KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN UNTUK ARAHAN PENATAAN POLA RUANG KAWASAN HUTAN PRODUKSI GEDONG WANI PROVINSI LAMPUNG
ARIYADI AGUSTIONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Kajian Perubahan Penggunaan Lahan Untuk Arahan Penataan Pola Ruang Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2014
ARIYADI AGUSTIONO NIM A156120354
RINGKASAN
ARIYADI AGUSTIONO. Kajian Perubahan Penggunaan Lahan Untuk Arahan Penataan Pola Ruang Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani Provinsi Lampung. Dibimbing oleh SANTUN R.P SITORUS dan HARIADI KARTODIHARDJO. Berdasarkan UU No 41/1999 tentang kehutanan, fungsi utama hutan produksi adalah memproduksi hasil hutan, baik kayu, non kayu maupun jasa lingkungan. Akan tetapi, hal ini tidak ditemui pada kawasan hutan produksi Gedong Wani Provinsi Lampung, karena kawasan ini telah berkembang menjadi desa definitif dengan penggunaan lahan berupa pemukiman, ladang dan perkebunan sehingga kawasan hutan tidak berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan desa dalam kawasan hutan, menganalisis penggunaan lahan dan perubahannya pada periode tahun 2000-2013, menganalisis besarnya pengaruh faktor fisik lahan, demografi dan kebijakan penggunaan kawasan hutan terhadap perubahan penggunaan lahan dalam kawasan hutan, memprediksi penggunaan lahan dalam kurun waktu 13 tahun ke depan dan merumuskan arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan agar berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Penelitian dilakukan di kawasan hutan produksi Gedong Wani yang terletak di Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Timur. Metode yang digunakan adalah sebagai berikut: (1) untuk analisis perkembangan desa digunakan analisis skalogram,(2) analisis penggunaan lahan melalui interpretasi Citra Satelit Landsat TM. 5 tahun 2000 dan TM 8 Tahun 2013, sedangkan analisis perubahan penggunaan lahan melalui operasi tumpang susun (overlay) dengan bantuan Sistem Informasi Geografi (SIG), (3) prediksi penggunaan lahan dengan pendekatan model spasial Cellular Automata, (4) untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan ditinjau dari aspek fisik lahan, demografi dan kebijakan penggunaan kawasan hutan menggunakan regresi logistic binner dan (5) untuk menyusun arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan produksi dengan sintesis analisis penggunaan lahan dan perkembangan desa serta mempertimbangkan kebijakan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan menurut UU No 41/1999. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 39 desa di kawasan hutan produksi Gedong Wani dengan tingkat perkembangan paling tinggi pada tahun 2011 yaitu desa Jati Baru kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan. Perubahan penggunaan lahan periode tahun 2000 ke 2013 adalah peningkatan luas perkebunan rakyat dan area terbangun, serta penurunan luas ladang dan hutan. Ditinjau dari aspek fisik lahan, demografi dan kebijakan penggunaan kawasan hutan, faktor yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi ladang dan area terbangun adalah kebijakan penggunaan kawasan hutan dan pertambahan jumlah penduduk. Peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan banyak terjadi pada lahan yang telah dibebani izin resmi penggunaan kawasan hutan untuk industri dan lahan yang telah dibebani hak izin tukar menukar kawasan hutan untuk pengembangan kota baru Lampung serta lahan-lahan yang belum dibebani hak/izin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, sedangkan peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan menjadi perkebunan rakyat banyak terjadi pada jenis tanah Ultisol. Prediksi penggunaan lahan tahun 2026
berdasarkan asumsi perilaku perubahan penggunaan lahan pada periode tahun sebelumnya, menunjukkan peningkatan luas perkebunan rakyat dan area terbangun serta penurunan luas ladang dan hutan. Arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan produksi adalah dengan mengatur penggunaan lahan existing sesuai mekanisme pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan produksi menurut UU No 41/1999 yaitu menambah luas tegakan hutan melalui rehabilitasi lahan pada tipe penggunaan lahan ladang dan perkebunan rakyat melalui mekanisme pemanfaatan kawasan hutan dengan pelibatan masyarakat dalam pengelolan kawasan hutan, serta melokalisir penggunaan lahan untuk area terbangun sebagai area tidak efektif produksi hasil hutan. Prioritas pembangunan kehutanan diarahkan pada antisipasi untuk mengurangi efek penyebaran (spread effect) perkembangan wilayah yang relatif tinggi terhadap wilayah sekitarnya, utamanya pada kecamatan Tanjung Bintang dan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan. Kata kunci: arahan, desa, kawasan hutan produksi, penggunaan lahan, prediksi
SUMMARY
ARIYADI AGUSTIONO. Study of Land-use change for referral of spatial pattern arrangement in the Gedong Wani Production Forest Area, Lampung Province. Supervised by SANTUN R.P SITORUS and HARIADI KARTODIHARDJO. According to Law No. 41/1999 regarding Forestry, production forest has principal function of producing timber forest products, non- timber and other environment services. However, it is not found in the Gedong Wani production forest area Lampung province, as the region has grown to become the definitive rural land uses such as residential, farm and forest plantations that do not function as intended. This study aims : (1) to analyze the development of the village in a forest area, (2) to analyze land use and land use changes in the period 20002013, (3) to analyze influence of physical factors of land, demography and forest land use policies on land use change in forest area, (4) to predict landuse within a period of 13 years ahead and (5) to formulate policy directives of spatial patterns arrangement of forest area in order to function as intended. The study was conducted in Gedong Wani production forests area in South Lampung and East Lampung regencies. The method was used as follow : (1) to analyze of rural development using schallogram analysis, (2) to analyze land use through interpretation of satellite imagery Landsat 5 TM in 2000 and Landsat 8 TM In 2013, landuse changed analysis through overlay with Geographic Information Systems (GIS), (3) landuse prediction with Cellular Automata approach, (4) to analyze physical aspects of the land , demography and landuse forest policies that influence land use through regression logistic Binner, (5) to formulate refferal of spatial patterns arrangement of forest production area through synthesis of land-use and rural development analysis with consider of utilization and using of forest area according to Act No. 41/1999. The results showed that there were 39 villages in GedongWani production forest area with the highest growth rate in 2011 found in Jati Baru village Tanjung Bintang districts South Lampung regency. Land-use change between 2000 and 2013 show an increase in smallholder plantation and built up area, conversely, a decrease in extent of dry land cultivation and forests. In terms of the physical aspects of the land, demography and landuse forest policy, the factors that influence land use change into dry land cultivation and built up area are landuse forest policy and addition of number of people. Land -use change posibility occurs on land that has borrow-use permits of forest area for industrial and land rights that have been change of forest land for development of the new city of Lampung as well as lands that have not allocated the rights / permits and forest use, while the chances of a change in land use to smallholder plantations occur on Ultisol soil type. Prediction of land use in year of 2026 based on the assumption of behavioral changes in land use in the periode of previous years, showed an increase in smallholder plantations and built-up area, and decrease in dry land cultivation and forest area.
Policy directives of spatial patterns arrangement of production forests is to regulate the use of existing land use and the use of appropriate mechanisms of production forest area according to Act No. 41/1999 which adds forest area through rehabilitation in dry land cultivation and smallholder plantations with community-based forest management mechanisms, as well as localizing land use of built up area for an area established as ineffective for the current forest production, and gradually build up collaboration for the ultimate goal to be achieved. Furthermore, forestry development priorities aimed to anticipatien for reducing the relative high spread effect of regional growth to the surrounding areas, primarily in the Tanjung Bintang and Jati Agung districts, South Lampung regency. Keywords: direction, forest production, land use, prediction, village
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN UNTUK ARAHAN PENATAAN POLA RUANG KAWASAN HUTAN PRODUKSI GEDONG WANI PROVINSI LAMPUNG
ARIYADI AGUSTIONO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Widiatmaka, DAA
Judul Tesis
Nama NIM
: Kajian Perubahan Penggunaan Lahan Untuk Arahan Penataan Pola Ruang Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani Provinsi Lampung : Ariyadi Agustiono : A156120354
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus Ketua
Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS Anggota Diketahui Oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 4 Maret 2014
Tanggal Lulus:
Judul Tesis
Nama NIM
Kajian Perubahan Penggunaan Laban Untuk Arahan Penataan Pola Ruang Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani Provinsi Lampung Ariyadi Agustiono A156120354
Disetujui Oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus Ketua
Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS
Anggota
Diketahui Oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
-
-
Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus
Tanggal Ujian: 4 Maret 2014
Tanggal Lulus:
2 7 MAR 20 14
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 sampai dengan November 2013 ini adalah penggunaan lahan di kawasan hutan produksi, dengan judul Kajian Perubahan Penggunaan Lahan untuk Arahan Penataan Pola Ruang Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani Provinsi Lampung. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Santun R.P Sitorus dan Bapak Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS selaku komisi pembimbing, Bapak Dr Widiatmaka, DAA selaku penguji luar komisi pembimbing serta Ibu Dr Dra Khursatul Munibah, MSc selaku moderator ujian tesis. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh staf pengajar dan staf administrasi serta rekan-rekan program studi ilmu perencanaan wilayah Institut Pertanian Bogor atas ilmu, pelayanan dan semangat serta motivasinya. Kepada Pusbindiklatren Bappenas diucapkan terimakasih atas kesempatan dan beasiswa yang diberikan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung dan Kepala UPTD KPH Gedong Wani beserta staf yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, ibu mertua, istri dan anak-anakku, serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat Bogor, Maret 2014 Ariyadi Agustiono
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR LAMPIRAN
v
PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitiaan Ruang Lingkup Penelitian
1 1 3 4 4 4
TINJAUAN PUSTAKA
5
Penataan Ruang Hirarki Wilayah Evaluasi Penggunaan dan Penutupan Lahan (Land Use dan Land Cover) Kawasan Hutan Produksi Dalam Pola Pemanfaatan Ruang Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Prediksi Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan Kesesuaian Lahan
5 6 6 7 8 9 10
METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Lokasi Dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Metode dan Teknik Analisis Data
11 11 13 14 14 15
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Sejarah Kelompok Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani Tata Ruang Wilayah Administrasi Kependudukan Mata Pencaharian Karakteristik Fisik Wilayah
25 25 26 27 27 28 29
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Wilayah Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani Tahun 2000 dan Tahun 2013 Analisis Pengaruh Faktor Fisik Lahan, Demografi dan Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Prediksi Penggunaan Lahan
32 32 37
43 48
ii
Arahan dan Skenario Kebijakan Penataan Pola Ruang Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani
53
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
62 62 63
DAFTAR PUSTAKA
64
LAMPIRAN
68
RIWAYAT HIDUP
76
iii
DAFTAR TABEL
1.
Matrik hubungan antara tujuan penelitian, jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran pada setiap tahapan penelitian
16
2.
Contoh matriks transformasi perubahan penggunaan lahan
19
3.
Variabel bebas yang digunakan dalam model regresi logistik
20
4.
Skoring kelas lereng
21
5.
Skoring kelas jenis tanah
22
6.
Skoring intensitas hujan
22
7.
Kriteria kesesuaian lahan untuk ladang
23
8.
Kriteria kesesuaian lahan untuk perkebunan rakyat
23
9.
Jumlah penduduk dan keluarga pada kecamatan dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani
28
10. Ketinggian tempat (mdpl) pada kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani
29
11. Kemiringan lereng di kawasan hutan produksi Gedong Wani.
29
12. Jenis tanah pada kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani
31
13. Nilai indek perkembangan desa dan penentuan hirarki wilayah
32
14. Jumlah desa pada setiap kecamatan berdasarkan tingkat hirarki
33
15. Perubahan hirarki desa tahun 2003 / 2011
36
16. Penggunaan/penutupan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani
38
17. Perubahan penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani dari tahun 2000 ke tahun 2013
40
18. Faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan lahan menjadi perkebunan rakyat
44
19. Faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan lahan menjadi area terbangun
46
20. Faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan lahan menjadi ladang
47
21. Luas lahan sesuai (S) dan tidak sesuai (N) pada berbagai tipe penggunaan lahan
49
22. Prediksi penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2026
52
23. Keterkaiatan penggunaan lahan dengan fungsi dan peruntukan kawasan hutan produksi
57
iv
DAFTAR GAMBAR
1.
Bagan alir kerangka pemikiran
12
2.
Tahapan alur penelitian
13
3.
Lokasi penelitian
14
4.
Diagram alir model Cellular Automata
24
5.
Peta administrasi kawasan hutan produksi Gedong Wani.
27
6.
Perubahan jumlah keluarga petani tahun 2003 dan 2011 di wilayah kawasan hutan produksi Gedong Wani
28
Peta ketinggian tempat kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani.
30
Peta kelas lereng tempat kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani.
30
Peta jenis tanah tingkat ordo pada kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani
31
7. 8. 9.
10. Peta hirarki desa-desa dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2003
35
11. Peta hirarki desa-desa dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2011
35
12. Luas penggunaan/penutupan lahan pada kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2000 dan 2013.
38
13. Pola perubahan penggunaan
41
14. Peta penggunaan /penutupan lahan kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2000
42
15. Peta penggunaan /penutupan lahan kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2013
42
16. Kesesuaian lahan (a) area terbangun, (b) hutan, (c) ladang, (d) perkebunan rakyat serta lokasi (e) perkebunan PTPN dan (f) tubuh air.
50
17. Hasil validasi model prediksi penggunaan lahan pada berbagai iterasi
51
18. Kecenderungan perubahan penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2000, 2013 dan 2026
52
19. Peta prediksi penggunaan lahan tahun 2026
52
21. Mekanisme pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan produksi berdasarkan UU No 41 tahun 1999 dan peraturan turunannya.
56
22. Peta arahan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani
61
v
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Data analisis skalogram pada data podes 2003
68
2.
Data analisis skalogram pada data podes 2011
69
3.
Citra landsat tahun 2000 dan 2013
70
4. Titik koordinat hasil referensi cek lapangan dan cek pada peta bing map
71
5.
74
Hasil analisis regresi logistik binner.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Manusia mempertahankan hidupnya dengan melakukan aktifitas pemanfaatkan sumberdaya alam yang memiliki kecenderungan membentuk pola dan struktur yang berdimensi ruang dan waktu. Pola pemanfaatan ruang dicerminkan oleh gambaran percampuran atau keterkaitan spasial antar sumberdaya dan pemanfaatannya. Pemanfaatan sumberdaya yang tersedia pada ruang bersifat dinamis. Akan tetapi dinamika pemanfaatan ruang tidak selalu mengarah pada optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang ada, hal ini terutama disebabkan oleh terus meningkatnya kebutuhan ruang sejalan dengan perkembangan kegiatan budidaya sementara keberadaan ruang bersifat terbatas. Pola pemanfaatan ruang wilayah meliputi arahan pengelolaan kawasan lindung, arahan pengelolaan kawasan budidaya, kawasan perkotaan dan perdesaan serta kawasan prioritas. Penetapan kawasan hutan1 merupakan salah satu cakupan dalam arahan pola ruang untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya. Pada arahan tata ruang kawasan hutan mempunyai fungsi khusus yaitu berfungsi lindung, konservasi, dan untuk pendukung kehidupan serta segala ekosistemnya disamping juga sebagai kawasan budidaya yang menghasilkan produk kehutanan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri dan pengolahan kayu serta hasil hutan non kayu. Peruntukan ruang kawasan budidaya pada kawasan hutan meliputi hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi tetap (HP) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Kawasan hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan2 (UU Nomor 41 tahun 1999). Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 41/PRTM/M/2007 tentang pedoman dan kriteria teknis kawasan budidaya, fungsi hutan produksi adalah : penghasil kayu dan bukan kayu, daerah resapan air hujan untuk kawasan disekitarnya, membuka penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat dan sumber pemasukan dana bagi pemerintah daerah dalam bentuk dana bagi hasil. Melihat manfaat yang begitu besar ini maka peran ganda manfaat kawasan hutan produksi dapat berupa manfaat ekonomi secara langsung maupun manfaat untuk menjaga daya dukung lingkungan. Namun demikian keberadaan seluruh manfaat dan fungsi kawasan hutan terletak pada berdirinya tegakan (standing stock). Secara ekonomi manfaat dari penebangan kayu memberi peran 5% - 7% dari seluruh manfaat hutan (Darusman 1999, Simangunsong 2003 dalam Kartodihardjo, 2004). Fungsi hutan sebagai daya dukung lingkungan justru 1
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (Putusan MK Perkara Nomor 45 tentang pengujian konstitusionalitas pasal 1 ayat 3 UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan)
2
Hasil hutan adalah komoditi yang dapat diubah menjadi hasil olahan dalam upaya mendapat nilai tambah serta membuka peluang kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. (Penjelasan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan)
2
memberi peran lebih besar yaitu antara 93% - 95% . Dengan demikian keberadaan hutan bukan hanya terkait manfaat bagi pemilik dan/atau pengelola, tetapi juga bagi masyarakat sekitar, wilayah, nasional dan global. Kawasan hutan merupakan sumberdaya bersama (common pool resource) yang secara de-jure keberadaannya dikuasai oleh Negara, akan tetapi secara defacto mempunyai sifat open acces yang berarti bahwa sifat sumberdaya ini seolah-olah tanpa pemilik. Akibatnya banyak lahan kawasan hutan di Indonesia dimanfaatkan secara illegal sehingga fungsi kawasan hutan tidak sesuai dengan peruntukannya. Laju deforestasi kawasan hutan tahun 2011 di Indonesia sebesar 478 618.1 ha/tahun (Kementrian Kehutanan, 2012) Besarnya laju kerusakan ini mengindikasikan banyak kawasan hutan mengalami degradasi fungsi. Hal ini menunjukkan lemahnya pengelolaan kawasan hutan negara di lapangan (de facto open access) yang secara jelas menjadi penyebab berbagai kelemahan dan kegagalan pembangunan kehutanan. Menyadari kelemahan tersebut Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan) bersama Pemerintah Daerah membentuk unit pengelolaan kawasan hutan yang kemudian disebut Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Salah satu KPH yang telah dibentuk adalah KPH Produksi Gedong Wani3 yang berada di Provinsi Lampung. KPH ini diberi otoritas melakukan pengelolaan mulai dari penataan, perencanaan pengelolaan, rehabilitasi dan reklamasi, penegakan hukum termasuk perlindungan dan pengamanan hutan serta mengembangkan investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan lestari di kawasan hutan produksi Gedong Wani. Kawasan hutan produksi Gedong Wani secara administrasi terletak di Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Lampung Timur dengan luas 30 243 ha (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2012). Tutupan lahan pada kawasan hutan produksi Gedong Wani berdasarkan interpretasi Citra Landsat Tahun 2009 75.6 % adalah pertanian lahan kering, 13.6% pertanian lahan kering bercampur semak, 9.2% pemukiman dan sisanya adalah semak belukar dan perkebunan (Kementerian Kehutanan, 2011a). Keberadaan pemukiman dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani merupakan suatu daerah administrasi desa definitif. Jumlah desa definitif di kawasan hutan produksi ini sebanyak 38 desa yang tersebar di 11 Kecamatan pada 2 Kabupaten yaitu Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Lampung Timur (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2012). Selain statusnya definitif, desa dalam kawasan hutan Gedong Wani juga dilengkapi jenis fasilitas pelayanan baik ekonomi, sosial maupun pendidikan yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Sehingga desa ini berkembang seperti halnya desa desa lainnya diluar kawasan hutan. Fenomena penggunaan lahan di KHP Gedong Wani merupakan bentuk pertentangan antara aspek hukum dan aspek ekonomi. Dari aspek hukum status lahan (land status) kawasan hutan produksi Gedong Wani merupakan wilayah yang dikuasai oleh negara sehingga segala bentuk pemanfaatan dan penggunaan ruang dalam kawasan tersebut harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan. 3
KPHP Gedong Wani ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.427/MenhutII/2011 tanggal 27 Juli 2011 seluas ± 30 243 ha. Landasan pembentukan organissasi KPHP Gedong Wani di tingkat Pemerintah Daerah ditetapkan berdasarkan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 27 tahun 2010 tanggal 6 Agustus 2010
3
Sedangkan, dari aspek ekonomi pemanfaatan sumberdaya lahan dalam kawasan hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dalam bentuk penggunaan lahan untuk pemukiman beserta segala sarana prasarananya dan penggunaan lahan untuk aktifitas budidaya pertanian non kehutanan yang belum sesuai dengan aturan main dalam kebijakan kehutanan. Disamping itu kebutuhan Pemerintah Daerah Provinsi Lampung yang mengusulkan pengalokasian ruang dalam kawasan hutan melalui usulan perubahan peruntukan lahan secara parsial kawasan hutan produksi Gedong Wani untuk pengembangan Kota Baru Lampung, menjadi tantangan bagi pengelola KHP Gedong Wani untuk merencanakan kawasan hutan agar dapat kembali berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Keterlanjuran pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukan merupakan realitas yang ada di KHP Gedong Wani. Untuk itu, kajian perkembangan wilayah dan penggunaan lahan dengan berbagai proses perubahannya sangat diperlukan sebagai titik tolak dalam perencanaan kebijakan penataan kawasan hutan. Berbagai teknik analisis seperti teknik penginderaan jauh dan sistem informasi geografi (SIG) dapat digunakan untuk memberikan gambaran penggunaan lahan beserta perubahannya bahkan meramalkan (forecasting) penggunaan lahan pada masa yang akan datang. Selanjutnya, berpedoman pada peraturan perundang-undangan, hasil kajian penggunaan lahan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk mengendalikan pemanfaatan dan penggunaan lahan (pola ruang) di kawasan hutan produksi Gedong Wani.
Rumusan Masalah Permasalahan yang menjadi fokus penelitian dirumuskan sebagai berikut : 1. Belum diketahuinya secara kuantitatif tingkat perkembangan desa-desa dalam kawasan hutan produksi terkait dengan jumlah dan jenis fasilitas yang dimiliki. 2. Belum diketahunyai trend penggunaan lahan secara kuantitatif di kawasan hutan produksi Gedong Wani dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. 3. Belum diketahuinya besarnya pengaruh faktor fisik lahan, demografi dan kebijakan penggunaan kawasan hutan terhadap perubahan penggunaan lahan dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani. 4. Belum diketahuinya prediksi penggunaan lahan di masa yang akan datang pada kawasan hutan produksi Gedong Wani berdasarkan asumsi prilaku perubahan penggunaan lahan periode 10 tahun terakhir. 5. Belum adanya arahan penataan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani yang mengarah pada fungsi dan peruntukan kawasan hutan sesuai ketentuan. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, disusun pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan wilayah desa-desa dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani? 2. Bagaimana penggunaan lahan dan perbahannya di kawasan hutan produksi Gedong Wani dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (tahun 2000 dan 2013)?
4
3.
4.
5.
Ditinjau dari aspek fisik lahan, demografi dan kebijakan penggunaan kawasan hutan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap terjadinya perubahan penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani? Bagaimana prediksi penggunaan lahan pada masa yang akan datang berdasarkan asumsi perilaku perubahan penggunaan lahan pada kawasan hutan produksi Gedong Wani? Arahan kebijakan penggunaan lahan seperti apa yang dapat direkomendasikan agar perubahan penggunaan lahan ke depan mengarah pada terbentuknya pola ruang yang sesuai dengan fungsi dan peruntukan kawasan hutan? Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menyusun arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani berdasarkan kajian fisik lahan, perkembangan wilayah dan peraturan perundang-undangan. Tujuan antara adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis tingkat perkembangan desa-desa dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani. 2. Menganalisis perubahan penggunaan lahan pada kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2000 dan tahun 2013 3. Menganalisis besarnya pengaruh faktor fisik lahan, demografi dan kebijakan penggunaan kawasan hutan terhadap perubahan penggunaan lahan. 4. Memprediksi penggunaan lahan dalam kurun waktu 13 tahun ke depan dengan menggunakan pendekatan model spasial. 5. Merumuskan arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukannya.
Manfaat Penelitiaan Hasil kajian dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah khususnya Dinas Kehutanan Provinsi Lampung dan Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan dalam menyusun rencana tata ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani. 2. Menambah khasanah ilmu pengetahuan dan bahan pustaka bagi penelitianpenelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini dibatasi dengan penekanan pada kajian aspek fisik penggunaan lahan, perkembangan wilayah, dan kebijakan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan produksi untuk tujuan memberikan arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani yang sesuai dengan
5
fungsi dan peruntukannya. Oleh karena itu, batasan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Aspek fisik lahan yang dikaji meliputi penggunaan lahan melalui interpretasi Citra Satelit resolusi rendah hingga menengah (Landsat TM 5 dan TM 8) serta unsur-unsur fisik lahan untuk menentukan kelas kesesuaian lahan pada setiap tipe tutupan/penggunaan lahan. 2. Aspek tingkat perkembangan wilayah dianalisis melalui jumlah dan jenis fasilitas yang dimiliki desa-desa dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani. 3. Aspek kebijakan dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan produksi tetap (HP)
TINJAUAN PUSTAKA
Penataan Ruang Penataan ruang merupakan bentuk intervensi positif atas kehidupan sosial dan lingkungan guna meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Secara lebih spesifik, penataan ruang dilakukan sebagai : (1) Optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya) guna terpenuhinya efisiensi dan produktifitas, (2) Alat dan wujud distribusi sumberdaya guna terpenuhinya prinsip pemerataan, keberimbangan dan keadilan, serta (3) Menjaga keberlanjutan (sustainability) pembangunan. Selain itu, tujuan penataan ruang adalah upaya (4) menciptakan rasa aman dan (5) kenyamanan ruang (Rustiadi et al. 2011) Selanjutnya menurut Rustiadi et al. (2011) proses penataan ruang mempunyai landasan-landasan penting yang perlu diperhatikan sebagai falsafah yakni (1) sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan; (2)menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya di masa sekarang dan masa yang akan datang (pembangunan berkelanjutan), (3) disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun, (4) upaya melakukan perubahan yang lebih baik secara terencana (5) sebagai suatu sistem yang meliputi kegiatan perencanaan, implementasi dan pengendalian pemanfaatan ruang dan (6) dilakukan jika dikehendaki adanya perubahan struktur dan pola pemanfaatan ruang, artinya tidak dilakukan tanpa sebab atau kehendak. Optimasi penataan ruang kawasan hutan dilakukan berdasarkan pertimbangan daya dukung, potensi, kebutuhan kayu dan kebutuhan non kayu, resiko lingkungan dan DAS Prioritas. Pemanfaatan ruang kawasan hutan optimal dicirikan oleh : memenuhi berbagai kebutuhan terhadap hasil hutan, memecahkan masalah sosial dan lingkungan, dan melestarikan sumberdaya hutan (P4W, 2006) Penelitian Damai (2006) di wilayah pesisir kota Bandar Lampung memberikan arahan peruntukan ruang yang komprehensif bagi wilayah pesisir
6
Kota Bandar Lampung adalah meliputi ruang bagi pembenahan kawasan perkotaan yang telah terbangun seluas 1 337 ha; ruang pengembangan pemukiman dan prasarana wilayah seluas 1 250 ha; ruang penyangga seluas 1 037 ha; serta perairan pelabuhan seluas 3 167 ha; perikanan tangkap tradisional seluas 1 510 ha dan wisata seluas 195 ha.
Hirarki Wilayah Wilayah didefinisikan sebagai area geografis yang mempunyai ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Hirarki suatu wilayah sangat terkait dengan hirarki fasilitas kepentingan umum di masing-masing wilayah. Hirarki wilayah dapat membantu untuk menentukan fasilitas apa yang harus ada atau perlu dibangun di masing-masing wilayah. Fasilitas kepentingan umum bukan hanya menyangkut jenisnya, tetapi juga kapasitas pelayanan dan kualitasnya. Jenis fasilitas itu mungkin harus ada di seluruh wilayah, tetapi kapasitas dan kualitas layanannya harus berbeda. Makin maju suatu wilayah, semakin beragam fasilitas yang disediakan sehingga makin luas wilayah pengaruhnya (Tarigan 2005). Rustiadi et al. (2011) menyatakan bahwa secara teoritis hirarki wilayah sebenarnya ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan wilayah yangditunjukkanoleh kapasitas secara totalitas yang tidak terbatas infrastruktur fisiknya saja tetapi juga kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia serta kapasitas perekonomiannya. Secara fisik dan operasional, sumberdaya yang paling mudah dinilai dalam penghitungan kapasitas pelayanan adalah sumberdaya buatan (sarana dan prasarana pada pusat-pusat wilayah). Secara sederhana, kapasitas pelayanan infrastruktur atau prasarana wilayah dapat diukur dari (1) jumlah sarana pelayanan (2) jumlah jenis sarana pelayanan yang ada, serta (3) kualitas sarana pelayanan (Rustiadi et al. 2011) Hasil penelitian Muiz (2009) di Kabupaten Sukabumi dengan menggunakan analisis skalogram dihasilkan hirarki desa pada setiap kecamatan pada tahun 2006 yaitu desa dengan tingkat hirarki I adalah desa-desa dengan tingkat perkembangan tinggi memiliki Indek Perkembangan Desa (IPD) > 128.7 sebanyak 26 desa dan terdapat pada 20 kecamatan. Desa dengan hirarki II yaitu desa-desa yang memiliki tingkat perkembangan sedang dengan tingkat IPD antara 89.5 sampai 128.67 sebanyak 107 desa dan tersebar di semua kecamatan di kabupaten Sukabumi kecuali kecamatan Bantargadung, Cidahu, Curugkembar, Parakansalak dan Waluran. Desa dengan tingkat hirarki III yaitu desa-desa yang memiliki tingkat perkembangan rendah, dengan IPD <89.75 adalah desa-desa yang paling banyak jumlahnya di kabupaten Sukabumi.
Evaluasi Penggunaan dan Penutupan Lahan (Land Use dan Land Cover) Definisi mengenai penggunaan lahan (land use) dan penutupan lahan (land cover) pada hakekatnya berbeda walaupun sama-sama menggambarkan keadaan fisik permukaan bumi. Liliesand dan Kiefer (1993) mendefinisikan penggunaan
7
lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada suatu bidang lahan, sedangkan penutupan lahan lebih merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut. Sebagai contoh penggunaan lahan untuk permukiman yang terdiri dari atas permukiman, rerumputan dan pepohonan. Menurut Rustiadi et al. (2011) penggunaan lahan dan penutupan lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu tetapi sebenarnya memiliki pengertian yang berbeda. Penggunaan lahan menyangkut aktifitas pemanfaatan lahan oleh manusia, sedangkan penutupan lahan lebih bernuansa fisik. Evaluasi pemanfaatan ruang aktual (eksisting) yang meliputi penggunaan lahan dan penutupan lahan), diperlukan untuk menggambarkan kondisi fisik wilayah secara aktual. Informasi pemanfaatan ruang aktual akan sangat membantu dalam analisis potensi fisik suatu wilayah secara utuh. Untuk itu diperlukan alat bantu yang mampu memberikan gambaran tutupan lahan secara luas, cepat, konsisten dan terkini (up to date) yaitu citra satelit dengan alat analisisnya Sistem Informasi Geografi (SIG). Dari hasil interpretasi citra dan analisis GIS diperoleh hubungan antara data atribut dan data spasial yang dapat ditampilkan secara bersamaan, sehingga memudahkan evaluasi pemanfaatan ruang aktual. Hasil analisis SIG memberikan berbagai informasi sumberdaya hutan, kawasan terbangun (built up), perairan umum, kawasan kritis dan sebagainya. Berdasarkan hasil evaluasi, maka dapat dilakukan berbagai analisis untuk perencanaan wilayah dan analisis kebijakan pengembangan.
Kawasan Hutan Produksi Dalam Pola Pemanfaatan Ruang Dalam Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang definisi pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Selanjutnya menurut Rustiadi et al. (2011) konsep pola pemanfaatan ruang wilayah menunjukkan bentuk hubungan antar berbagai aspek sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sosial budaya, ekonomi, teknologi, informasi, administrasi, pertahanan keamanan, fungsi lindung budidaya dan estetika lingkungan dimensi ruang dan waktu yang dalam kesatuan secara utuh menyeluruh serta berkualitas membentuk tata ruang. Adapun yang menjadi dasar dalam pertimbangan pemanfaatan ruang wilayah adalah perkembangan wilayah, kebijakan pembangunan, potensi unggulan, optimalisasi ruang untuk kegiatan, kapasitas serta daya dukung sumberdaya. Pola pemanfaatan ruang wilayah meliputi arahan pengelolaan kawasan lindung, arahan pengelolaan kawasan budidaya, kawasan perkotaan dan perdesaan serta kawasan prioritas. Peruntukan ruang kawasan budidaya merupakan pola pemanfaatan ruang untuk aktifitas budidaya, baik pertanian maupun non pertanian. Peruntukan ruang kawasan budidaya antara lain meliputi (1) Kawasan hutan produksi, yang terdiri dari hutan produksi tetap (HP), hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi yang dapat di konversi (HPK), (2) Kawasan pertanian meliputi kawasan pertanian pangan lahan kering, kawasan pertanian pangan lahan basah, kawasan
8
perkebunan, kawasan perikanan dan kawasan peternakan. (3) Kawasan pemukiman, meliputi kawasan yang didominasi oleh lingkungan hunian dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal. Kawasan perkotaan, kawasan yang mempunyai fungsi sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial ekonomi budaya, dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 41/ PRT/M/2007 tentang pedoman kriteria teknis kawasan budidaya dijelaskan bahwa fungsi utama kawasan yang diperuntukan sebagai kawasan hutan produksi mempunyai fungsi antara lain (1) penghasil kayu dan bukan kayu; (2) sebagai daerah resapan air hujan untuk kawasan sekitarnya; (3) membantu penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat (4) sumber pemasukan dana bagi Pemerintah Daerah (dana bagi hasil) sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam hal pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi, radius atau jarak yang diperbolehkan untuk melakukan penebangan pohon di kawasan hutan produksi adalah :(a). > 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; (b) >200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; (c) > 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; (d) > 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; > 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang dan > 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Perubahan penggunaan lahan dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lain yang dapat bersifat permanen maupun sementara, dan merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang, baik untuk tujuan komersial maupun industri. Kim et al. (2002) memandang perubahan penggunaan lahan sebagai suatu sistem dimana penambahan populasi beberapa spesies biasanya menyebabkan kerusakan spesies lainnya. Barlowe (1986) menyatakan bahwa dalam menentukan penggunaan lahan terdapat tiga faktor penting yang perlu dipertimbangkan yaitu: faktor fisik lahan, faktor ekonomi dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat juga akan mempengaruhi pola penggunaan lahan. Bila dicermati secara seksama faktor utama penyebab perubahan penggunaan lahan adalah jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk berarti pertambahan terhadap jumlah makanan dan kebutuhan lain yang dapat dihasilkan oleh sumber daya lahan. Permintaan terhadap hasil-hasil pertanian meningkat dengan adanya pertambahan penduduk. Demikian pula permintaan terhadap hasil non- pertanian, kebutuhan perumahan dan sarana prasarana. Peningkatan pertambahan penduduk dan peningkatan kebutuhan material ini cenderung menyebabkan persaingan penggunaan lahan. Mc.Neil et al. (1998) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi, dan budaya.
9
Aspek politik adalah adanya kebijakan yang dilakukan oleh pengambil keputusan. Pertumbuhan ekonomi, perubahan pendapatan dan konsumsi juga merupakan faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah merupakan cerminan upaya manusia dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan yang akan memberikan pengaruh terhadap manusia itu sendiri dan kondisi lingkungannya. Penyebab dari perubahan penggunaan lahan adalah adanya faktor-faktor (driving factors) seperti: faktor demografi (tekanan penduduk), faktor ekonomi (pertumbuhan ekonomi), teknologi, policy (kebijakan), institusi, budaya dan biofisik. Analisis perubahan penggunaan lahan mencari penyebab (driver) perubahan land use dan dampak (lingkungan dan sosio ekonomi) dari perubahan land use. Munibah (2008) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan lahan hutan menjadi lahan pertanian adalah bentuk lahan, kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, jarak dari jalan raya dan mata pencaharian masyarakat. Dalam menentukan besarnya peluang faktor yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan dapat menggunakan analisis regresi logistik binner. Analisis ini mengkaji hubungan pengaruh peubah-peubah penjelas (X) terhadap peubah respon (Y) melalui persamaan matetamis dimana peubah penjelasnya dapat berupa peubah kategorik maupun numerik. Dengan kata lain, analisis regresi logistik merupakan suatu teknik untuk menerangkan peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon. Salah satu ukuran asosiasi (ukuran keeratan hubungan antar peubah kategorik) yang dapat diperoleh melalui analisis regresi logistik adalah odd ratio (rasio odd). Odd sendiri dapat diartikan sebagai rasio peluang kejadian sukses dengan kejadian tidak sukses dari peubah respon. Adapun rasio odd mengindikasikan besarnya peluang, dalam kaitannya dengan nilai odd, munculnya kejadian sukses pada suatu kelompok dibandingkan kelompok lainnya (Firdaus, et al. 2011).
Prediksi Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan Untuk mengetahui kondisi penggunaan lahan pada masa yang akan datang perlu dilakukan peramalan (forecasting) terhadap lahan berdasarkan penggunaannya saat ini. Analisis terhadap citra satelit pada berbagai titik tahun dapat menggambarkan trend perubahan penggunaan lahan. Munibah (2008) menyatakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk meramalkan/memprediksi kondisi penggunaan lahan berdasarkan trend perubahan penggunaan lahan adalah permodelan dengan pendekatan model Cellular Automata (CA). Model Cellular Automata pertama kali diperkenalkan oleh Ulam dan Von Neumann pada tahun 1940-an yaitu untuk membuat kerangka kerja formal (formal framework) untuk meneliti perilaku sistem yang kompleks (Munibah, 2008). Model ini merupakan permodelan spasial dinamik yang beroperasi dalam ruang dengan data raster dimana nilai data raster berbentuk diskrit (Purnomo, 2012). Cellular automata memiliki karakteristik spasial berdasarkan sel yang perubahannya tergantung pada sel-sel tetangganya. Sel-sel tersebut akan hidup jika tiga atau lebih dari sel tetangganya hidup dan akan mati /berubah jika tiga
10
atau lebih sel tetangganya juga mati/berubah. Komponen utama Cellular Automata adalah sel (cell), state, aturan dan fungsi perubahan (transition rule of transition function) dan ketetanggaan (Chen et al.2002). Skenario perubahan penggunaan lahan pada setiap piksel tergantung pada kesesuaian lahannya, penggunaan lahan periode sebelumnya dan lahan tetangganya. Hasil penelitian Hesaki (2012) di Cagar Biosfer Cibodas untuk prediksi penggunaan lahan pada tahun 2023 dengan menggunakan model Cellular Automata dinyatakan bahwa penggunaan lahan/penutupan lahan di Cagar Biosfer adalah kebun campuran sebesar 34.34%, hutan 30.97%, pemukiman 23.39% sawah 11.14%, edelweiss 0.08%, rumput/semak belukar 0.05% dan tubuh air 0.03%. Hasil prediksi ini menunjukkan adanya perambahan pada zona inti karena terdapat penggunaan lahan selain hutan yang bertambah luasnya pada zona inti.
Kesesuaian Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Inti evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan (Sitorus 2004; Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007) Dalam sistem FAO (1976) klasifikasi kesesuaian lahan dibagi menjadi 4 (empat) kategori yaitu ordo, kelas, sub-kelas dan unit. Ordo, menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu. Ordo dibagi menjadi dua yaitu ordo S (Sesuai) dan N (Tidak Sesuai). Lahan pada ordo S adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang sedang dipertimbangkan. Sementara lahan yang termasuk ordo N adalah lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah penggunaannya untuk tujuan tertentu. Lahan tidak sesuai karena adanya berbagai penghambat, baik secara fisik (lereng sangat curam, berbatubatu, dan sebagainya) atau secara ekonomi (keuntungan yang didapat lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan). Kelas menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan dan merupakan pembagian lebih lanjut dari masing-masing ordo. Kelas diberi nomor urut yang ditulis dibelakang simbol ordo, dimana nomor ini menunjukkan tingkat kelas yang makin jelek bila makin tinggi nomornya. Ada tiga kelas dari ordo tanah yang sesuai yaitu S1 (Sangat Sesuai/ highly suitable), S2 (Cukup Sesuai/moderately suitable), dan S3 (Sesuai Marginal/marginally suitable). Lahan pada kelas S1 adalah lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau mempunyai pembatas yang tidak berpengaruh nyata terhadap kenaikan masukan yang diberikan. Lahan kelas S2 adalah lahan yang mempunyai pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan. Selanjutnya kelas S3 berarti lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan meningkatkan masukan yang
11
diberikan dan akan mengurangi produksi. Ordo Tidak Sesuai ada dua kelas yaitu N1 (Tidak Sesuai Saat Ini/ currently not suitable) dan N2 (Tidak Sesuai Permanen/permanentaly not suitable). Lahan dengan kelas N1 mempunyai pembatas-pembatas yang besar, tetapi masih memungkinkan untuk diatasi, dengan biaya yang tinggi. Keadaan pembatas yang besar, sehingga mencegah penggunaan yang lestari dalam jangka panjang. Lahan pada kelas N2 merupakan lahan yang tidak sesuai untuk selamanya yaitu lahan yang mempunyai pembatas permanen .
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran Peruntukan kawasan untuk fungsi tertentu dalam rencana tata ruang seharusnya diikuti oleh pemanfaatan/penggunaan lahan yang mengarah pada tujuan dari rencana tata ruang itu sendiri. Tata ruang merupakan landasan sekaligus sasaran pembangunan wilayah (Tarigan, 2005). Perkembangan wilayah menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan wilayah. Perkembangan wilayah pada kawasan yang tidak sesuai dengan tujuan peruntukannya akan menjadi ancaman keberhasilan pembangunan kawasan yang fungsi dan peruntukannya telah ditetapkan dalam rencana tata ruang. Kawasan hutan produksi Gedong Wani di Provinsi Lampung adalah salah satu kawasan hutan yang telah dilakukan proses penetapan sebagai hutan tetap melalui pengukuhan kawasan hutan serta termasuk dalam penetapkan kawasan budidaya hutan produksi pada rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Lampung tahun 2009-2029 (Perda Provinsi Lampung Nomor 01 Tahun 2010). Berdasarkan UU No 41/1999 tentang kehutanan fungsi hutan produksi adalah untuk memproduksi hasil hutan baik kayu maupun non kayu, penyedia lapangan kerja serta jasa lingkungan. Penggunaan lahan kawasan hutan produksi Gedong Wani untuk aktifitas non kehutanan seperti pemukiman dan pertanian lahan kering menyebabkan kawasan hutan tidak berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Aktifitas non kehutanan yang berkembang juga diikuti dengan perkembangan wilayah desadesa definitif dalam kawasan hutan. Hal ini akibat dari tidak berjalannya produk kebijakan dan peraturan di lapangan. Selain itu, kurangnya informasi yang cukup tentang penggunaan lahan bagi pemegang kebijakan menyebabkan kawasan hutan dalam kondisi terbuka (open access) yang memudahkan siapapun untuk memanfaatkan dan menggunakan lahan tanpa kontrol. Untuk menata kembali pemanfaatan ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani diperlukan informasi penggunaan lahan lebih spesifik pada kondisi aktual maupun kondisi penggunaan lahan periode sebelumnya yang dapat ditampilkan secara spasial. Selain itu, desa-desa definitif yang ada perlu dikaji untuk mengetahui sejauhmana tingkat perkembangannya dalam kawasan hutan. Hal ini menjadi titik tolak dalam penataan pola ruang pada kawasan hutan untuk mencapai tujuan akhir yang diharapkan.
12
Untuk menganalisis perkembangan desa digunakan pendekatan ketersediaan jumlah dan jenis fasilitas yang ada pada wilayah administrasi desa. Sedangkan penggunaan lahan dan perubahannya dapat dianalisis dengan memanfaatkan teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi. Kajian perubahan penggunaan lahan/penutupan lahan pada periode tertentu dapat memberikan informasi perilaku perubahan penggunaan lahan. Melalui pendekatan model spasial, berdasarkan perilaku perubahan penggunaan lahannya dapat dilakukan prediksi penggunaan lahan pada masa yang akan datang. Selanjutnya dengan mempertimbangkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ada, hasil analisis dan kajian dalam penelitian ini disintesiskan untuk menyusun arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani agar dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Bagan alir kerangka pemikiran tertera pada Gambar 1 dan tahapan alur penelitian pada Gambar 2 Kawasan Hutan Produksi Fungsi dan peruntukan sesuai UU No 41/1999 Perkembangan desa dalam kawasan hutan
Identifikasi Perkembangan Wilayah Desa
Penggunaan lahan kawasan hutan tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukan
Fakta
Penggunaan Lahan dan Perubahannya Pola Perubahan Penggunaan Lahan
Titik tolak
Prediksi Penggunaan Lahan
Kondisi Aktual Arah
Tujuan
Kajian Kebijakan Pemanfaatan Dan Penggunaan Kawasan Hutan Sesuai Peraturan Perundang-Undangan
Arahan Penataan Pola Ruang Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani
Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran
13
Pengumpulan Data
Data Podes Tahun 2003 dan 2011
Citra Landsat Tahun 20002013
Peta Administrasi, Peta Batas Kawasan Hutan Produksi, Peta Tanah, Kelerengan , Peta Elevasi. Curah Hujan
Analisis Skalogram
Kajian Kebijakan
Kebijakan Kehutanan
Indeks Perkembangan Desa
Hirarki Desa Dalam Kawasan
Hutan
Interpretasi dan Klasifikasi
Metode Matching Kebijakan Pemanfaatandan Penggunaan Kawasan Hutan Produksi
Peta Penggunaan Lahan Tahun 2000 dan 2013 Deteksi Perubahan
Peta Kesesuaian Lahan
Matrik Transformasi Perubahan
Atribut
Regresi Logistik Binner
Kebijakan Tata Ruang
Peta ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, Dan Tukar-menukar Kawasan Hutan
Analisis Cellular Automata
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan ditinjau dari aspek fisik , demografi dan kebijakan penggunaan kawasan hutan
Prediksi Penggunaan Lahan pada masa yang Akan Datang
Arahan Penataan Pola Ruang Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani Gambar 2. Tahapan alur penelitian Lokasi Dan Waktu Penelitian Lokasi Penelitian adalah di kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani dengan posisi geografis 1000 15’ -1000 35’ Bujur Timur (BT) dan 05010’05035’ Lintang Selatan (LS) dengan luas wilayah 30 243 ha yang secara
14
administrasi termasuk dalam wilayah Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Timur. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai dengan November 2013, mulai dari penyusunan proposal, pengambilan data di lapangan, pengolahan data dan penulisasn Tesis. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Lokasi penelitian Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Cira Landsat tahun 2000 dan 2013, Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), Peta SRTM, peta RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Provinsi Lampung, peta administrasi desa kabupaten Lampung Timur dan kabupaten Lampung Selatan, peta satuan lahan dan tanah, peta lereng, peta batas kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani, data Podes tahun 2003 dan 2011 Kabupaten Lampung Timur dan Lampung Selatan serta dokumen dan peraturan yang berkaitan dengan perencanaan wilayah dilokasi penelitian. Alat yang digunakan adalah Receiver GPS, Kamera Digital dan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software : ArcGIS 9.3.1, ERDAS Imagine 9.1, Idrisi Selva, SPSS 16 serta Microsoft Excel. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Jenis data terdiri dari data primer dan data skunder. Data primer meliputi : (1) Interpretasi penutupan/penggunaan lahan dari data penginderaan jauh (Citra Landsat TM 5 tahun 2000 dan Citra Landsat TM 8 tahun 2013), interpretasi kemiringan lereng dan elevasi dari peta Shuttle Radar Topographic Mission
15
(SRTM), data spasial jarak terhadap jalan raya dan pemetaan kesesuaian lahan serta (2) pengamatan lapangan untuk verifikasi penggunaan lahan. Data sekunder untuk data fisik lahan meliputi peta satuan lahan dan tanah dari peta satuan lahan dan tanah lembar Tanjung Karang Sumatera proyek LREP (Land Resource Evaluation and Planning), peta ijin penggunaan kawasan hutan, dan peta curah hujan. Data sekunder untuk data sosial meliputi jumlah penduduk, jumlah jenis dan fasilitas desa, mata pencaharian dengan sumber data potensi desa (PODES) tahun 2003 dan 2011 serta data kecamatan dalam angka. Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis, dan keluaran yang diharapkan tertera pada Tabel 1.
Metode dan Teknik Analisis Data Analisis Perkembangan Wilayah Desa-Desa dalam Kawasan Hutan Produksi Penentuan perkembangan wilayah didekati dengan indeks perkembangan dan hirarki wilayah dengan menggunakan analisis skalogram. Analisis dilakukan pada unit wilayah desa. Input data yang digunakan adalah data podes tahun 2003 dan tahun 2011 dengan parameter yang diukur jumlah dan jenis fasilitas serta jarak terdekat untuk mengakses fasilitas tersebut. Hasil analisis digambarkan pada peta administrasi dimana kawasan hutan produksi Gedong Wani berada untuk dianalisis secara spasial. Prosedur kerja analisis skalogram adalah sebagai berikut (Panuju, et al. 2010): a. Memilih variabel yang digunakan sebagai penyusun indeks hirarki. Dalam pemilihan ini, variabel dibagi menjadi dua kelompok, yaitu variabel positif (Kelompok A) dan variabel negatif (Kelompok B). Variabel positif adalah variabel yang semakin besar nilainya mencirikan wilayah dengan tingkat perkembangan lebih tinggi. Sebaliknya, variabel negatif adalah variabel yang semakin besar nilainya mencirikan hirarki atau tingkat perkembangan yang lebih rendah. Contoh kelompok A adalah jumlah fasilitas sedangkan contoh kelompok B adalah variabel jarak menuju fasilitas, waktu tempuh dan ongkos tempuh ke fasilitas tertentu. b. Menyusun matriks data dalam sheet yang berbeda c. Menghitung indeks fasilitas per 1000 penduduk pada kelompok A d. Menghitung Invers Indeks data pada kelompok B dengan menggunakan persamaan Bij =1/Xij, dimana Bij adalah indeks invers data sedangkan Xij adalah nilai data wilayah I variabel ke j e. Menghitung bobot indeks penciri untuk variabel kelompok A dengan persamaan Iij= Xijn/Xij αj, dimana i=1,2,….,n menunjukkan jumlah wilayah dan j=1,2,…,p menunjukkan jumlah variabel penciri. Data ini untuk menghitung nilai minimum dan standar deviasi untuk kebutuhan tahapan berikutnya.
Tabel 1. Matrik hubungan antara tujuan penelitian, jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran pada setiap tahapan penelitian No
Tujuan Penelitian
1Analisis tingkat perkembangan desa-desa dalam kawasan hutan
2Analisis perubahan penggunaan lahan dalam kawasan hutan
3Analisis pengaruh faktor fisik lahan, demografi dan kebijakan penggunaan kawasan hutan terhadap perubahan penggunaan lahan
4Prediksi penggunaan lahan selama 13 tahun mendatang
5Merumuskan arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani
Jenis Data
Sumber Data
Data jumlah dan jenis BPS, P4W IPB, fasilitas Provinsi Lampung Data jumlah penduduk data aksesibilitas (Data Podes tahun 2003 dan tahun 2011)
BPS
Citra landsat Tahun Biotrop, EarthExplorer 2000 dan 2013, Peta USGS, Planologi batas kawasan hutan Kementerian Kehutanan produksi Gedong Wani Keluaran tujuan 1 dan - Keluaran tujuan 1 dan 2 2, peta tanah, peta - Balai Besar Penelitian lereng, peta jarak dari Sumberdaya Lahan jalan, peta jumlah Kementan, penduduk, peta pinjam - Dinas Kehutanan pakai dan tukar menukar Provinsi Lampung. kawasan hutan Peta kesesuaian lahan - Keluaran tujuan 2 dan matrik tranformasi - Peta Kesesuaian Lahan. perubahan penggunaan lahan Keluaran tujuan 3, - Kementerian Kehutanan Keluaran tujuan 4, - Dinas Kehutanan KebijakanProvinsi Lampung, kebijakan/Peraturan Bappeda Provinsi Perundang-undangan Lampung
Teknik Analisis
Keluaran
Analisis Skalogram
- Hirarki desa dalam kawasan hutan - Indeks perkembangan desa
Teknik interpretasi citra dengan metode klasifikasi tidak terbimbing dan interpretasi visual Overlay SIG Overlay Regresi Logistik
- Peta penggunaan lahan - Matrik perubahan penggunaan lahan
Simulasi Model Cellular Automata Overlay
Peta prediksi penggunaan lahan 13 tahun kedepan
- Sintesis keluaran tujuan 3 dan tujuan 4 dengan kebijakan peraturan perundang-perundangan - Overlay SIG
Arahan dan skenario kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani.
Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan.
17
f.
Melakukan pembakuan indeks untuk seluruh variabel termasuk variabel kelompok A dan kelompok B, sehingga hasil akhir adalah indeks baku yang diperoleh dari persamaan berikut:
Kij =
(Xij-min(Xj) Sj
Kij adalah nilai baku indeks hirarki untuk wilayah ke-i dan ciri ke-j, Iij adalah nilai bobot indeks penciri untuk wilayah ke-i dan ciri ke-j, min (Xj) adalah nilai minimum indeks pada ciri ke-j, dan Sj adalah standar deviasi. g.
Mengkelaskan wilayah. Hirarki wilayah dalam hal ini dibagi menjadi 3 yaitu tinggi, sedang dan rendah. Untuk menyusun kelas hirarki dari indeks baku ini maka terlebih dahulu dicari parameter-parameter rataan Xj dan standar deviasi. Wilayah dengan Hirarki I (Tingkat perkembangan tinggi) adalah wilayah-wilayah yang nilai jumlah indeks bakunya paling tidak sama dengan nilai rataan ditambah dengan standar deviasi. Wilayah berhirarki II adalah wilayah dengan nilai hirarki paling tidak sama dengan nilai rataan indeksnya. Wilayah berhirarki III adalah wilayah dengan nilai indeks hirarki kurang dari nilai rataan indeks diseluruh wilayah. Hirarki 1 Hirarki 2 Hirarki 3
ƩKij> Rataan (Kij) + Stdev (Kij) Rataan (Kij)<ƩKij < Rataan (Kij) + Stdev (Kij) ƩKij < Rataan (Kij).
Analisis Penggunaan Lahan dan Deteksi Perubahan Tahapan yang digunakan pada interpretasi citra landsat tahun 2000 dan tahun 2013 untuk mengklasifikasikan penutupan/penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani adalah sebagai berikut: a.
b.
c.
Pemotongan Batas Area Penelitian Pemotongan batas area penelitian diperlukan untuk melakukan clip citra landsat untuk memperoleh wilayah yang akan dianalisis, yaitu kawasan hutan produksi Gedong Wani. Rektifikasi Citra Citra Landsat terlebih dahulu dilakukan rektifikasi/koreksi geometri agar posisinya sesuai dengan posisi objek di permukaan bumi. Klasifikasi Penutupan/Penggunaan Lahan Klasifikasi penutupan/penggunaan lahan dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) yaitu klasifikasi citra satelit yang secara otomatis diputuskan oleh komputer dengan tidak menggunakan training set area atau campur tangan operator dalam pengelompokan gugus-gugus spektral. Campur tangan operator baru dilakukan setelah gugus spektral terbentuk, yaitu menandai tiap gugus sebagai objek tertentu (Danoedoro, 2012).
18
Kombinasi band yang digunakan adalah band 5,4,3 (RGB) pada citra landsat TM 5 tahun 2000 dan kombinasi band 6,5,4 (RGB) pada citra landsat TM 8. Kombinasi band ini memberikan rona natural colour yang menampakan informasi terbaik dalam identifikasi penutupan lahan. Dalam penentuan identifikasi objek, pertimbangan kenampakan objek (klasifikasi manual) secara visual digunakan sebagai pertimbangan/alat bantu dalam identifikasi hasil klasifikasi tidak terbimbing. Hasil interpretasi ini hanya dapat membedakan tiga tipe penutupan lahan yaitu tutupan lahan bervegetasi, lahan terbuka dan tubuh air. Karena pada dasarnya klasifikasi multispectral secara langsung hanya dapat diterapkan untuk pemetaan penutupan lahan (land cover), dan bukan penggunaan lahan (land use). Aspek penggunaan lahan diturunkan dari informasi penutup lahannya dengan cara melalui pemasukan informasi bantu atau ancillary data (Donoedoro, 2012). Dengan informasi bantu dari data RTRW, peta-peta tematik kehutanan, citra SPOT tahun 2010, Bing Map dan ground cek lapangan serta informasi dari petugas di lapangan dan masyarakat, maka dari tiga tipe penutupan lahan tersebut diturunkan ke dalam enam tipe penggunaan lahan yaitu area terbangun, hutan, perkebunan rakyat, ladang, perkebunan PTPN dan tubuh air. Hasil interpretasi citra landsat kemudian digunakan sebagai peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2000 dan 2013 pada skala 1 : 50.000. Pengertian dari enam tipe penggunaan lahan tersebut sebagian mengacu pada sistem standar nasional Indonesia (SNI) nomor 7645 tahun 2010 tentang klasifikasi penutupan lahan dan sebagian yang lain penggunaan istilah dan pengertiannya dimodifikasi untuk memperjelas batasan antara satu tipe penggunaan lahan dengan tipe penggunaan lahan yang lainnya. Area terbangun dicirikan oleh adanya subtitusi penutup lahan yang bersifat alami atau semi alami oleh penutup lahan yang bersifat artificial dan biasanya kedap air. Dalam interpretasi yang termasuk kategori area terbangun adalah pemukiman dan jaringan jalan. Untuk hutan dicirikan dengan liputan vegetasi dominan dan tekstur agak kasar, bentuk tekstur hutan pada lokasi penelitian mirip dengan bentuk tekstur perkebunan PTPN, untuk itu informasi bantu dari petugas lapangan dan masyarakat digunakan untuk memutuskan suatu tipe penggunaan lahan termasuk hutan atau kebun. Tipe penggunaan lahan untuk ladang merupakan area yang digunakan untuk kegiatan pertanian dengan jenis tanaman semusim di lahan kering. Dalam interpretasi ini, adanya masa bera pada ladang sehingga menyebabkan area terbuka dan ketidakmampuan interpreter mengidentifikasi penggunaan lahan untuk tanaman padi sawah tadah hujan maka area terbuka dan pertanian sawah tadah hujan termasuk dalam kategori ladang. Perkebunan adalah lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian tanpa pergantian tanaman selama 2 tahun. Ada dua tipe perkebunan di lokasi penelitian yaitu perkebunan PTPN dan perkebunan rakyat. Perkebunan PTPN adalah perkebunan yang diusahakan oleh PTPN, batas area ini merupakan area konflik tumpang tindih antara kehutanan dengan PTPN, informasi bantu dari instansi kehutanan digunakan untuk memutuskan tipe penggunaan lahan
19
perkebunan PTPN. Perkebunan rakyat adalah perkebunan yang diusahakan oleh rakyat, dalam interpretasi lokasi perkebunan rakyat bersifat menyebar bercampur dengan pemukiman dan ladang. Selanjutnya, untuk tipe penggunaan lahan tubuh air dicirikan dengan penampakan perairan. Kategori tubuh air dalam penelitian ini adalah sungai, rawa, waduk dan atau genangan air. Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan cara tumpang susun (overlay) peta penggunaan lahan tahun 2000 dengan peta penggunaan lahan tahun 2013. Analisis perubahan penggunaan lahan menghasilkan matriks transformasi perubahan penggunaan lahan dengan contoh matriks ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Contoh matriks transformasi perubahan penggunaan lahan
Tahun t0
Tipe Penutupan/Pengg unaan Lahan
Area Terbangun
Hutan
Tahun t1 Ladan Perkebuna g n PTPN
Perkebuna n Rakyat
Tubuh Air
Jumlah
Area Terbangun
Area Terbangun t0
Hutan
Hutan t0
Ladang
Ladang t0 Perkebunan PTPN t0 Perkebunan Rakyat t0
Perkebunan PTP Perkebunan Rakyat Tubuh Air
Tubuh Air t0 Area Terbangun t1
Jumlah
Hutan t1
Ladan g t1
Perkebuna n PTPN t1
Perkebuna n Rakyat t1
Tubuh Air t1
Keterangan: : tidak berubah
: berubah
Analisis Pengaruh Faktor Fisik Lahan, Demografi dan Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Analisis pengaruh faktor fisik lahan, demografi dan kebijakan penggunaan kawasan hutan terhadap perubahan penggunaan lahan didekati dengan persamaan regresi logistic biner (logit model). Data hasil peta perubahan penggunaan lahan di-overlay dengan faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan (Tabel 3.). Perubahan tipe penggunaan lahan ke tipe penggunaan lahan lainnya dicari peluang perubahannya dengan persamaan umum logit model yaitu:
P (i/r)
=
e[b0r + Ʃ bjr Xj] 1 + e[b0r + Ʃ bjr Xj]
Dimana : P(i/r) peluang lahan i berubah menjadi lahan r dalam hal ini perubahan penggunaan lahan (Pi/r) yang dianalisis adalah: a). Perubahan penggunaan lahan menjadi perkebunan rakyat
20
b0 bj r r Xj
Nilai 0, bila tidak terjadi perubahan lahan ke perkebunan rakyat Nilai 1, bila terjadi perubahan penggunaan lahan ke perkebunan rakyat b).Perubahan penggunaan lahan menjadi area terbangun Nilai 0, bila tidak terjadi perubahan penggunaan lahan menjadi area terbangun Nilai 1, bila terjadi perubahan penggunaan lahan menjadi area terbangun c). Perubahan penggunaan lahan menjadi ladang Nilai 0, bila tidak teradi perubahan penggunaan lahan ke ladang Nilai 1, bila terjadi perubahan penggunaan lahan menjadi ladang Intersept untuk perubahan menjadi penggunaan lahan r parameter koefisien variabel ke-j untuk perubahan menjadi penggunaan r penggunaan lahan jenis ke-1, ke-2,….dan ke-n variabel bebas faktor penyebab ke-1, ke-2…..ke-n Tabel 3. Variabel bebas yang digunakan dalam model regresi logistik
Variabel Bebas (X) Kelerengan (%) 0% - 3% 3% - 8% 8% - 15% 15% - 17%* Jenis Tanah Inceptisol* Ultisol Jarak dari jalan (m) 0-250 250-500 500-1000
Variabel Bebas (X) Perubahan Hirarki Wilayah Hirarki 1 ke 2* Hirarki 1 ke 3 Hirarki 2 ke 1 Hirarki 2 ke 2 Hirarki 2 ke 3 Hirarki 3 ke 1 Hirarki 3 ke 2 Hirarki 3 ke 3 Pertambahan Jumlah Penduduk (Jiwa) 380 – 1096* (rendah) 1 097 – 1 813 (sedang) 1 814-2 530 (tinggi) 2 531 – 3 247 (sangat tinggi)
1000-2000 2000-4000 * Kebijakan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan HGU Perkebunan PTPN* Belum ada izin pemanfaatan kawasan hutan Pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan Izin resmi penggunaan kawasan hutan untuk industri Pinjam pakai kawasan hutan ke pendidikan Tukar menukar kawasan hutan *Kontrol
21
Pembuatan Peta Kesesuaian Lahan Peta kesesuaian lahan yang dibuat sesuai dengan tipe peggunaan lahan hasil interpretasi citra satelit yaitu area terbangun, hutan, ladang, perkebunan PTPN, perkebunan rakyat dan tubuh air. Adapun kelas kesesuaian lahan yang digunakan hanya dua, yaitu sesuai (S) dan tidak sesuai (N). Parameter yang digunakan untuk analisis kesesuaian area terbangun mengacu kriteria kesesuaian lahan untuk tempat tinggal (gedung) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) dengan kriteria kesesuaian lahan yang digunakan hanya mempertimbangkan lereng dan banjir. Kemiringan lereng 0-8%, kemiringan 8-15% adalah sesuai (S) sedangkan kemiringan di atas 15% tidak sesuai (N). Selanjutnya, terkait dengan banjir, lahan yang tanpa banjir adalah sesuai (S) untuk pemukiman sedangkan lahan jarang-sering banjir termasuk kategori tidak sesuai (N) untuk pemukiman. Kesesuaian untuk tipe penggunaan lahan hutan mengacu pada Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/1981 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Produksi. Walaupun lokasi penelitian sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi tetap, akan tetapi evaluasi lahan berdasarkan ketentuan peraturan tersebut digunakan untuk melihat relevansi antara peraturan dengan kesesuaian lahan aktualnya sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi budidaya untuk pengembangan hutan tanaman. Kriteria fisik kesesuaian untuk hutan produksi memperhatikan dan memperhitungkan lereng (kemiringan) lapangan, jenis tanah dan intensitas hujan. Untuk keperluan penilaian fisik wilayah, setiap parameter tersebut dibedakan dalam 5 tingkatan (kelas) yang diuraikan dengan tingkat kepekaannya terhadap erosi. Skoring fisik wilayah ditentukan oleh total nilai kelas ketiga parameter setelah nilai kelas parameter dikalikan dengan bobot 20 untuk parameter lereng, bobot 15 untuk parameter jenis tanah dan bobot 10 untuk parameter intensitas hujan. Parameter skoring untuk kesesuaian hutan ditunjukkan pada Tabel 4., Tabel 5. dan Tabel 6. Berdasarkan hasil penjumlahan skoring ketiga parameter tersebut suatu wilayah dinyatakan sesuai untuk hutan produksi tetap apabila mempunyai nilai skoring <125, hutan produksi terbatas dengan nilai skoring 125 – 175 dan hutan lindung dengan nilai skoring > 175. Tabel 4. Skoring kelas lereng Kelas Lereng 1 2 3 4 5
Kisaran Lereng (%) 0-8 >8 - 15 >15 - 25 >25 - 45 > 45
Keterangan datar landai agak curam curam sangat curam
Hasil Nilai Kelas x Bobot 20 40 60 80 100
Sumber : Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/1981
22
Tabel 5. Skoring kelas jenis tanah Kelas Tanah 1
Kelompok Jenis Tanah
Kepekaan Terhadap Erosi tidak peka
Hasil Nilai Kelas x Bobot 15
2 3 4
Aluvial. Tanah glei, planosol, hidromorf kelabu, Laterit air tanah Latosol Brown forest soil, Non calcic Andosol, Lateritic Grumusol, Podsolik
agak peka kurang peka peka
30 45 60
5
Regosol, Litosol, Organosol, Rendzina
sangat peka
75
Sumber : Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/1981
Tabel 6 Skoring intensitas hujan Kelas Intensitas Hujan 1 2 3 4 5
Kisaran Curah Hujan
Keterangan
Hasil Nilai Kelas x Bobot
8 -13.6 >13.6 – 20.7 >20.7 – 27.7 >27.7 – 34.8 > 34.8
sangat rendah rendah sedang tinggi sangat tinggi
10 20 30 40 50
Sumber : Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/1981
Parameter yang digunakan untuk kesesuaian penggunaan lahan ladang mengacu pada kriteria kesesuaian lahan pertanian tanaman pangan lahan kering dalam hal ini karena di lokasi penelitian banyak dijumpai tanaman ubi kayu (Manihot esculenta) maka pendekatan parameter kesesuaian lahannya menggunakan kesesuaian ubi kayu. Kriteria kesesuaian lahan untuk ladang ditunjukkan pada Tabel 7. Parameter kesesuaian lahan untuk tipe penutupan lahan perkebunan rakyat mengacu pada kriteria kesesuaian lahan tanaman tahunan sebagaimana tertera pada Tabel 8. Parameter untuk kriteria kesesuaian lahan tubuh air berdasarkan asumsi bahwa kesesuaiannya mengikuti penggunaan lahan aktualnya. Pembuatan peta kesesuaian lahan tiap tipe penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani dilakukan dengan metode matching dengan menumpangsusunkan (overlay) peta-peta tematik sesuai dengan parameter yang ada.
23
Tabel 7. Kriteria kesesuaian lahan untuk ladang No Parameter 1 Curah hujan rata-rata tahunan
Tidak Sesuai (N) < 600 mm dan > 5000 mm Jumlah bulan kering ≤7 >7 Kedalaman efektif > 25 cm >10cm Kelas besarnya butir pada sangat halus, kasar zona perakran halus,agak kasar, agak halus, sedang Batuan Permukaan < 40% ≥ 40% Kemiringan lereng ≤ 16% > 16 % Elevasi* ≤ 1000 mdpl > 1000 mdpl Kelas drainase baik,agak terhambat, Sangat terhambat, agak cepat,sedang, cepat terhambat Banjir F0, F1 F2, F3,F4
2 3 4
5 6 7 8
9
Sesuai (S) 600-5000 mm
Sumber : Kriteria kelompok tanaman pangan Ubi Kayu (Djaenudin et al. 2011), *Kriteria tanaman pangan lahan kering (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007)
Tabel 8. Kriteria kesesuaian lahan untuk perkebunan rakyat No 1
Parameter Curah hujan rata-rata tahunan Kedalaman efektif Kelas besar butir pada zona perakaran
Sesuai (S) 1250 mm-4000 mm
5 6 7 8
Batuan Permukaan Kemiringan lereng Elevasi Kelas drainase
< 50% < 45% ≤ 1000 mdpl cepat, agak cepat, baik
9
Banjir
F0, F1
3 4
≥ 50 m berliat, berdebu halus, berlempung halus, berdebu halus dan kasar
Tidak Sesuai (N) > 4000 mm & < 1250 mm < 50 m berliat, berdebu halus & kasar, berlempung halus dan kasar, berpasir (bukan kuarsa) berskeletal ≥ 50% ≥ 45 % > 1000 mdpl cepat,agak cepat, agak terhambat, terhambat F2, F3,F4
Sumber: Kriteria kesesuaian tanaman tahunan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007)
Prediksi Penggunaan Lahan Prediksi penggunaan lahan dengan pendekatan model spasial perubahan penggunaan lahan berdasarkan prilaku perubahan penggunaan lahan pada selang
24
waktu tertentu yang dilakukan dengan metode Cellular Automata (CA). Cellular automata merupakan model yang bersifat dinamis yang mengintegrasikan dimensi ruang dan waktu (Susilo, 2013). CA adalah suatu permodelan berbasis spasial yang mampu memprediksi kondisi di waktu yang akan datang dari interaksi lokal antar sel pada grid yang teratur (Manson 2001; Hand 2005), dimana sel merepresentasikan penggunaan lahan. Aturan (rule) dibuat sebagai pertimbangan tetangganya yang menjadi dasar perubahan penggunaan lahan. CA terdiri dari beberapa komponen yaitu cell (piksel), state, ketetanggaan/ neighbourhood dan transition ruler / transition function. Skenario perubahan penggunaan lahan pada setiap piksel tergantung pada kesesuaian lahannya, penggunaan lahan periode sebelumnya dan penggunaan lahan tetangganya. Pengaruh ketetanggaan artinya perubahan penggunaan lahan pada suatu piksel akan dipengaruhi oleh penggunaan lahan pada piksel tetangganya. Proses permodelan dilakukan pada software IDRISI dengan menjalankan modul cellular automata-Markov (CA-Markov). Modul ini diproses dengan mengkombinasikan Modul Markov Chain yang menghasilkan Transitional Probability dan MOLA (Multi-Objective Land Allocation) yang melakukan proses iterasi untuk mendapatkan komposisi akhir. Transtitional probability didapat dari modul Markov Chain dengan menumpangsusunkan penggunaan lahan pada dua titik tahun. Diagram alir model Cellular Automata tertera pada Gambar 4.
Penggunaan Lahan t0 (Tahun 2000) Markov Chain
Matrik Transitional Probability t0 dan t1
Filter 5 x 5
Penggunaan Lahan t1 (Tahun 2013) CA Markov
Kesesuaian Lahan
Iterasi Prediksi Penggunaan Lahan t1 Validasi
CA Markov
Iterasi Prediksi Penggunaan Lahan 2026
Gambar 4. Diagram alir model Cellular Automata Peta kesesuaian lahan menjadi salah satu input pada model dimana peta memiliki dua kelas yaitu Suitable (S) dan Non suitable (N) dimana masingmasing kelas diberi bobot yang kemudian dinormalisasi pada filter matriks dengan
25
ukuran yang ditentukan. Filter matriks ini sifatnya bergerak secara horizontal atau vertikal dalam melakukan analisis ketetanggaan pada suatu peta raster. Selanjutnya proses akan menghasilkan peta prediksi penggunaan lahan dengan peta penggunaan lahan pada titik waktu tertentu sebagai titik awal (t0).
Kajian Kebijakan Kajian kebijakan dilakukan dengan analisis isi (content analysis) terhadap produk kebijakan yang telah dikeluarkan. Analisis ini merupakan sebuah teknik mendapatkan deskripsi hubungan isi teks produk kebijakan (peraturan perundangan dan peraturan formal lainnya) dengan fokus kajian penelitian. Kebijakan yang dikaji adalah kebijakan yang berkaitan dengan peraturan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan produksi. Penyusunan Arahan dan Skenario Kebijakan Penataan Pola Ruang Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani Penyusunan arahan dan skenario kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani dilakukan melalui sintesis terhadap analisis perkembangan wilayah, analisis penggunaan lahan serta mempertimbangkan mekanisme pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan berdasarkan Undangundang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Hasil skenario dan arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani disajikan dalam bentuk uraian deskriptif dan ditampilkan secara spasial
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Sejarah Kelompok Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani Kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani adalah kawasan hutan produksi tetap (HP) yang merupakan pengelompokan dari 4 (empat) Register kawasan hutan produksi tetap yaitu KHP Way Ketibung I Reg. 5; KHP Way Ketibung II Reg. 35; KHP Way Kibang Reg 37 dan KHP Gedong Wani Reg. 40. Kawasan hutan ini ditetapkan sejak jaman Belanda yang berlangsung antara tahun 1933 sampai dengan 1941. Pada saat itu Lampung merupakan wilayah keresidenan yang secara administrasi termasuk dalam provinsi Sumatera Selatan. Penetapan dilakukan dengan keputusan (Besluit) Residen. Masing-masing keputusan tersebut adalah: KHP Way Ketibung I Reg 5 telah ditunjuk berdasarkan Besluit Resident Lampung District No. 308 tanggal 31 Maret 1941; KHP Way Ketibung II Reg 35 telah ditunjuk berdasarkan Besluit Resident Lampung District No. 99 tanggal 7 Februari 1933; KHP Way Kibang Reg 37 telah ditunjuk berdasarkan Besluit Resident Lampung District No 311 tanggal
26
31 Maret 1941 dan KHP Gedong Wani Reg 40 telah ditunjuk berdasarkan Besluit Resident Lampung District No. 372 tanggal 12 Juni 1937. Pada tahun 1970an Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung mengeluarkan kebijakan hak pengusahaan hutan kultur (HPHK) pada kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani yang pengelolaannya diserahkan kepada 9 (sembilan) perusahaan diantaranya adalah, PT Mitsugoro, PT. Herma, PT. Lampung Pelletezing Factory (LPF) dan PT. Jadico untuk menanam palawija (jagung, sorgum dan singkong). Menurut Hartoyo (2013) sejak PT. Mitsugoro bangkrut tahun 1979, mantan buruh yang bekerja di PT. Mitsugoro kemudian diberi lahan kompensasi untuk pemukiman, dan transmigrasi lokal di bekas lahan PT Mitsugoro dan PT Herma. Keberadaan pemukiman ini kemudian berkembang menjadi desa-desa yang lokasinya sampai saat ini masih berstatus kawasan hutan negara. Kawasan hutan produksi ini ditunjuk sebagai kawasan hutan melalui Keputusan Menteri Kehutanan nomor 67/Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang Penunjukan Areal Hutan di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Lampung berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan. Pada tahun 1992 dilakukan penaataan batas luar untuk wilayah kabupaten Lampung Timur dengan pengesahan Berita Acara Tata Batas (BATB) oleh Panitia Tata Batas tanggal 26 Maret 1996 dan pengesahan BATB oleh Menteri Kehutanan tanggal 10 April 1997. Pada tahun 1995/1996 dilakukan penataan batas untuk wilayah kabupaten Lampung Selatan dengan pengesahan BATB oleh Panitia Tata Batas tanggal 29 Maret 1996 dan pengesahan BATB oleh Menteri Kehutanan tanggal 6 Oktober 1998. Selanjutnya, pada tahun 1996, Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor 338/KptsII/1996 memberikan izin hutan tanaman industri (HTI) kepada PT Dharma Hutan Lestari (perusahaan patungan PT Inhutani V dan PT LPF). Akan tetapi, sejak reformasi tahun 1998 perusahaan tidak dapat beroperasi akibat kawasan hutan produksi Gedong Wani diokupasi oleh masyarakat. Pada tahun 2000, Menteri Kehutanan dan Perkebunan kembali mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Januari 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Provinsi Lampung dan masih mempertahankan kawasan ini menjadi kawasan hutan produksi tetap. Pada tahun 2010, Menteri Kehutanan menetapkan kelompok kawasan hutan ini menjadi wilayah kelola KPHP Gedong Wani, dan pada tahun 2011 ditindaklanjuti dengan mencabut ijin HTI PT Darma Hutan Lestari melalui Surat Keputusan Nomor 248 /Menhut-II/ 2011 tanggal 2 Mei 2011.
Tata Ruang Wilayah Penguatan status hukum kelompok kawasan hutan produksi Gedung Wani sebagai kawasan peruntukan budidaya kehutanan juga terdapat dalam rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Lampung dan rencana tata ruang wilayah kabupaten (RTRWK) Lampung Selatan dan Lampung Timur, yang masingmasing terdapat dalam peraturan daerah provinsi Lampung nomor 1 tahun 2010 tentang tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Lampung, peraturan daerah kabupaten Lampung Selatan nomor 12 tahun 2012 tentang tata ruang wilayah kabupaten (RTRWK) Lampung Selatan dan Peraturan daerah kabupaten Lampung
27
Timur nomor 04 tahun 2012 tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten (RTRWK) Lampung Timur. Administrasi Kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani secara adminsitrasi terletak di Kabupaten Lampung Timur dan Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung. Secara geografis kawasan ini terletak pada 105º 17’ 40” sampai dengan 105º 32’ 35” Merdian Timur dan 05º 10’ 00” sampai dengan 05º 32’ 30” Lintang Selatan. Pada kawasan ini terdapat 39 Desa yang tersebar di 11 kecamatan. Masing-masing adalah 27 desa pada 6 kecamatan termasuk dalam wilayah administrasi kabupaten Lampung Selatan dan 11 desa pada 5 kecamatan termasuk dalam wilayah administrasi kabupaten Lampung Timur (Gambar 5.) Selain itu, wilayah kawasan hutan produksi Gedong Wani merupakan daerah hinterland dari kota Bandar Lampung, karena kecamatan Jati Agung, Natar, Tanjung Bintang dan Merbau Mataram secara geografis posisinya berbatasan langsung dengan kota Bandar Lampung sebagai ibu kota provinsi Lampung.
Gambar 5. Peta administrasi dan jumlah penduduk di kawasan hutan produksi Gedong Wani. Kependudukan Jumlah penduduk yang berada pada desa-desa yang masuk dalam wilayah kawasan hutan produksi Gedong Wani pada tahun 2003 berjumlah 132 789 jiwa dari 31 649 keluarga dan pada tahun 2011 meningkat jumlahnya jadi 150 424 jiwa dari 40 487 keluarga (Tabel 9). Dari data tersebut menunjukkan peningkatan
28
jumlah penduduk selama hampir 10 tahun pada kecamatan yang wilayahnya termasuk dalam kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani sebesar 13.2 %. Tabel 9.
Jumlah penduduk dan keluarga pada kecamatan dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani 2003 2011 Kecamatan Penduduk Keluarga Penduduk Keluarga Batanghari 3 664 987 4 044 1 227 Jati Agung 21 039 5 474 22 848 6 225 Katibung 25 113 6 085 28 354 7 230 Margatiga 1 995 533 Merbau Mataram 9 919 2 577 12 141 3 279 Metro Kibang 6 627 1 677 7 506 2 093 Natar 6 155 2 365 6 875 1 651 Sekampung 4 279 1 138 6 687 1 947 Sekampung Udik 9 013 2 487 9 949 2 766 Tanjung Bintang dan 46 980 8 859 50 025 13 536 Tanjung Sari 132 789 31 649 150 424 40.487
Sumber : Data Podes tahun 2003 dan 2011
Mata Pencaharian Mata pencaharian penduduk yang dominan pada kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani adalah pertanian. Dari jumlah keluarga yang ada pada tahun 2003 sebanyak 26 404 keluarga atau 83 % merupakan keluarga petani sedangkan pada tahun 2011 jumlah keluarga petani meningkat menjadi 29 050 keluarga atau 73 % dari jumlah keluarga pada tahun tersebut. Perubahan persentase jumlah keluarga petani ini menunjukkan telah terjadi perubahan mata pencaharian penduduk dari tahun 2003 ke tahun 2011 dari pertanian ke non pertanian sebesar 10 % . Perubahan jumlah keluarga petani tahun 2003 dan 2011 ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Perubahan jumlah keluarga petani tahun 2003 dan 2011 di kawasan hutan produksi Gedong Wani
29
Karakteristik Fisik Wilayah Iklim Kawasan hutan produksi Gedong Wani termasuk beriklim basah dengan curah hujan rerata tahunan berkisar antara 1966-2580 mm, dan rerata hariannya antara 60-444 mm. Tipe hujan menurut Schmidt dan Ferguson (1951) dalam Djaenudin (2006) termasuk B, sedangkan zona agroklimatnya menurut Oldeman et al. (1978) dalam Djaenudin (2006) termasuk C1 dengan jumlah bulan basah antara 5 sampai 6 bulan, dan bulan keringnya < 3 bulan
Topografi Ketinggian tempat kawasan hutan produksi Gedong Wani sebagian besar berada pada 25 -50 mdpl dengan luasan mencapai 53.1%. Pada ketinggian 3-25 mdpl dengan luasan mencapai 15.4 % merupakan daerah sempadan sungai yang sering mengalami genangan pada saat musim penghujan. Kemiringan lereng kawsan hutan produksi Gedong Wani cukup bervariasi antara 0%-3% dengan topografi datar, 3%-8% dengan topografi berombak, 8%-15% dengan topografi bergelombang dan 15%-17% dengan topografi berbukit. Ketinggian tempat dan kemiringan lereng kawasan hutan produksi Gedong Wani masing-masing disajikan pada Tabel 10 dan Tabel 11, sebaran spasialnya ditampilkan pada Gambar 7 dan Gambar 8. Tabel 10. Ketinggian tempat (mdpl) pada kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani No Ketinggian Luas (ha) % 1 3-25 mdpl 4 648 15.4 2 25-50 mdpl 16 008 53.1 3 50-75 mdpl 4 340 14.4 4 75-100 mdpl 4 002 13.3 5 100-125 mdpl 1 002 3.3 6 125-150 mdpl 128 0.4 7 150-175 mdpl 18 0.1 Jumlah 30 146 100 Tabel 11. Kemiringan lereng pada kawasan hutan produksi Gedong Wani. No 1 2 3 4
Kelas Lereng 0%-3% (Datar) 3%-8% (Berombak) 8%-15% (Bergelombang) 15%-17% (Berbukit) Jumlah
Luas (ha) 26 602 3 423 117 3 30 146
% 88.24 11.36 0.39 0.01 100.00
30
Gambar 7. Peta ketinggian tempat kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani.
Gambar 8. Peta kelas lereng kelompok Jenis Tanah kawasan hutan produksi Gedong Wani.
31
Berdasarkan peta satuan lahan dan tanah lembar Tanjung Karang Sumatera sheet 1110, di lokasi penelitian didominasi satuan lahan grup dataran tuf masam dan dataran. Jenis tanah yang mendominasi pada dataran tuf masam pada tingkat Great group adalah Dystropept dan Kanhapludult, berpenampang sedang sampai dalam, tekstur umumnya halus dan drainase baik. Kesuburan tanahnya rendah sampai sangat rendah demikian pula kandungan bahan organiknya. Jenis tanah Dystropept mempunyai kandungan hara yang lebih baik. Sebagian besar jenis tanah kanhapludult mempunyai sifat fisik yang jelek disebabkan banyak terdapat lapisan kedap air. Pada cekungan dan pelembahan (dataran rendah) dijumpai jenis tanah Tropaquept yang berpenampang sedang, tekstur halus, dan drainase terhambat. Jenis tanah utama yang dijumpai pada grup dataran adalah Kanhapludult, Dystropept, Hapludult dan Tropaquepts. Karena jenisnya yang sama maka karakterisik tanah pada group dataran ini juga hampir mirip dengan dataran tuf masam (Dai, et al. 1989) Jenis tanah Dystropept dan Tropaquept pada tingkat order, dalam taksonomi tanah USDA termasuk pada order Inceptisol sedangkan jenis tanah Kanhapludult termasuk dalam order Ultisol. Jenis tanah pada kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani ditampilkan pada Tabel 12 dan sebaran spasialnya ditampilkan pada Gambar 9. Tabel 12. Jenis tanah pada kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani No 1 2
Jenis Tanah Inceptisol Ultisol Jumlah
Luas (ha) 8 727 21 420 30 146
% 29% 71% 100%
Gambar 9. Peta jenis tanah tingkat ordo pada kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani
32
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Wilayah
Perkembangan wilayah diasumsikan dengan banyaknya jumlah dan jenis fasilitas yang ada di suatu wilayah. Asumsi ini menurut Panuju, et al. (2012) berdasarkan bahwa penduduk mempunyai kecenderungan untuk bergerombol di suatu lokasi dengan kondisi fisik, sosial dan ekonomi yang secara relatif terbaik untuk komunitasnya. Daerah dengan fasilitas umum terlengkap merupakan pusat bagi daerah di sekitarnya. Melalui analisis skalogram akan diperoleh gambaran karakteristik perkembangan wilayah. Penentuan tingkat hirarki wilayah berdasarkan kelengkapan fungsi pelayanan yang dapat disediakan oleh suatu wilayah, sehingga dapat diidentifikasi wilayah yang berfungsi sebagai pusat/inti dan wilayah-wilayah hinterlandnya. Unit wilayah yang mempunyai jumlah sarana dan jenis fasilitas umum dengan kuantitas dan kualitas yang relatif paling lengkap akan menjadi pusat pelayanan atau mempunyai hirarki yang lebih tinggi dibandingkan dengan unit wilayah lain yang jumlah fasilitasnya lebih rendah. Tingkat perkembangan wilayah dapat dicerminkan oleh nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD) pada analisis skalogram. Semakin tinggi IPD maka semakin berkembang atau maju desa tersebut. Hasil identifikasi terhadap jumlah desa yang wilayahnya termasuk dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani sebanyak 39 desa. Dari ke-39 desa ini, hanya 32 desa yang informasinya tercatat pada data potensi desa (PODES) tahun 2003. Sisanya sejumlah 7 desa merupakan desa-desa pemekaran yang baru terbentuk setelah tahun 2003. Nilai indek perkembangan desa dan penentuan hirarki wilayah ditunjukkan pada Tabel 13 Tabel 13. Nilai indek perkembangan desa dan penentuan hirarki wilayah Tahun Uraian 2003 2011 Minimal IPD 8.13 16.73 Maksimal IPD 70.18 65.22 Rataan 31.92 27.6 Standar Deviasi 14,76 11.2 Hirarki I IPD > 61.44 IPD > 50 Hirarki II 31.92
Hasil analisis menunjukkan nilai rataan IPD pada tahun 2003 adalah 31.92 dengan nilai IPD terendah 8.13 dan nilai IPD tertinggi 70.18. Nilai tertinggi diperoleh Desa Talang Jawa kecamatan Merbau Mataram kabupaten Lampung Selatan dan nilai terendah diperoleh desa Budi Lestari kecamatan Tanjung Bintang kabupaten Lampung Selatan. Sedangkan nilai rataan IPD pada tahun 2011 adalah
33 27.6 dengan nilai tertinggi 65.23 dan nilai terendah 16.73. Desa yang menempati nilai tertinggi adalah desa Jati Baru kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan dan desa yang menempati nilai terendah adalah desa Gunung Agung kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur. Jumlah desa berdasarkan hirarkinya disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Jumlah desa pada setiap kecamatan berdasarkan tingkat hirarki Kecamatan Batanghari Jati Agung Katibung Marga Tiga Merbau Mataram Metro Kibang Natar Sekampung Sekampung Udik Tanjung Bintang Tanjung Sari Jumlah
Ʃ Desa Hirarki 1 2000 2011
1
Ʃ Desa Hirarki 2 2000 2011 1 2 3 2 3 2 1 1
1 1 1
2
1 1 2 13
1 1 1 2
2 13
Ʃ Desa Hirarki 3 2000 2011 3 2 2 2
4 3 1 3 2
1 1 4 3 18
2 5 4 24
Berdasarkan Tabel 14. jumlah desa yang berhirarki I tahun 2003 dan 2011 berjumlah 1 dan 2 desa. Desa hirarki I pada tahun 2003 adalah desa Talang Jawa kecamatan Merbau Mataram Kabupaten Lampung Selatan dan pada tahun 2011 adalah desa Jati Baru kecamatan Tanjung Bintang kabupaten Lampung Selatan serta desa Karya Mukti kecamatan Sekampung kabupaten Lampung Timur. Menurut Panuju, et al.(2012) wilayah yang menempati hirarki wilayah lebih tinggi atau berhirarki I merupakan wilayah yang memiliki fasilitas terlengkap secara relatif dibandingkan dengan wilayah lainnya. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2003 desa Talang Jawa dan tahun 2011 desa Jati Baru dan desa Karya Mukti merupakan desa yang mengalami perkembangan wilayah yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan desa lain yang wilayahnya termasuk dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani. Penempatan hirarki I pada desa Talang Jawa juga disebabkan karena jumlah penduduknya yang hanya 2% dari total penduduk yang berada di Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani akan tetapi memiliki jumlah dan jenis fasilitas yang paling lengkap pada tahun 2003. Hal ini berbeda dengan desa hirarki I pada tahun 2011, desa Jati Baru yang memiliki jumlah penduduk paling banyak yaitu 6% dari total jumlah penduduk di kawasan hutan produksi Gedong Wani dengan jumlah dan jenis fasilitas paling lengkap. Menurut Tarigan (2005) desa dengan hirarki wilayah paling tinggi termasuk dalam kategori desa swasembada karena fasilitasnya yang paling lengkap dan mudah dijangkau. Selain kelengkapan fasilitas, wilayah yang menempati hirarki wilayah tertinggi juga dicirikan dengan adanya fasilitas penciri yang keberadaannya langka dan berimplikasi terhadap pergerakan masyarakat untuk memperoleh layanan
34 terkait fasilitas tersebut (Panuju, et al. 2012). Fasilitas yang menjadi penciri pada Desa Talang Jawa tahun 2003 adalah adanya fasilitas pendidikan berupa Sekolah Menengah Umum Negeri. Fasilitas penciri desa Jati Baru tahun 2011 adalah adanya fasilitas jasa keuangan yaitu Bank Perkreditan Rakyat dan KUD. Adanya fasilitas penciri menunjukkan bahwa keberadaan fasilitas tersebut hanya terdapat pada satu desa dan tidak terdapat pada desa yang lainnya. Selanjutnya desa yang termasuk dalam hirarki II atau desa dengan tingkat perkembangan sedang pada tahun 2003 dan 2011 masing-masing berjumlah 13 desa. Lokasi desa desa ini menyebar dan tidak selalu berdampingan dengan desa desa yang mempunyai hirarki I. Bahkan sebagian besar desa yang termasuk hirarki II posisinya dikelilingi oleh desa dengan hirarki III. Dalam konsep wilayah nodal kondisi seperti ini menurut Rustiadi, et al. ( 2011) menunjukkan adanya hubungan fungsional antara subwilayah dan inti. Suatu wilayah dapat mempunyai beberapa inti dengan hirarki tertentu. Sub wilayah inti dengan hirarki yang lebih tinggi merupakan pusat bagi beberapa sub wilayah inti yang mempunyai hirarki yang lebih rendah. Oleh karena itu, desa dengan hirarki II merupakan pusat pelayanan bagi wilayah sekitarnya yang hirarkinya lebih rendah. Dari sisi perkembangan wilayah, desa dengan hirarki II mempunyai tingkat perkembangan dan fasilitas relatif sedang artinya jumlah dan jenis fasilitasnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan desa yang berhirarki I dan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan desa yang berhirarki III. Desa dengan hirarki III pada tahun 2003 dan 2011 masing-masing sebanyak 18 desa dan 24 desa. Desa – desa ini merupakan desa dengan tingkat perkembangan relatif rendah karena nilai Indek perkembangan desa di bawah rataan nilai IPD. Menurut Tarigan (2005) desa dengan fasilitas yang minim dan tidak mudah dalam menjangkau fasilitas tersebut termasuk kategori desa swadaya. Adanya fasilitas penciri yang tidak dimiliki desa lain pada desa dalam hirarki III, biasanya tidak terlalu berimplikasi pada pergerakan masyarakat untuk memperoleh layanan fasilitas tersebut. Dengan demikian desa hirarki III merupakan wilayah yang terlayani oleh desa lain yang hirarkinya lebih tinggi atau dengan kata lain merupakan wilayah hinterland dari wilayah yang lainnya. Sebaran hirarki wilayah desa-desa dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani ditampilkan pada Gambar 10 dan Gambar 11. Perubahan hirarki wilayah disajikan pada Tabel 15. Perubahan hirarki wilayah pada desa-desa dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2003 dan 2011. Terdapat 16 desa mengalami perubahan hirarki wilayah masing masing adalah perubahan hirarki 1 ke hirarki 2 sejumlah 1 desa, hirarki 2 ke hirarki 3 sejumlah 8 desa, hirarki 3 ke hirarki 1 sejumlah 2 desa dan hirarki 3 ke hirarki 2 sejumlah 5 desa. Sejumlah 22 desa hirarkinya tetap masing-masing adalah desa dengan hirarki 2 yang tetap menjadi hirarki 2 sejumlah 7 desa dan hirarki 3 yang tetap menjadi hirarki 3 sejumlah 15 desa, sedangkan 1 desa yaitu desa Tri Sinar kecamatan Marga Tiga pada tahun 2003 tidak ada data. Namun demikian desa Tri Sinar untuk kepentingan analisis selanjutnya diasumsikan merupakan desa dengan hirarki 3 pada tahun 2003. Adanya perubahan hirarki wilayah menunjukkan adanya keterlibatan pemerintah dalam menyediakan fasilitas dan peran masyarakat sehingga terjadi perubahan status desa. Menurut Tarigan (2005) peningkatan status desa erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi di desa tersebut.
35
Gambar 10. Peta hirarki desa-desa dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2003
Gambar 11. Peta hirarki desa-desa dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2011
36 Tabel 15. Perubahan hirarki desa tahun 2003 / 2011 Hirarki Kecamatan
Desa
Tahun 2003
Merbau Mataram Batanghari Sekampung Udik Tanjung Bintang Jati Agung Tanjung Sari Katibung Batanghari Jati Agung Tanjung Bintang Natar Jati Agung Katibung Katibung Merbau Mataram Tanjung Sari Tanjung Bintang Tanjung Bintang Metro Kibang Jati Agung Sekampung Tanjung Sari Tanjung Sari Metro Kibang Metro Kibang Sekampung Sekampung Merbau Mataram Tanjung Sari Jati Agung Tanjung Sari Merbau Mataram Tanjung Bintang Jati Agung Sekampung Udik Katibung Katibung Tanjung Bintang Marga Tiga
Talang Jawa Buana Sakti Gunung Agung Jati Indah Margo Lestari Mulyo Sari Neglasari Purwodadi Mekar Sidoharjo Srikaton Sukadamai Sumber Jaya Tanjungagung Tanjungratu Triharjo Wonodadi Budi Lestari Jatibaru Jaya Asri Karang Rejo Karya Mukti Kertosari Malang Sari Margo Jaya Margo Sari Mekar Mukti Mekar Mulya Panca Tunggal Purwodadi Dalam Purwotani Sidomukti Sinar Karya Sinar Ogan Sinar Rejeki Sindang Anom Tanjungan Trans Tanjungan Trimulyo Tri Sinar
Hirarki 1 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 23 Hirarki 2 Hirarki 22 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 34 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 35 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 31 Hirarki 31 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3
1,2,3,4
Tahun 2011
Perubahan Hirarki
Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 1 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 1 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3
1 Ke 2 2 Ke 2 2 Ke 3 2 Ke 3 2 Ke 3 2 Ke 3 2 Ke 2 2 Ke 2 2 Ke 2 2 Ke 3 2 Ke 2 2 Ke 2 2 Ke 3 2 Ke 2 2 Ke 3 2 Ke 3 3 Ke 3 3 Ke 1 3 Ke 3 3 Ke 3 3 Ke 1 3 Ke 3 3 Ke 2 3 Ke 2 3 Ke 3 3 Ke 2 3 Ke 2 3 Ke 3 3 Ke 3 3 Ke 3 3 Ke 2 3 Ke 3 3 Ke 3 3 Ke 3 3 Ke 3 3 Ke 3 3 Ke 3 3 Ke 3 No Data
adalah desa-desa pemekaran yang datanya belum tercantum dalam Podes 2003. 1Pemekaran dari desa Karya Mukti; 2Pemekaran dari Desa Jati Indah; 3Pemekaran dari desa Buana Sakti; 4 Pemekaran dari Desa Marga Jaya dan 5 Pemekaran dari desa Kertosari.
37 Perubahan hirarki wilayah pada 39 desa dalam 10 tahun terakhir menjadi indikasi perkembangan wilayah desa di kawasan hutan produksi Gedong Wani, yang tidak sesuai dengan tujuan peruntukan kawasan hutan. Secara Nasional desa yang berada dalam kawasan hutan berjumlah 19.420 desa (BPS, 2007,2009). Desa-desa tersebut menjadikan kawasan hutan sebagai lahan tanaman pangan dan lahan perkebunan. Keberadaan desa yang terus berkembang dalam kawasan hutan menurut Kartodihardjo (2008) disebabakan legalitas desa yang telah ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri belum ditetapkan legalitasnya terkait dengan kawasan hutan negara yang ditempatinya. Selanjutnya Kartodihardjo (2012) menyatakan bahwa keberadaan desa dalam kawasan hutan meskipun berdasarkan hukum positif dianggap melanggar hukum, namun dalam kenyataannya secara sosial politik, tidak ada perlakuan apapun dan oleh karena itu dari waktu kewaktu terus berkembang. Perkembangan desa dapat menimbulkan konflik atau ancaman kerusakan sumberdaya hutan, maupun dari sisi masyarakat, mereka tidak mendapat legalitas akses secara jelas terhadap manfaat hutan negara. Untuk itu, perkembangan wilayah desa dalam kawasan hutan perlu diantisipasi agar tidak menimbulkan efek penyebaran (spread effect) terhadap wilayah desa sekitarnya. Menurut Tarigan (2005) desa yang berkembang kemungkinan akan mendorong desa tetangganya untuk berkembang, karena adanya keterkaitan kegiatan antar desa. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani Tahun 2000 dan Tahun 2013 Penggunaan lahan dan penutupan lahan pada hakekatnya berbeda walaupun sama-sama menggambarkan keadaan fisik lahan. Penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada suatu bidang lahan, sedangkan penutupan lahan lebih merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut (Lilisand, et al. 1993). Perubahan penggunaan lahan adalah fenomena kompleks, yang merefleksikan interaksi antara manusia dengan lingkungannya (Munroe et al. 2007). Interpretasi penggunaan/penutupan lahan pada kawasan hutan produksi Gedong Wani terdiri dari 6 (enam) kelas yaitu area terbangun, hutan, perkebunan rakyat, perkebunan PTPN, ladang dan tubuh air. Area terbangun sesuai dengan cirinya dalam interpretasi adalah pemukiman dan jalan. Hutan yang dimaksud dalam interpretasi adalah hutan tanaman yang pernah dibangun oleh PT. Darmala Hutan Lesari (PT DHL). Untuk perkebunan rakyat adalah tanaman perkebunan yang ditanam oleh masyarakat, di lapangan banyak dijumpai tanaman karet dan kelapa sawit. Perkebunan PTPN merupakan tanaman perkebunan yang diusahakan oleh PTPN dalam hal ini merupakan area tumpang tindih yang batasnya sudah dipetakan oleh instansi kehutanan, sehingga interpretasinya mengacu pada batas yang ada. Untuk ladang merupakan lahan terbuka, atau lahan-lahan yang ditanami tanaman pangan lahan kering termasuk sawah tadah hujan. Pegertian tubuh air pada interpretasi merupakan genangan air, sungai, waduk ataupun rawa. Luas setiap tipe penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani periode tahun 2000 dan 2013 disajikan pada Tabel 16 dan Gambar 12.
38 Tabel 16. Penggunaan/penutupan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani Penggunaan Lahan Area Terbangun Hutan Ladang Perkebunan PTPN Perkebunan Rakyat Tubuh Air Jumlah
Tahun 2000 Luas (ha) % 2 943 9.8 1 155 3.8 12 798 42.5 192 0.6 11 181 1 876 30 146
37.1 6.2 100
Tahun 2013 Luas (ha) % 3 245 10.8 34 0.1 11 092 36.8 192 0.6 13 670 1 913 30 146
45.3 6.3 100
Perubahan Luas (ha) % 302 1 -1 121 3,7 -1 706 5.7 0 0 2 489 37
8.3 0.1
Gambar 12. Luas penggunaan/penutupan lahan pada kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2000 dan 2013. Tabel 16 dan Gambar 12 menunjukkan bahwa penggunaan/penutupan lahan terbesar pada tahun 2000 adalah ladang dengan luasan 12 798 ha atau 42.5% dari total luas kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani. Penggunaan/Penutupan lahan terbesar kedua pada tahun 2000 adalah perkebunan rakyat dengan luas 11 181 ha atau 37.1 %. Penggunaan/penutupan lahan terbesar tahun 2013 didominasi oleh penggunaan lahan perkebunan rakyat seluas 13 670 ha atau 45.3% dan kemudian ikuti oleh penggunaan lahan ladang dengan luas 11 092 ha atau 36.8% . Luas area terbangun menempati urutan ketiga yaitu seluas 2 943 ha pada tahun 2000 dan meningkat jumlahnya menjadi 3 245 ha pada tahun 2013. Luas hutan yang seharusnya menjadi penggunaan/penutupan lahan dominan di kawasan hutan produksi Gedong Wani justru menunjukkan jumlah luas yang minimal yaitu hanya 1 115 ha atau 3.8 % pada tahun 2000 dan jumlahnya menurun menjadi 34 ha atau 0.1 % pada tahun 2013. Penurunan luas hutan sebesar 1121 ha hingga hanya menjadi 34 ha, menunjukkan bahwa hutan tanaman yang di bangun oleh PT. DHL pada tahun 1996 tidak terkelola dengan baik, sehingga dijarah oleh masyarakat. Menurut Kusworo (2000) pembabatan hutan tanaman oleh masyarakat berlangsung sejak reformasi bergulir tahun 1997/1998. Masyarakat beranggapan bahwa adanya hutan tanaman industri yang dikelola PT. DHL telah merampas lahan-lahan garapan masyarakat desa–desa di kawasan hutan produksi Gedong Wani
39 diantaranya adalah desa Sinar Rejeki, Sidorejo, Karanganyar (Karang Rejo), Sumber Jaya, Sukadamai, Marga Jaya, Karya Mukti dan Trisinar Penggunaan lahan area terbangun mengalami kenaikan luasan hingga 302 ha menunjukkan bahwa kebutuhan area terbangun meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk di kawasan hutan produksi Gedong Wani yaitu dari jumlah penduduk pada tahun 2003 sebesar 132 789 jiwa menjadi 150 424 jiwa pada tahun 2011. Menurut Munibah, et al. (2010) semakin meningkatnya jumlah penduduk, berdampak pada semakin tingginya aktifitas manusia terhadap lahan. Peningkatan penduduk memiliki konsekuensi terhadap perkembangan ekonomi yang menuntut kebutuhan lahan untuk permukiman, industri, infrastruktur dan jasa (Munibah, 2008). Bertambahnya luas area terbangun hingga mencapai luas 3245 ha merupakan hasil konversi hutan seluas 25 ha, ladang 105 ha, perkebunan rakyat 167 ha dan tubuh air seluas 6 ha Pengurangan luas ladang sebesar 1 706 ha, menunjukkan adanya peralihan penggunaan lahan untuk budidaya tanaman pangan menjadi penggunaan lahan untuk kegiatan budidaya lainnya. Masyarakat di kawasan hutan produksi Gedong Wani banyak beralih menanam tanaman perkebunan pada ladang garapannya untuk komoditas jenis karet dan sawit, karena komoditas ini dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi dan mudah dalam perawatannya. Perubahan penggunaan lahan menjadi ladang merupakan hasil konversi hutan seluas 591 ha, perkebunan rakyat 3 790 ha dan tubuh air 492 ha. Perkebunan PTPN tidak mengalami perubahan luas dan tetap konstan seluas 192 ha. Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan PTPN dikelola dengan baik, sehingga walaupun lokasinya merupakan bagian dari kawasan hutan produksi Gedong Wani akan tetapi masyarakat mengakui bahwa kawasan ini merupakan wilayah kelola perkebunan PTPN. Konsistensi luasan perkebunan PTPN ditengah perebutan penggunaan ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani menjadi suatu bukti bahwa pengelolaan kawasan ditingkat lapangan menjadi hal yang penting bagi keberlanjutan suatu kawasan yang peruntukannya sudah ditetapkan. Peningkatan luas pada perkebunan rakyat seluas 2 489 ha atau 8.3% dari luas kawasan hutan produksi Gedong Wani menunjukkan bahwa komoditas perkebunan dianggap lebih menguntungkan secara ekonomis. Harga karet dan sawit yang relatif tinggi dan pasar yang mudah menjadi daya tarik masyarakat untuk mengembangkan komoditas tersebut di kawasan hutan produksi Gedong Wani. Hal ini tidak berlaku untuk pengembangan tanaman kayu-kayuan, masyarakat enggan melaksanakan budidaya tanaman kayu-kayuan karena prosedur administrasi pemanenan kayu dalam kawasan hutan dianggap sulit oleh masyarakat. Disamping itu, penanaman kayu dianggap tidak memberikan hasil harian seperti halnya karet dan sawit. Bertambahnya luas perkebunan rakyat merupakan hasil konversi hutan seluas 474 ha, ladang 6 040 ha serta tubuh air seluas 583 ha. Luas tubuh air relatif konstan yaitu sekitar 6.2% dari luas kawasan. Di kawasan hutan produksi Gedong Wani banyak dijumpai sungai diantaranya sungai Way Galih, Way Kandis dan Way Katibung, semua sungai ini bermuara di sungai Way Sekampung. Perubahan penggunaan lahan tahun 2000-2013 disajiakan pada Tabel 17. Pola dan sebaran spasialnya ditunjukkan pada Gambar 13, 14 dan 15.
40 Tabel 17. Perubahan penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani dari tahun 2000 ke tahun 2013 Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2000-2013 (ha) Area Terbangun
Area Terbangun
Hutan
Ladang
25
Ladang
105
Jumlah Tahun 2013
Tubuh Air
Jumlah Tahun 2000
2 943 34
591
474
32
1 155
6 219
6 040
435
12 798
Perkebunan PTPN
Tubuh Air
Perkebunan Rakyat
2 943
Hutan
Perkebunan Rakyat
Perkebunan PTPN
192
192
167
3 790
6 574
651
11 181
6
492
583
795
1 876
13 670
1 913
30 146
3 245
34
11 092
192
Dari gambaran pola perubahan penggunaan lahan pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa penggunaan lahan area terbangun seluas 2 943 ha tahun 2000 tidak mengalami perubahan ke penggunaan lahan lainnya. Area terbangun berupa pemukiman dan sarana-prasarana umum investasi pembangunan (public capital investement) seperti jaringan jalan, sekolahan, kantor-kantor pemerintahan, jaringan listrik dan sebagainya bersifat kaku atau rigid yaitu sekali dibangun akan sulit diubah atau dipindahkan letaknya. Selain itu, ditinjau dari keterkaitan land rent, area pemukiman mempunyai land rent yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Menurut Rustiadi et al. (2011) bahwa hukum pasar akan mengarah pada penggunaan lahan dengan land rent tertinggi dan sifat pergeseran penggunaan lahan berlangsung secara searah serta bersifat irreversible (tidak dapat balik). Dalam hal ini, lahan pertanian yang telah digunakan untuk pembangunan pemukiman dan sarana-prasarana fisik hampir tidak mungkin untuk berubah kembali menjadi penggunaan lahan pertanian. Penggunan lahan yang juga tidak mengalami fluktuasi perubahan adalah perkebunan PTPN. Perkebunan PTPN merupakan perkebunan yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi Hak Guna Usaha (HGU). Menurut UU No 5/1960 HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara guna usaha pertanian, perikanan atau peternakan dalam jangka 35 tahun dan dapat diperpanjang hingga 25 tahun. Adanya kewajiban dan prasyarat yang harus dipenuhi oleh pemegang izin HGU untuk melaksanakan usaha sesuai dengan peruntukan izin, mengusahakan sendiri tanah HGU dengan baik, memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumberdaya, dan tidak menelantarkan lahan menjadi pedoman bagi pemegang izin untuk mengelola lahannya dengan sebaik mungkin. Adanya pengelolaan yang baik pada lahan HGU perkebunan PTPN berdampak pada legitimasi/pengakuan dari masyarakat, sehingga perkebunan ini dapat bertahan dalam luasannya sesuai dengan fungsinya sebagai area perkebunan.
6 219 ha
6 040 ha Ladang 12 798 Ha
435 ha
105 ha
2013
2000
2013
2000
6 574 ha Ladang Perkebunan Rakyat
Perkebunan Rakyat 11 181 Ha
3 790 ha
795 ha
Tubuh Air
Ladang
583 ha
Perkebunan Rakyat
Tubuh Air 1 876 Ha Tubuh Air
167 ha
Area Terbangun
492 ha
36 ha
Ladang Area Terbangun
c
b
a
2013
Perkebunan Rakyat
651 ha
Tubuh Air Area Terbangun
2000
2013
2000 591 ha
Ladang 2000
474 ha Hutan 1 155 Ha
34 ha
Perkebunan Rakyat Hutan
Area Terbangun 2 943 Ha
2013 2 943 ha
e
32 ha
Area Terbangun
2013
2000 Perkebunan PTPN 192 Ha
192 ha
Perkebunan PTPN
f
Tubuh Air 25 ha
Area Terbangun
d
Gambar 13. Pola perubahan penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2000 - 2013
42
Gambar 14. Peta penggunaan/penutupan lahan kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2000
Gambar 15. Peta penggunaan/penutupan lahan kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2013
43
Analisis Pengaruh Faktor Fisik Lahan, Demografi dan Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan lahan merupakan suatu proses perubahan penggunaan lahan ke penggunaan lahan lain yang dapat bersifat sementara maupun permanen, hal ini merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang, baik untuk tujuan komersil maupun industri. Menurut McNeil et al. (1998) faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi dan budaya. Faktor yang mempengaruhi perubahan lahan hutan menjadi lahan pertanian menurut Munibah (2008) adalah bentuk lahan, kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, jarak dari jalan raya dan mata pencaharian masyarakat. Dalam menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani periode tahun 20002013 digunakan faktor fisik lahan, demografi dan kebijakan penggunaan kawasan hutan. Perubahan penggunaan lahan yang dianalisis adalah perubahan penggunaan lahan menjadi lahan perkebunan rakyat, areal terbangun dan ladang. Analisis dilakukan dengan regresi logistik binner, dengan variabel tak bebas berupa perubahan penggunaan lahan dan variabel bebas yang digunakan sesuai dengan faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan yaitu perubahan hirarki wilayah, kebijakan pemanfaatan/penggunaan kawasan hutan, jarak dari jalan, pertambahan jumlah penduduk, kelas lereng dan jenis tanah. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh dari masing-masing variabel bebas terhadap perubahan penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani. Faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi perkebunan rakyat di kawasan hutan produksi Gedong Wani Hasil analisis hubungan perubahan penggunaan lahan menjadi perkebunan rakyat di kawasan hutan produksi Gedong Wani dengan regresi logistik menunjukkan bahwa nilai Omnibus test pada taraf nyata 5% sebesar 0.000, yang artinya model signifikan secara statistik Berdasarkan nilai odds ratio, secara umum ada 1 variabel bebas yang diduga berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi perkebunan rakyat, yaitu jenis tanah. Jenis tanah Ultisol merupakan jenis tanah mempunyai peluang sebesar 1.23 kali lebih besar dibandingkan dengan jenis tanah Inceptisol. Hal ini berarti bahwa kejadian perubahan penggunaan lahan menjadi perkebunan rakyat pada periode tahun 2000 sampai dengan 2013 di kawasan hutan produksi Gedong Wani banyak terjadi pada jenis tanah Ultisol. Menurut Hardjowigeno (1993) jenis tanah Ultisol merupakan tanah tua yang penggunaannya sebaiknya dihutankan atau untuk perkebunan dengan tanaman tahunan karena jenis tanah ini telah mengalami pencucian unsur hara. Tanah Ultisol hanya mampu memberikan hasil produksi untuk sistem pertanian ladang pada tahun pertama, selama unsur-unsur hara dipermukaan tanah yang terkumpul melalui proses biocycle belum habis. Reaksi tanah yang masam, kejenuhan basa rendah, kadar Al yang tinggi, kadar
44
unsur hara yang rendah merupakan penghambat utama untuk pertanian tanaman pangan. Oleh karena itu penggunaan untuk hutan (tanaman tahunan) atau perkebunan dapat mempertahankan kesuburan tanah karena proses recycling. Hasil lengkap analisis regresi logistik disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan lahan menjadi perkebunan rakyat
Jenis_Tanah Ultisol Jumlah_Penduduk Jumlah_Penduduk 1097-1813 Jumlah_Penduduk 1814-2530 Jumlah_Penduduk 2531-3247 Kelas_Lereng Kelas_Lereng 0-3% Kelas_Lereng 3-8% Kelas_Lereng 8-15% Hirarki_Wilayah Hirarki_Wilayah 2 ke 2 Hirarki_Wilayah 2 ke 3 Hirarki_Wilayah 3 ke 1 Hirarki_Wilayah 3 ke 2 Hirarki_Wilayah 3 ke 3 Kebijakan pemanfaatan Kawasan Kehutanan Kebijakan izin resmi untuk industri Kebijakan pinjam pakai untuk pertambangan Kebijakan pinjam pakai untuk pendidikan dan penelitian Kebijakan tukar menukar untuk pengembangan kota baru Lampung Belum ada izin pemanfaatan kawasan hutan Jarak_dari_jalan Jarak_dari_jalan 0-250 m Jarak_dari_jalan 250 - 500 m Jarak_dari_jalan 500 – 1000 m Jarak_dari_jalan 1000-2000 m Constant *) Taraf nyata α = 5%
B
S.E.
Wald
df
Sig.
.21
.10
-.06 -.11 -.14
.15 .14 .13
-1.10 -.96 -.69
.69 .69 .72
-.12 -.26 .00 -.27 -.30
.24 .22 .25 .25 .22
4.61 1.25 .15 .61 1.14 6.43 2.58 1.94 .92 5.74 .28 1.42 .00 1.15 1.86
1 3 1 1 1 3 1 1 1 5 1 1 1 1 1
.03* .74 .70 .44 .29 .09 .11 .16 .34 .33 .60 .23 .99 .28 .17
32.48
5
.00
Exp(B)= Odd Rasio 1.23 .95 .90 .87 .33 .38 .50 .88 .77 1.00 .77 .75
-.08
.43
.03
1
.86
.92
-.33
.46
.52
1
.47
.72
.42
.47
.80
1
.37
1.52
-1.11
.45
6.15
1
.01
.33
.40
.33
1.51
1
.22
1.49
.27 .27 .27 .27 .83
11.55 .93 .16 .01 .49 .08
4 1 1 1 1 1
.02 .33 .69 .93 .49 .78
.77 .90 1.03 1.21 1.26
-.26 -.11 .03 .19 .23
45
Faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi area terbangun di kawasan hutan produksi Gedong Wani Hasil analisis hubungan perubahan penggunaan lahan menjadi area terbangun di kawasan hutan produksi Gedong Wani dengan regresi logistik menunjukkan bahwa nilai Omnibus test pada taraf nyata 5% sebesar 0.000, yang artinya model signifikan secara statistik. Berdasarkan nilai Nagelkerke R Square sebesar 0.111 dapat diketahui bahwa 11.1% variasi dari perubahan penggunaan lahan menjadi area terbangun di kawasan hutan produksi Gedong Wani dapat dijelaskan oleh variabel bebas yang digunakan dalam analisis atau dengan kata lain 88.9% variasi dari perubahan penggunaan lahan menjadi areal terbangun di kawasan hutan produksi Gedong Wani dijelaskan oleh faktor lain. Hasil lengkap analisis regresi logistik disajikan pada Tabel 19. Berdasarkan nilai odds ratio, ditunjukkan bahwa secara umum ada 2 variabel bebas yang dinyatakan berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi area terbangun di kawasan hutan produksi Gedong Wani, yaitu pertambahan jumlah penduduk dan kebijakan kehutanan. Variabel bebas lainnya tidak berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi area terbangun di kawasan hutan produksi Gedong Wani. Variabel kebijakan izin resmi penggunaan kawasan untuk industri atau pabrik, tukar menukar kawasan untuk pengembangan kota baru Lampung dan variabel belum ada kebijakan izin pemanfaatan kawasan hutan berpengaruh nyata terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi area terbangun di kawasan hutan produksi Gedong Wani, dengan peluang 8.34 kali, 7.69 kali dan 5.21 kali lebih besar dibandingkan dengan peluang HGU perkebunan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk sektor non kehutanan memang digunakan untuk pembangunan fisik industri pabrik tapioka yang berada di kecamatan Jati Agung oleh PT Darma Agrindo dan di kecamatan Katibung oleh PT. Langgeng Cakra Lestari. Kebijakan tukar menukar kawasan hutan untuk pembangunan kota baru Lampung dapat dijelaskan pada saat ini telah dan sedang dilaksanakan pembangunan infrastruktur jalan dan kantor pemerintahan. Untuk variabel belum ada kebijakan pemanfaatan kawasan hutan secara spasial penggunaan lahan kawasan yang belum berizin mempunyai luas yang paling dominan dimana pemanfaatannya untuk area terbangun sebesar 9.8% pada tahun 2000 dan meningkat jumlahnya menjadi 10.8% pada tahun 2013. Variabel pertambahan jumlah penduduk sangat tinggi sebesar 2531-3247 jiwa berpengaruh nyata terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi area terbangun di kawasan hutan produksi Gedong Wani, dengan peluang 2.43 kali lebih besar dibandingkan dengan peluang pertambahan jumlah penduduk rendah sebesar 380-1096 jiwa. Hal ini diduga pertambahan penduduk akan meningkatkan kebutuhan terhadap perumahan, sehingga pertambahan penduduk paling tinggi di kawasan hutan produksi Gedong Wani berimplikasi terhadap perubahan penggunaan lahan untuk area terbangun menjadi lebih banyak dari tahun sebelumnya.
46
Tabel 19. Faktor yang diduga berpengaruh perubahan lahan menjadi area terbangun
Jenis_Tanah Ultisol Jumlah_Penduduk Jumlah_Penduduk 1097-1813 Jumlah_Penduduk 1814-2530 Jumlah_Penduduk 2531-3247 Kelas_Lereng Kelas_Lereng 0-3% Kelas_Lereng 3-8% Kelas_Lereng 8-15% Hirarki_Wilayah Hirarki_Wilayah 2 ke 2 Hirarki_Wilayah 2 ke 3 Hirarki_Wilayah 3 ke 1 Hirarki_Wilayah 3 ke 2 Hirarki_Wilayah 3 ke 3 Kebijakan penggunaan Kawasan Hutan Kebijakan izin resmi untuk industri Kebijakan pinjam pakai untuk pertambangan Kebijakan pinjam pakai untuk pendidikan dan penelitian Kebijakan tukar menukar untuk pengembangan kota baru Lampung Belum ada izin pemanfaatan kawasan hutan Jarak_dari_jalan Jarak_dari_jalan 0-250 m Jarak_dari_jalan 250 - 500 m Jarak_dari_jalan 500 – 1000 m Jarak_dari_jalan 1000-2000 m Constant *) Taraf nyata α = 5%
B
S.E.
Wald
df
Sig.
.13
.15
-.17 .40 .89
.27 .25 .23
19.76 19.54 18.46
1.33 1.33 1.33
-.63 -.35 -1.22 -1.09 -.66
.30 .27 .38 .35 .26
.75 31.98 .42 2.52 15.53 6.63 .00 .00 .00 18.10 4.50 1.67 10.06 9.77 6.20
1 3 1 1 1 3 1 1 1 5 1 1 1 1 1
.39 .00 .52 .11 .00* .09 1.00 1.00 1.00 .00 .03 .20 .00 .00 .01
13.83
5
.02
Exp(B) = Odd rasio 1.13 .84 1.49 2.43 3.83 3.06 1.04 .53 .71 .30 .34 .52
2.12
.68
9.77
1
.00*
8.34
-17.59
4.62
.01
1
1.00
.00
.59
.80
.55
1
.46
1.80
2.04
.71
8.35
1
.00*
7.69
1.65
.61
7.35
1
.01*
5.21
.55 .56 .56 .61 1.33
44.74 3.31 .77 .17 1.50 .00
4 1 1 1 1 1
.00 .07 .38 .68 .22 1.00
2.73 1.63 1.26 .48 .00
1.01 .49 .23 -.74 -23.81
Faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi ladang di kawasan hutan produksi Gedong Wani Hasil analisis hubungan perubahan penggunaan lahan menjadi ladang di kawasan hutan produksi Gedong Wani dengan regresi logistik menunjukkan bahwa nilai Omnibus test pada taraf nyata 5% sebesar 0.000, yang artinya model
47
signifikan secara statistik. Berdasarkan nilai Nagelkerke R Square sebesar 0.111 dapat diketahui bahwa 11.1% variasi dari perubahan penggunaan lahan menjadi ladang di kawasan hutan produksi Gedong Wani dapat dijelaskan oleh variabel bebas yang digunakan dalam analisis atau dengan kata lain 88.9% variasi dari perubahan penggunaan lahan menjadi ladang di kawasan hutan produksi Gedong Wani dijelaskan oleh faktor lain. Hasil lengkap analisis regresi logistik disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan lahan menjadi ladang B Jenis_Tanah Ultisol Jumlah_Penduduk Jumlah_Penduduk 1097-1813 Jumlah_Penduduk 1814-2530 Jumlah_Penduduk 2531-3247 Kelas_Lereng Kelas_Lereng 0-3% Kelas_Lereng 3-8% Kelas_Lereng 8-15% Hirarki_Wilayah Hirarki_Wilayah 2 ke 2 Hirarki_Wilayah 2 ke 3 Hirarki_Wilayah 3 ke 1 Hirarki_Wilayah 3 ke 2 Hirarki_Wilayah 3 ke 3 Kebijakan penggunaan Kawasan Kehutanan Kebijakan izin resmi untuk industri Kebijakan pinjam pakai untuk pertambangan Kebijakan pinjam pakai untuk pendidikan dan penelitian Kebijakan tukar menukar untuk pengembangan kota baru Lampung Belum ada izin pemanfaatan kawasan hutan Jarak_dari_jalan Jarak_dari_jalan 0-250 m Jarak_dari_jalan 250 - 500 m Jarak_dari_jalan 500 – 1000 m Jarak_dari_jalan 1000-2000 m Constant *) Taraf nyata α = 5%
S.E. .13
.15
-.17 .40 .89
.27 .25 .23
19.76 19.54 18.46
1.33 1.33 1.33
-.63 -.35 -1.22 -1.09 -.66
.30 .27 .38 .35 .26
Wald
df
Sig.
.75 31.98 .42 2.52 15.53 6.63 .00 .00 .00 18.10 4.50 1.67 10.06 9.77 6.20
1 3 1 1 1 3 1 1 1 5 1 1 1 1 1
.39 .00 .52 .11 .00* .09 1.00 1.00 1.00 .00 .03 .20 .00 .00 .01
13.83
5
.02
Exp(B) = Ood Rasio 1.13 .84 1.49 2.43 3.83 3.06 1.04 .53 .71 .30 .34 .52
2.12
.68
9.77
1
.00*
8.34
-17.59
4.62
.01
1
1.00
.00
.59
.80
.55
1
.46
1.80
2.04
.71
8.35
1
.00*
7.69
1.65
.61
7.35
1
.01*
5.21
.55 .56 .56 .61 1.33
44.74 3.31 .77 .17 1.50 .00
4 1 1 1 1 1
.00 .07 .38 .68 .22 1.00
2.73 1.63 1.26 .48 .00
1.01 .49 .23 -.74 -23.81
48
Berdasarkan nilai odds ratio, ditunjukkan bahwa secara umum ada 2 variabel bebas yang dinyatakan berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi ladang di kawasan hutan produksi Gedong Wani, yaitu kebijakan penggunaan kawasan hutan dan pertambahan jumlah penduduk. Variabel bebas kebijakan yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi ladang adalah pinjam pakai kawasan untuk industri atau pabrik, tukar menukar kawasan untuk pengembangan kota baru Lampung dan belum ada kebijakan izin penggunaan kawasan hutan. Variabel bebas pertambahan jumlah penduduk yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi ladang adalah pertambahan jumlah penduduk sangat tinggi sebesar 2531-3247 jiwa. Variabel kebijakan izin resmi penggunaan kawasan hutan untuk industri atau pabrik, tukar menukar kawasan hutan untuk pengembangan kota baru Lampung dan variabel belum ada izin pemanfaatan/penggunaan kawasan hutan berpengaruh nyata terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi ladang di kawasan hutan produksi Gedong Wani, dengan peluang 8.34 kali, 7.69 kali dan 5.21 kali lebih besar dibandingkan dengan peluang HGU perkebunan. Hal ini diduga pada variabel kebijakan izin resmi penggunaan kawasan hutan untuk industri atau pabrik, penggunaan lahannya tidak hanya dimanfaatkan untuk pembangunan fisik pabrik/industri akan tetapi juga dimanfaatkan untuk area terbuka sebagai bagian dari proses produksi seperti area penjemuran produk atau lahan-lahan parkir kendaraan yang dalam interpretasi citra landsat teridentifikasi sebagai area terbuka atau ladang. Untuk variabel kebijakan tukar-menukar kawasan menjadi kota baru Lampung, saat ini area yang sudah di land clearing sebagian besar masih dimanfaatkan oleh masyarakat untuk ladang tanaman singkong. Variabel belum ada kebijakan izin pemanfaatan/penggunaan kawasan hutan secara spasial penggunaan lahan kawasan yang belum berizin mempunyai luas yang paling dominan yaitu pada tahun 2000 penggunaan lahan untuk ladang sebesar 48.5 % dari luas kawasan dan pada tahun 2013 jumlahnya menurun menjadi 36.8%. Variabel pertambahan jumlah penduduk sangat tinggi sebesar 2531-3247 jiwa berpengaruh nyata terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi ladang di kawasan hutan produksi Gedong Wani, dengan peluang 2.43 kali lebih besar dibandingkan dengan peluang pertambahan jumlah penduduk rendah sebesar 3801096 jiwa. Hal ini diduga pertambahan jumlah penduduk akan meningkatkan kebutuhan lahan untuk bercocok tanam tanaman pangan. Pertumbuhan penduduk paling besar berada di kecamatan Tanjung Bintang dan Tanjung Sari, pada kedua kecamatan ini banyak dijumpai tanaman padi sawah tadah hujan yang dalam interpretasi citra landsat kurang dapat dibedakan dengan lahan terbuka lainnya sehingga tanaman padi sawah tadah hujan termasuk dalam kategori penggunaan lahan untuk ladang.
Prediksi Penggunaan Lahan
Prediksi penggunaan lahan dilakukan berdasarkan perilaku perubahan penggunaan lahan pada periode 2000 dan 2013. Sebagai referensi dalam pengalokasian suatu penggunaan lahan digunakan peta kesesuaian lahan.
49
Kesesuaian lahan merupakan bentuk evaluasi lahan yaitu suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan atau arahan penggunan lahan sesuai dengan keperluan. Kajian kesesuaian lahan berdasarkan karakteristik fisik lahan Pada penelitian ini, evaluasi penggunaan lahan berdasarkan pada karakteristik fisik lahan yaitu : iklim, kedalaman efektif, tekstur tanah, batuan permukaan, kemiringan lereng, elevasi, drainase dan banjir. Selain unsur fisik evaluasi penggunaan lahan juga berdasarkan pada peraturan yang berlaku. Tipe penggunaan lahan yang dievaluasi adalah area terbangun, hutan, ladang, perkebunan PTPN, perkebunan rakyat dan tubuh air. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan bahwa lahan yang sesuai (S) untuk tipe penggunaan lahan area terbangun, hutan, ladang, perkebunan PTPN, perkebunan rakyat dan tubuh air berkisar antara 1 -100% dan lahan yang tidak sesuai (N) berkisar antara 0-99 %. Luas lahan sesuai (S) dan tidak sesuai (N) pada berbagai tipe penggunaan lahanditunjukkanpada Tabel 21. Peta kesesuaian lahan disajikan pada Gambar 16. Tabel 21. Luas lahan sesuai (S) dan tidak sesuai (N) pada berbagai tipe penggunaan lahan Tipe Penggunaan Lahan
N
S
Jumlah (ha)
ha 1 621
% 5%
ha 28 526
% 95%
Hutan
-
0%
30 146
100%
30 146
Ladang
1 504
5%
28 643
95%
30 146
Perkebunan PTPN
29 955
99%
192
1%
30 146
Perkebunan Rakyat
5 635
19%
24 511
81%
30 146
Tubuh Air
26 371
87%
3 775
13%
30 146
Area terbangun
30 146
Lahan yang tidak sesuai (N) untuk area terbangun seluas 1 621 Ha karena adanya faktor pembatas kelas lereng dan banjir. Faktor pembatas kelas lereng >15% dengan topografi berbukit tidak layak untuk area terbangun karena berpotensi longsor. Banjir dengan genangan relatif lama dapat merusak struktur bangunan. Kesesuaian untuk tipe penggunaan lahan hutan menunjukkan bahwa kawasan ini 100% sesuai (S) untuk hutan. Hasil penjumlahan skoring pada 3 parameter kriteria fisik kesesuaian untuk hutan produksi yaitu lereng (kemiringan) lapangan, jenis tanah dan intensitas hujan mempunyai nilai skoring < 125 yang artinya lahan ini sesuai untuk kawasan hutan produksi tetap.
50
Lahan yang tidak sesuai (N) untuk ladang karena adanya faktor pembatas yaitu banjir, dan kelerengan. Lahan dengan banjir (F2,F3 dan F4) tidak cocok untuk ladang karena terlalu lamanya genangan air. Faktor pembatas kelerengan berada pada kelerengan 15 -17% dengan kondisi topografi berbukit tidak cocok untuk ladang karena berpotensi erosi. Lahan yang tidak sesuai (N) untuk perkebunan rakyat seluas 19% karena adanya faktor pembatas drainase, dan banjir. Faktor pembatas drainase terhambat kurang cocok untuk perkebunan tanaman tahunan karena sering jenuh air dan kekurangan oksigen. Faktor pembatas banjir, menunjukkan lamanya genangan yang dapat mengakibatkan busuknya akar tanaman perkebunan.
(
(
(
b) (b)
a) (a)
c) (c)
( d)
(d)
(e)
(f)
Gambar 16. Kesesuaian lahan (a) Area terbangun, (b) Hutan, (c) Ladang dan (d) Perkebunan Rakyat, serta lokasi (e) Perkebunan PTPN dan (f) Tubuh Air. Untuk perkebunan PTPN diasumsikan bahwa lahan yang sesuai (S) hanya pada lokasi kondisi eksistingnya yaitu sebesar 1% dari total luas kawasan hutan
51
produksi Gedong Wani. Kesesuaian lahan untuk tubuh air diasumsikan dari hasil interpretasi Citra landsat yang menunjukkan tipe penggunaan lahan tubuh air. Lahan yang sesuai (S) untuk tubuh air seluas 13% dari luas kawasan hutan produksi Gedung Wani merupakan sungai atau anak-anak sungai serta genangan rawa. Prediksi penggunaan lahan Prediksi perubahan penggunaan lahan ditujukan untuk mengestimasi penggunaan lahan pada tahun 2026. Penggunaan lahan tahun 2000 digunakan untuk memprediksi penggunaan lahan tahun 2013 dengan memanfaatkan matriks TPM 2000-2013, alokasi penggunaan lahan, moving filter dan berbagai jumlah iterasi selanjutnya digunakan untuk simulasi perubahan. Hasil prediksi penggunaan lahan tahun 2013 kemudian divalidasi dengan menggunakan peta penggunaan lahan hasil interpretasi citra landsat tahun 2013. Keluaran dari hasil validasi adalah nilai kappa, dengan nilai kappa yang semakin tinggi berarti semakin tinggi pula tingkat ketepatan penggunaan lahan hasil simulasi. Nilai kappa terbesar diperoleh pada iterasi ke-30 dengan nilai kappa sebesar 73.24% dan merupakan titik terjadinya break of slope. Menurut Munibah (2008) break of slope adalah titik dimana terjadi perubahan penggunaan lahan yang nyata dan paling efektif untuk menjadi pewakil jumlah iterasi yang digunakan untuk simulasi penggunaan lahan untuk tahun berikutnya. Hasil validasi prediksi penggunaan lahan dengan berbagai iterasi dan nilai kappa ditampilkan pada Gambar 17.
Gambar 17. Hasil validasi model prediksi penggunaan lahan pada berbagai iterasi Hasil prediksi penggunaan lahan tahun 2026 diperoleh penggunaan lahan perkebunan rakyat seluas 46 % dari luas wilayah kawasan hutan produksi Gedong Wani. Selanjutnya adalah ladang seluas 35 %, area terbangun seluas 11.8%, tubuh air seluas 6.6%, perkebunan PTPN seluas 0.6 % dan hutan seluas 0.01%. Hasil prediksi penggunaan lahan tahun 2026 ditampilkan pada Tabel 22. Kecenderungan perubahan penggunaan lahan tahun 2000, 2013 dan prediksi 2026 ditampilkan pada Gambar 18 dan sebaran spasialnya ditampilkan pada Gambar 19.
52
Tabel 22. Prediksi penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2026 Penggunaan Lahan Tahun 2000 Tahun 2013 Tahun 2026 Luas (ha) % Luas (ha) % Luas % (ha) Area Terbangun 2 943 9.8 3 245 10.8 3 547 11.8 Hutan 1 155 3.8 34 0.1 2 0.01 Ladang 12 798 42.5 11 092 36.8 10 539 35.0 Perkebunan PTPN 192 0.6 192 0.6 192 0.6 Perkebunan Rakyat 11 181 37.1 13 670 45.3 13 875 46.0 Tubuh Air 1 876 6.2 1 913 6.3 1 991 6.6 Jumlah 30 146 100 30 146 100 30 146 100
Gambar 18. Kecenderungan perubahan penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2000, 2013 dan 2026
Gambar 19. Peta prediksi penggunaan lahan tahun 2026
53
Kecenderungan perubahan penggunaan lahan dan prediksinya pada masa yang akan datang menunjukan penurunan tegakan hutan yang sangat tajam di kawasan hutan produksi Gedong Wani, disisi lain terjadi peningkatan tipe penggunaan lahan perkebunan rakyat dan area terbangun. Kecenderungan perubahan penggunaan lahan yang terjadi tidak mengarah pada terbentuknya pola ruang yang sesuai dengan fungsi dan peruntukan kawasan hutan produksi, hal ini mengancam keberlanjutan kawasan hutan yang telah ditetapkan. Untuk itu, diperlukan arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan yang dapat mengembalikan kawasan hutan produksi sesuai fungsi dan peruntukannya. Arahan dan Skenario Kebijakan Penataan Pola Ruang Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani
Berdasarkan analisis perkembangan wilayah dan kajian perubahan penggunaan lahan, kebijakan pembangunan kehutanan diarahkan pada antisipasi untuk mengurangi efek penyebaran (spread effect) perkembangan wilayah yang relatif tinggi terhadap wilayah disekitarnya. Wilayah yang berkembang di kawasan hutan produksi dengan tingkat perkembangan tinggi pada tahun 2011 berada di kecamatan Tanjung Bintang, tingginya perkembangan wilayah yang juga diikuti besarnya jumlah penduduk menjadi faktor yang berpengaruh terhadap penggunaan lahan menjadi ladang dan area terbangun. . Selain kecamatan Tanjung Bintang, wilayah yang juga menjadi prioritas pembangunan kehutanan untuk mengurangi dampak perkembangan wilayah adalah kecamatan Jati Agung, karena kecamatan ini mempunyai proporsi luas terbesar pada kawasan hutan produksi yaitu sebesar 35%, walaupun perkembangan wilayah desa-desa di kecamatan Jati Agung relatif sedang dan rendah pada tahun 2011 akan tetapi potensi wilayah ini untuk berkembang lebih tinggi sangat besar, akibat pembangunan kota baru Lampung. Kebijakan penggunaan kawasan hutan melalui mekanime tukar menukar kawasan untuk pembangunan kota baru Lampung menjadi faktor yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi ladang dan area terbangun. Ladang dan area terbangun merupakan penggunaan lahan yang tidak mendukung pada fungsi pokok kawasan hutan. Perubahan penggunaan lahan menjadi ladang dan area terbangun juga dipengaruhi oleh belum adanya izin pemanfaatan/penggunaan kawasan hutan. Lahan yang belum dibebani hak/izin ini mempunyai luas paling besar yaitu 94% dari luas kawasan hutan. Penggunaan lahan ini perlu diatur atau ditata sesuai dengan mekanisme yang ada. Dalam menata dan mengatur pemanfaatan/penggunaan lahan kawasan hutan agar sesuai dengan tujuan yang diinginkan maka proses perencanaan harus dilakukan. Menurut Sirozujilam (2007) perencanaan merupakan penyusunan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan. Selanjutnya Sadyohutomo (2008), menyatakan bahwa untuk mencapai suatu tujuan dalam proses perencanaan paling tidak dibutuhkan 3 unsur pokok tahapan kegiatan yang harus dilalui yaitu titik tolak, tujuan dan arah. Titik tolak, merupakan kondisi awal dari mana kita berpijak di dalam menyusun suatu rencana dan sekaligus nantinya menjadi landasan awal utuk melaksanakan
54
rencana tersebut. Titik tolak perencanaan tata ruang, adalah fakta wilayah kini (existing condition) dalam hal ini penggunaan lahan dan perkembangan wilayah merupakan titik tolak dalam perencanaanan tata ruang di kawasan hutan produksi Gedong Wani. Tujuan, adalah sesuatu keadaan yang ingin dicapai di masa yang akan datang. Kondisi ruang yang diinginkan dalam rencana tata ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani adalah kesesuaiannya antara penggunaan lahan dengan fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Arah merupakan pedoman untuk mencapai rencana dengan cara yang legal, efisien dan terjangkau oleh pelaksana. Pedoman dapat bersifat normatif, antara lain adalah nilai sosial masyarakat dan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan tahapan perencanaan tata ruang, maka dalam merencanakan tata ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani agar sesuai dengan tujuan yang diinginkan masih diperlukan satu kajian yang menjadi arah dan pedoman dalam mencapai tujuan berdasarkan kondisi aktual yang ada. Pedoman yang akan digunakan untuk mencapai tujuan adalah kebijakan terkait pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan produksi. Kajian kebijakan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan produksi Kawasan hutan merupakan wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan tetap. Akibat dari penetapan ini maka segala aktifitas terkait dengan penggunaan lahan di dalam kawasan hutan mengandung konsekuensi hukum (aturan). Terkait dengan kebijakan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan produksi ada beberapa aturan yang menjadi pedoman agar pemanfaatan dan penggunaan kawasan sesuai aturan main yang berlaku. Berdasarkan Undang-Undang no 41 tahun 1999 tentang kehutanan, bahwa pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Dalam hal ini sesuai arahan rencana kehutanan tingkat nasional (RKTN) 2011-2030 mengarahkan pemanfaatan kawasan hutan produksi untuk pengusahaan hutan skala besar dengan skema hak pengusahaan hutan tanaman, hak pengusahaan hutan alam dan hak pengusahaan restorasi ekosistem. Pemanfaatan kawasan hutan produksi untuk pengusahaan hutan skala kecil dengan skema hutan tanaman rakyat (HTR), hutan kemasyarakatan (HKm) dan hutan desa (HD). Selain pemanfaatan untuk sektor kehutanan, kawasan hutan juga digunakan untuk keperluan sektor non kehutanan. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan (UU 41 tahun 1999). Untuk kepentingan non kehutanan penggunaan kawasan hutan dilakukan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan (perubahan peruntukan) serta melalui mekanisme izin pinjam pakai (RKTN 2011-2030) Ketentuan terkait perubahan peruntukan kawasan hutan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2010 jo Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 10 tahun 2010 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Berdasarkan peraturan ini yang dimaksud dengan perubahan peruntukan kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Perubahan peruntukan
55
dan fungsi kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi, manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan, serta keberadaan kawasan hutan yang cukup dan sebaran yang proporsional. Perubahan peruntukan kawasan hutan (pelepasan kawasan) hanya dapat dilakukan pada hutan produksi konversi (HPK). Terkait dengan kawasan hutan produksi tetap seperti kawasan hutan produksi Gedong Wani maka perubahan peruntukan kawasan hutan dapat dilakukan secara parsial melalui mekanisme tukar menukar kawasan hutan. Ketentuan kegiatan tukar menukar kawasan hutan hanya dilakukan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen, menghilangkan enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan kawasan hutan dan memperbaiki batas kawasan hutan. Ketentuan lain terkait dengan lahan pengganti yang dipertukarkan dilakukan dengan ratio 1:2 dalam hal luas kawasan hutan kurang dari 30 % dari luas provinsi. Ketentuan pinjam pakai kawasan hutan diatur dalam peraturan pemerintah Nomor 24 tahun 2010 tentang penggunaan kawasan hutan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2010 dan Permenhut P.18/2011 yang telah diubah sebanyak dua kali yaitu Permenhut P.38/2012 dan Permenhut P.14/2013. Izin pinjam pakai memiliki pengertian izin yang diberikan untuk menggunakan kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Secara ringkas ketentuan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan produksi disajikan pada Gambar 21. Pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk dalam kategori perusakan hutan. Menurut Undang-undang nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang termasuk perusakan hutan adalah pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan tidak sah. Pembalakan liar adalah pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi, sedangkan penggunaan kawasan hutan tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri. Dalam hal penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan secara tidak sah sebagaimana terjadi di dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani maka menurut undang-undang ini harus dikembalikan kepada pemerintah untuk dihutankan kembali sesuai dengan fungsinya. Selama proses pemulihan kawasan hutan, kebun dapat dimanfaatkan paling lama 1 (satu) daur yaitu jangka waktu sejak penanaman sampai dengan tanaman secara ekonomis tidak produktif. Untuk pemanfaatan kebun dalam kawasan hutan, pemerintah dapat memberikan penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara yang memiliki kompetensi kegiatan pengelolaan perkebunan untuk mengelola kebun.
Hak Pengusahaan Hutan Tanaman
Pemanfaatan Kawasan Hutan
Hak Pengusahaan Hutan Alam
Industri Kehutanan Sekala Besar (RKTN 2011-2030)
Restorasi Ekosistem
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pemanfaatan Kawasan Hutan
Sektor Kehutanan
Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu Pemanfaatan Jasa Lingkungan
Rehabilitasi (RKTN 2011-2030)
Hutan Tanaman Rakyat Hutan Kemasyarakatan
Industri Kehutanan Skala Kecil (RKTN 2011-2030)
Hutan Desa Sesuai Fungsi Dan Peruntukan Kawasan Hutan Produksi
UU NO 41 TAHUN 1999 Pinjam Pakai Kawasan Hutan PP No 24/2010,PP No 61/2012, Permenhut P.18/ 2011,Permenhut P.38/2012, Penggunaan Kawasan Hutan
Sektor Non Kehutanan
Permenhut P.14/2013
Tukar Menukar Kawasan Hutan PP No 10/2010, PP No 60/2012
Gambar 21. Mekanisme pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan produksi berdasarkan UU No 41 tahun 1999 dan peraturan turunannya.
57
Arahan skenario penataan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani Dalam penyusunan arahan penataan pola ruang mempertimbangkan keterkaitan penggunaan lahan dengan fungsi dan peruntukan kawasan hutan serta kebijakan terkait pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan produksi berdasarkan UU no 41/1999, khusus penggunaan lahan perkebunan rakyat juga mempertimbangkan UU no 18/2013. Keterkaitan penggunaan lahan dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani dengan fungsi dan peruntukan kawasan hutan disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Keterkaiatan penggunaan lahan dengan fungsi dan peruntukan kawasan hutan produksi Fungsi Kawasan Hutan Produksi Penggunaan Sesuai Hasil Penyedia Jasa Penghasil Lahan Non Lapangan Lingkungan Peruntukan Kayu Kayu Kerja Lainnya √ √ √ √ √ Hutan √ Ladang Perkebunan Rakyat* √ √ √ √ Perkebunan √ √ √ √ PTPN* Area Terbangun √ √ Tubuh Air Keterangan : √ = Sesuai - = Tidak Sesuai * = Komoditas tanaman karet
Berdasarkan Tabel 23. dan kebijakan pemanfaatan/penggunaan lahan dalam kawasan hutan produksi, perumusan alternatif kebijakan penggunaan lahan pada kawasan hutan produksi Gedong Wani sehingga mengarah pada terbentuknya pola ruang yang sesuai dengan fungsi dan peruntukan kawasan hutan produksi adalah sebagai berikut: 1. Hutan Penggunaan lahan untuk hutan memenuhi fungsi dan peruntukan kawasan hutan produksi. Kebijakan yang perlu dilakukan adalah mempertahankan tegakan hutan yang ada saat ini yaitu sekitar 34 ha dan menambah luas tegakan hutan dengan merehabilitasi tipe penggunaan lahan lainnya. Arahan mekanisme pemanfaatan kawasan yang dapat diterapkan adalah dengan pengusahaan hutan skala besar atau pengusahaan hutan skala kecil. 2. Ladang Penggunaan lahan untuk ladang pada kawasan hutan produksi tidak memenuhi fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Arahan kebijakan pemanfaatan kawasan hutan yang dapat diterapkan pada tipe penggunaan lahan ladang adalah melakukan rehabilitasi lahan dengan tanaman kehutanan atau pembangunan
58
hutan tanaman. Skema yang dapat diterapkan adalah dengan pengusahaan hutan skala besar melalui pembangunan hutan tanaman industri atau pengusahaan hutan skala kecil melalui skema hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan atau hutan desa. Pembangunan hutan tanaman pada penggunaan lahan ladang dapat dilakukan dengan sistem tumpang sari agar masyarakat masih dapat memperoleh manfaat ekonomi sebelum tanaman kehutanan berproduksi. 3. Perkebunan Rakyat Penggunaan lahan kawasan hutan untuk perkebunan rakyat dapat memenuhi fungsi kawasan hutan tetapi tidak sesuai dengan peruntukan kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan rakyat saat ini tidak sesuai mekanisme peraturan perundang-undangan dan menurut UU No 18/2013 termasuk dalam kategori perusakan hutan. Terkait dengan perkebunan merupakan bentuk perusakan hutan, terdapat kontradiksi antara maksud UU no.18/2013 dengan hasil kajian penggunaan lahan perkebunan rakyat di lokasi penelitian. Hasil kajian perubahan penggunaan lahan menunjukan bahwa perubahan penggunaan lahan dalam periode tahun 2000-2013 cenderung pada peningkatan perkebunan rakyat sebesar 8.3%. Perubahan ini merupakan hasil konversi ladang seluas 6 040 ha atau 20% dari luasan kawasan hutan produksi Gedong Wani dan konversi hutan tanaman seluas 474 ha atau 1.6% dari luas kawasan hutan produksi Gedong Wani. Selain itu, perubahan penggunaan lahan menjadi perkebunan rakyat di kawasan hutan produksi Gedong Wani banyak terjadi pada jenis tanah Ultisol. Tanah Ultisol merupakan tanah tua dan miskin hara sehingga memiliki kesuburan yang rendah, oleh karena itu untuk mempertahankan kesuburannya penggunaan tanah ini disarankan ditanami tanaman hutan atau perkebunan (tanaman tahunan). Pemanfaatan tanah ultisol oleh masyarakat untuk pengembangan tanaman tahunan perkebunan menunjukan bahwa masyarakat di kawasan hutan produksi Gedong Wani telah memahami kondisi lahan sehingga memperlakukan lahan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya. Berdasarkan hasil kajian tersebut, maka tidak semua perkebunan rakyat di lokasi penelitian merupakan bentuk perusakan hutan, sebagian besar justru merupakan bentuk perbaikan atas penggunaan lahan seperti ladang yang diindikasikan cenderung dapat meningkatkan degradasi lahan. Bahkan, pada pengembangan jenis komoditas tertentu misalnya jenis tanaman karet dapat mempunyai fungsi yang hampir mirip dengan fungsi hutan tanaman. Akan tetapi, sebagai pedoman dalam menyusun arahan kebijakan terkait dengan penggunaan lahan perkebunan rakyat harus tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan UU No 18/2013, kebijakan terkait perkebunan yang tidak sah dalam kawasan hutan adalah dikembalikan kepada Pemerintah untuk dihutankan kembali sesuai dengan fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Selama proses pemulihan perkebunan menjadi hutan, kebun masih dapat dimanfaatkan paling lama 1 (satu) daur yaitu jangka waktu sejak penanaman sampai dengan tanaman tidak produktif secara ekonomi. Dalam pemanfaatan kebun rakyat, Pemerintah dapat menugaskan BUMN yang memiliki kompetensi pada pengelolaan perkebunan.
59
4. Perkebunan PTPN Penggunaan lahan untuk perkebunan PTPN dapat memenuhi fungsi kawasan hutan produksi tetapi tidak sesuai dengan peruntukan kawasan hutan. Kebijakan terkait perkebunan PTPN adalah pemanfaatan kebun paling lama 1 daur hingga tanaman tidak produktif secara ekonomi. Area ini kemudian dapat dihutankan kembali. Akan tetapi, apabila area perkebunan masih dipertahankan sebagai wilayah kelola dari perkebunan PTPN maka harus dilakukan perubahan peruntukan kawasan hutan melalui mekanisme tukar menukar kawasan hutan. 5. Area Terbangun Penggunaan lahan untuk area terbangun tidak dapat memenuhi fungsi kawasan hutan dan tidak sesuai dengan peruntukan kawasan hutan. Kebijakan area terbangun mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: - Lokasi area terbangun berada pada kawasan hutan produksi tetap, sehingga tidak mungkin ada pelepasan kawasan hutan. - Hal yang mungkin dapat dilakukan untuk perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan adalah dengan mekanisme tukar-menukar kawasan hutan. - Mekanisme tukar menukar kawasan hutan terkait pemukiman memenuhi ketentuan kegiatan diluar sektor kehutanan yang bersifat permanen, akan tetapi apabila kebijakan ini diterapkan akan menimbulkan enclave pada kawasan hutan dan menyebabkan kawasan hutan produksi Gedong Wani menjadi terfragmentasi. Hal ini disebabkan keadaan pemukiman dalam kawasan hutan menyebar (dispersed) dengan pola memanjang (linier) yang berorientasi pada jalan utama sehingga membagi kawasan hutan menjadi beberapa bagian. Apabila terjadi enclave akibat tukar menukar kawasan hutan akan berdampak pada ketidakkompakan kawasan hutan yang dapat menimbulkan inefisiensi pengelolaan. - Mekanisme tukar-menukar mensyaratkan adanya lahan pengganti dengan ratio 1:2, artinya dengan kondisi aktual penggunaan lahan saat ini sekitar 3 245 ha area terbangun yang ada di kawasan hutan, maka diperlukan lahan seluas 6495 ha harus tersedia di luar kawasan hutan sebagai pengganti kawasan hutan yang dipertukarkan. Penyediaan lahan seluas ini akan sangat sulit ditemukan di Provinsi Lampung apalagi jika beban penyediaan lahan pengganti tersebut dibebankan pada masyarakat. - Dari berbagai pertimbangan ini maka mekanisme tukar-menukar kawasan hutan untuk area terbangun sulit dilakukan. - Untuk itu, belum adanya strategi generik terkait dengan persoalan area terbangun dalam kawasan hutan, beberapa strategi yang mungkin dapat diadopsi dari Kartodihardjo et al. (2011) terkait arahan strategis menangani konflik tenurial berat dalam kawasan hutan dapat digunakan untuk arahan kebijakan penggunaan lahan area terbangun yaitu: melokalisir seluruh area konflik tenurial berat dalam hal ini adalah area terbangun menjadi daerah tidak efektif produksi sebagai kebijakan transisi dan secara bertahap membangun kolaborasi untuk mencapai tujuan akhir. Mengembangkan tata ruang mikro bersama masyarakat untuk memperkuat
60
norma pemanfaatan masing-masing fungsi ruang yang disepakati masyarakat sebagai kawasan hutan. Merekomendasikan penyelesaian hak melalui mekanisme revisi tata ruang pada area terbangun yang tidak mungkin dipertahankan sebagai kawasan hutan. Intervensi kebijakan terkait penggunaan lahan eksisting, pada kawasan hutan agar kembali berfungsi sesuai peruntukannya hanya dimungkinkan dengan melakukan penanaman tanaman kehutanan pada dua tipe penggunaan lahan yaitu ladang dan perkebunan rakyat yang luasannya saat ini adalah 82,1% . Terdapat dua mekanisme untuk pemanfaatan kawasan hutan produksi yaitu pengusahaan hutan sekala besar (koorporasi) dan pengusahaan hutan skala kecil (masyarakat) Dengan mempertimbangkan perilaku perubahan penggunaan lahan yang mencermikan sikap masyarakat dalam interaksinya terhadap lahan kawasan hutan maka pengembangan hutan tanaman skala besar (korporasi) tidak relevan diterapkan di kawasan hutan produksi Gedong Wani. Hal ini terkait dengan besarnya klaim lahan kawasan hutan oleh masyarakat dan resistensi masyarakat terhadap hutan tanaman industri. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pengusahaan hutan skala kecil berbasis masyarakat adalah hal yang sangat mungkin dapat diterapkan dalam pemanfaatan kawasan hutan produksi Gedong Wani. Skenario arahan penggunaan lahan (penataan pola ruang) kawasan hutan produksi Gedong Wani sebagaimana ditunjukan Gambar 22 adalah sebagai berikut: 1.
Hutan Skenario arahan penggunaan lahan untuk hutan adalah mempertahankan luasnya pada kondisi eksisting yaitu 34 ha untuk tetap dipertahankan sebagai tegakan hutan.
2.
Ladang Skenario arahan penggunaan lahan untuk ladang pada kondisi eksisting (di luar lahan yang diubah peruntukannya melalui tukar menukar kawasan hutan) direhabilitasi dengan tanaman kayu-kayuan jenis cepat tumbuh (fast growing species) melalui mekanisme yang ada. Rehabilitasi ladang dengan mempertimbangkan kesesuaian lahan untuk tanaman tahunan akan dapat menambah pemanfaatan kawasan menjadi tegakan hutan tanaman seluas 7756 ha atau 25.75% . Adanya faktor pembatas drainase yang terhambat dan lamanya genangan banjir menyebabkan 2 251 ha atau sekitar 7.4% ladang tidak sesuai untuk tanaman tahunan secara umum. Oleh karena itu, pada lokasi ini diarahkan untuk ditanami tanaman kehutanan yang mempunyai tingkat toleransi terhadap kedua faktor pembatas kesesuaian lahan tanaman tahunan.
3.
Perkebunan Rakyat Skenario arahan penggunaan lahan untuk perkebunan rakyat seluas 45.33 % dapat tetap dimanfaatkan sebagai kebun sesuai mekanisme yang ada paling lama 1 daur sampai dengan tanaman perkebunan tidak produktif secara ekonomi. Apabila diasumsikan satu daur tanaman perkebunan berumur 20-25 tahun, berdasarkan kajian perubahan penggunaan lahan tahun 2000-2013
61
seluas 6 574 ha atau 22 % lahan kawasan hutan merupakan perkebunan rakyat yang dibangun sebelum tahun 2000 dan tidak mengalami perubahan penggunaan lahan sampai dengan tahun 2013. Hal ini berarti sampai dengan saat ini tanaman perkebunan rakyat tersebut telah mencapai umur > 13 tahun, untuk itu diprediksi 10 tahun ke depan umur tanaman perkebunan mengalami 1 daur produksi, sehingga perkebunan rakyat baru dapat direhabilitasi dengan tanaman kehutanan sekitar tahun 2023. Sisanya, seluas 7 095 ha atau 23.3 % perkebunan rakyat dibangun setelah tahun 2000 hingga tahun 2013, yang berarti bahwa tanaman perkebunan saat ini berumur < 13 tahun, sehingga masa produksinya diperkirakan masih sekitar 15-20 tahun lagi, artinya perkebunan rakyat ini baru dapat direhabilitasi menjadi tegakan hutan sekitar tahun 2030.
Gambar 22. Peta arahan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani
62
4.
Perkebunan PTPN Skenario arahan penggunaan lahan untuk perkebunan PTPN seluas 192 ha atau 0.64 % diarahkan untuk tetap dapat dimanfaatkan sebagai kebun paling lama 1 daur sampai dengan tanaman perkebunan PTPN tidak produktif secara ekonomi. Kemudian, dapat dihutankan kembali dan menjadi bagian dari kawasan hutan produksi Gedong Wani.
5.
Area Terbangun Skenario arahan penggunaan lahan untuk area terbangun (diluar lahan area terbangun yang menjadi bagian pembangunan kota baru Lampung) seluas 3186 ha atau 10.57 % sebagai area tidak efektif produksi hasil hutan. Penggunaan lahan ini harus dibatasi, sehingga tidak semakin bertambah luasnya.
Tubuh air seluas 1 847 ha atau 6.13 % diarahkan untuk tetap dipertahankan sebagai tubuh air. Selain itu, sekitar 4.03 % luas kawasan hutan produksi Gedong Wani telah dilepaskan secara parsial melalui mekanisme izin tukar menukar kawasan hutan untuk pembangunan kota baru Lampung.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh simpulan sebagai berikut: 1.
Tingkat perkembangan desa dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2003 dan 2011 masing-masing adalah desa dengan tingkat perkembangan tinggi berjumlah 1 dan 2 desa. Desa dengan tingkat perkembangan sedang masing-masing berjumlah 13 desa dan desa dengan tingkat perkembangan rendah masing-masing berjumlah 18 dan 24 desa. Desa Jati Baru Kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan merupakan desa dengan tingkat perkembangan paling tinggi tahun 2011.
2.
Perubahan penggunaan lahan pada tahun 2000 ke 2013 di kawasan hutan produksi Gedong Wani menunjukkan luas tegakan hutan berkurang sebesar 3.1%. Penurunan luas tegakan hutan dari 3.2% menjadi 0.1% dan ladang dari 42.6% menjadi 36.8%. Peningkatan luas terjadi pada perkebunan rakyat yaitu dari 37.1% menjadi 45.3% dan area terbangun dari 9.8% menjadi 10.8%. Penggunaan lahan perkebunan PTPN dan tubuh air relatif tetap.
3.
Ditinjau dari aspek fisik lahan, demografi dan kebijakan penggunaan kawasan hutan, peluang terbesar terjadinya perubahan penggunaan lahan menjadi area terbangun dan ladang adalah pada wilayah dengan pertambahan jumlah
63
penduduk sangat tinggi, atau pada wilayah yang terdapat izin resmi penggunaan kawasan hutan untuk industri, atau pada wilayah yang terdapat kebijakan tukar menukar kawasan hutan, dan atau pada wilayah yang belum ada izin pemanfaatan/penggunaan kawasan hutan. Perubahan penggunaan lahan menjadi perkebunan rakyat banyak terjadi pada jenis tanah Ultisol . 4.
Prediksi penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani pada tahun 2026 menunjukkan bahwa luas tegakan hutan terus berkurang hingga menjadi 0.01 %. Peningkatan luas terjadi pada penggunaan lahan perkebunan rakyat sehingga menjadi penggunaan lahan dominan sebesar 46 %, dan area terbangun sebesar 11.8 %, sedangkan penggunaan lahan ladang menurun menjadi 35 %, sisanya merupakan penggunaan lahan perkebunan PTPN, dan tubuh air.
5.
Arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani adalah menambah luas tegakan hutan melalui rehabilitasi lahan pada tipe penggunaan lahan ladang dan perkebunan rakyat melalui mekanisme pemanfaatan kawasan hutan berbasis masyarakat. Rehabilitasi perkebunan rakyat dapat dilakukan setelah tanaman perkebunan tidak produktif secara ekonomi. Kemudian area terbangun dilokalisir sebagai area tidak efektif produksi hasil hutan dan dibatasi agar luasnya tidak semakin bertambah. Prioritas pembangunan kehutanan diarahkan pada antisipasi untuk mengurangi efek penyebaran (spread effect) perkembangan wilayah yang relatif tinggi terhadap wilayah sekitarnya, utamanya pada kecamatan Tanjung Bintang dan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan. Saran
1.
Dalam upaya melibatkan masyarakat untuk pengelolaan hutan produksi Gedong Wani sehingga mengarah pada pola ruang yang sesuai dengan fungsi dan peruntukan kawasan hutan, pemerintah disarankan agar segera memfasilitasi terbentuknya skema pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat seperti hutan tanaman rakyat (HTR), hutan kemasyarakatan (HKm) ataupun hutan desa (HD).
2.
Pertimbangan faktor fisik dalam penataan kawasan hutan produksi Gedong Wani belum cukup optimal jika tidak disertai pertimbangan faktor-faktor non fisik. Untuk itu, disarankan perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih komprehensif terkait dengan kawasan hutan produksi Gedong Wani.
64
DAFTAR PUSTAKA
[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Lampung. 2009. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Lampung. Bandar Lampung: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Lampung. Barlowe, R.1986.Land Resources Economic: The Economic of Real Estate Fourth Edition. Prentice Hall.Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Bupati Lampung Selatan.2012. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 15 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2011-2031. Kalianda : Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan. Bupati Lampung Timur.2012. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur Nomor 04 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lampung Timur Tahun 2011-2031. Sukadana : Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Timur. Chen J., G.Peng, H. Chungyang, L. Wei, T. Masyuki, and S. Peijun.2002. Assessment of the urban development plant of Beijing by using a CAbased urban growth model. International Journal of Photogrammetic Engineering & Remote Sensing. 68(10):1063-1073 Dai, Junus., SWP, D.H., Hidayat,A., Sumulyadi., Hendra, S., Yayat, AH., Hermawan, A., Buurman, P., dan Balsem, T.1989. Buku Keterangan Peta Satuan Lahan dan Tanah Lembar Tanjung Karang, Sumatera. Bogor (ID): Proyek Perencanaan dan Evaluasi Sumberdaya Lahan Pengelolaan Database Tanah, Pusat Penelitian Tanah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Damai, A.A.2006. Pendekatan Sistem Untuk Penataan Ruang Wilayah Pesisir Kota Bandar Lampung [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Danoedoro, P.2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Jogjakarta (ID): Penerbit Andi [Dephut] Departemen Kehutanan. 1999. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan. Jakarta (ID): Kementerian Kehutanan [Dephut] Departemen Kehutanan dan [BPS] Badan Pusat Statistik.2007. Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan 2007. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik. [Dephut]. Departemen Kehutanan dan [BPS] Badan Pusat Statistik.2009. Identifikasi Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan 2009. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik. Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.2012. Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang UPTD KPH Gedong Wani 2013-2022. Bandar Lampung: UPTD KPH GedongWani Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.
65
[Dirjen Planologi] Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.2011.Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi.Jakarta:Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Kementerian Kehutanan. [Dirjen Penataan Ruang] Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum.2008. Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 41/PRT/M/2007.Jakarta:Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Departemen Pekerjaan Umum. Djaenudin, D.2006. Evaluasi lahan mendukung revitalisasi pertanian studi kasus pada tanaman kedelai di daerah Jati Agung dan Tanjung Bintang kabupaten Lampung Selatan. J. Tanah dan Air, 1:1-9. Djaenudin, D., Marwan, H., Subagjo, H., dan A.Hidayat.2011.Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Bogor.36 Hal. [FAO] Food and Agriculture Organitation.1976. Framework for Land Evaluation. FAO Soil Bull. No.32.Rome Hand, C. 2005. Simple Cellular Automata on Spreadsheet. Computer in Higher Education Economic Review 17 (1):9-13 Hardjowigeno S.1993. Evaluasi Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta (ID): Akademika Pressindo. Hardjowigeno S dan Widiatmaka.2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Hartoyo.2013. Resistensi petani terhadap kebijakan pembangunan kota baru Lampung. J. Adminsitrasi Publik dan Pembangunan. 4 (1): 27-36 Hesaki, S.2012. Analisis Perubahan Penggunaan/ Penutupan Lahan di Area Cagar Biosfer Cibodas dalam Mendukung Keberadaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kartodihardjo,H.2004. Pengetahuan Usang Yang Belum Terpakai Akibat Kerusakan Hutan Bagi Perekonomian dan Kesejahteraan Masyarakat serta Akar Masalahnya. Makalah disampaikan dalam diskusi bertema Petani Menggugat, Mencari Keadilan dalam Negara Agraris Indonesia yang dilaksanakan oleh Max Havelar Indonesia Foundation bekerjasama dengan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia Jakarta 26 Agustus 2004 ____________.2008. Perlindungan dan Perebutan Ruang. Apa Prioritas Restrukturisasi Kehutanan. Makalah disampaikan pada diskusi FORCI Fahutan IPB, 6 Desember 2008.
66
____________, Nugroho, B., dan Putro, HR.2011.Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Konsep, Peraturan Perundang-undangan dan Implementasi. Jakarta (ID): Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Dirjen Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan. ____________.2012. Manajemen Perencanaan Lahan. Bahan Ajar Pelatihan Penegakan Hukum di Bidang SDA-LH dengan Pendekatan Multi-Door. Tesedia pada: http://www.redd-indonesia.org/images/abook_file/BukuAjar-Terpadu-Pendekatan-Mutidoor.pdf Kementerian Kehutanan.2011a. Profil KPHP Model Gedong Wani Unit XVI (Provinsi Lampung) . Tersedia pada: http://www.kph.dephut.go.id/index.php?option=com_content&view=arti cle&id=85&Itemid=325 Kementerian Kehutanan.2011b. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.49/Menhut-II/2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030. Jakarta (ID): Kementrian Kehutanan. Kementerian Kehutanan.2012. Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Jakarta (ID): Kementrian Kehutanan Kim, SD., Mizuno, K. and Kobayashi, S.2002. Analysis of Landuse Change System Using The Species Competition Concept. Landscape and Urban Planning 58.181-200.0169-2046/02/$20.00 Elsevier Science B.V Kusworo, A.2000. Perambah Hutan atau Kambing Hitam? Potret Sengketa Kawasan Hutan di Lampung.Bogor (ID): Pustaka Latin Liliesand, M.T., dan Kiefer, R.W.1993. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra (Terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Manson, MS.2001. Integrated Assessment and Projection of Land Use/Land Cover Change in The Southern Yucaton Peninsular of Mexico. Report and Review of International Workshop, USA 4-7 Oktober 2007. pp 5658 McNeil, J., Alves, D., Arizpe, L., Bykova, O., Galvin, K., Kelmelis, J., Migot adholla, S., Morissete, P., Moss, R., Ricards, J., Riebsame, W., Sadowski, F., Sanderson, S., Skole, D., Tarr, J., Williams M, Yadap S, and Young, S.1998. Toward a typology and regionalization of land cover and land use change. Report of working Group B. Cambridge: Press Syndicate of The University of Cambidge. pp 55-65 Muiz, A.2009.Analisa Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Sukabumi [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Munibah, K.2008.Model Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dan Arahan Penggunaan Lahan Berwawasan Lingkungan (Studi kasus DAS Cidanau, Provinsi Banten). [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
67
________, Sitorus, SRP., Rustiadi, E., Gandasasmita, K., Hartisari. 2010. Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Erosi di DAS Cidanau, Banten. J. Tanah dan Iklim 3: 55-69 Munroe, D.K., and Muller, D.2007. Issues in spatially explicit statistical landuse/cover change (LUCC) model: Example from western Honduras and the Central Highlands of Vietnam”, Land Use and Policy .24: 521-530, Elsivier Panuju, DR.,dan Rustiadi, E.2012. Teknik Analisis Perencanaan Pengembangan Wilayah. Bogor: Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor. [P4W] Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah IPB.2006. Kajian Dinamik Penataan Ruang Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan Presiden Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Tersedia pada: http://werdhapura.penataanruang.net/werdhapura/admin/upload_file/UU %20No%20%2026%20Thn%20%202007%204bbfa8e9ab69e59adce53f1 a654a7e0b.pdf. ________________________.2013.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Purnomo,H.2012. Permodelan dan Simulasi untuk Pengelolaan Adaptif Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bogor: IPB Press & CIFOR Rustiadi, E., Saefulhakim,S dan Panuju, D.R. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID) : Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia Sadyohutomo, M.2008.Manajemen Kota dan Wilayah. Realita & Tantangan. Jakarta (ID): Penerbit Bumi Aksara Sirojuzilam. 2007. Perencanaan tata ruang dan perencanaan wilayah. WAHANA HIJAU J. Perencanaan & Pengembangan Wilayah. 2(3):142-149 Sitorus, S.R.P.2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung (ID): PT. Tarsito Susilo, B.2013. Simulasi spasial berbasis sistem informasi geografi dan cellular automata untuk perubahan penggunaan lahan di daerah pinggiran kota Yogyakarta. J. Bumi Lestari, 13 (2): 327-340 Tarigan R. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta (ID): PT. Bumi Aksara Veldkamp, A., and Lambin, E.F.2001.Editorial: Predicting Land-Use Change. Agriculture, Ecosystems and Environment 85: 1-6
68
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data analisis skalogram pada data podes 2003 Kecamatan
Nama Desa
Jumlah Penduduk
Merbau Mataram
Talang Jawa
2526
70,1753
29
Hirarki 1
Batanghari
Buana Sakti
3664
54,70336
25
Hirarki 2
Sekampung Udik
Gunung Agung
3452
49,53368
24
Hirarki 2
Jati Agung
Margo Lestari
2113
42,54446
17
Hirarki 2
Jati Agung
Sidoharjo
2197
41,99859
16
Hirarki 2
Jati Agung
Sumber Jaya
3839
33,14906
18
Hirarki 2
Katibung
Neglasari
3727
36,10157
18
Hirarki 2
Katibung
Tanjungagung
6443
44,25673
32
Hirarki 2
Katibung
Tanjungratu
6462
37,84704
19
Hirarki 2
Merbau Mataram
Tri Harjo
2637
54,64044
19
Hirarki 2
Natar
Sukadamai
6155
60,7711
31
Hirarki 2
Tanjung Bintang
Jati Indah
3879
33,52473
17
Hirarki 2
Tanjung Bintang
Mulyo Sari
3518
33,72348
18
Hirarki 2
Tanjung Bintang
Wonodadi
3112
33,24957
19
Hirarki 2
Metro Kibang
Margosari
1665
21,94348
13
Hirarki 3
Sekampung
Karya Mukti
4279
27,88708
17
Hirarki 3
Sekampung Udik
Sindang Anom
5561
20,44085
16
Hirarki 3
Jati Agung
Karang Rejo
4618
15,2473
14
Hirarki 3
Jati Agung
Purwotani
2681
28,10929
15
Hirarki 3
Jati Agung
Sinar Rejeki
5591
29,56679
21
Hirarki 3
Katibung
Tanjungan
3462
16,32977
11
Hirarki 3
Katibung
Trans Tanjungan
5019
30,10164
18
Hirarki 3
Merbau Mataram
Panca Tunggal
3636
14,13774
12
Hirarki 3
Merbau Mataram
Sinar Karya
1120
19,09541
11
Hirarki 3
Tanjung Bintang
Budi Lestari
7639
8,131427
11
Hirarki 3
Tanjung Bintang
Jatibaru
3073
30,83567
17
Hirarki 3
Tanjung Bintang
Kertosari
12581
17,79181
23
Hirarki 3
Tanjung Bintang
Purwodadi Dalam
3596
17,56427
11
Hirarki 3
Tanjung Bintang
Sidomukti
2619
28,06361
13
Hirarki 3
Tanjung Bintang
Sinar Ogan
1862
28,65766
13
Hirarki 3
Tanjung Bintang
Trimulyo
5101
11,65999
12
Hirarki 3
Metro Kibang Jumlah Jenis Jumlah Unit
Margo Jaya
4962
29,54422 32 1021,327
21
Hirarki 3
132.789
IPD
Ratan
31,91647
Standar deviasi
14,76352
Jumlah Jenis
Hirarki
69 Lampiran 2. Data analisis skalogram pada data podes 2011 Nama_Kec
Nama_Desa
IPD
Jatibaru
Jumlah Penduduk 9193
Hirarki
65,2170
Jumlah Jenis 33
Tanjung Bintang Sekampung
Karya Mukti
Jati Agung
Sidoharjo
2757
58,4837
22
Hirarki 1
2664
28,7863
17
Hirarki 2
Jati Agung
Sumber Jaya
3696
28,2011
19
Hirarki 2
Katibung
Neglasari
3934
31,4282
17
Hirarki 2
Katibung
Tanjungratu
7315
30,4242
19
Hirarki 2
Merbau Mataram
Talang Jawa
2861
47,7231
21
Hirarki 2
Natar
Sukadamai
6875
47,3014
24
Hirarki 2
Tanjung Sari
Malang Sari
2551
44,9276
21
Hirarki 2
Tanjung Sari
Sidomukti
1922
31,0088
16
Hirarki 2
Batanghari
Buana Sakti
2339
31,2919
14
Hirarki 2
Batanghari
Purwodadi Mekar
1705
27,8024
14
Hirarki 2
Metro Kibang
Margo Jaya
3359
31,5895
18
Hirarki 2
Sekampung
Mekar Mukti
2046
31,8659
15
Hirarki 2
Sekampung
Mekar Mulya
1884
31,5709
16
Hirarki 2
Jati Agung
Karang Rejo
4940
16,9101
18
Hirarki 3
Jati Agung
Margo Lestari
2544
19,8154
15
Hirarki 3
Jati Agung
Purwotani
2257
21,6350
12
Hirarki 3
Jati Agung
Sinar Rejeki
6747
23,2133
20
Hirarki 3
Katibung
Tanjungagung
7854
19,3087
18
Hirarki 3
Katibung
Tanjungan
3965
17,8018
12
Hirarki 3
Katibung
Trans Tanjungan
5286
20,2239
17
Hirarki 3
Merbau Mataram
Panca Tunggal
4029
23,0266
14
Hirarki 3
Merbau Mataram
Sinar Karya
1329
24,7133
11
Hirarki 3
Merbau Mataram
Triharjo
3922
24,7110
16
Hirarki 3
Tanjung Bintang
Budi Lestari
3835
20,3708
14
Hirarki 3
Tanjung Bintang
Jati Indah
3547
16,9982
12
Hirarki 3
Tanjung Bintang
Sinar Ogan
1749
24,1442
13
Hirarki 3
Tanjung Bintang
Srikaton
3287
22,2570
18
Hirarki 3
Tanjung Bintang
Trimulyo
3919
20,0859
16
Hirarki 3
Tanjung Sari
Kertosari
8498
26,9267
19
Hirarki 3
Tanjung Sari
Mulyo Sari
3481
16,8629
14
Hirarki 3
Tanjung Sari
Purwodadi Dalam
4074
17,9935
14
Hirarki 3
Tanjung Sari
Wonodadi
3969
19,8213
15
Hirarki 3
Margatiga
Tri Sinar
1995
24,5143
12
Hirarki 3
Metro Kibang
Jaya Asri
2269
20,3982
13
Hirarki 3
Metro Kibang
Margo Sari
1878
24,3818
14
Hirarki 3
Sekampung Udik
Gunung Agung
3910
16,7313
12
Hirarki 3
Sekampung Udik
Sindang Anom
6039
24,5844
17
Hirarki 3
Jumlah Jenis Jumlah Unit Rataan Standar Deviasi
150.424
39,0 1075,1 27,6 11,2
Hirarki 1
70
Lampiran 3. Citra Landsat TM 5 tahun 2000 dan TM 8 tahun 2013
71 Lampiran 4. Titik koordinat hasil referensi cek lapangan dan cek pada peta bing map No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
x 535369 535918 536765 536839 536982 537036 537083 537247 537273 537616 537646 537728 537748 538127 538362 538430 538805 538817 538917 539217 539336 539589 539699 539907 539978 539995 540029 540077 540124 540289 540507 540610 540613 540840 541065 541276 541290 541411 541438 541442 541530 541591 541638
y 9420485 9420531 9417862 9416482 9417369 9416867 9417405 9418124 9414548 9415110 942113 9417153 9419940 9416824 9420199 9414780 9417498 9421392 9416710 9416852 9416850 9417188 9416766 9416781 9415846 9416458 9415132 9421112 9420274 9416931 9417801 9421958 9418398 9415306 9417386 9422168 9418133 9420263 9422418 9417442 9419810 9422946 9417350
Tutupan Lahan Perkebunan Rakyat Perkebunan Rakyat Area Terbangun Perkebunan Rakyat Area Terbangun Ladang Area Terbangun Ladang Ladang Ladang Ladang Area Terbangun Perkebunan Rakyat Perkebunan Rakyat Ladang Area Terbangun Perkebunan Rakyat Perkebunan Rakyat Perkebunan Rakyat Ladang Perkebunan Rakyat Ladang Area Terbangun Area Terbangun Area Terbangun Ladang Area Terbangun Ladang Ladang Area Terbangun Area Terbangun Area Terbangun Perkebunan Rakyat Area Terbangun Area Terbangun Perkebunan Rakyat Area Terbangun Ladang Perkebunan Rakyat Area Terbangun Perkebunan Rakyat Ladang Area Terbangun
72 Lampiran 4. (Lanjutan) No 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86
x 541729 541737 542057 542245 542271 542397 542405 542424 542514 542552 542567 542842 542951 543154 543160 543551 543616 543653 544326 544378 544384 544421 544524 544657 544669 544749 544775 544928 545079 545612 545991 546671 546749 546768 547058 547091 547202 547285 547439 547625 547631 547656 547913
y 9417311 9416407 9421116 9422662 9421259 9420932 9417993 9422220 9418161 9421647 9417337 9416148 9421380 9418560 9416448 9422091 9418629 9415628 9416098 9420462 9420488 9423111 9416822 9418858 9421945 9418909 9419354 9414720 9418330 9417315 9416007 9418756 9398024 9418732 9416798 9418554 9417745 9398671 9415442 9402159 9400409 9418879 9398174
Tutupan Lahan Area Terbangun Area Terbangun Hutan Ladang Area Terbangun Hutan Area Terbangun Ladang Area Terbangun Hutan Ladang Perkebunan Rakyat Ladang Perkebunan Rakyat Ladang Ladang Perkebunan Rakyat Ladang Ladang Area Terbangun Area Terbangun Area Terbangun Area Terbangun Area Terbangun Ladang Area Terbangun Perkebunan Rakyat Area Terbangun Area Terbangun Perkebunan Rakyat Ladang Area Terbangun Ladang Area Terbangun Ladang Ladang Perkebunan Rakyat Ladang Ladang Area Terbangun Area Terbangun Perkebunan Rakyat Ladang
73 No 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119
x 548428 548688 548703 548739 548851 548897 548988 549617 549674 550059 550747 551130 551598 551763 551909 552179 552489 552569 552917 552959 553069 553226 553285 553292 553509 553529 553729 553820 553896 554132 554564 555854 556378
y 9399883 9416173 9417110 9418843 9418275 9403763 9418846 9414472 9399316 9402843 9403877 9407149 9407703 9413939 9406015 9396132 9400232 9407445 9389114 9397565 9397297 9387961 9404354 9398781 9405913 9405824 9411193 9391724 9404981 9404835 9411845 9389332 9410316
Tutupan Lahan Tubuh Air Ladang Ladang Area Terbangun Area Terbangun Perkebunan PTPN Area Terbangun Area Terbangun Area Terbangun Area Terbangun Tubuh Air Perkebunan PTPN Perkebunan Rakyat Area Terbangun Area Terbangun Ladang Area Terbangun Perkebunan Rakyat Perkebunan Rakyat Perkebunan Rakyat Perkebunan Rakyat Area Terbangun Area Terbangun Perkebunan Rakyat Area Terbangun Area Terbangun Area Terbangun Perkebunan Rakyat Area Terbangun Perkebunan Rakyat Tubuh Air Area Terbangun Perkebunan Rakyat
74
Lampiran 5. Hasil analisis regresi logistik binner.
LOGISTIC REGRESSION VARIABLES Perubahan Lahan Menjadi_Area_Terbangun Omnibus Tests of Model Coefficients
Step 1
Chi-square
df
Sig.
Step
149.523
21
.000
Block
149.523
21
.000
Model
149.523
21
.000
Model Summary Cox & Snell R Step
-2 Log likelihood
Square
Nagelkerke R Square
1
1639.444a
.054
.111
a. Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations has been reached. Final solution cannot be found. Hosmer and Lemeshow Test Step
Chi-square
df
Sig.
1
18.813
8
.016
LOGISTIC REGRESSION VARIABLES Perubahan Penggunaan Lahan menjadi Perkebunan Rakyat Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
df
Sig.
Step
80.606
21
.000
Block
80.606
21
.000
Model
80.606
21
.000
Model Summary Step 1
-2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
3279.863a
Nagelkerke R Square
.030
.042
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001. Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square 3.474
df
Sig. 8
.901
75
LOGISTIC REGRESSION VARIABLES Perubahan Penggunaan Lahan Menjadi Ladang Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
df
Sig.
Step
149.523
21
.000
Block
149.523
21
.000
Model
149.523
21
.000
Model Summary Step 1
-2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
1639.444a
Nagelkerke R Square
.054
.111
a. Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations has been reached. Final solution cannot be found.
Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square 18.813
df
Sig. 8
.016
76
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotabumi Lampung Utara pada tanggal 13 Agustus 1980 sebagai anak terakhir dari pasangan Widodo AP dan Sudarmilah. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun 2004. Kesempatan melanjutkan ke program Pascasarjana pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB diperoleh pada tahun 2012 melalui beasiswa pusat pembinaan, pendidikan dan pelatihan perencana (Pusbindiklatren) Bappenas. Penulis bekerja sebagai staf Dinas Kehutanan Provinsi Lampung sejak tahun 2006 ditempatkan pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Inventarisasi dan Perpetaan Hutan sampai dengan tahun 2009. Tahun 2009 sampai dengan saat ini penulis ditempatkan pada bidang rehabilitasi dan reklamasi hutan pada instansi yang sama.