KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010‐2014 Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 2009
Laporan Studi Lapangan
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010‐2014 Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 2009
Ringkasan Eksekutif
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010‐2014 Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 2009
BAPPENAS
LAPORAN KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010 - 2014
DIREKTORAT OTONOMI DAERAH DEPUTI BIDANG PENGEMBANGAN REGIONAL DAN OTONOMI DAERAH 2009
TIM PENGARAH Himawan Hariyoga
TIM PENYUSUN Antonius Tarigan Wariki Sutikno Daryll Ichwan Akmal Agus Manshur Asep Saepudin Taufiq Hidayat Putra Sudira Jayadi Ervan Arumansyah Arum Rusmartini Ni Luh Nyoman Dewi Triandayani Muhamad Sowwam
Diterbitkan Oleh : Direktorat Otonomi Daerah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta 10310 Telp/Fax : 021 – 31935289
i
KATA PENGANTAR Buku Laporan kegiatan Kajian Perumusan Rancangan Arah Kebijakan Jangka Menengah Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi Dan Otonomi Daerah 2010-2014 ini disusun dalam rangka untuk memberikan masukan bagi perumusan RPJMN 2010-2014 pada bidang desentralisasi dan otonomi daerah. Masukan yang dimaksud adalah berupa satu perangkat arahan kebijakan dan gambaran program maupun kegiatan yang dipandang strategis untuk dicantumkan dalam RPJMN 2010-2014, berdasarkan hasil analisis terhadap isuisu, permasalahan, dan tantangan yang sedang dan akan dihadapi. Buku Laporan Akhir kegiatan Kajian Perumusan Rancangan Arah Kebijakan Jangka Menengah Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi Dan Otonomi Daerah 2010-2014
ini terdiri dari 5 (lima) bab yang meliputi
Pendahuluan, Metodologi Pelaksanaan, Kerangka Konseptual, Pelaksanaan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Serta Permasalahannya Dalam Kurun Waktu 2004-2009, serta Kesimpulan dan Rekomendasi. Kami berharap studi ini dapat menjadi bahan masukan bagi perumusan kebijakan strategis di bidang desentralisasi dan otonomi daerah. Kami mengucapkan terima kasih atas masukan berbagai pihak yang telah memungkinkan terlaksananya kajian ini, baik di lingkungan Bappenas sendiri, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Badan Pusat Statistik, Departemen Keuangan, dan Pemerintah Daerah yang menjadi sampel studi, maupun pihak-pihak lain yang turut membantu terselesaikannya kajian ini. Kami juga mengharapkan masukan, saran serta kritik demi kesempurnaan laporan ini dan perbaikan kebijakan di masa yang akan datang. Jakarta, November 2009 Direktur Otonomi Daerah, Bappenas
Himawan Hariyoga
ii
DAFTAR ISI
I 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
Tim Penyusun Kata Pengantar Daftar Isi Pendahuluan Latar Belakang Tujuan Keluaran Ruang Lingkup Sistimatika Penulisan
II 2.1. 2.2. 2.3. 2.4.
METODOLOGI Metodologi Pelaksanaan Alur Penyusunan Rancangan Kebijakan dan Indikatornya Substansi RPJM Nasional 2010-2014 Penetapan Indikator Kinerja
2-1 2-1 2-5 2-7
III 3.1. 3.2. 3.3.
KERANGKA KONSEPTUAL Pelayanan Publik Desentralisasi Otonomi Daerah
3-1 3-6 3-13
IV
PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH SERTA PERMASALAHANNYA DALAM KURUN WAKTU 2004-2009 Arah Kebijakan dalam Rangka Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah Capaian Pelaksanaan Program Desentralisasi dan Otonomi Daerah 2005-2009 Permasalahan dan Tantangan Ke Depan
4.1. 4.2. 4.3. V 5.1. 5.2.
PENUTUP: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Rekomendasi
i ii iii I-1 I-2 I-3 I-3 I-4
4-1 4-6 4-17 5-1 5-14
Daftar Pustaka Lampiran
iii
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya perkembangan proses desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia saat ini terjadi tidak hanya karena perkembangan atau perubahanperubahan kebijakan yang terkait dengannya. Perkembangan itu ternyata juga dipengaruhi oleh inovasi, strategi, maupun kebijakan-kebijakan yang diambil oleh daerah dalam mempergunakan otonomi yang dimilikinya.
Kesemuanya
menjadikan dinamika proses desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia begitu tinggi dan selalu membutuhkan penyikapan yang efektif, efisien, dan strategis. Disahkannya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah mengubah pola pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Selama kurun waktu antara tahun 2004-2008, semua level pemerintahan seolah disibukkan dengan perumusan kebijakan-kebijakan implementatif turunan dari dua Undang-undang tersebut. Selain itu, isu-isu lain kemudian muncul terkait perkembangan inovasi Pemerintah Daerah untuk mengakselerasi
pembangunan
daerahnya,
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Program-program dan kegiatan pokok yang tercakup dalam Bab 13 (Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah) RPJMN 2004-2009 lebih kurang telah berusaha mewadahi semua hal yang terkait dalam dinamika tersebut. perumusan
Akan ulang
tetapi,
tentu
diperlukan
perencanaan
jangka
penyesuaian-penyesuaian menengah
untuk
dan
menjamin
keberlangsungan proses desentralisasi dan otonomi daerah pada periode 20102014, berdasarkan isu-isu, permasalahan dan tantangan yang diproyeksikan akan terjadi pada periode tersebut. Selain itu, salah satu hambatan yang ditemui dalam usaha mengevaluasi pencapaian RPJMN 2004-2009 dalam proses desentralisasi dan otonomi daerah Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas I‐1
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
ini adalah tidak adanya satu perangkat indikator untuk mengukur pencapaian tersebut.
Kalaupun ada, ternyata indikator tersebut tidak seluruhnya dapat
ditakar pencapaiannya. Padahal, perangkat indikator yang baik adalah satu hal vital yang diperlukan untuk menentukan telah sejauh mana proses desentralisasi dan otonomi daerah itu berjalan. Kajian ini dilakukan dengan mengelaborasi isu dan permasalahan di tingkat pusat, kajian ini juga perlu memperhatikan perkembangan dan aspirasi di daerah. Hal ini karena stakeholders proses desentralisasi dan otonomi daerah tidak hanya pemerintah pusat. Stakeholders terbesar justru adalah daerah, dan penerima benefit akhirnya adalah seluruh masyarakat Indonesia. Kajian ini bertujuan untuk memberikan masukan bagi perumusan RPJMN 2010-2014 pada bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Masukan yang dimaksud adalah berupa satu perangkat arahan kebijakan dan gambaran
program
maupun
kegiatan
yang
dipandang
strategis
untuk
dicantumkan dalam RPJMN 2010-2014, berdasarkan isu-isu, permasalahan dan tantangan yang sedang dan akan dihadapi. Selain itu, kajian ini diharapkan juga dapat memberikan gambaran indikator atau tolok ukur pencapaian untuk proses revitalisasi desentralisasi dan otonomi daerah, sehingga pada akhir periode RPJMN 2010-2014 seluruh stakeholders
yang
terkait
dapat
melihat
sejauh
mana
pencapaian
pelaksanaannya. Selain itu, pencapaian indikator tersebut juga akan menjadi dasar untuk perumusan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan desentralisasi dan otonomi daerah ke depannya.
1.2. Tujuan Tujuan dari kajian ini adalah: 1) Untuk merumuskan arah kebijakan pembangunan pada bidang revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas I‐2
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
2) Untuk merumuskan rancangan awal program dan pokok-pokok kegiatan yang dipandang strategis untuk RPJMN 2010-2014 Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah 3) Untuk merumuskan perangkat indikator pencapaian atau keberhasilan pelaksanaan program/kegiatan RPJMN 2010-2014 Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah
1.3. Keluaran Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah masukan untuk penyusunan RPJMN 2010-2014 Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah yang terdiri dari: 1) Arah kebijakan dan sasaran pembangunan 2) Rancangan program strategis 3) Rancangan pokok kegiatan per program 4) Rancangan perangkat indikator per pokok kegiatan dan per program 1.4. Ruang Lingkup Lingkup kegiatan kajian meliputi: 1) Melakukan tinjauan pencapaian RPJMN 2004-2009 bidang revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah yang meliputi pula evaluasi pelaksanaan program. Sehingga dapat dihasilkan sintesa awal mengenai kebijakan bidang revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah selama ini 2) Melakukan kajian literatur terhadap isu-isu bidang revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah. Kajian literatur ini meliputi rekapitulasi hasil-hasil studi evaluasi dan monitoring, maupun studi-studi lain yang telah dilakukan oleh Direktorat Otonomi Daerah Bappenas. Kajian literatur ini juga dilakukan dengan mengelaborasi hasil background study penyusunan RPJMN 2010-2014 bidang revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah yang dilakukan pada tahun anggaran 2008
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas I‐3
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
3) Melakukan diseminasi kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menangkap persoalan di lapangan dan menghimpun isu-isu dan aspirasi dari stakeholders, baik di kalangan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah di bidang revitalisasi desentralisasi dan otonomi daerah. 4) Melakukan analisis untuk mengkompilasi dan mengolah data-data yang diperoleh
untuk
merumuskan
arahan
kebijakan
strategis
untuk
desentralisasi dan otonomi daerah ke depan 5) Menyusun policy paper di bidang revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah yang berisi arahan kebijakan, sasaran, program, pokokpokok kegiatan dan perangkat indikator sebagai input dalam penyusunan RPJMN 2010-2014 6) Lokakarya mengenai policy paper yang telah dihasilkan kepada stakeholder di bidang revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah guna menghasilkan draft final dan masukan untuk penyusunan RPJMN 2010-2014 7) Seminar akhir penyampaian hasil kajian, yang melibatkan instansi-instansi di tingkat pusat dan Pemerintah Daerah, 1.5. Sistematika Penulisan Sistematika Penulisan Buku Laporan Akhir kegiatan Kajian Perumusan Rancangan Arah Kebijakan Jangka Menengah Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Tahun 2010-2014 ini meliputi 5 Bab sebagai berikut : a. BAB 1 PENDAHULUAN Bab berikut ini menguraikan mengenai latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup kegiatan, keluaran, serta sistematika pembahasan. b. BAB 2 METODOLOGI Bab berikut ini menguraikan tentang konsep dan kerangka pemikiran, serta metode analisa dalam penyusunan rancangan arah kebijakan jangka menengah bidang revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah 2010-2014 Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas I‐4
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
c. BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL Pada bab ini diuraikan landasan teoritis dan hukum yang menjadi acuan dalam penyusunan rancangan arah kebijakan jangka menengah bidang revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah 2010-2014 d. BAB 4 PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH SERTA PERMASALAHANNYA DALAM KURUN WAKTU 2004-2009 Pada bab ini diuraikan gambaran umum kondisi pelaksanaan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah serta permasalahannya dalam kurun waktu 2004-2009, berdasar hasil evaluasi yang telah dilakukan oleh Direktorat Otonomi Bappenas maupun hasil kajian evaluasi lainnya e. BAB
USULAN
PRIORITAS
BIDANG
REVITALISASI
PROSES
DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH 2010-2014 Pada
bab
ini
diuraikan
tantangan
ke
depan
dalam
pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah sehingga dalam pelaksanaan ke depan diusulkan beberapa prioritas bidang yang menjadi fokus pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah 2010-2014. f.
BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bab ini diuraikan perumusan kesimpulan hasil kajian dan rekomendasi dalam bentuk rancangan arah kebijakan jangka menengah bidang revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah 2010-2014
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas I‐5
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
BAB II METODOLOGI
2.1. METODOLOGI PELAKSANAAN Perumusan rancangan arah kebijakan jangka menengah bidang revitalisasi
proses
desentralisasi
dan
otonomi
daerah
2010-2014
dilaksanakan dengan metode kualitatif. Pelaksanaan kajian dilaksanakan dengan mengkaji dokumen referensi-referensi yang telah ada dan diperkaya dengan wawancara dan FGD dengan pelaksana kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah baik di tingkat Pusat maupun Daerah. Metode
pengumpulan
data
primer
yang
digunakan
adalah:
wawancara dan FGD di instansi pusat dan daerah-daerah sampel, lokakarya, dan seminar akhir. Daerah sampel untuk studi meliputi Provinsi Jawa Timur, Riau, Kalimantan Tengah. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui metode studi dokumen. Dokumen-dokumen yang akan dikaji antara lain: berbagai literatur terkait dengan konsep desentralisasi dan otonomi daerah, laporan-laporan monitoring,
berbagai
dokumen
kebijakan
yang
terkait
dengan
desentralisasi dan otonomi daerah. Data sekunder yang diperoleh melalui kegiatan desk study selanjutnya diuji kembali melalui FGD, wawancara, lokakarya, dan seminar. 2.2. ALUR PENYUSUNAN RANCANGAN KEBIJAKAN DAN INDIKATORNYA 2.2.1. KERANGKA PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN Perumusan arah kebijakan pembangunan nasional dimulai dengan identifikasi prakiraan permasalahan utama, serta penyebabnya untuk diselesaikan dalam periode 5 (lima) tahun ke depan. Permasalahan utama merupakan perkiraan permasalahan yang akan dihadapi lima tahun ke depan berdasarkan perkembangan sampai saat ini. Permasalahan utama II‐1
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
termasuk tantangan, yang merupakan permasalahan yang menonjol dalam lima tahun ke depan. Selanjutnya, ditetapkan sasaran pembangunan nasional jangka menengah 2010-2014, yang akan menjadi dasar Penetapan Prioritas Pembangunan Nasional. Untuk setiap Prioritas Pembangunan, dibangun skenario isu strategis bersifat lintas Bidang/K-L dan kegiatan pembangunan
yang
akan
mendukung
pada
pencapaian
prioritas
pembangunan tersebut. Yaitu melalui Fokus Prioritas Nasional (programprogram pembangunan Prioritas yang bersifat lintas Bidang/K-L atau lintas wilayah), dan kegiatan-kegiatan prioritas nasional pendukungnya. Berbagai acuan yang dapat digunakan dalam identifikasi prakiraan permasalahan utama bangsa dalam periode lima tahun ke depan adalah : (1) hasil evaluasi RPJMN periode sebelumnya, (2) misi pembangunan yang belum terselesaikan dalam 5 tahun sebelumnya, dan (3) masukan aspirasi dari masyarakat/stakeholder luas lainnya. Selanjutnya, permasalahan dan sasaran
akan
mengarahkan
pada
perumusan
arah
kebijakan
pembangunan nasional yang perlu ditetapkan untuk periode 2010-2014, dengan mempertimbangkan dan mensinergikan hal-hal sebagai berikut: 1. Skala Prioritas dalam RPJPN 2025 2. Visi, misi dan Program Prioritas Presiden Terpilih 3. Komitmen internasional/global terkini Logika alur berpikir dalam merumuskan permasalahan pokok dan agenda pembangunan RPJMN 2010-2014 dapat dilihat dalam Gambar 2.1 Diagram Alir Perumusan Masalah dan Arah Kebijakan RPJMN 2010-2014. 2.2.2. PENYUSUNAN STRUKTUR KEBIJAKAN (POLICY STRUCTURE) Di dalam perumusan kebijakan pembangunan (policy planning), perlu
dijaga
logika
berpikir
yang
konsisten
antara
identifikasi
permasalahan dan tantangan, sasaran, dan arah kebijakan untuk menyelesaikannya. Untuk itu, arah kebijakan dan strategi pembangunan yang memuat Prioritas, Fokus Prioritas, dan Kegiatan Prioritas (policy structure) dituliskan secara sistematis dan terstruktur, yaitu mengalir dalam II‐2
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
keterkaitan yang logis sehingga memudahkan untuk dipahami dan dapat dievaluasi kinerja capaiannya. Hal ini juga akan memudahkan dalam monitoring dan evaluasi pencapaian kinerjanya. Penyusunan Policy Structure dilakukan menggunakan model logika program (program logic model) atau dapat juga disebut model logika kinerja
(perfomance
mengkaitkan
logic
berbagai
biru/pemetaan
untuk
model).
Yaitu
tahapan/kegiatan pencapaian
misi
kerangka
logika
dan
memberikan
suatu
program.
yang cetak-
Aplikasi
penyusunan kerangka logis struktur kebijakan di dalam RPJMN dapat dilihat pada Gambar 2.2 Struktur Kebijakan (Policy Structure) dan Kinerja RPJMN
2010-2014.
Model
logika
membantu
untuk
menjelaskan
objektif/tujuan dari kebijakan/program, dan aliran kontribusinya dalam rantai pencapaian hasil kinerja berdasarkan setiap tahap kebijakan. Tahap perumusan rancangan struktur kebijakan (policy structure) dimulai dengan identifikasi kondisi saat ini, yaitu permasalahan yang harus ditangani untuk menuju pada perubahan (sosial/ekonomi/politik/fisik) yang diinginkan dalam periode 5 (lima) tahun ke depan. Selanjutnya ditetapkan sasarn pokok dari peubahan yang ingin dicapai. Berdasarkan pada sasaran pokok yang ingin dicapai, ditentukan arah kebijakan pembangunan yang diambil. Arah kebijakan pembangunan yang memuat strategi yang merupakan kerangka pikir/kerangka kerja terdiri dari Prioritas, Fokus Prioritas/Program, dan Kegiatan untuk memecahkan permasalahan pokok dan mewujudkan sasaran prioritas. Pencapaian Prioritas Nasional didukung oleh Fokus Prioritas yang sejauh mungkin bersifat lintas Bidang/K-L beserta kegiatan-kegiatan prioritasnya. Untuk setiap rantai hasil/pencapaian digunakan berbagai indikator untuk mengukurnya. Untuk keberhasilan pencapaian Prioritas Pembangunan diukur dengan indikator impact/dampak, keberhasilan pencapaian Fokus Prioritas atau Program dikukur dengan indikator outcomes/hasil,
keberhasilan
pencapaian
Kegiatan
diukur
dengan
II‐3
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
indikator Output/keluaran, sedangkan untuk penggunaan sumberdaya digunakan indikator input.
II‐4
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
II‐5
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
Masukan dari Pemangku Kepentingan
KONDISI SAAT INI BANGSA INDONESIA : Identifikasi Permasalahan dan Penyebabnya
Skala Prioritas RPJPN 2025
PERKIRAAN PERMASALAHAN UTAMA DAN TANTANGAN 2010‐2014
Visi, Misi, Program Prioritas Presiden Terpilih
Komitmen Internasional/ Global
PENETAPAN SASARAN POKOK PEMBANGUNAN NASIONAL 2010‐2014
2009 ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN NASIONAL 2010‐ 2014 PRIORITAS NASIONAL (INDIKATOR DAMPAK)
FOKUS PRIORITAS (Isu Strategis Lintas Bidang/K‐L)
PROGRAM
(INDIKATOR OUTCOMES)
KEGIATAN PRIORITAS (INDIKATOR OUTPUT) BASELINE DATA: Kondisi saat ini
Masukan dari Pemangku Kepentingan
Misi Pembangunan Yang Belum Selesai 2004‐2009
SUMBER DAYA (INDIKATOR INPUTS)
Gambar 2.1 DIAGRAM ALIR PERUMUSAN MASALAH & ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL 2010‐2014
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas
II‐6
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
INDIKATOR
PRIORITAS NASIONAL
IMPACT/DAMPAK
OUTCOMES/HASIL
FOKUS PRIORITAS (isu strategis)
PROGRAM
INDIKATOR IMPACTS
INDIKATOR OUTCOMES
KEGIATAN
INDIKATOR OUTPUTS/ KELUARAN
MASUKAN/INPUT
SUMBERDAYA
INDIKATOR INPUTS/ MASUKAN
SUMBER DATA
KELUARAN/PRODUK
BASELINE DATA TENTANG KONDISI KINI PERMASLAHAN YANG AKAN DITANGANI
PERMASALAHAN UTAMA (Permasalahan Pokok Nasional yang akan diselesaiakn dalam 2010‐2014)
Gambar 2.2 Struktur Kebijakan (Policy Structure) dan Kinerja Pembangunan RPJMN 2010-2014
Pengertian dari masing-masing rantai pencapaian kinerja/indikator kinerja kebijakan pembangunan adalah sebagai berikut : 1. Dampak/Impact : Pernyataan perubahan pada masyarakat seperti apa yang ingin dituju sebagai akibat dari hasil pembangunan yang tercapai. Biasanya bersifat Jangka Menengah/Jangka Panjang. 2. Hasil/Outcome : Pernyataan manfaat yang ingin dicapai, atau hasil tangible bagi masyarakat/target group. Merupakan cara untuk menentukan dan mengendalikan
tercapainya
suskes/tidaknya
suatu
Fokus
Prioritas/Program. Outcomes dapat juga merupakan perubahan yang II‐7
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
terjasi pada target group-yang merupakan bagian dari masyarakat yang lebih luas (sebagai dampaknya). 3. Keluaran/Output:
Apa
saja
yang
harus
dihasilkan/dilakukan
untuk
mencapai Outcome Antara/Outcome Akhir. 4. Masukan/Input : Sumber daya yang diperlukan sehingga kegiatan yang perlu dilakukan untuk menghasilkan Output bisa berjalan.
2.3. SUBSTANSI RPJM NASIONAL 2010-2014 2.3.1. ARAHAN RPJPN 2005-2025 Tujuan (visi) dari Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 adalah untuk mewujudkan masyarakat yang maju, mandiri, dan adil sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju masyarakat yang adil
dan
makmur.
memberikan
arah
Visi
pembangunan
pencapaiannya
RPJPN
melalui
2005-2025 delapan
tersebut (8)
misi
pembangunannya yaitu : (1) Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab, (2) Mewujudkan bangsa yang
berdaya
saing,
(3)
Mewujudkan
masyarakat
demokratis
berlandaskan hukum, (4) Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu, (5) Mewujudkan pemerataan pembangunan dan keadilan, (6) Mewujudkan Indonesia asri dan lestari, (7) Mewujudkan Indonesia menjadi Negara Kepulauan yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional, dan (8) Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional. Pencapaian sasaran pokok RPJPN 2005-2025 pada masing-masing misi pembangunan tersebut dilakukan melalui tahapan dan skala prioritas pembangunan yang akan menjadi agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah. Untuk setiap misi pembangunan tersebut, di dalam setiap tahap rencana pembangunan jangka menengah dijabarkan arah pembangunan dan sasaran pokok 5 tahunannya. Tahapan pembangunan dalam RPJP Nasional adalah sebagai berikut: II‐8
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
RPJM 1
Menata kembali NKRI, membangun Indonesia yang aman
(2005-2009)
dan
damai,
adil
dan
demokratis,
dengan
tingkat
kesejahteraan yang lebih baik. RPJM 2
Memantapkan penataan kembali NKRI, meningkatkan
(2010-2014)
kualitas
SDM,
membangun
kemampuan
Iptek,
memperkuat daya saing perekonomian. RPJM 3
Memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan
(2015-2019)
menekankan
pembangunan
keunggulan
kompetitif
perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan Iptek. RPJM 4
Mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju,
(2020-2025)
adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif.
RPJMN 2010-2014 merupakan tahap ke-2 pencapaian visi dan misi RPJPN 2025 dengan prioritas agenda pembangunan difokuskan pada pemantapan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan penekanan pada upaya: 1. Peningkatan kualitas sumber daya manusia; 2. Perkembangan kemampuan ilmu dan teknologi; dan 3. Penguatan daya saing perekonomian. Pencapaian tahapan RPJP dilaksanakan melalui strategi pembangunan yang dipilih dalam sembilan (9) Bidang Pembangunan dalam RPJPN 20052025, yaitu : (1) sosial budaya dan kehidupan beragama; (2) Ekonomi, (3) Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (4) Politik, (5) Pertahanan dan Keamanan, (6) Hukum dan Aparatur , (7) Pembangunan Wilayah dan Tata Ruang, (8) II‐9
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Penyedia Sarana dan Prasarana, dan (9) Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Untuk penulisan RPJMN 2010-2014 pembagian Bidang mengikuti pembagian 9 bidang pembangunan dalam RPJMN 20052025 ditambah satu bidang yaitu Bidang Penanggulangan Kemiskinan dan Pemerataan Pembangunan. Bidang ini nantinya dapat berdiri sendiri atau merupakan bagian dari bidang Ekonomi. Adapun tahapan dan skala prioritas pembangunan bidang desentralisasi dan otonomi daerah 2005-2025 adalah sebagai berikut : TABEL 2.1. Tahapan Dan Skala Prioritas Pembangunan Bidang Desentralisasi Dan Otonomi Daerah 2005-2025 RPJM-1 (2005-2009)
RPJM-2 (2010-2014)
RPJM-3 (2015-2019)
RPJM-4 (2020-2024)
Pelayanan kepada masyarakat makin membaik dengan meningkatnya penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah yang tercermin dengan terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah dan tidak bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang lebih tinggi; serta tertatanya kelembagaan birokrasi dalam mendukung percepatan terwujudnya tata kepemerintahan yang baik
Kehidupan bangsa yang lebih demokratis semakin terwujud ditandai dengan membaiknya pelaksanaan desentralisasi & otonomi daerah serta kuatnya peran masyarakat sipil dan partai politik dalam kehidupan bangsa. Kualitas pelayanan publik yang lebih murah, cepat, transparan, & akuntabel makin meningkat yang ditandai dengan terpenuhinya standar pelayanan minimum di semua tingkatan pemerintah.
Semakin mantapnya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Kesadaran dan penegakan hukum dalam berbagai aspek kehidupan berkembang makin mantap serta profesionalisme aparatur negara di pusat dan daerah makin mampu mendukung pembangunan nasional
Terwujudnya tata kepemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa yang berdasarkan hukum, serta birokrasi yang profesional dan netral.
II‐10
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
2.3.2. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN Arah kebijakan pembangunan memuat strategi yang merupakan kerangka pikir atau kerangka kerja untuk menyelesaikan masalah dalam rangka mencapai sasaran, yaitu perubahan kondisi sosial masyarakat yang ingin dicapai dalam 5 tahun kedepan. Indikator pengukuran keberhasilan pencapaian Prioritas Nasional adalah indikator Dampak/Impact. Untuk setiap Prioritas Nasional dijabarkan ke dalam Fokus Prioritas yang bersifat isu strategis Lintas Bidang/K-L. Indikator pengukuran keberhasilan Fokus Prioritas adlah indikator outcomes. Prioritas Nasional adalah penjabaran dari visi, misi dan prioritas Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk periode 2010-2014 yang telah dicanangkan sejak masa kampanyenya. Pencapaian prioritas nasional bersifat lintas pelaku pembangunan yaitu: pemerintah, swasta, dan masyarakat. Pertama, melalui kebijakanatau regulasi, dan kedua, melalui kebijakan anggaran. Arahan prioritas RPJP-tahap 2 tersebut merupakan salah satu rujukan dalam penentuan agenda Prioritas baik di lingkup nasional maupun dalam lingkup Bidang/K-L. pada tahap penyiapan Rancangan
Awal
RPJMN
(teknokratis)
Prioritas
Nasional
disusun
berdasarkan : 1. Prioritas dalam konteks sasaran RPJP 2005-2025 tahap ke-2 yaitu RPJMN periode 2010-2014 dan Prioritas terkait dengan kondisi saat ini. 2. Visi, misi, dan Program Prioritas Presiden Terpilih, yang merupakan agenda nasional utama yang perlu mendapat dukungan dan menjadi prioritas keberhasilan pemerintahan dalam 5 tahun ke depan; 3. Komitmen internasional/global yang terkini; 4. Kebijakan pembangunan prioritas pada tahap RPJMN 2004-2009 yang belum tuntas penyelesaiannya serta perlu untuk diteruskan dalam periode selanjutnya. Prioritas Nasional kemudian dijabarkan menjadi isu strategis lintas Bidang/K-L atau disebut Fokus Prioritas Nasional. Fokus Prioritas Nasional II‐11
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
adalah kebijakan lintas Bidang/K-L yang dirancang untuk mendukung pencapaian sasaran Prioritas Nasional. Sasaran atau tujuan dari Fokus Prioritas Nasional dicapai melelui koordinasi pelaksanaan kegiatan Prioritas lintas bidang/K-L. Mengacu pada sasaran Prioritas Nasional, pada setiap Bidang dirumuskan Prioritas Bidang dan Fokus Prioritas Bidang yang didukung oleh masing-masing Kegiatan Prioritas Bidang. Prioritas Bidang merupakan kebijakan yang diambil untuk mencapai Sasaran Pokok Pembangunan. Bidang yang dicanangkan dalam periode 5 tahun kedepan. Fokus Prioritas Bidang bersifat lintas sektor/K-L sehingga membutuhkan koordinasi lintas sektor/K-L. 2.3.3. PENGARUSUTAMAAN PEMBANGUNAN (MAINSTREAMING) Pengarusutamaan
pembangunan
(Mainstreaming)
adalah
isu/permasalahan yang melibatkan kegiatan lintas Bidang dan atau lintas K-L.
Pangarusutamaan
pembangunan
dimaksudkan
untuk
mengintegrasikan suatu isu ke dalam proses pembangunan di setiap Bidang atau Kegiatan. Pangarusutamaan terintegrasi ke dalam KegiatanKegiatan lintas Bidang dalam bentuk indikator output untuk isu pangarusutamaan operasional
tertentu.
pembangunan
Pangarusutamaan tingkat
pusat
dan
menjadi daerah.
landasan Penerapan
pangarusutamaan akan menghasilkan kebijkan publik yang lebih efektif untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan merata. Untuk memastikan pelaksanaan pangarusutamaan di Bidang dan atau Kegiatan pembangunan, perlu ditunjuk Koordinator untuk masing-masing isu pangarusutamaan. Koordinator bersama dengan unit pelaksana terkait menyepakati rencana tindak dan indikator capaian output yang aka dimasukkan ke dalam masing-masing Kegiatan di dalam Bidang yang terkait. Masing-masing unit pelaksana berkewajiban untuk melaporkan capaian pangarusutamaannya yang telah dilaksanakan secara berkala kepada Koordinator Pangarusutamaan. II‐12
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
2.3.4. KERANGKA EKONOMI MAKRO Rumusan strategi pembangunan nasional yang mencakup kerangka ekonomi makro dan pembiayaan menjadi bahan dalam perumusan arah kebiajakan pembangunan nasional jangka menengah. Kerangka ekonomi makro dan pembiayaan memuat gambaran umum perekonomian secara menyeluruh, termasuk arah kebijakan fiskal untuk periode jangka menengah 2010-2014. 2.4. PENETAPAN INDIKATOR KINERJA 2.4.1. KRITERIA INDIKATOR KINERJA a.
Indikator Kinerja Yang Smart Indikator adalah variabel kuantitatif atau kualitatif yang memudahkan
dalam pengukuran pencapaian kemajuan atau perubahan yang terjadi akibat dari suatu intervensi yang dilakukan. Selanjutnya, indikator digunakan untuk mengukur kinerja (kualitas kerja) suatu organisasi terhadap pencapaian hasil-hasil yang direncanakan. Indikator yang baik haruslah bersifat : (1) realistis, data mudah didapatkan dalam arti tidak mahal dan tidak sukar mendapatkannya; dan (2) relevan, mempunyai keterkaitan yang jelas dengan subjek yang diukur dan bersifat ojektif dalam mengukur pencapaian. Secara lengkapnya, indikator yang baik harus memiliki unsur SMART dibawah ini:
II‐13
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
TABEL 2.1 Merumuskan Indikator Yang Memenuhi Kriteria Smart Specific (spesifik/khusus)
• Menyebutkan dengan jelas data dan kemudahan akses untuk mendapatkannya.
Measurable (Terukur) Atributeable (or
• Indikator yang dapat terukur baik secara kuantitatif atau kualitatif. • Memperhitungkan kemampuan unit
Accountable)
pelaksana dalam mencapai target kinerja
Dapat
yang ditetapkan.
Dipertanggungjawabkan
• Berada dalam rentang kendali/pertanggungjawaban akuntabilitas unit kerja yang bersangkutan.
Result-Oriented (Relevan)
• Relevan/terkait langsung dengan Program/Kegiatan yang diukur. • Uji dengan “Jika-Maka” : Jika digunakan Indikator Kinerja tertentu, maka informasi mengenai tercapai atau tidaknya sasaran strategis dari suatu Program/Kegiatan akan dapat diketahui.
Time-bound
• Memeperhitungkan rentang atau periode
(Periode Waktu
waktu pencapaian, untuk analisa
Tertentu)
perbandingan kinerja dengan masa-masa sebelumnya.
(Sumber : Dikutip dari Pedoman Manajemen Kinerja, Inspektorat Utama, Bappenas, 2006) II‐14
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
b.
2009
Indikator Kuantitatif Dan Kualitatif Indikator kinerja dapat berupa indikator yang bersifat kuantitatif
maupun
kualitatif.
Masing-masing
indikator
mempunyai
maksud
penggunaan yang berbeda, tergantung dari tujuan pengukuran yang dilakukan. Manajemen sektor publik mempunyai kepentingan tidak hanya berkaitan dengan dokumentasi suatu progress/kemajuan secara kuantitatif, tetapi juga secara kualitatif. Indikator kualitatif membantu memberi informasi telah apa yang telah dicapai dengan baik dan apa yang perlu diperbaiki. Hal ini akan memberikan informasi yang lebih baik bagi keputusan strategis dalam perencanaan dan penganggaran sumber-daya input. Indikator yang bersifat kuantitaif lazimnya berupa angka. Indikator yang bersifat kualitatif menyatakan penilaian yang bersifat kualitatif, misalnya pernyataan perubahan yang terjadi pada proses kelembagaan, sikap, kepercayaan, motivasi, maupun tingkah laku dari individu. Indikator kualitatif mengukur persepsi (misalnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan masyarakat tertentu), atau dapat juga pernyataan gambaran tingkah laku (misalnya tingkat penguasaan dari suatu kegiatan pelatihan). Sebagai
contoh,
pada
pengukuran
kinerja
pelaksanaan
pangarusutamaan “Gender” di masyarakat, indikator kuantitaif yang “sensitif gender” digunakan untuk mengukur jumlah atau persentase lakilaki dan perempuan yang berpartisipasi dalam suatu kegiatan indikator kuantitatif ditabulasi menurut laki-laki/perempuan). Namun demikian, indikator kualitatif juga dibutuhkan, karena kita ingin mengetahui tidak saja jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam suatu kegiatan (misal jumlah perempuan di legislatif), tetapi juga kualitas partisipasi dan peran mereka di dalam kegiatan tersebut.
II‐15
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Data kualitatif biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengumpulkan, mengukur dan menyaringnya terutama pada tahap awal pengukuran dilakukan. Selain itu, indikator kualitaif relatif lebih sulit untuk diverifikasi karena indikator tersebut mengandung unsur pertimbangan subyektif. Perubahan secara kualitatif, misalnya “persepsi” peran aktif wanita dapat terukur apabila tersedia baseline data. Sebagai contoh: 30% perempuan yang berpartisipasi di lembaga legislative pada akhir periode pengamatan, merupakan keberhasilan dalam peningkatan “persepsi” peran aktif wanita dibandingkan dengan hanya 10% pada awal periode (baseline). c.
Indikator Proksi Dalam mengukur pencapaian outcome, seringkali tidak dapat
diperoleh data yang tepat untuk digunakan dalam mengukur suatu outcome. Hal ini terjadi apabila data dari indikator yang dicari, tidak tersedia atau membutuhkan biaya yang tinggi apabila data dari indikator yang dicari, tidak tersedia atau membutuhkan biaya yang tinggi untuk mendapatkannya. Dalam hal ini, dapat dilakukan pendekatan dengan menggunakan Indikator Proksi (Proxy). Contoh : (1) karena sulitnya melakukan survey kemiskinan untuk seluruh rumah tangga untuk seluruh keluarga miskin, maka dilakukan pendekatan dengan mengamati kualitas rumah tinggal mereka, (2) penggunaan tingkat pendidikan sebagai prediksi kualitas pekerja. 2.4.2. PENDEKATAN PENENTUAN INDIKATOR KINERJA Perumusan pernyataan keluaran dari Kegiatan-Kegiatan pokok yang mendukung suatu Fokus Prioritas atau Program dapat dilakukan dengan pendekatan logika berpikir deduktif. Alur berpikir dimulai dari penetapan hasil/outcomes dari Fokus Prioritas atau Program (apa manfaat/perubahan yang ingin dicapai, disertai dengan penentuan sasaran (pengukuran) dan indikator outcomes yang direncanakan. Kemudian, jabarkan langkahlangkah yang harus dilakukan untuk menghasilkan perubahan dalam II‐16
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
pencapqaian hasil/oucomes yang diinginkan. Langkah-langkah tersebut merupakan kondisi logis yang spesifik saat ini dihadapi, identifikasi strateginya
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan
analisa
SWOT
(Kekuatan, Kelemahan, Tantangan, dan Ancaman). Selanjutnya, jabarkan hasil/outcome dari masing-masing tahap perubahan tersebut beserta indikatornya. Tentukan output (apa yang harus diproduksi/dikeluarkan) untuk menghasilkan perubahan dari masingmasing tahap tersebut, dan tetapkan indikator outputnya. Berdasarkan hal tersebut,
tentukan
kegiatan-kegiatan
yang
harus
dilakukan
untuk
memproduksi outputs tersebut.
II‐17
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL Pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ini berarti bahwa pemerintahan diadakan untuk melayani masyarakat serta menciptakan
kondisi
yang
memungkinkan
setiap
anggota
masyarakat
mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama. Terjadi pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan, dari paradigma “rule government” menjadi “good governance”. Dalam paradigma “good governance”, dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah atau negara saja, tetapi harus melibatkan seluruh elemen. Kondisi ini dapat terwujud apabila pemerintah didekatkan dengan yang dilayani.
Pemerintah yang didekatkan
dengan yang dilayani ini berarti desentralisasi dan otonomi daerah. 3.1. Pelayanan Publik Mengacu pada tujuan UU No 32/2004, Bagian Menimbang huruf a, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, tujuan desentralisasi adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan. Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin dinamis, masyarakat menjadi semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Mereka menjadi lebih kritis dalam
mengajukan tuntutan dan aspirasinya kepada pemerintah.
Oleh karena itum
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐1
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
birokrasi publik dituntut untuk dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adapatif. Pelayanan publik yang profesional adalah pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah). (joko widodo hal 270). Pelayanan publik yang efektif adalah pelayanan publik yang lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran. Sederhana,
mengandung
arti
prosedur/tata
cara
pelayanan
diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan. Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai: (a) prosedur/tata cara pelayanan; (b) persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif; (c) unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan; (d) rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya, dan (e) jadwal waktu penyelesaian pelayanan. Keterbukan, mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta. Efisiensi, mengandung arti : (a) persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan; (b) dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐2
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait. Ketepatan waktu, kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani. Adaptif, adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan, dan aspirasi masyarakat yang dilayani, yang senantiasa mengalami tumbuh kembang. Thoha (1998) seperti dikutip oleh Joko Widodo, berpendapat bahwa untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, organisasi publik (birokrasi publik) harus mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan layanan publik. Pelayanan publik dapat dikataka baik manakala masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan pelayanan dengan prosedur yang tidak panjang, biaya murah, waktu cepat, dan masyarakat sedikit atau hampir tidak ada keluhan yang diberikan kepadanya. 3.1.1. Kriteria Pelayanan Publik yang Baik Untuk dapat menilai sejauh mana mutu layanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintah, perlu ada kriteria yang menunjukkan apakah suatu pelayanan publik yang diberikan dapat dikatakan baik atau buruk. Zethaml (1990) seperti yang dikutip oleh Joko Widodo, mengemukakan tolok ukur kualitas pelayanan publik dari sepuluh dimensi, yakni:
Tangible, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐3
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Reliable, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat
Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap mutu pelayanan yang diberikan
Competence, tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan, dan ketrampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan layanan
Courtessy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi
Credibility, sikap jujur dalam setiap usaha untuk menarik kepercayaan masyarakat
Security, jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas, dari berbagai bahaya dan resiko
Access, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan
Communication, kemauan pemberi layanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat
Understanding the customer, melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan LAN
(Lembaga
Administrasi
Negara)
membuat
beberapa
kriteria
pelayanan publik yang baik, yang meliputi:
Kesederhanaan: prosedur /tatacara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan
Kejelasan dan kepastian: adanya kejelasan mengenai: (a) prosedur/tata cara pelayanan; (b) persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif; (c) unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan; (d) rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya; dan (e) jadwal waktu penyelesaian pelayanan
Keamanan:
prosedur/tatacara
persyaratan,
satuan
kerja/pejabat
penanggung jawab pemberi layanan, waktu penyelesaian, rincian Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐4
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
waktu/tarif serta hal-hal yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta
Efisiensi mengandung arti: (a) persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan; (b) dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
Ekonomis : pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan
memperhatikan:
(a)
nilai
barang
dan
jasa
pelayanan
masyarakat dan tidak menuntut biaya yang terlalu tinggi di luar kewajaran; (b) kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar; (c) ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Keadilan yang merata: cakupan/jangkauan pelayanan harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diberlakukan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat
Ketepatan
waktu:
pelaksanaan
pelayanan
masyarakat
dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan
Kriteria kuantitatif yang meliputi: (a) jumlah warga/masyarakat yang meminta pelayanan, untuk mengetahui apakah ada peningkatan atau tidak; (b) lamanya waktu pemberian pelayanan masyarakat sesuai dengan permintaan (dihitung secara rata-rata); (c) penggunaan perangkat-perangkat modern untuk mempercepat dan mempermudah pelayanan kepada masyarakat; (d) frekuensi keluhan dan atau pujian dari masyarakat penerima pelayanan terhadap pelayanan yang diberikan oleh unit kerja/kantor pelayanan yang bersangkutan.
Hatry dalam Robert (1994:170) seperti yang dikutip oleh Joko Widodo, menjelaskan setidaknya terdapat tiga macam sumber data utama untuk mengukur kualitas pelayanan publik, yaitu: Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐5
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
(1)
use of government records.
2009
Tersedianya data tentang kualitas
pelayanan oleh birokrasi publik, merupakan suatu opsi penting, mulai dari prosedur biaya rendah, kerugian, program-program publik.
Paling tidak, beberapa informasi tentang kualitas
pelayanan harus diberikan oleh pemerintah, yakni: service response time (waktu penyelesaian pelayanan) dan complaint counts, yakni mentabulasikan keluhan berdasarkan jenisnya, sehingga diketahui karakteristik dari pelayanan tertentu. (2)
Trained observer rating merupakan sukarelawan yang dilatih oleh pemerintah untuk menjadi peneliti atau pengawas yang secara periodik menilai kondisi fisik tertentu dengang menggunakan rata-rata tertentu.
(3)
Survey of customers.
Hasil survey pelanggan berupa informasi
tentang rata-rata pelayanan dapat digunakan oleh pemerinrah sebagai indikator pelayanan publik. 3.2. Desentralisasi 3.2.1. Beberapa Konsep Desentralisasi Desentralisasi berasal dari Bahasa Latin, yaitu de yang berarti lepas dan centrum yang artinya pusat. Decentrum berarti melepas dari pusat, dengan demikian maka desentralisasi tidak putus sama sekali dengan pusat tapi hanya menjauh dari pusat. Penyerahan sebagian kewenangan politik dan administrasi pada jenjang organisasi yang lebih rendah disebut desentralisasi. Jadi desentralisasi adalah penyerahan wewenang politik dan administrasi dari puncak hirarki organisasi (pemerintah pusat) kepada jenjang di bawahnya (baca : pemerintah daerah) (Nurcholis, 2005 :7). Menurut Smith (1985) desentralisasi memiliki ciri-ciri berikut: 1) penyerahan wewenang untuk melaksanakan fungsi pemerintah tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah otonom. Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐6
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
2) fungsi yang diserahkan dapat dirinci, atau merupakan fungsi yang tersisa (residual function). 3) penerima wewenang adalah daerah otonom. 4) penyerahan
wewenang
berarti
wewenang
untuk
menetapkan
dan
melaksanakan kebijakan; wewenang mengatur dan mengurus(regelling en bestur) kepentingan yang bersifat lokal. 5) wewenang mengatur adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang berlaku umum dan bersifat abstrak. 6) wewenang mengurus adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang bersifat individual dan konkrit (beschikking, acte administratif, verwaltungsakt). Secara umum desentralisasi terbagi menjadi dua : desentralisasi territorial atau kewilayahan dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada wilayah di dalam negara. Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan wewenang kepada organisasi fungsional (atau teknis) yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat. Desentralisasi dengan demikian adalah prinsip pendelegasian wewenang dari pusat ke bagian-bagiannya, baik bersifat kewilayahan maupun kefungsian. Prinsip ini mengacu kepada fakta adanya span of control dari setiap organisasi sehingga organisasi perlu diselenggarakan secara “bersama-sama” (Nugroho, 2000: 42-44). Dalam konsep yang lebih luas, desentralisasi dibagi atas desentralisasi administratif, desentralisasi fiskal dan desentralisasi politik. Rondinelli dan Nellis dalam Sait Abdullah (2005:64) desentralisasi administratif sebagai “transfer tanggungjawab
untuk
merencanakan,
memanajemen,
menaikan
dan
mengalokasikan sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agennya, kepada subordinat atau pemerintah daerah, badan semi otonom, persuhaan, otoritas regional
atau
fungstional,
NGO
atau
organisasi-organisasi
volunter.
Desentralisasi Fiskal adalah adalah transfer kewenangan di area tanggug jawab finansial dan pembuatan keputusan termasuk memenuhi keuangan sendiri, expansi pendapatan lokal, transfer pendapatan pajak dan otorisasi untuk Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐7
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
meminjam dan memobilisasi sumber-sumber pemerintah daerah melalui jaminan peminjaman (Litvac dan Seddon, 1998: 3 dalam Sait Abdullah(ibid)). Sedangkan yang dimaksud dengan desentralisasi politik termasuk transfer kekuasaan administratif, keuangan dan politik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang mana termasuk penciptaan kekuasaan masyarakat untuk menentukan bentuk pemerintahan mereka, perwakilan, kebijakan dan pelayanan ((UNDP, 1999: 10) dalam Sait Abdullah (ibid.)). Hal ini dapat mendorong proses demokrasi melalui pemberian pengaruh kpada rakyat atau perwakilannya dalam formulasi dan implementasi kebijakan. ((Litvack dan Seddon, 1998: 2) dalam Sait Abdullah (ibid.)). Sehingga desentralisasi yang banyak dijalankan di negara kesatuan lebih terbatas pada desentralisasi administratif. Desentralisasi diartikan pula sebagai suatu sistem dimana bagian-bagian tugas negara diserahkan penyelenggaraannya kepada organ yang sedikit banyak mandiri.
Organ yang mandiri itu wajib dan berwenang melakukan
tugasnya atas inisiatif dan kebijaksanaannya sendiri. Ciri yang peting bagi organ yang didesentralisasikan adalah mempunyai sumber-sumber keuangan sendiri untuk membiayai pelaksanaan tugasnya. (hal.39) Menurut Undang-undang No 5 Tahun 1974, desentralisasi merupakan salah satu dari 3 azas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Undang-undang No 5Tahun 1974 pasal 1 (b) menyatakan: desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya. Menurut Undang-undang No 22 Tahun 1999, desentralisasi diartikan dengan penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desentralisasi menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐8
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
3.2.2. Tipe-tipe Desentralisasi Paling tidak terdapat tiga tipe desentralisasi administratif, yaitu : dekonsentrasi, devolusi dan delegasi. Dekonsentrasi adalah pelimpahan kewenangan secara spesifik melalui pembuatan keputusan, keuangan, dan fungsi manajemen secara administratif kepada tingkatan yang berbeda dibawah kewenangan yurisdiksi pemerintah pusat (Cohen dan Peterson (1999:24). Hanif Nurcholis (2005:9) mengutarakan bahwa yang dimaksud
dengan
dekonsentrasi adalah penyerahan beban kerja dari kementerian pusat kepada pejabat-pejabatnya yang berada di wilayah. Penyerahan ini tidak diikuti oleh kewenangan
membuat
keputusan
dan
diskresi
untuk
melaksanakannya.
Sementara menurut Undang Undang No. 32 Tahun 2004, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sedangkan yang dimaksud tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari Pemerintah Provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Devolusi adalah pelepasan fungsi-fungsi tertentu dari pemerintah pusat untuk membuat satuan pemerintah baru yang tidak dikontrol secara langsung. Tujuan devolusi adalah untuk memperkuat sarana pemerintahan di bawah pemerintah pusat dengan cara mendelegasikan fungsi dan kewenangannya. Lima ciri devolusi: 1) Unit pemerintahan setempat bersifat otonom, mandiri, dan seara tegas terpisah dari tingkat-tingkat pemerintahan 2) Unit pemerintahan tersebut diakui memiliki batas geografi yang jelas dan legal , yang mempunyai wewenang untuk melakukan tugas-tugas umum pemerintahan
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐9
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
3) Pemerintahan daerah berstatus badan hukum dan memiliki kekuasaan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk mendukung pelaksanaan tugasnya 4) Pemerintahan daerah diakui warganya sebagai suatu lembaga yang akan memberkan pelayanan kepada masyarakat dan memenuhi kebutuhan mereka 5) Terdapat
hubungan
saling
menguntungkan
melalui
koordinasi
antar
pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta unit-unit organisasi lainnya dalam suatu sistem pemerintahan. Devolusi menurut Cohen dan Peterson (1999:25) adalah devolusi timbul ketika pemerintah pusat memindahkan kewenangan kepada daerah otonom yang dibentuk berdasarkan legislasi negara. Devolusi juga menunjukkan pemerintah daerah (otonom). Selain dalam bentuk dekonsentrasi dan devolusi, desentralisasi juga bisa dilakukan dengan cara pendelegasian pembuatan keputusan dan kewenangan administratif
kepada
organisasi-organisasi
yang
melakukan
fungsi-fungsi
tertentu, yang tidak di bawah pengawasan kementerian pusat. Sebagaimana diketahui dalam suatu pemerintahan terdapat organisasi-organisasi yang melakukan fungsi-fungsi tertentu dengan kewenangan yang agak independen. Organisasi ini adakalanya tidak ditempatkan dalam struktur reguler pemerintah. Misalnya Badan Usaha Milik Negara seperti Telkom, Bank, jalan tol, dan lain-lain, Badan Perencana Pembangunan Daerah, badan-badan otoritas dan lain-lain. Terhadap organisasi semacam ini pada dasarnya diberikan kewenangan semi independen untuk melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya. Bahkan kadang-kadang berada di luar ketentuan yang diatur oleh pemerintah, karena bersifat komersial dan mengutamakan efisiensi daripada prosedur birokratif dan politis. Pendelegasian tersebut menyebabkan pemindahan atau penciptaan kewenangan yang luas pada suatu organisasi yang secara teknis dan administratif mampu menanganinya. Semua kegiatan tersebut tidak mendapat supervisi langsung dari pemerintah pusat. Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐10
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
Tjokroamidjojo (1987:82 dalam
2009
Joko Widodo 2001:40) membedakan
bentuk-bentuk desentralisasi atas empat, yakni: dekonsentrasi, devolusi, sertatantra, dan bentuk-bentuk kegiatan yang merupakan pembinaan pemerintah tetapi dilakukan berdasarkan inisiatif dan partisipasi masyarakat setempat. Dekonsentrasi adalah pelaksanaan kegiatan daerah dilakukan oleh cabangcabang unit-unit kegiatan-kegiatan pemerintah pusat.
Delegasi kewenangan
tidak diberikan sepenuhnya, dan dalam banyak hal hanya merupakan alat pelaksanaan tugas-tugas pemerintah pusat yang perlu dilakukan di daerah tersebut. (hal.40) Devolusi atau desentralisasi dalam arti sebenarnya, seringkali disebut sebagai pemebrian otonomi.
Dalam hal ini terdapat suatu delegasi
kewenangan serta hukum yang berarti penyerahan tugas-tugas pemerintahan kepada tingkat daerah.
Pelimpahan kewenangan ini tidak saja bersifat
administratif, tetapi juga politik.
Pengambilan keputusan terakhir di bidang-
bidang tertentu, dalam hal pemberian otonomi atau desentralisasi ini diserahkan kepada pemerintah daerah. Pengertian pemerintah daerah juga berarti peranan perwakilan rakyat daerah. (hal-40-41) Sertatantra, adalah tugas-tugas pekerjaan dalam kewenangan pemerintah pusat yang diserahkan penyelenggaraannya kepada pemerintah daerah. (hal.41) 3.2.3. Keunggulan-keunggulan Desentralisasi Rondinelli (1983) sebagaimana dikutip oleh Joko Widodo (2001:43-44) mengemukakan keunggulan desentralisasi, yakni: 1) Desentralisasi merupakan alat untuk mengurangi kelemahan perencanaan terpusat.
Dengan delegasi kepada aparat di tingkat lokal, problema
sentralisasi dapat lebih mudah dipecahkan 2) Desentralisasi merupakan alat yang bisa mengurangi gejala red tape 3) Dengan desentralisasi, maka kepekaan pengetahuan tentang kebutuhan masyarakat lokal dapat ditingkatkan 4) Dengan desentralisasi lebih memungkinkan berbagai kelompok kepentingan dan kelompok politik terwakili dalam proses pengambilan keputusan,
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐11
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
sehingga mereka mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh pelayanan pemerintah 5) Desentralisasi memungkinkan pejabat lokal dapat lebih meningkatkan kapasitas manajerial dan teknisnya 6) Efisiensi pemerintah pusat dapat lebih ditingkatkan, karena pimpinan organisasi tidak lagi disibukkan dengan urusan rutin yang dapat dikerjakan oleh pekerja lapangan tingkat lokal 7) Dengan desentralisasi akan tercipta struktur yang memungkinkan koordinasi dilakukan dengan baik 8) Struktur
pemerintahan
melembagakan
yang
partisipasi
desentralistis
warga
negara
sangat
diperlukan
dalam
perencanaan
untuk dan
pengelolaan pembangunan 9) Dengan desentralisasi dapat melibatkan elit lokal, sehingga kebijaksanaan pemerintah yang biasanya tak akrab dan tak menyentuh kepentingan mereka, menjadi lebih dapat diterima 10) Desentralisasi memungkinkan lahirnya administrasi yang lebih fleksibel, inovatif, dan kreatif 11) Dengan desentralisasi, pelayanan kepada masyarakat lebih cepat dan lebih baik 12) Desentralisasi dapat meningkatkan stabilitass politik dan kesatuan nasional, karena berbagai kelompok diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan 13) Dengan lebih kompleksnya masyarakat dan pemerintahan, pengambilan keputusan yang sentralistis
menjadi tidak efisien, mahal, dan
sulit
dilaksanakan The Liang Gie (1968 ) seperti dikutip oleh Dadang Solihin dalam makalahnya yang bertajuk “Otonomi Daerah dalam Perspektif Teori, Kebijakan, dan Praktek (2007) menyatakan alasan dianutnya desentralisasi adalah: 1. Dari sudut politik:
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐12
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
1) Untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang akhirnya dapat menimbulkan tirani; 2) Untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi; 2. Dari sudut teknis organisatoris pemerintahan: Efisiensi 1) Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan kepada daerah. 2) Hal-hal yang lebih tepat di tangan pusat tetap diurus oleh pemerintah pusat. 3. Dari sudut kultural: Supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan kepada kekhususan suatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya; 4. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi: Pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut. 3.2.4. Tujuan Desentralisasi Sady dalam Tjokroamidjojo, yang dikutip lagi oleh Joko Widodo (199: 45), mengemukakan tujuan desentralisasi adalah untuk: 1) Mengurangi beban pemerintahan pusat dan campur tangan tentang masalahmasalah kecil pada tingkat lokal. Demikian pula memberikan peluang untuk koordinasi pelaksanaan pada tingkat lokal 2) Meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan usaha pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula pada tingkat lokal, dapat merasakan keuntungan dari kontribusi kegiatan mereka itu
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐13
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
3) Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal sehingga dapat lebih realistis 4) Melatih rakyat untuk bisa mengatur urusannya sendiri (self government) 5) Pembinaan kesatuan nasional Sumarjan (dalam Joko Widodo 1999: 45-46) mengemukakan bahwa penggunaan sistem desentralisasi dimaksudkan untuk: 1) Untuk mengurangi beban dan tugas pemerintah pusat. Tugas Pemerintah dari suatu negara yang sedang dalam taraf pertama mengadakan pembangunan di segala bidang kegiatan, memerlukan kecapakan dan pengalaman yang melampaui batas kemampuan Pemerintah Pusat, apabila tidak dibantu oleh Pemerintah Daerah untuk menanggapi kepentingan dan aspirasi masyarakat di daerah. Keadaan ini memerlukan desentralisasi yang bersifat teritorial 2) Untuk meratakan tanggung jawab. Sesuai dengan sistem demokrasi, maka tanggung jawab pemerintahan dapat dipukul rata oleh seluruh masyarakat yang diikutsertakan melalui desentralisasi fungsional dan teritorial, hal mana dapat memperbesar stabilitas pemerintahan pada umumnya 3) Untuk memobilisasi potensi masyarakat banyak untuk kepentingan umum. Melalui desentralisasi diberikan kesempatan kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat untuk ikut serta mengembangkan diri buat kepentingan umum di dalam daerah mereka masing-masing dan juga buat kepentingan nasional. Dengan demikian dapat pula ditimbulkan persaingan yang sehat untuk membangun tiap-tiap daerah dengan kekuatan masyarakat di daerah-daerah itu sendiri. 4) Untuk mempertinggi efektivitas dan efisiensi dalam pengurusan kepentingan daerah. Sudah barang tentu masyarakat daerahlah yang lebih mengetahui kepentingan dan aspirasi mereka, dan mengurusi kepentingannya secara efektif dan efisien.
Di dalam hal ini pemerintah pusat cukup memberi
dorongan, bimbingan dan bantuan dimana diperlukan.
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐14
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
3.3. Otonomi Daerah Dalam wacana masyarakat awam, penggunaan istilah desentralisasi dengan otonomi daerah sering dipertukarkan. Sesungguhnya kedua konsep tersebut tidak persis sama. Kebijakan otonomi hadir karena adanya kebijakan desentralisasi. Otonomi merupakan konsekuensi logis dari dari kebijakan desentralisasi. Dengan kata lain, konsekuensi logis dari kebijakan desentralisasi adalah dibentuknya daerah otonom. Otonomi diartikan kebebasan masyarakat yang tinggal di daerah yang bersangkutan untuk mengatur dan mengurus kepentingannya yang bersifat lokal, bukan yang bersifat nasional. Perbedaan daerah otonom dengan otonomi daerah adalah daerah menunjuk pada daerah/tempat (geografi) sedangkan otonomi daerah menunjuk pada isi otonomi/kebebasan masyarakat. Charles Einsenmann menjelaskan bahwa otonomi adalah kebebasan untuk membuat keputusan sendiri dengan tetap menghormati perundang-undangan (Hoessein, 1993:75 dalam Hanif Nurcholis (2005:23). Jadi otonomi adalah hak yang diberikan kepada penduduk yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri dengan tetap menghormati perundangan yang berlaku. dengan demikian, otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri dengan tetap menghormati peraturan perundangan yang berlaku. Otonomi dilaksanakan dalam sebuah negara dengan menghormati peraturan yang berlaku yang menjamin hak-hak dasar dan kebebasan nasional. Dan hal ini sebaiknya dilihat sebagai bagian dari tatanan negara (sub-state arrangement) yang membiarkan kelompok minoritas untuk melakukan hak mereka dan menunjukkan identitas kultural dengan menjamin kesatuan, menjunjung kewibawaan dan integritas wilayah.
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐15
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Indonesia menganut otonomi daerah dikarenakan konstitusi negara kita mengamanatkan hal tersebut. Amanat tersebut dapat dilihat dari pasal-pasal dalam UUD 1945 berikut: Pasal 18 UUD 1945
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis
Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Pasal 18A UUD 1945
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐16
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
kota,
diatur
dengan
Undang-undang
dengan
2009
memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah.
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Pasal 18B UUD 1945
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
3.3.1. Manfaat Otonomi Daerah Menurut Shabbir Cheema dan Rondinelli (1983) dan kemudian dikutip oleh Dadang Solihin (www.dadangsolihin.com), otonomi daerah memiliki beberapa manfaat, yakni: 1) Perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang bersifat heterogen. 2) Memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah pusat. 3) Perumusan kebijaksanaan dari pemerintah akan lebih realistik. 4) Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya "penetrasi" yang lebih baik dari Pemerintah Pusat bagi Daerah-Daerah yang terpencil atau sangat jauh dari pusat, di mana seringkali rencana pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elite lokal, dan di mana dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas. Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐17
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
5) Representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan di dalam perencanaan pembangunan yang kemudian dapat memperluas kesamaan dalam mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah. 6) Peluang bagi pemerintahan serta lembaga privat dan masyarakat di Daerah untuk meningkatkan kapasitas teknis dan managerial. 7) Dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan di Pusat dengan tidak lagi pejabat puncak di Pusat menjalankan tugas rutin karena hal itu dapat diserahkan kepada pejabat Daerah. 8) Dapat menyediakan struktur di mana berbagai departemen di pusat dapat dikoordinasi secara efektif bersama dengan pejabat Daerah dan sejumlah NGOs di berbagai Daerah. Propinsi, Kabupaten, dan Kota dapat
menyediakan
basis
wilayah
koordinasi
bagi
program
pemerintah. 9) Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan diperlukan guna melembagakan
partisipasi
masyarakat
dalam
perencanaan
dan
implementasi program. 10) Dapat meningkatkan pengawasan atas berbagai aktivitas yang dilakukan oleh elite lokal, yang seringkali tidak simpatik dengan program pembangunan nasional dan tidak sensitif terhadap kebutuhan kalangan miskin di pedesaan. 11) Administrasi pemerintahan menjadi mudah disesuaikan, inovatif, dan kreatif. Kalau mereka berhasil maka dapat dicontoh oleh Daerah yang lainnya. 12) Memungkinkan pemimpin di Daerah menetapkan pelayanan dan fasilitas
secara
efektif,
mengintegrasikan
daerah-daerah
yang
terisolasi, memonitor dan melakukan evaluasi implementasi proyek pembangunan dengan lebih baik dari pada yang dilakukan oleh pejabat di Pusat. 13) Memantapkan
stabilitas
politik
dan
kesatuan
nasional
dengan
memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di Daerah untuk berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐18
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
kebijaksanaan,
sehingga
dengan
demikian
akan
2009
meningkatkan
kepentingan mereka di dalam memelihara sistem politik. 14) Meningkatkan penyediaan barang dan jasa di tingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah, karena hal itu tidak lagi menjadi beban pemerintah Pusat karena sudah diserahkan kepada Daerah. 3.3.2. Tujuan Otonomi Daerah Menurut UU 32/2004 bagian Penjelasan Umum, tujuan otonomi daerah adalah: 1) M empercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui: (i) peningkatan pelayanan; (ii) pemberdayaan dan peran serta masyarakat. 2) Meningkatkan daya saing daerah dengan memperhatikan: (i) prinsip demokrasi; (ii) pemerataan; (iii) keadilan; (iv) keistimewaan dan kekhususan serta; (v) potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI . 3.3.3. Sasaran Otonomi Daerah RPJMN 2004-2009 menetapkan sasaran otonomi daerah adalah: 1) Tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangundangan pusat dan daerah, termasuk yang mengatur tentang otonomi khusus Provinsi Papua dan Provinsi NAD. 2) Meningkatnya kerjasama antar pemerintah daerah; 3) Terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif, efisien, dan akuntabel; 4) Meningkatnya
kapasitas
pengelolaan
sumberdaya
aparatur
pemerintah daerah yang profesional dan kompeten; 5) Terkelolanya sumber dana dan pembiayaan pembangunan secara transparan, akuntabel, dan profesional; dan 6) Tertatanya daerah otonom baru.
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐19
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
3.3.4. Pemberdayaan Penyelenggaraan Otonom Daerah Untuk mewujudkan desentralisasi dan otonomi daerah yang ideal, Joko Widodo memberikan gagasan tentang pemberdayaan penyelenggaran otonomi daerah. Gagasan tentang pemberdayaan penyelenggaraan otonomi berangkat dari pemikiran ide bahwa makna mendasar otonomi daerah bukannya pada “auto money”, melainkan lebih menitikberatkan pada “delegation of authority and reponsibility” pada unit-unit organisasi yang lebih rendah tingkatannya dalam pembuatan dan pengambilan keputusan. Pemberdayaan daerah dalam melaksanakan otonomi hanya bisa diwujudkan jika faktor-faktor seperti personil, peralatan, dan pembiayaan tersedia cukup memadai. Karenanya penyerahan urusan yang diikuti dengan personil, peralatan, dan sumber pembiayaan akan berimplikasi terhadap pemberdayaan otonomi dan akibat lebih lanjut akan dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik. (hal. 69) Dengan
bertumpu
pada
makna
otonomi
luas,
nyata,
dan
bertanggungjawab, dapat ditemukan beberapa faktor yang sangat signifikan dapat
mempengaruhi
pelaksanaan
otonomi
daerah,
yakni
“kemampuan
melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab” yang telah diberikan dalam rangka melaksanakan otonomi daerah. Menurut Rudini (1997) yang dikutip oleh Joko
Widodo
peningkatan
(hal kualitas
69-70),
kemampuan
sumber
daya
tersebut
manusia,
mensyaratkan
kemampuan
adanya
manajemen
kelembagaan yang makin tinggi, dan ketersediaan dana untuk membiayai manajemen tersebut. Jika lebih dioperasionalkan, persyaratan tersebut menjadi:
Kemampuan SDM yang antara lain meliputi tidak saja kemampuan dalam merencanakan, melaksanakan, memonitor, tapi juga kemampuan untuk mengevaluasi
kegiatan
pemerintahan
dan
pembangunan
termasuk
pemberian layanan publik yang profesional di daerahnya sendiri.
Kemampuan kelembagaan pemerintah daerah yang dimaksud adalah kemampuan untuk mengelola lembaga yang ada. Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐20
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Kemampuan keuangan daerah yang dimaksud disini adalah kemampuan untuk menggali potensi sumber pendapatan asli daerah sendiri sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku. Untuk itu, pemberdayaan penyelenggaraan otonomi daerah mencakup
ketiga hal tersebut, yakni:
Pemberdayaan personil pemerintah daerah Perangkat pemerintah daerah dapat dikatakan berkualitas manakala mereka mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kemampuan pada dasarnya merupakan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan ketrampilan. Namun demikian, bekal kemampuan saja tidak cukup untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara efektif, akan tetapi perlu ada “kemauan”. Kemauan berkaitan dengan motivasi, komitmen, dan keyakinan diri. Untuk dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia pemerintah daerah, yang perlu mendapatkan perhatian adalah memberikan “kemampuan dan kemauan”. Pemberian kemampuan dapat dilakukan melalui beberapa cara: i) Melalui pendidikan ii) Melalui pelatihan iii) Melalui pengalaman Penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan lembaga legislatif daerah (DPRD). Karenanya, untuk dapat mewujudkan clean and good local governance bukan hanya pemerintah daerah (kepala daerah beserta perangkatnya) saja yang perlu diberdayakan, akan tetapi lembaga legislatif (DPRD) juga perlu diberdayakan.
Pemberdayaan anggota DPRD
dapat dilakukan selain melalui peningkatan kualitas (melaui pendidikan, pelatihan, dan pengalaman), dapat dilakukan dengan cara : mengubah pola rekrutmen anggota DPRD, dan revitalisasi anggota DPRD. Mengubah pola rekrutmen Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐21
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Rekrutmen anggota DPRD selama ini dilakukan menggunakan “spoil system” (Joko Widodo: 307), yakni pola rekrutmen yang lebih didasarkan pada pertimbangan populis, hubungan kekerabatan, nepotisme, dan kolusi. Agar anggota DPRD dapat menjalankan tugas, fungsi, dan tanggung jawab (akuntabel, bertanggung jawab, dan responsif), pola rekrutmen tersebut perlu diganti dengan pola “merit system”. Revitalisasi anggota DPRD Seiring dengan perkembangan masyarakat yang sangat dinamis, anggota DPRD harus mengubah posisi dan peran (revitalisasi) mereka dalam memberikan layanan publik (Joko Widodo: 310). Anggota DPRD yang tadinya suka mengatur dan memerintah, harus berubah menjadi suka melayani. Dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis. Dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis.
Pemberdayaan sumber daya keuangan dan peralatan Hakekat dari pemberdayaan ini adalah bagaimana daerah tidak saja mampu menggali potensi keuangan di daerahnya, tetapi juga mampu menggunakan uang secara tepat guna efisien, dan tidak boros, serta tidak diselewengkan untuk tujuan diri sendiri atau tujuan yang menyimpang dari yang seharusnya, dan dapat mempertanggungjawabkan pengunaannya akuntabel (dengan perhitungan yang cermat dan tepat), dan responsible, artinya pengunaan keuangan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan norma-norma akuntansi. Hal yang sama perlu dilakukan terhadap peralatan. Pemerintah daerah harus mumpuni dalam manajemen perlengkapan, mulai dari perencanaan hingga pengendalian.
Pemberdayaan kelembagaan (organisasi) pemerintah daerah Upaya pengembangan organisasi yang diarahkan pada organisasi yang efektif, efisien, dan sehat. Organisasi yang efektif dapat dilihat dari tingkat dicapainya
tujuan
organisasi.
Efisiensi
menunjukkan
sumber
yang
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐22
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
dibutuhkan organisasi untuk mencapai hasilnya.
2009
Organisasi yang sehat
adalah suatu organisasi yang mengendalikan pekerjaannya ke arah tujuan tertentu
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas III‐23
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
BAB IV PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH SERTA PERMASALAHANNYA DALAM KURUN WAKTU 2004-2009 Melihat perkembangan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, tidak dapat terlepas dari apa yang telah digariskan dalam rencana pembangunan jangka menengah tahap pertama (2004-2009) yang di dalamnya digariskan tentang sasaran desentralisasi dan otonomi daerah dalam kurun waktu 5 tahun dan upaya-upaya pencapaiannya yang diwujudkan dalam bentuk strategi, program, dan kegiatan jangka menengah. 4.1. Arah Kebijakan Dalam Rangka Revitalisasi Proses Desentralisasi Dan Otonomi Daerah dalam RPJMN 2004-2009 dan RKP 2004-2009 Sasaran yang hendak dicapai dalam revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah dalam lima tahun pada 2004-2009 adalah: 1) Tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan pusat dan daerah, termasuk yang mengatur tentang otonomi khusus Provinsi Papua dan Provinsi NAD. 2) Meningkatnya kerjasama antar pemerintah daerah; 3) Terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif, efisien, dan akuntabel; 4) Meningkatnya kapasitas pengelolaan sumberdaya aparatur pemerintah daerah yang profesional dan kompeten; 5) Terkelolanya sumber dana dan pembiayaan pembangunan secara transparan, akuntabel, dan profesional; dan 6) Tertatanya daerah otonom baru. Untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut, maka arah kebijakan dalam rangka revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah ditetapkan : 1) Memperjelas pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan baik kewenangan mengenai tugas dan tanggung jawab maupun mengenai penggalian sumber dana dan pembiayaan pembangunan yang didukung oleh Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐1
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
semangat desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2) Mendorong kerjasama antar pemerintah daerah termasuk peran pemerintah provinsi dalam rangka peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat; 3) Menata
kelembagaan
pemerintah
daerah
agar
lebih
proporsional
berdasarkan kebutuhan nyata daerah, ramping, hierarki yang pendek, bersifat jejaring, bersifat fleksibel dan adaptif, diisi banyak jabatan fungsional,
dan
terdesentralisasi
kewenangannya,
sehingga
mampu
memberikan pelayanan masyarakat dengan lebih baik dan efisien, serta berhubungan kerja antar tingkat pemerintah, dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, masyarakat, dan lembaga non pemerintah secara optimal sesuai dengan peran dan fungsinya; 4) Menyiapkan ketersediaan aparatur pemerintah daerah yang berkualitas secara proporsional di seluruh daerah dan wilayah, menata keseimbangan antara jumlah aparatur pemerintah daerah dengan beban kerja di setiap lembaga/satuan kerja perangkat daerah, serta meningkatkan kualitas aparatur pemerintah daerah melalui pengelolaan sumberdaya manusia pemerintah daerah berdasarkan standar kompetensi; 5) Meningkatkan kapasitas keuangan pemerintah daerah, termasuk pengelolaan keuangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme, sehingga tersedia sumber dana dan pembiayaan yang memadai
bagi
kegiatan
pelayanan
masyarakat
dan
pelaksanaan
pembangunan di daerah; serta 6) Menata daerah otonom baru, termasuk mengkaji pelaksanaan kebijakan pembentukan daerah otonom baru di waktu mendatang, sehingga tercapai upaya peningkatan pelayanan publik dan percepatan pembangunan daerah. Arah kebijakan pemerintah tersebut dioperasionalkan dalam bentuk program-program: 1) Program Penataan Peraturan Perundang-undangan Program ini ditujukan untuk Program ini ditujukan untuk: (1) meningkatkan sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundangan-undangan Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐2
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
yang menyangkut hubungan pusat dan daerah, serta pelaksanaan otonomi daerah termasuk peraturan perundang-undangan daerah; (2) menyusun berbagai peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah; (3) memperkuat visi desentralisasi dan otonomi daerah para pelaku pembangunan agar tercapai persepsi yang sama terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayananan publik, dan pembangunan di daerah; dan (4) mendorong pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilaksanakan adalah : a) Sosialisasi dan implementasi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi DI Aceh sebagai Provinsi NAD, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, termasuk penyusunan, sosialisasi, dan implementasi peraturan pelaksananya, khususnya terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan dan sistem perencanaan pembangunan di daerah. b) Penyesuaian
berbagai
peraturan
perundangan-undangan
yang
menyangkut hubungan pusat dan daerah termasuk peraturan perundangundangan sektoral dan yang terkait dengan otonomi khusus NAD dan Papua, sehingga menjadi harmonis. c) Penyesuaian peraturan perundang-undangan daerah sehingga menjadi sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang diatasnya; serta d) Peningkatan
supervisi
beserta
evaluasi
pelaksanaan
kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐3
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
2) Program Peningkatan Kerjasama Antar Pemerintah Daerah Program ini ditujukan untuk meningkatkan pelaksanaan kerjasama antar pemerintah daerah termasuk peningkatan peran pemerintah provinsi. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kerjasama antar daerah meliputi: a) Penyusunan dan penetapan peraturan perundang-undangan tentang kerjasama antar daerah termasuk peran pemerintah provinsi; b) Identifikasi, perencanaan, fasilitasi, dan pelaksanaan kegiatan fungsi strategis yang perlu dikerjasamakan; c) Peningkatan peran Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk memfasilitasi dan menyelesaikan perselisihan antar daerah di wilayahnya; serta d) Pengoptimalan dan peningkatan efektivitas sistem informasi pemerintahan daerah untuk memperkuat kerjasama antar pemerintah daerah dan dengan Pemerintah Pusat. 3) Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah Program ini ditujukan untuk menyusun kelembagaan pemerintah daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan potensi daerah yang perlu dikelola. Kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam rangka peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah meliputi: a) Penataan kelembagaan pemerintahan daerah agar sesuai dengan beban pelayanan kepada masyarakat; b) Peningkatan kinerja kelembagaan daerah berdasarkan prinsip-prinsip organisasi moderen dan berorientasi pelayanan masyarakat; c) Penyusunan
pedoman
hubungan
pemerintah
daerah
dan
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah agar tercipta kontrol dan keseimbangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; d) Penguatan pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas dalam rangka Mendukung Desentralisasi; Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐4
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
e) Pengkajian dan fasilitasi pelaksanaan standar pelayanan minimum, pengelolaan kewenangan daerah, dan sistem informasi pelayanan masyarakat; serta f) Peningkatan peran lembaga non-pemerintah dan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan pada tingkat provinsi, dan kabupaten/kota melalui
penerapan
prinsip
tata
pemerintahan
yang
baik
(good
governance). 4) Program Peningkatan Profesionalisme Aparat Pemerintah Daerah Program ini ditujukan untuk memfasilitasi penyediaan aparat pemerintah daerah, menyusun rencana pengelolaan serta meningkatkan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat, penyelenggaraan pemerintahan, serta penciptaan aparatur pemerintah daerah yang kompeten dan profesional. Kegiatan
pokok
yang
akan
dilakukan
dalam
rangka
peningkatan
profesionalisme aparat pemerintah daerah meliputi: a) Penyusunan peraturan perundang-undangan daerah, pedoman dan standar kompetensi aparatur pemerintah daerah; b) Penyusunan rencana pengelolaan aparatur pemerintah daerah termasuk sistem rekruitmen yang terbuka, mutasi dan pengembangan pola karir; c) Fasilitasi penyediaan aparat pemerintah daerah, mutasi dan kerjasama aparatur pemerintah daerah; d) Peningkatan etika kepemimpinan daerah; serta e) Fasilitasi pengembangan kapasitas aparatur pemerintah daerah dengan prioritas peningkatan kemampuan dalam pelayanan publik seperti kebutuhan dasar masyarakat, keamanan dan kemampuan di dalam menghadapi
bencana,
kemampuan
penyiapan
rencana
strategis
pengembangan ekonomi (lokal), kemampuan pengelolaan keuangan daerah, dan penyiapan strategi investasi. 5) Program Peningkatan Kapasitas Keuangan Daerah Program ini ditujukan untuk meningkatkan dan mengembangkan kapasitas keuangan
pemerintah
daerah
dalam
rangka
peningkatan
pelayanan
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐5
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
masyarakat, penyelenggaraan otonomi daerah, dan penciptaan pemerintahan daerah yang baik. Kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam rangka peningkatan kapasitas keuangan pemerintah daerah meliputi: a) Peningkatan efektivitas dan optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah yang berkeadilan termasuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi kegiatan dunia usaha dan investasi; b) Peningkatan efisiensi, efektivitas dan prioritas alokasi belanja daerah secara proporsional; serta c) Pengembangan transparansi dan akuntabilitas, serta profesionalisme pengelolaan keuangan daerah. 6) Program Penataan Daerah Otonom Baru Program
ini
ditujukan
untuk
menata
dan
melaksanakan
kebijakan
pembentukan daerah otonom baru sehingga pembentukan daerah otonom baru tidak memberikan beban bagi keuangan negara dalam kerangka upaya meningkatkan pelayanan masyarakat dan percepatan pembangunan wilayah. Kegiatan pokok yang dilakukan antara lain adalah: a) Pelaksanaan evaluasi perkembangan daerah-daerah otonom baru dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat; b) Pelaksanaan kebijakan pembentukan daerah otonom baru dan atau penggabungan daerah otonom, termasuk perumusan kebijakan dan pelaksanaan upaya alternatif bagi peningkatan pelayanan masyarakat dan percepatan pembangunan wilayah selain melalui pembentukan daerah otonom baru; c) Penyelesaian status kepemilikan dan pemanfaatan aset daerah secara optimal; serta d) Penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom baru. Sejak tahun 2004 hingga tahun 2009, program-program dalam rangka perwujudan desentralisasi dan otonomi daerah antara lain:
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐6
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Program dan Kegiatan Tahun 2005 (RKP 2005) Program Pengembangan Otonomi Daerah bertujuan
meningkatkan
pelaksanaan
kapasitas
desentralisasi
dan
pemerintah otonomi
daerah,
daerah,
serta
memantapkan pemantapan
penyelenggaraan pemerintahan dalam negeri Sasaran dari program pengembangan otonomi daerah adalah: 1. meningkatnya kapasitas kelembagaan pemerintah daerah; 2. meningkatnya kinerja aparat pemda dan etika kepemimpinan daerah; 3. meningkatnya kemampuan pengelolaan keuangan daerah; 4. meningkatnya peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga non pemerintah dalam proses pembangunan; serta 5. terwujudnya keserasian pelaksanaan otonomi daerah. Sedangkan Pokok-Pokok Kegiatan yang diamanatkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2005 yakni : 1. Fasilitasi pemantapan struktur kelembagaan, fungsi, dan manajemen pemerintah daerah untuk mendukung pelaksanaan SPM serta menata hubungan kerja lembaga di lingkungan pemerintah daerah secara horizontal, dan vertikal, serta antara pemerintah dan masyarakat, dan memfasilitasi peningkatan kapasitas lembaga non pemerintah, dengan menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dalam rangka mendukung kepentingan kebijakan nasional dalam kerangka NKRI; 2. Penyusunan rencana pengelolaan dan memfasilitasi peningkatan kapasitas SDM daerah berbasis kompetensi untuk melaksanakan dan mendukung pelayanan prima serta memfasilitasi pengembangan etika kepemimpinan daerah; 3. Fasilitasi pengoptimalan pendapatan daerah melalui ekstensifikasi pajak dan retribusi daerah serta peningkatan upaya penggalian alternatif sumber-sumber pembiayaan serta mendorong pengembangan kemitraan antar pemerintah, dengan dunia usaha, dan masyarakat bagi upaya penguatan keuangan daerah; Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐7
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
4. Perkuatan
institusi
daerah
dalam
mengelola
dana
2009
perimbangan,
dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, dan menata sistem dan akuntansi keuangan
daerah,
serta
mendorong
dilaksanakannya
koordinasi
perumusan prioritas anggaran bagi pemenuhan kebutuhan dan pelayanan dasar terutama bagi masyarakat miskin; 5. Pemantapan proses pelimpahan kewenangan
pemerintah pusat ke
daerah. 6. Penanganan pelaksanaan otonomi khusus di Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam; 7. Penataan pembentukan daerah otonom baru; 8. Pelaksanaan kajian kebijakan dan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah bagi bahan penyusunan kebijakan. Program dan Kegiatan Tahun 2006 (RKP 2006) 1) Program
Penataan
Peraturan
Perundang-undangan
mengenai
Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Sasaran yang ingin dicapai dari program ini adalah tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan pusat dan daerah. Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : a. Penyusunan peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan
Keuangan
antara
Pemerintah
Pusat
dan
Pemerintahan Daerah; b. Sosialisasi
peraturan
kebijakan
perundangan-undangan
desentralisasi
dan
terkait
dengan
termasuk
sistem
perundangan-undangan
yang
otonomi
yang
daerah
perencanaan pembangunan; c. Penyesuaian
berbagai
peraturan
menyangkut hubungan pusat dan daerah termasuk peraturan perundangundangan sektoral sehingga menjadi harmonis dan sinkron; d. Penyesuaian peraturan perundang-undangan daerah sehingga menjadi sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang diatasnya;
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐8
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
e. Peningkatan pengawasan peraturan daerah, melalui pembatalan dan revisi peraturan
perundang-undangan
daerah,
yang
bertentangan
atau
menghambat bagi kegiatan investasi; f. Pelaksanaan monitoring, pengawasan, dan evaluasi pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah termasuk pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan NAD; dan g. Penguatan visi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah 2) Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah. Sasaran yang ingin dicapai dalam program ini adalah terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif, efisien, dan akuntabel. Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : a. Penataan kelembagaan pemerintahan daerah agar sesuai dengan beban pelayanan kepada masyarakat b. Peningkatan kinerja perangkat organisasi daerah agar dapat melayani masyarakat dengan tepat, mudah, cepat, dan murah terutama pelayanan bagi masyarakat miskin; c. Fasilitasi peningkatan kapasitas kelembagaan dalam pengurusan perijinan investasi; d. Fasilitasi peningkatan koordinasi antar lembaga daerah untuk kemudahan investasi; e. Penyusunan kinerja kelembagaan daerah berdasarkan prinsip-prinsip organisasi modern dan berorientasi pelayanan masyarakat; f. Pengkajian dan fasilitasi pelaksanaan standar pelayanan minimum; g. Fasilitasi pengelolaan kewenangan daerah h. Peningkatan peran lembaga non-pemerintah dan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan pada tingkat provinsi, dan kabupaten/kota melalui
penerapan
prinsip
tata
pemerintahan
yang
baik
(good
governance); i. Fasilitasi perencanaan partisipatif yang melibatkan masyarakat dan organisasi nonpemerintah; j. Fasilitasi penyusunan perda transparansi, partisipatif, dan akuntabilitas;
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐9
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
k. Kegiatan antisipatif untuk kelancaran, ketertiban, dan untuk menghindari konflik komunal sebelum dan sesudah pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada langsung) berupa: i. Analisa situasi politik lokal menjelang proses pilkada langsung; ii. Sosialisasi kepada tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh daerah tentang proses pilkada langsung; iii. Sosialisasi kepada para aparat pemerintah daerah tentang proses pilkada langsung; dan iv. Kegiatan untuk memfasilitasi dan memediasi persoalan yang muncul sebelum dan sesudah pilkada langsung untuk menghindari persoalan meluas dan memicu konflik komunal l. Fasilitasi dukungan penguatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah 3) Program Peningkatan Profesionalisme Aparatur Pemerintah Daerah. Sasaran yang ingin dicapai dalam program ini adalah meningkatnya kapasitas pengelolaan sumber daya aparatur pemerintah daerah yang profesional dan kompeten. Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : a. Penyusunan peraturan perundang-undangan daerah, pedoman dan standar kompetensi aparatur pemerintah daerah; b. Penyusunan rencana pengelolaan aparatur pemerintah daerah termasuk sistem rekruitmen yang terbuka, mutasi dan pengembangan pola karir; c. Fasilitasi penyediaan aparat pemerintah daerah, mutasi dan kerjasama aparatur pemerintah daerah; d. Pemulihan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah pasca bencana gempa dan tsunami; e. Fasilitasi penyusunan model dan pedoman bagi peningkatan etika kepemimpinan daerah; f. Fasilitasi pengembangan kapasitas aparatur pemerintah daerah dengan prioritas peningkatan kemampuan dalam pelayanan publik seperti kebutuhan dasar masyarakat, keamanan dan kemampuan penyiapan rencana
strategis
pengembangan
ekonomi
(lokal),
kemampuan
pengelolaan keuangan daerah, dan penyiapan strategi investasi, serta kemampuan dalam menghadapi bencana. Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐10
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
4) Program Kerjasama Antar Pemerintah Daerah. Sasaran yang ingin dicapai dalam program ini adalah meningkatnya kerjasama antar pemerintah daerah. Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : a. Penyusunan dan penetapan peraturan perundang-undangan tentang kerjasama antar daerah termasuk peran pemerintah provinsi; b. Identifikasi, perencanaan, fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan untuk meningkatkan kerjasama antar pemerintah daerah dalam penciptaan lapangan kerja, investasi, dan peningkatan ekspor; c. Pengoptimalan dan peningkatan efektivitas sistem informasi pemerintahan daerah untuk memperkuat kerjasama antar pemerintah daerah dan dengan Pemerintah Pusat. 5) Program Penataan Daerah Otonom Baru. Sasaran yang ingin dicapai dalam program ini adalah tertatanya daerah otonom baru. Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : a. Perumusan kebijakan dan pelaksanaan upaya alternatif bagi peningkatan pelayanan masyarakat dan percepatan pembangunan wilayah selain melalui pembentukan daerah otonom baru; b. Pelaksanaan evaluasi perkembangan daerah-daerah otonom baru dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat; c. Dukungan penyelesaian status kepemilikan aset daerah; d. Fasilitasi pemanfaatan aset daerah secara optimal; dan e. Kajian dan penataan serta pemantapan penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom baru. Program dan Kegiatan Tahun 2007 (RKP 2007) 1. Program
Penataan
Peraturan
Perundang-undangan
mengenai
Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : (1) Penyusunan kebijakan dalam rangka implementasi grand
strategy
penataan
otonomi
daerah;
(2)
Fasilitasi
pemantapan
pelaksanaan urusan sesuai PP Pembagian Urusan; (3) Fasilitasi pemantapan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang berkarakter khusus; (4) Fasilitasi penyesuaian peraturan perundangan sektor dengan PP Pembagian Urusan Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐11
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
Pemerintahan; (5) Supervisi dan evaluasi
2009
perda yang bermasalah; (6)
Sosialisasi Peraturan Perundangan Bidang Otonomi daerah; (7) Pengawasan dan Pembatalan Perda yang bermasalah. 2. Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah. Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : (1) Fasilitasi penyusunan kelembagaan pemerintahan daerah; (2) Penataan kelembagaan di daerah otsus dan istimewa (MRP, hubungan antara lembaga daerah); (3) Evaluasi kebijakan Pilkada; (4) Fasilitasi penerapan SPM; (5) Fasilitasi penyusunan rekomendasi DPOD; (6) Peningkatan kinerja perangkat organisasi daerah; (7) Penyusunan kinerja kelembagaan daerah berdasarkan prinsip-prinsip organisasi modern dan berorientasi pelayanan masyarakat; (8) Penyusunan rencana perbaikan sistem dan prosedur
kerja lembaga pemerintah; (9)
Peningkatan peran lembaga non-pemerintah dan masyarakat melalui penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance); (10) Pemantapan kelembagaan pemerintah daerah sesuai dengan perubahan jumlah penduduk dan pembangunan daerah; (11) Penataan kelembagaan pemerintahan daerah agar sesuai dengan beban pelayanan kepada masyarakat; (12) Fasilitasi pemantapan aparatur pejabat negara dan DPRD; (13) Fasilitasi Penataan kelembagaan dan tatalaksana pemerintah daerah. 3. Program Peningkatan Profesionalisme Aparatur Pemerintah Daerah. Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : (1) Fasilitasi pengkajian kompetensi jabatan di daerah; (2) Peningkatan kapasitas dan pelatihan aparatur
pemda
dalam
penyusunan
rencana
strategis
investasi,
pengembangan ekonomi, dan penyediaan kesempatan kerja; (3) Peningkatan kapasitas dan pelatihan bagi aparatur pemda dalam komputerisasi pelayanan bagi kegiatan investasi; (4) Peningkatan kapasitas dan pelatihan Camat, Lurah/Kepala Desa dan Sekdes bagi penciptaan iklim berusaha yang kondusif; (5) Peningkatan kapasitas pemda dalam penguatan regulasi pengawasan
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah;
(6)
Fasilitasi
pengembangan kapasitas dan pelatihan aparatur pemerintah daerah dalam memantapkan penyelenggaraan pemerintah, termasuk di wilayah pasca bencana (Aceh, Nias, Alor dan Nabire); (7) Peningkatan kapasitas dan Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐12
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
pelatihan aparatur pemerintah daerah dalam usaha mitigasi bencana; (8) Penyusunan rencana pengelolaan aparatur pemerintah daerah termasuk sistem rekruitmen yang terbuka, mutasi, dan pengembangan pola karir; (9) Optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (e-services) dalam pelayanan publik dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik. 4. Program Kerjasama Antar Pemerintah Daerah. Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : (1) Fasilitasi Penyelesaian RPP Kerjasama Daerah; (2)
Penyelenggaraan
sosialisasi
regulasi
dan
kebijakan
kerjasama
pemerintahan daerah; (3) Fasilitasi Pelaksanaan Kerjasama Daerah di wilayah JABODETABEKJUR; (4) Fasilitasi perkuatan kerjasama antar daerah pada bidang ekonomi dan hukum di wilayah perbatasan antar negara; (5) Fasilitasi perkuatan kerjasama antardaerah dalam hal penyediaan sarana dan prasarana publik di wilayah perbatasan antar negara; (6) Fasilitasi Peningkatan Peran Gubernur Selaku Wakil Pemerintah dalam rangka kerja sama Pembinaan Wilayah; (7) Fasilitasi kerjasama antar pemerintahan daerah; (8) Fasilitasi penyempurnaan model kerjasama daerah; (9) Optimalisasi jaringan kerjasama antar pemerintah daerah dan kemitraan dengan pihak ketiga. 5. Program Penataan Daerah Otonom Baru. Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : (1) Pelaksanaan evaluasi daerah otonom baru; (2) Fasilitasi percepatan penyelesaian status aset antara daerah baru dan daerah induk; (3) Fasilitasi pemantapan SOTK pemerintah daerah otonom baru; (4) Fasilitasi percepatan penyelesaian batas wilayah administrasi antar daerah; (5) Fasilitasi penataan batas wilayah administrasi pemerintahan pada daerah otonom baru. 6. Program Peningkatan Kapasitas Keuangan Daerah. Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : (1) Pengembangan sistem informasi pengelolaan keuangan daerah; (2) Fasilitasi pengelolaan keuangan daerah (perencanaan anggaran daerah, perimbangan keuangan, pengelolaan pendapatan dan invetasi kekayaan daerah, dan fasilitasi penatausahaan, Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐13
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
akuntansi dan penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD); (3) Fasilitasi penataan regulasi keuangan daerah. Program dan Kegiatan Tahun 2008 (RKP 2008) 1. Program
Penataan
Peraturan
Perundang-undangan
mengenai
Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : a. Fasilitasi implementasi Peraturan perundang-undangan daerah khusus dan istimewa b. Harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan sektor dengan peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi c. Finalisasi dan sosialisasi UU No 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah hasil penyempurnaan. d. Supervisi dan evaluasi Perda bermasalah. e. Fasilitasi implementasi Grand Strategy Otonomi Daerah. f. Fasilitasi Pelaksanaan PP tentang tahapan, tatacara penyusunan dan evaluasi rencana pembangunan daerah. 2. Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah. Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : a. Fasilitasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam Memantapkan Penyelenggaraan Pemerintahan di Lokasi Pasca Bencana. b. Fasilitasi Penerapan dan Pengendalian Pelaksanaan
Standar Pelayanan
Minimal (SPM) di 33 Provinsi Fasilitasi Penataan Kelembagaan di Daerah Otonomi Khusus dan Istimewa. c. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan desentralisasi dan penyelenggaraan Otonomi Daerah. d. Fasilitasi pelaksanaan tugas dan fungsi DPOD. e. Monitoring dan evaluasi Pelaksanaan Pilkada. f. Fasilitasi pelaksanaan pilkada langsung 95 Bupati dan 31 Walikota. g. Pembinaan/fasilitasi perencanaan pembangunan daerah. h. Pengembangan Kapasitas Berkelanjutan untuk Desentralisasi (Sustainable Capacity Building for Decentralization/SCB-DP). Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐14
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
i. Pengembangan Manajemen Bidang Pertanahan (Land Management Policy Development Project). j. Prakarsa Pembaharuan Tata Pemerintahan Daerah (Initiative Local Government Reform Project). k. Local Government Performance Measurement System Project/ LGPMS (ADB Grant:JFICT 9082 INO). l. Fasilitasi Sinkronisasi dan Sinergitas Program Perencanaan Pembangunan Daerah. m. Dukungan
pelaksanaan
Program
Good
Local
Governance
Dalam
Pembangunan Daerah 3. Program Peningkatan Profesionalisme Aparatur Pemerintah Daerah. Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : a. Peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah di dalam penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang pendidikan dan kesehatan. b. Peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam usaha mitigasi bencana dan bahaya kebakaran c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan pedoman sistem karir, sistem cuti, sistem asuransi, sistem penghargaan, serta pengelolaan aparatur pemda. d. Pembinaan dan pengembangan manajemen aparatur pemerintah daerah daerah khususnya penataan jabatan negeri dan negara. e. Pendataan dan evaluasi formasi jabatan aparatur pemerintah daerah secara nasional. f. Pelatihan
Penyelenggaraan
Pemda
bagi
KDH
dan
DPRD
pasca
PilkadaPelatihan penyelenggaraan pemerintahan daerah bagi KDH dan DPRD pasca Pilkada. g. Pelatihan bagi aparat pemerintah daerah, khususnya pada tingkat kecamatan dan kelurahan/desa dalam bidang kependudukan, kesempatan kerja, dan strategi investasi. h. Pengembangan kapasitas aparatur pemerintah daerah untuk mendukung kinerja penyelenggaraan pemerintahan
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐15
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
4. Program Kerjasama Antar Pemerintah Daerah. Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : a. Fasilitasi Penyusunan Kebijakan, Model-model Kerjasama antar Daerah, dan Peningkatan Peran Gubernur Dalam Kerjasama antar Daerah b. Fasilitasi Kerjasama Pembangunan Regional. c. Fasilitasi Kerjasama Pembangunan antar Daerah. d. Fasilitasi Pemantapan Hubungan Pemerintah Daerah dengan DPRD. 5. Program Penataan Daerah Otonom Baru. Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : a. Evaluasi Penataan Daerah Otonom Baru. b. Evaluasi Penyelenggaraan Pembangunan di Daerah Otonom Baru. c. Dukungan Pembangunan Sarana dan Prasarana Pemerintahan Kecamatan di Daerah Otonom Baru. d. Fasilitasi Penataan Batas Wilayah Administrasi Pemerintahan pada Daerah Otonom Baru. 6. Program Peningkatan Kapasitas Keuangan Daerah. Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : a. Pengembangan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah . b. Fasilitasi Pengelolaan Keuangan Daerah. c. Fasilitasi Penataan Regulasi Keuangan Daerah. d. Pelakanaan Rencana Aksi Nasional Desentralisasi Fiskal (RAN-DF). Program dan Kegiatan Tahun 2009 (RKP 2009) 1) Program Penataan Peraturan Perundang-undangan Mengenai Desentralisasi dan Otonomi Daerah Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan RKP 2009: a. Fasilitasi Penyusunan Peraturan Perundang-undangan tentang Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, NAD, Papua dan Irian Jaya Barat b. Finalisasi dan sosialisasi UU sebagai revisi dan penyempurnaan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐16
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
c. Harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan sektor dengan peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi d. Supervisi dan evaluasi peraturan daerah e. Fasilitasi pelaksanaan PP tentang tahapan, tatacara penyusunan dan evaluasi rencana pembangunan daerah 2) Program Peningkatan Kerjasama Antar Pemerintah Daerah Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan RKP 2009: a. Fasilitasi Pengembangan Ekonomi Daerah b. Peningkatan Peran Gubernur dalam Kerjasama Antar Pemerintah Daerah c. Fasilitasi Pemantapan Hubungan DPRD dan Pemerintah Daerah d. Revitalisasi Kerjasama Pembangunan Regional 3) Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah a. Fasilitasi Penataan Kelembagaan di Daerah Otonomi Khusus dan Istimewa b. Fasilitasi penataan organisasi perangkat daerah c. Monitoring
dan
evaluasi
pelaksanaan
desentralisasi
dan
penyelenggaraan otonomi daerah d. Sosialisasi dan implementasi kerangka nasional pengembangan kapasitas dalam rangka mendukung desentralisasi dan pemerintahan daerah e. Fasilitasi penyusunan, penerapan dan pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) f. Pembinaan/fasilitasi penyusunan rencana pembangunan daerah g. Evaluasi pelaksanaan pilkada h. Fasilitasi pelaksanaan tugas dan fungsi DPOD i. Peningkatan sarana /prasarana pelayanan pemerintahan di daerah pasca bencana j. Pengembangan
Kapasitas
Berkelanjutan
untuk
Desentralisasi
(Sustainable Capacity Building for Decentralization/SCB-DP) k. Pengembangan Manajemen Bidang Pertanahan l. Prakarsa Pembaharuan Tata Pemerintahan Daerah Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐17
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
m. Pengembangan perangkat untuk menginkoperasikan Pertimbangan Lingkungan dalam Proses Perencanaan Pembangunan Daerah n. Penguatan fungsi perencanaan daerah dalam penyusunan Perencanaan Pembangunan 4) Program Peningkatan Profesionalisme Aparatur Pemerintah Daerah a. Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah dalam usaha mitigasi bencana dan bahaya kebakaran b. Peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah dalam penerapan SPM di daerah c. Penyusunan Rencana Aksi Nasional Penguatan Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah d. Penyusunan pedoman mengenai jabatan perangkat daerah, termasuk penataan jabatan struktural dan fungsional di daerah e. Penyelenggaraan Diklat Aparatur Pemda berdasarkan rumpun Diklat Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah f. Fasilitasi pemantapan Aparatur Pejabat Negara dan DPRD 5) Program Penataan Daerah Otonom Baru a. Evaluasi Penataan Daerah Otonom Baru b. Fasilitasi Penataan Batas Wilayah Administrasi Pemerintahan pada Daerah Otonom Baru 6) Program Peningkatan Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah a. Pengembangan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan daerah b. Fasilitasi Pengelolaan Keuangan Daerah c. Fasilitasi Penataan Regulasi Keuangan Daerah Dari paparan di muka, tampak bahwa terjadi perubahan program-program dalam rangka perwujudan desentralisasi dan otonomi daerah dari tahun 2004 hingga 2006 sehingga program-program tersebut tidak berkesinambungan. Sejak tahun 2006 barulah tampak konsistensi program-program desentralisasi dan otonomi daerah.
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐18
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
4.2. Capaian Pelaksanaan Program Desentralisasi dan Otonomi Daerah 2005-2009 Capaian masing-masing program dapat dilihat dari pemenuhan indikator masing-masing kegiatan.
Selain itu, capaian juga dapat dilihat dari capaian
sasaran program dan kegiatan. Berdasarkan laporan database Desentralisasi dan Otonomi Daerah yang dirilis oleh Direktorat Otonomi Daerah-Bappenas Tahun 2009, perkembangan desentralisasi dan otonomi daerah dan program-program yang dilaksanakan dalam rangka perwujudannya, dapat dilihat berikut ini : 4.2.1. Program
Penataan
Peraturan
Perundang-undangan
mengenai
Desentralisasi dan Otonomi Daerah UU 32 tahun 2004 mengamanatkan 27 Peraturan Pemerintah, 2 Peraturan Presiden dan 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri, sedangkan UU 33 tahun 2004 mengamanatkan 7 Peraturan Pemerintah dan 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri. Hingga pertengahan tahun 2009 atau setelah 5 tahun pelaksanaan kedua peraturan perundangan tersebut, saat ini Pemerintah telah menyelesaikan 89% amanat UU 32 tahun 2004, serta 100% amanat UU 33 tahun 2004, dengan rincian sebagaimana tabel berikut: Tabel 4.1. Amanat dan Capaian Peraturan Turunan UU 32/2004 dan 33/2005 No.
Jenis Peraturan
UU 32/3004
UU 33.2004
Amanat
Capaian
Amanat
Capaian
1
Peraturan Pemerintah (PP)
27
21*)
7
7
2
Peraturan (Perpres)
Presiden
3
1
-
-
3
Peraturan Negeri
Dalam
3
2
1
1
Menteri
Keterangan : *) 2 RPP tidak dilanjutkan dan 4 RPP dijadikan 2 RPP (Lihat Tabel) Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐19
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Berdasarkan tabel 2.1. di atas, maka pada tahun 2009, pencapaian pelaksanaan amanat UU 32 tahun 2004 hanya ada 1 (satu)
capaian, yaitu
Peraturan Pemerintah, yaitu (1) PP no. 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan. Hal ini berbeda dengan tahun 2008 sebanyak 6 (enam) capaian Peraturan Pemerintah. Selain itu sebanyak 4 PP masih dalam bentuk rancangan yang masih dalam proses penyelesaian di instansi terkait, yaitu: 1. Amanat dari pasal 168 ayat (1), untuk membentuk PP tentang Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hingga saat ini, draft PP tersebut telah terbentuk dan sedang dibahas dengan instansi terkait dan Daerah. 2. Amanat dari pasal 9 ayat (3) dan ayat (6)1, untuk membentuk PP tentang Fungsi Pemerintahan Tertentu dan Tatacara Penetapan Kawasan Khusus. Proses penyusunan PP tersebut telah sampai pada pengajuan RPP kepada Sekretariat Negara dan Departemen Hukum dan HAM. 3. Amanat dari pasal 38 ayat (3) dan ayat (4)2, untuk membentuk PP tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah. Sama seperti amanat sebelumnya, RPP ini telah disampaikan kepada Sekretariat Negara dan Departemen Hukum dan HAM. 4. Amanat dari Pasal 135 ayat (2), untuk membentuk PP tentang Pedoman Standar, Norma dan Prosedur Pembinaan dan Pengawasan Manajemen PNS Daerah. Draft PP tersebut saat ini masih dalam proses pembahasan dengan instansi terkait dan Daerah Ada pun rincian pelaksanaan amanat kedua Undang-undang tersebut disajikan secara lengkap dalam 2 tabel di bawah ini.
1 Awalnya direncanakan membentuk 2 PP, PP tentang Fungsi Pemerintahan Tertentu dan PP tentang Tatacara Penetapan Kawasan Khusus. 2 Awalnya direncanakan membentuk 2 PP, PP tentang Kedudukan Keuangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah dan PP tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur selaku Wakil Pemerintah.
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐20
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Tabel 4.2 Pelaksanaan Amanat UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
No
Peraturan Pelaksana
PERATURAN PEMERINTAH 1. PP tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Dasar Pengaturan UU No. 32/2004
Penanggung Jawab
Pasal 33 ayat (3)
Dit. Pejabat Negara Ditjen Otda Depdagri
Dit. Tramtib dan Linmas, Ditjen PUM Depdagri Dit. Fas. Pertanggungja waban dan Pengawasan Keuangan Daerah, Ditjen BAKD Dit. Pejabat Negara, Ditjen OTDA Depdagri
2.
PP tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja
Pasal 148 ayat (2)
3.
PP tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Pasal 184
4.
PP tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tatatertib DPRD
5.
PP tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD
Pasal 43 ayat (8), Pasal 46 ayat (2), Pasal 54 ayat (6), dan Pasal 55 ayat (5) Pasal 44 ayat (2), Pasal 168 ayat (2)
6.
PP tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan
Pasal 199
Dit. Pejabat Negara, Ditjen OTDA Depdagri
Dit. Perkotaan, Ditjen Bina Bangda Depdagri
Status Penyusunan
Selesai dengan diterbitkannya PP No. 6 Tahun 2005, kemudian diubah dengan PP No. 25 Tahun 2007, kemudian diubah lagi dengan PP No. 49 Tahun 2008 Selesai dengan diterbitkannya PP No 32 Tahun 2004 Selesai dengan diterbitkannya PP No 24 Tahun 2005
Selesai dengan diterbitkannya PP No. 25 tahun 2004, kemudian diubah dengan PP no.53 tahun 2005 Selesai dengan diterbitkannya PP No.24 tahun 2004, diubah dengan PP no. 37 tahun 2005, diubah lagi dengan PP no.37 tahun 2006, kemudian diubah lagi dengan PP No.21 Tahun 2007 Selesai dengan diterbitkannya PP No. 34Tahun 2009 tentang Pengelolaan Kawasan Perkotaan
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐21
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
No
Peraturan Pelaksana
7.
PP tentang Desa
8.
PP tentang Kelurahan
Dasar Pengaturan UU No. 32/2004 Pasal 203, Pasal 208, Pasal 210, Pasal 211, Pasal 213, Pasal 214, dan Pasal 216 Pasal 127
9.
PP tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa menjadi PNS
Pasal 202
10.
PP tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Pasal 178
11.
PP tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah PP tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Pasal 223
PP tentang Tatacara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah
Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6
PP tentang Pedoman Penyusunan Standar dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
Pasal 11 ayat (4)
12.
13.
14.
Pasal 6 ayat (3); Pasal 27 ayat (4) dan ayat (5)
Penanggung Jawab Dit Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Ditjen PMD Depdagri Dit Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Ditjen PMD Depdagri Dit. Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Ditjen PMD Depdagri Dit. Adm. Pendapatan dan Investasi Daerah, Ditjen BAKD Depdagri Inspektorat Jenderal Depdagri Dit. Peningkatan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah, Ditjen OTDA Depdagri Dit. Penataan Daerah dan Otonomi Khusus, Ditjen OTDA Depdagri Dit. Peningkatan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah, Ditjen
2009
Status Penyusunan Selesai dengan diterbitkannya PP No. 72 tahun 2005
Selesai dengan diterbitkannya PP no. 73 tahun 2005 Selesai dengan diterbitkannya PP no. 45 tahun 2007
Selesai dengan diterbitkannya PP No.6 Tahun 2006 , yang diubah dengan PP 38 Tahun 2008 Selesai dengan diterbitkannya PP No. 79 Tahun 2005
Selesai dengan diterbitkannya PP No. 6 tahun 2008
Selesai dengan diterbitkannya PP No. 78 Tahun 2007
Selesai dengan diterbitkannya PP No. 65 Tahun 2005
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐22
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
No
Peraturan Pelaksana
Dasar Pengaturan UU No. 32/2004
Penanggung Jawab
2009
Status Penyusunan
OTDA Depdagri 15.
16.
17.
PP tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota PP tentang Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Pasal 168 ayat (1)
Dit Urusan Pemerintahan Daerah, Ditjen OTDA Depdagri
PP tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada DPRD, dan Informasi LaporanPenyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat PP tentang Hubungan Pelayanan Umum Antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah dan antar Pemerntah Daerah
Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 42 ayat (1) huruf h
Dit. Urusan Pemerintahan Daerah, Ditjen OTDA Depdagri
Dit. Pejabat Negara, Ditjen OTDA Depdagri
Pasal 15 dan Pasal 16
Dit. Fas. DPOD & Hubungan Antar Lembaga, Ditjen OTDA Depdagri
Pasal 165 ayat (3)
Ditjen BAKD
Sesuai pembahasan Depdagri bersama Dep/LPND terkait, substansi RPP ini telah dimuat dalam RPP yang mengatur pembagian urusan, dan RPP yang mengatur Pelayanan Umum Diinformasikan oleh Kasubag Per--an Ditjen BAKD, penyusunan RPP ini tidak dilanjutkan, karena substansi RPP ini sudah tertampung dalam PP No. 58 tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Pasal 9 ayat
Dit. Kawasan
Sudah disampaikan ke
TIDAK DILANJUTKAN
18.
PP tentang Fungsi
Sudah dalam bentuk draft dan sedang dibahas dengan instansi terkait dan Daerah. Selesai dengan diterbitkannya PP No. 3 tahun 2007
Dit UPD dan PN-Ditjen Otda
TIDAK DILANJUTKAN
PP tentang Tatacara Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Penggunaan Dana Darurat
Selesai dengan diterbitkannya PP No.38 tahun 2007
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐23
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
No
Peraturan Pelaksana Pemerintahan Tertentu
Dasar Pengaturan UU No. 32/2004 (3)
19.
PP tentang Tatacara Penetapan Kawasan Khusus
Pasal 9 ayat (6)
20.
PP tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah
Pasal 197
21. PP tentang Organisasi Perangkat Daerah 22.
23. 24.
25. 26.
27.
I.
1.
PP tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah PP tentang Kedudukan Keuangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah PP tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur selaku Wakil Pemerintah
PP tentang Insentif dan/ atau Kemudahan Kepada Masyarakat/Investor PP tentang Pedoman, Norma, Standar dan Prosedur Pembinaan dan Pengawasan Manajemen PNS Daerah PP tentang Pembentukan Kecamatan
Pasal 128 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Pasal 154
Pasal 38 ayat (3) Pasal 38 ayat (4)
Penanggung Jawab dan Otorita, Ditjen PUM Depdagri Dit. Kawasan dan Otorita, Ditjen PUM Depdagri Dit. Ketentraman dan Ketertiban Umum, Ditjen PUM Depdagri Biro Organisasi, Sekretariat Jenderal Depdagri Ditjen Bangda Depdagri
Dit. Pejabat Negara, Ditjen Otda Depdagri
Pasal 176
Ditjen Bangda Depdagri
Pasal 135 ayat (2)
Biro Kepegawaian, Sekretariat Jenderal Depdagri Ditjen PUM
Pasal 126
2009
Status Penyusunan Setneg/Setkab/ Dephuk dan HAM yang kemudian dijadikan satu PP tentang Fungsi Pemerintahan Tertentu dan Tatacara Penetapan Kawasan Khusus Selesai dengan diterbitkannya PP no. 50 tahun 2007 Selesai dengan diterbitkannya PP no. 41 tahun 2007 Selesai dengan diterbitkannya PP no. 8 tahun 2008
Sudah menjadi satu draft RPP tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah sudah disampaikan ke Dephukham. Selesai dengan diterbitkannya PP no. 45 tahun 2008 Sudah dalam bentuk draft dan sedang dibahas dengan instansi terkait dan Daerah. Selesai dengan diterbitkannya PP no. 19 tahun 2008
PERATURAN PRESIDEN Peraturan Presiden tentang Dewan
Pasal 224
Dit. Fas. DPOD & Hubungan
Selesai dengan diterbitkannya Perpres
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐24
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
No
Peraturan Pelaksana
Dasar Pengaturan UU No. 32/2004
Pertimbangan Otonomi Daerah 2.
3
II.
Peraturan Presiden tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah Peraturan Presiden tentang Pedoman Pengembangan Kapasitas dalam Mendukung Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah
Pasal 140 ayat (3)
Tidak diamanatkan, tetapi berkaitan.
Penanggung Jawab
2009
Status Penyusunan
antar Lembaga, Ditjen OTDA Depdagri Dit. Fas. DPOD & Hubungan antar Lembaga, Ditjen OTDA Depdagri Dit. Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah Depdagri
No. 28 Tahun 2005 tentang DPOD Sudah disampaikan ke Dephuk HAM.
Dalam proses penyelesaian
PERATURAN MENDAGRI
1.
Peraturan Mendagri tentang Perpindahan Menjadi Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah
Pasal 131 ayat (2)
Biro kepegawaian, Sekretariat Jenderal
Selesai dengan diterbitkannya Permendagri No 10 Tahun 2006 tentang Perpindahan Menjadi Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah
2.
Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah
Pasal 229
Dit. Perbatasan, Ditjen PUM
Selesai dengan diterbitkannya Permendagri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah
3.
Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Tata Cara Perubahan Batas, Perubahan Nama dan Pemindahan Ibukota
Pasal 7 ayat (2)
Dit. Perbatasan, Ditjen PUM
Dalam proses penyelesaian
Sumber : OTDA-Depdagri, 2008-2009, dalam Laporan Penyusunan Database Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah Tahun 2009 yang dirilis oleh Direktorat Otonomi Daerah-Bappenas Pencapaian pelaksanaan amanat UU 33 tahun 2004 telah jauh lebih baik dibandingkan UU 32 tahun 2004, karena dengan ditetapkannya PP no.7 tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, maka semua peraturan
turunan
yang
diamanatkan
oleh
UU
ini
telah
selesai
dilaksanakan. Untuk selanjutnya, fokus Pemerintah terkait dengan Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐25
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
desentralisasi fiskal lebih kepada pelaksanaan peraturan perundangan yang telah ditetapkan, termasuk penyusunan petunjuk teknis, jika diperlukan. Tabel 4.3 Pelaksanaan Amanat UU 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah No. I.
Peraturan Pelaksana PERATURAN
Dasar Pengaturan No. 33/2004
Penanggung Jawab
PEMERINTAH
1.
PP tentang Dana Perimbangan
Pasal 26, 37, dan 42
Ditjen APK Depkeu
2.
PP tentang Pinjaman Daerah
Pasal 65 (Juga diamanat kan oleh No 32/2004 Pasal 171 ayat 1)
3.
PP tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah PP tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 104
Ditjen APKDepkeu, Dit Admn Pendapatan dan Investasi Daerah- Ditjen BAKD Ditjen APK Depkeu
4.
Status Penyusunan
Pasal 86 (Juga diamanatkan oleh No 32/2004 Pasal 23 ayat 2, Pasal 194 dan Pasal 182) Pasal 45
Ditjen APKDepkeu, Dit Adm Anggaran Daerah-Ditjen BAKD
5.
PP tentang Hibah ke daerah
Ditjen APK Depkeu
6.
PP tentang Pengelolaan Dana Darurat
Pasal 48
Ditjen APK Depkeu
7.
PP tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Pasal 92 dan 99
Ditjen APK Depkeu, dan Depdagri
Telah selesai dengan keluarnya PP No 55 Tahun 2005 Telah selesai dengan keluarnya PP No 54 Tahun 2005
Telah selesai dengan keluarnya PP No 56 Tahun 2005 Telah selesai dengan keluarnya PP No 58 Tahun 2005
Telah selesai dengan keluarnya PP No 57 Tahun 2005 TIDAK DILANJUTKAN karena substansinya telah diatur dalam PP No. 58 Tahun 2005 Telah selesai dengan keluarnya PP No 7 Tahun 2008
II. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI 8.
Permendagri tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 155 PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Depkeu
Permendagri No.13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang kemudian direvisi menjadi Permendagri
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐26
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
No.
Peraturan Pelaksana
Dasar Pengaturan No. 33/2004 Daerah
Penanggung Jawab
2009
Status Penyusunan No. 59 tahun 2007 tentang Perubahan Permendagri No.13 tahun 2006.
Sumber : Ditjen Otda-Depdagri, 2008-2009 Selain amanat UU 32 dan 33 tahun 2004, terdapat beberapa peraturan terkait bidang desentralisasi dan otonomi daerah yang telah ditetapkan pada tahun 2009. Peraturan tersebut antara lain diuraikan dalam tabel di bawah ini. Tabel 4.4 Peraturan Perundangan terkait Desentralisasi & Otonomi Daerah Tahun 2009 No.
Nomor
Judul
1.
UU Nomor 43
Wilayah Negara
2.
UU Nomor 10
Kepariwisataan
3.
UU Nomor 11
Kesejahteraan Sosial
4.
UU Nomor 22
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
5.
UU Nomor 25
Pelayanan Publik
6.
UU Nomor 28
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
7.
UU Nomor 32
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
8
UU Nomor 36
Kesehatan
9
UU Nomor 39
Kawasan Ekonomi Khusus
8.
PP Nomor 79
Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Padang Pariaman Dari Wilayah Kota Pariaman Ke Nagari Parit Malintang Kecamatan Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman Provinsi Sumatera Barat
9.
PP Nomor 8
Perubahan Kesebelas Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 Tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil
10.
PP Nomor 34
Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan
11.
PP Nomor 41
Tunjangan Profesi Guru Dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru Dan Dosen, Serta Tunjangan Kehormatan Profesor Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐27
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
No.
Nomor
12.
PP Nomor 42
2009
Judul Pemberian Gaji/Pensiun/Tunjangan Bulan Ketiga Belas Dalam Tahun Anggaran 2009 Kepada Pegawai Negeri, Pejabat Negara, Dan Penerima Pensiun/Tunjangan
13.
PP Nomor 63
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
Sumber : Hasil Pengolahan, Dit Otda Bappenas, 2009 4.2.2. Program Peningkatan Kerjasama antar Pemerintah Daerah Dalam mengembangkan potensi daerahnya, masing-masing daerah dapat melakukan kerjasama dengan berpedoman pada PP 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Kerjasama Daerah adalah kesepakatan antara gubernur dengan gubernur; atau gubernur dengan bupati/wali kota; atau antara bupati/wali kota dengan bupati/wali kota yang lain, dan atau gubernur, bupati/wali kota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban. Terkait dengan tujuan desentralisasi dan otonomi daerah dalam rangka peningkatan pelayanan publik, maka saat ini kerjasama daerah juga didorong untuk mencakup sektor pelayanan publik, yang selama ini masih cenderung dipisahkan berdasarkan batas administrasi wilayah. Dalam PP 50 Tahun 2007 disebutkan bahwa prinsip-prinsip kerjasama daerah adalah: a. Efesinsi b. Efektivitas c. Sinergi d. Saling menguntungkan e. Kesepakatan bersama f. Itikad baik g. Mengutamakan kepentingan nasional keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia h. Persamaan kedudukan Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐28
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
i. Transparansi j. Keadilan k. Kepastian hukum PP 50 Tahun 2007 juga mengatur poin-poin yang harus tercantum dalam kerjasama daerah dan perlu disepakati antar subyek kerjasama (kepala daerah dan/atau pihak ketiga), meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Subjek kerja sama; 2. Objek kerja sama; 3. Ruang lingkup kerja sama; 4. Hak dan kewajiban para pihak; 5. Jangka waktu kerja sama; 6. Pengakhiran kerja sama; 7. Keadaan memaksa; dan 8. Penyelesaian perselisihan. Selain mengacu PP 50 Tahun 2007, kerjasama daerah diatur dalam kerangka kebijakan berikut ini: 1. Undang-Undang
No.
25
Tahun
2004
tentang
Sistem
Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN) 2. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 3. Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah 4. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 5. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota 6. Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah 7. Permendagri 19/2009 tentang Peningkatan Kapasitas Pelaksana Kerjasama Daerah 8. Permendagri 22/2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerjasama Daerah 9. Permendagri 23/2009 tentang Tata Cara Bimbingan dan Pengawasan Pelaksanaan Kerjasama Daerah Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐29
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
Data
kerjasama
yang
terdapat
di
Direktorat
Otonomi
2009 Daerah
dikelompokkan sebagai berikut: 1. Kerjasama Dalam Negeri Pemerintah Daerah, meliputi: a. Kerjasama antar Pemerintah Daerah dalam Lingkup Regional (Pulau atau Bagian Pulau) b. Kerjasama Pemerintah Daerah Lintas Provinsi. Pada tahun 2009 telah terbentuk kerjasama antar provinsi kepulauan (Prov. Kepri, Babel) NTB, NTT, Sulut, Maluku, dan Maluku Utara) c. Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak ketiga i.
Provinsi Sumatera Utara
ii. Provinsi Jambi iii. Provinsi Sumatera Selatan iv. Provinsi Jawa Barat v. Provinsi Jawa Tengah vi. Provinsi Jawa Timur vii. Provinsi Bali viii. Provinsi Nusa Tenggara Barat ix. Provinsi Kalimantan Barat x. Provinsi Kalimantan Tengah xi. Provinsi Kalimantan Timur xii. Provinsi Kalimantan Selatan d. Kerjasama Pemerintah Daerah dalam Lingkup Provinsi, terdiri dari: i.
Provinsi Sumatera Utara
ii. Provinsi Riau iii. Provinsi Jambi iv. Provinsi Sumatera Selatan v. Provinsi Jawa Barat vi. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta vii. Provinsi Jawa Tengah viii. Provinsi Jawa Timur ix. Provinsi Bali x. Provinsi Nusa Tenggara Barat xi. Provinsi Kalimantan Barat Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐30
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
xii. Provinsi Kalimantan Tengah xiii. Provinsi Kalimantan Timur xiv. Provinsi Kalimantan Selatan 4.2.3. Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Perangkat daerah atau Kelembagaan Pemerintah Daerah merupakan elemen dasar pemerintahan kedua, setelah urusan pemerintahan dan sebelum aparatur pemerintah daerah. Pengaturan terhadap kelembagaan atau sering disebut dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), diatur dan ditetapkan berdasarkan PP 84 tahun 2000, yang diubah dengan PP 8 tahun 2003, dan kemudian diubah lagi menjadi PP 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam PP 41 tahun 2007 disebutkan bahwa pelaksanaan peraturan perundangan ini diharapkan dapat selesai dalam waktu 1 tahun sejak ditetapkan, dan pada saat akhir tahun 2009 ini PP 41 tahun 2007 sudah berjalan selama 2 tahun. Bahwa dalam rangka standarisasi dan tertib penataan kelembagaan perangkat daerah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, maka Pemerintah memandang perlu untuk menetapkan Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah, yang selanjutnya
dengan
ditetapkannya
Peraturan
Menteri
Dalam
Negeri
(Permendagri) No. 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah. Dalam Permendagri ini, Pemerintah lebih mengatur secara rinci penataan kelembagaan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, khususnya dalam aspek pembentukan, tugas dan fungsi, besaran organisasi, perumpunan bidang pemerintahan, dan susunan organisasi. a. Perkembangan Pelaksanaan PP 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah Berdasarkan data Biro Organisasi, Departemen Dalam Negeri, yang berasal dari laporan
pemerintah
daerah,
pelaksanaan
restrukturisasi
kelembagaan
pemerintahan daerah telah mengalami perkembangan meskipun belum sesuai dengan seperti apa yang diharapkan. Hingga bulan Mei 2009 sudah 30 provinsi, Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐31
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
223 kabupaten dan 43 kota yang telah melaporkan Perda Organisasi Perangkat Daerahnya kepada Depdagri, atau sebesar 91% provinsi, 56% kabupaten, dan 46% kota, atau total 296 daerah (provinsi, kabupaten, kota). Sisanya, sebanyak 3 provinsi, 175 kabupaten dan 50 kota belum terdata atau belum melaporkan Perda tersebut. Berikut disajikan informasi lengkap daerahdaerah yang telah melaporkan pelaksanaan PP 41 tahun 2007 di daerahnya masing-masing.
Data-data
tersebut
juga
mencakup
daerah-daerah
hasil
pemekaran wilayah (daerah otonom baru) hingga bulan Mei 2009, yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Tabel 4.5 Pelaksanaan PP 41 tahun 2007 oleh Pemerintah Daerah Lingkup Provinsi NAD
2007 - Provinsi - Kab. Simeuleu - Kota Lhoksumawe
Sumatera Utara
-
Sumatera Barat
-
2008 Kab. Aceh Barat Daya Kab. Aceh Timur Kab. Aceh Barat Kab. Bener Meriah Kab. Nagan Raya Kab. Pidie Kab. Aceh Jaya Kab. Aceh Selatan Kab. Aceh Tengah Kab. Aceh Besar Kab. Aceh Singkil Kab. Aceh Utara Kab. Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Langsa Kab. Deli Sedang Kab. Karo Kab. Toba Samosir Kota Padang Sidempuan Kab. Dairi Kab. Humbang Hasundutan - Kab. Labuan Batu - Provinsi Kab. Pasaman Barat - Kab. Sawahlunto - Kab. Solok - Kota Payakumbuh - Kab. Padang Pariaman - Kab. Pesisir Selatan -
2009
Keterangan 75% Dari 24 wilayah
- Provinsi
24% Dari 34 wilayah
-
35% Dari 20 wilayah
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐32
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014 Lingkup Provinsi Riau
2007
2008
2009
2009 Keterangan
-
38% Dari 13 wilayah
-
-
83% Dari 12 wilayah
-
Provinsi Kab. Musi Rawas Kab. Banyuasin Kab. Lahat Kota Pagaralam Kota Palembang Kota Prabumulih Kab. Empat Lawang Kab. Muara Enim Kab. Ogan Ilir Kab. Ogan Komering Ilir Kab. Ogan Kering Ulu Kab. OKU Selatan Kab. OKU Timur Kota Pagar Alam
94% Dari 16 wilayah
- Kab. Rokan Hulu
-
Jambi
-
Sumatera Selatan
-
Provinsi Kab. Kampar Kota Dumai Kota Pekanbaru
Provinsi Kab. Batanghari Kab. Bungo Kab. Kerinci Kab. Merangin Kab. Muarojambi Kab. Sarulangun Kab. Tanjung Jabung Barat - Kab. Tanjung Jabung Timur - Kab. Tebo
Bengkulu
- Kab. Kaur
-
Provinsi Kab. Rejang Lebong Kab. Seluma Kab. Kepahiang Kota Bengkulu
55% Dari 11 wilayah
Lampung
- Provinsi - Kab. Lampung Tengah - Kab. Lampung Timur
-
Kab. Way Kanan Kab. Tanggamus Kota Bandar Lampung Kab. Lampung Selatan Kab. Lampung Utara Kab. Lampung Barat Kota Metro Provinsi
73% Dari 15 wilayah
Bangka
-
38%
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐33
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014 Lingkup Provinsi Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta
2007
- Kab. Lingga
-
2008 - Kab. Bangka - Kota Pangkalpinang - Kab. Bintan
- Kab. Bandung - Kota Bandung
-
Provinsi Kab. Cirebon Kab. Majalengka Kab. Subang Kab. Sukabumi Kab. Ciamis Kab. Cianjur Kab. Kerawang Kab. Purwakarta Kab. Sumedang Kota Cirebon Kota Depok Kota Sukabumi Kota Tasikmalaya Kota Bekasi Kota Bogor
Jawa Tengah
- Kab. Kendal
-
Provinsi Kab. Boyolali Kab. Batang Kab. Grobogan Kab. Kebumen Kab. Pekalongan Kab. Sukoharjo Kab. Brebes Kab. Cilacap Kab. Magelang Kab. Purworejo Kab. Rembang Kab. Semarang Kab. Tegal Kab. Wonosobo Kab. Sragen Kota Magelang Kota Pekalongan Kota Semarang Kota Surakarta
-
Provinsi Kab. Gunung Kidul Kab. Kulon Progo
Keterangan Dari 8 wilayah
- Kota Tanjung Pinang
38% Dari 8 wilayah
-
14% Dari 7 wilayah 67% Dari 27 wilayah
- Provinsi
Jawa Barat
DIY
2009
2009
58% Dari 36 wilayah
Kab. Bantul
67% Dari 6 wilayah
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐34
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014 Lingkup Provinsi Jawa Timur
2007
2008
2009
-
Banten
-
Bali
-
NTB
-
NTT
-
- Provinsi - Kota Tangerang - Provinsi - Kab. Tabanan - Kab. Bangli - Kab. Buleleng - Kab. Jembrana - Kab. Karangasem - Kota Denpasar - Provinsi - Kab. Bima - Kab. Sumbawa Barat - Kab. Sumbawa - Kab. Lombok Timur - Kota Mataram - Provinsi Kab. Manggarai Timur - Kab. Timor Tengah Selatan - Kab. Nagekeo - Kab. Belu - Kab. Manggarai Barat - Kab. Sikka - Kab. Ngada
Keterangan 56% Dari 39 wilayah
Provinsi Kab. Banyuwangi Kab. Gresik Kab. Situbondo Kab. Tulungagung Kab. Bangkalan Kab. Bojonegoro Kab. Bondowoso Kab. Lamongan Kab. Madiun Kab. Magetan Kab. Ngawi Kab. Pacitan Kab. Pamekasan Kab. Ponorogo Kab. Sidoarjo Kab. Trenggalek Kab. Tuban Kota Probolinggo Kota Malang Kota Probolinggo - Kota Surabaya
-
2009
22% Dari 9 wilayah 70% Dari 10 wilayah
64% Dari 11 wilayah
- Kab. Rotte Ndao
68% Dari 22 wilayah
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐35
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014 Lingkup Provinsi
2007
2008 -
Kalimantan Barat
- Kab. Bengkayang - Kab. Melawi - Kab. Sanggau
Kalimantan Tengah
-
Kalimantan Selatan
- Kab. Hulu Sungai Selatan - Kab. Hulu Sungai Tengah - Kab. Tabalong - Kab. Tanah Bumbu
Kalimantan Timur
-
Sulawesi Utara
- Kab. Minahasa Tenggara - Kota
Kab. Ende Kab. Lembata Kab. Manggarai Kab. Sumba Timur Kab. Timor Tengah Utara Kota Kupang Provinsi Kab. Pontianak Kab. Sekadau Kab. Kapuas Kab. Kapuas Hulu Kab. Ketapang Kab. Landak Kab. Sambas Kota Pontianak Kota Singkawang
- Kab. Barito Utara - Kab. Kapuas - Kab. Sukamara - Kab. Barito Timur - Kab. Gunung Mas - Kab. Kotawaringin Barat - Kab. Seruyan - Kota Palangkaraya - Provinsi - Kab. Balangan - Kab. Barito Kuala - Kab. Kotabaru - Kab. Tapin - Kab. Banjar - Kab. Tanah Laut - Kota Banjarmasin - Kota Banjarbaru Provinsi Kab. Berau - Kab. Bulungan - Kab. Malinau - Kab. Tana Tidung - Kab. Kutai Barat - Kab. Nunukan - Kab. Minahasa Selatan - Kab. Minahasa - Kab. Minahasa Utara
2009
-
2009 Keterangan
87% Dari 15 wilayah
53% Dari 15 wilayah
-
93% Dari 14 wilayah
-
47% Dari 15 wilayah
- Provinsi -
63% Dari 16 wilayah
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐36
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014 Lingkup Provinsi
2007 Kotamobagu
Sulawesi Tengah
- Kab. Banggai
Sulawesi Selatan
- Kab. Pangkajene Kep.
Sulawesi Tenggara
- Kab. Konawe - Kab. Buton - Kab. Konawe Selatan - Kab. Muna
Gorontalo
- Provinsi - Kab. Bone Bolango
Sulawesi Barat
- Kab. Mamuju
Maluku
- Provinsi
2008 - Kab. Kepulauan Talaud - Kab. Bolaang Mongondow Utara - Kota Manado - Kota Tomohon - Provinsi - Kab. Toli-toli - Kab. Buol - Kab. Poso - Kota Palu - Provinsi - Kab. Luwu - Kab. Barru - Kab. Bulukumba - Kab. Gowa - Kab. Luwu Timur - Kab. Luwu Utara - Kab. Pinrang - Kab. Soppeng - Kab. Wajo - Kab. Enrekang - Kab. Jeneponto - Kab. Maros - Kab. Takalar - Kota Pare-pare - Provinsi - Kab. Kolaka Utara - Kab. Wakatobi - Kab. Konawe Utara - Kab. Buton Utara - Kab. Kendari - Kota Kendari -
- Provinsi - Majene - Mamasa - Kab. Tual - Kab. Maluku Tenggara Barat - Kab. Pulau Buru - Kab. Seram Bagian Timur - Kab. Maluku Tenggara - Kab. Seram Bag Barat
2009
2009 Keterangan
-
50% Dari 12 wilayah
-
64% Dari 25 wilayah
85% Dari 13 wilayah
-
28% Dari 7 wilayah
-
67% Dari 6 wilayah
-
67% Dari 12 wilayah
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐37
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014 Lingkup Provinsi
2007
2008 -
Kota Ambon Provinsi Kab. Halmahera Tengah Kab. Halmahera Barat
Maluku Utara
-
Papua Barat
-
- Kab. Raja Ampat
Papua
-
-
Kab. Keroom Kab. Asmat Kab. Jayapura Kab. Merauke Kab. Nabire Kab. Sarmi Kab. Yapen Waropen Kota Jayapura -
2009 -
-
2009 Keterangan 30% Dari 10 wilayah 9% Dari 11 wilayah 27% Dari 30 wilayah
56% Dari total wilayah Indonesia
Total
Sumber : Biro Organisasi-Depdagri, 2009 Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa pencapaian pelaksanaan PP 41 tahun 2007 oleh Pemerintah Daerah telah mencapai 56% dari seluruh wilayah di Indonesia (provinsi, kabupaten, dan kota), atau mencapai 296 daerah dari 524 daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) di Indonesia. Dari 296 daerah tersebut, sebanyak 36 daerah (12%) melaksanakannya tahun 2007, 257 daerah (87%) tahun 2008, dan sisanya sebanyak 3 daerah (1%) tahun 2009. Wilayah-wilayah yang telah melaksanakan PP 41 tahun 2007 di tahun yang sama dengan ditetapkannya PP tersebut (2007) terletak di provinsi NAD, Riau, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat dan Maluku. Kemudian, pada tahun 2008, sebagian besar wilayah melaksanakan implementasi PP 41/2007 tersebut dengan penetapan masing-masing Peraturan-Daerahnya.
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐38
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
b. Keterkaitan PP 41 tahun 2007 dengan Peraturan Sektoral Keterlambatan pelaksanaan restrukturisasi kelembagaan pemerintah daerah tidak hanya terkait dengan sosialisasi dan diseminasi peraturan oleh Pemerintah, melainkan pula karena kurang jelas/detailnya ketentuan yang diatur dalam PP tersebut, atau bahkan dalam petunjuk teknis pelaksanaannya. Dan ketika semua peraturan dan petunjuk teknis telah disosialisasikan kepada daerah, muncul permasalahan baru yang terkait dengan tidak sikronnya pengaturan dalam PP 41 tahun 2007 dengan peraturan perundangan sektoral, yang mengamanatkan tiap daerah untuk membentuk suatu instansi daerah dengan nomenklatur tertentu untuk menjalankan urusan pemerintahan yang didelegasikan oleh kementerian lembaga terkait. Beberapa peraturan yang juga mengatur mengenai kelembagaan pemerintah daerah (baik struktural maupun non struktural), telah dijelaskan dalam Laporan Database tahun 2008. Sehubungan dengan hal tersebut berikut ini akan dijelaskan beberapa peraturan-perundangan terbaru (tahun 2008 – 2009) yang belum dijelaskan pada laporan sebelumnya tersebut. 1. UU
No.
10
Tahun
2009
tentang
Kepariwisataan,
terkait
dengan
pembentukan Badan Promosi Pariwisata Indonesia (Bab X). Menurut UU 10 Tahun 2009, lembaga ini dibentuk di tingkat nasional dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Meskipun badan ini merupakan lembaga swasta yang bersifat
mandiri
(Pasal
36),
namun
UU
ini
mengamanatkan
Pemerintah/Pemerintah Daerah untuk memfasilitasi pembentuan Badan Promosi Pariwisata Indonesia yang berkedudukan di ibukota negara/ibukota provinsi, kabupaten/kota. Selain itu, sumber pembiayaan lembaga ini antara lain dapat bersumber dari APBN/APBD yang bersifat hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 42). 2. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, terkait dengan pembentukan Badan Pertimbangan Kesehatan (Bab XVII), yang merupakan lembaga independen, dengan ketentuan (Pasal 175 - 177) sebagai berikut : a. Badan pertimbangan kesehatan berkedudukan di pusat dan daerah;
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐39
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
b. Badan pertimbangan kesehatan pusat yang kemudian dinamakan Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional berkedudukan di pusat c. Badan pertimbangan kesehatan daerah (BPKD) berkedudukan di provinsi dan kabupaten/kota. d. Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, susunan organisasi dan pembiayaan BPKN dan BPKD diatur dengan Peraturan Presiden. 3. UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Kependudukan
Keluarga, dan
terkait
Keluarga
dengan
Berencana
pembentukan
Daerah
(BKKBD)
Badan (Bab
IX:
Kelembagaan, Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 57) sebagai berikut: a. Dalam rangka pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana
di
daerah,
pemerintah
daerah
membentuk
Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah yang selanjutnya disingkat BKKBD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. (Pasal 54 (1)) b. BKKBD berkedudukan di ibu kota Provinsi dan Kabupaten/Kota. (Pasal 55 (2)) c. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi BKKBD diatur dengan Peraturan Daerah. (Pasal 57 (3)) Pengaturan mengenai pembentukan kelembagaan di daerah terkait dengan pelaksanaan urusan Pemerintah, tidak sepenuhnya diatur secara jelas dan sinkron dengan PP 41 tahun 2007, mengingat beberapa peraturan perundangan telah ditetapkan sebelum ditetapkannya PP Organisasi tersebut. Meski demikian, beberapa peraturan perundangan seperti tersebut di atas, menjelaskan mengenai posisi kelembagaan yang diminta, yaitu kelembagaan non-struktural (Badan Pertimbangan Kesehatan dan Badan Promosi Pariwisata Indonesia yang bersifat lembaga swasta/independen), yang berarti tidak termasuk dalam kuota besaran organisasi seperti yang diatur dalam PP 41 tahun 2007, namun untuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) tidak ada pengaturan yang jelas terkait dengan struktur lembaga tersebut meskipun pembentukannya melalui Peraturan Daerah (Perda).
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐40
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Selama perjalanan pelaksanaan PP tersebut, Pemerintah Pusat dan Daerah telah banyak melaksanakan diskusi, sosialisasi dan diseminasi, sehingga saat ini pelaksanaan PP 41 tahun 2007 tersebut dapat dilaksanakan dengan penyesuaianpenyesuaian yang diperlukan. Meskipun menurut catatan Biro Organisasi Depdagri, terdapat 296 daerah provinsi dan kabupaten/kota yang telah melaporkan organisasi dan tata kerjanya sesuai dengan PP 41 tahun 2007, namun berdasarkan informasi-informasi dari sumber situs web masing pemerintah daerah dan keterangan lisan dari aparat pemerintah daerah terkait, dapat dikatakan hampir seluruh daerah (provinsi, kabupaten/kota) telah menyesuaikan organisasi dan tata kerjanya sesuai dengan PP 41 tahun 2007. Meskipun demikian belum seluruh daerah tersebut melaporkan Perda-nya kepada Departemen Dalam Negeri. Selain itu pihak Biro Organisasi Depdagri juga tidak lagi memperbarui data-datanya sejak per-Mei 2009. c. Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Dalam rangka menyediakan pelayanan kepada masyarakat, Pemerintah harus mampu menjamin terpenuhinya hak dasar masyarkat di seluruh daerah atas layanan dasar publik yang bersifat wajib. Untuk itu, dibutuhkan sebuah standar minimal yang berlaku sama untuk seluruh daerah di Indonesia. Standar ini memberikan petunjuk kepada seluruh daerah tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal, serta digunakan sebagai salah satu indikator kinerja penyelenggaraan pelayanan publik oleh daerah. Sejak direvisinya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU No. 32 Tahun 2004, berbagai SPM yang telah terbit berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 harus disesuaikan dengan UU No. 32 Tahun 2004. Sehubungan dengan itu, telah diterbitkan : 1. PP No. 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal pada tanggal 28 Desember 2005.
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐41
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal sebagai peraturan pelaksanaan dari PP 65/2005 pada tanggal 7 Februari 2007. 3. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 100.05 – 76 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Tim Konsultasi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal pada tanggal 7 Februari 2007. Tim Konsultasi SPM terdiri dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Kementrian PAN dan Bappenas yang mempunyai
tugas
menyerasikan
usulan-usulan
SPM
dari
Kementerian/Lembaga. Dengan telah diterbitkannnya Pedoman dan Petunjuk Teknis (Juknis) tentang SPM tersebut dan difasilitasinya penyusunan SPM di berbagai sektor oleh Tim Konsultasi, maka, sampai saat ini (2009) telah diterbitkan SPM di bidang kesehatan,
lingkungan
Kabupaten/Kota,
dan
hidup,
sosial,
perumahan
pemerintahan
rakyat.
Adapun
dalam SPM
negeri
untuk
di
bidang
ketenagakerjaan, keluarga berencana, dan pemberdayaan perempuan telah memasuki tahap akhir pembahasan di sidang DPOD. Saat ini sedang disusun Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) berdasarkan Analisis Kemampuan dan Potensi Daerah. 4.2.4. Program Peningkatan Profesionalisme Aparat Pemerintah Daerah Berdasarkan hasil Evaluasi Pertengahan (Mid-Term) Pelaksanaan RPJMN 20042009 Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah serta Database Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah yang dilakukan oleh Ditjen Otda Bappenas pada Tahun 2008, maupun sejumlah dokumen lainnya, diperoleh gambaran mengenai pelaksanaan dari program peningkatan profesionalisme aparat pemerintah daerah dalam Bab 13 RPJMN 2005-2009 sebagaimana diuraikan berikut. Hasil dari sejumlah kajian yang tersedia, memberikan informasi bahwa dalam program peningkatan profesionalisme aparat pemerintah daerah, programprogram yang belum begitu mendapat perhatian adalah program penyusunan
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐42
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
peraturan perundang-undangan daerah, pedoman dan standar kompetensi aparatur pemerintah daerah; program penyusunan rencana pengelolaan aparatur pemerintah daerah termasuk sistem rekruitmen yang terbuka, mutasi dan pengembangan pola karir; serta program peningkatan etika kepemimpinan daerah. Adapun program-program yang sudah relatif terlaksana adalah program fasilitasi penyediaan aparat pemerintah daerah, mutasi dan kerjasama aparatur pemerintah daerah; serta program fasilitasi pengembangan kapasitas aparatur pemerintah daerah dengan prioritas peningkatan kemampuan dalam pelayanan publik seperti kebutuhan dasar masyarakat, keamanan dan kemampuan di dalam menghadapi bencana, kemampuan penyiapan rencana strategis pengembangan ekonomi (lokal), kemampuan pengelolaan keuangan daerah, dan penyiapan strategi investasi. Sedangkan dalam laporan database Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah Direktorat Otonomi Daerah Bappenas, 2009 diperoleh gambaran profi aparatur Pemerintah Daerah sebagai berikut: Berdasarkan data dari BKN tahun 2009, bahwa jumlah keseluruhan aparatur pemerintah daerah di Indonesia (tidak termasuk pegawai negeri sipil pusat) mencapai 3,5 juta personel. Nilai tersebut hanya sebanyak 1,51% dari jumlah
penduduk
Indonesia.
Distribusi
aparatur
pemerintah
daerah
berdasarkan tingkatan pemerintahan ditunjukkan pada gambar di bawah ini, beserta perkembangannya sejak tahun 2002 sampai tahun 2009. Tahun 2008 dan 2009 terjadi peningkatan jumlah aparatur yg lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya, terutama untuk aparatur/kepegawaian di tingkat kabupatan dan kota. Peningkatan jumlah aparatur/kepegawaian, khususnya pada pemerintah kabupaten dan kota nampaknya dipengaruhi oleh peningkatan jumlah pemekaran wilayah (daerah otonom baru/DOB) pada tahun 2007-2008,
sedangkan
pada
periode
tahun
2004-2006
tidak
terdapat
pembentukan daerah otonom baru (DOB).
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐43
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Gambar 4.1 Perkembangan Jumlah Aparatur Pemda 4,000,000 3,500,000 3,000,000 Total
2,500,000
Provinsi 2,000,000
Kabupaten Kota
1,500,000 1,000,000 500,000 0 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Sumber : BKN, 2002-2009
Persebaran aparatur pemerintah daerah di Indonesia berdasarkan Pulaupulau besar dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Empat Puluh Dua Persen (42%) aparatur pemda di Indonesia berada di Pulau Jawa, sedangkan sisanya berturut-turut 26% di wilayah Sumatera, 12% di wilayah Sulawesi, 8% di wilayah Kalimantan, serta 7% di Bali-Nusa Tenggara dan 5% di Maluku-Papua. Mengingat konsentrasi penduduk di Pulau Jawa, maka pola persebaran ini dapat diasumsikan mengikuti beban pelayanan umum kepada masyarakat, tetapi tidak mengikuti rentang kendali atau jangkauan pelayanannya (luas wilayah). Seperti halnya Grand Design Penataan Daerah yang belum dirumuskan untuk menentukan jumlah wilayah administrasi pemerintahan ideal/optimal di Indonesia, pedoman manajemen kepegawaian di daerah juga belum menentukan standar ideal/optimal jumlah aparatur pemerintah. Walaupun telah terdapat beberapa kajian mengenai komposisi aparatur pemda ideal berdasarkan beban kerja atau variabel lainnya, namun Pemerintah belum menentukan acuan yang seharusnya dipakai oleh Pemerintah Daerah.
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐44
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
Kecenderungan
pola
ketersediaan
aparatur
pemerintah
2009 daerah
(provinsi dan kabupaten/kota) hingga pertengahan tahun 2009 sebagaimana gambar di bawah ini adalah antara rata-rata 91.296 personel di wilayah Sumatera, 276.284 personel di wilayah Jawa (tanpa DKI), 73.761 personel di wilayah Kalimantan, 68.972 personel di wilayah Sulawesi, 86.567 personel di wilayah Bali-Nusa Tenggara, serta 40.283 personel di wilayah MalukuPapua. Daerah Otonom Baru di Maluku dan Papua yang pada umumnya mempengaruhi rata-rata jumlah aparaturnya ternyata lebih sedikit dibandingkan di Nusa Tenggara, mengingat DOB yang dibentuk hingga tahun 2009 belum memiliki aparatur sesuai dengan yang dibutuhkan. Gambar 4.2 Persebaran Aparatur Pemerintah Daerah (Prov & Kab/Kota) di Indonesia 60,000
250,000
50,000
200,000
40,000 30,000
150,000
20,000
100,000
10,000
50,000
‐
Malut
Pabar
Papua
‐
NA Su D m Su u t m ba r Ri au Ja m Su b i m Be se ng l k La ulu m pu ng Ba be l Ke pr i
Maluku 200,000 150,000
ar
al o
lb
nt ro
80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 ‐
I J ak ar ta Ja ba r Ja te ng
Go
Su
l
a l tr
lse
Su
Su
l te Su
Su
lu
ng
t
‐
DK
120,000
DI Y Ja tim
50,000
Ba nt en
450,000 400,000 350,000 300,000 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 ‐
100,000
100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 ‐
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Bali
NTB
NTT
Sumber : BKN, 2009
.
Perbedaan karakteristik ketersediaan aparatur pemerintah daerah di tiap tingkatan pemerintahan di Indonesia (Provinsi, Kabupaten dan Kota), ditunjukkan pada tabel di bawah ini. Sebagai pelayan publik, aparatur pemerintah daerah selama ini dinilai terkait erat dengan penduduk yang dilayani, sehingga rasio jumlah aparatur pemerintah daerah terhadap jumlah penduduk sering digunakan sebagai indikator tingkat pelayanan publik di daerah. Jika dilihat secara agregat Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐45
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
se-Indonesia tahun 2009, jumlah aparatur pemerintah kabupaten mencapai 1,13% dari jumlah penduduk kabupaten, sedangkan aparatur pemerintah kota hanya 0,25% dari jumlah penduduknya. Dan rasio aparatur pemerintah provinsi adalah yang paling kecil, yaitu 0,14% dari jumlah penduduknya. Jumlah agregat aparatur pemerintah Indonesia tersebut meningkat dibandingkan jumlah aparatur tahun sebelumnya. Pola ini secara kasar tidak mencerminkan hubungan positif antara rasio jumlah aparatur pemerintah daerah terhadap jumlah penduduk dengan tingkat pelayanan publik daerah. Pada kenyataannya, wilayah kota cenderung memiliki kualitas pelayanan publik yang lebih baik dibandingkan dengan tingkat pelayanan publik di kabupaten, mengingat rentang kendali yang lebih pendek dan fasilitas/infrastruktur dasar yang lebih maju. Oleh karena itu, penilaian terhadap kualitas pelayanan publik tidak dapat dilihat hanya berdasarkan rasio jumlah aparatur dengan jumlah penduduk yang dilayani. Mengingat fungsi
manajemen
serta
sistem
birokrasi
di
tiap
daerah
akan
lebih
mempengaruhi kualitas pelayanan publik, dibandingkan sekedar kuantitas perangkat daerah yang diasumsikan melayani satu persatu masyarakat memenuhi kebutuhannya. Selanjutnya dibutuhkan kajian yang lebih mendalam untuk dapat melihat keterkaitan ini dan merumuskan indikator yang paling sesuai dan representatif terhadap tingkat/kualitas pelayanan publik daerah. Tabel 4.6 Statistik Aparatur Pemerintah Daerah Berdasarkan Tingkat Pemerintahan Variabel
Provinsi
Kabupaten
Kota
Jumlah aparat Pemda
316.224
2.611.963
575.658
% dari penduduk Ind.
0,14 %
1,13 %
0,25 %
Rata-rata
7.390*
6.984
6.396
Sebaran data
910 – 24.013
15 – 31.380
556 – 24.704
Terendah
Papua Barat
Kab. Yalimo, Papua
Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara
Tertinggi
Jatim
Kab. Bandung, Jabar
Kota Bandung, Jabar
Jateng (18.639)
Kab. Garut, Jabar (121.146)
Kota Surabaya, Jatim (20.533)
Tertinggi kedua Total se-Indonesia
3.503.845
% dari penduduk Ind.
1,51 %
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐46
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
Variabel
Provinsi
Kabupaten
Rasio thd Jumlah Penduduk
2009
Kota 1 : 66
*Tanpa DKI Jakarta, karena jumlah aparat pemda DKI:79.760 (pencilan)
Tabel 4.7 Statistik Aparatur Pemerintah Daerah Berdasarkan Klasifikasi Wilayah Variabel
Sumatera-Jawa-Bali
Kalimantan-Sulawesi
NT-Maluku-Papua
Jumlah aparat Pemda
2.371.422
708.877
343.786
% dari penduduknya
1,31%
2,38 %
2,42%
Rata-rata Prov.
9.194*
5.901
5.059
Rata-rata Kab.
9.089
5.117
3.817
Rata-rata Kota
6.813
5.884
4.711
Sebaran data Prov.
1.399 – 24.013
1.495 – 10.273
910 - 7100
Sebaran data Kab.
1.086 – 31.380
331 – 14.850
15 – 12.944
Sebaran data Kota
1.316 – 24.704
556 – 14.605
1.246 – 8.455
Terendah
Provinsi Kepri Kab. Bandung Barat, Jabar Kota Subussalam, NAD
Provinsi Sulawesi Barat Kab. Tanah Tidung, Kaltim Kota Kotamobagu, Sulut
Provinsi Papua Barat Kab. Yalimo, Papua Kota Tual, Maluku
Provinsi Jawa Timur Kab. Bandung, Jabar Kota Bandung
Provinsi Sulsel Kab. Kutai Kartanegara Kota Makassar
Provinsi NTB Kab. Lombok Timur, NTB Kota Ambon
Tertinggi
*Tanpa DKI Jakarta, karena jumlah aparat pemda DKI: 79.760
Berdasarkan nilai sebaran data jumlah aparatur pemerintah daerah pada tabel di atas, terlihat bahwa nilai rentang terkecil dan terbesar berada pada wilayah kabupaten. Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, maka pada tahun 2008-2009 masih terjadi ketimpangan dimana ketimpangan yang terjadi bukan sekedar antar wilayah kota dengan kabupaten, melainkan antar wilayah kabupaten sendiri terjadi ketimpangan yang cukup besar (terutama berdasarkan ketersediaan pelayan publik dan infrastruktur). Karakteristik wilayah yang berpengaruh terhadap kondisi ini antara lain jenis bentangan alam yang dominan di tiap kabupaten (dataran rendah, kepulauan, dataran tinggi, hutan, dsb), yang lebih variatif dibandingkan dengan wilayah kota yang cenderung seragam. Perbedaan bentang alam tersebut berpengaruh terhadap jangkauan dan rentang kendali pelayanan publik, terutama menyangkut jarak terhadap pusat kota, jenis transportasi, biaya perjalanan, serta jenis pelayanan yang difokuskan, yang belum sepenuhnya menjadi pertimbangan penentuan Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐47
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
kebijakan (selama ini cenderung berdasarkan pemisahan Jawa-Madura dengan luar Jawa). Peningkatan profesionalisme aparat pemerintah daerah, yang merupakan salah satu program dalam Bab 13 RPJMN 2004-2009 mengenai Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah, sangat terkait dengan kinerja dan kemampuan aparat pemerintah daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan aparat pemerintah daerah tersebut adalah berdasarkan tingkat pendidikan tiap pegawai, walaupun jenjang pendidikan yang tinggi tidak selalu sepenuhnya mengindikasikan kinerja yang baik. Gambar 4.3 Proporsi dan Persebaran Aparatur Pemda Berdasarkan Tingkat Pendidikan Total Indonesia
0.87% 5.57%
28.22%
36.53%
< SLTA SLTA
500,000 450,000
Diploma
28.81%
S1
400,000
Persebaran Tiap Provinsi
S2 & S3
350,000 300,000 250,000
S2 & S3
200,000
S1
150,000
Diploma
100,000
SLTA < SLTA
50,000
N. Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
‐
Sumber : BKN, 2009
Berdasarkan proporsinya, komposisi aparat pemerintah daerah adalah 6% berpendidikan
maksimal
SLTP,
37%
berpendidikan
SLTA,
29%
berpendidikan Diploma, 28% berpendidikan S1 dan 1% berpendidikan Pascasarjana (S2 dan S3). Berdasarkan kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pemerintahan daerah mayoritas bersifat administratif, karena Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐48
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
kompetensi lulusan SLTA dan Diploma lebih kepada hal tersebut. Jika dikaitkan dengan kebijakan untuk memangkas birokrasi pemerintahan di Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi aparatur pemerintah daerah belum menggambarkan dukungan terhadap kebijakan tersebut. Hal ini juga terkait dengan terus meningkatnya jumlah aparatur pemerintah daerah dari tahun ke tahun melalui rekruitmen calon pegawai negeri sipil (CPNS) baru, baik dari personal baru maupun pengangkatan tenaga honorer. Proporsi jumlah aparatur pemerintah daerah yang berpendidikan S1 dan Diploma, berdasarkan data di atas, cenderung berimbang, yaitu sekitar 28%. Jika jumlah kedua kategori ini digabungkan, maka proporsinya akan lebih besar dibandingkan dengan aparatur dengan latar belakang pendidikan maksimal SLTA (SD, SMP, SLTA). Dengan asumsi bahwa terdapat kemiripan antara kompetensi lulusan S1 dengan Diploma, maka secara keseluruhan dominasi kualitas personel tidak lagi pada tingkatan SLTA, melainkan pada kelompok pendidikan
ini.
Sedangkan
jumlah
aparatur
pemerintah
daerah
yang
berbendidikan pasca sarjana (S2-S3) seperti halnya tahun-tahun sebelumnya merupakan golongan yang paling sedikit, bahkan kurang dari 1 (satu) persen. Namun seiring dengan tuntutan peningkatan kinerja,
kemampuan, dan
kompetensi aparat pemerintah daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan, maka di masa mendatang jumlah aparatur pemerintah yang berlatar pendidikan pasca sarjana tersebut diharapkan akan terus meningkat sesuai dengan kebutuhan yang ada. Gambar 4.4 Perkembangan Jumlah Aparatur Pemerintah Daerah 2002-2009 Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐49
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Terkait dengan program peningkatan kapasitas aparatur pemerintah daerah, berdasarkan gambar di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan jumlah yang cukup signifikan, untuk semua jenjang, kecuali pasca sarjana dari tahun 2007 hingga 2009. Hal ini berarti bahwa fokus pemerintah daerah belum sampai pada peningkatan kualitas pegawai hingga jenjang ini, mengingat jenjang pendidikan ini bukan jaminan atas meningkatnya kinerja pegawai, melainkan lebih dibutuhkan untuk tingkatan manajemen pemerintahan. Selain itu kemungkinan aparatur berpendidikan S3 di daerah yang pensiun ternyata tidak tergantikan oleh personel lain yang berpendidikan sama. Masih terlihat adanya ketimpangan antar pulau di Indonesia. Pulau Jawa masih menjadi peringkat tertinggi atas kualitas aparatur pemerintah daerah, dilihat dari jenjang pendidikannya. Sedangkan Kawasan Timur Indonesia, terutama Maluku dan Papua menjadi peringkat terakhir berdasarkan kategori tersebut. Namun di sisi lain, kebutuhan pemerintahan daerah terhadap aparat dengan jenjang pendidikan S2 dan S3 sangat bergantung pada karakteristik wilayah dan struktur kelembagaan, yang sangat memungkinkan untuk berbeda antar wilayah yang satu dengan yang lain. Sampai saat ini pula, belum ada suatu formula komposisi yang tepat untuk penyusunan formasi pegawai berdasarkan tingkat pendidikan, kecuali berdasarkan kompetensi jabatan (jabatan struktural). Selain itu, yang juga seharusnya menjadi perhatian adalah aparatur pemerintah Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐50
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
daerah yang berlatar pascasarjana (S2 dan S3) yang memasuki masa pensiun ternyata kurang dapat diimbangi dengan aparatur baru pengganti yang berlatar belakang sama tersebut sehingga pada tahun 2009 jumlah aparatur pemerintah daerah berpendidikan S2 dan S3 justru menurun dibandingkan tahun 2007 4.2.5. Program Pengembangan Kapasitas Keuangan Daerah Pengelolan keuangan daerah, juga tidak terlepas dari beberapa peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Terkait dengan hal tersebut, dalam pengelolaan keuangan Pemda, terdapat hasil-hasil yang telah dicapai selama 5 (lima) tahun terakhir ini atau atas pelaksanaan RPJMN 2004 - 2009, diantaranya adalah telah disusun dan diterbitkan beberapa peraturan-perundangan terbaru terkait dengan pelaksanaan dan pengelolaan keuangan daerah, sekaligus menampung implikasi lahirnya peraturan perundang-undangan sebelumnya. Peraturan perundangan yang telah disusun dan diterbitkan hingga tahun 2009 ini terdiri dari 1 (satu) UU, 11 (sebelas) PP, 26 (dua puluh enam) Permendagri, 1 (satu) Peraturan Bersama Menteri, dan 1 (satu) Draft RUU, diantaranya adalah: i.
Undang-Undang: (1) UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
ii.
Peraturan Pemerintah (PP) (1) PP. No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD; (2) PP. No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah; (3) PP. No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah; (4) PP. No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (5)
PP. No. 57 Tahun 2005 Tentang Hibah Kepada Daerah;
(6) PP. No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; (7) PP. No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana telah diubah menjadi PP No. 38 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah; (8) PP. No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah;
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐51
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
(9) PP. No. 21 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas PP. No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD; (10) PP. No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan; (11) PP No. 45 Tahun 2008 tentang
Pedoman Pemberian Insentif dan
Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah; (12) PP No. 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah; iii.
PeraturanMenteri (Permen) (1) Permendagri No. 2 Tahun 2005 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2006; (2) Permendagri No. 3 Tahun 2005 tentang Pedoman Penetapan Nomor Kode Kendaraan Bermotor; (3) Permendagri No. 7 Tahun 2006 tentang Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintahan Daerah; (4) Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; (5) Permendagri No. 22 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengolaan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah; (6) Permendagri No. 23 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara'" Pengaturan Tarif Air Minum pada Perusahaan Daerah Air Minum; (7) Permendagri No. 2 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum; (8) Permendagri No. 9 tahun 2007 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Tahun 2007; (9) Permendagri No. 10 tahun 2007 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan di atas Air Tahun 2007; (10) Permendagri No. 16 Tahun 2007 tentang Tatacara Evaluasi Rancangan Perda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD; (11) Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah; Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐52
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
(12) Permendagri No. 21 Tahun 2007 tentang Pengelompokan Kemampuan Keuangan Daerah, Penganggaran dan Pertanggungjawaban Penggunaan Belanja
Penunjang
Operasional
Pimpinan
DPRD
serta
Tatacara
Pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif dan Dana Operasional; (13) Permendagri No. 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran 2008; (14) Permendagri No. 44 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Belanja Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; (15) Permendagri No. 59 Tahun2007 tentang Perubahan atas Permendagri No. 13 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; (16) Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK BLUD); (17) Permendagri No. 65 Tahun 2007 tentang Pedoman Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD dan Rancangan
Peraturan
Kepala
Daerah
tentang
Penjabaran
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD; (18) Permendagri No. 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Reviu Atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah; (19) Permendagri No. 22 Tahun 2008 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2008; (20) Permendagri No. 23 Tahun 2008 tentang Perhitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Di Atas Air dan Bea Balik Nama Kendaraan Di Atas Air Tahun 2008; (21) Permendagri No. 26 Tahun 2008 Tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak, Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Yang Belum Tercantum dalam Permendagri No. 22 Tahun 2008 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2008; (22) Permendagri No. 32 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2009; (23) Permendagri No. 40 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Permendagri No. 26 Tahun 2008 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐53
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Pajak, Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Yang Belum Tercantum dalam Permendagri No. 22 Tahun 2008 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2008; (24) Permendagri No. 55 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Penatausahaan Dan Penyusunan
Laporan
Pertanggungjawaban
Bendahara
Serta
Penyampaiannya; (25) Permendagri No. 20 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan DAK di daerah; (26) Permendagri No. 25 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2010. (27) Peraturan Bersama Kapolri, Menteri Keuangan dan. Menteri Dalam Negeri tentang Kerjasama Pelayanan Pendaftaran Kendaraan Bermotor dalam Pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Pemberian Surat Tanda Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan melalul SAMSAT; iv.
Draft UU (1) Draft RUU tentang Badan Usaha Milik Daerah, telah disampaikan ke Departemen Hukum dan HAM;
Instrumen utama yang digunakan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing ower) dan Transfer ke Daerah. Mengingat bahwa kewenangan pemerintah daerah untuk memungut pajak daerah masih sangat terbatas, maka diperlukan penguatan taxing power daerah. Upaya tersebut saat ini mulai dapat direalisasikan setelah disusun dan disahkannya UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Transfer ke Daerah direalisasikan dalam bentuk transfer Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Dana Perimbangan terdiri dari DBH, DAU, dan DAK, yang merupakan komponen terbesar dari Transfer ke Daerah. Alokasi Transfer ke Daerah terus meningkat dan disertai diskresi yang luas bagi daerah untuk menggunakan dana tersebut. a. Pengelolaan Dana Perimbangan Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐54
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Pemerintah telah mengalokasikan total dana sebagaimana dalam APBN-P 2009 sebesar 1.006,7 triliun rupiah. Dari angka sebesar itu 40,8% atau Rp. 400,2 triliun merupakan belanja Pemerintah di tingkat Pusat; 12% atau Rp. 120,6 triliun merupakan belanja Pemerintah di daerah; kemudian 30,8% atau Rp. 309,6 triliun merupakan dana transfer ke daerah; 14% atau Rp. 140,3 triliun merupakan subsidi; dan Rp. 35 triliun merupakan dana bantuan ke masyarakat.
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐55
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Gambar 4.5. Alokasi Belanja pada RAPBN-P 2009 (Triliun Rupiah) Alokasi Belanja pada RAPBN-P 2009 (Trilun Rupiah)
Total Belanja: 1.006,7 Triliun 35; 3,48%
140,3; 13,95% 309,6; 30,78%
400,2; 39,79%
120,6; 11,99%
Belanja Pusat di Pusat Belanja Pusat di Daerah Transfer ke Daerah Subsidi Bantuan ke Masyarakat
Sumber: Departemen Keuangan, 2009
Berdasarkan gambar di atas, untuk dana Transfer ke Daerah, direalisasikan dalam bentuk transfer Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH),Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Alokasi Transfer ke Daerahterus meningkat seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001. Misalnya, pada tahun 2005 alokasi Transfer ke Daerah sebesar Rp150,5 triliun dan terus meningkat hingga menjadi Rp309,6 triliun pada RAPBN-P tahun 2009 tersebut. Selain dana Transfer ke Daerah, belanja di daerah bisa lebih besar lagi bila memperhitungkan belanja Pemerintah
di
daerah
melalui
mekanisme
Dana
Dekonsentrasi,
Tugas
Pembantuan, dan dana vertikal. Kemudian juga dengan memperhitungkan alokasi subsidi pemerintah dan bantuan ke masyarakat yang juga akan dibelanjakan di daerah. Dengan demikian, dana yang akan dibelanjakan di daerah dapat mencapai kurang lebih 60,2 persen dari total belanja RAPBN-P Tahun 2009. Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐56
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Sejak tahun 2008, pemberian DAU memang telah berhasil menghilangkan prinsip hold harmless. Tetapi formula yang dipakai dalam penentuan DAU saat ini masih mengikutsertakan belanja pegawai dalam penghitungan. Kemudian penghitungan kebutuhan fiskal saat ini masih belum menggunakan pendekatan kebutuhan yang sebenarnya. Kemudian, seiring dengan menguatnya kebutuhan untuk pemenuhan berbagai program prioritas nasional besarnya alokasi DAK meningkat menjadi 21.202 miliar pada tahun 2008. Namun, besarnya alokasi DAK tersebut hanya sebesar 8.05% dari total dana perimbangan. Jumlah bidang DAK terus diperluas, pada tahun 2008 telah menjadi 11 sektor dan akan terus bertambah
memfasilitasi pemindahan dana yang selama ini menjadi Dana
Dekonsentrasi sehingga ada kecenderungan terjadinya fragmentasi. Proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap anggaran daerah sekarang ini masih tetap rendah dengan rata-rata di tingkat kabupaten/kota tidak lebih dari 18%. Kecilnya proporsi PAD tersebut membuat banyak daerah mengeluarkan peraturan pajak dan retibusi yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Gambar 4.6. Perkembangan Total Anggaran Pemerintah Daerah dan Pendapatan Asli Daerah (PAD_ Tahun 2005 - 2009 Anggaran
PAD
400.000 350.000 )r 300.000 ia il 250.000 m . p R ( 200.000 h a l 150.000 m u J 100.000
4 ,3 7 8 4 . 4 8 2
8 ,4 8 6 1 . 2 3 2
3 3 , 9 3 .0 6 0 3
1 ,3 9 6 3 . 6 4 3
1 7 , 9 2 .4 4 6 3
50.000 0
40.312,03 Realisasi 2005
44.755,78 Realisasi 2006
47.339,41 Anggaran 2007
53.915,57 Anggaran 2008
61.961,25 Anggaran 2009
Sumber: Departemen Keuangan, 2009 Angka 2009 merupakan angka sementara
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐57
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Dari gambar di atas menjelaskan bahwa total APBD daerah (provinsi, kabupaten, kota) dari tahun ke tahun memperlihatkan trend yang terus meningkat. Misalnya pada tahun 2005 sebesar 232,17 triliun meningkat menjadi 364,43 triliun pada tahun 2009. Demikian pula dari besaran anggaran tersebut diantaranya adalah berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang juga meningkat dari Rp. 40, 31 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 61,96 triliun pada tahun 2009. Meskipun demikian, angka PAD tersebut dibandingkan total anggaran yang diterima daerah tidak beranjak hanya sebesar 15% - 18% dari total APBD dalam rentang waktu tahun 2005 -2009. Dengan demikian sebagian besar komponen anggaran daerah masih mengandalkan Transfer ke Daerah dari pemerintah pusat. Sedangkan PAD memang masih memiliki kontribusi kecil terhadap keseluruhan anggaran pemerintah daerah. Tabel 4.8. Rincian Alokasi Dana Perimbangan dan Dana Otsus & Penyesuaian Dana Perimbangan: • Dana Bagi Hasil (DBH) • Dana Alokasi Umum (DAU) • Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana Otsus & Penyesuaian Jumlah
2005
2006
2007
2008
2009
2010
143.221
222.131
243.967
278.715
285.317
292.980
50.479
64.900
62.942
78.420
74.083
76.586
88.765
145.664
164.787
179.507
186.414
195.806
3.977
11.566
16.238
20.787
24.820
20.588
7.243
4.049
9.296
13.719
24.255
16.818
150.464
226.180
253.263
292.433
309.572
309.798
Sumber: Departemen Keuangan, 2009, diolah
Peningkatan Dana Perimbangan dari tahun 2005 - 2010 rata-rata sebesar 2,69% hingga 55,1%. Peningkatan tertinggi sebesar 55,1% terjadi pada tahun 2006 sebagai akibat dari peningkatan secara signifikan dari Dana Alokasi Khusus (DAK) yang mencapai hampir 200% dari sebesar Rp. 3,977 triliun tahun 2005 menjadi Rp. 11,566 triliun pada tahun 2006. Sedangkan Dana Alokasi Umum (DAU) pada tahun 2006 juga meningkat cukup signifikan sebesar 64,1% atau dari Rp. 88,765 triliun tahun 2005 menjadi Rp. 145,664 triliun tahun 2006. Setelah tahun 2006 peningkatan DAU berkisar 3 s.d. 13% dan DAK berkisar -17% s.d. 40%. Pada tahun 2010 alokasi anggaran untuk DAK justru menurun sekitar 17% atau hanya sekitar Rp. 20,588 triliun dibandingkan tahun 2009 sebesar Rp. 24,255 triliun. Selanjutnya
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐58
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
akan dijelaskan alokasi Dana Perimbangan tahun 2009 untuk masing-masing daerah provinsi.
Gambar 4.7. Perkembangan Dana Perimbangan dan Dana Otsus & Penyesuaian Tahun 2005 - 2009
350.000 278.715
300.000
285.317
292.980
243.967 250.000
222.131
200.000 143.221 150.000 100.000 50.000 7.243
9.296
4.049
13.719
24.255
16.818
0 2005
2006
2007
D ana P erim bangan:
2008
2009
2010
D ana Otsus & P enyesuaian
Sumber: Departemen Keuangan, 2009, diolah Angka 2009 dan 2010 merupakan angka sementara
Gambar 4.8. Perkembangan Dana Perimbangan, Tahun 2005 – 2010
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐59
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Gambar 4.9. Anggaran Dana Perimbangan Provinsi Tahun 2009 (Juta Rupiah) Anggaran Dana Perimbangan Provinsi Tahun 2009 (juta rupiah) 10.000.000 9.000.000
Jumlah (juta rupiah)
8.000.000 7.000.000 6.000.000 5.000.000 4.000.000 3.000.000 2.000.000 1.000.000 0
Sumber: Departemen Keuangan, 2009, diolah
Berdasarkan gambar di atas, mengambarkan bahwa Dana Perimbangan tahun 2009 bagi 33 pemerintah provinsi, sebagian besar dialokasikan bagi provinsi-provinsi di Jawa serta provinsi-provinsi yang memiliki kekayaan alam terbesar di Indonesia. b. Implementasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Sejalan dengan pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, kepada provinsi dan kabupaten/kota juga diberikan kewenangan untuk memungut pajak dan retribusi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan undangundang tersebut, terdapat 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota. Berbeda dengan ketentuan dalam UU No. 28 Tahun 2009 yang memberi kesempatan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk memungut pajak selain yang ditetapkan dalam undang-undang selama Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐60
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
sesuai dengan potensi yang ada dan harus sesuai dengan kriteria pajak yang ditetapkan dalam undang-undang, maka dalam UU No. 28 Tahun 2009, baik pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota tidak diperkenankan lagi memungut pajak selain dari yang telah ditentukan dalam UU 28 Tahun 2009 tersebut. Sementara itu, retribusi daerah dikelompokkan menjadi tiga golongan sesuai dengan jenis pelayanan dan perizinan yang diberikan, yaitu: (1) Retribusi Jasa Umum, (2) Retribusi Jasa Usaha, dan (3) Retribusi Perizinan Tertentu. Retribusi jasa umum adalah retribusi terhadap pelayanan yang wajib disediakan oleh pemerintah daerah. Retribusi jasa usaha adalah retribusi terhadap pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah karena pelayanan sejenis belum memadai disediakan oleh swasta atau dalam rangka optimalisasi pemanfaatan aset daerah. Retribusi perizinan tertentu adalah retribusi terhadap pelayanan pemberian izin tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, terdapat 14 retribusi umum, 11 retribusi jasa usaha, dan 5 retribusi perizinan tertentu. Secara nasional, peranan pajak daerah dan retribusi daerah dalam penerimaan
PAD
sangat
dominan,
baik
di
tingkat
provinsi
maupun
kabupaten/kota. Dalam tahun 2005–2008, PAD provinsi didominasi oleh penerimaan
pajak,
sedangkan
dalam
PAD
kabupaten/kota,
kontribusi
penerimaan pajak tidak jauh berbeda dengan penerimaan retribusi. Oleh sebab itu, dalam rangka meningkatkan PAD, pemerintah daerah cenderung untuk memungut berbagai jenis pajak dan retribusi melalui penetapan Peraturan Daerah (Perda) selain yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah, meskipun hasilnya kurang signifikan. Sehubungan dengan hal tersebut, sebagian besar Perda terkait dengan pajak dan retribusi baru yang bermasalah telah dibatalkan oleh Pemerintah. Pembatalan
tersebut
dilakukan
juga
karena
tidak
memenuhi
kriteria
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah. Namun demikian, terdapat beberapa retribusi yang berkaitan dengan pelayanan administrasi, yang pengenaannya tidak bersifat pajak belum dibatalkan, dengan pertimbangan untuk memberikan ruang bagi daerah dalam meningkatkan penerimaan dan meningkatkan kualitas pelayanan administrasi. Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐61
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Hal-Hal Yang Mengakibatkan suatu Perda dibatalkan: 1. Bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. 2. Bertentangan dengan kepentingan umum. 3. Perda yang cenderung membebani masyarakat umum. 4. Perda yang cenderung menguntungkan pihak lain baik perseorangan maupun
golongan. 5. Perda yang menimbulkan berbagai masalah sosial kemasyarakatan yang
merugikan kehidupan masyarakat. 6. Perda yang berpotensi menimbulkan konflik sosial dan disintegrasi bangsa.
Tabel 4.9a dan 4.9b Rekapitulasi Pembatalan Perda PDRD Tahun
Jumlah Perda Dibatalkan
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 *) Jumlah
20 106 237 127 114 173 229 58 1064
*) Hingga Agustus 2009
Daerah
Jumlah Perda dan Raperda yang Dievaluasi Perda
Raperda
Hasil Evaluasi Batal
Revisi
Tidak Bermasalah
Perda
Raperda
Perda
Raperda
Perda
Raperda
1. Provinsi
530
112
156
5
1
57
373
50
2. Kabupaten
6511
1973
2180
257
98
1066
4233
650
3. Kota
2141
450
611
57
45
268
1485
125
9182
2535
2947
319
144
1391
6091
825
Jumlah
Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, Depkeu
Berdasarkan hasil monitoring berbagai Peraturan Daerah (Perda) Pajak dan Perda Retribusi dari seluruh daerah (provinsi, kabupaten/kota) yang dilakukan oleh Ditjen Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) Departemen Dalam Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐62
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Negeri, sampai dengan bulan Agustus 2009 terdapat 17.812 Perda (627 Perda di tingkat provinsi dan 17.185 di tingkat kabupaten dan kota). Dari jumlah tersebut terdiri dari 3.539 Perda Pajak dan 14.243 Perda Retribusi. Selanjutnya, dari jumlah 17.812 Perda tersebut sudah diterima sebanyak 7.500 Perda untuk dilakukan evaluasi, sisanya sebanyak 10.312 belum diterima. Dari Perda yang telah dievaluasi, telah disetujui untuk dilaksanakan sebanyak 4.427 Perda dan sisanya sebanyak 3.063 Perda direkomendasikan untuk dibatalkan atau direvisi. Dari jumlah Perda yang direkomendasikan untuk dibatalkan atau direvisi tersebut, telah ditetapkan pembatalannya melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Netgeri sebanyak 1.064 Perda, dan sisanya sebanyak 1.999 masih dalam proses pembatalan. Tabel 4.10 Rekapitulasi SK Mendagri tentang Pembatalan Perda PDRD Tahun 2002 s.d. 2009 No. Wilayah 1 NAD 2 Sumut 3 Sumbar 4 Riau 5 Kepri 6 Jambi 7 Sumsel 8 Babel 9 Lampung 10 Bengkulu 11 DKI Jakarta 12 Jabar 13 Banten 14 Jateng 15 DIY 16 Jatim 17 Kalbar 18 Kalteng 19 Kalsel 20 Kaltim 21 Gorontalo 22 Sulut 23 Sulteng 24 Sulsel 25 Sulbar 26 Sultra 27 Bali 28 NTB 29 NTT 30 Maluku 31 Malut 32 Papua 33 Papua Barat
keseha Sumb. Sektor Perke Peter Pertania Kehuta Kopera Kelau Perhub Komin Link. Pekerj. Budpar Lain2 ESDM INDAG Naker fo Hidup Umum tan Pihak 3 bunan nakan n nan si UKM tan ungan Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 5 3 1 3 3 15 12 6 5 6 13 15 3 7 2 14 7 4 6 2 4 5 111 4 6 6 3 7 7 1 1 35 42 4 1 1 3 4 7 2 4 7 2 4 2 1 4 1 1 1 1 4 1 10 3 1 4 1 10 3 1 38 4 2 4 4 1 2 5 2 1 1 26 1 3 1 2 1 2 2 1 1 1 15 6 4 2 2 3 3 2 2 2 6 3 35 3 4 2 4 3 3 2 21 1 1 61 4 4 1 10 4 12 4 2 7 9 2 1 1 20 2 4 1 1 1 2 6 2 1 1 3 1 13 2 7 1 1 5 6 2 2 3 1 48 5 2 1 3 1 12 15 2 11 14 9 2 6 31 2 2 1 1 1 5 102 2 5 8 3 2 2 5 1 28 3 1 13 1 5 4 2 2 9 1 1 4 2 1 49 5 4 5 5 4 1 4 4 1 1 34 36 1 5 1 2 6 3 1 8 6 2 1 18 1 1 6 5 2 1 1 1 27 1 1 1 2 2 6 3 1 5 2 1 2 2 3 5 7 14 1 3 7 2 1 1 1 47 4 12 5 2 16 3 6 2 8 1 2 1 2 64 1 1 2 2 1 3 1 3 1 11 6 2 4 2 1 1 2 2 1 21 5 1 1 14 5 4 3 9 1 43 27 1 1 2 8 5 3 2 4 1 12 1 1 1 2 2 3 1 1 1 1 1 2 1 4 2 12 2 1 1 5 2 2 2 1 2 1 1 20 5 1 2 4 4 2 2 1 3 2 1 27 63
110
22
120
93
163
60
57
77
162
15
29
16
21
5
21
30
1064
Sumber: Ditjen BAKD, Depdagri
Perda-Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang dibatalkan melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri terdapat di hampir seluruh daerah. Jumlah Perda yang paling banyak dibatalkan terdapat di Sumatera Utara (111 Perda), kemudian di Jawa Timur (102 Perda) dan Sulawesi Selatan (64 Perda). Jika dilihat berdasarkan sektor, maka Perda yang dibatalkan paling Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐63
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
banyak berasal dari sektor perindustrian dan perdagangan (163 Perda), sektor perhubungan (162 Perda), sektor kehutanan (120 sektor) dan sektor peternakan (110 sektor). Jumlah Perda PDRD tersebut yang akan dibatalkan nampaknya akan bertambah mengingat hingga bulan Agustus 2009 masih ada 1.999 Perda yang masih dalam proses pembatalan atau revisi. 4.2.6. Program Penataan Daerah Otonomi Baru Pembentukan DOB sejak tahun 1999 sampai 2008 menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan, karena jumlah Provinsi di Indonesia meningkat sebesar 27%, jumlah Kabupaten meningkat sebesar 65%, dan jumlah Kota meningkat sebesar
50%.
Pada
tahun
2005
Pemerintah
untuk
sementara
waktu
menangguhkan pemekaran daerah, namun hingga akhir tahun 2006 gejolak usulan pemekaran daerah terus berlanjut. Kebijakan penangguhan sementara pemekaran daerah selama 2005-2006 sulit bertahan mengingat hingga saat ini belum ada dasar yang kuat untuk itu, meskipun Depdagri menilai bahwa perkembangan DOB belum optimal karena berbagai permasalahan atau hambatan yang dihadapi (Depdagri 2005). Di samping itu, belum adanya kebijakan pemerintah mengenai pembatasan jumlah daerah juga mendorong daerah terus mengajukan pemekaran daerah. Dengan desakan yang kuat dari daerah maka pada tahun 2007 dan 2008 terjadi lagi tambahan jurisdiksi daerah di Indonesia. Jumlah DOB di Indonesia sampai saat ini adalah 205 DOB, yang terdiri dari 7 Provinsi, 34 Kota dan 164 Kabupaten. Pada periode tahun 2008-2009, Pemerintah menetapkan 32 DOB berdasarkan 32 Undang-undang sebagai berikut.
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐64
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Gambar 4.10 Perkembangan Administrasi Kabupaten dan Kota Tahun 1998 sd 2008
Sumber: Otda-Depdagri dalam Laporan Evaluasi Pelaksanaan RKP Tahun 2008 oleh Direktorat Otonomi Daerah-Bappenas Tabel 4.11. Daerah Otonom Baru Tahun 2008 - 2009 NO
DOB
DAERAH INDUK
UU
IBUKOTA
JUMLAH PENDUDUK (2007)
JUMLAH KECAMATAN
LUAS WILAYAH (KM2)
PROVINSI SUMATERA UTARA 1
Kab. Labuhan Batu Selatan
2
Kab. Labuhan Batu Utara
Kabupaten Labuhan Batu Kabupaten Labuhan Batu
22 Tahun 2008
Kota Pinang
± 250.173
5
± 3.596
23 Tahun 2008
Aek Kanopan
± 323.740
8
± 3570,982
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐65
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
NO
DOB
3
Kab. Nias Utara Kab. Nias Barat Kota Gunungsitoli
4 5
2009
Kab. Nias
45 Tahun 2008
Lolofaoso
JUMLAH PENDUDUK (2007) ± 127.703
Kab. Nias
46 Tahun 2008
Onolimbu
± 84.181
8
± 473,379
Kab. Nias
47 Tahun 2008
Gunungsitoli
± 118.392
6
± 280,78
Kabupaten Kerinci
25 Tahun 2008
Sungai Penuh
77.315
5
± 391,5
Kabupaten Bengkulu Utara
24 Tahun 2008
Karang Tinggi
± 93.557
6
± 1.223,94
Kab. Bengkalis
12 Tahun 2009
Selat Panjang
± 204.579
5
± 3.707,84
Kabupaten Natuna
33 Tahun 2008
Tarempa, Siantan
± 41.341
6
± 590,14
Kab. Tanggamus
48 Tahun 2008
Pringsewu
± 368.318
8
± 625,00
Kab. Tulang Bawang Kab. Tulang Bawang
49 Tahun 2008 50 Tahun 2008
Sidomulyo
± 188.999
7
± 2.184,00
Panaragan
± 233.360
8
± 1.201,00
Kab. Tangerang
51 Tahun 2008
Ciputat
± 918.783
7
± 147,19
26 Tahun 2008
Tanjung
±204.556
6
± 776,25
52 Tahun 2008
Mania
±72.190
6
± 460,54
29 Tahun 2008
Tutuyan
± 61.123
5
± 910,176
30 Tahun 2008
Bolaang Uki
± 54.751
5
± 1.615,86
27 Tahun 2008
Sigi Biromaru
± 203.898 (2005)
15
± 5.196,02
DAERAH INDUK
UU
IBUKOTA
JUMLAH KECAMATAN 11
LUAS WILAYAH (KM2) 1.202,78
PROVINSI JAMBI 6
Kota Sungai Penuh
PROVINSI BENGKULU 7
Kab. Bengkulu Tengah
PROVINSI RIAU 8
Kab. Kep. Meranti
PROVINSI KEPULAUAN RIAU 9
Kab. Anambas
PROVINSI LAMPUNG 10 11 12
Kab. Pringsewu Kab. Mesuji Kab. Tulang Bawang Barat
PROVINSI BANTEN 13
Kota Tangerang Sel.
PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 14
Kab. Lombok Utara
Kabupaten Lombok Barat
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 15
Kab. Sabu Raijua
Kab. Kupang
PROVINSI SULAWESI UTARA 16
Kab. Bolaang Mongondow Timur
17
Kab. Bolaang Mongondow Selatan
Kabupaten Bolaang Mongondo w Kabupaten Bolaang Mongondo w
PROVINSI SULAWESI TENGAH 18
Kab. Sigi
Kabupaten Donggala
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐66
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
NO
DOB
DAERAH INDUK
UU
IBUKOTA
2009
JUMLAH PENDUDUK (2007)
JUMLAH KECAMATAN
LUAS WILAYAH (KM2)
PROVINSI SULAWESI SELATAN 19
Kab. Toraja Utara
Kabupaten Tana Toraja
28 Tahun 2008
Rantepao
± 219.428
21
± 1.215,55
Kabupaten Maluku Tenggara Barat Kabupaten Buru
31 Tahun 2008
Tiakur
± 66.627
8
± 4.581,06
32 Tahun 2008
Namrole
± 43.096
5
± 3.780,56
53 Tahun 2008
Daruba
± 54.876
5
± 2.476
Kab. Kebur
56 Tahun 2008
Kebur
± 29.119
6
± 5.179,65
Kab. Sorong
13 Tahun 2009
Kumurkek
± 27.919
6
± 5.461,690
Kabupaten Jayawijaya
5 Tahun 2008
Tiom
89.332*
10
± 2.248
Kabupaten Jayawijaya
3 Tahun 2008
Kobakma
54.735*
5
± 1.275
Kabupaten Jayawijaya Kabupaten Jayawijaya Kabupaten Nabire Kabupaten Puncak Jaya
4 Tahun 2008
Elelim
34.057*
5
± 1.253
6 Tahun 2008
Kenyam
± 73.696*
8
± 2.168
8 Tahun 2008
Kigamani
± 51.805*
7
± 4.237,4
7 Tahun 2008
Ilaga
± 60.294*
8
± 8.055
Kab. Paniai
54 Tahun 2008
Yokatapa
± 41.163
6
± 3.922,02
Kab. Paniai
55 Tahun 2008
Waghete
± 38.301
5
± 537,39
PROVINSI MALUKU 20
Kab. Maluku Barat Daya
21
Kab. Buru Selatan
PROVINSI MALUKU UTARA 22
Kab. Pulau Morotai
Kab. Halmahera Utara
PROVINSI PAPUA BARAT 23 24
Kab. Tambrauw Kab. Maybrat
PROVINSI PAPUA 25
27
Kab. Lanny Jaya Kab. Mamberamo Tengah Kab. Yalimo
28
Kab. Nduga
29
Kab. Dogiyai
30
Kab. Puncak Papua Kab. Intan Jaya Kab. Deiyai
26
31 32
*tidak ada keterangan tahun. Sumber : Ditjen Otda-Depdagri dan UU Pembentukan Wilayah (DOB)
Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa pada periode tahun 2008-2009 terbentuk 32 DOB yang terdiri dari 29 Kabupaten dan 3 Kota. Pemekaran wilayah yang terjadi pada tahun 2008-2009 terkonsentrasi di Kawasan Timur Indonesia (Nusa Tenggara-Maluku-Papua), sebesar 47%. Sisanya adalah 37,5% di Sumatera dan 12,% di Sulawesi. Pada tahun 2008-2009 tidak terjadi pemekaran wilayah di Kalimantan. Sedangkan di wilayah Jawa-Bali hanya terbentuk 1 (satu) daerah otonom baru, yaitu Kota Tangerang Selatan, sehingga meskipun demikian JawaLaporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐67
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Bali tetap merupakan daerah yang mengalami pemekaran paling sedikit dibandingkan wilayah lainnya selama 10 tahun pelaksanaan desentralisasi. DOB yang ditetapkan pada tahun 2008 ini sebagian besar terdiri dari 5-6 kecamatan, dengan nilai rentang 5-21 kecamatan. Kabupaten Sigi dan Toraja Utara memiliki jumlah kecamatan yang jauh lebih besar dibandingkan DOB lain, yaitu secara berturut-turut 15 dan 21 kecamatan. Jumlah kecamatan yang dimiliki oleh DOB tahun 2008 tersebut sebagian besar hanya sebatas jumlah minimal yang diperlukan untuk membentuk satu kabupaten, berdasarkan PP 19 tahun 2008 tentang Kecamatan (minimal 5 kecamatan untuk membentuk Kabupaten dan 4 kecamatan untuk membentuk Kota). Kondisi ini dapat menjadi indikasi bahwa antusias daerah (masyarakat, pemerintah ataupun DPRD) untuk memekarkan wilayahnya cukup besar, sehingga hanya mengambil persyaratan teknis dan administrasi minimalis dari apa yang tertuang dalam peraturan perundangan. Rata-rata
luas
wilayah
DOB
tahun
2008
(mayoritas
wilayah
kabupaten) adalah 2.470,52 km2, dengan nilai rentang 460,54 km2 (Kab. Sabu Raijua) s.d. 8.055 km2 (Kab. Puncak Papua). Luasnya wilayah pemekaran di Papua dipengaruhi oleh relativitas luas wilayah tiap kabupaten yang telah ada, di antara seluruh wilayah kabupaten di seluruh Indonesia. Jika diklasifikasikan berdasarkan pulau di Indonesia, maka wilayah kabupaten di Pulau Kalimantan memiliki rata-rata luasan yang paling besar, yaitu 11.631,22 km2. Disusul dengan Kawasan Timur Indonesia yang wilayah kabupatennya memiliki rata-rata luas 6.752,61 km2, Pulau Sumatera dengan rata-rata luas kabupaten 3.853,47 km2, Pulau Sulawesi dengan rata-rata luas kabupaten 3.268,49 km2, serta yang paling kecil adalah Pulau Jawa-Bali dengan rata-rata luas kabupaten hanya sebesar 1.190,90 km2 (lihat gambar 2.2).
Dari perbandingan tersebut terlihat adanya
ketimpangan rentang kendali dan jangkauan pelayanan publik oleh Pemerintah Kabupaten di Pulau Jawa dengan luar Jawa, terutama di Pulau Kalimantan dan Kawasan Timur Indonesia. Gambar 4.11 Rata-rata Luas dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Tiap Pulau seIndonesia Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐68
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Sumber : Hasil perhitungan data UU pembentukan DOB, 2009
Dari keseluruhan DOB tersebut ternyata sebagian besar merupakan DOB yang berada di daerah-daerah di luar Jawa-Bali. Demikian pula ditinjau dari sebaran kawasan, sebagian besar DOB berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) daripada Kawasan Barat Indonesia (KBI), sebagaimana tabel dan gambar berikut: Tabel 4.12. Sebaran Daerah Otonom Baru Kawasan
Jumlah
Kawasan
Jumlah
Jawa & Bali
10
KBI
87
Luar Jawa & Bali
195
KTI
118
Total
205
205
Sumber : Ditjen Otda-Depdagri dan UU Pembentukan Wilayah (DOB)
Secara persentase pembentukan daerah otonom baru (DOB) 1999 - 2009, dapat digambarkan sebagaimana grafik berikut: Gambar 4.12. Sebaran Daerah Otonom Baru 5% 58%
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐69
95%
Jawa & Bali Luar Jawa & Bali
42% KBI
KTI
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Dari Gambar di atas menunjukkan bahwa pemekaran daerah di Indonesia dalam periode tahun 1999 – 2009 sebagaian besar terjadi di wilayah luar pulau Jawa yang mencapai 95% dan Jawa-Bali hanya 5%, sedangkan berdasarkan kawasan barat dan timur Indonesia, sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sebesar 58% dan Kawasan Barat Indonesia (KBI) 42%. Pembangunan yang terkonsentrasi di Pulau Jawa-Bali dan KBI selama Orde Baru nampaknya menyulut semangat pemerataan pembangunan di daerah di luar Jawa dan KTI, yang tercermin dari tuntutan pemekaran wilayah atau pembentukan daerah otonom baru sejak digulirkannya kebijakan pemekaran daerah pada tahun 1999, khususnya sejak ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Selanjutnya, dari sebaran pembentukan daerah otonom baru menurut kawasan seperti yang telah dijelaskan di atas, kemudian dapat dirinci kembali menurut wilayah pulau-pulau, sebagaimana gambar berikut. Gambar 4.13. Sebaran Daerah Otonom Baru per Wilayah 23% 38% 80
77
60
47
40
5%
20
25 10
35
11
12%
5% SUMATERA: JAWA&BALI NUSA TENGGARA KALIMANTAN: SULAWESI: MALUKU&PAPUA
SU M AT ER A: JA W A& NU BA SA LI T EN GG AR KA A LI M AN TA N: SU LA W M ES AL I: UK U& PA PU A
0
17%
Dari gambar tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa sejak tahun 1999 hingga 2009, sebaran daerah otonom baru paling banyak ada di pulau Sumatera, yakni sebanyak 77 DOB atau 38%, kemudian disusul di wilayah Maluku & Papua Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐70
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
sebanyak 47 DOB (23%), Sulawesi sebanyak 35 DOB (17%), Kalimantan sebanyak 25 DOB (12%), Nusa Tenggara sebanyak 11 DOB (5%), dan Jawa-Bali merupakan wilayah yang paling sedikit terdapat pembentukan daerah otonom baru, yaitu hanya 10 DOB (5%). Pulau Sumatera, meskipun berada di kawasan barat Indonesia, namun memiliki daerah otonom baru terbanyak. Hal ini nampaknya karena Sumatera merupakan wilayah yang memiliki jumlah provinsi terbanyak diantara kawasan lainnya, yaitu sebanyak 10 provinsi, dan tiap-tiap provinsi di Sumatera mengalami pemekaran daerah. Pada
tahun
2005,
Presiden3 mengeluarkan himbauan untuk melakukan
penundaan (moratorium) pemekaran wilayah. Himbauan tersebut disampaikan terkait dengan berbagai hasil evaluasi yang dilakukan terhadap DOB yang telah ada saat itu yang menunjukkan bahwa sebagian besar dari daerah pemekaran tersebut masih belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan, dan bahkan ada yang menunjukkan kenyataan sebaliknya. Selain agenda pemilu, himbauan Presiden untuk menunda pemekaran wilayah juga didasari oleh adanya beban keuangan negara yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya daerah otonom di Indonesia. Hal ini terkait dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) untuk tiap daerah otonom yang dibebankan pada APBN. Lalu bagaimanakah kondisi pelayanan publik, utamanya pelayanan publik di daerah setelah diimplementasikannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah selama 2004-2009? Dalam rangka menjalankan amanat yang tertuang dalam UU 32/2004 tersebut, maka telah dilakukan upaya-upaya untuk mewujudkan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat, sejak tahun 2006, yakni melalui RPJMN tahap 1 (2005-2009) hingga saat ini, seperti yang tertuang dalam RKP 2010.
Beberapa perkembangan telah dihasilkan selama
kurun waktu tersebut, diantaranya:
Layanan Satu Atap (One Stop Service/ OSS): Hingga tahun 2008, sudah terdapat 300 unit pelayanan terpadu satu pintu (OSS), dan sebanyak 93 unit pelayanan sudah membangun Sistem Manajemen
3
Disampaikan pada pidato Presiden di depan DPD pada 23 Agustus 2006
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐71
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Mutu, sedangkan unit pelayanan yang sedang membangun Sistem Manajemen Mutu adalah sebanyak 31 unit pelayanan;
Standard Pelayanan Minimal (SPM): Hingga tahun 2008 telah diterbitkan 4 Standar Pelayanan Minimal (SPM), yaitu SPM Bidang Kesehatan, SPM Bidang Lingkungan Hidup, SPM Bidang Sosial, SPM Bidang Pemerintahan Dalam Negeri di Kabupaten/Kota berbagai diklat yang bertujuan untuk menunjang penerapan manajemen SPM sebanyak 630 orang dalam 21 kegiatan belum diterbitkanya SPM pada seluruh bidang pemerintahan (sampai akhir tahun 2008, baru 4 SPM yang telah diterbitkan, yaitu Bidang Kesehatan, Bidang Lingkungan Hidup, Bidang Sosial, dan Bidang Pemerintahan Dalam Negeri di Kabupaten/Kota) Terkait dengan penyusunan dan pelaksanan SPM tersebut, beberapa kegiatan yang sudah dilakukan antara lain : 1) Penerbitan PP No. 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal pada tanggal 28 Desember 2005. 2) Penerbitan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal sebagai peraturan pelaksanaan dari PP 65/2005 pada tanggal 7 Februari 2007. 3) Penerbitan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 100.05 – 76 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Tim Konsultasi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal telah diterbitkan pada tanggal 7 Februari 2007. Tim Konsultasi SPM terdiri dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Kementrian PAN dan Bappenas yang mempunyai peranan menyerasikan usulan-usulan SPM dari Departemen Sektor dan LPND. 4) Departemen Kesehatan dan Kementerian Lingkungan Hidup telah menerbitkan
SPM,
sementara
Departemen
PU,
dan
Departemen
Pendidikan telah menyusun Draft Calon SPM yang akan siap untuk dibahas dengan Tim Konsultasi SPM. 5) Penyusunan
Peraturan
Menteri
Dalam
Negeri
Tentang
Pedoman
Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) berdasarkan Analisis Kemampuan dan Potensi Daerah. Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐72
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
6) Pembentukan Technical Working Group SPM yang mengakomodasikan berbagai aktor termasuk Pemerintah, Donor, Pakar dan pihak lainnya terkait.
Pertumbuhan BLUD: Bentuk organisasional baru ini telah diterapkan di beberapa sektor: pengembangan kehutanan, universitas, rumah sakit nasional, jalan tol dan lain-lain. Tetapi sampai saat ini belum cukup jelas apa keunggulan BLUD dibandingkan dengan model Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan apakah model BUMD sekarang sedang mengalami kemunduran. Pola geografis pendirian BLUD masih belum dipetakan tetapi sepertinya sebagian besar terdapat di Jawa. Perbandingan antara BUMD dan BLUD sepertinya menjamin diketahuinya keunggulan relatif masing-masing dan memutuskan yang mana yang perlu didorong dan untuk situasi yang mana. (STS)
Kontrak Pelayanan (Citizen Service Charters): Satu upaya yang terus diterapkan di beberapa daerah adalah ‘kontrak layanan’, yang mendapatkan banyak dukungan dari beberapa mitra pembangunan. Kontrak layanan sepertinya bermanfaat dalam merubah pola pikir penyedia layanan dari kepentingan birokratis mereka ke kebutuhan masyarakat, tetapi tidak ada dokumentasi yang tersedia sejauhmana Kontrak Pelayanan sudah direplikasikan dan bagaimana digunakan dalam prakteknya. (STS)
Mekanisme keluhan dan umpan balik:
Pengembangan berkaitan dengan
mekanisme penyampaian keluhan dan umpan balik juga tercatat pada STS 2006, seperti pendekatan scorecard,
atau penggunaan televisi untuk
berinteraksi dengan publik. Percobaan ini berlanjut dan beberapa daerah kini mengembangkan cara untuk penyampaian keluhan dan tanggapan lewat pesan singkat (SMS). Layanan Ombudsman juga dikembangkan di beberapa daerah.
Indeks Kepuasan Masyarakat. Berdasarkan hasil kegiatan monitoring dan evaluasi pada tahun 2007 yang lalu, IKM telah diterapkan oleh 10 Propinsi yang meliputi 150 unit pelayanan publik, 7 kabupaten yang meliputi 56 unit pelayanan publik, dan 5 kota yang meliputi 39 unit pelayanan.Sedangkan untuk tahun 2008 telah diterapkan oleh 15 Propinsi yang meliputi 180 unit Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐73
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
pelayanan publik, 14 kabupaten yang meliputi 100 unit pelayanan publik, dan 15 kota yang meliputi 99 unit pelayanan. (situs Menpan) 4.3. Permasalahan dan Tantangan Ke Depan Walaupun berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka penerapan desentralisasi dan otonomi daerah melalui program-program di atas, masih ditemukan beberapa permasalahan tersisa dan tantangan yang masih harus dihadapi ke depan. 4.3.1. Permasalahan
dan
tantangan
terkait
dengan
harmonisasi
perundangan Tim revisi UU No. 32/2004 mencatat sejumlah permasalahan yakni: (1) banyaknya
Perda
atau
usulan
Perda
yang
bertentangan
dengan
kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi; (2) Perda yang tidak pernah dilaporkan; (3) Pengawasan Perda yang lemah; serta (4) Mekanisme pembatalan Perda yang tidak jelas. Karenanya, tim revisi UU No. 32/2004 memandang perlu kejelasan alat kontrol terhadap penyusunan dan pelaksanaan Perda. Selain itu pada tataran pemerintahan beberapa permasalahan yang juga penting untuk mendapatkan perhatian adalah sebagai berikut : 1. Belum selesainya beberapa peraturan pelaksanaan dari amanat UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 2. Beberapa regulasi peraturan yang masih tumpang tindih dengan beberapa peraturan amanat UU No. 32 Tahun 2004. Hal ini terkait dengan harmonisasi
peraturan-perundangan
sektoral
dengan
peraturan-
perundangan desentralisasi dan otonomi daerah; Secara singkat, dapat dikatakan bahwa permasalahan terkait dengan harmonisasi perundangan adalah belum sinkron dan harmonisnya peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah di tingkat pusat dan daerah. Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐74
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
4.3.2. Permasalahan dan tantangan terkait dengan keuangan daerah Sasaran yang hendak dicapai dalam lima tahun revitalisasi kebijakan desentralisasi terjabar di dalam berbagai rumusan yang diantaranya adalah sinkronisasi
peraturan
perundang-undangan
mengenai
hubungan
kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta terkelolanya
sumber
dana
dan
pembiayaan
pembangunan
secara
transparan, akuntabel dan profesional. Dalam hal ini tampak bahwa keterkaitan antara arah kebijakan desentralisasi di bidang keuangan daerah dengan sinkronisasi peraturan perundangan, penguatan kelembagaan, kejelasan tentang pembagian urusan, serta unsur-unsur kebijakan jangka menengah lainnya. Selanjutnya, kebijakan di bidang keuangan daerah dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas keuangan daerah dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat, penyelenggaraan otonomi daerah, dan penciptaan pemerintahan yang baik. Ada tiga unsur program untuk mencapai
sasaran
optimalisasi
tersebut,
sumber-sumber
yaitu:
1)
Peningkatan
penerimaan
daerah
efektivitas
yang
dan
berkeadilan,
termasuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi kegiatan usaha dan investasi; 2) Peningkatan efisiensi, efektivitas dan prioritas alokasi belanja daerah
secara
profesional;
dan
3)
Pengembangan
transparansi,
akuntabilitas, dan profesionalisme dalam pengelolaan keuangan daerah. 4.3.3. Permasalahan dan tantangan terkait dengan penguatan kelembagaan Permasalahan terkait dengan kelembagaan pemerintah daerah. RPJMN 2005-2009 menggariskan bahwa kelembagaan pemerintah daerah yang akan dicapai adalah kelembagaan pemerintah daerah yang efektif, efisien, dan akuntabel.
Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu upaya yang
dilakukan adalah melalui kebijakan yang mengatur organisasi pemerintah daerah.
Pada
tahun
2007,
untuk
kesekian
kalinya,
Pemerintah
mengeluarkan sebuah kebijakan yang mengatur tentang kelembagaan pemerintah daerah. Sebelumnya, pengaturan terhadap kelembagaan atau Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐75
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
sering disebut dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), telah diatur dan ditetapkan berdasarkan PP 84 tahun 2000, yang diganti dengan PP 8 tahun 2003.
Pada tahun 2007, peraturan-peraturan tersebut diganti dengan
Peraturan Pemerintah/PP No 41 tahun 2007. Penggantian kebijakan berkalikali dalam kurun waktu yang singkat justru mendatangkan permasalahan dalam penerapannya di daerah.
Kelembagaan pemerintah daerah yang
seyogyanya akan dicapai melalui PP No 41 Tahun 2007 terwujud pada akhir kurun waktu RPJMN 2005-2009.
belum dapat
Dengan demikian,
permasalahan yang terjadi terkait dengan kelembagaan pemerintah daerah masih berkisar pada belum efektif, efisien, dan akuntabelnya kelembagaan pemerintah daerah. 4.3.4. Permasalahan dan tantangan terkait dengan kerjasama antar daerah. Dalam
database
Desentralisasi
dan
Otonomi
Daerah
Bappenas
diidentifikasi beberapa permasalahan terkait dengan kerjasama antar daerah, yakni:
Pada umumnya masih terdapat cukup banyak potensi kerjasama antar daerah, yang dapat berakar dari konflik antar daerah, ataupun belum terpenuhinya kebutuhan masyarakat suatu daerah akibat keterbatasan sumber daya alam. Namun, pemerintah daerah masih belum dapat melihat hal tersebut sebagai potensi, melainkan masih sebatas permasalahan yang belum diketahui jalan keluarnya.
Beberapa daerah yang telah mengidentifikasi bidang‐bidang yang berpotensi untuk dikerjasamakan, masih belum dapat menyusun usulan/proposal kerjasama, karena masih terbatasnya informasi dan best practice pelaksanaan teknis kerjasama, terutama di bidang pelayanan publik. Misalnya pelaksanaan kerjasama penyediaan air bersih di wilayah yang berbatasan dengan daerah yang memiliki sumber air cukup banyak.
Bentuk kelembagaan pemerintah daerah yang memiliki tupoksi terkait kerjasama antar daerah juga berpengaruh terhadap perkembangan dan pelaksanaan kerjasama secara maksimal. Isu ini telah bergulir Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐76
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu, dan sampai saat ini Pemerintah Daerah masih mengalami kesulitan yang sama. Di beberapa daerah, urusan kerjasama masih diurusi dalam wadah sub bagian, sehingga beban kerja seperti yang diatur dalam PP 50 tahun 2007 tidak dapat dilaksanakan secara lengkap dan optimal.
4.3.5. Permasalahan terkait dengan Daerah Otonom Baru Berdasarkan laporan monitoring Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2008, teridentifikasi beberapa permasalahan terkait dengan pemekaran daerah dan Daerah Otonom Baru, yakni: (a) Belum selesainya penetapan batas wilayah pada sebagian besar DOB. Masing‐masing berbeda‐beda.
DOB
memiliki
Penetapan
batas
jumlah
batas
wilayah
wilayah
merupakan
yang
wewenang
pemerintah pusat; (b) Belum adanya Grand Strategy Penataan DOB sebagai acuan jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang ideal; (c) Berdasarkan hasil evaluasi Ditjen Otda, Depdagri, sebagian besar DOB tidak memiliki kinerja yang baik. Sedangkan dalam laporan database pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah 2009, Bappenas disebeutkan permasalahan sebagai berikut : (a) Masih belum optimalnya pelaksanaan desentralisasi di daerah-daerah yang memiliki karakteristik khusus dan istimewa, karena masih ada beberapa peraturan yang belum tersusun dan tersosialisasi; (b) Adanya keterbatasan dalam kemampuan keuangan negara dan keuangan daerah untuk membiayai penyediaan prasarana dan sarana pemerintahan di daerah, baik prasarana dan sarana instansi vertikal Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐77
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
maupun SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) termasuk kantor kecamatan sebagai unit terdepan pelayanan masyarakat; (c) Peningkatan transfer dana APBN ke daerah tidak dinikmati oleh daerah secara optimal karena lebih ditujukan untuk mendanai daerah otonom baru. Berikut isu-isu terkait pemekaran DOB: 1. Sesuai dengan kesepakatan antar pemerintah dan DPR-RI khususnya dengan Komisi II, bahwa perlu dilakukan revisi terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menjadi 3 (tiga) undang-undang yang terdiri dari Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah; Undang-undang tentang Desa; dan Undang-undang tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Beberapa isu yang terkait penyempurnaan RUU ini, antara lain adalah penyempurnaan pengaturan tentang pembentukan daerah otonom baru; pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; hak dan kewajiban DPRD; perangkat daerah; kepegawaian daerah; peraturan daerah; desa; mekanisme dan prosedur pemeriksaan pejabat daerah; pengawasan terhadap pemerintahan
daerah;
musyawarah
pimpinan
daerah
(muspida);
dekonsentrasi dan tugas pembantuan; kecamatan; penganganan daerah perbatasan; posisi provinsi sebagai daerah otonom dan gubernur sebagai wakil pusat di daerah; pembninaan terhadap pemerintahan di daerah; urusan pendidikan agama; urusan perkotaan; kedudukan wakil kepala daerah; pelayanan public; dan alokasi anggaran pelayanan publik oleh aparatur. 2. Pelaksanaan PILKADA secara langsung telah dilaksanakan sebanyak 484 dimulai sejak Juni 2005 sampai Agustus 2009. Meskipun pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tersebut dapat berjalan dengan tertib dan lancar hingga dilantiknya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
terpilih,
masih
terdapat
permasalahan-permasalahan
terkait
pelaksanaan Pilkada langsung. Setidaknya terdapat 182 kasus hasil Pilkada langsung yang berproses di Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan terakhir dengan adanya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang perubahan
kedua
atas
Undang-undang
No.
32
Tahun
2004
proses
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐78
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
penyelesaian sengketa hasil Pilkada langsung diselesaikan di Mahkamah Konstitusi sebanyak 27 kasus dari Tanggal 1 November 2008 s.d 10 Maret 2009. Pada Tahun 2010 akan dilaksanakan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berjumlah 246 yang terdiri dari 7 Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dan 204 Bupati/Wakil Bupati dan 35 Walikota/Wakil Walikota. 3. Pembentukan Daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sejat Tahun 1999 sampai saat ini telah terbentuk 205 Daerah Otonom Baru yang terdiri dari 7 Provinsi 164 Kabupaten dan 34 Kota, sehingga jumlah daerah otonom sampai dengan Tahun 2009 adalah 524 yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Untuk mengetahui sejauh mana pencapaian tujuan pembentukan daerah, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Sampai saat ini sedang dilakukan evaluasi terhadap 31 Daerah Otonomi Baru (EDOB dari 57 DOB yang usia pembentukannya kurang dari 3 tahun tahun 2007-2009) dengan hasil 17 kabupaten/kota termasuk kategori baik dan 14 kabupaten/kota termassuk kategori kurang baik. Disamping itu, sedang disusun Grand Strategy Penataan Daerah (GSPD) sebagai acuan dalam rangka penataan daerah ke depan hingga tahun 2025. Ruang lingkup GSPD antara lain untuk menentukan jumalh ideal daerah otonom, baik provinsi maupun kabupaten/kota, juga dilakukan penyempurnaan terhadap persyaratan dan tata cara pembentukan daerah otonom baru, evaluasi secara terprogram dan pola pembinaan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah. 4. Pembentukan daerah otonom yang akan datang, diupayakan lebih selektif lagi mengingat setiap terbentuknya daerah otonom akan menimbulkan implikasi terhadap beban keuangan Negara berupa penyediaan dana alokasi umum, penyediaan sarana dan prasarana perangkat pusat dan daerah. Pada saat ini masih terdapat 20 usulan pembentukan daerah otonom baru atas inisiatif DPR yang belum dapat diproses mengingat kebijakan pemerintah untuk melakukan moratorium pemekaran sampai dengan pelaksanaan evaluasi yang menyeluruh terhadap 205 daerah otonom baru dapat Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐79
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
diselesaikan. Moratorium tersebut disampaikan oleh Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada rapat siding paripurna di DPR tanggal 3 Agustus 2009. 5. Di samping itu, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di DOB masih pula diwarnai oleh permasalahan terkait dengan pengelolaan aset daerah, penyediaan aparatur pemerintahan, batas wilayah dan efektivitas pembentukan daerah otonom baru untuk meningkatkan pelayanan publik di daerah
4.3.6. Permasalahan terkait dengan kapasitas aparat pemerintah daerah Permasalahan terkait dengan kapasitas aparat pemerintah daerah dapat dikelompokkkan dalam beberapa isu, yakni: (a) Formasi Penentuan
formasi
pegawai
dan
jabatan
struktural
belum
menggunakan standar yang jelas dan baku Adanya beberapa perbedaan pengaturan antara UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan UU No. 43/ 1999 tentang Pokok‐Pokok Kepegawaian (b) Rekruitmen Pola rekruitmen yang dilaksanakan selama ini berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain, sehingga mendapatkan hasil saringan yang berbeda. Pada akhirnya kompetensi aparatur pemda yang dimiliki oleh daerah cenderung menjadi tidak seimbang Penerapan PP No. 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Pegawai Negeri Sipil di daerah kurang memperhatikan kompetensi pegawai Untuk daerah pemekaran, terdapat kesulitan rekruitmen pegawai untuk jabatan eselon tertentu (eselon III dan IV) (c)
Pola karir
Masih banyak penempatan pejabat yang tidak sesuai dengan pengalaman dan latar belakang pendidikan karena masalah Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐80
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
kekurangan SDM. Hal ini juga menyebabkan kesulitan dalam menerapkan pedoman karir yang telah disusun. Salah satu Rancangan Peraturan Pemerintah yang terkait adalah Pedoman Persyaratan Jabatan Perangkat Daerah, yang sedang disusun sebagai amanat pasal 128 ayat (3) UU No. 32/2004. Pedoman pengaturan jabatan perangkat daerah ini diharapkan dapat mendukung kebijakan pemerintah daerah dalam menyusun struktur organisasi pemerintah daerah secara profesional dan berkualitas
Terkait dengan adanya pengembangan jabatan fungsional di daerah, pegawai di daerah cenderung tidak tertarik untuk mengambil alternatif jabatan fungsional tersebut. Hal ini disebabkan rumitnya
persyaratan
kenaikan
pangkat/golongan
jabatan
fungsional yang didasarkan pada produk atau output kerja tiap pegawai. Kesulitan ini salah satunya disebabkan lingkup kerja (wilayah administrasi pemerintahan) di daerah yang tidak sebesar lingkup
kerja
Pemerintah,
tetapi
tidak
ada
pembedaan
penghitungan output atau hasil kerja antara pegawai pusat dan daerah
untuk
naik
golongan/pangkat.
Pada
intinya,
aparat
pemerintah daerah menemui kendala untuk memenuhi ketentuan dalam persyaratan KUM dan sebagainya. Meskipun demikian, sosialisasi terus dilakukan oleh Pemerintah Daerah terkait dengan jabatan fungsional ini, dan Pemerintah Daerah mengharapkan kerjasama Pemerintah untuk memberikan alternatif pilihan ataupun kebijakan yang lebih responsif dan fleksibel terhadap kondisi aparat pemerintah daerah (d) Promosi dan mutasi
Belum semua daerah menerapkan promosi pegawai atas dasar hasil assessment center bekerjasama dengan pihak ketiga, guna menjaga obyektivitas hasil. Sehingga sistem promosi belum dapat menjadi pemacu kinerja aparatur pemda
Saat ini, mutasi pegawai dari provinsi ke kabupaten/kota tidak dapat dilakukan dengan mudah karena harus ada persetujuan dari Pemda‐pemda yang terkait. Sehingga, saat ini terjadi ketimpangan Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐81
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
kompetensi pegawai karena adanya kesan “pengkaplingan” pegawai provinsi, ataupun pegawai kabupaten/kota (e)
Remunerasi
Adanya kesenjangan pemberian tunjangan bagi pejabat eselon antar daerah karena bergantung pada kemampuan keuangan daerah provinsi masing‐masing, tidak hanya terbatas pada platform Pemerintah
Adanya kebijakan untuk membagi rata remunerasi kepada seluruh aparatur di setiap SKPD sebagai usaha mengurangi ketimpangan besarnya tunjangan antar SKPD tidak sepenuhnya diterima oleh daerah, karena pemberian tunjangan yang tidak didasarkan pada kinerja di lain pihak justru dapat menurunkan semangat/kinerja aparat
(f) Pengembangan dan disiplin pegawai
Penyusunan
standar
pengembangan
pegawai
dalam
rangka
peningkatan kinerja aparatur ternyata menimbulkan permasalahan, yakni banyaknya pegawai yang berlomba‐lomba melanjutkan studi S1, S2, bahkan S3. Hanya saja pendidikan yang diambil sering tidak mendukung tugas, pokok dan fungsi tempat dimana dia berkerja.
Masih
terjadi
overlapping
penyelenggaraan
diklat
antara
Pemerintah dengan Pemerintah Daerah
Penegakan displin dan etika melalui proses internal antar staf, apel pagi rutin, dan absensi harian masih belum efektif. Gambaran kondisi diatas juga didukung dan diperkuat oleh hasil
kajian Bappenas lainnya mengenai database bidang desentralisasi dan otonomi daerah pada tahun 2008 yang mengemukakan sejumlah permasalahan dalam pengelolaan aparatur sebagai berikut:
Terkait dengan manajemen kepegawaian daerah yang merupakan satu kesatuan dengan kepegawaian nasional, maka pemerintah daerah
harus
mengacu
pada
peraturan
perundangan
yang
ditetapkan oleh Pemerintah. Beberapa peratuan yang dipedomani Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐82
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
antara lain: Kepmendagri No. 10/2003, PP No. 9/2003, UU No. 43/1999, PP No. 31/2001, PP No. 11/12 mengenai Pegawai Negeri Sipil. Namun, permasalahan yang sering ditemui dalam pelaksanaan peraturan tersebut adalah kurang tegasnya sanksi yang diatur di dalamnya, sehingga pelanggaran yang dilakukan baik oleh instansi maupun personel dalam perangkat daerah tertentu tidak dapat ditindak tegas. Pada akhirnya, pengelolaan kepegawaian tidak dapat optimal karena unsur politis dan keberpihakan masih menjadi kekuatan terbesar yang mempengaruhi pola karir aparatur pemerintah daerah. Hal ini sangat terlihat pada kasus pe-nonjob-an Sekretaris Daerah yang tidak berada di pihak kepala daerah terpilih secara sepihak (tanpa proses evaluasi dan analisis jabatan) oleh kepala daerah
Adanya kebijakan untuk mengangkat pegawai honorer di daerah menjadi pegawai negeri sipil (berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur
Negara),
termasuk
pengangkatan
Sekretaris Desa menjadi PNS, menimbulkan pro dan kontra di daerah. Walaupun proses teknis pengangkatan pegawai honorer terpetakan dengan baik di daerah, namun ternyata menimbulkan dampak yang cukup signifikan. Permasalahan utama adalah terkait dengan standar kompetensi PNS yang sedang ditingkatkan untuk mendukung peran pemerintah daerah yang lebih tinggi pada era desentralisasi. Di sisi lain kebijakan pengangkatan pegawai honorer tersebut justru dinilai menurunkan kompetensi PNS mengingat proses pengangkatan tersebut tidak dilaksanakan berdasarkan kompetensi yang dibutuhkan oleh daerah yang bersangkutan. Selain itu, secara umum pegawai honorer daerah pada awalnya bergabung berdasarkan
lebih tingkat
berdasarkan kompetensi.
sistem Pada
kekerabatan, akhirnya,
bukan
Pemerintah
dianggap tidak konsisten terhadap kebijakan nasional yang ditetapkan, yang akan mempersulit daerah dalam melaksanakan kebijakan tersebut Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐83
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Sistem pola karir yang belum jelas menjadi hambatan dalam menentukan formasi jabatan untuk tiap personel struktural. Pada dasarnya sistem pola karir bukanlah akar dari permasalahan formasi jabatan, melainkan salah satu variabel yang berpengaruh dan dipengaruhi oleh variabel lain. Adanya kekuatan dan dorongan politis, belum adanya kemampuan database kepegawaian untuk menjawab secara rinci dan berjenjang mengenai bidang keahlian tiap pegawai, adanya peluang untuk berpindah-pindah bidang dalam rangka mempercepat kenaikan pangkat, merupakan 3 (tiga) diantara sekian banyak faktor yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
sistem
pola
karir
pegawai.
Pada
akhirnya,
terjadi
pengelompokan pegawai yang tidak puas terhadap sistem karir yang ada, yang mempengaruhi kinerja dan loyalitas mereka terhadap jabatan dan bidang kerja masing-masing. Hal ini merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan kebijakan terhadap pengaturan jabatan fungsional dan struktural, serta Rancangan Peraturan Presiden mengenai Pengembangan Kapasitas Pegawai yang sedang dibahas oleh Pemerintah
Bagi pemerintah propinsi, pelimpahan wewenang pengelolaan pegawai
di
masing-masing
daerah
kabupaten/kota
(sejak
desentralisasi), menyebabkan tertutupnya kesempatan bagi aparat pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitasnya di tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Berbeda halnya dengan kebijakan di era orde baru, bahwa pegawai kabupaten/kota yang memiliki kinerja tinggi memiliki peluang untuk dapat diangkat menjadi pegawai provinsi, dan demikian seterusnya. Kebijakan tersebut menjadi insentif dan motivasi bagi aparat pemerintah daerah untuk dapat
meningkatkan
kinerja
demi
memperbaiki
karir
dan
kesejahteraan, bahkan mungkin untuk mendapatkan prestise yang lebih baik. Terkait dengan hal tersebut, pemerintah propinsi juga tidak memiliki kewenangan untuk menilai peningkatan kompetensi pegawai kabupaten/kota dalam rangka pemberian alokasi jabatan di tingkat propinsi. Di satu sisi, kebijakan era orde baru tersebut Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐84
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
dinilai tidak pro terhadap daerah karena hal tersebut akan memposisikan
aparat
pemerintah
kabupaten/kota
memiliki
kompetensi yang lebih rendah dari aparat pemerintah provinsi, demikian juga pegawai provinsi terhadap pegawai Pemerintah. Namun di sisi lain, pertukaran dan pengembangan wilayah kerja merupakan satu bentuk pembelajaran yang baik bagi aparat pemerintah
daerah
(bentuk
pengembangan
kapasitas
yang
berprinsip ’learning by doing’).
Terkait dengan adanya pengembangan jabatan fungsional di daerah, pegawai di daerah cenderung tidak tertarik untuk mengambil alternatif jabatan fungsional tersebut. Hal ini disebabkan rumitnya
persyaratan
kenaikan
pangkat/golongan
jabatan
fungsional yang didasarkan pada produk atau output kerja tiap pegawai. Kesulitan ini salah satunya disebabkan lingkup kerja (wilayah administrasi pemerintahan) di daerah yang tidak sebesar lingkup
kerja
Pemerintah,
tetapi
tidak
adanya
pembedaan
penghitungan output atau hasil kerja antara pegawai pusat dan daerah
untuk
naik
golongan/pangkat.
Pada
intinya,
aparat
pemerintah daerah menemui kendala untuk memenuhi ketentuan dalam persyaratan KUM, dsb. Meskipun demikian, sosialisasi terus dilakukan oleh Pemerintah Daerah terkait dengan jabatan fungsional ini, dan Pemerintah Daerah mengharapkan kerjasama Pemerintah untuk memberikan alternatif pilihan ataupun kebijakan yang lebih responsif dan fleksibel terhadap kondisi aparat pemerintah daerah
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas IV‐85
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
BAB V USULAN PROGRAM PRIORITAS BIDANG RPJMN BIDANG DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH 2010-2014
Prioritas bidang RPJMN diusulkan berdasar uraian permasalahan dan tantangan pada Bab IV dalam pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah ke depan. Uraian usulan prioritas bidang dibahas beserta argumentasinya meliputi kondisi umum, permasalahan dan sasaran pembangunan, strategi dan arah kebijakan pembangunan. Penulisan rekomendasi usulan prioritas bidang ini disesuaikan dengan Panduan penyusunan RPJM 2010-2014 yang diterbitkan oleh Bappenas. 5.1. Prioritas Bidang Pemantapan Harmonisasi Peraturan PerundangUndangan (Usulan Fokus Prioritas : Penataan Peraturan PerundangUndangan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah) A. Kondisi Umum UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (sebagai revisi atas UU No. 22 Tahun 1999) dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (sebagai revisi UU No.
25
Tahun
1999)
menjadi
landasan
pokok
pelaksanaan
kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Sampai saat ini hampir semua peraturan pelaksanaan dari kedua undang-undang ini telah diterbitkan. Dengan telah diselesaikannya hampir semua peraturan pelaksanaan dari UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004, proses desentralisasi di bidang administrasi kepemerintahan dan keuangan (fiskal) telah berjalan dengan makin mantap karena format hubungan pusat-daerah yang baru, yang lebih mendorong kemandirian daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta hubungan antar pemerintah daerah telah terbangun.
Berbagai kerangka regulasi, rambu-rambu dan pedoman serta
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐1
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
skema pendanaan yang dibutuhkan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota dalam menjalankan otonomi daerahnya, telah pula tersedia. UU 32 tahun 2004 mengamanatkan 27 Peraturan Pemerintah (PP), 2 Peraturan Presiden (Perpres) dan 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri, sedangkan UU 33 tahun 2004 mengamanatkan 7 Peraturan Pemerintah dan 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri. Hingga saat ini Pemerintah telah menyelesaikan 80,6% peraturan pelaksanaan dari UU 32 tahun 2004, serta seluruh peraturan pelaksanaan UU 33 tahun 2004. Selanjutnya, berdasarkan amanat UU 32 tahun 2004 yang belum terbit hingga saat ini adalah sebagai berikut: 1. PP tentang Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hingga saat ini, draft RPP tersebut telah disusun dan sedang dibahas dengan instansi terkait dan Daerah. 2. PP tentang Fungsi Pemerintahan Tertentu dan Tatacara Penetapan Kawasan Khusus. Proses penyusunan PP tersebut telah sampai pada pengajuan RPP kepada Sekretariat Negara dan Departemen Hukum dan HAM. 3. PP tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah. RPP ini juga telah disampaikan kepada Sekretariat Negara dan Departemen Hukum dan HAM. 4. PP tentang Pedoman, Standar, Norma dan Prosedur Pembinaan dan Pengawasan Manajemen PNS Daerah. Draft PP tersebut saat ini masih dalam proses pembahasan dengan instansi terkait dan Daerah. Saat ini juga tengah dilaksanakan revisi atau penyempurnaan terhadap UU No. 32 Tahun 2004. Sebagai konsekuensinya, akan ada penyesuaian terhadap beberapa peraturan pelaksana UU No. 32 Tahun 2004 yang terkait. Salah satu elemen penting dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, urusan yang menjadi kewenangan mutlak pemerintah pusat meliputi Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐2
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
enam bidang, sedangkan urusan-urusan di luar keenam urusan tersebut menjadi urusan
bersama
Kabupaten/Kota,
(concurrent) yang
antara
pemerintah
penyelenggaraannya
dibagi
Pusat,
Provinsi
berdasarkan
dan
kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Pembagian urusan ini kemudian dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, yang menegaskan bahwa urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah Pusat terdiri dari enam urusan, dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan pemerintahan terdiri atas 31 urusan pemerintahan. PP No. 38 Tahun 2007 diharapkan menjadi salah satu acuan dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional dan daerah. Dengan terbitnya PP No. 38 Tahun 2007, berbagai peraturan perundangan sektoral yang belum sinkron dan sejalan dengan peraturan perundangan mengenai pembagian urusan perlu disesuaikan. PP No. 38 Tahun 2007 mengamanatkan perlukan Kementerian/Lembaga untuk menyesuaiakn Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) di sektor masing-masing dalam waktu 2 (dua) tahun. Untuk itu diperlukan koordinasi dengan berbagai Kementerian/Lembaga yang terkait dengan masing-masing urusan ini guna mempercepat proses penyusunan NSPK tersebut. B. Permasalahan Dan Sasaran Pembangunan Permasalahan yang masih dihadapi sampai dengan saat ini, terkait dengan penataan peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah, diantaranya adalah : (1) Pengaturan mengenai pembagian urusan dalam PP No. 38 Tahun 2007 masih belum aplikatif dan memerlukan pengaturan yang lebih teknis dalam bentuk Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) untuk masing-masing urusan. Penyusunan NSPK ini juga menjadi salah satu isu penting dalam 5 tahun kedepan. Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐3
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
(2) Belum selesainya beberapa peraturan pelaksanaan dari amanat UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu 3 (tiga) PP dan 1 (satu) Perpres
dari 27 (dua puluh tujuh) PP, 2 (dua) Perpres dan 2 (dua)
Permendagri (Peraturan Menteri Dalam Negeri) yang diamanatkan; (3) UU No. 33 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksananya, khususnya yang terkait dengan pengaturan tentang dana alokasi khusus (DAK) dinilai belum sepenuhnya mampu mendukung pencapaian prioritas nasional di daerah secara efektif, sehingga perlu direvisi; (4) Masih terdapat beberapa regulasi sektoral dan daerah yang belum serasi/sinkron dengan beberapa peraturan pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004; serta (5) masih belum optimalnya pelaksanaan desentralisasi di daerah-daerah yang memiliki karakteristik khusus dan istimewa, karena masih ada beberapa peraturan yang belum tersusun dan tersosialisasi. Berdasarkan kondisi umum dan permasalahan-permasalahan yang di hadapi, ma di rumuskan sasaran-sasaran sebagai berikut : (a) tersedianya secara lengkap
dan
tertatanya
berbagai
peraturan
perundangan
di
bidang
desentralisasi dan otonomi daerah, (b) meningkatnya keharmonisan peraturan perundangan di bidang desentralisasi dan otonomi daerah dengan peraturan perundangan lain yang bersifat sektoral, serta dengan peraturan daerah, dan (c) lebih jelasnya pembagian urusan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. C. Strategi Dan Arah Kebijakan Pembangunan Untuk mencapai sasaran di atas, strategi pembangunan yang direncanakan diantaranya adalah : 1.
Fasilitasi penyusunan dan/atau revisi peraturan perundang-undangan di bidang desentralisasi dan otonomi daerah. Muatan pokok dalam strategi ini mencakup upaya-upaya (a) fasilitasi penyusunan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) sebagai Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐4
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
pedoman teknis untuk setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan; dan (b)
fasilitasi
pelaksanaan
sosialisasi
dan
koordinasi
antar
Kementerian/Lembaga dan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah dalam penerapan NSPK. 2.
Sinkronisasi peraturan perundang-undangan di bidang desentralisasi dan otonomi daerah Muatan pokok dalam strategi ini mencakup upaya-upaya (a) finalisasi dan sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 hasil penyempurnaan; (b) penyusunan/penyesuaian dan sosialisasi Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) Pelaksana UU No. 32 Tahun 2004 hasil penyempurnaan; (c) harmonisasi peraturan perundangan desentralisasi dan otonomi daerah dengan peraturan perundangan lain yang bersifat sektoral dan Peraturan Daerah; (d) Revisi UU No. 33 Tahun 2004 beserta beberapa peraturan perundang-undangan di bidang desentralisasi dan otonomi daerah.
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐5
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Tabel 5.1. PRIORITAS BIDANG PEMANTAPAN HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (Usulan: Fokus Prioritas Fasilitasi Penyusunan dan/atau Revisi Peraturan Perundang-Undangan Terkait Desentralisasi dan Otonomi Daerah)
No
FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS
SASARAN (Hasil Outcomes/Output yang diharapkan)
TARGET (kumulatif) INDIKATOR
KEMENTERIAN/ LEMBAGA TERKAIT
2010
2011
2012
2013
2014
PROGRAM
Program Penataan Kelembagaan
Kementerian Negara PAN
Program Pemantapan Otonomi Daerah
Departemen Dalam Negeri
1.
Prioritas Fasilitasi Penyusunan dan/atau Revisi Peraturan PerundangUndangan Terkait Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Lebih jelasnya pembagian urusan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
a.
Fasilitasi penyusunan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) sebagai pedoman teknis untuk setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan
Tersusunnya NSPK sebagai pedoman teknis penyelenggaraan setiap urusan pemerintahan dan sebagai sarana harmonisasi dengan peraturan perundangan sektoral
Jumlah NSPK yang tersusun
5
15
25
31
-
b.
Fasilitasi pelaksanaan sosialisasi dan koordinasi antar Kementerian/Lembaga dan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah dalam penerapan NSPK
Terselenggaranya suatu sistem koordinasi yang baik antar Kementerian/Lembaga dan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah dalam penerapan NSPK
Jumlah NSPK yang dapat diterapkan/diaplikasika n
-
5
15
25
31
ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN PRIORITAS 2010 2011 2012 2013 2014
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐6
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
5.2. Prioritas Bidang : Pemantapan Desentralisasi, Peningkatan Kualitas Hubungan Pusat Daerah, Dan Antar Daerah A. Kondisi Umum Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang mantap merupakan faktor utama keberhasilan pemerataan pembangunan di Indonesia untuk mengurangi kesenjangan wilayah. UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (sebagai revisi atas UU No.22 Tahun 1999) dan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (sebagai revisi UU No.25 Tahun 1999) menjadi landasan pokok pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Sampai saat ini hampir semua peraturan pelaksanaan dari kedua undang-undang ini telah diterbitkan
sehingga
proses
desentralisasi
di
bidang
administrasi
kepemerintahan dan keuangan (fiskal) telah berjalan dengan makin mantap karena format hubungan pusat-daerah yang baru, yang lebih mendorong kemandirian daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, hubungan wewenang antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta hubungan antar Pemerintah Daerah telah terbangun. Berbagai kerangka regulasi, rambu-rambu dan pedoman serta skema pendanaan yang dibutuhkan Pemerintah Daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota dalam menjalankan otonomi daerahnya, telah pula tersedia. Alokasi dana perimbangan, yang terdiri dari dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK), yang makin meningkat baik dalam angka nominal maupun proporsinya terhadap APBN, secara umum telah membantu mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah (ketimpangan vertikal) dan antar Pemerintah Daerah (ketimpangan horisontal), meningkatkan aksesibilitas publik terhadap prasarana dan sarana sosial ekonomi dasar di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah, mendukung kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas
pembangunan
nasional
yang
menjadi
urusan
daerah,
serta
meningkatkan daya saing daerah melalui pembangunan infrastruktur. Dalam
rangka
penataan
peraturan
perundang-undangan
mengenai
desentralisasi dan otonomi daerah, UU No.32 tahun 2004 mengamanatkan 27 Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐7
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Peraturan Pemerintah, 2 Peraturan Presiden dan 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri, sedangkan UU No.33 tahun 2004 mengamanatkan 7 Peraturan Pemerintah dan 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri. Hingga 4 tahun pelaksanaan kedua peraturan perundangan tersebut, saat ini Pemerintah telah menyelesaikan 80,6 persen amanat UU No.32 tahun 2004, serta 100 persen amanat UU No.33 tahun 2004. Selanjutnya, berdasarkan amanat UU No.32 tahun 2004 yang belum terlaksana hingga saat ini adalah PP tentang Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PP tentang Fungsi Pemerintahan Tertentu dan Tatacara Penetapan Kawasan Khusus, PP tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah, PP tentang Pedoman Standar, Norma dan Prosedur Pembinaan dan Pengawasan Manajemen PNS Daerah. Sejak tahun 2008, Pemerintah juga menginisiasi penyusunan 2 (dua) buah draft RUU berkaitan dengan penyempurnaan UU No.32 Tahun 2004, yaitu mengenai RUU tentang Pemerintahan Daerah dan RUU tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah. Selain itu, juga telah dilakukan pemantapan kebijakan dan regulasi otonomi daerah dan otonomi khusus seperti Provinsi NAD, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dan daerah berkarakter khusus seperti Provinsi DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta dan Provinsi DI (Daerah Istimewa) Yogyakarta. Dalam segi pemantapan desentralisasi fiskal, UU No.33 Tahun 2004 telah mengatur bahwa penyediaan sumber-sumber pendanaan untuk mendukung penyelenggaraan
otonomi
daerah
dilakukan
berdasarkan
kewenangan
antarpemerintahan. Mekanisme pendanaan atas pelaksanaan kewenangan tersebut dilakukan melalui asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan,
yang
dilaksanakan
melalui
perimbangan
keuangan
antara
Pemerintah dan pemerintahan daerah. Sejak tahun 2001, persentase belanja daerah dalam distribusi belanja negara relatif stabil pada kisaran 30 persen, dengan pengecualian pada tahun 2006 dan 2007 hampir menyentuh angka 35 persen. Akan tetapi apabila dilihat dari jumlah Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐8
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
sebenarnya terus mengalami peningkatan yang signifikan. Lonjakan terbesar adalah pada tahun 2006 dimana jumlah dana perimbangan sudah melebihi angka 200 Triliun rupiah, sementara pada tahun 2005 masih dibawah 150 Triliun rupiah. Pada tahun 2009, jumlah total dana perimbangan sudah hampir menyentuh angka 300 Triliun rupiah dimana porsi terbesar adalah pada komponen Dana Alokasi Umum (DAU). Isu lain yang dapat diangkat adalah mengenai pengelolaan dana perimbangan dan keuangan daerah yang harus mengedepankan prinsip tata pemerintahan yang baik (transparan, akuntabel, dan berkeadilan). Selain penyempurnaan yang terkait dengan Transfer ke Daerah, Pemerintah juga memberikan perhatian yang besar terhadap sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini dimaksudkan agar daerah dapat memungut sumber-sumber pendapatannya secara optimal sesuai dengan potensi tiap-tiap daerah. Namun, pelaksanaan pemungutannya tidak boleh menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan tetap menciptakan iklim yang kondusif bagi para investor. Dalam hubungan ini, Pemerintah telah menerbitkan UU No.28 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No.34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk memperkuat taxing power daerah dan meningkatkan kepastian hukum di bidang perpajakan daerah. Hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah bahwa rata-rata persentase PAD terhadap total pendapatan daerah yang masih relatif kecil. Sejak tahun 2006, ratarata persentase kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah ini adalah pada
kisaran
15,47
persen-15,74
persen,
yang
berarti
bahwa
tingkat
ketergantungan pembiayaan pembangunan daerah terhadap dana perimbangan masih lebih dari 80 persen. Berbagai kebijakan tersebut diharapkan dapat memperkuat pendanaan daerah dalam menyelenggarakan pembangunan dan pelayanan masyarakat. Namun, apabila APBD mengalami defisit, Pemerintah Daerah dapat melakukan pinjaman, dalam batas kemampuan keuangan daerah dan tetap menjaga kesinambungan fiskal. Sejalan dengan semakin besarnya kewenangan Pemerintah Daerah melalui otonomi daerah dan semakin besarnya dana yang didaerahkan melalui desentralisasi fiskal, maka Pemerintah Daerah mempunyai beban dan tanggung Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐9
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
jawab
yang
lebih
besar
dalam
pengelolaan
2009
keuangannya.
Dalam
implementasinya, pertanggungjawaban keuangan dalam rangka desentralisasi dilakukan oleh Kepala Daerah kepada DPRD dalam bentuk Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Laporan tersebut merupakan dokumen daerah yang terbuka dan dapat diketahui masyarakat. Dengan demikian, akan tercipta sistem pengelolaan keuangan daerah yang tertib, efisien, ekonomis, profesional, transparan,
partisipatif
dan
dapat
dipertanggungjawabkan
kepada
para
pemangku kepentingan. Setelah era desentralisasi dan otonomi daerah, regulasi yang mengatur tentang kerjasama antar daerah adalah Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005. Selanjutnya, diterbitkan PP No.50 Tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama Daerah yang juga memuat aturan mengenai kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan pihak ketiga, yang ditindaklanjuti oleh diterbitkannya Permendagri No.3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan pihak luar negeri, Permendagri No.22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tatacara Kerjasama Daerah dan Permendagri No.23 Tahun 2009 tentang Tata cara pembinaan dan Pengawasan Kerjasama Daerah. Pelaksanaan kerjasama di masa yang akan datang, diupayakan agar kerjasama antar daerah memiliki kekuatan hukum. Selain itu, dorongan dalam bentuk mekanisme insentif untuk penyelenggaraan kerjasama antardaerah juga perlu terus dilakukan, disamping upaya untuk mendiseminasikan pembelajaran atau keberhasilan-keberhasilan berbagai bentukan kerjasama antardaerah yang telah ada ke daerah-daerah lain. Dalam hal penataan daerah otonom baru, PP No.78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah menyebutkan bahwa pembentukan daerah (pemekaran) pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Pada tahun 2006, Presiden mengeluarkan himbauan untuk melakukan penundaan (moratorium) pemekaran wilayah. Himbauan tersebut disampaikan terkait dengan berbagai hasil evaluasi yang dilakukan terhadap DOB yang telah ada Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐10
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
saat itu yang menunjukkan bahwa sebagian besar dari daerah pemekaran tersebut masih belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan, dan bahkan ada yang menunjukkan kenyataan sebaliknya. Himbauan Presiden untuk menunda pemekaran wilayah juga didasari oleh adanya beban keuangan negara yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya daerah otonom di Indonesia. Hal ini terkait dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) untuk tiap daerah otonom yang dibebankan pada APBN. Sampai bulan Juni 2009 telah terbentuk sebanyak 205 daerah otonom yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Dengan demikian total daerah otonom saat ini berjumlah 33 Provinsi dan 497 Kabupaten/Kota (398 Kabupaten dan 93 Kota, serta 5 Kota administratif dan 1 Kabupaten administratif di Provinsi DKI Jakarta). Dalam rangka membangun pengawasan dan evaluasi kinerja Pemerintah Daerah, Pemerintah telah menetapkan PP No.39 Tahun 2006 Tata Cara Pengendalian Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, PP No.3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada DPRD, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kepada Masyarakat, PP No.6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan PP No.8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan Daerah. B. Permasalahan Dan Sasaran Pembangunan Untuk dapat mewujudkan seluruh elemen pembangunan dibutuhkan pemerintahan daerah yang berkualitas, yang diupayakan melalui pemantapan desentralisasi dan peningkatan kualitas hubungan pusat daerah, dan antar daerah. Beberapa permasalahan dalam 5 tahun kedepan dapat dirinci sebagai berikut : 1.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah akan sangat diwarnai dengan revisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Maka penyesuaian peraturan-peraturan perundangan turunannya juga akan
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐11
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
diperlukan, untuk substansi-substansi pengaturan yang berubah antara UU No. 32 Tahun 2004 dengan revisinya. 2.
Harmonisasi peraturan perundangan yang mengatur desentralisasi dan otonomi daerah dengan peraturan perundangan lain yang bersifat sektoral juga akan menjadi salah satu tantangan utama dalam 5 tahun ke depan.
3.
Pemantapan pembagian urusan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pengaturan mengenai pembagian urusan ini sampai saat ini masih belum aplikatif dan memerlukan pengaturan yang lebih teknis dalam bentuk Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) untuk masing-masing urusan.
4.
Penyusunan NSPK ini juga menjadi salah satu isu penting dalam 5 tahun ke depan.
5.
Penyusunan dan penerapan Grand Strategy Otonomi Daerah atau Grand Strategy Penataan Daerah.
6.
Proporsi besaran Dana Perimbangan antara Pusat dan Daerah serta antara daerah penghasil (Dana Bagi Hasil) dan non penghasil belum berdasarkan urusan/fungsi yang diemban oleh Pemerintah atau pemda (mengikuti prinsip money follows function).
7.
Pemanfaatan dana perimbangan belum selaras dengan
kebutuhan
nyata daerah, seperti misalnya dana perimbangan masih banyak untuk membiayai kegiatan operasional. 8.
Belum optimalnya usaha Pemerintahan Daerah dalam meningkatkan kapasitas fiskalnya menuju kemandirian keuangan daerah.
9.
Masih banyak daerah yang belum memahami sepenuhnya adanya peluang dan manfaat yang dapat diperoleh dari kerja sama antardaerah di berbagai bidang (ekonomi dan keuangan, pelayanan publik, pengelolaan sumber daya alam).
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐12
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
10. Belum
mantapnya
sistem
pengawasan
dan
evaluasi
2009 kinerja
pemerintahan daerah mengakibatkan Pemerintah sulit untuk dapat segera melakukan intervensi terhadap kekurangan atau kelemahan atau kesalahan dalam suatu penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kebutuhan akan sistem pengawasan dan evaluasi kinerja pemerintahan daerah yang handal makin diperlukan terlebih saat dana yang ditransfer ke daerah makin membesar serta makin banyaknya daerah otonom baru di wilayah yang jauh dan terpencil dari kedudukan pemerintah provinsi dan Pemerintah. 11. Regulasi baru yang terkait dengan tata cara pembentukan daerah otonom baru belum sepenuhnya berhasil menahan usulan dan pembentukan daerah otonom baru. Hal ini juga disebabkan penggunaan landasan hukum yang berbeda dalam mensikapi usulan pembentukan daerah otonom baru. Berdasarkan penjabaran permasalahan-permasalahan tersebut diatas, maka sasaran-sasaran pokok pembangunan dalam 5 tahun kedepan adalah sebagai berikut : Terwujudnya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang dapat meningkatkan kemampuan fiskal daerah terutama pada daerah-daerah yang kemampuan fiskalnya masih rendah, meningkatkan keharmonisan dalam pembangunan daerah, serta didukung oleh sistem monitoring dan evaluasi yang baik. C. Strategi Dan Arah Kebijakan Pembangunan Arah kebijakan prioritas bidang pemantapan desentralisasi, peningkatan kualitas hubungan pusat daerah, dan antar daerah adalah penataan pembagian urusan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Arah kebijakan ini juga diarahkan untuk mendukung pelaksanaan urusan yang telah menjadi kewenangan daerah dalam rangka mempercepat pembangunan, penyediaan pelayanan publik berkualitas, dan pengurangan
kesenjangan
antar
daerah
melalui
pemantapan
kebijakan
desentralisasi fiskal, penguatan kerjasama daerah, dan penataan daerah dengan Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐13
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
disertai
mekanisme
pengawasan
dan
evaluasi
kinerja
2009
penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang efektif dan efisien. Arah kebijakan pembangunan tersebut merupakan pedoman bagi penyusunan berbagai strategi pembangunan. Strategi pembangunan tersebut diantaranya adalah : 1. Pemantapan Desentralisasi Fiskal
Strategi ini bertujuan untuk memantapkan pengelolaan dana perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah sehingga sesuai dengan prinsip money follows function (desentralisasi kewenangan diikuti dengan desentralisasi fiskal). Hal ini akan terkait dengan pemantapan pelaksanaan peraturan perundangan yang mengatur pembagian urusan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Strategi
ini
juga
bertujuan
untuk
memperbaiki
penyempurnaan kebijakan dan reformulasi transfer ke daerah. Muatan lainnya adalah meningkatkan sumber penerimaan daerah dan meningkatkan kemampuan aparatur daerah dalam mengelola keuangan daerah secara transparan dan akuntabel. 2. Penataan Daerah
Strategi ini dilakukan dengan memperketat pembahasan usulan pembentukan daerah otonom baru melalui pembentukan regulasi baru, yang bertujuan agar daerah otonom baru dapat memberikan pelayanan publik yang berkualitas dan mendorong peningkatan daya saing daerah. Regulasi baru tersebut disusun agar dapat memberikan arahan yang lebih tepat bagi usulan pembentukan daerah otonom baru. Selain itu, regulasi tersebut memberikan landasan yuridis yang kuat dan sama-sama dipergunakan bagi Pemerintah dan DPR dalam pembahasan usulan pembentukan daerah otonom baru. Strategi ini juga melingkupi berbagai upaya untuk memperkuat alternatif atau argumentasi lain dari Pemerintah dalam menghadapi usulan pembentukan daerah
otonom
baru.
Muatan
lainya
adalah
meningkatnya
kualitas
pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua, Papua Barat, Daerah Istimewa Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐14
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Daerah Khusus DKI Jakarta. Pelaksanaan otonomi daerah secara khusus di daerah-daerah tersebut tetap dalam kerangka NKRI. 3. Peningkatan Kerjasama Daerah
Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik yang potensial dikerjasamakan antara daerah dan daerah dengan dunia usaha. Disamping itu, memperkuat sistem dan regulasi bagi pengelolaan suatu isu atau kepentingan yang bersifat lintas daerah, misalnya wilayah aliran sungai dan wilayah perbatasan antar daerah, dalam bentuk kerjasama daerah. Strategi ini juga dapat menjadi suatu alternatif terhadap pemekaran daerah otonom baru. 4. Pengawasan dan Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah
Strategi
ini
bertujuan
untuk
meningkatkan
kinerja
penyelenggaraan
Pemerintah Daerah secara umum yang meliputi a) pengawasan dan koordinasi kebijakan, yaitu peningkatan peran DPOD sehingga ditempatkan untuk bertanggung jawab secara langsung kepada presiden; b) pengawasan terhadap regulasi daerah, yaitu pengawasan dan evaluasi pada perda-perda bermasalah dan juga pengawasan regulasi di daerah-daerah yang termasuk dalam Otonomi Khusus; c) pengawasan keuangan daerah, yaitu pengawasan terhadap penggunaan dana yang berasal dari anggaran publik agar mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan umum.
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐15
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Arah kebijakan dan strategi tersebut di atas dapat dijelaskan dalam bagan di bawah ini, yaitu: Gambar 5.1 Arah Kebijakan dan Strategi Prioritas Bidang Pemantapan Desentralisasi, Peningkatan Kualitas Hubungan Pusat Daerah dan Antar Daerah Prioritas Bidang PEMANTAPAN DESENTRALISASI, PENINGKATAN KUALITAS HUBUNGAN PUSAT DAERAH, DAN ANTAR DAERAH
Fokus Prioritas Pemantapan Desentralisasi Fiskal
Indikator Kinerja -% berkurangnya jumlah kegiatan pusat yang telah menjadi kewenangan daerah. -Jumlah daerah dengan indeks kapasitas fiscal daerah tinggi
Sasaran: Terwujudnya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang dapat meningkatkan kemampuan fiskal daerah, meningkatkan keharmonisan dalam pembangunan daerah, serta didukung oleh sistem monitoring dan evaluasi yang baik.
Indikator: - % peningkatan daerah yang
Penataan Daerah
Peningkatan Kerjasama Daerah
meningkat kelompok indeks kapasitas fiscal daerahnya - % berkurangnya jumlah pembentukan DOB, - Jumlah penyelenggaraan KAD, - Jumlah LKPD dengan status WTP.
Pengawasan dan Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah
-% peningkatan kinerja pemerintahan DOB -jumlah DOB dibandingkan periode sebelumnya
-Jumlah prov & kab/kota yang membentuk KAD dan menerima manfaat (ekonomi, prasarana & pelayanan publik)
-Keberadaan peraturan pemberian penghargaan dan hukuman atas kinerja pemerintah daerah - persentase LKPD dengan status WTP
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐16
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐17
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Tabel 5.2. Prioritas Bidang: Pemantapan Desentralisasi, Peningkatan Kualitas Hubungan Pusat Daerah, Dan Antar Daerah
No.
FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS
SASARAN (Hasil Outcomes/ Output yang diharapkan)
ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN PRIORITAS
TARGET INDIKATOR
2010
2011
2012
2013
2014
PROGRAM
KEMENTERIAN/ LEMBAGA TERKAIT
1.
Pemantapan Desentralisasi Fiskal
a.
penyempurnaa n kebijakan pelaksanaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus
Berkurangnya kesenjangan fiskal antar daerah
Menurunnya indeks kesenjangan fiskal daerah (indeks Williamson menjadi xx% dan indeks Coefficient Variety menjadi xx%)
Program Desentralisasi Fiskal
Departemen Keuangan
b.
Fasilitasi penyempurnaa n perencanaan Dana Alokasi Khusus
Terintegrasiny a perencanaan Dana Alokasi Khusus dengan perencanaan sektoral khususnya dalam penentuan lokasi kegiatan
% kesesuain jumlah daerah memiliki kriteria teknis dengan lokasi alokasi.
Program Perencanaan Pembangunan Nasional
Bappenas
2.
Peningkatan Kerjasama antar Daerah
a.
peningkatan kerjasama antar pemda dalam meningkatkan pelayanan
Meningkatnya penyelenggara an kegiatan kerjasama antar daerah
jumlah dan jenis bidang penyelenggara an kegiatan kerjasama
>20% Kab/Kot a telah melaksa nakan
>25% Kab/Kot a telah melaksa nakan
>30% Kab/Kot a telah melaksa nakan
>40% Kab/Kot a telah melaksa nakan
>50% Kab/Kot a telah melaksa nakan
Program Pembinaan Umum Pemerintah Daerah
2010
2011
2012
2013
2014
Departemen Dalam Negeri
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐18
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
No.
FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS publik dan daya saing ekonomi daerah,
SASARAN (Hasil Outcomes/ Output yang diharapkan) dengan daerah lain maupun pihak ketiga dalam penyelenggara an pelayanan publik
2009 ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN PRIORITAS
TARGET INDIKATOR
2010
2011
2012
2013
2014
antara daerah terutama dalam upaya peningkatan pelayanan publik
KAD & >75% jenis bidang kerjasa ma terkait dlm pelayan an publik
KAD & >75% jenis bidang kerjasa ma terkait dlm pelayan an publik
KAD & >75% jenis bidang kerjasa ma terkait dlm pelayan an publik
KAD & >75% jenis bidang kerjasa ma terkait dlm pelayan an publik
KAD & >75% jenis bidang kerjasa ma terkait dlm pelayan an publik
jumlah daerah yang berhasil dan gagal dalam penyelenggara an KAD (untuk mengukur manfaat yang diperoleh dengan adanya KAD)
Penyusu nan sistem databas e, sistem penilaia n kinerja dan monev KAD
Pemetaa n pelaksa naan KAD baik yang sukses maupun yang gagal
Pemetaa n pelaksa naan KAD baik yang sukses maupun yang gagal
Pemetaa n pelaksa naan KAD baik yang sukses maupun yang gagal
Pemetaa n pelaksa naan KAD baik yang sukses maupun yang gagal
Jumlah sosialisasi dan promosi KAD terutama dalam penyelenggara an pelayanan publik
Pengem bangan program kegiatan sosialisa si dan promosi KAD
Promosi dan sosialisa si ke seluruh daerah
Promosi dan sosialisa si ke seluruh daerah
Promosi dan sosialisa si ke seluruh daerah
Promosi dan sosialisa si ke seluruh daerah
Jumlah pengaturan yang mendorong pelaksanaan
penyusu nan pengatu ran pelaksa na PP
penyusu nan pengatu ran pelaksa na PP
PROGRAM
KEMENTERIAN/ LEMBAGA TERKAIT
2010
2011
2012
2013
2014
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐19
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
No.
b.
FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS
Fasilitasi pembentukan kerjasama antar daerah di beberapa wilayah strategis
3.
Pengawasan dan Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah
a.
Fasilitasi pengawasan Pemerintah Daerah
SASARAN (Hasil Outcomes/ Output yang diharapkan)
Meningkatnya kerjasama antar daerah di wilayah strategis
Terlaksananya pengawasan terhadap penyelenggara an pemerintahan
2009 ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN PRIORITAS
TARGET INDIKATOR
2010
2011
KAD
No. 50 Tahun 2007 tentang KAD
No. 50 Tahun 2007 tentang KAD
Jumlah kerjasama antar daerah yang terbentuk di wilayah strategis
>30% Prov, Kab/Kot a di wilayah strategis telah melaksa nakan KAD
Jumlah kegiatan fasilisasi kerjasama antar daerah
Fasilitasi KAD di 25% Kab/Kot a di wilayah strategis
Jumlah laporan pengawasan terhadap penyelenggara an pemerintahan
2012
2013
2014
>35% Prov, Kab/Kot a di wilayah strategis telah melaksa nakan KAD
>45% Prov, Kab/Kot a di wilayah strategis telah melaksa nakan KAD
>60% Prov, Kab/Kot a di wilayah strategis telah melaksa nakan KAD
>75% Prov, Kab/Kot a di wilayah strategis telah melaksa nakan KAD
Fasilitasi KAD di 25% Kab/Kot a di wilayah strategis
Fasilitasi KAD di 25% Kab/Kot a di wilayah strategis
Fasilitasi KAD di 25% Kab/Kot a di wilayah strategis
Fasilitasi KAD di 25% Kab/Kot a di wilayah strategis
PROGRAM
KEMENTERIAN/ LEMBAGA TERKAIT
Program Perencanaan Pembangunan Nasional
Bappenas
Program Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
BPKP
2010
2011
2012
2013
2014
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐20
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
No.
FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS
SASARAN (Hasil Outcomes/ Output yang diharapkan)
Terlaksananya evaluasi terhadap kinerja penyelenggara an pemerintahan daerah
Jumlah laporan evaluasi kinerja penyelenggara an pemerintahan daerah
PP pengganti PP No. 78 Tahun 2007
4.
Penataan Daerah
a.
Fasilitasi penyusunan regulasi pengganti PP No. 78 Tahun 2007 dan revisi terbatas UU No 10 Tahun 2004 dalam rangka pengecualian proses dan prosedur pembentukan undang-undang pembentukan daerah otonom baru
Tersusunnya regulasi yang menjadi satusatunya landasan hukum dalam pembentukan daerah otonom baru.
Penyusunan peraturan
Tersusunnya peraturan
b.
INDIKATOR
daerah
Fasilitasi evaluasi kinerja Pemda
ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN PRIORITAS
TARGET
daerah b.
2009
2010
2011
2012
2013
2014
PROGRAM
KEMENTERIAN/ LEMBAGA TERKAIT
Program Pemantapan Otonomi Daerah
Departemen Dalam Negeri
Evaluasi pelaksa naan PP 78/2007
Naskah akademi k PP baru tentang Pemekar an dan Pengga bungan Daerah
Pengesa han PP Pemekar an dan Pengga bungan
Pelaksan aan PP Pemekar an dan Pengga bungan
Monitori ng pelaksa naan PP dan kinerja DOB
Program Pemantapan Otonomi Daerah
Departemen Dalam Negeri
Evaluasi terhada
Tersusu nnya
Pengesa han PP
Pelaksan aan PP
Monitori ng
Program Pemantapan
Departemen Dalam
Revisi terbatas UU No. 10 Tahun 2004
2010
2011
2012
2013
2014
Regulasi tersebut menjadikan bahwa proses dan prosedur pembentukan daerah otonom menjadi lebih ketat. Terbit peraturan
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐21
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
No.
FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS
SASARAN (Hasil Outcomes/ Output yang diharapkan)
2009 ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN PRIORITAS
TARGET INDIKATOR
PROGRAM
KEMENTERIAN/ LEMBAGA TERKAIT
2010
2011
2012
2013
2014
pelaksana turunan UU yang mengatur daerah dengan otonomi khusus
p UU 18/2001 dan UU 21/2001
draf PP Otsus di NAD dan Otsus di Papua
Otsus di NAD dan Otsus di Papua
Otsus
pelaksa naan PP Otsus di NAD dan Papua
Otonomi Daerah
Negeri
pelaksana undang-undang yang mengatur daerah dengan otonomi khusus
pelaksana
c.
Fasilitasi evaluasi terhadap usulan pembentukan daerah otonom baru
Terlaksananya evaluasi dan rekomendasi usulan pembentukan daerah otonom baru.
Laporan evaluasi dan rekomendasi terhadap usulan pembentukan daerah otonom baru.
Evaluasi DOB yang dibentu k pada periode 20012003
Evaluasi DOB yang dibentu k pada periode 20042006
Evaluasi DOB yang dibentu k pada periode 20072009
Evaluasi terhada p usulan pemben tukan DOB
Penyusu nan rekome ndasi terhada p pemeka ran dan atau pengga bungan
Program Pemantapan Otonomi Daerah
Departemen Dalam Negeri
d.
Kajian penggabungan daerah
Terlaksananya kajian penggabungan daerah
Laporan kajian penggabungan daerah
Kajian DOB yang dibentu k dengan PP 129/200 0
Penyusu nan rekome ndasi pengga bungan daerah
Kajian DOB yang dibentu k dengan PP 78/2007
Penyusu nan rekome ndasi pengga bungan daerah
Monitori ng kinerja pelayan an publik di DOB
Perencanaan Pembanguanan Nasional
Bappenas
Evaluasi PP Otonomi Khusus di DI Jogjakar ta
2010
2011
2012
2013
2014
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐22
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
5.3. Prioritas Bidang Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah A. Kondisi Umum Pada tahun 2007 Pemerintah telah menerbitkan dua Peraturan Pemerintah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan pemerintahan, baik di pusat maupun daerah, sebagai perwujudan Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Kedua PP tersebut adalah PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan
Daerah
Provinsi,
dan
Pemerintahan
Daerah
Kabupaten/Kota, dan PP No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Sebagai tindak lanjut dari penerbitan PP No.38 tahun 2007, maka diperlukan pedoman mengenai organisasi perangkat daerah yang sinergis dengan urusan pemerintahan
yang
harus
dilaksanakan
sebagai
respon
atas
kondisi
kelembagaan pemerintah yang belum menunjukkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dicirikan dengan jelasnya tupoksi tiap instansi tanpa adanya tumpang tindih, kelengkapan Standar Operasional Prosedur (SOP), sistem koordinasi antar organisasi pemerintah, dan pemenuhan sarana dan prasarana pemerintahan. Dalam PP No.41 Tahun 2007, organisasi perangkat daerah merupakan unsur pembantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang terdiri dari Setda, Sekwan, Dinas, Lembaga Teknis Daerah (meliputi badan, kantor dan Rumah Sakit Daerah) untuk wilayah provinsi; sedangkan untuk wilayah kabupaten/kota dengan menyertakan kecamatan dan kelurahan. Lembaga Pemerintah Daerah yang terkait erat dengan penyelenggaraan pelayanan publik adalah dinas dan lembaga teknis daerah. Dalam PP No.41 tahun 2007, pengaturan terhadap organisasi perangkat daerah menekankan pada ketentuan jumlah dinas dan lembaga teknis daerah (tidak termasuk Rumah Sakit Daerah). Keberadaan dinas dan lembaga teknis daerah di tiap provinsi dan kebupaten/kota di Indonesia sendiri sangat bervariasi dan didasarkan pada kebutuhan masing-masing daerah. Berdasarkan data Biro Organisasi, Departemen Dalam Negeri, yang berasal dari laporan
Pemerintah
Daerah,
pelaksanaan
restrukturisasi
kelembagaan
pemerintahan daerah belum sesuai seperti yang diharapkan. Karena sampai dengan pertengahan 2009 pencapaian pelaksanaan PP No.41 Tahun 2007 oleh Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐23
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Pemerintah Daerah baru mencapai 56 persen dari seluruh wilayah di Indonesia. Dari 295 wilayah (provinsi, kabupaten dan kota), 12,5 persen diantaranya telah melaksanakan pada tahun 2007, sebanyak 87 persen, melaksanakan PP tersebut pada tahun 2008, dan 0,7 persen pada tahun 2009. Sisanya, masih terdapat 5 provinsi, 175 kabupaten dan 55 kota yang belum melaksanakan PP tersebut, atau setidaknya belum melaporkan perda organisasi perangkat daerah mereka berdasarkan PP No.41 Tahun 2007. Salah satu implikasi dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah terjadinya penyerahan kewenangan atau urusan yang lebih luas kepada Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya secara otonom. Penyerahan sebagian besar kewenangan dari pemerintah kepada Pemerintah Daerah ini dilakukan dalam rangka meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Selain itu, adanya perubahan kebijakan yang tertuang dalam UU No.32 Tahun 2004 khususnya di dalam pasal 37 dan 38, adalah memberikan peran yang lebih besar kepada Pemerintah Provinsi sebagai wakil dari Pemerintah Pusat dan sebagai koordinator dari pembangunan kabupaten/kota di dalam provinsi tersebut. Jumlah keseluruhan aparatur Pemerintah Daerah di Indonesia (tidak termasuk pegawai negeri sipi pusat) berkisar 3 juta personel. Nilai tersebut hanya sebanyak 1,3 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Ditambah dengan jumlah PNS di pusat, jumlahnya adalah 1,7 persen dari seluruh jumlah penduduk. Jumlah tersebut masih belum dapat memberikan informasi bahwa jumlah PNS secara nasional telah berkecukupan atau masih berkekurangan atau telah berkelebihan. persentase ini masih di bawah angka pegawai negeri yang ada di Thailand, yakni 2,81 persen, Singapura (3,67 persen), dan Brunei Darussalam (12,9 persen). Komposisi jumlah pegawai untuk dapat melaksanakan tupoksi dan wewenang secara efektif dan efisien masih jauh dari ideal. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa jumlah pegawai yang melaksanakan tugas administrasi hampir 40 persen dari jumlah pegawai negeri sipil saat ini. Padahal, menurut prinsip organisasi yang efisien, jumlah tenaga adminstratif hanya berkisar antara 15 persen hingga 20 persen dari total pegawai yang ada. Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐24
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Selama ini, usaha-usaha peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah lebih banyak dilakukan melalui diklat-diklat maupun pelatihan yang diarahkan langsung pada aparat Pemerintah Daerah. Pelatihan-pelatihan itu diselenggarakan untuk berbagai bidang berdasarkan kebutuhan Pemerintah Daerah atau berdasarkan kebutuhan terkait dikeluarkannya kebijakan baru dari Pemerintah. Selain itu, peningkatan sarana/prasarana penunjang diklat seperti kualitas pengajar, koordinasi dalam penyelenggaraan, fasilitas diklat dan sebagainya juga terus ditingkatkan. Namun demikian, pengaturan atau pedoman dalam manajemen aparatur itu sendiri masih memerlukan banyak penanganan, termasuk belum adanya standar kompetensi maupun pola mutasi untuk aparat Pemerintah Daerah. Pengaturan-pengaturan teknis seperti ini masih diperlukan karena adanya
perbedaan-perbedaan
pengaturan
antara
sebelum
dan
setelah
diberlakukannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Seiring dengan pengalihan urusan-urusan pemerintahan kepada pemerintah daerah, keuangan daerah juga meningkat secara signifikan. Dana APBN yang didaerahkan meningkat lebih dari 100 persen pada awal pelaksanaan kebijakan otonomi daerah di Indonesia sehingga dibutuhkan praktek pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik. Sebagai turunan dari UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah
No.58
Tahun
2005
tentang
Pengelolaan
Keuangan
Daerah.
Berdasarkan PP tersebut, Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah tersebut merupakan subsistem dari dari sistem pengelolaan keuangan negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Sebagai tindak lanjut PP No.58 tahun 2005, Depdagri telah mengeluarkan Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dan terakhir telah direvisi dengan Permendagri No.59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.
Peraturan
ini
khusus
mengatur
mengenai
pedoman
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐25
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
pengelolaan keuangan daerah yang baru, sesuai arah reformasi tata kelola keuangan negara/daerah. Selain itu, dari segi kapasitas keuangan daerah, Pemerintah Daerah masih sangat bergantung pada dana perimbangan. Oleh karena itu, diperlukan pemanfaatan beberapa alternatif sumber penerimaan daerah diluar pajak dan retribusi daerah, yaitu pemanfaatan pinjaman daerah, pengelolaan aset daerah, pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). B. Permasalahan Dan Sasaran Pembangunan Untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik diperlukan kapasitas pemerintahan daerah yang mapan. Terkait dengan itu, beberapa permasalahan yang diperkirakan relevan dalam lima tahun ke depan adalah sebagai berikut: 1. Permasalahan utama dalam bidang kelembagaan adalah penerapan prinsipprinsip
organisasi
modern,
kepemerintahan
yang
baik
(good
governance), efektivitas dan efisiensi dalam kelembagaan Pemerintah Daerah, terutama dalam hal peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi birokrasi, dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan pelayanan satu atap untuk perizinan investasi. 2. Penerapan sistem evaluasi dan monitoring pembangunan daerah, terutama terkait dengan penerapan PP No. 6 Tahun 2008 serta merumuskan implikasi atau sistem penindaklanjutan hasil evaluasi yang dilakukan. 3. Permasalahan utama dalam bidang aparatur Pemerintah Daerah dapat dibagi dua, yaitu terkait dengan kompetensi atau kualitas aparatur dan yang terkait
dengan
pengelolaan
atau
pendayagunaan
aparatur.
Untuk
kompetensi atau kualitas aparatur, permasalahan 5 tahun ke depan masih berkisar pada upaya-upaya peningkatan kualitas melalui kegiatan-kegiatan diklat atau pelatihan untuk aparatur Pemerintah Daerah. Dalam hal manajemen aparatur, tantangan utama untuk Pemerintah dalam 5 tahun ke depan adalah menyusun, menerapkan, dan memantapkan pengaturan mengenai standar kompetensi, pola formasi, pola karir, mutasi, remunerasi dan rekruitmen pegawai. Sampai saat ini, kejelasan pengaturan mengenai hal Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐26
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
ini belum ada, dan penerapannya memerlukan koordinasi yang kuat antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. 4. Permasalahan dalam bidang keuangan daerah antara lain: (a) belum optimalnya
peran
dana
perimbangan
dalam
membiayai
penyelenggaraan otonomi daerah, (b) belum optimalnya pajak dan retribusi daerah yang tepat dan proporsional sehingga dapat menjadi sumber
utama penerimaan daerah sekaligus tidak menimbulkan
ekonomi biaya tinggi di daerah, (c) belum optimalnya pemanfataan dan pengelolaan sumber-sumber alternatif penerimaan daerah seperti pinjaman daerah, aset daerah, BLUD, BUMD, (d) belum profesionalnya pengelolaan keuangan daerah, (e) belum optimalnya penerapan Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) dan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD). Berdasarkan penjabaran permasalahan-permasalahan tersebut diatas, maka sasaran-sasaran pokok pembangunan dalam 5 tahun kedepan adalah sebagai berikut : Terwujudnya pemerintahan daerah yang memiliki kapasitas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah dalam kerangka NKRI. C. Strategi Dan Arah Kebijakan Pembangunan Arah kebijakan peningkatan kapasitas pemerintahan daerah adalah membentuk Pemerintah Daerah yang mampu memberikan pelayanan publik yang berkualitas, mendorong peningkatan daya saing daerah, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan arah kebijakan tersebut harus didukung oleh aparatur Pemerintah Daerah yang profesional pada organisasi perangkat daerah yang efisien dan efektif serta kemampuan keuangan Pemerintah
Daerah
yang
akuntabel
sesuai
prinsip
penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang baik. Selanjutnya arah kebijakan tersebut akan dilaksanakan dengan strategi pembangunan bidang, antara lain sebagai berikut : Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐27
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
1. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah dan DPRD Strategi ini mendorong Pemerintah Daerah untuk membentuk organisasi perangkat daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan kemampuan serta potensi daerah. Pembentukan organisasi perangkat daerah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mendorong peningkatan daya saing daerah secara efektif (pemenuhan lingkup, jangkauan, dan luas wilayah pelayanan) dan efisien (tidak membebani APBD dan APBN serta menambah birokrasi). Dalam kerangka tersebut, organisasi perangkat daerah yang ada didorong untuk melakukan dan meningkatkan kerjasama daerah terutama pada wilayah perbatasan antar daerah dan wilayah aliran sungai. Untuk itu, maka diperlukan suatu regulasi, sistem, dan pemahaman bersama berbagai pihak baik pemerintah (K/L) maupun pemerintahan daerah (termasuk kepala daerah dan DPRD). Disamping itu, strategi ini juga berisikan upaya penyusunan regulasi yang tepat bagi daerah, baik dari sisi proses, prosedur penyusunannya, maupun dari sisi materi (substansi pengaturan) dari regulasi daerah tersebut. Untuk itu perlu
dilakukan
peningkatan
kapasitas
DPRD
sebagai
bagian
dari
pemerintahan daerah, Sehingga tercipta pengawasan penyelenggaraan Pemerintah Daerah secara tepat, tercipta kontrol dan keseimbangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Disamping itu, DPRD dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah secara baik dalam menyusun APBD sehingga penetapan APBD dapat tepat waktu, dan dapat menyusun regulasi daerah secara tepat. 2. Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah dan Anggota DPRD Strategi ini mendorong aparatur Pemerintah Daerah berfungsi menjadi fasilitator
dalam
rangka
peningkatan
pelayanan
masyarakat,
penyelenggaraan pemerintahan daerah serta mendorong penciptaan aparatur Pemerintah Daerah yang kompeten dan profesional. Untuk itu diperlukan regulasi, sistem, dan budaya kerja bagi aparatur Pemerintah Daerah yang Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐28
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
mampu memberikan kepastian hukum, kemudahan bekerja, kesesuaian pekerjaan dengan tingkat kompetensi, kejelasan jenjang karir (termasuk mutasi, rotasi, dan promosi secara lintas organisasi, lintas daerah, dan lintas tingkatan pemerintah), serta sistem reward dan punishment yang tepat dan memadai. Strategi peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah meliputi upaya agar pemimpin daerah melakukan berbagai inovasi peningkatan pelayanan publik dengan berdasarkan kemampuan keuangan Pemerintah Daerah yang ada. Strategi ini juga dimaksudkan sebagai upaya untuk dapat menjamin keutuhan mata rantai pelaksanaan kebijakan nasional di daerah. Seiring dengan itu, untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik maka pelatihan teknis dan substantif perlu terus dilakukan baik oleh pelaksana diklat di Pusat maupun di daerah. Dalam kerangka itu, maka pelatihan diklat yang ada ditujukan bagi upaya dan dukungan pencapaian standar pelayanan yang telah ditetapkan. Selain peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah, perlu dilakukan juga peningkatan kapasitas legislatif daerah. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam penyusunan regulasi yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik dan daya saing daerah. Peningkatan kapasitas anggota DPRD juga perlu dilakukan agar harmonisasi peraturan perundangundangan daerah dengan peraturan perundangan diatasnya tetap terjaga. 3. Peningkatan Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas keuangan Pemerintah Daerah baik dari aspek sumber-sumber penerimaan daerah maupun dari aspek
pemanfaatan
diharapkan
akan
dan
pengelolaan
meningkatkan
dan
keuangan
daerah.
memperluas
basis
Strategi
ini
penerimaan
Pemerintah Daerah sehingga mengurangi ketergantungan terhadap dana perimbangan dari pusat. Peningkatan kapasitas keuangan Pemerintah Daerah ini diarahkan untuk mendukung iklim usaha yang kondusif di daerah tersebut.
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐29
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Peningkatan kapasitas keuangan Pemerintah Daerah juga didorong untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam mengelola sumber daya daerah dan meningkatkan kemampuan pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu perlu dilakukan peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah secara profesional dan akuntabel. Arah kebijakan dan strategi tersebut di atas dapat dijelaskan dalam bagan di bawah ini, yaitu: Gambar 5.2 Arah Kebijakan dan Strategi Prioritas Bidang Peningkatan Kapasitas Pemerintahan Daerah Prioritas Bidang PENINGKATAN KAPASITAS PEMERINTAHAN DAERAH
Fokus Prioritas Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah dan DPRD
Sasaran:
Terwujudnya pemerintahan daerah yang memiliki kapasitas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah dalam kerangka NKRI
Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah dan Anggota DPRD
Indikator: 1)Jumlah pemda yang mampu menurunkan tingkat kemiskinan 2)Jumlah pemda yang mampu menerapkan SPM di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemerintahan dalam negeri. 3)Jumlah pemda yang mampu meningkatkan realisasi penanaman modal
Peningkatan Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah
Indikator Kinerja -% pemda dengan struktur organisasi daerah yang sesuai dengan regulasi yang mengatur organisasi/ kelembagaan daerah -Jumlah perda yang sesuai dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi
-Keberadaan regulasi yang mengatur sistem manajemen aparatur Pemda - Rasio jumlah PNSD yang mampu mengelola layanan pendidikan, kesehatan dan pemerintahan dalam negeri terhadap jumlah penduduk -Proporsi belanja modal terhadap total belanja daerah -Rasio penerimaan asli daerah (di luar pajak & retribusi daerah) terhadap APBD -Rasio penerimaan pajak daerah (yang sesuai aturan perundangan yang lebih tinggi) terhadap APBD
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐30
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Tabel 5.3. PRIORITAS BIDANG: PENINGKATAN KAPASITAS PEMERINTAHAN DAERAH
No.
FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS
SASARAN (Hasil Outcomes/Output yang diharapkan)
ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN PRIORITAS
TARGET INDIKATOR
2010
2011
2012
2013
2014
PROGRAM
KEMENTERIAN/ LEMBAGA TERKAIT
1.
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah dan DPRD
a.
Harmonisasi regulasi sektoral dan regulasi desentralisasi dan otonomi daerah yang terkait dengan pembentukan organisasi perangkat daerah .
Tercapainya pemahaman bersama (stakeholders Pusat) terhadap organisasi perangkat daerah
Terlaksananya penyesuaian atau revisi terhadap UU sektoral yang belum harmonis dengan UU pemerintahan daerah
Revisi thd UU di bidan g perta nahan
Revisi UU di bidan g pelay anan publi k
Revisi UU di bidan g indust ri dan ekono mi lokal
Revisi UU di bidan g tataruang
Monit oring pelak sanaa n revisi undan gundan g
Program Penataan Kelembagaan
Kementerian Negara PAN
b.
Penyusunan regulasi yang mengatur organisasi perangkat daerah sebagai revisi atas PP No. 41 Tahun 2007.
Tersusunnya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif (pemenuhan lingkup, jangkauan, dan luas wilayah pelayanan) dan efisien (tidak membebani APBD/APBN dan tidak menambah birokrasi) sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing.
Peraturan Pemerintah pengganti PP No. 41 Tahun 2007.
Evalu asi pelak sanaa n PP 41/20 07
Penyu sunan Naska h Akad emik PP tentan g SOT
Peng esaha n PP tentan g SOT
Pelak sanaa n PP tentan g SOT
Monit oring pemb entuk an organ isasi Pemd a
Program Pemantapan Otonomi Daerah
Departemen Dalam Negeri
Kapasitas anggota DPRD yang memadai sebagai mitra kerja Pemerintah Daerah dalam
Meningkatnya kemampuan anggota DPRD dalam
Pelak sanaa n Bintek
Pelak sanaa n Bintek
Pelak sanaa n Bintek
Perlu asan Bintek
Evalu asi terha dap
c.
Pelaksanaan pembinaan dan peningkatan kemampuan anggota
Pemerintah daerah yang organisasi perangkat daerahnya sesuai dengan PP pengganti PP No. 41 Tahun 2007.
2010
2011
2012
2013
2014
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐31
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
No.
FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS
DPRD
SASARAN (Hasil Outcomes/Output yang diharapkan)
2009 ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN PRIORITAS
TARGET INDIKATOR
penyelenggaraan pemerintahan
menjalankan fungsi-fungsinya
2010
2011
2012
2013
2014
fungsi Legisl asi
fungsi Penga wasan
Fungs i Penga nggar an
DPRD
penin gkata n kapas itas DPRD
PROGRAM
KEMENTERIAN/ LEMBAGA TERKAIT
2.
Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah
a.
Penyusunan peraturan dan pedoman perkembangan karir bagi PNS daerah secara transparan, akuntabel, dan berdasarkan prestasi (merit based),
Tersusunnya regulasi dan terlaksananya sistem rekruitmen, karir, insentif bagi PNS daerah yang transparan, akuntabel dan berdasar prestasi
0% keluhan PNS daerah terhadap sistem karir.
Program Manajemen Aparatur Pemda
Kementerian Negara PAN
b.
Pelatihan etika dan kepemimpinan daerah.
Terlaksananya pelatihan etika dan kepemimpinan
Jumlah kepala daerah yang mengikuti pelatihan
Program Pendidikan dan Latihan Depdagri
Departemen Dalam Negeri
3.
Peningkatan Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah
a.
Fasilitasi peningkatan kemampuan keuangan daerah termasuk
Meningkatnya PAD tanpa harus mengganggu iklim
Proporsi rata-rata PAD terhadap APBD menjadi 18% (provinsi)
Program Pembinaan Administrasi Keuangan
Departemen Dalam Negeri
2010
2011
2012
2013
2014
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐32
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
No.
FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS
SASARAN (Hasil Outcomes/Output yang diharapkan)
2009 ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN PRIORITAS
TARGET INDIKATOR
2010
2011
2012
2013
2014
PROGRAM
KEMENTERIAN/ LEMBAGA TERKAIT
manajemen aset daerah,
usaha
dan 19% (kabupaten/ kota) dan 0% perda pajak daerah dan retribusi daerah bermasalah
Daerah
b.
Fasilitasi peningkatan kemampuan pengelolaan keuangan pemerintah daerah
Penetapan APBD secara tepat waktu
Jumlah APBD yang disahkan secara tepat waktu.
Program Pembinaan Administrasi Keuangan Daerah
Departemen Dalam Negeri
c.
Fasilitasi peningkatan penyusunan laporan keuangan pemerintah daerah
Meningkatnya jumlah daerah dengan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) berstatus Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
50% daerah berLKPD WTP
Program Pengawasan Keuangan Pembanguna n
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
2010
2011
2012
2013
2014
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐33
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
5.4. Prioritas Bidang Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik (Usulan Fokus Prioritas : Perumusan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal) A. Kondisi Umum Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJMN 2004-2009, RPJM 2010-2014 ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya saing perekonomian. Secara lebih khusus, arahan untuk RPJM ke-2 untuk bidang desentralisasi dan otonomi daerah dari RPJPN 2005-2025 adalah kehidupan bangsa yang lebih demokratis semakin terwujud ditandai dengan membaiknya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah serta kuatnya peran masyarakat sipil dan partai politik dalam kehidupan bangsa. Posisi penting Indonesia sebagai negara demokrasi yang besar juga diarahkan makin meningkat dengan keberhasilan diplomasi di fora internasional dalam upaya pemeliharaan keamanan nasional, integritas wilayah, dan pengamanan kekayaan sumber daya alam nasional. Selanjutnya, kualitas pelayanan publik yang lebih murah, cepat, transparan, dan akuntabel makin meningkat yang ditandai dengan terpenuhinya standar pelayanan minimal di semua tingkatan pemerintah. Dalam rangka menyediakan pelayanan kepada masyarakat, Pemerintah harus mampu menjamin terpenuhinya hak dasar masyarkat di seluruh daerah atas layanan dasar publik yang bersifat wajib. Untuk itu, dibutuhkan sebuah standar minimal yang berlaku sama untuk seluruh daerah di Indonesia. Standar ini memberikan petunjuk kepada seluruh daerah tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal, serta digunakan sebagai salah satu indikator kinerja penyelenggaraan pelayanan publik oleh daerah. Sejak direvisinya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU No. 32 Tahun 2004, berbagai SPM yang telah terbit berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 harus disesuaikan dengan UU No. 32 Tahun 2004. Sehubungan dengan itu, telah diterbitkan : Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐34
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
1. PP No. 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal pada tanggal 28 Desember 2005. 2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal sebagai peraturan pelaksanaan dari PP 65/2005 pada tanggal 7 Februari 2007. 3. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 100.05 – 76 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Tim Konsultasi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal pada tanggal 7 Februari 2007. Tim Konsultasi SPM terdiri dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Kementrian PAN dan Bappenas yang mempunyai
tugas
menyerasikan
usulan-usulan
SPM
dari
Kementerian/Lembaga. Dengan telah diterbitkannnya Pedoman dan Petunjuk Teknis (Juknis) tentang SPM tersebut dan difasilitasinya penyusunan SPM di berbagai sektor oleh Tim Konsultasi, maka, sampai saat ini (2009) telah diterbitkan SPM di bidang kesehatan,
lingkungan
Kabupaten/Kota,
dan
hidup,
sosial,
perumahan
pemerintahan
rakyat.
Adapun
dalam SPM
negeri
untuk
di
bidang
ketenagakerjaan, keluarga berencana, dan pemberdayaan perempuan telah memasuki tahap akhir pembahasan di sidang DPOD. Saat ini sedang disusun Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) berdasarkan Analisis Kemampuan dan Potensi Daerah. B. Permasalahan Dan Sasaran Pembangunan Beberapa permasalahan terkait dengan prioritas bidang tersebut di atas dapat dirinci sebagai berikut 1. Belum selesainya perumusan SPM (Standar Pelayanan Minimal) untuk semua urusan yang terkait pelayanan publik, terutama pelayanan publik dasar 2. Implementasi SPM masih terkendala permasalahan kelembagaan dan penganggaran di Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah masih memerlukan persiapan untuk dapat menerapkan SPM tesebut 3. Belum tersedianya pedoman penganggaran SPM di daerah Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐35
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
4. Kapasitas aparatur Pemerintah Daerah masih perlu ditingkatkan, karena belum dipersiapkan untuk dapat langsung menggunakan SPM 5. Belum ada mekanisme insentif/disinsentif bagi daerah dalam penerapan SPM 6. Pemerintah Daerah memerlukan bimbingan teknis dalam penerapan SPM di daerah Berdasarkan kondisi umum dan permasalahan yang dihadapi, maka dirumuskan sasaran-sasaran sebagai berikut: 1. Terselesaikannya perumusan Standar Pelayanan Minimal untuk seluruh urusan wajib di tahun 2012. 2. Penyelenggaraan pelayanan publik di seluruh kabupaten/kota berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM). C. Strategi Dan Arah Kebijakan Pembangunan Untuk mencapai sasaran di atas, strategi pembangunan yang direncanakan diantaranya adalah : 1. Fasilitasi penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Muatan pokok dalam strategi ini mencakup upaya-upaya koordinasi untuk mendorong percepatan penyusunan SPM oleh kementerian/lembaga sektoral penyedia pelayanan publik. 2. Fasilitasi penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah
Muatan pokok dalam strategi ini mencakup: (1) perumusan model skema pembiayaan dan penganggaraan di daerah untuk dapat mengakomodasi SPM; (2) perumusan mekanisme insentif/disinsentif bagi daerah dalam penerapan SPM; (3) bimbingan teknis dalam penerapan SPM di daerah; (4) perumusan inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan SPM, seperti melalui pola kerjasama antardaerah; (5) peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah untuk dapat
menerapkan
pemerintah
yang
SPM; efektif,
dan
(6)
efisien
perumusan dan
struktur
akuntabel
dalam
kelembagaan mendukung
pelaksanaan SPM, seperti lembaga pelayanan satu atap.
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐36
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Tabel 5.4. PRIORITAS BIDANG: PERUMUSAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL
No.
FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS
SASARAN (Hasil Outcomes/Output yang diharapkan)
TARGET (kumulatif) INDIKATOR
1.
Fasilitasi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Terselesaikannya perumusan Standar Pelayanan Minimal untuk seluruh urusan wajib di tahun 2012.
c.
Fasilitasi percepatan penyusunan SPM oleh Kementerian/Lembaga yang terkait dengan bidang-bidang urusan wajib
Terumuskannya Standar Pelayanan Minimal untuk bidang-bidang yang terkait dengan pelayanan publik, terutama pelayanan publik dasar
Jumlah SPM yang disahkan
Sosialisasi Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Tersosialisasikannya SPM yang telah disahkan
• Jumlah SPM yang tersosialisasikan • Jumlah daerah yang mendapat sosialisasi
d.
2.
Fasilitasi Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di Daerah
Kualitas pelayanan publik yang lebih murah, cepat, transparan dan akuntabel makin meningkat yang ditandai dengan terpenuhinya SPM di semua tingkatan pemerintahan
c.
Pengembangan skema pembiayaan dan penganggaran daerah untuk mengakomodasi
Terumuskannya struktur APBD yang telah mengakomodasi
Jumlah daerah yang telah melakukan perubahan struktur APBD untuk
2010
2011
2012
2013
2014
13
20
26
-
-
(5 pada 2009, 8 pada 2010)
(7 pada 2011)
(6 pada 2012)
5
13
20
26
-
75%
85%
95%
100%
Perumus an struktur APBD untuk
Sosialisa si dan bimbing an teknis
30%
60%
PROGRAM
90%
KEMENTERIAN/ LEMBAGA TERKAIT
ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN PRIORITAS 2010
2011
2012
2013
Departemen Dalam Negeri
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐37
2014
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
No.
FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS
SASARAN (Hasil Outcomes/Output yang diharapkan)
TARGET (kumulatif) INDIKATOR
2010
2011
2012
2013
2014
penerapan SPM
penerapan SPM
penerapan SPM
d.
Pengembangan sistem insentif/disinsentif bagi daerah dalam penerapan SPM
Terumuskannya sistem insentif/disinsentif bagi daerah dalam penerapan SPM
Sistem insentif/disinsentif dirumuskan dan diterapkan
-
Perumus an sistem insentif/ disinsent if
Penerap an sistem insentif/ disinsent if
Penerap an sistem insentif/ disinsent if
Penerap an sistem insentif/ disinsent if
c.
Fasilitasi bimbingan teknis dalam penerapan SPM di daerah
Tercapainya pemahaman yang sama di daerah dalam penerapan SPM
Jumlah daerah yang mendapatkan bimbingan teknis
-
-
30%
60%
90%
d.
Peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah dalam rangka mempersiapkan Pemerintah Daerah untuk penerapan SPM
Aparat Pemerintah Daerah memiliki kompetensi yang cukup untuk menyelenggarakan pelayanan publik sesuai SPM
• Jumlah bidang SPM yang menjadi materi diklat • Jumlah keluhan masyarakat terkait kualitas aparat dalam penyelenggaraa n pelayanan publik berkurang
2
7
15
22
26
Berkuran g relatif dibandin g tahun sebelum nya
Berkuran g relatif dibandin g tahun sebelum nya
Berkuran g relatif dibandin g tahun sebelum nya
Berkuran g relatif dibandin g tahun sebelum nya
Berkuran g relatif dibandin g tahun sebelum nya
Terbangunnya sistem monitoring dan evaluasi penerapan SPM
Terselenggaranya monitoring dan evaluasi penerapan SPM
Perumus an pedoma n monitori ng dan evaluasi SPM
Monitori ng dan evaluasi penerap an SPM
Monitori ng dan evaluasi penerap an SPM
Monitori ng dan evaluasi penerap an SPM
f.
Monitoring dan evaluasi penerapan SPM
PROGRAM
2009 KEMENTERIAN/ LEMBAGA TERKAIT
ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN PRIORITAS 2010
2011
2012
2013
penerap an SPM Bappenas
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐38
2014
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐39
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐40
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas V‐41
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
BAB VI PENUTUP KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1.
Kesimpulan Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia yang direalisasikan melalui
kebijakan otonomi daerah telah mencapai beberapa perkembangan terkait dengan: 6.1.1. Peningkatan Kapasitas Aparat Pemerintah Daerah Berdasarkan Laporan Database Desentralisasi dan Otonomi Daerah Tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Direktorat Otonomi Daerah-Bappenas, profil aparat pemerintah daerah di Indonesia sejak tahun 2007 hingga 2009 diwarnai oleh terjadinya peningkatan jumlah yang cukup signifikan untuk semua jenjang pendidikan, kecuali pasca sarjana. Jumlah aparatur pemerintah daerah yang berpendidikan maksimal SLTA meningkat hingga 21 %, diploma meningkat 14%, dan Sarjana (S1) paling tinggi peningkatannya, mencapai 22%, sedangkan pada jenjang pascasarjana justru menurun sekitar 8%. Hal ini kemungkinan karena tren yang ditunjukkan pada jenjang pasca sarjana ini banyak dipengaruhi oleh para pegawai yang memasuki masa pensiun, tetapi tidak diimbangi dengan program peningkatan kapasitas dari S2 menjadi S3 bagi pegawai lainnya yang masih aktif. Perkembangan positif berupa peningkatan jumlah yang signifikan untuk semua jenjang pendidikan tersebut tidak terlepas dari upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dalam menghadapi desentralisasi dan otonomi daerah melalui program “Peningkatan Profesionalisme Aparat Pemerintah Daerah”. Program ini secara umum bertujuan untuk meningkatkan kapasitas aparat Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan yang mereka berikan kepada masyarakat. Untuk
mencapai
tujuan
tersebut,
dalam
kurun
waktu
2005-2009
telah
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐1
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
direncanakan beberapa kegiatan, diantaranya : perumusan kebijakan terkait dengan sumber daya manusia, fasilitasi pengembangan kapasitas aparat dan penyediaan aparat, penyusunan rencana pengelolaan aparatur pemerintah daerah. Hingga mendekati akhir periode RPJMN pertama, kegiatan-kegiatan yang belum begitu mendapat perhatian adalah program penyusunan peraturan perundang-undangan daerah, pedoman dan standar kompetensi aparatur pemerintah daerah; program penyusunan rencana pengelolaan aparatur pemerintah daerah termasuk sistem rekruitmen yang terbuka, mutasi dan pengembangan pola karir; serta program peningkatan etika kepemimpinan daerah. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain: fasilitasi penyediaan aparat pemerintah daerah, mutasi dan kerjasama aparatur pemerintah daerah; serta program fasilitasi pengembangan kapasitas aparatur pemerintah daerah dengan prioritas peningkatan kemampuan dalam pelayanan
publik
seperti
kebutuhan
dasar
masyarakat,
keamanan
dan
kemampuan di dalam menghadapi bencana, kemampuan penyiapan rencana strategis pengembangan ekonomi (lokal), kemampuan pengelolaan keuangan daerah, dan penyiapan strategi investasi. Tidak terealisasinya beberapa kegiatan dalam rangka peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah tersebut disebabkan oleh beberapa kendala. Dalam laporan hasil kajian evaluasi pertengahan terhadap pelaksanaan RPJMN 2005-2009 yang dilakukan pada tahun 2008, Direktorat Otonomi DaerahBappenas mengidentifikasi beberapa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program peningkatan profesionalisme aparat pemerintah daerah ini, yakni: (1) permasalahan yang terkait dengan penataan dan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan desentralisasi dan otonomi daerah; (2) permasalahan akibat belum tersedianya PP mengenai standar kompetensi aparatur; (3) permasalahan akibat kebijakan Menpan untuk mengangkat semua pegawai honorer menjadi CPNS yang tidak mempertimbangkan kompetensi dan keterampilan yang dibutuhkan; serta (4) permasalahan yang terkait dengan kesulitan dalam menyusun standar etika kepemimpinan daerah. Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐2
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Lebih lanjut, hasil evaluasi pertengahan ini juga mencatat sejumlah isu strategis, hambatan dan kendala umum lainnya, diantaranya: a. Formasi
Penentuan formasi pegawai dan jabatan struktural belum menggunakan standar yang jelas dan baku
Adanya beberapa perbedaan pengaturan antara UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan UU No. 43/ 1999 tentang Pokok‐Pokok Kepegawaian
Pemerintahan Daerah dengan UU No. 43/ 1999 tentang Pokok‐Pokok Kepegawaian
b. Rekruitmen
Pola rekruitmen yang dilaksanakan selama ini berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain, sehingga mendapatkan hasil saringan yang berbeda. Pada akhirnya kompetensi aparatur pemda yang dimiliki oleh daerah cenderung menjadi tidak seimbang
Penerapan PP No. 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Pegawai Negeri Sipil di daerah kurang memperhatikan kompetensi pegawai
Untuk daerah pemekaran, terdapat kesulitan rekruitmen pegawai untuk jabatan eselon tertentu (eselon III dan IV)
c.
Pola karir
Masih banyak penempatan pejabat yang tidak sesuai dengan pengalaman dan latar belakang pendidikan karena masalah kekurangan SDM. Hal ini juga menyebabkan kesulitan dalam menerapkan pedoman karir yang telah disusun. Salah satu Rancangan Peraturan Pemerintah yang terkait adalah Pedoman Persyaratan Jabatan Perangkat Daerah, yang sedang disusun sebagai amanat pasal 128 ayat (3) UU No. 32/2004. Pedoman pengaturan jabatan perangkat daerah ini diharapkan dapat mendukung kebijakan pemerintah daerah dalam menyusun struktur organisasi pemerintah daerah secara profesional dan berkualitas
Terkait dengan adanya pengembangan jabatan fungsional di daerah, pegawai di daerah cenderung tidak tertarik untuk mengambil alternatif Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐3
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
jabatan fungsional tersebut. Hal ini disebabkan rumitnya persyaratan kenaikan pangkat/golongan jabatan fungsional yang didasarkan pada produk atau output kerja tiap pegawai. Kesulitan ini salah satunya disebabkan lingkup kerja (wilayah administrasi pemerintahan) di daerah yang tidak sebesar lingkup kerja Pemerintah, tetapi tidak ada pembedaan penghitungan output atau hasil kerja antara pegawai pusat dan daerah untuk naik golongan/pangkat. Pada intinya, aparat pemerintah daerah menemui kendala untuk memenuhi ketentuan dalam persyaratan KUM dan sebagainya.
Meskipun
demikian,
sosialisasi
terus
dilakukan
oleh
Pemerintah Daerah terkait dengan jabatan fungsional ini, dan Pemerintah Daerah mengharapkan kerjasama Pemerintah untuk memberikan alternatif pilihan ataupun kebijakan yang lebih responsif dan fleksibel terhadap kondisi aparat pemerintah daerah d. Promosi dan mutasi Belum semua daerah menerapkan promosi pegawai atas dasar hasil assessment center bekerjasama dengan pihak ketiga, guna menjaga obyektivitas hasil. Sehingga sistem promosi belum dapat menjadi pemacu kinerja aparatur pemda Saat ini, mutasi pegawai dari provinsi ke kabupaten/kota tidak dapat dilakukan
dengan
mudah
karena
harus
ada
persetujuan
dari
Pemda‐pemda yang terkait. Sehingga, saat ini terjadi ketimpangan kompetensi pegawai karena adanya kesan “pengkaplingan” pegawai provinsi, ataupun pegawai kabupaten/kota e. Remunerasi
Adanya kesenjangan pemberian tunjangan bagi pejabat eselon antar daerah karena bergantung pada kemampuan keuangan daerah provinsi masing‐masing, tidak hanya terbatas pada platform Pemerintah
Adanya kebijakan untuk membagi rata remunerasi kepada seluruh aparatur di setiap SKPD sebagai usaha mengurangi ketimpangan besarnya tunjangan antar SKPD tidak sepenuhnya diterima oleh daerah, karena pemberian tunjangan yang tidak didasarkan pada kinerja di lain pihak justru dapat menurunkan semangat/kinerja aparat Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐4
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
f. Pengembangan dan disiplin pegawai
Penyusunan standar pengembangan pegawai dalam rangka peningkatan kinerja aparatur ternyata menimbulkan permasalahan, yakni banyaknya pegawai yang berlomba‐lomba melanjutkan studi S1, S2, bahkan S3. Hanya saja pendidikan yang diambil sering tidak mendukung tugas, pokok dan fungsi tempat dimana dia bekerja.
Masih terjadi overlapping penyelenggaraan diklat antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah
Penegakan displin dan etika melalui proses internal antar staf, apel pagi rutin, dan absensi harian masih belum efektif. Gambaran kondisi diatas juga didukung dan diperkuat oleh hasil kajian
Bappenas lainnya mengenai database bidang desentralisasi dan otonomi daerah pada
tahun
2009
yang
mengemukakan
sejumlah
permasalahan
dalam
pengelolaan aparatur sebagai berikut: 1. Kemampuan aparat Pemda yang belum memadai, khususnya di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa di dalam bidang kependudukan, kesempatan kerja,
strategi
investasi,
keamanan
dan
ketertiban
(tramtib),
serta
perlindungan masyarakat (linmas); 2. Belum tersusunnya NSPK yang baik terhadap penetapan formasi, pengadaan, pengembangan, penetapan gaji, program kesejahteraan (program pensiun, tabungan hari tua, asuransi kesehatan, tabungan perumahan, asuransi pendidikan bagi putra-putri pegawai), dan pemberhentian aparatur Pemda; 3. Belum adanya standar kompetensi dalam sistem karier dan sistem prestasi kerja; serta Manajemen aparatur Pemda belum optimal, khususnya di dalam penataan jabatan negeri, jabatan negara, maupun karier (jabatan fungsional dan struktural) berdasarkan kompetensi dan keahliannya. 4. Belum ada pedoman jumlah aparatur pemda ideal berdasarkan karakteristik daerah dan urusan pemerintahan sehingga menyebabkan sulitnya melakukan penilaian/evaluasi terhadap aparatur pemerintah; 5. Belum adanya pedoman pola karier sebagai dasar untuk menyelenggarakan pengelolaan kepegawaiannya; Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐5
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
6. Kinerja aparatur pemerintah daerah yang belum optimal terkait dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah, sehingga bila dibiarkan dapat menyebabkan timbulnya penurunan moral (moral hazard) dan terjadinya KKN; 7. Peningkatan kesejahteraan melalui tunjangan berdasarkan kinerja dan output pegawai masih belum dapat dilaksanakan; 8. Sulit untuk melakukan mutasi antara pusat dan daerah dan antara daerah satu dengan daerah lainnya; 9. Penempatan aparatur pemda ada yang tidak didasarkan pada keahlian dan kompetensi, tetapi lebih disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan politis dan pertimbangan lainnya; 10. Belum semua daerah memiliki profil aparatur pemda yang komprehensif; 11. Masih belum baiknya pemahaman aparatur pemda mengenai konsep Standar Pelayanan Minimal (SPM); 12. Jabatan fungsional belum menjadi pilihan yang menarik bagi aparatur pemda sehingga perlu dilakukan sosialisasi dan pemberian insentif yang lebih besar untuk jabatan fungsional. Berdasarkan gambaran di atas dapat terlihat bahwa program peningkatan profesionalisme aparat pemerintah daerah ternyata masih meninggalkan sejumlah permasalahan. Karenanya, kedepannya pemerintah harus berupaya untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut sehingga tujuan untuk memfasilitasi penyediaan aparat pemerintah daerah; menyusun rencana pengelolaan serta meningkatkan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat, penyelenggaraan pemerintahan, serta penciptaan aparatur pemerintah daerah yang kompeten dan profesional dapat diwujudkan. Selain menyangkut kapasitas aparatur Pemerintah Daerah, jika membahas sumber daya manusia pemerintah daerah juga menyangkut kapasitas para legislator daerah (anggota DPRD) karena Pemerintahan Daerah dikelola oleh Pemerintah Daerah sebagai eksekutif, dan DPRD sebagai legislatif.
Dengan
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐6
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
demikian, untuk menciptakan pemerintahan daerah yang baik, kerjasama antara kedua belah pihak menjadi suatu keharusan. Tetapi sayangnya hubungan kerjasama antara kedua belah pihak tersebut diwarnai oleh belum harmonisnya hubungan tersebut.
Hal ini dimungkinkan
terjadi karena masing-masing pihak belum memahami fungsi dan peran mereka seiring dengan diterapkannya desentralisasi dan otonomi daerah. 6.1.2. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah Reformasi birokrasi baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah merupakan kebutuhan dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance). Reformasi birokrasi pada tataran pemerintah daerah antara lain bidang organisasi perangkat daerah yang diarahkan untuk terciptanya organisasi yang efisien,
efektif, rasional dan proporsional sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan daerah serta adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi serta komunikasi kelembagaan antara pusat dan daerah. Perangkat daerah atau Kelembagaan Pemerintah Daerah merupakan elemen dasar pemerintahan kedua, setelah urusan pemerintahan dan sebelum aparatur pemerintah daerah. Pengaturan terhadap kelembagaan atau sering disebut dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), diatur dan ditetapkan berdasarkan PP 84 tahun 2000, yang diubah dengan PP 8 tahun 2003, dan kemudian diubah lagi menjadi PP 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam PP 41 tahun 2007 disebutkan bahwa pelaksanaan peraturan perundangan ini diharapkan dapat selesai dalam waktu 1 tahun sejak ditetapkan, dan pada saat akhir tahun 2009 ini PP 41 tahun 2007 sudah berjalan selama 2 tahun. Berdasarkan data Biro Organisasi, Departemen Dalam Negeri, yang berasal
dari
laporan
pemerintah
daerah,
pelaksanaan
restrukturisasi
kelembagaan pemerintahan daerah telah mengalami perkembangan meskipun belum sesuai dengan seperti apa yang diharapkan. Hingga bulan Mei 2009 sudah 30 provinsi, 223 kabupaten dan 43 kota yang telah melaporkan Perda Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐7
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Organisasi Perangkat Daerahnya kepada Depdagri, atau sebesar 91% provinsi, 56% kabupaten, dan 46% kota, atau total 296 daerah (provinsi, kabupaten, kota). Sisanya, sebanyak 3 provinsi, 175 kabupaten dan 50 kota belum terdata atau belum melaporkan Perda tersebut. Berikut disajikan informasi lengkap daerah-daerah yang telah melaporkan pelaksanaan PP 41 tahun 2007 di daerahnya masing-masing. Data-data tersebut juga mencakup daerah-daerah hasil pemekaran wilayah (daerah otonom baru) hingga bulan Mei 2009, yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Keterlambatan pelaksanaan restrukturisasi kelembagaan pemerintah daerah tidak hanya terkait dengan sosialisasi dan diseminasi peraturan oleh Pemerintah, melainkan pula karena kurang jelas/detailnya ketentuan yang diatur dalam PP tersebut, atau bahkan dalam petunjuk teknis pelaksanaannya. Dan ketika semua peraturan dan petunjuk teknis telah disosialisasikan kepada daerah, muncul permasalahan baru yang terkait dengan tidak sikronnya pengaturan dalam PP 41 tahun 2007 dengan peraturan perundangan sektoral, yang mengamanatkan tiap daerah untuk membentuk suatu instansi daerah dengan nomenklatur tertentu untuk menjalankan urusan pemerintahan yang didelegasikan oleh kementerian lembaga terkait. Pengaturan mengenai pembentukan kelembagaan di daerah terkait dengan pelaksanaan urusan Pemerintah, tidak sepenuhnya diatur secara jelas dan sinkron dengan PP 41 tahun 2007, mengingat beberapa peraturan perundangan telah ditetapkan sebelum ditetapkannya PP Organisasi tersebut. Meski demikian, beberapa peraturan perundangan seperti tersebut di atas, menjelaskan mengenai posisi kelembagaan yang diminta, yaitu kelembagaan non-struktural (Badan Pertimbangan Kesehatan dan Badan Promosi Pariwisata Indonesia yang bersifat lembaga swasta/independen), yang berarti tidak termasuk dalam kuota besaran organisasi seperti yang diatur dalam PP 41 tahun 2007, namun untuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) tidak ada pengaturan yang jelas terkait dengan struktur lembaga tersebut meskipun pembentukannya melalui Peraturan Daerah (Perda). Dengan ditetapkannya dan dilaporkannya Perda mengenai Organisasi Perangkat Daerah kepada Depdagri, tidak berarti bahwa pelaksanaan PP 41 Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐8
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
tahun 2007 telah selesai. Proses pelaksanaan Perda tersebut lebih lanjut juga masih perlu mendapat perhatian dari Pemerintah, terutama terkait dengan sinkronisasi Perda Urusan Pemerintahan dan Organisasi Perangkat Daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik secara efektif. Beberapa permasalahan yang masih tersisa dalam rangka peningkatan kapasitas kelembagaan aparat pemerintah daerah antara lain: 1. Peningkatan kapasitas daerah belum berdasarkan pada hasil evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan belum tersusunnya kerangka nasional kebijakan peningkatan kapasitas daerah, sebagaimana yang dimanatkan oleh PP No. 6 Tahun 2008 tentang Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; 2. Belum optimalnya implementasi PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah karena berbagai kendala teknis dan politis di daerah; 3. Belum tersusunnya secara lengkap NSPK (Norma, Standar, Pedoman, dan Kriteria) di berbagai sektor untuk digunakan sebagai pedoman bagi daerah, termasuk peraturan sektoral tentang penerapan SPM (Standar Pelayanan Minimal); 4. Belum disusunnya RAN (Rencana Aksi Nasional) di bidang pelayanan publik khususnya bidang administrasi kependudukan dan perijinan investasi; (5) belum optimalnya koordinasi penyelenggaraan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan antara kementerian/lembaga dengan pemerintah daerah; 5. Peran gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah perlu diperkuat dalam mengkoordinasikan pembangunan di wilayahnya. 6.1.3. Peningkatan Kerjasama Antar Daerah Era desentralisasi dan otonomi daerah membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan kerjasama, utamanya kerjasama antar daerah sehingga dapat mendorong perwujudan pelayanan publik yang optimal. Salah satu yang merupakan permasalahan strategis dalam pelaksanaan pelayanan publik yang optimal adalah yang berkaitan dengan kondisi keterbatasan sumber daya yang dimiliki suatu daerah, baik yang berupa sumber daya alam, dana/ modal, manusia, dan kelembagaan. Keterbatasan sumber daya ini bukan lagi menjadi Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐9
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
atau bersifat kendala dalam penyelenggaraan pelayanan publik, tetapi telah menjadi limitasi bagi terselenggaranya pelayanan publik. Hal ini berarti keterbatasan sumber daya menjadikan pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat hanya mampu dipenuhi secara terbatas atau bahkan tidak mampu dilaksanakan sama sekali, karena memang sumber daya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pelayanan tersebut tidak dimiliki oleh daerah. Pada kondisi dimana suatu daerah tidak memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pelayanan publik, tidak jarang sumber daya tersebut tersedia melimpah di daerah lainnya. Kerjasama antar daerah merupakan salah satu kunci untuk mengatasi permasalahan penyediaan pelayanan
publik
oleh
kepemilikan/ketersediaan
suatu sumber
daerah daya
karena yang
adanya dibutuhkan
limitasi untuk
menyelenggarakan pelayanan tersebut. Dalam rangka penerapan kerjasama daerah, maka telah dilakukan upayaupaya untuk menjadikan kerjasama antar daerah sebagai prioritas yakni melalui RPJMN tahap 1 (2005-2009) hingga saat ini, seperti yang tertuang dalam RKP 2010. Meskipun demikian dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah seperti tertuang dalam hasil evaluasi pertengahan pelaksanaan RPJM 2005-2009 secara riil, kebijakan kerjasama antar daerah ini memang masih kalah populer dibanding program-program lain, beberapa kendala teridentifikasi dalam evaluasi pertengahan RPJMN 2005-2009, yakni: 1. Belum
optimalnya
penanganan
kerja
kawasan
sama
antarpemda
perbatasan,
khususnya
pengurangan
dalam
kesenjangan
antarwilayah dan penyediaan pelayanan publik 2. Revitalisasi fungsi kerjasama yang strategis dalam usaha menjaga
keberlanjutan, efektivitas, dan optimalisasi kemajuan pembangunan di daerah 3. Belum ada database yang cukup baik mengenai KAD maupun potensi
kerja sama daerah di seluruh Indonesia 4. Pemerintah Daerah masih belum cukup mempertimbangkan KAD
sebagai salah satu inovasi dalam penyelenggaraan pembangunan
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐10
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
5. Untuk daerah-daerah pemekaran, ada kecenderungan lebih enggan
untuk bekerja sama dengan daerah lain, termasuk daerah induk 6. Di pemerintah pusat sendiri, KAD belum menjadi satu inovasi prioritas
untuk didiseminasikan ke daerah 7. Belum ada mekanisme insentif untuk daerah-daerah yang bekerja
sama
dalam
peningkatan
efektivitas/efisiensi
penyelenggaraan
pelayanan publik 8. Selama ini KAD biasanya terbentuk atas inisiatif daerah sendiri. Masih
sangat kurang fasilitasi atau inisiasi dari Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi. Peran Pemerintah sampai saat ini baru dalam bentuk penyusunan PP No. 50 Tahun 2007 mengenai tata cara KAD
6.1.4. Peningkatan Kapasitas Keuangan Daerah Sejak berlakunya kebijakan otonomi daerah pada awal tahun 2001, pemerintahan daerah di Indonesia berubah dari sistem yang sangat tersentralisir menjadi sistem yang sangat terdesentralisir. Pemerintahan Daerah diberikan kewenangan yang lebih besar lagi dalam proses perencanaan dan implementasi pembangunan
di
daerah.
Seiring
dengan
pengalihan
urusan-urusan
pemerintahan, keuangan daerah pemerintahan daerah juga meningkat secara drastis. Dana perimbangan APBN yang didaerahkan meningkat lebih dari 100% pada awal pelaksanaan kebijakan otonomi daerah di Indonesia. Selain dalam bentuk dana perimbangan, pemerintahan daerah juga memiliki kewenangan untuk mengumpulkan pajak dan retribusi daerah sebagai komponen utama dari Pendapatan Asli Daerah. Kebijakan local taxing power ini diatur dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kita menyadari saat ini local taxing power dari pemerintahan daerah relatif kecil dibandingkan dengan potensi yang ada pada jenis pajak di tingkat pusat. Terjadi kesenjangan antara kebutuhan pemerintahan daerah untuk menjalankan kewenangannya dibandingkan dengan kapasitas anggaran pemerintahan daerah
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐11
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
yang ada. Kekurangan ini, dalam sistem desentralisasi di Indonesia, ditutupi dengan dana perimbangan. Seiring meningkatnya anggaran pemerintahan daerah, tuntutan untuk mewujudkan praktek pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik terus meningkat. Sebagai turunan dari UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Berdasarkan PP tersebut, Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah tersebut merupakan subsistem dari dari sistem pengelolaan keuangan negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Beberapa permasalahan dalam Program Peningkatan Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah antara lain adalah: (1) permasalahan terkait sistem pendanaan pembangunana daerah, dimana peningkatan jumlah transfer dana ke daerah (utamanya dana perimbangan) belum efisien dan memberi manfaat pada rakyat. Beberapa penyebabnya antara lain: keberadaan belanja pegawai dalam alokasi DAU; formula dana perimbangan yang masih bermasalah; kecilnya proporsi DAK (8%); 4) efektivitas alokasi DAK perbidang sangat minimal karena fragmentasi bidang; terlalu besarnya peran pemerintah pusat dalam pelaksanaan DAK; perpajakan daerah yang belum efisien; rendahnya kapasitas aparatur daerah dalam perencanaan, pengelolaan keuangan daerah; penyusunan anggaran daerah yang belum menggunakan analisis kebutuhan nyata; (2) permasalahan terkait kurang efektif dan efisiennya pengawasan dan evaluasi keuangan
daerah
governance;
sebagai
akibat
dari:
rendahnya
implementasi
good
kurang jelasnya tolak ukur penilaian kinerja keuangan daerah;
perangkat sistem infromasi keuangan daerah yang belum terintegrasi; 4) tumpang tindih antara pengeluaran pemerintah; banyaknya penganggaran daerah yang belum berkorelasi dengan upaya pencapaian SPM; banyaknya keterlambatan dalam siklus anggaran. Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐12
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
6.1.5. Penataan Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Desentralisasi dan Otonomi Daerah Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang efektif diharapkan mampu mendorong proses transformasi pemerintahan daerah yang efisien, akuntabel, responsif dan aspiratif. Untuk itu, dalam tataran pelaksanaan diperlukan sejumlah perangkat pendukung (regulasi) baik berupa peraturan atau perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan teknis guna menunjang keberhasilan tersebut. Sejak tahun 1999, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kerangka peraturan
perundang-undangan
sebagai
desentralisasi dan otonomi daerah. desentralisasi
yang
berlangsung
pedoman
untuk
implementasi
Namun mengingat luasnya dimensi di
Indonesia,
belum
semua
elemen
pemerintahan dan pembangunan daerah sudah memiliki pedoman. Permasalahan
baru
timbul
terkait
dengan
pembuatan
Peraturan
Perundang-undangan dalam rangka perwujudan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yakni berupa ketidaksinkronan antar peraturan di tingkat pusat maupun daerah.
6.1.6. Penataan Daerah Otonom Baru Semakin pendeknya rentang pelayanan kepada masyarakat ternyata belum dapat meningkatkan pelayanan publik itu sendiri, karena masih ada faktor-faktor lain yang juga berubah pasca pemekaran. Selain itu, pemekaran yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing daerahnya ternyata belum mampu memenuhi ekspektasi tersebut. Untuk mewujudkan tujuan pemekaran tersebut, Pemerintah dalam RPJMN 2005-2009 telah menetapkan beberapa upaya yang terealisir dalam berbagai program.
Hingga mendekati akhir pelaksanaan RPJMN I tersebut, capaian
pelaksanaan program penataan daerah otonom baru adalah : Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐13
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Program-program yang telah dilaksanakan: program yang terkait dengan evaluasi
perkembangan
daerah-daerah
otonom
baru
(DOB)
dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat; program yang terkait dengan penyelesaian status kepemilikan dan pemanfaatan aset daerah secara optimal; serta program yang terkait dengan penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom baru Program-program yang belum dilaksanakan: program yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan pembentukan daerah otonom baru dan atau penggabungan
daerah
otonom,
termasuk
perumusan
kebijakan
dan
pelaksanaan upaya alternatif bagi peningkatan pelayanan masyarakat dan percepatan pembangunan wilayah selain melalui pembentukan DOB Berdasarkan evaluasi daerah pemekaran (148 DOB) yang dilakukan oleh Ditjen OTDA-Depdagri, terungkap beberapa masalah yang muncul seiring dengan pelaksanaan pemekaran wilayah dan pelaksanaan pembangunan di DOB. Temuan tersebut antara lain (Depdagri, 2005) :
80% pemda hasil pemekaran gagal.
87,71% daerah induk belum menyelesaikan penyerahan Pembiayaan, Personil, Peralatan dan Dokumen (P3D) kepada daerah baru.
79% daerah baru belum memiliki batas wilayah yang jelas.
89,48% daerah induk belum memberi dukungan dana kepada daerah otonom baru.
84,2% pegawai negeri sipil sulit dipindahkan dari daerah induk ke daerah otonom baru.
22,8% pengisian jabatan tidak berdasarkan standar kompetensi, 91,23% daerah otonom baru yang belum memiliki Rencana Tata Ruang dan Wilayah Beberapa masalah yang teridentifikasi: insentif finansial mendorong bagi
adanya upaya pemekaran wilayah; (2) melalui pemekaran, para elite lokal berupaya untuk mendapatkan kesempatan bagi penguatan kedudukan politik, pencarian keuntungan dan patronase; (3) proses review dan persetujuan Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐14
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
terhadap proposal dilakukan dalam mekanisme penyeleksian yang cenderung formal dan cacat administratif bahkan terbuka untuk dimanipulasi; (4) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) tidak dapat memainkan perannya secara memadai khususnya dikaitkan dengan peran DPR dalam menentukan persetujuan terhadap pemekaran wilayah; (5) kinerja dari DOB belum diukur melalui mekanisme pengukuran yang memadai; (6) pelayanan publik tidak mengalami peningkatan yang berarti dengan pemekaran; serta (7) beban yang semakin besar dari pemerintah dalam melakukan pengawasan, peningkatan kapasitas pembangunan dan pembiayaan (stock taking studies 2009) Dari gambaran capaian kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka mewujudkan desentralisasi di Indonesia, dapat ditarik beberapa kesimpulan secara umum: 1. Desentralisasi di Indonesia belum menjadi desentralisasi yang ideal. Hakikatnya, desentralisasi dilakukan untuk mendekatkan pemerintah dengan yang dilayani agar mereka dapat memberikan pelayanan yang lebih maksimal. Dengan kata lain, melalui penerapan desentralisasi, diharapkan terjadi perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
Saat ini,
kualitas pelayanan publik di daerah sudah menampakkan beberapa kemajuan jika dibandingkan dengan ketika desentralisasi belum diterapkan. Misalnya dengan adanya standar pelayanan minimal bagi beberapa jenis pelayanan publik, yakni: pendidikan dan kesehatan.
Tetapi SPM tersebut belum
diterapkan bagi semua jenis pelayanan publik. Jika dilakukan penilaian atas kualitas pelayanan publik saat ini, dari beberapa kriteria pelayanan publik yang baik menurut LAN, maka belum semua dimensi tersebut dapat mencapai nilai yang ideal, atau bahkan belum terpenuhi semua. Misalnya pelayanan kesehatan, dari 8 kriteria yang digunakan oleh LAN, hampir kesemua kriteria tersebut tidak terpenuhi, misalnya untuk beberapa kriteria berikut ini: Dari kriteria kesederhanaan, yang ditandai dengan prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐15
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan, pelayanan kesehatan belum memenuhi dimensi tersebut. Meskipun Pemerintah telah menerapkan berbagai inovasi terkait dengan pelayanan kesehatan seperti jamkesmas, askeskin, dan program-program imunisasi gratis, pengaduan atau keluhan terkait dengan masih buruknya pelayanan kesehatan masih marak hingga saat ini. Misalnya berita mengenai masih banyaknya anak-anak yang mengalami gizi buruk. Kejelasan dan kepastian, yang ditandai dengan kejelasan dan kepastian mengenai: (a) prosedur/tata cara pelayanan; (b) persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif; (c) unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan; (d) rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya, dan (e) jadwal waktu penyelesaian pelayanan. Jika melihat pelayanan yang diberikan rumah sakit (utamanya rumah sakit pemerintah), tampak bahwa pasien belum memperoleh kepastian dan kejelasan mengenai prosedur/tata cara layanan.
Hal ini umumnya menimpa pasien miskin.
Dengan
diberikannya askeskin, masalah kesulitan berobat bagi orang miskin belum terselesaikan karena mereka dipersulit sebagai akibat minimnya informasi yang mereka peroleh dari pihak pemerintah. Keamanan, yang ditandai dengan prosedur/tatacara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi layanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta Sama halnya dengan masalah kepastian dan kejelasan, masalah keamanan dalam pelayanan kesehatan masih jauh dari apa yang diharapkan pengguna pelayanan.
Sulitnya memperoleh informasi mengenai prosedur/tata cara
persayaratan serta rincian waktu/tarif yang berkaitan dengan proses pelayanan masih sulit diperoleh oleh pengguna pelayanan secara sukarela. Akibatnya, konsumen atau pengguna pelayanan kesehatan di Indonesia masih menjadi pihak yang selalu dirugikan.
Tengoklah kasus prita vs rs
internasional omni batavia baru-baru ini. Dari kasus tersebut tampak betapa Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐16
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
lemahnya posisi pengguna pelayanan, dan tidak informatifnya pihak rumah sakit kepada pasien. Efisiensi, yang ditandai dengan : (a) persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan; (b) dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam
hal
proses
pelayanan
masyarakat
yang
bersangkutan
mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait. Ketepatan waktu, yang ditandai dengan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
Terkait dengan
pelayanan kesehatan, masalah ketepatan waktu pemberian pelayanan menjadi masalah utama yang selalu dikeluhkan oleh para pengguna pelayanan.
Berlarut-larutnya waktu pelayanan yang diberikan oleh pihak
rumah sakit kepada pasien bukan lagi menjadi rahasia.
Responsif, yang
ditandai dengan : daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani. 2. Otonomi daerah yang hadir karena adanya kebijakan desentralisasi, belum mencapai tujuannya (sesuai dengan apa yang digariskan dalam UU 32/2004) dan
sasarannya (sesuai dengan apa yang digariskan dalam RPJMN 2005-
2009).
Tujuan otonomi daerah seperti yang tercantum dalam UU 32/2004
adalah : 1) mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui: (i) peningkatan pelayanan; (ii) pemberdayaan dan peran serta masyarakat; dan 2) meningkatkan daya saing daerah dengan memperhatikan: (i) prinsip demokrasi; (ii) pemerataan; (iii) keadilan; (iv) keistimewaan dan kekhususan serta; (v) potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI . Sasaran pertama yakni terwujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan belum dapat terwujud dengan optimal, meskipun telah terjadi perkembangan jika dibandingkan dengan masa sebelum era desentralisasi dan otonomi daerah. Masih belum memuaskannya kualitas pelayanan publik Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐17
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
tercermin dari adanya tuntutan akan perlunya keberadaan undang-undang pelayanan publik, yang pada akhirnya telah disahkan pada akhir tahun 2009. Demikian pula halnya dengan pemberdayaan dan peran serta masyarakat yang masih menjadi tuntutan dari masyarakat untuk diwujudkan. Sasaran kedua berupa peningkatan daya saing daerah yang diwujudkan melalui program peningkatan kerjasama daerah juga belum tercapai sepenuhnya.
Hal ini tampak dari capaian program tersebut, dimana
kerjasama daerah belum menjadi prioritas utama bagi daerah. Seperti yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, sasaran otonomi daerah menurut RPJMN 2005-2009 terdiri dari 6 butir, yakni: 1) Tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangundangan pusat dan daerah, termasuk yang mengatur tentang otonomi khusus Provinsi Papua dan Provinsi NAD. 2) Meningkatnya kerjasama antar pemerintah daerah; 3) Terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif, efisien, dan akuntabel; 4) Meningkatnya
kapasitas
pengelolaan
sumberdaya
aparatur
pemerintah daerah yang profesional dan kompeten; 5) Terkelolanya sumber dana dan pembiayaan pembangunan secara transparan, akuntabel, dan profesional; dan 6) Tertatanya daerah otonom baru. Dari keenam sasaran tersebut, hampir kesemuanya belum menampakkan hasil yang menggembirakan. Hal ini terlihat dari capaian dan masalah yang masih tersisa dari program-program desentralisasi dan otonomi daerah. Misalnya: Sasaran pertama berupa tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan pusat dan daerah yang diupayakan melalui program “Penataan Perundang-undangan mengenai Desentralisasi dan Otonomi Daerah” , hingga pertengahan tahun 2009 (berdasarkan laporan database desentralisasi dan otonomi daerah yang dikeluarkan oleh Direktorat Otonomi Daerah-Bappenas), capaiannya telah 89%, tetapi hal tersebut menyangkut capaian tentang pembuatan peraturan seperti yang diamanatkan dalam UU Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐18
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
32/2004.
2009
Pemenuhan amanat UU 32/2004 terkait dengan perumusan
peraturan tentang desentralisasi dan otonomi daerah pada saat ini menimbulkan masalah baru berupa ketidaksinkronan antar peraturan di tingkat pusat maupun daerah yang membuat pelaksanaan otonomi daerah justru menjadi terhambat. Sasaran kedua berupa meningkatnya kerjasama antar pemerintah daerah yang diupayakan melalui program “Peningkatan Kerjasama Daerah”, baru sampai pada tahap pembentukan kerjasama dalam bidang ekonomi, dam belum menjadi prioritas utama bagi pemerintah daerah. Sasaran ketiga berupa terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif,
efisien,
dan
akuntabel
yang
diupayakan
melalui
program
“Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah” yang diwujudkan melalui kebijakan PP 41/2007 justru menimbulkan permasalahan baru dalam penerapannya di daerah karena terjadi perbenturan dengan peraturan sektoral, sehingga kelembagaaan pemerintah daerah yang efektif, efisien, dan akuntabel belum dapat diwujudkan. Demikian pula dengan sasaran-sasaran berikutnya, sasaran keempat hingga keenam yang belum menampakkan hasil seperti yang diharapkan. 3. Mengacu pada definisi yang diberikan oleh Joko Widodo tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas otonomi daerah, yakni: kualitas sumber daya manusia, kemampuan manajemen kelembagaan yang makin tinggi, dan ketersediaan dana, jika disandingkan dengan kondisi desentralisasi di Indonesia saat ini dimana desentralisasi dan otonomi daerah belum berada dalam kondisi yang ideal, beberapa faktor dapat diidentifikasi sebagai faktorfaktor yang menjadi kendala, yakni: Masih lemahnya kualitas sumber daya manusia aparat pemerintah daerah dan anggota DPRD Masih lemahnya kapasitas kelembagaan pemerintah daerah Masih lemahnya kapasitas keuangan pemerintah daerah
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐19
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
5.2. Rekomendasi Berangkat dari kondisi di atas, untuk mewujudkan tujuan otonomi daerah sesuai dengan peraturan yang berlaku, serta mencapai sasaran otonomi daerah sesuai dengan arah rencana pembangunan yang ada, serta mewujudkan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang lebih baik, dalam arti mendekati konsep ideal, gagasan tentang pemberdayaan otonomi daerah dapat menjadi sebuah jalan keluar. Dari kondisi terkini, maka pemberdayaan yang dapat ditempuh adalah: 1) Pemberdayaan kemampuan SDM, yang ditempuh untuk mengatasi masalah masih rendahnya kapasitas aparat pemerintah daerah dan anggota DPRD. Strategi ini mendorong aparatur Pemerintah Daerah berfungsi menjadi fasilitator
dalam
rangka
peningkatan
pelayanan
masyarakat,
penyelenggaraan pemerintahan daerah serta mendorong penciptaan aparatur Pemerintah Daerah yang kompeten dan profesional. Untuk itu diperlukan regulasi, sistem, dan budaya kerja bagi aparatur Pemerintah Daerah yang mampu memberikan kepastian hukum, kemudahan bekerja, kesesuaian pekerjaan dengan tingkat kompetensi, kejelasan jenjang karir (termasuk mutasi, rotasi, dan promosi secara lintas organisasi, lintas daerah, dan lintas tingkatan pemerintah), serta sistem reward dan punishment yang tepat dan memadai. Strategi peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah meliputi upaya agar pemimpin daerah melakukan berbagai inovasi peningkatan pelayanan publik dengan berdasarkan kemampuan keuangan Pemerintah Daerah yang ada. Strategi ini juga dimaksudkan sebagai upaya untuk dapat menjamin keutuhan mata rantai pelaksanaan kebijakan nasional di daerah. Seiring dengan itu, untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik maka pelatihan teknis dan substantif perlu terus dilakukan baik oleh pelaksana diklat di Pusat maupun di daerah. Dalam kerangka itu, maka pelatihan diklat yang ada ditujukan bagi upaya dan dukungan pencapaian standar pelayanan yang telah ditetapkan. Selain peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah, perlu dilakukan juga peningkatan kapasitas legislatif daerah. Hal ini ditujukan untuk Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐20
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
meningkatkan kemampuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam penyusunan regulasi yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik dan daya saing daerah. Peningkatan kapasitas anggota DPRD juga perlu dilakukan agar harmonisasi peraturan perundangundangan daerah dengan peraturan perundangan diatasnya tetap terjaga. Untuk itu, perlu ditempuh upaya dalam rangka meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah daerah dalam mengelola pelayanan publik bidang pendidikan, kesehatan, dan pemerintahan dalam negeri. Sasaran tersebut diukur melalui : (i) rasio jumlah PNSD yang mampu mengelola
pelayanan
pemerintahan
dalam
publik negeri
bidang terhadap
pendidikan, jumlah
kesehatan
penduduk;
dan
dan
(ii)
meningkatnya kapasitas aparatur pemda dan anggota DPRD Sedangkan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka mencapai sasaran tersebut adalah: a) Penyusunan dan penerapan Grand Design penyelenggaraan diklat bagi aparatur Pemda Sasaran dari kegiatan ini adalah: terintegrasinya seluruh diklat bagi PNS Daerah Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah: tersusunnya dan terlaksananya Grand Design penyelenggaraan diklat b) Pengembangan standar kompetensi untuk seluruh jabatan di daerah Sasaran dari kegiatan ini adalah: tersedianya peta dan standar kompetensi jabatan bagi jabatan-jabatan pada level Provinsi Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah: tersusunnya dan diterapkannya pedoman pengembangan karir dan standar kompetensi bagi jabatan struktural dan fungsional PNSD c) Penyusunan peraturan dan pedoman perkembangan karir bagi PNS daerah secara transparan, akuntabel, dan berdasarkan prestasi (merit based) Sasaran dari kegiatan ini adalah: tersusunnya regulasi dan terlaksananya sistem rekruitmen, karir, insentif bagi PNS daerah yang transparan, akuntabel dan berdasar prestasi Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐21
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah: keberadaan regulasi yang mengatur sistem manajemen aparatur Pemda d) Pelaksanaan pembinaan dan peningkatan kemampuan anggota DPRD Sasaran dari kegiatan ini adalah: kapasitas anggota DPRD yang memadai sebagai
mitra
kerja
Pemerintah
Daerah
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah: jumlah anggota DPRD yang memiliki kemampuan dalam menjalankan fungsi-fungsinya e) Peningkatan Kompetensi anggota DPRD Sasaran dari kegiatan ini adalah: meningkatnya kualitas Perda yang berasal dari usul inisiatif DPRD Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah: jumlah anggota DPRD yang mengikuti diklat RIA atau harmonisasi peraturan perundangan. 2) Pemberdayaan kemampuan manajemen kelembagaan Strategi ini mendorong Pemerintah Daerah untuk membentuk organisasi perangkat daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan kemampuan serta potensi daerah. Pembentukan organisasi perangkat daerah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mendorong peningkatan daya saing daerah secara efektif (pemenuhan lingkup, jangkauan, dan luas wilayah pelayanan) dan efisien (tidak membebani APBD dan APBN serta menambah birokrasi). Dalam kerangka tersebut, organisasi perangkat daerah yang ada didorong untuk melakukan dan meningkatkan kerjasama daerah terutama pada wilayah perbatasan antar daerah dan wilayah aliran sungai. Untuk itu, maka diperlukan suatu regulasi, sistem, dan pemahaman bersama berbagai pihak baik pemerintah (K/L) maupun pemerintahan daerah (termasuk kepala daerah dan DPRD). Disamping itu, strategi ini juga berisikan upaya penyusunan regulasi yang tepat bagi daerah, baik dari sisi proses, prosedur penyusunannya, maupun dari sisi materi (substansi pengaturan) dari regulasi daerah tersebut. Untuk itu perlu
dilakukan
peningkatan
kapasitas
DPRD
sebagai
bagian
dari
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐22
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
pemerintahan daerah, Sehingga tercipta pengawasan penyelenggaraan Pemerintah Daerah secara tepat, tercipta kontrol dan keseimbangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Disamping itu, DPRD dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah secara baik dalam menyusun APBD sehingga penetapan APBD dapat tepat waktu, dan dapat menyusun regulasi daerah secara tepat. Sasaran dari strategi ini adalah:
Tersusunnya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif (pemenuhan lingkup, jangkauan, dan luas wilayah pelayanan) dan efisien (tidak membebani APBD/APBN dan tidak menambah birokrasi) sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing
Sesuainya perda dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi
Untuk mengukur tercapai tidaknya sasaran tersebut di atas, digunakan indikator berikut ini:
Jumlah daerah yang struktur organisasi daerahnya sesuai dengan regulasi yang mengatur organisasi/kelembagaan daerah
Jumlah perda yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
Untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan, dapat ditempuh beberapa kegiatan, diantaranya: a) Harmonisasi regulasi sektoral dan regulasi desentralisasi dan otonomi daerah yang terkait dengan revisi regulasi pembentukan organisasi perangkat daerah Sasaran dari kegiatan ini adalah: tercapainya pemahaman bersama (stakeholders
Pusat)
terhadap
organisasi
perangkat
daerah
dan
tersusunnya organisasi perangkat daerah sesuai revisi regulasi organisasi perangkat daerah. Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah : jumlah revisi terhadap UU sektoral yang belum harmonis dengan UU pemerintahan daerah dalam aspek organisasi perangkat daerah a) Pengaturan organisasi/kelembagaan daerah beserta kelengkapannya Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐23
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Sasaran dari kegiatan ini adalah : penyempurnaan PP No 41 tahun 2007 dan peraturan-peraturan turunannya sehingga tidak menimbulkan konflik antar peraturan yang mengatur organisasi perangkat daerah Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah : PP No 41 tahun 2007 hasil revisi b) Fasilitasi peningkatan kapasitas DPRD dalam proses penyusunan regulasi Sasaran dari kegiatan ini adalah : meningkatnya kualitas mekanisme kerja antara pemerintah daerah dengan DPRD dalam penyusunan regulasi, pengambilan keputusan Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah : Perda
yang
mengakomodasi kepentingan rakyat dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya. 3) Pemberdayaan keuangan Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas keuangan Pemerintah Daerah baik dari aspek sumber-sumber penerimaan daerah maupun dari aspek
pemanfaatan
diharapkan
akan
dan
pengelolaan
meningkatkan
dan
keuangan
daerah.
memperluas
basis
Strategi
ini
penerimaan
Pemerintah Daerah sehingga mengurangi ketergantungan terhadap dana perimbangan dari pusat. Peningkatan kapasitas keuangan Pemerintah Daerah ini diarahkan untuk mendukung iklim usaha yang kondusif di daerah tersebut. Peningkatan kapasitas keuangan Pemerintah Daerah juga didorong untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam mengelola sumber daya daerah dan meningkatkan kemampuan pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu perlu dilakukan peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah secara profesional dan akuntabel. Untuk itu, kegiatan-kegiatan berikut ini dapat ditempuh dalam rangka mencapai sasaran meningkatnya kualitas belanja dalam APBD (% proporsi belanja pelayanan publik terhadap belanja aparatur) dan menguatnya pajak daerah: a) Fasilitasi peningkatan kemampuan keuangan daerah termasuk manajemen aset daerah Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐24
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Sasaran dari kegiatan ini adalah : meningkatnya PAD tanpa harus mengganggu iklim usaha Sedangkan indikator capaiannya adalah: rasio penerimaan pajak daerah (yang sesuai aturan perundangan yang lebih tinggi) terhadap APBD b) Fasilitasi peningkatan kemampuan pengelolaan keuangan pemerintah daerah Sasaran dari kegiatan ini adalah : penetapan APBD secara tepat waktu Sedangkan indikator capaiannya adalah: proporsi Jumlah APBD yang disahkan secara tepat waktu. 4) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Strategi ini diperlukan dalam rangka menyediakan pelayanan kepada masyarakat yang berkualitas. Pemerintah harus mampu menjamin terpenuhinya hak dasar masyarakat di seluruh daerah atas layanan dasar publik yang bersifat wajib. Untuk itu, dibutuhkan sebuah standar minimal yang berlaku sama untuk seluruh daerah di Indonesia. Standar ini memberikan petunjuk kepada seluruh daerah tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal, serta digunakan sebagai salah satu indikator kinerja penyelenggaraan pelayanan publik oleh daerah. Belum selesainya perumusan SPM (Standar Pelayanan Minimal) untuk semua urusan yang terkait pelayanan publik, terutama pelayanan publik dasar, disamping
implementasi
SPM
yang
masih
terkendala
permasalahan
kelembagaan dan penganggaran di Pemerintah Daerah, karena Pemerintah Daerah masih memerlukan persiapan untuk dapat menerapkan SPM tesebut, menjadikan pentingnya bimbingan teknis bagi Pemerintah daerah dan peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah dalam penerapan SPM di daerah. Untuk itu, kegiatan-kegiatan berikut ini dapat ditempuh dalam rangka mencapai sasaran meningkatnya kualitas pelayanan publik:
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐25
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
a) Fasilitasi penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Sasaran dari kegiatan ini adalah : Terselesaikannya perumusan Standar Pelayanan Minimal untuk seluruh urusan wajib di tahun 2012. Sedangkan indikator capaiannya adalah: Jumlah dan jenis bidang SPM pelayanan publik yang disahkan, disosialisasikan dan daerah yang telah mendapat sosialisasi SPM tersebut b) Fasilitasi penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah Sasaran dari kegiatan ini adalah : terselenggaranya pelayanan publik di seluruh kabupaten/kota berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Sedangkan indikator capaiannya adalah: jumlah daerah yang mendapatkan bimbingan teknis, jumlah pelatihan terkait penerapan SPM, jumlah daerah yang telah melakukan perubahan struktur APBD untuk penerapan SPM, terselenggaranya monitoring dan evaluasi penerapan SPM dan berkurangnya jumlah keluhan masyarakat terkait kualitas aparat dalam penyelenggaraan pelayanan publik
Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas VI‐26
DAFTAR PUSTAKA
Buku 1 & 2 Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2009 Djadijono, M dan T.A. Legowo. Desentralisasi di Indonesia : Seberapa Jauh Bisa Menjangkau? (1999 – 2006) Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas. Laporan Studi Evaluasi Penataan Daerah Otonom Baru Tahun 2008 Direktorat Otonomi Daerah,Bappenas. Laporan Monitoring Pelaksanaan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2008 Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas. Laporan Evaluasi Pelaksanaan Program Pengembangan Otonomi Daerah Tahun 2004 Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas. Laporan Evaluasi Pelaksanaan Program Pengembangan Otonomi Daerah Tahun 2005 Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas. Laporan Evaluasi Pelaksanaan Program Pengembangan Otonomi Daerah Tahun 2008 Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas. Laporan Penyusunan Database Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah Tahun, 2009 Fanani, Ahmad Zaenal, SHI, M.Si. Optimalisasi Pelayanan Publik : Perspektif David Osborne dan Ted Gaebler Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2005-2009 S, Yogi dan M.Ikhsan. Standar Pelayanan Publik di Daerah Solihin, Dadang, H, Drs, MA. Otonomi Daerah dalam Perspektif Teori, Kebijakan, dan Praktek. 2007 Suwondo, MS, Drs. Desentralisasi Pelayanan Publik : Hubungan Komplementer Antara Sektor Negara, Mekanisme Pasar, dan Organisasi Non-Pemerintah. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik USAID-DRSP. Stock Taking Study Decentralization. 2009 Widodo, Joko. Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Insan Cendekia. 2001