Kajian Sejarah, Budaya, dan Perbandingan Perbandingan Berbagai Aliran Buddha
–
Jenis-jenis Agama Buddha Dr. Alexander Berzin Karena ajaran Buddha menyebar ke berbagai negeri dan kebudayaan Asia, rakyat setempat menyesuaikan segi-segi ajaran tersebut yang serasi dengan keyakinan-keyakinan pribumi mereka sendiri. Karenanya, ada banyak bentuk agama Buddha yang berkembang, masing-masing dengan pendekatan dan gayanya yang khas, tetapi semua bentuk tersebut mempertahankan fiturfitur paling hakiki dari ajaran Buddha. Hal ini segaris dengan cara pengajaran Buddha, yang mengubah-suaikan pesannya supaya sejalan dengan kebatinan masing-masing muridnya. Mari kita melihat ciri-ciri khusus dari aliran Buddha Theravada, Cina, dan Tibet sebagai wakil dari sistem-sistem utama yang masih ada saat ini. Theravada Theravada menekankan pada latihan meditasi purnacita. Ini dilakukan dengan memusatkan perhatian pada napas dan perasaan dalam tubuh selagi duduk dan pada gerakan serta niat untuk bergerak selagi berjalan teramat sangat perlahan. Dengan purnacita dari muncul dan lenyapnya setiap detik, orang memperoleh sebuah perwujudan pengalaman ketidaktetapan. Saat pemahaman ini diterapkan untuk mengkaji semua pengalaman orang, orang dapat menyadari bahwa tidak ada diri yang tetap dan tak berubah, yang berdiri mandiri terlepas dari
setiap hal dan orang lain. Semuanya adalah perubahan-perubahan sementara. Dengan demikian, orang memperoleh pemahaman kenyataan yang akan membebaskan diri dari kekhawatiran yang berpusat pada diri sendiri dan kesengsaraan yang dibawanya. Theravada juga mengajarkan meditasi pada cinta dan welas asih, tapi hanya pada dasawarsa-dasawarsa terakhir ini saja Theravada memiliki sebuah gerakan yang disebut “Ajaran Buddha Mengikat”, yang dimulai di Thailand, untuk mengikat umat Buddha dalam program-program bantuan sosial dan lingkungan. Lebih jauh lagi, para biksu Theravada mempelajari dan melantunkan ayat-ayat suci ajaran Buddha dan melaksanakan upacara-upacara untuk masyarakat awam. Para biksu setiap hari berkeliling meminta sedekah, dan para penduduk mempraktikkan kemurahan hati dengan mempersembahkan makanan untuk mereka. Mahayana Asia Timur Aliran-aliran Mahayana Asia Timur yang diturunkan dari Cina memiliki dua unsur utama: Tanah Murni dan apa yang di Jepang dikenal sebagai Zen.
Aliran Tanah Murni menekankan pada pelafalan nama Amitabha, Buddha Cahaya Tak Berhingga, sebagai cara untuk sampai ke Tanah Murni Kebahagiaannya, sejenis surga yang sangat cocok bagi orang untuk menjadi Buddha. Zen menekankan pada meditasi ketat, dengan orang menenangkan cita dari segala pikiran konseptual sehingga sifat
murni dari cita, penuh welas asih dan diberkati dengan kebijaksanaan, akan bersinar terang. Para biksu dan biksuni dari kedua aliran ini melantunkan ayat-ayat suci dan, dalam rangka menjaga kebudayaan Konghucu, melaksanakan upacara-upacara, khususnya bagi para arwah leluhur masyarakat awam. Mahayana Tibet Bentuk agama Buddha Mahayana dari Tibet yang ditemukan di sepanjang Asia Tengah menekankan kajian – khususnya tentang sifat cita dan perasaan, lewat wadah akal sehat dan debat – dalam hubungannya dengan meditasi yang giat. Hal ini dipadu dengan latihan tantra, dengan orang menggunakan daya khayalnya dan bekerja dengan tenaga-tenaga halus dari tubuh untuk mengubah diri menjadi Buddha. Ini dilakukan dengan memusatkan perhatian pada kehampaan dan welas asih, dan dalam lingkup itu, membayangkan diri telah menjadi sosok Buddha dalam bentuknya yang khusus. Walau kadangkala disebut “dewa-dewa meditasi,” bentuk-bentuk semacam itu tidak sama dengan Tuhan dalam makna dan guna, dan agama Buddha sama sekali bukan agama aneka-tuhan. Setiap bentuk Buddha adalah perwakilan simbolik dari satu unsur pencerahan Buddha, seperti kebijaksanaan atau welas asih. Membayangkan diri dalam bentuk serupa itu dan melafalkan sukukata suci (mantra-mantra) yang terhubung dengan hal itu akan menolong seseorang mengatasi citra-diri negatif dan penuh tipu-daya dan mengembangkan sifat-sifat yang diwujudkan oleh sosok tersebut. Jenis latihan semacam ini sangat maju dan membutuhkan pengawasan ketat dari seorang guru yang betulbetul memadai kemampuannya.
Agama Buddha Tibet juga memiliki banyak lantunan dan upacara, kerap dirancang untuk mengenyahkan kuasa dan pengaruh negatif yang dilukiskan dalam rupa roh-roh jahat. Saat menggelar upacara semacam itu, orang membayangkan diri dalam sebuah bentuk yang sangat kuat dan gusar sebagai bantuan meditasi untuk memperoleh tenaga dan rasa percaya diri guna mengatasi kesukaran-kesukaran. Ada juga penekanan kuat pada cara-cara meditasi untuk menumbuhkan cinta dan welas asih, yang juga melibatkan penggunaan visualisasi. Ringkasan Baik itu orang melihat laku-laku kehati-hatian Theravada, pendarasan nama Buddha Amitabha di Tiongkok, atau laku adupendapat dan pengejawantahan di Tibet, semua bentuk agama Buddha berada pada lingkung yang sama. Masing-masing menyediakan cara-cara ampuh untuk mengatasi duka dan mewujudkan daya yang dimiliki manusia, bukan hanya demi diri sendiri, tapi juga supaya mampu menjadi manfaat sebesar mungkin bagi orang lain.
Theravada, Hinayana, dan Mahayana Istilah Hinayana dan Mahayana Dr. Alexander Berzin Istilah Hinayana (wahana kecil, wahana sederhana) dan Mahayana (wahana besar, wahana luas) muncul kali pertama dalam Prajnaparamita Sutra (Sutra tentang Kesadaran Pembedaan yang Capaian-Jauh, Sutra Kesempurnaan Kebijaksanaan) kira-kira pada abad ke-2 zaman modern. Sutrasutra ini berada di antara naskah-naskah awal Mahayana dan menggunakan dua istilah untuk menegaskan bahwa lingkup dan kedalaman ajaran mereka jauh melampaui ajaran aliran-aliran Buddha sebelumnya. Walau dua istilah ini membawa kesan makna sektarian dan muncul secara eksklusif di naskah-naskah Mahayana, sukar untuk menemukan padanannya yang “tepat secara politis”. “Hinayana” telah menjadi istilah bersama untuk delapan belas aliran Buddha, dan dari delapan belas itu hanya satu yang tersisa, yaitu Theravada. Sama juga, “Mahayana” mencakup beberapa aliran. Saat aliran Indo-Tibet mempelajari dan membahas sistem pokok ajaran filsafati, acuan mereka adalah Vaibhashika dan Sauntrantika, yang merupakan Sarvastivada, aliran lain dari delapan belas aliran yang maktub dalam Hinayana. Karena beberapa aliran Hinayana muncul setelah Mahayana, kita tidak dapat menyebut Hinayana sebagai “Ajaran Buddha Awal” atau “Ajaran Buddha Asli” dan Mahayana sebagai “Ajaran Buddha Kemudian”.
Theravada saat ini ditemukan di Sri Lanka dan Asia Tenggara. Dharmagupta, aliran lain dari delapan belas aliran yang maktub dalam Hinayana, menyebar di Asia Tengah dan Cina. Aliran kewiharaan Cina mengikuti aturan tata tertib kewiharaan menurut Dharmagupta (Skt. Vinaya). Lebih lagi, Mahayana menyebar ke Indonesia, walau tidak lagi bertahan hidup di sana. Karenanya, menyebut Hinayana sebagai “Ajaran Buddha Selatan” dan Mahayana sebagai “Ajaran Buddha Utara” jugalah tidak memadai. Aliran Hinayana dan Mahayana keduanya memberi kerangka tentang jalan bagishrawakas (pendengar ajaran Buddha) dan pratyekabuddhas (mereka yang sadar-diri) untuk mencapai tataran murni dari arhat (insan yang terbebaskan), dan bagi para bodhisattwa untuk mencapai kebuddhaan. Maka dari itu, adalah membingungkan jika kita menyebut Hinayana sebagai “ Shrawakayana” dan Mahayana sebagai “Bodhisattwayana”. Alhasil, walaupun para pelaku Theravada mungkin menganggap istilah Hinayanadan Mahayana sebagai sebutan yang menyinggung, kita baiknya dengan hati-hati menggunakan kedua istilah tersebut untuk mengacu pada pengelompokan aliran-aliran Buddha, di hadapan istilah-istilah di atas yang tepat secara politis namun tidak jitu maknanya.
Hinayana dan Mahayana: Perbandingan Dr. Alexander Berzin Istilah Hinayana (Wahana Kecil atau Wahana Sederhana) dan Mahayana (Wahana Besar atau Wahana Luas) berasal dari Sutra-Sutra Prajnaparamita (Sutra-Sutra tentang Kesadaran yang Membedakan dan Menjangkau-Jauh, Penyempurnaan SutraSutra Kebijaksanaan). Mereka adalah pasangan kata-kata yang agak menghina, meninggikan Mahayana dan merendahkan Hinayana. Namun, istilah-istilah lain untuk mereka memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu di sini saya akan menggunakan istilah yang lebih baku itu untuk mereka. Hinayana meliputi delapan belas aliran. Aliran paling penting untuk tujuan kita adalah Sarvastivada dan Theravada. Theravada adalah aliran kini yang masih ada di Sri Lanka dan Asia Tenggara. Sarvastivada menyebar luas di India Utara ketika Bangsa Tibet mulai merantau ke sana dan Agama Buddha mulai dipindahkan ke Tibet. Ada dua bagian utama Sarvastivada berdasar pada perbedaanperbedaan falsafi: Vaibhashika dan Sautrantika. Tata-tata keyakinan Hinayana yang dikaji di perguruan-perguruan tinggi kewiharaan India seperti Nalanda, dan selanjutnya oleh para pengikut Mahayana dari Tibet, berasal dari dua aliran tersebut. Silsilah sumpah-sumpah kewiharaan yang dianut di Tibet berasal dari cabang bagian Sarvastivada, Mulasarvastivada.
Buddha dan Arhat Ada perbedaan penting antara penyajian Hinayana dan Mahayana tentang arhat dan Buddha. Keduanya setuju bahwa arhat, atau makhluk yang terbebaskan, lebih sempit dibanding Buddha, atau makhluk yang tercerahkan. Mahayana merumuskan perbedaan ini dalam kerangka dua rangkaian pengaburan: pengaburan emosional, yang menghalangi pembebasan, dan pengaburan pengetahuan, yang menghalangi kemahatahuan. Arhat hanya bebas dari yang pertama, sedangkan Buddha bebas dari keduanya. Bagian ini tidak ditemukan dalam Hinayana. Ini sematamata perumusan Mahayana. Untuk memperoleh pembebasan dan pencerahan, baik Hinayana maupun Mahayana menegaskan bahwa seseorang memerlukan pengetahuan nirsekat dari kurangnya “sukma” yang mustahil. Kekurangan semacam ini sering disebut “ketiadaan diri,”anatma dalam Sanskerta, bahasa kitabiah utama India untuk Sarvastivada dan Mahayana; anatta dalam Pali, bahasa kitabiah untuk Theravada. Aliran-aliran Hinayana menegaskan kurangnya “sukma” yang mustahil ini hanya mengenai orang-orang, bukan mengenai semua perwujudan. Orang-orang kekurangan “sukma,”atman, yang tidak dipengaruhi oleh apapun, utuh, dan dapat dipisahkan dari raga dan cita, dan yang bisa diketahui secara sendirinya. “Sukma” semacam itu adalah mustahil. Hanya dengan pemahaman bahwa tidak ada “sukma” jenis ini mengenai orangorang, seseorang bisa menjadi arhat maupun Buddha. Perbedaannya tergantung pada seberapa banyak kekuatan positif atau “pahala” yang ia bangun. Karena perkembangan mereka tentang tujuan pencerahan bodhichitta, para Buddha telah
membangun kekuatan positif yang jauh lebih banyak dibanding para arhat. Mahayana menegaskan bahwa para Buddha memahami kurangnya “sukma” yang mustahil ini mengenai semua perwujudan selain mengenai orang-orang. Mereka menyebut kekurangan ini “kehampaan.” Aliran-aliran Mahayana India berselisih tentang apakah arhat juga memahami kehampaan perwujudan atau tidak. Di dalam Mahayana, Prasangika Madhyamaka menegaskan bahwa mereka memahaminya. Namun, empat aliran Tibet itu menjelaskan pokok ini secara berbeda perihal penegasan Prasangika. Beberapa berkata bahwa kehampaan perwujudan yang dipahami oleh para arhat ini berbeda dari yang dipahami oleh para Buddha; beberapa menegaskan dua kehampaan itu adalah sama. Beberapa mengatakan bahwa lingkup perwujudan di mana kehampaan perwujudan itu berlaku lebih terbatas bagi para arhat dibanding lingkup bagi para Buddha; beberapa menegaskan bahwa cakupan itu sama. Di sini kita tidak perlu membahas semua perinciannya. Pokok-Pokok Lebih Lanjut Mengenai Buddha dan Arhat Penegasan Hinayana dan Mahayana mengenai para arhat dan para Buddha berbeda dalam banyak hal lain. Theravada, misalnya, menegaskan bahwa salah satu perbedaan antara shravaka atau “pendengar” yang berusaha keras menuju pembebasan arhat dan bodhisattwa yang berusaha keras menuju pencerahan Buddha adalah bahwa shravaka belajar dengan guru-guru Buddha, sedangkan bodhisattwa tidak. Buddha sejarawi, Shakyamuni, misalnya, tidak belajar dengan Buddha lain. Ia belajar hanya dengan guru-guru non-Buddha, yang cara-caranya sepenuhnya ia
tolak. Dalam kenyataan bahwa pemahaman dan pencapaian Buddha tidak muncul dari kebergantungan pada guru Buddha, Theravada menegaskan bahwa kebijaksanaan Buddha melampaui kebijaksanaan arhat. Lagipula, bodhisattwa-bodhisattwa berusaha untuk menjadi guru ajaran Buddha universal; shravaka-shravaka tidak, meskipun sebagai arhat mereka pasti mengajar murid. Sebelum wafat, Buddha sendiri menugaskan murid arhatnya Shariputra untuk terus “memutar cakra Dharma.” Namun, menurut Theravada, para Buddha melampaui para arhat dalam hal menjadi lebih ahli dalam cara-cara memimpin arhat lain menuju pembebasan dan dalam luasnya jangkauan pelaksanaan pengajaran mereka. Ini adalah arti bahwa Buddha adalah mahatahu. Namun, menurut penyajian ini, seorang Buddha tidak akan tahu maksud semua orang dan harus meminta keterangan semacam itu dari yang lain. Menurut aliran Vaibhashika dari Hinayana, para Buddha memang mahatahu dalam mengetahui keterangan semacam itu, tapi mereka hanya mengetahui satu hal saja sekaligus. Menurut Mahayana, kemahatahuan berarti mengetahui segala hal secara serentak. Ini sejalan dengan pandangannya bahwa segala hal adalah saling terkait dan saling tergantung; kita tidak bisa bicara hanya sepenggal keterangan, tanpa berhubungan sama sekali dengan hal lainnya. Hinayana mengatakan bahwa Buddha sejarawi itu mencapai pencerahan dalam masa kehidupannya dan, seperti arhat, ketika meninggal dunia, kesinambungan batinnya berakhir. Oleh karena itu, menurut Hinayana, para Buddha mengajar hanya selama sisa masa kehidupannya di mana mereka mencapai pencerahan.
Mereka tidak keluar menuju tata dunia tak terhitung dan tetap mengajar selamanya, seperti yang Mahayana tegaskan. Hanya Mahayana yang menegaskan bahwa Buddha sejarawi itu menjadi tercerahkan pada kehidupan terdahulu beribu-ribu tahun yang lampau, dengan belajar dengan guru-guru Buddha. Ia hanya mempertunjukkan pencerahan di bawah pohon bodhi sebagai satu dari dua belas perbuatan yang tercerahkan seorang Buddha. Pelopor gambaran tentang Buddha ini ditemukan dalam Aliran Mahasanghika dari Hinayana, satu aliran lagi dari delapan belas aliran Hinayana, tapi tidak ditemukan dalam Sarvastivada maupun Theravada. Mengenai Buddha, perbedaan utama lainnya adalah bahwa hanya Mahayana yang menegaskan tiga tubuh atau raga seorang Buddha – Nirmanakaya, Sambhogakaya, dan Dharmakaya. Hinayana tidak menegaskan hal ini. Jadi, wawasan tentang seorang Buddha berbeda jauh dalam Hinayana dan Mahayana. Jalan-Rintis Cita Menuju Pembebasan dan Pencerahan Baik Hinayana maupun Mahayana menegaskan bahwa tahaptahap kemajuan menuju keadaan murni, atau “ bodhi,” dari seorang arhat maupun Buddha mengharuskan mengembangkan lima tingkatan jalan-rintis cita – yang disebut “lima jalan.” Lima jalan adalah jalan-rintis cita yang membangun atau jalan penghimpunan, jalan-rintis cita penerapan atau jalan persiapan, jalan-rintis cita yang memahami atau jalan untuk memahami, jalan-rintis cita pembiasaan atau jalan meditasi, dan jalan-rintis yang tidak memerlukan latihan lebih lanjut atau jalan yang telah bebas dari pembelajaran. Shravaka dan bodhisattwa yang berhasil melihat jalan-rintis cita yang memahami akan menjadi arya, makhluk
berpemahaman tinggi. Keduanya memiliki pengetahuan nirsekat tentang enam belas unsur dari empat kebenaran mulia. Baik Hinayana maupun Mahayana setuju bahwa jalan-rintis cita yang memahami membebaskan arya shravaka dan arya bodhisattwa dari perasaan-perasaan gelisah yang berdasar doktrin, sedangkan jalan-rintis cita pembiasaan membebaskan mereka dari perasaan-perasaan gelisah yang muncul dengan sendirinya. Yang pertama berdasar pada mempelajari rangkaian penegasan dari salah satu aliran India non-Buddha, sedangkan yang terakhir muncul dengan sendirinya dalam diri semua manusia, termasuk binatang. Daftar perasaan gelisah yang disingkirkan oleh arya shravaka dan arya bodhisattwa adalah bagian dari daftar yang lebih luas tentang unsur-unsur jiwawi. Tiaptiap aliran Hinayana memiliki unsur-unsur jiwawi tersendiri, sedangkan Mahayana menegaskan daftar lain. Banyak unsur jiwawi diartikan secara berbeda dalam masing-masing daftar. Baik Hinayana maupun Mahayana setuju bahwa perjalanan dalam kemajuan menyusuri lima jalan-rintis cita itu mengharuskan laku tiga puluh tujuh unsur menuju keadaan murni. Suatu “Keadaan murni” atau “ bodhi” merujuk pada keadaan arhat ataupun keadaan Buddha. Tiga puluh tujuh unsur ini meliputi empat penempatan kewaspadaan rapat, delapan cabang jalan-rintis cita (Jalan LipatDelapan yang Mulia), dan sebagainya. Mereka sangat penting. Dalam tantra anuttarayoga, tiga puluh tujuh unsur itu diwakili oleh tiga puluh empat lengan Yamantaka ditambah raga, kata, dan citanya, juga oleh para dakini dalam mandala raga Vajrayogini. Tiga puluh tujuh unsur itu adalah rangkaian laku yang baku. Namun, rincian-rincian dari masing-masing laku seringkali berbeda dalam Hinayana dan Mahayana.
Baik Hinayana dan Mahayana menegaskan bahwa pola yangmasuk-arus, yang-sekali-kembali, yang-tak-kembali, dan arhat mengacu pada tahapan-tahapan jalan arya shravaka, tapi bukan pada jalan arya bodhisattwa. Jadi, yang-masuk-arus memiliki pemahaman nirsekat tentang enam belas unsur dari empat kebenaran mulia, yang meliputi pemahaman nirsekat tentang kurangnya “sukma” yang mustahil seseorang. Kita tidak seharusnya berpikir bahwa yang-masuk-arus adalah tingkat pemula. Sehingga jika seseorang menyatakan telah mencapai keadaan seorang yang-masuk-arus maka iniperlu dicurigai. Hinayana tidak menyediakan penjelasan yang luas tentang jalanrintis cita bodhisattwa. Namun, Mahayana menjelaskan bahwa jalan arya bodhisattwa menuju pencerahan memerlukan kemajuan dalam perkembangan sepuluh tingkatan bhumi-cita. Tingkatantingkatan cita itu tidak berkaitan dengan jalan shravaka. Baik Hinayana maupun Mahayana setuju bahwa melewati jalan bodhisattwa menuju pencerahan lebih memerlukan banyak waktu dibanding melewati jalan shravaka menuju keadaan arhat. Namun, hanya Mahayana yang berbicara tentang membangun dua jejaring bangunan-pencerahan – dua kumpulan – selama tiga biliun tahun. “Biliun,” biasanya diterjemahkan sebagai “tak terbilang,” berarti angka yang terhitung, meskipun kita tidak akan bisa menghitungnya. Shravaka, di sisi lain, bisa mencapai keadaan arhat dalam rentang waktu tiga masa kehidupan. Dalam masa kehidupan pertama, ia menjadi yang-masuk-arus, dalam masa kehidupan berikutnya menjadi yang-sekali-kembali, dan dalam masa kehidupan ketiga ia menjadi yang-tak-kembali, mencapai pembebasan, dan menjadi seorang arhat. Ini cukup menggoda bagi banyak orang.
Penegasan bahwa para arhat mementingkan diri mereka sendiri adalah seperti propaganda bodhisattwa. Ini pada dasarnya bermaksud untuk menunjukkan suatu keekstreman untuk dihindari. Sutra-sutra mencatat bahwa Buddha meminta enam puluh murid arhatnya untuk mengajar. Jika mereka benar-benar mementingkan diri sendiri, mereka tidak akan setuju untuk melakukannya. Bagaimanapun, para arhat hanya bisa membantu yang lain sampai taraf yang lebih terbatas dibanding para Buddha. Namun, keduanya hanya bisa membantu orang-orang yang memiliki karma untuk dibantu oleh mereka. Bodhisattwa Penting untuk menyadari bahwa aliran-aliran Hinayana menegaskan bahwa sebelum menjadi Buddha, seseorang harus mengikuti jalan bodhisattwa. Baik Hinayana maupun Mahayana memiliki catatan tentang hikayat-hikayat Jataka yang menggambarkan kehidupan terdahulu Buddha Shakyamuni sebagai bodhisattwa. Mulai dari Raja Siri Sanghabodhi pada abad ke-3 Masehi, banyak raja Sri Langka menyebut diri mereka bodhisattwa. Tentu saja, sedikit sulit untuk menguraikannya karena pada masa itu terdapat kehadiran Mahayana di Sri Langka. Sulit untuk mengatakan apakah gagasan raja-raja bodhisattwa ini ada sebelum pengaruh Mahayana, tapi ini terjadi. Yang lebih mengejutkan, pada abad ke-5 Masehi, para tetua di ibu kota Sri Langka Anuradhapura mengumumkan Buddhaghosa, guru besar Theravada Abhidharma, adalah penjelmaan dari bodhisattwa Maitreya. Mahayana menegaskan bahwa ada seribu Buddha dalam “ribuan tahun yang mujur” ini yang akan memulai agama-agama universal,
dan bahwa ada dan akan ada lebih banyak Buddha di zamanzaman lain. Mahayana juga menegaskan bahwa semua orang bisa menjadi seorang Buddha, karena semua orang memiliki unsur sifat dasar Buddha yang memungkinkan pencapaian ini. Hinayana tidak membahas sifat dasar Buddha. Meskipun demikian, Theravada menyebutkan ratusan Buddha di masa lalu. Satu sutta Theravada bahkan menyebutkan dua puluh tujuh nama. Semuanya adalah bodhisattwa sebelum menjadi Buddha. Theravada menegaskan bahwa akan ada Buddha yang sangat banyak jumlahnya di masa depan, termasuk Maitreya sebagai Buddha selanjutnya, dan bahwa semua orang bisa menjadi seorang Buddha jika mereka mengamalkan sepuluh sikap yang menjangkau-jauh. Sepuluh Sikap yang Menjangkau-Jauh Mahayana mengatakan bahwa sepuluh sikap yang menjangkaujauh diamalkan hanya oleh para bodhisattwa dan bukan oleh para shravaka. Ini karena Mahayana mengartikan sikap yang menjangkau-jauh atau “kesempurnaan” sebagai sesuatu yang dimiliki oleh kekuatan tujuan bodhichitta. Namun, menurut Theravada, selama sepuluh sikap itu dimiliki oleh kekuatan penyerahan, keteguhan untuk bebas, bodhicita tidaklah penting untuk laku mereka agar menjangkau-jauh dan bertindak sebagai sebab pembebasan. Maka, Theravada menegaskan bahwa baik bodhisattwa maupun shravaka mengamalkan sepuluh sikap yang menjangkau-jauh. Di samping tujuan pendorong yang berbeda di belakang mereka, perbedaan utama lain antara laku bodhisattwa dan shravaka tentang sepuluh sikap itu adalah tingkatan ketekunan mereka. Maka, tiap-tiap pokok dari sepuluh sikap yang menjangkau-jauh itu memiliki tiga tahapan atau
tingkatan: biasa, menengah, dan tertinggi. Sebagai contoh, laku tertinggi kedermawanan adalah memberikan tubuh seseorang untuk memberi makan harimau betina yang lapar, seperti yang Buddha lakukan dalam kehidupan terdahulu sebagai bodhisattwa. Daftar sepuluh sikap yang menjangkau-jauh itu juga sedikit berbeda dalam Theravada dan Mahayana. Daftar Mahayana adalah:
kedermawanan ketertiban-diri yang berbudi pekerti kesabaran ketekunan dengan sukacita kemantapan batin kesadaran yang membedakan keterampilan dalam upaya doa yang bercita-cita penguatan kesadaran yang dalam.
Daftar Theravada menghilangkan kemantapan batin, keterampilan dalam upaya, doa yang bercita-cita, penguatan, dan kesadaran yang dalam. Aliran ini mengantikannya dengan:
penyerahan kesetiaan pada sumpah keteguhan hati cinta keseimbangan.
Empat Sikap yang Tak Terukur Baik Hinayana maupun Mahayana mengajarkan laku empat sikap yang tak terukur yakni cinta, welas asih, sukacita, dan keseimbangan. Kedua aliran itu mengartikan cinta sebagai keinginan bagi orang lain untuk memiliki kebahagiaan dan sebabsebab kebahagiaan, dan welas asih sebagai keinginan bagi orang lain untuk bebas dari duka dan sebab-sebab duka. Namun, Hinayana tidak mengembangkan sikap-sikap yang tak terukur itu melalui sederet pertimbangan, misalnya bahwa semua makhluk adalah ibu kita dan sebagainya. Melainkan, ia memulai dengan mengarahkan cinta pada orang-orang yang telah kita cintai dan kemudian memperluasnya, dalam tahapan-tahapan, kepada lebih banyak orang. Arti sukacita dan keseimbangan yang tak terukur berbeda dalam Hinayana dan Mahayana. Dalam Hinayana, sukacita yang tak terukur mengacu pada bergembira dalam kebahagiaan orang lain, tanpa kecemburuan apapun, dan menginginkan rasa itu meningkat. Dalam Mahayana, sukacita yang tak terukur adalah keinginan agar orang lain memiliki sukacita tentang pencerahan yang tak berakhir. Keseimbangan adalah keadaan cita yang bebas dari kemelekatan, keengganan, dan pengabaian. Dalam Therevada, ini adalah keseimbangan menuju hasil cinta, welas asih, dan sukacita kita. Hasil usaha kita dalam membantu orang lain benar-benar tergantung pada karma dan upaya mereka; meskipun, seperti pada Mahayana, Theravada menerima kemungkinan pemindahan kekuatan positif, “pahala,” kepada orang lain. Kita berharap mereka bahagia dan bebas dari duka, tapi memiliki keseimbangan
tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ini karena kita tahu bahwa mereka harus melakukan usaha itu sendiri. Dalam Mahayana, keseimbangan yang tak terukur berarti menginginkan semua orang bebas dari kemelekatan, keengganan, dan pengabaian karena sikap dan perasaan yang gelisah itu membawa duka kepada mereka. Meskipun mencapai keadaan terbebaskan dari seorang arhat perlu mengembangkan cinta dan welas asih, ini tidak mengharuskan mengembangkan tekad yang luar biasa atau tujuan bodhicita. Tekad yang luar biasa adalah keadaan cita dalam mengambil tanggung jawab untuk membantu membimbing semua orang menuju pembebasan dan pencerahan. Tujuan bodhicitta adalah keadaan cita untuk memperoleh pencerahan oleh diri sendiri, agar memenuhi tujuan dari tekad yang luar biasa itu. Karena Hinayana memuat sedikit perluasan pada jalan bodhisattwa, ia tidak menjelaskan dua sikap ini. Mahayana menguraikan dalam rincian panjang laku-laku meditasi untuk mengembangkan sikap-sikap itu. Kemudian, Hinayana menekankan pengembangan empat sikap tak terukur tak terbatas ini sebagai cara untuk mengatasi perasaanperasaan gelisah yang menjadi lawan dari mereka di dalam diri seseorang. Kasih adalah lawan dari niat jahat; perasaan ini untuk sementara waktu membebaskan diri seseorang dari pikiran-pikiran tentang permusuhan, tindakan kasar atau menyebalkan, dan kecemasan atau ketakutan. Welas asih adalah lawan dari sikap kejam atau mencelakai. Sukacita atau riang gembira adalah lawan dari cemburu, dan keseimbangan batin adalah lawan dari pengharapan, kekhawatiran atau kekecewaan, dan ketidakpedulian. Selain itu, dalam Theravada seseorang lebih dahulu mengembangkan empat sikap ini pada dirinya, sebelum
mengarahkan mereka kepada orang lain. Dalam Mahayana, penekanannya adalah pada apa yang orang lain alami, bukan pada apa yang ia sendiri alami untuk mengembangkan empat sikap ini. Dua Kebenaran Meskipun Hinayana tidak menegaskan tentang kurangnya “sukma” yang mustahil dari perwujudan, atau kehampaan, bukan berarti Hinayana tidak membahas sifat dasar dari semua perwujudan secara umum. Hinayana melakukannya dengan penyajiannya tentang dua kebenaran mengenai semua perwujudan. Pelopor untuk memperoleh pemahaman tentang kehampaan perwujudan adalah pemahaman tentang dua kebenaran ini. Dalam Mahayana, dua kebenaran ini adalah dua fakta mengenai perwujudan yang sama. Dalam Hinayana, dua kebenaran ini adalah dua rangkaian perwujudan. Di sini terdapat perwujudan benar yang dangkal atau lazim dan perwujudan benar yang mendasar atau terdalam. Di dalam Sarvastivada, Vaibhashika menegaskan bahwa gejala sejati yang dangkal itu berupa benda-benda fisik dan gejala batin yang kehilangan jati diri lazimnya ketika kita telaah sampai ke bagian-bagian kecilnya. Contohnya, ketika kita menelaah tangan kita sampai ke atom-atom atau ketika kita menelaah rentetan pikiran sampai ke tiap saatnya masing-masing, kita tidak lagi memandang atom-atom ini sebagai tangan kita atau saat-saat tersebut sebagai rentetan pikiran kita. Gejala sejati yang terdalam merupakan segala hal yang, ketika kita telaah, masih bisa kita pahami jati diri lazimnya. Vaibhashika menegaskan bahwa semua atom yang membentuk benda-benda fisik dan semua saat singkat dari pengetahuan kita itu bersifat nirbagian; mereka adalah hal-hal hakiki terkecil. Mereka tetap mempertahankan jati dirinya terlepas
dari seberapa dalam kita mencoba menelaahnya. Penting bagi kita untuk menyadari bahwa yang tampak bagi indra netra kita itu merupakan gejala sejati yang dangkal; tetapi pada tingkat yang terdalam, semua itu terbuat dari atom dan saat. Kita bisa lihat betapa pemahaman ini membuat kita mengerti bahwa semua hal yang ada pada tingkat yang dangkal itu seperti berupa khayalan. Menurut Sautrantika, perwujudan benar yang dangkal adalah wujud-wujud metafisik, penonjolan kita pada benda-benda; sedangkan perwujudan benar yang terdalam adalah hal-hal objektif sesungguhnya itu sendiri. Di sini, kita mulai memahami bahwa penonjolan-penonjolan kita adalah seperti maya. Jika kita menghilangkan penonjolan-penonjolan itu, kita hanya melihat yang ada itu secara objektif. Penonjolan-penonjolan kita adalah seperti maya. Menurut Theravada, perwujudan benar yang dangkal adalah perwujudan yang berkaitan. Ini mengacu pada orang dan bendabenda ragawi, baik di dalam raga maupun di luar raga. Perwujudan benar yang terdalam adalah apa yang lekat pada mereka. Raga dan benda-benda ragawi itu melekat dengan unsur-unsur dan bidang-bidang indera yang kita kenali. Apakah sebuah jeruk? Apakah ia penglihatan, bau, kecap, rasa ragawi? Sebuah jeruk adalah apa yang melekat dengan itu semua. Demikian juga, orang adalah apa yang bisa melekat dengan unsur-unsur gugusan raga dan cita. Enam jenis kesadaran utama dan unsur batin itu adalah perwujudan benar yang terdalam, karena orang dicap atau lekat dengan semua itu. Meskipun tidak satu pun aliran Hinayana membicarakan tentang kehampaan dari semua perwujudan, mereka mengatakan bahwa
penting untuk memahami perwujudan benar yang terdalam secara nirsekat agar memperoleh pembebasan. Sehingga rasa ini hampir sama dengan pembahasan Mahayana. Theravada juga memiliki penjelasan yang sangat berbeda tentang karma, yang tidak ditemukan dalam aliran-aliran Sarvastivada atau dalam Mahayana, tapi kita tidak akan membahas itu sekarang. Ringkasan Dengan pengantar ini, kita bisa mulai menghargai bagaimana sebenarnya aliran-aliran Hinayana yakni Theravada dan Sarvastivada mempunyai rasa keseluruhan ajaran Buddha. Ini dapat membantu kita menghindari kesalahan meninggalkan Dharma dengan mengatakan bahwa ada ajaran Buddha yang bukan ajaran agama Buddha. Ketika kita memahami aliran-aliran yang berbeda secara tepat dari sudut pandang mereka masingmasing, kita mengembangkan banyak penghormatan pada semua ajaran Buddha. Ini sangat penting.
Aliran-Aliran Tibet Seperti Apa Perbedaan di antara Berbagai Aliran Buddhisme Tibet? Dr. Alexander Berzin Keempat aliran Tibet memiliki banyak kesamaan, dengan hadirnya banyak perbedaan mengenai tafsiran mereka tentang kekosongan (sunyata) dan bagaimana cita kita bekerja. Di sini kita akan melihat beberapa kesamaan dan perbedaan antara aliran-aliran Nyingma, Sakya, Kagyu dan Gelugpa. Aliran Kewiharaan Dari delapan belas aliran Hinayana yang pernah berkembang di India, hanya ada tiga silsilah sumpah kewiharaan vinaya utama yang kini masih ada. Ketiganya adalah:
Theravada – di Asia Tenggara Dharmagupta – di Asia Timur Mulasarvastivada – di Tibet dan Asia Tengah.
Keempat aliran Tibet berbagi silsilah Mulasarvastivada sumpah biksu dan biksuni purna dan pemula, dan terdapat pula pelaku rohani awam di masing-masing aliran tersebut. Akan tetapi, seperti Theravada, Mulasarvastivada tidak lagi memiliki biksuni tahbisan purna – mereka hanya ditemukan di Dharmagupta – karena silsilah penahbisannya tidak pernah diteruskan ke Tibet. Aliran Nyingma juga memiliki penahbisan ngagpa (mantrika). Kalangan Ngagpa memegang seperangkat sumpah tantra yang
luas, serta mengkhususkan diri pada meditasi dan melaksanakan upacara bagi masyarakat awam. Menjadi seorang ngagpa bukanlah pilihan utama bagi lembaga wihara dan karena itu jumlahnya sangat sedikit. Pembelajaran, Upacara, dan Meditasi Keempat aliran Tibet menggabungkan pembelajaran sutra dan tantra dengan upacara dan meditasi. Pendidikan Buddha di tiap aliran meliputi hafalan naskah-naskah dari keempat tata ajaran India dan adu pendapat resmi mengenai maknanya. Perbedaan tafsir atas pokok-pokok halus muncul tidak hanya di antara keempat aliran Tibet, tetapi juga di dalam masing-masing aliran itu sendiri, pada berbagai naskah kewiharaannya. Perbedaan seperti itu membuat adu pendapat menjadi hidup dan pemahaman lebih jelas. Setelah berhasil menyelesaikan pembelajaran mereka, kaum Gelugpa menerima gelar "Geshe" dan gelar "Khenpo" untuk tiga aliran lainnya. "Khenpo" juga gelar yang diberikan kepada kepala wihara. Keempat aliran juga memiliki tata "tulku" reinkarnasi para lama. Para tulku dan kepala wihara menerima gelar "Rinpoche", tanpa memandang tingkat pendidikan mereka. Laku upacara di keempat aliran ini meliputi lantunan, disertai dengan simbal, genderang, dan sangkakala, serta membuat dan mempersembahkan kue tormasberbentuk tumpeng yang terbuat dari tepung beras dan mentega. Gaya lantunan dan langgam pada umumnya sama, meskipun lantunan suara tenggorokan bernada rendah dengan nada tambahan lebih sering dijumpai pada para biksu Gelugpa.
Keempat aliran ini mengarahkan para pengikutnya untuk melakukan pendahuluan ngondro, yaitu 100.000 pengulangan dari berbagai latihan, seperti sujud-sembah dan guru-yoga. Akan tetapi, ayat-ayat yang didaraskan dan jumlah pasti laku yang dijalankan sedikit berbeda. Meditasi di masing-masing aliran meliputi laku harian, undur-diri singkat selama beberapa bulan dan undur-diri selama tiga tahun. Sebagian besar perbedaannya terletak pada kapan, di masahidup para pelaku rohani ini, mereka melakukan undur-diri. Sakya, Nyingma dan Kagyu cenderung melakukan ngondro dan undur-diri lebih awal dalam latihan mereka, sementara Gelugpa melakukannya kemudian, di sepanjang latihan. Pengertian dan Sudut Pandang Beberapa perbedaan utama di dalam penjelasan yang diberikan keempat aliran ini atas ajaran-ajarannya berasal dari cara mereka memberi pengertian pada dan menggunakan istilah teknis, dan juga cara mereka menyajikan Dharma dari berbagai sudut pandang. Contohnya, pasangan "tetap/tak-tetap" dapat berarti jumud/tidakjumud atau abadi/sementara. Ketika kaum Gelugpa mengatakan bahwa cita itu tak-tetap, mereka mengacu pada fakta bahwa cita kita sadar akan berbagai sasaran di setiap saatnya sehingga cita itu tidak pernah jumud. Di lain pihak, ketika Kagyu dan Nyingma menjelaskan bahwa cita itu tetap, mereka mengacu pada fakta bahwa sifat cita itu tidak pernah berubah dan cita tidak memiliki awal atau akhir. Akan tetapi, kedua pihak sepakat dengan pernyataan yang lain, kendati pendirian mereka mengenai
ketaktetapan atau ketetapan cita, di permukaannya, saling berseberangan. Perbedaan yang lainnya ialah kaum Gelugpa menjelaskan Dharma dari sudut pandang makhluk biasa, kaum Sakya menjelaskannya menurut jalan arya yang berkesadaran tinggi, sementara kaum Kagyu dan Nyigma menjelaskannya dari sudut pandang makhluk yang tercerahkan. Jadi, contohnya, kaum Gelugpa mengatakan cita terhalus pun masih memiliki kebiasaan seperti kebodohan, seperti pada saat kematian; kaum Sakya mengatakan cita terhalus itu bersifat sangat bersuka cita sebagaimana ia dimunculkan di atas jalannya; sementara Kagyu dan Nyingma menjelaskan segala sesuatu di dalam cita terhalus sudah lengkap dan sempurna, seperti halnya para Buddha. Lebih jauh lagi, Gelug dan Sakya menjelaskan dari sudut pandang para pelaku rohani yang maju perlahan melewati berbagai tingkatan, sementara Kagyu dan Nyingma sering menyajikan perihal jalan rohani sebagaimana yang terjadi pada para pelaku rohani yang langka jumlahnya, yang "mengalami semuanya secara seketika". Penjelasan dan Cara Bermeditasi atas Sunyata Keempat aliran sama-sama sepakat bahwa penjelasan tentang sunyata – hampanya keberadaan yang betul-betul mapan – seperti yang diberikan di dalam naskah-naskah Madhyamaka merupakan penjelasan yang paling mendalam. Akan tetapi, mereka berbeda dalam hal cara mereka membagi Madhyamaka ke dalam sub-sub aliran dan bagaimana aliran-aliran ini berbeda satu sama lain. Titik akhirnya ialah mencapai pengetahuan nircitra atas sunyata – dengan tingkat kasar cita di sutra dan serta cita bercahaya jernih terhalus atau kesadaran rigpa murni di tantra tertinggi. Ini berarti
mencapai tataran cita tertentu dan sasaran tertentu, yaitu sunyata, sebagai sasarannya. Gelugpa menekankan meditasi pada sisi sasarannya, sementara Sakya, Kagyu, dan Nyingma menenkankan pada sisi citanya. Tiap aliran juga mengajarkan caranya sendiri-sendiri untuk memperoleh pemahaman nircitra dan untuk memasuki dan menggiatkan cita terhalus. Yang Gelugpa sebut nircitra, disebut dengan istilah "melampaui kata dan citra" oleh Sakya, Kagyu, dan Nyingma. Mengenai hubungan antara cita dan sasarannya, Gelugpa menjelaskan bahwa kita hanya dapat memahami keberadaan sasaran sebagaimana ia dipahami lewat kata dan citra yang mengacu padanya; tapi tentu saja pemberian cap batin lewat citra dan penunjukan lewat kata tidak menciptakan sasaran apapun yang dapat ditemukan. Sakya, Kagyu dan Nyingma menekankan pada ketakmenduaan cita dan sasarannya; tetapi itu tidak berarti bahwa keduanya sama persis. Alih-alih, keduanya tidak bisa mengada secara terpisah dan mandiri. Hal ini mengacu pada ketakterpisahan cita dan wujud. Kedua pendirian dari keempat aliran Tibet ini tidak bertentangan. Terlebih lagi, kedua pihak sepakat bahwa setelah telaah, tak ada yang dapat ditemukan dan mengada secara mandiri di atas dirinya sendiri, membangun keberadaan dari sisinya sendiri; walau demikian, sebab dan akibat masih berlaku. Gelugpa menjelaskan bahwa wujud dari keberadaan yang sungguh-sungguh mapan itu seperti maya dalam arti ia tidak berhubunan dengan sesuatu apapun yang nyata; sementara ketiga aliran yang lain menekankan
bahwa keberadaan yang sungguh-sungguh mapan itu memang merupakan sebuah maya. Dalil Pandangan Inderawi Aliran-aliran tan-Gelug berkata bahwa yang kita pandang secara nircitra itu hanyalah berupa hal-ihwal rasa – data rasa dari suatu rasa, misalnya bentuk-bentuk berwarna dengan pengelihatan kita. Lebih lanjut, kita hanya memandang satu saat sekali waktu. Namun, sasaran-sasaran lazim dapat diketahui melalui berbagai indera: kita dapat mengetahui sebuah apel melalui penglihatan, penciuman, pengecapan, atau sensasi raba di tangan kita, dan ini terjadi lewat serangkaian saat-saat penginderaan. Karena hal ini, Sakya, Kagyu dan Nyingma menegaskan bahwa kita hanya bisa mengetahui sasaran-sasaran lazim nan lumrah semata, seperti sebuah apel, secara bercitra. Tentu saja, itu tidak berarti bahwa apel hanya ada di dalam cita bercitra kita saja, tapi bahwa kita hanya dapat mengetahuinya lewat gatra batin bercitra. Kaum Gelugpa menegaskan bahwa secara nircitra sekalipun, kita melihat tidak hanya satu saat dari bentuk-bentuk berwarna, tetapi di tiap saat kita juga melihat sasaran-sasaran lazim, seperti apel, yang dapat diketahui melalui beraneka indera dan yang langgeng sepanjang waktu. Hubungan antara pikiran bercitra dan sasaran lazim bukanlah bahwa sasaran hanya dapat diketahui secara bercitra, ataupun bahwa mereka itu hanya ciptaan pikiran bercitra semata. Akan tetapi, kita hanya dapat mengetahui keberadaan mereka dalam kerangka cap batin melalui pikiran bercitra, seperti dijelaskan di atas. Oleh karena itu, kedua pihak sepakat bahwa memahami peran pikiran bercitra dalam cara kita mengetahui dunia itu hakiki sifatnya untuk mengatasi dan selamanya
menyingkirkan kebingungan dan ketidaktahuan kita kenyataan – penyebab terdalam dari semua duka kita.
akan
Ringkasan Sangatlah penting untuk mengikuti pendekatan yang tidak picik, seperti yang terus-menerus ditekankan oleh Yang Mulia Dalai Lama. Sama sekali kita tidak perlu bertabiat regu sepakbola, perilaku menganggap yang satu lebih baik dari yang lain, dalam memandang berbagai aliran yang ada. Penangkal terbaik bagi kepicikan adalah pendidikan. Semakin kita tahu tentang berbagai aliran yang ada, semakin kita melihat betapa kesemuanya saling melengkapi satu sama lain, meskipun mereka sering menjelaskan berbagai hal dengan cara yang jauh berbeda. Dengan demikian, kita bisa menghormati semua ajaran dari semua silsilah.
Bon dan Buddhisme Tibet Dr. Alexander Berzin Pendahuluan Malam ini saya telah diminta untuk bicara tentang aliran Bon dan hubungannya dengan ajaran Buddha. Ketika Yang Mulia Dalai Lama bicara tentang aliran-aliran Tibet, beliau kerap mengacu pada lima aliran Tibet: Nyingma, Kagyu, Sakya, Gelug, dan Bon. Dari sudut pandang Yang Mulia, Bon punya tempat yang setara dengan empat silsilah Buddha Tibet. Yang Mulia berpikiran begitu lapang. Tidak setiap orang setuju dengan cara berpendirian semacam itu. Telah dan masih ada begitu banyak pikiran-pikiran aneh tentang Bon di antara para guru Buddha. Dalam sudut pandang ilmu kejiwaan Barat, ketika orang mencoba begitu keras untuk menekankan hal-hal positif dalam kepribadian mereka sebelum mereka betul-betul telah menyelesaikan segala perkara pada tataran yang mendalam, maka sisi bayangan diarahkan pada sosok musuh. “Kitalah orang baik yang berada di jalan murni yang benar dan merekalah yang jahat.” Sayangnya, para Bonpo (penganut Bon – penerj.) sejak dahulu telah menjadi sasaran pengkambing-hitaman ini dalam sejarah Tibet. Kita akan melihat alasan-alasan sejarawinya. Hal ini tentunya perlu dipahami dalam lingkung sejarah politis Tibet. Sudah jadi kenyataan bahwa Bon telah menerima banyak pewaraan negatif dan citra buruk di Tibet sendiri. Orang-orang Barat sering tertarik pada perbalahan, seolah sesuatu yang menerima citra buruk itu lebih menarik. Aliran-aliran yang lain itu lurus dan membosankan. Gagasan yang sama saja anehnya: Bon lebih eksotis dibanding Buddha Tibet. Beberapa orang Barat
melihatnya sebagai medan tempat mereka bisa menemukan sihir, hal-hal sejenis Lobsang Rampa seperti mengebor kening orang untuk membuka mata ketiga mereka. Tak satupun pandangan itu tepat. Kita perlu mencoba mendapatkan cara pandang yang lebih seimbang dan melihat Bon dengan rasa hormat, seperti yang dilakukan Yang Mulia. Penting bagi kita untuk memahami sejarah Tibet untuk melihat bagaimana pandangan negatif terhadap Bon berkembang dan untuk melihat bagaimana pendekatannya pada pengembangan kerohanian itu berhubungan dengan Buddha Tibet. Menelusur Asal-Usul Bon – Shenrab Miwo Menurut aliran Bon sendiri, Shenrab Miwo, yang hidup tiga puluh ribu tahun yang lalu, adalah pendiri aliran tersebut. Angka itu menempatkannya di suatu masa di Zaman Batu. Saya tidak berpikir bahwa ini berarti ia adalah manusia gua. Cara umum untuk menunjukkan rasa hormat yang hebat pada sebuah silsilah adalah dengan mengatakan bahwa silsilah tersebut kuno (dalam pengertian positif –penerj.). Bagaimanapun juga, tahun pasti rentang hidupnya tak mungkin dibuktikan. Shenrab Miwo hidup di Omolungring. Penggambaran tempat ini tampaknya merupakan percampuran berbagai gagasan tentang Shambhala, Gn. Meru, dan Gn. Kailash – penggambaran tentang sebuah tanah kerohanian yang sempurna. Dikatakan bahwa tempat itu berada di sebuah kawasan yang lebih luas, yang disebut Tazig. Kata “Tazig” dapat dijumpai baik dalam bahasa Persia maupun Arab; kata itu mengacu pada keduanya: tanah Persia dan tanah Arab. Dalam lingkung yang lain, kata tersebut mengacu pada sebuah suku pengelana. Dalam aliran Bon, Tazig digambarkan berada di
sebelah barat kerajaan Zhang-zhung, yang terletak di Tibet Sebelah Barat. Ini menyarankan bahwa Bon datang dari Asia Tengah, dan mungkin dari suatu wilayah kebudayaan Iran. Mungkin bahwa Shenrab Miwo tinggal dalam budaya Iran kuno dan kemudian datang ke Zhang-zhung. Beberapa pendapat mengatakan bahwa ia datang ke Zhang-shung di suatu masa antara abad ke-11 dan ke-7 SM. Itu waktu yang sudah lama sekali dan, sekali lagi, tidak ada cara untuk membuktikan mana yang benar. Yang jelas adalah bahwa pada masa pendirian Wangsa Yarlung di Tibet Tengah (127 SM.) sudah ada aliran kepercayaan pribumi. Kita bahkan tidak tahu apa nama alirannya pada masa itu. Kaitan dengan Iran Kaitannya dengan Iran sangat menarik. Ada banyak sekali terkaan tentang hal ini. Ini harus dilihat tidak hanya dari sudut pandang Bon, tapi dari sudut pandang Buddha pula. Ada sejumlah besar bahan yang sama antara Bon dan ajaran Buddha. Para Bonpo berkata bahwa penganut Buddha mendapatkannya dari mereka dan penganut Buddha berkata bahwa para Bonpo-lah yang memperolehnya dari mereka. Masing-masing pihak mendaku sebagai sumbernya. Ini sebuah soalan yang pelik untuk diputuskan. Bagaimana kita bisa tahu? Ajaran Buddha beranjak dari India ke Afghanistan sejak awal sekali. Kenyataannya, dua dari murid Buddha sendiri konon berasal dari Afghanistan dan membawa ajaran Buddha kembali ke sana. Pada abad pertama dan kedua SM, ajaran Buddha memang menyebar sampai ke Iran dan terus sampai ke Asia Tengah. Ajaran
Buddha dulu ada di sana. Kalau Bon berkata bahwa gagasangagasan yang tampak sangat mirip dengan apa yang Buddha ajarkan itu datang dari sebuah wilayah Persia ke Tibet Sebelah Barat selama suatu kurun jauh sebelum gagasan itu datang langsung dari India, agaknya mungkin bahwa itu berasal dari sebuah percampuran antara ajaran Buddha dan gagasan kebudayaan Iran setempat yang ada di wilayah tersebut. Wilayah yang tampak sebagai sumber paling nalariah bagi gagasangagasan Buddha Iran adalah Khotan. Khotan Khotan ada di utara Tibet Sebelah Barat. Seperti yang Anda ketahui, Tibet merupakan dataran yang amat tinggi dengan banyak gunung. Kalau kita beranjak lebih jauh ke utara, ke ujung dari dataran tinggi itu, ada bentangan gunung lain, kemudian di balik gunung itu ada sebuah gurun di bawah permukaan laut di Turkistan timur, yang sekarang disebut provinsi Xinjiang, Cina. Khotan ada di kaki pegunungan itu, tepat sebelum kita memasuki daerah gurun. Daerah itu dulu merupakan sebuah wilayah kebudayaan Iran; orang-orangnya berasal dari Iran. Khotan adalah pusat ajaran Buddha dan pusat niaga yang luar biasa. Khotan telah mencetak dampak kebudayaan yang berarti bagi Tibet, walau orang-orang Tibet meremehkan hal ini dan mengatakan bahwa segalanya berasal dari India entahpun Cina. Bahkan tata tulis Tibet berasal dari abjad Khotan. Kaisar Tibet, Songtsen-gampo mengutus seorang menteri ke Khotan untuk mendapatkan satu tata tulis bagi bahasa Tibet. Jalur niaga ke Khotan terbentang melalui Kashmir, dan sebagaimana terjadi, guru besar dari Khotan yang mereka harap dapat mereka temui ternyata
ada di sana. Jadi, para utusan itu memperoleh tata tulis darinya di Kashmir, dan jadilah ceritanya bahwa mereka mendapatkan tata tulis itu dari Kashmir. Kalau kita telaah tata tulis tersebut, kita dapat lihat bahwa sebetulnya tata itu berasal dari Khotan. Tentu, tata tulis Khotan aslinya berasal dari India. Tapi pokok pentingnya adalah bahwa ada banyak persentuhan budaya dengan Khotan. Kita dapat lihat bahwa sajian pendapat yang dibuat aliran Bon ini sangat masuk akal. Tentu saja bisa jadi Bon berasal dari Khotan. Dari sudut pandang ini, kita dapat katakan bahwa ajaran Buddha datang ke Tibet dari dua arah: dari Khotan atau wilayah-wilayah kebudayaan Iran ke Tibet Sebelah Barat dan kemudian lebih belakangan dari India. Dalam hal yang pertama, ajaran Buddha bisa jadi datang dalam bentuk Bon yang mula. Agaknya mungkin bahwa ajaran Buddha, dan khususnya dzogchen, berasal dari kedua pihak dan bahwa masing-masing pihak saling pinjam. Itu yang mungkin lebih dekat dengan kebenarannya. Penggambaran Semesta dan Kehidupan Setelah Mati Satu unsur Bon yang berasal dari kepercayaan kebudayaan Iran adalah catatan tentang bagaimana semesta berkembang. Ajaran Buddha punya ajaran-ajaran abhidharma tentang Gn. Meru dan seterusnya, tapi itu bukan satu-satunya penjelasan. Ada juga penjelasan Kalacakra, yang berbeda tipis. Naskah-naskah Bon juga mengandung penjelasan abhidharma, persis seperti dalam ajaran Buddha, tapi naskah-naskah tersebut memiliki penjelasan khasnya sendiri dengan segi-segi tertentu yang agaknya tampak seperti berasal dari gagasan Iran, seperti kosokbali antara terang dan gelap. Beberapa cendekiawan Rusia telah melihat kemiripankemiripan antara nama-nama Tibet dan Persia kuno untuk
berbagai dewa dan sosok. Kaitan dengan Iran inilah yang sedang mereka tunjukkan. Yang agak khas dari Bon masa mula adalah penekanan pada kehidupan setelah mati, khususnya pada tataran dalam-antara. Ketika para raja wafat, mereka pergi ke alam baka. Karena mereka membutuhkan berbagai hal untuk perjalanan mereka, ada dibuat pengurbanan hewan, dan mungkin juga bahkan pengurbanan manusia, walau itu masih bisa diperbantahkan lagi. Yang pasti, mereka mengubur gambar-gambar, makanan dan semua hal yang akan dibutuhkan seseorang dalam perjalanannya ke alam kehidupan setelah kematian. Agaknya menarik untuk dicatat bahwa ajaran Buddha Tibet mengambil penekanan pada tataran dalam-antara ini. Ada penyebutan tentang bardo (arus kesadaraan antara kematian dan kelahiran kembali – penerj.) dalam ajaran Buddha Inida tapi hanya sedikit saja ditekankan di sana, sementara ada banyak laku upacara bardo dalam ajaran Buddha Tibet. Kita dapat menjumpai penekanan pada persiapan dari kehidupan setelah mati dalam budaya Persia kuno juga. Satu-satunya segi dari Bon masa mula yang dapat sungguh-sungguh kita bicarakan dengan pasti adalah laku upacara penguburan dan hal yang dijumpai di permakaman menunjukkan kepercayaan atas kehidupan setelah mati itu. Di luar itu, yang ada hanyalah terkaan. Kita dapat benar-benar menelaah pusara kubur para raja kuno. Pengaruh Zhang-zhung beranjak sampai ke wilayah Yarlung dari Tibet tengah dan berlangsung dari masa-masa paling awal sampai ke pendirian kekaisaran Tibet pertama oleh Songsten-gampo. Ia membuat persekutuan dengan menikahi putri-putri dari berbagai
negara. Sangat luas diketahui bahwa ia menikahi seorang putri dari Cina dan seorang lagi dari Nepal. Akan tetapi, ia juga menikahi seorang putri dari Zhang-zhung. Alhasil, Kaisar Tibet pertama ini dipengaruhi oleh tiap-tiap budaya ini. Ajaran-ajaran lengkap Buddha tidak mencapai Tibet selama kurun paling awal ini dan pengaruhnya sungguh sangat kecil. Akan tetapi, sang Kaisar memang membangun kuil-kuil Buddha di berbagai ‘ titik-titik tenaga’. Tibet dipandang sebagai sesosok roh jahat betina yang terbaring telentang dan ketika itu ada pemikiran bahwa dengan membangun kuil-kuil di berbagai titik totok-jarum dayadaya jahat si roh jahat akan dapat ditundukkan. Melihat berbagai hal dalam kerangka titik-titik totok-jarum, menundukkan kuasa roh jahat dan seterusnya, itu mirip sekali dengan budaya Cina. Inilah bentuk ajaran Buddha yang hadir di Tibet kala itu. Yang penting di sini adalah bahwa, meskipun Kaisar Songtsen-gampo mengangkat ajaran Buddha, ia mempertahankan laku upacara penguburan Bon yang dilaksanakan di Yarlung sebelum dirinya. Ini tentunya didorong oleh ratunya yang berasal dari Zhang-zhung. Maka, laku upacara penguburan, dengan pengurbanan dan seterusnya, terus berlanjut sampai kurun Buddha yang mula ini. Pengasingan Para Bonpo Sekitar tahun 760, Kaisar Songdetsen mengundang Guru Rinpoche, Padmasambhava, dari India. Mereka membangun wihara pertama, Samye, dan memulai tradisi kewiharaan. Mereka punya sebuah jawatan penerjemahan di Samye untuk menerjemahkan naskah-naskah bukan hanya dari bahasa-bahasa India dan Cina, tapi juga dari Zhang-zhung, yang rupa-rupanya telah menjadi sebuah bahasa tulis di kala itu. Ada dua tata tulis
Tibet. Tata cetak adalah tata yang didapat Kaisar Songtsen-gampo dari Khotan. Menurut penelitian beberapa cendekiawan besar, seperti Namkhai Norbu Rinpoche, Zhang-zhung memiliki tata tulis yang lebih awal, yang merupakan landasan bagi bentuk tulistangan dari tata tulis Tibet. Di Samye, mereka menerjemahkan naskah-naskah Bon, agaknya tentang penguburan dan seterusnya, dari bahasa Zhang-zhung dalam aksaranya sendiri ke bahasa Tibet. Ada sebuah adu pendapat terkenal antara ajaran Buddha India dan Cina di Samye, lantas sebuah dewan keagamaan dibentuk dan, pada tahun 779, ajaran Buddha dinyatakan sebagai agama negara Tibet. Tak diragukan lagi, terdapat banyak pertimbangan politis yang terlibat. Tak lama berselang, pada 784, terjadi penindasan terhadap golongan Bon. Di sinilah rasa permusuhan bermula. Ini penting untuk diurai. Apa yang sebetulnya terjadi? Dalam istana kerajaan ada sebuah golongan pendukung-Cina, sebuah golongan pendukung-India, dan sebuah golongan pribumi amat-sangat kolot yang benci pada orang atau budaya asing. Ayah Kaisar Tri Songdetsen telah menikahi seorang ratu Cina yang memiliki banyak pengaruh dan alhasil ayahnya itu bersikap mendukung Cina dalam berbagai kebijakannya. Golongan yang kolot tadi membunuh ayah Kaisar Tri Songdetsen itu. Saya pikir ini adalah salah satu alasan mengapa Cina kalah dalam adu pendapat tersebut.Mereka sama sekali tak mungkin memenangkan adu pendapat itu. Cina tak memiliki pengalaman turun-temurun dalam adu pendapat dan mereka diadu dengan para jago silat-lidah terbaik di India. Bahasa mereka tidak sama, jadi apa bahasa yang mereka gunakan saat saling beradu pendapat? Semuanya diterjemahkan. Tentu, adu pendapat itu merupakan sebuah
gerakan politis untuk menyingkirkan golongan Cina. Karena Cina, ayah dari Kaisar telah dibunuh. Nah, selain itu, sang raja ingin pula menyingkirkan golongan anti-asing. Golongan India merupakan golongan yang paling tidak mengancam kekuasaan politis sang Kaisar. Jadi, golongan politis kolot tadi dibuang ke pengasingan. Mereka itulah para Bonpo. Yang membingungkan adalah ketika orang berkata bahwa para Bonpo melakukan laku upacara penguburan di dalam istana. Mereka itu bukanlah para Bonpo yang dibuang ke pengasingan. Para Bonpo yang diasingkan adalah para menteri dan tokoh politis kolot yang diusir ini. Menariknya, laku-upacara penguburan dan pengurbanan terus berlanjut di dalam istana bahkan setelah pengasingan mereka. Untuk memperingati sebuah perjanjian dengan Cina yang ditandatangani pada 821, sebuah tonggak yang menggambarkan upacara-upacara itu didirikan. Mereka mengurbankan hewan. Walau mereka tidak lagi melaksanakan penguburan kerajaan, masih ada beberapa pengaruh di sana. Saya pikir agaknya penting untuk menyadari bahwa rasa permusuhan antara umat Buddha dan Bon sesungguhnya merupakan suatu hal politis; bukan benar-benar karena agama atau laku-upacara. Golongan kolot dikirim ke dua wilayah. Yang satu adalah Yunnan, di wilayah baratdaya Cina sekarang, utara Burma, dan yang lain di Gilgit di baratlaut Pakistan, sangat dekat dengan tempat asal Guru Rinpoche. Bisa kita simpulkan bahwa para Bonpo mungkin mendapatkan beberapa ajaran tentang dzogchen dari wilayah itu, tempat Guru Rinpoche menerima ajaran-ajaran itu juga, dan bahwa mereka boleh jadi telah membawa ajaran-ajaran itu kembali ke Tibet kemudian, terlepas dari Guru Rinpoche. Ada banyak
kemungkinan penjelasan untuk ajaran dzogchen yang dilaksanakan Bon terpisah dari ajaran Buddha yang berasal dari Guru Rinpoche. Ini bukan cuma soal ada yang berkata demikian dan maka itu benar. Orang harus melihat sejarahnya. Naskah-Naskah Harta Karun Bon yang Terkubur Banyak naskah-naskah Zhang-zhung dikubur pada masa pengasingan, ditaruh ke dalam dinding-dinding lumpur wihara Samye oleh seorang guru besar bernama Drenpa-namka. Guru Rinpoche juga mengubur naskah-naskah pada saat yang sama, karena ia merasa waktunya belum matang, orang-orang belum cukup canggih untuk memahami isi naskah-naskah tersebut. Ia hanya mengubur naskah-naskah dzogchen. Para Bonpo mengubur semua ajaran-ajaran Bon, termasuk dzogchen. Jadi, walau para Bonpo dan penganut Nyingma mengubur naskahnaskah pada saat yang sama, alasan atas tindakan tersebut dan naskah-naskah yang dikubur agak berbeda. Kaisar Tibet berikutnya, Relpachen, merupakan seorang fanatik. Ia menitahkan bahwa tujuh rumahtangga masing-masing harus menyokong hidup satu biksu. Sejumlah besar pajak dialihkan untuk menyokong wihara-wihara. Para biksu dalam dewan keagamaan punya kuasa politik luar biasa besar. Kaisar berikutnya, Langdarma, digambarkan sebagai iblis karena ia menindas dewan keagamaan dan menghentikan aliran pajak masuk ke wiharawihara. Ia membubarkan wihara-wihara, tapi ia tidak meratakan perpustakaan-perpustakaannya. Kita mengetahui hal ini karena ketika Atisha datang ke Tibet pada abad ke-11, ia berucap tentang betapa menakjubkan perpustakaan-perpustakaan itu. Langdarma pada dasarnya menghentikan lembaga-lembaga kewiharaan
karena mereka menjadi terlalu kuat secara politis. Jadi, ada masa ketika wihara-wihara ditelantarkan. Naskah-naskah Bon yang terkubur di Samye pertama sekali ditemukan pada 913. Beberapa gembala menginap di wihara itu dan ketika mereka bersandar ke dinding, dinding itu runtuh, menyingkap beberapa naskah yang tersimpan di dalamnya. Setumpuk besar naskah-naskah Bon ditemukan sekitar satu abad kemudian oleh seorang guru besar Bon bernama Shenchen Luga. Pada 1017, ia menyusun ulang naskah-naskah itu. Naskah-naskah tersebut kebanyakan merupakan bahan tan-dzogchen, mencakup apa yang akan kita sebut sebagai ajaran-ajaran yang serupa dengan Buddha Tibet. Baru setelah inilah penganut Nyingma mulai menemukan naskah-naskah di Samye dan wihara-wihara lainnya. Sejumlah guru menemukan baik naskah-naskah Bon maupun Nyingma, dan kerap kali di tempat yang sama. Naskah-naskah Nyingma kebanyakan tentang dzogchen. Kita berada pada alas sejarawi yang lebih padu ketika kita menimbang tentang tahap baru Bon, tahap lama adalah sebelum pengasingan dan penguburan naskah-naskah. Membandingkan Bon dan Buddha Tibet Kita dapati bahwa ada sejumlah besar kesamaan dengan aliranaliran Buddha Tibet. Ini mengapa Yang Mulia menyebut Bon salah satu dari lima aliran. Para Bonpo tidak akan menyukainya, tapi kita bisa menyebutnya bentuk lain dari ajaran Buddha Tibet. Ini tergantung pada cara kita memahami arti sebuah aliran Buddha. Sebagian besar peristilahannya sama. Bon bicara tentang pencerahan, pemerolehan pencerahan, para Buddha, dan seterusnya. Beberapa istilah tertentu berbeda, seperti halnya
nama-nama berbagai dewata, tapi ajaran-ajaran dasarnya sama. Ada beberapa perbedaan yang sangat remeh seperti mengelilingi berlawanan arah jarum jam, bukannya searah jarum jam. Jenis topi upacaranya berbeda. Jubah para biksunya mirip kecuali bagian rompi, yang berwarna biru, bukan merah atau kuning. Bon juga punya adat adu-pendapat, tepat persis seperti aliranaliran Buddha Tibet. Adat adu-pendapat ini hulunya jauh sekali ke belakang, jadi lagi-lagi kita mesti bertanya-tanya siapa yang memulainya. Tentunya adat adu-pendapat sudah ada di wiharawihara India jauh lebih awal dibanding kemunculannya di Tibet. Akan tetapi, adat tersebut bisa jadi masuk ke aliran Buddha Tibet lewat Bon. Di lain pihak, ini tidak harus dipahami dalam kerangka yang satu meniru yang lain. Yang menarik ialah bahwa adat adu-pendapat Bonpo mengikuti dengan amat dekat adat adu-pendapat Gelug. Banyak biksu Bonpo bahkan berlatih adu-pendapat di wihara-wihara Gelug dan bahkan menerima gelar-gelar Geshe. Itu mengisyaratkan bahwa walaupun Bon memiliki dzogchen, penafsiran Madhyamaka lebih dekat pada penafsiran Gelug dibanding Nyingma. Kalau tidak, mereka tidak dapat bergabung dalam adu-pendapat Gelug. Kemiripan antara Bon dan Buddha Tibet tidak melulu berhubungan dengan Nyingma. Bon bukanlah kembaran Nyingma dengan nama berbeda. Ia jauh lebih rumit lagi. Bon juga menekankan pada berbagai ilmu pengetahuan turuntemurun India, yang mereka pelajari jauh lebih ketat dibanding wihara-wihara Buddha – pengobatan, ilmu perbintangan, rampak puitis, dan seterusnya. Dalam wihara-wihara Buddha, pokok-pokok
bahasan ini ditekankan jauh lebih kuat di Amdo di Tibet sebelah timur, dibanding di Tibet tengah. Baik Bon maupun Buddha Tibet memiliki wihara-wihara dan sumpah-sumpah kewiharaan. Agak menarik melihat bahwa walaupun banyak dari sumpah tersebut sama dalam kedua ajaran itu, Bon memiliki sumpah-sumpah tertentu yang orang sangka dimiliki oleh umat Buddha padahal tidak. Misalnya, para Bonpo punya sumpah menjadi vegetarian. Umat Buddha tidak. Akhlak Bon sedikit lebih ketat dibanding Buddha. Bon memiliki tata tulkus, yang sama seperti di dalam wihara-wihara Buddha. Mereka punya para Geshe. Mereka punya Prajnaparamita, Madhayamaka, Abhidharma, dan semua bagianbagian yang kita jumpai dalam naskah-naskah Buddha. Beberapa dari kosakata dan penyajiannya berbeda tipis, tapi keragamannya tidak lagi dramatis dibanding antara satu silsilah Buddha dengan yang lainnya. Contohnya, Bon punya catatannya sendiri tentang penciptaan dunia, tapi kita mendapati sebuah catatan khas tentang pokok yang sama dalam Kalacakra juga. Ini adalah sebuah gambaran umum. Bon tidaklah begitu asing. Kebudayaan Tibet dan Ajaran-Ajaran Hakiki Saya pikir penting untuk mencoba melihat segi-segi ajaran Buddha yang dipungut dari Bon, yang mencerminkan pendekatan Tibet pribumi, agar kita memiliki gagasan yang lebih jernih tentang apa itu kebudayaan Tibet dan apa itu ajaran Buddha hakiki. Juga penting bagi kita untuk mencoba melihat segi-segi kebudayaan dari ajaran-ajaran hakiki Bon.
Sebuah jalan penyembuhan lipat-empat telah sepenuhnya dipungut oleh seluruh aliran Buddha Tibet. Ada orang datang dengan sebuah penyakit dan hal pertama yang dilakukan adalah melempar sebuah mo, yang merupakan sebuah cara tenungan. Itu muncul dari Bon. Dahulu kala, mereka tidak melakukan mo dengan dadu, seperti yang umum mereka lakukan sekarang, tapi dengan sebuah tali yang diikat ke berbagai simpul. Mo menunjukkan apakah ada roh berbahaya yang menyebabkan penyakit itu dan jika ada, laku upacara yang mana yang harus dilaksanakan untuk mengenyahkannya. Kedua, orang merujuk pada ilmu perbintangan untuk menentukan waktu paling sangkil untuk melaksanakan laku upacara tersebut. Ilmu perbintangan diperbuat dalam kerangka unsur-unsur Cina – tanah, air, api, logam, dan kayu. Lalu ketiga, laku upacara tersebut dilaksanakan untuk membersihkan pengaruh-pengaruh berbahaya yang datang dari luar. Setelahnya, yang keempat, baru si sakit minum obatnya. Aturan di balik laku-laku upacara sedikit berbeda dalam ajaran Buddha dan Bon. Dari sudut pandang Buddha, kita berlaku dengan karma dan melihat keadaan luaran pada dasarnya sebagai cerminan karma. Sebuah laku upacara atau puja dapat membantu menggiatkan daya-daya karma positif. Bon menempatkan penekanan yang setara pada penyelarasan daya-daya luaran dan kemudian keadaan karma dalaman. Pada kedua perkara tersebut, puja untuk penyembuhan ini menggunakan torma, yang direndahkan sebagai sisa-sisa laku upacara pengurbanan kuno. Torma, terbuat dari tepung jewawut, dicetak ke bentuk hewan-hewan kecil, dan digunakan sebagai tumbal, sudah pasti berasal dari Bon. Torma diberikan pada rohroh berbahaya: “Ambil ini dan pergilah dari si sakit."
Keseluruhan soalan tentang pengurbanan amatlah menarik. Para Bonpo berkata, “Kami tidak melakukannya, itu laku kebiasaan yang sudah lebih dulu ada di Tibet." Yang Buddha berkata, “Para Bonpo lah yang melakukannya, kami tidak.” Tentu saja, semua orang ingin menyangkal, tapi yang pasti pengurbanan itu ada. Milarepa menyebutkan bahwa pengurbanan terjadi di masa hidupnya. Bahkan di tahun 1974 saja ketika Yang Mulia Dalai Lama memberikan pemberdayaan Kalacakra di Bodhgaya untuk pertama kalinya, beliau bicara sangat lantang pada orang-orang yang datang dari daerah-daerah perbatasan Tibet tentang penghentian laku-laku pengurbanan hewan. Ini merupakan sesuatu yang sudah lama ada. Gambar-gambar berbagai dewa dipakai dalam laku-laku upacara bardo Bonpo dan dalam berbagai laku upacara bardo Buddha juga. Ini bisa dilacak sampai ke laku upacara penguburan Iran/Bonpo, dimana berbagai benda ditaruh ke dalam makam bersama jenazah orang yang dikuburkan. Hal lain yang dipinjam dari Bon oleh Buddha Tibet adalah “jaring keselarasan ruang”, sebuah tatarajah tali aneka-warna serupajaring laba-laba yang melambangkan kelima unsur. Hal ini berasal dari gagasan keharusan untuk menyelaraskan unsur-unsur luar sebelum seseorang dapat mengerjakan unsur-unsur dalam atau karma. Sebuah jaring dirancang menurut tenungan dan seterusnya dan digantung di luar. Kadangkala jaring-jaring itu disebut penangkap roh, tapi agaknya kurang tepat. Jaring-jaring tersebut dimaksudkan untuk menyelaraskan unsur-unsur dan menyuruh roh-roh pergi meninggalkan kita. Itu sangat Tibet sekali.
Anggitan roh kehidupan (bla), yang ada dalam Bon dan Buddha, berasal dari gagasan Turki Asia tengah, qut, roh sebuah gunung. Barang siapa yang menguasai wilayah di sekitar sebuah gunung suci tertentu adalah Khan, penguasa bangsa Turki dan kemudian bangsa Mongol. Raja adalah orang yang menjadi jelmaan qut atau roh kehidupan ini. Ia punya karisma dan mampu memerintah. Roh kehidupan seseorang bisa dicuri oleh roh-roh jahat. Seluruh aliran Buddha Tibet memiliki puja untuk merebut kembali roh kehidupan yang telah dicuri oleh roh-roh jahat. Puja-puja tersebut menawarkan tebusan: kembalikan roh kehidupanku, ini sebuah torma sebagai gantinya. Bagaimana kita tahu bahwa roh kehidupan kita dicuri? Dari sudut pandang Barat, kita dapat menyebutnya kegalauan atau keambrukan, dimana seseorang tak dapat bergelut dengan hidupnya. Seseorang yang roh kehidupannya telah dicuri tak mampu mengatur hidupnya. Roh kehidupan memerintah hidup kita layaknya sang Khan memerintah sebuah negara. Kata bahasa Tibet untuk roh kehidupan, “la”, digunakan dalam kata lama. Seorang lama adalah seseorang yang sungguh-sungguh memiliki roh kehidupan. La juga digunakan dalam beberapa lingkung untuk menerjemahkan bodhicita putih, jadi ia merupakan sebuah daya atau saripati bendawi yang sangat kuat di dalam tubuh. Kemudian, ada pula roh kemakmuran. Kalau roh itu kuat, segalanya akan berjalan mulus dan kita akan makmur. Kata untuk itu dalam bahasa Tibet adalah "yang" (g.yang) “Yang" juga merupakan kata bahasa Cina untuk domba. Pada saat Losar, tahun baru Tibet, orang makan kepala domba dan mencetak kepala domba dari tsampa, biji jewawut yang dipanggang. Ini
melambangkan roh kemakmuran. Dan jelas sekali berasal dari laku-laku upacara Bon tua. Gagasan tentang bendera-bendera doa juga berasal dari Bon. Bendera-bendera tersebut berwarna lima unsur dan digantung untuk menyelaraskan unsur-unsur luar supaya segala hal jadi seimbang dan kita bisa melakukan pekerjaan dalam kita. Banyak bendera-bendera doa tersebut memuat gambar kuda angin (lungta, rlung-rta), yang dikaitkan dengan kuda keberuntungan. Cina adalah negara pertama yang mengembangkan tata pengiriman surat, dan para pengantar suratnya menunggang kuda. Ada tempat-tempat tertentu dimana mereka berhenti dan berganti kuda. Kuda-kuda pengirim surat itulah kuda-kuda angin. Istilahistilah dalam bahasa Cina-nya sama. Maknanya ialah bahwa keberuntungan akan datang di atas seekor kuda bagai tukang antar surat membawa barang, surat, uang, dsb. Itu sangat Tibet/Cina sekali. Segi-segi tertentu dari penyembuhan Bon masuk ke adat Buddha, seperti memercikkan air suci dengan sehelai bulu. Dalam seluruh laku upacara pembayatan Buddha, ada sehelai bulu merak dalam sebuah jambangan. Pembakaran daun dan ranting jintan saru, disebut sang dalam bahasa Tibet, dilakukan di puncak-puncak gunung untuk menyapa seseorang yang datang. Mereka melakukannya di sepanjang sisi jalan ketika Yang Mulia kembali ke Dharamsala. Hal itu dihubungkan dengan persembahan kepada roh-roh setempat. Penekanan terhadap waskita dalam ajaran Buddha Tibet kerap dirancukan dengan syamanisme, tapi waskita dan syaman itu cukup berbeda. Waskita adalah roh yang berbicara melalui
perantara. Ia bersifat menyalurkan. Syaman, yang dijumpai di Siberia, Turki, Afrika, dsb., adalah orang-orang yang mengalami kerasukan dan masuk ke alam lain dan berbicara dengan berbagai roh, biasanya roh-roh leluhur. Roh-roh tersebut memberi mereka jawaban atas bermacam pertanyaan. Tatkala si syaman keluar dari keadaan kerasukannya, ia menyampaikan pesan dari para leluhur tersebut. Bedanya, seorang perantara biasanya tak ingat perihal apapun yang dikatakan waskita melaluinya. Waskita jadi dianggap sebagai pelindung. Waskita Nechung juga merupakan pelindung yang disebut Nechung. Akan tetapi, jejak syamanisme tampak dalam pembagian segala hal ke dalam kelompok di muka, di atas, dan di bawah bumi, yang lazim didapati dalam bahan Bon dan kemudian masuk ke adat Buddha. Buddha mengajar begitu banyak tentang berbagai pokok. Kemanapun ajaran Buddha menyebar di Asia, orang menekankan unsur-unsur yang bergayung-sambut dengan budaya mereka. Ada disebutkan tentang tanah-tanah murni-suci di ajaran Buddha India namun itu tidak diberi penekanan. Orang Cina, yang memiliki gagasan Dao (Tao) tentang pergi ke tanah makhluk-makhluk abadi di Sebelah Barat, begitu menekankan perihal tanah murni-suci ini dan mengembangkannya dengan luar biasa. Oleh karena itu, ada ajaran Buddha tanah murni-suci, yang merupakan salah satu aliran Buddha Cina yang paling menonjol. Demikian pula, dalam ajaran Buddha India, kita memang menjumpai pembahasan tentang pelindung, tentang bermacam roh, tentang persembahan puja, dan seterusnya, namun orang Tibet mengembangkan unsur-unsur ini dengan begitu luar biasa karena hal tersebut ada dalam budaya mereka.
Kesimpulan Saya pikir penting sekali bagi kita untuk sungguh menghormati aliran Bon. Ada banyak hal yang dapat dikenali sebagai budaya Bon atau Tibet yang tidak sepenuhnya serupa dengan Buddha Tibet. Ada berbagai unsur dalam ajaran-ajaran Buddha yang juga dijumpai di dalam Bon. Adu-pendapat tentang siapa meniru siapa itu sia-sia saja. Ajaran Buddha dan Bon telah saling bersentuhan dan niscaya keduanya saling mempengaruhi. Penting bagi kita untuk paham bahwa membuat para Bonpo seolah menjadi orang jahat, di satu sisi, itu bersifat politis – sebuah remahsisa dari sikap terlampau kolot yang mereka anut di abad ke-8. Di sisi lain, itu bersifat kejiwaan – orang-orang yang terlampau menekankan sisi positifnya akan cenderung melemparkan sisi negatifnya ke arah orang lain. Gejala ini dijumpai khususnya dalam aliran-aliran Buddha fundamentalis dengan pengabdian adiguru dan penitik-beratan yang luar biasa pada seorang pelindung. Sang pelindung menjadi hal penting. Naskah-naskah mengatakan berbagai hal buruk tentang siapa saja yang menentang Dharma atau menentang aliran yang disebutkan. Hantam musuh kita, gilas mereka, cungkil matanya, dsb. Saya pikir jauh lebih patut kita mengikut contoh yang diberikan Yang Mulia, dengan menganggap bahwa ada lima aliran Tibet, dan masing-masing aliran mengajarkan jalan yang sepenuhnya sahih menuju pencerahan. Kelimanya memiliki banyak kesamaan dan kelimanya bicara tentang pencapaian tujuan yang sama, pencerahan. Di dalam hal yang sama-sama kelimanya miliki, ada hal-hal teretentu yang dapat dikenali sebagai budaya Tibet dan yang lain lebih ke budaya Buddha. Terserah pada kita untuk memutuskan
apa yang mau kita ikuti. Kalau kita hendak menerima hal-hal tertentu dari budaya Tibet, baik, mengapa tidak. Akan tetapi, itu tida semerta penting. Kalau kita dapat membedakan unsur-unsur Tibet dari ajaran Buddha yang hakiki, maka setidaknya kita bisa jernih tentang apa yang sedang kita ikuti. Kita tak bisa jadi pemurni dalam ajaran Buddha. Bahkan ajaran Buddha India melekat erat dengan masyarakat India. Kita tak dapat menceraikan ajaran Buddha dari masyarakat tempatnya diajarkan, tapi kita bisa terang-jelas tentang apa yang budayawi dan apa yang merupakan tentang empat kebenaran mulia, jalan menuju pencerahan, bodhicita, dan seterusnya.
Kajian Sejarah, Budaya, dan Perbandingan – Sejarah Buddha dan Bon Penyebaran Agama Buddha di Asia Dr. Alexander Berzin Selama berabad-abad, ajaran Buddha menyebar jauh: pertamatama ke Asia Tenggara, kemudian melalui Asia Tengah ke Cina dan seluruh Asia Timur, dan akhirnya ke Tibet dan wilayah-wilayah lebih jauh di Asia Tengah. Seringkali ajaran Buddha berkembang di daerah-daerah tersebut secara alami, karena ketertarikan penduduk setempat pada kepercayaan Buddha kaum pedangang asing. Kadang-kadang penguasa menerapkannya untuk menambah budi pekerti masyarakatnya, tapi tak ada yang dipaksa untuk "pindah agama." Dengan menjadikan pesan Buddha tersedia bagi khalayak, masyarakat bebas untuk memilih apa yang berguna. Meskipun agama Buddha tidak pernah mengembangkan suatu gerakan pengutusan, ajaran Buddha menyebar jauh dan luas di subbenua India dan dari sana menyebar ke seluruh Asia. Di tiap budaya yang ditemuinya, cara-cara dan gaya-gaya Buddha disesuaikan dengan watak setempat, tanpa mengubah pokokpokok penting tentang kebijaksanaan dan welas asih. Namun, agama Buddha tak pernah mengembangkan hierarki kekuasaan agama dengan seorang pimpinan penguasa. Tiap negara yang menerima ajaran Buddha mengembangkan bentuknya sendiri, struktur agamanya sendiri, dan pimpinan rohaninya sendiri. Pimpinan yang paling terkenal dan dihormati secara internasional saat ini adalah Yang Mulia Dalai Lama dari Tibet.
Sejarah Singkat Ada dua pembagian utama ajaran Buddha. Hinayana (Wahana Sederhana) menekankan kebebasan perorangan, sementara Mahayana (Wahana Besar) menekankan usaha untuk menjadi seorang Buddha yang sepenuhnya tercerahkan supaya bisa sebaik mungkin menolong orang lain. Masing-masing memiliki subbagian. Namun, saat ini, ada tiga rupa utama yang masih ada: satu Hinayana, dikenal sebagai Theravada, di Asia Tenggara, dan dua Mahayana, yakni aliran Cina dan Tibet.
Aliran Theravada menyebar dari India ke Sri Lanka dan Burma (Myanmar) pada abad ke-3 SM, dan dari sana menyebar ke seluruh Asia Tenggara (Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam Selatan), termasuk Indonesia. Rupa-rupa lain Hinayana menyebar dari masa itu ke Pakistan masa kini, Afghanistan, Iran timur dan pesisir, dan Asia Tengah. Dari Asia Tengah, mereka menyebar lebih jauh pada abad kedua masehi ke Cina. Rupa-rupa Hinayana ini lalu digabungkan dengan unsur-unsur Mahayana yang juga datang melalui jalur ini dari India, sehingga Mahayana akhirnya menjadi rupa ajaran Buddha yang dominan di Cina dan sebagian besar Asia Tengah. Rupa Cina dari Mahayana ini kemudian menyebar ke Korea, Jepang, dan Vietnam Utara. Aliran Mahayana Tibet, yang bermula pada abad ke-7, mewarisi perkembangan sejarah lengkap dari ajaran Buddha India. Dari Tibet, aliran ini menyebar ke seluruh wilayah Himalaya hingga ke Mongolia, Asia Tengah, dan beberapa wilayah Rusia (Buryatia, Kalmyk dan Tuva).
Cara Penyebaran Ajaran Buddha Penyebaran ajaran Buddha di sebagian besar Asia bersifat damai dan terjadi dalam beberapa cara. Buddha Shakyamuni yang kali pertama menetapkan hal ini. Karena dasarnya guru, ia bepergian ke kerajaan-kerajaan tetangga untuk berbagi wawasan dengan orang-orang yang tertarik dan bisa menerima. Demikian juga, ia mengarahkan bhiku-bhikunya untuk menyebar ke dunia dan mewartakan ajarannya. Ia tidak meminta orang lain untuk mencela dan melepaskan agama mereka sendiri lalu beralih ke agama baru, karena ia tidak berusaha mendirikan suatu agama. Ia semata mencoba menolong orang lain mengatasi ketidakbahagiaan dan duka yang mereka ciptakan sendiri akibat kurangnya pemahaman. Generasi pengikut selanjutnya terilhami oleh contoh Buddha dan mengikuti bersama orang lain cara-cara Buddha yang mereka anggap bermanfaat. Inilah cara sesuatu yang sekarang disebut “agama Buddha” menyebar dengan jauh dan luas. Terkadang, proses itu berjalan secara pelan dan alami. Sebagai contoh, ketika para pedagang Buddha berkunjung dan menetap di berbagai tempat, sebagian anggota masyarakat setempat secara alami tertarik pada keyakinan orang-orang asing tersebut, seperti halnya masuknya Islam ke Indonesia dan Malaysia. Proses semacam itu terjadi dengan ajaran Buddha di negara-negara oase sepanjang Jalur Sutra di Asia Tengah selama dua abad sebelum dan sesudah masehi. Sementara penguasa setempat dan masyarakatnya belajar lebih banyak tentang agama India ini, mereka mengundang bhiku-bhiku dari wilayah asli pedagang itu sebagai penasihat atau guru dan, dengan cara ini, akhirnya menerapkan keyakinan Buddha. Cara alami lainnya adalah melalui pembauran budaya yang pelan di dalam orang-orang yang dijajah,
seperti orang Yunani ke dalam masyarakat Buddha Gandhara di Pakistan tengah masa kini selama berabad-abad setelah abad ke2 SM. Namun, seringkali penyebaran itu terjadi terutama karena pengaruh dari seorang raja kuat yang menerapkan dan mendukung agama Buddha. Misalnya, di pertengahan abad ke-3 SM, ajaran Buddha menyebar di seluruh India selatan akibat dukungan pribadi dari Raja Ashoka. Pembangun kekaisaran yang hebat ini tidak memaksa masyarakatnya untuk menerapkan keyakinan Buddha. Namun, dengan mengukir perintah kerajaan di tiang-tiang besi di seluruh wilayahnya, yang mendorong warganya untuk menjalankan kehidupan yang berbudi pekerti, dan dengan menerapkan asas-asas itu sendiri, ia mengilhami orang lain untuk menerapkan ajaran Buddha. Raja Ashoka juga secara aktif menyebarkan ajaran Buddha ke luar kerajaannya dengan mengirimkan utusan ke tempat-tempat jauh. Dalam beberapa kesempatan, ia bertindak atas undangan penguasa asing, seperti Raja Tishya dari Sri Lanka. Di kesempatan lain, ia mengirimkan bhiku-bhiku sebagai wakil resmi dirinya. Para biksu utusan ini, bagaimanapun, tidak memaksa orang lain untuk pindah agama, tapi semata menyediakan ajaran Buddha, yang membuat orang-orang bisa memilih untuk diri mereka sendiri. Ini dibuktikan oleh fakta bahwa di tempat-tempat seperti India Selatan dan Burma bagian selatan, agama Buddha mengakar dengan cepat, sementara di tempat-tempat lain, seperti wilayah jajahan Yunani di Asia Tengah, tidak ada catatan tentang adanya pengaruh langsung.
Raja-raja agamawi lainnya, seperti penguasa Mongol abad ke-16, Altan Khan, mengundang guru-guru Buddha dan menyatakan Buddha sebagai agama resmi di sana untuk membantu menyatukan masyarakat mereka dan memperkuat kekuasaan mereka. Dalam proses itu, mereka mungkin melarang praktikpraktik selain Buddha, agama asli, dan bahkan menghukum mereka yang menjalankannya, tapi tindakan keras ini terutama didorong oleh alasan politik. Penguasa ambisius seperti itu tak pernah memaksa warga mereka untuk menerapkan pemujaan atau keyakinan Buddha. Ini bukanlah bagian dari asas agama. Ringkasan Bila Buddha Shakyamuni berkata kepada orang-orang supaya tidak mengikuti ajarannya atas dasar keyakinan buta, melainkan menilainya secara saksama sebelum menerimanya, orang-orang pun harus menerima ajaran Buddha bukan karena paksaan utusan agama yang tekun atau perintah kerajaan. Oleh karena itu, sebagai contoh, saat Neiji Toin di awal abad ke-17 berusaha menyuap kaum nomad Mongol Timur supaya mengikuti Buddha dengan menawari mereka ternak untuk tiap ayat yang bisa mereka hafal, orang-orang mengajukan keluhan kepada penguasa. Akhirnya, guru yang angkuh ini dihukum dan diasingkan.
Bagaimana Buddhisme Tibet Berkembang? Dr. Alexander Berzin Ajaran Buddha diperkenalkan ke Tibet melalui sokongan kerajaan, memasukkan guru-guru terutama dari India. Seiring waktu, ajaran Buddha Tibet berkembang menjadi kekuatan utama tidak hanya di Tibet, tetapi di seluruh kawasan Himalaya, Mongolia, dan Cina. Artikel ini adalah pengantar singkat tentang sejarah ajaran Buddha di Tibet, perkembangan awalnya, dan bagaimana empat aliran utamanya muncul. Songtsen-gampo Pada abad ketujuh Masehi, Kaisar Songtsen-gampo menaklukkan Zhangzhung, sebuah kerajaan di barat Tibet tempat aliran Bon berasal, mempersatukan Tibet menjadi kerajaan besar. Sesuai adat pada masa itu untuk membuat persekutuan melalui perkawinan, dia memiliki beberapa istri, dengan setidaknya satu dari Cina, satu dari Nepal, dan satu dari Zhangzhung. Tiap istri membawa naskah-naskah dari aliran mereka masing-masing ke Tibet Tengah, dan awal agama Buddha di Tibet biasanya dilacak dari sini. Ada juga mitos tentang naskah-naskah berjatuhan dari langit pada abad pertama SM, tetapi bagaimanapun, pada masamasa awal ini sangat sedikit atau bahkan tak ada pengaruh dari agama Buddha terhadap masyarakat Tibet. Songtsen-gampo ingin mengembangkan bahasa tertulis, jadi dia mengutus menterinya Thonmi Sambhota ke Khotan, sebuah kerajaan Buddha yang kuat di Jalur Sutra di barat-laut Tibet tempat pegunungan Tibet membentang turun hingga bawah permukaan laut dari dataran tinggi Tibet. Di luarnya terletak gurun Taklamakan yang indah namun menakutkan – Taklaman adalah kata Turki yang
berarti "masuk dan tidak keluar." Kini, daerah ini adalah provinsi Xinjiang di Cina, tapi pada masa Songtsen Gampo, daratan di kaki pegunungan di ujung gurun ini adalah Khotan. Wilayah ini didominasi oleh pengikut Buddha dan terutama dipengaruhi oleh budaya Iran. Bahasa yang digunakan adalah bahasa-bahasa Iran, yang memiliki pengaruh besar di Tibet tapi biasanya tidak ditekankan dalam sejarah tertulis. Sebagai contoh, abjad Tibet sebenarnya berasal dari aksara Khotan, yang merupakan saduran mereka sendiri dari abjad Sanskerta. Kebetulan pada waktu itu guru-guru Khotan yang hendak ditemui Thonmi Sambhota berada di Kashmir, dan seorang guru harus pergi melalui Kashmir menuju Khotan. Untuk alasan ini, sering dikatakan bahwa aksara Tibet berasal dari Kashmir, tetapi berdasarkan penguraian sejarah yang rinci, kita mengetahui bahwa tidak demikian adanya. Selanjutnya, tata penerjemahan ke bahasa Tibet sangat dipengaruhi oleh gaya Khotan yakni memenggal kata dan memberi makna pada tiap suku kata. Kala itu, masih belum banyak perkembangan agama Buddha di Tibet. Catatan-catatan sejarah mengatakan bahwa Tibet diumpamakan sebagai raksasa perempuan yang berbaring di tanah, dan untuk menundukkan pasukannya yang berbahaya, candi-candi harus dibangun pada titik-titik akupunktur tertentu di tubuhnya. Maka, tiga belas candi dibangun di wilayah geografis yang sangat luas untuk menjinakkan roh buas dari Tibet itu. Candicandi ini beserta naskah-naskah dan patung-patung yang dibawa oleh para ratu adalah awal dari agama Buddha di Tibet. Setelah itu, hubungan lebih lanjut dengan Cina dan Khotan berkembang, dan kemudian dengan India. Putri Zhangzhung
membawa banyak ritual Bon untuk negara ini, meskipun sangat berbeda dari Bon yang kita kenal saat ini. Kaisar Tri Songdetsen Sekitar 140 tahun kemudian pada pertengahan abad ke-8 M, Kaisar Tri Songdetsen menitikberatkan untuk memperluas kerajaan dan memulai perang dengan Cina dan kerajaan-kerajaan Turki. Karena sebuah ramalan, ia mengundang kepala wihara Nalanda, Shantarakshita, untuk datang dari India mengajar di Tibet. Pada waktu itu, ada beberapa fraksi politik dalam pemerintahan, salah satunya adalah fraksi konservatif anti-asing yang sama sekali tidak suka bahwa Kaisar telah mengundang Shantarakshita. Sayangnya, kedatangan Shantarakshita bertepatan dengan wabah cacar, dan dia dikambinghitamkan dan diusir dari Tibet. Shantarakshita kembali ke India dan dengan pengaruh sang Kaisar berhasil mengundang Guru Rinpoche, Padmasambhawa, ke Tibet. Dikisahkan ia datang untuk menjinakkan roh-roh jahat, tapi sebenarnya adalah untuk menghentikan wabah cacar atau roh-roh jahat yang menyebabkannya. Semua ini memiliki acuan sejarah, jadi ini bukan sekadar cerita. Guru Rinpoche tiba dan wabah berlalu, dan sesudah itu Shantarakshita kembali diundang ke Tibet. Bersama dua orang ini, Kaisar Tri Songdetsen membangun Samye, wihara pertama di Tibet. Sebelum peristiwa ini, di sana terdapat candi-candi, tapi tidak ada wihara dengan biksu-biksu yang ditahbiskan. Guru Rinpoche mendapati bahwa orang-orang sama sekali tidak menerima atau
matang untuk ajaran-ajaran tingkat lanjut, sehingga dia menguburkan naskah-naskah tentang dzogchen, kelas tertinggi ajaran tantra dari alirannya, di dalam dinding-dinding dan pilar-pilar Samye, dan di berbagai tempat lain di sekitar Tibet dan Bhutan. Aliran Nyingma berasal darinya. Mula-mula ada tiga kelompok di Samye – golongan cendekiawan dari Cina, India, dan Zhangzhung. Mereka masing-masing bekerja menerjemahkan bahan-bahan baik ke dalam maupun dari bahasa mereka. Agama Buddha dijadikan agama negara, dan Kaisar China Dezong mengutus dua biksu Cina setiap tahun ke Samye. Shantarakshita meramalkan bahwa perpecahan akan muncul karena hal ini dan menyarankan bahwa di masa depan, Tibet harus mengundang muridnya, Kamalashila, untuk membantu menyelesaikan perpecahan dan pertikaian. Semakin banyak guru dikirim untuk belajar di India, dan guru-guru lain datang dari India untuk mengajar di Tibet. Fraksi konservatif dalam pemerintah menjadi sangat marah dengan perkembangan ini, yang mereka lihat sebagai penganiayaan terhadap Bon. Ini sebenarnya tidak merujuk pada penganiayaan agama, tapi "Bon" di sini merujuk pada sekelompok orang yang terlibat dengan urusan negara, jadi ini lebih merupakan fraksi anti-Zhangzhung. Ritual-ritual kenegaraan pada masa itu tetap ritual Bon yang dulu, jadi itu jelas persoalan politik, bukan agama. Namun, banyak Bonpo (penganut Bon) juga mengubur naskah-naskah mereka untuk menyimpannya, sehingga jelas mereka merasa aliran mereka terancam. Saya pernah berkunjung ke Tuva, Siberia, di mana masyarakatnya mengikuti aliran Mongolia dari agama Buddha Tibet. Orang-orang di sana telah mengubur semua naskah mereka di gua-gua gunung pada masa Stalin. Dari kejadian sejarah
yang baru terjadi ini kita dapat melihat bahwa mengubur naskah dan perlunya melakukan hal itu kadang-kadang sangat nyata, dan bukan hanya mitos. Akhirnya, fraksi Zhangzhung tersingkir, dan orang-orang juga curiga terhadap Cina. Mereka memutuskan untuk mengadakan adu pendapat besar-besaran antara seorang bhiku India dan seorang bhiku Tiongkok, untuk melihat tradisi mana yang harus diikuti kaum Tibet. Ahli adu pendapat terbaik dari aliran India – Kamalashila, yang diusulkan oleh Shantarakshita – diadu melawan seorang bhiku Zen yang tidak terlatih dalam adu pendapat, dan jadi jelas dari awal siapa yang akan menang. Lagipula, kaum Tibet memang ingin mendepak kaum Cina, sehingga kaum India dinyatakan sebagai pemenang. Kaum Cina pergi, dan aliran India digunakan di Tibet. Membakukan Istilah dan Gaya Naskah-naskah terus diterjemahkan, beberapa dari bahasa Cina, tetapi utamanya dari bahasa Sanskerta. Pada awal abad kesembilan, mereka menyusun sebuah kamus dan membakukan istilah dan gaya di bawah pemerintahan raja besar lainnya, Kaisar Tri Ralpachen. Dalam kamus awal ini, dia menitahkan untuk tidak boleh memasukkan bahan Tantra, karena itu membuka banyak kesalahpahaman. Di pertengahan abad kesembilan, Tri Ralpachen menitahkan bahwa tujuh kepala keluarga harus menanggung satu bhiku – secara objektif, kita mungkin mengatakan bahwa dia adalah seorang fanatik agama. Alih-alih pajak untuk pemerintah, semua uang itu digunakan untuk menyokong bhiku dan wihara, yang
akhirnya menghancurkan ekonomi negara dan pemerintah. Dia juga menunjuk bhiku-bhiku menjadi menteri, dan wihara memperoleh kekuasaan yang semakin besar. Raja selanjutnya, Kaisar Langdarma, dikenal sebagai iblis yang nyata bagi Tibet karena penganiayaannya terhadap agama Buddha. Jika kita meninjau keadaan waktu itu, ia sebenarnya hanya menutup wihara-wihara karena terlalu kuat, dan mengeluarkan menteri-menteri bhiku dari penasihat pemerintah. Ia tidak menghancurkan satu pun perpustakaan wihara – ketika Atisha tiba 150 tahun kemudian, ia sangat terkesan dengan perpustakaan-perpustakaan yang mapan. Ini menunjukkan bahwa tidak ada penganiayaan agama yang kejam untuk dicantumkan dalam sejarah. Namun, menutup wihara-wihara menimbulkan hambatan besar ajaran Buddha. Negara menjadi terpecah-belah, dan karena semua bhiku dipaksa jadi orang awam, silsilah wihara menjadi rusak dan harus diperbarui. Tanpa adanya lembaga kewiharaan untuk menyokong ajaran-ajaran dan laku-laku dasar, semuanya berlanjut secara bawah tanah atau perorangan. Banyak kesalahpahaman dan penyalahgunaan muncul, terutama mengenai tantra, dengan orang-orang yang memaknainya secara harfiah – khususnya unsur seksual dan gagasan tentang kebebasan pikiran sadar. Dengan kesalahpahaman yang ekstrem, orang-orang mulai terlibat dalam pengorbanan dan pembunuhan. Masa Penerjemahan Baru Pada akhir abad kesepuluh, sebuah kerajaan besar muncul lagi di Tibet barat, dan di sana ada minat untuk menjernihkan ajaran-
ajaran Buddha. Terdapat begitu banyak kesalahpahaman dalam aliran Nyingma, maka diutuslah lebih banyak penerjemah ke India dan Nepal, menandai dimulainya masa penerjemahan baru. Sebenarnya, ini lebih merupakan masa "penyebaran" baru. Dari gelombang ini kita memiliki aliran Kadam, Sakya, dan Kagyu. Jika kita melihat "pa" di akhir kata, seperti Kagyupa, ini mengacu pada orang yang mengikuti aliran tersebut, meskipun aliran selain Tibet saat ini tidak membuat pembedaan ini. Kadam dan Gelug Aliran Kadam berasal dari Atisha, seorang guru besar dari Bengali. Aliran ini menekankan ajaran-ajaran latihan cita lojong. Aliran ini dibagi menjadi tiga silsilah yang kemudian disatukan oleh Tsongkhapa pada abad ke-14 dan awal abad ke-15 menjadi aliran Gelug. Aliran Nyingma, Sakya, dan Kagyu sebagian besar mengikuti satu gaya penafsiran dengan sedikit perbedaan. Tsongkhapa sungguh radikal, dan melakukan penafsiran ulang pada hampir semua pokok filsafat Buddha. Tsongkhapa belajar dari usia yang sangat muda dan mencermati semua terjemahan yang berbeda dari tiap naskah untuk melihat hal-hal kecil yang ditafsirkan secara keliru. Dia membuktikan itu semua dengan mencocokkannya dengan penalaran dan berbagai sumber kitabiah Karena ini, maka ada pemeriksaan ulang secara mendalam terhadap terjemahan Tibet dalam sebagian naskah India yang lebih sulit. Tidak seperti banyak penulis sebelumnya, dia tidak begitu saja melewatkan penggalan-penggalan yang tidak jelas. Bagian-bagian sulit itulah yang digemari Tsongkhapa untuk coba
mencari tahu dan menjelaskan. Dengan cara ini, ia menghasilkan penafsiran yang sangat berbeda pada hampir semua bagiannya. Kenyataannya, Tsongkhapa adalah seorang revolusioner besar. Di antara sekian banyak muridnya terdapat bhiku yang nantinya dikenal sebagai Dalai Lama Pertama. Nama ini diberikan kepadanya secara anumerta pada masa Dalai Lama Ketiga. "Dalai" adalah nama Mongol yang berarti "samudra." Ada perang saudara dahsyat selama sekitar 150 tahun, dan bangsa Mongol datang dan memadamkan perang itu. Waktu itu, bangsa Mongol menjadikan Dalai Lama Kelima sebagai pemimpin politik dan pemimpin rohani Tibet, dan gurunya kemudian dikenal sebagai Panchen Lama Keempat. Pada 2011, Dalai Lama ke-14 mengakhiri tradisi bahwa Dalai Lama memegang kedudukan politik. Sakya Aliran kedua yang lahir dari masa penyebaran baru pada akhir abad kesepuluh adalah aliran Sakya, dengan silsilahnya berasal dari Virupa dan beberapa penerjemah lain. Ajaran utama dari Virupa ini dikenal dengan "lamdre" – lam adalah jalan dan dre adalah hasil. Tata "jalan dan hasilnya" ini adalah perpaduan antara bahan jenis lam-rim dengan laku tantra Hevajra. Para guru Sakya sebenarnya membentuk sebuah silsilah keluarga, dan garis Sakya selalu diwariskan. Setelah Tibet disatukan kembali oleh bangsa Mongol pada abad ke-13 M, keluarga Sakya menguasai Tibet secara politik selama sekitar satu abad. Ini terjadi karena Sakya Pandita, mungkin yang paling terkenal di antara guru-guru Sakya lainnya, membangun hubungan erat dengan
Mongol, dan bersama dengan keponakannya Phagpa, menjadi guru pribadi Kublai Khan. Bangsa Tibet dan Uighur – kaum Turki di Xinjiang sampai barat laut Tibet – adalah dua bangsa yang tidak berseteru dengan Genghis Khan, maka mereka dibiarkan. Bangsa Uighur memberi bangsa Mongol rasa pertama ajaran Buddha dengan tata tulisan mereka dan rumusan administratif tentang cara mengelola sebuah negara, sementara bangsa Tibet menyediakan rupa agama Buddha yang lebih tertata. Dalam keadaan inilah Phagpa dan lama-lama Sakya berikutnya diberi kekuasaan politik atas Tibet selama sekitar satu abad. Silsilah Sakya juga mengandung subsilsilah Ngor, Tsar, dan Jonang, dengan aliran Jonang kadang-kadang disebut sebagai aliran kelima dari ajaran Buddha Tibet. Tiap-tiap subsilsilah ini memiliki guru-gurunya sendiri. Kagyu Dalam aliran Kagyu terdapat dua silsilah utama, Kagyu Shagpa dan Kagyu Dagpo. Kagyu Shagpa berasal dari guru Tibet Kyungpo Naljor, yang memiliki keseluruhan dari tiga rangkaian enam laku yoga tingkat lanjut. Yoga-yoga ini sebenarnya disebut "dharma" atau "ajaran," akan tetapi istilah "yoga" di sini menjadi lazim. Satu rangkaian berasal dari Naropa, "enam yoga Naropa," tetapi dua lainnya berasal dari pelaku-pelaku perempuan unggul –Niguma dan Sukhasiddhi. Silsilah Kagyu Shagpa mewariskan tiga rangkaian dari enam ajaran ini. Mendiang Kalu Rinpoche, yang terkenal di Barat, berasal dari aliran ini.
Aliran Kagyu Dagpo berasal dari garis Tilopa, Naropa, Marpa, Milarepa, dan Gampopa. Gampopa menggabungkan ajaranajaran mahamudra dari berbagai mahasiddha India (mahasiddha adalah guru tantra dengan pencapaian tinggi) dengan ajaranajaran lojong Kadampa. Dari Gampopa berkembang dua belas garis Kagyu Dagpo – dua belas aliran Kagyu dari murid-muridnya dan murid-murid dari salah satu muridnya, Phagmodrupa. Yang paling menyebar luas dari ini adalah Kagyu Karma, di mana Karmapa adalah tokoh besarnya. Ada juga aliran Kagyu Drugpa dan Kagyu Drigung, yang kini juga dijumpai di Barat. Nyingma Seperti dikemukakan sebelumnya, guru-guru dari aliran Nyingma lama telah mengubur naskah-naskah dzogchen, tapi naskahnaskah lain masih terus-menerus disebarkan, masih dengan banyak kesalahpahaman. Mereka mulai mengungkap naskahnaskah mereka pada awal abad kesebelas, sekitar satu abad setelah pengikut Bon mulai menggali naskah-naskah mereka. Ini bertepatan dengan gelombang baru kedatangan guru-guru dari India. Banyak naskah ditemukan, dan sungguh membingungkan untuk memahami cara menyatukan mereka semua. Mereka dibakukan dan dijelaskan pada abad ke-13 oleh guru besar Nyingma Longchenpa, ayah dari aliran Nyingma yang kita jumpai saat ini. Terdapat pembagian menjadi Silsilah Khazanah Utara dan Silsilah Khazanah Selatan. Aliran Nyingma lebih terpecah-pecah dibandingkan aliran-aliran lainnya, dan tidak dibuat ke dalam satu gaya tertentu.
Gerakan Rime Faktor utama lainnya dalam sejarah ajaran Buddha di Tibet adalah gerakan Rime (nonsekte) pergerakan yang dimulai pada abad ke19 oleh beberapa tokoh, yang paling menonjol di antara mereka adalah Kongtrul Rinpoche. Gerakan ini bermaksud untuk melestarikan silsilah-silsilah yang kabur dan hampir habis dan tidak termasuk di dalam empat aliran itu. Gerakan Rime dihidupkan kembali dan menekankan silsilah Jonang yang, dari sudut pandang sejarah, telah dianiaya dan ditekan karena pandangan ajarannya. Lagi-lagi, ini juga melibatkan unsur-unsur politik, karena ini dikaitkan dengan fraksi tertentu dalam perang saudara waktu itu. Dalam beberapa hal, gerakan Rime juga muncul, khususnya di Kham, sebagai reaksi terhadap pengaruh silsilah Gelug di pemerintah pusat. Ringkasan Mula-mula berasal dari India selama berabad-abad melalui upaya sejumlah besar guru dan penerjemah, agama Buddha Tibet secara bertahap berkembang menjadi empat aliran utama. Nyingma berasal dari Masa Penerjemahan Lama, sementara Sakya, Kagyu dan Kadam, yang kemudian menjadi Gelug, berkembang selama Masa Penerjemahan Baru. Meskipun kini agama Buddha sangat dibatasi di Tibet, ia tumbuh subur di India, Nepal dan di seluruh wilayah Himalaya, dan perlahan-lahan menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Masyarakat dan Pemikiran India Sebelum dan Saat Masa Hidup Buddha Harappa-Mohenjodaro Peradaban Harappa-Mohenjodaro tumbuh mekar di lembah Sungai Indus selama milenium ketiga dan kedua S.M. Peradaban ini telah memiliki hubungan niaga dengan masyarakat Sumeria pra-Babilonia yang tinggal di wilayah Mesopotamia (sekarang Irak). Namun, hanya sedikit pengaruh budaya yang mereka terima dari hubungan ini. Kemungkinan besar rakyat peradaban ini adalah orang-orang purwa-Dravida, penganut agama yang mengenal dewa besar yang, mewakili kesuburan, penciptaan, dan yoga tapa dengan kuasa mandraguna, dan dewa ternak, tampaknya seperti purwarupa bagi dewa Hindu yang kemudian dikenal dengan nama Siwa. Keyakinan agamawi ini juga mencakup kepercayaan terhadap ibu dewi, laku pembersihan, pemujaan terhadap lingga, dan penghormatan terhadap pohon pipal (Skt. pippala) dan hewanhewan suci seperti lembu. Pohon pipal adalah sejenis pohon beringin ara, yang dalam agama Buddha dikenal sebagai pohonbodhi. Bermula di paruh kedua dari milenium kedua S.M., suku-bangsa Indo-Iran menyerang dan menaklukkan lembah Sungai Indus. Lalu, mereka menetap di sana dan lebih jauh lagi, ke timur, di India bagian utara. Suku-suku bangsa ini kemungkinan besar berasal dari wilayah Afghanistan, Iran bagian timur, dan Turkistan Barat bagian selatan, dan dikenal sebagai “orang Arya”, “yang mulia”. Kata Iran, sebetulnya, berakar dari sumber yang sama dengan kata Arya. Lewat suku-suku bangsa inilah orang Iran dulu memiliki kesamaan ciri bahasa dan agama dengan budaya India.
Setelah serangan orang Arya, banyak bumiputera HarappaMohenjodaro, yang berkulit lebih gelap, menjadi budak, sementara yang lainnya pindah ke India Selatan. Pembagian kelas ke dalam kelompok “ bangsawan” dan “jelata”, yang diterapkan oleh suku bangsa Arya, kemudian meluas dan menjadi sistem kasta di India. Kata dalam bahasa Sanskerta untuk kasta, yaitu varna, juga berarti warna. Kitab Weda Di abad ke-13 S.M., bangsa Arya membangun Kerajaan Paurava di India bagian utara. Pada abad ke-9 S.M. agama mereka dibakukan ke dalam Weda. Dewa-dewa Weda tidak berwujud semanusiawi dewa-dewa Yunani kono. Dewa-dewa Weda adalah pemelihara tata semesta dan penjunjung akhlak baik. Selama masa-masa awal, laku ibadah agama Weda sebagian besar dilaksanakan dengan melantunkan puja-puji dan permohonan pada dewa-dewa. Akan tetapi, setelah Weda dibuku-bakukan, masyarakat mempercayakan kasta pendeta untuk melakukan sesaji kurban yang dibakar di api suci bagi para dewa. Pendeta-pendeta ini dikenal sebagai “Kaum Brahmana”. Sesaji ini dibutuhkan untuk memastikan para dewa memelihara ketenteraman; kalau tidak diberi sesaji, para dewa tidak akan melakukannya. Sesaji yang dibakar di api suci ini terdiri dari susu, mentega bening (ghee), gandum, dan khususnya “soma”, sari memabukkan dari tanaman yang mungkin memiliki sifat psikoaktif. Laku upacara pemberian kurban ini bahkan lebih dimuliakan daripada dewa-dewa itu sendiri dan, karenanya, pendeta Brahmana memainkan peran penting dalam masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat percaya bahwa kesejahteraan mereka
berasal utamanya bukan dari bantuan para dewa, tapi dari pelaksanaan upacara persembahan yang benar yang dilakukan oleh para pendeta Brahmana. Karena hal ini, agama Hindu mulamula biasanya diacu sebagai “agama Brahmana”. Lebih jauh, masyarakat memandang pelaksanaan persembahan sebagai hutang pada para dewa. Keyakinan ini memunculkan konsep Brahmawi sebagai tindakan positif yang terlihat dari kinerja seseorang terhadap tugasnya. “Mantra” sejatinya merupakan nyanyi-puji berpola berirama dari Weda, khususnya Rg Weda, yang dilantunkan pada upacara persembahan bagi dewa-dewa. Bunyi mantra dipandang memiliki kekuatan istimewa, dan mantra dimuliakan sebagai yang tak berubah dan abadi. Lebih jauh, menurut ajaran-ajaran Brahmawi, semesta diciptakan lewat pengorbanan Brahma, yang merupakan sejenis raksasa utama. Dengan kata lain, Brahma merupakan makhluk awal-mula yang darinya semesta berkembang dan yang kemudian memelihara semesta dan seluruh kehidupan. Bagian-bagian dari tubuhnya menjadi segi-segi semesta dan kasta-kasta masyarakat. Karenanya, masyarakat memandang semesta sebagai sebuah kesatuan alami, yang tercermin dalam tubuh manusia. Setelah kematian, jiwa manusia berkelana melewati jalur api kremasi ke surga tertinggi cahaya abadi. Mereka yang jahat tenggelam ke kegelapan bawahtanah. Beragam kesusastraan berkembang dari kitab Weda. KitabBrahmana, dalam bentuk prosa, menjelaskan tentang upacara-upacara Wedawi dan membantu tata pelaksanaannya. KitabPurana menceritakan sejarah. Secara khusus, satu kisah sejarah,Mahabarata, menjadi cikal-bakal bagi perkembangan
agama Hindu yang banyak dikenal sekarang. Kisah ini dibuat pada abad ke-9 S.M. Juga selama masa ini, berkembang gagasangagasan awal tentang satu dewa hebat lain, Wisnu. Kitab Upanishad Kekaisaran Paurava mulai meredup di abad ke-8 S.M., setelah banjir bandang memaksa ibukotanya dipindahkan. Perlahan, Kekaisaran ini pecah menjadi banyak wilayah kekuasaan yang lebih kecil. Beberapa berupa kerajaan; beberapa yang lain republik. Perubahan-perubahan besar dalam masyarakat India ini menandai dimulainya masa pertimbangan filsafati dan agamawi. Bagian terakhir dari kitab Brahmana adalah Upanishad, tubuh kesusastraan yang mengembangkan, secara lebih lengkap, landasan filsafati bagi ajaran Brahmawi. Ditulis selama lebih dari beberapa ratus tahun, bermula sekitar akhir abad ke-7 S.M., dua belas kitab Upanishad mendahului Buddha. Walau tiap-tiap kitab menyajikan ajaran yang agak berbeda, semuanya memiliki banyak kesamaan tema umum. Dari gagasan Brahmawi tentang kesejajaran antara manusia dan raksasa utama, Upanishad mengembangkan pemikiran tentang jati diri atman – diri atau “jiwa” – dengan Brahma. Lebih jauh,Upanishad menerangkan bahwa, sebagai sebab utama dari terjadinya semesta, Brahma secara berkala menciptakan dunia dari dirinya sendiri dan menariknya kembali ke dalam dirinya. Tergantung dari kitab Upanishad yang mana, proses ini dapat terjadi dalam dua cara. Baik itu Brahma berkembang menjadi semesta dan seluruh makhluk hidup di dalamnya; atau semesta dan seluruh makhluk hidup di dalamnya hanyalah penampakan Brahma. Dalam perkara yang manapun, kenyataan sesungguhnya ialah kesatuan segala hal dan segala insan sebagai Brahma. Dunia
penampakan masing-masing benda dan makhluk adalah maya (Skt. maya). Masing-masing atman, atau jiwa, semuanya sesungguhnya identik dengan Brahma. Upanishad juga memperkenalkan pernyataan tentang karma dan kelahiran kembali. Kedua pernyataan ini sebangun dengan penjelasan Upanishad bahwa semesta menjalani lingkaran penciptaan dan penghancuran yang berulang selama garis waktu yang teramat panjang. Demikian juga, masing-masing jiwa mengalami kelahiran dan kematian berulang selama masa hidup yang tak terkira. Lingkaran kelahiran kembali yang berulang ini (Skt. samsara) terjadi karena ketakwaspadaan mereka akan jati diri mereka sendiri dan Brahma. Lebih lagi, samsara didorong oleh daya “ karma” mereka – tindakan-tindakan yang berdasar pada ketakwaspadaan bahwa semua adalah maya. Ketika seseorang menyadari apa yang selama ini menjadi perkaranya, yaitu kesatuan mendasar antara diri seseorang dan Brahma, dan bahwa keterpisahan keduanya hanyalah maya, dia akan beroleh pembebasan (Skt. moksha). Jalan menuju pembebasan meliputi sikap pelepasan diri dan menumbuhkan pemahaman yang benar akan kenyataan lewat mendengar, berpikir, dan merenungkan kesatuan semesta. Akan tetapi, jalur biasa dalam perkembangan rohani manusia mencakup empat tahap kehidupan.
melewati kehidupan melajang sebagai murid (Skt.brahmacharya), menikah, menjadi kepala rumahtangga (Skt. grhastha) dan berkeluarga, undur-diri ke hutan rimba (Skt. vanaprastha) dan hidup sebagai pertapa, menyerahkan segalanya (Skt. sannyasa) dan, selagi hidup sendiri di hutan rimba, mengikuti latihan batin yang mendalam untuk memperoleh pembebasan.
Dengan demikian, Upanishad menekankan bahwa semesta itu dapat dipahami dan bahwa untuk memperoleh pembebasan dari penderitaan kelahiran kembali yang berulang karena ketakwaspadaan dan karma, orang harus melihat sifat sejati dari kenyataan dan mengalaminya sendiri. Ajaran Buddha dan berbagai sistem filsafati dan agamawi India setelahnya menerima bangunan pikiran ini. Keadaan Politik di India Semasa Buddha Shakyamuni Pembagian India bagian utara ke dalam republik dan kerajaan berlanjut sampai pada masa hidup Buddha Shakyamuni (566 – 485 S.M.). Wilayah kekuasaan yang besar adalah Republik Vrji, dengan berbagai majelis umum dan lembaga demokratis, dan dua kerajaan kuasa-tunggal, yaitu Kosala dan Magadha. Akan tetapi, kedua jenis negara bagian ini berjalan dalam pranata ritual ajaran Brahmawi. Ini karena ajaran Brahmawi lebih menggambarkan tugas-tugas seorang penguasa, daripada kuasa dan bentuk pemerintahannya. Buddha lahir di Shakya, sebuah wilayah bekas republik yang kemudian masuk dalam kekuasaan Kerajaan Kosala; dan Buddha belajar di Kosala dan Magadha, serta di Republik Vrji. Di masa hidup Buddha, orang menyaksikan kebangkitan kelas pedagang dan pelipat-gandaan harta benda, yang kini diukur dengan uang, dan bukan ternak. Pedagang jadi lebih kaya dari raja, maka raja membalas dengan mengambil lebih banyak kuasa untuk mengendalikan perniagaan dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, di dalam kerajaan, keasyikan utama adalah mencari cara memperoleh kuasa ekonomi dan politik. Alhasil, dengan titik berat pada uang dan penggunaan daya kekerasan, kerajaan menjadi lebih kuat dibanding republik – secara ekonomi,
politik, dan militer. Sebagai akibatnya, rakyat merasakan kemerdekaan mereka menjadi jauh lebih terbatas dan penderitaan mereka menjadi jauh lebih hebat. Banyak filsuf pada masa itu, termasuk Buddha, mencari pembebasan lewat cara-cara rohani. Ada dua kelompok rohani yang menawarkan pembebasan dalam menanggapi keadaan sulit ini.
Para brahmana adalah kaum ortodoks, yang tetap menjalankan upacara Brahmawi lama. Mereka mengikutiUpanishad sebagai landasan filsafat mereka, namun dalam konteks hidup dalam tugas di dalam masyarakat terlebih dahulu, baru kemudian hidup melajang sebagai pertapa setelah purnawira. Mereka ini berasal dari kasta brahmana dan mengejar jalan menuju pembebasan sebagai pertapa penyendiri yang tinggal di hutan rimba. Para shramana merupakan pencari rohani yang hidup sebagai pengembara dan pengemis. Mereka berasal dari kasta-kasta selain brahmana dan mencari pembebasan dengan meninggalkan masyarakat sejak awal. Mereka tinggal bersama di hutan, tanpa perbedaan kasta, sebagai masyakarat rohani (Skt. sangha), dan bukan sebagai pertapa penyendiri. Mereka menyelenggarakan masyarakat swadaya mereka dalam bentuk republik, dimana keputusan-keputusan dibuat oleh majelis. Lebih lagi, mereka semua menolak sosok dewa mahakuasa, seperti Brahma, atau bentuk lain apapun dari sosok pencipta. Meski masyarakat shramana hidup tanpa perbedaan kasta, orang awam yang, pada tataran yang lebih tipis, mengikuti ajaran dan menyokong mereka masih hidup dalam pranata sistem kasta. Lima Aliran Shramana Utama Ketika Buddha Shakyamuni menyerahkan hidup kepangeranannya, ia bergabung dengan para shramana. Setelah
pencerahannya, ia mengelola para pencari rohani yang mengikutinya ke dalam sebuah masyarakat swadaya yang berada pada garis yang sama dengan kelompok shramanalainnya. Karena itu, ajaran Buddha menjadi aliran kelima dari lima aliran shramana pada masa itu. Lima aliran shramana beserta pandangan dasarnya adalah sebagai berikut:
Aliran Ajivika, dibangun oleh Gosala, bersifat deterministik dan karena itu menolak proses sebab-akibat dari karma. Mereka tegas menyatakan bahwa unsur penyusun alam semesta – bumi, air, api, angin, kebahagiaan, ketakbahagiaan, dan jiwa (Skt. jiva) – merupakan atom atau monad yang tak tercipta dan tak terbagi yang tidak saling berhubungan satu dengan yang lain. Karena segalanya bersifat pratentu, walau tindakan memang terjadi lewat atom-atom dari unsur penyusun ini; akan tetapi, sesungguhnya tindakan dan atom keduanya tidak menyebabkan terjadinya sesuatu apapun itu. Jiwa berjalan melewati sejumlah besar kelahiran kembali dan, setelah mengalami setiap kehidupan yang mungkin terjadi, jiwa dengan sendirinya memasuki sebuah tataran kedamaian dan karenanya bebas dari kelahiran kembali. Oleh karena itu, pembebasan tidak tergantung pada apa yang sesungguhnya orang lakukan. Aliran Lokayata atau Charvaka, yang diajarkan oleh Ajita, juga menolak karma. Tidak hanya itu, ajaran ini juga menolak kelahiran kembali dan hal-hal semacam jiwa. Aliran ini menganjurkan hedonisme, mengajarkan bahwa semua tindakan seharusnya bersifat spontan dan datang dari sifat diri seseorang (Skt. svabhava) – dengan kata lain, tindakan itu seharusnya alami. Tujuan kehidupan adalah untuk mengalami kenikmatan inderawi
sebanyak mungkin. Aliran ini menolak semua bentuk akal dan penalaran sebagai cara yang sahih untuk tahu tentang apapun. Aliran Jain atau Nirgrantha, didirikan oleh Mahavira, lepas dari Aliran Lokayata sebagai reaksi keras terhadapnya. Aliran ini, dengan demikian, menegaskan bahwa jiwa menjalani kelahiran kembali melalui daya karma. Aliran Jain, masih ada sampai hari ini sebagai salah satu sistem agamawi besar di India, mengajarkan perilaku pekerti yang ketat dan ekstrim dan juga kepertapaan ekstrim sebagai jalan memperoleh pembebasan. Aliran Agnostik Ajnana, dipimpin oleh Sanjayin, menegaskan bahwa adalah mungkin untuk memperoleh pengetahuan simpulan tentang apapun lewat pertimbangan filsafati atau percakapan yang berlandaskan pada akal. Aliran ini menganjurkan hidup dalam masyarakat melajang yang menempatkan titik berat hubungan mereka hanya pada persahabatan saja. Ajaran Buddha berkembang sebagai aliran shramana yang menerima kelahiran kembali di bawah daya karma, walau menolak keadaan jenis jiwa yang dinyatakan oleh aliran-aliran lain. Selain itu, Buddha menerima penggunaan akal dan nalar serta perilaku pekerti sebagai bagian dari jalan menuju pembebasan, namun tidak pada kadar yang diterapkan oleh ajaran kepertapaan Jain. Dengan cara ini, ajaran Buddha menghindari kutub-kutub ekstrim dari empat aliran shramana sebelumnya.
Kisah Hidup Buddha Shakyamuni Dr. Alexander Berzin Tergantung alirannya, Buddha dapat dipandang sebagai manusia biasa yang mencapai kebebasan melalui usahanya sendiri yang luar biasa, atau sebagai makhluk-yang-telah-tercerahkan yang mewujudkan perbuatannya 2.500 tahun yang lalu untuk menunjukkan jalan menuju pencerahan. Di sini, kita melihat hikayat hidup Buddha, dan menilik ilham seperti apa yang dapat kita peroleh untuk jalan kerohanian kita sendiri. Menurut penanggalan tradisional, Buddha Shakyamuni, yang juga dikenal sebagai Buddha Gautama, hidup sejak 566 sampai 485 SM di India utara-tengah. Sumber-sumber agama Buddha memuat beragam catatan mengenai kehidupannya, dengan perincian lebih lengkap muncul secara bertahap seiring perjalanan waktu. Karena naskah Buddha pertama baru ditulis tiga abad setelah kematian Buddha, sulit untuk menentukan ketepatan dari perincian tersebut. Meskipun demikian, hanya karena perincian tertentu dalam bentuk tertulis muncul lebih akhir daripada yang lain, ini bukanlah alasan yang memadai untuk mengurangi keabsahannya, karena banyak perincian bisa diteruskan turun-temurun dalam bentuk lisan. Biasanya, hikayat hidup guru-guru besar Buddha, termasuk Buddha sendiri, disusun untuk tujuan pendidikan dan bukan semata-mata untuk menjaga catatan sejarah. Lebih khusus, hikayat hidup para guru besar dibuat dalam cara tertentu untuk mengajar dan mengilhami penganut Buddha supaya mereka mengambil jalan rohani menuju kebebasan dan pencerahan. Untuk memperoleh manfaat dari kisah hidup Buddha, kita perlu
memahaminya dalam latar ini, dan mengurai pelajaran-pelajaran yang bisa kita peroleh darinya. Sumber Sumber-sumber paling awal untuk kehidupan Sang Buddha terdiri dari, di dalam kitab-kitab Theravada, sejumlah sutra Pali dari Kumpulan Wacana-Wacana dengan Panjang Menengah (Pali: Majjhima Nikaya) dan, dari beragam aliran Hinayana, sejumlah naskah Vinaya berkenaan aturan tata-tertib wihara. Namun, masing-masing naskah itu hanya memberikan potongan-potongan mengenai kisah hidup Buddha. Catatan pertama yang lebih luas muncul dalam karya-karya puisi tentang ajaran Buddha di akhir abad ke-2 SM, seperti BahanBahan Besar (Skt. Mahavastu) mengenai aliran Mahasanghika Hinayana. Naskah ini, meskipun berada di luar Tiga Kumpulan Mirip Keranjang (Skt. Tripitaka, Tiga keranjang), menambahkan, salah satunya, perincian bahwa Buddha lahir sebagai pangeran dalam keluarga bangsawan. Karya puisi lainnya muncul dalam naskah dari aliran Sarvastivada Hinayana: Lelakon Panjang Sutra (Skt. Lalitavistara Sutra). Kemudian, versi-versi Mahayana dari naskah ini meminjam dan memerinci berdasarkan versi awal ini, misalnya dengan menjelaskan bahwa Shakyamuni telah tercerahkan berabad-abad lampau dan, dengan menjelma sebagai Pangeran Siddharta, semata-mata menunjukkan jalan untuk mencapai pencerahan sehingga bisa menuntun orang lain. Akhirnya, beberapa hikayat hidup tersebut dimasukkan ke dalam Tiga Kumpulan Mirip Keranjang. Yang paling terkenal adalah Perbuatan-Perbuatan Buddha (Skt.Buddhacarita) karya
pujangga Ashvaghosha, yang ditulis pada abad pertama masehi. Versi-versi lain bahkan muncul lebih akhir di dalam tantra, seperti dalam naskah Chakrasamvara. Di dalamnya, kita menemukan catatan bahwa, meski tampaknya Shakyamuni mengajar Sutra Kesadaran Pembeda yang Menjangkau-Jauh (Sutra Prajnaparamita, Sutra Penyempurna Kebijaksanaan), Buddha secara terus-menerus menjelma sebagai Vajradhara dan mengajarkan tantra. Dari tiap catatan, kita bisa mempelajari sesuatu dan mendapatkan ilham. Mari kita secara pokok melihat versi-versi yang menggambarkan sosok Buddha di masa lalu. Kelahiran, Kehidupan Awal, dan Penyerahan Menurut catatan-catatan paling awal, Shakyamuni lahir dalam keluarga kesatria ningrat yang kaya di kerajaan Shakya, dengan ibukota Kapilawastu, di perbatasan India dan Nepal sekarang. Tidak ada pernyataan bahwa Shakyamuni lahir sebagai pangeran dalam keluarga kerajaan. Kelahirannya sebagai pangeran dan nama Siddhartha baru muncul dalam catatan-catatan selanjutnya. Ayahnya bernama Shuddhodana, tapi nama ibunya, Mayadewi, baru muncul dalam versi-versi selanjutnya, seperti halnya catatan tentang dirinya yang mengandung Buddha secara ajaib di dalam mimpinya tentang gajah putih bergading enam yang memasuki rahimnya, dan ramalan Asita yang bijaksana bahwa anak itu akan menjadi raja hebat atau orang bijak yang agung. Setelahnya, juga muncul gambaran tentang kelahiran murni Buddha dari rahim ibunya, tidak jauh dari Kapilawastu di Hutan Lumbini, di mana ia kemudian berjalan tujuh langkah dan berkata, “Aku telah tiba,” serta kematian ibunya pada waktu melahirkan.
Sebagai anak muda, Buddha menjalani kehidupan menyenangkan. Ia menikahi seorang perempuan bernama Yahodhara, dan mereka memiliki anak lelaki, Rahula. Di usia 29 tahun, Buddha meninggalkan kehidupan keluarga dan warisan bangsawannya, lalu menjadi pencari kehidupan rohani yang mengembara dan miskin. Penting bagi kita untuk melihat penyerahan-diri Sang Buddha ini di dalam lingkung masyarakat dan zamannya. Ketika Buddha mengembara untuk menjadi pencari kehidupan rohani, ia tidak meninggalkan istri dan anaknya hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan. Mereka tentu telah dirawat oleh keluarga besarnya yang kaya. Buddha juga merupakan anggota kasta kesatria, yang berarti ia pasti suatu hari akan meninggalkan keluarganya untuk pergi bertempur, yang pada masa itu dianggap sebagai kewajiban kaum lelaki. Pertempuran bisa dilakukan melawan musuh dari luar, tapi pertempuran sejati adalah melawan musuh dari dalam diri, dan inilah pertempuran yang didatangi Buddha. Pilihan Sang Buddha untuk meninggalkan keluarganya demi tujuan ini menandakan bahwa pencari jalan batin memiliki tugas untuk mengabdikan seluruh hidupnya untuk pencarian itu. Jika, dalam dunia modern ini, kita meninggalkan keluarga kita untuk menjadi bhiku dan terlibat dalam pertempuran di dalam diri ini, kita perlu memastikan bahwa mereka terurus dengan baik. Ini berarti bukan memenuhi kebutuhan pasangan dan anak kita saja, tapi juga orangtua kita. Namun, baik kita meninggalkan keluarga kita atau tidak, sebagai pengikut Buddha, adalah tugas kita untuk mengurangi duka dengan mengatasi kecanduan pada kesenangan, sebagaimana dilakukan Buddha.
Untuk mengatasi duka, Buddha ingin memahami sifat dasar dari kelahiran, sakit, kematian, kelahiran kembali, kesedihan, dan kebingungan. Dalam riwayat-riwayat berikutnya, Buddha dibawa dalam perjalanan keluar dari istana oleh Channa, pengemudi kereta kudanya. Di kota, Buddha melihat orang-orang yang sakit, tua, mati, dan yang menjadi petapa, dengan Channa memberikan penjelasan tentang semua itu. Dalam cara ini, Buddha dapat mengenali duka yang dialami setiap orang dan mencoba memikirkan jalan keluarnya. Kisah ini, di mana Buddha mendapatkan pertolongan jalan rohani dari seorang pengemudi kereta kuda, sejalan dengan catatan dalam Bhagavad Gita mengenai Arjuna yang diberitahu oleh pengemudi kereta kudanya, Krishna, tentang tugasnya sebagai pejuang untuk bertempur melawan keluarganya. Dalam kisah Buddha dan Hindu tersebut, kita bisa melihat arti penting keluar dari tembok nyaman kehidupan kita untuk mencoba menemukan kebenaran. Kereta kuda dapat dilihat untuk melambangkan wahana cita menuju kebebasan, dengan kata-kata sang pengemudi sebagai daya penggerak—dalam pencarian akan kenyataan. Kajian dan Pencerahan Sebagai pencari kehidupan rohani yang mengembara dan melajang, Buddha belajar cara-cara untuk mencapai kemantapan jiwa dan penyerapan arupa bersama dua guru. Ia mampu mencapai tingkat tertinggi dari tataran-tataran mendalam daya pemusatan sempurna, yang di dalamnya ia tidak lagi mengalami duka nestapa atau bahkan kebahagiaan duniawi biasa, tapi ia tidak puas. Ia melihat bahwa tataran-tataran tersebut tersedia hanya
untuk sementara, bukan kelegaan tetap dari perasaan-perasaan tercemar itu; semua itu tidak menghilangkan duka universal mendalam yang ia ingin atasi. Bersama lima teman, ia kemudian menjalankan laku tapa brata yang lajat, tapi ini pun tidak menghapus masalah-masalah lebih mendalam yang terkait dengan kelahiran kembali yang berulang tak terkendali (samsara). Baru dalam catatan-catatan lebih lanjut disebutkan tentang Buddha yang menghentikan puasa enam tahunnya di tepi Sungai Nairanjana, dengan gadis Sujata memberinya semangkuk air beras. Bagi kita, contoh Sang Buddha menandakan bahwa kita sikap untuk tidak tak semestinya puas dengan hanya menjadi sepenuhnya tenang atau menjadi “tinggi” saat meditasi, apalagi bila hanya menggunakan sarana buatan seperti obat-obatan. Menarik diri ke dalam keadaan kesurupan mendalam, atau menyiksa atau menghukum diri sendiri dengan laku yang lajat juga bukanlah jalan keluar. Kita harus berusaha sekuat tenaga dalam menuju kebebasan dan pencerahan, dan tidak boleh puas dengan cara-cara rohani yang tidak bisa membawa kita mencapai tujuan itu. Setelah meninggalkan kehidupan bertapa-brata, Buddha bermeditasi seorang diri di dalam hutan, untuk mengatasi rasa takut. Yang mendasari semua rasa takut adalah menggenggam keberadaan “aku” yang mustahil dan sikap menyayangi-diri yang lebih kuat daripada hal-hal yang mendasari pencarian gandrung kita akan kesenangan dan hiburan. Sehingga, dalam Cakra Senjata Tajam, guru India di abad ke-10 M, Dharmarakshita, menggunakan gambaran burung merak yang mengembara di hutan penuh tumbuhan beracun untuk mewakili bodhisattwa yang
memakai dan mengubah perasaan-perasaan beracun seperti hasrat, kemarahan, dan keluguan untuk mengatasi sikap menyayangi-diri dan menggenggam “aku” yang mustahil. Setelah banyak bermeditasi, Buddha mencapai pencerahan paripurna di usia 35 tahun. Catatan-catatan selanjutnya memberikan perincian tentang pencapaian ini di bawah pohon bodhi di daerah yang sekarang Bodh Gaya, setelah berhasil mengalahkan serangan Dewa Mara yang cemburu, yang mencoba mencegah pencerahan Buddha dengan memunculkan wujudwujud menakutkan dan menggoda untuk mengganggu meditasi Buddha. Dalam catatan-catatan awal, Buddha mencapai pencerahan penuh dengan meraih tiga jenis pengetahuan: pengetahuan paripurna tentang seluruh kehidupan lampaunya, tentang karma dan kelahiran kembali semua orang lain, dan Empat Kebenaran Mulia. Catatan-catatan selanjutnya menerangkan bahwa, dengan pencerahan, ia mencapai kemahatahuan. Mengajar dan Mendirikan Komunitas Wihara Setelah mencapai pembebasan dan pencerahan, Buddha mengalami keraguan untuk mengajar orang lain cara mencapai hal yang sama, karena ia merasa tak seorang pun akan bisa paham. Namun, dewa-dewa India, Brahma, sang pencipta alam semesta, dan Indra, Raja Dewa-Dewi, memohon kepadanya untuk mengajar. Dalam permintaannya, Brahma berkata kepada Buddha bahwa dunia akan mengalami duka tanpa akhir bila ia tidak mengajar, dan paling tidak sebagian orang akan memahami katakatanya.
Perincian ini mungkin merupakan unsur sindiran, menandakan kebesaran ajaran Buddha, yang melampaui cara-cara yang ditawarkan aliran-aliran rohani India pada masa itu. Jika dewadewa tertinggi pun sampai mengakui bahwa dunia membutuhkan ajaran Sang Buddha karena mereka sendiri tidak memiliki cara untuk mengakhiri duka semua orang secara tetap, tak terperi seberapa besar ajaran Buddha dibutuhkan oleh orang biasa. Lebih lanjut, dalam gambaran pengikut Buddha, Brahma mewakili kebanggaan yang sombong; keyakinannya yang keliru bahwa ia adalah pencipta mahakuasa mewakili contoh kebingungan dalam berpikir bahwa keberadaan “aku” yang mustahil ini ada, dan bisa mengendalikan segala sesuatu dalam kehidupan. Keyakinan seperti itu jelas membawa ketidakpuasan dan duka. Hanya ajaranajaran Buddha tentang cara kita sebenarnya mengada yang bisa menawarkan jalan menuju penghentian sejati dari duka sejati dan sebab-sebab sejatinya. Menerima permintaan Brahma dan Indra, Buddha pergi ke Sarnath dan di Taman Rusa mengajarkan Empat Kebenaran Mulia kepada lima mantan teman bertapanya. Dalam gambaran pengikut Buddha, rusa mewakili kelembutan dan ini berarti Buddha mengajar dengan cara yang lembut, menghindari kelajatan dari kesenangan duniawi dan kehidupan bertapa-brata. Tidak lama kemudian, sejumlah lelaki muda dari Varanasi bergabung dengan Buddha, mengikuti hidup melajang. Orangtua mereka menjadi pengikut awam dan mulai mendukung kelompok itu dengan derma. Setelah anggota menjadi cukup terlatih dan cakap, Buddha mengutus mereka untuk mengajar orang lain. Dengan demikian, kelompok pengikut Buddha ini berkembang
cepat dan dengan segera mereka menetap dan membentuk komunitas-komunitas “wihara” tunggal di berbagai tempat. Buddha mengatur komunitas-komunitas wihara ini menurut pedoman praktis. Bhiku, jika kita bisa menggunakan istilah ini di masa awal ini, dapat mengizinkan calon bhiku untuk bergabung dengan komunitasnya, tapi calon ini harus mengikuti batasanbatasan tertentu untuk menghindari benturan dengan penguasa politik. Oleh karena itu, pada masa ini Buddha tidak mengizinkan pelaku kejahatan, orang yang bertugas pada kerajaan seperti di militer, budak yang belum dibebaskan, dan penderita penyakit menular seperti kusta, untuk bergabung dengan komunitas wihara. Selain itu, orang di bawah usia 20 tahun tidak bisa diterima. Buddha ingin menghindari masalah dan melindungi penghormatan masyarakat untuk komunitas wihara dan ajaran Dharma. Ini menunjukkan bahwa, sebagai pengikut Buddha, kita harus menghormati adat setempat dan bertindak secara terhormat, sehingga orang-orang akan memiliki kesan baik terhadap ajaran Buddha dan kemudian menghormatinya. Tidak lama kemudian, Buddha kembali ke Magadha, kerajaan tempat Bodh Gaya berada. Ia diundang ke ibu kotanya, Rajagrha— saat ini Rajgir—oleh Raja Bimbisara, yang menjadi mitra dan pengikutnya. Di sana, Shariputra dan Maudgalyayana juga bergabung dengan kelompok Buddha yang makin berkembang dan menjadi bagian dari murid-murid terdekatnya. Setelah setahun pencerahannya, Buddha kembali ke kota asalnya Kapilawastu, tempat anaknya, Rahula, bergabung dengan kelompok wihara. Saudara tiri Buddha, Nanda yang tampan, telah meninggalkan rumah dan bergabung lebih awal. Ayah Sang
Buddha, Raja Shuddhodana, sangat sedih karena garis keturunannya terpotong sehingga ia meminta Buddha supaya, di masa mendatang, seorang anak laki-laki harus mendapat persetujuan orangtuanya untuk bergabung dengan kelompok wihara. Buddha sepenuhnya setuju. Pokok dari catatan ini bukanlah mengenai kejamnya Buddha terhadap ayahnya, tapi lebih tentang pentingnya tidak membuat maksud buruk terhadap ajaran Buddha, terutama di dalam keluarga kita sendiri. Perincian selanjutnya tentang pertemuan Buddha dengan keluarganya adalah mengenai Buddha yang menggunakan kekuatan adiragawi untuk menuju Surga Tiga Puluh Tiga Dewa, atau menurut beberapa sumber adalah Surga Tushita, dan mengajar ibunya, yang telah mengalami kelahiran kembali di sana. Hal ini menandakan pentingnya menghormati dan membalas kebaikan seorang ibu. Pertumbuhan Kelompok Wihara Komunitas-komunitas bhiku Buddha awalnya berukuran kecil, berjumlah kurang dari 20 orang. Masing-masing bersifat mandiri, mematuhi seperangkat batasan bagi bhiku dalam mengumpulkan derma. Tindakan dan keputusan tiap komunitas diputuskan oleh kesepakatan tiap anggotanya, untuk menghindari pertentangan, dan tak seorang pun ditentukan sebagai penguasa tunggal. Buddha mengamanatkan mereka supaya menggunakan ajaran Dharma itu sendiri sebagai penguasa. Bahkan aturan wihara itu sendiri juga bisa diubah jika perlu, tapi perubahan apa pun hanya bisa dibuat berdasarkan kesepakatan dalam komunitas itu secara keseluruhan.
Raja Bimbisara mengusulkan supaya Buddha menggunakan adat kelompok-kelompok rohani lain yang juga hidup dari derma, seperti kelompok Jain, yang melaksanakan pertemuan empat kali dalam sebulan. Menurut adat ini, anggota komunitas rohani ini bertemu di setiap awal masa bulan seperempat untuk membahas ajaranajaran Jain. Buddha setuju, menunjukkan bahwa dirinya terbuka pada usulan-usulan untuk mengikuti adat pada masa yang bersangkutan, dan Buddha menyesuaikan banyak unsur dari komunitas rohaninya dan susunan ajarannya dengan kelompok Jain. Mahawira, pendiri ajaran Jain, hidup sekitar setengah abad sebelum Buddha. Shariputra juga meminta Buddha untuk merumuskan aturan bagi kehidupan wihara. Buddha memutuskan untuk menunggu sampai masalah tertentu muncul, untuk kemudian membuat suatu sumpah untuk menghindari terulangnya peristiwa serupa. Buddha mengikuti kebijakan ini dengan mempertimbangkan tindakan yang bersifat merusak, yang berbahaya bagi siapa pun yang melakukannya, dan tindakan yang secara etis bersifat netral yang terlarang bagi orang tertentu dalam keadaan tertentu dan untuk alasan tertentu. Dengan demikian, aturan tata tertib (vinaya) bersifat pragmatis dan dirumuskan untuk tujuan tertentu, dengan pertimbangan utama Buddha adalah menghindari masalah dan tidak menyebabkan kerugian. Berdasarkan aturan tata-tertib ini, Buddha lalu mengadakan pendarasan sumpah saat pertemuan wihara seperempat bulan sekali, bersamaan dengan bhiku mengakui secara terbuka adanya pelanggaran aturan. Sebagian besar pelanggaran aturan yang serius diikuti dengan dikeluarkannya yang bersangkutan dari komunitas, sementara yang lain hanya berupa hukuman
percobaan. Di masa-masa berikutnya, pertemuan macam ini hanya dilaksanakan dua bulan sekali. Buddha kemudian mengadakan undur diri musim hujan selama tiga bulan, yakni saat para bhiku tinggal di satu tempat dan menghindari perjalanan apa pun. Tujuannya adalah mencegah bhiku merusak panen saat harus berjalan melalui ladang ketika banjir menggenangi jalan. Pelaksanaan undur diri ini mengarah pada pendirian wihara secara tetap, yang bersifat praktis. Sekali lagi, perkembangan ini muncul untuk menghindari kerugian bagi komunitas awam, dan untuk mendapatkan penghormatan mereka. Sejak undur diri musim hujan kedua, Buddha menjalani 25 musim panas di Hutan Jetawana di luar Sharawasti, ibukota kerajaan Koshala. Di sini, pedagang Anathapindada membangun sebuah wihara untuk Buddha dan bhiku-bhikunya, kemudian Raja Prasenajit mendukung komunitas ini. Wihara di Jetawana ini adalah tempat terjadinya banyak peristiwa besar dalam kehidupan Buddha. Yang paling terkenal adalah saat Buddha mengalahkan para pemimpin enam aliran besar non-Buddha masa itu dalam sebuah perlombaan kekuatan ajaib. Saat ini, mungkin tak satu pun dari kita mampu menampilkan aksi ajaib. Namun, Buddha yang menggunakan kekuatan ajaib, bukannya mantik, untuk mengalahkan lawannya menandakan bahwa saat cita orang lain tertutup kepada akal sehat, cara terbaik untuk meyakinkan mereka akan keabsahan pemahaman kita adalah menunjukkan tingkat perwujudan kita melalui tindakan dan perilaku. Terdapat peribahasa dalam bahasa Inggris, “Tindakan bersuara lebih keras daripada kata-kata.”
Mendirikan Kelompok Wihara untuk Bhikuni Dalam tahap pengajaran selanjutnya, Buddha mendirikan komunitas bhikuni di Vaishali, atas permintaan bibinya, Mahaprajapati. Awalnya, ia enggan memulai kelompok semacam ini, tapi ia kemudian memutuskan bahwa hal itu mungkin jika ia menentukan lebih banyak sumpah kepada bhikuni daripada kepada bhiku. Dalam melakukan ini, Buddha tidak mengatakan bahwa perempuan lebih tidak tertib dibandingkan laki-laki dan lebih membutuhkan batasan dengan mengemban lebih banyak sumpah. Namun, ia takut bahwa mendirikan kelompok perempuan akan menimbulkan nama buruk dan akhir yang cepat bagi ajaranajarannya. Lebih dari hal lain, Buddha ingin menghindari penolakan dari masyarakat, sehingga komunitas bhikuni perlu melampaui segala kecurigaan akan perilaku asusila. Bagaimanapun juga, Buddha enggan merumuskan aturan dan ingin aturan-aturan itu dihapus bila dianggap tidak penting, kebijakan yang menunjukkan gerak dari dua kebenaran―kebenaran terdalam dan kebenaran lazim yang sesuai dengan adat setempat. Meskipun menurut kebenaran terdalam tidak ada masalah dengan adanya kelompok bhikuni, tapi untuk menghindari orang lain menganggap rendah ajaran Buddha, maka perlu aturan lebih banyak untuk para bhikuni. Dalam kebenaran terdalam, tidak menjadi masalah apa yang dikatakan oleh masyarakat, tapi dalam kebenaran lazim penting bagi komunitas Buddha untuk bisa mendapatkan penghormatan dan kepercayaan masyarakat. Sehingga, di zaman dan masyarakat modern yang di dalamnya terdapat sikap merendahkan terhadap agama Buddha bila ada prasangka yang ditunjukkan kepada bhikuni atau perempuan secara umum atau kelompok minoritas
oleh adat Buddha, semangat yang dijunjung Buddha adalah memperbaikinya sesuai dengan norma pada masa itu. Bagaimanapun juga, tenggang-rasa dan welas asih adalah pokok utama dalam ajaran Buddha. Sebagai contoh, Buddha mendorong pengikut baru yang sebelumnya mendukung komunitas agama lain untuk terus mendukung komunitas tersebut. Di dalam kelompok Buddha, ia memerintahkan para anggota untuk menjaga satu sama lain, misalnya jika seorang bhiku sakit, bhiku lain harus merawatnya karena mereka semua adalah anggota keluarga Buddha. Ini adalah prinsip yang juga penting bagi semua pengikut Buddha awam. Cara Pendidikan Buddha Buddha mengajar orang lain melalui perintah lisan dan teladan hidup. Untuk perintah lisan, ia menggunakan dua cara, bergantung pada apakah ia mengajar suatu kelompok atau perorangan. Di depan kelompok, Buddha menjelaskan ajarannya dalam bentuk wacana, seringkali mengulang tiap-tiap pokok dengan kata-kata yang berbeda sehingga khalayak bisa memahami dan mengingatnya dengan lebih baik. Namun, ketika memberikan perintah perorangan, seringkali setelah makan siang di suatu rumah tangga yang mengundang dirinya dan para bhikunya, Buddha menggunakan pendekatan berbeda. Ia tidak pernah menentang atau melawan pandangan si pendengar, tapi akan mengangkat pandangan orang tersebut dan mengajukan pertanyaan untuk membantu si pendengar menjernihkan pemikirannya. Dengan cara ini, Buddha membimbing orang itu memperbaiki pandangannya dan secara bertahap mencapai pemahaman yang lebih dalam akan kenyataan. Salah satu
contohnya adalah Buddha membimbing seorang anggota dari kasta brahmana untuk memahami bahwa keunggulan bukan berasal dari kasta tempat seseorang dilahirkan, tapi dari perkembangan sifat-sifat baik seseorang. Contoh lainnya, perintah Sang Buddha kepada seorang ibu yang berduka yang membawa bayinya yang telah mati kepadanya dan memohon Buddha untuk menghidupkakan kembali anaknya. Buddha berkata kepada si ibu untuk mencari benih moster dari suatu rumah yang belum pernah dikunjungi oleh kematian, dan Buddha akan melihat apa yang bisa ia lakukan. Ibu itu pergi dari satu ke rumah ke rumah lain, tapi tiap rumah tangga pernah mengalami anggota keluarga yang meninggal. Pelan-pelan, ia menyadari bahwa setiap orang suatu saat pasti meninggal dan, dengan cara ini, ia pun bisa mengkremasi anaknya dengan cita yang lebih damai. Cara pengajaran Sang Buddha menunjukkan kepada kita bahwa untuk menolong orang lain di dalam suatu perjumpaan, yang terbaik adalah tidak melakukan perlawanan. Yang paling berdaya guna adalah membantu mereka berpikir untuk diri mereka sendiri. Namun, dalam mengajar sekelompok orang, akan lebih baik untuk menjelaskannya secara lugas dan jelas. Rencana Pembunuhan terhadap Buddha dan Perpecahan Tujuh tahun sebelum Buddha meninggal, sepupunya yang cemburu, Dewadatta, berencana mengambil alih kedudukan Buddha sebagai pemimpin kelompok. Sementara itu, Pangeran Ajatashatru berencana menggantikan ayahnya, Raja Bimbisara, penguasa Magadha. Oleh karena itu, keduanya berkomplot
bersama. Ajatashatru melakukan rencana pembunuhan terhadap Bimbisara, dan, akibatnya, sang raja menyerahkan mahkotanya kepada anaknya. Melihat keberhasilan Ajatashatru, Dewadatta memintanya untuk membunuh Buddha, tapi segala usaha untuk membunuh Buddha gagal. Dewadatta yang putus asa lalu mencoba membujuk para bhiku untuk menjauh dari Buddha dengan mengatakan bahwa dirinya “lebih suci” daripada sepupunya itu, dan ia mengusulkan seperangkat aturan tata tertib yang lebih ketat. Menurut Jalan Pemurnian (Pali: Visuddhimagga) karya Buddhaghosa, guru Theravada abad ke-4 M, usulan Dewadatta tersebut adalah:
Mengenakan jubah yang terbuat dari kumpulan potongan kain, Hanya mengenakan tiga jubah, Hanya mengumpulkan derma dan tidak pernah menerima undangan untuk makan, Tidak melewatkan satu rumah pun saat mengumpulkan derma, Makan satu jatah saja berapa pun derma yang ia kumpulkan, Makan hanya dari mangkuk dermanya masing-masing, Menolak semua makanan lain, Hidup hanya di hutan, Hidup di bawah pepohonan, Hidup di tempat terbuka, tidak di rumah, Lebih sering tinggal di tanah pekuburan, Puas dengan tinggal di tempat mana pun yang ditemukannya, dengan terus mengembara dari satu tempat ke tempat lain, Tidur dalam keadaan duduk, tidak pernah tidur berbaring.
Buddha berkata bahwa jika bhikunya ingin mengikuti aturan tatatertib tambahan ini, tidak masalah; tapi tak seorang pun diwajibkan
melakukannya. Namun, beberapa bhikunya memilih mengikuti Dewadatta sehingga meninggalkan komunitas Buddha dan membentuk kelompok sendiri. Dalam aliran Theravada, aturan tata-tertib tambahan yang ditentukan oleh Dewadatta disebut “tiga belas cabang laku yang diikuti”. Tradisi bhiku hutan, yang masih ditemukan di Thailand masa kini, tampaknya berasal dari laku ini. Murid Buddha, Mahakashyapa, adalah pelaku paling terkenal dari tata-tertib yang lebih ketat ini, banyak dari bentuk tata-tertib ini juga diikuti oleh para lelaki suci pengembara, kaum sadhu, dalam tradisi Hindu. Laku mereka tampaknya merupakan kelanjutan dari tradisi pencari kehidupan rohani yang mengembara dan hidup dari derma di masa Buddha. Aliran-aliran Mahayana memiliki daftar serupa dalam bentuk dua belas sifat dari laku yang diikuti. Daftar ini menghilangkan “tidak melewatkan satu rumah pun saat mengumpulkan derma”, menambahkan “mengenakan jubah yang telah dibuang di tempat sampah”, dan menganggap “mengumpulkan derma” dan “makan hanya dari mangkuk dermanya masing-masing” sebagai satu kesatuan. Sebagian besar tata-tertib ini kemudian diikuti dalam tradisi India oleh pelaku-pelaku tantra yang sangat mumpuni, kaum mahasiddha, yang bisa ditemukan dalam Buddha Mahayana dan Hindu. Memisahkan diri dari aliran Buddha yang sudah mapan untuk membentuk kelompok lain―atau mungkin dalam istilah modern, mendirikan pusat Dharma yang terpisah―bukanlah sebuah masalah. Melakukan hal ini bukanlah menciptakan “perpecahan dalam komunitas wihara”, salah satu dari lima kejahatan kejam.
Namun, Dewadatta menciptakan perpecahan semacam ini, karena kelompok yang keluar dan mengikutinya memelihara niat sangat buruk terhadap komunitas wihara Buddha dan mencela mereka. Menurut beberapa catatan, niat buruk dari perpecahan ini bertahan hingga beberapa abad. Catatan mengenai perpecahan ini menunjukkan bahwa Buddha sangat tenggang-rasa dan bukan seorang fundamentalis. Bila pengikutnya ingin menerapkan tata-tertib yang lebih ketat daripada yang telah ia tentukan, ini tidak masalah; dan bila mereka tidak menginginkannya, ini juga tidak masalah. Tak seorang pun diwajibkan menjalankan apa yang Buddha ajarkan. Bahkan bila bhiku atau bhikuni ingin meninggalkan kelompok wihara, ini juga tidak masalah. Namun, hal yang paling merusak adalah memecahbelah komunitas Buddha, terutama komunitas wihara, menjadi dua atau lebih kelompok yang memelihara niat sangat buruk terhadap yang lain dan berusaha merusak nama baik atau menghancurkannya. Bahkan, bergabung dengan salah satu kelompok yang berselisih ini dan ikut serta dalam penyebaran kebenciannya terhadap kelompok lain sangatlah merugikan. Namun, bila salah satu kelompok terlibat dalam tindakan yang merusak atau merugikan atau mengikuti tata-tertib yang merugikan, maka welas asih menyeru untuk memperingatkan orang-orang tentang bahaya jika bergabung dengan kelompok itu. Tapi dorongan seseorang untuk melakukan hal ini harus tidak dicampurkan dengan kemarahan, kebencian, atau keinginan untuk balas dendam.
Kematian Buddha Meskipun, dengan mencapai kebebasan, Buddha sudah tidak harus lagi mengalami kematian biasa yang tidak terkendali, pada usia 81 tahun, Buddha memutuskan untuk mengajarkan kepada para pengikutnya tentang ketaktetapan dan meninggalkan tubuhnya. Sebelum melakukan ini, ia memberi pengiringnya, Ananda, kesempatan untuk memintanya supaya tetap hidup dan mengajar lebih lama, tapi Ananda tidak menangkap tanda itu. Ini menunjukkan bahwa seorang Buddha mengajar hanya bila diminta, dan bila tak ada orang meminta atau berminat, ia pergi ke tempat lain di mana ia bisa lebih bermanfaat. Kehadiran seorang guru atau ajarannya bergantung pada murid. Kemudian, di Kushinagara, di rumah seorang penyokong bernama Chunda, Buddha menjadi sakit keras setelah menyantap makanan yang disajikan kepada dirinya dan para bhikunya. Di ranjang kematiannya, Buddha berpesan kepada para bhikunya bahwa bila mereka memiliki keraguan atau pertanyaan yang tak dapat dijawab, mereka harus bersandar pada ajaran-ajaran Dharma-nya dan sila mereka, yang mulai dari sekarang menjadi guru mereka. Buddha menunjukkan bahwa tiap orang harus mencari pemecahan untuk dirinya sendiri dari ajaran-ajaran itu, karena tidak ada sumber mutlak untuk menyediakan semua jawaban. Lalu, Buddha meninggal dunia. Chunda sangat bingung, berpikir bahwa dirinya telah meracuni Buddha. Tapi Ananda menenangkannya, berkata bahwa ia sesungguhnya telah membangun kekuatan positif atau ”pahala” dengan memberi Buddha santapan terakhir sebelum meninggal dunia.
Buddha lalu dikremasi, dan abunya disimpan di sejumlah stupa―tugu jenazah―terutama di tempat-tempat yang akan menjadi empat tempat ziarah utama pengikut Buddha:
Lumbini – tempat Buddha dilahirkan Bodh Gaya – tempat Buddha mencapai pencerahan Sarnath – tempat Buddha memberikan ajaran Dharma pertama Kushinagara – tempat Buddha meninggal dunia.
Ringkasan Beragam aliran Buddha mengajarkan catatan yang berbeda-beda mengenai kehidupan Sang Buddha. Semua perbedaan ini menunjukkan cara tiap aliran memahami Buddha dan apa yang bisa kita pelajari dari teladannya.
Versi-versi Hinayana – ini hanya berbicara mengenai sejarah kehidupan Sang Buddha. Dengan menunjukkan bagaimana Buddha bekerja keras untuk mencapai pencerahan, kita paham bahwa sebagai orang biasa pun kita bisa melakukan hal yang sama, dan belajar untuk mengupayakan diri kita sendiri. Versi-versi umum Mahayana – Buddha telah mencapai pencerahan sejak dahulu kala. Dengan menjalani kehidupan dengan dua belas perbuatan tercerahkan, ia mengajarkan pada kita bahwa pencerahan mensyaratkan bekerja selamanya untuk kebaikan semuanya. Catatan-catatan anuttarayoga tantra – Buddha mengejawantah secara bersamaan sebagai Shakyamuni yang mengajarkan Sutra-Sutra Kesadaran Pembeda yang Menjangkau-Jauh (Sutra Prajnaparamita) dan sebagai Vajradhara yang mengajarkan tantra. Ini menandakan bahwa
laku tantra didasarkan sepenuhnya Madhyamaka mengenai sunyata.
pada
ajaran-ajaran
Dengan demikian, kita bisa belajar banyak hal bermanfaat dari masing-masing versi mengenai kehidupan Sang Buddha dan memperoleh ilham di berbagai tingkat.
Buddha dan Peristiwa Politik di Masa Hidupnya Dr. Alexander Berzin Riwayat Buddha Gotama muncul dalam beberapa lapisan dari kepustakaan klasik Buddha. Corak cerita paling mula dari riwayat tersebut tidak ditemukan secara utuh dalam satu naskahpun, namun hanya dapat dirangkai dari peristiwa-peristiwa yang tercatat dalam sutta Pali (Skt. sutra) dan kepustakaan vinaya dari aliran Theravada. Naskah-naskah dari aliran Mahasanghika, Sarvastivada, dan Mahayana, yang muncul setelahnya, membubuhi kerangka polos yang muncul dari naskah-naskah sebelumnya ini dengan berbagai unsur, yang terkadang bersifat adimanusia. Meski demikian, gambaran asli yang muncul dari kepustakaan Pali membabarkan Buddha Gotama sebagai sosok yang sangat manusiawi yang menjalani hidup yang sarat dengan masa-masa sukar dan berbahaya dan menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan, baik yang bersifat pribadi maupun yang mendera masyarakat kewiharaannya. Di sini, kita akan menguraikan garis besar kehidupan Buddha dalam corak yang paling awal ini, berdasarkan atas penelitian sarjanawi dari Stephen Batchelor yang disajikan dalam karyanya Confession of a Buddhist Atheist. Semua nama dalam kisah ini akan disebutkan dalam corak bahasa Pali-nya. Buddha lahir pada 566 SM di Taman Lumbini, di daerah Nepal bagian selatan sekarang. Taman ini terletak tidak begitu jauh dari Kapilavatthu (Skt. Kapilavastu), ibukota Sakiya (Skt. Shakya). Walaupun nama dirinya Siddhattha (Skt. Siddharta) tidak muncul dalam kitab Pali; untuk kemudahan penyebutan, kita akan menggunakannya di sini. Gotama (Skt. Gautama), nama lain yang
kerap digunakan untuk menyebut sang Buddha, sebetulnya, merupakan nama marganya. Ayah Siddhattha, Suddhodana (Skt. Shuddhodana), bukanlah seorang raja, seperti yang digambarkan pada kepustakaan Buddha selanjutnya. Alih-alih, ia merupakan seorang bangsawan dari marga Gotama, yang kemungkinan menjabat sebagai seorang adipati di Sakiya. Kitab Pali tidak mencatat nama ibunya; namun sumber-sumber berbahasa Sanskerta kemudian menyebutnya sebagai Maya-devi. Ibu Siddhattha meninggal tak lama setelah kelahirannya, jadi ia dibesarkan oleh saudara perempuan ibunya, Pajapati (Skt. Mahaprajapati), yang dinikahi ayahnya, sebagaimana adat-istiadat kala itu. Sakiya merupakan sebuah republik kuno, tapi pada saat kelahiran Siddhattha, daerah itu bagian dari kerajaan berkuasa Kosala (Skt. Koshala).Kosala terbentang dari tepi sebelah utara Sungai Gangga di daerah Bihar sekarang sampai ke kaki perbukitan Himalaya. Ibukotanya Savatthi (Skt. Shravasti). Oleh karena uraian ringkas atas geografi tempat-tempat utama dalam kehidupan Buddha dapat membuat riwayat hidupnya jadi lebih mudah diikuti, mari kita buat garis besarnya di sini. Sakiya terletak di bagian sebelah timur Kosala, dan provinsi Malla (Skt. Malla) berada di sebelah tenggara Sakiya.Di timur Malla terdapat republik Vajji (Skt. Vrji), yang ibukotanya bertempat di Vesali (Skt. Vaishali).Republik Vajji diperintah oleh sebuah perserikatan marga-marga; marga Licchavi (Skt.Licchavi) adalah yang paling terkenal di antaranya.Di selatan Vajji dan Kosala, di seberang Sungai Gangga, terletak kerajaan digdaya Magadha (Skt. Magadha), dengan ibukotanya Rajagaha (Skt. Rajagrha).Di
barat Kosala, di daerah Punjab Pakistan sekarang, adalah Gandhara (Skt. Ghandhara), yang merupakan sebuah setra dari Kekaisaran Akhemeniyah Persia.Di ibukotanya, Takkasila (Skt. Takshashila), terdapat perguruan tinggi paling ternama kala itu. Di sana, gagasan dan budaya Yunani dan Persia bergaul dengan gagasan dan budaya India semasanya. Kapilavatthu, tempat Siddhattha hidup, adalah kota besar pada Jalur Utara, nadi utama perniagaan zaman itu. Jalur Utara menghubungkan Kosala ke Gandhara di arah barat dan, melewati Sakiya, Malla, dan Republik Vajji, ke Magadha di arah selatan. Maka, walau kitab Pali sedikit sekali menyebut tentang Siddhattha Gotama sebelum berusia dua puluh sembilan tahun, dapat ditarik kesimpulan bahwa Siddhattha kiranya terpapar oleh banyak budaya.Ia bahkan mungkin pernah belajar di Takkasila, walau belum tentu juga. Siddhattha menikah dengan Bhaddakaccana, yang di dalam kepustakaan Sanskerta dikenal sebagai Yashodhara. Yashodhara adalah sepupu Siddhattha dan merupakan saudara perempuan dari Devadatta (Skt. Devadatta). Devadatta kelak menjadi seteru utama Buddha. Pasangan suami-istri ini memiliki satu orang anak, seorang putra yang diberi nama Rahula (Skt. Rahula). Tak lama setelah kelahiran putranya, pada usia dua puluh sembilan tahun Buddha beranjak dari Kapilavatthu menuju Magadha untuk mencari kebenaran rohani. Berkelana di sepanjang Jalur Utara dan menyeberangi Sungai Gangga, ia tiba di Rajagaha. Pada saat itu, Magadha diperintah oleh Raja Bimbisara dan Kosala oleh Raja Pasenadi (Skt. Prasenajit). Sebagai bagian dari persekutuan antara Kosala dan Magadha, Pasenadi menikahi saudara
perempuan Bimbisara, dan begitu pula sebaliknya. Saudara perempuan Raja Pasenadi bernama Devi (Skt. Devi). Di Magadha, Siddhattha belajar di dalam masyarakat dua guru, Alara Kalama (Skt.Arada Kalama) dan Uddaka Ramaputta (Skt. Udraka Ramaputra). Karena berasal dari aliran brahmana, mereka mengajari Siddhattha untuk mencapai pemusatan terserap pada ketiadaan dan pada kemampuan untuk mengelak dari tindakan membedakan ataupun tidak membedakan apapun. Akan tetapi, Siddhattha tidak berpuas hati dengan pencapaianpencapaian ini, dan karena itu ia meninggalkan kedua gurunya. Ia kemudian menjalani serangkaian laku tapa yang musykil: hampir tidak makan sama sekali. Lagi-lagi ia merasa latihan seperti itu tidak membawa pada pembebasan. Ia lalu mengakhiri puasanya dan pergi ke dekat Uruvela (Skt. Urubilva), daerah Bodh Gaya sekarang, dimana ia memperoleh pencerahan di bawah pohon bodhi pada usia tiga puluh lima tahun, enam tahun setelah ia tiba di Magadha untuk pertama kalinya. Setelah mencapai pencerahan, ia pergi ke barat ke Migadaya (Skt. Mrgadava), Taman Rusa, di Isapatana (Skt. Rshipatana), daerah Sarnath sekarang, persis di luar Varanasi. Walau berada di utara Sungai Gangga, Raja Pasenadi telah menyerahkan wilayah ini kepada Magadha sebagai bagian dari mahar ketika ia memberikan saudara perempuannya Devi untuk menikah dengan Raja Bimbisara. Buddha menghabiskan musim hujan di sana di Taman Rusa dengan lima handainya dan segera saja menarik perhatian sejumlah kecil pengikut, yang membentuk masyarakat yang hidup melajang yang perlu diasuhnya.
Bangsawan dari marga Licchavi, Mahali dari Vesali, mendengar tentang Buddha dan menyarankan Raja Bimbisara untuk mengundangnya ke Magadha. Maka segera setelah musim hujan usai, Buddha dan masyarakatnya yang sedang bertumbuh kembali ke timur ke ibukota Magadha, Rajagaha. Raja Bimbisara terkesan dengan ajaran-ajaran Buddha dan menawarinya sebuah taman yang tidak lagi digunakan, yang disebut “Veluvana” (Skt. Venuvana), atau “Hutan Bambu”, yang menjadi tempat pemangkalan masyarakatnya selama musim hujan. Tak lama, Sariputta (Skt. Shariputra) dan Moggallana (Skt. Maudgalyayana), murid terkemuka dari seorang guru penting di daerah itu, bergabung dengan masyarakat Buddha.Kelak, mereka menjadi murid yang paling dekat dengan Buddha.Sariputta mengajukan permohonan agar Buddha merumuskan sumpahsumpah bagi masyarakat kewiharaannya yang sedang bertumbuh itu; dan Raja Bimbisara menyarankan supaya mereka mengadopsi beberapa dari adat-istiadat kelompok rohani fakir lainnya, seperti kaum Jain.Secara khusus, Raja menganjurkan agar mereka mengadakan pertemuan umum caturwulanan (Skt. uposhadha) untuk membahas ajaran-ajaran.Buddha setuju. Suatu hari, Anathapindika (Skt. Anathapindada), seorang pedagang kaya dari ibukota Kosala, Savatthi, datang ke Rajagaha untuk urusan niaga. Dibuat terkesan oleh Buddha, ia menawarkan padanya sebuah tempat untuk menghabiskan musim penghujan di Savatthi, ibukota milik Raja Pasenadi. Tak lama sesudahnya, Buddha dan masyarakat biksunya pindah ke Kosala; tapi butuh beberapa tahun dulu sampai Anathapindika dapat menawarkan pada mereka sebuah tempat yang sesuai untuk ditinggali.
Sementara itu, Buddha kembali untuk mengunjungi keluarganya di Kapilavatthu. Ayahnya, Suddhodana, segera saja menjadi salah satu pengikutnya dan putranya yang berumur delapan tahun, Rahula, bergabung dengan ordo kewiharaan tersebut sebagai seorang celuka (murid Buddha pemula). Selama tahun-tahun berikutnya, beberapa bangsawan Sakiya juga bergabung, termasuk para sepupu Buddha, Ananda (Skt. Ananda), Anuruddha (Skt. Anuruddha), dan Devadatta, dan juga Nanda (Skt.Nanda), juga dikenal sebagai “ Sundarananda” (Skt. Sundarinanda), “Nanda si Tampan”, yang memiliki hubungan separuh-darah dengan Buddha. Ibu tiri Buddha, yang juga bibinya, Pajapati, meminta untuk ikut bergabung dengan masyarakat murid Buddha yang sedang bertumbuh itu, namun pada awalnya Buddha menolak. Tidak patah arang, ia lalu mencukur habis rambutnya, mengenakan jubah kuning dan, dengan sekelompok besar wanita lainnya, mengikuti Buddha meski ditolak. Pajapati tetap memohon penahbisan dari Buddha, tapi Buddha menolak untuk kedua dan ketiga kalinya. Akhirnya, beberapa tahun sebelum Buddha wafat, Ananda mengetengahi dan memohon sekali lagi atas nama Pajapati, dan Buddha setuju untuk menahbiskan para wanita itu. Hal ini terjadi di Vesali, di Republik Vajji, dan merupakan permulaan dari ordo biksuni dalam ajaran Buddha. Anathapindika dikenal atas kemurah-hatiannya yang luar biasa dan beberapa tahun setelah Buddha kembali ke Kosala ia membayar sejumlah besar emas untuk membeli sebuah taman di Savatthi, yang disebut “Jetavana” ( Skt. Jetavana), “Hutan Jeta”. Di sana ia membangun sebuah kediaman musim hujan yang amat sangat mewah untuk Buddha dan para biksunya. Akhirnya, kira-
kira dua puluh tahun setelah pencerahannya, Buddha melembagakan adat undur-diri pada musim hujan (Skt.varshaka), bagi masyarakat kewiharaannya; suatu kurun waktu dimana para wiharawan menetap pada satu tempat untuk tiga bulan musim hujan tiap tahunnya dan tidak mengembara dari satu tempat ke tempat lain seperti yang mereka lakukan selama sisa tahun. Secara keseluruhan, Buddha menghabiskan sembilan belas masa undur-diri musim hujan di Hutan Jeta, dan selama itu ia telah menyampaikan 844 wacananya. Anathapindika terus menjadi pelindung utama masyarakat kewiharaan Buddha, walau di ambang akhir usianya ia jatuh pailit. Raja Kosala, Pasenadi, pertama kali bertemu Buddha Gotama di Hutan Jeta, ketika Buddha berumur empat puluh tahun.Buddha secara luar biasa membuat Raja terkesan, dan kemudian Pasenadi juga menjadi salah satu pelindung dan pengikutnya.Akan tetapi, hubungan Buddha dengan Raja Pasenadi selalu sangat pelik. Walau Raja merupakan seorang pelindung yang cendekia; ia pun seorang pemuja kesenangan badani dan kerap kali bersikap kejam. Misalnya, karena rasa takut yang kelewatan, Raja memerintahkan untuk membunuh Bandhula, kawannya dari Malla dan panglima tentaranya; walau kemudian ia menyesal dan menunjuk keponakan laki-laki Bandhula, Karayana, untuk mengepalai tentaranya. Bertahun-tahun setelahnya, Senapati Karayana, menggulingkan Pasenadi sebagai pembalasan dendam karena kematian pamannya. Meski demikian, Buddha menepaselira sikap tak menentu dan kelakuan yang berubah-ubah sang Raja, tentunya karena ia membutuhkan perlindungan darinya bagi masyarakatnya terhadap para maling dan binatang liar, juga sebagai jalan masuk menuju para pelindung kaya yang akan menyokong mereka.
Untuk mengamankan penerusan dinastinya yang berkuasa, Raja Pasenadi membutuhkan seorang putra.Istri pertamanya, saudara perempuan dari Raja Bimbisara, rupa-rupanya tidak dapat memberinya anak. Raja kemudian mengambil istri kedua, Mallika (Skt. Mallika), seorang wanita rupawan yang berasal dari kasta rendah dan juga merupakan pengikut Buddha. Para pendeta brahma di istana kerajaan geger karena asal-usul Mallika ini.Mallika melahirkan seorang putri, Vajiri (Skt. Vajri), bagi Raja Pasenadi. Raja kemudian merasa ia perlu mengambil istri ketiga yang akan memberinya putra. Maka ia menikahi Vasabha, anak perempuan dari sepupu Buddha, Mahanama (Skt.Mahanama), yang menjadi adipati Sakiya setelah kematian ayah Buddha. Mahanama adalah saudara laki-laki dari murid dekat Buddha, Ananda dan Anuruddha.Walau Mahanama melepas Vasabha sebagai seorang bangsawati, Vasabha sesungguhnya merupakan anak tak sah dari pergaulannya dengan seorang budak perempuan.Walau Vasabha mengandung seorang putra bagi Raja Pasenadi, yang bernama Vidadabha, kedudukannya sebagai pewaris tahta Kosala amat genting karena muslihat terselubung mengenai garis darah ibunya. Muslihat ini menyulitkan Buddha, karena ia memiliki garis-darah dengan Vasabha. Tak sadar akan keadaannya sebagai jadah, Vidadabha mengunjungi Sakiya dan kakeknya Mahanama untuk pertama kali ketika ia berusia enam belas tahun. Saat berada di sana, Karayana, panglima pasukan kerajaan Pasenadi, tahu tentang latar belakang sesungguhnya dari ibu Vidadabha. Ketika Karayana melaporkan pada Pasenadi bahwa putranya merupakan cucu haram dari seorang budak perempuan, Raja murka pada orang-
orang Sakiya.Ia melucuti kedudukan ningrat istri dan putranya, dan melemparkan mereka kembali ke perbudakan. Buddha mengetengahi perkara ini atas nama mereka dan Raja akhirnya mengembalikan keningratan mereka. Meski demikian, setelah kejadian ini kedudukan Buddha di Kosala menjadi tidak aman dan, pada saat ia berusia tujuh puluh tahun, ia kembali untuk pertama kalinya ke Magadha dan ibukotanya, Rajagaha. Di sana, ia tinggal di Hutan Mangga, yang dimiliki oleh Jivaka (Skt. Jivaka), tabib kerajaan, dan bukan di Hutan Bambu milik Raja. Hal ini menunjukkan bahwa mungkin pada saat itu Buddha sudah sakit-sakitan. Ketika Buddha berumur tujuh puluh dua tahun, pelindung pertamanya, Raja Magadha, Bimbisara, dipaksa lengser untuk digantikan oleh putranya, Ajatasattu (Skt. Ajatashatru).Ajasattu menjebloskan ayahnya ke dalam penjara dan membiarkannya mati kelaparan.Janda dari Bimbisara, Devi, saudara perempuan Raja Pasenadi, meninggal karena duka. Untuk membalas dendam kematiannya, Pasenadi melancarkan perang melawan keponakannya, Ajatasattu, untuk mencoba mendaku kembali desa-desa di sekitar Varanasi ke arah utara Sungai Gangga yang dulu ia persembahkan kepada Bimbisara sebagai bagian dari mahar Devi. Perang tersebut tuna-hasil dan untuk mempertahankan perdamaian, Pasenadi terpaksa harus menyerahkan putrinya, Vajiri, untuk dinikahkan dengan Ajatasattu. Kira-kira pada saat yang sama, sepupu Buddha, Devadatta, yang menjadi guru Ajatasattu, mencoba untuk merengkuh kendali atas ordo kewiharaan Buddha. Devadatta mencoba meyakinkan Buddha untuk menerapkan beberapa aturan tata-tertib tambahan
bagi para biksu, seperti: para biksu harus tinggal di hutan-hutan, tidur hanya di bawah pohon, tidak boleh memasuki rumah orang awam, hanya mengenakan kain gombal dan tidak menerima persembahan pakaian dari masyarakat, dan harus menjalani pantangan makan daging yang ketat. Buddha menolak karena ia merasa hal itu akan membuat ordonya menjadi terlalu zahid dan memutus hubungan mereka dari masyarakat umum. Devadatta menantang kewenangan Buddha dan, karena berhasil menarik perhatian banyak biksu muda atas gagasan-gagasannya, ia menciptakan perpecahan dengan membentuk masyarakat kewiharaan seterunya sendiri. Malah, Devadatta berkali-kali mencoba membunuh Buddha, walau tidak pernah berhasil. Pada akhirnya, Sariputta dan Moggallana membujuk para biksu yang telah meninggalkan masyarakat Buddha untuk kembali. Tampaknya Devadatta menyesali tindakan-tindakannya, tapi ia meninggal sebelum bisa memohon ampunan dari Buddha. Walau begitu, Buddha tidak pernah melabuhkan amarah atau niat jahat terhadapnya. Raja Ajatasattu juga menyesal karena telah membunuh ayahnya dan, atas nasehat tabib kerajaan Jivaka, secara terbuka ia mengaku pada Buddha bahwa ia telah membunuh ayahnya sendiri dan ia bersedia untuk bertobat. Kira-kira setahun setelahnya, Buddha pergi ke wilayah asalnya Sakiya sekali lagi. Selama kunjungan Raja Pasenadi kepada Buddha untuk menyatakan rasa hormatnya, Senapati Karayana melancarkan penggulingan raja dan mendudukkan Pangeran Vidadabha di tahta Kosala. Pasenadi, raja yang terguling, karena tak tahu harus ke mana, kabur ke Magadha untuk mencari perlindungan dari keponakan dan menantunya Raja Ajatasattu di
Rajagaha. Akan tetapi, Pasenadi ditolak masuk ke kota dan ditemukan mati esok harinya. Sementara itu, raja baru Kosala, Raja Vidudabha, melanjarkan perang melawan Sakiya untuk membalas dendam penipuan yang dilakukan kakeknya, Mahanama, tentang garis darahnya. Mahanama, seperti diceritakan, adalah sepupu Buddha dan merupakan adipati Sakiya. Walau Buddha mencoba tiga kali untuk meyakinkan Raja agar tidak menyerang, ia akhirnya gagal. Pasukan Kosala mengemban perintah untuk membantai seluruh penduduk Sakiya, ibukota Kapilavatthu. Karena tidak mampu mencegah pembantaian itu, Buddha melarikan diri ke Rajagaha di Magadha, untuk mencari perlindungan dari Raja Ajatasattu, persis seperti yang dilakukan Pasenadi sebelumnya, walau gagal. Jalan menuju Magadha melintasi Republik Vajji, dimana murid terdekat Buddha, Sariputta, sedang menunggunya di ibukota Vesali. Akan tetapi, di sana, salah seorang bekas pembantu Buddha, Sunakkatta (Skt. Sunakshatra), seorang bangsawan dari Vesali yang sebelumnya telah melepas jubah biksunya dan meninggalkan masyarakat Buddha, mencoreng citra Buddha di hadapan dewan Vajji. Ia memberitahu mereka bahwa Buddha tidak memiliki kekuatan-kekuatan adimanusia dan mengajar hanya menurut nalar tentang cara menghentikan pendambaan, bukan cara mencapai tataran lintas-fana. Buddha menerima ini sebagai pujian.Akan tetapi, pengaduan ini, dan mungkin ditambah lagi karena Buddha mendirikan ordo biksuni pada saat itu, telah menyebabkan Buddha kehilangan dukungan dan kedudukan bagus di Vajji. Alhasil, Buddha menyeberangi Sungai Gangga dan melanjutkan perjalanan ke Rajagaha, dimana ia tinggal di gua-gua di dekat Gijjhakuta (Skt. Grdhrakuta), Puncak Hering.
Vassakara, perdana menteri Raja Ajatasattu, datang mengunjungi Buddha.Ia memberitahukan padanya tentang rencana Ajatasattu untuk memperluas kerajaannya dan niatnya untuk segera menyerang Republik Vajji. Walau Buddha menasehati bahwa rakyat Vajji tidak bisa dimenangkan dengan cara pemaksaan, tapi akan menjaga ketat cara-cara terhormat turun-menurun mereka, Buddha tidak mampu mencegah seruak peperangan yang segera terjadi, seperti halnya pada penyerbuan Kosala atas Sakiya. Menambah rasa kehilangan bagi Buddha, dua murid terdekatnya, Sariputta dan Moggallana meninggal pada masa ini. Sariputta yang sudah tua meninggal karena penyakit dan Moggallana tewas dihajar penyamun saat sedang menjalani undur-diri sunyinya. Karena tidak memperoleh perhatian baik dan dukungan di Magadha, Buddha memutuskan untuk kembali ke utara sekali lagi, kemungkinan besar ke tanah airnya di Sakiya, mungkin untuk melihat apa yang tersisa setelah serbuan Kosala. Sebelum beranjak pergi, Buddha meminta Ananda untuk mengumpulkan seluruh biksu di Puncak Hering, dimana ia akan menyampaikan nasehat terakhirnya pada mereka. Ia memerintahkan mereka untuk meniru tata lokatantra (demokrasi) dewan perwakilan Vajji untuk diterapkan pada masyarakat kewiharaannya. Mereka harus menyelenggarakan sidang umat secara berkala, hidup selaras, berbagi sedekah, dan menghargai para tetua. Segera setelah itu, Buddha meninggalkan Puncak Hering dan Magadha, dan saat tiba di Vesali, Republik Vajji, ia berhenti untuk menghabiskan masa undur-diri musim hujan.Ia mendapati masyarakat di sana hanyut dalam kemerosotan meski ancaman perang nampak menjulang. Setelah kehilangan dukungan di dewan perwakilan Vajji, Buddha menghabiskan musim hujan
sendirian dan menyuruh biksu-biksunya untuk mencari tempat berteduh di antara kawan atau pendukung mereka. Selama masa musim hujan, Buddha tua yang kini berusia delapan puluh tahun jatuh sakit keras dan sudah diambang ajal. Ananda memintanya untuk menyampaikan potongan terakhir nasehat bagi para biksu. Buddha berkata pada mereka bahwa ia telah mengajarkan semua yang ia tahu dan bahwa, di masa depan, ajaran-ajaran itu sendiri yang akan menjadi perlindungan utama dan sumber arahan bagi mereka.Untuk memperoleh pembebasan dari penderitaan, mereka harus menyatukan ajaran dengan diri mereka sendiri dan tidak bergantung pada pemimpin atau masyarakat untuk menyelamatkan mereka. Buddha kemudian mengumumkan bahwa ia akan segera wafat. Bersama sepupu yang juga pengikutnya, Ananda dan Anuruddha, Buddha berangkat sekali lagi setelah hujan. Dalam perjalanan ke Sakiya, mereka berhenti di Pava, salah satu dari dua kota utama Malla. Di sana, mereka diberi sajian daging babi beracun oleh seorang pandai besi bernama Chunda (Skt. Cunda). Curiga ada yang salah, Buddha memberitahu para sepupunya untuk tidak memakan daging babi itu, tapi ia memakannya sendiri dan menyuruh mereka untuk menguburkan sisanya. Malla adalah tanah air Senapati Karayana, yang telah memimpin pembantaian di Sakiya, dan agaknya mungkin juga racun tersebut dialamatkan pada Ananda, yang terkenal karena telah menghapal semua ajaran Buddha. Jika Ananda terbunuh, ajaran dan masyarakat Buddha tidak akan bertahan. Menderita sakit muntaber yang parah, Buddha meminta Ananda untuk membawanya ke dekat Kusinara (Skt. Kushinagara). Di
sana, di atas peraduan yang diletakkan di antara dua pohon, Buddha bertanya pada beberapa biksu yang ada bersamanya apa mereka memiliki pertanyaan atau keraguan lagi. Diliputi duka, Ananda dan yang lainnya diam. Buddha kemudian wafat pada usia delapan puluh tahun, pada 485 SM. Persis sebelum jasad Buddha diperabukan, sekelompok biksu tiba dari Pava.Mereka dikepalai oleh Mahakassapa (Skt. Mahakashyapa), yang bersikeras bahwa perabuan harus ditunda sampai mereka selesai menunaikan penghormatan terakhir mereka. Mahakassapa merupakan seorang brahmana Magadha yang menjadi biksu di usia tuanya beberapa tahun sebelumnya. Ketika Buddha pertama sekali bertemu dengannya, ia memberikan Mahakassapa jubah lusuh tuanya untuk digantikan dengan jubah brahmananya yang masih baru. Kelak, kejadian ini dianggap mewakili penerusan wewenang dan permulaan garis patriark Buddha. Akan tetapi, pada beberapa kesempatan Buddha telah secara gamblang menyatakan pada para pengikutnya bahwa, setelah ia wafat, Dharma sendirilah yang akan menjadi guru mereka. Ia menginginkan masyarakatnya untuk lanjut dengan menerapkan tata dewan perwakilan seperti Vajji. Ia tidak meniatkan mereka untuk menjadikan diri layaknya sebuah kerajaan seperti Kosala dan Magadha dan mendaulat seorang biksu utama sebagai kepalanya. Meskipun begitu, setelah wafatnya Buddha, tampaknya ada tariktarikan kekuasaan antara Mahakassapa dan Ananda, dengan kata lain tarik-tarikan antara tata India tradisional atas penerusan wewenang tunggal dari guru ke pengikutnya dan sebuah tata yang
lebih lokatantra dan mengedepankan kebersamaan dari para biksu fakir yang hidup di sebuah masyarakat kecil dan mengikuti seperangkat laku dan asas yang disepakati bersama.Mahakassapa yang menang. Setelah jasad Buddha diperabukan dan benda peninggalannya dibagi-bagikan, para biksu setuju atas usulan Mahakassapa untuk menyelenggarakan sidang dewan di Rajagaha pada musim hujan berikutnya untuk merincikan, menegaskan, dan membakukan apa yang telah diajarkan Buddha.Mahakassapa memilih para tetua yang dapat hadir.Ia hanya memilih para arhat, mereka yang telah mencapai pembebasan, dan jumlahnya ada 499 orang. Awalnya, Mahakassapa tidak menyertakan Ananda atas dasar bahwa ia belum mencapai ke-arhat-an. Mahakassapa tidak menyertakannya meski Ananda memiliki ingatan terbaik atas wacana-wacana Buddha. Selain itu, Ananda juga merupakan seorang pendukung dan penyokong yang lantang atas perintah Buddha untuk tidak mendaulat pemimpin tunggal. Mungkin penyebab lain yang membuat Mahakassapa tidak menyukai Ananda adalah karena Ananda merupakan orang yang telah meyakinkan Buddha untuk menahbiskan para wanita. Ini telah menyinggung Mahakassapa yang berlatar belakang brahmana kolot.Begitupun, pada akhirnya, para tetua menentang tidak diikut-sertakannya Ananda dan Mahakassapa menyerah dan mengizinkan Ananda untuk hadir.Menurut catatan Theravada, Ananda mencapai tingkat kearhat-annya pada malam sebelum sidang dewan digelar. Akan tetapi, selagi menunggu dewan bersidang, Ananda bertemu Vassakara ( Skt.Varshakara), perdana menteri Raja Ajatasattu . Ananda tahu darinya bahwa selain pasukan Magadha bersiap untuk menyerang Vajji, mereka juga bersiap-siap untuk
menangkal serangan dari Raja Pajjota (Skt. Pradyota) dari Avanti (Skt. Avanti), kerajaan di barat Magadha. Oleh karena itu, walau Buddha tidak meniatkan adanya garis patriark yang mengepalai masyarakatnya, pengambil-alihan tampuk kekuasaan oleh Mahakassapa dipastikan telah berperan bagi kebertahanan ajaran dan masyarakat kewiharaan Buddha melewati masa-masa berbahaya dan tak pasti ini. Lima ratus arhat menghadiri Sidang Dewan Buddha Pertama ini, yang diadakan di Sattipanniguha (Skt. Saptaparnaguha), atau Gua Tujuh Daun, dekat Rajagaha.Mahakassapa mengetuai sidang, Ananda mendaraskan sebagian besar sutta dari ingatannya dan Upali (Skt. Upali) mendaraskan aturan-aturan vinaya tata tertib kewiharaan.Menuru corak Theravada dari sidang dewan ini, ajaran-ajaran abhidhamma (Skt. abhidharma) atas pokok-pokok pengetahuan khusus tidak didaraskan pada saat itu.Akan tetapi, dalam aliran Sarvastivada, corak Vaibhashika membenarkan bahwa Mahakassapa mendaraskan beberapa, tapi tidak semua, ajaran abhidhamma.Namun menurut pernyataan Sautrantika, ajaran-ajaran abhidharma ini sebetulnya bukanlah ucapan-ucapan Buddha, melainkan disusun oleh tujuh dari para arhat. Menurut aliran-aliran Tibet, Mahakassapa mengawali garis tujuh patriark (bstan-pa’i gtad-rabs bdun). Aliran-aliran Chan Cina, diikuti oleh aliran Son Korea dan Zen Jepang, menelusuri garis dua puluh delapan patriark di India, dengan Bodhidharma sebagai yang kedua puluh delapan. Bodhidharma merupakan seorang guru India yang membawa ajaran-ajaran Chan ke Cina. Di Asia Timur, ia dianggap sebagai Patriark Chan Pertama.
Kesimpulannya, kepustakaan Pali aliran Theravada membabarkan sebuah gambaran Buddha sebagai seorang pemimpin rohani yang berwibawa dan hampir-hampir mengenaskan, yang berjuang untuk membangun dan menyokong masyarakat murid dan pengikutnya yang terus berumbuh dalam melewati keadaan-keadaan yang amat sangat sulit.Ia telah menghadapi kongkalikong politik, beberapa peperangan, pembantaian rakyat tanah airnya, pengaduan di hadapan sebuah pemerintahan, tantangan atas kepemimpinannya dari orang yang berasal dari kumpulan muridnya, pembunuhan salah satu murid terdekatnya, dan pada akhirnya, kematian karena racun. Akan tetapi, di sepanjang seluruh cobaan berat ini, Buddha memelihara kedamaian cita dan tidak patah arang. Di sepanjang empat puluh enam tahun masa pengajarannya setelah mengalami pencerahan, ia tetap teguh terhadap tekadnya untuk menunjukkan pada dunia jalan pembebasan dan pencerahan.
Buddhisme di India sebelum Penyerangan Abad Ke13 Dr. Alexander Berzin Pendahuluan Istilah Hinayana dan Mahayana, yang berarti wahana sederhana atau “kecil” dan wahana luas atau “besar”, pertama sekali muncul dalam Sutra Kesadaran yang Jauh Menjangkau dan Membedakan, (Skt. Sutra Prajnaparamita; Sutra Kesempurnaan Kebijaksanaan/Penyempurna Sutra-Sutra Kebijaksanaan), sebagai cara mengungkapkan keunggulan Mahayana. Secara sejarawi, ada delapan belas aliran yang mendahului Mahayana, masing-masing dengan versi aturan tata tertib kewiharaannya (Skt. vinaya) yang hampir sama. Walau ada yang menyarankan istilah-istilah lain untuk mengacu pada delapan belas aliran tersebut sebagai satu kesatuan, kita akan mengunakan istilah yang lebih umum diketahui, Hinayana, tanpa bermaksud merendahkan. Theravada (Skt. Sthaviravada) adalah satu-satunya dari delapan belas aliran Hinayana yang sampai sekarang masih ada. Aliran ini tumbuh mekar di Sri Lanka dan Asia Tenggara. Ketika naskahnaskah Mahayana India dan Tibet menyajikan pandanganpandangan filsafati dari Aliran-Aliran Vaibhashika dan Sautrantika, dua aliran Hinayana ini merupakan bagian-bagian dari Sarvastivada, satu aliran dari delapan belas aliran tersebut. Aturan tata tertib kewiharaan Tibet berasal dari Aliran Mulasarvastivada, bagian lain dari Sarvastivada. Karena itu, kita jangan merancukan penyajian Hinayana Tibet dengan Theravada.
Aliran-aliran Buddha Asia Timur mengikuti aturan tata tertib kewiharaan dari Aliran Dharmagupta, satu aliran lain delapan belas aliran tersebut. Buddha Shakyamuni Pangeran Siddhartha, yang menjadi Buddha Shakyamuni, hidup di India Utara bagian tengah dari tahun 566-486 S.M. Setelah memperoleh pencerahan pada usia tiga puluh lima, ia mengembara sebagai seorang fakir, sembari memberi pengajaran bagi orang lain. Sekelompok pencari rohani yang hidup melajang kemudian berkumpul di sekitarnya dan menemani perjalanannya. Lambat laun, saat sudah dibutuhkan, Buddha membuat aturan tata tertib untuk kelompok pengikut ini. Para “biksu” bertemu empat kali sebulan untuk mendaraskan aturan-aturan ini dan menyucikan pelanggaran yang mungkin telah terjadi. Setelah kira-kira dua puluh tahun setelah pencerahannya, Buddha memulai adat biksu untuk tinggal di satu tempat setiap tahun untuk undur-diri musim hujan triwulanan. Pembangunan wihara Buddha berkembang dari adat-istiadat ini. Beberapa tahun sebelum meninggal, Buddha juga memulai aliran biarawati. Sidang Dewan Buddha Pertama Buddha mengajar dalam bahasa Magadha, logat Prakrit , tapi tak ada yang ditulis selama masa hidupnya. Kenyataannya, ajaranajaran Buddha pertama sekali dituliskan baru pada awal abad pertama S.M., dan dikerjakan oleh Aliran Theravada. Ajaran-ajaran tersebut ditulis di Sri Lanka dalam bahasa Pali. Pada abad-abad
sebelumnya, para biksu melestarikan ajaran-ajaran Buddha dengan menghafal dan melafalkannya secara berkala. Adat melafalkan ajaran-ajaran Buddha dari hafalan dimulai beberapa bulan setelah Buddha meninggal. Ini terjadi pada Dewan Buddha Pertama, yang diadakan di Rajagrha (sekarang Rajgir), dan dihadiri oleh lima ratus murid. Pengetahuan turun-temurun mencatat bahwa seluruh pesertanya merupakan arhat, makhluk yang terbebaskan. Menurut versi Vaibhashika, tiga dari para arhat melafalkan ajaranajaran tersebut dari hafalan. Jika seluruh anggota majelis lain sepakat bahwa apa yang dilafalkan oleh ketiga arhat ini sama persis dengan yang dikatakan Buddha, hal itu memastikan ketepatan dari ajaran-ajaran tersebut.
Ananda melafalkan sutra – wacana yang berkenaan dengan beragam tema latihan. Upali melafalkan vinaya – aturan tata tertib kewiharaan. Mahakashyapa melafalkan abhidharma, berkenaan dengan pokok-pokok khusus pengetahuan.
Tiga bagian ajaran Buddha ini membentuk Tiga Kumpulan Serupa Keranjang (Skt.Tripitaka, Tiga Keranjang). Catatan Vaibhashika juga menerangkan bahwa tidak semua ajaran abhidharma Buddha dilafalkan pada Dewan Pertama. Beberapa diteruskan secara lisan di luar wilayah hukum dewan dan ditambahkan kemudian.
Menurut versi Sautrantika, ajaran-ajaran abhidharma yang dilafalkan pada sidang dewan itu sama sekali bukanlah kata-kata Buddha. Tujuh naskah abhidharma yang tercakup di dalam Keranjang ini sebetulnya dikarang oleh tujuh dari para arhat yang hadir saat itu. Sidang Dewan Buddha Kedua dan Pendirian Aliran Mahasanghika Dewan Buddha Kedua dilangsungkan, dengan dihadiri tujuh ratus biksu, di Vaishali pada 386 atau 376 S.M. Tujuan diadakannya sidang dewan ini adalah untuk menyelesaikan sepuluh persoalan yang berkenaan dengan tata tertib kewiharaan. Keputusan utama yang disepakati adalah bahwa biksu tidak diperkenankan menerima emas. Dalam istilah sekarang, ini berarti bahwa biksu tidak diperbolehkan menangani uang. Dewan kemudian melafalkan Keranjang Vinaya untuk menegaskan kembali kemurniannya. Menurut catatan Theravada, terbelahnya masyarakat kewiharaan terjadi pertama kali pada sidang dewan ini. Para biksu yang merasa tersinggung memisahkan diri dan membentuk Aliran Mahasanghika, sementara para tetua yang tetap tinggal jadi dikenal sebagai Aliran Theravada. “Theravada”, dalam bahasa Pali, bermakna “pengikut kata-kata para tetua”. “Mahasanghika” bermakna “masyarakat kebanyakan”. Menurut catatan-catatan lain, keterbelahan ini terjadi sesudahnya, pada 349 S.M. Pokok perselisihan bukan pada tata tertib kewiharaan, tapi pada pandangan-pandangan filsafati. Silangpendapat berkisar pada apakah seorang arhat – makhluk yang terbebaskan – itu terbatas atau tidak.
Para tetua Theravada mengakui bahwa para arhat memiliki keterbatasan pengetahuan. Contohnya, mereka mungkin tidak tahu arah saat melakukan perjalanan dan dapat menerima masukan untuk hal-hal semacam itu dari orang lain. Akan tetapi, mereka tahu segalanya tentang Dharma. Para arhat bahkan dapat meragukan raihan mereka sendiri, walau mereka tidak akan melangkah mundur dari raihan itu. Begitupun, Theravada bersikeras bahwa para arhat sungguh-sungguh terbebas dari perasaan-perasaan gelisah, seperti hasrat. Mahasanghika atau “kelompok kebanyakan” tidak sepakat perihal perasaan-perasaan gelisah ini. Mereka menyatakan bahwa para arhat masih bisa tergoda dalam mimpi dan memiliki mimpi basah, karena mereka masih mempunyai jejak nafsu. Karenanya, Mahasanghika membuat pembedaan yang jernih antara seorang arhat dan seorang Buddha.
Para pengikut Aliran Theravada memusatkan diri di bagian barat India Utara. Para pengikut Mahasanghika memusatkan diri di bagian timur India Utara dan kemudian menyebar ke Andhara, di bagian timur India Selatan. Di sanalah, di Andhara, Mahayana muncul ke permukaan. Para sarjana Barat memandang Mahasanghika sebagai perintis Mahayana. Sidang Dewan Buddha Ketiga dan Pendirian Aliran Sarvastivada dan Dharmagupta Pada 322 S.M., Chandragupta Maurya mendirikan Kekaisaran Maurya di daerah tengah India Utara yang telah diketahui sebagai Magadha, tanah asal Ajaran Buddha. Kekaisaran ini bertumbuh dengan cepat, dan mencapai puncaknya di bawah kepemimpinan Kaisar Ashoka, 268-232 S.M. Di masa kekuasaannya, Kekaisaran
Maurya terbentang dari daerah yang sekarang dikenal sebagai Afghanistan bagian timur dan Baluchistan sampai ke Assam, dan meliputi sebagian besar India Selatan. Selama Kaisar Ashoka memerintah, pada 237 S.M., Aliran Sarvastivada juga sempal dari Theravada, karena persoalan filsafati tertentu. Aliran Theravada menyatakan bahwa alasan perpercahan ini adalah Sidang Dewan Ketiga, yang diadakan di bawah perlindungan kaisaryah di ibukota Maurya, Pataliputra – sekarang Patna. Akan tetapi, mereka mencatat sidang dewan ini berlangsung pada 257 S.M., dua puluh tahun lebih awal dari catatan Sarvastivada perihal perpecahan itu. Ini karena, menurut Theravada, hanya setelah sidang dewan ini menegaskan kembali kemurnian pandangan Theravada-lah Kaisar Ashoka mengirimkan perutusan, di tahun berikutnya, untuk memperkenalkan Ajaran Buddha ke wilayah-wilayah baru, baik di dalam maupun di luar wilayah kekaisarannya. Lewan perutusan-perutusan ini, Ajaran Buddha Theravada diperkenalkan di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Pakistan (Gandhara dan Sindh), wilayah yang sekarang dikenal sebagai Afghanistan bagian tenggara (Bactria), Gujarat, dan bagian barat India Selatan, Sri Lanka, dan Burma. Setelah wafatnya Kaisar Ashoka, putranya Jaloka memperkenalkan Sarvastivada ke Kashmir. Dari sana, ajaran ini lambat laun menyebar ke daerah yang sekarang dikenal sebagai Afghanistan. Terlepas dari waktu diadakannya sidang tersebut, tugas utamanya ialah untuk mengkaji ajaran-ajaran Buddha dan menyanggah apa yang dianggap oleh para tetua Theravada orthodox sebagai pandangan yang keliru. Biksu kepala sidang tersebut, Moggaliputta Tissa, mengumpulkan kajian-kajian sanggahan ini ke dalam Dasar-
Dasar Perselisihan (Pali Kathayatthu), yang menjadi naskah kelima dari tujuh naskah dalam Keranjang Abhidhamma Theravada. Aliran-aliran Hinayana lainnya tidak mencatat sidang dewan ini dengan sikap yang sama seperti Theravada. Dalam perkara yang manapun, satu dari pokok filsafati yang menjadi dasar perpecahan ini adalah keadaan gejala masa lampau, kini, dan depan. · Sarvastivada menyatakan bahwa segalanya itu ada – hal-hal yang-tak-lagi-terjadi, hal-hal yang-kini-terjadi, dan hal-hal yangbelum-terjadi. Ini karena atom yang menjadi bahan baku segala hal tersebut bersifat abadi; hanya rupa yang mereka ambillah yang berganti. Oleh karena itu, rupa-rupa yang diambil oleh atom dapat beralih-rupa dari hal-hal yang-belum-terjadi ke hal-hal yang-kiniterjadi dan kemudian ke hal-hal yang-tak-lagi-terjadi. Tapi atom yang membangun tiap-tiap hal ini adalah atom abadi yang sama.
Tidak hanya Theravada, tapi juga Mahasanghika yang menegaskan bahwa hanya hal-hal yang-kini-terjadilah yang ada, dan juga hal-hal yang-tak-lagi-terjadi yang belum membuahkan hasilnya. Yang kedua ini ada karena masih dapat menunjukkan pengaruhnya. Akan tetapi, Sarvastivada sepakat dengan Mahasanghika bahwa para arhat memiliki keterbatasan dalam rupa jejak-jejak perasaan yang gelisah.
Pada 190 S.M., Aliran Dharmagupta juga memisahkan diri dari Theravada.
Dharmagupta setuju dengan Theravada bahwa para arhat tidak memiliki perasaan-perasaan gelisah. Akan tetapi, seperti Mahasanghika, Dharmagupta cenderung meninggikan Buddha. Aliran ini menegaskan bahwa lebih penting untuk membuat persembahan bagi para Buddha, daripada bagi para anggota wihara, dan ajaran ini juga secara khusus menegaskan pembuatan persembahan bagi stupa – tugu yang mengandung relik para Buddha. Dharmagupta menambahkan sebuah kumpulan serupakeranjang yang keempat, Keranjang Dharani. “Dharani”, yang berarti “kuasa tersimpan” dalam bahasa Sanskerta dan “kebijakan utama” dalam terjemahan Tibetnya, adalah rumusan kebaktian berbahasa Sanskerta yang, ketika dilantunkan, akan membantu orang yang melantunkannya untuk menjaga kata dan makna Dharma, sehingga dapat menegakkan gejala-gejala yang membangun dan menghapuskan yang merusak. Perkembangan dharani ini sejajar dengan semangat kebaktian masa itu, ditandai dengan munculnya karya klasik agama Hindu, Bhagavad Gita.
Aliran Dharmagupta menyebar ke wilayah yang sekarang dikenal sebagai Pakistan, Afghanistan, Iran, Asia tengah, dan ke Cina. Masyarakat Cina mengambil dan menganut sumpah biksu dan biksuni corak Dharmagupta. Selama berabad-abad kemudian, corak aturan tata tertib ini ditularkan ke Korea, Jepang, dan Vietnam. Sidang Dewan Buddha Keempat Aliran Theravada dan Sarvastivada masing-masing menyelenggarakan sidang dewan keempat mereka.
Aliran Theravada mengadakan sidang keempatnya pada 83 S.M. di Sri Lanka. Di hadapan berbagai kelompok yang menyerpih pergi dari Theravada karena perbedaan dalam hal tafsiran kata-kata Buddha, Maharakkhita dan lima ratus tetua Theravada bertemu untuk melafalkan dan menuliskan kata-kata Buddha, untuk melestarikan keasliannya. Inilah pertama kalinya ajaran-ajaran Buddha dituangkan ke dalam tulisan dan, dalam hal ini, dibuat dalam bahasa Pali. Corak Tiga Kumpulan SerupaKeranjang, Tipitaka, ini umumnya dikenal sebagai Kitab Pali. Akan tetapi, ajaran-ajaran Hinayana yang lain tetap meneruskan ajaranajaran tersebut secara lisan. Di dalam Aliran Sarvastivada, berbagai perbedaan tafsiran dari ajaran-ajaran tersebut lambat-laun mencuat. Yang pertama muncul adalah pendahulu Aliran Vaibhashika. Lalu, sekitar 50 S.M., Sautrantika berkembang. Masing-masing memiliki pernyataannya sendiri mengenai banyak pokok abhidharma. Sementara itu, situasi politik di India bagian utara, Kashmir, dan Afghanistan akan segera memasuki perubahan besar, dengan adanya penyerangan Yuezhi (Wade-Giles:Yueh-chih) dari Asia Tengah. Yuezhi adalah orang-orang Indo-Eropa yang awalnya hidup di Turkistan Timur. Setelah menaklukkan wilayah yang luas ke arah barat dan kemudian ke selatan pada akhir abad kedua S.M., mereka akhirnya mendirikan Dinasti Kushan, yang bertahan sampai 226 M. Pada puncak kejayaannya, Kekaisaran Kushan membentang dari wilayah yang sekarang dikenal sebagai Tajikistan, Uzbekistan, Afghanistan, dan Pakistan, melewati Kashmir dan India barat daya, sampai ke India Utara bagian tengah dan India Tengah. Menghubungkan Jalur Sutra dengan pelabuhan di muara Sungai Indus, dinasti ini membawa ajaran Buddha
bersentuhan dengan banyak pengaruh asing. Demikian pula, melalui persentuhan ini, ajaran Buddha sampai di Cina. Penguasa Kushan yang paling ternama adalah Raja Kanishka, yang memerintah, menurut beberapa sumber, dari tahun 78 sampai 102 M. dan, dari sumber lain, dari 127 sampai 147 M. Di perkara yang manapun, Aliran Sarvastivada mengadakan sidang dewan keempat mereka pada masa pemerintahan Raja Kanishka, baik di ibukota Purushapura (sekarang Peshawar) atau di Srinagar, Kashmir. Sidang dewan ini menolak abhidarma Sautrantaka dan membakukan abhidharma-nya sendiri dalam Tinjauan Luar Biasa (Skt. Mahavibhasha). Sidang dewan juga mengawasi penerjemahan, dari bahasa Prakrit ke Sanskerta, Tiga Kumpulan Serupa-Keranjangcorak Sarvastivada dan penulisan naskahnaskah berbahasa Sanskerta ini. Di antara abad keempat dan kelima M., Aliran Mulasarvastivada menyabang dari Vaibhashika Sarvastivada arusutama di Kashmir. Di akhir abad delapan Masehi, masyarakat Tibet mengambil dan menganut aturan tata tertib kewiharaannya. Di abad-abad setelahnya, Aliran Mulasarvastivada menyebar dari Tibet ke Mongolia dan ke beberapa wilayah Rusia-Turkis. Cabang-Cabang Aliran Mahasanghika Sementara itu, Aliran Mahasanghika, yang utamanya terletak di India Selatan bagian timur, menyabang menjadi lima aliran. Semua cabang itu sepakat bahwa para arhat memiliki keterbatasan dan bahwa para Buddha memiliki sifat maha tinggi, dan tiap dari mereka mengembangkan pernyataan ini secara lebih lanjut, yang
akhirnya merintis jalan bagi Mahayana. Mengenai tiga aliran besar itu:
Aliran Lokottaravada menyatakan Buddha sebagai mahkluk lintas-fana, yang raganya melebihi yang dapat musnah di dunia ini. Pernyataan ini meletakkan dasar bagi penjelasan Mahayana untuk Tiga Jasad (Tiga Raga) seorang Buddha. Aliran Lokottaravada menyebar ke Afghanistan dimana, di suatu masa antara abad ketiga dan kelima M., pengikutnya membangun Buddha-Buddha Raksasa di Bamiyan, sebagai cerminan pandangan mereka terhadap Buddha lintas-fana. Aliran Bahushrutiya menyatakan Buddha telah menanamkan ajaran-ajaran duniawi dan ajaran-ajaran yang melampaui dunia ini. Ini membawa kita pada pembagian Mahayana antara Raga Buddha Penjelmaan (Skt. nirmanakaya) dan Raga Adi Guna (Skt. sambhogakaya). Aliran Chaitika terpecah dari Bahushrutiya dan menyatakan bahwa Buddha sudah tercerahkan sebelum ia muncul di dunia ini dan hanya memperlihatkan pencerahannya untuk menunjukkan cara mencapai pencerahan pada orang lain. Pernyataan ini juga kemudian diterima oleh Mahayana.
Munculnya Mahayana Sutra-sutra Mahayana pertama sekali muncul antara abad pertama S.M. dan abad keempat M. di Andhra, India Selatan bagian timur, wilayah tempat tumbuh-mekarnya Mahasanghika. Menurut catatan turun-temurun agama Buddha, sutra-sutra ini telah diajarkan oleh Buddha, tapi diteruskan secara lisan secara lebih tertutup dibandingkan karya-karya Hinayana. Beberapa bahkan telah dijaga di alam-alam bukan-manusia.
Sutra-sutra Mahayana terpenting yang muncul pada waktu itu adalah:
Selama dua abad pertama, Sutra Kesadaran yang Jauh Menjangkau dan Membedakan (Skt. Sutra Prajnaparamita) dan Sutra yang Memerintahkan tentang Vimalakirti (Skt. Sutra Vimalakirti-nirdesha). Yang pertama mengenai kehampaan (kekosongan) segala gejala; sementara yang kedua menggambarkan bodhisattwa awam. Sekitar tahun 100 M. Sutra Larik Tanah (Suci Murni) Sukacita (Skt. Sutra Sukhavati-vyuha), yang memperkenalkan Tanah Suci Murni Sukhavati dari Amitabha, Buddha Cahaya Nirbatas. Sekitar tahun 200 M., Sutra Padma Dharma Suci (Skt. Sutra Saddharmapundarika), menegaskan kemampuan setiap orang untuk menjadi Buddha dan, karenanya, menjadi wahana ajaranajaran Buddha yang saling mencocokkan diri sebagai cara yang cakap. Penyajian sutra ini sangat bersifat kebaktian.
Di dalam Mahayana, Aliran Madhayamaka dan Chittamatra juga muncul pertama sekali di Andhra, India Selatan.
Aliran Madhayamaka dirunut dari tinjauan Nagarjuna, yang tinggal di Andhra antara tahun 150-205 M., atas Sutra Prajnaparamita. Menurut cerita turun-temurun, Nagarjuna mengambil kembali sutra ini dari bawah laut, tempat para naga menjaganya sejak Buddha mengajar mereka di Puncak Hering (Skt.Grdhrakuta) dekat Rajagrha, India Utara bagian tengah. “Naga” adalah mahkluk setengah-manusia setengah-ular yang hidup di bawah bumi dan di bawah dasar air.
Aliran Chittamatra mendasarkan dirinya pada Sutra Lereng Menuju Lanka (Skt.Sutra Lankavatara). Walau sutra ini muncul pertama kali di Andhra, ajaran-ajaran Chittamatra dikembangkan lebih jauh oleh Asanga, yang tinggal di Gandhara, wilayah yang sekarang dikenal sebagai Pakistan, selama paruh pertama abad keempat Masehi. Asanga menerima ajaran-ajaran ini lewat wahyu Buddha Maitreya.
Perkembangan Perguruan Tinggi Kewiharaan dan Tantra Perguruan tinggi kewiharaan Buddha pertama, Nalada, dibangun di dekat Rajagrha pada awal abad kedua Masehi. Nagarjuna mengajar di sana, seperti banyak guru Mahayana berikutnya. Akan tetapi, perguruan-perguruan tinggi kewiharaan ini secara khusus tumbuh-mekar dengan pendirian Dinasti Gupta pada awal abad keempat Masehi. Kurikulum mereka menekankan kajian sistem ajaran filsafati dan para biksu terlibat dalam adu-pendapat yang sengit dengan enam ajaran Hindu dan Jain yang berkembang antara abad ketiga dan keenam Masehi. Tantra juga muncul antara abad ketiga dan keenam Masehi, dengan pemunculan paling awal, lagi-lagi, di Andhra, India Selatan. Ini disebut Tantra Guhyasamaja. Nagarjuna menulis beberapa tinjauan tentangnya. Menurut catatan Buddha turuntemurun, tantra juga telah diteruskan secara lisan sejak Buddha mengajarkannya, tapi bahkan secara lebih tertutup lagi dibanding ajaran-ajaran sutra Mahayana. Tantra dengan segera menyebar ke utara. Dari pertengahan abad kedelapan sampai pertengahan abad kesembilan Masehi, tantra secara khusus tumbuh-mekar di Oddiyana, kini Lembah Swat di
Pakistan sebelah barat daya. Tantra terakhir yang muncul adalah Tantra Kalachakra, di pertengahan abad kesepuluh Masehi. Perguruan-perguruan tinggi kewiharaan agama Buddha mencapai puncaknya di masa Dinasti Pala (750 – abad ke-12 Masehi) di India Utara. Banyak perguruan tinggi yang baru, seperti Vikramashila, dibangun dengan perlindungan kerajaan. Kajian tantra diperkenalkan pada beberapa dari perguruan tinggi kewiharaan ini, khususnya Nalanda. Tapi kajian dan latihan tantra tumbuh-mekar di luar wihara, khususnya dengan aliran delapan puluh empat mahasiddha, di antara abad kedelapan dan keduabelas. “Mahasiddha” adalah pelaku tantra yang luar biasa terampil.
Pendirian Ordo Biksuni di India Alexander Berzin, Agustus 2007 Buddha sendiri menahbiskan biksu-biksu pertama hanya dengan melafalkan kata-kata, “ Ehi bhikku (Kemari, biksu).” Ketika sudah cukup jumlah biksu yang ditahbiskan dengan cara ini, ia melembagakan penahbisan (Skt. Upasampada, Pali:upasampada) oleh biksu-biksu itu sendiri. Menurut pengetahuan turun-temurun, Buddha awalnya menolak ketika bibinya dari pihak ibu, Mahaprajapati Gautami (Pali: Mahapajapati Gotami), memintanya untuk menahbiskannya sebagai biarawati. Akan tetapi, Mahaprajapati, bersama lima ratus pengikut wanita, mencukur rambut mereka, mengenakan jubah kuning, dan mengikuti Buddha sebagai petapa tunawisma (Skt. pravrajita, Pali: pabbajita). Ketika Gautami meminta penahbisan untuk yang kedua dan kemudian ketiga kalinya dan lagi-lagi ditolak, Ananda, salah seorang pengikut Buddha, mewakilinya mengajukan permohonan keempat. Dengan permintaan yang keempat ini, Buddha setuju dengan syarat bahwa dia dan para biarawati lain nantinya memperhatikan delapan larangan berat (Skt. gurudharma, Pali:garudhamma). Hal ini mencakup peraturan bahwa tingkat senioritas biksuni selalu lebih rendah dari biksu, tanpa mempedulikan seberapa lama sumpah biksu atau biksuni tersebut telah dianut. Buddha melembagakan larangan-larangan semacam itu untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai budayawi India pada masanya, agar terhindar dari rasa tak hormat orang banyak terhadap masyarakatnya dan, kemudian, terhadap ajaranajarannya. Di India kuno, para wanita pertama-tama berada di
bawah perlindungan/pengawasan ayah mereka, lalu suami mereka, dan akhirnya putra mereka. Wanita lajang akan dianggap pelacur dan ada banyak perkara di Vinaya dimana para biksuni dijuluki pelacur hanya karena mereka tidak berada di bawah perlindungan saudara laki-laki mereka. Mempertalikan sangha biksuni dengan sangha biksu membuat status lajang mereka terhormat di mata orang banyak. Menurut beberapa ajaran, penerimaan terhadap delapan garudhamma membentuk penahbisan yang pertama ini. Menurut ajaran lain, Buddha mempercayakan penabhisan awal Mahaprajapati dan lima ratus pengikut wanita lainnya pada sepuluh biksu, di bawah kepemimpinan Ananda. Dalam kedua hal ini, cara baku paling awal untuk menahbiskan biksuni adalah penahbisan oleh satu kelompok orang yang terdiri atas sepuluh biksu. Cara penahbisan ini umumnya dikenal sebagai “penahbisan sangha biksu tunggal”. Dalam tatacara penahbisannya, para calon biksuni diwajibkan menjawab serangkaian pertanyaan mengenai halangan (Skt.antarayikadharma, Pali: antarayikadhamma) yang mungkin mereka miliki dan dapat menghambat mereka dalam menganut seperangkat sumpah yang lengkap. Selain pertanyaanpertanyaan yang umum diajukan terhadap para calon dalam penahbisan biksu, terdapat pula pertanyaan-pertanyaan mengenai bagian-bagian tubuhnya sebagai perempuan. Ketika beberapa calon biksuni merasa sangat tidak nyaman menjawab pertanyaan-pertanyaan pribadi semacam itu kepada biksu, Buddha melembagakan “penahbisan dwi-sangha”. Di sini, sangha biksuni pertama-tama mengajukan pertanyaan seputar kesesuaian calon untuk menjadi biksuni. Kemudian, di hari yang sama, sangha biksuni bergabung dengan sangha biksu untuk
membentuk dewan gabungan. Sangha biksu melaksanakan penahbisan, sementara sangha biksuni bertindak sebagai saksi. Awalnya, sumpah bagi masyarakat kewiharaan mencakup penghindaran diri dari “tindakan yang secara alami tak terpuji” saja – tindakan ragawi dan wicara yang bersifat merusak bagi siapapun, baik itu awam atau yang sudah ditahbiskan. Akan tetapi, bagi orang yang sudah ditahbiskan, sumpah yang mereka jalani mencakup sumpah untuk hidup melajang. Seiring berjalannya waktu, Buddha memaklumkan sejumlah sumpah tambahan, mengenai “tindakan tak terpuji yang dilarang” – tindakan ragawi dan wicara yang secara alami tidak merusak, namun terlarang hanya bagi mereka yang telah ditahbiskan, untuk menghindari rasa tak hormat orang banyak terhadap masyarakat kewiharaan dan ajaran-ajaran Buddha. Hanya Buddha yang memiliki kewenangan untuk memaklumkan larangan-larangan semacam itu. Para biksuni menerima lebih banyak sumpah tambahan dibanding para biksu, karena tiap sumpah tambahan tersebut dibuat setelah terjadinya peristiwa yang melibatkan perilaku tak benar dari seorang biksu atau biksuni. Sumpah para biksuni mencakup sumpah yang dibuat berdasarkan perilaku tak benar dari para biksuni dalam pergaulan mereka dengan para biksu sementara sumpah para biksu tidak mencakup ketentuan timbal-baliknya.
Sejarah Silsilah Pentahbisan Theravada Alexander Berzin, Agustus 2007 Agama Buddha pertama sekali tiba di Sri Lanka pada 249 SM lewat misi Mahinda, putra Kaisar India Ashoka. Biksu-biksu Sri Lanka pertama ditahbis kala itu. Meski tanggal digunakannya nama Theravada masih menjadi perdebatan, agar sederhana, kita akan menggunakan istilah “ Theravada” untuk mengacu pada silsilah aliran Buddha ini. Pentahbisan biksuni Theravada kemudian dialih-tempatkan ke Sri Lanka pada 240 SM dengan kedatangan Sanghamitta, putri Kaisar Ashoka, ke pulau itu. Pada 1050 M, silsilah pentahbisan ini berakhir sebagai akibat dari serangan Tamil dan jatuhnya Sri Lanka ke tangan kekuasaan Kekaisaran Chola. Menurut cerita lisan secara turun temurun, Kaisar Ashoka juga mengirimkan dua utusan, Sona dan Uttara, ke kerajaan Suwannaphum (Skt. Suvarnabhumi), dan mereka mendirikan aliran Buddha Theravada dan silsilah pentahbisan biksu di sana. Sebagian besar cendikiawan menautkan kerajaan ini dengan rakyat Mon (Tailaing) dan kota pelabuhan Thaton di Burma bagian selatan. Akan tetapi, tidak jelas apakah silsilah pentahbisan biksuni dialih-tempatkan ke sana pada masa ini atau masa sesudahnya. Walau Buddha Theravada telah ada di berbagai negara kecil bagian Pyu di wilayah Burma Bagian Utara setidaknya sejak abad pertama Masehi, ajaran ini bercampur dengan Mahayana, agama Hindu, dan agama setempat, yaitu Ari, yang melakukan pengurbanan hewan untuk para arwah. Pada pertengahan abad ke-11 Masehi, Raja Anawrahta menyatukan Burma bagian selatan, menaklukkan kerajaan Mon di Thaton, membangun ibukotanya di
Pagan, dan mengundang biksu Mon, Arahanta, untuk mendirikan Buddha Theravada dan silsilah pentahbisan di seantero wilayah kerajaannya. Dengan kekalahan Chola di Sri Lanka pada 1070 M dan pembangunan ibukota baru di Polonnaruwa, silsilah pentahbisan biksu Theravada dibangun kembali di Sri Lanka oleh para biksu yang diundang datang dari Pagan. Akan tetapi, Raja Anawrahta mempertanyakan kemurnian silsilah biksuni Mon dan, karenanya, tidak mengirim satu pun biksuni untuk membangun kembali pentahbisan biksuni di sana. Oleh karena itu, silsilah pentahbisan biksuni Theravada tidak dipulihkan pada saat itu di Sri Lanka. Bukti tertulis terakhir yang menegaskan kehadiran wihara biksuni di Burma bertanggal 1287 M, ketika Pagan jatuh karena serangan orang Mongol. Dari 1215 sampai 1236 M, sebagian besar wilayah Sri Lanka dikuasai, setelah diserang, oleh Raja Magha dari Kalinga (sekarang Orrisa, India Timur). Pada masa ini, sangha(persamuan) biksu Sri Lanka melemah parah. Dengan kekalahan Raja Magha, para biksu Theravada dari Kanchipuram, sebuah pusat ajaran Buddha, yang masuk dalam wilayah Kerajaan Chola yang melemah (sekarang daerah Tamilnadu, India Selatan), diundang pada 1236 M untuk memulihkan silsilah pentahbisan biksu tersebut. Kenyataan bahwa tidak ada biksuni Tamil yang diundang menyiratkan bahwa sangha biksuni Theravada tidak lagi hadir di India Selatan di masa itu. Bukti tertulis terakhir atas adanya sangha biksuni di India Utara, termasuk Bengali, berasal dari akhir abad ke-12 M. Tidak jelas silsilah sumpah biksuni yang mana yang dianut oleh para biarawati itu.
Raja Ramkhamhaeng dari Kerajaan Sukhothai di Thailand mendirikan Buddha Theravada di Thailan dari Sri Lanka pada akhir abad ke-13 M. Karena sangha biksuni tidak lagi ada di Sri Lanka pada kala itu, silsilah pentahbisan biksuni Theravada tak pernah sampai ke Thailand. Hanya silsilah biksu saja yang datang. Sejak Theravada didirikan di Kamboja lewat Thailand pada awal abad ke14 M dan, tak lama setelahnya, di Laos lewat Kamboja, silsilah pentahbisan biksuni Theravada tidak pernah pula sampai di negara-negara ini. Di negara-negara Theravada, hanya Sri Lanka yang telah secara resmi mendirikan kembali pentahbisan biksuni Theravada, dan hal itu dilakukan pada 1998 M. Sebelumnya, para wanita di Sri Lanka hanya diperbolehkan untuk menjadi dasasil matas, “pelaku sepuluh sila”, tapi tidak boleh menjadi biksuni. Walau para wanita awam ini mengenakan jubah dan hidup melajang, mereka tidak dianggap sebagai anggota sangha kewiharaan. Di Burma dan Kamboja, para wanita hanya diperbolehkan menjadi “pelaku delapan sila”. Mereka dikenal sebagai silashin di Burma dan donchi atau yieychi di Kamboja. Di Thailand, mereka boleh menjadi “pelaku delapan sila”, dikenal dengan nama maechi(maeji). Sejak pemulihan Buddha Theravada di Wilayah Chittagong dan Jalur Bukit Chittagong di Bangladesh pada 1864 M lewat wilayah Arakan di Burma pesisir, para wanita di sana telah menjadi pelaku delapan sila.
Sejarah Agama Buddha dan Islam di Afghanistan Dr. Alexander Berzin Geografi Beragam aliran Buddha Hinayana hadir di Afghanistan sejak masamasa paling awal, di sepanjang kerajaan-kerajaan yang terletak di jalur dagang ke Asia Tengah. Dua kerajaan besar di sana adalah Gandhara dan Baktria. Gandhara mencakup wilayahwilayah baik di Punjab Pakistan dan Celah Khyber sisi Afghanistan. Potongan wilayah bagian Afghanistan ini, dari Celah Khyber ke Lembah Kabul, kemudian akhirnya bernama Nagarahara; sementara sisi Punjab tetap bernama Gandhara. Baktria membentang dari Lembah Kabul ke arah utara dan mencakup Uzbekistan sebelah selatan dan Tajikistan. Ke arah utaranya, di Uzbekistan tengah dan Tajikistan sebelah barat laut, adalah Sogdiana. Bagian sebelah selatan Baktria, persis di utara Lembah Kabul, bertempat Kapisha; sementara bagian sebelah utara kelak bernamaTokharistan. Pembangunan Awal Agama Buddha Menurut catatan-catatan Hinayana mengenai hikayat Buddha, seperti naskah Sarvastivada The Sutra of Extensive Play ( Sutra Lelakon Panjang, Skt. Lalitavistara Sutra ), Tapassu dan Bhallika, dua pedagang bersaudara dari Baktria, menjadi murid pertama yang menerima sumpah orang awam. Ini terjadi delapan minggu setelah pencerahan Shakyamuni, yang secara turun-temurun dianggap terjadi pada tahun 537 SM. Bhallika kemudian menjadi seorang biksu dan membangun sebuah wihara di dekat kota tinggalnya, Balkh, yang bertempat di dekat Mazar-i-Sharif
sekarang. Ia membawa serta delapan helai rambut sang Buddha sebagai pusaka, yang untuknya sebuah tugu stupa ia dirikan. Kirakira di masa ini, Baktria menjadi bagian dari Kekaisaran Iran Akhaemeniyyah. Pada tahun 349 SM, beberapa tahun setelah Sidang Dewan Buddha Kedua, aliran Mahasanghika memisahkan diri dari Theravada. Banyak dari kaum Mahasanghika pindah ke Gandhara. Di Hadda, kota utama di sisi Afghanistan, yang bertempat di dekat Jalalabad sekarang, mereka akhirnya mendirikan Wihara Nagara; dan mereka membawa serta tengkorak dari jasad sang Buddha sebagai pusaka. Tak lama, seorang tetua Theravada, Sambhuta Sanavasi, ikut pindah dan mencoba membangun alirannya di Kapisha. Ia tidak berhasil, dan Mahasanghika menancapkan akar sebagai aliran Buddha utama di Afghanistan. Pada akhirnya, kaum Mahasanghika terbelah menjadi lima cabang-aliran. Salah satu yang besar di Afghanistan adalah Lokottaravada, yang kemudian memapankan diri di Lembah Bamiyan di Pegunungan Kush Hindu. Di sana, pada suatu masa antara abad ke-3 dan ke-5 M, para pengikutnya membangun patung Buddha berdiri terbesar, dalam rangka menjaga keyakinan mereka bahwa Buddha adalah sosok lintas-fana dan adimanusia. Taliban menghancurkan karya raksasa ini pada tahun 2001 M. Pada 330 SM, Alexander Agung dari Makedonia menaklukkan sebagian besar Kekaisaran Akhaemeniyyah, termasuk Baktria dan Gandhara. Ia bertepa-selira dengan agama-agama di daerahdaerah ini dan tampak minatnya hanya terpusat pada penaklukan
militer. Para penerusnya membangun Wangsa Seleukia. Akan tetapi, di tahun 317 SM, Wangsa Maurya India merebut Gandhara dari Seleukia dan oleh karena itu wilayah tersebut hanya terHelenisasi secara permukaan saja selama kurun yang singkat ini. Kaisar Maurya Ashoka (memerintah 273 – 232 SM) menyukai ajaran Buddha Theravada. Pada masa pemerintahannya kelak, ia mengirimkan utusan Theravada ke Gandhara, yang dipimpin oleh Maharakkhita. Ke selatan sampai sejauh Kandahar, utusan ini mendirikan “sakaguru Ashoka” dengan maklumat yang didasarkan pada asas-asas Buddha. Lewat utusan-utusan ini, Theravada menapakkan jejak kecil kehadirannya di Afghanistan. Aliran Sarvastivada dan Kerajaan Graeko-Baktria Menjelang akhir pemerintahan Ashoka, setelah Sidang Dewan Buddha Ketiga, Aliran Hinayana Sarvastivada juga memisahkan diri dari Theravada. Setelah kematian Ashoka, putranya Jaloka memperkenalkan Sarvastivada di Kashmir. Pada 239 SM, kaum bangsawan Yunani di Baktria melakukan pemberontakan melawan pemerintahan Seleukia dan memperoleh kemerdekaannya. Pada tahun-tahun setelahnya, mereka menaklukkan Sogdiana dan Kashmir, dan membangun kerajaan Graeko-Baktria. Para biksu Kashmir segera saja menyebarkan Aliran Hinayana Sarvastivada ke Baktria. Pada 137 SM, kaum Graeko-Baktria merebut Gandhara dari kaum Maurya. Kemudian, Sarvastivada datang ke bagian sebelah tenggara Afghanistan pula. Dari persentuhan lekat antara kebudayaan Yunani dan India yang mengikutinya, gaya Helenistik
dengan kuat mempengaruhi seni Buddha, khususnya dalam hal representasi bentuk manusia dan busana jubah menjuntai. Walaupun Theravada tidak pernah kuat di kerajaan GraekoBaktria, salah satu rajanya, Menandros (Pali: Milinda, memerintah 155 – 130 SM), merupakan seorang pengikut Theravada akibat pengaruh Nagasena, biksu India yang berkunjung ke sana. Sang Raja melontarkan banyak pertanyaan pada guru India ini dan percakapan mereka dikenal kemudian sebagai PertanyaanPertanyaan Milinda (Pali:Milindapanho). Tak lama sesudahnya, negara Graeko-Baktria membangun hubungan dengan Sri Lanka dan mengirimkan serombongan perwakilan biksu ke upacara pentahbisan stupa besar yang dibangun di sana oleh Raja Dutthagamani (memerintah 101 – 77 SM). Dari persentuhan kebudayaan yang berlangsung itu, para biksu Graeko-Baktria secara lisan menyiarkan Pertanyaan-Pertanyaan Milindake Sri Lanka. Ini yang kemudian menjadi naskah resmi tambahan dalam aliran Theravada. Kurun Kushan Antara tahun 177 dan 165 SM, perluasan Kekaisaran Han Cina yang mengarah ke barat, Gansu dan Turkistan Timur (Cin. Xinjiang ), mendesak banyak dari suku-suku bangsa pengembara Asia Tengah pribumi lebih jauh ke barat. Salah satu dari suku-bangsa ini, Xiongnu, menyerang yang lainnya, Yuezhi (Wades-Giles: Yüeh-chih) dan mengasimilasi sebagian besar dari mereka. Orang Yuezhi adalah orang Kaukasia yang berbicara dalam bahasa Indo-Eropa barat kuno dan mewakili perpindahan ke arah paling timur dari ras Kaukasia. Menurut beberapa sumber, salah satu dari lima suku-bangsa ningrat Yuezhi, dikenal dalam
sumber-sumber Yunani sebagai kaum Tokharia, berpindah ke wilayah Kazakhstan sekarang, mendesak ke selatan kaum Shaka (Iran Lama: Saka), suku pengembara pribumi di sana, yang dikenal oleh orang Yunani sebagai bangsa Skithia. Akan tetapi, orang Tokharia maupun Shaka berbicara dalam bahasa-bahasa Iran. Karena perbedaan dalam hal bahasa ini, terjadi selisih-paham dalam menentukan apakah orang Tokharia yang ini berhubungan dengan para keturunan Yuezhi, yang juga dikenal sebagai orang “Tokharia”, yang membangun peradaban-peradaban yang tumbuh subur di Kucha dan Turfan di Turkistan Timur pada abad ke-2 SM. Akan tetapi, sudah jelas bahwa orang Shaka tidak ada kaitannya dengan suku Shakya di India utara pusat, yang menjadi tempat lahir Buddha Shakyamuni. Orang-orang Shaka pertama-tama merebut Sogdiana dari GraekoBaktria dan kemudian, pada 139 SM, selama masa pemerintahan Raja Menandros, merebut Baktria juga. Di sana, orang-orang Shaka beralih menganut ajaran Buddha. Pada 100 SM, orangorang Tokharia merebut Sogdiana dan Baktria dari Shaka. Bermukim di wilayah-wilayah ini, mereka juga mengasimilasi ajaran Buddha. Inilah permulaan Wangsa Kushan, yang pada akhirnya meluas ke Kashmir, Pakistan sebelah utara, dan India sebelah barat daya. Raja Kushan paling terpandang adalah Kanishka (memerintah 78 – 102 M), yang ibukota sebelah baratnya berkedudukan di kapisha. Ia mendukung Aliran Hinayana Sarvastivada. Vaibhashika, anakcabang dari Sarvastivada, amat menonjol di Tokharistan. Ghoshaka, seorang biksu Tokharia, merupakan salah seorang penyusun tinjauan-tinjauan Vaibhashika atas abhidharma (pokokpokok pengetahuan istimewa) diterima di Sidang Dewan Buddha
Keempat yang diselenggarakan di Kanishka. Ketika Ghoshaka kembali ke Tokharistan setelah sidang dewan tersebut, ia mendirikan Aliran Vaibhashika (Balikha) Barat. Wihara Nava, wihara utama di Balkh, segera saja menjadi pusat pendidikan ajaran Buddha tertinggi di Asia Tengah, sebanding dengan Wihara Nalanda di India sebelah utara pusat. Wihara Nava menekankan pendidikan terutama pada abhidharma Vaibhashika dan hanya menerima biksu-biksu yang telah menulis naskah-naskah tentang pokok bahasan itu. Karena juga merupakan tempat penyimpanan gigi peninggalan dari sang Buddha, wihara itu juga menjadi salah satu dari pusat peziarahan utama di sepanjang Jalur Sutera dari Cina ke India. Balkh adalah tempat lahir Zarathustra pada kira-kira tahun 600 SM. Kota itu adalah kota suci agama Zarathustra, agama Iran yang tumbuh dari ajaran-ajarannya dan yang menekankan pemujaan terhadap api. Kanishka menerapkan kebijakan tepa-selira keagamaan Grakeo-Baktria. Oleh karena itu, agama Buddha dan Zarathustra hidup berdampingan dengan damai di Balkh, dimana mereka saling mempengaruhi perkembangan satu sama lain. Di wihara-wihara gua dari kurun ini, misalnya, terdapat lukisan-lukisan dinding Buddha dengan aura lidah api dan prasasti yang menamai lukisan-lukisan itu “ Buddha-Mazda”. Ini merupakan sebuah perpaduan Buddha dan Ahura Mazda, dewa agung agama Zarathustra. Pada 226 M, Kekaisaran Sassaniyyah Persia menggulingkan kekuasaan Kushan di Afghanistan. Walaupun merupakan pendukung kuat agama Zarathustra, kaum Sassaniyyah bertepaselira dengan agama Buddha dan mengizinkan pembangunan lebih banyak lagi wihara-wihara Buddha. Selama masa
pemerintahan mereka inilah para pengikut Lokottaravada mendirikan dua patung raksasa Buddha di Bamiyan. Satu-satunya pengecualian untuk tepa-selira Sassaniyyah terhadap agama Buddha adalah selama kurun paruh kedua abad ke-3, ketika pendeta tinggi agama Zarathustra, Kartir, menguasai kebijakan keagamaan negara. Ia memerintahkan penghancuran beberapa wihara Buddha di Afghanistan, karena perpaduan agama Buddha dan Zarathustra baginya adalah bentuk ajaran sesat. Akan tetapi, agama Buddha pulih dengan cepat setelah kematiannya. Kaum Hun Putih dan Shahi Turki Pada awal abad ke-5, kaum Hun Putih – yang oleh bangsa Yunani dikenal sebagai kaum Heftha dan oleh bangsa India dikenal sebagai kaum Turushka – merebut sebagian besar bekas wilayah kekuasaan Kushan dari kaum Sassaniyyah, termasuk Afghanistan. Pertama-tama, kaum Hun Putih mengikuti agama mereka sendiri, yang mirip dengan agama Zarathustra. Akan tetapi, tak lama kemudian mereka menjadi pendukung agama Buddha. Peziarah Cina Han, Faxian (Fa-hsien) bepergian melalui wilayah kekuasaan mereka antara 399 dan 414 M dan melaporkan perihal mekarnya beberapa aliran Hinayana di sana. Para Shahi Turki adalah bangsa Turki yang diturunkan dari kaum Kushan. Setelah kejatuhan Wangsa Kushan ke tangan Sassaniyyah, mereka mengambil-alih banyak bagian dari kekaisaran tersebut yang terbentang di India sebelah barat laut dan utara. Mereka memerintah di sana sampai pada saat berdirinya Wangsa Gupta India di awal abad ke-4, dan kemudian mereka
melarikan diri ke Nagarahara. Mereka merebut berbagai wilayah kekuasaan di sana dari tangan Hun Putih dan, pada pertengahan abad ke-5, mereka memperluas kekuasaan sampai ke Lembah Kabul dan Kapisha. Seperti kaum Kushan dan Hun Putih, kaum Shahi Turki pun mendukung agama Buddha di Afghanistan. Pada 515, raja Hun Putih, Mihirakula, di bawah pengaruh faksifaksi non-Buddha yang iri hati di istananya, menindas agama Buddha. Ia menghancurkan wihara-wihara dan membunuh banyak biksu di seluruh India sebelah barat laut, Gandhara, dan khususnya di Kashmir. Penganiayaan ini masih tidak separah yang terjadi di berbagai bagian Nagarahara yang ia kuasai. Putranya membalikkan kebijakan ini dan membangun wihara-wihara baru di semua wilayah tersebut. Bangsa Turki Barat Berasal dari Turkistan Barat, Bangsa Turki Barat merebut bagian sebelah barat dari Jalur Sutera Asia Tengah pada tahun 560. Perlahan-lahan, mereka meluas ke Baktria, membuat Shahi Turki terdesak lebih jauh ke Timur di Nagarahara. Banyak dari pemimpin Turki Barat yang menganut agama Buddha dari masyarakat setempat dan, pada 590, mereka membangun sebuah wihara Buddha baru di Kapisha. Pada 622, penguasa Turki Barat, Tongshihu Qaghan secara resmi menganut agama Buddha di bawah bimbingan Prabhakaramitra, seorang biksu India sebelah utara yang datang berkunjung. Peziarah Cina Han, Xuanzang (Hsüan-tsang), mengunjungi bangsa Turki Barat kira-kira pada tahun 630 dalam perjalanannya menuju India. Ia melaporkan bahwa ajaran Buddha tumbuh-mekar
di wilayah Baktria dari kekaisaran mereka, khususnya di Wihara Nava di Balkh. Ia mengutip perguruan tinggi kewiharaan itu bukan hanya untuk kesarjanaannya saja, tapi juga atas patung-patung Buddha-nya yang indah, yang dibalut dengan jubah sutera dan dihias dengan hiasan permata, sesuai dengan adat Zarathustra di tempat itu. Wihara tersebut pada saat itu berhubungan erat dengan Khotan, sebuah kerajaan Buddha yang kuat di Turkistan Timur, dan mengirimkan banyak biksu ke sana untuk mengajar. Xuanzang juga menggambarkan sebuah wihara di dekat Wihara Nava yang dimaksudkan sebagai tempat latihanvipashyana (Pali: vipassana ), sebuah latihan meditasi Hinayana tingkat lanjut – pemahaman istimewa atas ketidaktetapan dan tiadanya jati-diri mandiri seseorang. Xuanzang mendapati ajaran Buddha berada dalam keadaan yang jauh lebih buruk di Nagarahara, di bawah Shahi Turki. Seperti di sisi Punjab dari Gandhara, wilayah ini tampak belum sepenuhnya pulih dari penganiayaan oleh Raja Mihirakula lebih dari satu abad sebelumnya. Walaupun Wihara Nagara, dengan pusaka tengkorak sang Buddha, merupakan salah satu tempat ziarah paling suci di dunia Buddha, ia melaporkan bahwa para biksunya telah mengalami kemerosotan. Mereka membebani para peziarah dengan biaya satu keping emas untuk satu kali melihat pusaka tersebut dan tidak terdapat pusat pendidikan di seluruh wilayah itu pula. Lebih lagi, walaupun Mahayana telah meluas dari Kashmir dan Gandhara Punjab sampai ke Afghanistan selama abad ke-5 dan ke-6, Xuanzang mencatat aliran itu hadir hanya di Kapisha dan di wilayah-wilayah Kush Hindu di barat Nagarahara. Sarvastivada
tetap menjadi aliran Buddha terkuat di Nagarahara dan Baktria sebelah utara. Kurun Ummaiyyah dan Pengenalan Islam Lima tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad, bangsa Arab mengalahkan kaum Sassaniyyah Persia pada 637 dan mendirikan Kekalifahan Ummaiyyah pada 661. Kekalifahan ini menguasai Iran dan sebagian besar wilayah Timur Tengah. Pada 663, mereka menyerang Baktria, yang direbut Shahi Turki dari Bangsa Turki Barat pada saat ini. Wilayah di sekitar Balkh, termasuk Wihara Nava, jatuh ke tangan pasukan-pasukan Ummaiyyah; dan ini memaksa Shahi Turki mundur ke Lembah Kabul. Bangsa Arab mengizinkan para pengikut agama-agama nonMuslim di tanah-tanah taklukan mereka untuk tetap menjaga iman mereka jika mereka secara menyerah tanpa perlawanan dan bersedia membayar pajak perseorangan (Ar. jizya). Walau beberapa umat Buddha di Baktria dan bahkan seorang kepala wihara di Wihara Nava pindah ke agama Islam, sebagian besar umat Buddha di wilayah itu menerima status dhimmi sebagai seorang kawula non-Muslim yang setia dan dilindungi di sebuah negara Islam. Wihara Nava tetap buka dan menjalankan tugasnya. Peziarah Cina han, Yijing (I-ching) mengunjungi Wihara Nava pada tahun 680an dan melaporkan bahwa wihara tersebut tumbuhmekar sebagai sebuah pusat pendidikan Sarvastivada. Seorang pengarang Persian Ummaiyyah, al-Kermani, menulis sebuah catatan rinci tentang Wihara Nava di permulaan abad ke8, yang diabadikan di dalam karya abad ke-10 Kitab TanahTanah (Ar. Kitab al-Buldan) oleh al-Hamadhani. Ia
menggambarkan wihara itu dengan istilah-istilah yang sedianya dapat dipahami oleh umat Muslim dengan mengumpamakannya dengan Kabah di Mekkah, tempat paling suci bagi Islam. Ia menjelaskan bahwa kuil utama memiliki batu berbentuk kubus di tengah-tengahnya, dibalut dengan kain menjuntai, dan bahwa para umat mengelilinginya dan membuat sujud-sembah, seperti halnya Kabah. Kubus batu yang dimaksud adalah mimbar tempat berdirinya sebuah stupa, seperti halnya adat di kuil-kuil Baktria. Kain yang membungkusnya itu sesuai dengan adat Iran dalam hal menunjukkan pemujaan, diterapkan sama pada patung-patung Buddha dan juga stupa-stupa. Penggambaran al-Kermani menunjukkan suatu sikap terbuka dan hormat oleh orang Arab Ummaiyyah dalam usaha mereka memahami agama non-Muslim, seperti Buddha, yang mereka temui di wilayah-wilayah taklukan mereka yang baru. Persekutuan Tibet Pada 680, Husayn memimpin sebuah pemberontakan yang gagal di Irak melawan kaum Ummaiyyah. Perseteruan ini telah mengalihkan pusat perhatian bangsa Arab dari Asia tengah dan melunglaikan kendali mereka di sana. Dengan mengambil keuntungan dari keadaan ini, Tibet membentuk sebuah persekutuan dengan Shahi Turki pada 705 dan, bersama-sama, mereka mencoba mendesak pasukan-pasukan Ummaiyyah keluar dari Baktria; namun gagal. Orang-orang Tibet telah belajar agama Buddha dari Cina dan Nepal sekitar enam puluh tahun sebelumnya, walau pada masa ini mereka belum memiliki wihara. Pada 708, pangeran Shahi Turki, Nazaktar Khan, berhasil mengusir Ummaiyyah dan membangun sebuah pemerintahan
Buddha fanatik di Baktria. Ia bahkan memancung mantan kepala Wihara Nava yang menjadi mualaf itu. Pada 715, panglima Arab, Qutaiba, merebut kembali Baktria dari kaum Shahi Turki dan sekutu Tibet mereka. Ia mengakibatkan kerusakan parah di Wihara Nava sebagai hukuman atas pemberontakan sebelumnya. Banyak biksu yang melarikan diri ke arah timur ke Khotan dan Kashmir. Dan hal ini merangsang pertumbuhan ajaran Buddha, khususnya di Kashmir. Tibet kini mengalihkan keberpihakannya dan, demi keuntungan politis, bersekutu dengan pasukan Ummaiyyah yang baru saja diperanginya. Wihara Nava pulih dengan cepat dan segera saja menjalankan tugasnya seperti sebelumnya. Hal ini menandakan bahwa penghancuran wihara-wihara Buddha di Baktria oleh kaum Muslim bukanlah tindakan yang didorong oleh alasan keagamaan. Kalau memang demikian, mereka pasti tidak akan mengizinkan wiharawihara tersebut dibangun kembali. Kaum Ummaiyyah hanya mengulangi kebijakan terhadap agama Buddha yang mereka terapkan sebelumnya di abad itu ketika mereka menaklukkan daerah-daerah Sindh dari Pakistan sebelah selatan sekarang. Mereka hanya menghancurkan wihara-wihara tertentu yang mereka curigai menentang pengambil-alihan kekuasaan. Namun kemudian mereka mengizinkan pembangunan kembali wihara yang hancur dan membiarkan wihara yang lain makmur. Rencana utama mereka adalah penghisapan secara ekonomi dan karena itu mereka memungut pajak perseorangan pada orang-orang Buddha dan pajak peziarah pada para pengunjung kuil-kuil suci.
Terlepas dari kecenderungan umum para khalifah Ummaiyyah sebelumnya yang bertepa-selira terhadap agama lain, Umar II (memerintah tahun 717 – 720) menitahkan bahwa seluruh sekutu Ummaiyyah harus menganut agama Islam. Akan tetapi, mereka harus secara sukarela menerima Islam. Penerimaan itu haruslah hasil dari belajar asas-asas agama tersebut. Untuk menyenangkan hati sekutu-sekutu mereka, orang Tibet mengirimkan seorang utusan ke istana Ummaiyyah pada 717 untuk mengundang seorang guru Muslim. Sang Khalifah mengirimkan al-Hanafi. Kenyataan bahwa guru ini tidak mencatatkan keberhasilan dalam memualafkan umat di Tibet menunjukkan bahwa kaum Ummaiyyah tidak bersikeras dalam upaya syiar agama mereka. Lebih jauh lagi, penyambutan yang terkesan dingin yang diterima al-Hanafi di Tibet utamanya disebabkan oleh suasana anti-orangasing yang ditebar oleh faksi oposisi di istana Tibet. Selama dasawarsa-dasawarsa berikutnya, persekutuan politik dan militer kerap bergonta-ganti saat bangsa Arab, Cina, Tibet, Shahi Turki, dan berbagai suku-suku bangsa Turki lainnya berebut kendali atas Asia Tengah. Kaum Shahi Turki merebut Kapisha dari tangan kaum Ummaiyyah dan, pada 739, orang Tibet membangun kembali persekutuan mereka dengan Shahi Turki lewat sebuah kunjungan oleh kaisar Tibet ke Kabul untuk merayakan sebuah persekutuan pernikahan antara Shahi Turki dan Khotan. Kaum Ummaiyyah tetap memerintah Baktria sebelah utara. Kurun Awal Abbasiyyah Pada 750, sebuah faksi Arab melengserkan Kekhalifahan Ummaiyyah dan mendirikan Wangsa Abbasiyyah. Mereka mempertahankan kuasa atas Baktria sebelah utara. Kaum
Abbasiyyah bukan hanya meneruskan penerapan kebijakan pemberian status dhimmi bagi umat Buddha di sana, tapi mereka juga menaruh minat yang luar biasa terhadap kebudayaan asing, terutama yang dari India. Pada 762, Khalifah al-Mansur (memerintah tahun 754 – 775) melibatkan para arsitek dan insiyur India untuk merancang ibukota Abbasiyyah yang baru, Baghdad. Ia mengambil nama tersebut dari kata bahasa Sanskerta Bhagadada , yang berarti “Karunia Tuhan”. Sang Khalifah juga membangun sebuah Rumah Pengetahuan (Ar.Bayt al-Hikmat ), dengan sebuah biro penerjemahan. Ia mengundang para cendekiawan dari berbagai latar kebudayaan dan agama untuk menerjemahkan naskah-naskah ke dalam bahasa Arab, khususnya naskah-naskah yang berkenaan dengan pokok-pokok kenalaran dan keilmuan. Para khalifah Abbasiyyah masa awal merupakan pelindung bagi Perguruan Islam Mu’tazila yang memusatkan kajiannya pada upaya menjelaskan asas-asas Quran dari sudut pandang nalar. Titik pusat utamanya ada pada pembelajaran hal-ihwal Yunani kuno, tapi juga memberi perhatian pada tradisi-tradisi Sanskerta. Akan tetapi, di Rumah Pengetahuan, bukan hanya naskah-naskah ilmiah saja yang diterjemahkan. Para cendekiawan Buddha juga menerjemahkan ke bahasa Arab beberapa sutra Mahayana dan Hinayana yang berkenaan dengan tema-tema kebaktian dan budipekerti. Khalifah berikutnya, al-Mahdi (memerintah tahun 775 – 785), memerintahkan pasukan Abbasiyyah di Sindh untuk menyerang Saurashtra di sebelah tenggara. Di hadapan salah satu pesaing di Arabia yang juga mendaku diri sebagai Mahdi, ratu adil Islam, penyerangan itu merupakan bagian dari pawai-tempur sang
Khalifah untuk membangun pamor dan kedaulatannya sebagai pemimpin dunia Islam. Tentara Abbasiyyah menghancurkan wihara-wihara Buddha dan kuil-kul Jain di Valabhi. Akan tetapi, seperti halnya penaklukan Sindh oleh Ummaiyyah, mereka tampaknya hanya menghancurkan tempat-tempat yang dicurigai sebagai pusat perlawanan terhadap kekuasaan mereka. Bahkan di bawah Khalifah al-Mahdi, kaum Abbasiyyah membiarkan wiharawihara Buddha yang tersisa di daerah kekuasaan kekaisaran mereka. Mereka lebih suka memanfaatkan wihara-wihara tersebut sebagai sumber pemasukan. Lebih jauh lagi, al-Mahdi terus memperluas kegiatan-kegiatan penerjemahan di Rumah Pengetahuan di Baghdad. Ia tidak berniat menghancurkan budaya India. Alih-alih, ia ingin mempelajarinya. Yahya ibn Barmak, cucu laki-laki beragama Islam dari salah satu kepala tata-usaha (Skt. pramukha, Ar. barmak) Wihara Nava, merupakan menteri dari khalifah Abbasiyyah berikutnya, al-Rashid (memerintah tahun 786 – 808). Di bawah pengaruhnya, sang Khalifah mengundang lebih banyak lagi cendekiawan dan guru dari India, khususnya yang beragama Buddha, ke Baghdad. Sebuah katalog naskah-naskah Muslim maupun non-Muslim dipersiapkan di masa ini, Kitab al-Fihrist, yang mencakup sebuah daftar karyakarya Buddha. Di antaranya adalah sebuah catatan berbahasa Arab tentang kehidupan-kehidupan lampau sang Buddha, Kitab Buddha(Ar. Kitab al-Budd). Di masa ini, Islam mulai naik daun di Baktria di kalangan para pemilik tanah dan masyarakat kota terdidik golongan atas oleh karena daya tarik kebudayaan dan pendidikan tingkat tingginya. Untuk belajar agama Buddha, orang perlu masuk ke sebuah wihara. Wihara Nava, meski masih berjalan selama kurun ini,
terbatas dalam hal daya tampungnya dan mensyaratkan pelatihan panjang sebelum seseorang dapat masuk untuk belajar. Di sisi lain, kebudayaan dan pendidikan tinggi Islam lebih dapat dan siap dimasuki. Agama Buddha tetap kuat utamanya di antara golongan petani miskin di pinggir kota, sebagian besar dalam bentuk laku kebaktian di kuil-kuil keagamaan. Agama Hindu juga hadir di seluruh wilayah tersebut. Saat berkunjung di tahun 753, seorang peziarah Cina Han, Wukong (Wu-k’ung) melaporkan adanya kuil-kuil Hindu dan Buddha khususnya di Lembah Kabul. Ketika agama Buddha menemui senjakala di antara golongan masyarakat pedagang, agama Hindu pun tumbuh lebih kuat. Pemberontakan Melawan Kaum Abbasiyyah Kaum Abbasiyyah di masa-masa awal dirongrong banyak pemberontakan. Khalifah al-Rashid wafat pada 808 dalam perjalanan untuk memadamkan satu pemberontakan di Samarkand, ibukota Sogdiana. Sebelum kematiannya, ia membagi kekaisarannya untuk dua putranya. al-Ma’mun, yang menemani ayahnya dalam pawai tempur di Sogdiana, menerima bagian sebelah timur, termasuk Baktria. Al-Amin, yang lebih kuat dari saudaranya, menerima bagian sebelah barat yang lebih prestisius, termasuk Baghdad dan Mekah. Untuk memperoleh dukungan rakyat dalam upayanya mengambil alih bagian Kekaisaran Abbasiyyah milik al-Amin, al-Ma’mun membagi-bagikan lahan dan kekayaan di Sogdiana. Ia kemudian menyerang saudaranya. Selama peperangan yang meruyaki kedua belah pihak Abbasiyyah ini, orang-orang Shahi Turki dari
Kabul, bersama para sekutu Tibet mereka, memadukan kekuatan dengan para pemberontak anti-Abbasiyyah di Sogdiana dan Baktria untuk memanfaatkan keadaan dan mencoba menggulingkan kekuasaan Abbasiyah. Menteri dan panglima alMa’mun, al-Fadl, mendorong atasannya untuk menyatakan jihad, perang suci melawan persekutuan ini untuk mengangkat pamor sang Khalifah lebih tinggi lagi. Hanya para penguasa yang menjunjung iman murni yang boleh menyatakan jihad untuk melawan siapapun yang menyerang Islam. Setelah mengalahkan saudaranya, al-Ma’mun menyatakan perang jihad ini. Pada 815, ia menaklukkan penguasa Shahi Turki, yang dikenal sebagai Shah Kabul, dan memaksanya menjadi penganut Islam. Hal yang paling menyinggung keyakinan Muslim adalah penyembahan berhala. Masyarakat pagan Arab yang sebelum masa Muhammad menyembah berhala dan menyimpan patungpatung mereka di Mekah dan tempat suci Kabah. Dalam upayanya membangun Islam, sang Nabi menghancurkan semua patung ini. Oleh karena itu, sebagai tanda pengabdiannya, al-Ma’mun memaksa Shah untuk mengirimkan sebuah patung Buddha emas ke Mekah. Tentunya untuk tujuan-tujuan propaganda untuk mengamankan hak kekuasaannya, al-Ma’mun membiarkan patung tersebut dapat dilihat oleh khalayak umum di Kabah selama dua tahun, dengan pengumuman bahwa Allah telah membimbing Raja Tibet masuk Islam. Orang-orang Arab keliru mengira Shah Turki dari Kabul sebagai Raja Tibet. Padahal sebetulnya ia adalah bawahannya. Pada 817, kaum Abbasiyyah mencairkan patung Buddha tersebut untuk dipakai sebagai bahan membuat keping emas.
Setelah keberhasilan mereka melawan kaum Shahi Turki, kaum Abbasiyyah menyerang wilayah Gilgit, di Pakistan sebelah utara sekarang, yang dikuasai oleh Tibet. Dalam waktu singkat, mereka pun mencaplok wilayah itu. Mereka mengirimkan seorang komandan Tibet yang tertangkap untuk dipermalukan di Baghdad. Wangsa Tahiriyyah, Saffariyyah, dan Shahi Hindu Kira-kira pada masa ini, para pemimpin militer setempat di berbagai bagian wilayah Kekaisaran Abbasiyyah mulai membangun negara-negara Islam berdaulat, yang hubungan kekuasaannya dengan khalifah di Baghdad hanya berupa kesetiaan nominal. Daerah pertama yang menyatakan kedaulatannya adalah Baktria sebelah utara, tempat Panglima Tahir mendirikan Wangsa Tahiriyyah pada 819. Karena kaum Abbasiyyah mundur dari Kabul dan Gilgit, mengalihkan perhatian mereka pada perkara-perkara yang lebih berat ini, orang Tibet dan Shahi Turki memperoleh kembali kendali mereka. Terlepas dari pemualafan paksa terhadap para pemimpin di wilayah-wilayah ini, kaum Abbasiyyah tidak menindas agama Buddha di sana. Malah, bangsa Arab memelihara perdagangan dengan Tibet di sepanjang kurun ini. Panglima Islam berikutnya yang menyatakan kedaulatan di bawah Abbasiyyah adalah al-Saffar. Pada 861, penggantinya mendirikan Wangsa Saffariyyah di Iran sebelah tenggara. Setelah merebut kendali atas wilayah Iran yang tersisa, kaum Saffariyyah menyerang Lembah Kabul pada 870. Di ambang kekalahannya, para penguasa Shahi Turki yang beragama Buddha dilengserkan oleh menteri brahman mereka, Kallar. Setelah membiarkan Kabul
dan Nagarahara jatuh ke tangan Saffariyyah, Kallar membangun Wangsa Shahi Hindu di Gandhara Punjab. Kaum Saffariyyah secara khusus merupakan para penakluk pendendam. Mereka menjarah wihara-wihara Lembah Kabul dan Bamiyan, dan mengirimkan patung-patung “berhala-Buddha” dari wihara-wihara tersebut sebagai piala perang kepada sang khalifah. Pendudukan militer yang keras ini adalah hantaman kuat pertama terhadap agama Buddha di wilayah Kabul. Kekalahan sebelumnya dan pemualafan oleh Shah Kabul pada 815 hanya memberi riakriak kecil bagi keadaan umum agama Buddha di daerah itu. Kaum Saffariyyah meneruskan pawai tempur penaklukan dan penghancuran mereka ke arah utara, merebut Baktria dari tangan kaum Tahiriyyah pada 873. Akan tetapi, pada 879, kaum Shahi Hindu merebut Kabul dan Nagarahara. Mereka melanjutkan kebijakan perlindungan terhadap agama Hindu dan Buddha di antara rakyat mereka, dan wihara-wihara Buddha di Kabul segera memperoleh kembali kekayaan masa lampau mereka. Wangsa Samaniyyah, Ghaznawiyyah, dan Sejuk Ismail bin Ahmad, adipati Sogdiana dari Persia, berikutnya menyatakan kedaulatan dan mendirikan Wangsa Samaniyyah pada 892. Ia merebut Baktria dari tangan Saffariyyah pada 903. Kaum Samaniyyah mengusung kebijakan kembali ke kebudayaan Iran, namun tetap bertepa-selira terhadap agama Buddha. Selama masa pemerintahan Nasr II (memerintah tahun 913 – 942), misalnya, pahatan patung-patung Buddha masih dibuat dan dijual di ibukota Samaniyyah, Bukhara. Pembuatan pahatan-pahatan ini tidak dilarang, dan tidak dianggap sebagai “berhala-Buddha”.
Kaum Samaniyyah memperbudak orang-orang suku Turki di wilayah mereka dan mewajibkan mereka menjadi tentara. Jika para tentara ini menjadi mualaf, mereka dimerdekakan dari status budak. Akan tetapi, kaum Samaniyyah mengalami kesulitan dalam mempertahankan kendali atas orang-orang ini. Pada 962, Alptigin, salah satu pemimpin militer Turki yang telah menganut Islam, merebut Ghazna (Ghazni sekarang), selatan Kabul. Di sana, pada 976, penerusnya, Sabuktigin (memerintah tahun 976 – 997), mendirikan kekaisaran Ghaznawiyyah sebagai negara bawahan Abbasiyyah. Tak lama kemudian, ia merebut Lembah Kabul dari tangan kaum Shahi Hindu, mendesak mereka kembali ke Gandhara. Agama Buddha telah tumbuh-mekar di Lembah Kabul di bawah kekuasaan Shahi hindu. Asadi Tusi, dalam karyanya Nama Garshasp yang ditulis pada 1048 menggambarkan kemegahan wihara utamanya, Subahar (Wihara Su), ketika kaum Ghaznawiyyah menyerbu Kabul. Tidak tampak bahwa kaum Ghaznawiyyah menghancurkan wihara itu. Pada 999, penguasa Ghaznawiyyah berikutnya, Mahmud dari Ghazni (memerintah 998 – 1030) menjungkalkan kaum Samaniyyah, dengan bantuan para serdadu budak Turki yang bertugas di bawah Samaniyyah. Kekaisaran Ghaznawiyyah kini mencakup Baktria dan Sogdiana sebelah selatan. Mahmud Ghazni juga menaklukkan sebagian besar wilayah Iran. Ia tetap memberlakukan kebijakan Samaniyyah dalam hal mengusung kebudayaan Persia dan bertepa-selira terhadap agama-agama non-Muslim. Al-Biruni, seorang cendekiawan dan penulis Persia yang bekerja di istana Ghaznawiyyah, melaporkan bahwa, pada
peralihan milenium, wihara-wihara Buddha di Baktria, termasuk Wihara Nava, masih berfungsi. Akan tetapi, Mahmud dari Ghazni tidak bertepa-selira terhadap aliran-aliran Islam selain aliran Sunni ortodoks yang didukungnya. Penyerangan-penyerangan yang dilakukannya atas Multan di Sindh sebelah utara pada 1005 dan lagi pada 1010 merupakan pawai tempur melawan aliran Isma’ili Islam Syiah yang didukung negara, yang juga didukung oleh Samaniyyah. Wangsa Fatimiyyah Isma’ili (910 – 1171), berpusat di Mesir dari 969, adalah pesaing utama dari kaum Abbasiyyah Sunni dalam hal kedaulatan kekuasaan atas dunia Islam. Mahmud juga berniat menyelesaikan penggulingan kekuasaan Shahi Hindu yang telah dimulai oleh ayahnya. Oleh karena itu, ia menyerang dan mengusir kaum Shani Hindu dari Gandhara, dan kemudian maju dari Gandhara untuk merebut Multan. Selama tahun-tahun berikutnya, Mahmud memperluas kekaisarannya dengan menaklukkan daerah-daerah ke arah timur sejauh Agra di India sebelah utara. Penjarahan dan pengerusakan yang dilakukannya atas kuil-kuil Hindu dan wihara-wihara Buddha kaya di sepanjang perjalanannya merupakan bagian dari siasat penyerangannya. Sebagaimana layaknya dalam kebanyakan peperangan, pasukan-pasukan penyerang kerap menyebabkan sebanyak mungkin kerusakan untuk meyakinkan penduduk setempat agar menyerah, khususnya jika mereka mengadakan perlawanan. Selama pawai tempurnya di anak-benua India, Mahmud Ghazni membiarkan wihara-wihara Buddha di bawah kekuasaannya di Kabul dan Baktria tetap berdiri.
Pada 1040, negara-negara Turki Seljuk, yang merupakan bawahan Ghaznawiyyah di Sogdiana, memberontak dan membangun Wangsa Seljuk. Tak lama, mereka merebut Baktria dan sebagian besar wilayah Iran dari tangan kaum Ghaznawiyyah, yang mundur ke Lembah Kabul. Lambat-laun, Kekaisaran Seljuk meluas ke Baghdad, Turki, dan Palestina. Orang-orang Seljuk merupakan “kaum kafir” terkenal yang terhadap merekalah Paus Urbanus II menyatakan Perang Salib Pertama pada 1096. Dalam pemerintahannya kaum Seljuk bersifat pragmatis. Mereka membangun pusat-pusat pendidikan Islami (madrasah) di Baghdad dan Asia Tengah untuk mendidik pejabat-pejabat sipil untuk menangani masalah ketata-usahaan di berbagai wilayah kekuasaan kekaisaran mereka. Mereka bertepa-selira terhadap kehadiran agama-agama non-Islam, seperti Buddha, di wilayah mereka. Oleh karena itu, al-Shahrastani (1076 – 1153) menerbitkan Kitab al-Milal wa Nihal karyanya di Baghdad – sebuah naskah yang ditulis dalam bahasa Arab tentang agama-agama dan aliran-aliran non-Muslim. Naskah itu mengandung penjelasan sederhana tentang ajaran-ajaran Buddha dan mengulangi catatancatatan tangan-pertama milik al-Biruni tentang kisah satu abad sebelumnya mengenai orang-orang India yang menerima Buddha sebagai seorang nabi. Banyaknya rujukan-rujukan Buddha dalam kepustakaan Persia pada kurun waktu tersebut juga menjadi bukti atas persentuhan kebudayaan Islam-Buddha ini. Syair-syair Persia, misalnya, kerap menggunakan perumpamaan kiasan “seindah Nowhahar (Wihara Nava)” untuk melukiskan keindahan istana-istana. Lagi, di Wihara Nava dan Bamiyan, patung-patung Buddha, khususnya Maitreya, Buddha masa depan, digambarkan memiliki cakram bulan di
belakang kepala mereka. Pencitraan ini berujung pada pelukisan puitis atas keindahan murni, yang diumpamakan sebagai seseorang yang memiliki “wajah Buddha yang berbentuk rembulan”. Oleh karena itu, syair-syair Persia abad ke-11, seperti Varge dan Golshahkarya Ayyuqi, menggunakan kata bot dengan makna positif untuk “Buddha”, bukan dengan makna kedua “berhala”, yang terkesan merendahkan. Ungakapan ini menyiratkan keindahan tuna-kelamin yang sempurna bagi pria maupun wanita. Rujukan-rujukan semacam itu menunjukkan bahwa baik wihara maupun patung-patung Buddha terdapat di wilayah-wilayah kebudayaan Iran ini setidaknya sampai kurun Mongol awal di abad ke-13. Atau, sedikitnya dapat dinyatakan bahwa warisan Buddha yang kuat tetap bertahan selama berabadabad di antara umat Buddha di sana yang telah berpindah ke agama Islam. Wangsa Qaraqitan dan Ghuriyyah Pada 1141, kaum Qaraqitan, masyarakat berbahasa Mongol yang menguasai Turkistan Timur dan Turkistan Barat sebelah utara, mengalahkan kaum Seljuk di Samarkand. Penguasa mereka, Yelu Dashi, mencaplok Sogdiana dan Baktria ke dalam kekaisarannya. Kaum Ghaznawiyyah masih menguasai wilayah dari Lembah Kabul ke arah timur. Kaum Qaraqitan menganut perpaduan antara ajaran Buddha, Tao, Konghucu, dan budaya perdukunan. Akan tetapi, Yelu Dashi amat sangat bertepa-selira dan melindungi semua agama di wilayahnya, termasuk Islam. Pada 1148, Ala-ud-Din dari suku-bangsa pengembara Turki Guzz dari pegunungan Afghanistan tengah merebut Baktria dari kaum Qaraqanitan dan membangun Wangsa Ghuriyyah. Pada 1161, ia
beranjak merebut Ghazna dan Kabul dari Ghaznawiyyah. Ia menunjuk saudaranya, Muhammad Ghori, menjadi adipati Ghazna pada 1173 dan mendorongnya untuk menyerbu anak-benua India. Seperti Mahmud Ghazni sebelum dirinya, Muhammad Ghori pertama sekali pada 1178 merebut kerajaan Multan Isma’ili di Sindh sebelah utara, yang telah memperoleh kembali kemerdekaannya dari kekuasaan Ghaznawiyyah. Ia kemudian maju untuk menaklukkan seluruh daerah Punjab Pakistan dan India utara dan, setelah itu, Dataran Gangga, sampai sejauh Bihar dan Benggali Barat sekarang. Selama masa pawai tempurnya ini, ia menjarah dan menghancurkan banyak wihara-wihara Buddha, termasuk Vikramashila dan Odantapuri pada 1200. Ini karena Sena, raja daerah itu, mengalih-gunakan kedua wihara tersebut menjadi garnisun tempur dalam upaya menghadang serangan pasukan musuh. Para pemimpin Ghuriyyah mungkin telah menyuntikkan paham dan semangat keagamaan ke dalam diri para serdadu mereka, sama dengan yang dilakukan negara manapun dengan propaganda politik atau kepahlawanan. Akan tetapi, tujuan utama mereka, selayaknya hampir semua penakluk, adalah untuk memperoleh wilayah, kekayaan, dan kekuasaan. Oleh karena itu, kaum Ghuriyyah hanya menghancurkan wihara-wihara yang terletak di sepanjang garis depan serangan mereka. Wihara Nalanda dan Bodh Gaya, misalnya, berkedudukan di luar jalur utama serangan. Maka dari itu, ketika penerjemah Tibet, Chag Lotsawa berkunjung pada 1235, ia mendapati kedua wihara tersebut rusak dan dijarah, tapi masih berfungsi dengan sejumlah kecil biksu. Wihara Jagaddala di Benggali sebelah utara malah tidak tersentuh sama sekali dan tetap berkembang baik.
Lebih jauh lagi, kaum Ghuriyyah tidak berniat menaklukkan Kashmir dan memualafkan umat Buddha di sana. Kashmir miskin pada saat itu, dan wihara-wiharanya hanya memiliki sedikit atau sama sekali tidak memiliki kekayaan untuk dirampas. Lebih lagi, kaum Ghuriyyah tidak membayar atau menyediakan pasokan bagi para panglima dan adipati. Mereka diharapkan dapat menyokong diri dan serdadu mereka sendiri dari hasil-hasil yang diperoleh di wilayah taklukan. Kalau para adipati secara paksa memualafkan setiap orang di bawah kekuasaan mereka, mereka tidak bisa memanfaatkan sebagian besar dari penduduk setempat sebagai sumber pajak tambahan. Oleh karena itu, seperti di Afghanistan, kaum Ghuriyyah tetap mempertahankan kebiasaan lampau dalam hal pemberian status dhimmi bagi umat non-Muslim di India dan memungut pajak perseorangan dari para jizya tersebut. Kurun Mongol Pada 1215, Chinggis (Genghis) Khan, pendiri Kekaisaran Mongol, merebut Afghanistan dari tangan kaum Ghuriyyah. Seperti kebijakan yang diberlakukannya di tempat manapun, Chinggis menghancurkan siapa saja yang menentang penaklukannya dan meluluh-lantakkan tanah-tanah mereka. Tidak jelas bagaimana sisa-sisa ajaran Buddha masih berlanjut di Afghanistan pada masa ini. Chinggis bertepa-selira terhadap semua agama, selama para pemimpinnya mendoakan umur panjang dan keberhasilan tempur baginya. Pada 1219, misalnya, ia memanggil seorang guru Tao terpandang dari Cina ke Afghanistan untuk mengadakan upacaraupacara demi umur panjang dan untuk menyiapkan ramuan hidup abadibaginya.
Setelah kematian Chinggis pada 1227 dan pembagian kekaisarannya kepada para ahli warisnya, putranya Chagatai mewarisi kekuasaan di Sogdiana dan Afghanistan dan membangun Kekhaganan Chagatai. Pada 1258, Hulegu, cucu lakilaki Chinggis, menaklukkan Iran dan melengserkan Kekhalifahan Abbasiyyah di Baghdad. Ia mendirikan Kerajaan Ilkhan (garis kerajaan ini disebut juga Wangsa Ilkhaniyyah) dan segera saja mengundang para biksu Buddha dari Tibet, Kashmir, dan Ladakh ke istananya di Iran sebelah barat laut. Ilkhaniyyah lebih kuat dari Kekhaganan Chagatai dan, pada awalnya, menguasai para sepupunya di sana. Karena para biksu Buddha harus melewati Afghanistan dalam perjalanan mereka ke Iran, mereka tentunya menerima dukungan resmi dalam perjalanan mereka. Menurut beberapa cendekiawan, para biksu Tibet yang datang ke Iran kemungkinan besar berasal dari Aliran Drigung (Drikung) Kagyu dan alasan Hulegu mengundang mereka boleh jadi merupakan alasan politis. Pada 1260, sepupunya Khubilai (Kublai) Khan, penguasa Mongol atas Cina sebelah utara, menyatakan diri sebagai Khan Agung dari semua bangsa Mongol. Khubilai mendukung agama Buddha Tibet Aliran Sakya dan memberikan para pemimpinnya kekuasaan mutlak di atas Tibet. Sebelumnya, para pemimpin Drigung Kagyu memiliki kedudukan politik tinggi di Tibet. Pesaing utama Khubilai adalah sepupunya yang lain, Khaidu, yang menguasai Turkistan Timur dan mendukung garis Drigung Kagyu. Hulegu mungkin berniat untuk merapatkan diri ke Khaidu dalam persaingan kekuasaan ini. Ada juga yang menduga bahwa alasan Khubilai dan Khaidu beralih ke aliran Buddha Tibet adalah untuk memperoleh sokongan gaib Mahakala, pelindung Buddha yang dipraktikkan oleh aliran Sakya
dan Kagyu. Mahakala telah menjadi pelindung kaum Tangut, yang memerintah wilayah di antara Tibet dan Mongolia. Lagi pula, kakek mereka, Chinggis Khan, terbunuh dalam pertempuran dengan kaum Tangut, yang pastinya telah menerima pertolongan gaib. Kecil kemungkinan bahwa para pemimpin Mongol tersebut, termasuk Hulegu, memilih aliran Buddha Tibet karena ajaranajaran filsafatnya yang mendalam. Setelah kematian Hulegu pada 1266, Kekhaganan Chagatai menjadi lebih merdeka dari kaum Ilkhan dan membentuk persekutuan langsung dengan Khaidu dalam perjuangannya melawan Khubilai Khan. Sementara itu, para penerus Hulegu berganti-gantian mendukung aliran Buddha Tibet dan Islam, yang rupa-rupanya juga didasari alasan keuntungan politik. Putra Hulegu, Abagha, melanjutkan dukungan ayahnya terhadap aliran Buddha Tibet. Akan tetapi, Takudar, saudara laki-laki Abagha, yang menggantikannya pada 1282, menjadi mualaf untuk memperoleh dukungan rakyat setempat saat ia menyerang dan menaklukkan Mesir. Putra Abagha, Arghun, mengalahkan pamannya dan menjadi Ilkhan pada 1284. Ia membuat Buddha menjadi agama negara Iran dan mendirikan beberapa wihara di sana. Ketika Arghun wafat pada 1291, adiknya Gaihatu menjadi Ilkhan. Para biksu Tibet memberikan nama Tibet Rinchen Dorje bagi Gaihatu, namun ia merupakan seorang pemabuk bobrok dan bukan satu contoh baik untuk agama Buddha. Ia memperkenalkan uang kertas ke Iran dari Cina, yang menyebabkan terjadinya bencana ekonomi di sana. Gaihatu meninggal pada 1295, satu tahun setelah wafatnya Khubilai Khan. Putra Arghun, Ghazan, mewarisi tahta. Ia menyatakan kembali Islam sebagai agama resmi Wangsa
Ilkhaniyyah dan menghancurkan wihara-wihara Buddha baru di sana. Beberapa cendekiawan menyatakan bahwa berpalingnya Ghazan Khan dari kebijakan keagamaan ayahnya adalah untuk membatasi diri dari reformasi dan keyakinan pamannya, dan untuk menyatakan kemerdekaannya dari Cina Mongol. Terlepas dari perintahnya untuk menghancurkan wihara-wihara Buddha, tampaknya Ghazan Khan tidak berniat untuk menghancurkan segala sesuatu yang berhubungan dengan ajaran Buddha. Contohnya, ia menugaskan Rashid al-Din untuk menulisSejarah Semesta (Ar. Jami’ al-Tawarikh ), dengan corak Persia dan Arab. Di bagian sejarah kebudayaan bangsa-bangsa taklukan Mongol dari kitab tersebut, Rashid al-Din menyertakan Kisah Hidup dan Ajaran Buddha . Untuk membantu si sejarawan ini dalam penelitiannya, Ghazan Khan mengundang seorang biksu Buddha dari Kashmir, Bakshi Kamalshri, ke istananya. Seperti karya sebelumnya yang ditulis oleh al-Kermani, karya Rashid menyajikan ajaran Buddha dalam istilah-istilah yang dengan mudah dapat dipahami oleh umat Muslim; contohnya, dengan menyebut Buddha sebagai Nabi, dewa sebagai ilah dan malaikat, dan Mara sebagai Setan. Rashid al-Din melaporkan bahwa di masanya, sebelas naskah Buddha dalam terjemahan Arabnya beredar di Iran; termasuk naskah-naskah Mahayana sepertiSutra tentang Larik dari Tanah Murni Sukacita (Skt. Sukhavativyuha Sutra , mengenai Tanah Suci Murni Amitabha), Sutra tentang Larik Bagai keranda (Skt. Karandavyuha Sutra , mengenai Avalokiteshvara, perwujudan welas asih) dan Suatu Karangan tentang Maitreya (Skt. Maitreyavyakarana , mengenai Maitreya, Buddha masa depan dan perwujudan kasih). Naskah-naskah ini tentunya
merupakan bagian dari naskah-naskah yang diterjemahkan di bawah perlindungan para khalifah Abbasiyyah di Rumah Pengetahuan di Baghdad yang dimulai pada abad ke-8. Rashid al-Din menyelesaikan buku sejarahnya pada 1305, selama masa pemerintahan Oljaitu, penerus Ghazan. Akan tetapi, tampaknya biksu-biksu Buddha masih ada di Iran setidaknya sampai pada kematian Oljaitu pada 1316, karena para biksu mencoba namun gagal untuk mengajak pemimpin Mongol kembali ke ajaran Buddha. Oleh karenanya, setidaknya sampai saat itu, para biksu Buddha masih bolak-balik melewati Afghanistan dan mungkin pula masih disambut di istana Chagatai. Pada 1321, Kekaisaran Chagatai terbagi jadi dua. Kekhaganan Chagatai Barat mencakup Sogdiana dan Afghanistan. Sudah sejak awal, para khannya berpindah agama menjadi Islam. Wangsa Ilkhaniyyah di Iran pecah dan runtuh pada 1336. Setelah ini, tidak ada lagi tanda bagi berlanjutnya kehadiran ajaran Buddha di Afghanistan. Ajaran tersebut telah bertahan di sana selama hampir seribu sembilan ratus tahun. Akan tetapi, pengetahuan tentang ajaran Buddha tidak padam. Timur (Tamerlaine) menaklukkan Kekhaganan Chagatai Barat pada 1364 dan kemudian menaklukkan negara-negara kecil penerus Ilkhaniyyah pada 1385. Putra dan penerus Timur, Shah Rukh, menugaskan sejarawan Hafiz-I Abru untuk menulis dalam bahasa Persia Kumpulan Sejarah (Ar. Majma’ al-Tawarikh ). Selesai dikerjakan pada 1425 di Herat, ibukota Shahrukh di Afghanistan, kitab sejarah itu mengandung sebuah catatan tentang ajaran Buddha yang didasarkan pada karya Rashid al-Din seabad sebelumnya.
Ringkasan Sejarah Agama Buddha dan Islam di Turkistan Barat Parthia and Baktria Dalam sejarah, agama Buddha dapat ditemukan di bekas seluruh lima Republik Asia Tengah Soviet yang membentuk Turkistan Barat: Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, Kirgizstan, dan Kazakhstan. Agama Buddha awalnya menyebar pada abad pertama S.M. dari Gandhara (Pakistan) dan Afghanistan ke kerajaan Parthia [1] dan Baktria. Turkmenistan dan Iran timur-utara membentuk kerajaan Parthia; sementara Uzbekistan selatan, Tajikistan, dan Afghanistan utara membentuk kerajaan Baktria [2]. Sogdiana Agama Buddha yang menyebar ke Sogdiana [3] di Uzbekistan tengah dan Tajikistan barat-utara sebagian besar berasal dari Baktria. Xuanzang (Hsüan-tsang), seorang peziarah Cina pada abad ke-6, melaporkan keberadaan dua wihara luar biasa besar Buddha di ibukota Sogdiana, Samarkand. Kekaisaran Turki Baratat Pada abad ke-7, ketika orang Turki dari Mongolia menaklukkan sebagian besar Asia, agama Buddha menyebar dari Sogdiana dan dari Kashgar/Khotan di Turkistan Timur bagian selatan ke lembah Sungai Taraz (Talas) di Kazakhstan selatan dan lembah Sungai Chu di Kirgizstan utara. Wilayah-wilayah ini merupakan bagian dari Kekaisaran Turki Barat [4]. Pada abad ke-8, ketika Tibet memerintah Turkistan Timur, orang Tibet juga menguasai Kirgizstan timur, dengan membawa agama Buddha Tibet awal.[5] Meskipun Islam masuk ke bagian selatan republik-republik Asia Tengah ini pada abad ke-9 dan ke-10, dan ke bagian utara di abad
ke-11, agama Buddha tidak sepenuhnya hilang di bagian utara. Agama Islam selalu lemah di sana dan bercampur dengan aliran Shaman serta Buddha. Bentuk utama Islam di seluruh wilayah itu selalu merupakan Sufi, sebuah aliran non-doktrin yang menekankan meditasi dan sebuah komunitas yang terdiri dari para pelaku tekun yang hidup mengelilingi seorang guru. Orang Mongol Dzungaria Orang Mongol Dzungaria [6] di Turkistan Timur, yang mengikuti aliran Gelug dari Buddha Tibet dan yang dari mereka orang Kalmyk melarikan diri pada awal abad ke-17, memiliki wihara-wihara tenda di wilayah Semirechye di Kazakhstan timur, di sisi timur dan selatan Danau Balkhash, selama abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-18, dan di sekitar Danau Issyk Kul di Kirgizstan dari pertengahan abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-18. Orang Kalmyk juga memiliki wihara-wihara tenda di banyak wilayah Kazakhstan saat mereka bermigrasi melintasinya menuju Sungai Volga. Orang Dzungaria juga membangun wihara-wihara batu [7] di wilayah-wilayah Kazakhstan timur yang mengelilingi Danau Balkhash. Wihara-wihara Gelug ini [8] bertahan hingga pertengahan abad ke-19, saat Rusia datang menaklukkan Kazakhstan. Ada ketidakjelasan mengenai apakah beberapa wihara itu dibangun oleh orang Dzungaria sebelum mereka ditaklukkan oleh orang Manchu di pertengahan abad ke-18 dan wihara itu bisa bertahan di tengah kehancuran, ataukah wihara itu dibangun oleh pengungsi Dzungaria yang melarikan diri ke Kazakhstan setelah pembinasaan itu dan masuknya Turkistan Timur ke dalam wilayah Kekaisaran Manchu Cina. Sebagian wihara itu juga mungkin dibangun oleh orang Kalmyk yang kembali
dari Sungai Volga ke Turkistan Timur di akhir abad ke-18, tapi yang tinggal di Kazakhstan. Perkara ini membingungkan karena di Rusia, orang Dzungaria umumnya disebut juga sebagai orang Kalmyk. Pertukaran Budaya antara Buddha dan Islam Di seluruh Turkistan Barat, terdapat banyak tanda mengenai adanya pertukaran budaya antara agama Buddha dan Islam. Sebagai contoh, orang Sufi Kazakhstan tidak hanya percaya pada kelahiran kembali, tapi juga mengenali reinkarnasi para guru Sufi masa lalu seperti yang dilakukan penganut Buddha Tibet dan Mongol terhadap guru mereka. Orang Sufi membangun kuil sebagai makam bagi guru mereka, mengelilinginya, dan menyalakan lampu mentega, yang menyerupai laku umat Buddha mengelilingi stupa dari guru yang telah meninggal. Meditasi Sufi mencakup pendarasan doa Islam yang serupa dengan mantra, seringkali dipadukan dengan pernapasan, termasuk dengan membayangkan Nabi Muhammad dan guru-guru rohani
Ringkasan Sejarah Agama Buddha dan Islam di Turkistan Timur Khotan dan Sisi-Luar Selatan Gurun Taklamakan Turkistan Timur (Cin. Xinjiang) memiliki sejarah agama Buddha yang panjang. Di sepanjang sisi-luar selatan Gurun Taklamakan, ajaran Buddha datang ke Khotan dari India pada abad pertama Masehi. Orang Khotan adalah orang Iran. Dengan kemunculan Mahayana beberapa abad kemudian di India, Khotan pun menjadi pusat Buddha Mahayana. Sekitar abad pertama Masehi, ajaran Buddha datang dari Gandhara (Pakistan) dan Kashmir ke Kashgar, dan juga dari Gandhara, Kashmir, and Khotan ke orang-orang Indo-Eropa di Kroraina, dekat Lop Nor hingga timur Khotan. Pada abad ke-4, Kroraina ditinggalkan hingga menjadi gurun dan sebagian besar masyarakatnya berpindah ke Khotan. Orang Tokharia dan Sisi-Luar Utara Gurun Taklamakan Di sepanjang sisi-luar utara Gurun Taklamakan, orang Tokharia membawa ajaran Buddha ke Kucha dan Turfan pada abad ke-2 Masehi. Orang Tokharia merupakan keturunan Yuezhi, suku Kaukasia yang berbicara dalam bahasa Indo-Eropa kuno dan merupakan suku Kaukasia yang melakukan perpindahan paling timur. Menurut beberapa sumber, sekelompok orang Yuezhi telah berpindah ke wilayah yang saat ini Kazakhstan timur dan akhirnya ke wilayah yang saat ini Afghanistan dan Tajikistan. Di sana, mereka juga dikenal sebagai orang Tokharia dan menerapkan aliran Sarvastivada dari Buddha Hinayana. Orang Tokharia di Kuchda dan Turfan juga mengikuti aliran Sarvastivada.
Meskipun sebagian besar kaum Uighur, orang Turki, datang dari wilayah Gunung Altai di Tuva, menuju utara Mongolia Barat, ada satu cabang keturunan kecil yang hidup di Turfan sejak abad ke-4 dan mengikuti aliran Buddha Tokharia. Orang Cina dan Pemukim Sogdiana Orang Cina menempatkan pasukan penjaga di kerajaan-kerajaan oasis ini sejak abad pertama S.M. hingga abad ke-2 Masehi, tapi ini sebelum keberadaan agama Buddha di Cina. Pengaruh Buddha Cina datang di abad-abad selanjutnya, dibawa oleh pedagang Cina yang bepergian dan bermukim di sepanjang dua cabang Jalur Sutra. Pedagang Buddha Sogdiana dari Uzbekistan juga menetap di kota-kota oasis ini, terutama di sepanjang jalur utara, dan memengaruhi perkembangan agama Buddha di sana. Seperti orang Khotan, orang Sogdiana juga merupakan orang Iran. Hubungan dengan Tibet Orang Tibet memerintah semua kerajaan oasis di Turkistan Timur kecuali Kashgar dan Yarkand, termasuk sebagian besar Gansu dan Kirgizstan timur, sejak awal abad ke-7 hingga pertengahan abad ke-9, dengan jeda di tengahnya ketika wilayah itu diambil alih oleh bangsa Cina. Bukti arkeologi menandakan hanya ada pengaruh kecil dari orang Tibet di wilayah itu, tapi hal ini harus diselidiki lebih lanjut. Orang Tibet, di sisi lain, menyerap banyak hal dari Khotan, terutama abjad dan cara penerjemahan istilah-istilah teknis Buddha. Aksara Khotan jugalah yang dipelajari oleh Thonmi Sambhota di Kashmir dan diterapkan untuk menulis bahasa Tibet. Aksara Khotan berasal dari aksara India, tapi seperti bahasa Tibet, menggunakan ‘ a-chung untuk menuliskan huruf hidup Sanskerta panjang dan meletakkan huruf hidupnya sendiri di akhir abjad.
Orang Uighur Pada pertengahan abad ke-9, di waktu yang kurang lebih sama dengan saat orang Tibet meninggalkan Turkistan Timur setelah kekuasaan Langdarma, sebagian besar cabang keturunan Altai dari bangsa Uighur, yang telah memerintah Mongolia selama satu setengah abad sebelumnya, berpindah ke Turfan. Mereka kehilangan Mongolia akibat serbuan cabang keturunan Altai dari bangsa Kirgizstan dan, setelah di Turfan, mendirikan kerajaan Qocho, yang memerintah seluruh sisi-luar utara Gurun Taklamakan, dari Kucha hingga Hami, dan bagian timur sisi-luar selatan gurun itu, dekat Lop Nor. Orang Uighur Mongolia, sebagaimana sebutan untuk mereka sekarang, meninggalkan agama Mani (Manikheisme) dan menerapkan agama Buddha dari keluarga Turfan mereka. Namun, sejumlah cendekiawan percaya bahwa sebelum mereka meninggalkan Mongolia, sekelompok orang Uighur telah menjadi penganut Buddha, akibat hubungan dengan pedagang Buddha Sogdiana dan dari sisa pengaruh orang Turki Buddha yang memerintah Mongolia sebelumnya. Orang Karakaniyyah Setelah orang Tibet meninggalkan Turkistan Timur di pertengahan abad ke-9, Khotan menjadi merdeka, dan melanjutkan kegiatan agama Buddha. Orang Turki setempat di sekitar Kashgar mendirikan kerajaan Karakaniyyah, yang awalnya mencakup Kashgar dan Kirgizstan timur serta Kazakhstan. Beberapa cendekiawan percaya bahwa orang Turki ini adalah cabang keturunan lain dari orang Uighur Mongolia yang juga berpindah ke sana. Selama satu abad, orang Karakaniyyah mengikuti perpaduan ajaran Buddha Kashgari dan aliran shaman.
Orang Karakaniyyah adalah orang pertama yang menjadi Muslim, dan ini terjadi pada akhir abad ke-10. Setelah masa perang yang panjang, mereka menaklukkan Khotan pada pertengahan abad ke12 dan mengubah penduduknya menjadi Muslim. Pasukan Tibet bertempur di sisi umat Buddha Khotan selama peperangan itu. Namun, orang Uighur Qocho masih tetap menjadi umat Buddha. Mereka tidak hanya memberikan tata penulisan, yang mereka peroleh dari orang Sogdiana, kepada orang Mongol di bawah Jenghis Khan, tapi merupakan orang pertama yang mengenalkan ajaran Buddha kepada orang Mongol. Ketika orang Mongol kemudian menerapkan Buddha Tibet, orang Uighur juga menerapkannya. Islam datang ke Uighur dari abad ke-14 hingga 17, menyebar perlahan dari barat ke timur. Orang Mongol Dzungaria dan Kalmyk Orang Mongol Dzungaria memeluk Buddha Tibet di Turkistan Timur bagian utara dan Kazakhstan timur dari akhir abad ke-16 hingga saat mereka ditaklukkan dan hampir dibunuh seluruhnya oleh orang Manchu pada pertengahan abad ke-18. Orang Mongol Kalmyk memisahkan diri dari orang Dzungar pada awal abad ke17 dan berpindah ke wilayah Volga di Rusia Eropa. Satu bagian dari mereka kembali ke Turkistan Timur bagian utara di akhir abad ke-18 dan hidup di sana sampai sekarang, dengan memeluk Buddha Tibet. Namun, sebelum masuknya banyak pendatang orang Han dan Cina Hui masa kini, sebagian besar penduduk Turkistan Timur adalah orang Uighur yang memeluk Islam.
Agama Buddha dalam Rumpun Bangsa Turki Dr. Alexander Berzin Di antara banyak bangsa di dunia yang menganut Islam, beberapa memiliki latar belakang agama Buddha yang kuat, yaitu bangsa Turki, Afghanistan, Pakistan, Indonesia, dan Malaysia. Mari kita lihat secara lebih dekat penyebaran agama Buddha dalam rumpun bangsa Turki. Kaum Turki Shahi Bangsa Turki pertama yang memeluk agama Buddha adalah kaum Turki Shahi. Mereka menguasai India barat laut sejak pertengahan abad ke-3 hingga awal abad ke-4 Masehi dan kemudian bergeser ke barat untuk menguasai wilayah yang kini Afghanistan tengah dan akhirnya Pakistan tengah dan utara hingga pertengahan abad ke-9. Mereka mewarisi perpaduan aliran Buddha Hinayana dan Mahayana dari para leluhur mereka di daerah-daerah itu, kaum Kushan dan Hun Putih, dan mereka adalah penyokong utama sanggar-sanggar wihara hebat untuk belajar yang sebelumnya sudah berdiri di sana. Selama akhir abad ke-8 dan awal abad ke9, kaum Turki Shahi adalah bawahan Kerajaan Tibet dan memengaruhi perkembangan agama Buddha di sana. Kaum Turki Timur dan Barat Rumpun bangsa Turki besar berikutnya yang menganut agama Buddha adalah kaum Turki Kuno yang memberikan kejayaan mereka bagi bangsa Turki. Kerajaan Turki Timur menguasai Mongolia sejak akhir abad ke-6 hingga pertengahan abad ke-8. Di bawah dukungan kerajaan ini, guru-guru dari India, Asia Tengah,
dan Cina menerjemahkan banyak kitab Buddha ke dalam bahasa Turki Kuno. Beberapa istilah teknis ajaran Buddha dalam bahasa Turki Kuno itu menjadi baku di Asia Tengah dan selanjutnya dipinjam oleh bangsa Uighur dan Mongol. Kaum Turki Kuno memadukan ke dalam aliran Buddha mereka pemujaan dewadewa Turki kuno atau “tengri”, dan juga dewa-dewa agama Zarathustra yang mereka kenal dari masyarakat Asia Tengah lainnya. Gaya perpaduan ini diwariskan dan dilanjutkan oleh kaum Uighur dan Mongol. Pada awal abad ke-8, seorang puteri dari keluarga kerajaan Turki Timur menikahi kaisar dari Tibet dan mengundang ke Tibet biksu-biksu Buddha dari Khotan di Turkistan Timur bagian selatan. Kerajaan Turki Barat juga merupakan penyokong utama agama Buddha sejak awal abad ke-7 hingga awal abad ke-8. Para penguasanya membangun wihara-wihara baru di Uzbekistan. Salah satu keturunan bangsa Turki Barat, rumpun suku Turgish, melakukan penyebaran agama Buddha ke Kirgizstan dan Kazakhstan tenggara selama masa berikutnya antara abad ke-7 sampai awal abad ke-8 Masehi. Kaum Turgish juga merupakan sekutu Kerajaan Tibet. Pada awal abad ke-8, kaum Turgish di Kirgizstan dan Kazakhstan digantikan oleh kaum Karluk, suku dari Turki Timur yang juga memeluk agama Buddha dan menjadi sekutu Kerajaan Tibet. Salah satu keturunan suku Karluk, Karakaniyyah, mendirikan kerajaan di Kirgizstan timur dan wilayah Kashgar di Turki Timur barat daya pada pertengahan abad ke-9 Masehi. Selama lebih dari satu abad, kaum Karakaniyyah menganut percampuran antara agama Buddha Kashgar dan adat shaman mereka.
Kaum Uighur Bagaimanapun, bentuk agama Buddha yang paling menonjol dalam masyarakat Turki adalah yang dianut oleh kaum Uighur di Turkistan Timur (Xinjiang). Setelah bermigrasi dari Mongolia ke wilayah Turfan (sekarang wilayah Xinjiang timur laut) pada abad ke-9, mereka menerapkan bentuk agama Buddha yang merupakan perpaduan unsur-unsur keyakinan masyarakat pedagang Sogdiana dari wilayah yang kini adalah Uzbekistan, keyakinan kaum Tokharia pribumi Turfan, dan keyakinan pedagang Cina di wilayah itu. Bentuk agama Buddha ini meluas ke semua wilayah kerajaan Uighur Qocho, yang meliputi seluruh Xinjiang saat ini kecuali wilayah Kashgar dan Khotan di barat daya. Kaum Uighur, pada akhirnya, meneruskan bentuk agama Buddha mereka, juga ilmu pemerintahan dan abjad mereka, kepada bangsa Mongol pada awal abad ke-13 di masa Jenghis Khan. Pada akhir abad ke-13, kaum Uighur mengubah cara laku mereka dan menggunakan bentuk aliran Buddha Tibet seperti sekutu-sekutu mereka dari Mongol. Orang Uighur menerjemahkan sejumlah besar naskah Buddha ke dalam bahasa Turki dari sumber Sanskerta, Sogdiana, Tokharia, Cina, dan Tibet, dan merupakan penerjemah perintis kitab-kitab Buddha ke dalam bahasa Mongolia. Gaya penerjemahan mereka dalam mempertahankan banyak istilah teknis Sansekerta diserap oleh bangsa Mongolia. Agama Buddha terus hidup di dalam masyarakat Uighur hingga sekitar abad ke-17. Tiga keturunan lain suku Uighur juga menjadi pengikut Buddha. Satu keturunan bermigrasi dari Mongolia pada pertengahan abad ke-9 ke lembah Sungai Chu di Kirgizstan barat laut dan mengikuti
bentuk agama Buddha setempat di bawah naungan kaum Karluk dan sebelumnya kaum Turki Turgish. Keturunan yang lain, pada masa yang sama, bermigrasi ke wilayah Kashgar di Turkistan Timur dan mengikuti adat Buddha Kashgari yang juga dianut oleh kaum Turki Karakaniyyah yang mulai menguasai wilayah tersebut satu abad kemudian. Keturunan ketiga adalah kaum Yugur Kuning, yang juga bermigrasi dari Mongolia pada pertengahan abad ke-9 ke bagian tengah wilayah yang saat ini merupakan provinsi Gansu di Cina, yang pada waktu itu dikuasai oleh Kerajaan Tibet. Meskipun jumlahnya kecil, orang Yugur Kuning masih menganut aliran Buddha Tibet hingga saat ini. Tuva Golongan bangsa Turki terakhir yang menganut agama Buddha adalah masyarakat Tuva, di wilayah yang sekarang Siberia, sebelah utara Mongolia barat. Mereka telah menganut aliran Buddha Tibet dalam persekutuan erat dengan bagian Kerajaan Mongolia sejak abad ke-18.
Sejarah Kurun Awal Agama Buddha dan Bon di Tibet 1 Dari Kaisar Songtsen-gampo sampai Kaisar Tri Songdetsen Agama Bon yang Tertata dan Adat Tibet Asli Buddha dan Bon adalah dua aliran keagamaan utama di Tibet. Yang pertama adalah kepercayaan asli Tibet, sedangkan yang berikutnya diperkenalkan oleh kaisar pertama Tibet, Songtsengampo (memerintah 617 – 649). Menurut catatan-catatan Tibet kuno, di sana terdapat banyak persaingan di antara keduanya. Namun, cendekiawan modern memaparkan keadaan yang lebih rumit. Akan tetapi, Bon baru menjadi agama tertata setelah abad ke-11, ketika agama ini memiliki banyak ciri-ciri yang sama dengan agama Buddha. Sebelum itu, adat Tibet asli sebelum-Buddha ini, yang terkadang secara membingungkan disebut “Bon”, memiliki unsur utama upacara-upacara untuk mendukung kultus kekaisaran, seperti upacara-upacara persembahan dengan tata cara rumit untuk pemakaman kekaisaran dan untuk penandatanganan perjanjian. Adat ini juga meliputi tata-tata peramalan, perbintangan, upacara penyembuhan untuk menenangkan roh-roh berbahaya, dan pengobatan herbal. Dalam kepustakaan sejarahnya, agama Bon tertata mencatat asalusulnya sendiri dari Shenrab (gShen-rab), seorang guru dari negeri dongeng Olmo-lungring (‘Ol-mo lung-ring) di tepi timur Tagzig (sTag-gzig), yang membawa agama ini ke Zhang-zhung (Zhangzhung) pada masa lampau. Zhang-zhung adalah kekaisaran kuno dengan ibu kotanya di Tibet barat dekat Gunung Kailash yang suci. Beberapa cendekiawan Rusia modern, yang mengambil landasan pada analisis bahasa, menyamakan Olmo-lungring dengan Elam
di Iran barat zaman kuno dan Tagzig dengan Tajik, mengacu pada Baktria. Menyetujui pernyataan tegas agama Bon bahwa unsurunsurnya yang menyerupai agama Buddha lebih dulu ada sebelum Songtsen-gampo, para cendekiawan ini menyatakan bahwa prawarsa asli bagi sistem itu berasal dari seorang guru Buddha dari Baktria yang mengunjungi Zhang-zhung, mungkin melalui Khotan atau Gilgit dan Kashmir, pada suatu masa di awal milenium pertama masehi. Zhang-zhung secara adat memiliki hubungan ekonomi dan budaya yang erat dengan dua wilayah tetangga itu. Sepakat dengan catatan Bon tersebut, mereka menjelaskan bahwa guru ini, suatu ketika di Zhang-zhung, menggabungkan banyak ciri yang menyerupai agama Buddha dengan laku-laku pemujaan pribumi. Hubungan Songtsen-gampo dengan Zhang-zhung Songtsen-gampo adalah raja Yarlung (Yar-klungs), sebuah kerajaan kecil di Tibet tengah, yang ke-32. Dalam masa memperluas wilayahnya dan mendirikan kekaisaran yang sangat luas yang membentang dari perbatasan-perbatasan Baktria sampai wilayah-wilayah kaum Han Cina dan dari Nepal sampai perbatasan-perbatasan Turkistan Timur, ia menaklukkan Zhangzhung. Menurut catatan-catatan sejarahnya, Zhang-zhung juga pernah menjangkau seluruh dataran tinggi Tibet. Namun, Zhangzhung pada saat kekalahannya hanya meliputi Tibet barat. Mari kita pinggirkan persoalan-persoalan tentang jangkauan terjauh perbatasan Zhang-zhung, kehadiran ciri-ciri yang menyerupai agama Buddha di Zhang-zhung pada puncak kejayaan kekaisarannya, dan kemungkinan asal usul mereka. Tetap saja, kita dapat menduga dari bukti yang ditemukan di makam raja-raja Yarlung sebelum Songtsen-gampo bahwa
setidaknya sistem Zhang-zhung pada upacara-upacara istana itu sama di dua wilayah tempat kaisar bernaung dan di negeri yang ia taklukkan di Tibet barat. Tidak seperti agama buddha, upacaraupacara Zhang-zhung tersebut bukan tata laku dan kepercayaan asing, tetapi sebuah bagian utuh warisan suku Tibet pribumi. Dalam rangka menjaga persekutuan politik dan kursi kekuasaannya sendiri, Songtsen-gampo menikahi putri-putri raja, awalnya putri dari Zhang-zhung dan kemudian, pada akhir masa pemerintahannya, putri dari Tang Cina dan Nepal. Setelah mengawini putri dari Zhang-zhung, Songtsen-gampo membunuh ayah putri itu, Lig-nyihya (Lig-myi-rhya), raja terakhir Zhang-zhung. Ini menjadikan perhatian terhadap dukungan upacara keagamaan asli dalam kultus kekaisaran beralih pada dirinya dan negaranya yang sedang meluas secara pesat. Pengenalan Agama Buddha Kaisar Songtsen-gampo mengenalkan agama Buddha ke Tibet melalui pengaruh istri-istrinya yang berasal dari Han Cina dan Nepal. Namun, ini tidak mengakar atau menyebar ke masyarakat umum pada masa itu. Beberapa cendekiawan modern mempertanyakan keaslian sejarah dari istri Nepalnya, tapi bukti arsitektural dari masa itu setidaknya menunjukkan sejumlah pengaruh kebudayaan dari Nepal. Pengejawantahan utama kepercayaan asing tersebut adalah 13 candi Buddha yang dibangun oleh sang Kaisar di tempat-tempat geomantis yang dipilih secara khusus di wilayah kekuasaannya, termasuk Bhutan. Dengan Tibet dipahami sebagai iblis perempuan dalam posisi terlentang dan lokasi-lokasi candi itu dipilih secara saksama menurut aturan akupunktur Cina yang diberlakukan pada tubuh iblis perempuan itu, Songtsen-gampo berharap
melenyapkan roh-roh kekuasaannya.
jahat
yang
dapat
mengancam
Dari 13 candi Buddha itu, yang paling besar terletak delapan puluh mil dari ibu kota kerajaan, di tempat yang kemudian disebut “Lhasa” (Lha-sa, Tempat Para Dewa). Pada masa itu, tempat ini dinamakan “Rasa” (Ra-sa, Tempat Para Kambing). Para cendekiawan barat menduga bahwa Kaisar itu dibujuk untuk tidak membangun candi itu di ibu kota agar tidak menghina dewa-dewa adat. Tidak jelas siapa yang menghuni candi-candi Buddha ini, tapi barangkali mereka adalah biksu-biksu asing. Wihara-wihara Tibet pertama itu tidak melakukan penobatan biksu hingga hampir satu setengah abad kemudian. Meskipun sejarah-sejarah lugu menggambarkan Kaisar Songtsengampo sebagai teladan sempurna iman Buddha dan meskipun adat-adat keagamaan Buddha niscaya dilakukan untuk keuntungannya, semua itu bukan bentuk upacara keagamaan khusus yang disokong oleh mahkamah kekaisaran. Songtsengampo mempertahankan para pemimpin keyakinan adat asli dan kaum bangsawan pendukung mereka di dalam mahkamahnya, dan memesan patung dewa-dewa pribumi untuk ditempatkan di samping patung-patung Buddha di candi utama di Rasa itu. Seperti para pendahulunya, Songtsen-gampo dan penggantipenggantinya dimakamkan di Yarlung menurut tata cara Tibet pribumi kuno sebelum Buddha. Seperti Jenghis Khan enam abad kemudian, Kaisar Tibet itu menerima baik bukan hanya adat pribuminya, tapi juga agama asing, yakni agama Buddha, yang dapat melaksanakan upacara-upacara keagamaan untuk memperkuat kekuasaannya dan menguntungkan kekaisarannya.
Penyaduran Aksara Khotan Bukti lebih lanjut mengenai kebijakan Songtsen-gampo dalam penggunaan karya asing untuk menambah kekuatan politiknya adalah penyaduran sebuah aksara ke dalam bahasa Tibet. Memanfaatkan sejarah panjang hubungan kebudayaan dan ekonomi Zhang-zhung dengan Khotan, Gilgit, dan Kashmir, Kaisar itu mengirim utusan kebudayaan, dipimpin oleh Tonmi Sambhota (Thon-mi sambhota), ke kawasan itu. Di Kashmir, utusan itu bertemu dengan guru asal Khotan, Li Chin (Li Byin) – Li, kata Tibet untuk Khotan, jelas menunjukkan negeri asal guru itu. Dengan bantuannya, utusan itu merancang aksara untuk menulis bahasa Tibet berdasar saduran bahasa Khotan pada aksara Gupta Baku India. Catatan-catatan sejarah Tibet mengacaukan tempat penyusunan aksara baru itu dengan tempat asal aksara contohnya, sehingga ini menjelaskan bahwa bahasa tulis Tibet berdasar pada aksara Kahsmir. Para cendekiawan Tibet modern menemukan bahwa, sebelum perkembangan ini, Zhang-zung sudah memiliki aksara tertulis dan bahwa ini adalah dasar bagi huruf-huruf sambung Tibet. Contoh bagi aksara Zhang-zhung ini, bagaimanapun juga, merupakan abjad khotan. Songtsen-gampo agaknya bermaksud menggunakan aksara baru itu untuk penerjemahan naskah Buddha Sanskerta hadiah dari India yang tiba di Yarlung dua abad sebelumnya. Ketika itu, kegiatan utama penerjemahan ini adalah pada naskah perbintangan Cina serta pengobatan Cina dan India, dan ini pun sangat terbatas. Songtsen-gampo menggunakan tata tulisan itu terutama untuk mengirimkan pesan-pesan militer rahasia kepada jenderal-jenderalnya di medan perang. Ini mengikuti cara Zhang-
zhung dalam penggunaan pesan tulisan sandi (Tib.lde’u) untuk tujuan serupa. Golongan Oposisi yang disebut “Bon” Satu golongan dalam mahkamah kekaisaran Tibet menentang sokongan dan kepercayaan Songtsen-gampo pada agama Buddha. Mereka niscaya berada di balik keputusan Kaisar untuk tidak membangun candi Buddha utama di ibu kota kekaisaran dan bahkan di Lembah Yarlung. Sejarah-sejarah Tibet kelak menyebut mereka pendukung agama “Bon”. Selama lebih dari satu abad, termasuk masa kunjungan al-Salit, mereka memberi perlawanan kuat terhadap kebijakan kekaisaran. Kurang berhasilnya ulama Muslim itu di Tibet harus dipahami dalam konteks ini. Tetapi, siapa pengikut-pengikut “Bon” yang menentang agama Buddha itu, dan, nantinya, yang bertanggung jawab atas sambutan yang dingin terhadap agama Islam? Dan apa alasan kebencian mereka? Menurut para cendekiawan Tibet, kata bon berarti mantera yag digunakan untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan rohani dan mengacu pada tata dua belas bagian yang meliputi peramalan, perbintangan, upacara-upacara penyembuhan, dan pengobatan herbal. Sebelum akhir abad ke-11, Bon bukan agama yang tertata. Menurut beberapa cendekiawan, pada masa itu kata Tibet bonbahkan belum digunakan untuk tata kepercayaan dan adat pribumi sebelum Buddha yang meliputi empat seni kuno peramalan, perbintangan, upacara-upacara penyembuhan, dan pengobatan herbal. Kata ini digunakan hanya pada golongan tertentu dalam mahkamah kekaisaran. Meskipun golongan Bon ini berisi para pemimpin keyakinan (Tib. gshen) adat pribumi dan kaum bangsawan tertentu yang bersekutu dengan mereka, ciri
yang tampak pada kelompok itu bukan kepercayaan imannya, tapi terutama kedudukan politisnya. Di dalam dan di luar mahkamah terdapat para pengikut adat-adat pribumi peramalan dan seterusnya, bahkan termasuk Kaisar sendiri, yang tidak disebut “pengikut Bon”. Dalam mahkamah itu terdapat bangsawan “ Bon” yang tidak seharusnya bergantung pada empat seni kuno itu. Bahkan tidak setiap pemimpin keyakinan adat pribumi menjadi bagian dari golongan ini. Sebagai contoh, di dalam mahkamah itu terdapat orang-orang yang melakukan upacara-upacara untuk mendukung kultus kekaisaran dan, saat kematian Kaisar, akan melakukan upacara-upacara pemakaman kuno. Di luar mahkamah, terdapat orang-orang yang melakukan peramalan atau upacara-upacara penyembuhan untuk mengatasi roh-roh berbahaya. Tidak satu pun dari mereka disebut “anggota Bon”. Maka, kelompok “Bon” ini terbatas pada golongan partai-partai di mahkamah yang mementingkan diri sendiri, anti-kekaisaran, kolot, dan, terutama, benci terhadap orang dan budaya asing. Mereka adalah golongan oposisi yang ingin mengambil kekuasaan. Sebagai lawan Kaisar, mereka menentang segala sesuatu yang dapat meningkatkan kekuatan kekaisaran, terutama jika itu adalah hal-hal asing. Jadi, sikap permusuhan golongan ini terhadap upacara dan kepercayaan asing bukan semata-mata perwujudan dari ketidaktenggangan rasa beragama, seperti yang tersirat pada sejarah-sejarah Buddha Tibet setelah itu. Meskipun mereka dapat menggunakan dasar-dasar keagamaan untuk membenarkan anjuran-anjuran kebijakan anti-Buddha mereka – contohnya, kehadiran agama Buddha akan memurkakan dewa-dewa kuno dan membawa malapetaka – ini tidak menyiratkan bahwa mereka mendukung semua adat keagamaan pribumi. Bagaimanapun juga,
golongan “Bon” ini tidak memasukkan para pemimpin agama yang melakukan upacara-upacara pribumi untuk mendukung Kaisar. Perasaan anti-Buddha pada golongan “Bon” juga bukan merupakan tanda pemberontakan Zhang-zhung. Para pemimpin keyakinan adat pribumi dan kaum bangsawan pendukung yang membentuk oposisi berasal dari Tibet tengah, bukan orang luar dari Zhang-zhung. Zhang-zhung adalah wilayah yang dikuasai, bukan kawasan politik kekaisaran itu, sehingga tidak mungkin para pemimpinnya bertindak sebagai anggota terpercaya di mahkamah kekaisaran. Singkatnya, golongan “Bon” anti-Buddha yang nantinya akan berperan menjadikan kedatangan ulama Muslim tidak berarti bukan merupakan kelompok yang pasti secara kewilayahan maupun secara keagamaan. Golongan ini terdiri dari penentangpenentang pemerintahan kekaisaran di Yarlung yang didorong oleh alasan-alasan politik kekuasaan. Mereka menolak dan menghalangi setiap hubungan luar negeri yang dapat memperkuat kedudukan politik kaisar Tibet, melemahkan status mereka sendiri, dan mengancam dewa-dewa adat mereka. Meski setelah kematian Songtsen-gampo, sikap benci terhadap orang asing dalam golongan ini terus tumbuh. Masa Pemerintahan Dua Kaisar Tibet Berikutnya Firasat golongan yang benci terhadap orang asing dalam mahkamah Tibet itu akhirnya menjadi cukup beralasan ketika, pada tahun-tahun awal pemerintahan kaisar Tibet berikutnya, Mangsong-mangtsen (Mang-srong mang-btsan, memerintah 649 – 676), Tang Cina menyerang Tibet. Pasukan Han Cina mencapai Rasa dan mengakibatkan kerusakan hebat sebelum akhirnya mereka terdesak dan kalah.
Selama pemerintahannya pada tahun-tahun setelah itu, Mangsong-mangtsen dikendalikan oleh seorang menteri yang kuat dari golongan lain yang ingin memperluas kekaisaran itu lebih jauh. Menteri ini menundukkan Tuyuhun, sebuah kerajaan Buddha di timur laut Tibet yang mengikuti gaya agama Buddha Khotan, dan Kashgar, juga hidup dalam lingkup kebudayaan Khotan. Pada 670, ia menaklukkan Khotan dan mengambil kekuasaan di beberapa negara bagian oase di Danau Tarim kecuali Turfan. Raja Khotan melarikan diri ke mahkamah kekaisaran Tang, tempat kaisar Cina itu memberinya dukungan, menghargainya atas perlawanannya terhadap kaum Tibet. Menurut catatan-catatan Khotan, kaum Tibet menyebabkan banyak kehancuran selama masa penundukkan negara bagian oase itu, termasuk merusak candi-candi dan wihara-wihara Buddha. Namun, tak lama setelah itu mereka menyesali tindakan mereka dan mengambil minat besar pada keyakinan Buddha. Catatan lugu ini, bagaimanapun, dapat menjadi penambahan untuk contoh Raja Ashoka, yang menghancurkan banyak candi dan tugu Buddha sebelum menyesali dan memilih agama Buddha. Meski demikian, beberapa cendekiawan Barat melacak keterlibatan lebih mendalam kaum Tibet dengan agama Buddha mulai titik ini. Jika agama Buddha sudah kuat di tengah kaum Tibet, mereka akan menghormati, tidak merusak, wihara-wihara Khotan. Menggunakan cara Khotan untuk mengubah kosakata teknis Buddha melalui etimologi pada tiap suku kata, kaum Tibet kini mulai mendatangkan dan menerjemahkan beberapa naskah Buddha Khotan. Persentuhan kebudayaan ini berjalan dua arah ketika para cendekiawan juga menerjemahkan karya pengobatan India ke dalam bahasa Khotan yang sebelumnya pernah diubah dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Tibet. Seiring mahkamah
kekaisaran membentuk hubungan-hubungan dengan pihak asing yang kuat seperti itu, ketakutan terhadap oposisi yang benci terhadap orang asing sekali lagi mulai tumbuh. Perebutan kekuasaan antara kaisar Tibet berikutnya, Tri Dusongmangjey (Khri ‘Dus-srong mang-rje, memerintah 677 – 704), dan marga menteri sebelumnya benar-benar melemahkan mahkamah Yarlung. Tibet kehilangan tentara dan penguasaan politiknya di beberapa negara bagian Danau Tarim, meskipun tetap mempertahankan keberadaan budayanya di oase-oase selatan. Namun, Kekaisaran Tibet masih memiliki ambisi. Pada 703, Tibet menggabungkan dirinya dengan Kekaisaran Turki Timur melawan Tang Cina. Masa Pemerintahan Ratu-Ratu Selama kurun waktu ini, Ratu Cina Wu (memerintah 684 – 705) memimpin sebuah kudeta yang untuk sementara menggulingkan Dinasti Tang dengan menyatakan bahwa ia adalah Maitreya, Buddha masa depan. Ibu-ratu Tibet, Trima Lo (Khri-ma Lod), ibu Kaisar Tri Dusong-mangjey, berasal dari marga yang berkuasa di Tibet timur laut yang tidak hanya memperoleh simpati umat Buddha Khotan berkat pengaruh Tuyuhun, tapi juga hubungan dekat dengan Tang Cina. Ia berhubungan timbal balik dengan Permaisuri Wu, dan ketika anaknya, kaisar Tibet itu, meninggal dunia pada 704, ia menggantikan peran cucu laki-lakinya sendiri dan memerintah sebagai ratu janda sampai kematiannya pada 712. Bersama Kaisar Wu, ia merencanakan putri Han China, Jincheng (Chin-ch’eng), untuk datang ke Tibet sebagai calon istri bagi cicitnya, Mey-agtsom (Mes ag-tshoms), yang juga dikenal sebagai Tri Detsugten (Khri lDe-gtsug-btan), yang masih bayi pada saat itu. Putri Jincheng adalah seorang umat Buddha yang taat dan
membawa serta seorang biksu Han Cina untuk mengajar para perempuan di mahkamah Tibet. Golongan pemimpin keyakinan adat pribumi dan bangsawan yang benci terhadap orang asing menjadi sangat terganggu oleh perkembangan ini. Pengaruh mereka di mahkamah kini ditantang lagi oleh biksu-biksu Buddha Han Cina seperti pada masa pemerintahan Songtsen-gampo. Namun, kali ini ancaman lebih kuat karena orang-orang asing itu kini berada di ibu kota itu sendiri. Dengan kekuatan-kekuatan gaib agama asing yang diundang lagi untuk menambah kekuatan kekaisaran ini, mereka takut pada pembalasan dewa-dewa agama pribumi mereka seperti telah mengejawantah enam puluh tahun sebelumnya dalam bentuk serbuan kaum Tang di Tibet tengah.Selama masa itu, bagaimanapun, golongan “Bon” hanya bisa menunggu waktunya. Ratu Janda Trima Lo, yang rukun dengan mahkamah Cina itu, kini membelokkan ambisi-ambisi militer Tibet dari arah itu dan membentuk persekutuan dengan kaum Turki Shahi di Gandhara dan Baktria pada 705, kali ini melawan kaum Arab Ummaiyyah. Ketika Ratu Janda itu mangkat pada 712 dan Mey-agtsom mewarisi tahtanya (memerintah 712 – 755), ia masih kecil. Ratu Jincheng, seperti mendiang Ratu Janda, kemudian memiliki pengaruh kuat di mahkamah Tibet. Persekutuan Kaum Tibet-Ummaiyyah Sementara itu, kekuatan yang berebut menguasai Turkistan Barat terus berlanjut. Pada 715, setelah jenderal Arab, Qutaiba, merebut kembali Baktria dari kaum Turki Shahi, Tibet beralih keberpihakan dan bersekutu dengan pasukan Ummaiyyah yang baru saja mereka perangi. Balatentara Tibet kemudian membantu jenderal Arab itu merebut Ferghana dari kaum Turgi dan bersiap untuk maju
melawan Kashgar yang dikuasai kaum Turgi. Persekutuan kaum Tibet dengan Turki Shahi dan kemudian dengan Ummaiyyah niscaya berguna untuk mempertahankan kedudukan di Baktria dengan harapan menghidupkan kembali keberadaan militer, ekonomi, dan politiknya di Danau Tarim. Pajak dari perdagangan Jalur Sutra yang menguntungkan itu adalah daya pikat yang selalu menjadi alasan tindakan-tindakan mereka. Orang mungkin tergoda untuk berpikir bahwa persekutuan sebelumnya antara kaum Tibet dan Turki Shahi untuk mempertahankan Baktria dari kaum Ummaiyyah disebabkan oleh golongan “Bon” yang menyamakannya dengan Tagzig, tempat kelahiran agama Bon, dan berharap untuk mencegah penodaan terhadap wihara utamanya, Wihara Nava. Namun, kesimpulan ini tidak tepat meskipun orang membiarkan dua pemikiran salahnya bahwa agama Bon pada masa itu adalah agama tertata dan bahwa golongan Bon adalah kelompok yang tetap secara keagamaan. Meskipun seandainya ada sumber Buddha Baktria dalam beberapa unsur kepercayaan Bon, para pengikut Bon tidak menyamakan ciri-ciri ini sebagai ciri-ciri Buddha. Bahkan, para penganut Bon kemudian menyatakan bahwa agama Buddha di Tibet telah menjiplak banyak ajaran mereka. Oleh karena itu, golongan Bon di mahkamah Tibet ini tidak memimpin “perang suci” di Baktria. Lebih-lebih, sama dengan umat Buddha, seperti yang ditunjukkan oleh kenyataan bahwa setelah kekalahan Baktria dan hancurnya Wihara Nava, kaum Tibet tidak melanjutkan mempertahankan agama Buddha di Baktria, tapi mengubah persekutuan dan bergabung dengan Arab Muslim. Kekuatan pendorong utama di balik kebijakan luar negeri Tibet adalah ketertarikan ekonomi dan kepentingan diri, bukan agama.
Uraian tentang Misi Umat Muslim ke Tibet Agar tidak mengecewakan sekutu-sekutu Ummaiyyahnya dan membahayakan hubungan mereka, pada 717 mahkamah Tibet sepakat mengundang seorang guru Muslim atas desakan Kalifah Umar II. Namun, ini tidak begitu berhubungan dengan ketertarikan nyata pada doktrin-doktrin Islam. Kemungkinan terbaik, Ratu Jincheng mungkin menganggap hal itu seperti Kaisar Songtsengampo dulu menghormati agama Buddha,yakni sebagai sumber kekuatan gaib lain yang dapat memperkuat kedudukan kekaisaraanya. Di sisi lain, para pendeta dan bangsawan yang kolot di mahkamah Tibet bermusuhan dengan ulama Arab itu. Mereka takut bahwa pengaruh asing lain, yakni upacara-upacara keagamaan yang dapat memperkuat kultus kekaisaran, melemahkan pengaruh mereka, dan mengundang kehancuran di Tibet. Tanggapan dingin yang diterima guru Muslim tersebut di Tibet pada waktu itu disebabkan terutama oleh suasana benci terhadap orang asing yang ditebarkan oleh golongan oposisi di mahkamah Tibet. Ini bukan pratanda pertentangan keagamaan Islam-Buddha atau Islam-Bon. Selama hampir tujuh puluh tahun, kebencian golongan ini telah mengarah pada agama Buddha dan ini terus berlanjut seperti itu. Untuk menilai bahwa sikap mereka terhadap Islam adalah berdasarkan kebencian terhadap orang asing, mari kita lihat secara singkat peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah itu di Tibet. Para Biksu Pengungsi dari Khotan di Tibet Wangsa Tang telah memulihkan kekuasaannya pada 705 dengan turunnya Ratu Wu dari tahta. Namun, keadaan di sana belum tenang sampai pemerintahan cucu lelaki sang Ratu, Xuanzong
(Hsüan-tsung, memerintah 713 – 756). Kaisar baru yang berpengaruh kuat ini menuntut kebijakan anti-Buddha untuk berusaha melemahkan dukungan terhadap gerakan neneknya. Pada 720, seorang simpatisan Kaisar Tang yang anti-Buddha memecat raja Khotan penganut Buddha itu dan mengambil tahtanya. Banyak penindasan agama terjadi dan banyak umat Buddha mengungsi. Karena gelombang besar pengungsi biksu Baktria tiba di Khotan lima tahun sebelumnya akibat perusakan kaum Ummaiyyah terhadap Wihara Nava, bukan tidak beralasan untuk menduga bahwa mereka akan menjadi yang pertama meninggalkan Khotan, takut pengalaman traumatis mereka di Baktria akan terulang. Pada 725, Ratu Jincheng mengatur agar pengungsi biksu-biksu Buddha dari Khotan dan Han Cina mendapatkan suaka di Tibet. Ia membangun tujuh wihara untuk mereka, termasuk wihara di Rasa. Langkah ini membuat menteri-menteri yang benci terhadap orang asing di mahkamah itu semakin gelisah. Ketika sang Ratu meninggal dunia pada 739 akibat wabah cacar, mereka memanfaatkan kesempatan itu untuk mengasingkan semua biksu asing di negeri itu ke Gandhara, yang diperintah oleh sekutu Tibet penganut Buddha kuno, kaum Turki Shahi. Yakin bahwa dewadewa mereka dihina lagi dan sedang memberikan hukuman, menteri-menteri itu mengumumkan bahwa kehadiran orang-orang asing dan upacara-upacara keagamaan mereka di Tibet adalah penyebab wabah yang menjalar itu. Gandhara adalah tempat tujuan yang layak bagi para biksu itu karena kaum Turki Shahi juga merupakan penguasa Baktria tempat banyak biksu itu berasal. Sejumah besar biksu itu akhirnya bermukim di wilayah pegunungan Baltistan, di utara kawasan Oddiyana milik Gandhara.
Kekuasaan golongan pembenci orang asing ini mencapai puncaknya enam belas tahun kemudian ketika, pada 755, mereka membunuh Kaisar Mey-agtsom karena keberpihakannya yang besar pada kaum Tang Cina dan agama Buddha. Empat tahun sebelumnya, pada tahun yang sama ketika pasukan-pasukan Tang secara besar-besaran dikalahkan dan diusir dari Turkistan Barat, Kaisar itu mengirim utusan orang Tibet ke Han Cina untuk belajar lebih banyak tentang agama Buddha. Utusan itu dipimpin oleh Ba Sangshi (sBa Sang-shi), anak lelaki mantan duta Tibet di mahkamah Tang. Ketika Kaisar Tang Xuanzong digulingkan dari tahta dalam sebuah pemberontakan pada 755, golongan “Bon” diyakinkan bahwa apabila mereka tidak menghentikan kebodohan Mey-agtsom dan, sebagai tindak lanjut utusan ini, undangan yang lebih banyak kepada biksu Han Cina untuk ke mahkamah Tibet, mereka tidak hanya akan kehilangan pengaruh, tapi bencana bagi negeri mereka akan terjadi lagi seperti yang menimpa Tang Cina. Akibatnya, setelah membunuh sang Kaisar, mereka memulai penindasan selama enam tahun terhadap agama Buddha di Tibet. Meskipun adanya undangan oleh mahkamah kekaisaran kepada seorang guru Muslim, kurangnya penerimaan Tibet terhadap Islam adalah sebuah peristiwa dalam sejarah perselisihan yang bersifat politik-keagamaan dalam tubuh kekaisaran Tibet. 2 Dari Kaisar Tri Songdetsen sampai Masa Pemulihan Agama Buddha di Abad Ke-11 Ulasan tentang Hubungan-Hubungan Tibet dengan Cina Tibet dan Cina mula-mula membentuk hubungan diplomatik pada 608 ketika ayah Kaisar Songtsen-gampo, Namri-lontsen (gNam-ri slon-mtshan), mengirim utusan Tibet pertama ke mahkamah Cina pada masa Dinasti Sui. Songtsen-gampo, pada gilirannya, mengirim utusan ke mahkamah Tang pada 634 dan menikahi putri
Han Cina, Wencheng, pada 641. Empat tahun kemudian, ia meresmikan candi Tibet pertama di Wutaishan (Wu-t’ai shan, Tib. Ri-bo rtse-lnga), gunung suci umat Buddha Cina di barat daya Beijing. Sejak itu, Tibet secara berkala mengirim duta-duta selanjutnya ke mahkamah Cina, meskipun kadang-kadang terdapat peperangan antara dua kekaisaran itu. Kaisar Mey-agtsom, seabad kemudian, tertarik pada ajaran Buddha Han Cina, niscaya karena pengaruh istri Buddha-nya yang berdarah Han Cina, Permaisuri Jincheng. Meskipun kondisi agama Buddha di Tang Cina lemah setelah pelarangan yang diberlakukan terhadapnya oleh Kaisar Xuanzhong pada 740, Mey-agtsom mengirim utusan ke sana pada 751 untuk belajar lebih banyak tentang agama ini. Ketertarikan terhadap ajaran Buddha yang diperlihatkan oleh anak laki-lakinya, yang kelak adalah kaisar Tibet Tri Songdetsen (Khri Srong-lde-btsan, 742 – 798), agaknya juga mendorongnya mengirim utusan itu. Utusan itu dipimpin oleh Ba Sangshi (sBa Sang-shi), anak laki-laki duta Tibet terdahulu ke Tang Cina. Pada 755, menteri-menteri golongan posisi yang benci terhadap orang asing membunuh Kaisar Mey-agtsom. Golongan ini sama dengan yang enam belas tahun sebelumnya mengusir biksu-biksu Han Cina dan Khotan, yang diundang Permaisuri Jincheng, dari Tibet. Pembunuhan ini terjadi pada tahun yang sama ketika terjadinya pemberontakan An Lushan dan, seperti sebelumnya, menteri-menteri itu barangkali takut bahwa keberpihakan sang Kaisar terhadap agama Buddha dan kaum Tang Cina akan membawa kehancuran bagi Tibet. Selain itu, mungkin penggulingan Khilafah Ummaiyyah oleh kaum Abbasiyyah pada 750 dan pemberontakan An Lushan mendorong tindakan berani mereka. Seperti penyerangan terhadap agama Buddha Han Cina
yang dilakukan oleh An Lushan, menteri-menteri yang benci terhadap orang asing itu memprakarsai penindasan terhadap agama Buddha di Tibet yang berlangsung selama enam tahun. Namun, sasarannya kemungkinan besar adalah golongan pendukung Tang dalam mahkamah itu. Diundangnya Shantarakshita ke Tibet Utusan ke Cina, yang dipimpin oleh Ba Sangshi, kembali ke Tibet pada 756 dengan membawa naskah-naskah Buddha. Ba Sangshi, untuk sementara waktu, menyembunyikan naskah-naskah tersebut karena suasana anti-Buddha pada masa itu, tapi mendorong Tri Songdetsen, yang masih kecil, ke arah ajaran Buddha. Pada 761, Tri Songdetsen mencapai masa kedewasaan dan, saat menaiki tahtanya, secara resmi menyatakan dirinya penganut Buddha. Ia lalu mengirim utusan ke Kekaisaran Pala (750 – akhir abad ke-12 M) yang baru saja berdiri di India utara. Ia mengamanatkan kepada utusan itu, diketuai oleh Selnang (gSalsnang), untuk mengundang guru Buddha Shantarakshita, Kepala Wihara Nalanda, ke Tibet untuk kali pertamanya. Tak lama setelah kedatangan kepala wihara India itu, wabah cacar air merebak di Tibet. Golongan yang benci terhadap orang asing dalam mahkamah itu menyalahkan biksu asing tersebut atas wabah itu dan mengusirnya dari Tibet, seperti yang pernah mereka lakukan terhadap biksu-biksu Han Cina dan Khotan di Tibet ketika wabah serupa meletus pada 739. Tri Songdetsen tidak begitu mudah digagalkan dalam keinginannya untuk memperkuat kedudukan agama Buddha di kerajaannya. Ia adalah seorang pemimpin yang berkuasa dan
ambisius. Selama pemerintahannya, Tibet menganut kebijakan yang ekspansif dan agresif. Memanfaatkan kelemahan Tang setelah pemberontakan An Lushan, ia merebut kembali banyak wilayah Tibet timur laut yang sebelumnya dikuasai Tang Cina. Ia bahkan sempat menguasai ibu kota Tang, Chang’an, pada 763, tahun setelah qaghan Uigur, Bogu, pindah keyakinan ke Manikheisme. Tri Songdetsen kemudian pindah ke Terusan Gansu, menghalangi jalan masuk Tang China ke Jalur Sutra, percabangan utara utama yang terletak di antara pos perbatasan Tang di Turfan dan di Kucha. Ini memaksa perdagangan kaum Cina untuk menghindari wilayah kekuasaan Tibet itu dengan memutar ke utara melalui wilayah-wilayah kaum Uighur di Mongolia Tengah. Kaum Tibet lalu memasuki perang segitiga berkepanjangan melawan kaum Uighur dan Tang Cina untuk berkuasa di Turfan dan Beshbaliq, tempat pemerintah Tang tidak memungut biaya apa pun. Perdagangan kaum Cina, yang dialihkan melalui Mongolia tengah, harus melewati dua kota itu untuk mencapai Jalur Sutra utara utama. Dengan kepercayaan diri dan kekuatan yang disokong oleh kemenangan-kemenangan militernya, Tri Songdetsen sekali lagi mengutus Selnang ke India untuk mengundang kembali Shantarakshita. Kali ini, kepala wihara dari India ini mengikutsertakan Padmasambhava (Guru Rinpoche), untuk menjinakkan kekuatan-kekuatan rohani di Tibet yang menentang penegakan agama Buddha. Pendirian Wihara Samyay Universitas-universitas kewiharaan Buddha India terkemuka di Bihar, seperti Nalanda, perguruan-asal Shantarakshita, menikmati dukungan negara tanpa henti selama beberapa abad, meski
melalui beberapa pergantian dinasti politik. Kaisar Harsha (606 – 647) dari Dinasti Gupta terdahulu menempatkan seribu biksu Nalanda di istananya dan bahkan menyentuh kaki biksu Han Cina, Xuanzang, sebagai tanda hormat. Kekaisaran Pala menyokong agama Buddha hingga tingkatan yang jauh lebih tinggi. Kaisar pertamanya, Gopala (750 – 770), mendirikan universitas kewiharaan Buddha Odantapuri, sedangkan kaisar keduanya, Dharmapala (770 – 810), mendirikan Vikramashila dan Somapura. Meskipun Dharmapala memperluas kekaisarannya hingga perbatasan-perbatasan Gandhara di barat dan Bengal di timur, ia tidak pernah melibatkan wihara-wihara Buddha itu dalam perubahan-perubahan politik dan militer negaranya. Ia juga tidak berusaha mengatur mereka. Wiharawihara di India utara itu menikmati kebebasan penuh untuk melanjutkan pendidikan keagamaan. Pada 766, Tri Songdetsen, diilhami oleh contoh Kaisar India Gopala, memerintahkan Wihara Samyay dibangun seperti Odantapuri. Ini adalah wihara Buddha pertama di negerinya yang dipersembahkan untuk digunakan khusus oleh kaum Tibet. Selama masa pembangunannya, tujuh pribumi Tibet pertama dinobatkan sebagai biksu dan, saat penyempurnaannya pada 755, lebih dari tiga ratus orang Tibet memperoleh jabatan itu. Sebelumnya, hanya ada beberapa candi Buddha di Tibet dan sedikit bangunan wihara kecil yang dibangun untuk biksu-biksu asing, seperti para pengungsi Khotan dan Han China pada 720. Meskipun biksu-biksu Tibet itu dinobatkan dengan adat India, Tri Songdetsen menerapkan kebijakan perpaduan budaya. Namun, sebagian dari alasannya untuk kebijakan ini barangkali adalah kemanfaatan politik. Ia perlu menyeimbangkan tuntutan dari tiga
golongan yang bersaing di dalam mahkamahnya – p ribumi Tibet, pendukung India, dan pendukung Cina. Oleh karena itu, candi utamanya di Samyay ia bangun tiga tingkat, dengan masingmasing tingkat menurut gaya bangunan dari budaya Tibet, India utara, dan Han Cina. Ini mengingatkan pada pendiri dinastinya, Songtsen-gampo, yang mengusahakan keseimbangan serupa dengan menikahi putri-putri dari Zhang-zhung, Nepal, dan Tang Cina untuk tujuan politik. Hubungan-Hubungan Kebudayaan dengan Cina Meskipun Tri Songdetsen berseteru dengan Cina untuk memperoleh kekuasaan di ujung barat Jalur Sutra, ia sepertinya tidak memiliki prasangka budaya terhadap kaum Han Cina, terutama menyangkut agama Buddha. Tujuan-tujuan militernya terutama bersifat politik dan ekonomi. Setelah pemberontakan An Lushan padam dan kekuasaan kekaisaran pulih, kaisar-kaisar Tang berikutnya tidak hanya mencabut pembatasan-pembatasan yang dijatuhkan pada agama Buddha oleh Kaisar Xuanzong, tapi juga menyokong agama ini. Namun, tidak seperti kejadian di Pala India, umat Buddha Han Cina ini, pada gilirannya, juga mendukung negara ini. Tidak jelas apakah ini berasal dari prakarsa umat Buddha itu sendiri atau dari kebijakan negara untuk memanfaatkan ketenaran agama Buddha untuk memantapkan dukungan bagi pemerintahannya. Yang terakhir ini sepertinya lebih mungkin, mengingat contoh dari pendiri Dinasti Sui yang menyatakan dirinya seorang kaisar chakravarti dan Ratu Tang Wu yang menyatakan dirinya Maitreya Buddha. Pada 766, Kaisar Daizong (memerintah 763 – 780) mendirikan wihara baru di Wutaishan bernama “Candi Megah Keemasan yang Melindungi dari Kekuatan Jahat dan Membela Bangsanya.” Satu
naskah Buddha Han Cina baru dan populer terbit, Sutra Raja Bodhisattwa yang Membela Bangsanya. Kaisar Tang itu memberlakukan kembali penindasan terhadap pengikut Manikheisme pada 768 dan 771, untuk melindungi “ kemurnian” agama Buddha dari agama itu yang dicap sebagai tiruan palsu. Perkembangan-perkembangan ini mengikuti pola agama Buddha Cina utara selama Masa Dinasti Enam (280 – 589). Pada saat itu, para penguasa non-Han di Cina utara mengatur secara ketat wihara-wihara Buddha itu dan menyokong mereka untuk menjalankan upacara-upacara keagamaan demi keberhasilan tentara mereka. Biksu-biksu itu, yang memerlukan perlindungan kekaisaran agar dapat bertahan dalam masa-masa genting tersebut, diharuskan untuk mengakui bahwa para penguasa itu adalah Buddha, mengabdi pada pemerintah mereka, dan mempermainkan kemurnian ajaran-ajaran Buddha agar mendukung kebijakan-kebijakan paling kejam sekalipun. Tri Songdetsen tertarik untuk belajar lebih banyak tentang perkembangan-perkembangan terbaru ini di Cina, sesuai dengan kebijakannya untuk menerapkan perpaduan budaya dari adat Tibet, India dan Cina. Sehingga, pada akhir 760-an, ia tidak hanya mengutus Ba Sangshi, tapi juga Selnang pada utusan kedua ke Tang Cina. Sekembalinya mereka, Tri Songdetsen membangun candi Buddha Nang Lhakang (Nang Lha-khang) di Dragmar (Bragdmar). Candi itu terletak di sekitar istana kekaisaran, berdekatan dengan Wihara Samyay, yang masih dalam pembangunan. Candi itu dibangun menurut contoh Candi Megah Keemasan yang Melindungi dari Kekuatan Jahat dan Membela Bangsanya. Maksudnya adalah bahwa agama Buddha menduduki tempat kedua di negara itu, seperti di Han Cina, dan wajib melayani
kepentingan-kepentingan kekuatan kekaisaran Tibet yang terus berkembang. Penyempurnaan Wihara Samyay Samyay selesai dibangun pada 775 dan sang Kaisar menunjuk Shantarakshita sebagai kepala wihara pertama. Namun, Padmasambhava pergi tak lama sebelum penyempurnaannya. Ia merasa kaum Tibet belum siap untuk ajaran-ajaran Buddha yang paling mendalam, terutama mengenai dzogchen (rdzogs-chen, kesempurnaan tinggi). Untuk itu, ia menyembunyikan naskahnaskah tentang ajaran itu di dalam dinding-dinding dan tiang-tiang wihara, untuk pembaruan selanjutnya ketika zaman lebih siap. Guru-guru dari India utara dan Han Cina kemudian diundang ke Samyay untuk membantu menerjemahkan dan mengajarkan naskah-naskah Buddha. Namun, pada awalnya Samyay tidak dipersembahkan secara khusus bagi agama Buddha. Kegiatankegiatannya mencakup ranah kebudayaan yang lebih luas. Guruguru adat pan-Tibet setempat juga hadir untuk menerjemahkan bahan-bahan dari bahasa Zhang-zhung ke bahasa Tibet. Dalam lingkup ini pun, Samyay mencerminkan kebijakan kaisar tentang perpaduan budaya. Pada 779, Kaisar Tri Songdetsen menyatakan Buddha sebagai agama negara Tibet. Ia membebaskan keluarga-keluarga kaya tertentu dari pajak, tapi membebani mereka dukungan keuangan untuk masyarakat wihara yang tumbuh pesat. Dua ratus keluarga menyediakan sumber-sumber tersebut untuk sumbangan candi utama di Lhasa, dan tiga keluarga menyumbangkan persediaan makanan untuk menyokong tiap biksu.
Tri Songdetsen mungkin terilhami melakukan gerakan ini oleh contoh Raja Shivadeva II (704 – 750) dari Kekaisaran Licchavi Nepal. Pada 749, raja Nepal ini, meskipun tidak menyatakan Buddha sebagai agama negara, membebani satu desa tersendiri untuk menyokong wihara pribadinya, Wihara Shivadeva. Meskipun raja Maitraka dan Rashtrakuta dari Saurashtra memiliki kebijakan serupa untuk membantu wihara-wihara di Valabhi, sedikit kemungkinan bahwa Tri Songdetsen mengetahui contoh ini. Perdamaian dengan Cina dan Pembentukan Majelis Keagamaan Tibet Kaisar Tibet itu, yang masih melanjutkan perpaduan kebudayaan, meminta kaisar Tang yang baru, Dezong (memerintah 780-805), pada 781 untuk mengirim dua biksu setiap tahun dari Han Cina ke Samyay untuk mengajar kaum Tibet. Dua tahun kemudian, pada 783, Tang Cina dan Tibet, setelah beberapa dasawarsa peperangan dengan Turfan dan Beshbaliq, menandatangani sebuah perjanjian damai, membiarkan pasukan Tang menguasai dua kota di Turkistan Timur. Shantarakshita, kepala wihara Samyay dari India itu, meninggal dunia setelah itu, juga pada 783. Sebelum meninggal, ia mengingatkan Tri Songdetsen bahwa, di masa depan, ajaranajaran Buddha akan merosot di Tibet karena pengaruh Han Cina. Ia menyarankan supaya Kaisar mengundang muridnya, Kamalashila, dari India untuk menyelesaikan masalah itu nantinya. Tri Songdetsen menunjuk Selnang untuk menggantikan Shantarakshita sebagai kepala wihara Tibet pertama di Samyay. Pada tahun yang sama, 783, Kaisar mendirikan Majelis Agama yang diketuai oleh Kepala Wihara Samyay, untuk menetapkan semua persoalan agama. Ini adalah awal bentuk pemerintahan
Tibet hingga akhirnya memiliki menteri-menteri dari masyarakat awam maupun kalangan biksu. Memahami perkembangannya dalam situasi politik pada masa itu dapat membantu kita memahami mengapa agama Islam tidak menyebar ke Tibet atau negara-negara bawahannya setelah menyerahnya Shah Kabul dan panglima militer Tibet kepada kaum Abbasiyyah tiga dasawarsa kemudian. Tinjauan tentang Kebijakan Majelis Agama Tibet Terdapat tiga golongan utama dalam mahkamah kekaisaran Tibet pada masa itu – golongan pendukung India, golongan pendukung Tang Cina, dan golongan yang benci terhadap orang asing – yang masing-masing disokong oleh suku tertentu. Selnang adalah anggota suku yang memimpin golongan pendukung India. Setelah dua kali memimpin utusan kekaisaran ke Pala India dan Tang Cina, ia tahu betapa menyenangkan keadaan agama Buddha di India dibandingkan di Cina. Di Pala India, wihara-wiharanya menerima bantuan dari negara dan menikmati kebebasan mutlak, tanpa kewajiban apapun kepada negara. Mereka juga tidak terlibat dalam urusan-urusan pihak lain. Bahkan, sejak kunjungan Selnang, kaisar-kaisar Pala mengirimkan pembayaran-pembayaran penghormatan ke mahkamah Tibet, meskipun penggambaran ini mungkin adalah bentuk yang telah diperhalus dari mengirimkan utusan-utusan perdagangan. Namun, ada harapan bahwa Negara Pala juga akan mendukung perguruan-perguruan Buddha di Tibet. Di Tang Cina, sebaliknya, wihara-wihara Buddha memperoleh dukungan negara hanya setimpal dengan pengendalian pemerintah. Agama Buddha sering memperoleh sokongan dan pengendalian dari pemerintah gabungan di Han Cina, terutama di daerah utara.
Namun, sejak pemerintah seringkali diserang dan diruntuhkan, agama ini kerap berada pada situasi tak menentu. Misalnya, Kekaisaran Toba Wei Utara (386 – 535) memiliki kantor pemerintah yang khusus mengatur wihara-wihara Buddha di kerajaannya, dengan seorang biksu kepala yang dipilih oleh kaisarnya. Kantor ini memiliki kekuatan untuk memecat biksu-biksu kotor yang mengumbar ajaran wihara dan menyalahgunakan kedudukan mereka. Seringkali kantor itu menjalankan tugas-tugas pengaturannya sesuai hukum. Namun, ketika pemerintah ada di bawah kendali menteri-menteri yang cemburu terhadap kemurahan kekaisaran terhadap agama Buddha, kantor itu dibubarkan dan penindasan-penindasan kejam terhadap umat Buddha menyusul, misalnya pada 446. Dalam mendirikan Majelis Agama, Tri Songdetsen barangkali mengikuti gaya Han Cina, tapi ia memadukan beberapa unsur India dan Tibet di dalamnya. Sesuai contoh-contoh dari India-Nepal, negara mendukung wihara dengan membebaskan keluargakeluarga tertentu dari pajak tapi menugaskan mereka untuk menyediakan bahan makanan bagi wihara-wihara dan biksubiksunya. Seperti di Han Cina, wihara-wihara itu, sebagai imbal balik, akan menyelenggarakan upacara keagamaan untuk kesejahteraan negara. Ini juga sesuai dengan adat Tibet lama yakni memiliki pendeta-pendeta adat pra-Buddha asli Tibet yang mengabdi di mahkamah kekaisaran, bertugas menyelenggarakan upacara-upacara keagamaan. Seperti pada gaya Han Cina, kantor itu mengatur persoalan-persoalan intern Buddha; tetapi, seperti gaya India, kantor itu memperoleh kebebasan dari peraturan pemerintah. Selnang, sebagai anggota suku utama pendukung India di mahkamah Tibet dan ketua pertama Majelis Agama, tentu saja
memiliki ikatan yang lebih erat dengan India dan hubungan yang lebih lemah dengan Tang Cina. Lebih lanjut, ia lebih tertarik untuk menghindari penindasan agama Buddha atau pengendalian pemerintah gaya Han Cina. Namun, Tri Songdetsen baru saja tunduk pada Tang Cina di garis depan politik. Ini memperkuat pengaruh golongan pendukung Cina di mahkamah Tibet. Situasi ini sangat menguntungkan bagi golongan ini untuk mendorong Kaisar agar menjalankan kebijakan gaya Han Cina mengenai pengendalian pemerintah terhadap wihara. Ini juga menguntungkan bagi golongan pembenci orang asing di mahkamah untuk menentang hubungan kuat yang telah terjalin lama dengan Tang Cina dan memulai kembali pembersihan pengaruh asing, termasuk Agama Buddha. Selnang dan Majelis Agamanya perlu untuk bertindak secara cepat dan tegas. Jalan keluarnya adalah memperkuat kedudukan Majelisnya sehingga tidak hanya akan menjadi mandiri, melainkan juga memiliki pengaruh kuat pada pemerintahan itu sendiri. Maka, Selnang meyakinkan Tri Songdetsen agar mengizinkan anggotaanggota Majelis Agama untuk menghadiri seluruh pertemuan kementerian dan memiliki wewenang untuk menolak menterimenterinya. Di bawah bimbingan Kepala Wihara dari Tibet itu, Majelis Agama segera menjadi lebih berpengaruh dibanding Majelis Menteri Kekaisaran itu sendiri. Pembersihan terhadap Golongan yang Benci Terhadap Hal Asing Sebagai gerakan pertama, pada 784, Majelis Agama itu memulai pembersihan terhadap golongan kolot yang benci terhadap hal asing, mengirim para pemimpinnya ke pengasingan di Gilgit dan Nanzhao (Nan-chao), wilayah yang sekarang Provinsi Yunnan barat laut di Republik Rakyat Cina. Karena golongan ini telah
membunuh ayah Kaisar dua puluh sembilan tahun sebelumnya dan memprakarsai enam tahun penindasan agama Buddha, mereka jelas merupakan ancaman terbesar. Catatan sejarah Buddha Tibet abad ke-12 menggambarkan kejadian itu sebagai penindasan terhadap pendeta-pendeta Bon yang menentang agama Buddha. Meskipun kehadiran pengikutpengikut agama Bon nantinya di Gilgit dan Nanzhao menandakan bahwa banyak dari mereka yang dikirim ke pengasingan menganut adat Tibet pra-Buddha, pembersihan itu pada dasarnya politis. Ini bukan berdasarkan perbedaan-perbedaan ajaran agama. Sebelum akhir abad ke-11 M, Bon bukan agama yang tertata dan istilah bon hanya mengacu pada golongan oposisi ini, golongan yang benci terhadap hal asing di mahkamah kekaisaran. Guru-guru agama Buddha dan adat Tibet pribumi telah bekerja berdampingan menerjemahkan naskah mereka masing-masing di Samyay. Namun, karena keadaan politik sangat tidak menentu pada saat ini, Drenpa-namka (Dran-pa nam-mkha’), pemimpin rohani tertinggi dari suku pribumi di Samyay, menyembunyikan salinan sebagian besar naskah kunonya di dalam celah-celah dinding wiharanya. Sejarah-sejarah Bon Tibet selanjutnya, yang mendukung laporan tentang penindasan agama, mengatakan bahwa ia berpura-pura menerima agama Buddha supaya tetap di Samyay dan melindungi naskah-naskah tersebut. Namun, apapun tujuannya, jelas bahwa guru pribumi ini tetap tinggal di wihara. Setelah pembersihan itu, ia mengajar campuran antara ajaran adatnya dan agama Buddha kepada guru-guru Tibet terkemuka seperti penerjemah Vairochana. Sejarah-sejarah keagamaan Bon Tibet dan Buddha seringkali menggambarkan kejadian-kejadian menurut rencana-rencana
politik mereka sendiri. Namun, tidak ada sumber Tibet yang mengatakan bahwa Drenpa-namka maupun pelaku-pelaku adat pribumi lainnya dipaksa meninggalkan adat dan kepercayaan mereka dan pindah ke agama Buddha. Yang lebih mungkin terjadi adalah bahwa adat pribumi Tibet dan agama Buddha telah bercampur sejak paling tidak zaman Kaisar Songtsen-gampo. Kaisar Tibet pertama itu memerintahkan pelaksanaan upacaraupacara keagamaan dari dua adat itu, dan Drenpa-namka hanya melanjutkan dan barangkali bahkan melestarikan cara ini. Hubungan saling memengaruhi dalam masing-masing tata agama terhadap yang lainnya tentu akan terjadi dan berkembang disebabkan oleh keberadaan guru-guru rohani dari kedua agama itu di Samyay. Sebagian besar, jika tidak semua anggota golongan politik yang benci terhadap hal asing yang telah dibersihkan dari mahkamah kekaisaran mungkin telah menganut adat pribumi Tibet. Namun, ini tidak berarti bahwa seluruh pelaku upacara-upacara keagamaan maupun semua unsur dari sistem ini dibuang dari Tibet, seperti sejarah-sejarah agama menuntun kita untuk percaya. Pada 821, perjanjian damai kedua dengan Tang Cina diakhiri dengan upacara-upacara keagamaan lengkap dari adat pribumi, termasuk pengorbanan hewan. Pendiri-pendiri agama Bon tertata dan guruguru Bon/Buddha eklektik pada awal abad ke-11 membuka naskah-naskah yang disembunyikan oleh Drenpa-namka. Dua fakta ini jelas menandakan bahwa Majelis Agama Tibet tidak menjalankan kebijakan pemaksaan pindah ke agama Buddha. Ini juga menunjukkan bahwa kepercayaan pribumi terus diterima di Tibet tengah bahkan setelah pembersihan pada 784.
Penghalangan Golongan Pendukung Tang Cina Setelah pembersihan pada 784, pemerintah Tibet tinggal memiliki dua golongan yang berlawanan. Beberapa menteri berasal dari suku berkuasa dari Tibet timur laut yang menyokong Tang Cina dan tempat Permaisuri Dowager Trima Lo berasal. Golongan lainnya, yang memuat Selnang, berasal dari suku lawan dari Tibet tengah yang curiga terhadap mahkamah Tang, mendorong untuk melanjutkan perang melawannya, dan mengupayakan hubungan lebih erat dengan Pala India dan Majelis Agama yang kuat. Pada 786, perdamaian yang berlangsung tiga tahun dengan Tang Cina itu berakhir. Kaum Uighur membantu pemberontakan Jucu (783 – 784) menyerang pemerintah Tang, dan kaum Tibet pernah membantu pasukan Tang mengalahkan mereka. Mahkamah Tang berjanji untuk menyerahkan Turfan dan Beshbaliq kepada kaum Tibet sebagai imbalan atas bantuan mereka, tetapi ketika kaisar Tang mengabaikan perjanjian mereka, kaum Tibet menyerang. Selama lima tahun berikutnya, kaum Tibet merebut Dunhuang dari Tang Cina, menyingkirkan pasukan Tang dari persaingan dengan kaum Uighur untuk mendapatkan Turfan dan Beshbaliq, dan menegaskan kembali kekuasaannya di negara-negara lembah sungai Tarim selatan, khususnya Khotan. Kaum Uighur memanfaatkan keadaan ini dan, menghalau bawahan mereka, kaum Karluk, dari Dzungaria dan beberapa wilayah di Turkistan Barat bagian utara, serta merebut Kucha dari Tang Cina. Namun, pasukan Tang terus merongrong kekuasaaan Tibet di Koridor Gansu. Dalam keadaan hubungan Sino-Tibet seperti ini, kaisar Tibet, Tri Songdetsen, mengadakan sidang adu pendapat yang terkenal di Samyay (792 – 794), tempat wakil-wakil aliran Buddha India utara
mengalahkan biksu-biksu Buddha Han Cina. Adu pendapat ini akhirnya menentukan untuk selamaya bahwa bentuk utama agama Buddha yang akan diterapkan di Tibet adalah bentuk India utara, bukan Han Cina. Adu pendapat dan hasil serupa berlangsung secara terhormat tentang tata pengobatan yang hendak diterapkan. Namun, perkembangan ini menjadi kemenangan baik untuk pandangan politik golongan anti-Tang Cina maupun untuk ajaran-ajaran filsafat dan laku pengobatan Buddha India. Majelis Agama niscaya mendukung golongan pendukung India daripada golongan pendukung Tang Cina. Selain itu, kenyataannya bahwa Selnang adalah penerjemah pada sebagian besar adu pendapat itu menunjukkan kesempatan yang ia miliki untuk memengaruhi hasilnya. Kesimpulan tentang Kebijakan Tibet di Sogdiana Kaisar Tri Songdetsen purna-tugas pada 797 dan meninggal dunia tahun berikutnya. Ia digantikan anak laki-lakinya, Muneytsenpo (Mu-ne btsan-po, memerintah 797 – 800). Ia, pada gilirannya, digantikan oleh adik laki-lakinya, Tri Desongtsen (Khri lDe-srong-btsan, memerintah 800 – 8 15), juga dikenal bernama Saynaleg (Sad-na-legs). Selama masa pemerintahan Tri Desongtsen ini, Khalifah al-Ma’mun sepenuhnya membenarkan bahwa Tibet adalah bangsa kuat yang menebar ancaman, terutama ketika Tibet dan sekutu-sekutunya menantang Sogdiana dan mendukung pemberontakan. Namun, tinjauannya tentang alasan-alasan Tibet dan pernyataannya bahwa konflik itu merupakan perang suci adalah tidak benar. Setelah membangun kembali kekuasaannya di Turkistan Timur, Tibet tentu mencari cara untuk memperluas wilayahnya ke Turkistan Barat dan oleh karena itu akan berusaha merusuhi
pemerintahan musuh-musuhnya. Namun, Tibet tidak tertarik untuk mengganggu agama musuhnya. Majelis Agama para biksu itu sangat berhasrat untuk memperoleh kekuatan intern tunggal di Tibet untuk menjamin pertumbuhan agama Buddha di negeri itu. Setelah membersihkan pemerintahan mereka dari golongangolongan yang akan melawan atau mencoba menguasainya, kegiatan-kegiatan utama golongan ini adalah menyusun kamus untuk membakukan terjemahan dari bahasa Sanskerta ke Tibet dan mengatur naskah-naskah yang hendak diterjemahkan supaya agama Buddha akan mudah dipahami dan tetap murni. Majelis Agama tidak bersangkutan dengan agama lain atau dengan penyebaran agama Buddha di dalam maupun di luar Tibet. Selain itu, dalam mendukung pengikut-pengikut Islam Mussalemiyya dan Syiah Manikheisme asal Sogdiana dalam pemberontakan anti-Abbasiyyah mereka, Tibet sama sekali tidak menunjukkan kemurahan hatinya terhadap sekte-sekte agama mereka. Maklumat-maklumat Kaisar Tri Songdetsen mengenai pemilihan agama Buddha India sebagai andalan Tibet jelas meniadakan Manikheisme. Maklumat-maklumat itu mengulang kritik Kaisar Tang Cina Xuanzong bahwa Manikheisme adalah sebuah tiruan dangkal agama Buddha dan berdasar pada kebohongan. Kaisar Tri Relpachen Satu dari beberapa alasan utama kaum Abbasiyyah mampu mengalahkan pengikut Tibet, Shah Kabul, pada 851 dan melakukan serangan lebih lanjut ke Gilgit yang dikuasai Tibet pada tahun-tahun berikutnya niscaya adalah kematian Tri Desongtsen pada tahun itu. Kaisar Tibet yang baru, anak laki-laki Tri Desongtsen, Tri Relpachen (Khri Ral-pa-can, memerintah 815 –
836), menaiki takhtanya ketika masih muda dan Tibet tidak memiliki kepemimpinan yang kuat pada masa itu. Namun, tak lama setelah itu, saat Tri Relpachen dewasa, ia menjadi sangat berkuasa dan memperkuat kedudukan agama Buddha lebih jauh lagi. Kaum Abbasiyyah mundur dari Kabul dan Gilgit pada 819, dengan berdirinya negara Tahirid. Pada 821, Tibet menandatangani perjanjian damai kedua dengan Tang Cina dan pada tahun berikutnya mencapai perjanjian serupa dengan kaum Uighur. Kaum Tibet menguasai Koridor Gansu dan Dunhuang, juga Turfan dan Beshbaliq. Dua kota terakhir ini telah beberapa kali berpindah tangan antara kaum Tibet dan Uighur dalam tiga dasawarsa sebelumnya. Terdorong oleh kemenangan-kemenangannya, Kaisar Tri Relpachen membangun banyak candi Buddha baru untuk perayaan perdamaian itu dan memindahkan ibu kotanya dari Lembah Yarlung ke Lhasa, tempat suci utama umat Buddha di Tibet. Menurut sejarah-sejarah lugu Tibet, Tri Relphacen juga mendirikan Dewan Penerjemahan untuk menyusun kamus Sanskerta-Tibet dan membakukan istilah serta gaya terjemahan naskah-naskah Buddha. Sebenarnya, rencana-rencana ini dimulai ketika masa pemerintahan ayahnya, Tri Desongtsen. Namun, sejarah-sejarah lugu itu mengalamatkan mereka kepada dirinya untuk mendukung pengenalan tentang Songtsen-gampo, Tri Songdetsen, dan Tri Relpachen sebagai tiga penyokong utama kekaisaran terhadap agama Buddha pada masa itu dan sebagai penjelmaan sosok-sosok Buddha Avalokiteshvara, Manjushri, dan Vajrapani. Ini menggaungkan sejarah-sejarah yang menganggap tiga sosok Buddha itu sebagai Buddha pelindung bagi Tibet, Cina
dan kaum Manchu, dan Mongolia, dan pendiri Gelug, Tsongkhapa (Tsong-kha-pa, 1357 – 1419), sebagai penjelmaan dari ketiganya. Namun, seperti sosok sengit Vajrapani, Kaisar Tri Relpachen menjadi sedikit fanatik dalam semangat keagamaannya. Ia tidak hanya menambah jumlah keluarga yang ditugaskan menghidupi tiap biksu dari tiga menjadi tujuh, menaruh ketegangan yang berat pada ekonomi negara, tapi menetapkan bahwa siapapun yang menudingkan jari secara mengejek kepada biksu maka jarinya akan dipotong. Dengan agama Buddha berada dalam kedudukan sekuat itu dan perhatian kaum Abbasiyyah dialihkan ke tempat lain, perpindahan agama ke Islam oleh Shah Kabul memiliki dampak singkat terhadap penyebaran agama Islam ke Tibet atau negaranegara bawahannya di Kabul atau Gilgit. Pecahnya Kekaisaran Tibet Pada 836, empat tahun sebelum kaum Kirgizstan mengambil alih kerajaan Uighur Orkhon, Kaisar Relpachen dari Tibet dibunuh oleh saudara laki-lakinya, Langdarma (gLang-dar-ma, memerintah 836842). Ketika menduduki tahtanya, kaisar baru itu memulai penindasan kejam terhadap agama Buddha di seluruh Tibet. Tindakan ini bermaksud mengakhiri campur tangan Majelis Agama dalam kegiatan politik dan pemborosan dalam bidang ekonomi yang dihasilkan oleh kebijakan Tri Relpachen dalam menciptakan dukungan masyarakat yang sangat besar terhadap wihara. Langdarma menutup semua wihara dan memaksa biksu-biksunya menanggalkan jubah. Namun, ia tidak menghancurkan bangunan wihara-wihara atau perpustakaan-perpustakaan itu. Meskipun terputus hubungan dengan kepustakaan sucinya, agama Buddha tetap lestari pada sebagian besar umat awam Tibet.
Pada 842, Langdarma dibunuh oleh seorang biksu yang, menurut seorang cendekiawan, adalah kepala Majelis Agama yang diberhentikan dan mantan kepala biara Samyay. Perang saudara meletus pada pergantian tahtanya, mengakibatkan pecahnya Kekaisaran Tibet. Sampai dua dasawarsa berikutnya, Tibet perlahan-lahan menarik diri dari daerah-daerah kekuasaannya di Gansu dan Turkistan Timur. Beberapa daerah menjadi kesatuan politik yang merdeka – pertama Dunhuang, yang kemudian dikenal sebagai negara Guiyijun (Kuei i-chün, 848 – 890-an) yang dikuasai oleh suku Han Cina setempat, dan kemudian Khotan (851 – 1006) diperintah oleh keturunan rajanya sendiri yang tidak terputus. Di beberapa wilayah lain, kaum Han Cina setempat pada awalnya memegang kekuasaan tapi tidak membentuk pemerintahan yang kuat, misalnya Turfan, mulai 851. Namun, pada 866 kelompokkelompok imigran Uighur di beberapa bekas wilayah kekuasaan Tibet ini menjadi cukup kuat untuk membentuk pemerintahan sendiri. Keadaan di Daerah-Daerah Tibet Sementara itu, Tibet pusat perlahan-lahan pulih dari bentrokan bersaudara yang mengikuti pembunuhan Langdarma di 842. Setelah beberapa pemerintahan lemah dari anak pungut kaisar terakhir dan para penerusnya, pada 929 Tibet dibagi ke dalam dua kerajaan. Yang satu tetap berjalan pada tingkat politik yang lemah di Tibet tengah dan yang lain, Wangsa Ngari (mNga’-ris), berdiri di persada Zhang-zhung di barat. Lambat laun, kedua kerajaan ini menaruh minat untuk memulihkan kembali tradisi kewiharaan Buddha dari biksu-biksu di Tsongka. Ajaran Buddha di Tsongka tetap tumbuh subur, tak terpengaruh dengan penganiayaan yang dilancarkan Langdarma. Pada 930,
orang-orang Tibet dari wilayah ini mulai membantu menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa mereka ke bahasa Uighur. Ini terjadi lima tahun setelah kaum Khitan menggunakan aksara Uighur sebagai tata tulis mereka yang kedua dan, oleh karena itu, merupakan kurun-waktu dimana pengaruh budayawi Uighur terhadap masyarakat Khitan mencapai puncaknya. Tidak jelas apakah kerjasama agamawi orang Tibet Tsongka dengan kaum Uighur hanya terjadi dengan jiran dekat mereka di utara, kaum Yugur Kuning, atau juga dengan kaum Uighur Qocho yang tinggal lebih jauh ke barat. Dua kelompok bangsa Turki tersebut memiliki kesamaan bahasa dan budaya. Persentuhan agamawi dan penerjemahan naskah-naskah TibetUighur meningkat selama paruh kedua abad ke-10, khususnya selama kurun ketika Tibet dan Yugur Kuning bersekutu dalam perang melawan kaum Tangut. Peziarah Cina Han, Wang Yande (Wang Yen-te), mengunjungi ibukota Yugur Kuning pada 982, tahun ketika kekaisaran Tangut didirikan, dan melaporkan bahwa terdapat lebih dari lima puluh wihara di sana. Upaya-Upaya Raja Yeshey-wo untuk Memulihkan Kembali Ajaran Buddha di Tibet Sebelah Barat Silsilah penahbisan kewiharaan Buddha dihidupkan kembali di Tibet tengah pada pertengahan abad ke-10 dari tiga biksu inti Tibet yang pindah dari Tsongka ke Kham. [Lihat: Asal-Usul Topi Kuning yang Dipakai Para Biksu Aliran Gelug.] Kemudian, raja-raja Ngari dari Tibet sebelah barat melakukan upaya-upaya luar biasa untuk memulihkan ajaran Buddha bahkan sampai ke tingkat sebagaimana ia sebelumnya. Pada 971, Raja
Yeshey-wo (Ye-shes ‘od) mengutus Rinchen-zangpo (Rin-chen bzang-po, 958 – 1055) dan dua puluh satu pemuda ke Kashmir untuk tujuan belajar agama dan bahasa. Mereka juga mengunjungi Perguruan Tinggi Kewiharaan Vikramshila di bagian tengah India sebelah utara. Kashmir, pada saat itu, berada pada tahap akhir dari Wangsa Utpala (856 – 1003) yang berdiri setelah pemerintahan Karkota. Wangsa Utpala telah menjadi saksi atas banyak sekali perang saudara dan kekerasan di Kashmir. Beberapa segi tertentu dari ajaran Buddha telah bercampur dengan aliran Hindu Syiwa. Akan tetapi, pada awal abad ke-10, ajaran Buddha Kashmir menerima dorongan baru kembali bangkitnya nalar Buddha dari perguruanperguruan tinggi kewiharaan India sebelah utara. Kemunduran singkat sempat terjadi selama masa pemerintahan Raja Kshemagupta (memerintah tahun 950 – 958), ketika penguasa Hindu yang bergolak ini menghancurkan banyak wihara. Akan tetapi, pada saat kunjungan Rinchen-zangpo, ajaran Buddha perlahan-lahan mulai dimapankan kembali. Walaupun ajaran Buddha kini telah menjapai titik tingginya di Khotan, yang selama berabad-abad telah berhubungan erat dengan Tibet sebelah barat, perlawanan bersenjata antara Khotan dan Karakhaniyyah telah dimulai di Kashgar pada tahun keberangkatan Rinchen-zangpo. Khotan tidak lagi menjadi tempat aman untuk pembelajaran Buddha. Lebih jauh, orang-orang Tibet ingin belajar bahasa Sanskerta dari sumbernya di anakbenua India dan menerjemahkan sendiri dari bahasa aslinya. Terjemahanterjemahan Khotan atas naskah-naskah Buddha berbahasa Sanskerta kerap berbentuk tafsiran, padahal Tibet, yang diwabahi kebingungan tentang ajaran murni Buddha, menghendaki terjemahan yang lebih tepat-jitu. Oleh karena itu, meski ajaran
Buddha berada pada kedudukan yang genting di Kashmir, tempat itu adalah satu-satunya yang secara nisbi aman dan dekat yang bisa didatangi orang Tibet untuk menerima ajaran yang andal. Hanya Rinchen-zangpo dan Legpay-sherab (Legs-pa’i shes-rab) yang selamat dalam perjalanan dan pelatihan di Kashmir dan Dataran-Dataran Gangga India sebelah utara. Sekembalinya ia ke Tibet sebelah barat pada 988, Yeshey-wo telah mendirikan beberapa pusat penerjemahan Buddha dengan para cendekiawan biksu Kashmir dan India yang diutus Rinchen-zangpo kembali ke Tibet dengan sejumlah besar naskah. Biksu-biksu yang diundang dari Vikramashila ini yang memulai garis kedua penahbisan kewiharaan. Di tahun-tahun terakhir abad ke-10, Rinchen-zangpo membangun beberapa wihara di Tibet sebelah barat, yang pada saat itu mencakup beberapa wilayah Ladakh dan Spiti di daerah India lintas-Himalaya sekarang. Ia juga mengunjungi Kashmir dua kali lagi untuk mengundang para seniman untuk menghias wiharawihara ini agar menarik bakti khalayak umum Tibet. Hal ini terjadi meski ada perubahan wangsa di Kashmir, dengan berdirinya garis Lohara Pertama (1003 – 1101). Peralihan wangsa terjadi secara damai dan tidak mengganggu keadaan ajaran Buddha Kashmir. Pengepungan Khotan oleh Karakhaniyyah telah berlangsung pada 982, enam tahun sebelum kembalinya Rinchen-zangpo. Pada saat ia tiba, banyak umat Buddha yang sudah berduyun-duyun ke Tibet sebagai pengungsi, yang tentunya juga mendorong bangkitnya kembali ajaran Buddha di sana. Para pengungsi ini kemungkinan berasal dari Kashgar dan wilayah-wilayah di antara Kashgar dan Khotan yang terbentang di sepanjang garis perbekalan pasukan Karakhaniyyah. Walaupun sebagian besar dari mereka yang
melarikan diri pasti telah melewati Ladakh dalam perjalanan ke Tibet, mereka tidak berbelok ke barat dan bermukin di dekat Kashmir; padahal perjalanan ke sana jauh lebih mudah dan pendek. Ini mungkin karena Kerajaan Ngari tampak secara politik dan agama lebih kokoh di bawah pemerintahan dan perlindungan yang kuat oleh Yeshey-wo. Anasir lain yang mungkin ada ialah ikatan-ikatan budayawi yang telah lama tersimpul antara daerah itu dengan Tibet. Pada 821, para biksu Khotan juga melarikan diri ke Tibet sebalah barat mencari perlindungan dari penganiayaan. Bantuan Tempur Tibet untuk Khotan Kerajaan Ngari Tibet sebelah barat hanya berusia beberapa tahun ketika kaum Karakhaniyyah Kashgar pindah agama dari Buddha ke Islam pada tahun 930an. Setelah bangkit sebagai sebuah kesatuan politik dari pemisahan dengan Tibet pusat karena persoalan pewarisan kekuasaan pada 929, Ngari pada awalnya lemah secara militer. Ngari tak mungkin bermusuhan dengan Karakhaniyyah oleh sebab perbedaan-perbedaan agamawi. Agar dapat bertahan, kerajaan itu harus memelihara hubungan baik dengan para jirannya. Akan tetapi, menurut sejarah-sejarah Buddha Tibet belakangan, penguasa Ngari, Raja Yeshey-wo tergerak membantu Khotan yang sedang dikepung itu pada sekitar peralihan ke abad ke-11. Hal ini tentunya dipicu oleh ketakutan terhadap perluasan kekuasaan Karakhaniyyah yang lebih jauh lagi; dan alasan ini sama kuatnya dengan alasan untuk mempertahankan ajaran Buddha. Walau kaum Tibet dan Karluk/Karakhaniyyah telah menjadi sekutu selama berabad-abad, mereka tidak pernah saling mengancam wilayah kekuasaan masing-masing. Lebih jauh lagi, Tibet selalu menganggap Khotan masuk ke dalam lingkup pengaruhnya yang
sah, begitu kaum Karakhaniyyah melangkahi batasan lingkup ini, hubungan kedua negara tersebut berubah. Menurut sejarah-sejarah Buddha tradisional, Raja Yeshey-wo disandera oleh kaum Karakhaniyyah (Tib. Gar-log, Turk.Qarluq), tapi ia tidak mengizinkan rakyatnya untuk membayar tebusan. Ia menganjurkan mereka untuk membiarkannya meninggal di penjara dan menggunakan dana yang terkumpul untuk mengundang lebih banyak lagi guru Buddha dari India sebelah utara, khususnya Atisha dari Vikramashila. Banyak guru Kashmir mengunjungi Tibet sebelah barat pada awal abad ke-11 dan beberapa dari mereka menyebarkan laku ajaran Buddha yang keliru di sana. Karena hal ini semakin memperparah tingkat pemahaman ajaran Buddha yang sudah buruk di Tibet karena penghancuran pusat-pusat kajian kewiharaan pada masa Langdarma, Yeshey-wo hendak menjernihkan kebingungan ini. Ada banyak ketakajegan sejarawi dalam catatan imani tentang pengorbanan Yeshey-wo ini. Pengepungan Khotan berakhir pada 1006, sementara Yeshey-wo mengeluarkan maklumat terakhir dari istananya pada 1027 untuk mengatur penerjemahan naskahnaskah Buddha. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ia tidak meninggal di penjara selama masa perang. Menurut catatan riwayat hidup Rinchen-zangpo, raja meninggal karena sakit di ibukota negaranya sendiri. Akan tetapi, catatan yang diragukan kebenarannya ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa orang-orang Tibet sebelah barat tidak memiliki kekuatan tempur yang hebat pada saat itu. Mereka tidak mampu memberi dampak pada pembebasan Khotan dari pengepungan dan tidak pula memaparkan ancaman yang kuat terhadap perluasan kekuasaan Karakhaniyyah lainnya di
sepanjang cabang Tarim sebelah selatan dari Jalur Sutera. Mereka tidak akan mampu membela para pengembara Tibet yang hidup di sana. Hilangnya Ajaran Buddha di Khotan Catatan-catatan mengenai pendudukan Karakhaniyyah atas Khotan, mengikuti pengepungan dan perlawanan setelahnya, tak bicara sepatah kata pun tentang penduduk asli. Satu tahun setelah pemberontakan dipatahkan, utusan dagang dan upeti Khotan yang dikirim ke Cina Han hanya berisi kaum Muslim Turki saja. Bahasa Turki Karakhaniyyah secara mutlak menggantikan bahasa Khotan dan negara tersebut secara keseluruhan menjadi Islam. Agama Buddha menghilang sepenuhnya. Kaum Tibet kehilangan hubungan dengan miliknya terdahulu sampai pada tataran nama Tibet untuk Khotan, Li, kehilangan makna aslinya dan jadi mengacu pada Lembah Kathmandu di Nepal sebagai sebutan singkat untuk wangsa yang dahulu berkuasa, Licchavi (386 – 750). Seluruh mitos Buddha mengenai Khotan dialihkan ke Kathmandu juga, seperti terbentuknya lembah tersebut oleh Manjushri yang mengeringkan danau dengan cara membelah gunung dengan pedangnya. Pada abad ke-12 dan ke13, kaum Tibet sudah tidak ingat lagi bahwa mitos-mitos ini pernah dihubungkan dengan Khotan. Oleh karena itu, catatan-catatan Buddha Tibet tentang pengorbanan yang dilakukan Raja Yesheywo saat dipenjara oleh “Garlog”, yaitu kaum Karluk Karakhaniyyah, secara keliru disebutkan terjadi di Nepal. Walaupun memang terdapat perang saudara di Nepal antara 1039 – 1045, hampir tidak ada suku-suku bangsa Turki di sana, apalagi orang Karluk pada saat itu.
Pemulihan Kembali Ajaran Buddha di Tibet Tengah Sepanjang abad ke-11, orang-orang Tibet terus mengalir datang ke Kashmir dan India sebelah utara untuk belajar agama Buddha. Banyak dari mereka yang pulang dengan membawa guru-guru dari berbagai wilayah untuk membantu memulihkan kembali ajaran Buddha di wihara-wihara yang baru dibangun di tanah mereka. Walaupun awalnya diprakarsai oleh Kerajaan Ngari di Tibet sebelah barat, kegiatan ini segera saja menyebar juga ke bagian tengah negara tersebut, dimulai dengan pembangunan Wihara Zhalu (Zha-lu) pada 1040. Tiap guru India atau murid Tibet yang kembali pulang ke Tibet membawa serta silsilah gaya tertentu dari laku ibadah Buddha. Banyak dari mereka membangun wihara-wihara yang di sekitarnya telah membaku bukan hanya masyarakat keagamaan, tapi juga masyarakat keduniaan. Baru di abad ke-13 lah gugusan-gugusan silsilah peralihan ini bersatu untuk membentuk berbagai aliran dari apa yang disebut dengan “Kurun Baru” aliran-aliran Buddha Tibet – Kadam (bKa’-gdams), Sakya (Sa-skya), dan sejumlah aliran dari Kagyu (bKa’-brgyud). Guru-guru Tibet abad ke-11 lainnya mulai menemukan naskahnaskah yang tersembunyi karena alasan keamanan di Tibet tengah dan Bhutan selama tahun-tahun penuh prahara di akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9. Naskah-naskah Buddha yang ditemukan menjadi landasan kitab-suci bagi “Kurun Lama” atau aliran Nyingma (rNying-ma), sementara naskah-naskah Buddha yang berasal dari tradisi Tibet asli, yang ditemukan sedikit lebih awal, membentuk landasan bagi pembangunan agama Bon yang terlembaga. Beberapa guru menemukan kedua jenis naskah, yang kerap kali mirip satu dengan lainnya. Sebetulnya, agam Bon yang
terlembaga memiliki banyak kesamaan ciri dengan aliran-aliran Buddha Terjemahan Baru dan Lama sehingga guru-guru berikutnya dari masing-masing agama ini saling mendaku bahwa yang lain telah menjiplak dari mereka. Keluarga kerajaan Ngari terus memainkan peran penting dalam menyokong, bukan hanya penerjemahan naskah-naskah Buddha yang baru saja dibawa dari Kashmir dan India sebelah utara, tapi juga tinjauan ulang terjemahan-terjemahan sebelumnya dan penjernihan kesalahpahaman tentang pokok-pokok rumit tertentu dari agama tersebut. Sidang Dewan Toling (Tho-ling), yang diselenggarakan oleh Raja Tsedey (rTse-lde) di Wihara Toling, Ngari pada tahun 1076, mengumpulkan para penerjemah dari daerah-daerah barat, tengah, dan timur Tibet, dan juga beberapa guru dari Kashmir dan India sebelah utara. Sidang Dewan Toling ini menjadi perangkat yang mengatur pekerjaan mereka. Maklumat Pangeran Zhiwa-wo (Zhi-ba ‘od), yang dikeluarkan pada 1092, menetapkan patokan-patokan untuk menentukan naskah mana yang dapat dipercaya.
Sejarah Silsilah Penahbisan Mulasarvastivada di Tibet Alexander Berzin, Agustus 2007 Meskipun garis-garis penahbisan biksu Mulasarvastivada dibentuk di Tibet dalam tiga pelaksanaan, sangha biksuni Mulasarvastivada tidak pernah dibentuk secara baku. Karenanya, perempuanperempuan yang mengikuti aliran Buddha Tibet dalam aliran Mulasarvastivada Vinaya dan yang hendak ditahbiskan ini menjadi shramanerika atau biksuni pemula. Kali pertama penahbisan biksu Mulasarvastivada dibentuk di Tibet dengan kunjungan guru Shantarakshita dari India, bersama dengan tiga puluh biksu, dan pendiri Wihara Samyay (bSam-yas) di Tibet Tengah pada 775 M. Penahbisan ini ada di bawah sokongan Kaisar Tibet Tri Songdetsen (Khri Srong-lde-btsan). Namun, karena dua belas biksuni Mulasarvastivada India tidak hadir pada saat itu, dan perempuan-perempuan Tibet tidak kemudian pergi ke India untuk menerima penahbisan yang lebih tinggi, silsilah penahbisan biksuni Mulasarvastivada tidak dibentuk pada tahap pertama ini. Namun, menurut sebuah sumber Cina yang dilestarikan bersama naskah-naskah Dunhuang, salah seorang selir Kaisar Tri Songdetsen, Ratu Droza Jangdron (‘ Bro-bza’ Byang-sgron), dan tiga puluh perempuan lainnya menerima penahbisan biksuni di Samyay. Penahbisan mereka diberikan oleh biksu-biksu Cina yang diundang ke dewan penerjemahan di Samyay pada 781 M. Karena pada 709 Masehi Kaisar Tang Cina Zhong-zong menetapkan bahwa yang berlaku di Cina hanya silsilah penahbisan Dharmagupta, penahbisan biksuni di Tibet harus berasal dari
silsilah Dharmagupta. Rupanya, penahbisan itu diberikan dengan satu tatacara sangha itu dan silsilahnya tidak berlanjut setelah kekalahan golongan Cina di adu-pendapat Samyay (792 – 794 M) dan pengusirannya dari Tibet. Selama kekuasaan Kaisar Tibet Tri Relpachen (Khri Ral-pa can, 815 – 836 M), sang Kaisar menetapkan bahwa tak satu pun naskah Hinayana, kecuali yang ada dalam kumpulan Sarvastivada, boleh diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet. Ketetapan ini tentu membatasi masuknya silsilah penahbisan selain Mulasarvastivada ke Tibet. Silsilah penahbisan biksu Mulasarvastivada dari Shantarakshita hampir musnah dengan penindasan agama Buddha oleh Raja Langdarma pada akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10 M. Tiga biksu Mulasarvastivada yang bisa bertahan, dengan bantuan dua biksu Dharmagupta dari Cina, menghidupkan kembali silsilah penahbisan biksu ini dengan penahbisan Gongpa-rabsel (dGongspa rab-gsal) di Tibet Timur. Namun, tidak ada tatacara serupa yang melibatkan para biksuni Dharmagupta dilakukan setelahnya untuk menetapkan penahbisan biksuni Mulasarvastivada pada masa itu melalui silsilah perpaduan dua sangha. [Lihat: Kebangkitan Silsilah Penahbisan Biksu di Tibet Abad Ke-10 M.] Garis penahbisan biksu Mulasarvastivada Gongpa-rabsel dibawa kembali ke Tibet Tengah dan dikenal sebagai aliran “Vinaya Tibet Bawah” (sMad-‘dul). Namun, di Tibet Barat, Raja Yeshey-wo (Yeshes ‘od), pada akhir abad ke-10 M, berpaling ke India untuk mendirikan, atau barangkali mendirikan-ulang, penahbisan biksu Mulasarvastivada di kerajaannya. Maka, ia mengundang Pandit
India Timur Dharmapala dan beberapa muridnya ke Guge di Tibet Barat untuk menetapkan garis penahbisan biksu Mulasarvastivada kedua. Garis ini lalu dikenal sebagai aliran “Vinaya Tibet Atas” (sTod-‘dul). Menurut Babad-Babad Guge, satu ordo biksuni Mulasarvastivada juga didirikan di Guge pada masa ini, dan putri Raja Yeshey-wo, Lhai-metog (Lha’i me-tog), termasuk yang menerima penahbisan. Namun, tidak jelas apakah penahbisan ini menetapkan sebagai biksuni atau shramanerika pemula. Dalam kasus manapun, tidak jelas apakah biksuni-biksuni Mulasarvastivada diundang ke Guge untuk memberi penahbisan, dan tidak ada bukti bahwa sangha biksuni Mulasarvastivada dibentuk secara baku di Tibet Barat pada masa ini. Pada 1204 M, penerjemah Tibet Tropu Lotsawa (Khro-phu Lo-tsaba Byams-pa dpal) mengundang guru India Shakyashribhadra, pemegang tahta terakhir Wihara Nalanda, untuk datang ke Tibet guna mencegah perusakan yang dilakukan oleh kaum Turki Guzz dari Dinasti Ghurid. Saat berada di Tibet, Shakyashribhadra dan biksu-biksu India pendampingnya memberi penahbisan biksu Mulasarvastivada kepada para calon dalam tatacara Sakya, sehingga mengawali garis penahbisan semacam ini yang ketiga di Tibet. Penahbisan ini memiliki dua subsilsilah, satu berasal dari penahbisan Shakyashribhadra pada Sakya Pandita (Sa-skya Pandi-ta Kun-dga’ rgyal-mtshan) dan satu lagi dari penahbisannya pada sekelompok biksu yang nantinya ia latih dan akhirnya terbagi menjadi empat kelompok kewiharaan Sakya (tshogs-pa bzhi). Meskipun terdapat bukti bahwa masih ada biksuni-biksuni di India utara pada akhir abad ke-12 M, tidak ada biksuni Mulasarvastivada menemani Shakyashribhadra ke Tibet. Maka, silsilah penahbisan biksuni Mulasarvastivada tidak pernah menyebar secara
bersamaan dengan satu pun dari tiga garis penahbisan biksu Mulasarvastivada di Tibet. Dalam beberapa abad setelah kunjungan Shakyashribhadra, paling tidak satu percobaan dilakukan untuk membentuk penahbisan biksuni Mulasarvastivada di Tibet, tapi usaha ini tidak berhasil. Pada awal abad ke-15 M, guru Sakya, Shakya-chogden (Sha-kya mchog-ldan), mengumpulkan satu sangha penahbisan biksuni Mulasarvastivada khusus untuk ibunya. Namun, guru Sakya lainnya pada masa itu, Gorampa (Go-ram-pa bSod-nams seng-ge) menggugat keabsahan penahbisan ini dan, akhirnya, penahbisan ini terhenti.
Pemulihan Kembali Silsilah Penahbisan Biksu di Tibet Abad Ke-10 Alexander Berzin, 1991 Di bawah kekuasaan Raja Langdarma (Glang-dar-ma), agama Buddha mengalami penindasan yang parah. Ini terjadi, menurut beberapa sumber, antara tahun 836 dan 842. Menurut sumbersumber lain, dari tahun 901 sampai 907. Semua biksu dibunuh atau dipaksa untuk menanggalkan jubah, kecuali tiga orang: Mar Shakya (dMar Sha-kya), Yo Gejung (g.Yo dGe- ‘byung), dan Tsang Rabsel (gTsang Rab-gsal). Ketiganya lolos dengan menyeberang melewati Tibet sebelah barat dan menerima suaka sementara di Kashgar, wilayah kekuasaan Turki Karakhaniyyah, di Turkistan Timur (Xinjuang). Mereka beranjak lanjut melewati daerah-daerah kebudayaan Tibet lebih jauh ke timur, di Dunhuang (Tunhuang) dan Gansu (Kansu), yang, karena jauh dari Lhasa, tidak terkena imbas penindasan tersebut. [Lihat: Hubungan Sejarah antara Budaya Buddha dan Islam sebelum Kekaisaran Mongol, 13 Pendirian Kekaisaran-Kekaisaran Baru di Asia Tengah.] Menurut beberapa sumber Mongol, mereka bertiga lewat melalui Mongolia yang dikuasai Kirgiz dan pada akhirnya bersembunyi di daerah-daerah pesisir sebelah timur Danau Baikal di Siberia. Di sana, mereka memberikan pembayatan dan ajaran-ajaran kepada Hortsa Mergen, cucu laki-laki dari Raja Mongol, Borti Chiney, leluhur generasi kelima dari Chinggis (Genghis) Khan. Menurut sumber-sumber yang lain, mereka diberi suaka di Kerajaan Buddha Tangut Mi-nyag (Mi-nyag), yang menduduki daerah itu dari Amdo sebelah utara sampai ke Mongolia Dalam. Tapi, sumber-
sumber lain menunjukkan dengan lebih persis lagi bahwa wilayah di daerah tempat mereka pada awalnya bermukim ini adalah bagian dari Kerajaan Tsongka (Tsong-kha) di masa itu. Wihara gua Martsang (dMar-gtsang) di Amdo sebelah utara kelak dibangun di gua yang diduga sebagai tempat mereka tinggal. Setelah beberapa tahun, ketiga biksu Tibet tersebut pindah ke Kham (Khams, mDo-smad), provinsi Tibet sebelah tenggara, tempat mereka tinggal di pengasingan Detingshel (Dan-tig-shel-gyi yang-dgon). Seorang gembala setempat berniat menjadi biksu. Mereka memberinya sumpah biksu dan nama pemula Gewarabsel (dGe-ba rab-gsal), tapi mereka tidak dapat memberinya sumpah biksu purna karena lima bisku dibutuhkan untuk melaksanakan penahbisan purna. Pada saat itu, biksu Lhalung Pel-dorjey (Lha-lung dPal rdo-rje), pembunuh Raja Langdarma, telah melarikan diri ke dekat Longtang (Klong-thang). Ia diminta untuk membantu penahbisan, namun menjelaskan bahwa ia tidak lagi pantas untuk peran tersebut. Akan tetapi, ia berjanji untuk membantu menemukan biksu-biksu yang lain. Ia menemukan dua biksu Cina, Ki-bang dan Gyi-ban, dan mengirim mereka untuk melengkapi jumlah yang dibutuhkan. Maka begitu, dengan Tsang Rabsel sebagai kepala wihara, gembala tadi menerima sumpah biksu dan penahbisan purna dengan nama Gongpa-rabsel (dGongs-pa rab-gsal) di hadapan kelima biksu ini. Kelak, orang menambahkan gelar Lachen (Bla-chen, Ia yang Agung dan Unggul), di depan namanya. Beberapa pemuda dari provinsi-provinsi U Tibet Tengah (dBus) dan Tsang (gTsang) mendengar tentang para biksu di Kham. Lumey Tsultrim-sherab (Klu-mes Tshul-khrims shes-rab)
memimpin satu rombongan yang berisi sepuluh orang untuk mencari penahbisan purna. Ini terjadi 53 atau 70 tahun setelah penindasan oleh Langdarma. Mereka memohon Tsang Rabsel untuk menjadi kepala wihara, tapi ditolak dengan alasan usia lanjut. Lalu mereka meminta Gongpa-rabsel yang menjadi kepala, namun ia menjelaskan bahwa ia baru lima tahun menjadi biksu purna dan belum lagi pantas. Menurut naskah-naskah, sepuluh tahun adalah waktu paling sedikit sebagai syarat menjadi kepala wihara. Akan tetapi, Tsang Rabsel memberi izin khusus padanya untuk melayani sebagai kepala wihara dan sepuluh orang tadi pun mengambil sumpah biksu purna mereka. Lumey tinggal selama setahun untuk mempelajari aturan-aturan vinaya tata-tertib kewiharaan, sementara sembilan yang lainnya kembali ke Tibet Tengah. Sekembalinya Lumey ke Tibet Tengah, ia mendirikan beberapa kuil di sana. Penyebaran ajaran-ajaran Buddha setelahnya, dan khususnya penyebaran sumpah biksu, berakar dari dirinya.
Asal-Usul Topi Kuning yang Dipakai Para Biksu Aliran Gelug Alexander Berzin, 1991 Di bawah kekuasaan Raja Langdarma (Glang-dar-ma), agama Buddha mengalami penindasan yang parah. Ini terjadi, menurut beberapa sumber, antara tahun 836 dan 842. Menurut sumbersumber lain, dari tahun 901 sampai 907. Semua biksu dibunuh atau dipaksa untuk menanggalkan jubah, kecuali tiga orang: Mar Shakya (dMar Sha-kya), Yo Gejung (g.Yo dGe- ‘byung), dan Tsang Rabsel (gTsang Rab-gsal). Ketiganya lolos dengan menyeberang melewati Tibet sebelah barat dan menerima suaka sementara di Kashgar, wilayah kekuasaan Turki Karakhaniyyah, di Turkistan Timur (Xinjuang). Mereka beranjak lanjut melewati daerah-daerah kebudayaan Tibet lebih jauh ke timur, di Dunhuang (Tunhuang) dan Gansu (Kansu), yang, karena jauh dari Lhasa, tidak terkena imbas penindasan tersebut. Menurut beberapa sumber Mongol, mereka bertiga lewat melalui Mongolia yang dikuasai Kirgiz dan pada akhirnya bersembunyi di daerah-daerah pesisir sebelah timur Danau Baikal di Siberia. Di sana, mereka memberikan pembayatan dan ajaran-ajaran kepada Hortsa Mergen, cucu laki-laki dari Raja Mongol, Borti Chiney, leluhur generasi kelima dari Chinggis (Genghis) Khan. Menurut sumber-sumber yang lain, mereka diberi suaka di Kerajaan Buddha Tangut Mi-nyag (Mi-nyag), yang menduduki daerah itu dari Amdo sebelah utara sampai ke Mongolia Dalam. Tapi, sumbersumber lain menunjukkan dengan lebih persis lagi bahwa wilayah di daerah tempat mereka pada awalnya bermukim ini adalah bagian dari Kerajaan Tsongka (Tsong-kha) di masa itu. Wihara gua
Martsang (dMar-gtsang) di Amdo sebelah utara kelak dibangun di gua yang diduga sebagai tempat mereka tinggal. Setelah beberapa tahun, ketiga biksu Tibet tersebut pindah ke Kham (Khams, mDo-smad), provinsi Tibet sebelah tenggara, tempat mereka tinggal di pengasingan Detingshel (Dan-tig-shel-gyi yang-dgon). Seorang gembala setempat berniat menjadi biksu. Mereka memberinya sumpah biksu dan nama pemula Gewarabsel (dGe-ba rab-gsal), tapi mereka tidak dapat memberinya sumpah biksu purna karena lima bisku dibutuhkan untuk melaksanakan penahbisan purna. Pada saat itu, biksu Lhalung Pel-dorjey (Lha-lung dPal rdo-rje), pembunuh Raja Langdarma, telah melarikan diri ke dekat Longtang (Klong-thang). Ia diminta untuk membantu penabisan, namun menjelaskan bahwa ia tidak lagi pantas untuk peran tersebut. Akan tetapi, ia berjanji untuk membantu menemukan biksu-biksu yang lain. Ia menemukan dua biksu Cina, Ki-bang dan Gyi-ban, dan mengirim mereka untuk melengkapi jumlah yang dibutuhkan. Maka begitu, dengan Tsang Rabsel sebagai kepala wihara, gembala tadi menerima sumpah biksu dan penahbisan purna dengan nama Gongpa-rabsel (dGongs-pa rab-gsal) di hadapan kelima biksu ini. Kelak, orang menambahkan gelar Lachen (Bla-chen, Ia yang Agung dan Unggul), di depan namanya. Beberapa pemuda dari provinsi-provinsi U Tibet Tengah (dBus) dan Tsang (gTsang) mendengar tentang para biksu di Kham. Lumey Tsultrim-sherab (Klu-mes Tshul-khrims shes-rab) memimpin satu rombongan yang berisi sepuluh orang untuk mencari penahbisan purna. Ini terjadi 53 atau 70 tahun setelah penindasan oleh Langdarma. Mereka memohon Tsang Rabsel
untuk menjadi kepala wihara, tapi ditolak dengan alasan usia lanjut. Lalu mereka meminta Gongpa-rabsel yang menjadi kepala, namun ia menjelaskan bahwa ia baru lima tahun menjadi biksu purna dan belum lagi pantas. Menurut naskah-naskah, sepuluh tahun adalah waktu paling sedikit sebagai syarat menjadi kepala wihara. Akan tetapi, Tsang Rabsel memberi izin khusus padanya untuk melayani sebagai kepala wihara dan sepuluh orang tadi pun mengambil sumpah biksu purna mereka. Lumey tinggal selama setahun untuk mempelajari aturan-aturan vinaya tata-tertib kewiharaan, sementara sembilan yang lainnya kembali ke Tibet Tengah. Sebelum Lumey beranjak pergi, Gongparabsel memintanya untuk mencelup topi Bon miliknya dengan warna kuning. Ia memintanya untuk mengenakan topi itu untuk mengenang masa belajar dan latihannya. Sekembalinya Lumey ke Tibet Tengah, ia mendirikan beberapa kuil di sana. Penyebaran ajaran-ajaran Buddha setelahnya, dan khususnya penyebaran sumpah biksu, berakar dari dirinya. Beberapa tahun setelahnya, tata-tertib kewiharaan sekali lagi merosot di Tibet. Tsongkhapa (rJe Tsong-kha-pa Blo-bzang gragspa) (1357 – 1419) memulai sebuah pembentukan-ulang yang berkembang menjadi Kadam Baru (bKa’ -gdams gsar-pa) atau Aliran Gelug (dGe-lugsi). Ia memberitahu para murid biskunya untuk mengenakan topi kuning. Ia menjelaskan bahwa ini akan menjadi pertanda baik bagi mereka untuk mampu membawa kembali tata-tertib budi-pekerti murni ke wihara-wihara Tibet, persis seperti yang dilakukan Lumey di masa-masa sebelumnya. Dengan demikian, aliran Gelug jadi dikenal sebagai Aliran Topi Kuning.
Topi merah yang dipakai oleh aliran-aliran Buddha Tibet lain yang lebih dahulu mengikuti adat topi merah yang dipakai oleh para pandit (guru terpelajar) di Wihara Buddha India Nalanda.
Hikayat Hidup Ringkas Tsongkhapa Hikayat hidup seorang lama yang agung disebut “namtar” (rnamthar), sebuah hikayat hidup yang membebaskan, karena ia mengilhami para pendengarnya untuk mengikuti teladan sang lama dan mencapai kebebasan dan pencerahan. Hikayat hidup Tsongkhapa (rJe Tsong-kha-pa Blo-bzang grags-pa) (1357 – 1419) ini sungguh mengilhami. Ramalan-Ramalan dan Masa Kecil Baik Buddha Shakyamuni maupun Guru Rinpoche meramalkan kelahiran dan pencapaian-pencapaian Tsongkhapa. Pada masa Buddha Shakyamuni, seorang anak laki-laki yang merupakan inkarnasi masa lalu Tsongkhapa menyembahkan sebuah tasbih kristal untuk Buddha dan menerima sebuah kulit kerang sebagai balasannya. Buddha meramalkan Manjushri akan lahir sebagai anak laki-laki di Tibet, akan mendirikan wihara Ganden, dan akan memberikan mahkota untuk patungku. Buddha memberi anak itu nama masa depan Sumati-kirti (Blo-bzang grags-pa, Lozangdragpa). Guru Rinpoche juga meramalkan seorang biksu bernama Lozang-dragpa akan lahir di dekat Cina, akan dipandang sebagai titisan bodhisattwa yang agung, dan akan membuat sebuah patung Buddha menjadi penggambaran Sambhogakaya. Beberapa tanda sebelum kelahiran Tsongkhapa juga menandakan bahwa ia akan menjadi insan yang agung. Sebagai contoh, orangtuanya mengalami banyak mimpi bertanda baik bahwa anak mereka akan menjadi titisan Avalokiteshvara, Manjushri, dan Vajrapani. Guru masa depannya, Chojey Dondrub-rinchen (Chosrje Don-grub rin-chen), diceritakan oleh Yamantaka dalam sebuah wangsit bahwa ia (Yamantaka) akan datang ke Amdo (A-mdo, Tibet timur laut) dalam tahun yang pasti dan menjadi muridnya.
Tsongkhapa lahir di Tsongkha (Tsong-kha), Amdo, pada 1357, anak keempat dari enam putra. Hari setelah kelahiran Tsongkhapa, Chojey Dondrub-rinchen mengirim murid utamanya kepada orang tua Tsongkhapa dengan beberapa hadiah, sebuah patung, dan sepucuk surat. Sebatang pohon cendana tumbuh dari titik tempat tali pusarnya jatuh ke tanah. Tiap-tiap daunnya memiliki gambar alami Buddha Sinhanada (Sangs-rgyas Seng-ge sgra), dan kemudian dinamakan Kumbum (sKu-‘bum), seratus ribu gambaran tubuh. Wihara Gelug yang dinamakan Kumbum nantinya dibangun di tempat itu. Tsongkhapa tidak seperti anak kecil biasa. Ia tidak pernah berlaku tak pantas; ia secara naluri memasuki jenis tindakan-tindakan bodhisattwa; dan ia luar biasa pandai dan selalu ingin mempelajari segala hal. Pada usia tiga tahun, ia mengambil sumpah awam dari Karmapa Keempat, Rolpay-dorjey (Kar-ma-pa Rol-pa’i rdo-rje) (1340 – 1383). Segera setelah itu, ayahnya mengundang Chojey Dondrub-rinchen ke rumah mereka. Lama itu menawarkan pengasuhan bagi pendidikan anak itu dan ayahnya dengan senang menyetujui. Anak itu tinggal di rumah sampai ia berumur tujuh tahun, belajar dengan Chojey Dondrub-rinchen. Hanya melihat lama itu membaca, ia secara naluri tahu cara membaca tanpa perlu diajar. Selama masa ini, Chojey Dondrub-rinchen memberi anak itu pemberdayaan Lima-Dewa Chakrasamvara (Dril-bu lha-lnga), Hevajra, Yamantaka, dan Vajrapani. Pada umur tujuh tahun, ia telah menghafal upacara-upacara lengkap mereka, menyelesaikan tapa Chakrasamvara, melakukan pembayatan-diri, dan memiliki wangsit Vajrapani. Ia kerap bermimpi tentang Atisha (Jo-bo rJe dPal-ldan A-ti-sha) (982 – 1054), yang merupakan tanda bahwa ia akan memperbaiki kesalahpahaman tentang Dharma di Tibet dan
memulihkan kemurniannya, menggabungkan sutra dan tantra, seperti yang pernah dilakukan Atisha. Pada usia tujuh tahun, Tsongkhapa menerima sumpah calon biarawan dari Chojey Dondrub-rinchen dan nama pentahbisan Lozang-dragpa. Ia melanjutkan belajar di Amdo dengan lama ini sampai ia berusia enam belas tahun, pada masa ketika ia pergi ke U-tsang (dBus-gtsang, Tibet Tengah) untuk belajar lebih lanjut. Ia tak pernah kembali ke kampung halamannya. Chojey Dondrubrinchen tetap di Amdo, tempat ia mendirikan Wihara Jakyung (Byakhyung dGon-pa) di selatan Kumbum. Pembelajaran Awal di Tibet Tengah Di Tibet Tengah, Tsongkhapa awalnya belajar di wihara Drigung Kagyu, tempat ia mempelajari tata caramahamudra Drigung yang disebut “lima penguasaan” (phyag-chen lnga-ldan), pengobatan, dan perincian lebih lanjut tentang bodhicita. Pada umur tujuh belas, ia adalah dokter yang cakap. Ia lalu mempelajari Kerawang Perwujudan (mNgon-rtogs-rgyan, Skt.Abhisamayalamkara), naskah-naskah lain dari Maitreya, dan prajnaparamita (phar-phyin, kesadaran yang membedakan dan menjangkau jauh) di beberapa wihara Nyingma, Kagyu, Kadam, dan Sakya, menghafalkan naskah-naskahnya hanya dalam beberapa hari. Pada usia sembilan belas, ia telah diakui sebagai cendekiawan besar. Ia melanjutkan perjalanan ke wihara-wihara termasyhur dari aliranaliran Buddha Tibet, mempelajari lima topik utama pelatihanGeshe dan tata guna ajaran India, beradu pendapat dengan mereka dan duduk untuk ujian adu pendapat. Ia menerima ajaranajaran Kadam lam-rim (lam-rim, jalan sutra bertahap) dan juga ajaran dan pemberdayaan tantra yang tak terhitung banyaknya, termasuk adat Sakya tentang lamdray (lam-‘bras, jalan dan
hasilnya), adat Drigung Kagyu tentang enam ajaran Naropa (Na-ro ‘i chos-drug, enam yoga Naropa), dan Kalacakra. Ia juga mempelajari karangan syair, ilmu perbintangan, dan pembangunan mandala. Dalam semua pembelajarannya, ia hanya perlu mendengar satu kali penjelasan dan kemudian ia memahami dan mengingatnya secara sempurna – seperti kejadian pada Yang Mulia Dalai Lama Keempat Belas. Tsongkhapa selalu memiliki penyerahan yang kuat. Ia menjalani hidup dengan sangat rendah hati dan semata-mata menjaga sumpah-sumpahnya. Ia dengan mudah mencapai shamatha (zhignas, keadaan cita yang tenang dan tenteram) dan vipashyana (lhag-mthong, keadaan cita yang berdaya tangkap luar biasa), tetapi tidak pernah puas dengan pembelajaran atau tingkat perwujudannya. Ia melanjutkan perjalanannya dan meminta pengajaran berulang kali bahkan pada naskah-naskah yang sama. Ia beradu pendapat dan duduk ujian dengan sebagian besar guruguru cendekianya. Salah satu guru utamanya adalah Rendawa (Red-mda’-ba gZhon-nu blo-gros) (1349 – 1412), seorang guru Sakya. Tsongkhapa menulis pujian Migtsema (dMigs-brtse-ma) untuknya, tetapi guru ini mempersembahkannya kembali untuk Tsongkhapa. Ini kemudian menjadi syair yang berulang untuk Tsongkhapa guru-yoga. Awal Pengajaran dan Penulisan Tsongkhapa mulai mengajarpada usia20-an, dengan pengajaran pertamanya mengenai abhidharma (mdzod, topik-topik khusus tentang pengetahuan). Semua orang takjub dengan pengetahuannya. Ia juga mulai untuk menulis dan melakukan lebih banyak undur diri. Segera, ia memiliki banyak murid. Meskipun beberapa catatan mengatakan Tsongkhapa mengambil sumpah
biksu-penuh pada usia 21, tidak pasti pada tahun berapa sebenarnya ini terjadi. Ini barangkali terjadi nanti saat ia berusia 20-an. Pada satu titik, ia belajar dan menguraikan seluruh Kangyur(bKa’‘gyur) dan Tengyur (bsTan-‘gyur) – ajaran-ajaran Buddha langsung yang diterjemahkan dan ulasan-ulasan bahasa India mereka. Setelah itu, pada usia 32, ia menulis Tasbih Emas tentang Pemaparan Sempurna (Legs-bshad gser-phreng), sebuah ulasan tentang Kerawang Perwujudan dantentang prajnaparamita. Ia menyatukan dan membahas seluruh dua puluh satu ulasan bahasa India. Apapun yang ia tulis, ia memperkuat dengan kutipan-kutipan dari seluruh rentang kepustakaan Buddha India dan Tibet, membandingkan dan menyunting secara kritis terjemahanterjemahan yang berbeda sekalipun. Tidak seperti para cendekiawan sebelumnya, ia tidak pernah segan menjelaskan bagian-bagian yang paling kabur dan sukar dalam naskah manapun. Biasanya, Tsongkhapa dapat menghafalkan tujuh belas halaman dua-sisi berbahasa Tibet dengan sembilan baris di tiap sisi setiap harinya. Suatu ketika beberapa cendekiawan mengadakan adu hafalan untuk melihat siapa yang dapat mengahafal halaman terbanyak sebelum matahari menyentuh bendera di atap wihara. Tsongkhapa menang dengan empat halaman, yang ia bawakan dengan lancar tanpa kesalahan. Yang terdekat di bawahnya hanya bisa menghafal dua setengah halaman, dan dengan terbata-bata. Tsongkhapa segera mulai memberi ajaran dan pemberdayaan tantra, dan terutama izin (rjes-snang, jenang) Saraswati (dByangscan-ma) selanjutnya untuk kebijaksanaan. Ia juga melanjutkan pembelajarannya tentang tantra, terutama Kalacakra.
Seorang lama agung terkenal karena mengajar sebelas naskah sekaligus. Seorang murid meminta Tsongkhapa melakukan hal yang sama. Tsongkhapa mengajar tujuh belas naskah sutra utama, satu sesi untuk satu naskah setiap harinya, memulai semua naskah pada hari yang sama dan menyelesaikan mereka semua tiga bulan kemudian, juga pada hari yang sama. Selama kuliah itu, ia menyanggah penafsiran-penafsiran tidak benar dari tiap-tiap naskah dan membuat pandangannya sendiri. Setiap hari selamakuliah itu, ia juga melakukan pembayatan-diri (bdag-‘jug) Yamantaka dan semua laku tantranya yang lain. Jika kita melihat usia hidupnya hanya 62 tahun, dan menimbang berapa banyak ia belajar, menjalankan laku (termasuk membuat patung-patung tanah liat tsatsa), berapa banyak ia menulis, mengajar, dan melakukan undur diri, nampaknya mustahil ada orang bisa melakukan bahkan satu di antaranya dalam satu masa kehidupan. Laku dan Pembelajaran Tantra yang Giat Segera setelah ini, Tsongkhapa melakukan undur diri tantra pertamanya, pada Cakrasamvara menurut silsilah Kagyu. Selama undur diri ini, ia bermeditasi secara giat pada enam ajaran Naropa dan enam ajaran Niguma (Ni-gu ‘i chos-drug, enam yoga Niguma). Ia memperoleh perwujudan luar biasa. Setelah ini, pada usia 34, Tsongkhapa memutuskan untuk ikut dalam laku dan pembelajaran yang giat tentang empat golongan tantra. Seperti yang kemudian ia tulis, orang tidak bisa benar-benar menghargai kedalaman tantra anuttarayoga kecuali ia telah berlatih dan memahami secara mendalam tiga golongan tantra lainnya yang lebih rendah. Jadi, ia berkelana lagi dan menerima banyak pemberdayaan dan ajaran pada tiga golongan tantra yang
lebih rendah. Ia juga mempelajari lebih lanjut tingkat penuh limajenjang (rdzogs-rim) Guhyasamaja dan Kalacakra. Pembelajaran dan Undur Diri untuk Memperoleh Pengetahuan Nirsekat tentang Kehampaan Tsongkhapa juga pergi untuk mempelajari laku Manjushri Dharmacakra (‘Jam-dbyangs chos-kyi ‘khor-lo) dan Madhyamaka bersama Karma Kagyu Lama Umapa (Bla-ma dbu-ma-pa dPa’-bo rdo-rje). Guru besar ini telah memperlajari Madhyamaka dengan tata cara Sakya dan, sejak kecil, mengalami wangsit Manjushri setiap hari, yang mengajarinya satu bait tiap hari. Tsongkhapa dan ia menjadi guru dan murid yang timbal balik. Lama Umapa memeriksa dengan Tsongkhapa untuk mendapat penegasan bahwa ajaran-ajaran yang ia terima dalam wangsit-wangsit Manjushrinya adalah benar. Ini sangat penting, karena wangsit bisa jadi dipengaruhi oleh roh jahat. Bersama Lama Umapa, Tsongkhapa melakukan undur diri yang panjang untuk Manjushri. Sejak saat itu, Tsongkhapa menerima petunjuk langsung dari Manjushri dalam wangsit-wangsit jernih dan bisa mendapatkan jawaban untuk semua pertanyaannya. Sebelunya, ia harus mengajukan pertanyaan-pertanyaannya kepada Manjushri melalui Lama Umapa. Selama undur diri ini, Tsongkhapa merasa ia masih belum memiliki pemahaman yang layak tentang Madhyamaka dan Guhyasamaja. Manjushri menasihatinya untuk melakukan undur diri yang sangat lama dan kemudian akan memahami catatan-catatan yang ia dapatkan dari petunjuk-petunjuknya. Maka, setelah mengajar sementara waktu, Tsongkhapa memasuki empat tahun undur diri di Olka Cholung (‘Ol-kha chos-lung) dengan delapan murid dekat. Mereka melakukan tiga puluh lima rangkaian 100.000 sujud-
sembah, satu demi satu untuk tiga puluh lima pengakuan Buddha, dan delapan belas rangkaian 100.000 persembahan mandala, dengan banyak pembayatan-diri Yamantaka dan pembelajaran Sutra Avatamsaka (mDo phal-cher) untuk perbuatan-perbuatan bodhisattwa. Mereka memiliki wangsit Maitreya sesudah itu. Setelah undur diri itu, Tsongkhapa dan murid-muridnya memugar sebuah patung besar Maitreya di Lhasa, yang merupakan perbuatan pertama dari empat perbuatan utamanya. Mereka kemudian pergi undur diri lagi selama lima bulan. Setelah ini, Nyingma Lama Lhodrag Namka-gyeltsen (Lho-brag Nam-mkha’ rgyal-mtshan), yang terus-menerus memiliki wangsit Vajrapani, mengundang Tsongkhapa, dan mereka juga menjadi guru dan murid yang timbal balik. Lama ini mewariskan padanya Kadam lam-rim dan silsilah-silsilah pedoman lisan. Tsongkhapa ingin pergi ke India untuk belajar lebih banyak, tapi Vajrapani memberi nasihat untuk tetap di Tibet karena ia akan lebih bermanfaat di sana. Maka, ia tinggal. Ia memutuskan bahwa nanti ia akan menulis Penjelasan Besar dari Tingkat Bertahap Jalan Batin (Lam-rim chen-mo) tentang jalan sutra bertahap dan kemudian Penjelasan Besar dari Tingkat Bertahap Jalan Tantra (sNgags-rim chen-mo) tentang tingkat-tingkat laku empat golongan tantra. Tsongkhapa kemudian melakukan undur diri panjang untuk tingkat penuh Kalacakra, dan, setelah itu, satu tahun undur diri untuk Madhyamaka. Meskipun Tsongkhapa telah belajar banyak tentang Madhyamaka dan kehampaan dari guru-gurunya, ia belum pernah merasa puas dengan kadar penjelasannya. Sebelum memasuki satu tahun undur dirinya, Manjushri menasihatinya untuk
berpegang pada ulasan Madhyamaka oleh Buddhapalita (Sangsrgyas bskyangs). Tsongkhapa mengikuti nasihatnya dan, oleh karena itu selama undur dirinya, memperoleh pengetahuan nirsekat penuh tentang kehampaan. Berdasar pada perwujudannya, Tsongkhapa memperbarui secara keseluruhan pemahaman tentang ajaran-ajaran PrasangikaMadhyamaka mengenai kehampaan dan pokok-pokok terkait yang dianut oleh para guru dan pemuka terpelajar pada zamannya. Dalam hal ini, ia adalah seorang pembaru radikal dengan keberanian untuk melampaui keyakinan-keyakinan yang berlaku ketika ia mendapati mereka tidak memadai. Tsongkhapa selalu mendasarkan pembaruan-pembaruannya secara ketat pada nalar dan acuan-acuan kitabiah. Ketika ia menetapkan pandangannya sendiri sebagai pengartian paling mendalam tentang naskah-naskah agung India, ia tidak melakukan pelanggaran terhadap ikatan dan hubungan dekatnya dengan guru-gurunya. Melihat guru-guru rohani kita sebagai Buddha bukan berarti kita tidak bisa melampaui mereka dalam perwujudan kita. Tsenzhab Serkong Rinpoche II menjelaskan ini dengan contoh berikut. Untuk membuat kue, kita perlu mencampurkan banyak bahan – tepung, mentega, susu, telur, dan seterusnya. Guru-guru kita menunjukkan pada kita cara membuat kue dan memanggang beberapa untuk kita. Kue-kue itu mungkin sangat lezat dan kita mungkin sangat menikmatnya. Berkat kebaikan guru-guru kita, kita menjadi tahu cara membuat kue. Ini bukan berarti kita tidak bisa membuat beberapa perubahan, menambahkan beberapa bahan lain, dan memanggang kue yang bahkan lebih lezat dibanding kue buatan guru-guru kita. Dalam melakukan itu, kita tidak bersikap
tidak hormat kepada guru-guru kita. Jika guru-guru kita benarbenar mumpuni, mereka akan bersuka cita untuk kemajuan kita pada resep itu dan menikmati kue baru itu dengan kita. Perbuatan-Perbuatan Agung Selanjutnya Setelah mengajar lebih banyak, Tsongkhapa pergi lagi ke undur diri, kali ini bersama gurunya Rendawa, dan menulis sebagian besar dari Lam-rim chen-mo. Selama undur diri itu, ia memiliki wangsit Atisha dan guru-guru silsilah lam-rim yang berlangsung selama satu bulan, menjernihkan banyak pertanyaan. Selanjutnya, ia mempelajari enam laku Naropa dan mahamudra lebih lanjut dengan Drigung Kagyu. Selama musim hujan setelah itu, ia mengajar vinaya (‘dul-ba, aturan-aturan ketertiban wihara) secara sangat jelas, ini dipandang sebagai perbuatan agungnya yang kedua. Setelah menyelesaikan Lam-rim chen-mo, Tsongkhapa memutuskan untuk mengajar lebih penuh mengenai tantra. Namun, mulanya ia menulis ulasan-ulasan panjang tentang sumpah-sumpah bodhisattwa dan Lima Puluh Bait mengenai Guru (Bla-ma lnga-bcu-pa, Skt. Gurupanchashika) untuk menekankan mereka sebagai landasan bagi laku tantra. Kemudian, sambil terus mengajar, ia menulis Ngag-rim chenmo dan banyak ulasan tentang Guhyasamaja. Ia juga menulis mengenai Yamantaka dan mengenai naskah-naskah Nagarjuna dari aliran Madhyamaka. Kaisar Cina mengundangnya untuk menjadi guru-khusus kekaisaran, tapi Tsongkhapa menolak secara sopan dengan berkata bahwa ia terlalu tua dan ingin tetap dalam undur diri.
Selama dua tahun berikutnya, Tsongkhapa mengajar lam-rim dan tantra secara luas dan menulis Intisari dari Ulasan Unggul tentang Makna-Makna yang Bisa Ditafsirkan dan Pasti(Drang-nges legsbshad snying-po) pada makna-makna yang bisa ditafsirkan dan pasti tentang prinsip-prinsip Mahayana. Kemudian, pada 1409, pada usia 52 tahun, ia meresmikan Festival Doa Agung Monlam (sMon-lam chen-mo) di Lhasa Jokang (Jo-khang). Ia memberi mahkota emas pada patung Shakyamuni, menandakan bahwa mulai saat itu ini adalah patung Sambhogakaya, bukan hanya Nirmanakaya. Rupa-rupa Sambhogakaya dari Buddha hidup sampai semua makhluk terbebas dari samsara, sedangkan ruparupa Nirmanakaya hidup hanya dalam waktu yang singkat. Ini dianggap sebagai perbuatan agungnya yang ketiga. Setelah ini, murid-muridnya meminta agar ia berhenti melakukan perjalanan terlalu banyak dan mereka mendirikan Wihara Ganden (dGa’-ldan dGon-pa) untuknya. Di Ganden, Tsongkhapa meneruskan mengajar, menulis (terutama mengenai Chakrasamvara), dan melakukan undurdiri. Ia memerintahkan pembangunan aula Ganden yang besar dengan sebuah patung Buddha yang sangat besar dan mandala-mandala tiga-dimensi Guhyasamaja, Chakrasamvara, dan Yamantaka dari tembaga. Ini dianggap perbuatan agungnya yang keempat. Ia melanjutkan kegiatan menulisnya dan pada akhirnya, karya-karya yang dikumpulkannya berjumlah delapan belas jilid, dengan jumlah terbanyak mengenai Guhyasamaja. Akhir Hayat Tsongkhapa wafat di Ganden pada 1419, pada usia 62 tahun. Ia mendepatkan pencerahan setelah kematiannya dengan mencapai tubuh maya (sgyu-lus) alih-alih bardo. Ini menekankan perlunya
para biksu mengikuti pembujangan sempurna, karena pencerahan dalam masa kehidupan ini memerlukan laku dengan pasangan setidaknya satu kali. Sebelum wafat, Tsongkhapa memberikan tutup kepala dan jubahnya kepada Gyeltsabjey (rGyal-tshab rJe Dar-ma rin-chen) (1364-1432), yang memegang tahta Ganden selama dua belas tahun berikutnya. Ini mengawali adat turun-temurun bahwa Pemegang Tahta Ganden (dGa’-ldan khri-pa, Ganden Tripa) adalah pemimpin ordo Gelug. Pemegang tahta berikutnya adalah Kaydrubjey (mKhas-grub rJe dGe-legs dpal-bzang) (1385-1438), yang nantinya memiliki lima wangsit Tsongkhapa, menjernihkan keragu-raguannya dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Silsilah Gelug tumbuh subur semenjak itu. Para Murid Beberapa murid dekat Tsongkhapa mendirikan wihara-wihara untuk meneruskan silsilahnya dan menyebarkan ajaran-ajarannya. Saat Tsongkhapa masih hidup, Jamyang Chojey (‘Jam-dbyangs Chos-rje bKra-shis dpal-ldan) (1379-1449) mendirikan Wihara Drepung (‘Bras-spungs dGon-pa) pada 1416 dan Jamchen Chojey (Byams-chen Chos-rje Shakya ye-shes) (1354-1435) mendirikan Wihara Sera (Se-ra dGon-pa) pada 1419. Setelah Tsongkhapa wafat, Gyu Sherab-senggey (rGyud Shes-rab seng-ge) (13831445) mendirikan Perguruan Tinggi Tantra Gyumay Lower (rGyudsmad Grva-tshang) pada 1433 dan Gyelwa Gendun-drub (rGyalba Ge-’dun grub) (1391-1474), yang secara anumerta dinamai Dalai Lama Pertama, mendirikan Wihara Tashilhunpo (bKra-shis lhun-po) pada 1447.