Hubungan Sejarah antara Budaya Buddha dan Islam sebelum Kekaisaran Mongolia Pengantar: Penyimpangan Catatan Sejarah Terdapat sejarah panjang tentang bagaimana umat Muslim dipandang oleh kaum Kristen Barat sebagai pasukan setan. Sejarah ini bermula pada akhir abad ke-11 Masehi saat para pejuang Perang Salib berusaha merebut Tanah Suci dari umat Muslim. Ini berlanjut dengan jatuhnya pusat Kekristenan Ortodok Timur di Konstantinopel kepada orang Turki pada pertengahan abad ke-15 dan benar-benar dibangkitkan kembali oleh kemenangan besar Turki terhadap pasukan Inggris dan Australia di Gallipoli saat Perang Dunia I. Media massa Barat seringkali menggambarkan tokoh-tokoh agama Islam sebagai “ulama gila” dan menjelek-jelekkan para pemimpin umat Muslim seperti Kolonel Kaddafi, Sadam Hussein, Idi Amin, Ayatollah Khomeini, dan Yasir Arafat. Banyak orang Barat menganggap semua umat Muslim sebagai teroris fanatik dan serta-merta mencurigai kubu kaum fundamental Islam berada di balik tindakan-tindakan kejam tak bertanggung jawab seperti pengeboman Gedung Federal di Kota Oklahoma pada 1995. Sebagai tanggapan terhadap ketidakhormatan pada para pemimpin, agama, dan budaya mereka ini, banyak umat Muslim memandang Barat sebagai negeri Iblis yang mengancam nilai-nilai dan tempat-tempat suci mereka. Sikap saling curiga dan tidak percaya macam ini membawa hambatan besar untuk pemahaman dan kerjasama antara dunia non-Muslim dan Islam. 1
Kecurigaan dan prasangka terhadap umat Muslim ini terbawa ke dalam pemaparan kaum Barat mengenai sejarah Asia, terutama tentang hubungan antara umat Muslim dan Buddha pada masa penyebaran agama Islam ke Asia Tengah dan India. Sejalan dengan jurnalisme Barat, terutama yang mewartakan keterlibatan unsur kefanatikan umat Muslim dalam tindakan-tindakan teror – seolah-olah ini mewakili dunia Islam secara keseluruhan – catatancatatan sejarah terkenal pada masa itu berpusat pada perusakan wihara-wihara Buddha dan pembantaian biksu-biksu yang tidak mau pindah agama. Dengan penekanan pada peristiwa-peristiwa keji, yang pada kenyatannya terjadi, masyarakat menerima kesan menyimpang bahwa hubungan ini hanya bersifat negatif dan penuh kekerasan. Salah satu sumber penyimpangan ini adalah rencana terselubung dari banyak sejarawan Kerajaan Inggris pada masa Raj Inggris, terutama selama abad ke-19. Untuk memperoleh kepatuhan dari masyarakat India dan mengabsahkan kekuasaan kolonial mereka, banyak sejarawan tersebut berusaha menunjukkan bahwa pemerintahan Inggris lebih manusiawi dan kebijakan perpajakannya lebih adil dibandingkan kerajaan-kerajaan Muslim sebelumnya. Jika arkeolog menemukan reruntuhan kuil, mereka menjelaskan bahwa kaum Muslim fanatik telah menghancurkannya. Jika patung dan harta lain hilang, mereka menyimpulkan bahwa para penjarah Muslim telah merampasnya atau umat Buddha telah menyembunyikannya karena takut serangan umat Muslim. Jika penguasa Muslim memberikan izin memperbaiki kuil, mereka menganggap bahwa tentara Muslim telah menghancurkannya lebih dulu. Dengan mengabaikan pertimbangan ekonomi dan geopolitik serta mencampurkan 2
kebijakan militer dengan kebijakan agama, mereka menyebarluaskan pandangan bahwa keinginan untuk menyiarkan agama Islam dan menyadarkan para kafir dengan pedang adalah penyebab semua penyerbuan oleh pasukan Muslim. Mereka menyamakan penaklukan dengan perpindahan agama dan pemberontakan setelahnya dengan keinginan untuk menyingkirkan agama Islam. Para misionaris Inggris khususnya mendukung pandangan ini, yakni menekankan tentang sempitnya pandangan umat Muslim untuk menunjukkan bahwa diri mereka lebih benar. Oleh karena itu, banyak sejarawan Inggris menyamakan penaklukan Arab, Turki, dan Mughal terhadap anak-benua India, dan menggambarkan itu semua sebagai penyerbuan Islam, bukan sebagai penyerbuan oleh kesatuan-kesatuan politik terpisah yang dalam banyak hal berselisih satu sama lain. Sejarawan-sejarawan Barat lain mengikuti pandangan yang sama. Bahkan saat ini, para pemimpin politik dan media massa selalu mengatakan teroris Muslim, tapi tidak pernah mengatakan teroris Kristen, Yahudi, atau Hindu. Penulisan sejarah Barat tidak sendirian dalam menyajikan gambaran yang satu sisi. Sejarah agama Islam dan Buddha yang lugu tentang adat Tibet, Mongol, Arab, Persia, dan Turki, pada banyak bagian, menjelaskan hubungan di antara negara-negara Asia Tengah seolah-olah pertahanan dan penyebaran agama adalah satu-satunya daya penggerak yang menentukan suatu peristiwa. Sejarah agama Buddha yang lugu menyajikan gambaran kekerasan dan menjelaskan perpindahan agama hanya terjadi akibat paksaan. Sejarah agama Islam yang lugu menyajikan gambaran yang lebih damai. Mereka cenderung menjelaskan 3
bahwa umat Buddha berpindah agama ke Islam karena keunggulan moral dari keyakinan umat Muslim atau karena hendak melepaskan diri dari tekanan agama Hindu. Anggapannya adalah bahwa penentu keputusan raja-raja lalim India adalah agama Hindu mereka, bukan kebijakan politik maupun ekonomi mereka. Sejarah kekaisaran Cina pun memiliki kepentingan lain, yaitu menunjukkan keunggulan moral dari satu atau beberapa keturunan raja Cina yang memerintah dan menyerahnya semua budaya asing kepadanya. Rencana terselubung ini juga menyelewengkan gambaran yang mereka sajikan mengenai hubungan antarnegara dan antaragama. Naskah-naskah tertentu menyisipkan peristiwa-peristiwa ke masa lalu, yang menampilkan secara keliru hubungan antara agama Buddha dan Islam. Penulis Muslim Kashmir abad ke-14, Rashid alDin, misalnya, dalam bukunya Kisah Hidup dan Ajaran Buddha, yang ada dalam bahasa Persia dan Arab, menjelaskan bahwa sebelum zaman Nabi Muhammad, semua penduduk Mekah dan Madinah adalah penganut Buddha. Mereka menyembah berhalaberhala di Kabah dalam bentuk Buddha. Bahkan, ramalan-ramalan masa depan tidak lepas dari penyimpangan keagamaan. Umat Buddha dan Muslim, misalnya, membicarakan datangnya pemimpin rohani besar yang akan mengatasi kekuatan-kekuatan negatif dalam sebuah kiamat perang. Versi Buddha-nya berasal dari Tantra Kalacakra, naskah yang muncul di India antara akhir abad ke-10 dan awal abad ke11, dan yang sangat terkenal dalam masyarakat Tibet dan Mongol. Naskah ini, berisi peringatan tentang penyerbuan ke negeri-negeri dengan campuran penduduk Buddha dan Hindu oleh pasukan4
pasukan yang menuntut kepatuhan pada Mekah dan Baghdad, menempatkan raja Buddha Rudrachakrin sebagai lawan dari Nabi Muslim terakhir, Mahdi. Naskah ini menggambarkan Mahdi sebagai pemimpin pasukan-pasukan barbar non-India yang berusaha menguasai jagat dan menghancurkan semua kerohanian. Dengan menyebut Rudrachakrin seorang penguasa “Kalki”, naskah itu juga menggiring umat Hindu kepada pandangan ramalan picik ini. Kalki adalah penjelmaan ke-10 dan terakhir dari dewa Hindu Wisnu yang juga akan bertempur dalam sebuah kiamat perang. Wilayah-wilayah Muslim, seperti Baltistan di Pakistan timur laut, karena memiliki persentuhan sejarah dengan wilayah budaya Buddha Tibet, membalas dengan mengembangkan versi tandingan mengenai kiamat perang itu. Di dalam versi ini, musuh Mahdi, Dajjal, disebut sebagai Raja Gesar, pahlawan mitos Asia Tengah yang dipandang selama berabad-abad oleh berbagai masyarakat Buddha sebagai penjelmaan bukan hanya Raja Rudrachakrin, tapi juga Jenghis Khan. Bagaimanapun, ketika seseorang melihat sejarah itu secara lebih teliti , orang akan menemukan cukup bukti mengenai hubungan dan kerja sama yang bersahabat antara umat Buddha dan Muslim di Asia Selatan dan Tengah dalam bidang politik, ekonomi, dan filsafat. Di sana terdapat banyak persekutuan politik, sejumlah besar perdagangan, dan kadang-kadang pertukaran metode kerohanian untuk perbaikan diri. Ini tidak mengingkari fakta bahwa sejumlah kejadian negatif memang terjadi di antara dua masyarakat tersebut. Bagaimanapun, pengaruh geopolitik dan dorongan untuk perluasan wilayah dan ekonomi jauh lebih penting dibandingkan alasan-alasan keagamaan dalam mendorong 5
perselisihan-perselisihan tersebut, meskipun para pemimpin militan seringkali menggunakan seruan perang suci untuk mengerahkan pasukan. Selain itu, di kedua agama itu, penguasa yang bijaksana dan bertanggung jawab jauh lebih banyak dibanding pemimpin fanatik dalam membentuk kebijakankebijakan dan peristiwa-peristiwa. Umat Muslim dan Buddha tetap merupakan bagian besar dari penduduk terutama Asia Tengah. Catatan-catatan yang lebih tenang dan berimbang mengenai hubungan sejarah di antara dua agama itu dan masyarakat-masyarakat di wilayah itu adalah penting tidak hanya untuk tujuan pengetahuan yang seimbang, tapi untuk pembangunan masa depan yang damai di wilayah tersebut
6
Bagian I: Khilafah Ummaiyyah (661 – 750 M) 1. Penyebaran Agama Buddha di Asia Tengah dan Wilayah-Wilayah Sekitarnya sebelum Kedatangan Bangsa Arab Lama sebelum bangsa Arab membawa Islam ke Asia Tengah pada pertengahan abad ke-7 M, agama Buddha telah berkembang di sana selama ratusan tahun. Perkembangan ini menonjol terutama di sepanjang Jalur Sutra, yang menciptakan perdagangan antara India dan Han Cina, dan kemudian dari dua tempat itu menuju Byzantium dan Kerajaan Romawi. Mari kita mengulas secara singkat penyebaran awal agama Buddha ke wilayah-wilayah tersebut agar kita bisa memahami secara lebih baik latar belakang sejarah yang ditemui agama Islam.
Geografi Dalam kerangka wilayah geografis saat ini, wilayah-wilayah umat Buddha di Asia Tengah pada berbagai masa meliputi: (1) Kashmir pada masa pemerintahan India dan Pakisan, (2) lembah-lembah gunung Pakistan utara seperti Gilgit, (3) Punjab Pakistan, termasuk Lembah Swat, dan Afganistan timur di sebelah selatan Pegunungan Hindu Kush, (4) Lembah Sungai Amu Darya di utara Pegunungan Hindu Kush, meliputi Turkistan Afgan di utara Sungai Amu Darya dan Turkistan Barat bagian selatan (Uzbekistan tenggara dan Tajikistan selatan) di utara sungai itu, 7
(5) Iran timur laut dan Turkmenistan selatan, (6) daerah antara Sungai Amu Darya dan Syr Darya, yaitu Turkistan Barat bagian tengah (Uzbekistan timur dan Tajikistan barat), (7) wilayah di utara Sungai Syr Darya, yaitu Turkistan Barat bagian utara (Kirgizstan dan Kazakhstan timur), (8) Xinjiang (Sinkiang) selatan di Republik Rakyat Cina, yaitu wilayah selatan Turkistan Timur, di sebelah utara maupun selatan Gurun Taklamakan di sekeliling perbatasan Danau Tarim, (9) Xinjiang utara, antara Pegunungan Tianshan (T’ian-shan) dan Altai, (10) Wilayah Otonomi Tibet, Qinghai (Ch’ing-hai), Gansu (Kan-su) tenggara, Sinchuan (Sze-ch’uan) barat, dan Yunnan (Yün-nan) barat laut, semua di Republik Rakyat Cina, (11) Mongolia tengah, di Republik Rakyat Cina, Republik Mongolia (Mongolia Luar), dan Republik Buryat di Siberia, Rusia. Nama-nama sejarah untuk wilayah-wilayah tersebut adalah: 1. Kashmir, dengan ibu kotanya di Srinagar, 2. Gilgit, 3. Gandhara, dengan kota-kota besarnya berada di Takshashila di wilayah Punjab Pakistan dari Terusan Khyber dan Kabul di wilayah Afghanistan, dengan Swat disebut Oddiyana, 4. Baktria, menjangkau sepanjang Lembah Sungai Oxus, dengan pusatnya di Balkh, dekat Mazar-i-Sharif saat ini. 5. Parthia, kelak Khorasan, dengan kota utamanya di Merv, dan kadangkadang bagiannya di Turkmenistan selatan disebut sebagai Margiana, 8
6. Sogdiana, kelak Ma Wara’an-Nahr, di antara Sungai Oxus dan Jaxartes, dengan pusat-pusat utamanya, dari barat ke timur, di Bukhara, Samarkand, Tashkent, dan Ferghana, 7. tidak ada nama khusus, tapi dengan pusat utamanya di Suyab sebelah selatan Danau Issyk Kul, 8. tidak ada nama khusus, tapi dengan negara-kota oasis di sepanjang tepi selatan Danau Tarim, dari barat ke timur, adalah Kashgar, Yarkand, Khotan, dan Niya, dan di sepanjang tepi utaranya, Kucha, Karashahr, dan Turfan (Qocho), dan dengan dua jalur yang bertemu di timur Dunhuang (Tun-huang), 9. Dzungaria, dengan kota utamanya di gerbang timurnya di sepanjang Pegunungan Tianshan dari Turfan adalah Beshbaliq (Beiting, Peit’ing), dekat wilayah yang kini Urumqi, 10. Tibet, dengan ibu kotanya di Lhasa, 11. Mongolia.
Meskipun sebagian nama itu berubah beberapa kali sepanjang perjalanan sejarah, kita harus membatasi diri pada satu rangkaian ini untuk menghindari kerancuan. Kita akan menyebut wilayah Republik Rakyat Cina kecuali Gansu, Mongolia Tengah, wilayahwilayah suku Tibet, Manchuria, dan wilayah suku bukit selatan sebagai “Han Cina”, kampung halaman suku Han. Kita akan menggunakan istilah “India utara” terutama untuk menyebut Lembah Sungai Gangga, tidak termasuk di dalamnya Jammu dan Kashmir, Himachal Pradesh, Punjab India, Rajashtan, atau semua negara bagian Republik India di timur Bengal Barat. Dengan “Iran”, kita menunjuk wilayah-wilayah yang sekarang berada di dalam perbatasan Republik Islam Iran dan, “orang Arab” adalah masyarakat di seluruh Semenanjung Arab dan Irak selatan.
9
Turkistan Barat dan Timur Meskipun terdapat beberapa aliran yang memiliki pandangan berbeda tentang masa hidup Shakyamuni Buddha, kebanyakan cendekiawan Barat sepakat bahwa ia hidup antara 566 dan 486 SM. Awalnya, ia mengajar di bagian pusat Lembah Sungai Gangga di India utara. Perlahan-lahan para pengikutnya mewartakan ajarannya ke wilayah-wilayah sekitarnya, tempat komunitaskomunitas biksu dan biksuni wihara bermunculan tak lama setelah itu. Dengan demikian, agama Buddha secara perlahan berkembang menjadi agama yang tertata, memelihara dan menyebarkan secara lisan ajaran-ajaran Buddha. Pada awalnya, agama Buddha menyebar dari India utara ke Gandhara dan Kashmir pada pertengahan abad ke-3 SM melalui upaya-upaya Raja Mauryan Ashoka (memerintah 273 – 232 SM). Dua abad kemudian, agama Buddha untuk kali pertamanya berhasil mencapai Turkistan Barat dan Timur (Turkistan) ketika ia meluas dari Gandhara ke Bakhtar dan dari Kashmir ke Khotan selama abad ke-1 SM. Pada masa itu, agama Buddha juga dapat menjangkau dari Kashmir hingga Gilgit dan dari India utara hingga wilayah yang kini Sindh dan Baluchistan di Pakistan selatan, berlanjut ke Iran timur dan kemudian ke Parthia. Menurut sejarah agama Buddha kuno, dua saudagar dari Bakhtar ada di antara murid-murid langsung Shakyamuni Buddha. Namun, tidak terdapat bukti bahwa mereka menegakkan agama Buddha di kampung halaman mereka pada tahap awal tersebut. Pada abad ke-1 M, agama Buddha telah masuk lebih dalam ke Turkistan Barat, menyebar dari Baktria ke Sogdiana. Selama abad 10
itu, agama Buddha juga meluas lebih jauh di sepanjang tepi selatan Danau Tarim, melintas dari Gandhara dan Kashmir ke Kashgar, dan dari Gandhara, Kashmir, dan Khotan ke kerajaan Kroraina di Niya. Kroraina ditinggalkan menjadi padang pasir pada abad ke-4 M dan sebagian besar penduduknya berpindah di Khotan. Pada abad ke-2 M, agama Buddha juga mencapai lereng utara Danau Tarim, melintas dari Baktria hingga mencapai masyarakat Tokharia di Kucha dan Turfan. Menurut beberapa sumber, masyarakat Tokharia di sana merupakan keturunan orang Yuezhi, masyarakat Kaukasia yang berbicara bahasa Indo-Eropa barat kuno. Pada abad ke-2 SM, salah satu kelompok dalam masyarakat Yuezhi, yang selanjutnya dikenal sebagai orang Tokharia, bermigrasi ke barat dan menetap di Baktria. Karena itu, Baktria Timur kemudian dikenal sebagai “Tokharistan”. Meskipun memiliki nama yang sama, bagaimanapun, tidak ada hubungan politik antara orang Tokharia di Baktria Timur dan orang Tokharia di Kucha dan Turfan. Di banyak wilayah Turkistan barat dan Timur terdapat kehadiran budaya Iran, terutama di Baktria, Sogdiana, Khotan, dan Kucha. Akibatnya, agama Buddha Asia Tengah datang di sana dan menggabungkan unsur-unsur agama Zarathustra sampai berbagai macam tingkatan. Zarathustra adalah agama kuno Iran. Unsurunsur agama Zarathustra yang digabungkan tersebut muncul dalam bentuk Sarvastivada dari aliran Buddha Hinayana yang berkembang di Baktria, Sogdiana, dan Kucha, serta dalam aliran Buddha Mahayana yang sangat berpengaruh di Khotan.
11
Han Cina Kekaisaran Han Cina mempertahankan pangkalan militer di beberapa negara-kota oase di Danau Tarim sejak abad ke-1 SM sampai ke-2 M. Agama Buddha, bagaimanapun, tidak meluas ke Han Cina sampai wilayah-wilayah jajahan tersebut mendapatkan kembali kemerdekaan mereka. Bermula pada pertengahan abad ke-2 M, agama Buddha mulamula sampai ke Han Cina dari Parthia. Penyebarannya kemudian diperluas oleh para biksu dari negeri-negeri Asia Tengah pengikut Buddha lainnya, dan juga India utara dan Kashmir. Para biksu Asia Tengah dan India utara membantu kaum Han Cina menerjemahkan naskah-naskah Sanskerta dan Gandhari Prakrit ke bahasa Cina, meskipun masyarakat Asia Tengah sendiri pada awalnya lebih memilih versi India asli itu untuk penggunaan pribadi mereka. Karena interaksi secara terus menerus dengan kafilahkafilah asing dari berbagai negara yang mengunjungi mereka di sepanjang Jalur Sutra, sebagian besar dari mereka nyaman dengan bahasa-bahasa asing. Sepanjang proses penerjemahan untuk kaum Han Cina, bagaimanapun, masyarakat Asia Tengah tidak pernah memasukkan unsur-unsur agama Zarathustra. Alihalih, agama Buddha di Han Cina banyak mengambil ciri-ciri budaya Tao dan Konghucu. Selama Masa Enam Kekaisaran (220-589 M), Han Cina pecah menjadi banyak kerajaan yang berumur pendek, secara umum terbagi antara utara dan selatan. Pergantian tahta di sebagian besar non-Kekaisaran Han Cina – para pendahulu dari Turki, Tibet, Mongol, dan Manchu – menyerbu dan menguasai wilayah utara, sedangkan wilayah selatan lebih mempertahankan kebudayaan Han Cina kuno. Agama Buddha di utara cenderung taat dan tunduk 12
pada kehendak pemerintah, sedangkan di selatan bersifat mandiri dan menekankan penyelidikan filosofis. Karena pengaruh dari kecemburuan menteri-menteri penganut Tao dan Konghucu terhadap dukungan pemerintah pada wihara Buddha, agama India menderita tekanan di dua kekaisaran Cina utara antara 574 dan 579. Bagaimanapun, Wendi, yang menyatukan kembali Han Cina setelah tiga setengah abad terpecah dan mendirikan Dinasti Sui (589 – 618), menyebut dirinya maharaja umat Buddha sedunia (Skt. chakravartin). Mengumumkan bahwa pemerintahannya (589 – 605) akan mengubah Cina menjadi surga “ Tanah Suci Murni” umat Buddha, ia menghidupkan kembali kepercayaan masyarakat India sampai tingkatan tinggi. Meskipun beberapa kaisar Dinasti Tang (T’ang) (618 – 906) terdahulu menyukai Taoisme, mereka juga tetap mendukung agama Buddha.
Kekaisaran Turki Timur dan Barat Sejak awal abad ke-5, orang Ruanruan menguasai kekaisaran besar yang berpusat di Mongolia dan membentang dari Kucha sampai perbatasan Korea. Mereka memakai campuran bentukbentuk agama Buddha Khotan dan Tokharia dengan pengaruh Iran dan mengenalkannya ke Mongolia. Kaum Turki Kuno, yang tinggal di Gansu dalam wilayah Ruanruan, akhirnya mengalahkan Ruanruan pada 551. Kekaisaran Turki Kuno yang mereka dirikan pecah menjadi bagian timur dan barat dalam kurun waktu 2 tahun. Kekaisaran Turki Timur menguasai Mongolia dan melanjutkan bentuk Ruanruan dari agama Buddha Khotan/Tokharia yang ditemukan di sana, menggabungkannya dengan unsur-unsur Han Cina utara. Mereka menerjemahkan banyak naskah Buddha, dari 13
berbagai dialek Buddha, ke dalam bahasa Turki Kuno dengan bantuan para biksu dari India utara, Gandhara, dan Han Cina, tetapi terutama dari orang Sogdiana di Turfan. Sebagai pedagang utama Jalur Sutra, orang-orang Sogdiana menghasilkan biksubiksu yang mengasai banyak bahasa secara alami. Sifat utama agama Buddha Turki Kuno adalah daya tariknya untuk masyarakat umum, yang menyatukan banyak sosok yang dipuja oleh masyarakat setempat ke dalam pengiring Buddha, termasuk sosok-sosok dari dua kepercayaan shaman kuno, yakni dari agama Tengris dan Zarathustra. Agama Tengris adalah sistem kepercayaan kuno sebelum Buddha yang dianut berbagai masyarakat di padang rumput Mongolia. Kekaisaran Turki Barat pada awalnya menguasai Dzungaria dan Turkistan Barat utara. Pada 560, mereka merebut bagian barat Jalur Sutra dari kaum Hun Putih (Hephthalites) dan bermigrasi secara bertahap ke Kashgar, Sogdiana, dan Baktria, juga tinggal dalam jumlah tertentu di Gandhara Afghan. Selama masa perluasan ini, banyak masyarakat mereka menganut keyakinan Buddha, khususnya bentuk-bentuk yang ditemukan di beberapa wilayah jajahan mereka.
Keadaan Agama Buddha di Turkistan Barat saat Kedatangan Orang Turki Barat Selama berabad-abad sebelum migrasi bangsa Turki Barat, agama Buddha telah tumbuh mekar di Turkistan Barat bagian tengah dan barat di bawah kekuasaan berurutan Graeco-Baktrian, Shaka, Kushan, Persia Sassaniyyah, dan Hun Putih. Seorang Han Cina yang berziarah ke India, Faxian (Fa-hsien), yang berkelana di 14
wilayah ini antara 399 dan 415, melaporkan bahwa kota tersebut penuh dengan wihara-wihara yang aktif. Namun, ketika kaum Turki Barat tiba di wilayah ini satu setengah abad kemudian, mereka mendapati agama Buddha dalam keadaan lemah, terutama di Sogdiana. Agama Buddha tampaknya melemah selama masa kekuasaan Hun Putih. Bangsa Hun Putih, di sebagian besar masyarakatnya, merupakan pendukung setia agama Buddha. Pada 460, misalnya, penguasa mereka mengirim secarik kain dari jubah Buddha sebagai persembahan pusaka dari Kashgar untuk salah satu istana di Cina utara. Tetapi, pada 515, raja Hun Putih, Mihirakula, melakukan penindasan terhadap agama Buddha, diduga karena pengaruh kecemburuan penganut Manikheisme dan Kristen Nestoria di mahkamahnya. Kerusakan paling buruk terjadi di Gandhara, Kashmir, dan bagian barat India utara, tapi kerusakan ini juga meluas ke Baktria dan Sogdiana pada tingkat yang lebih kecil. Sekitar tahun 630, ketika peziarah Han Cina terkemuka berikutnya ke India, Xuanzang (Hsüan-tsang), mengunjungi Samarkand, ibu kota Turki Barat di Sogdiana, ia mendapati bahwa meskipun di sana terdapat banyak pengikut Buddha awam, para pengikut Zarathustra setempat memusuhi mereka. Dua wihara utama kosong dan tutup. Namun pada 622, beberapa tahun sebelum kedatangan Xuanzang ke Samarkand, rajanya yang berasal dari Turki Barat, Tongshihu Qaghan, telah secara resmi menerapkan agama Buddha di bawah bimbingan Prabhakaramitra, seorang biksu tamu dari India utara. Xuanzang mendorong sang raja untuk membuka kembali wihara-wihara telantar di dekat kota itu dan untuk membangun lagi wihara baru. 15
Sang Raja dan para penggantinya mengikuti nasihat biksu Cina itu dan mendirikan beberapa wihara baru di Sogdiana – tidak hanya di Samarkand, tapi juga di lembah Ferghana dan wilayah yang kini Tajikistan barat. Mereka juga menyebarkan perpaduan bentuk agama Buddha Sogdiana dan Kashgari ke Turkistan Barat bagian utara. Di sana, mereka mendirikan wihara-wihara baru di Lembah Sungai Talas di wilayah yang kini Kazakhstan selatan, Lembah Sungai Chu di Kirgizstan barat laut, dan di Semirechiye di Kazakhstan tenggara dekat wilayah yang kini Almaty. Berbeda dengan di Sogdiana, Xuanzang mewartakan berkembangnya banyak wihara Buddha di Kashgar dan Baktria, dua wilayah utama lain yang dikuasai oleh kaum Turki Barat. Kashgar memiliki ratusan wihara dan sepuluh ribu biksu, sedangkan di Baktria jumlahnya lebih sedikit. Wihara terbesar di seluruh wilayah itu adalah Wihara Nava (Nawbahar, Nowbahar) di Balkh, kota utama Baktria. Wihara ini berperan sebagai pusat utama pengajaran tertinggi Buddha untuk seluruh Asia Tengah, dengan wihara-wihara satelit di Baktria dan Parthia, disebut juga wihara nava. Wihara Nava, yang dikelola seperti universitas, hanya menerima biksu-biksu yang telah menyusun naskah ilmiah. Wihara Nava terkenal karena patung-patung Buddhanya yang cantik memesona, berhias jubah sutra mewah dan berlimpah hiasan permata yang sangat indah, sesuai dengan adat Zarathustra setempat. Wihara Nava memiliki hubungan erat dengan Khotan, tempat wihara ini mengirimkan banyak guru. Menurut Xuanzang, Khotan pada waktu itu memiliki seratus wihara dengan 5.000 biksu.
16
Kemunduran Kaum Turki Barat Pada pertengahan abad ke-7, kekuasaan Turki Barat pada wilayah-wilayah di Turkistan Barat dan Timur mulai melemah. Mula-mula, Turki menyerahkan Baktria kepada Turki Shahi, masyarakat pengikut Buddha dari rumpun bangsa Turki lain yang menguasai Gandhara. Xuanzang mendapati keadaan agama Buddha di Gandhara lebih buruk dibanding di Baktria, meskipun Turki Barat telah mendirikan sebuah wihara di Kapisha, tak jauh dari Kabul bagian utara, pada 591. Wihara utama di Terusan Khyber dalam wilayah Kabul, Wihara Nagara, di selatan wilayah yang kini Jalalabad, menyimpan pusaka tengkorak kepala Buddha dan merupakan salah satu tempat ziarah tersuci dalam dunia Buddha. Namun, biksu-biksunya berubah menjadi sangat duniawi dan memungut satu koin emas dari setiap peziarah untuk melihat pusaka tersebut. Tidak terdapat sanggar belajar di seluruh kawasan ini. Di wilayah Punjabi, biksu-biksunya hanya mempertahankan peraturan ketertiban wihara dan hampir tidak memiliki pemahaman apa pun tentang ajaran-ajaran Buddha. Di Lembah Swat (Oddiyana), misalnya, Xuanzang menemukan banyak wihara hancur dan, di wihara yang masih berdiri, biksu-biksu itu hanya menjalankan upacara-upacara untuk mendapatkan perlindungan dan kekuatan dari mahkluk gaib. Tidak ada lagi tradisi belajar atau meditasi. Pengembara Han Cina sebelumnya, Songyun (Sung-yün), mengunjungi Swat pada 520, lima tahun setelah penindasan Mihirakula. Ia melaporkan bahwa wihara-wihara masih tumbuh 17
subur di sana. Penguasa Hun Putih itu tampaknya tidak menjalankan kebijakan anti-Buddhanya dengan kukuh di wilayahwilayah terpencil kerajaannya. Kemunduran berikutnya pada wihara-wihara di Swat adalah karena beberapa gempa dan banjir hebat yang terjadi pada abad itu di antara kunjungan dua peziarah Cina itu. Karena lembah bergunung itu tak lagi subur dan perdagangan sepanjang Gilgit ke Turkistan Timur terputus, wiharawihara itu kehilangan hampir seluruh dukungan ekonomi dan hubungan dengan budaya-budaya Buddha lainnya. Kepercayaan takhayul setempat dan laku adat shaman kemudian bercampur dengan pemahaman Buddha yang masih tersisa. Pada 650, Kekaisaran Turki Barat semakin menyusut dengan kekalahan Kashgar pada kaum Han Cina, yang telah memperluas kekaisaran mereka sejak berdirinya Dinasti Tang pada 618. Sebelum mendapatkan kekuasaan Kashgar, pasukan Tang telah merebut Mongolia dari Turki Timur dan kemudian negara-negara di sepanjang lereng utara Danau Tarim. Di hadapan ancaman kaum Han yang bertambah kuat dan ketidakmampuan Turki Barat yang lemah untuk mempertahankan mereka, Kashgar dan Khotan yang berdaulat di lereng selatan menyerah secara damai.
Tibet Selama kuartal kedua abad ke-7, bangsa Tibet menyatukan negara mereka. Raja Songtsen-gampo (Srong-btsan sgampo,memerintah 617 – 649) mendirikan kekaisaran yang membentang dari Birma utara hingga perbatasan Han Cina dan Khotan. Ini meliputi Nepal sebagai negara bawahan, yang pada masa itu terbatas sampai Lembah Kathmandu. Setelah mendirikan 18
kekaisarannya, Songtsen-gampo memperkenalkan agama Buddha ke negaranya pada akhir 640-an. Pengenalan ini, bagaimanapun, berlangsung pada skala yang sangat terbatas, mencampurkan berbagai unsur dari Han Cina, Nepal, dan Khotan. Ketika memperluas wilayah, Tibet merebut Kashgar dari Tang Cina pada 633 dan, pada tahun yang sama, membangun pemerintahan mereka di Gilgit dan Jalur Wakhan yang menghubungkan Tibet barat dengan Baktria timur.
Lembah Sungai Gangga India Agama Buddha telah hidup berdampingan secara rukun dengan agama Hindu dan Jain di Lembah Sungai Gangga di India utara sejak zaman dulu. Sejak abad ke-4 M, penganut Hindu menganggap Buddha sebagai salah satu dari 10 penjelmaan (Skt.avatara) dewa tertinggi mereka, Wisnu. Pada tingkatan awam, banyak penganut Hindu melihat agama Buddha sebagai bentuk lain dari agama mereka. Kaisar-kaisar pada Periode Gupta Pertama (320-500) kerap menyokong kuil, wihara, dan guru dari kedua kepercayaan itu. Mereka membangun banyak universitas kewiharaan Buddha tempat adu pendapat filsafat tumbuh subur, yang paling terkenal adalah Nalanda di wilayah yang kini Bihar tengah. Mereka juga mengizinkan negara-negara pengikut Buddha lain memasuki tempat-tempat ziarah di wilayah kerajaan mereka. Kaisar Samudragupta, misalnya, memberikan izin kepada raja Srilanka, Meghavanna (memerintah pada 362-409), untuk membangun Wihara Mahabodhi di Vajrasana (kini Bodh Gaya), tempat Buddha memperoleh pencerahan. Kaum Hun Putih memerintah Gandhara dan bagian barat dari India utara selama hampir sepanjang abad ke-6. Perusakan wihara oleh Mihirakula meluas hingga Kaushambi, tak jauh ke barat dari 19
wilayah yang kini Allahabad di Uttar Pradesh. Dengan berawalnya Masa Gupta Kedua (akhir abad ke-6 hingga tahun 750), kaisarkaisarnya berusaha keras memperbaiki kerusakan tersebut. Bagaimanapun, Xuanzang masih mendapati banyak wihara di barat Kaushambi hancur ketika ia berkunjung. Namun, wiharawihara di Magadha ke timur seperti Nalanda dan Mahabodhi masih tumbuh subur. Kaisar Harsha (memerintah 606 – 647), keturunan Gupta yang merupakan penyokong terkuat agama Buddha, memiliki seribu biksu dari Nalanda di mahkamah kekaisarannya. Ia memuliakan agama Buddha sampai tingkatan tinggi hingga ia diwartakan menyentuh kaki Xuanzang, yang dalam Hindu kuno menunjukkan rasa hormat, saat ia kali pertama bertemu biksu Han Cina itu. Pada 647, Arjuna, seorang menteri yang anti-Buddha, menggulingkan Harsha dan segera merebut kekuasaan Gupta. Saat ia menganiaya tamu peziarah dari suku Han Cina, Wang Xuance (Wang Hsüan-tse), dan sebagian besar rombongannya dirampok dan dibunuh, biksu itu, yang juga utusan kaisar Tang, Taizung (T’ai-tsung, memerintah 627-650), melarikan diri ke Nepal. Di sana, ia meminta bantuan Kaisar Tibet, Songtsen-gampo, yang, pada 641, menikahi anak perempuan kaisar Tang, Putri Wencheng (Wen-ch’eng). Dengan bantuan negara-negara bawahannya di Nepal, penguasa Tibet itu mengalahkan Arjuna dan menegakkan kembali pemerintahan Gupta. Setelah itu, agama Buddha kembali menikmati status istimewa di India utara.
Kashmir dan Nepal Di Kashmir dan Nepal, seperti di India utara, agama Buddha juga tumbuh subur khususnya di negara-negara bagian Hindu. 20
Xuanzang mewartakan bahwa agama Buddha di Kashmir sebagian besar telah pulih dari penindasan Mihirakula, terutama dengan dukungan dari pendiri Dinasti Karkota yang baru (630 – 856). Nepal, di sisi lain, telah lepas dari kekuasaan Hun Putih. Raja-raja dari Dinasti Licchavi (386 – 750) mempertahankan dukungan terus-menerus terhadap agama Buddha. Pada 643, kaisar Tibet, Songtsen-gampo, mengusir Vishnagupta, perampas kekuasaan dinasti ini, dan mengembalikan Raja Narendradeva ke takhta Nepal, yang telah menerima suaka di Tibet. Kejadian ini, bagaimanapun, memberi sedikit pengaruh pada negara Buddha Nepal di Lembah Kathmandu. Songtsen-gampo kemudian menikahi Putri Bhrkuti, anak Raja Narendradeva, untuk mempererat jalinan dua negara itu.
Kesimpulan Agama Buddha dapat ditemukan di hampir semua bagian Asia Tengah ketika kaum Arab Muslim datang pada pertengahan abad ke-7 M. Buddha merupakan agama terkuat di Baktria, Kashmir, dan Danau Tarim; dikenal luas tapi berada pada tingkat pemahaman rendah di Gandhara dan Mongolia; baru saja di perkenalkan ke Tibet; dan menikmati kebangkitan baru di Sogdiana. Namun, Buddha bukan kepercayaan satu-satunya di kawasan tersebut. Di sana juga terdapat agama Zarathustra, Hindu, Kristen Nestorian, Yahudi, Mani, dan pengikut-pengikut aliran Shaman, Tengris, dan sistem kepercayaan asli yang tidak tertata. Di perbatasan dengan Asia Tengah, agama Buddha kuat di Han Cina, Nepal, dan India 21
utara, tempat para penganutnya hidup secara damai bersama penganut Tao, Konghucu, Hindu, dan Jain. Pada masa sebelum kedatangan kaum Arab Muslim di Asia Tengah, kaum Turki Shahi memerintah Gandhara dan Baktria, sedangkan kaum Turki Barat menguasai Sogdiana dan beberapa wilayah Turkistan Barat bagian utara. Kaum Tibet menguasai Gilgit dan Kashgar, sedangkan Tang Cina menguasai sebagian besar Danau Tarim serta Mongolia. Kaum Turki Timur di Mongolia untuk sementara tertahan selama masa singkat pemerintahan Han Cina.
22
2. Sogdiana dan Baktria Menjelang Masa Ummaiyyah Karena Sogdiana dan Baktria merupakan wilayah utama tempat bangsa Arab pertama kali menyebarkan Islam di Asia Tengah, mari kita lihat secara lebih dekat latar belakang keagamaan masyarakat mereka. Ini akan membantu kita memahami tanggapan awal mereka terhadap kepercayaan Islam.
Hubungan Agama Zarathurstra dengan Buddha Sebagian besar penduduk Sogdiana dan Baktria adalah penganut Zarathustra, sementara pengikut Buddha, Manikheisme, Kristen Nestoria, dan Yahudi membentuk minoritas yang kuat. Agama Buddha telah meluas ke seluruh kawasan itu pada masa pemerintahan bangsa Kushan sejak akhir abad ke-2 SM hingga 226 M, tapi ia tidak pernah menggantikan ketenaran agama Zarathustra. Agama Buddha pada dasarnya adalah yang terlemah di Sogdiana karena berada paling jauh dari pusat-pusat kekuasaan bangsa Kushan di Kashmir, Gandhara, Oddiyana, dan Kabul. Kekaisaran Sassaniyah Persia (226 – 637) menguasai Sogdiana, Baktria, Kashgar, dan beberapa bagian wilayah Gandhara sampai bangsa Hun Putih mengambil alih kawasan tersebut pada awal abad ke-5 M, mengakibatkan mereka mundur ke Iran. Meskipun Sassaniyah adalah kekaisaran negara pendukung kuat agama Zarathustra, dengan penguasa-penguasanya yang lebih ortodok menindas sekte-sekte Zarathustra yang mereka anggap sesat, mereka pada umumnya terbuka terhadap agama lain. Mereka mengizinkan kelompok-kelompok itu mempertahankan agama mereka, dengan syarat setiap laki-laki dewasa membayar pajak penduduk. 23
Satu-satunya pengecualian utama terhadap peraturan ini adalah pada paruh kedua abad ke-3 ketika pendeta tinggi agama Zarathustra, Kartir, menentukan kebijakan keagamaan dalam kekaisaran itu. Dengan mempertahankan semangat untuk menyingkirkan semua patung dewa di kekaisaran itu dan menjadikan api suci Zarathustra sebagai satu-satunya pusat penyembahan, Kartir memerintahkan beberapa wihara Buddha dihancurkan, terutama di Baktria. Ini karena lukisan-lukisan dinding dan patung-patung Buddha di wihara-wihara itu menggabungkan banyak unsur agama Zarathustra. Sebagai contoh, patung-patung Buddha sering digambarkan dikelilingi lingkaran api dan prasasti atau disertai tulisan dinding yang menyebut patung-patung itu sebagai “Buddha-Mazda”. Agama Buddha Baktria, kemudian, akan tampak bagi pendeta tinggi itu sebagai aliran sesat dari agama Zarathustra. Namun, agama Buddha bangkit kembali setelah penindasan Kartir.
Zurvanisme Zurvanisme adalah sekte agama Zarathustra yang terkadang didukung oleh kaisar-kaisar Sassaniyah tertentu dan pada masa lain dicela oleh penguasa-penguasa yang lebih ortodok sebagai aliran sesat yang harus dimusnahkan. Meskipun daerah-daerah kantung Zurvanisme banyak ditemukan di seluruh wilayah Kekaisaran Sassaniyah, bahkan termasuk tempat kelahiran Zarathustra, Balkh, daerah tujuan utama para penganut Zurvanisme adalah Sogdiana. Ini barangkali disebabkan oleh letaknya yang terpencil.
24
Penganut Zurvanisme Sogdiana adalah kelompok agama Zarathustra yang paling tertutup terhadap agama lain – jauh lebih bermusuhan dibandingkan penganut Zurvanisme lain di Baktria. Sikap agresif mereka mungkin disebabkan oleh kekakuan yang timbul akibat menjadi sasaran kecurigaan di Iran, ditambah oleh kepercayaan diri yang mereka dapat dari banyaknya jumlah mereka di Sogdiana. Kecurigaan mereka menyebabkan banyak warga Sogdiana yang menganut Buddha, Mani, dan Kristen Nestoria meninggalkan tanah kelahiran mereka dan menetap sebagai pedagang yang bergerak semakin jauh ke timur di sepanjang Jalur Sutra di negara-negara bagian Danau Tarim, terutama Turfan. Karena penganut Tokharia di Turfan juga merupakan masyarakat imigran yang datang dari Asia Barat, para pengungsi Sogdiana itu mungkin mendapat sambutan yang bersahabat dari mereka.
Pemerintahan Hun Putih dan Dampaknya di Sogdiana Bangsa Hun Putih yang merebut Sogdiana dari kaum Sassaniyah sebagian besar adalah pendukung setia agama Buddha. Mereka tidak hanya menguasai wilayah-wilayah Sassaniyah di Asia Tengah, tapi juga beberapa wilayah di India utara, Kashmir dan Khotan. Seperti yang telah tercatat, Faxian mengisahkan bahwa agama Buddha kuat di Sogdiana saat ia berkunjung pada awal abad ke-5 M. Namun, sebagian besar masyarakat di sanamasih menganut Zurvanisme, yang mungkin tidak menyukai kebangkitan kembali umat Buddha. Pada 515, raja Hun Putih, Mihirakula, melakukan penindasan yang singkat tapi merusak terhadap agama Buddha. Balatentaranya 25
dinyatakan telah menghancurkan 1.400 wihara. Kerusakan terburuk di dataran Gandhara, Kashmir, dan India barat laut, pusatpusat kekuasaannya. Mihirakula tidak menjalankan kebijakannya di wilayah-wilayah terpencil dalam kekaisarannya, misalnya Swat. Namun, ini niscaya mengakibatkan dampak bagi wilayah-wilayah itu sampai tingkatan tertentu. Wihara-wihara di Samarkand, misalnya, tidak hancur, tapi kosong tanpa biksu. Siap permusuhan penganut Zurvanisme setempat terhadap agama Buddha niscaya mencegah pembukaan kembali wiharawihara Sogdiana itu. Kecurigaan penganut Zurvanisme itu mengembus kian kuat oleh kerasnya penekanan kembali agama Zarathustra ortodok di Iran dan penindasan terhadap sekte-sekte sesat yang dilakukan tak lama setelah itu oleh Kaisar Sasaniyah, Khosrau I (memerintah 531-578). Dengan demikian, kaum Turki Barat mendapati agama Buddha lemah di Sogdia pada 560, dan Xuanzang mewartakan pada 630 bahwa wihara-wihara di Samarkand masih tutup dan masyarakat “Zarathustra” setempat memusuhi agama Buddha. Di Iran sendiri, Zuanzang mewartakan ada tiga wihara Buddha tersisa di wilayah bekas Parthia di timur laut negara itu. Menurut sejarawan Muslim abad ke-11, al-Biruni, di sana pernah ada sejumlah besar wihara hingga perbatasan-perbatasan Suriah. Kaum Sasaniyah tampaknya telah menghancurkan sisanya.
Baktria Xuanzang mendapati agama Buddha berkembang di Baktria, terutama di Wihara Nava di Balkh. Meskipun Balkh merupakan kota tersuci agama Zarathustra dan sebagian besar penduduknya adalah pengikut kepercayaan itu, termasuk sekte Zurvanisme, 26
mereka tetap bersedia menerima agama Buddha. Mungkin karena pengungsi Zurvanisme dari Iran di sana jauh lebih sedikit dibanding dari Sogdia, mereka tidak terlalu melakukan pembelaan terhadap agama mereka. Mereka, hidup di pusat rohani Zarathustra, tampaknya tidak merasa terancam oleh kehadiran pusat belajar wihara Buddha. Suasana ini, ditambah kenyataan bahwa patokan pendidikan dan pengetahuan yang tinggi di Wihara Nava mendatangkan dukungan dan peminat untuk belajar dari komunitas-komunitas Buddha di seluruh Asia Tengah, menjamin keberlanjutan hidup dan berkembangnya wihara itu meskipun mengalami kerusakan selama penindasan singkat Mihirakula.
Gandhara Meskipun bangsa Arab pertama di Asia Tengah tidak dapat mencapai Gandhara, mari kita, demi ketuntasan, juga menelaah kondisi agama Buddha di sana. Xuanzang mewartakan bahwa wihara-wihara di Gandhara masih hidup, tapi pada tingkat rohani yang sangat rendah. Wilayah Kabul dan dataran Punjabi di Gandhara mendapat pukulan berat kerusakan akibat pasukan Mihirakula. Umat Buddha di sana, terutama di Gandhara, hidup dalam lingkungan Hindu yang menekankan penerapan kebaktian, dan yang menerima Buddha sebagai dewa Hindu. Tanpa pusatpusat belajar yang berpengaruh, tak mengherankan meskipun wihara-wihara itu masih buka, mereka menekankan pada kebutuhan kebaktian para peziarah dan bukan pada kajian ajaran Buddha. Singkatnya, wihara-wihara Gandhara itu tidak pernah pulih sepenuhnya dari perusakan Mihirakula.
27
Kesimpulan Dengan pembahasan ini sebagai latar belakang, kita bisa meramalkan bahwa baik mayoritas penganut Zurvanisme maupun minoritas umat Buddha di Sogdiana pada awalnya tidak mau menerima agama Islam. Penganut Zurvanisme memiliki pengalaman sebagai sekte kecil yang dipandang rendah oleh penganut Zarathustra ortodok yang berkuasa di Iran, dan umat Buddha di Sogdiana memiliki pengalaman yang sama di bawah kekuasaan penganut Zurvanisme. Oleh karena itu, sebagian besar dari mereka tidak mengalami kesulitan dalam menerima apa yang datang kepada mereka bersama kekuasaan Arab, yaitu status dilindungi (Arab. dhimmi) sebagai kawula non-Muslim kelas-dua di negara Muslim. Bangsa Arab, mengambil adat Sassaniyah di Iran, mengharuskan setiap laki-laki dewasa membayar pajak penduduk (Arab. jizya) untuk membiayai agamanya. Di Baktria, penganut Zarathustra maupun Buddha memilki keyakinan yang kuat dan percaya diri akan agama mereka. Mereka pun terus melestarikan agama mereka, meskipun biayanya mahal.
28
3. Perjumpaan Pertama antara Umat Muslim dan Buddha Asia Kehadiran Agama Buddha di Afrika Utara dan Asia Barat Sebelum Islam India dan Asia Barat memiliki sejarah panjang dalam hal perdagangan darat dan laut. Hubungan perniagaan antara India dan Mesopotamia bermula pada awal 3.000 SM, dan antara India dan Mesir, melalui pelabuhan-pelabuhan perantara di Yaman, sejak 1.000 SM. Baveru Jataka, sebuah bab dari kumpulan tulisan tentang kehidupan-kehidupan terdahulu Sang Buddha, mengacu pada perdagangan laut dengan Babilonia (Skt.Baveru). Pada 225 SM, Kaisar Maurya India, Ashoka (memerintah 273 – 232 SM), mengutus biksu-biksu Buddha sebagai perwakilan untuk membangun hubungan dengan Antiochus II Theos dari Suriah dan Asia Barat, Ptolemy II Philadelphos dari Mesir, Magas dari Kirene, Antigone Gonatas dari Makedonia, dan Alexander dari Corint. Akhirnya, komunitas-komunitas pedagang India, baik umat Hindu maupun Buddha, bermukim di beberapa pelabuhan laut dan sungai utama di Asia Kecil, Semenanjung Arab, dan Mesir. Orangorang India dari beberapa pekerjaan lain segera menyusul. Penulis Suriah, Zenob Glak, menulis tentang komunitas India, lengkap dengan kuil-kuil agama mereka, di hulu Sungai Efrat (kini wilayah Turki) sebelah barat Danau Van pada abad ke-2 SM, dan pahlawan Yunani, Dion Chrysostom (40 – 112 M), menulis tentang komunitas yang sama di Alexandria. Sebagaimana dibuktikan oleh sisa-sisa purbakala, pemukiman-pemukiman pengikut Buddha berada di selatan Baghdad di muara Sungai Efrat di Kufah, di pesisir Iran bagian timur di Zir Rah, dan di mulut Teluk Aden di pulau Socotra. 29
Dengan merosotnya peradaban Babilonia dan Mesir pada pertengahan milenium pertama masehi dan berkurangnya pelayaran Bizantium di Laut Merah, banyak perdagangan antara India dan Asia Barat itu menggunakan jalur laut menuju Semenanjung Arab, lalu diteruskan lewat darat melalui perantaraperantara Arab. Mekah, tanah kelahiran Nabi Muhammad (570 – 632 M), menjadi pusat perdagangan penting tempat para saudagar bertemu dari Timur dan Barat. Semakin banyak komunitas India bermunculan di wilayah peradaban Arab itu. Di antara mereka, salah satu yang paling menonjol adalah kaum Jat (Ar. Zut), yang sebagian besar bermukim di Bahrain dan di Ubla, dekat wilayah yang kini Basrah di ujung Teluk Persia. Istri Nabi Muhammad, Aisha, pernah diobati oleh tabib dari kaum Jat. Jadi, tidak dapat disangkal Muhammad dekat dengan budaya India.
Sebagai bukti lebih lanjut, cendekiawan pertengahan abad ke-20, Hamid Abdul Qadir, dalam karyanya Sang Buddha: Kehidupan dan Filosofinya (Ar. Buddha al-Akbar Hayatoh wa Falsaftoh), mengemukakan bahwa Nabi Zulkifli (Laki-laki dari Kifl), yang disebutkan dua kali dalam Al-Quran bersifat sabar dan baik, mengacu kepada Buddha, meskipun sebagian besar menegaskan ia adalah Ezekiel. Menurut teori ini, “Kifl” adalah terjemahan Arab dari “Kapilawastu,” tanah kelahiran Buddha. Cendekiawan ini juga menyatakan bahwa sumber Al-Quran untuk pohon ara itu pun menunjuk Buddha yang memperoleh pencerahan di bawahnya. Tarikh-i-Tabari, sebuah rekonstruksi abad ke-10 tentang sejarah awal Islam yang ditulis di Baghdad oleh al-Tabari (828 – 923), berbicara tentang kelompok India lain yang muncul di Arab, 30
Ahmara atau “Orang-orang Berpakaian Merah” dari Sindh. Mereka niscaya adalah para biksu Buddha berjubah kunyit kuning. Tiga dari mereka secara tertulis menjelaskan ajaran-ajaran filosofis kepada orang Arab selama beberapa tahun pertama zaman Islam. Sehingga, setidaknya beberapa pemimpin Arab mengenal agama Buddha sebelum mereka meluaskan Islam di luar Semenanjung Arab.
Berdirinya Khilafah Ummaiyyah Setelah Nabi Muhammad meninggal dunia, Abu Bakar (memerintah 632 – 634) dan kemudian Umar I (memerintah 634 – 644) merupakan khalifah terpilih, penerus keduniawian Nabi. Pada masa pemerintahan Umar, bangsa Arab menakklukkan Suriah, Palestina, Mesir, sebagian Afrika Utara, dan memulai penyerangan mereka di Iran. Sebuah dewan yang terdiri dari enam orang kemudian menawarkan khilafah itu kepada Ali, sepupu dan menantu Nabi Muhammad, tapi dengan syarat yang tidak bisa ia terima. Khilafah itu lalu bergulir kepada Uthman (memerintah 644 – 656), yang menyelesaikan penggulingan kekuasaan kaum Sasaniyyah di Iran pada 651 dan memulai gerakan Murjiah dalam agama Islam. Ia menyatakan bahwa orang-orang non-Arab bisa menjadi Muslim jika secara lahiriah mereka mematuhi hukum Syariah dan menerima aturan khalifah itu. Namun, hanya Allah yang bisa menilai kesalehan batin mereka. Uthman akhirnya dibunuh oleh kubu yang mendukung Ali. Perang saudara terjadi setelah Ali dan kemudian anak laki-laki tertuanya, Hassan, dibunuh tak lama setelah memimpin khilafah itu. Mu’a waiya, saudara ipar Nabi Muhammad dan pemimpin para 31
pendukung Uthman, akhirnya menang, mengumumkan dirinya khalifah pertama (memerintah 661 – 680) dari garis Ummaiyyah (661 – 750). Ia memindahkan ibu kotanya dari Mekah ke Damaskus, sedangkan pesaingnya menyatakan bahwa khilafah itu jatuh pada anak laki-laki Ali yang termuda, Husein. Hubunganhubungan paling awal antara Muslim Arab dan umat Buddha di Asia Tengah terjadi tidak lama setelah itu.
Serangan Ummaiyyah ke Baktria Pada 663, kaum Arab di Iran melancarkan serangan pertama mereka ke Baktria. Pasukan penyerang itu merebut wilayah di sekitar Balkh, termasuk Wihara Nava, dari kaum Turki Shahi, menyebabkan kaum Turki Shahi mundur ke selatan menuju kubu pertahanan mereka di Lembah Kabul. Tak lama setelah itu, kaum Arab dapat memperluas kekuasaan mereka ke utara dan melakukan serangan pertama mereka ke Sogdiana dengan merebut Bukhara dari kaum Turki Barat. Kebijakan militer Arab adalah membunuh semua yang melawan, tetapi memberikan status perlindungan kepada pihak-pihak yang menyerah secara damai dan menarik upeti dari mereka berupa uang maupun barang. Mereka menjanjikan pembuatan aturanaturannya melalui perjanjian hukum (Ar. ‘ ahd) dengan kota yang menyerah berdasarkan perundingan. Dengan menaati hukum Islam yang telah diberikan, sebuah perjanjian atau persetujuan bersifat mengikat dan tidak dapat dibatalkan, kaum penguasa Arab memperoleh kepercayaan dari calon-calon kawula baru sehingga hanya terdapat sedikit perlawanan terhadap pengambilalihan mereka. 32
Kebijakan agama mengikuti kebijakan militernya. Pihak-pihak yang menerima kekuasaan Arab berdasarkan perjanjian diizinkan untuk tetap menganut agama mereka dengan membayar pajak penduduk. Pihak-pihak yang melawan menghadapi perpindahan agama ke Islam atau pedang. Namun, banyak dari mereka yang secara sukarela menerima Islam. Banyak dari mereka ingin menghindari pajak penduduk, sedangkan yang lainnya, terutama para saudagar dan pengrajin, melihat keuntungan-keuntungan ekonomis tambahan yang akan diperoleh dari pindah agama. Meskipun beberapa umat Buddha di Baktria dan bahkan seorang biksu ketua Wihara Nava pindah Islam, sebagian besar umat Buddha di wilayah tersebut menerima status perlindungan sebagai kawula non-Muslim yang setia di negara Islam dan membayar pajak penduduk bagi masyarakat non-Muslim yang dibebankan pada mereka. Wihara Nava tetap buka dan berfungsi. Peziarah Han China Yijing (I-ching) mengunjungi Wihara Nava pada pergantian abad ke-8 dan mewartakan bahwa wihara itu berkembang. Penulis Persian Ummaiyyah, Umar ibn al-Azraq al-Kermani, menulis sebuah catatan rinci tentang Wihara Nava pada awal abad ke-8, dilestarikan dalam karya abad ke-10 Kitab NegeriNegeri (Ar. Kitab al-Buldan) oleh Ibn al-Faqih al-Hamadhani. Ia menggambarkan Wihara Nava dalam kerangka yang mudah dipahami umat Muslim dengan menarik persamaan dengan Ka’bah di Mekah. Ia menjelaskan bahwa candi utamanya memiliki kubus batu di bagian tengahnya, ditutup dengan kain, dengan orangorang berjalan mengelilinginya. Kubus batu tersebut tentu saja mengacu pada panggung tempat berdiri sebuah stupa penyimpanan benda suci, yang umumnya ditemukan di bagian 33
tengah candi-candi di Baktria dan Tokharia. Kain yang menutupinya selaras dengan adat Iran untuk menunjukkan penghormatan, diberlakukan secara sama terhadap patung Buddha dan candi, dan berjalan mengelilingi adalah cara umum ibadat umat Buddha. Bagaimanapun, gambaran al-Kermani menunjukkan sikap terbuka dan hormat kaum Ummaiyyah Arab dalam upaya memahami agama-agama non-Muslim, seperti agama Buddha, yang mereka temui di wilayah taklukan baru mereka.
Pengalaman Terdahulu Ummaiyyah dengan Umat NonMuslim di Iran Sebelum penyerangan mereka ke Baktria, kaum Ummaiyyah telah memberi status perlindungan dan memungut pajak penduduk kepada kawula mereka di Iran yang beragama Zarathustra, Kristen Nestorian, Yahudi, dan Buddha. Namun, beberapa pegawai pemerintahan Arab setempat kurang tenggang ransa dibanding lainnya. Kadang-kadang, kawula yang berstatus dilindungi harus mengenakan pakaian atau tanda khusus untuk mengenali status mereka dan dihinakan lebih jauh dengan menerima pukulan di leher ketika mereka membungkuk pasrah setiap kali mereka membayar pajak penduduk. Meskipun kawula-kawula yang berstatus dilindungi memiliki kebebasan beribadah, beberapa pegawai pemerintah yang kejam melarang mereka membangun kuil atau gereja baru. Di sisi lain, mereka yang datang untuk sembahyang Jumatan di masjid kadang-kadang menerima hadiah uang. Pada masa-masa setelah itu, apabila seorang anggota keluarga non-Muslim pindah agama Islam, ia akan mewarisi semua harta keluarga tersebut. Selain itu, semakin banyak pejabat 34
pemerintah yang agresif mengambil orang asing, terutama orang Turki, sebagai budak, tetapi kemudian memberi mereka kebebasan jika mereka pindah agama. Kehendak untuk menghindari pembatasan atau penghinaan dan untuk mendapatkan keuntungan keuangan atau sosial tentu saja mendorong banyak orang untuk meninggalkan agama mereka dan menerima kepercayaan baru itu. Sehingga, banyak umat Zarathustra di Iran akhirnya menolak status dilindungi dan pindah agama Islam. Tidak diketahui secara jelas apakah keadaan serupa juga terjadi pada umat Buddha di Baktria dan Bukhara, tetapi tidak berlebihan menduga hal ini terjadi. Proses perpindahan ke Islam utamanya merupakan urusan luar pada masa itu, sesuai dengan adat Murjiah. Seseorang hanya perlu mengucapakan dua kalimat syahadat dan melaksanakan kewajiban-kewajiban dasar agama berupa berdoa lima kali setiap hari, membayar zakat untuk membantu umat Muslim yang miskin, berpuasa selama bulan Ramadan, dan melakukan perjalanan haji ke Mekah satu kali dalam hidup. Yang paling utama, seseorang harus tunduk pada peraturan Khilafah Ummaiyyah, karena hal utama yang dibutuhkan adalah perubahan politik, lebih daripada kepatuhan rohani. Mereka yang melanggar hukum-hukum Syariah diadili di mahkamah Ummaiyyah dan dihukum, tetapi tetap secara resmi mempertahankan warga Muslim dengan segala keistimewaan sipilnya. Hanya Allah yang dapat menentukan siapa yang tulus dalam keyakinan-keyakinan agama mereka. Adat semacam itu dibuat untuk mendapatkan kawula yang akan setia dan patuh terhadap penguasa Arab. Ini tentu menarik orangorang yang pindah agama hanya sebagai tindakan yang bertujuan 35
politis, sosial, atau ekonomis, sedangkan dalam hati mempertahankan keyakinan pada agama mereka sendiri. Namun, anak dan cucu dari mereka yang pindah agama semacam itu tumbuh di luar latar pemahaman itu, dan menjadi jauh lebih ikhlas dibanding orangtua dan kakek mereka dalam menerima agama baru ini. Dengan demikian, jumlah penduduk Islam di Asia Tengah secara berangsur-angsur bertambah dengan jalan tanpa kekerasan.
Kemajuan Lambat Kaum Ummaiyyah ke Sogdiana Selatan Pengambilalihan kaum Ummaiyyah terhadap wilayah-wilayah Sogdiana yang masih tersisa bukanlah persoalan mudah. Tiga kekuatan lain juga berlomba merebut kekuasaan di wilayah tersebut dari kaum Turki Barat dengan tujuan menguasai perdagangan Jalur Sutra yang menguntungkan yang melintasi wilayah itu. Tiga kekuatan tersebut adalah kaum Tibet dari Kashgar, pasukan-pasukan Tang Cina yang bermarkas di beberapa negara bagian Danau Tarim, dan kaum Turki Timur dari Mongolia. Perebutan itu kemudian menjadi sangat rumit. Tidak perlu menjelaskan semua seluk-beluknya. Mari kita ringkas peristiwa-peristiwa penting selama paruh kedua abad ke-7 dan dasawarsa pertama abad ke-8 supaya kita dapat memahami persaingan yang dihadapi kaum Arab. Mula-mula, pada 670, kaum Tibet merebut beberapa negara bagian Danau Tarim dari Tang Cina, berawal dari Khotan dan beberapa daerah di utara Kashgar. Di hadapan ancaman militer Tibet yang semakin kuat, pasukan-pasukan Tang secara perlahan menarik diri ke Turfan dari wilayah Danau Tarim, dan kaum Tibet 36
mengisi wilayah-wilayah kosong itu. Pasukan Tang lalu menghindari kaum Tibet dengan menyeberangi pegunungan Tianshan dari Turfan ke Beshbaliq dan, terus bergerak ke barat, membentuk kedudukan militer di Suyab, Turkistan Barat bagian utara, pada 679. Namun, ini adalah pengecualian bagi kecenderungan umum kemunduran kekuasaan Tang Cina. Pada 682, kaum Turki di Mongolia memberontak terhadap kekuasaan Tang dan mendirikan Kekaisaran Turki Timur Kedua dan, pada 684, Dinasti Tang itu sendiri digulingkan oleh sebuah kudeta. Keadaan ini belum pulih sampai 705, dan belum tenang sampai 713. Sementara itu, kaum Arab yang menguasai Baktria mulai melemah. Pada 680, di masa awal pemerintahan singkat Khalifah Yazid (memerintah 680 – 683), anak bungsu Ali, Husein, memimpin pemberontakan yang gagal melawan pemerintahan Ummaiyyah, dengan ia tewas dalam Pertempuran Karbala di Irak. Perselisihan ini mengalihkan perhatian khilafah tersebut dari Asia Tengah. Sesudah itu, pada akhir pemerintahan Yazid, penguasa Ummaiyyah kehilangan kendalinya pada sebagian besar negara bagian di Baktria, tetapi tetap menjaga wilayah kekuasaan mereka terhadap Bukhara di Sogdiana. Pada tahun-tahun berikutnya, kenangan tentang kesyahidan Husein membantu terbentuknya aliran Syiah dalam agama Islam, sebagai penyeimbang bagi golongan Sunni yang muncul dari gerakan Murjiah dalam garis keturunan Ummaiyyah. Kaisar Tibet pada masa itu sibuk oleh perebutan kekuasaan internal dengan keluarga pesaing. Akibatnya, kaum Tibet kehilangan kendali kuat mereka di negara-negara bagian Danau Tarim pada 692, meskipun mereka terus mempertahankan 37
keberadaan di sana, terutama di sepanjang tepi selatan. Kaum Han Cina memiliki tradisi panjang perihal hubungan perdagangan dengan negara-negara bagian ini, yang dilakukan dari markas mereka di Turfan, yang disebut sejarah Cina klasik sebagai “misi penghormatan”. Sehingga, meskipun Tang Cina kini menjadi kekuatan asing utama di banyak wilayah Danau Tarim di luar Turfan, ini berdasar pada perdagangan, bukan pengendalian secara politik atau militer, terutama di negara-negara bagian wilayah selatan. Pada 703, kaum Tibet membentuk persekutuan dengan kaum Turki Timur melawan pasukan Tang di ujung timur Danau Tarim, tetapi tidak berhasil mengusir mereka dari Turfan. Kaum Turki Barat juga menyiapkan diri melawan balatentara Tang, kecuali di sektor barat, dan berhasil mengusir mereka dari Suyab. Kaum Turki Barat kemudian menempatkan kaum Turki Turgi, salah satu cabang suku mereka, sebagai penguasa-penguasa di Turkistan Barat bagian utara. Kampung halaman kaum Turgi adalah wilayah di sekitar Suyab itu sendiri. Kaum Tibet kemudian bersekutu dengan kaum Turki Shahi dari Gandhara dan, pada 705, berusaha mengusir pasukan-pasukan Ummaiyyah yang sudah melemah dari Baktria. Untuk sementara, kaum Arab mampu mempertahankan daerah mereka. Namun, pada 708, pada masa pemerintahan Khalifah al-Walid I (memerintah 705 – 715), pangeran Turki Shahi, Nazaktar Khan, mengusir kaum Ummaiyyah dari Baktria dan membentuk pemerintahan Buddha garis keras selama beberapa tahun. Ia bahkan memenggal kepala mantan biksu ketua Wihara Nava yang telah pindah agama Islam. 38
Meskipun kalah di Baktria, pasukan Ummaiyyah terus mempertahankan Bukhara di Sogdiana. Bermula dari wilayah utara, kaum Turgi merebut kekuasaan di sebagian Sogdiana dan memperluas ke luar wilayah itu, menguasai Kashgar dan Kucha di Danau Tarim bagian barat. Kaum Turki Timur, sekutu Tibet lainnya, lalu memulai perebutan kekuasaan terhadap Sogdiana dan, datang melalui Dzungaria, menyerang kaum Turgi dari wiayah utara serta akhirnya merebut tanah kelahiran kaum Turghi di Suyab. Dengan perhatian kaum Turghi memusat pada pertahanan sektor utara, pasukan-pasukan Ummaiyyah mengambil keuntungan dari peluang itu, merebut Samarkand dari daerahdaerah paling selatan kekuasaan kaum Turgish
Kesimpulan Pengaruh awal kaum Arab Ummaiyyah terhadap Baktria tidak terlalu kuat dan, oleh karena itu, kemajuan mereka di Sogdiana sangat lambat. Mereka kekurangan kekuatan untuk melancarkan serangan sesuai kehendak, tetapi untuk membuat pergerakan militer harus menunggu terjadinya gangguan militer di antara kekuatan-kekuatan utama yang bersaing menguasai Sogdiana. Mereka jelas tidak terlibat dalam sebuah perang suci untuk menyebarkan agama Islam di seluruh Asia Tengah, tapi mereka hanyalah salah satu dari beberapa pihak berkuasa yang berebut keuntungan politis dan wilayah kekuasaan. Jenderal Arab Qutaiba membangun masjid pertama Sogdia di Bukhara pada 712. Fakta bahwa masjid berikutnya tidak dibangun di sana sampai 771 menandakan betapa lambat penyebaran agama Islam pada masa itu. 39
4. Serbuan Pertama Umat Muslim ke Anak-benua India Keadaan Jalur-Jalur Perdagangan Timur-Barat Jalur Sutra darat dari Cina menuju Barat terbentang melalui Turkistan Timur hingga Turkistan Barat, dan lanjut melalui Sogdia dan Iran ke Byzantium dan Eropa. Jalur lainnya terbentang dari Turkistan Barat melalui Baktria, bagian Gandara yang menjadi wilayah Kabul dan Punjabi, lalu menggunakan kapal menyusuri Sungai Indus menuju Sindh, dan mengarungi Laut Arab dan Laut Merah. Dari Gandhara, perdagangan Cina dan Asia Tengah juga berlanjut hingga mencapai India utara.
Wihara-wihara Buddha tersebar di sepanjang Jalur Sutra dari Cina hingga pelabuhan-pelabuhan Sindh. Semua wihara ini menyediakan tempat beristirahat dan pinjaman modal kepada para pedagang. Lebih lanjut, mereka memberikan tempat bagi pengrajin Buddha awam yang mengukir batu permata semi-mulia yang dibawa dari Cina. Para pedagang dan pengrajin Buddha memberikan dukungan keuangan kepada wihara-wihara itu. Dengan demikian, perdagangan penting bagi kesejahteraan masyarakat Buddha. Sebelum orang Arab menaklukkan Iran, kaum Sassaniyyah yang memerintah Iran menerapkan pajak tinggi terhadap barang apa pun yang dikirimkan melalui darat di wilayah mereka. Akibatnya, Byzantium memilih perdagangan melalui jalur laut yang lebih murah melalui Sindh ke Ethiopia dan dilanjutkan melalui darat. Namun, pada 551, ternak ulat sutra diperkenalkan ke Byzantium dan permintaan akan sutra Cina menurun. Operasi militer Arab di abad ke-7 kemudian menghentikan kegiatan perdangan hingga 40
jalur perdagangan darat melalui Iran bisa diamankan. Di pergantian ke abad ke-8, seorang peziarah Han Cina, Yijing, mewartakan bahwa perdagangan dari Cina ke Sindh berkurang dratis akibat peperangan terus-menerus di antara kaum Ummaiyyah, Tang Cina, Tibet, Turki Timur, Turki Shahi, dan Turgi. Akibatnya, barang-barang dan peziarah Cina bergerak terutama lewat laut melalui Selat Malaka dan Sri Lanka. Dengan begitu, menjelang serbuan kaum Ummaiyyah, masyarakat Buddha di Sindh mengalami masa yang sulit.
Serbuan ke Sindh Sepanjang tahun-tahun awal khilafah mereka, kaum Ummaiyyah mencoba beberapa kali menyerbu anak-benua India. Tentu saja, salah satu tujuan utama mereka adalah memperoleh kendali atas cabang jalur perdagangan yang menyusuri lembah Sungai Indus menuju pelabuhan-pelabuhan Sindh. Karena mereka tak pernah berhasil merebut Gandhara dari Turki Shahi, mereka tak pernah bisa melintasi Gandhara untuk memasuki anak-benua India melalui Terusan Khyber. Satu-satunya jalur lain adalah memutari Gandhara, menguasai Sindh hingga bagian selatannya, dan menyerang Gandhara di kedua sisi.
Dua upaya pertama untuk menguasai Sindh tidak berhasil. Namun, pada 711, di waktu yang kurang lebih sama dengan saat mereka menguasai Samarkand, kaum Arab ini akhirnya mencapai tujuan mereka. Ketika itu, Hajjaj bin Yusuf Sakafi adalah gubernur provinsi-provinsi paling timur dari Kekaisaran Ummaiyyah, yang meliputi wilayah yang saat ini Iran timur, Balukhistan (Makran), dan 41
Afghanistan selatan. Ia memutuskan untuk mengirimkan keponakan sekaligus menantu laki-lakinya, Jenderal Muhammad bin-Qasim, bersama 20 ribu pasukan, untuk melancarkan serangan dua arah ke Sindh melalui darat dan laut. Target awalnya adalah kota pesisir Debal, dekat wilayah yang saat ini Karachi. Sindh, pada masa itu, memiliki penduduk campuran antara umat Hindu, Buddha, dan Jain. Xuanzang mewartakan bahwa lebih dari empat ratus wihara Buddha berada di sana dengan biksu sejumlah dua puluah enam ribu. Sebagian besar penduduk kota yang merupakan pedagang dan pengrajin adalah umat Buddha, sementara petani di pedesaan sebagian besar menganut Hindu. Sindh diperintah oleh Chach, seorang brahmana Hindu dengan dukungan di pedesaan, yang telah merebut kendali pemerintahan secara paksa. Ia mendukung pertanian dan tidak tertarik melindungi perdagangan. Umat Hindu memiliki kasta pejuang yang, bersama pemimpin politik dan agama mereka, memerangi pasukan besar Ummaiyyah. Umat Buddha, di sisi lain, yang tidak memiliki tradisi atau kasta pejuang, dan tidak puas dengan kebijakan-kebijakan Chach, memilih menghindari pertempuran dan menyerah secara damai. Pasukan Jenderal bin-Qasim meraih kemenangan, dan dikabarkan membantai penduduk setempat dalam jumlah besar, yang mengakibatkan kerusakan besar di kota itu sebagai hukuman atas perlawanan gigih mereka. Sulit untuk mengetahui seberapa jauh kabar pembunuhan ini dibesar-besarkan. Bagaimanapun juga, kaum Arab ingin mempertahankan Sindh yang berharga untuk meningkatkan dan mengambil keuntungan dari perdagangan yang melaluinya. Meski demikian, kaum Ummaiyyah menghancurkan candi utama Hindu di sana dan mendirikan masjid di atasnya. 42
Pasukan Ummaiyyah melanjutkan serangan ke Nirun dekat wilayah yang saat ini Hyderabad, Pakistan. Gubernur Buddha kota ini menyerah dengan sukarela. Namun, untuk memberikan contoh lebih jauh, umat Muslim yang berjaya ini juga mendirikan sebuah masjid di tempat yang dulu terdapat wihara utama Buddha. Mereka tidak merusak bagian-bagian lain dari Hyderabad. Baik umat Buddha maupun Hindu bekerja sama dengan orang Arab, meskipun lebih banyak umat Buddha yang melakukannya daripada umat Hindu. Sehingga, dua pertiga kota-kota Sindh menyerah secara damai kepada penyerbu dan membuat persetujuan. Mereka yang menentang diserang dan dihukum; mereka yang menyerah atau bekerja sama memperoleh keamanan dan kebebasan beragama.
Pendudukan di Sindh Dengan persetujuan Gubernur Hajjaj, Jenderal bin-Qashim sekarang melaksanakan kebijakan tenggang rasa. Umat Buddha dan Hindu diberi status warga yang dilindungi (dhimmi). Selama mereka tetap setia pada Khalifah Ummaiyyah dan membayar pajak penduduk, mereka diizinkan mengikuti keyakinan mereka dan mempertahankan tanah dan harta milik mereka. Bagaimanapun, banyak pedagang dan pengrajin Buddha secara sukarela pindah agama menjadi Muslim. Akibat muncul persaingan usaha dari penduduk Muslim, mereka melihat adanya keuntungan ekonomi dari pindah agama dan membayar pajak yang lebih sedikit. Selain pajak penduduk, pedagang dhimmi juga harus membayar pajak ganda untuk segala macam barang. 43
Di sisi lain, meskipun Jenderal bin-Qashim memiliki kepentingan tertentu untuk menyebarkan Islam, ini bukanlah perhatian utamanya. Tentu saja, ia menerima perpindahan agama ke Islam, tapi pusat perhatiannya adalah mempertahankan kekuasaan politik. Ia perlu meningkatkan kekayaannya sebanyak mungkin untuk membayar kembali pada Hajjaj atas biaya mahal operasi militernya dan kegagalan-kegagalan militer sebelumnya. Jenderal Arab ini berhasil mencapai tujuannya tidak hanya melalui pajak penduduk, tanah, dan perdagangan, tapi juga melalui pajak peziarah yang harus dibayar umat Buddha dan Hindu bila ingin mengunjungi candi suci mereka. Ini mungkin menandakan bahwa para biksu Buddha dari Sindh, seperti rekan-rekan mereka di Gandhara di sebelah utara, juga mengalami kemunduran adat saat diterapkannya biaya masuk ke wihara dan bahwa kaum Ummaiyyah semata mengambil alih pendapatan mereka. Sehingga, untuk sebagian besar, umat Muslim tidak lagi menghancurkan candi Buddha dan Hindu di Sindh, atau lukisan maupun benda suci di dalamnya, karena candi-candi itu memikat peziarah dan menghasilkan pendapatan.
Perjalanan ke Saurashtra Pusat kegiatan Buddha terbesar di India barat pada masa itu adalah di Valabhi, yang berada di pesisir timur Saurashtra di wilayah yang masa kini Gujarat. Wilayah ini dikuasai oleh Dinasti Maitraka (480-710) yang telah memisahkan diri dari Kekaisaran Gupta Pertama selama tahun-tahun terakhir kemundurannya sebelum Hun Putih mengambil alih. Menurut Xuanzang, terdapat 44
lebih dari seratus wihara di wilayah ini dengan biksu sejumlah enam ribu. Bangunan terbesar dari itu semua adalah Kompleks Wihara Dudda, sebuah universitas wihara luas tempat para biksu menerima pendidikan luas yang mencakup bukan hanya pelajaran agama Buddha, tapi juga pengobatan dan ilmu pengetahuan sekuler. Banyak lulusannya lalu bekerja untuk pemerintahan di bawah Maitraka. Raja-raja Maitraka, kemudian, memberi masingmasing wihara itu beberapa desa sebagai dukungan. Seorang peziarah Han Cina, Yijing, mengunjungi Valabhi di tahun-tahun terakhir kekuasaan Maitraka dan membuktikan kelanjutan kebesaran Maitraka. Pada 710, satu tahun sebelum serangan Ummaiyyah ke Sindh, kerajaan Maitraka terpecah, dengan kaum Rashtrakuta (710-775) menguasai sebagian besar wilayahnya. Para penguasa baru ini melanjutkan dukungan pendahulu mereka terhadap wihara-wihara Buddha. Program-program pelatihan di Wihara Dudda tetap berlanjut tanpa gangguan. Tidak lama setelahnya, Jenderal bin-Qasim mengirimkan utusan ke Saurashtra, tempat pasukannya membuat perjanjian damai tentang permukiman dengan penguasa-penguasa Rashtrakuta. Perdagangan laut dari India tengah ke Byzantium dan Eropa bergerak melewati pelabuhan-pelabuhan Saurashtra. Orang Arab ingin mengenakan pajak terhadapnya juga, terutama bila orang India mencoba mengalihkan perdagangan di sana dari Gandhara untuk menghindari pelabuhan-pelabuhan Sindh. Tentara Muslim tidak menyebabkan kerusakan apa pun terhadap lembaga-lembaga Buddha di Valabhi pada masa itu. Lembaga45
lembaga ini terus berkembang dan menampung biksu yang mengungsi dari Sindh. Di tahun-tahun selanjutnya, banyak wihara baru berdiri di Valabhi untuk menampung kedatangan para pengungsi itu.
Evaluasi terhadap Operasi Militer di Sindh Perusakan yang dilakukan Ummaiyyah terhadap wihara-wihara di Sindh tampaknya merupakan suatu peristiwa yang jarang dan langkah awal dalam pendudukan mereka. Para jenderal Ummaiyyah memerintahkan perusakan itu untuk menghukum atau mencegah pihak musuh. Tapi, yang terjadi di Sindh tidak demikian. Ketika, kemudian, wilayah-wilayah seperti Saurashtra menyerah secara damai, pasukan Ummaiiyah pun meninggalkan wiharawihara tanpa merusaknya. Bila kaum Arab Muslim berniat melenyapkan agama Buddha, mereka tak akan meninggalkan Valabhi tidak tersentuh. Oleh karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa tindak kekerasan terhadap wihara-wihara Buddha, secara umum, bersifat politik, bukan keagamaan. Tentu saja, orang-orang yang ikut serta dalam peristiwa itu bisa memiliki alasan pribadi masing-masing. Setelah menetap hanya selama tiga tahun di Sindh, Jenderal binQasim kembali ke mahkamah Hajjaj, meninggalkan kepada bawahan-bawahannya tugas untuk menerapkan kebijakan pragmatisnya memanfaatkan perasaan keagamaan Buddha dan Hindu guna memperoleh pendapatan. Namun, tidak lama setelah kepergiannya, penguasa Hindu setempat memperoleh kembali kendali atas sebagian besar wilayah mereka, membuat kaum Arab hanya menguasai sedikit kota-kota utama Sindh. 46
Penaklukkan Kembali Ummaiyyah terhadap Baktria Pada 715, Gubernur Hajjaj, didorong oleh keberhasilan keponakannya di Sindh, mengirimkan Jenderal Qutaiba untuk mengambil kembali Baktria melalui serangan dari Iran timur laut. Jenderal Qutaiba berhasil dan menciptakan kerusakan besar terhadap Wihara Nava sebagai hukuman atas pemberontakan sebelumnya. Banyak biksu melarikan diri ke timur menuju Kashmir dan Khotan. Raja Karkota, Lalitaditya (memerintah 701-738), membangun banyak wihara di Kashmir, atas dukungan menteri Baktria-nya yang beragama Buddha, untuk mewadahi perpindahan besar-besaran para pengungsi terdidik. Ini berperan besar dalam memperkuat pengaruh Buddha di Kashmir. Wihara Nava dengan cepat pulih kembali dan segera berfungsi seperti semula, menandakan bahwa perusakan umat Muslim terhadap wihara-wihara Buddha bukanlah tindakan atas dorongan keagamaan, Bila terjadi demikian, tentunya mereka tidak akan mengizinkan pembangunan kembali lembaga itu. Setelah kemenangan Ummaiyyah di Baktria atas Turki Shahi dan sekutu Tibet mereka, kaum Tibet memindahkan dukungan mereka dan, atas dasar pertimbangan politik, bersekutu dengan kaum Arab. Kaum Tibet, yang telah gagal di persekutuan lainnya untuk mendapatkan kembali kota-kota oase di Turkistan Timur yang lepas dari mereka 22 tahun sebelumnya, tentu berharap bahwa bersama kaum Ummaiyyah mereka bisa menaklukkan Jalur Sutra dan berbagi kendali atasnya. Perbedaan agama tampaknya tidak memiliki peran ketika tiba saatnya untuk memperluas kekuasaan dan menambah kekayaan negara. 47
Dengan bantuan kaum Tibet, Jenderal Quitaba selanjutnya merebut Ferghana dari Turgi, tapi ia terbunuh dalam pertempuran saat bersiap melancarkan serangan untuk merebut Kashgar dari Turgi. Kaum Arab lalu tidak pernah memiliki kesempatan lain untuk melaju hingga ke Turkistan Timur.
Usaha-Usaha Awal untuk Menyebarkan Islam Meskipun ada kecenderungan umum adanya tenggang rasa agama oleh khalifah-khalifah Ummaiyyah sebelumnya, Umar II (717-720) menerapkan kebijakan menyebarkan Islam dengan mengirimkan guru-guru rohani (Arab. ulama) ke negeri-negeri jauh. Namun, kedudukannya agak lemah dan ia tidak bisa melaksanakan kebijakannya secara ketat. Sebagai contoh, khalifah itu menyatakan bahwa pemimpin masyarakat setempat bisa memerintah di Sindh hanya jika mereka pindah agama ke Islam. Bagaimanapun, karena kaum Ummaiyyah telah kehilangan kendali politik atas Sindh pada saat itu, Umar II cenderung diabaikan dan ia tidak memaksakan hal itu. Kaum Muslim baru itu hidup selaras dengan kaum Buddha dan Hindu Sindh, sebuah pola yang terus berlanjut bahkan usai kemunduran peran Ummaiyyah. Naskah-naskah Wangsa Pala (750-akhir abad ke-12) dari India utara selama abad-abad selanjutnya terus mengacu kepada biksubiksu Buddha dari Sindh. Umar II juga menyatakan bahwa semua sekutu Ummaiyyah harus mengikuti Islam. Oleh karena itu, mahkamah kekaisaran Tibet mengirimkan seorang wakil resmi yang meminta kedatangan seorang guru ke negerinya untuk mengajarkan keyakinan baru itu. Sang Khalifah mengirimkan al-Salit bin-Abdullah al-Hanafi. Fakta 48
bahwa guru ini tidak memiliki catatan keberhasilan dalam mendapatkan orang Tibet yang pindah ke Islam menunjukkan bahwa kaum Ummaiyyah tidak berkeras dalam upaya mereka menyebarkan agama Islam. Bahkan, kesetiaan pada suku Arab jauh lebih penting bagi Ummaiyyah dibanding membangun masyarakat Islam yang beraneka budaya. Setiap kali mereka menaklukkan kerajaan di Asia Tengah, mereka memindahkan agama dan budaya mereka terutama untuk diri mereka sendiri. Ada juga alasan-alasan lain mengapa Tibet tidak menerima keberadaan guru Muslim tersebut. Semua ini kurang begitu berhubungan dengan doktrin-doktrin Islam itu sendiri. Mari kita lihat lebih dekat latar belakang politik yang mengelilingi pertemuan pertama antara agama Islam dan Buddha di Tibet.
49
5. Tibet Menjelang Kedatangan Guru Muslim Pertama Ketika al-Salit bin-Abdullah al-Hanafi tiba di Tibet, di sana telah ada dua adat keagamaan yang disokong oleh mahkamah kekaisaran, yakni agama “Bon” dan Buddha. Yang pertama adalah kepercayaan asli Tibet, sedangkan yang berikutnya diperkenalkan oleh kaisar pertama Tibet, Songtsen-gampo (memerintah 617 – 649). Menurut catatan-catatan Tibet kuno, di sana terdapat banyak persaingan di antara keduanya. Namun, cendekiawan modern memaparkan keadaan yang lebih rumit.
Agama Bon yang Tertata dan Adat Tibet Asli Bon baru menjadi agama tertata setelah abad ke-11, ketika agama ini memiliki banyak ciri-ciri yang sama dengan agama Buddha. Sebelum itu, adat Tibet asli sebelum-Buddha ini, yang terkadang secara membingungkan disebut “Bon”, memiliki unsur utama upacara-upacara untuk mendukung kultus kekaisaran, seperti upacara-upacara persembahan dengan tata cara rumit untuk pemakaman kekaisaran dan untuk penandatanganan perjanjian. Adat ini juga meliputi tata-tata peramalan, perbintangan, upacara penyembuhan untuk menenangkan roh-roh berbahaya, dan pengobatan herbal. Dalam kepustakaan sejarahnya, agama Bon tertata mencatat asalusulnya sendiri dari Shenrab (gShen-rab), seorang guru dari negeri dongeng Olmo-lungring (‘Ol-mo lung-ring) di tepi timur Tagzig (sTag-gzig), yang membawa agama ini ke Zhang-zhung (Zhangzhung) pada masa lampau. Zhang-zhung adalah kekaisaran kuno dengan ibu kotanya di Tibet barat dekat Gunung Kailash yang suci. Beberapa cendekiawan Rusia modern, yang mengambil landasan 50
pada analisis bahasa, menyamakan Olmo-lungring dengan Elam di Iran barat zaman kuno dan Tagzig dengan Tajik, mengacu pada Baktria. Menyetujui pernyataan tegas agama Bon bahwa unsurunsurnya yang menyerupai agama Buddha lebih dulu ada sebelum Songtsen-gampo, para cendekiawan ini menyatakan bahwa prawarsa asli bagi sistem itu berasal dari seorang guru Buddha dari Baktria yang mengunjungi Zhang-zhung, mungkin melalui Khotan atau Gilgit dan Kashmir, pada suatu masa di awal milenium pertama masehi. Zhang-zhung secara adat memiliki hubungan ekonomi dan budaya yang erat dengan dua wilayah tetangga itu. Sepakat dengan catatan Bon tersebut, mereka menjelaskan bahwa guru ini, suatu ketika di Zhang-zhung, menggabungkan banyak ciri yang menyerupai agama Buddha dengan laku-laku pemujaan pribumi. Beberapa cendekiawan lain melihat catatan Bon tentang sumbernya sebagai sebuah penambahan sumber sejarah dari abad ke-14 yang menggabungkan banyak unsur. Olmo-lungring menyebarkan agama Bon ke wilayah timur akan sejajar dengan Tibet membawa agama Buddha ke Mongolia, dan Tagzig, “Negeri Harimau dan Macan Tutul” secara harfiah, akan menjadi perpaduan dari negeri bengis kaum Mongolia dan, yang sebelumnya, kaum Khitan. Namun, “Tagzig” (dilafalkan “tazi” atau “tazig”) adalah pengalihbahasaan Tibet dari istilah Sanskerta tayi, nama untuk menyebut penyerbu nonIndia dalam kepustakaan Kalacakra. Bahasa Sanskerta tayi, ternyata, adalah salinan suara dari istilah Arab dan Aram tayy (jamak: tayayah, tayyaye) atau bentuk bahasa Persia Modernnya, tazi. Tayyayah adalah suku terkuat dari rumpun suku Arab sebelum Islam, kaum Tayy, dan, oleh sebab itu, 51
“tayayah” digunakan dalam bahasa Suriah dan Hibrani sebagai nama umum untuk orang Arab sejak abad ke-1 M. Bentuk bahasa Persia Modern tazi adalah istilah yang digunakan untuk menyebut penyerbu Arab di Iran, misalnya, oleh raja terakhir Sassaniyyah, Yazdgird III (memerintah 632 – 651), satu zaman dengan Kaisar Songtsen-gampo. Dapat dikatakan bahwa Zhang-zhung memperoleh bentuktagzig itu dari bahasa Persia Tengah “ tazig”, yang digunakan pada masa awal Kekaisaran Sassaniyyah (226 – 650), yang meluas tidak hanya sampai Iran, tapi juga Baktria. Bagaimanapun, kaum Sassaniyyah adalah penganut Zarathustra yang taat dan Balkh, di Baktria, adalah tanah kelahiran agama Zarathustra. Selain itu, kaum Sassaniyyah menghormati agama Buddha di Baktria, tempat agama ini berdiri kokoh selama beberapa abad. Karena agama Bon awal memiliki banyak unsur yang menyerupai dualisme agama Zarathustra dan Buddha, pernyataan agama Bon bahwa unsur-unsurnya yang menyerupai agama Buddha yang telah ada sebelum Kaisar Songtsen-gampo dan diperoleh dari Tagzig terlihat meyakinkan. Namun, tampak aneh bahwa Zhang-zhung sebelum pemerintahan Songtsen-gampo mengambil kata yang digunakan oleh kaum Sassaniyyah untuk kaum Arab untuk negeri-negeri yang dikuasai oleh kaum Sassaniyyah. Sangat tidak mungkin bahwa Zhangzhung menggunakan nama Tagzig untuk menyebut kaum Arab itu sendiri. Lagi pula, kaum Ummaiyyah Arab tidak merebut Iran dari kaum Sassaniyyah sampai 651, Baktria sampai 663, dan Bukhara di Sogdiana sampai beberapa tahun kemudian. Peristiwa ini terjadi beberapa dasawarsa setelah penaklukkan Zhang-zhung oleh Kaisar Songtsen-gampo. Jadi, jika nama Tagzig itu digunakan di 52
Zhang-zhung sebelum pemerintahan Songtsen-gampo dan setelah itu dialihkan ke bahasa Tibet, ia hanya bisa digunakan untuk mengacu pada wilayah-wilayah(-wilayah) budaya Iran yang nantinya dikuasai oleh kaum Arab atau tempat kaum Tibet nantinya melawan kaum Arab. Ini tidak mungkin. Yang lebih mungkin adalah bahwa pada awal abad ke-8, ketika kaum Tibet memiliki hubungan dengan kaum Arab di Baktria dan akan mendengar nama Tagzig itu dari mereka, golongan Bon di mahkamah Tibet mengambil nama itu dan menggunakannya sebagai tinjauan kembali untuk wilayah Baktria tempat agama mereka berasal. Teori semacam itu tidak akan menghilangkan pernyataan bahwa agama Bon diperoleh dari sumber-sumber Baktria.
Lagi pula, jika teori asal-usul nama Tagzig ini benar, maka pemakaiannya ke dalam bahasa Tibet akan mendahului pemakaian istilah ini untuk menerjemahkan istilah Sanskertatayi dalam kepustakaan Kalacakra Sanskerta. Terjemahan-terjemahan pertama dalam kepustakaan Kalacakra dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tibet itu hanya dibuat pada pertengahan abad ke-11; sedangkan terjemahan-terjemahan pertama bahasa Tibet dalam kepustakaan itu yang memuat istilah Tagzig baru diperkenalkan ke Tibet pada 1064.
Hubungan Songtsen-gampo dengan Zhang-zhung Songtsen-gampo adalah raja Yarlung (Yar-klungs), sebuah kerajaan kecil di Tibet tengah, yang ke-32. Dalam masa 53
memperluas wilayahnya dan mendirikan kekaisaran yang sangat luas yang membentang dari perbatasan-perbatasan Baktria sampai wilayah-wilayah kaum Han Cina dan dari Nepal sampai perbatasan-perbatasan Turkistan Timur, ia menaklukkan Zhangzhung. Menurut catatan-catatan sejarahnya, Zhang-zhung juga pernah menjangkau seluruh dataran tinggi Tibet. Namun, Zhangzhung pada saat kekalahannya hanya meliputi Tibet barat. Mari kita pinggirkan persoalan-persoalan tentang jangkauan terjauh perbatasan Zhang-zhung, kehadiran ciri-ciri yang menyerupai agama Buddha di Zhang-zhung pada puncak kejayaan kekaisarannya, dan kemungkinan asal usul mereka. Tetap saja, kita dapat menduga dari bukti yang ditemukan di makam raja-raja Yarlung sebelum Songtsen-gampo bahwa setidaknya sistem Zhang-zhung pada upacara-upacara istana itu sama di dua wilayah tempat kaisar bernaung dan di negeri yang ia taklukkan di Tibet barat. Tidak seperti agama buddha, upacaraupacara Zhang-zhung tersebut bukan tata laku dan kepercayaan asing, tetapi sebuah bagian utuh warisan suku Tibet pribumi. Dalam rangka menjaga persekutuan politik dan kursi kekuasaannya sendiri, Songtsen-gampo menikahi putri-putri raja, awalnya putri dari Zhang-zhung dan kemudian, pada akhir masa pemerintahannya, putri dari Tang Cina dan Nepal. Setelah mengawini putri dari Zhang-zhung, Songtsen-gampo membunuh ayah putri itu, Lig-nyihya (Lig-myi-rhya), raja terakhir Zhang-zhung. Ini menjadikan perhatian terhadap dukungan upacara keagamaan asli dalam kultus kekaisaran beralih pada dirinya dan negaranya yang sedang meluas secara pesat.
54
Pengenalan Agama Buddha Songtsen-gampo mengenalkan agama Buddha ke Tibet melalui pengaruh istri-istrinya yang berasal dari Han Cina dan Nepal. Namun, ini tidak mengakar atau menyebar ke masyarakat umum pada masa itu. Beberapa cendekiawan modern mempertanyakan keaslian sejarah dari istri Nepalnya, tapi bukti arsitektural dari masa itu setidaknya menunjukkan sejumlah pengaruh kebudayaan dari Nepal. Pengejawantahan utama kepercayaan asing tersebut adalah 13 candi Buddha yang dibangun oleh sang Kaisar di tempat-tempat geomantis yang dipilih secara khusus di wilayah kekuasaannya, termasuk Bhutan. Dengan Tibet dipahami sebagai iblis perempuan dalam posisi terlentang dan lokasi-lokasi candi itu dipilih secara saksama menurut aturan akupunktur Cina yang diberlakukan pada tubuh iblis perempuan itu, Songtsen-gampo berharap melenyapkan roh-roh jahat yang dapat mengancam kekuasaannya. Dari 13 candi Buddha itu, yang paling besar terletak delapan puluh mil dari ibu kota kerajaan, di tempat yang kemudian disebut “Lhasa” (Lha-sa, Tempat Para Dewa). Pada masa itu, tempat ini dinamakan “Rasa” (Ra-sa, Tempat Para Kambing). Para cendekiawan barat menduga bahwa Kaisar itu dibujuk untuk tidak membangun candi itu di ibu kota agar tidak menghina dewa-dewa adat. Tidak jelas siapa yang menghuni candi-candi Buddha ini, tapi barangkali mereka adalah biksu-biksu asing. Wihara-wihara Tibet pertama itu tidak melakukan penobatan biksu hingga hampir satu setengah abad kemudian. 55
Meskipun sejarah-sejarah lugu menggambarkan Kaisar Songtsengampo sebagai teladan sempurna iman Buddha dan meskipun adat-adat keagamaan Buddha niscaya dilakukan untuk keuntungannya, semua itu bukan bentuk upacara keagamaan khusus yang disokong oleh mahkamah kekaisaran. Songtsengampo mempertahankan para pemimpin keyakinan adat asli dan kaum bangsawan pendukung mereka di dalam mahkamahnya, dan memesan patung dewa-dewa pribumi untuk ditempatkan di samping patung-patung Buddha di candi utama di Rasa itu. Seperti para pendahulunya, Songtsen-gampo dan penggantipenggantinya dimakamkan di Yarlung menurut tata cara Tibet pribumi kuno sebelum Buddha. Seperti Jenghis Khan enam abad kemudian, Kaisar Tibet itu menerima baik bukan hanya adat pribuminya, tapi juga agama asing, yakni agama Buddha, yang dapat melaksanakan upacara-upacara keagamaan untuk memperkuat kekuasaannya dan menguntungkan kekaisarannya.
Penyaduran Aksara Khotan Bukti lebih lanjut mengenai kebijakan Songtsen-gampo dalam penggunaan karya asing untuk menambah kekuatan politiknya adalah penyaduran sebuah aksara ke dalam bahasa Tibet. Memanfaatkan sejarah panjang hubungan kebudayaan dan ekonomi Zhang-zhung dengan Khotan, Gilgit, dan Kashmir, Kaisar itu mengirim utusan kebudayaan, dipimpin oleh Tonmi Sambhota (Thon-mi sambhota), ke kawasan itu. Di Kashmir, utusan itu bertemu dengan guru asal Khotan, Li Chin (Li Byin) – Li, kata Tibet untuk Khotan, jelas menunjukkan negeri asal guru itu. Dengan bantuannya, utusan itu merancang aksara untuk menulis bahasa Tibet berdasar saduran bahasa Khotan pada aksara Gupta Baku 56
India. Catatan-catatan sejarah Tibet mengacaukan tempat penyusunan aksara baru itu dengan tempat asal aksara contohnya, sehingga ini menjelaskan bahwa bahasa tulis Tibet berdasar pada aksara Kahsmir. Para cendekiawan Tibet modern menemukan bahwa, sebelum perkembangan ini, Zhang-zung sudah memiliki aksara tertulis dan bahwa ini adalah dasar bagi huruf-huruf sambung Tibet. Contoh bagi aksara Zhang-zhung ini, bagaimanapun juga, merupakan abjad khotan. Songtsen-gampo agaknya bermaksud menggunakan aksara baru itu untuk penerjemahan naskah Buddha Sanskerta hadiah dari India yang tiba di Yarlung dua abad sebelumnya. Ketika itu, kegiatan utama penerjemahan ini adalah pada naskah perbintangan Cina serta pengobatan Cina dan India, dan ini pun sangat terbatas. Songtsen-gampo menggunakan tata tulisan itu terutama untuk mengirimkan pesan-pesan militer rahasia kepada jenderal-jenderalnya di medan perang. Ini mengikuti cara Zhangzhung dalam penggunaan pesan tulisan sandi (Tib.lde’u) untuk tujuan serupa.
Golongan Oposisi yang disebut “Bon” Satu golongan dalam mahkamah kekaisaran Tibet menentang sokongan dan kepercayaan Songtsen-gampo pada agama Buddha. Mereka niscaya berada di balik keputusan Kaisar untuk tidak membangun candi Buddha utama di ibu kota kekaisaran dan bahkan di Lembah Yarlung. Sejarah-sejarah Tibet kelak menyebut mereka pendukung agama “Bon”. Selama lebih dari satu abad, termasuk masa kunjungan al-Salit, mereka memberi perlawanan 57
kuat terhadap kebijakan kekaisaran. Kurang berhasilnya ulama Muslim itu di Tibet harus dipahami dalam konteks ini. Tetapi, siapa pengikut-pengikut “Bon” yang menentang agama Buddha itu, dan, nantinya, yang bertanggung jawab atas sambutan yang dingin terhadap agama Islam? Dan apa alasan kebencian mereka? Menurut para cendekiawan Tibet, kata bon berarti mantera yag digunakan untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan rohani dan mengacu pada tata dua belas bagian yang meliputi peramalan, perbintangan, upacara-upacara penyembuhan, dan pengobatan herbal. Sebelum akhir abad ke-11, Bon bukan agama yang tertata. Menurut beberapa cendekiawan, pada masa itu kata Tibet bonbahkan belum digunakan untuk tata kepercayaan dan adat pribumi sebelum Buddha yang meliputi empat seni kuno peramalan, perbintangan, upacara-upacara penyembuhan, dan pengobatan herbal. Kata ini digunakan hanya pada golongan tertentu dalam mahkamah kekaisaran. Meskipun golongan Bon ini berisi para pemimpin keyakinan (Tib. gshen) adat pribumi dan kaum bangsawan tertentu yang bersekutu dengan mereka, ciri yang tampak pada kelompok itu bukan kepercayaan imannya, tapi terutama kedudukan politisnya. Di dalam dan di luar mahkamah terdapat para pengikut adat-adat pribumi peramalan dan seterusnya, bahkan termasuk Kaisar sendiri, yang tidak disebut “pengikut Bon”. Dalam mahkamah itu terdapat bangsawan “ Bon” yang tidak seharusnya bergantung pada empat seni kuno itu. Bahkan tidak setiap pemimpin keyakinan adat pribumi menjadi bagian dari golongan ini. Sebagai contoh, di dalam mahkamah itu terdapat orang-orang yang melakukan upacara-upacara untuk mendukung kultus kekaisaran dan, saat kematian Kaisar, akan 58
melakukan upacara-upacara pemakaman kuno. Di luar mahkamah, terdapat orang-orang yang melakukan peramalan atau upacara-upacara penyembuhan untuk mengatasi roh-roh berbahaya. Tidak satu pun dari mereka disebut “anggota Bon”. Maka, kelompok “Bon” ini terbatas pada golongan partai-partai di mahkamah yang mementingkan diri sendiri, anti-kekaisaran, kolot, dan, terutama, benci terhadap orang dan budaya asing. Mereka adalah golongan oposisi yang ingin mengambil kekuasaan. Sebagai lawan Kaisar, mereka menentang segala sesuatu yang dapat meningkatkan kekuatan kekaisaran, terutama jika itu adalah hal-hal asing. Jadi, sikap permusuhan golongan ini terhadap upacara dan kepercayaan asing bukan semata-mata perwujudan dari ketidaktenggangan rasa beragama, seperti yang tersirat pada sejarah-sejarah Buddha Tibet setelah itu. Meskipun mereka dapat menggunakan dasar-dasar keagamaan untuk membenarkan anjuran-anjuran kebijakan anti-Buddha mereka – contohnya, kehadiran agama Buddha akan memurkakan dewa-dewa kuno dan membawa malapetaka – ini tidak menyiratkan bahwa mereka mendukung semua adat keagamaan pribumi. Bagaimanapun juga, golongan “Bon” ini tidak memasukkan para pemimpin agama yang melakukan upacara-upacara pribumi untuk mendukung Kaisar. Perasaan anti-Buddha pada golongan “Bon” juga bukan merupakan tanda pemberontakan Zhang-zhung. Para pemimpin keyakinan adat pribumi dan kaum bangsawan pendukung yang membentuk oposisi berasal dari Tibet tengah, bukan orang luar dari Zhang-zhung. Zhang-zhung adalah wilayah yang dikuasai, bukan kawasan politik kekaisaran itu, sehingga tidak mungkin para pemimpinnya bertindak sebagai anggota terpercaya di mahkamah kekaisaran. 59
Singkatnya, golongan “Bon” anti-Buddha yang nantinya akan berperan menjadikan kedatangan ulama Muslim tidak berarti bukan merupakan kelompok yang pasti secara kewilayahan maupun secara keagamaan. Golongan ini terdiri dari penentangpenentang pemerintahan kekaisaran di Yarlung yang didorong oleh alasan-alasan politik kekuasaan. Mereka menolak dan menghalangi setiap hubungan luar negeri yang dapat memperkuat kedudukan politik kaisar Tibet, melemahkan status mereka sendiri, dan mengancam dewa-dewa adat mereka. Meski setelah kematian Songtsen-gampo, sikap benci terhadap orang asing dalam golongan ini terus tumbuh.
Masa Pemerintahan Dua Kaisar Tibet Berikutnya Firasat golongan yang benci terhadap orang asing dalam mahkamah Tibet itu akhirnya menjadi cukup beralasan ketika, pada tahun-tahun awal pemerintahan kaisar Tibet berikutnya, Mangsong-mangtsen (Mang-srong mang-btsan, memerintah 649 – 676), Tang Cina menyerang Tibet. Pasukan Han Cina mencapai Rasa dan mengakibatkan kerusakan hebat sebelum akhirnya mereka terdesak dan kalah. Selama pemerintahannya pada tahuntahun setelah itu, Mangsong-mangtsen dikendalikan oleh seorang menteri yang kuat dari golongan lain yang ingin memperluas kekaisaran itu lebih jauh. Menteri ini menundukkan Tuyuhun, sebuah kerajaan Buddha di timur laut Tibet yang mengikuti gaya agama Buddha Khotan, dan Kashgar, juga hidup dalam lingkup kebudayaan Khotan. Pada 670, ia menaklukkan Khotan dan mengambil kekuasaan di beberapa negara bagian oase di Danau Tarim kecuali Turfan. Raja Khotan melarikan diri ke mahkamah 60
kekaisaran Tang, tempat kaisar Cina itu memberinya dukungan, menghargainya atas perlawanannya terhadap kaum Tibet. Menurut catatan-catatan Khotan, kaum Tibet menyebabkan banyak kehancuran selama masa penundukkan negara bagian oase itu, termasuk merusak candi-candi dan wihara-wihara Buddha. Namun, tak lama setelah itu mereka menyesali tindakan mereka dan mengambil minat besar pada keyakinan Buddha. Catatan lugu ini, bagaimanapun, dapat menjadi penambahan untuk contoh Raja Ashoka, yang menghancurkan banyak candi dan tugu Buddha sebelum menyesali dan memilih agama Buddha. Meski demikian, beberapa cendekiawan Barat melacak keterlibatan lebih mendalam kaum Tibet dengan agama Buddha mulai titik ini. Jika agama Buddha sudah kuat di tengah kaum Tibet, mereka akan menghormati, tidak merusak, wihara-wihara Khotan. Menggunakan cara Khotan untuk mengubah kosakata teknis Buddha melalui etimologi pada tiap suku kata, kaum Tibet kini mulai mendatangkan dan menerjemahkan beberapa naskah Buddha Khotan. Persentuhan kebudayaan ini berjalan dua arah ketika para cendekiawan juga menerjemahkan karya pengobatan India ke dalam bahasa Khotan yang sebelumnya pernah diubah dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Tibet. Seiring mahkamah kekaisaran membentuk hubungan-hubungan dengan pihak asing yang kuat seperti itu, ketakutan terhadap oposisi yang benci terhadap orang asing sekali lagi mulai tumbuh. Perebutan kekuasaan antara kaisar Tibet berikutnya, Tri Dusongmangjey (Khri ‘Dus-srong mang-rje, memerintah 677 – 704), dan marga menteri sebelumnya benar-benar melemahkan mahkamah Yarlung. Tibet kehilangan tentara dan penguasaan politiknya di 61
beberapa negara bagian Danau Tarim, meskipun tetap mempertahankan keberadaan budayanya di oase-oase selatan. Namun, Kekaisaran Tibet masih memiliki ambisi. Pada 703, Tibet menggabungkan dirinya dengan Kekaisaran Turki Timur melawan Tang Cina.
Masa Pemerintahan Ratu-Ratu Selama kurun waktu ini, Ratu Cina Wu (memerintah 684 – 705) memimpin sebuah kudeta yang untuk sementara menggulingkan Dinasti Tang dengan menyatakan bahwa ia adalah Maitreya, Buddha masa depan. Ibu-ratu Tibet, Trima Lo (Khri-ma Lod), ibu Kaisar Tri Dusong-mangjey, berasal dari marga yang berkuasa di Tibet timur laut yang tidak hanya memperoleh simpati umat Buddha Khotan berkat pengaruh Tuyuhun, tapi juga hubungan dekat dengan Tang Cina. Ia berhubungan timbal balik dengan Permaisuri Wu, dan ketika anaknya, kaisar Tibet itu, meninggal dunia pada 704, ia menggantikan peran cucu laki-lakinya sendiri dan memerintah sebagai ratu janda sampai kematiannya pada 712. Bersama Kaisar Wu, ia merencanakan putri Han China, Jincheng (Chin-ch’eng), untuk datang ke Tibet sebagai calon istri bagi cicitnya, Mey-agtsom (Mes ag-tshoms), yang juga dikenal sebagai Tri Detsugten (Khri lDe-gtsug-btan), yang masih bayi pada saat itu. Putri Jincheng adalah seorang umat Buddha yang taat dan membawa serta seorang biksu Han Cina untuk mengajar para perempuan di mahkamah Tibet. Golongan pemimpin keyakinan adat pribumi dan bangsawan yang benci terhadap orang asing menjadi sangat terganggu oleh perkembangan ini. Pengaruh mereka di mahkamah kini ditantang 62
lagi oleh biksu-biksu Buddha Han Cina seperti pada masa pemerintahan Songtsen-gampo. Namun, kali ini ancaman lebih kuat karena orang-orang asing itu kini berada di ibu kota itu sendiri. Dengan kekuatan-kekuatan gaib agama asing yang diundang lagi untuk menambah kekuatan kekaisaran ini, mereka takut pada pembalasan dewa-dewa agama pribumi mereka seperti telah mengejawantah enam puluh tahun sebelumnya dalam bentuk serbuan kaum Tang di Tibet tengah.Selama masa itu, bagaimanapun, golongan “Bon” hanya bisa menunggu waktunya. Ratu Janda Trima Lo, yang rukun dengan mahkamah Cina itu, kini membelokkan ambisi-ambisi militer Tibet dari arah itu dan membentuk persekutuan dengan kaum Turki Shahi di Gandhara dan Baktria pada 705, kali ini melawan kaum Arab Ummaiyyah. Ketika Ratu Janda itu mangkat pada 712 dan Mey-agtsom mewarisi tahtanya (memerintah 712 – 755), ia masih kecil. Ratu Jincheng, seperti mendiang Ratu Janda, kemudian memiliki pengaruh kuat di mahkamah Tibet.
Persekutuan Kaum Tibet-Ummaiyyah Sementara itu, kekuatan yang berebut menguasai Turkistan Barat terus berlanjut. Pada 715, setelah jenderal Arab, Qutaiba, merebut kembali Baktria dari kaum Turki Shahi, Tibet beralih keberpihakan dan bersekutu dengan pasukan Ummaiyyah yang baru saja mereka perangi. Balatentara Tibet kemudian membantu jenderal Arab itu merebut Ferghana dari kaum Turgi dan bersiap untuk maju melawan Kashgar yang dikuasai kaum Turgi. Persekutuan kaum Tibet dengan Turki Shahi dan kemudian dengan Ummaiyyah niscaya berguna untuk mempertahankan kedudukan di Baktria 63
dengan harapan menghidupkan kembali keberadaan militer, ekonomi, dan politiknya di Danau Tarim. Pajak dari perdagangan Jalur Sutra yang menguntungkan itu adalah daya pikat yang selalu menjadi alasan tindakan-tindakan mereka. Orang mungkin tergoda untuk berpikir bahwa persekutuan sebelumnya antara kaum Tibet dan Turki Shahi untuk mempertahankan Baktria dari kaum Ummaiyyah disebabkan oleh golongan “Bon” yang menyamakannya dengan Tagzig, tempat kelahiran agama Bon, dan berharap untuk mencegah penodaan terhadap wihara utamanya, Wihara Nava. Namun, kesimpulan ini tidak tepat meskipun orang membiarkan dua pemikiran salahnya bahwa agama Bon pada masa itu adalah agama tertata dan bahwa golongan Bon adalah kelompok yang tetap secara keagamaan. Meskipun seandainya ada sumber Buddha Baktria dalam beberapa unsur kepercayaan Bon, para pengikut Bon tidak menyamakan ciri-ciri ini sebagai ciri-ciri Buddha. Bahkan, para penganut Bon kemudian menyatakan bahwa agama Buddha di Tibet telah menjiplak banyak ajaran mereka. Oleh karena itu, golongan Bon di mahkamah Tibet ini tidak memimpin “perang suci” di Baktria. Lebih-lebih, sama dengan umat Buddha, seperti yang ditunjukkan oleh kenyataan bahwa setelah kekalahan Baktria dan hancurnya Wihara Nava, kaum Tibet tidak melanjutkan mempertahankan agama Buddha di Baktria, tapi mengubah persekutuan dan bergabung dengan Arab Muslim. Kekuatan pendorong utama di balik kebijakan luar negeri Tibet adalah ketertarikan ekonomi dan kepentingan diri, bukan agama.
64
Uraian tentang Misi Umat Muslim ke Tibet Agar tidak mengecewakan sekutu-sekutu Ummaiyyahnya dan membahayakan hubungan mereka, pada 717 mahkamah Tibet sepakat mengundang seorang guru Muslim atas desakan Kalifah Umar II. Namun, ini tidak begitu berhubungan dengan ketertarikan nyata pada doktrin-doktrin Islam. Kemungkinan terbaik, Ratu Jincheng mungkin menganggap hal itu seperti Kaisar Songtsengampo dulu menghormati agama Buddha,yakni sebagai sumber kekuatan gaib lain yang dapat memperkuat kedudukan kekaisaraanya. Di sisi lain, para pendeta dan bangsawan yang kolot di mahkamah Tibet bermusuhan dengan ulama Arab itu. Mereka takut bahwa pengaruh asing lain, yakni upacara-upacara keagamaan yang dapat memperkuat kultus kekaisaran, melemahkan pengaruh mereka, dan mengundang kehancuran di Tibet. Tanggapan dingin yang diterima guru Muslim tersebut di Tibet pada waktu itu disebabkan terutama oleh suasana benci terhadap orang asing yang ditebarkan oleh golongan oposisi di mahkamah Tibet. Ini bukan pratanda pertentangan keagamaan Islam-Buddha atau Islam-Bon. Selama hampir tujuh puluh tahun, kebencian golongan ini telah mengarah pada agama Buddha dan ini terus berlanjut seperti itu. Untuk menilai bahwa sikap mereka terhadap Islam adalah berdasarkan kebencian terhadap orang asing, mari kita lihat secara singkat peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah itu di Tibet.
65
Pengungsi Biksu-Biksu dari Khotan di Tibet Wangsa Tang telah memulihkan kekuasaannya pada 705 dengan turunnya Ratu Wu dari tahta. Namun, keadaan di sana belum tenang sampai pemerintahan cucu lelaki sang Ratu, Xuanzong (Hsüan-tsung, memerintah 713 – 756). Kaisar baru yang berpengaruh kuat ini menuntut kebijakan anti-Buddha untuk berusaha melemahkan dukungan terhadap gerakan neneknya. Pada 720, seorang simpatisan Kaisar Tang yang anti-Buddha memecat raja Khotan penganut Buddha itu dan mengambil tahtanya. Banyak penindasan agama terjadi dan banyak umat Buddha mengungsi. Karena gelombang besar pengungsi biksu Baktria tiba di Khotan lima tahun sebelumnya akibat perusakan kaum Ummaiyyah terhadap Wihara Nava, bukan tidak beralasan untuk menduga bahwa mereka akan menjadi yang pertama meninggalkan Khotan, takut pengalaman traumatis mereka di Baktria akan terulang. Pada 725, Ratu Jincheng mengatur agar pengungsi biksu-biksu Buddha dari Khotan dan Han Cina mendapatkan suaka di Tibet. Ia membangun tujuh wihara untuk mereka, termasuk wihara di Rasa. Langkah ini membuat menteri-menteri yang benci terhadap orang asing di mahkamah itu semakin gelisah. Ketika sang Ratu meninggal dunia pada 739 akibat wabah cacar, mereka memanfaatkan kesempatan itu untuk mengasingkan semua biksu asing di negeri itu ke Gandhara, yang diperintah oleh sekutu Tibet penganut Buddha kuno, kaum Turki Shahi. Yakin bahwa dewadewa mereka dihina lagi dan sedang memberikan hukuman, menteri-menteri itu mengumumkan bahwa kehadiran orang-orang asing dan upacara-upacara keagamaan mereka di Tibet adalah 66
penyebab wabah yang menjalar itu. Gandhara adalah tempat tujuan yang layak bagi para biksu itu karena kaum Turki Shahi juga merupakan penguasa Baktria tempat banyak biksu itu berasal. Sejumah besar biksu itu akhirnya bermukim di wilayah pegunungan Baltistan, di utara kawasan Oddiyana milik Gandhara. Kekuasaan golongan pembenci orang asing ini mencapai puncaknya enam belas tahun kemudian ketika, pada 755, mereka membunuh Kaisar Mey-agtsom karena keberpihakannya yang besar pada kaum Tang Cina dan agama Buddha. Empat tahun sebelumnya, pada tahun yang sama ketika pasukan-pasukan Tang secara besar-besaran dikalahkan dan diusir dari Turkistan Barat, Kaisar itu mengirim utusan orang Tibet ke Han Cina untuk belajar lebih banyak tentang agama Buddha. Utusan itu dipimpin oleh Ba Sangshi (sBa Sang-shi), anak lelaki mantan duta Tibet di mahkamah Tang. Ketika Kaisar Tang Xuanzong digulingkan dari tahta dalam sebuah pemberontakan pada 755, golongan “Bon” diyakinkan bahwa apabila mereka tidak menghentikan kebodohan Mey-agtsom dan, sebagai tindak lanjut utusan ini, undangan yang lebih banyak kepada biksu Han Cina untuk ke mahkamah Tibet, mereka tidak hanya akan kehilangan pengaruh, tapi bencana bagi negeri mereka akan terjadi lagi seperti yang menimpa Tang Cina. Akibatnya, setelah membunuh sang Kaisar, mereka memulai penindasan selama enam tahun terhadap agama Buddha di Tibet. Meskipun adanya undangan oleh mahkamah kekaisaran kepada seorang guru Muslim, kurangnya penerimaan Tibet terhadap Islam adalah sebuah peristiwa dalam sejarah perselisihan yang bersifat politik-keagamaan dalam tubuh kekaisaran Tibet.
67
6. Perluasan Lebih Lanjut Khilafah Ummaiyyah di Turkistan Barat Sisa masa Khilafah Ummaiyyah pada tahun-tahun setelah paruh pertama abad ke-8 Masehi menemui banyak perubahan persekutuan yang membingungkan ketika semakin banyak kekuatan memasuki perebutan kekuasaan di Turkistan Barat dan Jalur Sutra. Melalui tinjauan pada peristiwa-peristiwa utamanya, menjadi jelas bahwa kaum Ummaiyyah Arab bukan kaum ekstrem keagamaan fanatik yang berusaha menyebarkan agama Islam ke lautan kaum kafir, tapi semata-mata salah satu dari banyak kaum ambisius yang berjuang demi keuntungan politik dan ekonomi. Semua kekuatan itu, termasuk kaum Ummaiyyah, seringkali membuat dan memecah persekutuan, bukan berdasar pada agama, melainkan pada landasan-landasan militer pragmatis.
Pergantian Persekutuan dan Penguasaan Wilayah Pada pertengahan masa pemerintahan Umar II (memerintah 717 – 720), kaum Ummaiyyah menguasai Baktria dan kota-kota Bukhara, Samarkand, dan Ferghana di Sogdiana. Kaum Tibet adalah sekutu mereka. Kaum Turki Turgi menguasai beberapa wilayah lainnya di Sogdiana, terutama Tashkent, dan juga Kashgar dan Kucha di Danau Tarim barat. Pasukan Tang Cina berada di Turfan di tepi timur Danau Tarim dan di Beshbaliq di sepanjang Pegunungan Tianshan hingga utara Turfan. Kaum Turki Timur menguasai beberapa wilayah lain Turkistan Barat di sebelah utara Sogdiana, termasuk Suyab, sedangkan kaum Tibet mempertahankan keberadaan di sepanjang jalur Tarim selatan. Namun, seorang simpatisan Tang berada di singgasana Khotan. Kaum Turki Shahi 68
tertahan di Gandhara. Kecuali kaum Ummaiyyah Arab, semua agen kekuasaan lain di Asia Tengah merupakan pendukung agama Buddha dalam berbagai tingkatan. Namun, ini sepertinya tidak berpengaruh terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi selanjutnya.
Memanfaatkan kematian Jenderal Ummaiyyah Qutaiba, pasukan Tang adalah yang pertama bergerak. Berangkat dari kubu mereka di Turfan dan melintasi Turkistan Timur di utara Pegunungan Tianshan, mereka merebut Kucha dan Kashgar dari kaum Turgi, menyerang dari belakang. Mereka lalu, melintasi sisi ujung barat Tianshan dan memasuki Turkistan Barat, merebut Suyab dari kaum Turki Timur, Ferghana dari kaum Ummaiyyah, dan juga Tashkent dari kaum Turgi. Pada titik ini, kaum Turgi kembali menata diri mereka di bawah penguasa lain dan satu kelompok Turki baru muncul di arena itu, yaitu kaum Karluk (Kharlukh, Tib. Gar-log) di Zungaria, yang juga pendukung agama Buddha. Kaum Karluk menggantikan kaum Turki Timur di daerah Turkistan Barat sebelah utara kecuali wilayah Tang yang dikuasai kaum Suyab dan bersekutu dengan kaum Han Cina. Setelah itu, kaum Turgi bergabung dengan persekutuan Arab-Tibet. Kaum Turgi lalu merebut kembali tanah kelahiran mereka di Suyab, dan kaum Ummaiyyah, setelah itu, memenangkan kembali Ferghana. Tashkent menjadi merdeka untuk sementara. Pasukan Tang hanya tinggal menguasai Kashgar dan Kucha.
69
Penegasan Kembali Pemerintahan Ummaiyyah di Sindh Pada 724, khalifah baru Ummaiyyah, Hashim (memerintah 724 – 743), mengirim Jenderal Junaid ke selatan untuk menegaskan kembali kekuasaannya di Sindh. Pasukan yang dipimpin orang Arab itu berhasil di Sindh, tetapi gagal dalam usaha merebut Gujarat dan Punjab Barat. Sebagai Gubernur Sindh, Jenderal Junaid melanjutkan kebijakan Ummaiyyah sebelumnya tentang penarikan pajak penduduk pada penganut Hindu dan Buddha dan juga pajak pada para peziarah yang berkunjung ke tempat-tempat suci kedua agama tersebut. Meskipun para penguasa Hindu Pratihara di Punjab Barat memiliki kekuatan untuk mengusir pasukan Ummaiyyah itu dari Sindh, mereka menahan diri untuk melakukannya. Kaum Muslim telah mengancam akan menghancurkan candi dan patung Hindu apabila kaum Pratihara menyerang, dan kaum Pratihara mempertimbangkan bahwa pelestarian tempat-tempat suci mereka lebih penting dibanding memperoleh kembali kekuasaan di wilayah kuno. Ini merupakan tanda lebih lanjut bahwa kaum Ummaiyyah Arab memandang perusakan tempat-tempat keagamaan nonMuslim sebagai tindakan yang berdasarkan politik kekuasaan.
Kekalahan Kaum Ummaiyyah dan Pemenangan Kembali Sogdiana Sementara itu, kaum Turgi, dengan kepercayaan diri yang meningkat setelah kembali ke tanah kelahiran mereka di Suyab, mengakhiri persekutuan singkat mereka dengan kaum Ummaiyyah. Memanfaatkan penempatan satuan utama pasukan Arab di Sindh, kaum Turgi melawan pasukan Ummaiyyah, 70
menghalau mereka dari Ferghana dan wilayah-wilayah sekitarnya di Sogdiana. Kaum Tibet mencontoh tindakan kaum Turgi dan beralih keberpihakan. Persekutuan baru kaum Turgi-Tibet itu kemudian melawan kaum Ummaiyyah dan, pada 729, mengusir mereka dari sebagian besar wilayah di Sogdiana dan Baktria. Kaum Arab hanya tinggal menguasai Samarkand. Kaum Ummaiyyah kemudian bersekutu untuk sementara dengan Tang Cina untuk melawan persekutuan kaum Turgi-Tibet. Mereka mengalahkan kaum Turgi di Suyab pada 736. Dengan kematian raja mereka dua tahun setelah itu, rumpun suku Turgi itu pecah dan menjadi sangat lemah. Kaum Han Cina mempertahankan Suyab dan melanjutkan peperangan mereka melawan kaum Tibet, sementara kaum Ummaiyyah kembali lagi ke Baktria dan beberapa wilayah Sogdiana. Hal ini mendorong kaum Tibet untuk menghidupkan kembali persekutuan kuno mereka dengan kaum Turki Shahi melalui kunjungan kaisar Tibet ke Kabul pada 739 untuk merayakan penggabungan persekutuan antara Kabul dan Khotan. Mahkamah Tang segera memulai sebuah kebijakan untuk mendukung para pembangkang di kota-kota Sogdiana yang dikuasai kaum Ummaiyyah. Pada suatu titik, mereka bahkan tersingkir dari Suyab dan merampas Tashkent, yang sebelumnya mereka kuasai sebentar. Hubungan Cina dan Arab menjadi tegang. Bagaimanapun, konflik itu tidak berdasar pada alasanalasan keagamaan, tetapi semata-mata dorongan politik. Mari kita amati hal ini secara lebih saksama.
71
Uraian tentang Serangan-Serangan Kaum Tang di Sogdiana yang Dikuasai Kaum Ummaiyyah Dengan menelusuri beberapa kebijakan Xuanzong, Kaisar Tang Cina pada masa itu, kita bisa memahami secara lebih jelas bahwa kaum Ummaiyyah masa itu tidak secara agresif mencari mualaf dan bahwa dukungan Kaisar Tang terhadap pembangkang antiUmmaiyyah di Sogdiana tidak disebabkan oleh kebencian umat Buddha terhadap agama Islam. Ada dua peristiwa yang menentukan wajah bagi kebijakankebijakan Kaisar Xuanzong. Pertama, ketika nenek Kaisar Xuanzong, Ratu Wu, menggulingkan Dinasti Tang dengan mengangkat milenarianisme agama Buddha, ia membebaskan semua biksu Buddha dari pajak supaya memperoleh dukungan mereka. Kedua, tak lama setelah Kaisar Xuanzong naik tahkta, banyak kaum Sogdiana yang bermukim di Mongolia berbondongbondong pindah ke Han Cina. Tanggapan Kaisar Xuanzong terhadap dua perubahan itu akhirnya menuntun pada tindakantindakannya di Sogdiana.
Undangan terhadap Kaum Sogdiana ke Mongolia dan Pengusiran terhadap Mereka Meskipun di sepanjang Jalur Sutra dan di Han Cina sudah ada pedagang-pedagang Sogdiana sejak beberapa abad sebelumnya, arus besar pendatang Sogdiana datang ke wilayah itu pada pertengahan abad ke-6 M. Kedatangan mereka disebabkan penindasan keagamaan oleh Kaisar Sassaniyah Iran, Khosrau I (memerintah 531 – 578). Selama masa Kekaisaran Turki Timur Pertama (553 – 630), orang-orang Sogdiana tersebut memegang 72
kedudukan istimewa sejajar dengan kaum Turki Timur. Banyak dari mereka diundang ke Mongolia dari daerah mereka di Turfan dan menjadi pendamping dalam menerjemahkan naskah-naskah Buddha ke bahasa Turki Kuno. Pemerintah Turki Timur menggunakan bahasa dan tulisan Sogdiana untuk urusan keuangannya. Namun, sepanjang Masa Turki Timur Kedua (682 – 744), menteri yang berpengaruh kuat, Tonyuquq, mengarahkan para penguasanya pada jalur anti-Buddha. Tonyuquq menyalahkan penaklukan kaum Tang pada masa Kekaisaran Turki Timur Pertama atas adanya pengaruh buruk agama Buddha pada kaum Turki. Agama Buddha mengajarkan kelembutan dan antikekerasan, yang merampas semangat perang kaum Turki. Ia mengeluarkan seruan untuk mengembalikan semangat pejuang pengembara dari suku-suku Turki kuno, bermaksud menerapkan keteguhan prinsipnya untuk menyatukan semua suku bangsa Turki sebagai pendukungnya dan melawan kaum Han Cina. Kaum Turki Timur adalah pemilik Otukan (Turki Ötukän), gunung di Mongolia yang keramat bagi seluruh kaum Turki menurut aliran Tengri dan shaman sebelum Buddha. Tonyuquq berpendapat bahwa para penguasa yang ia layani seharusnya secara kesusilaan wajib menjunjung tinggi kebudayaan dan nilai-nilai bangsa Turki. Mengaitkan kaum Sogdiana yang beragama Buddha dengan kaum Han Cina, ia memengaruhi Qapaghan Qaghan (memerintah 692 – 7 16) untuk menghentikan penggunaan bahasa Sogdiana dan, untuk tujuan tata pemerintahan, menggantinya dengan bahasa Turki Kuno yang ditulis dalam aksara bergaya Runic. Ketika penduduk Sogdiana di Mongolia menjadi semakin tidak disukai, mereka bermigrasi secara besar-besaran ke Cina 73
utara pada 713, sebagian besar bermukim di Chang’an (Ch’a ngan) dan Loyang (Lo-yang), kota-kota di ujung Jalur Sutra.
Pengaruh Manikheisme Masyarakat Sogdiana di Mongolia belum menjadi pengikut Buddha secara utuh. Sebenarnya, kebanyakan dari mereka menganut Manikheisme. Agama Iran ini, yang didirikan di Babilonia oleh Mani (217 – 276 M), merupakan suatu keyakinan eklektik yang mengambil banyak sifat dari kepercayaan-kepercayaan setempat yang dijumpainya ketika agama ini menyebar. Agama ini memiliki dua bentuk utama – bentuk barat di Asia Kecil yang menyesuaikan diri dengan agama Zarathustra dan Kristen, dan bentuk timur di sepanjang Jalur Sutra yang mengangkat unsur-unsur Buddha yang kental. Suriah dan kemudian Parthia adalah bahasa-bahasa resmi dari bentuk yang pertama, sedangkan bahasa Sogdiana memainkan peran serupa untuk bentuk yang kedua. Manikheisme memiliki gerakan misionaris yang kuat dan kaum Sogdiana sebagai pengikut bentuk timurnya, ketika di Han Cina, menyatakan agama ini sebagai sebuah bentuk agama Buddha guna mendapatkan pengikut-pengikut baru. Mereka mengenalkan Manikheisme dengan cara ini kepada Ratu Wu di mahkamah kekaisaran Cina pada 694 dan, setelah kepindahan mereka dari Mongolia, memperkenalkannya kembali pada mahkamahnya pada 719. Ini terjadi setelah pemberontakan milenarianisme Buddha oleh Ratu itu digulingkan dan pemerintahan Tang ditegakkan lagi. Namun, pada 736, Kaisar Xuanzong mengeluarkan keputusan melarang kaum Han Cina menganut Manikheisme dan membatasi agama itu untuk penduduk non-Han dan warga asing. Alasannya 74
adalah Manikheisme merupakan tiruan dangkal dari agama Buddha dan tengah menyebar sebagai kepercayaan palsu yang berdasar pada kebohongan. Namun, Kaisar Tang itu tidak bersimpati pada agama Buddha, dan kecaman ini bukan dilandasi oleh keinginannya untuk menjunjung tinggi ajaran-ajaran murni Buddha dengan menyucikannya dari aliran sesat. Ada banyak kaum Han Cina yang tidak puas dengan operasi-operasi militer mewah Kaisar Xuanzong di Asia Tengah karena tingginya tuntutan pajak dan kewajiban militer terhadap mereka. Xuanzong tentu saja tidak menginginkan adanya agama asing yang mirip Buddha bagi kaum Han Cina yang dapat berperan sebagai titik awal bagi penolakan dan kemungkinan pemberontakan. Nenek Kaisar Xuanzong memutus garis Tang dengan mengangkat pujian Buddha Maitreya. Oleh karena dalam naskah-naskah Sogdiana, Mani seringkali disamakan dengan Maitreya, dan nenek Kaisar cenderung mendukung aliran Manichaenisme, kekhawatiran akan adanya pemberontakan kaum milenarian serupa yang ditujukan padanya memicu tindakan Kaisar menentang Manikheisme. Dari tiga agama yang dianut kaum pedagang Sogdiana di Han Cina itu – Manikheisme, Kristen Nestoria, dan Buddha – yang pertama adalah yang paling berorientasi secara agresif mendapatkan penganut-penganut baru. Beberapa dasawarsa sebelumnya, kaum pedagang Muslim Arab dan Iran juga mulai menjelajah ke Han Cina. Mereka datang terutama melalui laut, bukan melalui darat lewat Jalur Sutra, dan bermukim di kota-kota pesisir Cina tenggara. Bahkan seorang guru Muslim, Sa’ad bin Ali wa Qas (tahun 681), 75
datang bersama mereka. Tapi, Xuanzong tidak pernah menerbitkan maklumat serupa yang melarang kaum Han Cina menganut agama Islam. Bahkan, tak satu pun kaisar Cina setelah itu, baik yang menganut Buddha maupun agama lainnya, pernah melakukannya. Mereka selalu mematuhi kebijakan tenggang rasa keagamaan terhadap Islam. Ini menunjukkan bahwa bahkan jika kaum Muslim pertama di Han Cina itu terlibat dalam upaya menyebarkan agama mereka, ini bukan usaha utama dan tidak dilihat sebagai suatu ancaman.
Pengusiran Biksu-Biksu Buddha Non-Han dari Tang Cina Seiring berlalunya tahun, Pemerintah Tang menjadi semakin membutuhkan dana untuk membiayai operasi-operasi militer yang semakin luas di Asia Tengah. Status bebas-pajak yang dimiliki wihara-wihara Buddha sejak masa pemberontakan Ratu Wu benar-benar membatasi pendapatan pemerintah. Oleh karena itu, pada 740, Xuanzong semakin memperkuat dukungannya terhadap agama Tao, membebankan kembali pajak pada wihara-wihara Buddha, dan sangat membatasi jumlah biksu dan biksuni Han Cina di wilayah kekaisarannya. Ia juga mengusir semua biksu Buddha non-Han karena dianggap sebagai pengeluaran keuangan yang tidak perlu pada masyarakat. Dukungan Xuanzong kepada orang-orang anti-Ummaiyyah di Sogdiana pada waktu itu jelas didorong oleh alasan politik dan ekonomi serta tidak ada kaitannya dengan hubungan-hubungan Islam-Buddha. Kaisar Xuanzong bahkan bukan penganut Buddha dan pengusirannya terhadap biksu-biksu Sogdiana dari negara Han Cina jelas bukan langkah memulangkan mereka ke Sogdiana untuk memperkuat gerakan anti-Islam di tengah masyarakat Buddha Sogdiana. Ia juga mengusir biksu-biksu berkebangsaan 76
non-Han lain, tidak hanya biksu-biksu Sogdiana. Tang Cina hanya tertarik dalam memperoleh lebih banyak wilayah di Asia Tengah dengan mengorbankan kaum Ummaiyyah dan menguasai lebih luas perdagangan Jalur Sutra yang menguntungkan itu.
Peristiwa-Peristiwa Terakhir Masa Ummaiyyah Peristiwa besar terakhir masa Ummaiyyah yang penting bagi hubungan-hubungan masa depan antara agama Islam dan Buddha di Asia Tengah terjadi pada 744. Kaum Turki Uighur (Uyghur) awalnya hidup di pegunungan di Mongolia barat laut, dengan beberapa suku mereka mengembara sejauh wilayah Turfan yang dikuasai kaum Tokharia di selatan dan daerah Danau Baikal di Siberia di timur laut. Mereka adalah sekutu-sekutu kuno kaum Han Cina dalam melawan kaum Turki Timur yang menguasai wilayah-wilayah Mongolia yang terhimpit di antara wilayah mereka.
Pada 605, ketika pendahulu Han Cina pindah ke Danau Tarim selama lebih dari empat abad, kaisar Sui Cina, Wendi (Wen-ti), membantu kaum Uighur menaklukan Turfan, pusat agama Buddha Turki Kuno. Kaum Uighur segera menganut agama Buddha, terutama mengingat Wendi menyatakan dirinya sebagai maharaja umat Buddha sedunia. Pada 629, salah seorang pangeran pertama Uighur menggunakan nama Buddha “Bodhisattwa”, gelar yang juga digunakan oleh penguasa-penguasa Turki Timur yang saleh. Pada 630-an, Tang Cina merebut Turfan dari kaum Uighur, tetapi kaum Uighur masih membantu kaum Han Cina mengalahkan Kekaisaran Turki Timur Pertama tak lama setelah itu.
77
Setengah abad kemudian, Kekaisaran Turki Timur Kedua menaklukkan tanah kelahiran bangsa Uighur itu dengan kebijakan militer Turki Baru-nya yang agresif. Namun, pada 716, tak lama setelah kaum Sogdiana meninggalkan Mongolia, kaum Uighur memperoleh kemerdekaan mereka. Setelah itu, mereka terus membantu sekutu-sekutu Han Cina mereka mengacau kaum Turki Timur. Kemudian, pada 744, dengan bantuan kaum Karluk di Dzungaria dan Turkistan Barat bagian utara, kaum Uighur menyerang dan mengalahkan kaum Turki Timur dan mendirikan Kekaisaran Orkhon di Mongolia. Suku Oghuz dari Turki Timur, dikenal sebagai kaum Turki Jubah Putih, bermigrasi pada titik ini dari wilayah yang kini Mongolia Tengah ke sudut timur laut Sogdiana, dekat Ferghana. Mereka segera memainkan peran penting dalam perkembanganperkembangan yang berliku di Sogdiana pada permulaan masa Abbasiyyah. Selain itu, ketika memegang kekuasaan, kaum Uighur seringkali bertikai dengan negara-negara bawahannya, kaum Karluk. Kaum Uighur dan Karluk mewarisi persaingan para pemimpin suku-suku Turki cabang timur dan barat. Namun, kaum Uighur berada pada kedudukan penting sejak mereka menguasai Otukan, gunung suci kaum Turki di Mongolia tengah dekat ibu kota Orkhon, Ordubaliq. Persaingan dua suku Turki ini juga menentukan wajah bagi perkembangan-perkembangan masa depan. Dengan demikian, masa Ummaiyyah berakhir pada 750 dengan kaum Arab kehilangan dan memenangkan kembali Baktria dan Sogdiana. Penguasaan mereka pada wilayah ini masih belum menentu dan hubungan mereka dengan umat Buddha, baik yang ada di antara penduduk mereka maupun dengan musuh dan 78
sekutu mereka yang selalu berubah, sebagian besar masih berdasarkan kemanfaatan politik, militer, dan ekonomi seperti sebelumnya.
79
Bagian II: Masa Awal Abbasiyyah (750 – Pertengahan Abad ke-9 M) 7. Kebangkitan Abbasiyyah dan Kemunduran Tang Cina Konteks Kewilayahan Sebelum membicarakan perkembangan sejarah selama masa awal Khilafah Abbasiyyah, mari kita mengulas secara singkat keadaan politik di Asia Tengah tepat sebelum masa tersebut. Kaum Ummaiyyah memerintah Sogdiana dan Baktria, sementara pasukan Tang Cina yang menduduki wilayah itu bagian utara dan barat, di Suyab, Kashgar, dan Kucha, mengancam melakukan serbuan. Pasukan-pasukan Tang juga menguasai Turfan dan Beshbaliq. Kaum Turki Oghuz Jubah Putih baru saja bermigrasi dari Mongolia selatan ke daerah terpencil di sudut timur laut Sogdiana. Wilayah Turkistan Barat dan Dzungaria utara dikuasai oleh kaum Karluk, dan Mongolia baru saja mengalami pendudukan di bawah kaum Uighur. Tang China dan Uighur merupakan satu sekutu. Kaum Tibet berada dalam keadaan lemah, tapi mempertahankan keberadaan di negara-negara Tarim bagian selatan, meskipun Raja Khotan lebih memilih mahkamah Tang. Sekutu Tibet sebelumnya, kaum Turgi, bisa dikatakan telah tersingkir. Sekutu Tibet yang tersisa adalah Turki Shahi di Gandhara, yang dianggap bersekutu dengan Khotan karena hubungan pernikahan.
80
Berdirinya Khilafah Abbasiyyah Meskipun dua aliran utama Islam, Sunni dan Syiah, tidak mencabang secara resmi hingga abad ke-11, sebagai bahan pembicaraan mari kita membahas cikal-bakal kedua aliran itu. Gerakan Murjiah, didukung oleh Ummaiyyah, adalah cikal-bakal Sunni. Gerakan ini mendukung garis pewarisan khilafah dari saudara ipar Nabi Muhammad, Mu’awaiya, Khalifah Ummaiyyah pertama. Syiah berkembang dari kelompok oposisi, yang mendaku bahwa keabsahan kekuasaan berasal dari sepupu sekaligus menantu laki-laki Nabi Muhammad, Ali. Karena sebagian besar orang Arab mendukung Ummaiyyah dan oleh karena itu Sunni Islam, sebagian besar Muslim non-Arab lebih memilih Syiah. Khalifah-khalifah Ummaiyyah adalah orang Arab yang datang dari Semenanjung Arab. Mereka mengutamakan bangsa Arab dalam segala hal, jauh melebihi umat Muslim pada umumnya. Sebagai contoh, mereka melarang pasukan Muslim non-Arab mendapat bagian dari barang rampasan hasil kemenangan pertempuran. Orang Arab non-Muslim, sebaliknya, seperti orang Kristen atau Yahudi dari Arabia, lebih jauh dipercayai dari pada orang Muslim non-Arab. Beberapa bahkan ditunjuk sebagai gubernur di wilayahwilayah non-Arab dalam Khilafah Ummaiyyah. Kebijakan yang memihak ini menyebabkan kebencian besar, terutama di antara umat Muslim Iran yang menganggap diri mereka lebih unggul secara kebudayaan dibanding orang Arab. Abu Muslim adalah orang Baktia dari Balkh yang pindah agama Islam Syiah. Ia menjadi mitra Abu l’A bbas, seorang keturunan Arab dari Abbas, paman Nabi Muhammad, ketika keduanya dipenjarakan di Baktria (Khorasan) karena kegiatan-kegiatan antiUmmaiyyah. Bermula dari ketidakpuasan dan keterasingan yang 81
dialami Iran dan Asia Tengah, Abu Muslim kemudian memimpin pemberontakan yang menggulingkan Khilafah Ummaiyyah pada 750. Setelah menaklukkan Damaskus, ibu kota Ummaiyyah, ia menyatakan Abu l’Abbas, yang juga dikenal sebagai as-Saffah (memerintah 750 – 754), menjadi khalifah pertama dari garis keturunan Abbasiyyah. Sebagai penghargaan, as-Saffah menunjuk Abu Muslim sebagai Gubernur Baktria. Khilafah Abbasiyyah bertahan hingga 1258, tapi memerintah Baktria dan Sogdiana hingga pertengahan abad ke-9 Masehi. Karena Khalifah-khalifah Abbasiyyah itu adalah orang Arab dari wilayah kebudayaan Iran, masyarakat Muslim Iran dan Asia Tengah awalnya mendukung penggulingan kekuasaan itu. Karena berpikir bahwa kaum Abbasiyyah berjarak cukup jauh dari Arab sehingga tidak akan memiliki prasangka kesukuan seperti kaum Ummaiyyah, mereka berharap wangsa baru itu tidak lagi memperlakukan mereka sebagai warga kelas dua.
Kekalahan Tang Cina dan Pemberontakan An Lushan Pada 751, Abu l’Abbas bergabung dengan pasukan Karluk dan berbalik melawan pasukan Tang Cina yang mengancam mereka berdua. Mereka mengalahkan tentara Tang di Sungai Talas yang saat ini berada di wilayah Kazakhstan selatan, dan secara mutlak mengakhiri keberadaan kaum Han Cina di Turkistan Barat. Ini menandai pergantian masa, yang setelah itu pendudukan dan pemerintahan Han Cina terhadap Turkistan Timur perlahan-lahan melemah dan akhirnya berakhir. Kekalahan Tang dan biaya besar semua upaya militer Kaisar Xuanzong di Asia Tengah yang tampaknya sia-sia itu akhirnya 82
menjadi begitu membebani penduduk Cina. Pada 755, An Lushan (An Lu-shan), anak dari seorang ayah tentara Sogdiana di dinas militer Tang dan seorang ibu asal Turki Timur, memimpin pemberontakan yang didukung rakyat di ibu kota Tang, Chang’an. Meskipun sang Kaisar menarik banyak tentaranya dari Kashgar, Kucha, Beshbaliq, dan Turfan, dengan hanya meninggalkan segelintir pasukan di sana, dan menerima bantuan militer dari Raja Khotan, ia tidak mampu menghentikan pemberontakan. Ia terpaksa melarikan diri dalam kehinaan ke pegunungan Sichuan. Pasukan Tang akhirnya baru berhasil setelah meminta bantuan kaum Uighur di Mongolia. Sewaktu memerangi kaum pemberontak di Chang’an dan Loyang, bangsa Uighur menjarah dan nyaris menghancurkan dua kota tersebut, termasuk banyak candi dan wihara Buddha yang ada di sana. Namun, sebagai hasil dari hubungan dengan komunitaskomunitas pedagang Sogdiana di sana, Bogu Qaghan, Kaisar Uighur, memberlakukan agama Manikheisme yang dianut oleh sebagian besar pedagang tersebut. Ia kemudian menyatakannya sebagai agama resmi bagi negara Uighur pada 762. Meskipun An Lushan adalah separuh keturunan Sogdiana, tampaknya sebagian besar kaum pemberontak adalah Han Cina dan tidak berasal dari masyarakat non-Han. Bila tidak demikian, Bogu Qaghan tentu juga akan memerangi kaum Sogdiana dan tidak bakal menerima agama mereka. Selama beberapa abad, kaum Uighur mengubah agama negara mereka mulai dari aliran shaman ke agama Buddha, lalu Manikheisme, dan kembali lagi ke Buddha sebelum akhirnya pindah ke Islam. Sebelum mereka, kaum Turki Timur telah mengganti aliran shaman dengan Buddha dan kembali lagi ke 83
shaman. Mari kita memeriksa beberapa alasan yang mungkin untuk perubahan-perubahan agama pada dua rumpun bangsa Turki itu. Hal ini mungkin akan membantu kita memahami secara lebih baik seluk-beluk di balik perubahan selanjutnya pada kebanyakan suku-suku Turki dari agama Buddha atau aliran shaman ke Islam.
84
8. Perpindahan Agama Kaum Turki Timur Hubungan Awa l dengan AgamaBuddha Setelah kejatuhan Wangsa Han pada 220 M, agama Buddha menjadi kuat di Cina utara, yang terpecah dan dikuasai oleh rangkaian keturunan orang dan negara Cina non-Han.Di antara mereka ini, pendukung terbesar Buddha adalah Wangsa Toba Wei Utara (386-535), yang mencakup Mongolia Dalam dan Han Cina utara.
Kaum Turki Kuno, kelompok paling awal yang tercatat yang berbicara dalam bahasa Turki, muncul dalam sejarah sebagai kelompok pekerja logam yang hidup di kota-kota di wilayah Toba. Namun, tentu saja asal-muasal mereka adalah suku nomad dari padang-padang rumput di sisi utara karena gunung suci mereka, Otukan, berada di Mongolia tengah di sisi lain Gurun Gobi dari tanah-tanah yang dikuasai Toba. Kaum Turki Kuno mengikuti adat keagamaan yang mencampurkan aliran shaman dengan apa yang disebut cendekiawan Barat sebagai “aliran Tengri”, sebuah keyakinan yang menyembah Langit (Turk. Tengri) sebagai Tuhan tertinggi dan menghormati gunung-gunung tertentu sebagai tempat kekuatan bersemayam.Aliran Tengri bukan sebuah agama yang teratur dan muncul dalam beberapa bentuk di antara sebagian besar orangorang di padang-padang rumput Asian Tengah – seperti orang Turki, Mongolia, dan Tangut.Dalam bentuk Turki, aliran Tengri mendukung struktur sosial Turki, yang dibangun atas dasar hierarki suku-suku.Satu suku menguasai dan kepala sukunya adalah sumber garis keturunan para penguasa untuk semua suku lainnya. 85
Oleh karena itu, Tengri Turki menganggap setiap pemimpin Turki yang menguasai Otukan sebagai penguasa tertinggi (Turk.Qaghan) dari semua suku Turki dan perwujudan dari kemakmuran masyarakat. Bila kemakmuran masyarakat Turkimenurun, sang qaghan bertanggung jawab atas itu dan bahkan bisa dikorbankan. Anak laki-lakinya kemudian menggantikan dirinya. Dengan tata keyakinan seperti itu, orang Turki pertama kali berhubungan dengan agama Buddha di kota-kota Toba.Ini terutama Buddha dalam bentuk Cina utara yang menekankan kebaktian oleh masyarakat dan sikap tunduk para pemuka agama terhadap negara. Gaya sosial agama Buddha sesuai dengan gagasan Tengri Turki akan hierarki kesukuan. Tidak puas dengan aturan Toba, sebagian besar orang Turki pindah ke barat menuju Gansu, yang berada di bawah kekuasaan negara Ruanruan (400-551). Kamu Ruanruan menguasai padang gurun, padang rumput, dan hutan dari Kucha hingga perbatasanperbatasan Korea, termasuk bagian luas dari Mongolia. Seiring Ruanruan menerapkan bentuk Buddha Tokharia dan Khotan yang ada di kota-kota oase Turkistan Timur yang mereka kuasai dan lalu mereka sebarkan di wilayah mereka, kaum Turki Kuno pun bertemu dengan bentuk Buddha yang dipengaruhi oleh Iran ini. Dalam lingkungan agama Zarathustra, Buddha menjadi seorang “raja dari segala raja”. “dewa dari segala dewa”. Bumin Khan menggulingkan Ruanruan pada 551. Ia, menganggap berada di bawah perlindungan Gunung Otukan, menyatakan dirinya qaghan dan mendirikan Kekaisaran Turki Kuno. Dua tahun kemudian, kekaisaran ini pecah menjadi bagian timur dan barat. 86
Kekaisaran Turki Timur Pertama (553-630), didirikan oleh anak laki-lakinya, Muhan Qaghan (553-571) dan berpusat di Mongolia, mewarisi keabsahan rohani Turki dari aliran shaman dan Tengri. Karena adat keagamaan ini tidak memiliki susunan yang teratur, adat ini lemah dalam membangun persatuan untuk mendirikan sebuah bangsa baru. Melihat negara-negara Ruanruan dan Toba Wei sebagai contohnya, sang Qaghan menyadari bahwa agama Buddha mampu menjalankan tugas itu. Dengan demikian, karena orang Turki telah berhubungan dengan bentuk Buddha Cina utara dan Tokharia/Khotan, sang Qaghan bertekad membangun lebih banyak hubungan dengan keyakinan ini dan menyesuaikannya dengan adat keyakinan Turki.Seperti halnya para biksu Buddha berdoa untuk kemakmuran negara-negara Cina Buddha di utara, mereka bisa melakukan hal yang sama untuk Kekaisaran Turki Timur. Selain itu, karena lingkungan Buddha telah meluas hingga mencakup semua dewa agama Zarathustra, dengan Buddha sebagai raja dewa-dewa itu, ini bisa meluas untuk mencakup dewa-dewa (tengri) Turki juga. Setelah pecahnya Kekaisaran Wei Utara, negara-negara penerusnya yang lebih kecil melanjutkan dukungan terhadap agama Buddha Cina Utara. Dua di antara mereka, Qi (Ch’i) Utara(550-577) dan Zhou (Chou) Utara (557-581), menjadi negara bawahan Turki Timur. Sebagai tanda akan persahabatan, menteri Qi Utara membangun candi Buddha bergaya Cina utara bagi enam ribu orang Turki yang masih tinggal di Chang’an. Muhan Qaghan dengan gembira membalas hal itu dengan mengundang sejumlah biksu Han Cina ke pusat kekaisaran di Mongoliauntuk mengajar orang-orangnya.
87
Penerapan Bahasa Sogdiana untuk Urusan Duniawi Sebagai penerus Ruanruan, Turki Utara memerintah oase Tokharia, Turfan. Banyak kelompok suku sebelumnya yang merupakan kaum nomad dari padang-padang rumput Mongolia atau pinggiran gurun, seperti Toba Wei, telah menerapkan budaya Han Cina dan lalu kehilangan identitas mereka. Sadar akan contoh ini, Muhan Qaghan berharap orang-orangnya tidak mengalaminya. Sehingga, segera setelah mendirikan Kekaisaran Turki Timur, ia berpaling ke kelompok pedagang Sogdiana di Turfan untuk memberi mereka keahlian bahasa tertulis non-Cina untuk urusan administrasi dan keuangan. Sang Qaghan memilih bahasa Sogdiana, karena ini merupakan satu-satunya bahasa Asia Tengah dari lembah sungai Tarim pada masa itu yang memiliki bentuk tertulis.Penggunaannya terbatas pada urusan duniawi, awalnya perdagangan, dan ditemukan tidak hanya di Turfan, tapi juga sepanjang Jalur Sutra.Bahasa-bahasa setempat, seperti Tokharia dan Khotan, masih terbatas pada bahasa lisan pada masa itu.
Penindasan Agama di Han Cina dan Sogdiana Antara 574 dan 579, selama kekuasaaan Qaghan Turki Timur Kedua, Tapar (memerintah 572-581), negara-negara bagian Qi Utara dan Zhou Utara di Kekaisaran Turki Timur melakukan penindasan terhadap agama Buddha. Ini terutama disebabkan oleh pengaruh menteri-menteri Tao yang cemburu terhadap dukungan pemerintah terhadap wihara-wihara Buddha.Ada semakin banyak biksu Han Cina, termasuk empat penerjemah Buddha Gandhari yang berkunjung dari Kabul, yang dipimpin 88
Jinagupta (528-605), melarikan diri dari Chang’an menuju mahkamah Turki Timur. Di sana, mereka begabung dengan sepuluh biksu Han Cina yang baru saja kembali dari India bersama 260 naskah Buddha untuk diterjemahkan dan, seperti juga mereka, menerima suaka. Di waktu yang kurang-lebih sama dengan perkembangan di Han Cina utara ini, Khalifah Sassaniyyah, Khosrau I (memerintah 531578), dengan kejam menindas Manikheisme dan apa yang ia anggap sebagai aliran-aliran Zarathustra yang sesat di Iran dan Sogdiana. Ini menyebabkan gelombang migrasi baru para pengungsi agama menuju kota-kota oase Turkistan Timur. Karena upaya-upaya penyebar Manikheisme, Mar Shad Ohrmizd (meninggal 600), yang menemani para imigran itu, kaum Sogdiana – t erutama di Turfan – memulai untuk pertama kalinya menerjemahkan naskah-naskah Manikheisme ke dalam bahasa mereka dari versi asal Parthia dan Suriah yang digunakan di tanah air mereka.Mereka kemungkinan besar mengambil langkah ini karena yakin bahwa penting bagi komunitas keagamaan mereka untuk bebas dari ketidakpastian politik di negara asal dan menjadi mandiri.
Penerjemahan Tertulis Pertama Naskah-Naskah Buddha ke dalam Bahasa Tokharia Di Turkistan Timur hingga masa itu, naskah-naskah Buddha ditulis, dipelajari, dan dikidungkan terutama dalam bahasa asli India yakni Sanskerta atau Gandhari Prakrit, atau kadang dalam terjemahan Cina.Tidak ada bukti tentang kitab-kitab Buddha yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Asia Tengah hingga saat 89
itu, apalagi dituliskan. Tanda-tanda pertama akan kegiatan itu baru muncul pada pertengahan abad ke-6. Dokumen-dokumen Tokharia tertulis paling awal berasal dari masa ini dan merupakan terjemahan naskah-naskah Buddha dari Sanskerta ke dalam dialek Turfan.Mungkinusaha Buddha Tokharia di Turfan mengambil langkah ini diilhami oleh Manikheisme Sogdiana, juga untuk memastikan kebebasan dan identitas budaya pribadi mereka. Meskipun guru-guru Buddha Tokharia sebelumnya, seperti Kumarajiwa (344-413), telah berperanserta dalam penerjemahan naskah-naskah bahasa India ke dalam bahasa Cina, orang Tokharia tetap mempertahankan bentuk Buddha mereka yang didasarkan pada kitab-kitab Sanskerta. Karena mereka melihat oase-oase di sepanjang pinggir utara lembah sungai Tarim sebagai tanah asal mereka dan tidak memiliki hubungan dengan akar asli Eropa mereka, serta karena kota-kota mereka telah dikuasai oleh wangsa-wangsa asing secara turuntemurun, perkara menjaga identitas budaya mereka yang bebas adalah penting bagi mereka. Penindasan agama Buddha di Han Cina tentu saja memperkuat keputusan mereka untuk menuliskan bahasa mereka dan menerjemahkan kitab mereka.
Ketidakmauan Sogdiana Menerjemahkan Naskah Buddha ke dalam Bahasa Mereka Sendiri pada Masa Itu Komunitas Buddha Sogdiana di Turfan, bagaimanapun, tidak mengikuti contoh Manikheanisme Sogdiana atau Buddha Tokharia yang menerjemahkan kitab mereka ke dalam bahasa mereka dan menuliskannya. Mereka tidak melakukan hal ini hingga satu abad 90
kemudian karena beragam kemungkinan membahas beberapa di antaranya.
alasan.Mari
kita
Pertama, orang Sogdiana di Turkistan Timur adalah saudagar dan pedagang serta, tidak seperti orang Tokharia, mungkin tidak merasakan kesetiaan apa pun terhadap kota-kota negara tempat mereka tinggal. Mereka tidak pernah melihat semua kota itu sebagai tanah asal mereka, tapi menganggap Sogdiana sebagai asal mereka. Oleh karena itu, membangun identitas pribadi untuk tanah yang diduduki tempat mereka hidup sekarang tidak begitu penting bagi mereka. Kedua, komunitas Sogdiana yang menjadi warga luar negeri di Turkistan Timur memeluk beraneka agama.Mereka disatukan oleh pekerjaan mereka dan bahasa tertulis yang digunakan untuk perdagangan mereka.Tidak seperti orang Sogdiana, mereka tidak perlu menggunakan agama untuk tujuan ini. Selain itu, tidak seperti orang Sogdiana penganut Manikheisme yang tidak memiliki arah untuk mencari dukungan keagamaan selain kepada Sogdiana dan negara lain di Kekaisaran Sassaniyyah, umat Buddha Sogdiana di Turfan bisa mencari dukungan dari Han Cina. Mereka, kemudian, tampaknya tidak begitu terikat pada bahasa naskah keagamaan mereka. Mereka tampaknya merasakan kenyamanan yang sama dengan versi Sanskerta dan Gandhari Prakrit yang digunakan di tanah asal mereka, seperti halnya dengan terjemahan Cina yang juga mereka bantu penerjemahannya. Meskipun ada penindasan agama Buddha di Han Cina dan keadaan keagamaan yang bergejolak di Sogdiana, mereka tampaknya tidak melihat adanya alasan apa pun untuk menerjemahkan naskah itu ke dalam bahasa mereka sendiri pada saat itu. 91
Bila umat Buddha Sogdiana di Turkistan Timur ingin mengambil jarak dari kegelisahan keagamaan di tanah asal mereka, mereka bisa menggunakan lebih banyak bahasa Cina dalam laku keagamaan mereka. Saudara-saudara mereka yang memeluk Manikheisme, di sisi lain, saat menghadapi keadaan yang mirip, tidak memiliki pilihan lain selain membangun adat mereka sendiri dalam bahasa asli mereka. Dalam menggunakan bahasa Cina untuk urusan keagamaan, umat Buddha Sogdiana tampaknya tidak merasakan bahwa identitas budaya mereka terancam, karena identitas itu didasarkan pada unsur-unsur dari kehidupan duniawi mereka.Bahkan, kecenderungan umat Buddha Sogdiana di Turkistan Timur untuk bergantung lebih kuat pada bahasa dan adat Cina dalam kehidupan keagamaan mereka sangat mungkin karena adanya dorongan dari gelombang pengungsi penganut Manikheisme Sogdiana yang datang ke wilayah mereka.Para pendatang baru ini juga menolak bahasa-bahasa keagamaan yang berasal dari tanah kelahiran mereka.
Penerjemahan Naskah Buddha ke dalam Bahasa Turki Kuno Bagaimanapun, Tapar Qaghan memiliki kepentingan-kepentingan yang berbeda dari orang Sogdiana. Sebagai penguasa dari kekaisaran yang baru berdiri, ia tidak ingin warganya, kaum Turki Timur, bergantung pada bahasa Cina dalam cara apa pun. Pendahulunya melaksanakan kebijakan penggunaan bahasa asing dalam wilayah duniawi dengan menerapkan bahasa Sogdiana dan aksara Sogdiana.Karena orang Sogdiana tidak memiliki negara sendiri, tidak ada ancaman dalam kebijakan ini.Namun, dengan banyaknya pengungsi biksu Han Cina yang memasuki wilayah mereka, Tapar lalu merasakan kebutuhan juga 92
untuk membangun dalam wilayah keagamaan identitas bagi warganya yang bebas dari Han Cina.Ia lalu memilih campuran dari bentuk Buddha India, Cina utara, dan Tokharia/Khotan, yang kemudian meluas untuk mencakup unsur-unsur Tengri. Penindasan terhadap agama Buddha di Cina utara cukup mengingatkan akan penindasan Manikheisme di Sogdiana yang membuatnya mengikuti contoh Buddha Tokharia dan Manikheisme Sogdiana di Turfan. Ia lalu mendirikan kantor penerjemahan di ibukotanya di Mongolia untuk menerjemahkan naskah Buddha ke dalam bentuk Asia Tengah yang khas. Supaya selaras dengan wilayah duniawi dan membangun suatu kesatuan budaya tinggi bagi warganya, sang Qaghan ingin menggunakan bahasa Sogdiana untuk urusan keagamaan juga. Namun, belum ada naskah Buddha dalam bahasa Sogdiana pada saat itu.Orang Sogdiana semakin bergantung pada versi-versi Cina untuk penggunaan pribadi. Bila sang Qaghan tidak bisa memiliki naskah Buddha dalam bahasa Sogdiana dan jika penggunaan terjemahan bahasa Tokharia yang baru hanya akan mengarah pada kerumitan lebih lanjut berupa warganya harus mempelajari bahasa asing lain, satu-satunya pemecahan yang mungkin untuk membangun kesatuan budaya adalah memiliki naskah Buddha dalam bahasa Turki Kuno, tapi tertulis dalam aksara Sogdiana duniawi. Sehingga, ia mengundang lebih banyak orang Sogdiana ke Mongolia dan meminta mereka untuk menerapkan abjad mereka kepada kebutuhan-kebutuhan tertentu dalam pekerjaan itu dan membantu pengungsi biksu Han Cina di kantor terjemahan untuk menyelesaikan tugas terjemahan. Guru Gandharia, Jinagupta, yang telah datang bersama orang Han Cina dan awalnya memimpin kantor tersebut, dengan mudah 93
sepakat dengan keputusan sang Qaghan, setelah memiliki pengalaman panjang di Khitan dan karenanya tidak terikat pada bentuk-bentuk Han Cina secara kaku. Dengan demikian, terjemahan Turki Kuno ini mencampurkan unsur-unsur Buddha India, Cina utara, dan Tokharia/Khotan dengan unsur dari aliran Tengri, sebagaimana keinginan sang Qaghan. Pekerjaan tersebut berhasil, dan agama Buddha segera memasyarakat di antara warga biasadan bahkan di antara serdadu di wilayah Turki Timur.
Uraian dan Ringkasan Sebuah bentuk yang umum terjadi dalam sejarah Asia Tengah adalah para pendiri wangsa-wangsa baru menerapkan agama asing yang telah terbangun dan teratur secara baik sebagai agama resmi negara untuk menyatukan warga mereka. Ini terutama terjadi ketika adat keagamaan asli mereka menjadi tersebar atau dikuasai oleh kelompok konservatif berpengaruh yang menentang kekuasaan baru.Namun, kekuatan asing yang agamanya mereka terapkan tidak boleh terlalu kuat, karena bila demikian wangsa baru ini bisa terancam kehilangan identitas dan kebebasannya. Kaum Turki Timur lalu berpaling kepada orang Sogdiana, bukan Han Cina, untuk membantu mereka menyatukan kekaisaran mereka. Alasan lain untuk pilihan ini tentu saja bahwa pedagang kota Sogdiana telah menjelaskan kepada orang Turki nomad di padang-padang rumput arti penting dari wilayah Jalur Sutra yang telah mereka taklukkan dan meyakinkan mereka arti pentingnya. Para penguasa Turki segera menyadari bahwa persatuan dengan orang Sogdiana akan memberi mereka manfaat ekonomi yang besar. 94
Kemudian, meskipun agama utama orang Sogdiana adalah Manikheisme, bukan Buddha, kaum Turki Timur memilih Buddha sebagai agama persatuan mereka.Ini mungkin karena, meskipun adanya kemunduran sementara agama Buddha di Han Cina utara selama tahun 570-an, Buddha adalah agama terkuat di wilayah tersebut pada masa itu. Pilihan Turki Timur terhadap agama-agama yang bijak itu baru diperkuat ketika, pada 589, Wendi (Wen-ti), pendiri Wangsa Sui (Sui), berhasil dalam menyatukan Han Cina melalui panji-panji agama Buddha. Agama India ini telah menunjukkan kekuatan gaibnya dalam memperkuat bangunan wangsa baru lainnya.Kebijaksanaankaum Turki Timur dalam memutuskan untuk melaksanakan agama ini dalam bahasa mereka sendiri dan dalam aksara Sogdiana juga terbukti lagi saat mereka bisa mengatur supaya tidak terpengaruh oleh kegiatan militer Sui di sepanjang Han Cina utara. Ketika Tonyuquq meyakinkan para qaghan Turki Timur Kedua lebih dari seratus tahun kemudian untuk melepaskan agama Budhha dan kembali ke adat dan laku aliran Tengri dan adat Turki shaman, alasan utamanya adalah agama Buddha telah terbukti lemah karena tak bisa mencegah Tang Cina mengakhiri Wangsa Turki Timur Pertama pada 630-an. Oleh karena itu, keberhasilan memberikan kekuatan gaib untuk pencapaian militer dan politik tampaknya menjadi kriteria utama yang digunakan kaum Turki Timur dan kemudian orang Turki dan Mongolia selanjutnya dalam memilih suatu agama.
95
9. Perpindahan Agama Kaum Uighur Pilihan Awal terhadap Agama Buddha Kaum Uighur menggunakan kriteria yang sama dalam menerapkan agama asing seperti yang dilakukan kaum Turki Timur. Mereka pertama memilih Buddha sebagai agama negara ketika pasukan Sui Cina membantu mereka menaklukkan Turfan pada 605. Mereka tampaknya juga terkesan, sebagaimana kaum Turki Timur, oleh keberhasilan militer Sui dalam menyatukan Han Cina di bawah perlindungan rohani agama Buddha. Sebagaimana pendiri Sui menyebut dirinya kaisar Buddha sedunia (Skt. chakravartin), pemimpin Uighur dan Turki Timur juga menyebut diri mereka “pangeran boddhisattwa”. Namun, sama seperti kaum Turki Timur, kaum Uighur juga menerapkan terutama bentuk Buddha Asia Tengah, bukan Buddha Han Cina, untuk mencegah pudarnya budaya mereka ke dalam budaya Han Cina. Mereka pada dasarnya mengikuti bentuk Buddha Tokharia/Khotan yang ada di Turfan, sambil mencampurnya dengan unsur-unsur adat Turki dan Cina utara, seperti dilakukan kaum Turki Timur. Wangsa Tang (618-906) menggantikan Sui yang berkuasa hanya selama 29 tahun. Meskipun kaisar-kaisar Tang awal mengembalikan tata ujian Konghucu untuk pegawai negeri dan memilih agama Tao, mereka juga mendukung agama Buddha. Bahkan, kepemimpinan Sui dan masa awal Tang adalah puncak bagi perkembangan dan penyebaran sebagian besar aliran Buddha Han Cina. Meskipun kaum Turki Timur melihat agama Buddha bertanggung jawab atas kekalahan wangsa pertama mereka, kaum Uighur pada saat itu tampaknya tidak melihat menyerahnya Sui kepada Tang Cina pada 618 atau kekalahan mereka sendiri saat menyerahkan Turfan kepada pasukan Tang 96
pada 630-an sebagai kegagalan agama Buddha. Mereka tetap menjadi sekutu Tang yang setia dan melanjutkan penggunaan agama Buddha.
Keraguan terhadap Agama Buddha Perkembangan di Tang Cina dan Tibet
di
Tengah
Sejak masa pemberontakan terhadap Wangsa Tang oleh Ratu Wu antara 684 dan 705, kekuatan militer Tang, meskipun sangat berhasil di banyak hal, terus-menerus dilemahkan oleh ketidakmampuan Xuanzong untuk memasukkan biksu-biksu Buddha ke dalam dinas militer atau untuk mengenakan pajak kepada wihara-wihara guna membiayai operasi militernya. Pada 740, Kaisar Xuanzong membatasi jumlah biksu Han Cina, mengusir semua wihara dari Tang Cina, dan menarik status bebaspajak dari wihara-wihara. Meski demikian, pasukan Tang mengalami kekalahan di Sungai Talas di Turkistan Barat pada 751 dan, pada 755, Xuanzong digulingkan oleh pemberontakan An Lushan. Penguasa Uighur, Bogu Qaghan, dalam mengalahkan kaum Turki Barat pada 744, telah mewarisi peran pelindung gunung suci Turki, Otukan. Sehingga, keadaannya sangat berbeda dengan para pemimpin Uighur sebelumnya. Dengan bertanggung jawab secara susila terhadap semua suku Turki, sang Qaghan tentu sadar akan kecaman Tonyuquq terhadap agama Buddha yang dianggap akan menyebabkan kerugian mutlak nilai-nilai adat perang Turki-baru. Kecaman terhadap agama Buddha ini menjadi sangat terbukti ketika Xuanzong menderita kekalahan memalukan di Turkistan Barat dan di ibukotanya sendiri, Chang’an. Dari sudut pandang 97
Turki, Kaisar Tang jelas tidak melakukan tindakan yang memadai dalam menghilangkan sumber kelemahan militernya, yakni agama Buddha.. Selain itu, beberapa bulan sebelum pemberontakan An Lushan, Kaisar Tibet, Mey-agtsom, dibunuh akibat keberpihakannya terhadap agama Buddha. Tibet, kekuatan utama lain di wilayah itu, sekarang mengalami masa penindasan terhadap agama Buddha. Oleh karena itu, dalam memilih sebuah agama untuk menyatukan warganya, Bogu Qaghan tidak mungkin memilih Buddha dan di saat yang sama dihormati sebagai pemimpin semua orang Turki. Di sisi lain, ia juga tidak bisa memilih campuran antara aliran Tengri dan shaman Turki karena itu adalah keyakinan kaum Turki Timur yang ia taklukkan saat meraih kekuasaan. Agama kuno ini tentu saja tidak memiliki kekuatan untuk menyangga sebuah negara yang militernya kuat.
Alasan Memilih Manikheisme: Keinginan untuk Menjaga Hubungan Baik dengan Tang Cina Selama satu setengah abad, kaum Uighur kurang-lebih merupakan sekutu dari Tang Cina. Mereka telah menunjukkan keunggulan militer mereka atas pasukan Tang dengan menekan pemberontakan An Lushan, saat pasukan Tang gagal melakukannya. Bagaimanapun, para qaghan Uighur tetap ingin, untuk saat itu, menjaga hubungan baik dengan Tang Cina. Meskipun kaum Uighur telah menghancurkan Chang’an dan Loyang, mahkamah Tang tetap memiliki keinginan yang sama. Pada 713, menteri Turki Timur yang kuat, Tonyuquq, berhasil meyakinkan Qapaghan Qaghan (memerintah 692-716) untuk 98
mengusir masyarakat Sogdiana dari Mongolia sambil ia menyetir kekaisaran itu menuju penghidupan kembali adat shaman dan Tengri. Masyarakat yang terusir itu meliputi umat Buddha dan Manikheisme, dan mahkamah Tang mengizinkan mereka semua untuk bergabung dengan kaum Sogdiana yang telah menetap di Chang’an dan Loyang. Namun, pada 732, Xuanzong melarang setiap warga Han Cina mengikuti Manikheisme dan membatasi agama ini untuk warga asing saja. Delapan tahun kemudian, ia mengusir semua biksu asing Buddha, tapi masih menenggang warga asing di Tang Cina yang memercayai Manikheisme. Bila kaum Uighur ingin menerapkan Manikheisme, mereka bisa tetap menjaga hubungan baik dengan Tang Cina tanpa melanggar kebijakan keagamaan di Tang Cina. Bagaimanapun, mereka memiliki alasan-alasan tambahan saat mengambil pilihan ini.
Kemanfaatan Ekonomi dan Geopolitik Kaum Uighur memilik maksud memperluas wilayah mereka, terutama ke arah lembah sungai Tarim tempat mereka bisa mengendalikan perdagangan Jalur Sutra yang menguntungkan. Titik lemah Tang Cina hanya ada di Turfan, Beshbaliq, dan sepanjang cabang utara Jalur Sutra, yaitu di Kucha dan Kashgar. Titik lemah kaum Tibet juga hanya terletak di sepanjang cabang selatan Jalur Sutra. Namun, para pedagang Sogdiana terdapat di semua kota-negara oase itu, terutama Turfan. Kaum Uighur, setelah berhasil menaklukkan pemberontakan An Lushan, dan Kaisar Tang dipaksa melarikan diri dalam kehinaan, menjadi pahlawan pada masa itu. Pemerintahan Tang tidak hanya kehilangan harga diri, tapi juga dalam keadaan lebih lemah 99
daripada sebelumnya untuk melaksanakan kendali yang efektif atas Turfan atau wilayah lain mana pun di lembah sungai Tarim. Walaupun Tang Cina telah memberi kaum Sogdiana suaka politik pada 713, tapi dengan mengusir biksu Buddha di antara mereka, Tang Cina tentu menjadi kehilangan kepercayaan dari masyarakat Sogdiana. Bila kaum Uighur bersedia menerapkan sebuah agama utama kaum Sogdiana, mereka akan langsung diterima sebagai pelindung dan tuan oleh kaum Sogdiana di Turfan. Ini akan memberi mereka kedudukan kuat di lembah sungai Tarim sebagai modal untuk perluasan wilayah dan kendali atas Jalur Sutra.
Perpindahan Agama ke Manikheisme Tak dapat disanggah bahwa dengan pemikiran seperti itu akhirnya Bogu Qaghan pada 762 menyatakan Manikheisme sebagai agama resmi negara Uighur, mengingat Buddha bukanlah sebuah pilihan yang memungkinkan pada saat itu. Selain itu, dengan penekanannya pada pasukan terang yang meraih kemenangan atas kekuatan gelap, Manikheisme akan memiliki kesan yang lebih sesuai daripada agama Buddha untuk sebuah negara yang terlibat dalam peperangan. Mengikuti hikmah yang ia dapat dari Wangsa Turki Timur Pertama dan Kedua, Bogu Qaghan mengambil abjad Sogdiana, tapi bukan bahasa Sogdiana, dan mengubahnya sedemikian rupa untuk menuliskan bahasa Uighur. Ia menggunakannya untuk urusan pemerintahan maupun keagamaan, dengan mempekerjakan orang Sogdiana untuk menerjemahkan naskah Manikheisme ke dalam bahasa Uighur. Kaum Sogdiana, setelah memiliki pengalaman menerjemahkan naskah Buddha ke dalam Turki Kuno, mulai menerjemahkan kitab 100
Buddha ke dalam bahasa mereka sendiri selama masa jeda antara Wangsa Turki Timur Pertama dan Kedua. Ini adalah masa ketika Tang Cina bukan hanya menaklukkan Mongolia dan Turfan, tapi juga keseluruhan lembah sungai Tarim. Para penerjemah Sogdiana terutama menggunakan sumber-sumber Han Cina, yakni adat dan bahasa yang paling dekat dengan mereka. Dengan Tang Cina berada dalam kedudukan politik yang begitu berkuasa, umat Buddha Sogdiana mungkin pada akhirnya merasakan identitas mereka cukup terancam sehinggamengambil jarak dari budaya Han Cina, supaya identitas mereka tidak pudar ke dalam budaya tersebut. Karena kegiatan penerjemahan naskah Buddha ini masih berlangsung hingga saat kaum Uighur mengutus penerjemah Sogdiana menyiapkan naskah Manikheisme Uighur, dan karena kaum Sogdiana telah bekerja dengan bahasa Turki Kuno yang berhubungan dengan Uighur, kaum Sogdiana secara alamiah meminjam sejumlah besar istilah Buddha untuk tugas baru mereka itu.
Tantangan dari Masyarakat terhadap Perpindahan Agama Sebagai akibat dari kekuasaan Uighur di Turfan dari 605 hingga 630-an, banyak kaum Uighur menerapkan bentuk Buddha Turki Timur, terutama para serdadu dan masyarakat umum. Namun setelah tindakan Uighur menekan pemberontakan An Lushan, Bogu Qaghan memimpin anak buahnya menghancurkan semua wihara dan candi Buddha ketika menjarah Chang’an dan Loyang. Ia kemudian juga memerintahkan penghancuran wihara Buddha di bagian-bagian lain wilayahnya, sampai sejauh Semirechye di Turkistan Barat utara. Dalam melakukan ini, ia tentu saja berusaha menegaskan adat perang Turki-baru dan membuktikan pilihannya 101
akan Manikheisme adalah benar dengan menunjukkan kelemahan agama Buddha. Namun, sejumlah serdadu Uighur pada masa itu bisa dipastikan masih mengikuti campuran antara agama Buddha, Tengri, dan shaman Turki. Ini ditandakan oleh fakta bahwa Bogu Qaghan harus memaksa warganya menerima Manikheisme. Ia mengatur mereka ke dalam kelompok-kelompok berjumlah sepuluh, dengan satu orang bertanggung jawab melakukan laku keagamaan dalam kelompoknya masing-masing. Bagaimanapun, agama utama Sogdiana itu tidak pernah tersebar luas di antara kaum Uighur. Itu terbatas terutama kepada kaum bangsawan, yang tertarik kepada Manikheisme karena penekanannya pada elite keagamaan yang murni dan bersih yang secara susila lebih hebat daripada apa yang disebut “ rakyat kecil yang kotor”. Agama Buddha tentu saja terus hidup di antara “rakyat kecil yang kotor” ini selama masa kekuasaan Uighur atas Mongolia. Selain itu, kaum bangsawan Uighur sendiri tidak secara khusus berkomitmen kepada Manikheisme. Dua puluh tahun setelah perpindahan agama resmi negara menjadi Manikheisme, Alp Qutlugh (memerintah 780-790) membunuh Bogu Qaghan karena masalah keuangan yang muncul akibat dukungannya kepada agama baru itu. Dengan memiliki gelar qaghan, ia meminta Patriarch Timotheus (memerintah 780-819) untuk menugaskan seorang pemuka Kristen Nestorianuntuk datang ke wilayahnya. Namun, bentuk Kristen ini, seperti halnya Manikheisme, pada dasarnya masih merupakan sebuah keyakinan Sogdiana. Dukungannya sesuai untuk strategi jenderal Uighur itu yang berusaha memperoleh kesetiaan warga lembah sungai Tarim yang secara ekonomi dipimpin oleh para pedagang Sogdiana. 102
Ringkasan tentang Pola Perpindahan Agama di Asia Tengah Contoh-contoh tentang perpindahan agama di Turki Timur dan Uighur di atas adalah gambaran mengenai perpindahan agama yang dilakukan negara-negara rumpun Turki di Asia Tengah. Ketika perubahan-perubahan semacam itu dilakukan oleh para penguasa secara sukarela, kebanyakan adalah bagian dari strategi politik penuh perhitungan untuk memperoleh kekuasaan dan dukungan atau keuntungan ekonomi, alih-alih sebuah keputusan rohani. Namun, seseorang tidak boleh terlalu sinis dengan menilai bahwa semua perpindahan itu murni disebabkan oleh dorongan ala Machiavelli, dan sepenuhnya menyingkirkan semua pertimbangan keagamaan. Pasti ada unsur-unsur di dalam sebuah agama yang diterapkan itu yang sesuai dengan tabiat budaya setempat; bila tidak, tak ada orang yang bisa membangun hubungan dengan keyakinan itu. Bagaimanapun, seseorang juga tidak boleh bersikap idealis dan membayangkan bahwa para penguasa Asia Tengah adalah orang-orang dengan adat perang kuat yang membuat keputusan itu dengan sepenuhnya berdasarkan pada penghargaan mereka terhadap kedigdayaan dan metafisika rumit suatu agama yang melebihi agama lainnya. Mereka lebih terkesan ketika sebuah agama memberikan kekuatan gaib yang mengarah pada kemenangan militer, lalu mengubah agama resmi negaranya untuk mencari dukungan serupa bagi upaya perluasan wilayah mereka. Ini berlaku tidak hanya untuk kaum Turki Timur dan Uighur, tapi juga untuk minat Kaisar Tibet Songtsen-gampo terhadap agama 103
Buddha pada pertengahan abad ke-7. Ini juga menjelaskan mengapa mahkahah Tibet di sekitar Kaisar Mey-agtsom yang masih muda bersikap terbuka dalam mempertimbangkan Islam di awal abad ke-9, ketika Islam bisa membantu mereka meraih lebih banyak wilayah melalui persekutuan mereka dengan kaum Abbasiyyah dan mengapa, ketika keuntungan itu tidak terjadi, mereka kehilangan minat sepenuhnya terhadap Islam
104
10. Perselisihan-Perselisihan Aliran dalam Islam dan Maklumat Jihad Perpecahan antar-Aliran dalam Islam pada Masa Awal Abbasiyyah Kaum Abbasiyyah berhasil mengusir pasukan Tang Cina dari Turkistan Barat, dan pemberontakan An Lushan di Han Cina benar-benar melemahkan cengkeraman Tang di Kashgar, Kucha, Turfan, dan Beshbaliq. Namun, bukan kaum Arab, melainkan kaum Karluk dan Tibet yang mengambil keuntungan dari kekosongan kekuasaan tersebut. Kaum Karluk bergerak ke selatan, merebut Suyab, Ferghana, dan akhirnya Kashgar, sedangkan kaum Tibet menguatkan kembali pengaruh mereka di beberapa negara-kota lembah sungai Tarim bagian selatan, terutama Khotan, yang mereka rebut kembali pada 790. Kaum Tibet memutus semua hubungan antara keluarga raja Khotan dan mahkamah Tang. Namun, kaum Tang mempertahankan sebuah markas kecil di Kucha dan bertempur dalam perang segitiga yang berkepanjangan dengan kaum Tibet-Uighur dan Turfan-Beshbaliq.
Kaum Abbasiyyah tak pernah bisa melebarkan kekuasaan ke wilayah-wilayah di Turkistan Barat yang sebelumnya dikuasai kaum Tang karena mereka menjadi nyaris terlibat dalam pertarungan antar-aliran Islam di Sogdiana. Segera setelah khalifah kedua, al-Mansur (memerintah 754 – 775), menaiki tahtanya, ia menghukum mati Abu Muslim, orang Baktria pengikut Syiah yang membantu kaum Abbasiyyah mendirikan kekaisaran mereka. Meskipun pendahulunya, Abu l’Abbas, pernah mengungkapkan janji tentang perlakuan tidak memihak bagi 105
seluruh penduduk non-Arab di kerajaannya yang luas, al-Mansur mengembalikan lagi keberpihakan Ummaiyyah terhadap kaum Arab dan golongan Islam Sunni. Setelah itu, orang-orang Sogdiana yang menentang pemerintahan Abbasiyyah memberi penghargaan anumerta kepada Abu Muslim sebagai pembela kebudayaan Iran melawan dominasi Arab. Menggunakan kesyahidan Abu Muslim untuk menghimpun pemberontakan-pemberontakan mereka guna membalas kematiannya, mereka pun akhirnya menghormati Abu Muslim sebagai nabi. Untuk panjinya, Abu Muslim semula menggunakan bendera hitam yang melambangkan Silsilah Ali. Kaum Abbasiyyah mencontoh hal ini dan menggunakan warna hitam untuk bendera dan pakaian mereka. Sebagai bentuk protes, kaum penentang Abu Muslim menggunakan warna putih untuk panji dan baju mereka, yang kebetulan juga merupakan warna suci pengikut Manikheisme dan menggunakannya untuk jubah mereka. Julukan kaum Suriah bagi pengikut Manikheisme adalah “Orang Berjubah Putih”. Manikheisme memiliki banyak bentuk, bercampur dengan agama Zarathustra, Kristen, atau Buddha untuk memberikan kedekatan pada masyarakat dari kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Gagasan-gagasan mutakhir ini memikat banyak pejabat terpelajar dalam mahkamah Abbasiyyah, yang menghasilkan sebuah aliran Islam yang menggabungkan Manikheisme dengan Islam Syiah. Para penguasa Abbasiyyah, sebagai pelindung kepercayaan ortodoks, kemudian memandang aliran Syiah Manikheisme sebagai ancaman. Mencapnya sebagai ajaran sesat, mereka menuduh para pengikut Syiah Manikheisme dari golongan antiAbbasiyyah ini sama dengan pemberontakan-pemberontakan Abu Muslim di Sogdiana dan menindas mereka. Meskipun Syiah 106
Manikheisme tidak bertahan lama sebagai aliran Islam tersendiri, banyak pengikutnya kemudian masuk ke aliran Isma’ili dari Syiah. Aliran ini pun akhirnya menjadi sasaran penindasan kejam oleh kaum Abbasiyyah. Selama masa pemerintahan khalifah berikutnya, al-Mahdi (memerintah 775 – 785), sebagian besar wilayah Sogdiana jatuh di bawah kekuasaan kaum pemberontak jubah putih itu, dipimpin oleh al-Muqanna, si “Nabi Bercadar”, kawan Abu Muslim. Kaum Turki Oghuz, yang juga berpaikan putih, memberi bantuan militer kepada kaum pemberontak itu, meskipun mereka tidak pernah menganut Islam. Kali ini, kaum pemberontak Sogdiana itu mengikuti aliran Islam baru, Musalemiyya, adat-adat yang punah bersama tradisi-tradisi ortodok, seperti sembahyang lima kali sehari. Maka, gerakan militer Abbasiyyah untuk menangkal pemberontak Sogdiana dan sekutu mereka kaum Turki Oghuz juga menjadi gerakan untuk melindungi kemurnian agama Islam. Pada 780, pasukan Abbasiyyah memadamkan pemberontakan di Bukhara, tetapi pemberontakan-pemberontakan selanjutnya terus terjadi. Kaum Abbasiyyah menjadi sibuk memadamkan pemberontakan-pemberontakan ini dan mempertahankan kemurnian agama Islam dari aliran Syiah Manikheisme dan Musalemiyya. Sikap menekan dan keras yang ditunjukkan kaum Abbasiyyah dalam menghadapi aliran-aliran sesat yang melibatkan unsur-unsur Manikheisme mungkin didorong oleh para mantan pemimpin agama Zarathustra yang sudah pindah ke agama Islam dan menyarankan pemerintahnya untuk mencontoh kaum Sassaniyyah dalam kediktatoran untuk persoalan-persoalan agama. 107
Penghancuran Valabhi oleh Kaum Abbasiyyah Pada awal 780-an, para penguasa Abbasiyyah di Sindh menyerang Saurashtra dan menghancurkan kompleks besar wihara-wihara Buddha di Valabhi. Setelah runtuhnya Dinasti Rashtrakuta pada 775, lembaga-lembaga keagamaan ini tidak memiliki dukungan kerajaan dan sangat lemah. Namun, penghancuran ini harus dipahami dalam latar pemberontakan di Sogdiana dan penindasan terhadap gerakan Syiah Manikheisme dan Musalemiyya. Valabhi bukan semata-mata pusat pembelajaran Buddha, melainkan juga salah satu tempat suci bagi aliran Shvetambara dari agama Jain. Kota ini memiliki banyak candi Jain, tidak hanya candi Buddha, dan tentara Abbasiyyah juga meruntuhkan bangunan-bangunan ini. Sebenarnya, candi-candi Jain ini kemungkinan besar adalah sasaran militer utama mereka. “Shvetambara” berarti “Orang Berpakaian Putih,” seperti halnya biksu-biksu dari adat ini mengenakan jubah warna ini. Karena salah menganggap anggota aliran Shvetambara ini sebagai sekutu golongan jubah putih pemberontak Musalemiyya Abu Muslim, pendukung mereka dari kaum Turki Oghuz, dan pengikut Syiah Manikheisme, para pemimpin Arab Sindhi tentu akan memandang mereka sebagai ancaman dan akan berpikir bahwa mereka harus disingkirkan. Setiba di Valabhi, mereka tidak membedakan candi Jain dari wihara Buddha, sehingga mereka menghancurkan semuanya. Karena sejarah umum sering menyebut penghancuran Valabhi sebagai suatu contoh dari sifat tidak tenggang rasa Islam terhadap 108
kepercayaan-kepercayaan lain, mari kita cermati kebijakan keagamaan Abbasiyyah secara keseluruhan agar dapat menilai pendapat para sejarawan itu secara lebih objektif.
Perbedaan Kebijakan terhadap Manikheisme dan AgamaAgama Non-Muslim Lainnya Meskipun perang suci mereka melawan pengikut Syiah Musalemiyya dan Manikheisme, dan di Saurashtra melawan pengikut Jain dan Buddha yang kemungkinan besar mereka anggap sebagai pendukung aliran-aliran tersebut, para khalifah di masa awal Abbasiyyah itu meneruskan kebijakan Ummaiyyah tenggang rasa terhadap agama-agama non-Muslim. Mereka sangat menjamin perlindungan status dhimmi bagi penduduk Buddha, Zarathustra, Kristen Nestorian, dan Yahudi. Satu-satunya golongan non-Muslim yang mereka tindas adalah orang-orang yang menganut Manikheisme. Tanpa sengaja, kaum Arab melanjutkan kebijakan antiManikheisme dari para pendahulu mereka di Sogdiana, kaum Iran Sassaniyyah dan Tang Cina, tapi untuk alasan-alasan yang berbeda. Pertama, penganut Manikheisme disamakan dengan penganut Syiah Manikheisme. Kedua, dengan gerakan misionarisnya yang kuat dan seruan untuk melintasi kegelapan dan lumpur dunia ini, Manikheisme meragukan keunggulan Islam ortodoks di antara kaum Muslim terpelajar di mahkamah Abbasiyyah. Oleh karena itu, semua Muslim yang bersandar pada Manikheisme untuk urusan-urusan rohani dituduh sebagai pengikut Syiah Manikheisme, dengan kata lain sebagai pemberontak anti-Abbasiyyah. 109
Ketertarikan Kuat Kaum Abbasiyyah pada Kebudayaan India Selain menjamin status dilindungi kepada kepada penduduk nonMuslim non-Manikheisme di wilayah mereka, kaum Abbasiyyah awal juga menaruh ketertarikan besar pada kebudayaan asing, terutama dari India. Meskipun kaum Arab dan India memiliki banyak hubungan ekonomi dan kebudayaan sejak masa pra-Islam, dengan para pedagang dan imigran dari tiap-tiap kelompok tinggal di wilayah kelompok lainnya, penaklukan dan pendudukan kaum Ummaiyyah di Sindh mendorong pertukaran yang jauh lebih besar. Pada 762, misalnya, Khalifah al-Mansur (memerintah 754 – 775) menyelesaikan pembangunan Baghdad, ibukota baru Khilafah Abbasiyyah. Tidak hanya merancangnya, para arsitek dan insinyur India itu bahkan memberi kota ini nama dari bahasa Sanskerta Bhaga-dada, yang berarti “ Anugerah Tuhan”. Pada 771, sebuah kunjungan politik dari Sindh membawa naskahnaskah India tentang ilmu angkasa ke Baghdad, menandai awal ketertarikan Arab pada bidang ini. Khalifah al-Mansur menyadari pentingnya penghitungan ilmu angkasa dan geografi yang lebih tepat untuk tujuan keagamaan, yaitu untuk menentukan secara tepat arah Kiblat dan waktu bulan baru. Ia juga memahami bahwa peradaban India memiliki perkembangan ilmu pengetahuan tertinggi di kawasan itu, tidak hanya dalam bidang-bidang tersebut, tetapi juga dalam matematika dan pengobatan. Kenyataan bahwa ilmu-ilmu ini telah berkembang di dalam lingkungan non-Muslim sama sekali tidak menghalangi keterbukaan kaum Arab kepada mereka.
110
Khalifah selanjutnya, al-Mahdi (memerintah 775 – 785), yang pasukannya menghancurkan Valabhi, mendirikan dewan terjemahan (Arab Baitu’l Hikmat) bersama cendekiawancendekiawan dari semua kebudayaan dan agama daerah dan menerjemahkan naskah-naskah, terutama tentang bidang ilmu alam, ke dalam bahasa Arab. Banyak karya tersebut berasal dari India, dan tidak semua penerjemah asal Sindh itu Muslim; banyak penganut Hindu dan Buddha. Kaum Abbasiyyah jelas pragmatis dan tertarik pada ilmu pengetahuan. Pada dasarnya, mereka tidak berselisih dengan agama-agama asing dari India maupun nonManikheisme lainnya. Khalifah-khalifah mereka tampaknya sungguh-sungguh menaati hadis Nabi Muhammad “carilah ilmu, meskipun sampai Cina”. Kebijakan yang tidak memihak aliran tertentu dan berpandangan terbuka dalam pencarian ilmu pengetahuan ini tidak berlalu begitu saja, tetapi berlanjut pada khalifah berikutnya, Harun al-Rashid (memerintah 786 – 809), yang mengembangkannya lebih lanjut. Menterinya, Yahya ibn Barmak, misalnya, adalah cucu Muslim dari salah seorang Buddha kepala administrasi (Skt. pramukha) Wihara Nava. Di bawah pengaruhnya, Harun al-Rashid mengundang lebih banyak cendekiawan dan guru dari India, terutama penganut Buddha, ke Baghdad. Di sana, para cendekiawan Buddha itu menjadi tahu tentang kecenderungan pada Syiah Manikheisme di antara para cendekiawan dalam mahkamah Abbasiyyah dan tentang ancaman yang dituduhkan para penguasanya kepada mereka. Setelah mengkhususkan pada naskah-naskah ilmiah, dewan terjemahan itu juga mulai menerbitkan karya-karya dalam bidang keagamaan. Misalnya, sebuah terjemahan bahasa Arab yang terbit 111
pada masa ini mengenai catatan kehidupan-kehidupan masa lampau Sang Buddha, Kitab al-Budd, berdasarkan dua naskah Sanskerta: Jatakamala danBuddhacharita Ashvaghosha. Beberapa bagian dari naskah ini tergabung dalam eposnya, Kitab Bilawhar wa Budhasaf, oleh Aban al-Lahiki (750 – 8 15), seorang penyair Baghdad. Meskipun terjemahan penyair ini tidak ada lagi, semakin banyak yang setelahnya ditulis dalam berbagai bahasa. Terjemahan bahasa Arab paling awal yang bertahan hingga kini adalah karya Ibn Babuya dari Qum (991). Karya ini beralih dari sumber-sumber Islam ke dalam kepustakaan Kristen dan Yahudi sebagai legenda Barlaam dan Josaphat, yang masih mempertahankan banyak ajaran Buddha. Contoh berikutnya mengenai keterbukaan Abbasiyyah terhadap agama Buddha adalah Kitab al-Fihrist, sebuah katalog naskah Muslim dan nonMuslim, disusun pada masa ini, yang memasukkan daftar karyakarya agama Buddha.
Pertumbuhan Agama Islam di tengah Kaum Non-Muslim di Turkistan Barat Harun al-Rashid merupakan Khalifah Abbasiyyah yang paling masyhur dan berbudaya. Di bawah kepemimpinannya, syair bahasa Arab, sastra, filsafat, ilmu alam, pengobatan, dan seni semuanya tumbuh subur. Selama masa pemerintahannya, kebudayaan tinggi Islam memiliki daya tarik tiada henti bagi orang non-Arab, bangsawan non-Muslim, tuan tanah, dan penghuni kota di Turkistan Barat, yang tabiatnya sama sekali berbeda dengan pejuang-pejuang pengembara padang rumput itu. Akibatnya, orang-orang itu secara berangsur-angsur pindah ke agama Islam dalam jumlah yang terus bertambah. Agama-agama non-Muslim 112
yang dilindungi, seperti agama Buddha, tetap kuat terutama di kalangan petani miskin di daerah pedesaan, yang menganutnya secara lebih taat dibanding sebelumnya karena mereka berawal dari kaum minoritas secara keagamaan dan kesukuan. Mereka biasanya berbondong-bondong menuju kuil-kuil keagamaan untuk laku kebaktian.
Penilaian terhadap Penghancuran Valabhi Penghancuran wihara-wihara Buddha di Valabhi oleh kaum Abbasiyyah tersebut harus dilihat dalam konteks gambaran yang lebih luas ini. Islam memperoleh banyak pengikut baru di Sogdiana dan Baktria pada waktu itu bukan dengan pedang, tapi dengan daya tarik dalam tingginya tingkat kebudayaan dan pengetahuan. Agama Buddha memang tidak kurang dalam pengetahuan dan kebudayaan. Namun, untuk menikmatinya, orang harus masuk wihara. Wihara Nava, meskipun pada masa ini masih berfungsi, menurun keunggulannya dan merupakan satu-satunya lembaga pembelajaran. Di sana terdapat banyak umat Buddha. Universitasuniversitas kewiharaan Buddha terkemuka pada waktu itu, seperti Nalanda, berada jauh di bagian tengah India utara. Jadi, ketika kebudayaan dan pendidikan tinggi agama Islam di Asia Tengah semakin kuat dan semakin mudah didapat, ia akan semakin memudarkan agama Buddha pada golongan perkotaan kelas atas terpelajar. Yang paling penting, proses ini berlangsung secara damai. Maka, penghancuran di Valabhi merupakan pengecualian terhadap kecenderungan keagamaan dan kebijakan resmi pada permulaan masa Abbasiyyah itu. Terdapat dua penjelasan yang 113
masuk akal untuk itu; usaha seorang jenderal militan fanatik yang bertindak seorang diri; atau operasi keliru yang dijalankan karena kaum Arab salah menganggap pengikut aliran Jain “baju putih” setempat sebagai pendukung Abu Muslim sehingga tidak membedakan umat Buddha dengan pengikut Jain. Ini bukan bagian dari jihad yang diperuntukkan untuk melawan agama Buddha. Kata Arab jihad secara harfiah berarti “berjuang”, yakni untuk mengabdi pada Allah. Ini bukan sejenis perang suci yang bertujuan memaksa kaum kafir untuk berpindah agama ke satu-satunya keyakinan hakiki. Sebaliknya, ini adalah gerakan militer yang dilakukan untuk membela sesama Muslim yang diserang karena menerapkan Islam murni atau dihalangi dalam menjalani kehidupan rohani mereka. Umat Buddha di Valabhi tidak mengancam agama Islam sehingga tidak tepat dinyatakan sebagai sasaran jihad.
Penyerbuan Kaum Abbasiyyah ke Gandhara Meskipun kaum Karluk dan Abbasiyyah telah menundukkan Tang Cina di Sungai Talas pada 751, kaum Karluk, setelah meluas sampai Suyab, Ferghana, dan Kashgar, segera memutus persekutuan mereka dengan kaum Arab dan bergabung dengan kaum Tibet dan pendukungnya, kaum Turki Shahi di Kabul. Kaum Oghuz Jubah Putih, yang selama ini mendukung pemberontak Abu Muslim, juga bergabung dengan mereka dalam upaya bersama untuk memperoleh kekuasaan di Sogdiana dan Baktria Abbasiyyah. Maka persekutuan ini mengulang pemberontakanpemberontakan Abu Muslim melawan kaum Abbasiyyah, seperti 114
perang yang dipimpin oleh Rafi bin-Layth di Samarkand pada 806 – 808. Pasukan gabungan mereka bahkan menyerbu Samarkand untuk membantu kaum pemberontak itu. Khalifah al-Rashid meninggal dunia pada 808 dalam perjalanannya memadamkan pemberontakan itu. Setelah kematiannya, kerajaannya dibagi untuk dua anak laki-lakinya sesuai kehendaknya. Namun, dua anak laki-lakinya melakukan perdamaian sementara dengan kaum Tibet dan sekutu-sekutunya supaya mereka dapat melangsungkan perang saudara untuk mendapatkan kekuasaan penuh atas seluruh warisan ayah mereka. Al-M’amun menang dan menjadi khalifah berikutnya (memerintah 813 – 833). Dengan menyalahkan persekutuan TibetTurki Shahi-Karluk-Oghuz atas kematian ayahnya, dan menyamakan persekutuan itu dengan pemberontakan Musalemiyya Abu Muslim di Sogdiana, ia mengumumkan perang suci dan mengirim Jenderal al-Fadl bin-Sahl untuk melancarkan serangan habis-habisan ke negara bagian Turki Shahi di Gandhara. Pada 815, kaum Abbasiyyah memperoleh kemenangannya dan raja Turki Shahi, dikenal sebagai Shah Kabul, dipaksa untuk menyerahkan diri kepada al-M’amun di Merv dan beralihke Islam murni. Sebagai tanda penyerahan negaranya, ia mengirim sebuah patung Buddha emas ke Mekah, tempat benda ini disimpan selama dua tahun di baitulmal Ka’bah. Patung ini dipajang kepada khalayak dengan membawa peringatan bahwa Allah telah membimbing Raja Tibet masuk Islam. Kaum Arab salah menafsirkan Raja Tibet sebagai bawahannya, Shah Turki dari Kabul itu. Pada 817, kaum Arab melebur patung Buddha itu di Ka’bah untuk membuat uang emas. 115
Setelah keberhasilan mereka melawan kaum Turki Shahi, kaum Abbasiyyah menyerang wilayah Gilgit yang dikuasai kaum Tibet dan dalam waktu singkat merebutnya. Mereka memulangkan ke Baghdad seorang komandan Tibet yang ditawan dalam kehinaan. Meskipun berhasil dalam melawan kaum Tibet dan juga dalam merebut Ferghana dari kaum Karluk, para jenderal Arab tidak memaksakan kemenangan-kemenangan lebih lanjut ke timur atau utara. Ini karena kaum Abbasiyyah dengan cepat kehilangan kekuasaan mereka di Turkistan Barat dan Iran timur karena para pemimpin militer setempat mulai mengambil alih sebagai gubernur di wilayah-wilayah ini dan menjadikan wilayah-wilayah tersebut negara bagian Islam yang mandiri. Wilayah pertama yang menyatakan kemandiriannya adalah Baktria, tempat Jenderal Tahir mendirikan Kekaisaran Tahirid (819 – 873). Ketika kaum Abbasiyyah mundur dari Kabul dan Gilgit, mengalihkan perhatian mereka pada urusan-urusan yang lebih mendesak itu, kaum Tibet dan Turki Shahi memperoleh kembali penguasaan mereka semula. Meskipun ada paksaan untuk pindah agama bagi para pemimpin negeri-negeri itu, kaum Abbasiyyah tidak menganiaya agama Buddha di sana. Bahkan, kaum Arab memelihara perdagangan dengan kaum Tibet sepanjang masa ini, terutama mengimpor minyak kesturi. Umat Muslim dan Buddha di sana bahkan membangun hubungan budaya. Fazl Ullah, misalnya, menerjemahkan karya sastra Persia kuno, Gulistan dan Bostan, ke dalam bahasa Tibet.
116
Uraian tentang Operasi Militer dan Kemenangan Kaum Abbasiyyah Khalifah al-Ma’mun mengumumkan bahwa operasi militernya melawan persekutuan Tibet-Turki Shahi-Karluk-Oghuz adalah jihad, sebuah perang suci. Ia membela warga Muslimnya dari kaum fanatik sesat yang menghalangi pengamalan keyakinan murni mereka dengan gerakan teror dan pemberontakan. Itulah sebabnya, ketika menang, ia tidak hanya bersikeras supaya Shah Kabul itu pindah agama ke Islam ortodoks, tetapi juga mengirim lagi patung Buddha untuk dipajang di Ka’bah sebagai bukti kemenangan Islam. Bagaimanapun, mengingat apa yang telah mengilhami penghancuran Valabhi oleh kaum Abbasiyyah, al-Ma’mun barangkali salah menduga musuh-musuh yang ia tundukkan sebagai anggota aliran Syiah Manikheisme dan Musalemiyya. Jihadnya melawan mereka semata-mata merupakan lanjutan operasi militer dalam negeri dari ayahnya. Akan tetapi, meskipun anggota-anggota persekutuan asing ini mendukung kaum pemberontak Abu Muslim, bukan berarti mereka menganut keyakinan kaum pemberontak itu atau Syiah Manikheisme. Jika mereka melakukan itu, tidak masuk akal bahwa selama masa ini kaum Tibet dan Karluk juga memerangi kaum Uighur, pembela umat Manikheisme Sogdiana. Kaum Tibet jelas-jelas tidak mengetahui keterlibatan agama Islam pada pemberontakan-pemberontakan Sogdiana. Selain itu, seperti upaya serupa kaum Tang Cina enam tahun sebelumnya, upaya kaum Tibet untuk mengacaukan kekuasaan Abbasiyyah di 117
Sogdiana bukan merupakan bagian dari rencana untuk mendapatkan pengikut-pengikut baru bagi agama Buddha. Ini murni gerakan politik dan ekonomi untuk memperoleh kekuasaan, wilayah, dan pajak dari perdagangan Jalur Sutra. Pemimpinpemimpin keagamaan kaum Tibet pada masa itu sibuk memantapkan agama Buddha di wilayah mereka dan menghidarkannya dari kerusakan dalam dan kekuasaan sekuler. Meskipun pemimpin-pemimpin ini ikut andil dalam pemerintahan, cakupan pengaruh mereka tidak menjangkau sampai urusan militer. Perhatian mereka dalam hubungan luar negeri sematamata berkutat pada hubungan kebudayaan dengan Pala India dan Tang Cina yang berkaitan dengan masa depan agama Buddha di Tibet. Sebaliknya, kaum Abbasiyyah jelas-jelas tidak mengetahui nilainilai keagamaan kaum Turki Shahi dan Tibet. Apa yang mereka lihat hanya pasukan asing yang mendukung kultus kaum pemberontak fanatik keagamaan yang tidak hanya mengganggu kawula mereka dalam mengamalkan agama Islam, tetapi barangkali yang lebih penting, berusaha menyingkirkan mereka dari kekuatan politik. Kenyataannya, jihad itu ditujukan pada kebijakan politik kaum Turki Shahi dan Tibet, bukan pada agama Buddha mereka. Al-Ma’mun bukan seorang fanatik agama yang berpikiran tertutup. Seperti ayahnya, Harun al-Rashid, ia secara budaya berpikiran terbuka dan terus menyokong penerjemahan naskah-naskah India. Pemerintahannya tidak hanya menghasilkan pencapaianpencapaian baru dalam zaman keilmuan Khilafah Abbasiyyah, tetapi juga penyebaran informasi positif tentang peradaban India bagi kaum Arab dan penduduk Muslim mereka. Pada 815, 118
misalnya, tahun yang sama ketika al-Ma’mun menundukkan Shah Kabul, al-Jahiz (lahir 776) menerbitkanFakir as-Sudan ala l’Bidan (Keunggulan Hitam terhadap Putih) di Baghdad, berisi pujian terhadap pencapaian kebudayaan yang tinggi India. Setelah itu, terdapat perasaan positif mengenai India di antara kaum Abbasiyyah pada masa itu, dan ini meluas pada masyarakat India dari semua agama, termasuk agama Buddha. Jika jihad al-Ma’mun adalah melawan agama Buddha, ia seharusnya tidak semata-mata menunjukannya pada persekutuan Tibet-Turki Shahi-Karluk-Oghuz, tapi pada anak benua India tempat agama Buddha jauh lebih menonjol dan mapan. Bagaimanapun, setelah kemenangan di Kabul, pasukan Khalifah ini menyerang Gilgit dan Ferghana, bukan Oddiyana. Mereka memiliki maksud-maksud lain. Mari kita cermati keadaan di Tibet sebelum kemenangan alMa’mun di Gandhara dan Gilgit untuk memahami keadaannya secara lebih utuh. Ini juga akan membantu kita memahami mengapa penaklukan Shah Kabul dan komandan militer Tibet itu hampir tidak berpengaruh apapun dalam penyebaran agama Islam ke Tibet atau ke negara-negara bawahannya.
119
11. Gerakan-Gerakan Politik-Keagamaan Tibet pada Akhir Abad Ke-8 M Hubungan-Hubungan Tibet dengan Cina Tibet dan Cina mula-mula membentuk hubungan diplomatik pada 608 ketika ayah Kaisar Songtsen-gampo, Namri-lontsen (gNam-ri slon-mtshan), mengirim utusan Tibet pertama ke mahkamah Cina pada masa Dinasti Sui. Songtsen-gampo, pada gilirannya, mengirim utusan ke mahkamah Tang pada 634 dan menikahi putri Han Cina, Wencheng, pada 641. Empat tahun kemudian, ia meresmikan candi Tibet pertama di Wutaishan (Wu-t’ai shan, Tib. Ri-bo rtse-lnga), gunung suci umat Buddha Cina di barat daya Beijing. Sejak itu, Tibet secara berkala mengirim duta-duta selanjutnya ke mahkamah Cina, meskipun kadang-kadang terdapat peperangan antara dua kekaisaran itu. Kaisar Mey-agtsom, seabad kemudian, tertarik pada ajaran Buddha Han Cina, niscaya karena pengaruh istri Buddha-nya yang berdarah Han Cina, Permaisuri Jincheng. Meskipun kondisi agama Buddha di Tang Cina lemah setelah pelarangan yang diberlakukan terhadapnya oleh Kaisar Xuanzhong pada 740, Mey-agtsom mengirim utusan ke sana pada 751 untuk belajar lebih banyak tentang agama ini. Ketertarikan terhadap ajaran Buddha yang diperlihatkan oleh anak laki-lakinya, yang kelak adalah kaisar Tibet Tri Songdetsen (Khri Srong-lde-btsan, 742 – 798), agaknya juga mendorongnya mengirim utusan itu. Utusan itu dipimpin oleh Ba Sangshi (sBa Sang-shi), anak laki-laki duta Tibet terdahulu ke Tang Cina. Pada 755, menteri-menteri golongan posisi yang benci terhadap orang asing membunuh Kaisar Mey-agtsom. Golongan ini sama 120
dengan yang enam belas tahun sebelumnya mengusir biksu-biksu Han Cina dan Khotan, yang diundang Permaisuri Jincheng, dari Tibet. Pembunuhan ini terjadi pada tahun yang sama ketika terjadinya pemberontakan An Lushan dan, seperti sebelumnya, menteri-menteri itu barangkali takut bahwa keberpihakan sang Kaisar terhadap agama Buddha dan kaum Tang Cina akan membawa kehancuran bagi Tibet. Selain itu, mungkin penggulingan Khilafah Ummaiyyah oleh kaum Abbasiyyah pada 750 dan pemberontakan An Lushan mendorong tindakan berani mereka. Seperti penyerangan terhadap agama Buddha Han Cina yang dilakukan oleh An Lushan, menteri-menteri yang benci terhadap orang asing itu memprakarsai penindasan terhadap agama Buddha di Tibet yang berlangsung selama enam tahun. Namun, sasarannya kemungkinan besar adalah golongan pendukung Tang dalam mahkamah itu.
Diundangnya Shantarakshita ke Tibet Utusan ke Cina, yang dipimpin oleh Ba Sangshi, kembali ke Tibet pada 756 dengan membawa naskah-naskah Buddha. Ba Sangshi, untuk sementara waktu, menyembunyikan naskah-naskah tersebut karena suasana anti-Buddha pada masa itu, tapi mendorong Tri Songdetsen, yang masih kecil, ke arah ajaran Buddha. Pada 761, Tri Songdetsen mencapai masa kedewasaan dan, saat menaiki tahtanya, secara resmi menyatakan dirinya penganut Buddha. Ia lalu mengirim utusan ke Kekaisaran Pala (750 – akhir abad ke-12 M) yang baru saja berdiri di India utara. Ia mengamanatkan kepada utusan itu, diketuai oleh Selnang (gSal121
snang), untuk mengundang guru Buddha Shantarakshita, Kepala Wihara Nalanda, ke Tibet untuk kali pertamanya. Tak lama setelah kedatangan kepala wihara India itu, wabah cacar air merebak di Tibet. Golongan yang benci terhadap orang asing dalam mahkamah itu menyalahkan biksu asing tersebut atas wabah itu dan mengusirnya dari Tibet, seperti yang pernah mereka lakukan terhadap biksu-biksu Han Cina dan Khotan di Tibet ketika wabah serupa meletus pada 739. Tri Songdetsen tidak begitu mudah digagalkan dalam keinginannya untuk memperkuat kedudukan agama Buddha di kerajaannya. Ia adalah seorang pemimpin yang berkuasa dan ambisius. Selama pemerintahannya, Tibet menganut kebijakan yang ekspansif dan agresif. Memanfaatkan kelemahan Tang setelah pemberontakan An Lushan, ia merebut kembali banyak wilayah Tibet timur laut yang sebelumnya dikuasai Tang Cina. Ia bahkan sempat menguasai ibu kota Tang, Chang’an, pada 763, tahun setelah qaghan Uigur, Bogu, pindah keyakinan ke Manikheisme.
Tri Songdetsen kemudian pindah ke Terusan Gansu, menghalangi jalan masuk Tang China ke Jalur Sutra, percabangan utara utama yang terletak di antara pos perbatasan Tang di Turfan dan di Kucha. Ini memaksa perdagangan kaum Cina untuk menghindari wilayah kekuasaan Tibet itu dengan memutar ke utara melalui wilayah-wilayah kaum Uighur di Mongolia Tengah. Kaum Tibet lalu memasuki perang segitiga berkepanjangan melawan kaum Uighur dan Tang Cina untuk berkuasa di Turfan dan Beshbaliq, tempat pemerintah Tang tidak memungut biaya apa pun. Perdagangan 122
kaum Cina, yang dialihkan melalui Mongolia tengah, harus melewati dua kota itu untuk mencapai Jalur Sutra utara utama. Dengan kepercayaan diri dan kekuatan yang disokong oleh kemenangan-kemenangan militernya, Tri Songdetsen sekali lagi mengutus Selnang ke India untuk mengundang kembali Shantarakshita. Kali ini, kepala wihara dari India ini mengikutsertakan Padmasambhava (Guru Rinpoche), untuk menjinakkan kekuatan-kekuatan rohani di Tibet yang menentang penegakan agama Buddha.
Pendirian Wihara Samyay Universitas-universitas kewiharaan Buddha India terkemuka di Bihar, seperti Nalanda, perguruan-asal Shantarakshita, menikmati dukungan negara tanpa henti selama beberapa abad, meski melalui beberapa pergantian dinasti politik. Kaisar Harsha (606 – 647) dari Dinasti Gupta terdahulu menempatkan seribu biksu Nalanda di istananya dan bahkan menyentuh kaki biksu Han Cina, Xuanzang, sebagai tanda hormat. Kekaisaran Pala menyokong agama Buddha hingga tingkatan yang jauh lebih tinggi. Kaisar pertamanya, Gopala (750 – 770), mendirikan universitas kewiharaan Buddha Odantapuri, sedangkan kaisar keduanya, Dharmapala (770 – 810), mendirikan Vikramashila dan Somapura. Meskipun Dharmapala memperluas kekaisarannya hingga perbatasan-perbatasan Gandhara di barat dan Bengal di timur, ia tidak pernah melibatkan wihara-wihara Buddha itu dalam perubahan-perubahan politik dan militer negaranya. Ia juga tidak berusaha mengatur mereka. Wihara123
wihara di India utara itu menikmati kebebasan penuh untuk melanjutkan pendidikan keagamaan. Pada 766, Tri Songdetsen, diilhami oleh contoh Kaisar India Gopala, memerintahkan Wihara Samyay dibangun seperti Odantapuri. Ini adalah wihara Buddha pertama di negerinya yang dipersembahkan untuk digunakan khusus oleh kaum Tibet. Selama masa pembangunannya, tujuh pribumi Tibet pertama dinobatkan sebagai biksu dan, saat penyempurnaannya pada 755, lebih dari tiga ratus orang Tibet memperoleh jabatan itu. Sebelumnya, hanya ada beberapa candi Buddha di Tibet dan sedikit bangunan wihara kecil yang dibangun untuk biksu-biksu asing, seperti para pengungsi Khotan dan Han China pada 720. Meskipun biksu-biksu Tibet itu dinobatkan dengan adat India, Tri Songdetsen menerapkan kebijakan perpaduan budaya. Namun, sebagian dari alasannya untuk kebijakan ini barangkali adalah kemanfaatan politik. Ia perlu menyeimbangkan tuntutan dari tiga golongan yang bersaing di dalam mahkamahnya – p ribumi Tibet, pendukung India, dan pendukung Cina. Oleh karena itu, candi utamanya di Samyay ia bangun tiga tingkat, dengan masingmasing tingkat menurut gaya bangunan dari budaya Tibet, India utara, dan Han Cina. Ini mengingatkan pada pendiri dinastinya, Songtsen-gampo, yang mengusahakan keseimbangan serupa dengan menikahi putri-putri dari Zhang-zhung, Nepal, dan Tang Cina untuk tujuan politik.
Hubungan-Hubungan Kebudayaan dengan Cina Meskipun Tri Songdetsen berseteru dengan Cina untuk memperoleh kekuasaan di ujung barat Jalur Sutra, ia sepertinya 124
tidak memiliki prasangka budaya terhadap kaum Han Cina, terutama menyangkut agama Buddha. Tujuan-tujuan militernya terutama bersifat politik dan ekonomi. Setelah pemberontakan An Lushan padam dan kekuasaan kekaisaran pulih, kaisar-kaisar Tang berikutnya tidak hanya mencabut pembatasan-pembatasan yang dijatuhkan pada agama Buddha oleh Kaisar Xuanzong, tapi juga menyokong agama ini. Namun, tidak seperti kejadian di Pala India, umat Buddha Han Cina ini, pada gilirannya, juga mendukung negara ini. Tidak jelas apakah ini berasal dari prakarsa umat Buddha itu sendiri atau dari kebijakan negara untuk memanfaatkan ketenaran agama Buddha untuk memantapkan dukungan bagi pemerintahannya. Yang terakhir ini sepertinya lebih mungkin, mengingat contoh dari pendiri Dinasti Sui yang menyatakan dirinya seorang kaisar chakravarti dan Ratu Tang Wu yang menyatakan dirinya Maitreya Buddha. Pada 766, Kaisar Daizong (memerintah 763 – 780) mendirikan wihara baru di Wutaishan bernama “Candi Megah Keemasan yang Melindungi dari Kekuatan Jahat dan Membela Bangsanya.” Satu naskah Buddha Han Cina baru dan populer terbit, Sutra Raja Bodhisattwa yang Membela Bangsanya. Kaisar Tang itu memberlakukan kembali penindasan terhadap pengikut Manikheisme pada 768 dan 771, untuk melindungi “ kemurnian” agama Buddha dari agama itu yang dicap sebagai tiruan palsu. Perkembangan-perkembangan ini mengikuti pola agama Buddha Cina utara selama Masa Dinasti Enam (280 – 589). Pada saat itu, para penguasa non-Han di Cina utara mengatur secara ketat wihara-wihara Buddha itu dan menyokong mereka untuk menjalankan upacara-upacara keagamaan demi keberhasilan 125
tentara mereka. Biksu-biksu itu, yang memerlukan perlindungan kekaisaran agar dapat bertahan dalam masa-masa genting tersebut, diharuskan untuk mengakui bahwa para penguasa itu adalah Buddha, mengabdi pada pemerintah mereka, dan mempermainkan kemurnian ajaran-ajaran Buddha agar mendukung kebijakan-kebijakan paling kejam sekalipun. Tri Songdetsen tertarik untuk belajar lebih banyak tentang perkembangan-perkembangan terbaru ini di Cina, sesuai dengan kebijakannya untuk menerapkan perpaduan budaya dari adat Tibet, India dan Cina. Sehingga, pada akhir 760-an, ia tidak hanya mengutus Ba Sangshi, tapi juga Selnang pada utusan kedua ke Tang Cina. Sekembalinya mereka, Tri Songdetsen membangun candi Buddha Nang Lhakang (Nang Lha-khang) di Dragmar (Bragdmar). Candi itu terletak di sekitar istana kekaisaran, berdekatan dengan Wihara Samyay, yang masih dalam pembangunan. Candi itu dibangun menurut contoh Candi Megah Keemasan yang Melindungi dari Kekuatan Jahat dan Membela Bangsanya. Maksudnya adalah bahwa agama Buddha menduduki tempat kedua di negara itu, seperti di Han Cina, dan wajib melayani kepentingan-kepentingan kekuatan kekaisaran Tibet yang terus berkembang.
Penyempurnaan Wihara Samyay Samyay selesai dibangun pada 775 dan sang Kaisar menunjuk Shantarakshita sebagai kepala wihara pertama. Namun, Padmasambhava pergi tak lama sebelum penyempurnaannya. Ia merasa kaum Tibet belum siap untuk ajaran-ajaran Buddha yang paling mendalam, terutama mengenai dzogchen (rdzogs-chen, 126
kesempurnaan tinggi). Untuk itu, ia menyembunyikan naskahnaskah tentang ajaran itu di dalam dinding-dinding dan tiang-tiang wihara, untuk pembaruan selanjutnya ketika zaman lebih siap. Guru-guru dari India utara dan Han Cina kemudian diundang ke Samyay untuk membantu menerjemahkan dan mengajarkan naskah-naskah Buddha. Namun, pada awalnya Samyay tidak dipersembahkan secara khusus bagi agama Buddha. Kegiatankegiatannya mencakup ranah kebudayaan yang lebih luas. Guruguru adat pan-Tibet setempat juga hadir untuk menerjemahkan bahan-bahan dari bahasa Zhang-zhung ke bahasa Tibet. Dalam lingkup ini pun, Samyay mencerminkan kebijakan kaisar tentang perpaduan budaya. Pada 779, Kaisar Tri Songdetsen menyatakan Buddha sebagai agama negara Tibet. Ia membebaskan keluarga-keluarga kaya tertentu dari pajak, tapi membebani mereka dukungan keuangan untuk masyarakat wihara yang tumbuh pesat. Dua ratus keluarga menyediakan sumber-sumber tersebut untuk sumbangan candi utama di Lhasa, dan tiga keluarga menyumbangkan persediaan makanan untuk menyokong tiap biksu. Tri Songdetsen mungkin terilhami melakukan gerakan ini oleh contoh Raja Shivadeva II (704 – 750) dari Kekaisaran Licchavi Nepal. Pada 749, raja Nepal ini, meskipun tidak menyatakan Buddha sebagai agama negara, membebani satu desa tersendiri untuk menyokong wihara pribadinya, Wihara Shivadeva. Meskipun raja Maitraka dan Rashtrakuta dari Saurashtra memiliki kebijakan serupa untuk membantu wihara-wihara di Valabhi, sedikit kemungkinan bahwa Tri Songdetsen mengetahui contoh ini. 127
Perdamaian dengan Keagamaan Tibet
Cina
dan
Pembentukan
Majelis
Kaisar Tibet itu, yang masih melanjutkan perpaduan kebudayaan, meminta kaisar Tang yang baru, Dezong (memerintah 780-805), pada 781 untuk mengirim dua biksu setiap tahun dari Han Cina ke Samyay untuk mengajar kaum Tibet. Dua tahun kemudian, pada 783, Tang Cina dan Tibet, setelah beberapa dasawarsa peperangan dengan Turfan dan Beshbaliq, menandatangani sebuah perjanjian damai, membiarkan pasukan Tang menguasai dua kota di Turkistan Timur. Shantarakshita, kepala wihara Samyay dari India itu, meninggal dunia setelah itu, juga pada 783. Sebelum meninggal, ia mengingatkan Tri Songdetsen bahwa, di masa depan, ajaranajaran Buddha akan merosot di Tibet karena pengaruh Han Cina. Ia menyarankan supaya Kaisar mengundang muridnya, Kamalashila, dari India untuk menyelesaikan masalah itu nantinya. Tri Songdetsen menunjuk Selnang untuk menggantikan Shantarakshita sebagai kepala wihara Tibet pertama di Samyay. Pada tahun yang sama, 783, Kaisar mendirikan Majelis Agama yang diketuai oleh Kepala Wihara Samyay, untuk menetapkan semua persoalan agama. Ini adalah awal bentuk pemerintahan Tibet hingga akhirnya memiliki menteri-menteri dari masyarakat awam maupun kalangan biksu. Memahami perkembangannya dalam situasi politik pada masa itu dapat membantu kita memahami mengapa agama Islam tidak menyebar ke Tibet atau negara-negara bawahannya setelah menyerahnya Shah Kabul 128
dan panglima militer Tibet kepada kaum Abbasiyyah tiga dasawarsa kemudian.
Tinjauan tentang Kebijakan Majelis Agama Tibet Terdapat tiga golongan utama dalam mahkamah kekaisaran Tibet pada masa itu – golongan pendukung India, golongan pendukung Tang Cina, dan golongan yang benci terhadap orang asing – yang masing-masing disokong oleh suku tertentu. Selnang adalah anggota suku yang memimpin golongan pendukung India. Setelah dua kali memimpin utusan kekaisaran ke Pala India dan Tang Cina, ia tahu betapa menyenangkan keadaan agama Buddha di India dibandingkan di Cina. Di Pala India, wihara-wiharanya menerima bantuan dari negara dan menikmati kebebasan mutlak, tanpa kewajiban apapun kepada negara. Mereka juga tidak terlibat dalam urusan-urusan pihak lain. Bahkan, sejak kunjungan Selnang, kaisar-kaisar Pala mengirimkan pembayaran-pembayaran penghormatan ke mahkamah Tibet, meskipun penggambaran ini mungkin adalah bentuk yang telah diperhalus dari mengirimkan utusan-utusan perdagangan. Namun, ada harapan bahwa Negara Pala juga akan mendukung perguruan-perguruan Buddha di Tibet. Di Tang Cina, sebaliknya, wihara-wihara Buddha memperoleh dukungan negara hanya setimpal dengan pengendalian pemerintah. Agama Buddha sering memperoleh sokongan dan pengendalian dari pemerintah gabungan di Han Cina, terutama di daerah utara. Namun, sejak pemerintah seringkali diserang dan diruntuhkan, agama ini kerap berada pada situasi tak menentu. Misalnya, Kekaisaran Toba Wei Utara (386 – 535) memiliki kantor pemerintah 129
yang khusus mengatur wihara-wihara Buddha di kerajaannya, dengan seorang biksu kepala yang dipilih oleh kaisarnya. Kantor ini memiliki kekuatan untuk memecat biksu-biksu kotor yang mengumbar ajaran wihara dan menyalahgunakan kedudukan mereka. Seringkali kantor itu menjalankan tugas-tugas pengaturannya sesuai hukum. Namun, ketika pemerintah ada di bawah kendali menteri-menteri yang cemburu terhadap kemurahan kekaisaran terhadap agama Buddha, kantor itu dibubarkan dan penindasan-penindasan kejam terhadap umat Buddha menyusul, misalnya pada 446. Dalam mendirikan Majelis Agama, Tri Songdetsen barangkali mengikuti gaya Han Cina, tapi ia memadukan beberapa unsur India dan Tibet di dalamnya. Sesuai contoh-contoh dari India-Nepal, negara mendukung wihara dengan membebaskan keluargakeluarga tertentu dari pajak tapi menugaskan mereka untuk menyediakan bahan makanan bagi wihara-wihara dan biksubiksunya. Seperti di Han Cina, wihara-wihara itu, sebagai imbal balik, akan menyelenggarakan upacara keagamaan untuk kesejahteraan negara. Ini juga sesuai dengan adat Tibet lama yakni memiliki pendeta-pendeta adat pra-Buddha asli Tibet yang mengabdi di mahkamah kekaisaran, bertugas menyelenggarakan upacara-upacara keagamaan. Seperti pada gaya Han Cina, kantor itu mengatur persoalan-persoalan intern Buddha; tetapi, seperti gaya India, kantor itu memperoleh kebebasan dari peraturan pemerintah. Selnang, sebagai anggota suku utama pendukung India di mahkamah Tibet dan ketua pertama Majelis Agama, tentu saja memiliki ikatan yang lebih erat dengan India dan hubungan yang lebih lemah dengan Tang Cina. Lebih lanjut, ia lebih tertarik untuk 130
menghindari penindasan agama Buddha atau pengendalian pemerintah gaya Han Cina. Namun, Tri Songdetsen baru saja tunduk pada Tang Cina di garis depan politik. Ini memperkuat pengaruh golongan pendukung Cina di mahkamah Tibet. Situasi ini sangat menguntungkan bagi golongan ini untuk mendorong Kaisar agar menjalankan kebijakan gaya Han Cina mengenai pengendalian pemerintah terhadap wihara. Ini juga menguntungkan bagi golongan pembenci orang asing di mahkamah untuk menentang hubungan kuat yang telah terjalin lama dengan Tang Cina dan memulai kembali pembersihan pengaruh asing, termasuk Agama Buddha. Selnang dan Majelis Agamanya perlu untuk bertindak secara cepat dan tegas. Jalan keluarnya adalah memperkuat kedudukan Majelisnya sehingga tidak hanya akan menjadi mandiri, melainkan juga memiliki pengaruh kuat pada pemerintahan itu sendiri. Maka, Selnang meyakinkan Tri Songdetsen agar mengizinkan anggotaanggota Majelis Agama untuk menghadiri seluruh pertemuan kementerian dan memiliki wewenang untuk menolak menterimenterinya. Di bawah bimbingan Kepala Wihara dari Tibet itu, Majelis Agama segera menjadi lebih berpengaruh dibanding Majelis Menteri Kekaisaran itu sendiri.
Pembersihan terhadap Golongan yang Benci Terhadap Hal Asing Sebagai gerakan pertama, pada 784, Majelis Agama itu memulai pembersihan terhadap golongan kolot yang benci terhadap hal asing, mengirim para pemimpinnya ke pengasingan di Gilgit dan Nanzhao (Nan-chao), wilayah yang sekarang Provinsi Yunnan 131
barat laut di Republik Rakyat Cina. Karena golongan ini telah membunuh ayah Kaisar dua puluh sembilan tahun sebelumnya dan memprakarsai enam tahun penindasan agama Buddha, mereka jelas merupakan ancaman terbesar. Catatan sejarah Buddha Tibet abad ke-12 menggambarkan kejadian itu sebagai penindasan terhadap pendeta-pendeta Bon yang menentang agama Buddha. Meskipun kehadiran pengikutpengikut agama Bon nantinya di Gilgit dan Nanzhao menandakan bahwa banyak dari mereka yang dikirim ke pengasingan menganut adat Tibet pra-Buddha, pembersihan itu pada dasarnya politis. Ini bukan berdasarkan perbedaan-perbedaan ajaran agama. Sebelum akhir abad ke-11 M, Bon bukan agama yang tertata dan istilah bon hanya mengacu pada golongan oposisi ini, golongan yang benci terhadap hal asing di mahkamah kekaisaran. Guru-guru agama Buddha dan adat Tibet pribumi telah bekerja berdampingan menerjemahkan naskah mereka masing-masing di Samyay. Namun, karena keadaan politik sangat tidak menentu pada saat ini, Drenpa-namka (Dran-pa nam-mkha’), pemimpin rohani tertinggi dari suku pribumi di Samyay, menyembunyikan salinan sebagian besar naskah kunonya di dalam celah-celah dinding wiharanya. Sejarah-sejarah Bon Tibet selanjutnya, yang mendukung laporan tentang penindasan agama, mengatakan bahwa ia berpura-pura menerima agama Buddha supaya tetap di Samyay dan melindungi naskah-naskah tersebut. Namun, apapun tujuannya, jelas bahwa guru pribumi ini tetap tinggal di wihara. Setelah pembersihan itu, ia mengajar campuran antara ajaran adatnya dan agama Buddha kepada guru-guru Tibet terkemuka seperti penerjemah Vairochana. 132
Sejarah-sejarah keagamaan Bon Tibet dan Buddha seringkali menggambarkan kejadian-kejadian menurut rencana-rencana politik mereka sendiri. Namun, tidak ada sumber Tibet yang mengatakan bahwa Drenpa-namka maupun pelaku-pelaku adat pribumi lainnya dipaksa meninggalkan adat dan kepercayaan mereka dan pindah ke agama Buddha. Yang lebih mungkin terjadi adalah bahwa adat pribumi Tibet dan agama Buddha telah bercampur sejak paling tidak zaman Kaisar Songtsen-gampo. Kaisar Tibet pertama itu memerintahkan pelaksanaan upacaraupacara keagamaan dari dua adat itu, dan Drenpa-namka hanya melanjutkan dan barangkali bahkan melestarikan cara ini. Hubungan saling memengaruhi dalam masing-masing tata agama terhadap yang lainnya tentu akan terjadi dan berkembang disebabkan oleh keberadaan guru-guru rohani dari kedua agama itu di Samyay. Sebagian besar, jika tidak semua anggota golongan politik yang benci terhadap hal asing yang telah dibersihkan dari mahkamah kekaisaran mungkin telah menganut adat pribumi Tibet. Namun, ini tidak berarti bahwa seluruh pelaku upacara-upacara keagamaan maupun semua unsur dari sistem ini dibuang dari Tibet, seperti sejarah-sejarah agama menuntun kita untuk percaya. Pada 821, perjanjian damai kedua dengan Tang Cina diakhiri dengan upacara-upacara keagamaan lengkap dari adat pribumi, termasuk pengorbanan hewan. Pendiri-pendiri agama Bon tertata dan guruguru Bon/Buddha eklektik pada awal abad ke-11 membuka naskah-naskah yang disembunyikan oleh Drenpa-namka. Dua fakta ini jelas menandakan bahwa Majelis Agama Tibet tidak menjalankan kebijakan pemaksaan pindah ke agama Buddha. Ini
133
juga menunjukkan bahwa kepercayaan pribumi terus diterima di Tibet tengah bahkan setelah pembersihan pada 784. Apabila ini memang yang terjadi pada kepercayaan Tibet asli dan kaum pribumi Tibet itu sendiri, kita bisa secara aman menyimpulkan bahwa Majelis itu tidak menekan pemerintah Tibet dalam beberapa dasawarsa berikutnya untuk mendukung pemberontakan-pemberontakan di Sogdiana agar dapat menindas agama asing, yakni Islam, dan agar kaum non-Tibet pindah ke agama Buddha.
Penghalangan Golongan Pendukung Tang Cina Setelah pembersihan pada 784, pemerintah Tibet tinggal memiliki dua golongan yang berlawanan. Beberapa menteri berasal dari suku berkuasa dari Tibet timur laut yang menyokong Tang Cina dan tempat Permaisuri Dowager Trima Lo berasal. Golongan lainnya, yang memuat Selnang, berasal dari suku lawan dari Tibet tengah yang curiga terhadap mahkamah Tang, mendorong untuk melanjutkan perang melawannya, dan mengupayakan hubungan lebih erat dengan Pala India dan Majelis Agama yang kuat. Pada 786, perdamaian yang berlangsung tiga tahun dengan Tang Cina itu berakhir. Kaum Uighur membantu pemberontakan Jucu (783 – 784) menyerang pemerintah Tang, dan kaum Tibet pernah membantu pasukan Tang mengalahkan mereka. Mahkamah Tang berjanji untuk menyerahkan Turfan dan Beshbaliq kepada kaum Tibet sebagai imbalan atas bantuan mereka, tetapi ketika kaisar Tang mengabaikan perjanjian mereka, kaum Tibet menyerang.
134
Selama lima tahun berikutnya, kaum Tibet merebut Dunhuang dari Tang Cina, menyingkirkan pasukan Tang dari persaingan dengan kaum Uighur untuk mendapatkan Turfan dan Beshbaliq, dan menegaskan kembali kekuasaannya di negara-negara lembah sungai Tarim selatan, khususnya Khotan. Kaum Uighur memanfaatkan keadaan ini dan, menghalau bawahan mereka, kaum Karluk, dari Dzungaria dan beberapa wilayah di Turkistan Barat bagian utara, serta merebut Kucha dari Tang Cina. Namun, pasukan Tang terus merongrong kekuasaaan Tibet di Koridor Gansu. Dalam keadaan hubungan Sino-Tibet seperti ini, kaisar Tibet, Tri Songdetsen, mengadakan sidang adu pendapat yang terkenal di Samyay (792 – 794), tempat wakil-wakil aliran Buddha India utara mengalahkan biksu-biksu Buddha Han Cina. Adu pendapat ini akhirnya menentukan untuk selamaya bahwa bentuk utama agama Buddha yang akan diterapkan di Tibet adalah bentuk India utara, bukan Han Cina. Adu pendapat dan hasil serupa berlangsung secara terhormat tentang tata pengobatan yang hendak diterapkan. Namun, perkembangan ini menjadi kemenangan baik untuk pandangan politik golongan anti-Tang Cina maupun untuk ajaran-ajaran filsafat dan laku pengobatan Buddha India. Majelis Agama niscaya mendukung golongan pendukung India daripada golongan pendukung Tang Cina. Selain itu, kenyataannya bahwa Selnang adalah penerjemah pada sebagian besar adu pendapat itu menunjukkan kesempatan yang ia miliki untuk memengaruhi hasilnya.
135
Kesimpulan tentang Kebijakan Tibet di Sogdiana Kaisar Tri Songdetsen purna-tugas pada 797 dan meninggal dunia tahun berikutnya. Ia digantikan anak laki-lakinya, Muneytsenpo (Mu-ne btsan-po, memerintah 797 – 800). Ia, pada gilirannya, digantikan oleh adik laki-lakinya, Tri Desongtsen (Khri lDe-srong-btsan, memerintah 800 – 8 15), juga dikenal bernama Saynaleg (Sad-na-legs). Selama masa pemerintahan Tri Desongtsen ini, Khalifah al-Ma’mun sepenuhnya membenarkan bahwa Tibet adalah bangsa kuat yang menebar ancaman, terutama ketika Tibet dan sekutu-sekutunya menantang Sogdiana dan mendukung pemberontakan. Namun, tinjauannya tentang alasan-alasan Tibet dan pernyataannya bahwa konflik itu merupakan perang suci adalah tidak benar. Setelah membangun kembali kekuasaannya di Turkistan Timur, Tibet tentu mencari cara untuk memperluas wilayahnya ke Turkistan Barat dan oleh karena itu akan berusaha merusuhi pemerintahan musuh-musuhnya. Namun, Tibet tidak tertarik untuk mengganggu agama musuhnya. Majelis Agama para biksu itu sangat berhasrat untuk memperoleh kekuatan intern tunggal di Tibet untuk menjamin pertumbuhan agama Buddha di negeri itu. Setelah membersihkan pemerintahan mereka dari golongangolongan yang akan melawan atau mencoba menguasainya, kegiatan-kegiatan utama golongan ini adalah menyusun kamus untuk membakukan terjemahan dari bahasa Sanskerta ke Tibet dan mengatur naskah-naskah yang hendak diterjemahkan supaya agama Buddha akan mudah dipahami dan tetap murni. Majelis Agama tidak bersangkutan dengan agama lain atau dengan penyebaran agama Buddha di dalam maupun di luar Tibet. 136
Selain itu, dalam mendukung pengikut-pengikut Islam Mussalemiyya dan Syiah Manikheisme asal Sogdiana dalam pemberontakan anti-Abbasiyyah mereka, Tibet sama sekali tidak menunjukkan kemurahan hatinya terhadap sekte-sekte agama mereka. Maklumat-maklumat Kaisar Tri Songdetsen mengenai pemilihan agama Buddha India sebagai andalan Tibet jelas meniadakan Manikheisme. Maklumat-maklumat itu mengulang kritik Kaisar Tang Cina Xuanzong bahwa Manikheisme adalah sebuah tiruan dangkal agama Buddha dan berdasar pada kebohongan.
Kaisar Tri Relpachen Satu dari beberapa alasan utama kaum Abbasiyyah mampu mengalahkan pengikut Tibet, Shah Kabul, pada 851 dan melakukan serangan lebih lanjut ke Gilgit yang dikuasai Tibet pada tahun-tahun berikutnya niscaya adalah kematian Tri Desongtsen pada tahun itu. Kaisar Tibet yang baru, anak laki-laki Tri Desongtsen, Tri Relpachen (Khri Ral-pa-can, memerintah 815 – 836), menaiki takhtanya ketika masih muda dan Tibet tidak memiliki kepemimpinan yang kuat pada masa itu. Namun, tak lama setelah itu, saat Tri Relpachen dewasa, ia menjadi sangat berkuasa dan memperkuat kedudukan agama Buddha lebih jauh lagi. Kaum Abbasiyyah mundur dari Kabul dan Gilgit pada 819, dengan berdirinya negara Tahirid. Pada 821, Tibet menandatangani perjanjian damai kedua dengan Tang Cina dan pada tahun berikutnya mencapai perjanjian serupa dengan kaum Uighur. Kaum Tibet menguasai Koridor Gansu dan Dunhuang, juga Turfan 137
dan Beshbaliq. Dua kota terakhir ini telah beberapa kali berpindah tangan antara kaum Tibet dan Uighur dalam tiga dasawarsa sebelumnya. Terdorong oleh kemenangan-kemenangannya, Kaisar Tri Relpachen membangun banyak candi Buddha baru untuk perayaan perdamaian itu dan memindahkan ibu kotanya dari Lembah Yarlung ke Lhasa, tempat suci utama umat Buddha di Tibet. Menurut sejarah-sejarah lugu Tibet, Tri Relphacen juga mendirikan Dewan Penerjemahan untuk menyusun kamus Sanskerta-Tibet dan membakukan istilah serta gaya terjemahan naskah-naskah Buddha. Sebenarnya, rencana-rencana ini dimulai ketika masa pemerintahan ayahnya, Tri Desongtsen. Namun, sejarah-sejarah lugu itu mengalamatkan mereka kepada dirinya untuk mendukung pengenalan tentang Songtsen-gampo, Tri Songdetsen, dan Tri Relpachen sebagai tiga penyokong utama kekaisaran terhadap agama Buddha pada masa itu dan sebagai penjelmaan sosok-sosok Buddha Avalokiteshvara, Manjushri, dan Vajrapani. Ini menggaungkan sejarah-sejarah yang menganggap tiga sosok Buddha itu sebagai Buddha pelindung bagi Tibet, Cina dan kaum Manchu, dan Mongolia, dan pendiri Gelug, Tsongkhapa (Tsong-kha-pa, 1357 – 1419), sebagai penjelmaan dari ketiganya. Namun, seperti sosok sengit Vajrapani, Kaisar Tri Relpachen menjadi sedikit fanatik dalam semangat keagamaannya. Ia tidak hanya menambah jumlah keluarga yang ditugaskan menghidupi tiap biksu dari tiga menjadi tujuh, menaruh ketegangan yang berat pada ekonomi negara, tapi menetapkan bahwa siapapun yang menudingkan jari secara mengejek kepada biksu maka jarinya akan dipotong. Dengan agama Buddha berada dalam kedudukan sekuat itu dan perhatian kaum Abbasiyyah dialihkan ke tempat lain, 138
perpindahan agama ke Islam oleh Shah Kabul memiliki dampak singkat terhadap penyebaran agama Islam ke Tibet atau negaranegara bawahannya di Kabul atau Gilgit.
139
12. Pembentukan Kerajaan-Kerajaan Buddha oleh Kaum Uighur Penaklukan Mongolia oleh Kaum Kirgizstan Kaum Kirgizstan pada mulanya adalah orang-orang Mongolia yang berasal dari hutan-hutan gunung di wilayah yang kini Altai dan Tuva di Siberia selatan, utara Dzungaria. Beberapa suku mereka juga mendiami daerah-daerah barat Pegunungan Tianshan hingga selatan Dzungaria. Kerajaan Turki Timur meliputi daerah-daerah Altai Kirgizstan kuno, dan kaum Uighur, setelah mengambil alih kerajaan itu, menaklukkan dan menghancurkan daerah-daerah tersebut pada 758. Sejak saat itu, kaum Kirgizstan dan Uighur bermusuhan. Banyak orang Kirgizstan pindah ke wilayah Tianshan barat, tempat mereka bersekutu dengan kaum Karluk, Tibet, dan Abbasiyyah melawan kaum Uighur dan Tang Cina. Sejak paruh kedua abad ke-8 M, jalur perdagangan Tibet-Arab adalah dari Tibet barat melalui Koridor Wakhan ke Baktria barat dan berlanjut ke Sogdiana. Jalur kedua adalah dariTibet timur laut, melewati daerah-daerah kekuasaan kaum Tibet di Koridor Gansu, ke wilayah-wilayah penting Turfan dan Beshbaliq, yang diperebutkan oleh kaum Tibet, Uighur dan Tang Cina hingga akhirnya jatuh pada kaum Tibet pada 821. Jalur ini berlanjut melewati Dzungaria selatan, melintasi lereng barat Pegunungan Tianshan ke Turkistan Barat bagian utara, yang seluruh daerah itu dikuasai oleh kaum Karluk hingga 790-an dan kemudian kaum Uighur, dan akhirnya jatuh pada kaum Sogdiana-jajahan Arab. Perampok-perampok Uighur tak henti-hentinya mengganggu jalur 140
yang melewati Pegunungan Tianshan ini. Kaum Kirgizstan memainkan peran penting dalam menumpas para perampok ini dan menjaga jalur perdagangan ini lancar dan aman. Pedagang-pedagang Tibet di jalur ini adalah penganut Buddha, seperti dibuktikan oleh mantra (kata-kata suci) Buddha yang mereka pahat dalam aksara Tibet pada batu-batu yang ditemukan dekat Danau Issyk Kul di wilayah yang sekarang Kirgizstan timur. Mereka bukan sasaran penindasan atau pelarangan agama di negeri-negeri Muslim di perbatasan barat Jalur Sutra Asia Tengah, jika sebaliknya, mereka tidak akan mengambil resiko menempuh perjalanan itu. Ini merupakan petunjuk lain bahwa jihad pada 815 oleh Khalifah al-Ma’mun melawan persekutuan Tibet-Turki ShahiKarluk-Oghuz diarahkan pada tujuan-tujuan politik, bukan pada perpindahan agama besar-besaran secara paksa terhadap orangorang yang dianggap kafir. Setelah beberapa perjanjian damai dengan kaum Tibet dan Tang Cina pada 821, kaum Uighur berangsur-angsur melemah karena perselisihan intern dan kesulitan-kesulitan yang disebabkan oleh tekanan kaum Tibet dengan membagi wilayah-wilayah mereka di Mongolia dan Dzungaria. Pada 840, setelah musim dingin hebat dengan hujan salju tebal menewaskan sejumlah besar hewan ternak Uighur, kaum Kirgizstan menggulingkan Kerajaan Orkhon di Mongolia, Dzungaria, dan bagian timur Turkistan Barat sebelah utara. Kaum Kirgizstan kemudian memerintah wilayah itu dari markas mereka di Pegunungan Altai sampai mereka digantikan oleh kaum Khitan (Kitan) pada 924.
141
Migrasi Kaum Uighur ke Turkistan dan Koridor Gansu Dengan kaum Kirgizstan mengambil alih kerajaan Uighur, sebagian besar kaum Uighur Orkhon bermigrasi keselatan. Kebanyakan pergi ke Turfan (Qocho), Beshbaliq dan Kucha. Negara-negara kota di sepanjang atau yang berbatasan dengan tepi utara lembah sungai Tarim dengan budaya Tokharia, banyak kaum Sogdiana, dan sedikit kaum Han Cina adalah tujuan utama mereka. Kaum Uighur mempertahankan keberadaan dalam jumlah kecil di Turfan sejak sekitar abad ke-4 M dan sempat menguasainya sebentar antara 605 dan 630-an. Mereka pernah menguasai Turfan dan Beshbaliq pada waktu-waktu tertentu antara 790-an dan 821. Mereka lalu melakukan perjanjian damai dengan kaum Tibet yang kala itu menguasai dua negara-kota tersebut. Selain itu, mereka memiliki keberadaan di Kucha sejak 790-an setelah merebutnya dari Tang Cina. Kucha juga diperebutkan oleh kaum Karluk dari Kashgar dan kaum Tibet dari Turfan, dan tidak jelas siapa yang sesungguhnya memerintahnya pada masa ini. Namun, jika yang berkuasa adalah kaum Karluk, kaum Tibet masih merupakan bawahan kaum Uighur, walaupun peperangan melawan mereka terus terjadi sejak seabad sebelumnya. Kaum Uighur tidak diusir oleh kaum Karluk ataupun tidak ditolak untuk masuk lebih jauh. Sehingga, karena keakraban yang berlangsung lama dengan budaya perkotaan yang lekat di negara-negara oase ini, tidak sulit bagi para pengungsi Uighur untuk pindah ke sana dan beralih dari kehidupan pengembara padang rumput. 142
Di sana terdapat tiga kelompok kecil Uighur Orkhon lainnya yang tidak menetap di negara-negarakota di bagian utara lembah sungai Tarim itu. Kelompok terbesar dari ketiganya bermigrasi ke beberapa negara-kota di Koridor Gansu, yang dikuasai oleh kaum Tibet, dan selanjutnya dikenal sebagai kaum Yugur Kuning. Dari dua kelompok lainnya, satu bermigrasi ke barat dari wilayah timur Turkistan Barat bagian utara yang dikuasai kaum Uighur dan tinggal bersama kaum Karluk di Lembah Sungai Chu di Kirgizstan utara. Satunya lagi tinggal bersama kaum Karluk di Kashgar. Sekelompok kecil pergi ke timur menuju Manchuria, dengan cepat berbaur dan tidak pernah lagi disebutkan dalam sejarah.
Empat kelompok dari suku Uighur menganut agama Buddha setelah bermigrasi. Kelompok di tepi utara lembah sungai Tarim menggunakan bentuk Tokharia/Sogdiana/Han Cina dari Turfan dan Kucha, kelompok di Koridor Gansu menganut campuran Han Cina/Tibet, kelompok di Lembah Chu memakai aliran Sogdiana Turkistan Barat, sedangkan kelompok di Kashgar menganut bentuk Kashgar. Selain kaum Yugur Kuning, semua cabang suku Uighur itu akhirnya pindah ke agama Islam beberapa abad kemudian. Agar lebih memahami lika-liku perpindahan agama kaum Turki itu, mari sekali lagi kita cermati alasan-alasan kaum Uighur berpindah agama, kali ini dari Manikheisme ke agama Buddha. Kita akan memusatkan pembahasan ini pada dua kelompok terbesar, kaum Uighur Qocho (Qoco) dan kaum Yugur Kuning.
143
Kedekatan Terdahulu antara Kaum Uighur dan agama Buddha Sebelum perpindahan kaum bangsawan Uighur Orkhon ke Manikheisme, kaum Uighur telah lebih dulu menganut agama Buddha ketika mereka menguasai Turfan selama awal abad ke-7 M. Serdadu-serdadu dan masyarakat awam Uighur pernah mempertahankan kesetiaan pada agama Buddha sampai tingkatan tertentu selama masa Kekaisaran Uighur Orkhon. Ini dibuktikan oleh retorika anti-Buddha para qaghan Uighur. Namun, naskah-naskah Manikheisme Uighur pada masa ini mengandung unsur-unsur Buddha yang kuat disebabkan latar belakang para penerjemahnya yang berasal dari Sogdiana. Selain itu, tidak semua bangsawan Uighur adalah penganut Manikheisme. Banyak di antara mereka yang menganut kepercayaan Kristen Nestoria. Beberapa bahkan menganut agama Buddha, seperti dibuktikan oleh kaisar Tibet, Tri Relpachen, yang memerintahkan penerjemahan naskah-naskah Buddha dari bahasa Tibet ke bahasa Uighur sesaat setelah perjanjian damai pada 821. Namun, ada beberapa alasan selain kedekatan yang niscaya berpengaruh pada pergantian agama kaum Uighur.
Pecahnya Kekaisaran Tibet Pada 836, empat tahun sebelum kaum Kirgizstan mengambil alih kerajaan Uighur Orkhon, Kaisar Relpachen dari Tibet dibunuh oleh saudara laki-lakinya, Langdarma (gLang-dar-ma, memerintah 836842). Ketika menduduki tahtanya, kaisar baru itu memulai penindasan kejam terhadap agama Buddha di seluruh Tibet. 144
Tindakan ini bermaksud mengakhiri campur tangan Majelis Agama dalam kegiatan politik dan pemborosan dalam bidang ekonomi yang dihasilkan oleh kebijakan Tri Relpachen dalam menciptakan dukungan masyarakat yang sangat besar terhadap wihara. Langdarma menutup semua wihara dan memaksa biksu-biksunya menanggalkan jubah. Namun, ia tidak menghancurkan bangunan wihara-wihara atau perpustakaan-perpustakaan itu. Meskipun terputus hubungan dengan kepustakaan sucinya, agama Buddha tetap lestari pada sebagian besar umat awam Tibet. Pada 842, Langdarma dibunuh oleh seorang biksu yang, menurut seorang cendekiawan, adalah kepala Majelis Agama yang diberhentikan dan mantan kepala biara Samyay. Perang saudara meletus pada pergantian tahtanya, mengakibatkan pecahnya Kekaisaran Tibet. Sampai dua dasawarsa berikutnya, Tibet perlahan-lahan menarik diri dari daerah-daerah kekuasaannya di Gansu dan Turkistan Timur. Beberapa daerah menjadi kesatuan politik yang merdeka – pertama Dunhuang, yang kemudian dikenal sebagai negara Guiyijun (Kuei i-chün, 848 – 890-an) yang dikuasai oleh suku Han Cina setempat, dan kemudian Khotan (851 – 1006) diperintah oleh keturunan rajanya sendiri yang tidak terputus. Di beberapa wilayah lain, kaum Han Cina setempat pada awalnya memegang kekuasaan tapi tidak membentuk pemerintahan yang kuat, misalnya Turfan, mulai 851. Namun, pada 866 kelompokkelompok imigran Uighur di beberapa bekas wilayah kekuasaan Tibet ini menjadi cukup kuat untuk membentuk pemerintahan sendiri.
145
Pembagian Politik Selanjutnya di Turkistan Timur dan Gansu Kerajaan Uighur Qocho (866 – 1209) pada awalnya meliputi wilayah di antara Turfan dan Beshbaliq. Akhirnya ia menjangkau tepi utara lembah sungai Tarimserta Kucha. Bagian timur tepi selatan hingga perbatasan-perbatasan Khotan menjadi negeri tak bertuan, dengan segelintir suku Tibet yang masih mendiaminya. Perdagangan antara Han Cina dan Khotan yang melalui wilayah itu ke barat akhirnya berhenti. Kashgar tetap di tangan kaum Karluk.
Kerajaan Yugur Kuning (866 – 1028) menduduki Koridor Gansu. Guiyijun membantu kaum imigran Uighur itu membangun kerajaannya melalui sokongan militer untuk menyingkirkan sisasisa pemerintahan Tibet. Banyak orang Tibet melarikan diri ke selatan menuju wilayah Kokonor tempat sebagian besar dari mereka berasal dan tempat Kerajaan Tsongka (Tsong-kha) nantinya berdiri. Kaum Yugur Kuning segera menggerakkan sekutu-sekutu mereka di Guiyijun, merebutnya pada 890-an. Satu kelompok lagi, kaum Tangut, bermukim di wilayah itu dan dengan cepat menjadi sebuah kekuatan besar dalam perkembangan sejarahnya. Mereka berhubungan dengan kaum Tibet dan wilayah mereka di Gansu timur memisahkan kaum Yugur Kuning dari kaum Han Cina di Chang’an. Pada pertengahan abad ke-7 M, kaum Tangut meninggalkan tanah kelahiran mereka di wilayah Kokonor karena diserang secara terus-menerus oleh Tibet tengah dan mendapat pertolongan di Gansu timur di bawah perlindungan Tang. Di sana mereka berjumpa dengan agama 146
Buddha untuk kali pertamanya. Jumlah mereka meningkat seabad kemudian karena semakin banyak pengungsi Tangut melarikan diri dari kegiatan militer Tibet di Kokonor setelah pemberontakan An Lushan. Semua wilayah Gansu dan Turkistan Timur tempat budaya Tibet menyebar itu tidak mengalami penindasan agama Buddha yang dilakukan oleh Langdarma. Sebenarnya, banyak pengungsi Tibet penganut Buddha mencari suaka di sana sehingga agama Buddha tumbuh subur di wilayah-wilayah ini ketika kaum Uighur Orkhon datang. Namun, agama Buddha Han Cina adalah bentuk utamanya, tapi dengan pengaruh Tibet yang kuat dan, di Turfan, banyak memuat unsur Sogdiana dan Tokharia.
Penindasan terhadap Agama Buddha di Han Cina Sementara itu, agama Buddha mengalami penindasan yang lebih buruk di Han Cina dibanding di Tibet. Selama abad setelah pembaruan kaisar Tang, Xuanzong, untuk membatasi kekuatan Buddha, wihara-wihara Buddha Han Cina kembali mendapat status bebas pajak. Mereka memperoleh bagian besar dari kekayaan negara, terutama logam-logam mulia yang digunakan untuk patung candi, dan memekerjakan sejumlah besar masyarakat awam di lahan luas yang mereka miliki. Para selir dan kasim pengawal mereka di istana sangat berbakti kepada para biksu dan biksuni, dan memengaruhi para kaisar untuk membiarkan perlakuan berlebihan ini. Ketika Kaisar Wuzong (Wu-tsung, memerintah 841 – 847) menaiki tahtanya, para pejabat istana pengikut Taoisme membujuknya untuk menghapus kebijakan kaisar terdahulu terhadap wihara Buddha. Didorong oleh kecemburuan para pejabat terhadap para 147
selir kerajaan yang memiliki pengaruh pada kebijakan dan oleh keprihatinan mereka pada ekonomi nasional, Wuzong bertindak. Pada 841, ia memerintahkan semua biksu yang menyimpan perempuan dan memperoleh nafkah dari takhayul masyarakat agar diberhentikan, serta semua uang dan harta berlebih milik wihara disita. Dalam melakukan itu, ia menjalankan peran adat kaisar Han Cina utara sebagai pelindung kemurnian ajaran Buddha. Namun, menteri-menteri penganut Taoisme itu tidak puas dengan tindakan Kaisar. Mereka mengusulkan penghapusan semua pengaruh asing di Han Cina dan kembali ke nilai-nilai dan kesusilaan adat. Menganggap tidak hanya Manikheisme dan Kristen Nestorian, tapi juga Buddha sebagai agama asing, mereka bertindak melawan duayang pertama lebih dulu karena jumlahnya di Han Cina lebih sedikit. Pada 843, mereka memengaruhi Kaisar untuk menjatuhkan larangan penuh terhadap Manikheisme dan Kristen Nestorian di kerajaan mereka dan mengusir semua pendetanya. Ini berdampak tidak hanya pada kaum pedagang Sogdiana, tapi juga kaum bangsawan Uighur yang hendak mencari suaka di Han Cina. Pada 845, golongan pengikut Taoisme itu membujuk Kaisar untuk menghancurkan semua – kecuali beberapa – c andi dan wihara Buddha, menyita dan melebur patung-patung yang terbuat dari logam mulia, mengembalikan semua biksu dan biksuni ke kehidupan awam, memberhentikan masyarakat awam yang bekerja di lahan wihara, dan menyimpan semua kekayaan milik wihara.
148
Tinjauan tentang Penindasan itu Patut diperhatikan bahwa penindasan dan pelarangan terhadap agama-agama asing ini tidak pernah sampai pada agama Islam. Masyarakat pedagang Muslim hanya menempati kota-kota pelabuhan di Tenggara. Mereka tidak menjamah Jalur Sutra hingga beberapa abad kemudian. Kaum Sogdiana, Han Cina, dan Tibet menjalankan perdagangan itu, dengan kaum Uighur berhasrat untuk memperoleh bagian. Persaingan itu sengit, dan kenyataan bahwa kekejaman para menteri pengikut Taoisme itu ditujukan tidak hanya pada umat Buddha, melainkan juga pada pengikut Manikheisme dan Kristen Nestorian, mengindikasikan bahwa mereka terutama didorong oleh kepentingan ekonomi. Tibet berada dalam situasi perang saudara dan akan kehilangan kekuasaannya di Gansu dan Turkisatan Timur. Pihak-pihak yang akan bersaing mengisi kekosongan kekuasaan sepeninggal kaum Tibet di Jalur Sutra adalah kaum Uighur dan Sogdiana. Kenyataan bahwa penindasan itu hanya ditujukan pada agama-agama yang dianut kaum Sogdiana, Han Cina, Tibet, dan Uighur – bukan yang dianut kaum Arab atau Persia – menegaskan bahwa sasaran kebijakan para menteri Tang itu adalah Jalur Sutra dan Asia Tengah, bukan Jalur Laut selatan. Jika penindasan agama di Asia Tengah itu tidak dijalankan untuk alasan-alasan politik, itu adalah untuk kepentingan ekonomi, dan kecil kemungkinan untuk alasan rohani atau ajaran agama.
149
Akibat Setelah kematian Wuzong pada 847, kaisar barunya, Xuanzong (Hsüan-tsung, memerintah 847 – 860), menghukum mati tokohtokoh Taoisme itu dan segera mengizinkan pemulihan agama Buddha. Namun, sebagian besar sekte Buddha Han Cina tidak selamat dari penindasan kejam itu. Hanya perguruan Chan (Jepang Zen) dan Tanah Suci dapat pulih; perguruan pertama karena letaknya di daerah pegunungan terpencil di Han Cina barat dan tidak banyak bergantung pada perpustakaan-perpustakaan wihara, dan perguruan kedua karena berasas non-keilmuan dan dikenal luas. Setelah Wangsa Tang melemah hingga kekuasaannya berakhir pada 907 dan Han Cina pecah pada Masa Kekaisaran Lima (907 – 960), kaum Han Cina kehilangan semua pengaruhnya di Asia Tengah. Siasat para menteri pengikut Taoisme untuk menghapus persaingan di Jalur Sutra dan memperoleh keuntungan ekonomi bagi Tang Cina berakhir dengan kegagalan.
Pengaruh Perubahan ini terhadap Perpindahan Kaum Uighur ke Agama Buddha Berikut ini adalah konteks politik dan ekonomi yang mendasari kaum Uighur Orkhon beralih dari Manikheisme ke agama Buddha. Seperti peralihan kaum Turki Timur dari aliran shaman ke agama Buddha dan kembali lagi, dan perpindahan terdahulu kaum Uighur dari aliran shaman ke agama Buddha lalu ke Manikheisme, terdapat tiga alasan utama memengaruhi perubahan dan pemilihan agama ini. Pertama adalah perlu adanya kekuatan pemersatu untuk menghimpun rakyat dalam suatu kekaisaran 150
baru. Kedua adalah pencarian kekuatan gaib untuk mendukung pemerintahan baru tersebut, berdasar pada keberhasilan berbagai agama dalam menegakkan rezim-rezim asing. Ketiga adalah tujuan utama untuk memperoleh keuntungan ekonomi dengan menguasai perdagangan Jalur Sutra. Kaum Uighur Qocho dan Yugur Kuning tidak hanya memulai sebuah kekaisaran baru, tapi juga cara hidup baru sebagai penghuni tetap oase. Manikheisme telah terbukti gagal sebagai agama negara yang mampu memberi kekuatan gaib untuk menopang Kekaisaran Orkhon mereka terdahulu. Mereka memerlukan agama baru untuk menyatukan dan memberi mereka dukungan non-duniawi agar masa peralihan itu berhasil. Kekaisaran Tibet baru saja runtuh dan Tang Cina berada di ambang perpecahan. Kaum Uighur telah berperang melawan keduanya dan tahu kekuatan dan kelemahan mereka. Dari sudut pandang pengembara penganut aliran shaman, bisa dikatakan bahwa kegagalan keduanya itu disebabkan penindasan mereka terhadap agama Buddha. Kaum Tibet dan Tang Cina telah merendahkan dewa-dewi agama Buddha dan kehilangan dukungan mereka. Kekuatan gaib agama Buddha jelas telah terbukti. Seabad sebelumnya kaum Uighur telah menyimpulkan bahwa penaklukan kaisar Tang oleh kaum Abbasiyyah dan pemberontakan An Lushan merupakan akibat dari lemahnya agama Buddha sehingga mereka menggantinya dengan Manikheisme. Namun, rangkaian peristiwa tersebut menunjukkan bahwa penilaian mereka keliru. Selain itu, Tibet dan Tang Cina menjadi terputus dari Jalur Sutra dan terlalu lemah untuk menguasai perdagangannya yang 151
menguntungkan, yang sebagian besar masih berada di tangan kaum Sogdiana. Banyak pengungsi Buddha dari Tibet tengah dan Han Cina, yang lari dari penindasan di negeri mereka sendiri, memadati wilayah-wilayah di sepanjang Jalur Sutra bagian timur, yakni Turfan, Guiyijun, Koridor Gansu, kawasan Kokonor di Tibet timur laut, dan kerajaan Tangut. Ini karena agama Buddha terus tumbuh subur di semua wilayah itu tanpa hambatan pemerintah. Sehingga, agama Buddha niscaya lebih kuat di sepanjang bagian timur Jalur Sutra dibanding Manikheisme atau Kristen Nestorian. Selain itu, Tibet maupun Tang Cina baru saja mengakhiri masa penindasan terhadap agama Buddha, mereka yang menganut agama ini di sepanjang Jalur Sutra tidak memiliki sokongan kuat dari kerajaan. Para biksu dan masyarakat awam akan sama-sama menyambut baik penguasa agamis yang hendak mengambil peran ini. Oleh karena itu, karena agama Buddha memiliki kedudukan kuat dan mapan di Turkistan Timur dan Gansu, tidak hanya di tengah kaum Sogdiana tapi juga masyarakat Asia Tengah lain di wilayah itu, dan karena banyak kaum Uighur telah akrab dengannya, terutama mereka yang sudah tinggal di daerah itu, agama Buddha adalah pilihan logis bagi pemimpin kaum Uighur Qocho dan Yugur Kuning. Menjadi penegak agama Buddha akan menempatkan mereka pada kedudukan terkuat untuk diterima sebagai penguasa dan pelindung Jalur Sutra. Oleh karena itu, penguasa-penguasa dari dua kerajaan tersebut memakai gelar “putra bodhisattwa,” seperti yang pernah dilakukan para penguasa Uighur satu setengah abad sebelumnya ketika mereka menguasai Turfan. Dengan bantuan kaum Sogdiana yang menguasai berbagai bahasa, kaum Uighur mulai menerjemahkan naskah-naskah 152
Buddha ke dalam bahasa mereka, bukan dari terbitan Sogdiana, tapi dari naskah-naskah Han Cina dan Tokharia, meminjam unsurunsur dari terjemahan Turki Kuno. Barangkali, kaum Sogdiana tidak menerjemahkan dari naskah-naskah mereka sendiri karena mereka ingin mempertahankan ciri khas budaya mereka yang unik dan agar tidak hilang dalam budaya Buddha Uighur apabila semua orang mengikuti adat kitabiah yang sama.
Kedudukan Agama Islam pada Akhir Masa Awal Abbasiyyah Pada pertengahan abad ke-9 M ketika khilafah Abbasiyyah mulai kehilangan kekuasaan langsungnya di Asia Tengah, agama Islam masih terbatas di sana hingga Sogdiana. Ini ditemukan pada keturunan Arab dan penduduk setempat yang menerima keyakinan ini tanpa paksaan, tapi karena daya tarik kebudayaan tinggi agama Islam. Ketika kaum Abbasiyyah memulai jihad terhadap Saurashtra dan Kabul, meskipun musuh mereka adalah umat Buddha, perang suci ini tidak mereka tujukan untuk menghancurkan agama Buddha. Dalam dua kejadian ini, para pemimpin Muslim salah mengartikan penegak agama Buddha sebagai kaum pemberontak Musalemiyya anti-Abbasiyyah dan Syiah Manikheisme. Pada umumnya, kaum Abbasiyyah bersikap terbuka terhadap agama Buddha dan memelihara hubungan perdagangan dan kebudayaan dengan negara-negara Buddha. Pada beberapa dasawarsa berikutnya perubahan besar terjadi saat Asia Tengah jatuh di bawah kekuasaan berbagai suku Turki. Beberapa negara Turki itu menggunakan agama Islam karena para pemimpin mereka pernah menjadi komandan tentara budak di bawah kaum Abbasiyyah dan memperoleh kemerdekaan mereka 153
dengan pindah ke agama Islam. Namun, salah satunya, negara bagian Karakaniyyah, secara sukarela menerima agama Islam dengan banyak alasan yang sama seperti beberapa suku Turki, misalnya kaum Turki Timur dan Uighur, yang lebih dahulu pindah agama dan menganut agama Buddha, shamanisme, atau Manikheisme. Yang pertama ada dalam pikiran para penguasa Turki ini adalah persoalan kekuatan gaib untuk mendukung negara mereka dan taktik geopolitik untuk memperoleh kekuasaan dalam perdagangan Jalur Sutra. Penyebaran agama Islam lebih lanjut ke Asia Tengah dan India serta hubungannya dengan agama Buddha di dua wilayah itu akan menjadi lebih mudah dipahami dalam konteks itu.
154
Bagian III: Penyebaran Islam di antara dan oleh Bangsa Turki (840 – 1206 M) 13 Pembangunan Kekaisaran-Kekaisaran Baru di Asia Tengah Pendirian Kekaisaran Karakhaniyyah Ketika orang-orang Turki Uighur Orkhon didesak keluar dari Mongolia karena pengambil-alihan kekuasaan oleh kaum Kirgizstan pada 840 M, mereka kehilangan kepemilikan atas gunung dewi-bumi Otukan yang terletak dekat bekas ibukota mereka, Ordubaliq. Menurut kepercayaan-kepercayaan praBuddha dan pra-Mani Tengrian dari Bangsa Turki Tua, siapapun yang menguasai gunung ini merupakan penguasa teoretis atas seantero dunia Turki. Hanya ia dan keturunannyalah yang memiliki wewenang rohani untuk menyandang gelar qaghan, dan hanya suku-bangsanyalah yang dapat menyediakan para pemimpin politik bagi suku-suku bangsa Turki lainnya. Kuasa rohani (qut) yang mewakili nasib keseluruhan bangsa Turki bersemayam di gunung ini dan akan merasuk ke dalam diri sang qaghan sebagai kuasa utama atau kekuatan wibawa yang menentukan keberhasilan atau kegagalannya. Para penguasa dua kerajaan besar yang dibentuk oleh para pengungsi Uighur, kaum Uighur Qocho di Lembah Sungai Tarim sebelah utara dan kaum Yugur Kuning di Koridor Gansu, tidak memenuhi syarat untuk gelar politik-keagamaan ini karena daerah kekuasaan mereka tidak sampai ke Mongolia. Begitu pula penguasa Mongolia berdarah Kirgizstan itu sendiri, karena orangorang Kirgizstan merupakan sebuah kaum Mongolia dan aslinya tidak berbicara dalam bahasa yang termasuk rumpun Turki. 155
Mereka adalah sebuah kaum dari hutan Siberia, bukan stepa Siberia, dan tidak mempercayai kesucian Otukan. Akan tetapi, terdapat pula sebuah gunung suci kedua, yaitu Balasaghun, yang terletak di Sungai Chu di Kyrgyztan sebelah utara dekat Danau Issyk Kul. Gunung ini telah dikuasai oleh Bangsa Turki Barat yang telah membangun beberapa wihara Buddha di atas lerengnya. Karena gunung tersebut kini berkedudukan di dalam daerah kekuasaan Turki Karluk, pada tahun 840 penguasa Karluk, Bilga Kul Qadyr, menyatakan diri sebagai “qaghan”, pemimpin dan pelindung yang sah atas semua suku-bangsa Turki, dan mengganti nama kekaisaran dan dinastinya menjadi Karakhaniyyah. Tidak lama setelah pendiriannya, Kekaisaran Karakhaniyyah terbelah menjadi dua. Cabang sebelah barat beribukota di Taraz di Sungai Talas dan meliputi kota-negara Kashgar ke arah tenggara, menyeberangi Pegunungan Tianshan di ujung barat dari wilayah Lembah Sungai Tarim. Bagian sebelah timur dari kekaisaran itu, ke arah utara menyeberangi Bentang Kirgizstan, berpusat di sekitar gunung suci Balasaghun di Chu.
Hubungan antara Kaum Karakhaniyyah dan Kaum Uighur Di sepanjang kurun waktu kekuasaan mereka (840 – 1137), kaum Karakhaniyyah tidak pernah melancarkan peperangan melawan para bekas maharaja mereka, kaum Uighur, walau sebelumnya, sebagai kaum Karluk, mereka kerap bertempur. Dua dari empat warga pengungsi Uighur Orkhon berjumlah kecil dan telah menetap di dalam wilayah Kekaisaran Karakhaniyyah – di Kashgar 156
dan di sepanjang Lembah Sungai Chu. Tidak jelas sampai sejauh mana mereka membaur; dan tidak jelas pula apakah mereka bertahan sebagai minoritas asing. Akan tetapi, kaum Karakhaniyyah menjaga persaingan budayawi dengan dua lainnya, yang merupakan kelompok masyarakat yang lebih besar, yaitu kaum Uighur Qocho dan Yugur Kuning. Mereka mencoba menggunakan cara-cara non-militer lainnya untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dari kedua kaum ini. Masyarakat Uighur Qocho menjadi sangat urban ketika hidup di oase-oase sebelah utara dari Lembah Sungai Tarim. Setelah meninggalkan tradisi tempur stepa dan menganut ajaran Buddha, mereka kebanyakan hidup damai dengan kerajaan-kerajaan sekitar. Orang-orang Yugur Kuning juga menjadi urban ketika hidup di berbagai negara-kota di Koridor Gansu. Mereka juga menjadi penganut Buddha, tapi hampir terus-menerus berperang dengan para jiran, orang-orang Tangut, yang hidup di timur mereka, yang berulang-kali mengancam mereka. Kedua cabang Uighur ini memiliki hubungan baik dengan Cina Han, karena para penduduk Han setempat di daerah itu telah membantu mereka untuk menggulingkan para penguasa Tibet yang dulu memerintah wilayah tersebut dan membangun kerajaan-kerajaan mereka. Bersama, dua kaum Uighur ini membentuk satu-satunya kelompok kaum Turki pada saat itu dengan sebuah bahasa tulis dan budaya tinggi, yang mereka peroleh dengan bantuan dari para pedagang dan biksu Sogdiana yang hidup dalam lingkungan mereka. Kaum Karakhaniyyah tidak memiliki segala mutu budayawi ini, meski mereka menguasai Kashgar, yang juga didiami oleh orang-orang Sogdiana. Namun demikian, dengan kepemilikan atas 157
Balasaghun, mereka memiliki pendakuan yang kukuh bagi kepemimpinan atas bangsa Turki.
Hubungan-Hubungan Awal antara Kaum Karakhaniyyah dan Tibet Kaum Karakhaniyyah memelihara adat Karluk yang mendukung percampuran antara ajaran Buddha, perdukunan Turki, dan paham Tengri, seperti yang juga dilakukan oleh kaum Turki Barat sebelum mereka. Mereka juga melanjutkan hubungan bersahabat turuntemurun dengan bekas sekutu tempur jangka-panjang yang mereka miliki, Tibet. Tibet, walau secara politis lemah, masih melesakkan pengaruh budayawi yang kuat terhadap wilayahwilayah yang berkedudukan tepat di timur wilayah Karakhaniyyah. Selama lebih dari satu abad setelah pembunuhan Langdarma pada 842, bahasa Tibet merupakan bahasa niaga dan perundingan antarnegara yang digunakan dari Khotan sampai Gansu. Oleh sebab pendudukan Tibet yang panjang di wilayah itu, bahasa Tibet menjadi satu-satunya bahasa umum di daerah tersebut. Banyak naskah-naskah Buddha Cina Han dan Uighur yang dialih-ejakan ke abjad Tibet untuk persebaran yang lebih luas lagi. Dan beberapa dari upaya ini bahkan mendapat dukungan penuh dari keluarga kerajaan Kirgizstan. Sebagai tanda lebih jauh atas pertautan dekat antara kaum Karakhaniyyah dan Tibet, setelah penindasan yang dilakukan Langdarma terhadap ajaran kewiharaan Buddha, tiga biksu inti Tibet berhasil lolos dari penganiayaan karena melarikan diri lewat Tibet barat dan menerima suaka sementara di Kashgar, wilayah kekuasaan Karakhaniyyah. Kaum Karakhaniyyah bertimbang-rasa 158
terhadap penderitaan mereka dan cukup kokohnya ajaran Buddha di wilayah itu membuat mereka merasa aman. Mereka melanjutkan perjalanan ke arah timur, kemungkinan besar lewat tepi sebelah selatan Lembah Sungai Tarim; dan, mengajarkan banyak dari rekan senegaranya di Gansu, mereka akhirnya bermukim di daerah Kokonor di sebelah timur laut Tibet. Di situlah tak lama kemudian Kerajaan Tsongka didirikan. Mereka inilah yang memungkinkan bertahannya silsilah penahbisan biksu-biksu yang kelak dipulihkan di Tibet tengah dari Tsongka satu setengah abad setelahnya.
Kerajaan Saffariyyah Setelah Panglima Tahir mendirikan negara Tahiriyyah di Baktria pada 819, pemimpin Islam setempat berikutnya yang akan menyatakan kedaulatan di bawah kaum Abbasiyyah adalah Yaqub bin al-Saffar, yang membangun Wangsa Saffariyyah (861 – 910) dari kubu pertahanannya di Sistan, Iran bagian tenggara. Yaqub bin al-Saffar merupakan penguasa militer yang teramat berhasrat, yang pada 867 memulai upayanya menaklukkan seluruh Iran. Pada 870, kaum Saffariyyah menggempur Kabul. Di ambang kekalahan, orang terakhir dari para penguasa Sahi Turki yang menganut Buddha dilengserkan oleh menterinya, Kallar, yang merupakan seorang brahmana. Kallar meninggalkan Kabul dan hengkang ke Saffariyyah. Ia kemudian membangun Wangsa Sahi Hindu (870 – 1015) di Gandhara dan Oddiyana. Pemimpin Saffariyyah menjarah isi wihara-wihara di Lembah Kabul dan mengirimkan patung-patung Buddha sebagai piala perang ke kalifah Abbasiyyah di Baghdad. Pendudukan Muslim militan atas 159
Kabul ini merupakan hantaman kuat pertama terhadap agama Buddha di sana. Kekalahan sebelumnya dan pemualafan Shah Kabul pada 815 hanya memberi dentang peringatan kecil pada keadaan agama Buddha secara umum di daerah itu. Kaum Saffariyyah melanjutkan derap penaklukan dan penghancuran mereka ke arah utara, menjatuhkan Baktria dan mengusir kaum Tahiriyyah pada 873. Akan tetapi, kemenangan mereka berumur pendek. Pada 879, para Sahi Hindu kembali berkuasa atas daerah Kabul. Mereka melindungi agama Hindu maupun Buddha di antara rakyat mereka, dan agama Buddha pulih kembali di seluruh wilayah tersebut. Tak lama, wihara-wihara Buddha di Kabul kembali memperoleh kemewahan dan kejayaan masa lampaunya. Asadi Tusi, dalam karyanya Nama Garshasp yang ditulis pada 1048, melukiskan Wihara Subahar yang dibangun oleh kaum Ghazawiyah ketika mereka merebut Kabul dari para Sahi Hindu kira-kira lima puluh tahun sebelumnya. Satu dari kuil-kuilnya memiliki dinding-dinding tegel, pintu-pintu bersepuh emas, lantai-lantai perak, dan di tengah-tengahnya, bertahta patung Buddha yang terbuat dari emas. Dinding-dindingnya dihias dengan lukisan-lukisan planet dan dua belas tanda zodiak, mirip dengan corak Zurvanis yang ditemukan di ruang tahta istana Sassaniyah Iran, Taqdis, berabadabad sebelumnya.
Kerajaan Samaniyyah dan Buyahiyyah Sementara itu, para adipati Persia yang menguasai Bukhara dan Samarkand juga menyatakan kedaulatannya dari Abbasiyyah dan mendirikan Wangsa Samaniyyah (874 – 999). Pada 892, pendiri 160
Samaniyyah, Isma’ili bin Ahmad (memerintah tahun 874 – 907), merebut Taraz, ibukota Karakhaniyyah Barat, dan menyebabkan penguasanya, Oghulchaq, memindahkan ibukota ke Kashgar. Isma’ili bin Ahmad kemudian merebut Baktria dari kaum Saffariyyah pada 903, dan menyebabkan para penguasa lalim mereka mundur ke Iran tengah. Kaum Samaniyyah mengusung pemikiran untuk kembali ke budaya Iran kuno, tapi secara politis tetap setia pada kaum Arab. Mereka adalah yang pertama yang menulis bahasa Persia dalam abjad Arab dan berperan besar dalam pengembangan kesusastraan Persia. Pada puncak kekuasaan kaum Samaniyyah, di bawah kuasa Nasr II (memerintah tahun 913 – 942), kedamaian berbudaya tinggi terjaga di Sogdiana dan Baktria. Kaum Samaniyyah merupakan orang-orang Sunni, namun Nasr II juga berbela-rasa terhadap aliran Syiah dan Isma’ili. Ia juga bertenggang-rasa terhadap ajaran Buddha, seperti terbukti dari kenyataan bahwa pahatan-pahatan bergambar Buddha masih dibuat dan dijual di ibukota Samaniyyah, Bukhara, selama kurunwaktu ini. Kaum Samaniyyah bahkan berbela-rasa pada pengikut aliran Mani yang mengalami banyak penganiayaan, dan banyak yang mendirikan pengungsian di Samarkand selama masa pemerintahan mereka. Satu-satunya kelompok agama yang merasa tidak disambut adalah para penganut aliran Zarathustra, yang merupakan agama pendiri Samaniyyah sebelum pindah ke Islam. Sebagian besar dari mereka berpindah ke India, berlabuh di pantai Gujarat pada 936. Di sana, mereka dikenal sebagai orang Parsi. Tidak lama 161
setelahnya, pewaris tahta Nasr II, Nuh ibn Nasr (memerintah tahun 943 – 954), menindas penganut Islam dari aliran Isma’ili. Sepanjang kurun-waktu ini, para kalifah Abbasiyyah di Baghdad semakin melemah. Tak lama setelah tumbangnya kekuasaan Saffariyyah pada 910, kaum Buyahiyyah membangun kekuasaan wangsa mereka yang menguasai sebagian besar Iran (932 – 1062). Kaum Buyahiyyah adalah orang-orang Syiah yang selama berkuasa mengendalikan para kalifah Baghdad. Akan tetapi, mereka tetap menyokong minat Abbasiyyah dalam hal mempelajari hal-hal dari dunia luar, khususnya ilmu pengetahuan. Pada 970, sekelompok cendekiawan Baghdad yang dikenal sebagai “Saudara-Saudara Kemurnian (Ikhwani’s-Safa)” menerbitkan sebuah ensiklopedia lima puluh jilid yang mencakup semua bidang pengetahuan kiwari, termasuk bahan-bahan yang diterjemahkan dari sumber-sumber berbahasa Yunani, Persia, dan India.
Kekaisaran Khitan Sementara itu, sebuah kekaisaran penting lainnya sedang naikdaun di bagian barat-daya Manchuria, dan segera akan mempengaruhi keseimbangan kekuasaan di Asia Tengah. Ialah kekaisaran kaum Khitan. Apaochi (872 – 926) mempersatukan beragam suku-bangsa Khitan di wilayah tersebut dan menyatakan dirinya sebagai “khan” pada 907, setahun setelah runtuhnya Wangsa Tang Cina. Kaum Khitan mengikuti ajaran Buddha campuran tradisi Cina Han dan Korea beserta bentuk perdukunan yang merupakan budaya asli mereka. Apaochi membangun 162
sebuah kuil Buddha Khitan pada 902 dan, pada 917, menyatakan ajaran Buddha sebagai agama negara.
Kaum Khitan merupakan kelompok masyarakat pertama yang diketahui menggunakan bahasa Mongolia. Mereka memiliki peradaban yang berkembang pesat dengan keterampilan khusus dalam bidang kriya logam. Karena ingin menjaga jati-diri yang khas bagi rakyatnya, pada 920 Apaochi menitahkan pembuatan aksara untuk bahasa Khitan, yang didasarkan pada abjad Cina Han, namun jauh lebih rumit. Di abad-abad setelahnya, aksara ini menjadi landasan bagi tata-tulis Jurchen dan Tangut. Pada 924, Apaochi Khan menggulingkan kekuasaan kaum Kirgizstan dan menaklukkan Mongolia. Akan tetapi, ia berpikiran teramat sangat luas dan bertepa-selira pada para umat ajaran Mani dan Kristen Nestoria yang tersisa di sana setelah kaum Uighur Orkhon angkat kaki dari tempat itu. Ia juga memperluas kekuasaan mutlaknya sampai ke Koridor Gansu dan Lembah Sungai Tarim sebelah utara, dimana kaum Yugur Kuning dan Uighur Qocho menyerah secara damai dan menjadi negara bawahan. Pada 925, ia mengesahkan aksara Uighur sebagai bentuk kedua tulisan Khitan yang lebih sederhana. Ia bahkan mengundang dua kelompok Uighur untuk kembali ke tanah stepa mereka. Akan tetapi, karena telah larut menganut kehidupan kota yang tetap dan mungkin juga karena takut Khitan akan sepenuhnya mengambil alih Jalur Sutera jika mereka tidak ada, kaum Uighur dan Yugur sama-sama menolak undangan itu. Kekaisaran Khitan meluas ligat ke berbagai arah. Tak lama berselang, mereka menaklukkan seluruh Manchuria, sebagian 163
Korea sebelah utara, dan sebagian besar wilayah Cina Han bagian timur laut dan utara. Para penerus Apaochi menyatakan berdirinya Wangsa Liao (947 – 1125), yang merupakan pesaing dan musuh tetap dari Wangsa Song (Sung) Cina Utara (960 – 1126). Wangsa Sung ini berhasil menyatukan kembali wilayah Cina Han yang tersisa setelah setengah abad pemecah-mecahan. Walaupun kaum bangsawan yang menduduki wilayah Cina Han telah men-cina-kan diri mereka, orang-orang Khitan yang tinggal di luar Cina Han tetap menjaga adat-istiadat dan jati diri budayawi mereka. Para penguasa Khitan selalu memelihara istana kerajaan dan pusat kekuatan tempur mereka di Manchuria barat daya. Mereka hanya sekedar saja menjalankan upacara Konghucu. Alihalih, mereka lebih memilih mengikuti adat-istiadat Buddha yang telah mereka campur dengan keyakinan syamanisme asli. Lambatlaun, nilai-nilai ajaran Buddha jadi lebih menonjol. Upacara pengorbanan manusia terakhir yang tercatat dilaksanakan di sebuah permakaman kerajaan Khitan terjadi pada 983. Kaisar Khitan, Xingzang (Hsing-tsang), menganut aturan-aturan Buddha pada 1039 dan melarang pengorbanan kuda dan sapi pada upacara pemakaman di tahun 1043. Karena kaum Khitan telah akrab dengan ajaran Buddha Cina Han selama berabad-abad sebelum menyatakan wangsa mereka dan juga sebab kepustakaan Buddha terlengkap ditulis dalam bahasa Cina, peradaban Han dengan cepat membayangi unsur-unsur Uighur sebagai pengaruh asing utama dalam masyarakat Khitan. Kaum Uighur Qocho dan Yugur Kuning semakin merasa terasing. Kemudian, sembari mempertahankan hubungan diplomatis dan dagang dengan para maharaja mereka, orang-orang Khitan, mereka menjalani jalur yang lebih berdaulat. Akan tetapi, mereka 164
tidak pernah memberontak; mungkin dikarenakan oleh beberapa alasan. Khitan memiliki keunggulan tempur. Bukan hanya tak mampu mengalahkan mereka, kaum Uighur dan Yughur sebaliknya dapat mengambil keuntungan dengan menjadikan mereka pelindung. Lebih jauh lagi, kedua kelompok masyarakat Uighur, meski telah menganut ajaran Buddha, tetap saja masih memalingkan mata pada Gunung Otukan suci di Mongolia, yang dikuasai Khitan, dan mereka tidak ingin sama sekali kehilangan pertalian dengan gunung tersebut. Agama Buddha Uighur, seperti bentuk pendahulu (Turki Tua) dan kerabat sezamannya (Khitan), menggabungkan unsur-unsur Tengrian dan syamanisme ke dalam keyakinan tersebut.
165
14 Berdirinya Dua Negara Islam Turki yang Pertama Kaum Karakhaniyyah Pindah ke Islam Selama tahun 930an, Nasr bin Mansur, seorang anggota penting dalam keluarga kerajaan Samaniyyah, membelot ke Karakhaniyyah Barat dan dilantik sebagai adipati Artuch, sebuah daerah kecil di utara Kashgar. Tak diragukan lagi ia mencoba untuk menyusup ke belakang garis Karakhaniyyah untuk mempermudah perluasan Kekaisaran Samaniyyah lebih jauh lagi. Sebagai umatMuslim yang taat, Kekaisaran Samaniyyah memerintahkan dibangunnya sebuah mesjid di Artuch, mesjid pertama di Lembah Sungai Tarim. Ketika Satuq, keponakan laki-laki dari penguasa Karakhaniyyah Barat, Ogulchaq, mengunjungi wilayah tersebut, tumbuh minat dalam dirinya terhadap agama baru itu; dan ia pun memeluk Islam. Menurut catatan-catatan sejarawi Islam, ketika Satuq mencoba untuk meyakinkan pamannya untuk pindah agama juga, pamannya menolak. Penolakan ini menyebabkan benturan berkepanjangan di antara keduanya. Si keponakan pada akhirnya menggulingkan si paman dari kedudukannya dan kemudian menyandang gelar Satuq Bughra Khan. Dengan dinyatakannya Islam Sunni sebagai agama negara, kaum Karakhaniyyah Barat dari Kashgar menjadi suku-bangsa Turki pertama yang secara resmi memeluk keyakinan Muslim. Ini terjadi pada akhir tahun 930an.
Telaah terhadap Alasan-Alasan Pindah Agama Walaupun semangat keagamaan mungkin mendorong Satuq dalam melakukan tindakan-tindakannya, tak diragukan lagi ia punya alasan tambahan – cita-cita kekuasaan. Supaya mampu 166
mencapai tujuannya menguasai Karakhaniyyah, ia menyekutukan diri dengan penyusup Samaniyyah yang juga memiliki tujuan yang sama. Untuk memperoleh kepercayaan darinya, Satuq perlu siasat. Orang-orang Samaniyyah dari Iran telah mengikuti adat-istiadat Abbasiyyah Arab dalam hal menjadikan masyarakat suku Turki sebagai budak dan mewajib-militerkan para ksatrianya ke dalam pasukan tempur mereka. Walau kaum Samaniyyah sangat bertepa-selira terhadap agama-agama lain, akan tetapi mereka menawarkan kebebasan bagi para budak ini jika mereka pindah ke agama Islam. Lebih dari seribu orang Karakhaniyyah di wilayah kekuasaan Samaniyyah telah berpindah agama karena alasan ini. Jika Satuq dan para pengikutnya dengan sukarela masuk Islam, ia akan dengan mudah memperoleh kepercayaan dari kaum Samaniyyah dan persekutuan tempur pun sudah pasti terbentuk. Lebih jauh, jika Satuq memiliki geloranya sendiri untuk membalikkan keadaan atas hilangnya wilayah kekuasaan Karakhaniyyah Barat dan membina kaum Turki ke dalam satu kekuatan kedaerahan, langkahnya akan dipermudah oleh pemersatuan rakyatnya ke dalam sebuah agama baru. Ini merupakan pola keberhasilan Tibet, Turki Timur, dan Uighur di masa lampau, yang telah teruji oleh waktu. Gabungan antara ajaran Buddha dan mazhab syamanisme telah gagal menyediakan dukungan gaib bagi pamannya untuk mempertahankan kuasa atas tanah-tanah di sepanjang Pegunungan Tianshan; sementara, dengan Islam sebagai latar mereka, kaum Samaniyyah berhasil memperoleh kemenangan. Keputusan untuk memilih agama baru menjadi semakin terang-jelas. 167
Kaum Uighur Qocho kini tumbuh subur sebagai penjunjung agama Buddha dan tuan dari cabang utara Jalur Sutra lewat Lembah Sungai Tarim. Sepupu suku mereka, kaum Yugur Kuning, yang juga merupakan penganut Buddha yang kuat, mengendalikan Koridor Gansu dimana, setelah cabang utara dan selatan bertemu di Dunhuang, Jalur Sutra menyalur ke Cina Han. Untuk menggalang suku-suku bangsa Turki di belakang cita-citanya, menjauh dari kaum Uighur, Satuq membutuhkan agama yang bukan hanya berbeda dari agama Buddha. Ia membutuhkan sebuah agama yang akan mengizinkannya untuk membuka kembali cabang selatan pengganti dari jalur tersebut dan menggeser pusat perhatian kendali perdagangan dari kawasan timur ke kawasan barat. Karena ujung Jalur Sutra sebelah barat di Sogdiana berada di tangan penganut Islam, Satuq tampak seperti berencana untuk menaklukkan Sogdiana. Kemudian, bergerak ke arah timur dari Kashgar, ia dapat menggunakan Islam untuk membina persatuan budaya di sepanjang cabang selatan jalur dan terus sampai ke Koridor Gansu, dengan dirinya sendiri sebagai pelindung dan maharaja. Persis seperti kaum Uighur yang menggunakan bendera Buddha untuk memenangkan dan mengatur-ulang kekuasaan mereka di cabang Tarim utara dari Jalur Sutera, untuk cabang selatan, Satuq rupanya berharap memperoleh pencapaian yang sama bagi kaum Karakhaniyyah di bawah panji Islam. Akan tetapi, pertama-tama ia membutuhkan gunung suci orang Turki untuk mengalihkan keuntungan gaib ke sisinya supaya mampu menggalang kaum-kaum Turki di belakangnya.
168
Peneguhan Negara Islam Karakhaniyyah Pada 942, Satuq Bughra Khan, dengan bantuan sekutu-sekutu Samaniyyah-nya, mencoba untuk menaklukkan Karakhaniyyah Timur dan merebut kendali atas Balasaghun. Karena gagal, ia kemudian balik melawan kaum Samaniyyah sendiri, dengan membantu kelompok-kelompok penentang setempat untuk merongrong kekuasaan mereka di Sogdiana. Ini merupakan bukti tambahan bahwa cita-cita politik merupakan dorongan yang lebih kuat dibanding dengan perasaan-perasaan persaudaraan agamawi yang mungkin ia miliki terhadap kawan-kawannya sesama Muslim. Selama dasawarsa-dasawarsa berikutnya, para penerus Satuq tidak hanya memenangkan Balasaghun dan menyatukan kembali kaum Karakhaniyyah, tapi juga merebut Samarkand dan Bukhara dari tangan kaum Samaniyyah. Sebagai para maharaja dan pelindung gunung suci orang Turki, mereka menyandang gelar qaghan pada akhir abad tersebut. Mereka kini dapat mengalihkan perhatian pada tujuan utama mereka, cabang Tarim selatan dari Jalur Sutera.
Bangkitnya Kaum Ghaznawiyyah dan Jatuhnya Kaum Samaniyyah Pada 962, Alptigin, seorang kepala pasukan tempur berdarah Turki, yang diperbudak di bawah kendali kaum Samaniyyah dan memperoleh kemerdekaannya dengan cara memeluk agama Islam Sunni, merebut Ghazna dari tangan para tuannya di daerah Afghanistan sebelah tenggara sekarang. Menantunya, Sabuktigin 169
(memerintah tahun 976 – 997), kemudian mendirikan Wangsa Ghaznawiyyah yang berdaulat di sana (976 – 1186), setia hanya kepada istana Abbasiyyah. Daerah kekuasaannya ini adalah negara Turki Islam ke dua yang bangkit di Asia Tengah. Ia menaklukkan Lembah Kabul, merebutnya dari penguasa Sahi Hindu, Jayapala (memerintah tahun 964 – 1001), yang menyebabkan terdesaknya kaum Sahi Hindu kembali ke Gandhara dan Oddiyana, dan memperluas kekuasaannya sampai sejauh Iran sebelah timur laut. Ia juga menyerang Sindh dari Mukran (Baluchistan) dan mencaplok beberapa dari wilayah kekuasaannya di bagian barat. Kaum Samaniyyah Persia terperosok lebih jauh lagi kekuasaannya dan akhirnya terguling pada tahun 999. Para tentara budak berkebangsaan Turki yang bekerja untuk mereka, yang lebih suka tata-cara kesukuan mereka sendiri, membantu kaum Ghaznawiyyah dan Karakhaniyyah untuk melengserkan mereka dari tahta kuasa. Putra dan penerus Sabuktigin, Mahmud dari Ghazni (memerintah tahun 998 – 1030), berbagi tanah Samaniyyah yang tersisa di Sogdiana dan Baktria dengan Qaghan Karakhaniyyah. Ia juga mengambil-alih Khwarazm – yang merupakan wilayah Turkmenistan bagian barat laut dan Uzbekistan bagian barat sekarang – dan sebagian besar wilayah Iran.
Meski berkebangsaan Turki, Mahmud memuliakan Kekaisaran Sassaniyah Iran dan melindungi tradisi budayanya, seperti yang juga dilakukan oleh kaum Samaniyyah sebelum dirinya. Ia memanggil para sarjana dan penulis Persia ke Ghazna, termasuk 170
di dalamnya yang berasal dari Khwarazm, misalnya, Abu Raihan Muhammad ibn-I-Ahmad al-Biruni (973 – 1048) yang melayani sebagai ahli perbintangan kerajaan. Ia mendorong penggunaan bahasa Persia di wilayah manapun yang telah ditaklukkannya dan tak pelak ia pun menyanjung corak-corak pelukisan planet dan tanda zodiak Sasaniyah Iran yang terdapat di dinding-dinding Wihara Subahar yang ditemukan ayahnya di Kabul. Oleh karena itu, walaupun kerajaan-kerajaan Turki Islam kini menguasai Sogdiana dan Baktria untuk pertama kalinya dalam sejarah, nada dari masing-masing kerajaan ini berbeda. Kaum Karakhaniyyah merupakan penjunjung tradisi Turki, sementara kaum Ghaznawiyyah lebih menaruh hati pada budaya Iran. Para pemimpin kaum Karakhaniyyah secara sukarela menjadi mualaf untuk alasan ekonomi dan politis, sementara para pemimpin kaum Ghaznawiyyah menjadi mualaf untuk memperoleh kemerdekaan nisbi sebagai para kepala militer budak yang melayani sebuah pemerintahan Muslim asing. Masing-masing menyebarkan Islam sampai melewati Turkistan Barat selama laju perluasan tempur mereka – kaum Karakhaniyyah ke bagian-bagian wilayah Turkistan Timur, sementara kaum Ghaznawiyyah ke India sebelah utara. Mari kita telaah corak-corak alasan mereka untuk menilai apakah upaya-upaya mereka merupakan bagian dari perang suci yang sesungguhnya melawan agama-agama atau istilah jihad itu sekadar sebutan yang sebetulnya memiliki ciri kepentingan politik dan ekonomi di dalamnya.
171
15 Pawai Tempur Qarakhaniyah Melawan Khotan Utusan-Utusan Khotan ke Cina Han Khotan, terbentang ke sebelah timur dari benteng pertahanan Qarakhaniyah di Kashgar, merupakan sebuah negara Buddha yang kaya. Tambang-tambangnya adalah sumber utama batu giok bagi seluruh bentangan wilayah di sepanjang Jalur Sutera, khususnya Cina Han. Sesekali waktu, raja-rajanya bahkan mengunjungi Cina Han, contohnya pada 755 untuk menawarkan bantuan pasukan tempur untuk memadamkan pemberontakan An Lushan. Akan tetapi, sejak Tibet menegaskan kembali kekuasaannya atas Khotan pada 790, seluruh hubungan antara istana Khotan dan Cina han berakhir. Khotan tidak berupaya untuk membangun kembali hubungan ini bahkan ketika mereka merebut kembali kemerdekaan pada 851. Jalur dagang di seberang tepi sebelah utara Lembah Sungai Tarim telah disalah-gunakan selama hampir satu setengah abad, dan suku-suku bangsa Tibet yang bermukim di sepanjang jalur itu kerap menyerbu Khotan. Akan tetapi, pada 938, tak lama setelah Satuq Bughra Khan merebut tahta kekuasaan dari Qarakhaniyah, raja Khotan mengirimkan upeti dan utusan dagang ke Cina Han lewat jalur Tarim sebelah selatan ini. Meski Cina Han memiliki kelemahan karena terbagi-bagi ke dalam beberapa kerajaan selama berkuasanya Kurun-Waktu Lima Wangsa (907 – 960), Khotan merasakan tekanan perlunya membangun kembali hubunganhubungan yang pernah ada. Secara pasti, raja terdorong untuk mengambil langkah ini karena merasa terancam oleh kemelut politik yang bergemuruh di barat, di Kashgar.
172
Walaupun tidak berdagang langsung dengan Cina Han selama satu setengah abad sebelumnya, Khotan masih terlibat dalam sejumlah besar kegiatan niaga dengan daerah-daerah lain. Meski demikian, semua jalur dagang dari Khotan pasti melewati Kashgar untuk menuju ke arah Turkistan barat atau Lembah Sungai Tarim sebelah utara, atau melewati Yarkand untuk menuju ke Kashgar untuk menyeberangi Pegunungan Karakorum ke Kashmir dan dataran-dataran India. Jika Kashgar dan lingkungannya secara politik goncang dan tidak aman untuk lalu-lintas niaga, akan sulit bagi Khotan untuk bertahan secara ekonomi. Ini tentunya merupakan salah satu alasan utama untuk terlebih dahulu membuka kembali cabang Tarim sebelah selatan dari Jalur Sutera menuju Cina Han – untuk membangun ulang sebuah pasar pengganti bagi batu giok dan barang-barang lainnya dari Khotan. Karena bangsa Qarakhaniyah kemudian menjalankan kebijakan perluasan wilayah, orang-orang Khotan tentu merasa bahwa wilayah kekuasaannya terancam pula. Oleh karena itu, satu lagi alasan tambahan bagi hubungan dengan Cina Han adalah harapan untuk pembaharuan persekutuan tempur seperti yang pernah kerap dinikmati kedua negara tersebut di masa lampau. Dari pembukaan kembali jalur dagang Tarim sebelah selatan sampai tahun 971, Khotan melakukan banyak pengutusan ke istana-istana Cina Han dengan membawa serta hadiah-hadiah batu giok dan mencari perlindungan untuk kesatuan wilayah kekuasaan mereka. Terlepas dari manfaat-manfaat dagang, ternyata tidaklah pernah mereka menerima satu pun bantuan tempur dari sekutu terdahulu mereka ini, bahkan setelah penyatuan kembali Cina Han pada tahun 960, yang disertai dengan pendirian Wangsa Song Sebelah Utara. 173
Pasukan tempur Song Sebelah Utara sibuk dengan perang yang hampir tanpa henti melawan bangsa Tangut, yang tinggal tepat di sebelah barat mereka. Walaupun perjalanan dari Cina Han ke Asia tengah dapat melipir dari perseteruan tersebut dengan cara melewati sudut sebelah tenggara Tsongka dan lanjut ke arah utara ke Koridor Gansu, Song Sebelah Utara terlalu lemah untuk mengalihkan perhatian dari perseteruan Tangut dan melancarkan campur-tangan militer langsung di Turkistan Timur. Khotan terpaksa harus menangkis setiap serbuan yang mungkin terjadi tanpa bantuan bangsa Cina Han.
Kedudukan Agama Buddha di Khotan Pengutusan-pengutusan upeti dan dagang yang dilakukan Khotan ke Cina Han sebagian besar disertai oleh biksu-biksu Buddha. Ini merupakan adat yang lazim di negara-negara Buddha, karena para biksu kerap kali merupakan anggota masyarakat yang berpendidikan paling tinggi dan melek huruf. Negara sering melibatkan mereka untuk tujuan-tujuan perundingan antarnegara. Pada umumnya, kegiatan Buddha sangatlah kuat terasa di Khotan pada masa ini. Raja Khotan, Visha Shura (r. 967 – 977) menaja sejumlah besar penerjemahan naskah-naskah Buddha berbahasa Sanskerta ke dalam bahasanya dan mengirimkan banyak guru Buddha ke bangsa Uighur Qocho. Walaupun Khotan telah mulai menerjemahkan naskah-naskah Buddha ke dalam bahasa mereka pada pertengahan abad keenam, pada saat yang bersamaan dengan bangsa Tokharia melakukan hal yang sama, upaya-upaya paling luar biasa dalam hal pengerjaan itu terjadi pada masa ini. 174
Pernyataan Perang Suci Menurut sebuah catatan sejarawi Islam, masyarakat asli Kashgar, yang bukan merupakan masyarakat berkebangsaan Turki, menolak pindah ke keyakinan bangsa Qarakhaniyah. Mereka didukung oleh rekan-rekan mereka sesama penganut Buddha di Khotan, yang menolong mereka untuk menjatuhkan sementara kekuasaan Muslim Turki pada 971 ketika pasukan perang Qarakhaniyah dipusatkan pada pertempuran melawan bangsa Samaniyah di Sogdia. Empat imam kemudian mengirimkan Yusuf Qadr Khan, saudara laki-laki dari Qarakhaniyah Qaghan, dalam sebuah perang suci untuk merebut kembali Kashgar. Khan tersebut bukan hanya berhasil merebut Kashgar; ia bahkan menekan lebih jauh ke arah timur, menambahkan Yarkand ke dalam wilayah kekuasaan Kekaisaran Qarakhaniyah dan memualafkan orang-orang di sana. Ia kemudian mengepung Khotan selama duapuluh empat tahun. Walaupun ada bantuan yang diterima Khotan dari para penguasa mereka terdahulu dan rekan-rekan sesama penganut Buddha, bangsa Tibet, negara-kota tersebut jatuh pada 1006. Tidak lama kemudian, rakyat Khotan melancarkan perlawanan melawan Islam dan empat imam tersebut menjadi syuhada. Akan tetapi, Yusuf Qadr Khan kembali dari pertempuran dengan bangsa Ghaznaviyah dan menggilas pemberontakan itu. Khotan kemudian diserap ke dalam alam Qarakhaniyah dan sekaligus diislamkan untuk selamanya.
175
Telaah atas Pemberontakan Kashgar Hal ini segera memunculkan sebuah pertanyaan penting. Jika penduduk asli Kashgar yang memeluk ajaran Buddha menolak pindah agama ke Islam di tangan bangsa Qarakhaniyah karena mereka bukanlah bangsa Turki, tidakkah ini menyiratkan bahwa alasan perlawanan mereka bukanlah karena agama Buddha yang mereka anut, tapi lebih karena persoalan asal-usul kesukuan mereka sebagai bangsa Indo-Iran? Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa kaum Turki Qarakhaniyah Buddha penduduk Kashgar tidak menolak pengislaman. Oleh karena itu, tampaknya agama bukanlah persoalan utama. Yang coba digulingkan penduduk asli Kashgar adalah kekuasaan Qarakhaniyah, bukan agama Islam yang dipeluk oleh para penakluk asing tersebut. Meskipun kita menerima bahwa pemberontakan Kashgar pada tataran tertentu didorong oleh alasan-alasan agamawi dan bahwa persekutuan agamawi merupakan anasir penyebab penyerangan orang Khotan dan bangsa Qarakhaniyah di Turkistan Timur, alasan-alasan geopolitik dan ekonomi tak diragukan lagi juga memainkan peranan penting. Pertimbangan tumpangan yang selalu memboboti pengambilan kebijakan oleh hampir seluruh penguasa Asia Tengah adalah angan-angan untuk menguasai atau setidaknya menarik keuntungan dari perdagangan di lahan basah: Jalur Sutera. Gerakan Khotan melawan Kashgar dan langkah-balik bangsa Qarakhaniyah melawan Khotan harus pula dinilai dalam lingkung tersebut.
176
Penilaian atas Penggunaan Cara Perang Suci untuk Menggambarkan Tindakan Khotan di Kashgar Sejarah-sejarah Islam imani menggambarkan peristiwa-peristiwa tersebut seolah-olah Khotan memimpin jihad cara Buddha, sebuah perang suci melawan orang Muslim Kashgar untuk mempertahankan laku keyakinan Buddha murni di sana. Bangsa Qarakhaniyah, dihadapkan pada penindasan Buddha terhadap Islam, secara dapat dibenarkan pada gilirannya menanggapi dengan jihad mereka sendiri, melawan Khotan. Akan tetapi, penjelasan ini bukan hanya bersifat eka-matra, dalam hal bahwa anasir-anasir selain agama tidak dihitung, tapi juga tampak menambah-nambahkan pertimbangan-pertimbangan yang sewarna dengan budaya Islam ke dalam lingkung Buddha, yang sebetulnya tidak berkaitan sama sekali.
Satu-satunya kitab Buddha yang berbicara tentang perang agamawi adalah Tantra Kalacakra. Dalam pandangan seributahunnya atas masa depan, naskah ini meramalkan terjadinya sebuah perang kehancuran pada abad ke-25 Masehi, ketika kekuatan-kekuatan non-India mencoba melenyapkan segala bentuk laku kerohanian. Kemenangan atas mereka akan menjanjikan sebuah zaman emas baru, khususnya untuk ajaran Buddha. Walaupun ditafsirkan juga sebagai panggilan untuk melakukan perjuangan rohani dalam diri setiap orang melawan kekuatan-kekuatan batin dari kegelapan dan kebodohan, naskah tersebut tidak pernah dipahami sebagai anjuran untuk 177
menceburkan diri ke dalam peperangan di luar diri manakala sebuah masyarakat Buddha berada di bawah ancaman. Bahkan ketika orang hendak menafsirkan Tantra Kalacakradengan cara demikian, kuasa-kuasa non-India, yang dipimpin oleh Mahdi, tidak akan mengacu pada umat Muslim secara umum. Meskipun penggambaran kenaskahan atas adat-istiadat kekuatan-kekuatan ini menunjukkan adanya pertalian dengan Islam, seperti penyembelihan ternak yang halal dan sunat, daftar nabi mereka terdiri atas delapan guru. Tujuh di antaranya meliputi daftar baku Syiah Isma’ili, dan tokoh tambahannya adalah Mani, yang mungkin menandakan adanya hubungan dengan berpindahnya umat Mani dan Mani Shiite ke Syiah Isma’ili. Aliran Syiah lainnya, dan juga Sunni, menyatakan bahwa terdapat duapuluh lima nabi dalam daftar mereka, dan Mahdi tidak termasuk di dalamnya, seperti yang terjadi pada daftar Isma’ili. Dari sudut pandang keilmuan Barat, acuan-acuan sejarawi dan setidaknya beberapa pokok lainnya dalam Tantra Kalacakradalam semua kemungkinan pertama sekali dirumuskan di wilayah Kabul dari Afghanistan bagian timur dan di Oddiyana selama paruh kedua abad kesepuluh. Kedua wilayah tersebut, pertama-tama, berada di bawah kekuasaan Shahi Hindu dan kemudian, pada 976, Kabul direbut oleh bangsa Ghaznaviyah. Penyertaan wilayah Kabul sebagai sumber bahan Kalacakra disarankan oleh kenyataan bahwa semesta perlambang (mandala) yang dilukiskan dalam Tantra Kalacakra memuat corak-corak kerajaan Sassaniyah yang ditemukan pada lukisan-lukisan dinding di salah satu kuil Wihara Subahar yang dibangun-ulang di Kabul setelah kekalahan Shahi Hindu dari bangsa Saffariyah pada 879. Ketiganya memiliki sebuah lingkaran perwakilan-perwakilan planet dan tanda zodiak 178
yang mengelilingi sosok bangsawan inti yang dianggap, seperti dalam istana Sassaniyah di Taqdis, sebagai “Raja Ruang dan Waktu” (Zamin o Zaman)”. “Kalacakra” secara harfiah berarti “Kitaran Waktu”, dengan kata “Kitaran” yang adakalanya ditafsirkan dengan makna keluasan semesta. Pada 986, kerajaan Isma’ili Multan (Sindh sebelah utara) menjadi negara bawahan dari Kekaisaran Fatimiyah Ismail (910 – 1171 M), yang didirikan di Afrika utara. Pada 969, bangsa Fatimiyah menaklukkan Mesir dan, dengan ibukota baru mereka di dekat Kairo, dengan cepat meluaskan kekuasaan mereka sampai sejauh Iran sebelah barat. Bangsa Fatimiyah Isma’ili yang mesianis mengancam mengambil-alih dunia Islam sebelum kiamat dan akhir dunia yang telah dinubuatkan akan terjadi pada abad ke dua belas, lima ratus tahun setelah Nabi. Mereka yang berada dalam lingkup politik Abbasiyah, termasuk wilayah Kabul di bawah kekuasaan Ghaznaviyah, takut akan penyerbuan dari bangsa Fatimiyah dan para sekutu mereka. Setelah dicap sebagai pelaku bidah dan ancaman bagi pemerintahan Abbasiyah, para penganut aliran Mani, Syiah Mani, dan penganut Mani yang berpindah ke Syiah Isma’ili melarikan diri dari Kekaisaran Abbasiyah. Masuk akal untuk menduga bahwa banyak dari mereka yang mencari perlindungan di Multan. Karena perpindahan agama ke Syiah Isma’ili memungkinkan terjadinya pembauran, para penganut baru ini boleh menambahkan Mani ke dalam daftar nabi aliran Isma’ili. Oleh karenanya, peringatan Kalacakra tentang penyerbuan tersebut mungkin sekali mengacu pada penganut aliran Isma’ili di Multan, yang dianggap bidah dan bahkan lebih berbahaya lagi sebab memasukkan unsur-unsur aliran Mani di antara keyakinan-keyakinan mereka. Para 179
cendekiawan Buddha Afghanistan pasti telah bertemu dengan penganut Syiah Mani dari istana Abbasiyah ketika bekerja di Baghdad pada akhir abad kedelapan. Sebagai peninggalan masa itu, umat Buddha mungkin salah mengira seluruh umat aliran Isma’ili sebagai penganut baru Syiah Mani.
Dalam hal apapun, Tantra Kalacakra melukiskan para penyerbu ini sebagai musuh laku rohani. Dan ini termasuk laku murni bukan hanya ajaran Buddha dan Hindu, tapi juga Islam, karena naskah tersebut memanggil pengikut seluruh agama untuk menanggalkan perbedaan-perbedaan mereka dan membentuk sebuah barisan bersatu untuk melawan ancaman ini. Di bawah para Shahi Hindu, Lembah Kabul memiliki penduduk yang merupakan campuran dari penganut Buddha, Hindu, dan Muslim Sunni maupun Syiah. Bahkan jika orang mau menanggap Tantra Kalacakra sebagai panggilan untuk pertempuran lapangan melawan seluruh Muslim, bukan hanya unsur-unsur mesianis butanya saja, akan menyalahi zaman kiranya untuk menyatakan bahwa bangsa Khotan terilhami oleh ajaran-ajaran tantra itu lalu mengumandangkan jihad cara Buddha melawan bangsa Qarakhaniyah di Kashgar. Rujukan paling awal yang menunjukkan kehadiran ajaran-ajaran Kalacakra di anakbenua India mengacu pada Kashmir pada akhir abad kesepuluh atau awal abad kesebelas. Sebuah kupasan kritis atas tata meditasi Kalacakra di bab keenam belas dari naskah tantra Shaivite Kashmir, Menyuluhi Tantra-Tantra (Skt. Tantraloka), ditulis oleh seorang pandit dari Kashmir bernama Abhinavagupta. Menurut beberapa cendekiawan, Abhinavagupta menulis naskahnya antara tahun 990 dan 1012 dan ia meninggal pada 180
1025. Akan tetapi, tidak ada pratanda bahwa tata Kalacakra yang lengkap, termasuk ajaran-ajaran tentang penyerbuan itu, tersedia di Kashmir pada masa itu, atau pada masa sebelumnya, tahun 971, ketika Khotan mengirimkan pasukan tempur untuk mendukung pemberontakan Kashgar. Bahkan jika segi ajaran-ajaran Kalacakra ini ada di Kashmir pada masa itu, tidak ada pratanda bahwa Tantra Kalacakra pernah mencapai Khotan, meski terdapat kedekatan letak-tempat antara Kashmir dan Khotan dan terdapat pula pertukaran budaya dan ekonomi. Karenanya, karena ajaran Buddha tidak memiliki adat atau tradisi perang suci (dalam pengertian Islam), lebih mungkin adanya bahwa Khotan menggunakan pemberontakan Kashgar sebagai kesempatan baik melancarkan serangan untuk menjungkirkan kekuasaan Qarakhaniyah. Ini dilakukan untuk menjamin lingkungan politik yang lebih kokoh bagi perdagangan ekonomi di sepanjang kawasan sebelah barat Jalur Sutera. Karena Khotan tidak memiliki masalah dengan pasar Islam bagi barang-barang mereka di Turkistan Barat, tipis kemungkinan bahwa mereka merasa terancam agamanya oleh Satuq Bughra Khan yang menyatakan Islam sebagai agama negara di Kashgar.
Penilaian atas Tindakan Qarakhaniyah sebagai Perang Suci Di pihak Qarakhaniyah, empat imam tersebut tentunya merupakan tokoh sejarah – makam para syuhada ini dimuliakan di Khotan bahkan sampai abad duapuluh. Lebih lagi, mereka mungkin memang terpanggil untuk berjihad, karena menafsirkan dukungan Khotan terhadap pemberontakan penduduk asli Kashgar sebagai sebuah perang suci Buddha. Akan tetapi, sepertinya empat 181
agamawan Islam tersebut tidak memiliki kuasa untuk memprakarsai misi tempur atas wewenang mereka sendiri hanya karena alasan-alasan agamawi. Parah qaghan dan panglima Qarakhaniyah sendiri merupakan pemimpin tempur yang sangat kuat dan, dengan rencana matang pelebaran daerah kekaisaran ke negara-negara Muslim dan tanMuslim, mereka pribadi merancang dan mengarahkan jajaran prajurit mereka. Mereka tidak meluncurkan sebuah perang suci melawan semua tetangga Buddha mereka, contohnya bangsa Uighur Qocho, tapi hanya terhadap Khotan. Maka dari itu, mari kita telaah keadaan kerajaan-kerajaan terdekat agar dapat menilai pertimbangan-pertimbangan kedaerahan yang mungkin telah memicu diambilnya keputusan-keputusan tempur sang Qaghan.
182
16 Kajian atas Pengepungan Khotan Suasana Politik dan Keagamaan di antara Kaum Tangut Dengan didirikannya Wangsa Khitan Liao di Mongolia, Manchuria, dan beberapa bagian Cina Han sebelah utara pada 947, dan penyatuan kembali wilayah Han Cina sisanya oleh Song Sebelah Utara pada 960, kaum Tangut menjadi tertekan baik dari utara maupun timur. Di Gansu sebelah selatan, Ningxia (Ning-hsia), dan Shaanxi (Shan-shi) sebelah barat, mereka menduduki sebuah wilayah penting di gerbang-masuk dari Asia Tengah menuju Chang’an, ujung sebelah timur dari Jalur Sutera, yang dipegang oleh Song Sebelah Utara. Walaupun perdagangan dari barat dapat hindar dari kaum Tangut dengan lewat dari Koridor Gansu melalui Tsongka, jalur tercepat terdapat di wilayah Tangut dan banyak kekuatan yang ingin merebut daerah itu dari mereka. Akan tetapi, kaum Tangut bertahan dari semua serangan. Setelah peperangan yang berlarut-larut melawan Khitan dan Song Sebelah Utara, penguasa Tangut, Jiqian (Chi-ch’ian) (memerintah tahun 982 – 1004), pada 982 mengangkat diri sebagai kaisar pertama dari Wangsa Tangut yang merdeka (982 – 1226), yang dikenal dalam bahasa Cina sebagai Xixia (Hsi-hsia) dan dalam bahasa Tibet sebagai Minyang (Mi-nyag). Selama lima puluh tahun berikutnya kaum Tangut, yang hendak memperluas kekaisaran mereka ke arah barat untuk menguasai lebih banyak wilayah Jalur Sutera, bertempur dalam peperangan yang tak kunjung henti melawan pasukan sekutu tetanggatetangga dekat mereka, kaum Yugur Kuning dan kaum Tibet di Tsongka. Istana Song Sebelah Utara bersahabat dengan kedua kaum ini, dan mencoba merebut hati mereka dari payung pengaruh Khitan. Alhasil, kaum Tangut terus terikat dalam hubungan perang 183
dengan orang Cina Han dan orang-orang Khitan yang terus menebar bahaya di arah utara. Awalnya, ajaran Buddha sampai ke wilayah Tangut dari Cina Tang di abad ke-7. Ketika tiga biksu Tibet yang melarikan diri dari penganiayaan terhadap ajaran Buddha di Tibet oleh Kaisar Langdarma (memerintah tahun 836 – 842) tiba di Tsongka, mereka memberikan arahan-arahan agamawi kepada seorang penganut Buddha setempat, yang mereka beri nama rohani Gewasang (dGe-ba gsang). Kenyataan bahwa pengikut yang ditahbiskan ini lalu pergi ke wilayah Tangut untuk belajar lebih lanjut menunjukkan bahwa ajaran Buddha pada saat itu telah tersebar dengan baik, setidaknya di dalam lingkaran para bangsawannya. Agama adat kaum Tangut adalah sebuah percampuran dari jenis non-Konghucu dari pemujaan leluhur dengan bentuk syamanisme dan ajaran Tengri yang diikuti oleh sebagian besar masyarakat Asia Tengah yang berhubungan dengan stepa-stepa Mongolia. Seperti orang-orang Turki, kaum Tangut juga melakukan pemujaan gunung-gunung suci yang dipercaya sebagai tahta kekuatan para penguasa mereka. Walaupun kaisar Tangut, Jiqian, ketika naik tahta kerajaan, menghargai adat aslinya dengan membangun sebuah kuil para leluhur, yang disambut dengan semarak oleh rakyat, ia juga menghormati ajaran Buddha. Ia, misalnya, menyuruh putranya, Deming (Te-ming) yang kemudian mewarisi tahtanya (memerintah tahun 1004 – 1031), memelajari naskahnaskah Buddha ketika masih kecil.
184
Keadaan di Daerah-Daerah Tibet Sementara itu, Tibet pusat perlahan-lahan pulih dari bentrokan bersaudara yang mengikuti pembunuhan Langdarma di 842. Setelah beberapa pemerintahan lemah dari anak pungut kaisar terakhir dan para penerusnya, pada 929 Tibet dibagi ke dalam dua kerajaan. Yang satu tetap berjalan pada tingkat politik yang lemah di Tibet tengah dan yang lain, Wangsa Ngari (mNga’-ris), berdiri di persada Zhang-zhung di barat. Lambat laun, kedua kerajaan ini menaruh minat untuk memulihkan kembali tradisi kewiharaan Buddha dari biksu-biksu di Tsongka. Ajaran Buddha di Tsongka tetap tumbuh subur, tak terpengaruh dengan penganiayaan yang dilancarkan Langdarma. Pada 930, orang-orang Tibet dari wilayah ini mulai membantu menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa mereka ke bahasa Uighur. Ini terjadi lima tahun setelah kaum Khitan menggunakan aksara Uighur sebagai tata tulis mereka yang kedua dan, oleh karena itu, merupakan kurun-waktu dimana pengaruh budayawi Uighur terhadap masyarakat Khitan mencapai puncaknya. Tidak jelas apakah kerjasama agamawi orang Tibet Tsongka dengan kaum Uighur hanya terjadi dengan jiran dekat mereka di utara, kaum Yugur Kuning, atau juga dengan kaum Uighur Qocho yang tinggal lebih jauh ke barat. Dua kelompok bangsa Turki tersebut memiliki kesamaan bahasa dan budaya. Persentuhan agamawi dan penerjemahan naskah-naskah TibetUighur meningkat selama paruh kedua abad ke-10, khususnya selama kurun ketika Tibet dan Yugur Kuning bersekutu dalam perang melawan kaum Tangut. Peziarah Cina Han, Wang Yande 185
(Wang Yen-te), mengunjungi ibukota Yugur Kuning pada 982, tahun ketika kekaisaran Tangut didirikan, dan melaporkan bahwa terdapat lebih dari lima puluh wihara di sana.
Upaya-Upaya Raja Yeshey-wo untuk Memulihkan Kembali Ajaran Buddha di Tibet Sebelah Barat Silsilah penahbisan kewiharaan Buddha dihidupkan kembali di Tibet tengah pada pertengahan abad ke-10 dari tiga biksu inti Tibet yang pindah dari Tsongka ke Kham. Kemudian, raja-raja Ngari dari Tibet sebelah barat melakukan upaya-upaya luar biasa untuk memulihkan ajaran Buddha bahkan sampai ke tingkat sebagaimana ia sebelumnya. Pada 971, Raja Yeshey-wo (Ye-shes ‘od) mengutus Rinchen-zangpo (Rin-chen bzang-po, 958 – 1055) dan dua puluh satu pemuda ke Kashmir untuk tujuan belajar agama dan bahasa. Mereka juga mengunjungi Perguruan Tinggi Kewiharaan Vikramshila di bagian tengah India sebelah utara. Kashmir, pada saat itu, berada pada tahap akhir dari Wangsa Utpala (856 – 1003) yang berdiri setelah pemerintahan Karkota. Wangsa Utpala telah menjadi saksi atas banyak sekali perang saudara dan kekerasan di Kashmir. Beberapa segi tertentu dari ajaran Buddha telah bercampur dengan aliran Hindu Syiwa. Akan tetapi, pada awal abad ke-10, ajaran Buddha Kashmir menerima dorongan baru kembali bangkitnya nalar Buddha dari perguruanperguruan tinggi kewiharaan India sebelah utara. Kemunduran singkat sempat terjadi selama masa pemerintahan Raja Kshemagupta (memerintah tahun 950 – 958), ketika penguasa Hindu yang bergolak ini menghancurkan banyak wihara. Akan 186
tetapi, pada saat kunjungan Rinchen-zangpo, ajaran Buddha perlahan-lahan mulai dimapankan kembali. Walaupun ajaran Buddha kini telah menjapai titik tingginya di Khotan, yang selama berabad-abad telah berhubungan erat dengan Tibet sebelah barat, perlawanan bersenjata antara Khotan dan Karakhaniyyah telah dimulai di Kashgar pada tahun keberangkatan Rinchen-zangpo. Khotan tidak lagi menjadi tempat aman untuk pembelajaran Buddha. Lebih jauh, orang-orang Tibet ingin belajar bahasa Sanskerta dari sumbernya di anakbenua India dan menerjemahkan sendiri dari bahasa aslinya. Terjemahanterjemahan Khotan atas naskah-naskah Buddha berbahasa Sanskerta kerap berbentuk tafsiran, padahal Tibet, yang diwabahi kebingungan tentang ajaran murni Buddha, menghendaki terjemahan yang lebih tepat-jitu. Oleh karena itu, meski ajaran Buddha berada pada kedudukan yang genting di Kashmir, tempat itu adalah satu-satunya yang secara nisbi aman dan dekat yang bisa didatangi orang Tibet untuk menerima ajaran yang andal. Hanya Rinchen-zangpo dan Legpay-sherab (Legs-pa’i shes-rab) yang selamat dalam perjalanan dan pelatihan di Kashmir dan Dataran-Dataran Gangga India sebelah utara. Sekembalinya ia ke Tibet sebelah barat pada 988, Yeshey-wo telah mendirikan beberapa pusat penerjemahan Buddha dengan para cendekiawan biksu Kashmir dan India yang diutus Rinchen-zangpo kembali ke Tibet dengan sejumlah besar naskah. Biksu-biksu yang diundang dari Vikramashila ini yang memulai garis kedua penahbisan kewiharaan. Di tahun-tahun terakhir abad ke-10, Rinchen-zangpo membangun beberapa wihara di Tibet sebelah barat, yang pada saat itu 187
mencakup beberapa wilayah Ladakh dan Spiti di daerah India lintas-Himalaya sekarang. Ia juga mengunjungi Kashmir dua kali lagi untuk mengundang para seniman untuk menghias wiharawihara ini agar menarik bakti khalayak umum Tibet. Hal ini terjadi meski ada perubahan wangsa di Kashmir, dengan berdirinya garis Lohara Pertama (1003 – 1101). Peralihan wangsa terjadi secara damai dan tidak mengganggu keadaan ajaran Buddha Kashmir. Pengepungan Khotan oleh Karakhaniyyah telah berlangsung pada 982, enam tahun sebelum kembalinya Rinchen-zangpo. Pada saat ia tiba, banyak umat Buddha yang sudah berduyun-duyun ke Tibet sebagai pengungsi, yang tentunya juga mendorong bangkitnya kembali ajaran Buddha di sana. Para pengungsi ini kemungkinan berasal dari Kashgar dan wilayah-wilayah di antara Kashgar dan Khotan yang terbentang di sepanjang garis perbekalan pasukan Karakhaniyyah. Walaupun sebagian besar dari mereka yang melarikan diri pasti telah melewati Ladakh dalam perjalanan ke Tibet, mereka tidak berbelok ke barat dan bermukin di dekat Kashmir; padahal perjalanan ke sana jauh lebih mudah dan pendek. Ini mungkin karena Kerajaan Ngari tampak secara politik dan agama lebih kokoh di bawah pemerintahan dan perlindungan yang kuat oleh Yeshey-wo. Anasir lain yang mungkin ada ialah ikatan-ikatan budayawi yang telah lama tersimpul antara daerah itu dengan Tibet. Pada 821, para biksu Khotan juga melarikan diri ke Tibet sebalah barat mencari perlindungan dari penganiayaan.
Bantuan Tempur Tibet untuk Khotan Kerajaan Ngari Tibet sebelah barat hanya berusia beberapa tahun ketika kaum Karakhaniyyah Kashgar pindah agama dari Buddha 188
ke Islam pada tahun 930an. Setelah bangkit sebagai sebuah kesatuan politik dari pemisahan dengan Tibet pusat karena persoalan pewarisan kekuasaan pada 929, Ngari pada awalnya lemah secara militer. Ngari tak mungkin bermusuhan dengan Karakhaniyyah oleh sebab perbedaan-perbedaan agamawi. Agar dapat bertahan, kerajaan itu harus memelihara hubungan baik dengan para jirannya. Akan tetapi, menurut sejarah-sejarah Buddha Tibet belakangan, penguasa Ngari, Raja Yeshey-wo tergerak membantu Khotan yang sedang dikepung itu pada sekitar peralihan ke abad ke-11. Hal ini tentunya dipicu oleh ketakutan terhadap perluasan kekuasaan Karakhaniyyah yang lebih jauh lagi; dan alasan ini sama kuatnya dengan alasan untuk mempertahankan ajaran Buddha. Walau kaum Tibet dan Karluk/Karakhaniyyah telah menjadi sekutu selama berabad-abad, mereka tidak pernah saling mengancam wilayah kekuasaan masing-masing. Lebih jauh lagi, Tibet selalu menganggap Khotan masuk ke dalam lingkup pengaruhnya yang sah, begitu kaum Karakhaniyyah melangkahi batasan lingkup ini, hubungan kedua negara tersebut berubah. Menurut sejarah-sejarah Buddha tradisional, Raja Yeshey-wo disandera oleh kaum Karakhaniyyah (Tib. Gar-log, Turk.Qarluq), tapi ia tidak mengizinkan rakyatnya untuk membayar tebusan. Ia menganjurkan mereka untuk membiarkannya meninggal di penjara dan menggunakan dana yang terkumpul untuk mengundang lebih banyak lagi guru Buddha dari India sebelah utara, khususnya Atisha dari Vikramashila. Banyak guru Kashmir mengunjungi Tibet sebelah barat pada awal abad ke-11 dan beberapa dari mereka menyebarkan laku ajaran Buddha yang keliru di sana. Karena hal ini semakin memperparah tingkat pemahaman ajaran Buddha 189
yang sudah buruk di Tibet karena penghancuran pusat-pusat kajian kewiharaan pada masa Langdarma, Yeshey-wo hendak menjernihkan kebingungan ini. Ada banyak ketakajegan sejarawi dalam catatan imani tentang pengorbanan Yeshey-wo ini. Pengepungan Khotan berakhir pada 1006, sementara Yeshey-wo mengeluarkan maklumat terakhir dari istananya pada 1027 untuk mengatur penerjemahan naskahnaskah Buddha. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ia tidak meninggal di penjara selama masa perang. Menurut catatan riwayat hidup Rinchen-zangpo, raja meninggal karena sakit di ibukota negaranya sendiri. Akan tetapi, catatan yang diragukan kebenarannya ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa orang-orang Tibet sebelah barat tidak memiliki kekuatan tempur yang hebat pada saat itu. Mereka tidak mampu memberi dampak pada pembebasan Khotan dari pengepungan dan tidak pula memaparkan ancaman yang kuat terhadap perluasan kekuasaan Karakhaniyyah lainnya di sepanjang cabang Tarim sebelah selatan dari Jalur Sutera. Mereka tidak akan mampu membela para pengembara Tibet yang hidup di sana.
Siasat Tempur yang Mungkin Diambil oleh Karakhaniyyah Kaum Uighur Qocho mengendalikan cabang sebelah utara dari Jalur Sutera. Walaupun kaum Turki pesaing ini bukanlah kaum suka-perang, mereka adalah bawahan orang-orang Khitan yang merupakan kekuatan tempur yang diperhitungkan pada saat itu. Jika kaum Karakhaniyyah hendak menyerang alam Qocho di dekat Kucha, misalnya, Khitan pastinya akan ikut terjun ke medan 190
perang. Di lain pihak, Khotan, yang tidak memiliki tradisi tarung yang memadai, jauh lebih rentan. Walaupun telah mengirim utusan ke beberapa istana Cina Han dalam usahanya untuk memperoleh dukungan, negara ini pada dasarnya terpencil. Sukar bagi Ngari untuk memberikan bantuan pertahanan yang mumpuni. Cabang sebelah selatan dari Jalur Sutera, setelah tak terpakai selama hampir satu setengah abad, telah dibuka kembali oleh orang Khotan pada 938 dan kembali menghidupkan perdagangan giok ke Cina Han. Akan tetapi, jalur itu lebih sering ditinggalkan, kecuali bagi beberapa pengembara Tibet, dan pertahanannya pun buruk. Penaklukan rute sebelah utara memerlukan serangkaian pertempuran untuk merebut tiap-tiap oase Uighur Qocho dari Kucha ke Turfan, sementara jalur selatan dapat dimenangkan dengan satu pertempuran saja, yaitu dengan Khotan. Jika kaum Karakhaniyyah dapat merebut Khotan dan menautkannya ke kekaisaran mereka, yang membentang di barat Khotan melewati Kashgar dan terus ke kota-kota utama dari Sogdiana, mereka dengan sendirinya menjadi pemegang kendali atas seluruh cabang sebelah selatan dari Jalur Sutera Asia Tengah sampai sejauh Dunhuang, tempat cabang tersebut bertemu dengan cabang utara. Mereka kemudian akan menguasai sebuah jalur dagang pengganti bagi jalur yang lewat melalui Tarim sebelah utara yang berada di bawah kekuasaan Qocho dan mereka pun akan menuai keuntungan besar, baik secara keuangan maupun dalam hal pamor yang meninggi. Mereka tidak akan perlu melancarkan pawai tempur untuk memenangkan kekuasaan atas Qocho. Alih-alih, mereka dapat menggasak Qocho secara ekonomi dengan menghempaskannya dari perdagangan Jalur Sutera. Akan tetapi, sebuah anasir utama yang dipertimbangkan dalam 191
merumuskan siasat tempur untuk merebut cabang sebelah selatan dari jalur itu ialah seperti apa negara-negara di sebelah timur akan menanggapi desakan dari Karakhaniyyah ini.
Hubungannya dengan Tangut Sejak tahun 890an, ketika mereka menaklukkan negara merdeka Guiyijun, kaum Yugur Kuning telah memerintah Dunhuang di ujung sebelah timur dari jalur Tarim sebelah selatan, titik pertemuan dengan cabang utara. Wilayah kekuasaan Yugur Kuning, di bawah kekuasaan raja Khitan sejak tahun 930an, meluas ke arah tenggara dari sana dan merupakan tempat Koridor Gansu terletak; dan lewat Koridor inilah Jalur Sutera berlanjut. Jalur ini kemudian melintas lewat Gansu sebelah selatan yang dikuasai Tangut sebelum masuk ke Cina Han, atau dialihkan ke arah selatan ke daerah Kokonor, daerah ujung perdagangan Arab-Tibet, yang saat itu dikuasai oleh Kerajaan Tsongka Tibet. Karena Tangut kali ini sudah bersikap sangat bermusuhan dengan Song Sebelah Utara, mereka mencekal semua perdagangan yang mengarah ke Cina Han lewat wilayah kekuasaan mereka; dan mereka menjadi penerima utama dari barang-barang dagang itu sendiri. Jalur dagang ke Chang’an kemudian dialihkan untuk hindar dari kaum Tangut dengan cara lewat selatan dari wilayah kekuasaan Yugur Kuning ke Tsongka dan dari sana ke Cina Han. Karenanya, pada 982, dengan pendirian wangsanya, kaisar Tangut, Jiqian, segera melancarkan perang perluasan untuk merebut wilayah-wilayah kekuasaan Yugur Kuning dan Tsongka, dan memutus semua jalur Song Sebelah Utara ke daerah-daerah Asia Tengah ke barat. 192
Mengikuti siasat kuno “musuh dari musuhku adalah temanku”, kaum Karakhaniyyah dengan cepat membangun hubungan bersahabat dengan Tangut. Kenyataan bahwa Tangut lebih condong ke ajaran Buddha tampaknya tidak menjadi rintangan bagi perundingan-perundingan antarnegara ini. Pertimbanganpertimbangan geopolitik tampaknya lebih berpengaruh dibanding pertimbangan keagamaan ketika perolehan ekonomi sedang dipertaruhkan.
Kesepakatan-Kesepakatan Militer yang Mungkin Dilakukan dengan Tangut Walaupun tidak ada catatan yang jelas, tampaknya beralasan untuk menduga, dari kenyataan bahwa Karakhaniyyah melancarkan pengepungan terhadap Khotan juga pada 982, bahwa Qarakhaniya dan Tangut membuat sebuah kesepakatan. Salah satu kemungkinan ketentuan dalam kesepakatan tersebut ialah jika Tangut tidak menghalangi Karakhaniyyah mengambil alih Khotan dan Tarim sebelah selatan, Karakhaniyyah sebaliknya tidak akan campur-tangan dengan penyerbuan Tangut terhadap sisa wilayah Gansu dan daerah Kokonor. Jika orang Khitan datang membela Yugur Kuning, Tangut akan berada pada kedudukan yang jauh lebih baik untuk mengusir mereka dibanding Karakhaniyyah. Bagi Karakhaniyyah, melancarkan serangan sendirian terhadap Yugur Kuning, dan pada saat yang bersamaan harus melawan Khitan juga, akan sangat sulit karena sukar sekali mempertahankan garis perbekalan pasukan menyeberangi gurun tandus Tarim sebelah selatan.
193
Jika Karakhaniyyah dan Tangut berhasil dalam seranganserangan tempur mereka, mereka akan beroleh kendali tak tersaingi atas Jalur Sutera sebelah selatan dari timur laut Tibet dan batas-batas wilayah Cina Han ke Samarkand, yang secara mantap menghapus bagian dagang Song Sebelah Utara dan Uighur Qocho. Walau para penganut Buddha di Khotan mungkin mendukung perlawanan Kashgar terhadap Islam, ini pastinya hanya menjadi alasan akhlak bagi Karakhaniyyah atas pengepungan mereka terhadap Khotan. Akan tetapi, pada masa itu sebuah negara tidak memerlukan dalih, atau alasan, untuk melancarkan serangan tempur. Juga mungkin untuk menjelaskan rangkaian peristiwa-peristiwa ini tanpa melibatkan dugaan tentang traktat tanpa-agresi Karakhaniyyah/Tangut yang saling menguntungkan ini berkaitan dengan Khotan dan Koridor Gansu. Walau kedua negara akan perlu membagi kendali atas perdagangan Jalur Sutera, Qaghan Karakhaniyyah pastinya juga ingin memasukkan Yugur Kuning ke dalam lingkup pengaruhnya sebagai pemimpin dari semua sukubangsa Turki. Jika pertikaian tempur baik dengan Uighur Qocho atau Yugur Kuning terlalu berisiko karena kemungkinan adanya campur-tangan dari Khitan, ada cara-cara lain untuk memperoleh kesetiaan mereka. Jika, misalnya, Qaghan Karakhaniyyah meraih keberhasilan tempur dan ekonomi dalam menaklukkan jalur dagang Tarim sebelah selatan dan menautkannya dengan wilayah-wilayah kekuasaannya di Turkistan barat, kedua kelompok masyarakat Uighur tersebut akan menjadi yakin atas kekuatan rohaninya yang unggul (qut). Karena mengakui kejayaan sang Qaghan sebagai peragaan yang jelas akan wewenangnya yang pantas atas seluruh 194
kaum Turki sebagai penjaga Gunung Balasaghun yang suci, mereka mungkin akan meletakkan harapan mereka untuk merebut kembali Otukan dari Khitan dan, alih-alih, berpaling kepada pemimpin mereka yang sah. Karena melihat bahwa sang Qaghan telah memilih agama dengan tepat dengan menganut Islam dan memperoleh kekuatan gaibnya untuk memenangkan Balasaghun dan Tarim sebelah selatan, mereka secara alamiah juga akan berpaling dari agama Buddha ke Islam – bukan sebagai tanda ketaatan pada Allah, tapi ketaatan pada Qaghan Karakhaniyyah. Maka, tujuan utama Qaghan dalam penyerbuannya ke Tarim sebelah selatan sesungguhnya bukanlah untuk menyebarkan Islam untuk alasan-alasan kebenaran atau untuk membalas kematian para syuhada. Jauh lebih mungkin, penyerangan tersebut dilakukan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan wilayah kekuasaan, sebagai alasan jangka pendeknya, dan untuk memenangkan persetujuan kaum-kaum Turki untuk pindah agama sebagai alat untuk memperoleh kesatuan kesetiaan politik mereka pada sang Qaghan, sebagai alasan jangka panjangnya. Ini adalah kesimpulan yang muncul dari pola-pola sejarawi dari para penguasa Turki sebelumnya saat mengarahkan rakyat mereka untuk pindah keyakinan ke agama Buddha, syamanisme, dan aliran Mani. Akan tetapi, terlepas dari corak alasan sang Qaghan, banyak orang Turki yang tentunya dengan tulus memilih untuk pindah agama ke Islam.
Hilangnya Ajaran Buddha di Khotan Catatan-catatan mengenai pendudukan Karakhaniyyah atas Khotan, mengikuti pengepungan dan perlawanan setelahnya, tak bicara sepatah kata pun tentang penduduk asli. Satu tahun setelah pemberontakan dipatahkan, utusan dagang dan upeti Khotan yang 195
dikirim ke Cina Han hanya berisi kaum Muslim Turki saja. Bahasa Turki Karakhaniyyah secara mutlak menggantikan bahasa Khotan dan negara tersebut secara keseluruhan menjadi Islam. Agama Buddha menghilang sepenuhnya. Kaum Tibet kehilangan hubungan dengan miliknya terdahulu sampai pada tataran nama Tibet untuk Khotan, Li, kehilangan makna aslinya dan jadi mengacu pada Lembah Kathmandu di Nepal sebagai sebutan singkat untuk wangsa yang dahulu berkuasa, Licchavi (386 – 750). Seluruh mitos Buddha mengenai Khotan dialihkan ke Kathmandu juga, seperti terbentuknya lembah tersebut oleh Manjushri yang mengeringkan danau dengan cara membelah gunung dengan pedangnya. Pada abad ke-12 dan ke13, kaum Tibet sudah tidak ingat lagi bahwa mitos-mitos ini pernah dihubungkan dengan Khotan. Oleh karena itu, catatan-catatan Buddha Tibet tentang pengorbanan yang dilakukan Raja Yesheywo saat dipenjara oleh “Garlog”, yaitu kaum Karluk Karakhaniyyah, secara keliru disebutkan terjadi di Nepal. Walaupun memang terdapat perang saudara di Nepal antara 1039 – 1045, hampir tidak ada suku-suku bangsa Turki di sana, apalagi orang Karluk pada saat itu. Dari bukti-bukti ini, ketika ditambahkan ke dalam telaah kita tadi, akan tampak bahwa hilangnya agama Buddha di antara orang Khotan lebih karena penipisan penduduk yang terjadi dalam duapuluh empat tahun pengepungan dan pembasmian pemberontakan rakyat yang selamat yang terjadi sesudahnya, daripada pemualafan paksa umat Buddha di sana. Kaum Karakhaniyyah utamanya lebih memusatkan perhatian pada pemualafan orang-orang Turki – dan bukan kaum lain di bawah kekuasaan mereka – sebagai bagian dari upaya mereka untuk 196
menyatukan seluruh suku-bangsa Turki di bawah mereka sebagai penjaga gunung suci, Balasaghun. Pada 1043, misalnya, mereka melaksanakan pemualafan besar-besaran, sejumlah sepuluh ribu orang Turki pindah agama ke Islam. Pelaksanaannya disertai dengan pengurbanan dua puluh ribu kepala ternak, yang menunjukkan nada syamanisme kuno dan, maka itu, makna kesukuan dari peristiwa tersebut. Kaum Karakhaniyyah mengikuti contoh-contoh dari Ummaiyyah, Abbasiyyah, dan Samaniyyah dan menawarkan status insan yang dilindungi bagi orang-orang non-Turki yang mengikuti agamaagama mereka. Hal yang terjadi pada umat Kristen Nestoria terekam dengan baik. Samarkand tetap memiliki kepala agamaNestoria selama kurun Karakhaniyyah. Lebih jauh lagi, setelah digulingkannya Kekaisaran Karakhaniyyah pada 1137, Kashgar juga menerima seorang kepala agama, yang menandakan bahwa agama Kristen Nestoria ada dan ditepa-selira selama masa pemerintahan mereka. Orang dapat menarik kesimpulan bahwa hal yang sama juga terjadi dengan agama Buddha di sana, khususnya karena para penguasa Kashgar berikutnya menaruh hati pada agama Buddha dan, selama masa kekuasaan mereka, Kashgar memberi tempat bagi beberapa negarawan Buddha. Kenyataan bahwa terdapat sebuah masyarakat kecil Nestoria di Khotan dengan dua gereja sebelum terjadinya pengepungan dan tidak ada catatan tentang mereka setelahnya, meski Karakhaniyyah bertepa-selira dengan agama Kristen, memberi bobot lebih pada kesimpulan bahwa sebagian besar penduduk asli Khotan, baik yang Kristen maupun Buddha, musnah selama masa pendudukan militer. Kalau tidak, umat Nestoria Khotan pasti akan 197
muncul kembali dalam catatan-catatan sejarah, seperti yang terjadi pada saudara-seiman mereka yang berada di Kashgar.
198
17 Tangut, Tibet, dan Cina Song Sebelah Utara pada Abad Ke-11 Tangut Menggagalkan Rencana-Rencana Perluasan Lebih Jauh Karakhaniyyah Setelah Khotan jatuh, kaum Karakhaniyyah tidak dapat menekan lebih jauh ke timur dalam pawai tempur mereka untuk merebut daerah Tarim sebelah selatan yang tersisa. Mahmud dari Ghazni menyerang dari selatan dan perang pecah antara dua kekuatan Turki ini dari tahun 1006 sampai 1008. Yusuf Qadr Khan meninggalkan Khotan untuk terjun dalam pertempuran ini dan berhasil mengusir kaum Ghaznawiyyah. Ia kemudian kembali ke Khotan untuk memadamkan sebuah pemberontakan. Setelah itu, ia dengan segera melanjutkan pengiriman utusan-utusan upeti dan dagang ke istana Song Sebelah Utara pada 1009. Ini dengan jelas menunjukkan perkara nomor satu yang dibebankan padanya: kendali atas Jalur Sutera sebelah selatan. Perselisihan pewarisan kuasa yang terjadi di dalam lingkaran mereka sendiri telah menyibukkan kaum Karakhaniyyah pada tahun-tahun sesudahnya, dengan Yusuf yang akhirnya maju sebagai qaghan pada 1024. Walaupun kaum Karakhaniyyah tidak memiliki kesempatan selama kurun ini untuk merebut Tarim sebelah selatan di timur Khotan, perdagangan Sino-Khotan, yang dipimpin oleh para pedagang Muslim Turki, tidak pernah terhenti karenanya.
Sementara itu, Tangut bergerak maju dengan rencana-rencana tempur untuk perluasan kekuasaan mereka. Kaisar Tangut kedua, 199
Deming (memerintah tahun 1004 – 1031), berdamai dengan Cina Song Sebelah Utara pada 1006, dua tahun setelah jatuhnya Khotan. Sejak itu, istana Tangut mengikuti ritual dan upacara Konghucu dari Song Sebelah Utara, yang menyanjung rasa keadiluhungan Song Sebelah Utara dan dengan luar biasa meningkatkan kemampuan istana Tangut. Sampai saat itu, Song Sebelah Utara bersahabat dengan Yugur Kuning dan Tsongka. Akan tetapi, prakarsa damai yang diajukan Tangut kepada Song Sebelah Utara dengan mantap melenyapkan persengketaan politik ini. Tidak lagi harus khawatir tentang sayap sebelah timur mereka atau campur-tangan Song Sebelah Utara dalam rancangan-rancangan tempur mereka, Tangut kemudian maju menyerang dan menaklukkan Kerajaan Yugur Kuning, dengan pawai tempur mereka yang dimulai pada tahun 1028. Orang-orang Tibet yang tinggal di sana melarikan diri ke Tsongka, yang juga masuk dalam daerah-serang Tangut. Pada saat ini, Tangut telah tumbuh begitu kuat sehingga Karakhaniyyah tidak lagi memiliki kemungkinan untuk mendorong lebih jauh ke timur di Lembah Sungai Tarim. Di bawah raja Tangut terkuat, Yuanhau (Yüan-hao) (memerintah tahun 1031 – 1048), Tangut tidak hanya menyelesaikan penaklukan mereka terhadap Yugur Kuning, tapi juga merebut daerah kekuasaan Dunhuang sampai ke perbatasan Karakhaniyyah di Khotan. Akan tetapi, mereka tidak pernah berhasil merebut Tsongka dari penduduk Tibet setempat. Walaupun Tangut berdamai dengan istana Song Sebelah utara, mereka membebani pajak yang tinggi terhadap dan membatasi perdagangan Asia Tengah yang melintas melewati wilayah 200
kekuasaan mereka yang baru untuk menuju Cina Han. Tsongka dengan segera menggantikan Asia Tengah sebagai mitra dagang utama bagi Cina Song Sebelah Utara, khususnya dalam hal pemasokan, bukan hanya produk utama mereka, yaitu teh, tapi juga kuda, yang berharga tinggi karena sangat penting dalam penggalangan kekuatan militer. Lebih jauh lagi, Ghaznawiyyah mengulangi serangan dan penaklukan terhadap Gandhara dan India sebelah barat laut antara tahun 1001 sampai 1021, dengan penjarahan dan penghancuran kuil-kuil Hindu dan wihara-wihara Buddha yang kaya di sana, yang lalu sepenuhnya mengakhiri perjalanan keagamaan ke dan dari India di sepanjang Jalur Sutera. Selama berabad-abad, para peziarah telah berangkat dari Asia Tengah atau Cina Han ke wihara-wihara India untuk mengundang guru-guru agama Buddha dan membawa pulang naskah-naskah atau barang pusaka keagamaan. Akan tetapi, kunjungan-kunjungan semacam itu yang terakhir kali tercatat dalam sumber-sumber Song Sebelah Utara dilakukan oleh Dharmashri, yang tiba di Cina Han pada 1027, dan Sumanas pada 1036. Tidak ada lagi perjalanan keagamaan ke atau dari India yang mungkin dilakukan setelahnya.
Penerimaan Tangut terhadap Kitab-Kitab Suci Buddha Cina Han Kitab Buddha Cina Han pertama kali dicetak antara tahun 972 dan 983 di bawah perlindungan dua kaisar pertama Wangsa Song Sebelah Utara. Sebelumnya, kitab tersebut hanya ada dalam bentuk naskah-naskah salinan tangan. Pada 1029, satu tahun setelah Demig memulai penaklukannya terhadap Yugur Kuning, 201
kaisar Tangut, karena telah mempelajari ajaran Buddha saat masih anak-anak, mengirimkan perutusan ke istana Song Sebelah Utara, dengan persembahan tujuhpuluh kuda, untuk meminta kitab ini. Telah tertutup kemungkinan untuk memperoleh naskah dari India. Kaisar Song Sebelah Utara, Renzong (Jen-tsung) (memerintah tahun 1023 – 1064), mengabulkan permohonannya atas dasar semangat perjanjian damai yang telah dirundingkan oleh pendahulunya dengan penguasa Tangut. Dari kurun-waktu ini ke depan, kaisar-kaisar Tangut setelahnya berkali-kali mengirimkan utusan ke Cina Han, mencari naskahnaskah Buddha yang lebih lanjut. Ini bukan hanya karena kumpulan kepustakaan Buddha yang terlengkap ada ditulis dalam bahasa Cina, tapi juga karena, awalnya, Tangut berperang dengan Yugur Kuning dan orang Tibet Tsongka, sumber utama lain kini untuk kitab-kitab suci sejak pencarian ke India tidak memungkinkan lagi. Meski alasan-alasan keagamaan mungkin telah mendorong kaisar-kaisar Song Sebelah Utara untuk terus memenuhi permintaan Tangut akan kitab-kitab suci, mereka pastinya menyadari adanya kemungkinan sumber bagi persediaan kuda yang begitu dibutuhkan. Mereka juga tentunya berharap Tangut akan melonggarkan pembatasan dagang dengan Asia Tengah.
Bantuan Uighur dan Yugur dalam Pembangunan Ajaran Buddha Tangut Setelah Yuanhao menyelesaikan penaklukan Tangut atas Yugur Kuning pada 1034, pengaruh kebudayaan Yugur dan Uighur terhadap Tangut mulai tumbuh. Wihara-wihara Buddha Yugur 202
Kuning terus tumbuh-mekar di bawah kekuasaan Tangut. Biksubiksu terpelajar Yugur dan Uighur berkelana ke seluruh wilayah Tangut dan keyakinan terhadap ajaran Buddha secara dramatis bangkit di antara khalayak umum. Sejumlah orang Tangut bermukim di wilayah Qocho. Walaupun kadangkala terdapat perseteruan politik antara Tangut dan Uighur Qocho, dua negara ini pada dasarnya menjalani hubungan damai, dengan Uighur yang menerima kedudukan tunduk pada Tangut, seperti yang juga mereka alami dengan Khitan di Mongolia. Walaupun Tangut meminjam banyak segi pragmatis dari budaya Cina Han, mereka tidak ingin sepenuhnya membaur. Mereka ingin mempertahankan jati diri mereka sendiri, seperti yang telah dilakukan banyak penguasa non-Han atas berbagai bagian Cina sebelah utara lainnya sebelum mereka. Seperti kaum Turki Tua, Uighur, dan Khitan, mereka berpikir untuk menciptakan jarak dengan membuat tata tulis mereka sendiri dan menerjemahkan naskah-naskah ke dalam bahasa mereka sendiri. Oleh karena itu, pada 1036, Tangut memungut abjad aksara untuk menuliskan bahasa mereka. Dikembangkan dari aksara-aksara Khitan, aksara Tangut merupakan tata tulis paling rumit yang pernah dirancang di Asia. Dengan menggunakan aksara ini, Yugur dan Uighur, karena telah berpengalaman dengan Khitan, membantu Tangut untuk menerjemahkan ke dalam bahasa mereka bukan hanya naskahnaskah Buddha Cina Han, tapi juga naskah-naskah Konghucu yang berfaedah bagi keahlian negarawan. Karena aksara tersebut sulit dipelajari, kaum Tangut pertama sekali mengalih-ejakan naskah-naskah liturgis Buddha mereka ke dalam abjad Tibet, seperti dulu halnya dengan naskah-naskah bercorak Uighur dan 203
Cina Han yang digunakan di wilayah tersebut. Maka dari itu, kebudayaan Tibet juga masih ada di daerah itu. Pada 1038, Kasiar Yuanhao menyatakan Buddha sebagai agama negara Tangut. Karena keluarga kerajaan Tangut menganggap diri mereka sebagai keturunan para penguasa Toba Wei dari Cina sebelah utara (386 – 534), pernyataan tersebut merupakan puncak dari pemulihan kebijakan pengaturan negara Toba terhadap agama Buddha. Oleh karena itu, pada 1047, Kaisar menitahkan diberlakukannya hukum yang mengharuskan pejabat pemerintahan dan warganegara pada umumnya untuk melaksanakan upacara dan ibadah Buddha. Maka dari itu, persebaran ajaran Buddha di antara kaum Tangut dimaklumkan oleh negara. Akan tetapi, dengan kendali yang ketat dari pemerintah, patokan-patokan ilmiah dan sastrawi dalam wiharawihara Tangut selalu dijaga ketat dan tetap tinggi.
Hubungan Politik dan Keagamaan Sino-Tangut Berikutnya Perang empat-tahun antara Kekaisaran Tangut dan Cina Song Sebelah Utara pecah selama bagian akhir masa pemerintahan Yuanhao, antara tahun 1040 dan 1044. Istana Song Sebelah Utara tak diragukan lagi mengkehendaki perdagangan yang lebih luas dengan negara-negara Jalur Sutera, namun mereka menghadapi kesukaran hebat untuk menundukkan Tangut. Pada 1048, Yuanhao dibunuh oleh putranya, yang sebelumnya ia hukum karena lebih condong menganut Tao Cina Han daripada mendukung ajaran kenegaraan Buddha Tangut. Sejak itu, kaisarkaisar lemah silih-berganti duduk di tahta kerajaan Tangut selama setengah abad, dan kerap kali ibu suri merekalah yang memegang 204
tampuk kekuasaan. Kekuatan tempur Tangut mungkin melemah sampai tataran tertentu dan perdagangan Asia Tengah dengan Cina Han berlangsung dengan lebih longgar. Selama kurun-waktu ini, Tangut, Khitan, dan Cina Song Sebelah Utara acapkali saling serang. Song Sebelah Utara tidak pernah mampu memperoleh kekuasaan dan, sebagai yang terlemat di antara ketiganya, negara tersebut, pada 1082, setuju untuk membayar upeti tahunan kepada Tangut dan Khitan sebagai harga untuk ketenteraman. Akan tetapi, baik sebelum dan sesudah kesepakatan ini Tangut terus mengirimkan utusan-utusan ke Cina Han untuk membawa pulang naskah-naskah Buddha. Beberapa dari kaisar Tangut dan ibu suri mereka bahkan ikut serta dalam penerjemahannya. Orang Yugur dan Uighur terus membantu dalam hal urusan-urusan keagamaan, dan juga menerjemahkan naskah-naskah Buddha tambahan dari bahasa Sanskerta dan Tibet ke dalam bahasa Tangut, namun hanya sesekali saja yang dari bahasa Uighur sendiri. Ajaran Buddha juga terus kuat di alam Uighur Qocho. Pada 1096, misalnya, penguasa Qocho mempersembahkan giok Buddha kepada kaisar Song Sebelah Utara. Akan tetapi, agama Buddha tidak pernah secara resmi diharuskan untuk dianut rakyatnya atau ditempatkan di bawah kendali ketat pemerintah seperti yang terjadi di negara Tangut. Ajaran Buddha juga tumbuh-mekar di Tsongka pada masa ini. Istana Tsongka menjadikan biksu-biksu Buddha sebagai utusan ke istana Song Sebelah Utara.
205
Pemulihan Kembali Ajaran Buddha di Tibet Tengah Sepanjang abad ke-11, orang-orang Tibet terus mengalir datang ke Kashmir dan India sebelah utara untuk belajar agama Buddha. Banyak dari mereka yang pulang dengan membawa guru-guru dari berbagai wilayah untuk membantu memulihkan kembali ajaran Buddha di wihara-wihara yang baru dibangun di tanah mereka. Walaupun awalnya diprakarsai oleh Kerajaan Ngari di Tibet sebelah barat, kegiatan ini segera saja menyebar juga ke bagian tengah negara tersebut, dimulai dengan pembangunan Wihara Zhalu (Zha-lu) pada 1040. Tiap guru India atau murid Tibet yang kembali pulang ke Tibet membawa serta silsilah gaya tertentu dari laku ibadah Buddha. Banyak dari mereka membangun wihara-wihara yang di sekitarnya telah membaku bukan hanya masyarakat keagamaan, tapi juga masyarakat keduniaan. Baru di abad ke-13 lah gugusan-gugusan silsilah peralihan ini bersatu untuk membentuk berbagai aliran dari apa yang disebut dengan “Kurun Baru” aliran-aliran Buddha Tibet – Kadam (bKa’-gdams), Sakya (Sa-skya), dan sejumlah aliran dari Kagyu (bKa’-brgyud). Guru-guru Tibet abad ke-11 lainnya mulai menemukan naskahnaskah yang tersembunyi karena alasan keamanan di Tibet tengah dan Bhutan selama tahun-tahun penuh prahara di akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9. Naskah-naskah Buddha yang ditemukan menjadi landasan kitab-suci bagi “Kurun Lama” atau aliran Nyingma (rNying-ma), sementara naskah-naskah Buddha yang berasal dari tradisi Tibet asli, yang ditemukan sedikit lebih awal, membentuk landasan bagi pembangunan agama Bon yang 206
terlembaga. Beberapa guru menemukan kedua jenis naskah, yang kerap kali mirip satu dengan lainnya. Sebetulnya, agam Bon yang terlembaga memiliki banyak kesamaan ciri dengan aliran-aliran Buddha Terjemahan Baru dan Lama sehingga guru-guru berikutnya dari masing-masing agama ini saling mendaku bahwa yang lain telah menjiplak dari mereka. Keluarga kerajaan Ngari terus memainkan peran penting dalam menyokong, bukan hanya penerjemahan naskah-naskah Buddha yang baru saja dibawa dari Kashmir dan India sebelah utara, tapi juga tinjauan ulang terjemahan-terjemahan sebelumnya dan penjernihan kesalahpahaman tentang pokok-pokok rumit tertentu dari agama tersebut. Sidang Dewan Toling (Tho-ling), yang diselenggarakan oleh Raja Tsedey (rTse-lde) di Wihara Toling, Ngari pada tahun 1076, mengumpulkan para penerjemah dari daerah-daerah barat, tengah, dan timur Tibet, dan juga beberapa guru dari Kashmir dan India sebelah utara. Sidang Dewan Toling ini menjadi perangkat yang mengatur pekerjaan mereka. Maklumat Pangeran Zhiwa-wo (Zhi-ba ‘od), yang dikeluarkan pada 1092, menetapkan patokan-patokan untuk menentukan naskah mana yang dapat dipercaya.
Hubungan Karakhaniyyah dengan Penganut Buddha setelah Jatuhnya Khotan Selama kurun-waktu ini, kaum Karakhaniyyah mengirimkan pedagang-pedagang Muslim dari Khotan ke ibukota Song Sebelah Utara lewat jalur Tarim sebelah selatan yang dipegang oleh kaum Tangut. Antara tahun 1068 dan 1077, terdapat begitu banyak pengutusan – setidaknya dua kali tiap tahun – sampai-sampai 207
pihak berwenang Song Sebelah Utara harus memberlakukan pembatasan dalam hal ukuran dan kekerapannya. Perdagangan ini terus berlanjut sampai kejatuhan Qarakhaniya pada 1137. Keyakinan kuat kaum Tangut, Tibet, Uighur Qocho, dan Cina Han akan ajaran Buddha tampaknya tak pernah menyurutkan semangat kaum Karakhaniyyah untuk mencari perolehan ekonomi mereka. Kalau saja kebijakan hubungan antarnegara mereka diarahkan hanya bertujuan untuk memualafkan kaum kafir, mereka pastinya telah memboikot perdagangan dengan umat Buddha dan menyerang kaum Tangut, Uighur, dan Tibet Ngari ketika mereka sedang lemah. Akan tetapi, tetap berada pada jalur pola hubungan yang telah muncul berulang kali dalam sejarah hubungan MuslimBuddha di Asia Tengah dan anakbenua India, penaklukan wilayah kekuasaan oleh Muslim ditandai dengan dilakukannya penghancuran sekejap-mata terhadap lembaga-lembaga agama setempat; sementara pendudukan wilayah kekuasaan itu setelahnya dicirikan dengan pemanfaatan ekonomi. Pemanfaatan ekonomi ini selalu membutuhkan tindakan tepa-selira keagamaan sampai pada derajat tertentu. Dan begitu pemanfaatan ekonomi ini terbangun, ia selalu menjadi pertimbangan yang didahulukan dalam pengambilan kebijakan politik.
208
18 Kaum Ghaznawiyyah dan Seljuk Pawai Tempur Ghaznawiyyah di Gandhara dan India Barat Daya Setelah Mahmud dari Ghazni dipukul mundur ke utara pada tahun 1008 dalam serangannya ke Kekaisaran Karakhaniyyah, ia membuat melibatkan kaum Turki Seljuk di Sogdiana sebelah selatan dan Khwarazm untuk mempertahankan kerajaannya dari pembalasan Karakhaniyyah. Orang-orang Seljuk merupakan sukubangsa Turki yang diperbudak, yang telah digunakan sebagai pasukan pertahanan oleh kaum Samaniyyah dan pindah agama ke Islam pada tahun 990an. Setelah mengamankan tanah airnya, Mahmud kini mengalihkan perhatiannya kembali ke anakbenua India. Beberapa dasawarsa sebelumnya, pada 969, kaum Fatimiyyah (910 – 1171) telah menaklukkan Mesir dan menjadikannya pusat dari kekaisaran mereka yang berkembang pesat. Mereka berusaha untuk menyatukan seantero dunia Muslim di bawah panji aliran Isma’ili sebagai persiapan bagi kedatangan ratu adil Islam, perang kehancuran, dan akhir dunia, yang diramalkan akan terjadi pada awal abad ke-12. Daerah kekuasaan mereka terbentang dari Afrika sebelah utara ke Iran sebelah barat dan, sebagai kekuatan laut utama, mereka mengirim utusan dan wakil jauh sampai ke negeri seberang untuk memperluas pengaruh dan keyakinan mereka. Mereka merupakan pesaing utama bagi kaum Abbasiyyah Sunni dalam hal kepemimpinan dunia Islam. Sisa-sisa kekuasaan Muslim di Sindh setelah penaklukan Ummaiyyah sangatlah lemah. Para adipati Sunni tunduk setia pada kalifah Abbasiyyah, padahal pada kenyataannya berbagi 209
kekuasaan dengan para penguasa Hindu. Islam salingberdampingan secara damai dengan agama Buddha, Hindu, dan Jain. Akan tetapi, utusan-utusan Isma’ili mendapati adanya sekelompok umat di antara kaum Sunni dan Hindu di sana yang merasa tidak puas dengan status quo. Pada 959, penguasa Multan, Sindh sebelah utara, pindah agama jadi Syiah Isma’ili dan, pada 968, Multan menyatakan diri sebagai negara bawahan Fatimiyyah Isma’ili, merdeka dari Abbasiyyah. Pada titik ini, Abbasiyyah, berikut negara-negara bawahan Ghaznawiyyah mereka, dikelilingi ke timur dan barat oleh para pesaing Fatimiyyah mereka. Mereka takut serbuan dua-barisan-tempur akan segera terjadi. Untuk menyerang Ghaznawiyyah, orang-orang Multan Isma’ili pasti harus melintas melewati wilayah kekuasaan musuhmusuh Ghaznawiyyah, para Sahi Hindu. Walaupun ayahnya lebih menyukai Islam aliran Syiah, Mahmud dari Ghazni memeluk Sunni, keyakinan yang banyak dianut bukan hanya oleh kaum Abbasiyyah, tapi juga Karakhaniyyah dan Samaniyyah. Mahmud dikenal karena sikap tidak tepa-seliranya terhadap aliran-aliran Islam yang lain. Setelah naik tahta pada 998 dan menyatukan kekuatannya di Afghanistan, ia menyerang kaum Sahi Hindu di Gandhara dan Oddiyana pada 1001 dan mengalahkan musuh ayahnya, Jayapala, yang juga ia anggap sebagai ancaman terpendam. Walaupun Oddiyana masih merupakan pusat tantra Buddha, dengan Raja Indrabhuti dan Padmasambhava dijunjung di sana sebelum masa kuasa Sahi Hindu, tidak banyak wihara Buddha yang tumbuh di tempat tersebut. Di sisi lain, kuil-kuil Hindunya bergelimang kekayaan. Akibatnya, Mahmud menjarah dan menghancurkan kuil-kuil itu.
210
Penerus Jayapala, Anandapala (memerintah tahun 1001 – 1011), kini membentuk persekutuan dengan Multan. Tapi, pada 1005, Mahmud mengalahkan pasukan gabungan mereka dan mencaplok Multan. Hal ini kemudian melenyapkan ancaman kaum Isma’ili Fatimiyyah terhadap dunia Abbasiyyah Sunni dari timur. Mahmud menyebut para serdadunya “ghazi”, para ksatria iman, dan mengistilahkan pawai tempurnya sebagai “jihad” untuk membela ketaatan Sunni ortodoks melawan bidah Syiah Isma’ili. Walaupun semangat keagamaan mungkin menjadi bagian dari alasannya pendorongnya, sebagian besar alasan lain yang lebih kuat adalah kehendaknya untuk memapankan diri sebagai pembela kaum Abbasiyyah sebagai pemimpin dunia Islam. Peran seperti itu akan mengabsahkan kekuasaannya sendiri sebagai bawahan Abbasiyyah dan rampasan yang ia jarah akan menjadi bantuan suntikan dana untuk pawai-pawai tepur anti-Fatimiyyah yang dilancarkan Abbasiyyah di manapun. Contohnya, kuil surya Hindu kuno Suraj Mandir, di Multan, terkenal sebagai kuil terkaya di anakbenua India. Harta-karunnya hanya meningkatkan dahaga Mahmud akan kekayaan, lebih jauh ke Timur. Setelah Mahmud gagal dalam pawai tempurnya melawan Karakhaniyyah, ia kembali ke anakbenua India dan, pada 1008, mengalahkan pasukan sekutu Anandapala dan para penguasa Rajput di wilayah yang dikenal kini sebagai Punjab India dan Himachal Pradesh. Ia menyita sejumlah besar harta Sahi Hindu di Nagarkot (Kangra sekarang), dan, selama bertahun-tahun setelahnya, menjarah dan menghancurkan kuil-kuil Hindu dan wihara-wihara Buddha di wilayah itu, di antaranya ialah wiharawihara di Mathura, yang terletak di selatan Delhi sekarang.
211
Pada 1010, Mahmud menggilas sebuah pemberontakan di Multan dan, entah pada tahun 1015 atau 1021 (tergantung pada sumber yang diterima), ia mengejar penguasa Sahi Hindu berikutnya, Trilochanapala (memerintah tahun 1011 – 1021), yang sedang menyusun kembali pasukan-pasukannya di benteng Lohara di kaki-bukit sebelah barat yang mengarah ke Kashmir. Akan tetapi, Mahmud tidak pernah mampu merebut benteng tersebut, atau menyerang Kashmir. Tidak jelas seberapa kuat peran pendiri Wangsa Lohara Pertama Kashmir (1003 – 1101), Samgrama Raja (memerintah tahun 1003 – 1028), bermain dalam kekalahan Mahmud. Menurut catatan-catatan Buddha tradisional, penguasa Ghaznawiyyah tersebut dihentikan oleh mantra-mantra Buddha yang dilafalkan oleh Prajnarakshita, seorang murid dari Naropa. Karena kerusakan berat yang ditimbulkan oleh pasukan-pasukan Mahmud terhadap wihara-wihara Buddha di Punjab India dan Himachal Pradesh, banyak pengungsi Buddha mencari suaka di tempat lain. Namun, karena serdadu-serdadu Ghaznawiyyah menyerang ke arah Kashmir, sebagian besar pengungsi merasa tidak aman jika melarikan diri ke sana. Alih-alih, sejumlah besar pengungsi membanjir menyeberangi pengunungan Himalaya lewat Kangra ke Ngari di Tibet sebelah barat, sampai-sampai pada tahun 1020an rajanya menitahkan diberlakukannya hukum yang melarang orang asing tinggal di negara tersebut selama lebih dari tiga tahun. Ringkasnya, jihad Ghaznawiyyah di anakbenua India sedianya diarahkan untuk melawan kaum Isma’i li, bukan Buddha, Hindu, atau Jain. Akan tetapi, setelah Mahmud mencapai tujuan keagamaan dan politiknya, kemenangan tersebut merangsangnya untuk memperluas daerah kekuasaan dan khususnya memperoleh 212
jarahan dari kuil-kuil Hindu dan wihara-wihara Buddha yang kaya. Seperti halnya pawai militer Ummaiyyah tiga tahun sebelumnya, pasukan-pasukan Turki menghancurkan kuil-kuil dan wiharawihara, setelah terlebih dahulu menjarah habis, sebagai bagian dari penaklukan awal wilayah-wilayah tersebut, tapi tidak kemudian mewajibkan Islam sebagai agama yang harus dipeluk oleh seluruh masyarakat taklukan mereka. Mahmud bersifat pragmatis dan menggunakan serdadu-serdadu bahkan seorang panglima Hindu yang tidak berpindah agama untuk melawan kaum Muslim Syiah yang menentangnya di Buyid Iran. Sasaran utamanya tetaplah kaum Syiah dan Isma’ili.
Sikap-Sikap Ghaznawiyyah terhadap Agama Buddha di luar India Al-Biruni, sejarawan Persia yang menyertai penyerangan Mahmud ke anakbenua India, bicara hal-hal baik tentang agama Buddha dan menulis bahwa masyarakat India menyebut Buddha sebagai seorang “Nabi”. Mungkin hal ini menunjukkan keakrabannya dengan istilah Persia Tengah burxan, yang bermakna ‘nabi’, yang digunakan untuk “Buddha” di dalam naskah-naskah Buddha Sogdiana dan Uighur, dan di dalam naskah-naskah ajaran Mani untuk semua nabi. Akan tetapi, hal tersebut boleh jadi juga menunjukkan bahwa umat Buddha diterima sebagai “orang-orang Kitab” dan, bersama kaum Hindu dan Jain, menerima status dhimmi insan yang dilindungi setelah penyerbuan awal. Bukti lebih lanjut untuk mendukung kesimpulan kedua ini adalah bahwa kaum Ghaznawiyyah tidak memusuhi ajaran Buddha saat dahulu menguasai Sogdiana, Baktria, atau Kabul. Pada 982, 213
lukisan-lukisan dinding bercorak Buddha masih bisa dilihat di Wihara Nava dan sosok-sosok Buddha mahabesar yang dipahat di tebing-tebing Bamiyan di Afghanistan pusat masih utuh ada. AlBiruni melaporkan ada banyak wihara Buddha yang masih berfungsi di perbatasan-perbatasan sebelah selatan Sogdiana pada peralihan milenium tersebut. Layaknya kaum Samaniyyah sebelum mereka, kaum Ghaznawiyyah menggalakkan budaya Persia. Kesusasteraan Persia dan Arab, dari abad ke-12 sampai ke-20, berlimpah rujukan tentang keindahan tugu-tugu Buddha, yang menandakan bahwa wihara dan mesjid berjalan berdampingan dalam damai. Sebagai contoh, Asadi Tusi menggambarkan kemegahan Wihara Subahar di Kabul dalam karya yang ditulisnya pada 1048, Nama Garshasp. Syair Persia sering menggunakan perumpamaan tersebut untuk melukiskan istana-istana, yang sama indahnya dengan “Nawbahar” (Wihara Nava). Gambar-gambar Buddha, khususnya Maitreya (sang Buddha Masa Depan), dilukiskan di Wihara Nava dan Bamiyan dengan cakra bulan di belakang kepala mereka. Hal ini kemudian menjadi sebuah ungkapan kiasan untuk melukiskan keindahan murni: seseorang yang memiliki “wajah serupa rembulan dari seorang Buddha”. Maka, pada syair-syair Persia abad ke-11, seperti Varge dan Golshah oleh Ayyuqi, kata dalam bahasa Pahlavi untuk bot, yang diturunkan dari istilah lebih awal dalam bahasa Sogdiana purt, digunakan dengan pemaknaan yang baik untuk “Buddha”, bukan dengan makna kedua “berhala”, yang bersifat menghina. Kata ini menyiratkan keindahan nirkelamin yang sempurnya, dan diterapkan dengan setera pada pria ataupun wanita. 214
Tidak jelas apakah kata dalam bahasa Arab al-budd berasal dari kata Persia atau diciptakan secara langsung pada masa penaklukan Sindh oleh Ummaiyyah. Aslinya, kaum Ummaiyyah menggunakan istilah itu untuk mengacu pada gambar-gambar bercorak Buddha dan Hindu, dan juga kuil-kuil tempat gambar tersebut berada. Adakalanya, mereka menggunakannya pula untuk kuil non-Muslim manapun, termasuk kuil-kuil Zarathustra, Kristen, dan Yahudi. Akan tetapi kemudian, istilah tersebut jadi punya dua makna, yang baik dan buruk, yaitu “Buddha” dan “berhala”. Semua rujukan ini menandakan bahwa baik wihara-wihara dan gambar-gambar Buddha keduanya ada di wilayah-wilayah kebudayaan Iran ini setidaknya sampai pada kurun Mongol awal di abad ke-13. Atau, sedikitnya, kita bisa simpulkan bahwa warisan ajaran Buddha tetap bertahan dengan kuat selama berabad-abad di antara umat Buddha yang berpindah agama menjadi Islam. Kalau kaum Ghaznawiyyah bertepa-selira terhadap agama Buddha di tanah-tanah non-India mereka dan bahkan melindungi karya-karya sastrawi yang meninggikan seninya, maka tampaknya kebijakan jangka-panjang mereka atas anakbenua India ini bukanlah kebijakan pemualafan dengan kekerasan. Seperti kaum Ummaiyyah, sikap penaklukan Ghaznawiyyah tidak sama dengan sikap mereka saat memerintah.
Senjakala Kaum Ghaznawiyyah dan Bangkitnya Kaum Seljuk Terlepas dari keberhasilan-keberhasilan tempur mereka atas anakbenua India, kaum Ghaznawiyyah tidak mampu membuat kaum Seljuk berada di bawah kendali mereka, dan pada 1040 215
Seljuk berontak. Kaum Seljuk merebut Khwarazm, Sogdiana, dan Baktria dari kaum Ghaznawiyyah dan, pada 1055, mereka menaklukkan Baghdad, tahta para kalifah Abbasiyyah.
Kaum Seljuk merupakan penganut Sunni dan mereka sama antinya dengan penganut aliran Syiah dan Isma’ili seperti kaum Ghaznawiyyah. Mereka gemas untuk merebut pengaruh dan kendali para kalifah atas kaum Syiah Buyid di Iran. Pada 1062, mereka akhirnya menaklukkan Kerajaan Buyid dan, tahun berikutnya, menyerukan berdirinya kekaisaran mereka sendiri. Kekuasaan Kekaisaran Seljuk terus berlangsung sampai akhirnya mereka menyerah pada kaum Mongol pada 1243. Setelah mengalami kekalahan dari kaum Seljuk, kaum Ghaznawiyyah mundur ke arah timur dari Pegunungan Khush Hindu, yang berbatasan dengan Ghazna, Kabul, dan Punjab. Mereka mempertahankan kekuatan tempur yang terdiri dari berbagai suku-suku gunung Turki Muslim di alam mereka, dan bersandar pada cukai yang mereka kumpulkan dari orang-orang non-Muslim kaya dari anakbenua India untuk membiayai negara mereka. Kebijakan mereka terhadap Kashmir dengan jelas mencontohkan sikap mereka terhadap agama-agama lain.
Keadaan Politik dan Keagamaan di Kashmir Dari tahun 1028 sampai akhir dari Wangsa Lohara Pertama pada 1101, kemakmuran ekonomi Kashmir merosot perlahan-lahan. Alhasil, wihara-wihara Buddha hanya menerima dukungan keuangan yang tipis. Lebih jauh lagi, karena jalan masuk mudah 216
ke perguruan-perguruan tinggi kewiharaan Buddha di bagian tengah India sebelah utara diputus oleh wilayah kekuasaan Ghaznawiyyah, mutu patokan-patokan wihara-wihara Kashmir lambat-laun merosot. Raja terakhir dari dinasti ini, Harsha (memerintah tahun 1089 – 1101), melembagakan sebuah penganiayaan keagamaan lagi; kali ini, merata-tanahkan kuil-kuil Hindu dan wihara-wihara Buddha. Selama Dinasti Lohara Kedua (1101 – 1171), khususnya pada masa pemerintahan Raja Jayasimha (memerintah tahun 1128 – 1149), kedua agama ini sekali lagi pulih dengan dukungan kerajaan. Akan tetapi, keadaan ekonomi kerajaan tersebut secara keseluruhan terpuruk lebih dalam, terus berlanjut sampai peralihan kekuasaan pada para penguasa Hindu juga (1171 – 1320). Kendati wihara-wihara jadi miskin, kegiatan keagamaan Buddha tumbuhmekar setidaknya sampai abad ke-14, dengan para guru dan penerjemah secara berkala mengunjungi Tibet. Tetapi, terlepas dari kelemahan Kashmir selama lebih dari tiga abad, baik kaum Ghaznawiyyah maupun para penerus Muslim mereka di India mencoba menaklukkannya sampai tahun 1337. Ini merupakan pratanda lanjut bahwa para penguasa Islam lebih tertarik untuk memperoleh kekayaan daripada memualafkan umat dari wiharawihara Buddha. Kalau para penganut Buddha ini miskin, mereka akan membiarkannya saja.
Perluasan Kekuasaan dan Kebijakan Keagamaan Seljuk Sementara itu, kaum Seljuk memperluas kekaisaran mereka ke arah barat, menaklukkan Byzantium pada 1071. Sultan Seljuk, Malikshah (memerintah tahun 1072 – 1092), memberlakukan 217
kemaharajaannya pada kaum Karakhaniyyah di Ferghana, Turkistan Barat sebelah utara, Kashgar, dan Khotan. Di bawah pengaruh menterinya, Nizamulmulk, kaum Seljuk membangun sekolah-sekolah keagamaan (madrasah) di Baghdad dan di seluruh Asia Tengah. Walaupun madrasah-madrasah pertama sekali muncul pada abad ke-9 di Iran sebelah timur laut, yang membaktikan kinerjanya murni untuk kajian teologi, madrasahmadrasah baru ini diarahkan untuk mencetak pejabat-pejabat pemerintahan untuk Seljuk yang dididik dengan baik dalam Islam. Pendekatan kaum Seljuk terhadap agama sangatlah pragmatis. Setelah membuka Anatolia sebagai pemukiman Turki, kaum Seljuk beranjak untuk merebut Palestina juga. Di tahun 1096, warga Byzantium mengajukan permohonan pada Paus Urbanus II untuk menyatakan Perang Salib Pertama untuk menyatukan kembali Kekaisaran-Kekaisaran Romawi Barat dan Timur dan merebut kembali Tanah-Tanah Suci dari tangan orang-orang “kafir”. Akan tetapi, kaum Seljuk tidak anti terhadap penganut ajaran Kristus. Mereka, misalnya, tidak melenyapkan agama Kristen Nestoria dari Asia Tengah. Secara khusus tidak pula mereka anti terhadap penganut Buddha. Kalau memang iya, mereka pasti telah memimpin atau menyokong bawahan-bawahan Karakhaniyyah mereka dalam perang suci melawan kaum Tangut, Uighur Qocho, dan Tibet Ngari, yang kesemuanya merupakan penganut Buddha taat dan yang kekuatan tempurnya lemah. Sebaliknya, selama masa pemerintahan mereka di Baghdad, kaum Seljuk mengizinkan alShahrastani (1076 – 1153) untuk menerbitkan karyanya, Kitab alMilal wa Nihal – sebuah naskah filsafati yang ditulis dalam bahasa Arab, dan mengandung sebuah catatan mengenai ajaran-ajaran 218
Buddha dan, seperti al-Biruni, menyebut Buddha sebagai seorang nabi.
Nizari – Ordo Para Asasin (Pembunuh) Citra teramat buruk yang dimiliki orang-orang Kristen Eropa dan Byzantium terhadap kaum Seljuk dan Islam secara umum sebagian dikarenakan oleh anggapan keliru mereka bahwa seluruh Islam sama dengan para penganut aliran Isma’ili cabang Nizari, yang dikenal di kalangan tentara salib sebagai “ Ordo Para Asasin (Pembunuh)”. Di mulai kira-kira pada tahun 1090, kaum Nizari memimpin sebuah revolusi teroris di seluruh Iran, Irak, dan Suriah, dengan para pemuda yang mabuk hasishdikirim untuk membunuh para pemimpin militer dan politik. Mereka hendak mempersiapkan dunia bagi pemimpin mereka, Nizar, untuk menjadi, bukan hanya kalifah dan imam, tapi juga Mahdi, nabi terakhir yang akan memimpin dunia Islam dalam perang seribu-tahun melawan kuasa-kuasa jahat. Selama dasawarsa-dasawarsa setelahnya, kaum Seljuk dan kaum Fatimiyyah melancarkan perang suci melawan kaum Nizari, membantai mereka dalam jumlah yang besar. Gerakan Nizari lambat-laun kehilangan dukungan dari khalayak. Perang-perang suci ini juga telah memberi pengaruh binasa bagi kaum Seljuk dan, pada 1118, Kekaisaran Seljuk terpecah ke dalam beberapa bagian yang berdaulat. Sementara itu, kekuatan kaum Ghaznawiyyah terus melemah. Mereka kekurangan sumber daya manusia bahkan untuk memerintah kerajaan mereka yang memudar. Kekuatan kaum Karakhaniyyah juga merosot. Akibatnya, kaum Ghaznawiyyah dan 219
Karakhaniyyah terpaksa menjadi negara-negara pembayar upeti di bawah kendali provinsi Seljuk yang berdaulat di Sogdiana dan Iran sebelah timur laut.
19 Perkembangan-Perkembangan Abad Ke-12 di Asia Tengah Berdirinya Kekaisaran Jurchen Jurchen adalah orang-orang Manchu Tungus yang tanah airnya terletak di Manchuria sebelah utara dan daerah yang bersebelahan dengan Siberia sebelah tenggara di seberang Sungai Amur. Mereka merupakan para penghuni hutan yang diwajib-militerkan oleh kaum Khitan karena upacara perburuan mereka. Pengaruh Buddha sampai ke mereka dari Cina Song Sebelah Utara dan Korea Koryo (918 – 1392). Pada 1019, mereka memohon kepada kaisar Song Sebelah Utara untuk diberikan salinan kitab Buddha yang baru dicetak dan, pada 1105, para biksu Cina Han melaksanakan upacara-upacara Buddha di istana Jurchen. Akan tetapi, sumber utama ajaran Buddha yang mereka punya berasal dari kaum Khitan. Pada 1115, kaum Jurchen menyatakan berdirinya Dinasti Jin (Chin) (1115 – 1234) dan terus memperluas kekuasaan mereka sampai ke bentuk kekaisaran. Setelah mengalahkan kaum Khitan pada 1125, mereka menaklukkan wilayah yang tersisa di Cina Han sebelah utara selama tahun berikutnya. Ibukota Cina Han dipindahkan ke selatan, dan karenanya merupakan akhir dari Dinasti Song Sebelah Utara dan awal dari Song Sebelah Selatan (1126 – 1279). Kaum Jurchen menguasai Manchuria, Siberia sebelah tenggara, Cina Han sebelah utara dan pusat, dan Mongolia Dalam. Kaum Tangut berada di sebelah barat laut, 220
sementara Mongolia sendiri terpecah menjadi banyak wilayah kesukuan kecil.
Bentuk ajaran Buddha Khitan terus berlanjut di daerah-daerah Mongolia Dalam yang diambil-alih oleh Jurchen. Di tahun-tahun berikutnya, bentuk-bentuk Cina Han menjadi lebih diutamakan. Rangkaian ini sejajar dengan perkembangan bahasa tulis Jurchen. Pertama-tama, Jurchen menyesuaikan dan menggubah aksara abjad Khitan, tapi kemudian menggunakan campuran abjad Cina Han juga. Para kaisar Jurchen terdahulu sangat melindungi ajaran Buddha. Mereka membangun banyak wihara di ibukota mereka, Beijing, dan di seluruh daerah kekuasaan mereka. Di pertengahan abad ke-12, terdapat lebih dari tigapuluh ribu biksu di Kekaisaran Jin, dan para biarawan berkedudukan lebih tinggi daripada para pejabat istana. Istana Jurchen menggantikan Song Sebelah Utara sebagai sumber utama naskah-naskah Buddha Cina Han lebih lanjut bagi kaum Tangut.
Keadaan Politik dan Keagamaan di Daerah-Daerah Tibet Setelah perang saudara singkat yang terjadi di Tsongka pada peralihan ke abad ke-12, hubungan Tsongka dengan Cina Song Sebelah Utara, mitra dagang terdahulu mereka, berubah menjadi masam. Pasukan-pasukan Song Sebelah Utara mengambil keuntungan dari keadaan kalut tersebut untuk menyerang. Sejak 1102, mereka berulang-kali merebut, kehilangan, dan merebut kembali Tsongka. Ini menyebabkan dua negara yang dulunya 221
bermusuhan, Tsongka dan Tangut, bukan hanya berdamai, tapi juga membuat persekutuan tempur pada 1104 melawan Cina Song Sebelah Utara. Perang terus berlanjut sampai Jurchen menggulingkan Song Sebelah Utara pada 1126. Pasukan-pasukan Cina Han sepenuhnya mundur dari Tsongka, yang kemudian merdeka sekali lagi sampai nantinya ditaklukkan oleh Jurchen pada 1182. Tangut bersekutu dengan Jurchen dan terus berperang melawan Song Sebelah Selatan, yang kini membayar upeti tahunan kepada Tangut, Jurchen, dan para penerus Khitan, kaum Qaraqitan. Sementara itu, di wilayah-wilayah kebudayaan Tibet lainnya, pusat perhatian kegiatan keagamaan Buddha bergeser dari Tibet sebelah barat ke tengah pada akhir abad ke-11 ketika garis rajaraja Ngari berakhir. Selama paruh pertama abad ke-12, Ngari dipimpin oleh garis masyarakat kesukuan non-Tibet, kaum Khasa, yang mengikuti ajaran Buddha pada derajat yang jauh lebih rendah. Di pertengahan abad tersebut, raja Khasa, Nagadeva, kehilangan kuasa atas wilayah itu dan, setelah menaklukkan Nepal sebelah barat, membangun kembali kekuasaannya di daerah tersebut. Sejak itu, Tibet sebelah barat pecah menjadi beberapa kerajaan, yang kesemuanya terus melanjutkan upaya pemulihan dan dukungan terhadap ajaran Buddha, namun dalam cakupan yang jauh lebih sempit dibanding abad sebelumnya. Tibet tengah pada masa ini juga terbagi-bagi ke dalam banyak daerah kecil yang merdeka. Daerah-daerah ini seringkali terpusat di sekeliling wihara-wihara Buddha baru, yang sebagian besar dibangun layaknya benteng. Pemerintahan bersatu baru terjadi di wilayah itu pada 1247 ketika Tibet tengah dilembagakan ulang di bawah kekuasaan raja Mongol. Akan tetapi, terlepas dari 222
lingkungan politik yang terpecah-pecah, ajaran Buddha di Tibet tengah mencapai puncak barunya selama abad ke-12. Kaum Tibet tidak hanya melanjutkan pekerjaan penerjemahan mereka, yang utamanya dilakukan dari bahasa Sanskerta, tapi juga mulai membuat sejumlah besar naskah kepustakaan tinjauan. Tiap-tiap wihara mengembangkan keahlian khusus dan ciri-ciri khas mereka sendiri.
Kebangkitan Pengaruh Kebudayaan Tibet atas Kaum Tangut Karena persekutuan Tangut bergeser dari Song Sebelah Utara ke Tsongka, pengaruh utama terhadap ajaran Buddha Tangut di abad ke-12 pun bergeser dari Cina Han ke Tibet. Kaum Tangut semakin banyak menerjemahkan naskah-naskah dari bahasa Tibet dan mulai membuat karangan kepustakaan Buddha mereka sendiri, yang erat berpegang pada tinjauan-tinjauan Tibet. Banyak biksu Tangut pergi ke Tibet tengah untuk belajar. Salah satunya, Minyag Gomring (Mi-nyag sGom-rings), menjadi murid dari Pagmo-drupa (Phag-mo gru-pa, 110 – 1170), yang darinya berbagai aliran Kagyu berasal. Pada 1157, biksu Tangut tersebut mendirikan wihara yang di kemudian hari menjadi pusat dari aliran Kagyu Drigung (‘ Brigung bKa’-brgyud), Drigung-til (‘ Bri-gung mthil). Satu orang Tangut lainnya, guru penerjemah Tsami Lotsawa (rTsa-mi Lo-tsa-ba), pergi ke India sebelah utara, juga pada pertengahan abad ke-12; ia menjadi kepala biara di sana di Vajrasana (Bodh Gaya) dan membawa pulang ke Kashmir satu dari silsilah-silsilah Tantra Kalacakra. Para guru dari Kashmir dan Tibet juga diundang pulang ke Tangut, dimana mereka kemudian menjadi pengajar kerajaan. Pertukaran yang saling menguntungkan ini tumbuh bahkan lebih luas lagi. 223
Terlepas dari pertempuran terus-menerus mereka dengan Cina Song Sebelah Utara, kaum Tangut juga terus memungut unsurunsur tertentu dari masyarakat Cina Han pula – misalnya, pada 1146, sebuah tata pendidikan gaya-Konghucu untuk melatih para pejabat. Proses pen-cina-an yang semakin meningkat ini, terlepas dari upaya-upaya Tangut untuk mempertahankan keutuhan kebudayaan mereka, dikarenakan pengaruh ibu Kaisar Renxiao (Jen-hsiao) (memerintah tahun 1139 – 1193), yang merupakan orang Cina Han. Lambat laun, kaum Tangut menjadi salah satu kaum yang berkebudayaan paling tinggi di Asia Tengah. Pada 1170, misalnya, Kaisar Renxiao memaklumkan sebuah undang-undang resmi yang lengkap yang mencakup lingkup-lingkup kemasyarakatan dan keagamaan. Undang-undang ini membagi wihara-wihara Buddha Tangut ke dalam bagian-bagian kesukuan menurut asal-usul para biksunya – Tangut, Tibet, Cina Han, atau campuran Tangut-Han. Tidak disebutkan perihal biksu-biksu Uighur atau Yugur Kuning, mungkin karena menyerahnya Qocho pada kaum Qaraqitan pada 1124. Semua biksu, terlepas dari asal-usulnya, diharuskan untuk belajar bahasa dan kesusastraan Tangut, Tibet, Han Cina, dan Sanskerta. Agar dapat memperoleh kedudukan di tata usaha kewiharaan, mereka harus lulus dari ujian dimana penguasaan mereka khususnya atas beberapa naskah Buddha dalam terjemahan Tibetnya dinilai. Demikian juga undang-undang kemasyarakatannya, yang dipungut dari Cina Han, yang mengaharuskan para calon pejabat pemerintahan untuk lulus dari ujian ketat tentang naskah-naskah Konghucu.
224
Pengambil-alihan Uighur Qocho dan Karakhaniyyah oleh Qarakitan Pada 1124, karena Jurchen menyerang dari selatan, penguasa Khitan, Yelu Dashi, kehilangan kendali atas Mongolia sendiri dan melarikan diri bersama para serdadunya ke ibukota musim panas Uighur Qocho di Beshbaliq. Ia diterima dan dilayani dengan baik oleh para bawahannya yang bersahabat dan tradisional. Berhadapan dengan cita-cita Yelu Dashi untuk mengukir wilayah kekuasaan baru bagi dirinya sendiri, kaum Uighur secara sukarela mengabdikan diri pada kekuasaan pengungsi Khitan yang berdaya ini. Ia menyatakan berdirinya dinasti Qaraqitan atau Liao Sebelah Selatan (1124 – 1203) dan mengambil kendali atas Dzungaria. Mungkin kaum Uighur Qocho begitu sigap mengabdi karena mereka takut akan persekutuan baru antara Jurchen dan Tangut yang mengancam dari timur mereka dan mencari perlindungan Khitan seperti di masa lalu. Pada 1137, Yelu Deshu menaklukkan kaum Karakhaniyyah, menggabungkan tanah-tanah mereka di Kashgar, Khotan, Ferghana, dan beberapa bagian Turkistan Barat sebelah utara ke dalam kekaisarannya. Pada 1141, ia mengalahkan kaum Seljuk di Samarkand dan memperluas wilayah kekuasaannya ke Sogdiana, Baktria, dan Khwarazm. Negara Seljuk di Iran runtuh karena revolusi di dalam negara itu sendiri, yang setelahnya Iran pecah menjadi beberapa negara kecil, yang diteruskan oleh banyak dinasti kecil sampai nantinya ditaklukkan oleh Mongol pada 1220. Kubu pertahanan utama yang tersisa bagi kaum Seljuk adalah Anatolia. 225
Yelu Dashi mengikuti percampuran Khitan tradisional yang terdiri dari ajaran Buddha, Tao, Konghucu, Tengri, dan perdukunan. Ia amat sangat bertepa-selira dan melindungi semua agama di wilayahnya, termasuk Islam. Agama Kristen Nestoria tumbuhmekar dengan banyak kepala agama di Samarkand dan Kashgar, yang menandakan bahwa berbagai agama di Asia Tengah pada dasarnya hidup berdampingan dalam keselarasan hingga saat itu.
Penyebaran Islam di antara Bangsa Turki Asia Tengah oleh Guru-Guru Sufi Gerakan Sufi dalam Islam, yang menekankan pada pengalaman pribadi atas kenyataan ilahi, muncul selama paruh kedua abad ke19 lewat ajaran-ajaran Abu’l Qasim al-Junayd (meninggal tahun 910) di Irak dan Abu Yazid Tayfur al-Bistami (meninggal tahun 874) di Khorasan, Iran sebelah timur laut. Para guru yang berkelana ini mulai menyebarkannya lewat Asia Tengah dari abad ke-11, selama kurun Karakhaniyyah, Ghaznawiyyah, dan Seljuk. Caracara Sufi mereka mengisi kebutuhan rohani yang tersisa pada saat penindasan aliran-aliran Syiah dan Isma’ili, khususnya setelah penaklukan Seljuk atas Baghdad pada 1055. Tokoh kunci yang membawa ajaran Sufi kepada suku-suku bangsa kelana Turki adalah Ahmad ibn Ibrahim ibn Ali al-Yasavi (meninggal tahun 1166). Ketenaran ordo Yasaviyya, yang berasal darinya, adalah karena penggabungan yang dilakukannya terhadap unsur-unsur kebudayaan Turki kuno dan perdukunan ke dalam Islam. Ia menggunakan busana Turki, mengizinkan bahasabahasa Turki digunakan untuk keperluan keagamaan di luar lingkung sembahyang, menerapkan pengurbanan sapi pada upacara-upacara tertentu, dan mengizinkan wanita untuk ikut serta 226
dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan untuk mencapai ekstase rohani. Adat Sufi dalam hal membangun griyatamu rohani (khanaqah) di sekeliling para guru agama, yang terbuka bagi semua pengembara, dan bukan hanya dengan para pencari rohani pribadi yang mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya, tapi bahkan seluruh masyarakat griya tersebut, termasuk gurunya, yang mengembara bersama dalam perjalanan-perjalanan kerohanian selama berbulan-bulan, menjadi daya tarik luar biasa bagi tradisi kelana Turki. Lewat cara-cara itu, Islam memperoleh ketenaran yang begitu melejit di antara orang-orang Turki. Maka, pertumbuhan pesat Islam di Asia Tengah pada masa ini bukan karena pemualafan dengan kekerasan, tapi pemualafan karena keterampilan beberapa guru luar biasa dalam menyesuaikan agama dengan budaya Turki. Perluasan Islam ini tidak merugikan ajaran Buddha dan tidak pula ditanggapi secara bermusuhan. Pada kenyataannya, hal tersebut terjadi di bawah kekuasaan Qaraqitan, yang menganut Buddha, dan menerima dukungan dari mereka pula.
227
20 Pawai Tempur Ghurid di Anakbenua India Desakan Tempur Awal di seberang India Sebelah Utara Pada 1148, Ala-ud-Din, yang berasal dari kaum Pengembara Turki Guzz dari pegunungan Afghanistan, menaklukkan daerah Ghur di Iran sebelah timur, nama daerah yang kemudian menjadi nama kekaisarannya: Kekaisaran Ghuriyyah (1148 – 1215). Ia lanjut merebut Baktria dari kaum Qaraqitan dan, pada 1161, giliran Ghazna dan Kabul direbut dari kaum Ghaznawiyyah. Kaum Ghaznawiyyah kemudian terpaksa memindahkan ibukota mereka ke kota Punjab, yaitu Lahore, yang sebagian besar masih dihuni para penganut Hindu saat itu. Pada 1173, pendiri Ghuriyyah ini menunjuk saudaranya, Muizz-ud-Din Muhammad (Muhammad Ghori, berkuasa pada 1173 – 1206), sebagai adipati Ghazna dan menyemangatinya untuk menyerbu anakbenua India.
Sepeti pendahulunya, Mahmud dari Ghazni, Muhammad Ghori pertama-tama, pada 1178, menjatuhkan kerajaan Multan Isma’ili di Sindh sebelah utara, yang telah memperoleh kembali kemerdekaannya dari kekuasaan Ghaznawiyyah. Para pengikut aliran Isma’ili selalu dicurigai melindungi kaum Nizari atau jenisjenis gerakan teroris millenarian yang semacam itu. Kemudian, dalam persekutuan dengan seorang penguasa Hindu, pemimpin Ghuri menggulingkan Dinasti Ghaznawiyyah dengan menaklukkan Lahore pada 1186. Setelah menguasai seantero Punjab, ia terus menekan, merebut Delhi pada 1193. Kaum Ghuriyyah kemudian menyapu bersih ke seberang Dataran Gangga di India sebelah utara. Muhammad sendiri menaklukkan wilayah-wilayah sampai sejauh Banaras pada 1194. Ia mengirimkan salah satu kaptennya, 228
Bakhtiyar Khalji, bersama dengan Ikhtiyar-ud-Din Muhammad, untuk menyerang lebih jauh ke timur. Maka itu, pawai tempur Ghuriyyah di anakbenua India sesungguhnya bukanlah sebuah perang suci untuk memualafkan para kafir, tapi pada dasarnya merupakan sebuah gerakan penaklukan wilayah kekuasaan, baik wilayah-wilayah Muslim maupun non-Muslim. Walaupun tujuan tempur asli dalam melawan kerajaan Isma’ili di Multan mungkin dapat disebut sebagai sebuah jihad dan kaum Ghuriyyah mungkin menyerukan nada perang suci untuk menggalang para serdadu mereka, semangat para pemimpin Muslim sepertinya marak karena harapan untuk memperoleh barang rampasan dan kekuasaan, daripada para mualaf baru.
Penaklukan Bihar dan Bengali Wangsa Pala di Bihar dan Bengali, yang di bawahnya sebagian besar perguruan-perguruan tinggi kewiharaan Buddha luar biasa di India sebelah utara dibangun, telah digulingkan sedikit demi sedikit. Pertama, Wangsa Karnata (1097 – 1324) runtuh di Mithila, yang mencakup wilayah Bihar di utara Sungai Gangga dan wilayah Terai sebelah selatan Nepal. Di ambang akhir abad ke-12, kaum Sena memapankan diri mereka di Bengali dan Magadha, bagian Bihar selatan Gangga. Walaupun para penguasa Mithila merupakan penganut Hindu Siwa, mereka meneruskan upaya Pala dalam melindungi ajaran Buddha dan menawarkan bantuan perlawanan yang kuat melawan kaum Ghuriyyah. Mereka menghentikan, misalnya, sebuah upaya serangan untuk merebut 229
Tibet pada 1206. Kaum Sena lebih taat pada agama Hindu dan lebih lemah dalam hal kekuatan. Kaum Ghuriyyah menghindari Mithila dalam desakan tempur mereka ke arah timur, dan memusatkan serangan-serangan mereka pada Magadha dan Bengali. Raja Sena memasang garnisun pertahanan di Wihara Odantapuri dan Vikramashila, yang menegakkan benteng-benteng kota berdinding langsung di garis depan kaum Ghuriyyah. Karena dianggap sebagai bentengbenteng tempur, pasukan Ghuriyyah merata-tanahkan bentengbenteng kota tersebut antara tahun 1199 – 1200. Malah, karena Odantapuri berdiri di tempat yang begitu menguntungkan, para adipati tempur Ghuriyyah mendirikan markas-markas tata-usaha mereka untuk wilayah itu di atas tanah tempat berdirinya Odantapuri dahulu di dekat Bihar Sharif sekarang.
Pendudukan India Sebelah Utara Pada 1206, Muhammad Ghori tewas terbunuh, dan peristiwa ini mengakhiri desakan tempur Ghuriyyah ke seberang India sebelah utara. Karena tidak memiliki penerus yang jelas, para kaptennya saling bertengkar untuk merebutkan kekuasaan atas provinsiprovinsi taklukan mereka. Salah satu dari mereka akhirnya berdiri di atas yang lain sebagai sultan di Lahore, tapi ia meninggal tidak lama setelah itu, pada 1210. Budaknya yang telah bebas, Iltutmish (memerintah pada 1210 – 1237), mengambil-alih dan memindahkan ibukota ke Delhi, dan memulai apa yang dikenal sebagai Kesultanan Wangsa Budak (1210 – 1325). Kaum Ghuriyyah telah mampu menaklukkan India sebelah utara bukan hanya karena kekuatan dan taktik mereka yang unggul, tapi 230
juga karena persaingan dan saling-serang yang terus terjadi di antara banyak penguasa “Rajput” Hindu setempat. Walaupun para penguasa Hindu ini tidak mampu menghadirkan barisan tempur bersatu untuk mencegah pasukan Ghuriyyah merebut wilayah mereka, mereka cukup kuat untuk membangun ulang dari hutanhutan dan bukit-bukit begitu serdadu asing telah beranjak pergi. Kaum Ghuriyyah dan para penerus mereka kemudian hanya mampu mempertahankan sedikit wilayah saja dan ini pun hanya kota-kota besar, yang dari kota-kota itu mereka menarik cukai. Akan tetapi, kekuasaan mereka makmur secara ekonomi dan, oleh karena itu, tidak goyah.
Penilaian atas Kerusakan yang Disebabkan Ghuriyyah terhadap Agama Buddha Walaupun kaum Ghuriyyah secara keseluruhan telah menjarah dan membumihanguskan Wihara Odantapuri dan Vikramashila, mereka tidak menghancurkan setiap lembaga Buddha di wilayah mereka. Perguruang Tinggi Kewiharaan Nalanda, misalnya, yang terbesar dari jenisnya di India sebelah utara, walaupun berada di Magadha, tidak terletak di jalur gempuran Ghuriyyah. Ketika penerjemah Tibet, Chag Lotsawa Dharmasvamin (Chag Lo-tsa-ba, 1197 – 1264), mengunjungi India sebelah utara pada 1235, ia mendapati perguruan tinggi tersebut rusak, terjarah, dan sangat terbengkalai, tapi masih berdiri dan berfungsi dengan tujuh puluh pelajarnya. Bagi kaum Ghuriyyah sendiri, menghancurkan sepenuhnya perguruan tinggi tersebut membutuhkan sebuah ekspedisi tersendiri, dan sepertinya ini bukan merupakan tujuan utama mereka. 231
Penerjemah Tibet itu juga mendapati Wihara Mahabodhi Sri Lanka, tidak jauh dari Nalanda di Vajrasana (Bodh Gaya sekarang), masih menjadi tempat bernaung tiga ratus biksu Sri Lanka. Tempat itu adalah tempat pencerahan sang Buddha dan merupakan tempat peziarahan paling suci dalam dunia Buddha. Lebih lanjut, tidak jelas apakah Somapura, perguruan tinggi kewiharaan terbesar di Bengal, yang terletak di Bangladesh sebelah utara sekarang, ditinggalkan pada saat itu. Akan tetapi, penerjemah Tibet tersebut mendapati bahwa Jagaddala di Bengali Barat sebelah utara masih tumbuh-mekar dan penuh dengan para biksu. Maka dari itu, penghancuran wihara-wihara Buddha oleh kaum Ghuriyyah dipusatkan pada wihara-wihara yang terletak langsung di garis gempur mereka dan yang dilindungi dengan bentengbenteng pertahanan. Kemudian, kaum Ghuriyyah menempatkan para komandan tempur mereka sebagai adipati wilayah taklukan mereka dan, dengan memberikan kedaulatan penuh pada mereka, menerapkan tata iqta’ Abbasiyyah untuk imbalannya. Dengan kata lain, sultan Ghuriyyah memberikan para adipati tempur ini pendapatan apapun yang dapat mereka kumpulkan sebagai ganti dukungan dana dari negara pusat. Oleh karena itu, penghancuran segala hal yang akan menjadi sumber pemasukan pasti berlawanan dengan kepentingan-kepentingan pribadi para kepala tentara ini. Mereka mengikuti pola-pola penaklukan Ummaiyyah, Abbasiyyah, dan Ghaznawiyyah, dalam hal penjarahan dan pengerusakan bangunan-bangunan keagamaan besar pada serbuan awal mereka dan kemudian, begitu berkuasa, pemberian status insan yang dilindungi kepada rakyat non-Muslim dan memungut cukai dari mereka.
232
Gaung Perkembangan Agama Buddha di Negara-Negara Jiran Meski bisa saja menerima status sebagai insan yang dilindungi, banyak biksu Buddha yang melarikan diri dari Bihar dan beberapa daerah Bengal sebelah utara; mereka mencari suaka di perguruanperguruan tinggi dan pusat-pusat kewiharaan di daerah Orissa sekarang, Bangladesh sebelah utara, Arakan di pesisir sebelah barat Burma, Burma sebelah selatan, dan Thailand sebelah utara. Akan tetapi, sebagian besar, bersama banyak pengikut awam Buddha lainnya, pergi ke Lembah Kathmandu di Nepal, membawa serta banyak naskah-naskah dari banyak perpustakaan besar kewiharaan yang telah dihancurkan. Ajaran Buddha kuat kedudukannya di Kathmandu pada masa itu. Raja-raja Hindu dari Wangsa-Wangsa Thakur (750 – 1200) telah mendukung wihara-wihara Buddha, dan terdapat pula beberapa perguruan tinggi kewiharaan di sana. Sejak akhir abad ke-10, sejumlah besar penerjemah Tibet telah mengunjungi pusat-pusat ini dalam perjalanan mereka ke India, dan guru-guru Nepal didikan perguruan-perguruan tinggi tersebut telah berperan dalam pemulihan ajaran Buddha di Tibet pusat dan sebelah barat. Para penguasa Hindu yang memimpin pada Kurun Malla (1200 – 1768) awal pun melanjutkan kebijakan para pendahulu Thakur mereka. Lebih jauh lagi, ajaran Buddha menyebar ke daerah-daerah lain dari Nepal sekarang. Pada pertengahan abad ke-12, Nagadeva, seorang penguasa Tibet sebelah barat, yang merupakan penguasa kesukuan non-Tibet, kehilangan kendali atas wilayah itu dan menaklukkan Nepal sebelah barat. Di sana ia mendirikan 233
Kerajaan Khasa, juga dikenal sebagai Malla Sebelah Barat, yang mengikuti bentuk ajaran Buddha Tibet.
Kajian Mengenai Senjakala Agama Buddha di Anakbenua India Walaupun agama Hindu dan Jain mampu bertahan dari serbuan Ghuriyyah atas India sebelah utara, agama Buddha tak pernah pulih sepenuhnya. Perlahan-lahan, agama Buddha menghilang. Dengan menganggap bahwa kehilangan ini merupakan sebuah gejala yang rumit, mari kita telaah beberapa anasir yang mungkin dapat menjelaskannya. Penganut Hindu dan Jain tidak memiliki perguruan-perguruan tinggi atau wihara-wihara besar. Para biksu mereka hidup sendiri atau dalam kelompok-kelompok kecil di daerah-daerah terpencil pula, belajar dan bermeditasi secara pribadi, tanpa ritual atau upacara umat. Karena mereka tidak memunculkan ancaman, para penyerang tidak menganggap waktu dan tenaga mereka patut dikerahkan untuk menghancurkannya. Mereka hanya merusak kuil-kuil Hindu dan Jain bagi masyarakat awam yang ditemukan di kota-kota besar. Umat Buddha, di lain pihak, memiliki perguruanperguruan tinggi kewiharaan yang besar dan kokoh, yang dikelilingi oleh dinding-dinding dan dibentengi oleh raja-raja setempat. Peluluh-lantakan bangunan perguruan-perguruan tinggi ini pasti memberi dampak militer yang besar. Kenyataan bahwa hanya lembaga-lembaga Buddha yang menderita pengerusakan parah, dan kebanyakan hanya lembagalembaga yang berada di jalur-jalur gempur utama, merupakan bukti lebih lanjut bahwa meski kaum Ghuriyyah menyebut pawai tempur 234
mereka sebagai perang suci, tujuan sebenarnya dari perang itu bukanlah untuk memualafkan kaum kafir. Kalau memang begitu, mereka pasti akan memusatkan serangan mereka pada masyarakat-masyarakat keagamaan Hindu, Jain, dan Buddha, tanpa peduli ukuran atau letak mereka. Bagi orang awam di India, ajaran Buddha utamanya merupakan sebuah agama bakti yang berpusat di sekitar wihara-wihara besar. Meski ada pula tradisi hutan untuk meditasi mendalam, mereka yang hendak belajar lebih lanjut akan menjadi biksu atau biksuni yang hidup melajang. Para kepala rumah tangga menawarkan makanan dan dukungan bendawi bagi masyarakat kewiharaan. Mereka datang dua kali sebulan ke wihara-wihara untuk menjaga sumpah tata-tertib pekerti dan mendengarkan khotbah yang berdasar pada kitab suci. Akan tetapi, mereka tidak menganggap diri sebagai kelompok yang terpisah dari umat Hindu yang berjumlah lebih besar. Dalam hal upacara-upacara yang menandai ritus-ritus perjalanan hidup mereka, seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian, mereka bersandar pada upacara-upacara Hindu. Ketika agama Hindu mengenali Buddha sebagai penjelmaan dewa besar Wisnu, umat Buddha tidak menolaknya. Malah, di seluruh India sebelah utara, Kashmir, dan Nepal, ajaran Buddha sudah bercampur dengan banyak unsur dari agama Hindu. Oleh karena itu, ketika wihara-wihara besar dihancurkan, umat Buddha dengan mudah terserap ke dalam agama Hindu. Mereka masih dapat memusatkan kebaktian mereka pada Buddha dan pada saat yang bersamaan dianggap sebagai umat Hindu yang taat pula. Agama Hindu dan Jain, di lain pihak, lebih diarahkan pada laku orangorang awam di rumah dan tidak memerlukan lembaga-lembaga kewiharaan. Ketika para ahli agama Hindu mengenali Jina 235
Rshabha, salah satu tokoh Jain utama, sebagai penjelmaan Wisnu, umat Jain menentangnya. Lebih jauh, umat Hindu dan Jain berguna bagi para penakluk Muslim. Umat Hindu memiliki kasta ksatria yang dapat dikenakan wajib militer, sementara umat Jain adalah kaum pedagang utama setempat dan merupakan sumber penarikan cukai. Umat Buddha, di lain pihak, tidak memiliki pekerjaan atau penyediaan jasa yang khas sebagai masyarakat secara keseluruhan. Mereka tidak lagi memainkan peran dalam perdagangan antardaerah seperti yang pernah mereka lakukan berabad-abad sebelumnya ketika wiharawihara Buddha masih tersebar di Jalur Sutera. Maka itu, segala upaya yang ada untuk menerapkan pemualafan diarahkan utamanya pada mereka. Lebih lagi, banyak umat Buddha yang dianggap sebagai bagian dari kasta rendah di masyarakat India dan telah menerima perlakuan yang merugikan di bawah kekuasaan Hindu. Banyak dari mereka yang menerima Islam tentunya tertarik pada janji kesetaraan dan persaudaraan bagi semua orang yang menerima keyakinan ini. Di lain pihak, para mualaf yang dulunya Hindu dianggap sebagai orang buangan oleh umat Hindu yang lain, terlepas dari kasta asal mereka. Karena umat Buddha sudah diperlakukan sebagai orang buangan (orang di luar kasta) mereka tidak mengalami perubahan status kemasyarakatan di dalam masyarakat yang utamanya dihuni oleh penganut Hindu ketika mereka pindah agama ke Islam. Oleh karenanya, walaupun sebagian besar dari wilayah India sebelah utara tetap menganut Hindu, dengan beberapa kantong yang berisi umat Jain, Punjab dan Bengali Timur lambat-laun berisi 236
orang-orang mualaf. Umat Buddha di daerah Punjab memiliki hubungan terpanjang dengan Islam, khususnya diperkuat lagi dengan membanjirnya guru-guru Islam dari Iran dan Timur Tengah yang mencari perlindungan di sana dari serangan-serangan Mongol yang dimulai pada awal abad ke-13. Di sisi lain, Bengali Timur, telah selalu menjadi tanah tempat tinggal banyak petanipetani miskin yang pastinya haus akan kesetaraan yang ditawarkan Islam.
237