KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU
REZA HELMI SYAFIRDI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
ABSTRAK REZA HELMI SYAFIRDI. Kajian Morfologi Saluran Pernafasan Burung Walet Linchi (Collocalia linchi) dengan Tinjauan Khusus pada Trakea dan Paru-paru. Penelitian. Dibawah bimbingan SAVITRI NOVELINA dan HERU SETIJANTO. Burung Walet Linchi termasuk Ordo Apodiformes, Famili Apodidae, Genus Collocalia. Di Indonesia ada beberapa jenis spesies yaitu : Collocalia fuciphaga (Walet Sarang Putih), Collocalia maxima (Walet Sarang Hitam), Collocalia gigas (Walet Besar), Collocalia vanicoresis (Walet Sarang Lumut), Collocalia brevistrosis (Walet Gunung), Collocalia esculenta (Walet Esculenta), dan Collocalia linchi (sriti atau Walet Linchi). Spesies walet umumnya dibedakan berdasarkan ukuran tubuh, warna bulu dan bahan yang dipakai untuk membuat sarang (Chantler and Driessens, 1995). Lima ekor Burung Walet Linchi digunakan dalam penelitian ini guna mempelajari gambaran morfologi saluran pernapasan baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Pengamatan makroskopis dilakukan untuk mengamati posisi dan struktur dari saluran pernapasan sedangkan pengamatan mikroskopis dilakukan dengan menggunakan metode pewarnaan histokimia yaitu pewarnaan hematoksilin eosin (HE) untuk mengetahui gambaran struktur umum dan pewarnaan alcian blue (AB pH 2,5) dan periodic acid Schiff (PAS) untuk mengetahui distribusi penyebaran gugus karbohidrat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa trakea dari Burung Walet Linchi bercabang menjadi bronki primer kiri dan kanan. Trakea terdiri atas sekitar 55 buah cincin tulang rawan hialin tertutup dengan panjang rata-rata 2,0 cm dan diameter rata-rata 0,16 cm. Trakea dan bronki primer dilapisi epitel silindris banyak baris bersilia dengan selsel goblet dan kelenjar mukus. Sel epitel bronki sekunder, mengalami modifikasi dari epitel silindris banyak baris bersilia menjadi epitel silindris sebaris bersilia. Sel goblet berdistribusi sampai bronki sekunder dengan jumlah sel yang semakin berkurang. Ditemukan atrium dan air capillary pada bronki tersier yang fungsinya mirip dengan alveol pada paru-paru mamalia. Sedangkan dengan pewarnaan alcian blue (AB) dan periodic acid Schiff (PAS), kandungan karbohidrat asam dan netral pada mukus hanya terdapat pada trakea, bronki primer dan bronki sekunder. Kata kunci: Collocalia linchi, trakea, paru-paru
KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU
REZA HELMI SYAFIRDI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Halaman Pengesahan Judul Penelitian
: Kajian Morfologi Saluran Pernafasan Burung Walet Linchi (Collocalia linchi) dengan Tinjauan Khusus pada Trakea dan Paru-paru
Nama Mahasiswa
: Reza Helmi Syafirdi
Nomor Pokok
: B04103127
Disetujui,
Drh. Savitri Novelina, M.Si
Dr. Drh. H. Heru Setijanto
Pembimbing I
Pembimbing II
Diketahui,
Dr. Drh. I Wayan T. Wibawan, MS. Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia, dan hidayah-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Skripsi ini berjudul ”Kajian Morfologi Saluran Pernafasan Burung Walet Linchi (Collocalia linchi) dengan Tinjauan Khusus pada Trakea dan Paru-paru” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini penulis dedikasikan kepada ibunda tercinta, Netty Trenggonowati, atas segala perjuangan dan pengorbanan beliau dalam merawat, membesarkan, dan mendidik penulis selama ini. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Drh. Savitri Novelina, M.Si dan Dr. Drh. H. Heru Setijanto selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. 2. Prof. Dr. Koeswinarning Sigit, MS. selaku dosen penguji dan penilai atas segala bimbingan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. 3. Dr. Drh. Sri Murtini, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa membimbing penulis selama menjadi mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. 4. Ayah, Ibu, dan seluruh anggota keluarga di Ciputat atas dorongan, doa, kasih sayang dan dukungannya selama penulis menyelesaikan studi di Bogor. 5. Seluruh staf dan pegawai Laboratorium Anatomi, Histologi dan Embriologi FKH IPB atas segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian ini. 6. Deasy Hutami Putri yang telah mendampingi, memperhatikan, dan memberi semangat penulis selama belajar di FKH dan menyelesaikan penulisan skripsi ini. 7. Rekan-rekan sepenelitian atas bantuan dan kebersamaannya dalam penelitian ini.
8. Teman-teman penghuni De Jejaka (Qozief, Kbo, Brian, Laksana dan Wangsit) serta rekan-rekan FKH angkatan 40 (Gymnolaemata) atas persahabatan dan kebersamaannya selama ini. 9. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kesalahan. Maka dari itu, dengan keikhlasan penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun sebagai evaluasi bagi penulis. Pada akhirnya penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya dan, tentu saja, bagi dunia kedokteran hewan Indonesia. Akhir kata, semoga Allah SWT selalu meridhoi langkah kita semua dan menjadikan skripsi ini bermanfaat semaksimal mungkin.
Bogor, Agustus 2007 Reza Helmi Syafirdi
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Jakarta tanggal 29 Agustus 1985 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan bapak Oksjafirdy Amry dan ibu Netty Trenggonowati. Penulis menyelesaikan sekolah dasar selama 6 tahun di Madrasah Pembangunan Ibtidaiyah IAIN Jakarta dan lulus tahun 1997. Pendidikan SMP ditempuh di SLTP Negeri 68 Jakarta dan lulus tahun 2000. Pada tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 34 Jakarta dan diterima sebagai mahasiswa pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2003. Selama menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan, penulis pernah menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa FKH IPB masa jabatan 2004/2005 dan pengurus Himpunan Profesi (Himpro) Satwa Liar masa jabatan 2005/2006. Penulis juga aktif menjadi anggota di berbagai organisasi di Fakultas Kedokteran Hewan, antara lain Himpro Ornithologi dan Unggas, dan Himpro Hewan Kesayangan dan Akuatik.
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ...................................................................................................... v DAFTAR ISI ................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ........................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xi PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 Tujuan ....................................................................................................... 2 Manfaat ..................................................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 3 Biologi Burung Walet Linchi .................................................................... 3 Taksonomi dan Morfologi .................................................................. 3 Distribusi ............................................................................................. 4 Struktur Umum Organ Pernafasan Unggas ............................................... 5 Trakea .................................................................................................. 5 Siring ................................................................................................... 6 Bronki................................................................................................... 7 Parabronki atau Bronki Tersier ........................................................... 7 Paru-paru ............................................................................................. 8 Kantung Udara .................................................................................... 8 METODOLOGI .............................................................................................. 10 Waktu dan Tempat .................................................................................... 10 Bahan dan Alat .......................................................................................... 10 Metode Kerja ............................................................................................. 10 Pengamatan Makroskopis ................................................................... 10 Pengamatan Mikroskopis .................................................................... 12 Pengamatan Substansi Mukus ............................................................. 13 HASIL .............................................................................................................. 15 Pengamatan Makroskopis ......................................................................... 15 Makroskopis Trakea ............................................................................ 15
Makroskopis Paru-paru ....................................................................... 16 Kantung Udara .................................................................................... 17 Pengamatan Mikroskopis .......................................................................... 17 Mikroskopis Trakea ............................................................................ 17 Mikroskopis Siring .............................................................................. 18 Mikroskopis Bronki ............................................................................. 19 Mikroskopis Parabronki atau Bronki Tersier....................................... 21 Pengamatan Substansi Mukus ................................................................... 23 PEMBAHASAN ............................................................................................. 26 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 31 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 32 LAMPIRAN .................................................................................................... 35
DAFTAR TABEL Halaman 1 Data ukuran panjang, diameter dan jumlah cincin trakea Burung Walet Linchi .......................................................................................................... 16 2 Perbedaan struktur jaringan saluran pernafasan Burung Walet Linchi ....... 21 3 Sebaran karbohidrat pada saluran pernafasan Burung Walet Linchi ........ 23
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Burung Walet Linchi .................................................................................. 4 2 Peta distribusi penyebaran Burung Walet Linchi di Indonesia .................. 4 3 Skema organ saluran pernafasan unggas .................................................... 5 4 Skema saluran pernafasan dan kantung udara unggas tampak ventral ...... 9 5 Cara pengukuran trakea dan paru-paru ...................................................... 12 6 Gambaran makroskopis saluran pernafasan Burung Walet Linchi ............ 15 7 Gambaran makroskopis paru-paru Burung Walet Linchi ........................... 17 8 Gambaran mikroskopis trakea Burung Walet Linchi.................................. 18 9 Gambaran mikroskopis siring Burung Walet Linchi .................................. 19 10 Gambaran mikroskopis paru-paru Burung Walet Linchi ............................ 20 11 Gambaran mikroskopis bronki sekunder, bronki tersier, dan air capillary Burung Walet Linchi.................................................................... 22 12 Gambaran mikroskopis substansi mukus trakea dan pessulus Burung Walet Linchi dengan pewarnaan AB dan PAS ........................................... 24 13 Gambaran mikroskopis substansi mukus bronki primer dan sekunder Burung Walet Linchi dengan pewarnaan AB dan PAS .............................. 25 14 Gambaran mikroskopis substansi mukus bronki tersier Burung Walet Linchi dengan pewarnaan AB dan PAS ...................................................... 25
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 15 Pembuatan preparat histologi ...................................................................... 35 16 Prosedur pewarnaan hematoksilin eosin (HE) ............................................ 36 17 Prosedur pewarnaan alcian blue (AB)......................................................... 37 18 Prosedur pewarnaan periodic acid Schiff (PAS)......................................... 38
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki keragaman flora dan fauna yang tinggi. Sudah sepantasnya keragaman tersebut mendapat perhatian khusus, baik sebagai bahan kajian ilmu pengetahuan maupun dalam upaya pelestarian. Salah satu fauna yang sangat berpotensi di Indonesia adalah Burung Walet Linchi (Collocalia linchi) atau Sriti. Burung Walet Linchi pada awalnya dikenal masyarakat sebagai burung pemancing dan induk angkat bagi anakan Burung Walet Sarang Putih, namun belakangan ini sarang Burung Walet Linchi mulai dikonsumsi. Ada beberapa spesies walet yang sarangnya dapat dikonsumsi yaitu Walet Esculenta (Collocalia esculenta), Walet Sarang Putih (Collocalia fuciphaga), dan Walet Linchi (Collocalia linchi). Walet Sarang Putih menghasilkan sarang yang seluruhnya terbuat dari saliva sedangkan Walet Linchi dan Esculenta menghasilkan sarang yang merupakan campuran saliva dengan bahan lain seperti daun pinus, ranting atau ijuk. Sebelum dijual, saliva dan material penyusun sarang lainnya dipisahkan. Dibandingkan dengan sarang Walet Sarang Putih memang sarang Walet Linchi lebih murah harganya, karena kandungan sarang Walet Linchi yang masih bercampur antara saliva dengan bahan lain. Namun ketiga jenis burung tersebut mempunyai aktivitas fisiologis serta bentuk morfologis yang hampir sama. Burung Walet Linchi termasuk Ordo Apodiformes, Famili Apodidae, Genus Collocalia. Di Indonesia ada beberapa jenis spesies yaitu : Collocalia fuciphaga (Walet Sarang Putih), Collocalia maxima (Walet Sarang Hitam), Collocalia gigas (Walet Besar), Collocalia vanicoresis (Walet Sarang Lumut), Collocalia brevistrosis (Walet Gunung), Collocalia esculenta (Walet Esculenta), dan Collocalia linchi (Sriti atau Walet Linchi). Spesies walet umumnya dibedakan berdasarkan ukuran tubuh, warna bulu dan bahan yang dipakai untuk membuat sarang (Chantler and Driessens, 1995). Burung Walet Linchi adalah foraging flight, yaitu jenis burung yang menangkap pakan pada saat terbang. Aktivitas harian Burung Walet Linchi dilakukan sambil terbang termasuk mencari makan dan kopulasi. Dengan demikian, organ-organ tubuh burung disusun sangat efisien dan seringan mungkin
untuk mendukung aktivitas hariannya. Tubuhnya didesain sebagai penerbang yang sangat efisien dan mampu terbang secara terus menerus pada saat mereka berada di luar gua atau rumah walet. Burung Walet Linchi umumnya terbang dengan lincah dan cepat dengan kecepatan dapat mencapai 160 km/jam. Sebagian besar waktunya digunakan untuk terbang, baik untuk mencari makan bahkan sampai kawin. Ketika memangsa, burung ini dengan penglihatannya yang sangat tajam dapat memburu mangsa hingga tertangkap. Dengan aktivitas terbang hampir sepanjang hari maka menarik untuk diteliti saluran pernafasan Burung Walet Linchi. Burung Walet Linchi termasuk jenis burung yang produktif dan sebagai salah satu sumber komoditi potensial dimana sarangnya dapat dikonsumsi manusia dan bernilai ekonomi, namun Burung Walet Linchi dirasakan masih kurang diminati dan dimanfaatkan sebagai bahan kajian ilmiah oleh kalangan ilmuwan atau peneliti, terutama untuk studi morfologi organ-organ dalam tubuhnya. Penelitian-penelitian yang sudah dilaporkan lebih banyak mengenai pembudidayaan dan pengolahan sarang Burung Walet ataupun Sriti (Mulyadi 1997; Sumiati 1998). Namun, penelitian mengenai stuktur morfologi organ dalam Burung Walet Linchi belum pernah dilaporkan termasuk saluran pernafasannya. Oleh karena itu, struktur morfologi saluran pernafasan Burung Walet Linchi dijadikan sebagai bahan kajian dalam penelitian ini. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari gambaran morfologi organorgan saluran pernafasan Burung Walet Linchi baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai aspek morfologi dan fisiologi dari saluran pernafasan Burung Walet Linchi dan dapat dijadikan sebagai sumber data tambahan untuk budidaya Burung Walet Linchi.
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Burung Walet banyak tersebar diseluruh dunia, dan setiap lokasi atau daerah memiliki spesies yang berbeda-beda. Hubungan kekerabatan Walet Linchi tersebut dapat dibuat urutan taksonominya. Menurut Welty (1982), Chantler dan Driessens (1995) posisi Burung Walet Linchi dalam taksonomi adalah : kelas
: Aves
subkelas
: Neornithes
superordo
: Apodimorphae
ordo
: Apodiformes
famili
: Apodidae
subfamili
: Apodinae
genus
: Collocalia
spesies
: Collocalia linchi Burung Walet Linchi termasuk burung berukuran sangat kecil, dengan
panjang badan 9,41 cm dan bentangan sayap 9,63 cm. Burung ini mempunyai sayap berbentuk bulan sabit, memanjang dan meruncing serta ekornya pendek persegi tidak bercabang dan bagian tarsus berwarna hitam. Burung ini umumnya terbang dengan ketinggian yang rendah namun dengan kecepatan yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena pakan yang berupa serangga yang tidak dapat terbang tinggi. Burung ini menghabiskan sebagian besar waktunya di angkasa atau terbang. Kegiatan mencari makan bahkan bereproduksi pun dilakukan ketika burung ini sedang terbang. Oleh karena itu, burung ini mempunyai organ-organ pernafasan yang cukup unik dan khas untuk mendukung kegiatan burung tersebut.
Gambar 1 Burung Walet Linchi tampak ventral. Distribusi Genus Collocalia banyak tersebar di seluruh dunia, dan pada setiap lokasi atau daerah memiliki spesies yang berbeda-beda. Burung Walet Linchi merupakan spesies endemik untuk dataran Sunda, dan tersebar di Pulau Jawa dan pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti Madura, Bawean, Kangean, Bali, dan Lombok, serta di beberapa daerah di Sumatera bagian selatan dan utara.
: Ditemukan adanya Burung Walet Linchi Gambar 2
? : Belum ada
: Tidak ditemukan
laporan
Peta distribusi penyebaran Burung Walet Linchi di Indonesia. (sumber: Chantler & Driessens 1995)
Struktur Umum Organ Pernafasan Unggas Organ pernafasan merupakan organ yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh untuk proses metabolisme. Secara umum, organ pernafasan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian penyalur dan bagian pertukaran udara. Pada unggas, bagian penyalur terdiri atas hidung, faring, siring, trakea, bronki primer dan bronki sekunder. Sedangkan bagian pertukaran gas terdiri atas atrium dan air capillary (Plopper dan Adams 1993; Junqueira et al. 1997). Struktur saluran udara ini berperan dalam mengatur jalannya udara, menghangatkan dan melembabkan udara serta menyingkirkan benda-benda asing yang masuk (Plopper dan Adams 1993; Bergman et al. 1996). Unggas memiliki organ pernafasan tambahan yang khas dan tidak dimiliki oleh hewan lain, yaitu kantung udara.
Gambar 3 Skema organ pernafasan unggas. (sumber: http://users.rcn.com/ jkimball.ma.ultranet/BiologyPages/V/VertebrateLungs.html ) 1. Trakea Morfologi trakea unggas mirip dengan trakea mamalia. Trakea unggas merupakan saluran yang fleksibel yang terdiri atas suatu tabung panjang yang tidak dapat mengempis karena mempunyai tulang rawan berbentuk bulat yang diselimuti otot-otot polos (Plopper dan Adams 1993; O’Malley 2005). Susunan tulang rawan trakea berfungsi untuk mempertahankan bentuk trakea pada saat paru-paru mengembang (Guyton 1994; Junqueira et al. 1997). Otot-otot polos
yang memanjang secara transversal dan menempel pada permukaan eksternal bagian lateral dari cincin tulang rawan disebut sebagai muskulus trakealis. Epitel trakea terdiri atas epitel silindris banyak baris bersilia dimana terdapat sel goblet yang berfungsi menghasilkan mukus yang berperan dalam melembabkan dan membersihkan udara dengan mengikat partikel-partikel asing yang kemudian didorong menuju faring dengan aktivitas silia (Junqueira et al. 1997). Trakea pada burung memiliki ukuran 2.7 kali lebih panjang dan 1.29 kali lebih luas jika dibandingkan dengan panjang dan luas dari trakea mamalia. Namun, tracheal dead space volume menjadi sekitar 4.5 kali lebih besar. Sehingga burung beradaptasi dengan pernafasan tidal yang lebih besar dan frekuensi pernafasannya menjadi lebih rendah sekitar sepertiga dari pernafasan mamalia (Ludders 2001). 2. Siring Siring merupakan pembagi trakea yang membelah menjadi dua cabang utama dari bronki (Getty 1975; King dan McLelland 1975). Siring pada burung berfungsi sebagai kotak suara seperti hal halnya pita suara pada manusia. Struktur dari siring unggas bervariasi antar spesies, tetapi pada umumnya terdiri atas satu atau lebih selaput seperti gendang telinga yang ada pada manusia. Prinsip kerjanya pun tidak jauh berbeda, selaput akan bergetar ketika dilewati oleh udara. Dengan mengubah ketegangan dari selaput tersebut, udara yang lewat akan berubah menjadi bunyi atau suara. Tidak hanya selaput ini saja yang berperan dalam proses keluarnya suara atau bunyi, trakea dan rongga buccopharyngeal serta pergerakan dari lidah pun ikut berperan serta (King dan McLelland 1975). Selain sebagai sarana komunikasi, bunyi atau suara pada burung mempunyai fungsi yang sangat penting pada proses reproduksi. Karena pada musim kawin, burung mengeluarkan suara yang khas dan indah untuk menarik perhatian pasangannya. Suara atau bunyi dapat berfungsi juga dalam penetapan wilayah kekuasaan.
3. Bronki Bronki merupakan cabang utama dari trakea. Bronki unggas terdiri atas bronki primer, sekunder, dan tersier. Bronki primer merupakan percabangan dari trakea sebelum masuk ke dalam paru-paru sedangkan bronki sekunder merupakan lanjutan dari bronki primer yang terdapat di dalam paru-paru. Mukosa bronki unggas terdiri atas epitel silindris banyak baris bersilia, dengan sel goblet diantaranya dan dibawahnya terdapat lamina propia yang tipis (Plopper dan Adams 1993; Ross et al. 1995; Bergman et al. 1996; Junqueira et al. 1997). Tipe sel-sel yang ditemukan pada bronkus hewan terdiri atas sel basal, sel goblet, sel bersilia, sel sikat, sel Clara dan sel neuroendrokrin (Plopper dan Adams 1993). Sedangkan pada hewan unggas hanya terdiri atas sel bersilia dan sel goblet. Sel goblet berfungsi menghasilkan mukus yang berperan dalam melembabkan dan membersihkan udara dengan mengikat partikel-partikel asing yang kemudian didorong menuju faring dengan aktivitas silia (Spence dan Manson 1987). Sel sikat atau sel silindris memiliki mikrovili pada permukaan apikalnya dan mempunyai ujung saraf aferen pada permukaan basalnya sehingga dipandang sebagai reseptor sensoris. Sel basal (pendek) merupakan sel bulat kecil yang terletak di atas lamina basal tetapi tidak meluas sampai permukaan lumen dari epitel. Sel basal diduga merupakan sel-sel generatif yang mengalami mitosis dan kemudian berkembang menjadi sel lain. Sel Clara merupakan sel yang tidak memiliki silia, pada bagian apikalnya terdapat kelenjar sekretorik dan diketahui mensekresikan glikosaminoglikan yang mungkin berfungsi untuk melindungi lapisan bronkus dan bronkiolus (Junqueira et al. 1997). 4. Parabronki atau Bronki Tersier Parabronki atau bronki tersier merupakan cabang terkecil dalam saluran pernafasan burung. Ditemukan atrium dan air capillary pada parabronki yang fungsinya sama dengan alveol pada paru-paru mamalia. Atrium dan air capillary berhubungan atau beranastomose dengan pembuluh darah kapiler paru-paru sehingga proses pertukaran gas secara difusi dapat terjadi (Welty dan Baptista 1988). Parabronki memiliki diameter sekitar 0.5 - 2.0 mm (Maina 1989), namun ukurannya dapat berbeda-beda pada tiap spesies burung. Epitel parabronki berupa
epitel kubus sebaris. Parabronki tidak memiliki tulang rawan maupun kelenjar dalam mukosanya seperti halnya bronki. 5. Paru-paru Paru-paru merupakan organ yang ringan, lunak, berongga, dan elastis. Paru-paru yang sehat selalu mengandung udara, terapung dalam air dan mengalami krepitasi bila diremas (O’Rahilly dan Gardner 1995). Paru-paru dapat terapung di air dikarenakan adanya udara. Atrium dan air capillary merupakan unit terkecil yang terdapat pada sistem pernafasan unggas. Namun atrium dan air capillary mempunyai peranan yang sangat penting yaitu sebagai tempat terjadinya pertukaran antara oksigen dengan karbondioksida. Makrofag alveolar atau sel debu merupakan komponen penting dalam mekanisme pertahanan paru-paru. Makrofag berasal dari sumsum tulang yang akan memfagositosis bakteri dan partikel kecil yang diinhalasi (Guyton 1994). Paru-paru burung berukuran sangat kecil jika dilihat dari proporsi ukuran tubuhnya. Perbandingan proporsi paru-paru burung hanya separuh dari ukuran paru-paru mamalia jika dibandingkan dengan proporsi tubuhnya masing-masing. Paru-paru burung terletak pada bagian ruang dada sedangkan paru-paru mamalia terletak pada rongga dada. Hal ini disebabkan tidak adanya diafragma yang membagi ruang dada dan ruang perut pada burung, hanya dipisahkan dengan lapisan tipis. Paru-paru unggas atau burung memiliki volume yang konstan tidak seperti halnya paru-paru mamalia dimana volumenya dapat berubah-ubah sesuai keadaan. Namun unggas memiliki organ pernafasan khusus yang volumenya dapat berubah-ubah sesuai kondisi, yaitu kantung udara. 6. Kantung udara Kantung udara merupakan organ pernafasan tambahan yang hanya dimiliki oleh unggas. Kantung udara hanya berupa kantung tipis yang diselaputi kelenjar mukus dan kelenjar serous pada bagian luarnya. Kantung udara memiliki fungsi sebagai kantung penyimpanan udara atau oksigen bukan sebagai tempat terjadinya pertukaran gas. Ketika unggas sedang terbang maka paru-paru memperoleh oksigen melalui kantung-kantung udara tersebut yang terlebih dahulu telah diisi ketika
unggas sedang tidak terbang atau istirahat. Sehingga memungkinkan unggas dapat terbang jauh tanpa harus mengambil oksigen ketika sedang terbang. Kantung-kantung udara pada burung berjumlah sembilan buah kantung yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu bagian anterior dan posterior. Bagian anterior terdiri atas sepasang kantung pada cervical dan anterior thoracic serta satu buah kantung pada interclavicular. Sedangkan bagian posterior terdiri atas sepasang kantung pada posterior thoracic dan abdominal (Powell 2000). Kantung-kantung udara tersebut dinamakan berdasarkan posisi kantung udara dalam tubuh Burung. Kantung udara interclavicular dapat berhubungan dengan os humerus atau sayap burung karena adanya pneumatic humerus. Sedangkan menurut Getty (1975), jumlah kantung udara pada unggas ada 11 buah kantung. Kantung-kantung itu terdiri atas sepasang kantung udara pada bagian cervical, axillary, anterior thoracic, posterior thoracic, abdominal dan sebuah kantung pada clavicular.
Gambar 4 Skema saluran pernafasan dan kantung udara unggas tampak ventral. (sumber: http://www.vet.murdoch.edu.au/Anatomy/avian/ fig3.1.GIF)
METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2006 - Juni 2007, di Laboratorium Riset Anatomi, Bagian Anatomi, Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor Bahan dan Alat Penelitian Alat–alat yang digunakan dalam peneltian ini adalah jaring penangkap, stoples anaesthesi, jangka sorong, alat bedah, glass objek atau kaca objek, cover glass atau kaca penutup, kotak preparat, mikroskop, label kertas, botol alkohol, botol zat pewarna, cetakan atau wadah untuk parafinasi, mikrotom rotasi, balok kayu kecil, perlengkapan labotarium histologi, mikroskop tali kasur, jangka sorong, penggaris dan peralatan fotografi. Hewan coba yang digunakan yaitu Burung Sriti atau Walet Linchi (Collocalia linchi) sebanyak lima ekor yang terdiri atas burung jantan sebanyak dua ekor dan burung betina sebanyak tiga ekor. Burung Sriti atau Walet Linchi diperoleh dengan cara menangkap di sekitar kampus IPB Dramaga dengan menggunakan jaring penangkap. Bahan kimia yang digunakan yaitu kloroform, larutan pengawet paraformaldehid 4%, alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, 100%, xylol, paraffin p.a. (56-580C), aquadest, larutan resin (Entelan®, Merck), zat pewarna yaitu hematoksilin dan eosin (HE), alcian blue (AB), dan periodic acid Schiff (PAS). Metode Penelitian 7. Pengamatan Makroskopis Burung Sriti atau Walet Linchi dibunuh dengan cara burung terlebih dahulu dianaestesi per inhalasi dengan menggunakan kloroform di dalam stoples anaestesi. Setelah burung terbius, difiksir pada papan fiksasi dan dilakukan pengamatan makroskopis. Ruang dada burung dibuka dengan membuat sayatan pada bagian medio ventral tubuh dan memotong beberapa tulang costae.
Pengamatan, pengukuran dan pemotretan secara makroskopis pun dilakukan dengan teliti. Pengamatan makroskopis mencakup pengamatan posisi organ-organ dalam tubuh, pengamatan bentuk dan pengukuran panjang trakea dan paru-paru. Pengamatan posisi organ dalam tubuh dilakukan untuk melihat posisi trakea dan paru-paru terhadap organ-organ lain di dalam ruang dada, dan selanjutnya pemotretan. Pengamatan kantung udara dilakukan dengan peniupan udara melalui sedotan ke dalam ruang tubuh. Kantung-kantung udara akan mengembang ketika udara masuk ke dalam ruang tubuh. Setelah dilakukan pengamatan organ-organ dalam, dilakukan pengambilan organ-organ dalam dari saluran pernafasan yang akan diteliti. Organ-organ yang akan diteliti adalah organ-organ pernafasan yaitu trakea, bronki dan paru-paru. Organ atau sampel yang telah diambil, dicuci dengan larutan NaCl fisiologis dan difiksasi ke dalam larutan pengawet paraformaldehid 4% selama 72 jam atau 3 hari dengan tujuan agar organ tersebut tetap awet dan tidak membusuk. Pengamatan bentuk dan pengukuran organ dilakukan setelah proses pengawetan dalam paraformaldehid 4%. Panjang trakea diukur dan jumlah cincin trakea dihitung mulai dari perbatasan antara laring dan trakea sampai dengan batas percabangan bronki. Diameter trakea diukur pada pertengahan panjang trakea. Hal yang sama dilakukan pada bronki, panjang bronki dihitung setelah percabangan sampai dengan batas paru-paru. Semua pengukuran tersebut dapat dilihat jelas pada gambar 5. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan jangka sorong, benang kasur dan penggaris.
Gambar 5 Cara pengukuran trakea (A) dan paru-paru (B). a. panjang trakea, b. diameter trakea, c. panjang paru-paru, dan d. lebar dan ketebalan paru-paru.
8. Pengamatan Mikroskopis Untuk pengamatan mikroskopis, sampel dari organ-organ yang akan diteliti diproses terlebih dahulu. Urutan proses tersebut dimulai dari dehidrasi dimana sampel direndam ke dalam alkohol bertingkat. Proses dehidrasi ini bertujuan untuk mengeringkan organ dengan prinsip kerja perbedaan tekanan antara bagian dalam dan luar organ. Dilanjutkan dengan embedding dalam blok parafin. Kemudian sampel ditempel pada blok kayu, sampel siap untuk dipotong. Pemotongan sampel dilakukan secara serial dengan ketebalan lima millimikron menggunakan mikrotom. Pewarnaan dapat dilakukan setelah potongan sampel dilekatkan pada kaca objek bebas lemak dan diinkubasi semalam terlebih dahulu di dalam inkubator dengan suhu 400C. Beberapa sediaan preparat dapat diwarnai dengan menggunakan pewarnaan hematoksilin dan eosin (HE), alcian blue (AB pH 2,5) dan periodic acid Schiff (PAS) (Kiernan 1990). Tahap pemprosesan yang terakhir
adalah tahap rehidrasi dimana prinsip kerjanya adalah pengembalian cairan ke dalam jaringan secara sistematis. Pengamatan mikroskopis meliputi pengamatan struktur umum sel dan jaringan dari trakea, bronki, parabronki dan paru-paru dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin (HE). Dengan menggunakan pewarnaan hematoksilin eosin, inti sel dan sel yang bersifat basofilik akan terwarnai biru sampai biru kehitaman atau ungu. Sedangkan sitoplasma sel, jaringan ikat kolagen, keratin, eritrosit dan unsur-unsur lainnya yang tidak mengambil warna hematoksilin dan bersifat asidofilik akan terwarnai merah sampai merah muda (Kiernan 1990). Pengamatan struktur umum trakea dan bronki meliputi pengamatan bentuk tulang rawan, otot, epitel, kelenjar dan macam-macam sel yang terdapat pada mukosa, lamina propria dan submukosa. Sedangkan pengamatan pada paru-paru berupa pengamatan bentuk dan strukur tempat petukaran gas. 9. Pengamatan Komposisi Substansi Mukus Pengamatan mengenai komposisi substansi mukus dan distribusi kelenjarkelenjar yang menghasilkan gugus gula atau karbohidrat seperti sel goblet menggunakan pewarnaan alcian blue (AB pH 2,5) dan periodic acid Schiff (PAS). Karbohidrat merupakan bentuk kompleks dari subtansi polisakarida yang terdapat pada jaringan hewan. Klasifikasi karbohidrat yang digunakan pada beberapa literatur berbeda-beda. Menurut Kiernan (1990), substansi mukus merupakan komponen
makromolekuler
karbohidrat
yang
ditemukan
dalam
bentuk
polisakarida, glikoprotein dan proteoglikan. Metode pewarnaan alcian blue (AB) walaupun tidak sangat spesifik merupakan metode yang sering digunakan untuk mendeteksi mukopolisakarida yang bersifat asam, dengan cara mengikat gugus karboksil pada pH 2.5 (Kiernan 1990). Pewarnaan ini sangat sensitif terhadap perubahan pH. Alcian blue merupakan pewarna dengan copper phthalocyanin yang larut dalam air. Reaksi positif pada pewarnaan AB akan memberikan warna biru terang karena adanya copper.
Intensitas
warna
biru
yang
teramati
ditentukan
oleh
kadar
mukopolisakarida asam yang menyusun substansi mukus (Kiernan 1990). Pewarnaan ini biasanya dikombinasikan dengan pewarnaan periodic acid Schiff (PAS).
Pewarnaan PAS digunakan untuk mendeteksi mukopolisakarida yang bersifat netral, dengan cara memutus rantai karbon pada gugus 1,2-glikol dan 1,2amino-alkohol oleh asam periodat dan mengoksidasinya menjadi gugus aldehid yang selanjutnya direaksikan oleh reagen Schiff menjadi bewarna merah magenta (Kiernan 1990). Pada dasarnya asam periodat juga dapat mengoksidasi formasi αamino alkohol yang terdapat pada glukosamin dan galaktosamin, tetapi kedua bahan tersebut jumlahnya tidak banyak pada jaringan (Kiernan 1990). Seperti halnya pada pewarnaan AB, intensitas warna merah yang dihasilkan pada reaksi PAS positif juga ditentukan oleh kadar mukopolisakarida netral yang menyusun substansi mukus. Hasil dari pewarnaan ini dapat digunakan untuk menentukan tipe kelenjar yang menghasilkannya.
HASIL Pengamatan Makroskopis 1. Trakea Pada pengamatan secara makroskopis terlihat trakea bercabang menjadi dua yaitu bronki primer kiri dan kanan, untuk selanjutnya menjadi bronki sekunder dan parabronki.
a
a
b
b
b c a
Gambar 6
Gambaran makroskopis saluran pernafasan Burung Walet Linchi. a. trakea, b. bronki primer kiri dan kanan, c. paru-paru (bar = 5 mm).
Trakea Burung Walet Linchi terdiri atas cincin tulang rawan tertutup berjumlah berkisar 54-56 buah, dengan panjang berkisar antara 2,0-2,7 cm (ratarata 2,0 cm) dan diameter berkisar antara 0,1-0,2 cm (rata-rata 0,16 cm). Menurut Hare (1975) panjang dan jumlah cincin trakea bervariasi menurut spesiesnya. Pada ayam 108-126 buah, kuda dan ruminansia 48-60 buah, anjing 42-46 buah, kucing 38-43 buah dan babi 32-36 buah.
Tabel 1 Data ukuran panjang, diameter dan jumlah cincin trakea Burung Walet Linchi Trakea
Berat No
Jenis
badan
Panjang
Diameter
Jumlah cincin
(gr)
(cm)
(cm)
(buah)
Kelamin
1
♂
5,5
2,0
0,14
54
2
♂
5,8
2,7
0,18
55
3
♀
5,5
2,3
0,14
56
4
♀
5,7
2,5
0,17
54
5
♀
5,5
2,5
0,17
55
5,6
2,0
0,16
55
Rata-rata
Catatan : - Diameter trakea diukur pada pertengahan panjang trakea - Panjang trakea diukur dari pangkal sampai bifurkasio trakealis (percabangan trakea)
2. Paru-paru Hasil pengamatan makroskopis menunjukkan bahwa paru-paru Burung Walet Linchi terdiri atas paru-paru kanan dan kiri. Lobulasi dari masing-masing bagian paru-paru tidak tampak jelas. Bagian medial dari paru-paru lebih tebal bila dibandingkan bagian lateralnya. Paru-paru kiri terlihat lebih lebar dan tipis jika dibandingkan dengan paru-paru kanan. Hal tersebut disebabkan posisi anatomi jantung bagian atrium kiri menekan paru-paru. Sehingga mengakibatkan terdapatnya sebuah lekukan atau impressio cardiacus pada bagian ventral dan lima buah lekukan atau impressio costalis pada bagian dorsal paru-paru.
A
B
a
Gambar 7
b
b
a
Gambaran makroskopis paru-paru Burung Walet Linchi. A. tampak dorsal, B. tampak ventral, a. paru-paru sebelah kiri, b. paru-paru sebelah kanan. Terlihat lima buah impressio costalis pada paru-paru, ditunjuk dengan panah (bar = 5 mm).
3. Kantung udara Hasil pengamatan secara makroskopis terlihat kantung-kantung udara pada Burung
Walet
Linchi
berjumlah
sembilan
buah
kantung
yang
dapat
dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu bagian anterior dan posterior. Bagian anterior terdiri atas sepasang kantung pada cervical dan anterior thoracic serta satu buah kantung pada interclavicular. Sedangkan bagian posterior terdiri atas sepasang kantung pada posterior thoracic dan abdominal. Kantung-kantung udara tersebut dinamakan berdasarkan posisi dimana letak kantung udara itu berada dan seperti pada umumnya unggas (Powell 2000). Pengamatan Mikroskopis 1. Trakea Gambaran mikroskopis trakea Burung Walet Linchi hampir sama dengan unggas lain pada umumnya, terdiri atas lapis mukosa, submukosa, musculocartilagenous dan adventisia (Bacha dan Bacha 2000). Lapis mukosa dilapisi oleh epitel silindris banyak baris bersilia ditemukan adanya sel-sel goblet yang berdistribusi diantara sel-sel epitel bersilia. Lapis musculo-cartilagenous tersusun
atas tulang rawan hialin yang berbentuk cincin tertutup atau bulat dan terdapat muskulus trakealis yang memanjang secara transversal dan menempel pada permukaan eksternal bagian lateral kanan dan kiri dari cincin tulang rawan. Dengan menempelnya muskulus trakealis pada permukaan bagian luar dari cincin tulang rawan menyebabkan bentuk trakea tetap bulat atau tidak kolaps.
B
A
h g
b
d
c
e b
a
f Gambar 8 Gambaran mikroskopis trakea Burung Walet Linchi. A. trakea berbentuk bulat, B. perbesaran kotak hitam, a. lapis mukosa, b. tulang rawan, c. muskulus trakealis, d. epitel silindris banyak baris bersilia, e. lapis submukosa yang terdiri atas lamina propia, f. lapis adventisia, g. sel goblet, dan h. silia. (Pewarnaan HE, bar A= 300 μm dan bar B= 10 μm) Siring Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa trakea Burung Walet Linchi bercabang menjadi bronki primer kiri dan kanan seperti pada umumnya unggas dan hewan lain (Hare 1975, King dan McLelland 1975; Getty 1975). Di daerah percabangan tersebut terdapat siring yang dilengkapi dengan pessulus.
B
A
a
c
e b
b d
Gambar 9
a
d
d
d
Gambaran mikroskopis siring Burung Walet Linchi. A. potongan memanjang, B. Potongan melintang, a. jaringan ikat tulang rawan, b. pessulus, c. trakea, d. bronki primer, e. kelenjar mukus. (Pewarnaan HE, bar A= 300 μm dan bar B= 400 μm).
Bronki Hasil pengamatan mikroskopis menunjukkan bronki Burung Walet Linchi terdiri atas bronki primer, sekunder dan tersier. Bronki primer merupakan percabangan dari trakea sebelum masuk ke dalam paru-paru sedangkan bronki sekunder merupakan lanjutan dari bronki primer yang terdapat di dalam paruparu. Bronki primer mempunyai lapisan-lapisan yang sama dengan trakea, terdiri atas lapis mukosa, lapis submukosa dan lapis musculo-cartilagenous. Sedangkan bronki sekunder hanya terdiri atas lapis mukosa dan lapis submukosa. Lapis mukosa bronki sekunder terdiri atas epitel silindris banyak baris bersilia dan bermodifikasi menjadi epitel silindris sebaris bersilia dengan jumlah sel goblet yang sedikit.
A a
d
c
B
e b c
Gambar 10 Gambaran mikroskopis paru-paru Burung Walet Linchi (A dan B). a. bronki primer, b. bronki sekunder, c. bronki tersier, d. jaringan ikat tulang rawan, e. makrofag (Pewarnaan HE, bar A= 400 μm dan bar B= 400 μm)
Parabronki atau Bronki Tersier Gambaran mikroskopis bronki sekunder dan tersier memiliki perbedaan, yaitu bronki tersier Burung Walet Linchi hanya disusun oleh lapis mukosa saja. Epitel yang melapisinya adalah epitel kubus sebaris dan terdapat makrofagmakrofag. Pada pengamatan mikroskopis bronki tersier ditemukan adanya air capillary dan atrium. Atrium merupakan invaginasi dari bronki tersier dan masih berhubungan dengan lumen dari bronki tersier (O’Malley 2005). Atrium dan air capillary memiliki fungsi yang sama dengan fungsi alveol pada paru-paru mamalia yaitu sebagai tempat pertukaran gas antara oksigen dan karbondioksida. Tabel 2 Perbedaan struktur jaringan saluran pernafasan Burung Walet Linchi Bronki No
Komponen penyusun
Trakea Primer
Sekunder
Tersier
1
Epitel silindris banyak baris bersilia
√
√
√
-
2
Epitel silindris sebaris bersilia
-
-
√
-
3
Epitel kubus sebaris
-
-
-
√
4
Musculo-cartilagenous
√
√
-
-
5
Sel goblet
√
√
√
-
6
Sel makrofag
-
-
√
√
Keterangan : (-) = Tidak ada; (√) = Ada
A
C
d g h
D
j
i h
Gambar 11 Gambaran mikroskopis bronki sekunder, tersier, dan air capillary (A, B, C dan D) Burung Walet Linchi. a. bronki sekunder (kotak kuning), b. bronki tersier (kotak merah), c. sel goblet, d. makrofag, e. epitel silindris banyak baris bersilia, f. epitel silindris sebaris bersilia, g. atrium, h. air capillary (kotak hijau), i. sel darah merah dan j. sel granulosit. (Pewarnaan PAS, bar A = 200 μm, bar B = 10 μm, pewarnaan HE, bar C dan D= 10 μm)
Pengamatan Substansi Mukus Pada pewarnaan AB dan PAS, mukosa trakea, bronki primer dan bronki sekunder dari saluran pernafasan Burung Walet Linchi memberikan hasil yang positif dengan warna biru terang dan magenta yang dapat terlihat. Sedangkan pada bronki tersier, mukosa memberikan hasil yang negatif. Tabel 3 Sebaran karbohidrat pada saluran pernafasan burumg Walet Linchi No 1
2
3
4
5
Nama organ Trakea - epitel kelenjar - lumen kelenjar - lumen organ Pessulus - epitel kelenjar - lumen kelenjar - lumen organ Bronki Primer - epitel kelenjar - lumen kelenjar - lumen organ Bronki Sekunder - epitel kelenjar - lumen kelenjar - lumen organ Bronki Tersier - lumen organ
Pewarnaan AB
Pewarnaan PAS
+++ ++ ++
+++ ++ ++
+++ ++ ++
+++ ++ ++
++ ++ +++
++ ++ +++
+ + ++
+ + ++
-
-
Keterangan : (-) = Negatif; (+) = Lemah; (++) = Kuat; (+++) = Sangat kuat
AB
PAS a b
A
A
AB
PAS
a b
B Gambar 12
B Gambaran mikroskopis substansi mukus trakea dan pessulus Burung Walet Linchi dengan pewarnaan AB dan PAS (A dan B). Hasil postitif ditunjuk panah. Panah a dan b menunjukkan positif sangat kuat pada epitel kelenjar. (Pewarnaan AB bar A= 50 μm, bar B= 100 μm, pewarnaan PAS bar A,B= 100 μm).
a
AB
PAS
b
A
A AB
PAS b' a'
B Gambar 13
B Gambaran mikroskopis substansi mukus bronki primer dan sekunder Burung Walet Linchi dengan pewarnaan AB dan PAS (A dan B). Hasil postitif ditunjuk panah. Panah a dan b menunjukkan positif sangat kuat dan panah a' dan b' menunjukkan positif kuat pada lumen organ. (Pewarnaan AB bar A,B= 100 μm, pewarnaan PAS bar A,B= 100 μm).
AB
PAS
A
A
Gambar 14
Gambaran mikroskopis substansi mukus bronki tersier Burung Walet Linchi dengan pewarnaan AB dan PAS (A). Hasil negatif ditunjuk panah. (Pewarnaan AB bar A= 150 μm, pewarnaan PAS bar A= 150 μm).
PEMBAHASAN Burung merupakan salah satu hewan yang unik. Burung tidak memiliki diafragma, namun demikian burung memiliki lapisan tipis yang memisahkan paru-paru dengan organ-organ dalam. Lapisan ini tidak berperan secara aktif dalam proses respirasi namun lapisan ini berperan dalam menentukan posisi organ-organ dalam ketika bernafas. Sistem pernafasan burung pun tidak hanya digunakan sebagai tempat proses pertukaran gas saja namun sebagai tempat penghasil suara dan termoregulator. Sistem pernafasan burung dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian penyalur dan bagian pertukaran udara. Bagian penyalur terdiri atas hidung, faring, siring, trakea, bronki primer dan bronki sekunder sedangkan bagian pertukaran gas terdiri atas atrium dan air capillary. Struktur saluran udara berperan dalam mengatur jalannya udara, menghangatkan dan melembabkan udara serta menyingkirkan benda-benda asing yang masuk. Burung memiliki organ pernafasan tambahan yang khas dan tidak dimiliki oleh hewan lain, yaitu kantung udara. Burung dapat bernafas melalui hidung dan mulut. Sebelum masuk ke dalam tubuh, udara luar yang mengandung partikel-partikel bebas atau benda asing akan mengalami beberapa perlakuan terlebih dahulu. Udara tersebut akan dibersihkan terlebih dahulu oleh cairan mukus yang berasal dari sel goblet yang berada pada lapisan epitel. Sel goblet berfungsi menghasilkan cairan mukus yang berperan dalam melembabkan dan membersihkan udara dengan mengikat partikel-partikel asing, kemudian didorong menuju faring dengan aktivitas silia yang terdapat pada epitel rongga hidung, trakea, bronki primer ataupun bronki sekunder. Sedangkan pembuluh darah serta sel darah merah yang berada pada organ tersebut berperan sebagai termoregulator. Pembuluh darah atau sel darah merah akan menaikkan atau menurunkan suhu udara yang akan masuk ke dalam tubuh. Trakea burung terdiri atas beberapa lapisan yaitu lapis mukosa, submukosa, musculo-cartilagenous dan adventisia. Lapis mukosa dilapisi oleh epitel silindris banyak baris bersilia ditemukan adanya sel-sel goblet yang berdistribusi diantara sel-sel epitel bersilia. Lapis musculo-cartilagenous tersusun
atas tulang rawan hialin yang berbentuk cincin tertutup dan terdapat muskulus trakealis yang memanjang secara transversal dan menempel pada permukaan eksternal bagian lateral kanan dan kiri dari cincin tulang rawan untuk menjaga trakea agar tetap bulat atau tidak kolaps. Bentuk cincin trakea yang bulat dan adanya otot polos yang memanjang secara transversal dan menempel pada permukaan eksternal bagian lateral kanan dan kiri dari cincin tulang rawan memudahkan Burung Walet Linchi untuk melakukan proses respirasi, baik dalam keadaan sedang terbang maupun istirahat. Dengan tertutupnya cincin trakea Burung Walet Linchi dan unggas pada umumnya, membentuk trakea tetap berbentuk tabung sehingga udara dapat masuk ke dalam tubuh secara maksimal. Burung Walet Linchi memiliki trakea yang panjang dengan cincin trakea yang banyak. Hal ini memungkinkan Burung Walet Linchi dapat bergerak lebih bebas menggerakkan lehernya untuk beraktivitas. Trakea burung memiliki ukuran 2.7 kali lebih panjang dan 1.29 kali lebih luas jika dibandingkan dengan panjang dan luas dari trakea mamalia. Namun, tracheal dead space volume menjadi sekitar 4.5 kali lebih besar. Sehingga burung beradaptasi dengan pernafasan tidal yang lebih besar dan frekuensi pernafasannya menjadi lebih rendah sekitar sepertiga dari pernafasan mamalia. Jika mamalia bernapas 100 kali dalam satu menit, maka burung bernapas dapat bernapas 3 sampai 4 kali dalam satu menit. Jika trakea semakin panjang dan luas, maka frekuensi pernafasannya akan semakin kurang. Siring merupakan kotak suara seperti hal halnya pita suara pada manusia atau laring pada mamalia, namun tidak semua unggas memiliki siring seperti burung unta. Siring yang dilengkapi dengan pessulus terletak pada percabangan trakea yang membagi trakea menjadi dua cabang utama bronki. Siring dapat menghasilkan suara karena adanya dua lapisan tipis mirip gendang telinga pada manusia yang bergetar ketika dilewati oleh udara. Kedua lapisan ini terletak pada badian medial dan lateral dari bronki. Tidak hanya selaput ini saja yang berperan dalam proses keluarnya suara atau bunyi, trakea dan rongga buccopharyngeal serta pergerakan dari lidah dan otot siring pun ikut berperan serta. Jumlah otot siring berbeda pada tiap spesiesnya (O’Malley 2005). Burung beo memiliki tiga
pasang otot siring (Evans 1996; Welty 1982), burung elang memiliki hanya memiliki sepasang otot siring sedangkan burung penyanyi memiliki lima pasang otot siring (King, AS 1989). Pessulus merupakan tulang rawan yang banyak mengandung kelenjar mukus. Hal tersebut diduga karena letak dari pessulus yang berada di percabangan trakea sehingga membelah aliran udara yang akan masuk ke dalam paru-paru. Dengan demikian, pessulus memiliki intensitas yang tinggi kontak dengan udara. Paru-paru unggas tidak memiliki lobulasi yang jelas, berongga, padat, kecil, berwarna merah muda cerah dan memiliki beberapa kerutan akibat tekanan jantung dan tulang iga (O’Malley 2005). Bagian medial dari paru-paru lebih tebal bila dibandingkan bagian lateralnya. Paru-paru kiri terlihat lebih lebar dan tipis jika dibandingkan dengan paru-paru kanan. Hal tersebut disebabkan posisi anatomi jantung bagian atrium kiri menekan paru-paru. Sehingga mengakibatkan terdapatnya sebuah lekukan atau impressio cardiacus pada bagian ventral dan lima buah lekukan atau impressio costalis pada bagian dorsal paru-paru. Burung Walet Linchi hampir menghabiskan seluruh waktunya di udara. Sehingga Burung Walet Linchi atau unggas pada umumnya, yang memiliki kemampuan terbang harus menyesuaikan bentuk paru-parunya. Dengan padatnya paru-paru unggas membuat 20% lebih luas daerah pertukaran gas dibandingkan pada paru-paru mamalia. Paru-paru unggas 10 kali efisien dalam melakukan proses respirasi dibandingkan paru-paru pada mamalia. Dengan sistem crosscurrent blood flow, proses penyerapan oksigen pada pembuluh darah unggas lebih efisien dibandingkan mamalia (Fedde 1993; Maina 1989; McLelland dan Molony 1983). Selain itu aliran udara yang bersifat satu arah dan tidak berujungnya aliran udara atau terus mengalir, alveoli pada mamalia berujung, membuat burung dapat terbang pada ketinggian yang cukup tinggi. (Maina 1989; Scheid dan Piiper 1987; Schmidt-Nielsen 1990). Bronki unggas terdiri atas bronki primer, bronki sekunder dan bronki tersier. Bronki primer merupakan percabangan dari trakea sebelum masuk ke dalam paru-paru sedangkan bronki sekunder merupakan percabangan bronki primer yang terdapat di dalam paru-paru. Tiap bronki primer yang masuk ke dalam paru-paru akan berakhir pada kantung udara bagian posterior. Setelah
masuk ke dalam paru-paru, tiap bronki primer akan menjadi empat pasang bronki sekunder yaitu mediodorsal, medioventral, laterodorsal dan lateroventral dimana penamaan tersebut sesuai dengan daerah paru-paru yang disuplai (O’Malley 2005). Bronki primer mempunyai lapisan-lapisan yang sama dengan trakea, terdiri atas lapis mukosa, lapis submukosa dan lapis musculo-cartilagenous. Sedangkan bronki sekunder hanya terdiri atas lapis mukosa dan lapis submukosa. Lapis mukosa bronki sekunder terdiri atas epitel silindris banyak baris bersilia dan bermodifikasi menjadi epitel silindris sebaris bersilia dengan jumlah sel goblet yang sedikit. Sedangkan lapis submukosa bronki sekunder terdiri atas makrofagmakrofag. Perubahan bentuk epitel pada bronki primer atau mesobronki dan bronki sekunder diduga bertujuan agar proses respirasi berjalan lebih efisien. Parabronki atau bronki tesier tidak dapat dilihat secara kasat mata. Bronki tersier mengalami invaginasi yang kemudian disebut sebagai atrium atau atria (O’Malley 2005). Dengan adanya atrium membuat proses respirasi akan lebih maksimal dan efisien seperti halnya vili pada usus. Dimana atria akan beranastomose dengan air capillary yang berfungsi sebagai tempat pertukaran gas. Air capillary dilapisi cairan atau surfaktan yang menjaga air capillary tetap berongga akibat adanya tekanan permukaan dari paru-paru. Bila cairan atau surfaktan tersebut tidak ada maka proses pertukaran gas tidak dapat terjadi (Powell 2000). Proses pertukaran udara dapat terjadi karena adanya sel darah merah yang mengikat oksigen pada air capillary (Dyce et al. 2002; Fedde 1993). Makrofag alveolar atau sel debu merupakan komponen penting dalam mekanisme pertahanan paru-paru. Makrofag berasal dari sumsum tulang yang akan memfagositosis bakteri dan partikel kecil yang diinhalasi. Selain itu, makrofag juga membantu pembentukkan antigen serta mensekresikan senyawa yang akan menarik granulosit ke paru-paru ataupun senyawa yang merangsang pembentukkan granulosit dan monosit di dalam sumsum tulang (Guyton 1994). Kantung udara selain sebagai tempat penyimpanan udara memiliki fungsi lain, yaitu membantu membuat aliran udara satu arah yang melalui paru-paru sehingga proses respirasi lebih efisien pada unggas. Selain itu, kantung udara juga dapat membantu mengurangi panas tubuh burung ketika burung sedang terbang melalui proses evaporasi kantung udara. Kantung udara juga berperan dalam
menghasilkan suara bahkan kantung udara dapat membantu mendinginkan testes sehingga spermatogenesis dapat berjalan dengan baik (O’Malley 2005). Kantung udara menyimpan 80% volume udara pernafasan (Maina 1996). Os humerus atau sayap burung dapat berhubungan dengan kantung udara interclavicular karena adanya pneumatic humerus. Os humerus pada unggas atau burung beronggarongga sehingga dapat diisi dengan udara. Pneumatic humerus berfungsi mengalirkan aliran udara dari kantung udara interclavicular menuju os humerus atau sayap burung. Dengan terisinya rongga-rongga tersebut, mempermudah burung terbang karena berat badan burung menjadi lebih ringan. Pada pewarnaan AB dan PAS, mukosa trakea, bronki primer dan bronki sekunder dari saluran pernafasan Burung Walet Linchi memberikan hasil yang positif dengan warna biru terang dan magenta yang dapat terlihat. Hasil yang positif ini menunjukkan bahwa mukus pada trakea, bronki primer dan bronki sekunder mengandung karbohidrat yang bersifat asam dan netral. Sedangkan pada bronki tersier, mukosa memberikan hasil yang negatif. Tidak terdapatnya substansi mukus pada bronki tersier diduga agar proses respirasi dapat berjalan lebih cepat dan efisien.
KESIMPULAN DAN SARAN Secara umum gambaran mikroskopis saluran pernafasan Burung Walet Linchi mulai dari trakea sampai bronki tersier mirip dengan hewan unggas pada umumnya. Namun Burung Walet Linchi memiliki trakea yang panjang dengan diameter relatif besar. Hal tersebut mempengaruhi frekuensi pernafasan Burung Walet Linchi menjadi lebih sedikit sehingga dapat terbang lebih lama di udara tanpa harus mengambil nafas terlebih dahulu. Di sepanjang saluran pernafasan Burung Walet Linchi mulai trakea sampai bronki sekunder terdapat kelenjar mukus bersifat asam dan netral. Sebagai saran perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai otot-otot yang berperan dalam proses respirasi secara lebih spesifik untuk mengetahui fungsi fisiologis dan proses pengaturan pernafasan pada Burung Walet Linchi.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Skema organ pernafasan unggas. http://users.rcn.com/jkimball.ma.ultranet/BiologyPages/V/VertebrateLungs. html [1 Maret 2007]. Anonim. 2007. Skema saluran pernafasan dan kantung udara unggas tampak ventral. http://www.vet.murdoch.edu.au/Anatomy/avian/fig3.1.GIF [1 Maret 2007]. Bacha WJ. dan Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology. Ed ke-2. Philadelphia : A Wolter Kluwer. Bergman RA., Afifi AK. dan Heider PM. 1996. Histology. Philadelphia : W.B. Saunders. Chantler P. dan Driessens. 1995. Swifts : A Guide to Swifts and Treeswifts of The World. Ed ke-2. Pica Press : Hongkong. Dyce KM., WO. Sack dan Wensing, CJ. 2002. Avian Anatomy. dalam Textbook of Veterinary Anatomy. Ed ke-3. (K.M. Dyce, W.O. Sack. dan C.J. Wensing, ed.). Philadelphia : WB Saunders. Evans HE. 1996. Anatomy of The Budgie and Other Birds. dalam Diseases of Cage and Aviary Birds. Ed ke-3. (W. Rosskopf dan R. Woerpel, ed.). Baltimore : Williams and Wilkins. Fedde MR. 1993. Respiration in Birds. dalam Dukes Physiology of Domestic Animals. Ed ke-11. (M.J. Swenson dan W.O. Reece, ed.). New York : Cornell University Press. Getty R. 1975. Sisson and Grossman’s. The Anatomy of the Domestic Animal. Ed ke-5. New York : W. B. Saunders. Guyton AC. 1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Bagian II Ed ke-7. Alih bahasa LMA. K. A. Tengadi, M. Mawi, B. Rahardja dan R. Tandean. Jakarta : EGC. Hare WCD. 1975. General Respiratory System. dalam The Anatomy of the Domestic Animal. Ed ke-5. (R. Getty, ed.). Philadelphia : W.B. Saunders. Junqueira CL., Arniero JC. dan Kelley RO. 1997. Histologi Dasar. Ed ke-8. Alih bahasa J. Tambayong. Jakarta : EGC. Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods, Theory and Pratice. Ed ke-2. Oxford : Pergamon Press. King AS. dan McLelland J. 1975. Outlines of Avian Anatomy. New York : The Macmillan Publishing Company Inc.
King AS. 1989. Functional Anatomy of The Syrinx. dalam, Form and Function in Birds. Ed ke-4. (A.S. King dan J. McLelland, ed.). London : Academic Press. Ludders JW. 2001. Inhaled Anesthesia for Birds. dalam Recent Advances in Veterinary Anesthesia and Analgesia: Companion Animals (R. D. Gleed and J. W. Ludders, ed.). Ithaca : International Veterinary Information Service. (www.ivis.org/advances/Anesthesia_Gleed/ludders2/chapter_frm.asp) [1 Maret 2007]. Maina JN. 1989. The Morphometry of The Avian Lung. dalam Form and Function in Birds. (A.S. King dan J. McLelland, ed.). London : Academic Press. Maina JN. 1996. Perspectives on The Structure and Function of Bird. dalam Diseases of Cage and Aviary Birds. Ed ke-3. (W. Rosskopf dan R. Woerpel, ed.). Baltimore : Williams and Wilkins. McLelland J. dan Mollony V. 1983. Respiration. dalam Physiology and Biochemistry of The Domestic Fowl. Ed ke-4. (B.M. Freeman, ed.). London : Academic Press. Mulyadi. 1997. Beberapa aspek bioekologi dan persarangan burung sriti (Collocali linchi) dalam rumah walet di Kabupaten Sumedang. (Skripsi). Bogor : Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. O’Malley B. 2005. Clinical Anatomy and Physiology of Exotic species. London : Elsevier Saunders. O’Rahilly RM. dan Gardner G. 1995. Anatomi Kajian Ranah Tubuh Manusia. Jilid I Ed ke-5. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Plopper CG. dan Adams DR. 1993. Respiratory System. dalam Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-4. (H.D. Dellmann, ed.). Tokyo : A Waverly Company. Powell FL. 2000. Respiration. dalam Avian Physiology. Ed ke-5. (G. Causey Whittow, ed.). New York : Academic Press. Ross MH., Romrell LJ. dan Kayne GI. 1995. Histology a Text and Atlas. Ed ke-3. California : The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. Scheid P. dan Piiper J. 1987. Gas Exchange and Transport. dalam Bird Respiration. Ed ke-1. (T.J. Sellar, ed.). Boca Raton : CRC Press. Schmidt-Nielsen K. 1990. Animal Physiology – Adaptation An Environmnet. Ed ke-4. Cambridge : Cambridge University Press. Spence AP. dan Mason EB. 1987. Human Anatomy and Physiology. Ed ke-3. California : The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.
Sumiati. 1998. Habitat burung wallet dan sriti di dalam rumah walet di Kecamatan Tarogong Kabupaten Garut. (Skripsi). Bogor : Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Welty JC. 1982. The Life of Birds. Ed ke-3. New York: Saunders College. Welty JC. dan Baptista L. 1988. The Life of Birds. Ed ke-4. New York : Saunders College.
Lampiran 1 Pembuatan preparat histologi Pengambilan sample organ (Sampling) ↓ Pengawetan jaringan (Fixation) dalam larutan fiksatif paraform 4% selama 72 jam ↓ Penarikan air dari jaringan (Dehidration) dalam alkohol bertingkat (Alkohol 70%95% @ selama 12 jam; Alkohol Absolut (100%) I,II,III @ 30 menit) ↓ Penjernihan (Clearing) dalam larutan xylol ( Xylol I,II,III @ 30 menit) ↓ Infiltrasi jaringan dalam blok paraffin (Embedding) ↓ Penyayatan jaringan (Sectioning) oleh mikrotom dengan ketebalan 5 μm ↓ Pewarnaan standar (Staining) hematoxylin eosin, alcian blue dan periodic acid Schiff ↓ Pengamatan di bawah mikroskop ↓ Mikrofotografi
Lampiran 2 Prosedur pewarnaan hematoxylin eosin 1. Deparafinisasi-rehidrasi (@ 2 menit), air mengalir .....................10 menit 2. Direndam di Destilated Water (DW) ..........................................3-5 menit 3. Pewarnaan dengan hematoxylin (air kontrol mikroskop) ...........1-2 menit 4. Direndam di air mengalir .............................................................10 menit 5. Destilated water ..........................................................................3-5 menit 6. Pewarnan dengan eosin alcohol (air kontrol mikroskop) ...........2-5 menit 7. Dehidrasi-Clearing ...................................................................menit-detik 8. Pelekatan cover glass di atas preparat jaringan yang sudah diwarnai, menggunakan entelan® (Mounting) 9. Pengamatan di bawah mikroskop
Lampiran 3 Prosedur pewarnaan alcian blue 1. Deparafinisasi-rehidrasi ............................................................@ 1-2 menit 2. Air kran ...........................................................................................10 menit 3. Destilated Water (DW) .....................................................................5 menit 4. Penurunan pH dengan larutan Asam Asetat 3% ......................RT, 5 menit 5. Perendaman dalam AB pH 2,5 ... ................................................≈ 30 menit 6. Pencucian dengan larutan Asam Asetat 3% .....................RT, 3x @ 5 menit 7. Destilated water (DW) .....................................................RT, 3x @ 5 menit 8. Counterstrain (misal Nuclear Fastred) ………….…….…... cek mikroskop 9. Destilated Water (DW) …………………………………RT, 2 x @ 5 menit 10. Dehidrasi khusus AB …………………………………..............detik-menit 11. Clearing dengan xylol 12. Mounting dengan entelan
Lampiran 4 Prosedur pewarnaan periodic acid Schiff 1. Deparafinisasi-rehidrasi …........................................................@ 1-2 menit 2. Air mengalir ....................................................................................5 menit 3. Destilated Water (DW) ..................................................................3-5 menit 4. Oksidasi dalam larutan periodic acid 0.5 - 1.0% .......................RT, 5 menit 5. Destilated Water (DW) …………………………….........RT, 3x @ 5 menit 6. Schiff reagent ...........................................................................RT, 15 menit 7. Air Sulfit (selalu dibuat baru) …………………………...RT, 3x @ 5 menit 8. Destilated Water (DW) ………………………………….RT, 3x @ 5 menit 9. Counterstrain (misal mayer hematoksilin) …………………cek mikroskop 10. Air kran ……………………………………………………...10 – 60 menit 11. Destilated water (DW) ………………………………….RT, 3x @ 5 menit 12. Dehidrasi khusus PAS ………………………………………..detik – menit 13. Clearing dengan Xylol 14. Mounting dengan entelan