Laporan Akhir
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE) Suatu Usaha untuk Memadukan Kepentingan Konservasi dan Pembangunan Ekonomi di Tanah Papua
Penyusun: Dessy Anggraeni Yoseph Watopa Peta disiapkan oleh: Hendi Sumantri
2004 Conservation International Indonesia ISBN: 979-99273-1-5 Disponsori oleh: East Asia and Pacific Environment Initiative (EAPEI) United States Agency for International Development (USAID)
Laporan Akhir
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE) Suatu Usaha untuk Memadukan Kepentingan Konservasi dan Pembangunan Ekonomi di Tanah Papua
Penyusun: Dessy Anggraeni Yoseph Watopa
UCAPAN TERIMA KASIH
K
egiatan Rapid Assessment for Conservation and Economy (RACE) atau Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi di Papua berlangsung dari bulan Maret 2001 sampai September 2003. Kegiatan ini didanai oleh East Asia and Pacific Environment Initiative (EAPEI) di bawah United States Agency for International Development (USAID) Associate Award No LAG-A-00-00-00021-00 (Reference Leader Cooperative Agreement LAG-A-00-99-00046-00). Proses RACE sepenuhnya menggunakan metode partisipatif untuk menganalisis ancaman dan peluang terhadap keanekaragaman hayati di Papua. Kegiatan ini tidak mungkin dapat terlaksana tanpa dukungan dan partisipasi aktif dari berbagai pihak di Papua. Sedikitnya 100 orang di Papua, terdiri dari Pemerintah Daerah Provinsi Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Papua, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal, perguruan tinggi (Universitas Negeri Papua, Universitas Cenderawasih dan Universitas Sains dan Teknologi Papua), perwakilan masyarakat di Papua, perwakilan sektor swasta di Papua dan lain-lain, berpartisipasi dalam berbagai bagian kegiatan RACE ini. Kegiatan RACE telah menghasilkan beberapa makalah mengenai ekonomi dan kebijakan di Papua. Terima kasih kepada para pihak atas segala bantuan, kerja sama dan kerja kerasnya dalam menyusun makalah-makalah tersebut, yaitu: Ir. Rully Wurarah, MSi. (Universitas Negeri Papua, Manokwari), Dr. Bambang Nugroho (Universitas Negeri Papua, Manokwari), Agus Dwiyana (Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua, Jayapura), Julius Ary Mollet, SE. MBA. MTDev. (Univesitas Cenderawasih, Jayapura), Bambang Sugiono (ICS-The Institute for Civil Strengthening Papua, Jayapura), Trix Taime (Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Jayapura), Wiratno (CI Indonesia, Jakarta) dan Benoit Mertens (Center for International Forestry ResearchCIFOR, Bogor). Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kami sampaikan kepada para pihak di Jayapura yang telah memberikan perhatian, kesempatan, dukungan penuh dan masukan yang sangat berharga untuk kegiatan RACE ini, yaitu: Drs. JP Solossa, MSi. (Gubernur Provinsi Papua), Drs. Marthinus Howay (Ketua BP3D-Badan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Provinsi Papua), Drs. John Ibo (Ketua DPRD Provinsi Papua) dan Ir. FA Wospakrik, MSc. (Rektor Universitas Cenderawasih). Terima kasih juga kepada semua pihak lainnya atas segala dukungan, komitmen dan peran serta aktifnya dalam keseluruhan proses
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
i
kegiatan RACE ini, yaitu: Dr. Hasan Basri (Universitas Cenderawasih, Jayapura), Drs. Spenyel Womsiwor, MSi (BP3D-Badan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Provinsi Papua), Ir. Marthen Kayoi, MM. (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua), Paulus Sumino (DPRD Provinsi Papua), Demas Patty (DPRD Provinsi Papua), Julius Nugroho (Universitas Negeri Papua, Manokwari), Hidayat Alhamid (Universitas Negeri Papua, Manokwari), Roberth Mandosir (WWF Indonesia Bioregion Sahul) dan Lyndon Pangkali (Forest Watch Indonesia Simpul Papua), Dr. Jatna Supriatna (CI Regional Vice President for Indonesia), Suer Suryadi (mantan CI Indonesia Papua Program), Wiratno (CII Policy Analyst), Fulai Sheng (Senior Director, International Policy Initiatives, Center for Conservation and Government, CI), Jim Cannon (Deputy Director, Center of Conservation and Government, Senior Director Europe, CI), James Peters (Senior Advisor, Conservation Stewards Program, Regional Program Division, Cl), Wendy Tan (mantan Director for Indonesia, CI Washington DC), Simon Petrus Inaury (CII Papua Program Director), Scott Frazier (CII Papua Deputy Director), Tommy Wakum (CII Papua Outreach Officer), Agus Widjayanto (CII Papua Conservation Enforcement Officer), Hendi Sumantri (CII Papua GIS Specialist), Hugo Yoteni (CII Papua Data Base Specialist), Abdul Muthalib (CII Papua Conservation Information and Technology), Burhan Tjaturhadi (CII Papua Biodiversity Specialist), Yance de Fretes (New Guinea Biodiversity Specialist), Fitri Ariyanti (CII Papua Administration Officer), Manuell Maria Kirihio (CII Papua Finance Officer), Supri dan tim. Terima kasih kepada para pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu atas segala dukungan dan partisipasinya dalam proses kegiatan RACE hingga semuanya bisa berjalan lancar dan sukses.
PENYUSUN
ii
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
SAMBUTAN Gubernur Provinsi Papua
S
elaku Gubernur Provinsi Papua maupun selaku pribadi, saya menyambut baik inisiatif Conservation International (CI) Indonesia untuk menerbitkan buku laporan yang berjudul “Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi atau Rapid Assessment for Conservation and Economy (RACE) : Suatu Usaha untuk Memadukan Kepentingan Konservasi dan Pembangunan Ekonomi di Tanah Papua.” Lahirnya buku ini merupakan upaya kerja keras Conservation International Indonesia bersama para pihak yang menjadi mitra kerjanya di Provinsi Papua yaitu Universitas Cenderawasih – Jayapura, Universitas Negeri Papua – Manokwari, Lembaga Swadaya Masyarakat, tokoh adat serta kelompok masyarakat adat; termasuk dukungan dari Badan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah (BP3D) Provinsi Papua, Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Dinas Pertambangan Provinsi Papua dan DPRD Provinsi Papua, serta pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu pada kesempatan ini, namun memiliki andil yang besar dalam terbitnya buku laporan ini. Saat ini Pemerintah dan DPRD Provinsi Papua serta para pihak lainnya yaitu sektor swasta, para ahli dari universitas, LSM lokal dan masyarakat adat di Tanah Papua, sedang berupaya melahirkan pemikiran yang konstruktif dalam menata perencanaan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam sebagaimana diamanatkan di dalam UU Otonomi Khusus. Pemerintah Daerah dan rakyat Papua sungguh menyadari bahwa untuk mengisi era Otsus di Papua tidak semudah membalikan telapak tangan, termasuk dalam menata produk hukum melalui Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang mengatur pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan di Tanah Papua. Oleh sebab itu pihak-pihak yang memiliki keahlian dan kepakaran dalam berbagai bidang, sangat diharapkan perannya untuk menggagas serta melahirkan konsepkonsep pengelolaan sumber daya alam. Kemudian gagasan dan konsep ini dapat disumbangkan untuk membantu dan memperlancar proses pelaksanaan tugas-tugas pokok dan fungsi lembaga-lembaga Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) di Tanah Papua. Saya merasa sangat bangga dan berterima kasih atas inisiatif melakukan Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (Rapid Assessment for Conservation and Economy – RACE) di Papua yang difasilitasi oleh Conservation International (CI) Indonesia karena proses ini dilakukan dengan semangat partisipatif semua pihak yang terkait di dalamnya. Semangat partisipatif ini diperlihatkan dalam menganalisis pilihan
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
iii
konsep konservasi dan pembangunan ekonomi di Tanah Papua secara demokratis dan bermartabat, sehingga hasilnya juga dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak. Saya berharap dengan terbitnya hasil kajian yang telah dilakukan dalam bentuk buku laporan ini akan menambah semangat kita semua untuk terus belajar dan menata kembali seluruh proses pembangunan, terutama dalam mengubah cara pandang kita yang selama ini telah merusak sumber daya alam dan lingkungan yang unik di Tanah Papua. Begitu juga saya mengharapkan agar buku laporan RACE ini akan menambah khasanah referensi mengenai konservasi dan pembangunan ekonomi di Tanah Papua; yang boleh dikata buku-buku mengenai hal ini di Tanah Papua masih sangat langka. Saya mengharapkan juga agar informasi dalam buku laporan ini dapat digunakan sebagai salah satu referensi untuk mengembangkan kebijakan pembangunan yang mendukung kebijakan investasi yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua. Akhirnya atas nama Gubernur dan rakyat di Provinsi Papua saya mengucapkan terima kasih kepada Conservation International Indonesia dan seluruh pihak terkait atas keberhasilannya mengkaji dan menyusun buku laporan RACE yang tentunya akan digunakan pula oleh berbagai sektor atau berbagai pihak sebagai salah satu referensi dalam proses perencanaan dan pengendalian pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua secara berkelanjutan.
Jayapura, April 2005
Drs J.P Salossa, M.Si Gubernur Provinsi Papua
iv
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
KATA PENGANTAR
K
ita patut bersyukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena Provinsi Papua dikaruniakan hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi sebagai kekayaan sumber daya alam yang berlimpah. Namun demikian pemanfaatan sumber daya alam di Provinsi Papua belum memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan hidup penduduk, khususnya penduduk lokal Papua. Penduduk di Provinsi Papua yang tersebar di pedesaan masih merupakan salah satu penduduk tertinggal di Indonesia dan 80% diantaranya masih hidup pada tingkat subsisten. Peluang untuk memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam secara efektif dan efisien guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian keanekaragaman hayati mulai nampak dengan diberlakukannya Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Diharapkan melalui Otonomi Khusus ini dapat disusun suatu rencana strategi pembangunan dengan memperhatikan kondisi dan aspirasi masyarakat lokal. Selain itu Otonomi Khsusus juga mengamanatkan kepada pemerintah Provinsi Papua untuk mengelola sumber daya alamnya dengan cara yang berkelanjutan dan memperhatikan kelestarian alam untuk kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan sumber daya alam di Provinsi Papua guna peningkatan kesejahteraan masyarakat perlu dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan berbagai pihak. Dengan melibatkan berbagai pihak di Provinsi Papua yang terdiri dari pemerintah daerah, DPRD, LSM lokal, LSM Internasional, Perguruan Tinggi dan masyarakat adat, Conservation International (CI) Indonesia melakukan Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi atau Rapid Assessment for Conservation and Economy (RACE). Tujuan umum dari kegiatan RACE adalah untuk membantu membangun suatu mekanisme koordinasi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dengan melibatkan berbagai pihak terkait di Papua. RACE berhasil mengidentifikasikan permasalahan utama yang ada di Papua, yaitu: 1) kemiskinan dan ketertinggalan dalam pembangunan; 2) tingkat ketergantungan yang tinggi pada industri ekstraktif; 3) ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan habitatnya; 4) lemahnya kapasitas kelembagaan. Selain itu Kegiatan RACE ini juga merekomendasikan perlunya suatu Forum Konservasi dan Pembangunan di Tanah Papua (FKPTP) sebagai suatu wadah yang partisipatif dan independen dalam mekanisme pengambilan
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
v
keputusan di bidang pengelolaan sumberdaya alam di Tanah Papua. Forum ini nantinya diharapkan akan memberikan masukan yang konstruktif berdasarkan analisis isu-isu strategis pengelolaan sumber daya alam kepada para pengambil kebijakan dalam upaya mengintegrasikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan ekonomi guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat Papua. Buku ini berisi tentang proses kegiatan dan ringkasan hasil RACE yang dilakukan mulai dari pengenalan dan latar belakang kegiatan, kondisi umum kebijakan dan ekonomi di Papua, permasalahan utama dalam konservasi dan pembangunan, temuan hasil analisa dan konsultasi selama kegiatan dilakukan dan rekomendasi dan langkah-langkah praktis untuk mengatasi masalah konservasi dan ekonomi di Papua. Melalui kegiatan RACE ini telah dihasilkan data dan informasi yang dapat digunakan untuk menganalisa peluang dan tantangan bagi pembangunan ekonomi dan konservasi di Tanah Papua serta adanya mekanisme koordinasi yang kiranya dapat mendukung proses perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam guna kesejahteraan masyarakat di Tanah Papua. Diharapkan buku ini memberikan masukan yang konstruktif bagi para pembaca pada umumnya dan khususnya para pengambil kebijakan pembangunan dan konservasi keanekaragaman hayati di Tanah Papua. Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya kepada para pihak yang telah membantu pelaksanaan kegiatan RACE dan penulisan buku laporan ini.
Jayapura, April 2005
S.P. Inaury Direktur CII Papua Program
vi
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
DAFTAR ISI
Sambutan Kata Pengantar 1
Ringkasan Eksekutif
5
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE) di Papua
5 9
Tentang RACE Susunan laporan
10 10 14 16 18
Kondisi Umum Sosial dan Ekonomi di Papua
19
Isu-Isu Kunci dalam Konservasi dan Ekonomi di Papua
Beberapa Indikator Sosial dan Ekonomi di Papua Sistem Mata Pencaharian Masyarakat Papua dalam Era Otonomi Khusus Pemekaran Provinsi Papua
19 21 27 37
Kemisikinan dan Ketertinggalan dalam Pembangunan
41 41
Rekomendasi dan Tindak Lanjut
Tingkat Ketergantungan yang Tinggi pada Kegiatan Industri Ekstraktif Ancaman Terhadap Keanekaragaman Hayati Lemahnya Kapasitas Kelembagaan
Rekomendasi untuk Mengatasi Masalah Kemiskinan dan Ketertinggalan dalam Pembangunan
42
Rekomendasi untuk Mengatasi Permasalahan Tingkat Ketergantungan yang Tinggi pada Industri Ekstraktif
43
Rekomendasi untuk Mengatasi Ancaman Terhadap Keanekaragaman Hayati
45
Rekomendasi untuk Mengatasi Masalah Lemahnya Kapasitas Kelembagaan
47
Kesimpulan
48
Daftar Pustaka
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
vii
Daftar Diagram Diagram 1. Total PDRB Per Tahun di Papua atas Harga Konstan 1993 dan atas Harga Berlaku (1993-2002) Diagram 2. PDRB Per Kapita untuk Tiap Provinsi di Indonesia Tahun 2002 Diagram 3. Persentase Nilai Ekspor Per Komoditi dari Provinsi Papua Tahun 2002 Diagram 4. Persentase Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Per Sektor Ekonomi di Papua (2002) Diagram 5. Persentase Penanaman Modal Asing (PMA) Per Sektor Ekonomi di Papua (2002) Diagram 6. Penyerapan Tenaga Kerja Per Sektor Ekonomi di Papua (2000) Diagram 7. Total dan Komposisi Penerimaan Provinsi Papua (Periode 1997-2002) Diagram 8. Persentase Penduduk Miskin di Tiap Provinsi di Indonesia Tahun 2002 Diagram 9. Persentase Tingkat Pendidikan Penduduk Usia Kerja (> 15 tahun) di Provinsi Papua Tahun 2000 Diagram 10. Kontribusi Setiap Sektor Ekonomi pada Total PDRB di Papua (1998-2002) Diagram 11. Kontribusi Per Sektor Ekonomi pada Total APBD Sebelum Otonomi Khusus (1993/ 1994-1999/2000) Diagram 12. Kontribusi (Langsung dan Tidak Langsung) PTFI pada Pemerintah Indonesia dan Provinsi Papua selama 1995-2000 (dalam Juta US$) Diagram 13. Produksi Kayu dari HPH dan IPK di Provinsi Papua Periode 1995/1996-1999/2000 Diagram 14. Total Nilai Ekspor dari Industri Perikanan di Provinsi Papua (1977-1999) Diagram 15. Persentase Fungsi Kawasan Hutan di Papua menurut TGHK 1999 Diagram 16. Persentase Pegawai Negeri Sipil di Papua Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Diagram 17. Persentase Pengeluaran Pemerintah Papua Periode 1994/1995-2001 Diagram 18. Persentase Pengeluaran Pemerintah untuk Biaya Pembangunan di Papua Tahun 2001 Diagram 19. Persentase Pengeluaran Pemerintah untuk Biaya Pembangunan di Papua Tahun 2002
10 11 12 13 13 14 17 19 20 21 22 23 24 27 27 38 38 39 40
Daftar Tabel Tabel 1. PDRB per kapita per kabupaten di Provinsi Papua tahun 1996-2000 (atas dasar harga konstan 1993) Tabel 2. Pengelompokan dan beberapa perbedaan antara masing-masing suku di Papua Tabel 3. Dana Perimbangan dari bagi hasil pajak dan hasil sumber daya alam di Provinsi Papua menurut UU Otonomi Khusus (UU No. 21 Tahun 2001 Bab IX Pasal 34) Tabel 4. Kontribusi sektor kehutanan pada PDRB di tiap kabupaten di Provinsi Papua selama tahun 1994-1999 Tabel 5. Penerimaan pemerintah (dari IHH dan DR) dari pemegang HPH/IPK/IPKH di Papua dalam lima tahun terakhir (1995/1996 – 1999/2000)
12 15 16 25 26
Daftar Peta Peta 1. Peta 2. Peta 3. Peta 4. Peta 5. Peta 6. Peta 7. Peta 8. Peta 9. Peta10.
viii
Pemekaran Provinsi Papua (Instruksi Presiden No. 1/2003) Pertumbuhan HPH di Papua dari Tahun 1984-1999 Kawasan Hutan Produksi yang Belum Dibebani Izin HPH di Papua Tumpang Tindih Areal HPH dengan Kawasan Konservasi di Papua Tumpang Tindih Kawasan Konsesi Pertambangan dengan Kawasan Konservasi di Papua Kawasan Hutan Produksi, HPH, Perkebunan dan HTI di Papua Analisis Spasial Dampak Pembangunan Jalan di Papua Kawasan yang Paling Terkena Dampak Rencana Pembangunan Jalan di Papua Prediksi Kemungkinan Perluasan HPH di Papua Lokasi Rencana Pembangunan Dam Mamberamo
18 28 29 30 31 32 34 35 36 37
Photo: M.Boissiere (CIFOR)
Ringkasan Eksekutif
P
apua merupakan provinsi terluas dengan kepadatan penduduk terendah di perbatasan paling timur di Indonesia. Lebih dari dua juta penduduknya tinggal di daerah seluas kurang lebih 42 juta hektar, yang lebih dari 80% wilayahnya masih merupakan kawasan hutan (Baplan, 2002). Papua memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya dan sumber daya alam (bahan tambang, minyak dan gas bumi serta hutan dan laut) yang sangat berlimpah. Walaupun kegiatan ekstraktif di Papua sudah berlangsung selama puluhan tahun, masyarakat Papua masih tetap termasuk kategori penduduk termiskin di Indonesia dan 80% penduduknya masih hidup pada tingkat subsisten. Otonomi Khusus (UU No. 21 Tahun 2001) untuk Provinsi Papua yang mulai berlaku tahun 2002 telah memberikan peluang khusus bagi Papua untuk menyusun rencana strategi pembangunannya sendiri, dengan memperhatikan kondisi dan aspirasi setempat untuk menuju masyarakat yang sejahtera. Otonomi Khusus juga diharapkan akan meningkatkan sumber pendapatan daerah yang dapat digunakan untuk membangun landasan yang kuat bagi kesejahteraan masyarakat di masa yang akan datang. Di samping itu, Otonomi
Khusus juga mewajibkan Pemerintah Papua untuk mengelola sumber daya alamnya secara berkelanjutan dan memperhatikan kelestarian alam untuk kesejahteraan masyarakat. Secara normatif Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah menunjukkan komitmen untuk menggabungkan konservasi dan pembangunan di Papua. Conservation International (CI) Indonesia telah menyelesaikan suatu kegiatan Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi atau Rapid Assessment of Conservation and Economy (RACE) di Papua. Kegiatan ini berlangsung dari bulan Maret 2001 sampai September 2003. Kegiatan ini didanai oleh East Asia and Pacific Environment Initiative (EAPEI) di bawah United States Agency for International Development (USAID). RACE secara partisipatif menggerakan berbagai pihak yang terlibat dalam menyusun strategi konservasi dan pembangunan ekonomi untuk menentukan pilihan konservasi yang tepat bagi Papua. Sedikitnya 100 orang di Papua, terdiri dari pemerintah daerah, DPRD, LSM lokal, universitas (Unipa-Universitas Negeri Papua, Uncen-Universitas Cenderawasih dan USTPUniversitas Sains dan Teknologi Papua),
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
1
perwakilan masyarakat, sektor swasta dan lainlain berpartisipasi dalam berbagai kegiatan RACE ini. Kegiatan RACE ini telah menghasilkan beberapa makalah mengenai ekonomi dan kebijakan di Papua, yaitu analisis kebijakan dalam pembangunan tambang, minyak dan gas, analisis insentif ekonomi dari kegiatan penebangan, analisis kebijakan di sektor kehutanan, analisis anggaran dan belanja daerah, proses pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, penilaian kapasitas kelembagaan dan sistem mata pencaharian masyarakat. Makalah-makalah tersebut disiapkan oleh para ahli dari Unipa dan Uncen, LSM lokal dan Pemerintah Daerah. Kemudian makalah-makalah itu dibahas dalam Pertemuan Kelompok Teknis (Technical Focus Group Meeting) dan Lokakarya Gabungan (Integrated Workshop). CI Indonesia bekerja sama dengan para pihak di Papua, telah menyelenggarakan lokakarya yang bertema “Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan Ekonomi di Papua dalam Era Otonomi Khusus” di Jayapura pada tanggal 1-2 Juli 2002. Lokakarya ini mendiskusikan hasil temuan RACE. Sekitar tiga puluh tujuh ahli teknis baik dari universitas, Pemerintah Daerah, DPRD, LSM, masyarakat adat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan sektor swasta mengikuti lokakarya itu. Lokakarya ini berhasil mengidentifikasi permasalahan utama dalam konservasi dan pembangunan ekonomi di Papua, yaitu:
Kemiskinan dan ketertinggalan dalam pembangunan Papua adalah provinsi terluas dengan kepadatan penduduk terendah di Indonesia. Lebih dari dua juta orang hidup di Papua (di wilayah seluas 42 juta ha) dan lebih dari 70%-nya tinggal di daerah pedesaan. Walaupun kegiatan ekstraktif di Papua telah berlangsung selama puluhan tahun, masyarakat Papua masih tetap termasuk penduduk termiskin di Indonesia. Data BPS Indonesia (2004) menunjukkan persentase penduduk miskin di Papua tahun 2002 mencapai 39% dari total penduduk, menjadikan Papua sebagai provinsi termiskin, dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Angka kematian bayi masih cukup
2
tinggi yaitu berkisar antara 70-200 per 1.000 kelahiran. Sekitar 80% masyarakat di Papua masih hidup pada tingkat subsisten. Persentase penduduk Papua di atas usia 15 tahun yang belum pernah mengenyam pendidik masih cukup tinggi yaitu mencapai 25%. Sementara yang berhasil menyelesaikan sekolah dasar (SD) hanya sekitar 28% saja. Papua juga mempunyai tingkat harapan hidup yang relatif rendah dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Tidak meratanya pembagian hasil dari pemanfaatan sumber daya alam menjadi salah satu penyebab ketertinggalan Papua dalam pembangunan. Sebelum era desentralisasi, Papua adalah provinsi penyumbang terbesar penerimaan negara dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, tetapi Papua hanya menerima sebagian kecil saja alokasi dana untuk daerah dari pemerintah pusat Di Era Otonomi Khusus, diharapkan akan lebih banyak peluang bagi masyarakat Papua meningkatkan kesejahteraannya. Salah satu peluang adalah meningkatnya sumber pendapatan keuangan daerah yang dapat dijadikan modal bagi pembangunan masyarakat di Papua.
Tingkat ketergantungan yang tinggi pada kegiatan industri ekstraktif Pada tahun 2002, PDRB Papua hampir mencapai angka Rp 9 triliun atas dasar harga konstan tahun 1993 dan mencapai lebih dari Rp 23 triliun atas dasar harga berlaku (BP3D dan BPS Provinsi Papua, 2002). Data menunjukkan dari tahun ke tahun, tambang, minyak dan gas memberi kontribusi terbesar bagi PDRB di Papua (berkisar antara 50-60% dari total PDRB). Walaupun demikian, sektor ini hanya menyerap tenaga kerja sekitar 1% saja dari total angkatan kerja di Papua. Sektor pertambangan tidak diragukan lagi menjadi sektor yang penting dalam perekonomian Papua. Permasalahan di sektor pertambangan di Papua adalah kurangnya reinvestasi, dengan menggunakan sebagian pendapatan dari sektor ini, untuk membangun alternatif aset ekonomi yang bukan bersifat ekstraktif di Papua, sebagai pengganti aset bahan mineral (tambang, minyak dan gas) yang akan habis suatu hari nanti.
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
Ancaman terhadap keanekaragaman hayati Dengan lebih 80% (atau sekitar 35 juta ha) luas wilayah Papua masih hutan yang relatif utuh, Papua menjadi rumah bagi lebih dari 50% jenis satwa dan tumbuhan yang ada di Indonesia (CI, 1999). Tidak diragukan lagi, Papua mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan status Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya di dunia. Sayangnya laju deforestasi cukup tinggi. Data Baplan (2002) menunjukkan rata-rata laju deforestasi pada periode 1985-1997 mencapai 117.523 ha/tahun. Kegiatan pertambangan dan penebangan komersial memberikan kontribusi yang besar bagi hilangnya habitat di Papua. Walaupun saat ini wilayah tambang yang dieksploitasi hanya sekitar 1,3 juta ha, tetapi total wilayah yang telah berizin untuk pertambangan (mulai dari kegiatan investigasi, eksplorasi dan eksploitasi) mencapai 5,6 juta ha (Jatam, 2000). Lebih dari 60% wilayah ini berada di dalam kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi. Data Dinas Kehutanan Provinsi Papua (2001) menunjukkan dari 21,9 juta ha hutan produksi 12 juta ha telah diberikan kepada 54 pemegang HPH. Sebelas persen wilayah HPH ini bertumpang-tindih dengan kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi. Pembangunan infrastruktur skala besar, misalnya pembangunan trans Irian Jaya dan mega proyek Mamberamo yang sementara ini dihentikan, dapat mengancam kelestarian keanekaragaman hayati.
Lemahnya kapasitas kelembagaan Tantangan yang paling utama dalam mencapai komitmen untuk menggabungkan konservasi dan pembangunan di Era Otonomi Khusus di Papua adalah kurangnya kapasitas kelembagaan pemerintah dan non-pemerintah dalam melakukan perencanaan pembangunan yang berkelanjutan yang memadukan kepentingan konservasi dan pembangunan ekonomi. Hal ini terlihat dari masih tingginya tingkat ketergantungan pada industri ekstraktif, adanya tumpang tindih penggunaan lahan, investasi publik yang tidak tepat sasaran dan masalah lainnya. Jika tidak ada upaya untuk segera mengatasi masalah ini, peluang yang datang bersamaan dengan Otonomi Khusus dapat segera
hilang. Kemiskinan akan tetap berlanjut dan sumber daya alam akan semakin menipis. Pemerintah harus dapat mendefinisikan perannya dalam proses pembangunan, mengatur kelembagaan secara efisien dan efektif, membangun visi yang nyata bagi masa depan Papua, dan mengalokasikan anggaran publik yang tepat sasaran untuk pencapaian visi pembangunan tersebut. Permasalahan lainnya dalam kelembagaan adalah kurangnya transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan. Para pihak yang hadir dalam lokakarya mengusulkan membentuk Forum Konservasi dan Pembangunan di Tanah Papua (FKPTP) sebagai mekanisme pendukung yang independen dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua. Peserta dalam lokakarya ini telah memilih 10 orang anggota Tim Kecil untuk mensosialisasikan dan menyiapkan format serta konsep dari forum tersebut. Sebagai upaya sosialisasi dan persiapan format serta konsep forum, Badan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah (BP3D) Provinsi Papua dan CI Indonesia bekerja sama menyelenggarakan lokakarya multipihak yang berjudul “Mengintegrasikan Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan Ekonomi di Papua dalam Era Otonomi Khusus” di Jayapura, pada tanggal 26 September 2002. Para peserta lokakarya ini mendukung usulan pembentukan forum untuk memberi masukan kepada para pengambil keputusan dalam mengintegrasikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan ekonomi. Setelah lokakarya multipihak, anggota Tim Kecil diperluas lagi dengan menyertakan beberapa perwakilan tambahan. Kelompok yang selanjutnya disebut Tim Persiapan telah bertemu beberapa kali untuk menyusun kelengkapan organisasi FKPTP. Misi FKPTP adalah: ! Memberi masukan kepada lembaga
pemerintah dan non-pemerintah di Papua dalam merencanakan dan melaksanakan strategi pembangunan yang fokus pada pengurangan kemiskinan, pemerataan kesempatan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya, serta perlindungan sumber daya alam;
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
3
! Memfasilitasi konsultasi rutin dengan
pemerintah dalam upaya mengintegrasikan kepentingan pembangunan dan konservasi; ! Mengembangkan kapasitas Forum dalam menyampaikan pemikiran-pemikiran konstruktif dan meningkatkan kapasitas pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, serta distrik di Papua, terutama dalam mengintegrasikan kepentingan pembangunan dan konservasi.
Photo: M.Boissiere (CIFOR)
Forum berfungsi melakukan kajian kritis dan alternatif pemecahan masalah bagaimana memadukan kepentingan pembangunan dan kepentingan konservasi yang akan menjadi dasar rekomendasi konstruktif. Rekomendasi ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dan non-pemerintah dalam membuat kebijakan.
Untuk mencapai visi dan misinya, FKPTP melakukan upaya-upaya antara lain: ! Melakukan perencanaan terpadu yang mencakup bidang keanekaragaman hayati, pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan dan kepemerintahan yang baik; ! Mengidentifikasi isu-isu prioritas di bidang konservasi dan pembangunan; ! Membentuk Kelompok Kerja Ahli (Expert Task Force) yang akan memberikan saran dan rekomendasi melalui proses konsultasi intensif dengan para pihak terkait; ! Memberikan dukungan teknis dan pendanaan untuk menjamin keberlanjutan upaya pemerintah dan masyarakat Papua dalam melaksanakan strategi konservasi dan pembangunan.
4
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
Photo: M.Boissiere (CIFOR)
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE) di Papua
Tentang RACE
C
onservation International (CI) Indonesia telah menyelesaikan Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi atau Rapid Assessment for Conservation and Economy (RACE) di Papua. Kegiatan ini berlangsung sejak Maret 2001 sampai September 2003. Kegiatan ini didanai oleh East Asia and Pacific Environment Initiative (EAPEI) di bawah United States Agency for International Development (USAID). Kegiatan RACE sepenuhnya menggunakan metode partisipatif untuk menganalisis ancaman dan peluang terhadap konservasi keanekaragaman hayati di Papua. Kegiatan RACE menganalisis tiga tingkat dari suatu ancaman terhadap keanekaragaman hayati yaitu: ! Perubahan fisik yang terjadi di wilayahwilayah yang mempunyai nilai keanekaragaman hayati tinggi; ! Aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan fisik tersebut; dan ! Insentif dan kapasitas manusia yang mendorong aktivitas tersebut.
Secara umum, RACE bertujuan memfasilitasi terbentuknya suatu mekanisme koordinasi dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam dengan melibatkan berbagai pihak terkait. Diharapkan desentralisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dapat memberikan dampak yang positif bagi kesejahteraan masyarakat dan konservasi keanekaragaman hayati di Papua. RACE menggunakan sistem partisipatif dalam menggerakkan berbagai pihak untuk menentukan pilihan strategi konservasi dan pembangunan ekonomi yang tepat bagi Papua. Sedikitnya 100 orang di Papua, terdiri dari Pemerintah Daerah Provinsi Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Papua, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal, perguruan tinggi (Universitas Negeri Papua, Universitas Cenderawasih, dan Universitas Sains dan Teknologi Papua), perwakilan masyarakat, sektor swasta dan lain-lain terlibat dalam berbagai bagian kegiatan RACE ini. Secara singkat tahapan pelaksanaan kegiatan RACE dijelaskan di bawah ini.
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
5
Tahap 1. Kajian awal kondisi umum konservasi dan ekonomi di Papua Kajian awal (preliminary assessment) yang dilakukan oleh CI Indonesia dimaksudkan untuk menganalisis kondisi umum dan permasalahan konservasi dan ekonomi di Papua. Kegiatan ini diharapkan dapat memberi penilaian awal mengenai ancaman dan peluang bagi konservasi keanekaragaman hayati di Papua. Kegiatan ini dilakukan dengan: ! mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi yang tersedia dari berbagai sumber mengenai kondisi sosial ekonomi dan konservasi keanekaragaman hayati di Papua (termasuk data statistik, dokumen resmi pemerintah dan berbagai laporan hasil penelitian); dan ! melakukan rangkaian konsultasi dengan berbagai pihak kunci di Papua untuk menjaring pendapat mereka mengenai permasalahan konservasi dan ekonomi di Papua. Hasil dari kegiatan ini berupa laporan internal tentang kajian awal konservasi dan ekonomi di Papua (Interim Report on Preliminary Assessment of Conservation and Economy in Papua).
Tahap 2. Penentuan isu penting dalam konservasi dan ekonomi di Papua Dari hasil kajian awal, diadakan diskusi internal untuk memutuskan beberapa isu penting yang berkaitan dengan konservasi dan ekonomi untuk dianalisis lebih mendalam dalam suatu studi lanjutan. Diskusi menghasilkan isu penting: kebijakan dalam pembangunan tambang, minyak dan gas, insentif ekonomi dari kegiatan penebangan, kebijakan di sektor kehutanan, anggaran pendapatan dan belanja daerah, proses pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, kapasitas kelembagaan dan sistem mata pencaharian masyarakat.
Tahap 3. Penyusunan makalah per isu penting Makalah per isu (issue paper) sebagian besar ditulis oleh para ahli di Papua, termasuk dari Universitas, Pemerintah Daerah dan LSM lokal. Makalah dibuat berdasarkan kerangka acuan yang disusun oleh CI Indonesia bersama dengan para ahli itu. Kegiatan ini telah menghasilkan tujuh makalah yaitu: ! Pembangunan Tambang, Minyak dan Gas di Papua (disiapkan oleh Agus Dwiyana dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua, Jayapura); ! Analisis Insentif Ekonomi Kegiatan Pengusahaan Hutan di Papua (disiapkan oleh Ir. Rully Wurarah, MSi. dari Universitas Negeri Papua, Manokwari); ! Analisis Kebijakan Sektor Kehutanan di Papua (disiapkan oleh Dr. Bambang Nugroho dari Universitas Negeri Papua, Manokwari); ! Analisis Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah di Papua (disiapkan oleh Julius Ary Mollet, SE. MBA. MTDev. dari Univesitas Cenderawasih, Jayapura); ! Analisis Proses Pengambilan Keputusan dan Perencanaan Pembangunan di Papua (disiapkan oleh Bambang Sugiono dari ICS-The Institute for Civil Strengthening Papua, Jayapura); ! Analisis Kapasitas Institusi Kelembagaan di Papua (disiapkan oleh Wiratno dari CI Indonesia, Jakarta) dan ! Analisis Sistem Mata Pencaharian Masyarakat di Papua (disiapkan oleh Trix Taime dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Jayapura). CI Indonesia, dengan bantuan teknis dari CIFOR (Center for International Forestry Research), melakukan analisis untuk melihat dampak spasial dari kegiatan ekonomi skala besar di Papua dengan pokok bahasan: ! Implikasi spasial dari pembangunan jalan dan tata guna lahan terhadap kawasan konservasi di Papua; dan ! Proyeksi kegiatan penebangan, perkebunan dan pertambangan serta peluang kegiatan konservasi di Papua.
6
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
Tahap 4. Pencapaian konsensus bersama mengenai temuan-temuan dalam setiap makalah
Photo: Conservation International
Setelah penyusunan masing-masing makalah selesai, setiap makalah didiskusikan dan dibahas oleh para pihak teknis terkait melalui Pertemuan Kelompok Teknis atau Technical Focus Group Meeting (TFGM). Pertemuan ini bertujuan untuk mencapai konsensus atau kesepakatan bersama di antara para pihak teknis terkait. Konsensus bersama ini meliputi kesepakatan dalam hal data, kesimpulan maupun rekomendasi yang diperoleh dalam setiap makalah. Para pihak teknis terkait memeriksa dan mencocokkan data dan hasil analisis yang diperoleh serta memberikan komentar dan masukan yang konstruktif kepada para penulis untuk penyempurnaan makalah.
Photo: Conservation International
TFGM Sektor Kehutanan di Biak, 17-18 September 2001.
TFGM Sektor Pertambangan di Jayapura, 25 September 2001.
Tahap 5. Pembuatan makalah gabungan Berdasarkan temuan kunci dalam makalah dan Pertemuan Kelompok Teknis per isu, CI Indonesia kemudian menyusun sebuah makalah gabungan (integrated paper). Penyusunan makalah gabungan ini untuk menganalisis keseluruhan persoalan dan rekomendasi lintas sektoral yang ditemukan pada masing-masing makalah.
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
7
Tahap 6. Lokakarya multipihak untuk membahas hasil RACE di Papua
Photo: Conservation International
Tujuan dari lokakarya multipihak ini adalah mengumpulkan para pihak kunci di Papua dan luar Papua untuk: 1) meninjau kembali apa saja yang sudah dicapai dalam kegiatan RACE; 2) menyimpulkan permasalahan utama dan lintas sektoral yang teridentifikasi dalam makalah dan TFGM per isu; 3) mengidentifikasi dan menyepakati permasalah kunci dalam konservasi dan pembangunan ekonomi di Papua; 4) mengidentifikasi dan menyepakati rekomendasi dalam menyelesaikan masalah konservasi dan pembangunan ekonomi di Papua; dan 5) menyusun rencana tindak lanjut kegiatan yang mendukung pelaksanaan rekomendasi dalam usaha menggabungkan konservasi dan pembangunan di Papua.
Lokakarya Multipihak “Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan Ekonomi di Papua dalam Era Otonomi Khusus” di Hotel Sentani Indah, Jayapura, 1- 2 Juli 2002.
Tahap 7. Sosialisasi hasil RACE kepada para pengambil kebijakan
Photo: Conservation International
CI Indonesia bekerja sama dengan berbagai pihak mensosialisasikan hasil RACE kepada para pengambil kebijakan di Papua, seperti Pemerintah Daerah (Badan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah atau BP3D dan Gubernur Provinsi Papua), DPRD Provinsi Papua, Bappenas dan para akademisi di Universitas Cenderawasih. Tujuan dari sosialisasi ini antara lain untuk: 1) mengkomunikasikan dan mendiskusikan berbagai kajian konservasi dan pembangunan di Papua; 2) memperdalam kajian-kajian yang telah dilakukan dan aplikasinya di Papua; 3) mendiskusikan masalah kelembagaan atau institusi di Papua yang dapat menjamin keberlanjutan dari pelaksanaan kajian-kajian konservasi dan pembangunan sebagai informasi dasar bagi pengambilan kebijakan dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Lokakarya Sehari “Mengintegrasikan Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan Ekonomi di Papua dalam Era Otonomi Khusus” di Kantor BP3D Provinsi Papua, Jayapura, 26 September 2002.
8
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
Photo: Conservation International Photo: Conservation International
Lokakarya ‘Pemaparan Hasil RACE dan Skenario Pembangunan Ekonomi dan Konservasi di Papua dengan Menggunakan T21 Modeling dan Analisis Spasial’ di Universitas Cenderawasih, Jayapura, 22 Agustus 2003.
Lokakarya ‘Pemaparan Hasil RACE dan Skenario Pembangunan Ekonomi dan Konservasi di Papua dengan Menggunakan T21 Modeling dan Analisis Spasial’ di BAPPENAS, Jakarta, 2 Oktober 2003.
Tahap 8. Publikasi dan penyebarluasan hasil RACE Untuk memenuhi kebutuhan para pihak akan informasi mengenai konservasi dan ekonomi yang dihasilkan dari RACE, CI Indonesia membuat berbagai lembar informasi (fact sheets), buku laporan, informasi elektronik dalam web sites dan CD ROM, brosur, poster dan sebagainya. CI Indonesia terus mempresentasikan hasil kajian RACE ke berbagai pihak setiap ada kesempatan.
Tahap 9. Tindak lanjut rekomendasi yang dihasilkan RACE Salah satu rekomendasi utama yang dihasilkan RACE dan perlu ditindaklanjuti adalah pembentukan ‘Forum Konservasi dan Pembangunan di Tanah Papua’ sebagai mekanisme pendukung yang independen untuk memberikan masukan dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua.
Susunan laporan Buku laporan ini terdiri dari empat bagian. Bagian I berisi pengenalan dan latar belakang kegiatan RACE. Bagian II memaparkan beberapa temuan hasil kajian awal mengenai kondisi umum dan permasalahan konservasi dan ekonomi di Papua. Bagian III berisi bahasan mengenai isu kunci dalam konservasi dan ekonomi di Papua yang berhasil diidentifikasi dalam rangkaian kegiatan RACE. Bagian IV berisi rekomendasi dan langkah-langkah praktis untuk mengatasi isu kunci dalam konservasi dan ekonomi di Papua yang juga dihasilkan dari rangkaian kegiatan RACE dan akhirnya, Bab V berisi kesimpulan.
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
9
Kondisi Umum Sosial dan Ekonomi di Papua
Beberapa Indikator Sosial dan Ekonomi di Papua
P
Photo: G.Allen (Conservation International)
apua merupakan provinsi terluas dengan kepadatan penduduk terendah di Indonesia (5 orang/km2). Lebih dari dua juta penduduknya hidup di wilayah seluas 42 juta ha yang 80%-nya masih merupakan kawasan hutan (Baplan, 2002). Pertumbuhan penduduk cenderung menurun selama periode 1991-2000, yaitu dari 3,86% per tahun pada tahun 1990 menjadi 2,50% per tahun pada tahun 2000. Sampai tahun 2000, jumlah penduduk di Papua mencapai 2.219.500 jiwa dan lebih dari 70%-nya hidup di wilayah pedesaan (BPS Provinsi Papua, 2000). Data menunjukkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Papua terus meningkat, terutama pada periode 1993 sampai 2002. 1 Pada tahun 2002, PDRB Papua hampir Rp 9 triliun atas dasar harga konstan tahun 1993 dan mencapai lebih dari Rp 23 triliun atas dasar harga berlaku. Dari tahun ke tahun, sektor pertambangan (pertambangan umum, minyak dan gas) memberi kontribusi terbesar bagi PDRB Papua, yaitu mencapai 50-60% dari total PDRB. Bisa dikatakan sektor ini memberi kontribusi yang cukup signifikan pada Diagram 1. pertumbuhan ekonomi di Papua. Pada tahun 2002, Total PDRB Per Tahun di Papua atas Harga Konstan total PDRB menurun sedikit, yaitu dari Rp 24 triliun 1993 dan atas Harga Berlaku (1993-2002) menjadi Rp 23 triliun. Salah satu penyebabnya adalah karena total nilai tambah dari sektor pertambangan Harga Berlaku pada tahun tersebut menurun, yaitu dari Rp 14,68 Harga Konstan 1993 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp 11,39 triliun pada tahun 2002.
Total PDRB (dalam triliun rupiah)
30 25 20 15 10 5 0
1993
1994
1995
1996
1997 1998 Tahun
1999
2000
2001
Sumber: BP3D dan BPS Provinsi Papua (2002)
1
10
2002
Menarik untuk disimak, bahwa ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, PDRB di Papua meningkat sangat tajam, yaitu dari Rp 9 triliun pada tahun 1997 menjadi Rp 19 triliun pada tahun 1998 atas dasar harga berlaku. Hal ini disebabkan karena total nilai tambah dari sektor pertambangan meningkat sebanyak 38,11% pada tahun tersebut dan memberi
Produk Domestik Regional Bruto adalah total nilai tambah (dari barang dan jasa) yang dihasilkan oleh sektor-sektor ekonomi sebagai hasil dari kegiatan unit produksi (BP3D dan BPS Provinsi Papua, 2002).
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
Walaupun rata-rata PDRB per kapita di Papua menunjukkan angka yang relatif tinggi, terjadi kesenjangan yang cukup tinggi antar kabupaten(Lihat Diagram 1). Misalnya, pada tahun 2000, Kabupaten Mimika yang memiliki tambang (lokasi PT Freeport Indonesia) dan berpenduduk hanya 45.750 jiwa mempunyai PDRB per kapita sebesar Rp 76,8 juta atas dasar harga konstan tahun 1993. Sementara Kabupaten Jayawijaya yang berada di daerah pengunungan yang terisolasi dengan jumlah penduduk yang jauh lebih banyak, yaitu 472.800 jiwa hanya mempunyai PDRB perkapita sebesar Rp 500 ribu atas dasar harga konstan 1993 (Mollet, 2001).
dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi di Papua sebesar 12,72% (BP3D dan BPS Provinsi Papua, 2002). Rata-rata PDRB per kapita atas dasar harga berlaku di Papua pada tahun 2002 mencapai Rp 9,67 juta (dengan tambang). 2 Papua menjadi provinsi dengan tingkat PDRB per kapita tertinggi ke empat di Indonesia, setelah Provinsi Kalimantan Timur, DKI Jakarta dan Riau. Angka ini juga jauh di atas rata-rata PDRB per kapita untuk tingkat nasional pada tahun yang sama, yaitu sekitar Rp 7,59 juta (BPS Indonesia, 2004). Walaupun demikian, pada kenyataannya, masyarakat Papua belum menikmati pendapatan yang relatif tinggi ini karena komponen terbesar dari PDRB ini berasal dari sektor pertambangan umum, yaitu dari PT Freeport Indonesia (sebagai satu-satunya perusahaan pertambangan umum yang sudah berproduksi di Papua), yang kurang memberikan keuntungan langsung kepada masyarakat lokal di Papua.
Total nilai ekspor dari Papua pada tahun 2002 mencapai US$ 1,7 miliar, sedikit menurun dibandingkan total nilai ekspor tahun 1998 yang mencapai US$ 1,93 miliar. Sasaran utama ekspor dari Papua adalah negara-negara Asia yang mencapai 60% dari total volume ekspor (Jepang lebih dari 28%, Korea Selatan lebih dari 13%, Filipina lebih dari 7% dan negara-negara Asia lainnya). Selain negara Asia, tujuan ekspor dari Papua adalah negara-negara Eropa (Spanyol, Finlandia dan Jerman), USA dan Australia (BPS Provinsi Papua, 1999). Dilihat dari jenis
Perbandingan PDRB per kapita atas dasar harga berlaku pada tahun 2002 di tiap provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Diagram 2 di bawah ini.
Diagram 2. PDRB Per Kapita untuk Tiap Provinsi di Indonesia Tahun 2002 40.000
PDRB Per Kapita (dalam ribuan rupiah)
35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000
PAPUA
MALUKU UTARA
MALUKU
SULTRA
SULSEL
SULTENG
GORONTALO
SULUT
KALTIM
KALSEL
KALTENG
KALBAR
NTT
NTB
BALI
JATIM
DI YOGYAKARTA
JATENG
JABAR
DKI JAKARTA
BANTEN
BABEL
LAMPUNG
BENGKULU
SUMSEL
JAMBI
RIAU
SUMBAR
SUMUT
NAD
0
Sumber: BPS Indonesia (2004) 2
PDRB per kapita diperoleh dengan membagi total PDRB dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun (BP3D dan BPS Provinsi Papua, 2002).
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
11
Tabel 1. PDRB per kapita per kabupaten di Provinsi Papua tahun 1996-2000 (atas dasar harga konstan tahun 1993)
Kabupaten
1996 (Rp)
1997 (Rp)
1998 (Rp)
1999 (Rp)
2000 (Rp)
Biak
1.938.406,07
1.987.074,16
1.947.508,27
1.686.089,51
1.869.405,21
Fak-Fak
1.967.667,52
2.047.303,87
1.987.951,79
1.909.450,44
2.023.796,43
Kota Jayapura
1.761.979,22
1.784.102,91
1.597.323,25
1.602.416,90
1.642.414,06
Jayawijaya
516.412,24
525.195,15
500.601,75
507.871,14
523.199,51
Manokwari
1.926.681,96
1.991.475,86
1.729.614,38
1.666.072,59
1.735.301,58
Merauke
1.158.542,97
1.220.524,01
1.116.708,36
1.159.051,23
1.246.281,09
Mimika
73.764.133,29 63.826.651,47 75.668.715,87 65.989.326,55 76.815.822,32
Paniai
1.087.099,43
1.332.931,55
1.279.868,20
1.291.356,85
1.424.681,09
Jayapura
2.440.402,54
2.455.736,40
2.149.958,54
2.047.084,06
2.127.175,78
Sorong
2.845.360,15
3.457.074,24
3.477.176,46
2.533.383,44
8.408.077,07
Sumber: Mollet (2001)
komoditinya, produk tambang (konsentrat tembaga) memberi kontribusi terbesar bagi total nilai ekspor Papua dengan nilai US$ 1,49 miliar atau lebih dari 84% total nilai ekspor Papua, kemudian kayu lapis atau plywood (US$ 70 juta), ikan beku campuran (US$ 67 juta), minyak dan gas bumi (US$ 45 juta), dan udang beku (US$ 52 juta). Persentase nilai masing-masing komoditi ekspor dari Papua pada tahun 2002 dapat dilihat pada Diagram 3 di bawah ini.
Diagram 3. Persentase Nilai Ekspor Per Komoditi dari Provinsi Papua Tahun 2002
Minyak & Gas 3.21%
Lain-lain 0.01%
Produk Kehutanan 5.18%
Produk Perikanan 7.40%
Produk Pertambangan (konsentrat tembaga) 84.19%
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan dalam BPS Provinsi Papua (2002)
12
Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA) di Papua menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan selama periode 1991-2002. Data Badan Promosi dan Investasi Daerah (BPID) Provinsi Papua (2002) menunjukkan PMDN meningkat tajam yaitu dari Rp 477 miliar pada tahun 1991 menjadi Rp 3,73 triliun pada tahun 2002. PMA juga mengalami kenaikan yaitu dari US$ 955.769 pada tahun 1991 menjadi US$ 6,57 miliar pada tahun 2002. Tingginya nilai PMA ini disebabkan karena sebagian besar modal asing ini dialokasikan untuk sektor pertambangan (tambang umum, minyak dan gas) yang memang membutuhkan investasi sangat besar. Pada tahun 1999, hampir 90% (atau sekitar US$ 4,4 miliar) PMA untuk sektor pertambangan, sedangkan sisanya untuk sektor jasa (7,48%) dan industri perkayuan (3,23%). Menarik untuk dilihat, pada tahun 2002, persentase PMA di sektor jasa meningkat cukup tajam menjadi 20,88% dari total PMA pada tahun tersebut (atau menjadi US$ 1,37 miliar dari total US$ 389 juta pada tahun 1999). PMA di sektor jasa ini meliputi jasa konstruksi, pengoperasian pelabuhan khusus, pelayanan niaga, telekomunikasi, pembangkit tenaga listrik dan logistik yang masih berhubungan dengan sektor pertambangan. Sebaliknya, persentase PMA di sektor pertambangan menurun menjadi sekitar 70%, walaupun total nilainya masih tetap tinggi, yaitu sekitar US$ 4,57 miliar (BPID Provinsi Papua, 2002).
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
PMDN dan PMA per sektor ekonomi di Papua dapat dilihat pada Diagram 4 dan 5 di bawah ini.
Berbeda dengan PMA, sebagian besar PMDN untuk pembangunan sektor kehutanan dan perkebunan. Pada tahun 1999, PMDN ditujukan untuk pembangunan sektor kehutanan (21,03%), industri perkayuan (26,14%) dan perkebunan (24,72%), sisanya sektor jasa (8,49%), perikanan (8,48%) dan pembangunan hotel dan pariwisata (7,49%). Pada tahun 2002, PMDN di sektor perikanan menunjukan peningkatan yang cukup berarti, yaitu dari hanya sekitar 8,48% (Rp 137 miliar) pada tahun 1999 menjadi 26,04% (Rp 971 miliar) pada tahun 2002. PMDN di sektor industri perkayuan juga meningkat sedikit, yaitu dari Rp 424 miliar pada tahun 1999 menjadi Rp 441 miliar pada tahun 2002. Secara rinci, persentase
Walaupun sektor ekonomi penyumbang PDRB terbesar adalah sektor pertambangan (dengan lebih dari 60%), sebagian besar penduduk Papua bekerja di sektor pertanian (termasuk pertanian pangan, perkebunan komersial, peternakan, kehutanan dan perikanan). Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian diperkirakan berjumlah 710.332 orang atau sekitar 74,42% dari total tenaga kerja di Papua yang mencapai 954.542 pada tahun 2000. Distribusi penyerapan tenaga kerja per sektor ekonomi dapat dilihat pada Diagram 6.
Diagram 4. Persentase Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Per Sektor Ekonomi di Papua (2002) Industri Kimia 0.35% Industri Lain 0.18%
Jasa 7.50% Perkebunan 25.76%
Hotel/Pariwisata 3.60% Industri Perkayuan 11.84%
Kehutanan 22.76%
Perikanan 26.04% Pertanian 1.96% Sumber : BPID Provinsi Papua (2002)
Diagram 5. Persentase Penanaman Modal Asing (PMA) Per Sektor Ekonomi di Papua (2002) Kehutanan 0.43% Perikanan 5.66%
Industri Perkayuan 2.30% Industri Kimia 0.35%
Perkebunan 0.01%
Hotel/Pariwisata 0.82%
Pertambangan 69.55%
Jasa 20.88% Sumber : BPID Provinsi Papua (2002)
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
13
Diagram 6. Penyerapan Tenaga Kerja Per Sektor Ekonomi di Papua (2000) Transportasi & Komunikasi 2.31% Perdagangan, Restoran & Hotel 6.25%
Jasa Keuangan 0.51% Sosial Kemasyarakatan 11.10%
Konstruksi 1.20% Listrik, Gas & Air 0.27%
Pertanian 74.42%
Industri & Manufaktur 3.50% Tambang & Galian 0.45%
Sumber : BPID Provinsi Papua (2002)
Sistem Mata Pencaharian Masyarakat
! Daerah Pegunungan Tengah hingga Pantai
Penelitian akhir pada tahun 1980-1990 menunjukkan terdapat kurang lebih 250 bahasa di daerah Papua yang baru diteliti dan ditulis (Siltzer, 1990 dalam Kelompok Peneliti Etnografi Irian Jaya, 1993). Secara umum, masyarakat Papua memiliki karakteristik sosial-ekonomi yang hampir sama, yaitu masih cukup kuat terikat pada sektor primer yang bersifat konsumtif dan subsisten (hanya untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga saja). Lebih dari 80% penduduk Papua masih hidup secara subsisten. Taime (2002) menyebutkan bahwa menurut sebarannya, secara umum masyarakat Papua terbagi dalam tiga wilayah, yaitu:
Secara khusus, daerah ini dibagi lagi ke dalam empat bagian yaitu: " Daerah Pegunungan Jayawijaya Merupakan gugusan pegunungan yang terdiri dari beberapa deret pegunungan tinggi, yang arahnya semua melintang dari barat ke timur. Beberapa puncaknya mencapai ketinggian lebih dari 5.000 meter yaitu Puncak Jayawijaya dan Puncak Trikora; " Daerah Danau-Danau Tengah Daerah ini meliputi daerah sepanjang aliran Sungai Rouffaer yang bersama dengan Sungai Idenburg (yang mengalir dari arah timur) menjadi satu sungai yang sangat lebar yaitu Sungai Mamberamo; " Daerah Pegunungan Utara Yaitu beberapa deret pegunungan yang lebih rendah daripada Pegunungan Jayawijaya. Beberapa di antaranya yang terpenting adalah Pegunungan Cycloop, Pegunungan Foja dan Pegunungan Van Rees; " Daerah Dataran Rendah di Bagian Utara Papua. Dataran rendah di bagian utara merupakan daerah yang memanjang dan berawa-rawa, dengan pantai pasirnya yang ke arah timur berubah menjadi pantai karang. Di pantai utara terletak kota-kota kecil seperti Waren, Sarmi, Sewai, Betaf, Demta dan kota besar Jayapura.
Utara
! Daerah Kepala Burung Daerah ini terdiri dari beberapa deret pegunungan tinggi yang merupakan lanjutan dari Pegunungan Jayawijaya ke arah barat laut. Pegunungan utama di daerah Kepala Burung antara lain: Pegunungan Arfak dan Pegunungan Tamrau dengan puncak-puncaknya yang mencapai 3.000 meter atau lebih. Di daerah sekitar Teluk Berau dan daerah di sebelah barat Teluk Arguni terdapat dataran rendah yang penuh dengan rawa-rawa dan sungai-sungai yang mengalir dari pegunungan di daerah Kepala Burung.
14
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
! Daerah Dataran Rendah di Sebelah
bagian Selatan perbatasan dengan Papua New Guinea. Sebagian besar daerah dataran rendah ini terdiri dari rawa-rawa yang luas.
Selatan Pegunungan Jayawijaya Daerah ini adalah suatu dataran rendah yang maha luas dan terdapat sungai-sungai yang berasal dari Pegunungan Jayawijaya. Dua sungai yang terbesar di antaranya adalah Sungai Eilanden dan Sungai Digul dengan cabangnya, Sungai Muyu di dekat
Secara ringkas, sistem kebudayaan dan mata pencaharian masyarakat Papua di tiga wilayah tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Pengelompokan dan beberapa perbedaan antara masing-masing suku di Papua
No
Aspek
Daerah Kepala Burung
Daerah Pegunungan Tengah hingga Pantai Utara
Daerah Dataran Rendah di Sebelah Selatan Pegunungan Jayawijaya
1
Cakupan wilayah
Sorong, Manokwari, FakFak,Teminabuan,Steenkol, Ransiki, Kaimana,Kokas, Ayamaru, Wendesi
Daerah Pegunungan Jayawijaya, daerah danaudanau tengah, daerah Pegunungan Utara dan dataran rendah di bagian utara Papua
Kabupaten Merauke, Pulau Kolepom dan Daerah Sungai Digul
2
Perwakilan suku
Ayamaru dan Wandamen
Mee, Dani, Kaure,Tobati dan Enggros, Bauzi, Sentani
Awyu dan Kimaam
3
Kepemilikan tanah adat
Milik perorangan dengan pola patrilineal.
Dimiliki secara komunal (hak kolektif) oleh sebuah klan
Merupakan hak pribadi perorangan, diatur oleh keluarga inti dan dikuasai oleh keluarga batih
4
Mata pencaharian utama
Ayamaru: berkebun dan berburu Wandamen : bercocok tanam sayur-sayuran
1.Berkebun 2.Beternak babi 3.Peramu dan pengumpul 4.Menangkap ikan
1. Peramu dan pengumpul 2. Berburu 3. Menangkap ikan 4. Berkebun
5
Makanan pokok
Ayamaru: keladi Wandamen: sagu dan ikan
Ubi, petatas, keladi, sagu dan ikan
Sagu dan ikan
6
Kekayaan/benda berharga
Ayamaru: kain timur (boo) Wandamen: piring-piring dan kendi keramik
Mege/kulit kerang, gelang atau manik-manik dan sejumlah babi
Pemilikan dusun, sagu dan rawa dan juga kesempurnaan hidup
7
Pendapatan kontan
Ayamaru: tidak ada yang gratis, kain timur menjadi medium perdagangan, sekarang ditambah rupiah. Wandamen: piring antik ditambah uang (namun sifatnya temporer)
Mege/kulit kerang/manikmanik dan kini ditambah rupiah
Uang masih terbatas dan bersifat temporer
8
Pola perkawinan
Eksogami (bentuk perkawinan keluar dari klan)
Poligami/bigami (istri lebih dari satu) dan eksogami (bentuk perkawinan ke luar dari klan)
Monogami, poligami yg prestise (perkawinan karena suatu hasil yang membanggakan, seperti mendapatkan hasil buruan) dan eksogami (bentuk perkawinan keluar dari klan)
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
15
No
9
Aspek
Sistem keturunan
10. Sistem hukum
Daerah Kepala Burung
Daerah Pegunungan Tengah hingga Pantai Utara
Daerah dataran rendah di sebelah selatan Pegunungan Jayawijaya
Patrilineal
Patrilineal
Patrilineal
Hukum adat perkawinan dan tanah adat
Hukum adat perkawinan dan tanah adat
Hukum adat perkawinan dan tanah adat
Sumber: Taime (2002)
Papua dalam Era Otonomi Khusus Otonomi Khusus (UU No. 21 Tahun 2001) yang disahkan pada tanggal 21 November 2001 telah memberikan peluang yang cukup besar bagi Papua untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Peluang ini setidaknya tercermin dalam beberapa aspek dalam Otonomi Khusus yaitu: " Otonomi Khusus memberi kesempatan bagi pemerintah dan masyarakat Papua untuk menentukan strategi pembangunan yang sesuai dengan kondisi setempat dan memenuhi aspirasi masyarakat Papua, terutama masyarakat asli Papua yang sebelumnya terpinggirkan dalam proses pembangunan (Bab IV Pasal 4 tentang Kewenangan Daerah dan Bab X tentang Perekonomian).
" Otonomi Khusus memberi peluang dalam
peningkatan pendapatan daerah yang dapat digunakan sebagai modal dasar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua di masa depan (Bab IX Pasal 33, 34, 35 dan 36 tentang Keuangan). " Otonomi Khusus juga mewajibkan Pemerintah Provinsi Papua mengelola lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, hak-hak masyarakat adat, melindungi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, untuk sebesarbesarnya kesejahteraan masyarakat (Bab XIX Pasal 63 dan 64 tentang Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup). Satu hal yang penting adalah meningkatnya dana bagi hasil dari Pemerintah Pusat, seperti tergambar pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Dana perimbangan yang berasal dari bagi hasil pajak dan hasil sumber daya alam di Provinsi Papua menurut UU Otonomi Khusus (UU No. 21 Tahun 2001 Bab IX Pasal 34)
Persentase yang diterima oleh Provinsi dan Kabupaten di Papua
Persentase yang diterima oleh Pemerintah Pusat
1. Pajak Bumi dan Bangunan 2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 3. Pajak Penghasilan Orang Pribadi
90%
10%
80%
20%
20%
80%
1. Kehutanan 2. Perikanan 3. Pertambangan umum 4. Pertambangan minyak bumi 5. Pertambangan gas alam
80% 80% 80%
20% 20% 20%
70%
30%
70%
30%
Jenis penerimaan
a. Bagi hasil pajak
b. Bagi hasil sumber daya alam
Rincian
Sumber: diadopsi dari UU No.21 tahun 2001
16
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
dari luar negeri, Pemda Papua harus mendapat pertimbangan dan persetujuan DPRP dan pemerintah.
Khusus untuk penerimaan dari tambang minyak dan gas bumi, ada beberapa catatan yaitu: " Aturan pembagian hasil penerimaan dari minyak dan gas sesuai dengan UU Otonomi Khusus ini berlangsung selama 25 tahun. " Mulai tahun ke-26 pelaksanaan Otonomi Khusus, penerimaan dari minyak bumi menjadi 50% dan pertambangan gas alam 50%. " Pembagian lebih lanjut antara Provinsi Papua, Kabupaten dan Kota diatur melalui perdasus dengan memberikan perhatian pada daerahdaerah yang tertinggal. " Sekurang-kurangnya 30% penerimaan dari tambang minyak bumi dan gas alam ini dialokasikan untuk biaya pendidikan dan sekurang-kurangnya 15% untuk kesehatan dan perbaikan gizi.
Sebelum era desentralisasi, ada tiga sumber utama penerimaan Provinsi Papua yaitu: 1) Pendapatan Asli Daerah (PAD); 2) Bagi hasil pajak dan non-pajak dari sumber daya alam dan 3) Transfer dari Pemerintah Pusat dan bantuan luar negeri untuk proyek pembangunan. Pada tahun anggaran 1998/1999, total penerimaan Provinsi Papua hanya Rp 365 miliar. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari pajak daerah, restribusi dan bagi hasil badan usaha milik pemerintah hanya sekitar 10% dari total penerimaan daerah. Penerimaan dari bagi hasil pajak dan non-pajak mencapai 51% dari total penerimaan daerah (royalti dari pertambangan sendiri menyumbang hampir 40% dari total bagi hasil ini). Bantuan dan hibah untuk proyek pembangunan mencapai lebih dari 35% dari total penerimaan daerah (APBD 1998/1999).
Selain Dana Perimbangan dari Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam di atas, ada beberapa sumber penerimaan khusus dari Pemerintah Pusat yaitu: " Dana Alokasi Umum (DAU) yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangundangan. " Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan memberikan prioritas kepada Provinsi Papua. " Penerimaan khusus yang besarnya setara dengan 2% dari DAU Nasional, terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Penerimaan khusus ini berlaku selama 20 tahun. Pembagian lebih lanjut antara Provinsi Papua, Kabupaten dan Kota diatur melalui perdasus dengan memberikan perhatian pada daerah-daerah yang tertinggal. " Dana tambahan. Besarnya ditetapkan antara pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan provinsi pada setiap tahun anggaran. Dana tambahan terutama untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Dilihat dari ketersediaan anggaran daerah, sangat jelas Otonomi Khusus memberikan peluang yang besar bagi masyarakat Papua untuk meningkatkan kesejahteraannya. Data tahun 2002 menunjukkan penerimaan Provinsi Papua (APBD 2002) lebih dari Rp 1,9 triliun. Lebih dari 70%-nya berasal dari penerimaan khusus dari pemerintah pusat sebagai pelaksanaan Otonomi Khusus. Perubahan total dan komposisi penerimaan Provinsi Papua dalam APBD dari tahun 1997-2002 dapat dilihat pada Diagram 7 di bawah ini. Diagram 7. Total dan Komposisi Penerimaan Provinsi Papua (Periode 1997-2002) 1997/1998
Kas dan perhitungan Bantuan/Sumbangan Dana Otsus Dana Reboisasi (DR) Dana Tambahan untuk Otsus Dana Alokasi Umum Dana Pembangunan Daerah Dana Rutin Daerah Bagi Hasil Pajak dan Non Pajak Pendapatan Asli Daerah (PAD) Surplus anggaran tahun lalu
Selain Dana Perimbangan, Otonomi Khusus juga memperbolehkan Provinsi Papua menerima bantuan luar negeri atas sepengetahuan Pemerintah. Provinsi Papua dapat mengajukan pinjaman dari sumber dalam negeri maupun luar negeri untuk membiayai sebagian anggarannya. Untuk mendapatkan pinjaman dari sumber dalam negeri, Provinsi Papua harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Untuk mendapatkan pinjaman
Tahun
1998/1999
1999/2000
2001
2002 0
500
1,000
1,500
2,000
Total Penerimaan (dalam milyar rupiah) Catatan Sumber
: Ada perubahan APBD tahun 2001 menjadi Rp. 776.667.966,364 : APBD 1997/1998-2002
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
17
Pemekaran Provinsi Papua Pada tanggal 27 Januari 2003, Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1/ 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU No. 45 tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong (Lihat Peta 1). Menurut UU No. 45 tahun 1999, pertimbangan resmi pemekaran Provinsi Papua adalah perkembangan jumlah penduduk, luas wilayah, potensi sosial, ekonomi, budaya serta tingginya beban tugas dan volume kerja pemerintah yang ada sekarang. Pemekaran provinsi ini diharapkan dapat mendorong peningkatan pelayanan di
bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah untuk melaksanakan Otonomi Daerah. Sampai saat ini, pemekaran Papua menjadi tiga provinsi ini masih menjadi polemik karena sebagian masyarakat masih menolaknya. Namun demikian Provinsi Irian Jaya Barat akhirnya berhasil terbentuk dengan Manokwari sebagai ibu kota provinsi. Walaupun putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU No. 45 tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong tidak lagi mempunyai ketentuan hukum yang tetap tapi MK memutuskan Provinsi Irian Jaya Barat tetap sah. 3
Peta 1. Pemekaran Provinsi Papua (Instruksi Presiden No. 1/2003)
Sumber: Instruksi Presiden No. 1/2003 dalam http://www.papuaweb.org
3
18
Paragraf ini diambil dari http://www.tempointeraktif.com
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
Isu-isu Kunci dalam Konservasi dan Ekonomi di Papua
R
angkaian kegiatan RACE seperti pembuatan makalah, diskusi kelompok teknis dan pertemuan para pihak yang partisipatif berhasil mengidentifikasi dan menyepakati isu-isu kunci yang berhubungan dengan konservasi dan ekonomi di Papua. Isu-isu kunci ini adalah 1) kemiskinan dan ketertinggalan dalam pembangunan; 2) tingkat ketergantungan yang tinggi pada kegiatan industri ekstraktif; 3) ancaman terhadap keanekaragaman hayati, dan 4) lemahnya kapasitas kelembagaan. Penjelasan lebih rinci mengenai masingmasing isu kunci akan dibahas di bawah ini.
Photo: M.Boissiere (CIFOR)
Kemiskinan dan Ketertinggalan dalam Pembangunan Walaupun kegiatan ekstraktif di Papua telah berlangsung puluhan tahun, masyarakat Papua masih tetap termasuk dalam kategori penduduk miskin di Indonesia. Data BPS Indonesia (2004) menunjukkan persentase penduduk miskin di Papua pada tahun 2002 mencapai 39% dari total jumlah penduduk, menjadikan Papua sebagai provinsi termiskin, dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia (Lihat Diagram 8). Rata-rata persentase penduduk miskin untuk tingkat nasional pada tahun yang sama adalah 17,4% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Diagram 8. Persentase Penduduk Miskin di Tiap Provinsi di Indonesia Pada Tahun 2002 Persentase penduduk miskin (%)
40 35 30 25 20 15 10 5 PAPUA
MALUKU UTARA
MALUKU
SULTRA
SULSEL
SULTENG
GORONTALO
SULUT
KALTIM
KALSEL
KALTENG
KALBAR
NTT
NTB
BALI
JATIM
DI YOGYAKARTA
JATENG
JABAR
DKI JAKARTA
BANTEN
BABEL
LAMPUNG
BENGKULU
SUMSEL
JAMBI
RIAU
SUMBAR
SUMUT
NAD
0
Sumber: BPS Indonesia (2004)
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
19
Lanjouw, et. al (2001) menyebutkan persentase jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di Papua, dengan menggunakan angka garis kemiskinan yang resmi, adalah sekitar 23,7% untuk daerah pedesaan dan 9,5% untuk daerah perkotaan.4 Sedangkan untuk tingkat nasional persentase penduduk nasional yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun yang sama adalah 11%. Penelitiannya ini juga menyimpulkan Provinsi Papua sebagai provinsi ketiga termiskin di Indonesia setelah Timor Timur (yang pada waktu data diambil masih menjadi bagian dari Indonesia) dengan angka 33,1% dan Maluku dengan 24,7%. Tingkat kesehatan masyarakat Papua juga masih jauh dari yang diharapkan. Angka kematian bayi di Papua dapat digolongkan tinggi yaitu 100 per 1.000 kelahiran bayi hidup, dibandingkan dengan angka di tingkat nasional, yaitu 57 per 1.000 kelahiran bayi hidup pada tahun 1996. Angka kematian ibu juga cukup tinggi di Papua yaitu
anak yang kekurangan gizi di Papua mencapai 29% di daerah perkotaan dan 28% di daerah pedesaan (Lanjouw, et.al, 2001). Persentase rumah tangga di Papua yang mempunyai akses air bersih (yang berasal dari pompa, mata air dan sumber terlindung) hanya kurang dari 30% saja (BPS Indonesia, 2004). Dari segi pendidikan, angka buta huruf masih cukup tinggi, terutama di daerah pedesaan yaitu 44,13% sedangkan di daerah perkotaan hanya 3,59% pada tahun 1996. Angka buta huruf ini jauh di atas angka buta huruf di tingkat nasional sekitar 14,66% pada tahun yang sama (Lanjouw, et.al, 2001). Tingkat pendidikan di Papua juga masih sangat rendah, persentase jumlah penduduk usia kerja (>15 tahun) yang lulus sekolah dasar hanya kurang dari 30% saja (BP3D dan BPS Provinsi Papua, 2002). Secara lengkap persentase tingkat pendidikan penduduk usia kerja (>15 tahun) di Papua dapat dilihat pada Diagram 9 di bawah ini.
Diagram 9. Persentase Tingkat Pendidikan Penduduk Usia Kerja (> 15 tahun) di Provinsi Papua Tahun 2000 Diploma I/II 0.44%
Akademi 0.73% Universitas 1.41%
Lulus Sekolah Kejuruan Atas 5.59% Lulus SMU 8.85%
Tidak Pernah Sekolah 23.59%
Lulus Sekolah Kejuruan Menengah 1.21% Lulus SMP 18.82%
Tidak lulus SD 12.01% Lulus SD 27.33% Sumber: BP3D dan BPS Provinsi Papua (2002)
sekitar 600-700 per 100.000 kelahiran, dibandingkan dengan angka kematian ibu di tingkat nasional yang sekitar 450 per 100.000 kelahiran pada tahun 1991. Tingkat harapan hidup di Papua juga termasuk yang terendah di antara provinsi lain di Indonesia (Taime, 2002). Data tahun 1996 menunjukan, persentase jumlah
4
20
Ketidakseimbangan dalam bagi hasil penerimaan dari pengelolaan sumber daya alam dianggap menjadi salah satu penyebab tingkat kemiskinan dan ketertinggalan dalam pembangunan di Provinsi Papua. Dalam sistem sentralisasi, Papua memberi kontribusi cukup besar pada penerimaan Pemerintah Pusat dibandingkan
Pemerintah Indonesia menetapkan garis kemiskinan untuk tiap provinsi, baik untuk perkotaan dan pedesaan. Garis kemiskinan menggambarkan pengeluaran yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gizi harian yaitu 2.100 kalori per orang per hari ditambah dengan pengeluaran untuk kebutuhan bukan makanan lainnya (Lanjouw, et. al, 2001).
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
dengan provinsi lain di Indonesia, tapi sebaliknya Papua hanya menerima sebagian kecil saja realokasi dana dari Pusat. Sebagai contoh, pada tahun 1997 PT Freeport Indonesia membayar Pemerintah Pusat US$ 237 juta yang terdiri dari deviden, royalti dan pajak, tapi pada tahun yang sama Provinsi Papua hanya menerima sekitar US$ 12 juta saja atau sekitar 12% dari total penerimaan langsung dari PT Freeport Indonesia (Sumule, 1999).
turut (BP3D dan BPS Provinsi Papua, 2002). Ditinjau kontribusinya pada total nilai ekspor dari Papua, sektor pertambangan umum, minyak dan gas, kehutanan dan perikanan menyumbangkan masing-masing 84,19%; 3,2%; 5,18% dan 7,40% secara berturut-turut pada tahun 2002 (BP3D dan BPS Provinsi Papua, 2002). Walaupun demikian total keempat sektor industri ekstraktif ini hanya menyerap sekitar 10% saja tenaga kerja yang ada di Provinsi Papua.
Tingkat Ketergantungan yang Tinggi pada Kegiatan Industri Ekstraktif
Pertambangan Umum Sektor pertambangan telah memberikan kontribusi terbesar pada total PDRB Papua, walaupun hanya menyerap lebih kurang 1% tenaga kerja. Kontribusi sektor pertambangan pada total PDRB terus meningkat sejak tahun 1998, mencapai rata-rata 60% dari total PDRB. Sebelum tahun 1998 total kontribusi dari sektor pertambangan hanya berkisar 50% dari total PDRB. Pada tahun 2002, kontribusi sektor pertambangan turun sedikit menjadi 53,61% dari total PDRB, sama seperti sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1998.
Kegiatan RACE menemukan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Papua sangat tergantung dari kegiatan industri ekstraktif. Industri ekstraktif yang sangat besar pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi di Provinsi Papua adalah sektor pertambangan umum yang menyumbang 50-60% untuk total PDRB Provinsi. Industri ekstraktif lain seperti minyak dan gas bumi, kehutanan dan perikanan tangkap masing-masing menyumbang 5%, 4% dan 6% untuk total PDRB Provinsi Papua pada tahun 2002 secara berturut-
Diagram 10. Kontribusi Setiap Sektor Ekonomi pada Total PDRB Papua (1998-2002)
2002
Jasa Keuangan dan perbankan Transportasi dan komunikasi Perdagangan, hotel dan restoran Konstruksi Listrik & air Industri Pengolahan Pertambangan, galian, minyak dan gas Pertanian
Tahun
2001
2000
1999
1998
0
10
20
30
40
50
60
70
Kontribusi terhadap total PDRB (%) Sumber: BP3D dan BPS Provinsi Papua(2002)
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
21
Dari sejumlah konsesi pertambangan yang ada di Papua, baru PT Freeport Indonesia (PTFI) yang sudah melakukan kegiatan eksploitasi setelah menemukan deposit emas terbesar di dunia dan deposit tembaga kedua terbesar di dunia pada tahun 1988. Sampai tahun 2002, PTFI mampu memproduksi total 230.000 metrik ton per hari. Sekitar 30% dari produksi ini dikirim ke PT Smelting di Gresik, Jawa Timur, untuk diolah lebih lanjut (FCX, 2003). Menurut PTFI, sampai akhir 2003 lokasi PTFI di Grasberg memiliki cadangan (proven dan probable) sebanyak 54,5 miliar pound (atau setara dengan 24,7 juta ton) tembaga dan 60,4 juta ons emas. Dengan cadangan mineral sebanyak ini, PTFI diprediksi akan dapat beroperasi sampai beberapa dekade ke depan. Sektor pertambangan (sebagian besar dari PTFI) telah memberi kontribusi cukup besar pada total APBD. Total kontribusi sektor pertambangan dari periode 1993/1994 sampai 1999/2000 sekitar 26,58% (atau senilai Rp 538,68 miliar) dari total APBD periode tersebut (yang berjumlah sekitar Rp 2 triliun). Secara lengkap kontribusi per sektor ekonomi pada APBD Provinsi Papua sebelum Otonomi Khusus dapat dilihat pada Diagram 11 di bawah ini.
Menurut data PTFI (FCX, 2000), selama periode 1995-2000 keuntungan finansial dari PTFI yang diterima Pemerintah Indonesia mencapai US$ 1,28 miliar yang terdiri dari deviden, royalti, pajak dan restribusi lain. Sedangkan kontribusi tidak langsung dari PTFI selama periode waktu tersebut mencapai US$ 4,34 miliar terdiri dari gaji karyawan, belanja lokal, pembangunan lokal, sumbangan dan reinvestasi. Kontribusi PTFI kepada Indonesia cenderung menurun selama periode 1995 sampai 2000 (Lihat Diagram 12). Pada tahun 1995, kontribusi (langsung dan tidak langsung) PTFI mencapai US$ 1,27 miliar dan pada tahun 2000 menurun menjadi US$ 643 juta. 5 Penyebab utama turunnya kontribusi PTFI ini adalah turunnya harga emas dan tembaga di Indonesia. Harga emas turun dari US$ 322/ons tahun 1995 menjadi US$ 276/ons tahun 1999. Sedangkan harga tembaga turun dari US$ 2.459/ ton tahun 1995 menjadi US$ 1.336/ton tahun 1999 walaupun pada tahun 1997, harga ini naik kembali menjadi US$ 2.101/ton dari US$ 1.971/ ton pada tahun 1996 (World Bank, 2001). Dari segi penyerapan tenaga kerja, PT Freeport Indonesia mempekerjakan kurang lebih 7.800 tenaga kerja tetap dan 1.600 tenaga kerja kontrak. Dari total ini, kurang lebih 2.500 atau sekitar 25% adalah orang Papua (FCX, 2003).
Diagram 11. Kontribusi Per Sektor Ekonomi pada Total APBD Sebelum Otonomi Khusus (1993/1994-1999/2000)
Sisa Anggaran Tahun Lalu 7.68% Lain-lain 0.17% Pendapatan Asli Daerah
Mineral Group C 0.55%
7.71% Sumbangan Pembangunan 46.41%
Pajak Bumi dan Bangunan 6.55% Iuran Hasil Hutan 3.11% Ijin HPH 1.13% Royalti Pertambangan 26.58%
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 0.13% Sumber: Dispenda Provinsi Papua (2000)
5
22
Diproses dari Annual Report Freeport-McMoran Copper and Gold, Inc (2000)
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
Kontribusi langsung dan tidak langsung (dalam juta US$)
Diagram 12. Kontribusi (langsung dan tidak langsung) PTFI pada Pemerintah Indonesia dan Provinsi Papua selama 1995-2000 (dalam juta US$) 1400 1200
Pemerintah Indonesia Papua
1000 800 600 400 200 0 1995
1996
1997
1998
1999
2000
Tahun Sumber: BP3D dan BPS Provinsi Papua (2002)
Minyak dan Gas Bumi Minyak dan gas bumi di Papua mulai dibangun pertama kali di daerah sekitar Sorong, Salawati dan Teluk Bintuni. Perusahaan minyak pertama yang mulai beroperasi di Papua sejak tahun 1964 adalah Pertamina Operation EP, yang meliputi daerah Klamono, Salawati dan Wiriagar. Walaupun jauh lebih kecil dari sektor pertambangan umum, minyak dan gas bumi juga memberi kontribusi yang cukup signifikan bagi perekonomian baik di tingkat nasional maupun provinsi. Pertambangan minyak dan gas alam memberi kontribusi sebesar 3,37% sampai 5,54% dari total PDRB Provinsi Papua. Sektor ini juga menyumbang sekitar 3,12% dari total nilai ekspor Provinsi Papua atau senilai US$ 55 juta pada tahun 2002, yang berasal dari ekspor 1,35 juta barrel gas alam dan 341 ribu barrel minyak residu (BP3D dan BPS Provinsi Papua, 2002). Total PDRB dari sektor minyak dan gas bumi cenderung stabil sampai tahun 1997, dengan rata-rata Rp 300 miliar per tahun, tetapi kemudian melonjak tajam di tahun 1998 mencapai Rp 824 miliar. Total nilai PDRB dari
6
pertambangan minyak dan gas bumi turun tahun 1999 menjadi Rp 577 miliar. Penurunan terjadi karena menurunnya produksi minyak dan gas bumi secara drastis dari 7.792.832 barrel pada tahun 1998 menjadi 1.834.085 barrel pada tahun 1999 (Dwiyana, 2001). Tetapi penurunan ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 2000 total nilai tambah dari pertambangan gas dan bumi naik kembali menjadi Rp 966 miliar (BP3D dan BPS Provinsi Papua, 2002). Pada tahun 1998, ditemukan cadangan gas bumi di Wiriagar, Bintuni dan dikenal dengan “Gas Alam Tangguh.” Eksplorasi British Petroleum (BP) bersama Pertamina menemukan cadangan gas alam di Bintuni dapat diolah selama 15-20 tahun dengan produksi tiga juta ton per tahun. Proyek ini akan membawa penghasilan yang sangat besar bagi Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Provinsi. Diperkirakan, setidaknya Pemerintah Indonesia akan memperoleh US$ 3 miliar per tahun dari hasil produksi Gas Alam Tangguh ini (Dourueng, 2002). Kegiatan RACE juga menemukan beberapa persoalan dalam pembangunan sektor pertambangan di Papua, antara lain: ! Reinvestasi : Bagaimana menjamin
reinvestasi yang cukup dari sektor pertambangan-dengan menyisihkan sebagian keuntungan dari kegiatan pertambanganuntuk membangun aset alternatif yang bisa digunakan setelah bahan tambang habis suatu hari nanti? # Diperlukan penilaian aset sumber daya tambang secara keseluruhan (asset accounting). # Khusus untuk sektor pertambangan, formula yang seringkali dipakai dan diterima secara internasional untuk menghitung berapa keuntungan bersih dari kegiatan pertambangan yang harus direinvestasikan kembali per tahunnya untuk membangun aset alternatif adalah metode user cost. 6
User Cost adalah sebagian pendapatan dari hasil penjualan aset (tambang) yang harus disisihkan untuk direinvestasikan kembali guna mempertahankan aliran pendapatan yang ada saat ini. User Cost = R/(1+r)T+1. Di mana R = net profits, yaitu pendapatan bersih dari hasil penjualan sumber daya tambang dikurangi biaya-biaya produksi, tapi belum dikurangi biaya-biaya untuk pajak, royalti dan lain-lain; r = discount rate yang realistis, berkisar antara 3% - 10%; T = jangka waktu sisa umur dari sumber tambang, yaitu total cadangan/jumlah pengambilan tambang pada tahun tersebut.
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
23
! Pemerataan pembangunan sosial ekonomi:
Bagaimana menjamin pemerataan peluang pembangunan sosial ekonomi dari industri pertambangan untuk masyarakat di Papua? # Sumber mineral yang dikelola secara komersial hanya terletak di beberapa lokasi saja. # Industri pertambangan hanya menyerap sedikit tenaga kerja dengan keterampilan khusus. # Keterampilan masyarakat asli Papua seringkali tidak memadai dan tidak sesuai dengan kebutuhan industri pertambangan. Misalnya, dari total 9.400 tenaga kerja di PT Freeport Indonesia, kurang lebih 2.500 atau hanya sekitar 25% saja yang merupakan orang Papua asli. ! Best Practice: Bagaimana menjamin
pelaksanaan best environmental practices dalam operasi pertambangan. # Eksploitasi bahan tambang di Papua sebagian besar menyebabkan perubahan fisik bentang alam, baik dari kegiatan pembangunan infrastruktur, penggalian bahan tambang dan pembuangan limbah. # Salah satu masalah lingkungan serius yang ditimbulkan dari sektor pertambangan adalah pembuangan limbah beracun. Data tahun 1999 menunjukan PT Freeport Indonesia membuang sekitar 110.000 ton limbah beracun (tailing) setiap harinya ke dalam sungai setempat dan merusak lebih dari 2.000 hektar hutan di sekitarnya (Latin, 1999).
# Sedikitnya 30.000 ton limbah padat yang dibuang ke Danau Wanagon setiap harinya, mengakibatkan pecahnya bendungan dan empat orang pekerja meninggal (Media Indonesia, 6 Juni 2000). # Ditemukan air yang mengandung phenol kadar tinggi yang tidak aman untuk dikonsumsi oleh manusia dan ribuan pohon telah mati di daerah-daerah Ajkwa dan Kali Kopi di Timika (Dwiyana, 2001).
Kehutanan Kegiatan penebangan hutan di Papua sudah dimulai dari tahun 1980-an. Sektor kehutanan sering dianggap sebagai sektor yang penting dalam pertumbuhan ekonomi di Papua, padahal kontribusi sektor kehutanan pada total PDRB Provinsi Papua cenderung menurun selama periode 1994 sampai 2002. Pada tahun 1994, sektor kehutanan menyumbang 7% dari total PDRB Provinsi Papua dan pada tahun 2002, menurun menjadi hanya sekitar 4% saja (BP3D dan BPS Provinsi Papua, 2002). Sektor kehutanan juga hanya menyerap sebagian kecil saja (sekitar 2%) dari total tenaga kerja di Papua yaitu hanya sekitar 21.835 orang yang bekerja di sektor ini (Kayoi, 2004). Terus menurunnya kontribusi sektor kehutanan pada total PDRB dapat disebabkan karena terus menurunnya hasil produksi kayu di Papua. Data resmi produksi kayu dari kegiatan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) di Papua selama periode 1995 sampai 2000 dapat dilihat pada Diagram 13 di bawah ini.
Diagram 13. Produksi kayu dari HPH dan IPK di Provinsi Papua Periode 1995/1996-1999/2000
1995/1996 IPK Non Group Korindo Group Hanurata Group Alas Kusuma Group Mutiara Timber Group Barito Pasific Group KLI Group Djajanti Group
Tahun
1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 0
500,000
1,000,000
1,500,000 Volume (m3)
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Papua (2000)
24
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
2,000,000
2,500,000
3,000,000
Dari hasil analisa APBD ternyata sektor kehutanan juga tidak memberikan kontribusi yang signifikan pada pendapatan daerah. Selama periode tahun anggaran 1993/1994 sampai tahun anggaran 1999/2000, sektor kehutanan hanya menyumbang sekitar 4,3% saja dari jumlah total APBD Provinsi Papua. Selama periode tujuh tahun tersebut sektor kehutanan memberi total kontribusi sekitar Rp 87 miliar pada APBD Provinsi. Sumber pendapatan ini berasal dari biaya leges, pendapatan dari Dinas Kehutanan, serta bagi hasil dari Izin Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Iuran Hasil Hutan (IHH). Total penerimaan pemerintah yang disetorkan dari HPH/IPK/IPKH yang ada di Papua selama periode 1995-2000 dapat dilihat pada Tabel 5.
Dalam makalahnya, Wurarah (2001) mengidentifikasi beberapa kemungkinan penyebab turunnya produksi kayu yang berasal dari HPH di Papua. Salah satunya adalah menurunnya jumlah HPH aktif di Papua. Pada tahun 2001 tercatat 12 HPH yang berhenti beroperasi dari 54 HPH yang ada di Papua pada saat itu. Beberapa alasan berhentinya HPH-HPH ini beroperasi antara lain: 1) tidak menyerahkan Rencana Kerja Tahunan (RKT); 2) menghadapi konflik terus menerus dengan masyarakat (terutama masalah kompensasi); 3) semakin jauhnya jarak lokasi penebangan; 4) semakin mahalnya biaya produksi; 5) semakin banyaknya pungutan sektor kehutanan; dan 6) habisnya masa berlaku izin HPH. Walaupun sektor kehutanan hanya memberikan kontribusi kurang dari 7% dari total PDRB Provinsi Papua, tetapi di beberapa kabupaten sektor ini memberi kontribusi yang cukup besar. Di Kabupaten Merauke, Mimika, Manokwari dan Yapen Waropen, kegiatan sektor kehutanan menyumbang lebih dari 20% total PDRB masingmasing kabupaten tersebut. Kontribusi sektor kehutanan per kabupaten di Provinsi Papua dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.
Dari total Rp 131,5 miliar penerimaan IHH yang disetorkan oleh pengusaha HPH/IPK/IPKH, hanya Rp 53,9 miliar atau sekitar 41,02% yang didistribusikan kembali ke Provinsi Papua dalam bentuk dana perimbangan dalam APBD (Dispenda Provinsi Papua, 2000). Sedangkan Dana Reboisasi yang berjumlah Rp 241 miliar dan US$ 265 juta, tidak ada yang dikirim kembali untuk APBD Provinsi Papua.
Tabel 4. Kontribusi sektor kehutanan pada PDRB di tiap kabupaten di Provinsi Papua selama tahun 1994-1999
Kontribusi (%) No
Kabupaten Provinsi Papua
1994
1995
1996
1997
1998
1999
7,40
6,41
6,47
6,02
3,20
4,91
1
Jayapura
13,20
13,14
13,13
12,79
12,32
13,47
2
Merauke
31,19
30,82
27,76
26,63
20,41
20,74
3
Jayawijaya
0,44
0,44
0,43
0,43
0,42
0,58
4
Paniai
12,90
13,41
13,69
11,76
14,70
13,96
5
Fak-fak (tanpa Timika)
12,84
12,86
12,85
12,28
11,47
11,48
6
Mimika
15,06
12,14
10,78
14,92
15,58
24,26
7
Sorong
7,19
7,79
7,99
6,48
4,49
4,99
8
Manokwari
32,40
33,40
33,33
31,44
18,43
20,45
9
Yapen Waropen
24,87
24,61
23,82
23,71
22,93
20,48
1,04
1,07
1,11
1,07
0,90
1,36
10
Biak
Sumber: BPS Provinsi Papua (1999)
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
25
Tabel 5. Penerimaan pemerintah (dari IHH dan DR) dari pemegang HPH/IPK/IPKH di Papua dalam lima tahun terakhir (1995/1996 – 1999/2000)
Jenis Penerimaan No.
Tahun
PSDH/IHH
DR
(Rp)
Rp
1
1995/1996
11.276.622.760,32
20.744.839.885,60
2
1996/1997
19.083.484.098,57
33.769.866.541,88
3
1997/1998
27.606.971.001,02
60.737.462.299,62
4
1998/1999
28.401.750.543,70
74.097.953.934,86
5
1999/2000 Total
US$
8.367.716,48
45.217.851.347,75
51.851.897.233,34
256.719.428,74
131.586.679.751,36
241.202.019.895,30
265.087.145,22
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Papua (2001)
Studi yang dilakukan oleh Wurarah (1998) dalam Wurarah (2001) di Kabupaten Manokwari selama lima tahun memperlihatkan bahwa manfaat langsung dari sektor kehutanan pada masyarakat sekitar hutan sangatlah kecil, dengan perincian sebagai berikut: ! Manfaat langsung yang diperoleh pemerintah berupa berbagai pungutan dan restribusi sebesar: (5,04 ± 1,45)% ! Manfaat langsung yang diperoleh masyarakat lokal berupa PMDH dan kompensasi langsung sebesar: (1,63 ± 0,78) % ! Manfaat yang diterima masyarakat berupa upah/gaji sebesar (19,35 ± 7,42)% ! Manfaat (gross benefit) yang diperoleh pemegang konsesi sebesar ( 73,98 ± 6,80)% Hasil penelitian pada sampel HPH di Kabupaten Jayapura yang dilakukan oleh Wurarah (2001) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Di Kabupaten Jayapura, manfaat yang diterima pemerintah rata-rata sebesar 6,5 %, yang diterima masyarakat rata-rata sebesar 2,3% sedangkan yang diterima pemegang konsesi, berupa gross benefit, rata-rata sebesar 91,2%.
Perikanan tangkap Berbeda dengan industri sektor kehutanan yang cenderung menunjukkan penurunan dari segi kontribusinya pada total PDRB Provinsi Papua, sektor perikanan justru menunjukkan kecenderungan yang sebaliknya. Kontribusi
26
sektor perikanan pada total PDRB Provinsi Papua terus meningkat selama periode 1994 sampai 2002. Tahun 2002, total nilai tambah dari sektor perikanan mencapai Rp 1,4 triliun dan menyumbang sekitar 6,2% dari total PDRB Provinsi Papua pada tahun tersebut (BP3D dan BPS, 2002). Jumlah nelayan perikanan tangkap juga terus bertambah selama tahun 1993-1999 dengan tingkat pertumbuhan 16,26% per tahun. Pada tahun 1997 terdapat sekitar 73.013 orang yang bekerja sebagai nelayan dan mengoperasikan 25.977 kapal penangkap ikan di laut Papua. Ini berarti sektor industri perikanan menyerap lebih dari 7% tenaga kerja di Papua pada tahun 1997. Menurut data Dinas Perikanan (1999), pertumbuhan jumlah kapal penangkap ikan di Papua adalah sekitar 6,18% per tahun. Pada tahun 1997 terdapat 62 perusahaan penangkapan ikan komersial di Provinsi Papua, terutama beroperasi di Kabupaten Sorong, Biak, Merauke, Manokwari, Serui dan Jayapura. Berbeda dengan produksi sektor kehutanan yang terus menurun, nilai ekspor dari sektor perikanan terus meningkat sepanjang tahun. Ikan beku campuran mendominasi volume ekspor dari hasil perikanan sementara produk perikanan yang memberi kontribusi terbesar bagi total nilai ekspor adalah produk udang beku. Total nilai ekspor sektor perikanan dari tahun 19771999 dapat dilihat pada Diagram 14 di bawah ini.
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
Diagram 14. Total Nilai Ekspor dari Industri Perikanan di Provinsi Papua (1977-1999)
Total nilai ekspor (dalam ribuan US$)
160,000 140,000 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
1984
1983
1982
1981
1980
1979
1978
1977
0
Tahun Sumber: Diproses dari Statistik Ekspor Produk Perikanan (berbagai tahun)
Ancaman Terhadap Keanekaragaman Hayati
produksi (22.178.990 ha) yang terdiri Hutan Produksi Terbatas (2.054.110 ha), Hutan Produksi Tetap (10.585.210 ha) dan Hutan Produksi Konversi (9.262.130 ha) ; 2) Kawasan konservasi dan cagar alam (8.025.820 ha) ; 3) Hutan lindung (10.619.090 ha) dan 4) Kawasan perairan (1.678.480 ha). Persentase masingmasing fungsi kawasan hutan di Papua bisa dilihat pada Diagram 15 di bawah ini.
Hilangnya habitat Sesuai dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 891/Kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober 1999, hutan di Papua seluas 42 juta ha itu diklasifikasikan menjadi : 1) Hutan
Diagram 15. Persentase Fungsi Kawasan Hutan di Papua menurut TGHK 1999 Kawasan Perairan 3.98% Hutan Produksi Konservasi 21.94%
Hutan Produksi Tetap 25.07%
Kawasan Konservasi dan Cagar Alam 19.01%
Hutan Lindung 25.15% Hutan Produksi Terbatas 4.86% Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Papua (2001)
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
27
HPH di Provinsi Papua dimulai tahun 1984. Sampai tahun 1997 jumlah HPH di Papua 54 perusahaan HPH. Hampir 12 juta ha hutan produksi (lebih dari 50% hutan produksi yang tersedia) di Papua sudah diberikan kepada 54 HPH itu. Hampir 80 persen kawasan konsesi HPH terdapat di daerah hutan dataran rendah dan 11 persen di daerah rawa (Mertens, 2002a). Kabupaten Merauke, Jayapura dan Manokwari
adalah kabupaten dengan HPH terluas dibandingkan kabupaten lainnya yaitu meliputi 29,95%, 13,11% dan 12,06% berturut-turut dari luas seluruh HPH di Papua. Mungkin karena ketiga wilayah ini cukup datar dan banyak sungai yang bisa digunakan sebagai alat transportasi (Wurarah, 2001). Perkembangan HPH dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Peta 2 di bawah ini.
Peta 2. Pertumbuhan HPH di Papua dari tahun 1984-1999
Sumber Data : 1. Conservation International 2. Digital Chart of the World 3. Badan Planologi, Departemen Kehutanan
28
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
Seperti disebutkan di atas, lebih dari 50% hutan produksi yang tersedia di Provinsi Papua sudah diberikan kepada pemegang HPH. Hutan produksi yang masih tersisa (belum dibebani dengan izin HPH) dapat dilihat pada Peta 3 di bawah ini. Sebagian besar hutan produksi yang belum dibebani izin HPH terletak di Kabupaten Merauke yang berawa.
tahunnya, produksi kayu bulat dari kegiatan penebangan dengan sistem kopermas (Koperasi Peran serta Masyarakat) cenderung meningkat. Sejak tahun 2000, Pemerintah Papua merespon tuntutan masyarakat lokal Papua atas hak ulayat mereka dengan memberikan izin penebangan pada kopermas. Nugroho (2001) menyatakan kopermas merupakan pengejawantahan political
Peta 3. Kawasan Hutan Produksi yang belum dibebani izin HPH di Papua
Data resmi menunjukkan produksi kayu (dari sumber yang legal) di Papua selama tahun 19952000 adalah sekitar 1.701.543 m 3 per tahun atau hanya mencapai sekitar 37,46% dari target produksi setiap tahun yaitu 4.541.945 m 3 per tahun (Dinas Kehutanan Provinsi Papua, 2001). Apabila potensi pohon komersial di hutan Papua adalah sekitar 25-40 m 3/ha (Uncen, 1999), maka rata-rata hutan yang ditebang untuk mendapatkan kayu sejumlah 1,7 juta m 3 per tahun dari kegiatan HPH adalah sekitar 52.000 ha per tahun. Walaupun menurut laporan resmi produksi kayu bulat dari Papua cenderung menurun setiap
will pemerintah yang sedang berubah. Kopermas memberikan ruang dan peluang kepada masyarakat untuk mengakses sumber daya alam hutan dalam koridor tertentu. Upaya itu untuk memberikan desentralisasi serta keuntungan finansial maupun ekonomi yang lebih bagi masyarakat setempat (trickle down effect). Sekilas skema kopermas sangatlah identik dengan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). Sampai akhir tahun 2003, ada sekitar 120 kopermas di Papua dengan luas hutan yang dikelola mencapai 120.000 ha. Satu kopermas hanya mendapat izin mengelola 1.000 ha lahan (Papua Pos, 18 November 2003).
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
29
Kegiatan penebangan hutan dengan mekanisme kopermas ini cenderung terus meningkat. Nampak dari meningkatnya ekspor kayu gelondongan dari kopermas yaitu dari 10.00020.000 m3 per bulan menjadi 30.000 m 3 per bulan dalam beberapa tahun terakhir. 7 Beberapa pihak di Papua meyakini kopermas merupakan masalah yang lebih serius dibandingkan dengan HPH.8 Kopermas diprediksi oleh banyak pakar kehutanan akan merupakan faktor yang menyebabkan degradasi hutan dengan akselerasi yang tinggi bila berjalan dengan model saat ini. Dalam prakteknya, banyak investor dari luar yang memanfaatkan mekanisme kopermas ini untuk mendapatkan izin sehingga mereka tidak perlu membayar bank garansi, yang biasanya diwajibkan bagi kegiatan penebangan skala besar biasa. Kopermas tidak memiliki
kemampuan untuk mengelola hutan dan tidak ada aturan untuk tebang pilih maupun aturan lainnya (Nugroho, 2001). Sebagian besar kopermas berada di wilayah di luar HPH, bahkan termasuk juga di dalam kawasan hutan lindung. Pada bulan Februari 2004, Pemerintah Papua menghentikan proses perizinan lewat mekanisme kopermas dengan tujuan untuk menata izin-izin yang telah diberikan (Cendrawasih Pos, 14 Februari 2004). Analisis spasial yang dilakukan oleh Mertens (2002a) juga menemukan sekitar 11% wilayah HPH yang ada di Papua bertumpang tindih dengan kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi. Peta 4 di bawah ini menunjukkan tumpang tindih areal HPH dengan kawasan konservasi di Papua.
Peta 4. Tumpang tindih areal HPH dengan kawasan konservasi di Papua
7 8
30
Komentar dari Dinas Kehutanan Kabupaten Manokwari dalam Anggraeni (2002c) Komentar dari Benja (WWF Papua) dalam Anggraeni (2002c).
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
Selain sektor kehutanan, sektor pertambangan juga menyebabkan perubahan signifikan bentang alam yang mengandung keanekaragaman hayati tinggi dan fungsi ekosistem di Papua. Berdasarkan data tahun 2000, walaupun konsesi pertambangan yang aktif berproduksi hanya seluas 1,3 juta ha (PT Freeport Indonesia), total wilayah yang sudah dialokasikan untuk kegiatan pertambangan (mulai dari investigasi, ekplorasi dan eksploitasi) mencapai 11 juta ha (atau hampir 25% dari luas seluruh Papua) dan sebagian besar berada di bagian utara Papua (Jatam, 2000). Menurut analisis spasial awal yang dihasilkan dari kegiatan RACE, lebih dari 60% kawasan konservasi (taman nasional, cagar alam, hutan lindung dan suaka margasatwa) berada di dalam wilayah konsesi pertambangan dan hampir 7% lainnya berada di lokasi konsesi pertambangan yang tidak aktif untuk saat ini (Mertens, 2002a). Sekitar 25% areal konsesi pertambangan terletak di kawasan hutan pegunungan dan lebih dari 65% berada dalam hutan dataran rendah.
Pembangunan di sektor perkebunan juga berpotensi menjadi penyebab deforestasi di Papua walaupun saat ini luas perkebunan masih relatif kecil dibandingkan di daerah lain. Biasanya, perkebunan dibangun melalui konversi lahan dengan sistem IPK (Izin Pemanfaatan Kayu). Data Dinas Perkebunan Provinsi Papua (1999a) menunjukkan sampai tahun 1998 perkebunan di Papua mencapai luas 128.183 ha, yang terdiri dari perkebunan rakyat (97.159 ha), perkebunan negara-BUMN (31.024 ha) dan perkebunan swasta (18.270 ha). Sementara itu, wilayah yang sudah mendapatkan izin prinsip dari Pemerintah untuk dikonversi menjadi areal perkebunan mencapai luas 1.263.742 ha. Dinas Perkebunan Provinsi Papua (1999b) juga menyatakan wilayah di Papua yang berpotensi untuk perkebunan mencapai luas 6.115.443 ha. Berarti realisasi pembukaan perkebunan sampai tahun 1998 hanya mencapai 2% saja dari total potensi ini. Kabupaten Merauke mempunyai wilayah yang berpotensi untuk perkebunan terluas mencapai 43,76% dari keseluruhan total wilayah yang berpotensi,
Peta 5. Tumpang tindih Kawasan Konsesi Pertambangan dengan Kawasan Konservasi di Papua
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
31
kemudian Kabupaten Manokwari (15,93%), Kabupaten Jayapura (12,50%), Kabupaten Sorong (10,95%), dan Fak Fak (3,12%). Perkebunan komersial skala besar tumbuh pesat selama periode 1993-1998. Terutama antara tahun 1995-1996 pertumbuhan perkebunan komersial mencapai lebih dari 165% (dari 12.668 ha menjadi 33.600 ha). Selama periode enam tahun tersebut, rata-rata pertumbuhan perkebunan swasta sekitar 8.200 ha/tahun. Sampai tahun 1998, perkebunan komersial di Papua mencapai 49.286 ha, yang 84%-nya perkebunan kelapa sawit. Selain kegiatan HPH, pertambangan dan perkebunan, pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) juga menjadi salah satu yang berpotensi menyebabkan deforestasi di Papua. Sampai saat ini, tercatat ada 13 perusahaan swasta yang tertarik membangun HTI. Tujuan pembangunan HTI ini adalah untuk menyediakan kebutuhan kayu bagi industri pulp dan kertas. Menurut data dari Dinas Kehutanan Provinsi Papua (1999), luas wilayah yang diajukan untuk
HTI sampai tahun 1998 adalah sekitar 3.051.883 ha, yang terletak di Merauke, Yapen Waropen, Fak-Fak dan Sorong. Sebagian besar HTI terletak di Kabupaten Merauke dengan luas 2.756.130 ha atau lebih dari 90% dari total wilayah yang diajukan untuk HTI di Papua. Perkiraan potensi kayu dari hasil HTI adalah sekitar 150 m 3/ha dengan siklus 10 tahun. Penyebaran perkebunan, HPH dan HTI di Papua dapat dilihat pada Peta 6 di bawah ini. Kegiatan penebangan, pembangunan perkebunan dan HTI serta kegiatan pertambangan mempunyai kontribusi bagi berkurangnya tutupan hutan di Papua. Perbandingan Peta Penutupan Lahan RePProt tahun 1985 dan Peta Penutupan Lahan hasil penafsiran citra tahun 1991 dan 1997 menunjukkan periode waktu 12 tahun telah terjadi perubahan tutupan hutan. Pada tahun 1985 persentase tutupan hutan 84,30% (34.958.300 ha) dan pada tahun 1997 persentase tutupan hutan menurun menjadi 82,30% (33.548.021 ha). Berarti perubahan tutupan hutan selama 12 tahun (1985-1997) mencapai 1.410.279 ha. Rata-rata laju
Peta 6. Kawasan Hutan Produksi, HPH, Perkebunan dan HTI di Papua
32
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
deforestasi tahunan pada periode tersebut mencapai 117.523 ha/tahun (Baplan, 2002).
2003 sampai 2004 tercatat 11 kasus penebangan liar. Dari ke-51 kasus penebangan liar yang tercatat ini, hanya 12 kasus yang masuk ke pengadilan, sementara itu sisanya ada yang sedang diproses dan tidak diproses atau tanpa data (Suryadi, et al, 2004).
Penebangan Liar Walaupun pemerintah telah melarang ekspor log (SKB Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 1132/Kpts11/2001 dan No. 292/MPP/Kep/10/2001) namun pada kenyataannya ada indikasi kegiatan tersebut tetap berlanjut di Papua. Berdasarkan SK Gubernur Papua No. 72/2002, izin ekspor log untuk Papua diberlakukan kembali dengan kuota sekitar 350.000 m 3 per tahun.
Perdagangan Hidupan Liar llegal
Photo: M.Farid (CI)
Photo: A.Wijayanto (CI)
Perdagangan hidupan liar ilegal (illegal wildlife trade) juga sudah menjadi isu yang makin serius di Papua. Selama tahun 2001-2003, CI Indonesia mengadakan studi Enforcement Economics yang salah satu kegiatannya adalah melakukan survei
Ketika produksi kayu bulat dari sumber yang legal cenderung terus menurun, terdapat indikasi penebangan liar di Papua semakin meningkat. Indikasi kegiatan penebangan liar di Papua terlihat dari ditemukannya kegiatan penebangan di kawasan konservasi dan hutan lindung, pengangkutan kayu tanpa disertai dokumen yang lengkap, kopermas yang beroperasi tanpa izin dan lain sebagainya (Wijayanto, 2002). Data dari Pika (2003) menunjukkan sekitar 600.000 m 3 kayu diselundupkan secara ilegal dari Papua yang menyebabkan kerugian negara Rp 600 miliar per bulan atau sekitar Rp 7,2 triliun per tahun. Kerugian akibat kayu ilegal di Kabupaten Sorong sekitar Rp 265 miliar/bulan (Pika, 2003). Sekitar 15 kapal pengangkut kayu berbendera asing dengan leluasa berada di perairan Sorong (Kompas, 18 September 2001 dalam Wijayanto, 2002). Lemahnya sistem penegakan hukum merupakan salah satu penyebab maraknya penebangan liar di Papua. Dalam database yang dibangun oleh Departemen Kehutanan bersama Conservation International, dari tahun 2000-2002 tercatat 40 kasus penebangan liar di Papua. Sepanjang tahun
pasar untuk perdagangan hidupan liar di Papua. Survei di Manokwari dan Jayapura menemukan jenis-jenis satwa yang diperdagangkan dan dilindungi oleh undang-undang. Satwa ini antara lain nuri kepala hitam (Lorius lory), kakatua (Cacatua galerita), mambruk (Goura victoria), penyu (Celonia mydas), kasuari (Casuarius spp), kuskus (Spilocuscus spp), bayan (Eclectus roratus) dan kanguru (Phalanger spp). Tim survei menemukan awetan burung cenderawasih (Paradisaea spp). Sedangkan jenis satwa yang tidak dilindungi antara lain perkici (Trichoglossus haematodus), kumbang (Lamprima sp), kupu-kupu (Delias sp), gaharu irian (Aquilaria filaria) dan anggrek (Dendrobium spp). Tim survei mendapati penjualan tanduk dan daging (dendeng) rusa (Cervus timorensis). Nuri merah kepala hitam adalah jenis satwa yang paling banyak dijual (62%). Harga satwa yang diperdagangkan antara Rp 20.000,00 - Rp 2.000.000,00 Perdagangan terjadi di kampung dan kota. Masih lemahnya penegakan hukum berakibat semakin maraknya perdagangan satwa. Kenyataan di lapangan menunjukkan masih ada sebagian besar anggota Polri/TNI yang memelihara berbagai jenis satwa (Suryadi, et. al, 2004).
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
33
Pembangunan Infrastruktur Skala Besar Pembangunan infrastruktur skala besar, misalnya pembangunan infrastruktur untuk transportasi, juga merupakan ancaman yang serius bagi keanekaragaman hayati di Papua. Setelah desentralisasi, sektor transportasi dianggarkan dalam pos tersendiri dan mencapai 21,51% dari total anggaran pembangunan untuk tahun 2002, porsi terbesar dibandingkan dengan anggaran sektor lainnya. Kemungkinan sebagian besar anggaran sektor transportasi digunakan untuk memperbaiki bagian jalan raya yang strategis di Papua. Dari hasil analisis spasial kegiatan RACE, diperkirakan total panjang jaringan jalan sekitar 2.700 km, terdiri dari 1.500 km jalan nasional dan 1.200 km jalan provinsi. Dengan luas wilayah provinsi sekitar 421.000 km 2, maka kepadatan jalan di Papua adalah 1 km per 155 km2. Rencana pembangunan infrastruktur jalan akan meningkatkan jaringan jalan nasional dan provinsi lebih dari 1.250 km (Mertens, 2002a). Menurut hasil analisis spasial yang dilakukan dalam RACE, jika segmen jalan regional yang
direncanakan jadi dibangun (sebagai tambahan dari segmen jalan yang sudah ada), total area yang akan terkena dampak akan meningkat sebanyak 25%. Nilai ini didapat dengan memakai tiga skenario yaitu wilayah yang berada pada 10 km, 20 km dan 50 km dari tepi jalan. Peta 7 di bawah ini menunjukkan kurang lebih 15, 22 dan 51 persen wilayah provinsi berada dalam zona buffer sepanjang 10, 20 dan 50 km dari sisi jalan yang direncanakan (warna biru) dan jalan yang sudah ada (warna hijau). Hampir 25% kawasan konservasi dan hutan lindung di Papua berada dalam radius kurang dari 20 km dari jalan yang sudah ada. Hutan lindung akan menerima dampak yang signifikan dari rencana pembangunan jalan karena sekitar 35% wilayahnya berada dalam zona buffer dengan radius kurang dari 20 km. Sedangkan kawasan konservasi yang masuk dalam zona buffer 20 km hampir mencapai 30 persen (Mertens, 2002a). RACE melalui analisis spasial memetakan daerah yang paling terkena dampak akibat pembangunan jalan. Daerah lingkaran merah pada Peta 8 menunjukkan daerah yang paling
Peta 7. Analisis Spasial Dampak Pembangunan Jalan di Papua
34
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
terkena dampak rencana pembangunan jalan yaitu : 1) daerah di ruas Jalan KumurkekSteenkool, Kecamatan Bintuni dan Merdey (Kabupaten Manokwari); 2) daerah di ruas Jalan Babo-Susunu, Kaimana-Susunu dan Teluk ArguniTeluk Cenderawasih, Kecamatan Kaimana dan Teluk Arguni (Kabupaten Fak-fak), Kecamatan Babo dan Wasior (Kabupaten Manokwari); 3) daerah di ruas Jalan Enarotali-Wamena, bagian timur Kabupaten Paniai; 4) daerah di ruas Jalan Waropen Bawah (Kabupaten Yapen Waropen); 5) daerah di ruas Jalan Armopa-Muasai, Kecamatan Sarmi, Pantai Barat dan Mamberamo Tengah (Kabupaten Jayapura); 6) daerah di ruas
rendah lebih banyak terkena dampak dari pembangunan ruas Jalan Armopa-Muasai (Mertens, 2002a). Di samping itu, sejumlah laporan menunjukkan ada perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan investor dari Korea Selatan untuk membangun Trans Papua Highway sepanjang 11.280 km, dengan total investasi US$ 1,7 miliar. Sebagai gantinya, investor mendapatkan hak untuk menebang habis hutan sepanjang konstruksi jalan ditambah lima km di kanan kiri jalan dan hak untuk mengelola perkebunan dan proyek kehutanan lainnya. Rencananya proyek
Peta 8. Kawasan yang Paling Terkena Dampak Rencana Pembangunan Jalan di Papua
Jalan Okaba-Bade, Kecamatan Okaba, Kimaam dan Edera (Kabupaten Merauke). Dua proyek pembangunan jalan yang paling memberikan dampak pada kawasan konservasi dan kawasan lindung adalah ruas Jalan Enarotali-Wamena (No. 3) dan Armopa-Muasai (No. 5). Ruas Jalan Enarotali-Wamena yang melewati daerah dengan aksesibilitas dan jumlah penduduk rendah, akan berdampak pada tipe hutan pegunungan. Sedangkan tipe hutan dataran
ini akan dimulai Januari 2001, tetapi tidak ada informasi selanjutnya mengenai proyek ini (Gatra, 19 Agustus 2000). Mega proyek semacam itu dapat menjadi ancaman serius bagi konservasi keanekaragaman hayati di Papua. Studi oleh Uncen (1998) memperlihatkan segmen Jalan Jayapura-Wamena (585 km), yang akan menjadi bagian dari Trans Papua Highway, akan menyebabkan hilangnya
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
35
585.000 ha kawasan hutan atau 1.000 ha per km konstruksi jalan. Segmen jalan ini melintas hutan lindung di Abepura, Cagar Alam Cyclop Defonsoro, Suaka Margasatwa Mamberamo Foja, Cagar Alam Jayawijaya, Hutan Lindung Sobger, Hutan Lindung Morrof-Demta dan Hutan Lindung di Pegunungan Nimbokran. Pembangunan jalan tentu saja akan mengurangi biaya transportasi dari sektor-sektor industri yang ada di Papua, oleh sebab itu akan mendorong perkembangan kegiatan ekstraktif dan konversi lahan. RACE menganalisis pola spasial dari prediksi perluasan HPH, yang sangat dipengaruhi oleh jarak dari jalan, pelabuhan laut, sungai serta jarak dari area HPH yang sudah ada. Peta 9 menunjukkan prediksi kemungkinan perluasan HPH di Papua (Mertens, 2002b). Selain rencana pembangunan jalan skala besar, rencana pembangunan mega proyek Mamberamo juga masih tetap menjadi ancaman yang cukup serius bagi keanekaragaman hayati di Papua,
walaupun tampaknya rencana ambisius ini sekarang terhenti. Daerah Aliran Sungai Mamberamo adalah sistem aliran sungai yang meliputi kawasan seluas 8 juta ha, mulai dari pegunungan tengah sampai dataran rendah di daerah pantai di utara. Lebih dari 90% daerah ini masih merupakan wilayah hutan dan didiami oleh sekitar 10.000 jiwa penduduk dengan kepadatan populasi sekitar 1,75/km2 (BPS Kabupaten Jayapura, 2001). Ada dua kawasan konservasi di daerah ini yaitu Suaka Margasatwa Mamberamo Foja seluas 1,4 juta ha dan Suaka Margasatwa Perluasan Mamberamo Foja (dulunya SM Rouffaer) seluas 310.000 ha. Di daerah hilir direncanakan akan dibangun beberapa dam yang akan menghasilkan 12.000 MW tenaga listrik. Tenaga listrik akan digunakan untuk industri pertambangan dan industri peleburan tembaga, industri petrokimia dan perkayuan. Selain itu di hilir juga akan dibangun kawasan industri, pemukiman dan sarana transportasi serta proyek infrastruktur lainnya. Dam juga direncanakan akan digunakan sebagai
Peta 9. Prediksi Kemungkinan Perluasan HPH di Papua
36
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
Peta 10. Lokasi Rencana Pembangunan Dam Mamberamo
sumber air irigasi untuk lahan pertanian seluas 1,2 juta ha yang akan dibangun di kawasan tersebut. Total biaya pembangunan dam diperkirakan antara US$ 5-6 miliar, sedangkan biaya pembangunan kawasan industri di sekitar dam diperkirakan sekitar US$ 8-15 miliar. Apabila rencana berlanjut maka kawasan ini akan menjadi kawasan industri terbesar di timur Indonesia (Dinas Pekerjaan Umum, 1997). Peta 10 menunjukkan Daerah Aliran Sungai Mamberamo dan rencana beberapa lokasi pembangunan dam di sana. Apabila tidak direncanakan dengan baik dengan meminimalkan dampak lingkungan, Proyek Mamberamo ini dapat menjadi ancaman serius bagi keanekaragaman hayati di kawasan yang diyakini para ahli memiliki banyak jenis endemik lokal dan jenis-jenis baru yang belum diidentifikasi.
Lemahnya Kapasitas Kelembagaan Kegiatan RACE melalui penulisan makalah dan pertemuan para pihak menemukan bahwa tantangan yang paling utama dari Otonomi
Khusus untuk mencapai komitmen menggabungkan konservasi dan pembangunan di Papua adalah kurangnya kapasitas kelembagaan pemerintah dan non-pemerintah dalam melakukan perencanaan pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini terlihat dari masih tingginya tingkat ketergantungan pada industri ekstraktif, adanya tumpang tindih penggunaan lahan, investasi publik yang tidak tepat sasaran dan masalah lainnya. Hasil analisis Wiratno (2002) menunjukkan seluruh komponen di Papua sebenarnya sudah memiliki keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melakukan pembangunan yang berkelanjutan. Tetapi secara umum kapasitas kelembagaan dirasa masih kurang. Lembaga legislatif maupun eksekutif tidak memiliki kapasitas yang cukup dalam mendefinisikan proses pembangunan, mengatur lembaga secara efisien dan efektif, mengalokasikan dana publik untuk mengatasi permasalahan di Papua. Kedua lembaga juga kurang kemampuannya membuat perencanaan pembangunan yang menggabungkan kepentingan pembangunan sosial ekonomi masyarakat dan
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
37
konservasi keanekaragaman hayati, seperti diamanatkan dalam Otonomi Khusus (Sheng, 2002). Dalam makalahnya, Sugiono (2002) menyebutkan salah satu penyebab lemahnya kapasitas kelembagaan adalah belum adanya panduan Minimum Service Standard. Akibatnya tidak hanya menyebabkan perbedaan dan korupsi tapi juga kurangnya koordinasi antara sektor di pemerintah atau antara legislatif dengan pemerintah. Permasalahan lain adalah kurangnya transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, mekanisme pengambilan keputusan yang partisipatif sangat diperlukan. Saat ini ada 44.177 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di seluruh Papua, termasuk pegawai Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota (BP3D dan BPS Provinsi Papua, 2002). Sebagian besar PNS di Papua (hampir 61%) hanya tamat SLTA dan sekitar 17,8% saja yang lulusan S1. Mollet (2001) dalam makalahnya menyebutkan selain tingkat pendidikan, permasalahan lain dalam kelembagaan pemerintah adalah tidak sesuainya latar belakang pendidikan pegawai pemerintahan dengan jenis pekerjaan. Persentase PNS menurut tingkat pendidikannya dapat dilihat pada Diagram 16 di bawah ini. Salah satu peluang dalam era Otonomi Khusus adalah bertambahnya sumber anggaran pemerintah (baik untuk pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan) secara signifikan. Masalahnya sekarang adalah apakah anggaran yang bertambah ini akan digunakan
untuk sektor yang konsumtif atau untuk membangun sumber daya manusia dan aset alternatif lain yang dapat menggantikan aset sumber daya alam yang bersifat ekstraktif. Dalam era desentralisasi ini ada kecenderungan masing-masing kabupaten mengekploitasi sumber daya alamnya secara maksimal untuk meningkatkan pendapatan daerahnya. Jika pengelolaan sektor ekstraktif ini tidak dikontrol dengan baik, maka akan menjadi ancaman yang serius bagi konservasi keanekaragaman hayati di Papua. Mollet (2001) menyatakan salah satu peluang untuk meningkatkan pendapatan daerah di Papua adalah melalui sektor pariwisata. Walaupun demikian, sektor ini masih perlu perhatian yang lebih banyak lagi, terutama untuk meningkatkan infrastruktur serta faktor keamanan di Papua. Dalam makalahnya, Mollet (2001) juga menyoroti ketidakefisienan pengeluaran Pemerintah untuk membiayai anggaran rutin pemerintahan. Total pengeluaran Pemerintah cenderung terus meningkat selama periode 1994/1995 sampai 2001. Pada tahun 2001 terjadi peningkatan sebesar 75,86% atau sebesar Rp 793,20 miliar lebih dibanding tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 451,05 miliar. Dari total pengeluaran pemerintah ini, pengeluaran rutin, yaitu pengeluaran untuk membiayai kebutuhan rutin kepemerintahan (gaji pegawai, biaya operasional, biaya perlengkapan, biaya perjalanan dan lain-lain) cenderung menunjukkan porsi yang jauh lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk pembangunan. Puncaknya pada tahun 2001. Pengeluaran rutin di tahun itu mencapai 78,69% (atau senilai
Diagram 16. Persentase Pegawai Negeri Sipil di Papua Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan
Lulus S1 17.79%
Lulus S2 0.42%
Lulus SD 5.33%
Lulus Sarjana Muda 9.05%
Lulus SLTA 60.96%
Sumber: BP3D dan BPS Provinsi Papua (2002)
38
Lulus SLTP 6.45%
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
Diagram 17. Persentase Pengeluaran Pemerintah Papua Periode 1994/1995-2001 1994/1995
! Pembangunan ! Rutin
1995/1996
Tahun
1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 0
100,000 200,000
300,000 400,000
500,000
600,000
700,000
800,000
900,000
Dalam Juataan Rupiah Sumber BP3D dan BPS Provinsi Papua, 2002
Rp 624 miliar) dari total pengeluaran Pemerintah pada tahun tersebut (BP3D dan BPS Provinsi Papua, 2002). Persentase pengeluaran rutin dan pembangunan Pemerintah Papua dapat dilihat pada Diagram 17.
daya alam dan lingkungan hidup 4,76 % dan untuk program pemberdayaan ekonomi rakyat dan perluasan lapangan kerja 3,43 %. Secara rinci, persentase anggaran pembangunan tahun 2001 dapat dilihat pada Diagram 18 di bawah.
Data menunjukkan sebelum era Otonomi Khusus pengeluaran pembangunan banyak terserap untuk pembangunan infrastruktur yaitu sebesar 38,61%, diikuti program pelayanan pemerintahan sebesar 32,88%. Sedangkan anggaran pembangunan yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat seperti pelayanan pendidikan dan kesehatan hanya mendapat porsi 8,45% dan 6,10% saja dari total anggaran pembangunan tahun 2001. Biaya program sumber
Mollet (2001) mengidentifikasi adanya ketidakefektifan dalam pengeluaran untuk proyek pembangunan Pemerintah Daerah. Dengan alasan untuk mendapatkan dana pembangunan, Pemerintah akan menerima proyek pembangunan yang sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan setempat. Akibatnya Pemerintah akan kehilangan anggarannya sementara masyarakat lokal tidak menikmati hasil dari proyek pembangunan tersebut. Oleh
Diagram 18. Persentase Anggaran Pemerintah untuk Biaya Pembangunan di Papua Tahun 2001 Pendidikan Politik 1.04% Agama 1.37% Pelayanan Kesehatan 6.10% Peningkatan Kapasitas Kelembagaan 1.68%
Pemantapan Ketentraman 0.33%
Peningkatan Ekspor dan Investasi 1.34% Pelayanan Pendidikan 8.45%
Pemberdayaan Ekonomi & Peningkatan Peluang Kerja 3.43% Pengelolaan SDA & Lingkungan 4.76% Pelayanan Pemerintah 32.88%
Pembangunan Infrastruktur 38.61% Sumber: BAPPEDA Provinsi Papua (2001)
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
39
sebab itu, Pemerintah harus melakukan evaluasi secara menyeluruh dan hati-hati sebelum menyetujui suatu proyek pembangunan. UU Otonomi Khusus memberi perhatian khusus dalam hal pengaturan alokasi dana untuk biaya pendidikan, kesehatan dan perbaikan gizi. 9 Sejalan dengan ini, dalam tahun anggaran 2002, komposisi pengeluaran pembangunan agak mengalami perubahan sedikit. Anggaran untuk pelayanan pendidikan meningkat menjadi 18,88% (dari 8,45% pada tahun anggaran sebelumnya) dan pelayanan kesehatan menjadi 15,46% (dari 6,10% pada tahun anggaran sebelumnya) dari total anggaran pembangunan. Pembangunan sarana transportasi masih tetap mempunyai persentase yang tinggi yaitu sekitar 21,51% dari total anggaran. Secara lengkap, persentase anggaran pembangunan di Papua untuk tahun 2002 dapat dilihat pada Diagram 19 di bawah ini.
Hasil dari penulisan makalah dan konsultasi dengan para pihak menyimpulkan tanpa peningkatan kapasitas yang memadai dalam membuat strategi pembangunan yang berkelanjutan, desentralisasi hanya akan menimbulkan risiko. Bukan hanya risiko pada kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan seperti yang dicita-citakan, tapi juga pada keberadaan hutan di Papua, yang menjadi rumah bagi keanekaragaman jenis dan fungsi ekosistemnya. Resiko ini disebabkan oleh model pembangunan lama yang cenderung membutuhkan anggaran yang besar, mengubah bentang alam dan menguras sumber daya alam tanpa menghasilkan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat di Papua. Jika tidak ada usaha segera untuk mengatasi masalah ini, peluang yang datang bersamaan dengan Otonomi Khusus dapat segera hilang. Kemiskinan akan berlanjut dan sumber daya akan semakin menipis.
Diagram 19. Persentase Pengeluaran Pemerintah untuk Biaya Pebangunan di Papua Tahun 2002
Pemantapan Ketentraman 0.18% Politik & Media 1.03% Pengawasan Pemerintah 12.76% Penegakan Hukum 0.41%
Subsidi Pemerintahan di Tingkat Bawah 2.68% Industri 0.06%
Pertanian & Kehutanan 10.14% Sumber Daya Air & Irigasi 3.36% Penyediaan Lapangan Kerja 0.64%
Teknologi & Ilmu Pengetahuan 3.24%
Perdagangan & Koperasi 2.66%
Keagamaan 0.44%
Transportasi 21.51% Pertambangan & Energi 1.96%
Kesehatan, Sosial & Perempuan 15.46% Pendidikan 18.88%
Lingkungan & Tata Guna Lahan 0.63%
Pariwisata & Telekomunikasi 0.41% Pembangunan & Pemukiman 2.77%
Sumber: APBD Provinsi Papua 2002
9
40
UU Otonomi Khusus mengatur sekurang-kurangnya 30% penerimaan dari tambang minyak bumi dan gas alam dialokasikan untuk biaya pendidikan dan sekurang-kurangnya 15% untuk kesehatan dan perbaikan gizi. Selain itu, penerimaan khusus dari pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% dari DAU Nasional, terutama harus ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan.
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
Photo: Y.Watopa (Conservation International)
Rekomendasi dan Tindak Lanjut
R
angkaian kegiatan RACE melalui pembuatan makalah (issue paper), diskusi kelompok teknis (technical focus group meeting) dan pertemuan dengan para pihak (stakeholder consultation) telah berhasil mengidentifikasi dan menyepakati beberapa rekomendasi dan tindak lanjut penting untuk mengatasi masalahmasalah kunci dalam konservasi dan pembangunan ekonomi di Papua. Beberapa rekomendasi dan tindak lanjut penting yang dihasilkan dapat dilihat di bawah ini.
Rekomendasi untuk mengatasi masalah kemiskinan dan ketertinggalan dalam pembangunan Beberapa rekomendasi yang dihasilkan dari rangkaian kegiatan RACE dalam mengatasi masalah kemiskinan dan ketertinggalan dalam pembangunan antara lain:
Memprioritaskan pengeluaran belanja publik Salah satu kesimpulan yang dihasilkan dari berbagai diskusi dalam kegiatan RACE adalah
strategi pembangunan berikut anggarannya yang ada saat ini kurang menyentuh permasalahan masyarakat di Papua (kemiskinan dan ketertinggalan dalam pembangunan). Dilihat dari pengeluaran Pemerintah untuk pembangunan pada tahun 2001 (sebelum Otonomi Khusus), pembangunan infrastruktur mencapai hampir 40% dari total pengeluaran pembangunan, diikuti dengan pelayanan pemerintah hampir 33%. Anggaran pembangunan untuk pelayanan pendidikan dan kesehatan hanya 8% dan 6% berturut-turut. Walaupun sesudah pelaksanaan Otonomi Khusus (anggaran tahun 2002), komposisi pengeluaran pembangunan mengalami perubahan (anggaran untuk pelayanan pendidikan meningkat menjadi 18,88% dan pelayanan kesehatan menjadi 15,46% dari total anggaran), tapi ini masih jauh dari yang diharapkan. Ada sebuah kebutuhan mendesak untuk penilaian kritis mengenai anggaran terkait dengan belanja publik, yang seharusnya dapat mendukung strategi pembangunan Papua yang berkelanjutan. Penilaian ini meliputi:
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
41
! Penilaian pengeluaran belanja publik yang
telah ada selama ini dan keefektifannya; ! Variabel kunci (dengan menggunakan asumsi tertentu) yang disesuaikan dengan kondisi Papua yang dapat digunakan untuk membuat korelasi antara jumlah pengeluaran untuk belanja publik dengan hasil yang diharapkan, khususnya di sektor pendidikan, kesehatan, pelayanan masyarakat dan prasarana; ! Rekomendasi untuk pengalokasian anggaran (investasi publik) yang tepat antarsektor dan antardaerah dan metodologi evaluasi keberhasilan investasi publik tersebut. Dukungan teknis untuk melakukan hal tersebut di atas sangat dibutuhkan untuk 1-3 tahun ke depan. Dukungan teknis ini dapat diberikan oleh suatu kelompok kerja (task force) yang terusmenerus melakukan kajian dan memberi rekomendasi yang konstruktif kepada pengambil kebijakan sehubungan dengan prioritas anggaran belanja publik, dengan memfokuskan pada sektor-sektor khusus seperti pendidikan dan kesehatan.
Mengidentifikasi strategi pembangunan yang berkelanjutan secara partisipatif Perlu pendekatan partisipatif untuk mengidentifikasi program pembangunan yang diharapkan dapat memberi dampak maksimal bagi tercapainya tujuan pembangunan dengan menghindari atau meminimalkan kerusakan ekosistem dan habitat keanekaragaman hayati. Strategi pembangunan ini harus mempunyai: ! Visi pembangunan yang berkelanjutan,
termasuk visi untuk keseluruhan Papua dan visi untuk masing-masing kabupaten, dengan mempertimbangkan kekhususan masingmasing daerah; ! Indikator keberhasilan pembangunan yang dapat diukur (measurable indicators) terutama indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua untuk masing-masing daerah yang berbeda (indikator keberhasilan ini belum tercantum dalam kebijakan pembangunan pemerintah daerah yang ada sekarang); ! Faktor-faktor pembatas utama (major constraints) dalam mencapai pembangunan berkelanjutan, termasuk faktor kelembagaan, budaya, pendanaan dan sumber daya manusia;
42
! Strategi untuk meminimalkan faktor-faktor
ini dalam jangka pendek dan panjang; ! Penetapan peran dan posisi masing-masing
pihak dalam proses pembangunan berkelanjutan di Papua. Strategi pembangunan berkelanjutan melalui proses partisipasi publik ini diharapkan dapat menjadi kerangka kerja kebijakan makro di tingkat provinsi. Dengan konsultasi yang memadai di tingkat daerah, strategi ini bisa juga menjadi kerangka kerja tiap daerah dalam mengembangkan strategi pembangunan berkelanjutan mereka sendiri.
Tindak Lanjut Praktis: $ Membentuk kelompok kerja (task force) yang dapat membantu pengambil kebijakan menyusun anggaran belanja publik yang efisien dan tepat sasaran melalui proses partisipatif. $ Membentuk kelompok kerja (task force) untuk memformulasikan strategi dan program pembangunan yang dapat menggabungkan kepentingan konservasi dan pembangunan yang keberlanjutan melalui proses partisipatif.
Rekomendasi untuk mengatasi permasalahan tingkat ketergantungan yang tinggi pada industri ekstraktif Beberapa rekomendasi yang dihasilkan dari rangkaian kegiatan RACE dalam mengatasi tingkat ketergantungan yang tinggi pada industri ekstraktif antara lain:
Konsolidasi pengelolaan sektor pertambangan Kegiatan RACE menyimpulkan pertambangan, termasuk di dalamnya pertambangan umum, minyak dan gas, akan tetap menjadi sektor penting bagi perekonomian Papua untuk jangka waktu ke depan. Para pihak yang terlibat dalam kegiatan RACE merekomendasikan agar Pemerintah sebaiknya melakukan konsolidasi dalam pengelolaan sektor pertambangan sebelum melakukan perluasan atau pengembangan lebih jauh di sektor ini. Konsolidasi ini meliputi beberapa aspek yaitu:
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
! Pengambil kebijakan perlu mengetahui
!
!
!
!
jumlah cadangan yang terbukti (proven reserves) agar dapat membuat kebijakan yang tepat dalam mengelola sektor tersebut; Pengambil kebijakan perlu mengetahui jumlah rente ekonomi (economic rent) yang layak diperoleh dari kegiatan pertambangan dan membandingkan dengan berapa yang sudah berhasil diperoleh oleh pemerintah selama ini; Pengambil kebijakan perlu mengetahui berapa jumlah minimal dari hasil pertambangan tersebut yang seharusnya diinvestasikan kembali setiap tahunnya untuk menciptakan dan menambah aset-aset alternatif di Papua seiring dengan terkurasnya aset sumber daya mineral yang tak dapat diperbaharui tersebut; Pengambil kebijakan perlu mencari cara terbaik agar pendapatan dari sektor pertambangan yang ada sekarang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat di Papua (lintas wilayah) untuk mengurangi kesenjangan antar kabupaten; Pengambil kebijakan harus mampu untuk mengontrol masalah pencemaran lingkungan dan kerusakan habitat yang disebabkan oleh operasi pertambangan. Salah satunya adalah dengan membangun suatu mekanisme sistem monitoring yang melibatkan berbagai pihak.
Menarik investor untuk melakukan investasi pada sektor non-ekstraktif RACE mengindikasikan adanya suatu kebutuhan untuk mengarahkan modal swasta ke sektorsektor yang dapat mendukung strategi pembangunan Papua yang berkelanjutan. Hingga sekarang, modal swasta kebanyakan mengalir ke sektor industri ekstraktif di Papua (sektor pertambangan, penebangan hutan dan perikanan tangkap). Khususnya modal dari luar negeri terfokus secara eksklusif pada sektor pertambangan. Pemusatan penanaman modal pada industri ekstraktif ini tidak menguntungkan apabila berlangsung terus-menerus. Tidak menguntungkan karena aset sumber daya alam (seperti bahan tambang dan hutan alam) akan terkuras dengan cepat dan tidak diimbangi oleh reinvestasi dalam bentuk aset alternatif lain yang dapat diperbaharui, seperti perkebunan, peternakan, perikanan budi daya, sumber daya manusia dan sebagainya. Lebih jauh lagi, ekonomi ekstraktif tidak memberikan
keuntungan bagi kebanyakan masyarakat Papua, yang sudah ditunjukkan oleh sejarah kegiatan industri ekstraktif di Papua.
Tindak Lanjut Praktis: $ Membentuk kelompok kerja (task force) untuk melakukan penilaian ekonomi sumber daya alam secara menyeluruh, termasuk di dalamnya penilaian rente ekonomi (economic rent) dan reinvestasi (reinvestment). $ Membentuk kelompok kerja (task force) untuk mengidentifikasi sektor ekonomi nonekstraktif (apa dan di mana) dan insentif yang tersedia atau yang diperlukan untuk melakukan investasi di sektor tersebut. $ Identifikasi penanam modal asing maupun dalam negeri yang bersedia melakukan investasi di sektor non-ekstraktif. $ Penyusunan peraturan daerah yang mengatur mengenai masalah reinvestasi dari sektor ekstraktif dan juga ‘best practices’ dalam praktek industri ekstraktif.
Rekomendasi untuk mengatasi ancaman terhadap keanekaragaman hayati Beberapa rekomendasi yang dihasilkan dari rangkaian kegiatan RACE dalam mengatasi ancaman terhadap keanekaragaman hayati antara lain:
Restrukturisasi sektor kehutanan Data yang diperoleh dari kegiatan RACE menunjukkan salah satu kendala dalam sektor kehutanan di Papua adalah jauhnya jarak dari blok tebangan ke tempat pengumpulan kayu (TPK), sehingga kegiatan eksploitasi hutan menjadi hampir tidak ekonomis lagi. Produktifitas HPH cenderung menurun sejak tahun 1995/1996 bersamaan dengan meningkatnya biaya produksi penebangan kayu (jauhnya jarak dari tempat penebangan tanpa sarana transportasi, meningkatnya harga peralatan dan konflik-konflik dengan penduduk lokal). Peningkatan produksi kayu bulat pada tahun-tahun belakangan ini sebagian besar disumbangkan dari sistem Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) dengan menggunakan sistem tebang habis, yang memang tidak didesain untuk suplai kayu
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
43
diminta membantu menganalisis perbandingan efek-efek pembangunan dari dua skenario ini.
yang berkelanjutan. Tetapi di tahun 1999/2000 produksi kayu IPK juga telah menurun. Beberapa rekomendasi untuk restrukturisasi sektor kehutanan yang dihasilkan oleh RACE meliputi: ! Mereview sistem pungutan dan restribusi
!
! !
!
!
! !
44
dalam sektor kehutanan yang sudah ada saat ini. Membangun sistem bagi hasil (benefit sharing) dari pengelolaan hutan yang lebih adil yang meliputi penentuan rente ekonomi dan kompensasi yang adil bagi masyarakat Papua. Membangun suatu sistem evaluasi dan monitoring kinerja HPH di Papua. Melakukan kegiatan rekalkulasi sumber daya hutan untuk seluruh Papua (termasuk untuk hasil hutan non-kayu). Informasi ini sangat diperlukan untuk menentukan kebijakan sektor kehutanan yang berkelanjutan di Papua. Mereview dokumen redesain HPH yang dihasilkan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Papua. Studi penataan ulang HPH di Papua merekomendasikan luas ideal untuk HPH di Papua adalah sekitar 200.000 ha. Saat ini, sebagian besar pemegang HPH mempunyai luas konsesi yang jauh lebih besar dari itu, bahkan ada yang mencapai 691.000 ha (PT Mamberamo Alas Mandiri). Mengoptimalkan kinerja industri pengolahan kayu untuk meningkatkan nilai tambah dari sektor kehutanan di Papua. Saat ini ada 47 industri pengolahan kayu di Papua dengan kapasitas produksi 1.633.220 m3 per tahun. Melakukan pendekatan multi pihak dalam pengelolaan sektor kehutanan di Papua. Melakukan studi untuk membandingkan skenario pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Papua terutama di lahan-lahan yang tidak produktif yang dekat dengan pasar (industri kayu), dengan skenario melakukan investasi untuk melakukan penebangan di daerah terpencil dengan membuka jalan. Strategi pembangunan HTI di dekat pasar (industri kayu) ini memiliki potensi dalam mengurangi biaya transportasi, mengurangi insiden konflik dengan masyarakat adat yang sering berlokasi di daerah-daerah pedalaman terpencil, memberikan dukungan untuk industri-industri yang berlokasi di perkotaan seperti pembangunan perumahan, kayu lapis dan furnitur, sekaligus melestarikan hutan alam di Papua. Satu kelompok kerja dapat
Melegalkan hak-hak adat Rangkaian proses konsultasi dengan para pihak mengindikasikan pengakuan hak adat serta hak ulayat masyarakat atas sumber daya alam hutan oleh Pemerintah menjadi isu yang penting dan membutuhkan penanganan serius saat ini. Meskipun Otonomi Khusus telah resmi mengakui legitimasi hak-hak adat, konflik-konflik atas tanah adat jarang sekali disinggung. Salah satu akar permasalahannya adalah tidak adanya sistem adat yang formal (dalam kepemilikan dan penggunaan) dalam masyarakat adat. Masalah ini dipersulit lagi oleh klaim palsu atas tanah yang terjadi di antara masyarakat adat itu sendiri, antara masyarakat adat dengan perusahaanperusahaan, dan antara masyarakat adat dengan Pemerintah (seperti yang mungkin terjadi pada kawasan lindung). Para pihak yang terlibat dalam kegiatan RACE menyepakati langkah penting yang harus diambil dalam mengatasi masalah hak ulayat ini yaitu: memformalkan hukum adat atas tanah ulayat, dengan peraturan khusus mengenai pengakuan kepemilikan tanah adat dan pengelolaannya. Tetapi sebelum melakukan hal ini, penting untuk menginventarisasi, memetakan dan melegalisasi batas-batas tanah ulayat. Kegiatan ini kemungkinan akan memerlukan usaha yang tidak sedikit dan waktu yang panjang (3-5 tahun atau mungkin lebih lama lagi), tetapi dapat mulai dilaksanakan sekarang.
Memperkuat pengelolaan kawasan lindung dan kawasan konservasi Selama masa transisi menuju Otonomi Khusus, kawasan lindung seringkali menjadi sasaran perubahan penggunaan lahan untuk keperluan produksi. Sangat sulit mengontrol euphoria dari proses desentralisasi yang terjadi dalam masyarakat dan pemerintah lokal, khususnya akibat kebijakan terdahulu yang tidak pernah melibatkan masyarakat lokal dalam penentuan kawasan yang dilindungi. Proses dalam RACE berhasil mengidentifikasi beberapa hal yang perlu dilakukan untuk memperkuat pengelolaan kawasan lindung dan kawasan konservasi di Papua, antara lain:
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
Rekomendasi untuk mengatasi masalah lemahnya kapasitas kelembagaan
! Membangun sistem pengelolaan kawasan
konservasi yang efektif dan partisipatif dengan melibatkan para pihak lokal, terutama masyarakat (collaborative management). ! Melakukan studi untuk menilai kinerja pengelolaan kawasan konservasi (termasuk struktur manajemen dan kapasitasnya) di Papua. ! Mengidentifikasi dan mengembangkan kegiatan alternatif ekonomi yang bisa mengakomodasi kepentingan konservasi dan pembangunan masyarakat (seperti pengembangan hasil hutan non-kayu, ekowisata dan lainnya) di sekitar kawasan konservasi. ! Mengidentifikasi dan mengembangkan sistem pembiayaan kawasan konservasi (alternative financing mechanism) yang inovatif yang dapat menjadi pilihan dalam penyelesaian konflik antara kawasan konservasi dengan masyarakat dan pemerintah lokal.
Para pihak yang terlibat dalam rangkaian kegiatan RACE menyepakati permasalahan konservasi dan ekonomi yang ada di Papua antara lain disebabkan oleh lemahnya kapasitas kelembagaan dalam menyusun dan melaksanakan strategi pembangunan yang berkelanjutan. Kapasitas kelembagaan pemerintah, pengusaha dan kelompok masyarakat untuk menggabungkan kepentingan konservasi dan pembangunan ekonomi ini dapat diperkuat dalam waktu yang singkat melalui suatu model partisipatif dalam pengambilan keputusan bentuk suatu forum yaitu:
Forum Konservasi dan Pembangunan di Tanah Papua untuk memfasilitasi mekanisme pengambilan keputusan yang lebih partisipatif
Penegakan hukum Salah satu permasalahan lintas sektoral yang seringkali muncul dalam diskusi-diskusi RACE adalah lemahnya penegakan hukum sehubungan dengan penebangan dan perdagangan satwa ilegal. Pada beberapa kasus, terlihat adanya keterlibatan oknum militer dalam kegiatan ilegal ini. Koordinasi di setiap sektor dan lembaga sangat diperlukan untuk mengatasi masalah penegakan hukum ini.
Tindak Lanjut Praktis : $ Membentuk kelompok kerja (task force) untuk menindaklanjuti rekomendasi bagaimana mengatasi masalah–masalah di sektor pertambangan dan kehutanan, antara lain dengan melakukan berbagai kajian pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. $ Membentuk kelompok kerja (task force) yang berpengalaman menangani masalahmasalah kepemilikan lahan dan kebudayaan lokal untuk mengkaji permasalahan yang berhubungan dengan adat. Hasil kajian menjadi masukan dalam membuat kebijakan pemerintah daerah terkait dengan hak ulayat.
Salah satu rekomendasi yang penting yang dihasilkan dalam lokakarya yang bertema “Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan Ekonomi di Papua dalam Era Otonomi Khusus” di Jayapura pada tanggal 1-2 Juli 2002 untuk mendiskusikan hasil temuan dari RACE adalah usulan pembentukan Forum Konservasi dan Pembangunan di Tanah Papua (FKPTP) sebagai mekanisme pendukung yang independen dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua. Peserta lokakarya ini telah memilih 10 orang anggota “Tim Kecil” yang terdiri dari unsur perguruan tinggi, LSM, pemerintah daerah, DPRD dan lembaga masyarakat adat di Papua untuk mensosialisasikan dan mempersiapkan format serta konsep dari forum tersebut. Pada saat proses sosialisasi dan persiapan format dan konsep dari forum, Badan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah (BP3D) Provinsi Papua dan Conservation International Indonesia (CII) bekerja sama untuk menyelenggarakan lokakarya multipihak yang berjudul “Mengintegrasikan Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan Ekonomi di Papua dalam Era Otonomi Khusus” di Jayapura, pada tanggal 26 September 2002. Para peserta lokakarya ini juga mendukung usulan membentuk forum untuk memberi masukan kepada para pengambil keputusan dalam mengintegrasikan konservasi keanekaragaman hayati dengan pembangunan
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
45
ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat Papua. Setelah lokakarya multipihak, anggota “Tim Kecil” diperluas lagi dengan melibatkan beberapa perwakilan tambahan. Kelompok ini, yang selanjutnya disebut “Tim Persiapan” telah mengadakan beberapa kali pertemuan untuk menyusun konsep, statuta dan struktur dari Forum. Tim Persiapan telah berhasil membentuk statuta FKPTP. Misi dari FKPTP adalah: ! Memberi masukan kepada lembaga
pemerintah dan non-pemerintah di Papua dalam merencanakan dan melaksanakan strategi pembangunan yang fokus pada pengurangan kemiskinan, pemerataan kesempatan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya serta perlindungan sumber daya alam; ! Memfasilitasi mekanisme konsultasi dalam usaha mengintegrasikan kepentingan pembangunan dan konservasi secara rutin; ! Mengembangkan kapasitas Forum sendiri dalam menyampaikan pemikiran-pemikiran konstruktif dan meningkatkan kapasitas pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, serta distrik di Papua, terutama dalam mengintegrasikan kepentingan pembangunan dan konservasi. Forum berfungsi melakukan kajian kritis dan alternatif pemecahan masalah dalam bentuk rekomendasi konstruktif sebagai usaha untuk memadukan kepentingan pembangunan dan kepentingan konservasi di Papua yang akan menjadi bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan oleh pemerintah dan lembaga nonpemerintah. Untuk mencapai visi dan misinya, Forum melakukan usaha-usaha antara lain: ! Melakukan perencanaan terpadu yang mencakup bidang yang menyeluruh yaitu keanekaragaman hayati, pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan dan kepemerintahan yang baik; ! Mengidentifikasi isu-isu prioritas di bidang konservasi dan pembangunan; ! Membentuk Kelompok Kerja Ahli (Task Force) untuk memberikan saran dan rekomendasi, dengan konsultasi yang intensif dengan para pihak menyangkut isu-isu prioritas;
46
! Menyelenggarakan pertemuan tahunan untuk
mendiskusikan temuan-temuan dari kelompok kerja ahli dan memberikan persetujuan tindak lanjut untuk saran-saran dan rekomendasi-rekomendasi yang diterima; ! Melakukan pelatihan dan pengembangan kapasitas untuk meningkatkan keahlian dalam partisipasi dan pengambilan keputusan yang terkoordinasi, perencanaan pembangunan, pendekatan baru dalam analisis ekonomi dan akunting dan manajemen sumber daya alam ; ! Memberikan dukungan teknis dan pendanaan untuk menjamin keberkelanjutan upaya pemerintah dan masyarakat Papua untuk melaksanakan strategi konservasi dan pembangunan. Anggota Forum terdiri dari individu yang mewakili unsur : ! Pemerintah ! Pemerintah provinsi ! Lembaga legislatif provinsi ! Majelis Rakyat Papua (MRP) ! Lembaga swadaya masyarakat di Papua ! Perguruan tinggi di Papua ! Perusahaan swasta di Papua ! Lembaga masyarakat adat di Papua ! Lembaga donor nasional dan internasional
Tindak Lanjut Praktis: $ Melakukan sosialisasi dan konsultasi dengan para pihak yang berkepentingan dalam pembentukan Forum. $ Melakukan pertemuan Forum yang pertama. $ Mendirikan sekretariat untuk melakukan pekerjaan persiapan Forum. $ Mendirikan kelompok kerja-kelompok kerja untuk isu-isu tertentu yang diindentifikasi RACE.
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
Kesimpulan
R
angkaian kegiatan RACE, melalui pembuatan makalah (issue paper) oleh ahli, pertemuan kelompok teknis atau Technical Focus Group Meeting (TFGM) dan konsultasi dengan para pihak yang telah berlangsung sejak Maret 2001 sampai September 2003 telah berhasil mengumpulkan berbagai data dan informasi untuk menganalisis peluang dan tantangan utama kegiatan pembangunan dan konservasi dalam era Otonomi Khusus di Papua. Permasalahan utama dalam konservasi dan pembangunan ekonomi yang berhasil diidentifikasi yaitu: 1) kemiskinan dan ketertinggalan dalam pembangunan; 2) tingkat ketergantungan yang tinggi pada kegiatan industri ekstraktif; 3) ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan 4) lemahnya kapasitas kelembagaan. Kegiatan RACE juga telah menghasilkan beberapa rekomendasi yang berhubungan dengan masalah kebijakan, seperti perumusan strategi pembangunan yang berkelanjutan secara partisipatif, pemilihan prioritas pengeluaran untuk publik, konsolidasi pengelolaan sektor pertambangan dan kehutanan dan lain sebagainya. Kegiatan RACE juga telah berhasil mengidentifikasi beberapa prinsip dan elemen penting dalam tiap kebijakan tersebut. Walaupun demikian, masih diperlukan kajian dan usaha lebih lanjut dari kelompok kerja-kelompok kerja (tasks force) untuk menelaah lebih rinci lagi setiap masalah dan pilihan konservasi dan pembangunan yang dihadapi oleh masyarakat dan Pemerintah Papua untuk memaksimalkan peluang yang ada dalam Otonomi Khusus. Dari hasil proses konsultasi dengan para pihak di Papua, disepakati rekomendasi bersama untuk pembentukan sebuah Forum Konservasi dan Pembangunan di Tanah Papua (FKPTP) sebagai mekanisme pendukung yang independen dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua. Forum ini antara lain akan membentuk Kelompok Kerja Ahli (Task Force) untuk melakukan kajian kritis dan alternatif pemecahan masalah dalam bentuk rekomendasi konstruktif sebagai usaha untuk memadukan kepentingan pembangunan dan kepentingan konservasi di Papua yang akan menjadi bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan oleh pemerintah dan lembaga non-pemerintah. Akhirnya, temuan dan rekomendasi awal dari kegiatan RACE ini diharapkan dapat memberikan dasar pemikiran yang berguna bagi para pengambil kebijakan, para ahli, pihak swasta, organisasi kemasyarakatan, LSM dan donor yang berhubungan dengan konservasi dan pembangunan agar mampu membuat keputusan yang tepat sesuai dengan peran mereka di masing-masing lembaga. Dengan demikian diharapkan peluang yang datang bersamaan dengan Otonomi Khusus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua secara adil dan merata dengan memperhatikan aspek pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
47
DAFTAR PUSTAKA Anggraeni, D. 2001. Interim Report of Resource Economic Assessment in Irian Jaya Province. Conservation International Indonesia. Jakarta. Indonesia. April 2001. Anggraeni, D. 2002(a). Forestry Issue Paper Technical Focus Group Meeting Report. Conservation International Indonesia. Jakarta. Indonesia. January 2002. Anggraeni, D. 2002(b). District Budget Collection Issue Paper Technical Focus Group Meeting Report. Conservation International Indonesia. Jakarta. Indonesia. January 2002. Anggraeni, D. 2002(c). Forestry Policy Issue Paper Technical Focus Group Meeting Report. Conservation International Indonesia. Jakarta. Indonesia. January 2002. Anggraeni, D. 2002(d). Update Data on District Budget in Papua. Conservation International Indonesia. Jakarta. Indonesia. April 5, 2002. Baplan (Badan Planologi Kehutanan). 2002. Data dan Informasi Kehutanan Propinsi Irian Jaya. Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bappeda Provinsi Irian Jaya. 2001. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (REPETADA) 2001 : Program/ Proyek APBD Provinsi Irian Jaya Tahun 2001. Jayapura. BP3D (Badan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah) dan BPS (Biro Pusat Statistik) Provinsi Papua. 2002. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Tahun 2002. Kerjasama BP3D dan BPS Provinsi Papua. Jayapura. BP3D (Badan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah) dan BPS (Biro Pusat Statistik) Provinsi Papua. 2002. Papua Dalam Angka Tahun 2002. Kerjasama BP3D dan BPS Provinsi Papua. Jayapura. BPID (Badan Investasi dan Promosi Daerah) Provinsi Papua. 2000. Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri di Provinsi Papua Tahun 1991-1999. Jayapura. BPID (Badan Investasi dan Promosi Daerah) Provinsi Papua. 2002. Direktori Perkembangan Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Provinsi Papua Tahun 2002. Jayapura. BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia. 2000. Statistik Indonesia. Sakernas BPS. Jakarta BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Papua. 2000. Irian Jaya dalam Angka. BPS. Jayapura. BPS (Badan Pusat Statistik) Pronvisi Papua. 1999. Irian Jaya dalam Angka. BPS. Jayapura. BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia. 2004. Beberapa Indikator Penting Mengenai Indonesia. BPS Website. Edisi Mei, 2004. http://www.bps.go.id Cenderawasih Pos. 2004. Izin Kopermas Dihentikan. Cenderawasih Pos Edisi 14 Februari 2004. Jayapura. CI (Conservation International). 2001. East Asia and Pacific Environmental Initiative Associate Award: Strengthening Conservation and Environmental Management in Southeast Asia. Annual Workplan FY02: September 15, 2001 – September 30, 2002. Washington, DC. USA. March 2002.
48
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
Daorueng, P. 2002. Indonesia: Gas Project Promises Income West Papuans Not Excited. Global Policy Forum Website. Inter Press Service News Agency. April 30, 2002. Dinas Kehutanan Provinsi Papua. 1999. Statistik Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Irian Jaya. 1998/ 1999. Jayapura. November. 1999. Dinas Kehutanan Provinsi Papua. 2000. Statistik Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua. Jayapura. 2000. Dinas Kehutanan Provinsi Papua. 2001. Laporan Redesign HPH di Papua. Jayapura. 2001. Dispenda (Dinas Pedapatan Daerah) Provinsi Papua. 2000. Pendapatan Daerah Provinsi Papua 1993/19941999/2000. Jayapura. 2000 Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Irian Jaya. 1997. Studi Potensi dan Pembangunan Sumber Daya Air di Sungai Mamberamo – Tahap II – Irian Jaya. Volume I: Laporan Utama. Jayapura. Dinas Perkebunan Provinsi Papua. 1999(a). Statistik Perkebunan di Papua. Jayapura. Dinas Perkebunan Provinsi Papua. 1999(b). Rencana Pembangunan Perkebunan Lima Tahun di Papua Tahun VII (REPELITA VII) 1998/1999. Jayapura Dwiyana, A. 2001. Kebijakan Pembangunan Pertambangan Umum, Minyak dan Gas di Papua. Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua. Salah Satu Makalah untuk Kegiatan RACE di Papua. Conservation International Indonesia. Jayapura. September 2001. FCX (Freeport-McMoran Copper and Gold, Inc). 2000. Working to Produce Value. Annual Report 2000. FCX (Freeport-McMoran Copper and Gold, Inc). 2003. The Strength of Our Metals. Annual Report 2003. FWI (Forest Watch Indonesia). 2002. Calculation from Forest Cover Map. Preliminary Result of Imagery Interpretation. FWI - Baplan – CI. 2002 FWI (Forest Watch Indonesia) et al. 2002. The State of the Forest Indonesia. Bogor. Indonesia. 2002. Gatra. 2000. A log-for-road deal. Irian Jaya Province Invites South Korean to Build Trans-Irian Road. Costs exchanged with logs. Gatra. Edisi 40/VI. 19 Agustus 2000. GTZ (web). Support for Decentralization Measures. http://www.gtzsfdm.or.id/laws_n_regulations.htm. Instruksi Presiden (Inpres) No 1/2003. Tentang Percepatan Pelaksanaan UU No.45 tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong. http://www.papuaweb.org Jatam (Mining Advocacy Network). 2001. Compilation of Mining Companies in Papua (update 2000). Jakarta. Kayoi, M. 2004. Direction and Policy of Papua Forestry Development in Special Autonomy Era. Forestry Services of Papua Province. Jayapura. Kelompok Peneliti Etnografi Irian Jaya. 1993. Etnografi Irian Jaya. Panduan Sosial Budaya. Jayapura. 1993.
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
49
Lanjouw, P., M.Pradhan, F.Saadah, H. Sayed and R. Sparrow. 2001. Poverty, Education and Health in Indonesia: Who Benefits from Public Spending? December. World Bank. 2001. Latin. 1999. Prosecuting Expansion of Mining Industries in Indonesia. Latin. Bogor. Media Indonesia. 2000. Freeport Has to Develop ‘Tailing’ Management. Media Indonesia . Edition 6 Juni 2000 Mertens, B. 2002(a). Spatial Analysis for the Rapid Assessment of Conservation and Economy (RACE) in Papua – 1st Task Report. Center for International Forestry Research (CIFOR). France. July 10, 2002. Mertens, B. 2002(b). Spatial Analysis for the Rapid Assessment of Conservation and Economy (RACE) in Papua – 2nd Task Report. Center for International Forestry Research (CIFOR). France. July 10, 2002. Mollet, J.A. 2001. Analisa Pendapatan dan Belanja Daerah dalam Era Desentralisasi dan Dampaknya Terhadap Pengelolaan Sumber Daya Alam di Papua. Universitas Cenderawasih. Salah Satu Makalah untuk Kegiatan RACE di Papua. Conservation International Indonesia. Jayapura. September 2001. Nugroho, B. 2001. Analisa Kebijakan Sektor Kehutanan di Papua. Fokus Pada Reformasi Regulasi dan Pengelolaan Hutan. Universitas Negeri Papua. Salah Satu Makalah untuk Kegiatan RACE di Papua. Conservation International Indonesia. Manokwari. September 2001. September 2001. Papua Pos. 2003. Pengembangan IPK Wujud Penghargaan Adat. Jayapura. Papua Post. Edisi 18 November 2003. Pika (Pusat Informasi Kehutanan). 2003. Press Release: Departemen Kehutanan Koordinasi Dengan Mabes TNI dalam Pemberantasan Penebangan Liar. Press Release No. 51/II/PIK-1/2003. Departemen Kehutanan. Sekretariat Jenderal. Jakarta. Provinsi Irian Jaya. 1997/1998. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Irian Jaya 1997/1998. Jayapura Provinsi Papua. 2002. Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Papua 2002. Jayapura Sheng, F. 2002. Biodiversity Conservation and Economic Development In the Indonesian Province of Papua Under the Fiscal Decentralization and the Special Autonomy An Integrated Issue Papers Report. Conservation International. September 12, 2002 Sugiono, B. 2002. Analisa Proses Pengambilan Keputusan Dalam Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan di Provinsi Papua. ICS-The Institute for Civil Strenghtening Papua. Salah Satu Makalah untuk Kegiatan RACE di Papua. Conservation International Indonesia. Jayapura. Maret 2002. Sumule, A. 1999. Increase the Economic Impact of Natural Resource Exploitation in Papua. Universitas Cenderawasih. Jayapura. November 1999. Suryadi, S., A. Wijayanto dan Ermayanti. 2004. Database Sistem Pelacakan Kasus Perdagangan Hidupan Liar dan Penebangan Liar. Conservation International Indonesia. Jakarta. Suryadi, S., A. Wijayanto dan M. Wahyudi. 2004. Survey Pasar/Monitoring Perdagangan Hidupan Liar di Kabupaten Jayapura dan Manokwari. Conservation International Indonesia dan Seksi Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah Manokwari. Jakarta. Taime, T. 2002. Sistem Mata Pencaharian Masyarakat Papua. Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Salah Satu Makalah untuk Kegiatan RACE di Papua. Conservation International Indonesia. Jayapura. Oktober 2002.
50
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
Tempo Interaktif Web. 2004. Keberadaan Irian Jaya Barat disahkan Mahkamah Konstitusi. http:// www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/11/11/brk,20041111-57,id.html. Kamis, 11 November 2004. Uncen (University of Cenderawasih). 1999. Study of Optimal Size of Logging Concession in Forestry Management in Papua. Tim Faculty of Agriculture. University of Cenderawasih. Manokwari. Uncen (University of Cendrawasih) and BPK Manokwari. 1998. Study of Socio Economic and Biodiversity Changes Caused by Forest Opening as wide as 5 km on left and right side of the road of JayapuraWamena Trans. Manokwari. UU No 45 tahun 1999. Tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong. Wijayanto, A. 2002. Pembalakan Ilegal. Penghancuran Keanekaragaman Hayati dan Dilema Penegakan Hukum di Papua. Conservation International Indonesia Papua Program. Jayapura. Wiratno. 2002. Institutional Capacity Assessment in Papua. Jayapura. Indonesia. June 2002. World Bank. 2001. Indonesia-Environment and Natural Resource Management in a Time of Transition. The World Bank. February 2001. Wurarah, R. 2001. Analisa Ekonomi Insentif Pemerintah, Masyarakat dan Perusahaan HPH untuk Terlibat dalam Kegiatan Penebangan Kayu di Papua. Universitas Papua. Salah Satu Makalah untuk Kegiatan RACE di Papua. Conservation International Indonesia. Manokwari. September 2001.
Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE)
51
PROFIL CONSERVATION INTERNATIONAL Misi Kami Conservation International (CI) yakin bahwa warisan alam yang ada di bumi harus selalu dipelihara dan dilestarikan. Hal ini penting dalam kaitannya dengan pertumbuhan spiritualitas, budaya dan ekonomi generasi yang akan datang. Misi kami adalah untuk melestarikan warisan alam dan keanekaragaman hayati di bumi ini, serta menunjukkan bahwa manusia bisa hidup berdampingan secara harmonis dengan alam.
Tentang CI CI merupakan organisasi nirlaba yang berkarya di lebih dari 40 negara dan empat benua. CI menyadari bahwa konservasi dapat berhasil jika didukung dengan melibatkan masyarakat lokal. CI menerapkan inovasi dalam berbagai aspek meliputi sains, ekonomi, kebijakan dan partisipasi masyarakat untuk melindungi kawasan-kawasan di bumi yang sangat kaya dalam keanekaragaman hayati tumbuhan dan hewan, baik terestrial maupun marine, melalui berbagai strategi. Selain itu dilakukan pula penyadaran agar mereka mampu memelihara kekayaan sumber daya alam hayati dan ekosistem bumi untuk meningkatkan kualitas kehidupan tanpa menguras sumber daya alam.