Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti IDENTIFIKASI HABITAT DAN PRODUKSI SARANG BURUNG WALET (Collocalia fuciphaga) DI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR SWIFTLET (Collocalia fuciphaga) NEST PRODUCTION AND HABITAT IDENTIFICATION AT EAST LAMPUNG DISTRICT Turaina Ayuti*, Dani Garnida**, Indrawati Yudha Asmara** Universitas Padjadjaran *Alumni Fakultas Peternakan Unpad Tahun 2016 **Staf Pengajar Fakultas Peternakan Unpad e-mail :
[email protected] ABSTRAK Burung Walet (Collocalia fuciphaga) merupakan ternak unggas yang dibudidayakan dengan sarang sebagai produksi utama. Produksi sarang Burung Walet dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya yaitu faktor kondisi lingkungannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lingkungan Burung Walet di Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Way Jepara, Bandar Sribhawono dan Labuhan Maringgai dengan jumlah sampel 6 gedung. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan cara pengambilan sampel Purposive Sampling. Peubah yang diamati adalah Habitat Mikro (Temperatur, Kelembaban dan Intensitas Cahaya di dalam gedung), Habitat Makro (Temperatur dan Kelembaban udara di luar gedung, curah hujan, serta jenis, luas dan jarak lokasi sumber pakan), dan Produksi Sarang. Pada kondisi habitat makro yang sama, produktivitas sarang Burung Walet dipengaruhi oleh habitat mikro. Produksi sarang Burung Walet di Kabupaten Lampung Timur berkisar antara 18,311-22,647 gram / / periode. Kata kunci : Burung Walet, Habitat, Produksi Sarang ABSTRACT Swiftlet (Collocalia fuciphaga) is one of poultry cultivate by nest as their primary production. Swiftlet nest production affected by many factors one of them is environmental condition. This study goals to determined the habitat of swiftlet at East Lampung District, Lampung Province. This study carried out at Way Jepara Sub-district, Bandar Sribhawono and Labohan Maringgai with number of samples are 6 building. Method of this study using descriptive analysis by taking sample of Purposive Sampling. Variable observe are Micro Habitat (Temperature, Humidity and Light Intensity inside building), Macro Habitat (Temperature and air humidity outside building, rainfall also the kind, area and distance feed resource), and nest production. Swiftlet nest production in East Lampung district ranged from 18,311 - 22,647 gram / / period. Key words : Swiftlet, Habitat, Nest Production
Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti
PENDAHULUAN Burung Walet memiliki beberapa ciri khas yang tidak dimiliki oleh burung lain. Ciri khas tersebut diantaranya melakukan hampir segala aktivitasnya di udara seperti makan dan bereproduksi, sehingga Burung Walet sering disebut dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung ini yaitu kemampuannya dalam menghasilkan sarang yang bernilai jual tinggi. Indonesia merupakan penyedia sarang Burung Walet dunia. Ekspor sarang Burung Walet dilakukan ke berbagai negara di Asia dan Eropa, serta Australia dan Amerika Serikat. Terdapat beberapa jenis Burung Walet yang ditemukan di Indonesia, salah satunya adalah Collocalia fuciphaga, spesies ini merupakan Burung Walet yang mampu menghasilkan sarang berwarna putih dan paling disukai konsumen. Burung Walet (Collocalia fuciphaga) tersebar di berbagai pulau di Indonesia. Salah satu daerah penyebaran burung ini yaitu daerah Kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung. Produksi sarang Burung Walet dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor kondisi lingkungannya. Lingkungan Burung Walet terdiri dari habitat mikro dan habitat makro.
Habitat mikro Burung Walet adalah lingkungan di dalam gedung yang dapat
dikondisikan sesuai kebutuhan seperti temperatur, kelembaban dan intensitas cahaya. Habitat makro adalah lingkungan walet di luar gedung tempat hidup dan mencari makan seperti ketinggian wilayah, suhu dan kelembaban udara, serta sumber air dan vegetasi sebagai penyedia pakan. Habitat makro tidak dapat dengan mudah dikondisikan layaknya habitat mikro, sehingga pembangunan gedung walet harus berada di daerah yang tepat. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengetahui habitat mikro dan habitat makro untuk mendukung perkembangan budidaya Burung Walet di Kabupaten Lampung Timur.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kamera digital, alat tulis, termometer dan hygrometer digital, GPS (Global Positioning System) dan lightmeter. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah Burung Walet putih (Collocalia fuciphaga) di Kecamatan Way
Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti
Jepara, Bandar Sribhawono dan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif.
Pengambilan sample
dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu penarikan sample didasarkan pada beberapa pertimbangan tertentu. Pertimbangan pada penelitian ini yaitu gedung yang sudah berproduksi lebih dari 5 tahun dan memiliki kriteria gedung yang relatif sama, seperti gedung bertingkat tiga, pengelolaan ekstensif, sistem panen buang telur, dan memiliki jadwal panen yang berdekatan. Peubah yang diamati dalam penelitian yaitu temperatur, kelembaban dan intensitas cahaya dalam habitat mikro, curah hujan, temperatur dan kelembaban udara dalam habitat makro serta jenis, jarak dan luas habitat sumber pakan. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara deskriptif analitik, nilai yang dianalisis antara lain: nilai maksimum, nilai minimum, ragam, ratarata, simpangan baku, koefisien variasi dan pendugaan parameter.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Gambaran Umum Kabupaten Lampung Timur Kabupaten Lampung Timur merupakan salah satu dari 15 kabupaten di Provinsi
Lampung. Kabupaten ini berada di ujung Timur Provinsi Lampung yang berbatasan langsung dengan garis pantai Laut Jawa. Secara geografis, Kabupaten Lampung Timur terletak pada posisi 105º15' BT - 106º20' BT dan 4º37' LS - 5º37' LS. Secara topografi, kabupaten Lampung Timur berupa dataran yang terdiri dari lima jenis daerah yaitu daerah berbukit sampai bergunung (>200 m dpl), daerah berombak sampai bergelombang (50-200 m dpl), daerah dataran alluvial (25-75 m dpl), daerah rawa pasang surut (0,5-1 m dpl), dan daerah aliran sungai (BPS Lampung Timur, 2015 dalam Pemerintah Kabupaten Lampung Timur (2015). 2.
Gambaran Umum Gedung Walet di Kabupaten Lampung Timur Gedung walet yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 6 gedung yang terletak di
Kecamatan Way Jepara, Bandar Sribhawono dan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung
Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti
Timur. Manajemen pengelolaan pada gedung penelitian ini menerapkan pengelolaan secara ekstensif, yaitu tidak adanya perlakuan tambahan seperti pemberian pakan dan penetasan buatan, pengelola hanya melakukan pemanenan sarang. Pemanenan sarang dilakukan setiap tiga bulan sekali atau 4 kali dalam setahun. Gedung walet di Kabupaten Lampung Timur memiliki usia yang hampir seragam yaitu berkisar antara 12-16 tahun. Bentuk dan tingginya gedung juga tidak jauh berbeda yaitu berbentuk persegi panjang dengan jumlah lantai tiga tingkat. Karakteristik fisik gedung walet yang diteliti di Kabupaten Lampung Timur dijabarkan dalam Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik Gedung Walet Gedung Ukuran A
3 lantai 8x5x3m/lantai
B
3 lantai 12x9x3m/lantai
C
3 lantai 10x8x3m/lantai
D
3 lantai 10x8x3m/lantai 3 lantai 6x4x3m/lantai 3 lantai 8x6x3m/lantai
E F
Kolam Air
Atap
Sirip
Ada, di lantai 1 posisi di tengah ruangan
Genting
Persegi
Ada, di dalam gedung lantai 1 posisi di tengah ruangan dan sisi kiri-kanan, di luar gedung posisi sisi kiri-kanan. Ada, di dalam gedung lantai 1 posisi di tengah ruangan dan sisi kiri-kanan, di luar gedung posisi sisi kiri-kanan. Ada, di dalam gedung lantai 1 posisi di tengah ruangan dan sisi kiri-kanan, di luar gedung posisi sisi kiri-kanan.
Genting
Persegi
Genting
Persegi
Genting
Persegi
Ada, di lantai 1 posisi di tengah ruangan
Genting
Persegi
Ada, di lantai 1 posisi di tengah ruangan
Genting
Persegi
Gedung B merupakan gedung yang memiliki luas ruangan yang paling besar, selanjutnya gedung C dan D, lalu F dan A, dan yang paling kecil yaitu gedung E. Tidak ada aturan khusus mengenai luas gedung walet, melainkan ukuran gedung walet disesuaikan dengan modal pelaku usaha.
Lain hal nya dengan jarak antara lantai dengan sirip atau tinggi ruangan, menurut
Taufiqurohman (2002) sebaiknya tinggi ruangan lebih dari 2 meter, karena semakin tinggi ruangan akan semakin banyak menampung udara yang akan menciptakan suhu udara yang lebih sejuk. Tinggi ruangan pada gedung A, B, C, D, E dan F yaitu 3 m, artinya ruangan pada gedung walet A, B, C, D, E dan F mampu menampung udara yang cukup.
Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti
Kolam air pada gedung A, E dan F tidak sebanyak kolam air pada gedung B, C, dan D. Pada gedung A, E dan F kolam air hanya terdapat di dalam gedung pada pertengahan lantai 1, sedangkan pada gedung B, C, dan D kolam air tidak hanya terdapat pada pertengahan melainkan juga pada sisi kiri dan kanan lantai 1, serta terdapat di luar gedung. Menurut Adiwibawa (2000) volume air di sekitar gedung dapat membantu menurunkan suhu dan melembabkan udara di dalam gedung. Atap yang digunakan oleh ke-6 gedung yang diamati yaitu atap genting. Hal ini dimaksudkan agar dapat menjaga kestabilan suhu di dalam gedung, sesuai dengan pernyataan Nazarrudin dan Widodo (2008) bahwa atap gedung Burung Walet sebaiknya menggunakan atap genting, karena atap asbes, seng dan atap beton tidak dapat menjaga kestabilan suhu di dalam gedung. Sirip yang dipasang pada plafon gedung berbentuk persegi dengan bahan kayu Meranti. Sirip pada gedung Walet sebaiknya berbahan kayu yang tidak mudah terkena jamur, tidak beraroma menyengat, tidak mudah lapuk seperti kayu jati, dan harganya terjangkau seperti kayu meranti (Nazarrudin dan Widodo, 2008). 3.
Habitat Mikro Burung Walet Habitat mikro Burung Walet adalah lingkungan di dalam gedung tempat Burung Walet
beristirahat, membuat sarang, bertelur dan membesarkan anak-anak walet yang baru menetas. Habitat mikro bersifat setempat sehingga dapat dengan mudah dikondisikan sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan Burung Walet. Kondisi habitat mikro diatur dengan meniru kondisi habitat aslinya seperti mengatur temperatur, kelembaban dan instensitas cahaya layaknya di dalam gua. Kondisi seperti ini akan tercapai dengan cara pemilihan bahan dan desain bangunan yang tepat serta menambahkan alat-alat pendukung. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan dengan menggunakan thermometer dan hygrometer digital selama tiga hari. Hasil pengukuran suhu dan kelembaban di dalam gedung Burung Walet A, B, C, D, E dan F ditunjukkan pada Tabel 4.
Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti
Tabel 4. Hasil Pengukuran Temperatur, Kelembaban dan Intensitas Cahaya Rata-rata Rata-rata Intensitas Cahaya (lux) Gedung Temperatur (°C) Kelembaban (%) Lantai 1 Lantai 2 Lantai 3 Way Jepara A Way Jepara B Seluruh Gedung B. Sribhawono C B. Sribhawono D Seluruh Gedung L. Maringgai E L. Maringgai F Seluruh Gedung Rata-rata Lampung Timur
30,47 28,91 29,69 29,00 28,98 28,99 30,75 30,69 30,72
72,50 82,50 77,50 82,78 81,89 82,33 72,17 71,83 72,00
29,80
77,27
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
6 7
Berdasarkan Tabel 4 rata-rata temperatur gedung yang berada di tiga Kecamatan Way Jepara, B. Sribhawono dan Labuhan Maringgai yaitu 29,69°C; 28,99°C; dan 30,72°C. Nilai temperatur minimum berada pada gedung B dengan suhu 27,57°C, dan suhu maksimum berada di gedung E dengan nilai 32,86°C. Suhu optimum gedung walet menurut Mardiastuti dkk (1998) yaitu 26-28° C dengan kelembaban relatif berkisar 85-98%. Sementara menurut Sofwan dan Winarso (2005) berkisar 27-29°C dengan kelembaban 70-95%. Dengan kisaran tersebut, gedung B, C, dan D telah mencapai suhu dan kelembaban optimum, sedangkan suhu di gedung A, E dan F melebihi kisaran meskipun kelembaban udara masih berada pada kisaran optimum. Tingginya suhu di gedung A, E dan F disebabkan oleh kurangnya kubangan air di dalam gedung tersebut sebagai pencegah kenaikan suhu dan penambah kelembaban. Suhu dan kelembaban optimum di dalam gedung dibutuhkan Burung Walet sebagai zona nyaman Burung Walet untuk beristirahat. Suhu dan kelembaban yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan mengurangi produktivitas sarang dan mengganggu kenyamanan Burung Walet (Ibrahim dkk., 2009). Pengukuran intensitas cahaya gedung dilakukan dengan menggunakan luxmeter. Intensitas cahaya pada seluruh ruangan gedung Walet A-F yaitu 0 lux, kecuali pada lantai 3 gedung E dan F yang memiliki intensitas cahaya sebesar 7 dan 6 lux. Menurut Francis (1987) intensitas cahaya yang disukai oleh Burung Walet untuk bersarang adalah 0 lux (gelap total). Nilai intensitas
Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti
cahaya di lantai tiga rumah Burung Walet E dan F melebihi 0 lux dikarenakan terdapat dua lubang masuk Burung Walet yang mengahadap arah datangnya sinar matahari (barat dan timur) sehingga cahaya masuk dengan mudah. Burung Walet (Collocalia fuciphaga) memilih tempat yang pencahayaannya mendekati 0 lux atau gelap total sebagai tempat meletakkan sarangnya. Hal ini berkaitan dengan fungsi sarang sebagai tempat Burung Walet beristirahat, sehingga Burung Walet membutuhkan lokasi yang sesuai dengan zona nyamannya. Oleh karena itu ruang gedung yang berintensitas tinggi akan menurunkan produksi sarang atau bahkan tidak akan dihuni oleh Burung Walet (Marhiyanto dkk. 1996). 4.1
Habitat Makro Burung Walet Habitat makro merupakan daerah tempat Burung Walet untuk mencari pakan dan
berkembang biak. Jenis habitat sumber pakan di Kabupaten Lampung Timur meliputi Sawah dan Tegalan yang terdiri dari lahan sawah, tegalan dan kebun tanaman musiman, Lahan Basah yang terdiri dari kolam, tambak, sungai, danau dan laut serta Daerah Berhutan yang terdiri dari perkebunan tanaman karet, kakao, akasia dan tumbuhan kayu lainnya. Data luas habitat sumber pakan di tiga Kecamatan dijabarkan pada Tabel 5. Tabel 5. Luas Habitat Sumber Pakan Sawah dan Tegalan (ha) (%) Way Jepara (A dan B) 8865 6076 68,54 B. Sribhwono (C dan D) 15784 5878 37,24 L. Maringgai (E dan F) 10503 4390 41,79 Sumber : Pemerintah Kabupaten Lampung Timur (2015) Kecamatan
Total Lahan Sumber Pakan
Lahan Basah (ha) 1012 1510 3950
(%) 11,41 9,56 37,61
Daerah Berhutan (ha) (%) 1777 20,04 8396 53,19 2163 20,59
Kecamatan Way Jepara memiliki luas sawah dan tegalan sebanyak 68,54% dari total keseluruhan luas habitat sumber pakan, lahan basah 11,41%, dan daerah berhutan 20,04%. Luas sumber pakan di Kecamatan Bandar Sribhawono meliputi sawah dan tegalan 37,24% , lahan basah 9,56% dan daerah berhutan 53,19%. Luas habitat sumber pakan di L. Maringgai meliputi 41,79 % daerah sawah dan tegalan, 37,61% lahan berair, dan 20,59% daerah berhutan.
Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti
Habitat makro Burung Walet adalah di sekitar pantai dan daerah yang ditumbuhi banyak tanaman atau hutan (Gosler, 2007 dalam Hakim, 2011). Habitat makro sangat penting bagi kelangsungan hidup Burung Walet karena serangga pakan Burung Walet bergantung pada kondisi habitat makronya yang terdiri dari area bervegetasi dan berair. Ketersediaan serangga pakan Burung Walet tersebut bergantung pada kondisi iklim dan luasnya lokasi habitat serangga sebagai penyedia tempat dan makanan (Hakim, 2011). Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003), habitat mencari pakan yang paling cocok untuk spesies Collocalia fuciphaga adalah campuran antara sawah dan tegalan (50%), lahan basah (20%), dan daerah berhutan (30%). Komposisi ini berkaitan dengan habitat serangga yang paling disukai oleh Burung Walet. Urutan serangga yang paling disukai oleh Burung Walet yaitu serangga yang berasal dari ordo Hymenoptera dan Homoptera yang hidup di daerah sawah dan tegalan, Diptera yang hidup di daerah lahan berkayu, dan Ephemenoptera yang hidup di lahan basah (Adiwibawa, 2000). Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa tidak ada kecamatan yang memiliki luas habitat sumber pakan yang mendekati kisaran yang ditentukan oleh Soehartono dan Mardiatuti (2003). Meskipun demikian, bukan berarti ketiga kecamatan di atas merupakan tempat yang tidak cocok bagi habitat Burung Walet, karena menurut Mardiastuti dkk. (1998) kemampuan Burung Walet dalam menjelajah home range radius 25-40 km, maka tidak menutup kemungkinan Burung Walet akan mecari pakan di luar area sekitar tempat tinggalnya. Jarak yang ditempuh Burung Walet untuk menjangkau lokasi sumber pakan diuraikan pada Tabel 6. Tabel 6. Jarak gedung ke Lokasi Sumber Pakan Gedung Sawah dan Lahan Basah Tegalan (km) (km) A 2,44 4,36 B 0,74 7,23 C 1,53 2,57 D 1,53 2,57 E 0,62 0,79 F 0,70 0,79 Keterangan : Pengukuran menggunakan GPS
Perkebunan dan Hutan (km) 5,44 7,89 2,27 2,27 1,21 1,21
Rata-rata (km) 4,08 5,28 2,12 2,12 0,87 0,90
Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti
Rata-rata jarak gedung A, B, C, D, E dan F ke lokasi sumber pakan sejauh 4,08 km, 5,28 km, 2,12 km, 2,12 km, 0,87 km, dan 0,90 km. Rata-rata jarak gedung ke lokasi sumber pakan pada ke-6 gedung tentu dapat dijangkau oleh Burung Walet yang memiliki kemampuan menjelajah wilayah sejauh 25-40km Mardiastuti dkk. (1998). Menurut Michael (1995) dalam Balai Besar Pembenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (2013) kepadatan populasi serangga di lapangan tidak hanya ditentukan oleh tersedianya sumberdaya seperti makanan dan ruang tempat hidup, melainkan ada dua faktor penting lainnya yaitu (1) kemampuan serangga untuk memperoleh pakan, seperti mencari pakan di beberapa vegetasi (2) waktu atau kesempatan dalam memanfaatkan laju pertumbuhan yang tinggi, misalnya keadaan iklim yang menguntungkan untuk pertumbuhan. Maka dari itu, suatu wilayah yang memiliki sumberdaya sebagai penyedia pakan serangga juga harus memiliki kondisi iklim yang mendukung bagi perkembangan serangga.
Kondisi iklim di Kabupaten
Lampung Timur tahun pada 2015 diurai pada Tabel 7. Tabel 7. Iklim Kabupaten Lampung Timur Tahun 2015 Temperatur (°C) Kelembaban (%)
Curah Hujan (mm)
Minimum 22,50 76 Maximum 33,90 88 Rata-rata 27,85 82 Total/tahun Sumber : Pemerintah Kabupaten Lampung Timur (2015)
39 333 186 1976
Pada tahun 2015, suhu rata-rata di Kabupaten Lampung Timur sebesar 27,850C, kelembaban rata-rata 82% dan curah hujan 1976 mm pertahun. Suhu, Kelembaban dan Curah Hujan tersebut mendukung pertumbuhan serangga sebagai sumber pakan Burung Walet. Jumar (2000) menyatakan bahwa kisaran suhu habitat makro yang efektif adalah suhu minimum 15 0C, suhu optimum 250C dan suhu maksimum 450C. Suhu rata-rata di Kabupaten Lampung Timur termasuk kedalam suhu optimum untuk pertumbuhan serangga, sehingga kemampuan serangga untuk menghasilkan keturunan sangat tinggi dan kemungkinan mortalitas rendah.
Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti
Bagi serangga pada umumnya kisaran toleransi terhadap kelembaban udara yang optimum terletak di dalam titik rentang 73-100 % (Jumar, 2000).
Kelembaban udara di Kabupaten
Lampung Timur berkisar antara 76-88% artinya kelembaban udara di Kabupaten Lampung Timur merupakan kisaran kelembaban optimum bagi perkembangan hidup serangga. 4.2
Produksi Sarang Produksi sarang Burung Walet di Kabupaten Lampung Timur diukur menggunakan data
sekunder yang diperoleh langsung dari peternak. Data produksi sarang Burung Walet diurai dalam Tabel 8. Tabel 8. Produksi Sarang di Kabupaten Lampung Timur Gedung Pendugaan Parameter Produksi Sarang/ Way Jepara A 18,415 ≤ µ ≤ 19,585 B 21,235 ≤ µ ≤ 24,020 Seluruh Gedung B.Sribawono C 22,171 ≤ µ ≤ 23,454 D 21,868 ≤ µ ≤ 22,820 Seluruh Gedung L.Maringgai E 17,069 ≤ µ ≤ 19,989 F 19,085 ≤ µ ≤ 19,874 Seluruh Gedung Rata-rata Lampung Timur 18,311≤ µ ≤ 22,647
Berdasarkan Tabel 8 rata-rata produksi sarang Burung Walet di Kabupaten Lampung Timur dalam satuan gram/
yaitu sebesar 20,479 gram/
. Rata-rata produksi sarang Burung
Walet di Kecamatan Bandar Sribhawono yaitu sebesar22,580 gram/
, nilai rata-rata ini lebih
besar dibandingkan dengan kecamatan Way Jepara maupun Labuhan Maringgai yang hanya memiliki rata-rata produksi sebesar 20,814 gram/
dan 18,854 gram/
.
Gedung yang
memiliki nilai produksi di bawah rata-rata adalah gedung A, E dan F dengan nilai produksi 19,000 gram/
, 18,229 gram/
, dan 19,479 gram/
. Sementara gedung yang memiliki nilai
Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti
produksi di atas rata-rata yaitu gedung B, C dan D dengan nilai produksi 22,627 gram/ 22,813 gram/
, dan 22,344 gram/
,
. Produksi gedung B, C dan D lebih besar dari pada
produksi gedung A, E dan F. Nilai produksi gedung A dan B berbeda meskipun gedung A dan B berada di Wilayah yang sama yaitu Way Jepara.
Gedung B memiliki habitat mikro yang
optimum, sedangkan gedung A di luar kisaran optimum. Hal ini menunjukkan bahwa produksi sarang tidak dipengaruhi oleh habitat makro melainkan dipengaruhi oleh habitat mikro. Proses pemanenan sarang Burung Walet sarang putih (Collocalia fuciphaga) di Gedung A, B, C, D, E maupun F dilakukan sebanyak 4 kali dalam satu tahun atau pemanenan dilakukan setiap 3 bulan. Pola panen yang digunakan yaitu dengan cara memanen semua sarang yang menempel pada sirip tanpa mempertimbangkan keberadaan telur ataupun anak walet (piyik). Artinya pemanenan pada gedung walet di Kabupaten Lampung Timur menggunakan pola panen rampasan, buang telur dan tetasan dalam satu waktu. Dengan menerapkan pola campuran secara berturut-turut selama satu tahun penuh akan mengurangi kesempatan Burung Walet untuk melakukan perkembangbiakannya, sehingga pola pemanenan ini akan menurunkan populasi Burung Walet secara perlahan. Hal ini tidak sesuai dengan Kepmenhut Nomor 449/Kpts-II/1999 yang menjelaskan bahwa pemanenan sarang Burung Walet dilakukan dalam rangka pembinaan populasi sehingga pemanenan sarang Burung Walet harus dengan memperhatikan kelestariannya.
KESIMPULAN Pada kondisi habitat makro yang sama, produktivitas sarang Burung Walet dipengaruhi oleh habitat mikro. Produksi sarang Burung Walet di Kabupaten Lampung Timur berkisar antara 18,311 - 22,647 gram /
/ periode.
SARAN Untuk mencapai produksi sarang Burung Walet yang maksimal, habitat mikro dan makro harus dijaga pada kisaran optimum. Disamping itu perlu adanya penelitian lanjutan mengenai seberapa besar pengaruh dari masing-masing habitat bagi produktivitas Burung Walet.
Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Lampung Timur dan Para Peternak Walet di Kabupaten Lampung Timur yang sangat berjasa dalam penelitian serta orang tua yang sangat mendukung dan membantu dalam penelitian. Terimakasih kepada Ir. Dani Garnida, M.S., sebagai pembimbing utama dan Indrawati Yudha Asmara, S.Pt.,M.Si.,Ph.D., sebagai pembimbing anggota yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membimbing. DAFTAR PUSTAKA Adiwibawa, E. 2000. Pengelolaan Rumah Walet. Yogyakarta. Kanisius. Balai Besar Pembenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan. 2013. Faktor Pendukung Penyebaran Serangga di Lapangan. http://ditjenbun.pertanian.go.id/bbpptpambon/berita-236-faktor-pendukungpenyebaran-serangga-di-lapangan-.html diakses pada 20 Juli 2016 pukul 10.40 WIB. Borror, D. J., Triplehorn, A. Charles, Johnson dan F. Norman. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi Keenam. Yogyakarta. Gajah Mada Press. 825-826. Francis, C. M. 1987. The Managemet of Edible Bird’s Nest Caves in Sabah Wildlife Section. Sabah Forest Departement, Sabah. Hamidun, S. Marini dan D. W. Baderan. 2014. Habitat, Niche dan Jasa Lingkungan Penyusun Utama Vegetasi Kawasan Hutan Nantu-Boliyohuto. Universitas Negeri Gorontalo. Konservasi Sumberdaya Hutan. Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Jakarta (ID): PT. Rineka Cipta. Gosler, A. 2007. Birds of The World: A Photographic Guide. Firefly Books Inc., New York. Hakim, A. 2011. Karakteristik Lingkungan Rumah dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga) di Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ibrahim, S. H., W. C. Teo and A. Bahrun. 2009. A study on suitable habitat for swiftlet farming. UNIMAS E-Journal of Civil Engineering, Vol.1:Issue 1. Kementrian Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Pengelolaan Burung Walet (Collocalia) di Habitat Alami (In-Situ) dan Haitat Buatan (Ex-Situ). Kepmenhut Nomor 449/KptsII/1999, Jakarta.
Identifikasi Habitat dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga)...... Turaina Ayuti Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Indonesia. 2012. Peta Infrastruktur Kabupaten Lampung Timur. http://loketpeta.pu.go.id/peta-infrastruktur-kabupatenlampung-timur-2012 diakses pada tanggal 18 Juli 2016 pukul 13.24 WIB. Langham, N. 1980. Breeding biology of the edible-nest Swiftlet Aerodramus fuciphagus. Ibis 7(4):447-461. Lim CK, Cranbrook E. 2002. Swiftlets of Borneo: Builders of Edible Nest. Ed ke1. Kota Kinibalu: Nat His Publication (Borneo) Sdn. Bhd. Mardiastuti, A., Y. A. Mulyani, J. Sugarjito, L. N. Ginonga, I. Maryanto, A. Nugraha dan Ismail. 1998. Teknik pengusahaan Burung Walet rumah, pemanenan sarang, dan penanganan pasca panen. Laporan Riset Unggulan Terpadu IV. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Dewan Riset Nasional, Jakarta. Marhiyanto, dkk. 1996. Budidaya Rumah dan Sarang Walet. Surabaya. Gitamedia Press. Pemerintah Kabupaten Lampung Timur. 2015. Monografi Kabupaten Lampung Timur 2015. Pemerintah Kabupaten Lampung Timur. Lampung Timur. Nazzarudin dan A. Widodo. 2008. Sukses Merumahkan Walet. Jakarta. Penebar Swadaya. Nguyen QP, Vo QY, Voisin JF. 2002. The White-Nest Swiftlet and The Black-Nest Swiftlet: A Monograph. Paris: Societe Nouvelle Des Edition Boubee. Soehartono, T. A. dan A. Mardiastuti. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Japan International Cooperation Agency (JICA), Jakarta. Sofwan, A. dan P. Winarso. 2005. Rancang bangun sistem pengendali suhu dan kelembaban udara pada rumah Burung Walet berbasis mikrokontroler AT89C51. ISBN: 979-756061-6. Stasiun Klimatologi Lasiana Kupang. 2016. Informasi Analisis Curah Hujan dan Sifat Hujan. Kupang. http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/informasi/informasi-analisis-curah-hujan-dansifat-hujan/ diakses pada tanggal 20 Juli 2016 Pukul 12.15 WIB Taufiqurohman. 2002. Meningkatkan populasi burung walet atau seriti di rumah burung walet yang belum berproduksi di Desa Pasarean Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Thomassen H. 2005. Swift as Sound, Design and Evolution of The Echolocation System in Swiftlets (Apodidae: Collocaliini). [tesis]. Leiden: Leiden Univ. Wibowo, S. 1995. Budidaya Sarang Walet. Surabaya. Arkola.