BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Komoditas gula saat ini menjadi komoditas strategis di Indonesia. Kondisi ini disebabkan dengan munculnya berbagai alasan sebagai berikut: (i) produk gula dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai produk bahan makanan dan minuman; (ii) produksi gula saat ini telah dijalankan oleh pengusaha dari level on-farm hingga off-farm; serta (iii) keberadaan produk ini mampu menyentuh banyak dimensi yang menyangkut sisi teknis, ekonomi, sosial, dan politik. Dirjen Perkebunan (2013) memperkirakan kebutuhan nasional konsumsi gula pada tahun 2014 mencapai 5,7 juta ton, dengan alokasi 2,96 juta ton untuk konsumsi langsung masyarakat dan 2,74 juta ton untuk keperluan industri. Akan tetapi hingga saat ini produksi gula dalam negeri masih belum mampu menutupi total kebutuhan nasional tersebut. Hasil Simposium Gula Nasional pada tahun 2012 melaporkan bahwa rata-rata produsen nasional hanya mampu memenuhi sekitar setengah dari total permintaan. Kebijakan pemerintah hingga saat ini untuk menutupi total kebutuhan adalah dengan melakukan impor gula dari produsen gula internasional. Fenomena tersebut seharusnya mampu direspon secara positif oleh pemerintah dan produsen gula nasional untuk meningkatkan kapasitas produksi dan perbaikan kualitas bahan dasar gula seperti tebu, kelapa, dan tanaman bit. Kondisi ini juga perlu direspon oleh Pemerintah Kabupaten Blitar yang memiliki potensi besar dalam produksi tebu. BPS dalam laporannya “Blitar dalam Angka” (2012) melaporkan bahwa pada tahun 2012 produksi tebu di Kabupaten Blitar mencakup 6.272,22 hektar luas area tanam dengan total produksi mencapai 502.497,55 ton tebu. Produksi tebu dijalankan oleh total 2.093 petani yang tersebar pada kecamatan-kecamatan di seluruh wilayah Kabupaten Blitar, kecuali di Kecamatan Wlingi. Potensi ini seharusnya menjadi pijakan langkah strategis Pemerintah Kabupaten Blitar dalam pengembangan produksi tebu untuk meningkatkan manfaat sosial dan ekonomi khususnya bagi masyarakat di Kabupaten Blitar, seperti penyerapan tenaga kerja serta peningkatan pendapatan individu dan daerah. Secara umum, jenis gula tebu yang diproduksi dan diperdagangkan di Indonesia terbagi menjadi dua jenis, yakni jenis gula pasir (putih) dan jenis gula merah. Secara teknis, gula merah memiliki beberapa keunggulan manfaat jika dibandingkan dengan manfaat gula putih. Kandungan rasa manis dan glukosa sama-sama dimiliki oleh kedua jenis gula, tetapi pada kandungan galaktomanan, energi spontan, antioksidan, manfaat untuk penyakit diabetes, dan senyawa yang ada seperti pada kelapa muda tidak terjadi pada gula putih (www.javasugar.com, 2007). Sifat yang membedakan lainnya adalah gula merah dapat menimbulkan tekstur makanan yang lebih empuk dan permintaan gula merah tebu oleh pihak industri di Jawa Timur sangat tinggi. Dari kebutuhan sebesar 30-40 ribu ton per tahun hanya mampu dipenuhi produsen gula merah sekitar 5 ribu ton per tahun (Rosdiansyah, 2012). Perbandingan pada kualitas rendemen gula juga memiliki perbedaan mendasar yang dapat mempengaruhi persepsi petani dan pedagang tebu. Target
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
1
pemerintah di tahun 2013 silam rendemen gula putih sebesar 8 persen belum tercapai, bahkan berkisar hanya 6 persen. Penentuan rendemen 6 persen inilah yang mendorong timbulnya konflik antara perusahaan gula pemerintah dengan petani dan pedagang tebu. Hal ini disebabkan perbedaan pendapat mengenai tingkat rendemen yang dapat mempengaruhi besaran pendapatan petani dan pedagang tebu. Akibatnya, di Jawa Timur beberapa petani bahkan memilih tidak memanen atau membakar tebunya disebabkan harga pasar yang cukup rendah. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, intensifikasi pada produksi gula merah dapat digunakan sebagai alternatif kebijakan dari Pemerintah Kabupaten Blitar untuk memacu pertumbuhan produksi gula tebu di wilayah Kabupaten Blitar. Selain untuk menutupi kebutuhan nasional, potensi gula merah juga meluas sebagai komoditas ekspor. Permintaan ekspor dari Kanada, Amerika, Belgia, Australia, dan Eropa terhadap gula merah tebu mencapai 500 ton per bulan, sedangkan pasokan gula merah saat ini hanya berkisar antara 30-50 ton per bulan (www.metrotvnews.com, 2011). Potensi ini perlu disosialisasikan kepada petani dan masyarakat umum di Kabupaten Blitar untuk mendorong peningkatan produksi tebu dan pertumbuhan industri gula merah berskala rumah tangga. Dan melalui penelitian dengan judul “Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar” diharapkan akan mampu mengidentifikasi beberapa hal yang meliputi: (i) identifikasi sistem produksi dan tata niaga tebu yang selama ini dialami dan dijalankan petani tebu; (ii) identifikasi karakteristik dan prospek dari produsen gula merah yang sudah eksis; dan (iii) identifikasi strategi yang harus diterapkan Pemerintah Kabupaten Blitar dalam pengembangan industri gula merah berskala rumah tangga (home industry) dengan harapan dapat memperbaiki ekonomi skala mikro. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, kajian ini didasarkan pada rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana sistem tata niaga tebu di Kabupaten Blitar? 2. Bagaimana karakteristik produsen gula merah yang sudah eksis di Kabupaten Blitar? 3. Bagaimana prospek dan peluang industri gula merah di Kabupaten Blitar? 4. Bagaimana strategi pengembangan industri gula merah menjadi home industry (industri rumah tangga) di Kabupaten Blitar? 1.3 1. 2. 3. 4. 1.4
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dari kegiatan ini adalah sebagai berikut: Untuk mengetahui sistem tata niaga tebu di Kabupaten Blitar. Untuk mengetahui karakteristik produsen gula merah yang sudah eksis di Kabupaten Blitar. Untuk menilai prospek dan peluang industri gula merah di Kabupaten Blitar. Untuk menyusun strategi pengembangan industri gula merah menjadi home industry (industri rumah tangga) di Kabupaten Blitar. Manfaat Penelitian Manfaat dari kegiatan ini adalah sebagai berikut:
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
2
1. Memperdalam pandangan praktis dan teoritis dalam sistem tata kelola sosial ekonomi perkebunan tebu dan produksi gula merah tebu. 2. Memberikan informasi kepada Pemerintah Kabupaten Blitar dan masyarakat mengenai sistem tata kelola dan prospek ekonomi dari produksi gula merah tebu. 3. Memberikan gambaran strategi yang perlu diwujudkan untuk memperkuat dan mensosialisasikan produksi gula merah tebu.
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Teori Pengembangan Ekonomi Lokal Pengembangan Ekonomi Daerah atau Local Economic Development (LED) telah menjadi tumpuan bagi pemulihan ekonomi nasional. Makna tradisional, pembangunan ekonomi memiliki arti peningkatan yang terus menerus pada Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional difokuskan pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto pada suatu propinsi, kabupaten dan kota (Kuncoro, 2004). Namun dalam dinamikanya, pengertian pembangunan ekonomi mengalami perubahan karena pengalaman pada tahun 1950-an dan 1960-an itu menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang hanya berorientasi pada kenaikan PDB saja tidak mampu memecahkan permasalahan pembangunan secara mendasar. Hal ini terbukti pada taraf dan kualitas hidup yang meningkat walaupun target PDB setiap tahunnya telah tercapai (Arsyad, 2005). Pertumbuhan regional dapat terjadi akibat faktor endogen (dari dalam), dan faktor eksogen (dari luar) serta kombinasi dari keduannya. Faktor endogen adalah distrubusi faktor-faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, modal. Faktor eksogen adalah tingkat permintaan dari daerah-daerah lain terhadap komoditas yang dihasilkan daerah tersebut (Glasson, 1977). Pengembangan daerah merupakan usaha merubah secara kuantitatif dan kualitatif untuk meningkatkan daya guna atau kemampuan yang dimiliki, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia dalam menunjang pembangunan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Berbagai konsep pengembangan daerah yang pernah diterapkan adalah sebagai berikut (Bappenas, 2004): 1. Konsep pengembangan daerah berbasis karakter sumberdaya. 2. Konsep pengembangan daerah berbasis karakter penataan ruang. 3. Konsep pengembangan daerah terpadu 4. Konsep pengembangan daerah berdasarkan cluster. Mengembangkan ekonomi daerah berarti bekerja secara langsung membangun economic competitiveness (daya saing ekonomi) suatu kota untuk meningkatkan ekonominya. Untuk mengukur daya saing ekonomi daerah, empat indikator yang digunakan adalah Struktur Ekonomi, Potensi Wilayah, Sumber Daya Manusia, dan Kelembagaan (Ismail dan Syafitri, 2005). Pembangunan daerah, dimana dalam hal ini terkait dengan masalah lokalitas akan selalu terkait dengan teori basis ekonomi, teori pertumbuhan ekonomi dan teori pusat pertumbuhan. Hal ini dikarenakan komponen terpenting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah akumulasi modal, pertumbuhan penduduk, dan kemajuan teknologi, yaitu dengan memberdayakan sektor atau subsektor unggulan, diantaranya melalui basis ekonomi, yang pada akhirnya menciptakan pendapatan dan kesempatan kerja yang dapat menjadi tumpuan perekonomian (Munir dan Fitanto, 2005). Beberapa ahli menganjurkan bahwa pembangunan suatu daerah haruslah mencakup tiga inti nilai, yaitu Ketahanan (Sustenance): Harga diri (Self Esteem): Freedom from servitude: Pembangunan daerah pasti memiliki sasaran yang harus dicapai. Berdasarkan survei literatur, beberapa sasaran fundamental pembangunan yang berusaha dicapai oleh banyak daerah adalah (Kuncoro, 2004):
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
4
1. Meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah. 2. Meningkatkan pendapatan per kapita. 3. Mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Artinya, pembangunan daerah harus mencakup tiga komponen inti tersebut agar pembangunan dapat berjalan lancar dan terarah. Secara implisit, merujuk pada pendapat Kuncoro di atas, setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Untuk pencapaian tujuan tersebut pemerintah dan masyarakat seharusnya bekerjasama. Salah satu cara yaitu dengan menggunakan sumberdaya yang ada (lokal). Karena itu baik pemerintah maupun masyarakat harus dapat menaksir potensi sumberdayasumberdaya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah (Arsyad, 2005). 2.2
Program Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL) Pengembangan ekonomi lokal merupakan suatu konsep pembangunan ekonomi daerah yang didasarkan pada pendayagunaan sumber daya lokal yang ada pada suatu masyarakat, baik sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA) maupun sumber daya kelembagaan (SDL). Pendayagunaan sumber daya tersebut dilakukan oleh masyarakat itu sendiri bersama pemerintah lokal maupun kelompok-kelompok kelembagaan berbasis masyarakat yang ada. Keutamaan pada pengembangan ekonomi yang berorientasi atau berbasis lokal ini penekanannya pada proses peningkatan peran dan inisiatif masyarakat lokal dalam pengembangan aktifitas ekonomi serta peningkatan produktivitas. Pengembangan ekonomi lokal menitikberatkan pada pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dirancang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setiap komunitas atau wilayah. Kesesuaian ini membuat efektif dan berhasil dalam menjawab permasalahan kesejahteraan rakyat, dibanding dengan solusi-solusi yang bersifat global. Setiap upaya pengembangan ekonomi lokal mempunyai tujuan utama, yakni untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakat harus bersama-sama mengambil inisiatif dalam pengembangan ekonomi lokal yang dapat dilakukan melalui suatu forum kemitraan. Kemitraan yang dimaksud dalam hal ini adalah adanya kebersamaan antara pemerintah-swasta-masyarakat dalam menentukan arah, rencana dan melaksanakan pembangunan daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah beserta masyarakat dan swasta harus mampu secara efektif menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang ada, dan mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah. Konsep kemitraan yang selama ini dikenal merupakan suatu hubungan kerjasama antar usaha yang sejajar dilandasi dengan prinsip saling menunjang dan saling menghidupi berdasarkan asas kekeluargaan dan kebersamaan. Kemitraan usaha ini merupakan strategi bisnis, pelaku-pelaku yang terlibat langsung harus memiliki dasar-dasar etika bisnis yang dipahami dan dianut bersama sebagai titik tolak dalam menjalankan kemitraannya. Beberapa jenis usaha yang dijalankan dalam program KPEL ini antara lain:
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
5
a. Pola Inti Plasma: adalah hubungan kemitraan antara kelompok mitra usaha sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra. Penerapannya banyak dilaksanakan pada kegiatan agribisnis usaha perkebunan. b. Pola Sub Kontrak: adalah hubungan kemitraan antara perusahaan dengan kelompok mitrausaha yang memproduksi kebutuhan yang dibutuhkan oleh perusahaan sebagai bagian dan komponen produksinya. c. Pola Dagang Umum: adalah hubungan kemitraan usaha yang memasarkan hasil dengan kelompok usaha yang mensuplai kebutuhan yang diperlukan perusahaan. d. Waralaba: adalah hubungan kemitraan antara kelompok mitra usaha dengan perusahaan mitra usaha yang memberikan hak lisensi, merek dagang saluran distribusi perusahaannya kepada kelompok mitra usaha sebagai penerima waralaba yang disertai dengan bantuan bimbingan manajemen. Kemitraan yang dimaksud dalam program ini berbeda dengan konsepkonsep kemitraan diatas, karena kemitraan yang dimaksud bukanlah sekedar kemitraan usaha belaka. Kemitraan yang dimaksud dalam program ini adalah lembaga kemitraan antara publik (pemerintah), swasta (dunia usaha), dan masyarakat. Lembaga kemitraan yang dimaksud beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah-swasta-masyarakat. Lembaga kemitraan ini diharapkan mampu menjadi katalis bagi penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik (good governance) melalui kegiatan yang terkait dengan pengembangan ekonomi lokal. Program Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL) merupakan sebuah konsep yang berusaha mengintegrasikan berbagai potensi sumberdaya dan aktivitas yang dimiliki oleh segenap stakeholder pada suatu wilayah, dan membangun jaringan kerja untuk mengembangkan ekonomi wilayah tersebut, alat/cara yang digunakan adalah dengan menggunakan komoditas yang potensial dalam mengisi peluang di pasaran ekspor serta potensial dalam mendorong ekonomi wilayah, penyerapan kesempatan kerja serta meningkatkan pendapatan masyarakat di wilayah tersebut. Untuk mengimplementasikan konsep tersebut dikembangkan lembaga kemitraan antara pemerintah-swasta-masyarakat. 2.3
Teori Usaha Kecil dan Menengah Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha, yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar, yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut : 1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau 2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
6
dalam, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Kriteria usaha mikro adalah sebagai berikut : 1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. 2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Kriteria usaha kecil dan mikro menurut World Bank dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu : 1. Small Enterprise, dengan kriteria jumlah karyawan kurang dari 30 orang, pendapatan setahun tidak melebihi $ 3 juta, jumlah aset tidak melebihi $ 3 juta. 2. Micro Enterprise, dengan kriteria jumlah karyawan kurang dari 10 orang, pendapatan setahun tidak melebihi $ 100 ribu, jumlah aset tidak melebihi $ 100 ribu. 2.4
Teori Industri Industri adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Industri merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Selain itu industrialisasi juga tidak terlepas dari usaha untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia dan kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya alam secara optimal. UU Perindustrian No 5 Tahun 1984, industri adalah kegiatan ekonomi yang mengelola bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi. Departemen Perindustrian mengelompokan industri nasional Indonesia dalam 3 kelompok besar yaitu Industri Dasar, Aneka Industri (AL), dan Industri Kecil. Menurut Deperindag bersama Badan Pusat Statistik (2002), Industri kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan yang bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk diperniagakan. Industri kecil adalah jenis usaha mikro dengan modal dasar dibawah 500 juta, dan menggunakan peralatan yang sederhana untuk proses produksinya (Peraturan Presiden No 28 Tahun 2008). Merujuk kepada beberapa pengertian industri yang telah diuraikan tersebut, maka pada prinsipnya industri itu terkait dengan unsur-unsur tertentu, antara lain: a. Kelompok-kelompok perusahaan atau kelompok produksi yang mengolah barang homogen atau sejenis. b. Perubahan wujud fisik suatu benda, baik melalui proses mekanik maupun kimia dengan melibatkan faktor-faktor produksi. c. Orientasi kegiatan industri dititikberatkan kepada dua target yang mendasar, yakni: untuk mendapatkan manfaat/nilai yang lebih tinggi dari semula, dan sebagai jawaban alternatif atas kelangkaan suatu produk dengan cara substitusi. Pertimbangan lain yang mendasari pentingnya industri kecil, meliputi : a. Proses desentralisasi kegiatan ekonomi guna menunjang terciptanya integrasi kegiatan sektor-sektor ekonomi yang lain. b. Potensi penciptaan dan perluasan kesempatan kerja bagi pengangguran.
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
7
c. Dalam jangka panjang, peranannya sebagai suatu basis pembangunan ekonomi yang mandiri. Berdasarkan pengertian dari BPS, menyebutkan bahwa industri kecil dibedakan menjadi dua, yaitu: industri rumah tangga dan pabrik kecil. Industri rumah tangga menggunakan tenaga kerja kurang dari 5 orang sedangkan pabrik kecil menggunakan tenaga kerja antara 5 sampai 19 orang. 2.4.1
Karakteristik dan Penggolongan Industri Kecil Meski definisi mengenai industri kecil cukup beragam, namun industri kecil mempunyai karakteristik yang hampir seragam diantaranya: 1. Tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. 2. Rendahnya akses usaha kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal, sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir. 3. Sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum memiliki status badan hukum, sebanyak 124.990 perusahaan kecil, ternyata 90,6 persen merupakan perusahaan perorangan tidak berakta notaris, 4,7 persen tergolong perusahaan perorangan berakta notaris dan hanya 1,7 persen yang sudah mempunyai badan hukum (PT, CV, Firma, Koperasi). (Mudrajad, 2000). Berdasarkan eksistensi dinamisnya industri kecil di Indonesia dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, yaitu: a. Industri Lokal b. Industri Sentra c. Industri Mandiri 2.4.2 Pengembangan Industri Kecil Upaya pengembangan industri kecil mendapat perhatian yang cukup besar dari pihak pemerintah maupun swasta. Upaya untuk pengembangan dan pembinaan industri kecil dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan antara lain: a. Bimbingan dan penyuluhan kemampuan berusaha, pemasaran, pengembangan produk, teknik produksi dan informasi. b. Peningkatan peranan swasta dan BUMD/BUMN untuk membantu mengatasi permasalahan permodalan, keterampilan dan alih teknologi, penyediaan bahan baku dan pemasaran melalui kemitraan usaha. c. Keserasian pelaksanaan pembinaan antar instansi pemerintah terkait, dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat. Departemen Perindustrian sebagai institusi yang menangani masalah industri pada umumnya dan industri kecil khususnya, dalam upaya mengembangkan industri kecil yang ada, maka perlu adanya suatu pembinaan yang intensif dari instansi atau lembaga yang terkait yang bersifat program bantuan teknis, antara lain: Pembinaan manajemen, pembinaan peningkatan teknologi produksi, pemasyarakatan standarisasi sistem manajemen yang mengacu ISO, pembinaan kewirausahaan, dan promosi pemasaran.
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
8
2.5
Teori Produksi Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat perubahan fisik. Semua unsur yang menopang usaha penciptaan nilai atau usaha memperbesar nilai barang disebut sebagai faktor-faktor produksi. Pengertian produksi lainnya yaitu hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Dengan pengertian ini dapat dipahami bahwa kegiatan produksi diartikan sebagai aktivitas dalam menghasilkan output dengan menggunakan teknik produksi tertentu untuk mengolah atau memproses input sedemikian rupa (Sukirno, 2002). Teori produksi modern menambahkan unsur teknologi sebagai salah satu bentuk dari elemen input. Keseluruhan unsur-unsur dalam elemen input tadi selanjutnya dengan menggunakan teknik-teknik atau cara-cara tertentu, diolah atau diproses sedemikian rupa untuk menghasilkan sejumlah output tertentu. 2.5.1 Fungsi Produksi Fungsi produksi adalah suatu persamaan yang menunjukkan jumlah maksimum output yang dihasilkan dengan kombinasi input tertentu (Ferguson dan Gould, 1975). Fungsi produksi menunjukkan sifat hubungan di antara faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang dihasilkan. Faktor-faktor produksi dikenal pula dengan istilah input dan jumlah produksi selalu juga disebut sebagai output. Fungsi produksi selalu dinyatakan dalam rumus seperti berikut (Sukirno, 1997): Q= f(K,L,R,T) di mana K adalah jumlah stok modal, L adalah jumlah tenaga kerja dan ini meliputi berbagai jenis tenaga kerja dan keahlian kewirausahawan, R adalah kekayaan alam, dan T adalah tingkat teknologi yang digunakan. Sedangkan Q adalah jumlah produksi yang dihasilkan oleh berbagai jenis faktor-faktor tersebut. Persamaan tersebut merupakan suatu pernyataan matematik yang pada dasarnya berarti bahwa tingkat produksi suatu barang tergantung kepada jumlah modal, jumlah tenaga kerja, jumlah kekayaan alam, dan tingkat teknologi yang digunakan. 2.6
Teori Kelembagaan Kelembagaan, atau institusi, pada umumnya lebih diarahkan kepada organisasi, wadah atau pranata. Organisasi berfungsi sebagai wadah atau tempat, sedangkan pengertian lembaga mencakup juga aturan main, etika, kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau suatu sistem. Kelembagaan berasal dari kata lembaga, yang berarti aturan dalam organisasi atau kelompok masyarakat untuk membantu anggotanya agar dapat berinteraksi satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu lembaga juga dapat diartikan sebagai aturan dalam sebuah kelompok sosial yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi. Dalam realitasnya, kelembagaan juga dapat dilihat sebagai suatu proses formal dan informal dari suatu resolusi konflik, termasuk di dalamnya inefisiensi ekonomi dan ketimpangan (Yustika, 2008). Lebih jauh, pada level makro (institutional environment), kelembagaan mencakup seperangkat aturan politik, sosial, maupun budaya sekalipun yang melegalkan dan mengatur segala aktivitas produksi, pertukaran, dan distribusi. Sedangkan pada level mikro (institutions of governance), kelembagaan Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
9
berkecimpung dalam masalah tata kelola aturan main agar pertukaran antar aktor ekonomi bisa berlangsung, baik kerjasama maupun kompetisi.
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
10
BAB III METODE PENELITIAN 3.1
Lingkup dan Objek Kegiatan Objek kegiatan penelitian ini adalah gula tebu merah. Sedangkan ruang lingkup materi dalam Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industry (Industri Rumah Tangga) di Kabupaten Blitar adalah identifikasi tata kelola produksi tebu dan gula merah tebu serta prospek dan peluang industri gula merah tebu. Ruang lingkup kajian adalah seluruh perkebunan tebu dan kawasan home industry yang mengelola gula merah tebu di Kabupaten Blitar. Lokasi penelitian ini berada di Kabupaten Blitar. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada kondisi aktual dan faktual bahwa di daerah tersebut memiliki potensi yang sangat besar untuk pengembangan industri gula merah tebu. 3.2
Pendekatan Kegiatan Pendekatan kegiatan dalam penyusunan Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industry (Industri Rumah Tangga) di Kabupaten Blitar ini adalah deskriptif kualitatif. 3.3
Jenis Data dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam kegiatan penyusunan Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industry (Industri Rumah Tangga) di Kabupaten Blitar ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yang sifatnya kuantitatif dalam penelitian ini bersumber dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Blitar, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Blitar, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM, dan Laporan Publikasi Badan Pusat Statistik Kabupaten Blitar. Sedangkan data primer diperoleh langsung melalui wawancara secara mendalam (depth interview), Focus Group Disscusion (FDG), serta metode kuisioner kepada masyarakat dan instansi pemerintah di wilayah penelitian yang telah ditetapkan. 3.4
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam kegiatan penyusunan Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industry (Industri Rumah Tangga) di Kabupaten Blitar ini menggunakan teknik atau instrumen Kuesioner, Observasi, dan Interview. 3.5 Metode Analisis Data 3.5.1 Analisis Kualitatif Dalam upaya mengkaji Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industry (Industri Rumah Tangga) di Kabupaten Blitar, penelitian ini menggunakan model analisis interaktif (interactive model of analysis) yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992). Analisis data model interaktif terdiri dari tiga komponen utama analisis yang dilaksanakan secara simultan sejak atau bersamaan dengan proses pengumpulan data. Komponen-komponen tersebut adalah reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan. Dalam penelitian ini, model yang diambil dari model perumusan strategi F.R. David adalah model Strength-Weaknesses-Opportunities-Threat (SWOT)
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
11
yang dituangkan dari matriks SWOT. Keempat tipe strategi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Strategi SO (Strength-Opportunitiy), strategi ini menggunakan kekuatan internal organisasi untuk meraih peluang-peluang yang ada di luar perusahaan. b. Strategi WO (Weakness-Opportunity), strategi bertujuan untuk memperkecil kelemahan-kelemahan internal organisasi dengan memanfaatkan peluang-peluang eksternal. c. Strategi ST (Strength-Threat), melalui strategi ini organisasi berusaha untuk menghindari atau mengurangi dampak dari ancaman-ancaman eksternal. d. Strategi WT (Weakness-Threat), strategi ini merupakan taktik untuk bertahan dengan cara mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman. 3.5.2 Analisis Kuantitatif Analisis kuantitatif dalam penyusunan Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industry (Industri Rumah Tangga) di Kabupaten Blitar ini berbentuk statistik yang semata digunakan untuk menunjang analisis deskriptif yang dilakukan. Seluruh proses pengolahan data, mempergunakan alat bantu software Microsoft Excel. 3.6
Alur Penelitian
Gambar 3.1 Alur Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industry (Industri Rumah Tangga) di Kabupaten Blitar PERSIAPAN
PERSIAPAN PERSIAPAN SARANA SARANA PENELITIAN PENELITIAN
PENGUMPULAN DATA DAN KAJIAN LITERATUR
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
DATA DATAPRODUKSI PRODUKSI TEBU TEBU DAN DAN GULATEBU GULATEBU DI DI KAB. KAB. BLITAR BLITAR ANALISIS ANALISIS DISKRIPTIF DISKRIPTIF
IDENTIFIKASI IDENTIFIKASI TATA TATAKELOLA KELOLA PRODUKSI PRODUKSI TEBU TEBU DAN DAN GULA GULA TEBU TEBU SERTA SERTA PROSPEKDANPELUANG PROSPEKDANPELUANG INDUSTRI INDUSTRI GULAMERAHTEBU GULAMERAHTEBU DI DI KAB. KAB. BLITAR BLITAR
WAWANCARA WAWANCARA DAN DAN EKPLORASI EKPLORASI MASYARAKAT MASYARAKATDAN DAN INSTANSI INSTANSI TERKAIT TERKAIT
PERSIAPAN PERSIAPAN ADMIN. ADMIN. && PERIJINAN PERIJINAN
KESIMPULAN
DRAFT HASIL
ANALISA ANALISA DATA DATA MODEL MODEL INTERAKTIF INTERAKTIF
LAPORAN LAPORAN AKHIR AKHIR
MENYUSUN MENYUSUN STRATEGI STRATEGI PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN INDUSTRY INDUSTRY GULA GULAMERAH MERAH TEBU TEBU MENJADI MENJADI HOMEINDUSTRY(INDUSTRI HOMEINDUSTRY(INDUSTRI RUMAHTANGGA) RUMAHTANGGA) DI DI KAB.BLITAR KAB.BLITAR
PENELITIAN PENELITIAN TERDAHULU TERDAHULU DAN DAN KAJIAN KAJIAN LITERATUR LITERATUR
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
FGD
12
BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4.1 Gambaran Sosial Ekonomi Kabupaten Blitar 4.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Blitar merupakan Kabupaten yang terletak di Pulau Jawa bagian Timur dan berada di sebelah Selatan Khatulistiwa, yaitu terletak pada 111040’-112010’ Bujur Timur dan 7058’-809’51’’ Lintang Selatan. Letak geografis Kabupaten Blitar berada di Pesisir Samudra Indonesia dengan batas wilayah sebagai berikut: 1. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kediri; 2. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Malang; 3. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia; dan 4. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten tulungagung. Gambar 4.1 Peta Kabupaten Blitar
Di Kabupaten Blitar terdapat Sungai Brantas yang keberadaannya membagi wilayah Kabupaten Blitar menjadi dua wilayah, yaitu bagian utara dan bagian selatan. Bagian utara merupakan dataran rendah dan dataran tinggi dengan ketinggian antara 105-349 meter dari permukaan air laut, dan keberadaan dekat dengan Gunung Kelud yang merupakan gunung berapi yang masih aktif membuat struktur tanahnya lebih subur dan banyak dilalui sungai. Sedangkan bagian selatan merupakan dataran rendah dan dataran tinggi dengan ketinggian antara 150-420 meter dari permukaan air laut. Sebagian wilayahnya merupakan daerah pesisir dan pegunungan berbatu yang membuat struktur tanah yang kurang subur jika dibandingkan dengan Kabupaten Blitar bagian utara.
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
13
Hamparan wilayah Kabupaten Blitar merupakan daerah dengan ketinggian ratarata 100 meter di atas permukaan air laut, dengan komposisi wilayah menurut ketinggian, yaitu: a. 36,4 persen kecamatan berada pada ketinggian antara 100 s/d <200 meter di atas permukaan air laut; b. 36,4 persen kecamatan berada pada ketinggian antara 200 s/d <300 meter di atas permukaan air laut; dan c. 27,2 persen kecamatan berada pada ketinggian antara >300 meter atas permukaan air laut. Terdapat enam kecamatan yang wilayahnya berada pada ketinggian > 300 meter di atas permukaan air laut, yaitu Kecamatan Wates, Wonotirto, Doko, Gandusari, Nglegok, dan Panggung Rejo. Wilayah Kecamatan Wates berada pada ketinggian tertinggi di antara 22 kecamatan yang ada di Kabupaten Blitar, yaitu 420 meter di atas permukaan air laut. 4.1.2
Kondisi Demografis Kondisi demografis di Kabupaten Blitar setiap tahunnya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, yang diimbangi dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk. Gambar 4.2 Jumlah Penduduk Kabupaten Blitar Tahun 2007-2011
Sumber : Kabupaten Blitar dalam Angka 2012, diolah
Berdasarkan data hasil Sensus Penduduk (SP) 2010 Kabupaten Blitar, jumlah penduduk paling banyak adalah kelompok umur antara 10-14 tahun dengan jumlah 93.121 jiwa. Kemudian diikuti oleh jumlah penduduk yang termasuk dalam kelompok umur 5-9 tahun dengan jumlah 91.200 jiwa. Sementara itu, kategori penduduk yang memiliki jumlah paling sedikit adalah penduduk yang termasuk dalam kelompok umur 70-74 sebanyak 29.658 jiwa dan ada beberapa penduduk yang tidak ditanyakan (TT) sebanyak 391 jiwa. Dengan demikian, banyaknya jumlah penduduk yang termasuk dalam kelompok umur 10-14 maupun 5-9 tahun, menandakan bahwa mayoritas penduduk di Kabupaten Blitar adalah penduduk usia sekolah terutama tingkat TK, SD hingga SMP. 4.1.3
Kondisi Ekonomi Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Blitar untuk sektor pertanian lebih unggul dibandingkan sektor industri, kondisi ini dikarenakan struktur ekonomi Kabupaten Blitar masih sangat tergantung pada sektor pertanian. Ketergantungan pada sektor pertanian jelas sangat bergantung pada kondisi alam. Struktur ekonomi suatu daerah yang bergantung pada alam akan sangat rentan terhadap gejolak alam kecuali para pelaku ekonomi dari mulai Pemerintah, dunia usaha dan Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
14
masyarakat bersama-sama menjaga dan melestarikan sumber daya alam yang sangat terbatas. Dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, secara lamban sektor primer di Kabupaten Blitar tergeser oleh sektor tersier. Tabel 4.1 Presentase Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha/ Sektor di Kabupaten Blitar Tahun 2008 s/d 2011 Sektor/ Lapangan Usaha
2008
2009
2010
2011
[1] Sektor Primer 1 Pertanian 2 Pertambangan & Penggalian Sektor Sekunder 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, gas, & air bersih 5 Bangunan Sektor Tersier 6 Perdag, Hotel & Restauran 7 Angkutan & Komunikasi 8 Keu, Persewaan, & Js Perush. 9 Jasa-Jasa
[2] 50,30 47,92 2,38 5,22 2,65 0,42 2,15 44,48 26,86 2,34 4,27 11,01
[3] 49,47 47,11 2,36 5,18 2,58 0,41 2,19 45,35 27,75 2,32 4,36 10,92
[4] 47,90 45,54 2,36 5,34 2,55 0,40 2,38 46,76 28,93 2,30 4,43 11,09
[5] 46,94 44,40 2,54 5,29 2,44 0,40 2,45 47,77 29,67 2,27 4,53 11,30
PDRB Kabupaten Blitar
100,00
100,00
100,00
100,00
Sumber: BPS Kabupaten Blitar, 2012
Sektor pertanian masih berperan dalam pembentukan PDRB Kabupaten Blitar sebesar 44,4 persen dalam menopang perekonomian di Kabupaten Blitar, selain itu perlu diimbangi upaya untuk terus meningkatkan skala dan kapasitas produksi hasil-hasil pertanian untuk setiap kegiatan mikro dan makro ekonomi yang ada. Sektor industri pengolahan yang diharapkan dapat tumbuh dan berkembang secara optimal untuk menyerap hasil-hasil sektor pertanian ternyata belum mampu dikembangkan dengan baik setiap tahunnya. Tren peranan sektoral industri pengolahan berfluktuatif terlihat dalam 4 tahun terakhir. Pada tahun 2008, kontribusi industri pengolahan sebesar 2,65 persen menurun hingga 2,44 persen pada tahun 2011. Hal ini terjadi karena industri kecil dan kerajinan rumah tangga yang masih banyak di Kabupaten Blitar dan dominan melayani permintaan lokal, sehingga penyerapan sumber daya produksi pertanian belum terserap optimal. Struktur ekonomi tersebut menggambarkan potensi dan ketergantungan perekonomian daerah terhadap kapasitas produksi riil masing-masing sektor. Besaran angka perolehan masing-masing sektor/lapangan usaha menunjukkan kontribusi sektor tersebut dalam perekonomian daerah pada tahun yang bersangkutan sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam koordinasi pembangunan ekonomi lintas sektor. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Blitar tahun 2008 ke tahun 2011 mengalami kecenderungan yang semakin menurun. Laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 sebesar 7,73 persen, dan pada tahun 2011 sebesar 5,33 persen. Hal tersebut dikarenakan adanya inflasi yang memiliki kecenderungan semakin meningkat tiap tahunnya, sehingga akan menjadikan konsumsi masyarakat yang semakin menurun karena dimungkinkan adanya kenaikan harga-harga secara keseluruhan. Apabila kondisi
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
15
inflasi terus mengalami peningkatan, laju pertumbuhan secara terus menerus juga akan semakin menurun. 4.1.4
Potensi Perkebunan Perkebunan di Kabupaten Blitar dikategorikan ke dalam sektor pertanian. Potensi pertanian di wilayah Kabupaten Blitar beraneka ragam dan tersebar di seluruh kecamatan. Bidang pertanian unggulan meliputi tanaman pangan, perkebunan, sayuran, peternakan dan perikanan. Salah satu potensi perkebunan di Kabupaten Blitar berasal dari tanaman tebu yang mana hasil produksinya tiap tahun cukup besar. Tercatat pada tahun 2011 produksi tebu di Kabupaten Blitar sebesar 502.497,55 ton dengan luas area 6.281,22 Ha. Semua perkebunan tebu di Kabupaten Blitar merupakan perkebunan rakyat, sehingga dapat menunjang kemandirian masyarakat di Kabupaten Blitar. Mengingat tebu merupakan salah satu tanaman perkebunan semusim non ekspor yang dikembangkan di wilayah Jawa Timur, keberadaan petani tebu di Kabupaten Blitar diharapkan dapat memberikan kontribusi yang cukup besar bagi produksi tebu di Jawa Timur. Tabel 4.2 Luas areal, Produksi dan Jumlah Petani Tebu Perkebunan Rakyat Menurut Kecamatan di Kabupaten Blitar Tahun 2011 Kecamatan 1. Bakung 2. Wonotirto 3. Panggungrejo 4. Wates 5. Binangun 6. Sutojayan 7. Kademangan 8. Kanigoro 9. Talun 10. Selopuro 11. Kesamben 12. Selorejo 13. Doko 14. Wlingi 15. Gandusari 16. Garum 17. Nglegok 18. Sanankulon 19. Ponggok 20. Srengat 21. Wonodadi 22. Udanawu Kabupaten Blitar
Tebu Produksi (Ton) 7.522,00 105.962,10 8.748,70 10.960,30 42.489,60 6.796,00 5.758,85 1,445,00 1.750,00 1.118,10 19.566,00 22.836,50 5.059,10 30.183,70 41.943,00 67.441,90 478,80 37.070,00 7.040,80 35.435,90 42.891,20 502.497,55
Luas (Ha) 94,03 1.324,52 109,36 137,01 531,12 84,95 72,00 18,08 21,88 13,98 244,56 285,44 63,25 377,28 524,27 843,02 6,00 463,36 88,00 442,95 536,16 6.281,22
Jumlah Petani (jiwa) 51 302 68 73 136 62 23 12 17 10 115 105 26 210 183 339 3 139 38 86 95 2.093
Sumber: BPS Kabupaten Blitar, 2012
BAB V Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
16
PERKEMBANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA GULA MERAH DI KABUPATEN BLITAR Ketersediaan tebu yang cukup tinggi di Kabupaten Blitar menjadi latar belakang utama kajian pengembangan industri gula merah. Selama ini, kontribusi perkebunan tebu terhadap perekonomian Kabupaten Blitar terbatas pada kontribusi sebagai sektor primer, dengan penyerapan tenaga kerja yang didominasi sebagai petani. Industri pengolahan berbasis bahan baku tebu (gula) di Kabupaten Blitar belum terbangun secara optimal, sehingga petani tebu lokal lebih banyak menyuplai industri gula tebu di luar Kabupaten Blitar. Kondisi ini yang selama ini menjadi perhatian banyak kalangan, disebabkan manfaat dari perkebunan tebu dengan hasil yang cukup melimpah belum dimanfaatkan secara optimal. Penyebab terbesarnya adalah belum adanya industri gula baik jenis putih maupun merah yang menyerap bahan baku tebu di Kabupaten Blitar. Hasil penelusuran di lapangan, tebu yang dihasilkan oleh petani di Kabupaten Blitar mayoritas justru dipasarkan kepada produsen olahan tebu di luar Kabupaten Blitar, seperti Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Jombang, serta beberapa daerah yang belum terpantau. Kabupaten Blitar tidak memiliki industri gula putih, sehingga hanya beberapa industri gula tradisional dari wilayah Kabupaten Blitar yang turut memanfaatkan potensi ketersediaan tebu menjadi gula merah. Dalam bab ini, akan dibahas mengenai perkembangan industri gula merah tebu yang telah eksis di Kabupaten Blitar. Tujuan dari pembahasan ini untuk mengulas kondisi terkini yang terjadi pada industri gula merah tebu berikut potensi dan hambatan yang terjadi. Hasil pembahasan akan dirangkum sebagai bahan kajian strategi pengembangan untuk mendorong manfaat mikro dan makro perekonomian, dengan motor penggeraknya adalah industri gula merah. Wawancara dilakukan dengan metode kualitatif terhadap beberapa informan yang mewakili kalangan petani tebu, pelaku industri gula merah, dan pedagang gula. Pembahasan secara spesifik difokuskan pada beberapa informasi, yakni: (i) kelembagaan bahan baku tebu; (ii) kebutuhan modal produksi (tenaga kerja dan penyediaan peralatan); (iii) teknologi/proses produksi; (iv) sistem pemasaran gula merah; dan (v) hambatan usaha industri gula merah tebu. 5.1
Kelembagaan Bahan Baku Tebu Dalam pembahasan kelembagaan penyediaan tebu sebagai bahan baku industri gula merah, diulas mengenai mekanisme penyediaan bahan baku tebu. Mekanisme transaksi dalam penyediaan tebu sebagai bahan baku produksi gula merah, banyak menjadi faktor yang mempengaruhi minat produsen untuk memproduksi gula merah tebu. Beberapa motif yang perlu diperhatikan agar produsen dapat memproduksi gula merah antara lain: (i) ketersediaan tebu yang sesuai dengan kebutuhan produksi (kuantitas dan kualitas); (ii) tingkat rendemen tebu; (iii) kesesuaian harga tebu; dan (iv) sistem penjualan bahan baku tebu. Motif yang pertama mengenai ketersediaan tebu yang sesuai kebutuhan, telah menjadi bahan pertimbangan bagi produsen disebabkan berpengaruh pada estimasi keuntungan yang akan diperoleh, dan besaran risiko produksi yang diprediksi dapat terjadi. Beberapa produsen mengatakan memilih memproduksi gula merah pada periode tertentu (umumnya disesuaikan pada musim giling pabrik gula putih pada bulan AprilOktober) karena kualitas tebu yang dihasilkan berada pada posisi tingkat rendemen tertinggi. Tingkat rendemen menjadi bagian terpenting dalam kelayakan industri gula.
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
17
Dengan kualitas rendemen yang cukup tinggi, akan semakin banyak gula yang dapat diproduksi dan memberikan laba produksi yang cukup tinggi sebagai hasil penjualan. Dengan adanya jaminan suplai bahan baku tebu, maka produsen tidak akan mengalami hambatan produksi dan kurang efisiensinya biaya transaksi. Biaya transaksi dalam perspektif kelembagaan bahan baku diasumsikan sebagai biaya yang dikeluarkan oleh pelaku industri dalam mengakses informasi, negosiasi, dan mengeksekusi penyediaan bahan baku. Semakin kecil biaya transaksi, makan desain kelembagaan bahan baku tebu dianggap semakin efisien. Tingkat rendemen sebagai motif kedua merupakan salah satu skala yang digunakan antara petani sebagai penyedia tebu dan produsen gula merah untuk menentukan kualitas tebu yang dihasilkan, menjadi parameter untuk menentukan harga tebu, dan perkiraan produksi yang dapat dihasilkan (produktivitas), serta estimasi besaran keuntungan yang akan diperoleh produsen gula. Perbandingan tingkat rendemen tebu antara yang digunakan industri gula merah dan gula putih memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Jika menggunakan parameter rendemen yang digunakan pada tahun 2013, rendemen gula putih rata-rata berkisar 7 persen, sedangkan gula merah pada musim hujan (bulan Oktober-April) mencapai kisaran 7-10 persen dan pada musim kemarau (April-Oktober) dapat mencapai 10-20 persen. Secara teknis perbedaan ini cukup logis disebabkan kandungan nira yang dijadikan sebagai bahan baku utama produksi gula juga berbeda. Pada produksi gula putih, nira sebagai hasil pemerasan tebu tidak dapat dijadikan gula sepenuhnya, karena masih tercampur dengan kandungan tetes tebu. Sedangkan gula merah, menggunakan penyaringan nira yang lebih sederhana, tidak memisahkan antara tetes dan nira sehingga tingkat rendemennya lebih tinggi. Kemudian motif ketiga mengenai kesesuaian harga tebu. Dalam beberapa kejadian yang terjadi dalam transaksi antara industri gula putih dan petani, muncul konflik horizontal akibat ketidakpuasan para petani deangan pembeli (industri gula putih) yang disebabkan perselisihan mengenai tingkat rendemen. Akibatnya, besaran harga tebu tidak menemukan titik kesepakatan dan pada akhirnya petani lebih memilih tidak memanen tebu dengan cara membakar atau cara lainnya. Konflik ini bermuara pada berkurangnya ketersediaan (suplai) tebu dan menurunkan produksi gula. Sedangkan dari sisi produsen, ketidaksesuaian harga dengan rendemen tebu akan menurunkan profitabilitas. Sehingga kesimpulan singkatnya, perlu ada upaya untuk memperbaiki sistem transaksi penjualan tebu. Dalam penentuan harga bahan baku tebu, mekanisme yang umum digunakan adalah menggunakan parameter harga yang ditentukan industri gula putih. Jika harga pasar yang diperoleh petani kepada industri gula putih tinggi, maka harga jual tebu ke produsen gula merah juga akan tinggi. Catatan yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah kurang terlibatnya petani sebagai produsen tebu dalam penentuan harga jual tebu. Masalah-masalah umum yang berpotensi terjadi dengan mekanisme ini adalah perselisihan mengenai besaran rendeman. Petani yang tidak banyak dilibatkan dalam penentuan besaran rendemen akibat kemampuan yang dirasa kurang mumpuni, akan dapat menjadi pihak yang dirugikan jika tidak disertai perlindungan harga. Sebagaimana yang terjadi pada pertanian pangan/perkebunan lainnya, kurang terlibatnya petani dalam penentuan harga justru mendorong petani menjadi pihak yang “tereksploitasi”, dan kekhawatiran dalam jangka panjang akan menurunkan motivasi petani untuk memproduksi tebu jika keuntungan yang didapat tidak banyak memperbaiki kesejahteraan petani. Maka langkah sederhananya adalah memperbaiki bargaining
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
18
power petani tebu, termasuk di dalamnya memberdayakan petani untuk terlibat dalam penentuan harga. Tujuannya, dengan sistem penentuan harga yang semakin transparan akan menurunkan potensi “keuntungan sepihak” dari para pelaku transaksi. Kelembagaan yang terakhir memuat sistem transaksi yang meliputi momentum transaksi penjualan dan sistem pembayaran. Dalam praktik penjualan bahan baku di lapangan berdasarkan waktu transaksi, secara umum terdapat dua mekanisme, yakni transaksi sebelum masa panen dan transaksi saat masa panen. Transaksi sebelum panen umumnya dilakukan sekitar tiga bulan sebelum masa panen. Penyebabnya adalah sebagian petani memilih menghindari risiko kegagalan panen atau juga didorong faktor lain di luar teknis produksi tebu seperti desakan kebutuhan ekonomi. Kelebihan dari mekanisme ini adalah jaminan ketersediaan bahan baku tebu dengan harga beli yang relatif lebih rendah bagi produsen gula merah, dan kepastian pasar bagi petani tebu. Namun sisi negatifnya adalah: (i) bagi produsen gula kualitas akhir tebu (rendemen) belum dapat diukur secara pasti dan adanya biaya tambahan untuk perawatan tebu dari masa beli hingga masa panen; (ii) bagi petani keuntungan yang didapat kurang optimal. Kemudian yang kedua yakni transaksi penjualan pada saat masa panen. Keunggulan mekanisme ini adalah tingkat rendemen (yang mempengaruhi harga jual) lebih terukur dan petani dapat memperoleh keuntungan yang lebih optimal. Sedangkan kekurangannya adalah faktor harga yang relatif sudah lebih tinggi bagi produsen gula dan persaingan antara sesama produsen gula merah dan/atau industri gula putih untuk mendapatkan bahan baku tebu, dengan kata lain dapat terjadi kelangkaan bahan baku. Namun kondisi kelangkaan untuk saat ini kecil kemungkinan terjadi jika melihat besaran suplai tebu yang masih di atas total permintaan, sehingga kebutuhan produksi dari segi kuantitas relatif aman. Dari kedua sistem penjualan berdasarkan waktu transaksi di atas mayoritas produsen gula merah lebih memilih mekanisme pembelian sebelum masa panen, karena adanya jaminan ketersediaan dan harga beli bahan baku yang lebih menguntungkan. Namun mekanisme ini perlu diantisipasi kemungkinan konflik akibat kurang efisiensinya kelembagaan bahan baku tebu. Catatan tambahan dari segi petani mengenai kelembagaan yang eksis untuk saat ini, jika mengamati perbandingan keuntungan hasil penjualan tebu antara produsen gula merah dan gula putih relatif hampir sama, disebabkan patokan harga yang digunakan transaksi adalah harga pemasaran antara petani dengan industri gula putih. Perbedaan yang mendasar adalah sistem pembayaran antar produsen yang mempengaruhi arus kas petani tebu (cash flow). Pembelian tebu oleh industri gula putih menggunakan sistem kredit dengan jangka pembayaran lebih dari satu bulan, sedangkan pembelian oleh produsen gula merah dengan sistem tunai (cash) atau kredit jangka pembayaran relatif lebih singkat. Alasan lain yang mendorong perlunya peningkatan suplai tebu kepada produsen gula merah adalah keterbatasan daya tampung produksi pada industri gula putih. Untuk menghindari keterbatasan akses pasar tebu dapat melalui peningkatan permintaan dari industri gula merah di Kabupaten Blitar, dengan cara meningkatkan kapasitas produksi industri yang sudah eksis atau dengan meningkatkan jumlah industri gula merah. 5.2
Modal Produksi Gula Modal produksi gula meliputi kebutuhan penyediaan bahan baku tebu, peralatan dan perlengkapan produksi, serta pengeluaran untuk tenaga kerja. Total modal yang dibutuhkan berdasarkan pengalaman pelaku industri yang sudah ada berkisar Rp 125
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
19
juta hingga Rp 150 juta. Total modal ini dibutuhkan untuk investasi peralatan produksi dengan asumsi teknologi yang digunakan relatif sederhana. Kebutuhan investasi yang paling banyak membutuhkan dana adalah penyediaan mesin giling tebu, yang digunakan untuk mengambil nira tebu sebelum proses penyaringan. Kebutuhan lainnya adalah penyediaan sarana perebusan nira seperti bak penampungan atau wajan yang dipergunakan untuk memproses nira hingga mendidih menjadi gula. Kebutuhan untuk biaya tenaga kerja cukup bervariatif. Pada umumnya menggunakan sistem upah harian atau borongan. Untuk upah harian rata-rata yang didapatkan tenaga kerja berkisar Rp 50.000/hari, sedangkan untuk upah borongan bervariasi antara Rp 40.000 hingga Rp 50.000 untuk setiap produksi satu kuintal gula. Sedangkan harga beli bahan baku bergantung pada kualitas rendemen, umumnya pada periode Oktober-April dengan tingkat rendemen berkisar 7-10 persen, harga beli yang didapatkan berkisar antara Rp 25.000 hingga Rp 40.000 per kuintal tebu. Sedangkan pada periode April hingga Oktober, dengan tingkat rendemen berkisar antara 10-20 persen, harga beli tebu mencapai Rp 40.000 hingga harga tertinggi mencapai Rp 70.000. Peralatan produksi gula merah tebu yang digunakan sebenarnya cukup sederhana, kecuali mesin pemeras atau penggiling batang tebu. Peralatan lain untuk produksi di antaranya: (i) parang, golok, atau pisau besar, dimana alat ini digunakan untuk mengikis permukaan kulit dan membuang mata batang tebu; (ii) wajan besar yang digunakan untuk memanaskan nira tebu sampai kental; (iii) pengaduk, digunakan untuk mengaduk nira yang sedang dipanaskan; (iv) penyaring, digunakan untuk menyaring cairan tebu yang akan dipanaskan, dan sedang dipanaskan; (v) cetakan gula; dan (vi) tungku pembakaran. Alat-alat tersebut masih dapat diakses oleh produsen tebu di wilayah Kabupaten Blitar. Sementara itu, mesin pemeras atau penggiling batang tebu digunakan untuk memeras batang tebu sehingga cairan niranya keluar/terekstraksi. Bagian utama dari mesin ini berupa dua silinder sehingga batang tebu tergiling dan dikeluarkan melalui putaran mesin silinder tersebut. Gilingan tersebut akan memeras batang tebu sehingga mengeluarkan cairan nira. Alat ini dapat diperoleh dari produsen lokal di Kabupaten Blitar dan importir dari luar Kabupaten Blitar. 5.3
Proses Produksi atau Pembuatan Gula Merah Tebu Dalam produksi gula merah tebu, terdapat beberapa tahapan proses produksi. Tahapan-tahapan tersebut dijelaskan dalam beberapa bagian sebagai berikut: 1. Pemilihan dan Pembersihan Bahan Baku Bahan baku yang berupa batang tebu yang akan dijadikan gula merah harus termasuk kategori “cukup umur” karena berpengaruh pada kualitas nira. Proses produksi atau pembuatan gula tebu pada prinsipnya tidak berbeda jauh dengan pembuatan gula merah dari kelapa, aren, atau lontar. Pada awalnya, bahan baku yang berupa batang tebu dibersihkan dahulu dari daun, tunas atas, serta mata batang yang terdapat di batang tebu. Pembersihan ini dimaksudkan untuk menjaga higienitas gula dari serabut-serabut tebu. 2. Penggilingan Setelah semua batang tebu dibersihkan, tebu digiling melalui mesin penggiling untuk memisahkan ampas dan sari batang tebu (nira). Pada saat penggilingan, tebu harus dimasukkan satu-persatu atau dengan kapasitas secukupnya. Jika batang tebu
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
20
terlalu banyak ke dalam mesin penggilingan, maka mesin tersebut akan terhambat dengan sendirinya karena beban untuk memeras batang tebu terlalu berat. 3. Penampungan Awal Idealnya, sari batang tebu yang berupa nira tersebut dialirkan dengan menggunakan selang ke tempat penampungan awal sembari disaring untuk memisahkan kotorannya. Namun yang dilakukan oleh sebagian besar produsen pembuat gula merah tebu di Kabupaten Blitar, nira yang sudah dipisahkan langsung ditempatkan ke penampungan yang berupa wajan besar tanpa disaring terlebih dahulu. Sehingga serabut atau ampas tebu yang ikut tertampung ke wajan ikut diproses menjadi gula merah tebu. Artinya, proses produksi awal yang dilakukan pembuat tebu masih belum sesuai dengan prosedur pembuatan gula merah tebu yang higienis. 4. Pemanasan Kemudian nira yang sudah dibersihkan tersebut dipanaskan sampai mencapai suhu sekitar 70 – 75oC. Pada tahap ini biasanya juga ditambahkan larutan kapur dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran dan agar gula tidak lembek. Pada saat perebusan, sebelum terlalu mendidih, kotoran akan terangkat ke atas bersama busa, kemudian dibuang dengan menggunakan serok. 5. Perebusan Nira hasil penggilingan masih mengandung air sekitar 78 – 83 persen. Air tersebut harus diuapkan sampai nira menjadi kental atau mencapai konsentrasi jenuh. Penguapan dilakukan dengan beberapa wajan dengan pemindahan nira secara bertahap dan berurutan ke beberapa wajan tersebut. Biasanya 6 wajan yang disusun secara berderet dari depan ke belakang. Posisi wajan semakin di depan, nira yang dimasak semakin kental. Nira pada wajan yang di depan (biasanya wajan kesatu tau kedua dari depan) telah siap diangkat untuk dicetak. Sementara itu, agar gula tampak kuning kemerahan dan bersih, biasanya juga ditambahkan obat gula. 6. Penampungan Akhir Sebelum dicetak, nira yang sudah mengental atau menjadi gulali dimasukkan ke dalam bak besar kemudian diaduk selama 15 menit agar cepat dingin/kering dan tidak lengket serta warnanya lebih kuning. 7. Pencetakan Proses selanjutnya, nira yang sudah mendingin akan dikeringkan. Dua cara pengeringan yang dilakukan di Kabupaten Blitar, yaitu dicetak dengan tempurung kelapa yang menyerupai mangkok dan keeping logam, sehingga gula merah tersebut disebut dengan gula bathok dan gula keping logam. Yang kedua, dengan cara terus diaduk-aduk atau digaruk menggunakan garpu kayu sampai kering di atas api sehingga membentuk kristal kecil-kecil, selanjutnya disaring dengan penyaringan lembut. Gula inilah yang disebut dengan gula semut. 8. Pengemasan Gula yang telah dikeluarkan dari cetakan dibungkus untuk selanjutnya dipasarkan. Pembungkus yang digunakan dapat berupa daun kelapa kering, pohon pisang atau kantung plastik.
5.4
Sistem Pemasaran Gula Merah
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
21
Setelah proses produksi selesai, selanjutnya gula merah tebu siap untuk dipasarkan. Pemasaran gula yang dilakukan oleh produsen gula merah tebu di Kabupaten Blitar dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dalam arti dari produsen atau pembuat gula tebu langsung disalurkan kepada konsumen. Konsumen gula merah tebu di Kabupaten Blitar biasanya merupakan rumah tangga (konsumen akhir) dan perusahaan/industri makanan dan minuman yang menggunakan gula merah tebu sebagai bahan baku, seperti perusahaan kecap, perusahaan sambel pecel, perusahaan roti, perusahaan jamu, home industry jenang atau dodol, geti, entingenting, opak gambir, beras kencur dan sebagainya. Penyaluran/pemasaran produksi sendiri secara langsung kepada pemakai akhir sebenarnya mempunyai kelemahan, karena dengan cara tersebut tingkat efisien akan relatif lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan perantara. Sementara itu, pemasaran atau penjualan gula merah tebu secara tidak langsung biasanya melalui perantara/distributor atau supplier penjualan di dalam Kabupaten Blitar maupun antar daerah.. Penentuan harga gula merah tebu di Kabupaten Blitar mengikuti harga pasar. Lazimnya ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya: a. Faktor permintaan (demand) b. Faktor kualitas (rendah, tinggi, dan super) c. Jenis cetakan gula merah (bathok, keping logam, semut) Secara umum, hasil penelitian belum dapat mengarah kepada perbandingan profitabilitas produksi jika menggunakan aspek profit sebagai acuan. Namun dapat dilihat dari keuntungan yang didapatkan berdasarkan perbandingan jika memproduksi gula merah adalah: a) faktor modal rendah; b) teknologi produksi sederhana dan murah; c) akses pasar yang cukup terbuka; Hal ini ditandai dengan besarnya permintaan yang belum diimbangi dengan suplai yang memadai (suplai defisit yang diterjemahkan sebagai area prospektif), sehingga memungkinkan untuk dikembangkan dalam skala mikro (rumah tangga). 5.5
Hambatan Usaha Industri Gula Merah Tebu Industri gula merah tebu di Kabupaten Blitar berdasarkan kajian primer dan dikolaborasikan dengan hasil Forum Group Discussion (FGD) dengan stakeholder pembangunan industri gula merah yang terdiri dari perwakilan Pemerintah Kabupaten Blitar, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Kabupaten Blitar, Dewan Riset dan Inovasi Daerah (DRID) Kabupaten Blitar, Kamar Dagang Industri (Kadin) Kabupaten Blitar, serta stakeholder lainnya ditemukan beberapa hambatan internal dan eksternal yang dapat mengancam eksistensi industri gula merah tebu di Kabupaten Blitar. Hambatan internal adalah hambatan yang disebabkan faktor-faktor internal dari usaha, sedangkan yang dimaksud dengan hambatan eksternal adalah hambatan usaha yang disebabkan berbagai faktor di luar usaha, tapi memiliki keterkaitan dengan pengembangan industri gula merah tebu. Hambatan-hambatan tersebut dapat dilihat pada tabel 5.1 sebagai berikut. Tabel 5.1
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
22
Hambatan Pengembangan Industri Gula Merah Tebu Hambatan Internal 1. Tenaga kerja 2. Pemasaran ekspor 3. Standarisasi produk
1. 2. 3. 4. 5.
Hambatan Eksternal Perijinan usaha Infrastruktur Ancaman ketersediaan bahan baku Tantangan gula rafinasi Daya dukung kebijakan ekspor
Sumber: Hasil Penelitian dan FGD, 2014 Hambatan dari sisi internal terbagi menjadi tiga bagian, yakni: (i) tenaga kerja; (ii) pemasaran ekspor; dan (iii) standarisasi produk. Produsen gula merah membeberkan mulai mengalami kesulitan mencari tenaga kerja baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Faktor yang mendorong kondisi tersebut karena tenaga kerja yang ada tidak mendapat keberlanjutan pendapatan mengingat mayoritas produsen, memilih hanya memproduksi gula merah pada saat tingkat rendemen sedang tinggi (sekitar bulan AprilOktober). Selain itu tenaga kerja yang sudah ada secara kualitas juga belum mampu mendukung ekspektasi standar produk, terutama untuk kebutuhan ekspor. Hingga saat ini level pemasaran yang mampu dikelola masih terbatas pada pasar domestik karena terbatasnya teknologi kemasan yang mendukung daya tahan gula merah. Sedangkan pada hambatan ekstenal terbagi ke dalam lima bagian, yakni: (i) perijinan usaha; (ii) infrastruktur; (iii) ancaman ketersediaan bahan baku; (iv) tantangan gula rafinasi; (v) daya dukung kebijakan ekspor. Dalam FGD dijelaskan oleh Ketua DRID dan Kadin Kabupaten Blitar bahwa secara kelembagaan perijinan usaha belum banyak mendukung upaya pengembangan industri. Persoalan birokrasi dan kesiapan lingkungan sosial juga menjadi hambatan tersendiri, dimana pada beberapa produsen yang dikaji sempat mengalami hambatan akibat lokasi produksi yang berhimpitan dengan kawasan penduduk. Sehingga perlu diperjelas mengenai substansi-substansi perijinan usaha yang efektif. Dari segi infrastruktur, hambatan yang paling signifikan untuk saat ini adalah ketersediaan alat timbang. Infratruktur ini dibutuhkan untuk kemudahan transaksi penjualan tebu. Selama ini petani dan produsen gula lebih banyak menggunakan timbangan kapasitas kecil yang cenderung kurang efektif. Untuk transportasi yang melintasi wilayah utara Kabupaten Blitar masih sedikit lebih baik dengan ketersediaan jembatan timbang yang dikelola Dinas Perhubungan. Persoalan ketersediaan bahan baku tebu dari sisi eksternal justru menjadi persoalan yang cukup rumit untuk diselesaikan. Alasannya, ketersediaan menghadapi dua tantangan utama: (i) lahan tanam; dan (ii) membanjirnya gula rafinasi. Produktivitas tebu di Kabupaten Blitar terancam menurun disebabkan menurunnya lahan tanam tebu. Kondisi ini disebabkan terbitnya undang-undang pengelolaan wilayah Perhutani yang melarang untuk digunakan kegiatan penanaman tebu, padahal sebelumnya sebagian lahan tersebut dimanfaatkan masyarakat untuk menanam tebu. Tantangan kedua adalah mulai membanjirnya gula rafinasi. Gula rafinasi adalah gula impor yang sudah setengah jadi, dengan kata lain menggunakan bahan baku tebu dari negara di luar Indonesia, namun proses produksinya masih berkisar 50 persen. Dengan munculnya gula rafinasi (yang cenderung biayanya lebih rendah) menyebabkan produsen gula mulai mengalihkan tata kelola produksinya, dari produksi gula secara total menjadi produsen gula rafinasi. Akibatnya permintaan terhadap tebu menurun dan berakibat linier dengan penurunan permintaan tebu di Kabupaten Blitar. Kondisi ini tentu saja akan
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
23
mempengaruhi motivasi petani untuk memproduksi tebu, dan berakibat pada suplai bahan baku tebu terhadap industri gula merah. Hambatan eksternal yang terakhir adalah daya dukung ekspor gula merah. Target dari pelaku industri masih terhambat pada persoalan regulasi perijinan dan prosedur pengiriman. Selama ini karena hambatan perijinan yang belum mampu dipenuhi oleh industri rumah tangga gula merah tebu, menyebabkan industri rumah tangga membutuhkan akses pemasaran melalui eksportir besar. Selain itu berdasarkan pengalaman dari salah satu pedagang gula merah di Kabupaten Blitar prosedur pengiriman ekspor gula merah yang cenderung dirasa kurang efektif (didukung teknologi kemasan yang masih sederhana) menyebabkan produk lebih cepat rusak. Akibatnya permintaan ekspor gula merah belum dapat dijalankan secara berkesinambungan.
BAB VI
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
24
STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA GULA MERAH DI KABUPATEN BLITAR 6.1
Analisis Keputusan Bisnis Berdasarkan pada pembahasan dalam bab-bab terdahulu, maka dapat disusun analisis untuk menentukan keputusan bisnis pada pengembangan industri rumah tangga gula merah tebu di Kabupaten Blitar. Dengan menggunakan data statistik dan pendekatan kualitatif, analisis keputusan bisnis telah disusun sesuai dengan gambar 6.1 di bawah ini. Gambar 6.1 Analisis Keputusan Bisnis Pada Industri Gula Merah
PELUANG BISNIS
PermintaanTerhadapProdukGulaMerah (DomestikdanEkspor)
KALKULASI BISNIS
Bahan Baku, TenagaKerja, Profitabilitas, Teknologi
Layak
TidakLayak
PEMBATALAN AKSI PERUSAHAAN
RENCANA AKSI PERUSAHAAN
Investasi DayaDukung Kelembagaan EkspansiPasar Sumber: Hasil Studi Lapangan, 2014
Berdasarkan kajian dalam analisis tersebut, dapat digambarkan bagaimana kondisi eksisting dan potensi serta strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan industri gula merah berskala rumah tangga di Kabupaten Blitar. Analisis di atas terbagi menjadi tiga tahapan utama, yakni: (i) analisis peluang bisnis, yang menggambarkan potensi gula merah tebu yang diukur dari keseimbangan supply dan demand terhadap gula merah, baik untuk kebutuhan domestik maupun luar negeri (ekspor); (ii) analisis kalkulasi bisnis, yang menggambarkan ketersediaan sumber daya lokal untuk mengembangkan industri gula merah di Kabupaten Blitar, baik dari segi ketersediaan bahan baku tebu, tenaga kerja, kesempatan untuk peningkatan skala profitabilitas, serta
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
25
kesiapan teknologi; dan (iii) evaluasi keputusan bisnis, yang menggambarkan kelayakan untuk menggiatkan aksi bisnis yang didasarkan pada analisis peluang dan kalkulasi bisnis industri gula merah tebu. Mengenai analisis peluang bisnis, sebagaimana pada latar belakang kajian telah dipaparkan kondisi supply yang belum mampu mengimbangi demand atas produk gula merah, baik untuk kebutuhan dalam negeri (domestik) ataupun pemenuhan permintaan luar negeri (ekspor). Berdasarkan data hasil simposium nasional gula, dari total kebutuhan gula nasional pada tahun 2010 yang mencapai 4,55 juta ton hanya mampu dipenuhi produsen gula nasional sebesar 2,24 juta ton, sehingga terdapat defisit suplai sebesar 2,31 juta ton gula. Kemudian secara spesifik mengenai data statistik permintaan gula merah di Jawa Timur pada tahun 2012 yang mencapai kisaran 30-40 ribu ton per tahun, hanya mampu dipenuhi sekitar 5 ribu ton per tahun atau mengalami defisit suplai mencapai 25-35 ribu ton per tahun. Gula merah ini diproduksi untuk menyuplai kebutuhan rumah tangga, industri bahan makanan, dan industri makanan/minuman di Jawa Timur yang setiap tahunnya juga mengalami pertumbuhan. Sedangkan untuk permintaan kebutuhan gula merah di luar negeri, total permintaan ekspor ke negara Kanada, Amerika, Belgia, Australia, dan beberapa negara Eropa lainnya yang mencapai 500 ton setiap bulan, hanya mampu disuplai produsen gula merah nasional berkisar 3050 ton per bulan (defisit suplai ekspor 450-470 ton). Selain data statistik di atas, berdasarkan informasi dari pedagang gula merah lokal yang berada di wilayah Kabupaten Blitar, permintaan gula merah untuk kebutuhan rumah tangga juga cukup tinggi. Selama ini pedagang di pasar tradisional menggantungkan pasokan gula merah mayoritas dari daerah Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Kediri, Kabupaten Jombang, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Banyuwangi. Para pedagang relatif akan lebih memilih pasokan dari produsen gula merah lokal jika memang sudah mampu menyuplai permintaan, dengan alasan menurunkan biaya transportasi dan jika kualitas yang dihasilkan setara atau lebih baik dari produk-produk gula merah yang sudah beredar. Kondisi terbukanya akses pasar ini seharusnya mampu direspon secara positif baik dari Pemerintah Kabupaten Blitar, pelaku bisnis, dan masyarakat untuk mulai memanfaatkan potensi yang sangat prospektif ini melalui upaya pengembangan industri gula merah tebu. Kemudian dalam analisis kalkulasi bisnis, dari hasil kajian dapat diidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan industri gula merah di Kabupaten Blitar, antara lain: (i) ketersediaan bahan baku tebu; (ii) teknologi produksi yang sederhana; (iii) tenaga kerja; dan (iv) profitabilitas. Ketersediaan bahan baku tebu cukup tinggi di Kabupaten Blitar. Menurut data statistik BPS Kabupaten Blitar, menunjukkan tanaman tebu tumbuh merata hampir di seluruh kecamatan di Kabupaten Blitar dengan total produksi tebu mencapai 502.497,55 ton, kecuali Kecamatan Wlingi saja yang tidak memproduksi tebu. Dengan potensi ini dapat menjadi salah satu faktor utama untuk pengembangan industri gula, dengan upaya memeratakan pertumbuhan industri di wilayah-wilayah potensial. Kondisi tingkat suplai bahan baku tebu yang cukup tinggi justru tidak dapat terserap optimal untuk kepentingan industri lokal di Kabupaten Blitar. Hingga saat ini, mayoritas tebu yang dihasilkan justru diproduksi sebagai gula oleh produsen di luar Kabupaten Blitar, termasuk di dalamnya produsen gula merah dan gula putih. Fakta ini yang turut mendorong pemahaman, bahwa tebu produksi petani di Kabupaten Blitar memenuhi persyaratan sebagai bahan baku gula merah. Kemudian dengan teknologi produksi yang relatif sederhana, tidak banyak menuntut kebutuhan SDM dengan
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
26
keterampilan tinggi sebagai faktor produksi tenaga kerja. Kalkulasi bisnis mengenai skala profitabilitas dapat diukur secara kualitatif. Dengan terbukanya akses pasar, kestabilan harga pasar tebu dan gula sebagaimana dijelaskan pada pembahasan hasil lapangan, serta minimnya konflik sosial ekonomi yang melibatkan industri gula merah, maka profitabilitas industri gula merah dapat dioptimalkan. Desain kelembagaan dengan pendekatan biaya transaksi yang minim dapat menjustifikasi potensi industri dengan terbukanya akses dan informasi pasar tebu dan gula. Evaluasi keputusan bisnis sebagai tahapan akhir dari kajian pengembangan industri gula merah tebu di Kabupaten Blitar, dengan mempertimbangkan adanya peluang bisnis dan kalkulasi mengenai sumber daya lokal yang cukup mumpuni, maka dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Blitar layak untuk mengembangkan industri gula merah terutama yang berskala rumah tangga. Proses berikutnya adalah rencana aksi pengembangan dan rancangan strategi kebijakan. Berdasarkan hasil kajian lapangan, maka rencana aksi perlu memuat beberapa strategi yang meliputi aspek-aspek berikut ini: (i) investasi; (ii) daya dukung pemerintah daerah; (iii) ekspansi pasar; dan (iv) kelembagaan. Keempat strategi akan menjadi latar belakang untuk meningkatkan manfaat sosial ekonomi dari perkebunan tebu di Kabupaten Blitar. Dengan adanya pengembangan industri gula merah akan memperbaiki penyerapan tenaga kerja, dan sekaligus meningkatkan kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB yang dalam kurun tahun 2008-2011 berkisar pada angka 23 persen dari total PDRB. Peningkatan kontribusi sektor industri pengolahan selain untuk meningkatkan nilai tambah produk perkebunan tebu, juga akan turut mendorong peningkatan pendapatan masyarakat di Kabupaten Blitar. 6.2
Strategi Pengembangan Industri Rumah Tangga Gula Merah Strategi pengembangan industri gula merah tebu terbagi dalam empat pilar strategi, yakni: (i) investasi; (ii) daya dukung pemerintah; (iii) kelembagaan; dan (iv) ekspansi pasar. Keempat pilar strategi tersebut sangat erat kaitannya, sehingga dalam penyusunan dan implementasi strategi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kunci strategi pengembangan adalah meningkatknya investasi untuk industri gula merah tebu, dengan dorongan dari daya dukung pemerintah, akses dan informasi mengenai pasar, serta kelembagaan eksternal. Strategi investasi, bertujuan untuk meningkatkan produksi gula merah tebu, baik dalam bentuk peningkatan kapasitas produksi pada produsen yang sudah eksis atau meningkatkan jumlah produsen baru. Investasi dapat berbentuk peningkatan permodalan industri, serta dapat juga investasi dalam bentuk perbaikan kualitas SDM dan SDA. Dalam meningkatkan investasi permodalan, beberapa hal yang menjadi alasan untuk berinvestasi pada industri gula merah tebu adalah: (i) ketersediaan SDA (bahan baku tebu); (ii) ketersediaan SDM (tenaga kerja) yang mumpuni; (iii) ketersediaan sarana dan prasarana infrastruktur industri; (iv) kepastian hukum dan birokrasi kepemerintahan terkait industri gula merah; dan (v) ketersediaan akses dan informasi pasar.
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
27
Gambar 6.2 Kerangka Strategi Pengembangan Investasi
Sumber: Hasil Penelitian, 2014 Dalam strategi investasi permodalan sangat erat kaitannya dengan daya dukung pemerintah. Daya dukung pemerintah hampir meliputi keseluruhan dari faktor-faktor yang mendorong investasi, sehingga tampak peran pemerintah cukup dominan dalam pengembangan industri gula merah tebu tradisional. Peran pemerintah dapat menstimulus peningkatan sektor hulu dan hilir dari industri gula merah tebu. Pada sektor hulu maka perhatian terfokus pada faktor-faktor produksi, seperti upaya peningkatan kualitas tebu sebagai bahan baku, peningkatan kemampuan dasar tenaga kerja produksi, dan penyediaan teknologi dan peralatan. Gambar 6.3 Daya Dukung Pemerintah Daerah dalam Strategi Pengembangan Industri
Sumber: Hasil Penelitian, 2014 Pertama, pada peningkatan kualitas bahan baku tebu, secara inti akan bermuara pada perbaikan tingkat rendemen tebu. Kualitas tebu selain disebabkan oleh faktor alam juga dapat didorong dengan adanya pemilihan bibit tebu yang berkualitas serta pola perawatan yang menghindarkan dari risiko penurunan kualitas atau bahkan gagal panen. Perluasan lahan tanam tebu juga akan meningkatkan produktivitas tebu di Kabupaten Blitar. Sehingga disini, peran pemerintah (terutama yang berkaitan dengan bidang Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
28
perkebunan) sangat menonjol untuk mendukung ketersediaan bahan baku tebu berkualitas. Kedua, ketersediaan SDA dalam bentuk bahan baku tebu yang cukup melimpah di Kabupaten Blitar perlu didorong dengan dukungan persiapan tenaga kerja yang mampu secara efektif dan efisien memproduksi tebu menjadi gula merah. Tenaga kerja yang perlu dipersiapkan meliputi tenaga kerja baik untuk perkebunan tebu maupun untuk industri gula merah tebu. Langkah ini sebagai bagian dari investasi SDM dalam bentuk pembinaan tenaga kerja dalam keterampilan produksi. Meskipun teknologi produksi gula merah dapat dikelola secara tradisional dan sederhana, namun masih membutuhkan pembinaan untuk mengejar ekspektasi pasar yang menuntut kualitas produk yang sangat tinggi, dari segi tampilan produk, ukuran, kebersihan (higienitas), kualitas rasa, dan kemasan produk. Kualitas tenaga kerja selain mempengaruhi kualitas produksi gula yang dihasilkan, akan turut mendorong daya tawar dan daya saing pemasaran gula. Model pembinaan diarahkan melalui pelatihan yang berkaitan dengan teknik produksi yang mampu menghasilkan produk gula yang berkualitas, dan daya dukung pelatihan untuk penciptaan produk-produk disertai pengemasan yang menarik dengan bertujuan meningkatkan nilai tambah dan daya tawar produk. Pelatihan ini membutuhkan kerjasama dari stakeholder pemerintah yang membawahi bidang perindustrian dan perdagangan, sehingga tenaga kerja mampu diarahkan untuk memenuhi ekspektasi pasar. Ketiga, daya dukung melalui akses pengembangan kualitas dan ketersediaan peralatan produksi juga perlu diperhatikan. Kualitas peralatan produksi sebagai media pengolah bahan baku berpengaruh pada gula yang dihasilkan, termasuk dalam upaya memacu efektivitas dan kualitas hasil produksi. Upaya penyediaan peralatan produksi dimaksudkan untuk menciptakan kemudahan bagi produsen gula dalam mengakses kebutuhan peralatan produksi. Penyediaan ini dapat melalui dinas di bawah pemerintah secara langsung atau memfasilitasi pihak swasta yang dapat menjadi supplier peralatan produksi. Selama ini peralatan produksi yang digunakan oleh produsen gula merah disediakan dari luar Kabupaten Blitar, seperti peralatan giling yang disediakan dari Kabupaten Tulungagung, dan sebagian lainnya harus menggunakan produk impor dari luar negeri. Keempat, pengembangan sarana dan prasarana infrastruktur. Sarana dan prasarana yang perlu dipersiapkan pemerintah dalam waktu dekat adalah peralatan timbang tebu. Untuk mengukur berat tebu yang dipasarkan selama ini menggunakan cara manual dengan media timbangan untuk kapasitas kecil, atau menggunakan parameter besar truk pengangkut yang diperkirakan dalam satu muatan berkisar 5-7 ton tebu. Kondisi ini secara otomatis akan menghambat transaksi penjualan antara petani tebu dengan industri gula merah yang masih dikelola secara tradisional, serta berpotensi memunculkan perselisihan mengenai tonase atau kapasitas tebu. Hambatan ini terjadi terutama pada wilayah produksi tebu di Kabupaten Blitar bagian selatan yang tidak memiliki fasilitas penunjang untuk alat timbang, sedangkan di wilayah utara masih tersedia jembatan timbang yang dikelola Dinas Perhubungan. Kelima, peran dalam penciptaan akses dan informasi pasar. Peran ini sangat terkait dengan strategi ekspansi pasar baik untuk pangsa domestik maupun ekspor. Upaya ekspansi pasar secara umum merupakan akumulasi dari faktor-faktor daya dukung yang telah dijelaskan sebelumnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan daya tawar dan daya saing pemasaran gula merah adalah: (i) standarisasi produk; (ii) regulasi pemasaran; dan (iii) promosi. Standarisasi produk bertujuan untuk
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
29
menjaga kualitas produk yang sesuai dengan permintaan pasar, baik dari segi bentuk, rasa, dan kemasan produk. Jika merunut pada pengalaman yang dilakukan oleh pedagang gula lokal di Kabupaten Blitar dalam upaya ekspor, kualitas bentuk dan rasa gula merah masih terhambat faktor kemasan dan pengepakan yang menjadi pendorong daya tahan produk. Kemudian aspek regulasi lebih terfokus pada persyaratan administrasi perijinan yang didesain untuk tidak menghambat mobilitas pemasaran. Aspek yang terakhir mengenai ekspansi pasar adalah promosi produk gula merah. Promosi bertujuan untuk mensosialisasikan produk gula merah dari Kabupaten Blitar, sehingga memberikan efek peningkatan akses pasar. Dengan adanya promosi, masyarakat (konsumen rumah tangga dan industri) dapat lebih mengenal gambaran produk gula merah dari segi kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan. Peran keenam atau yang terakhir erat kaitannya dengan strategi kelembagaan. Desain kelembagaan ditujukan untuk mengefisiensikan total biaya yang harus ditanggung produsen di luar biaya teknis produksi. Berdasarkan bentuk kelembagaan, maka desain/struktur kelembagaan untuk industri gula merah terbagi menjadi dua, yakni: (i) kelembagaan formal; dan (ii) kelembagaan sosial. Hubungan kelembagaan dan biaya transaksi pada umumnya biaya ini muncul sebagai akibat masalah-masalah sosial, yang disebabkan karena tidak adanya kepastian hukum dan regulasi, serta biaya yang disebabkan risiko/konflik sosial. Risiko sosial yang dapat menghambat laju produktivitas gula sebagai contoh adalah konflik antara produsen gula dengan petani tebu, serta konflik antara industri dengan lingkungan sosial (masyarakat) di sekitar wilayah produksi. Kepastian hukum dan regulasi bagi industri gula merah akan meminimalisir munculnya korupsi atau pungutan di luar peraturan daerah yang dilakukan oleh oknum pemerintah ataupun di luar pemerintah yang disebabkan mekanisme aturan tidak memiliki landasan penegakan yang jelas. Kepastian hukum dan regulasi ini pada beberapa studi justru yang paling banyak sorotan, karena menjadi hambatan bagi investor untuk menanamkan modal usahanya. Gambar 6.4 Struktur Kelembagaan Industri Gula Merah Tebu
Sumber: Hasil Penelitian, 2014 Sedangkan kelembagaan yang bersinggungan dengan biaya transaksi sosial adalah yang terkait dengan hubungan transaksi antara petani dengan produsen gula, serta hubungan sosial antara produsen dengan masyarakat di lingkungan sekitar tempat produksi. Kelembagaan dengan petani jika didasarkan pada konflik yang muncul antara petani tebu dengan produsen gula putih, disebabkan perselisihan mengenai besaran rendemen dan harga tebu. Pada tahun 2013, konflik yang terjadi pada beberapa daerah di Provinsi Jawa Timur mengakibatkan petani lebih memilih tidak menjual hasil perkebunan tebu kepada produsen gula putih karena merasa tereksploitasi dengan kebijakan dari produsen gula putih. Untuk meminimalisir konflik yang sama, maka Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
30
produsen gula merah perlu membangun desain kelembagaan yang mendorong transaksi penjualan yang lebih menguntungkan kedua pihak. Caranya adalah dengan meningkatkan transparansi transaksi penjualan, meliputi peningkatan akurasi ukuran rendemen dan negosiasi harga tebu. Selama ini ukuran rendemen menggunakan patokan harga pada tahun sebelumnya yang diterbitkan pabrik gula putih, sehingga tidak diukur secara akurat pada periode berjangka yang lebih sesuai dengan kondisi terkini. Salah satu cara yaitu dengan menggunakan krepyak mini yang telah dilaksanakan di PTPN X. Alat ini merupakan miniatur dari proses penggilingan tebu, sehingga pengukuran kualitas tebu dapat dilakukan lebih tepat dan cepat dengan hasil yang cukup akurat. Penggunaan krepyak ini dimaksudkan agar nira yang diambil contoh untuk pengukuran NN NPP merupakan contoh dari tebu yang dimiliki oleh petani tertentu sehingga dapat menggambarkan kondisi tebu yang lebih individual. NN NPP adalah nilai nira dari nira perahan pertama, yaitu ukuran kualitas nira yang diambil dari gilingan pertama, yang dihitung berdasarkan rumus: NN NPP= Pol −0,4 (Brix-Pol), dimana Pol adalah kadar gula dalam nira perahan pertama dan Brix adalah kadar bahan padat terlarut dalam nira perahan pertama. Penerapan pengukuran kualitas tebu tiap truk/lori telah berhasil dilaksanakan secara akurat pada PG kapasitas kecil (dengan meja tebu 1-2 buah) seperti di PG Mojopanggung. Kemudian mengenai kesesuaian penentuan harga, selain didasarkan pada tingkat rendemen, juga perlu memperhatikan keseragaman harga dengan asumsi kualitas tebu yang dihasilkan juga setara. Kondisi ini sangat mungkin terjadi pada pola pemasaran tebu dengan cara individual. Untuk meminimalisir ketimpangan harga yang dapat menimbulkan konflik sosial, dapat melalui peningkatan fungsi dan peran kelompok tani tebu dan kelompok produsen gula merah yang sudah eksis sebagai media negosiasi harga jual tebu. Strategi ini ditujukan untuk menghindari penentuan harga tebu yang didasarkan bargaining position dari petani tebu secara individual, melainkan mengutamakan pemerataan pendapatan yang sesuai dengan kualitas hasil perkebunan. Dan kelembagaan sosial lain yang membutuhkan perhatian adalah potensi konflik dengan masyarakat di lingkungan produksi. Konflik sosial ini muncul umumnya sebagai eksternalitas negatif yang dihasilkan industri gula merah tebu. Solusinya adalah dengan menerapkan teknologi yang lebih ramah lingkungan, termasuk di dalamnya memperhatikan sirkulasi produksi yang berpotensi menimbulkan limbah berbahaya. Pilihan kedua untuk menghindari konflik sosial antara industri dan lingkungan sosial adalah dengan memilih lokasi produksi yang relatif lebih aman dari pemukiman penduduk.
BAB VII
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
31
PENUTUP 5.1
Kesimpulan Sesuai dengan susunan tujuan penelitian dari kajian ini, setelah dilakukan studi primer dan sekunder mengenai potensi pengembangan industri gula merah tebu berskala rumah tangga (home industry) di Kabupaten Blitar, maka dapat disusun beberapa kesimpulan hasil penelitian. Kesimpulan-kesimpulan yang teridentifikasi nantinya dapat diarahkan menjadi dasar kebijakan Pemerintah Kabupaten Blitar dalam upaya meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal, secara khusus pemanfaatan sumber daya yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan perekonomian daerah dengan basis industri gula merah tebu. Kesimpulan yang berhasil direkam adalah sebagai berikut: 1. Pertama, secara umum tingkat rendemen yang dihasilkan petani tebu di Kabupaten Blitar mencapai 7-10 persen pada periode bulan Oktober-April, sedangkan tingkat rendemen pada periode bulan April-Oktober berkisar 10-20 persen. Besaran tingkat rendemen inilah yang paling banyak menentukan nilai pasar tebu. Jika dirata-rata, harga tebu di Kabupaten Blitar berkisar antara Rp 25.000 - Rp 75.000 untuk setiap kuintal tebu. Sistem tata niaga tebu sebagai akses untuk mendapatkan bahan baku produksi gula merah tebu, berdasarkan waktu transaksi pembelian tebu dari petani/pedagang tebu kepada produsen dapat dijalankan melalui dua cara, yakni: (i) pembelian sebelum masa panen (± 3 bulan sebelum panen) dengan cara borongan; dan (ii) pembelian pada saat masa panen. Kelebihan dari pembelian sebelum masa panen adalah harga yang relatif lebih rendah dan kepastian suplai bahan baku produksi, sedangkan kelemahannya adalah risiko biaya perawatan, belum terukurnya tingkat rendemen tebu, dan kegagalan panen yang ditanggung oleh produsen gula. Perbandingan terbalik dengan pembelian pada saat masa panen, kelebihan dari sistem ini adalah tingkat rendemen dan kualitas tebu lebih terukur, serta tidak perlu menanggung risiko terkait produksi tebu, akan tetapi harga yang harus dibayar oleh produsen relatif sudah mengikuti harga pasar yang lebih tinggi jika dibandingkan pembelian sebelum masa panen, serta munculnya persaingan dengan sesama produsen gula baik produsen gula merah maupun gula putih. Namun mayoritas narasumber yang diwakili oleh produsen gula lebih memilih metode pembelian sebelum masa panen disebabkan alasan utama untuk mendapat kepastian suplai bahan baku. Kesimpulan lain mengenai tata niaga tebu di Kabupaten Blitar, untuk menentukan harga beli tebu, transaksi petani/pedagang tebu dengan produsen gula merah menggunakan standar harga yang diterbitkan industri gula putih. Namun yang menjadi catatan pada sistem transaksi ini adalah: (i) secara teknis, patokan harga setiap tahun menggunakan standar harga yang digunakan pada periode sebelumnya, padahal dalam beberapa kali masa tanam akan sangat mungkin mengalami perbedaan hasil produksi tebu yang disebabkan perbedaan kualitas perawatan dan penanaman tebu, serta dorongan dari faktor alam (cuaca dan iklim). Seharusnya penentuan harga lebih cepat diperbarui dengan penyesuaian pada tingkat rendemen yang terbaru, sehingga akan berdampak pada kesadaran petani untuk meningkatkan kualitas tebu yang dihasilkan; (ii) secara sosial menghadapi potensi terjadinya asymmetric information yang mendorong adanya konflik. Petani dengan segala keterbatasan kemampuan tidak
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
32
banyak terlibat dalam penentuan tingkat rendemen dan harga tebu, sehingga jika tidak diawasi secara tepat akan mendorong ketidakadilan dari sisi pendapatan; dan (iii) jika nilai transaksi selalu bergantung pada harga yang diterbitkan industri gula putih, akan berpotensi menimbulkan konflik berikutnya ketika industri gula putih tidak sedang dalam masa giling. Sebagaimana yang telah terjadi pada setiap tahun, industri gula putih hanya berproduksi dalam kisaran jangka waktu enam bulan (umunnya bulan April-Oktober). Akibatnya ketika musim non-giling pada industri gula putih, penentuan harga akan lebih banyak bergantung pada bargaining position petani dan produsen gula, sehingga sangat mungkin harga jual tebu antar petani mengalami banyak perbedaan. 2. Kedua, industri gula merah tebu yang sudah eksis di Kabupaten Blitar masih dikelola secara tradisional. Pandangan ini didasari hasil kajian dari segi manajemen industri, teknis produksi gula merah tebu, dan pemasaran. Karakter industri gula merah yang umumnya berskala mikro dan kecil sangat bergantung pada kapasitas pemilik industri dalam aspek manajerial (one man show). Kemudian dari segi teknologi produksi, baik dari segi proses dan peralatan produksi tidak banyak mengalami perubahan kecuali penggunaan mesin giling untuk penyerapan nira tebu. Pemasaran gula merah lebih banyak didistribusikan kepada pedagang pasar tradisional atau industri berbahan baku gula merah. Nilai investasi yang dibutuhkan untuk setiap pendirian industri gula merah (tidak termasuk harga tanah dan bangunan) berkisar Rp 125 juta hingga Rp 150 juta, sehingga relatif terjangkau untuk masyarakat. Dengan segala karakteristik ini justru membuka peluang bagi masyarakat karena dari segi nilai investasi, teknologi produksi, manajerial, dan proses pemasaran yang masih sederhana akan lebih mampu dijangkau lebih banyak pihak. 3. Ketiga, prospek pasar gula merah sangat terbuka. Prospek ini dapat dinilai dari belum terjadinya keseimbangan antara total kebutuhan (demand) gula nasional dan ekspor, dengan total suplai (supply) dari produsen gula yang sudah ada, sehingga terdapat defisit suplai. Besaran defisit tersebut adalah sebagai berikut: (i) data hasil simposium nasional gula, dari total kebutuhan gula nasional pada tahun 2010 yang mencapai 4,55 juta ton hanya mampu dipenuhi produsen gula nasional sebesar 2,24 juta ton (49,2 persen), sehingga terdapat defisit suplai sebesar 2,31 juta ton gula (50,8 persen); (ii) data statistik permintaan gula merah di Jawa Timur pada tahun 2012 yang mencapai kisaran 30-40 ribu ton per tahun, hanya mampu dipenuhi sekitar 5 ribu ton (12,5-16,7 persen) per tahun atau mengalami defisit suplai mencapai 25-35 ribu ton (83,3-87,5 persen) per tahun; dan (iii) permintaan ekspor gula merah untuk Negara Kanada, Amerika, Belgia, Australia, dan beberapa negara Eropa lainnya yang mencapai 500 ton setiap bulan, hanya mampu disuplai produsen gula merah nasional berkisar 30-50 ton (6-10 persen) per bulan, atau defisit suplai ekspor 450-470 ton (90-94 persen). 4. Dan keempat, melalui analisis keputusan bisnis berdasarkan hasil kajian potensi sumber daya lokal di Kabupaten Blitar dan prospek pasar gula merah tebu untuk pemenuhan kebutuhan domestik dan ekspor, maka dapat disimpulkan bahwa industri gula merah tebu berskala rumah tangga dapat dikembangkan di Kabupaten Blitar. Dasar kesimpulan tersebut adalah: (i) ketersediaan bahan baku; (ii) teknologi produksi yang relatif sederhana; (iii) kebutuhan modal investasi yang relatif lebih terjangkau; serta (iv) prospek pemasaran gula merah. Untuk mengembangkan industri rumah tangga gula merah tebu maka
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
33
dibutuhkan beberapa strategi dasar, yaitu: (i) meningkatkan daya investasi untuk industri gula merah tebu; (ii) meningkatkan ketersediaan tebu sebagai bahan baku tebu; (iii) mengembangkan akses peningkatan teknologi produksi, baik dari segi proses maupun peralatan produksi; serta (iv) mengembangkan akses pemasaran gula merah tebu dari Kabupaten Blitar. 5.2
Saran dan Rekomendasi Melihat hasil kesimpulan yang dijelaskan pada sub bab sebelumnya, maka beberapa saran dan rekomendasi telah disusun untuk memenuhi tujuan pengembangan industri gula merah tebu berskala rumah tangga di Kabupaten Blitar. Saran yang dapat diberikan adalah: 1. Perlunya upaya untuk meningkatkan tingkat rendemen dan produktivitas tebu. Perbaikan tingkat rendemen dan produktivitas tebu akan mampu mendorong peningkatan produksi gula dan bermuara pada peningkatan suplai gula dan ekspansi pasar. 2. Mengembangkan daya dukung dan keterkaitan strategi eksternal industri gula merah tebu. Daya dukung eksternal yang dimaksud adalah menjalin kemitraan strategis dengan pihak eksternal, seperti: (i) Pemerintah; (ii) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI); (iii) Industri pengguna bahan baku gula merah; dan (iv) Perguruan Tinggi. Saran tersebut dapat dioptimalkan melalui upaya-upaya strategis. Untuk mendukung saran yang telah disusun, berikutnya disusun rekomendasi sebagai output kajian. Berdasarkan hasil kajian pengembangan industri gula merah tebu berskala rumah tangga di Kabupaten Blitar, maka rekomendasi yang dapat diberikan adalah: “Dapat didirikan industri rumah tangga gula merah tebu di Kabupaten Blitar.” Dasar rekomendasi tersebut antara lain: 1. Prospek pasar gula merah yang sangat tinggi, baik untuk pangsa pasar domestik dan impor yang disebabkan jumlah permintaan (demand) yang belum diimbangi dengan tingkat penawaran (supply); 2. Ketersediaan lahan tanam di Kabupaten Blitar yang mencapai total luas 6.281,22 ha pada tahun 2011; 3. Ketersediaan bahan baku tebu di Kabupaten Blitar yang mencapai 502.497,55 ton pada tahun 2011; 4. Teknologi produksi yang digunakan relatif mampu dijangkau oleh produsen dan tenaga kerja di Kabupaten Blitar; dan 5. Daya dukung untuk pengembangan industri gula merah, baik dari perhatian pemerintah, antusiasme secara kelembagaan dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Kabupaten Blitar, minat dari kalangan industri untuk berinvestasi, serta daya dukung kelembagaan sosial masyarakat lainnya. Untuk memenuhi ekspektasi tersebut, maka beberapa rekomendasi kebijakan yang perlu dilakukan stakeholder pembangunan untuk mengembangkan industri gula merah tebu berskala rumah tangga di Kabupaten Blitar, telah disusun dan disesuaikan dengan kebutuhan strategi pengembangan. Rekomendasi kebijakan yang disusun, meliputi kebijakan sebagai berikut: (i) peningkatan investasi untuk industri gula merah; (ii) peningkatan ketersediaan bahan baku tebu; (iii) pengembangan teknologi produksi gula merah tebu; dan (iv) pengembangan akses pasar gula merah tebu. Saran dan rekomendasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.1 sebagai berikut: Tabel 6.1 Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
34
Matriks Rekomendasi Pengembangan Gula Tebu Menjadi Industri Rumah Tangga (Home Industry) di Kabupaten Blitar Kebijakan
Program Tindakan 1. Studi kelayakan 1. Penyusunan studi (feasibility study) kelayakan industri gula (feasibility study) merah tebu mengenai industri gula merah tebu di Kabupaten Blitar 2. Pengembangan 2. Membangun akses permodalan kemitraan dengan industri gula lembaga merah tebu permodalan, seperti perbankan swasta dan BUMN/D 3. Peningkatan 3. Membangun sarana kualitas dan transportasi, Peningkatan kuantitas komunikasi, dan alat Investasi Industri infrastruktur timbang tebu, serta Gula Merah di prasarana lain Kabupaten Blitar produksi tebu dan industri gula merah tebu pada beberapa wilayah strategis 4. Ketersediaan 4. Memberdayakan tenaga kerja masyarakat yang industri gula berpotensi sebagai merah tebu tenaga kerja industri 5. Kepastian regulasi 5. Koordinasi antara dan birokrasi kalangan industri untuk industri dan pemerintah gula merah tebu daerah dalam penyusunan desain kelembagaan perijinan Peningkatan 1. Peningkatan 1. Pembinaan teknik Ketersediaan kualitas dan penanaman dan Bahan Baku Tebu kuantitas SDM perawatan tebu (petani) tebu 2. Peningkatan 2. a. Peningkatan suplai produktivitas dan bibit tebu tingkat rendemen berkualitas tebu b. Perluasan lahan tanam tebu c. Peningkatan suplai pupuk tanam d. Perbaikan sarana Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
a.
b.
c.
d. e.
Institusi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Blitar Dinas Perindustrian dan Perdagangan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Dinas Koperasi dan UKM Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika
a. Dinas Kehutanan dan Perkebunan b. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Kabupaten Blitar c. Dinas Koperasi dan
35
irigasi 3. a. Meningkatkan sinergitas antara industri gula merah dengan petani dan pedagang tebu dari segi transaksi dan negosiasi mengenai kualitas dan harga tebu b. Meningkatkan fungsi kelompok petani tebu 1. Pengembangan 1. a. Membina produsen teknologi proses dan tenaga kerja produksi dalam proses produksi gula yang berkualitas dan higienis b. Menyediakan Pengembangan sarana pelatihan Teknologi dan bimbingan Produksi Gula teknis proses Merah Tebu produksi 2. Mengembangkan 2. Daya dukung akses peralatan penyediaan produksi gula merah peralatan produksi tebu, baik melalui perusahaan swasta atau badan usaha milik pemerintah Pengembangan 1. Meningkatkan 1. Memberikan Akses Pasar Gula kualitas kemasan pelatihan Merah Tebu pengemasan produk gula merah yang berkualitas 2. Standarisasi gula 2. Menyusun standar merah tebu dan kualifikasi gula merah yang berkualitas untuk kebutuhan ekspor dan domestik 3. Kemitraan 3. Menggiatkan pemasaran dengan promosi produk gula konsumen merah tebu terhadap pengguna industri pengguna (industri gula merah tebu dan
UKM
3. Desain kelembagaan pemasaran tebu yang efektif
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
a. Dinas Perindustrian dan Perdagangan b. Dinas Koperasi dan UKM c. Dinas Kehutanan dan Perkebunan
a. Dinas Perindustrian dan Perdagangan b. Dinas Koperasi dan UKM c. Dinas Kehutanan dan Perkebunan
36
pengguna dan rumah tangga) 4. Penyusunan regulasi ekspor gula merah tebu
konsumen rumah tangga 4. Koordinasi antara pemerintah daerah dengan pelaku ekspor dan industri gula merah tebu terkait regulasi ekspor
Rekomendasi kebijakan yang pertama, adalah meningkatkan daya investasi untuk mengembangkan industri gula merah tebu di Kabupaten Blitar. Kebijakan investasi ditujukan untuk meningkatkan kapasitas dan produktivitas industri gula merah tebu, baik melalui investasi terhadap industri baru atau mengembangkan industri yang sudah berjalan. Untuk memenuhi kebijakan ini, dapat ditempuh melalui program;program sebagai berikut: (i) menyusun studi kelayakan (feasibility study) industri gula merah tebu; (ii) mengembangan akses permodalan industri gula merah tebu; (iii) meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur; (iv) meningkatkan ketersediaan tenaga kerja industri gula merah tebu; dan (v) menciptakan kepastian regulasi dan birokrasi untuk industri gula merah tebu. Studi kelayakan sangat diperlukan oleh banyak kalangan, khususnya terutama bagi para investor yang selaku pemrakarsa, bank selaku pemberi kredit, dan pemerintah yang memberikan fasilitas tata peraturan hukum dan perundang-undangan, yang tentunya kepentingan semuanya itu berbeda satu sama lainnya. Investor berkepentingan dalam rangka untuk mengetahui tingkat keuntungan dari investasi, bank berkepentingan untuk mengetahui tingkat keamanan kredit yang diberikan dan kelancaran pengembaliannya, pemerintah lebih menitikberatkan manfaat dari investasi tersebut secara makro baik bagi perekonomian, pemerataan kesempatan kerja, dan lain-lain. Untuk pengembangan akses permodalan, perlu diupayakan terutama bagi investor atau produsen gula yang membutuhkan dorongan finansial. Salah satunya dengan menjalin kemitraan dengan lembaga permodalan seperti perbankan, baik dari sektor swasta maupun bank yang termasuk kategori BUMN/D. Akses permodalan akan meningkatkan kemampuan produsen gula merah dalam mengakses sumber daya produksi dan pemasaran, sehingga harapannya akan terjadi peningkatan pendapatan masyarakat dari industri gula merah. Kondisi serupa juga terjadi pada kebutuhan infrastruktur, dimana perlu adanya peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana infrastruktur. Infrastruktur akan mendukung mobilitas usaha dan efisiensi biaya transaksi industri. Untuk kebutuhan saat ini infrastruktur yang paling mendesak adalah adanya alat ukur berat tebu (timbangan) untuk mengefisiensi transaksi pembelian tebu. Program berikutnya adalah menyediakan tenaga kerja industri. Ketersediaan tenaga kerja yang berkualitas akan memotivasi investor untuk menanamkan modal usahanya di sektor industri gula merah tebu, karena terkait besaran produktivitas dan kualitas yang akan dihasilkan. Kondisi eksisting tentang ketersediaan tenaga kerja seharusnya dengan teknologi produksi yang cukup sederhana akan banyak menarik minat masyarakat untuk bekerja pada industri gula merah tebu, namun pertimbangan lain dari masyarakat yang belum bersedia bekerja adalah pendapatan yang dirasa belum mencukupi kebutuhan hidup, dan keberlanjutan masa kerja yang disebabkan banyak Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
37
industri gula merah yang memilih produksi hanya pada saat tingkat rendemen cukup tinggi (rata-rata selama 6 bulan). Program kepastian regulasi dan birokrasi perijinan industri juga perlu dijalankan. Sama halnya dengan kebutuhan investasi melalui infrastruktur, kepastian regulasi dan birokrasi akan memangkas biaya transaksi industri. Kepastian yang dimaksud adalah hal-hal normatif yang berkaitan dengan tata aturan pendirian usaha, dengan didukung informasi yang jelas dan konsistensi pemerintah dalam menjalankan setiap regulasi, sehingga menghindarkan pelaku industri dari praktik-praktik KKN. Rekomendasi kebijakan yang kedua, ialah ketersediaan tebu sebagai bahan baku produksi gula merah. Ketersediaan tebu merupakan salah satu faktor utama yang akan mendorong berkembangnya industri gula merah tebu, baik dari segi kualitas dan kuantitas tebu. Ketersediaan tebu yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan produksi akan mempengaruhi tingkat produksi gula merah tebu. Program-program yang perlu dilakukan adalah: (i) peningkatan kualitas dan kuantitas SDM (petani) tebu; (ii) peningkatan produktivitas dan tingkat rendemen tebu; dan (iii) desain kelembagaan pemasaran tebu yang efektif. Peningkatan kualitas dan kuantitas petani tebu terbukti mempengaruhi kualitas dan kuantitas tebu yang dihasilkan selain didorong faktor alam dan bibit tebu yang ditanam. Kemampuan petani yang mumpuni akan dapat menghindarkan usaha dari risiko kegagalan target panen tebu. Kemudian kondisi untuk saat ini, petani tebu mengalami kelangkaan tenaga kerja (untuk penanaman, perawatan, dan penebangan pada saat panen) yang salah satunya didorong dengan adanya perubahan struktur penyerapan tenaga kerja yang umumnya didominasi sektor industri. Kasus yang terjadi pada perkebunan tebu di wilayah Kabupaten Blitar bagian selatan, untuk masa panen tebu bahkan harus menyediakan tenaga penebangan tebu dari wilayah utara. Kondisi ini pada akhirnya akan mengancam usaha perkebunan tebu dengan alasan biaya tenaga kerja produksi yang terus meningkat, sehingga perlu upaya dari pemerintah salah satunya adalah dengan memperbaiki desain kelembagaan transaksi penjualan tebu, yang diharapkan akan memperbaiki skala pendapatan petani tebu. Desain kelembagaan penjualan tebu banyak disoroti oleh Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) di Kabupaten Blitar karena praktik transaksi yang tidak banyak melibatkan petani dalam negosiasi. Akibatnya akan berpotensi melahirkan beragam konflik dan ketidaksamaan dalam mencapai tujuan ekonomi, baik dari segi penghasilan dan pendapatan atau bahkan nilai-nilai pemberdayaan. Sebagaimana yang terjadi pada negosiasi antara petani dengan pihak yang meneriman penjualan tebu, umumnya petani tidak banyak terlibat dalam penentuan tingkat rendemen tebu yang dihasilkan serta proses penentuan harga tebu. Hingga saat ini, harga jual tebu sangat tergantung pada daya tawar petani (bargaining position) dalam negosiasi harga secara individual atau kelompok kecil, sehingga membutuhkan upaya perlindungan terhadap petani dengan salah satunya mengoptimalkan peran dan fungsi kelompok tani tebu dalam negosiasi penjualan. Aspek yang dituju adalah pemerataan harga dan pendapatan dari penjualan tebu, serta menghindari upaya untuk mengeksploitasi petani melalui penerapan standar harga. Program lainnya yang terkait dengan ketersediaan bahan baku tebu adalah meningkatkan produktivitas dan kualitas rendemen tebu. Selain perbaikan SDM petani tebu sebagaimana penjelasan sebelumnya, upaya ini juga dapat ditempuh melalui: (i) perluasan lahan tanam; (ii) pemupukan tanaman tebu; (iii) perbaikan sarana irigasi; dan (iv) ketersediaan bibit berkualitas. Masalah yang cukup pelik untuk saat ini dari keempat upaya tersebut adalah ancaman penurunan luas lahan tanam tebu yang
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
38
disebabkan terbitnya undang-undang yang melarang masyarakat untuk menggunakan kawasan yang dikelola Perhutani untuk menjadi areal tanam tebu. Perlu adanya renegosiasi antara pihak Perhutani, Pemerintah Kabupaten Blitar, dan petani tebu agar persoalan ini dapat diatasi sehingga tidak mengganggu produktivitas perkebunan tebu dan industri gula merah di Kabupaten Blitar. Rekomendasi kebijakan yang ketiga, adalah pengembangan teknologi produksi industri gula merah tebu. Teknologi produksi merupakan siklus lanjutan yang turut mempengaruhi tingkat produktivitas dan kualitas gula merah tebu. Langkah-langkah untuk memenuhi kebijakan tersebut terdiri dari program-program berikut: (i) pengembangan teknologi proses produksi; dan (ii) daya dukung penyediaan peralatan produksi. Pengembangan proses produksi gula merah ditujukan untuk memenuhi target ekspansi pasar dengan menjaga kualitas dan kuantitas produksi gula merah. Informasi yang bersumber dari pedagang gula merah tebu dari Kabupaten Blitar mengatakan, untuk saat ini gula merah tebu dari Kabupaten Blitar belum memaksimalkan potensi pasar karena belum dikemas secara modern dan belum terjaga kualitas dan higienitas gula merah yang dihasilkan. Khusus untuk pasar ekspor, kebutuhan peralatan juga membutuhkan standar tertentu, misalnya alat penggilingan harus berbahan stainless dan desain lingkungan fisik industri harus terjaga higienitasnya, karena pada akhirnya akan berpengaruh pada kualitas rasa dan daya tahan gula merah. Program lainnya yang dibutuhkan adalah akses penyediaan peralatan produksi yang sesuai standar pasar. Ketersediaan peralatan produksi dapat dipenuhi baik melalui distribusi peralatan produksi di perusahaan yang dikelola pemerintah sendiri atau dengan memfasilitasi pihak swasta untuk menjadi distributor peralatan. Dengan menyediakan peralatan secara lokal setidaknya akan menurunkan biaya transportasi yang harus ditanggung produsen gula merah, atau bahkan dapat menghidupkan industri lain yang menjadi penopang bagi industri gula merah tebu. Rekomendasi kebijakan yang keempat atau yang terakhir, adalah mengembangkan akses pasar gula merah tebu. Pengembangan akses pasar ditujukan untuk meningkatkan daya tawar dan daya saing gula merah tebu dari Kabupaten Blitar. Program-program yang diperlukan untuk merealisasikan kebijakan tersebut adalah: (i) meningkatkan kualitas kemasan produk gula merah; (ii) melakukan standarisasi gula merah tebu; (iii) menjalin kemitraan pemasaran dengan konsumen pengguna (industri pengguna dan rumah tangga); dan (iv) menyusun regulasi ekspor gula merah tebu. Kualitas kemasan akan mempengaruhi nilai estetika dan daya tahan produk, semakin baik kualitas kemasan produk akan semakin meningkatkan daya tawar gula merah tebu. Kemudian upaya lainnya adalah dengan melakukan standarisasi gula merah tebu. Harapan dari adanya tindakan ini adalah agar muncul kesadaran dari produsen gula merah untuk menjaga kualitas produknya, baik untuk pangsa pasar domestik maupun untuk pemenuhan permintaan ekspor gula merah. Selain itu untuk menjaga kesinambungan pemasaran, perlu adanya upaya untuk menjalin kemitraan dengan industri atau konsumen rumah tangga pengguna gula merah tebu agar tercipta kepastian pemasaran. Program tambahan lainnya khusus untuk sasaran pangsa ekspor adalah penyusunan regulasi ekspor yang tidak menjadi hambatan bagi pelaku ekspor. Program ini terkait dengan perijinan dan besaran pajak ekspor yang dibebankan kepada pelaku ekspor. Dengan semakin efisiennya kelembagaan ekspor diharapkan justru akan meningkatkan motivasi bagi pelaku industri gula merah untuk mengoptimalkan potensi pasar gula merah utamanya untuk memebuhi kebutuhan ekspor gula merah.
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
39
Daftar Pustaka
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
40
Arsyad, Lincolin. 1997. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta:Bagian Penerbitan STIE YKPN. Arsyad, Lincolin, 2005.Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi. Daerah, Edisi Kedua. Yogyakarta:BPFE Arifin, Bustanul. 2005. Ekonomi Kelembagaan Pangan. Jakarta: LP3ES Biro Pusat Statistik Kabupaten Blitar. 2012. Kabupaten Blitar dalam Angka 2012. Kabupaten Blitar: BPS Kabupaten Blitar Ferguson dan Gould.1975. Microecomic Theory Gaspersz, Vincent. 1996. Ekonomi Manajerial: Penerapan Konsep-konsep Ekonomi Dalam Manajemen Bisnis Total. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Glasson, John, (1977), Pengantar Perencanaan Regional Lhestari A.P. 2006. Pengaruh Waktu Tunda Giling Tebu dan Penambahan Natrium Metabisulfit terhadap Mutu Gula Merah Tebu. Skripsi pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor Kuncoro, Mudrajat. 2004.Otonomi dan Pembangunan Daerah. Jakarta:Erlangga Munir, Risfan, dan Bahtiar Fitanto (2005). Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif: Masalah, Kebijakan, Dan Panduan Pelaksanaan Kegiatan. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-05/MBU/2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Rosdiansyah. 2012. Permintaan Gula Merah Meningkat, Rafinasi Jadi Alternatif. http://www.lensaindonesia.com/2012/01/24/permintaangulamerahmeningkat rafinasijadialternatif2.html. (Diakses 18 Februari 2014) Sukirno, Sadono. 1997. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Jakarta: PT Raja Gravindo Perkasa Sukirno, Sadono. 2002. Pengantar Ekonomi Mikro. Yogyakarta : BPFE. Susila, W.R. 2006. Dinamika Impor Gula Indonesia: Sebuah Analisis Kebijakan.http://www.ipard.com/art_perkebun/Nov07-06_wr.asp.(Diakses18 Februari 2014) Undang Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional Yustika, Erani. 2008. Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teoti dan Strategi. Malang:Bayu Media http://www.javasugar.com/gula.htm. Ganti Pemanis Anda dengan Gula Jawa.(Diakses 18 Februari 2014) http://metrotvnews.com/read/newsvideo/2011/02/22/122938/PeluangEksporGula MerahTerbukaLebar Peluang Ekspor Gula Merah Tebu Terbuka Lebar. (Diakses 18 Februari 2014)
Kajian Pengembangan Gula Tebu Menjadi Home Industri di Kabupaten Blitar | Executive Summary
41