Sejarah Pergumulan Hukum Islam dan Budaya Miftahuddin Azmi Abstract: Historically speaking, islamic law and local culture and practices are not always contradictoru to each other. Local culture and practices are akcnowledged in formulating islamic law. The very origin of islamic teaching, for instance, also accommodate elements of pre-islamic teaching of Arab culture as well as Abrahamic religion as long as they are in line with univesalism islamic teaching. In the hstory of islamic law, Imam Al- Sha>fi’i> the eponym of Sha>fi’i> school of law is reportd to have two versions of legal opinion which were arguably because of different place (qaul qadim when he was in Baghdad dan qaul jadid when he was in Egypt). These phenomena suggest further the the accommodation of islam and local culture and practices. In Indonesian context, islamic practices should always accommodate aspects of local culture and practices which are not contradictory to islamic teaching. In Islamic law, specific mechanism has been devised to accommodate local culture and practices, such as the theory of ’urf and adat (custom). Kata kunci: Hukum Islam, budaya lokal dan hukum Islam di Indonesia
A. Pendahuluan Agama dan budaya merupakan dua unsur penting dalam masyarakat yang saling mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang berbudaya, akan terjadi tarik menarik antara kepentingan agama di satu sisi dengan kepentingan budaya di sisi lain. Demikian juga halnya dengan agama Islam yang diturunkan di tengah-tengah masyarakat Arab yang memiliki adat-istiadat dan tradisi secara turun-temurun, sehingga dakwah Islam selalu memperhatikan segi-segi budaya masyarakat Arab waktu itu. Proses adaptasi antara ajaran Islam (wahyu) dengan kondisi masyarakat dapat dilihat dengan banyaknya ayat yang memiliki asba>b al-nuzu>l, yang merupakan penjelasan kausalitas sebuah ajaran yang diintegrasikan dan ditetapkan berlakunya dalam lingkungan sosial masyarakat. Asba>b al-nuzu>l juga merupakan bukti adanya negosiasi antara teks al-Qur’an dengan
Penulis adalah pengajar di Majlis Ta’lim Hurin ‘In Jombang.
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
54
Sejarah Pergumulan Hukum Islam dan Budaya
konteks masyarakat sebagai sasaran atau tujuan wahyu. Sedangkan hubungan antara agama dengan kebudayaan merupakan sesuatu yang ambivalen. Agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya memiliki wilayah yang tumpang-tindih. Di sisi lain, kenyataan tersebut tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.1 Di sisi lain terdapat pendapat bahwa Islam tidak identik dengan Arab, sehingga tidak semua yang berbau Arab adalah Islam. Harus dibedakan antara Islam sebagai agama, dan Arab sebagai budaya. Di sinilah perlunya memilah antara mana yang merupakan ajaran dasar Islam dan mana yang telah berakulturasi dengan budaya Arab. Islam adalah agama universal sehingga ajarannya harus bisa diterapkan di manapun dan pada waktu kapan pun. Dewasa ini muncul berbagai fenomena menarik di masyarakat. Salah satunya adalah muncul gagasan untuk menjadikan syariah Islam sebagai dasar dan pegangan dibeberapa kawasan di Indonesia. Di provinsi Aceh misalnya, pemerintah secara devinitif memberlakukan syariah Islam. Pada dasarnya, pemberlakuan syariah Islam di Aceh bukanlah suatu proses yang genuine dan alamiah, tapi lebih merupakan suatu langkah dan kebijakan politik agar Aceh tidak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akibatnya, penerapan syariah Islam hanya dilihat secara sepotong-sepotong. Kemudian, beberapa tahun yang lalu, panglima Laskar Jihad, Ja’far Umar Thalib memberlakukan syariah Islam bagi anggotanya di Ambon. Tepatnya, ia menghukum rajam sampai mati terhadap salah satu anggotanya yang mengaku telah memperkosa wanita setempat. Tidak jelas betul proses dan prosedur yang ditempuh para pemimpin Laskar Jihad sehingga sampai pada keputusan menghukum rajam bagi pelaku. Tetapi yang jelas, pelaksanaan hukum rajam itu bertentangan dengan hukum positif. Karena itu, Ja’far dituduh melanggar pasal 359 KUHP 1Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan (Depok: Desantara, 2001), h. 117.
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
Miftahuddin Azmi
55
tentang penganiayaan sampai meninggal dan pasal 156 KUHP tentang penyebaran rasa permusuhan. 2 Selain itu, di wilayah Padang, pemerintah setempat mencoba menerapkan kewajiban mengenakan jilbab dan busana Islami (bagi orang Islam) dan anjuran memakainya (untuk non-Islam) yang diberlakukan lewat Instruksi Walikota Nomor 451.422/Binsos-III/2005, tertanggal 7 Maret 2005. 3 Bahkan, di masyarakat juga muncul fenomena gerakan fundamentalisme4 yang mencoba mengaplikasikan konsep syariah Islam. Celakanya, kecenderungan yang muncul dari gerakan tersebut adalah mengaplikasikan konstruksi syariah Islam yang berwajah Arab. Sebenarnya tidak ada yang salah bila menggunakan kebudayaan Arab dalam mengekspresikan keberagamaan seseorang. Tetapi yang menjadi masalah adalah penggunaan asumsi bahwa warna tersebut merupakan bentuk keberagamaan tunggal yang dianggap paling absah.5 Hal tersebut tentunya berimbas pada keadaan di mana ekspresi Arab menjadi dominan, bahkan menghegemoni budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Hal yang lebih menggelisahkan lagi adalah munculnya justifikasijustifikasi seperti belum ka>ffah, sesat, bid’ah atau musyrik kepada orang-orang yang tidak menggunakan ekspresi tersebut. Soal penggunaan jilbab misalnya, sebagian orang 2Azyumardi Azra, “Syariat Islam dalam Bingkai Nation State”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (et.al.), Islam, Negara & Civil Society (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 35-36. 3Novriantoni, “Kasus Jilbab Padang dan Fasisme Kaum Moralis”, dalam http://islamlib. com, diakses 29 Mei 2010. 4Fundamentalisme di sini, sesuai gambaran al-Qurtuby, adalah gerakan yang menganggap Islam itu ibarat “kapsul” yang berisi ramuan siap telan. Kelompok Fundamentalisme menggambarkan Islam sebagai agama yang lengkap, universal, serba mencangkup, bisa diterapkan pada setiap masa dan tempat. Lihat: Sumanto al-Qurtuby, Lubang Hitam Agama, Mengkritik Fundamentalisme Agama, Menggugat Islam Tunggal (Yogyakarta: RumahKata, 2005), h. 122-123. 5Fenomena ini mengingatkan pada istilah Cultural Determinism yang digunakan Sobary dalam analisisnya terkait dengan keangkuhan budaya. Lihat: Mohammad Sobary, Kang Sejo Melihat Tuhan (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 51-52.
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
56
Sejarah Pergumulan Hukum Islam dan Budaya
yang berjilbab memandang bahwa perempuan yang belum menggunakan jilbab berarti Islamnya belum ka>ffah. Demikian juga terkait dengan mus}afah}ah} (berjabat tangan) antara lakilaki dan perempuan6 yang dianggap merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan syariah Islam, padahal mus}afah}ah } merupakan bagian dari budaya yang berkembang di masyarakat. Fenomena tersebut merupakan bagian dari berbagai macam fenomena yang menggambarkan adanya konflik dan ketegangan antara hukum Islam dan budaya. Muncul satu hal yang menjadi persoalan, yaitu apakah budaya yang berkembang dalam masyarakat harus tunduk dalam ekspresi hukum Islam (corak Arab), ataukah hukum Islam haruslah melakukan proses mutasi untuk beradaptasi dalam naungan budaya yang hidup di masyarakat? Dengan dasar pemikiran di atas, tulisan ini bermaksud untuk membahas mengenai relasi antara hukum Islam dan budaya. Kajian ini mengasumsikan bahwa hukum Islam merupakan suatu gejala Islam yang terkait dengan gejala budaya dan gejala sosial sekaligus.7 Berpijak dari hal tersebut, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis yang kemudian akan dianalisis dengan pendekatan sosiologis. Pendekatan historis ini digunakan untuk mengelaborasi keadaan dan perkembangan interaksi hukum Islam dengan ruang-ruang budaya yang melingkupinya. Selain
6Dalam sejarah “perfikihan” di Indonesia, persoalan mus}afah}ah} pernah menjadi kontroversi, yakni ketika Hasbi mengcounter pendapat Ahmad Hasan dan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang mengharamkan mus}afah}ah}. Hasbi berpendirian bahwa hukum haram harus ditetapkan oleh nas}s} yang qat}’i. Lihat: Nourouzzaman Shiddiqi, Fikih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 173-179: Akh. Minhaji, Ahmad Hasan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958) (Yogyakarta: Karunia Kalam Semesta, 2001), h. 246-250. 7Dalam dimensi studi Islam, Islam dapat dilihat sebagai gejala budaya atau gejala sosial. Selain itu, juga dapat melihat suatu gejala Islam sebagai gejala budaya dan gejala sosial sekaligus. Lihat, Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 103-132.
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
Miftahuddin Azmi
57
itu, pendekatan sosiologis8 akan dimanfaatkan untuk mempertajam dan meneropong keadaan masyarakat Indonesia. B.
Pengertian Hukum Islam dan Budaya
Berbicara mengenai hukum Islam adalah berbicara mengenai fikih. Meskipun fikih bisa diartikan dengan “hukum Islam”, namun “hukum” di sini tidak selalu identik dengan perundang-undangan (rules/law). Menurut Azizy, ‘hukum’ yang mencakup al-ah}ka>m al-khamsah dalam fikih lebih dekat dengan konsep religious ethics (etika agama) Islam. Dalam hal ini ciri utamanya adalah terwujudnya kandungan “nilai ibadah” yang sarat dengan pahala, siksaan, dan berkonsekuensi akhirat.9 Hal tersebut nampaknya juga mirip dengan pemahaman Josept Schacht yang mengartikan hukum Islam sebagai sekumpulan aturan keagamaan, totalitas perintah Allah yang mengatur perilaku kehidupan umat Islam dalam keseluruhan aspeknya.10 Selain fikih, berbicara hukum Islam juga harus menyinggung istilah syariah. Syariah seringkali dipahami sama dengan fikih oleh sebagian orang. Hal ini tentunya menimbulkan problem tersendiri karena kedua istilah tersebut memiliki perbedaan yang signifikan, walaupun tidak dapat dinafikan bahwa keduanya juga memiliki hubungan yang erat. Menurut al-Qarad}a>wy, syariah adalah segala sesuatu yang berasal dari Allah yang berupa hukum-hukum yang ditetapkan melalui al-Qur’an dan hadis serta dari dalil-dalil lain, seperti ijma’ dan qiyas. Sedangkan fikih diartikan sebagai kumpulan hukum-hukum shara’ yang bersifat amaliyah dan diambil dari dalil-dalil yang terperinci (adillah tafs}iliyyah). Hubungan antara 8Pendekatan sosiologis memfokuskan diri pada interaksi antara agama dan masyarakat. Pra-anggapan dasar sosiologis adalah concern-nya pada struktur sosial, konstruksi pengalaman manusia dan kebudayaan termasuk agama. Lihat, Michael S. Northcott, “Pendekatan Sosiologis” dalam Peter Connoly (et.al.), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 267. 9A. Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 13. 10Josept Schacht, Pengantar Hukum Islam, terj. Joko Supomo (Yogyakarta: Islamika, 2003), h. 1.
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
58
Sejarah Pergumulan Hukum Islam dan Budaya
keduanya bagaikan hubungan antara jalan dan tujuan, jika syariah ibarat tujuan maka fikih adalah jalannya. Dengan demikian fikih adalah ilmu shar’iy karena ia dibangun atas dasar wahyu Ilahi. Peran akal manusia dalam menetapkan hukum dalam fikih selalu berada dalam koridor dasar-dasar syariah dan tidak terlepas dari batasan-batasannya.11 Dengan demikian syariah dan fikih memiliki perbedaan yang sangat jelas. Perbedaan keduanya disimpulkan oleh pernyataan A. A Fyzee, bahwa syariah mencangkup hukumhukum dan prinsip-prinsip ajaran Islam, sementara fikih hanya berkaitan dengan aturan-aturan hukum saja.12 Abu Ameenah menambahkan tiga perbedaan lain antara syariah dan fikih. Pertama, syariah merupakan hukum yang diwahyukan Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunah, sementara fikih adalah hukum yang disimpulkan dari syariah yang merespon situasi-situasi tertentu yang tidak secara langsung dibahas dalam hukum syariah. Kedua, syariah adalah pasti dan tidak berubah, sementara fikih berubah sesuai dengan situasi dan kondisi dimana diterapkan. Ketiga, hukum syariah sebagian besar bersifat umum; meletakkan prinsip-prinsip dasar, sebaliknya hukum fikih cenderung spesifik; menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip dasar syariah bisa diaplikasikan sesuai dengan keadaan.13 Akan tetapi, walaupun sesungguhnya makna syariah dan fikih memiliki perbedaan, namun kemudian diterjemahkan secara longgar sebagai “hukum Islam”. Sedangkan pengertian “budaya” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,14 adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan 11Yu>suf al-Qarad}a>wy, al-Madkhal li Dira>sah al-Shari>’ah al-Isla>miyyah (Beirut: Muassasat al-Risa>lah, 1993), h. 35; Wahbah al-Zuh}aily, Us}u>l al-Fiqh alIsla>my, Juz I, (Beirut: Da>r al-Fikr,1986), h. 19. 12Mun’im A. Sirry, Sejarah Fikih Islam: Sebuah Pengantar (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 18. 13Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul dan Perkembangan Fikih: Analisis Historis atas Mazhab, Doktrin dan Kontribusi, terj. M. Fauzi Arifin (Bandung: Nuansa, 2005), h. xvi. 14Tim Penulis, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 149
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
Miftahuddin Azmi
59
batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu dan lainlain). Raymond Williams mendefinisikan budaya dengan tiga ruang. Pertama, budaya dapat digunakan untuk mengacu pada suatu proses umum perkembangan intelektual, spiritual dan estetis. Kedua, budaya bisa berarti pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode atau kelompok tertentu. Ketiga, budaya bisa merujuk pada karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktifitas artistik.15 Ketiga bagian tersebut menggambarkan bahwa wilayah budaya memiliki ruang yang sangat luas. Hal tersebut juga dapat dilihat dari pemahaman Peter L. Berger yang mendefinisikan budaya sebagai totalitas produk-produk manusia, baik material maupun non-material.16 Dalam khazanah keislaman, budaya biasa dinamakan dengan ‘urf atau ‘a>dah.17 Al-Qarad}awy menjelaskan bahwa ‘urf merupakan kebiasaan dan perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian dijadikan adat istiadat turun temurun, baik merupakan ucapan dan perbuatan, baik
15John
Storey, Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies, terj. Elli el Fajri (Yogyakarta: Qalam, 2004), h. 2-3. 16Peter L. Berger, Langit Suci Agama sebagai Realitas Sosial, terj. Hartono (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 8. 17’A
wy ini untuk membedakan keduanya. Mereka berpendapat bahwa ‘a>dah adalah pengulangan atau praktek yang sudah menjadi kebiasaan, yang dapat digunakan baik untuk kepentingan individu (‘a>dah fard}iyyah) maupun kelompok (‘a>dah jama’iyyah). Sedangkan ‘urf adalah praktek yang berulangulang yang dapat diterima oleh sesorang yang memilki akal sehat. Oleh karenanya, ‘urf lebih merujuk kepada suatu kebiasaan dari sekian banyak orang dalam suatu masyarakat, sementara ‘adah lebih berhubungan dengan kebiasaan dari sekelompok kecil orang tertentu. Meskipun begitu, sebagian fuqaha>’ cenderung memahaminya sebagai makna yang sama. Lihat Lihat, Ratno Lukito, Islamic Law And Adat Encounter: The Experience of Indonesia (Jakarta: Logos, 2001), h. 1; Wahbah al-Zuh}aily, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>my, Juz II, (Beirut: Da>r al-Fikr,1986), h. 828-829.
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
60
Sejarah Pergumulan Hukum Islam dan Budaya
umum maupun khusus.18 Karena ‘urf merupakan bagian tidak terpisahkan dari manusia, maka dalam merumuskan hukum, us}u>liyyu>n memposisikan ‘urf sebagai salah satu instrumen penting. Hal ini dapat dilihat dari konsepsi yang dijabarkan oleh us}u>liyyun. Selain itu, pentingnya posisi ‘urf ini juga dapat dilihat dari munculnya kaidah fikih yang menyatakan al-‘a>dah muh}akkamah.19 C. Konsep al-‘Al al-fiqh tak lain adalah apa yang juga biasa disebut ’a>dah (adat kebiasaan).21 Konsep al-‘adah muh}akkamah, menurut al-Suyu>t}y berdasarkan hadis mauqu>f, yang diriwayakan oleh Ah}mad dalam al-Musnad sebagai landasan kaidah ini, yaitu:22
ﻣﺎﺭﺁﻩ ﺍﻟﺴﻠﻤﻮﻥ ﺣﺴﻨﺎ ﻓﻬﻮ ﻋﻨﺪ ﺍﷲ ﺣﺴﻦ
Hadis ini bermaksud bahwa “apa yang oleh kaum muslimin di pandang baik, maka baik pula dalam pandangan Allah”. Hadis ini tidak pernah dibahas konteks disabdakannya, dan oleh karena itu sejak semula memang tidak dibatasi oleh konteks tertentu. Kemudian sebuah ayat yang menganjurkan ‘urf juga 18Yusuf Qardlawi, Keluwesan dan Keluasan Syari’ah Islam dalam Menghadapi Perubahan Zaman, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 30. 19Asjmuni A. Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fikih (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 88. 20Wahbah al-Zuh}aily, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>my, Juz II, h. 833 21Abd al-Wahhab Khala>f, Mas}a>dir al-Tashri>’ al-Isla>my fi> ma> la> nas}s} fi>h (Kuwait: Da>r al-Qalam, 1972), h. 145. 22Al-Suyu>t}y, al-Ashba>h wa al-Naz}a>ir (Beirut: Da>r al-Qalam, 1987), h. 60.
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
Miftahuddin Azmi sering disebut sebagai dasar berdasarkan adat istiadat yaitu:
dari pengambilan
61
hukum
ﺧﺬﺍﻟﻌﻔﻮ ﻭﺃﻣﺮ ﺑﺎﻟﻌﺮﻑ
“... jadilah pemaaf dan perintahkan urf (kebiasan yang pantas)”. Istilah urf, ma’ru>f, dan ’a>rifah biasa diartikan dengan hal yang baik, bisa diterima akal dan sesuai dengan hati nurani. Hadis riwayat Ah}mad sekaligus ayat di atas memang tidak bisa dihubungkan dengan konteks persoalan tertentu, baik dari segi asba>b al-wuru>d maupun asba>b al-nuzu>l. Ayat tersebut ternyata juga tidak bisa ditunjukkan konteksnya (muna>sabah) dalam rangkaian ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya. Oleh karena itu, bisa dipahami mengapa al-S}uyu>t}y menyebut pertimbangan ’a>dah atau ‘urf masuk ke dalam fikih dalam jumlah yang tak terhitung. Lagi-lagi di sini semangat terdalam dari ayat-ayat yang mengatur urusan rumah tangga kemudian digunakan sebagai pengetahuan a priori yang mendukung gagasan membuat aturan yang bisa diterima menurut kepantasan dalam bidang-bidang hukum yang luas. Kedua dasar di atas mempunyai gagasan yang sama, yaitu menghargai praktek lokal sebagai perwujudan dari rasa keadilan masyarakat setempat. Hukum Islam mengindahkannya atas dasar titah ketuhanan sebagaimana termaktub dalam ayat di atas dan landasan tekstual lainnya. Dalam batas-batas tertentu, praktek lokal itu diangkat menjadi sumber kebenaran Ilahi. Apa yang hendak ditunjukkan di sini adalah bahwa kedua kaidah serumpun itu memakai dua istilah yang berbeda, yaitu urf dan ’a>dah. Hal ini memperkuat pendapat bahwa kedua istilah tersebut bukanlah hal yang berbeda. ’Urf diberi pengertian sebagai praktek yang sudah lazim dilakukan dalam masyarakat baik, berupa perkataan (qauly) maupun perbuatan (fi’ly). Pembahasan adat kebiasaan sebagai ‘urf dalam us}u>l al-fiqh ditekankan kepada kedudukannya sebagai hal atau kepantasan yang telah secara luas dikenal dalam masyarakat. Dalam us}u>l al-fiqh, ‘urf dibagi menjadi ‘urf s}ah}i>h} dan ‘urf fa>sid. ‘Urf yang menjadi pertimbangan hukum adalah hanyalah ‘urf s}ah}i>h} saja. Dalam al-Qawa>id al-Fiqhiyyah, pembahasan adat Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
62
Sejarah Pergumulan Hukum Islam dan Budaya
kebiasaan lebih rinci sifatnya, tidak hitam putih. Tidak ada istilah s}ah}i>h} atau fa>sid, tetapi ada bahasan tentang kebiasaan dengan kriteria konsistensi yang bagimanakah yang telah dianggap sah untuk menjadi pertimbangan hukum. Al-Suyu>t}y tidak mendefinisikan ’a>dah, ia lebih tertarik untuk mempersoalkan konsistensi suatu kebiasaan sehingga bisa menjadi ’a>dah dan dengan demikian layak dijadikan sebagai pertimbangan hukum. Ia menegaskan bahwa ’a>dah dan ‘urf dalam jumlah yang tak terhitung telah menjadi rujukan fikih. Ia menyebut beberapa di antaranya, misalnya umur minimal perempuan pertama kali mengalami haid, umur dewasa, umur laki-laki pertama kali mengeluarkan sperma. Demikian pula soal takaran ”banyak” dalam hal perbuatan yang membatalkan shalat, takaran ”sedikit” dalam kaitannya najis yang dimaafkan (ma’fuw), semua itu diserahkan kepada kebiasaan setempat. Melalui paparan di atas bisa ditegaskan bahwa gagasan ”mencari Islam yang murni” adalah gagasan yang tidak selalu bisa dipahami menurut kerangka nalar yang membingkai fikih yang sejak semula memang memiliki watak mengadopsi praktek-praktek lokal dan rasa kesadaran hukum masyarakat muslim di manapun mereka tinggal. Menutup Islam dari adat kebiasaan dan kesadaran hukum masyarakat bukanlah watak fikih. D. Akulturasi Hukum Islam dan Budaya Arab Jika menilik ke belakang dan mencermati perjalanan sejarah tashri>’ Islam, akan terlihat bahwa pada awal mulanya Islam tidak muncul dari ruang hampa, ia adalah agama yang diturunkan dalam suatu masyarakat yang mempunyai budayabudaya tertentu, masyarakat yang telah menyatu dengan tradisinya sendiri. Sementara itu, dalam paradigma sebagian masyarakat, Islam dianggap sebagai agama yang lahir dengan membawa risalah baru. Dalam hal ini, Islam dianggap sebagai sebuah agama yang muncul untuk mengisi seluruh sistem kebudayaan, khususnya Arab pra-Islam. Dalam konsep yang ada, masa praIslam seringkali dianggap sebagai masa kebodohan (jahiliyyah). Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
Miftahuddin Azmi
63
Bila jahiliyah terkait dengan sistem etika sosialnya yang tidak manusiawi, mungkin bisa dianggap benar. Akan tetapi bila jahiliyyah ditujukan untuk seluruh sistem budaya yang berkembang di masyarakat Arab, maka hal tersebut tidak bisa dibenarkan. Thaha Husain menolak anggapan bahwa pra-Islam dianggap sebagai masa jahiliyah dengan dua asumsi. Pertama, alQur’an menantang bangsa Arab dengan retorika untuk mendatangkan surat yang sepadan dan menyamai al-Qur’an,23 yang tentunya tidak ditujukan kepada orang lemah. Dengan demikian tantangan al-Qur’an mengindikasikan bahwa masyarakat Arab telah berada pada tingkat kemajuan fantastik dalam stilistika, epistemik dan peradaban, sebagai sebuah sisi yang menjadi tema tantangan al-Qur’an. Kedua, dalam faktanya, Islam banyak mewarisi peninggalan-peninggalan bangsa Arab serta mengadopsi sistem (pranata) yang berkembang di kalangan mereka.24 Dari fakta yang ada, banyak budaya yang ada di masa pra-Islam diadopsi dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam lahir tidak dalam rangka menghilangkan seluruh kebudayaan yang telah berkembang dan dijalankan oleh masyarakat Arab pra-Islam. Nabi Muhammad banyak menciptakan aturan-aturan yang melegalkan hukum adat masyarakat Arab, sehingga memberi tempat bagi praktek hukum Adat di dalam sistem hukum Islam.25 Sebagai bukti dari hal tersebut adalah adanya konsep sunnah taqri>riyyah26 Nabi Muhammad. Hal ini mengindikasikan bahwa Nabi tidak melakukan tindakan-tindakan perubahan terhadap hukum yang berlaku di masyarakat Arab, sepanjang hukum tersebut sesuai 23QS.
Yu>nus (10): 38 dan QS. Hu>d (11): 13. Abdul Karim, Syari‘ah Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As’ad. (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. x-xi. 25Majid Khadduri, Perang dan Damai dalam Hukum Islam, terj. Kuswanto (Yogyakarta: Tarawang Press, 2002), h. 19. 26Sunah taqririyyah merupakan legitimasi Nabi terhadap ucapan atau perbuatan sahabat, baik dengan cara diam dan sebagainya. Lihat: Muh}ammad ‘Ajaj Al-Kha>t}ib, Us}u>l al-H{adi>th: ‘Ulu>muh wa Must}alah}uh (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1975), h. 20. 24Khalil
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
Sejarah Pergumulan Hukum Islam dan Budaya
64
dengan prinsip-prinsip ajaran fundamental Islam. Dalam hal ibadah, Islam menjalankan ibadah haji dan umrah sebagaimana telah dipraktekkan dalam masyarakat Arab jauh sebelum Islam datang. Masyarakat Arab menjalankan ritual-ritual tersebut sebagaimana dijalankan oleh umat Islam sekarang ini, yaitu: talbiyyah, ihram, wukuf dan lain sebagainya. Setelah kedatangan Islam, kemudian praktek tersebut diteruskan dengan penggunaan istilah yang sama, akan tetapi membersihkan ibadah ini dari perilaku syirik, seperti ungkapanungkapan talbiyyah mereka yang masih bernuansa syirik, dan melarang bertawaf secara telanjang.27 Di sisi lain, tidak sedikit ritus-ritus bangsa Arab yang ditinggalkan oleh Islam, seperti nikah shigha>r, menikah lebih dari empat, tidak adanya pembatasan talak, jual beli mulamasah (pegang berarti beli), dan lain sebagainya. Pada masa sahabat Nabi, hukum-hukum yang dibangun oleh para sahabat juga senantiasa memperhitungkan budaya yang berkembang di masyarakat. Apalagi setelah masa penaklukkan di mana kekuasaan dan pengaruh Islam semakin berkembang luas. Khalifah ‘Umar misalnya, mengadopsi sistem di>wa>n dari tradisi masyarakat Persia. Selain itu, ‘Umar juga mengadopsi sistem pelayanan pos yang merupakan tradisi masyarakat Sasanid dan kerajaan Byzantium.28 Dalam pemikiran ulama fikih, dapat dilihat pengaruh sosial budaya terhadap gagasan-gagasan yang dibangunnya. Abu> H}ani>fah memasukkan adat sebagai salah satu prinsip istih}sa>n-nya. Dalam ijtihadnya, Abu> H}anifah memanfaatkan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan sosial yang beragam dari masyarakat sebagai sumber hukum sekunder sepanjang hal tersebut tidak berlawanan dengan nas}s} maupun spirit syariah.29 27Khalil
Abdul Karim, Syari‘ah, h. 7-8. Lukito, Islamic Law, h. 11. 29Salah satunya adalah pendapat Abu> H{ani>fah, bahwa kedua telapak kaki bukan termasuk aurat. Karena kedua telapak kaki lebih menyulitkan untuk ditutupi daripada kedua telapak tangan, khususnya bagi perempuanperempuan miskin di pedesaan yang (saat itu) seringkali berjalan (tanpa alas kaki) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Lihat Ibn Rusyd, Bida>yah alMujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}id (Beirut: Da>r al-Fikr, 1992), h. 83. 28Ratno
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
Miftahuddin Azmi
65
Demikian juga dengan mam Ma>lik yang mendudukkan adat masyarakat Madinah sebagai bagian penting dalam teori hukumnya.30 Karena itu ada ungkapan yang terkenal, ”al-ma’ru>f ’urfan ka al-mashru>t} shart}an, wa al-tha>bit} bi al-’urf ka al-tha>bit} bi alnas}s}” (sesuatu yang baik menurut adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan syarat yang harus dipenuhi, dan yang benar dalam adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan yang benar dalam nas}s}). Salah satu hal penting untuk menjelaskan pengaruh sosial budaya dalam konstruk pemikiran hukum Islam adalah terkait dengan fenomena imam al-Sha>fi’iy. Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa pemikiran al-Sha>fi’iy sangat dipengaruhi oleh masyarakat sekitar. Dengan kata lain, keadaan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi imam al-Sha>fi’iy dalam membentuk pemikiran hukumnya. Fakta yang paling nyata dari hal tersebut adalah munculnya apa yang disebut dengan qaul qadi>m dan qaul jadi>d dalam spektrum pemikiran imam al-Sha>fi’iy. Qaul qadi>m dan qaul jadi>d membuktikan fleksibilitas fikih dan adanya ruang gerak dinamis bagi kehidupan, perkembangan dan pembaharuan. Suatu kali imam al-Sha>fi’iy ditanya mengenai perubahan pandangannya tersebut, dan ia menjawab, ”Pada prinsipnya sama saja, hanya saja lingkungannya yang berubah.”31 Sedangkan menurut ‘Aly al-Sayis, lahirnya mazhab jadi>d merupakan dampak dari perkembangan baru yang dialaminya, dari penemuan hadis, pandangan dan kondisi sosial baru yang
30Secara logis, Imam Malik berpandangan bahwa karena sebagian besar masyarakat Madinah merupakan keturunan langsung sahabat, dan Madinah merupakan tempat Rasulullah menghabiskan sepuluh tahun terakhir kehidupannya, maka praktek (adat) yang dilakukan pasti diperbolehkan, jika tidak malah dianjurkan oleh Rasulullah. Lihat, Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul, h. 97. 31Nurcholish Madjid, “Mencari Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern: Pengalaman Indonesia”, dalam Mark R. Woodward (et.al.), Jalan Baru Islam; Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), h. 107.
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
Sejarah Pergumulan Hukum Islam dan Budaya
66
tidak ditemuinya di Hijaz dan Irak.32 E.
Akulturasi Hukum Islam dan Budaya Indonesia
Hubungan antara Islam dengan isu-isu lokal adalah kegairahan yang tak pernah usai. Hubungan antara keduanya dipicu oleh seamangat pengikut Islam yang mengimani agamanya s}a>lih li kull zama>n wa maka>n. Maka Islam akan senantiasa dihadirkan dan diajak bersentuhan dengan keanekaragaman konteks. Fakta ini tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran Islam tersebut dalam setiap konteks tertentu; tak nihil dari muatan-muatan lokal yang mendahului kehadiran Islam itu sendiri. Di sisi lain, Islam merupakan agama yang berkarakteristikkan universal dengan pandangan hidup (weltanschaung) mengenai persamaan, keadilan, taka>ful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam.33 Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Dalam literatur sejarah, penyebaran Islam di Nusantara, khususnya di pulau Jawa, tidak bisa dilepaskan dari peran Walisongo. Salah satu diantaranya adalah Sunan Kalijaga yang mencoba mengelaborasi tradisi-tradisi budaya lokal dalam menyiarkan Islam. Clifford Geertz menggambarkan Sunan Kalijaga sebagai suatu perlambang dan suatu ide yang berwujud nyata, Sunan Kalijaga mempertautkan Jawa yang Hindu dengan Jawa yang Islam. Ia dipandang sebagai jembatan antara dua peradaban tinggi, dua epok sejarah dan dua agama besar, yaitu: Hinduisme-Budhaisme di mana ia dibesarkan dan Mataram
32Mazhab
qadi>m dibangun di Irak, sedangkan mazhab jadi>d adalah pendapatnya selama berdiam di Mesir. Lihat: Mun’im A. Sirry, Sejarah Fikih Islam, h. 107. 33Kuntowijoyo, Paridigma Islam (Bandung: Mizan, 1991), h. 229.
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
Miftahuddin Azmi
67
Islam yang ia kembangkan.34 Islam yang dikemas oleh Sunan Kalijaga berusaha mengalihkan bentuk (trasnformasi) sosial menuju ke arah yang lebih baik. Tetapi pada saat yang sama, kedatangan Islam tidak mesti bersifat distruptif (memotong) suatu masyarakat dari budayanya yang lampau, melainkan dapat juga ikut serta melestarikan apa yang baik dan benar sesuai dengan dimensi universal Islam. Inilah yang dialami oleh Sunan Kalijaga tentang masyarakat Jawa, ketika ia melihat feodalisme Majapahit dengan cepat sekali runtuh dan digantikan oleh egalitarianeme yang datang dari kota-kota pantai utara Jawa yang menjadi pusat perdagangan nusantara dengan internasional. Kemudian Sunan Kalijaga memutuskan untuk ikut mendorong percepatan transformasi itu dengan menggunakan unsur-unsur lokal guna menopang efektifitas segi teknis dan operasionalnya. Konon, salah satu media yang digunakan Kalijaga ialah ”wayang” (setelah diadakan perombakan, baik bentuk fisik dan lakonnya), juga penggunaan gamelan yang dalam gabungannya dengan unsur-unsur upacara Islam populer menghasilkan tradisi Sekatenan di pusat-pusat kekuasaan Islam seperti Cirebon, Demak, Solo dan Yogyakarta. Kemudian, sebagai interaksi timbal balik antara Islam dan budaya lokal (dalam hal ini Jawa), maka banyak sekali adat Jawa yang kini tinggal kerangkanya, sedangkan isinya telah ”diislamkan”. Contoh yang paling menonjol dan masih eksis hingga saat ini adalah upacara peringatan untuk orang-orang yang baru meninggal (setelah 7, 40, 100 dan 1000 hari), upacara ini kemudian disebut ”tahlilan” (berasal dari kata tah}li>l) yakni membaca kalimat thayyibah secara bersama-sama, sebagai suatu cara yang efektif untuk menanamkan jiwa Tauhid dalam kesempatan suasana keharuan yang membuat orang menjadi sentimental (penuh perasaan) dan sugestif (gampang menerima paham atau pengajaran).35 34Clifford
Geertz, Islam Observed (Chicago: The University of Chicago Press, 1975), h. 25-27. 35Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), h. 551.
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
68
Sejarah Pergumulan Hukum Islam dan Budaya
Selain itu, upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep ”Meru” dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; Iman, Islam dan Ihsan. Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariah. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat. Sementara dalam seni drama, seni rupa, seni sastra, seni musik; Islam terserap dalam budaya lokal dalam berbagai bentuk, seperti seudati, jipin, rebana, dan hikayathikayat. Singkatnya, antara norma agama dan manifestasi budaya dapat berjalan seiringan.36 Dewasa ini, realitas agama Islam di dunia umumnya, khususnya Asia Tenggara termasuk di Indonesia yang didasarkan pada suatu asumsi bahwa agama (Islam) berhubungan dalam suatu komunitas akan selalu unik dan mejemuk. Karena adanya akulturasi dengan budaya setempat (lokal) tersebut membentuk sistem tersendiri yang berbeda dengan sistem dan cara yang terdapat pada masyarakat Islam lain. Kendati masing-masing komunitas memeluk agama yang sama, namun setiap wilayah memiliki sistem dan cara tersendiri serta mempunyai keislaman yang khas sesuai dengan daerah masing-masing. Oleh karena itu, pergumulan Islam dengan khazanah lokal menjadikan Islam begitu multiwajah. Begitu juga di Indonesia, ketika Islam menjumpai varian kultur lokal, maka yang segera berlangsung ialah aneka proses simbiose yang saling memperkaya. Munculnya berbagai varian Islam, seperti: Islam Jawa, Islam Sasak, Islam Melayu, Islam Madura, Islam Pesisir, Islam Poliwali, Islam Ambon, Islam Padang, Islam 36Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 284.
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
Miftahuddin Azmi
69
Banjar, Islam Bima dan seterusnya telah menggambarkan Islam selalu memiliki warna lokal ketika menghampiri sebuah komunitas. Demikian juga ada Islam Arab, Islam Iran, Islam Cina, Islam Amerika, Islam India dan juga Islam Indonesia yang masing-masing telah memiliki bangunan kebenaran sendirisendiri. F.
Mencari Hukum Islam Khas Indonesia
Islam sebagai agama universal yang melintasi batas waktu kadang kala bertemu dengan tradisi lokal yang berbedabeda. Ketika Islam bertemu dengan tradisi lokal, wajah Islam berbeda dari tempat satu dengan lainnya. Dalam Muqaddimahnya, Ibn Khaldu>n membagi bola bumi menjadi tujuh daerah klimatologis dengan pengaruhnya masing-masing dalam membentuk watak penghuninya. Ia bahkan memaparkan teori tentang pengaruh keadaan udara suatu daerah terhadap akhlak serta tingkah laku penduduk setempat.37 Oleh karena itu, tidak heran manakala Clifford Geertz mengambil Sunan Kalijaga (Indonesia) dan Si>di> Lahsen Lyusi (Maroko) sebagai perlambang corak masing-masing kedua bangsa itu. Dalam menjelaskan segi perbedaan lingkungan budaya itu, Geertz melihat kaitannya dengan kenyataan bahwa Maroko adalah sebuah negeri padang pasir yang pola kehidupan sosialnya ditandai oleh semangat kabilah atau tribalisme. Sebaliknya, Jawa adalah sebuah negeri pertanian yang amat produktif. Oleh karena itu, Geertz mengatakan, ”In Marocco civilization was built on nerve; in Indonesia on dilligence.” (Di Maroko, peradaban didirikan atas dasar saraf; sedangkan di Indonesia atas dasar ketekunan).38 Dewasa ini, tipologi gerakan Islam kontemporer di Indonesia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:39 gerakan yang pro syariah (gerakan purifikasi), gerakan Islam moderat dan yang 37Ibn
Khaldu>n, Muqaddimah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), h. 75-115. Geertz, Islam Observed, h. 11. 39Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, “Tipologi Gerakan Islam Kontemporer”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (et.al.), Islam Negara & Civil Society (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 488. 38Clifford
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
70
Sejarah Pergumulan Hukum Islam dan Budaya
terakhir adalah gerakan dakwah sufistik. Gerakan pro syariah adalah gerakan Isam yang memperjuangkan penegakan syariah Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bentuk kongkrit dari gerakan mereka adalah kembali ke Piagam Jakarta serta memfokuskan untuk menghilangkan seluruh budaya masyarakat yang dianggap mengandung unsur takhayul, bid’ah dan khurafat. Model purifikasi ini berusaha untuk melenyapkan keberadaan budaya lokal yang sudah turun-temurun yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.40 Akan tetapi, titik tolak dari apa yang dinamakan ajaran Islam dikembalikan pada konsep yang ada pada zaman Nabi. Hal ini kemudian berimplikasi pada pelenyapan seluruh tradisi masyarakat Indonesia dan pengukuhan tradisi Arab yang dianggap sebagai tradisi Islam. Di seberang gerakan pro syariah adalah adalah gerakan Islam moderat. Kelompok ini menolak dengan tegas upaya-upaya untuk kembali ke Piagam Jakarta, yang ujung-ujungnya adalah pembentukan negara Islam atau penerapan syariah Islam oleh negara. Sedangkan gerakan dakwah sufistik adalah gerakan yang melibatkan massa, namun tidak memiliki agenda perjuangan politik. Gerakan pro syariah muncul dari gerakan fundamentalis yang tumbuh di Indonesia. Mereka berusaha menerapkan syariah Islam dan ajaran Islam secara ka>ffah. Sebagaimana para pendahulunya, titik tolak dari apa yang disebut ajaran Islam, dikembalikan pada konsep yang ada pada zaman Nabi. Fenomena ini menumbuhkan berbagai implikasi dari perilaku mereka dalam bermasyarakat. Dalam hal busana misalnya, mereka berusaha mencontoh Nabi dengan menggunakan jubah ala Arab. Kemudian mereka juga memelihara jenggot, celana cingkrang, bercadar, menggunakan term-term Arab sebagai pengganti dari term lokal dan lain sebagainya. Dengan munculnya fenomena ini, tentunya eksistensi budaya lokal sedikit banyak menjadi terpinggirkan. Gerakan ini berusaha menghilangkan budaya slametan, musik gamelan dan banyak tradisi lokal yang dianggap berbau Hindu dan kejawen. 40Imran Nasri, Pluralisme Pemikiran Pemuda Muhammadiyah (Yogakarta: CK. Mandiri, 2005), h. 162.
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
Miftahuddin Azmi
71
Gerakan Islam fundamentalis berusaha menghilangkan seluruh budaya lokal dan menggantinya dengan sistem ajaran Islam model Arab masa Nabi. Timbulnya fenomena di atas memunculkan kegelisahan dari beberapa pemikir di Indonesia. Gagasan-gagasan untuk membentuk karakter hukum Islam yang bersifat lokal tergagas dalam pemikiran para intelektual muslim. Hasbi as-Shiddiqy misalnya, di mana pernah mencoba mengintrodusir gagasan fikih Indonesianya. Dalam hal ini Hasbi terpengaruh oleh adanya konsep fikih Hijaz, fikih Mesir dan fikih-fikih lokal lainnya yang muncul di beberapa negara muslim. Keprihatinan Hasbi juga terkait dengan ketidakmampuan ulama Indonesia untuk berijtihad sesuai dengan kepribadian Indonesia, sehingga seringkali mengaplikasikan fikih Mesir atau fikih Hijaz di masyarakat atas dasar taklid.41 Lebih lanjut, dengan kelemahan ulama Indonesia yang tidak mampu melahirkan fikih yang berkepribadian Indonesia dan menyadari ketidakmungkinan akan munculnya pemikiran progresif dari kalangan ulama konservatif, Hasbi kemudian mengajak elemen Perguruan Tinggi Indonesia untuk mencetak kader-kader mujtahid yang akan meneruskan proyek fikih Indonesia.42 Salah satu yang menarik untuk dicermati, bahwa untuk membentuk fikih Indonesia, Hasbi menekankan pentingnya kesadaran dan kearifan untuk melakukan refleksi historis atas pemikiran hukum Islam pada masa awal perkembangannya. Perspektif ini mengajarkan bahwa hukum Islam baru bisa berjalan dengan baik jika ia sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, yakni hukum yang dibentuk oleh kesadaran lingkungan, atau dengan kebudayaan dan tradisi setempat. Dalam hal inilah Hasbi mengkonsepsikan bahwa mempertimbangkan kehadiran tradisi (adat, ‘urf) setempat sebagai acuan pembentukan sebuah format hukum Islam baru menjadi satu keniscayaan.43 Konsepsi ini dilandasi oleh 41Hasbi
Ash-Shiddiqy, Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), h. 43. 42Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LkiS, 2005), h. 67. 43Hasbi Ash-Shiddiqy, Syariat Islam, h. 42.
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
72
Sejarah Pergumulan Hukum Islam dan Budaya
pemikiran egalitarianisme Islam yang berkonsekuensi bahwa semua ‘urf dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum. Dengan demikian, hal ini menafikan ‘urf dari masyarakat Arab saja yang bisa menjadikan podasi dalam perumusan hukum. Bagi Hasbi, semua ’urf selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam dan dalam batas-batas tertentu dapat diterima sebagai sumber hukum Islam. Selain itu, Abdurrahman Wahid juga mengkonsepkan adanya pribumisasi Islam. Pribumisasi Islam dimaknai sebagai upaya untuk mengokohkan kembali akar budaya Indonesia, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama.44 Dalam pemikirannya, Wahid mencoba memposisikan Islam dan budaya lain dalam posisi dialogis. Dalam hal ini Wahid menyatakan: “…antara Islam dan paham pemikiran lain atau budaya lain berlangsung proses saling mengambil dan saling belajar. Konsekwensi logis dari keterbukaan seperti ini adalah keharusan untuk mendudukkan Islam hanya sebagai faktor penghubung antara berbagai budaya lokal. Dalam melayani semua budaya lokal itu (akan) menumbuhkan universalitas pandangan baru tanpa tercabut dari akar kesejarahan masing-masing.”45 Ketika ditanya mengenai jilbab, Wahid menjawab bahwa hal itu dapat dikenakan atau tidak dikenakan karena berbagai alasan. Beliau menyebutkan tiga alasan untuk mengenakannya, yaitu (1) keimanan dan keinginan untuk membangun sebuah identitas Islam yang tegas, (2) kepedulian akan prestise dan petrodolar, dan (3) keyakinan ideologis. Kemudian beliau juga menawarkan dua pandangan umum mengenai persoalan ini. Pertama, jilbab-jilbab tidak menggambarkan apa-apa mengenai orang yang mengenakannya, yang mengenakan jilbab bisa orang moderat atau fundamentalis. Beliau menyebut saudaranya sebagai conoh orang yang mengenakan jilbab meskipun sikapnya moderat. Kedua, orang yang berjilbab tidak menutup 44Abdurrahman
Wahid, “Pribumisasi Islam”, dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (et.al.), Islam Menatap Masa Depan (Jakarta: P3M, 1989), h. 96. 45Ibid., h. 92.
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
Miftahuddin Azmi
73
kemungkinan hanya dipakai sebatas lahiriah saja. Bukan tidak mungkin orang yang berjilbab hanya bergaya secara islami secara lahiriah, namun tidak islami/beriman dalam lubuk hatinya.46 Dengan dasar demikian, Wahid menolak gerakan Islamisasi, Arabisasi atau “formalisasi ajaran Islam dalam ranah budaya”. Sejak awal, Wahid tidak menjadikan Islam sebagai alternatif. Konsekwensinya, segenap ajaran agama yang telah diserap oleh kultur lokal tetap dipertahankan dalam bingkai lokalitas tersebut. Pada level ini, ia tidak setuju dengan pergantian sejumlah kosakata ke dalam bahasa Arab, seperti ”ulang tahun” diganti dengan ”maulud/milad”, ”selamat pagi” diganti dengan ”assalamu’alaikum”, ”teman atau sahabat” diganti dengan ”ikhwan”, ”sembahyang” diganti dengan ”shalat” dan sebagainya. Proses yang terakhir ini disebutnya ”Islamisasi” dan ”Arabisasi”.47 Dari kedua gagasan tersebut, paling tidak dapat ditarik dua paradigma penting hukum Islam yang harus diambil dalam proses membentuk hukum Islam khas Indonesia, yaitu: 1. Kontekstual. Yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan dimensi zaman dan tempat. Konsekwensinya adalah perubahan zaman dan tempat menjadi meniscayakan untuk melakukan penafsiran dan ijtihad. Dengan kemampuan melakukan adaptasi inilah sesungguhnya Islam bisa benar-benar s}alih li kull zama>n wa maka>n. 2. Menghargai tradisi lokal. Karakter ini dibangun dari kenyataan sejarah bahwa Islam tidak dapat dilepaskan dari tradisi masyarakat pra-Islam. Bahkan dalam faktanya, Islam telah mengadopsi tradisi-tradisi lokal yang berkembang di masyarakat Arab. Dengan demikian, Islam memposisikan tradisi lokal bukan dalam posisi obyek yang harus ditaklukkan, tetapi Islam memposisikannya dalam dimensi 46Mark R. Woodward, “Memahami Semangat Baru Islam Indonesia: Percakapan dengan Abdurrahman Wahid”, dalam Mark R. Woodward (et.al.), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), h. 150. 47Ahmad Baso, NU Studies, h. 283.
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
74
Sejarah Pergumulan Hukum Islam dan Budaya
dialogis. Kedua hal tersebut, dalam kenyataannya seringkali dilupakan. Implikasinya, hukum Islam masa Nabi Muhammad dipahami sebagai konstruksi hukum yang datang dari langit dan terlepas dari konteks sosio-kultural yang ada di masyarakat Arab. Bahkan lebih dari itu, hukum Islam zaman Nabi dipahami sebagai citra ideal yang harus diaplikasikan di seluruh kondisi zaman dan tempat. Sebagai misal adalah terkait dengan jilbab di Indonesia. Dalam penggunaannya, apa yang dimaksud dengan jilbab seringkali dipahami sebagai apa yang digunakan oleh masyarakat Arab. Hal ini tentunya kurang tepat karena jilbab bagi masyarakat Indonesia seharusnya disesuaikan dengan kondisi, situasi dan budaya Indonesia. Setiap daerah di Indonesia mempunyai kebiasaan yang berbeda dalam berpakaian. Di samping itu, mereka juga mempunyai pakaian tradisional tersendiri, seperti kebaya yang banyak digunakan oleh masyarakat Jawa dan baju kurung yang ada di Minang. Kalau dilihat, karakter pakaian tersebut hampir mirip dengan “jilbab” gaya Arab. Bedanya hanya berkaitan dengan masalah penutup kepala. Hal ini dapat dimengerti, berkaitan dengan karakter masyarakat Indonesia yang memandang daerah kepala sebagai bagian yang “biasa nampak”. Hal tersebut tentunya sangat berlainan dengan keadaan di daerah lain, khusunya Jazirah Arab. Perbedaan inilah yang seharusnya menjadikan dasar untuk merumuskan hukum, sesuai dengan kaidah “al-h}ukm yadu>r ma’a al-‘illah wuju>dan wa ‘adaman”. G. Penutup Fakta menjelaskan bahwa banyak budaya yang ada di masa pra-Islam diadopsi dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam lahir tidak dalam rangka menghilangkan seluruh kebudayaan yang berkembang dan dijalankan oleh masyarakat Arab pra-Islam. Nabi Muhammad banyak menciptakan aturan-aturan yang melegalkan hukum adat masyarakat Arab, sehingga memberi Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
Miftahuddin Azmi
75
tempat bagi praktek hukum Adat dalam sistem hukum Islam. Fenomena yang disebut terakhir ini menunjukkan bahwa agama (hukum) Islam adalah hukum yang hidup dan berkembang yang mampu bergumul dengan persoalan-persoalan lokal yang senantiasa meminta etik dan paradigma baru. Keluwesan hukum Islam adalah satu bukti adanya ruang gerak dinamis tersebut. Ia merupakan implementasi objektif dari doktrin Islam yang meskipun berdiri di atas kebenaran mutlak dan kokoh, juga memiliki ruang gerak dinamis bagi perkembangan, pembaharuan dan kehidupan sesuai dengan fleksibilitas ruang dan waktu. Signifikansi peran budaya dalam hukum Islam kemudian diteruskan oleh para pengikutnya. Para sahabat mengadopsi beberapa budaya masyarakat hasil ekspansi yang telah dilakukan. Demikian juga dengan para imam mazhab yang juga memposisikan budaya lokal daerahnya sebagai salah satu faktor penting dalam teori hukumnya. Dengan demikian, budaya memiliki posisi yang penting dalam sejarah hukum Islam. Hal tersebut tersebut juga membuktikan bahwa budaya yang berkembang dalam masyarakat tidak harus tunduk dalam ekspresi hukum Islam (corak Arab), melainkan hukum Islam haruslah melakukan proses mutasi untuk beradaptasi di bawah naungan budaya yang hidup di masyarakat sepanjang budaya tersebut tidak bertentangan dengan ajaran fundamental dan spirit Islam. Dalam konteks Indonesia, perumusan hukum Islam khas Indonesia menjadi penting. Paling tidak ada dua gagasan yang pernah muncul dalam upaya ini, yaitu gagasan “fikih Indonesia” Hasbi dan “pribumisasi Islam” Abdurrahman Wahid. Dari kedua gagasan ini dapat ditarik paling tidak dua paradigma penting dalam upaya pribumisasi hukum Islam, yaitu (1) bersifat Kontekstual, dan (2) menghargai tradisi lokal. Dengan kedua paradigma ini, maka pribumisasi hukum Islam akan menjadi lebih jelas. Juga, munculnya perda syariah yang sekarang ini marak haruslah menjadi momen positif untuk mengangkat budaya lokal, bukan malah menghancurkannya dengan pemaksaan konsep hukum yang tidak sesuai dengan
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
76
Sejarah Pergumulan Hukum Islam dan Budaya
kepribadian masyarakat. Sebagai penutup, semua uraian di atas menghantarkan kita pada suatu etos di kalangan ulama yang amat patut untuk kesekian kalinya kita renungkan, yaitu: al-muh}a>fad}ah ’ala> al-qadi>m al-s}a>lih} wa al-akhdh bi al-jadi>d al-as}lah (memelihara budaya lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Daftar Pustaka A. Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta, Gama Media, 2002. Abd al-Wahhab Khala>f, Mas}a>dir al-Tashri>’ al-Isla>my fi> ma> la> nas}s} fi>h, Kuwait, Da>r al-Qalam, 1972. Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam”, dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (et.al.), Islam Menatap Masa Depan, Jakarta, P3M, 1989. ---------------, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Depok, Desantara, 2001. Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul dan Perkembangan Fikih: Analisis Historis atas Mazhab, Doktrin dan Kontribusi, terj. M. Fauzi Arifin, Bandung, Nuansa, 2005. Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, Jakarta, Erlangga, 2006. Akh. Minhaji, Ahmad Hasan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958), Yogyakarta, Karunia Kalam Semesta, 2001. Al-Suyu>t}y, al-Ashba>h wa al-Naz}a>ir, Beirut, Da>r al-Qalam, 1987. Asjmuni A. Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fikih, Jakarta, Bulan Bintang, 1976. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1998. Azyumardi Azra, “Syariat Islam dalam Bingkai Nation State”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (et.al.), Islam, Negara & Civil Society, Jakarta, Paramadina, 2005. Clifford Geertz, Islam Observed, Chicago, The University of Chicago Press, 1975. Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
Miftahuddin Azmi
77
Hasbi Ash-Shiddiqy, Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta, Bulan Bintang, 1966. Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, Beirut, Da>r al-Fikr, 1981. Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}id, (Beirut, Da>r al-Fikr, 1992. Imran Nasri, Pluralisme Pemikiran Pemuda Muhammadiyah, Yogakarta, CK. Mandiri, 2005. John Storey, Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies, terj. Elli el Fajri, Yogyakarta, Qalam, 2004. Josept Schacht, Pengantar Hukum Islam, terj. Joko Supomo, Yogyakarta, Islamika, 2003. Khalil Abdul Karim, Syari‘ah Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As’ad, Yogyakarta: LKiS, 2003. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, “Tipologi Gerakan Islam Kontemporer”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (et.al.), Islam Negara & Civil Society, Jakarta, Paramadina, 2005. Kuntowijoyo, Paridigma Islam, Bandung, Mizan, 1991. Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Yogyakarta, LkiS, 2005. Majid Khadduri, Perang dan Damai dalam Hukum Islam, terj. Kuswanto, Yogyakarta, Tarawang Press, 2002. Mark R. Woodward, “Memahami Semangat Baru Islam Indonesia: Percakapan dengan Abdurrahman Wahid”, dalam Mark R. Woodward (et.al.), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Bandung, Mizan, 1998 Michael S. Northcott, “Pendekatan Sosiologis” dalam Peter Connoly (et.al.), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta, LKiS, 1999. Mohammad Sobary, Kang Sejo Melihat Tuhan, Jakarta, Gramedia, 2004. Muh}ammad ‘Ajaj Al-Kha>t}ib, Us}u>l al-H{adi>th: ‘Ulu>muh wa Must}alah}uh, Damaskus, Da>r al-Fikr, 1975. Mun’im A. Sirry, Sejarah Fikih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya, Risalah Gusti, 1996. Nourouzzaman Shiddiqi, Fikih Indonesia: Penggagas dan Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010
78
Sejarah Pergumulan Hukum Islam dan Budaya
Gagasannya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1997. Novriantoni, Kasus Jilbab Padang dan ‘Fasisme Kaum Moralis’, dalam http://islamlib. com, diakses 29 Mei 2010. Nurcholish Madjid, “Mencari Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern: Pengalaman Indonesia”, dalam Mark R. Woodward (et.al.), Jalan Baru Islam; Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Bandung, Mizan, 1998. ---------------, Islam: Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Paramadina, 1992. Peter L. Berger, Langit Suci Agama sebagai Realitas Sosial, terj. Hartono, Jakarta, LP3ES, 1994. Ratno Lukito, Islamic Law And Adat Encounter: The Experience of Indonesia, Jakarta, Logos, 2001. Sumanto al-Qurtuby, Lubang Hitam Agama, Mengkritik Fundamentalisme Agama, Menggugat Islam Tunggal, Yogyakarta, RumahKata, 2005. Tim Penulis, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2005. Wahbah al-Zuh}aily, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>my, Juz I, Beirut, Da>r alFikr,1986. ---------------, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>my, Juz II, Beirut, Da>r al-Fikr,1986. Yu>suf al-Qarad}a>wy, al-Madkhal li Dira>sah al-Shari>’ah al-Isla>miyyah, Beirut, Muassasat al-Risa>lah, 1993. ---------------, Keluwesan dan Keluasan Syari’ah Islam dalam Menghadapi Perubahan Zaman, terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1996.
Al-Qānūn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010