITIA PELAKSANA Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan KaruniaNya kepada kita semua sehingga forum ilmiah ini telah terlaksana dengan baik dan memberikan banyak masukan substansial dan mendalam terkait tema yang diangkat dalam kegiatan ini. Seminar Nasional Technopreneurship dan alih teknologi Tahun 2016 ini merupakan kegiatan tahunan ke2 yang diselenggarakan oleh Pusat Inovasi bekerjasama dengan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, serta didukung oleh Himpunan Peneliti Indonesia (Himpemindo), PT. Cross Media Indonesia (PT. CMI), Asosiasi Science Technolgoy Park Indonesia (ASTPI) dan Asosiasi Inkubator Bisnis Indonesia (AIBI). Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi ini mengangkat tema Membangun Budaya Kreatif dan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi. Sebagaimana kita ketahui bahwa pada abad ke 21 manusia menjadi subjek inti dari setiap wacana pembangunan dimana setiap aspek kehidupan memerlukan peran manusia yang lebih besar. Hal ini termasuk dalam upaya penyelesaian setiap masalah yang menuntut pencurahan kemampuan terbaik manusia sebagai sarana pemecahan masalah. Namun demikian, membangun manusia memerlukan penciptaan iklim dan lingkungan yang mendukung sehingga membentuk pola pikir dan perilaku yang mengarah pada karakter yang dikehendaki. Sayangnya, isu-isu mengenai pembangunan budaya kreatif belum banyak dibicarakan. Dengan demikian, forum ilmiah ini diharapkan mampu menggali dan menawarkan hasil hasil kajian dan ide kreatif dalam upaya menumbuhkembangkan budaya kreatif dan ekosistem bisnis berbasis teknologi untuk dapat bersaing dengan negara lain di era pasar bebas. Tema seminar nasional yang mengangkat tema “Membangun Budaya Kreatif dan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi” menjadi sangat relevan untuk diwacanakan kembali. Kami merasa bangga bahwa kegiatan ini mampu menjaring tulisan ilmiah dengan beragam topik terkait yang berasal dari para peserta dengan latar belakang yang beragam oula, antara lain mahasiswa, peneliti, dosen dan praktisi yang tertarik pada isu-isu yang berkaitan dengan technopreneurship dan alih teknologi, khususnya budaya kreatif dan ekosistem bisnis berbasis teknologi. Kegiatan ini juga menjadi wahana bagi para peserta untuk berbagi temuan hasil penelitian dan pengalaman mereka. Kegiatan ini berhasil menjaring 41 makalah dimana setelah dilakukan proses penyaringan diperoleh 23 makalah yang terpilih untuk diterbitkan dalam prosiding. Selain itu, terdapat 5 makalah yang dipublikasikan dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan. Makalah yang masuk berasal dari peneliti dari unsur lembaga litbang, universitas, mahasiswa dan industri serta pemerhati perkembangan IPTEK dengan rincian berasal dari lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, dan praktisi/masyarakat umum. Pada kesempatan ini juga, atas nama panitia kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya seminar nasional ini. Dan tentunya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para narasumber yang berasal dari beberapa Kementerian, universitas dan tokoh entrepereneur yang telah meluangkan waktunya guna memberikan pencerahan dan berbagi pengalaman dalam kegiatan ini. Wabihitaufiq walhidayah wasassalamu’alaikum warahmatullahhi wabarakatuh.
Ketua Panitia Seminar Nasional 2016 Ragil Yoga Edi,S.H., LL.M.
iii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
SAMBUTAN KEPALA PUSAT INOVASI LIPI Puji dan syukur, kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, bahwa atas rahmat dan hidayah-Nya Prosiding Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi Tahun 2016 dengan tema “Membangun Budaya Kreatif dan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi” dapat diselesaikan dengan baik. Dimana pada kegiatan ini telah berhasil menjaring 41 makalah dimana setelah dilakukan proses penyeleksian dan menghasilkan 23 makalah yang terpilih untuk diterbitkan dalam prosiding. Selain itu, terdapat 5 makalah yang dipublikasikan dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan Pembangunan budaya kreatif dan ekosistem bisnis berbasis teknologi merupakan isu yang menarik dan strategis dalam peningkatan inovasi, khususnya inovasi yang berbasis teknologi. Namun, penerapan inovasi teknologi dan pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan memerlukan kesiapan inovator dan technopreneur. Oleh karena itu, pembangunan budaya kreatif untuk menciptakan usahawan berbasis teknologi (technopreneur) merupakan tujuan dari pembuatan prosiding ini. Prosiding dan Seminar ini menawarkan kesempatan yang berharga untuk bertukar pengetahuan, berbagi informasi dan mendiskusikan solusi mengenai masalah pembangunan budaya kreatif untuk menciptakan ekosistem berbasis teknologi. Saya sangat berharap bahwa melalui ide-ide yang dihasilkan dari seminar ini dapat menciptakan kontribusi nyata dalam pembangunan inovasi di Indonesia. Akhirnya, Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi Tahun 2016 dengan tema “Membangun Budaya Kreatif dan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi”.
Kepala Pusat Inovasi - LIPI Dr. Nurul Taufiqu Rochman, M.Eng
iv
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
SUSUNAN PANITIA Pelindung : Prof. Dr. Bambang Subiyanto, M.Agr. Pengarah : Dr. Nurul Taufiqu Rokhman, M.Eng. Penanggung Jawab : Ragil Yoga Edi, SH., L.LM. Steering Committee :
Drs. Manaek Simamora, MBA. Dr. Subiyatno Dr. Sasa Sofyan Munawar Harini Yaniar, M.Kom. Diah Anggraeni Jatraningrum, ST., MT. Tri Budi Setyaningsih, ST. MT. Dra. Sarwintyas Prahastuti M.Hum.
Scientific Committee 1. Dr. Ir. Syahrul Aiman (Pusat Penelitian Kimia – LIPI) 2. Dr. Subiyatno (Pusat Inovasi – LIPI) Organizing Committee : 1. 2. 3. 4.
5. 6. 7. 8.
Ketua Pelaksana : Tommy Hendrix, ST., M.Si. Bendahara : Mahardhika Berliandaldo, SE., Angga Agustianto, SE., Selvi Oktaviani, Amd. Seksi Program : Firman Tri Ajie, ST., Drs. Mauludin Hidayat, M.Sc. Seksi Kesekretariatan : Yovita Isnasari, SH., V. Susirani Kusumaputri, SP., Maidina, ST., Andi Budiansyah, ST., Pradini Digdoyo, STP., Desi Tunjung Sari, ST., Gina Tania Lestari, A.Md., Tia Nurfaida, A.Md. Seksi Publikasi Ilmiah : Syukri Yusuf Nasution, ST., Ferianto, S.Si., Syafrizal Maludin, SE., MTIM., Priyo Yantyo, ST. Seksi IT : Karno, S.Kom, Ana Heryana, ST., MT., Grace Gita Redhyka S.T., Adi Setiya Dwigrahito, S.Si., Prio Adi Ramadhani, S.T. Seksi Humas dan Sponsorship : Adityo Wicaksono, S.Ds., Elfira Rosa Juningsih, S. Kom., Nurlisa Dwi Novianti, S.Farm., Syahrizal Maulana, ST. Seksi Perlengkapan, Dokumentasi, Transportasi dan Akomodasi : Andis Priswantoro, ST., Rahmad Syahbana, A.Md.
v
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
DAFTAR ISI Kata Pengantar Ketua Panitia Pelaksana Ragil Yoga Edi, S.H, LLM.
ii
Kata Pengantar Kepala Pusat Inovasi LIPI Dr. Nurul Taufiqu Rochman, M.Eng
iii
Susunan Panitia
iv
Daftar Isi
v
Keynote Speaker Keynote Speaker I Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Prof. Dr. Bambang P.S. Brodjonegoro x Keynote Speaker II Deputi Infrasutruktur : Badan Ekonomi Kreatif Dr. Ir Hari Santosa Sungkari, MH
xxvii
Keynote Speaker III Kepala Pusat Inovasi - LIPI Dr. Nurul Taufiqu Rochman, M.Eng.
xxxvii
Makalah Sub Tema Membangun Budaya Kreatif MBK 01 KONSEP KOMERSIALISASI PRODUK DAN ALIH TEKNOLOGI DI TECHNOPARK BANYUMULEK NTB Rusli Fidriyanto, Dini Andriani, Erwin Kusbianto, Asiah, Agus Winaldi, Roni Ridwan dan Bambang Sunarko 1 MBK 02 OPTIMALISASI MANAJEMEN HKI DENGAN IMPLEMENTASI SISTEM TATA KERJA KEREKAYASAAN Jemie Muliadi
11
vi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
Makalah Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan NET 01 ANALISIS PATEN TEPAT GUNA MILIK LIPI DALAM MENGHASILKAN TEKNOLOGI BERDAYA SAING Prio Adi Ramadhani dan Syahrizal Maulana
20
NET 02 PERFORMANCE MANAGEMENT, WIN-WIN SOLUTION DALAM PENINGKATAN SERVICE QUALITY DAN CUSTOMER SATISFACTION PADA TRANSPORTASI PUBLIK 30 Nurvi Oktiani dan Rani Kurnia Sari NET 03 BUDIDAYA JAMUR PANGAN, PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM BERKELANJUTAN Iwan Saskiawan 41 NET 04 KONSEP DAN PROSES ALIH TEKNOLOGI BUDIDAYA TERPADU TERIPANG PASIR, BANDENG DAN RUMPUT LAUT Muhammad Firdaus, Lisa Fajar Indriana, Sigit Anggoro Putro Dwiono, dan Hendra Munandar 51 NET 05 KESIAPAN IMPLEMENTASI SISTEM E-LEARNING DI LINGKUNGAN UNIVERSITAS XYZ Darmawan Napitupulu
64
NET 06 ANALISIS KELAYAKAN TEKNIS PRODUKSI BENIH BAWANG MERAH TSS (TRUE SEED OF SHALLOT) Puspitasari, Adhitya Marendra Kiloes dan Anna Sulistyaningrum 73 NET 07 PERANCANGAN PROGRAM GAME PC HACK & SLASH BERBASIS MULTIMEDIA MENGGUNAKAN UNITY 3D Darmawan Napitupulu
82
NET 08 PENGGUNAAN TANAMAN PENOLAK SEBAGAI FITOKONTROL NEMATODA PADA BUDIDAYA KENTANG HITAM (Plectranthus rotundifolius (Poir.) Spreng) Peni Lestari dan Ning Wikan Utami
92
NET 09 BUDIDAYA JALI (Coix lacryma-jobi L.) DAN PROSPEK PEMANFAATANNYA DALAM PEMBUATAN COOKIES Titi Juhaeti dan Ninik Setyowati
102
vii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
Makalah Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi PEB 01 ARAH PENGEMBANGAN TRANSFER TEKNOLOGI PADA INDUSTRI KECIL MENENGAH BERBASIS AGRO DI KAWASAN PEDESAAN Devi Maulida Rahmah
115
PEB 02 EVALUASI YURIDIS KEBIJAKAN ALIH TEKNOLOGI KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM MEMENUHI KEPASTIAN HUKUM DI BALITBANG KEMENTERIAN PUPR 126 Siska Purnianti PEB 03 MODEL AGRO-EDUWISATA HORTIKULTURA ORGANIK TECHNO PARK BANYUMULEK NTB Wahyu Widiyono, Roni Ridwan, dan Bambang Sunarko 137 PEB 04 TINJAUAN MENGENAI ASPEK PASAR DARI TEKNOLOGI PERBENIHAN BAWANG MERAH MELALUI BIJI BOTANI Adhitya Marendra Kiloes dan Puspitasari 149 PEB 05 KOLABORASI ABGC: KUNCI AKSELERASI PENGEMBANGAN ALAT KESEHATAN NASIONAL STUDI KASUS: PERALATAN ELEKTROMEDIK Asep Rahmat Hidayat, Ihsan Supon dan Fatimah Z. S. Padmadinata
159
PEB 06 VALUASI PATEN ANTENA BIQUAD DIPOLE DENGAN INCOME BASED APPROACH UNTUK KOMERSIALISASINYA Harini Yaniar dan Adityo Wicaksono 170 PEB 07 ANALISA KELAYAKAN BISNIS PRODUK MIKROSILIKA LIPI DALAM PENGUATAN DAYA SAING TENANT INKUBATOR LIPI Syukri Yusuf Nasution dan Sarwintyas Prahastuti 182 Makalah Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi DSE 01 PELUANG PEMANFAATAN PATEN DOMAIN PUBLIK UNTUK INISIASI UKM BERBASIS SDA UNGGULAN DAERAH: STUDI KASUS POTENSI PENGEMBANGAN KOMODITAS MANGGA DI INDRAMAYU Harini Yaniar dan Adi Ankafia 195
viii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
DSE 02 STRATEGI ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI INFORMASI: LESSON LEARNED IKM MITRABINAAN PT PERTAMINA BALONGAN Fahmi Rizal
206
DSE 03 KERJASAMA PEMERINTAH DAN SWASTA DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS PERBATASAN INDONESIA – MALAYSIA (STUDI KASUS KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) Fitri Suryani, Trikariastoto dan Ita Reinita Hadari 214 DSE 04 KESIAPAN SOSIAL EKONOMI DALAM MENGEMBANGKAN PASAR PRODUK PERTANIAN DAN PETERNAKAN PADA KAWASAN TECHNOPARK BANYUMULEK Joko Suryanto, Nur Firdaus, Jiwa Sarana, Atika Zahra Rahmayanti dan Mochammad Nadjib 227 DSE 05 ALIH TEKNOLOGI BALITBANGTAN MENDUKUNG PENGEMBANGAN USAHA: STUDI KASUS LISENSI KENTANG MEDIANS OLEH CV. PAPANDAYAN DAN CIKURAY FARM Rima Setiani dan Turyono
237
ix
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
KEYNOTE SPEAKER Keynote Speaker I : Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Prof. Dr. Bambang P.S. Brodjonegoro
x
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xiii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xiv
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xv
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xvi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xvii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xviii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xix
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xx
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xxi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xxii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xxiii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xxiv
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xxv
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xxvi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
Keynote Speaker II : Deputi Infrasutruktur Badan Ekonomi Kreatif
Dr. Ir Hari Santosa Sungkari, MH.
xxviii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xxix
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xxx
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xxxi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xxxii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xxxiii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xxxiv
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xxxv
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xxxvi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xxxvii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
Keynote Speaker III : Kepala Pusat Inovasi - LIPI Dr. Nurul Taufiqu Rochman, M.Eng.
xxxviii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xxxix
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xl
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xli
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xlii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xliii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xliv
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xlv
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xlvi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xlvii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xlviii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
xlix
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
l
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
li
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
lii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
liii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
liv
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
lv
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
lvi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
lvii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
lviii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
lix
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
lx
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
lxi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
lxii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
lxiii
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
lxiv
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
lxv
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI ISSN 2502-6607
lxvi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
MBK 01
KONSEP KOMERSIALISASI PRODUK DAN ALIH TEKNOLOGI DI TECHNOPARK BANYUMULEK NTB Rusli Fidriyanto1), Dini Andriani1), Erwin Kusbianto2), Asiah3), Agus Winaldi3) Roni Ridwan1) dan Bambang Sunarko1) 1)
Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI DinasPeternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB 3) PT. Gerbang NTB Emas
2)
[email protected] Abstrak. Komersialisasi merupakan proses awal dalam proses bisnis dan membangun kemitraan dengan pihak swasta. Produk yang dihasilkan technopark (TP) perlu dipastikan kesesuaianya dengan standarisasi yang berlaku di Indonesia dan memiliki analisis kelayakan ekonomis. Ketersesuaian produk terhadap standart dibuktikan dengan Certificate Of Analysis (COA). Dokumen COA merupakan salah satu syarat dalam pengurusan ijin edar. Analisis kelayakan diperlukan untuk mengetahui proyeksi kecenderungan pasar terhadap produk TP dan menentukan arah pengembangan produk. Produk yang akan dipasarkan selain memiliki kualitas yang baik juga harus bernilai ekonomis sehingga dapat bersaing dipasaran. Keterbatasan dalam proses bisnis di TP Banyumulek adalah proses pemasaran. Hal tersebut dapat diselesaikan dengan menjalin kerjasama dengan pihak swasta yang bergerak dalam bidang treading. Saat ini kegiatan TPBanyumulek telah bekerjasama dengan PT. Gerbang NTB Emas (GNE) sebagai mitra. PT. GNE bergerak dibidang agroindustry sehingga sesuai dengan produk yang dihasikan oleh TP. Kerjasama TP dengan PT GNE terus dikembangkan dan diharapkan dari hasil kerja sama ini selain dapat memasarkan produk TP juga dapat menarik swasta lain untuk ikut bekerjasama. Produk saat ini yang di kerjasamakan dengan PT. GNE terkait produksi dan proses perijinan adalah olahan daging. Metode alihteknologi yang disebarluaskan dengan cara memberikan sosialisasi secara intensif dengan melibatkan pemerintah daerah, instalasi percontohan dikelompok petani peternak, pembekalan, pelatihan pembuatan atau produksi produk pertanian dan pangan serta turunannya. Alihteknologi IPTEK dilakansanakan sebagai salah satu proses pembelajaran masyarakat dengan teknologi TP ke pengguna langsung.Kegiatan dikoordinasikan dengan pihak mitra daerah sehingga menjadi sinegis dengan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB diikuti oleh peserta dari petani, peternak, penyuluh pertanian dan peternakan, staf dinas, dan swasta. Kata Kunci: komersialisasi, produk, technopark, alihteknologi, IPTEK
Sub Tema Membangun Budaya Kreatif
1
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN Komersialisasi hasil penelitian merupakan langkah dalam meningkatkan nilai tawar dari teknologi yang dihasilkan dari penelitian. Komersialisasi produkmerupakan serangkaian upaya dari pengembangan dan pemasaran sebuah hasil invensi. Komersialialisasi hasil penelitian dapat dicapai jika dilakukan kerjasama antara inventor teknologi dengan pihak lain yang dapat memproduksi skala komersial.Komersialisasi invensi memiliki berbagai kendala dikarenakan melibatkan berbagai pelaku dan mekanisme yang cukup rumit. Tahapan utama yang sering sulit untuk dilakukan adalah melakukan evaluasi (penetapan nilai) terhadap invensi yang akan dikomersialkan. Perkembangan tersebut selanjutnya menyajikan secara singkat beberapa langkah strategis dalam proses komersialisasi invensi bernilai ekonomis (Turner, 2000).Salah satu usaha pemerintah untuk mendorong komersialilisai hasil penelitian dengan pemanfaatan sumberdaya lokal adalah pembangunan technopark. Pemerintah mencanangkan pembangun tehnopark di berbagai daerah di Indonesia melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2015-2019. Pembangunan technopark diarahkan dapat menjadi pusat penerapan teknologi di bidang pertanian, peternakan, perikanan, dan pengolahan hasil (pasca panen) yang telah dikaji oleh lembaga penelitian, swasta, perguruan tinggi untuk diterapkan dalam skala ekonomi. Selain itu tehnopark juga di harapkan dapat menjadi pusat disemenasi teknologi dan advokasi bisnis bagi masyarakat (Kemenristekdikti, 2015). Salah satu tehnopatk yang kembangkan berlokasi di Banyumulek NTB yang berbasis peternakan.Tehnopark Banyumulek dalam rangka komersialisasi produk bekerjasama dengan pihak swasta daerah yaitu PT Gerbang NTB Emas. PT Gerbang NTB Emas adalah perusahaan daerah yang bergerak di pasca panen hasil pertanian dan peternakan.Komersialisasi produk pada kegiatan 2016 di fokuskan pada produk pasca panen olahan daging. Sinergi antara technopark banyumulek dan pihak swasta daerah diharapkan dapat lebih mendekatkan produk produk hasil penelitian ke masyarakat dan mengembangkan perusahaan daerah guna meningkatkan perekonomian masyarakat daerah.
METODOLOGI Kegiatan tahun kedua technopark banyumulek diarahkan untuk komersialisasi produk yang telah dihasilkan di tahun 2015. Komersialsasi produk technopark dilakukan dengan cara pendampingan terhadap mitra mulai dari tahapan pdesain produk, pemenuhan persyaratan ijin edar hingga pengurusan Sub Tema Membangun Budaya Kreatif
2
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
perijinan yang diperlukan agar produk dapat beredar di pasaran. Perijinan yang diperlukan untuk produk olahan daging meliputi ijin merk, ijin barcode, pangan industry rumah tangga (PIRT), Merek dalam (MD), dan halal. Tahapan yang digunakan dalam pengurusan ijin edar yaitu perbaikan sistem manajemen proses, pemenuhan persyaratan ijin edar, dan pengurusan ijin. Proses pengurusan ijin edar dilakukan apabila perusahaan sudah memiliki sistem manajemen mutu. Pengurusan ijin edar dilakukan melalui pemenuhan persyaratan pendaftaran yaitu ijin merk, barcode, PIRT, MD dan Halal yang dilakukan oleh mitra swasta. Tahapan selanjutnya adalah pengurusan ijin edar yang dilakukan bersama sama oleh pihak LIPI dan Mitra Swasta
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Konsep transfer teknologi Pembangunan TP bertujuan untuk alih teknologi hasil penelitian ke masyarakat. Proses transfer teknologi ini akan merangsang peningkatan industry di daerah (lihat gambar 1). Produk hasil penelitian yang dapat di alih teknologikan kepada swasta harus bernilai ekonomis, memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI), dan mudah di kembangkan. Perusahaan swasta yang dipilih harus memiliki dokumen perijianan perusahaan dan berkomitmen untuk mengembangkan teknologi yang digunakan. Hal tersebut agar proses pengurusan ijin edar produk dapat berjalan dengan lancar.
Gambar 1. Konsep alih teknologi technopark
Sub Tema Membangun Budaya Kreatif
3
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Selain alih teknologi ke pihak swasta, TP juga bertugas melakukan transfer teknologi ke masyarakat. Alih teknologi ke masyarakat dilakukan dengan cara melakukan pelatihan dan diseminasi. Teknologi yang dipilih sebaiknya yang mudah di aplikasikan oleh masyarakat dan ekonomis. Teknologi yang dialih teknologikan ke pihak mitra disesuaikan dengan sumber daya yang dimiliki oleh mitra. Keluaran yang diharapkan adalah produk yang dapat dikomersialkan sehingga hasil penelitian dapat bermanfaat bagi masyarakat. Tahapan proses transfer teknologi kepada mitra adalah proses pembuatan seleksi produk,desain produk awal,pengujian laboratorium internal, analisis pasar dan desain produk akhir. Tujuan dari proses transfer teknologi adalah menyiapkan mitra untuk menguasai teknologi tersebut. B. Sistem Manajemen Mutu Sistem manajemen merupakan pondasi utama dalam rangka menjamin keamanan produk yang dihasilkan. Sistem manajemen yang diterapkan harus sesuai dengan kaidah Food Safety Management System (FSMS). Sistem manajemen FSMS diterapkan pada seluruh industri yang berada dalam rantai pangan mulai dari produsen pangan, produsen primer sampai dengan pengolah pangan, operator transportasi dan penyimpanan, subkontraktor hingga outlet pengecer dan jasa boga (bersama-sama dengan organisasi yang terkait seperti produsen peralatan, bahan pengemas, bahan pembersih, bahan tambahan pangan dan ingredien). Penyedia jasa dibidang rantai pangan juga termasuk di dalamnya (SNI,2009). Sistem manajemen berbasis FSMS menjamin kemanan produk melalui pendekatan proses dan pendekatan analisis resiko. Pendekatan proses dilakukan dengan cara membuat standarisasi proses produksi dan proses pendukung produksi seperti SOP penyimpanan, perawatan, sanitasi dll. Pendekatan analisis resiko dilakukan dengan penerapan HACCP pada proses pembuatan produk. Pembuatan sistem manajemen dilakukan dengan cara membuat standarisasi proses mulai dari panduan mutu, SOP, Instruksi kerja, formulir dan dokumen pendukung. Hal tersebut digunakan untuk menjamin kestabilan kualitas produk dan merupakan salah satu syarat pengurusan MD. Dalam kegiatan technopark banyumulek, kegiatan pasca panen daging telah mendampingi PT GNE dalam pembuatan sistem managemen dan penerapanya. Proses penjaminan mutu melalui pembuatan dan penerapan sistem manajemen mutu merupakan tahap awal komersialisasi produk. Tahapan setelah perusahaan telah menerapkan sisitem manajemen adalah melakukan pemenuhan persyaratan perijinan produk.
Sub Tema Membangun Budaya Kreatif
4
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
C. Perijinan Edar Produk Makanan Legalitas produk yang beredar di pasar harus memiliki ijin edar. Jenis perijinan produk makanan dan minuman terdiri dari ijin merk, barcode, PIRT, MD dan Halal. Ijin merk merupakan proses pendaftaran hak kekayaan intelektual berupa merek suatu produk. Pendaftaran merekbertujuan untuk melindungi penggunaan merk dagang yang digunakan selama pemasaran produk. Perijinan No. barcode diperlukan agar produk dapat dipasarkan di supermarket dan pasar modern. Terdapatnya barcode pada produk akan memudahkan dalam proses pencatatan stok dan penjualan produk. Produk makanan dapat beredar di pasar apabila memiliki ijin PIRT atauMD tergantung dari jenis produk yang diproduksi. Ijin halal diperlukan untuk menjamin kehalalan produk. a. Perijinan Merk Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2014,hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratifsetelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Hak Kekayaan Industri meliputi: Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, dan Varietas Tanaman Perijinan yang diperlukan dalam rangka komersialisasi produk adalah pendaftaran merk. Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001,merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasidari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang ataujasa.Pendaftaran merk dilakukan di Direktorat Jenderal Kekayaan (DJHKI) yang bertujuan untuk melindungi penggunaan merk barang atau jasa yang digunakan. Intelektual Dokumen dan persyaratan yang harus dilengkapi saat pengajuan untuk mendapatkan tanggal penerimaan paling lambat 30 hari setelah tanggal penerimaan, permohonan akan memasuki tahap Pemeriksaan Substantif yang akan berlangsung dalam waktu selama-lamanya 9 bulan. Dalam tahapan ini Pemeriksa Merek ini akan memeriksa merek yang didaftar terkait hal-hal yang dapat mengakibatkan merek tidak dapat didaftar ataupun pendaftaran harus ditolak. Jika Pemeriksa menemui hal-hal yang memberatkan dalam tahapan ini, DJHKI akan menyurati Pemohon atau Kuasanya dan memberikan kesempatan untuk memberikantanggapan. Pada akhir masa Pemeriksaan Substantif, Pemeriksa akan memutuskan apakah merek yang diajukan disetujui untuk didaftar atau ditolak. Dalam waktu 10 hari dari sejak disetujui untuk didaftar, Sub Tema Membangun Budaya Kreatif
5
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
merek tersebut akan diumumkan di Berita Resmi Merek.Masa Pengumuman akan berlangsung selama 3 bulan, di mana selama masa tersebut anggota masyarakat dapat mengajukan keberatan jika merasa merek tersebut tidak dapat didaftar atau harus ditolak pendaftarannya. Untuk menanggapi keberatan yang masuk, pemohon dapat mengajukan sanggahan, dan baik keberatan maupun sanggahan akan dijadikan bahan bagi DJHKI untuk melakukan pemeriksaan ulang, yang akan berlangsung selama 2 bulan setelah masa pengumuman berakhir. Jika masa pengumuman berakhir tanpa keberatan, ataupun keberatan ternyata tidak diterima oleh DJHKI, maka merek akan segera didaftar dalam Daftar Umum Merek dan DJHKI akan segera menerbitkan Sertifikat Hak Merek. Lamapengajuan merk dari mulai penerimaan hingga pendaftaran merek bisa memakan waktu sekitar 12 bulan.Masa perlindungan Hak Merek berlaku selama 10 tahun sejak tanggal penerimaan b. Perijinan Barcode Barcode secara harafiah berarti kode berbentuk garis dimana masing – masing ketebalan setiap garis berbeda sesuai dengan isi kodenya, kode tersebut mewakili data atau informasi tertentu biasanya jenis harga barang seperti makanan dan buku. Kode berbentuk batangan balok dan bewarna hitam putih ini mengandung satu kumpulan komibinasi yang berlainan ukuran yang disusun sedemikian rupa. Kode ini dicetak diatas stiker atau dikotak pembungkus batang (Malik, 2005). Salah satu lembaga yang memberikan perijinan barcode adalah GS1. Lembaga ini memiliki cabang di banyak negara di dunia dan barcode yang dikeluarkan adalah bersifat global dan dapat terbaca di seluruh dunia. Pendaftaran ini tidak per produk tetapi per perusahaan, setiap perusahaan yang mendaftar menjadi anggota GS1 akan dialokasikan sebanyak 1000 dan 100.000 nomor. Proses pengurusan barcode memakan waktu kurang lebih 14 hari kerja setelah aplikasi diterima lengkap dengan persyaratannya. Perijinan barcode telah dilaksanakan dan PT GNE telah mendapatkan keanggotaan GS1 sehingga seluruh produk yang dikembangkan dapat memperoleh barcode. Produk yang telah mendapatkan barcode berjumlah 13 jenis tediri dari 6 produk olahan daging beku dan 7 produk olahan daging kering. Sedangkan produk yang lain dapat mendapatkan barcode dengan cara mengakses account GS1 yang telah di dapatkan secara online. c. Perijinan PIRT Menurut peraturan kepala badan pengawas obatdan makanan republik Indonesia nomor HK.03.1.23.04.12.2207 tahun 2012, pangan yang aman dan bermutu merupakan hak asasi setiap manusia,tidak terkecuali pangan yang dihasilkan oleh Industri Rumah TanggaPangan. Undang-Undang Sub Tema Membangun Budaya Kreatif
6
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatanmenyatakan bahwa makanan dan minuman yangdigunakan masyarakat harus didasarkan pada standar dan/ataupersyaratan kesehatan. Terkait hal tersebut di atas, Undang-Undang tersebut mengamanahkan bahwa makanan dan minuman yang tidakmemenuhi ketentuan standar, persyaratan kesehatan, dan/ataumembahayakan kesehatan dilarang untuk diedarkan, ditarik dariperedaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Perijinan PIRT merupakan ijin yang diperlukan untuk sebagai jaminan usaha makanan atau minuman yang dijual dan beredar di masyarakat memenuhi standar keamanan makanan atau izin edar produk pangan. Izin ini hanya diberikan kepada produk pangan olahan dengan tingkat resiko yang rendah. Izin PIRT tidak dapat dikeluarkan apabila bahan yang diproduksi adalahSusu dan hasil olahannya, Daging, ikan, ungas, dan hasil olahannya yang memerlukan proses penyimpanan dana tau penyimpanan beku, Makanan kaleng, Makanan bayi, Minuman beralkohol, Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), Makanan / minuman yang wajib memenuhi persyaratan SNI, dan Makanan / minuman yang ditetapkan oleh Badan POM. Dalam proses pengajuan ijin PIRT pemohon harus mengikuti penyuluhan keamanan pangan. Setelah melaksanakan penyuluhan keamanan pangan, petugas Dinas Kesehatan akan melakukan pemeriksaan ke sarana produksi pelaku usaha. Survei dan pengecekan ke lapangan tersebut bertujuan untuk melihat proses produksi serta bahan-bahan yang digunakan. Selain itu, sampel pangan pun akan diteliti dengan uji laboratorium.Ciri khas produk yang mendapatkan PIRT adalah makanan dan minuman yang memiliki masa kadaluarsa di atas 7 hari. Produk yang dihasilkan oleh PT GNE sebelum bekerja sama dengan technopark banyumulek adalah berupa dendeng danabon. Produk tersebut telah mendapatkan PIRT pada tahun 2015. Produk tersebut telah dipasarkan dan telah dilengkapi dengan barcode sehingga dapat di pasarkan di pasar modern. d. Perijinan merk dalam (MD) Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang telah dikeluarkan, perusahaan atau industri produsen makanan atau obat-obatan wajib untuk mendapatkan izin BPOM. Izin tersebut berfungsi sebagai pintu masuk distribusi produk dapat tersebar luas ke masyarakat. Prosedur pendaftaran makanan atau produk sejenis yang telah ditetapkan oleh BPOM dilakukan dengan mendatangi langsung kantor Bdan POM. Proses pendaftaran pendaftaran makanan dan minuman untuk seluruh wilayah Indonesia
Sub Tema Membangun Budaya Kreatif
7
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
ditangani lansung oleh Direktorat Penilaian Keamanan Pangan. Penilaian untuk mendapatkan nomor pendaftaran disebut penilaian keamanan pangan. Produk hasil kerjasama antara technopark banyumulek dan PT Gerbang NTB Emas adalah berupa produk hasil olahan daging sapi yang penyimpananya pada suhu beku sehingga perijinan yang diperlukan adalah MD. Pengajuan MD harus didahului dengan permohonan Peninjauan sarana berproduksi (PSB) di BPOM setempat. Peninjauan sarana berproduksi dilakukan untuk melihat kesesuaian sarana berproduksi dengan standart Good Manufacturing Practices (GMP). PT GNE sebagai mitra bertugas menyediakan sarana berproduksi yang sesuai dengan standar GMP dan dalam proses desain layout sarana produksi dan pengurusan perijinan didampingi oleh technopark banyumulek. BPOM akan menilai sarana produksi yang dimiliki dan untuk dapat diajukan ke MD minimal nilai adalah B. Persyaratan perijinan MD mengharuskan agar masing masing bahan baku harus memiliki Certificate of analysis (COA) sehingga dapat dijamin keamanan bahan baku yang digunakan. Produk yang dihasilkan oleh PT GNE harus dilakukan pengujian laboratorium sehingga didapatkan COA dan nilai masing masing paremeter harus sesuai dengan persyaratan BPOM sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia no HK.00.06.1.52.4011 tahun 2009. Pemenuhan COA produk dilakukan oleh TP sedangkan COA bahan baku didapatkan dari supplier bahan baku yang memasok bahan baku produksi. Selain itu diperlukan desain label dan kemasan. Persyaratan pelabelan disesuaikan dengan persyaratan SNI produk. e. Sertifikasi halal Mayoritas penduduk Indonesia adalag beragama islam sehingga sertifikasi halal diperlukan untuk mendapatkan kepercayaan konsumen. Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam (UU No 33, 2014). Sertifikasi Halal di berikan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia(LPPOM MUI). Perusahaan yang akan mengajukan sertifikasi halal ke Setiap produsen yang mengajukan sertifikasi halal ke LPPOM MUIharus melampirkan spesifikasi dan Sertifikat Halal bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong serta bahan aliran proses. Surat keterangan itu bisa dari MUI daerah (produk lokal) atau lembaga Islam yang diakui oleh MUI (produk impor) untuk bahan yang berasal dari hewan dan turunannya. Setelah pengajuan permohonan maka tim auditor LPPOM MUI akan melakukan audit ke sarana produksidan mengevaluasi uji laboratorium yang hasilnya dievaluasi oleh rapat tenaga ahli LPPOM MUI yang terdiri dari ahli gizi, biokimia, pangan, teknologi pangan, teknik pemrosesan, dan bidang lain yang Sub Tema Membangun Budaya Kreatif
8
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
berkait. Bila memenuhi persyaratan, laporan akan diajukan kepada sidang Komisi Fatwa MUI untuk memutuskan kehalalan produk tersebut.Sertifikat halal berlaku selama dua tahun. Perusahaan harus dapat menjamin kehalalan produk selama masa berlaku sertifikat halal dengan cara membentuk Auditor Halal Internal dan mengevaluasi Sistem Jaminan Halal (SJH) secara berkala. Auditor halal internal bertugas melakukan audit halal secara berkala dan melaporkan hasil audit kepada LPPOM MUI secara periodik (enam bulan sekali). Produk dendeng dan abon PT GNE telah mendapatkan sertifikat halal. Produk lain masih belum mendapatkan sertifikat halal karena produk tersebut belum memiliki sertifikat PIRT atau MD. Salah satu persyaratan permohonan halal adalah sertifikat ijin edar produk sehingga untuk pendaftaran
KESIMPULAN Konsep komersialisasi hasil penelitian di TP banyumulek perlu adanya transfer teknologi ke masyarakat dan mitra swasta daerah. Proses komersialisasi produk diawali dengan pengurusan ijin edar. Tahapan yang digunakan dalam pengurusan ijin edar yaitu perbaikan sistem manajemen proses, pemenuhan persyaratan ijin edar, dan pengurusan ijin. TP banyumulek melakukan pendampingan terhadap PT GNE sebagai mitra selama proses komersialisasi. Pihak TP Banyumulek memfasilitasi pembuatan sistem manajemen mutu, pemenuhan standarisasi proses produksi, pengurusan ijin edar, dan pelatihan. Sedangkan PT GNE berperan dalam pemenuhan persyaratan perijinan, pembangunan sarana berproduksi dan sumberdaya yang terkait dengan proses komersialisasi. erijinan yang diperlukan untuk produk olahan daging meliputi ijin merk, ijin barcode, pangan industry rumah tangga (PIRT), Merek dalam (MD), dan halal. Kerjasama yang baik adalam proses komersialisasi ini diperlukan agar proses pengurusan perijinan dapat diselesaikan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA Kemenristekdikti-RI, 2015 Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Malik, Jaja Jamaludin., et all. 2010. Implementasi Teknologi Barcode dalam Dunia Bisnis.Yogyakarta: Penerbit andi Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia no HK.00.06.1.52.4011tahun 2009tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimiadalam makanan, Jakarta: BPOM Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia no HK.03.1.23.04.12.2207 tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan Industri Rumah Tangga, Jakarta: BPOM
Sub Tema Membangun Budaya Kreatif
9
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Republik Indonesia. 2001. Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merk. Lembaran Negara RI Tahun 2002, No. 110. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Lembaran Negara RI Tahun 2002, No. 114. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Hak Kekayaan Intelektual. Lembaran Negara RI Tahun 2002, No. 266. Sekretariat Negara. Jakarta. Standar nasional Indonesia(SNI) ISO 22000:2009. Sistem Manajemen Keamanan pangan - Persyaratan untuk organisasi dalam rantai pangan. Jakarta: Badan standarisasi nasional Turner, J. 2000. Valuation of Intellectual Property Assets; Valuation Techniques: Parameters, Methodologies, and Limitations. WIPO Asian Reg. Forum on Intell. Prop. Stra. for the Promotion of Innov. and Invent. Acts. Taejon, South Korea. Nov. 2000. 14p.
Sub Tema Membangun Budaya Kreatif
10
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
MBK 02
OPTIMALISASI MANAJEMEN HKI DENGAN IMPLEMENTASI SISTEM TATA KERJA KEREKAYASAAN Jemie Muliadi PTIPK-BPPT, Gd. 256 Lt.2 Kawasan Pupiptek, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, 15314
[email protected] [email protected]
Abstrak. Inovasi sering dipahami secara tidak menyeluruh. Inovasi hanya dianggap sebagai hal yang spontan saja. Cara pandang seperti ini tidak sepenuhnya benar. Hal ini menyebabkan inovasi seolah menjadi hal yang tidak bisa direncanakan, tidak bisa diukur, bahkan tidak bisa dibuatkan manajemennya.Padahal, inovasi—yang akan dituangkan ke HKI—merupakan pilar penting penunjang technopreneurship. Di sisi lain, pengembangan Sistem Tata Kerja Kerekayasaan (STKK) oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) semula bertujuan untuk menjadikan inovasi menjadi terarah, terencana, terukur dan terkendali. STKK dipraktekkan untuk membangun budaya inovasi dalam kerekayasaan teknologi di BPPT dalam sistem kerja yang terdokumentasi dengan sistematik. Dengan sedikit penyesuaian, dalam naskah ini akan dipaparkan metode implementasi STKK, sehingga inovasi dapat dikelola dengan maksimal dan keluaran inovasi—berupa HKI—menjadi optimal dalam segi kualitas dan kuantitas. STKK yang semula diperuntukkan untuk inovasi pada bidang engineering (kerekayasaan) akan diperluas untuk inovasi dalan ranah yang lebih umum untuk menopang manajemen HKI. Kata Kunci: Manajemen HKI,TEKNOPRENEURSHIP, Manajemen Inovasi, STKK
Sub Tema Membangun Budaya Kreatif
11
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
INOVASI, KREATIFITAS DAN HKI Inovasi: awal kemunculan HKI. Kajian proses inovasibanyak mengupas berbagai aspek, seperti inovasi pada proses serta inovasi layanan dan strategic (Matei & Bujac, 2016). Selain dipahami sebagai kemampuan menerapkan kreatifitas untuk menyelesaikan permasalahan,inovasi juga dipahami sebagai kesempatan menguatkan dan memperbaiki standar kehidupan (Subroto, 2013).Terkait dengan invensi, inovasi adalah suatu invensi yang dapat dieksploitasi dan ditransformasi menjadi suatu perubahan yang menambah nilai pada pengguna (Matei & Bujac, 2016). Hak atas Kekayaan Intelektual atau HKI merupakan hak kepemilikan terhadap karya-karya yang muncul atau dihasilkan karena penggunaan kemampuan intelektualitas manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Usman, 2003 dalam (Suhayati, 2016)). Lebih rinci, Pemerintah menggolongkan HKI ke dalam 6 jenis, yaitu: Hak Cipta, Paten, Merek, Rahasia Dagang, Desain Industri dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Hidayati, 2014). Oleh karena itu, inovasi menjadi penting sehingga dilindungi menjadi HKI dengan diregistrasikan ke Dirjen HKI (Sirait & Suparta, 2013). Bahkan pada UKM-UKM berbasis inovasi, telah banyak didirikan inkubator bisnis. Keberhasilan inkubator bisnis tersebut diukur juga dari jumlah lisensi, royalti, dan pendapatan hasil kerjasama atas pemanfaatan dana inovasi (Simamora, 2011), sementara hal-hal ini adalah hasil-hasil dari HKI. Maka, HKI menjadi aset maya sebagai bagian dari proses dan strategi bisnis. Bila terjadi kehilangan perlindungan intelektual atau HKI, maka sustainabilitas usaha dapat terabaikan, dan mengancam visi dan misi perusahaan (Purnomo & Suparta, 2010). Bahkan dalam lingkup regional ASEAN, capaian dan perlindungan HKI dijadikan sebagai komponen dalam membangun kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi (Saleh, 2016).
Inovasi dan kreatifitas: komponen yang terukur dan terinduksikan. Ketika inovasi dianggap hanya melibatkan pengambilan resiko dan keinsyafan untuk menerima potensi kegagalan (Matei & Bujac, 2016), maka inovasi dipandang sebagai hal yang sulit direncanakan dan diukur.Ditambah dengan kondisi—bahwa banyak invensi yang tidak berujung pada inovasi karena tidak dipasarkan (Matei & Bujac, 2016)—maka muncul fenomena “stagnasi inovasi”(Priadi, 2013). Selain itu, inovasi kadang dipahami sebagai hasil dari suatu proses kompleks dan dikaitkan dengan berbagai elemen formal, meliputi ide, peneliti, pemerintah, inovator produk, modal awal, pemasar produk, Sub Tema Membangun Budaya Kreatif
12
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
pengguna canggih, modal pengembangan serta produk dan pasar (Simamora, 2008). Pemahaman yang parsialdan kompleks semacam ini, membuat inovasi diperlakukan sebagai hal yang tidak praktis.Padahal, inovasi merupakan proses dinamik yang mengakomodasi tantangan, pengembangan proses-proses baru, kreatif, serta pemilahan dan penerapan solusi-solusi baru (Matei & Bujac, 2016). Dalam kaitan dengan inovasi dan HKI, maka kreatifitas dipandang sebagai kemampuan untuk mengembangkan gagasan-gagasan baru dan menemukan cara-cara baru dalam menyelesaikan permasalahan dan menciptakan kesempatan-kesempatan (Subroto, 2013). Lebih lanjut, dalam upaya mendapatkan keunggulan dalam persaingan, modal untuk melakukan terobosan secara cerdik muncul dari kreatifitas yang berirama dengan kepemilikan HKI (Shiyan & Suparta, 2011). Karena kreatifitas memicu kebaruan, dan kebaruan yang mampu diterapkan adalah inovasi, maka kreatifitas menjadi komponen penting dalam mengupayakan inovasi. Kreatifitas adalah hal yang dapat diukur. Piffer membangun kerangka kerja (framework) untuk mengukur kreatifitas pada tiga dimensi, yaitu kebaruan (novelty), kepatutan (appropriateness) dan dampak (impact)(Piffer, 2012). Dengan keterukuran tersebut, maka Sistem Tata Kerja Kerekayasaan (STKK) dapat difungsikan menjadi kerangka kerja yang efektif dalam mengukur kreatifitas. Secara hirarkis, kreatifitas dapat diinduksikan dari pemimpin ke bawahan mereka, khususnya dalam pemecahan masalah (Reiter-Palmon & Illies, 2004). Secara kelembagaan, kreatifitas pemimpin dan karyawan menjadi pengaruh yang membawa sebuah organisasi menjadi lebih fleksibel dan inovatif (Mumford, Scott, Gaddis, & Strange, 2002). Dengan demikian, pola “kreatifitas terpimpin” pada proses pemecahan masalah akan dilanjuktkan dengen penelaahan pada faktor-faktor yang dominan mempengaruhi kreatifitas pemecahan tersebut. Kreatifitas adalah hal yang terukur (Piffer, 2012) dan kreatifitas juga merupakan hal yang dapat diinduksikan (Reiter-Palmon & Illies, 2004). Kreatifitas pun merupakan pemicu kemunculan inovasi. Dengan demikian, inovasi akan menjadi hal yang juga terukur dan dapat diinduksikan. Oleh sebab itu, inovasi juga mampu dibuat manajemennya. Dengan kreatifitas yang terukur, maka inovasi akan dapat diarahkan dan direncanakan. Dengan adanya manajemen inovasi yang baik, maka manajemen HKI akan semakin optimal.
STKK: SENI MANAJEMEN INOVASI Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, BPPT, adalah instansi pemerintah yang menangani pengkajian dan penerapan teknologi untuk kepentingan bangsa (BPPT, 2015). Sejalan dengan hal ini
Sub Tema Membangun Budaya Kreatif
13
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
BPPT juga menggagas Sistem Tata Kerja Kerekayasaan (BPPT, 2013) dan mempromosikan inovasi teknologi dalam berbagai bidang(BPPT, 2014). Istilah kerekayasaan (atau engineering) seringkali dimaknai secara sempit di seputar pembuatan alat elektronik, gedung, bangunan, bahkan pesawat terbang dan pabrik. Padahal, definisi kerekayasaan(BPPT, 2013), mengacu pada penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk berinovasi menciptakan sistem, model, nilai baru kemudian produk dan proses manufaktur.Dengan demikian, aplikasi STKK akan relevan diterapkan pada banyak sekali bidang kehidupan.
STKK sebagaiPanduan untuk Manajemen Inovasi. Sistem Tata Kerja Kerekayasaan, STKK, adalah suatu tata kerja yang didasari oleh kerjasama tim (team-work) baik lintas keilmuan maupun lintas keahlian, dalam suatu wadah Organisasi Fungsional kegiatan program (Panggabean, 2015).Wadah berhimpun personel untuk menyelesaikan program dengan STKK disebut dengan Organisasi Fungsional Perekayasaan (OFK). Sistematika
OFK
ini,
memberikan
manfaat
sebagai
berikut(BPPT,
2013):Kejelasan
pertanggungjawaban (accountability); Adanya ketertelusuran (traceability); Kejelasan kesempatan karir (opportunity); Menyediakan informasi (information).Dengan tata kerja yang sistematis, maka segala inovasi di dalam aktifitas program akan terdokumentasi dengan baik.Dua hal penting di dalam STKK yang meliputi,Organisasi Fungsional Kerekayasaan dan yang kedua adalah Sistem Informasi dan Pelaporan dalam OFK. Kedua hal tersebut akan dipaparkan dalam penjelasan berikut.
WBS sebagai metode pembentukan OFK. Organisasi Fungsional Kerekayasaan (OFK) merupakan hirarki struktur kerja untuk mewadahi pekerjaan kerekayasaan yang bersifat kelompok (BPPT, 2013). Hirarki ini dinyatakan sebagai matriks antara tahapan kegiatan dengan bidang keahlian atau keilmuan. Struktur kerja ini merupakan gabungan dari Work Breakdown Structure (WBS atau Struktur Rincian Kerja).Secara ilustratif, analogi pembagian WBS disajikan pada skema berikut.Penjelasan lebih rinci disampaikan pada Muliadi dan Afrilionita (Muliadi & Afrilionita, 2016).
Sub Tema Membangun Budaya Kreatif
14
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Gambar 1. Contoh Ilustratif untukWBS Sederhana tentang Penulisan Makalah Ilmiah (Muliadi & Afrilionita, 2016)
WBS didefinisikan sebagai rangkaian hirarki tugas dalam sebuah program untuk menyatakan secara jelas lingkup pembagian pekerjaan, sehingga sumber daya, tenggat waktu dan anggaran biaya dapat dirinci dengan lugas (Lee et al., 2010). Dengan membagi lingkup pekerjaan menjadi paket pekerjaan yang paling rinci, WBS akan digunakan sebagai panduan untuk penjadwalan (schedulling), pemantauan (monitoring), dan aktifitas pengendalian (controlling) di dalam program (Wain, 2015). Fiturfitur ini membuat WBS mampu mengarahkan inovasi dan merencanakan HKI serta menjadi sarana optimalisasi HKI.
Sistem Informasi dan Pelaporan dalam OFK. Sistem informasi dalam OFK merupakan pencatatan berbagai aktifitas yang memberikan panduan pekerjaan, rekaman aktifitas dan keputusan dalam pelaksanaan program. Sistem informasi ini terdiri dari lembar-lembar kegiatan (activity sheets) yang meliputi: Lembar Kerja, Lembar Instruksi dan Lembar Keputusan(BPPT, 2013).Sistem pelaporan dalam OFK merupakan dokumentasi hasil-hasil pekerjaan, termasuk pula inovasi serta hasil-hasil yang berpotensi menjadi HKI.Dari arahan pimpinan melalui berbagai manual, inovasi akan tercatat secara lengkap, detail, dan valid dalam laporan-laporan teknis pada tahap berjalannya program. Dengan kesiapan untuk mengolah inovasi-inovasi inilah, maka target-target HKI dalam sebuah program akan tercapai.
STKK dan Manajemen HKI. Jelaslah bahwa instrumen STKK yaitu WBS serta Sistem Informasi dan Pelaporan dalam OFK telah menjadi sarana manajemen inovasi yang accountable, traceable dan informative. Dengan demikian, STKK menjadi sistem yang memproduksi HKI, karena manajemen HKI telah terjadi akibat implementasi Sub Tema Membangun Budaya Kreatif
15
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
WBS serta Sistem Informasi dan Pelaporan dalam OFK. Oleh sebab itu, dengan sedikit penyesuaian, maka STKK dapat diterapkan di berbagai aktifitas selain engineering (selain keteknikan atau kerekayasaan). Pemaparan pada pembahasan selanjutnya akan menjelaskan implementasi STKK untuk manajemen HKI yang optimal, serta meraih target HKI yang direncanakan.
STKK UNTUK OPTIMALNYA MANAJEMEN HKI Pada pembahasan ini, penulis mengusulkan penerapan STKK untuk optimalisasi manajemen HKI.STKK meliputi WBS serta Sistem Informasi dan Pelaporan dalam OFK. Sistematika tata kerja tersebut memberikan manfaat pada aspekaccountability, traceability, opportunity dan informative(BPPT, 2013).Keuntungan penerapan WBS adalah kejelasan pekerjaan, baik konsep perencanaan dan pengendalian kemajuan pekerjaan, penugasan yang wajar dengan sumber daya yang ada, serta ketersediaan dalam penelaahan kemajuan(Momoh, Roy, & Shehab, 2008). Dengan STKK, inovasi akan terekam baik dan terdokumentasikan lengkap. Oleh sebab itu, implementasi STKK dilakukan untuk melaksanakan manajemen HKI yang lebih optimal. Implementasi STKK ini dinyatakan dalam tahapan-tahapan berikut: 1. Melibatkan tema-tema yang relevan pada penelitian dan pengembangan dalam rancangan program. 2. Menciptakan Organisasi Fungsional Kerekayasaan yang sesuai. 3. Menerapkan Sistem Informasi dan Pelaporan yang konsisten, teratur dan berdisiplin. 4. Menindaklanjuti potensi inovasi menjadi HKI. Tahapan-tahapan ini telah terintegrasi dengan manajemen inovasi dan manajemen HKI yang terkandung di dalam STKK itu sendiri.
Tema-tema yang relevan pada penelitian dan pengembangan. Desain—atau perancangan—biasanya tersusun atas langkah-langkah sebagai berikut (Wain, 2015). Langkah pertama adalah memperjelas definisi permasalahan dan batasannya. Kedua, membangkitkan solusi potensial yang akan dikaji dalam pengerjaan program. Selanjutnya, pada langkah ketiga, perancang merangkai rincian yang baik dari kandidat solusi di langkah sebelumnya, bahkan menghilangkannya apabila diperlukan. Langkah terakhir, keempat, adalah menerapkan solusi yang lebih matang di dalam Program Manual, termasuk OFK, penjadwalan dan penganggaran.
Sub Tema Membangun Budaya Kreatif
16
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Organisasi Fungsional Kerekayasaan yang sesuai. STKK mengenal 3 jenis Organisasi Fungsional Kerekayasaan, OFK. Jenis yang pertama adalah OFK tipe A, kemudian jenis kedua adalah OFK tipe B dan yang ketiga adalah OFK tipe C(BPPT, 2013). OFK tipe A meliputi 5 WBS atau lebih dan melibatkan organisasi eksternal. OFK tipe B terdiri dari minimal 2 WBS baik melibatkan organisasi eksternal ataupun tidak. OFK tipe C hanya terdiri dari 1 WBS dengan minimal 2 WP.Implementasi OFK yang paling sederhana adalah OFK tipe C, seperti ilustrasi berikut ini.
Gambar 2 OFK Tipe C (Muliadi & Afrilionita, 2016)
Pemilihan jenis OFK yang sesuai dengan program tentu mempertimbangkan kebutuhan program, tingkat kesulitan pekerjaan, dan alokasi waktu yang tersedia, selanjutnya pembaca disarankan mengacu pada Juknis JFT Perekayasa (BPPT, 2013). Untuk contoh aplikasi STKK pada bidang non-engineering, pembaca disarankan mengacu pada Muliadi dan Afrilionita yang menerapkan STKK pada Pengembangan Profesi Berkelanjutan untuk guru-guru Sekolah Menengah Atas(Muliadi & Afrilionita, 2016).
Pelaporan yang konsisten, teratur dan berdisiplin. Dokumentasi di dalam STKK merupakan upaya mendapatkan kejelasan dari pertanggungjawaban pekerjaan (clarity of accountability) dan ketertelusuran yang teratur (systematic traceability). Dari dokumen-dokumen teknis yang tertulis, maka inovasi yang terjadi dapat direkam, dipelajari, dikaji dan ditafsirkan. Dokumentasi teknis berfungsi sebagai sistem informasi dan sistem pelaporan di dalam OFK.Frekuensi penerbitan dokumen-dokumen ini bisa setiap hari atau setiap minggu. Apabila terlalu lama, maka aliran informasi menjadi tidak aktual dan kurang responsif dalam menghadapi dinamika pengerjaan program. Pencatatan secara rutin dapat menimbulkan kejenuhan dalam rutinitas tersebut. Namun, pelaksanaan dokumentasi yang konsisten dan teratur akan menghasilkan bukti-bukti yang kredibel dan rinci untuk proses klaim inovasi menjadi HKI. Penjelasan lengkap dan rinci dokumen-dokumen tersebut Sub Tema Membangun Budaya Kreatif
17
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
tidak dikupas pada tulisan ini, namun bisa dirujuk dari pada Juknis JFT Perekayasa (BPPT, 2013) dan contoh penerapan STKK pada Pengembangan Profesi Berkelanjutan untuk guru-guru Sekolah Menengah Atas (Muliadi & Afrilionita, 2016).
Tindak lanjut inovasi potensial menjadi HKI. Potensi-potensi HKI yang muncul pada inovasi-inovasi dalam pengerjaan program, selanjutnya diteruskan menjadi draft usulan HKI untuk diajukan menjadi Hak Cipta, Paten, Merek, Rahasia Dagang, Desain Industri atau Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Hidayati, 2014). Sebagai contoh, dengan implementasi STKK,inovasi-inovasi potensial yang terkait invensi dan ditujukan untuk memecahkan masalah tertentu di bidang teknologi, akan dapat diajukan untuk mendapatkan paten. Dengan STKK, dokumen pengajuan paten akan mengandung aspek informasi dan aspek hukum atau perlindungan, yang meliputi Deskripsi, Klaim, Gambar (jika ada) dan Abstrak (Zainuddin, 2015).
KESIMPULAN DAN SARAN Paparan metode usulan ini menguatkan peran STKK dalam manajemen HKI. Optimalisasi manajemen HKI akan muncul dari peningkatan jumlah inovasi akibat proses dokumentasi yang teratur. Dokumen teknis membuat inovasi digugah, diuji, diukur dan didokumentasikan. Dengan menerapkan STKK, maka manajemen HKI akan dioptimalkan dengan mengatasi kendala stagnasi inovasi, dan mengatasi ketiadaan sistem dokumentasi yang baik. Pengenalan metode baru tentu memunculkan kritik dan keraguan terhadap laju suksesnya. Oleh sebab itu, tema dalam makalah ini dapat diteruskan untuk mengkaji hasil implementasi STKK pada kondisi nyata. Namun, mengingat BPPT telah sukses menerapkan STKK ini, maka STKK dapat diterapkan pada bidang selain keteknikan dengan penyesuaian yang telahdibahassebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA BPPT. (2013). Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Perekayasa dan Angka Kreditnya. Jakarta: BPPT. BPPT. (2014, September 05th 2014). BPPT Chairman: Technology Innovation for the Nations Competence and Self-Sufficiency (in Indonesian). The Public Information Service (in Indonesian). 2016, from http://www.bppt.go.id/layanan-informasi-publik/2046-kepala-bppt-inovasi-teknologi-untuk-daya-saingdan-kemandirian-bangsa BPPT. (2015). Profil BPPT. 2016, from http://www.bppt.go.id/profil/sejarah Hidayati, E. (2014). Komersialisasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Melalui Lisensi. Paper presented at the Workshop Lisensi dan Komersialisasi HKI bagi Dosen UNY, Yogyakarta.
Lee, J., Deng, W.-Y., Lee, W.-T., Lee, S.-J., Hsu, K.-H., & Ma, S.-P. (2010). Integrating process and work breakdown structure with design structure matrix. simulation, 7, 8. Sub Tema Membangun Budaya Kreatif
18
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Matei, A., & Bujac, R. (2016). Innovation and Public Reform. Procedia Economics and Finance, 39, 761-768. doi: http://dx.doi.org/10.1016/S2212-5671(16)30278-7 Momoh, A., Roy, R., & Shehab, E. (2008). A work breakdown structure for implementing and costing an ERP project. Communications of the IBIMA, 6(15), 94-103. Muliadi, J., & Afrilionita, D. (2016). Encouraging the Innovation-Based Improvement of Teaching's Method by the Implementation of Engineering Working System for Continuous Professional Development. Paper presented at the International Conference on Teacher Education and Professional Development (InCoTEPD), Yogyakarta. Mumford, M. D., Scott, G. M., Gaddis, B., & Strange, J. M. (2002). Leading creative people: Orchestrating expertise and relationships. The Leadership Quarterly, 13(6), 705-750. doi: http://dx.doi.org/10.1016/S1048-9843(02)00158-3 Panggabean, R. (2015). Sistem Informasi dan Pelaporan dalam Tata Kerja Kerekayasaan. Handout Diklat. Pusbindiklat. BPPT. Jakarta. Piffer, D. (2012). Can creativity be measured? An attempt to clarify the notion of creativity and general directions for future research. Thinking Skills and Creativity, 7(3), 258-264. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.tsc.2012.04.009 Priadi, R. A. S. (2013). Rancangan Usaha Mengurai Stagnasi Inovasi di Perguruan Tinggi: Peran Tri Dharma dengan Dharma Pertama Penelitian (Pengembangan). Paper presented at the Mengurai Stagnasi Inovasi Berbasis Litbang di Indonesia, Jakarta. Purnomo, A. D., & Suparta, G. B. (2010). Pengelolaan hak kekayaan intelektual (HKI) di PT. Tropica Nucifera Industry (PT. TNI) sebagai strategi hubungan sosial (social networking) dengan masyarakat. Universitas Gadjah Mada. Reiter-Palmon, R., & Illies, J. J. (2004). Leadership and creativity: Understanding leadership from a creative problem-solving perspective. The Leadership Quarterly, 15(1), 55-77. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.leaqua.2003.12.005 Saleh, R. (2016). Kebijakan Hukum Untuk Meningkatkan Daya Saing Produk UKM Unggulan Indonesia Dalam Rangka ASEN Economic Community. PRIORIS, 5(1), 1-18. Shiyan, S., & Suparta, G. B. (2011). Pola Manajemen HKI PT. Tropica Nucifera Industry sebagai Strategi Pengembangan Usaha dan Terobosan Cerdas Membina Kemitraan dengan Instansi Pemerintah. Universitas Gadjah Mada. Simamora, M. (2008). Strategi Komersialisasi Aset Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Commercialization Strategy). Available at SSRN. Simamora, M. (2011). Peranan Inkubator Bisnis Teknologi Dalam Pengembangan Technoprener Di Indonesia (The Role of Technology Business Incubator in Development of Technoperener in Indonesia). Available at SSRN. Sirait, S. M., & Suparta, G. B. (2013). Pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual sebagai Strategi Keunggulan Perusahaan Studi Kasus: PT Cipta Sarana Kenayu Lestari. Universitas Gadjah Mada. Subroto, W. T. (2013). Entrepreneurship Development Course to Foster Character Merchandise in Support Economic Growth. Asian Economic and Financial Review, 3(6), 762. Suhayati, M. (2016). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Ekonomi Pemilik Hak Terkait dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Jurnal Negara Hukum, 5(2). Wain, Y. A. (2015). Implementation of 3-Dimensional Work Breakdown Structure in Engineering Design. PM World Journal, IV(5). Zainuddin, M. (2015). Dasar-dasar Penulisan Dokumen Paten (Patent Drafting). Depok.
Sub Tema Membangun Budaya Kreatif
19
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
20
Pusat Inovasi - LIPI
NET 01
ANALISIS PATEN TEPAT GUNA MILIK LIPI DALAM MENGHASILKAN TEKNOLOGI BERDAYA SAING Prio Adi Ramadhani, Syahrizal Maulana Pusat Inovasi LIPI, Jalan Raya Jakarta-Bogor KM 47, Cibinong, Bogor – 16912
[email protected]
Abstrak. Lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) merupakan institusi yang melakukan penelitian dan pengembangan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi berbasis teknologi. Hasil penelitian dan teknologi perlu dilindungi salah satunya dalam bentuk paten. Paten teknologi tepat guna merupakan salah satu yang diharapkan dari lembaga litbang untuk membantu meningkatkan daya saing Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan industri. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mempunyai satuan kerja dalam pengembangan teknologi tepat guna yang menghasilkan teknologi terapan yang tepat guna dan telah mendapatkan perlindungan paten. Studi ini menganalisis paten tepat guna tersertifikasi milik LIPI. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif, dimana dilakukan analisis terhadap empat buah paten tepat guna milik LIPI menggunakan instrumenIPscore® 2.2 milik European Patent Office (EPO) yang dinilai dari segi potensi persaingan di pasar Indonesia dan kemampuan bersaingnya.IPscore®
2.2
memberikan
fitur
untuk
menganalisis,
memvisualisasikan
dan
mendokumentasikan kekuatan dan kelemahan suatu paten atau penelitian.Paten dengan hasil analisis teknologi daya saing tinggi diharapkan segera dilakukan alih teknologi dan diseminasi kepada para pemangku kepentingan. Teknologi dari paten yang belum memiliki daya saing tinggi diperlukan peningkatan fungsi dan pengembangan lebih lanjut sehingga dapat segera termanfaatkan. Paten tepat guna dengan kemampuan daya saing tinggi menjadi salah satu usaha untuk membantu industri dalam menghasilkan produk sesuai kebutuhan.
Kata Kunci: Paten tepat guna, teknologi terapan, daya saing, diseminasi
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN Lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) merupakan institusi yang melakukan penelitian dan pengembangan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi berbasis teknologi. Teknologi tepat guna merupakan salah satu hasil keluaran lembaga litbang yang diharapkan dapat membantu meningkatkan daya saing Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan industri. Definisi teknologi tepat guna sebetulnya tidak dapat dijabarkan secara pasti. Hal ini diungkapkan oleh Bauer & Brown yaitu, kondisi lokal dari setiap daerah sangat bervariasi sehingga definisi “tepat guna” suatu teknologi pun menjadi bervariasi (Bauer and Brown, 2014). Karena istilah “tepat guna” bervariasi berdasarkan konteksnya, maka Murphy et al. berargumentasi bahwa istilah “tepat guna” juga tidak dapat ditentukan dengan pasti (Murphy et al., 2009). Salah satu cara mengetahui teknologi yang dihasilkan oleh sebuah lembaga litbang adalah dengan melihat paten yang dimiliki, dimanapaten melindungi suatu invensi. Invensi yang dilindungi adalah solusi terhadap suatu masalah teknologi spesifik yang dapat berupa produk atau proses (WIPO, 2008). Karena syarat dari sebuah paten adalah invensi di bidang teknologi. Sebuah sumber informasi yang berharga untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang tidak terselesaikan dan untuk memperoleh keuntungan dapat didasari oleh basis data paten, dimana informasi ini tidak tersedia di sumber informasi yang lainnya (Livotov, 2015). Di antara beberapa indikator keluaran suatu teknologi, indikator paten menjadi yang paling sering digunakan untuk memetakan daya saing maupun inovasi (Wagner and Wakeman, 2016).Keuntungan dari analisis paten adalah proses analisis yang dapat dilakukan tanpa hal-hal yang memakan waktu seperti survei pelanggan, bahkan dapat dilakukan tanpa pengetahuan yang sangat mendalam mengenai proses-proses yang dilakukan oleh pelanggan (Livotov, 2015). Lembaga litbang mempunyai hak monopoli untuk jangka waktu tertentu atas paten yang telah didaftarkan dan telah mendapatkan sertifikat paten dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM (Pusat Inovasi LIPI, 2006). Paten dengan hasil analisis teknologi daya saing tinggi diharapkan segera dilakukan alih teknologi dan diseminasi kepada para pemangku kepentingan. European Patent Office (EPO) sebagai kantor paten untuk wilayah Eropa, mendukung inovasi, daya saing dan pertumbuhan ekonomi khususnya di wilayah Eropa, telah menciptakan sebuah instrumen yang dapat digunakan untuk mengevaluasi sebuah paten atau penelitian yaitu IPscore®. Dengan menggunakan instrumen ini dapat dilakukan analisis, visualisasi dan dokumentasi kekuatan dan kelemahan suatu paten atau penelitian.Parameter masukan dalam melakukan analisis meliputi status legal (legal status), teknologi (technology), kondisipasar (market conditions), keuangan (finance), danstrategi (strategy).Hasilnyadapatditampilkandalambentukgambarataugrafik. Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
21
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mempunyai satuan kerja dalam pengembangan teknologi tepat guna yang menghasilkan teknologi tepat guna. Pada tulisan ini dilakukan analisis terhadap potensi persaingan paten tepat guna milik LIPI yang telah mendapatkan perlindungan paten di pasar Indonesia dan kemampuan bersaingnya. Dalam masa modern saat ini, persaingan menjadi faktor penentu bagi perkembangan bisnis, sementara daya saing adalah kondisi yang paling penting bagi kemakmuran bisnis secara keseluruhan (Ahmedova, 2015; Voinescu and Moisoiu, 2015). Hasil analisis diharapkan dapat menjadi masukan untuk melakukan pengembangan teknologi dan diseminasi kepada masyarakat dan industri.
METODOLOGI Pada tulisan ini dilakukan penelitian dengan menggunakan metode kualitatif, dimana dilakukan analisis terhadap paten tepat guna milik LIPI.Pendekatan yang dilakukan adalah 1) penelusuran informasi paten, dan 2) evaluasi potensi pasar dan kemampuan bersaing paten. Untuk menentukan paten tepat guna mana saja yang akan dianalisis, dilakukanpenelusuran patenmelalui basis data paten. Penelusuran dapat dilakukan melalui basis data online patenyang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Penelusuran juga dapat dilakukan melalui basis data online paten milik LIPI, dimana basis data milik LIPI inilah yang digunakan oleh penulis untuk menyaring paten-paten tepat guna milik LIPI. Kemudian dilakukan evaluasi mengenai potensi persaingan dan kemampuan/daya saing paten-paten tepat guna milik LIPI tersebut dengan menggunakan instrumen IPscore® 2.2. Instrumen ini membutuhkan masukan berupa aspek-aspek legalitas, teknologi, kondisi pasar, keuangan, dan tujuan strategis.Hasil yang diperoleh dari evaluasi terhadap paten-paten tepat guna akan dijadikan suatu kesimpulan pada tulisan ini. Dimensi pendekatanpendekatan yang digunakan pada tulisan ini juga dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Dimensi Pendekatan Dimensi Pendekatan Penelusuran informasi paten
Evaluasi potensi pasar dan kemampuan bersaing paten
Deskripsi Menelusuri informasi paten-paten tepat guna milik LIPI menggunakan basis data online paten LIPI. Tujuan: Menganalisis paten mana saja yang akan dievaluasi dan informasi apa saja yang dapat diperoleh berbasis informasi paten. Mengevaluasi dua faktor: potensi keberhasilan di pasar dan kemampuan bersaing paten. Tujuan: Menganalisis potensi pasar dan kemampuan bersaing paten-paten tepat guna milik LIPI.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
22
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelusuran Informasi Paten Untuk menginventarisir paten mana saja yang akan dievaluasi, dilakukan proses penelusuran informasi paten melalui basis data online paten milik LIPI. Diperoleh empat buah paten tepat guna milik LIPI yang telah tersertifikasi dihasilkan oleh Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna. Tiga dari empat paten tersebut masih memiliki masa perlindungan, sedangkan satu paten telah menjadi public domain sejak tahun 2012 lalu. Keempat paten yang diperoleh berupa paten yang berhubungan dengan makanan atau minuman yang memanfaatkan dan bersesuaian dengan potensi lokal.Data mengenai paten-paten tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data Paten Tepat Guna Milik LIPI No
Judul Paten
ID Paten
TanggalPendaftaran
Jenis Paten
1
Alat Pelecet Kulit Biji Kopi
IDS0000911
26 Desember 2001
Sederhana
2
Komposisi Makanan Olahan Berbahan
IDP0023462
17 Oktober 2005
Biasa
Baku Tempe Dan Proses Pembuatannya 3
Biskuit Untuk Penyandang Autis
IDP000036931
5 September 2006
Biasa
4
Pembuatan Susu dan Susu Kental Manis
IDP000040153
29 Juli 2010
Biasa
Rendah Lemak Dari Kacang Hijau Serta Produk Yang Dihasilkannya
B. Evaluasi Potensi Pasar dan Kemampuan Bersaing Paten
Evaluasi potensi pasar dan kemampuan bersaing paten tepat guna pada tulisan ini menggunakan instrumen IPscore® 2.2, dimana terdapat 40 pertanyaan yang dibagi kedalam lima aspek yaitu aspekaspek legalitas, teknologi, kondisi pasar, keuangan, dan tujuan strategis. Pengolahan nilai dari setiap jawaban atas 40 pertanyaan tersebut diproses oleh instrumen IPscore® 2.2 sehingga kemudian dapat diperoleh hasil evaluasi yang diperlukan. Aspek legalitas meliputi tentang status legal paten, klaim pada paten, dan sejauh mana wilayah perllindungan paten. Aspek teknologi meliputi tentang keunikan teknologi paten dibandingkan paten pesaing di wilayah paten tersebut dilindungi, tingkat kesiapan teknologi pada paten, tingkat kesulitan meniru paten, dan tingkat pemecahan masalah yang ditawarkan oleh teknologi pada paten. Aspek kondisi pasar meliputi tentang potensi pasar, pertumbuhan pasar, potensi produk substitusi, harga jual, dan perizinan untuk menjual produk yang dihasilkan oleh paten tersebut. Aspek keuangan meliputi biaya pengembangan, manfaat ekonomis, biaya investasi, kemampuan biaya pemeliharaan paten, dan keuntungan yang dihasilkan. Aspek terakhir yaitu aspek tujuan strategis yang meliputi seberapa besar potensi paten untuk bertahan di pasar, potensi branding, kepastian untuk freedom to operate, perjanjian lisensi, dan kesesuaian paten dengan strategi organisasi. Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
23
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Gambar 1 menunjukkan bahwa paten IDS0000911 memiliki potensi pasar yang rendah karena paten ini memiliki resiko yang relatif tinggi yaitu sekitar 51% dan peluang keberhasilan yang relatif rendah yaitu sekitar 42%. Sedangkan pada Gambar 2 menunjukkan bahwa paten IDS0000911 memiliki daya saing yang bagus terhadap produk pesaing, kemudian memiliki teknologi yang bersaing dan berpotensi tinggi untuk meningkatkan omset. Namun karena masa perlindungan paten ini telah habis maka tidak dapat dilakukan usaha perlindungan hukum terhadap paten ini.
Gambar 1. Matriks Resiko dan PeluangPaten IDS0000911
Gambar 2. Kondisi Daya SaingPaten IDS0000911
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
24
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Gambar 3 menunjukkan bahwa paten IDP0023462 memiliki resiko yang relatif cukup rendahyaitu sekitar 40% dan peluang keberhasilan yang relatif cukup tinggi yaitu sekitar 53%. Gambar 4 menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan melalui paten ini relatif mudah untuk diidentifikasi jika terjadi peniruan, sehingga memungkinkan untuk menempuh jalur hukum jika terjadi peniruan tersebut. Kemudian dengan harga yang bersaing memberikan kemungkinan peningkatan omset penjualan. Namun paten IDP0023462 relatif lemah terhadap produk dan teknologi pesaing yang dapat menggantikan produk atas paten ini.
Gambar 3. Matriks Resiko dan PeluangPaten IDP0023462
Gambar 4. Kondisi Daya Saing Paten IDP0023462
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
25
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Gambar 5 menunjukkan bahwa paten IDP000036931 memiliki resiko yang cukup rendahyaitu sekitar 44% danmemiliki peluang keberhasilan yang relatif cukup tinggi yaitu sebesar 60%. Faktor-faktor yang sekiranya dapat meningkatkan lagi peluang keberhasilan pada paten ini adalah memperhatikan perlindungan hukum dan wilayah perlindungan terhadap paten ini, karena pada Gambar 6 menunjukkan hanya dua faktor tersebut yang memiliki nilai sangat rendah.
Gambar 5. Matriks Resiko dan Peluang Paten IDP000036931
Gambar 6. Kondisi Daya SaingPaten IDP000036931
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
26
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Gambar 7 menunjukkan bahwa paten IDP000040153 memiliki resiko yang relatifcukup rendahyaitu sekitar 43% denganpeluang keberhasilan yang relatif cukup tinggi yaitu sebesar 70%. Diperlukan peningkatkan satu faktor yang sekiranya dapat meningkatkan lagi peluang keberhasilan dan memperkecil resiko pada paten ini yaitu perlindungan hukum dan wilayah perlindungan terhadap paten ini, karena pada Gambar 8 menunjukkan hanya dua faktor tersebut yang memiliki nilai sangat rendah.
Gambar 7. Matriks Resiko dan PeluangPaten IDP000040153
Gambar 8. Kondisi Daya Saing Paten IDP000040153
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
27
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Jika dibandingkan peluang dan risiko dari setiap paten yang dievaluasi, maka paten IDP00004015 mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk dilakukan alih teknologi dan diseminasi kepada pelaku usaha/industri, disusul oleh paten IDP000036931 dan IDP0023462. Daya saing paten-paten tersebut cukup baik di tingkat medium. Paten IDS0000911 perlu dilakukan peningkatan fungsi dan pengembangan lebih lanjut sehingga dapat diperoleh paten terbaru dan memiliki daya saing yang lebih baik. Teknologi dari paten-paten tepat guna milik LIPI masih dapat dilakukan perbaikan sehingga dapat meningkatkan daya saing teknologi maupun produk serta mengurangi resiko yang dihadapi.
KESIMPULAN DAN SARAN Tulisan ini menggunakan teknik penelusuran informasi paten di basis data online milik LIPI untuk memudahkan proses inventarisasi data paten tepat guna milik LIPI. Data paten hasil penelusuran tersebut kemudian menjadi masukan pada proses evaluasi faktor potensi keberhasilan di pasar Indonesia dan daya saingnya. Diperoleh hasil bahwa paten yang dievaluasi umumnyamemilki resiko yang cukuprendah(<50%) danpeluangkeberhasilan yang cukuptinggi (>50%) jika dipasarkan di Indonesiaselain paten IDS0000911 yang telahselesaimasaperlindungannya. Dari sisi teknologi, hanya paten IDP0023462 yang sangat lemah terhadap teknologi pesaing, sementara tiga paten lainnya yaitu paten IDS0000911, IDP000036931, dan IDP000040153 memiliki teknologi yang berdaya saing di tingkat menengah.Paten IDP000040153mendapatkannilaievaluasiterbaikuntukdapatdilakukanalihteknologidandiseminasi. Perbaikan terhadap teknologi, wilayah perlindungan, dan upaya perlindungan hukum yang dimiliki oleh paten-paten tepat guna milik LIPI masih dapat dilakukan sehingga dapat meningkatkan daya saing teknologi maupun produk serta mengurangi resiko yang dihadapi.
REKOMENDASI Daya saing teknologi pada paten-paten tepat guna milik LIPI masih berada pada tingkat menengah. Oleh karena itu rekomendasi dari penulis adalah perlu dilakukan kajian khusus terhadap penelitian-penelitian yang dilakukan di LIPI, khususnya di Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna, yang diproyeksikan untuk diajukan perlindungan paten. Dengan demikian paten yang dihasilkan dapat memberikan dampak ekonomi yang lebih signifikan.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
28
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
DAFTAR PUSTAKA Ahmedova, S. 2015. Factors for increasing the Competitiveness of Small and Medium-Sized Enterprises (SMEs) In Bulgaria. Procedia – Social and Behavioral Sciences 195 (2015) 1104-1112. Elsevier Ltd. Bauer, M.A. and A. Brown. 2014.Quantitative assessment of appropriate technology. Procedia Engineering 78 (2014) 345-358. Elsevier Ltd. Livotov, P. 2015.Using patent information for identification of new product features with high market potential. Procedia Engineering, 131 (2015) 1157–1164, Elsevier Ltd. Murphy, H.M., E.A. McBean, and K. Farahbakhsh. 2009.Appropriate technology - A comprehensive approach for water and sanitation in the developing world. Technology in Society, 31 (2009) 158-167, Elsevier Ltd. Pusat Inovasi LIPI. 2006. MenulisDokumen Paten A to Z. Jakarta: LIPI Press. ISBN: 979-799-036-2. Voinescu, R. and C. Moisoiu. 2015. Competitiveness, Theoritical and Policy Approaches. Towards a more competitive EU. Procedia Economics and Finance, 22 (2015) 512-521, Elsevier Ltd. Wagner, S. and S. Wakeman. 2016.What do patent-based measures tell us about productcommercialization? Evidence from the pharmaceutical industry. Research Policy, 45 (2016) 1091-1102, Elsevier Ltd. WIPO. 2008. WIPO Intellectual Property Handbook: Policy, Law and Use. Chapter 2: Fields of Intellectual Property Protection.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
29
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
NET 02
PERFORMANCE MANAGEMENT, WIN-WIN SOLUTION DALAM PENINGKATAN SERVICE QUALITY DAN CUSTOMER SATISFACTION TRANSPORTASI PUBLIK Nurvi Oktiani1 dan Rani Kurnia Sari2 Jl. R.S Fatmawati No.24, Pondok Labu, Jakarta Selatan1, Jl. Jatiwaringin Raya No.18, Jakarta Timur2
[email protected] Abstrak. Transjakarta adalah lembaga pengelola Bus Rapid Transit (BRT) atau dikenal dengan Busway merupakan pionir reformasi angkutan umum bagi masyarakat, sarana dan prasarana dirancang khusus sebagai sistem transportasi yang mampu mengangkut penumpang dalam jumlah besar, namun pada kenyataannya di lapangan, masih banyak yang harus dilakukan oleh transjakarta karena terdapat permasalahan yang menjadi perhatian bagi pengelola Tranjakarta. Metode yang dilakukan dalam penelitian adalah kausalitatif dan bersifat kuantitatif dengan mengunakan Struktural Equation Modeling dan aplikasi AMOS 18, hasil penelitian dinyatakan dari nilai output Regression Weight dimana nilai probabilitas dari Model akhir analisis jalur yang memiliki nilai di bawah 0,001 (***) dimana dinyatakan bahwa variabel win-win solution (Solusi/strategi yang menguntungkan bagi kedua pihak yakni pihak pengelola dan pihak penguna transportasi berkenaan dengan permasalahan transportasi) memiliki hubungan yang signifikan dengan peningkatan manajemen kinerja, dan pengaruh terhadap peningkatan kualitas pelayanan, performance management (Manajemen Kinerja) memiliki hubungan yang signifikan dengan win-win solution dan pengaruh yang terhadap service Quality (kualitas pelayanan), dan service quality memiliki pengaruhnya signifikan terhadap peningkatan (kepuasan pengguna jasa transportasi), namun manajemen kinerja dan win-win solution tidak memiliki hubungan dan pengaruh terhadap kepuasan pengguna berdasarkan hasil penelitian disimpulkan win-win solution dan manajemen kinerja merupakan faktor yang penting yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan kepuasan penguna.
Kata kunci: manajemen kinerja, win-win solution, kualitas pelayanan, kepuasan pelanggan
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
30
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN Busway merupakan pionir reformasi angkutan umum bagi masyarakat, dimana Sarana dan prasarana busway dirancang secara khusus untuk berfungsi sebagai sistem transportasi yang mampu mengangkut penumpang dalam jumlah cukup besar. Infrastruktur, pengelolaan, pengendalian dan perencanaan sistem Busway disediakan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta, sementara kegiatan operasional bus dan penerimaan pembayaran dari sistem tiket dikerjasamakan dengan pihak swasta, namun kenyataan di lapangan, masih banyak yang harus dilakukan oleh transjakarta karena terdapat permasalahan menjadi perhatian bagi pihak pengelola Tranjakarta. diantaranya penumpukan penumpang dibeberapa koridor-koridor busway, bus mogok, terbakar dan rusak, pengunaan kartu elektrik yang belum efektif dan masih perlu disosialisasikan karena dari 200 halte transjakarta baru 12 halte yang menggunakan kartu elektrik (e-ticketing), armada yang terbilang kurang memadai jumlahnya jika dibandingkan dengan kebutuhan penumpang, dan pengaturan jalur yang masih perlu di awasi. Pengaturan jalur kendaraan pribadi, kendaraan umum dan busway p masih dirasa kurang efektif, dari permasalahan tersebut hendaknya menjadi perhatian mengingat jumlah penumpang transjakarta yang kian hari kian meningkat. Apabila permasalahan- permasalahan diatas tidak teratasi dan pelayanan yang maksimal belum di berikan sehingga masyarakat belum terpuaskan atas layanan yang diberikan, maka bukanlah suatu yang mustahil, apabila jumlah penumpang akan mengalami penurunan. Para penumpang akan beralih kepada alternatif- alternatif sarana transportasi yang lain, oleh sebab itu dibutuhkan suatu evaluasi atas kinerja yang dilakukan oleh Transjakarta dan suatu perbaikan yang memadukan beberapa konsep serta merancang ataupun mendesain suatu rencana, program, strategi dalam rangka pengembangan dan perbaikan terhadap evaluasi yang kinerja yang telah dilakukan serta fokus pada tantangan yang lebih terpenting dan dalam upaya meningkatkan efesiensi, tambahan lagi bahwa manajemen kinerja dapat menyediakan suatu alat bernilai bagi perusahaan- perusahaan transportasi dalam mengkomunikasikan dengan publik atau stakeholder yang dapat membantu perusahaaan transportasi khususnya dalam menyusun suatu agenda strategik dalam jangka panjang, dan dapat menjadi alat untuk mendiagnosa atau memecahkan masalah.
METODOLOGI Penelitian ini dilakukan diwilayah DKI Jakarta, sampel penelitian ini adalah para penguna jasa Transportasi publik Transjakarta, dengan jumlah sampel 400 orang Bentuk penelitian kausalitatif dan bersifat kuantitatif, karena mengambarkan pengaruh variabel manajemen kinerja dan Win-win solution, Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
31
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
terhadap kualitas pelayanan dan kepuasan penguna data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, Penelitian dilakukan dengan mengunakan Struktural Equation Modeling dengan mengunakan aplikasi AMOS 18.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik responden terbagi atas jenis kelamin, umur, jenis pekerjaan, pendidikan, penghasilan perbulan, pengunaan dan tujuan, Analisis Faktor Konfirmatori dan Validitas Konstruk Salah satu faktor utama dari CFA adalah kemampuan menilai validitas konstruk dari measurement teori yang di diusulkan, validitas konstruk mengukur sampai seberapa jauh ukuran indikator mampu merefleksikan konstruk laten teoritisnya
Convergen Validity Untuk mengukur validitas konstruk dapat dilihat dari nilai factor loadingnya, pada kasus dimana terjadi validitas konstruk yang tinggi, maka nilai loading yang tinggi pada suatu faktor menunjukan bahwa convergen pada suatu titik, syarat yang harus dipenuhi, standarized Loading Estimate harus sama dengan 0,5 atau lebih ideal nya harus 0,70 (Ghozali, Imam : 2013:138) Berikut ini akan digambarkan Convergen Validity a. Win – Win Solution (X1)
Gambar 1 : Output Convergen Validity Variabel Win- Win Solution
b. Variabel Manajemen kinerja Di bawah ini akan di gambarkan convergent validity untuk manajemen kinerja
Gambar 2 Output Convergen Validity Variabel Manajemen kinerja
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
32
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
c. Variabel kualitas pelayanan
Gambar 3: Output Convergen Validity Variabel kualitas pelayanan
d. Variabel kepuasan pengguna Di bawah ini akan di gambarkan Convergent Validity untuk kepuasan pengguna
Gambar 4 : Output Convergen Validity Variabel kepuasan pengguna Tabel 1 : Nilai Validitas dan Reabilitas Variabel
Estimasi Validity
Win-Win Solution a.Least Cost Transportation Planning (X1)
0,594
b.Pay-As-You-Drive pricing (X2)
0,573
c.Transit and Rideshare Improvement (X3)
0,661
d.HOV priority (X4)
0,721
e. Transportation Demand Management (TDM) Programs (X5)
0,654
Manajemen Kinerja a.Fokus pada individu (X6)
0,805
b.Peningkatkan koordinasi (X7)
0,805
c.keanekaragamana(Diversity) (X8)
0,833
d.aksesibilitas dan Livabilitas (X9)
0,793
Kualitas Pelayanan a. Service Availability (X10)
0.667
b. Service Reliability (X11)
0.705
c. Comfort (X12)
0.721
d.Cleanliness (X13)
0.768
e.Safety and security(X14)
0,769
Estimasi Reability
0,851
0,932
0.941
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
33
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
f.Tarif (X15)
0,538
g.Information (X16)
0,690
h.Customer care.(X17)
0,781
i.Environmental impacts(X18)
0,799
Kepuasan Pengguna a. Timeliness (Y19)
0.626
b.Safety dan Security (Y20)
0.725
c.Ticketing dan accessibility (Y21) d.Comfort dan cleanliness (Y22)
0.604 0.738
e.Informasi, Customer Service dan Convenience (Y23)
0,739
0.884
pengujian akan diukur berdasarkan tahapan pengujian validitas dan tahapan pengujian reliabilitas, dimana untuk pengujian validitas menurut Black dalam Sopandi(2012:188) bahwa factor loading minimum adalah 0,5, indikator yang memiliki factor loading dibawah batas minimum tersebut akan dikeluarkan dari model pengukuran, sedangkan untuk pengujian reliabilitas dari nilai faktor loading, dilakukan perhitungan construct reliability, dimana menurut Black dalam Sopandi(2012:188) bahwa nilai dari construct reliability, minimum adalah 0,7, dari tabel diatas dilihat nilai estimasi validity dan estimasi reliability dapat disimpulkan bahwa indikator di atas dapat dinyatakan valid dan reliabel.
Menilai Overall Fit Model (Goodness of Fit Model) Goodness of Fit merupakan indikasi dari perbandingan antara model yang dispesifikasi degan matriks kovarian antar indikator atau observed variabel, jika Goodness of Fit yang dihasilkan suatu model itu baik, maka model tersebut dapat diterima dan sebaliknya jika Goodness of Fit yang dihasilkan suatu model itu buruk, maka model tersebut harus di tolak atau dilakukan modifikasi model, menurut Garson dalam Latan (2013 : 49) merekomendasikan untuk hanya melaporkan CMIN, RMSEA, salah satu dari baseline fit (CFI, IFI, NFI,RFI, TLI), salah satu dari parsimory fit (PNFI, PCFI) dan salah satu dari information Theory (AIC, BIC, CAIC, BCC, ECVI, MECVI) Hasil Goodness of Fit Model yang diperoleh model yang direncanakan berdasarkan persyaratan dari nilai Cut Off Value, secara keseluruhan belum dapat dikatakan fit secara baik, karena setelah diuji dengan kecocokan nilainya dengan Chisquares, Probabilitas, CMIN, TLI, CFI, RMSEA, AGFI, menurut Santoso (2012: 199) dalam praktiknya hasil analisis SEM sering tidak memuaskan, atau disebut tidak memuaskan disini dikarenakan kriteria kelayakan sebuah model sulit untuk dipenuhi, atau disini misalkan banyak ketidak cocokan nilai atau jauh dari kriteria layak, maka alternatif mengubah model menjadi Path Diagram(analisa jalur dan selanjutnya dilakukan path analisis patut dipertimbangkan. Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
34
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
ANALISA JALUR Jika suatu model dibentuk dengan mengunakan variabel, dan tidak dapat menghasilkan suatu model regresi, maka teknik analisis yang tepat yang dapat digunakan untuk masalah ini adalah analisa jalur
Gambar 5. Model Awal Analisa Jalur
Uji Kausalitas Model Melalui pengolahan data dapat dianalisis dan dihitung hasil bobot regresi antarvariabel yang dijelaskan dalam estimasi loading Factor maka didapatkan hasil bobot regresi uji kausalitas sebagai berikut:
Tabel 2. Evaluasi Bobot Regresi Uji Kausalitas Estimate
S.E.
C.R.
P
Service Quality (X3)
<---
Win-Win Solution (X1)
.301
.041
7.423
***
Service Quality (X3)
<---
Performance Management (X2)
.539
.044
12.292
***
Customer Satisfaction (Y)
<---
Win-Win Solution (X1)
.004
.054
.077
.939
Customer_ Satisfaction (Y)
<---
Performance_ Management (X2)
.038
.065
.587
.557
Customer Satisfaction (Y)
<---
Service Quality (X3)
.679
.063
10.769
***
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
35
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Sedangkan pada tabel Covariance dapat dilihat untuk nilai probability yang memiliki nilai di bawah 0,001 (***) berkenaan dengan hal lebih lanjut dapat dianalisis sebagai berikut dalam bentuk tabel Ringkasan Hasil pengujian Hipotesis Tabel 3. Ringkasan Hasil Pengujian Hipotesis Hipotesa
Keputusan
H1
Diduga Variabel Win-win Solution mempengaruhi secara signifikan terhadap variabel Perfomance Management
Diterima
H2
Diduga Variabel Win-win Solution mempengaruhi secara signifikan terhadap variabel Service Quality
Diterima
H3
Diduga Variabel Win-win Solution mempengaruhi secara signifikan terhadap variabel Customer Satisfaction
Ditolak
H4
Diduga Variabel Performance Management mempengaruhi secara signifikan terhadap variabel Service Quality
Diterima
H5
Diduga Variabel Performance Management mempengaruhi secara signifikan terhadap variabel Customer Satisfaction
Ditolak
H6
Diduga Variabel Service Qualiy mempengaruhi secara signifikan terhadap variabel Customer Satisfaction
Diterima
Dari hasil Ringkasan Hasil Pengujian Hipotesis, maka diperoleh model akhir dari Analisa jalur yang dapat di gambarkan sebagai berikut :
Gambar 6 : Model Akhir Analisa Jalur
Model akhir analis jalur diatas disimpulkan bahwa win-win solution dan manajemen kinerja merupakan faktor yang terpenting dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan dan kepuasan penguna jasa transportasi, oleh sebab itu perlu adanya sinergi antara implementasi win-win solution ini dan juga pengelolaan manajemen kinerja, dalam upaya pengelola transjakarta kualitas pelayanan sehingga dapat menciptakan kepuasan penguna jasa transportasi
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
36
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Efek Langsung, Efek Tidak Langsung, Efek Total Variabel Besar nya pengaruh masing masing variabel laten secara langsung (Standarized Direct Effect), maupun tidak langsung (Standarized Indirect Effect) serta Efek Total (Standarized Total Effect) yang diringkas dalam tabel berikut: Tabel 4. Efek Langsung, Efek Tidak langsung , Efek Total Variabel Variabel
Efek Langsung 0,820
Efek Tidak Langsung 0,000
Efek Total 0,820
Win-win Solution Terhadap Service Quality
0,301
0.000
0,301
Win-win Solution Terhadap Customer Satisfaction
0,005
0,236
0.241
Performance Management Terhadap Service Quality
0,557
0.000
0.557
Performance Management Terhadap Customer Satisfaction
0,041
0,391
0,432
Service Quality Terhadap Customer Satisfaction
0,679
0,000
0,679
Win-win Solution Terhadap Performance Management
Sumber: Data yang diolah (2016)
Interpretasi Hasil Pengujian Hipotesis Dari pengujian Hipotesis diatas dapat disimpulkan bahwa terdapatnya gambaran analisis regresi berganda melalui variabel yang diteliti berdasarkan regression weight, Service Quality = 0,563 + 0,301(Win-Win Solution) + 0,539 (Performance Management) = 0,563 + 0,301 X1 + 0,539 X2 dan Customer Satisfaction = 1,094+0,004 X1+0,038 X2 + 0,679 X3
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pengolahan data dan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa : Model akhir analisis jalur dapat dijelaskan variabel win-win solution memiliki hubungan yang signifikan dengan manajemen kinerja, dan memiliki pengaruh terhadap peningkatan kualitas pelayanan, begitu juga manajemen kinerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap service Quality, dan sedangkan variabel Service Quality memiliki pengaruhnnya segnifikan terhadap peningkatan Customer Satisfaction, namun berdasalkan model awal analisis jalur dalam penelitian ini win-win solution dan manajemen kinerja tidak Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
37
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
memiliki hubungan dan pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan pelangan, sehingga dapat disimpulkan bahwa win-win solution dan manajemen kinerja merupakan faktor yang terpenting dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kepuasan penguna jasa transportasi
REKOMENDASI berdasarkan dari interpretasi hasil pengujian hipotesis serta efek langsung, efek tidak langsung, efek Total antara variabel yang diuji, sebaiknya perlu diperhatikan dan dipertimbangkan kembali indikator-indikator serta variabel yang mempengaruhi kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan terutama yang dapat dilihat dari variabel win-win Solution dan manajemen kinerja
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami ucapkan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi (RISTEKDIKTI) sebagai penyandang dana untuk Hibah Penelitian Dosen Pemula (PDP) tahun pelaksanaan 2016, Pimpinan, Dosen, dan Staf di AMIK BSI JAKARTA, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) AMIK BSI JAKARTA, Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kemajuan ini
DAFTAR PUSTAKA Beirao, Gabriela, J.A, Sarsfield Cabral.2007. Understanding Attitudes Towards Public Transport and Private Car: A Qualitative Study: Elsevier November 2007, Vol 14(6): 478-489 Budiono, Astusi Oktiani, 2009. Customer Satisfaction in Public Bus Transport (A Study Traveler Perception in Indonesia, Karlstads University Dighra, Chihavi, 2011. Measure Public Transport Performance, Lessons For Developing Cities, Sustainable Urban Transport Technical Document, Division 44, Water, Energy, Transport, Sector Project, Transport Policy Advisory Services, Berlin Germany Director General of Transport For NSW, 2013. Customer Satisfaction Index 2013.State of New South Wales Elefteriadou, Lily, Sivaramakrishnan Srinivan, etc.2012.Final Report: Expanded Transportation Performance Measures to Supplement Level of Service (LOS) for Growth Management and Transportation Impact Analysis. The Florida Department of Transportation Systems Planning Office Eq, Zainal Mustafa dan Toni Wijaya.2012. Panduan Teknik Statistik SEM dan PLS dengan SPSS Amos.Cahaya Atma Pustaka.Yogyakarta
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
38
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Friman, Margareta, Markus Felleson.2009.Service Supply and Customer Satisfaction in Public Transportation:The Quality Paradox.Journal of Public Transportation, Vol 12, No, 4,2009. Karlstad University, Sweden Helmreich, Wolfgang, 2010.Safety and Security in Mobility Thematic Research Summary.Directorate-General For Mobility and Transport European Commision Krizek, J. Kevin, Michael lacono, Ahmed El Geneidy, etc.2009.Access to Destinations: Application of Accesibility Measures For Non-AutoTravel Modes.Minnesota Department of Transportation Research of Transportation, Research Service Section Latan, Hengki, 2013. Model Persamaan Struktural, Teori dan Implementasi AMOS 21.0.Penerbit ALFABETA Bandung Litman, Todd, 2007. Win-Win Emission Reduction Strategies Smart Transportation Strategies Can Achieve Emission Reduction Targets And Provide Other Important Economic, Social and Environmental Benefits. Victoria Transport Policy Institute Litman, Todd.2013.Smarter Congestion Relief In Asian Cities Win Win Solutions to Urban Transport Problems. Transport and Communications Bulletin for Asia and the Pacific No.82, 2013 Mazulla, Gabriella, Laura Eboli,2006.A Service Quality Experimental Measure For Public Transport. European Transport/Trasporti Europei No.34(2006), 42-53 Nathanail, E, 2008. Measuring the Quality of Service For passenger on the Hellenic Railway. Transportation Research 42(A), PP48-66 NCHRP Report 660,2010.Transportation Performance Management: Insight From Practitioners.Cambridge Systematics, Inc, High Street Consultng Group, Pittsburg, PA, National Academy of Sciences Sen, Lalita, Sarmista Rina Majundar, etc, 2011. Performance Measure For Public Transit Mobility Management.Texas Department of Transportation Research and Technology Implementation Office. http://tti.tamu.edu/document/0-6633-1.pdf Sanusi, Anwar.2011. Metodologi Penelitian Bisnis. Penerbit Salemba Empat Santoso, Singgih.2012.Analisis SEM Mengunakan AMOS.Penerbit PT Elex Media Komputindo Sopandi, Robi. 2012.Kajian Penerimaan dan Pengunaan Sistem E-Commerce Berdasarkan keragaman usia, jenis kelamin, pengalaman penggunanya: Studi Kasus Bukalapak.com, jurnal paradigm Vol XIV, No.2 September 2012 Smith, Mshadoni, 2010. Improving Customer Satisfaction In Transportation Decision Making. Georgia Institute of Technology Transportation Research Board (2003) A handbook for measuring customer satisfaction and service quality, Washington, D.C.: National Academy Press, Transit Cooperative Research Program, Report 47. Tyrinopoulos, Y, and G. Aifadopoulou.2008.A Complete Methodology for the Quality Control of Passeger Services in the Public Transport BUSINESS.European Transport/Trasporti Europei 38:1-16
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
39
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
40
Pusat Inovasi - LIPI
Veic.org,
2014.Least-Cost
Transportation
Plaanning
Opportunities
for
the
Vermont
Agency
of
Transportation.Vermont Energy Investment Corporation Widarjono, Agus.2015.Analisis Multivariat Terapan.UPP STIM YKPN. Yogyakarta
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
NET 03
BUDIDAYA JAMUR PANGAN, PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM BERKELANJUTAN Iwan Saskiawan Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jl. Raya Jakarta Bogor Km. 46 Cibinong 16911
[email protected]
Abstrak. Jamur pangan merupakan salah satu komoditas hortikultura yang akhir-akhir ini berkembang dengan cepat. Selain mempunyai nilai gizi yang tinggi, jamur pangan juga mengandung beberapa senyawa aktif yang bersifat meningkatkan kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit (imunomodulator). Oleh karena itu jamur pangan dapat dikategorikan sebagai bahan pangan fungsional (nutrasetikal). Budidaya jamur pangan merupakan kegiatan yang ramah lingkungan. Media tanam yang digunakan merupakan limbah pertanian yang mengandung lignoselulosa yang akan digunakan jamur untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Jamur pangan menghasilkan enzim yang dapat memotong ikatan rantai panjang pada media tanam sehingga dapat digunakan oleh jamur pangan untuk pertumbuhannya. Selanjutnya limbah media tanam yang sudah tidak produktif dapat digunakan sebagai pupuk organik, media budidaya cacing, dan belut. Dalam makalah ini akan dibahas tentang budidaya jamur di Indonesia serta potensi pengembangan di masa yang akan dating.
Kata Kunci: Budidaya jamur pangan, limbah pertanian
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
41
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN
a. Jamur Pangan Sebagai Komoditas Hortikultura
Beberapa tahun terakhir jamur pangan sebagai salah satu bahan pangan sudah mulai dikenal masyarakat luas. Pasar domestik yang masih terbuka dan mempunyai daya serap yang cukup tinggi, ketersediaan bahan baku berupa limbah agroindustri yang melimpah, sumber daya manusia serta kondisi agroklimat yang sesuai, membuat komoditas jamur mempunyai peluang yang sangat besar untuk dikembangkan secara massal. Jamur pangan dikenal memiliki cita rasa dan nilai gizi yang tinggi sehingga permintaan dari masyarakat terus meningkat dari tahun ke tahun yang mengakibatkan dampak ekonomi dari masyarakat. Selain dikenal sebagai bahan pangan yang bernilai gizi tinggi, jamur tiram juga dikenal sebagai bahan pangan fungsional (Akindahunsi dan Oyetay 2006). Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah memiliki fungsi fisiologi tertentu, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan (Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan 2005). Jamur tiram mengandung senyawa polisakarida yang mempunyai sifat antimikrob, antitumor, antiradang, antioksidan, hematologi, hipotensi dan efek hepatoprotektif (Chang and Miles, 1989; Wasser, 2002; Cohen et al. 2002). Jamur juga merupakan salah satu komoditas sayuran organik yang tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia sehingga sangat membantu dalam menjaga kelestarian lingkungan. Di samping itu limbah yang berasal dari media tumbuh jamur masih dapat digunakan sebagai pupuk organik yang sangat baik untuk kesuburan tanah dan tanaman serta lebih ramah lingkungan (Priadi, et. Al., 2016) Dalam ilmu taksonomi atau penggolongan mahluk hidup, jamur digolongan dalam kingdom fungi. Berbeda dengan hewan dan tumbuhan, jamur dicirikan sebagai organisme eukariot (mempunyai susunan sel yang lebih komplek), umumnya bersifat multiselular dan tidak mempunyai klorofil sehingga organisme ini menyerap zat-zat makanan yang ada disekitarnya untuk keperluan hidupnya. Jamur pangan yang selama ini kita konsumsi adalah tubuh buah (fruit body) dari jamur yang merupakan salah satu fase dalam siklus hidupnya. Jamur yang menghasilkan tubuh buah biasanya termasuk dalam kelas Basidiomisetes atau disebut jamur tingkat tinggi. Jenis Jamur yang dapat dimakan tidak kurang dari 600 jenis, sekitar 200 jenis di antaranya sudah dimanfaatkan, dan 35 jenis di antaranya telah dibudidayakan secara komersial. Jamur yang dibina oleh Direktorat Jenderal Hortikultura sesuai SK Menteri Pertanian No. 511 Tahun 2006 ada 6 jenis yaitu jamur lingzhi, jamur kancing, jamur merang, jamur shiitake, Jamur kuping dan jamur tiram. Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
42
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Melihat potensi jamur pangan sebagai komoditas bahan pangan, Pusat Penelitian Biologi LIPI yang berada di Kedeputian Ilmu Pengetahuan Hayati telah menetapkan jamur pangan sebagai salah satu bahan kajian dalam pemanfaatan sumber daya hayati untuk bidang pangan. Beberapa kegiatan berupa penelitian dasar dan pengembangan jamur pangan sudah banyak dilakukan. Pada Tahun 2012 dibentuk Kelompok Kerja Nasional Jamur Indonesia (National Working Group on Indonesian Mushrooms) yang disingkat dengan Pokjanas Jamindo. Pokjanas Jamindo merupakan suatu wadah yang berlandaskan ilmu, teknologi dan kearifan lokal dengan tujuan mengkoordinasikan dan mensinergiskan kegiatan penelitian, pengembangan dan pembinaan ilmu dan agribisnis jamur sebagai bahan pangan dan obat. Beberapa institusi yang berkait dengan hal ini adalah institusi penelitian dan pengembangan dari Lembaga Kementrian dan Non Kementrian, Perguruan Tinggi, Swasta, Organisasi Profesi serta pihak-pihak terkait lainnya. Pokjanas Jamindo didirikan dan dideklarasikan oleh para pemangku kepentingan jamur di Bandung pada acara Festival Jamur Indonesia pada hari Senin tanggal 10 September 2012 yang disaksikan oleh Direktur Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian dan Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pokjanas Jamindo dipimpin oleh Sekretaris Jenderal yang dijabat secara ex officio oleh Kepala Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tugas Sekretaris Jenderal adalah melalukan koordinasi dan sinergi program atau kegiatan antar institusi maupun anggota.
b.
Prospek Pengembangan Jamur Pangan di Indonesia
Menurut data dari Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara pengekspor jamur pangan. Negara tujuan ekspor jamur terbesar adalah Amerika Serikat (72,53%), Rusia (5,01%), Uni Emirat Arab (3,94%), Saudi Arabia (3,79%) dan Jepang (3,02%). Dibandingkan dengan komoditas hortikultura lainnya, jamur merupakan salah satu komoditas yang nilai ekspornya tinggi, dalam arti jamur yang diekspor lebih besar daripada jamur yang diimpor. Volume ekspor sedikit akan tetapi memiliki nilai ekspor yang besar, hal ini menunjukkan budidaya jamur menguntungkan. Jamur yang diekspor adalah jenis jamur kancing (Agaricus sp.) dalam bentuk olahan (kaleng dan botol). Jenis jamur ini biasaya dibudidayakan dengan teknologi tinggi yang sifatnya padat modal. Data ekspor-impor jamur pangan Indonesia dari tahun 2009-2013 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
43
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Tabel 1. Ekspor-Impor Jamur Indonesia Tahun 2009– 2013 Tahun
Volume
Nilai Ekspor
Volume Impor
Nilai Impor
Neraca Ekspor - Impor
(Ton)
(US$)
(Ton)
(US$)
2009
15,256
21,632,464
3,176
3,208,712
18,423,752
2010
9,332
14,262,799
3,081
3,695,905
10,566,894
2011
7,148
13,707,710
3,373
3,989,751
9,717,959
2012
6,017
12,389,826
6,017
7,959,353
4,430,473
2013
6,258
12,984,642
4,227
6,524,754
6,459,888
Ekspor
Sumber : Ditjen PPHP
Kenyataaan lain menunjukkan bahwa potensi untuk pasar domestikpun masih terbuka lebar. Kebutuhan jamur di pasar domestik juga mengalami peningkatan cukup besar. Masyarakat semakin sadar pentingnya mengkonsumsi jamur untuk tujuan kesehatan. Jamur saat ini dikonsumsi sebagai pengganti daging selain dari beralihnya pola makan masyarakat kepada bahan pangan organik. Di beberapa pasar basah/pasar tradisional jamur pangan sudah merupakan bahan dagangan sehari-hari seperti komoditas sayuran lainnya. Sedangkan untuk segmen yang lebih tinggi seperti hotel dan restoran besar, mereka biasanya menuntut kualitas jamur yang lebih baik, sehingga kadang-kadang menyulitkan para supplier. Berdasarkan data dari BPS tentang angka konsumsi perkapita, terjadi peningkatan konsumsi jamur dari 0,04kg/kapita/tahun pada tahun 2009 menjadi 0,57 kg/kapita/tahun pada tahun 2012. Meskipun demikian tingkat konsumsi jamur di Indonesia masih tergolong rendah dibanding beberapa negara yang menjadi konsumen jamur terbesar di dunia. Rata-rata tingkat konsumsi jamur penduduk per kapita per tahun untuk negara Inggris 1 kg, Kanada lebih dari 1,5 kg, dan Jepang 3,4 kg. Di Indonesia , beberapa jenis jamur yang telah dibudidayakan baik oleh petani dengan skala kecil sampai menengah antara lain jamur Tiram, jamur Merang, jamur Kuping, jamur Shiitake. Budidaya jamur pada level ini ditandai dengan masih tergantungnya petani dengan kondisi alam sekitarnya. Data dari BPS menunjukkan bahwa produksi jamur dari tahun ke tahun berfluktuasi dan semakin menurun pada dua tahun terakhir. Begitu juga dengan tingkat produktivitas yang tidak menunjukkan trend yang positif, hal ini disebabkan karena terjadinya penurunan luas panen. Penurunan luas panen disebabkan karena sumber bahan baku media (terutama jamur Merang berkurang akibat mekanisasi panen dan penurunan produksi padi, karena faktor iklim yang mengganggu proses produksi padi sawah), atau kemungkinan kurangnya kemampuan manajerial petani untuk usaha budidaya secara berkelanjutan.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
44
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
45
Pusat Inovasi - LIPI
Dalam penelitian ini akan diungkapkan tentang kegiatan budidaya jamur serta potensi sumber daya alam yang ada di Indonesia yang diharapkan dapat mendukung pengembangan budidaya jamur di Indonesia.
Tabel 2. Luas Panen, Produksi Dan Produktivitas Jamur Periode 2008 - 2012 No.
Indikator
2008
2009
2010
2011
2012
637
700
684
497
576
1.
Luas Panen (Ha)
2.
Produksi (Ton)
43.047
38.465
61.376
45.854
40.886
3.
Produktivitas (ton/ha)
67,58
54,95
89,80
92,26
70,98
Sumber: BPS diolah Ditjen Horti
METODOLOGI Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan menggunakan data-data yang ada di Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian. Selain itu data-data juga diambil berdasarkan beberapa hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Pusat Penelitian Biologi LIPI. Data-data tersebut kemudian di analisa secara kualitatif untuk memberi gambaran tentang kondisi budidaya jamur pangang di Indonesia
HASIL DAN PEMBAHASAN a.
Kondisi Budidaya Jamur pangan di Indonesia Jamur merupakan mahluk hidup yang dicirikan dengan ukurannya yang mikroskopis, tidak mempunyai
khlorofil (zat hijau daun) yang mengakibatkan organisme ini menyerap zat-zat makanan yang ada disekitarnya untuk keperluan hidupnya. Sebenarnya jamur pangan yang selama ini kita konsumsi adalah tubuh buah dari jamur yang merupakan salah satu fase dalam siklus hidupnya. Jamur yang menghasilkan tubuh buah biasanya termasuk dalam kelas Basidiomisetes atau disebut jamur tingkat tinggi. Tubuh buah tersebut akan menghasilkan spora yang bersifat mikroskopis. Fungsi spora ini adalah seperti biji tumbuhan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa spora apabila berada ditempat yang sesuai akan membentuk hifa dengan struktur yang berbentuk tabung. Kumpulan hifa tersebut membentuk jaringan yang disebut miselium. Miselium ini bersifat makroskopik dan dapat dilihat dengan mata telanjang. Untuk mendapatkan makanannya jamur menghasilkan enzim, suatu senyawa yang dapat mendegradasi senyawa rantai panjang menjadi senyawa rantai pendek. Degradasi senyawa rantai panjang ini memudahkan jamur dalam menyerap zat-zat makanan. Senyawa-senyawa rantai panjang tersebut biasanya adalah selulosa, hemiselulosa
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
dan lignin. Kumpulan miselium selanjutnya akan beragregasi menjadi tubuh buah apabila kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban, cahaya dan lain-lain mendukung. Budidaya jamur pangan adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan tubuh buah jamur dengan melakukan rekayasa berdasar pada sifat biologi dan ekologi jamur tersebut (Kues U and Liu Y. 2000). Berdasarkan sifat-sifat tersebut kegiatan budidaya jamur pangan di bagi menjadi 2 kegiatan yaitu kegiatan di laboratorium dan kegiatan di kubung jamur.
1.
Kegiatan di laboratorium Seperti dijelaskan di atas karena jamur adalah termasuk mikroorganisme maka diperlukan pekerjaan yang
aseptik atau steril oleh karena itu diperlukan sebuah laboratorium dan alat-alat yang memenuhi syarat agar supaya kegiatan ini dapat dilakukan dengan benar. Beberapa kegiatan yang harus diakukan di laboratorium yaitu: -
Pembuatan media Potato Dekstrosa Agar (PDA)
-
Isolasi dari tubuh buah jamur untuk mendapatkan biakan murni jamur pangan
-
Pembuatan bibit induk dan bibit sebar jamur pangan Di laboratorium Mikrobiologi Pangan, Pusat Penelitian Biologi LIPI bibit jamur dibuat dengan
menggunakan media biji sorgum atau jagung. Penggunaan biji-bijian ini dikarenakan karena biji serelia mengandung nutrisi yang cocok untuk pertumbuhan jamur ( Saskiawan, I. et. al., 2016)
2.
Kegiatan di kumbung jamur
Setelah dilakukan di laboratorium, kegiatan budidaya jamur pangan dilanjutkan dengan kegiatan pembuatan media tanam. Dalam kegiatan ini tidak diperlukan tingkat kemurnian atau tingkat steril/suci hama yang tinggi sehingga bisa dilakukan di ruangan terbuka. Kegiatan yang dilakukan di kumbung jamur meliputi : -
Pembuatan media tanam
-
Sterilisasi media tanam
-
Inokulasi
-
Pemeliharaan
-
Pemanenan
Media tanam jamur pangan adalah bahan-bahan yang mengandung senyawa lignoselulolitik (Philippoussis, et. al., 2001). Bahan-bahan tersebut terdapat pada sisa-sisa tumbuhan atau bahan organik yang ada di alam. Di Indonesia bahan-bahan tersebut sangat mudah didapatkan bahkan biasanya hanya merupakan limbah pertanian yang kurang mempunyai nilai ekonomi. Bahan-bahan tersebut diantaranya adalah serbuk gergaji, jerami padi, limbah aren, limbah kelapa sawit, dan limbah-limbah pertanian lainnya. Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
46
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Pemeliharaan media tanam jamur pangan dalam kumbung jamur sangat mempengaruhi produksi jamur tiram. Beberapa faktor fisika lingkungan yang mempengaruhi pembentukan tubuh buah adalah suhu, kelembaban, intensitas cahaya, kadar CO2 dan sebagainya (Kibar B and Peksen A, 2008; Hoa HT and Wang CL, 2014). b.
Peran Pusat Penelitian Biologi LIPI sebagai otoritas ilmiah dalam pengembangan jamur pangan di Indonesia Pusat Penelitian Biologi LIPI sebagai salah satu satuan kerja di Kedeputian Ilmu Pengetahuan Hayati
mempunyai fungsi yang strategis dalam pengembangan budidaya jamur pangan di Indonesia. Pengetahuan tentang biologi jamur pangan sangat penting untuk dikuasai sebelum melakukan budidaya jamur pangan tersebut. Penelitian tentang biologi jamur pangan telah banyak dilakukan di Pusat Penelitian Biologi LIPI. Dalam budidaya jamur pangan selain faktor sifat biologi jamur pangan tersebut juga sangat penting untuk diketahui faktor-faktor lingkungan yang mendorong terbentuknya tubuh buah. Para peneliti di Pusat Penelitian Biologi sudah cukup lama melakukan penelitian tentang budidaya jamur sehingga hasil penelitian terse but dapat dijadikan acuan dalam melakukan pengembangan budidaya jamuri di Indonesia. Selain itu, Pusat Penelitian Biologi LIPI juga mempunyai Microbial Culture Collection yang disebut dengan Indonesian Culture Collection atau InaCC. Dengan dilengkapi dengan fasilitas yang modern dan sumber daya manusia yang mumpuni, InaCC mampu menyimpan ratusan jenis culture murni jamur pangan yang terjaga sifat geneticnya. Dengan demikian Ina CC dapat menjadi semacam Culture Bank bagi pengembangan jamur pangan di Indonesia.
c. Potensi Pengembangan Budidaya jamur di Indonesia
Dari uraian di atas tentang kegiatan budidaya jamur. Indonesia sebagai negara agraris mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan usaha jamur baik jamur merang, maupun jamur kayu. Beberapa hal yang mendukung untuk pengembangan usaha jamur adalah:
1. Jamur merupakan produk pertanian yang sehat Jamur merupakan produk pertanian yang sehat karena mengandung protein yang tinggi yaitu 20 35mg/100g bahan kering dengan kandungan lemak rendah yaitu 1 – 8mg/100g bahan kering, sehingga dapat berperan menggantikan peran daging (protein hewani) yang banyak mengandung kolesterol. Selain itu jamur mengandung banyak kandungan nutrisi lainnya yang sangat baik bagi kesehatan.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
47
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
2. Proses budidaya jamur yang ramah lingkungan Jamur pangan bersifat saprofit yang hidup dari sisa-sisa tanaman yang mengalami pelapukan dan tidak memerlukan tambahan bahan penyubur seperti berbagai macam pupuk yang biasa digunakan pada pertanian konvensional. Jamur juga tidak memerlukan pestisida untuk melindungi dari hama penyakit. Pemanasan/sterilisasi yang baik adalah salah satu tindakan dalam proses budidaya jamur yang harus dilakukan untuk mencegah tumbuhnya jamur lain yang tidak diharapkan.
3. Ketersediaan sumber daya alam bagi budidaya jamur yang berlimpah Masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, maka padi banyak ditanam dan tersebar di Indonesia. Jerami yang selama ini dibuang atau dibakar begitu saja merupakan bahan baku yang dapat dijadikan media tanam utama untuk jamur merang. Ketersediaan jerami untuk kegiatan budidaya jamur merang relatif tidak mengalami hambatan karena sebagian besar sawah-sawah di Indonesia terutama Pulau Jawa berpengairan teknis yang dapat diusahakan sekurang-kurangnya dua musim tanam setiap tahunnya. Oleh karena itu jerami padi sebagai media tanam utama jamur merang ketersediaannya relatif berlimpah sepanjang tahun. Jerami padi ini dapat dijugakan digunakan untuk budidaya jamur kayu (Saskiawan, 2015) Pada usaha budidaya jamur kayu, serbuk kayu sebagai media utamanya dipasok oleh ribuan pabrik penggergajian kayu yang selama ini menjadi limbah yang tidak termanfaatkan. Seperti halnya budidaya jamur merang yang memberi nilai tambah pada limbah jerami, usaha budidaya jamur tiram pun memberikan nilai tambah yang tinggi pada limbah pabrik gergajian. Nilai tambah juga diperoleh dari limbah media jamur yang dapat diolah menjadi pupuk organik (kompos), yang berguna untuk memperbaiki struktur dan kesuburan tanah di lahan-lahan pertanian (sawah dan kebun) konvensional. Selain jerami dan serbuk kayu, saat ini sudah banyak alternatif jenis bahan baku media tanam jamur antara lain tandan kosong kelapa sawit dan limbah aren.
4. Industri jamur banyak menyerap tenaga kerja Usaha budidaya jamur di pedesaan dapat membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Baik sebagai tenaga pembangun kubung, penyedia bahan baku, pada proses budidayanya, maupun pada saat pemasaran hasil produksinya. Usaha budidaya jamur menyerap banyak tenaga kerja terutama pada saat penyiapan dan pembuatan media tanam. Penyerapan tenaga kerja dapat lebih besar karena beberapa kelompok tani dan perusahaan telah memasuki tahapan pabrikasi baik pada pembuatan media tanam maupun pada kegiatan pasca-panen. Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
48
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Pada industri perbenihan, jika memperhitungkan kebutuhan benih jamur yang baik, maka industri benih yang professional membutuhkan dukungan tidak hanya tenaga madya dan teknisi saja, tetapi juga tenaga pakar dan ahli.
5. Peluang pasar jamur dalam negeri Peluang pasar jamur di dalam negeri masih luas. Berdasarkan pengalaman para petani, produk jamur segar yang dihasilkan dan dibawa ke berbagai pasar baik di wilayah sentra produksi ataupun daerah atau kota-kota besar lainnya, tidak pernah mengalami kerugian. Bahkan saat ini dirasakan pasokan jamur segar semakin berkurang karena gangguan musim dan kualitas bibit yang menurun sehingga berakibat lebih besar permintaan dibandingkan pasokan. Saat ini kapasitas produksi petani jamur baru mencapai 70% dari kebutuhan jamur sedangkan pada jamur tiram permintaan dan pasokan diperkirakan telah mencapai kesetimbangan. Permintaan pasar ini masih dapat ditingkatkan karena tingkat konsumsi masyarakat masih rendah. Hal ini berlaku baik untuk jenis jamur merang, jamur tiram maupun jamur kuping. Produksi jamur yang ada masih berpeluang besar untuk ekspor dan belum dapat memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri.
6. Penghasil devisa negara Berdasarkan data BPS diketahui bahwa jamur merupakan komoditas sayuran penghasil devisa terbesar dari seluruh jenis komoditas sayuran ekspor Indonesia. Negara tujuan ekspor tersebut adalah Asia, Eropa, Amerika Serikat, Australia, Uni Emirat Arab dan lain-lain. Usaha ekspor ini harus terus dtitingkatkan dan dibantu oleh pemerintah dengan peraturan yang berpihak pada produsen. Hal ini diperlukan karena adanya kecenderungan ekspor yang terus menurun dalam beberapa tahun terakhir ini.
KESIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian yang dilakukan dengan melakukan pengamatan di lapangan dan dikombinasikan dengan pengalaman penelitian di laboratorium serta berinteraksi langsung dengan para pembudidaya jamur dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berkut : 1.
Budidaya jamur mempunyai prospek untuk dikembangkan di Indonesia mengingat komsumsi jamur pangan di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun dan beberapa factor yang lain seperti ramah lingkungan, teknologinya sederhana, dan lingkungan yang mendukung
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
49
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
2.
Pusat Penelitian Biologi LIPI dapat mengambil peran lebih banyak dalam pengembangan budidaya jamur pangan di Indonesia dengan menjadi semacam Center of Excellence bagi pengembangan jamur pangan Indonesia
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai dari dana DIPA Tematik Pusat Penelitian Biologi LIPI tahun anggaran 2016 dan Kegiatan Biovillage, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI tahun anggaran 2016.
DAFTAR PUSTAKA Akindahunsi AA, Oyetayo FL. 2006. Nutrient and antinutrient distribution of edible mushroom, Pleurotus tuberregium (fries) Singer. Food Sci. Technol, 39, 548-553. Chang ST, Miles PG. 1989. Edible mushroom and their cultivation. CCRC Press, Boca Raton. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional. Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. Hoa HT and Wang CL. 2014. The effects of temperature and nutritional conditions on mycelium growth of two oyster mushrooms (Pleurotus ostreatus and Pleurotus cystidiosus). Mycobiology. 43(1): 14-23 Kibar B and Peksen A. 2008. Modelling the effects of temperature and light intensity on the developmetent of yield of different Pleurotus species. Agricultura Tropica Et Subtropica. 41(2), 68 – 72 Kues U and Liu Y. 2000. Fruiting body production in basidiomycetes. Applied Microbiology Biotechnology. 54: 141-152 Philippoussis, A., Zervakis, G., and Diamantopolou. P. 2001. Bioconversion of agricultural lignocellulosic wastes through the cultivation of edible mushrooms, Agrocybe aegerita, Volvariella volvacea, and Pleurotus spp. World Journal of Microbiology & Biotechnology. 17: 191-200. Priadi, D., Arfani, A., Saskiawan, I., dan Mulyaningsih, E.S., 2016. Use of Grass and Spent Mushroom Compost as a Growing Medium of Local Tomato (Lycopersicon esculentum Miller) Seedling in the Nursery. Agrivita, Vol. 23 No. 3. p 242 -251 Saskiawan, I., Hasanah, N., Shimomura. N. 2016. Cultivation of Pleurotus ostreatus using sorghum-supplemented spawn on various substrates. Mushroom Science and Biotechnology. Vol 23(4) 179-182. Saskiawan. I. 2015. Penambahan inokulan mikroba selulolitik pada pengomposan jerami padi untuk media tanam jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Jurnal Biologi Indonesia. Vol. 11, no. 2. Wasser, S.P. 2002. Medicinal Mushroom as a Source of Antitumor and Immunomodulating Polysaccharides. Appl. Microbiol. Biotechnology 60: 258-274.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
50
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
NET 04
KONSEP DAN PROSES ALIH TEKNOLOGI BUDIDAYA TERPADU TERIPANG PASIR, BANDENG DAN RUMPUT LAUT Muhammad Firdaus, Lisa Fajar Indriana, Sigit Anggoro Putro Dwiono dan Hendra Munandar Balai Bio Industri Laut, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
[email protected] Abstrak. Teknologi budidaya terpadu berbasis Integrated Multi Trophic Aquaculture (IMTA) dimana sistem ini menggabungkan tiga komoditas yaitu teripang pasir, bandeng, dan rumput laut dalam satu sistem budidaya. Teknologi tersebut memungkinkan peningkatan produktivitas dan nilai ekonomi tambak terbengkalai dengan tetap mempertahankan kualitas perairan. Proses alih teknologi IMTA oleh Balai Bio Industri Laut – LIPI dilaksanakan dalam skema Lombok Marine Technopark. Target alih teknologi adalah 4 kelompok pembudidaya di Lombok Barat dan Lombok Timur dengan total lahan yang dikelola seluas 13,78 hektar. Proses alih teknologi terdiri atas kegiatan inti berupa pelaksanaan budidaya dengan melibatkan kelompok pembudidaya serta kegiatan pendukung berupa penguatan infrastruktur, penguatan kapasitas SDM, koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait, dan pengelolaan program. Berdasarkan hasil evaluasi, pelaksanaan kegiatan di lapangan bervariasi dan tergantung kepada kondisi lokasi budidaya, tingkat partisipasi kelompok dan kendala yang ditemukan di lapangan. Tingkat pemanfaatan lahan masih relatif rendah (<50%) meskipun terdapat 2 kelompok yang memiliki nilai cukup baik, yaitu kelompok Bina Bersama (68%) dan Terune (100%). Tingkat partisipasi anggota relatif rendah (<50%), kecuali kelompok Terune yang mencapai 80%. Hasil identifikasi permasalahan mengarah kepada aspek sosial dan teknis sebagai penyebab, dalam hal ini adalah pola pikir masyarakat pesisir yang masih bersifat ekstraktif serta hal yang bersifat teknis antara lain kurang sesuainya konstruksi tambak dan prasarana pendukung yang kurang memadai. Kegiatan pendampingan yang dilakukan secara intensif merupakan upaya yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang terjadi dan meningkatkan peluang keberhasilan alih teknologi. Secara umum, kegiatan budidaya IMTA mendapat apresiasi yang baik dari kelompok pembudidaya dan para pemangku kepentingan.
Kata Kunci: IMTA, Teripang pasir, bandeng, rumput laut, alih teknologi
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
51
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN Budidaya tambak merupakan salah satu tulang punggung perikanan budidaya Indonesia. Sumbangsih kegiatan budidaya tambak terhadap volume produksi perikanan budidaya sebesar 16,91% (2,43 juta ton) dengan nilai 38,02% (Rp 42,5 trilyun) dari total produksi perikanan budidaya. Potensi lahan budidaya tambak Indonesia mencapai 2,96 juta hektar, dengan tingkat pemanfaatan sebesar 22,50% (0,65 juta hektar) (KKP, 2015). Dari keseluruhan lahan yang dimanfaatkan, sekitar 8,72% (258 ribu hektar) merupakan lahan yang dapat digolongkan sebagai tambak dengan kondisi marjinal dan terbengkalai (idle). Lahan tambak terbengkalai pada umumnya merupakan lahan eks budidaya udang. Program Udang Nasional pada 1982 sampai 1995 berhasil menjadikan Indonesia sebagai produsen dan sekaligus pengekspor udang tambak terbesar di dunia. Meskipun produksi udang nasional sempat terpuruk pada tahun 1996 sampai 1999 akibat wabah penyakit dan kerusakan lingkungan. Industri udang nasional mulai bangkit setelah introduksi udang putih (Litopenaeus vannameii) pada 2001. Meskipun demikian, tidak sepenuhnya lahan tambak dapat dikembalikan pada kondisi optimal. Kendala biaya, prevalensi penyakit yang tinggi dan berbagai faktor menyebabkan sebagian lahan tetap terbengkalai atau dikelola secara ekstensif untuk budidaya bandeng, rumput laut (Gracilaria sp.) dan beberapa komoditas lainnya. Pengelolaan ekstensif tambak untuk budidaya bandeng dan rumput laut Gracilaria sp. merupakan praktek yang umum dijumpai. Meskipun demikian, metode budidaya ekstensif cenderung menghasilkan produktivitas dan nilai ekonomi yang rendah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui pengembangan budidaya terpadu (polikultur) berbasis Integrated Multi Trophic Aquaculture (IMTA). Prinsip dari teknologi IMTA adalah memelihara beberapa komoditas dalam suatu sistem budidaya dengan memperhatikan tingkat trofik (Chopin et al., 2004; Chopin, 2006; Chopin et al., 2008). Teknologi tersebut memungkinkan peningkatan produktivitas dengan tetap mempertahankan kualitas perairan (prinsip keberlanjutan) (Ridler et al., 2007; Barrington 2009). Penerapan teknologi budidaya terpadu berbasis IMTA telah dilaksanakan oleh Balai Bio Industri Laut (BBIL), Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI dengan menggabungkan komoditas “TERBARU” yaitu teripang pasir, bandeng dan rumput laut Gracilaria sp. dalam sistem budidaya tambak. Teknologi budidaya teripang pasir telah diteliti dan dikembangkan sejak tahun 2011 oleh BBIL, mencakup teknik pembenihan dan pembesaran. Meskipun teknologi tersebut telah dinggap siap, proses alih teknologi menghadapi kendala terutama karena teripang pasir tergolong komoditas baru bagi pembudidaya. Pengembangan teknologi budididaya IMTA merupakan jembatan dalam proses alih teknologi budidaya Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
52
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
teripang mengingat pembudidaya umumnya telah menguasai teknologi budidaya bandeng dan rumput laut. Teknologi ini sekaligus merupakan inovasi dalam peningkatan produktivitas dan nilai ekonomi lahan tambak yang dikelola secara ekstensif. Proses alih teknologi budidaya IMTA “TERBARU” dilaksanakan oleh BBIL – LIPI sebagai salah satu sub kegiatan dalam pelaksanaan Lombok Marine Technopark. Makalah ini memaparkan konsep dan proses yang dilaksanakan dalam alih teknologi budidaya IMTA “TERBARU”.
METODOLOGI Objek Kajian dalam makalah ini adalah konsep dan proses alih teknologi budidaya IMTA “TERBARU” dilaksanakan oleh BBIL – LIPI sebagai salah satu sub kegiatan dalam pelaksanaan Lombok Marine Technopark. Kajian dilaksanakan di BBIL – LIPI dan lokasi pelaksanaan budidaya IMTA “TERBARU” di Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Timur, Provinsi NTB. Metode yang digunakan pada kajian ini adalah metode kualitatif dengan analisis deskriptif berdasarkan data primer dan sekunder yang tersedia selama pelaksanaan kegiatan. Pengumpulan data dilakukan melalui pendekatan studi pustaka, wawancara maupun focus group discussion (FGD) dengan pemangku kepentingan terkait, serta pengumpulan data dari laporan kegiatan budidaya IMTA “TERBARU” tahun 2015 dan 2016.
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep Budidaya IMTA ”TERBARU” Kegiatan budidaya polikultur teripang pasir, ikan bandeng dan rumput laut Gracilaria sp. dengan menggunakan sistem polikultur berbasis Integrated Multi-Trophic Aquaculture (IMTA), merupakan salah bagian dari program Lombok Marine Technopark. Dalam sistem ini, polikultur dilaksanakan dengan mempertimbangkan posisi masing-masing biota dalam ekosistem budidaya (Tabel 1). Rumput laut Gracilaria sp. berperan sebagai produsen yang menyerap nutrisi yang berasal dari perairan, pupuk, dan sisa metabolisme biota dalam tambak kemudian mengkonversinya menjadi biomassa melalui proses fotosintesis (Yang et al., 2015). Bandeng berperan sebagai konsumen (filter feeder) yang memakan partikel tersuspensi, fitoplankton, dan klekap (Watanabe et al., 2015). Teripang berperan sebagai pemakan detritus yang memanfaatkan bahan organik dalam tambak (Namukose et al., 2016) Melalui metode ini, daur nutrisi dalam sistem budidaya menjadi lebih efisien (Gambar 1), karena biaya pakan dan
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
53
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
pengelolaan kualitas air dapat ditekan secara optimal yang akhirnya berdampak pada penurunan biaya produksi.
Tabel 1. Peranan komoditas dalam budidaya terpadu sistem IMTA teripang pasir, bandeng dan rumput laut. No 1
Komoditas Rumput Laut Gracilaria sp.
Fungsi Ekologis Produsen
2
Bandeng Chanos chanos
Konsumen
3
Teripang Pasir Holothuria scabra
Pemakan Detritus
• • • • • • • • •
Uraian Fungsi Menyerap sisa metabolisme teripang dan bandeng (Amonia, Nitrit, Nitrat, Fosfat) Menghasilkan biomassa (produk) Sebagai shelter bagi teripang Memakan plankton di kolom perairan Memakan klekap dan lumut; menjaga rumput laut tetap bersih Menghasilkan biomassa (produk) Memakan sisa pakan, feses, sisa pembusukan dan bahan organik lain Menggemburkan dasar perairan Menghasilkan biomassa (produk)
Gambar 1. Ekosistem tambak budidaya terpadu sistem IMTA teripang pasir, bandeng dan rumput laut.
Selain lebih ramah lingkungan, budidaya IMTA “TERBARU” juga memiliki produktivitas dan nilai ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan budidaya masing-masing komoditas secara monokultur. Introduksi teripang pasir sebagai komoditas baru dalam budidaya, secara langsung meningkatkan nilai ekonomi. Hal tersebut dikarenakan teripang pasir, terutama yang sudah diolah menjadi teripang kering memiliki nilai jual yang tinggi. Merujuk kepada Purcell (2014) peluang pasar teripang pasir sangat menjanjikan, harga jual akhir teripang pasir kering untuk konsumen berada pada kisaran yang relatif tinggi dengan rerata USD 300/kg dan bahkan mencapai USD 1.668/kg untuk kualitas premium. Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
54
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
55
Pusat Inovasi - LIPI
Berdasarkan informasi lama siklus budidaya dan data produksi, estimasi produktivitas dan pendapatan per tahun untuk lahan tambak seluas satu hektar dapat dihitung sebagaimana tercantum dalam tabel 2. Berdasarkan data tersebut, estimasi pendapatan budidaya terpadu sistem IMTA “TERBARU” lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya monokultur yaitu sebesar 17,5% (monokultur teripang), 422,2% (monokultur bandeng), dan 879,2% (monokultur Gracilaria sp.).
Tabel 2. Estimasi produktivitas dan nilai ekonomi budidaya terpadu sistem IMTA “TERBARU” No
Sistem Produksi
1
Monokultur rumput laut Gracilariasp.
2 3
4
Lama budidaya /siklus 2 bulan
Jumlah siklus /tahun Maksimum 6 siklus
• 5.000 kg/Ha (basah) setara 500 kg/Ha (Kering)
Estimasi Produktivitas /Ha/Tahun • 30.000 kg/Ha (basah) setara 3.000 kg/Ha (Kering)
Monokultur bandeng Monokultur teripang pasir
4 bulan
Maksimum 3 siklus Maksimum 2 siklus
• 500 kg/Ha
• 1.500 kg/Ha
IMTA : teripang – bandeng – rumput laut Gracilaria sp.
6 bulan
• 1.000 kg/Ha (basah) setara 100 kg/Ha (Kering) • Teripang 100 kg/Ha (kering) • Bandeng 450 kg/Ha • Gracilaria 500 kg/Ha (Kering)
• 2.000 kg/Ha (basah) setara 200 kg/Ha (Kering) • Teripang 200 kg/Ha (kering) • Bandeng 900 kg/Ha • Gracilaria 1.000 kg/Ha (Kering)
6 bulan
Maksimum 2 siklus
Data Produksi /Ha
Estimasi Pendapatan /Tahun Rp 12.000.000
Rp 22.500.000 Rp 100.000.000
Rp 117.500.000
Keterangan: Perhitungan berdasarkan data produksi dan harga minimum; rumput laut kering Rp 4.000/kg; bandeng Rp 15.000/kg; teripang kering Rp 500.000/kg.
Secara teknis, penerapan budidaya terpadu sistem IMTA teripang pasir, bandeng dan rumput laut menyebabkan jumlah siklus budidaya bandeng dan rumput laut Gracilaria sp. dalam satu tahun berkurang. Hal ini disebabkan perbedaan waktu yang dieprlukan sejak tebar hingga mencapai ukuran panen. Budidaya teripang pasir membutuhkan waktu sekitar 6 bulan untuk mencapai ukuran panen (> 200 g/ekor) dengan syarat menggunakan benih siap tebar berukuran >50 g/ekor. Pola tanam budidaya terpadu sistem IMTA teripang pasir, bandeng dan rumput laut digambarkan dalam Gambar 2.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Gambar 2. Time line budidaya terpadu sistem IMTA teripang pasir, bandeng dan rumput laut Gracilaria sp.
Proses Alih Teknologi Sebagai teknologi baru, budidaya terpadu sistem IMTA harus melalui proses alih teknologi agar dapat diterima dan dimanfaatkan secara nyata oleh masyarakat. Proses alih teknologi tersebut, dilakukan dalam skema Lombok Marine Technopark. Technopark didefinisikan sebagai tempat / situs dimana tema teknologi tertentu dipamerkan pada masyarakat luas sehingga masyarakat dapat mengetahui state of the art teknologi yang dipamerkan. Pada beberapa Technopark, pameran teknologi ini dilengkapi dengan pendidikan dan latihan yang berhubungan dengan teknologi yang dipamerkan. Dengan adanya kegiatan pendidikan dan latihan, maka anggota masyarakat yang berkeinginan untuk mengetahui lebih jauh mengenai teknologi yang dipamerkan dapat memprolehnya dengan lebih mudah. Sementara itu, untuk teknologi baru yang belum memiliki bukti keberhasilannya maka anggota masyarakat yang berminat perlu diyakinkan lebih jauh melalui areal percontohan (demonstration plot) dan juga pendampingan dalam penerapannya. Selain itu, sebagai kegiatan produksi yang memerlukan investasi maka anggota masyarakat yang menunjukkan keseriusan dalam menerapkan teknologi yang diintroduksikan perlu dibantu dalam pengadaan sarana dan prasarana produksi. Skema kerja alih teknologi budidaya terpadu sistem IMTA sebagai salah satu sub kegiatan Lombok Marine Technopark digambarkan dalam Gambar 4. Proses alih teknologi terdiri atas kegiatan inti berupa pelaksanaan budidaya dengan melibatkan kelompok pembudidaya. Selain itu, terdapat kegiatan pendukung untuk menjamin proses alih teknologi berjalan dengan baik yaitu penguatan infrastruktur, penguatan kapasitas SDM, koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait, dan pengelolaan program.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
56
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Gambar 4. Skema alih teknologi budidaya terpadu sistem IMTA
Salah satu tahapan penting dalam proses alih teknologi adalah penentuan mitra pembudidaya. Aspek penting dari mitra seperti profil sosial ekonomi dan kelayakan lokasi budidaya dan mitra menjadi salah satu aspek penting yang menunjang keberhasilan kegiatan budidaya. Selama tahun 2015 telah dilakukan penjajakan calon mitra dan kelayakan lokasi budidaya dengan fokus wilayah Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Timur. Berdasarkan baseline study teknis dan sosial ekonomi, dipilih 4 kelompok pembudidaya untuk melaksanakan kegiatan budidaya IMTA teripang pasir, bandeng dan rumput laut. Status kelompok mitra tersebut disajikan dalam tabel 3.
Tabel 3. Status Kelompok Mitra budidaya terpadu sistem IMTA teripang pasir, bandeng dan rumput laut. No
Nama Kelompok
Lokasi
Jumlah Anggota 10 orang
Status Kelompok Pengesahan oleh Desa.
1
Kelompok Budidaya Harapan Bersama
Dusun Madak Beleq, Desa Cendi Manik, Kec. Sekotong Tengah, Kab. Lombok Barat
2
Kelompok Budidaya Bina Bersama (BBS)
Dusun Empol, Desa Cendi Manik, Kec. Sekotong Tengah, Kab. Lombok Barat
10 orang
Pengesahan oleh Desa.
3
Kelompok Budidaya Terune KUB Kuda Laut, Permas
Dusun Labuan Treng, Kec. Lembar, Kab. Lombok Barat Dusun Permas, Desa Pare Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur
4 orang
Pengesahan oleh Desa. Pengesahan oleh Desa
4
10 orang
Kepemilikan Lahan Lahan milik pribadi/ digarap oleh anggota kelompok Luas lahan: 9,7 Ha Lahan milik UPTD Tambak, Dislutkan Kab. Lombok Barat. Luas lahan: 2,8 Ha Lahan milik pribadi Luas lahan: 25 are Lahan milik Desa Pare Mas Luas lahan:1,03 Ha
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
57
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Setelah kelompok pembudidaya sebagai mitra alih teknologi ditentukan, langkah yang dilaksanakan adalah memberikan pelatihan budidaya teripang pasir sistem polikultur terintegrasi atau Integrated Multi-Trophic Aquaculture (IMTA). Kegiatan tersebut dilaksanakan untuk meningkatkan kapasitas SDM dalam hal pengelolaan kegiatan budidaya tambak sebagai bekal kelompok masyarakat calon mitra dalam pelaksanaan kegiatan. Kegiatan pelatihan dilaksanakan di Balai Bio Industri Laut yang berada di Dusun Teluk Kodek, Desa Malaka, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara NTB. Secara keseluruhan, pelatihan budidaya IMTA dilaksanakan dalam 3 (tiga) gelombang ini memakan waktu lebih dari satu bulan (Tabel 4). Kurikulum pelatihan terdiri atas 33 jam pelajaran dengan sesi teori dan praktek (Gambar 5a).
Tabel 4. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Pelatihan Budidaya Teripang Pasir Sistem Integrated MultiTrophic Aquaculture (IMTA) di Lombok Marine Technopark Tahun 2015 No 1 2 3
Waktu 19 – 23 Oktober 2 – 5 Nopember 9 – 12 Nopember
Peserta 18 pria, 1 wanita 15 pria, 5 wanita 19 pria, 1 wanita
Asal Pembudidaya dan Penyuluh Lombok Barat Pembudidaya dan Penyuluh Lombok Timur Guru, Mahasiswa, Penyuluh & Pegawai Dinas KP Kabupaten
Setelah pelaksanaan pelatihan, pada Bulan Desember 2015 masing-masing kelompok mulai melaksanakan kegiatan budidaya yang diawali dengan persiapan lahan, penebaran benih dan pemeliharaan komoditas budidaya (Gambar 5b). Untuk memastikan kegiatan berjalan baik sekaligus mengidentifikasi permasalahan dan mencari solusi dalam kegiatan Budidaya IMTA, maka dilakukan pendampingan yang dilaksanakan secara rutin (minimum 1 kali dalam 2 bulan) untuk masing-masing kelompok (Gambar 5c). Meskipun pelaksanaan pendampingan berjalan dengan intensif dan terdapat patokan pelaksanaan berupa jadwal pola tanam dan tahapan kegiatan yang baku (Gambar 2), pelaksanaan di lapangan sangat bervariasi dan tergantung kepada kondisi lokasi budidaya, tingkat partisipasi kelompok dan kendala yang ditemukan di lapangan. Status kegiatan untuk masing-masing kelompok tidak seragam. Status kegiatan hingga akhir September 2016 untuk masing-masing kelompok mitra ditampilkan pada tabel 5.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
58
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Tabel 5. Status Kegiatan budidaya IMTA “TERBARU” hingga September tahun 2016. No 1
Nama Kelompok Kelompok Budidaya Harapan Bersama
• • •
• • •
2
Kelompok Budidaya Bina Bersama (BBS)
• • • • • • • • • • • •
3
Kelompok Budidaya Terune
• • • • • • • •
•
4
KUB Kuda Laut
• • • • •
Status Kegiatan Persiapan tambak (perbaikan pematang, sterilisasi, dan pemupukan) – (Desember 2015) Penebaran 90.000 benih bandeng (Januari 2016) Uji coba pendederan dan penebaran teripang pasir di tambak 5 dan 6, sebanyak 250 ekor anakan (ukuran >10g) dan pendederan 250 ekor anakan (ukuran <1g) pada Januari 2016 tersisa 68 ekor ukuran 10 g pada April 2016 Perakitan 20 gogona pendederan teripang pasir Pendederan 750 ekor anakan teripang (ukuran <1g) (April & Mei 2016). Panen 2000 kg rumput laut dan penebaran 1000 kg bibit rumput laut Gracilaria sp. (Mei 2016) Perbaikan pematang rusak akibat rob (Juli 2016) Penebaran benih bandeng sebanyak 5000 ekor Perakitan 20 gogona pendederan teripang pasir Pendederan 1000 ekor anakan teripang pasir (ukuran <1g) – (April & Mei 2016). Pemantauan pertumbuhan anakan teripang pasir (ukuran 25 g, Tingkat Kelangsungan Hidup 60%) – (28 Juni 2016) Penebaran 20.000 nener bandeng (28 Juni 2016) Pembesaran 600 ekor teripang pasir, pendederan 700 anakan teripang pasir, penebaran 2500 ekor tokolan bandeng (Agustus 2016). Panen parsial rumput laut Gracilaria sp. + 750 kg (Juli- September 2016) Perbaikan pematang tambak (Agustus 2016) Pembesaran 150 ekor teripang pasir (>100 g) dan pendederan 150 ekor (>20 g) (September 2016) Pendederan 300 ekor anakan teripang (<5 g) dan 10.000 nener bandeng (September 2016) Serah terima, perakitan, penggantian dan pembersihan gogona pendederan (September 2016) Persiapan panen + 4.000 kg rumput laut Gracilaria sp. (Oktober 2016) Persiapan tambak perbaikan pematang, sterilisasi, dan pemupukan (November 2015). Penebaran benih bandeng sebanyak 5000 ekor, teripang pasir 500 ekor, dan rumput laut Gracilaria sp. 250 kg (Desember 2015). Panen parsial rumput laut sebanyak 4 kali pada triwulan 1 2016 ( + 750 kg) Perakitan 20 gogona pendederan teripang pasir Pendederan 1000 ekor anakan teripang (ukuran <1g) pada April 2016. Panen total rumput laut Gracilaria sp. (325 kg) dan bandeng (55 kg) Persiapan tambak (penguatan pematang dengan bedek bambu, penambahan pintu air dengan konstruksi pipa 8 inch, dan pengerukan lumpur untuk menambah kedalaman tambak) (Agustus 2016) Pendederan 140 ekor anakan teripang pasir dan 10.000 nener bandeng (September 2016) Panen rumput laut Gracilaria sp. sebanyak 518 kg (September 2016) Persiapan tambak perbaikan pematang, sterilisasi, dan pemupukan (Januari 2016) Penebaran benih bandeng sebanyak 20.000 ekor dan teripang pasir 250 ekor (Januari 2016) Penebaran rumput laut Gracilaria sp. sebanyak 300 kg (April 2016) Renovasi konstruksi tambak (September 2016)
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
59
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Secara umum kegiatan berjalan dengan baik, meskipun menemui berbagai kendala dalam pelaksanaan. Komoditas bandeng dan rumput laut Gracilaria sudah beberapa kali dipanen dari tambak kelompok pembudidaya (Gambar 5d). Sistem budidaya yang lebih rumit menyebabkan pembudidaya memerlukan waktu untuk mengadopsi langkah kerja dan teknik yang diajarkan, terutama untuk teripang pasir. Hal ini mengakibatkan, komoditas teripang pasir kurang terpelihara dengan baik pada periode awal kegiatan. Namun seiring dengan pendampingan yang dilaksanakan secara intensif, pembudidaya mulai dapat mengadopsi teknologi tersebut. Pertumbuhan teripang pasir pada bulan September 2016 cukup memuaskan. Sebanyak 600 ekor teripang pasir (gelombang 1) dibesarkan dalam 8 buah kurungan tancap berukuran 5 m x 5 m. Bobot rata-rata anakan teripang pasir setelah satu bulan pembesaran mencapai 100 g/ekor dengan kelangsungan hidup 60%. Diperkirakan, gelombang 1 dapat dipanen pada awal tahun 2017 dengan bobot minimum 200 g/ekor (Gambar 5e).
Gambar 5. Dokumentasi alih teknologi budidaya terpadu sistem IMTA: a) Pelatihan budidaya IMTA; b) Kegiatan budidaya di tambak; c) Pendampingan kelompok pembudidaya; d) Panen bandeng; e) Teripang berukuran + 100 g/ekor; f) FGD budidaya terpadu sistem IMTA dan Kunjungan Kerja Kepala LIPI.
Evaluasi pelaksanaan kegiatan budidaya IMTA, menunjukkan beberapa hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan kegiatan (tabel 6). Beberapa hal yang bersifat teknis adalah lain kurang sesuainya konstruksi tambak dan prasarana pendukung yang kurang memadai. Secara lebih detail permasalahan Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
60
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
61
Pusat Inovasi - LIPI
teknis yang sering ditemukan antara lain pintu air kurang kuat, sirkulasi air buruk, dangkal, dasar tambak tanah terlalu berpasir (porous) dan berbatu, dan gangguan alam (banjir dan limpasan air tawar serta surut rendah yang mengurangi debit air). Kondisi tersebut mengakibatkan tidak semua kelompok mampu memanfaatkan potensi lahan tambak secara optimal. Berdasarkan data hanya dua kelompok yang memiliki tingkat pemanfaatan lahan lebih dari 50%, yaitu kelompok Bina Bersama (68%) dan Terune (100%). Tingkat pemanfaatan lahan, diduga juga berhubungan dengan tingkat partisipasi anggota. Secara umum tingkat partisipasi anggota relatif rendah (<50%), kecuali kelompok Terune yang mencapai 80%. Anomali pada kelompok Terune diduga lebih dipengaruhi oleh jumlah kelompok yang tidak terlalu besar dan adanya hubungan keluarga antar anggota kelompok. Pada 3 kelompok lainnya, partisipasi anggota relatif kurang yang ditandai dengan rendahnya kehadiran anggota dalam kegiatan kelompok. Hasil identifikasi permasalahan selama pendampingan mengarah kepada aspek sosial sebagai penyebab, dalam hal ini adalah budaya nelayan yang bertolak belakang dengan kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya memerlukan ketekunan dan konsistensi selama masa pemeliharaan dan pendapatan hanya akan diperoleh saat komoditas budidaya dipanen, sedangkan dalam kehidupan nelayan pendapatan bersifat harian.
Tabel 6. Evaluasi Pelaksanaan budidaya terpadu sistem IMTA teripang pasir, bandeng dan rumput laut. Parameter Evaluasi Harapan Bersama Tingkat Partisipasi Anggota (%) Tingkat Pemanfaatan Lahan (%) Kesesuaian teknis (konstruksi tambak & prasarana pendukung) Pengetahuan dasar budidaya tambak Proyeksi Keberhasilan Budidaya Hambatan Utama Kegiatan
Nama Kelompok Bina Bersama Terune
Kuda Laut
25
32
80
15
47
68
100
12
Kurang sesuai
Sesuai
Kurang sesuai
Kurang sesuai
Sedang
Sedang
Sedang
Rendah
Sedang
Tinggi
Tinggi
Rendah
• Gangguan alam (banjir dan limpasan air tawar – periode tertentu) • Aspek sosial: kerjasama kurang
• Konstruksi tambak kurang sesuai: pematang rapuh, kedalaman dangkal
• Karakteristik & konstruksi tambak tidak ideal: dasar berpasir, pematang rapuh • Aspek sosial: kerjasama kurang
• Karakteristik & konstruksi tambak tidak ideal: pintu air kurang, sirkulasi air buruk, dangkal dan berbatu • Aspek sosial: budaya nelayan sangat kuat
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Berdasarkan hasil evaluasi, proses alih teknologi Budidaya Sistem IMTA masih berpeluang untuk berhasil, terutama untuk kelompok Bina Bersama dan Terune. Tingkat keberhasilan untuk kelompok Harapan Bersama dan Kuda Laut rendah karena banyaknya permasalahan yang terjadi baik sosial maupun teknis. Meskipun demikian, kegiatan pendampingan yang dilakukan secara intensif diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang terjadi dan meningkatkan peluang keberhasilan alih teknologi untuk kedua kelompok tersebut. Untuk memperkaya informasi, mengidentifikasi permasalahan sekaligus mencari solusi beberapa FGD telah dilaksanakan. Dalam FGD yang dilaksanakan pada tanggal 5 Agustus 2016 di UPTD Tambak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Barat, dihadiri oleh 60 pemangku kepentingan terkait antara lain anggota kelompok budidaya sistem IMTA binaan LIPI, Kepala Dinas dan Staf Dislutkan Kab. Lombok Barat, Camat dan staf Kecamatan Sekotong, Kapolsek dan Staf Binmas Polsek Sekotong, Kepala Desa Cendi Manik beserta para Kepala Dusun, tokoh masyarakat. Dalam acara tersebut turut hadir Kepala LIPI sebagai salah satu narasumber (Gambar 5f). Berdasarkan curah pikir peserta FGD kegiatan budidaya IMTA mendapat apresiasi yang baik dari para pemangku kepentingan. Sebagai teknologi tepat guna yang relatif murah dan mudah diterapkan oleh masyarakat, budidaya sistem IMTA diharapkan menjadi solusi dalam peningkatan produktivitas tambak dan menjadi alternatif sumber kesejahteraan masyarakat. Sebagai tindak lanjut, pemangku kepentingan terkait akan senantiasa mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut agar berhasil dan dapat diterapkan dalam skala yang lebih besar.
KESIMPULAN DAN SARAN Proses alih teknologi budidaya IMTA teripang pasir, bandeng, dan rumput laut Gracilaria sp. telah dilaksanakan dengan baik. Kegiatan budidaya IMTA mendapat apresiasi yang baik dari para pemangku kepentingan. Sebagai teknologi tepat guna yang relatif murah dan mudah diterapkan oleh masyarakat, budidaya sistem IMTA diharapkan menjadi solusi dalam peningkatan produktivitas tambak dan menjadi alternatif sumber pendapatan masyarakat. Permasalahan utama yang dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan adalah tingkat pemanfaatan lahan dan partisipasi yang masih rendah (<50%). Hasil identifikasi permasalahan mengarah kepada aspek sosial dan teknis sebagai penyebab, dalam hal ini adalah pola pikir nelayan yang bertolak belakang dengan kegiatan budidaya serta hal yang bersifat teknis adalah lain kurang sesuainya konstruksi tambak dan prasarana pendukung yang kurang memadai. Kegiatan pendampingan yang dilakukan secara intensif merupakan upaya yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang terjadi dan meningkatkan peluang keberhasilan alih teknologi. Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
62
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota Tim dan seluruh sivitas Balai Bio Industri Laut – LIPI atas dukungan teknis dan non-teknis dalam kegiatan Alih Teknologi Budidaya IMTA “TERBARU” - Lombok Marine Technopark.
DAFTAR PUSTAKA Barrington, K., T. Chopin and S. Robinson. 2009. Integrated multi-trophic aquaculture (IMTA) in marine temperate waters. In D. Soto (ed.). Integrated mariculture: a global review. FAO Fisheries and Aquaculture Technical Paper. No. 529. Rome, FAO. p. 7– 46. Chopin, T., S. Robinson, M. Sawhney, S. Bastarache, E. Belyea, R. Shea, W. Armstrong, Stewart and P. Fitzgerald. 2004. The AquaNet integrated multi-trophic aquaculture project: rationale of the project and development of kelp cultivation as the inorganic extractive component of the system. Bulletin of the Aquaculture Association of Canada, 104(3): 11-18. Chopin T. 2006. Integrated multi-trophic aquaculture. What it is, and why you should care…and don't confuse it with polyculture. Northern Aquaculture, 12(4), July/August 2006, p. 4. Chopin, T., S.M.C. Robinson, M. Troell, A. Neori, A. Buschmann and J.G. Fang. 2008. Ecological Engineering: Multi-Trophic Integration for Sustainable Marine Aquaculture In: Encyclopedia of Ecology, Jorgensen, S.E. and Fath. B. (Eds.), Amsterdam. Elsevier, 3120 p. Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2015. Kementrian Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2015. Jakarta: Pusat data Statistik dan Informasi. 308 hal Namukosel, M. Msuya, F.E., Ferse, S.C.A., Slater, M.J., Kunzmann, A. 2016. Growth performance of the sea cucumber Holothuria scabra and the seaweed Eucheuma denticulatum: integrated mariculture and effects on sediment organic characteristics. Aquacult Environ Interact 8: 179–189. doi: 10.3354/aei00172. Purcell SW (2014) Value, Market Preferences and Trade of Beche-De-Mer from Pacific Island Sea Cucumbers. PLoS ONE 9(4): e95075. doi:10.1371/journal.pone.0095075. Ridler, N., Wowchuk, M., Robinson, B., Barringto,n K., Chopin, T., Robinson, S., Page, F., Reid, G., Szemerda, M., Sewuster, J., Boyne-Travis, S. 2007. Integrated multi – trophic aquaculture (IMTA): a potential strategic choice for farmers. Aquaculture Economics & Management, 11:1, 99-110. http://dx.doi.org/10.1080/13657300701202767. Watanabe, S., Kodama, M., Orozco, Z. G. A., Sumbing, J. G., Novilla, S. R. M., & Lebata-Ramos, M. J. H. (2015). Estimation of energy budget of sea cucumber, Holothuria scabra, in integrated multi-trophic aquaculture. In M. R. R. Romana-Eguia, F. D. Parado-Estepa, N. D. Salayo, & M. J. H. Lebata-Ramos (Eds.), Resource Enhancement and Sustainable Aquaculture Practices in Southeast Asia: Challenges in Responsible Production of Aquatic Species: Proceedings of the International Workshop on Resource Enhancement and Sustainable Aquaculture Practices in Southeast Asia 2014 (RESA) (pp. 307-308). Tigbauan, Iloilo, Philippines: Aquaculture Department, Southeast Asian Fisheries Development Center. Yang, Y., Chai, Z., Wang, Q., Chen, W., He, Z., Jiang, S. 2015. Cultivation of seaweed Gracilaria in Chinese coastal waters and its contribution to environmental improvements. Algal Research 9: 236–244.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
63
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
NET 05
KESIAPAN IMPLEMENTASI SISTEM E-LEARNING DI LINGKUNGAN UNIVERSITAS XYZ Darmawan Napitupulu* *Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian – LIPI *Fakultas Ilmu Komputer Universitas Borobudur
[email protected] Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat kesiapan implementasi sistem e-learning di lingkungan universitas XYZ. E-learning merupakan penyampaian konten pembelajaran secara elektronik menggunakan komputer dan media berbasis komputer (Smaldino, 2005). Banyak penelitian yang telah mengidentifikasi berbagai keuntungan penerapan e-learning namun pada kenyataannya tidak semua institusi yang menggunakan e-learning mendapatkan hasil yang sesuai harapan (Sun, 2008). Penerapan e-learning tidak hanya sekedar mengupload materi ajar atau melakukan konten pembelajaran namun lebih kepada perubahan paradigma proses pembelajaran. Pengukuran tingkat kesiapan institusi diperlukan untuk mengevaluasi efektifitas strategi organisasi dalam pengembangan e-learning. Metode yang digunakan adalah survey berbasis kuesioner dengan pendekatan ELR Chapnick dimana Model ELR Chapnick akan memberikan hasil penilaian yang dapat menentukan peringkat kesiapan e-learning. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari total 8 faktor kesiapan ELR, ada 5 faktor yang termasuk dalam kategori siap adalah psychological readiness, sociological readiness, environmental readiness, technological skill readiness dan content readiness. Sedangkan 5 faktor lainnya termasuk dalam kategori yang tidak siap yaitu human resource readiness, financial readiness, equipment readiness, Innovation readiness dan Institution readiness. Ketersediaan sumber daya manusia yang rendah, tidak adanya komitmen manajemen terhadap dukungan biaya implementasi, infrastruktur yang kurang memadai, inovasi yang rendah serta tidak adanya keberadaan unit yang mengelola sistem e-learning menjadi prioritas perbaikan bagi institusi untuk meningkatkan keberhasilan implementasi e-learning di masa mendatang. Kata Kunci : E-learning, Kesiapan, ELR, Universitas, Evaluasi
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
64
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang sedemikian pesat telah mendorong berbagai institusi berlomba-lomba memanfaatkannya untuk memberikan nilai tambah terhadap produk atau jasa yang ditawarkan sekaligus meningkatkan daya saing organisasi di era yang sangat kompetitif. Hal ini cepat atau lambat institusi pendidikan akan “dipaksa” oleh suatu komunitas yang menuntut untuk mengadopsi TIK dalam kegiatan pendidikan atau pembelajarannya. Hal ini dikarenakan penyelenggaran proses pembelajaran merupakan proses bisnis utama dalam lembaga pendidikan. Terbukti bahwa sudah lebih dari seribu insititusi di 50 negara menggunakan e-learning untuk menunjang kegiatan pembelajarannya (Bhuasiri et.al, 2012). Banyak penelitian yang telah mengidentifikasi berbagai keuntungan penerapan e-learning namun pada kenyataannya tidak semua institusi yang menggunakan elearning mendapatkan hasil yang sesuai harapan (Sun, 2008). Penerapan e-learning tidak hanya sekedar mengupload materi ajar atau melakukan konten pembelajaran namun lebih kepada perubahan paradigma proses pembelajaran. Perubahan atau pergeseran paradigma sistem pembelajaran mulai tampak pada proses transfer ilmu pengetahuan. Proses pembelajaran yang ada sekarang ini cenderung lebih menekankan pada proses mengajar (teaching), berbasis pada isi (content base), bersifat abstrak serta hanya untuk golongan tertentu (pada proses ini pengajaran cenderung pasif). Seiring dalam perkembangan ilmu dan teknologi ICT, proses dalam pembelajaran mulai bergeser pada proses belajar (learning), berbasis pada masalah (case base), bersifat kontekstual dan tidak terbatas hanya untuk golongan tertentu. Pada proses pembelajaran seperti ini peserta didik dituntut untuk lebih aktif dengan mengoptimalkan sumber-sumber belajar yang ada khususnya melalui Internet. Untuk mengadopsi sistem e-learning diperlukan strategi dan perencanaan agar sistem e-learning yang diimplementasikan memberikan hasil optimal sesuai dengan yang diharapkan. Disamping strategi, sebuah organisasi membutuhkan evaluasi untuk mengetahui tingkat keberhasilan atau ketercapaian tujuan yang diinginkan. Adanya evaluasi yang komprehensif terhadap implementasi e-learning dapat melihat sejauh mana efektifitas strategi organisasi dalam mengembangkan e-learning dan sekaligus mengetahui di area atau aspek yang masih lemah dan memerlukan peningkatan (improvement) dan area mana dari e-learning yang sudah dianggap baik. Universitas XYZ telah memanfaatkan TIK untuk meningkatkan proses belajarmengajar melalui e-learning dan menjadi program unggulan yang dicanangkan sejak 2015. Segenap pimpinan mempunyai komitmen dalam mengembangkan e-learning yang dituangkan pada renstra lembaga 2015-2019. Untuk meningkatkan keberhasilan sistem e-learning, perlu adanya evaluasi sejauh mana tingkat kesiapan organisasi dalam penerapan e-learning di Perguruan Tinggi. Dengan mengetahui Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
65
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
tingkat kesiapannya, organisasi dapat menentukan kebijakan atau strategi yang akan diambil kemudian (Rosenberg, 2006). Pengukuran terhadap kesiapan penerapan e-learning yang dikenal dengan e-learning readiness diharapkan dapat menunjukkan apakah organisasi dapat dikatakan siap dalam implementasi elearning.
MODEL E-LEARNING READINESS (ELR MODEL) Seperti disebutkan sebelumnya bahwa evaluasi kesiapan implementasi e-learning (e-learning readiness) sangat diperlukan untuk mengetahui kondisi atau potret kapabilitas organisasi saat ini jika dibandingkan kondisi ideal yang diharapkan. E-learning readiness (ELR) didefinisikan sebagai kesiapan mental atau fisik suatu organisasi untuk suatu pengalaman pembelajaran (Borotis & Poulymenakou, 2004). ELR menjadi penting karena dalam implementasi e-learning sering ditemui beraneka ragam rintangan (barrier) seperti resistensi, literasi komputer, sdm yang terbatas, infrastruktur hingga budaya organisasi (Mungania, 2003). Model ELR dirancang untuk menyederhanakan proses dalam memperoleh informasi dasar yang diperlukan dalam mengembangkan e-learning. Banyak peneliti yang telah mengembangkan model ELR baik secara individu maupun organisasi seperti model Kirkpatrick yang menyebutkan bahwa evaluasi elearning terdiri dari 4 (empat) level yakni reaction, knowledge, behavior dan result. Empat level ini lebih menggambarkan evaluasi terhadap hasil yang diperoleh suatu institusi setelah mengimplementasikan elearning. Pada masing-masing level terdapat sejumlah penilaian yang dapat dijadikan sebagai informasi bagi karakteristik masing-masing (Yudi Prayudi, 2009). Model ELR yang dikembangkan oleh peneliti lainnya seperti model yang diusulkan Swatman & So (2005) mengukur kesiapan implementasi e-learning berdasarkan 6 (enam) variabel atau komponen penilaian : Student’s Preparedness, Teacher’s Preparedness, IT infrastructure, Management Support, School Culture dan Preface to meet face-to-face. Model ELR yang dikemukakan Akaslan & Effie (2011) secara khusus mengukur tingkat kesiapan elearning dari aspek tenaga pengajar berdasarkan tiga komponen yaitu Technology, People, Content dan Institution. Disamping itu model ELR yang diusulkan Seakow & Samson (2011) terkait kesiapan elearning pada pendidikan tinggi di Thailand terdiri dari lima dimensi pengukuran yakni Policy, Technology, Financial, Human Resources dan Infrastructure. Sedangkan model ELR yang dikemukakan oleh Kaur & Abas (2004) yang mengukur kesiapan e-learning di Malaysia memiliki beberapa komponen penilaian yaitu Learner, Management, Personnel, Content, Technical, Environment, Cultural dan Financial. Model ELR yang diusulkan oleh Chapnick mengelompokkan kesiapan implementasi e-learning ke dalam delapan kategori kesiapan sebagai berikut (Chapnick, 2000) :
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
66
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
•
Psychological readiness. Faktor ini mempertimbangkan cara pandang individu terhadap pengaruh inisiatif e-learning. Ini adalah faktor yang paling penting yang harus dipertimbangkan dan memilki peluang tertinggi untuk sabotase proses implementasi.
•
Sociological readiness. Faktor ini mempertimbangkan aspek interpersonal lingkungan di mana program akan diimplementasikan.
•
Environmental readiness. Faktor ini mempertimbangkan operasi kekuatan besar pada stakeholders, baik di dalam maupun di luar organisasi.
•
Human resource readiness. Faktor ini mempertimbangkan ketersediaan dan rancangan sistem dukungan sumber daya manusia.
•
Financial readiness. Faktor ini mempertimbangkan besarnya anggaran dan proses alokasi.
•
Technological skill (aptitude) readiness. Faktor ini mempertimbangkan kompetensi teknis yang dapat diamati dan diukur.
•
Equipment readiness. Faktor ini mempertimbangkan kepemilikan peralatan yang sesuai.
•
Content readiness. Faktor ini mempertimbangkan konten pembelajaran dan sasaran pembelajaran.
Berbagai model ELR akan menghasilkan skor yang dapat menentukan peringkat kesiapan e-learning suatu lembaga. Model ELR dapat membantu pimpinan tidak hanya untuk mengukur tingkat kesiapan lembaga untuk mengimplemantasikan e-learning, tetapi yang lebih penting adalah mengungkap faktor atau area mana masih lemah dan memerlukan perbaikan dan area mana sudah dianggap berhasil atau kuat dalam mendukung implementasi e-learning.
METODOLOGI Penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif dengan menggunakan metode survei berbasis kuesioner untuk mengetahui tingkat kesiapan organisasi dalam implementasi sistem e-learning. Model ELR yang digunakan dalam penelitian sebagai basis pengukuran ini adalah integrasi beberapa model ELR seperti Chapnick (2000), model Kaur & Abas (2004), model Aydin & Tasci (2005), model Akaslan & Effie (2011) dan model ELR Seakow &Samson (2011) dimana model-model tersebut telah digunakan secara luas (best practice) dan sangat sesuai untuk kasus implementasi e-learning di negara berkembang termasuk Indonesia (EIU, 2003; Priyanto, 2008; Waryanto & Insani, 2013). Integrasi model ELR yang berupa pemetaan faktor-faktor e-learning readiness dapat disajikan sebagai berikut :
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
67
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
68
Pusat Inovasi - LIPI
Tabel 1. Pemetaan Faktor E-learning Readiness (ELR) No
Faktor E-learning Readiness
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Psychological readiness Sociological readiness Environmental readiness Human resource readiness Financial readiness Technological skill (aptitude) readiness Equipment readiness Content readinesss Innovation Institution
7. 8. 9. 10.
Chapnick (2000) √ √ √ √ √ √ √ √
Kaur & Abas (2004)
Aydin & Tasci (2005)
Akaslan &Effie (2011)
Seakow & Samson (2011)
√ √ √
√
√
√ √ √
√ √
√
√
√
√ √ √ √ √
Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat dilihat melalui proses pemetaan model ELR diperoleh 10 faktor atau dimensi pengukuran kesiapan implementasi e-learning (ELR). Model integrasi ELR ini nantinya akan memberikan hasil berupa skor yang dapat menentukan peringkat kesiapan e-learning suatu lembaga. Selain itu model integrasi ELR ini dapat digunakan secara terus menerus untuk menjaga keberlangsungan implementasi sistem e-learning dalam proses pembelajaran. Kuesioner dalam penelitian ini didesain dengan pendekatan model integrasi ELR yang terdiri dari 10 (sepuluh) dimensi atau faktor e-learning readiness yang akan dinilai. Skala likert yang digunakan terdiri dari 5 skala pengukuran yaitu yaitu 1=”Sangat Tidak Setuju”, 2=”Tidak Setuju”, 3=”Netral”, 4=”Setuju” dan 5=”Sangat Setuju”. Kuesioner didistribusikan kepada 217 responden secara purposive sampling dimana kriteria responden yaitu staf pengajar yang telah melakukan pembelajaran e-learning di Universitas XYZ. Kriteria ini ditentukan karena tidak semua tenaga pengajar atau dosen yang ada telah melakukan kegiatan belajar-mengajar secara e-learning dimana tenaga pengajar ditunjuk melalu proses seleksi terlebih dahulu oleh pihak kampus Dari total 217 kuesioner, hanya ada 205 data kuesioner yang dapat dilanjutkan untuk diolah dan dianalisis pada tahap selanjutnya. Untuk mengetahui atau memetakan tingkat kesiapan organisasi digunakan skala Aydin dan Tasci yang membagi kesiapan dalam empat level seperti Gambar 1 di bawah ini :
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Gambar 1. Skala Pengukuran Model ELR Aydin & Tasci Sumber : Aydin & Tasci (2005)
Pada Gambar 1 di atas dapat terlihat bahwa skor rata-rata 3.41 merupakan skor minimal untuk tingkat kesiapan penerapan e-learning baik untuk skor rata-rata pertanyaan untuk suatu faktor ataupun skor ratarata total dari semua pertanyaan untuk dapat dianggap atau dikategorikan siap dalam penerapan elearning.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan metodologi dan pendekatan yang dilakukan selanjutnya akan dianalisis tingkat kesiapan implementasi e-learning (e-learning readiness). Namun sebelum dilakukan pengolahan data dan analisis, hasil pengukuran kuesioner diuji validitas dan reliabilitasnya. Untuk pengujian reliabilitasnya yaitu melalui perhitungan koefisen reliabilitas Cronbach Alpha dimana setiap faktor (item) yang berada di atas 0.6 (>0.6) dianggap reliabel (Brandt, 2000). Hasil pengujian reliabilitas yang dilakukan menunjukkan nilai koefisien Cronbach Alpha yang diperoleh adalah 0.863 (>0.6), artinya kuesioner dianggap telah reliabel karena memenuhi persyaratan minimum. Kemudian indeks validitas kuesioner pada penelitian ini didasarkan pada nilai r (corrected item-total correlation) dimana bila r hasil positif dan lebih besar dari r tabel , maka item tersebut valid (Azwar, 2012). Dari hasil pengujian validitas kuesioner diperoleh bahwa setiap item pengukuran mempunyai nilai r hasil >0.3 r tabel dengan taraf signifikasi 5%. Dengan kata lain setiap item dari instrumen dapat dikatakan telah valid dan signifikan. Selanjutnya data hasil kuesioner diolah dengan bantuan software SPSS untuk memperoleh nilai rata-rata (mean) dari setiap dimensi atau faktor e-learning readiness yang diukur serta nilai rata-rata (mean) seluruh dimensi yang menunjukkan tingkat kesiapan organisasi dalam implementasi e-learning. Hasil perhitungan tersebut akan dipetakan ke dalam kriteria skala Aydin & Tasci (2005) seperti pada Gambar 1 yang terdiri dari 4 (empat) kategori kesiapan yaitu kategori tidak siap dan membutuhkan banyak peningkatan, kategori tidak siap dan membutuhkan sedikit peningkatan, kategori siap tetapi membutuhkan sedikit peningkatan Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
69
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
serta kategori siap dan penerapan e-elarning dapat dilanjutkan. Rekapitulasi hasil pengolahan data penelitian dapat disajikan pada Tabel 2 sebagai berikut : Tabel 2. Hasil Skor Faktor E-Learning Readiness (ELR) dan Kategori Kesiapan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Faktor ELR Psychological Sociological Environmental Human Resource Financial Technological Skill Equipment Content Innovation Institution Total Rata-rata
Skor Rata-Rata 3.69 3.42 3.55 2.93 2.74 3.42 2.63 3.58 2.81 2.72 3.15
Kategori Kesiapan Kategori siap tetapi membutuhkan sedikit peningkatan Kategori siap tetapi membutuhkan sedikit peningkatan Kategori siap tetapi membutuhkan sedikit peningkatan Kategori tidak siap dan membutuhkan sedikit peningkatan Kategori tidak siap dan membutuhkan sedikit peningkatan Kategori siap tetapi membutuhkan sedikit peningkatan Kategori tidak siap dan membutuhkan sedikit peningkatan Kategori siap tetapi membutuhkan sedikit peningkatan Kategori tidak siap dan membutuhkan sedikit peningkatan Kategori tidak siap dan membutuhkan sedikit peningkatan Kategori tidak siap dan membutuhkan sedikit peningkatan
Berdasarkan Tabel 2 hasil penilaian skor faktor e-learning readiness (ELR) di atas dapat dilihat bahwa total skor rata-rata adalah sebesar 3.15 artinya menurut kategori nilai Aydin & Tasci (2005) menunjukkan organisasi khususnya Universitas XYZ berada pada kategori tidak siap dan membutuhkan sedikit peningkatan (Not ready needs some work) dalam menerapkan sistem pembelajaran e-learning. Komposisi hasil analisis terdiri dari kesiapan faktor Psychological sebesar 3.69 (kategori siap tetapi membutuhkan sedikit peningkatan), kesiapan faktor Sociological sebesar 3.42 (kategori siap tetapi membutuhkan sedikit peningkatan), kesiapan faktor environmental sebesar 3.55 (kategori siap tetapi membutuhkan sedikit peningkatan), kesiapan faktor Human Resource sebesar 2.93 (kategori tidak siap dan membutuhkan sedikit peningkatan), kesiapan faktor Financial sebesar 2.74 (kategori tidak siap dan membutuhkan sedikit peningkatan), kesiapan faktor Technological Skill sebesar 3.42 (kategori siap tetapi membutuhkan sedikit peningkatan), kesiapan faktor Equipment sebesar 2.63 (kategori tidak siap dan membutuhkan sedikit peningkatan), kesiapan faktor Content sebesar 3.58 (kategori siap tetapi membutuhkan sedikit peningkatan), kesiapan faktor Innovation sebesar 2.81 (kategori tidak siap dan membutuhkan sedikit peningkatan) dan kesiapan faktor Institution sebesar 2.72 (kategori tidak siap dan membutuhkan sedikit peningkatan). Mengacu pada skor rata-rata di atas dapat dilihat bahwa ada beberapa faktor e-learning readiness (ELR) yang termasuk kategori sudah siap yakni faktor Psychological, Sociological, Environmental, Technological Skill dan Content. Sedangkan faktor ELR yang termasuk dalam kategori tidak siap adalah Human Resource, Financial, Equipment, Innovation dan Institution. Faktor Human Resource dianggap tidak siap karena kemampuan sumber daya manusia khususnya dosen untuk Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
70
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
menggunakan sistem e-learning dalam kegiatan pembelajaran masih rendah. Minimnya frekuensi kegiatan pelatihan yang hanya diadakan pada saat awal pengembangan e-learning atau tidak tersedianya sarana bahkan anggaran bagi dosen untuk mengembangkan kemampuan diri (self-development) khususnya terkait dengan sistem pembelajaran e-learning. Faktor Financial juga dianggap tidak siap karena terbatasnya anggaran yang dialokasikan untuk penerapan dan pengembangan e-learning dimana belum adanya investasi dari segi infrastruktur. Denga kata lain sistem e-learning berjalan dengan peralatan yang sangat minim baik hardware, software maupun jaringan serta belum adanya anggaran yang jelas diperuntukkan untuk kegiatan operasional sehingga prosespenganggaran masih bersifat adhoc. Hal ini menunjukkan bahwa komitmen pimpinan yang secara lisan bahkan tertulis dinyatakan dalam rencana strategis belum bisa dipenuhi dengan baik. Faktor equipment dianggap tidak siap seperti yang disebutkan bahwa kondisi infrastruktur TIK di Universitas XYZ masih belum memadai khususnya dari segi perangkat keras dan perangkat lunak jaringan serta band-witdh yang disediakan masih minim yaitu hanya 20 MB untuk seluruh mahasiswa yang berjumlah lebih dari 6000 orang. Artinya setiap mahasiswa hanya mendapatkan bandwith sekitar 3 Kbps, padahal DIKTI mewajibkan dalam standar Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) khususnya bandwith adalah minimal 5 Kbps/mahasiswa (DIKTI, 2003). Perangkat lunak yang digunakan adalah Moodle berbasis open source yang telah digunakan secara luas pada sistem e-learning. Namun perangkat Server yang digunakan khususnya Web Server, Application Server dan Database Server masih menumpang pada perangkat yang lama. Faktor Institution juga dianggap tidak siap dikarenakan hingga saat ini belum ada unit khusus yang mengelola kegiatan e-learning baik dari segi manajemen dan teknologinya dimana seharusnya unit ini diberikan kewenangan yang jelas sehingga dapat menyediakan layanan e-learning kepada pihak terkait. Universitas baru menunjuk orang per orang saja sebagai tim adhoc untuk mengelola kegiatan e-learning. Dengan demikian secara struktur atau keberadaan organisasi yang mengelola e-learning dapat dikatakan tidak ada. Semua ini juga tentunya secara tidak langsung dapat mempengaruhi faktor e-learning readiness Innovation menjadi rendah karena minimnya dukungan dari pihak manajemen universitas.
KESIMPULAN DAN SARAN Secara umum tingkat kesiapan Universitas XYZ dalam mengimplementasikan e-learning dikatakan masih rendah atau tidak siap berdasarkan hasil evaluasi ELR. Hal ini ditunjukkan dari indeks e-learning readiness (ELR) yakni sebesar 3.15 (Not ready needs some work) (<3.41) yang berarti organisasi masih memerlukan langkah-langkah perbaikan atau peningkatan agar dapat mendukung keberhasilan penerapan e-learning. Faktor atau variabel e-learning readiness (ELR) yang termasuk dalam kategori siap adalah Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
71
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
psychological, sociological, environmental, technological skill dan content (>3.41). Namun secara keseluruhan faktor-faktor yang dikategorikan siap juga masih membutuhkan peningkatan (<4.2) secara terus menerus karena model ELR ini dapat digunakan untuk menjaga keberlangsungan program penerapan e-learning dalam proses pembelajaran. Saran penelitian lebih lanjut dapat dilakukan analisa statistik untuk mengkaji faktor-faktor ELR apa saja yang berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan implementasi e-learning di universitas tidak hanya dari perspektif dosen namun juga mahasiswa dan pimpinan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2013. Belanja IT di Indonesia Capai US$ 10,2 Miliar http://www.telkomsolution.com/news/itsolution/belanja-it-diindonesia-capai-us-102-miliar. Aydin, C. H., & Tasci, D. 2005. Measuring Readiness for eLearning: Reflections from an Emerging Country. Educational Technology & Society, 8 (4), 244257. Begicevic, Nina & Blaženka Divjak . 2006. Validation of Theoretical Model For Decision Making About E-learning Implementation. Journal of information and organizational sciences, Volume 30, Number 2. Sumber : http://www.projekti.hr/articles/1_EDEN_v5_FINAL.pdf. Bhuasiri, W., Xaymoungkhoun, O., Zo, H., & Jeung Rho, J. 2012. Critical success factors for e-learning in developing countries: A comparative analysis between ICT experts and faculty. Computers & Education. Vol 58. Borotis, S. & Poulymenakou, A. 2004. e-Learning Readiness Components: Key Issues to Consider Before Adopting e-Learning Interventions. Source from http://www.eltrun.gr/papers/eLReadiness_ELEARN2004.pdf Chapnick, S. 2000. Elearning Readiness TM Assessment. by Samanta Chapnick (2001)Are You Ready for ELearning? Source from: http://www.researchdog.com Economist Intelligence Unit & IBM Corporation. 2003. The E-learning Readiness Rankings. Newyork: Economist Intelligence Unit. Fariani. 2013. Pengukuran Tingkat Kesiapan E-Learning (E-Learning Readiness) : Studi kasus pada perguruan tinggi ABC di Jakarta. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi. Politeknik Manufaktur Astra, Yogyakarta. Kaur, K., & Abas, Z. 2004. An assessment of e-learning readiness at the Open University Malaysia. International Conference on Computers in Education. Malbourne. Mungania, P. 2003. The seven e-learning barriers facing employees. Research final report of the masie center of elearning consortium. University of Louisville, USA. Prayudi, Y. 2009. Kajian Awal: ELearning Readiness Index (ELRI) sebagai Model bagi Evaluasi ELearning pada Sebuah Institusi. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2009 Universitas Islam Indonesia,Yogyakarta. Priyanto. 2008. Model E-Learning Readiness Sebagai Strategi Pengembangan E-Learning. Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta. Rosenberg, Marc J. (2006). What Lies Beyond E-Learning?. Source from: http://www.learningcircuits.org/2006/March/ Smaldino & Sharon, E. et.al 2005. Instructional Technology and Media for Learning. New Jersey: Pearson Prentice Hall. So, K. K. T. & Swatman, P. M. C. 2006. Elearning Readiness in the Classroom: a study of Hong Kong primary and secondary teachers, in: Proceedings of collecter europe 2006, 2006, s. 223-237. Suhartanto. 2009. Mutu Situs E-Learning Sekolah Indonesia Masih Sangat Minim. Jurnal Sistem Informasi MTI-UI Vol 6, No 1, 74-7. Sun, P. C., Tsai, R. J., Finger, G., Chen, Y.Y., & Yeh, D. 2008. What drives a successful eLearning? An empirical investigation of the critical factors influencing learner satisfaction. Computer & Education. p. 1183-1202.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
72
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
NET 06
ANALISIS KELAYAKAN TEKNIS PRODUKSI BENIH BAWANG MERAH TSS (TRUE SEED OF SHALLOT) Puspitasari, Adhitya Marendra Kiloes dan Anna Sulistyaningrum Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Jl. Tentara Pelajar No. 3C, Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu, Bogor
[email protected] Abstrak. Penggunaan umbi bawang merah sebagai benih mempunyai beberapa kelemahan diantaranya tidak tahan simpan, biaya angkut mahal, harganya cenderung fluktuatif karena mengikuti harga bawang merah konsumsi sehingga di saat tertentu memiliki harga sangat tinggi. Disamping itu penggunaan umbi sebagai benih secara terus menerus akan berpengaruh besar pada penurunan produktifitas yang diakibatkan oleh penyakit tular umbi. Salah satu alternatif teknologi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan penggunaan TSS (True Seed of Shallot). Kelebihan TSS adalah meningkatkan produksi bawang merah sampai dua kali lipat dibandingkan dengan penggunaan benih umbi, serta bebas dari penyakit dan virus. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis aspek kelayakan non finansial yaitu aspek teknis dan teknologi produksi TSS dari sisi teknologi produksi dan pemilihan lokasi produksi. Kata kunci : Kelayakan teknis, bawang merah, TSS
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
73
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN Bawang Merah merupakan komoditas unggulan nasional yang bernilai strategis karena merupakan bumbu masak yang dibutuhan sehari-hari yang fungsinya belum dapat disubtitusi oleh komoditas rempah lainnya. Bahkan bawang merah merupakan komoditas yang dapat mempengaruhi perekonomian nasional karena sebagai penyumbang inflasi akibat kenaikan harganya. Kenaikan harga biasa terjadi pada saat musim hujan karena pada saat tersebut lahan untuk menanam bawang merah digunakan untuk menanam padi (Puslitbang Hortikultura 2012). Kendala utama dalam peningkatan produksi dan produktivitas bawang merah salah satunya adalah karena masih minimnya ketersediaan benih bermutu, baik dalam jumlah maupun harga. Di sisi yang lain, benih merupakan salah satu komponen biaya terbesar kedua dalam usahatani bawang merah (Nurasa dan Darwis 2007). Saat ini benih yang digunakan petani umumnya merupakan benih jabal (jaringan benih antar lapang) yang berasal dari bawang merah konsumsi yang dibuat benih atau atau benih impor. Petani umumnya menggunakan benih umbi yang berasal dari panen umbi konsumsi musim tanam sebelumnya atau membeli dari petani lain (Basuki, 2010). Benih impor terkadang juga merupakan umbi konsumsi asal impor yang dijadikan benih sehingga bukan benih bermutu atau bersertifikat. Hal tersebut menyebabkan rendahnya kualitas benih yang pada akhirnya akan berdampak pada rendahnya produktivitas. Penggunaan umbi bawang merah sebagai benih mempunyai beberapa kelemahan diantaranya tidak tahan simpan, biaya angkut mahal, dan sering terdapat penyakit tular umbi (Rosliani, 2015). Benih bawang merah yang digunakan saat ini umumnya merupakan bawang merah konsumsi yang dijadikan benih, sehingga sistem perbenihan bawang merah bukan rupakan bagian terpisah dari sistem produksi untuk konsumsi, Padahal bawang merah mempunyai keterbatasan dalam berproduksi ketika off season, yang menyebabkan kelangkaan pasokan. Ketika pasokan berkurang harga akan naik, ketika harga tinggi bawang merah akan dijual seluruhnya untuk konsumsi, dan tidak disisakan untuk benih. Pada akhirnya hal tersebut menyebabkan benih bawang menjadi langka dan mahal, sehingga biaya input produksi meningkat yang mengakibatkan harga jual bawang merah pada akhirnya akan meningkat juga. Kondisi tersebut merupakan multiflier efek dari peningkatan harga konsumsi. Dengan demikian sistem perbenihan harus terpisah dari sistem produksi untuk konsumsi. Salah satu strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas adalah dengan menggunakan teknologi bawang merah melalui TSS (True Seed of Shallot) atau biji botani bawang merah. Benih bawang merah TSS mempunyai keunggulan dibandingkan benih umbi yaitu tidak mempunyai masa dormansi dan lebih tahan simpan sehingga dapat tersedia sepanjang tahun, selain itu lebih mudah dalam pengangkutan dan tidak memerlukan transportasi khusus, tidak memerlukan tempat penyimpanan yang Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
74
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
luas. Disamping itu berdasarkan hasil penelitian di lapangan didapatkan bahwa budidaya bawang merah menggunakan TSS mempunyai produktivitas lebih tinggi serta lebih tahan penyakit dan virus (Rosliani, 2015). Namun demikian peralihan dari perbenihan umbi ke TSS masih menghadapi kendala di lapangan, terutama dari sisi kesiapan teknologi tersebut untuk dapat diadopsi oleh petani, Untuk itu perlu dilakukan kajian untuk menganalisis aspek kelayakan dari sisi teknis dan teknologi produksi serta pemilihan lokasi produksi TSS. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai teknologi perbenihan bawang merah menggunakan TSS dari segi kelayakan teknis, serta untuk melakukan kajian terhadap lokasi potensial untuk produksi TSS.
METODOLOGI Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dengan menggunakan data-data primer dan sekunder yang berasal dari wawancara terhadap peneliti-peneliti terkait, Badan Litbang Pertanian dan review terhadap hasil-hasil penelitian sebelumnya. Data-data yang diperoleh akan diolah dalam bentuk tabel dan grafik untuk memberikan gambaran mengenai teknologi perbenihan bawang merah menggunakan TSS secara teknis dan juga untuk memberikan gambaran lokasi potensial untuk memproduksi TSS. Berdasarkan data-data yang diperoleh tersebut akan disusun suatu rekomendasi untuk pengembangan teknologi TSS.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil studi literatur dan review terhadap hasil-hasil penelitian mengenai produksi TSS dapat dijelaskan mengenai aspek kelayakan non finansial dari sisi teknis dan teknologi produksi. Selain itu dijelaskan pula mengenai lokasi potensial untuk memproduksi TSS.
1. Teknologi Produksi Bawang Merah asal TSS Secara teknis penggunaan TSS sebagai benih mempunyai beberapa keunggulan sebagaimana hasil penelitian Pangestuti & Sulistyaningsih (2011), yang mengenai perbedaan penggunaan TSS dan umbi sebagai sumber benih bawang merah disajikan di Tabel 1.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
75
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Tabel 1. Perbedaan penggunaan TSS dan umbi sebagai sumber benih bawang merah No.
Sumber Benih
Uraian
TSS
Umbi
1.
Cara pembuatan
Relatif sulit
2.
Sifat benih
3.
Umur benih
Bebas cendawan, bakteri, nematode, insekta dan jarang terkontaminasi virus dan penyakit tular benih Dapat disimpan lebih dari 1 tahun
Relatif mudah
4.
Kebutuhan benih
3-7,5 Kg biji/Ha
Mutu menurun setelah 4 bulan, rusak setelah 6 bulan 1-1,5 ton umbi/Ha
5.
Biaya benih
Relatif murah
Relatif mahal
6.
Ketahanan terhadap lingkungan
7.
Kesesuain untuk budidaya
8.
Kebutuhan tenaga kerja budidaya
Rentan terhadap cekaman biotis (gulma) dan abiotis (kondisi lingkungan) Fleksibel, dapat ditanam saat dibutuhkan Relatif banyak (untuk persemaian dan penanaman)
Agak tahan terhadap cekaman biotis (gulma), peka terhadap cekaman abiotis (kelembaban tanah) Waktu tanam singkat, jika tertunda penggunaanya benih akan keropos/rusak Relatif sedikit (untuk penanaman)
9.
Umur panen
Tergantung varietas dan jenis yang ditanam
10.
Keragaman hasil panen
Lebih panjang 19 – 30 hari tergantung varietas Bentuk dan ukuran umbi relatif lebih seragam
11.
Respon petani di Indonesia
Sudah terbiasa menggunakan benih umbi
12.
Penyediaan benih
13.
Produktivitas
Belum terbiasa menggunakan benih biji Jenis masih terbatas, produksi missal di luar negeri Lebih tinggi (>20 ton/ha)
Berisiko terkena cendawan, bakteri dan mengandung virus/penyakit tular benih
Bentuk dan ukuran umbi hasil panen beragam
Jenis lebih bervariasi, dihasilkan sendiri dan impor Punya kecenderungan menurun
Sumber : Pangestuti d a n Sulistyaningsih (2011)
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa secara teknis penggunaan benih asal TSS mempunyai keunggulan dari sisi ketahanan terhadap penyakit, terutama dari virus yang biasanya menular melalui umbi. Umur benih TSS lebih lama dan tahan simpan, serta tidak memiliki masa dormansi sehingga lebih fleksibel untuk digunakan setiap saat dibutuhkan, berbeda dengan benih umbi yang 2-3 bulan baru dapat ditanam dan mempunyai umur fisiologis sekitar 4 bulan, yang jika tertunda penanamannya benih akan rusak. Dari sisi kebutuhan benih, TSS dibutuhkan dalam volume yang jauh lebih sedikit, yaitu hanya 37,5 kg/Ha sehingga dapat mengurangi biaya produksi. Fisik benih yang berukuran kecil dan kering tidak memerlukan tempat penyimpanan yg luas, serta memudahkan dalam pengangkutan dan lebih murah biaya transportasinya. Dalam hal produktivitas, bawang merah asal TSS produktivitasnya lebih tinggi bisa mencapai lebih dari 20ton/ha (Tabel 1). Berdasarkan hasil penelitian Basuki (2009) umur panen dengan benih asal TSS 19-26 hari lebih lama dibanding benih umbi, namun mampu menghasilkan bobot panen bawang merah secara signifikan 2 kali lipat lebih tinggi dengan ukuran umbi lebih besar dibandingkan hasil dari Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
76
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
benih umbi. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa secara teknis teknologi TSS dapat dikatakan layak karena dapat meningkatkan hasil sampai 2 kali lipat dibanding teknologi menggunakan benih umbi. Namun demikian adanya tambahan waktu dalam produksi bawang merah dengan benih TSS ini tidak mudah diterima oleh petani, hal ini dikarenakan petani terbiasa melakukan usahatani dalam waktu 2 bulan sehingga akan berpengaruh terhadap perputaran keuangan mereka. Disamping itu teknologi TSS ini masih sulit untuk diaplikasikan di tingkat petani, hal ini dikarenakan petani yang sudah terbiasa menanam benih dalam bentuk umbi sulit untuk beralih ke menanam biji. Keengganan petani untuk menggunankan TSS disebabkan karena selain teknologi budidaya TSS yang tepat belum diketahui. Petani juga belum meyakini besarnya nilai tambah dari teknologi budidaya menggunakan TSS dibanding menggunakan benih umbi yang biasa dilakukan (Basuki, 2009). Penggunaan TSS di tingkat petani menghadapi kendala transisi adaptasi teknik budidaya dari penggunaan benih umbi yang mudah dan praktis ke benih biji yang membutuhkan ketekunan pemeliharaan khususnya pada fase awal pertumbuhannya. Selain itu, persentase hidup bawang merah yang langsung ditanam di lahan dari biji masih sangat rendah yaitu hanya sekitar 50% (Prayudi et.al, 2015). Permasalahan ini dapat diatasi dengan penggunaan umbi mini, dimana penangkar benih yang memproduksi biji bawang merah (TSS) dan memperbanyaknya menjadi umbi mini, selanjutnya mengembangkan umbi mini menjadi benih umbi. Keunggulan teknologi ini, petani tidak harus mengubah kebiasaan bertani dengan benih umbi, namun umbi benih yang digunakan merupakan umbi bermutu hasil perbanyakan umbi mini. Penggunaan umbi mini juga dapat mempermudah distribusi dan menghemat biaya transportasi benih (Pangestuti & Sulistyaningsih 2011). Sebagai langkah untuk transfer teknologi mengenai budidaya bawang merah dengan benih TSS, Badan Pengembangan Pertanian telah menerbitkan Petunjuk Teknis Produksi TSS. Selain itu untuk mengatur perbenihan asal TSS, Kementerian Pertanian telah menerbitkan Kep,entan No. 131 tentang Pedoman Teknis Sertifikasi Benih Bawang Merah yang di dalamnya mengatur tentang sertifikasi benih TSS. Salah satu klausul dalam Kepmentan 131 tahun 2015 menyebutkan bahwa produksi TSS kelas Benih Penjenis dan Benih Dasar harus dilakukan di dalam screenhouse. Tidak dijelaskan spesifikasi lebih lanjut mengenai screenhouse yang digunakan dalam produksi TSS tersebut. hanya disebutkan bahwa ukuran screen adalah 30 mesh. Namun menurut wawancara yang dilakukan terhadap peneliti TSS menyebutkan bahwa produksi TSS di dalam screenhouse tidak direkomendasikan karena akan menyebabkan kondisi mikroklimat di dalam screenhouse tidak menunjang untuk produksi TSS. Selain itu karena dalam memproduksi TSS dibutuhkan bantuan polinator untuk dapat melakukan penyerbukan, maka dibutuhkan investasi polinator yang akan menambah biaya produksi. Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
77
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Kendala lainnya dalam penggunaan benih TSS, diantaranya membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak terutama pada saat persemaian dan penanaman, sehingga diperlukan teknologi yang memudahkan dalam penanaman biji, seperti misalnya penggunaan alat tanam mekanik untuk tabela (tanam benih langsung). Hasil diskusi dengan peneliti Balitsa menyebutkan bahwa untuk persemaian dan memudahkan penanaman di lapangan, diperlukan teknologi tray persemaian khusus yang ketika bibit sudah siap tanam dapat langsung ditanam bersama tray tersebut.
2. Pemilihan Lokasi Produksi Kendala utama peningkatan produksi bawang merah, antara lain tidak adanya jaminan ketersediaan benih bermutu baik kuantitas maupun kualitas sepanjang tahun. Pemilihan lokasi yang tepat dan sesuai dengan kondisi agroekosistem akan sangat mempengaruhi keberhasilan dari pengembangan biji TSS. Menurut (Basuki 2009; Sumarni et al., 2012), penggunaan TSS layak secara ekonomi karena dapat meningkatkan hasil umbi bawang merah sampai dua kali lipat dibanding dengan penggunaan umbi. Kendala yang dihadapi produksi benih asal biji atau TSS yaitu rendahnya persentase pembuangan dan pembentukan biji. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan yang tidak mendukung terutama suhu tinggi >20oC. Menurut Rosliani et al (2012), suhu lingkungan yang mendukung terjadinya proses inisiasi pembungaan yaitu <18oC , sehingga daerah dataran tinggi cocok untuk produksi TSS. Menurut Fita (2004), suhu rendah dapat menstimulir pembungaan bawang merah. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, daerah Jeneponto Sulawesi Selatan dengan kategori kesesuaian lahan dengan klasifikasi III by yang merupakan daerah dataran menengah kering memiliki hasil TSS yang tertinggi. Kategori lokasi tersebut dapat dijadikan acuan dalam menentukan lokasi pengembangan lain. Selain itu kategori IV by juga dapat dijadikan alternatif pilihan pengembangan TSS karena kondisi agroekosistemnya hampir mendekati III by, hanya zona lerengnya yang berbeda. Penentuan alternatif lokasi lainnya berdasarkan hasil kegiatan KKP3S 2016 Puslitbang Hortikultura dengan lokasi Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara (kategori IV bx dan IV cx) menghasilkan TSS 300 Kg/Ha diperkirakan merupakan capaian terbesar, sehingga kategori lokasi ini dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan alternatif lokasi lainnya. Berdasarkan peta kesesuaian lahan (AEZ) maka kondisi agroekosistem pada keempat kategori disajikan pada Tabel 1, dan beberapa wilayah di Indonesia yang berpotensi digunakan untuk lokasi pengembangan TSS dengan zona III by dan IV by, IV bx dan IV cx disajikan pada Tabel 2.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
78
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Tabel 2. Kondisi agroekosistem berdasarkan kategori alternatif lokasi pengembangan TSS Kategori
Kondisi Agroekosistem
III by
Dataran menengah kering dengan zona lereng 8-15%, temperatur 19-20oC, ketinggian 700-1200 mdpl.
IV by
Dataran menengah kering dengan zona lereng < 8%, temperatur 19-20oC, ketinggian 700-1200 mdpl.
IV bx
Dataran menengah lembab dengan zona lereng < 8%, temperatur 19-20oC, ketinggian 700-1200 mdpl.
IV cx
Dataran tinggi lembab dengan zona lereng < 8%, temperatur 15-18 oC, dan ketinggian ≥1200 mdpl
Sumber: Peta AEZ ( Badan Litbang kementerian Pertanian, 2013)
Tabel 3. Lokasi potensial alternatif pengembangan TSS dengan kategori III by, IV by, IV bx, dan IV cx Kategori III by
IVby IVbx
Provinsi NTT
Kabupaten (Daerah) Kab. Ngada, Kab. Sumba Timur (Kuku Waibara)
Jatim
1.557
Kab. Banyuwangi, Kab. Jember
Bali
2.117
Tukad Bentemu Kangin, dan Tukad Peninggungan
Sulsel NTT Sumut
7.627 386.323
Aceh
38.779
Jabar
4.865
Banten
IV cx
Luas (Ha) 10.495
930
Kab. Jeneponto , Gowa dan Kab. Sinjai Bantaeng\ Kab. Ngada, Kab. Alor Kab. Simalungun, Kab Toba Samosir, Kab. Samosir, Kab. Dairi, Kab. Humbang Hasundutan, Kab. Tapanuli Tengah Kab. Pidie, Kab. Aceh Tengah, Kab. Aceh Barat, Kab. Aceh Timur, Kab. Nagan Raya, Kab. Gayo Luwes Bogor, Majalengka, Bandung Kab. Lebak
NTT
8.137
Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab. Sumba Timur
Bali
2.638
Kab. Tukad Kesimpar, Kab. Yangapi
Sulsel
7.870
Kab. Sinjai, Kab. Gowa
Sulteng
67.032
Maluku
3.790
Kab. Buru, Kab. Maluku Barat Daya
Maluku Utara
1117
Kab. Halmahera Tengah
Gorontalo
3.800
Kab. Pohuwato
Papua
4.211
Kab. Waropen, Kab. Panai
Papua Barat
3.551
Kab. Manokwari, Kab. Kaimana
Sumut
173.586
Kab. Parigi, Kab. Moutong, Kab. Poso, Kab. Banggai Kepulauan
Kab. Samosir, Kab. Simalungun, Kab. Dairi, Kab. Karo, Kab. Tapanuli Utara, Kab. Humbang Hasundutan, Kab. Tapanuli Tengah
Sumbar
1.556
Kabupaten Solok
NTT
6.817
Kab. Ngada, kab. Sumba Timur
Sumber: Peta AEZ ( Badan Litbang kementerian Pertanian, 2013)
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
79
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Berdasarkan peta kesesuaian lahan maka daerah di Indonesia yang termasuk kategori III by terdapat empat Provinsi (Nusa Tenggara Timur, Jawa timur, Bali, dan Sulawesi Selatan); kategori IV by terdapat satu Provinsi (Nusa Tenggara Timur); kategori IV bx terdapat 13 Provinsi (Sumatera Utara, Aceh, Jawa Barat, Banten, NTT, Bali, Sulsel, Sulteng, Maluku, Maluku Utara, Gorontalo, Papua dan Papua Barat); dan kategori IV cx terdapat 3 Provinsi (Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan NTT). Provinsi Sumatera Utara dengan kategori IV bx memiliki luas lahan terbesar yaitu 173.586 Ha yang tersebar dalam tujuh Kabupaten yaitu Kab. Samosir, Kab. Simalungun, Kab. Dairi, Kab. Karo, Kab. Tapanuli Utara, Kab. Humbang Hasundutan dan Kab. Tapanuli Tengah. Semakin luas daerah alternatif pengembangan TSS yang didukung dengan tingkat produktivitas yang tinggi, sehingga diharapkan kedepannya Indonesia dapat mencukupi kebutuhan benih bawang merah secara mandiri bahkan dapat melakukan ekspor dengan penerapan sistem manajemen mutu yang tepat. Daerah-daerah tersebut yang memilki kesesuaian agroeksistem dengan Jeneponto dan Toba Samosir dapat direkomendasikan untuk di teliti lebih jauh berkaitan dengan pengembangan TSS. Pemilihan lokasi untuk produksi TSS juga harus mempertimbangkan beberapa hal yaitu utilitas (ketersediaan air dan listrik), kemudahan akses pasar, serta ketersediaan sarana transportasi. Pengembangan TSS pada daerah dataran rendah pada umumnya menghasilkan benih yang lebih berkualitas tetapi hasilnya rendah. Menurut hasil penelitian dari Hilman et al (2014), produksi TSS di dataran tinggi lebih besar jika dibandingkan dengan dataran rendah. Hal ini dikarenakan pembungaan yang mencapai 2,5-3 kali lipat, akan tetapi mutu TSS yang diproduksi di dataran rendah lebih baik daripada dataran tinggi. Menurut Rosliani et al (2012), bobot benih TSS maupun daya berkecambahnya di dataran rendah lebih tinggi daripada di dataran tinggi. Akan tetapi jumlah produksi yang dihasilkan tidak sebanding dengan biaya produksi TSS, sehingga daerah dataran rendah tidak direkomendasikan untuk alternatif pengembangan TSS. Rekomendasi lokasi di atas hanya berdasarkan kesamaan agroekosistem dengan Jeneponto (dataran menengah kering) dan Toba Samosir Sumatera Utara (dataran menengah lembab dan dataran tinggi lembab). Sedangkan dalam pemilihan lokasi perlu mempertimbangkan berbagai faktor seperti keberadaan pollinator, kondisi lahan apakah sudah tercemar dengan pestisida, iklim, jenis tanah, serta kandungan unsur haranya. Hal ini sejalan dengan pendapat Fita (2004), pembungaan dan pembentukan biji pada bawang merah dipengaruhi oleh lingkungan, antara lain lamanya penyinaran, suhu, kelembaban disamping faktor dalam seperti genetik atau varietas, dan keseimbangan ZPT. Menurut Idnan et al (2015), proses pembungaan dan pembentukan biji bawang merah dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk jenis Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
80
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
varietas, pemupukan serta keberhasilan penyerbukan. Proses penyerbukan TSS dibantu oleh adanya pollinator, sehingga keberadaan pollinator sangat penting.
PENUTUP Dari segi kelayakan teknis teknologi TSS layak dikembangkan karena dapat memberikan keuntungan usaha tani yang lebih besar dibandingkan penggunaan benih bawang merah berbentuk umbi. Namun dalam produksinya masih ada beberapa aspek yang perlu dikaji ulang seperti penggunaan screenhouse untuk produksi TSS. Selain itu dari segi pemilihan lokasi terdapat beberapa lokasi yang klasifikasinya cocok dengan klasifikasi lokasi pada lokasi produksi sebelumnya sehingga berpeluang untuk dikaji apakah produksi TSS dapat dilakukan pada lokasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2013. Peta zona agro ekologi. Kementerian Pertanian, Jakarta. Basuki RS. 2009. Analisis kelayakan teknis dan ekonomis teknologi budidaya bawang merah dengan benih biji botani dan benih umbi tradisional. J. Hort 19 (2) : 214-227. Fita GT. 2004. Manipulation of flowering for seed production of shallot [Disertation]. Hanover: Universitat Hanover. Hilman Y, Rosliani R dan Palupi ER. 2014. Pengaruh ketinggian tempat terhadap pembungaan, produksi, dan mutu benih botani bawang merah. J. Hort 24(2) : 154-161. Idhan A, Syam’un E, Zakaria B, Riyadi M. 2015. Potential selection of flowering and tuber production in fourteen onion varieties (Allium ascalonicum L.) at lowland and upland. International Journal of Current Research in Biosciences and Plant Biology 2 (7) : 63-67. Pangestuti, R & Sulistyaningsih, E 2011, Potensi penggunaan True Seed shallot (TSS) sebagai sumber benih bawang merah di Indonesia, Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro Inovasi untuk Pemberdayaan Petani dalam Pengembangan Agribisnis Masyarakat Perdesaan”, Semarang, 14 Juli 2011. Prayudi, B, Pangstuti R, Kusumasari AC. 2015. Produksi Umbi Mini Bawang Merah Asal True Shallot Seed (TSS). Inovasi Hortikultura Pengungkit Peningkatan Pendapatan Rakyat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. IAARD Press: 35-44. Rosliani, R Suwandi, dan Sumarni N. 2012. Penggunaan benzylaminopurin (BAP) dan Boron untuk meningkatkan produksi dan mutu benih TSS bawang merah (Allium cepha var. ascalonicum) di dataran tinggi. J. Horti 22 (3) : 242-250. Rosliani, R. 2015. Teknologi Perbenihan Bawang Merah Melalui True Shallot Seed untuk menyediakan Kebutuhan Benih Bermutu Berkesinambungan. Inovasi Hortikultura Pengungkit Peningkatan Pendapatan Rakyat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. IAARD Press : 22-34. Sumarni N, Sopha GA, Gaswanto R. 2012. Respon tanaman bawang merah asal biji true shallot seeds terhadap kerapatan tanaman pada musim hujan. J. Hort 22 (1) : 23-28. Nurasa, T dan Darwis, V. 2007. Analisis Usahatani dan Keragaan Marjin Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten Brebes. Jurnal Akta Agrosia Vol. 10 (1): 40-48
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
81
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
NET 12
PERANCANGAN PROGRAM GAME PC HACK & SLASH BERBASIS MULTIMEDIA MENGGUNAKAN UNITY 3D Darmawan Napitupulu* *Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian – LIPI *Fakultas Ilmu Komputer Universitas Borobudur
[email protected] Abstrak. Perkembangan game terjadi di awal tahun 1990 di mana perkembangannya begitu pesat bahkan lebih banyak konsumerisasi daripada pengembangannya khususnya di Indonesia. Bisa dilihat dari banyaknya console game yang bermunculan dimana pengembang kebanyakan dari bagian Amerika, Eropa dan Asia. Perkembangan game diikuti juga dengan maraknya Game Engine atau Game Creator yang dapat digunakan untuk membangun, merancang dan mengembangkan game, salah satunya adalah unity 3D. Tujuan dari penelitian ini adalah merancang sebuah program game dengan menggunakan game engine unity 3D. Metode pengumpulan data meliputi studi pustaka atau literatur terkait model pengembangan games sedangkan metode perancangan meliputi pembentukan elemen elemen game dari teks, tombol, gambar, maupun animasi serta penggabungan elemen ActionScript ke dalam gambar-gambar pada game. Unity 3D dipilih karena kemampuannya menciptakan animasi yang dinamis dengan adanya fasilitas action script sehingga pembuatan game PC hack & slash ini menjadi lebih mudah. Game PC Hack & Slash ini dibuat untuk memecahkan kebuntuan opini yan berkembang di kalangan masyarakat bahwa proses pembuatan game sangat sulit khususnya bagi orang awam. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan agar orang dapat mengerti teknik-teknik pembuatan game dan action script saja yang umumnya digunakan dalam software Unity 3D sehingga dapat mendorong lebih banyak jumlah game buatan lokal. Hasil dari penelitian ini berupa program Game PC Hack & Slash yang berisi suatu karakter yang bertemu dengan musuhnya, sehingga karakter tersebut harus menghancurkannya. Karena apabila tidak dihancurkan player tidak akan dapat meneruskan ke stage berikutnya. Juga di dalam game di berikan item-item atau bonus yang dapat memulihkan Health bar player agar dapat terus melawan musuhnya. Kata Kunci : Game, Unity 3D, action script, animasi, Hack & Slash
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
82
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN Seiring berjalannya waktu hingga telah memasuki abad ke-21 ini, tekhnologi computer semakin hari semakin banyak mempengaruhi roda kehidupan manusia di dunia, tidak hanya dari kalangan akademik dan pemerintahan saja tetapi juga dari kalangan yang sebelumnya belum mengenal apa pentingnya teknologi computer. Salah satu kegiatan yang berl&askan teknologi komputer adalah multimedia.Jika dilihat dari data statistic tentang suatu perkembangan, maka dapat dilihat suatu lonjakan yang luar biasa mengenai penggunaan multimedia di dunia dari masa ke masa. Hal ini berdampak pada gaya kehidupan yang lebih modern dan dinamis. Sejalan dengan perkembangan teknologi yang semakin cepat, kini paketpaket multimedia juga menawarkan perpaduan teks, grafik, animasi, bahkan game.Itu terjadi di awal 1990. Dengan perkembangan tersebut game-game engine pun bermunculan. Game engine atau game creator ini memberikan kemudahan-kemudahan dalam pembuatan dan pengembangan game. Dari begitu banyaknya game-game engine yang bermunculan salah satunya nya adalah Unity 3D dimana engine ini memberikan keluasan dan kemudahan dalam penggunaan, pembuatan dan pengembangan game. Unity 3D memberikan fasilitas-fasilitas yang memungkinkan pemula yang awalnya tidak mengerti tentang bahasa pemrograman, design, dan lain sebagainya dapat mengerti dan mungkin bisa menjadi ahli dalam pemrograman dan pembuatan game. Dan juga Unity merupakan engine yang mempunyai tools yang terintegrasi. Unity bukan saja merupakan game engine atau game creator tetapi Unity juga merupakan Editor dibandingkan dengan beberapa software lama yang sejenis seperti flash, rpgmaker, dan engineengine lainnya. Dan sangat disayangkan dengan bermunculannya engine-engine tersebut dan perkembangan game yang sangat pesat, di Indonesia hanya menjadi konsumen saja. Terbukti dengan banyak nya perusahaan pengembangan game di Amerika, Eropa, dan Asia. Dimana bisnis dan industry pengembangan game ini sudah menjadi suatu hal yang menjanjikan. Berdasarkan hal yang diuraikan, dalam penelitian ini akan dirancang GamePC Hack & Slash dengan menggunakan perangkat lunak Unity 3D.
Game Game adalah suatu permainan yang terdiri dari beberapa karakter dan objek. Karakter dan objek ini biasanya digerakkan dengan bahsa program, dengan tujuan agar bias menciptakan suatu pergerakkan atau perubahan. Dalam beberapa game pengguna dapat mengkontrol langsung pergerakan dari game tersebut, tetapi ada juga game yang telah di beri suatu kecerdasan buatan dalam merespon pergerakannya sendiri, sehingga seolah-olah game itu dapat berpikir sendiri, salah satu contoh game yang telah di beri Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
83
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
kecerdasan buatan adalah game catur.Memainkan game pada computer sangatlah menyenangkan namun demikian akan lebih menyenangkan bila dapat membuat game sendiri dan membiarkan orang lain memainkannya. Akan tetapi membuat game tidaklah mudah beberapa game komersial misalnya, dibuat dan dikembangkan oleh banyak orang dengan keahlian pemrograman yang tinggi dan dibuat dengan biaya yang relative besar. Meskipun untuk membuat game di katakana sangat rumit, namun game sederhana dapat di buat dengan cara yang mudah. Unity 3D, dibantu dengan action script-nya dapat untuk membuat game. Unity 3D Salah satu jenis aplikasi untuk membuat game yang sedang di gemari saat ini adalah membuat aplikasi game dengan Unity 3D. dengan menggunakan Unity 3D ini tidak hanya mudah dalam menggunakan atau mengerjakan suatu pekerjaaan, tetapi aplikasi Unity 3D ini juga dapat bekerja dengan aplikasi lainnya yang dapat menciptakan terbentuknya sebuah animasi dan game.Unity juga dapat digunakan untuk membuat movie yang interaktif. Maksudnya, gerakan atau aksi yang akan dilakukan animasi tergantung reaksi atau perintah atau masukan yang di berikan oleh pemakainya. Perintah itu dapat dimasukkan dengan mengetikkan masukan dengan keyboard maupun menggerakkan mouse sehingga mampu mengaktifkan perintah pengaktifan program lain untuk menggerakkan objek, memasukkan dan menampilkan informasi atau program lain. Unity 3D juga bisa di aplikasikan atau di kombinasikan dengan berbagai macam aplikasi design 3D untuk membangun karakter 3 Dimensi, seperti Blender, Maya, 3Ds Max, dan aplikasi-aplikasi design lainnya. Unity 3d sendiri di bangun pada tahun 2004 oleh David Helgason (CEO), Nicholas Francis (CCO), dan Joachim Ante (CTO) di Copenhagen, Denmark. Setelah game pertama mereka GooBall, gagal lagi dalam meraih sukses, ketiganya menyadari nilai sebuah engine dan tool dalam sebuah pengembangan game dan berencana untuk membuat sebuah engine yang dapat di gunakan oleh semua dengan harga terjangkau. Unity 3d technologies mendapat bantuan dana dari Sequoia Capital, WestSummit Capital, & IGlobe Partners. Unity sekarang digunakan oleh 53.1% developers (termasuk mobile game developers) dengan ratusan game yang dirilis baik untuk IOS maupun &roid. Pada tahun 2009, unity mulai meluncurkan produk mereka secara gratis.Jumlah developer yang mendaftar melonjak drastic sejak pengumuman tersebut. Pada april 2012, unity mencapai popularitas yang sangat tinggi dengan lebih dari 1 juta developer. Unity sangat mampu melihat berbagai peluang & perubahan. Hal inilah yang menjadikannya sebagai game engine “termurah” yang paling banyak digunakan oleh seluruh orang didunia. Ingat,unity bias di gunakan untuk perorangan dan tidak selalu harus digunakan oleh sebuah studio game yang berjumlah ratusan orang. Tampaknya, demokrasi Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
84
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
yang diusung sebagai slogan unity memang benar adanya, apalagi semenjak dirilisnya unity dengan lisensi free.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Metode Pengumpulan Data dengan Studi Pustaka yang dilakukan untuk memperoleh berbagai informasi yang terkait teknik pembuatan game dari berbagai jurnal, buku, majalah, tabloid komputer, sumber-sumber lainnya di Internet. 2. Metode Perancangan dalam pembuatan game berbasis multimedia yang digunakan dalam penelitian ini adalah : -
Perancangan bentuk tampilan game dan navigasinya.
-
Pembentukan elemen, mengatur serta merangkai tiap-tiap elemen game dari teks, tombol, gambar, dan animasi.
-
Penggabungan dan mengorganisasikan elemen ActionScript ke dalam gambar-gambar pada game.
a. Rancangan Pembuatan Karakter dan Obyek Dalam pembuatan game selalu muncul suatu karakter yaitu karakter pemain dan karakter musuh. Ketika game tersebut dimainkan maka karakter-karakter tersebut dibuat bergerak agar permainan menjadi menarik. Didalam Unity, karakter merupakan suatu objek yang harus dikonversi menjadi suatu symbol. Karakter tersebut dapat dibuat sendiri dengan program design yang mensuport Unity atau mendownload yang ada didalam website Unity atau mengimport file buatan kita yang telah kita bangun dengan program design.Pembuatan karakter dapat mengimport dari 3D Studio MAX atau membuat langsung dengan Unity sendiri. Pembuatan karakter dengan menggunakan 3D Studio max mempunyai tekhnik pemodelan sendiri yaitu dengan tekhnik hair & fur, tekhnik real, dan tekhnik bone & biped. Metode pemodelan menggunakan dua metode yaitu metode pemodelan polygan dan juga NURBS. Karakter biasanya di beri pergerakan-pergerakan di mana pergerakan tersebut mempunyai tekhnik pemodelan yaitu tekhnik bone dan biped. Bone dan biped di gunakan agar object yang dibuat menjadi karakter dapat bergerak. Bone dan biped ini yang nantinya akan di rendeer menggunakan mental ray yang telah di sediakan di dalam 3D Studio MAX. Me-render di lakukan agar pergerakan karakter menjadi tampak Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
85
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
86
Pusat Inovasi - LIPI
nyata seperti berlari, berjalan, mumukul, atau terjatuh. Membuat pergerakan pada karakter juga bisa di lakukan dengan cara pemberian action script atau juga dengan bantuan windows kinect yang terhubung ke komputer dan software 3D Studio MAX. b. Suara Suara di dalam game di bagi menjadi dua bagian yaknisuara efek dan suara music. Suara efek (Sound effect) muncul pada game ketika terdapat suatu kejadian tertentu seperti pada saat terpukul, terjatuh, kalah, dan kejadian-kejadian lainnya. Suara music (BGM) muncul sepanjang permainan, karena music berbeda dari efek suara. Music muncul, baik saat pembukaan di mulai dan pada saat penutupan game (Game Over). Musik atau suara ini di buat agar game lebih menarik dan ada efek tertentu ketika kita memainkan game. Musik juga merupakan salah satu bagian yang harus ada pada setiap game. c. Rancangan Scene Scene merupakan jendela umum dari tampilan suatu aplikasi pada layer. Pada scene di gambarkan elemen yang akan tampil pada jendela scene seperti letak, latar, warna background, animasi, teks, posisi tombol dan gambar. Scene di susun secara berurutan dari mulai pembukaan sampai penutup dengan mengikuti rancangan struktur. Sehingga kesalahan pada rancangan program tidak terjadi dan dapat perbaiki. d. Pembuatan karakter dengan Import File Unity dapat mengimport beberapa file gambar seperti maya, 3D Studio MAX, blender, dan engine design lainnya. Mengimport file gambar ke dalam Unity tidak semua ekstensi file dapat di import ke dalam Unity agar tidak menimpa object yang telah ada di dalam Unity. Hal ini di buat agar tidak ada terjadinya bug atau menembus object lain. File yang dapat di import ke Unity antara lain adalah file berekstensi FBX. Mengimport file gambar ke dalam Unity sangatlah mudah. Karena Unity memberikan kemudahan bagi pengguna atau user.
HASIL DAN PEMBAHASAN Implementasi sistem merupakan prosedur yang akan dilakukan untuk menyelesaikan rancangan sistem, dan
menguji
kemampuan
sistem.
Tujuan
dari
implementasi
sistem
adalah
menguji
dan
mendokumentasikan prosedur-prosedur yang dirancang dalam pembuatan game pc hack & slash. Selain itu memperhitungkan apakah sistem yang dirancang sesuai dengan yang di sebutkan. Setelah sistem terimplementasikan, maka yang harus dilakukan adalah memeliharanya agar tetap berjalan sesuai dengan fungsi dasar dari sistem tersebut. Bahkan jika memungkinkan, sistem yang telah berjalan tersebut dapat Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
dikembangkan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tampilan dari progam game PC yang telah di rancang oleh penulis dapat dilihat pada gambar yang akan di tampilkan berikut ini :
Gambar 4.1 Configuration Graphics
Pada gambar 4.1 Sebelum masuk ke dalam system program game user terlebih dahulu harus memilih configuration yang baik bagi computer user. Yaitu graphics dan input yang sesuai dengan user gunakan. Dan jika pemilihan graphics selesai maka user akan memilih input maka akan menampilkan seperti pada gambar 4.2 :
Gambar 4.2 Configuration input
Pada gambar 4.2 Configuration input merupakan kolom setting yang dimana user mensetting key atau tombol yang memudahkan dan juga memberikan kenyamanan user dalam memainkan game. TombolSub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
87
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
tombol interface ini disiapkan agar user bisa lebih mudah, dikarenakan kebiasan orang-orang dalam mengunakan key atau tombol-tombol keybord berbeda-beda dan juga bermacam-macam. Setelah user selesai dalam configuration maka user akan mengklik tombol play yang di mana user akan langsung bermain dan masuk kedalam game yang akan muncul seperti berikut ketika user menggunakan tombol play.
Gambar 4.3 Interface awal permainan
Pada gambar 4.3 dalam interface awal ini user dapat melihat guide atau key-key cara bermain di dalam game dan juga dapat melihat beberapa tombol dan character dalam game. Tombol-tombol yang terdapat dalam interface bisa langsung menuju start memulai permainan atau bisa mengklik credit dan tombol exit. Berikut in tampilan dari tombol credit :
Gambar 4.4 Interface Credit Pada gambar 4.4 Interface credit ini merupakan interface yang menunjukan siapa dan apa yang telah di kerjakan di dalam game agar dapat tercipta game. Di dalam interface credit ini penulis memberitahukan apa yang telah penulis kerjakan sampai tercipta game yang penulis buat. Setelah interface credit user Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
88
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
dapat langsung memainkan atau mengklik tombol exit. Gambar berikut apabila user memulai start sebagai berikut :
Gambar 4.5 Interface di dalam game
Gambar 4.6 Interface Game berakhir (Game Over)
Pada gambar 4.5 adalah interface ketika user berada di dalam game, secara umum interface ini mengacu pada permainan yang akan atau dapat user mainkan, menangkan atau kalah di dalam permainan. User juga dapat menggunakan beberapa senjata yang telah disiapkan di dalam game, dan juga dapat Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
89
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
menggunakan item-item yang dapat membunuh musuh, memulihkan darah player, menambah kekuatan player dan lain-lain. Pada proses permainan di dalam game user diharuskan menyelesaikan beberapa misi yang ada di dalam game. User tidak semudah itu dapat menyelesaikan permainan di karenakan terdapat beberapa musuh yang akan menghadang player agar tidak dapat menyelesaikan permainan. Tetapi user disiapkan senjata, item dan peralatan-peralatan yang dapat membantu player untuk menyelesaikan permainan.
Pada gambar 4.6 adalah gambar ketika game berakhir dimana player telah kalah atau kehabisan Health Point, atau kehabisan Mana Point dan tidak dapat menyelesaikan misi yang telah di berikan di dalam game. Tetapi player juga dapat melanjutkan permainan dengan mengklik tombol Game Over yang berada di layar permainan kemudian kembali ke interface awal di mana user dapat memulai permainan dari awal. User juga dapat melanjutkan dan mengulang permainan dengan memulai start pada kolom interface awal. Potensi khusus yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi pada perkembangan pengembangan aplikasi game di Indonesia dimana seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa aplikasi game kebanyakan dihasilkan atau merupakan produk dari luar (asing). Dengan adanya penelitian ini, dapat memberikan manfaat terhadap aspek pendidikan kepada masyarakat agar tidak hanya menjadi pengguna saja tetapi dapat mengembangkan sendiri dengan metode yang telah digunakan dalam penelitian ini. Selain itu penelitian ini memberikan manfaat terhadap aspek ekonomi karena dapat mendorong munculnya usaha m&iri khususnya dalam bidang aplikasi game developer sehingga dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi para pelakunya. Ditambah lagi, aplikasi game yang dihasilkan dalam penelitian ini mempunyai peluang untuk memperoleh paten tentunya jika penelitian ini dapat disempurnakan lebih lanjut.
KESIMPULAN DAN SARAN Program Game PC Hack & Slash telah berhasil dirancang dengan menggunakan animasi yang di gabungkan dengan action script sehingga menghasilkan Aplikasi Game PC Hack & Slash berbasis multimedia. Menerapkan Unity 3D sebagai alat bantu yang mudah digunakan dalam proses pembuatan Game.Saran berupa perancangan yang serupa tidak hanya dapat diterapkan untuk Game namun dapat dikembangkan untuk Game engine atau Game creator. Game Tools yang tersedia di pasar dapat digunakan selain Unity 3D seperti Construct 2 atau native programming seperti Visual Studio dari Microsoft dan Eclipse untuk memperkaya wawasan dalam pengembangan aplikasi khususnya game. Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
90
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
DAFTAR PUSTAKA Pepen, Suherman et al. 2010. Perancangan Game Untuk Anak-Anak Petualangan Pepen Dengan Macromedia Flash, Jurnal DASI Juli, STMIK AMIKOM Yogyakarta. Tjahjadi, M. 2014. Prototipe Game Musik Bambu Menggunakan Engine Unity 3D, Jurnal Teknik Informatika Univ.Sam Ratulangi, Vol 4, No 2. Sihite B., Samopa, F., & Sani, N. 2013. Pembuatan Aplikasi 3D Viewer Mobile dengan Menggunakan Teknologi Virtual Reality (Studi Kasus: Perobekan Bendera Belanda di Hotel Majapahit). Jurnal Teknik Pomits Vol 2 No 2. Muthia & Djunaidi. 2015. Pengembangan aplikasi pengenalan lingkungan sekitar dengan menggunakan engine Unity 3D. Majalah Ilmiah Pawiyatan Vol 22 No 3. Hidayat, R., Purwantara, M., & Wijaya, N. 2015. Game Ramayana Menggunakan Unity 3d Game Engine. Jurnal Sistem Informasi Vol 1 No 1. Unity3D. 2015. Tutorial Interface & Essentials. Sumber : https://unity3d.com/unity Pranata, B. et al. 2015. Mudah Membuat Game dan Potensi Finansialnya dengan Unity 3D. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
91
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
NET 13
PENGGUNAAN TANAMAN PENOLAK SEBAGAI FITOKONTROL NEMATODA PADA BUDIDAYA KENTANG HITAM (Plectranthus rotundifolius (Poir.) Spreng) Peni Lestari dan Ning Wikan Utami Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Komplek CSC. Jl Raya Jakarta-Bogor KM 46. Cibinong. 16911
[email protected]
Abstrak. Kentang hitam adalah tanaman berumbi marga Plectranthus yang tengah digali potensinya sebagai pangan alternatif pendamping beras. Umbi kentang hitam dinilai potensial sebagai pangan fungsional karena memiliki indeks glikemik rendah, rasa yang dapat diterima masyarakat, dan masih diperdagangkan di beberapa pasar tradisional. Salah satu tantangan yang dihadapi dalam mempopulerkan kentang hitam adalah serangan nematoda puru akar (Meloydogyne sp.). Tagetes erecta telah diketahui cukup efektif untuk mengatasi serangan nematoda pada berbagai komoditas pertanian. Namun demikian, Cosmos caudatus dan Cosmos sulphureus, yang juga dikenal masyarakat sebagai kenikir, memiliki potensi yang sama untuk mengendalikan nematoda puru akar. Oleh karena itu, penelitian dibuat untuk mengetahui tingkat efektivitas ketiga jenis tanaman penolak ini untuk mengendalikan serangan nematoda puru akar, sekaligus melihat pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produksi umbi kentang hitam. Penelitian dilakukan pada kondisi lapang terbatas berdasarkan rancangan tersarang RKLT. Tiga jenis tanaman penolak (T. erecta, C sulphureus, dan C. caudatus) sebagai petak utama, dan 3 klon kentang hitam (M343, D40, dan Solo) sebagai anak petak. Penelitian dilakukan dalam 3 ulangan (4 tanaman/ulangan). Sistem penanaman dilakukan secara rotasi tanaman. Pengamatan dilakukan pada pertumbuhan tanaman, komponen hasil, serta populasi nematoda di lahan. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan Tagetes sp. cukup efektif dalam mengendalikan nematoda pada pertanaman kentang hitam. Namun tidak dengan Cosmos caudatus. Pertanaman kentang hitam berproduksi baik pada lahan tagetes, namun tidak pada C.caudatus. Semua klon kentang hitam memiliki pertumbuhan yang khas. Kata Kunci: tanaman penolak, kentang hitam, nematoda, produksi
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
92
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN Sudah sejak tahun 1974 pemerintah Indonesia mencanangkan program diversifikasi pangan. Ini dilakukan untuk meningkatkan ketahanan pangan Indonesia. Semakin beragam jenis makanan yang dikonsumsi, ketergantungan Indonesia terhadap negara tertentu sebagai produsen dapat diminimalisasi. Terkait keragaman konsumsi makanan, umbi kentang hitam adalah salah satu bahan pangan yang dipertimbangkan sebagai sumber karbohidrat alternatif bergizi. Umbi kentang hitam diketahui memiliki indeks glikemik yang rendah, sehingga sangat baik dikonsumsi penderita diabetes dan autis. Keberadaan komoditas ini di sejumlah pasar tradisional mengindikasikan kentang hitam masih diminati dan cukup ekonomis untuk diperdagangkan. Upaya mempopulerkan kentang hitam terbentur oleh ukuran umbinya yang relatif kecil dan serangan nematoda. Jada (2007) menyatakan tanaman kentang hitam rentan terhadap nematoda. Kedua hal ini menyebabkan petani enggan membudidayakan kentang hitam dalam skala luas. Perbaikan produksi dan kualitas umbi kentang hitam melalui mutasi dan teknik budidaya telah dilakukan (Witjaksono dan Leksonowati, 2012; Lestari dan Utami, 2013; Lestari dan Utami, 2014; Utami dan Lestari, 2016; Lestari dan Utami, 2016; Lestari dkk, 2015). Namun penanggulangan serangan nematoda pada umbi ini belum dilakukan. Gejala tanaman yang terinfeksi nematoda adalah pertumbuhan terhambat, layu, terdapat puru pada akar dan rentan terhadap patogen lain (Williamson and Richard, 1996). Menurut Dewi dan Apriyanti (2013) spesies nematoda yang menyerang kentang hitam adalah nematoda puru akar, Meloydogyne incognita. Meloydogyne incognita memang memiliki daya adaptasi yang luas. Karenanya, dapat dipastikan nematoda ini akan ditemukan pada lahan pertanian. Belum ada publikasi yang menyatakan besar kerusakan yang ditimbulkan pada kentang hitam, tetapi pada banyak spesies tanaman pangan lain, kehilangan hasil dapat mencapai 100 persen. Karenanya, penting menemukan teknologi yang dapat meminimalisasi serangan nematoda pada pertanaman kentang hitam. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dianjurkan menggunakan sistem pengendalian terpadu, salah satunya dengan tanaman perangkap atau tanaman penolak. Chandra (2013) menyebutkan ada sekitar 30 spesies flora yang berfungsi sebagai nematisida. Aplikasinya di lapangan dapat dengan sistem tumpang sari atau dengan menyemprotkan ekstrak tanaman tersebut pada tanaman komoditas (Wang et al 2007). Wang et al (2007) serta Olabiyi dan Oyedunmade (2007) melaporkan beberapa spesies tagetes efektif mengendalikan nematoda puru akar dan beberapa spesies nematoda lainnya. Marahatta et al (2012) juga melaporkan tanaman ini efektif terutama bila nematoda berada pada stadia aktif. Selain Tagetes sp., Anonim (2014) menyebutkan bahwa kenikir, Cosmos caudatus dan Cosmos sulphureus, serta beberapa Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
93
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
spesies family Asteraceae lain juga merupakan penghasil bahan baku pestisida botani (biopestisida). Bhat et al (2014) menyebutkan bahwa kenikir, Cosmos caudatus tahan terhadap nematoda, sehingga diduga kenikir dapat digunakan sebagai tanaman penolak pada budidaya kentang hitam. Bila terbukti efektif, penggunaan tanaman ini sebagai penolak memiliki sisi keunggulan yang lain. Tidak hanya berfungsi sebagai pengusir nematoda, tetapi juga dapat menjadi sumber sayur. Pebriana (2008) melaporkan bahwa tanaman Cosmos caudatus juga dapat dijadikan sumber sayur sekaligus obat anti kanker. Karenanya, penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat efektifitas penggunaan ketiga jenis tanaman penolak tersebut sebagai kontrol alami nematoda puru akar.
METODOLOGI Penelitian dilakukan pada bulan Februari hingga Juni 2015. Penelitian dilakukan di kebun percobaan Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Penelitian berlangsung pada akhir msim penghujan hingga awal musim kemarau. Bahan tanam tanaman penolak yang digunakan berupa biji, sedangkan bahan tanam kentang hitam berupa stek batang. Ketiga jenis benih tanaman penolak ditebar secara langsung di lahan, dengan populasi yang sama. Satu bulan setelah tanaman tumbuh, tanaman tersebut dicabut. Stek kentang hitam ditanam satu bulan setelah tanaman penolak dibongkar. Stek ditanam secara langsung di lapang setelah diberi perangsang akar. Stek ditanam sepanjang 15 cm secara mendatar pada guludan, dengan jarak tanam 100 cm antar baris dan 50 cm dalam baris (Lestari et al, 2013). Penelitian dilakukan pada kondisi lapang terbatas berdasarkan rancangan split plot RKLT. Tanaman penolak sebagai petak utama, dan klon kentang hitam sebagai anak petak. Spesies masingmasing tanaman penolak adalah Tagetes erecta (Tagetes), Cosmos sulphureus (Kenikir bunga kuning), dan Cosmos caudatus (Kenikir bunga pink). Klon kentang hitam yang digunakan adalah M343, D40, dan Solo. Penelitian dilakukan dalam 4 ulangan (4 tanaman/ulangan). Klon M343 dan D40 merupakan koleksi tanaman mutan Lab Kultur Jaringan Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Klon Solo merupakan aksesi lokal. Pengamatan dilakukan pada pertumbuhan tanaman, karakter panen, dan populasi nematoda bebas di tanah. Peubah pengamatan pada parameter pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman, diameter tajuk, jumlah cabang, jumlah bunga, dan diameter batang utama. Peubah pengamatan untuk parameter hasil adalah bobot total umbi/tanaman, panjang umbi rata-rata, diameter umbi rata-rata, bobot rata-rata umbi. Pengamatan pertumbuhan dilakukan secara berkala setiap bulan hingga panen. Pengamatan parameter hasil dilakukan pada saat panen. Selain tanaman, populasi nematoda dan kadar air tanah di lapang juga diamati. Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
94
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Pengambilan sampel tanah untuk pengamatan nematoda dilakukan secara komposit. Sebanyak 100 gram sampel tanah diambil secara zigzag pada masing-masing petak tanaman penolak dengan pola huruf W. Isolasi dan pengamatan nematoda dilakukan menggunakan metode corong Baermann yang telah dimodifikasi (Munif dan Kristiana, 2012). Nematoda diamati pada mikroskop cahaya dengan pembesaran 10x. Semua peubah pengamatan tanaman dianalisa menggunakan uji ragam yang dilanjutkan dengan uji berganda Duncan pada selang kepercayaan 95%. Pengujian dilakukan menggunakan software SAS versi 9.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh tanaman penolak terhadap populasi nematoda Dalam penelitian ini pengamatan hanya dilakukan pada nematoda jantan. Pengamatan dilakukan pada kadar air tanah 9%. Hasilnya menunjukkan bahwa sebelum ditanami, rata-rata ditemukan 7.5 nematoda dalam 20 gram tanah. Setelah lahan tersebut ditanami tanaman penolak sesuai perlakuan, terdapat perbedaan hasil. Jumlah nematoda berkurang menjadi 0.33/20 gram tanah pada lahan yang ditanami tagetes. Populasi nematoda agak berkurang menjadi 5.5/20 gram tanah pada lahan kenikir kuning, dan tidak berkurang di lahan kontrol dan kenikir pink (Gambar 1).
Gambar 1. Populasi nematoda pada keempat lahan tanaman penolak
Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa tanaman tagetes efektif untuk mengendalikan populasi nematoda (Ploeg, 1999; Triman dan Mulyadi, 2001). Hasil penelitian Ploeg (2001) menerangkan alelopati dalam tanaman tagetes dapat menekan reproduksi nematoda puru akar sehingga jumlah telur yang berhasil menetas jauh lebih sedikit. Tidak hanya menekan reproduksi, apabila telur telah menetas, alelopati dalam tagetes juga menghalangi penetrasi nematoda ke dalam akar tanaman (Triman dan
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
95
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Mulyadi, 2001). Junaedi dkk (2006) melaporkan bahwa senyawa alelopati yang dimaksud adalah αtertienil. Kenikir kuning, C.sulphureus juga dilaporkan tahan erhadap Meloydogyne incognita (Tsay dan Lin, 2004). Tetapi kenikir pink, C. caudatus, tidak memberikan efek pada populasi M. incognita dalam penelitian ini, walau Bhat et al (2014) melaporkan spesies ini juga tahan terhadap M. incognita. Meskipun telah terbukti mampu mengendalikan nematoda, penting untuk mengetahui efek tanaman penolak tersebut terhadap pertumbuhan tanaman.
Pertumbuhan tanaman Pengamatan pertumbuhan tanaman dilakukan hingga umur tanaman 3 bulan. Setelah 3 bulan, tajuk tanaman mulai mengering. Tanaman mulai memasuki masa panen. Dalam 3 bulan pengamatan, pertumbuhan tanaman mengalami peningkatan untuk peubah tinggi tanaman, diameter tajuk, dan diameter batang. Jumlah cabang mengalami penurunan pada bulan ketiga, karena sebagian cabang sudah mengering. Selama tiga bulan pertumbuhannya, Klon Solo memiliki laju pertumbuhan paling rendah dibandingkan kedua mutan (Gambar 2a). Meskipun memiliki pertumbuhan yang khas, ketiga klon kentang hitam menunjukkan respon serupa terhadap jenis tanaman penolak. Diantara ketiga jenis tanaman penolak, tanaman kentang hitam yang tumbuh di bekas lahan tagetes cenderung tumbuh lebih tinggi, diameter tajuk lebih lebar, dan produksi cabang lebih banyak. Respon ini serupa dengan tanaman pada lahan kontrol (tanpa penanaman tanaman penolak sebelumnya). Karenanya, performa tajuk tanaman tampak lebih bagus dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh di bekas lahan kenikir, bunga kuning maupun bunga pink. (Gambar 2b).
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
96
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
97
Pusat Inovasi - LIPI
(a)
(b) Gambar 2. Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan tanaman. (a) klon tanaman (b) jenis tanaman penolak
Hasil uji ragam menunjukkan bahwa pada bulan pertama dan kedua, faktor utama (tanaman penolak) sangat kuat mempengaruhi pertumbuhan klon kentang hitam. Karenanya, semua klon yang Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
ditanam memberikan respon serupa. Tetapi pada bulan ketiga, kedua faktor perlakuan saling berinteraksi. Kuat dugaan bahwa pengaruh tanaman penolak pada lahan mulai berkurang. Ekspresi gen masing-masing klon kentang hitam mulai tampak mempengaruhi performa tanaman. Hasil uji interaksi pertumbuhan tanaman pada bulan ketiga ditampilkan dalam Gambar 3. Interaksi terjadi untuk peubah tinggi tanaman, diameter tajuk, dan jumlah cabang. Pada gambar tersebut tampak bahwa pola yang dibentuk oleh interaksi antar perlakuan serupa dengan faktor tunggalnya, dimana tanaman yang hidup di lahan bekas tagetes memiliki performa yang lebih baik dan setara dengan kontrol.
Gambar 3. Interaksi jenis tanaman penolak dan klon kentang hitam terhadap tajuk tanaman pada bulan ketiga.
Musim kemarau yang terjadi saat penelitian tampaknya berpengaruh terhadap tanaman kentang hitam. Beberapa tanaman telah berbunga pada bulan pertama. Beberapa penelitian melaporkan bahwa kondisi stress lingkungan dapat menginisiasi pembungaan lebih cepat pada banyak jenis tanaman (Koshita dan Takahara, 2004; Wada dan Takeno, 2010). Kondisi stress yang dimaksud menurut Takeno (2012) diantaranya adalah kekeringan, kondisi miskin hara, dan temperatur tinggi. Meskipun pembungaan terjadi sejak bulan awal, namun puncak pembungaan terjadi pada bulan kedua. Produksi bunga kemudian menurun di bulan ketiga. Pola pembungaan pada kentang hitam adalah indeterminate, tandan bunga tumbuh pada ujung cabang. Karenanya, penurunan jumlah bunga di bulan ketiga disebabkan oleh mengeringnya sebagian cabang tanaman. Ketiga klon kentang hitam umumnya berbunga lebih banyak pada lahan tagetes dan kontrol dibandingkan pada lahan kenikir. Ini karena produksi cabang pada lahan kenikir juga lebih rendah dibandingkan pada lahan tagetes dan kontrol (Gambar 2b). Pada bulan kedua, Klon M343 (3 tandan bunga/tanaman) memproduksi bunga terbanyak dan berbeda dengan askesi Solo (1 tandan bunga/tanaman) (Gambar 4).
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
98
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Gambar 4. Pengaruh tunggal klon kentang hitam dan jenis tanaman penolak terhadap generative tanaman.
Produksi tanaman
(a)
(b) Gambar 5. Pengaruh perlakuan terhadap produksi tanaman. (a) klon tanaman (b) jenis tanaman penolak
Masa panen ketiga klon kentang hitam relatif sama, yakni sekitar 94 hari. Karenanya, umbi kentang hitam dipanen bersamaan. Produksi ketiga klon kentang hitam tidak berbeda. Namun, bila ditimbang per satuan umbi, klon M343 memiliki bobot paling ringan dan berbeda dengan D40. Dengan jumlah umbi per tanaman yang jauh lebih banyak, maka, secara bobot total, klon M343 dapat menyamai klon D40. Bentuk umbi klon M343 serupa dengan klon D40, yakni cenderung ramping, dengan rasio p/d (Panjang/diameter) 2. Sementara klon Solo lebih membulat (Gambar 5a). Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
99
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Dari empat petak lahan penelitian, tanaman yang tumbuh pada lahan tagetes memiliki produksi umbi lebih tinggi dan berbeda dengan kenikir pink. Berat per satuan umbi tanaman yang hidup di lahan ini pun memiliki bobot umbi paling besar. Fakta ini mengarahkan pada dugaan bahwa tagetes tidak mempengaruhi produksi kentang hitam (Gambar 5b). Penelitian Olabiyi dan Oyedunmade (2007) serta Rachmawati et al (2013) menunjukkan tagetes tidak mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman komoditas walaupun ditanam secara bersamaan dalam sistem tumpang sari. Tumpang sari atau rotasi tanaman dapat diaplikasikan. Penggunaan tagetes memiliki keuntungan sendiri. Karena tanaman ini merupakan komoditas tanaman hias yang cukup diminati sebagai bahan dalam ritual puja masyarakat Bali. Sebaliknya, tanaman kentang hitam tampak sensitif terhadap kenikir. Tanaman ini memproduksi lebih sedikit umbi. Penggunaan C.sulphureus masih cukup efektif menurunkan populasi nematoda di lahan, tetapi penggunaannya pada kentang hitam harus mempertimbangkan komposisi hara mengingat kentang hitam sensitive terhadap spesies ini. Penggunaan kenikir pink tidak efektif pada penelitian ini.
KESIMPULAN DAN SARAN Penggunaan Tagetes erecta. cukup efektif dalam mengendalikan nematoda tanpa mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kentang hitam sebagai komoditas utama. Penggunaan C.sulphureus dapat menjadi alternatif kedua dengan komposisi mempertimbangkan kebutuhan hara, namun tidak dengan C. caudatus. Aplikasi Tagetes erecta sebagai tanaman penolak dapat berupa tumpang sari atau rotasi tanaman.
UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih diberikan kepada Radi Hidayat Agung dan Deviana Novitasari atas bantuan dan partisipasinya selama penelitian berlangsung. Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan Prioritas Nasional Umbi-umbian pada periode 2011-2014.
DAFTAR PUSTAKA Anonim (2014). Potensi Kemangi (Ocimum americanum L.) Sebagai Pestisida Nabati.http://ntb.litbang.deptan.go.id Bhat AR, TA Khan, and U Farooq. 2014. Occurrence of root-knot and reniform nematodas in ornamental plants grown in Aligarh muslim university campus, india. American Journal of Plant Science. 5: 1885-1888. Chitwood, D.J. 2002. Phytochemical based strategies for nematoda control. Ann. Rev. Phytopathol. 40: 221-249. Dewi K, Y Apriyanti. 2013. Meloydogyne incognita pada kentang hitam (Solenostemon rotundifolius). Fauna Indonesia.12(1):22-28. Jada M.Y, D. Bello, J Leuro, B.B Jakusko. 2007. Responses of some hausa potato (Solanostemon rotcardifollices (Pair) J.K Morton) cultivars to root-knot nematoda Meloidogyne javanica (Treub) chitwood in nigeria. Int. J. Agric. Biol. 9(4): 666-668. Junaedi A, MA Chozin, dan K Hokim. 2006. Perkembangan terkini kajian alelopati. Hayati.13(2):79-84.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
100
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Koshita Y and T Takahara. 2004. Effect of water stress on flower-bud formation and plant hormone content of Satsuma mandarin (Citrus unshiu Marc.). Scientia Horticulturae. 99(3-4):301-307. Lestari P dan NW Utami. 2013. Penentuan jarak tanam optimum pada budidaya 4 aksesi kentang hitam (Solanostemon rotundifolius Poir.) di bogor, Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas Vol 2. p42-45. Nopember 2012. Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Lestari P, NW Utami, N Setyowati. 2015. Peningkatan produksi dan perbaikan ukuran umbi kentang hitam (Plectranthus rotundifolius (poir.) Spreng) melalui teknik budidaya sebagai upaya konservasi. Buletin Kebun Raya 18(2):59-70. Lestari P, NW Utami. 2014. Aplikasi pupuk organic hayati, kimia dan kombinasinya pada budidaya kentang hitam, Prosiding Seminar Nasional Dengan Semangat 100 tahun UNWIM terdepan dalam pembangunan perdesaan berbasis pertanian. p 171-183. 19 Juni 2014. Universitas Winayamukti, Sumedang. Lestari P, NW Utami. 2016. Jenis bahan tanam yang efektif untuk budidaya kentang hitam (Plectranthus rotundifolius (Poir.) Spreng). Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian unggulan Bidang Pangan Nabati. Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. p 341-353. September 2015. Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Bogor. Marahatta SP, KH Wang, BS Sipes, and CRR Hooks. 2012. Effects of Tagetes patula on active and inactive stages of root-kont nematodas. Journal of Nematology. 44(1):26-30. Munif A, Kristiana. 2012. Hubungan bakteri endofit dan nematoda parasit penyebab penyakit kuning pada tanaman lada di provinsi Bangka Belitung. Buletin RISTRI. 3(1):71-78. Olabiyi TI and EEA Oyedunmade. 2007. Marigold (Tagetes erecta L.) as interplant with cowpea for control of nematoda pests. African Crop Science Conference Proceedings. Vol 8.p 1075-1078. Pebriana RB, BWK Wardhani E Widayanti, NLS Wijayanti, TR Wijayanti, S Riyanto, dan E Meiyanto. 2008. Pengaruh ekstrak metanolik daun kenikir (Cosmos caudatus Kunth) terhadap pemacuan apoptosis sel kanker payudara. Pharmacon 9(1): 21-26. Ploeg AT. 1999. Greenhouse studies on the effect of marigolds (Tagetes spp.) on four Meloidogyne species. Journal of Nematology. 31(1):62-69. Rachmawati N, T Haryono, dan U Faizah. 2013. Efektivitas dosis serbuk daun kenikir terhadap pengendalian nematoda sista kuning pada tanaman tomat. LenteraBio 2(1):13-17. Takeno K. 2012. Stress-induced flowering. Dalam: Abiotic Stress Responses in Plant: Metabolism, Productivity, and Sustainability. P Ahmad and MNV Prasad (Eds). Springer Science and Business Media. p 331345. Triman B, dan Mulyadi. 2001. Usaha pemanfaatan tanaman antagonis untuk mengendalikan Meloydogyne incognita dan Meloydogyne graminicola. Jurnal perlindungan Tanaman Indonesia. 7(2):79-85. Utami NW, P Lestari. 2016. Peningkatan produksi 3 aksesi kentang hitam (Plectranthus rotundifolius (Poir.) Spreng) melalui penambahan pupuk organik hayati dan kalium, Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian unggulan Bidang Pangan Nabati. p 279-289. September 2015. Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Bogor. Wada KC and K Takeno. 2010. Stress-induced flowering. Plant Signal Behav. 5(8):944-947. Wang KH, CR Hooks, and A Ploeg. 2007. Protecting crops from nematoda pests: using marigold as an alternative to chemical nematicides. College of Tropical Agriculture and Human Resources: 1-6. Williamson. V.M & Richard. S.H. 1996. Nematoda pathogenesis and resistance in plant. The Plant Cell. 8 : 17351745. Tsay TT, St Wu, YY Lin. 2004. Evaluation of asteraceae plants for control of Meloydogyne incognita. Journal Nematology. 36(1):36-41.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
101
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
NET 09
BUDIDAYA JALI (Coix lacryma-jobi L.) DAN PROSPEK PEMANFAATANNYA DALAM PEMBUATAN COOKIES Titi Juhaeti dan Ninik Setyowati Pusat Penelitian Biologi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jl. Raya Jakarta-Bogor Km 46, Cibinong 16911
[email protected] Abstrak. Jali (Coix lacryma–jobi) merupakan jenis serealia yang sudah terlupakan budidaya dan pemanfaatannya. Dari segi nilai gizi, jali potensial sebagai pendamping sumber karbohidrat dalam diversifikasi pangan non gluten. Tepung jali dapat digunakan sebagai pengganti terigu dalam pembuatan berbagai jenis kue kering (cookies). Makalah ini menguraikan tehnik budidaya jali, potensi gizi dan pemanfaatan tepungnya untuk pembuatan cookies tanpa terigu. Tujuan yang ingin dicapai adalah jali menjadi menarik untuk dibudidayakan dan dimanfaatkan secara optimal. Budidaya jali dapat dilakukan di tempat terbuka maupun agak ternaungi (maksimal 50% naungan). Pemupukan diperlukan untuk mendapatkan hasil optimal. Jali mengandungg berbagai macam zat gizi termasuk asam amino. Cookies dengan bahan dasar 100% tepung jali menunjukkan citarasa yang khas, renyah, agak padat dengan tekstur butiran-butiran lembut khas tepung jali. Apabila dicampur dengan pati taka, cookies menjadi renyah, lebih remah, meski masih terasa sedikit butiran-butiran lembut khas jali. Cookies dari tepung jali + tepung mocaf mempunyai cita rasa renyah, tidak terlalu remah daripada jali +taka dan masih terasa sedikit berpasir khas tepung jali dengan butiran-butiran pasir yang lebih lembut, terasa sedikit agak asam, beraroma bau khas fermentasi. Pengolahan jali secara sederhana ini diharapkan dapat diterapkan langsung di masyarakat dan dapat dikembangkan sebagai industri rumahan. Dengan pembuatan cookies dari bahan tepung jali, pati taka dan mocaf ini, diharapkan menjadi daya tarik untuk menciptakan variasi pangan yang berkualitas, sehingga diminati masyarakat dan dapat meningkatkan penghasilan masyarakat. Kata kunci: Abstrak, teknopreneurship, jali, budidaya, gizi, cookies
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
102
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN Konsep diversifikasi pangan bertujuan untuk memperbanyak keanekaragaman pangan, selain juga untuk merubah pola pangan masyarakat yang terlalu bertumpu pada komoditas tertentu yaitu beras dan terigu sebagai sumber karbohidrat. Diversifikasi pangan berbasis kekayaan sumber daya dan kearifan lokal merupakan salah satu upaya penting dalam meningkatkan kemandirian pangan. Keberhasilan program ini dapat mengantisipasi gejolak harga dan ketergantungan pada pangan impor (Handoyo, 2013). Pengolahan produk merupakan daya tarik tersendiri untuk keberhasilan program diversifikasi pangan. Hal demikian tidaklah dipungkiri, banyaknya variasi kuliner yang terus berkembang di masyarakat merupakan bukti bahwa rasa menjadi daya tarik untuk menciptakan pangan yang berkualitas. Program diversifikasi tidak dimaksudkan untuk mengganti beras sebagai makanan pokok tetapi lebih dimaksudkan untuk penganekaragaman pangan terutama sebagai sumber karbohidrat sehingga mengurangi ketergantungan terhadap beras. Sumber-sumber bahan baku tepung untuk substitusi terigu di Indonesia sebenarnya sudah dikenal masyarakat sebelum meluasnya pemakaian terigu di Indonesia (Gafar, 2010), biasanya dari kelompok umbi-umbian seperti ubi kayu (Manihot esculenta), ubi jalar (Ipomoea batatas), garut (Maranta arundinacea), ganyong (Canna edulis), dan taka (Tacca leontopetaloides). Taka dipopulerkan sejak tahun 2010 melalui proyek Prioritas Nasional DIPA LIPI. Selain kelompok umbi, serealia juga berpotensi sebagai sumber karbohidrat seperti jali (Coix lachryma-jobi), sorghum dan jewawut (Setaria italica). Jali (Coix lacryma-jobi L.) merupakan tanaman serealia yang sudah dikenal masyarakat dan potensia ldikembangkan untuk diversifikasi pangan sumber karbohidrat. Sayangnya dewasa ini jali sudah banyak ditinggalkan petani sehingga sangat jarang petani yang sengaja membudidayakannya. Di era tahun 1980 an masih banyak dijumpai di pematang tegal petani lahan kering Gunungkidul (bpp tepus, 2011). Meskipun demikian, masih ditemukan juga petani yang menanam hanjeli dalam skala kecil di kebunnya, diantaranya di Darma Kuningan, Cilembu Sumedang, Pelabuhan Ratu, Parakan salak Sukabumi dan Ciwidey Bandung. Jali ditemukan dijual baik di pasar tradisional maupun pasar modern. Di pasar modern selain jali lokal dijual pula jali impor dari Cina. Jali dicampur beras merah dijual dalam bentuk kemasan dengan harga cukup mahal. Masyarakat lokal mengolah jali menjadi berbagai makanan diantaranya nasi, bubur dan tape. Beberapa pedagang bubur di Bogor menjual bubur jali; bubur yang kental dan tekstur bji yang tidak terlalu lembek sangat disukai, rasanya mirip bubur kacang hijau. Masyarakat dari etnis Cina diketahui sangat menyukai bubur jali. Tepung hanjeli juga diketahui dapat dipakai untuk substitusi terigu dalam Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
103
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
pembuatan roti, untuk membuat roti dapat digunakan 70% terigu dan 30% tepung hanjeli (Lim, 2013). Tepung jali memiliki keunggulan diantaranya jali tidak mengandung gluten sehingga cocok dikonsumsi oleh mereka yang alergi gluten. Akan tetapi beberapa sumber pustaka menyebutkan jali sebaiknya tidak dikonsumsi wanita hamil. Kendala pengembangan jali baik budidaya maupun pemanfaatannya diantaranya adalah ketersediaannya yang terbatas. Hal ini terjadi karena petani sudah meninggalkan jali. padahal penanaman jali tidaklah sulit. Cara budidaya jali dan penyediaan benihnya termasuk pengolahannya menjadi beras jali perlu diperkenalkan kembali. Diperlukan berbagai upaya untuk kembali mempopulerkan jali. Salah satunya adalah dengan mengenalkan kembali tehnik budidayanya dan memperkenalkan pengolahannya sehingga produk jali memiliki image yang baik dengan nilai jual tinggi. Untuk meningkatkan nilai tambah jali, perlu dicari metoda pengolahan yang mudah diterapkan dan bercitarasa tinggi. Oleh karena itu telah dilakukan pembuatan kue kering (cookies) berbahan dasar jali dengan berbagai variasi campuran tepung lainnya yakni pati taka ((Tacca leontopetaloides (L.) O. Kuntze) dan tepung mocaf (Manihot esculenta). Ketiga komoditi tersebut merupakan sumber karbohidrat bergizi dan berpotensi sebagai pendamping beras dan subsitusi terigu. Hasil produk ini telah disosialisasikan ke masyarakat pada setiap ada pameran pangan dan teknologi yang bertujuan untuk alih pengetahuan agar masyarakat tertarik untuk mengembangkan pangan alternatif, sebagai pendamping beras dan terigu. Pati taka dibuat dari proses pemerasan umbi taka yang telah dihaluskan kemudian diproses sampai tidak terasa pahit. Taka memiliki nama lokal kecondang, gadung tikus (Jawa), labing, lorkong, oto’o (Madura), totoan (Kangean), leki, leker (Malaya), jalawure (Garut), termasuk dalam famili Taccaceae. Pada umumnya taka tumbuh liar, tersebar dari daerah tepi pantai hingga pada ketinggian 200 250 m di atas permukaan laut, diduga berasal dari wilayah Asia Tenggara dan telah tersebar luas ke daerah tropik Afrika, Asia, Australia dan Oceania. Di Indonesia dapat dijumpai di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Kepulauan Sunda Kecil. Umumnya taka memiliki 2 umbi yaitu umbi empu (parent tuber) dan umbi anak (peripheral tuber). Umbi taka berasa pahit namun dapat diproses menjadi pati, dan patinya dapat digunakan untuk bahan dasar bermacam-macam kudapan dan kue-kue kering sebagai penggati terigu. Umbi segar taka mengandung 2 - 3% kulit, 6 - 7% serat, 20 – 30% pati dan 60 – 70% bahan cair. Umbi kering mengandung 5.1% protein, 0.2% lemak, 89.4% karbohidrat, 2.1% selulose, 3.2% abu, 0.27% Ca, 0.2% P dan 2.2% senyawa yang pahit, juga mengandung senyawasenyawa β-sitosterol, alkohol, takalin (penyebab rasa pahit), alkaloid dan sapogenin steroid.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
104
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
105
Pusat Inovasi - LIPI
Tepung mocaf adalah produk tepung dari ubi kayu (singkong) yang diproses dengan cara fermentasi. Mikroba yang tumbuh menyebabkan perubahan karakteristik pada tepung yang dihasilkan, yaitu berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut. Mikroba juga menghasilkan asam-asam organik, terutama asam laktat yang akan terimbibisi dalam tepung, dan ketika
tepung
tersebut
diolah
akan
dapat
menghasilkan
aroma
dan
citra
rasa
khas
(http://bkppp.bantulkab.go.id/filestorage/dokumen/ 2014/07/20121105140749-mocaf.pdf).
METODOLOGI Makalah ini terdiri dari 2 bahasan yakni tentang: 1) Budidaya jali dan 2) Pemanfaatan tepung jali untuk pembuatan cookies. Telah dilakukan serangkaian eksplorasi untuk mengetahui keberadaan jali di Jawa Barat dan Jawa Timur pada tahun 2014-2016. Penelitian budidaya jali telah dilakukan di kebun Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi, Cibinong. Penelitian dilakukan mulai tahun 2014 sampai sekarang meliputi budidaya jali di bawah tegakan jati, fisiologi pertumbuhan dan perkecambahan jali, percobaan pemupukan dan percobaan lainnya untuk meningkatkan produktifitas jali. Sementara itu serangkaian percobaan pengolahan tepung jali menjadi cookies dilakukan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong. Sebagai bahan utama adalah tepung jali (Coix lacryma-jobi L.) dan sebagai bahan pelengkap adalah pati taka (Tacca leontopetaloides) dan tepung mocaf (Manihot esculenta). Pembuatan kue kering (cookies) dari masing-masing tepung dengan 3 variasi yaitu (1). tepung jali 100%, (2). tepung jali + pati taka (1:1) dan (3). tepung jali + tepung mocaf (1:1). Masing-masing menggunakan resep yang sama yaitu dengan tambahan santan siap pakai 1 sachet (65 ml), mentega 400 gr, gula halus 250 gr, susu bubuk (54 gr) dan 3 kuning telur, dengan campuran tepung 1100 gr. Cara pembuatan cookies jali adalah sebagai berikut mentega + gula halus dikocok kemudian dimasukkan kuning telur satu persatu. Kemudian santan dimasukkan sambil dikocok, lalu dimasukkan susu bubuknya dan selanjutnya tepung jali atau campuran jali taka dan mocaf sambil di aduk. Selanjutnya dicetak sesuai selera, kemudian dipanggang dalam oven 170-180 °C selama 15-20 menit, angkat dan dinginkan, cookies jali siap dikemas dan dipasarkan. Adonan dasar tersebut dapat dimodifikasi untuk menambah citarasa misalnya dengan menambah kopi menjadi jalicookies kopi, ditambah coklat, atau keju sesuai selera.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Jali (Coix lacryma-jobi L.) Hasil penelitian di Pusat Penelitian Biologi-LIPI Cibinong mengenai budidaya jali dapat diuraikan sebagai berikut. Jali dapat ditanam di tempat terbuka sampai tempat yang ternaungi. Apabila ditanam di tempat yang ternaungi, jali masih tumbuh dengan baik sampai naungan 50%. Diatas naungan 50% pertumbuhan tanaman sudah sangat terhambat. Jali yang ditanam di tempat yang ternaungi tumbuh lebih tinggi dibandingkan yang ditanam di tempat terbuka. Selain itu, naungan juga meingkatkan persen hampa biji yang dipanen. Jali memerlukan pupuk untuk pertumbuhannya yang optimal. Pupuk dapat diberikan dalam bentuk pupuk majemuk NPK (16-16-16) sebanyak 2-4 g/tanaman. Apabila menggunakan pupuk tunggal dapat diberikan urea 2g/tanaman, TSP 4 g/tanaman dan KCl 2g/tanaman. Jarak tanam 70X100cm. Pengairan yang cukup sangat diperlukan pada awal pertumbuhan, sehingga jali sebaiknya ditanam saat awal musim hujan. Setelah fase pembungaan, tanaman relatif lebih tahan kekeringan. Produksi di lahan terbuka lebih tinggi dibandingkan di lahan ternaungi. Panen dilakukan pada umur 5½ - 6 bulan setelah tanam.
Gambar 1. Budidaya jali di kebun Biologi, Cibinong Science Center, hamparan jali masih hijau (kiri), biji yang sudah menguning (kanan)
Gambar 2. Pertanaman jali di bawah tegakan jati di Cibinong Science Center (kiri), biji jali muda (tengah) , biji jali siap panen (kanan). Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
106
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Pasca panen jali Biji jali dapat dipanen pada umur 5½ - 6 bulan setelah tanam. Biji jali tesusun dalam malai. Ciri biji yang siap panen adalah warna kulit biji sudah coklat (Gambar 2). Pasca panen jali dimulai dengan perontokan biji dari malainya. Pengupasan biji jali menjadi beras jali dapat dilakukan menggunakan mesin penggilingan padi untuk selanjutnya disosoh sehingga didapatkan beras jali yang berwarna putih (Gambar 3).
a. Biji jali yang sudah dirontokkan. b. Beras jali sebelum disosoh
c. Pemisahan beras dari kulit. d. beras jali yang sudah disosoh Gambar 3. Proses pengolahan beras jali
Tepung jali dibuat melalui proses penepungan beras jali. Beras sebaiknya direndam terlebih dahulu sekitar satu jam supaya teksturnya menjadi lunak. Beras jali ditepung menggunakan alat penepung. Selanjutnya tepung dijemur di bawah sinar matahari untuk mengurangi kadar air. Sebelum disimpan sebaiknya tepung diayak terlebih dahulu. Tepung jali siap digunakan untuk membuat cookies dan makanan lainnya. Tepung yang telah kering dikemas dalam plastik dan dapat disimpan di suhu ruang yang kering tidak lembab (Gambar 4).
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
107
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Gambar 4. Contoh biji jali, beras jali dan tepung jali
Nasi Nasi +beras+jagung bubur ayam
Bubur manis
Tape
Gambar 5. Produk olahan lain dari beras jali
Kandungan gizi jali Jali merupakan serealia bernilai gizi tidak kalah dibanding sumber karbohidrat lainnya (Tabel 1-3). Tabel 1. Nilai gizi jali dibanding biji-bijian lainnya Nama
Jali
Beras hitam
Beras jagung putih 22,5
Beras menir
Beras tumbuk
Beras giling
Jewawut
12,9
Beras jagung kuning 10,8
Air (g)
23
12
11,5
12
11,9
Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Thiamin (mg)
324 11 4,0 61 213 176 11 0,14
351 8 1,3 76,9 6 198 0,1 0,21
358 5,5 0,1 82,7 20 90 1,4 0,12
307 4,8 0,1 71,8 17 78 1,2 0,15
362 7,7 4,4 73 22 272 3,7 0,55
354 7,8 0,4 79,9 3 112 0,6 0,25
357 8,4 1,7 77,1 147 81 1,8 0,2
364 9,7 3,5 73,4 28 311 5,3 0,33
Sumber: Mahmud dan Zulfianto (eds), 2009.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
108
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
109
Pusat Inovasi - LIPI
Tabel 2. Hasil analisis proksimat beberapa aksesi jali (Juhaeti, 2015). Sumedang No.
Jenis analisis
1. 2. 3. 4. 5. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar lemak (%) Kadar protein (%) Karbohidrat (%) Serat pangan (%) Gluten (%) Ca (mg/100 gr) Vit. B6 (mcg/100g) Vit. B12 (mcg/100g) Vit. E (mg/100g)
9,11 0,77 4,29 16,37 69,46 7,14 0 2,40 27,38 3,67 164,26
Aksesi Kuningan beras tidak disosoh (warna beras coklat) 8,95 1,70 4,82 13,86 70,67 8,36 0 2,42 11,41 3,09 165,09
Kuningan beras disosoh (warna beras putih) 10,23 0,27 1,95 13,98 73,57 6,84 0 1,84 6,84 2,81 143,68
Garut
9,58 1,51 5,61 8,51 74,79 7,75 0 2,62 25,10 2,09 174,41
Keterangan: Analisis di Litbang Pasca Panen Pertanian, Bogor
Tabel 3. Kandungan gizi jali dibanding beras putih dan beras merah No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Jenis analisis Kadar lemak Protein Kadar air Kadar abu Kadar karbohidrat Serat kasar Amilosa Amilopektin Serat pangan Kalsium Fosfor
Satuan % % % % % % % % % mg/100g mg/100g
Jali 3.65 5.72 1.52 0.83 76.88 1.186 21.44 77.38 1.65 16.74 31.52
Jenis beras Beras putih Ciherang 3.84 5.54 1.38 0.80 75.63 1.212 23.18 75.74 1.72 17.62 32.33
Beras merah 2.96 4.95 1.74 0.68 67.97 1.210 19.52 79.86 1.54 18.34 32.65
Keterangan: Analisis dilakukan di Lab Biokimia IPB Bogor
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Tabel 4. Kandungan asam amino jali dibanding beras No.
Jenis asam amino
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Phenilalanin Valin Treonin Methionin Leusin Isoleusin Lisin Histidin
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Arginin Sistein Glisin Prolin Tirosin Alanin Asam aspartat Asam glutamate Serin
Hasil analisis (%) pada jenis beras Beras putih Ciherang Jali Beras merah Asam amino esensial 0.363 0.355 0.371 0.518 0.510 0.488 0.210 0.228 0.216 0.275 0.286 0.223 0.182 0.178 0.160 0.238 0.210 0.209 0.271 0.260 0.225 0.239 0.225 0.219 Asam amino non esensial 0.260 0.254 0.228 0.217 0.193 0.171 0.222 0.218 0.204 0.223 0.217 0.210 0.396 0.377 0.354 0.401 0.393 0.375 0.784 0.715 0.698 2.216 2.144 2.155 0.262 0.250 0.240
Keterangan: Analisis di Lab Biokimia IPB Bogor
Pembuatan Cookies Jali Citarasa cookies jali Hasil uji citarasa cookies jali dan variasinya dapat dilihat pada Tabel 5. Pembuatan cookies dengan bahan dasar 100% tepung jali mempunyai citarasa yang khas, renyah, agak padat dengan tekstur butiran-butiran lembut khas tepung jali. Cookis jali dengan campuran pati taka dengan perndingan 1:1 mempunyai citarasa renyah, lebih remah, meski masih terasa sedikit butiran-butiran lembut khas jali. Sedangkan Cookies jali dengan bahan dasar tepung jali + tepung mocaf dengan perbandingan (1:1) mempunyai cita rasa renyah, tidak terlalu remah daripada jali + taka dan masih terasa sedikit berpasir khas tepung jali dengan butiran-butiran pasir yang lebih lembut, terasa sedikit agak asam, berbau khas fermentasi. Percobaan dengan teknik sederhana ini diharapkan dapat diterapkan langsung di masyarakat dan dapat dikembangkan sebagai industri rumahan. Selain itu juga diharapkan menjadi daya tarik untuk menciptakan variasi pangan yang berkualitas, sehingga diminati masyarakat dan dapat meningkatkan penghasilan masyarakat.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
110
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Tabel 5. Citarasa dari masing-masing cookies yang berasal dari tepung jali, taka dan mocaf dan campurannya Bahan dasar tepung untuk cookies
No 1
Tepung Jali 100%
2
Tepung Jali + Pati Taka
3
Cita rasa cookies
Tepung Jali + Tepung Mocaf
Citarasa khas, renyah, agak padat dengan tekstur butiran-butiran lembut khas tepung jali Cookies menjadi renyah, lebih remah, meski masih terasa sedikit butiran-butiran lembut khas jali Citarasa renyah, tidak terlalu remah seperti jali+taka dan masih terasa sedikit berpasir khas tepung jali dengan butiran-butiran pasir yang lebih lembut, terasa sedikit agak asam, berbau khas fermentasi.
Uji kesukaan cookies jali Hasil pengamatan terhadap tingkat kesukaan responden terhadap cookies jali menunjukkan bahwa cookies umumnya disukai (Tabel 6). Tabel 6. Uji kesukaan cookies jali dan variasinya No 1 2 3
Bahan dasar tepung untuk cookies Tepung Jali 100% Tepung Jali + Pati Taka Tepung Jali + Tepung Mocaf
Tingkat kesukaan (%) Tidak suka 0 0 10
suka 90 70 90
Suka sekali 10 30 0
Catatan: Responden 15 orang
Kandungan nutrisi cookies jali Kandungan nutrisi dan mineral pada cookies jali dengan bahan dasar tepung jali dan campurannya dapat dilihat pada Tabel 7. Secara umum kandungan nutrisi per 100 g cookies jali dengan bahan dasar 100% tepung jali, campuran Jali+taka dan Jali+mocaf tidak memperlihatkan perbedaan yang mencolok. Kandungan kalsium berkisar antara 35-37 mg, kadar air 4-5 g, kadar abu 1-2 g, protein 11-12 g, lemak 22-30 g, Serat pangan 2,1-2,6 g, karbohidrat 50-57 g dan fosfor 108-112 g (Tabel 7). Nutrisi cookies jali dengan bahan dasar 100% tepung jali mempunyai kandungan kalsium (37,83 mg), karbohidrat (57,935 g) dan fosfor (112,54 g) yang cenderung lebih tinggi daripada cookies dengan bahan dasar jali+taka dan jali+mocaf. Cookies dengan bahan dasar jali+taka pada hasil analisis nutrisinya ternyata kadar abunya (2.275 g) cenderung lebih tinggi daripada cookies dengan bahan dasar yang lain. Sedangkan cookies dengan bahan dasar jali+mocaf mempunyai kandungan Protein (12.131 g) Lemak (30.653 g) Serat pangan (2.610 g) cenderung lebih tinggi daripada cookies dengan bahan dasar yang lain (Tabel 7).
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
111
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Tabel 7. Kandungan nutrisi dan mineral pada cookies yang berasal dari tepung jali, dan campurannya dengan taka dan mocaf No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nutrisi Kalsium (mg/100g) Kadar air (% Kadar abu (%) Protein (%) Lemak (%) Serat pangan (%) Karbohidrat (%) Posfor (mg/100g)
Jali 37.830 4.712 1.877 11.255 22.421 2.271 57.935 112.540
Macam cookies Jali+taka 35.024 5.116 2.275 11.240 28.312 2.144 51.827 111.370
Jali+mocaf 36.710 4.240 1.793 12.131 30.653 2.610 50.183 108.722
Keterangan: Analisis cookies dilakukan di Lab Kimia, IPB
Gambar 6. Contoh model cookies jali
Peluang dan kendala pengembangan budidaya dan pemanfaatan jali Peluang: Jali potensial untuk ditanam dilahan-lahan terbuka maupun di lahan ternaungi. Pengairan dan pemupukan harus diperhatikan. Tersedianya air terutama saat awal pertumbuhansangat penting, sehingga jali sebaiknya ditanam awal musim hujan. Hasil penelusuran pustaka menunjukkan jali bermanfat untuk para penderita diabetes, orang dengan masalah pencernaan, untuk menghaluskan kulit (karena kandungan vitamin E yang tinggi dan untuk mencegah kanker. Kendala: Produksi jali relatif rendah, dalam satu rumpun tanaman produksi hanya mencapai 500 gram biji kering/tanaman. Rendemen jali juga cukup rendah yakni sekitar 35-40%. Hal ini mengakibatkan harga jali cukup tinggi di pasaran mencapai Rp.30.000 - Rp. 40.000/kg kurang kompetitif dibanding beras dan terigu. Oleh sebab itu dalam pengembangan kuliner jali, sasaran pembeli adalah kelas menengah ke atas atau konsumen dengan kebutuhan khusus misalnya mereka yang peka terhadap gluten.
Analisis ekonomi cookies jali Perhitungan kasar usaha cookies jali adalah sebagai berikut:
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
112
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Tabel 8. Analisis ekonomi sederhana cookies jali, skala industri kecil, dalam sekali produksi Keperluan rutin No
1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8. 9. 10. 11. 12.
Bahan-bahan
Jumlah bahan
A.Kebutuhan bahan baku kue Tepung Mentega Gula halus Susu bubuk Santan siap pakai Telor (kuning)
Harga bahan (Rp)
5 kg 2 kg 1,5 kg 270 gr 375 ml 15 butir Sub total
200.000 60.000 40.000 25.000 15.000 25.000 365.000
60 toples 3 OH Rataan 1 hari 1 hari 1 hari 1 hari Sub total Total kebutuhan 1 kali produksi
120.000 150.000 20.000 50.000 50.000 100.000 490.000 855.000
B.Kebutuhan penunjang Kemasan Tenaga kerja Listrik Gas Elpiji Transport Iklan brosur
Hasil Cookies Jali dalam 1 kali 60 toples @ 25.000,produksi 125g/toples Biaya aus penyusutan alat 1% dari modal awal peralatan Keuntungan
Keterangan
Perhitungan untuk 1 produksi dalam 1 hari
kali
Rp. 855.000 Rp. 1.500.000 Rp. 70.500,Rp. 574.500
Modal awal peralatan No 1 2 3
Peralatan
Jumlah bahan
Oven Mixer Perlengkapan (Loyang, cetakan kue dll)
3 buah 3 buah 3 set
Total
Harga bahan (Rp) 4.500.000 1.800.000 750.000
Keterangan
7.050.000
KESIMPULAN Budidaya jali relatif mudah. Cookies jali memiliki citarasa yang khas. Cookies dari tepung jali 100 % mempunyai cita rasa renyah agak padat dan berpasir terasa khas tepung jali dengan butiran-butiran pasir yang lembut. Cookies dari tepung jali + pati taka (1:1) mempunyai cita rasa renyah, lebih remah daripada jali original dan masih terasa sedikit berpasir khas tepung jali dengan butiran-butiran pasir yang lebih lembut. Cookies dari tepung jali + tepung mocaf (1:1) mempunyai cita rasa renyah, tidak terlalu remah daripada jali +taka dan masih terasa sedikit berpasir khas tepung jali dengan butiran-butiran pasir
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
113
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
yang lebih lembut, terasa sedikit agak asam, berbau khas fermentasi. Produksi cookies jali cukup menguntungkan. Saran Pemasaran cookies sebaiknya sebagai oleh-oleh khas untuk wisatawan.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Puslit Biologi LIPI yang telah memberikan fasilitas untuk percobaan ini. Juga kepada Deviana Novitasari, SSi. , Aah Lubis dan Indra Gunawan yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Bpptepus. 2011. Jali Tanaman Palawija Bergizi dan berkhasiat. http://bpptepus.gunungkidulkab.go.id /berita-120jali-tanaman-palawija-bergizi-dan-berkhasiat.html. Gafar, S. 2010. Diversifikasi Pangan Berbasis Tepung: Belajar Dari Pengelolaan Kebijakan Terigu. Majalah Pangan, 12 April 2010. Grubben and Partohardjono, Eds. 1996. (Grubben and Partohardjono, Eds. 1996. Cereals. Plant Resources of Soth East Asia No. 10) Backhuys Publ Leiden. 84-87). Handoyo, F.W. 2013. Penguatan Diversifikasi Pangan Berbasis Kearifan Lokal. http://fwh89. blogspot.com/2013/06/penguatan-diversifikasi-pangan-berbasis.html, Selasa, 18-6-2013. Juhaeti T. 2014. Fisiologi Perkecambahan dan Fase Pertumbuhan Jali (Coix lachryma-jobi L. ) Sebagai Dasar Budidayanya. Makalah disampaikan dalam Ekspose Hasil Penelitian Unggulan LIPI Bidang pangan Nabati. Bogor. 25 September 2014 (Prosiding dalam proses). Juhaeti, T. 2014. Fisiologi perkecambahan dan fase pertumbuhan Jali (coix lachryma-jobi ) sebagai dasar budidayanya. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Unggulan Bidang Pangan Nabati Bogor, 25 September 2014. Juhaeti, T. 2015. Hanjeli (Coix lacryma-jobi L.) untuk diversifikasi pangan: Produktifitas pada berbagai taraf pemupukan. Berita Biologi. 14: 163-168. Juhaeti, T. 2016. Karakterisasi pertumbuhan, produksi dan nilai gizi beberapa aksesi jali (coix lachryma-jobi l.) dari Jawa Barat. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Biologi UIN Syarif Hidayatullah Bandung. 31 Mei 2016. Prosiding dalam proses. Lim TK. 2013. Edible medicinal and non medicinal plant Volume 5 fruits. DOI 10.1007/978-007-5653-3_14. Springer Science+bussiness Media Dordrecht 2013. Mahmud MK & NA Zulfianto (eds.). 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Elex Media Komputindo Gramedia, Jakarta. Murningsih, T. 2013. Evaluasi kandungan proksimat dan mineral umbi taka (Tacca leontopetaloides) dari beberapa daerah di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas. Februari 2013. Vol: 2.hal: 106-109.
Sub Tema New Emerging Technology dan Teknologi Terapan
114
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PEB 01
ARAH PENGEMBANGAN TRANSFER TEKNOLOGI PADA INDUSTRI KECIL MENENGAH BERBASIS AGRO DI KAWASAN PEDESAAN Devi Maulida Rahmah Staff Pengajar di Program studi Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran
[email protected] Abstrak. Keberhasilan dalam mengembangkan Industri Kecil menengah tidak terlepas dari adanya Teknologi yang diadopsi. Proses penggunaan teknologi terjadi karena adanya upaya transfer teknologi. Teknologi yang diadopsi dapat berupa hard dan soft technology. Soft technology dapat berupa peningkatan wawasan pelaku IKM dalam hal pengelolaan usaha bisnisnya, mulai dari pengadaan bahan baku, proses, hingga pemasaran. Sedangkan hard technology dapat berupa penggunaan teknologi dan sarana prasarana penunjang usaha yang semakin maju. Mengetahui proses transfer teknologi di IKM, karakteristik teknologi yang di adopsi, serta karakteristik penerimaan terhadap Teknologi akan membantu dalam memetakan arah proses transfer teknologi yang dapat menjadi acuan bagi IKM sejenis dalam menerapkannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui arah bagi proses transfer teknologi di IKM berbasis agro yang dilakukan. Penelitian dilakukan di IKM yang ada di sekitar Sumedang. Dengan latar belakang IKM yang dikelola oleh masyarakat pedesaan, maka diharapkan mampu merepresentasikan kondisi riil pelaku IKM didaerah lainnya yang sebagian besar berasal dari wilayah pedesaan dalam menerima teknnologi. Penelitian dilakukan dengan metode observasi lapangan, deep interview, dan kuesioner. Data diolah dengan koding serta analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukan terdapat beberapa faktor dalam proses transfer teknologi pada IKM berbasis komoditas lokal melalui pendekatan makroergonomi, yaitu organisasi kerja, SDM, lingkungan kerja dan teknologi. Hasil penelitian menunjukkan, faktor yang memegang tingka tkepentingan yang cukup besar dalam proses transfer teknologi adalah organisasi kerja dan SDM. Tentu hal ini menjadi pertimbangan yang harus diperhatikan dalam proses transfer teknologi pada IKM. Sedangkan arah transfer teknologi disesuaikan dengan tipe IKM dan hasil penelitian mengenai faktor yang berperan dalam proses transfer teknolog. IKM dengan tipe produksi secara mandiri, transfer teknologi diawali dengan penguatan organisasi, dilanjutkan penguatan teknologi dan penguatan skill SDM. Sedangkan pada IKM tipe pemberdayaan, proses transfer teknologi diawali dengan penguatan organisasi berupa pembuatan aturan-aturan dan kesepakatan yang jelas dengan pihak pengrajin, disusul peningkatan skill SDM, serta penguatan sektor hilirisasi produk. Kata kunci : Transfer teknologi, IKM di pedesaan
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
115
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN Proses transfer teknologi pada skala industri kecil dan menengah (IKM) pada prinsipnya memiliki tujuan yang samaseperti proses transfer teknologi pada industri skala besar, yaitu memberikan nilai tambah pada produk yang dihasilkan serta mampu meningkatkan keuntungan dan keunggulan dari usaha yang dilakukan. Namun ada beberapa aspek yang membedakan. Hal ini dikarenakan IKM memiliki karakteristik yang unik jika dibandingkan dengan industri skala besar. Berikut adalah karakteristik UKM berbasis olahan pangan menurut rahmah dan purnomo (2014): Tabel 1. Karakteristik UKM di level pedesaan SDM Skill rendah
Tingkat pendidikan rendah
Pemahaman yang rendah terkait proses produksi yang berorientasi kualitas
MODAL Masih minim, dan terkadang bergantung pada pihak luar
MANAJEMEN
BAHAN BAKU
TEKNOLOGI
PROSES PRODUKSI
Belum kuat menerapkan aturan organisasi kerja
Masih Penggunaan Berbasis bergantung pada teknologi masih pemberdayaa musim panen minim n masyarakat sekitar
Belum berorientasi pada sistem produksi bersih dan aman pada lantai produksinya
Belum memiliki sistem penyimpanan bahan baku yang baik
Penggunaan masih berorientasi pada produktifitas, bukan pada sisi lainnya (Keamanan kerja pekerja)
Visi dan misi tidak terdokumentasika n dengan jelas
Kemampuan mengadopsi teknologi baru atau cara baru rendah
Karakteristik tersebut selanjutnya dipetakan kedalam faktor mana saja yang dominan mempengaruhi proses transfer teknologi. Setelah terpetakan faktor yang mempengaruhi proses transfer teknologipada IKM di Kawasan pedesaan, selanjutnya akan dilakukanan anlisis lebih lanjut mengenai strategi pengembangan proses alih teknologi dari pihak luar ke dalam IKM. Oleh karenanya, penelitian ini akan melakukan kajian untuk menentukan arah dalam melakukan proses transfer teknologi di industri kecil menengah dengan karakteristik tersebu di atas dari pihak luark hususnyauniversitas ke dalam IKM. Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
116
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
METODE PENELITIAN
Penelitian di lakukan di IKM aneka keripik di desa Cileles Jatinangor dan IKM keripik pisang DesaPagedangan Indramayu. IKM yang dijadikan objek penelitian merupakan jenis IKM dengan mekanisme sistem produksi secara mandiri Artinya pemilik usaha melakukan produksi secara mandiri. Sedangkan IKM lainnyayang dijadikan objek penelitian adalah IKM emping melinjo IbuEpon Cimalaka Sumedang. IKM milik Ibu Epon ini merupakan IKM dengan sistem produksi pemberdayaan. Dimana pengrajin melakukan usaha produksi di rumah masing – masing yang terdapat di sekitar. Metode yang dilakukan dalam mengidentifikasi faktor makro ekonomi adalah dengan observasi (field study) dan wawancara semi struktur. Dua metode ini menurut Hendrick dan Kleiner (2002) relevan untuk diterapkan pada pendekatan makroergonomi. Karena dalam makroergonomi terdapat penggabungan antara aspek sosial, teknikal, dan sosioteknikal. Keuntungan yang diperoleh dari pendekatan observasi adalah diperoleh data riil di lapangan, mengenai aspek penerapan kebijakan manajemen d lapangan, pekerja, proses kerja, serta lingkungan kerja yang mungkin secara spesifik tidak akan diperoleh dari hasil wawancara. Sedangkan kajian mengenai arah pengembangannya dilakukan dengan studi literature dan diskusi dengan ahli.
Tahapan dalam proses penelitian Berikut ini adalah tahapan penelitian yang dilakukan : 1. TahapanPengambilan data Berikut adalah tahapan yang dilakukan dalam pengambilan data yang dibutuhkandalampenelitian. Survey kondisi eksisting di lapangan
Identifikasi masalah secara umum
Interview dengan pihak manajemen dan pengrajin
Observasi kondisi di tingkat pengrajin
Gambar 1. Tahapan pengambilan data 2. Tahapan Diskusi dan Studi literatur Penentuan faktor yang berpengaruh terhadap proses transfer teknologi yang nantinya akan dijadikan kategorisasi dalam proses koding, dilakukan melalui diskusi dengan ahli dan studi literatur. Proses perbaikan sistem kerja tidak terlepas dari sebuah proses transfer teknologi, Jupriyanto (2012)
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
117
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
merumuskan faktor – faktor makro ergonomi yang berpengaruh terhadap proses transfer teknologi diantaranya
a. Karakteristi kteknologi (Teknologi) b. Karakteristik komunitas yang akan menerima transfer teknologi, seperti skill, tingkat pendidikan dan pengetahuan, sikap dalam bekerja (Karakteristik pekerja) c. Karakteristik sosio – ekonomi (Karakteristik Pekerja) d. Karakteristik manajerial (karakteristik Organisasi kerja) e. Sikap dalam bekerja dan dalam organisasi (Karakteristik Pekerja) f.
Karakteristik Budaya Perusahaan, seperti sikap dalam bekerja, sikap dalam teknologi, sikap dan kebiasaan dalam organisasi kerja, orientasi dan motivasi untuk sukses dan maju (Karakteristik organisasi kerja)
Menurut Abarghouei (2012) proses evaluasi kinerja dan intervensi ergonomi hingga tercipta proses intervensi ergonomi yang menyeluruh di dasarkan pada empat hal, yaitu :Daya dukung manjemen dan logistic, daya dukung pengetahuan atau peningkatan kemampuan, partisipasi dan evaluasi pegawai, serta pengembangan SDM. Menurut Kleiner (1999) makro ergonomi merupakan sub disiplin ilmu kebaruan dalam proses intervensi ergonomi yang menggabungkan antara faktor teknologi, manusia (pekerja, organisasi kerja, dan lingkungan kerja serta interaksi antara empat komponen dalam makroergonomi sistem tersebut. Berdasarkan proses diskusi dan literatur tersebut, maka peneliti mencoba mengelompokan faktor makro ergonomi dalam proses transfer teknologi kedalam setiap aspek elemen dalam makroergonomi. Berikut adalah pengelompokannya :
Tabel 2. Pengelompokan faktor dan elemen dalam makroergonomi untuk sistem koding
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
118
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Elemen dalam faktor
Faktor
SDM
Organisasi Kerja
Teknologi Lingkungan Kerja
Etos kerja Karakteristik sosial budaya Skill dalam bekerja Kemampuan menerima perubahan Tingkat pendidikan Manajemen Visi organisasi aturan kerja Sarana prasarana Budaya Kerja Sifat Organisasi Sifat teknologi dukungan pihak luar Keberpihakan pemerintah setempat Budaya masyarakat setempat penerimaan masyarakat terhadap aktifitas IKM
Tabel diatas dijadikan sebagai acuan untuk pengkodean pada proses analisis data.
3. Tahapan Analisis Data Analisis yang dilakukan adalah analisis kualitatif. Dalam penelitian kualitatif. Data coding atau pengodean data memegang peranan penting dalam proses analisis data, dan menentukan kualitas abstraksi data hasil penelitian. Hal ini mengacu pada metode penelitian yang digunakan. Sistem coding dilakukan untuk mengkategorisasi dan memetakan faktor – faktor yang berpengaruh terhadap proses perbaikan sistem kerja dengan pendekatan makroergonomi. Berikut adalah tahapan proses analisis data :
Mendeskripsikan hasil wawancara dan temuan di
Mengkategorisasi secara khusus berdasarkan
Mengkategorikan elemen kedalam faktor 4 faktor dalam
Studi Literatur
Gambar 2. Tahapan analisis data
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
119
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
4. Tahapan Kajian Pembangunan Pola Transfer Teknologi Pada tahapan ini dilakukan proses identifikasi faktor yang telah dihitung dengan koding, untuk kemudian dilakukan pemetaan berdasarkan tingkat pengaruhnya. Berikut adalah tahapan yang dilakukan dalam menentukan pola transfer teknologi :
Gambar 3. Ttahapan kajian pola transfer teknologi
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil pengkodean diperoleh kombinasi faktor dalam makroergonomi yang mempengaruhi sebuah transfer teknologi dalam perbaikan sistem kerja sebagai berikut :
Gambar 4. Faktor dalam Makroergonomi yang mempengaruhi keberhasilan proses transfer teknologi
Aspek organisasi kerja memegang peranan yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan proses transfer teknologi yaitu sebesar 51 %. Hal ini berarti bahwa keberhasilan dari sebuah proses transfer Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
120
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
teknologi pada IKM akan ditentukan pada kesiapan organisasi kerja pada IKM. Berikut adalah penjabaran mengenai aspek Organisasi kerja yang dimaksud adalah aspek manajemen, visi organisasi, Aturan kerja, Sifat organisasi, Budaya kerja, serta sarana dan prasarana.
Gambar 5. Kategori Organisasi kerja
Aspek sumber daya manusia menjadi aspek penting lainnya yang harus menjadi pertimbangan dalam sebuah transfer teknologi. Hal ini menunjukan bahwa aspek SDM memiliki posisi strategis dalam proses transfer teknologi, beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah
Gambar 6. Kategori sumber daya manusia
Terlihat bahwa sub aspek dalam kategori SDM yang memiliki tingkat kepentingan terbesar adalah kemampuan menerima perubahan (hal baru), serta skill atau kemampuan dalam bekerja. Hal ini tentu Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
121
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
menjadi landasan teoritis bagi metode yang akan diterapkan dalam pengembangan IKM. Pendekatan secara menyeluruh serta pola – pola pendampingan menjadi catatan penting bagi proses transfer teknologi agar mampu diterima perubahannya oleh IKM. Kemampuan dalam bekerja pun sangat berpengaruh, karena
Gambar 7. Kategori Lingkungan Kerja
Sedangkan aspek Teknologi menjadi aspek terkecil sebagai faktor penentu keberhasilan dari transfer teknologi. Hal ini tentu memberikan penjelasan tersendiri bahwa melalui pendekatan makroergonomi, dalam proses pengembangan IKM dengan transfer teknologi, teknologi itu sendiri seharusnya tidak menjadi fokus bagi pelaku IKM atau pendamping IKM. Namun penyiapan aspek organisasi kerja, SDM, serta lingkungan kerja, menjadi hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengembangan IKM.
Berikut adalah pola transfer teknologi yang dapat diterapkan dengan mengacup ada faktor yang berpengaruh diatas :
IKM Tipe Produksi Mandiri Pada IKM dengan tipe produksi secara mandiri, semua proses bisnis dilakukan pada fasilitas produksi milik IKM itu sendiri, seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
122
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Input
SDM/Pekerja
Proses produksi
output
Aturankerja ProdukJadi
Bahanbaku
Pemasaran Peralatan Gambar 8. IKM tipe produksi mandiri
Pada jenis IKM ini proses transfer teknologi sangat bergantung kepada willingness dari pemilik IKM. Karena pada dasarnya semua kebijakan bergantung pada respon dan keinginan dari pemilik IKM. Adapun pola transper teknologi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
Analisissitu asi
Penguatan organisasi
Penguatan Teknologi
Penguatan Skill SDM
Pendekatan human centered design Gambar 9.Alur proses transfer teknologi
Gambar diatas menunjukkan urutan proses transfer yang mempengaruhi transfer teknologi dan situasi di lapangan. Pada IKM tipe produksi mandiri, keberhasilan proses transfer teknologi akan sangat bergantung kepada pemilik IKM. Oleh karena itu penguatan sisi organisasi IKM terlebih dahulu yang dikuatkan sehingga menjadi kan kerangka yang kuat bagi proses perbaikan di tingkat selanjutnya. Adapun hal yang tak kalah pentingnya adalah pendekatan yang digunakan selama proses pendampingan. IKM Tipe Produksi kombinasi antara produksi sendiri dan Produk bersumber dari sumber lain IKM yang memiliki tipe kombinasi pun mulai banyak berkembang seiring dengan perkembangan sistem bisnis dan persaingan. Biasanya IKM yang menerapkan sistem ini adalah yang belum mampu Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
123
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
memproduksi produk sesuai permintaan, dimana jumlah permintaan jauh lebih besar dibandingkan jumlah produksi. IKM tipe ini memiliki keluwesan dalam menghasilkan produk sesuai dengan permintaan sehingga resiko lebih kecil.Pada tipe produksi ini proses transfer teknologi relatif sama dengan IKM produksi mandiri, karena pihak IKM yang memiliki kewenangan untuk mengatur kebijakan barang yang masuk dan keluar. IKM Tipe Produksi pemberdayaan Berikut adalah diagram proses produksi di sebagian besar IKM dengan tipe produksi pemberdayaan Bahan Baku
Proses produksi
Produkutama
Pemilik IKM
Penangananp ascaproduksi (sortasi,
Pengrajin
Pemasaran
Pemilik IKM
Gambar10.Tipe produksi berbasis pemberdayaan
Maka prioritas transfer teknologi yang dapat dilakukan adalah sebagaiberikut :
Gambar 11. Arah proses transfer teknologi pada IKM berbasiskan pemberdayaan
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
124
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
KESIMPULAN Terdapat beberapa faktor dalam proses transfer teknologi pada IKM berbasis komoditas lokal melalui pendekatan makroergonomi, yaitu organisasi kerja, SDM, Lingkungan kerja dan Teknologi. 1. Hasil penelitian menunjukkan, faktor yang memegang tingkat kepentingan yang cukup besar dalam proses transfer teknologi adalah organisasi kerja dan SDM. Tentu hal ini menjadi pertimbangan yang harus diperhatikan dalam proses transfer teknologi pada IKM. 2. Faktor teknologi menjadi faktor terakhir yang memiliki tingkat kepentingan yang paling kecil. Hal ini menunjukkan bahwa melalui pendekatan makroergonomi penerapan teknologi baru bukan menjadi satu – satunya cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sistem kerja guna meningkatkan produktifitas pada IKM
UCAPAN TERIMA KASIH Paper ini merupakan output dari serangkaian kegiatan penelitian yang dilaksanakan pada IKM yang menjadi objek pengabdian kepada masyarakat. Oleh karena itu apresiasi yang besar kepada Unpad yang telah mendanai program pengabdian kepada masyarakat melalui program PPMD tematik dan PPMD integratif
DAFTAR PUSTAKA Abarghouei, Nasab. 2012. An Ergonomic Evaluation and Intervention Model: Macro ergonomic approach. International Journal of Scientific & Engineering Research, Volume 3, Issue 2 Carayonand Smith. 2000. Work organization and ergonomics. Applied Ergonomics 31 (2000) 649}662 Juprianto, Iridiastadi, Zutalaksana, and Nur Bahagia S. 2013. Indonesian Technology Transfer Successful Model with a Macroergonomics Framework. Journal of Applied Sciences Research, 9(4): 2520-2525. Kleiner, 1999. Macroergonomic Analysis and Design for improve safety and Quality Performance. International Journal Of Occupational Safety and Ergonomic. Vol : 5, No.2, 217-245. Stanton, et all. 2005. Handbook of Human Factors and Ergonomics Method.Washington DC : CRC Press.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
125
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PEB 02
EVALUASI YURIDIS KEBIJAKAN ALIH TEKNOLOGI KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM MEMENUHI KEPASTIAN HUKUM DI BALITBANG KEMENTERIAN PUPR Siska Purnianti Pusat Litbang Perumahan & Permukiman Balitbang Kementerian PUPR
[email protected]
Abstrak. Kebijakan tentang mekanisme alih teknologi dari hasil penelitian dan pengembangan berupa kekayaan intelektual, yaitu Lisensi, mulai dari undang-undang hingga peraturan pelaksananya untuk lembaga litbang pemerintah telah diterbitkan, khususnya di Balitbang Kementerian PUPR yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2012 tentang PNBP yang Berlaku di Lingkungan Kementerian PUPR dan Peraturan Menteri PUPR Nomor 49/PRT/M/2015 tentang Tata Cara Penggunaan Paten, namun pelaksanaan Lisensi tersebut hingga saat ini belum dapat dilaksanakan secara optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun konsep tentang pelaksanaan alih teknologi kekayaan intelektual melalui mekanisme Lisensi yang memenuhi kepastian hukum dengan studi kasus di Balitbang Kementerian PUPR melalui evaluasi yuridis PP PNBP Kementerian PUPR dan Permen PUPR tentang Tata Cara Penggunaan Paten dalam 2 (dua) permasalahan yaitu : Cakupan Jenis Kekayaan Intelektual dan alih teknologi kekayaan intelektual melalui mekanisme Lisensi. Metode yang digunakan adalah Legal Research dengan tetap ditunjang dengan data empirik.Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai konsep ideal pelaksanaan alih teknologi kekayaan intelektual melalui mekanisme Lisensi yang memenuhi kepastian hukum adalah dengan melakukan revisi dari Peraturan Pemerintah tentang PNBP Kementerian PUPR dan Peraturan Menteri PUPR tentang Tata Cara Penggunaan Paten yang secara substansial terkait 2 (dua) permasalahan di atas.Dengan demikian, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi kebijakan yaitu berupa konsep ideal tentang pelaksanaan alih teknologi kekayaan intelektual melalui Lisensi yang memenuhi kepastian hukum di Balitbang Kementerian PUPR. Kata Kunci : evaluasi yuridis, PP PNBP, Permen Paten, Lisensi, kepastian hukum
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
126
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN Kebijakan Kementerian PUPR, dalam rangka pengaturan alih teknologi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih teknologi Kekayaan Intelektual Serta Hasil Penelitian dan Pengembangan Oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Selanjutnya disebut PP Alih Teknologi), serta melaksanakan amanah Pasal 3 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Pekerjaan Umum, yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan paten diatur dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, adalah dengan terbitnya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 49/PRT/M/2015 Tentang Cara Penggunaan Paten Bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (selanjutnya disebut Permen Tata Cara Penggunaan Paten) serta telah disusunnya Petunjuk Pelaksanaan No. DSM/BALITBANG/PP/26.Rev.01 tentang Layanan Hukum dan Pembinaan Hak Kekayaan Intelektual. Menurut PP Alih Teknologi, alih teknologi adalah pengalihan kemampuan dengan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang, baik yang berada di lingkugan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri atau sebaliknya. Didasari UU Sisnas P3 IPTEK dan PP alih Teknologi serta terbitnya PP PNBP Kementerian PUPR dan Permen PUPR tentang Tata Cara Penggunaan Paten, serta Petunjuk Pelaksanaan Hak Kekayaan Intelektual Kementerian PUPR maka diharapkan agar alih teknologi KI di Balitbang Kementerian PUPR dapat terselenggara dengan baik, namun kenyataanya pelaksanaan tersebut belum optimal bahkan belum dapat dilaksanakan sama sekali. Alih teknologi terdapat 2 (dua) bentuk menurut PP Alih Teknologi yaitu alih teknologi komersial dan non komersial. Dalam penelitian ini fokusnya adalah alih teknologi KI secara komersial salah satunya melalui mekanime Lisensi, pengertian Lisensi yang terbaru ada dalam Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten bahwa Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Paten, baik yang bersifat eksklusif maupun non-eksklusif, kepada penerima Lisensi berdasarkan perjanjian tertulis (Kontrak) untuk menggunakan Paten yang masih dilindungi dalam jangka waktu dan syarat tertentu baik itu dalam hal Paten Produk dan Paten Proses. Dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan syarat tertentu. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
127
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu, serta dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang Hak Desain Industri kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Desain Industri yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.
METODOLOGI Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau legal research_yang dibantu dengan data empirik yang digunakan untuk memperkuat penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan untuk menemukan kebenaran koherensi. Penelitian ini akan menyusun konsep hukum dan dikaitkan dengan asas kepastian hukum yang menyangkut permasalahan penyelenggaraan alih teknologi KI melalui mekanisme Lisensi di Balitbang Kementerian PUPR agar dapat terlaksana lebih optimal. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual dan pendekatan perundangundangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Lembaga Penelitian dan Pengembangan pemerintah adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan yang menjadi bagian dari organisasi pemerintah, salah satunya yaitu Balitbang Kementerian PUPR. Balitbang Kementerian PUPR wajib mengusahakan penyebaran informasi hasil-hasil KI yang dimiliki selama tidak mengurangi kepentingan perlindungan KI. Agar investasi bagi kegiatan penelitian dan pengembangan dapat bernilai guna, Balitbang Kementerian PUPR sebagai unsur kelembagaan yang melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan bertanggung jawab untuk menyebarluaskan informasi kekayaan intelektual yang dimiliki kepada pihak-pihak lain, yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan dan dikembangkan lebih lanjut. Namun, pelaksanaannya harus memperhatikan aspek perlindungan KI. Penyelenggaraan alih teknologi KI melalui mekanisme Lisensi di Balitbang Kementerian PUPR, hingga saat ini belum dilaksanakan secara optimal bahkan ada yang belum dapat dilaksanakan sama sekali, maka berikut ini akan dibahas dan dianalisis tentang alih teknologi KI melalui mekanisme Lisensi di Balitbang Kementerian PUPR dari 2 fokus permasalahan penelitian ini yaitu:
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
128
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
A. Cakupan Jenis KI Secara garis besar KI dibagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu yang terdiri dari : Hak Cipta (copy right); dan Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights), yang mencakup : Paten, Desain Industri, Merk, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, Perlindungan Varietas Tanaman. KI yang berasal dari penelitian dan pengembangan di pusat - pusat litbang di Balitbang Kementerian PUPR seperti dalam daftar berikut ini : Tabel 1. Daftar KI di Balitbang Kementerian PUPR Per Tahun 2016 dari Bidang-Bidang Sumber Daya Kelitabangan Pusat-Pusat Litbang Balitbang Kementerian PUPR
Dari daftar di atas, terlihat bahwa sejumlah invensi yang sedang dalam proses untuk mendapatkan perlindungan hukum ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM lebih banyak jumlahnya dalam jenis Paten, namun ada juga dalam bentuk Merk, Desain Industri, serta Hak Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
129
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Cipta yang masih tetap terkait dengan bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat. Poin ini akan dibahas dari 2 (dua) pengaturan KI di Balitbang Kementerian PUPR sebagai berikut : Dalam PP PNBP Kementerian PUPR ini diatur jenis PNBP di Kementerian PUPR, salah satunya adalah penerimaan dari jasa penelitian dan pengembangan dan royalti atas Lisensi Hak Paten dari hasil penelitian dan pengembangan, royalti tersebut dihitung berdasarkan presentase atas nilai nominal yang tercantum dalam kontrak pekerjaan yang menggunakan paten tersebut. Presentase sebagaimana dimaksud ditetapkan di dalam PP PNBP Kementerian PUPR ini. Dalam PP ini yang diatur sebagai salah satu penerimaan negara bukan pajak di Kementerian PUPR hanya berupa royalti dari salah satu jenis KI yaitu Paten saja, sehingga amanat dalam PP PNBP Kementerian PUPR ini dilaksanakan dengan membentuk Permen Tata Cara Penggunaan Paten, yang mengatur tentang Paten saja pula. Apabila dianalisis melalui pendekatan perundang-undangan melalui asas-asas pembentukan perundang-undangan dan asas yang mencerminkan materi muatan peraturan perundang-undangan, yang terdiri atas :Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan dan Asas kejelasan rumusan_ artinya bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini PP PNBP Kementerian PUPR dan Permen Paten harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan serta harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Dimulai dari asas lex superior derogat legi inferiori, maka muatan cakupan jenis KI yang diatur dalam PP PNBP Kementerian PUPR seharusnya tidak hanya mengatur tentang royalti atas Paten saja, namun juga mengatur hak ekonomi jenis KI yang lain yang juga dapat mendatangkan pendapatan negara bukan pajak bagi Balitbang Kementerian PUPR, seperti yang diatur dalam peraturan yang lebih tinggi yaitu oleh UU Sisnas P3 IPTEK Pasal 23 Ayat (1) yang menyatakan bahwa Negara dalam hal ini melalui Pemerintah menjamin perlindungan HKI yang dimiliki oleh lembaga, salah satunya lembaga litbang pemerintah khususnya Balitbang Kementerian PUPR. Kemudian untuk memenuhi asas lex specialis derogat legi generali antara PP PNBP Kementerian PUPR yang mengatur secara umum tentang PNBP Kementerian PUPR salah satunya berupa royalti Paten dengan PP Alih Teknologi yang secara khusus mengatur tentang segala jenis KI dari hasil penelitian dan pengembangan, dalam PP Alih Teknologi dijelaskan bahwa KI adalah kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia melalui daya cipta, rasa dan karsanya yang dapat berupa karya di bidang teknologi, ilmu Pengetahuan, seni dan sastra, yang telah terdaftar pada pemerintah, dalam hal ini Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
130
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Ditjend Kekayaan Intelektual Kemkumham, yang meliputi Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak sirkuit Terpadu, dan Varietas Tanaman yang merupakan hasil kegiatan penelitian dan pengembangan, jadi dalam hal ini seharusnya di dalam PP PNBP Kementerian PUPR tidak hanya mengatur PNBP yang berasal dari royalti Paten saja tetapi juga hak ekonomi yang bisa dihasilkan dari KI jenis lain yang tetap masih terkait dengan bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat yaitu hak ekonomi Merek, Desain Industri dan Hak Cipta, maka PP PNBP Kementerian PU berdasarkan asas ini harus dilakukan perubahan materi tentang cakupan jenis hak ekonomi KI, sehingga perubahan tersebut akan terlihat penambahan pada Pasal 1 Ayat (3) tentang hak ekonomi Merek, Desain Industri, dan Hak Cipta dari hasil penelitian dan pengembangan juga akan berpengaruh pada Pasal 3 tentang penentuan tarif PNBP hak ekonomi yang didapat dari KI dengan jenis Merek, Desain Industri dan Hak Cipta. Permen Paten Kementerian PUPR, disusun berdasarkan amanat Pasal 3 Ayat (3) PP PNBP Kementerian PUPR, digunakan untuk acuan penggunaan Paten bagi Inventor, Pemegang Paten, Pengelola Paten, dan Mitra Pengguna Paten (selanjutnya disingkat MPP) di Kementerian PUPR yang bertujuan agar pendayagunaan Paten dapat berkepastian hukum di Kementerian PUPR. di dalam Permen Paten ini yang dibahas tentang tata cara penggunaan Paten, Imbalan Royalti; Penerimaan dan penggunaaan atas royalti Paten serta pelaporan, pengawasan dan pengendalian. Dianalisis melalui asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan bahwa memang Permen Paten sesuai dengan amanat aturan yang hierarkinya berada di atasnya yaitu PP PNBP Kementerian PUPR, namun bila dianaisis melalui Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan serta Asas dapat dilaksanakan,_ adalah bahwa setiap peraturan perundangundangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Maka, terdapat urgensi kebutuhan terhadap perubahan PP PNBP Kementerian PUPR dalam hal memperluas cakupan jenis KI yang diatur menjadi tidak hanya Paten saja tetapi juga harus mengakomodir tentang materi jenis KI yang lainnya yang tetap terkait dengan bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat yaitu Merek, Desain Industri dan Hak Cipta, dapat saja dituangkan dalam satu peraturan menteri namun dapat pula diatur dalam peraturan menteri masingmasing sesuai jenis KI nya, sehingga peraturan tersebut memang bermanfaat, dapat dilaksanakan dan berlaku efektif.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
131
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
132
Pusat Inovasi - LIPI
B.
Perjanjian/Kontrak Lisensi Di Balitbang Kementerian PUPR Pengaturan tentang perjanjian kerja sama penggunaan KI di Kementerian PUPR terdapat di dalam
Permen Tata Cara Penggunaan Paten yang merupakan amanat PP PNBP Kementerian PUPR, yang seharusnya tidak hanya mengatur tentang tata cara penggunaan Paten tetapi juga tata cara penggunaan KI jenis lain seperti Merek, Desain Industri dan Hak Cipta, namun dalam hal ini akan dianalisis materi dan substansi secara yuridis atas permen ini terkait dengan perjanjian kerja sama penggunaan Paten atau KI yang lain melalui mekanisme Lisensi, agar pada saat nanti menyusun tentang tata cara penggunaan KI jenis lain dapat lebih disempurnakan secara materi dan substansi yuridisnya. Dengan menggunakan salah satu Asas Umum dalam Asas Umum Pemerintahan yang Baik (selanjutnya disingkat AUPB) yaitu asas kepastian hukum_, yang artinya adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan
perundang-undangan,
kepatutan,
keajegan,
dan
keadilan
dalam
setiap
kebijakan
penyelenggaraan pemerintahan. Asas ini digunakan untuk menganalisis apakah perjanjian kerja sama alih teknologi KI melalui mekanisme Lisensi di Balitbang Kementerian PUPR telah memenuhi asas kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintah yang baik melalui 2 peraturan yaitu PP PNBP Kementerian PUPR dan Permen Tata Cara Penggunaan Paten. Pada Kenyataannyapelaksanaan perjanjian Lisensi ini di BalitbangKementerian PUPR belum dapat berjalan secara optimal bahkan belum dapat dilaksanakan sama sekali hingga saat penelitian ini disusun, dikarenakan beberapa materi dan substansi dalam PP PNBP Kementerian PUPR dan Permen Tata Cara Penggunaan Paten tidak memberikan jaminan kepastian hukum dalam pelaksanaan perjanjian kerja sama tersebut, maka berdasarkan Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan perlu dilakukan evaluasi yuridis terkait cakupan jenis KI seperti yang telah dibahas pada poin A di atas, sedangkan dalam evaluasi yuridis terkait perjanjian Lisensi Paten dalam Permen Tata Cara Penggunaan Paten yang dapat digunakan nantinya pada saat penyusunan materi KI yang lain, adalah tentang materi berikut ini: Subyek Hukum atau Para Pihak dalam Perjanjian Kerjasama Alih Teknologi Paten/ KI lainnya tidak jelas kedudukan hukum para pihak dan pihak ketiga, karena perjanjian kerja sama ini adalah antara pihak Balitbang Kementerian PUPR dengan pihak MPP, penandatanganan perjanjian dilakukan oleh Kepala Unit Kerja Eselon II dengan MPP, secara hukum administrasi negara, Kepala Unit Kerja Eselon II (kepala Puslitabang) merupakan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut karena mewakili negara dalam hal ini pemerintah sebagai pemilik atau Pemegang Paten karena Paten dihasilkan dari penelitian dan pengembangan yang dibiayai oleh negara, kemudian bagaimana dengan Inventor dan Pengelola Paten? Inventor dalam hal ini bukan merupakan pihak dalam perjanjian, tetapi hanya pihak Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
ketiga yang terkait dengan perjanjian, dalam Ruang Lingkup pemberian pelatihan dan asistensi kepada MPP wajib diberikan oleh Pemegang Paten kepada MPP, namun pada saat praktiknya Inventorlah yang memberikan instruksi dan informasi kepada MPP, seharusnya dijelaskan terlebih dahulu di dalam permen ini secara detail apa saja yang menjadi tugas Pemegang Paten dan Inventor atas MPP, walaupun secara struktural dalam organisasi Aparatur Sipil Negara dalam hal ini PNS, Pemegang Paten merupakan atasan dari Inventor. Inventor juga berhak melakukan penilaian terhadap kredibilitas MPP, penilaian ini dilakukan bersama dengan Pemegang Paten, namun tidak dijelaskan secara detail apa saja kewenangan dan peran Inventor serta Pemegang Paten dalam melakukan penilaian tersebut. Dalam Undang Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten (selanjutnya disebut UU Paten), menyatakan bahwa pihak yang berhak atas Paten adalah Inventor atau Pemegang Paten, tidak disebutkan pihak Pengelola Paten, namun dalam PP alih Teknologi disebutkan bahwa setiap lembaga litbang pemerintah dalam melaksanakan alih teknologi wajib membentuk unit kerja yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengelolaan dan alih teknologi KI, yang pembentukan, susunan organisasi, rincian tugas, tata kerja ditetapkan oleh Kepala Lembaga Kementerian yang bersangkutan, pada Balitbang Kementerian PUPR, pihak Pengelola Paten yang berada pada Unit Kerja Eselon III yaitu Bagian Administrasi Standarisasi Hukum dan Kerjasama, Sekretariat Badan Litbang yang menjadi unit kerja pengelola KI, namun di dalam UU Paten, UU Desain Industri, UU Merek dan UU Hak Cipta, Pengelola KI ini tidak disebutkan sebagai pihak yang berhak atas KI, namun di dalam Permen Tata Cara Penggunaan Paten disebutkan salah satu hak Pengelola Paten adalah mendapatkan sebagian royalti tanpa merincikan lebih lanjut tentang tugas pengelolaan KI seperti apa, misalnya : Penyiapan perlindungan KI hasil penelitian dan pengembangan yang saat ini masih dilakukan langsung oleh pusat-pusat litbang; pelaksanaan promosi, dan komersialisasi hasil penelitian dan pengembangan yang bernilai kekayaan intelektual; penyiapan dan pelaksanaan Lisensi KI yang juga masih dilakukan oleh pusat-pusat litbang, Pengelola KI saat ini sifatnya hanya menggabungkan kegiatan saja dari tiap-tiap pusat-pusat litbang, sehingga seharusnya di dalam Permen PUPR tersebut diatur secara tegas siapakah secara kedudukan hukum Pengelola Paten tersebut yang menurut penulis tidaklah berhak atas royalti apabila belum dijelaskan terlebih dahulu kedudukan hukumnya memang merupakan bagian dari subyek hukum Pemegang Paten yang berada di setiap Pusat Litbang, namun Pengelola PAten berhak untuk mendapatkan laporan mengenai perjanjian lisensi serta berkewenangan mengawasi Inventor dan Pemegang Paten. Kewajiban Pengelola Paten yang masih harus dipertanyakan adalah kewajiban untuk memelihara Paten, pemeliharaan Paten atau yang wajib membayar biaya tahunan berdasarkan UU Paten adalah Pemegang Paten atau yang menerima Lisensi bukan Pengelola Paten. Pengelola Paten juga bukan merupakan pihak di dalam Perjanjian/Kontrak Lisensi, namun memiliki kewajiban memberikan Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
133
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
peringatan secara tertulis bukan hanya kepada Pemegang Paten yang secara struktur organisasi berada setingkat di atasnya, tetapi juga kepada MPP. Definisi dan istilah Perjanjian Kerja Sama Penggunaan Paten (selanjutnya disebut PKSPP), definisi PKSPP adalah perjanjian pemberian hak oleh Pemegang Paten kepada mitra pengguna paten untuk menikmati manfaat ekonomi Paten dalam jangka waktu dan syarat tertentu. definisi ini sebenarnya sama persis dengan definisi alih teknologi dengan mekanisme Lisensi yang dituangkan dalam perjanjian tertulis/kontrak, seharusnya istilah yang digunakan adalah Perjanjian/ Kontrak Lisensi, karena apabila digunakan istilah PKSPP, maka akan terlihat tidak singkronnya definisi dalam Permen Tata Cara Penggunaan Paten ini dengan pengertian seperti dalam Pasal 20 PP Alih Teknologi dan penjelasannya yang menjelaskan bahwa “Lisensi” dan “Kerja sama” merupakan 2 definisi mekanisme alih teknologi KI yang berbeda, alih teknologi KI dengan mekanisme kerja sama adalah cara mengalihkan teknologi KI berdasarkan kesepakatan 2 atau lebih pihak untuk secara bersama-sama meningkatkan penggunaan, pemanfaatan, dan/atau pengembangan KI untuk jangka waktu tertentu. Dari definisi ini tidak disebutkan seperti definisi Lisensi bahwa terdapat kesepakatan dalam bentuk perjanjian/kontrak tertulis yang isinya memberikan izin atau persetujuan agar pihak lain dapat menggunakan KI agar mendapatkan manfaat ekonomi dari KI tersebut dan si Pemegang KI mendapatkan hak ekonominya berupa imbalan royalti. sehingga definisi dan istilah tersebut dalam Permen Tata Cara Penggunaan Paten harus dirubah dan disesuaikan.
KESIMPULAN Dari pembahasan di atas, maka disimpulkan bahwa pelaksanaan alih teknologi KI secara komersial yaitu melalui mekanisme Perjanjian/Kontrak Lisensi belum dapat berjalan secara optimal bagi KI dengan jenis Paten, dikarenakan muatan materi di dalam PP PNBP Kementerian PUPR dan Permen Tata Cara Penggunaan Paten masih banyak yang tidak singkron dan harmonis secara hukum yaitu terdiri dari subyek hukum, kedudukan hukum yang meliputi kewenangan, kewajiban dan hak serta tugas pokok dan fungsi kelembagaan sehingga kurang memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaannya. Sedangkan bagi KI lain yang masih terkait dengan bidang PUPR yaitu Desain Industri, Merek, dan Hak Cipta, mekanisme alih teknologi dengan Lisensi belum sama sekali dapat dilaksanakan dikarenakan tidak adanya produk hukum yang mengaturnya di Balitbang Kementerian PUPR, sehingga tidak memiliki landasan hukum atau legalitas untuk dilaksanakan. Agar pelaksanaan alih teknologi KI melalui mekanisme Lisensi dapat segera dilaksanakan adalah dengan melakukan perubahan terhadap PP PNBP Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
134
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Kementerian PUPR terkait cakupan jenis PNBP hak ekonomi KI dalam bentuk imbalan royalti selain Paten, yaitu Merek, Desain Industri dan Hak Cipta, serta penentuan tarifnya; dan Permen Tata Cara Penggunaan Paten terkait cakupan jenis KI selain Paten, serta memperbaiki materi tentang subyek hukum, kedudukan hukum yang meliputi kewenangan, kewajiban dan hak serta tugas pokok dan fungsi kelembagaan.
REKOMENDASI Dari permasalahan dan pembahasan penelitian ini, maka Peneliti merekomendasikan agar Balitbang Kementerian PUPR mengusulkan perubahan PP PNBP Kementerian PUPR dan Permen Tata Cara Penggunaan Paten sesuai pembahasan di atas, yang akan berakibat hukum pada perubahan Petunjuk Pelaksanaan tentang KI dengan mempersiapkan semacam naskah atau draft yang disusun berdasarkan diskusi dan analisis yuridis yang mendalam agar sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundangundangan, yaitu memiliki tujuan yang jelas yang hendak dicapai yaitu agar dapat dilaksanakannya alih teknologi KI salah satunya melalui mekanisme Lisensi yang berkepastian hukum, sehingga penyusunannya harus memperhatikn materi dan hierarki serta rumusan sistematika, pilihan kata atau istilah juga bahasa hukum yang mudah dimengerti dan tidak multitafsir.
DAFTAR PUSTAKA Data Kekayaan Intelektual Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman Balitbang Kementerian PUPR, 2005, Dokumen Pengajuan Paten RISHA ; Tim Proyek Pusat Perencanaan Hukum dan Kodifikasinya, 1982 Segi-Segi Hukum Pelimpahan Teknologi, Jakarta, BPHN. Yuliantini, YP Lestyana; YP Dewanti, 2014, Larangan Pembatasan Kontrak dalam Alih Teknologi, Jurnal Hukum UNS, Privat Law 1. Poerbahawatja, Harahap, 1982, Ensiklopedia Pendidikan, Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana Prenada Media Group, Cetakan ke-6, Jakarta. Gunawan, Johanes. 2013. Wawancara dan Diktat Kuliah Metode Penulisan dan Penemuan Hukum, Pascasarjana Ilmu Hukum, Prodi Hukum Konstruksi Universitas Katolik Parahyangan, tentang Metode Penulisan dan Penemuan Hukum, Bandung. Pratiwi, Cekli Setya, dkk., 2016. Penjelasan Hukum Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), Hukum Administrasi Negara, Kamar Pembinaan MA RI, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Mahkamah Agung (Puslitbang MA), “Penjelasan
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
135
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Hukum” atau “Restatement” Jakarta. Undang -Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Sistem nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten Undang -Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih teknologi Kekayaan Intelektual Serta Hasil Penelitian dan Pengembangan Oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Pekerjaan Umum Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 49/PRT/M/2015 Tentang Cara Penggunaan Paten Bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Peraturan Menteri PUPR No 29/PRT/M/2016 tentang Pembentukan Kesepakatan Bersama dan Perjanjian Kerja Sama di Kementerian PUPR Petunjuk Pelaksanaan No. DSM/BALITBANG/PP/26.Rev.01 tentang Layanan Hukum dan Pembinaan Hak Kekayaan Intelektual
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
136
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PEB 03
MODEL AGRO-EDUWISATA HORTIKULTURA ORGANIK TECHNO PARK BANYUMULEK NTB Wahyu Widiyono1), Roni Ridwan2) dan Bambang Sunarko1,2) 1)
Pusat Penelitian Biologi-LIPI Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI
2)
Abstrak. Untuk menjembatani kesenjangan antara perkembangan jumlah teknologi inovasi hasil litbang dan pemanfaatannya oleh masyarakat, sedang dikembangkan Techno Park, di Banyumulek, Provinsi Nusa Tenggara Barat (tahun 2015-2017). Agro-Eduwisata hortikultura organik merupakan salah satu bagian dari klaster Pengolahan hasil samping peternakan untuk hortikultura organik dan biogas, di dalam Techno Park tersebut. Agro-Eduwisata yang dikembangkan adalah hortikultura organik dataran rendah beriklim kering, mengingat agro-ekosistem Banyumulek, Kabupaten Lombok Barat merupakan kawasan dataran rendah (dengan ketinggian <100 m dpl.), yang mewakili daerah kering. Kegiatan ini melengkapi Agro-Wisata Pulau Lombok NTB, yang berlokasi di daerah dataran tinggi Sembalun, kawasan sekitar Gunung Rinjani, Lombok Timur. Pada tahun pertama, telah dilakukan berbagai kegiatan model pengembangan sayuran organik, sedangkan pada tahun kedua dan selanjutnya, kegiatan difokuskan pada Agro-Eduwisata sayuran organik. Kegiatan ini akan menyajikan wisata-pendidikan-agro atau pelatihan (sekolah lapang) sembari berwisata, yang sekaligus menghasilkan berbagai produk, meliputi: produksi kompos dan pupuk cair dengan Starter Mikroba Fungsional produk LIPI, budidaya secara hemat air (budidaya tanam dalam polibag, penggunaan mulsa jerami dan mulsa plastik, irigasi tetes, dan bedeng tanam beralas media plastik), penyemaian dan produksi sayuran daun dan sayuran buah, pestisida nabati, panen dan paska panen, sertifikasi produk organik, pelatihan dan pembinaan petani plasma. Jenis tanaman yang dikembangkan adalah cabai, terong, tomat, kacang panjang, sawi, seledri dan kangkung lokal. Sasaran kegiatan adalah masyarakat umum, meliputi pelajar dan mahasiswa, kelompok tani dan peminat hortikultura lainnya. Kegiatan ini dilaksanakan oleh LIPI bersama dengan mitra terkait, yaitu Pemerintah Daerah NTB, Perguruan Tinggi, Swasta dan Kelompok Tani.
Kata Kunci: agro-eduwisata, hortikultura, dataran rendah, techno park, Banyumulek.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
137
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN 1. Kesenjangan alih teknologi Teknologi budidaya peternakan dan pertanian telah dikuasai oleh lembaga litbang, namun diseminasi inovasi teknologi masih menjadi kendala di Indonesia (Syahyuti et al., 2014; Appe, 2015; Subiyanto, 2015). Menurut Soenarso (2011), persoalan utama yang dihadapi saat ini adalah rendahnya hasil riset dan teknologi yang diadopsi oleh pengguna teknologi. Menurut Biro Riset Ekonomi Bank Indonesia 2010 dalam Herdikiagung et al. (2012), hasil survei terhadap 29.469 industri besar dan menengah, diketahui hanya 2 % yang melakukan inovasi secara intensif, 20 % memiliki tingkat inovasi sedang dan 78 % tingkat inovasinya rendah.
2. Konsep Pengembangan Techno Park Konsep Techno Park di Dunia Berbagai studi menunjukkan, inovasi adalah faktor pertumbuhan ekonomi yang sangat penting. Bahkan lebih dari 50% pertumbuhan ekonomi negara-negara maju berakar pada kemampuan inovasi. Sebagai bentuk pengembangan pusat inovasi dan implementasi, Techno Park mulai muncul di Amerika Serikat pada awal 1950-an, ketika sebuah research park didirikan di Stanford University, California. Perusahaan penyewa memiliki hubungan bisnis yang erat dengan universitas (Bappenas RI, 2015).
Konsep Techno Park di Indonesia Menurut Soenarso (2013), posisi indeks inovasi Indonesia dalam peringkat WEF tahun 2011 berada pada posisi ke 36. Menurut Permen Ristek Dikti (2015), (1) Pembangunan Taman Sains dan Teknologi Nasional (N-STP) akan dilaksanakan melalui: (a) revitalisasi kawasan Puspiptek-Serpong; (b) revitalisasi Inkubator Teknologi-BPPT di Puspiptek; (c) revitalisasi Cibinong Science Centre–LIPI serta pembangunan pusat inovasi yang ada di dalamnya; (d) pembangunan Pusat Inovasi Teknologi Maritim di Penajam–Kalimantan Timur; serta N-STP di lingkungan universitas; dan (2) Pembangunan Taman Sains di Provinsi akan dilaksanakan oleh (a) Kemenristekdikti bagi taman sains yang berafiliasi ke universitas; dan (b) Kementerian/Lembaga bagi taman sains yang sesuai dengan kompetensi yang sudah terbangun. Menurut Bappenas (2014), sasaran Pembangunan Tachnopark adalah terbangunnya 100 Techno Park di daerah-daerah kabupaten/kota, dan Science Park di setiap provinsi.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
138
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Techno Park Agro-eduwisata Banyumulek-LIPI Sejak tahun 2015, LIPI mengembangkan Techno Park di Banyumulek, sejalan dengan program pengembangan Agro-eduwisata (Master Plan Kawasan Agro-edu-wisata Banyumulek, 2015-2019, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Prov. NTB, 2015). Program Techno Park-LIPI di Banyumulek, NTB meliputi enam (6) klaster, yaitu: pengolahan pakan, pengolahan limbah, pembibitan sapi Bali dan penggemukan sapi potong, pertanian organiki, pengolahan paska panen, dan sosial ekonomi masyarakat yang dikemas dalam managemen bisnis dan pelayanan kepada masyarakat (Ridwan et al., 2015). Kegiatan alih teknologi pengembangan peternakan, telah sering dilakukan oleh berbagai instansi, namun hasilnya masih kurang optimal. Beberapa aspek sosial dan budaya menjadi penyebab terjadinya gab tersebut. (Nadjib et al., 2015). Dari hasil kajian ekonomi, diketahui bahwa efisiensi rantai pemasaran merupakan kata kunci dalam optimalisasi peran Techno Park (Suyanto et al., 2015).
Agro-eduwisata hortikultura organik Pengertian agro-eduwisata hortikultura organik dalam kegiatan ini adalah wisata pendidikan dan agro-bisnis hortikutura yang dibudidayakan secara organik. Populasi sapi di NTB, tahun 2013 telah mencapai 1.002.731 ekor (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Prov. NTB, 2013). Potensi limbah yang dihasilkan oleh seekor ternak sapi setiap harinya berkisar antara 10–30 kg kotoran padat (feces) (Susanty, 2009). Dari potensi tersebut, dapat diolah menjadi kompos (pupuk kandang siap pakai), dengan rendemen sekitar 58% dari berat awalnya (Risal dan Baba, 2016). Pengembangan teknologi biogas di Kediri Jawa Timur, tahun 2008, memanfaatkan limbah ternak 14 ekor sapi, mampu menghasilkan biogas sebanyak 4,42 m3 (Wardahni & Marsono, 2016). Produksi kompos dan pupuk cair sangat diperlukan untuk pengembangan pertanian organik, mengingat degradasi lahan di Indonesia sudah sangat serius (Simanungkalit et al., 2006). Berdasarkan hasil analisis kesuburan tanah di kebun sayuran organik Banyumulek tergolong rendah, yakni: tekstur tanah lempung berpasir, pH netral, dengan C/N rasio 1,53/0,16, KTK rendah, kadar air tanah rendah dan permebilitas tanah agak cepat (Widiyono et al., 2015). Air sering kali menjadi kendala pengembangan pertanian di Banyumulek, NTB. Meskipun menurut data BMKG, curah hujan tahunan di wilayah ini, berdasarkan rata-rata selama 10 tahun terakhir relatif tinggi, yakni 1845 mm/tahun (Widiyono et al., 2015). Kegiatan pengembangan sayuran organik di Banyumulek NTB, sejak 2015, digunakan prinsip-prinsip pertanian organik (Untung, 1996; Sastrosiswoyo, 1995; Vos, 1994; Reijntjcs, 1999; Santika, 1995; Widiyono, 1998). Pada tahun 2016, merupakan kegiatan lanjutan dan pengolahan limbah peternakan untuk pupuk kompos dan biogas sebagai Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
139
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
persiapan kegiatan agro-eduwisata. Pada tahun 2017, kegiatan akan ditekankan pada agro-eduwisata dan diseminasi inovasi teknologi. Konsep Ekowisata di NTB Program agro-eduwisata di Banyumulek, sejalan dengan program eko-wisata Pemda NTB. Pemda NTB mencanangkan visi pariwisata, yakni Pulau Lombok sebagai destinasi wisata berbasis alam dan budaya, yang berdaya saing dan berkelanjutan.” Banyumulek, Kabupaten Lombok Barat direncanakan sebagai lokasi wisata budaya (kerajian gerabah) di Pulau Lombok. Sedangkan lokasi wisata agro adalah di Sembalun, Kabupaten Lombok Timur (Saufi et al., 2015). Namun, posisi strategis Banyumulek sangat mendukung untuk pengembangan agro-eduwisata.
3. Tujuan, sasaran dan penerima manfaat kegiatan Tujuan kegiatan adalah (a) budidaya pertanian organik, ramah lingkungan dan hemat air; (b) sekolah lapang, pelatihan dan agro-wisata pertanian organik; dan (c) kemitraan agro-bisnis dengan pola inti-plasma. Sasaran kegiatan adalah (a) Membangun sistem dan pengelolaan lingkungan pertanian dan peternakan yang sehat dan berkelanjutan; (b) Meningkatkan kualitas SDM; dan (c) Meningkatkan kemampuan. Penerima manfaat kegiatan adalah (a) Kelompok tani; (b) Pelajar dan masyarakat umum; (c) Mahasiswa; (d) Dosen dan peneliti yaitu sebagai sarana kerjasama penelitian; (e) Pemerintah Daerah NTB yaitusebagai aset pengembangan budidaya pertanian dan peternakan secara berkelanjutan.
METODE PENDEKATAN Agro-eduwisata hortikutura organik merupakan bagian dari program pengolahan limbah peternakan untuk hortikultura organik dan biogas, Techo Park Banyumulek-LIPI (Gambar 1). Pengembangan peternakan di Banyumulek, menghasilkan limbah padat, cair dan sisa-sisa pakan. Limbah tersebut diolah menjadi kompos dengan perlakuan starter mikroba fungsional dalam kemasan padat dan cair (Gambar 1, No. 1). Sebagian limbah ternak juga digunakan untuk memproduksi biogas. Limbah pembuatan biogas berupa bubur kotoran padat (slurry) juga digunakan sebagai pupuk kandang dan urinenya untuk pupuk cair (Gambar 1, No. 2). Pupuk kandang, kompos dan urine dimanfaatkan untuk budidaya hortikultura organik (Gambar 1, No. 3).
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
140
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
DIAGRAM ALIR PENGOLAHAN LIMBAH TERNAK UNTUK HORTIKULTURA ORGANIK, KOMPOS DAN BIOGAS TECHNOPARK BANYUMULEK LIPI 2015 - 2017 LIMBAH PADAT
TERNAK
KOMPOS
HORTI ORGANIK PAKAN TERNAK
BIOGAS POH CAIR
Wahyu Widiyono, 2016
Gambar 1. Diagram alir pengolahan limbah ternak untuk hortikultura organik dan biogas di Banyumulek NTB
HASIL KEGIATAN 1. Konsep agro-eduwisata hortikultura organik Agro-eduwisata hortikultura organik Banyumulek-LIPI menawarkan pelatihan teknologi budidaya (perbenihan, penyemaian, produksi dan aplikasi pupuk organik dan hayati, aplikasi pestisida nabati), penanganan panen, paska panen dan pemasaran, penyediaan bibit sayuran, produksi kompos dan lain-lain yang terkait. Peserta pelatihan dapat berasal dari pelajar, mahasiswa maupun masyarakat umum. Selain itu juga membina kerjasama dengan UMKM. Alur pengunjung ke lokasi agro-eduwisata hortikultura organik diawali dari ruang sekolah lapang, ruang pengolahan kompos, saung penyemaian sayuran daun, saung penyemaian sayuran buah, lahan budidaya, saung irigasi tetes, saung irigasi tetes dan fogging dan tanaman koleksi biopestisida (Gambar 2).
Biopestisida
Rencana Saung penyemaian sayuran buah
Oyong Saung penyemaian sayuran daun
Irigasi Tetes (Timun)
Kangkung
Irigasi tetes (Seledri dan sawi)
Terong
Cabai
Tomat
R. Kompos dan POH
R. Sekolah Lapang
LAYOUT ROUTE AGRO-EDUWISATA SAYURAN ORGANIK TP BANYUMULEK-LIPI, 2016 Wahyu Widiyono, 2016
Gambar 2. Diagram alir kunjungan agro-eduwisata hortikultura organik Banyumulek-LIPI
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
141
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
2. Hortikultura organik sayuran dataran rendah Agro-eduwisata Hortikultura Organik yang sedang dikembangkan di Banyumulek-NTB adalah sayuran dataran rendah. Hal ini mengingat, wilayah Banyumulek, merupakan dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 100 m di atas permukaan laut. Dalam hubungannya dengan ketinggian tempat tersebut, dikenal sayuran dataran rendah, seperti kangkung, terong, mentimun, bawang merah dan kacang panjang, sedangkan sayuran dataran tinggi, seperti kubis, bawang putih, wortel, kentang dan buncis. Pertumbuhan tanaman akan terganggu, apabila ditanam pada lingkungan yang kurang cocok (Sutarya & Grubben, 1995). Jenis sayuran organik yang dikembangkan, pada tahun 2015-2016 adalah: cabai merah besar, cabai rawit, terong besar panjang, terong bulat, tomat buah, paria, kacang panjang, mentimun, oyong, sawi, kubis, seledri dan kangkung.
3. Produksi sayuran organik Kegiatan pengembangan hortikultura organik di Banyumulek, menggunakan prinsip-prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan (Permentan, No. 64, tahun 2013; SNI, No. 6729, tahu 2013), yakni: (a) Produksi sayuran organik (aspek-aspek agronomi) dikembangkan menggunakan prinsip-prinsip pertanian terintegrasi untuk mempertahankan ekosistem yang sehat; (b) Penangaanan paska panen dan pemasaran, melalui usaha kecil menengah dan mikro; (c) penguatan SDM dilakukan melalui pelatihan; (d) Diseminasi teknologi tepat guna, dilakukan melalui keikutsertaan dalam festival dan pameran hortikultura; dan (e) Pembinaan UMKM dilakukan melalui kelompok tani plasma bersubsidi dan plasma mandiri (Gambar 3). Persiapan kegiatan pengembangan sayuran organik adalah sebagai berikut:
a. Lahan budidaya Jika lahan yang akan digunakan dalam usaha pertanian organik berasal dari lahan yang sebelumnya untuk usaha pertanian non organik (konvensional), maka lahan tersebut harus dikonversikan terlebih dahulu dengan ketentuan untuk tanaman semusim diperlukan waktu konversi (recovery) lahan minimal 2 (dua) tahun. Lahan kebun percobaan hortikultura organik di Banyumulek, merupakan bekas lahan untuk kegiatan peternakan ayam yang dikandangkan. Waktu konversi antara kegiatan sebelumnya dengan kegiatan pengembangan sayuran organik, lebih dari 3 (tiga) tahun. Sehingga telah memenuhi persyaratan untuk pengembangan sayuran organik.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
142
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
b. Benih Untuk pelaksanaan pertanian organik, benih yang digunakan adalah bukan produk rekayasa genetika (genetically modified organism/GMO) dan harus berasal dari produk pertanian organik, jika hal ini tidak terpenuhi maka ada beberapa syarat lain yang mesti dilaksanakan.
Benih yang digunakan
pada kebun percobaan hortikultura Banyumulek adalah benih unggul nasional (cabai, terong gelatik, kacang panjang, sawi, oyong, mentimun), hibrida (cabai merah besar, terong hijau, tomat, sawi, kubis) dan unggul lokal (kangkung dan cabai rawit).
c.
Manajemen Kesuburan Tanah Pada pertanian organik, tanah selain ditanami dengan tujuan produksi yang menguntungkan
secara ekonomi, faktor kesuburan dan aktivitas biologis tanah perlu juga mendapat perhatian. Pemupukan di kebun percobaan hortikultura organik Banyumulek, murni menggunakan pupuk kandang, kompos dan urine ternak yang telah difermentasikan tanpa menggunakan pupuk buatan maupun pestisida. Untuk memotong siklus penyebaran hama dan penyakit, dilakukan rotasi secara teratur. Bekas lahan tanaman suku Solanaceae (cabai, terong dan tomat) dirotasikan dengan tanaman jenis Leguminosae/tanaman kacang-kacangan (kacang panjang dan buncis).
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
143
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
d. Produksi kompos Pada tengah tahun pertama 2016, telah dilakukan pengolahan kompos di sekitar kansdang (in situ) dari bahan 90% pupuk kandang dan 10% sisa-sisa pakan, dan di kebun sayuran organik (ex situ). Total volume bahan kompos sekitar 8 ton dan dihasilkan total produksi kompos sekitar 6 ton. Selanjutnya, kompos dilakukan pengayakan, pengemasan dan pemberian label pada karung/plastik kemasan. Sampel kompos dianalisis untuk persiapan mendapatkan Sertifikasi organik. Alur kegiatan pengolahan limbah untuk produksi kompos, disampaikan pada pada Gambar 1.
ALUR PEMANFAATAN LIMBAH TERNAK UNTUK KOMPOS TP BANYUMULEK - LIPI, 2016
ALUR PEMANFAATAN LIMBAH TERNAK UNTUK BIOGAS TP BANYUMULEK - LIPI, 2016
Wahyu Widiyono, 20
Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan kompos, Tecno Park Banyumulek-LIPI
e.
Aplikasi pestisida nabati Famili tumbuhan yang potensial sebagai bahan insektisida nabati antara lain Meliaceae (contoh:
mahoni, mimba), Annonaceae (contoh: srikaya, sirsak), Asteraceae (kenikir-kenikiran), Piperaceae (sirihsirihan) dan Rutaceae (jeruk-jerukan). Selain bersifat sebagai insektisida, jenis-jenis tumbuhan tersebut juga memiliki sifat sebagai fungisida, virusida, nematisida, bakterisida, mitisida maupun rodentisida (Setiawati et al., 2008). Pada kebun percobaan sayuran hortikultura organik Banyumulek-LIPI, dicoba berbagai ramuan pestisida nabati, dari bahan-bahan lokal, yaitu: ekstrak daun mimba, daun sirsak, batang dan daun brotowali, buah cabai, daun sereh wangi, rimpang lengkuas yang diaplikasikan untuk pengendalian hama dan penyakit tanpa menggunakan pestisida anorganik. Berbagai jenis tanaman
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
144
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
penghasil pestisida nabati tersebut ditanam sebagai tanaman koleksi di kebun hortikultura organik Banyumulek.
f.
Managemen sumber air Untuk efisiensi pemanfaatan air di kebun percobaan Banyumulek telah dilakukan berbagai
metode bertanam, yaitu penanaman sayuran di dalam pot, penggunaan mulsa plastik dan mulsa jerami pada bedeng tanam, penanaman kangkung dalam bedeng beralaskan lembaran plastik, irigasi tetes, irigasi tetes (drip watering) dan irigasi pengabutan (fogging). Untuk evaluasi penggunaan air yang tepat, dilakukan monitoring pemakaian air pada sistem irigasi tetes dan pengabutan.
g.
Sertifikasi produk organik Setiap unit usaha yang telah menerapkan Sistem Pertanian Organik dapat mengajukan sertifikasi
kepada Lembaga Sertifikasi Organik yang telah diakreditasi oleh KAN dengan tahap-tahap pengajuan yang telah ditentukan (Kardinan, 2014). Sebagai persiapan untuk mendapatkan sertifikasi orgaik telah dilakukan analisis buah oyong, dengan parameter: kandungan bakteri Escherichia coli, Salmonella, pestisida jenis organoklorin, dan logam berat jenis timbal (Pb). Selain itu juga telah dilakukan analisis buah oyong, khusus untuk kandungan bakteri E. Colii
h.
Diseminasi teknologi Untuk penyebarluasan informasi budidaya hortikultura organik di Banyumulek, telah dilakukan
partisipasi dalam Festival Nasional Tanaman Hortikultura di Mataram, Lombok pada bulan Oktober 2015. Pameran hortikultura organik juga akan dilakukan pada bulan September 2016, di Komplek BPTP Mataram. Produk yang akan dipamerkan, adalah berbagai produksi sayuran, berbagai jenis tanaman dalam pot dan media di dalam talang air, bibit taaman sayuran, starter mikroba padat dan cair, berbagai macam pestisida nabati, dan kompos. Tujuan keikutsertaan dalam pameran adalah memperkenalkan produk hortikultura organik dan kompos, memperluas jaringan kerjasama dengan calon konsumen, dan mitra kerja di kemudian hari.
i.
UMKM dan petani plasma Sebagai kelanjutan dari kegiatan pengembangan hortikultura organik di Banyumulek, sedang
disiapkan terbentuknya UMKM. UMKM akan berperanan membina kelompok tani plasma bersubsidi (mendapat bantuan sarana produksi dan teknologi dari LIPI) dan plasma mandiri (mendapat bantuan Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
145
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
teknologi dan tanpa mendapatkan bantuan permodalan dari LIPI). Selain itu UMKM berperanan untuk pemasaran produk kompos dan sayuran organik sayuran organik. Saat ini sedang dirintis kerjasama dengan pemilik hotel, rumah makan dan kios buah-buahan di Mataram untuk pemasaran sayuran organik; dan untuk pemasaran kompos dilakukan melalui kerja sama dengan pengusaha tanaman hias (nursery) di Mataram.
KESIMPULAN Sebagai kelanjutan dari pengembagan model hortikultura organik di Banyumulek, tahun 2015, pada tahun 2016 telah dilakukan persiapan menuju pengembangan agro-eduwisata hortikultura organik. Di dalam kebun ini, pengunjung diharapkan dapat berwisata sembari mendapatkan ilmu pengetahuan dan teknologi budidaya hortikultura organik sebagai satu rangkaian dengan pengolahan limbah peternakan secara berkelanjutan. Kegiatan tersebut meliputi sanitasi dan penyiapan sarana pelatihan, produksi hortikultura organik dan produksi kompos serta biogas. Selain itu juga telah dilakukan kerjasama dengan mitra kerja, dan pembinaan petani plasma untuk membentuk UMKM yang diharapkan dapat meneruskan kegiatan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2015. Master Plan Pengembangan Agro-eduwisata dan Techno Park Banyumulek 2015 – 2019. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa Tenggara Barat. 31p. Appe, J. 2015. Peranan sistem in ovasi nasional dalam memperkuat penciptaan daya saing global. Dirjen Penguatan Inovasi Kemenristek Dikti. RI. Sem. Nas. Technopreneurship dan Alih Technologi 2015. Puslit Inovasi LIPI: xv-xxiv. Bappenas, RI. 2014. Pembangunan IPTEK 2015-2019. Paparan Deputi Ekonomi Kemen PP / Bappenas, Jakarta, Desember 2014. Bappenas, RI. 2015. Pedoman perencanaan Science Park dan Techno Park, Tahun 2015-2019. Paparan Kedeputian Ekonomi Bappenas, 17 Februari 2015. Darwadi, A., W. S. Soenarso, H. Jusron & P. Sutanto. 2012. Peningkatan Peran Puspiptek dalam Proses Alih Teknologi. Teknovasi Indonesia.Vol. 1, No. 1: 99-143. Herdikiagung, D., S. Nasution, A. Pambudi & R. Ekasari. 2012. Pemetaan Legislasi Iptek Dalam Kegiatan Perekayasaan, Inovasi, Dan Difusi Teknologi Pada Sistem Inovasi Nasional. Teknovasi Indonesia.Vol. 1, No. 1: 69-98. Kardinan, A. 2014. Prinsip-prinsip dan teknologi pertanian organik. Dalam: Kardinan, A. (Penyunting). Badan Litbangtan: 17-28.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
146
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Lakitan, B., C. M. Firdausy, S. Usman, S. Yuliar, Hasanuddin & V. D. Koswara. 2012. Dimensi Non Teknologi Sistem Inovasi. Teknovasi Indonesia.Vol. 1, No. 1: 1-38. Nadjib, M., E. Lestari & D.A. Darmawan. 2015. Kesiapan peternak dalam menerima alih teknologi pada kawasan Agro-Techno Park Banyumulek: Analisis Sosial-Ekonomi. Sem. Nas. Technopreneurship dan Alih Technologi 2015. Puslit Inovasi LIPI:483-504. Peraturan Menteri Pertanian No. 64/Permentan/OT.140/5/2013 . Tentang Sistem Pertanian Organik. Peraturan Menteri Ristek Dikti. 2015. Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, No. 12, Tahun 2015, tentang Rencana Strategis Kemenristek dan Pendidikan Tinggi, Tahun 2015-2019. Reijntjcs, S. J., D. Andow, M. A. Altieri. 1999. Pertanian Masa Depan, Pengantar untuk Pertanian Berkelanjut an dengan Input Luar Rendah. Kanisius: Yogyakarta. Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius: Yogyakarta. Ridwan, R., S. Said, B. Septiani, A.W. Nasrudin, P. Lisdiyanti, R. Fidriyanto, B. Tappa & B. Sunarko. 2015. Konsep pembangunan Techno Park Banyumulek NTB berbasis pemanfaatan bioresources dan agroeduwisata secara berkelanjutan. Sem. Nas. Technopreneurship dan Alih Technologi 2015. Puslit Inovasi LIPI: 587-599. Risal, M. dan S. Baba. 2016. Strategi pemanfaatan limbah ternak sapi sebagai solusi peningkatan kesejahteraan petani di Kabupaten Maros. Naskah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian YAPIM Maros Laboratorium Penyuluhan dan Sosilogi Peternakan Fak. Peternakan Unhas: 321-328. Santika, A. 1995. Agrobisnis Cabai. Penebar Swadaya. 183p. Sastrosiswojo, S. 1995. Petunjuk Studi Lapangan PHT Sayuran. Balit Penelitian Tanaman Sayuran dan Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu, Deptan. 192p. Saufi, A., F. Teguh, H.Ristanto, P. Basuki, O. Oehms, D. Vitriani, S. Creutz & B.H. Nuzullay. 2015. Rencana Induk Pariwisata Berkelanjutan Pulau Lombok Tahun 2015-2019. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat. GIZ, Kementerian Pariwisata, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. 78p. Setiawati, W., R. Murtiningsih, N. Gunaeni, dan T. Rubiati. 2008. Tumbuhan Bahan Pestisida Nabati dan Cara Pembuatannya untuk Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Puslitbang Hortikultura, Badan Litbangtan, Lembang, Bandung. 203 hal. Simanungkalit, R.D.M., D.D. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini dan W. Hartatiki. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. BB Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbangtan. 313p. Syahyuti, T. Sutater, Istriningsih & S. Wuryaningsih. 2014. Empat puluh (4) Inovasi KelembagaanDiseminasi Teknologi Pertanian. Badan Litbangtan. IAARD Press.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
147
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Soenarso, W.S. 2011. Pengembangan Scence and Technology Park di Indonesia.Asisten Deputi Urusan Jaringan Penyedia dengan Pengguna, Kementerian Riset dan Teknologi Seminar Nasional Kebijakan Iptek dan Inovasi Tanggal 26 Juli 2011. www.opi.lipi.go.id Subiyanto, B. 2015. Strategi pengembangan taman sains dan teknologi serta taman teknologi (Science Techno Park dan Techno Park) LIPI. Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI. Sem. Nas. Technopreneurship dan Alih Technologi 2015. Puslit Inovasi LIPI: xxxi-xlvii. Suprapto, F., S. Sriharjo & A. Febriyanti. 2012. Penyelarasan Arah Pengembangan Lembaga Litbang Publik untuk Penguatan Industri Penghasil Barang Modal Nasional. Teknovasi Indonesia.Vol. 1, No. 1: 39-68. Juni 2012. Susanty, I. 2009. Pengelolaan Biogas Sebagai Mesin Listrik dan Kompor Rumah Tangga. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (BALITBANGDA) Propinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Sutarya, R. & G. Grubben. 1995. Pedoman Bertanam Sayuran Dataran Rendah. H. Sutarno (Penyunting Umum). Gadjah Mada University Press, PROSEA dan Balai Hortikultura, Lembang. 264p. Suyanto, J., J. Sarana & N. Firdaus. 2015. Optimalisasi peran Techno Park Banyumulek dalam peninkatan pemasaran usaha peternakan rakyat. Sem. Nas. Technopreneurship dan Alih Technologi 2015. Puslit Inovasi LIPI: 505-529. Untung, K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. 273p. Vos, J.G.M. 1994. Pengelolaan tanaman terpadu padaCabai (Capsicum spp.) di Dataran Rendah Tropis. Diterjemahkan oleh Ch. Lilies. Dan E. Van de Fliert. Disertasi Universitas Pertanian, Wageingen, Belanda. 194p. Wardahni, E.K., Marsono. 2016. Perencanaan biodigester tinja manusia dan kotoran ternak skala komunal rumah tangga di Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri. Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya dan Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya :1-13. Widiyono, W., Wahyuni, A. Sugiarto, P. Lestari, F. Syarif, E. Komarudin , Budiarjo dan Sudiyono. 2015. Model pengembangan pertanian organik (hortikultura) terintegrasi dengan ‘Techno Park Meat Buisiness Center’ Banyumulek NTB. Sem. Nas. Technopreneurship dan Alih Technologi 2015. Puslit Inovasi LIPI: 530-548. Widiyono, W. 1998. Tantangan dan Harapan Agribisnis Sayuran. Seri Pengembangan PROSEA. 8.1. Dari Mengolah Lahan Tidur Menuju Agribisnis Sayuran. PROSEA Indonesia: 18-26.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
148
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PEB 04
TINJAUAN MENGENAI ASPEK PASAR DARI TEKNOLOGI PERBENIHAN BAWANG MERAH MELALUI BIJI BOTANI
Adhitya Marendra Kiloes dan Puspitasari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jl. Tentara Pelajar No. 3C, Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu, Bogor 16111
[email protected]
Abstrak. Permasalahan dalam perbenihan bawang merah seperti mahalnya harga dan ongkos angkut serta benih yang tidak bebas penyakit yang ditemui pada benih umbi seperti yang selama ini dilakukan, dapat diatasi dengan menggunakan benih bawang merah berbentuk biji botani atau yang biasa disebut True Seed of Shallot (TSS). Penelitian sebelumnya telah menyebutkan bahwa teknologi ini dapat meningkatkan pendapatan usaha tani bawang merah yang sekaligus akan dapat meningkatkan daya saing bawang merah Indonesia di pasar global. Sudut pandang baru dalam perbenihan bawang merah ini perlu dikaji kelayakannya terutama bagaimana penerimaan pasar terhadap teknologi ini. Latar belakang tersebut yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini. Diperoleh data bahwa kebutuhan benih bawang merah mencapai 120.000 ton umbi setiap tahunnya. Hal ini merupakan pasar yang potensial untuk diisi, dimana selama ini kebutuhan tersebut hanya dicukupi dari benih berbentuk umbi. Namun perlu juga dilihat bagaimana penerimaan petani sebagai pengguna dari teknologi ini. Perbedaan perlakuan dan cara penggunaan antara benih umbi dan benih biji tentunya akan menimbulkan perbedaan respon dari petani sebagai pengguna teknologi ini. Kata Kunci: bawang merah, biji botani, kelayakan, pasar
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
149
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang dikatakan memiliki pengaruh terhadap perekonomian nasional, selain komoditas cabai. Bawang merah dikatakan sebagai salah satu komoditas pertanian yang menyumbangkan inflasi yang cukup signifikan yakni sebesar 0,44%, paling tinggi diantara kelompok bahan makanan pada bulan Maret 2013 (BPS, 2013). Hal-hal tersebut dapat terjadi karena luas tanam bawang merah yang tidak merata sepanjang tahunnya. Di sentra produksi terbesar bawang merah yaitu Kabupaten Brebes yang menyumbangkan sekitar 30% pasokan bawang merah nasional, lahan untuk tanam bawang merah adalah lahan yang sama dengan lahan untuk menanam padi. Pada saat musim hujan lahan tersebut akan digunakan untuk menanam padi (Puslitbang Hortikultura 2012) sehingga luas tanam bawang merah akan menurun yang akan mengakibatkan turunnya pasokan dan akan berimbas kepada naiknya harga di pasar. Permasalahan harga bawang merah yang berfluktuasi hanya merupakan salah satu permasalahan yang ada di komoditas bawang merah. Jika dilihat dari rantai nilai keseluruhan komoditas bawang merah dari sentra produksi hingga ke pasar terdapat permasalahan-permasalahan tersendiri yang harus diatasi. Pada aspek budidaya, terdapat beberapa permasalahan mulai dari penyediaan benih hingga permasalahan yang ditemui pada proses budidaya. Benih merupakan salah satu komponen terbesar pada budidaya bawang merah yang menghabiskan sekitar 24,81% dari total biaya usahatani bawang merah, tertinggi kedua setelah tenaga kerja (Nurasa dan Darwis 2007). Permasalahan lain pada benih bawang merah adalah harga benih yang akan mengikuti harga konsumsi. Pada saat harga bawang merah konsumsi tinggi maka harga benih juga akan tinggi sehingga akan berpengaruh kepada tingginya biaya usahatani ataupun pada penurunan luas tanam akibat petani enggan untuk membeli benih. Di sisi yang lain beberapa petani bawang merah akan menyimpan sebagian hasil panennya untuk digunakan sebagai benih pada musim tanam selanjutnya (Basuki 2010). Namun apabila harga bawang merah konsumsi tinggi, maka benih bawang merah yang telah disiapkan tersebut akan ikut dijual sebagai bawang merah konsumsi. Permasalahan yang ditemui pada perbenihan bawang merah sebenarnya dapat diatasi menggunakan teknologi perbenihan bawang merah menggunakan biji botani atau yang biasa dikenal dengan True Seed of Shallot (TSS). Penggunaan biji botani atau TSS, dapat mengatasi beberapa permasalahan perbenihan bawang merah seperti tidak adanya dormansi benih, volume yang digunakan
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
150
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
lebih sedikit sehingga memudahkan penyimpanan dan transportasi, serta bebas dari penyakit (Ridwan et al 1989). Teknologi TSS ini sebenarnya bukan merupakan teknologi baru karena secara alamiah bawang merah dapat berbunga pada kondisi tertentu. Lebih cocok bahwa teknologi ini merupakan teknologi yang memberikan sudut pandang baru pada perbenihan bawang merah. Permasalahannya petani tidak terbiasa untuk menanam bawang merah dari biji. Selama ini petani hanya menanam benih bawang merah yang berbentuk umbi baik itu membeli dari petani lain atau penangkar, dan menyimpan hail panen sendiri. Hal ini dapat menjadi satu kelemahan dalam pengembangan teknologi TSS walaupun hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa budidaya bawang merah menggunakan teknologi TSS lebih menguntungkan dibandingakan dengan menggunakan benih umbi (Basuki 2009). Untuk itu perlu dibuat suatu kajian kelembagaan yang membagi sistem perbenihan bawang merah menjadi beberapa pelaku. Sehingga ada spesialisasi yang dari pelaku-pelaku yang merupakan target pasar teknologi ini dalam memproduksi TSS, kemudian TSS dijadikan umbi mini, dan umbi benih dijadikan untuk konsumsi. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengkaji kesiapan dan respon pasar terhadap teknologi TSS.
METODOLOGI Data-data yang digunakan pada makalah ini merupakan data primer yang dikumpulkan melalui wawncara baik itu menggunakan kuesioner maupun FGD, serta data sekunder yang diperoleh dari beberapa instansi seperti Direktorat Jenderal Hortikultura dan Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pengumpulan data primer berupa kuesioner dilakukan beberapa kali di beberapa lokasi. Pengumpulan data primer berupa repon petani bawang merah terhadap teknologi ini dilakukan di sentra produksi Kabupaten Brebes dengan menyebarkan kuesioner untuk mengetahui pengetahuan, pemahaman, dan ketertarikan petani dalam menerapkan teknologi TSS. Selain itu dilakukan juga penyebaran kuesioner pada saat pelatihan produksi TSS yang dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran kepada para penangkar dan produsen benih yang mengikuti pelatihan. Data-data sekunder yang dikumpulkan berupa kebutuhan benih bawang merah serta rencana untuk pengembangan perbenihan bawang merah yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Hortikultura. Data-data yang dikumpulkan tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif untuk kemudian disusun suatu strategi untuk mengembangkan teknologi TSS berdasarkan kebutuhan dan respon pasar yang sudah Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
151
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
diketahui. Hasil akan dibahas menurut kebutuhan pasar, respon pasar, dan kelayakan pasar dilihat dari lokasi produksi TSS dibandingkan dengan lokasi pasar benih bawang merah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kebutuhan benih bawang merah nasional Menurut Dewan Bawang Merah Nasional, kebutuhan benih bawang merah Indonesia dalam satu tahun mencapai 120.000 ton (Idris 2015). Jumlah tersebut untuk memenuhi beberapa sentra produksi bawang merah di Indonesia. Seperti diketahui sentra produksi bawang merah terbesar di Indonesia adalah Kabupaten Brebes yang menyumbangkan sekitar lebih dari 30% dari pasokan bawang merah nasional (Parwadi 2016). Jumlah kebutuhan benih yang telah disebutkan juga mencakup beberapa varietas bawang merah yang ada di Indonesia. Selama ini benih bawang merah yang digunakan adalah benih bersertifikat yang diproduksi oleh penangkar bersertifikat serta benih dengan status JABAL (Jaringan Benih Antar Lapang) yang merupakan benih tidak bersertifikat yang biasanya diperoleh dari hasil panen petani lain atau benih yang diperoleh dari sisa hasil panen sebelumnya. Menurut diskusi yang dilakukan dengan anggota Asosiasi Bawang Merah Indonesia benih bersertifikat tidak lebih dari 10% dari total benih yang ada (Puslitbang Hortikultura 2014). Sebelumnya Kementerian Pertanian telah mengeluarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 131 Tahun 2015 yang mengatur tentang teknis perbenihan bawang merah melalui TSS. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa produksi benih bawang merah yang akan ditanam oleh petani konsumsi harus melalui beberapa tahap yang membagi benih menjadi beberapa kelas. Kelas pertama adalah Benih Penjenis (BS) yang dihasilkan oleh pemilik varietas, kemudian Benih Dasar (BD) yang akan dihasilkan oleh penangkar atau BBI/BBH yang berasal dari BS, Benih Pokok (BP) yang akan dihasilkan oleh penangkar atau BBI/BBH yang berasal dari BD, dan Benih Sebar (BR) yang akan dihasilkan oleh penangkar atau BBI/BBH yang berasal dari BD dan merupakan benih yang akan ditanam untuk memproduksi bawang merah konsumsi. Kaitannya dengan kebutuhan TSS maka perlu dihitung kebutuhan TSS untuk mencapai target kebutuhan benih bawang merah yang akan ditanam untuk memproduksi bawang merah konsumsi. Dalam peraturan itu juga disebutkan bahwa untuk memproduksi Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
152
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
benih TSS atau umbi kelas BS dan BD diperlukan adanya investasi screenhouse. Apabila fasilitas screenhouse tidak dapat disediakan maka kelas benih akan turun menjadi kelas BP atau BR.
Gambar 1. Alur sertifikasi benih menurut Kepmentan 131 tahun 2015
Benih bawang merah berbentuk TSS jika ditanam akan menghasilkan umbi yang biasanya akan diminikan sehingga berbentuk umbi mini. Untuk memproduksi umbi mini dibutuhkan waktu tiga bulan sejak tanam TSS. Selanjutnya umbi mini jika ditanam akan menghasilkan umbi kelas selanjutnya dalam waku dua bulan. Dengan perhitungan waktu seperti itu ditambah masa dormansi dua bulan di setiap tingkatannya maka total waktu yang diperlukan untuk memproduksi umbi Benih Sebar adalah 15-17 bulan dan dibutuhkan 490 kg TSS jika benih berbentuk TSS tersebut diproduksi dalam screenhouse. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan 120.000 ton Benih Sebar maka akan membutuhkan dan 24.000 kg TSS jika benih berbentuk TSS tersebut diproduksi tidak dalam screenhouse namun dengan waktu yang lebih singkat yaitu sembilan bulan. Skenario yang paling memungkinkan adalah skenario di dalam screenhouse, karena membutuhkan upaya yang sangat besar untuk memproduksi TSS hingga 24.000 kg. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa produksi TSS dan umbi mini di dalam dan di luar screenhouse adalah sama.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
153
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Gambar 2.
Kebutuhan benih TSS untuk memproduksi Benih Sebar sebanyak 120.000 ton dengan skenario produksi di dalam screenhouse
Gambar 3.
Kebutuhan benih TSS untuk memproduksi Benih Sebar sebanyak 120.000 ton dengan skenario produksi diluar screenhouse
Respon petani terhadap teknologi TSS Teknologi TSS sebenarnya bukan merupakan teknologi baru dalam perbenihan bawang merah. Sebelum Badan Litbang Pertanian dapat memproduksi TSS sebelumnya telah diperkenalkan pada tahun Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
154
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
2009 oleh PT. East West Seed Indonesia, biji bawang merah vareitas Tuk-Tuk. Namun dalam perkembangannya varietas tersebut kurang berkembang karena karakteristiknya yang kurang disukai petani. Selain itu pada promosi bawang Tuk-Tuk juga tidak diperkenalkan perbenihan bertahap seperti konsep yang sudah dibahas sebelumnya sehingga petani merasa akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memproduksi bawang merah konsumsi. TSS produksi Badan Litbang Pertanian selama ini belum dijual secara komersial di pasar sehingga belum ada harga resmi yang digunakan. Namun apabila merujuk kepada vareitas bawang merah impor yang sudah dijual dalam bentuk biji maka dapat dijadikan acuan untuk menetapkan harga TSS produksi Badan Litbang Pertanian. Bawang merah vareitas Tuk-Tuk saat ini dijual seharga Rp. 1.250.000/kg selain itu varietas Sanren dijual seharga Rp. 2.150.000 / kg namun dengan kualitas hibrida yang lebih baik. Berdasarkah wawancara dengan beberapa orang petani di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah yang mencoba menanam bawang merah dari biji menjadi umbi mini, prospek usaha tersebut cukup menjanjikan apabila harga umbi mini yang ada sama dengan harga umbi benih bawang merah yang umumnya saat ini. Setiap daerah sentra produksi menginginkan varietas yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi agroekosistem daerah sentra tersebut. Petani di sentra produksi Kabupaten Brebes lebih menyukai varietas Bima Brebes (Basuki 2009). Karena mayoritas bawang merah yang ditanam merupakan varietas Bima Brebes maka dari itu Direktorat Perbenihan Hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura menginginkan jumlah benih TSS yang diproduksi yang lebih banyak adalah varietas Bima Brebes. Sebuah wawancara terhadap beberapa orang petani di Kabupaten Brebes menyatakan bahwa menanam bawang merah melalui biji sangat merepotkan dan tidak efisien. Untuk itu Direktorat Jenderal Hortikultura membuat program perbenihan bawang merah dimana TSS hanya akan ditanam oleh penangkar sedangkan petani bawang merah konsumsi tetap akan menanam benih dalam bentuk umbi. Dari wawancara yang dilakukan terhadap 30 orang petani kunci di sekitar Kecamatan Kersana, Kecamatan Tanjung, Kecamatan Bulakamba, dan Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes diperoleh hasil bahwa sebanyak 70% responden telah mengetahui teknologi TSS sebelumnya. Asal informasi mengenai teknologi ini berasal dari beberapa sumber seperti penyuluh, petani lain, formulator, dan lainlainnya seperti demplot yang dilakukan oleh lembaga penelitian atau produsen benih. Penyuluh merupakan sumber yang paling banyak memberikan informasi mengenai teknologi TSS.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
155
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
156
Pusat Inovasi - LIPI
Selain itu beberapa petani juga menyatakan bahwa mereka memperoleh informasi tentang teknologi TSS dari demplot-demplot yang dilaksanakan oleh lembaga penelitian dan perusahaan perbenihan. Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa teknologi TSS bukan merupakan teknologi yang baru dalam perbenihan bawang merah. Menurut diskusi yang dilakukan bersama Direktur Perbenihan Hortikultura, sejak tahun 2009 sejak PT. East West Seed Indonesia memperkenalkan varietas Tuk-Tuk. Namun perkembangan dari Tuk-Tuk tidak begitu menggembirakan karena varietasnya banyak tidak disukai oleh petani. Tabel 1. Respon petani bawang merah di Kabupaten Brebes mengenai teknologi TSS Fekuensi
Persentase
- Sudah pernah mengetahui
21
70
- belum pernah mengetahui
9
30
- Penyuluh
10
47,62
- Petani lain
3
14,29
- Formulator
5
23,81
- lain-lain
3
14,29
- Tidak tertarik
14
66,67
- Tertarik
3
14,29
- Ragu-ragu
4
19,05
Pengetahuan petani
Asal informasi
Ketertarikan
Sumber: data primer diolah (2016)
Dari segi ketertarikan, mayoritas atau sebanyak 66,67% responden menyatakan tidak tertarik untuk menanam langsung benih bawang merah dari biji untuk memproduksi umbi konsumsi. Hal tersebut dikarenakan waktunya yang lama dan perawatannya yang akan lebih sulit. Sedangkan sebanyak 14.29% menyatakan tertarik untuk menggunakan benih TSS karena yakin bahwa biaya yang dikeluarkan akan lebih murah dibandingkan menggunakan benih dari umbi. Sisanya masih menyatakan ragu-ragu untuk memilih apakah ingin menggunakan atau tidak.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Pertimbangan lokasi produksi TSS dan lokasi pasar benih bawang merah Pada beberapa kasus lokasi produksi dari suatu barang harus mendekati sentra konsumsinya. Begitu pula pada benih bawang merah yang idealnya diproduksi dekat dengan sentra produksi bawang merah. Selama ini di sentra produksi Kabuapten Brebes benih bawang merah diproduksi di dalam Kabupaten Brebes itu sendiri. Beberapa petani mengambil benih dari petani lain yang berada di desa atau kecamatan yang berbeda. Karena benih yang dijual merupakan benih berbentuk umbi maka kuantitasnya akan besar dimana dalam 1 ha luas tanam bawang merah rata-rata membutuhkan 1,2 ton benih. Hal ini tidak akan menjadi masalah yang besar apabila dilakukan di dalam Kabupaten Brebes itu sendiri. Permasalahan akan timbul apabila bawang merah akan ditanam diluar sentra produksi, seperti contohnya program pengembangan bawang merah di luar jawa sebagai buffer zone bagi sentra konsumsi di luar jawa. Permasalahan kuantitas yang besar dapat diatasi dengan menggunakan teknologi TSS. Dari segi fisiologis produksi TSS membutuhkan lokasi dataran tinggi yang kering yang memungkinkan bawang merah untuk berbunga dan menghasilkan biji. Kebalikan daripada hal tersebut, sentra produksi bawang merah konsumsi kebanyakan berada di dataran rendah. Namun hal ini tidak akan menajdi masalah karena benih TSS yang diproduksi kuantitasnya kecil dibandingkan menggunakan benih umbi. Untuk 1 ha luas tanam untuk menghasilkan produksi yang sama dengan menggunakan benih umbi hanya membutuhkan 37,5 kg TSS (Pangestuti dan Sulistyaningsih 2011). Oleh karena itu permasalahan lokasi yang jauh dari sentra konsumsi tidak akan menjadi masalah yang besar untuk produksi TSS karena biaya pengangkutan yang tidak seberapa.
KESIMPULAN DAN SARAN Dari kajian yang dilakukan dapat diperoleh beberapa kesimpulan mengenai kesiapan dan respon pasar mengenai teknologi TSS. Dilihat dari respon petani yang kurang menyukai teknologi ini maka harus dibuat suatu sistem perbenihan yang dapat menyediakan benih berkualitas sesuai dengan keinginan petani. Kebutuhan benih bawang merah yang besar tersebut dapat diisi dengan menyediakan benih bawang merah umbi sesuai dengan yang diinginkan petani, dimana benih umbi tersebut dapat berasal dari TSS. Dibutuhkan setidaknya 490 kg TSS dalam bentuk Benih Penjenis untuk memenuhi kebutuhan benih bawang merah nasional.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
157
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2013. Berita Resmi Statistik. No. 22/04/Th. XVI, 1 April 2013 Nurasa, T dan Darwis, V. 2007. Analisis Usahatani dan Keragaan Marjin Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten Brebes. Jurnal Akta Agrosia Vol. 10 (1): 40-48 Ridwan, H., Sutapradja, H., & Margono. 1989. Daya produksi dan harga pokok benih, biji bawang merah. Buletin Penelitian Hortikultura, XVII(4): 57–61 Basuki, RS. 2010. Sistem Pengadaan dan Dsitribusi Benih Bawang Merah pada Tingkat Petani di Kabupaten Brebes. J. Hort, 20 (2): 186-195 Basuki, RS. 2009. Analisis Kelayakan Teknis dan Ekonomis Teknologi Budidaya Bawang Merah dengan Biji Botani dan Benih Umbi Tradisional. J. Hort, 19 (2): 67-83 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. 2012. Laporan Akhir Analisis dan Sintesis Kebijakan Pembangunan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. 2014. Laporan Akhir Analisis dan Sintesis Kebijakan Pembangunan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Idris, M. 2015. RI Impor Benih Bawang Merah dari Filipina, Kenapa Ya? http://finance.detik.com/berita-ekonomibisnis/d-2940967/ri-impor-benih-bawang-merah-dari-filipina-kenapa-ya diakses tanggal 2 September 2016 Parwadi, S. 2016. Bawang merah tidak hanya Brebes. http://tabloidsinartani.com/content/read/bawang-merah-tidakhanya-brebes/ diakses tanggal 2 September 2016 Basuki, RS. 2009. Preferensi Petani Brebes terhadap Klon Unggulan Bawang Merah Hasil Penelitian. J. Hort, 19 (33): 344-355. Pangestuti, R dan Sulistyaningsih, E. 2011. Potensi Penggunaan True Seed Shallot (TSS) Sebagai Sumber Benih Bawang Merah di Indonesia. Prosiding Semiloka Nasional, Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
158
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PEB 05
KOLABORASI ABGC: KUNCI AKSELERASI PENGEMBANGAN ALAT KESEHATAN NASIONAL STUDI KASUS: PERALATAN ELEKTROMEDIK Asep Rahmat Hidayat, Ihsan Supono dan Fatimah Z S Padmadinata Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian, LIPI
[email protected]
Abstrak. Diratifikasinya Asean Medical Device Directive (AMDD) oleh pemerintah Indonesia melalui registrasi peralatan kesehatan berdampak pada perlunya perubahan perilaku stakeholders peralatan nasional. Dampak tersebut perlu diantisipasi di setiap mata rantai pengembangan peralatan, sejak dari tahapan pengembangan konsep sehingga dihasilkannya prototipe, sampai dengan regulatory approval sehingga peralatan dapat diterima oleh pasar. Terabaikannya satu mata rantai dalam pengembangan peralatan, dapat berakibat pada ketidakberhasilan konsep baru suatu peralatan untuk dipasarkan. Dalam makalah ini dipaparkan pengaruh kebijakan pemerintah Indonesia terkait peralatan dari sudut pandang invensi dan inovasi serta regulatory approval. Dari sudut pandang invensi dan inovasi, dilakukan kajian atas data sekunder penelitian dan pengembangan peralatan nasional. Hasil kajian mengindikasikan bahwa sangat dibutuhkan kebijakan yang berpihak kepada para akademisi pengembang peralatan untuk mengakselerasi pematangan konsep teknis menjadi prototipe. Sedangkan dari sudut pandang regulatory approval dilakukan kajian atas regional directives serta regulasi nasional tentang perdagangan yang mengindikasikan bahwa kebijakan komprehensif yang berpihak pada produsen dalam negeri sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan industri dalam negeri dan memperkuat kemandirian dalam mencukupi kebutuhan peralatan nasional. Kedua indikator tersebut bermuara pada kesimpulan bahwa: dengan membangun kolaborasi strategik para pemangku kepentingan, yaitu, akademisi, industri, pemerintah, dan masyarakat pengguna (Academy, Business, Government and Community/ABGC) akan terwujud sinergi untuk meningkatnya daya saing produk menuju kemandirian produk peralatan nasional.
Kata kunci: kolaborasi ABGC, alat kesehatan, regulatory approval
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
159
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN Tuntutan terhadap keamanan/keselamatan (safety) dan kinerja (performance) dari alat kesehatan di dunia internasional makin berkembang, terutama dengan ditemukannya teknologi baru yang menklaim bahwa diagnosa maupun penyembuhan dapat dilakukan dengan alat-alat kesehatan teknologi baru tersebut. Dapat dikatakan, bahwa kemajuan teknologi alat kesehatan yang bermula dari peralatan sederhana dengan contoh: alat bedah yang awalnya terbuat dari benda fisik tajam, sekarang telah berkembang ke alat bedah dengan menggunakan metoda laser.
Pembedahan menggunakan laser makin
teliti serta penyembuhan makin cepat. Menghadapi perkembangan teknologi ini, tentunya diperlukan pengendalian untuk penggunaan alat agar aman terhadap resiko bahaya. Terutama yang berhubungan dengan enerji dari penggunaan alat terhadap tubuh, seperti penggunaan arus berlebih , kebocoran arus yang mengalir ke tubuh manusia, atau radiasi berlebih yang mengakibatkan terbakarnya bagian dari jaringan tubuh. Untuk itulah, negara-negara di dunia berupaya membatasi/menghilangkan resiko berbahaya dari alat kesehatan yang digunakan melalui beberapa regulasi. Salah satunya yang sekarang sudah dikeluarkan oleh ASEAN, adalah Asean Medical Device Directive (AMDD), yang disepakati dan diratifikasi oleh para anggota negara ASEAN, pada tanggal 21 Nopember 2014. Indonesia yang sampai saat ini masih mengimpor produk alat kesehatan sebesar 95,13% (menurut data izin edar peralatan Kemkes 31 Desember 2014), sedang berusaha meningkatkan industri nasional mengurangi jumlah impor tersebut. Pemerintah cq. Kementerian Kesehatan (Kemenkes), sudah mengeluarkan kebijakan dengan menerbitkan Permenkes No. 86 Tahun 2013 tentang Peta Jalan Pengembangan Industri Alat Kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan industri alat kesehatan Nasional. Kemudian dikuatkan dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Penelitian dan pengembangan diperlukan untuk menjaga produk alat kesehatan yang dihasilkan tidak bertentangan dengan AMDD, terutama kaitannya dengan jaminan mutu keamanan dan unjuk kerja. Keberterimaan alat kesehatan tidak lepas dari pengguna, yang oleh karenanya, keikutsertaan praktisi medis dalam kegiatan penelitian sangat diperlukan. Dengan mengambil kasus peralatan kesehatan kelistrikan (elektromedik), keberterimaan hasil penelitian dan pengembangan produk peralatan elektromedik oleh pasar/konsumen ditentukan juga oleh pemenuhan terhadap kriteria keselamatan dan unjuk kerja esensial, yang merupakan faktor dalam menentukan kelaikan peralatan elektromedik. Dalam
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
160
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
hal ini, keterlibatan laboratorium pengujian sebagai penilai kesesuaian terhadap persyaratan kelaikan peralatan elektromedik sangat dibutuhkan. Mengikuti kebijakan yang sudah dicanangkan oleh Kemenkes sebagai pemilik kewenangan dalam penggunaan alat kesehatan di Indonesia, maka pihak-pihak terkait perlu mendukung dalam kapasitasnya masing dan terkoordinasi dengan baik. Kegiatan penelitian yang dilakukan baik oleh Lembaga Penelitian maupun Perguruan Tinggi di bidang alat kesehatanpun sudah banyak, yang pada umumnya adalah alat kesehatan berbasis kelistrikan (peralatan elektromedik), tapi sampai saat ini kolaborasi antara periset alat kesehatan dan pihak pengguna RS dan dokter) masih sangat minim. Walaupun ada, kolaborasi ini lebih dikarenakan adanya hubungan personil antara periset dan dokter/RS. Makalah ini membahas mengenai kunci akselerasi pengembangan alkat kesehatan nasional dengan mengambil kasus peralatan elektromedik guna menunjang daya saing nasional. Serta membahas sinerji antara peneliti/akademisi, industri, pemerintah/regulator dan masyarakat pengguna yang masing-masing memiliki peran penting dalam pengembangan industri peralatan kesehatan nasional.
PERANAN ABGC (Academy, Business, Government and Community) Peranan berbagai sektor dalam upaya untuk meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan berbasis ilmu pengetahuan, sudah lama dikaji. Hal ini tercermin dalam teori Triple Helix yang diperkenalkan pertama kali oleh Etzkowitz dan Leydersdorff sebagai metode pembangunan kebijakan berbasis inovasi (Etzkowitz, 1995). Teori ini menekankan pentingnya penciptaan sinergi tiga kutub yaitu intelektual (Academy/A), bisnis (Business/B) dan pemerintah (Government/G), yang bertujuan untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan berbasis ilmu pengetahuan (knowledge based economy). Ke tiga interaksi tersebut secara terorganisir, diharapkan dapat membangun konsep pembangunan berkelanjutan sebagai hasil akumulasi dan pemanfaatan ilmu pengetahuan yang berujung pada inovasi yang memiliki potensi ekonomi sebagai bentuk kapitalisasi ilmu pengetahuan. Interaksi antar tiga kutub yang sama juga diharapkan dapat terwujud dalam hal meningkatkan daya saing produk peralatan elektromedik. Sementara itu, saat ini elemen masyarakat/komunitas (Community/C), tidak dapat dilepaskan, yang sifatnya adalah sebagai pengguna akhir dari hasil dan dalam kasus peralatan kesehatan, sangat menentukan. Sebagaimana Porter menyampaikan dalam modelnya yang melibatkan kutub permintaan, yang bisa dikatakan dari masyarakat seperti Gambar 1(Porter, 1998), sehingga interaksi yang tadinya tiga kutub (ABG) menjadi empat kutub (ABGC) dengan dimasukannya elemen masyarakat/komunitas (C).
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
161
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Gambar 1. Model Kluster Porter dan Kebijakan Triple Helix
Peranan ABGC sangat diperlukan dalam suatu penelitian untuk pengembangan dan komersialisasi produk baru yang inovatif. Salah satu peranan yang dapat menjadi pendukung komersialisasi produk baru tersebut adalah melakukan kolaborasi semua pihak. Kolaborasi ini diperlukan agar terjadi pemahaman yang sama tentang penelitian yang akan dilakukan melalui komunikasi dan keterbangunan sinergi diantara mereka. Komunikasi dan sinergi diantara mereka seringkali tidak ada, sehingga kebutuhan akan hasil penelitian yang bisa dikomersialisasikan kadang tidak terwujud. Seharusnya kolaborasi yang terjadi diantara meraka seperti terlihat pada Gambar 2, dimana peran serta mereka semua dapat terwakili.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
162
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Gambar
2.
Kolaborasi
antara
Industri,
Akademisi,
dan
Pemerintah
(https://www.meijo-
u.ac.jp/english/research/collaboration.html, diakses tanggal 7 Maret 2016 pukul 07.30)
Institusi akademis/institusi penelitian seharusnya menggandeng pihak industri dan pemerintah terkait serta masyarakat pengguna dalam hal melakukan penelitian sehingga hasil penelitiannya dapat dikomersialisasikan. Namun sampai saat ini belum terjalin sinergi diantara mereka yang salah satu alasannya karena masih adanya perbedaan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Institusi akademis/institusi riset cenderung melakukan penelitian yang mengandung kaidah scientific yang tinggi sedangkan pihak industri sendiri masih berorientasi pada hasil penelitian yang sederhana dan menghasilkan benefit yang cepat. Hal ini memang wajar karena industri merupakan profit center yang harus dengan cepat mengembalikan return of investment yang mereka keluarkan.
Penelitian Alat Kesehatan Elektromedik Para pengamat ekonomi banyak berpendapat bahwa institusi-institusi akademis merupakan sumber daya yang sangat potensial dalam pengembangan produk hasil penelitian tak terkecuali penelitian yang menghasilkan produk alat kesehatan (Johnson, 1984). Penelitian-penelitian yang mereka lakukan dan kemampuan sumber daya manusia yang mereka miliki banyak menghasilkan hasil-hasil penelitian berupa prototipe-prototipe alat kesehatan yang pemanfaatannya dirasa masih kurang memadai dikarenakan kurangnya sinergi dan kolaborasi antara institusi akademis, industri, pemerintah dan masyarakat pengguna.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
163
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Banyak hasil penelitian yang dihasilkan oleh institusi akademis/institusi penelitian yang terkait dengan peralatan elektromedik belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini dikarenakan pelaksanaan penelitiannya masih berjalan sendiri-sendiri belum menggandeng pihak-pihak seperti industri, pemerintah dan masyarakat pengguna sehingga produk hasil penelitiannya hanya bisa menghasilkan makalah ilmiah. Seharusnya hasil-hasil penelitian tersebut diinkubasi dalam sebuah inkubator teknologi untuk mematangkan hasilnya dan sudah tentu harus bekerja sama dengan pihak industri.
PERANAN ABGC YANG DIHARAPKAN DAN REALITANYA Hasil penelitian yang mampu melahirkan produk yang benar-benar berkualitas dan inovatif akan lebih efisien dan efektif jika didukung dan dilakukan dalam formula kerja bersama yang saling bersinergi. Keberhasilan berbagai negara maju menunjukkan bahwa kegiatan penelitian dikembangkan melalui model jejaring. Kegiatan penelitian dalam bentuk jejaring tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan proses interaksi dalam melaksanakan kegiatan penelitian yang berkualitas. Dengan adanya interaksi tersebut, maka proses untuk menghasilkan inovasi akan lebih mudah tercapai. Selain itu, pertukaran pengetahuan dan pengalaman antar institusi yang terlibat dapat menurunkan tingkat ketidakpastian di dalam menghasilkan inovasi. Dengan demikian, kegiatan penelitian yang dilakukan oleh industri perlu melibatkan perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah guna mencari dan menghasilkan inovasiinovasi baru yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman.
A. Peranan Akademisi Peran akademisi dalam aspek pendukung komersialisasi sangat diperlukan terutama pada kondisi infrastruktur standardisasi dan penilaian kesesuaian masih terbatas. Secara umum, perkembangan infrastruktur standardisasi dan penilaian kesesuaian akan selalu dalam posisi mengikuti perkembangan teknologi peralatan elektromedik. Akan tetapi bila invensi atau inovasi dilakukan dengan keluaran suatu teknologi yang sejenis dengan teknologi peralatan elektromedik yang telah ada di pasar dan telah diakomodasi oleh infrastruktur standardisasi, maka invensi dan inovasi teknologi peralatan elektromedik perlu dilakukan bersamaan dengan pengembangan infrastruktur standardisasi dan penilai kesesuaiannya. Bila hal ini dilakukan, maka pada saat teknologi baru peralatan elektromedik telah matang, infrastruktur standardisasi dan penilaian ksesuaiannya telah tersedia untuk menyatakan kecukupan teknologi baru tersebut dalam kesesuaian dengan persyaratan performa dan keselamatan. Kenyataannya saat ini, peran akademisi dalam pengembangan teknologi peralatan elektromedik seringkali tidak harmonis dengan pengembangan standardisasi dan penilaian kesesuaian sebagai Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
164
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
165
Pusat Inovasi - LIPI
pendukung komersialisasinya. Dari pelaksanaan tiga kali focus group discussion dan seminar, ditengarai bahwa risk analysis belum merupakan kaidah yang dilaksanakan sejak dalam konsep ide suatu invensi atau inovasi peralatan elektromedik. Akibatnya adalah investasi yang dikeluarkan dalam pengembangan teknologi peralatan elektromedik tidak disertai oleh investasi untuk pengembangan kapabilitas penilaian kesesuaian. Bila hal ini terjadi dalam pengembangan teknologi yang benar-benar baru, akan terjadi keterlambatan kesiapan teknologi untuk siap dikomersilkan dikarenakan diperlukan waktu yang tidak sedikit untuk mempersiapkan infrastruktur penilaian kesesuaian. Seharusnya
peran
akademisi
dalam
pengembangan
teknologi
peralatan
elektromedik
berkolaborasi dengan sektor industri, kementerian kesehatan sebagai peran pemerintah dan masyarakat pengguna, sehingga keberterimaan akan produk akhir dari pengembangannya dapat diterima dengan baik. Peran akademisi seharusnya tidak hanya melakukan penelitian dan pengembangan produk peralatan elektromedik yang berteknologi tinggi yang jarang dilirik oleh pihak industri, tetapi juga melihat kebutuhan peralatan elektromedik sederhana yang banyak digunakan dan diharapkan nantinya akan menghasilkan keuntungan dalam waktu singkat bagi industri apabila produknya dikomersialisasikan.
B. Peranan Bisnis Yang dimaksud sebagai pelaku bisnis yang berperan di sini adalah industri peralatan elektromedik. Secara umum peran industri dalam pengembangan teknologi peralatan elektromedik adalah sebagai realisator. Akan tetapi peranannya dapat meluas sampai pada kegiatan riset dimana pengembangan teknologi peralatan elektromedik difokuskan.Peran industri dalam kegiatan riset teknologi dapat terjadi dengan sangat intensif bila kegiatan tersebut dilakukan oleh akademisiyang berafiliasi pada industri. Ataupun bila akademisi berafiliasi pada lembaga riset lain, peran industri dapat diwujudkan dalam kerjasama,baik dalam bentuk pendanaan maupun in kind. Bila kerjasama antara industri dan akademisi berjalan dengan lancar, maka akan lebih mudah bagi teknologi hasil pengembangan untuk dapat langsung dikomersialisasikan. Akan tetapi dalam realitanya perbedaan sudut pandang atas potensi pengembangan teknologi, dapat menjadi kendala dalam mewujudkan kerjasama industri dan akademisi dalam pengembangan teknologi peralatan elektromedik yang siap dikomersialisasi. Beberapa hasil penelitian peralatan elektromedik dari perguruan tinggi/akademisi, yang terdapat dalam Tabel 1, mengimplikasikan bahwa terobosan ilmiah masih menjadi hasrat utama bagi akademisi. Kenyataannya hasrat tersebut tidak sejalan dengan keinginan industri yang lebih mengharapkan teknologi yang sederhana tetapi cepat menghasilkan keuntungan. Disisi lain, sepuluh industri anggota Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (ASPAKI) yang memproduksi peralatan elektromedik, memiliki Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
varian produk yang tidak berteknologi tinggi seperti dental chair, kamera gigi, EKG, unit fototerapi, inkubator bayi, monitor medik, x-ray viewer, alat monitor gula darah, nebulizer, sterilisator, lampu ultraviolet, penghancur jarum suntik, dan incinerator. (Katalog, 2014).
Tabel 1. Beberapa Hasil Penelitian Perguruan Tinggi Tentang Peralatan Elektromedik No
Perguruan Tinggi
Hasil Penelitian EKG Telemetri Instrumen Diteksi Dini Kardiovaskuler
1
ITB
Instrumen Deteksi Dini Stroke EEG Untuk Intra Operatif Surgeri Laser Cauter Alat peraga anatomi alat reproduksi perempuan dan laki-laki Robot untuk melatih otot pasien pasca-stroke Alat untuk mengalirkan kelebihan cairan dalam otak pada pasien hidrosefalus Inkubator Bayi
2
UGM
3
UI
4
UB
Alat Pendeteksi Diabetes
5
ITS
Simulator Fisioterapi
Alat Deteksi Kesehatan Real Time
Adalah hal yang wajar bahwa akademisi terutama peneliti, memiliki keinginan yang kuat untuk menghasilkan suatu scientific breakthrough (terobosan ilmiah) dalam berkontribusi dalam perkembangan ilmu dan teknologi. Selain merupakan suatu prestasi yang prestisius, terobosan ilmiah juga dapat menjadi acuan dalam perubahan arah ataupun akselerasi perkembangan teknologi. Akan tetapi,bila terobosan ilmiah tersebut masih berupa konsep yang memerlukan proses yang panjang untuk dapat sampai ke posisi layak untuk dikomersialisasi, terobosan ilmiah tersebut menjadi tidak terlalu menarik bagi pihak industri. Bagi industri peralatan elektromedik, teknologi yang telah siap serta dinilai dapat segera menghasilkan keuntungan adalah hal yang menarik untuk segera direalisasikan. Dari sudut pandang industri yang lebih pragmatis, keberadaan terobosan ilmiah dalam suatu teknologi baru adalah sebuah nilai tambah. Kebutuhan pasar adalah hal yang penting bagi industri dalam untuk menentukan arah pengembangan teknologi peralatan elektromedik. Kebutuhan pasar yang tinggi akan membuat volume perdagangannya pun tinggi. Sehingga bila teknologi baru tersebut dapat membuat industri memiliki daya saing dalam merebut pangsa pasar, keuntunganpun dapat dimaksimalkan. Karena itulah seringkali industri tidak memberikan dukungan penuh dalam pengembangan teknologi baru, bila estimasi kebutuhan pasar tidak jelas dalam menggambarkan keuntungan yang akan diraih. Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
166
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
167
Pusat Inovasi - LIPI
C. Peranan Pemerintah (Government) Peran pemerintah dalam rangka mendorong sinergi dan kerjasama penelitian yang mendukung peningkatan daya saing produk nasional adalah membuat regulasi yang jelas terkait dengan pengembangan industri alat kesehatan nasional. Disamping itu, khusus untuk industri yang melakukan penelitian, pemerintah perlu juga melakukan intervensi, khususnya dalam memfasilitasi aspek pendanaan, seperti pemberian insentif baik bagi industri yang melakukan penelitian dengan catatan industri harus mengikutsertakan perguruan tinggi dan lembaga litbang dalam kegiatan penelitian tersebut dalam rangka menghasilkan produk inovatif yang memiliki daya saing dan berkualitas. Bentuk sinergi yang harus dirancang untuk memperkuat industri alat kesehatan tersebut adalah kolaborasi/Konsorsium Penelitian, Kolaborasi Industri (R&D), Kolaborasi ABGC, dan Transformasi Industri (basis riset dan pengembangan produk).
D. Peranan Masyarakat Pengguna (Community) Pengguna produk peralatan elektromedik saat ini bukan lagi hanya praktisi pelayanan kesehatan. Dengan berkembangnya produk yang dapat dioperasikan oleh masyarakat umum, maka cakupan definisi pengguna peralatan elektromedik semakin luas. Hal ini berimplikasi pada makin beragamnya persyaratan pengguna; tidak lagi hanya berupa persyaratan klinis. Pengguna produk sangat perlu untuk berperan signifikan dalam pengembangan peralatan elektromedik, yang tidak lagi hanya berorientasikan pada konsep technology push. Produk yang beredar di pasar tidak lagi merupakan hasil dari inovasi berdasarkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) saja, melainkan berdasarkan pada pengembangan IPTEK yang berorientasikan pada persyaratan pengguna. Untuk itu, konsep technology push dan market pull perlu berada dalam posisi yang searah (Di Stefano, Gambardella, & Verona, 2012), karena kesuksesan suatu produk di pasar sangat ditentukan oleh bagaiman produk tersebut dapat memenuhi kebutuhan pengguna. Secara
spesifik
untuk
pengembangan
peralatan
elektromedik,
pengembangan
yang
berorientasikan pada pengguna ditujukan untuk mengumpulkan persyaratan-persyaratan yang diinginkan oleh pengguna pada suatu produk, baik persyaratan klinik maupun kemudahan penggunaannya. Bila persyaratan-persyaratan tersebut belum diakomodasi oleh suatu standar serta memerlukan perubahan desain secara fundamental selanjutnya, ditentukan tingkat kepentingannya untuk kemudian dicarikan pemecahannya melalui kegiatan pengembangan teknolog (J. L. Martin, et al., 2006; J. L. Martin, et. al., 2012). Bila pengembangan teknologi memperhatikan dengan seksama peran pengguna maka, produk
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
akhir yang dihasilkan akan dapat memenuhi keinginan pengguna dan dapat bersaing di pasar. Akan tetapi, ditengarai bahwa pengguna belum berperan sejak awal proses pengembangan teknologi. Pengguna lebih berperan pada memberikan umpan balik untuk pengembangan teknologi suatu produk yang telah beredar, daripada berperan dalam inovasi awal suatu teknologi. Pada tahapan awal inovasi teknologi peralatan elektromedik, riset dilakukan sebagai suatu kegiatan untuk mengaplikasikan ide-ide kreatif (Maarse & Bogers, 2012). Ide yang teraplikasikan tersebut belum ditujukan untuk memenuhi persyaratan pengguna. Baru setelah ide tersebut direalisasikan, umpan balik pengguna dimanfaatkan untuk menjaga dan meningkatkan kebersaingan produk tersebut di pasar.
KESIMPULAN Kolaborasi empat kutub ABGC untuk percepatan pengembangan peralatan nasional sangatlah penting. Sinergitas antara keempat kutub tersebut diharapkan dapat mendukung daya saing produk peralatan elektromedik nasional, dimana posisi dan peran kutub-kutub tersebut akan saling menguatkan bukannya saling melemahkan. Peran masing-masing kutub harus saling mendukung satu sama lain. Peran akademisi adalah melakukan penelitian dan pengembangan peralatan elektromedik dengan melihat akan kebutuhan pasar yang ditawarkan oleh pihak industri kepada masyarakat pengguna yang tertunya harus didukung peran pemerintah yang membuat regulasi yang jelas terkait dengan penggunaan hasil pengembangan industri alat kesehatan nasional.
DAFTAR PUSTAKA Di Stefano, G., Gambardella, A., & Verona, G. (2012). Technology push and demand pull perspectives in innovation studies: Current findings and future research directions. Research Policy, 41(8), 1283-1295. Etzkowitz, H., & Leydesdorff, L. (1995). The Triple Helix--University-Industry-Government Relations: A Laboratory for Knowledge-Based Economic Development. EASST Review 14,, p. 14-19. https://www.meijo-u.ac.jp/english/research/collaboration.html. (diakses tanggal 7 Maret 2016 pukul 07.30) Johnson, L. G. (1984). The High-Technology Connection: Academic /Industrial Cooperation for Economic Growth. Association for the Study of Higher Education. Washinton D.C. Katalog. (2014). Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia. Maarse, J. H., & Bogers, M. (2012). An integrative model for technology-driven innovation and external technology commercialization. Open innovation at Firms and Public Administrations: Technologies for Value Creation, 59-78. Martin, J. L., et al. (2006). Capturing user requirements in medical device development: the role of ergonomics. Physiological measurement,, 27(8),, p. R49.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
168
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Martin, J. L., et. al. (2012). A user-centred approach to requirements elicitation in medical device development: a case study from an industry perspective. Applied ergonomics,, 43(1),, p. 184-190. Porter, M. E. (1998). Clusters and Competition: New Agendas for Companies, Governments, and Institutions on Competition. Harvard Business School Press, Boston, MA.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
169
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PEB 06
VALUASI PATEN ANTENA BIQUAD DIPOLE DENGAN INCOME BASED APPROACH UNTUK KOMERSIALISASINYA Harini Yaniar dan Adityo Wicaksono Pusat Inovasi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
[email protected] Abstrak. Valuasi paten merupakan aktifitas yang sangat penting dalam proses komersialisasi dan alih teknologi di lembaga penelitian dan pengembangan. Kekurangmampuan institusi dalam melakukan valuasi akan berdampak pada melambatnya proses komersialisasi hasil litbang dan menyebabkan potential loss bagi negara. LIPI saat ini melakukan valuasi dengan metode cost based approach, namun metode ini memiliki banyak kekurangan, terutama untuk negosiasi besaran fee lisensi dengan pihak industri. Oleh karena itu Pusat Inovasi mencoba menerapkan valuasi paten menggunakan income based approach dengan studi kasus paten Antena Quad Dipole Open Cavity Sebagai Penguat Sinyal RF. Metode yang digunakan adalah mix method dengan menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif digunakan pada penghitungan Discounted Cash Flow (DCF) dilengkapi dengan porter’s 5 force analysis dari hasil investigasi untuk mengetahui kondisi bisnis dan faktor eksternal produk antena Quad Dipole. DCF dihitung dengan kapasitas produksi 1.200 antena per bulan. Hasil dari valuasi income based approach ini adalah estimasi Nett Present Value (NPV) Rp. 1.427.248.199 dengan prosentase rata- rata (Earning Before Interest and Tax) EBIT dibanding pendapatan sebesar 23,3%. Nilai fee lisensi dihitung dengan rules of 25% dan didapatkan hasil sebesar Rp. 82.800.000. Estimasi akumulasi royalti dengan mempertimbangkan kondisi bisnis antena quad dipole adalah sebesar Rp. 656.640.000 . Jadi total nilai paten antena Antena Quad Dipole Open Cavity Sebagai Penguat Sinyal RF adalah sebesar Rp. 739.440.000. Kata Kunci: valuasi, paten, income based approach, antena biquad dipole.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
170
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN Kekayaan Intelektual (KI) khususnya paten, kini merupakan salah satu output penting dari lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah. Pemerintah telah menganggap paten sebagai aset tak berwujud yang harus dinilai (Peraturan Pemerintah Nomor 6, 2006). Namun penilaian aset ini terkadang belum mempertimbangkan aspek keekonomisan patent pada saat menjadi industri atau terkomersialisasi. Saat ini LIPI menggunakan pendekatan penilaian cost based, mengacu pada Peraturan Kepala LIPI Nomor 7 Tahun 2015. Penetapan nilai ini berbasis output penelitian. Parameter output penelitian yang diukur adalah Paten, Karya Tulis Ilmiah dan Prototipe. Nilai Paten dihitung dengan cara menjumlahkan nilai output dengan total biaya proses paten. Pendekatan ini digunakan karena perhitungan yang digunakan cukup sederhana (tidak kompleks), mudah dilakukan dan dapat dipertanggung jawabkan untuk penilaian aset tak berwujud oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Namun untuk penerapannya dalam komersialisasi, perhitungan ini tidak menggambarkan nilai yang sebenarnya atau nilai wajar untuk paten. Sehingga calon pelisensi yakni pihak industri atau perusahaan cenderung tidak menerima perhitungan dengan pendekatan cost based (Smith dan Parr, 1998). Untuk menjawab permasalahan ini, Pusat Inovasi mencoba menerapkan valuasi dengan pendekatan income based pada teknologi paten Antena Quad Dipole Open Cavity Sebagai Penguat Sinyal RF karena memiliki potensi besar untuk komersial. Suatu paten dapat diperkirakan nilainya melalui perhitungan kemungkinan manfaat yang akan diperoleh (future anticipated revenue) bila paten tersebut dipakai pihak lain. Pendekatan ini akan memberikan gambaran manfaat nyata (real income) pada pemilik paten, dan calon pelisensi. Namun tantangan utama dalam menggunakan pendekatan ini adalah bagaimana mengumpulkan data dan informasi untuk memprediksi penghasilan (Aiman, 2014). Paten Antena Quad Dipole Open Cavity Sebagai Penguat Sinyal RF terdaftar sebagai paten biasa milik LIPI sejak tahun 2011 dengan nomor paten P00201100382. Paten ini memiliki masa perlindungan / usia 20 tahun dan pada tahun 2016 masa perlindungannya telah berkurang 5 tahun.
METODOLOGI Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah mix method (Creswell, 2003) yang mengkombinasikan metode kualitatif Porter’s 5 Forces untuk mengetahui kondisi bisnis dari teknologi sebagai pertimbangan menentukan prosentase besaran fee royalti, dan metode kuantitatif yakni Discounted Cash Flow (DCF), untuk melakukan perhitungan nilai sekarang netto (Nett Present Value / NPV) dengan rumus sebagai berikut. NPV = ∑ (B - Ct) / (1 + i) Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
171
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Dimana: B= Benefit/Revenue C= Cost i = interest t = Time frame Untuk menentukan besaran fee lisensi diterapkan metode rules of 25 % dari prosentase rata-rata EBIT terhadap total penerimaan (Revenue). Penggunaan rules of 25% secara umum digunakan untuk penghitungan besaran fee royalti (Srividya, 2015; Razgaitis, 2009) namun untuk kasus perhitungan paten LIPI nilai tersebut terlalu besar dan cenderung tidak diterima oleh industri atau calon pelisensi paten. Oleh karena itu rules of 25% ini digunakan untuk penghitungan nilai fee lisensi sehingga dapat lebih diterima oleh calon pelisensi paten. Adapun rumus penghitungan fee lisensi dengan rules of 25% adalah sebagai berikut : NL = 25% x ( ∑ E/B x 100)% x NPV Dimana: NL = Nilai Lisensi E= EBIT B= Benefit/Revenue NPV= Nett Present Value Perkiraan besaran royalti dalam perhitungan berkisar 1-5% dari harga jual atau penjualan. (Aries & Newton, 1955). Secara garis besar metode valuasi pada penelitian ini digambarkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Metode Valuasi Paten LIPI dengan pendekatan income based
HASIL DAN PEMBAHASAN Perhitungan DCF didasari dari data yang didapat dari biaya bahan penelitian, data permesinan, komponen dan bahan baku yang ada di pasar, serta hasil indepth interview dengan inventor. Selain itu gambaran terhadap teknologi dan keunggulannya cukup penting diketahui. Antena quad dipole atau disebut juga antena Penguat Sinyal Modem (PSM) merupakan aksesoris yang digunakan dalam komunikasi internet nirkabel dengan frekuensi 1900 – 2400 MHz. Di pasar saat ini Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
172
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
terdapat sekitar 4 jenis antena penguat sinyal untuk perangkat modem nirkabel, antara lain : antena yagi, antena dipole, antena biquad, dan antena horn. Antena PSM mempunyai beberapa keunggulan dibanding produk sejenis, yaitu : Portabel / mudah dibawa. Penguatan sinyal lebih tinggi (15-25 dBi) dibanding produk kompetitor. Pemasangan/instalasi sangat mudah (plug and play). Untuk aplikasi di dalam ruangan (indoor) tidak perlu dipasang di luar atau
ditempat tinggi.
Dengan keunggulan yang ada Antena PSM akan mudah mendapatkan konsumen walaupun sudah terdapat beberapa produk pesaing di pasar. Saat ini jumlah pengguna internet dengan menggunakan perangkat modem nirkabel jumlahnya cukup banyak dan terus meningkat, salah satunya adalah pengguna provider layanan internet dengan brand Bolt dengan jumlah mencapai 500 ribu pengguna. Perangkat modem nirkabel saat ini masih banyak digunakan orang di wilayah perkotaan karena kehandalannya, memiliki tarif data yang lebih murah dan hemat baterai. Keunikan desain elemen Antena PSM adalah bentuk dipole yang di kombinasikan dengan bentuk 2 persegi / quad. Dimana salah satu ujung dipole terhubung ke ground (conector) dan reflector dan ujung satunya lagi terhubung ke inner conector. Kekurangan dari antena PSM yang cukup menonjol adalah diperlukannya kabel pigtail spesifik yang kompatibel dengan masing-masing modem. Dalam pengembangannya antena ini telah dirancang dan dibuat dalam jumlah terbatas dengan spesifikasi untuk produksi massal, berikut adalah rancangan produk skala terbatas antena PSM (lihat Gambar 2 dan 3).
Gambar 2. Rancangan komponen antena PSM Sumber : (Pusat Inovasi LIPI, 2013)
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
173
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Gambar 3. Rancangan produk antena PSM Sumber : (Pusat Inovasi LIPI, 2013)
a. Proses produksi Proses produksi antena PSM secara garis besar cukup sederhana, sebagian proses produksi dikontrakkan ke mitra manufaktur dan proses yang nantinya dikerjakan oleh perusahaan adalah penyiapan bahan baku, pembuatan elemen, perakitan, QC dan pengemasan. Proses yang dikerjakan pihak mitra adalah proses press plat reflector, injection moulding chasing antena dan pembuatan kemasan. Karena prosesnya yang cukup sederhana teknologi ini dapat dengan mudah diadopsi oleh perusahaan pemula atau kelas kecil menengah dengan hanya membutuhkan sedikit pegawai. Dalam hal ini resiko kegagalan dalam produksi sangat kecil. Berikut adalah produk antena PSM hasil scale up terbatas (lihat Gambar 4).
Gambar 4. Antena PSM hasil produksi skala terbatas Sumber : (Pusat Inovasi LIPI, 2013)
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
174
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
b. Analisis Porter’s 5 forces Analisis Porter’s 5 forces digunakan untuk mengetahui hambatan-hambatan produk baru untuk memasuki pasar dan melihat apakah kondisi pasar cenderung kondusif (positif) atau tidak mendukung (negatif) terhadap produk baru tersebut. (Porter, 1985) Dalam bisnis di bidang produksi dan penjualan antena untuk perangkat modem ini posisi supplier cukup kuat dan menentukan, karena beberapa komponen masih harus impor. Biaya produksi masih bergantung pada fluktuasi harga terhadap bahan baku, komponen dan biaya injection moulding. Produk ini mudah tergantikan oleh antena lain yang sudah terkenal atau banyak terdapat di pasar. Produk juga akan tidak laku atau tertinggal jika teknologi koneksi nirkabel sudah berganti ke 4G atau LTE. Pembeli juga memiliki posisi yang kuat karena lebih mudah memilih dan membandingkan harga serta membeli melalui e-commerce atau jalur pemasaran online. Analisis porter’s 5 force antena PSM digambarkan pada Gambar 5 dan 6.
Gambar 5. Porter’s 5 force model
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
175
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Gambar 6. Analisis porter’s 5 force antena PSM
Secara garis besar hasil analisis porter’s 5 force menunjukkan bahwa kondisi pasar saat ini cenderung tidak mendukung untuk memulai bisnis antena PSM (ditunjukkan dengan tanda negatif pada 5 komponen analisis)
c. Perhitungan DCF Perhitungan Discounted Cash Flow (DCF) digunakan untuk menentukan nilai sekarang dengan mempertimbangkan nilai pendapatan di masa yang akan datang (Razgaitis, R., 2009, R.J.K., McIntosh, 1993). Perhitungan ini merupakan tool utama dalam valuasi dengan pendekatan income based. Sebagai dasar perhitungan DCF, diperkirakan kapasitas produksi yang layak untuk dijalankan adalah sebesar 1.200 antena per bulan atau 14.400 antena per tahun. Perkiraan ini tentu mempertimbangkan besar target pengguna yang ada di pasar. Jumlah pengguna modem di Indonesia saat ini diperkirakan berjumlah 500.000 (asumsi minimum / hanya untuk brand Bolt) dengan pertumbuhan 10% per tahun. Target pasar Antena PSM adalah 3% dari 500.000 pengguna modem yakni sebanyak 15.000 orang per tahun. Untuk dapat memproduksi 14.400 antena per tahun, perusahaan diperkirakan membutuhkan investasi sebesar Rp. 931.620.000, dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 8 orang. Perhitungan DCF terhadap bisnis Antena PSM ini mempertimbangkan beberapa faktor, seperti : sebagian proses produksi (injection moulding, metal stamping, dan pencetakan packaging) dilakukan secara sub kontrak oleh mitra perusahaan manufaktur, perusahaan yang melakukan bisnis ini adalah Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
176
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
177
Pusat Inovasi - LIPI
perusahaan pemula atau kecil menengah, proses produksi utama yang dilakukan perusahaan tersebut adalah perakitan, quality control dan pengemasan produk, perhitungan disesuaikan dengan sisa usia paten sejak didaftarkan pada tahun 2011 dari waktu penghitungan (tahun 2016) adalah 15 tahun, jumlah hari kerja dalam 1 bulan adalah 20 hari, gaji pegawai dalam 1 tahun dihitung 13 bulan. Faktor-faktor ini akan mempengaruhi perhitungan DCF secara langsung, salah satunya adalah pada perhitungan nilai biaya produksi dimana komponen biaya utilitas akan sangat kecil nilainya karena sebagian proses produksi dilakukan secara sub kontrak. Untuk mengetahui perhitungan DCF Antena PSM secara terperinci dapat dilihat pada tabel 1-4. • Biaya Produksi Tabel 1. Biaya Produksi DESKRIPSI Bahan Baku Plastik ABS Case dan stand plastik Konektor panel/mount-chassis (FME female) Kabel pigtail modem (FME male) Elemen antena kuningan Reflektor aluminium Mur baut konektor Spacer kuningan
JUMLAH 1,320 unit 1,320 1,320 1,320 1,320 2,520 1,320
unit unit unit unit pasang unit
HARGA
7,000
9,240,000
110,880,000
15,000 30,000 5,000 10,000 500 3,000
19,800,000 39,600,000 6,600,000 13,200,000 1,260,000 3,960,000
237,600,000 475,200,000 79,200,000 158,400,000 15,120,000 47,520,000
93,660,000
1,123,920,000
500,000 900,000
6,000,000 10,800,000
1,400,000
16,800,000
15,700,000
204,100,000
200 1,000 10,000
240,000 1,200,000 12,000,000 13,440,000
2,880,000 14,400,000 144,000,000 161,280,000
402,000,000
670,000 1,000,000 525,833 785,000 785,000 1,873,200
8,040,000 13,000,000 6,310,000 9,420,000 9,420,000 22,478,400
Grand Total HPP Total
129,839,033 108,199.19
1,574,768,400 109,358.92
10,440 Utilitas Air Listrik
Labor Tenaga Kerja Packing seal buble wrap Kardus Kemasan
Maintc., As., Lab, o.head, dll Maintenance Technical Supervision Asuransi Laboratorium Payroll overhead Plant Overhead
100 liter 500 Kwh
5,000 1,800
8 org
1,200 lembar 1,200 lembar 1,200 lembar
2.0%
TOTAL BULANAN TAHUNAN
1.0% 5% 5% 2%
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
178
Pusat Inovasi - LIPI
Biaya produksi total untuk 14.400 antena per tahun mencapai Rp. 1.574.768.400 dengan Harga Pokok Produksi (HPP) sebesar Rp. 109.358. Estimasi harga 160.000 dengan selisih 32% dari HPP dengan
nilai
jual produk dipatok pada Rp.
mempertimbangkan range harga produk pesaing yakni
Rp. 140.000 – 180.000. • Perhitungan Rugi Laba Tahunan Tabel 2. Perhitungan Rugi Laba Tahunan TAHUN KE
0
1
Kapasitas Kapasitas produksi Pendapatan Pendapatan dr hrg jual TOTAL PENERIMAAN
160,000
Biaya Produksi Bahan Baku Utilitas Tenaga Kerja Packaging Maintenance Technical Supervision Asuransi Laboratorium Payroll overhead Overhead TOTAL BIAYA PRODUKSI Biaya Usaha GSA Royalty Sewa Lahan dan Kantor Pengiriman TOTAL BIAYA USAHA Depresiasi Peralatan Utama Peralatan Bantu Utilitas
3.00% 2.00% 600
5 -
2
3
4
…
15
50% 7,200
75% 10,800
100% 14,400
100% 14,400
100% 14,400
100% 14,400
1,152,000,000 1,152,000,000
1,728,000,000 1,728,000,000
2,304,000,000 2,304,000,000
2,304,000,000 2,304,000,000
2,304,000,000 2,304,000,000
2,304,000,000 2,304,000,000
561,960,000 8,400,000 102,050,000 80,640,000 4,020,000 6,500,000 3,155,000 4,710,000 4,710,000 11,239,200 787,384,200
842,940,000 12,600,000 153,075,000 120,960,000 6,030,000 9,750,000 4,732,500 7,065,000 7,065,000 16,858,800 1,181,076,300
1,123,920,000 16,800,000 204,100,000 161,280,000 8,040,000 13,000,000 6,310,000 9,420,000 9,420,000 22,478,400 1,574,768,400
1,123,920,000 16,800,000 204,100,000 161,280,000 8,040,000 13,000,000 6,310,000 9,420,000 9,420,000 22,478,400 1,574,768,400
1,123,920,000 16,800,000 204,100,000 161,280,000 8,040,000 13,000,000 6,310,000 9,420,000 9,420,000 22,478,400 1,574,768,400
1,123,920,000 16,800,000 204,100,000 161,280,000 8,040,000 13,000,000 6,310,000 9,420,000 9,420,000 22,478,400 1,574,768,400
34,560,000 23,040,000 4,320,000 61,920,000
51,840,000 34,560,000 6,480,000 92,880,000
69,120,000 46,080,000 8,640,000 123,840,000
69,120,000 46,080,000 8,640,000 123,840,000
69,120,000 46,080,000 8,640,000 123,840,000
69,120,000 46,080,000 8,640,000 123,840,000
46,200,000 -
46,200,000 -
46,200,000 -
46,200,000 -
46,200,000
46,200,000
16,666,667
16,666,667
16,666,667
16,666,667
16,666,667
16,666,667
62,866,667
62,866,667
62,866,667
62,866,667
62,866,667
62,866,667
TOTAL BIAYA
912,170,867
1,336,822,967
1,761,475,067
1,761,475,067
1,761,475,067
1,761,475,067
EBIT % EBIT/Revenue Biaya Lainnya Bunga KI Bunga KMK
239,829,133 20.82
391,177,033 22.64
542,524,933 23.55
542,524,933 23.55
542,524,933 23.55
542,524,933 23.55
33,538,320 33,538,320
31,302,432 31,302,432
29,066,544 29,066,544
26,830,656 26,830,656
24,594,768 24,594,768
24,594,768 -
206,290,813
359,874,601
513,458,389
515,694,277
517,930,165
542,524,933
20,629,081
35,987,460
51,345,839
51,569,428
51,793,017
54,252,493
6.0% 12,377,448.80
21,592,476.08
30,807,503.36
30,941,656.64
31,075,809.92
32,551,496.00
Bangunan
15 TOTAL DEPRESIASI
TOTAL BIAYA LAIN EBT Bagi hasil Pajak
Net Profit
10.0%
173,284,283 302,294,665 431,305,047 433,183,193 435,061,339 455,720,944
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
179
Pusat Inovasi - LIPI
Dari perhitungan ini diketahui prosentase rata-rata EBIT terhadap pendapatan
adalah sebesar
23,3%. • Discounted Cash Flow Tabel 3. Perhitungan DCF Antena PSM TAHUN KE
0
1
Peneri ma a n Penjua l a n
-
Moda l Inves ta s i Moda l Kerja Total modal
3
1,728,000,000
4
2,304,000,000
…
2,304,000,000
15
2,304,000,000
2,304,000,000
(502,487,033) (502,487,033)
Biaya-Biaya - Bi a ya Produks i - Bi a ya Us a ha - Bi a ya Keua nga n Total biaya
-
Net Cashflow Net Cashflow Accumulated
IRR NPV
1,152,000,000
2
(502,487,033) (502,487,033)
15%
(129,839,033) (129,839,033)
-
-
-
-
-
787,384,200 93,600,000 79,010,601 959,994,801
1,181,076,300 140,400,000 92,133,092 1,413,609,392
1,574,768,400 187,200,000 105,255,583 1,867,223,983
1,574,768,400 187,200,000 103,243,284 1,865,211,684
1,574,768,400 187,200,000 101,230,985 1,863,199,385
1,574,768,400 187,200,000 103,690,461 1,865,658,861
62,166,165 (440,320,868)
314,390,608 (125,930,260)
436,776,017 310,845,757
438,788,316 749,634,073
440,800,615 1,190,434,689
438,341,139 5,576,305,552
45.12% 1,427,248,199
Dari perhitungan ini diketahui nilai NPV sebesar Rp. 1.427.248.199 . • Resume Tabel 4. Resume DCF Antena PSM INVESTASI Peralatan Utama Utilitas Shipping equipment Tanah dan Bangunan Biaya pra-operasional
PRODUKSI PER BULAN Bahan Baku Utilitas Labor Packing Maintc., As., Lab, o.head, dll
Rp Rp Rp Rp Rp Rp
SDM Jumlah Tenaga Kerja Biaya bulanan Biaya tahunan
Rp Rp
8 orang 15,700,000 204,100,000
KAPASITAS PRODUKSI Rp 93,660,000 Rp 1,400,000 Rp 15,700,000 Rp 13,440,000 Rp 1,873,200 Rp 126,073,200
BREAK EVEN POINT ANALYSIS BEP ROI
PAY BACK PERIOD Total investasi modal kerja PBP
231,000,000 26,000,000 145,000,000 400,000,000 129,620,000 931,620,000
2.07 21%
Rp
931,620,000 20.61 bulan
perhari perbulan pertahun
60 antena/hari 1200 antena/bulan 14400 antena/tahun
PENDAPATAN Harga Pokok Produksi Harga jual Pendapatan
Rp Rp Rp
IRR & NPV IRR NPV
Rp
109,359 /antena 160,000 /antena 192,000,000 /bulan
45.12% 1,427,248,199
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
d. Perhitungan Nilai Teknologi • Perhitungan Lisensi Rule of 25% dari prosentase rata-rata EBIT terhadap pendapatan : 25% x 23,3 = 5,8% 5,8% x NPV : 5,8% x Rp. 1.427.248.199 = Rp. 82.780.395 Pembulatan = Rp. 82.800.000 • Perhitungan Akumulasi Royalti Resiko pada bisnis ini kecil dan analisis kualitatif menunjukkan kondisi bisnis ini negatif sehingga nilai royalti dapat dipatok pada 2% dari penjualan. Secara akumulatif perkiraan nilai royalti teknologi ini selama 15 tahun adalah Rp. 656.640.000 • Total Nilai Paten Total nilai paten Antena Quad Dipole Open Cavity Sebagai Penguat Sinyal RF adalah : Nilai fee lisensi + Nilai perkiraan royalti akumulatif : Rp. 82.800.000 + Rp. 656.640.000 = Rp. 739.440.000 Total nilai paten ini cukup besar apabila dibandingkan dengan jumlah anggaran yang digunakan untuk penelitian yang berjumlah Rp. 155.000.000.
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil valuasi menggunakan pendekatan income based terhadap paten Antena Quad Dipole Open Cavity Sebagai Penguat Sinyal RF dengan sisa usia 15 tahun, secara total sebesar Rp. 739.440.000. Besaran fee lisensi sebagai dasar negosiasi adalah Rp. 82.800.000. Besaran royalti mempertimbangkan hasil analisa kualitatif Porter’s 5 forces terhadap kondisi bisnis antena PSM yang cenderung negatif, hasilnya royalti dipatok sebesar 2% dari penjualan dengan perkiraan akumulasi pendapatan royalti selama 15 tahun sebesar Rp. 656.640.000. Metode dan pendekatan terhadap valuasi teknologi terutama paten perlu terus dikembangkan dan diuji melalui penelitian lanjutan, khususnya pada penerapan pendekatan income based yang saat ini dipandang ideal bagi banyak institusi. Kompatibilitasnya untuk menghitung paten yang berbeda dan jenis KI yang lain perlu diuji.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
180
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Alm. Asep Yudi Hercuadi dan Yaya Sulaiman sebagai inventor utama paten Antena Quad Dipole Open Cavity Sebagai Penguat Sinyal RF yang telah memberikan informasi bagi penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous. (2006). Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006. LIPI. (2015). Peraturan Kepala LIPI Nomor 7 Tahun 2015. Smith, G. V. dan Parr, R. L. (1998). Intellectual Property: Licensing and Joint Venture
Profit Strategies, Edisi ke
II, John Wiley & Sons Inc, New York. Creswell, John W. (2003). Research Design;Qualitative, Quantitative, And Mix Methods Approaches. Porter, M. (1985). Competitive advantage, Simon & Schuster, New York. Aries, R. S., & Newton, R. D. (1955). Chemical Engineering Cost Estimation. McGraw-Hill Book Company. Aiman, Syahrul. (2014). Penetapan Nilai Paten Lembaga Litbang Pemerintah. Warta KIML Vol. 12 No. 1 Tahun 2014, Pusat Penelitian Perkembangan Iptek, LIPI Pusat Inovasi LIPI. (2013). Laporan Inkubasi Antena Penguat Sinyal Modem. Jakarta: Pusat Inovasi LIPI. Razgaitis, R. (2009). Valuation and Dealmaking of Technology-Based Intellectual Property: Principles, Methods and Tools. John Wiley & Sons, Inc. R.J.K., McIntosh. (1993). Discounted Cash Flow: Their Current Use, val. land econ. Srividya, G. (2015). Intellectual Property Valuation. Singapore.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
181
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PEB 07
ANALISA KELAYAKAN BISNIS PRODUK MIKROSILIKA LIPI DALAM PENGUATAN DAYA SAING TENANT INKUBATOR LIPI Syukri Yusuf Nasution dan Sarwintyas Prahastuti Pusat Inovasi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Jakarta Bogor KM 47, Cibinong, Kabupaten Bogor
[email protected]
Abstrak. Produk mikrosilika mempunyai potensi pasar yang menjanjikan karena dapat diaplikasikan pada berbagai industri.Dengan menggunakan teknologi hasil penelitian LIPI, sedang dilakukan inkubasi terhadap perusahaan pemula untuk meningkatkan daya saing bisnis produk ini.Dalam melakukan analisa kelayakan usaha ini,dilakukan perhitungan kelayakan investasi dan analisa dari beberapa aspek lainnya.Analisis aspek finansial meliputi perhitungan Harga Pokok Produksi (HPP), Internal Rate of Return (IRR), Net Present Value (NPV), dan Payback Period (PP). Dari hasil analisis diperoleh nilai HPP= Rp32.139,- per kg produk, nilai IRR=180,10%, NPV bernilai positif yakni Rp.13.168.828.469,- dengan nilai PP dibawah 1 tahun, hal ini menunjukkan bahwa secara investasi produk ini layak dikembangkan dalam suatu bisnis. Demikian pula dengan hasil analisis terhadap aspek lainnya seperti aspek pemasaran, aspek teknologi, aspek legal, dan aspek manajemen sumber daya manusia, menunjukkan usaha ini layak dikembangkan.
Kata Kunci: Inkubasi, Kelayakan Usaha, Daya Saing, Kelayakan Investasi, Aspek Pemasaran, Aspek Teknologi Aspek Legal, Sumber Daya Manusia
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
182
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN Dalam rangka mengkomersialisasikan hasil penelitian LIPI, Pusat Inovasi - LIPI melakukan kegiatan Inkubasi dan Alih Teknologi.Dengan ketersediaan fasilitas gedung dan layanan inkubasi, diharapkan dapat terjadi pemanfaatan ilmu pengetahuan teknologi yang lebih luas melalui terbentuknya wirausaha muda.Salah satu kegiatan inkubasi yang dilakukan adalah Industri Produk mikrosilika dengan menggunakan teknologi hasil penelitian LIPI yang mulai diinkubasi pada tahun 2015. Produk mikrosilika ini mempunyai potensi pasar yang menjanjikan karena produk ini dapat diaplikasikan pada industri karet, ban, keramik, konstruksi, cat, dan lain sebagainya.Melalui kegiatan inkubasi ini diharapkan dapat memberikan peluang yang besar kepada wirausaha muda dalam mengembangkan bisnis produk tersebut. Bahan baku produk ini telah dikenal sejak jaman purba, banyak ditemui dalam bentuk pasir dan kuartza, dan telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai aplikasi. Pemanfaatannya yang paling umum dan memiliki nilai komersial adalah sebagai bahan utama industri gelas dan kaca serta sebagai bahan baku pembuatan sel surya. Seiring dengan perkembangan teknologi, saat ini aplikasi penggunaan silika pada industri semakin meningkat.Salah satu contoh adalah produk mikrosilika ini yang banyak diaplikasikan dalam material bangunan, yaitu sebagai bahan campuran pada beton.Di dalam beton produk mikrosilika ini berfungsi sebagai penguat beton (concrete reinforced material) dan meningkatkan daya tahan (durability) (Kholida, 2013).Dengan menggunakan bahan mikrosilika ini maka konstruksi bangunan menjadi dua kali lebih kokoh, tahan gempa, dan kedap air laut.Nurul Taufiqu Rochman juga menjelaskan lebih lanjut bahwa pencampuran beton dengan 10% bahan mikro dan nanosilika dapat membuat kekuatan beton bertambah menjadi dua kali lipatnya. Indonesia memiliki potensi bahan baku silika ini hingga miliaran ton. Bahan tersebut dapat ditemukan di berbagai tempat, seperti pantai, pegunungan, dan lain-lain sehingga dapat diperoleh dengan mudah dan murah. Untuk mengolah bahan baku produk ini menjadi berukuran mikrometer, bahkan nanometer (sepermilimeter) digunakan alat penghancur dan pengolah khusus, yaitu ball mill.Sampai dengan saat ini, kebutuhan produk ini di dalam negeri masih diimpor dengan harga relatif mahal. Dengan adanya sumber bahan baku yang melimpah dan dengan adanya teknologi ini diharapkan dapat menjadi alternatif pengganti impor.Untuk dapat merealisasikan harapan tersebut, LIPI melalui Pusat Inovasi sejak tahun 2015 melakukan inkubasi terhadap perusahaan pemula untuk industri produk ini. Di dalam proses inkubasi ini Pusinov LIPI melakukan proses pembinaan, pendampingan, dan pengembangan usaha terhadap perusahaan pemula yang diinkubasi ini.
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
183
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan metode kuantitatif dan deskriptif analisis.Data yang digunakan meliputi data primer dan sekunder.Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan, dalam hal ini diperoleh dari pengamatan langsung melalui wawancara dengan pendekatan pendapat pakar, yaitu peneliti ahli produk ini.Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan bacaan berdasarkan studi literatur yang mendukung penelitian. Pengolahan dan analisis data meliputi analisis terhadap keempat aspek yang dibahas dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut. 1.
Aspek Pasar dan Pemasaran
Dalam menganalisis aspek pasar dan pemasaran perlu diadakan penelitian terhadap beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu Permintaan, Penawaran, Proyeksi permintaan dan penawaran, Proyeksi penjualan, Produk (barang/jasa), Segmentasi pasar, Strategi dan implementasi pemasaran (Subagyo, 2008). Dalam aspek ini dibahas mengenai segmentasi dan target pasar, jumlah permintaan dan penawaran terhadap produk, kualitas dan spesifikasi produk, metode penetapan harga, dan promosi (Afandi, 2009).
2.
Aspek Teknis dan Teknologis
Tujuan aspek ini adalah (a) agar perusahaan dapat menentukan lokasi yang tepat, baik untuk lokasi pabrik, gudang, cabang, maupun kantor pusat, (b) agar perusahaan bisa menentukan layout yang sesuai dengan proses produksi yang dipilih sehingga dapat efisien, (c) agar perusahaan bisa menentukan teknologi yang paling tepat dalam menjalankan produksinya, (d) agar perusahaan dapat menentukan metode persediaan yang paling baik untuk dijalankan sesuai dengan bidang usahanya, (e) agar perusahaan bisa menentukan kualitas tenaga kerja yang dibutuhkan sekarang dan di masa yang akan datang (Kasmir dan Jakfar, 2007). Pengkajian aspek teknis meliputi kapasitas produksi, bahan baku dan bahan pembantu, teknologi dan mesin peralatan, proses produksi, dan kebutuhan utilitas. (Mulyadi, dkk., 2016).
3.
Aspek Hukum dan Legalitas
Aspek hukum ini dimaksudkan untuk mengayomi dan sekaligus sebagai payung hukum dalam bentuk dan kegiatan perusahaan selanjutnya.Hukum Bisnis adalah suatu perangkat kaidah hukum yang mengatur tatacara pelaksanaan urusan atau kegiatan dagang, industri, atau keuangan yang dihubungkan dengan produksi atau pertukaran barang atau jasa dengan menempatkan uang dari para entrepreneur dalam risiko tertentu dengan usaha tertentu dengan motif untuk mendapatkan keuntungan (Fuady, 2005).Analisis aspek hukum dan legalitas ini dimaksudkan untuk mengetahui keabsahan, kesempurnaan, dan keaslian Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
184
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
dari dokumen-dokumen yang dimiliki. Suatu usaha dikatakan legal jika telah mendapatkan ijin usaha dari pemerintah daerah setempat melalui instansi atau lembaga atau departemen atau dinas terkait. Kegiatan usaha dimana pun selalu memerlukan dokumen penunjang usaha beserta ijin-ijin yang diperlukan sebelum menjalankan usahanya.(Afandi, 2009). Aspek ini bertujuan untuk mengetahui apakah pembangunan suatu usaha sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mengetahui jenis badan usaha yang akan didirikan. (Zulkarnaini, dkk., 2014).
4.
Aspek Manajemen dan Sumber Daya Manusia
Aspek manajemen terdiri dari tiga kegiatan yang meliputi: (1) manajemen studi kelayakan (dilakukan sebelum kegiatan bisnis dimulai), (2) manajemen proyek (dilakukan untuk menyiapkan infrastruktur bisnis), (3) manajemen bisnis (dilakukan setelah infrastruktur tersedia). Ruang lingkup pengembangan sumber daya manusia di dalam suatu organisasi mencakup tiga pokok kegiatan yang saling berkaitan yaitu: (a) perencanaan sumber daya manusia, (b) pendidikan dan pelatihan sebagai upaya pengembangan sumber daya manusia, dan (c) manajemen sumber daya manusia (Notoatmojo, 1998). Di samping itu juga aspek ini membahas mengenai sumber daya yang digunakan dalam usaha/bisnis, kebutuhan sumber daya manusia, dan struktur organisasi,
5.
Aspek Keuangan
Dalam aspek keuangan dan ekonomi terdapat enam kriteria yang biasa digunakan untuk menentukan kelayakan suatu usaha atau investasi, yaitu Payback period (PP), Net Present Value (NPV), Average Rate of Return (ARR), Internal Rate of Return (IRR), Profibility Index (PI), serta berbagai rasio keuangan seperti rasio likuiditas, solvabilitas, aktivitas, dan profitabilitas (Kasmir dan Jakfar, 2007).Dalam aspek keuangan, analisis data menggunakan analisis kelayakan investasi. Analisis kelayakan investasi produk bertujuan diantaranya (Kasmir dan Jakfar, 2007): a.
Menghindari risiko kerugian
Bertujuan untuk meminimalkan risiko yang dapat dikendalikan maupun yang tidak dapat dikendalikan. b.
Memudahkan perencanaan
Perencanaan tersebut meliputi jumlah dana, waktu pelaksanaan, lokasi, serta keuntungan yang akan didapat. c.
Memudahkan pelaksanaan pekerjaan
Perencanaan yang telah dibuat dapat dijalankan sesuai dengan jadwal pelaksanaan usaha sehingga pelaksanaan pekerjaan dapat berlangsung dengan lancar. Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
185
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
d.
Memudahkan pengawasan
Pengawasan dilakukan agar pelaksanaan usaha tidak melenceng dari rencana yang telah disusun (business plan). e.
Memudahkan pengendalian
Tujuannya yaitu untuk mengembalikan pelaksanaan pekerjaan yang tidak sesuai dari pengawasan. Aspek kelayakan investasi ini juga menjadi dasar dalam mencari investor yang akan turut serta mengembangkan bisnis produk ini.
Metode atau alat yang digunakan dalam analisis kelayakan investasi, meliputi: A.
Metode Payback Period (PP)
Payback Period adalah suatu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi (initial cash investment) dengan menggunakan aliran kas, dengan kata lain payback period merupakan rasio antara initial cash investment dengan cash inflow-nya yang hasilnya merupakan satuan waktu (Umar, 2005).
a.
Jika PP < waktu maksimum, maka usulan proyek tersebut dapat diterima.
b.
Jika PP > waktu maksimum, maka usulan proyek tersebut ditolak.
B.
Metode Net Present Value (NPV)
Metode NPV adalah selisih antara Present Value dari investasi dengan nilai sekarang dari penerimaanpenerimaan kas bersih (aliran kas operasional maupun aliran kas terminal) di masa yang akan datang (Umar, 2005). NPV = Total PV Aliran Kas Bersih – Total PV Investasi a.
Jika NPV > 0, maka investasi diterima.
b.
Jika NPV < 0, maka investasi ditolak.
C.
Metode Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return adalah tingkat diskonto yang menyamakan nilai sekarang arus kas dengan investasi awalnya (Astuti, 2006).
P1 = Tingkat bunga 1 P2 = Tingkat bunga 2 Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
186
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
C1 = NPV 1 C2 = NPV 2 a.
Jika IRR>suku bunga yang telah ditetapkan maka investasi diterima.
b.
Jika IRR<suku bunga yang telah ditetapkan maka investasi ditolak.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Aspek Pemasaran Saat ini dengan perkembangan teknologi mulai banyak aplikasi penggunaan silika pada industri semakin meningkat terutama dalam penggunaan silika pada ukuran partikel yang kecil sampai skala mikron atau bahkan nanosilika. Kondisi ukuran partikel bahan baku yang diperkecil membuat produk memiliki sifat yang berbeda yang dapat meningkatkan kualitas. Sebagai salah satu contoh silika dengan ukuran mikron banyak diaplikasikan dalam material building, yaitu sebagai bahan campuran pada beton. Rongga yang kosong di antara partikel semen akan diisi oleh mikrosilika sehingga berfungsi sebagai bahan penguat beton (mechanical property) dan meningkatkan daya tahan (durability). Selama ini kebutuhan mikrosilika dalam negeri dipenuhi oleh produk impor. Ukuran lainnya yang lebih kecil adalah nanosilika banyak digunakan pada aplikasi di industri ban, karet, cat, kosmetik, elektronik, dan keramik. Sebagai salah satu contoh adalah pada produk ban dan karet secara umum. Manfaat dari penambahan nanosilika pada ban akan membuat ban memiiki daya lekat yang lebih baik terlebih pada jalan salju, mereduksi kebisingan yang ditimbulkan dan usia ban lebih pajang daripada produk ban tanpa penambahan nanosilika. Utilisasi kapasitas produksi industri silika lokal belum maksimal, baru 50% dari kapasitas maksimal yang ada. Hal ini disebabkan karena produk silika lokal yang dihasilkan belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan oleh pasar yaitu silika dengan ukuran sub mikron, sementara hasil produksi silika lokal berukuran ≥ 30 µm. Dengan cadangan bahan baku silika yang melimpah dan potensi pasar yang masih terbuka lebar maka perlu dicarikan solusi agar sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal bagi perkembangan industri. Pemasaran ditujukan pada industri yang banyak menggunakan produkini, seperti industri ban, barang karet teknik, cat, keramik, dan industri bahan bangunan lainnya.Strategi pemasaran yang diterapkan adalah dengan membuat produk mampu bersaing, baik dari segi kualitas maupun harga dengan produk yang masih banyak diimpor. Dengan ketersediaan bahan baku yang melimpah di dalam negeri dengan harga yang relatif murah maka produk ini diharapkan akan mampu bersaing dengan produk Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
187
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
impor.Sebagai gambaran, harga 1 kg pasir silika dari alam adalah Rp. 500,-; namun bila ditingkatkan kadarnya menjadi silika murni maka nilainya menjadi Rp. 150.000,-/kg. Nilai ini terus meningkat bila diolah menjadi nano silika dengan harga mencapai Rp. 3.000.000,-/kg. Adapun supply chain dari produk ini dapat berasal dari mineral silikat dengan jumlah yang melimpah di Indonesia, tersebar dari pulau Sumatera hingga Papua . Mineral silikat dengan kadar silika yang cukup tinggi (50-90%) diantaranya terdapat kuarsit, pasir pantai dan felspar.Potensi silikadi P. Bangka dan Belitung mencapai 60.193.000 ton, kuarsit di Riau 19.500.000ton, dan felspar di Jawa Tengah mencapai 44.000.000 ton (Ditjen Minerbapabum, 2009).
2. Aspek Teknis dan Teknologis Kebutuhan produk ini di dalam negeri masih dipenuhi melalui impor dengan harga relatif mahal. Adanya ketersediaan bahan baku yang melimpah dan dengan proses lebih lanjut menggunakan teknologi yang tepat maka bahan baku tersebut dapat diproduksi menjadi Produk yang mempunyai nilai tambah dan bernilai ekonomi tinggi sehingga dapat menjadi alternatif solusi pemenuhan kebutuhan akan produk ini.
Teknologi yang digunakan meliputi teknologi pencucian pasir silika dan teknologi pemurnian pasir silika.Setelah pemurnian, dilakukan penghalusan hingga berukuran 200-400 mesh dengan menggunakan alat ballmill. Alat penghancur mineral ini merupakan temuan Nurul Taufiqu Rochman, peneliti LIPI pada tahun 2004 dan telah didaftarkan patentnya pada September tahun 2008 di Direktorat Jenderal HaKI, dengan Nomor Paten P00200800640 dan P00200800641.
3. Aspek Hukum dan Legalitas Tenant yang sedang dalam proses inkubasi LIPI ini merupakan sudah terbentuk dalam suatu badan badan usaha yakni PT. DNRInternational yang telah memiliki surat-surat ijin yang lengkap dan valid untuk mendirikan sebuah perusahaan. Perusahaan inididirikan dengan Akta Notaris No 11, pada tanggal 08 Desember 2009 (08-12-2009) di hadapan Aswendi Kamuli, SH, Notaris di Jakarta, dan telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Nomor C – 1757.HT.03.02 tertanggal 30Desember 2009.
4. Aspek Manajemen dan Sumber Daya Manusia Analisis aspek manajemen antara lain meliputi struktur organisasi dan sumber daya manusia. Agar dapat mencapai efisiensi perusahaanyang tinggi maka diperlukan struktur organisasi yang baik.Dengan Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
188
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
struktur organisasi yang baik, dapat menentukan kelancaran aktivitas perusahaan sehari-hari dalam memperoleh laba yang maksimal serta dapat berproduksi secara kontinu dan berkembang. Struktur organisasi yang dianut adalah sistem organisasi garis dan staf yang mempunyai beberapa keuntungan, yaitu: a) sederhana dan jelas, b) memudahkan pengambilan keputusan, c) pengarahan dan pemberian informasi mudah dilakukan dengan melihat garis dalam sistem yang bersangkutan, dan d) pembagian tugas menjadi jelas antara pelaksana tugas poko dengan pelaksana tugas penunjang. Operasional pabrik secara keseluruhan dikendalikan oleh manajer pabrik yang membawahi dua kepala seksi, yaitu Seksi Produksi dan Seksi Nonproduksi.Kepala Seksi Produksi membawahi karyawan yang menangani produksi, mesin/utilitas, dan pengawasan mutu/keamanan; sedangkan Kepala Seksi Nonproduksi membawahi karyawan litbang, pemasaran dan penjualan, serta akuntansi dan keuangan.Dengan demikian, diperkirakan jumlah SDM yang dibutuhkan adalah sekitar 12 orang untuk tahap pengembangan produksi produk.
5. Aspek Keuangan Dalam aspek keuangan, analisa kelayakan investasi dimulai dengan mengetahui proses produksi secara keseluruhan, yaitu mulai dari bahan baku, lama proses produksi, sampai jumlah tenaga kerja yang melakukan pembuatan satu produk sehingga dapat diprediksi jumlah maksimum yang dapat diproduksi dalam satu hari atau satu periode tertentu.
5.1. Perhitungan Harga Pokok Produksi (HPP) dan Arus Kas HPP diperoleh dengan mendefenisikan biaya variabel (variabel cost)yang terlibat untuk kebutuhan produksi. Pada perhitungan HPP, jumlah proyesi produksi diasumsikan sebanyak 1.000 kg dalam waktu 1 hari, sehingga kapasitas dalam 1 bulan sebanyak 25.000 kg(25 hari kerja) atau setara dengan 275.000 kg untuk 1 tahun (11 bulan hari kerja). Berdasarkan asumsi tersebut dan dari perhitungan yang dilakukan, didapatkan nilai HPP sebesar Rp32.139,- per kg. Dengan HPP tersebut, harga jual dapat diestimasi sebesar Rp45.000,- per kg dengan margin keuntungan sebesar 140,02%. Adapun perhitungan laba rugi dan arus kas dapat diperoleh dengan memperkirakan biaya tetap (fixed cost) seperti biaya peralatan/dan biaya tenaga kerja,menghitungbiaya variabel (variabelcost), mengkalkulasi depresiasi peralatan, serta menghitung pengeluaran suku bunga pinjaman modal. 5.2.
Perhitungan Aspek kelayakan Investasi
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
189
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
190
Pusat Inovasi - LIPI
PaybackPeriod (PP), InternalRateReturn (IRR), dan Net Present Value (NPV)dapat dihitung dengan mengkalkulasikan nilai dari arus kas yang terdiskonto (Discounted Cash Flow). Nilai DCF dapat diperhitungkan dari akumulasi total modal dan pendapatan dari penjualan dikurangi dengan biaya usaha seperti biaya produksi dan biaya keuangan (pinjaman). Perhitungan IRR dan NPV ditunjukkan dalam Tabel 1.kalkulasi DCF sebagai berikut:
Tabel 1.Perhitungan DCF, IRR, Dan NPV(satuan Rupiah) Tahun KePenerimaan Penjualan Modal Investasi Modal Kerja Total Modal Biaya Biaya Produksi
0
1
2
3
4
5
-
9.900.000.000
12.375.000.000
12.375.000.000
12.375.000.000
12.375.000.000
(1.435.400.000) (1.435.400.000)
(175.400.000) (175.400.000)
-
-
-
-
-
798.960.000
973.200.000
973.200.000
973.200.000
973.200.000
7.865.000.000
7.865.000.000
7.865.000.000
7.865.000.000
401.881.267
370.870.867
339.860.467
242.490.400
Biaya Usaha
-
Biaya Keuangan
-
Total Biaya
-
Net Cash Flow Net Cash Flow Accumulated Internal Rate of 14,0% Return (IRR) Net Present Value (NPV)
6.292.000.000 366.532.000
9.240.081.267
9.209.070.867
9.178.060.467
9.080.690.400
(1.435.400.000)
7.457.492.000 2.267.108.000
3.134.918.733
3.165.929.133
3.196.939.533
3.294.309.600
(1.435.400.000)
831.708.000
3.966.626.733
7.132.555.867
10.329.495.400
13.623.805.000
180,10%
13.168.828.469
Sumber: diolah dari data primer dan sekunder
Dari Tabel.1 dapat diketahui bahwa keuntungan sudah diperoleh pada tahun pertama penjualan.Dari tabel tersebut juga diperoleh nilai Internal Rate Return (IRR) yang lebih besar dari suku bunga bank yakni 14% serta kalkukasi nilai Net Present Value (NPV) yang bernilai positif yakni Rp.13.168.828.469,- yang menunjukkan nilai investasi kelayakan produk ini layak untuk dikembangkan. Perhitungan nilai Discounted Cash Flow (DCF) ditujukan untuk menghitung nilai wajar suatu perusahaan atau juga dapat dijadikan sebagai alat untuk memvaluasi suatu perusahaan melalui pemasukan laba/cash flow, sehingga pemasukan dan total penghasilan yang diperoleh dapat diprediksi untuk jangka waktu tertentu kedepannya. Adapun analisa perhitungan Payback Period (PP) untuk produk ini dapat juga digambarkan dari hasil Tabel.1sebagaimana ditunjukkan oleh grafik sebagai berikut: Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Gambar 1. Grafik Payback Period(PP) Produk mikrosilika hingga 10 tahun (Sumber: diolah dari data primer dan sekunder)
Dari Gambar 1. di atas menunjukkan bahwa nilai Payback Period (PP) pengembangan bisnis mikrosilika ini berada pada kisaran di bawah 1 tahun. Hal ini erat kaitannya dengan minat investor untuk melakukan investasi dalam bisnis produk ini, dimana semakin cepat nilai PP yang diperoleh maka akan memberikan keuntungan yang lebih cepat kepada pemegang saham. 5.2. Analisis Bussiness Model Canvas Bussiness Model Canvas (BMC) adalah salah satu dokumen yang saat ini banyak digunakan sebagai acuan dalam pembuatan dokumen bisnis (bussiness plan) yang disederhanakan dalam 9 kriteria utama. Dokumen Bussiness Model Canvas ini ditemukan oleh Alexander Osterwalder untuk mempermudah pembuatan dan membaca blue-print suatu perusahaan. Analisa Bussiness Model Canvas ini terdiri dari 9 blok utama yaitu value proposition, Customer Relationships, Customer Segments, Key Activities, Key Partners, Key Resources, Channels, Cost Structure, dan Revenue Streams.Analisa BMC ini secara garis besar ingin melihat kondisi finansial, infrastruktur, konsumen, dan nilai proposisi dari perusahaan dan bisnis yang dikembangkan.BMC merupakan dokumen bisnis yang bersifat “hidup” artinya dokumen ini dapat berkembang sesuai dengan waktu dan kondisi bisnis yang dilakukan. Secara keseluruhan Bussiness Model Canvas pengembangan produk mikrosilika ini ditunjukkan oleh Gambar.2 sebagai berikut:
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
191
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Key Partners
Key Activities
- Pemilik tambang pasir
- Perakitan alat-alat
silika
produksi
- Industri pengguna: kaca, karet, ban, dlsb - Universitas/lembaga litbang
- Uji coba produksi - Uji Pasar - Pengurusan izin produksi, merek,
- Kemenperin
lisensi dll
Value Propositions
- Substitusi bahan baku impor - Harga yang
Customer Relationships
- Jasa makloen/subcon - Support dalam promosi - Penyesuaian
kompetitif - Jaminan mutu
Customer Segments
Spesifikasi Produk
- Industri Pengguna: Kaca, Karet, Ban, Cat, Coating, Pupuk, dlsb - Distributor/Agen
produk
- Kementerian ESDM - Asosiasi industri pengguna
Key Resources
Channels
Mesin dan metode
Website
- Investor
- Social media
- Sumber daya
- Komunitas/asosiasi - Penjualan langsung
manusia - Jejaring
- Agen
- Product
- Pameran
Knowledge Cost Structure
Revenue Streams
- Sewa alat produksi
- Lisensi produksi
- Pembelian bahan baku
- Penjualan produk - Kerjasama pengembangan produk
Gambar. 2 Analisis Bussiness Model Canvas Produk Mikrosilika (Sumber: diolah dari data primer dan sekunder)
Dengan analisa BMC ini dapat diketahui bahwasanya produk mikrosilika ini harus dapat dikembangkan dari sisi pelanggan, infrastruktur, jeajaring dan juga pemasaran yang baik agar produk ini dapat berhasil diterima di pasar.
KESIMPULAN Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
192
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
193
Pusat Inovasi - LIPI
Berdasarkan analisis terhadap lima aspek yang dikaji untuk kelayakan bisnis produk mikrosilika dapat disimpulkan bahwa usaha produk tersebut layak dikembangkan. Dari aspek pemasaran produk ini memiliki peluang yang sangat besar sebagai subtitusi impor, sedangkan dari aspek teknologi sangat mendukung yakni menggunakan teknologi yang bersifat Hi-Technology yang patentnya sudah didaftarkan,sehingga strategi komersialisasi berbasis IP (Inetelectual Property) dapat dilaksanakan. Ditinjau dari aspek hukum, perusahaan sudah terbentuk dan tercatat secara hukum yang memudahkan proses pengembangan bisnis dengan nama perusahaan PT. DNR International. Sedangkan dari aspek sumber daya manusia perlu dikembangkan jumlah SDM yang kompeten dengan jumlah minimum 12 orang yang diharapkan mampu menjalankan bisnis utama produk ini.Adapun dari aspek keuangan (kelayakan investasi), didapatkan bahwa: a) harga jual produk Rp.45.000/kg dengan margin keuntungan 140,02% dengan nilai HPP Rp.32.139,-; b) Payback Period (PP) diperoleh dibawah 1 tahun yang berarti bahwa nilai investasi dapat dikembalikan dengan cepat; c) Nilai Internal Rate Return (IRR) sebesar 180,10% yang menunjukkan investasi diterima karena hasilnya lebih besar dari suku bunga yang ditetapkan,dan d) Nilai Net Present Value (NPV) sebesar 13.168.828.469,- yang menunjukkan investasi diterima karena menghasilkan nilai positif.
DAFTAR PUSTAKA Kholida, Liya. 2013. Resume Nano Silika. Jember: Jurusan Fisika, Fakulta MIPA, Universitas Jember. Anonim.
2016.
Teknologi
Nano
Gandakan
Kekuatan
Beton.
Antara,
5
September
(http://www.fisika.lipi.go.id/webfisika/content/teknologi-nano-gandakan-kekuatan-beton,
diakses
2006. 14
September 2016). Subagyo, Ahmad. 2008. Studi Kelayakan Teori dan Aplikasi. PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Kasmir dan Jakfar. 2007. Studi Kelayakan Bisnis, Edisi 2. Kencana, Jakarta. Fuady, Munir. 2005. Pengantar Hukum Bisnis. PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Afandi. 2009. Analisis studi kelayakan investasi pengembangan usaha distribusi PT Aneka Andalan Karya. Fakultas Ekonomi
Universitas
Gunadarma.
(www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/economy/2009/Artikel_10205041.pdf, diakses 14 September 2016). Notoatmodjo, Soekidjo. 1998. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Rineka Cipta, Jakarta. Mulyadi, Arie Febrianto, Effendi, Usman, Priadianto, Rio Widiyan. 2016. Analisis Kelayakan Teknis dan Finansial Produksi Selai dari Tanaman Nipah (Nypa fructicans): Studi Kasus di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. (https://www.researchgate.net/publication/265966754, diakses 14 September 2016) Ditjen Minerbapabum, 2009, Indonesia Mineral, Coal, Geothermal and Ground Water Statistics 2009
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Zulkarnaini, Afrizal; Yuniar; dan Saleh, Alex.2014. Analisis Kelayakan Pembangunan Usaha Pupuk Organik di Provinsi Lampung.Reka Integra, Jurnal Online Institut Teknologi Nasional, 1 (2): 243 – 253. Umar, Husein. 2005. Studi Kelayakan Bisnis, Edisi 3. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Astuti, Dewi. 2004. Manajemen Keuangan Perusahaan, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta. A. Osterwalder, 2010, Business Model Generation, self published
Sub Tema Penciptaan Ekosistem Bisnis Berbasis Teknologi
194
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
DSE 01
PELUANG PEMANFAATAN PATEN DOMAIN PUBLIK UNTUK INISIASI UKM BERBASIS SDA UNGGULAN DAERAH: STUDI KASUS POTENSI PENGEMBANGAN KOMODITAS MANGGA DI INDRAMAYU Harini Yaniar, S.Si., M.Kom. dan Adi Ankafia, S.E. Pusat Inovasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jl. Raya Jakarta – Bogor Km. 47, Cibinong, Bogor 16912
[email protected] Abstrak. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2014) mencatat produksi mangga di Jawa Barat sebagian besar dihasilkan oleh Indramayu dengan capaian 68.506 Ton per tahun atau 19,90% produksi nasional yang diikuti oleh Cirebon dengan produksi mangga sebesar 6.722 Ton per tahun atau 18,03%, Majalengka dengan produksi mangga sebesar 48.521 Ton per tahun atau 14,10%, Kuningan dengan produksi mangga sebesar 39.377 Ton per tahun atau 11,44%, dan Sumedang dengan produksi mangga sebesar 29.008 Ton per tahun atau (8,43%).Namun pemanfaatan pasca panen mangga di Indramayu belum maksimal. Selama ini hasil panen mangga hanya dijual dalam bentuk buah langsung konsumsi. Kelemahan paling mendasar dari hasil hortikultura seperti mangga adalah mudah busuk. Beberapa rumah tangga telah berusaha mencoba membuat produk turunan berbasis buah mangga seperti dodol mangga dan sirup mangga. Hanya saja, hasil kreasi tersebut belum sampai pada tahap untuk dipasarkan. Produksinya masih sebatas untuk dikonsumsi sendiri dan/atau dibuat untuk merayakan momen-momen tertentu, seperti lebaran Idul Fitri, misalnya. Penelitian ini mempunyai tujuan memotret peluang pemanfaatan paten domain publik yang dapat diterapkan pada pengolahan mangga untuk inisiasi UKM berbasis sumber daya alam unggulan daerah khususnya Indramayu. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif dengan analisis data secara deskriptif melalui pendekatan literatur dan penelusuran dokumen paten. Studi literatur dengan mencari sumber informasi melalui buku maupun internet. Dokumen paten ditelusuri dengan memasukkan berbagai kombinasi kata kunci terkait teknologi dari paten yang telah domain publik yang dapat membawa manfaat untuk inisiasi UKM berbasis sumber daya alam unggulan daerah di Indramayu melalui situs informasi paten yaitu Patentscope.
Kata kunci : Mangga, UKM, Paten Domain Publik, Indramayu
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
195
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN Mangga adalah salah satu jenis buah-buahan yang memiliki banyak penggemar. Daging buah bertekstur lembut berpadu dengan kelezatan rasa yang menyegarkan menjadikan buah mangga banyak dicari orang untuk dikonsumsi. Mangga juga merupakan salah satu hasil sumberdaya alam di Indonesia yang berlimpah. Indramayu merupakan salah satu sentra penghasil mangga berkualitas baik. Menurut Setyabudi et.al. (2007) mangga telah menjadikan Indramayu sebagai pusat agroindustri di Jawa Barat.USDA (2013) menuturkan bahwa mangga merupakan pangan bergizi tinggi dengan kandungan 65 kkal energi, 17,00 gr karbohidrat, 14,8 gr gula, 1,8 gr diet serat, 0,27 gr lemak, 0,51 gr protein, 38 mg vitamin A, 445 mg beta-karoten, 0,058 mg vitamin B1 (thiamine), 0,057 mg vitamin B2 (riboflavin), 0,584 mg vitamin B3 (niacin), 0,160 mg vitamin B5 (asam pantotenat), 0,134 mg vitamin B6, 14 mg vitamin B9 (folat), 27,7 mg vitamin C, 10 mg kalsium, 0,13 mg zat besi, 9 mg magnesium, 11 mg fosfor, 156 mg kalium, dan 0,04 mg zinc. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2014) mencatat produksi mangga di Jawa Barat sebagian besar dihasilkan oleh Indramayu capaian 68.506 Ton per tahun atau 19,90% produksi nasional yang diikuti oleh Cirebon dengan produksi mangga sebesar 6.722 Ton per tahun atau 18,03%, Majalengka dengan produksi mangga sebesar 48.521 Ton per tahun atau 14,10%, Kuningan dengan produksi mangga sebesar 39.377 Ton per tahun atau 11,44%, dan Sumedang dengan produksi mangga sebesar 29.008 Ton per tahun atau (8,43%). Sebagian besar masyarakat Indramayu memanfaatkan pekarangan dan/atau kebun di sekitar rumah sebagai tempat budidaya mangga. Varietas mangga dari Indramayu yang cukup terkenal di pasaran, baik lokal maupun nasional, antara lain didominasi oleh varietas mangga cengkir dengan jumlah 695,963 pohon atau 50%, diikuti harum manis dengan jumlah 250,450 pohon atau 18%, gedong gincu dengan jumlah 152,362 pohon atau 11%, dan varietas yang lain dengan jumlah 293,151 pohon atau 21%. Berikut grafik sebaran varietas mangga di Indramayu.
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
196
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Gambar 1. Grafik Persentase Varietas Utama Mangga di Indramayu (Sumber : Bidang Hortikultura Dinas Pertanian dan Peternakan Kab. Indramayu, 2014)
Namun, yang perlu menjadi perhatian adalah pemanfaatan pasca panen mangga di Indramayu yang belum maksimal. Selama ini hasil panen mangga hanya dijual dalam bentuk buah langsung konsumsi. Kelemahan paling mendasar dari hasil hortikultura seperti mangga adalah mudah busuk. Beberapa rumah tangga telah berusaha mencoba membuat produk turunan berbasis buah mangga seperti dodol mangga dan sirup mangga. Hanya saja, hasil kreasi tersebut belum sampai pada tahap untuk dipasarkan. Produksinya masih sebatas untuk dikonsumsi sendiri dan/atau dibuat untuk merayakan momen-momen tertentu, seperti lebaran Idul Fitri, misalnya. Dengan berlimpahnya produksi mangga tersebut memberikan inspirasi untuk mengembangkan UKM berbasis sumber daya alam unggulan daerah sehingga dapat meningkatkan perekonomian wilayah dan pemberdayaan masyarakat di Indramayu. Penelitian ini mempunyai tujuan memotret peluang pemanfaatan paten domain publik untuk inisiasi UKM berbasis sumber daya alam unggulan daerah. Melalui penelusuran dokumen paten dapat diperoleh informasi teknologi-teknologi yang dapat diterapkan pada pengolahan mangga di Indramayu sehingga produksi yang melimpah dapat termanfaatkan dengan baik. Menurut UU Paten No. 13 Tahun 2016, bahwa suatu teknologi yang dilindungi dengan paten apabila masa perlindungannya telah habis dapat dimanfaatkan tanpa melanggar hokum dan tidak ada lagi kewajiban pembayaran royalti. Perlindungan paten juga berlaku territorial, yaitu perlindungannya berlaku di negara dimana paten tersebut didaftarkan. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif dengan analisis data secara deskriptif melalui pendekatan literatur dan penelusuran dokumen paten. Dokumen paten ditelusuri dengan memasukkan berbagai kombinasi kata kunci terkait teknologi dari paten yang telah domain publik yang dapat membawa manfaat untuk inisiasi UKM berbasis sumber daya alam unggulan daerah di Indramayu Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
197
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
melalui situs informasi paten yaitu Patentscope. Hasil analisis diharapkan dapat menjadi masukan untuk melakukan pengembangan teknologi yang dapat meningkatkan perekenomian masyarakat.
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif dengan analisis data secara deskriptif melalui pendekatan literatur dan penelusuran dokumen paten. Studi literatur dengan mencari sumber informasi melalui buku maupun internet. Dokumen paten ditelusuri dengan memasukkan berbagai kombinasi kata kunci terkait teknologi dari paten yang telah domain publik yang dapat membawa manfaat untuk inisiasi UKM berbasis sumber daya alam unggulan daerah di Indramayu melalui situs informasi paten yaitu Patentscope.
Peluang Pemanfaatan Paten Domain Publik untuk Inisiasi UKM berbasis SDA Unggulan Daerah : Studi Kasus Potensi Pengembangan Komoditas Mangga di Indramayu
Analisis Deskriptif
Penelusuran Dokumen Paten
Studi Literatur
-
Jurnal – jurnal hasil penelitian terkait penanganan pasca panen dan pemanfaatan komoditas mangga
-
Paten domain publik terkait produk makanan dan minuman serta pemanfaatan mangga
-
Buku-buku terkait budidaya mangga dan penanganan pasca panen serta pemanfaatannya
-
Paten yang tidak didaftarkan atau dilindungi di Indonesia terkait produk
Hasil Potensi Pengembangan/Pemanfaatan Komoditas Mangga di Indramayu
Gambar 2. Diagram alir metode penelitian
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
198
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
HASIL DAN PEMBAHASAN Menurut Rukmana (2007) buah mangga memiliki keanekaragaman bentuk seperti bulat, bulatpendek dengan ujung pipih, dan bulat panjang agak pipih. Susunan tubuh buah terdiri dari beberapa lapisan, yaitu:Kulitbuah, dagingbuahdanbiji. Biasanyabagiandagingbuah yang dapat dinikmati baik langsung maupun diolah menjadi produk turunannya. Pengolahan buah mangga menjadi produk turunannya dapat memberikan manfaat kepada konsumen untuk menikmati rasa buah pada saat bukan musimnya. Beberapa olahan buah seperti mangga dapat dibuat menjadi sirup, manisan basah/kering, selai, keripik dan sebagainya dengan teknik proses diantaranya pengeringan, penggulaan, penggaraman, penggorengan, fermentasi dan pengalengan (Caya, 2007). Berdasarkan hasil penelusuran dokumen paten melalui Patentscope dengan kata kunci “mango”, didapatkan sebanyak 18 paten terkait mangga. Terdapat PCT (Patent Internasional) memiliki jumlah tertinggi sejumlah 4 paten, selanjutnya diikuti oleh India dan Philipina masing-masing dengan jumlah 3 paten, Mexico dan Amerika Serikat masing-masing dengan jumlah 2 paten, Canada, Italia, Jepang, dan Thailand masing-masing dengan jumlah 1 paten.
Gambar 3. Negara pendaftar paten terkait mangga (Diolah dari Patentscope, 2016)
Dari 18 paten tersebut, berdasarkan klasifikasi IPC, didapat pengelompokkan jenis teknologi yang dipatenkan yaitu berupa alat, formulasi dan metode seperti terlihat pada Gambar 4 dibawah ini.
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
199
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Gambar 4. Jenis teknologi yang dihasilkan terkait mangga (Diolah dari Patentscope, 2016)
Tabel 1. Jenis teknologi yang dihasilkan dan aplikasinya. No.
Teknologi
Jumlah
Persentase (%)
Aplikasi
1
Alat
4
22,2 Alat pengupas mangga, Alat pemotong mangga, Mesin pengolah mangga
2
Formulasi
5
27,8 Pemanis buatan berbasis mangga, Bubuk mangga, Primer berbasis mangga, es krim, mango mousse
3
Metode
9
50,0 Metode penyimpanan mangga, Jus mangga kaya rasa, Bubuk mangga, Pati mangga, Wine dan minuman beralkohol lainnya berbasis mangga
Jumlah Total
18
100
Sumber : Patentscope, 2016
Pada Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa jenis teknologi yang dihasilkan terbagi menjadi 3, yaitu alat, formulasi, dan metode. Metode merupakan teknologi yang paling banyak dihasilkan dengan jumlah 9 paten atau 50,0% dari total, kemudian formulasi dengan jumlah 5 atau 27,8% paten dari total, dan alat dengan jumlah 4paten atau 22,2%dari total. Paten berupa metode tersebut diantaranya adalah metode penyimpanan mangga, jus mangga kaya rasa, bubuk mangga, pati mangga, wine dan minuman beralkohol lainnya berbasis mangga. Paten berupa formulasi yaitu pemanis buatan berbasis mangga, bubuk mangga, primer berbasis mangga, es krim, dan mango mousse. Sedangkan paten berupaalat yaitu alat pengupas mangga, alat pemotong mangga, dan mesin pengolah mangga. Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
200
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Berdasarkan jumlah pengelompokkan teknologi yang dipatenkan pada tabel 1, jumlah paten lebih banyak berupa metode kemudian formulasi, dimana teknologi tersebut lebih pada pengolahan manga menjadi makanan atau minuman. Berkaitan dengan potensi pemanfaatan mangga sebagai produk makanan dan minuman, hasil penelusuran paten domain publik (tahun publikasi 1996) dengan menggunakan kata kunci “Food and Beverage” dapat dilihat pada gambar 4 dibawah ini.
Gambar 5. Negara pemilik paten domain publik di bidang makanan dan minuman (Diolah dari Patentscope, 2016)
Tabel 2. Jumlah paten domain publik di bidang makanan dan minuman No.
Nama Negara
Jumlah
1
United States
49
2
Russian Federation
22
3
Canada
20
4
PCT
19
5
European Patent Office
8
6
United Kingdom
6
7
Germany
2
8
China
1
9
Republic Of Korea
1
10
South Africa
1 Total
129
Sumber : Patentscope, 2016
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
201
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Pada Tabel 2 diatas, dari total 129 paten, dapat terlihat bahwa Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki paten domain publik terbanyak dengan jumlah 49 paten, selanjutnya diikuti oleh Rusia dengan jumlah 22, Canada dengan jumlah 20 paten, PCT dengan jumlah 19 paten, European Patent Office dengan jumlah 8 paten, United Kingdom dengan jumlah 6 paten, Jerman dengan jumlah 2 paten, diikuti oleh China, Korea, dan Afrika Selatan masing-masing dengan jumlah 1 paten. Sementara itu jenis teknologi yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah ini.
Gambar 6. Jenis teknologi yang paling sering digunakan (Diolah dari Patentscope, 2016)
Tabel 3 dibawah ini menjelaskan secara lebih rinci aplikasi dari paten-paten yang berkaitan dengan makanan dan minuman. Tabel 3. Jenis teknologi yang dihasilkan dan aplikasinya. No.
Teknologi
Jumlah
Perssentase (%)
Aplikasi
1
Alat
69
53,4
Kontainer makanan dan minuman, Wadah makanan dan minuman, Kemasan untuk produk makanan dan minuman, Ransel makanan, Pendingin makanan dan minuman, Pemanas portabel untuk makanan dan minuman, Mesin dan Alat pembuat makanan dan minuman, Indikator kualitas makanan pada smart packaging, piring, sendok, garpu, gelas, meja makan
2
Formulasi
34
26,4
Makanan dan minuman kesehatan, Pemanis makanan, Pewarna makanan, Penyedap makanan, Suplemen makanan, Produk makanan dan minuman berbasis susu, Produk makanan dan minuman berbasis kopi, Produk minuman berbasis madu, Permen, Wine
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
202
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
3
Metode
4
Formulasi dan Metode Jumlah Total
22
17,1
4
3,1
129
100
Enzim untuk makanan dan minuman, Bahan campuran makanan (Reagent), Ekstraksi buah untuk makanan dan minuman, Makanan dan Minuman olahan dari teh, Minuman berkarbonasi, Bir, Vodka, dan Minuman beralkohol lainnya Makanan dan Minuman rendah lemak, Mayonnaise, Yoghurt, Krimer, Es Krim, Salad Dressing, Kecap, Saus, Sirup
Sumber : Patentscope, 2016
Pada tabel 3 diatas mengungkapkan bahwa jenis teknologi yang dihasilkan terbagi menjadi 4, yaitu alat, formulasi, metode, serta formulasi dan metode. Alat merupakan teknologi yang paling banyak dihasilkan dengan jumlah 69 paten atau 53,4% dari total, kemudian formulasi dengan jumlah 34 atau 26,4% paten dari total, metode dengan jumlah 22 paten atau 17,1%dari total, serta formulasi dan metode dengan jumlah 4 paten atau 3,1% dari total.Dari data tersebut dapat diketahui potensi pemanfaatan mangga untuk diolah menjadi berbagai produk turunan yang memberikan nilai tambah ekonomi masih mempunyai peluang yang cukup besar. Pemanfaatan mangga menjadi produk turunan yang bernilai ekonomi berpotensi menciptakan ceruk pasar baru dalam suatu usaha. Pemetaan Potensi Pemanfaatan Mangga untuk Inisiasi UKM berbasis SDA Unggulan Daerah di Indramayu. Pemetaan Potensi Pemanfaatan Mangga untuk Inisiasi UKM berbasis SDA Unggulan Daerah di Indramayu dapat dilihat pada gambar 7 dibawah ini.
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
203
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Mangga Paten (Penelusuran
Metode - Metode penyimpanan mangga - Jus mangga kaya rasa B b k
Formulasi - Pemanis buatan berbasis mangga - Bubuk mangga Primer berbasis
Alat - Alat pengupas mangga
Potensi Pemanfaatan Mangga untuk Inisiasi UKM Berbasis SDA
Metode - Cake/Roti/Bolu/Lapis - Cookies - Sirup - Gula-gula/permen - Keripik - Kerupuk - Dodol
Formulasi - Mayonaisse - Saus - Kecap - Selai - Minuman antioksidan - Suplemen makanan - Sabun
Alat - Indikator kualitas produk makanan dan minuman yang diterapkan untuk Smart Packaging
Gambar 7. Diagram pemetaan potensi pemanfaatan manggga untuk inisiasi UKM Berbasis SDA Unggulan Daerah
Dari hasil analisis data di atas, pemanfaataan mangga menjadi produk turunan lainnya yang bisa memberikan nilai manfaat lebih baik dari segi ekonomi maupun pemberdayaan masyarakat masih terbuka lebar. Mangga bisa diolah sebagai bahan pembuat roti, misalnya diolah menjadi tepung mangga yang bisa dikembangkan menjadi kue kering, biskuit, bolu, lapis atau diolah menjadi permen, dan es krim. Disamping itu, mangga juga bisa diolah menjadi produk minuman seperti sirup atau minuman untuk kesehatan. Dari informasi di atas diharapkan, masyarakat Indramayu terdorong untuk menciptakan usaha mandiri seperti UKM yang memanfaatkan sumber daya alam lokal, dalam hal ini adalah mangga, mengingat produksi mangga di Indramayu berlimpah dan masih belum termanfaatkan secara maksimal. Usaha mandiri yang diciptakan diharapkan juga bisa menekan laju urbanisasi, mengurangi pengangguran, dan menekan keinginan masyarakat untuk menjadi buruh migran di luar negeri. Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
204
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
205
Pusat Inovasi - LIPI
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelusuran dokumen paten, potensi pemanfaatan mangga menjadi produk turunan lainnya terkait makanan dan minuman masih cukup besar. Informasi paten domain publik dapat membantu dalam menginisiasi masyarakat Indramayu untuk mengembangkan usaha mandiri berupa UKM yang berbasis sumber daya alam unggulan daerah. UKM berbasis sumber daya alam unggulan daerah, dalam hal ini pengolahan pasca panen mangga menjadi produk turunan lainnya, seperti bahan makanan dan minuman berpotensi menekan laju urbanisasi, mengurangi pengangguran, dan menekan keinginan masyarakat untuk menjadi buruh migran di luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. (2012). Definisi UKM. Bidang
Hortikultura
Dinas
Pertanian
dan
Peternakan
Kab.
Indramayu.
(2014).
http://perlindungantanamanhortikultura.blogspot.co.id/2011/02/potensi-pengembangan-komoditasmangga.html. Diakses 03 Oktober 2016. CayaKhairanidan
Andi
Dalapati.
(2007).
PetunjukTeknisPengolahanBuah-buahan.
BalaiPengkajianTeknologiPertanian (BTP) Sulawesi Tengah. Endang, M.G.W. (2012). Faktor-Faktor Motivasi Berwirausaha Terhadap Keberhasilan Usaha Pengusaha UKM Kota Malang : Jurnal Ilmu Sosial Universitas Brawijaya. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5372c4c71a0c1/seluk-beluk-paten. Diakses pada 03 Oktober 2016. Kementerian Koperasi dan UKM. (2012). Definisi dan Konsep UKM. Muhammad Ahkam dan Suprapedi. (2008). Pengenalan HKI (Hak Kekayaan Intelektual). Jakarta. Patentscope (http://www.wipo.int/patentscope/en/). Diakses pada 03 Oktober 2016. Pracaya. (2011). Bertanam Mangga. Jakarta. Penebar Swadaya. Prayudi. (2014). Hak Eksklusif dalam Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Jakarta. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. (2014). http://pusdatin.setjen.pertanian.go.id/. Diakses 03 Oktober 2016. Rukmana, R. (2007). Mangga : Budidaya dan Pasca Panen. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. Setyabudi et, al. (2007). Studi Penempatan Lokasi Dan Karakteristik Potensi Agroindustri Mangga Dan Sirsak Di Wilayah Jawa Barat. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Vol. 2. 2007. USDA. (2013). Nutrient Database. https://ndb.nal.usda.gov/ndb/nutrients/index. Diakses03 Oktober 2016.
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
DSE 02
STRATEGI ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI INFORMASI: LESSON LEARNED IKM MITRABINAAN PT PERTAMINA BALONGAN Fahmi Rizal Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universita sPadjadajaran Bandung
[email protected]
Abstrak. Industri Kecil Menengah (IKM) di Indonesime miliki peran strategis sebagai basis ekonomi dengan lebih dari 90 persen masyarakat bekerja di sektor industri kecil dan menengah. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis faktor pendorong, hambatan serta strategi pemanfaatan Teknologi Informasi (TI) oleh IKM di era globalisasi saat ini. Metode yang digunakan adalah berdasarkan tinjauan (review) atas literatur baik online maupun cetak dengan lesson learned IKM Mitra Binaan PT Pertamina RU VI Balongan Indramayu. Hasil studi menunjukkan banyak faktor yang menjadi penghambat adopsi TI, seperti tingkat illiterate TI oleh IKM masih tinggi sehingga belum munculnya kebutuhan terhadap TI dalam mendukung proses bisnis. Sebagian IKM yang menggunakan TI pun masih pada tataran operasional atau oportunistik, dan belum sampai pada tingkatan strategis. Tulisan ini juga memberikan beberapa rekomendasi untuk meningkatkana dopsi TI oleh UKM dengan intervensi kebijakan dan pelaksanaan beberapa program. Kata Kunci: Pemanfaatan Teknologi Informasi, Industri Kecil Menengah, Teori Difusi Inovasi
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
206
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN Perkembangan Teknologi Informasi (TI) telah mengubah drastis lingkungan bisnis global. Penggunaan internet untuk pemasaran produk dan pengembangan jejaring usaha dalam beberapa dekadeterakhir telah mampu mematahkan konsep ekonomi klasik yang menyatakan bahwa kepemilikan faktor-faktor produksi merupakan kunci keberhasilan usaha. Faktor produksi seperti kepemilikan lahan usaha,menjadi kendala utama pelaku Industri Kecil Menengah (IKM) dalam menjalankan usaha karena sifatnya highly cost.Penggunaan TI untuk online marketingmelalui media sosial (facebook, instagram, tweeter, whatsapp, blackberry messenger, dan lainnya) maupun yang berbasis web mampu memberikan informasi produk barang atau jasa secara lebih luas, cepat, efisien, menarik, dan inline dengan trend perilaku konsumen di era industri kreatif sekarang. Industri besar dan korporasi telah menyadari betul peran TI relevansinya dengan pencapaian tujuan-tujuan dalam setiap lini organisasinya, baik tujuan internal maupun peningkatan performance perusahaan dalam menarik konsumen. Maka dari itu, tingkat adopsi TI di industri besar jika dilihat dari jenis TI yang digunakan dalam mendukung kinerja usaha sudah lebih advance dan antar komponen sudah terkoneksi menjadi sebuah sistem. E-commerce dan toko online merupakan salah satu contoh TI yang dapat dikatakan sudah lebih kompleks karena dibangun oleh sejumlah subsistem. Kondisi yang berbeda terjadi pada IKM, dimana berdasarkan hasil penelitianPrassida dkk. (2015) menyatakan bahwa pemanfaatan TI untuk menunjang usaha oleh IKM di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan industri besar. Beberapa faktor kegagalan adopsi TI tersebut menurut Fatmariani (2011) diantaranya terkait modal, sumberdaya manusia dan penguasaan TI. Pernyataan yang menarik adalah hasil riset Ghobakhloo et. al., (2012) yang menyimpulkan bahwa ukuran perusahaan tidak berkorelasi terhadap keterbatasan pemanfaatan TI karena TI dapat diakses dengan biaya jauh lebih rendah dibanding investasi faktor-faktor produksi. Di sisi lain, IKM di Indonesia berperan penting sebagai basis industri nasional karena lebih dari 90 persen tenaga kerja di sektor industri yaitu industri kecil. Teknologi informasi merupakan semua jenis teknologi untuk proses, penyimpanan, penyebaran informasi dalam bentuk elektronik. Perlengkapan fisik yang biasa digunakan untuk tujuan tersebut meliputi komputer, peralatan komunikasi dan jaringan, mesin faksimil, bahkan organizer portabel elektronik. Sistem informasi ini mampu mengorganisasikan prosedur komunikasi informasi, dimana informasi itu sendiri sifatnya tangible dan intangible yang berfungsi untuk mengurangi ketidakpastian akan suatu peristiwa (Lucas and Henry, 2000). Mengacu pada definisi di atas, beberapa jenis TI yang
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
207
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
208
Pusat Inovasi - LIPI
sebenarnya bisa diakses oleh IKM diantaranya internet, telepon genggam, ponsel cerdas (smartphone), email, sosial media, serta komputer. Menurut Rogers (1995) kecepatan difusi sebuah inovasi dalama hal ini pemanfaatan TI oleh UKM dipengaruhi oleh empat elemen, yaitu (1) karakteristik inovasi; (2) kanal komunikasi yang digunakan untuk mengkomunikasi manfaat inovasi; (3) waktu sejak inovasi diperkenalkan; dan (4) sistem sosial tempat inovasi berdifusi. Semakin besar dan rumit inovasi, semakin lama waktu yang dibutuhkan dalam difusi. Sebagai contoh, difusi Internet pada sebuah masyarakat membutuhkan waktu yang lebih lama daripadadifusi botol susu bayi yang jauh lebih sederhana daripada Internet. Dalam hal ini, Rogers, berdasar hasil meta analisis terhadap ribuan penelitian tentang adopsi inovasi menyimpulkan terdapat lima karakteristik umum inovasi yang mempengaruhi kecepatan difusi, yaitu relative advantage, compatibility, complexity, observability, dan trialability. Pertama, relative advantage menunjukkan sejauh mana inovasi lebih dari inovasi sebelumnya. Manfaat ini dapat diukur, baik dengan ukuran ekonomi, prestise, kenyamanan, maupun kepuasaan. Karatektersitik inovasi yang kedua adalah compatibility yang merujuk kepada kesesuaian inovasi terhadap nilai-nilai yang sudah ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan. Kesesuaian inovasi dengan ide-ide sebelumnya akan mempercepat adopsi, dan sebaliknya pengalaman buruk atas sebuah inovasi akan menghambat adopsi. Complexity adalah karakteristik yang ketiga mengukur tingkat kesulitan atau kemudian sebuah inovasi untuk dipelajari dan digunakan. Semakin mudah sebuah inovasi digunakan, semakin cepat kecepatan adopsinya. Karakteristik yang keempat adalah observability yang mengukur seberapa jelas penampakan inovasi. Jika sebuah hasil sebuah inovasi mudah dilihat dan dikomunikasikan maka difusinya akan semakin cepat. Jika sebuah inovasi bisa dicoba sebelum adopsi, maka akan mempercepat difusinya. Hal
ini
merupakan
karakteristik
inovasi
yang
kelima,
trialability.
Terkait
dengan
kanalkomunikasi, semakin besar jangkauan kanal komunikasi yang digunakan untuk mengkomunikasikan inovasi, semakin cepat inovasi yang terjadi. Kanal komunikasi media massaefektif untuk menginformasikan sebuah inovasi ke calon pengguna, sedang komunikasiinterpersonal efektif untuk mempengaruhi individu untuk menerima sebuah inovasi Adanya perbedaan definisi dan konsep adopsi TI oleh industri kecil dapat difahami karena perbedaan variabel pada setiap lokus riset. Hal ini pula yang mendasari penelitian terhadap Industri Kecil Menengah Agro (IKMA) binaan PT Pertamina RU VI Balongan Indramayu kaitannya dengan tingkat Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
adopsi TI dalam mendukung aktivitas bisnis. IKMA binaan telah mendapatkan bimbingan teknis usaha dan fasilitasi mesin dan alat penunjang produksi kerjasama dengan Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran dari Tahun 2013-2014. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat adopsi TI serta kendala apa yang dihadapi IKMA Binaan PT Pertamina dalam memanfaatkan TI.
METODOLOGI 3.1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dan exploratorykarena tidak ada hipotesis yang diformulasikan dari awal untuk dibuktikan. Sebagai gantinya, seperti telah disebut di atas, tiga rumusan masalah berikut akan dijawab: (1) bagaimana adopsi TI oleh IKM di Indonesia; (2) apa alasan IKM menggunakan atau tidak menggunakan TI?; dan (3) kendala apa yang dihadapi IKM dalam adopsi TI?
3.2. Instrumen Penelitian Kuesioner merupakan instrumen utama penelitian ini. Secara umum, kuesioner dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama berisi pertanyaan untuk memperoleh informasi demografis responden. Bagian kedua digunakan untuk melihat tingkat adopsi TI dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Bagian ketiga berisi pertanyaan untuk mengetahui pola penggunaan TI oleh IKM.
3.3. Lokus Penelitian Lokus penelitian ini adalah IKM mitra binaan PT Pertamina RU VI Balongan Indramayu yang berjumlah 56 orang yang tersebar di wilayah penyangga perusahaan yaitu Kecamatan Balongan. Jumlah 56 responden tersebut bergerak dalam bidang pangan olahan berbasis agro 80%, dan 15% pangan olahan berbasis hasil laut, sisanya 5% berdagang kue basah dan kue kering.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perangkat TI yang dimiliki oleh IKM Binaan PT Pertamina RU VI Balongan disajikan pada Tabel 1. IKM Balongan sebanyak 90% sudah menggunakan teknologi informasi berupa handphone sebagai perangkat dasar untuk melakukan komunikasi via telpon atau pesan. Menariknya adalah Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
209
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
kepemilikan smartphone banyak digunakan untuk aplikasi sosial media dan sebagian untuk akses internet. Ketika ditanyakan apakah sosial media digunakan untuk mempromosikan produk, sebanyak 75% pelaku IKM belum memanfaatkannya. Tabel 1. Persentase Kepemilikan TI di IKM Balongan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Teknologi Informasi Handphone Smartphone Komputer/Laptop Fax Aplikasi (Office, Desain, dll) Sosial Media Blog E-Commerce
% UKM 90,3 60,4 30,7 7,1 85,2 -
Sebanyak 17 (30%)IKM memiliki komputer atau laptop. Sisanya tidak mempunyai dengan berbagai alasan, yaitu tidak membutuhkan komputer dalam menjalankan bisnis, biaya pengadaan yang mahal karena keterbatasan finansial, dan kurangnya keahlian dalam menggunakan komputer. Komputer digunakan oleh UKM untuk mendukung berbagai proses bisnis seperti terangkum pada Tabel 2. Sebagian besar UKM menggunakan komputer untuk mengetik laporan, termasuk surat menyurat (69,0%), dan melakukan kalkulasi (66,7%). Tabel 2. Penggunaan Komputer/Laptop No 1 2 3 4 5 6
Penggunaan Administrasi usaha Pencatatan laporan keuangan Mengakses internet Telusur informasi Presentasi Mengetik
% UKM 11,0 14,5 17,2 12,9 17,7 23,4
Berdasarkan Tabel 1 dan 2, dapat dilihat bahwa adopsi TI oleh IKM Balongan masih tergolong rendah. Selanjutnya ketika dielaborasi dengan pertanyaan kebermanfaatan TI dalam mendukung usaha pelaku IKM Balongan, sebanyak 70% responden IKM menjawab belum merasakan manfaat, sisanya 20% mulai merasakan ada manfaat dan 10% dengan yakin menjawab manfaatnya terasa dalam menunjang kinerja usahanya.
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
210
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Tabel 3. Persepsi Kendala Adopsi TI oleh IKM Balongan No 1 2 3 4 5
Persepsi Kendala Adopsi TI Illiterate TI Skala Usaha Mindset TI costly high Rendahnya Motivasi untuk berinovasi Kurangnya infrastruktur
% UKM 70,1 50,3 50,2 40.5 24.6
Kendala adopsi TI oleh IKM Balongan perentase terbesar (70,1%) disebabkan karena “gaptek” akan teknologi informasi. Dapat difahami mengingat masih rendahnya tingkat pendidikan serta usia para pelaku usaha yang hampir 80% di atas 40 tahun. Hal lain yang menjadi kendala adopsi TI adalah skala usaha pelaku IKM yang menganggap masih bisa berjalan usaha walaupun dengan pembukuan sederhana bahkan tidak ada pencatatan pun usaha masih bisa berlangsung. Dengan demikian, pelaku IKM memandang bahwa TI adalah sesuatu yang berbiaya mahal sehingga pelaku IKM kesulitan untuk mengeluarkan biaya yang belum dirasakan langsung manfaatnya. Meskipun adopsi masih rendah, namum UKM di Indonesia menyadari manfaat TI dalam mendukung proses bisnis yang ada. Secara umum kesadaran yang muncul terkait dengan manfaat TI adalah kemudahan dalam mengelola bisnis. Namun demikian, manfaat ini tidak bisa digeneralisasi. Konteks industri memainkan peranandi sini. Alasan UKM yang tidak menggunakan TI karena tidak atau belum membuktikan mengindikasikan hal ini. Hal ini sesuai dengan Teori Difusi Inovasi yang menyatakan bahwa compatibility TI terhadap kebutuhan UKM menjadi salah satu penentu adopsi. Alasan lain yang mengemuka terkait dengan kendala biaya dan kapasitas sumberdaya manusia perlu mendapat perhatian. Dalam konteks ini, complexity terbukti manjadi salah satu penghambat adopsi TI oleh UKM di Indonesia. Meskipun harga TI semakin murah dan terjangkau, namun untuk sebagian besar UKM, hal ini masih merupakan barang mahal. Sangat mungkin persepsi ini terkait return on investment yang kurang menjanjikan. Slade dan Akkeren (2002) dalam studinya dengan konteks Australia menemukan hal serupa. Return on investment merupakan salah satu penentu adopsi TI oleh UKM. Manfaat yang tidak dapat dirasakan langsung terkait dengan pendapatan UKM (relative advantage dan observability) juga menjadi penentu adopsi TI. Dengan demikian jelas bahwa manfaat potensial yang ditawarkan TI tidak selalu sesuai dengan kebutuhan UKM di Indonesia yang sebagian besar mesih beroperasi dengan metode tradisional, baik dalam produski maupun pemasaran.
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
211
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
KESIMPULAN Proses adopsi Teknologi Informasi (TI) oleh industri kecil cenderung membutuhkan sosok innovator yang berperan melakukan introduksi terhadap komunitas di fase awal tahapan difusi inovasi. Hal ini mungkin saja berbeda ketika terjadi difusi inovasi di industri besar, manajernya berperan aktif untuk mencari tahu inovasi apa saja yang dapat digunakan dalam meningkatkan kinerja perusahaan salah satunya penggunaan teknologi informasi. Difusi inovasi teknologi informasi di Industri Kecil Menengah Agro (IKMA) Binaan PT Pertamina RU VI Balongan Indramayu secara umum telah mengadopsi. Perbedaannya terletak pada kompleksitas teknologi informasi yang digunakan yang berkorelasi dengan tingkat pendidikan dan skala usaha. Tingkat adopsi TI di IKMA binaan Pertamina pada umumnya dimulai dengan pemanfaatan fungsi dasar TI yaitu untuk komunikasi dengan pemasok, konsumen, dan komunikasi dengan sesama pengusaha. Jenis TI yang digunakan sebatas penggunaan telepon selular tanpa koneksi internet. Pada kelompok yang lain adopsi inovasi sudah mulai lebih kompleks lagi yaitu memanfaatkan smartphone dan PC yang terkoneksi internet untuk melakukan telusur berbagai informasi yang dibutuhkan dalam menjalankan usaha. Selain informasi, kelompok ini memanfaatkan koneksi internet untuk mulai memasarkan produk serta penggunaan software microsof office untuk membantu proses administrasi dan perhitungan keuangan. Melalui proses pendampingan dan bimbingan teknis, dapat dinyatakan bahwa anggota IKMA Binaan Pertamina sudah memiliki kesadaran dan keingintahuan untuk mengadopsi TI, namun terkendala pada ketidaktahuan (illiterate) cara mengakses TI tersebut. Kelompok early adopters sudah merasakan manfaat adopsi TI khususnya untuk pemasaran produk. Ini terbukti dengan adanya pemesanan dari pembeli luar kota yang diyakini sebagai hasil dari pemasaran secara online.
DAFTAR PUSTAKA Prassida, G. F. dan Subriadi, A. P. 2015. Kontribusi Adopsi Teknologi Terhadap Kinerja Usaha Kecil Menengah di Indonesia. Studi Kasus: Bank Perkreditan Rakyat. Jurnal Sistem Informasi, Volume 5, Nomor 3, Maret 2015. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Fatmariani, 2011. xxPengaruh Adopsi Teknologi Informasi Open Source E-Commerce Terhadap Kinerja UKM Dengan faktor-Faktor Technology Acceptance Model (TAM) Sebagai Moderating Variable. Jurnal Teknologi dan Informatika (Teknomatika) Vol. 1 No. 1 Januari 2011. STMIK PalComTech Palembang. Ghobakhloo, M., Hong, T. S., Sabouri, M. S and Zulkifli, N. 2012. Strategies for Successful Information Technology Adoption in Small and Medium-sized Enterprises. Journal of Information, 3, 36-67.
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
212
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Kapurubandara, M., dan Lawson, R. (2006). Barriers to Adopting ICT and e-commerce with SMEs in Developing Countries: An Exploratory study in Sri Lanka.Makalah dipresentasikan pada CollECTeR ’06, Adelaide Knol, W. H. C., dan Stroeken, J. H. M. (2001). The Diffusion and Adoption of Information Technology in Small- and Medium-sized Enterprises through IT Scenarios. Technology Analysis & Strategic Management, 13(2). Kristiansen, S., Kimeme, J., Mbwambo, A., dan Wahid, F. (2005). Information flows and adaptation in Tanzanian cottage industries. Entrepreneurship and Regional Development, 17, 365-388. Lucas and Henry. 2000. Information Technology for Management. Seventh Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc Mathieson, K. (1991). Predicting user intention: comparing the technology acceptance model with the theory of planned behavior. Information Systems Research, 2(3), 173-191 Ongori, H and Migiro, S.O. 2010. Information and communication technologies adoption in SMEs: Literatur review. Journal of Chinese Entreupreuneurship Vol. 2 No. 1 Tahun 2010. Rogers, E. M. (1995). Diffusion of Innovations(4 ed.). New York: The Free Press. Slade, P., dan Akkeren, J. V. (2002). Business OnLine? An Empirical Study of Factors Leading to the Adoption of Internet Technologies by Australian SMEs. AJIS, 10(1), 50-64. Tornatzky, L. G., dan Fleischer, M. (Eds.). (1990). The Process of Technological Innovation. Lexington, MA: Lexington Books
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
213
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
DSE 03
KERJASAMA PEMERINTAH DAN SWASTA DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS PERBATASAN INDONESIA – MALAYSIA (Studi Kasus Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat) Fitri Suryani, ST., Trikariastoto dan Ita Reinita Hadari Fakultas Teknik, Universitas Persada Inonesia –YAI, Jakarta
[email protected] Abstrak. Berdasarkan hasil penelitian tahun ke-1 yang telah dilakukan sebelumnya, diperoleh data dan informasi tentang berbagai hal terkait peluang dan tantangan yang dialami oleh pemerintah, dalam mengembangkan wilayahnya terutama kawasan perbatasan. Ada keraguan apakah nantinya setelah kawasan perbatasan berkembang dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan kawasan lainnya di wilayahnya. Selain itu, sangat disadari bahwa keterbatasan dana pemerintah untuk penyediaan infrastruktur khususnya di kawasan perbatasan. Keinginan untuk meningkatkan kerjasama dengan pihak swasta menjadi pilihan. Untuk hal tersebut, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat perlu mempersiapkan penilaian risiko (risk assessment) sehingga dapat memberikan keyakinan kepada pihak swasta untuk ikut serta mengembangkan kawasan perbatasan. Wilayah perbatasan dinilai strategis karena secara nasional menyangkut hajat hidup orang banyak ditinjau dari kepentingan politik, ekonomi, sosial dan budaya serta pertahanan dan keamanan (poleksosbudhankam) baik yang berada di darat, laut maupun udara. Wilayah Perbatasan merupakan wilayah yang secara geografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dengan fungsi utama mempertahankan kedaulatan negara dan kesejahteraan masyarakat. .Untuk merealisasikan hal tersebut dibutuhkan penelitian tentang pengembangan kawasan, berdasarkan praktik baik dari beberapa kota berbagai negara lain yang dapat memenuhi segala tantangan tersebut dan setidaknya dapat diterapkan dengan sedikit perubahan/ penyesuaian. Selanjutnya dalam penerapannya harus didukung dengan ketersediaan dana, terutama dalam bentuk kerjasama pemerintah dan swasta (public private partnerships). Penelitian ini membahaas tentang permasalahan apa saja baik kendala ataupun hal yang mendorong pengmembangan kawasan perbatasan fungsinya menjadi ideal dengan infrastruktur pendukung utama seperti : permukiman, transportasi, ketersedian energi, serta pendistribusian air bersih yang akan memperkuat dalam menjalankan fungsinya yang terdiri dari 5 pilar yaitu : pusat pelayanan masyarakat; pusat perdagangan dan distribusi; pusat keuangan; pusat pariwisata; berhubungan dengan bidang pembangunan masyarakat. Artikulasi antara stakeholders utama seperti : pemerintah, swasta, dan masyarakat menjadi perhatian utama dalam penelitian ini, termasuk dalam menentukan skema pembiayaan yang sesuai. Hasil penelitian ini akan direkomendasikan kepada pemerintah untuk meningkatkan keandalan infrastruktur
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
214
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
pengembangan kawasan perbatasan, khususnya untuk proyek infrastruktur permukiman, transport, energi dan air bersih dengan skema pembiayaan PPP agar dapat menarik minat investor lokal dan asing serta meningkatkan daya saing di pasar nasional dan global. Kata kunci: pengembangan, infrastruktur, kerjasama pemerintah dan swasta, perbatasan
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
215
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN Salah satu prioritas adalah untuk mendukung pengembangan kawasan strategis nasional, termasuk wilayah perbatasan, pulau terluar dan kawasan wisata seperti yang ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2010-2014. Kawasan strategis nasional perlu didukung oleh berbagai sektor dalam rangka untuk merangsang pertumbuhan daerah sekitarnya dan daerah sekitarnya dapat dikembangkan dan kurang lemas. Pekerjaan umum infrastruktur yang meliputi jalan, infrastruktur, pemukiman dan prasarana sumber daya air, menjadi salah satu komponen penting dalam upaya pembangunan ekonomi daerah serta pengurangan kesenjangan antar wilayah. Sebagai kawasan strategis nasional, daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar yang ditunjuk sebagai kawasan strategis nasional yang perlu didukung oleh infrastruktur fisik untuk mencapai struktur wilayah pembentuk untuk mendukung keberadaan fungsi ekonomi, sosial dan pertahanan nasional. Sementara pariwisata sebagai salah satu lokomotif ekonomi daerah ini juga menyediakan fungsi strategis sebagai pusat pertumbuhan pembangunan nasional dan regional. Untuk infrastruktur bidang umum pekedaan khususnya untuk perumahan, permintaan publik untuk akses ke infrastruktur dasar yang meliputi infrastruktur perumahan minum air, sanitasi, limbah padat, sarana dasar permukiman dan penataan bangunan.
KAJIAN LITERATUR Wilayah perbatasan Kalimantan memiliki letak yang sangat strategis, karena terletak ditengahtengah wilayah negara-negara Asia Tenggara, dan diapit oleh 2 jalur pelayaran internasional, yaitu Laut Cina Selatan dan Laut Sulawesi/Sulu. Peran strategis wilayah perbatasan Kalimantan selain sebagai security belt, juga merupakan gateway dan image bangsa. Selain itu, dengan sumberdaya hutan yang sangat luas maka dalam lingkup lingkungan global, wilayah ini merupakan buffer zone dan paru-paru dunia. Wilayah perbatasan Kalimantan, saat ini merupakan wilayah perbatasan yang interaksinya dengan negara tetangga paling besar, baik dalam hal perdagangan, lintas tenaga kerja serta hubungan sosial dan kekerabatan. Posisi strategis yang dimiliki wilayah perbatasan Kalimantan belum dieksplorasi dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat dan devisa negara karena perannya sebagai security belt sangat menonjol yang memang sangat diperlukan pada masa itu. Hal ini mengakibatkan wilayah perbatasan Indonesia terabaikan dan dianggap sebagai wilayah yang harus dijaga keamanannya. Dengan kondisi tertinggal, terpencil serta terbatasnya sarana dan prasarana sementara berhadapan dengan wilayah Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
216
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
permukiman yang memiliki sarana dan prasarana yang baik serta kemampuan sumberdaya manusia yang tinggi, maka terjadilah hubungan sosial ekonomi yang timpang. Kondisi ini apabila dibiarkan, akan menimbulkan dampak yang kurang baik, terutama citra Indonesia yang semakin terpuruk di dunia internasional.
METODE PENELITIAN Literatur review dari berbagai sumber referensi (jurnal, teks book, penelurusan internet dll) mengenai praktik baik dalam pengembangan energi dengan penerapan PPP pada beberapa negara lain yang telah melaksanakannya. Hasil review tersebut dapat dijadikan acuan dalam penerapannya di Indonesia dan khususnya kawasan perbatasan yang diperkuat dengan penyusunan road map. Pengumpulan data menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan beberapa variabel kontrol yang objektif berbantukan analisa statistik, dimana data-data diperoleh berdasarkan survei kuesioner kepada stakeholders dan para pakar yang mempunyai kompetensi dalam pengembangan infrastruktur energi khususnya di Indonesia. Metode participative action dapat digunakan untuk memperoleh pandangan dan pemikiran yang dapat dijadikan informasi pembelajaran. Kerangka Penelitian 1. Pengumpulan data. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
Data Sekunder berupa : studi literatur (buku, jurnal, penelitian sebelumnya dll) untuk menetapkan variabel-variabel pengukuran dalam penelitian ini.
Data primer berupa : - Data kualitatif meliputi penyebaran kuisioner kepada penduduk dan pengusaha yang berkepentingan dengan konsep pengembangan kawasan - Data kuantitatif meliputi biaya yang diperkirakan akan timbul akibat dilakukannya
HASIL DAN PEMBAHASAN Preferensi Masyarakat Kawasan Perbatasan Terhadap Kebutuhan Infrastruktur.
Profil responden
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
217
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
218
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
219
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
220
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
221
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
222
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Model Investasi dan Pembiayaan Infrastruktur yang dapat diterapkan
Pembangunan infrastruktur umumnya memerlukan biaya yang besar. Pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia relatif masih sangat rendah. Bappenas (2009) mencatat bahwa sebelum krisis tahun 1998 yang lalu, rata-rata pembiayaan infrastruktur baru mencapai 2,2 % terhadap GDP, kemudian meningkat menjadi 5-6 % terhadap GDP. Berdasarkan kebutuhan RPJP, total kebutuhan dana bagi pembangunan infrastruktur sebesar Rp. 1400 trilliun sementara itu kemampuan pemerintah maksimal hanya Rp. 452 trilyun sehingga masih ada kekurangan sekitar Rp. 948 trilyun. Pembangunan infrastruktur dalam rangka meningkatkan daya saing global sesuai dengan struktur ruang nasional (RTRWN) memerlukan biaya besar yang tidak mungkin bertumpu pada kapasitas fiskal pemerintah semata. Untuk itu perlu kerjasama antara pemerintah dengan pihak swasta maupun bersama
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
223
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
rakyat untuk mengisi kekurangan dana sebesar Rp. 948 trilyun tersebut. Model kerjasama pemerintah dan swasta dapat digambarkan dalam bentuk Spektrum seperti terlihat pada gambar 1 berikut : Investasi Pemerintah
Service Contract
O&M
Investasi Swasta
BOT
BLT
BOOT
BOO
Privatization
(DBFO)
Gambar 3. Model Kerjasama Pemerintah dan Swasta
Keterangan : O & M Contract Operation and maintenance
BOOT Biuld Own Operate Transfer
BLT (Leasing) Build and Transfer
DBFO Develop Build Finance Operate
BOT
Build Operate Transfer
BOO
Build Own Operate
ROT
Rehabilitate Operate Transfer
ROO
Rehabilitate Operate Own
Dalam rangka memfasilitasi kerjasama pemerintah dengan swasta, pemerintah telah mengeluarkan peraturan bagi terwujudnya kerjasama tersebut, diantaranya yaitu : 1)
Perpres No. 67/ 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
2)
Perpres No. 42/ 2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI).
3)
Perpres No. 36/ 2005 jo Perpres No. 65/ 2006 tantang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Kerjasama antara pemerintah dan swasta pada dasarnya terkait dengan kerjasama pengadaan
investasi. Secara konvensional kerjasama selama ini dalam bentuk kontrak layanan (service contract) yang hampir seluruhnya adalah investasi publik (dari pemerintah), kemudian perlu pengembangan yang lebih banyak peranan investasi dari pihak swasta misalnya : kontrak operasi dan pemeliharaan (O&M Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
224
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Contract), BLT Leasing, BOT/ ROOT, BOOT (DBFO)/ROOT, BOO/ROO, atau semua investasi swasta dalam bentuk privatization/ divesture. Kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam perkembangannya belum menunjukkan kecenderungan yang lebih baik dalam arti masih banyak mengalami kendala-kendala, khususnya dalam menggalakkan dana dari “financier” perbankan umum dengan harga uang dalam bentuk “interest” yang masih tinggi. Mahalnya dana perbankan disebabkan oleh risiko yang masih tinggi dari berbagai penyebab potensi resiko. Oleh karena itu, perlu senantiasa berusaha untuk mencari metode dan/atau mekanisme untuk meningkatkan akses pembiayaan. Kondisi ini, disikapi pemerintah dengan melakukan upaya regulasi dan pendirian organisasi pembiayaan sebagai berikut: 1)
Regulasi berupa penerbitan Peraturan Pemerintah No. 1/2008 tentang Investasi Pemerintah. Dalam konteks ini pemerintah telah membentuk Pusat Investasi Pemerintah (PIP) yang menyediakan dana yang cukup murah untuk keperluan pembangunan infrastruktur;
2)
Pembentukan organisasi berupa Pendirian PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Organisasi berupa Perusahaan ini diharapkan dapat mendirikan anak perusahaan dan joint venture dengan Bank Dunia dan ADB yang sudah mendirikan Indonesian Infrastructure Finance Facility (IIFF). Pemerintah telah menetapkan arahan melalui RPJP, RTRWN dan APBN, kerjasama dengan swasta,
maupun pembentukan lembaga-lembaga pembiayaan dan pengelolaan risiko adalah merupakan langkahlangkah yang strategis, tetapi masih dalam kapasitas terbatas dan memiliki berbagai kendala. Pembangunan infrastruktur perlu didukung dan melibatkan pemerintah daerah yang diharapkan bekerja efisien dan mampu memanfaatkan dana dan potensi-potensi yang ada termasuk penyertaan modal, pinjaman, menutupi defisit dan kegiatan pembiayaan lainnya untuk pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan swasta semestinya sangat diperlukan dalam Pengembangan infrastruktur energi di Jakarta. Karakteristik dari PPP adalah kemitraan yang didalamnya terdapat sharing antara pemerintah dan swasta dalam bentuk investasi,resiko, tanggung jawab dan reward. Kemitraan tersebut tidak dibangun pada aturan dan pola tanggung jawab yang seragam, namun biasanya bervariasi antara poyek yang satu dengan yang lain. Konsep PPP dapat pula tidak hanya dipandang dari sisi public dan private sector saja. Menurut UNDP, konsep PPP juga dikenal sebagai triangle synergi antara government, business dan communities sebagai berikut : 1. Negara menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif. 2. Swasta mendorong terciptanya lapangan kerja dan pendapatan masyarakat. Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
225
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
226
Pusat Inovasi - LIPI
3. Masyarakat berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi sosial dan politik. Energi termasuk kategori infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan pihak swasta bersama dengan infrastruktur jalan, perkeretaapian, pelabuhan laut, komunikasi, sumber daya air, energi, lingkungan, logistik bandar udara, kebudayaan dan pariwisata, akomodasi militer, fasilitas pendidikan, kehutanan, dan fasilitas kesejahteraan Pembangunan
ekonomi
lokal
perlu
lebih
menekankan
dimensi
spasial.
Daerah
perlu
mengkombinasikan pendekatan sektoral berbasis kluster di mana saat ini bisnis / sektor unggulan daerah maupun rakyat miskin cenderung mengelompok
Perlu adanya integrasi strategi pembangunan perdesaan dengan strategi pembangunan perkotaan. Desa umumnya masih tertinggal dalam berbagai jenis infrastruktur. Dengan integrasi ini diharapkan dapat dikembangkan keterkaitan desa-kota (ruralurban linkage) dan jejaring antarkota (network cities). KESIMPULAN Pembangunan di kawasan perbatasan memerlukan pendekatan kesejahteraan dan lingkungan, selain pendekatan keamanan. Contoh : Pembangunan jalan paralel perbatasan dan pembangunan perkebunan di sepanjang garis perbatasan. Pembangunan jalan paralel memiliki fungsi ganda yaitu Meningkatkan pengamanan perbatasan dan membuka isolasi kawasan pedalaman perbatasan. Serta peningkatan perekonomian. Pembangunan perkebunan di sepanjang garis perbatasan seluas 5 ha/KK untuk kesejahteraan dan juga dapat menekan ketergantungan masyarakat perbatasan terhadap negara tetangga (saat ini banyak yang bekerja secara ilegal keseberang/Serawak.
DAFTAR PUSTAKA Benjamin C. Esty, 2004, Modern Project Finance, John Wiley & Sons, Inc Erwin Heurkens, 2009, Changing Public Private Partnerships Roles in Urban Area Development in the Netherlands, Delft University of Technology. _____________, 2005, Indonesia Infrastructure Development, Bappenas. Parente, William J., “Public Private Partnership” dalam Workshop on “Fundamental Priciples and Techniques for Effective Public Private Partnerships in Indonesia”, Jakarta. Yescombe E.R, 2007, Public Private Partnerships Principles of Policy and Finance, Elsevier.
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
DSE 04
KESIAPAN SOSIAL-EKONOMI DALAM MENGEMBANGKAN PASAR PRODUK PERTANIAN DAN PETERNAKAN PADA KAWASAN TECHNOPARK BANYUMULEK 1 Joko Suryanto, Nur Firdaus, Jiwa Sarana, Atika Z. Rahmayanti, dan Mochammad Nadjib Pusat Penelitian Ekonomi-LIPI Jalan Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta Selatan 12710
[email protected] Abstrak. Salah satu tujuan technopark yang dibangun di daerah Banyumulek, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat adalah mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas komoditas pertanian dan peternakan melalui pengenalan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai program inovasi yang dikembangkan di tengah kebiasaan tradisional masyarakat diharapkan dapat memberikan manfaat apabila didasarkan atas pemahaman kondisi sosial budaya dan potensi ekonomi yang ada, termasuk upaya meningkatkan pemasaran produk. Minimnya informasi tentang latar belakang budaya ekonomi masyarakat dalam memperkenalkan pengetahuan, teknologi dan tehnik pemasaran produk, dikhawatirkan akan menghambat tujuan utama dari technopark. Artikel ini menjelaskan pentingnya pemahaman sosial-budaya dan ekonomi masyarakat dalam mengembangkan produk pertanian dan peternakan serta pemasarannya melalui pengenalan pengetahuan dan teknologi. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, Focus Group Discussion dan observasi lapangan pada komunitas petani dan peternak sapi di sekitar kawasan technopark serta sentra pertanian dan peternakan sapi di Pulau Lombok. Temuan singkat menunjukkan bahwa status struktur sosial ekonomi petani peternak berimplikasi pada pola produksi dan pemasaran atas komoditas yang mereka hasilkan. Kata Kunci: Technopark, pengetahuan, teknologi, kondisi sosial budaya, pasar.
PENDAHULUAN
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
227
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Kegiatan produksi pertanian dan peternakan yang dijalankan masyarakat perdesaan penting untuk didorong menjadi sebuah kegiatan usaha yang memiliki tingkat efisiensi dan daya saing. Pencapaian efisiensi dan meningkatnya daya saing akan menghasilkan output produksi optimal atas kegiatan produksi pertanian dan peternakan masyarakat perdesaan yang pada akhirnya akan dapat menjadi sumber dalam memenuhi kebutuhan komoditas strategis. Langkah penting yang dapat mendorong kegiatan pertanian dan peternakan menjadi sebuah aktivitas produksi yang efisien dan optimal dapat dilakukan melalui pengenalan inovasi teknologi. Program pengenalan pengetahuan dan teknologi terkini dianggap penting dilakukan, karena Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki potensi sebagai pemasok kebutuhan komoditas strategis baik dalam lingkup lokal maupun nasional. Kebutuhan sapi ras Bali untuk beberapa wilayah di Indonesia, sebagian besar dipasok dari Provinsi NTB. Selain itu produk hasil pertanian yang berasal dari NTB berpotensi memasok kebutuhan wilayah sekitar, seperti Bali sebagai salah satu destinasi pariwisata potensial. Peluang pasar produk pertanian dan peternakan yang dihasilkan Provinsi NTB masih sangat besar, namun tantangannya adalah kemampuannya dalam memenuhi jumlah dan kualitas produksi untuk memenuhi permintaan pasar. Technopark Banyumulek yang diinisiasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) difokuskan pada alih pengetahuan dan teknologi terkini (transfer knowledge) bidang pertanian dan peternakan. Keberadaan technopark diharapkan dapat menjadi sarana peningkatan produksi dan kualitas pertanian serta peternakan di NTB. Selama ini kegiatan pertanian dan peternakan di NTB masih dilakukan secara tradisional. Masyarakat belum secara optimal mengelola kegiatan peternakan dan pertanian, bila inovasi dapat diterapkan oleh masyarakat perdesaan, diyakini akan dapat meningkatkan hasil dan kualitas produksi pertanian serta peternakan. Meskipun demikian, pengenalan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masyarakat dalam upaya mengakselerasi kegiatan ekonomi, tentu tidak terlepas adanya permasalahan. Bagaimana kesiapan sosial ekonomi dan budaya masyarakat dalam menerima alih teknologi untuk mengembangkan kegiatan pertanian dan peternakan hingga pemasaran, penting dipahami. Secara konsep, technopark yang dikembangkan menghasilkan berbagai inovasi yang masih belum banyak dipahami petani dan peternak. Artinya, pengenalan pengetahuan dan teknologi (inovasi) akan bermanfaat bila didasarkan atas pemahaman kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat serta potensi lingkungan yang ada. Sebaliknya, bilamana pengenalan inovasi kurang tepat sasaran, maka dapat mengakibatkan terjadinya ketimpangan struktur sosial dan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, artikel ini akan menjelaskan pentingnya memahami sosial budaya dan ekonomi petani peternak dalam melakukan alih teknologi Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
228
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
termasuk pemasaran produk. Dengan pemahaman terhadap kesiapan sosial ekonomi dan budaya masyarakat dalam menerima inovasi teknologi akan memudahkan pemetaan berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi serta dalam implementasi program yang dihasilkan technopark.
METODE PENELITIAN Artikel ini merupakan hasil kegiatan kajian, dalam melakukan kajian digunakan pendekatan kualitatif induktif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap beberapa informan, focus group discussion (FGD), serta observasi lapangan. Berbagai informasi lapangan dianalisis dengan metode triangulasi, yakni informasi yang diperoleh dari seorang informan dikembangkan lebih lanjut untuk mengumpulkan informasi yang lebih mendalam guna mendapatkan data dan fakta yang paling akurat. Informasi menjadi kunci dalam analisis, narasumber/informan kunci dalam studi ini meliputi perwakilan dari pelaku usaha yang bergerak di bidang pertanian dan peternakan, akademisi, dan para pengambil kebijakan (pemerintah). Pelaku usaha pertanian dan peternakan mencakup mereka yang bergerak mulai dari sektor hulu hingga hilir baik produk hortikultura, pakan, dan produk olahan serta turunannya. Selain itu, informan di bidang peternakan sapi adalah para pelaku usaha yang meliputi pemilik ternak, pemelihara ternak (pengkadas) dan pedagang serta para perantara (palele). Sementara akademisi diwakili oleh tenaga pengajar Ilmu Peternakan dan Agribisnis Universitas Mataram, serta konsorsium Riset Ruminansia Besar Universitas Mataram. Dari pengambil kebijakan diwakili oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Pertanian, serta Dinas Perdagangan. Dalam kerangka untuk memperdalam analisis, studi ini memanfaatkan data sekunder yang meliputi publikasi terkait dengan kondisi pertanian dan peternakan di NTB serta studi literatur yang bersumber dari buku, jurnal, dan kajian ilmiah lainnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemahaman Sosial, Ekonomi Budaya Masyarakat dalam Pengenalan Inovasi Peningkatan ekonomi masyarakat petani dan peternak di Provinsi NTB dapat dilakukan dengan mendorong kegiatan pertanian dan peternakan secara efisien. Efisiensi dapat dilakukan melalui transfer of technology pada masyarakat perdesaan, sehingga kegiatan mereka memiliki nilai tambah ekonomi. Menurut Drucker (1985), inovasi yang berasal dari pengetahuan dan teknologi merupakan sarana mengekploitasi perubahan untuk menemukan kesempatan bisnis yang lebih baik. Meskipun demikian, program inovasi senantiasa memiliki implikasi ganda, yaitu hampir selalu berdampak pada perubahan lingkungan fisik maupun perubahan perilaku manusia penerimanya (Foster, 2009). Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
229
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Perubahan lingkungan fisik dalam konteks pembangunan technopark terlihat dari adanya kawasan pertanian peternakan di Banyumulek yang saling terintegrasi berbasis teknologi. Keberhasilan menerapan teknologi tersebut seringkali dipandang sebagai inti dari usaha modernisasi. Bilamana sasaran inovasi teknologi tersebut telah tercapai, maka program pembangunan dinilai sukses karena sasaran pembangunan fisik telah dicapai. Padahal, inovasi teknologi tersebut bila tidak diikuti oleh perubahan perilaku manusia penerima sebagaimana mestinya maka manfaat pembaharuan teknologi perlu diragukan. Karena tujuan suatu program tidak hanya sekedar menghasilkan inovasi produk fisik semata, program dinilai berhasil bilamana masyarakat penerima bersedia memanfaatkan perubahan tanpa menimbulkan gejolak sosial (Ember dan Ember, 2010). Untuk itu, pembaharuan teknologi kepada masyarakat perlu dilakukan namun tetap tidak mengabaikan nilai tradisi dan kearifan lokal. Pemahaman kondisi sosial budaya masyarakat dalam konteks upaya alih teknologi melalui program technopark akan memudahkan inovator mengarahkan pada kegiatan yang lebih efisen dan optimal. Tiga aspek penting yang dapat menjadi penghambat dalam melakukan transfer of technology, yaitu aspek sosial, budaya dan psikologis (Foster, 2013). Hambatan sosial, dapat timbul bilamana polapola tradisional dalam hubungan antar individu serta pranata-pranata sosial tradisional yang telah hidup di masyarakat bertentangan dengan inovasi yang akan diterapkan. Ketidaksinkronan inovasi teknologi dengan pranata sosial tradisional akan memunculkan ketidak-seimbangan dan ketidak-harmonisan dalam struktur sosial masyarakat. Dalam program technopark Banyumulek, penerapan inovasi pemberian pakan tambahan (konsentrat dan atau silase) masih belum optimal diterapkan. Masyarakat lokal sulit didorong menggunakan pakan tambahan, karena membebani dari segi ekonomi. Di lain pihak penggunaan pakan tambahan kenyataannya tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kenaikan bobot ternak. Kebiasaan masyarakat lokal menggunakan pakan hijauan yang didapat dengan mudah selepas melakukan aktivitas pertanian, merupakan sebuah rutinitas yang terjadi. Dilain pihak, pranata sosial masyarakat lokal (etnis Sasak) memiliki pemahaman sapi merupakan ternak “tabungan”, dan “simbol status”. Sebagai ternak tabungan dan simbol status, maka mayoritas masyarakat lokal menerapkan falsafah “peliharalah sapi, Insya Allah (yang diinginkan) akan kesampaian” 2. Falsafah tersebut secara turun temurun diturunkan orang tua kepada anak-anaknya, dengan beternak sapi berbagai kebutuhan ekonomi, pendidikan tercukupi dan ibadah haji akan tercapai. Pemahaman tersebut menggambarkan bahwa masyarakat lokal dalam melakukan kegiatan peternakan sapi tidak hanya berdasarkan motif ekonomi 2
Falsafah ini dikenal secara meluas di kalangan peternak etnis Sasak, baik di Banyumulek maupun beberapa desa lainnya termasuk di Lombok Tengah dan Lombok Timur.
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
230
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
(keuntungan) semata, namun lebih pada sebuah kegiatan yang dapat menjamin kepuasan batin yang telah diajarkan secara turun temurun. Hambatan budaya sangat terkait dengan kesamaan sikap, perilaku dan kepercayaan yang dimiliki bersama dalam suatu komunitas. Pola budaya yang umum berkembang dalam suatu komunitas bisa menjadi penghambat dalam menerima program inovasi (Ember dan Ember, 2010). Pengenalan pengelolaan dan pemanfaatan limbah peternakan bagi kegiatan pertanian serta biogas telah dilakukan pada program technopark Banyumulek. Akan tetapi karena lahan pertanian dan ternak sapi umumnya adalah hak milik pemodal, sedangkan petani peternak hanya sebagai pengkadas 3, maka pengaplikasian inovasi yang dilakukan technopark menjadi tidak terjadi. Hal lain yang terkait dengan hambatan budaya pengelolaan pertanian pun masih sangat mengandalkan cara-cara tradisional yang biasa dilakukan. Hambatan psikologi terjadi karena adanya perbedaan persepsi individu terhadap program inovasi teknologi. Suatu program inovasi dapat dianggap oleh inovator akan menguntungkan dan mampu meningkatkan taraf ekonomi, tetapi oleh penerima dapat dinilai berbeda, bertolak belakang dan tidak menguntungkan (Foster, 2013). Untuk menjembatani perbedaan tersebut diperlukan komunikasi yang efektif dan terencana, dimana masyarakat lokal akan dapat dipengaruhi melalui komunikasi berkelanjutan hingga mereka merasakan manfaat penggunaan teknologi. Komunikasi tidak hanya mengandalkan bahasan dan penyajian ide dalam pembicaraan secara sederhana, tetapi ide dan teknik baru harus disajikan secara visual dan terencana (praktik nyata). Apabila program inovasi secara nyata dapat memberi manfaat, maka ada kemungkinan akan terjadi partisipasi di dalam masyarakat penerima. Merujuk temuan lapangan, intervensi teknologi bagi masyarakat sulit dilakukan terutama jika hanya menggunakan pendekatan ekonomi. Dengan keterbatasan modal yang dimiliki, upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat hanya dengan mengandalkan peternakan sangat sulit dilakukkan. Selain itu, faktor kualitas SDM yang relatif rendah menjadi kendala dalam melakukan pengenalan inovasi. Hal ini dapat terlihat dari data statistik pendidikan sektor pertanian, yang sebagian besar berpendidikan rendah.
Tabel 1. Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke atas yang Bekerja Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Lapangan Usaha Utama di Provinsi NTB, Tahun 2015 Pendidikan Tertinggi yang
Lapangan Usaha Utama
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
231
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
232
Pusat Inovasi - LIPI
Ditamatkan
Pertanian 64,16
Industri 12,89
Perdagangan 14,06
Jasa 4,1
Lainnya 4,79
Tidak/Belum Tamat SD
55,57
11,42
18,81
4,27
9,93
SD/Paket A
49,12
10,42
20,23
4,13
16,1
SLTP/Paket B
38,08
11,5
23,97
6,99
19,45
SLTP/Paket C
23,33
7,68
31,55
20,89
16,55
Diploma
6,12
3,45
21,53
59,59
9,31
Universitas
3,4
1,07
9,58
78,99
6,96
Tidak/Belum Pernah Sekolah
Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional, Agustus 2015
Pengenalan pengetahuan dan teknologi pada masyarakat dengan tingkat pendidikannya rendah memerlukan pendekatan khusus termasuk penting memahami nilai tradisional yang ada di masyarakat. Nilai tradisional berupa ngarat sampi menjadi bentuk bisnis peternakan yang efisien, keberlanjutan dan menguntungkan walaupun dari sisi ekonomi merugikan peternak. Dalam mengenalkan pengetahuan dan teknologi juga diperlukan tehnik tertentu, sehingga persepsi masyarakat dapat di intervensi. Dalam pembentukan persepsi ada tiga karakteristik yang harus diperhatian, yaitu berkesan, target spesifik dan situasi dari objek yang dipersepsikan (Zulkarnain, dkk, 2013). Hal penting adalah persepsi, harus dapat memetakan cara dan kualitas informasi seperti apa yang dapat diterima, tehnik apa yang dapat dilakukan dalam mengkomunikasikan informasi sehingga dapat merubah sikap, perilaku hingga tindakan. Barbagai hal tersebut menjadi parameter bagi para pemangku kepentingan khususnya inovator dalam mengenalkan pengetahuan dan teknologi melalui kegiatan yang ada dalam kawasan technopark. Tantangan Pengenalan Inovasi Pertanian dan Pemasaran Produk Kebutuhan produk pertanian yang ditujukan untuk memasok kebutuhan hotel dan restoran, khususnya dari wilayah Pulau Lombok masih belum dapat terpenuhi. Produksi beberapa komoditas tanaman sayur mayur pada kurun tahun 2011-2015 menunjukkan adanya fluktuasi (lihat tabel 2). Kebutuhan akan sayur mayur tersebut walaupun dapat dihasilkan di beberapa wilayah Pulau Lombok kuantitas belum dapat memenuhi kebutuhan dan kualitasnya masih di bawah standar kebutuhan yang ditetapkan oleh hotel dan restoran. Kondisi ini mengindikasikan terbukanya kesempatan mengembangkan produk pertanian dengan memanfaatkan inovasi untuk meningkatkan usaha pertanian dari kuantitas dan kualitas.
Tabel 2. Produksi Tanaman Sayur-sayuran di Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015 (ton) Jenis Tanaman
Tahun
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
233
Pusat Inovasi - LIPI
2011
2012
2013
2014
2015
Bawang Merah
78.299
100.989
101.628
117.513
Bawang Putih
6.922
7.929
5.709
9.401
9.780
16.568
9.128
6.634
12.092
11.167
Kacang-kacangan
4.570
4.732
5.668
8.992
9.192
Petai
2.806
1.319
1.560
2.578
2.409
Tomat
33.860
25.045
28.839
36.735
25.700
Terong
2.976
3.548
4.542
9.847
3.576
Bayam
191
166
163
181
3.092
4.671
4.515
3.424
3.316
26.124
36.882
35.324
84.666
84.752
6.003
5.856
4.367
5.225
4.421
Kubis
Kangkung Cabe Ketimun
160.201
471
Sumber: BPS Provinsi Nusa Tenggara Barat
Masyarakat perdesaan sebenarnya telah cukup memahami berbagai cara pengelolaan pertanian. Produksi pertanian pada lahan yang relatif terbatas diperlukan penggunaan pengetahuan agar kuantitas dan kualaitas dapat optimal. Kegiatan inovasi pertanian di kawasan technopark Banyumulek diarahkan pada kegiatan pertanian organik. Agar pola pertanian organik terimplementasikan masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa penggunaan pupuk non kimia tidaklah merepotkan dan mudah diperoleh. Transfer knowledge pada masyarakat petani dilakukan dengan memberikan pelatihan dan pendampingan secara terus menerus dan mencarikan pasar atas produk organik yang dihasilkan. Upaya memasarkan produk adalah suatu hal yang penting, inovasi pertanian bukan hanya menyangkut teknis produksi namun aspek pasar perlu pula diperhatikan. Biasanya permasalahan dalam pemasaran adalah produk pertanian diusahakan oleh small scale farming sehingga skala usaha umumnya kecil-kecil. Untuk itu, diperlukan informasi yang konkrit atas pasar produk pertanian organik, karena pengetahuan tentang permintaan produk akan menjadi dasar perencanaan kegiatan pertanian yang dijalankan. Tantangan Komersialisasi Produk Pertanian dan Peternakan Pengetahuan dan teknologi yang diperkenalkan di kawasan technopark memiliki tujuan untuk peningkatan kualitas dan kuantitas produk. Namun demikian, banyak tantangan yang dihadapi, utamanya terkait pasca produksi (pemasaran). Pemasaran menjadi penting, berdasar pendapat Karantininis dkk (2010), inovasi merupakan bentuk komersialisasi suatu gagasan yang inovatif. Kawasan technopark yang merupakan implementasi dari hasil temuan teknologi terbaru di bidang pertanian dan peternakan, maka
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
kegiatan yang dilakukan tidak sebatas pada tataran implementatif melainkan juga pada bagaimana mengkomersialisasikannya. Aspek pemasaran merupakan salah satu siklus usaha yang sangat penting. Namun temuan kajian menunjukkan, peternak umumnya kurang memperhatikan aspek pemasaran. Mereka baru akan menjual ternaknya bila sedang membutuhkan dana relatif besar, pola ini dapat dikatakan sebagai pola pemasaran tradisional. Bahkan kegiatan pemasaran ternak sapi ras Bali untuk sampai konsumen akhir, banyak rantai yang harus dilewati, akhirnya harga yang diterima konsumen akhir menjadi mahal dibanding harga yang ditetapkan peternak produsen. Panjangnya rantai perdagangan sapi ras Bali ditengarai menjadi salah satu sebab sulitnya sapi ras Bali yang berasal dari Lombok bersaing dengan sapi ras Bali yang berasal dari Pulau Sumbawa. Pertanian yang dijalankan masyarakat Lombok terbatas pada pertanian musiman sehingga pola usaha juga mengikuti musim. Orientasi pasar belum menjadi patokan dalam melakukan usaha pertanian. Perlu kiranya dipahami bahwa pemasaran produk pertanian dan perternakan menurut Erles dan Fanatico (2010), harus memanfaatkan strategi progresif, tidak lagi bersifat generic atau konvensional. Pemasaran konvensional cenderung nilai tambah yang dihasilkannya rendah. Gambaran konkrit pemasaran konvensional pada usaha peternakan dimana peran jasa perantara selaku middle-man menjadi kunci. Akhirnya konsumen, harus membayar harga yang relatif tinggi karena produk (sapi) telah melalui beberapa perantara (palele). Untuk produk daging yang dihasilkan dari kegiatan pemotongan yang dilakukan jagal (meat packers) dibanyak tempat, produk yang dihasilkan belum memperhatikan nilai dari masing-masing bagian dalam peta daging. Padahal pemotongan daging berdasarkan peta daging akan memiliki nilai tambah sendiri yang artinya produk tersebut akan memiliki segmen pasar sendiri. Di sini menegaskan bahwa pengenalan inovasi kepada masyarakat tidak hanya sebatas aspek teknis bagaimana beternak yang baik, namun lebih jauh termasuk tata cara pemasaran, seperti bagaimana menghasilkan produk peternakan yang memiliki nilai jual tinggi.
KESIMPULAN Technopark Banyumulek, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi NTB dibangun sebagai etalase untuk memperkenalkan inovasi teknologi terkini bagi petani dan peternak. Etalasi yang dimaksud berupa pengenalan pengetahuan dan teknologi pada masyarakat luas agar pertanian dan peternakan mencapai efisien dan optimal. Inovasi teknologi terkait usaha pertanian dan peternakan tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan usaha, namun dapat mendorong produksi yang berorientasi pasar. Pengenalan inovasi teknologi tidak dapat mengabaikan kearifan lokal, inovator perlu memiliki informasi tentang kondisi sosial-budaya dan ekonomi masyarakat. Pemahaman sosial-budaya dan ekonomi sangat penting dalam Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
234
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
mempengaruhi pola perilaku masyarakat. Karena pengenalan pengetahuan dan teknologi tanpa memahami kondisi sosial-budaya dan ekonomi masyarakat tidak akan teraplikasikan dalam kegiatan yang dijalankan masyarakat. Keberadaan kawasan technopark tidak hanya dilihat dari pendekatan teknis semata, pendekatan sosial budaya masyarakat bahkan pemahaman ekonomi menjadi mutlak diperhatian. Selain itu dalam pengenalan pengetahuan dan teknologi harus selektif, karena menyangkut transfer pengetahuan (transfer of knowledge) termasuk pentingnya melibatkan aktor peternak dan petani yang memiliki pengaruh di level masyarakat. Tujuan akhir dari kegiatan pertanian dan peternakan adalah pasar. Tanpa orientasi pasar, maka produk yang dihasilkan akan sia-sia. Untuk itu, alih teknologi harus tetap berorientasi pasar dengan tetap mempertimbangkan segmen pasar, produk pesaing serta penentuan harga akhir. Dalam hal ini harga merupakan cerminan atas biaya produksi dan keuntungan, dengan demikian harga yang dihasilkan harus mampu bersaing dengan produk lain yang sejenis. Oleh karena itu, keberhasilan dalam menentukan produk dengan harga kompetitif mengindikasikan tercapainya inovasi teknologi yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA Drucker, P. F, 1985. “The Practice of Innovation”. Innovation dan Entreperneurship Practice and Principles. Harper and Row, New York. Egaliter, R., 2013. ”Ngarat Sampi salah satu Basis Perekonomian Warga”. Wanasaba: Lombok. http://www.wanasaba.com/ngarat-sampi-adalah-salah-satu-basis-prekonomian-warga/ Earles, R., dan Fanatico, A, 2000. Altenative Beef Marketing: Livestock Technical Note. ATTRA. Ember, C., dan Ember, M, 2010. “Antropologi Terapan”. Dalam T.O Ihromi (editor). Pokok-pokok Antropologi Budaya. Gramedia, Jakarta. Foster, George M, 2009. Applied Anthropology. Little Brown and Company, Boston. _______, 2013. Traditional Societies and Technological Change. Harper & Row Publisher, New York. Karantininis, K., Sauer, J., dan Furtan, W. H, 2010. “Innovation and Integration in the Agri-food Industry”. Food Policy, Vol. 35, pp. 112-120. Monke EA, dan Pearson S. K, 1989. The Policy Analysis for Agricultural Development. Cornell University Press, Itacha USA. Pramoda, P., dan Triyanti, R, 2012. Pengelolaan “Perairan Danau Tempe Berbasis Kearifan Lokal: Studi Kasus di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan”. Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol. 14(1). 2012. Poespowardojo, S, 1986. “Pengertian Lokal Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi”. Dalam Ayatrohaedi (ed). Kepribadian Budaya Bangsa (Lokal Genius). Pustaka Jaya, Jakarta. Patrick, I.W., dkk, 2010. Social Capital and Cattle Marketing Chains in Bali and Lombok, Indonesia. Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR), Canberra. Porter, M. E, 1980. Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors. The Free Press, New York. ______, 1996. What is strategy? Harvard Business Review. Poerwanto, R, 2012. ”Manajemen Rantai Pasokan Untuk Produk Pertanian”. Dalam Merevolusi Revolusi Hijau. IPB Press, Bogor. Purwanto, 2015. Model Pengurangan Kemiskinan Melalui Penguatan Ketahanan Pangan. Jakarta, LIPI Press Rahyono, F. X, 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Wedatama Widya Sastra, Jakarta.
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
235
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Zulkarnain, I., Pudjiastuti, T. N., Sambodo, M. T., Nadjib, M., Fuadi, A. H., dan Sumarnadi, E. T, 2013. Kajian Persepsi Masyarakat di Kabupaten Mandailing Natal terhadap Kegiatan Pertambangan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
236
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
DSE 05
ALIH TEKNOLOGI BALITBANGTAN MENDUKUNG PENGEMBANGAN USAHA: STUDI KASUS LISENSI KENTANG MEDIANS OLEH CV. PAPANDAYAN DAN CIKURAY FARM Rima Setiani dan Turyono Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Jl. Tentara Pelajar No. 3C Cimanggu Bogor
[email protected] Abstrak. Kentang olahan di Indonesia selama ini didominasi oleh kentang varietas Atlantik yang benihnya masih berasal dari luar.Nilai impor kentang varietas Atlantik terus meningkat dari 2,004 ton/tahun pada tahun 2004menjadi 2,500 ton/tahun pada tahun 2009 (DirektoratJenderal Hortikultura 2010). Hal ini disebabkan pada tahun tersebut belum banyak varietas kentang untuk olahan selain Atlantik, lebih lagi impor kentang varietas atlantik membutuhkan biaya tinggi sehingga hanya perusahaan besar yang mampu mengimpor benih kentang varietas Atlantik.Balitbangtan telah melepas 3 varietas kentang olahan yaitu varietas Medians, Maglia dan Amabile pada tahun 2013.Peluang ini dimanfaatkan oleh penangkar di desa Cisurupan Garut yaitu Bp. Khudori untuk mengembangkan kentang varietas Medians, melalui lisensi varietas secara ekslusif.Metodologi yang digunakan adalah eksploratif deskriptif dengan wawancara dan desk study. Tulisan ini bertujuan untukmendeskripsikan proses alih teknologi dan manfaat alih teknologi yang diperoleh pemilik lisensi, penangkar dan pemulia penghasil varietas,Hasil yang diperoleh adalah bahwa proses alih teknologi dari Balitbangtan kepada mitra sudah dilaksanakan oleh Balai Pengelola Alih Teknologi sesuai dengan aturan yang berlaku. Manfaat yang diperoleh dengan alih teknologi kentang varietas Medians adalah pengembangan usaha oleh pemilik lisensi, peningkatan pendapatan petani sekitar, berkembangnya kentang Medians ke beberapa daerah, serta royalty bagi peneliti.
Kata Kunci : Alih teknologi, pengembangan usaha, lisensi ekslusif, royalty
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
237
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
238
Pusat Inovasi - LIPI
PENDAHULUAN Kentang merupakan salah satu tanaman yang mendapat prioritas pengembangan di Indonesia, karena kentang memiliki potensi yang tinggi sebagai sumber karbohidrat untuk pengembangan program diversifikasi pangan (Tri handayani & Asih K Karyadi 2014). Kentang menempati urutan keempat dunia setelah gandum, jagung dan padi sebagai bahan pangan. Selain itu kentang mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi, dibandingkan dengan beras, jagung, dan gandum, serta memiliki kadar gula yang rendah. Dengan demikian kentang dapat menggantikan peran bahan pangan utama untuk pemenuhan gizi masyarakat. Dalam 100 gram bahan, kandungan gizi pada kentang adalah energi 83 kal, protein 2 g, lemak, 0,1 g, karbohidrat 19,10 g, Kalsium11 mg, Fosfor56 mg, dan Fe 0,7 mg (Departemen Kesehatan, 1997). Berkembangnya restoran fast food dan berbagai jenis makanan yang menggunakan kentang sebagai bahan baku sebagai menu utama. Berdasarkan hal tersebut membuktikan bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia akan kentang semakin meningkat (Bank Indonesia, 2011). Perkembangan konsumsi kentang perkapita pada tahun 2006 sebesar 1,669 kg/tahun dan cenderung meningkat pada tahun 2007 menjadi 2,086 kg/tahun, tahun 2008 sebanyak 2,034, dan berturut-turut pada tahun 2009-2012 sebanyak 1,721, 1,825, 1,564, dan 1,460 kg/tahun (Pusdatin, 2013). Impor kentang di Indonesia sudah berlangsung sejak lama, terutama untuk kentang olahan yaitu kentang varietas Atlantik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kentang impor yang masuk pada Maret 2016 sebanyak 4.263 ton atau senilai US$ 3 juta. Sedangkan pada bulan Januari kentang yang diimpor sebanyak 100 ton atau US$ 94 ribu.Pada bulan Februari terjadi kenaikan menjadi 592 ton atau US$ 530 ribu. Jumlah dari keseluruhan impor kentang di triwulan I 2014 adalah 4.955 ton atau US$ 3,6 juta. Kentang yang masuk ke Indonesia dipasok dari berbagai negara. Impor terbesar berasal dari Kanada yaitu 1.960 ton atau US$ 1,1 juta. diikuti oleh Australia sebesar 1.377 ton atau US$ 967 ribu, Inggris sebesar 900 ton atau US$ 853 ribu, dan Bangladesh sebesar 4,8 ton atau US$ 26 ribu.Untuk jenis kentangnya, sebagian besar adalah jenis kentang Atlantik (www.detik.finance 2014). Kentang
varietas
Atlantik
banyak
digunakanuntuk
industri
keripik
kentang
di
Indonesia.Kebutuhan bahan baku industri besar keripikkentang mencapai 30 ton/hari, jumlah ini belumtermasuk pengolah keripik di tingkat industrikecil di sentra produksi kentang, seperti Garut,Pangalengan, Dieng, dan Pasuruan. Benih Atlantikyang digunakan masih diimpor dan nilai importerus meningkat dari 2,004 ton/tahun pada tahun 2004menjadi 2,500 ton/tahun pada tahun 2009 (DirektoratJenderal Hortikultura, 2010). Benih impor selainmenguras devisa negara juga sering datang tidaksesuai dengan waktu tanam petani, dan benih rusak(waste) sangat tinggi sebagai akibat dari lamanyabenih di perjalanan. Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
239
Pusat Inovasi - LIPI
Varietas Atlantik sangat cocok untuk dijadikanbahan baku keripik karena memiliki kadar gularendah
(>0,05%)
dan
gravity
spesific
(Sg)
tinggi(<1,08),
sehingga
ketika
digoreng
tampilankeripiknya sangat bagus dan tidak gosong. Dipabrik, kentang varietas Atlantik sangat bagusketika diolah untuk dijadikan keripik tetapidi lapangan varietas ini rentan terhadap penyakit, apabila tanpa penanganan yang sangat intensifdapat berakibat gagal panen. Kegagalan panen terjadikarena serangan berat penyakit busuk daun yangdisebabkan oleh cendawan Phytophthora infestans(Mont.) de Bary. Untuk menanggulangi penyakitbusuk daun para petani kentang di Pangalengan,Garut, dan Dieng melakukan penyemprotan antara25–30 kali dalam satu siklus tanam. Untuk sekalisemprot dana yang dikeluarkan berkisar antaraRp. 500.000,00 – 700.000,00 per ha. Selain pekaterhadap busuk daun, varietas Atlantik juga sangatpeka terhadap penyakit layu bakteri dan virus. Varietas Atlantik kurang disukai petani karena produktivitas rendah, tidak tahan OPT (organisme pengganggu tanaman) busuk daun, layu bakteri dan virus. OPT busuk daun, layu bakteri dan virus dapat menyebabkan gagal panen sehingga untuk mengendalikan OPT tersebut diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk pestisida (Sinar Tani, 2014).Volume impor benih varietas Atlantik mencapai 2.500 ton/tahun bahkan ditengarai bahwa produksi kentang olahan varietas Atlantic dimonopoli oleh perusahaan swasta, sehingga petani sulit mendapatkan benih kentang olahan. Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa), Balitbangtan telah menghasilkan varietas unggul baru untuk kentang olahan yang sesuai di Indonesia. Varietas Atlantik generasi baru merupakan varietas Atlantik yang disilangkan dengan klon klon unggul resisten terhadap penyakit busuk daun, sehingga membentuk populasi baru. Pada tahun 2013 telah didaftarkan tiga varietas unggul baru (VUB) yaitu varietas Maglia, Medians, dan Amabile. Varietas Medians sebagai alternatif pengganti varietas Atlantic telah berkembang di masyarakat.Dari tiga varietas tersebut, Medians menjadi unggulan untuk menggantikan Atlantik.Keunggulan varietas kentang Medians adalah potensi produksinya mencapai 31,9 ton per ha, umur panen hanya 100-110 hari, serta sangat cocok untuk diolah menjadi keripik kentang. Sedangkan kentang varietas Maglia mempunyai potensi produksi sebanyak 29,2 ton per ha. Kelebihan lainnya rendemen sangat tinggi, sehingga cocok menjadi bahan baku keripik kentang. Adapun kentang varietas Amabile berpotensi 29,2 ton per ha. Umur 100-110 hari, juga cocok menjadi keripik kentang (Sinar Tani, 2014).Kentang Medians merupakan varietas unggul Balitbangtan (Balitsa) yang diperoleh dari hasil persilangan antara varietas Atlantic dengan klon 393284.39. Varietas Medians mempunyai bentuk umbi oval, kulit umbi warna kuning, dan daging umbi putih. Panjang umbi rata-rata 6,5-8,0 cm, diameter umbi rata-rata 5,5-6,5 cm, sedangkan yang menjadi ciri utama varietas tersebut adalah bentuk daun oval dan ujung meruncing. Varietas Medians juga mempunyai keunggulan lain yaitu relatif tahan Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
terhadap serangan busuk daun yang disebabkan oleh Phytopthora investans, penyakit busuk daun yang selama ini menjadi salah satu penyebab utama gagal panen, dengan demikian maka kentang Medians cocok untuk ditanam pada musim hujan dan penggunaan pestisida dapat ditekan(Kusmana, 2013).
METODOLOGI Kajian dilaksanakan pada bulan Maret 2016 di lokasi CV Papandayan dan Cikuray Farm. Data diperoleh dari data pimer melalui wawancara dan data sekunder dari beberapa referensi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Alih Teknologi Balitbangtan Dengan dihasilkannya varietas Atlantikgenerasi baru (varietas Maglia, Medians, danAmabile), maka industri pengolah keripik nasionalbaik industri besar maupun industri rumahtangga dapat semakin berkembang. Selama inivarietas olahan hanya dapat diakses oleh petaniatau pengolah kentang yang bermitra denganperusahaan keripik. Pasokan kentang varietasAtlantik untuk industri masih belum mencukupi,sehingga terkadang industri menggunakan varietasGranola yang tidak cocok dijadikan keripik untukmemenuhikapasitas pabrik. Pangsa pasar untukbahan baku masih sangat terbuka baik untukindustri besar maupun untuk industri keripik skalahome industry yang banyak tumbuh di pedesaan.Atlantik generasi baru ini diberi nama Maglia,Amabile, dan Medians dimana ketiga calonvarietas unggul tersebut mampu menggantikanvarietas pendahulunya yaitu varietas Atlantikdengan produktivitas hasil yang lebih tinggidibandingkan varietas pendahulunya yang hanya10–15 t/ha, sementara Atlantik generasi baru dapatmencapai hasil antara 25–30 t/ha (Kusmana, 2013). Sebagai varietas unggul baru hasil pemuliaan, maka sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, kentang varietas Medians sudah dilindungi dengan perlindungan HKI Nomor 36/Peng/11/2013 dengan jangka waktu perlindungan selama 20 tahun. Varietas ini telah dilepas sebagai varietas unggul nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3932/Kpts/SR.120/03/2013 tanggal 27 maret 2013 tentang pelepasan kentang varietas Medians. Balitbangtan telah menghasilkan berbagai invensi teknologi pertanian.Invensi tersebut harus disampaikan untuk diadopsi oleh masyarakat guna memberikan dampak akhir yaitu kesejahteraan pengguna dalam hal ini pelaku usahatani. Salah satu strategi penderasan teknologi kepada pengguna adalah melalui kerja sama lisensi. Banyak invensi yang sudah dilisensi oleh mitra, namun hal itu tidak menjamin bahwa invensi tersebut dapat berkembang. Permasalahan yang banyak dihadapi adalah Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
240
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016
241
Pusat Inovasi - LIPI
kurangnya komitmen kedua belah pihak dalam pelaksanaan kerja sama seperti penerima lisensi belum mengembangkan
teknologi
sesuai
rencana,
ataupun
penghasil
teknologi
tidak
memberikan
pendampingan, selain itu masalah teknis tentang belum stabilnya teknologi yang dilisensi. Invensi teknologi hasil litbang yang dibiayai pemerintah wajib diwujudkan menjadi inovasi dalam rangka pengembangan baik secara komersial maupun dapat pula bersifat non komersial kepada pihak lain seperti industry pertanian (UMKM maupun besar, penangkar, badan usaha lainnya). Komersialisasi invensi hasil litbang pertanian dalam rangka inovasi teknologi dilaksanakan dengan memberikan ijin (“lisensi”) kepada pihak lain untuk melaksanakan produksi masal yang dilandasi dengan kerja samalisensi (Badan Litbangtan, 2010). Tahapan lisensi yang harus dilalui adalah calon lisensor mengajukan surat permohonan kerja sama kepada kepala Balitbangtan dengan melampirkan profil perusahaan dan dokumen pendukung lainnya. Kemudian atas persetujuan Kepala Badan, Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian (Balai PATP) membentuk tim untuk melakukan evaluasi dan verifikasi terhadap kelayakan calon lisensor. Balai PATP melakukan mediasi antara UK/UPT yang menghasilkan teknologi dengan calon lisensor hingga terjadi kesepakatan antara keduanya untuk melakukan kerja sama lisensi.
Gambar 1. Alur Proses Alih Teknologi
Tanggal 8 Nopember 2013 CV Papandayan dan Cikuray Farm (P dan C Farm) telah melisensi kentang varietas Medians milik Balitbangtan secara ekslusif. Pihak P dan C Farm diberikan ijin untuk Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
melakukan pengembangan kentang varietas Medians secara komersial.Tujuan dari lisensi ini adalah melakukan kerjasama dalam rangkaian kegiatan produksi benih sumber kentang (planlet) varietas Medians secara nasional untuk komersialisasi dan atau untuk tujuan ekspor.CV Papandayan dan Cikuray Farm diberikan ijin melaksanakan produksi, memperbanyak, memasarkan dan memperdagangkan benih sumber Kentang varietas Medians. Lisensi kentang varietas Medians adalah lisensi yang bersifar eksklusif dimana hanya P & C Farm yang dapat memproduksi benih kentang Medians untuk di komersialkan. Sesuai dengan ketentuan bahwa lisensi yang bersifat ekslusif untuk benih/bibit hibrida dikenakan royalti sebesar 5% dari harga pokok penjualan.
Manfaat Alih Teknologi a. Manfaat untuk Balitbangtan Kerjasama lisensi yang berjalan dengan baik dan telah menghasilkan royalti akan memberikan dampak positif bagi instansi dan inventor. Instansi tempat inventor bernaung akan mendapatkan manfaat yang dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas institusi dan memperkuat sumber daya ilmu dan pengetahuan, sedangkan bagi unit pengelola alih teknologi mendapatkan manfaat untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan alih teknologi. Secara rinci hasil alih teknologi melalui lisensi diatur sebagai berikut (Peraturan Menteri Pertanian Nomor 99 Tahun 2013): a. inventor sebagai penemu memperoleh apresiasi sebesar 40% dari royalti harga pokok penjualan; b. unit kerja atau unit pelaksana teknis sebagai pemilik HKI memperoleh 40% dari nilai royalti harga pokok penjualan; c. unit pengelola alih teknologi memperoleh 20% dari nilai royalti harga pokok penjualan. Selain manfaat/insentif finansial yang diperoleh oleh inventor sebagai akibat dari alih teknologi melalui kerjasama lisensi, manfaat lain yang diperoleh adalah berupa penambahan angka kredit dari kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesuai dengan Perka LIPI Nomor 2 Tahun 2014, bahwa penilaian angka kredit jabatan fungsional peneliti dibedakan menjadi dua unsur, yaitu unsur utama dan unsur penunjang, dimana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah salah satu dari unsur utama tersebut. Pada unsur utama bagian III.A.2.a. Menciptakan pilot prijek berbasis paten, perlindungan varietas yang tersertifikasi, konsep kebijakan yang telah dimanfaatkan/didadopsi menjadi kebijakan dan telah memperoleh pengakuan dari LIPI atau menteri/kepala lembaga terkait dengan satuan hasil berupa produk, SK, dan royalti maka akan mendapatkan angka kredit 30. Pengusulannya dengan melampirkan produk dan surat keterangan dari pengguna, Surat Keputusan (SK) menteri/kepala lembaga Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
242
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
terkait yang disahkan oleh Kepala LIPI tentang produk tersebut, bukti royalti, dan bukti dari penggunaan produk tersebut dari masyarakat. Dalam kurun waktu tahun 2014 – 2015 perolehan royalti dari lisensi kentang Medians yang diterima oleh Balai PATP adalah sebesar Rp7.159.091 pada tahun 2014 yang dibayarkan pada tahun 2015, sedangkan pada tahun 2015 mendapatkan royalty sebesar Rp 7.321.050yang dibayarkan di tahun 2016.Pada tahun 2016, P & C Farm mentargetkan untuk memproduksi 600.000 knol dengan volume penjualan sebesar 540.000 knol.Apabila HPP nya Rp. 1000, maka setelah dikurangi pejak penjualan, potensi royalti yang diterima oleh Balai PATP adalah sebesar.Rp 26.595.000. Manfaat lainyang diperoleh Balitbangtan adalah terdiseminasikannya teknologi Balitbangtan yang dapat memberikan dampak peningkatan pendapatan petani, lebih jauh dampak yang diharapkan adalah penggunaan varietas kentang lokal dapat mensubstitusi penggunaan varietas kentang impor yang selama ini digunakan oleh petani.
b. Manfaat untuk P & C farm P & C Farm memproduksi benih sumber kentang sejak mendapatkan lisensi dari Balitbangtan, sejalan dengan perkembangan perbenihan kentang, petani di sekitar mulai tertarik dengan melihat hasil produksi dari P & C Farm,maka permintaan benih kentang dari para petani semakin tinggi. P & C Farm menjual G2 kepada para petani.P & C Farm menjalin kemitraan dengan petani dengan melakukan pendampingan penerapan teknologi sesuai dengan SOP budidaya benih kentang dan membeli hasil usahatani benih kentang sesuai dengan kesepakatan harga.
Gambar 2. Perbenihan Kentang Median di P & C Farm
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
243
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
Total produksi selama tahun 2015 adalah 300.000 knol dan penjualan 146.421 knol. Area distribusi penjualan knol tersebar di kabupaten Garut, Padang, Jambi, dan NTT. P & C Farm telah menyiapkan lahan seluas 4 hektar untuk memenuhi target produksi kentang G0. Pada tahun 2016 ini permintaan benih meningkat selain daerah Garut, Padang, Jambi, dan NTT juga sudah ada permintaan untuk daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan NTB dengan prediksi penjualan 540.000 knol. Pada tahun 2017 perusahaan menargetkan produksi dan penjualan sebanyak 3.000.000 knol per tahun. Respon pasar terhadap varietas kentang Medians cukup bagus, selama ini petani yang sudah menanam, merespon dengan kembali melakukan permintaan benih kentang Medians.Varietas kentang Medians memiliki keunggulan dibandingkan varietas kentang Atlantik yang biasa petani tanam yakni hasil produksi lebih tinggi dan tahan terhadap penyakit. P & C Farm membangun membangun jejaring dengan industri olahan keripik merek kusuka dengan tawaran kebutuhan 20 ton per hari dan ada pula peluang permintaan dari PT Unilever.
Gambar 3. Produk keripik kentang varietas Medians
c. Manfaat untuk Petani P & C Farm tidak mengusahakan benih kentang sendiri, namun menjalin kerjasama dengan memberdayakan petani sekitar.Dengan pola kemitraan ini tentunya petani mendapatkan jaminan dari P&C Farm bahwa benih yang dihasilkan mendapatkan kepastian jaminan pasar. Selain memberdayakan petani untuk memproduksi benih, P & C Farm juga bermitra dengan petani untuk memproduksi umbi konsumsi. Petani yang biasanya menanam kentang varietas Atlantik, lambat laun beralih ke kentang varietas Medians.Kentang Medians yang merupakan hasil persilangan antara Atlantik dengan klon 393284.39, lebih tahan terhadap serangan penyakit busuk daun. Dalam satu periode tanam memungkinkan hanya dilakukan penyemprotan 8-10 kali, dengan demikian maka biaya yang dapat dihemat oleh petani untuk pembelian pestisida berkisar antara Rp10.200.000,00 – 12.000.000,00
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
244
Seminar Nasional Technopreneurship dan Alih Teknologi 2016 Pusat Inovasi - LIPI
(Kusmana 2013). Disisi lain bagi petani yang menanam Medians di daerah Garut juga mendapatkan jaminan pasar dari P&C Farm, karena pihak P&C Farm yang akan membelinya untuk bahan baku kripik.
KESIMPULAN Alih teknologi litbang hortikultura memberikan manfaat untuk banyak pihak yaitu a) untuk perusahaan yang melisensi yang mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan benih kentang dan kentang olahan, b) untuk Balitbangtan yaitu dikenalnya hasil penelitian kepada masyarakat luas, royalty dan penambahan angka kredit bagi peneliti, c) untuk petani dengan peningkatan pendapatan serta secara nasional varietas kentang Medians dapat mengurangi impor kentang olahan yaitu varietas Atlantik.
UCAPAN TERIMA KASIH Dalam tulisan ini disampaikan terima kasih kepada Kepala Puslitbang Hortikultura, Kepala Bidang Kerja sama dan Pendayagunaan Hasil Pertanian, pemilik lisensi yaitu Bp. Khudori sebagai pimpinan CV Papandayan dan Cikuray Farm, serta semua pihak yang mendukung dalam penyelesaian studi ini.
DAFTAR PUSTAKA Badan
Litbangtan, 2010. Panduan umum Alih Teknologi Dalam Rangka Inovasi Hasil Litbang Pertanian.Departemen Pertanian Bank Indonesia 2011. Pola Pembiayaan Usaha Kecil. Budidaya Kentang Industri. Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1997. Pedoman Gizi pada Bahan Pangan. Detik.finance 2014, Impor kentang meningkat 7 kali lipat.. http://www:detik.finance, diakses tanggal 26 September 2016. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta Ditjen Hortikultura, BP2SDMP Pertanian Tahun 2012, Berusaha Belajar Bersama Sinar Tani 7Agustus 2014 Kontrak kerja sama Balitsa dengan CV Papandayan dan Cikuray Farm Kentang Medians Harapan Baru Industri Keripik Nasional. http://www. tabloid sinartani.com. diakses tanggal 26 September 2016. Kusmana,2013. Generasi Baru Kentang Varietas Olahan Kripik Toleran Penyakit Busuk Daun dan Virus.Iptek Hortikultura No. 9, Juli 2013. Liferdi & Kusmana 2015. 30 Varietas Unggul Baru: Suatu terobosan inovasi teknologi baru pada sayuran. IAARD Press. Bogor. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 99 Tahun 2013 Tentang Perubahan kedua atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 06/Permentan/OT.140/2/2012 tentang Pedoman Kerjasama Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Tri Handayani & Asih K Karyadi, 2014 Varietas Unggul Baru (VUB) Kentang Menjawab Kebutuhan Bahan Baku Olahan. Warta Litbang Pertanian Vol.36 (1) 2014.
Sub Tema Dampak Sosial Ekonomi Alih Teknologi
245
ISSN 2502-6607