Kajian Sejarah, Budaya, dan Perbandingan – Buddha dan Islam Keselarasan Agama, Welas Asih, dan Islam Saya ingin mengatakan sesuatu tentang keselarasan agama. Kadangkala, perseteruan melibatkan keyakinan agama. Contohnya, belakangan ini di Irlandia Utara, walau pada dasarnya merupakan persoalan politis, perseteruan dengan cepat menjadi persoalan agama. Ini jelas sangat tidak menguntungkan. Saat ini, pengikut Syiah dan Sunni juga kadang saling menyerang. Ini pun sangat tidak menguntungkan. Juga di Sri Langka, walau perseteruan di sana juga politis, dalam beberapa perkara orang mendapat kesan bahwa perseteruan itu terjadi antara umat Hindu dan Buddha. Ini sungguh buruk. Di masa lampau, para pengikut berbagai agama kebanyakan terpisah satu sama lain. Namun, kini mereka berhubungan jauh lebih dekat dan karenanya kita perlu membuat usaha-usaha khusus untuk memajukan keselarasan agama. Di peringatan pertama 11 September, sebuah upacara doa peringatan diadakan di Katedral Nasional Washington. Saya hadir dalam pertemuan itu dan saya menyebutkan dalam pidato saya bahwa kini, sayangnya, ada orang yang menciptakan kesan bahwa karena segelintir Muslim nakal, seluruh Muslim adalah militan dan keras. Mereka lalu berbicara tentang bentrokan peradaban antara Barat dan Islam. Ini tak realistis. Adalah mutlak salah bila kita mencirikan keseluruhan suatu agama itu buruk karena segelintir orang nakal. Hal ini benar mengingat agama Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, dan Buddha semuanya serupa. Sebagai contoh, beberapa pengikut dari pelindung
Shugden membunuh tiga orang di dekat kediaman saya. Salah satu dari korban adalah seorang guru yang bersikap kritis terhadap Shugden dan ia menerima enam belas luka tusukan pisau. Dua lainnya adalah muridnya. Para pembunuh itu sungguh jahat. Tapi untuk sebab itu, mengatakan bahwa seluruh agama Buddha Tibet militan – tak akan ada yang percaya hal ini. Pada masa kehidupan Buddha juga begitu, ada juga orang-orang jahat di sana – tidak ada yang istimewa dalam hal ini. Sejak peristiwa 11 September, meskipun saya seorang penganut Buddha, orang luar terhadap Islam, saya telah secara sukarela berusaha menjadi pembela agama Islam Agung. Banyak dari saudara-saudara Muslim saya yang lelaki – sedikit sekali yang perempuan – menjelaskan bahwa jika ada yang menciptakan pertumpahan darah, itu bukan Islam. Alasannya adalah bahwa seorang Muslim sejati, seorang pengikut Islam sejati, seharusnya memiliki rasa kasih terhadap seluruh ciptaan, sama seperti kasih yang ia punya terhadap Allah. Semua makhluk diciptakan oleh Allah. Jika seseorang menghargai dan menghasihi Allah, ia harus mengasihi semua ciptaan-Nya. Kawan saya, seorang wartawan, tinggal di Teheran di masa Ayatollah Khomeini. Kemudian, ia memberitahu saya bagaimana mullah di sana mengumpulkan uang dari keluargakeluarga kaya dan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang lebih miskin untuk membantu meringankan beban pendidikan dan kemiskinan. Ini adalah proses sosialis yang sesungguhnya. Di negara-negara Muslim, bunga bank dicegah. Jadi, jika tahu Islam dan melihat bagaimana para pengikut Islam melaksanakannya dengan tulus, maka seperti semua agama lain, Islam sungguh luar biasa. Secara umum, jika kita mengenal agama-agama sesama kita, kita dapat mengembangkan sikap saling menghormati,
mengagumi, dan memperkaya. Karenanya, kita butuh usaha terusmenerus untuk memajukan pemahaman lintas iman agama. Di Lisbon baru-baru ini, saya menghadiri sebuah pertemuan lintas iman di sebuah masjid. Itu pertama kalinya sebuah pertemuan lintas iman diselenggarakan di masjid. Setelah pertemuan, kami semua beranjak ke aula utama dan melakukan meditasi hening. Sungguh luar biasa. Karenanya, selalulah berusaha untuk mengupayakn keselarasan lintas iman. Ada yang bilang Tuhan ada, ada yang bilang Tuhan tak ada – itu tak penting. Yang penting adalah hukum sebab-akibat. Ini sama di semua agama – jangan membunuh, mencuri, melecehkan, berdusta. Agama-agama lain mungkin menggunakan cara lain, tapi tujuannya sama saja. Lihat akibatnya, bukan sebabnya. Saat Anda pergi ke sebuah rumah makan, nikmati saya ragam makanannya daripada bertengkar tentang bahan hidangannya berasal dari ini dan itu. Lebih baik makan dan nikmati saja. Jadi, agama yang berbeda-beda itu – alih-alih berdebat bahwa filsafatmu itu buruk atau baik, lihatlah bahwa semua agama itu mengajarkan welas asih sebagai maksud dan tujuannya, dan bahwa semuanya sama-sama baik. Menggunakan cara yang berbeda-beda adalah realistis bagi masyarakat yang berbedabeda pula. Kita harus menganut pendekatan dan pandangan yang realistis. Kedamaian batin bertalian dengan welas asih. Semua agama besar memiliki pesan yang sama – kasih, welas asih, pengampunan. Kita membutuhkan cara duniawi untuk mengangkat welas asih. Bagi orang-orang yang memiliki agama dan tulus dan serius di dalamnya, agama seseorang itu punya daya dahsyat
untuk meningkatkan welas asih kita lebih jauh lagi. Bagi mereka yang tak punya keyakinan – y ang tak memiliki minat khusus terhadap agama atau yang bahkan membenci agama – kadangkala mereka juga tak berminat dalam welas asih, karena mereka pikir welas asih adalah perkara agama. Ini salah parah. Jika Anda ingin memandang agama sebagai sesuatu yang negatif, itu hak Anda. Tapi tak ada gunanya bersikap negatif terhadap welas asih. Pertama-tama, kita berasal dari ibu kita. Orang lain dan binatang juga berasal dari ibu mereka dan bertahan hidup dalam perawatan ibu mereka. Ini adalah unsur biologis tertentu yang merekatkan kita. Itu unsur biologis. Ibu saya sendiri, contohnya, sangat baik hati. Jadi hari ini, benih pertama dari rasa welas asih saya berasal dari ibu saya, bukan dari agama Buddha. Setelah mempelajari ajaran Buddha, rasa tersebut berkembang saja. Jika saya tidak memiliki ibu yang sebaik hati itu atau jika orangtua saya menghinakan saya, maka hari ini mungkin akan sukar bagi saya untuk menerapkan welas asih. Karenanya, benih welas asih adalah unsur biologis. Kita membutuhkannya untuk bertahan hidup. Kasih sayang adalah unsur penting bagi pengasuhan yang benar. Para ilmuwan telah melakukan percobaan dengan bayi kera. Bayibayi kera yang memiliki ibu selalu jenaka dan jarang sekali berkelahi. Bayi-bayi kera yang terpisah dari ibunya kerap tampak tegang, tak bahagia, dan sering bertengkar. Karenanya, pertumbuhan itu terkait dengan kasih sayang orang lain. Menurut ilmuwan medis, mereka menemukan bahwa semakin kita menjalankan welas asih, semakin tipis tekanan dan kecemasan dan semakin besar cita damai yang kita miliki. Peredaran darah kita jadi lebih baik dan tekanan darah menurun. Dalam beberapa
perkara, sistem kekebalan tubuh bertambah kuat. Namun amarah dan kebencian terus-menerus meruyaki sistem kekebalan tubuh kita. Karenanya, welas asih dan pengampunan sangatlah membantu bagi kesehatan dan umur panjang. Ini kita bisa ajarkan pada orang-orang sejak dari masa kanakkanak sebagai bagian dari pemeliharaan kesehatan. Karenanya, kita perlu memajukan nilai-nilai kemanusiaan yang benar, tidak hanya lewat agama, tapi juga lewat pendidikan duniawi. Pendidikan modern tidak memberi cukup perhatian bagi kelembutan hati. Ini berarti ada yang kurang. Beberapa universitas sedang melaksanakan penelitian tentang cara mengenalkan pentingnya kelembutan hati pada sistem pendidikan modern. Itu bagus sekali. Kita membutuhkan sebuah cara duniawi untuk memajukan budi pekerti duniawi. Duniawi (secular) tidak berarti menentang agama atau tak memiliki rasa hormat pada agama. Saat saya katakan “duniawi”, maknanya seperti dalam undang-undang dasar negara India. Gandhi menekankan agama duniawi: beliau melakukan ibadah dari semua agama. “Duniawi” berarti tidak meninggikan suatu agama di atas agama lainnya, tapi menaruh rasa hormat bagi semua agama, termasuk bagi orang-orang yang tak memiliki keyakinan. Karenanya, kita butuh budi pekerti duniawi lewat caracara duniawi, di atas landasan pendidikan tentang pengalaman umum dan bukti-bukti ilmiah. Pertanyaan: Sekarang ini materialisme begitu merajalela di dunia. Bagaimana dengan orang-orang materialistis? Bagaimana kita menghadapi hal ini?
Yang Mulia: Benda-benda material hanya menyediakan kenyamanan ragawi, bukan kenyamanan jiwa. Otak seorang materialistis dan otak kita sama saja. Karenanya, kita sama-sama mengalami rasa sakit batin, kesepian, rasa takut, ragu-ragu, cemburu. Perasaan-perasaan ini mengganggu cita setiap orang. Menyingkirkan semua ini dengan uang – itu tak mungkin. Beberapa orang dengan cita yang terganggu, dengan tekanan yang terlalu bertubi, meredakannya dengan obat-obatan. Obat-obatan itu mengurangi tekanan untuk sementara saja, tapi lalu membawa banyak efek samping. Anda tak mungkin bisa membeli cita yang damai. Tak ada orang yang menjualnya, tapi setiap orang menginginkan cita yang damai. Jadi banyak orang menggunakan penenang, tapi obat sesungguhnya untuk cita yang tertekan adalah welas asih. Karenanya, orang-orang materialistis membutuhkan welas asih. Cita yang damai adalah obat terbaik untuk kesehatan yang baik. Cita yang damai membawa keseimbangan bagi unsur-unsur ragawi. Sama benar seperti cukup tidur. Jika kita tidur dengan cita yang damai, maka tak ada gangguan dan kita tak perlu menelan pil tidur. Begitu banyak orang yang sibuk merias diri agar tampak cantik. Tapi jika Anda marah, tak peduli seberapa banyak warnawarni yang Anda poles ke wajah Anda, sama sekali tak akan membantu. Anda tetap jelek. Tapi jika Anda tak memendam amarah, namun malah tersenyum, maka wajah Anda jadi menarik, tampak lebih cerdas. Jika kita berusaha keras menjalankan welas asih, ketika amarah datang, itu hanya untuk sekejap saja. Seperti memiliki sistem kekebalan yang kuat. Saat virus datang, tak banyak masalah terjadi. Karenanya, kita membutuhkan pandangan yang menyeluruh dan welas asih. Lalu, lewat pengenalan dan kajian
kesalinghubungan setiap insan manusia, kita akan memperoleh kekuatan yang lebih lagi. Kita semua memiliki kemampuan yang sama untuk melakukan kebaikan. Jadi lihat diri Anda. Lihat semua potensi-potensi positif. Yang negatif memang ada, tapi kemampuan untuk hal-hal baik ada juga di sana. Sifat dasar manusia itu lebih ke positif daripada ke negatif. Hidup kita dimulai dengan welas asih. Oleh karena itu, benih welas asih lebih kuat daripada benih amarah. Karenanya, lihat diri Anda dengan lebih positif. Ini akan membawa suasana hati yang lebih tenang. Kemudian, ketika masalah datang, menghadapinya akan lebih mudah. Seorang guru Buddha India yang luar biasa, Shantidewa, menulis bahwa ketika kita akan menghadapi masalah, jika kita mengkaji dan melihat cara untuk menghindari atau mengatasinya, maka tak perlu ada kekhawatiran. Dan jika kita tak bisa mengatasinya, tak ada gunanya kekhawatiran. Terima saja kenyataan. Jadi, jika Anda menaruh minat pada apa yang saya katakan, lakukan percobaan Anda sendiri. Jika tiada minat, tinggalkan saja. Saya akan meninggalkan tempat ini besok, tapi masalah Anda akan tetap tinggal bersama Anda.
Pidato Yang Mulia Dalai Lama saat Menerima Penghargaan Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Jamia Millia Islamia Melalui penerjemah: Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Universitas Jamia Millia Islamia, Tamu Utama di sini (Menteri Pengembangan Sumber Daya Manusia India) Dr. Kabil Sibal dan Wakilnya, para profesor, dekan, dan murid serta semua tamu yang hadir di sini. Pertama saya ingin menyapa Anda semua, dan berterima kasih kepada Anda, Jamia Millia Islamia, yang memberikan penghargaan ini kepada saya. Yang Mulia Dalai Lama: Setelah menerima mikrofon ini, saya akan mencoba berbicara dalam bahasa Inggris.Tentu, para hadirin harus tahu bahwa bahasa Inggris saya sangat, sangat kacau, jadi kadang saya menggunakan kata yang salah. Oleh karena itu, saya biasanya menyarankan pendengar saya, ketika saya berbicara bahasa Inggris yang kacau, supaya “berhati-hati”. Saya mungkin menciptakan kesalahpahaman akibat penggunaan kata yang salah. Sebagai contoh, saya bisa mengatakan “pesimisme” padahal maksud saya adalah “optimisme”; ini merupakan kesalahan berat. Ada bahaya besar, jadi harap hati-hati saat Anda mendengarkan bahasa Inggris saya yang kacau. Saya merasa sangat terhormat bisa menerima gelar ini. Pertama, ketika saya menerima gelar-gelar ini saya biasanya menanggapi dengan berkata bahwa saya sungguh tidak pernah menjalani waktu untuk belajar, saya menerima semua itu tanpa harus belajar. Kepada semua mahasiswa yang menerima gelar doktor, saya pikir Anda semua telah meluangkan banyak waktu dan melakukan banyak usaha, tapi saya menerima gelar itu dari beragam
universitas tanpa melakukan banyak upaya, sehingga saya merasa sangat terhormat. Sekarang, di sini, secara khusus, sebuah gelar dari Universitas Islam ternama, ini sesuatu yang sangat saya hargai, karena salah satu akad bulat saya adalah pengembangan keselarasan agama. Sejak peristiwa 11 September, saya berpendirian teguh membela Islam, karena akibat tindakan sedikit orang jahat dengan latar belakang Islam, seluruh Islam dianggap sama sebagai hal yang negatif. Ini sungguh salah. Secara alami dan sesuai kenyataan, Islam adalah salah satu agama paling penting di bumi. Selama berabad-abad di masa lalu, dan juga di masa sekarang dan depan, Islam memberikan harapan, kepercayaan, dan ilham bagi jutaan orang. Ini adalah fakta, Selain itu, sejak masa kanak-kanak, saya memiliki teman-teman dekat yang beragama Islam. Sebagai contoh, saya pikir paling tidak empat abad lalu para pedagang Muslim bermukim di Tibet, di Lhasa dan membangun masyarakat Muslim kecil di sana. Tidak ada catatan tentang pertengkaran dari masyarakat Muslim ini, mereka adalah orang-orang yang lembut. Saya juga mengenal beberapa Muslim di negara ini yang berkata kepada saya bahwa pelaku Islam sejati harus mengembangkan cinta dan welas asih kepada semua makhluk. Selain itu, bila seorang Muslim menyebabkan pertumpahan darah, ia sesungguhnya bukan lagi seorang Muslim. Dan arti dari “ jihad” bukanlah “menyerang orang lain”. Arti lebih dalam dari “jihad” adalah perjuangan batin di dalam diri kita sendiri (tepuk tangan): perjuangan melawan semua perasaan negatif seperti kemarahan, kebencian, kemelekatan: perasaan-perasaan yang menciptakan lebih banyak masalah dalam keadaan jiwa seseorang dan kemudian, melaluinya, menciptakan lebih banyak masalah di dalam keluarga atau masyarakatnya. Sehingga, berjuang atau
melawan perasaan-perasaan negatif ini, perasaan-perasaan yang merusak ini, itulah arti “jihad” di tingkat yang lebih dalam. Oleh karena itu, meskipun filsafatnya berbeda, inti dari agama Islam sama dengan agama-agama lain. Sebagai hasil dari lebih banyak komunikasi dan hubungan dengan pengikut agama-agama lain, saya menemukan bahwa meskipun ada perbedaan besar dalam wilayah filsafat, di tingkat nyata semua agama itu menerapkan cinta, welas asih, pengampunan, tenggang rasa, tata tertib diri, dan kepuasan. Oleh karena itu, setiap kali ada kesempatan, saya selalu mengatakan kepada orang-orang bahwa kita tidak boleh membuat kesimpulan umum terhadap Islam akibat kejahatan sebagian kecil umat Islam. Terdapat juga orang-orang jahat di antara umat Hindu, Yahudi, Kristen, dan Buddha, serta masyarakat Buddha Tibet yang kecil. Oleh karena itu, pemberian gelar oleh universitas Islam ini sungguh membuat saya merasa terhormat. Selanjutnya, mengenai akad bulat saya. Hingga saat kematian menjemput, saya memiliki dua akad bulat. Seperti telah saya sebutkan, satu akad bulat adalah pengembangan keselarasan agama; yang kedua, di tingkat manusia, adalah pengembangan nilai-nilai batin kemanusiaan, sifat-sifat kebaikan manusia yang berkembang secara biologis, terutama kasih sayang manusia. Segera setelah kita lahir, dari sisi ibu, si ibu memberikan kasih sayang sangat besar kepada si anak. Demikian juga dari sisi si anak, segera setelah ia lahir, tanpa mengetahui siapa orang itu, secara biologis si anak bergantung sepenuhnya kepada orang itu. Ketika si ibu menerima si anak seperti itu, si anak merasa sangat bahagia; saat mereka terpisah, si anak merasa tidak aman. Hewan pun memiliki pengalaman yang sejenis, jadi kehidupan kita berawal dengan cara ini. Untuk seseorang yang menerima kasih sayang
maksimal saat ia lahir, selama beberapa tahun sesudahnya, selama seluruh hidupnya, ia tetap akan menjadi orang yang lebih sehat dan berwelas asih. Namun, orang-orang yang kurang kasih sayang atau dianiaya di masa kecilnya, pengalaman ini akan selalu mereka bawa seumur hidup. Tak peduli bagaimana penampilan luar mereka, di dalam diri mereka terdapat ketakutan dan ketidakpercayaan. Ketidakpercayaan di antara manusia sesungguhnya bertentangan dengan sifat manusia: kita adalah hewan sosial. Bagi setiap hewan sosial, kerjasama penuh sangat penting bagi kepentingan pribadi tersebut. Seorang pribadi adalah bagian dari masyarakat dan masa depan seorang pribadi bergantung sepenuhnya pada masyarakat atau komunitasnya. Kemudian, berkenaan dengan dasar keberhasilan hidup Anda, bila Anda mengembangkan ketidakpercyaan dan ketakutan, bila Anda tetap mengambil jarak yang jauh, bagaimana orang tersebut bisa bahagia? Itu sangat sulit! Oleh karena itu, untuk mengembangkan kerjasama yang tulus, persahabatan sangatlah penting. Dasar bagi persahabatan adalah kepercayaan. Dasar bagi kepercayaan adalah keterbukaan, apa adanya, sehingga kepercayaan bisa terbangun. Dasar bagi itu adalah kehangatan hati, rasa akan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain. Ketika kepekaan itu ada, tidak ada ruang untuk memperalat orang lain, mencurangi orang lain, menipu orang lain, atau mengolok-olok orang lain, karena Anda sungguh memiliki kepedulian mendalam akan kesejahteraan orang lain. Sehingga hal itu bukan semata berasal dari agama, melainkan dari unsur-unsur bilogis. Dengan demikian, salah satu akad bulat utama saya adalah memberitahu orang-orang, berbagi dengan orang-orang kenyataan bahwa “kita adalah hewan sosial”. Sekarang, terutama di dunia masa kini, berkenaan dengan ekonomi global, persoalan
ekonomi, dan keadaan dunia sekarang yang memiliki hampir tujuh miliar penduduk, kepentingan setiap orang menjadi saling berhubungan. Berdasarkan kenyataan ini, pola pikir “kita” dan “mereka” tidak lagi sesuai. Kita harus menganggap suku manusia sebagai satu keluarga manusia, sehingga, saya sering berkata kepada orang-orang bahwa kita harus mengembangkan sikap bahwa seluruh dunia adalah bagian dari saya, bagian dari kita. Ketika terdapat garis tegas antara “kita” dan “mereka”, maka kekerasan muncul. Bila kita mengembangkan kepekaan tentang seluruh manusia sebagai bagian dari “saya”, bagian dari “kita”, tidak akan ada ruang untuk menggunakan kekerasan. Sehingga upaya utama saya, bersama dengan banyak teman saya, kami sekarang berpikir bahwa abad yang lalu, abad ke-20, adalah abad kekerasan. Selama abad itu, lebih dari 200 juta orang terbunuh akibat kekerasan. Saya baru saja kembali dari Jepang, dari pertemuan beberapa Penerima Nobel di Hiroshima, tempat bom nuklir pertama digunakan terhadap manusia. Sungguh mengerikan! Abad ke-20 menggunakan senjata nuklir terhadap umat manusia. Sehingga di abad itu, meskipun ada banyak kemajuan, di satu sisi adalah abad pertumpahan darah. Sekarang, jika kekerasan besar itu, pertumpahan darah besar itu benar-benar memecahkan masalah manusia dan membawa manfaat, maka baiklah, mungkin ada pembenaran untuk itu; tapi tidak ada manfaat yang dibawanya. Dengan demikian, berdasarkan pengalaman lampau kita, sekarang kita harus melakukan setiap upaya untuk memastikan abad ke-21 ini menjadi abad dialog. Di sini, kita butuh rasa akan kesatuan yang dimiliki oleh seluruh suku manusia. Perbedaan negara, budaya, suku, keyakinan agama―saya rasa ini semua adalah nomor dua. Yang penting adalah bahwa di tingkat mendasar kita semua manusia yang sama.
Sehingga kadang-kadang menurut saya masalah-masalah yang kita hadapi sekarang sesungguhnya adalah ciptaan kita sendiri. Masalah-masalah ciptaan kita sendiri ini muncul karena kita terlalu menekankan pentingnya tingkat kedua, melupakan tingkat mendasar. Sehingga saat ini, waktu telah tiba: untuk membangun suatu dunia yang bahagia, dunia yang damai, kita harus menekankan pentingnya tingkat kemanusiaan. Kita, setiap orang, memiliki hak yang sama untuk menjadi orang yang bahagia; dan kepentingan setiap orang pribadi bergantung pada orang-orang yang lain. Jadi kita harus menjaga kepentingan orang lain. Ini adalah cara yang tepat untuk memperoleh manfaat sebesar mungkin bagi diri sendiri. Itu adalah akad bulat kedua saya. Yang pertama adalah pengembangan keselarasan agama; yang kedua, pengembangan nilai kemanusiaan yang mendasar. Jadi, hingga mati nanti, saya membaktikan diri saya kepada dua hal itu. Jadi kepada Anda semua, manusia-manusia muda, para mahasiswa, pertama-tama, saya ingin mengucapkan selamat. Sebagai hasil dari upaya besar Anda, sekarang Anda telah menerima gelar ini. Mungkin, beberapa hari terakhir ini Anda kurang tidur; karena terlalu suka cita. Nanti malam, saya kira Anda bisa tidur nyenyak. Saya ingin memberi Anda selamat, dan saya juga ingin berbagi ini kepada Anda: Hidup itu tidak mudah; tidak ada jaminan. Anda akan menghadapi banyak masalah; tapi kita semua adalah bagian dari masyarakat manusia. Sehingga apa pun masalah yang kita hadapi, kita memiliki kemampuan untuk mengatasinya. Jadi kepercayaan diri dan optimisme sangatlah penting. Dan kepada manusia muda, Anda juga perlu lebih bersabar. Manusia-manusia muda, kadang semua hal yang Anda inginkan, Anda menginginkannya segera. Saat Anda menghadapi
hambatan atau tantangan, Anda menjadi berkecil hati. Ada pepatah Tibet berbunyi: “Sembilan kali kegagalan, sembilan kali upaya.” Jadi, itu penting, ingatlah selalu. Lalu ada hal lain: Anda betul-betul adalah generasi abad ke-21. Saya adalah generasi abad ke-20, dan beberapa profesor serta menteri ini, saya pikir merupakan generasi abad ke-20. Di abad ke21 ini, baru 10 tahun berlalu, ada 90 tahun di depan. Jadi, orang yang akan betul-betul memberikan bentuk baru terhadap abad ini adalah Anda semua; sehingga Anda harus siap untuk itu. Lalu, untuk menciptakan dunia yang lebih baik, dunia yang damai, dunia yang bahagia, Anda harus memiliki cita-cita, dan Anda tidak hanya butuh pendidikan tapi juga asas susila. Menurut saya, banyak masalah yang kita ciptakan di abad ke-20 dan bahkan di awal abad ini bukan berkenaan dengan kurangnya pendidikan, tapi kurangnya asas susila. Sehingga, untuk mengembangkan dan menciptakan dunia yang damai dan bahagia, pendidikan dan etika harus hadir bersama. Sekarang tentang etika, ada banyak tingkat di sini. Satu tingkat adalah keyakinan agama. Di tingkat yang lebih mendasar, tanpa keyakinan agama, dengan semata menggunakan pengalaman manusia umum dan akal sehat serta temuan-temuan ilmiah terbaru, Anda memperoleh kepastian bahwa kehangatan hati dan keterbukaan yang lebih besar memiliki manfaat luar biasa, termasuk terhadap kesehatan raga seseorang. Setiap orang peduli terhadap kesehatannya. Unsur utama untuk kesehatan yang baik adalah kedamaian cita seseorang. Oleh karena itu, upaya-upaya besar untuk mengembangkan perasaan yang lebih berwelas asih sesungguhnya adalah salah satu unsur paling penting bagi kesehatan raga seseorang dan sangat penting untuk menciptakan keluarga yang bahagia.
Dengan demikian, di sisi pendidikan, Anda telah menerima gelar tinggi. Sekarang, tolong beri perhatian lebih kepada nilai-nilai batin Anda: yakni nilai-nilai sejati manusia dan etika. Wakil Menteri tadi telah menyebutkan etika, dengan pendekatan kemanusiaan; itu semua sangat, sangat penting dan itu adalah hal yang ingin saya bagi bersama Anda. Demikian dari saya, terima kasih banyak.
Percakapan Islam-Buddha Keterlibatan Pribadi Keterlibatan pribadi saya dalam percakapan Islam-Buddha lambatlaun telah berkembang selama bertahun-tahun ini. Dalam perjalanan keliling dunia sambil memberikan kuliah tentang agama Buddha, saya telah mengunjungi sejumlah negara Muslim. Di beberapa negara tersebut, saya tidak secara langsung berhubungan dengan khalayak yang beragama Islam. Contohnya, di Malaysia dan Indonesia, saya bicara di depan kelompok etnis Cina beragama Buddha, walau kadangkala saya ajak mereka membahas hubungan mereka dengan sebagian besar umat Muslim di negara mereka. Saya juga telah bicara pada mahasiswa dan pengajar universitas, serta para pencari kehidupan batin di Republik-republik Islam Asia Tengah seperti Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Uzbekistan yang tahu sedikit sekali tentang warisan Islam negara mereka. Mereka tertarik untuk belajar tentang apa yang ditawarkan agama Buddha dan agama serta filsafat lain dunia berkenaan dengan masalah-masalah setelahSoviet. Saya baru masuk ke dalam sebuah percakapan IslamBuddha secara khusus setelah perjalanan panjang keliling Asia Tengah di tahun 1994, ketika saya menjadi lebih awas tentang daya terpendam bagi kerjasama Islam-Buddha dalam menghadapi beberapa persoalan sosial yang lebih kental di sana. Mauritius Kemudian pada 1994 itu, saya memulai percakapan ini dalam kunjungan ke Afrika, khususnya Mauritius dan Zanzibar. Dua pulau ini adalah titik penengah utama bagi lalu-lintas perdagangan heroin dari Asia Selatan ke tanah daratan Afrika. Dalam pertemuan dengan presiden negara itu, seorang Muslim bersuku-bangsa
India, saya membahas persoalan penyalahgunaan obat-obatan di kalangan orang muda penganggur yang lesu di Tibet dan bagaimana masyarakat Mauritius yang agamis juga menghadapi persoalan yang sama di negaranya. Ia pun merasakan keprihatinan yang sama dengan saya tentang masalah ini dan setuju akan pentingnya agama untuk memberikan rasa harga-diri, dukungan masyarakat, dan budi pekerti untuk mengentaskan mereka yang dihantam dampak masalah ini. Kemudian, di Universitas Mauritius, saya memberi kuliah yang bertajuk “Memulihkan Nilai-Nilai Susila di Zaman Modern: Apa yang Dapat Ditawarkan Agama Buddha Tibet.” Sambutan yang muncul sangat menggembirakan hati. Zanzibar Di Zanzibar, yang 95% penduduknya Muslim, saya bertemu dengan para pemimpin setempat dan belajar salah satu keberhasilan paling bersahaja dalam menggunakan Islam untuk membantu mereka yang ingin lepas dari belenggu heroin. Saat para mantan pecandu dibuat sibuk dengan sembahyang lima kali sehari, mereka tak punya banyak waktu luang dan lengang untuk diisi dengan penyalahgunaan obat-obatan. Contoh ini memberi pikiran banyak asupan mengenai manfaat yang mungkin ada dalam kegiatan ragawi seperti sujud bagi para pecandu yang menganut Buddha. Turki Di musim semi tahun 1995, dalam kunjungan ke Istanbul, Turki, saya bertemu dengan dekan dan sekelompok profesor hukum Islam dan filsafat agama di Fakultas Teologi Islam Ilahiyat, Universitas Marmara. Saya meminta agar pertemuan itu membahas pandangan hukum Islam terhadap agama Buddha
sebagai jalan untuk membantu mendukung keselarasan agama antara Buddha dan Islam di hadapan keadaan yang ada kini, yaitu arus besar kaum Hui (Muslim Cina) yang menetap di Tibet. Telah ada masyarakat Muslim yang hidup di Tibet sejak abad ketujuh belas, berbaur dengan baik ke dalam masyarakat Buddha yang lebih banyak, dan secara turun-temurun menikmati hak istimewa khusus yang diberikan oleh Dalai Lama Kelima. Akan tetapi, keadaan pelik yang terjadi sekarang di Tibet karena perpindahan besar penduduk dari wilayah Han, Cina, telah menghasilkan ketegangan yang wajar. Para profesor itu merasa tidak ada masalah dari sisi Islam terhadap keselarasan hidup dengan umat Buddha, dan mereka mengutip tiga alasan. Berberapa cendikiawan Islam masa kini beranggapan bahwa Nabi Dhu’l Kifl―“manusia dari Kifl”―yang disebut dua kali dalam Al Quran mengacu pada Buddha, sebab Kifl adalah kata bahasa Arab yang mengacu pada nama kerajaan asal Buddha, Kapilawastu. Penyebutan pohon ara dalam Al-Quran, sambung mereka, mengacu pada pohon bodhi, yang di bawahnya Buddha mewujudkan pencerahannya. Al-Quran menyatakan bahwa para pengikut Dhu’l Kifl adalah orang-orang berbudi. Kedua, al-Biruni dan al-Shahrastani, dua cendikiawan Islam yang secara berurutan mengunjungi India di abad kesebelas dan keduabelas masehi dan menulis tentang agama-agama di wilayah itu, memanggil Buddha dengan sebutan “Nabi”, dalam penjelasan mereka perihal cara orang India memandang hormat Buddha. Dan ketiga, orang Muslim Kashmir yang tinggal di Tibet dari abad ketujuh belas masehi menikahi perempuan Tibet beragama Buddha dalam lingkup hukum Islam. Para profesor tersebut menjelaskan bahwa Islam punya sikap tepa-selira terhadap semua “Ahli Kitab”, yang diartikan sebagai
orang-orang yang mengakui Tuhan Pencipta. Bahkan, Hukum Islam, khususnya selama masa pemerintahan Arab di Sindh dari abad kedelapan sampai kesepuluh, meluaskan konsep tentang “Ahli Kitab” ini sehingga merangkul juga umat Buddha di sana dan memberikan pada mereka derajat dan hak yang sama dengan umat Kristen dan Yahudi di bawah pemerintahan Arab. Saya terangkan bahwa orang Arab Muslim, dalam perluasan mereka ke Asia Tengah di abad kedelapan, pertama sekali bersentuhan dengan ajaran Buddha di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Uzbekistan dan bagian utara Afghanistan. Di sana, naskah-naskah Buddha yang paling luas digunakan ditulis dalam bahasa Turki Lama dan, kemudian, terjemahannya dalam bahasa Sogdian. Dalam bahasa-bahasa ini, “ dharma” diterjemahkan ke dalam kata pinjaman dari Yunani “nom”, yang bermakna “hukum”. Orang Turki Uighur dan Mongolia meminjam istilah ini dari bahasa Sogdian, dan menggunakannya juga untuk mengacu pada “kitab”. Karenanya, di sepanjang Asia Tengah abad pertengahan, umat Buddha, sebagai “umat Dharma” mungkin juga dipahami sebagai “Ahli Kitab”. Indonesia Negara Indonesia, yang utamanya dihuni oleh penduduk Muslim, secara resmi mengakui enam agama―I slam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghuchu―atas dasar bahwa seluruh agama tersebut mengakui adanya Tuhan Pencipta. Untuk memenuhi syarat ini, umat Buddha di Indonesia mengajukan Adibuddha, Buddha awal-mula dari Kalachakra Tantra, sebagai Sang Pencipta. Ajaran-ajaran Kalachakra bersemi di Indonesia, khususnya selama akhir abad kesepuluh, seperti yang diwartakan Atisha selama masa kunjungannya. Kini, sedikit sekali diketahui adanya ajaran-ajaran itu di sana.
Selama kuliah keliling di Indonesia pada 1988, saya banyak melakukan pembahasan dengan para biksu Buddha tentang persoalan Tuhan dalam ajaran Buddha. Karena Adibuddha dapat ditafsirkan sebagai kesadaran pertama yang bercahaya jernih, dan karena semua kemunculan samsara dan nirwana adalah permainan atau “ciptaan” dari cita, kami menyimpulkan bahwa tidak ada alasan untuk merasa tidak nyaman mengatakan bahwa agama Buddha mengakui adanya Tuhan Pencipta. Kenyataan bahwa agama Buddha menegaskan Adibuddha bukan sebagai sosok pribadi yang sendiri, tapi sesuatu yang hadir dalam setiap makhluk hidup, hanyalah pasal perbedaan teologis tentang sifat Tuhan. Banyak pemikir Yahudi, Kristen, Islam dan Hindu menyatakan bahwa Tuhan itu nirwujud dan hadir dalam diri seluruh makhluk hidup. Seperti umat Muslim katakan, “Allah punya banyak nama.” Oleh karena itu, dari pengalaman saya di Indonesia, saya setuju, atas dasar perihal Adibuddha, agama Buddha memang mengakui Tuhan Pencipta, tapi dengan tafsiran khasnya sendiri. Begitu landasan umum ini terbangun, saya dengan mudah dapat memulai percakapan yang nyaman dengan ahli agama Islam di Turki. Mereka mengundang saya untuk kembali ke universitas mereka kemudian hari di tahun itu untuk memberikan kuliah kepada badan mahasiswa dan pengajar tentang ajaran Buddha dan hubungan antara Islam dan Buddha.
Percakapan antara Yang Mulia Dalai Lama dan seorang Guru Sufi dari Afrika Barat Yang Mulia Dalai Lama telah berhubungan dengan para pemimpin Islam di seluruh dunia selama bertahun-tahun. Sekembalinya saya dari Turki ke India, saya menemani Dr. Tirmiziou Diallo, tokoh yang keluarganya telah menjadi pemimpin agama Sufi secara turuntemurun di Guinea, Afrika Barat, ke Dharamsala untuk bertemu dengan Yang Mulia. Di hari-hari sebelum perjumpaan itu, saya dan beliau membahas lebih jauh makna “Ahli Kitab”. Dr. Diallo merasa bahwa istilah itu mengacu pada orang-orang yang mengikuti “Aliran Adi Pertama”. Hal ini dapat disebut kebijaksanaan Allah atau Tuhan, atau seperti yang saya sarankan padanya dalam istilah Buddha, kesadaran mendalam adi pertama. Karenanya, ia dapat menerima bahwa aliran kebijaksanaan adi pertama diungkap tidak hanya oleh Musa, Yesus, dan Muhammad, tapi juga oleh Buddha. Jika orang mengikuti aliran dan kebijaksanaan adi pertama bawaan ini, mereka adalah “Ahli Kitab” Tapi, jika mereka bertentangan dengan sifat mendasar manusia dan semesta yang baik dan bijak ini, mereka tidak termasuk dalam “ Kitab”. Dalam pengertian ini, lalu, dapat diterima bahwa Buddha adalah nabi Tuhan dan hal ini sejalan dengan tafsiran para profesor Turki itu, bahwa “Ahli Kitab” mengacu pada mereka yang menerima Tuhan Pencipta. Adibuddha, sebagai bercahaya jernih, bukanlah hanya kesadaran mendalam adi pertama, tapi pencipta dari semua wujud. Dr. Diallo sangat senang dengan pembahasan ini dan mengutip sebuah hadis (perkataan pribadi Muhammad) yang memerintahkan pengikutnya untuk mencari kebijaksanaan sampai ke negeri Cina.
Dr. Diallo sendiri mengikuti pandangan hadis ini. Ia menghadiri hari terakhir wacana Yang Mulia tentang BodhicaryavataraShantidewa (Meresapi Perilaku Bodhisattwa), termasuk pemberdayaan Avalokiteshvara yang disampaikan Yang Mulia. Dr. Diallo secara khusus tersentuh oleh sumpah bodhisattwa. Dalam tata cara Sufi di Afrika Barat, juga ada akad bulat untuk mencari kesempurnaan yang melampaui kata-kata dan melayani seluruh ciptaan. Di hari terakhir kunjungannya, Dr. Diallo bertemu secara pribadi dengan Yang Mulia. Dibalut jubah putihnya yang anggun, pemimpin rohani Afrika yang agung ini begitu terharu melihat pemunculan pertama Yang Mulia, ia mulai tersedu. Tanpa meminta pembantunya, seperti yang biasa dilakukan, Yang Mulia sendiri pergi ke kamarnya dan membawa tisu, yang lalu ia tawarkan pada guru Sufi itu untuk menghapus air matanya. Dr. Diallo mempersembahkan kepada Yang Mulia sebuah penghias kepala Muslim, yang lalu tanpa ragu Yang Mulia kenakan dan pakai sebagai pengingat pertemuan itu. Yang Mulia membuka percakapan dengan menjelaskan bahwa jika umat Buddha dan Islam tetap luwes dalam berpikir, percakapan yang berbuah dan terbuka adalah mungkin. Persuaan itu sungguh hangat dan menyentuh hati. Yang Mulia melontarkan banyak pertanyaan tentang tata cara meditasi, khususnya mengenai silsilah Afrika Barat yang menekankan pada praktik cinta, kasih sayang, dan pelayanan. Dr. Diallo telah hidup dalam pengasingan selama bertahun-tahun di Jerman setelah pengambil-alihan kekuasaan oleh kaum komunis di negaranya. Keduanya memiliki banyak kesamaan. Yang Mulia dan Dr. Diallo berikrar untuk melanjutkan percakapan Islam-Buddha di hari depan.
Kunjungan Kembali ke Turki Menjelang akhir 1995, saya mengunjungi Timur Tengah lagi. Kembali ke Fakultas Islam Ilahiyet Universitas Marmara, Istanbul, saya memberi kuliah kepada pengajar dan mahasiswa pascasarjana Jurusan Filsafat. Jurusan ini mendidik guru-guru agama Islam dan juga guru sekolah menengah mengenai pelajaran agama Islam dan agama lain, termasuk Buddha, untuk seluruh Turki. Para guru sungguh berminat dalam membangun percakapan Islam-Buddha dan kami membahas persoalanpersoalan seperti penciptaan, pewahyuan, dan sumber budi pekerti. Islam menyatakan Tuhan tidak sebagai sosok orang tapi sebagai sebuah asas pencipta yang nirwujud, dan beberapa sekolah teologi Islam menyatakan bahwa penciptaan itu tidak berawal. Bicara dalam hal cita bercahaya jernih sebagai pencipta tanpa awal dari wujud tanpa awal, dan dalam hal Buddha sebagai penyingkap kebenaran yang maha agung, kami kemudian memiliki landasan untuk percakapan yang hidup dan ramah. Wawancara yang saya lakukan selama kunjungan awal saya ke universitas ini telah dimuat dalam sebuah majalah populer kaum fundamentalis Islam setempat, yang dibaca tidak hanya di Turki, tapi di seluruh Republik-republik Islam Asia Tengah. Pengurus kunjungan saya dari universitas itu berkata bahwa ia akan menerbitkan di majalah yang sama sebuah terjemahan dari kuliah tertulis yang saya persiapkan untuk disampaikan saat itu tentang asas-asas dan sejarah ajaran Buddha, khususnya sejarah ajaran Buddha di antara masyarakat Turki di Asia Tengah, dan keadaan agama Buddha saat ini di seluruh dunia. Saya diundang kembali ke fakultas Islam ini tidak hanya untuk pembicaraan lebih lanjut di tahun 1996, tapi juga untuk menyelenggarakan pertemuanpertemuan serupa dengan para pemimpin agama Sufi di Konya
dan dengan pengajar dan mahasiswa universitas-universitas lain di Turki. Mesir Setelah Turki, saya beranjak ke Mesir, tempat saya diundang untuk memberi kuliah di Universitas Kairo. Kelompok pertama yang saya temui adalah para pengajar Pusat Kajian Asia dari Fakultas Ekonomi dan Politik. Mereka meminta saya untuk memberikan kuliah tentang “Dampak Pemikiran Buddha pada Perkembangan Politik dan Ekonomi Asia.” Mereka secara khusus tertarik untuk mengetahui bagaimana asas-asas Buddha bersumbangsih pada keberhasilan ekonomi negara-negara “macan Asia” supaya mereka dengan suatu cara dapat menggunakan Islam untuk mendukung gejala yang serupa: Mesir menjadi “macan Afrika dan Timur Tengah”. Mereka juga ingin memahami Asia dan agamaagamanya untuk membentuk hubungan politik dan ekonomi yang lebih baik dengan wilayah tersebut. Mereka tidak ingin terkurung di bawah salah kaprah tentang semua Muslim adalah teroris fanatik dan fundamentalis. Ini adalah kuliah pertama tentang pemikiran Buddha yang pernah diberikan di fakultas ini, dan minat serta gelora yang muncul begitu besar. Mereka meminta saya untuk menggarap makalah tentang ajaran-ajaran dasar Buddha yang disajikan dalam sikap yang siap dipahami dari sudut pandang Islam untuk diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Arab sebagai salah-satu dari Asian Monograph Series mereka, yang disebarluaskan ke seluruh dunia berbahasa Arab. Makalah ini diterbitkan pada Juni, 1996.
Hari berikutnya, saya memberi kuliah tentang ajaran-ajaran dasar Buddha kepada tiga ratus mahasiswa S-1 tahun pertama dalam sebuah kursus tentang filsafat Asia di Fakultas Seni, diikuti dengan sebuah kuliah untuk seminar filsafat pascasarjana. Mahasiswa dan staf di sana sama hausnya akan informasi tentang Asia dengan orang-orang dulu di dunia komunis. Akan tetapi, ini bukan dalam perkara pencarian kerohanian seperti di negara-negara komunis dulu, tapi lebih kepada mendapatkan kesempatan untuk bersentuhan dengan belahan dunia lain lewat sikap memahami dan saling menghargai. Di pagi saat dua kuliah terakhir itu saya berikan, lima belas diplomat Mesir terbunuh dalam sebuah pemboman oleh teroris di Kedutaan Mesir di Pakistan dan muncul unjuk rasa besar di universitas tersebut. Petugas militer dan polisi hadir dalam jumlah besar, dengan kendaraan bersenjata, dan penangkapan serta hal lainnya terjadi – yang membuat kami terpaksa menyusup agar dapat memasuki kampus. Sungguh mengagumkan bahwa, dalam hiruk-pikuk yang terjadi di luar bangunan kelas, tumbuh minat akan ajaran Buddha. Yordania Pemberhentian terakhir dari perjalanan keliling saya adalah Mafraq, Yordania, dengan saya diundang ke Universitas Al al-Bayt. Universitas internasional, dibangun dengan peran besar dari pemerintah Yordania, ini didirikan pada 1994. Ada dua ribu mahasiswa di sana, setengahnya berasal dari negara-negara Muslim, dengan segelintir mahasiswa Kristen dari Eropa dan Amerika Utara, dan sejumlah besar staf asing. Universitas itu didirikan untuk memperluas sikap saling memahami di antara tujuh aliran Islam dan di antara Islam dan agama-agama lain dunia. Saya bertemu dengan kepala universitas itu, yang pada Desember 1995 akan berangkat ke Jepang sebagai pembicara kunci dan
penyelenggara-bantu sebuah muktamar tentang pemahaman Buddha-Islam. Ia mengungkapkan minatnya untuk menyelenggarakan muktamar seperti itu di Yordania di hari depan. Ia mengundang saya untuk kembali ke universitas itu di akhir 1996 untuk menyampaikan serangkaian kuliah tentang ajaran Buddha dan Tibet, hubungannya dengan Islam, dan untuk melanjutkan percakapan ini. Ia ingin membangun sebuah ruang untuk bukubuku tentang ajaran Buddha di perpustakaan universitas dan meminta saya untuk menyiapkan sebuah daftar buku untuk itu. Saya melakukan percakapan dengan fakultas Lembaga Tinggi Ilmu Politik Bayt al-Hikmah universitas tersebut tentang hubungan antara Islam dan Buddha di Asia kuno dan modern. Secara khusus mereka memusatkan perhatian pada wilayah Malaysia-Indonesia, tapi juga sangat berminat untuk belajar tentang daerah-daerah lain. Mereka meminta informasi tentang umat Muslim Tibet untuk basis data survei pan-Islam mereka dan mengundang saya untuk kembali guna membahas peran budi pekerti Buddha dalam perkembangan ekonomi. Saya juga bertemu dengan para profesor tamu dari Maroko dan Suriah, yang demikian berminatnya pada percakapan serupa. Harapan Hari Depan Tujuan utama dari percakapan Islam-Buddha, dengan demikian, seperti yang saya alami, adalah demi pendidikan – untuk masingmasing belajar lebih banyak tentang kepercayaan dan budaya yang lain. Perpustakaan Karya-karya dan Arsip Tibet, di Dharamsala, India, telah mengambil peran pandu dalam memenuhi tujuan ini. Mereka telah memulai sebuah program pertukaran jurnal dan buku dengan berbagai universitas di negaranegara Islam yang telah saya kunjungi untuk membina hubungan.
Begitu juga, mereka sedang membangun program-program kerjasama dengan lembaga-lembaga di negara-negara Republik Islam Asia Tengah bekas Uni Soviet untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut tentang sejarah hubungan antara umat Buddha dan Muslim di bagian dunia itu. Harapan untuk membina hubungan dan kerjasama sangatlah luas.
Apakah Ada Landasan Bersama di antara Agama Buddha dan Islam? Pendekatan Teori Ada banyak kesulitan dan bahaya dalam menelusuri landasan bersama di antara dua agama atau sistem filsafat apa pun. Salah satu kesulitan utamanya berhubungan dengan pendekatan teori yang dipakai dalam disiplin akademis mengenai perbandingan agama. Saya ingin menyebutkan sebuah cara untuk mengelompokkan berbagai pendekatan dalam kajian perbandingan agama dalam teologi Kristen, sebagaimana dirancang oleh Kristin Beise Kiblinger dalam tulisan, ”Buddhist Stances toward Others: Types, Examples, Considerations,” yang terbit dalam Buddhist Attitudes to Other Religions. Dalam tulisan tersebut, Kiblinger merancang tiga pendekatan: tertutup (exclusivism), terbuka (inclusivism), dan majemuk (pluralism).
Pendekatan tertutup berarti hanya ada satu agama yang memiliki jalan sejati menuju penyelamatan atau pembebasan. Meskipun agama lain mungkin memiliki topik-topik yang sama dengan kita, kedudukan agama lain itu tetap salah. Banyak naskah Buddha memiliki sikap ini bukan hanya terhadap pandangan-pandangan non-Buddha, tapi juga terhadap pandangan Buddha lainnya. Menurut pendekatan terbuka, ada banyak jalan menuju penyelamatan atau pembebasan, tapi keyakinannya adalah yang paling unggul. Dengan kata lain, agama lain bisa memiliki landasan bersama dengan kita, dan meskipun semuanya sah, milik kita lebih baik daripada milik mereka. Sebagian pengikut berbagai aliran Tibet cenderung memiliki pandangan ini terhadap
aliran Tibet lainnya – s emuanya mengarah pada pencerahan, tapi milik kita adalah yang terbaik. Menurut pendekatan majemuk, ada banyak jalan menuju penyelamatan atau pembebasan, dan tidak ada satu pun yang lebih unggul daripada yang lain. Ini adalah pandangan tidak picik, yang hanya menampilkan berbagai kedudukan agama terkait topik-topik yang sama, tapi tanpa memeringkat mereka. Dalam pendekatan terbuka dan majemuk, terdapat beberapa tingkatan mengenai seberapa besar seseorang menerima perbedaan nyata dan seberapa dalam perbedaan itu dipikirkannya.
Jenis pertama menekankan kesamaan, dan meskipun menyadari perbedaan-perbedaan, jenis ini mengecilkan semua itu dengan menyusunnya kembali sebagai kesamaan, persamaan, atau hal sampingan yang tidak penting. Ia melihat agama lain melakukan hal yang sama dengan yang kita lakukan, hanya dengan cara yang berbeda – bisa dikatakan, agama lain itu mengikuti agama kita tanpa benar-benar mengetahuinya. Sebagai contoh, Gelug menjelaskan latihan Nyingma dzogchen menurut teori Gelug anuttarayoga. Jenis kedua menghormati perbedaan-perbedaan asli dan melihat dialog sebagai alat berharga untuk membangkitkan pertumbuhan, baik ia menganggap agamanya lebih unggul atau tidak. Untuk jenis pertama (mereka sesungguhnya menyatakan apa yang kita lakukan, hanya dalam cara yang berbeda), bahayanya adalah ia bisa menjadi angkuh, sombong, dan terlalu cinta diri – ia menganggap bahwa kita tahu makna sesungguhnya agama mereka lebih baik daripada mereka sendiri. Dalam kerangka variasi pendekatan terbuka tentang ini, yang percaya bahwa agama kita yang paling unggul, pandangan ini dapat mengambil bentuk bahwa agama lain sesungguhnya menyasar tujuan kita,
tanpa mereka mengetahuinya. Atau, mereka hanya di tingkat lebih rendah di dalam jalan kita. Dengan jenis-jenis sikap seperti itu, tidak ada yang bisa kita pelajari dari mereka, tapi banyak yang bisa mereka pelajari dari kita. Kelompok-kelompok turunannya adalah:
Semua atau sebagian besar agama menuju tujuan yang sama; dan meskipun jalan mereka tidak sebaik jalan kita, pada akhirnya jalan mereka dengan sendirinya akan menuju pada tujuan yang sama dengan kita. Mereka pada akhirnya perlu diarahkan menuju jalan kita untuk mencapai tujuan yang sama dengan yang kita capai dalam jalan kita, dan yang selama ini mereka sasar tapi tidak bisa mereka capai bila mereka mengikuti jalan mereka sendiri. Sebuah contoh dalam agama Buddha adalah pernyataan anuttarayoga tantra bahwa sutra atau tantra yang lebih rendah hanya bisa menuntun Anda menuju cita-bhumi tingkat kesepuluh (bumi tingkat sepuluh), kemudian Anda butuh cara anuttaryoga untuk benar-benar mencapai pencerahan. Variasi lain untuk jenis pertama dari pandangan terbuka (jenis yang mengecilkan perbedaan dan berkata bahwa semua itu sesungguhnya kesamaan) menyatakan bahwa:
Kata-kata, pola pikir, dan doktrin adalah ungkapan yang tidak tepat dari pengalaman-pengalaman meditasi, dan semua agama berbicara mengenai pengalaman yang sama. Terdapat kesamaan teori inti atau pernyataan inti dari semua agama, dan hanya keadaan budaya dan sejarah yang menyebabkan adanya perbedaan. Contohnya adalah tampilan umum berbagai bentuk agama Buddha di berbagai negara – India, Asia Tenggara, Cina, Jepang, Tibet, dan lain-lain.
Selanjutnya, saat kita menyelidiki kemungkinan adanya landasan bersama di antara agama Buddha dan Islam, ini menyentuh topik perpindahan agama.
Dalam pandangan tertutup, jika hanya agama kami yang benar, supaya Anda bisa diselamatkan, Anda perlu meninggalkan agama Anda dan menganut agama kami. Dalam pandangan terbuka, Anda tetap bisa mengikuti agama Anda, karena itu sesungguhnya adalah bentuk lebih rendah dari agama kami, dan akhirnya yang akan terjadi adalah Anda dengan sendirinya melaksanakan pandangan kami (misalnya Chittamatrin yang melaksanakan anuttarayoga tantra akan dengan sendirinya menjadi Prasangika saat mereka mencapai tingkat pengasingan cita dari latihan tingkat sepenuhnya), atau kami pada akhirnya harus membuat Anda pindah agama. Dalam pandangan majemuk, tiap agama mengarah pada tujuan akhirnya masing-masing, dan semuanya sungguh layak dipuja – dengan dua variasi: tujuan-tujuannya setara; atau tujuantujuannya tidak setara – dan tak ada satu pun yang paling unggul. Sehingga tidak perlu pindah agama. Ini akan seperti jika Anda menjalankan agama Buddha, Anda menuju surga Buddha, bukan firdaus Islam; dan jika Anda menjalankan agama Islam, Anda menuju firdaus Islam, bukan surga Buddha. Mengenai jenis dua dalam pendekatan terbuka dan mejemuk (jenis yang menghormati perbedaan di antara agama dan menerima bahwa semua itu sah, baik masing-masing menganggap dirinya paling unggul atau tidak), pokok pembicaraan yang khusus adalah bagaimana memahami agama lain dan membandingkannya dengan agama Anda sendiri.
Apakah Anda bisa memahami agama lain secara khusus dalam kerangkanya sendiri, atau apakah Anda perlu meletakkan
pernyataan-pernyataannya dalam kerangka yang berasal dari sistem keyakinan Anda untuk membuatnya bisa dimengerti? Bila Anda melakukan yang terakhir (meletakkan pernyataanpernyataannya dalam kerangka yang berasal dari sistem keyakinan Anda untuk membuatnya bisa dimengerti), bisakah Anda melakukannya tanpa membuat pendekatan ini menyerah kepada atau menurun menjadi jenis pertama, dengan Anda menyatakan bahwa keyakinannya hanyalah variasi dari keyakinan Anda? Di sisi lain, bila Anda bisa menemukan pokok pembicaraan atau tema yang sama dimiliki oleh dua agama, misalnya Buddha dan Islam, maka bila Anda perlu mengungkapkan tema tersebut dan pendekatan agama lain dalam kerangka konsep sistem Anda sendiri, Anda bisa memahami dan menghormati perbedaan. Anda bisa menghormati perbedaan dengan bersikap tenggang-rasa tanpa menghakimi, tanpa menyatakan agama Anda adalah yang terbaik dan tanpa bersikap merendahkan diri terhadap agama lain. Dengan dasar pemahaman dan penghormatan seperti itu Anda bisa membangun keselarasan agama. Itu adalah pendekatan yang digunakan Yang Mulia Dalai Lama. Ketika ditanya, “Apa agama yang paling baik?”, ia menjawab, “Seperangkat keyakinan dan praktik yang membantu Anda menjadi lebih baik, orang yang lebih berwelas asih.” Cara Pandang Sejarah Pendekatan Muslim terhadap Agama Buddha di Masa Lampau Sekarang, mari kita secara khusus melihat agama Buddha dan Islam. Mengenai Islam, sebagai tambahan terhadap penelitian saya sendiri tentang topik ini, saya juga mengambil bahan untuk ini dari buku karya Reza Shah Kazemi berjudul Common Ground
between Islam and Buddhism, dengan kata pengantar dari Yang Mulia Dalai Lama dan Pangeran Ghazi bin Muhammad dari Yordania. Saya secara khusus mengambil kutipan Al-Quran dari buku Dr. Kazemi. Di masa lalu, baik Muslim maupun penganut Buddha (di sini kita batasi pada bentuk Indo-Tibet Buddha saja), telah menerapkan pendekatan terbuka. Muslim, sebagai contoh, memasukkan penganut Buddha sebagai Ahli Kitab, sama seperti orang Yahudi, Kristen, dan Zoroastrian. Mengapa demikian? Selama Khilafah Ummaiyyah (661-750 M), orang Arab menyebarkan kekuasaan dan agama mereka, Islam, di seluruh Timur Tengah. Sehingga, di awal abad ke-8, jenderal Ummaiyyah, Muhammad bin Qasim, menaklukkan wilayah Sind yang banyak dihuni penganut Buddha, yang saat ini merupakan wilayah Pakistan selatan. Penganut Buddha dan Hindu di Brahmanabad, salah satu kota besarnya, meminta supaya mereka diperbolehkan membangun kembali candi dan memelihara kebebasan beragama. Jenderal Qasim meminta nasihat dari gubernur, Hajjaj bin Yusuf, yang selanjutnya bertanya kepada para ulama Muslim. Para ulama ini, dalam apa yang kemudian dikenal sebagai “kesepakatan Brahmanabad”, menyatakan penganut Buddha (juga Hindu) sebagai Ahli Kitab. Gubernur Ummaiyyah, Hajjaj, mengumumkan, “Permintaan para pimpinan Brahmanabad mengenai bangunan Buddha dan candi lainnya, dan tenggang rasa dalam hal keagamaan, adalah adil dan masuk akal. Saya tidak melihat hak lebih lanjut yang kita miliki atas diri mereka selain pajak biasa. Mereka telah memberi kita penghormatan dan membayar pajak penduduk tetap (Ar. jizya)kepada Khalifah. Karena mereka telah menjadi subjek
yang terlindungi (Ar. dhimmi), kita tidak memiliki hak apa pun untuk mencampuri kehidupan dan harta milik mereka. Izinkanlah mereka mengikuti agama mereka sendiri. Tak seorang pun boleh mencegah mereka." Selanjutnya, penganut Buddha diperbolehkan membangun kembali candi dan wihara mereka, dan diberi status subjek terlindungi non-Muslim, selama mereka membayar pajak penduduk tetap. Para Khalifah Ummaiyyah, kemudian para Khalifah Abbasiyyah yang memerintah dari Baghdad (750-1258 M), dan para pemimpin Muslim berikutnya di India memegang kebijakan ini sebagai prinsip, meskipun, tentu saja, ini tidak selalu diikuti oleh para pemimpin atau jenderal. Meski demikian, pengaruh dari aturan ini adalah bahwa agama Buddha tidak dianggap sama dengan agama pagan yang menyembah banyak Tuhan, yang para pengikutnya tidak diberi hak semacam itu. Sekarang, Anda bisa berpendapat bahwa pemberian pengakuan hukum terhadap penganut Buddha lebih bersifat politis daripada teologis, yang lebih berakar pada sikap pragmatisme daripada analisis filsafat yang halus. Mungkin benar demikian. Setelah memperbolehkan pembangunan kembali candi Buddha dan Hindu, para gubernur Arab membebankan pajak kepada para peziarah yang datang ke sana. Bagaimanapun, para cendekiawan Islam tidak menganggap, hingga sekarang, hal ini sebagai kebijakan “ pragmatis” yang melanggar atau mempertarukan prinsip teologis Islam yang mendasar. Akibat diberikannya pengakuan hukum, perlindungan politik, dan tenggang rasa keagamaan terhadap penganut Buddha adalah bahwa jalan batin dan kode susila keyakinan Buddha berasal dari kekuasaan lebih tinggi, yakni sebagai sebuah penyingkapan sejati dari Tuhan.
Apa yang menjadi dasar penetapan pengikut Buddha sebagai Ahli Kitab? Apakah itu semata berdasarkan kesamaan cara beribadah? Sebagai contoh, di awal abad ke-8, sejarawan Persian al-Kermani menulis sebuah catatan terperinci tentang Wihara Nava di Balkh, Afghanistan dan menggambarkan adat-adat Buddha dalam istilahistilah yang berkesesuaian dalam Islam. Ia menggambarkan candi utama memiliki kubus di pusatnya, dihias dengan kain, dan para pemuja mengelilinginya serta melakukan sujud, seperti halnya dengan Kabah di Mekah. Namun, ia tidak membicarakan keyakinan Buddha apa pun. Lalu, apakah ada dasar doktrin dalam menyatakan penganut Buddha sebagai Ahli Kitab? Ini merupakan pertanyaan penting karena, jika penganut Buddha dianggap sebagai Ahli Kitab, mereka secara tersirat dimasukkan ke dalam kelompok komunitas “yang dilindungi”, sebagaimana diungkapkan dalam ayat AlQuran (2:62) berikut: “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orangorang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Hal itu menandakan landasan bersama antara agama Buddha dan Islam menurut Al-Quran – keyakinan akan Tuhan dan Hari Penghakiman serta pelaksanaan tindakan yang mulia dan membangun. Bahkan jika pandangan keduanya tidak sama, Islam melihat Buddha setidaknya cukup sama sehingga bisa serasi. Seperti disebutkan dalam Al-Quran (2:137): “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk.” Pendekatan ini, oleh karenanya, jelas bersifat terbuka. Penganut Buddha juga akan
mencapai penyelamatan seperti diajarkan dalam Islam, karena mereka mengikuti pandangan serupa. Pertanyaannya adalah batas-batas apa yang bisa dimasukkan di dalam konsep akan Tuhan, agama yang diberikan oleh Tuhan, Hari Penghakiman, dan kebenaran yang tunggal, dan seterusnya? Di sisi Muslim maupun penganut Buddha, terdapat sebagian ahli agama yang membuat pengertian-pengertian tersebut cukup kaku. Tapi sebagian juga membuatnya cukup lentur. Pendekatan Agama Buddha di Masa Lalu terhadap Islam Sebelum kita mengupas batas dari konsep-konsep tersebut, mari kita melihat pendekatan agama Buddha di masa lalu terhadap Islam. Satu-satunya naskah kuno Buddha yang menyebutkan adat atau keyakinan Islam adalah Kalacakra Tantra dalam bahasa Sanskerta, yang muncul di akhir abad ke-10 dan awal abad ke-11, kemungkinan besar di wilayah Afghanistan tenggara dan Pakistan utara. Pada saat itu, penganut Buddha di wilayah itu menghadapi ancaman kemungkinan serangan dari penguasa Multan di Pakistan tengah. Penguasa Multan adalah pengikut Syiah Ismailiyah, sebuah cabang aliran dalam Islam. Multan, bersama dengan Khilafah Fatimiyyah di Mesir, adalah pesaing bagi Abbasiyyah Arab untuk mengendalikan dunia Muslim. Penganut Buddha dan Hindu di Afghanistan tenggara dan Pakistan utara terjebak di tengah persaingan ini. [Lihat: Kehadiran Kalacakra Nabi-Nabi Para Penyerbu Non-India – Ringkasan.] Naskah-naskah Kalacakra menyebutkan beberapa keyakinan dan adat dari para penyerbu yang mungkin. Sebagian keyakinan yang digambarkan tampaknya khusus mengacu pada pemikiran
Ismailiyah pada masa itu, seperti daftar para nabi; sementara nama lain bertentangan dengan pemikiran itu, misalnya memasukkan Mani, pendiri Manichaeisme, ke dalam daftar itu. Bagaimanapun, sebagian besar keyakinan ini bersifat mendasar bagi Islam secara keseluruhan. Beberapa berkenaan dengan perilaku etika dan menggemakan pernyataan-pernyataan Buddha tentang disiplin etika, meskipun naskah itu tidak menyebutnya sebagai hal yang serupa. Pokok-pokok ini, bagaimanapun, bisa dianggap sebagai landasan bersama untuk kedua agama. Sebagai contoh, dalam Intisari Tantra Lebih Lanjut dari Kalacakra Tantra yang Agung (Skt. Shri-Kalachakra-tantrottaratantra-hrdaya) disebutkan, “Mereka memiliki satu kasta, tidak mencuri, dan bicara kebenaran. Mereka berperilaku bersih, menghindari istri orang lain, mengikuti tapa brata tertentu, dan tetap setia kepada istri mereka sendiri.” Di tempat lain, kita menemukan pendekatan yang lebih terbuka ketika naskah-naskah Kalacakra mulai menggambarkan keyakinan para penyerbu di dalam istilah-istilah Buddha. Sebagai contoh, Ringkasan Megah Kalacakra Tantra (Skt.LaghuKalachakra- tantra-raja), II.164cd, menyatakan: “Diciptakan oleh Pencipta adalah segala sesuatu yang muncul, bergerak, dan tidak bergerak. Untuk menyenangkannya, sebagai akibat pembebasan Tayi, terdapat surga. Ini sesungguhnya ajaran Rahman untuk manusia.” “Tayi”, nama yang digunakan naskah Kalacakara untuk para penyerbu, adalah kata Arab (Pers. Tazi) untuk penyerbu Arab di Iran. “Rahman”, Sosok Welas Asih, adalah sebutan untuk Allah. Pundarika meneliti ayat itu dalam Cahaya Tak Bernoda: Sebuah Komentar yang Menjelaskan “ Ringkasan Megah Kalacakra Tantra”, (Skt. Vimalaprabha-nama-laghu-Kalachakra- tantra-rajatika), “Sekarang, mengenai pernyataan para penyerbu Tayi,
Rahman pencipta memberikan kemunculan kepada setiap gejala yang berfungsi, baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Alasan pembebasan bagi para Tayi, yang disebut sebagai penyerbu berpakaian putih, adalah karena mereka menyenangkan Rahman, dan ini jelas menyebabkan kelahiran kembali yang lebih tinggi (di Surga) bagi manusia. Bila tidak menyenangkan Rahman, datanglah (kelahiran kembali di) Neraka. Ini semua adalah ajaran mengenai Rahman, ajaran-ajaran dari para Tayi. Pundarika mengurai lebih lanjut: “Pernyataan para Tayi penyerbu adalah bahwa manusia yang meninggal mengalami kebahagiaan atau duka di kelahiran kembali yang lebih tinggi (di Surga) atau di Neraka, bersama tubuh manusia mereka, melalui keputusan Rahman.” Di sini, landasan bersama antara ajaran Buddha dan pemahaman penganut Buddha tentang Islam adalah kelahiran kembali di surga dan neraka berdasarkan perilaku etika seseorang. Ini adalah menarik, berkenaan dengan bacaan-bacaan ini, bahwa naskahnaskah Kalacakra tidak menanggapi pernyataan pencipta, tidak pula peran pencipta dalam menentukan kehidupan setelah kematian berdasarkan apakah seseorang menyenangkan diri-Nya atau tidak. Sebenarnya, mengenai pokok terakhir ini, tentang penilaian Allah yang berdasarkan apakah seseorang menyenangkan diri-Nya atau tidak, pernyataan dari penganut Buddha itu tidak adil. Menurut sebuah hadits, Allah berkata, “Wahai hambaku, amalmu-lah yang aku perhitungkan atas dirimu dan aku memberikan ganjaran kepadamu.” Dalam hal apa pun, naskah-naskah Kalacakra berpusat semata pada sifat dari kehidupan setelah kematian dan pengaruh perbuatan seseorang di kehidupan ini secara umum terhadapnya.
Dalam membicarakan persoalan ini, naskah-naskah tersebut menyingkap pendekatan terbuka dalam mengenali pernyataan para penyerbu mengenai kelahiran kembali yang abadi sebagai sebuah pandangan salah, yang lalu dijelaskan lebih tepat dalam ajaran Buddha. Ringkasan Megah Kalacakra Tantra, II.174, menyatakan, “Melalui kehidupan setelah kematian (yang abadi), seseorang mengalami (akibat dari) tindakan karma yang telah ia lakukan sebelumnya. Bila terjadi demikian, penipisan karma manusia dari satu kelahiran ke kelahiran berikutnya tidak akan terjadi. Tidak akan ada jalan keluar dari samsara dan tidak ada jalan masuk menuju pembebasan bahkan dalam kerangka keberadaan yang tak dapat diukur. Pemikiran tersebut, sesungguhnya, muncul di antara para Tayi, meskipun dihilangkan oleh kelompok-kelompok lain.” Bila kita ingin melihat pokok ini yang berkenaan dengan kutukan abadi di dalam konteks ajaran Buddha yang lebih besar, landasan bersama di antara pandangan penganut Buddha dan Islam menjadi sedikit lebih luas. Bagaimanapun, ini menjadi lebih luas karena Anda bisa melihat pandangan Muslim tentang kelahiran kembali dan pembebasan sebagai sebuah langkah menuju pandangan Buddha. Dalam kerangka istilah Buddha, kemudian, Anda bisa mengatakan Islam hanya berkata tentang pembebasan dari penderitaan suatu penderitaan atau dari keadaan kelahiran kembali yang terburuk. Pembebasan itu adalah kelahiran kembali yang lebih tinggi di sebuah surga. Ini, pada akhirnya, adalah lingkup awal dorongan dalam tahap bertingkat lam-rim dalam jalan yang diajarkan. Ajaran Buddha kemudian membicarakan pembebasan dari segala duka kelahiran kembali, yang merupakan tujuan dari lingkup menengah dorongan. Dalam hal ini, mengikuti Islam menjadi langkah awal dalam mengikuti Buddha.
Namun, Anda bisa melihat pernyataan kaum Muslim mengenai duka abadi dalam cara yang berbeda, sehingga ini tidak begitu berbeda dengan pandangan Buddha. Dalam naskah-naskah Kalacakra, keberatan terhadap pola-pikir Muslim akan neraka adalah bahwa sekali berada di dalam api neraka, ini abadi dan Anda tidak akan bisa dibebaskan dari sana. Tapi jika seseorang melihat gambaran Buddha akan samsara, seseorang yang ingin keluar darinya seperti berusaha keluar dari gedung yang terbakar. Kelahiran kembali samsara juga akan abadi kecuali seseorang melakukan sesuatu terhadapnya, yakni berpaling kepada Dharma. Guru Nyingma di abad ke-19, Mipam, dalam tulisannya yang berjudul Cahaya Surya Vajra, Menjelaskan Makna Kata-Kata “Kalacakra Tantra yang Agung”: Tanggapan terhadap Bab (Lima), Kesadaran Mendalam, mengikuti pendekatan terbuka yang bahkan lebih kuat daripada naskah Kalacakra yang asli. Bertolak dari itu, dengan sarana yang cakap, Buddha mengajarkan caracara untuk menuntun Muslim menuju pencerahan, Mipam menulis, “Para penyerbu non-India memiliki dua (pokok filsafat) yang mereka pegang. Mereka meyakini gejala lahir terdiri atas kumpulan atom-atom, dan mereka meyakini keberadaan akan diri seseorang yang seacar sementara mengalami kelahiran atau memiliki unsur yang mengalami kelahiran dalam samsara. Tujuannya adalah mencapai kebahagiaan para dewa sebagai hasilnya. Di samping itu, mereka tidak menyatakan jenis lain dari nirwana.” Mipam kemudian menunjukkan bahwa pernyataan para penyerbu tentang zat yang bersifat atom (dari benda-benda) sesuai dengan keyakinan Buddha. Ia menjelaskan, aliran Vaibhashika dan Sautrantika dalam Buddha Hinayana menyatakan bahwa atom tak bisa dipisahkan, tak bisa dibagi; sementara aliran Chittamatra dan
Madhyamaka dalam Buddha Mahayana menyatakan bahwa pemisahan atom terjadi tiada henti. Mengenai diri atau sukma, Mipam melanjutkan, “Mengetahui watak dan pemikiran mereka, Buddha mengajarkan sutra yang bisa mereka (para penyerbu) terima. Sebagai contoh, dalamSutra Mengemban Tanggung jawab, Buddha berkata bahwa orang mengemban tanggung jawab (akan tindakannya) memang ada, tapi tanpa membicarakan apakah sukma orang tersebut bersifat tetap atau tidak tetap. Pokok-pokok ini benar menurut pernyataan mereka (para penyerbu). Makna yang dimaksud Buddha adalah bahwa orang ada sebagai kelanjutan dari diri yang mengemban tanggung jawab karma, tapi yang semata terhubung ke dalam aliran kesinambungan dan, menurut sifat dasarnya, tidak bersifat tetap maupun tidak tetap. Dalam peristiwa mimpi, yang muncul semata dari kebiasaan cita, orang beraga yang mengalami rasa suka dan sedih tidaklah ada. Mengingat ini semata penampilan, ketidaktetapan (seseorang) dalam kasus itu bahkan tidak seperti sifat yang dimiliki hal yang tidak tetap. Ini karena hal yang tidak tetap itu tanpa memiliki sifat seseorang. Diperiksa begitu saja, itu (jelas) sebuah benda tanpa penyisipan hal yang tetap maupun tidak tetap, demikianlah itu diajarkan. Melalui ajaran Yang Telah Pergi Saja ini, (para penyerbu) melepaskan dharma mereka dan selanjutnya menjadi Vaibhashikas yang menganut sistem Buddha. Sikap kaum terbuka di sana adalah bahwa Buddha memberikan ajaran-ajaran yang sesuai dengan pernyataan para penyerbu, dan melalui cara yang cakap ini, Buddha akan mengarahkan para penyerbu menuju pembebasan. Orang Muslim jelas akan
menganggap hal ini menyakitkan dan sikap ini tentu tidak akan mengarah pada keselarasan agama. Landasan Bersama untuk Dasar Bagi Penganut Buddha Dianggap Ahli Kitab Mari kita kembali pada akibat yang ditimbulkan oleh sikap Islam menganggap penganut Buddha sebagai Ahli Kitab untuk memeriksa landasan bersama secara lebih jauh. Seperti yang kita lihat, landasan bersama dari pernyataan itu adalah Buddha merupakan agama yang diungkap oleh kekuasaan lebih tinggi, yakni Tuhan. Ini, tentu saja, memunculkan pertanyaan tentang Tuhan sebagai sumber pengungkapan serta tentang orang yang menerima pengungkapan itu dan membaginya dengan dunia. Baik penganut Buddha maupun Muslim mengikuti pendekatan terbuka terkait pertanyaan mengenai pengungkapan. Sebagai contoh, tafsiran terhadap Kalacakra berjudul Cahaya Tak Bernoda menjelaskan, “Berkenaan dengan para penyerbu, Muhammad adalah penjelmaan dari Rahman. Tanda dari ajaran para penyerbu, ia adalah panutan dan guru bagi Tayi penyerbu.” Dalam ajaran Hindu, penjelmaan berarti kelahiran jiwa dewa ke dalam rupa yang lain. Jadi, Muhammad sebagai penjelmaanRahman sama dengan pernyataan Hindu akan Krisna sebagaipenjelmaan dewa Wisnu. Dalam kerangka Buddha, perumpamaan ini setara dengan pernyataan bahwa Muhammad adalah perwujudan Nirmanakaya dari Allah. Di sisi lain, apakah Buddha bisa dianggap sebagai nabi atau utusan Allah? Sejarawan Persia, al-Biruni, menemani Mahmud dari Ghazni dalam penyerangan ke sub-benua India di awal abad kesebelas. Berdasarkan pengalaman ini, al-Biruni menulis Buku tentang India (Ar. Kitab al-Hind). Di dalamnya, ia menggambarkan
adat dan keyakinan dasar dalam Buddha dan mencatat bahwa orang India menganggap Buddha sebagai nabi. Ini tidak langsung berarti bahwa ia menyarankan Muslim seharusnya menerima Buddha sebagai nabi atau utusan Allah. Bagaimanapun, AlQuran (4:163-164) mengatakan: “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud. Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu.” Buddha bisa termasuk di antara utusan-utusan yang tidak disebutkan secara tersurat. Sebagai contoh, menurut dua belas perbuatan tercerahkan seorang Buddha, seorang Buddha datang di waktu yang berbedabeda, saat makhluk-makhluk telah matang, dan mengajar Dharma secara berbeda untuk tiap-tiap usia, yang bertujuan menyesuaikan dengan makhluk-makhluk yang ada di sana. Meskipun terdapat ribuan adi Buddha Nirmanakaya selama waktu yang sangat lama, dengan jumlah yang tak terhingga banyaknya di antara mereka, terdapat banyak adi Makhluk Nirmanakaya yang datang di antara adi Buddha Nirmanakaya. Kedua kelompok Nirmanakaya ini bisa disebut “Utusan Dharma”. Tiap Buddha juga menggunakan cara yang cakap dalam mengajarkan Dharma secara berbeda untuk orang-orang yang berbeda. Bagi sebagian orang, Buddha bahkan mengajar bahwa terdapat sebuah diri. Islam juga memiliki cara pengajarannya sendiri dengan cara yang cakap. Al-Quran (14:4) mengatakan, “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan
dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” Kita harus berhati-hati di sini. Meskipun Islam bisa menerima Buddha sebagai utusan Tuhan; Muslim, seperti juga orang Kristen dan Yahudi, akan cukup tersinggung bila diberitahu bahwa Muhammad, Yesus, Abraham, dan Daud adalah Nirmanakaya Buddha atau penjelmaan Allah. Ini merupakan kemunduran besar dari pendekatan terbuka dalam perbandingan agama. Namun, bagaimana kita bisa memahami pernyataan penganut Buddha bahwa Nagarjuna mengungkap ajaran Prajnaparamita yang Manjushri percayakan kepada kaum naga, yang menyembunyikan ajaran tersebut di bawah samudera? Atau, pernyataan bahwa Asanga menerima pengajaran yang luas mengenai cinta, welas asih, dan bodhicita dari Maitreya, saat ia dibawa ke surga Tushita? Bagaimana cara kita memahami penglihatan murni dan naskahnaskah pengajaran tersingkap sebagai harta tersembunyi dalam aliran Nyingma? Apakah pernyataan-pernyataan penganut Buddha ini begitu berbeda dari pernyataan Muslim mengenai nabinabi yang mengungkap sabda Tuhan? Mengenai Tuhan, satu-satunya unsur yang disanggah ajaran Buddha adalah (bahwa) pencipta mahakuasa yang bisa mencipta tanpa dipengaruhi oleh hal lain apa pun, bahkan dari keinginan untuk mencipta. Ajaran Buddha tidak menyanggah sifat-sifat lain dari Tuhan, atau bahkan penciptaan itu sendiri. Sebagai contoh, anuttarayoga tantra menjelaskan bahwa cita bercahaya jernih tiap orang adalah pencipta dari segala perwujudan yang dialami orang tersebut, dan ini dipengaruhi oleh karma pribadi orang tersebut maupun karma bersama. Selain itu, sebagai kebenaran paling dalam, cita yang
bercahaya jernih berada di atas kata-kata dan pola pikir, sebagaimana Allah. Al-Quran menyebutkan: "Maha suci Allah di atas dan melampaui segala yang dapat mereka gambarkan." Meski demikian, terdapat sembilan puluh sembilan nama Allah, dan semua ini mengacu pada sifat-sifat inti dari Allah. Demikian juga, dalam Sebuah Konser Nama-Nama Manjusri (Skt.Manjushrinama- samgiti), Manjusri mengacu pada cita bercahaya jernih dalam keadaan adi pertama, dan ayat-ayat dalam naskah Kalacakra ini menjelaskan sifat-sifatnya. Seperti Allah, Manjusri, cita bercahaya jernih, adalah (58) “bersifat adi pertama, paling tinggi, tak memiliki awal,” (100) “Ia adalah satu tanpa awal atau akhir.” Dan seperti Allah, Manjusri, cita bercahaya jernih adalah (97) “yang tidak berwujud, tidak muncul, yang tidak memiliki tanda yang bisa membuatnya terlihat.” Lebih jauh, Allah itu Esa, dan serupa dengan ini, Manjusri, cita bercahaya jernih (47) “tidak bersifat ganda, pembicara tentang yang tidak bersifat ganda.” Salah satu sifat inti dari Allah adalah al-haqq – yang nyata, benar, tepat, juga dalam kerangka etika. Ini memiliki pertalian dengan Dharma dalam pengertian dharmata – kebenaran paling dalam, Dharmakaya kesadaran mendalam. Manjusri, cita bercahaya jernih adalah (55-56) “Dharma yang keramat, penguasa Dharma … hamparan kenyataan agung yang terhancurkan.” Di tempat lain, (47) “ Ia yang begitu sempurna, tanpa sifat-identitas, keadaan nyata,” (157) “Ia adalah kemurnian dan keagungan dari kebenaran paling dalam.” Allah selalu diacu sebagai al-Rahman, yang welas asih, dan alRahim, yang pengampun – welas asih dalam arti bersikap welas
asih untuk mencipta, dan pengampun dalam menyelamatkan manusia dari duka. Dalam dzogchen, sifat dari rigpa, kesadaran murni, yang membuat perwujudan, diacu sebagai “welas asih”. Lebih lanjut, Manjusri, cita bercahaya jernih, adalah (38) “terbuat dari cinta agung, ia adalah cita pertama dari welas asih agung,” (88) “Ia merupakan perantara yang memenuhi tujuan-tujuan semua makhluk yang terbatas. Selalu mengharapkan yang terbaik, ia adalah Yang dengan kasih sayang orangtua kepada makhluk yang terbatas.” Juga, seperti Allah, Manjusri, cita bercahaya jernih adalah (152) “Yang layak menerima persembahan, pujian, sujud-sembah … layak menerima penghormatan, pemujaan, puja-puji.” Semua sifat Allah ini, cita bercahaya jernih, pengungkapan kebenaran, welas asih, dan seterusnya, menandakan landasan bersama di antara agama Buddha dan Islam, selain prinsip-prinsip etika mendasar yang dimiliki bersama. Banyak sifat lainnya yang juga bisa disebutkan, seperti pembacaan dzikir dalam Islam dan mantra dalam Buddha, penekanan pada amal, kajian, pekerjaan yang jujur, dan sebagainya. Bila kita mendekati semua sifat bersama ini dalam cara yang majemuk dan penuh hormat, tanpa bersikap menghakimi atau mencoba memasukkan ajaran pihak lain sebagai semata variasi ajaran kita, kita akan memiliki dasar kuat untuk keselarasan agama.
Beberapa Ciri Umum di antara Islam dan Buddha: Sebuah Percakapan dengan Snjezana Akpinar dan Alex Berzin Banyak orang di Barat yang abai dan takut terhadap Islam. Dengan harapan meluruskan beberapa kesalahpahaman umum dan menjelajahi gema antara Islam dan Buddha, Inquiring Mindmengatur sebuah percakapan antara Alex Berzin dan Snjezana Akpinar. Alex Berzin tinggal selama 29 tahun di Dharamsala, India, tempat ia sesekali melayani sebagai penerjemah lisan untuk Yang Mulia Dalai Lama. Ia kini tinggal di Berlin, Jerman, tempat ia mengajar meditasi dan filsafat Buddha Tibet. Dalam perjalanannya keliling dunia sambil memberikan kuliah, Berzin telah menjelajahi hubungan sejarah antara umat Buddha dan Islam. Dalam melakukan penelitian untuk buku sejarah daringnya, The Historical Interaction between the Buddhist and Islamic Cultures before the Mongol Empire (Hubungan di Masa Lalu antara Kebudayaan Buddha dan Islam Sebelum Kekaisaran Mongol), ia telah memberikan kuliah di universitas-universitas di Turki, Yordania, dan Mesir serta berbicara dengan para cendekiawan di Uzbekistan, Kyrgyzstan, dan Kazakhstan. Ajaran yang diterapkan Snjezana Akpinar secara praktis adalah ajaran Buddha, tapi kajian-kajiannya bertitik pusat pada agama Islam. Ia berasal dari Republik Kroasia di bekas Negara Yugoslavia; ayahnya, seorang cendekiawan Buddha ternama, pergi ke Sri Lanka di usia tua dan menjadi seorang biksu. Akpinar menghabiskan separuh minggunya di Kota Sepuluh Ribu Buddha, sebuah Biara Buddha Cina di California Utara, mengajarkan pada umat Buddha tentang Barat, dan separuh minggu sisanya di Graduate Theological Union di Berkeley, menawarkan kursus-
kursus tentang Islam dan agama perbandingan, mengajarkan pada umat Kristen tentang Timur. Inquiring Mind: Alex, Anda telah banyak menyajikan ajaran Buddha kepada dunia Islam. Apa yang Anda tekankan saat menyajikannya, dan bagaimana ajaran itu diterima? Alex Berzin: Pendekatan yang saya gunakan adalah sikap mau belajar dari para khalayak Muslim. Saya telah menjelaskan pada mereka bahwa saya pikir Islam telah cukup parah disalah-wakilkan dalam sejarah-sejarah baku – yang pada dasarnya dikisahkan orang Muslim meringsek masuk ke dalam kebudayaan Buddha dan meluluh-lantakkan semuanya. Sesungguhnya, terdapat hubungan panjang yang bersifat sangat membangun antara agama Buddha dan Islam. Saat Anda melihat sisi-sisi rusaknya, tampak bahwa hal ini utamanya didorong oleh pertimbanganpertimbangan ekonomis dan politis, bukan agama. Jadi, saya meminta penjernihan bagi hubungan sejarah ini. Secara alami, hal ini lalu memancing khalayak Muslim untuk bertanya tentang ajaran Buddha. Di berbagai lembaga teologis yang telah saya kunjungi di dunia Islam, para cendekiawan Islam sangat tertarik dalam pembahasan menyeluruh tentang Tuhan. Saya telah ketahui dari pengalaman saya di Indonesia, yang merupakan sebuah negara dengan sebagian besar penduduknya Muslim, bahwa tak mungkin Anda berkata pada sekumpulan khalayak Islam, “Agama Buddha tak percaya pada Tuhan.” Hal itu akan segera menutup pintu masuknya. Di Indonesia, ada sebuah kebijakan bahwa lima agama diakui karena keyakinannya pada Tuhan: Hindu, Islam, Protestan, Katolik, dan Buddha. Umat Buddha Indonesia telah menyarankan kepercayaan ajaran Buddha terhadap Tuhan dengan mengajukan Adibuddha, yang berasal dari
ajaran Kalacakra (Lingkar Waktu), yang telah tersebar di Indonesia sedikit lebih dari seribu tahun yang lalu. Secara harfiah, Adibuddha berarti Buddha pertama atau adi. Umat Buddha Indonesia sendiri tidak memiliki pemahaman penuh tentang Adibuddha. Tapi, tanpa menjelaskannya, mereka berkata, “Di sini kami punya Tuhan yang sama.” Demikianlah, saat saya datang ke Indonesia, umat Buddha Indonesia bertanya pada saya apa sebenarnya makna Adibuddha. Saya jelaskan pada mereka bahwa Anda dapat membicarakannya dalam kerangka cita bercahaya jernih. Dalam diri setiap orang, ini adalah pencipta dari wujud kita, hal yang kita tangkap dengan indera; jadi dalam pengertian ini Adibuddha sama seperti pencipta. Dengan menggunakan tafsir umum tentang Adibuddha ini, saya mampu masuk ke dalam percakapan dengan para cendekiawan Islam di negara-negara lain. Para cendekiawan Islam cenderung sangat terbuka pada hal ini karena dalam Islam, Allah tidak dipandang sebagai sosok orang. Demikian pula, daya pencipta dalam setiap cita ini – yang mungkin dilihat sebagai sesuatu seperti tuhan pencipta yang ditemukan dalam diri setiap insan – juga tidak dipandang sebagai sosok orang. Seperti yang diajukan dalam pemikiran-pemikiran Nyingma, Kagyu, dan Sakhya dari ajaran Buddha Tibet, Adibuddha melampaui kata-kata, melampaui berbagai nalar dan pola pikir, tak terkhayalkan. Para cendekiawan Islam dapat menghubungkan diri mereka dengan hal ini dengan sangat baik. Juga, asas-asas dasar tentang kasih dan welas asih yang terkandung dalam ajaran-ajaran ini membuat para cendekiawan Islam menjadi sangat terbuka untuk mengetahui lebih banyak tentang ajaran Buddha. Di masa lalu, umat Buddha di wilayah seperti Afghanistan, Asia Tengah, dan subbenua India tidak diakui oleh para penguasa
Muslim sebagai “Ahli Kitab” menurut penggunaan istilah Al-Quran yang ketat untuk mengacu pada orang Kristen dan Yahudi. Akan tetapi, umat Buddha menerima derajat dan hak yang sama dengan “Ahli Kitab”. Ini berarti bahwa mereka dapat tetap menganut agama mereka, selama mereka membayar pajak penduduk khusus. Jadi, dalam percakapan saya dengan para cendekiawan Muslim, kami bersama-sama menjelajahi apa yang dimaksud dengan “Ahli Kitab”. Saya bertemu dengan seorang pemimpin Sufi Afrika Barat dari Guinea yang menjelaskan bahwa “Ahli Kitab” berarti orang yang percaya pada asas-asas budi pekerti dan kesusilaan nirwujud yang lebih tinggi yang, dalam pengertian ini, menciptakan atau menata dunia. Istilah itu tidak serta-merta berarti orang-orang yang mengakui Lima Kitab Musa (Taurat). Juga, dalam penyelidikan lebih lanjut, yang mengagetkan saya adalah bahwa dalam bahasa Turki Lama dan Sogdian, bahasa kuno yang dipakai untuk menerjemahkan naskah-naskah ajaran Buddha yang tersedia di Uzbekistan dan Afghanistan bagian utara sekarang, istilah Dharmaditerjemahkan dengan menggunakan kata pinjaman dari bahasa Yunani noum, yang aslinya bermakna “hukum”. Kemudian, katanom untuk Dharma dipinjam dari Sogdian ke dalam bahasa-bahasa Asia Tengah lainnya yang dipakai untuk menerjemahkan naskah-naskah ajaran Buddha, seperti Uighur (dari rumpun bahasa Turki) dan Mongol. Dalam bahasa Mongol modern, “ nom” bukan hanya kata untuk “Dharma” saja, tapi juga untuk makna tambahan “kitab”, dalam pengertian kitab-kitab yang mengandung Dharma dalam bentuk tulisan. IM: Tapi, umat Buddha bahkan tidak memiliki kesamaan isi kitab seperti yang dimiliki umat Muslim, Kristen, dan Yahudi dalam Lima Kitab Musa?
AB: Tidak, tapi persoalan “Kitab” ini menandakan pentingnya hukum budi pekerti sebagai landasan percakapan dan keselarasan antaragama. Snjezana Akpinar: Saya mengikuti garis nalar yang sama. Menarik untuk mengingat bahwa bapak dari banyak segi budaya Turki sebelum mereka menjadi Muslim adalah Chinggis Khan (Genghis Khan), yang menaklukkan dan memerintah mereka menurut apa yang disebut dengan yasa, yang berarti “hukum”. Tentunya, hukum yang ini sifatnya lebih duniawi, tapi pola pikiryasa sangat mirip dengan Dharma: hukum abadi yang menggerakkan dunia. AB: Pokok permasalahannya, saya kira, adalah bahwa Anda perlu menemukan penggunaan istilah umum yang membuat para penganut dua agama menjadi terbuka untuk bercakap-cakap. SA: Ya. Ajaran-ajaran Islam tentang Syariat agaknya dapat sewarna dengan ajaran Buddha dalam pengertian tertentu. Kata Arab syariat adalah hukum yang perlu orang patuhi agar lalu-lintas dapat mengalir dengan mudah di dunia ini. Ini hanyalah batasanbatasan yang memungkinkan orang hidup dalam keselarasan. Menurut syariat, Anda harus tahu cara menghadapi naluri, keraguraguan, dan suara hatimu. Jadi syariat bukanlah seperangkat aturan, tapi seperangkat cara yang digunakan agar bisa mendapatkan kebenaran; hampir seperti meditasi. Dan tarikat atau “jalan batin” sangat sering digambarkan sebagai titik tengah dari syariat. Jika Anda membayangkan syariat sebagai garis keliling sebuah lingkaran, tarikat membimbing Anda ke tengah-tengahnya. Jika Anda membayangkan syariat sebagai sebuah bulatan, tarikat adalah titik pusat dari bulatan tersebut, yang menghubungkan Anda dengan bulatan-bulatan lain. Itu
adalah jalan batin langsung menuju Tuhan, yang merupakan yang tak diketahui, ketiadaan. Jadi ada pola-pola pikir dalam Islam yang sangat mirip dengan yang ada dalam ajaran Buddha. Pada mulanya, kebanyakan pola pikir ini berasal dari Asia Tengah, jadi besar kemungkinan ada kaitannya dengan ajaran Buddha, bahkan dalam tataran sejarahnya. Menarik untuk memerhatikan pertautan lebih jauh antara agama Buddha, Islam, dan Kristen. Teologi al-Ghazali, ahli teologi Islam yang agung, adalah apa yang mendorong Thomas Aquinas untuk menuliskan teologinya di sekeliling konsep iman dan akal sehat. Persoalan-persoalan ini telah dibahas di Asia Tengah di antara umat Buddha dan non-Buddha dalam rincian yang luar biasa. AB: Pola-pikir seperti jihad, yang bermakna “usaha yang benar” juga memiliki gema dalam ajaran-ajaran Buddha. SA: Pikiran Anda bisa jadi jihad. Segala hal yang Anda lakukan bisa jadi jihad. AB: Sifat beladiri yang disarankan oleh istilah jihad juga ditemukan dalam banyak istilah Buddha. Hal ini tidak mengejutkan. Bagaimanapun juga, Buddha sendiri berasal dari kasta ksatria yang berkuasa. Setelah berjerih-payah dengan usahanya yang benar, Buddha digambarkan sebagai Yang Berjaya, yang memenangkan pertempuran melawan perasaan-perasaan yang mengganggu. Jadi di mana pertempuran itu terjadi? Itu terjadi di dalam cita; sebuah pertempuran melawan kebodohan, keserakahan, kemelekatan, amarah, dan kebencian. Juga ada banyak pengaruh di sana-sini antara gerakan Sufi dan agama Buddha di Asia Tengah dan India. Anda menemukan dalam
aliran Sufi praktik yang mirip dengan pelantunan mantra. Persis seperti saat orang Sufi melafalkan nama-nama Tuhan, umat Buddha memuji nama-nama Manjushri. Selain itu, ada pula praktikpraktik yang dapat dipahami bagi umat Muslim dan Buddha, termasuk tawaf dan peziarahan. Dalam kedua agama itu, terdapat penekanan kental pada kemurahan hati dan pada kesetaraan bagi tiap orang. Sukar sekali dikatakan, mengenai ciri-cirinya satu-persatu, apakah pengaruhnya berasal dari satu pihak atau dari pihak yang lain, atau apakah masing-masing berkembang secara mandiri. SA: Selama berabad-abad, telah banyak terjadi hubungan langsung antara India dan Teluk Persia. Di masa-masa awal itu, Basra merupakan pelabuhan yang tumbuh dengan subur dan kapan saja ada orang yang sakit parah di Teluk Persia, mereka cenderung berlayar menuju Bombay karena angin muson akan membawa mereka sampai di sana lebih cepat. Sedari awal, juga, telah terjadi pertukaran dalam hal-hal teologis. AB: Baghdad, tentunya, dibangun oleh para arsitek India sebagai ibukota dari dinasti Abbasid yang baru. Selama masa paruh kedua dari abad kesembilan, terdapat rumah pengetahuan di Baghdad; para penerjemah Buddha dan Hindu datang ke sana untuk menerjemahkan beragam naskah ke dalam bahasa setempat, Arab. Jadi terjadi hubungan lintas budaya yang kental di sana. Salah satu dari wilayah besar pertukarannya adalah ilmu pengetahuan, khususnya astronomi, astrologi, dan pengobatan. SA: Dan juga filsafat. Sebuah kekeliruan, saya kira, dari Barat adalah bahwa kapan saja filsafat dibahas dalam konteks Muslim, selalu saja dihubungkan dengan Yunani, padahal banyak dari pola-
pikir filsafat ini sebetulnya tidak berasal dari Yunani, melainkan India atau Timur. AB: Percakapan para pemimpin rohani Muslim dengan para pemimpin agama lain ini terus berlanjut, khususnya oleh peran orang-orang seperti Yang Mulia Dalai Lama. Yang Mulia pernah meminta saya untuk mencarikannya seorang pemimpin Sufi Kulit Hitam dari Afrika Barat – betul-betul rinci penciriannya – untuk membahas dua agama tersebut. Pemimpin semacam itu hampirhampir seperti jatuh dari langit saja. Dialah Dr. Tirmiziou Diallo, berasal dari keluarga yang turun-temurun telah menjadi pemimpin Sufi di Guinea, Afrika barat, yang saya sebutkan di awal tadi, dan yang saya temui lewat seorang teman kami, orang Jerman, di korps diplomatik. Saya menemaninya ke Dharamsala untuk bertemu dengan Yang Mulia. Pokok pembicaraan yang paling mereka berdua minati adalah cinta dan welas asih. Pemimpin Sufi ini begitu tersentuh hatinya oleh pengalamannya bersama Yang Mulia, sampai-sampai beliau datang menghadiri upacara Kalacakra Yang Mulia yang diselenggarakan di Graz, Austria, Oktober lalu. SA: Setiap bab dalam Al-Quran dimulai dengan seruan bagi Tuhan yang Maharahim dan Mahakasih. Saya melihat Al-Quran pada dasarnya sebagai sebuah tafsir atas Lima Kitab Musa, karena setiap orang mengetahui kisah-kisah Lima Kitab Musadi masa kehidupan Muhammad. Tapi, apa yang Muhammad suntikkan ke dalam tradisi kuno Yahudi adalah pola-pikir welas asih dalam hukum ilahi. Mengembangkan pepatah lama, “ mata ganti mata,” Muhammad menunjukkan bahwa Tuhan itu Mahakasih, dan jika Anda dapat menemukan welas asih dalam diri Anda, itu jauh lebih baik. Jadi, di seluruh isi Al-Quran, ada pelunakan terhadap hukum pembalasan.
Ada satu cerita indah dari Islam yang dialamatkan pada persoalan besar: mengapa umat Muslim berperang? Pertama-tama, Muhammad, seperti setiap nabi lain yang diilhami oleh Tuhan, merupakan orang yang tidak suka kekerasan. Tapi, masyarakatnya sekarat dan mereka diserang. Akhirnya, Muhammad melihat bahwa ia tidak bisa menahan para pengikutnya lebih lama lagi untuk tidak melawan. Saat itulah Muhammad menuturkan ucapannya yang terkenal: “Aku lihat aku tak bisa menghentikan ini, jadi jikalau kamu harus melawan, lawanlah. Tapi jangan lupa bahwa sejak sekarang sampai seterusnya beban perbuatanmu ada di pundakmu, dan agamamu takkan menjadi murni kecuali kamu bertanggung jawab atas beban perbuatanmu.” Ada hukum karma dalam pengajaran itu. Kata qadr bermakna kuasa. Biasanya, di Barat, Anda juga melihat qadr sebagai takdir. Akan tetapi, kata takdir juga bisa dilihat sebagai karma. Perhatikan bagaimana Muhammad melanjutkan, “Saat kamu memojokkan musuhmu dengan pedangmu di lehernya, dan ia memohon pengampunan, jika kamu dapat menemukan ungkapan welas asih dalam dirimu, yang terbaik untuk dilakukan adalah memaafkannya dan mengubah musuhmu menjadi teman. Tapi, jika kamu tidak dapat menemukan sepercik welas asih dalam dirimu untuk orang itu, teruskan dan bunuhlah dia. Tapi cobalah untuk menemukan rasa welas asih itu karena kamu bertanggung jawab pada Tuhan.” Banyak dari umat Muslim masa awal sebenarnya orang yang pindah agama di medan perang. Tapi, gagasannya adalah bahwa bukan orang yang nyawanya selamat, tapi orang yang membiarkan musuhnya hiduplah yang menjadi orang yang lebih baik.
IM: Jadi dengan jihad Islam yang sekarang ini, di mana welas asih ini terletak? SA: Kelihatannya tidak ada. Kini, ada beberapa versi Islam yang sangat militan yang telah sempal dari silsilahnya. Orang-orang Neo-Muslim ini kerap kali mendaku bahwa tak ada perlunya mempelajari Al-Quran, biarpun itu merupakan kitab suci, landasan semata bagi Islam. Bagi mereka, sudah cukup bila telah mempelajari bab pertama dan kedua, dan melupakan sisanya. Begitu hal tersebut dilakukan, timpanglah iman. AB: Sangat penting untuk menekankan bahwa mereka yang militan, fanatik, dan fundamentalis ini hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan umat Muslim. Ada orang-orang fundamentalis fanatik di setiap agama, termasuk agama Buddha. IM: Apa ada ajaran-ajaran dalam Islam yang akan berujung pada atau membenarkan tindakan bom bunuh diri? SA: Dalam Islam, seperti di dunia Kristen, boleh jadi ada para syuhada. Pelaku bom bunuh diri mendaku diri mereka sebagai syuhada; tapi, mereka membunuh diri mereka sendiri. Aturan pertama adalah, “Janganlah engkau membunuh,” khususnya dirimu sendiri. Orang-orang ini bukan syuhada; mereka hanya “pembunuh-diri”. IM: Banyak penganut agama Buddha di Barat mengenal Islam utamanya lewat para penyair Sufi seperti Rumi dan Hafiz, yang menekankan pada cinta dan pengabdian menyeluruh pada Tuhan atau pada gagasan bahwa Tuhan mewujud lewat semua hal. Sementara orang menyukai para penyair itu dan menyukai pendekatan semacam itu, cinta menawan yang mereka bicarakan tampaknya tak punya tempat lapang dalam kebanyakan ajaran
Buddha yang telah dianut oleh banyak umat Buddha di Barat, yaitu meditasi hening dan penyelidikan batin. SA: Ada banyak juga orang Muslim yang tidak sesuka-ria itu saat beribadah. Puisi itu sangat kuat dan mungkin berakar pada agama Hindu, atau pada aliran kebaktian India lainnya. Tapi, ada suatu aliran lain dari Asia Tengah yang menjembatani Islam dan Buddha dalam cara yang sangat menarik. Orang Cina menyebutnya “sajak sejodoh” atau sajak empat baris. Dalam bahasa-bahasa rumpun Turki, sebutannya koshma, yang berarti “yang berlari melewati pikiranmu”. Sebuah pikiran yang ditangkap saat pikiran itu berlari menjauh; sebuah pikiran yang harusnya Anda biarkan pergi, tapi Anda tangkap juga. Anda menulis seuntai sajak, dan menambahkan baris akhir yang memutar-balik maknanya, seperti sesuatu yang tak masuk akal. Itu seperti inti dari koan. Penyairpenyair tenar seperti Omar Khayyam mengerjakan sajak-sajak ini, seperti yang dilakukan banyak penganut Sufi, khususnya yang tinggal di Asia Tengah. Seorang penyair rakyat ternama dari Turki, Yunus Emre, juga dikenal sebagai seorang Sufi, bagus dijadikan contoh. Banyak dari puisi-puisinya dimulai dengan perenungan di atas pusara di pemakaman, yang merupakan suatu bentuk lazim dari meditasi. IM: Apakah ada meditasi hening dalam ajaran Sufi? SA: Ya, bergantung tarekatnya. Beberapa tarekat menyuruh untuk menjerit, berteriak, memekik, dan menari. Yang lain, hening. AB: Di sisi lain, unsur kebaktian yang Anda temukan dalam banyak aliran Sufi bisa juga ditemukan di antara masyarakat Barat yang berlatih di banyak pusat Buddha Mahayana. Banyak pelaku ajaran
Buddha suka berkumpul bersama untuk melantun atau bernyanyi, dan beberapa melakukan yang disebut dengan “tarian vajra”. IM: Bisa Anda jelaskan lebih lanjut tentang Allah dalam perbandingannya dengan pandangan Tuhan di agama lain dan dengan ajaran-ajaran terkait dalam agama Buddha? AB: Agama Buddha memiliki unsur-unsur tertentu yang dapat Anda kaitkan dengan Allah, atau dengan Tuhan secara umum, tapi tidak meletakkan semua dalam satu istilah. Bagaimanapun juga, agama Buddha tidak menegaskan bahwa ada asas atau kenyataan yang sepenuhnya melampaui atau terpisah dari kita dan alam semesta kita dalam cara dualistik yang transendental. Asas tertinggi dalam agama Buddha yang menyatukan segalanya adalah “kehampaan”. Kehampaan mengacu pada fakta bahwa tidak ada apa pun yang berada dalam kemustahilan, dalam cara khayal seperti sungguh mandiri dari segala sesuatu, tapi semua makhluk dan hal memunculkan kebergantungan satu sama lain. Jika Anda bicara dalam kerangka kehampaan, hal itu tidaklah terpisah dari kita atau dunia kita, walaupun beberapa aliran Tibet menyebutnya melampaui kata-kata atau pola-pikir. Karena seluruh makhluk dan lingkungan ini saling bergantung, orang harus punya rasa peduli dan welas asih untuk semua sesama. Sifat welas asih itu tidaklah terpisah atau melampaui, namun merupakan bawaan dalam diri setiap orang. SA: Saya berpikir bahwa Allah adalah ketiadaan, dan saat Anda melafalkan mantra dasar dalam Islam “ La Ilaha ‘Ila Al-lah”(yang tertulis dalam bendera negara Saudi), sebetulnya Anda diundang untuk terus mengulang “Tak ada Tuhan selain Allah” terus dan
terus selagi Anda mengurangi satu sukukata, atau satu “ lah” setiap kalinya. “ Lah” berarti “tiada,” jadi bermakna penyangkalan (negation). Dan dengan demikian, Allah adalah “Tiada” yang Agung. Allah adalah sesuatu yang tak bisa Anda bayangkan, karena melampaui segalanya, demikian juga “ ah” besar di akhir katalah yang menunjukkan ketiadaan itu. Saat Anda mengulangi, “La Ilaha Illa Al-lah,” Anda sedang mengupas lapisan-lapisan dari segala hal yang dapat terbayangkan. Anda terus mengulangnya dan menghilangkan sukukata sampai yang tinggal hanyalah “ ah” dan itulah hua (Dia), napas murni dari Tuhan. AB: Kehampaan juga merupakan sebuah penyangkalan atau penghilangan – dalam perkara ini, sebuah pembatalan terhadap segala khayalan akan bagaimana hal-hal itu ada. Ini juga diwakili oleh bunyi vokal “ a” yang tak tertulis, yang dalam bahasa-bahasa India tak dapat diceraikan dari setiap bunyi konsonan bahasa Sanskerta. Juga, “ a” merupakan awalan untuk penyangkalan dalam bahasa Sanskerta. Lebih lagi, dalam tantra, kita melihat peluluhan unsur-unsur kotor dari kegiatan batin dan kebingungankebingungan yang diwakili oleh sebuah pengejawantahan bagianbagian sukukata hum yang meluluh ke dalam yang lain sampai hanya ada tersisa cita terang jernih bagi Anda, landasan untuk kemunculan dan saling kebergantungan akan segala hal. Jadi, walaupun kehampaan merupakan suatu sikap mendalam yang tak kelihatan yang di dalamnya segala sesuatu ada, dan tidak bersifat transenden, ada banyak kemiripan di sini dengan ajaran-ajaran Islam yang memungkinkan terjadinya percakapan dan pemahaman di antara dua agama yang luar biasa ini.
Hubungan antara Ajaran Buddha Tanggapan terhadap Majid Tehranian
dan
Sufi:
Dalam tulisannya berjudul “Pandangan Muslim terhadap Buddha”, Profesor Majid Tehranian menggarisbawahi pentingnya sebuah “peradaban global” yang mencakup nilai-nilai dari beragam tradisi keagamaan di dunia. Dalam makalah saya, “Pandangan Buddha terhadap Islam”, saya juga mengutip seruan Guru Terhormat akan pentingnya “tanggung jawab universal”. Peradaban global dan tanggung jawab universal bergantung pada dialog bermakna di antara agama-agama di dunia, seperti antara Buddha dan Islam. Dialog semacam ini bisa terjadi pada tingkat pemimpin agama maupun masyarakat umum. Selain itu, dialog juga bisa dilakukan pada tingkat yang bersifat umum maupun hal khusus yang terperinci. Seperti disebutkan dalam makalah saya, pemimpin dan pengikut Buddha maupun Islam telah begitu abai akan keyakinan satu sama lain di masa lalu. Keadaan ini telah berubah secara perlahan pada masa kini, tapi ini membutuhkan usaha yang lebih besar. Oleh karena itu, dalam konteks ini, internet menjadi alat yang semakin bernilai dalam menyebarkan informasi dan berdialog, terutama di antara masyarakat, dan terutama lagi di antara orang muda. Bagaimanapun, pengguna internet dihadapkan pada kesulitan menemukan sumber informasi yang tepercaya dan tidak memihak di antara lautan informasi yang kadang saling bertentangan. Dalam menghadapi tantangan ini, rangkuman Tehranian mengenai kesamaan di antara ajaran Sufi dan Buddha adalah pilihan yang tepat terkait hal-hal yang umum, tapi rangkuman ini perlu dilengkapi dengan uraian terperinci tentang kasus-kasus khusus, untuk menghindari kesalahpahaman.
Sebagai contoh, Tehranian menulis, “Dalam sejarah, agama Buddha dan Islam telah bertetangga selama berabad-abad di Asia. Keduanya banyak meminjam satu sama lain. Hasilnya, tradisi keagamaan baru (misalnya ajaran Sufi) telah muncul dan memuat unsur-unsur dari keduanya.” Bagaimanapun, ada sebuah perbedaan besar di antara dua agama yang memiliki hubungan dan dua agama yang “banyak meminjam satu sama lain”. Tehranian sungguh tepat ketika menyatakan, “Keduanya peduli dengan keadaan manusia yang lemah, rapuh, dan terbatas.” Namun, fakta bahwa keduanya berkenaan dengan persoalanpersoalan yang serupa tidak mengarah pada kesimpulan bahwa salah satunya pasti memengaruhi yang lain dalam merumuskan pandangan tentang persoalan-persoalan itu. Namun, ini tidak mengurangi kemungkinan bahwa gagasan-gagasan tertentu bisa dipinjam oleh agama tertentu dari agama yang lain. Tapi, pernyataan seperti meminjam perlu digambarkan secara tepat dan terperinci supaya bisa dipercaya. Bagaimanapun juga, ajaran Sufi dan Buddha memiliki sejarah panjang, cakupan geografis luas, dan keberagaman aliran dan guru, dengan masing-masing memiliki pernyataan pribadi yang unik. Sebagai contoh, Abu Yazid Bistami (804-874 M) memasukkan ke dalam ajaran Sufi konsep-konsep tentang fana dan khud’adari pengaruh gurunya, Abu ‘Ali al-Sindi. Fana berarti berhentinya keberadaan – p enghancuran total ego pribadi dalam proses menjadi satu dengan Allah; khud’a berarti penipuan atau tipu-daya, sebagaimana gambaran akan dunia kebendaan. Dalam Hindu and Muslim Mysticism, R. C. Zaehner berpendapat secara meyakinkan bahwa al-Sindi, yang telah pindah dari agama lain, kemungkinan besar mengambil konsepfana dari Chandogya Upanishad dan konsep khud’a dariSvetashvetara Upanishad, sebagaimana
ditafsirkan oleh pendiri Advaita Vedanta, Shankara (788-820 M). Walaupun segala bentuk ajaran Buddha berhubungan dengan topik serupa tentang nirwana – p embebasan dari kelahiran kembali yang berulang – dan banyak aliran Mahayana menyatakan bahwa dunia lahir itu serupa, meskipun tidak sama, dengan maya, ilusi, kecil kemungkinannya salah satu rumusan mereka memiliki peranan dalam perkembangan pemikiran Sufi. Di sisi lain, kita bisa menemukan contoh-contoh peminjaman naskah dari ajaran Buddha ke dalam ajaran Sufi. Sebagai contoh, gambaran Buddha tentang sekelompok orang buta yang masingmasing menggambarkan seekor gajah secara berbeda karena tiap orang itu memegang bagian gajah yang berbeda, masuk ke dalam ajaran Sufi dalam tulisan cendekiawan Persia, Abu Hamid alGhazali (1058-1111 M). Al-Ghazali, yang merupakan pendukung sikap keraguan filosofis, menggunakan hal itu untuk menggambarkan bagaimana para teolog Islam hanya memiliki penggalan kebenaran, sedangkan Buddha menggunakannya dalam Sutta Aliran-Aliran Non-Buddha (Pali:Tittha Sutta) untuk menunjukkan kesia-siaan para fisuf non-Buddha yang saling memperdebatkan pandangan mereka. Pengaruh Buddha lain terhadap ajaran Sufi terdapat dalam praktik upacara. Tehranian menunjukkan hal ini dalam acuan singkatnya kepada kekuasaan Mongol Ilkhan di Iran, (1256-1336 M). Lebih terperinci, lima dari enam pemimpin Ilkhan adalah pengikut Buddha Tibet, yang bukan hanyalah Ahmad Teguder (berkuasa 1282-1284 M). Ilkhan keenam, Ghazan (berkuasa 1295-1304 M), masuk ke Islam atas bimbingan guru Sufi Syiah, Sadr ad-din Ibrahim. Sejak saat itu, berkembangnya pemujaan terhadap makam para guru Sufi mungkin dipengaruhi oleh pemujaan umat Buddha terhadap bangunan stupa.
Ajaran Buddha yang dipinjam ke dalam Islam tidak terbatas pada ajaran Sufi saja. Penyebutan Tehranian terhadap peran Manichaeisme (ajaran Mani) sebagai sebuah jembatan menandakan adanya, sebagai contoh yang mungkin, catatan kehidupan-kehidupan lampau Buddha sebagai seorang bodhisattwa, yang dikenal dalam sumber-sumber Kristen abad pertengahan sebagai Barlaam dan Josaphat. Banyak diketahui bahwa versi Sogdian Manichaean akan catatan-catatan ini ditulis sebelum kemunculan pertamanya dalam bahasa Arab sebagai Kitab Bilawhar dan Yudasaf, yang dikumpulkan oleh Aban al-Lahiki (750-815 M) di Baghdad. Versi Islam ini memasukkan bagian-bagian dari catatan bahasa Arab tentang kehidupankehidupan lampau Buddha, Kitab Buddha (Ar. Kitab al-Budd), yang juga ditulis pada masa itu, berdasarkan terjemahan bahasa Arab dari dua naskah Sanskerta, Tasbih Catatan Kehidupan Lampau (Skt. Jatakamala) dan karya Ashvaghosha berjudul Perbuatan-Perbuatan Buddha (Skt.Buddhacarita). Karena naskah al-Lahiki tidak lagi tersedia, menjadi tidak jelas berapa banyak bahan yang juga ia masukkan ke dalamnya dari sumbersumber Manichaean. Bila ada sebagian, kemungkinan besar itu mendapat pengaruh dari dialog antara cendekiawan Buddha dan Muslim Manichaean yang terjadi pada masa itu di dalam kerajaan Abbasiyyah. Selain itu, ajaran Buddha yang dipinjam ke dalam peradaban Islam tidak terbatas pada wilayah agama atau sastra saja, tapi juga pengobatan. Penyebutan Tehranian tentang pengaruh keluarga Barmakiyyah dalam kerajaan Abbasiyyah mengacu pada kekuasaan khalifah Abbasiyyah keempat, Harun al-Rashid (berkuasa 786-809 M), dan wakilnya Yahya ibn Barmak, cucu Muslim dari salah satu kepala Wihara Nava di Balkh, Afghanistan.
Meskipun pada saat itu cendekiawan Buddha telah hadir di Rumah Pengetahuan di Baghdad, Yahya mengundang lebih banyak cendekiawan Buddha, terutama dari Kashmir. Tapi, tak ada naskah filsafat Buddha yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab di bawah dukungan Yahya. Alih-alih, perhatiannya adalah penerjemahan naskah pengobatan Buddha dari bahasa Sanskerta ke dalam Arab, terutama Samudera Pencapaian (Skt. Siddhasara) karya Ravigupta. Bagaimanapun, persoalan yang lebih halus dibandingkan peminjaman ajaran agama, sastra, dan ilmu adalah persoalan etika bersama sebagai dasar bagi peradaban global dan tanggung jawab universal. Sebagai contoh, Sudan, Pakistan, Iran, dan Arab Saudi mencela Pernyataan Universal tentang Hak Asasi Manusia, yang ditandatangani di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1948, karena tidak memasukkan nilai-nilai agama dan budaya non-Barat. Keberatan mereka bermuara pada kelahiran Pernyataan Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam, yang ditandatangani pada 1990 oleh 48 perwakilan negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam. Kesepakatan ini hanya mengakui hak-hak asasi manusia yang sesuai dengan Hukum Islam, Syariah. Dengan mengacu pada Islam dan Buddha, Tehranian menyiratkan, “Ajaran Sufi sebagai jembatan antara dua tradisi keagamaan itu.” Menurutnya, salah satu alasannya adalah “Dalam Islam, ajaran Sufi mewakili tanggapan terhadap penekanan yang terlalu besar terhadap Syariah, Hukum Tersurat, sebagai lawan dari Hukum Tersirat, Tariqah.” Namun, sikap hati-hati dibutuhkan di sini. Beragam aliran Sufi mungkin hadir di banyak negara Islam saat ini, tapi fakta bahwa semua negara Islam menandatangani Pernyataan Kairo menandakan bahwa dasar etika apa pun bagi
peradaban global ataupun tanggung jawab universal perlu memasukkan hukum Syariah. Oleh karena itu, sebagai dasar untuk dialog lebih lanjut dalam merumuskan etika semacam itu, penting untuk melaksanakan perincian dan pengenalan lebih dalam tentang pokok-pokok etika yang dimiliki bersama oleh agamaagama di dunia, termasuk oleh sistem yang sekuler. Sementara itu, mengenai pendapat Tehranian bahwa ajaran Sufi bisa menjembatani ketertarikan umat Buddha dan Muslim untuk saling belajar, saya percaya ini memang bisa demikian, tapi hanya hingga taraf tertentu. Dalam menemukan pokok-pokok bersama di antara dua agama ini, saya berpikir penekanan pada mistisisme tidak akan membantu. “Mistisisme” adalah istilah teknis yang terutama digunakan dalam sistem keyakinan akan Tuhan sebagai cara untuk mencapai semacam persatuan gaib dengan Tuhan. Istilah semacam ini tidak relevan bagi agama Buddha. Yang lebih relevan adalah pentingnya guru rohani dan cara meditasi, seperti cara tertentu untuk mengembangkan cinta, latihan pernapasan, pengulangan mantra dan dikir, dan visualisasi. Namun, topik-topik seperti ini mungkin akan menarik dan relevan bagi sebagian kecil umat Buddha dan Muslim saja, dan tidak bagi kalangan umat tradisional di kedua agama. Dengan demikian, sebagai tambahan bagi informasi dan kajian perbandingan terkait Buddha dan Islam yang tersedia secara cetak maupun online, liputan media yang luas tentang kegiatan lintas iman yang diadakan para pemimpin agama, bukan hanya dua agama ini tapi sebanyak mungkin agama, akan bisa memberikan pengaruh lebih besar dalam usaha membangun keselarasan agama, peradaban global, dan tanggung jawab universal.
Islam dari Sudut Pandang Agama Buddha Dr. Alexander Berzin Pendahuluan Dengan semakin berkembangnya kepedulian terhadap masalahmasalah globalisasi dan pemanasan global, nilai penting dari apa yang disebut Yang Mulia Dalai Lama Keempat belas “tanggung jawab universal” menjadi semakin nyata. Pembangunan berkelanjutan, dan bahkan ketahanan hidup, bergantung pada bangsa, budaya, agama, dan pribadi yang memikul tanggung jawab bersama untuk berusaha memecahkan masalah-masalah universal itu. Salah satu landasan terpenting bagi kerjasama semacam ini adalah pemahaman bersama. Melalui pendidikan tentang budaya lain, semoga kita bisa menghindari pengaruh merusak dari kemungkinan apa pun akibat “benturan peradaban”. Dua contoh peradaban adalah dunia Buddha dan Islam. Sepanjang sejarah, dua peradaban ini telah berhubungan dalam sifat yang membangun maupun yang bermasalah. Ketika keduanya berbenturan, doktrin agama bisa digunakan untuk mengerahkan pasukan. Namun, uraian yang lebih mendalam menunjukkan bahwa dorongan di balik konflik-konflik itu berpusat pada persoalan ekonomi, politik, dan strategi militer. Di masa kini, hanya ada sangat sedikit wilayah di dunia tempat kelompok tradisional Buddha dan Islam hidup bersama. Di beberapa wilayah tempat keduanya membaur―seperti Tibet, Ladakh, dan Thailand selatan―hubungannya sangat dipengaruhi oleh tindakan dari kelompok budaya dan bangsa lain, sehingga, kita tidak bisa memisahkan persoalan Buddha-Muslim dari latar
yang lebih luas. Di wilayah lain, seperti Malaysia dan Indonesia, umat Buddha terdiri dari warga keturunan Cina yang menjadi pendatang, dan hubungan mereka dengan warga asli yang Muslim ditentukan terutama oleh unsur-unsur ekonomi. Singkatnya, perbedaan doktrin agama tampaknya memainkan peran kecil dalam hubungan Buddha-Islam masa kini. Kemudian, apa tujuan mendorong dialog antara Buddha dan Islam? Perbedaan-perbedaan doktrin antara dua agama ini akan selalu ada dan, tentu saja, ini perlu diketahui dan diakui sehingga tidak menimbulkan tindakan yang bermusuhan. Namun, dengan menemukan dan menegaskan nilai-nilai dasar kemanusiaan bersama―seperti fakta bahwa tiap orang ingin bahagia dan tidak menderita, serta bahwa kita semua saling terhubung―anggota dari semua komunitas, tidak hanya komunitas Buddha dan Muslim, bisa mengerahkan sumberdaya mereka dan memusatkan usaha mereka untuk mencoba memecahkan persoalan-persoalan mendesak dari kepedulian global. Di sini, kita perlu mengkaji secara singkat sejarah hubungan Buddha-Muslim selama satu milenium pertama setelah Nabi Muhammad, dengan berpusat pada tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh tradisi Buddha Indo-Tibet mengenai Islam, dan pokokpokok yang disebutnya sebagai hal yang selaras atau bermasalah. Pokok yang bermasalah menandakan beberapa persoalan yang membutuhkan tenggang rasa bersama untuk menghindari penolakan kerjasama. Pokok-pokok yang sama, di sisi lain, menandakan adanya dasar positif yang bisa diperkuat untuk membangun rasa saling hormat dan koordinasi usaha. Tulisan ini tidak mencakup catatan tentang hubungan antara dua agama itu selama masa Ilkhanate di Iran ketika, antara 1256 dan 1295
Masehi, penguasa Mongol di sana menganut dan menyebarkan Buddha Tibet sebelum perpindahan mereka ke Islam. Yang juga tidak disebutkan adalah uraian tentang tanggapan Buddha Uighur terhadap perkembangan Islam di wilayah mereka di Turkistan Timur (Xianjiang, Cina saat ini) antara abad ke-11 dan 14. Tinjauan Sejarah tentang Hubungan antara Dunia Buddha dan Islam Buddha Shakyamuni hidup di India tengah utara dari 566 hingga 485 SM, sementara Nabi Muhammad hidup di Arab dari 570 sampai 632 Masehi. Dengan demikian, untuk sebagian besar tahun awal di India ini, naskah Buddha tidak memuat rujukan mengenai Islam ataupun ajarannya. Namun, bahkan setelah kehidupan Nabi Muhammad, sumber-sumber Buddha hanya memberikan acuan yang tidak memadai mengenai keyakinan mendasar dalam Islam. Hubungan apa pun yang terjadi di antara dua penganut itu didasarkan pada pengetahuan yang sangat sedikit tentang keyakinan pihak yang lain. Penganut Buddha di bawah Kepemimpinan Ummaiyyah dan Abbasiyyah Selama abad-abad awal setelah kehidupan Sang Buddha, ajaran Buddha menyebar dari anak-benua India ke Afghanistan, Iran timur, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Tajikistan masa kini. Komunitas wihara maupun awam Buddha tumbuh subur di sana. Dimulai tiga dekade setelah kehidupan Nabi Muhammad, ketika wilayah-wilayah itu berada di bawah kepemimpinan Arab Islam yakni Khilafah Ummaiyyah dan lalu Abbasiyyah, penganut Buddha di sana menerima status dhimmi. Ini berarti bahwa, sebagai nonMuslim, mereka diperbolehkan mengikuti agama mereka, tapi
orang awam di antara mereka diwajibkan membayar pajak tambahan sebagai penduduk. Penindasan terhadap mereka tidak banyak dan tidak berlangsung lama, serta mereka diizinkan membangun kembali wihara mereka yang telah dirusak. Bagaimanapun, komunitas Buddha yang hidup dengan status dhimmi tampaknya tidak tertarik menulis tentang Islam. Banyak penganut Buddha di wilayah-wilayah tersebut berpindah agama ke Islam selama masa itu. Alasan perpindahan ini berbedabeda untuk masing-masing wilayah dan orang. Namun, tampaknya unsur utamanya adalah insentif ekonomi dan politik, daripada perpindahan agama karena keyakinan agama atau ancaman pedang. Tampaknya tidak ada catatan tertulis apa pun mengenai alasan orang-orang itu pindah agama, baik yang bersifat doktrin maupun alasan lainnya. Cendekiawan Buddha di Baghdad Hubungan pertama yang bermakna antara cendekiawan Buddha dan Islam terjadi di pertengahan abad ke-8, selama masa Abbasiyyah. Ketika itu, Khalifah al-Mansur membangun di Baghdad sebuah Rumah Pengetahuan (Ar. Bayt al-Hikmat) untuk pengkajian dan penerjemahan naskah dari budaya Yunani dan India, terutama yang bertopik ilmiah. Sebagai bagian dari program ini, anak laki-lakinya, Khalifah al-Mahdi mengundang cendekiawan-cendekiawan Buddha dari India dan dari Wihara Nava yang besar di Balkh, Afghanistan. Sulit untuk mengatakan bahwa biksu-biksu Buddha di Baghdad sungguh secara resmi berhubungan dengan Rumah Pengetahuan. Namun, tampaknya mereka melakukan banyak pembicaraan pada masa itu dengan cendekiawan Islam. Bukti untuk ini datang
dari Buku tentang Agama-Agama dan KepercayaanKepercayaan (Ar.Kitab al-Milal wa al-Nihal), sebuah risalah mengenai bida’ah Islam. Di dalamnya, ahli Teologi Isma’ili pada abad ke-12, al-Shahrastani, memberikan catatan singkat tentang gambaran yang dimiliki cendekiawan Islam pada saat itu terhadap ajaran Buddha. Mengingat ketertarikan utama mereka adalah pemikiran Yunani, kajian mereka terhadap ajaran Buddha tidak mendalam. Sementara itu, cendekiawan Buddha di Baghdad tampaknya tidak begitu tertarik dengan doktrin Islam. Meskipun biksu-biksu di universitas wihara Buddha pada masa itu, di wilayah yang sekarang Afghanistan dan anak-benua India, memperdebatkan dengan penuh semangat pernyataan dari berbagai sistem keyakinan India nonBuddha, tidak ada bukti tentang terjadinya perdebatan dengan cendekiawan Muslim. Tidak ada penyebutan sama sekali tentang keyakinan Islam dalam risalah filosofis Buddha Sanskerta, baik sebelum maupun sesudahnya. Penghancuran Wihara-Wihara Buddha di Anak-Benua India Banyak wihara Buddha dihancurkan dalam berbagai serangan terhadap anak-benua India, pertama oleh pasukan Ummaiyyah di paruh pertama abad ke-8, lalu oleh beragam pasukan negara Turki Islam di bawah kepemimpinan Abbasiyyah sejak awal abad ke-11 hingga pertengahan abad ke-13. Wihara-wihara itu tidak pulih kembali dari serangan tersebut dan, meskipun banyak penganut Buddha di wilayah itu lalu pindah menjadi Muslim, sebagian besar terserap ke dalam populasi Hindu secara umum. Serangan dari Turki itu tampaknya lebih didorong oleh pertimbangan militer, politik, dan ekonomi, daripada semangat
keagamaan. Bagaimanapun, kita tidak bisa mengabaikan gambaran-gambaran, yang ditemukan dalam catatan sejarah Muslim, Buddha, dan Barat, mengenai kekejaman dan fanatisme keagamaan yang terjadi selama gerakan itu. Tanpa mempertimbangkan alasan penghancuran itu, naskah Buddha pada masa itu tidak mengungkapkan informasi lebih banyak tentang pandangan Buddha terhadap ajaran Islam. Muslim di Tibet di bawah Dalai Lama Kelima Diakibatkan oleh bencana kelaparan di tanah mereka pada pertengahan abad ke-17, sekelompok imigran Muslim Kashmir menetap di Lhasa, Tibet, selama kepemimpinan politik Dalai Lama Kelima. Sebagai bagian dari kebijakan tenggang rasa keagamaannya, Dalai Lama Kelima memberi kaum Muslim hak istimewa. Ia memberi mereka tanah untuk sebuah masjid dan sebuah pemakaman, mengizinkan mereka memilih dewan yang terdiri dari lima anggota untuk mengawasi perkara internal mereka, memperbolehkan mereka menyelesaikan perselisihan mereka sendiri secara mandiri menurut hukum Syariah, dan membebaskan mereka dari pajak. Meskipun hak-hak istimewa ini menandakan penghormatan penganut Buddha terhadap otonomi komunitas Muslim di Tibet, semua itu tidak menandakan terjadinya dialog lintas iman pada masa itu. Kesimpulan Kesimpulan yang bisa ditarik dari tinjauan ini adalah, meskipun dunia Buddha Indo-Tibet memiliki hubungan yang damai sekaligus bermasalah dengan dunia Islam dalam banyak peristiwa selama satu milineum setelah Nabi Muhammad, hampir tidak ada
ketertarikan penganut Buddha untuk mempelajari ajaran-ajaran Islam.
Naskah Kalachakra/Kalacakra sebagai Sumber untuk Pandangan Klasik Buddha terhadap Islam Satu-satunya tempat yang menampilkan rujukan Buddha terhadap doktrin Islam selama masa ini adalah naskah Kalachakra/Kalacakra Sanskerta. Kalachakra/Kalacakra, yang berarti lingkaran waktu, adalah sebuah sistem latihan tantra Buddha Mahayana untuk mencapai pencerahan supaya bisa sebaik mungkin memberikan manfaat bagi semua makhluk. Sistem ini menggambarkan tiga lingkaran waktu yang paralel: luar, dalam, dan lain. Lingkaran luar mengacu pada gerakan planet, pola astrologi, dan lingkaran sejarah, termasuk serangan berkala dari pasukan-pasukan asing. Ketika bicara tentang serangan ini, naskah-naskah dasar mewartakan dirinya kepada khalayak Hindu. Lingkaran dalam mengacu pada irama biologis dan psikologis. Lingkaran lain adalah latihan meditasi berulang yang bertujuan mengatasi keadaan di bawah kendali lingkaran luar dan dalam. Acuan-acuan terhadap Islam dalam naskah Kalachakra/Kalacakra kemungkinan besar muncul sebagian di dalam wihara Buddha di wilayah Afghanistan masa kini dan sebagian lain di tempat asal tantra, Oddiyana (Pakistan barat laut), selama abad ke-10. Saat itu, dua wilayah tersebut berada di bawah kepemimpinan Shahi Hindu. Di akhir abad ke-10, naskah ini mencapai anak-benua India, tempat, di Kashmir, naskah ini mungkin bercampur dengan pengalaman akan serangan Ghaznavid (1001 hingga 1025 Masehi). Tidak lama kemudian, naskah ini diteruskan ke Tibet, tapi naskah ini selalu tetap menjadi bagian kecil dari tradisi Buddha Indo-Tibet. Dengan demikian, seseorang harus memiliki sudut pandang yang tepat berkenaan dengan pengetahuan penganut Buddha secara umum terhadap pemikiran Islam. Pada umumnya,
penganut Buddha masih tidak memiliki pengetahuan mengenai ajaran-ajaran Islam. Syiah Isma’ili dari Multan sebagai Bentuk Utama dari Islam yang Diacu dalam Naskah Kalachakra/Kalacakra Untuk menghindari kesalahpahaman tentang pandangan Buddha terhadap Islam di masa lalu, penting bagi kita untuk mengenal bentuk Islam yang digambarkan oleh naskah Kalachakra/Kalacakra. Naskah-naskah ini tidak mengacu kepada Islam sebagai suatu keseluruhan dan tentu tidak kepada Islam sebagaimana dipahami dan dipraktikkan dalam beragam bentuk masa kini. Naskah-naskah itu berbicara, secara lebih khusus, tentang orang asing yang di masa mendatang akan melakukan serangan terhadap kerajaan di Shambhala – wilayah pegunungan tempat ajaran-ajaran Kalachakra/Kalacakra tumbuh subur. Berdasarkan gambaran tentang keyakinan pada penyerbu masa depan ini, mereka tampaknya merupakan pengikut tradisi timur awal Syiah Isma’ili. Bukti utama yang mendukung perkiraan ini berasal dari Ringkasan Megah Kalachakra/Kalacakra Tantra I.153 (Skt. LaghuKalachakra-tantra-raja). Ayat ini menampilkan daftar delapan nabi dari para penyerbu masa depan: Adam, Nuh, Abraham, dan lima lainnya – Musa, Yesus, Ia yang Berpakaian Putih, Muhammad, dan Mahdi… Yang kedelapan adalah yang buta. Yang ketujuh akan menjelma datang ke kota Baghdad di tanah Mekah, (tempat) di dunia ini di mana sebuah bagian dari asura (kasta) akan tampak seperti kaum mleccha yang kuat dan tak kenal ampun.
Daftar itu merupakan daftar standar Isma’ili tentang tujuh nabi, dengan tambahan Ia yang Berpakaian Putih. Bisa diperdebatkan bahwa Ia yang Berpakaian Putih adalah Mani, pendiri Manikheisme di abad ke-3. Namun, meskipun pemikir Isma’ili awal mungkin mendapat sebentuk pengaruh dari apa yang disebut “Manikhean Islam”, para teolog Isma’ili telah sepakat dengan sikap Islam secara umum yang mengutuk Manikheisme sebagai sesat. Satu alasan yang mungkin bagi daftar Kalachakra/Kalacakra tentang nabi yang berjumlah delapan adalah ini supaya sama dengan delapan inkarnasi Wisnu yang disebutkan dalam ayat sebelumnya, I.152. Ini ditandakan oleh acuan kepada para pengikut nabi sebagai anggota kasta asura. Dalam kosmologi Buddha, asura, sebuah jenis manusia dewa yang cemburu, adalah musuh para dewa Hindu dan selalu melancarkan perang terhadap mereka. Bila ada delapan inkarnasi dari dewa Hindu Wisnu, maka dibutuhkan enam nabi asura untuk melawan mereka. Penjelasan lain, menurut tanggapan awal dari India terhadap ayat tersebut, Sebuah Tanggapan terhadap Pokok-Pokok Sulit Bernama “Padamani”, (Skt. Padmani-nama-panjika) adalah bahwa Ia yang Berpakaian Putih merupakan nama lain untuk Nabi Muhammad. Dalam kasus apa pun, istilah-istilah Sanskerta yang digunakan oleh naskah Kalachakra/Kalacrakra untuk mengacu para pengikut nabi-nabi itu membantu kita untuk menduga lokasi kelompok Isma’ili ini. Tampak bahwa mereka adalah Isma’ili dari Multan, terletak di Sindh utara, Pakistan masa kini, pada paruh kedua abad ke-10. Naskah Kalachakra/ Kalacakra secara teratur menyebut para penyerbu itu sebagai kaum mleccha, nama tradisional Sanskerta
yang diberikan kepada para penyerbu asing yang datang ke anakbenua India, sejak Alexander Agung, bangsa Kushan, dan Hun Hepthalite. Istilah itu mengandung arti orang-orang yang berbicara dalam bahasa nonIndia yang mustahil dipahami. Mleccha memiliki ciri khas pasukan penyerbu yang tak berbelas ampun. Istilah utama lain yang digunakan untuk para penyerbu adalah “Tayi”, pelafalan Sanskerta untuk kata Arab tayy (jamak: tayayah,tayyaye) atau bentuk Persia darinya, tazi. Tayyayah adalah suku Arab terkuat zaman pra-Muslim, Tayy’id, dan “Tazi” menjadi kata Persia untuk orang Arab. “Tazi” adalah istilah yang digunakan untuk mengacu penyerbu Arab dari Iran, misalnya, oleh penguasa Sassaniyyah terakhir, Yazdgerd III. Kerajaan Multan berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Fatimiyyah Isma’ili, yang berpusat di Mesir. Dikelilingi oleh Kekaisaran Abbasiyyah yang mengalami perpecahan di kedua sisinya, Fatimiyyah dan kerajaan-kerajaan Multan di bawahnya punya ancaman melakukan serbuan dalam pencarian mereka akan kekuasaan atas dunia Islam. Oleh karena itu, masuk akal bahwa penyerbu asing dalam naskah Kalachakra/Kalacakra mengacu pada orang-orang Isma’ili Multan ini. Kesimpulan ini serasi dengan perkiraan bahwa naskah Kalachakra/Kalacakra berasal dari wilayah Afghanistan dan Oddiyana di bawah kekuasaan Hindu Shahi, diapit oleh wilayah Multan dan Abbasiyyah pada masa itu. Gambaran Kalachakra/Kalacakra mengenai Keyakinan Tayi Naskah-naskah Kalachakra/Kalacakra menyebutkan beberapa adat dan keyakinan Tayi mleccha. Sebagian besar keyakinan ini mendasarkan pada Islam secara keseluruhan. Sebagian tampak
berkaitan dengan pemikiran Isma’ili pada masa itu, sementara sebagian lainnya bertentangan dengan pemikiran itu. Ketidaksesuaian ini mungkin menandakan bahwa para pengumpul naskah Kalachakra/Kalacakra memiliki informasi yang tak lengkap tentang keyakinan Isma’ili di Multan, dan karenanya mengisi catatan mereka dengan informasi yang didapat dari bentuk-bentuk lain dari Islam yang mereka temui. Selain itu, ini bisa menandakan bahwa pandangan teologis yang diungkapkan dari pemikir utama Isma’ili pada zaman itu―Abu Ya’kub al-Sijistani, seorang pendukung kuat kerajaan Fatimiyyah―belum tersebar luas di Multan. Hal ini bisa terjadi meskipun karya-karya al-Sijistani adalah doktrin Fatimiyyah resmi yang umum ditemukan di wilayah Isma’ili timur pada masa itu. Dalam kasus apa pun, kita harus berhati-hati supaya tidak salah memahami gambaran Kalachakra/Kalacakra tentang keyakinan Tayi sebagai wakil dari pandangan terhadap seluruh Islam oleh semua pengikut Buddha di Asia sepanjang sejarah. Gambaran itu terbatas pada tempat tertentu, di waktu tertentu, dan di latar sejarah-politik tertentu. Bagaimanapun, catatan Kalachakra/ Kalacakra bersifat relevan karena, menurut pengetahuan penulis ini, semua itu adalah satu-satunya naskah Buddha klasik yang membahas keyakinan Islam. Dengan demikian, catatan itu unik sebagai sumber utama yang sungguh mengungkap sebuah pandangan klasik Buddha terhadap Islam. Penciptaan dan Ketaatan terhadap Allah Ringkasan Megah menyatakan:
Kalachakra/Kalacakra
Tantra,
II.164cd,
Diciptakan oleh Sang Pencipta adalah segala sesuatu yang terbit, bergerak dan tak bergerak. Dengan menyenangkan diriNya, sebagai sebab pembebasan bagi para Tayi, terdapat surga. Ini sejatinya ajaran Rahman bagi manusia. “Rahman”, kata ganti Allah, adalah kata Arab untuk “Yang mahakasih”. Pundarika menguraikan dalam Cahaya Tak Bernoda: Sebuah Tanggapan yang Menjelaskan “Ringkasan Megah Kalachakra/Kalacaka Tantra” (Skt. Vimalaprabha-nama-laghuKalachakra-tantra-raja-tika), bahwa: Sekarang, mengenai pernyataan kaum Tayi mleccha, Rahman, Sang Pencipta memberikan kebangkitan kepada tiap perwujudan yang memiliki fungsi yang berguna, baik yang bergerak maupun tak bergerak. Penyebab pembebasan bagi para Tayi, yang disebut mleccha berpakaian putih, adalah menyenangkan Rahman, dan ini jelas memberikan kelahiran kembali yang lebih tinggi (di Surga) bagi manusia. Akibat tidak menyenangkannya, muncullah (kelahiran kembali di) Neraka. Semua ini adalah ajaran Rahman, pernyataan para Tayi. Dalam bacaan ini, acuan kepada Tayi sebagai yang berpakaian putih mungkin merujuk kepada peziarah Muslim yang mengenakan jubah putih sederhana saat mereka menunaikan ibadah Haji ke Mekah. Menurut al-Sijistani, Allah, melalui perintah atau kata-kata-Nya, menciptakan “kecerdasan” universal. “Kecerdasan” universal adalah makhluk pertama yang abadi, tak bergerak, tak berubah,
dan sempurna. Ini sebuah universal yang sama yang meliputi segala sesuatu dan menyerupai sebuah “cita” universal, tapi dalam bentuk makhluk. “Kecerdasan” universal menghasilkan sebuah “roh” universal, yang juga abadi, tapi tidak sempurna dan selalu bergerak. Di dalam “roh” universal, dunia alam ragawi muncul. “Roh” universal memiliki dua kepribadian bertolak-belakang: gerakan dan diam. Di dalam kenyataan ragawi, gerakan menciptakan wujud dan diam menciptakan zat. Zat selalu tak bergerak dan statis, tapi wujud-wujudnya terus bergerak dan berubah. Dengan demikian, mungkin dengan acuan kepada penjelasan alSijistani tentang penciptaan ketika Ringkasan Megah Kalachakra/Kalacakra Tantra mencatat: Diciptakan oleh Sang Pencipta adalah segala sesuatu yang terbit, bergerak dan tak bergerak. Meskipun konsep tentang “kecerdasan” universal dan “roh” universal bersifat umum dalam pemikiran Isma’ili, konsep ini tidak muncul dalam bentuk Islam lainnya. Bagaimanapun, al-Sijistani tidak menyatakan bahwa menyenangkan Allah – dalam arti umum Islam yang menaati hukum Syariah atau, dalam arti umum Shite dan lalu Isma’ili, yang mengakui bahwa imam tak mungkin berbuat salah – sebagai penyebab “kelahiran kembali lebih tinggi di Surga”. Penjelasannya tentang penyebab masuk Surga cukup berbeda. Bagi al-Sijistani, “roh” universal membangkitkan sukma pribadi dan tertentu yang turun ke dalam dunia ragawi yang memiliki zat dan
wujud. Di dalam tiap makhluk hidup pribadi tertentu, roh pribadi menggunakan sebagian pribadi dari “kecerdasan” universal, yang oleh karenanya bersifat sebagian dan terbatas. Penyebab masuk surga adalah kemampuan menilai dari roh pribadi yang membuatnya menjauh dari kesenangan dunia ragawi dan beralih kepada cakupan murni “kecerdasan” universal. Dalam melakukan ini, roh pribadi mempelajari perbedaan antara kebenaran dan kepalsuan, serta antara baik dan buruk. Sunat, Puasa Ramadhan, dan Halal Pundarika, dalam Layanan Mendalam Agung (Skt. Shriparamartha-seva), menjelaskan:
yang
Menurut yang lain, penyebab kelahiran kembali yang lebih tinggi (di Surga) adalah memotong kulit ujung zakarnya dan makan di akhir siang dan awal malam. Ini adalah apa yang dilakukan oleh para Tayi. Mereka tidak menikmati daging ternak yang telah mati (kematian alami) akibat karma sendiri. Alih-alih, mereka memakan ternak yang telah dijagal. Bila tidak demikian, manusia tidak akan berlanjut ke kelahiran kembali yang lebih tinggi (di Surga). Pundarika memperkuat bagian dalam Cahaya Tak Bernoda:
kedua
dari
kalimat
ini
Dengan pisau daging, mereka memotong leher ternak sambil mengucapkan mantra Tuhan kaum mleccha, Bismillah, lalu memakan daging ternak itu yang telah disembelih dengan mantra Tuhan mereka. Mereka tidak makan daging dari ternak yang telah mati (kematian alami) akibat karma sendiri.
Bismillah berarti “dalam nama Allah”. Bacaan-bacaan itu menyiratkan adat-adat Islam secara umum yang meliputi sunat, makan hanya setelah matahari terbenam selama puasa Ramadhan, dan menaati perintah tentang hukum halal mengenai makanan. Etika, Doa, dan Perintah Melawan Patung-Patung Tuhan Dalam Intisari Tantra Lebih Lanjut mengenai Kalachakra/Kalacakra Tantra yang Agung (Skt. Shri-Kalachakra-tantrottaratantrahrdaya), dinyatakan: Dalam menjalankan ajaran-ajaran dari mereka yang para perempuannya mengenakan jilbab … kelompok-kelompok pengendara kuda Tayi menghancurkan segala macam patung Tuhan dalam pertempuran, tanpa satu pengecualian pun. Mereka memiliki satu kasta, tidak mencuri, dan bicara kebenaran. Mereka tetap bersih, menghindari istri orang lain, mengikuti praktik tapa brata tertentu, dan tetap setia kepada istri mereka. Setelah (pertama) membersihkan diri mereka sendiri, lalu, di waktu yang diinginkan oleh pribadi masingmasing saat di tengah malam dan tengah siang, waktu setelah matahari terbenam, dan saat matahari terbit di atas pegunungan, orang Tayi bukan Buddha (Skt. tirthika) melakukan ibadah lima kali (setiap hari), bersujud di permukaan tanah menghadap tanah suci mereka dan mencari keselamatan tunggal dalam ‘Tuhan Mereka yang Bersama Tama’ dalam alam surgawi di atas bumi.” Tama adalah salah satu bagian dari tiga unsur alam semesta (Skt. triguna) menurut sistem filosofi Samkhya India.
Menurut Ringkasan Megah Kalachakra Tantra, I.153, Nabi Musa, Yesus, Mani, Muhammad, dan Mahdi adalah “Mereka yang BersamaTama”. Di sini, naskah Kalachakra/Kalacakra juga menjelaskan keyakinankeyakinan yang diikuti semua Muslim: tidak membuat patung “penyembahan”, menghormati kesamaan derajat semua manusia dalam Islam, mempertahankan ketaatan etika, dan berdoa lima kali sehari. Pokok-Pokok Bermasalah yang Disebutkan dalam Naskah Kalachakra/Kalacraka Naskah kalachakra/Kalacakra menunjukkan dua hal bermasalah dari ajaran Tayi yang bisa menghambat keselarasan agama. Bagaimanapun, penting bahwa naskah itu tidak menyiratkan bahwa hal-hal tersebut bakal menjadi penyebab serbuan pasukan Tayi di masa mendatang. Serbuan adalah peristiwa berulang dalam pandangan Kalachakra/Kalacakra tentang lingkaran waktu dan, menurut Ringkasan megah Kalachakra/Kalacakra Tantra, II.48-50, dipahami sebagai cerminan dan wakil dari serbuan berulang terhadap cita setiap orang oleh sikap dan perasaan yang gelisah. Selain itu, tak satu pun dari pokok bermasalah itu hanya ada dalam pemikiran Isma’ili dari Multan, tanpa menyebutkan Islam secara umum. Semua itu adalah hal-hal yang juga dimiliki oleh agama-agama lain. Penyembelihan Korban Hewan Hal pertama yang dianggap naskah Kalachakra/Kalacakra bermasalah adalah hal yang juga ditemukan di antara penganut Hindu pada masa itu. Masalah itu berkenaan dengan
penyembelihan ternak atas nama Tuhan Tayi, Bismillah. Oleh karena itu, Pundarika, dalam Cahya Tak Bernoda, secara salah mengartikan cara penyembelihan yang halal sebagai pertanda pengorbanan kepada Tuhan yang serupa dengan upacara Weda. Ditujukan kepada khalayak Hindu, Pundarika berkata: Kamu akan menilai bahwa ajaran (Tayi) adalah sahih, karena kata-kata dalam kitab Weda, “Korbankanlah ternak.” Ajaran Buddha sangat melarang pengorbanan hewan. Menurut Buddha, makhluk mengalami kelahiran kembali berulang dalam bentuk kehidupan apa pun yang memiliki cita, termasuk manusia dan hewan. Dengan begitu, hewan apa pun yang dikorbankan seseorang bisa jadi merupakan ibunya dalam kehidupan sebelumnya. Meskipun naskah Kalachakra/Kalacakra salah memahami cara halal dalam penyembelihan sebagai pengorbanan dan tidak membuat acuan apa pun terhadap upacara pengorbanan kambing oleh peziarah dalam ibadah haji, penyembelihan korban pernah dan masih menjadi wilayah bermasalah antara Buddha dan Islam. Bagaimanapun, kesulitan doktrin Buddha terkait penyembelihan korban tidak terbatas pada praktik tersebut dalam Islam. Ini juga berlaku pada bentuk-bentuk tertentu dalam Hindu. Masalah ini meluas bahkan pada bentuk tertentu dalam Buddha yang bercampur dengan adat lokal. Sebagai contoh, dalam upacara Kalachakra/Kalacakra yang dipimpin Dalai Lama di Bodh Gaya, India pada Januari 1975, Dalai Lama menekankan kepada penganut Buddha yang datang dari wilayah Himalaya pinggiran supaya mereka menghentikan pengorbanan hewan.
Di masa modern, penganut Buddha tampaknya tidak lagi menghubungkan cara halal dalam penyembelihan dengan pengorbanan. Pada era Tibet sebelum komunis, misalnya, tidak hanya Muslim setempat diizinkan menyembelih hewan dalam cara yang halal, tapi juga banyak kaum nomad Tibet membawa ternak mereka kepada tukang jagal Muslim untuk disembelih lalu dijual sebagai daging. Bahkan, sebagian besar orang Tibet merasa bahwa hidangan daging yang terbaik disajikan di rumah makan Muslim dan mereka tidak ragu untuk berdagang dengan umat Muslim. Kehidupan Setelah Kematian Dalam naskah Kalachakra/Kalacakra, wilayah bermasalah kedua di antara kedua sistem keyakinan ini terkait dengan sifat dari kehidupan setelah kematian.Ringkasan Megah Kalachakra/Kalacakra Tantra, II.174, menyatakan: Melalui kehidupan setelah kematian (yang abadi), seseorang mengalami (hasil dari) tindakan karma yang telah ia lakukan di dunia ini. Bila demikian, penipisan karma manusia dari satu kelahiran ke kelahiran berikutnya tidak akan terjadi. Dengan begitu, tidak akan ada jalan keluar dari samsara dan jalan masuk menuju pembebasan, bahkan dalam kerangka keberadaan yang tak bisa diukur. Pemikiran ini muncul di antara kaum Tayi, meskipun diabaikan oleh kelompokkelompok lain. Pundarika mengurai dalam Cahaya Tak Bernoda: Pernyataan para Tayi mleecha adalah bahwa manusia yang mati mengalami kebahagiaan atau duka dalam kelahiran yang
lebih tinggi (di Surga) atau di Neraka bersama raganya, melalui keputusan Rahman. Penggalan bacaan itu mengacu pada keyakinan Islam umum terhadap Hari Penghakiman, ketika semua manusia akan bangkit dari mati dalam raga mereka dan dihakimi oleh Allah. Berdasarkan perilaku mereka, mereka masuk ke dalam kebahagiaan abadi di Surga atau duka abadi di Neraka, dengan masih mempertahankan raga mereka. Namun, keyakinan Isma’ili, sebagaimana dirumuskan oleh al-Sijistani, menolak kebangkitan kembali raga manusia. Menurut al-Sijistani, kebahagiaan Surga dan duka Neraka dialami murni secara jiwa oleh sukma pribadi, tanpa unsur raga apa pun. Ajaran Buddha, di sisi lain, dengan ajaran Karma-nya, menyatakan kelahiran kembali yang berulang (Skt. samsara) akibat kekuatan tindakan karma seseorang yang didorong oleh perilaku dan perasaan yang gelisah. Tindakan merusak, yang didorong oleh kemarahan, keserakahan, kemelekatan, atau keluguan tentang sebab dan akibat yang berhubungan dengan perilaku, menghasilkan kelahiran kembali di suatu neraka, atau sebagai hantu, atau sebagai seekor hewan. Keluguan bisa terjadi akibat kurangnya pengetahuan atau pemahaman yang tidak tepat. Tindakan membangun, tapi yang masih terhubung dengan sikap lugu terhadap kenyataan, menghasilkan kelahiran kembali sebagai manusia, sebagai asura (anti-Tuhan), atau di dalam sebuah surga. Tiap jenis kelahiran kembali ini bisa dialami oleh siapa pun―termasuk kelahiran kembali di sebuah surga atau neraka―dan memiliki jenis raga yang sesuai pada alam itu. Seseorang tidak bisa lahir kembali di sebuah surga atau neraka dengan raga manusia.
Selain itu, ajaran Buddha menyatakan bahwa akibat karma dari perbuatan karma apa pun berbuah kebahagiaan atau duka selama masa waktu yang terbatas. Setelah akibat karma selesai berbuah, karma itu hilang. Seseorang lalu meninggal dari kelahiran kembali yang bersifat surgawi atau neraka dan lahir kembali dalam alam kelahiran kembali yang lain. Dari sudut pandang Buddha, kelahiran kembali di suatu surga atau neraka tidak akan abadi. Namun, pengulangan kelahiran kembali seseorang akan berlangsung abadi, satu setelah yang lain, kecuali ia menghilangkan penyebab sejati dari semua kelahiran kembali itu. Di samping itu, bahkan kebahagiaan dalam kelahiran kembali surgawi adalah suatu bentuk duka, karena ini tak pernah memuaskan dan pasti akan berakhir. Sehingga, ajaran Buddha menyatakan, jika seseorang membersihkan dirinya dari semua perilaku dan perasaaan yang gelisah, ia berhenti melakukan tindakan karma yang berujung pada kelahiran kembali yang terus berulang, baik itu di suatu surga, neraka, di bumi ini, atau di tempat lain. Dengan demikian, seseorang menghilangkan kelanjutan karma yang telah terkumpul. Maka, dengan dasar perbuatan membangun yang dilakukan tanpa keluguan terhadap kenyataan, seseorang meraih keadaan nirwana yang abadi, damai, dan menggembirakan, bebas dari kelahiran kembali yang berulang. Tidak ada Hari Penghakiman dan tidak ada hakim. Kelahiran kembali yang terus terjadi bukanlah sebuah hukuman, dan pencapaian nirwana bukanlah suatu anugerah. Hubungan antara sebab dan akibat perilaku bekerja sepenuhnya dalam cara mekanis, tanpa keterlibatan ilahi. Seperti kasus terkait pengorbanan hewan, wilayah bermasalah tentang sifat kehidupan setelah kematian dan keabadian Surga
atau Neraka tidak terbatas pada perbedaan pernyataan antara Buddha dan Islam. Ini adalah persoalan penganut Buddha dan Hindu di satu sisi dengan orang Kristen dan Muslim di sisi lain. Pertempuran dengan Orang Tayi MleechaMenurut Naskah Kalachakra/Kalacakra Ringkasan Megah Kalachakra Tantra, I.158-166, menggambarkan serangan terhadap Shambhala oleh kaum Tayi mleecha, 1800 tahun setelah berdirinya agama mereka, dan kekalahan mereka dalam pertempuran itu oleh pasukan Shambhala. Namun, di bab selanjutnya, (II 48-50ab), naskah ini menjelaskan kesetaraan batin untuk pertempuran itu dengan kerangka cara meditasi. Ayat-ayat ini menyimpulkan (II.50cd): Pertempuran dengan penguasa dari mleecha jelas berada di dalam raga makhluk yang berwujud. Di sini lain, bagian lahir (tingkat pertempuran) sesungguhnya bentuk maya. (Oleh karena itu,) pertempuran dengan mleecha di dalam kasus Mekah itu adalah (sesungguhnya) bukan pertempuran. Pengamat Tibet pada abad ke-15, Kedrub Je, dalam karyanya berjudul Menyinari Sifat Kenyataan, Penjelasan Luas tentang “Cahaya Tak Bernoda”, Tanggapan Hebat terhadap “Kalachakra/Kalacakra Tantra yang Agung”, mengurai: Penjelasan di bab kedua ini adalah makna pasti dari gambaran, di bab pertama, tentang pertempuran yang menggambarkan hal itu. Ini harus diterapkan pada latihan yoga yang muncul dari menusuk titik-titik penting raga seseorang .. . Ketika naskah mengatakan bahwa (tingkat lahir)
ini adalah bentuk maya, ini berarti pertempuran di bab pertama memuat, sebagaimana maksudnya, apa yang digambarkan di bab kedua. Dan, kecuali untuk menunjukkan bagaimana pertempuran terjadi, yang merupakan maya, maksudnya adalah supaya (orang-orang) tidak bertindak dalam cara yang menyebabkan kerugian besar melalui perang melawan mleecha dan membunuh mereka. Dengan begitu, meskipun di permukaan tampaknya naskah Kalachakra/Kalacakra meramalkan perang besar antara umat Buddha dan Muslim, naskah dan tanggapan terhadapnya menjelaskan bahwa pertempuran itu harus dipahami semata sebagai lambang dari pertempuran batin melawan kekuatan dari keadaan cita seseorang yang gelisah dan merusak. Pokok-Pokok Bersama, tapi Memiliki Penafsiran Berbeda dalam Kedua Sistem Ajaran Buddha menyatakan bahwa Buddha, yang cakap dalam cara dan berkeinginan memberikan manfaat bagi semua orang, mengajar dalam banyak beragam jalan untuk menyesuaikan dengan kepribadian yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, Buddha memberikan ajaran yang sejajar dengan pernyataan-pernyataan tertentu dari sistem keyakinan lain. Meskipun ajaran Buddha dan sistem-sistem keyakinan lain itu memiliki pemahaman berlainan terhadap pokok-pokok dalam ajaran tersebut, kesamaan yang ada bisa membangun suatu dasar bagi keselarasan agama, pemahaman, dan kerjasama yang damai. Naskah Kalachakra/Kalacakra memperlihatkan prinsip ini.
Musafir Tibet pada abad ke-19, Mipam, dalam Pencahayaan Surya Vajra, Menjelaskan Makna Kata-Kata dalam “Kalachakra/Kalacakra Tantra yang Agung”, Tafsiran tentang Bab (Lima), Kesadaran Mendalam, menjelaskan: Orang-orang mleecha memegang dua (pokok filsafat). Mereka meyakini perwujudan lahir memiliki sifat kumpulan atom, dan mereka meyakini keberadaan diri seseorang yang mengalami kelahiran sementara atau yang memiliki unsur yang mengalami kelahiran dalam samsara. Tujuannya adalah mencapai kebahagiaan para dewa. Di samping ini, mereka tidak menyatakan jenis lain dari nirwana. Sifat Atom Mipam tidak memberikan suatu naskah tertentu yang di dalamnya Buddha berbicara tentang zat yang tersusun atas atom. Namun, dengan mengikuti ulasannya tentang pandangan para penyerbu dengan sebuah cara yang progresif tentang empat aliran filsafat Buddha India, Mipam menyiratkan bahwa pernyataan Tayi sesuai dengan ajaran Buddha. Ia menjelaskan, aliran Vaibhashika dan Sautrantika dalam Buddha Hinayana menyatakan bahwa atom tak bisa terbelah dan tak bisa terbagi, sementara aliran Chittamatra dan Madhyamaka dalam Buddha Mahayana menyatakan bahwa atom bisa terbelah tanpa henti. Hal serupa, di antara pandangan-pandangan filsafat yang telah berkembang di dalam Islam sebelum pertengahan abad ke-10, penulis-penulis tertentu menyatakan bahwa atom tidak bisa terbelah. Mereka meliputi al-Hakam dan al-Nazzam, di dalam aliran Shi’ite Mu’tazili, dan teolog Sunni al-Ash’ari. Sebagian besar teolog Islam lain pada masa itu, dan masa sesudahnya, menyatakan
bahwa atom secara tak terbatas bisa terbelah. Namun, al-Sijistani tampaknya tidak menjelaskan tentang kemampuan atom untuk bisa terbagi. Bagaimanapun, penganut Buddha dan Muslim secara pokok menggunakan alasan-alasan yang berbeda untuk menolak pandangan bahwa atom tidak bisa terbelah. Penganut Buddha berpendapat bahwa tidak masuk akal bagi atom tidak memiliki setidaknya bagian atau sisi yang mengendalikan; bila tidak demikian, mustahil bagi dua atom untuk menyatu. Supaya dua atom bisa menyatu, mereka harus menyatu pada satu sisi saja, yang berarti mereka bisa terbagi, setidaknya secara mental, ke dalam bagian-bagian yang mengendalikan. Argumentasi utama Islam adalah jika atom tidak bisa terbelah, ini menyiratkan adanya batas bagi kekuatan Allah. Karena Allah Mahakuasa, Ia pasti bisa membelah atom tanpa batas. Sifat Orang atau Sukma Mipam melanjutkan: Mengetahui kepribadian dan pemikiran mereka, Buddha mengajarkan sutra yang bisa mereka (orang Tayi) terima. Sebagai contoh, dalam Sutra Mengemban Tanggung jawab, Buddha berkata bahwa orang-orang yang mengemban tanggung jawab (untuk tindakan mereka) sungguh ada, tapi tanpa menyatakan bahwa sukma seseorang bersifat tetap atau tidak tetap. Pokok-pokok ini benar menurut pernyataan mereka (Tayi). Makna yang dimaksud Buddha adalah orang berada sebagai kelanjutan dari diri yang memikul tanggung jawab akan karma, tapi semata dikenakan pada suatu
kesinambungan dan, sesuai sifatnya, tidak tetap sekaligus bukan tidak-tetap. Pandangan Buddha Ajaran Buddha menyatakan, ada jumlah orang dan kesinambungan jiwa yang bersifat pasti tapi tak terhitung. Orang pribadi adalah sesuatu yang dikenakan pada kesinambungan jiwa pribadi, mirip suatu kebiasaaan yang bisa dikenakan pada suatu kesinambungan bentuk perilaku serupa yang diulang. Kelanjutan tiap orang pribadi, seperti kelanjutan dari kesinambungan tiap kesadaran pribadi, bersifat abadi, tapi tidak diam. Kelanjutan ini bersifat abadi, dalam arti tidak memiliki awal dan akhir. Namun, semua itu tidak diam dalam arti berubah dari waktu ke waktu. Dalam setiap waktu, tiap orang melakukan sesuatu yang berbeda, misalnya memahami suatu benda yang berbeda. Saat berada di bawah pengaruh keluguan, tiap orang melakukan tindakan karma dan memikul tanggung jawab untuk tindakan itu. Warisan karma dari tindakan ini berbuah pada pengalaman orang tersebut akan kebahagiaan atau duka samsara melalui kelanjutan kelahiran kembali. Ketika seseorang mampu mempertahankan kesadaran yang tepat akan kenyataan secara berlanjut, ia menjadi terbebaskan dari mengalami buah warisan karma itu. Dengan cara ini, kelanjutan dari keberadaan samsara orang tersebut berhenti selamanya dan ia mencapai kebebasan, nirwana. Namun, kelanjutan yang terus berubah dari orang pribadi itu dan dari kesinambungan kesadaran yang dikenai orang pribadi itu terus abadi, bahkan setelah pencapaian nirwana.
Secara singkat, menurut Buddha Mahayana, cabang Buddha yang memuat Kalachakra/Kalacakra, seorang pribadi tidak bersifat tetap dalam arti menjadi diam; ia bukan juga bersifat tidak-tetap dalam arti sementara. Selain itu, keberadaan samsara dari orang pribadi tidaklah tetap dalam arti menjadi abadi; bukan juga keberadaan nirwana dari orang pribadi bersifat tidak-tetap dalam arti sementara. Pandangan Isma’ili terhadap al-Sijistani Al-Sijistasi juga menyatakan bahwa orang―dalam kasus ini, sukma―memikul tanggung jawab untuk tindakan mereka dan bukan bersifat tetap maupun tidak-tetap. Namun, dasar metafisika bagi pernyataannya sangat berbeda dengan pandangan Buddha. “Sukma” universal tidak bersifat tetap dalam arti diam, tapi lebih bahwa ia berada dalam gerakan dan aliran yang terus-menerus. Namun, ia juga bukannya tidak-tetap dalam arti bersifat sementara, tapi lebih bersifat abadi. Menurut al-Sijistani, semua sukma pribadi manusia adalah bagian dari “sukma” universal yang sama. Ketika sukma pribadi meninggalkan sebuah raga manusia, keberadaan raganya yang sementara menjadi berakhir. Ia kembali pada “sukma” universal yang sama dan tidak menjalani kelahiran kembali ragawi lebih lanjut sebelum Hari Penghakiman. Namun, sukma pribadi yang keluar dari raga tetap mempertahankan kepribadiannya. Pada saat kebangkitan dan penghakiman, sukma pribadi itu mencapai kenikmatan jiwa berupa Surga abadi bila ia telah mencapai pengetahuan berakal akan kebenaran, melalui hubungannya dengan kecerdasan pribadi saat mewujud. Bila sukma pribadi tetap terperangkap dalam nafsu tubuh saat mewujud dan tidak meraih
pengetahuan berakal akan kebenaran, ia mengalami penyiksaan jiwa yang abadi di Neraka. Dengan demikian, sukma pribadi tidak bersifat tetap, dalam arti ia tidak abadi dalam keadaan wujudnya. Meski demikian, ia juga bukan tidak-tetap, dalam arti bahwa setelah kebangkitan dan penghakiman, ia berlanjut untuk selamanya, memikul tanggung jawab untuk tindakan-tindakannya saat mewujud. Sifat Pencipta Ajaran Buddha tidak menyatakan adanya suatu pencipta semesta yang mahakuasa yang mengarahkan apa yang terjadi di dalamnya. Ia juga tidak menyatakan adanya awal atau akhir yang mutlak dari semesta atau makhluk pribadi. Namun, naskah Kalachakra/Kalacakra sering berbicara tentang cita pribadi yang bercahaya jernih dan abadi di dalam tiap makhluk. Dengan kekuatan dari akibat karma, yang telah dikumpulkan tiap makhluk dari perilaku sebelumnya, tingkat cita paling dalam ini menciptakan semua tampilan mengenai keberadaan samsara maupun nirwana yang dialami makhluk ini secara pribadi dan subjektif. Karena tingkat cita cahaya jernih memiliki semua kemampuan yang memungkinkan tiap makhluk untuk menjadi Buddha yang tercerahkan, naskah Kalachakra/Kalacakra mengacunya sebagai Adibuddha, Buddha pertama atau utama. Ini “pertama” dalam arti menjadi sumber ke-Buddha-an yang pertama atau paling dalam. Supaya sesuai dengan sila pertama dari Pancasila yang merupakan dasar filsafat negara Indonesia – y akni, kepercayaan pada satu dan hanya Tuhan – penganut Buddha di Indonesia menyatakan bahwa Adibuddha setara dengan Tuhan dalam ajaran Buddha. Meskipun Adibuddha bukanlah pencipta mahakuasa atau
hakim dalam arti seperti Allah; namun tiap tingkat cita pribadi yang bercahaya jernih memiliki sifat-sifat tertentu dari Allah sebagaimana dinyatakan al-Sijistani. Untuk mengetahui Allah ataupun Adibuddha, seseorang perlu meniadakan semua sifat dari itu, lalu meniadakan peniadaan itu juga. Keduanya di atas katakata dan pengertian. Dalam kasus al-Sijistani, proses ini menyatakan sifat lintas-fana yang mutlak dari Allah; sedangkan di Kalachakra/Kalacakra proses ini menyatakan bahwa cita bercahaya jernih itu hampa segala tingkat cita yang memikirkan keberadaan atau nirkeberadaan. Selain itu, tidak seperti pandangan Islam secara umum bahwa Allah tak mungkin bisa memiliki penampilan, Adibuddha bisa disepakati diwakili oleh wujud Buddha Kalachakra/Kalacakra empat wajah dan dua puluh empat lengan. Ringkasan Secara singkat, jika seseorang tidak melihat secara mendalam pada penjelasan metafisika tentang naskah Kalachakra/Kalacakra Buddha dan teolog Isma’ili al-Sijistan, dua sistem ini sepakat bahwa seseorang atau sukma bukanlah tetap atau tidak-tetap, tapi memikul tanggung jawab etika akan tindakannya. Kedua sistem itu juga menekankan peran penting perilaku dan pengetahuan beretika dalam mencapai kebahagiaan kekal – baik kebahagiaan di nirwana maupun di Surga abadi. Pokok-pokok persetujuan ini menandakan jenis pendekatan yang bisa digunakan pada masa kini untuk mendorong kerjasama dan keselerasan Buddha-Islam. Hubungan Buddha-Islam Masa Kini Sekarang, terdapat tujuh wilayah utama tempat umat Buddha dan Muslim hidup bersama, atau hidup berdekatan, dan berhubungan
satu sama lain. Tempat ini meliputi Tibet, Ladakh, Thailand selatan, Malaysia, Indonesia, Burma/Myanmar, dan Bangladesh. Di tiap tempat itu, hubungan antara dua kelompok tersebut sangat dipengaruhi oleh unsur ekonomi dan politik, alih-alih oleh keyakinan agama mereka. Tibet Hubungan antara penduduk Buddha Tibet asli dan masyarakat pendatang Muslim Kasmir yang sudah tinggal ratusan tahun di sini telah berkembang menjadi selaras, yang berawal dari buah kebijakan Dalai Lama Kelima. Saat ini, anggota masyarakat Muslim diterima sepenuhnya sebagai orang Tibet oleh kelompok Tibet lainnya, baik di dalam mapun di luar Tibet, dan mereka ikut memiliki peran penting dalam masyarakat Tibet di pengasingan di India. Di sisi lain, terdapat masalah-masalah penting dalam hubungan antara umat Buddha Tibet dan Muslim Hui Cina. Dua kelompok ini telah hidup berdampingan selama berabad-abad di wilayah masa kuno Tibet timur laut, Amdo, yang saat ini terbagi antara provinsi Qinghai dan Gansu di Republik Rakyat Cina (RRC). Meskipun, pada beberapa masa, panglima-panglima perang Hui mempertahankan kendali yang ketat atas bagian-bagian di wilayah ini, umat Buddha dan Muslim yang hidup di sana berhasil menjalankan modus vivendi (kesepakatan untuk hidup berdampingan). Namun, selama beberapa dekade terakhir, pemerintahan RRC telah mempromosikan Tibet sebagai tanah dengan banyak kesempatan ekonomi. Akibatnya, pedagangpedagang Hui dalam jumlah banyak pindah menuju wilayahwilayah masa kunoTibet, tak hanya di Amdo, tapi juga di Tibet Tengah (Wilayah Otonomi Tibet). Penduduk Tibet setempat
melihat pendatang in sebagai pesaing asing dan karenanya muncul banyak kebencian. Kelompok Buddha dan Muslim yang sama-sama hidup di wilayah tradisional Tibet di dalam RRC menghadapi batasan-batasan gawat dalam menjalankan ibadah agama mereka. Terutama di Tibet Tengah, masyarakat awam hampir tak memiliki akses terhadap pendidikan agama. Oleh karenanya, perseteruan yang muncul di antara dua kelompok itu tidak didasarkan pada perbedaan agama. Masalahnya bukanlah pendatang baru itu Muslim, tapi karena mereka orang Cina dan mengancam kesejahteraan ekonomi penduduk asli. Dialog dan kerjasama agama sangat sulit dilakukan dalam keadaan sekarang, yakni ketika pemerintah RRC mendorong dan memanfaatkan keberagaman budaya untuk mempertahankan kendali. Ladakh Ladakh, dengan penduduk Buddha Tibet-nya, saat ini merupakan bagian dari Kashmir dan Jammu, dua Provinsi India. Perhatian para tetangga Muslim Ladakh di bagian Kashmir berpusat terutama pada konflik politik Hindu-Muslim yang terkait pada apakah bergabung dengan Pakistan, tetap bersama India, atau menjadi negara merdeka. Selain itu, jalur perdagangan masa kuno antara Kashmir dan Tibet, melalui Ladakh, ditutup karena kekuasaan Komunis Cina atas Tibet. Dengan demikian, pedagang Muslim Kashmir tidak lagi memiliki hubungan dengan masyarakat Buddha di Tibet, atau bahkan dengan masyarakat Muslim yang berkembang di sana.
Konflik antara umat Buddha dan Muslim di Ladakh didorong terutama oleh persaingan dalam mendapatkan bantuan pembangunan. Dengan tradisi Buddha tidak lagi tampak hidup di Tibet, wisatawan Barat beralih memadati Ladakh untuk menyaksikan Buddha Tibet dipraktikkan dalam latar tradisional. Program-program pembangunan, yang didukung oleh lembagalembaga India dan internasional, berkembang mengikuti kebangkitan kunjungan wisatawan. Dengan keadaan yang sangat tak stabil di Kashmir, perhatian yang diberikan kepada program pembangunan di sana pun semakin sedikit. Akibatnya, banyak Muslim Kashmir iri terhadap program bantuan yang mengalir ke Ladakh. Orang-orang tampaknya tidak merasa bahwa dialog lintas-iman antara umat Buddha dan Muslim bisa memainkan peran penting dalam menemukan penyelesaian bagi masalah ini. Thailand Selatan Sebagian besar Thailand Selatan dihuni oleh penduduk Muslim, yang lebih memiliki kesamaan dengan Muslim di Malaysia daripada penduduk Buddha di wilayah Thailand lainnya. Konflikkonflik di sana membuat umat Muslim menginginkan otonomi politik yang lebih besar. Persoalan-persoalan agama tampaknya tidak relevan. Burma/Myanmar Satu pertiga dari penduduk di negara bagian Rakhine Utara di Arakan, Burma/Myanmar adalah Muslim, dengan sisanya merupakan umat Buddha. Dua kelompok ini berasal dari suku berbeda dengan bahasa yang berbeda. Antara 1991 dan 1992, 250.000 orang dari Muslim ini, dikenal sebagai Rohingya, mengungsi ke Bangladesh. Namun, mereka melarikan diri karena
diskriminasi dan tekanan dari pemerintah. Pemerintah militer di sana, yang secara resmi mendukung dan menghubungkan diri mereka dengan ajaran Buddha, menganggap penduduk Muslim sebagai penduduk asing. Akibatnya, pemerintah ini menolak kewarganegaraan mereka, membatasi pergerakan mereka, serta membatasi kesempatan pendidikan dan pekerjaan mereka. Pada 1995, United Nations High Commission for Refugees membantu kepulangan sukarela dari 94% pengungsi Muslim ini. Mereka masih menerima bantuan kemanusiaan dan secara perlahan sebagian dari mereka mendapatkan kartu tanda pengenal dari pemerintah. Namun, kerusuhan antiMuslim yang dilakukan oleh umat Buddha masih terjadi. Umat Muslim menuduh bahwa para pelaku kerusuhan itu diawali dan didukung oleh pemerintah. Sebagian besar ketegangan antara dua kelompok agama dan suku itu berakar dari perlakuan istimewa yang diterima penduduk nonBuddha di bawah kekuasaan penjajah Inggris. Perlakuan istimewa yang diberikan pemerintah militer saat ini terhadap umat Buddha mungkin bisa dilihat sebagai balasan terhadap hal itu. Tanpa perubahan kebijakan pemerintah, tampaknya sulit bahwa penyelesaian ketegangan umat Buddha-Muslim di Burma/Myanmar bisa dilakukan melalui dialog agama saja. Bangladesh Satu persen dari penduduk negara ini adalah penganut Buddha, sedangkan sebagian besar adalah umat Muslim. Pemeluk Buddha hidup terutama di Distrik Chittagong dan Wilayah Bukit Chittagong. Pada 1988, sebuah perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Bangladesh disahkan, yang menyatakan adanya “ cara hidup Islam” untuk negara tersebut. Sejak itu, ketegangan antara kelompok agama dan sekuler di dalam pemerintah meningkat. Hal ini makin memburuk sejak 2011 seiring digelarnya “Perang
Melawan Teror”. Serbuan Amerika terhadap Afghanistan dan Irak memberikan bahan bakar bagi gerakan radikal Islam Bangladesh dan ini mengarah pada meningkatnya penindasan terhadap minoritas non-Muslim, termasuk umat Buddha. Malaysia dan Indonesia Malaysia dan Indonesia memiliki penduduk asli yang sebagian besar merupakan umat Muslim, dengan di sana-sini terdapat minoritas masyarakat Buddha, yang sebagian besar terdiri dari keturunan Cina dan sebagian keturunan Asia Tenggara. Kelompok Muslim dan Buddha diatur ketat di dalam tradisi agama masingmasing. Bahkan, di Malaysia, hukum secara keras melarang suku Melayu untuk pindah agama dari Islam ke Buddha, atau bahkan menghadiri upacara atau pengajaran Buddha. Bagaimanapun, konflik utama antara dua kelompok ini di tiap negara tersebut tampaknya berasal dari persaingan ekonomi. Kesimpulan Mendorong dan mengembangkan hubungan yang baik dan dialog antara umat Buddha dan Muslim di Tibet, Ladakh, Thailand Selatan, Burma/Myanmar, Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia adalah penting dan tentu sangat bermanfaat. Hal ini bisa menyelesaikan atau meredakan ketegangan antara dua kelompok agama, meskipun kemampuannya untuk menyelesaikan sebab ekonomi dan politik sebagai sumber konflik masih terbatas. Perhatian utama dalam pengembangan saling pemahaman antara umat Buddha dan Muslim terletak pada usaha para pemimpin kedua agama itu, di luar latar keadaan di mana umat Buddha dan Muslim hidup saling berdampingan masa kini.
Posisi Yang Mulia Dalai Lama Terkait Islam dan Keselarasan Lintas Iman Selama bertahun-tahun, Yang Mulia Dalai Lama Keempat Belas telah sering bertemu dengan pemimpin agama Islam dalam acara lintas iman di banyak tempat di dunia. Pesan Dalai Lama jelas. Seusai Konferensi Pers yang diadakan Dalai Lama di Foreign Correspondents’ Press Club di New Delhi, India pada 8 Oktober 2006, Agence France-Presse melaporkan: Dalai Lama telah memperingatkan bahaya dari penggambaran Islam sebagai agama kekerasan, sambil menyatakan bahwa Muslim telah dipersalahkan secara kejam oleh Barat sejak serangan 11 September. Terus mendorong tenggang rasa agama, pemimpin Buddha paling berpengaruh di dunia ini berkata pada hari Minggu bahwa pembicaraan tentang “benturan perdaban antara dunia Barat dan Muslim adalah salah dan berbahaya”. Serangan teroris Muslim telah mengganggu pandangan orang-orang terhadap Islam, membuat mereka percaya bahwa Islam adalah keyakinan para ekstremis, bukan agama yang didasarkan pada welas asih .. . Semua agama memiliki ekstremis dan “salah jika kita menyamaratakan (Muslim). Mereka (teroris) tidak mewakili keseluruhan sistem Islam.” … Dalai Lama berkata, ia telah menetapkan dirinya dalam peran pembela Islam karena ia ingin membentuk-ulang pandangan orang-orang terhadap Islam. Dalai Lama mengulang tema ini dalam konferensi “Risiko Globalisasi: Apakah Agama Menawarkan Solusi atau Justru
Bagian dari Masalah?” yang didukung oleh Forum 2000, di Praha, Republik Ceko, pada 10 Oktober 2006. Di sana, ia berkata: Di masa lalu, seperti hari ini, terdapat perpecahan atas nama agama dan untuk mengatasinya kita harus melakukan dialog terusmenerus antar berbagai agama… . Bila Anda sungguh percaya agama Anda berasal dari Tuhan, Anda pun harus percaya bahwa agama lain juga ciptaan Tuhan. Di sini, Dalai Lama menggemakan kata-kata Dr. Sayyid M. Syeed, Sekretaris Jenderal Islamic Society of North America. Dalam pertemuan lintas iman bertajuk “Pertemuan Hati yang Menerangi Welas Asih”, di San Fransisco, California pada 15 April 2006, yang dihadiri oleh Dalai Lama, Dr. Syeed berkata: Al-Quran berkata kepada Muslim bahwa kemanusiaan hanya akan terdiri dari orang-orang dengan satu keyakinan bila itu yang dikehendaki oleh Allah. Peran Masa Kini Upacara Kalachakra/Kalacakra sebagai Alat Keselarasan Umat Buddha-Muslim Sebuah hal yang patut dicatat dari perkembangan dialog umat Buddha-Muslim adalah peran upacara Kalachakra/Kalacakra sebagai alat bagi dialog ini. Sebagai contoh, Pangeran Sadruddin Aga Khan, sebagai tamu kehormatan, menghadiri upacara Kalachakra/Kalacakra yang dipimpin oleh Dalai Lama di Rikon, Swiss pada Juli 1985. Mendiang pangeran itu adalah paman dari Yang Mulia Pangeran Karim Aga Khan IV, pemimpin rohani masa kini cabang Nizari dari Isma’ili Syiah. Tujuh tahun kemudian, Dr. Tirmiziou Diallo, pemimpin Sufi bersilsilah di Guinea, Afrika Barat,
menghadiri upacara Kalachakra/Kalacakra yang dipimpin oleh Dalai Lama di Graz, Austria pada Oktober 2002. Di samping itu, selama upacara Kalachakra/Kalacakra yang dipimpin Dalai Lama pada Januari 2003 di Bodh Gaya, India, tempat tersuci dalam dunia Buddha, Dalai Lama mengunjungi masjid setempat yang terletak di dekat stupa utama. Kunjungan ini dicatat dalam laporan resmi Departemen Informasi dan Urusan Internasional Pemerintah Tibet Tengah Dharamsala, India sebagai berikut, Di sana Yang Mulia diterima oleh Maulana Mohammad Shaheeruddin, Imam masjid sekaligus Pemimpin sekolah agama yang menempel pada masjid itu. Berbicara kepada para guru dan murid di sana, Yang Mulia berkata bahwa meskipun kita mengikuti agama yang berbeda, pada dasarnya kita semua manusia yang sama. Semua tradisi keagamaan mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang baik. Jadi, tugas kita untuk bekerja menuju tujuan itu. Tanggung jawab Universal sebagai Dasar Kerjasama Umat Buddha-Muslim Dalai Lama sering menekankan bahwa kerjasama lintas iman, baik antara umat Buddha dan Muslim atau di antara semua agama di dunia, perlu didasarkan pada kebenaran universal yang bisa diterima oleh kerangka keagamaan masing-masing kelompok. Kebenaran universal itu adalah bahwa setiap orang ingin bahagia dan tak seorang pun ingin menderita, dan bahwa seisi dunia ini saling terhubung dan saling bergantung. Kemudian, mengenai naskah Kalachakra/Kalacakra terkait kesamaan ajaran Buddhaislam bahwa setiap orang memikul tanggung jawab etika akan
tindakan mereka, dua agama ini memiliki penjelasan filosofis yang berbeda. Buddha menjelaskan dua pokok itu dalam kerangka akal sehat, sementara Islam menjelaskannya dalam kerangka kesamaan di antara semua ciptaan Allah. Meski demikian, kita menemukan kesamaan suara di dua agama ini yang mendukung kebijakaan mengenai tanggung jawab universal. Guru Buddha India di abad dalam Melibatkan Diri dalam Bodhisattvacāryāvatāra), VIII 91:
ke-8, Shantidewa, menulis Perilaku Bodhisattwa (Skt.
Meskipun memiliki banyak unsur, dengan pembagian ada tangan dan sebagainya, tubuh perlu dirawat sebagai sebuah keseluruhan; demikian juga, di samping segala perbedaan di antara semua makhluk pengembara, terkait dengan kebahagiaan dan duka, mereka semua sama dengan diri saya yang mengharapkan bahagia, dan karenanya kita membentuk suatu keseluruhan. Hal serupa, sebuah hadist dari Nu'man bin Basyir mencatat sabda Nabi Muhammad: Perumpamaan orang-orang mukmin yang saling mencintai dan saling menyayangi serta saling mengasihi, adalah bagaikan satu tubuh. Apabila sebagian anggota tubuh itu sakit, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan sakit karena tidak bisa tidur dan demam. Melalui ajaran-ajaran semacam itu dan usaha berkelanjutan bukan hanya dari para pemimpin rohani Buddha dan Islam, tapi juga dukungan dari anggota dua komunitas agama, harapan bagi
keselarasan agama antara umat Buddha dan Muslim serta, secara umum, di antara semua agama di dunia, tampak cerah.
Dalai Lama dalam Cendekiawan Sufi
Percakapan
dengan
Para
Dalai Lama Ke-14
Wallace Loh (Presiden Universitas Maryland): Selamat siang, saya Wallace Loh, Presiden Universitas Maryland. Saya ucapkan selamat datang pada Anda sekalian, para tamu yang kami hormati, tuan dan puan, di hari yang luar biasa istimewa ini. Seperti agamaagama bumi, samudera merupakan sumber kehidupan yang menjaga jiwa tak tenggelam; saat diruak angin dan pasang, samudera itu serupa gairah keagamaan. Hari ini kami hadirkan sebuah perjumpaan lembut dua samudera, Ajaran Buddha dan Sufi. Ini kesempatan menjanjikan yang langka dan kami amat berterima kasih pada semua tamu. Hari ini Yang Mulia Dalai Lama Ke-14 telah begitu menggerakkan kampus kami. Beliau berbagi kehadirannya, seberkas sinar kesederhanaan, kebaikan dan kejenakaan yang riang, dan kami sungguh berterima kasih pada beliau. Siang ini kami berbagi bersama Yang Mulia kado-kado dari para cendekiawan aliran lain. Para peserta untuk Lembaga Kajian Persia Roshan di Universitas Maryland adalah orang-orang berpencapaian tinggi dan dihormati. Mereka membawakan berabad-abad adat-istiadat, pengetahuan, dan iman pada kita. Saya ingin berterima kasih pada Dekan Bonny Thornton Dill dari Fakultas Seni dan Kemanusiaan karena telah memberikan kita kesempatan yang sangat istimewa ini. Dekan Dill dikenal di berbagai negara untuk kesarjanaannya pada bidang ras, jender, karya, keluarga, dan kemiskinan. Beliau punya tekad mendalam
pada pengajaran insan manusia seutuhnya. Mari kita sambut Dekan Bonnie Thornton Dill. Bonnie Thornton Dill (Dekan Fakultas Seni dan Kemanusiaan): Selamat siang. Saya ingin mengimbuhkan sambutan saya pada sambutan Presiden Loh tadi, dan berterima kasih pada Anda karena telah menghadiri acara yang sangat istimewa ini. Kami merasa terhormat dan amat menghargai kesempatan untuk menjamu Yang Mulia Dalai Lama Ke-14 dari Tibet dalam program siang ini, "Perjumpaan Dua Samudera: Percakapan tentang Ajaran Sufi dan Buddha." Semboyan dari Fakultas Seni dan Kemanusiaan adalah "Mendunialah" – sebuah cap yang pas sekali dengan hal yang akan kita alami sebentar lagi. "Mendunia" berarti merangkul dunia sebagai suatu ruang lintas-negara, berjuang memahami gerakan dan alur masyarakat dan gagasan dan merangkul perbedaan dan keragaman di tanah air dan di mancanegara. Memperoleh kebijaksanaan dalam proses ini merupakan tantangan terbesar karena kebijaksanaan meminta kita untuk menggunakan pengetahuan yang kita kumpulkan untuk bertumbuh, bukan hanya secara akal tapi juga perasaan dan kerohanian, dan seperti yang ditunjukkan oleh Yang Mulia hari ini sebelumnya dalam wicaranya: memahami bahwa di dalam semua keragaman itu terdapat satu kemanusiaan yang serupa, dan ketika kita telah memperoleh kebijaksanaan tersebut, kita terapkan ia sebagai daya bagi kebajikan di dunia. Sebagai seorang manusia yang berpengetahuan dan berpengalaman luas yang berkecimpung dalam pengedepanan perdamaian, pemahaman, dan keselarasan, Yang Mulia, Anda
melambangkan gagasan mulia kami tentang apa arti jadi "mendunia". Karenanya, kami merasa ini sangat istimewa dan kami menantikan asupan pelajaran dari percakapan hari ini. Selain Yang Mulia, hadir pula di tengah-tengah kita sebagai peserta perbincangan: Elahé Omidyar Mir Djalali, pendiri dan presiden Lembaga Warisan Budaya Roshan; Fatemeh Keshavarz, Ketua Kajian Persia Roshan dan Direktur Lembaga Kajian Persia Roshan di Universitas Maryland, pemusik Hossein Omoumi, seorang ahli suling ney; biduan Jessika Kenney yang duduk di sebelahnya; Ahmet T Karamastaffa, Profesor Sejarah di Universitas Maryland dan Pejabat Pengembangan Akademik di Lembaga Kajian Persia Roshan di kampus, dan Carl W Ernst, Profesor Terhormat Kenan di Universitas North Carolina di Chapel Hill dan Direktur Penyerta untuk Pusat Kajian Timur Tengah dan Peradaban Muslim Carolina. Sebelum kita mulai acara hari ini, dengan penuh sukacita saya ingin menghaturkan terima kasih untuk peran-andil Yang Dituakan Lama Tenzin Dhonden. Lama Tenzin merupakan Utusan Pribadi untuk Perdamaian bagi Yang Mulia, yang nasihat bijak dan kepiawaiannya dalam hal logistik telah membimbing anggota staf kami melewati setiap segi perencanaan untuk hari ini. Kami takkan mampu melakukannya tanpa beliau, dan kerap kali orang mengucapkan hal itu tapi tidak dengan sungguh hati, tapi saya sungguh-sungguh dengan ungkapan itu di sini. Kini tiba waktunya saya memperkenalkan Dr Elahé Omidyar Mir Djalali, yang berperan besar dalam mewujudkan percakapan khas tentang Ajaran Sufi dan Buddha ini. Pendiri dan Presiden Lembaga Warisan Budaya Roshan, Dr Mir Djalali merupakan pendukung teguh nan abadi bagi pelestarian dan pemajuan budaya Persia. Di bawah kepemimpinannya, Lembaga Warisan Budaya Roshan
telah menjadi lembaga pratama bagi pelestarian, penerusan, dan pengarahan budaya dan kajian Persia di seluruh dunia, yang menyokong upaya-upaya serupa di AS, Eropa, dan Asia. Pada tahun 2007, lembaga tersebut memberikan hadiah kepemimpinan dalam mendukung Program Kajian Persia di universitas ini, memperkuat program akademik lewat mengucurkan dana bagi ketua Lembaga Roshan dalam Kajian Persia dan juga beasiswa pascasarjana, beasiswa setingkat sarjana dan sumbangan untuk program-program Persia. Untuk mengenang budi luhur ini, Pusat Kajian Persia di dalam Sekolah Bahasa, Sastra, dan Budaya kini dikenal sebagai Lembaga Kajian Asia Roshan di Universitas Maryland. Selama dua tahun belakangan ini saya telah berkesempatan untuk bekerja erat dengan Dr Mir Djalali dan saya telah mengenalnya sebagai sosok dengan integritas yang luar biasa. Beliau brilian dan ramah, rendah hati dan kukuh, kata-kata yang tak saya anggap enteng, dan saya merasa terhormat karena dapat memanggilnya teman. Sebagai perluasan karya dan latar belakang anekabudayanya, Dr Mir Djalali dengan rajin memajukan upayaupaya untuk mengembangkan hubungan antarbudaya. Lahir di Iran, beliau dididik di Prancis dan Amerika Serikat, menerima gelar master dari Sorbonne dan Universitas Georgetown dan gelar doktor dengan jurusan linguistik dari Sorbonne. Beliau merupakan pengarang yang piawai dan telah menerbitkan karya-karya dalam bahasa Prancis, Inggris, dan Persia – bahasa-bahasa yang fasih dikuasainya. Selain tulisan-tulisannya, beliau telah dengan sukarela menyumbangkan waktu dan tenaga tak terkira untuk menerjemahkan naskah-naskah Sufi ke dalam bahasa Prancis dan Inggris. Dalam lingkung ini, beliau telah menjadi seorang pengagum luar biasa dari Yang Mulia Dalai Lama dan tekad beliau
terhadap nilai-nilai manusia yang kita miliki bersama. Besar hati saya menghadirkan di hadapan Anda: Dr Elahé Omidyar Mir Djalali. Dr Elahé Omidyar Mir Djalali: Terima kasih Dekan Thronton Dill. Kata-kata Anda sungguh bersahaja, saya kehabisan cara untuk menanggapinya. Yang Mulia, Presiden Wallace Loh, dan hadirin yang mulia, atas nama Lembaga Warisan Budaya Roshan, dengan misinya "pencerahan lewat pendidikan", kami dengan senang hati dan merasa istimewa karena dapat ikut andil dalam acara yang luar biasa ini, "Perjumpaan Dua Samudera: Percakapan tentang Ajaran Sufi dan Buddha." Sungguh kehormatan yang bukan kepalang bagi kita karena dapat ikut hadir bersama Yang Mulia Dalai Lama Ke14 dari Tibet yang akan mengilhami dan memandu percakapan kita ini. Yang Mulia merupakan seorang suri teladan perdamaian; beliau telah mengajar banyak orang di seluruh dunia tentang pemecahan masalah manusia melalui perubahan sikap kemanusiaan, tentang welas asih sebagai landasan perdamaian dunia, dan tentang pemahaman atas kesamaan tujuan dan budi pekerti dari semua agama besar. Mengetahui bahwa dunia ini bertambah kecil dan seluruh orang telah menjadi hampir satu masyarakat, Yang Mulia telah tanpa kenal lelah berupaya memupuk rasa tanggung jawab bersama yang lebih besar untuk menghadapi ancaman yang sama-sama kita alami di masa ini, baik terhadap keamanan maupun lingkungan. Karya sepanjang-usia dari beliau dalam mengangkat nilai-nilai sikap mengedepankan kepentingan bersama, cinta dan welas asih, dan khususnya kampanye tanpa-kekerasan untuk mengakhiri kekuasaan Cina di tanah airnya telah diakui lewat penganugerahan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1989. Saya sendiri, saat pertama sekali bertemu Yang Mulia di Dharamsala, India, terilhami bukan hanya
oleh pesan perdamaian dan kesatuan umat manusia yang disampaikannya, tapi juga oleh kehangatan dan ketenteraman yang memancar dari kehadirannya. Saya kemudian telah membaca kata-kata dan tulisan-tulisannya yang penuh ilham, dan mengikuti kuliah dan ajarannya selama beberapa hari di Toulouse, Prancis, dan pada berbagai kesempatan lainnya. Ajaran-ajaran Yang Mulia telah terus-menerus mengingatkan saya pada nilainilai inti, asas dan laku bersusila dalam ajaran Sufi yang saya dapatkan di masa muda. Saya bukan pura-pura jadi pakar Sufi, lebih tepat disebut pencari, seorang murid dari ajaran tersebut, yang telah berbakti bertahun-tahun menjadi penerjemah tanpanama atas naskah-naskah Sufi ke dalam bahasa Prancis dan Inggris, agar dapat dibagi bersama orang lain. Seperti diajarkan oleh para guru Sufi pada kita, "aleyka be qalbeka" – "kau adalah isi hatimu." Ajaran Sufi merupakan suara penggugah dari pengetahuan kerohanian dalam diri, yang mencakupi semua ajaran budi pekerti dari semua agama besar. Kata "Sufi" adalah kata dari Barat, yang gagal menangkap makna penuh dari kata Persia-nya, erfan, dari arafa, yang artinya "pengetahuan", "jalan pengetahuan", dan "pencerahan". Pesan pengetahuan batin dan kekuatan kedermawanan di dalam masing-masing kita inilah yang menggaung begitu membahana bagi saya dalam ajaran-ajaran Yang Mulia. Dalam semangat nilai-nilai yang sama-sama dimiliki ini, rasa terima kasih yang tiada terkira saya haturkan pada Yang Mulia karena bersedia ikut serta dalam percakapan tentang ajaran Sufi dan Buddha ini. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Universitas Maryland, Presiden Loh dan kepemimpinannya dan pada seluruh pihak yang telah bekerja begitu keras untuk mewujudkan acara ini.
Saya juga dengan senang hati memperkenalkan Dr Fatemeh Keshavarz. Sejak tahun lalu ia telah melayani sebagai Direktur Lembaga Kajian Persia Roshan di Universitas Maryland dan menduduki kursi Ketua Lembaga Bahasa dan Sastra Persia Roshan, dan sebelumnya ia telah mengajar selama lebih dua puluh tahun di Universitas Washington di St. Louis, tempat ia mengetuai Jurusan Bahasa dan Sastra Asia dan Timur Dekat dari tahun 2004 sampai 2011. Ia lahir dan dibesarkan di Shiraz, Iran, dan dididik di Universitas Shiraz dan Universitas London. Ia merupakan penulis buku-buku pemenang penghargaan, berbagai risalah jurnal dan syair penuh ilham. Dr Keshavarz akan menyajikan beberapa pemikiran tentang arti syair dan musik sebagai ungkapan kerohanian dalam laku Sufi. Ia akan ikut serta dalam sebuah kado rohani penyambut untuk Yang Mulia, yang memadukan ajaran Sufi dengan nafas manusia, detak jantung, dan buluh (bambu), alat musik tertua dan paling sederhana di dunia. Semoga kesempatan penting ini menjadi sebuah pembuka bagi kesatuan seluruh keyakinan dan agama atas dasar nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki bersama, yang menghubungkan kita semua, tanpa memandang suku, kelamin, dan pangkat sosial. Terima kasih. Dr Keshavarz. Dr Fatemeh Keshavarz: Terima kasih Dr Mir Djalali untuk perkenalan elok yang Anda sampaikan. Yang Mulia, sungguh saya merasa terhormat karena dapat menjadi bagian dari percakapan tentang ajaran Sufi dan Buddha ini bersama Anda. Kami menyebut percakapan ini "perjumpaan dua samudera" karena kami percaya ajaran Buddha dan Sufi itu bagai dua samudera luas dengan harta karun yang sama-sama dimiliki keduanya. Jika kita menyelam dalam, kami percaya bahwa kita dapat menemukan mutiaramutiara yang mirip di dalam samudera ini. Yang Mulia, jauh
sebelum saya dilatih secara akademik sebagai seorang sarjana persyairan Sufi, saat masih kanak-kanak dulu keluarga saya 'memandikan' saya dengan syair-syair Sufi, yang merupakan sandiwara dan pendidikan dan meditasi dan puja-puji sekaligus. Saya katakan ini persis seperti pagi tadi Anda menyebutkan arti pendidikan, jadi sebagian besar pendidikan saya dalam persyairan Sufi berasal dari keluarga saya dan juga dari sahabat dan rekan sejawat saya di sini Ustad Hossein Omoumi, yang merupakan seorang pelaku dan sarjana musik; ia memperoleh karunia musik Sufi dari keluarganya terlebih dahulu, sebelum ia masuk ke jenjang pendidikan. Ustad Omoumi telah membaktikan hidupnya untuk menjelajahi rahasia-rahasia alat musikney atau suling bambu Persia, yang akan kita bicarakan sedikit nanti, tapi ia juga menganut pemikiran yang Anda juga miliki bahwa seorang guru harus memiliki hubungan pendidikan mendalam dengan muridnya, bukan sekadar laku biasa – orang harus mengembangkan hubungan semacam itu. Dan juga di sini sudah ada bersama kita Nona Jessika Kenney, seorang biduan dan pencipta lagu, yang merupakan murid dari berbagai aliran kerohanian, termasuk pesinden Gamelan Jawa, tapi sembilan tahun yang lalu Jessika hadir melihat penampilan Ustad Omoumi dan jatuh cinta dengan musik Sufi dan meminta untuk menjadi muridnya. Ia telah melakukannya selama sembilan tahun belakangan ini. Ia berkata bahwa sembilan tahun ini telah mengubah makna bunyi bagi dirinya; bahwa kini, bunyi merupakan hal yang mengungkapkan pikiran-pikiran yang lebih dalam di dalam perasaannya sendiri, dan bukan lagi berupa bunyi semata. Seperti yang telah dikatakan oleh para Sufi selama berabad-abad, perpaduan kata dan irama bisa menjadi begitu banyak hal, sebuah pintu menuju doa; seperti membuka saat doa bagi kita, menggugah
pikiran dalam diri atau seperti diungkapkan oleh Dr Mir Djalali "suara batin" yang tertidur, tapi jadi tergugah lagi karena musik. Dan juga untuk mengayomi apa yang Anda telah sebut "sifat-sifat baik hati". Seperti nafas dan detak jantung manusia, ia adalah bahasa menyemesta. Ia tidak perlu diterjemahkan; maka, para Sufi melihat ini sebagai sebuah bahasa yang dapat dipakai untuk berbicara pada seantero dunia. Para penutur bahasa Persia hidup dengannya, mereka mengerjakannya dalam bentuk kaligrafi – seperti yang nanti akan Anda lihat dalam hadiah yang akan kami berikan nanti; mereka mengutipnya, mereka melantunkannya, mereka mengajarkannya – hal itu sungguh menjadi bagian dari keseharian mereka. Dan citra-citra yang berasal dari persyairan ini pun menjadi bagian dari hidup mereka, dan citra yang amat penting adalah citra ney atau suling bambu itu sendiri. [Suara suling menyelingi.] Penyair Sufi yang luar biasa dari abad tiga belas, Jalal ad-Din Rumi menggambarkan suling bambu sebagai sosok manusia, seorang pecinta, seorang pencari yang telah terpisah dari tanah airnya ibarat buluh yang terpisah dari rumpunnya supaya dapat dibuat jadi suling. Dan seperti yang telah Anda gambarkan sendiri, bahwa dalam mitologi Buddha kita dapat menjadi makhluk cahaya yang terpisah, yang sekarang berada di alam hasrat, sehingga kita mungkin lupa tentang asal-usul ilahi atau asal-usul cahaya kita, Rumi juga berkata bahwa kita lupa tempat; kita bisa begitu terusik sehingga kita lupa bahwa kita bertempat di sebuah asal yang lebih tinggi dan cara kita dapat mengingatnya adalah dengan mendengarkan, mendengarkan suara dalam diri ini. Dan begitulah ia memulai karya Sufi pentingnya dengan kata "dengar". [Suara
suling menyelingi, berpadu dengan kata-kata syair Sufi berbahasa Persia.] Ia berkata: "Dengarlah hikayat rasa sakit sepenuh hati sang buluh karena ia berkisah tentang cerita setiap perpisahan. Sejak mereka mencabutku dari rumpun tempatku berada, orang-orang mengutarakan duka lewat laguku." [Musik dan syair.] Ia berkata: "Biarlah perpisahan ini meremukkan hatiku agar aku dapat menyematkan sakit merindu pada kata-kata, karena siapapun yang tinggal jauh dari rumahnya, dari asalnya, pasti akan mencari jalan bersatu lagi dengan sanak-saudaranya." Bagi para Sufi, jentera bagi pencarian ini, pencarian asal ini, adalah cinta; "daya, api yang memberi kehangatan pada suaraku." Rumi berkata, "Itulah cinta." Dan cinta bagi kaum Sufi bukanlah sebuah gagasan teoretis. Ya, bisa saja banyak dibicarakan dalam teori, tapi pengalamanlah yang berbicara. Mereka yakin bahwa kita harus mengizinkan diri merasakan cinta. Gagasan tentang rasa ini amat penting, dan hanya dengan itulah kita mengenal sifat-sifat cinta yang penjelma, yang jadi alasan Rumi berkata "cinta menunjukkan dirinya sendiri sebagai hati yang tersedu"; jadi, cinta menunjukkan dirinya alih-alih menggambarkan dirinya, atau alihalih kita yang menggambarkannya. Kerinduan ini memberi kekuatan bagi seorang pencari untuk maju, tetapi kerinduan itu sendiri tidak dapat dijelaskan atau digambarkan karena ia tidak berupa.
Rumi berkata, "Aku bicara dan bicara untuk menggambarkan dan mengungkap cinta, tapi ketika aku datang pada cinta, aku sadar bahwa kerjaku sia-sia karena ia tak dapat digambarkan; namun ketika dirasakan, cinta akan terpatri dalam hati." Dan begitulah, tugas syair dan musik Sufi adalah membawa rasa itu, rasa dari kearupaan itu, atau keindahan arupa itu, pada sang pencari. [Suara suling dan lantunan syair.] Yang Mulia, sekarang saya perkenalkan pada Anda Profesor Ahmet Karamastaffa, sarjana kehormatan untuk ajaran Sufi dan seorang Profesor Sejarah di Universitas Maryland. Ia dengan ringkas akan bicara tentang gagasan-gagasan utama dalam ajaran Sufi. Profesor Ahmet Karamastaffa: Terima kasih, Dr Keshavarz. Yang Mulia, para rekan dan tamu yang terhormat, adalah suatu keistimewaan yang langka untuk dapat menyajikan beberapa gagasan utama ajaran Sufi pada Yang Mulia, dan saya merasa terhormat melakukannya. Ajaran Buddha dan Sufi memanglah dua samudera luas, dan karena tidak mungkin bagi saya untuk menyentuh semua segi utama dari ajaran Sufi dalam waktu yang diberikan pada saya, saya akan mengarahkan perhatian Anda pada fitur-fitur pemikiran dan laku Sufi yang saya yakini akan pula menemukan gaungnya pada ajaran Buddha. Saya mulai dengan pusat perhatian Sufi pada diri. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa inti dari semua upaya Sufi adalah usaha untuk mengendalikan dan membentuk ulang diri manusia. Menurut kaum Sufi, tiap-tiap insan manusia diberkahi dengan suatu inti rohani, namun inti rohani tersebut biasanya diliputi dengan hal-hal kecil dari hidup manusia setiap hari sehingga ia pun terbengkalai,
tertidur. Karena itu, insan manusia tersebut cenderung memikirkan dan mementingkan diri sendiri dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Namun, kalbu tadi dapat digugah dengan tanda-tanda ilahi yang ada di dalam dan di sekitar kita, dan seperti yang telah kita lihat tadi, kaum Sufi percaya bahwa syair dan musik kaya akan hal ini. Dan begitu tergugah, kalbu itu dapat tumbuh, dan lambatlaun menggantikan diri yang lebih kecil dan rendah yang menindasnya pertama kali. Proses mengendalikan dan akhirnya menggantikan diri yang lebih rendah dengan kalbu ini kerap dipandang sebagai sebuah perjalanan yang panjang dan berat, dan selama itu pula kalbu tersebut butuh diasuh dengan rasa peduli dan sabar. Dalam perjalanan ini, kaum Sufi mencoba untuk membongkar diri sehari-hari itu tadi, mengupasnya, lapis demi lapis, untuk menguak kalbu, dan kemudian berupaya mengolah organ rohani, yaitu kalbu, untuk menjadi satu dengannya. Perjalanan ini, dari sikap mementingkan diri sendiri ke ketuna-dirian, dari diri yang lebih rendah ke yang lebih tinggi, keinsan-rohanian yang telah dibentuk ulang, bersifat mendasar bagi semua pemikiran dan laku Sufi. Menariknya, saat seorang Sufi maju dari satu makam ke makam rohani berikutnya dalam perjalanan ini, ia mulai mendekati semua makhluk dengan rasa kerendahan hati yang dalam dan yang mengada karena pengalaman serta kedermawanan yang tidak tergoyahkan. Dengan menghapus sepenuhnya seluruh jejak sikap memikirkan diri sendiri melalui pengolahan kalbu, seorang Sufi telah memalingkan diri pada suatu cermin yang dengan setia memantulkan keutuhan makhluk: semua itu tunggal, segalanya saling terhubung; kita semua menyatu dalam perjalanan yang kita sebut "hidup" ini. Dengan penyadaran ini, seorang Sufi dialihbentukkan ke dalam seorang pelayan tuna-diri yang tak henti-
hentinya berupaya untuk mengembangkan yang lain. Ia bertujuan untuk menyelamatkan orang-orang dari jurang gelap sikap mementingkan diri sendiri dan mengarahkan mereka menuju puncak ngarai kesehubungan. Seorang Sufi menjadi simpul yang menghubungkan; lebih tepatnya ia menjadi cermin yang memantulkan kesaling-hubungan yang dalam dari semua ke-adaan. Pengikisan sikap memikirkan diri sendiri ini telah membuka gembok peti harta karun yang tersimpan di dalam kalbu, yaitu cinta, welas asih, dan kedermawanan; dan kaum Sufi menebar kekayaan dari harta ini tanpa banyak tanya dan secara cuma-cuma pada setiap orang, siapa saja. Sebagai tautan kedermawanan yang menghubungkan semua makhluk, seorang Sufi hidup dalam rimbunnya kehidupan bermasyarakat. Tidak ada celah meloloskan diri dari masyarakat menuju rimba antah berantah, tidak ada jalan mundur ke dalam masyarakat tertutup. Bahkan ketika kurun waktu undur-diri dibutuhkan seorang Sufi untuk memoles lagi kalbunya, ia jarang sekali meninggalkan kehidupan biasa bermasyarakat sepenuhnya. Tekad kuat bagi masyarakat dan kehidupan bersama ini merupakan ciri khas ajaran Sufi. Inilah mengapa kaum Sufi mengatur diri dalam komunitas-komunitas di sekitar para guru Sufi ternama, namun begitu menolak untuk memisahkan diri mereka dari masyarakat sebagai kelompok tersendiri. Mereka hidup sebagai orang-orang biasa di dalam masyarakat mereka, baik di perkotaan atau pedesaan. Lembaga-lembaga mereka sering menjadi pusat-pusat komunitas yang menyediakan semua jenis layanan bagi masyarakat yang lebih luas di sekitar mereka, dalam bentuk makanan, tempat penampungan, bantuan kerohanian dan material, bimbingan keagamaan, terapi, pemasyarakatan,
pendidikan, dan hiburan yang sungguh menjadi asupan gizi bagi akal. Kemenyatuan kaum Sufi dalam masyarakat ini, naluri hidup bersama ini, wajah yang terlibat dalam masyarakat inilah yang menandai purnanya perjalanan Sufi. Si Sufi telah menaklukkan dan menjinakkan diri kecil yang lebih rendah dan menggantinya dengan rasa keinsanan rohani yang lebih tinggi, dan mengalihkan mata air cinta dan welas asih yang mengalir dari insan rohani tersebut untuk pelayanan tuna-diri bagi semua makhluk. Saya yakin bahwa banyak sekali dari perjalanan Sufi ini akan menemukan gaungnya dalam hal-ihwal utama ajaran Buddha seperti yang tampak terang tersampaikan dengan begitu fasih dan penuh daya dalam kerja seumur hidup Yang Mulia, dan saya sungguh menantikan tanggapan Anda nanti. Tapi sebelum itu, saya ingin memperkenalkan pembicara kita yang berikutnya, rekan dan kawan saya yang terhormat, Carl Ernst. Dekan kami telah memberitahu Anda bahwa Carl berasal dari Universitas North Carolina. Ia merupakan pakar khusus dalam kajian-kajian Islami, dengan pusat perhatian pada Asia Barat dan Selatan. Penelitiannya yang telah diterbitkan diarahkan utamanya pada tiga wilayah: wilayah umum dan genting dari kajian-kajian Islami, ajaran Sufi, dan budaya Indo-Muslim. Sungguh istimewa rasanya Anda dapat hadir di sini bersama kami, Carl. Silakan angkat bicara. Carl Ernst: Terima kasih sekali, Ahmet. Memang benar, dipanggil untuk menyajikan beberapa patah kata tentang pertemuan masa lalu dan mendatang antara umat Hindu, Buddha, dan Sufi kepada Yang Mulia Dalai Lama merupakan suatu keistimewaan dan kehormatan. Saya merasa amat bersyukur atas kesempatan ini.
Tak diragukan lagi, ada pihak yang akan mempertanyakan kemungkinan pertalian murni antara aliran kerohanian ini, khususnya dalam pandangan keyakinan tegas yang kadang dihubungkan pada lingkungan Islami tempat ajaran Sufi tumbuh. Memang, orang mungkin terganggu dengan perseteruan antara umat Hindu dan Muslim yang telah menodai sejarah modern India, Pakistan, dan Bangladesh. Dan mereka mungkin juga merasa terusik dengan garis-garis sengketa yang tertoreh antara umat Buddha dan Muslim di Thailand, Sri Lanka, dan Burma; dan di luar ingatan akan perbedaan agama, ada satu fakta khas yang sederhana; yaitu, di dalam aliran-aliran sejarawi agama Hindu, Buddha, dan Sufi, terdapat kesetiaan dan ikatan khusus pada garis-garis ajar para guru dan pusat-pusat kuasa kerohanian setempat yang bersama-sama menentukan sudut pandang kerohanian dari jutaan pencari iman. Meski para cendekiawan Eropa awal menduga bahwa ajaran Sufi dengan suatu cara turun dari Hindu dan Buddha, sukar untuk menyangkal bahwa sebagian besar laku ajarannya kuat sekali terhubung dengan nabi Muhammad sebagai sumber dari hubungan guru-murid, dan kewahyuan al Quran yang dibaca oleh kaum Sufi dan dibaca sebagai kitab sang kalbu. Akan tetapi, benar pula adanya bahwa umat non-Muslim juga telah amat sangat tertarik pada ajaran-ajaran Sufi yang menghampiri cita-cita universal dan kerinduan terhadap semangat kemanusiaan. Maka, pemikir Kristen abad tiga belas, Ramon Llull mempelajari bahasa Arab dan menggubah tulisan-tulisan tentang cinta dengan gaya Sufi. Demikian pula, Abraham Maimonides, cucu dari filsuf Yahudi ternama, banyak menulis tentang jalan batin atau tariqahajaran Sufi, yang ia pandang amat selaras dengan ajaran Yudea.
Lebih luas lagi, selama berabad-abad, generasi-generasi cendekiawan Hindu yang dapat berbahasa Persia dipekerjakan sebagai sekretaris Kekaisaran Mughal dan dilatih dalam kajian persyairan Persia klasik. Karena begitu banyak dari sastra Persia yang sarat dengan ajaran-ajaran Sufi, tidak mengejutkan bahwa banyak dari para cendekiawan Hindu ini begitu dalam terpengaruhi oleh waskita mistis dari Rumi dan Hafez dan lainnya. Kisah tentang pertemuan menakjubkan antara umat Hindu dan Sufi ini, termasuk berbagai terjemahan tulisan-tulisan berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Persia, telah tertutupi oleh perseteruan politis yang melingkupi sejarah modern; namun bagusnya, para cendekiawan semakin berpaling pada kajian tentang babak-babak mengagumkan ini sebagai gambaran penting tentang bagaimana pertalian kebudayaan dan kerohanian yang serumit ini telah betulbetul terjadi. Untuk perkara ajaran Buddha, boleh dikatakan bahwa pertemuan dengan ajaran Sufi merupakan suatu kesempatan yang menunggu terjadi. Terdapat beberapa saat di masa lalu ketika percakapan antara umat Sufi dan Buddha kemungkinan telah terjadi, namun tetap saja belum lengkap. Guru Sufi dari Asia Tengah, Ala udDaula Simnani dipaksa oleh penguasa Mongol, Arghun, untuk terlibat dalam adu-pendapat dengan para biksu Buddha – sesuatu yang secara perasaan ditolaknya; namun sungguh luar biasa bahwa tata meditasi yang dikembangkannya, yang mencakup pembayangan nabi-nabi masa silam sebagai sosok cahaya di dalam raga, sebunyi dengan laku kerohanian penting dalam ajaran Buddha Mahayana. Ajaran Islam resmi telah lama menolak pemberhalaan, yang dikenal dalam bahasa Persia sebagai penyembahan bhut, kata
yang turun dari kata Buddha; namun tanggapan-tanggapan esoterik dalam naskah-naskah Sufi memuji penyembahan berhala yang terdiri dari sikap kagum terhadap "kekasih sejati", entah itu Tuhan atau guru Sufi. Sukar menyimpulkan untuk saat ini cita-cita yang mungkin menghubungkan saujana kerohanian umat Hindu, Buddha, dan Sufi, tapi orang bisa menduga bahwa hubungan itu mesti mencakup, seperti yang telah diutarakan Dr Mir Djalali, dan seperti yang telah Anda sebutkan sendiri, Yang Mulia, pengetahuan mendalam akan roh dalam diri dan belarasa serta pengakuan kemanusiaan orang lain. Ketika kita dapat mencoba membayangkan wujud-wujud yang dapat dibentuk oleh pertemuan kerohanian semacam itu sekarang, ini merupakan saat yang bersejarah. Saya menantikan renungan Yang Mulia tentang proses penting ini. Terima kasih. Yang Mulia Dalai Lama: Saya kenal seorang pemimpin rohani Sufi. Saya kurang yakin dari mana asalnya, tapi ia tinggal di Paris, dan saya bertemu dengannya di sana pada beberapa kesempatan di pertemuan-pertemuan antariman. Ia pria tua berjanggut yang ramah. Satu hal aneh darinya ialah bahwa ia punya seorang putra yang masih amat belia yang ingin belajar, dan dikirim untuk belajar agama Buddha di India untuk beberapa bulan. Agak tak lumrah, dan guru tua itu tampak sungguh tertarik untuk belajar lebih banyak tentang pemikiran Buddha. Itu persinggungan pribadi saya dengan kaum Sufi. Setelah pertemuan kami, orang-orang bilang bahwa ada banyak kemiripan antara laku-laku tertentu dari ajaran Sufi dan Buddha, tapi saya tidak banyak tahu atau pengalaman tentang ajaran Sufi. Jadi, ketika diungkapkan tadi bahwa kata "Sufi" itu sendiri dalam bahasa Persia berarti "pengetahuan" atau "jalan pengetahuan", hal
tersebut menunjukkan bahwa titik-beratnya ada pada kebijaksanaan dan telaah. Ini mirip dengan satu segi ajaran Buddha, khususnya aliran Sanskerta, dimana lewat telaah dan penyelidikan, segala sesuatu jadi lebih dan lebih jernih. Jadi titikberat pada kebijaksanaan dan bukan iman semata ini merupakan satu kemiripan. Lalu, dalam penyajian Anda tadi, tampak ada semacam tingkat yang berbeda-beda. Pada tingkat yang lebih dalam, ada sejenis sifat murni dan kedermawanan, dan pada tingkat yang lebih kasar, terdapat perasaan-perasaan merusak. Jadi ini menandakan adanya kebutuhan akan penyelidikan, dan kemudian jalan menuju pengenyahan perasaan-perasaan negatif ini. Jika kita senyawa dengan perasaan-perasaan negatif kita, maka kita tak dapat dipisahkan darinya. Itu akan sulit sekali. Jadi Anda membuat perbedaan antara tingkat yang lebih dalam dan lebih kasar, dan dengan pemahaman yang lebih mendalam akan "aku" yang lebih dalam ini, perasaan-perasaan merusak tingkat kasar dapat dikurangi atau dienyahkan. Ini pun serupa dengan pemikiran Buddha. Anda juga menyebutkan tentang penggunaan khayalan dan pembayangan, yang kami gunakan pula dalam ajaran Buddha. Ketika saya dengar tentang program ini, saya merasa sangat ingin belajar lebih banyak. Pengetahuan saya tentang ajaran sufi nol nilainya dan hari ini saya peroleh beberapa gagasan baru. Tapi tentu pengetahuan saya masih terbatas, maka saya tidak tahu persis bagaimana saya akan menanggapinya lebih jauh lagi. Pada dasarnya, saya percaya bahwa semua aliran keagamaan besar menggunakan cara-cara yang berbeda. Nah, sebagian besar agama berketuhanan menganjurkan iman mutlak dan penyerahan mutlak pada Tuhan. Untuk meningkatkan unsur iman ini, gagasan
tentang Tuhan sebagai pencipta pun muncul – Anda bukan apaapa kecuali secuil ciptaan Tuhan. Jenis keyakinan yang kuat ini dengan sendirinya mengurangi sikap memikirkan diri sendiri. Bagi umat Buddha, kami katakan bahwa tidak ada diri yang mandiri, untuk menangkal sikap mementingkan diri sendiri tadi. Keduanya merupakan pendekatan yang berbeda tapi kurang lebih punya dampak yang sama dalam hal mengurangi sikap mementingkan diri sendiri, yang menjadi dasar bagi amarah, kecemburuan, kecurigaan, dan semua perasaan merusak lainnya. Karena rasa mau menang sendiri yang keterlaluan itu merupakan sumber dari berbagai masalah, semua agama besar mengajarkan tentang cinta, welas asih, tepa selira, sikap memaafkan, dan seterusnya. Semua agama tersebut yang pastinya percaya pada Tuhan menggambarkan Tuhan sebagai cinta tak berbatas, dan lewat keyakinan teguh pada kehebatan cinta ini, muncullah semangat untuk melakukan cinta dan welas asih. Nah tinjauan ini tampaknya memiliki titik-berat yang lebih pada kebijaksanaan. Ada seorang pemimpin sebuah kelompok kecil di Ithaca, satu orang yang sungguh luar biasa yang yakin bahwa semua aliran, khususnya aliran-aliran India, pastilah sama. Ia berpikir bahwa semua bagian pentingnya pastilah sama dan dengan keyakinan ini ia mencoba menjernihkan kesamaan dari semua filsafat ini. Namun, ia mengaku pada saya bahwa sukar sekali untuk melakukannya. Karena kami teman dekat, suatu kali ketika ia mengeluh pada saya tentang bagaimana ia mencoba mendamaikan semua perbedaan dan pertentangan antara fisafatfilsafat ini, saya katakan padanya bahwa yang sedang ia kerjakan itu mungkin kerja tambahan yang tak perlu.
Semua mahaguru ajaran Buddha mengangkat berbagai macam pertanyaan dan pertentangan dengan aliran-aliran India kuno yang lain. Seorang guru, Dharmakirti, ingin betul ia belajar tentang filsafat-filsafat yang ditentangnya, tapi sulit karena gagasangagasan yang lebih mendalam diberikan secara lisan oleh sang guru pada satu atau dua murid kepercayaannya, tak pernah dituliskan atau diutarakan secara umum. Walau untuk beberapa waktu ia menjadi pelayan seorang guru Hindu, masih saja sukar untuk mendapatkan ajaran-ajaran rahasia ini. Kemudian ia memohon pada istri si guru, yang memberitahu guru itu bahwa pelayan mereka begitu berbakti dan ingin belajar lebih, tapi tetap saja tak berhasil. Lalu, istri si guru tadi dapat cara cerdik, yaitu menyembunyikan Dharmakirti di bawah ranjang selagi si istri mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada sang guru dan Dharmakirti mendengarkan. Jadi, para pakar nalar Buddha yang luar biasa ini pertama-tama secara menyeluruh mempelajari, kemudian melontarkan pertanyaan-pertanyaan dalam adupendapat keagamaan. Bahkan di dalam ajaran Buddha itu sendiri, mereka mengangkat banyak pertanyaan dan mengadu-pendapat, sehingga ada empat aliran pemikiran yang bahkan masih dapat dibagi kembali lebih rinci lagi. Lewat adu-pendapat, berbagai pandangan muncul, begitu saja. Karena itu, saya katakan pada teman saya bahwa memang sulit sebab semua mahaguru ajaran Buddha yang punya pengetahuan penuh tentang berbagai aliran saja menerima bahwa memang terdapat perbedaan. Jika Anda lihat tulisan-tulisan India kuno, banyak dari para guru yang betul-betul kawakan dalam pengalaman terlibat adupendapat dengan aliran-aliran lain memiliki suatu aturan bahwa Anda tak bisa menaruh begitu saja orang-orangan sawah di manasuka dan kemudian merobohkannya. Mereka akan
mempelajari secara menyeluruh apa yang sedang mereka tentang, supaya adil dalam menantang gagasan yang ditentang. Bahwa para guru ini menghabiskan begitu banyak tenaga dan upaya dalam menyelaraskan pemahaman mereka akan pokok-pokok lawan tandingnya sungguh menggambarkan bahwa mereka cukup sungguh-sungguh menanggapi perbedaan dan pembedaan tersebut. Jadi, perbedaan itu memang ada, dan tidak perlu membuat segala sesuatu sama. Saya juga sebutkan sebelumnya bahwa di dalam ajaran Buddha, terdapat pandangan filsafati yang berbeda-beda, banyak di antaranya diajarkan oleh Buddha sendiri – pandangan yang berbeda-beda tapi dari satu guru, sang Buddha. Saya beritahu pada orang-orang bahwa filsafat-filsafat yang bertentangan ini berasal dari Buddha bukan karena ia tak plin-plan, satu hari mengajar seperti ini dan hari berikutnya mengajar seperti itu, tentu bukan begitu. Juga bukan karena Buddha bingung atau karena ia mengajar pandangan filsafat yang berbeda-beda untuk menciptakan kebingungan di antara muridnya. Bukan sama sekali! Jawabannya adalah karena itu perlu. Di antara murid-murid Buddha sendiri, terdapat watak yang berbeda-beda, dan begitu banyak pendekatan dibutuhkan. Di dalam ranah kerohanian, pendekatan yang berbeda berarti pandangan filsafat yang berbeda, semuanya perlu dan semuanya mengarah pada satu tujuan luar biasa: agar keseluruhan umat manusia menjadi insan manusia yang berperasaan dan berwelas asih. Jadi inilah pendekatan dan cara pikir saya, alih-alih mencoba membuat segala sesuatu jadi satu atau sama. Maka seperti yang telah disebutkan oleh para pakar Sufi ini, terdapat kemiripan antara pendekatan-pendekatan Sufi dan
Buddha. Tapi tetap, ajaran Buddha, layaknya Jain dan aliran filsafat India kuno yang dikenal sebagai filsafat Samkhya, ketigatiganya ini tak memiliki gagasan tentang pencipta dari luar – kita ini sendirilah penciptanya. Segala sesuatu terjadi karena tindakan dan dorongan kita. Tapi kita memang perlu membuat perbedaan. Dalam aliran Buddha, karena sebab-akibat dan pernyataan atas pengaruh asas-asas sebab-akibat itu begitu penting untuk memperkirakan asal-usul dari segala hal, garis pembeda ditarik di antara asal-usul sebab-akibat dari makhluk berindera dan tak berindera, benda-benda mati. Walau keduanya terjadi karena sebab-sebabnya sendiri, di dalam hukum sebab-akibat, duka dan nikmat hanya dialami oleh makhluk-makhluk yang memiliki kemampuan berpengetahuan. Tentu, dengan nyanyian dan musik, semua aliran memiliki laku yang sama. Kita tahu dari pengalaman kita sendiri bahwa sekalipun kata-katanya sama atau mirip, cara kita mengatakannya atau cara kita menjalin nada menjadi musik punya dampak berbeda-beda pada si pendengar. Jadi ini satu kemiripan lagi, tapi kemudian kadang orang menjadi terlalu melekat dengan alat-alat dan musik itu sendiri, dan melupakan makna sebenarnya. Banyak wihara Tibet sungguh-sungguh mencintai laku upacara mereka, hal tersebut memberi kesempatan untuk menggunakan pelbagai alat, namun mereka tak pernah memberi perhatian cukup pada pelajarannya sendiri. Keadaan ini jadi seperti pernah suatu kali dikatakan oleh seorang guru Tibet tentang "orang-orang yang bergelantungan pada cabang sembari lupa untuk menjaga akar." Dr Fatemeh Keshavarz: Yang Mulia, mungkin karena Anda, saya pikir, dengan amat bijak mengacu pada fakta bahwa memang ada kemiripan luar biasa tapi juga ada perbedaan dan juga menarik
untuk memperhatikannya, dalam hal musik contohnya, ia (musik) dianggap sebagai cara untuk mencapai akar, bukan hal yang justru memisahkan Anda dari akar. Jadi dengan kata lain, musik merupakan alat yang membuka hati sehingga orang bisa bermeditasi. Mungkin meditasi mirip seperti itu, bukan hiburan, atau hal sekadar semata, namun semacam doa. Tapi saya juga ingin bertanya pada Anda, sebagai seorang murid aliran Sufi saya selalu tumbuh dengan berpikir bahwa Tuhan bagian dari kita, bahwa sebetulnya tak ada batas antara kita dan Dia. Dia bukan seorang pencipta yang terpisah dari diri saya; Dia merupakan sebuah sumber cahaya di dalam diri saya yang jika saya rawat, jika saya asuh, maka sudah tidak ada lagi batas antara saya dan Dia. Dan saya pikir tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa banyak kaum Sufi yang akan berkata pada Anda bahwa, bahwa kita hidup dalam wujud manusia ini namun kita punya kemampuan untuk membuka pintu tersebut, dan kemudian akan ada tetes yang jatuh ke samudera itu; bukan lagi tetes, tapi justru samudera itu sendiri. Jadi saya pikir... Yang Mulia Dalai Lama: Saya pikir Anda menyebutkan satu tingkat berbeda dari "diri" – satu tingkat yang lebih dalam yang kadang disebut dalam kesusastraan Buddha sebagai "sifatBuddha", yang merupakan daya dalam diri kita untuk menjadi Buddha, atau bisa kita bilang menjadi "Tuhan". Baru-baru ini, selama beberapa temu sidang di India dengan kawan-kawan Kristen saya, ada satu orang yang punya penafsiran yang berbeda, bahwa Tuhan ada di dalam diri kita sendiri, dan laku yang kita perbuatlah yang menggugah hal ini. Ini baru bagi saya, dan tampaknya ajaran Sufi memiliki gagasan yang sama bahwa berdoa dan yakin pada Tuhan sebetulnya merupakan cara menggugah hal ini, dan itu amat serupa dengan laku Buddha.
Profesor Ahmet Karamastaffa: Persis itulah yang sedang coba saya ajukan juga, bahwa secara hakiki ia merupakan upaya mengupas pelapis yang menutupi hal yang pada dasarnya kita sembunyikan dari diri kita sendiri, yang Anda sebut "diri yang dalam" tadi, dan diri yang dalam ini pada hakikatnya merupakan sebuah penemua bahwa "semuanya itu satu"; bahwa kita semua saling terhubung dan itu mengapa kemudian cinta dan welas asih dan ketuna-dirian mengalir keluar darinya. Tapi kita harus gali lagi hal itu; dan doa, nyanyian, musik, ya, itu seperti mengupasnya. Juru Bahasa Yang Mulia Dalai Lama: Perumpamaan mengupas itu amat mirip; kami mendapati perumpamaan yang sama persis dalam naskah-naskah Buddha. Profesor Ahmet Karamastaffa ... dan dalam ajaran Sufi juga, malah [suara wanita menyela: "sebuah bawah yang Anda kupas kulitnya"] ada angka-angka yang kadang diberikan untuk membantu orang menyadari betapa sukarnya hal itu, "ada tujuh puluh ribu tabir" yang menutupi, tujuh puluh ribu tabir yang menutupi dan Anda harus mengupasnya, satu per satu, satu per satu, sampai Anda benar-benar menguak kebenaran yang dalam dan tersembunyi itu. Juru Bahasa Yang Mulia Dalai Lama: Dalam naskah-naskah kuno Buddha, ada 84.000 wujud sengsara. Profesor Ahmet Karamastaffa: Lebih banyak ternyata [tertawa]. Yang Mulia Dalai Lama: Jadi, bahkan angkanyapun mirip. Jujur saja, walau naskah-naskah itu menyebut 84.000 wujud sengsara, kalau mau dikhususkan, penyajiannya jauh lebih umum, dengan
pengelompokan 21.000 di kelompok yang ini dan 21.000 di kelompok yang itu [tertawa]. Profesor Ahmet Karamastaffa: Sama persis, pada hakikatnya di perjalanan Sufi juga, yang kemudian dikelompokkan ke dalam tingkat-tingkat dan makam-makam rohani yang lebih besar dan tiap-tiap dari mereka punya sejumlah rintangan di sepanjang jalan dan Anda berupaya mengatasinya, dengan berharap bahwa pada akhirnya Anda sampai pada kalbu itu. Dan begitu itu tercapai, maka makhluk, makhluk yang mementingkan diri sendiri itu sudah tidak ada lagi, tak ada lagi yang tersisa: dan itulah tetes itu tadi, itulah ketika tetes tersebut mencapai samudera dan menjadi satu dengannya, saya pikir, itu maksudnya, dan itulah... Yang Mulia Dalai Lama: Kembali ke perihal kesejajaran, dalam naskah-naskah Buddha ada perumpamaan yang tidak persis seperti "tetes" tadi, tapi perumpamaan berbagai sungai yang berkumpul dalam kesatuan samudera. Profesor Ahmet Karamastaffa: Ya, ya, tentu saja. Dr Fatemeh Keshavarz: Yang Mulia, Anda mengutip syair dan karya-karya pendek dalam buku-buku Anda; saya bertanya-tanya apakah Anda menggunakan syair untuk ilham dan meditasi, apakah ini bagian dari adat Anda? Yang Mulia Dalai Lama: Biasanya, semua naskah-naskah dan bait-bait itu ditulis oleh para guru India, kami harus benar-benar menghapal naskah-naskah ini sejak masa kanak-kanak. Belakangan ini saat saya bermeditasi, saya merapalkan beberapa bait dan mencoba merenungkan maknanya. Sangat, sangat
membantu. Di antara para pelaku rohani Buddha, beberapa pemeditasi menggunakan musik sebagai bagian dari lantunan untuk bait-bait yang lebih mengilhami, tapi itu bukan bagian besar dari pendekatan saya. Ada satu cerita tentang seorang pelaku rohani yang menjalani hidup tapa, dengan beberapa petapa lain yang juga tinggal di sekitarnya. Masing-masing mereka tetap terpisah dan satu petapa akan menyanyikan doa-doa atau bait-bait tertentu, dan bunyinya akan lambat-laun melemah sampai akhirnya berhenti. Petapa yang satu mengira bahwa mungkin temannya tertidur, jadi ia diam-diam memeriksa dan melihat petapa tadi sedang bermeditasi mendalam. Ini menandakan bahwa si pemeditasi ini menggunakan lantunan dan nyanyian nada sebagai cara untuk sampai pada tataran cita tertentu. Ia akan sampai di sana dan bunyinya akan hilang, memudar ketika ia telah mapan dalam satu tataran-tunggal, yang bisa dibilang seperti "melampaui suara". Saat nada masih ada, kesadaran telinga masih bekerja, dan ketika meditasi yang sebenarnya muncul, pancaindera tidak lagi menyala. Profesor Ahmet Karamastaffa: Yang Mulia, hal yang sama juga ada dalam laku Sufi, yang kami sebut "zikr", yaitu mantra, rumusan yang diulang-ulang, entah lewat musik atau kadang hanya lewat perapalan saja. Banyak orang Sufi percaya bahwa selagi Anda menyanyikan atau melantangkannya, ia akan berupa wujud inderawi, tapi ia betul-betul perlu diresapi, sehingga semakin sering Anda mengatakannya, maka pada akhirnya ia menjadi bagian dari cita dan kalbu Anda, dan sekalipun Anda berhenti, dan Anda tampaknya hening, zikr tersebut, ingatan tersebut, lantunan tersebut tetap lanjut dalam diri Anda. Dan seperti itulah maksudnya, dan kadang ia ada dalam aliran darah Anda, di dalam
nyawa Anda, tidak lagi dalam indera, tidak lagi berupa sesuatu yang dapat Anda dengar atau lihat. Si manusia telah menjadi lantunan itu sendiri, begitu. Yang Mulia Dalai Lama: Dalam aliran Tibet India ada banyak bentuk perapalan, beberapa dilakukan dengan suara yang lebih kuat, beberapa dilakukan dengan gaya yang lebih berbisik, dan beberapa hanya dengan membatin saja, tanpa bunyi. Carl Ernst: Saya harus tambahkan bahwa ada sebuah aliran di antara beberapa kaum Sufi yang telah belajar yoga, dan telah mendapati bahwa beberapa mantra berbahasa Sanskerta amat mirip dengan nama-nama Arab dari zikr, jadi perapalan dari sukusuku kata ini dengan suatu cara menghubungkan kita dengan diri yang dalam, membuka tingkat-tingkat kesadaran yang baru. Dr Elahé Omidyar Mir Djalali: Yang Mulia, saya tahu waktunya singkat, tapi saat ketika Anda bicara tentang biksu tadi dan meditasinya dan pengulangannya dan kemudian bunyi yang menghening, hal itu mengingatkan saya pada satu baris yang dikatakan Rumi, yang berbunyi: "Kata-kata dapat dihitung, namun keheningan tak berhingga," dan pada akhirnya itulah tingkat yang ingin kita gapai. Yang Mulia Dalai Lama: Baru-baru ini saya bertemu satu orang pelaku rohani Hindu. Ia bicara dan paham bahasa Inggris tapi muridnya memberitahu saya bahwa selama dua puluh dua tahun terakhir si pelaku rohani telah melakukan tapa diam. Dua puluh dua tahun! Sulit. Kami ada beberapa laku dimana kami tetap hening diam untuk suatu kurun waktu. Saya juga melakukannya, tapi bahkan hanya untuk seminggu saja sukar sekali rasanya untuk
tetap diam. Jelas butuh kewaspadaan, kalau tidak kata-kata akan selalu terlontar! Dr Elahé Omidyar Mir Djalali: Yang Mulia, sekarang sudah saatnya saya menutup kebersamaan kita di sini. Mereka sudah mengingatkan saya tentang waktu, walau kita sebetulnya masih sangat haus untuk mendengar lebih dan lebih banyak lagi dari kajian perbandingan ini, tapi kami tidak ingin membuat Anda terlalu lelah. Karena Anda telah menempuh perjalanan yang sangat jauh, dari India, enam belas jam perjalanan, kami tidak ingin Anda terlalu capai nantinya dan, bila Anda berkenan, sudah saatnya kita mengakhiri pembicaraan. Yang Mulia Dalai Lama: Percakapan semacam ini sungguh luar biasa. Kita bisa dengan sungguh-sungguh membahas kemiripankemiripan dan ketika kita temukan perbedaan, ada gunanya untuk mencoba memahami apa tujuan sebenarnya dari pendekatan yang berbeda-beda ini. Kita akan temukan, seperti yang saya sebutkan tadi, tujuan yang sama. Kita benar-benar butuh lebih banyak pertemuan semacam ini, pertama-tama di tingkat kecendekiaan dan akademis, untuk membahas kemiripan dan perbedaannya dan melihat apa tujuannya. Lalu akan perlu ada pertemuan-pertemuan dengan para pelaku rohani yang sungguh-sungguh dalam lakunya; walau, tentu tak ada gunanya kalau kita panggil datang kemari guru yang telah diam hening selama dua puluh dua tahun itu [tertawa]! Orang Tibet dan juga Cina gemar sekali membangun patungpatung besar, patung-patung Buddha dan beberapa sosok penting lainnya. Tahun lalu, sekelompok orang Tibet membangun sebuah patung besar dan mengundang saya untuk menahbiskannya. Saya datang dan ikut serta dan menyampaikan sebuah ceramah tentang
ajaran Buddha. Saya umat Buddha jadi saya menghargai patung besar, tapi pada saat yang sama, patung padat itu mungkin tetap ada selama seribu tahun, dan selama seribu tahun itu, ia tidak akan pernah bicara [tawa dan tepuk tangan]! Jadi umat manusia yang menjalani laku diam, tak ada gunanya bagi mereka untuk ikut serta, kecuali mereka punya kemampuan untuk membuat mukjizat. Di luar itu, para pelaku rohani sungguhan yang menjalani laku mereka bertahun-tahun harus berkumpul bersama dan saling bertukar pengalaman. Ini, saya pikir, amat penting untuk menunjukkan bahwa mereka punya daya yang sama dan dampak yang sama pula. Dr Elahé Omidyar Mir Djalali: Yang Mulia, mereka melakukannya secara tertutup, mereka tak terbuka pada khalayak, untuk alasan yang sama seperti yang telah Anda sebutkan tadi, bahwa ada begitu banyak tingkat pemahaman dan penafsiran atas apa yang dikatakan, bahwa, karena takut akan salah dipahami oleh sebagian besar orang, para pelaku rohani itu tetap diam dan hanya bertukar pikiran serta gagasan di antara mereka saja. Rumi dan Shams Tabrizi adalah contohnya, di samping banyak lagi yang lainnya – begitu banyak dari para pelaku rohani besar yang tak terbuka pada khalayak. Mereka memberikan pengajaran pada khalayak dalam bahasa yang bertentangan, sama seperti yang Anda sebutkan tadi tentang Buddha dan beberapa ajarannya yang justru saling bertentangan. Para guru Sufi melakukan hal yang sama karena mereka beralasan bahwa pada khalayak manapun, setiap orang akan memahami apa yang bisa mereka pahami, apa yang ingin dan/atau mampu mereka dengar dari ajaran. Jadi untuk menghindari kebingungan atas gagasan-gagasan yang rumit dan sukar dipahami, mereka hanya bicara di antara mereka saja,
karena mereka telah mencapai satu titik dimana kesalahpahaman lebih langka terjadi. Yang Mulia Dalai Lama: Begitu pun, memang tidak perlu ditampilkan ke hadapan umum, tapi sepilihan sepuluh atau dua puluh pelaku rohani yang dapat bertukar pengalaman lebih mendalam yang mereka dapati sendiri. Akan amat sangat bermanfaat ini dalam memahami nilai dari aliran yang berbedabeda, yang tentunya amat penting pula. Sudah tiba saatnya kita harus berupaya mengangkat keselarasan agama untuk mengembangkan keselarasan yang sesungguhnya. Kita harus lakukan setiap upaya untuk mengembangkan rasa saling menghormati dan memahami – bukan dari kata-kata cendekia atau penyajian yang indah, tapi dari pengalaman kerohanian yang sesungguhnya. Saya mencoba untuk berhubungan dengan beberapa pelaku rohani Hindu baru-baru ini. Dua bulan lalu ada Kumbh Mela, sebuah pertemuan besar hampir tujuh puluh juta peziarah setiap dua belas tahun sekali, dan saya ikut serta dalam tiga acara terakhir. Kali terakhir, saya ingin ikut serta namun cuaca tak mengizinkan pesawat yang saya sewa untuk lepas landas dari Dharamsala. Jadi, Tuhan tak berkenan [tertawa]! Saya kirim pesan ke sana yang berbunyi bahwa saya ingin bertemu para pelaku rohani yang tampil telanjang bulat. Saya diberitahu bahwa beberapa dari orang ini selama bertahun-tahun dan berdasawarsadasawarsa di gunung-gunung salju tanpa kain penutup badan, jadi mereka pasti menarik pengalamannya. Kami ada sejenis laku khusus untuk mengolah dan membangkitkan panas tubuh, tanpa itu Anda tak dapat bertahan hidup di daerah salju. Saya betul-betul
ingin bertemu orang-orang seperti itu, tapi kemudian justru cuaca tak mengizinkan! Jadi saya sungguh-sungguh menghargai upaya Anda menyelenggarakan ini, dan saya menantikan lebih banyak lagi pertemuan semacam ini, bukan untuk publisitas tapi cukup mencoba dan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai aliran, ajaran dan dampak mereka yang sesungguhnya, dan seterusnya. Dr Elahé Omidyar Mir Djalali: Peristiwa hari ini sungguh bersejarah, dan semoga menjadi yang pertama dari yang kelak akan banyak terjadi, seperti disarankan oleh Yang Mulia tadi. Berharap ini akan sekadar permulaan dari sebuah percakapan antara semua agama, kami sungguh menghargai keikutsertaan Yang Mulia dan kami berterima kasih pada Universitas Maryland dan seluruh peserta di sini; saya juga berterima kasih pada hadirin sekalian karena telah hadir di sini untuk memetik manfaat dari panduan Yang Mulia dan untuk menikmati pertukaran yang penuh makna ini. Lembaga Roshan telah mempersiapkan sebuah kado bagi Yang Mulia sebagai tanda-mata dari pertemuan pertama antara ajaran Buddha dan Sufi kali ini. Kado ini merupakan suatu puisi tulisan tangan (kaligrafi) berbahasa Persia, yang berbunyi, biar saya bacakan [dibaca dalam bahasa Persia]: /qeyre notq-oqeyre imâ-o sejel/ /sad hezaran tarjomân khazad ze del/ Terjemahannya: "Di samping kata-kata, kiasan-kiasan, dan perbedaan pendapat, hati mengenal seratus ribu cara untuk bicara." Hatilah segalanya.
Tinjauan Sejarah tentang Pengetahuan Dunia Buddha dan Islam atas Adat dan Ajaran MasingMasing Masa Pra-Islam Buddha Shakyamuni hidup di India tengah bagian utara dari 566 sampai 485 S.M. Ia mengajarkan sebuah jalan rohani berdasarkan meditasi dan latihan yang cocok dengan lingkungan pemikiran pan-India pada masanya. Oleh karena itu, Buddha menerima pernyataan-pernyataan dasar yang ditemukan pada sebagian besar ajaran-ajaran filsafati India. Tercakup di dalamnya: kelahiran kembali yang berulang (Skt. samsara) dalam beragam-macam bentuk kehidupan, tidak hanya manusia, yang dicirikan oleh penderitaan, yang disebabkan oleh ketakwaspadaan atau kebingungan, dan di bawah pengaruh sebab dan akibat berprilaku (Skt. karma). Tujuan rohaninya ialah untuk mencapai pembebasan dari kelahiran kembali seperti itu lewat pemerolehan pemahaman penuh dan tepat atas sifat diri atau sukma (Skt. atman) dan atas semua gejala lainnya. Cara-cara mencapai tujuan ini utamanya melalui tata tertib diri yang berbudi pekerti, penyucian, pemusatan pikiran yang sempurna, pembelajaran, dan meditasi. Buddha sadar betul dengan adanya sistem-sistem filsafati dan agamawi India lain pada masanya. Akan tetapi, ia tidak setuju dengan cara-cara yang mereka ajarkan untuk penyucian dan pernyataan-pernyataan mereka mengenai sifat diri dan semua gejala lainnya. Alhasil, penyajiannya mengenai persoalanpersoalan ini kerap ia sampaikan dalam bentuk sanggahan terhadap pandangan-pandangan lain tersebut. Para guru ajaran Buddha dari India di kemudian hari tetap mengikuti perkembangan
filsafati yang terjadi dalam aliran-aliran India ini dan acapkali terlibat dalam adu-pendapat sengit dengan lawan-lawan mereka. Pada abad-abad setelah masa hidup Buddha, ajaran-ajaran Buddha menyebar dari sub-benua India ke wilayah yang sekarang dikenal sebagai Afghanistan, Iran bagian timur, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Tajikistan. Masyarakat awam dan kewiharaan Buddha sama-sama tumbuh-mekar di sana. Di wilayah-wilayah ini, ajaran Buddha bersinggungan dengan kepercayaan dan adatistiadat dari ajaran Zoroaster, agama Mithra, ajaran Neo-Plato, dan lambat laun, agama Mani. Para guru ajaran Buddha menaruh minat pada dan belajar tentang agama-agama asli di wilayah-wilayah tempat menyebarnya ajaran Buddha ini. Hal ini dibuktikan oleh kenyataan bahwa kadang kala ajaran Buddha memungut dan menganut adat-istiadat setempat tertentu, seperti paham vegetarian di daerah-daerah berbudaya Neo-Plato. Dalam perkara lain, ajaran Buddha menekankan pokok-pokok dalam Ajaran Buddha India yang senada dengan segi-segi kepercayaan asli. Contohnya, tanah suci murni idaman bodhisattwa dan Amitabha, Buddha Cahaya Tak Berhingga, memiliki segi-segi yang sejajar dengannya dalam ajaran Zoroaster, seperti yang ditemui pada wilayah-wilayah berbudaya Iran. Akan tetapi, naskah-naskah Buddha tidak ragu untuk juga menunjukkan adat-istiadat dari wilayah-wilayah ini yang secara budi pekerti dapat ditolak. Tinjauan Agung (Skt. Mahavibhasa), misalnya, disusun di Kashmir pada abad kedua Masehi, menggambarkan bahwa, oleh ajaran Yonaka, sanggama antara orang yang memiliki ikatan darah dan tindakan membunuh semut dianggap sebagai hal-hal yang diperbolehkan oleh ajaran Yonaka. Para penganut Yonaka secara harfiah mengacu pada penduduk Yunani yang tinggal di daerah Bactria Kerajaan Kush, namun lebih
khusus lagi pada orang Indo-Scythia yang tinggal di sana, yang merupakan para pengikut ajaran Zoroaster dan agama Mithra. Khilafah Ummaiyyah (661 – 750 Masehi) Nabi Muhammad hidup di tanah Arab dari 570 sampai 632 Masehi, hampir seribu tahun setelah Buddha. Oleh karenanya, untuk sebagian besar masa warsa pembentukannya di India, kepustakaan Buddha tidak mengandung acuan-acuan ke Islam atau pada ajaran-ajarannya. Akan tetapi, bahkan setelah masa hidup sang Rasul, sumber-sumber Buddha hanya membuat sedikit acuan pada ajaran-ajaran keimanan Islam yang menyebar ke wilayah-wilayah tempat agama Buddha telah terbangun mapan. Hal ini sangat kentara berbeda dengan pengetahuan agamaagama asli yang dicari para guru agama Buddha ketika agama itu sendiri dikenalkan pada banyak daerah-daerah baru. Para cendekiawan Muslim, di sisi lain, menunjukkan minat lebih besar terhadap adat-istiadat Buddha yang mereka temui di saat Islam menyebar ke luar Jazirah Arab. Bermula pada pertengahan abad ke-7 Masehi, tiga dasawarsa setelah sang Rasul wafat, wilayah-wilayah Iran, Afghanistan, dan Turkistan Barat, tempat menyebarnya agama Buddha, jatuh ke dalam kekuasaan Khilafah Ummaiyyah Arab. Di Situ persentuhan pertama antara peradaban Muslim dan Buddha terjadi. Masyarakat India sudah lebih dulu hadir di tanah Arab dan di berbagai pelabuhan terdekat, seperti Basrah di daerah yang sekarang dikenal sebagai Irak bagian selatan, berabad-abad sebelum datangnya Islam. Mereka ini sebagian besar terdiri dari orang-orang Jat dari Sindh. Menurut Sejarah Para Rasul dan Raja (Ar. Tarikh al-Rasul wa al-Muluk, juga dikenal dengan nama singkatnya Tarikh al-Tabari) oleh Muhammad ibn Jarir al-Tabari
(830 – 923), di antara mereka terdapat “yang berbusana merah (Ar. Ahmara)”, yaitu para biksu Buddha. Cendekiawan Islam Umayyad Wasil ibn ‘Ata’ (700-748), pendiri Ajaran Mu’tazilah, diduga sangat akrab dengan gagasan-gagasan Buddha. Seperti dalam ajaran Buddha, Mu’tazilah menekankan pada pencarian pengetahuan yang lebih tinggi lewat adu-pendapat yang berakal dan lewat penalaran. Lebih lagi, ajaran ini juga menyatakan tentang pemurnian dosa-dosa seseorang lewat kelahiran kembali yang berulang. Akan tetapi, sukar dipastikan seberapa banyak pengetahuan atas ajaran Buddha yang dipunyai Wasil ibn ‘Ata’, dan seberapa besar pengaruh yang ia terima, sebaliknya, dari pemikiran berakal Yunani kuno yang juga hadir di Basrah pada saat itu. ‘Umar ibn al-Azraq al-Kermani adalah contoh lebih jelas tentang pengetahuan Muslim atas ajaran Buddha selama masa Umayyad. Pengarang Persian ini menaruh minat dalam hal menjelaskan ajaran Buddha kepada khalayaknya yang beragama Islam. Karenanya, pada mula abad ke-8 Masehi, ia menulis sebuah catatan terperinci tentang Wihara Nava di Balkh, Afghanistan. Wihara Nava bertugas sebagai pusat pokok pendidikan tinggi agama Buddha bagi seluruh Asia Tengah dan merupakan wihara terbesar di sekujur daerah itu. Al-Kermani menjelaskan adatistiadat dasar Buddha di sana dengan memadankannya pada ciriciri Islam. Oleh karena itu, ia menggambarkan candi utama tersebut memiliki kubus batu di tengah-tengahnya, kain penutup menggantung dari atasnya, dan para pengikut mengelilinginya dan membuat sembah-sujud, ibarat Kabah (Ar. Ka’bah) di Mekah. Begitupun, ia tidak membahas satu pun kepercayaan Buddha. Tulisan-tulisan Al-Kermani dilestarikan di dalam karya abad ke-10 Masehi, Kitab Negeri-Negeri (Ar. Kitab al-Buldan) oleh Ibn al-Faqih
al-Hamadhani. Akan tetapi, para cendekiawan Buddha tampaknya tidak menujukkan minat balasan dalam menjelaskan adat-istiadat atau kepercayaan Muslim kepada khalayak yang beragama Buddha. Tidak ada bukti tertulis tentang adanya penggambaran semacam itu pada saat ini. Khilafah Abbasiyyah (750 – 1258 Masehi) Persentuhan lebih larut yang paling awal antara para cendikiawan Buddha dan Muslim dimulai pada pertengahan abad ke-8 Masehi selama Khilafah Abbasiyyah awal. Kalifah keduanya, al-Mansur (memerintah dari 754 – 775 Masehi), mempekerjakan para arsitek dari India untuk membangun ibukota baru bagi kekaisarannya. Ia menamainya “Baghdad”, sebuah nama Sanskerta yang bermakna “Karunia dari Tuhan”. Sebagai bagian dari rencana kota, sang Kalifah memerintahkan pembangunan Rumah Pengetahuan (Ar. Bayt al-Hikmat) untuk pengkajian dan penerjemahan pustakapustaka dari dunia kebudayaan Yunani dan India, khususnya mengenai pokok-pokok ilmiah. Penguasa Abbasiyyah berikutnya, Khalifah al-Mahdi (memerintah dari 775-785 Masehi), mengundang banyak cendekiawan Buddha dari wihara-wihara di anak-benua India dan Afghanistan untuk bekerja di Rumah Pengetahuan. Ia menugaskan mereka untuk membantu menerjemahkan utamanya naskah-naskah ilmu pengobatan dan ilmu perbintangan dari bahasa Sanskerta ke Arab. Menteri kepala dari khalifah Abbsiyyah kelima, Harun al-Rashid (memerintah dari 786-809 Masehi), adalah Yahya ibn Barmak, seorang cucu beragama Islam dari salah satu kepala tata usaha Wihara Rava di Balkh, yang beragama Buddha. Walau para cendekiawan Buddha telah hadir di Rumah Pengetahuan di Baghdad pada masa itu, Yahya tetap mengundang lebih banyak
lagi cendikiawan Buddha, khususnya dari Kashmir. Pusat perhatiannya adalah penerjemahan, dari bahasa Sanskerta ke Arab, naskah-naskah ilmu pengobatan Buddha, khususnya karya Ravigupta, Samudera Kesempurnaan (Skt. Siddhasara). Akan tetapi, tampaknya pembahasan keyakinan agamawi memang terjadi pada saat itu antara para cendikiawan Buddha dan Islam. Bukti untuk hal ini dapat dilacak dalam Kitab Agama dan Kepercayaan (Ar. Kitab al-Milal wa al-Nihal), sebuah risalah tentang bida’ah dalam Islam, dalam mana pakar ilmu agama Isma’ili abad ke-12, al-Shahrastani, memberi uraian ringkas tentang citra yang dimiliki para cendekiawan Islam terhadap agama Buddha semasa Khalifah Harun al-Rashid. Akan tetapi, karena minat utama dalam Rumah Pengetahuan terletak pada pemikiran Yunani, kajian mereka terhadap ajaran Buddha tidaklah mendalam. Biarpun begitu, karya Ibn al-Nadim pada akhir abad ke10 Masehi, Kitab Katalog (Ar. Kitab al-Fihrist), membuat daftar beberapa karya Buddha yang dibuat ke dalam bahasa Arab pada masa itu, seperti sebuah uraian tentang kehidupan-kehidupan Buddha sebelumnya, Kitab Buddha (Ar.Kitab al-Budd). Naskah tersebut berdasar pada dua karya dalam bahasa Sanskerta: Tasbih Catatan Kehidupan Lampau (Skt.Jatakamala) dan Perbuatan-Perbuatan Buddha (Skt.Buddhacarita) karya Ashvaghosha. Terjemahan-terjemahan semacam berujung bukan hanya pada pengetahuan akan beberapa ciri agama Buddha di antara para pembaca Arab, tapi juga pada peminjaman dari kepustakaan Buddha ke budaya Islam. Kadang-kadang, peminjamanpeminjaman ini datang dengan dijembatani oleh sumber-sumber Mani. Sebuah contoh yang mungkin menggambarkan hal ini adalah uraian kehidupan-kehidupan Buddha sebelumnya sebagai
bodhisattwa, yang dikenal dalam sumber-sumber Kristiani sebagai Barlaam dan Josaphat. Umum diketahui bahwa corakcorak Mani berbahasa Sogdiana dari uraian-uraian ini ditulis sebelum kemunculan pertama mereka dalam corak bahasa Arab, Kitab Bilawhar dan Yudasaf (Ar. Kitab Bilawhar wa-Yudasaf), yang disusun oleh Aban al-Lahiki (4750-815 Masehi) di Baghdad. Tafsiran Islami ini menggabungkan bagian-bagian dari Kitab Buddha. Karena naskah al-Lahiki tidak lagi ada, tidak jelas seberapa banyak bahan yang juga ia gabungkan di dalamnya dari sumber-sumber Mani. Jikapun ada, sangat mungkin hal tersebut terjadi melalui pengaruh percakapan antara penganut Buddha dan para cendekiawan Muslim Mani yang ada, pada masa itu, di istana Abbasiyyah. Beberapa cendekiawan telah menyatakan dugaan mereka tentang kemungkinan pengaruh yang datang dari agama Buddha terhadap ajaran Sufi di masa awal kemunculannya. Hal ini masih dapat disanggah. Abu Yazid Bistami (804 – 874 Masehi), misalnya, memperkenalkan kepada ajaran Sufi konsepkonsepfana’ (berhentinya ke-aku-an – diri yang hancur lebur menyatu dengan Allah) dan khud’a (tipu-daya atau kebohongan, sebagai gambaran dari dunia bendawi) dari pengaruh gurunya, Abu ‘Ali al-Sindi. Akan tetapi, Zaehner telah membuat bantahan yang meyakinkan bahwa al-Sind, yang dikenal sebagai mualaf, kemungkinan besar memperoleh konsep yang pertama dariUpanishad Chandogya dan yang kedua dari Upanishad Svateshvetara, seperti yang ditafsirkan oleh pendiri Advaitya Wedanta, Shankara (788 – 820 Masehi). Walau semua bentuk ajaran Buddha berkenaan dengan pokok bahasa nirwana yang serupa (lepas dari kelahiran kembali yang berulang) dan banyak ajaran Mahayana menyatakan bahwa dunia kenampakan itu
serupa, walau tidak sepadan, dengan maya (khayalan), sangat tipis kemungkinan bahwa rumusan-rumusan tersebut berperan dalam perkembangan pemikiran Sufi. Kepustakaan Kalacakra Walau para cendekiawan Muslim di Bagdad menaruh minat pada pemikiran dan kepustakaan Buddha, para cendekiawan Buddha di sana tampaknya tidak begitu berminat pada ajaran dan budaya Islam. Tidak ada catatan tentang karya-karya berbahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Sanskerta kala itu. Meskipun pada masa itu para biksu di perguruan-perguruan tinggi kewiharaan Buddha, yang berkedudukan di wilayah Afghanistan dan anak-benua India sekarang, membantah dengan berapi-api pernyataan-pernyataan berbagai sistem ajaran India luar-Buddha, tidak ada bukti bahwa perbantahan-perbantahan semacam itu terjadi dengan para cendekiawan Muslim. Tidak ada muncul sebutan tentang kepercayaan Islam pada risalah-risalah filsafati Buddha berbahasa Sanskerta, baik setelahnya maupun seterusnya. Satu-satunya ajaran Buddha tertulis yang menyebutkan adatistiadat dan kepercayaan Islam adalah kepustakaan berbahasa Sanskerta Tantra Kalacakra, yang muncul pada akhir abad ke-10 dan awal abad ke-11 Masehi. Sebelum masa itu, agama Buddha tampaknya tidak melihat agama Islam sebagai agama saingan. Juga, bukan soal bahwa agama Buddha sedang menyebar ke daerah-daerah yang secara turun-temurun Islami dan merasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepercayaan asli yang ditemuinya. Akan tetapi, sekarang, mencuat keadaan baru: para guru agama Buddha melihat ancaman yang ditonjolkan oleh sebuah faksi politik Muslim tertentu bagi masyarakat mereka. Alhasil, mereka
tampaknya telah merasa perlu untuk mewartakan pada pengikut mereka tentang kepercayaan pihak-pihak yang mungkin merupakan “penyerang”. Kalacakra, yang berarti “kitaran waktu”, adalah sebuah sistem latihan tantra Buddha Mahayana untuk memperoleh pencerahan agar mampu memberi sebanyak mungkin manfaat bagi semua makhluk. Kalacakra menggambarkan tiga kitaran waktu yang sejajar: luar, dalam, dan antara. Kitaran luar mengacu pada gerakan siarah, pola-pola perbintangan, kitaran-kitaran sejarah, termasuk serangan-serangan berkala oleh pasukan-pasukan asing. Kitaran dalam mengacu pada irama badani dan kejiwaan. Kitaran antara adalah latihan-latihan meditasi berulang yang bertujuan mengatasi keadaan di bawah kendali kitaran luar dan dalam. Bagian dari kepustakaan itu yang berkenaan dengan kitarankitaran luaran menyebut para penyerang sebagai mleccha, istilah Sanskerta yang diberikan untuk menyebut para penyerang asing dari anak-benua India, dimulai dengan Alexander Agung dan termasuk orang-orang Kush dan Hun Putih. Istilah ini bermakna orang-orang yang berbicara dengan bahasa-bahasa luar-India yang tak dapat dimengerti. Mlecchadicirikan dengan pasukan serdadu yang tak kenal ampun. Istilah utama lain yang digunakan untuk mengacu pada para penyerang adalah “Tayi”, sebuah aliheja bunyi untuk kata bahasa Arabtayy (bentuk jamak: tayayah, tayyaye) atau bentuk Persianya,tazi. Kaum Tayyayah adalah yang terkuat di antara suku-suku Arab praMuslim, Tayy’id, dan “Tazi” menjadi kata bahasa Persia untuk orang Arab. “Tazi” merupakan istilah yang digunakan, contohnya, oleh penguasa terakhir Sassanid, Yazdgerd III, untuk mengacu pada orang-orang Arab yang menyerang Iran.
Pengenalan Aliran Islam yang Disebutkan dalam Kepustakaan Kalacakra Acuan sejarawi bagi para mleccha yang disebut dalam kepustakaan Kalacakra tidak diperuntukkan bagi semua orang Arab atau semua orang Muslim secara umum, tapi lebih khususnya kepada para penganut Syiah Ismail timur pada akhir abad ke-10 Masehi, seperti yang diikuti dalam Kerajaan Multan (968 – 1010 Masehi) yang terletak di Pakistan tengah bagian utara kini. Kerajaan Multan adalah sebuah negara bawahan dari Kekaisaran Fatimiyyah Isma’ili Arab (910 – 1171 Masehi), yang berpusat di Mesir. Mengepung Kekaisaran Abbasiyyah yang mulai runtuh dari kedua sisi, kaum Fatimiyyah dan kaum Multan, yang merupakan bawahan mereka, menunjukkan ancaman serangan yang gawat, dalam pencarian kekuasaan mereka atas dunia Islam. Penduduk di daerah-daerah Abbasiyyah yang berbatasan langsung dengan bagian utara dan barat Multan – yaitu, wilayah Afghanistan bagian timur dan Pakistan bagian barat laut sekarang – sebagian besar pada masa itu merupakan penganut agama Buddha dan Hindu. Dari 876 – 976 Masehi, seantero wilayah itu berada di bawah kekuasaan Hindu Shahi. Kaum Ghaznavid yang merupakan Muslim Suni, bawahan Abbasiyyah, menaklukkan pihak Afghan pada 976 Masehi dan akhirnya melengserkan para penguasa Hindu Shahi dari pihak Pakistan yang tersisa pada 1010 Masehi. Kaum Ghaznavid memiliki tepa-selira terhadap agama Buddha dan Hindu dalam dunia Hindu Shahi sebelumnya. Al-Biruni (976 – 1048 Masehi), seorang cendekiawan Persia dan penulis yang mengabdi pada kerajaan Ghaznavid, melaporkan bahwa, pada peralihan saharsawarsa, wihara-wihara Buddha yang terletak pada daerah Afghanistan bagian timur sekarang, termasuk Wihara Nava, masih melangsungkan kegiatan mereka. Akan tetapi, para
penguasa Ghaznavid tidak bertepa-selira terhadap aliran-aliran Islam selain aliran ortodoks Suni yang mereka sokong. Mereka secara khusus menganggap Kerajaan Multan Syiah Isma’ili sebagai ancaman bagi kekuasaan dan iman mereka.
Daftar Nabi-Nabi Pernyerbu Masa Depan Bukti utama yang mendukung dugaan bahwa para penyerbumleccha Tayi yang disebutkan di dalam kepustakaan Kalacakra adalah kaum Ismail Multan datang dari Tantra Kalacakra Ringkas untuk Raja (Skt. Laghu-kalachakra-tantra-raja) I.153. Ayat ini menyajikan daftar delapan nabi para penyerbu masa depan: “Adam, Nuh, Abraham, dan lima lainnya – Musa, Yesus, Ia yang Berpakaian Putih, Muhammad, dan Mahdi… Yang kedelapan adalah yang buta. Yang ketujuh akan secara menjelma datang ke kota Baghdad di tanah Mekah, (tempat) di dunia ini dimana sebagian dari asura (kasta) akan tampak seperti kaum Mleccha yang kuat dan tak kenal ampun.”
Daftar ini adalah daftar tujuh nabi Ismail yang baku, dengan tambahan Ia yang Berpakaian Putih. Dapat diduga bahwa Ia yang Berpakaian Putih ini adalah Mani, pendiri ajaran Mani pada abad ketiga Masehi. Hal ini karena kaum pemikir Ismail di masa awal memiliki pengaruh ajaran Mani dari apa yang disebut sebagai “Islam Mani”. ‘Abd Allah ibn Maymum al-Qaddah (wafat pada 825 Masehi), misalnya, tokoh yang diduga sebagai pendiri keyakinan Isma’ili dan nenek moyang bagi para imam Fatimiyyah, konon sangat dipengaruhi oleh Mani.
Satu alasan yang mungkin membuat daftar nabi di Kalacakra berjumlah delapan, alih-alih jumlah baku tujuh seperti didaku oleh kaum Ismail, adalah untuk menyejajarkan daftar tersebut dengan delapan penjelmaan Wisnu yang disebutkan satu-per-satu pada ayat sebelumnya, I.152. Hal ini tercetus sebab para pengikut nabinabi tersebut diacu sebagai anggota kasta asura. Dalam ilmu semesta Buddha, para asura, sejenis makhluk setengah dewa yang cemburu, merupakan saingan bagi para dewa Hindu dan selalu menabuh genderang perang melawan mereka. Jika ada delapan penjelmaan dari dewa Hindu Wisnu, maka harus ada pula delapan nabi asura untuk bertanding melawan mereka. Penyajian Kepercayaan dan Adat-Istiadat Mleccha Naskah-naskah Kalacakra menyebutkan beberapa dari keyakinan dan adat-istiadat kaum Mleccha Tayi. Sebagian besar dari keyakinan ini bersifat mendasar bagi Islam secara keseluruhan. Beberapa tampaknya mengarah khusus ke pemikiran Ismail pada masa itu, sementara yang lainnya menentang pemikiran tersebut. Kebertolak-belakangan ini mungkin menandakan bahwa para penyusun kepustakaan Kalacakra tidak memiliki pengetahuan yang lengkap tentang keyakinan Ismail yang dipeluk di Multan, dan karenanya mengisi catatan mereka dengan bahan-bahan yang disarikan dari berbagai bentuk Islam lain yang telah mereka temui. Bisa juga, hal ini menandakan bahwa pandangan-pandangan teologis yang diungkapkan oleh pemikir Ismail utama pada masa itu – Abu Ya’qub al-Sijistani, tokoh yang gencar mendukung negara Fatimiyyah – belum disebar-luaskan di Multan. Hal ini bisa saja terjadi walaupun karya-karya al-Sijistani merupakan ajaran Fatimiyyah resmi yang tersebar luas pada saat itu di daerahdaerah Isma’ili bagian timur.
Adakalanya, kepustakaan Kalacakra menjelaskan ciri-ciri Islam tertentu dalam konsep yang akrab bagi khalayak yang merupakam campuran penganut agama Buddha dan Hindu. Contohnya, Pundarika, dalam Cahaya Tak Bernoda: Sebuah Tinjauan yang Menjelaskan “Tantra Kalacakra Ringkas untuk Raja” (Skt. Vimalaprabha-nama-laghu-kalachakra-tantra-raja-tika), menjelaskan, “mengenai para Mleccha, Muhammad merupakan seorang avatar dari Rahman. Penanda ajaran-arajan Mleccha, ia adalah guru dan tuan kaum Tayi Mleccha”. Dalam agama Hindu, avatar adalah sebuah penjelmaan dari sukma seorang dewa ke dalam bentuk yang lain. Oleh karena itu, Muhammad yang menjadi avatar dari Rahman sejajar dengan pernyataan dalam agama Hindu bahwa Krishna adalah avatardari dewa Wisnu. Akan tetapi, dalam berbagai perihal lain, kepustakaan Kalacakra tidak menyajikan kepercayaan-kepercayaan Muslim dalam istilah-istilah yang diturunkan dari budaya India. Penciptaan dan Ketaatan Terhadap Allah Tantra Kalacakra Ringkas untuk Raja, II.164cd, menyatakan: “Diciptakan oleh sang Pencipta-lah segala yang terbit, bergerak, dan tak bergerak. Dengan menyenangkan-Nya, sebagai sebab pembebasan bagi kaum Tayi, adalah surga. Ini memang ajaran Rahman (kata bahasa Arab untuk “Yang berwelas asih”, dan julukan untuk Allah) bagi manusia.” Pundarika menguraikan dalam Cahaya Tak Bernoda , “Sekarang, untuk pernyataan-pernyataan kaum Mleccha Tayi, Rahman sang pencipta membangkitkan setiap gejala guna, baik yang bergerak maupun yang diam. Pendorong bagi pembebasan untuk kaum Tayi, yaitu kaum mleccha berpakaian-putih, menyenangkan Rahman, dan ini dengan pasti membawa kelahiran kembali yang
lebih tinggi (di Surga) untuk umat manusia. Dari murkanya, datanglah (kelahiran kembali di) neraka. Ini adalah ajaran-ajaran Rahman, pernyataan-pernyataan kaum Tayi.” Islam umumnya menyatakan dengan tegas bahwa Allah menciptakan surga dan bumi. Akan tetapi, al-Sijistani menguraikan jalan penciptaan ilahi dalam sikap yang khas. Menurut penjelasannya, Allah, lewat perintah atau firman-Nya, menciptakan kecerdasan semesta. Kecerdasan semesta adalah makhluk utama yang abadi, tak bergerak, tak berubah, dan sempurna. Ia adalah sebuah semesta tak-terbedakan yang melingkupi segalanya dan tampak seperti “cita” semesta, namun dalam bentuk makhluk. Kecerdasan semesta memancarkan “jiwa” semesta, yang juga abadi, tapi selalu berada dalam gerak dan tak sempurna. Di dalam “jiwa” semesta, timbul dunia alam ragawi. “Jiwa” semesta memiliki dua watak yang bertolak-belakang: gerak dan henti. Dalam kenyataan ragawi, gerak menciptakan wujud dan diam menciptakan zat. Zat tetap lembam dan diam, sementara bentukbentuknya secara terus-menerus bergerak dan berubah. Oleh karena itu, hal ini mungkin mengacu pada penjelasan alSijistani tentang penciptaan yang dicatat oleh Tantra Kalacakra Ringkas untuk Raja: “Diciptakan oleh sang Pencipta-lah segala sesuatu yang terbit, bergerak, dan tak bergerak.” Walaupun konsep kecerdasan semesta dan “jiwa” semesta tetap menonjol dalam pemikiran Isma’ili, keduanya tidak terjadi dalam bentukbentuk Islam yang lain. Akan tetapi, al-Sijistani tidak menyatakan bahwa menyenangkan Allah – dalam pengertian umum Islam, mematuhi hukum Syariah atau, dalam pengertian umum Shi’ite dan Isma’ili di kemudian hari, mengakui kemutlakan silsilah para imam, sebagai penyebab
“kelahiran kembali yang lebih tinggi di Surga”. Penjelasannya tentang penyebab masuk surga agak berbeda. Bagi al-Sijistani, “jiwa” semesta mengangkat jiwa-jiwa pribadi dan tertentu yang turun ke dalam dunia ragawi yang berdiri dari zat dan wujud. Di dalam tiap diri insan manusia tertentu, jiwa pribadi meraih sebagian pribadi dari kecerdasan semesta, yang, oleh karena itu, bersifat penggalan dan terbatas. Penyebab masuk Surga adalah kemampuan menilai dari jiwa pribadi yang membuatnya berpaling dari kenikmatan dunia ragawi dan berpaling ke alam murni jiwa semesta. Dalam melakukan hal tersebut, jiwa pribadi mempelajari perbedaan antara kebenaran dan kepalsuan, dan antara baik dan jahat. Sunat, Puasa Ramadhan, dan Halal Pundarika, dalam Pengabdian Terdalam yang Mulia (Skt.Shiparamartha-seva), menjelaskan: “Menurut yang lainnya, penyebab kelahiran kembali yang lebih tinggi (di Surga) adalah dengan memotong kulit kulup zakar dan makan di akhir siang dan di awal malam. Inilah yang dilakukan kaum Tayi. Mereka tidak makan daging ternak yang telah mati (secara alami) karena karmanya sendiri. Alih-alih, mereka makan daging ternak yang disembelih. Jika tidak, tidak akan ada kelahiran kembali yang lebih tinggi (di Surga) untuk manusia.” Pundarika menegaskan bagian kedua dari wacana ini dalamCahaya Tak Bernoda : “Dengan parang, mereka menggorok leher ternak sambil mengucapkan mantra Tuhan kaum mleccha,Bishimilla (Ar. Bismillah), dan kemudian memakan daging ternak yang telah disembelih tersebut dengan mantra Tuhan mereka. Mereka tidak makan daging ternak yang mati (secara alami) karena karmanya sendiri.”
Wacana-wacana ini menunjukkan adat-istiadat umum dalam Islam tentang sunat, makan setelah matahari terbenam selama puasa Ramadhan, dan mematuhi perintah mengenai larangan-larangan dalam hukum makanan halal. Akan tetapi, Pundarika, dalam Cahaya Tak Bernoda, salah memahami cara menyembelih yang halal sebagai persembahan kurban bagi Tuhan, yang serupa dengan tatacara Weda. Berbicara pada para pirsawan Hindu, Pundarika menyatakan, “Anda akan menganggap ajaran (Tayi) tersebut sahih, karena ada tertulis dalam kitab suci (Weda) Anda, “Gunakan ternak untuk persembahan kurban.” Budi Pekerti, Sembahyang, dan Larangan terhadap PatungPatung Dewa Dalam Intisari Tantra Lebih Lanjut dari Tantra Kalacakra yang Mulia (Skt. Shri-kalachakra-tantrottaratantra-hridaya) dinyatakan, “Menuruti ajaran-ajaran mereka yang para wanitanya mengenakan cadar… gerombolan penunggang kuda Tayi dalam pertempuran menghancurkan segala patung dewa-dewa yang ada, tanpa terkecuali. Mereka hanya punya satu kasta, tidak mencuri, dan bicara jujur. Mereka menjaga diri bersih, menghindari istri orang lain, mengikuti laku tapa brata yang pasti, dan tetap setia pada istri mereka. (Pertama-tama) setelah membasuh diri, kemudian, pada saat malam gelap gulita dan tengah hari, senja, tengah-petang, dan ketika mentari terbit dari balik gunung-gemunung, kaum Tayi bukan Buddha (Skt.tirthika) bersembahyang lima kali (tiap hari), bersujud di tanah menghadap tanah suci mereka dan berlindung hanya kepada “Tuhan dari Mereka bersama Tama’ di alam surgawi di atas bumi.” Di sini, naskah Kalacakra juga menjelaskan tentang keyakinan yang lazim bagi semua Muslim: tidak membuat patung “berhala”,
menghormati kesetaraan semua manusia dalam Islam, hidup dalam budi pekerti yang ketat, dan bersembahyang lima kali sehari. Walau kutipan di atas menunjukkan tanggapan umum umat Muslim terhadap patung-patung yang dipercaya mewakili dewa dan disembah sebagai berhala, akan tetapi dunia Islam juga terperangah menyaksikan keindahan patung-patung ini dan wihara atau candi yang menaunginya. Syair-syair Persia masa itu, misalnya, kerap menggunakan pengibaratan untuk istana-istana dengan menyatakan “seindah Nowbahar (Wihara Nava).” Lebih jauh lagi, di Wihara Nava dan Bamiyan, citra-citra Buddha, khususnya Maitreya, Buddha masa depan, memiliki cakram bulan di belakang kepalanya. Hal ini berujung pada pelukisan puitis tentang keindahan murni sebagai seseorang yang memiliki “wajah Buddha berbentuk-bulan” (Persia: bot-e mahruy). Karenanya, meskipun istilah Persia but atau bot, yang berasal dari kata Sogdiana purt, digunakan untuk mengacu pada Buddha dan patung berhala, dan istilah bahasa Arab untuk Buddha, al-Budd, juga digunakan untuk mengacu pada semua berhala dari India, syair-syair Persia awal abad ke-11, sepertiVarga va Golshah oleh ‘Ayyuqi, menggunakan kata bot dengan makna positif untuk “Buddha”, dan bukan dengan makna kedua, “berhala”, yang bernada merendahkan. Kata ini menyiratkan keindahan nirkelamin yang dimiliki pria dan wanita. Kehidupan Setelah Kematian Saat membahas sifat kehidupan setelah kematian dan dampak dari perbuatan seseorang dalam kehidupan ini terhadapnya, naskah-naskah Kalacakra tidak sekadar melaporkan pernyataan dari kaum mleccha Tayi. Naskah-naskah tersebut merasa perlu untuk menunjukkan kebertolak-belakangan pernyataan itu dengan
keyakinan Buddha. Tantra Kalacakra Ringkas untuk Raja, II.174, menyatakan: “Melalui alam baka (abadi), seseorang mengalami (akibat dari) tindakan-tindakan karma yang telah ia lakukan di dunia ini. Jika demikian, penipisan karma manusia dari satu kelahiran ke kelahiran lainnya tidak akan terjadi. Tidak akan ada jalan keluar dari samsara dan tidak ada jalan masuk menuju pembebasan bahkan dalam hal ke-ada-an tak terhingga. Pemikiran itu, memang, muncul di antara kaum Tayi, walau tidak dianggap oleh kelompok lain.” Pundarika menguraikan pada wacana ini dalam Cahaya Tak Bernoda: “Pernyataan yang diajukan kaum Tayi mleccha adalah bahwa manusia yang mati mengalami kebahagiaan atau penderitaan di kelahiran kembali yang lebih tinggi (di Surga) atau di Neraka bersama dengan tubuh manusianya, melalui keputusan Rahman.” Wacana ini mengacu pada keyakinan Islam yang lazim tentang Hari Penghakiman, ketika seluruh umat manusia akan bangkit dari yang mati dalam tubuh manusianya dan akan dihakimi oleh Allah. Berdasarkan kelakuan mereka di masa lampau, mereka akan melewati kebahagiaan abadi di Surga atau penderitaan abadi di Neraka, tetap dengan tubuh manusianya. Akan tetapi, ajaran Isma’ili seperti yang dirumuskan oleh al-Sijistani, menyangkal kebangkitan kembali tubuh manusia. Menurut al-Sijistani, kebahagiaan di Surga dan penderitaan di Neraka dialami murni secara batin oleh jiwa pribadi, tanpa adanya unsur ragawi. Di lain pihak, agama Buddha, dengan ajaran-ajarannya tentang karma, menyatakan adanya kelahiran kembali yang berulang oleh daya tindakan karma seseorang yang didorong oleh sikap dan perasaan yang gelisah. Tindakan-tindakan yang bersifat merusak,
didorong oleh amarah, keserakahan, kemelekatan, atau keluguan akan sebab dan akibat berprilaku, menghasilkan kelahiran kembali di neraka, atau sebagai hantu, atau seekor hewan. Keluguan bisa terjadi karena kurangnya pengetahuan atau pemahaman yang tidak tepat. Tindakan-tindakan yang bersifat membangun, tapi masih berhubungan dengan keluguan terhadap kenyataan, menghasilkan kelahiran kembali sebagai manusia, sosok setengah-dewa asura, atau sebagai seorang dewa duniawi di surga. Masing-masing jenis kelahiran kembali yang dapat dialami oleh siapa saja ini – termasuk kelahiran kembali di surga atau neraka – memiliki jenis tubuhnya sendiri, secara khusus sesuai dengan alamnya. Seseorang tidak dapat lahir kembali di surga atau neraka dengan tubuh manusia. Lebih lagi, agama Buddha mengajarkan bahwa akibat karma dari segala tindakan karma matang berbuah kebahagiaan atau penderitaan hanya untuk jangka waktu yang terbatas. Begitu akibat karma selesai berbuah, karma itu menipis habis. Orang kemudian mati dari kelahiran kembali surgawi atau nerakawi dan dilahirkan kembali pula pada alam samsarawi lainnya. Dari sudut pandang Buddha, kelahiran kembali di surga atau neraka tidaklah abadi. Akan tetapi, kelahiran kembali samsarawi seseorang yang berulang akan berlanjut abadi, satu lagi setelah yang berikutnya, terkecuali jika seseorang dapat dengan penuh membersihkan diri dari segala perkara sejatinya. Lebih lagi, bahkan kebahagiaan kelahiran kembali surgawi merupakan sebentuk penderitaan, karena hal itu tidak pernah dapat memuaskan dan lambat-laun akan menemui titik akhirnya. Karenanya, ajaran Buddha menyatakan bahwa jika seseorang membersihkan diri dari segala sikap dan perasaan yang gelisah, ia berhenti melakukan tindakan-tindakan karma yang akan berujung
pada kelahiran kembali samsarawi yang berkelanjutan, baik di surga, neraka, di bumi, atau di tempat lain. Dengan demikian, ia membersihkan akibat-akibat karma yang sudah tertumpuk. Kemudian, atas dasar perbuatan-perbuatan yang bersifat membangun yang dilakukan tanpa keluguan terhadap kenyataan, ia memperoleh pembebasan dari kelahiran kembali samsarawi yang berulang, keadaan nirwana yang abadi, damai, dan penuh sukacita. Tidak ada Hari Penghakiman dan tidak ada hakim. Kelahiran kembali samsarawi yang berkelanjutan bukanlah hukuman, dan pencapaian nirwana bukanlah anugerah. Hubungan antara sebab dan akibat berprilaku berjalan murni dalam jalur yang mekanis, tanpa campur tangan ilahi. Maka, persoalan utama yang diperselisihkan oleh naskah-naskah Buddha adalah bahwa kelahiran kembali surgawi merupakan tujuan rohani paling akhir dan pencapaian pamungkas yang dapat diraih seseorang, karena hal ini bertentangan dengan pernyataan utama ajaran Buddha tentang pembebasan dari karma dan kelahiran kembali. Sifat Atomis Zat dan Sifat Jiwa Mengenai beberapa pokok lain, kepustakaan Kalacakra berusaha untuk menempatkan pernyataan-pernyataan mleccha ke dalam lingkungan Buddha untuk membuatnya dapat dipahami oleh khalayak Buddha. Misalnya, pemberi tinjauan abad ke-19 Masehi dari Tibet, Mipam (Mi-pham ‘Jam-dbyangs rnam-rgyal rgyamtsho.), dalam karyanya Penyinaran Surya Vajra, Menjernihkan Makna Kata-Kata “Tantra Kalacakra yang Mulia”: Tafsiran atas Bab (Lima), Kesadaran Mendalam (dPal dus-kyi ‘khor-lo’i rgyud-kyi tshig don rab-tu gsal-byed rdo-rje nyi-ma’i snang-ba, Ye-shes le’u’i ‘grel-chen), menjelaskan: “Kaum Mleccha memiliki dua (pokok
filsafat) yang mereka anut. Mereka percaya perwujudan lahir memiliki sifat sekumpulan atom, dan mereka percaya keberadaan diri seseorang yang terlahir sementara atau yang memiliki sebuah segi yang terlahir dalam samsara. Tujuannya ialah untuk mencapai kebahagiaan para dewa sebagai buahnya. Terlepas dari hal ini, mereka tidak menyatakan jenis nirwana lainnya.” Mipam lanjut menunjukkan bahwa pernyataan mlecchamengenai sifat zat cocok dengan keyakinan Buddha. Ia menjelaskan bahwa aliran Vaibhashika dan Sauntrantika dalam Buddha Hinayana menyatakan bahwa atom tak bisa terbelah dan tak bisa terbagi; sementara aliran Chittamatra dan Madhyamaka dalam Buddha Mahayana menyatakan bahwa atom bisa terbelah tanpa henti. Mipam tidak menguraikan sikap umat Muslim mengenai atom; akan tetapi, di antara pandangan-pandangan filsafat yang berkembang di dalam Islam sebelum pertengahan abad ke-10 Masehi, penulis-penulis tertentu juga menyatakan bahwa atom tidak bisa terbelah. Mereka termasuk al-Hakam dan al-Nazzam, dalam ajaran adu-pendapat Shi’ite Mu’tazili, dan ahli agama Sunni al-Ash’ari. Sebagian besar ahli agama Islam pada saat itu, dan juga setelahnya, menyatakan bahwa atom secara tak terbatas bisa terbelah. Akan tetapi, al-Sijistani tampaknya tidak begitu jelas mengenai perihal keterbagian atom ini. Mipam melanjutkan, “Mengetahui watak dan pemikiran mereka, Buddha mengajarkan sutra-sutra yang mereka (kaum Tayi) dapat terima. Misalnya, dalamm Sutra Memikul Tanggung Jawab (Khur ‘khu-ba’i mdo), Buddha berkata bahwa orang yang memikul tanggung jawab (untuk tindakan-tindakan mereka sendiri) memang ada, tapi tanpa mempertimbangkan bahwa jiwa seseorang itu tetap atau tidak tetap. Pokok-pokok ini benar di mata pernyataan-
pernyataan mereka (kaum Tayi). Makna yang dimaksudkan Buddha adalah bahwa orang memang ada sebagai keberlanjutan dari diri yang memikul tanggung jawab atas karma, namun yang hanya dipertalikan pada sebuah kesinambungan dan, secara alami, bukan merupakan sesuatu yang tetap atau tak tepat. Menurut al-Sijistani, semua jiwa pribadi manusia adalah “segi-segi” dari “jiwa”semesta yang sama, dalam pengertian menjadi bagian darinya. Ketika jiwa pribadi meninggalkan tubuh manusia, ke-adaan ragawinya yang sementara pun berakhir. Ia kembali pada “jiwa” semesta yang tak terbedakan dan tidak mengambil bentuk ragawi lagi sebelum Hari Penghakiman. Akan tetapi, jiwa pribadi tanpatubuh dengan suatu cara mempertahankan kepribadiannya. Pada saat kebangkitan kembali dan penghakiman, jiwa pribadi memperoleh kenikmatan batin Surga abadi jika ia telah mendapatkan pengetahuan berakal yang cukup akan kebenaran, melalui hubungannya dengan kecerdasan pribadi saat bertubuh. Jika jiwa pribadi tetap terjerat dalam nafsu-nafsi jasmaniah saat bertubuh dan tidak mendapatkan pengetahuan berakal akan kebenaran, ia diganjar dengan siksaan jiwa abadi di Neraka. Oleh karena itu, jiwa pribadi tidaklah tetap, dalam pengertian bahwa ia tidak abadi berada dalam keadaan bertubuhnya. Akan tetapi, ia juga bukan tidak tetap, dalam pengertian bahwa setelah kebangkitan kembali dan penghakiman, ia terus ada selamanya, memikul tanggung jawab atas tindakan-tindakannya saat masih bertubuh. Dinasti Ghaznawiyyah (975 – 1187 M) Tidak ada bukti bahwa, setelah kemunculan kepustakaan Kalacakra pada akhir abad ke-10 dan awal abad ke-11 Masehi, para cendekiawan Muslim sadar akan gambaran-gambaran
keyakinan mereka yang terkandung di dalam kepustakaan tersebut. Akan tetapi, minat terhadap agama Buddha tetap ada di antara mereka, seperti tampak dalam beberapa karya sejarah; sementara, terlepas dari tinjauan-tinjauan yang bersifat tafsiran kritis dalam Kalacakra, minat Buddha terhadap Islam pada abadabad berikutnya adalah nihil. Contohnya, selama Dinasti Ghaznawiyyah, sejarawan Persia, alBiruni, menemani Mahmud dari Ghazni pada penyerangannya terhadap anak-benua India pada awal abad ke-11 Masehi. Berdasarkan yang ia ketahui di sana, al-Biruni menulis Kitab tentang India (Ar. Kitab al-Hind). Di dalamnya, ia menggambarkan adat-istiadat dan keyakinan dasar Buddha dan mencatat bahwa orang India menganggap Buddha sebagai nabi. Itu tentu saja tidak berarti bahwa ia menganggap bahwa umat Muslim menerima Buddha sebagai seorang nabi Allah, namun ini menunjukkan bahwa ia memahami bahwa umat Buddha tidak menyatakan Shakyamuni sebagai Tuhan mereka. Mengabdi di bawah Dinasti Seljuk, al-Shahrastani mengulangi anggapan al-Biruni terhadap agama Buddha dalam karyanya di abad ke-12 Masehi, Kitab Agama dan Kepercayaan (Ar. Kitab al-Milal wa al-Nihal). Kita juga dapat menemukan contoh-contoh lanjutan peminjaman dari kepustakaan agama Buddha ke dalam kepustakaan Islam semasa Ghaznawiyyah. Misalnya, cerita Buddha tentang sekelompok manusia buta, yang tiap dari mereka menggambarkan seekor gajah secara berbeda-beda, berdasarkan tiap-tiap sentuhan terhadap bagian yang berbeda dari binatang tersebut, maktub ke dalam ajaran Sufi dalam tulisan-tulisan cendekiawan Persia Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 Masehi). Untuk menyarankan sikap ragu filsafat, al-Ghazali menggunakan cerita tersebut untuk menjelaskan betapa para ahli agama Islam hanya
memiliki kebenaran panggu, sementara Buddha menggunakannya dalam Sutra Aliran-Aliran di Luar Buddha (Pali: Tittha Sutta) untuk melukiskan kesia-siaan para ahli filsafat di luar Buddha yang mengadu-pendapat tentang pandangan mereka satu sama lain. Dinasti Ilkhaniyyah (1258-1336 Masehi) Pada 1258 Masehi, Hulegu, cucu laki-laki dari Chinggis Khan, menaklukkan Iran dan menumbangkan Khilafah Abbasiyyah di Baghdad dan mendirikan Dinasti Ilkhaniyyah. Hulegu merupakan pengikut Buddha Tibet dan segera ia mengundang para biksu dari Tibet, Kashmir, dan Ladakh, ke istananya di bagian barat laut Iran. Akan tetapi, Ilkhan ke-6, Ghazan (r. 1295-1304 Masehi), menjadi mualaf atas bimbingan guru Sufi Syiah Sadr ad-Din Ibrahim. Begitupun, dketika ia menugaskan menterinya, Rashid al-Din, untuk menulis Sejarah Semesta (Ar.Jami’ al-Tawarikh), ia memerintahkannya untuk menyertakan gambaran sistem kepercayaan berbagai umat yang telah ditemui oleh bangsa Mongol, termasuk ajaran Buddha. Maka, ia mengundang Bakshi Kamalashri, seorang biksu Buddha dari Kashmir, ke istananya untuk membantu Rashid al-Din menyelesaikan karyanya. Hasil dari perpaduan keduanya ini adalah Kisah Hidup dan Ajaran Buddha, yang hadir dalam corak berbahasa Arab dan Persia, sebagai bagian ketiga dariSejarah India, jilid kedua dari Bunga Rampai Sejarah. Seperti karya-karya sebelumnya, yang dihasilkan oleh al-Kermani dan al-Biruni, Rasjid al-Din menjelaskan ajaran Buddha dalam lingkup pengertian Muslim. Karenanya, ia mencatat Buddha sebagai satu dari enam pendiri agama yang diterima sebagai nabi oleh bangsa India: tiga yang bersifat dewa – Siwa, Wisnu, dan Brahma – dan tiga yang bersifat bukan-dewa – Arhanta untuk
ajaran Jain, Nastika untuk Charvaka, dan Shakyamuni untuk ajaran Buddha. Ia juga mengacu pada tuhan dewa sebagai malaikat-malaikat, dan Mara sebagai ‘Iblis, si Setan. Naskah tersebut juga menyebutkan enam alam kelahiran kembali, hukum tentang sebab dan akibat karma, dan bahwa kata-kata Buddha dilestarikan dalam Kangyur, kumpulannya dalam terjemahan Tibet. Rashid al-Din juga melaporkan bahwa pada masanya, sebelas naskah Buddha dalam terjemahan Arab beredar di Iran. Ini termasuk naskah-naskah Mahayana seperti Sutra tentang Larik dari Tanah Murni Sukacita (Skt. Sukhavatiyuha Sutra) mengenai Tanah Murni Amitabha, Sutra tentang Larik Bagai Keranda (Skt. Karandavyuha Sutra) mengenai Avalokiteshvara, perwujudan welas asih, dan Suatu Karangan tentang Maitreya (Skt. Maitreyavyakarana) mengenai Maitreya, Buddha masa depan dan perwujudan kasih. Namun, beberapa segi dari penggambaran Rashid al-Din ini agak khayali. Misalnya, ia mendaku bahwa sebelum Islam, umat Mekah dan Medinah merupakan penganut Buddha dan menyembah berhala yang menyerupai Buddha di dalam Kabah. Seabad lebih sedikit setelahnya, pada awal abad ke-15 Masehi, Hafis-i Abru, yang mengabdi pada istana Shahrukh dari Dinasti Timuriyyah di Samarkand, menyusun Kumpulan Sejarah (Ar.Majma at-Tawarikh). Bagian di dalamnya mengenai Buddha dan agama Buddha berdasar pada karya Rashid al-Din. Walau sejarah-sejarah India yang ditulis oleh para cendekiawan Muslim mencakup penggambaran kepercayaan-kepercayaan Buddha, kita tidak menemukan pembandingnya, catatan-catatan mengenai kepercayaan Islam dalam sejarah India yang ditulis oleh para pengarang Buddha dari Tibet atau Mongolia setelah
penyebaran Islam di India. Contohnya, dalam Sejarah Ajaran Buddha di India (rGya-gar chos-‘byung) yang ditulis oleh pengarang Tibet abad ke-17 Masehi, Taranatha, pengarang menggambarkan penghancuran wihara-wihara Buddha di India Utara bagian tengah pada awal abad ke-13 oleh pasukan Muslim Turki Guzz selama Dinasti Ghuriyyah. Meski demikian, ia tetap tak bersuara tentang Islam itu sendiri. Prospek Masa Kini Walau para cendekiawan Muslim di masa lampau telah menunjukkan minat berulang dalam memperoleh pengetahuan tentang ajaran Buddha, sementara para cendekiawan Buddha menunjukkan minat yang lebih kecil untuk belajar tentang Islam, keadaan ini perlahan berubah di masa kini. Dalam sebuah kuliah yang disampaikan di Milan, Italia, pada Desember 2007, Yang Mulia Dalai Lama Ke-14 telah menunjukkan dengan sangat jelas perubahan sikap ini: “Sejak (peristiwa) 11 September, meski saya seorang penganut agama Buddha, orang luar bagi Islam, saya telah secara sukarela melakukan upaya-upaya sebagai pembela Islam Agung. Banyak dari saudara-saudara Muslim saya – dan ada juga beberapa saudari – menjelaskan pada saya bahwa jika ada yang menciptakan pertumpahan darah, ini bukan Islam. Alasannya adalah bahwa seorang Muslim sejati, seorang pengikut sejati agama Islam, seharusnya mengasihi seluruh ciptaan sama seperti ia mengasihi Allah. Semua makhluk diciptakan oleh Allah. Jika orang menghormati dan mengasihi Allah, orang harus mengasihi semua ciptaan-Nya. Seorang teman saya, seorang wartawan, tinggal di Teheran pada masa Ayatollah Khomeini. Ia kemudian memberitahu saya
bagaimana para mullah di sana mengumpulkan uang dari keluarga-keluarga kaya dan membagi-bagikannya pada orang yang lebih miskin untuk membantu pendidikan dan mengurangi kemiskinan. Inilah proses sosialis yang sesungguhnya. Dalam negara-negara Muslim, bunga bank tidak dibenarkan. Jadi, jika kita mengenal Islam dan melihat bagaimana para pengikut Islam melaksanakannya dengan tulus, maka seperti semua agama lain, Islam sungguh-betul menakjubkan. Secara umum, jika kita mengenal agama orang lain, kita dapat mengembangkan sikap saling hormat, kagum, dan memperkaya. Oleh karena itu, kita membutuhkan upaya yang ajeg untuk mengedepankan pemahaman antariman.” Para cendekiawan dan pemimpin agama Muslim telah menunjukkan minat yang bertumbuh dalam hal pemahaman dan percakapan antariman. Karena itu, berbagai lembaga antarnegara telah menyelenggarakan berbagai muktamar Buddha-Islam belakangan ini. Misalnya, pada September 2008 di Markas Persatuan Bangsa-Bangsa di New York, Keluarga Global untuk Kasih dan Perdamaian (Ing. The Global Family for Love and Peace), bekerjasama dengan Museum Agama-Agama Dunia di Taipei, Taiwan, menyokong diselenggarakannya rangkaian kesepuluh dari percakapan Buddha-Islam, bertemakan “Menuju sebuah Keluarga Global” (Ing. Towards a Global Family), untuk memperingati HUT ke-60 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Muktamar-muktamar sebelumnya dalam rangkaian ini mencakup “Muktamar Percakapan Buddha-Islam tentang Budi Pekerti Global dan Pemerintahan yang Baik” (Ing. A Buddhist-Muslim Dialogue Conference on Global Ethics and Good Governance) di Markas UNESCO, Paris, Prancis, pada Mei 2003 dan sebuah simposium tentang “Dharma, Allah, dan Pemerintahan: Sebuah Percakapan
Buddha-Islam” (Ing. Dharma, Allah, and Governance: A BuddhistMuslim Dialogue) pada Juli 2004 di Barcelona, Spanyol, sebagai bagian dari Parlemen Agama-Agama Dunia. Para pemimpin agama Buddha dan Islam sama-sama sepakat bahwa pemahaman antariman, yang dibina melalui percakapan dan muktamar semacam itu, tidak diragukan lagi akan memberikan sumbangsih luar biasa bagi keselarasan agama dan perdamaian dunia.
Agama Buddha dari Sudut Pandang Islam Dr. Alexander Berzin Buddha Bukanlah Tuhan Mahakuasa Pendiri agama Buddha, Shakyamuni, adalah seorang pangeran di Kapilawastu, sebuah kerajaan negara kecil yang, saat ini, terletak di daerah perbatasan India utara dan Nepal, 2500 tahun yang lalu. Setelah menyaksikan duka raga dan jiwa dari para kawulanya, Shakyamuni meninggalkan kehidupan bangsawannya dan menjalani waktu bertahun-tahun dengan meditasi untuk mencari cara bagi semua makhluk supaya bebas dari masalah mereka dan mencapai kebahagiaan abadi. Sebagai hasil dari welas asihnya yang kuat terhadap orang lain dan pemahamannya yang mendalam, ia mampu mengatasi segala kekurangan, keterbatasan, dan masalahnya, serta mewujudkan semua kemampuannya sehingga ia menjadi seorang Buddha. Buddha bukanlah Tuhan yang Mahakuasa, tapi secara harfiah berarti seseorang yang “sepenuhnya bangun” sehingga ia bisa menjadi bantuan sepenuhnya bagi orang lain. Shakyamuni Buddha kemudian menjalani sisa kehidupannya dengan mengajar orang lain cara-cara untuk bangun yang telah ia alami sehingga mereka sendiri bisa menjadi Buddha yang sepenuhnya tercerahkan. Acuan terhadap Buddha di dalam Quran Seorang cendekiawan di pertengahan abad ke-20, Hamid Abdul Qadir, dalam karyanya Buddha yang Agung: Kehidupan dan Filsafatnya (Arab: Budha al-Akbar Hayatoh wa Falsaftoh), mendalilkan bahwa Nabi Dhu’l-Kifl, yang berarti “seseorang dari Kifl”, disebutkan dua kali dalam Quran (Al-Anbiya' 85 and Sad 48)
sebagai sosok yang sabar dan baik, yang mengacu pada Shakyamuni Buddha. Meskipun sebagian besar cendekiawan mengenali Dhu'l-Kifl sebagai Nabi Ezekiel, Qadir menjelaskan bahwa “Kifl” adalah bahasa Arab dari Kapila, kependekan Kapilawastu. Ia juga menyatakan bahwa penyebutan Quran tentang pohon ara (fig) (At-Tin 1-5) juga mengacu pada Buddha, mengingat ia mencapai pencerahan di kaki pohon itu. Sebagian cendekiawan menerima teori ini dan, sebagai dukungan terhadapnya, menyebutkan bahwa sejarawan Muslim Persia abad ke-11 yang mengkaji sejarah India, al-Biruni, mengacu Buddha sebagai seorang nabi. Cendekiawan yang lain menolak bukti ini dan menjelaskan, al-Biruni hanya menggambarkan bahwa orang-orang di India menganggap Buddha sebagai seorang nabi. Beberapa cendekiawan menghubungkan kenabian masa depan Buddha Maitreya, Yang Maha Kasih atau Rahim, dengan Nabi Muhammad sebagai pelayan dari Yang Maha Rahim. Meskipun kebenaran bahwa Buddha mendapat pencerahan di bawah pohon ara tidak digambarkan sebagai wahyu, para guru Buddha hebat selanjutnya telah menerima wahyu tentang naskah-naskah suci, seperti Asanga di India abad ke-4 yang langsung menerima wahyu dari Maitreya di Tushita, Surga yang Penuh Sukacita. Pengikut Buddha sebagai Orang Kitab Pencapaian Buddha dan ajarannya kepada orang lain untuk mencapai hal yang sama disebut dalam bahasa Sanskerta sebagai “Dharma”, secara harfiah berarti “langkah-langkah pencegahan”. Yang diajarkan Buddha adalah langkah-langkah dan cara-cara yang perlu dilakukan untuk menghindari duka bagi diri sendiri dan
orang lain. Dimulai pada abad ke-2 Sebelum Masehi, wacana Buddha tentang hal tersebut disebarluaskan secara lisan hingga kemudian dituliskan dalam bentuk naskah kitab. Di lokasi yang saat ini merupakan Uzbekistan dan Afghanistan utara, tempat orang Arab pertama kali bertemu pengikut Buddha, naskah-naskah ini sebagian besar tersedia dalam terjemahan Turki Kuno dan Sogdian. Dalam dua bahasa ini, kataDharma diterjemahkan sebagai nom, kata yang dipinjam dari bahasa Yunani, yang berarti “hukum”. Quran mengajarkan tenggang rasa bagi agama “orang Kitab”, yang mengacu pada agama Kristen dan Yahudi. Ketika orang Arab bertemu dengan pengikut Buddha, meskipun pengikut Buddha ini bukan secara ketat merupakan “orang Kitab”, mereka diberikan kedudukan dan hak yang sama seperti halnya orang Kristen dan Yahudi di bawah kekuasaan orang Arab. Mereka diperbolehkan mengikuti agama mereka, asalkan umat awam di antara mereka membayar pajak penduduk. Sehingga, pola pikir hukum tentang “orang Kitab” tampaknya menjadi diperluas untuk melibatkan mereka yang mengikuti seperangkat asas etika dari wewenang yang lebih tinggi. Ajaran Buddha Dasar Empat Kebenaran Mulia Ajaran Buddha paling dasar mengenai Dharma dikenal sebagai “Empat Kebenaran Mulia”, yakni empat fakta yang dianggap benar oleh makhluk-makhluk yang telah maha sadar. Buddha melihat bahwa setiap orang menghadapi (1) masalah-masalah sejati. Meskipun ada banyak sukacita untuk dimiliki, tidak dapat disangkal bahwa kehidupan itu sulit. Sakit raga, usia tua, dan kematian yang dialami seseorang atau orang yang dicintai, ketidakpuasaan dalam
kehidupan, kekecewaan dalam hubungan dengan orang lain, dan seterusnya adalah cukup sulit. Tapi, orang-orang membuat keadaan itu menjadi lebih menyakitkan akibat sikap mereka yang berdasarkan pada kebingungan. (2) Penyebab sejati dari masalah adalah tiadanya kesadaran atau kebodohan akan kenyataan. Sebagai contoh, semua orang berpikir bahwa diri mereka adalah pusat semesta. Ketika, sebagai anak kecil, mereka menutup mata mereka, tampak bahwa setiap orang lain lenyap. Karena tampilan yang menipu ini, mereka merasa diri mereka satu-satunya yang penting dan mereka harus selalu memiliki cara sendiri. Akibat dari sikap yang berpusat pada diri sendiri, mementingkan diri sendiri, mereka menciptakan pertikaian, perkelahian, bahkan perang. Jika benar bahwa mereka adalah pusat semesta, setiap orang harus setuju. Namun, tak seorang pun setuju karena setiap orang lain juga merasa bahwa dirinya adalah pusat semesta. Mereka tidak bisa benar semua. Bagaimanapun, mungkin bagi seseorang untuk mencapai (3) penghentian sejati semua masalah sehingga ia tidak akan lagi mengalami ketidakbahagiaan. Ini akan terjadi bila seseorang melaksanakan (4) jalan cita sejati yang dengannya ia memahami kenyataan. Dengan kata lain, jika seseorang mencapai kesadaran penuh akan fakta bahwa setiap orang saling terkait dan saling bergantung, serta tak seorang pun adalah pusat semesta, orangorang akan mungkin menemukan penyelesaian bagi masalah mereka sehingga mereka bisa hidup bersama dalam damai dan keselarasan. Pendekatan dasar dalam ajaran Buddha, kemudian, bersifat ilmiah dan masuk akal. Untuk menghilangkan masalah, seseorang harus mengenali dan menghilangkan penyebabnya. Segala sesuatu mengikuti hukum sebab dan akibat.
Kehampaan dan Saling Kebergantungan Pokok utama dalam ajaran Buddha, kemudian, adalah melihat kenyataan, yakni saling keterkaitan di antara setiap hal dan setiap orang, dan hasilnya mengembangkan cinta dan welas asih yang setara kepada semua makhluk. Asas tertinggi yang menyatukan semuanya disebut sebagai “kehampaan”, yang mengatasi segala nama dan pola pikir. Kehampaan mengacu pada fakta bahwa tidak ada apa pun yang berada dalam kemustahilan, dalam cara khayal seperti sungguh mandiri dari segala sesuatu, tapi semua makhluk dan hal memunculkan kebergantungan satu sama lain. Karena semua makhluk hidup dan lingkungan saling bergantung, seseorang harus memiliki cinta, kepedulian, dan welas asih bagi yang lain dan mengemban tanggung jawab untuk secara aktif menolong. Supaya tetap terarah kepada dua unsur itu, kehampaan dan welas asih, yang dikenal sebagai kebijaksanaan dan sarana, seseorang perlu konsentrasi yang sempurna dan landasan tegas dalam disiplin diri yang etis. Buddha mengajarkan banyak cara untuk melatih diri dalam wilayah-wilayah tersebut. Etika dan Karma Buddha secara khusus menekankan perwujudan kehidupan yang etis dengan menjalankan susila secara ketat. Ia berkata, cobalah menolong orang lain, dan jika ini tidak mungkin, paling tidak jangan merugikan orang lain. Ia menjelaskan dasar etika dalam kerangka asas-asas ilmiah tentang karma, atau sebab dan akibat perilaku. “Karma” bukan berarti takdir, tapi mengacu pada daya gerak yang mendorong dan mendampingi tindakan raga, tindakan ucapan, dan tindakan jiwa seseorang. Daya gerak untuk bertindak secara positif atau negatif muncul karena keadaan sebelumnya yang menyebabkan seseorang memasuki keadaan yang di dalamnya ia
akan mengalami suatu tingkat kebahagiaan atau duka tertentu. Keadaan-keadaan ini akan terjadi di kehidupan ini atau kehidupan berikutnya. Kelahiran Kembali Seperti halnya agama India lainnya, Buddha juga menyatakan tentang kelahiran kembali atau reinkarnasi. Kesinambungan jiwa seseorang, dengan segala naluri, bakat, dan unsur lainnya, berasal dari kehidupan lampau dan berlanjut sampai kehidupan masa depan. Bergantung pada tindakan seseorang dan kecenderungan yang dibangun di atasnya, seseorang bisa terlahir kembali di surga atau neraka, atau sebagai hewan, sebagai manusia atau bentuk apa pun dari hantu atau roh. Semua makhluk mengalami kelahiran kembali yang tidak bisa dikendalikan akibat sikap negatif mereka, seperti kemelekatan, kemarahan, dan kekanak-kanakan, dan karma mereka mendorong untuk bertindak yang dipicu oleh hal-hal tersebut. Bila seseorang mengikuti daya gerak negatif yang muncul dalam cita seseorang akibat pola perilaku di masa lalu dan bertindak merusak, ia akan mengalami duka dan ketidakbahagiaan. Bila, di sisi lain, ia terlibat dalam perbuatan yang membangun, ia akan mengalami kebahagiaan. Tiap kebahagiaan atau ketidakbahagiaan seseorang, kemudian, bukanlah ganjaran atau hukuman, melainkan dihasilkan oleh tindakannya di masa lalu sesuai dengan hukum sebab dan akibat perilaku. Landasan etika Buddha adalah menahan diri dari sepuluh tindakan khusus yang merusak. Ini adalah tindakan raga membunuh, mencuri, dan perilaku seks tidak pantas; tindakan ucapan yang berbohong, berbicara yang memecah-belah, menggunakan bahasa yang kasar dan kejam, dan mengucapkan omong kosong; serta tindakan jiwa yang tamak, berpikir dengan kedurjanaan dan
menyimpang, pemikiran bermusuhan yang dengannya ia menyangkal nilai dari apa pun yang positif. Buddha tidak mengajarkan aturan hukum, yang serupa dengan Sharia, yang dengannya seseorang bisa menentukan hukuman untuk tindakan negatif. Apakah manusia memberikan ganjaran atau hukuman bagi mereka yang bersifat merusak, mereka yang bertindak secara negatif akan tetap mengalami duka akibat perbuatan mereka. Latihan Kebaktian dan Meditasi Buddha melihat bahwa setiap orang tidak hanya setara dalam kemampuannya untuk mengatasi semua masalah dan menjadi seorang Buddha, tapi juga bahwa orang-orang adalah semua pribadi dengan pilihan, minat, dan bakat yang berbeda-beda. Menghormati perbedaan-perbedaan ini, ia mengajarkan banyak beragam cara untuk mengatasi keterbatasan seseorang dan mewujudkan kemampuan seseorang. Cara ini meliputi pembelajaran, latihan kebaktian, sujud tiga kali sebelum doa, memberikan persembahan murah hati bagi orang yang membutuhkan dan mereka yang mengabdi pada kehidupan batin, penyebutan nama-nama Buddha dan mantra secara berulang yang dihitung dengan manik-manik tasbih, ziarah ke tempattempat suci dan mengelilingi bangunan-bangunan suci, dan terutama meditasi. Meditasi berarti membangun sebuah kebiasaan bermanfaat dan dicapai melalui pelaksanaan secara berulang sikap positif seperti cinta, kesabaran, kewaspadaan, konsentrasi, dan melihat kenyataan, kemudian berlatih melihat keadaan dari kehidupan pribadi seseorang dengan sikap-sikap itu. Lebih jauh, Buddha meminta orang-orang supaya tidak memercayai apa yang ia katakan hanya karena percaya kepadanya, tapi untuk menguji semuanya seperti sedang membeli
emas. Hanya jika orang-orang menemukan, melalui pengalaman pribadi mereka, sesuatu yang bermanfaat dalam ajarannya, mereka bisa menerapkannya dalam kehidupan mereka. Tidak perlu untuk pindah budaya atau bahkan agama, kata Buddha. Setiap orang yang menemukan hal berguna dalam ajarannya diterima untuk ambil bagian di dalamnya. Tidak ada waktu khusus untuk berdoa dalam agama Buddha, tidak ada upacara ibadat untuk umat awam yang dipimpin oleh pendeta, dan tidak ada hari sabat. Orang bisa berdoa kapan pun dan di mana pun. Namun, paling sering, doa dan meditasi dilakukan di candi Buddha atau tempat pemujaan di dalam rumah. Juga, sering terdapat patung dan lukisan para Buddha dan Bodhisattwa, yakni mereka yang telah menjadi seorang Buddha dan sepenuhnya bertujuan menolong orang lain dan. Orang tidak memuja atau berdoa kepada patung tersebut, tapi menggunakannya untuk membantu mengarahkan perhatian mereka pada makhluk agung yang diwakilinya. Karena para Buddha dan Bodhisattwa bukanlah Tuhan Mahakuasa, tujuan doa seseorang adalah meminta ilham dan bimbingan mereka dalam memenuhi tujuan-tujuan baiknya. Namun, orang-orang yang tak berpendidikan sekadar mengajukan permintaan supaya keinginan mereka dikabulkan. Sebagai tanda penghormatan bagi apa yang telah dicapai para Buddha, orangorang mempersembahkan dupa, lilin, mangkuk air, dan makanan di depan patung dan gambar tersebut. Menjaga Makan dan Menghindari Alkohol Agama Buddha juga tidak memuat hukum yang mengatur pola makan. Penganut Buddha dianjurkan untuk tidak makan daging sebisa mungkin, tapi bahkan jika seseorang hanya makan dari tumbuhan, pasti ada serangga yang ikut terbunuh dalam proses
pertanian. Kemudian, seseorang mencoba untuk mengurangi kerugian kepada hewan dan serangga yang disebabkan oleh kebutuhannya akan makanan. Mungkin kadang perlu untuk memakan daging, misalnya karena alasan kesehatan, menghormati tuan rumah, atau ketika tidak ada sumber makanan lain yang tersedia. Dalam keadaan tersebut, seseorang mengucapkan terima kasih kepada hewan yang telah kehilangan hidupnya dan mendoakannya untuk kelahiran kembali yang lebih baik. Buddha juga meminta pengikutnya untuk tidak minum, bahkan setetes pun, alkohol. Latihan dalam agama Buddha ditujukan untuk pengembangan kewaspadaan, disiplin, dan kendali diri. Semua hal ini hilang saat seseorang minum alkohol. Namun, tidak semua pengikut Buddha mengikuti nasihatnya. Cara Biara Agama Buddha memiliki cara biara dan cara awam. Terdapat biarawan dan biarawati yang memegang ratusan sumpah, termasuk hidup tidak menikah. Mereka mencukur kepala mereka, mengenakan jubah khusus, dan hidup di lingkungan biara. Mereka mengabdikan hidup mereka kepada pembelajaran, meditasi, doa, dan melaksanakan upacara bagi kemanfaatan umat awam. Umat awam, pada gilirannya, mendukung biara dengan memberikan makanan, secara langsung ke biara atau kepada biarawan yang mendatangi rumah mereka setiap pagi untuk mengumpulkan derma. Kesetaraan Meskipun masyarakat Hindu India pada masa kehidupan Buddha diatur menurut kasta-kasta, dengan beberapa kelompok yang berkedudukan rendah bahkan dianggap hina oleh orang lain,
Buddha menyatakan bahwa di lingkungan biaranya setiap orang setara. Dengan demikian, Buddha menghapus perbedaan kasta bagi mereka yang meninggalkan masyarakat dan hidup di biara serta mengabdikan hidup mereka pada latihan batin. Hierarki di lembaga biara didasarkan pada penghormatan kepada mereka yang telah ditahbiskan dan memegang sumpah paling lama. Seorang muda yang ditahbiskan sebelum seseorang yang lebih tua akan duduk di depan orang lebih tua tersebut di dalam ibadat doa dan mendapatkan pelayanan makanan dan teh terlebih dulu. Untuk menyesuaikan dengan adat Asia, ketika laki-laki dan perempuan hadir di ibadat keagamaan, mereka duduk secara terpisah, dengan laki-laki berada di depan.
Perang Suci dalam Agama Buddha dan Islam Dr. Alexander Berzin Orang-orang, seringkali, saat menggagas pola pikir Islam mengenai jihad atau perang suci, menghubungkannya dengan arti negatif upaya menganggap benar tindakan perusakan berlatardendam atas nama Tuhan untuk membuat orang lain pindah agama secara paksa. Mereka mungkin menyadari bahwa agama Kristen memiliki hal yang mirip yaitu perang untuk merebut Tanah Suci pada abad ke-11 hingga 13, tapi biasanya tidak melihat agama Buddha memiliki hal yang serupa. Bagaimanapun, mereka mengatakan, Buddha adalah agama damai dan tidak memiliki istilah perang suci. Namun, tinjauan yang teliti terhadap naskahnaskah Buddha, terutama kepustakaan Tantra Kalacakra, mengungkapkan tingkat lahir maupun batin dari suatu pertempuran bisa disebut sebagai “perang suci”. Kajian yang berimbang tentang Islam mengungkapkan hal yang sama. Dalam kedua agama itu, para pemimpin bisa memperalat tingkat lahir dari perang suci untuk pencapaian politik, ekonomi, atau pribadi, dengan menggunakannya untuk menggerakkan pasukan menuju pertempuran. Contoh sejarah mengenai Islam telah banyak diketahui; tapi seseorang tidak boleh terkesima oleh agama Buddha dan menganggapnya kebal terhadap kenyataan itu. Bagaimanapun, di kedua agama ini, penekanan utamanya adalah pada pertempuran batin melawan kebodohan dan sikap merusak dalam diri seseorang. Perumpamaan Militer dalam Agama Buddha Shakyamuni Buddha lahir di dalam kasta satria India dan sering menggunakan perumpamaan militer untuk menggambarkan
perjalanan batin. Ia adalah Sang Jaya, yang mengalahkan kekuatan jahat (mara) berupa ketidaksadaran, pandangan yang sesat, perasaan yang gelisah, dan perilaku karma yang mendesak. Shantidewa, seorang guru Buddha dari India dari abad ke-8, sering menggunakan perumpamaan perang dalam Memasuki Perilaku Bodhisattwa: musuh sejati yang perlu ditaklukkan adalah perasaan dan sikap gelisahyang bersembunyi di dalam cita. Orang Tibet menerjemahkan istilah Sanskerta arhat, makhluk yang terbebaskan, sebagai penghancur musuh, seseorang yang telah menghancurkan musuh batin. Dari contoh ini, tampak bahwa dalam agama Buddha, panggilan akan “perang suci” adalah murni persoalan batin. Namun, Tantra Kalacakra mengungkapkan tambahan berupa tingkat lahiriah. Legenda Shambhala Menurut kisah turun-temurun, Buddha mengajarkan Tantra Kalacakra di Andhra, India Selatan pada 880 S.M. kepada Raja Shambhala, Suchandra, dan pengawalnya yang datang berkunjung. Raja Suchandra membawa ajaran itu kembali ke negerinya di utara, tempat ajaran-ajaran itu kemudian berkembang. Shambhala adalah sebuah wilayahmanusia, bukan sebuah tanah sucimurni Buddha, tempat semua keadaan mendukung untuk laku Kalacakra. Meskipun mungkin ada sebuah tempat nyata di bumi yang bisa mewakilikinya, Yang Mulia Dalai Lama Keempat belas menjelaskan bahwa Shambhala sepenuhnya ada sebagai sebuah wilayah batin. Meskipun naskah kuno menggambarkan adanya perjalanan ragawi di sana, satu-satunya jalan untuk mencapainya adalah melalui laku meditasi Kalacakra secara tekun.
Tujuh generasi raja setelah Suchandra, pada 176 S.M., Raja Manjushri Yashas mengumpulkan para pemimpin agama Shambhala, terutama orang-orang bijak brahmana, dan memberi mereka ramalan dan peringatan. Delapan ratus tahun lagi, yakni 624 Masehi, sebuah agama nonIndia akan muncul di Mekah. Karena tiadanya persatuan di antara kaum brahmana dan kurangnya kepatuhan terhadap kitab Weda, banyak orang akan menerima agama ini, jauh di masa depan, ketika para pemimpinnya mengancam melakukan serbuan. Untuk mencegah bahaya ini, Manjushri Yashas mempersatukan warga Shambhala ke dalam satu “kasta vajra” dengan memberi mereka pemberdayaan Kalacakra. Dengan tindakan ini, sang raja menjadi Kalki―Pemimpin Kasta―Pertama. Ia lalu menyusun Ringkasan Tantra Kalacakra, versi Tantra Kalacakra yang bertahan hingga saat ini. Penyerbu NonIndia Mengingat Islam berdiri pada 622 S.M., dua tahun sebelum ramalan Kalacakra, sebagian besar cendekiawan menganggap bahwa agama nonIndia itu adalah Islam. Gambaran di Kalacakra tentang agama itu sebagai agama yang mewajibkan penyembelihan ternak sambil mengucapkan nama Tuhan, sunat, perempuan berjilbab, dan berdoa menghadap tanah suci lima kali sehari memperkuat kesimpulan mereka. Istilah Sanskerta untuk nonIndia di sini adalah mleccha (Tib. lalo), artinya seseorang yang berbicara dalam bahasa nonSanskerta yang tak bisa dimengerti. Umat Hindu dan Buddha menggunakan istilah itu untuk semua penyerbu asing yang menyerang India Utara, sejak orang Makedonia dan Yunani pada masa Aleksander
Agung. Istilah Sanskerta lain yang umum digunakan adalah tayi, yang berasal dari istilah Persia untuk orang Arab, yang digunakan misalnya untuk mengacu penyerbu Arab yang menyerang Iran pada pertengahan abad ke-7 Masehi. Sang Kalki Pertama lalu menjelaskan agama nonIndia di masa depan itu memiliki garis keturunan dari delapan guru agung: Adam, Nuh, Abraham, Musa, Yesus, Mani, Muhammad, dan Mahdi. Muhammad akan datang ke Baghdad di tanah Mekah. Uraian ini membantu mengenali para penyerbu di antara masyarakat Islam.
NabiMuhammad hidup antara 570 dan 632 Masehi di Arab. Namun, Baghdad baru dibangun pada 762 Masehi sebagai ibukota Khilafah Abbasiyyah Arab (750-1258 Masehi). Mani adalah orang Persia di abad ketiga yang mendirikan sebuah agama campuran, Manikheisme, yang seperti agama Iran sebelumnya yaitu agama Zarathustra, menekankan pada perjuangan antara kekuatan yang baik dan jahat. Di dalam Islam, Mani mungkin telah diterima sebagai seorang nabi – m eski tidak jelas apakah ia memang demikian – oleh ManikheismeIslam yang sesat yang ada di antara beberapa pejabat di mahkamah Abbasiyyah awal. Khalifah-khalifah Abbasiyyah dengan kejam menindas para pengikutnya. Para cendekiawan Buddha dari wilayah yang saat ini Afghanistan dan anak-benua India bekerja di Baghdad selama paruh kedua abad ke-8 Masehi, menerjemahkan naskahnaskah Sanskerta ke dalam bahasa Arab. Mahdi akan menjadi pemimpin masa depan (iman), sebagai keturunan NabiMuhammad, yang akan memimpin para umat menuju Yerusalem, mengembalikan hukum dan aturan sesuai Quran, dan menyatukan pengikut Islam dalam satu negara
politik sebelum tiba kiamat yang mengakhiri dunia. Ia adalah Ratu Adil di dalam Islam. Konsep mengenai Mahdi terkenal hanya selama masa Abbasiyyah awal, dengan tiga pernyataan bagi gelar itu: seorang khalifah, seorang pesaing di Mekah, dan seorang syahid, yang ditentang oleh para pemberontak antiAbbasiyyah. Namun, konsep lengkap tentang Mahdi sebagai seorang ratu adil baru muncul pada akhir abad ke-9 Masehi. Daftar nabi yang dibuat kaum Syiah Isma’ili sama dengan daftar yang ada di Kalacakra, hanya tidak ada Mani. Isma’ili adalah satu-satunya aliran Islam yang menyatakan Mahdi sebagai nabi. Syiah Isma’ili adalah aliran resmi Islam di Multan (saat ini bagian utara Sindh, Pakistan) selama paruh kedua abad ke-10. Multan adalah sekutu Kekaisaran Fatimiyyah Isma’ili yang berpusat di Mesir dan menantang Abbasiyyah untuk meraih kendali atas dunia Islam.
Berdasarkan bukti ini, kita bisa memiliki dugaan bahwa gambaran Kalacakra tentang penyerbu nonIndia didasarkan pada orang Ismaili dari Multan pada akhir abad ke-10 Masehi, yang bercampur dengan beberapa unsur Muslim Manikheisme di akhir abad ke-8. Penyusun gambaran ini kemungkinan besar adalah guru-guru Buddha yang hidup di bawah kekuasaan Shahi Hindu di Afganistan timur dan Oddiyana (Lembah Swat, yang masa kini merupakan Pakistan barat laut). Wihara-wihara Buddha di wilayah Kabul, Afghanistan, seperti Subahar, memiliki pola bangunan yang mirip dengan pola-pola mandala Kalacakra. Oddiyana adalah salah satu wilayah utama tempat tantra Buddha berkembang. Selain itu, Oddiyana memiliki hubungan dekat dengan Kashmir, tempat tantra Buddha dan HinduSiwa berkembang subur. Jalur ziarah Buddha utama menghubungkan dua wilayah itu. Oleh karena itu, kita harus melihat hubungan umat Buddha-Muslim di Afghanistan timur,
Oddiyana, dan Kashmir selama masa Abbasiyyah untuk memahami ajaran-ajarannya tentang sejarah dan perang suci. Ramalan tentang Perang Kiamat Sang Kalki Pertama itu lebih jauh meramalkan bahwa pengikut agama nonIndia tersebut suatu saat akan menguasai India. Dari ibukota mereka di Delhi, raja mereka, Krinmati, akan berupaya menaklukkan Shambhala pada 2424 Masehi.Tafsiran terhadap ramalan ini menyatakan bahwa Krinmati akan diakui sebagai Mahdi sang ratu adil. Kalki Keduapuluh lima, Raudrachakrin, akan menyerbu India dan mengalahkan orang nonIndia itu dalam sebuah perang besar. Kemenangannya akan menandai berakhirnya kaliyuga―”masa perselisihan”, yakni masa ketika laku Dharma memburuk. Selanjutnya, akan muncul sebuah masa emas yang baru ketika ajaran-ajaran Buddha berkembang, terutama Kalacakra. Gagasan tentang sebuah perang antara kekuatan yang baik dan jahat, yang berakhir dengan pertempuran kiamat yang dipimpin oleh ratu adil, muncul pertama kali dalam agama Zarathustra, yang dibentuk pada abad ke-6 S.M., beberapa dasawarsa sebelum Buddha lahir. Gagasan ini masuk ke dalam agama Yahudi antara abad kedua S.M. dan abad kedua Masehi. Kemudian, gagasan ini memasuki ajaran Kristen awal dan Manikheisme, lalu ke dalam Islam. Variasi dari topik kiamat ini juga muncul dalam agama Hindu, dalam Purana Wisnu, pada abad ke-4 Masehi. Naskah ini menyatakan bahwa di akhir kaliyuga, Wisnu akan muncul dalam penjelmaan terakhirnya sebagaiKalki, lahir di Desa Shambhala
sebagai anak laki-laki Wisnu Yashasyang brahmana. Ia akan mengalahkan orang-orang nonIndia pada masa itu yang mengikuti jalan merusak dan akan membangkitkan kembali cita orang-orang. Selanjutnya, untuk menyesuaikan dengan konsep India tentang putaran waktu, sebuah abad keemasan baru akan mengikuti, alihalih penghakiman terakhir dan akhir dunia seperti yang dinyatakan versi-versi nonIndia tentang topik itu. Sulit untuk menentukan apakah catatan Purana Wisnuberasal dari pengaruh asing dan disesuaikan ke dalam pola pikir India, atau ia muncul secara mandiri. Untuk mempertahankan cara mengajar Buddha yang cakap berkenaan dengan istilah dan konsep yang mudah diterima khalayaknya, Tantra Kalacakra juga menggunakan nama-nama dan gambar-gambar dari Purana Wisnu. Bagaimanapun juga, khalayaknya terutama adalah kaum brahmana yang terdidik. Nama-nama yang disebutkan tidak hanya Shambhala, Kalki, kaliyuga, dan variasi dari Wisnu Yashas, Manjushri Yashas, tapi juga istilah mleccha yang sama untuk orang nonIndia yang berperilaku merusak. Namun, dalam versi Kalacakra, perang suci memiliki makna simbolis. Makna Simbolis dari Perang Suci Dalam Ringkasan Tantra Kalacakra, Manjushri Yashas menjelaskan bahwa pertempuran melawan orang nonIndia dari Mekah bukanlah perang sesungguhnya, karena perang sejati itu terjadi di dalam raga. Pengamat Gelug pada abad ke-15, Kedrub Je, mengulas bahwa kata-kata Manjushri Yashas tidak mendukung usaha nyata untuk membunuh pengikut agama nonIndia. Tujuan Kalki Pertama menggambarkan perincian perang itu adalah
memberikan perumpamaan bagi pertempuran batin berupa kesadaran sukacita mendalam tentang kehampaan melawan ketidaksadaran dan perilaku yang merusak. Manjushri Yashas secara jelas menguraikan simbol-simbol yang tersembunyi. Raudrachakrin melambangkan ”vajra-cita”, yakni cita bercahaya jenih paling halus. Shambhala melambangkan keadaan sukacita agung tempat “vajra-cita” berdiam. Menjadi seorang Kalki berarti bahwa cita-vajra telah memiliki tingkat kesadaran mendalam yang sempurna, yakni kehampaan dan sukacita yang muncul secara bersamaan. Dua jenderal Raudrachakrin, Rudra dan Hanuman, mewakili dua jenis kesadaran mendalam, yakni pratyekabuddha dan shravaka. Dua belas dewa Hindu yang membantu memenangkan perang melambangkan penghentian dua belas tautan kemunculan yang bertalian dan dua belas giliran harian napas karma. Tautan dan giliran itu menggambarkan cara kerja samsara yang terus-menerus berlangsung. Empat pembagian pasukan Raudrachakrin melambangkan tingkat-tingkat termurni empat sikap yang tak bisa diukur dari cinta, welas asih, sukacita, dan kesetaraan. Kekuatan-kekuatan nonIndia yang dikalahkan oleh Raudrachakrin dan pasukannya melambangkan cita dari kekuatan karma negatif. Kuda yang ditungganggi Mahdi melambangkan ketidaksadaran akan perilaku sebab dan akibat serta akan kehampaan. Pembagian pasukan menjadi empat melambangkan kebencian, kedengkian, dendam dan prasangka buruk, yang merupakan lawan dari pasukan militer Shambhala.Kemenangan Raudrachakrin melambangkan pencapaian jalan menuju pembebasan dan pencerahan.
Cara Pembelajaran Buddha Meskipun ada pernyataan bahwa tidak ada seruan untuk melakukan perang suci yang nyata, pesan tersirat di sini bahwa Islam adalah agama yang kejam, yang memiliki kebencian, kedengkian, dan perilaku merusak, bisa mudah digunakan sebagai bukti pendukung bahwa agama Buddha itu anti-Islam. Meskipun sebagian umat Buddha di masa lalu mungkin sungguh memiliki prasangka ini dan sebagian umat Buddha masa kini juga memegang pandangan picik, seseorang bisa menarik suatu kesimpulan berbeda berdasarkan salah satu cara pembelajaran Buddha Mahayana. Sebagai contoh, naskah-naskah Mahayana memaparkan pandangan-pandangan tertentu yang menilai Buddha Hinayana sebagai aliran mementingkan diri sendiri yang mengupayakan pembebasan diri sendiri saja tanpa ingin membantu orang lain. Bagaimanapun juga, tujuan resmi pelaku Hinayana adalah pembebasan diri, bukan pencerahan demi manfaat setiap orang. Meskipun gambaran tentang Hinayana seperti itu mengarah pada prasangka, kajian pendidikan yang berimbang dari aliran-aliran Hinayana, seperti Theravada, mengungkap peran besar dari meditasi mengenai cinta dan welas asih. Seseorang mungkin menyimpulkan bahwa Mahayana semata tidak peduli terhadap ajaran Hinayana. Atau, seseorang mungkin menganggap bahwa di sini Mahayana menggunakan cara dalam penalaran Buddha berupamengambil pandangan sampai ke kesimpulan yang paling absurd untuk membantu orang-orang menghindari pikiran ekstrem. Tujuan dari cara prasangikaini adalah mengingatkan pelaku supaya menghindari mementingkan diri sendiri secara ekstrem.
Hal yang sama berlaku untuk pemaparan Mahayana tentang enam aliran Hindu kuno dan filsafat Jain. Itu juga berlaku untuk pemaparan tiap aliran Buddha Tibet mengenai pandangan aliran lainnya dan pandangan aliran Bon Tibet pribumi. Tak satu pun dari pemaparan ini memberikan gambaran yang tepat. Masing-masing membesar-besarkan dan mengubah sifat yang lain dalam rangka menggambarkan pokok-pokok tertentu. Hal yang sama juga terjadi dalam pernyataan-pernyataan Kalacakara tentang kekejaman Islam dan ancaman yang dimilikinya.Meskipun para guru Buddha mungkin berpendapat bahwa cara prasangika di sini yang menggunakan Islam untuk menggambarkan sebuah bahaya batin adalah cara yang cakap, seseorang juga bisa berpendapat bahwa cara ini tidak bersifat diplomatis, terutama di zaman modern. Bagaimanapun, penggunaan Islam untuk menggambarkan ancaman pasukan-pasukan yang merusak bisa dipahami jika ini dilihat dalam latar masa awal Abbasiyyah di wilayah Kabul, Afghanistan timur. Hubungan Buddha-Islam selama Masa Abbasiyyah Di awal masa ini, Abbasiyyah menguasai Baktria(Afghanistan utara), tempat mereka mengizinkan umat Buddha, Hindu, dan Zarathustra setempat memeluk agama mereka jika mereka membayar pajak penduduk. Namun, banyak di antara mereka secara sukarela menerima Islam, terutama para pemilik tanah dan masyarakat kota tingkat atas yang berpendidikan. Budaya Islam yang tinggi lebih sesuai daripada budaya mereka sendiri dan mereka bisaterbebaskan dari kewajiban membayar pajak yang tinggi. Orang Shahi Turki, yang bersekutu dengan orang Tibet, menguasai Kabul, tempat agama Buddha dan Hindu tumbuh
subur. Penguasa yang beragama Buddha dan pemimpin rohani Buddha mungkin mudah untuk khawatir bahwa hal serupa, yakni perpindahan agama karena alasan kenyamanan, akan terjadi di sana. Orang Shahi Turki menguasai wilayah itu hingga 870 Masehi, dengan kehilangan kendali atasnya hanya di antara tahun 815 dan 819. Selama empat tahun itu, Khalifah Abbasiyyah al-Mamun menyerbu Kabul dan memaksa shah yang berkuasa menyerah kepadanya dan memeluk Islam. Sebagai lambang penyerahan dirinya, Shah di Kabul itu mempersembahkan kepada Sang Khalifah, sebagai hadiah, sebuah patung emas Buddha dari Wihara Subahar. Sebagai tanda kejayaan Islam, Khalifah alMamun mengirimkan patung sangat besar itu, dengan singgasana perak dan mahkota berliannya, ke Mekah dan memajangnya di Kabah selama dua tahun. Dengan melakukan ini, Sang Khalifah menunjukkan kekuasaannya dalam memimpin keseluruhan dunia Islam setelah mengalahkan saudara laki-lakinya dalam sebuah perang saudara.Bagaimanapun, ia tidak memaksa seluruh umat Buddha di Kabul untuk pindah agama, ataupun memusnahkan wihara-wihara. Ia bahkan tidak menghancurkan, karena dianggap sebagai berhala, patung Buddha yang ia terima dari Shah dari Kabul, tapi mengirimkannya ke Mekah sebagai barang rampasan. Setelah pasukan Abbasiyyah undur diri karena memerangi gerakan otonomi di banyak bagian lain dari kekaisaran, wiharawihara Buddha dengan cepat berdiri kembali. Masa berikutnya saat wilayah Kabul berada di bawah kekuasaan Islam juga berlangsung singkat, antara 870 dan 879 Masehi. Wilayah ini ditaklukkan oleh para penguasa Saffariyyah yang memperjuangkan sebuah negara militer yang otonom, yang
dikenal dengan kekejamannya dan penghancurannya terhadap budaya setempat. Para penakluk ini mengirimkan kembali banyak “berhala” Buddha ke Sang Khalifah Abbasiyyah sebagai hadiah perang. Ketika penerus Shahi Turki, yakni Shahi Hindu, mengambil kembali wilayah ini, agama Buddha dan wihara-wihara sekali lagi memperoleh kejayaannya. Kaum Ghaznawiyyah Turki menaklukkan Afghanistan Turki dari Shahi Hindu pada 976 Masehi, tapi tidak menghancurkan wiharawihara Buddha di sana. Sebagai negara bawahan Abbasiyyah, kaum Ghaznawiyyah juga pengikut yang kaku dari Islam Sunni. Meskipun mereka memberikan ruang bagi agama Buddha dan Hindu di Afghanistan timur, penguasa keduanya, Mahmud dari Ghazni, melancarkan serangan terhadap musuh Abbasiyyah, negara Isma’ili Multan. Mahmud menaklukkan Multan pada 1008 Masehi, mengusir orang Shahi Hindu dari Gandhara dan Oddiyana di dalam prosesnya. Orang Shahi Hindu telah bersekutu dengan Multan. Setiap kali Mahmud menaklukkan, ia merampas harta kekayaan dari candi Hindu dan wihara Buddha, serta membangun kekuasaan. Setelah kemenangan di Multan ini, dan tentu saja didorong oleh keserakahan akan lebih banyak tanah dan kekayaan, Mahmud menyerbu lebih jauh ke arah timur. Ia menaklukkan wilayah yang saat ini Punjab, India, yang saat itu dikenal sebagai “Delhi”. Namun, ketika pasukan Ghaznawiyyah bergerak ke arah utara dari Delhi ke kaki bukit Kashmir, mengejar pelarian orang Shahi Hindu pada 1015 atau 1021, bergantung pada sumber yang kita pakai, mereka mengalami kekalahan, diduga akibat mantra-mantra. Ini adalah serangan pertama ke Kashmir oleh pasukan Muslim. Penggambaran Kalacakra tentang serbuan dan penaklukan di
masa depan yang dilakukan pasukan nonIndia di Delhi, oleh karena itu, kemungkinan besar adalah campuran dari ancaman orang Multan terhadap Abbasiyyah dan Ghaznawiyyah dan ancaman orang Ghaznawiyyah terhadap Kashmir. Hubungan antara Ramalan dan Sejarah Ramalan-ramalan Kalki Pertama jelas cocok dengan waktu-waktu di atas, tapi ramalan itu mengubah peristiwa-peristiwa yang ada untuk menyampaikan ajaran-ajarannya. Namun, kita perlu mengingat pernyataan dari seorang pengamat dari Sakya, Buton, pada abad ke-13 tentang pemaparan Kalacakra mengenai sejarah, “Mengulas secara teliti peristiwa-peristiwa di masa lalu itu sia-sia.” Bagaimanapun, Kedrub Je menjelaskan bahwa perang yang telah diramalkan antara Shambhala dan pasukan-pasukan nonIndia bukanlah semata sebuah perumpamaan tanpa acuan terhadap kenyataan sejarah di masa depan. Bila seperti itu, maka ketika Tantra Kalacakra menerapkan perbandingan dalam untuk planetplanet dan bintang-bintang, kesimpulan yang absurd akan berbunyi bahwa raga surgawi hanya ada sebagai perumpamaan dan tidak memiliki acuan luar. Bagaimanapun, Kedrub Je juga memperingatkan supaya tidak mengambil secara harfiah ramalan tambahan Kalacakra bahwa agama nonIndia akhirnya akan menyebar ke seluruh duabelas benua dan ajaran Raudrachakrin akan mengatasinya di sana juga. Ramalan ini tidak mengacu pada orang-orang nonIndia yang digambarkan sebelumnya, atau keyakinan maupun laku keagamaan mereka. Namamleccha di sini semata mengacu pada kekuatan dan keyakinan bukan Dharma yang bertentangan dengan ajaran Buddha.
Oleh karena itu, ramalannya adalah bahwa kekuatan-kekuatan merusak yang bertentangan dengan laku batin―dan tidak secara khusus pada pasukan Muslim saja―akan menyerang di masa depan, dan “perang suci” luar melawan mereka perlu dilakukan. Pesan yang tersirat adalah, jika cara-cara damai gagal dan seseorang harus melakukan perang suci, perjuangan itu harus selalu berdasarkan pada asas-asas Buddha akan welas asih dan kesadaran mendalam akan kenyataan. Ini benar meskipun pada kenyataan panduan ini sangat sulit diikuti ketika melatih tentara yang bukan bodhisattwa. Bagaimanapun, bila perang suci itu didorong oleh asas-asas yang dimiliki orang nonIndia berupa kebencian, kedengkian, dendam, dan prasangka buruk, generasi di masa mendatang tidak akan melihat perbedaan antara jalan yang ditempuh nenek moyang mereka dan orang-orang nonIndia. Akibatnya, mereka akan secara mudah menerapkan jalan nonIndia. Konsep Islam tentang Jihad Apakah salah satu jalan penyerbu itu sesuai dengan pola pikir Islam tentang jihad? Bila demikian, apakah Kalacakra menggambarkan jihad secara tepat, atau Kalacakra menggunakan serbuan orang nonIndia ke Shambhala semata untuk melambangkan sebuah ekstrem yang perlu dihindari? Untuk mencegah kesalahpahaman lintas-agama, kita perlu menyelidiki pertanyaan-pertanyaan ini. Kata Arab jihad berarti sebuah perjuangan yang seseorang perlu menanggung duka dan kesulitan, seperti rasa lapar dan dahaga selama Ramadha, bulan suci puasa. Mereka yang melibatkan diri dalam perjuangan ini adalah mujahidin. Seseorang diingatkan
akan ajaran Buddha mengenai kesabaran bagi bodhisattwa untuk menanggung segala kesulitan dalam mengikuti jalan pencerahan. Menurut aliran Sunni Islam, ada lima jenis jihad: 1. Jihad militer, sebuah usaha mempertahankan diri melawan penyerang yang berusaha merusak Islam. Ini bukanlah serangan ke luar yang berupaya mengubah orang lain pindah agama menjadi Muslim melalui paksaan. 2. Jihad melalui berbagai sumber daya yang melibatkan pemberian dukungan keuangan dan benda-benda kepada orang yang miskin dan membutuhkan. 3. Jihad melalui pekerjaan, yang berarti secara jujur bekerja untuk menyokong diri sendiri dan keluarganya. 4. Jihad melalui belajar, yakni untuk memperoleh pengetahuan. 5. Jihad melawan diri sendiri, yakni perjuangan batin untuk mengatasi keinginan dan pikiran yang bertentangan dengan ajaran Islam. Aliran Syiah menekankan jenis jihad yang pertama, menganggap serangan terhadap negara Islam sama dengan serangan terhadap keyakinan Islam. Banyak orang Syiah juga menerima jenis yang kelima, jihad yang bersifat batin. Kesamaan antara Ajaran Buddhadan Islam Pemaparan Kalacakra tentang perang Shambhala yang bersifat mitos dan pemaparan Islam tentang jihad menunjukkan kesamaan yang layak diperhatikan. Perang suci dalam Buddha maupun Islam adalah taktik bertahan untuk menghentikan serangan pasukan musuh dari luar, dan bukan merupakan usaha menyerang ke luar
untuk membuat orang pindah agama. Keduanya memiliki tingkat makna batin, yakni pertempuran melawan pemikiran negatif dan perasaan yang merusak. Keduanya perlu dilakukan berdasarkan asas etika, bukan prasangka dan kebencian. Sehingga, dalam memaparkan serbuan pasukan nonIndia ke Shambhala yang sepenuhnya negatif, kepustakaan Kalacakra sesungguhnya menghadirkan secara keliru konsep jihad dalam cara prasangika dengan membawanya ke pemikiran ekstrem untuk menggambarkan sebuah pandangan yang perlu dihindari. Selain itu, sebagaimana banyak pemimpin yang telah menyelewengkan dan memanfaatkan konsep jihad demi kekuasaaan dan pencapaian, hal sama juga berlaku untuk Shambhala dan ulasannya tentang perang melawan pasukan asing. Agvan Dorjiev, mendiang guru-asisten Dalai Lama Ketigabelas yang berasal dari Buryat Mongol, menyatakan di akhir abad ke-19 bahwa Rusia adalah Shambhala dan Kaisar Rusia adalah seorang Kalki. Dalam cara ini, ia berupaya meyakinkan Dalai Lama Ketigabelas untuk bergabung dengan Rusia melawan orang Inggris “mleccha” dalam perjuangan menguasai Asia Tengah. Orang Mongol secara turun-temurun telah menganggap Raja Suchandra dari Shambhala dan Jenghis Khan sebagai penjelmaan Vajrapani. Oleh karena itu, berperang demi Shambhala adalah berperang demi keagungan Jenghis Khan dan Mongolia. Sehingga, Sukhe Batur – pemimpin Revolusi Komunis Mongolia 1921 yang melawan kekuasaan kejam kaum Rusia Putih dan Baron von Ungern-Sternberg yang didukung Jepang – m engilhami pasukannya dengan tulisan Kalacakra tentang perang itu untuk mengakhiri kaliyuga. Ia menjanjikan mereka kelahiran kembali
sebagai pejuang-pejuang Raja Shambhala, meskipun tidak ada landasan untuk ini di dalam perpustakaanKalacakra. Selama pendudukan Jepang di Mongolia pada 1930-an, para panglima Jepang, kemudian, berusaha mendapatkan kesetiaan dan dukungan militer Mongolia melalui propaganda bahwa Jepang adalah Shambhala. Kesimpulan Sebagaimana para pengecam ajaran Buddha bisa berpusat pada penyalahgunaan tingkat luar dari pertempuran batin Kalacakra dan mengabaikan tingkat dalam, dan ini tidak adil bagi ajaran Buddha secara keseluruhan; hal sama juga berlaku bagi pengecam antiMuslim yang membicarakan jihad. Nasihat di dalam tantra Buddha mengenai guru rohani mungkin bisa berguna di sini. Hampir setiap guru rohani memiliki campuran antara sifat-sifat baik dan kekurangan-kekurangan. Meskipun seorang murid tidak boleh mengingkari sifat negatif seorang guru, terlalu memikirkan sifatsifat itu hanya akan menyebabkan kemarahan dan depresi. Bila, alih-alih, seorang murid berpusat pada sifat-sifat positif gurunya, ia akan memperoleh ilham dalam mengikuti jalur rohani. Hal sama bisa dikatakan mengenai ajaran Buddha dan Islam tentang perang suci. Kedua agama ini telah menyaksikan penyalahgunaan seruan untuk perang suci di tingkat luar ketika ada kekuatan merusak yang mengancam laku agama. Tanpa mengingkari ataupun membela penyalahgunaan itu, seseorang bisa memperoleh ilham dengan memusatkan perhatian pada manfaat dari perang suci di tingkat dalam di dalam keyakinan Buddha dan Islam.
Keadaan-Keadaan Agama Buddha dan Islam di Cina, 1996 Keadaan Umum Agama di Cina Keadaan yang memburuk telah merudung agama di Republik Rakyat Cina selama dua tahun terakhir sejak 1994. Pada umumnya, terdapat lebih banyak pembatasan dari sebelumnya. Kegiatan-kegiatan dan kuliah-kuliah keagamaan dengan ketat dibatasi di dalam kuil, mesjid, gereja, dan sekolah-sekolah agama saja dan pelarangan kuliah-kuliah terbuka maupun tertutup di tempat lain diberlakukan dengan tegas. Hanyaqigong , sejenis gerak badan dan penanganan tenaga dengan gaya seni beladiri, yang diizinkan untuk menyelenggarakan pengajaran umum. Qigong menjadi begitu tersohor, tanda bahwa ada rasa rindu luar biasa terhadap kebudayaan kuno dan kerohanian. Agama Buddha Tibet Agama Buddha menghadapi kesukaran terbesar dibanding semua agama lain. Di dalam agama Buddha itu sendiri, aliran Buddha Tibet, terutama yang dipraktikkan di Daerah Otonomi Tibet, lah yang mengalami kesulitan terparah. Jumlah biksu dan biksuni di wihara-wihara Tibet dibatasi dengan ketat, diciutkan sampai ke jumlah yang diperbolehkan secara resmi dan semua anggota wihara selebihnya – yang besar jumlahnya dua tahun yang lalu – telah dikeluarkan. Hal ini diberlakukan dengan sikap yang lebih lunak di Amdo (Qinghai) daripada di Daerah Otonomi Tibet. Dua perguruan Buddha resmi untuk aliran Tibet – di Beijing dan Labrang (Gansu) – yang tersisa dari lima keseluruhan yang didirikan oleh mendiang Panchen Lama (1938 – 1989) terpaksa harus meningkatkan pokok kinerja mereka pada pengajaran doktrin komunis.
Para kepala dan pemimpin wihara-wihara besar Tibet ada di Perguruan Buddha Tibet di Beijing pada musim panas 1996, dipanggil untuk belajar secara mendalam selama tiga bulan perihal indoktrinasi politik. Mereka diwajibkan untuk secara terbuka menyatakan memilih ikut Dalai Lama atau komunisme, “pemisahan” atau “menjunjung kesatuan tanah air jaya”. Di Tibet, para biksu dan biksuni tidak hanya harus melakukan hal yang sama, tapi juga dipaksa menginjak gambar Dalai Lama yang dikumpulkan oleh polisi dan tentara. Agama Buddha Cina Han Umat Buddha Cina Han tidak menghadapi penindasan separah yang dialami umat Tibet. Kegiatan mereka juga terbatas hanya pada kuil-kuil yang dibuka untuk ibadah. Dari 600 kuil dan wihara Cina Han di Beijing, hanya tiga yang masuk pada kelompok ini, ditambah satu kuil Tibet/Mongol. Sisanya adalah museum. Pada hari festival tahunan Guanyin (Avalokiteshvara) tahun ini, lebih dari dua ribu orang mengunjungi kuil Buddha utama di Beijing, Guangqi Si, tempat Persatuan Umat Buddha Cina berkedudukan. Akan tetapi, biasanya sekitar seratus orang datang pada beberapa hari khusus dalam kalender keagamaan di setiap bulan candra untuk membuat sesembahan dupa, dan pada hari-hari lain pengunjungnya bisa dihitung jari. Jumlah biksu pada kuil/wihara ini dibatas tiga puluh saja. Walaupun mereka melaksanakan upacara dua kali sehari selama satu jam, di waktu sisanya mereka bekerja sebagai penjaga. Tidak ada pelajaran karena tidak ada guru. Para biksu mencoba belajar sendiri. Sebelum guru mereka meninggal pada 1988, mereka belajar dan latihan meditasi bersama. Kini, mereka telah menghentikan latihan yang biasa mereka lakukan dan hanya beberapa saja yang lanjut berlatih di kamar masingmasing. Ada satu guru meditasi yang sudah tua yang kadang-
kadang mengunjungi mereka, tapi ia juga harus melayani sekitar dua puluh kuil/wihara serupa di sekeliling Cina. Sekitar delapan biksu Cina tiap tahun diizinkan untuk belajar ke luar negeri, sebagian besar di Sri Lanka. Di sana bentuk ajaran Buddha-nya berbeda sama sekali dengan aliran Cina. Walaupun ada minat besar terhadap ajaran Buddha di antara rakyat Cina Han, pemerintah tidak mengizinkan diadakannya pengajaran agama Buddha di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi. Pemerintah juga tidak mengizinkan dibangunnya kuil-kuil Cina baru dan perbaikan kuil-kuil yang lama sengaja diperlambat. Alasan resmi yang dikeluarkan pemerintah atas tindakan ini adalah bahwa terlalu banyak uang digelapkan oleh orang-orang yang mengumpulkan dana untuk pembangunan kuil-kuil tersebut. Sekolah negeri Buddha Cina di Beijing terletak di kuil/wihara Fayun Si. Ini adalah satu dari lima perguruan serupa yang diatur pemerintah sebagai tempat melatih para biksu aliran Cina Han. Empat yang lain ada di Shanghai, Nanjing, Jiuhua di Anhui, dan Mingnan di Fujian. Agama Buddha Han terkuat di Shanghai dan khususnya Fujian, yang merupakan wilayah paling giat. Terdapat delapan puluh biksu di perguruan tersebut di Beijing yang menjalani pendidikan empat-tahun. Empat perguruan yang lain memiliki jumlah yang serupa dan ada pula beberapa sekolah pelatihan yang lebih kecil di kota-kota lain. Hampir seluruh pelatihan dimaksudkan untuk indoktrinasi politik. Masyarakat Awam Buddha Beijing memiliki dua guru Cina Han yang usianya sudah kepala tujuh, yang mengikuti dan utamanya mengajarkan aliran Tibet. Persatuan tersebut memiliki sekitar 1200 anggota. Mereka hanya memiliki prasarana yang kecil dan sudah usang dan walaupun mereka telah mengumpulkan cukup banyak
sumbangan untuk membangun gedung yang layak di atas tanah mereka, pemerintah tidak akan memberi. Pemerintah Cina telah membangun sebuah kuil di Lumbini, Nepal, tempat lahir sang Buddha. Tahun ini, untuk pertama kalinya, pemerintah mengizinkan umat Buddha Cina untuk melakukan ziarah di Nepal dan India untuk pembukaan kuil ini. Jumlahnya dibatasi delapan puluh dan hanya bagi biksu saja. Dari delapan puluh ini, sepuluh di antaranya berasal dari aliran Tibet-Mongolia dan yang lain dari wihara-wihara Cina Han. Sepuluh bisku dari aliran Tibet-Mongolia dilarang untuk melanjutkan ziarah ke India, karena pemerintah waswas mereka akan berhubungan dengan Yang Mulia Dalai Lama. Ongkosnya $3000 untuk dua minggu – jauh di atas jangkauan sebagian besar orang. Islam Keadaan Islam sepenuhnya berbeda. Walaupun penduduk Muslim di Cina, termasuk orang Uighur dan Hui, kira-kira berjumlah dua puluh juta, mereka memiliki sembilan perguruan besar, yang masing-masing menampung lebih dari seratus siswa. Di Beijing bukan cuma ada satu dari sembilan Perguruan Islam Cina ini saja, tapi terdapat pula markas Persatuan Islam Cina. Berbeda mencolok dengan prasarana bagi umat Buddha, gedung yang sama-sama ditempati oleh perguruan dan persatuan Islam di Beijing ini luas dan dilengkapi dengan baik. Dibangun pada pertengahan 1950an, gedung tersebut baru-baru ini dipugar. Pembangunan dan pemugarannya sebagian dibiayai oleh negara. Perguruan di Yinchuan, ibukota Daerah Otonomi Ningxia milik rakyat Hui, merupakan yang terbesar. Didanai oleh Arab Saudi, gedungnya megah. Beda dengan umat Buddha, lebih dari lima puluh siswa Muslim Cina belajar ke luar negeri tiap tahunnya.
Mereka dikirim ke Mesir, Arab Saudi, Pakistan, Libya, dan Malaysia. Ada 42.000 mesjid di Cina dan, tidak seperti kuil-kuil Buddha, semuanya terbuka untuk ibadah dan tak satu pun yang jadi museum belaka. Tiap mesjid memiliki imam yang menyelenggarakan pelajaran agama Islam bagi orang awam. Jumlah umat Muslim terdidik yang selamat dari Revolusi Kebudayaan lebih banyak dari umat Buddha. Tahun ini, 6000 Muslim Cina berangkat naik haji ke Mekah, dan pemberangkatan ini telah diizinkan sejak berakhirnya Revolusi Kebudayaan. Ongkosnya $2500 selama empat puluh hari. Pemerintah Cina telah mencap Dalai Lama sebagai musuh masyarakat nomor satu, karena mereka melihat bahwa Dalai Lama ada dibelakang semua gerakan “pemisahan”. Memburuknya keadaan bagi agama Buddha Tibet harus dipahami dalam kerangka memburuknya dukungan terhadap Yang Mulia. Selain itu, pemegang tampuk kekuasaan secara umum takut terhadap agama Buddha. Orang-orang Muslim tidak giat menjala umat baru di Cina, jadi mereka bukan merupakan ancaman bagi orang Cina Han, yang berjumlah sembilan puluh dua persen dari keseluruhan penduduk. Akan tetapi, karena sebagian besar orang Han, sampai pada tataran tertentu, berkaitan dengan agama Buddha, maka agama tersebut tampak bagai ancaman langsung terhadap komunisme dan usaha negara untuk memenangkan kepatuhan dan kesetiaan utama rakyat.
Hubungan antara Muslim Hui, Orang Tibet, dan Uighur Dr. Alexander Berzin Orang Uighur Dua kaum minoritas Islam utama di Republik Rakyat Cina adalah masyarakat Uighur dan Hui. Keduanya mengikuti Islam aliran Sunna, yang dipadu dengan beberapa aliran Sufi Asia Tengah. Orang Uighur merupakan sebuah suku-bangsa Turki yang aslinya datang dari daerah Gunung Altai, di utara Mongolia sebelah barat. Setelah memerintah Mongolia dari awal abad ke-8 sampai pertengahan abad ke-9 M, mereka pindah ke Turkistan Timur (Cin. Xinjiang ). Sejak itu mereka telah menjadi kelompok kesukuan yang terbesar di daerah itu dan mereka berbicara dalam bahasa Turki mereka sendiri. Akan tetapi, orang Uighur bukanlah masyarakat bersatu. Seperti di masa lampau, pengenal mereka utamanya adalah kota-kota oase yang mereka tempati. Istilah “Uighur” yang digunakan untuk mengacu pada mereka sebetulnya baru digunakan sejak akhir abad ke-19 untuk mempersatukan perlawanan mereka terhadap Wangsa Qing Manchu. Secara keseluruhan, masyarakat Uighur merupakan orang-orang berperangai lemah lembut dan santai yang, seperti orang Tibet, tidak memiliki adab kerja Protestan. Mereka tidak melihat kerja sebagai suatu kebajikan sendiri dan mereka juga menghargai kenikmatan hidup. Tingkat pengetahuan dan laku Islam mereka terbilang rendah, dan gaya mesjid-mesjid dan adat-istiadat mereka Asia Tengah. Orang-orang yang tinggal di bagian tengah dan utara Xinjiang sekarang telah mengalami pen-Cina-an yang cukup kuat. Rata-rata, hanya orang-orang lanjut usia saja yang pergi ibadah ke
mesjid-masjid, yang keadaannya tak terawat baik. Islam lebih kuat di antara orang Uighur di Xinjiang sebelah selatan tempat sejumlah kecil orang Han juga tinggal. Ibadah Islam di sana lebih tradisional dibanding di daerah yang mutlak ditinggali oleh orang Hui saja. Orang Hui Orang Hui berasal dari suku-suku bangsa yang beragam, utamanya Arab, Persia, Asia Tengah, dan Mongol. Mereka tinggal di seluruh wilayah Cina. Mereka aslinya datang sebagai pedagang dan prajurit wajib-militer. Gelombang kedatangan mereka dimulai sejak pertengahan abad ke-7. Pada pertengahan abad ke-14, mereka dipaksa untuk kawin-campur dengan orang Cina Han. Alhasil, mereka berbahasa Cina dan adat-istiadat dan mesjidmesjid mereka semuanya bergaya Cina. Kaum minoritas Muslim Cina lainnya secara turun-temurun mengecam penyesuaian laku Islam yang dilakukan orang Hui dengan cara hidup orang Han. Secara umum, orang Hui tidak memiliki sikap santai gaya Asia Timur Tengah/Asia Tengah terhadap hidup. Dalam hal cita-cita yang berapi-api terhadap perdagangan dan uang, mereka sama dengan orang Cina. Seperti orang Tibet, mereka menenteng dan gesit sekali dalam memainkan pisau. Mereka terbagi ke dalam dua kelompok besar. Orang Hui Barat tinggal di Ningxia, Gansu sebelah selatan, dan Qinghai sebelah timur, yang berbatasan dengan Amdo (Tibet sebelah timur laut); sementara Orang Hui Timur menyebar ke seluruh Cina sebelah utara dan Mongolia Dalam sebelah timur.
Orang Hui Barat Di antara Orang Hui Barat, Islam secara nisbi kuat dalam perannya sebagai daya pemersatu dan agama ini terus bertumbuh. Baik tua maupun muda pergi ke mesjid-mesjid, yang berlaku sebagai sebuah tempat-temu untuk bertukar warta. Mesjid-mesjid ini jauh lebih mewah dan dijaga jauh lebih bersih dari mesjid-mesjid Uighur. Terlepas dari kehadiran perguruan-perguruan Islam di Lingxia, ibukota kebudayaan Hui, yang mengajarkan utamanya aliran-aliran Sufi kuno, bahkan dengan beberapa guru meditas, sebagian besar Orang Hui Barat hampir tidak memiliki pengetahuan yang dalam tentang Islam. Orang Hui Barat lebih kebal terhadap tekanan-tekanan pen-Cinaan dibanding orang Uighur, mungkin karena mereka sudah begitu ter-Cina-kan dan memang berbahasa Cina. Contohnya, hanya wanita-wanita Uighur yang tinggal di desa-desa terpencil di Xinjiang sebelah selatan yag memakai jilbab, sementara para wanita Hui Barat mengenakannya bahkan di kota-kota yang didominasi oleh orang Cina Han. Orang Hui Timur Orang Hui Barat lebih tradisional dibanding Orang Hui Timur. Meskipun kira-kira delapan puluh persen Orang Hui Timur, baik tua maupun muda, merupakan penganut Islam, hanya sedikit yang beribadah. Orang Hui Timur masih menyembelih hewan menurut aturan-aturan “halal” dan tidak makan daging babi. Akan tetapi, banyak yang merokok dan minum arak, tindakan yang berlawanan dengan ajaran Quran. Beberapa menjalankan puasa Ramadhan,
tapi hanya sebagian kecil pria saja yang disunat dan para wanitanya tidak mengenakan jilbab. Kedudukan Istimewa Orang Hui Orang Hui telah menikmati lebih banyak hak istimewa di Republik Rakyat Cina dibanding kaum minoritas non-Han lainnya, utamanya karena mereka bersikap luar biasa diplomatis dan mau bekerja sama. Karena kerjasama dan keikut-sertaan diplomatis dari Maoisme dan Islam, ditambah tekanan terhadap Cina dari negaranegara Timur Tengah untuk menghormati Islam sebagai ganjaran untuk hak-hak istimewa dalam perdagangan, mesjid-mesjid baru tetap bisa dibangun di Cina. Mesjid-mesjid ini utamanya dibangun oleh orang Hui, bukan Uighur. Perpindahan Penduduk Hui Selama berabad-abad, orang Hui telah menyebar dan bermukim di seluruh wilayah Cina, utamanya sebagai pedagang. Bahkan selama Wangsa Yuan Mongol, orang Muslim menemani utusan upeti Mongol ke Beijing dalam rangka menjalin perdagangan. Orang Muslim Uighur dan Tibet, bedanya, tetap terkungkung di tanah air mereka sendiri. Perbedaan ini mungkin karena orang Hui merupakan keturunan pedagang dan tentara bayaran, sementara baik orang Muslim Uighur maupun Tibet tiba di tempat tinggal mereka yang sekarang sebagai pengungsi yang terusir dari tanah air mereka di Mongolia (untuk orang Uighur) dan Kashmir (untuk orang Tibet). Oleh karena itu, perpindahan para pedagang Muslim kini ke Tibet Tengah bukanlah hal baru dalam sejarah Hui. Mereka tidak dipaksa untuk pindah ke Tibet oleh pemerintah Cina Han, tapi pindah atas itikad sendiri untuk tujuan-tujuan bisnis.
Sampai sekarang Orang Hui Barat tidak hanya pindah ke Tibet, tapi juga ke seluruh Gansu dan Xinjiang sebagai perintis pemukiman Cina Han. Mereka membuka rumah makan dan toko-toko di sepanjang jalan, dan segera setelah terdapat sejumlah kecil warga mereka di tempat-tempat manapun, mereka membangun sebuah mesjid; biasanya, alih-alih dibangun atas semangat keagamaan, mesjid didirikan sebagai sebuah tempat berkumpul khalayak untuk menjaga masyarakat mereka tetap bersama. Bukan hanya orang Tibet saja yang marah dengan perpindahan penduduk Hui ini; orang Uighur pun begitu. Walaupun tentara dan pejabat Cina Han telah memasuki daerah-daerah tersebut terlebih dahulu, para pedagang dan pengusaha Han, karena kurang memiliki semangat perintis seperti orang Hui, hanya mengikut jejak langkah mereka saja. Perbedaan antara Watak Orang Tibet dan Hui Banyak orang Tibet yang masih memiliki watak pengembara, dengan hasrat sengit mendamba kemerdekaan, khususnya kemerdekaan dalam bergerak/berpindah. Pada umumnya, mereka tidak menyukai pekerjaan rutin. Bahkan meskipun mereka mempunyai toko, banyak orang Tibet yang membuka tokonya secara musiman, kerap menutupnya karena pergi libur, ziarah, dan wisata panjang. Bahkan di India, banyak orang Tibet yang secara musiman pindah ke kota-kota India untuk menjual baju hangat, kemudian berziarah, menghadiri pertemuan-pertemuan yang membahas wacana-wacana Buddha, dan hanya bekerja paruh tahunan saja. Sebaliknya, orang Hui, dan juga Han, hanya menaruh minat pada uang dan bisnis, dan mereka tetap siaga di toko-toko dan gerai kaki-lima mereka dari pukul 6 pagi sampai 10 malam sepanjang tahun tanpa pindah.
Orang Hui, karena terampil dan rajin, telah mengambilalih pembuatan dan penjualan barang-barang tradisional Tibet, dan orang Tibet tidak mampu, dan tampaknya bahkan tidak mau bersaing. Orang Hui membuat perhiasan gaya-Tibet, rosario, dan perlengkapan-perlengkapan keagamaan lainnya, peralatan untuk kuda, pisau, wol, permadani, alat musik, sepatu, dan mie, dan mereka juga membuka rumah makan di mana-mana. Para pedagang Han datang setelahnya dan sebagian besar menjual barang-barang modern buatan Cina seperti sikat gigi dan baju Cina murah. Gerakan-Gerakan Otonomi Tibet dan Uighur Orang Tibet dan Uighur melihat para pendatang Hui, lebih dari Han, sebagai ancaman yang lebih hebat bagi kebudayaan mereka. Karena orang Hui dan Uighur sama-sama Islam, itu membuktikan bahwa tegangannya tidak muncul atas dasar-dasar keagamaan, tapi dari persaingan ekonomi. Orang Cina Han tampaknya mengipas-ngipasi bara tegangan ini, sedemikian rupa untuk menggunakannya sebagai alasan pembenaran pendudukan militer dengan tujuan menjaga perdamaian untuk mencegah terjadinya hal seperti yang dialami di Bosnia. Oleh karena itu, gerakan-gerakan orang Tibet dan Uighur demi otonomi sejati atau bahkan kemerdekaan tidak ada kaitannya dengan fundamentalisme Buddha atau Islam. Gerakan tersebut mencuat dari keinginan untuk memelihara kebudayaan, agama, dan bahasa mereka dari limpahan dan peminggiran akibat kebijakan-kebijakan negara Republik Rakyat Cina dan akibat gelombang para pendatang Han dan Hui. Orang Hui, di lain pihak, tidak mengusung cita-cita yang sama, karena mereka memiliki
begitu banyak kesamaan dengan orang Cina Han dan tidak pernah menginginkan sebuah negara merdeka.