KAJIAN SISTEM KEMANAN PANGAN UNTUK INDUSTRI JASA BOGA, STUDI KASUS PADA PT ELN, JAKARTA
TUTI HANDAYANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Sistem Keamanan Pangan Untuk Industri Jasa Boga, Studi Kasus Pada PT ELN, Jakarta adalah karya sendiri dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2012
Tuti Handayani NRP F252090055
iii
ABSTRACT
TUTI HANDAYANI. Analysis of Food Safety System for Catering Industry, A Case Study in PT ELN, Jakarta.. Under supervision of DAHRUL SYAH and HARSI KUSUMANINGRUM. In accordance to comply with Regulation of the Minister of Health No. 1096/Menkes/Per/VI/2011, catering businesses is defined as companies or individuals that providing foodservice at a remote site on the basis of orders. The rapid development of the catering businesses due to increased demand for foods by a consumer who is too busy. However, catering businesses can have the possible risk of food borne diseases, if not done properly. The rise of food poisoning incident in Indonesia can reduce the level of consumer confidence in the catering business, so that the incident should be reduced or avoided by the business player with the effective food safety system.The result of this study indicated that food safety in catering business specified in the Regulation No 1096/Menkes/Per/VI/2011 is sufficient to reduce the likelihood of the risk of outbreaks (epidemics) of food-borne diseases in catering business based on analysis of primer and secondary data. In order to meet the requirements demanded by partners of PT ELN and realizing the importance of food safety management practices in the catering business, the management of PT ELN committed to implementing food safety management system based on HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). In general, the obstacle faced by PT ELN in implementing HACCP system due to the lack of a written job descriptions, SOP (Standard Operation Procedure), and IK (Instruksi Kerja) for each field of work. Keywords: catering, foodborne disease, Hazard Analysis Critical Control Point, food safety system
iv
RINGKASAN
TUTI. Kajian Sistem Keamanan Pangan Untuk Industri Jasa Boga, Studi Kasus Pada PT ELN, Jakarta. Dibimbing oleh DAHRUL SYAH dan HARSI KUSUMANINGRUM. Industri yang bergerak dalam pengolahan dan penyajian pangan siap santap yang disebut industri jasa boga atau katering telah berkembang dengan pesat. Industri semacam ini banyak dimanfaatkan untuk penyediaan makanan di berbagai tempat dan untuk berbagai keperluan. Pada kenyataannya, industri jasa boga yang menyediakan pangan siap saji mempunyai resiko dapat menyebabkan terjadinya penyakit yang ditularkan melalui pangan (foodborne disease) apabila tidak dilakukan penanganan pangan dengan baik. Selain itu, seringnya terjadi kasus keracunan sebagai akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi bahan berbahaya merupakan indikasi bagi pengelola jasa boga untuk meningkatkan sanitasi dan higiene pengelolaan usaha jasa boga dan kejadian tersebut harus dapat ditekan atau dihindarkan oleh pelaku usaha. Penerapan standar sanitasi dan sistem keamanan pangan pada industri jasa boga merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk menekan resiko kejadian luar biasa (outbreak) penyakit yang ditularkan melalui pangan. Hal tersebut mendorong perusahaan-perusahaan pengguna jasa katering mensyaratkan penerapan dan sertifikasi sistem keamanan pangan bagi industri pangan jasa boga atau katering rekanannya. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai macam aturan dan program keamanan pangan. Dalam hal jasa boga, telah ada program-program sistem keamanan pangan terpadu seperti sertifikat laik hygiene dan sanitasi, Program Piagam Bintang Keamanan Pangan, CPPB, dan HACCP. Pada kenyataannya banyak industri yang memanfaatkan katering untuk menyediakan pangan siap saji bagi para karyawannya mensyaratkan penerapan dan sertifikasi HACCP dibandingkan dengan program sistem keamanan pangan yang dikembangkan oleh pemerintah. Muncul pertanyaan, apakah program keamanan pangan jasa boga yang dikembangkan oleh pemerintah dirasa tidak cukup untuk menjamin produk yang dihasilkan aman, atau ada alasan lain sehingga sertifikasi HACCP lebih banyak di persyaratkan oleh perusahaan-perusahaan pengguna jasa katering. Peneltian ini bertujuan untuk memperoleh informasi kecukupan sistem keamanan pangan, untuk menekan kemungkinan terjadinya resiko kejadian luar biasa (KLB) penyakit yang ditularkan melalui pangan pada industri jasa boga serta memberikan rekomendasi bagi pemilihan jenis sertifikasi sistem keamanan pangan untuk usaha jasa boga atau katering. Hasil analisis dijabarkan dalam beberapa aspek yaitu aspek pertama, berdasarkan data prosentase kontribusi jasa boga terhadap kasus KLB keracunan pangan, belum dapat disimpulkan kecukupan sistem keamanan pangan pada
v
industri jasa boga, karena dari data yang diperoleh menunjukkan kontribusi pangan jasa boga terhadap kasus KLB keracunan pangan berpola fluktuatif. Aspek kedua, berdasarkan data kasus KLB akibat masakan rumah tangga dibandingkan dengan Kasus KLB akibat jasa boga, dapat disimpulkan bahwa sistem keamanan pangan yang ada yaitu sertifikat laik hygiene sanitasi cukup untuk menekan kasus KLB keracunan pangan terlihat secara umum masakan rumah tangga merupakan penyebab tertinggi (44.41%) dari total jumlah kasus KLB keracunan pangan. Aspek ketiga, berdasarkan data tren pertumbuhan jumlah usaha jasa boga terhadap korban KLB keracunan pangan, dapat disimpulkan bahwa sistem keamanan pangan yang ada yaitu sertifikat laik hygiene sanitasi cukup untuk menekan kasus KLB keracunan pangan karena tumbuhnya usaha jasa boga yang belum bersertifikat seiring dengan pertambahan jumlah korban KLB keracunan pangan. Aspek keempat, berdasarkan data persepsi pengguna usaha jasa boga yang umumnya tidak mengenal kewajiban usaha jasa boga untuk memiliki sertifikat keamanan pangan jasa boga yaitu sertifikat laik hygiene sanitasi. Pengetahuan pengguna jasa boga akan kewajiban sertifikat keamanan pangan harus ditingkatkan. Media promosi keamanan pangan dapat dijadikan alternatif untuk sosialisasi. Meningkatnya pengetahuan pengguna jasa boga akan sertifikat keamanan pangan merupakan indikasi bagi pengelola jasa boga untuk memiliki jaminan keamanan pangan jasa boga ini. Secara umum sistem keamanan pangan jasa boga yang ada melalui Sertifikat Laik Hygiene dan Santasi yang diwajibkan pemerintah melalui Permenkes No. 1096/Menkes/PER/VI/2011 untuk dimiliki oleh usaha jasa boga atau katering, cukup untuk menekan kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan. Namun demikian masih di butuhkan penelitian lebih lanjut dengan jangkauan data kasus KLB dan pertumbuhan usaha jasa boga dari beberapa wilayah yang lebih luas lagi untuk mendukung kajian ini. Secara umum kendala yang dihadapi PT ELN dalam menerapkan sistem HACCP dikarenakan belum adanya Uraian Kerja secara tertulis untuk setiap bagian kerja, belum adanya Prosedur Operasi Standar (SOP) dan Instruksi Kerja (IK) di tiap bagian kerja. Selain itu, beberapa hal yang perlu untuk ditingkatkan adalah pembersihan dan sanitasi ruang pengolahan, keadaran dan sikap karyawan terhadap keamanan pangan, serta pelatihan yang berkelanjutan.
Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KAJIAN SISTEM KEMANAN PANGAN UNTUK INDUSTRI JASA BOGA, STUDI KASUS PADA PT ELN, JAKARTA
TUTI HANDAYANI
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir: Dr. Ir. Elvira Syamsir, M.Si
ix
Judul Tugas Akhir
: Kajian Sistem Keamanan Pangan Untuk Industri Jasa Boga, Studi Kasus Pada PT ELN, Jakarta
Nama
: Tuti Handayani
NRP
: F252090055
Program Studi
: Teknologi Pangan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Ketua
Dr. Ir. Harsi Kusumaningrum Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 22 Oktober 2012
Tanggal Lulus:
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT atas segala kemudahan yang diberikan-NYA sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2012 ini adalah Kajian Sistem Keamanan Pangan Untuk Industri Jasa Boga, Studi Kasus Pada PT ELN, Jakarta. Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Agr dan Dr. Ir. Harsi Kusumaningrum, M.Sc selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahannya dalam penyusunan tugas akhir ini;
2.
Dr. Ir. Elvira Syamsir, M.Si sebagai penguji luar komisi pada ujian tugas akhir, dan Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M. Si sebagai moderator dan penguji pada ujian tugas akhir, dalam memberikan masukan dan sarannya;
3.
PT ELN yang telah memberikan ijin untuk digunakannya data perusahaan dalam penyusunan tugas akhir ini;
4.
Ibu dan kakak-kakak yang selalu memberikan dukungan moral dan spiritual hingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dan tugas akhir ini;
5.
Suami tercinta Muhammad Zahirsyah, M.T yang telah memberikan segala bentuk dukungan dalam menyelesaikan pendidikan ini;
6.
Program Studi MPTP, khususnya Dr. Lilis Nuraida selaku ketua program studi dan Fatikhaturohmah, Amd. selaku staf sekretariat MPTP yang banyak membantu selama masa perkuliahan dan penyusunan tugas akhir.
7.
Rekan-rekan angkatan V MPTP IPB : Mbak Wulan, Virna, Pak Hafzialman, Pak Deddy, Mbak Lisa, Shinta, Pak Joko, Mbak Hilda, dan Bu Sumaria atas kebersamaan dan dukungan semangat dalam penyelesaian tugas akhir;
8.
BPOM RI terutama Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan yang telah membantu dalam pengambilan data di dalam penelitian ini;
9.
Dinas Kesehatan Kota Depok terutama Divisi Penyehatan Lingkungan Kota Depok yang telah membantu dalam pengambilan data di dalam penelitian ini;
10. Seluruh pihak yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan dalam penyelesaian dan penulisan tugas akhir ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini tidak luput dari kekurangan, namun demikian Penulis berharap karya ilmiah ini dapat memberikan kontribusi pemikiran dan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Bogor, Oktober 2012 Tuti Handayani
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Mentok-Bangka, pada tanggal 15 November 1974 sebagai anak bungsu dari almarhum Bapak Bustami Ali, B.Sc dan Ibu Mimi Suparmi. Tahun 1993, penulis lulus dari Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor (SMAKBO) dan pada tahun 1994 melanjutkan pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Penulis menyelesaikan program Sarjana Kimia pada tahun 1999. Pada tahun 1999 – 2001 penulis bekerja sebagai asisten peneliti bidang Biokimia di Pusat Antat Universitas (PAU) ITB. Tahun 2001 - 2007 penulis bekerja sebagai Koordinator Bagian R&D dan QC di PT Unican Surya Agung, perusahaan yang bergerak di bidang pangan khususnya untuk produk-produk confectionery. Tahun 2007 hingga sekarang, penulis bekerja di perusahaan konsultan sertifikasi sistem pada bagian pangan. Untuk mendalami ilmu pangan, tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan (MPTP), Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .......................................................................................................i DAFTAR TABEL ...............................................................................................iii DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................v DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................vi I. PENDAHULUAN .......................................................................................1 1.1. Latar Belakang ......................................................................................1 1.2. Tujuan ...................................................................................................4 1.3. Manfaat .................................................................................................4 II. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................7 2.1. Industri Pangan Jasa Boga ....................................................................7 2.1.1. Definisi dan Karakteristik..........................................................7 2.1.2. Persyaratan Hygiene dan Sanitasi..............................................11 2.2. Batasan Keamanan Pangan Siap Saji ....................................................13 2.2.1. Bahaya Keamanan Pangan ........................................................13 2.2.2. Permasalahan Keamanan Pangan Pada Industri Jasa Boga (Katering)...................................................................................18 2.3. Jaminan Keamanan Pangan Untuk Jasa Boga ......................................21 2.4. Implementasi Sistem HACCP Dalam Industri Jasa Boga (Katering) .............................................................................................37 III. METODE PENELITIAN.............................................................................41 3.1. Tempat dan Waktu ................................................................................41 3.2. Bahan dan Alat ......................................................................................41 3.3. Metode Penelitian .................................................................................41 3.3.1. Kajian Kecukupan Sistem Keamanan Pangan Untuk Industri Jasa Boga ...................................................................................42 3.3.2. Melakukan Evaluasi Kondisi Pada Usaha Jasa Boga atau Katering dalam Rangka Sertifikasi Sistem HACCP di PT ELN ......................................................................................43 3.3.3. Pembuatan Rancangan Sistem HACCP atau HACCP Plan untuk Produksi Pangan Siap Saji di PT ELN ............................45 3.3.4. Pembuatan Rekomendasi Pengembangan Sistem HACCP pada PT ELN ......................................................................................45 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................47 4.1. Kecukupan Sistem Keamanan Pangan Untuk Industri Jasa Boga ........47 4.2. Evaluasi Kondisi Pada Usaha Jasa Boga atau Katering dalam Rangka Sertifikasi Sistem HACCP di PT ELN ....................................61 4.2.1. Sanitasi dan Hygiene...................................................................61 4.2.2. Ketersediaan SSOP dan Penerapannya .......................................67 4.3. Rancangan Sistem HACCP atau HACCP Plan untuk Produksi Pangan Siap Saji di PT ELN .................................................................74 4.4. Rancangan Pengembangan Sistem HACCP di PT ELN.......................84
ii
V. SIMPULAN DAN SARAN .........................................................................87 5.1. Simpulan ...............................................................................................87 5.2. Saran .....................................................................................................88 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................89 LAMPIRAN ........................................................................................................93
iii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Pemanasan minimal pada beberapa makanan ...................................... 15 Tabel 2. Jumlah minimal beberapa bakteri yang dapat menyebabkan sakit atau keracunan ...................................................................................... 16 Tabel 3. Suhu Penyimpanan Bahan Makanan .................................................... 26 Tabel 4. Suhu Penyimpanan Pangan Jadi/Masak ............................................... 26 Tabel 5. Jenis-Jenis Bahaya ................................................................................ 31 Tabel 6. Karakteristik Bahaya ............................................................................ 32 Tabel 7. Penetapan Kategori resiko .................................................................... 33 Tabel 8. Signifikansi Bahaya .............................................................................. 33 Tabel 9. Contoh Critical Limit (Batas Kritis) Pada CCP.................................... 35 Tabel 10. Hasil Wawancara Unit Usaha Jasa Boga .............................................. 47 Tabel 11. Hasil Wawancara Unit Usaha Pengguna Jasa Boga ............................. 49 Tabel 12. Total KLB Keracunan Pangan yang terlaporkan, Jumlah Orang yang mengkonsumsi dan Jumlah Korban KLB Keracunan Pangan Tahun 2001 - 2011 ................................................................................ 51 Tabel 13. Jenis Pangan penyebab KLB Keracunan Pangan tahun 2001 – 2011 .......................................................................................... 52 Tabel 14. Penyebab KLB Keracunan Pangan yang Terlaporkan Tahun 2001 – 2011 .......................................................................................... 54 Tabel 15. Prosentase penyebab KLB Keracunan Pangan yang tidak terdeteksi tahun 2001 – 2011. ............................................................... 55 Tabel 16. Kasus KLB Keracunan Pangan Sepanjang Tahun 2012 Di Beberapa Tempat Berbeda............................................................... 59 Tabel 17. Hasil Evaluasi Kondisi Penerapan Hygiene dan Sanitasi di PT ELN...61 Tabel 18. Ketidaksesuaian Kondisi PT ELN dalam Penerapan Hygiene dan Sanitasi berdasarkan Kriteria menurut Permenkes 2011…………62 Tabel 19. Ketersediaan dan Penerapan SSOP di PT ELN. ................................... 68 Tabel 20. Monitoring yang perlu dilakukan Pada Program Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) di PT ELN. ........................... 72 Tabel 21. Struktur tim HACCP di PT ELN .......................................................... 76 Tabel 22. Analisis Bahaya Kelompok Menu Pangan yang tidak melalui Proses Pemanasan ................................................................................. 77 Tabel 23. Analisis Bahaya Kelompok Menu Pangan yang diolah dan disajikan pada hari yang sama .............................................................. 78
iv
Tabel 24. Analisis Bahaya Kelompok Menu Pangan dengan pengolahan kompleks ............................................................................................... 79 Tabel 25. Titik Kendali Kritis atau CCP Kelompok Menu Pangan siap saji di PT ELN ............................................................................................. 80 Tabel 26. Batas Kritis, Prosedur Monitoring, Tindakan Koreksi, Verifikasi dan Rekaman (Dokumentasi dan Pencatatan) ...................................... 83
v
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP dalam Industri Pangan menurut standar NACMCF (National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods) dan CAC (Codex Alimentarius Commission) ...................... 28
Gambar 2.
Diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis (CCP) atau CCP decision tree ............................................................................ 34
Gambar 3.
Pendekatan Tiga Jenis Diagram Alir Produk untuk Pangan Jasa Boga ................................................................................................. 39
Gambar 4.
Prosentase Jenis Pangan Penyebab KLB Keracunan Pangan Terlapor Tahun 2001-2011 .............................................................. 53
Gambar 5.
Tren Pertumbuhan Usaha Jasa Boga dan Korban KLB Keracunan Pangan Terlapor di Kota Depok Tahun 2008-2011 ...... 57
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Pertanyaan untuk Unit Usaha Jasa Boga dan Unit Usaha Pengguna Jasa Boga .......................................................................................93 Lampiran 2. Contoh Permohonan Laik Hygiene Sanitasi Jasa Boga .................94 Lampiran 3. Contoh Berita Acara Kelaikan Fisik ..............................................95 Lampiran 4. Contoh Formulir Pengambilan atau Pengiriman Contoh dan Spesimen .......................................................................................96 Lampiran 5. Contoh Berita Acara Pemeriksaan Contoh dan Specimen.............97 Lampiran 6. Hasil Pemeriksaan Uji Laik Fisik untuk Hygiene dan Sanitasi Perusahaan .....................................................................................98 Lampiran 7. Hasil Pengamatan Terhadap Pelaksanaan SSOP di PT ELN ........101 Lampiran 8. Titik Kendali Kritis atau CCP Kelompok Menu Pangan yang tidak melalui Proses Pemanasan ....................................................105 Lampiran 9. Titik Kendali Kritis atau CCP Kelompok Menu Pangan yang diolah dan disajikan pada hari yang sama .....................................106 Lampiran10. Titik Kendali Kritis atau CCP Kelompok Menu Pangan dengan pengolahan kompleks ........................................................108
I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Jasa boga termasuk di dalamnya restoran atau rumah makan dan katering adalah istilah umum untuk usaha yang melayani pemesanan berbagai macam pangan (makanan dan minuman) siap saji baik untuk pesta maupun untuk kebutuhan suatu instansi. Ciri khas utama jasa boga adalah pangan yang disajikan tidak dimasak di tempat yang sama dengan tempat pangan dihidangkan. Industri yang bergerak dalam pengolahan dan penyajian pangan siap santap yang disebut industri jasa boga atau katering telah berkembang dengan pesat pada saat ini. Industri semacam ini banyak dimanfaatkan untuk penyediaan makanan di berbagai tempat dan untuk berbagai keperluan, misalnya di pusat-pusat makanan jajanan, restoran fast food, hotel, dan penyajian makanan-makanan di suatu pesta, seminar, untuk karyawan pabrik dan perkantoran, perusahaan transportasi, dan lain-lain. Menjamurnya usaha jasa boga di perkotaan terjadi karena kebutuhan akan pangan yang praktis dan siap dikonsumsi oleh konsumen di perkotaan yang serba sibuk, sehingga mereka tidak perlu membuang waktu terlalu lama hanya untuk mempersiapkan pangan. Menurut
Peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor
1096/Menkes/
PER/VI/2011, definisi jasa boga atau katering adalah perusahaan atau perorangan yang melakukan kegiatan pengelolaan makanan yang disajikan di luar tempat usaha atas dasar pesanan. Usaha jasa boga meliputi usaha penjualan makanan jadi (siap dikonsumsi) yang terselenggara melalui pesanan-pesanan untuk perayaan, pesta, seminar, rapat, paket perjalanan haji, angkutan umum dan sejenisnya. Biasanya makanan jadi yang dipesan diantar ke tempat pesta, seminar, rapat dan sejenisnya berikut pramusaji yang akan melayani tamu-tamu atau peserta seminar atau rapat pada saat pesta atau seminar berlangsung. Pada kenyataannya, industri jasa boga yang menyediakan pangan siap saji mempunyai resiko dapat menyebabkan terjadinya penyakit yang ditularkan melalui pangan (foodborne disease) apabila tidak dilakukan penanganan pangan dengan baik. Selain itu, seringnya terjadi kasus keracunan sebagai akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi bahan berbahaya merupakan indikasi
2
bagi pengelola jasa boga untuk meningkatkan sanitasi dan higiene pengelolaan usaha jasa boga. Maraknya kejadian keracunan pangan di Indonesia dapat menurunkan tingkat kepercayaan konsumen terhadap industri jasa boga, sehingga kejadian tersebut harus dapat ditekan atau dihindarkan oleh pelaku usaha. Beberapa puluh tahun terakhir ini, masalah keracunan pangan dan isu keamanan pangan di dunia telah meningkat akibat maraknya kejadian keracunan pangan serta meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan isu keamanan pangan. Di wilayah Asia termasuk Indonesia, terdapat kecendrungan (trend) yang sama (Embarek, 2004). Menurut Badan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit atau Centre for Disease Control and Prevention (CDC), terjadi 6-53 juta keracunan pangan di Amerika Serikat. Sebanyak 50.000 kasus di antaranya disebabkan oleh Salmonella (CDC, 2011). Di negara-negara berkembang, penyakit akibat keracunan pangan dan air dapat mencapai 0,8 juta orang meninggal setiap tahun. Sedangkan di negaranegara industri yang maju, penyakit akibat keracunan pangan berakibat mencapai 30% dari jumlah populasi manusianya, dan 20 orang di antara 1 juta orang yang meninggal setiap tahun dikarenakan kasus penyakit keracunan pangan. Bahkan pada tahun 2003 dan 2004, di Negara-negara di Asia, kasus penyakit yang disebabkan karena keracunan pangan telah meningkat karena adanya penyediaan pangan dari industri jasa boga untuk keperluan-keperluan seperti di kantin sekolah, kantin perusahaan, dan untuk keperluan social dalam rangka pesta perayaan perkawinan (Embarek, 2004). Penyebab keracunan pangan dari produk jasa boga atau katering kemungkinan dapat disebabkan adanya mikroba patogen, kondisi sanitasi dan higiene tempat mengolah makanan yang buruk, serta penggunaan bahan kimia. Pangan yang berasal dari jasa boga dan masakan rumah tangga umumnya merupakan makanan berasam rendah dan berkadar air tinggi sehingga mudah busuk dan mudah diserang mikroorganisme. Kurangnya pengawasan dalam peredaran penggunaan bahan kimia yang digunakan dalam produksi pangan juga menjadi penyebab keracunan pangan (Suhaeni, 2011). Penerapan standar sanitasi dan sistem keamanan pangan pada industri jasa boga merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk menekan resiko kejadian
3
luar biasa (outbreak) penyakit yang ditularkan melalui pangan. Alternatif inilah yang
menyebabkan
perusahaan-perusahaan
besar
padat
karya
mulai
memberlakukan syarat penerapan dan sertifikasi sistem keamanan pangan bagi industri pangan jasa boga atau katering rekanannya. Salah satu sistem manajemen keamanan pangan yang diakui secara internasional adalah sistem Hazard Analysis Critical and Control Point (HACCP). Banyak industri yang memanfaatkan katering untuk menyediakan pangan siap saji bagi para karyawannya mensyaratkan penerapan dan sertifikasi HACCP kepada para pengusaha jasa boga. Saat ini PT ELN merupakan perusahaan katering yang memproduksi pangan siap saji dengan kategori perusahaan termasuk Golongan A3. Namun demikian, seiring dengan kemajuan perusahaan dan meningkatnya kapasitas pengolahan untuk dapat melayani pengguna jasa katering yang lebih besar lagi, PT ELN berniat untuk naik kategori menjadi Golongan B sesuai peraturan Kepmenkes. Selain itu, dalam rangka memenuhi persyaratan yang diminta oleh perusahaan pengguna jasa katering rekanan PT ELN, dan persyaratan pemerintah untuk menjadi perusahaan katering dengan golongan yang sesuai kriteria pelayanan, serta menyadari pentingnya penerapan manajemen keamanan pangan pada industri jasa boga dan menanggapi maraknya kasus-kasus keracunan akibat mengkonsumsi pangan siap saji, maka pihak manajemen katering PT ELN berkeinginan untuk menerapkan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Sistem manajemen keamanan pangan model HACCP ini telah diakui secara internasional baik oleh CODEX, European Union (EU), dan WTO serta telah diadopsi oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). Penerapan sistem manajemen keamanan pangan jasa boga melalui sistem HACCP dapat diterapkan dan diintegrasikan bersama dengan sistem lain yaitu Good Hygiene Practices (GHP). Penerapan sistem HACCP bila diimplementasikan secara tepat dapat memberi keuntungan yaitu mengurangi tingkat resiko terhadap morbiditas dan mortalitas yang dikaitkan dengan konsumsi pangan yang tidak aman. Biaya-biaya
4
terkait dapat ditekan seperti biaya untuk penanganan pasien yang terkena keracunan pangan, hilangnya pendapatan pasien penderita keracunan pangan akibat kehilangan waktu kerja karena sakit, serta biaya untuk penyembuhan pasien akibat keracunan pangan. Penerapan sistem HACCP di PT ELN dinilai efektif untuk mencegah dan meminimalisasi resiko bahaya keracunan pangan, sehingga dinilai cukup baik untuk memberi jaminan keamanan pangan. Melalui penerapan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan HACCP, diharapkan perusahaan industri pangan siap saji atau katering PT ELN bisa menghasilkan produk pangan dengan kualitas yang baik dan konsisten serta yang paling penting adalah aman untuk dikonsumsi, yang pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap perusahaan dan meningkatkan penjualan produk pangan siap saji perusahaan katering.
1.2. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Melakukan kajian kecukupan sistem keamanan pangan, untuk menekan kemungkinan terjadinya resiko kejadian luar biasa (KLB) penyakit yang ditularkan melalui pangan pada industri jasa boga serta memberikan rekomendasi bagi pemilihan jenis sertifikasi sistem keamanan pangan yang efektif untuk usaha jasa boga atau katering.
2.
Mengevaluasi kondisi yang ada pada usaha jasa boga atau katering dalam rangka sertifikasi HACCP di PT ELN.
3.
Menyusun dokumen rancangan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) atau HACCP Plan dan merekomendasikan rancangan sistem HACCP tersebut sebagai panduan dasar dalam penerapan dan sertifikasi sistem HACCP untuk produksi pangan pada industri jasa boga di PT ELN.
1.3. MANFAAT Kajian yang dilakukan pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait yaitu pengusaha jasa boga dan pemerintah serta perusahaan pengguna usaha jasa boga mengenai sistem
5
keamanan pangan yang tepat untuk diterapkan pada industri jasa boga atau katering. Dalam rangka memenuhi persyaratan perusahaan pengguna jasa boga, maka PT ELN berusaha menerapkan sistem keamanan pangan HACCP guna mendapatkan sertifikasi sistem HACCP. Namun demikian, kajian yang dilakukan pada penelitian ini berusaha mendapatkan informasi apakah industri jasa boga pada akhirnya wajib memiliki sertifikasi sistem HACCP atau cukup dengan mengikuti program-program keamanan pangan yang telah dikembangkan oleh pemerintah. Tersusunnya sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) yang didukung dengan pemenuhan dokumen persyaratan kelayakan dasar (prerequisite programs) dan cara produksi pangan yang baik melalui good hygiene practices (GHP) pada PT ELN menyebabkan dapat dilakukannya penerapan dan sertifikasi sistem HACCP sesuai dengan SNI 01-4582-1998 (Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kendali Kritis – HACCP) serta Pedoman BSN 1004-2002. Implementasi sistem HACCP di PT ELN tersebut diharapkan (1) meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi kasus keracunan dan penyakit melalui pangan (2) mengetahui cara memproduksi pangan yang baik sehingga diketahui bahaya yang mungkin timbul dari pangan (3)
memperbaiki cara memproduksi pangan yang baik dengan memberikan
perhatian khusus terhadap proses yang dianggap kritis (4) memantau dan mengevaluasi cara-cara penanganan dan pengolahan pangan serta penerapan sanitasi dalam memproduksi pangan (5) meningkatkan inspeksi mandiri oleh pengolah pangan (6) mencegah usaha jasa boga atau katering ditutup karena kasus keracunan pangan mencegah jasa boga atau katering ditutup (7) mencegah kehilangan pelanggan (8) meningkatkan kepercayaan pelanggan (9) mencegah pemborosan biaya atau kerugian karena masalah pangan.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. INDUSTRI PANGAN JASA BOGA 2.1.1. Definisi dan Karakteristik Saat ini usaha jasa penyediaan makanan dan minuman atau jasa boga atau katering adalah usaha yang memberikan prospek yang baik jika dilakukan dengan benar, karenanya banyak sekali bermunculan usaha jasa boga di kota-kota besar di Indonesia. Setiap usaha jasa boga haruslah memiliki izin yang dikeluarkan oleh pemerintah, dalam hal ini Dinas Kesehatan setempat. Berbagai persyaratan harus dipenuhi oleh usaha jasa boga, tergantung dari kriteria atau golongan usaha tersebut. Hal ini sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 715/Menkes/SK/V/2003, yang mengatur tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasaboga. Pada tahun 2011 Menteri Kesehatan mengeluarkan Permenkes RI No. 1096/Menkes/PER/VI/2011 guna menyempurnakan Kepmenkes No. 715/Menkes/SK/V/2003 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum. Untuk usaha jasa boga yang telah memiliki Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 715/Menkes/SK/V/2003, sertifikat tersebut masih berlaku sampai habis masa berlakunya. Sedangkan Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi yang sedang
dalam
proses
sebelum
Permenkes
2011
pelaksanaannya sesuai
ketentuan
Keputusan
Menteri
diberlakukan, Kesehatan
maka Nomor
715/Menkes/SK/V/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasa Boga. Permenkes RI Nomor 1096/Menkes/PER/VI/2011 ditetapkan pada tanggal 7 Juni 2011, dan untuk selanjutnya akan menjadi acuan yang digunakan dalam penelitian ini. Sesuai
definisi
Jasa
Boga
menurut
Permenkes
RI
Nomor
1096/Menkes/PER/VI/2011, usaha jasa boga termasuk di dalamnya usaha katering adalah perusahaan atau perorangan yang melakukan kegiatan pengelolaan makanan yang disajikan di luar tempat usaha atas dasar pesanan. Sedangkan pengolahan dari jasa boga itu sendiri adalah kegiatan yang meliputi penerimaan bahan
mentah
atau
makanan
terolah,
pembuatan,
pengubahan
bentuk,
pengemasan, pewadahan, pengangkutan dan penyajian. Usaha jasa boga dibagi menjadi tiga golongan, yakni golongan A, B, dan C dimana golongan tersebut didasarkan pada luasnya jangkauan pelayanan dan kemungkinan besarnya risiko
8
yang dilayani. Jasa boga golongan A adalah usaha yang melayani kebutuhan masyarakat umum, yang terdiri dari A1, A2, dan A3. Sedangkan golongan B yakni jasa boga yang melayani kebutuhan khusus seperti asrama penampungan jemaah haji, perusahaan, pengeboran lepas pantai, angkutan umum dalam negeri, dan sarana pelayanan rumah sakit. Untuk golongan C yakni jasa boga yang melayani kebutuhan untuk alat angkutan umum internasional dan pesawat udara. Sedangkan beberapa kriteria serta persyaratan yang harus dipenuhi pengusaha saat memulai usaha di bidang jasa boga adalah sebagai berikut : 1. Golongan A, yang terdiri dari : 1.1. Golongan A1 dengan kriteria melayani kebutuhan masyarakat umum, menggunakan dapur rumah tangga dan dikelola keluarga, serta kapasitas pengolahan yang kurang dari 100 porsi. 1.2. Golongan A2 dengan kriteria melayani kebutuhan masyarakat umum, menggunakan dapur rumah tangga dan memperkerjakan tenaga kerja (karyawan), dan kapasitas pengolahan antara 101-500 porsi. 1.3. Golongan A3 dengan kriteria melayani kebutuhan masyarakat umum, menggunakan dapur khusus dan mempekerjakan tenaga kerja (karyawan) dan kapasitas pengolahan yang lebih dari 500 porsi. 2. Golongan B dengan kriteria melayani kebutuhan khusus untuk asrama seperti asrama penampungan jemaah haji, asrama transito, pengeboran lepas pantai, perusahaan, angkutan umum dalam negeri dan sebagainya, menggunakan dapur khusus dan mempekerjakan tenaga kerja (karyawan). 3. Golongan C dengan kriteria melayani kebutuhan alat angkutan umum internasional dan pesawat udara, menggunakan dapur khusus dan mempekerjakan tenaga kerja (karyawan).
Untuk persyaratan usaha jasa boga termasuk katering, Permenkes No. 1096/Menkes/PER/VI/2011 memberikan persyaratan sebagai berikut : 1. Golongan A, yang terdiri dari : 1.1. Golongan A1 :
9
1.1.1. Ruang pengolahan makanan tidak boleh dipakai sebagai ruang tidur. 1.1.2. Menyediakan ventilasi yang cukup. 1.1.3. Pembuangan udara kotor/asap tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan. 1.1.4. Tersedia tempat cuci tangan yang permukaannya halus dan mudah dibersihkan. 1.1.5. Tersedia sedikitnya satu buah lemari es sebagai tempat penyimpanan makanan mudah basi. 1.2. Golongan A2 : 1.2.1. Memenuhi persayaratan jasaboga golongan A1. 1.2.2. Ruang pengolahan makanan harus dipisahkan dengan ruang lain. 1.2.3. Dilengkapi alat pembuangan asap dari dapur. 1.2.4. Tersedia sedikitnya satu buah lemari es untuk menyimpan makanan yang cepat busuk. 1.2.5. Tersedia tempat penyimpanan dan ganti pakaian. 1.3. Golongan A3 : 1.3.1. Memenuhi persyaratan jasaboga golongan A2. 1.3.2. Ruang pengolahan makan terpisah dengan bangunan tempat tinggal. 1.3.3. Pembuangan asap dari dapur dilengkapi dengan alat pembuangan asap dan cerobong asap. 1.3.4. Tempat memasak terpisah secara jelas dengan tempat penyiapan makanan. 1.3.5. Tersedia lemari pendingin yang dapat mencapai suhu -5o Celcius. 1.3.6. Tersedia kendaraan pengangkut makanan yang khusus dan hanya digunakan untuk mengangkut makanan jadi. 1.3.7. Alat atau tempat angkut makanan harus tertutup sempurna, dibuat dari bahan kedap air dan mudah dibersihkan.
10
1.3.8. Kotak yang digunakan sekali pakai untuk mewadahi makanan harus mencantumkan nama perusahaan, nomor izin usaha, serta laik hygiene sanitasi. 1.3.9. Jasaboga yang tidak mempunyai kotak dalam penyajiannya, harus mencantumkan nama perusahaan, nomor izin usaha serta laik hygiene sanitasi di tempat penyajian yang mudah diketahui umum. 2. Golongan B yakni : 2.1. Memenuhi persyaratan jasaboga golongan A3. 2.2. Pembuangan air kotor dilengkapi grease trap (penangkap lemak). 2.3. Pertemuan lantai dan dinding tidak terdapat sudut mati agar tidak menjadi tempat berkumpulnya kotoran. 2.4. Memiliki ruang kantor dan ruang untuk belajar yang terpisah dari ruang pengolahan makanan. 2.5. Dilengkapi penangkap asap (hood), alat pembuangan asap dan cerobong asap. 2.6. Fasilitas pencucian dari bahan yang kuat, permukaan halus dan mudah dibersihkan. 2.7. Setiap peralatan dibebas hamakan dengan larutan kaporit atau air panas selama 2 menit. 2.8. Setiap tempat pengolahan makanan dilengkapi tempat cuci tangan yang diletakkan didekat pintu. 2.9. Ruang pengolahan makanan terpisah dengan ruangan tempat penyimpanan bahan makanan mentah. 2.10.Tersedia lemari penyimpanan dingin yang dapat mencapai suhu -10oC sampai -5oC. 3. Golongan C yakni : 3.1. Memenuhi persyaratan jasaboga golongan B. 3.2. Dilengkapi penangkap asap (hood), alat pembuang asap, cerobong asap, saringan lemak yang dapat dibuka dan dipasang untuk dibersihkan secara berkala. 3.3. Dilengkapi alat pengatur suhu ruangan.
11
3.4. Tempat pencucian alat dan bahan terbuat dari bahan logam tahan karat seperti stainless steel. 3.5. Air untuk pencucian peralatan dan cuci tangan harus mempunyai tekanan sedikitnya 5ps. 3.6. Tersedia lemari penyimpanan dingin untuk makanan secara terpisah sesuai dengan jenis makanan/bahan makanan yang digunakan. 3.7. Tersedia gudang tempat penyimpanan makanan untuk bahan kering, makanan terolah dan bahan yang tidak mudah membusuk. 3.8. Rak penyimpanan makanan
harus mudah dipindah dengan
menggunakan roda penggerak.
2.1.2. Persyaratan Hygiene dan Sanitasi Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1096/Menkes/PER/VI/2011, tentang persyaratan hygiene sanitasi jasa boga atau usaha katering yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan, setiap usaha jasa boga atau usaha katering harus memiliki izin usaha dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Higiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan faktor risiko terjadinya kontaminasi terhadap pangan, baik yang berasal dari bahan makanan, orang, tempat dan peralatan agar aman dikonsumsi. Pengelolaan makanan oleh jasaboga harus memenuhi higiene sanitasi dan dilakukan sesuai cara pengolahan makanan yang baik. Untuk memiliki izin usaha jasa boga atau usaha katering, pengusaha harus memiliki sertifikat hygiene sanitasi yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. Dalam hal jasaboga akan menyajikan hasil olahan makanan di wilayah pelabuhan, bandar udara, pos pemeriksaan lintas batas, harus memperoleh rekomendasi dari Kepala KKP. Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga untuk jasaboga yang berada di wilayah pelabuhan, bandar udara, pos pemeriksaan lintas batas, dikeluarkan oleh Kepala KKP atau Kantor Kesehatan Pelabuhan. KKP adalah unit pelaksana teknis Kementerian Kesehatan di wilayah pelabuhan, bandara dan pos lintas batas darat. Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga dikeluarkan sesuai golongan jasaboga.
12
Berkaitan langsung dengan bahan makanan dan kesehatan masyarakat dalam usaha jasa boga atau usaha katering, perolehan Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi Jasa
Boga
atau
Usaha
Katering merupakan
persyaratan
mutlak
berjalannya usaha. Untuk memperoleh Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi Jasa Boga atau Usaha Katering, pengusaha dapat mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota/Pelabuhan setempat (Lampiran 2). Untuk perusahaan Jasa Boga atau Usaha Katering yang telah lolos, diberikan Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi Jasa Boga atau Usaha Katering yang berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi syarat. Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi Jasa Boga atau Usaha Katering yang diperoleh oleh perusahaan harus dipasang di dinding yang mudah dilihat oleh petugas atau masyarakat umum. Pengajuan permohonan Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi Jasaboga oleh pengusaha kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat disertai lampiran-lampiran yang diwajibkan. Dalam rangka pemberian Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala KKP membentuk Tim Pemeriksa Uji Kelaikan Jasa Boga yang bertugas melakukan penilaian terhadap kelengkapan persyaratan. Tim Pemeriksa terdiri dari orang-orang yang memiliki pengetahuan di bidang higiene sanitasi dan bertugas melakukan pemeriksaan lapangan dan menilai kelaikan higiene sanitasi jasaboga. Pemeriksaan Hygiene Sanitasi Jasa Boga menggunakan formulir uji kelaikan fisik hygiene sanitasi jasaboga (Lampiran 6) dan formulir pengambilan atau pengiriman contoh dan spesimen (lampiran 4). Penilaian Hygiene Sanitasi Jasa Boga didasarkan kepada nilai pemeriksaan yang dituangkan di dalam berita acara kelaikan fisik (Lampiran 3) dan berita acara pemeriksaan contoh atau specimen (Lampiran 5), sebagai berikut : 1.
Pemeriksaan fisik 1.1. Golongan A1, minimal nilai 65 maksimal 70, atau rangking 65 – 70% 1.2. Golongan A2, minimal nilai 70 maksimal 74, atau rangking 70 – 74%
13
1.3. Golongan A3, minimal nilai 74 maksimal 63, atau rangking 74 – 83% 1.4. Golongan B, minimal nilai 83 maksimal 92, atau rangking 83 – 92% 1.5. Golongan C, minimal nilai 92 maksimal 100, atau rangking 92 – 100% 2.
Pemeriksaan laboratorium 2.1. Angka kuman E.coli pada makanan 0/gr contoh makanan 2.2. Angka kuman pada alat makan dan minum 0 (nol) 2.3. Tidak diperoleh adanya carrier (pembawa kuman patogen) pada penjamah makanan yang diperiksa. 2.4. Cemaran kimia pada makanan negatif Jika hasil pemeriksaan fisik yang telah memenuhi syarat, tetapi belum
didukung dengan hasil laboratorium, maka pemberian Rekomendasi Laik Hygiene Sanitasi kepada Pengusaha Jasa Boga ditunda sampai hasil laboratorium memenuhi syarat. Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha jasa boga juga diatur dalam Permenkes RI Nomor 1096/Menkes/PER/VI/2011, Dinas Kesehatan sewaktuwaktu dapat melakukan uji petik audit hygiene sanitasi dan pengujian mutu jasa boga untuk menilai kondisi fisik, fasilitas dan lingkungan Tempat Pengelolaan Makanan (TPM), tingkat cemaran makanan dan atau dalam hal ada kejadian luar biasa atau wabah dan keadaan yang membahayakan lainnya. Uji petik dilaksanakan dalam rangka pemantapan pelaksanaan pengawasan dan untuk tujuan pembinaan dan pengembangan pengawasan jasa boga. Biaya pelaksanaan uji petik dibebankan pada anggaran Pemerintah.
2.2. BATASAN KEAMANAN PANGAN SIAP SAJI 2.2.1. Bahaya Keamanan Pangan Pangan siap saji dianggap mempunyai mutu yang baik jika dapat memuaskan konsumen dalam hal rasa, penampakan dan keamanannya. Kandungan dan komposisi gizi seringkali tidak menjadi faktor penentu pemilihan jenis pangan, kecuali bagi konsumen yang sangat memperhatikan segi kesehatan
14
dan berat badan. Faktor keamanan pangan yang umumnya tidak dapat diketahui atau dideteksi langsung oleh konsumen biasanya dihubungkan dengan segi kebersihan pangan tersebut. Pangan yang terlihat bersih, baik penampakannya, cara penjualannya maupun lingkungan tempat penjualan, biasanya dianggap aman oleh konsumen untuk dikonsumsi. Hal ini seringkali menimbulkan kekeliruan, karena pangan yang terlihat bersih pada waktu penyajiannya, belum tentu baik dalam pengolahan atau persiapannya, sehingga masih mungkin mengandung jasad renik atau bahan berbahaya yang dapat menyebabkan keracunan. Bahan-bahan berbahaya yang mungkin mencemari pangan dapat berupa bahaya biologis seperti bakteri, virus, kapang, parasit dan protozoa, bahaya kimia seperti logam berat, pestisida, bahan tambahan berbahaya, dan racun, atau bahaya fisik seperti pecahan gelas, potongan tulang, kerikil, kawat, dan sebagainya. Bahan-bahan berbahaya tersebut dapat masuk ke dalam pangan melalui udara, air, bahan pangan, pekerja, hewan, serangga, atau alat-alat memasak. Pekerja dapat mencemari pangan dengan bakteri patogen melalui hidung, kotoran (feses) dan air ludah. Beberapa sumber pencemaran utama pada pangan siap saji adalah sebagai berikut: 1.
Cemaran biologis Beberapa penyebab terjadinya cemaran biologis pada pangan misalnya: penggunaan bahan mentah dan air yang tercemar jasad renik dalam jumlah tinggi, lingkungan pengolahan dan penjualan/penyajian yang tidak bersih (udara kotor, dekat tempat pembuangan sampah), pekerja yang kotor atau menderita sakit infeksi, peralatan wadah yang tidak bersih, dan kontaminasi silang antara pangan yang telah dimasak dengan bahan mentah.
2.
Cemaran kimia Adanya cemaran kimia pada pangan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya: penggunaan bahan mentah yang tercemar logam berat, pestisida, atau racun, penggunaan peralatan atau wadah dari bahan beracun, dan penggunaan bahan tambahan kimia yang tidak tepat.
15
3.
Cemaran fisik Cemaran fisik dapat disebabkan oleh kecerobohan dalam pengolahan, atau penggunaan bahan mentah yang tidak bersih/kotor. Cemaran fisik tidak menimbulkan penyakit atau keracunan tetapi dapat menimbulkan bahaya, menandakan rendahnya sanitasi dan hygiene, serta memberi citra buruk bagi pangan yang disajikan.
4.
Pemantauan Terhadap Proses Pemasakan Variabel proses pemasakan pangan siap saji yang memerlukan pemantauan khusus terutama adalah suhu, waktu, kadar keasaman (pH) makanan, dan penambahan bahan-bahan pembantu.
Pangan yang dipersiapkan dalam jumlah besar mungkin mendapatkan risiko bahwa pemasakan yang dilakukan tidak merata sehingga setiap bagian pangan tidak mendapatkan perlakuan panas yang sama. Akibatnya pada beberapa bagian pangan mungkin masih ditemukan jasad renik dalam jumlah tinggi dan menyebabkan pangan menjadi mudah busuk/basi, atau menyebabkan keracunan. Tabel 1 menyajikan pemanasan minimal pada beberapa makanan. Tabel 1. Pemanasan minimal pada beberapa makanan* Jenis makanan Daging potongan tebal (>5cm) Daging potongan tipis (<5cm) Macam-macam saus (tergantung pH/keasamannya) Buah-buahan, sayuran, makanan berpati
Roti, adonan kue
Pemanasan minimal Suhu (oC) Waktu 107-135
121-204
4-8 jam
2-40 menit
93
2 menit-6 jam
100-21
10 menit
177
5-40 ment
•Snyder(1986)
Dari segi mikrobiologi, pangan yang baik untuk dihidangkan adalah pangan yang tidak basi atau busuk atau berbau menyimpang, dan aman untuk
16
dikonsumsi. Jasad renik pembusuk yang terdapat di dalam pangan, termasuk bakteri, kapang maupun khamir, dalam jumlah tinggi dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada pangan misalnya menimbulkan bau basi/busuk, bau tengik, bau dan rasa asam, pelendiran, perubahan wama, atau menimbulkan gas/busa. Pangan siap saji sebenanarnya bukan merupakan pangan yang steril karena tidak dikemas secara rapat, oleh karena itu tidak pernah bebas dari pencemaran oleh jasad renik pembusuk. Tabel 2 menyajikan jumlah minimal setiap bakteri patogen untuk menimbulkan gejala sakit atau keracunan, dan jumlah yang diperbolehkan di dalam bahan mentah sebelum pemasakan. Tabel 2. Jumlah minimal beberapa bakteri yang dapat menyebabkan sakit atau keracunan Jumlah minimal Jumlah yang yang diperbolehkan pada Makanan yang menyebabkan bahan mentah Penyebab sering tercemar sakit pada orang sebelum dimasakb (sel/g) dewasa sehat (sel) Salmonella Staphylococcus Clostridium perfringens Bacillus cereus Vibrio parahaemolyticus Vibrio cholera* Shigefla Listeria monocytogenos
Telur, daging unggas Makanan berprotein Makanan berprotein Beras/nasi Makanan hasil laut Air, makanan mentah Air, makanan mentah Susu, daging
< 105
< 10
106
< 100
106
< 100
>106
< 100
105 - 107
< 100
105
< 10
101 – 102
<1
105
<1
Air, makanan 106 mentah b 1-10 sel untuk bayi dan manula. Sumber : Fardiaz, S (1994)
Eschrichia coli
< 10
Meskipun pangan siap saji biasanya telah mengalami proses pemanasan atau pemasakan sehingga jumlah jasad renik patogen telah berkurang sampai pada jumlah yang sangat kecil, tetapi jika kondisi penyimpanan makanan tersebut, terutama suhu dan kelembaban, menyebabkan jasad renik dapat berkembang biak
17
dengan cepat, maka memungkinkan terjadinya kebusukan sebelum pangan sampai ke tangan konsumen, atau menyebabkan keracunan jika kebetulan terdapat bakteri patogen yang dapat berkembang biak dengan baik. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, maka Food and Drug Administration (FDA) menganjurkan bahwa untuk menjamin suatu pangan siap saji tidak busuk dan aman untuk dikonsumsi, maka sebaiknya pangan disimpan pada suhu lemari es yaitu maksimal 5oC untuk pangan yang dikonsumsi dalam keadaan dingin seperti berbagai macam salad dan minuman dingin, atau pada suhu di atas 60oC untuk pangan yang dikonsumsi dalam keadaan panas/hangat. Suhu di antara 5°C dan 60°C merupakan suhu kritis (danger zone) karena jasad renik dapat berkembang biak dengan cepat dan menyebabkan kebusukan atau keracunan pangan. Di Indonesia, pangan siap saji yang disajikan dalam keadaan hangat (hotfood) belum mendapat pengawasan khusus mengenai suhu yang diterapkannya, sehingga kemungkinan risiko bahwa penyimpanan hangat justru menjadi inkubator bagi pertumbuhan jasad renik dapat terjadi. Jika jumlah jasad renik pembusuk dan patogen di dalam pangan cukup kecil dan dipertahankan supaya tidak berkembang biak selama penyimpanan maka pangan tersebut masih dapat diterima dan aman untuk dikonsumsi. Dengan kata lain pangan tidak mengalami perubahan yang menyimpang atau menyebabkan keracunan atau penyakit karena jumlah bakteri patogen masih di bawah jumlah minimmal yang dapat menimbulkan penyakit. Berbeda dengan industri pangan olahan dalam kemasan pada umumnya, industri jasa boga yang menyediakan pangan siap saji merupakan suatu sistem yang sangat kompleks karena menyangkut bahan baku yang bermacam-macam dalam usaha penyediaannya. Oleh karena itu sampai sekarang belum ada standar yang diterapkan untuk pangan semacam ini. Sebagai pegangan untuk menghasilkan pangan yang bermutu dan aman terutama perlu diperhatikan segi kebersihan dan sanitasi dalam pengolahan dan penyajiannya, serta tetap mengikuti peraturan-peraturan yang ada mengenai penggunaan bahan tambahan yang diijinkan di dalam makanan.
18
2.2.2. Permasalahan Keamanan Pangan Pada Industri Jasa Boga (Katering) Perkembangan industri yang bergerak dalam pengolahan dan penyajian makanan siap santap yang disebut industri jasa boga atau katering telah berkembang dengan pesat pada saat ini. Industri semacam ini banyak dimanfaatkan untuk penyediaan makanan di berbagai tempat dan untuk berbagai keperluan, seperti penyajian makanan-makanan di suatu pesta, seminar, atau untuk karyawan pabrik dan perkantoran. Data sampai tahun 2004, di Bali saja tercatat ada 326 usaha jasa katering, 1498 usaha restoran atau rumah makan, dan 145 hotel berbintang yang menyediakan jasa boga (Antara, 2005). Menjamurnya usaha jasa boga ini terjadi karena kebutuhan akan makanan yang praktis dan siap dikonsumsi oleh konsumen yang serba sibuk, sehingga konsumen tidak perlu membuang waktu terlalu lama hanya untuk mempersiapkan dan menyajikan pangan. Namun demikian, usaha jasa boga yang menyediakan pangan siap saji mempunyai resiko kemunginan dapat terjadinya penyakit yang ditularkan melalui pangan (foodborne disease) apabila tidak dilakukan penanganan yang baik. Dari laporan-laporan di berbagai media massa diketahui bahwa pangan yang berasal dari katering sering menimbulkan masalah keracunan yang meminta korban cukup banyak. Kasus keracunan pangan yang dilaporkan di media massa umumnya yang menyerang sekelompok orang dalam jumlah besar, misalnya yang menyerang karyawan-karyawan di suatu pabrik yang mengkonsumsi pangan yang dipesan dari pengusaha jasa boga atau katering. Terdapat pula kasus keracunan pangan tetapi tidak dilaporkan, biasanya terjadi pada kelompok kecil konsumen atau yang konsumennya menyebar. Dalam sepuluh tahun terakhir, kasus keracunan pangan 31% berasal dari produk pangan katering, 20%
dari produk olahan pangan, dan 13% lainnya
berasal dari jajanan. Berdasarkan data Badan Perlindungan Konsumen (BPKN) bidang pangan, Kejadian Luar Biasa (KLB) kasus keracunan pangan setiap tahunnya selalu meningkat baik dari jumlah korban maupun yang sakit. Tahun 2005 terjadi 184 KLB, dimana dari 23.864 orang yang mengkonsumsi pangan tercatat 8.949 orang jatuh sakit dan 49 orang di antaranya meninggal. Sementara
19
tahun 2006, dalam kurun waktu 8 bulan terjadi 62 KLB. Dari 11.745 orang yang mengkonsumsi pangan, 4.235 di antaranya jatuh sakit dan 10 di antaranya meninggal dunia (BPKN, 2011). Kejadian Luar Biasa (KLB) menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 adalah adanya 2 orang penderita atau lebih dengan gejala-gejala yang sama atau hampir sama setelah mengkonsumsi pangan dan adanya dugaan pangan sebagai sumber keracunan yang dibuktikan secara epidemilogis (menunjukkan hubungan sebab akibat). Hasil penelitian Sparingga (2011) menunjukkan bahwa dugaan penyebab KLB keracunan pangan paling banyak disebabkan oleh mikroba yaitu sebesar 21 persen, sedangkan bahan kimia 13 persen dan sisanya tidak ada sampel. Sedangkan kasus-kasus keracunan pangan penyebab kejadian luar biasa diperoleh data karena beberapa hal yaitu : (1) pangan rumah tangga (562 kasus); (2) pangan olahan (205 kasus); (3) pangan jasa boga atau jasa katering (271 kasus); (4) pangan jajanan (186 kasus); (5) lain-lain (15 kasus); (6) tidak dilaporkan (25 kasus). Menurut Fardiaz (1994) dari Bryan (1988) yang dilaporkan oleh Ganowiak (1992), di negara Amerika Serikat, sebanyak 11% kasus keracunan pangan yang terjadi disebabkan oleh pangan yang dipersiapkan oleh industri jasa boga (katering dan restoran), 20% kasus disebabkan oleh pangan yang dimasak di rumah, dan hanya 3% kasus disebabkan oleh makanan yang diproduksi oleh industi pangan. Hal ini menunjukkan bahwa di negara-negara yang sudah majupun pangan jasa boga atau katering memegang peranan penting sebagai penyebab keracunan pangan. Dengan kata lain, pangan siap saji merupakan pangan berisiko tinggi dari segi keamanannya jika tidak dipersiapkan dengan baik. Menurut data Center for Disease Control and Prevention, faktor-faktor penyebab keracunan pangan di negara Amerika Serikat ternyata yang terbanyak (37%) disebabkan oleh suhu penyimpangan yang tidak tepat seperti praktek pendinginan yang tidak tepat. Hal ini disebabkan di negara-negara tersebut banyak pangan yang disajikan dan dikonsumsi dalam keadaan dingin, misalnya berbagai salad, baik yang berasal dari bahan nabati maupun hewani. Selain suhu pendinginan, penyimpanan hangat yang tidak tepat juga menjadi faktor.
20
Penyebab-penyebab keracunan lain yang cukup tinggi yaitu higiene pekerja pengolah makanan yang tidak baik (19%), peralatan yang tercemar (16%), proses pemasakan yang kurang termasuk pemanasan kembali yang tidak cukup (11%), bahan baku dari sumber tercemar (6%), dan penyebab-penyebab lain seperti menyiapkan makanan terlalu lama (lebih dari 12 jam) sebelum dikonsumsi (11%). Di Indonesia diperkirakan penyebab utama kasus keracunan dari pangan katering diantaranya adalah penggunaan bahan mentah
yang tercemar
mikroorganisme patogen, pangan didiamkan cukup lama sebelum dikonsumsi, dan proses pemanasan kembali yang tidak cukup. Seringkali pangan katering tersebut dipersiapkan pada malam hari dan baru dihidangkan untuk makan siang pada hari berikutnya, sedangkan proses pemanasan kembali mungkin tidak cukup karena jumlah pangan yang dipersiapkan terlalu banyak. Selain itu jika selama waktu menunggu tersebut telah terbentuk racun bakteri yang relatif tahan panas, misalnya enterotoksin Staphylococcus aureus, kemungkinan pemanasan yang diberikan tidak cukup untuk menginaktifkan racun tersebut. Penggunaan bahan tambahan pangan yang berbahaya dan cemaran kimia sukar untuk dideteksi secara langsung karena gejalanya pada umumnya tidak bersifat akut (Fardiaz, 1994). Masih banyaknya kasus keracunan makanan yang disebabkan oleh pangan yang disediakan oleh industri jasa boga disebabkan pengusaha atau pedagang makanan, termasuk pengusaha katering dan restoran, pada umumnya tidak mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam praktek sanitasi yang baik dalam pengolahan dan penyajian makanan sehingga makanan yang dihidangkan cukup terjamin keamanannya. Menurut survei yang dilakukan di Indonesia, sebanyak 87,5% dari manager katering dan 19,7% dari perusahaan katering belum pernah mendapatkan petunjuk atau pengetahuan mengenai sanitasi pangan (Purawidjaja, 1992). Di negara-negara yang telah maju pada umumnya telah dilakukan inspeksi secara rutin terhadap kesehatan dan praktek sanitasi di industri-industri jasa boga. Akan tetapi kegiatan inspeksi tersebut umumnya hanya dapat digunakan untuk mendeteksi masalah yang dihadapi, sedangkan untuk mencegah supaya pangan tersebut tidak terkontaminasi oleh bakteri patogen diperlukan suatu sistem managemen yang baik. Pengawasan pangan yang mengandalkan pada uji produk
21
akhir tidak dapat mengimbangi kemajuan yang pesat dalam industri pangan dan tidak dapat menjamin keamanan makanan yang beredar di pasaran, karenanya dibutuhkan suatu tindakan preventif yang efektif untuk mengidentifikasi berbagai bahaya sejak tahap awal persiapan, pengolahan sampai
penyajian makanan,
menilai risiko-risiko yang terkait dan menentukan kegiatan dimana prosedur pengendalian akan berdaya guna. Sehingga, prosedur pengendalian lebih diarahkan pada kegiatan tertentu yang penting dalam menjamin keamanan makanan. Jumlah inspektur pangan yang masih sangat terbatas di Indonesia menyebabkan prioritas inspeksi terutama hanya dilakukan terhadap industri pangan, sedangkan industri jasa boga yang jumlahnya semakin banyak belum mendapat inspeksi yang memadai. Cara yang terbaik untuk mengatasi hal ini adalah dengan memberikan penyuluhan dan pembinaan kepada pengusahapengusaha pangan, baik pengusaha katering, restoran, hotel, maupun pedagang pangan jajanan mengenai praktek sanitasi yang baik dalam mengolah dan mempersiapkan
serta
menyajikan
pangan,
serta
pengetahuan
mengenai
kemungkinan bahaya yang timbul jika praktek pengolahan dan persiapan pangan tidak dilakukan dengan benar.
2.3. JAMINAN KEAMANAN PANGAN UNTUK JASA BOGA Pemerintah Indonesia sebagai fasilitator dan regulator di bidang pangan telah mengeluarkan berbagai macam aturan agar setiap industri pangan mampu dan sanggup menghasilkan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan bagi kepentingan kesehatan manusia serta terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab. Beberapa peraturan antara lain : Permenkes No. 23/MenKes/SK/I/78 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB), Kepmenkes RI Nomor 1096 Tahun 2011 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasaboga, Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang keamanan pangan, Pedoman Hygiene Makanan Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2004 tentang keamanan pangan, mutu dan gizi pangan (Badan POM, 2004).
22
Selain peraturan-peraturan tersebut, sejak akhir tahun 2003, Badan POM telah mengembangkan program keamanan pangan terpadu yaitu Program Piagam Bintang Keamanan Pangan. Program ini terdiri dari tiga tingkatan piagam bintang keamanan pangan yaitu Piagam Bintang Satu, Piagam Bintang Dua, dan Piagam Bintang Tiga. Namun demikian, di Indonesia telah diakui beberapa sertifikasi keamanan pangan yang menyangkut pengadaan pangan oleh jasa boga. Beberapa sertifikasi tersebut bersifat wajib dimiliki oleh jasa boga sebagai ijin usahanya yang tertuang dalam peraturan pemerintah, dan beberapa yang lain bersifat sukarela, atau merupakan persyaratan kerjasama dari rekan bisnis usaha jasa boga itu sendiri. Beberapa jenis sertifikasi keamanan pangan untuk usaha jasa boga yang diakui di Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Sertifikasi Laik Hygiene Sanitasi Menurut
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.
1096/Menkes/PER/VI/2011, Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi merupakan persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh setiap usaha jasa boga, dengan demikian sertifikat ini bersifat wajib (mandatory). Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga adalah bukti tertulis yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang terhadap jasaboga yang telah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sertifikat ini diterbitkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota daerah setempat dimana usaha jasa boga tersebut beroperasi. Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga dikeluarkan sesuai golongan jasaboga serta berlaku selama 3 (tiga) tahun dan untuk selanjutnya dapat diperpanjang jika memenuhi syarat. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala KKP membentuk Tim Pemeriksa yang bertugas melakukan penilaian, kunjungan dan pemeriksaan untuk menilai kelaikan persyaratan bangunan, peralatan, ketenagaan, dan bahan makanan baik fisik, kimia, maupun bakteriologis dan seluruh rangkaian proses produksi pangan. Pemeriksaan terhadap bahan pangan harus dilakukan melalui uji laboratorium terhadap sampel pangan di laboratorium yang memiliki kemampuan.
23
Tim Pemeriksa melaporkan hasil pemeriksaan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala KKP yang telah menugaskannya dalam berita acara kelaikan fisik (Lampiran 3), berita acara pemeriksaan sampel makanan (Lampiran 5), dan surat rekomendasi laik higiene sanitasi (Lampran 6). Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga dapat dikeluarkan setelah pemohon dinyatakan telah memenuhi persyaratan oleh Tim Pemeriksa yang melihat langsung ke lokasi pengolahan pangan (Lampran 7).
2. Program Piagam Bintang Keamanan Pangan Pada akhir tahun 2003, Badan POM menyelenggarakan Pilot Project program Piagam Bintang Keamanan Pangan. Program ini merupakan salah satu kegiatan dari Sistem Keamanan Pangan Terpadu yang terdiri dari tiga tingkatan piagam bintang keamanan pangan, yaitu Piagam Bintang Satu, Piagam Bintang Dua, dan Piagam Bintang Tiga. Piagam Bintang Satu diberikan kepada industri pangan yang telah menerapkan prinsip-prinsip dasar keamanan pangan. Piagam Bintang Dua diberikan kepada industri pangan yang telah menerapkan Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) dan mengembangkan prosedur serta mengisi lemar kerja. Piagam Bintang Tiga diberikan kepada industri pangan yang telah menerapkan manajemen Keamanan Pangan berdasarkan prinsip Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP). Namun demikian, sifat dari Program Piagam Bintang Keamanan Pangan ini adalah sukarela (voluntary) sebagai penghargaan Pemerintah kepada industri pangan atas usaha mereka menerapkan keamanan pangan di industrinya.
3. Program CPPB (Cara Produksi Pangan yang Baik) Program persyaratan kelayakan dasar merupakan suatu ukuran untuk mengetahui suatu unit pengolahan pangan sudah memenuhi persyaratan, baik dalam segi/aspek sanitasi dan higiene maupun dalam aspek cara berproduksi. Program persyaratan kelayakan dasar sebaiknya terdokumentasi dengan baik dalam standard operating procedures (SOP) yang tertulis dan sebaiknya dimengerti dan dihayati oleh setiap karyawan yang bekerja di industri pangan yang bersangkutan. Bahkan program persyaratan kelayakan dasar ini jika
24
diperlukan dapat ditinjau ulang dan direvisi kembali oleh setiap industri pangan guna menjamin bahwa program yang didesain dan direncanakan, diimplementasikan secara efektif sesuai dengan tujuan keamanan pangan yang hendak dicapai (NACMCF, 1998). Pada dasarnya, program persyaratan kelayakan dasar terdiri dari dua bagian, yaitu cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing practice (GMP) dan standar prosedur operasional sanitasi atau sanitation standard operation procedures (SSOP). Di Indonesia, BPOM telah menerbitkan pedoman CPPB atau GMP sesuai Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.5.1639 tahun 2003. Surat Keputusan ini menetapkan bahwa seluruh aspek dan rangkaian kegiatan pengolahan pangan wajib berpedoman pada
CPPB. Hanya saja SK BPOM No. HK 00.05.5.1639
berlaku wajib untuk industri rumah tangga. Untuk usaha jasa boga, belum ada pedoman CPPB yang khusus disusun untuk pengolahan pangan siap saji jasa boga, namun demikian prinsip-prinsip hygiene sanitasi dapat diadaptasi pada usaha jasa boga. Pedoman penerapan GMP disusun berdasarkan pedoman umum higiene pangan dan peraturan perundang-undangan di bidang pangan, terutama yang mengatur mengenai produksi pangan. Pada Usaha jasa boga, penerapan GMP lebih ditekankan pada GHP (Good Hygiene Practice). Menurut Direktorat Jendral Pengawas Obat dan Makanan (Ditjen POM, 1996), tujuan penerapan CPPB adalah menghasilkan produk akhir pangan yang bermutu, aman dikonsumsi, dan sesuai dengan selera atau tuntutan konsumen, baik lokal maupun internasional. Sedangkan tujuan khusus penerapan GHP adalah : (1) memberikan prinsip-prinsip dasar yang penting dalam produksi pangan yang dapat diterapkan sepanjang rantai pangan untuk menjamin bahwa pangan yang diproduksi aman dan layak untuk dikonsumsi; (2) mengarahkan industri agar dapat memenuhi berbagai persyaratan produksi, seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas, peralatan produksi, bahan, proses, mutu produk akhir serta persyaratan higiene personal; (3) mengarahkan pendekatan dan penerapan sistem HACCP sebagai suatu cara untuk meningkatkan keamanan pangan.
25
Pedoman penerapan CPPB ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) melindungi konsumen dari penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh pangan yang tidak memenuhi persyaratan; (2) memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang dikonsumsi merupakan pangan yang layak; (3) mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang diperdagangkan secara internasional; (4) memberikan bahan acuan dalam program pendidikan kesehatan di bidang pangan kepada industri dan konsumen. Standar prosedur operasional sanitasi atau sanitation standard operation procedures (SSOP) juga merupakan salah satu unsur/komponen program persyaratan kelayakan dasar yang penting untuk mengimplementasikan dan menjaga sistem HACCP berjalan dengan baik dan sukses. Program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs yang perlu dipersiapkan oleh setiap industri pangan untuk mendukung penerapan sistem manajemen HACCP menurut Codex Alimentarius Commission atau CAC (2003) dalam General Principles of Food Hygiene mencakup : desain bangunan, fasilitas dan peralatan produksi, pengendalian proses produksi (pengendalian bahaya, sistem pengendalian higiene, persyaratan bahan mentah, pengemasan, pengolahan air, manajemen dan supervisi, dokumentasi dan rekaman), pemeliharaan dan sanitasi (pemeliharaan dan pembersihan, program pembersihan, sistem pengendalian hama dan penyakit menular, pengelolaan
dan
pengolahan
limbah,
dan
keefektifan
pemantauan),
higiene/kebersihan personil/karyawan (status kesehatan karyawan, kebersihan personil, prosedur penerimaan tamu/pengunjung), transportasi (persyaratan, penggunaan dan pemeliharaan), informasi produk, serta pelatihan. Dalam penerapan CPPB untuk industri jasa boga, untuk menyajikan pangan siap saji yang bermutu baik dan aman, perlu diketahui variabel yang memerlukan pemantauan khusus. Yang perlu diketahui oleh pengusaha jasa boga adalah sumber pencemaran bahan berbahaya yang mungkin masuk ke dalam pangan, pemantauan terhadap proses pemasakan, dan kondisi penyimpanan atau penyajian yang aman. Tempat atau wadah penyimpanan
26
harus sesuai dengan jenis bahan pangan contohnya bahan pangan yang cepat rusak disimpan dalam lemari pendingin dan bahan pangan kering disimpan ditempat yang kering dan tidak lembab. Penyimpanan bahan pangan harus memperhatikan suhu seperti disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Suhu penyimpanan bahan makanan No 1 2 3 4
Jenis bahan makanan Daging, ikan, udang dan olahannya Telor, susu dan olahannya Sayur, buah dan minuman Tepung dan biji
Digunakan dalam waktu 3 hari atau 1 minggu atau 1 minggu atau kurang kurang lebih -5o s/d 0oC
-10o s/d -5oC
> -10oC
5o s/d 7oC
-5o s/d 0oC
> -5oC
10oC
10oC
10oC
25oC atau suhu ruang
25oC atau suhu ruang
25oC atau suhu ruang
Permenkes No.1096/2011
Selain itu, penyimpanan pangan yang telah masak atau jadi tidak dicampur dengan bahan pangan mentah. Tabel 4 menyajikan suhu penyimpanan pangan jadi/masak. Tabel 4. Suhu penyimpanan pangan jadi /masak
No
Jenis pangan
1
Makanan kering Makanan basah (berkuah) Makanan cepat basi (santan, telur, susu) Makanan disajikan dingin
2 3 4
Suhu penyimpanan Disajikan Akan segera Belum segera dalam waktu disajikan disajikan lama 25o s/d 30oC > 60oC
-10oC
≥ 65,5oC
-5o s/d -1oC
5o s/d 10oC
< 10°C
Permenkes No.1096/2011
Pengangkutan makanan jadi/masak/siap saji tidak boleh bercampur dengan bahan berbahaya dan beracun (B3), menggunakan kendaraan khusus pengangkut makanan jadi/masak dan harus selalu higienis, setiap jenis makanan jadi mempunyai wadah masing-masing dan bertutup, wadah harus utuh, kuat, tidak karat dan ukurannya memadai dengan jumlah makanan yang
27
akan ditempatkan, isi tidak boleh penuh untuk menghindari terjadi uap makanan yang mencair (kondensasi). Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan pemanasan terhadap suatu pangan adalah pH/keasaman, dan komposisi makanan. Makanan berasam tinggi (pH rendah) memerlukan pemanasan yang lebih sedikit dibandingkan makanan netral (pH sekitar 7). Makanan yang mengandung garam, gula, protein dan lemak dalam jumlah tinggi memerlukan pemanasan yang lebih tinggi dibandingkan makanan dengan kandungan bahan-bahan tersebut dalam jumlah lebih rendah.
4. Sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Pemerintah melalui BSN (Badan Standarisasi Nasional) telah mengadopsi sistem HACCP (CAC HACCP System : Guidlines for application ) menjadi SNI 01-4852-1998 (Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis,HACCP-serta
Pedoman
Penerapannya)
dan
telah
menetapkan
panduannya, yaitu Pedoman BSN 1004-2002 tentang panduan penyusunan rencana sistem analisis bahaya dan pengendalian titik kritis – HACCP (Suprapto, 1999). Di Indonesia, penerapan HACCP masih bersifat sukarela (voluntary) dan biasanya karena kebutuhan sebagai persyaratan perdagangan. HACCP atau pendekatan
sistem
Hazard Analysis Critical Control Point adalah suatu manajemen
yang
bersifat
sistematis
untuk
mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengendalikan bahaya-bahaya keamanan pangan (NACMCF, 1998). Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) intinya adalah suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya masalah yang didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap penanganan dan proses produksi. HACCP merupakan salah satu bentuk manajemen resiko yang dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen. Tujuan dari penerapan HACCP dalam suatu industri pangan adalah untuk mencegah terjadinya bahaya sehingga dapat dipakai sebagai jaminan mutu pangan guna memenuhi tututan konsumen. HACCP bersifat sebagai sistem pengendalian mutu sejak bahan baku dipersiapkan sampai produk akhir
28
diproduksi,
didistribusikan,
dan
disajikan.
Oleh
karena itu
dengan
diterapkannya sistem HACCP akan mencegah resiko komplain karena adanya bahaya pada suatu produk pangan.
1.Menyusun Tim HACCP 8. Menetapkan Batas Kritis untuk Setiap CCP 2. Mendeskripsikan Produk
Prinsip 3
9. Menetapkan Sistem Monitoring untuk Setiap CCP
3. Identifikasi Penggunaan Produk
Prinsip 4
10. Menetapkan tindakan koreksi untuk penyimpangan yang mungkin terjadi
4. Menyusun Diagram Alir
5. Melakukan Verifikasi Diagram Alir di tempat
Prinsip 5
11. Menetapkan Prosedur Verifikasi
6. Mendaftar semua Bahaya Potensial Melakukan Analisis Bahaya Menentukan Tindakan Pengendalian Prinsip 1
Prinsip 6
12. Menetapkan Cara Penyimpanan Catatan dan Dokumentasi
7. Menentukan CCP Prinsip 2
Gambar 1.
Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP dalam industri pangan menurut standar NACMCF (National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods) dan CAC (Codex Alimentarius Commission)
Sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) pada dasarnya terdiri dari tujuh prinsip sebagai berikut : (1) Analisis bahaya dan penetapan resiko, (2) Identifikasi titik kendali kritis atau CCP (critical control point), (3) Penetapan batas kritis untuk setiap CCP yang telah diidentifikasi, (4) Penetapan prosedur pemantauan untuk setiap CCP yang perlu dimonitor, (5) Menentukan tindakan koreksi yang harus diambil untuk memperbaiki sistem jika terjadi penyimpangan pada batas kritisnya, (6) Penetapan dan pengembangan sistem
Prinsip 7
29
dokumentasi yang efektif terhadap catatan operasi (record keeping) dan merupakan bagian dari dokumen rancangan HACCP, (7) Penetapan prosedur verifikasi yang menunjukkan bahwa sistem HACCP telah berjalan dengan baik. Implementsi prinsip-prinsip di atas tergantung dari jenis perusahaannya. Bagi perusahaan jasa boga, sistem HACCP tersebut dapat dilakukan dengan cara yang sederhana dan mudah untuk diterapkan di lapangan. Untuk menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP, tahap pertama yang harus dipenuhi adalah adanya komitmen dari manajemen kepemimpinan perusahaan dengan fokus keamanan pangan serta pemenuhan terhadap persyaratan kelayakan dasar sistem HACCP. Hal ini berarti dari pihak manajemen puncak hingga seluruh karyawan/staf yang terlibat dalam proses produksi pangan harus mendukung dan melaksanakan program keamanan pangan yang dicanangkan dalam kebijakan perusahaan. Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dalam industri pangan menurut standar NACMCF (1997) dan CAC (1997) disajikan pada Gambar 1. Langkah 1 sampai 5 pada Gambar 1 merupakan lima tahap pendahuluan sedangkan langkah 6 sampai 12 merupakan tujuh langkah prinsip penerapan dan pengembangan sistem HACCP. Langkah 1 Menyusun Tim HACCP Langkah awal yang harus dilakukan dalam penyusunan rencana HACCP adalah membentuk Tim HACCP yang melibatkan semua komponen dalam usaha pangan jasa boga yang terlibat dalam menghasilkan produk pangan yang aman. Langkah 2 Mendeskripsikan Produk Tim HACCP yang telah dibentuk kemudian menyusun deskripsi atau uraian dari produk pangan yang akan disusun rencana HACCPnya. Deskripsi produk yang dilakukan berupa keterangan lengkap mengenai produk,
30
termasuk
jenis
produk,
komposisi,
formulasi,
proses
pengolahan,
penyimpanan, cara penyajian, serta keterangan lain yang berkaitan dengan produk. Semua informasi tersebut diperlukan Tim HACCP untuk melakukan evaluasi. Langkah 3 Identifikasi Penggunaan Produk Dalam kegiatan ini, tim HACCP menuliskan kelompok konsumen yang mungkin berpengaruh pada keamanan produk. Tujuan penggunaan produk harus didasarkan pada pengguna akhir produk tersebut. Konsumen ini dapat berasal dari orang umum atau kelompok masyarakat khusus, misalnya kelompok vegetarian, kelompok diet bahan pangan tertentu, kelompok penderita penyakit tertentu, atau kelompok orang tua. Pada kasus khusus harus dipertimbangkan kelompok populasi pada masyarakat beresiko tinggi. Langkah 4 Menyusun Diagram Alir Proses Penyusunan diagram alir proses pembuatan produk dilakukan dengan mencatat seluruh proses sejak diterimanya bahan baku sampai dengan penyajian produk. Diagram alir proses disusun dengan tujuan untuk menggambarkan keseluruhan proses produksi. Diagram alir proses ini selain bermanfaat untuk membantu tim HACCP dalam melaksanakan kerjanya, dapat juga berfungsi sebagai pedoman bagi orang atau lembaga lainnya yang ingin mengerti proses dan verifikasinya. Langkah 5 Melakukan Verifikasi Diagram Alir Proses Diagram alir proses yang dibuat harus lengkap dan sesuai dengan pelaksanaan di lapangan, sehingga tim HACCP harus kembal meninjau proses produksinya untuk menguji dan membuktikan ketepatan serta kesempurnaan diagram alir proses tersebut. Bila ternyata diagram alir proses tersebut tidak tepat atau kurang sempurna, maka harus dilakukan modifikasi. Diagram alir proses yang telah dibuat dan diverifikasi harus didokumentasikan.
31
Langkah 6 Analisa Bahaya (Prinsip 1) Setelah lima tahap pendahuluan terpenuhi, tim HACCP melakukan analisa bahaya dan mengindentifikasi bahaya beserta cara-cara pencegahan untuk mengendalikannya. Analisa bahaya amat penting untuk dilakukan terhadap bahan baku, komposisi, setiap tahapan proses produksi, penyimpanan produk, distribusi, hingga tahap penyajian ke konsumen. Tujuan analisis bahaya adalah untuk mengenali bahaya-bahaya apa saja yang mungkin terjadi dalam suatu proses pengolahan sejak awal hingga ke tangan konsumen. Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap yaitu, identifikasi bahaya, penetapan tindakan pencegahan (preventive measure), dan penentuan kategori resiko atau signifikansi suatu bahaya. Dengan demikian, perlu dipersiapkan daftar bahan mentah dan ingredient yang digunakan dalam proses, diagram alir proses yang telah diverifikasi, serta deskripsi dan penggunaan produk yang mencakup kelompok konsumen beserta cara konsumsinya, cara penyimpanan, dan lain sebagainya. Tabel 5. Jenis-jenis bahaya Jenis Bahaya
Biologi
Kimia Fisik
Contoh Sel Vegetatif : Salmonella sp, Eschericia coli Kapang : Aspergillus, Penicillium, Fusarium Virus : Hepatitis A Parasit : Cryptosporodium sp Spora Bakteri : Toksin mikroba, bahan tambahan yang tidak diijinkan, residu pestisida, logam berat, bahan allergen Pecahan kaca, potongan kaleng, ranting kayu, batu atau kerikil, rambut, kuku, perhiasan, plastic, serangga dan kotorannya
Bahaya (hazard) adalah suatu kemungkinan terjadinya masalah atau resiko secara fisik, kimia dan biologi dalam suatu produk pangan yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia dapat dilihat pada Tabel 5. Bahaya-bahaya (hazard) tersebut di atas dapat dikategorikan ke dalam enam kategori bahaya, yaitu bahaya A sampai F yang dapat dilihat pada Tabel 6.
32
Tabel 6. Karakteristik bahaya Kelompok Bahaya Bahaya A Bahaya B
Bahaya C
Bahaya D Bahaya E
Bahaya F
Karakteristik Bahaya Produk-produk pangan yang tidak steril dan dibuat untuk konsumsi kelompok beresiko (lansia, bayi, immunocompromised ) Produk mengandung ingridient sensitif terhadap bahaya biologi, kimia atau fisik Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang terkendali yang secara efektif membunuh mikroba berbahaya atau menghilangkan bahaya kimia atau fisik Produk mungkin mengalami rekontaminasi setelah pengolahan sebelum pengemasan Ada potensi terjadinya kesalahan penanganan selama distribusi atau oleh konsumen yang menyebabkan produk berbahaya Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah pengemasan atau di tangan konsumen atau tidak ada pemanasan akhir atau tahap pemusnahan mikroba setelah pengemasan sebelum memasuki pabrik (untuk bahan baku) atau tidak ada cara apapun bagi konsumen untuk mendeteksi, menghilangkan atau menghancurkan bahaya kimia atau fisik
Tindakan pencegahan ( preventive measure ) adalah kegiatan yang dapat menghilangkan bahaya atau menurunkan bahaya sampai ke batas aman. Beberapa bahaya yang ada dapat dicegah atau diminimalkan melalui penerapan prasyarat dasar pendukung sistem HACCP seperti GHP ( Good Hygiene Practices) , SSOP (Sanitation Standard Operational Procedure) , SOP (Standard Operational Procedure), dan sistem pendukung lainnya. Untuk menentukan resiko atau peluang tentang terjadinya suatu bahaya, maka dapat dilakukan penetapan kategori resiko. Dari beberapa banyak bahaya yang dimiliki oleh suatu bahan baku, maka dapat diterapkan kategori resiko I sampai VI ( Tabel 7 ). Selain itu, bahaya yang ada dapat juga dikelompokkan berdasarkan signifikansinya (Tabel 8). Signifikansi bahaya dapat diputuskan oleh tim dengan mempertimbangkan peluang terjadinya ( reasonably likely to occur) dan keparahan ( severity ) suatu bahaya.
33
Tabel 7. Penetapan kategori resiko Karakteristik Bahaya 0 (+) (+ +) (+ + +) (+ + + +) (+ + + + +) A+(kategori khusus) dengan atau tanpa bahaya B-F
Kategori Resiko 0 I II III IV V VI
Jenis Bahaya Tidak mengandung bahaya A sampai F Mengandung satu bahaya B sampai F Mengandung dua bahaya B sampai F Mengandung tiga bahaya B sampai F Mengandung empat bahaya B sampai F Mengandung lima bahaya B sampai F Kategori resiko paling tinggi (semua produk yang mempunyai bahaya A)
Tabel 8. Signifikansi bahaya Tingkat Keparahan (Severity) L M H l Ll Ml Hl Peluang Terjadi m Lm Mm Hm* (Reasonable likely to occur) h Lh Mh* Hh* *) Umumnya dianggap signifikan dan akan diteruskan/dipertimbangkan dalam penetapan CCP Keterangan : L=l= low, M=m= medium, H=h=high Analisa bahaya adalah salah satu hal yang sangat penting dalam penyusunan suatu rencana HACCP. Untuk menetapkan rencana dalam rangka mencegah bahaya keamanan pangan, maka bahaya yang signifikan atau beresiko tinggi dan tindakan pencegahan harus diidentifikasi. Hanya bahaya yang signifikan atau yang memiliki resiko tinggi yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan critical control point. Langkah 7 Menentukan Critical Control Point (Prinsip 2) CCP atau Titik Kendali Kritis didefinisikan sebagai suatu titik, langkah atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan pangan dapat dicegah, dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat diterima. Pada setiap bahaya yang telah diidentifikasi dalam proses sebelumnya, maka dapat ditentukan satu atau beberapa CCP dimana suatu bahaya dapat dikendalikan.
34
Gambar 2. Diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis (CCP) atau CCP decision tree Masing-masing titik penerapan tindakan pencegahan yang telah ditetapkan diuji dengan menggunakan diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis (CCP) atau CCP decision tree yang dapat dilihat pada Gambar 2. Decision tree ini berisi urutan pertanyaan mengenai bahaya yang mungkin muncul dalam suatu langkah proses, dan dapat juga diaplikasikan pada bahan baku untuk mengidentifikasi bahan baku yang sensitif terhadap bahaya atau
35
untuk menghindari kontaminasi silang. Suatu CCP dapat digunakan untuk mengendalikan satu atau beberapa bahaya, misalnya suatu CCP secara bersama-sama dapat dikendalikan untuk mengurangi bahaya fisik dan mikrobiologi. Langkah 8 Penetapan Critical Limit (Prinsip 3) Critical limit (CL) atau batas kritis adalah suatu kriteria yang harus dipenuhi
untuk
setiap
tindakan
pencegahan
yang
ditujukan
untuk
menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai batas aman. Batas ini akan memisahkan antara "yang diterima" dan "yang ditolak", berupa kisaran toleransi pada setiap CCP. Batas kritis ditetapkan untuk menjamin bahwa CCP dapat dikendalikan dengan baik. Penetapan batas kritis haruslah dapat disesuaikan, artinya memiliki alasan kuat mengapa batas tersebut digunakan dan harus dapat divalidasi artinya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan serta dapat diukur. Penentuan batas kritis ini biasanya dilakukan berdasarkan studi literatur, regulasi pemerintah, para ahli di bidang mikrobiologi maupun kimia, CODEX dan lain sebagainya. Suatu CCP mungkin memiliki berbagai komponen yang harus dikendalikan untuk menjamin keamanan produk. Secara umum batas kritis dapat digolongkan ke dalam batas fisik (suhu, waktu), batas kimia (pH, kadar garam). Tabel 9. Contoh Critical Limit (Batas Kritis) pada CCP Critical Control Point Proses Penerimaan Udang Segar Pemasakan Rendang Daging Sapi Penambahan asam ke minuman asam Deteksi logam pada pengolahan biji-bijian
Komponen Kritis Suhu Suhu pemasakan Waktu pemasakan pH produk akhir Kalibrasi detektor Sensitivitas detektor
Penggunaan batas mikrobiologi (jumlah mikroba dan sebagainya) sebaiknya dihindari karena memerlukan waktu untuk mengukurnya, kecuali
36
jika terdapat uji cepat untuk pengukuran tersebut. Tabel 9 menunjukkan contoh batas kritis suatu proses dalam industri pangan. Langkah 9 Menetapkan Sistem Monitoring CCP (Prinsip 4) Kegiatan pemantauan (monitoring) adalah pengujian dan pengamatan terencana dan terjadwal terhadap efektifitas proses mengendalikan CCP dan CL untuk menjamin bahwa CL tersebut menjamin keamanan produk. CCP dan CL dipantau oleh personel yang terampil serta dengan frekuensi yang ditentukan berdasarkan berbagai pertimbangan, misalnya kepraktisan. Pemantauan dapat berupa pengamatan (observasi) yang direkam dalam suatu checklist atau pun merupakan suatu pengukuran yang direkam ke dalam suatu data sheet. Pada tahap ini, tim HACCP perlu memperhatikan mengenai cara pemantauan, waktu dan frekuensi, serta hal apa saja yang perlu dipantau dan orang yang melakukan pemantauan. Langkah 10 Menetapkan Tindakan Koreksi (Prinsip 5) Tindakan koreksi dilakukan apabila terjadi penyimpangan terhadap batas kritis suatu CCP. Tindakan koreksi yang dilakukan jika terjadi penyimpangan, sangat tergantung pada tingkat risiko produk pangan. Pada produk pangan berisiko tinggi misalnya, tindakan koreksi dapat berupa penghentian proses produksi sebelum semua penyimpangan dikoreksi/diperbaiki, atau produk ditahan/tidak disajikan dan diuji keamanannya. Tindakan koreksi yang dapat dilakukan selain menghentikan proses produksi antara lain mengeliminasi produk dan kerja ulang produk. Langkah 11 Menetapkan Prosedur Verifikasi (Prinsip 6) Verifikasi adalah metode, prosedur dan uji yang digunakan untuk menentukan bahwa sistem HACCP telah sesuai dengan rencana HACCP yang ditetapkan. Dengan verifikasi maka diharapkan bahwa kesesuaian program HACCP dapat diperiksa dan efektifitas pelaksanaan HACCP dapat dijamin. Verifikasi harus dilakukan secara rutin dan tidak terduga untuk menjamin
37
bahwa CCP yang ditetapkan masih dapat dikendalikan. Verifikasi juga dilakukan jika ada informasi baru mengenai keamanan pangan atau jika terjadi keracunan pangan oleh produk tersebut. Langkah 12 Menetapkan Cara Penyimpanan Catatan dan Dokumentasi (Prinsip 7) Dokumentasi program HACCP meliputi pendataan tertulis seluruh program HACCP sehingga program tersebut dapat diperiksa ulang dan dipertahankan selama periode waktu tertentu. Dokumentasi mencakup semua catatan mengenai CCP, CL, rekaman pemantauan CL, tindakan koreksi yang dilakukan terhadap penyimpangan, catatan tentang verifikasi dan sebagainya. Oleh karena itu dokumen ini dapat ditunjukkan kepada inspektur pengawas makanan jika dilakukan audit eksternal dan dapat juga digunakan oleh operator. Pendataan tertulis seluruh program HACCP menjamin bahwa program tersebut dapat diperiksa kembali dan dipertahankan selama periode waktu tertentu. Dokumentasi program HACCP termasuk juga catatan mengenai seluruh CCP kritis yang telah ditetapkan di dalam proses produksi pangan. Verifikasi yaitu metode, prosedur atau uji yang digunakan untuk menentukan bahwa sistem HACCP telah sesuai dengan rencana HACCP yang ditetapkan.
2.4. Implementasi
Sistem
HACCP
Dalam
Industri
Jasa
Boga
(Katering) Penerapan HACCP bersifat spesifik untuk setiap produk pangan dan setiap proses. HACCP dapat diterapkan dalam pengolahan dan penyajian berbagai pangan siap saji atau katering, sehingga keamanan pangan tersebut lebih terjamin. Untuk pangan semacam ini, yang hanya memerlukan waktu beberapa jam dari mulai pemasakan pangan sampai pangan siap dikonsumsi, maka kegiatan pengawasan mutu secara konvensional yang hanya mengandalkan hasil pengamatan produk akhir saja mulai dirasa tidak cukup apalagi jika kemudian terjadi kasus keracunan akibat mengkonsumsi pangan. Oleh karena itu penerapan
38
HACCP menjadi perlu diimplementasikan oleh pengusaha jasa boga atau katering. Penyusunan
rencana
HACCP
untuk
pangan
jasa
boga
dapat
disederhanakan dengan menggunakan pendekatan tiga jenis diagram alir yang disajikan pada Gambar 3. Penyusunan rencana HACCP dapat mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut yaitu langkah 2 sampai 5, produk dapat dikelompokkan berdasarkan tiga jenis diagram alir proses yang disajikan pada Gambar 3. Pada langkah 6 (Prinsip 1), analisis bahaya dilakukan dengan mempertimbangkan frekuensi produk melewati danger zone (suhu kritis), yaitu suhu di antara 5°C dan 60°C yang merupakan suhu kritis karena jasad renik dapat berkembang biak dengan cepat dan menyebabkan kebusukan atau keracunan pangan. Langkah 7 (Prinsip 2), CCP (Critical Control Point) umumnya berupa penerimaan, persiapan (thawing, sortasi, pencucian), pemasakan, reheating, dan penyajian. Langkah 8 (Prinsip 3) CL (Critical Limit) atau batas kritis pada pangan siap saji umumnya berupa kombinasi suhu dan waktu.
(A) :
Penerimaan Bahan Baku (receive) Penyimpanan Bahan Baku (store)
Penyiapan (prepare)
Penyimpanan Produk (hold)
Penyajian Produk (serve)
39
(B) :
Penerimaan Bahan Baku (receive)
Penyimpanan Bahan Baku (store) Penyiapan (prepare) Pemasakan (cook) Penyimpanan Produk (hold) Penyajian Produk (serve)
(C) :
Penerimaan Bahan Baku (receive)
Penyimpanan Bahan Baku (store) Penyiapan (prepare) Pemasakan (Cook) Pendinginan Produk (cool) Pemanasan Kembali Produk (reheat) Penyimpanan panas Produk (hot hold) Penyajian Produk (serve) Gambar 3. Pendekatan tiga jenis diagram alir produk untuk pangan jasa boga; (A) Diagram Alir I : Pangan yang tidak melalui proses pemanasan, (B) Diagram Alir II : Pangan yang diolah dan disajikan pada hari yang sama, (C) Diagram Alir III : Pangan dengan pengolahan kompleks (USFDA,1998)
40
III. METODE PENELITIAN
3.1.
TEMPAT DAN WAKTU Penelitian terhadap kecukupan Sistem Keamanan Pangan untuk Industri
Jasa Boga dilakukan dengan pengambilan data di beberapa instansi terkait yaitu Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan BPOM, Dinas Kesehatan Kota Depok, media cetak surat kabar, dan televisi. Sedangkan untuk penelitian pengembangan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) pada industri pangan jasa boga dilakukan pada sebuah perusahaan industri pangan siap saji atau katering PT ELN yang menghasilkan berbagai macam jenis pangan siap saji yang berlokasi di Jakarta, selama 5 (lima) bulan dari bulan Januari 2012 sampai dengan bulan Juni 2012.
3.2.
BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data primer dan
sekunder yang diperoleh dari instansi terkait dan media surat kabar, serta data hasil observasi langsung di PT ELN. Sedangkan alat-alat yang digunakan terdiri dari : (1) Check-list Form Uji Kelaikan Fisik untuk praktek Hygiene Sanitasi Makanan Jasa Boga; (2) Lembar kertas kerja untuk penentuan deskripsi produk; (3) Lembar kertas kerja untuk pembuatan diagram alir proses produksi; (4) Lembar kertas kerja untuk penulisan daftar bahan baku, bahan penolong, dan bahan tambahan pangan; (5) Lembar kertas kerja untuk analisis dan evaluasi bahaya; (6) Lembar kertas kerja untuk penentuan titik kendali kritis atau CCP (critical control point); (7) Lembar kertas kerja untuk pengendalian system HACCP atau HACCP Plan, dan (8) Fomulir penilaian dokumen HACCP perusahaan.
3.3.
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, metode yang digunakan meliputi beberapa tahapan
yaitu mengumpulkan dan mempelajari data primer dan data sekunder. Data primer
42
diperoleh dari wawancara langsung, sedangkan data sekunder berupa data jumlah Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit atau keracunan yang ditularkan melalui pangan pada industri jasa boga dan data jumlah pertumbuhan usaha jasa boga. Tahap selanjutnya adalah melakukan evaluasi kondisi yang ada pada usaha jasa boga atau katering dalam rangka sertifikasi HACCP. Kemudian penelitian dilanjutkan dengan membuat dokumen rancangan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) atau HACCP Plan dan merekomendasikan pengembangan sistem HACCP tersebut sebagai panduan dasar dalam penerapan dan sertifikasi sistem HACCP untuk produksi pangan pada industri jasa boga.
3.3.1. Mengkaji Kecukupan Sistem Keamanan Pangan untuk Industri Jasa Boga Tahap penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan dan mempelajari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung terhadap unit usaha jasa boga dan unit usaha pengguna jasa boga. Responden unit usaha jasa boga dipilih berdasarkan teknik purposive sampling yaitu sampel diambil secara sengaja dengan pertimbangan responden adalah pelaku usaha jasa boga aktif. Teknik ini diambil dengan pertimbangan banyaknya batasan yang menghalangi untuk memperoleh sampel secara random (acak). Sedangkan responden unit usaha pengguna jasa boga dipilih berdasarkan teknik simple random sampling yaitu pengambilan sampel dilakukan dengan memberi kesempatan yang sama pada setiap anggota populasi untuk menjadi anggota sampel (Nasution, 2003). Pengambilan data primer di lapangan dilakukan melalui wawancara dengan 3 unit usaha jasa boga dan 28 unit usaha pengguna jasa boga atau katering. 3 unit usaha jasa boga diambil dari unit usaha yang sedang membangun sistem HACCP bersama peneliti. Untuk unit usaha pengguna jasa boga awalnya terdapat sebanyak 32 responden, namun saat diminta kesediaan untuk diwawancarai, hanya 28 unit usaha yang bersedia menjadi responden. Semua unit usaha yang diwawancarai berasal dari 3 perusahaan pangan siap saji jasa boga atau katering dengan kategori usaha Golongan A3 sebanyak 2 unit usaha dan Golongan B sebanyak 1 unit
43
usaha, sedangkan semua unit usaha pengguna jasa boga yang diwawancarai adalah responden yang menggunakan jasa boga yang memiliki Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi. Untuk unit usaha pengguna jasa boga, data diambil dari responden yang berasal dari berbagai jenis kegiatan diantaranya perkantoran, sekolah, pabrik, dan asrama. Secara umum data diperoleh dari pengguna jasa boga yang telah memanfaatkan jasa boga dalam jangka waktu lebih dari 3 (tiga) tahun. Wawancara dengan unit usaha jasa boga diwakili oleh penanggung jawab/pemilik usaha, sedangkan wawancara dengan unit usaha pengguna jasa boga diperoleh dari HRD untuk perkantoran dan pabrik, kepala sekolah, dan penanggung jawab asrama. Wawancara dilakukan dengan memberikan pertanyaan kepada semua unit usaha menyangkut pengetahuan tentang sertifikasi keamanan pangan jasa boga. Pilihan sertifikasi pangan yang dikenal pada pertanyaan terdiri dari 4 pilihan yaitu sertifikat laik hygiene dan sanitasi, program piagam bintang keamanan pangan, program CPPB, dan sertifikat HACCP. Data sekunder berupa data jumlah Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit atau keracunan yang ditularkan melalui pangan pada industri jasa boga dan data jumlah pertumbuhan usaha jasa boga, diperoleh dari Badan POM RI, Dinas Kesehatan Kota Depok, dan media berita. Data yang terkumpul diolah dan dianalisa untuk menghasilkan kesimpulan mengenai tingkat kecukupan sistem keamanan pangan yang sudah ada untuk menekan kemungkinan terjadinya resiko kejadian luar biasa (KLB) penyakit yang ditularkan melalui pangan pada industri jasa boga. Hasil dari kajian ini juga diharapkan dapat memberikan rekomendasi bagi pemilihan jenis sertifikasi sistem keamanan pangan yang efektif untuk usaha jasa boga atau katering.
3.3.2. Melakukan Evaluasi Kondisi pada Usaha Jasa Boga atau Katering dalam rangka Sertifikasi Sistem HACCP di PT ELN. Pada tahap ini penelitian dilakukan untuk menilai keadaan atau kondisi perusahaan terhadap penerapan sistem HACCP dan menilai program kelayakan 43
44
persyaratan dasar berupa Good Hygiene Practice (GHP) dari unit pengolahan perusahaan PT ELN dengan cara observasi di lapangan, wawancara, pengamatan keadaan nyata perusahaan, dan pencatatan data yang ada di perusahaan menggunakan format uji kelaikan fisik untuk hygiene sanitasi jasa boga sesuai Permenkes No. 100096/PER/VI/2011 sebagai sarana untuk pemeriksaan kondisi hygiene sanitasi pada usaha jasa boga di Indonesia. Format ini digunakan dengan cara memberikan nilai bobot yang sesuai dengan kondisi di lapangan pada criteria yang dimaksud. Penilaian kelayakan persyaratan dasar dilakukan pula dengan cara menginventarisasi Standar Prosedur Operasi (SOP) atau Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SSOP) yang mencakup : 1. SSOP keamanan air yang digunakan, 2. SSOP untuk menjaga kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan, 3. SSOP untuk mencegah kontaminasi silang, 4. SSOP untuk menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet, serta peralatan yang digunakan, 5. SSOP untuk proteksi dari bahan-bahan kontaminan, 6. SSOP untuk pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan berbahaya (toksin) yang benar, 7. SSOP
untuk
pengawasan
kondisi
kesehatan
personil
yang
dapat
mengakibatkan kontaminasi, 8. SSOP untuk mencegah/menghilangkan hama dan penyakit dari unit pengolahan. Hasil penilaian keadaan perusahaan akan menjadi bahan rujukan dalam menerapkan sistem HACCP di perusahaan. Indentifikasi dan analisis juga akan dilakukan terhadap kendala-kendala
yang dihadapi perusahaan
sebelum
mempersiapkan rancangan HACCP atau HACCP Plan. Hal ini karena kendalakendala tersebut juga akan menjadi bahan rujukan dalam mempersiapkan rancangan HACCP atau HACCP Plan di perusahaan.
45
3.3.3. Pembuatan Rancangan Sistem HACCP atau HACCP Plan untuk Produksi Pangan Siap Saji pada PT ELN Pembuatan rencana HACCP atau HACCP Plan untuk pangan jasa boga dapat disederhanakan dengan menggunakan pendekatan tiga jenis diagram alir yang disajikan pada Gambar 3 (USFDA, 1998). Semua menu yang ada di PT ELN dikelompokkan dalam tiga diagram alir tersebut. Pembuatan dokumen rancangan sistem HACCP atau HACCP Plan di PT ELN dilakukan sesuai dengan SNI 01-4852-1998 dan Pedoman BSN 1004-2002 dengan tahap-tahap sebagai berikut : a. Melakukan pelatihan sistem HACCP b. Membuat Kebijakan Mutu dan Keamanan Pangan yang berhubungan dengan HACCP Plan c. Pembentukan Tim HACCP d. Menentukan Ruang Lingkup Penerapan Sistem HACCP e. Mendeskripsikan Produk dan Metode Distribusinya f. Mendeskripsikan Tujuan Penggunaan Produk g. Penyusunan Diagram Alir h. Verifikasi Diagram Alir Proses di Lapangan i. Analisis Bahaya serta Penentuan Tindakan Pencegahannya j. Penentuan Titik Kendali Kritis atau Critical Control Point (CCP) k. Penentuan Batas Kritis pada Titik Kendali Kritis l. Penyusunan Prosedur Pemantauan (Monitoring) untuk Setiap CCP m. Menetapkan Prosedur Tindakan Koreksi n. Menetapkan Prosedur Verifikasi o. Menetapkan Prosedur Dokumentasi dan Pencatatan
3.3.4. Pembuatan Rekomendasi Pengembangan Sistem HACCP pada PT ELN Rekomendasi Model Generik Perancangan dan Pengembangan Sistem HACCP pada PT ELN dilakukan berdasarkan hasil verifikasi dan validasi sistem
45
46
HACCP yang dibuat serta berdasarkan kesepakatan dan persetujuan dari pihak manajemen dengan anggota tim HACCP-nya.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KECUKUPAN
SISTEM
KEAMANAN
PANGAN
UNTUK
INDUSTRI JASA BOGA Hasil wawancara langsung terhadap unit usaha jasa boga dan unit usaha pengguna jasa boga diperoleh dengan memberikan pertanyaan seputar pengetahuan tentang sertifikasi keamanan pangan jasa boga. Data yang diperoleh digolongkan dalam 2 kategori yaitu unit usaha jasa boga atau catering, dan unit usaha pengguna jasa boga. Tabel 10 menunjukkan hasil wawancara terhadap pelaku usaha jasa boga atau katering yang menunjukkan pengetahuan pelaku jasa boga terhadap program keamanan pangan. Pada kategori unit usaha jasa boga, semua unit usaha mengenal sertifikat laik hygiene sanitasi dan HACCP, dan hanya unit usaha golongan B yang pernah mendengar mengenai program CPPB dari Badan POM tetapi tidak mengetahui secara jelas mengenai tahap-tahap pelaksanaanya. Tabel 10. Hasil wawancara unit usaha jasa boga (n=3) Unit Usaha
Golongan Usaha
Jasa Boga
Jasa Boga
1
A3
2
A3
3
B
Hasil Wawancara - Mengenal dan memiliki sertifikat laik hygiene dan sanitasi - Mengenal HACCP dengan baik - Tidak mengetahui tentang program piagam bintang keamanan pangan dan program CPPB - Mengenal dan memiliki sertifikat laik hygiene dan sanitasi - Mengenal HACCP dengan baik - Tidak mengetahui tentang program piagam bintang keamanan pangan dan program CPPB - Mengenal dan memiliki sertifikat laik hygiene dan sanitasi - Mengenal HACCP dengan baik - Pernah mendengar mengenai program CPPB tetapi tidak mengetahui isi dari program tersebut - Tidak mengetahui tentang program piagam bintang keamanan pangan
Pengetahuan unit usaha jasa boga yang diwawancarai terhadap sertifikat laik hygiene sanitasi sangat baik. Hal ini dapat difahami karena
48
semua unit usaha jasa boga yang diwawancarai telah memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi sesuai dengan peraturan pemerintah yang tertuang pada Permenkes Nomor 1096/Menkes/PER/VI/2011. Untuk sertifikat HACCP yang dikenal oleh semua responden dikarenakan sertifikat ini merupakan persyaratan yang diminta oleh calon pengguna jasa boga. Sedangkan Program Piagam Bintang Keamanan Pangan hampir tidak dikenal oleh unit usaha jasa boga, demikian pula dengan CPPB. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun program piagam bintang kemanan pangan dan CPPB telah lama di gulirkan oleh pemerintah, tetapi sosialisasinya terutama kepada pelaku usaha jasa boga masih sangat kurang. Walaupun CPPB merupakan persyaratan kelayakan dasar untuk HACCP, namun belum ada CPPB yang khusus diperuntukan bagi usaha jasa boga, karenanya dalam pelaksanaan pengelolaan pangan jasa boga yang baik, perusahaan menerapkan pelaksanaan hygiene sanitasi sesuai dengan Permenkes 2011. Hal ini menyebabkan unit usaha jasa boga tidak mengenal istilah CPPB tetapi mengenal HACCP. Dalam hal kategori unit usaha pengguna jasa boga, terdapat 1 unit usaha yang tidak mengenal semua sertifikat keamanan pangan yang ditanyakan, 26 unit usaha hanya mengenal sertifikat HACCP, dan 1 unit usaha mengenal sertifikat HACCP dan pernah mendengar tentang program CPPB. Tabel 11 menunjukkan hasil wawancara terhadap unit usaha pengguna jasa boga dimana pengetahuan pengguna jasa boga terhadap sertifikat HACCP cukup baik, tetapi pengetahuan tentang program piagam bintang keamanan pangan dan CPPB sangat kurang. Selain itu, tidak ada dari responden yang diwawancarai mengetahui tentang sertifikat laik hygiene sanitasi yang berarti bahwa responden juga tidak mengetahui keharusan usaha jasa boga untuk memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi sebagai persyaratan ijin usahanya, padahal pemerintah mengeluarkan Permenkes Nomor 1096/Menkes/PER/VI/2011 mengenai laik hygiene dan sanitasi jasa boga bertujuan untuk melindungi masyarakat pengguna jasa boga dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan termasuk melindungi masyarakat dari penyakit yang ditularkan melalui pangan seperti keracunan akibat pangan.
49
Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi sistem HACCP cukup efektif sampai kepada masyarakat terutama unit usaha pengguna jasa boga, sebaliknya sosialisasi program piagam bintang keamanan pangan, CPPB, dan sertifikat laik hygiene sanitasi masih kurang. Tabel 11. Hasil wawancara unit usaha pengguna jasa boga (n=28) Kategori Pengguna Jasa Boga Tidak mengenal sama sekali Mengenal sertifikat HACCP Mengenal sertifikat HACCP dan program CPPB Keluhan dan kasus KLB
Jumlah Unit Usaha Pengguna Jasa Boga
Asal Pengetahuan Sertifikat
Jenis Usaha Pengguna Jasa Boga
1
-
Pabrik Non Pangan
26
Informasi dari media cetak dan relasi
Asrama Polisi = 1, Asrama AD & AL =2, Kantor Non Pangan = 4, Sekolah = 5, Pabrik Non Pangan = 14
1
Pelatihan
Pabrik Pangan
0
-
Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa media cetak serta informasi dari rekanan cukup efektif sebagai media promosi HACCP. Selain itu, bila dilihat dari latar belakang jenis usaha pengguna jasa boga, 1 unit usaha yang mengenal HACCP dan CPPB melalui pelatihan, hal ini dapat difahami karena unit usaha pengguna jasa boga tersebut merupakan unit usaha yang bergerak dalam produksi pangan. Untuk 1 unit usaha yang tidak mengenal semua sertifikat keamanan pangan yang ditanyakan, hal ini dapat dimengerti karena unit usaha pengguna jasa boga tersebut bergerak dalam bidang non pangan yaitu alat-alat berat untuk pembangunan jalan, sehingga informasi mengenai jaminan kemanan pangan jasa boga sangat terbatas. Sedangkan untuk 26 unit usaha yang hanya mengenal HACCP melalui media cetak dapat dimaklumi karena jenis usaha pengguna jasa boga yang juga dibidang non pangan. Untuk menumbuhkan pengetahuan pengguna jasa boga akan sertifikat keamanan pangan terutama sertifikat laik hygiene sanitasi oleh jasa boga, diperlukan sosialisasi pemerintah yang lebih luas lagi dan dapat menjangkau unit usaha pengguna jasa boga padat karya yang jumlah pekerjanya lebih
50
banyak lagi. Media promosi dapat digunakan sebagai alternatif alat sosialisasi mengenai program keamanan pangan. Menurut Kennedy
(2009), peran
media sangat dibutuhkan dalam menyampaikan pesan kepada khalayak, dengan adanya media akan mempermudah khalayak untuk memahami pesan yang disampaikan kepada mereka. Dengan menggunakan media promosi, diharapkan sosialisasi serta penyuluhan keamanan pangan akan lebih efektif, hanya saja menurut Efriza (2009), dalam menggunakan media promosi untuk penyuluhan dan menyampaikan pesan kepada masyarakat, perlu diperhatikan golongan responden yang akan menerima pesan serta memilih media promosi yang
tepat
supaya
pesan
yang
disampaikan
dapat
diterima
dan
diimplementasikan. Pendalaman lebih lanjut melalui wawancara dengan responden menunjukkan bahwa semua unit usaha pengguna jasa boga, selama menggunakan jasa boga tidak terdapat keluhan keracunan pangan atau kasus KLB keracunan pangan. Hal ini menunjukkan bahwa sertifikat laik hygiene dan sanitasi yang telah dimiliki oleh jasa boga cukup efektif untuk menekan kemungkinan terjadinya kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan oleh jasa boga. Adapun pengetahuan dan kebutuhan jasa boga akan penerapan dan sertifikasi HACCP lebih disebabkan karena tuntutan pengguna jasa boga yang kebanyakan lebih mengenal sistem HACCP. Tahap penelitian selanjutnya, dilakukan pengumpulan data sekunder berupa data jumlah Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit atau keracunan yang ditularkan melalui pangan pada industri jasa boga dan data jumlah pertumbuhan usaha jasa boga. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan POM RI tahun 2012, Antara tahun 2001 sampai 2011 terjadi kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan
pangan
yang
terlaporkan
dengan
jumlah
orang
yang
mengkonsumsi dan jumlah korban KLB keracunan pangan yang dapat dilihat pada Tabel 12. Data yang ditunjukkan pada Tabel 12 memberikan informasi bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, jumlah KLB keracunan pangan yang terlaporkan walaupun fluktuatif tetapi secara umum
jumlahnya
51
meningkat dari tahun 2001 sebanyak 26 KLB menjadi 128 KLB pada tahun 2011. Demikian pula dengan jumlah korban KLB keracunan pangan juga mengalami fluktuatif tetapi secara umum jumlahnya terus meningkat, dari tahun 2001 sebanyak 1183 korban menjadi 6901 korban pada tahun 2011. Tabel 12. Total KLB keracunan pangan yang terlaporkan, jumlah orang yang mengkonsumsi dan jumlah korban KLB keracunan pangan tahun 2001 – 2011 TAHUN
JUMLAH KLB
MAKAN
KASUS/KORBAN MENINGGAL
2001
26
1965
1183
16
2002
43
6543
3635
10
2003
34
8651
1843
12
2004
164
22297
7366
51
2005
184
23864
8949
49
2006
159
21145
8733
40
2007
179
19120
7471
54
2008
197
25268
8943
79
2009
115
7815
3239
17
2010
163
10195
5510
68
2011
128
18144
6901
11
Sama halnya dengan jumlah korban yang meninggal akibat KLB keracunan pangan, dari tahun 2001 sebanyak 16 korban meninggal dan mencapai puncaknya pada tahun 2008 yaitu sebanyak 79 korban meninggal. Angka ini terus fluktuatif hingga tahun 2011 menjadi 11 korban meninggal, walaupun angka ini turun tetapi tetap tinggi untuk kasus kehilangan nyawa akibat keracunan pangan. Perlu digaris bawahi bahwa semua data jumlah KLB keracunan pangan ini adalah kasus KLB yang terlaporkan. WHO menyebutkan bahwa setiap satu kasus yang berkaitan dengan KLB keracunan pangan di suatu Negara berkembang, maka paling tidak terdapat 99 kasus lain yang tidak dilaporkan. Ini berarti, jumlah korban KLB keracunan pangan yang sebenarnya jauh di atas angka yang dihimpun oleh BPOM.
52
Untuk jenis pangan penyebab KLB keracunan pangan sepanjang tahun 2001 sampai 2011 dapat dilihat dari Tabel 13. Presentase jenis pangan penyebab KLB keracunan pangan untuk pangan jasa boga secara umum menempati urutan kedua terbesar setelah masakan rumah tangga yaitu sebesar 21.62% (Tabel 13). Persentase ini cukup tinggi untuk suatu usaha yang pengelolaannya diatur oleh pemerintah melalui Permenkes. Tingginya angka jenis pangan jasa boga sebagai penyebab KLB keracunan pangan dibandingkan masakan rumah tangga pada rentang tahun 2001 sampai 2002 dapat disebabkan pada kurun waktu tersebut belum adanya Peraturan Menteri Kesehatan mengenai hygiene dan sanitasi untuk usaha jasa boga. Angka ini berbalik menurun menjadi lebih kecil dibandingkan masakan rumah tangga pada tahun 2003 sampai 2011 kemungkinan hal ini dapat disebabkan pada tahun 2003 Permenkes mengenai hygiene sanitasi jasa boga telah dikeluarkan oleh pemerintah, dan dapat juga dimungkinkan oleh system pelaporan dan monitoring yang sudah lebih baik. Tabel 13. Jenis pangan penyebab KLB keracunan pangan tahun 2001 – 2011 Jenis Pangan Tahun
Masakan Rumah Tangga
Pangan Olahan
Pangan Jasa Boga
Jajanan
Lainlain
Tidak dilaporkan
Total KLB
2001
5
5
11
5
0
0
26
2002
8
8
15
7
0
5
43
2003
11
9
10
2
0
2
34
2004
88
25
25
20
0
6
164
2005
78
28
39
33
0
6
184
2006
68
21
43
26
1
0
159
2007
104
22
27
18
8
0
179
2008
82
31
51
31
2
0
197
2009
47
28
18
22
0
0
115
2010
71
28
32
22
4
6
163
2011
58
16
30
16
8
0
128
Total
620
221
301
202
23
25
1392
%
44.54
15.88
21.62
14.51
1.65
1.80
100.00
53
Pada Tabel 13 terlihat bahwa presentase tertinggi jenis pangan penyebab KLB keracunan pangan justru disebabkan oleh masakan rumah tangga yaitu sebesar 44.54%. Tingginya masakan rumah tangga sebagai penyebab KLB keracunan pangan dapat disebabkan masakan rumah tangga yang dimasak secara massal yang diperuntukkan untuk orang banyak, tidak terdapat regulasi mengenai hygiene dan sanitasi yang wajib diikuti oleh pengolah masakan rumah tangga, dan seyogyanya disediakan oleh jasa boga. Perlu bagi pihak-pihak yang berwenang untuk memikirkan bagaimana mengatur pengelola masakan rumah tangga yang dimasak secara massal dan diperuntukkan bagi konsumen dengan jumlah yang cukup banyak, agar mengetahui wawasan mengenai hygiene dan sanitasi pengelolaan pangan yang baik.
Gambar 4. Persentase Jenis Pangan Penyebab KLB Keracunan Pangan Terlapor Tahun 2001-2011. Jika difokuskan pada tiga terbesar kontribusi persentase jenis pangan penyebab KLB Keracunan Pangan terhadap total kasus KLB yang dapat dilihat pada Gambar 4, yaitu masakan rumah tangga, pangan olahan, dan pangan jasa boga yang terlaporkan sepanjang tahun 2001 sampai 2011 terlihat bahwa pangan jasa boga sebagai penyebab KLB
memiliki
kecendrungan turun selama rentang tahun 2001 sampai 2004, berbeda dengan
54
dua penyebab lainnya yang memiliki kecendrungan naik selama rentang tahun yang sama. Namun demikian, untuk ketiga jenis penyebab KLB, persentase ini menunjukkan fluktuatif selama tahun 2004 sampai 2011. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor. Menurut data yang dihimpun oleh BPOM, penyebab KLB keracunan pangan termasuk pangan produk jasa boga sepanjang tahun 2001 sampai 2011 dapat dilihat pada Tabel 14 yang menunjukkan bahwa agen penyebab KLB keracunan pangan yang dapat dideteksi adalah karena adanya cemaran mikroba yang tinggi termasuk cemaran mikroba patogen (19.76%) dan bahan kimia (12.64%). Tabel 14. Penyebab KLB keracunan pangan yang terlaporkan tahun 2001 – 2011 Penyebab Tahun
Mikroba
Kimia
Tidak Terdeteksi/Tidak dapat ditentukan
Total
2001
6
5
15
26
2002
12
6
25
43
2003
9
1
24
34
2004
36
22
106
164
2005
28
14
142
184
2006
25
15
119
159
2007
29
25
125
179
2008
54
37
106
197
2009
22
10
83
115
2010
16
22
125
163
2011
38
19
71
128
Total
275
176
941
1392
%
19.76
12.64
67.60
100.00
Adanya mikroba pada pangan salah satunya dapat disebabkan oleh kondisi sanitasi dan hygiene sarana produksi dan tempat mengolah pangan yang buruk. Menurut Cahyono, 2009, pemeriksaan terhadap sarana produksi makanan/minuman skala rumah tangga menengah dan besar menemukan sekitar 33,15% - 42,18% sarana tidak memenuhi persyaratan higiene dan
55
sanitasi, sedangkan pengawasan di tempat pengolahan makanan (TPM) yang mencakup jasa boga, restoran/rumah makan dan TPM lainnya hanya sekitar 19,98% yang telah mempunyai izin penyehatan makanan dan hanya sekitar 15,31% dari rumah makan/restoran yang diawasi yang memenuhi syarat untuk diberi kategori golongan. Pelatihan penyuluhan yang diberikan umumnya baru menjangkau usaha berskala besar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Gumilar (1999) yang menyatakan bahwa tingkat kontaminasi makanan ternyata lebih banyak pada penanggungjawab usaha jasa boga yang tidak pernah mengikuti pelatihan penyuluhan. Presentase tertinggi penyebab KLB keracunan pangan berdasarkan Tabel 14, justru tidak terdeteksi atau tidak dapat ditentukan penyebabnya sebesar 67.60%. Hal ini dapat disebabkan antara lain oleh kesalahan penanganan sampel, keterbatasan kapasitas SDM dan fasilitas laboratorium, ketidakjelasan mekanisme penyelidikan dan pelaporan KLB keracunan pangan, dan keterbatasan dalam akses ke laboratorium rujukan (BPOM, 2009). Sedangkan profil persentase penyebab KLB keracunan pangan yang tidak terdeteksi atau tidak dapat ditentukan ini dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Persentase penyebab KLB keracunan pangan yang tidak terdeteksi tahun 2001 – 2011. Tahun
Total KLB
Penyebab yang tidak terdeteksi/tidak dapat ditentukan
%
2001
26
15
57.69
2002
43
25
58.14
2003
34
24
70.59
2004
164
106
64.63
2005
184
142
77.17
2006
159
119
74.84
2007
179
125
69.83
2008
197
106
53.81
2009
115
83
72.17
2010
163
125
76.69
2011
128
71
55.47
56
Dari data pada Tabel 15 menunjukkan bahwa walaupun persentase tertinggi penyebab KLB keracunan pangan adalah dikarenakan hal-hal yang tidak bisa ditentukan atau penyebabnya tidak terdeteksi, profil persentase penyebab yang tidak terdeteksi inipun tiap tahun nya mengalami fluktuatif. Namun demikian nilainya setiap tahun selalu cukup tinggi yaitu lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun terakhir belum ada metode penanganan sampel yang efektif serta system deteksi dini guna penanganan investigasi KLB keracunan pangan. Mencermati perkembangan pola dan frekuensi kejadian keracunan pangan di tengah-tengah masyarakat, maka sistem deteksi dini dan investigasi KLB keracunan pangan merupakan hal yang sangat penting karena dapat memberikan sumbangsih besar dalam menjaga keamanan pangan, terutama dalam mengungkap kelemahan mata rantai produksi pangan termasuk pangan siap saji (Imari, 2011). Dalam rangka mengatasi hal ini, Badan POM RI telah menyusun langkah-langkah guna meningkatkan kemampuan SDM untuk surveilan KLB keracunan pangan dan program-program terkait penanganan KLB keracunan pangan (BPOM, 2011). Hanya saja, sebaik-baiknya program yang telah disusun, perlu ada evaluasi untuk memperbaiki dan meningkatkan keefektifan sistem yang dibangun. Pada era otonomi daerah saat ini, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota merupakan ujung tombak terhadap penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan di daerah, karena itu program yang telah disusun oleh pemerintah harus melibatkan tiga tingkatan administrasi pemerintahan yaitu tingkat Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat. Untuk mengetahui indikasi tingkat kecukupan sistem keamanan pangan pada industri jasa boga, dapat dilihat tren data pertumbuhan jumlah usaha jasa boga/katering dan data korban kasus KLB keracunan pangan yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Depok tahun 2008 sampai 2011 yang dapat dilihat pada Gambar 5. Dari Gambar 5 diketahui bahwa tren pertumbuhan usaha jasa boga (bersertifikat dan tidak) pada rentang tahun 2008 – 2011 seiring dengan
57
peningkatan korban kasus KLB keracunan pangan. Walaupun penyebab KLB Keracunan Pangan di Kota Depok yang terlaporkan sepanjang tahun 2008 – 2011 melibatkan masakan rumah tangga, jajanan, dan jasa boga, namun demikian berdasarkan investigasi langsung ke lapangan oleh Dinas Kesehatan Kota Depok, diketahui bahwa semua jasa boga atau katering yang menyebabkan KLB keracunan pangan belum memiliki sertifikat laik hygiene dan sanitasi yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kota Depok. Hal ini menunjukkan bahwa Sertifikat ini penting dan cukup dalam upaya menekan kasus KLB keracunan pangan oleh pangan jasa boga. Hal penting lainnya adalah masih kurangnya pengetahuan pengguna jasa boga tentang sertifikasi keamanan pangan yaitu sertifikat laik hygiene sanitasi, tercermin dari tidak adanya pengguna jasa boga yang mempersyaratkan unit usaha jasa boga untuk memiliki sertifikat keamanan pangan ini (Tabel 11) sebelum melakukan kerjasama. Padahal pengetahuan dan kepedulian konsumen yang tinggi akan sangat mendukung usaha peningkatan pendidikan keamanan pangan bagi para produsen pangan (Cahyono, 2009).
Gambar 5. Tren Pertumbuhan Usaha Jasa Boga dan Korban KLB Keracunan Pangan Terlapor di Kota Depok Tahun 2008-2011. Jika diamati dari Gambar 5 diketahui bahwa sampai tahun 2011, tercatat ada sebanyak 100 usaha jasa boga yang beroperasi di wilayah Kota Depok. Menurut data Dinas Kesehatan Kota Depok, hingga akhir tahun 2011
58
ada sebanyak 63 usaha jasa boga yang telah memiliki Sertifikat dan 37 usaha jasa boga yang belum memiliki Sertifikat Laik Hygiene dan Santasi. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya kepedulian pengusaha jasa boga terhadap jaminan keamanan pangan yang diwujudkan dalam kepemilikan sertifikat laik hygiene sanitasi. Selain itu perlu ada pengawasan dan tindakan tegas dari instansi berwenang di tingkat wilayah tempat jasa boga beroperasi. Pengawasan dan tindak lanjut pengawasan yang dilakukan oleh instansi berwenang harus ditingkatkan dan memberikan efek jera (Rahayu, 2007), dengan mengeluarkan perda misalnya, sehingga instansi pemerintah yang berwenang di tingkat daerah memiliki kekuatan hukum dalam mengambil tindakan terhadap temuan untuk usaha jasa boga yang tidak memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi serta jika ditemui kasus KLB keracunan pangan yang dihasilkan oleh jasa boga. Hasil Kajian BPKN bidang pangan (2011), merekomendasikan perlu adanya pembinaan dan pengawasan intensif dari instansi berwenang untuk usaha jasa boga supaya senantiasa dapat menghasilkan pangan siap saji yang aman dan bergizi. Meskipun program keamanan pangan untuk jasa boga khususnya kewajiban Sertifikat Laik Hygiene dan Sanitasi dinilai cukup, namun demikian kenyataan di lapangan masih saja terjadi kasus KLB keracunan pangan. Berdasarkan data yang diperoleh sepanjang tahun 2012 ini, diperoleh beberapa kasus KLB akibat keracunan pangan di beberapa tempat berbeda yang dapat dilihat pada Tabel 16. Dari keenam data kejadian KLB keracunan pangan yang dihimpun sepanjang tahun 2012 (Tabel 16), terlihat bahwa sebagian besar kasus KLB keracunan pangan terutama pangan siap saji disebabkan oleh masakan rumah tangga dan warung yang memang tidak memiliki kewajiban bersertifikat laik hygiene sanitasi. Untuk kasus keempat dari Tabel 16 terlihat bahwa usaha jasa boga/katering yang menyebabkan kasus KLB keracunan pangan adalah usaha jasa boga/katering yang tidak memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi jasa boga yang memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi terhadap kasus KLB keracunan pangan sangat kecil sehingga
59
dapat dilihat bahwa sertifikat laik hyhiene sanitasi cukup untuk menekan kemungkinan KLB keracunan pangan. Berdasarkan data kasus-kasus KLB keracunan pangan, perlu untuk membedakan antara kecukupan sistem keamanan pangan dengan pelaksanaan sistem keamanan pangan di lapangan. Menurut kajian di atas, diketahui bahwa sistem keamanan yang telah diprogramkan pemerintah untuk industri jasa boga cukup untuk menekan kasus KLB keracunan pangan akibat jasa boga. Tetapi berbeda halnya dalam pelaksanaan di lapangan. Tabel 16. Kasus KLB keracunan kangan sepanjang tahun 2012 di beberapa tempat berbeda. Waktu dan Lokasi 5 Mei 2012, Kampung Kandang Sapi Lor, Tangerang Selatan, Banten
Jumlah Korban / Tempat Belasan warga kampong / Acara Pesta Khitanan
10 Mei 2012, Desa Hargosari, Kecamatan Sine, Ngawi 27 Mei 2012, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan
14 warga / Sawah tanam padi
7 Juni 2012, pabrik elektronik di daerah jalan raya bogor
81 orang / Pabrik elektronik
17 Juni 2012, Kampung Pabuaran, Desa Kertajaya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor
38 orang / Acara Hajatan
41 orang / Acara Ulang Tahun
Kasus
Sumber
KLB akibat keracunan pangan ini terjadi setelah warga menyantap pangan di sebuah pesta khitanan yang dimasak oleh para kerabat keluarga di lokasi dekat tempat pesta tersebut Korban merasa pusing, perut mual, dan munah-muntah setelah makan makanan yang dimasak di rumah oleh pemilik sawah
Dinkes Tangerang
KLB akibat keracunan pangan setelah menyantap nasi kuning di acara ulang tahun seorang anak setempat, korban merasa mual, muntah, pusing, suhu badan naik dan mengalami keringat dingin. KLB akibat keracunan pangan dengan gejala diare dan mual setelah menyantap makan siang yang disediakan oleh usaha jasa boga/katering perusahaan. Berdasarkan informasi yang diperoleh, usaha jasa boga/katering tersebut belum memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi.
Tribun Jakarta, Edisi 28 Mei 2012
KLB akibat keracunan pangan sehabis menyantap hidangan hajatan, korban mengalami mual dan kepala pusing setelah menyantap hidangan pada hajatan tersebut yang dimasak oleh bantuan para tetangga di lokasi dekat acara hejatan tersebut
Media Bogor+, Edisi 19 Juni 2012
metrotv.com
Dinkes Depok
Dari data yang diperoleh di Dinas Kesehatan Kota Depok, diketahui bahwa untuk jasa boga yang sudah mendaftar tetapi belum memenuhi persyaratan
hygiene
dan
santasi
sesuai
Permenkes
No.
1096/Menkes/PER/VI/2011, maka jasa boga yang bersangkutan belum mendapatkan sertifikat. Kenyataan di lapangan, belum ada tindak lanjut yang
60
jelas untuk jasa boga seperti ini, sementara jasa boga yang bersangkutan tetap melakukan usahanya walaupun sertifikat laik hygiene sanitasinya belum terbit. Tidak adanya aspek perangkat hukum untuk jasa boga yang telah beroperasi tetapi belum memiliki sertifikat merupakan kendala utama yang dirasa oleh Dinas Kesehatan Kota Depok ketika melakukan pengawasan, demikian pula di lapangan ditemukan kesulitan dalam mengambil tindak lanjut pengawasan yang harus dilakukan untuk jasa boga tidak bersertifikat yang diketahui telah menyebabkan KLB keracunan pangan. Oleh karena itu perlu ada perangkat hukum sehingga instansi pemerintah yang berwenang di tingkat daerah memiliki kekuatan hukum dalam mengambil tindakan terhadap temuan untuk usaha jasa boga yang tidak memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi serta jika ditemui kasus KLB keracunan pangan yang dihasilkan oleh jasa boga. Ada empat masalah utama keamanan pangan jasa boga yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat luas, yaitu (1) produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu keamanan pangan, seperti ditemukannya cemaran mikroba dan cemaran kimia berbahaya (pestisida, logam berat, obat-obat pertanian); (2) masih banyak terjadi kasus kercunan pangan yang sebagian besar belum dilaporkan dan belum dapat diidentifikasi penyebabnya; (3) masih rendahnya pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab produsen pangan tentang mutu dan keamanan pangan; (4) rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan yang disebabkan pengetahuan yang terbatas; (5) walaupun pengawasan dari Dinas Kesehatan daerah setempat kini mulai digalakkan, tetapi frekuensi dan keefektifan serta kemampuan SDM yang bertugas masih perlu untuk ditingkatkan; (6) perlu adanya payung hukum di tingkat pelaksana daerah sehingga penerapan kebijakan menjadi tegas dan jelas. Penyimpangan mutu dan keamanan pangan mempunyai dampak terhadap pemerintah, pengusaha jasa boga, dan pengguna jasa boga. Oleh karena itu diperlukan peran serta ketiga perangkat tersebut untuk menjamin mutu dan keamanan pangan.
61
4.2. EVALUASI
KONDISI
PADA
USAHA
JASA
BOGA
ATAU
KATERING DALAM RANGKA SERTIFIKASI SISTEM HACCP DI PT ELN 4.2.1. Sanitasi dan Hygiene Perusahaan industri pangan siap saji atau katering PT ELN termasuk usaha jasa boga dengan kriteria Golongan A3 dan belum menerapkan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP. Untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh perusahaan pengguna jasa katering dan dalam rangka memenuhi kategori usaha jasa boga atau katering Golongan B sesuai Permenkes RI No. 1096/PER/VI/2011, maka PT ELN berkeinginan untuk memenuhi persyaratan Hygiene Sanitasi Jasa Boga kategori Golongan B dan menerapkan sistem HACCP. Berdasarkan pengamatan (observasi) yang dilakukan di lapangan, wawancara, pengamatan keadaan nyata perusahaan atas penerapan Hygiene dan Sanitasi di PT ELN dibandingkan dengan standar yang ada (berdasarkan Kriteria menurut Permenkes No. 1096/PER/VI/2011), dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Hasil evaluasi kondisi penerapan hygiene dan sanitasi di PT ELN No.
ASPEK URAIAN
BOBOT
No.
ASPEK URAIAN
BOBOT
1
Lokasi, Bangunan, Fasilitas
4
10
Makanan
6
2
Pencahayaan
1
11
Perlindungan Makanan
9
3
Penghawaan
1
12
Peralatan Makan dan Masak
17
4
Air Bersih
5
13
Khusus Golongan A.1
5
5
Air Kotor
1
14
Khusus Golongan A.2
3
6
Fasilitas Cuci Tangan dan Toilet
3
15
Khusus Golongan A.3
8
7
Pembuangan Sampah
2
16
Khusus Golongan B
6
8
Ruang Pengolahan Makanan
2
17
Khusus Golongan C
-
9
Karyawan
9
NILAI
82
62
Tabel 17 menunjukkan bahwa kondisi penerapan hygiene dan sanitasi di PT ELN diperoleh nilai bobot sebesar 82. Nilai bobot 82 ini masih termasuk dalam range kategori Golongan A3 (nilai bobot 74 – 83). Oleh karena itu, berdasarkan standar permenkes, PT ELN harus melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk mencapai nilai bobot minimal 83 agar dapat masuk ke kategori usaha jasa boga Golongan B (nilai bobot 83 – 92). Hasil selengkapnya dari pemeriksaan kondisi hygiene dan sanitasi perusahaan dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil identifikasi dari ketidaksesuaian nilai bobot terhadap penerapan hygiene dan santasi (berdasarkan Kriteria menurut Permenkes No. 1096/PER/VI/2011) dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Ketidaksesuaian kondisi PT ELN dalam penerapan hygiene dan sanitasi berdasarkan kriteria menurut Permenkes tahun 2011 No. 1
ASPEK KETIDAKSESUAIAN Pencegahan Kontaminasi Silang
-
2 3
Pemeliharaan Sarana dan Pengendalian Hama Persyaratan Fasilitas Sanitasi
-
4
Persyaratan Bangunan
-
URAIAN Status kesehatan dan kebersihan karyawan Penggunaan atribut kerja Pada lokasi kerja tidak terdapat himbauan tertulis dalam hal hygiene dan sanitasi Program pest control belum dilaksanakan dengan baik Perusahaan baru memiliki fasilitas dua bak pencuci Pertemuan sudut lantai dan dinding tidak konus
Dari Tabel 18, diketahui terdapat beberapa ketidaksesuaian dalam penerapan hygiene dan sanitasi berdasarkan kriteria menurut Permenkes. Ketidaksesuaian pertama adalah berkaitan dengan upaya untuk mencegah adanya kontaminasi silang yang disebabkan oleh status kesehatan karyawan, kebersihan karyawan, dan kebiasaan karyawan (hygiene karyawan). Walaupun semua karyawan yang bekerja bebas dar penyakit infeksi, kulit, bisul dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) namun masih ada karyawan yang bekerja dengan luka terbuka walaupun sudah mengering. Selain itu masih ada karyawan yang menggunakan kosmetik saat melakukan
63
pengolahan makanan, bahkan terkadang ada pengolah pangan yang tidak menggunakan penutup mulut serta sarung tangan saat menjamah pangan masak. Ketidakpraktisan dalam bekerja jika menggunakan penutup mulut dan sarungtangan merupakan keluhan sebagian besar karyawan. Hal ini merupakan kendala psikologis bagi para karyawan dalam penerapan hygiene karyawan, padahal manusia adalah sumber dari berbagai bakteri terutama bakteri patogen yang dapat mengkontaminasi pangan melalui tenaga pengolah pangan (Longree, 1980). Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan dan pemantauan kesehatan karyawan yang sedang bertugas secara visual, misalnya penggunaan atribut penutup kepala, penutup mulut, dan sarung tangan, atau luka dan penyakit kulit, yang dapat dilakukan langsung oleh pihak penanggungjawab usaha jasa boga sebelum kegiatan pengolahan pangan dimulai. Depkes (2001), menguraikan bahwa bakteri dapat mengkontaminasi pangan melalui rambut, kulit (penyakit kulit), kuku, saluran nafas (penyakit saluran nafas), tangan, bersin, meludah, menguap, dan batuk. Semua karyawan diberikan pelatihan dalam hal sanitasi dan hygiene sekaligus untuk
memperbaiki sikap dan perilaku karyawan dalam
berkomitmen untuk mendukung program rencana penerapan sistem manajemen keamanan pangan di perusahaan.. Apabila ditemui ada karyawan yang tidak menjaga kebersihan dan tingkah laku karyawan selama proses pengolahan pangan, maka karyawan yang bersangkutan dapat ditegur atau diperingatkan dan dicatat terlebih dahulu. Bila karyawan yang diperingatkan dan dicatat telah 5 kali tetapi masih berperilaku yang tidak sesuai dengan aturan penerapan hygiene dan sanitasi serta kebiasaan karyawan yang baik, maka diperlukan adanya tindakan tegas berupa sangsi dari penanggung jawab usaha jasa boga. Menurut penelitian Nurlela (1998) penyuluhan dan pelatihan terbukti telah meningkatkan pengetahuan dan sikap penjamah pangan tentang hygiene dan sanitasi pangan. Pada lokasi pengolahan tidak terdapat satupun poster/tulisan himbauan untuk menjaga hygien dan sanitasi karyawan, karenanya sebagai mediator pengingat, perlu untuk menempelkan di tempat yang strategis
64
poster/tulisan himbauan menjaga kebersihan diri dan tempat kerja seperti selalu mencuci tangan setelah dari kamar mandi, sebelum mengolah pangan, atau setelah membuang sampah (Jacob, 1989). Pemeriksaan dan pemantauan kesehatan secara berkala juga perlu dilakukan untuk memastikan bahwa karyawan terbebas dari penyakit yang dapat mengkontaminasi pangan siap saji. Ketidak adaan dokumen yang disimpan menyebabkan pemeriksaan kesehatan karyawan ke praktek kesehatan terdekat sering terlewatkan, karenanya perlu dibuat jadwal pemeriksaan kesehatan karyawan yang hasilnya dapat didokumetasikan oleh penanggunjawab usaha. Ketidaksesuaian kedua adalah berkaitan dengan pemeliharaan sarana dan pengendalian hama berupa menghilangkan pest dari unit pengolahan. Walaupun sudah ada usaha perlindungan terhadap serangga, tikus, hewan peliharaan dan hewan pengganggu lainnya (Lampiran 7), namun belum dilaksanakan dengan konsisten. Tidak ingat letak semua pest control dan karena kesibukan pekerjaan yang lain menjadi alasan utama petugas terkait. Ketidaksesuaian ini dapat diatasi dengan membuat denah penempatan pest control dan dibuat jadwal monitoring serta rekaman hasil monitoring pelaksanaan program pest contol yang dapat disimpan oleh penanggungjawab usaha. Ketidaksesuaian ketiga berhubungan dengan persyaratan fasilitas sanitasi. Perusahaan telah memiliki fasilitas pencucian yang cukup baik, namun hanya memiliki dua bak pencuci. Ketidaksesuaian ini dapat diatasi dengan penambahan sarana bak pencucian yang disanggupi perusahaan untuk diadakan. Ketidaksesuaian keempat berkaitan dengan persyaratan bangunan dimana pertemuan sudut lantai dan dinding tidak konus. Ketidaksesuaian ini termasuk dalam persyaratan khusus usaha jasa boga Golongan B. Sulit bagi perusahaan untuk melakukan renovasi keseluruhan bangunan guna memenuhi standar ini, namun demikian ketidaksesuaian ini dapat diatasi dengan senantiasa menjaga kebersihan ruang pengolahan dan menjamin program
65
sanitasi berjalan dengan baik melalui penyusunan jadwal pembersihan dan monitoring kebersihan ruang pengolahan secara berkala. Ditinjau dari aspek cara produksi pangan yang baik atau higiene dan sanitasi yang sudah diterapkan perusahaan, selain beberapa ketidaksesuaian di atas, ada beberapa ketidaksesuaian lain yang bersifat administratif dan operasional sebagai berikut : 1. Sebagaimana karakteristik dari industri jasa boga yaitu jenis pangan yang diproduksi dan disajikan sangat beragam, sehingga sifat dari industri ini adalah industri yang menggunakan banyak bahan baku atau ingridien, karenanya perlu dikenali ingridien yang seringkali mengandung bahaya tertentu (sensitive ingredients) seperti bahaya mikrobiologi, kimia, dan fisik. Untuk menentukan bahan baku yang sensitif ini, informasi dapat diperoleh dari data pustaka, data suplaier, data keracunan, CoA bahan baku, hasil analisis berkala yang mungkin dilakukan atau data bagian pembelian. Selain itu, untuk mengantisipasi adanya bahaya dari bahan baku, penting untuk menyimpan catatan sejarah suplaier, adanya jaminan suplaier, audit suplaier serta pengujian suplaier secara berkala jika diperlukan. 2. Alat-alat yang sudah rusak dan tidak terpakai, sebagian masih ada yang disimpan di gudang penyimpanan bergabung dengan bahan baku kering dan sebagian di letakkan di luar dekat tempat pencucian alat. Meskipun rak penyimpanan alat-alat terpisah dengan rak/lemari penyimpanan bahan baku kering, namun penyimpanan alat-alat yang sudah tidak terpakai dan berdebu dapat menjadi sarang serangga dan berpotensi menimbulkan kontaminasi silang. Penumpukkan alat-alat yang sudah rusak di luar ruang pengolahan dapat berpotensi menjadi sarang tikus. Perusahaan harus
melakukan
penanganan/membuang
peralatan
yang
sudah
rusak/tidak digunakan lagi sehingga kebersihan dan program hygiene sanitasi dapat berjalan dengan baik. 3. Higiene karyawan ditemukan masih adanya karyawan yang menggunakan kosmetik pada saat melakukan pengolahan pangan, serta sarung tangan, penutup kepala, dan penutup mulut yang tidak digunakan oleh beberapa
66
tenaga penjamah pangan juga kebiasaan mencuci tangan yang harus ditingkatkan oleh semua tenaga pengolah pangan dengan penempelan poster himbauan menjaga kebersihan diri dan tempat kerja, karena kebersihan tangan, pencucian tangan, dan kebersihan diri pengolah pangan sangat penting dalam proses pengelolaan pangan (Swane, 1998). 4. Kondisi dan kebersihan permukaan meja kerja seperti meja persiapan bahan mentah dan meja persiapan pangan masak sudah dilakukan pembersihan dan sanitasi, namun pada saat tidak digunakan/dipakai terlihat masih ada sisa-sisa bumbu atau minyak yang menempel di meja tersebut, sehingga dapat memungkinkan terjadinya kontaminasi silang ke pangan berikutnya yang dihasilkan. Program pembersihan dan santasi pada peralatan perlu lebih diefektifkan untuk menjamin tidak adanya sisasisa pangan yang menjadi kotoran pada alat dan menjaga agar kondisi peralatan yang kontak dengan pangan tetap bersih dan hygienis. Pembersihan peralatan yang terbuat dari bahan stainless steel dapat digunakan larutan pembersih deterjen alkali non ionik, dan desinfektan yang antara lain hipoklorit, yodophor, dan klorin organik (Jenie, 1998). 5. Sistem kontrol dan tahap-tahap pekerjaan sudah ada di perusahaan, hanya saja secara umum belum ada standard operating procedure (SOP), sanitation standard operating procedure (SSOP), Instruksi Kerja (IK), catatan hasil rekaman serta dokumentasi, dan hasil evaluasi dari semua kegiatan yang dilakukan oleh setiap bagian pekerjaan. Kebiasaan menulis juga belum terbangun di perusahaan, terlihat dari keengganan personil dan kekhawatiran akan kesulitan dalam melakukan kegiatan pencatatan. Untuk mengantisipasi hal ini, pelatihan tentang pentingnya dokumentasi rekaman kepada karyawan dengan cara mencari cara yang mudah dalam pencatatan dan penyimpanan serta pelaporan, sebagai cara untuk meningkatkan keamanan pangan yang dihasilkan. Karyawan diberi pendidikan dan pelatihan berkenaan dengan pembuatan dokumen standar prosedur operasi dan instruksi kerja supaya karyawan menjadi lebih percaya diri dan perhatian terhadap pengendalian keamanan pangan (Sudibyo, 2008). Program keamanan pangan sebaiknya terdokumentasi
67
dengan baik dalam SOP yang tertulis dan dimengerti serta dihayati oleh setiap karyawan yang bekerja di industri pangan yang bersangkutan, dan jika diperlukan dapat ditinjau ulang dan direvisi kembali oleh setiap industri pangan guna menjamin bahwa program yang didesain dan direncanakan, dapat diimplementasikan secara efektif sesuai dengan tujuan keamanan pangan yang hendak dicapai (Bernard dan Parkinson, 1999).
4.2.2. Ketersediaan SSOP dan Penerapannya Hasil pengamatan terhadap ketersediaan dan penerapan standar prosedur operasi sanitasi atau sanitation standard operating procedure (SSOP) dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 menunjukkan hasil pengamatan terhadap pelaksanaan SSOP yang mencakup delapan kunci persyaratan sanitasi. Deskripsi lengkap hasl pengamatan terhadap pelaksanaan SSOP beserta tindakan koreksi yang disarankan dapat dilihat pada Lampiran 7. Persyaratan pertama berhubungan dengan aspek keamanan air. Air yang digunakan di perusahaan terbagi menjadi dua, yaitu air bersih yang digunakan pada pencucian alat-alat dan air minum untuk produksi dan karyawan. Air bersih digunakan untuk keperluan sanitasi, pencucian peralatan, dan mandi cuci kakus (MCK), sedangkan air minum untuk produksi dan karyawan harus dididihkan terlebih dahulu. Pada persyaratan ini perlu disusun SOP (Standar Prosedur Operasi) dan IK (Instruksi Kerja).
Persyaratan kedua berhubungan dengan kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan. Semua peralatan yang kontak dengan makanan/produk akhir terbuat dari bahan yang bersifat inert (stainless steel). Hal ini bertujuan untuk mencegah cemaran fisik dari korosi logam peralatan yang digunakan. Untuk penggunaan seragam dipakai setiap proses produksi pangan siap saji dilakukan. Perusahaan menyediakan sarung tangan, penutup kepala dan penutup mulut bagi karyawan. Penutup kepala wajib digunakan oleh bagian Pencucian, Pemasakan, dan Penyajian. Sarung tangan dan penutup mulut digunakan sesuai keperluan (conditional).
68
Proses pembersihan clean in place (CIP) dilakukan pada permukaan yang kontak dengan bahan pangan yang meliputi penyemprotan air biasa pada seluruh permukaan alat sampai kotoran bersih, gosok permukaan alat dengan sabun cair, bilas kembali dengan air dan kemudian keringkan. Pada persyaratan ini perlu disusun SOP (Standar Prosedur Operasi) dan IK (Instruksi Kerja). Tabel 19. Ketersediaan dan penerapan SSOP di PT ELN No.
1
2
3
4
5
6
7
8
Kunci Persyaratan Sanitas Keamanan Air
Penerapan Air yang digunakan terdiri dari air bersih yang digunakan pada pencucian alat-alat dan air minum untuk produksi dan karyawan.
Kondisi dan Semua peralatan yang kontak dengan kebersihan permukaan makanan/produk akhir terbuat dari bahan yang kontak dengan yang bersifat inert (stainless steel). bahan pangan Pencegahan kontaminasi silang dilakukan mulai dari bahan baku, bahan pembantu, Pencegahan dan bahan tambahan pangan yang baru Kontaminasi Silang masuk sampai penyimpanan produk dengan memberi label. Menjaga Fasilitas Pemeliharaan fasilitas sanitasi terdiri dari Pencucian Tangan, kegiatan sanitasi di ruang produksi (area Sanitasi dan Toilet pengolahan), gudang, dan MCK. Bahan-bahan non pangan yang digunakan Proteksi dari bahanseperti deterjen/sabun cair disimpan diluar bahan kontaminan area pengolahan pangan di lemari khusus dekat area pencucian peralatan. Pelabelan, Sistem yang digunakan dalam penyimpanan penyimpanan, dan adalah prinsip FIFO (First In First Out), penggunaan bahan yaitu bahan yang lebih lama dikeluarkan toksin yang benar terlebih dahulu. Kontrol kondisi kesehatan karyawan terutama di bagian Pemasakan kurang Pengawasan Kondisi diperhatikan oleh karyawan yang Kesehatan Karyawan bersangkutan, meskipun perusahaan telah menyediakan fasilitas P3K. Penanganan hama serangga dilakukan dengan memasang lampu insect killer. Menghilangkan Pest Lampu insect killer diletakkan di ruang dari Unit Pengolahan produksi dan dikontrol setiap 3 bulan sekali.
Ketersediaan SSOP Belum ada
Belum ada
Belum ada
Belum ada
Belum ada
Belum ada
Belum ada
Belum ada
69
Persyaratan ketiga berhubungan dengan pencegahan kontaminasi silang. Pencegahan kontaminasi silang dilakukan mulai dari bahan baku, bahan pembantu, dan bahan tambahan pangan yang baru masuk sampai penyimpanan produk dengan memberi label. Penggunaan bahan baku, bahan pembantu, dan bahan tambahan pangan dalam proses produksi, jenis dan jumlahnya harus sesuai dengan resep dari pangan siap saji yang akan dibuat. Pencegahan kontaminasi silang dilakukan dengan cara memeriksa secara fisik kualitas bahan-bahan yang digunakan, resep pangan, dan alat produksi sebelum digunakan untuk proses pengolahan. Alat-alat yang digunakan selama proses produksi/pengolahan harus bebas dari kotoran dan cemaran fisik serta cemaran kimia. Sebelum proses pengolahan pangan dilakukan, setiap karyawan yang terlibat harus membersihkan tangannya terlebih dahulu dengan menggunakan sanitaiser khusus tangan dan dikeringkan. Selama proses produksi, karyawan menggunakan seragam dan alas kaki, serta tutup kepala dan tidak diperkenankan menggunakan perhiasan dan jam tangan. Penutup mulut dan sarung tangan wajib digunakan di bagian Persiapan Penyajian. Belum adanya prosedur SSOP maka perlu disusun SOP (Standar Prosedur Operasi) dan IK (Instruksi Kerja) pada persyaratan ini. Persyaratan keempat berhubungan dengan penjagaan fasilitas pencucian tangan, sanitasi dan toilet. Pemeliharaan fasilitas sanitasi terdiri dari kegiatan sanitasi di ruang produksi (area pengolahan), gudang, dan MCK. Kegiatan sanitasi di ruang produksi dilakukan setiap hari setelah proses pengolahahn selesai. Kegiatannya meliputi pembersihan lantai, meja persiapan bahan mentah dan meja persiapan penyajian, dan bagian dinding yang dapat dijangkau. Kegiatan sanitasi dilakukan oleh personil bagian pencucian. Kegiatan sanitasi di ruang gudang dilakukan 1 minggu sekali meliputi pembersihan lantai, dinding, sarang laba-laba dan penataan kembali bahan dan peralatan agar mudah di ambil untuk digunakan. Kegiatan sanitasi di ruang MCK dilakukan setiap hari kerja. Fasilitas cuci tangan terdiri dari air yang mengalir, sabun cair dan lap pengering yang diganti secara berkala. Pada persyaratan ini perlu disusun SOP (Standar Prosedur Operasi) dan IK (Instruksi Kerja).
70
Persyaratan kelima berhubungan dengan proteksi dari bahan-bahan kontaminan. Bahan-bahan non pangan yang digunakan seperti deterjen/sabun cair disimpan diluar area pengolahan pangan di lemari khusus dekat area pencucian peralatan. Semua bahan-bahan non pangan diberi label peruntukan penggunaan. Pada persyaratan ini perlu disusun SOP (Standar Prosedur Operasi) dan IK (Instruksi Kerja). Persyaratan keenam berhubungan dengan pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan bahan toksin yang benar. Belum ada monitoring berkala untuk suhu tempat penyimpanan. Produk akhir atau setengah jadi dari pangan siap saji disimpan dalam keadaan beku di freezer. Prioritas memasak diatur dengan memasak terlebih dahulu pangan yang tahan lama seperti gorenggorengan. Pangan yang rawan seperti pangan yang berkuah dimasak dengan urutan terakhir. Produk akhir yang langsung akan disajikan pada hari itu juga, di simpan dalam keadaan hangat dengan container khusus untuk pengemasan lebih lanjut. Penyimpanan dilakukan dengan menghindari uap pangan masuk kembali ke dalam pangan. Sisa bahan baku, bahan pembantu, dan bahan tambahan pangan yang belum digunakan tetapi masih dapat digunakan kembali, disimpan di gudang dengan dikemas sedemikian rupa dan diberi label jika diperlukan. Sistem yang digunakan dalam penyimpanan adalah prinsip FIFO (First In First Out), yaitu bahan yang lebih lama dikeluarkan terlebih dahulu. Belum adanya prosedur SSOP maka perlu disusun SOP (Standar Prosedur Operasi) dan IK (Instruksi Kerja) pada persyaratan ini. Persyaratan ketujuh berhubungan dengan pengawasan kondisi kesehatan
karyawan.
Pengawasan
kesehatan
karyawan
perlu
lebih
diintensifkan. Kontrol kondisi kesehatan karyawan terutama di bagian Pemasakan kurang diperhatikan oleh karyawan yang bersangkutan, meskipun perusahaan telah menyediakan fasilitas P3K. Pemantauan kesehatan karyawan juga perlu untuk dilakukan. Pada persyaratan ini perlu disusun SOP (Standar Prosedur Operasi) dan IK (Instruksi Kerja). Persyaratan kedelapan berhubungan dengan menghilangkan pest dari unit pengolahan. Di kawasan perusahaan terdapat hama yang terdiri dari serangga (lalat, kecoa, dan lebah), kucing dan tikus. Penanganan hama
71
serangga dilakukan dengan memasang lampu insect killer. Lampu insect killer diletakkan di ruang produksi dan dikontrol setiap 3 bulan sekali. Lem perangkap lalat dipasang di dekat pintu masuk dan di dalam ruang produksi. Adanya lalat, serangga, serta binatang kucing di ruang produksi dikontrol oleh personil produksi sebelum aktivitas produksi setiap hari. Di gudang penyimpanan dan diruang produksi dipasang perangkap tikus dan dikontrol setiap hari. Pencegahan binatang lain seperti burung dilakukan dengan cara memasang kawat kassa di ventilasi ruangan. Pada persyaratan ini perlu disusun SOP (Standar Prosedur Operasi) dan IK (Instruksi Kerja).
Sedangkan monitoring yang perlu dilakukan, tindakan koreksi dan rekaman SSOP dapat dilihat pada Tabel 20. Penilaian ini memberikan manfaat
bagi perusahaan dalam menjamin sistem keamanan produksi
pangannya, antara lain : (1) memberi jadwal pada prosedur sanitasi; (2) memberi landasan program monitoring yang berkesinambungan; (3) menjamin setiap personil mengerti sanitasi; (4) memberikan rencana pelatihan yang konsisten bagi personil; (5) mendorong perencanaan yang menjamin
dilakukan
koreksi
bila
diperlukan;
(6)
mengidentifikasi
kecendrungan dan mencegah terjadinya masalah; dan (7) membawa peningkatan praktek sanitasi dan kondisi yang saniter di perusahaan.
Tabel 20. Monitoring yang Perlu dilakukan Pada Program Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) di PT ELN No.
Kunci Persyaratan Sanitasi
Apa
Hal-hal Yang Perlu Dimonitoring pada Program SSOP Dimana Bagaimana Kapan
1.
Keamanan air
- Kualitas air
- Otlet
- Cek kualitas air
2.
Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan
- Permukaan harus bersih
- Area pengolahan pangan/produksi
- Inspeksi visual
3.
Pencegahan Kontaminasi Silang
4.
Menjaga Fasilitas Pencucian Tangan, Sanitasi dan Toilet
5.
Proteksi dari bahan-bahan kontaminan
6.
Pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan bahan toksin yang benar
- Permukaan disanitasi - Sarung tangan, pakaian, penutup kepala dan mulut harus bersih - Kebiasaan karyawan
- Fasilitas cuci tangan - Fasiltas kamar mandi - Fasilitas sanitasi - Bahan yang berpotensi untuk mengkontaminasi
- Pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan bahan
secara
-1 tahun sekali
Siapa
- Bagian Pembelian
- Buat SSOP dan IK
- Setiap sebelum proses pengolahan / produksi - Setiap setelah proses produksi - Setiap sebelum proses pengolahan / produksi
- Bagian pemasakan
- Stop pengolahan, dibersihkan dan disanitasi
- Bagian pencucian
- Buat SSOP dan IK
- Bagian pemasakan dan persiapan penyajian
- Karyawan
- Inspeksi terhadap karyawan
- Area pengolahan pangan/produksi - Karyawan - Kamar mandi dan wastafel - Gudang
- Cek bahan sanitaiser - Cek fasilitas pencuci tangan dan kamar mandi - Inspeksi karyawan
- Setiap sebelum proses pengolahan / produksi dan setiap 4 jam sekali
- Bagian pemasakan dan persiapan penyajian
- Tempat cuci tangan - Kamar mandi - Bagian sanitasi
- Cek fasilitas pencuci tangan dan kamar madi - Cek bahan sanitaiser - Cek bahan - Inspeksi secara visual
- Setiap sebelum proses pengolahan / produksi dan setiap 4 jam sekali - Setiap sebelum proses pengolahan / produksi
- Produk pangan siap saji - Bahan pengemas - Permukaan yang kontak langsung dengan pangan - Gudang penyimpanan - Refrigerator
Tindakan Koreksi
- Cek pelabelan
- Sekali setiap hari
- Cek suhu refrigerator
- Sekali setiap hari
Rekaman - Monitoring kualitas air - Monitoring permukaan yang kontak dengan pangan
- Monitoring terhadap karyawan
- Stop produk dan tahan produk yang dihasilkan - Peringatkan dan beri pelatihan karyawan - Evaluasi keamanan produk, untuk didisposisi, atau dimusnahkan - Buat SSOP dan IK
- Monitoring karyawan - Monitoring pembersihan
- Bagian Kebersihan
- Perbaiki dan laporkan bila ada kerusakan - Buat SSOP dan IK
- Monitoring harian sanitasi - Tindakan koreksi yang dilakukan
- Bagian pemasakan dan persiapan penyajian
- Hilangkan bahan kontaminan dari permukaan - Hindari adanya genangan air di area pengolahan/produksi - Buat SSOP dan IK - Pindahkan bahan non pangan tidak berlabel dengan benar - Peringatkan karyawan dan beri pelatihan - Buat SSOP dan IK
- Monitoring pemantauan
- Bagian kebersihan
-
Bagian pemasakan
/
- Tindakan koreksi
- Monitoring pemantauan - Tindakan koreksi
/
73
Tabel 20. Monitoring yang Perlu dilakukan Pada Program Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) di PT ELN. No.
Kunci Persyaratan Sanitasi
7.
Pengawasan Kondisi Kesehatan Karyawan
8.
Menghilangkan Pest dari Unit Pengolahan
Apa - Karyawan dengan tanda-tanda penyakit / luka - Pest area pengolahan / produksi dan gudang
Hal-hal Yang Perlu Dimonitoring pada Program SSOP Dimana Bagaimana Kapan - Karyawan yang masuk ruang pengolahan - Seluruh ruangan produksi dan lingkungan pabrik
Siapa
- Lakukan inspeksi - Sebelum dan sela- - Manajemen perusahaan terhadap karyawan ma kegiatan pengolahan dilakukan - Cek dan inspeksi - Sekali setiap hari - Bagian kebersihan di tempat
Tindakan Koreksi - Stop produk dan tahan produk yang dihasilkan - Buat SSOP dan IK - Tetapkan program pest control dengan baik - Tetapkan tempat / denah penempatannya - Buat SSOP dan IK
Rekaman - Monitoring kesehtan karyawan - Tindakan koreksi - Monitoring pest control - Tindakan koreksi yang dilakukan
4.3. RANCANGAN SISTEM HACCP (HACCP Plan) UNTUK PRODUKSI PANGAN SIAP SAJI DI PT ELN Rancangan sistem HACCP atau HACCP Plan di PT ELN mengacu kepada standar SNI.01.4852-1998 tentang Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Ttik Kritis (BSN, 2002). Rencana HACCP ini dituangkan dalam prosedur dan instruksi kerja yang akan memudahkan karyawan dalam melaksanakannya. Pembuatan rencana HACCP atau HACCP Plan untuk pangan jasa boga dapat disederhanakan dengan menggunakan pendekatan tiga jenis diagram alir dimana Diagram I yaitu pangan yang tidak melalui proses pemasakan, Diagram II yaitu pangan yang diolah dan disajikan pada hari yang sama, dan Diagram III yaitu pangan dengan pengolahan kompleks. Semua menu yang ada di PT ELN di dikelompokkan dalam tiga diagram alir tersebut. Untuk Diagram I dipilih menu asinan sayur, Diagram II dipilih menu nasi goreng, dan Diagram III dipilih menu rendang daging sapi. Menu ini dipilih berdasarkan frekuensi tertinggi pilihan konsumen. Pembuatan dokumen HACCP Plan di PT ELN dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut. a.
Pelatihan sistem HACCP Pelatihan sistem HACCP di perusahaan PT ELN bertujuan : (1) meningkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan dan pimpinan dalam mengerjakan dan mengelola perusahaan yang menghasilkan produk pangan siap saji; (2) meningkatkan kemampuan karyawan dalam pemahaman dan penerapan sistem keamanan pangan yang mencakup sanitasi dan higiene, standard operating procedure (SOP), sanitation standard operating procedure (SSOP), dan HACCP; (3) meningkatkan kesadaran, sikap dan tanggungjawab karyawan dan pimpinan perusahaan dalam menerapkan sistem HACCP di perusahaan. Hal ini disebabkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam pengolahan pangan sangat berperan dalam membantu kesuksesan perusahan guna menghasilkan produk pangan yang aman dikonsumsi. Perlunya pendidikan dan pelatihan terhadap sumber daya manusia yang terlibat dalam sistem industri pangan merupakan kunci terbaik
75
untuk menghasilkan produk pangan yang aman bagi perusahaan industri pangan (Maryon, 1998). Oleh karena itu, program pelatihan pada perusahaan pangan PT ELN ini diharapkan mampu meningkatkan SDM yang terlibat dalam pengelolaan pangan, sehingga dapat meningkatkan kemampuan perusahaan dalam hal mutu dan keamanan pangan. Pelatihan pengenalan dan penerapan sistem HACCP di perusahaan PT ELN diikuti oleh karyawan dan pimpinan usaha jasa boga yang berjumlah 16 orang pekerja tetap dan 5 orang pekerja kontrak. Pelatihan ini dilakukan dengan cara in house training setelah jam kerja. Materi yang diajarkan dalam pelatihan disampaikan dalam 29 jam pelajaran dan setiap jam pelajaran dengan waktu 45 menit selama 6 hari. b.
Kebijakan Mutu dan Keamanan Pangan produk dan layanan berhubungan dengan HACCP Plan Menurut BSN (2002), kebijakan mutu dan keamanan pangan merupakan pernyataan yang dungkapkan oleh pimpinan tertinggi atau manajemen puncak suatu organisasi yang berupa janji atau komitmen sebagai upaya untuk melaksanakan dan menegakkan serta memelihara standar mutu yang tinggi. Pimpinan tertinggi di PT ELN adalah pemilik sekaligus pimpinan usaha jasa boga yang bertanggung jawab terhadap perencanaan,
pelaksanaan
dan
pengawasan
prosedur
HACCP.
Pernyataan kebijakan mutu dan keamanan pangan perusahaan adalah : (1) “perusahaan kami menghasilkan produk pangan siap saji dan layanan yang aman dan bermutu sesuai dengan sistem HACCP”, dan (2) “kami berupaya secara terus menerus dan konsisten melakukan penegakan dan perbaikan keamanan pangan”. Konsekuensi dari komitmen perusahaan PT ELN adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pembiayaan dan investasi terhadap fasilitas yang dianggap penting dalam pelaksanaan HACCP akan segera ditanggapi oleh pimpinan usaha. Komitmen pimpinan tersebut harus dijaga secara konsisten karena dalam system HACCP berlaku prinsip adanya perbaikan yang berkelanjutan.
76
c.
Pembentukan Tim HACCP Pembentukan tim HACCP disusun mewakili semua bagian kerja yang mempunyai wewenang dan otoritas di bagian kerjanya. Tim HACCP diharapkan merupakan tim yang dapat mengembangkan, mengimplementasikan dan memelihara sistem HACCP, karenanya anggota tim harus lengkap mewakili seluruh alur proses pengelolaan pangan, dimulai dari bahan baku, proses produksi, persiapan, pengangkutan atau transportasi, sampai pada penyajian di lokasi kegiatan. Struktur tim HACCP di PT ELN dan jabatannya dapat dilihat pada Tabel 21, sedangkan uraian tugas Tim HACCP telah dibuat dan didokumentasikan internal oleh tim. Tabel 21. Struktur tim HACCP di PT ELN No.
Personil
Pendidikan
Jabatan di Perusahaan
A
Kedudukan di Tim HACCP Ketua Tim
1.
S1
2. 3. 4.
B C D
Wakil Ketua Sekretaris Anggota
S1 D3 D3
5.
E
Anggota
SMP
6. 7.
F G
Anggota Anggota
SMA SMA
Pemilik/Penanggungjawab usaha Kepala bagian Pembelian Kepala bagian Pemasakan Kepala bagian Persiapan Pangan Masak/Penyajian Staf bagian Persiapan Pangan Mentah Kepala bagian Umum Kepala bagian Transportasi
Ruang lingkup dalam penyusunan dan pengembangan rancangan HACCP ini adalah produk pangan siap saji yang dihasilkan oleh usaha jasa boga di PT ELN. d.
Deskripsi Produk dan Identifikasi Pengguna Deskripsi dan identifikasi produk merupakan uraian mengenai produk dan konsumen pengguna produk. Deskripsi dan identifikasi produk pangan siap saji yang dihasilkan oleh PT ELN telah dibuat berdasarkan kelompok menu menurut diagram alir. Deskripsi dan identifikasi yang dibuat tim HACCP telah didokumentasikan internal oleh tim.
77
e.
Tujuan dan Verifikasi Diagram Alir Proses di Lapangan Setelah produk dideskripsikan, selanjutnya penyusunan diagram alir proses pembuatan produk siap saji dilakukan berdasarkan kelompok menu yang sesuai dengan masing-masing diagram alir. Diagram alir merupakan suatu gambaran yang sistematis dari urutan tahapan pelaksanaan pekerjaan yang digunakan dalam menghasilkan produk pangan tertentu (BSN, 2002). Diagram alir ini dibuat dengan tujuan dapat membantu mengidentifikasi sumber kontaminasi yang potensial dan upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengendalikan kemungkinan bahaya tersebut. Penentuan diagram alir proses pembuatan produk pangan siap saji di PT ELN telah dibuat tim HACCP berdasarkan kelompok menu menurut diagram alir dan telah didokumentasikan internal oleh tim.
f.
Analisis Bahaya serta Penentuan Tindakan Pencegahannya Hasil analisis bahaya terhadap tiga kelompok menu dapat dilihat pada Tabel 22, 23, dan 24. Tabel 22. Analisis bahaya kelompok menu pangan yang tidak melalui proses pemanasan
Tahap Proses
Potensi / Jenis Bahaya (Biologi, Kimia, Fisika) B
Penerimaan Sayuran dan Bumbu (bahan baku)
Air
F
Kerikil, tanah
B
E.coli
K
Cemaran kimia Pertumbuhan bakteri patogen dan mikroba pembusuk Kerikil, tanah
B
Penyimpanan Bahan baku
Kontaminasi bakteri patogen
F
Signifikansi Bahaya Sumber/ Penyebab Pertumbuhan mikroba selama panen, penanganan, dan transportasi Terbawa saat panen dan penanganan Tercemar dari lingkungan Tercemar dari lingkungan Kontaminasi saat panen dan transportasi
Like ly
Seve rity
Signifi kansi
Tindakan Pengendalian Pemilihan dan jaminan supplier serta tahap penyiapan Tahap penyiapan (sortasi dan pencucian)
M
M
S
H
M
S
L
M
NS
Analisis sampel air
L
H
NS
Analisis sampel air
S
Tahap penyiapan (sortasi dan pencucian dengan air matang)
M
M
Terbawa saat panen dan penanganan H
M
S
Tahap penyiapan (sortasi dan pencucian)
78
Tahap Proses
Potensi / Jenis Bahaya (Biologi, Kimia, Fisika) B
Penyiapan
Penyimpanan Produk (refrigerator suhu < 10oC) Penyajian
B
B
Kontaminasi mikroba patogen dari air dan pekerja Germinasi spora bakteri patogen
Salmonella
Signifikansi Bahaya Sumber/ Penyebab
Seve rity
Signifi kansi
L
M
NS
Penerapan GHP dan Sanitasi sesuai SSOP
H
H
S
Memastikan suhu penyimpanan pendinginan cukup
L
M
NS
Penanganan selama persiapan
Germinasi spora bakteri patogen karena penyimpanan suhu pedinginan yang kurang Pekerja, alat makan
Tindakan Pengendalian
Like ly
Sanitasi sesuai SSOP
Tabel 23. Analisis bahaya kelompok menu pangan yang diolah dan disajikan pada hari yang sama Tahap Proses
Potensi / Jenis Bahaya (Biologi, Kimia, Fisika) K
Penerimaan Beras
Air
Pemberian pestisida saat di lapangan
F
Kerikil
B
Kontaminasi bakteri patogen
Terbawa saat panen dan penanganan Pertumbuhan mikroba selama panen, penanganan, dan transport Terbawa saat panen dan penanganan Bahan baku teroksidasi Tercemar dari lingkungan Tercemar dari lingkungan Kontaminasi saat panen dan transportasi
F
Kerikil, tanah
B F
Bau tengik
B
E.coli
K
Cemaran kimia Pertumbuhan bakteri patogen dan mikroba pembusuk Kerikil, tanah
B
Penyimpanan Bahan baku F
B Penyiapan
Pemasakan
Sumber/ Penyebab
Residu pestisida
Penerimaan Bumbu
Penerimaan Minyak Goreng
Signifikansi Bahaya
B
Kontaminasi mikroba patogen dari air dan pekerja Mikroba patogen
Terbawa saat panen dan penanganan
Seve rity
Signifi kansi
M
H
S
H
M
S
M
M
S
Pemilihan dan jaminan supplier, pemasakan
H
M
S
Tahap sortasi dan pencucian
L
L
NS
L
M
NS
L
H
NS
M
M
S
Tahap pemasakan
H
M
S
Tahap penyiapan (sortasi dan pencucian)
L
M
NS
Penerapan GHP dan Sanitasi sesuai SSOP
M
H
S
Tahap pemasakan
Penanganan selama persiapan
Ketidakcukupan waktu pemasakan
Tindakan Pengendalian
Like ly
Surat keterangan analisis (CoA) residu pestisida Tahap sortasi dan pencucian
Tahap penerimaan Analisis sampel air Analisis sampel air
79
Tahap Proses Penyimpanan Produk Penyajian
Potensi / Jenis Bahaya (Biologi, Kimia, Fisika) B K F B
Salmonella
Signifikansi Bahaya Sumber/ Penyebab
Like ly
Seve rity
Signifi kansi
L
M
NS
Pekerja, alat makan
Tindakan Pengendalian
Sanitasi sesuai SSOP
Tabel 24. Analisis bahaya kelompok menu pangan dengan pengolahan kompleks Tahap Proses
Potensi / Jenis Bahaya (Biologi, Kimia, Fisika) B
Penerimaan Daging
K B
Penerimaan Bumbu
Residu hormon Kontaminasi bakteri patogen
F
Kerikil, tanah
B
Kontaminasi bakteri patogen
Penerimaan Kelapa F B Penyimpanan Bahan Baku
B Penyiapan
B Pemasakan B
Pendinginan produk
Salmonella
Serabut, batok Pertumbuhan bakteri patogen dan mikroba pembusuk Kontaminasi mikroba patogen dari air dan pekerja Mikroba patogen Germinasi spora bakteri patogen
Signifikansi Bahaya Sumber/ Penyebab Kontaminasi selama pemotongan dan penanganan Perlakuan saat di peternakan Pertumbuhan mikroba selama panen, penanganan, dan transport Terbawa saat panen dan penanganan Pertumbuhan mikroba selama panen, penanganan, dan transport Penanganan di lapangan Pertumbuhan mikroba selama penyimpanan karena suhu tidak sesuai dan kontaminasi Penanganan selama persiapan
Ketidakcukupan waktu dan suhu pemasakan Germinasi spora bakteri patogen karena penyimpanan terlalu lama pada suhu ruang dan suhu pedinginan yang kurang
Tindakan Pengendalian
Like ly
Sever ity
Signifik ansi
M
M
S
Pemilihan dan jaminan suplier
L
M
NS
Pemilihan dan jaminan suplier
M
M
S
Pemilihan dan jaminan supplier, pemasakan
H
M
S
Tahap sortasi dan pencucian
M
M
S
Pemilihan dan jaminan suplier
L
M
NS
Penerapan SSOP
M
M
S
Disimpan dalam suhu < 5oC, RH < 80% untuk bumbu
L
M
NS
Penerapan GHP dan Sanitasi sesuai SSOP
M
H
S
Pemasakan pada waktu dan suhu yang cukup
S
Memastikan penyimpanan tidak terlalu lama pada suhu ruang dan suhu pendinginan cukup
H
H
80
Potensi / Jenis Bahaya (Biologi, Kimia, Fisika)
Tahap Proses Pemanasan kembali Penyajian
B
B
Mikroba patogen Salmonella
Signifikansi Bahaya Sumber/ Penyebab Ketidak cukupan waktu dan suhu pemanasan kembali Pekerja, alat makan
Like ly
Sever ity
Signifik ansi
M
H
S
L
M
NS
Tindakan Pengendalian Pemanasan pada waktu dan suhu yang cukup Sanitasi sesuai SSOP
Dari analisis tersebut diperoleh data bahwa kelompok menu diagram alir I, teridentifikasi signifikan bahaya pada tahap Penerimaan bahan baku, Penyimpanan bahan baku, dan Penyimpanan produk. Pada tahap penerimaan bahan baku sayuran dan bumbu, tidak terdapat potensi bahaya kimia, hal ini dikarenakan perusahaan mendapat jaminan dari suplaier bahwa produk yang di hasilkan tidak menggunakan pestisida sejak dari penanaman sampai pasca panen. Untuk kelompok menu diagram air II, identifikasi bahaya ditentukan pada tahap Penerimaan bahan baku, Penyimpanan bahan baku, dan Pemasakan. Pada tahap penyimpanan produk dilakukan di suhu hangat (sekitar 60oC), ini berarti penyimpanan dilakukan di luar danger zone sehingga bahaya tidak signifikan. Untuk kelompok menu diagram alir III, teridentifikasi signifikan bahaya pada tahap Penerimaan bahan baku, Penyimpanan bahan baku, Pemasakan, Pendinginan, dan Pemanasan kembali. g.
Titik Kendali Kritis atau Critical Control Point (CCP) Hasil penentuan Titik Kendali Kritis atau CCP Pangan Siap Saji untuk usaha Jasa Boga PT ELN dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Titik kendali kritis atau CCP untuk pangan siap saji di PT ELN KELOMPOK MENU TAHAP PROSES CCP PANGAN Tidak melalui proses Penyimpanan produk di CCP1 pemanasan refrigerator Diolah dan disajikan - Penerimaan produk - CCP2 pada hari yang sama - Pemasakan - CCP3 - Pemasakan - CCP4 Pengolahan kompleks - Pendinginan produk - CCP5 - Pemanasan kembali - CCP6
81
Dari Tabel 23 diketahui bahwa pada kelompok menu pangan yang tidak melalui proses pemanasan terdapat satu CCP (CCP1) yaitu tahap penyimpanan produk di refrigerator, hal ini disebabkan tahap ini dirancang khusus untuk menghilangkan pertumbuhan bakteri pembusuk. Hal ini sesuai dengan anjuran FDA (Food and Drug Administration) untuk menyimpan makanan siap santap yang tidak melalui proses pemasakan pada suhu maksimal 4oC, dimana suhu diantara 4oC dan 55oC merupakan suhu kritis karena jasad renik dapat berkembang biak dengan cepat dan menyebabkan kebusukan atau keracunan makanan (Fardiaz, 1994). Pada kelompok menu pangan yang diolah dan disajikan pada hari yang sama terdapat dua CCP yaitu di tahap penerimaan produk (CCP2) karena tidak ada tahap selanjutnya yang dapat menghilangkan bahaya residu pestisida, dan pemasakan (CCP3) karena tahap pemasakan ini dirancang untuk menghilangkan mikroba dengan suhu yang cukup. Suhu dan waktu pemasakan yang dianggap cukup tergantung dari jenis makanan (Snyder, 1986). Sedangkan pada kelompok menu pangan dengan pengolahan kompleks terdapat tiga CCP yaitu di tahap pemasakan (CCP4) karena tahap pemasakan ini dirancang untuk menghilangkan mikroba; pendinginan produk (CCP5) karena tahap pendinginan dirancang untuk menghilangkan bahaya germinasi spora dan bakteri pembusuk; dan pemanasan kembali (CCP6) karena tidak ada tahap selanjutnya yang dapat menghilangkan bahaya. Menurut Fardiaz (1994), pemanasan daging harus menjamin bahwa bagian tengahnya dapat mencapai suhu minimal 66oC untuk membunuh bakteri pathogen yang tidak membentuk spora. h.
Batas Kritis pada Titik Kendali Kritis, Prosedur Pemantauan (Monitoring), Prosedur Tindakan Koreksi, Prosedur Verifikasi, Prosedur Dokumentasi dan Pencatatan Batas kritis adalah parameter yang dapat diterima pada produk atau parameter yang tidak dapat diterima atau ditolak. Batas kritis ini adalah toleransi mutlak untuk keamanan pangan. Batas kritis harus dipantau
82
atau dimonitor keberadaannya dengan tujuan untuk memastikan apakah prosedur pengolahan atau penanganan pada titik kendali kritis atau CCP tersebut
masih
dapat
dikendalikan.
Ketika
hasil
pemantauan
(monitoring) CCP menunjukkan hilangnya kendali, maka perlu diambil tindakan koreksi. Tindakan ini harus ditentukan sejak awal agar penanganan dapat segera dilakukan tanpa menunda proses pengolahan pangan yang dapat mengakibatkan kerugian yang lebih besar. Selanjutnya adalah menetapkan tindakan verfikasi yang merupakan kegiatan penerapan metode-metode, prosedur pengujian dan analisis serta evaluasi-evaluasi lain sebagai tambahan dalam sistem pemantauan untuk memastikan efektifitas terhadap rencana HACCP. Selain itu, penerapan system HACCP harus diikuti dengan dokumentasi yang berfungsi sebagai acuan dan bukti dari penerapan HACCP. Dokumentasi dan pencatatan tertulis seluruh program HACCP ini diharapkan dapat menjamin
bahwa program tersebut dilaksanakan, dapat diperiksa
kembali dan dipertahankan selama periode tertentu. Menurut Thaheer (2005), tujuan penerapan sistem dokumentasi dan pencatatan adalah : bukti keamanan produk berkaitan dengan prosedur dan proses yang ada, jaminan pemenuhan terhadap peraturan, kemudahan pelacakan atau kemampuantelusur
dan
peninjauan
catatan,
dokumentasi
data
pengukuran menuju catatan permanen mengenai keamanan produk pangan, merupakan sumber tinjauan data yang diperlukan bila ada audit HACCP, mempercepat identifikasi masalah apabila timbul masalah keamanan pangan. Batas Kritis untuk setiap CCP, prosedur pemantauan (Monitoring), prosedur tindakan koreksi, prosedur verifikasi, prosedur rekaman (dokumentasi dan pencatatan) di PT ELN dapat dilihat pada Tabel 26.
83
Tabel 26. Batas kritis, prosedur monitoring, tindakan koreksi, verifikasi dan rekaman (dokumentasi dan pencatatan)
CCP
Batas Kritis Suhu < 4o C
Prosedur Monitoring Apa Suhu
Verifikasi
Rekaman
KOREKSI : -Bila suhu pendinginan tidak tercapai, pindahkan ke pendingin lain dan lapor ke Kepala bagian pemasakan PENCEGAHAN TERULANG : - Review pemeliharaan alat pendingin
- Kalibrasi suhu setiap 2 tahun sekali -Review hasil monitoring dan tindakan koreksi
- Hasilhasil monitoring suhu pendingina n - Hasil verifikasi
Bagian Pembeli an
KOREKSI : -Bila tidak ada CoA, bahan baku ditahan oleh kepala bagian pembelian -Bila kadar residu pestisida melewati standar, bahan baku ditolak PENCEGAHAN TERULANG : -Mengirim surat komplain ke suplier
- Analisis residu pestisida pada produk setahun sekali - Review hasil monitoring dan tindakan koreksi
- Hasilhasil monitoring CoA residu pestisida - Hasil verifikasi
Dimana
Bagaimana
Kapan
Siapa
Refrigerator
Mengawasi secara visual
Setiap proses penyimpanan
Juru masak
Penerimaan bahan baku
Memeriksa kelengkapan CoA secara visual
Setiap pengiriman
Penyimpanan Produk (CCP1)
CoA residu pestisid a sesuai standar
CoA
Penerima an Beras (CCP2)
Waktu ± 45 menit
Waktu
Area Masak
Mengukur waktu
Setiap memasak
Juru masak
KOREKSI : -Stop pemasakan, tambahkan waktu masak PENCEGAHAN TERULANG : - Briefing juru masak - Review instruksi kerja pemasakan
-Sampling pengukuran waktu setiap sebulan sekali - Review hasil monitoring dan tindakan koreksi
- Hasilhasil monitoring waktu pemasakan - Hasil verifikasi
Suhu 110oC dan ± 4 jam
Waktu dan suhu
Area Masak
Mengamati masakan sampai mendidih dan mengukur waktu
Setiap memasak
Juru masak
KOREKSI : -Stop pemasakan, tambahkan suhu dan waktu masak PENCEGAHAN TERULANG : - Briefing juru masak - Review instruksi kerja pemasakan
-Sampling pengukuran suhu setiap sebulan sekali - Kalibrasi alat ukur suhu 1 tahun sekali - Review hasil monitoring dan tindakan koreksi
- Hasilhasil monitoring suhu dan waktu pemasakan - Hasil verifikasi
Pemasak an (CCP3)
Pemasak an (CCP4)
Tindakan Koreksi (Apa & Siapa)
84
CCP
Batas Kritis
Prosedur Monitoring Apa
Dimana
Bagaimana
Kapan
Siapa
Tindakan Koreksi (Apa & Siapa)
Verifikasi
Rekaman
Suhu < 4o C
Suhu
Tempat menyimpa n makanan dingin
Mengamati suhu
Setiap hari
Juru masak
KOREKSI : -Bila suhu pendinginan tidak tercapai, pindahkan ke pendingin lain dan lapor ke Kepala bagian pemasakan PENCEGAHAN TERULANG : - Review pemeliharaan alat pendingin
-Kalibrasi suhu setiap 2 tahun sekali -Review hasil monitoring dan tindakan koreksi
- Hasilhasil monitoring suhu pendingina n - Hasil verifikasi
Suhu 100oC dan ± 1 jam
Waktu dan suhu
Area Masak
Mengamati masakan sampai mendidih dan mengukur waktu
Setiap memanaskan kembali
Juru Masak
KOREKSI : -Stop pemanasan, tambahkan suhu dan waktu pemanasan PENCEGAHAN TERULANG : - Briefing juru masak - Review instruksi kerja pemanasan kembali
-Sampling pengukuran suhu setiap sebulan sekali - Kalibrasi alat ukur suhu 1 tahun sekali - Review hasil monitoring dan tindakan koreksi
- Hasilhasil monitoring suhu dan waktu pemanasan kembali - Hasil verifikasi
Pendingi nan produk (CCP5)
Pemanas an kembali (CCP6)
4.4. Rekomendasi Pengembangan Sistem HACCP pada PT ELN Untuk pengembangan sistem HACCP pada perusahaan PT ELN direkomendasikan hal-hal sebagai berikut : 1. Menugaskan penanggung jawab untuk setiap harinya memantau kebersihan karyawan dan lingkungan kerja agar terjaga dengan baik dan memperhatikan pelaksanaan aspek higiene dan sanitasi karyawan, seperti pakaian yang kurang lengkap atau kotor, serta kebiasaan mencuci tangan. 2. Meningkatkan efektifitas program pembersihan dan sanitasi di ruang pengolahan sehingga dapat menghindari adanya kontaminasi silang, seperti sanitasi alat-alat produksi terutama alat-alat yang kontak dengan pangan. 3. Peningkatan kesadaran dan sikap karyawan dalam budaya higiene dan sanitasi di perusahaan dengan program pelatihan yang berkelanjutan, sehingga semangat, sikap dan perilaku karyawan dalam menerapkan SOP dan GHP lebih konsisten.
85
4. Melakukan komunikasi eksternal dengan menginformasikan kebijakan mutu dan keamanan pangan ke para pemasok (supplier) perusahaan. 5. Melengkapi semua komponen dokumentasi yang diperlukan seperti standard operating procedure (SOP), sanitation standard operating procedure (SSOP), Instruksi Kerja (IK), rekaman-rekaman hasil monitoring, verifikasi, dan tindakan koreksi. 6. Melakukan kaji ulang (review) akhir konsep rencana HACCP yang sudah disusun sebelum melaksanakan implementasinya di PT ELN. 7. Melengkapi data validasi terhadap rencana HACCP yang sudah disusun dan ditetapkan perusahaan selama melakukan uji coba penerapan sistem HACCP. 8. Melakukan verifikasi terhadap rencana HACCP yang disusun selama melakukan uji coba penerapan sistem HACCP. 9. Melakukan perbaikan yang diperlukan dan melakukan validasi kembali jika ada perubahan dalam rencana HACCP tersebut.
86
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. SIMPULAN Hasil analisis yang didasarkan pada beberapa aspek yaitu berdasarkan data persentase kontribusi jasa boga terhadap kasus KLB keracunan pangan, data kasus KLB akibat masakan rumah tangga dibandingkan dengan kasus KLB akibat jasa boga, data tren pertumbuhan jumlah usaha jasa boga terhadap korban KLB keracunan pangan, dan data persepsi pengguna usaha jasa boga yang umumnya tidak mengenal kewajiban usaha jasa boga untuk memiliki sertifikat keamanan pangan jasa boga yaitu sertifikat laik hygiene sanitasi, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa sistem keamanan pangan jasa boga yang ada yaitu Sertifikat Laik Hygiene dan Santasi yang diwajibkan pemerintah melalui Permenkes No. 1096/Menkes/PER/VI/2011, cukup untuk menekan kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan. Namun demikian masih di butuhkan penelitian lebih lanjut dengan jangkauan data kasus KLB dan pertumbuhan usaha jasa boga dari beberapa wilayah yang lebih luas lagi untuk mendukung kajian ini. Kondisi kelaikan fisik untuk hygiene dan sanitasi di PT ELN dengan menggunakan Kriteria menurut Permenkes tahun 2011, menunjukkan nilai bobot sebesar 82 yang termasuk dalam kategori Golongan A3 (nilai bobot 74 – 83). Oleh karena itu, PT ELN harus melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk mencapai nilai bobot kategori Golongan B yaitu nilai 83 – 92. Rancangan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) atau HACCP Plan untuk pangan siap saji jasa boga di PT ELN telah disusun sesuai dengan 12 tahapan langkah yang diterapkan dalam SNI 01.4852-1998 dan Pedoman BSN 1004-2002 yang terdiri dari pelatihan, kebijakan mutu dan keamanan pangan, pembentukan tim HACCP, deskripsi produk dan identifikasi pengguna, tujuan dan verifikasi diagram alir proses, analisis bahaya, CCP, batas kritis untuk tiap CCP, monitoring, prosedur tindakan koreksi, prosedur verifikasi, dan prosedur dokumentasi dan pencatatan. Sedangkan untuk pengembangan sistem HACCP, direkomendasikan melakukan kaji ulang (review) akhir konsep rencana HACCP yang sudah disusun sebelum melaksanakan implementasinya.
88
5.2. SARAN Kurangnya pengetahuan pengguna jasa boga dan kesadaran pelaku usaha jasa boga akan keberadaan sertifikat laik hygiene sanitas menyebabkan diperlukannya sosialisasi pemerintah yang lebih luas lagi dan dapat menjangkau unit usaha pengguna jasa boga akan sertifikat keamanan pangan terutama kewajiban sertifikat laik hygiene sanitasi yang berlaku untuk industri pangan jasa boga. Media promosi keamanan pangan jasa boga dapat digunakan sebagai alternatif alat sosialisasi mengenai program keamanan pangan siap saji yang dihasilkan oleh jasa boga. Pengawasan dan tindakan tegas dari instansi berwenang di tingkat wilayah kota juga perlu ditingkatkan dan memberikan efek jera bagi pengusaha jasa boga yang terbukti menyebabkan KLB keracunan pangan dan tidak memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi disebabkan pangan yang dihasilkan telah membahayakan konsumen. Maraknya kasus KLB keracunan pangan yang disebabkan jenis pangan masakan rumah tangga yang juga menyebabkan jatuhnya korban cukup banyak membuat perlu bagi pihak-pihak yang berwenang untuk memikirkan bagaimana mengatur pengelola masakan rumah tangga yang dimasak secara massal, agar mengetahui wawasan mengenai hygiene dan sanitasi pengelolaan pangan yang baik. Tindak lanjut dari perancangan sistem HACCP di industri jasa boga adalah implementasi HACCP di PT ELN dalam proses pelaksanaan manajemen keamanan pangan. Diperlukan komunikasi yang baik antara karyawan dengan pemilik usaha jasa boga dan dukungan pemilik usaha jasa boga terhadap kendalakendala yang dihadapi karyawan.
DAFTAR PUSTAKA
Antara, N.S. 2005. Implementasi HACCP dalam Industri Katering dan Restaurant. Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana. BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional). 2011. Hasil Kajian di Bidang Pangan. Komisi II BPKN RI. BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). 2004. Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Jakarta : Badan Pengawas Obat dan Makanan. BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). 2012. Data Kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan Terlaporkan Tahun 2001 – 2011. Sekretarian Jejaring Keamanan Pangan Nasional. Sistem Keamanan Pangan Terpadu. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Badan Standarisasi Nasional. 2002. Panduan Penyusunan Rencana Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP). Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. Bernard, DT and Parkinson, NG. 1999. Prerequisite to HACCP. Didalam : Stevenson, KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A systematic Approach to Food Safety, third edition. Washington, DC : The Food Processors Institute, hal : 25 -29. Bryan, F.L. 1988. Risks of practices, procedures and processes that lead to outbreaks of foodborne diseases. J. Food Protect. 1: 663-673. Cahyono. B. 2009. Food Safety dan Implementasi Quality System Industri Pangan di Era Pasar Bebas, Biro Humas, Persidangan, dan Administrasi Pimpinan, Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Centre For Disease Control and Prevention. 2001.Update : Outbreaks of Foodborne Disease in United States. Morbidity – Mortality Weekly Report, 50 : 611612. Codex Alimentarius Commission (CAC). 1997. Hazard Analysis and Critical Control System and guidelines for Its Application. Alinorm 97/13A. Rome : Codex Alimentarius Commission.
90
Departemen Kesehatan. 2001. Profil Kesehatan di Indonesia. Jakarta : Pusat Data Kesehatan. Dinas Kesehatan Kota Depok. 2012. Sie Penyehatan Lingkungan Kota Depok. Direktori Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM). 1996. Pedoman Penerapan Cara Produksi Pangan Yang Baik (CPPB). Jakarta : Ditjen POM, Departemen Kesehatan. Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan. 1996. Pedoman Umum HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Jakarta : Ditjen POM, Departemen Kesehatan. Embarek, B. 2004. Safe Food Supply and Global Health – WHO’s Perspective. Proceeding 4th Asian Conference on Food Safety and Nutrition Safety, Bali, Indonesia. Efriza. 2009. Efektivitas Media Promosi Dalam Meningkatkan Pengetahuan Siswa, Guru, dan Pedagang Tentang Keamanan Pangan. IPB Fardiaz, S. 1994. Pengendalian Keamanan dan Penerapan HACCP dalam Perusahaan Jasa Boga. Dalam : Buletin Teknologi dan Industri Pangan, Vol. 5, No. 3, hal. 71-78. Ganowiak, Z. 1992. Objectives of investigation of foodbome disease out breaks. Dalam: Proceedings of 3rd World Congress Foodbome Infections and Intoxications, Vol. I, hal. 64-66. Berlin. Gumilar, G.G. 2009. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya Kontaminasi Makanan di Tempat Pengolahan Makanan (TPM) Jasa Boga Golongan A Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. UI. Hal : 151 – 153. Hathaway, S. 1999. Management of Food Safety in International Trade. Food Control 10 : 247 – 253. Imari, S. 2011. Investigasi KLB Keracunan Pangan. FETP, Kementrian Kesehatan RI-WHO. Hal : 1-3. Jacob, M. 1989. Save Food Handling. World Health Organzation. Jenie, BSL. 1998. Sanitasi Dalam Industri Pangan. Bogor : Pusat Antar Universitas, IPB. Kantor Menteri Kesehatan, 2011. Permenkes RI Nomor 1096/Menkes/PER/VI/2011 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasaboga.
91
Kennedy, J.E and Dermawan, R. 2009. Marketing Communication. Jakarta : PT. Buana Ilmu Populer. Longree, K. 1980. Quantity Food Sanitation. New York .John Willey and Sons. Hal : 102- 105. Maryon, A. 1998. Food Supply Chain Management. Departement of Public Health Science, King’s & St Thomas’ School of Medicine. Hlm : 214. Nasution, R. 2003. Teknik Sampling. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara. National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods (NACMCF). 1998. Hazard Analysis and Critical Control Point System and Guidelines for Its application. J. Food Protect. 61 : 762 -775. Nurlela. 1998. Hubungan Penyuluhan Penyehatan Makanan dan Minuman Dengan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Para Penjamah Makanan. UI. Hal : 9394. Orris, GD. 1999. Equivalence of Food Safety Assurance System. Food Control 10 : 255 – 260. Purawidjaja, T. 1992. Study on the sanitation aspect of catering business in Jakarta. Dalam: Proceedings of 3rd World Congress Foodbome Infections and Intoxications, Vol. II, hal. 819-822. Berlin. Snyder, O.P. Jr. 1986. Microbiological quality assurance in foodservice operations. Food Technol. 40 (7): 122. Sparingga, R. 2011. Penyebab Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan. Dalam : Lokakarya Keamanan Pangan Olahan. Stevenson, ke. 1999. Introduction to Hazard Analysis Critical Control Point. HACCP : A Systematic Approach to Food Safety. Third Edition. Hlm : 1-4. Sudibyo, A. 2008. Penyiapan Kelayakan Persyaratan Dasar dan Penyusunan Rencana HACCP Untuk Produksi Mi Kering Pada PT. Kuala Pangan di Citeureup, Bogor. IPB. Hal : 58 – 59. Suhaeni, E. 2011. Kontribusi Katering Dalam Kasus Keracunan Pangan. Dalam : Harian Pelita, Edisi Desember 2011.
92
Suprapto. 1999. Sistem Akreditasi dan Sertifikasi HACCP. Makalah Desiminasi Pelaksanaan Akreditasi dan Sertifikasi HACCP, 7 Desember 1999. Jakarta : Badan Standardisasi Nasonal (BSN). Swane, D. 1998. Essential of Food Safety and Sanitation. New Jersy. Prantice Hall. Thaheer, H. 2005. Sistem Manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Jakarta. Bumi Aksara. USFDA. 1998. Guidance for Industry : Guide to Minimize Food Safety Hazards for Fresh Fruits and Vegetables.
93
LAMPIRAN 1. DAFTAR PERTANYAAN Pertanyaan yang diberikan kepada responden Unit Usaha Jasa Boga dan Unit Usaha Pengguna Jasa Boga mengenai pengetahuan tentang sertifikat keamanan pangan. 1. Apakah anda mengetahui tentang sertifikat keamanan pangan sebagai berikut : a. Sertifikat Laik Hygiene dan Sanitasi b. Program Piagam Bintang Keamanan Pangan c. Program CPPB d. Sertifikat HACCP jika ya, dari mana anda mengetahui tentang sertifikat keamanan pangan tersebut…………………………………………………………………………. 2. Pertanyaan khusus kepada pengguna jasa boga :
a. Apakah selama menggunakan jasa boga yang bersangkutan pernah ada keluhan………….jika ya, keluhan/komplain nya berupa………………… b. Jenis usaha pengguna jasa boga adalah……………………………………. c. Pengguna jasa boga telah menggunakan jasa boga selama………………..
94
LAMPIRAN 2.
95
LAMPIRAN 3.
96
LAMPIRAN 4.
97
LAMPIRAN 5.
98
LAMPIRAN 6. UJI KELAIKAN FISIK UNTUK HIGIENE SANITASI MAKANAN JASABOGA -----------------------------------------------------------------------------------------------------------Nama perusahaan : PT ELN
Alamat perusahaan : Jakarta
Nama pengusaha : X
Tanggal penilaian : 30 Januari 2012
1.
2.
URAIAN LOKASI, BANGUNAN, FASILITAS Halaman bersih, rapi, tidak becek, dan berjarak sedikitnya 500 meter dari sarang lalat / tempat pembuangan sampah, serta tidak tercium bau busuk atau tidak sedap yang berasal dari sumber pencemaran.
X
1
1
URAIAN
X
1
1
1
1
5
5
1
1
3
3
PENCAHAYAAN 7.
Konstruksi bangunan kuat, aman, terpelihara, bersih dan bebas dari barang-barang yang tidak berguna atau barang sisa.
1
3.
Lantai kedap air, rata, tidak licin, tidak retak, terpelihara dan mudah dibersihkan.
1
1
4.
Dinding dan langit-langit dibuat dengan baik, terpelihara dan bebas dari debu (sarang laba-laba)
1
1
5.
Bagian dinding yang kena percikan air dilapisi bahan kedap air setinggi 2 (dua) meter dari lantai
1
1
Pintu dan jendela dibuat dengan baik dan kuat. Pintu dibuat menutup sendiri, membuka kedua arah dan dipasang alat penahan lalat dan bau. Pintu dapur membuka ke arah luar.
1
6.
No.
BOBOT
No.
BOBOT
Nama Pemeriksa : Y
Pencahayaan sesuai dengan kebutuhan dan tidak menimbulkan bayangan. Kuat cahaya sedikitnya 10 fc pada bidang kerja. PENGHAWAAN
8.
Ruang kerja maupun peralatan dilengkapi ventilasi yang baik sehingga terjadi sirkulasi udara dan tidak pengap. AIR BERSIH
9.
Sumber air bersih aman, jumlah cukup dan bertekanan AIR KOTOR
10.
Pembuangan air limbah dari dapur, kamar mandi, WC dan saluran air hujan lancar, baik dan tidak menggenang . FASILITAS CUCI TANGAN DAN TOILET
11.
Jumlah cukup, tersedia sabun, nyaman dipakai dan mudah dibersihkan.
URAIAN
X
BOBOT
No.
BOBOT
99
X
20.
Penanganan makanan yang potensi berbahaya pada suhu, cara dan waktu yang memadai selama penyimpanan peracikan, persiapan penyajian dan pengangkutan makanan serta melunakkan makanan beku sebelum dimasak (thawing).
5
5
21.
Penanganan makanan yang potensial berbahaya karena tidak ditutup atau disajikan ulang.
4
4
No.
PEMBUANGAN SAMPAH 12.
13.
14.
Tersedia tempat sampah yang cukup, bertutup, anti lalat, kecoa, tikus dan dilapisi kantong plastik yang selalu diangkat setiap kali penuh. RUANG PENGOLAHAN MAKANAN Tersedia luas lantai yang cukup untuk pekerja pada bangunan, dan terpisah dengan tempat tidur atau tempat mencuci pakaian Ruangan bersih dari barang yang tidak berguna. (barang tersebut disimpan rapi di gudang)
PERLINDUNGAN MAKANAN 2
2
1
1
1
1
PERALATAN MAKAN DAN MASAK 22.
Perlindungan terhadap peralatan makan dan masak dalam cara pembersihan, penyimpanan, penggunaan dan pemeliharaannya.
2
2
23.
Alat makan dan masak yang sekali pakai tidak dipakai ulang.
2
2
KARYAWAN 15.
URAIAN
Semua karyawan yang bekerja bebas dari penyakit menular, seprti penyakit kulit, bisul, luka terbuka dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).
5
4
16.
Tangan selalu dicuci bersih, kuku dipotong pendek, bebas kosmetik dan perilaku yang higienis.
5
4
24.
Proses pencucian melalui tahapan mulai dari pembersihan sisa makanan, perendaman, pencucian dan pembilasan.
5
5
17.
Pakaian kerja, dalam keadaan bersih, rambut pendek dan tubuh bebas perhiasan.
1
1
25.
Bahan racun / pestisida disimpan tersendiri di tempat yang aman, terlindung, menggunakan label / tanda yang jelas untuk digunakan.
5
5
26.
Perlindungan terhadap serangga, tikus, hewan pelihara-an dan hewan pengganggu lainnya.
4
3
JUMLAH
65
60
MAKANAN 18.
Sumber makanan, dan tidak rusak.
keutuhan
5
5
19.
Bahan makanan terolah dalam kemasan asli, terdaftar, berlabel dan tidak kadaluwarsa.
1
1
URAIAN
X
KHUSUS GOLONGAN A.1 27.
Ruang pengolahan makanan tidak dipakai sebagai ruang tidur.
1
1
28.
Tersedia 1 (satu) buah lemari es (kulkas)
4
4
JUMLAH
70
65
No.
URAIAN
35.
Tersedia kendaraan pengangkut makanan.
khusus
JUMLAH
BOBOT
No.
BOBOT
100
X
3
3
83
76
KHUSUS GOLONGAN B
KHUSUS GOLONGAN A.2 29.
Pengeluaran asap dilengkapi dengan pembuang asap.
dapur alat
1
30.
Fasilitas pencucian dibuat dengan tiga bak pencuci.
2
1
31.
Tersedia kamar ganti pakaian dan dilengkapi dengan tempat penyimpanan pakaian (loker).
1
1
36.
Pertemuan sudut lantai dinding lengkung (konus).
37.
Tersedia ruang belajar.
1
38.
Alat pembuangan asap dilengkapi filter (penyaring).
1
39.
Dilengkapi dengan saluran air panas untuk pencucian.
2
2
40.
Lemari pendingin dapat mencapai suhu – 10 °C.
4
4
JUMLAH
92
82
1
dan
1
KHUSUS GOLONGAN C JUMLAH
74
68
KHUSUS GOLONGAN A.3 32.
Saluran pembuangan limbah dapur dilengkapi dengan penangkap lemak ( grease trap)
1
33.
Tempat memasak terpisah secara jelas dengan tempat penyiapan makanan matang.
1
1
34.
Lemari penyimpanan dingin dengan suhu -5°C dilengkapi dengan thermometer pengontrol.
4
4
41.
Ventilasi dilengkapi dengan alat pengatur suhu.
1
42.
Air kran bertekanan 15 psi.
2
43.
Lemari penyimpanan dingin tersedia untuk tiap jenis bahan dengan suhu yang sesuai dengan suhu yang sesuai kebutuhan.
4
44.
Rak pembawa makanan/alat dilengkapi dengan roda penggerak.
1
JUMLAH
100
Jakarta, 30 Januari 2012 Pemeriksa
………………………
82
LAMPIRAN 7. Hasil Pengamatan Terhadap Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) di PT ELN. No Kunci Persyaratan Santasi 1.
2.
Deskripsi Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)
Tindakan Koreksi
Rekaman
Keamanan air
- Air yang digunakan terbagi menjadi dua, yaitu air bersih yang - Air yang digunakan dilaku- - Hasil pengujian digunakan pada pencucian alat-alat dan air minum untuk produksi dan kan pengujian secara eksmutu air secara karyawan. ternal setiap 1 tahun sekali. eksternal di- Air bersih digunakan untuk keperluan sanitasi, pencucian peralatan, - Perlu disusun SOP (Standar simpan di badan mandi cuci kakus (MCK), sedangkan air minum untuk produksi Prosedur Operasi) dan IK gian Pembelian dan karyawan harus dididihkan terlebih dahulu. (Instruksi Kerja). - Air yang disimpan ditampung pada storage tank. - Belum ada SOP dan IK untuk tahap ini. Kondisi dan keber- - Semua peralatan yang kontak dengan makanan/produk akhir terbuat - Agar sanitasi berjalan efektif, - Monitoring hamaka berhentikan proses prosil sanitasi persihan permukaan dari bahan yang bersifat inert (stainless steel). Hal ini bertujuan untuk yang kontak dengan mencegah cemaran fisik dari korosi logam peralatan yang digunakan. duksi dan bersihkan serta mukaan belum disanitasi. ada. bahan pangan - Penggunaan seragam dipakai setiap proses produksi pangan siap saji dilakukandan dijaga kebersihannya oleh masing-masing karyawan. - Monitoring terhadap karya-wan Perusahaan menyediakan sarung tangan, penutup kepala dan penutup juga belum ada. mulut bagi karyawan. Penutup kepala wajib digunakan oleh bagian Pencucian, Pemasakan, dan Penyajian. Sarung tangan dan penutup mulut digunakan sesuai keperluan (conditional). - Proses pembersihan clean in place (CIP) dilakukan pada permukaan yang kontak dengan bahan pangan yang meliputi penyemprotan air biasa pada seluruh permukaan alat sampai kotoran bersih, gosok permukaan alat dengan sabun cair, bilas kembali dengan air dan kemudian keringkan. - Belum ada SOP dan IK untuk pembersihan peralatan produksi yang digunakan.
101
Hasil Pengamatan Terhadap Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) di PT ELN. No Kunci Persyaratan Santasi
Deskripsi Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)
3.
Pencegahan Kontaminasi Silang
4.
Menjaga Fasilitas Pencucian Tangan, Sanitasi dan Toilet
- Pencegahan kontaminasi silang dilakukan mulai dari bahan baku, bahan pembantu, dan bahan tambahan pangan yang baru masuk sampai penyimpanan produk dengan memberi label. - Penggunaan bahan baku, bahan pembantu, dan bahan tambahan pangan dalam proses produksi, jenis dan jumlahnya harus sesuai dengan resep dari pangan siap saji yang akan dibuat. - Pencegahan kontaminasi silang dilakukan dengan cara memeriksa secara fisik kualitas bahan-bahan yang digunakan, resep pangan, dan alat produksi sebelum digunakan untuk proses pengolahan. - Alat-alat yang digunakan selama proses produksi/pengolahan harus bebas dari kotoran dan cemaran fisik. - Sebelum proses pengolahan pangan dilakukan, setiap karyawan yang terlibat harus membersihkan tangannya terlebih dahulu dengan menggunakan sanitaiser khusus tangan dan dikeringkan. - Selama proses produksi, karyawan menggunakan seragam dan alas kaki, serta tutup kepala dan tidak diperkenankan menggunakan perhiasan dan jam tangan. Penutup mulut dan sarung tangan wajib digunakan di bagian Persiapan Penyajian. - Belum ada SOP dan IK untuk tahap ini. - Pemeliharaan fasilitas sanitasi terdiri dari kegiatan sanitasi di ruang produksi (area pengolahan), gudang, dan MCK. Kegiatan sanitasi di ruang produksi dilakukan setiap hari setelah proses pengolahahn selesai. Kegiatannya meliputi pembersihan lantai, meja persiapan bahan mentah dan meja persiapan penyajian, dan bagian dinding yang dapat dijangkau. Kegiatan sanitasi dilakukan oleh personil bagian pencucian. - Kegiatan sanitasi di ruang gudang dilakukan 1 minggu sekali meliputi pembersihan lantai, dinding, sarang laba-laba dan penataan kembali bahan dan peralatan agar mudah di ambil untuk digunakan.
Tindakan Koreksi
Rekaman
- Bila ada masalah produksi, - Belum ada catatan pemerikstop produksi dan tahan saan dan moniproduk yang dihasilkan. toring pember- Karyawan diperingatkan jika melakukan praktek yang tidak sihan dan karyawan. sesuai. - Karyawan perlu dilatih agar menambah pengetahuan tentang pentingnya pencegahan kontaminasi silang. - Perlu disusun SOP (Standar Prosedur Operasi) dan IK (Instruksi Kerja).
- Cek fasilitas cuci tangan dan - Belum ada cakamar mandi. Bila ada tatan pemerikkerusakan segera diperbaiki. saan dan moni- Perlu disusun SOP dan IK toring sanitasi (Instruksi Kerja). peralatan dan karyawan.
102
Hasil Pengamatan Terhadap Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) di PT ELN. No Kunci Persyaratan Santasi
5.
6.
Proteksi dari bahanbahan kontaminan
Deskripsi Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)
Tindakan Koreksi
Rekaman
- Kegiatan sanitasi di ruang MCK dilakukan setiap hari kerja. Kegiatannya meliputi pembersihan kamar mandi, tempat cuci tangan, dan tempat cuci peralatan produksi. Fasilitas cuci tangan terdiri dari air yang mengalir, sabun cair dan lap pengering yang diganti secara berkala. - Belum ada SOP dan IK untuk tahap ini. - Bahan-bahan non pangan yang digunakan seperti deterjen/sabun cair - Bila ada bahan pengkon- - Belum ada cadisimpan diluar area pengolahan pangan di lemari khusus dekat area taminan, hilangkan bahan tatan pemerikpencucian peralatan. tersebut dari permukaan. saan dan moni- Semua bahan-bahan non pangan diberi label peruntukan penggunaan. - Menghindarkan lingkungan toring penggu- Belum ada SOP dan IK untuk tahap ini. ruang produksi dari genanaan bahan-
Pelabelan, - Produk akhir atau setengah jadi dari pangan siap saji disimpan dalam penyimpanan, dan keadaan beku di refrigerator. Belum ada monitoring berkala untuk penggunaan bahan suhu tempat penyimpanan. Produk akhir yang langsung akan toksin yang benar disajikan pada hari itu juga, di simpan di meja persiapan untuk pengemasan lebih lanjut. - Sisa bahan baku, bahan pembantu, dan bahan tambahan pangan yang belum digunakan tetapi masih dapat digunakan kembali, disimpan di gudang dengan dikemas sedemikian rupa dan diberi label jika diperlukan. - Sistem yang digunakan dalam penyimpanan adalah prinsip FIFO (First In First Out), yaitu bahan yang lebih lama dikeluarkan terlebih dahulu. - Belum ada SOP dan IK dalam kegiatan tahap ini.
ngan air. bahan non - Perlu disusun SOP dan IK pangan. (Instruksi Kerja). - Karyawan perlu diperingat- - Belum ada hakan bila tidak melakukan sil pemeriksaan tahap ini dengan benar. dan monitoring - Perlu disusun SOP (Standar untuk tahap ini. Prosedur Operasi) dan IK (Instruksi Kerja).
103
Hasil Pengamatan Terhadap Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) di PT ELN. No Kunci Persyaratan Santasi 7.
8.
Deskripsi Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)
Tindakan Koreksi
Rekaman
Pengawasan Kondisi - Pengawasan kesehatan karyawan perlu lebih diintensifkan. - Bila ada karyawan yang - Belum ada Kesehatan - Kontrol kondisi kesehatan karyawan terutama di bagian Pemasakan terkena penyakit diisticatatan hasil Karyawan kurang diperhatikan oleh karyawan yang bersangkutan, meskipun rahatkan dan tidak dipemeriksaan dan perusahaan telah menyediakan fasilitas P3K. perkenan ke bagian monitoring - Pemantauan kesehatan karyawan perlu untuk dilakukan. Pemasakan dan Penyajian. terhadap kar- Perusahaan belum memiliki SOP dan IK untuk tahap ini. - Perlu disusun SOP (Standar yawan yang Prosedur Operasi) dan IK menderita sakit. (Instruksi Kerja). Menghilangkan Pest - Di kawasan perusahaan terdapat hama yang terdiri dari serangga - Perusahaan perlu menerapkan - Belum ada reprogram pest control. kaman hasil pedari Unit (lalat, kecoa, dan lebah), kucing dan tikus. Penanganan hama Pengolahan serangga dilakukan dengan memasang lampu insect killer. Lampu - Perlu dibuat denah pemeriksaan dan nempatan program pest monitoring keinsect killer diletakkan di ruang produksi dan dikontrol setiap 3 bulan sekali. control disemua kawasan giatan pest perusahaan. control. - Lem perangkap lalat dipasang di dekat pintu masuk dan di dalam ruang produksi. Adanya lalat, serangga, serta binatang kucing di - Perlu disusun SOP (Standar ruang produksi dikontrol oleh personil produksi sebelum aktivitas Prosedur Operasi) dan IK (Instruksi Kerja). produksi setiap hari. - Di gudang penyimpanan dan diruang produksi dipasang perangkap tikus dan dikontrol setiap hari. - Pencegahan binatang lain seperti burung dilakukan dengan cara memasang kawat kassa di ventilasi ruangan. - Walaupun pemantauan dan monitoring sudah dilakukan tetapi belum ada SOP dan IK untuk tahap ini.
104
105
LAMPIRAN 8. Titik Kendali Kritis atau CCP Kelompok Menu Pangan yang tidak melalui Proses Pemanasan Potensi / Jenis Bahaya (Biologi, Kimia, Fisika)
Tahap Proses B
Penerimaan Sayuran dan Bumbu (bahan baku)
Air
Penyimpanan Bahan baku
K F
Kerikil, tanah
B
E.coli
K
Cemaran kimia
F B
Pertumbuhan bakteri patogen dan mikroba pembusuk
K F
B Penyiapan K F B Penyimpanan Produk (refrigerator suhu < 10oC)
Kontaminasi bakteri patogen
K F B
Kerikil, tanah
Kontaminasi mikroba patogen dari air dan pekerja Pertumbuhan bakteri pembusuk
Salmonella
Sumber/ Penyebab Pertumbuhan mikroba selama panen, penanganan, dan transport Terbawa saat panen dan penanganan
Tercemar dari lingkungan Tercemar dari lingkungan Kontaminasi saat panen dan transportasi
Terbawa saat panen dan penanganan
-
Y
Y
Y
Y
P2
T
T
T
T
P3
Y
Y
Y
Y
P4
Y
Y
Y
Y
CCP?
Alasan Keputusan
T
Tahap penyiapan (sortasi, pengupasan, dan pencucian dg air matang) dapat mengendalikan bahaya
T
T
T
Penanganan selama persiapan Terjadi karena suhu penyimpanan dingin yang kurang Pekerja, alat makan
Penyajian K F
P1
-
Y
Y
Y
T
T
Tahap penyiapan (sortasi, pengupasan, dan pencucian dg air matang) dapat mengendalikan bahaya Perebusan air akan menghilangkan bahaya Dikendalikan dengan analisis sampel air Tahap penyiapan (sortasi, pengupasan, dan pencucian dg air matang) dapat mengendalikan bahaya Bahaya dapat dihilangkan dengan sortasi yang efektif pada tahap penyiapan Bahaya dapat dihilangkan dengan pelaksanaan GHP dan SSOP
CCP1
Tahap ini dirancang untuk untuk menghilangkan pertumbuhan bakteri pembusuk
T
Bahaya dapat dihilangkan dengan pelaksanaan SSOP yang efektif
106
LAMPIRAN 9. Titik Kendali Kritis atau CCP Kelompok Menu Pangan yang diolah dan disajikan pada hari yang sama Tahap Proses
Potensi / Jenis Bahaya (Biologi, Kimia, Fisika) B K Residu pestisida
Sumber/ Penyebab Pemberian pestisida saat di lapangan
P1
P2
P3
P4
CCP?
CCP2
B
Penerimaan Bumbu
Penerimaan Minyak Goreng
K F
Kerikil
Kontaminasi bakteri patogen
Kerikil, tanah
Terbawa saat panen dan penanganan Pertumbuhan mikroba selama panen, penanganan, dan transport Terbawa saat panen dan penanganan
B K F
Bau tengik
Bahan baku teroksidasi
B
E.coli
Tercemar dari lingkungan
Y
Y
T
Y
Y
T
Y
T
Y
Y
T
Pemasakan dapat mengendalikan bahaya
T
Sortasi dan pencucian dapat mengendalikan bahaya
Y
T
Y
Y
T
Y
Y
T
T
Y
T
Y
Y
Y
T
Air
Penyimpanan Bahan baku
K
Cemaran kimia
F B
Pertumbuhan bakteri patogen dan mikroba pembusuk Kerikil, tanah
K F
B Penyiapan K
Kontaminasi mikroba patogen dari air dan pekerja -
Tercemar dari lingkungan Kontaminasi saat panen dan transportasi Terbawa saat panen dan penanganan
Penanganan selama persiapan -
Tahap penerimaan dengan melampirkan CoA dirancang untuk menghilangkan bahaya Sortasi dan pencucian dapat mengendalikan bahaya
Y
Penerimaan Beras F
Alasan Keputusan
Y
T
Y
T
Y
Y
T
T
Bahaya ini dapat dikendalikan dengan memperhatikan expire date Tahap selanjutnya (pemasakan) akan mengendalikan bahaya Dikendalikan dengan analisis sampel air Tahap pemasakan dapat mengendalikan bahaya Bahaya dapat dihilangkan dengan sortasi yang efektif pada tahap penyiapan Bahaya dapat dihilangkan dengan pelaksanaan GHP dan SSOP
107
F B
Mikroba patogen
Ketidakcukup an waktu pemasakan
Salmonella
Pekerja, alat makan
Pemasakan
Penyimpanan Produk (suhu ruang)
K F B K F B
Penyajian K F
-
-
Y
Y
Y
T
CCP3
T
T
Tahap pemasakan ini dirancang untuk menghilangkan mikroba
Bahaya dapat dihilangkan dengan pelaksanaan SSOP yang efektif
108
LAMPIRAN 10. Titik Kendali Kritis atau CCP Kelompok Menu Pangan dengan pengolahan kompleks Potensi / Jenis Bahaya (Biologi, Kimia, Fisika)
Tahap Proses B Penerimaan Daging
Penerimaan Bumbu
K
Residu hormon
F B
Kontaminasi bakteri patogen
K F
B Penerimaan Kelapa
Salmonella
Kerikil, tanah
Kontaminasi bakteri patogen
K F
Serabut, batok
B
Pertumbuhan bakteri patogen dan mikroba pembusuk
Penyimpanan Bahan Baku K F B Penyiapan K F B
Kontaminasi mikroba patogen dari air dan pekerja Mikroba patogen
Pemasakan K F B
Germinasi spora bakteri pathogen dan bakteri pembusuk
Pendinginan produk K F
-
Sumber/ Penyebab Kontaminasi selama pemotongan dan penanganan Perlakuan saat di peternakan Pertumbuhan mikroba selama panen, penanganan, dan transport Terbawa saat panen dan penanganan Pertumbuhan mikroba selama panen, penanganan, dan transport Penanganan di lapangan Pertumbuhan mikroba selama penyimpanan karena suhu tidak sesuai dan kontaminasi Penanganan selama persiapan
Ketidakcukupan waktu dan suhu pemasakan Germinasi spora bakteri patogen karena penyimpanan terlalu lama pada suhu ruang dan suhu pedingi-nan yang kurang -
P1
Y
P2
T
P3
Y
P4
Y
CCP?
Alasan Keputusan
T
Audit pemasok mengenai kualitas bahan dan penerimaan bahan pada suhu < 5oC Audit pemasok
Y
T
Y
Y
T
Pemasakan dapat mengendalikan bahaya
Y
T
Y
Y
T
Sortasi dan pencucian dapat mengendalikan bahaya
Y
T
Y
Y
T
Tahapan berikutnya (pemasakan) dapat mengendalikan bahaya Bahaya dapat dihilangkan dengan penerapan SSOP
Y
T
Y
Y
T
Tahapan berikutnya (pemasakan) dapat mengendalikan bahaya
Bahaya dapat dikendalikan dengan penerapan SSOP
Y
Y
Y
Y
CCP4
Tahap pemasakan ini dirancang untuk menghilangkan mikroba
CCP5
Tahap pendinginan dirancang untuk menghilangkan bahaya germinasi spora dan bakteri pembusuk
109
B
Mikroba patogen
Pemanasan kembali K F B
Salmonella
K F
-
Ketidak cukupan waktu dan suhu pemanasan kembali Pekerja, alat makan
Penyajian -
Y
T
Y
T
CCP6
Tidak ada tahap selanjutnya yang dapat menghilangkan bahaya
Bahaya dapat dikendalikan dengan penerapan SSOP