7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Taksonomi dan Deskripsi Burung Walet Terdapat beberapa jenis Burung Walet yang ditemukan di Indonesia
diantaranya Burung Walet Sarang Putih, Burung Walet Sarang Hitam, Burung Walet Sarang Lumut, Burung Walet Sapi, Burung Walet Gunung dan Burung Walet Besar. Burung Walet Sarang Putih merupakan Burung Walet yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia karena menghasilkan sarang yang bernilai ekonomis diantara jenis Burung Walet lainnya (Djana, 2008).
Sumber : Nguyen dkk. (2002) Ilustrasi 1. Morfologi Burung Walet (a) Walet tampak lateral, (b) Paruh melengkung pendek, (c) kaki pendek dengan cakar tajam, (d) ekor sedikit menggarpu.
8 Menurut Chantler dan Driessens (1995) dalam Erham (2009), taksonomi Burung Walet sarang putih (Collocalia fuciphaga) sebagai berikut: Kingdom
: Animal
Phylum
: Chordata
Sub phylum
: Vertebrata
Class
: Aves
Ordo
: Apodiformes
Family
: Apodidae
Subfamily
: Apodinae
Genus
: Collocalia
Species
: Collocalia fuciphaga
Secara umum spesies ini memiliki ukuran tubuh sedang (10-16cm), bersayap runcing dan bentuk ekor sedikit menggarpu.
Warna bulu tubuh
Collocalia fuciphaga yaitu coklat kehitam-hitaman pada bagian atas dengan bagian tubuh berwarna abu-abu muda kecoklatan. Paruh, kaki dan cakar spesies ini berwarna hitam. Sama seperti spesies Burung Walet lainnya, kaki Burung Walet Sarang Putih juga berukuran pendek dan tidak kuat sehingga tidak bisa digunakan untuk berjalan maupun hinggap. Burung Walet Sarang Putih juga memiliki mata yang lebar dan berwarna coklat gelap sehingga mampu melihat objek dengan tajam (Lim & Cranbrook 2002 dalam Erham, 2009) dan memiliki kemampuan ekholokasi sehingga mengetahui kecepatan terbang dan posisinya terhadap obyek di sekitarnya meskipun dalam kondisi gelap (Thomassen 2005). Menurut Mardiastuti dkk. (1998) semua spesies dari Burung Walet tidak memiliki dimorfisme seksual, sehingga Burung Walet betina maupun Burung Walet jantan sulit untuk dibedakan.
9
Sumber : Erham (2009) Ilustrasi 2. Burung Walet Jantan dan Betina Burung Walet Collocalia fuciphaga termasuk kedalam famili Apodidae. Familli ini memiliki kaki yang pendek dan lemah dengan kuku-kuku yang runcing dan tajam serta memiliki sayap ramping, panjang, sempit dan melengkung ke belakang.
Kondisi kaki Burung Walet tersebut tidak memungkinkan Burung
Walet untuk dapat bertengger dan bentuk sayap Burung Walet dapat menghasilkan kemampuan terbang yang efisien, maka sepanjang hari Burung Walet terus terbang tanpa berhenti termasuk pada saat mencari makan dan bereproduksi (Adiwibawa, 2000). Burung Walet melakukan aktivitas mencari makan di luar gua atau gedung pada saat matahari terbit hingga matahari terbenam. Pada saat pagi hari Burung Walet terbang di atas hamparan sawah dan tegalan untuk berburu serangga yang banyak ditemukan di area tersebut hingga sekitar pukul 11.00 WIB. Pada siang
10 hari Burung Walet terbang menuju area perkebunan dan hutan untuk mencari serangga yang terdapat disela-sela pepohonan. Jika pada area perkebunan dan hutan tersebut serangga mulai berkurang, maka Burung Walet mencari serangga diatas genangan air seperti danau atau sungai. Pada sore hari sekitar pukul 16.00 WIB Burung Walet kembali ke area sawah dan tegalan. Selanjutnya pada saat hari mulai gelap Burung Walet berputar-putar di sekitar gedung walet sebelum memasuki gedung (Adiwibawa, 2000). Perilaku kawin Burung Walet dilakukan pada musim kawin tiba yaitu pada musim penghujan. Musim penghujan di Indonesia terjadi pada bulan NovemberApril (Nguyen, 2002). Pada musim kawin tersebut, Burung Walet dewasa baik jantan maupun betina saling mencari pasangannya masing-masing dengan cara kejar-kejaran di dalam gedung maupun di lokasi mencari pakan.
Setelah
menemukan pasangan yang dianggap paling cocok, selanjutnya sepasang Burung Walet mencari tempat yang dianggap paling aman untuk membuat sarang. Pembuatan sarang dikerjakan secara bersama-sama baik jantan maupun betina. Untuk menyelesaikan sebuah sarang, sepasang Burung Walet membutuhkan waktu sampai 40 hari.
Setelah proses pembuatan sarang selesai dan siap
digunakan untuk mengerami telur, kemudian sepasang Burung Walet tersebut melakukan proses perkawinan. Setelah 5-8 hari kemudian betina akan bertelur sebanyak 2 butir dan dilanjutkan dengan kegiatan pengeraman selama 13-15 hari. Pengeraman dilakukan oleh kedua induk secara bergantian hingga telur menetas. Setelah telur menetas, induk walet akan menyuapi anak-anaknya hingga usia 40 hari dan anak walet mampu terbang dan mencari makan sendiri (Wibowo, 1995)
11 2.2
Habitat Burung Walet
2.2.1 Habitat Makro Habitat makro adalah lingkungan walet di luar gedung tempat hidup dan berkembang biak. Menurut Nazarrudin dan Widodo (2008) habitat makro burung walet yaitu daerah yang mimiliki kawasan persawahan, perkebunan atau perladangan serta sumber air seperti danau dan permukaan laut sebagai penunjang kebutuhan pakan. Burung Walet hanya menempati daerah yang masih belum tersentuh oleh kehidupan modern seperti pedesaan yang masih murni, kawasan pertanian yang tidak menggunakan pestisida serta daerah yang jauh dari kawasan industri dan sumber polusi. 2.2.2 Habitat Mikro 1) Habitat Alami Sebelum adanya kegiatan budidaya Burung Walet di rumah atau gedung yang sengaja dibangun, Burung Walet menempati gua atau tebing yang lembab dan gelap sebagai tempat meletakkan sarangnya (Wibowo, 1995). Terdapat beberapa jenis gua yang dibedakan berdasarkan proses pembentukanannya yaitu gua kapur, gua pantai, gua lava, gua es dan gua retakan bumi, namun gua yang ditempati oleh Burung Walet hanyalah gua kapur dan gua pantai. Ciri yang membedakan gua kapur dan gua pantai dengan jenis gua lainnya yaitu iklim di dalam gua seperti temperatur, kelembaban, intensitas cahaya dan intensitas bunyi atau kebisingan. Di dalam gua kapur pada umumnya mengalir atau adanya rembesan air baik di dasar, di dinding maupun diatap gua sehingga menyebabkan kelembaban yang tinggi pada gua tersebut.
Begitu pula pada gua pantai yang memiliki
kelembaban tinggi akibat deburan ombak setiap saat. Tebalnya dinding gua
12 kapur dan gua pantai menimbulkan kestabilan temperatur di dalam gua tersebut. Intensitas cahaya pada gua kapur sangat minim akibat lubang-lubang pada gua kapur biasanya berukuran tidak cukup besar, sedangkan pada gua pantai intensitas cahaya lebih besar dan cenderung terang karena lubang-lubang gua lebih besar. Ketenangan pada gua kapur sangat stabil dan sepi, berbeda dengan gua pantai yang cukup berisik akibat deburan ombak setiap saat, namun deburan ombak tersebut bersifat monoton sehingga menimbulkan suara yang stabil dan tidak menimbulkan kejutan suara (Adiwibawa, 2000). 2) Habitat Buatan Sejarah awal mulanya pembangunan rumah walet di Indonesia yaitu pada sekitar tahun 1880. Pada saat itu masyarakat Jawa tidak sengaja menemukan Burung Walet bersarang di rumah kuno yang lama tidak di huni (Mardiastuti dk, 1999).
Rumah kuno yang dihuni Burung Walet tersebut umumnya kurang
terawat, ventilasi dan penerangan minimum, berdinding tebal dan berlangitlangit kayu. Kondisi seperti ini menciptakan suasana yang menyerupai kondisi gua, sehingga Burung Walet dapat bersarang di tempat tersebut. Keberadaan Burung Walet yang bersarang di rumah kuno menunjukkan bahwa Burung Walet dapat hidup dan bersarang di luar habitat aslinya. Sejak saat itu mulai ditemukan teknik budidaya Burung Walet pada habitat buatan yaitu pada rumah yang didesain secara khusus (Rustama, 1978). Menurut Mardiastuti dkk. (1998), rumah Burung Walet dapat berasal dari rumah tua (pernah di huni manusia) atau gedung yang sengaja dibangun untuk tujuan merumahkan walet. Rumah Burung Walet berbentuk seperti gedung besar dengan ukuran 10 x 15 m sampai 10 x 20 m dengan ketinggian 5-6 m
13 menyesuaikan anggaran pemilik usaha Burung Walet. Berikut merupakan salah satu contoh rumah walet yang sengaja dibangun (Gambar 3).
Ilustrasi 3. Gedung Walet
Rumah Burung Walet biasanya dilengkapi dengan peralatan tambahan untuk menciptakan susasana semirip mungkin dengan suasana gua. Iklim mikro diatur dengan menambahkan alat seperti kolam, air mancur dan spray. Untuk menarik perhatian Burung Walet biasanya ditambahkan kotoran Burung Walet di dalam gedung dan memasang twitter sehingga dapat menciptakan aroma dan suara yang diinginkan Burung Walet (Adiwibawa, 2000). Rumah walet memiliki pengaturan tata ruang yang sama dengan tata ruang gua, yaitu mencakup penyediaan halaman putar (roving area), ruang putar (roving room) dan ruang untuk bersarang (nesting room).
Halaman putar
(roving area) merupakan tempat walet berburu serangga sebelum memasuki
14 rumah walet. Area ini juga merupakan tempat bersosialisasi dengan sesamanya, termasuk kegiatan untuk mencari pasangan. Sebelum memasuki gedung Burung Walet biasanya berputar di halaman putar (roving area), selain itu Burung Walet juga memiliki kebiasaan terbang mengelilingi ruang putar (roving room) sebelum hinggap di tempat bersarang. Ruang putar (roving room) merupakan ruangan tepat setelah lubang masuk yang berukuran luas tanpa sekat, sehingga memberi keleluasaan terbang bagi walet (Mardiastuti dkk, 2998).
2.3
Pakan Burung Walet Pakan Burung Walet berupa serangga yang terbang di area jelajah Burung
Walet.
Akan tetapi tidak semua serangga yang berada disekitar area jelajah
Burung Walet dapat dimanfaatkan sebagai pakan Burung Walet. Burung Walet akan menyeleksi serangga yang paling sesuai dengan kriterianya. Serangga yang dapat menjadi pakan Burung Walet yaitu serangga yang memiliki tubuh dan berkulit lunak, karena dengan tekstur tubuh yang lunak dapat memudahkan Burung Walet dalam proses pencernaan. Besarnya ukuran serangga ditentukan oleh besarnya mulut Burung Walet yaitu berkisar antara 2 mm - 8mm. Burung Walet hanya memangsa serangga yang dapat terbang atau melompat ke udara karena Burung Walet memangsa serangga dengan cara menyambar sembari terbang tanpa berhenti sekejap (Adiwibawa, 2000) Jenis serangga yang ditangkap oleh Burung Walet bervariasi. Menurut Lack (1956) dalam Adiwibawa (2000) terdapat 10 ordo serangga yang terdeteksi dalam perut seekor Burung Walet diantaranya yaitu ordo Hymenoptera, Hemiptera, Ephemenoptera, Diptera, Isoptera, Odonata, Psocoptera, Thysanoptera, dan Coleopter.
Serangga yang berasal dari ordo Hymenoptera, Hemiptera,
15 Thysanoptera, dan Coleopter biasa ditemukan di daerah persawahan atau tumbuhan palawija, serangga yang berasal dari ordo Ephemenoptera dan Odonata merupakan serangga yang hidup di dekat sumber air atau lahan basah, dan serangga yang berasal dari ordo Diptera, Isoptera, dan Psocoptera biasa ditemukan di lahan perkebunan atau hutan yang ditumbuhi tanaman berkayu. Habitat serangga dirangkum pada Tabel 1.
Tabel 1. Habitat Serangga Habitat Serangga Pesawahan
Lahan Basah
Perkebunan dan Hutan
Hymenoptera,
Ephemenoptera
Diptera
Hemiptera,
Odonata
Isoptera
Thysanoptera,
Psocoptera
Coleopter
2.4
Produksi Burung Walet Selain sebagai tempat menetaskan telur-telurnya, sarang juga berfungsi
sebagai tempat beristirahat bagi Burung Walet, sehingga Burung Walet akan segera membuat sarang yang baru jika sarang yang lama rusak atau hilang di curi manusia (Marhiyanto, 1996). Satu buah sarang Burung Walet dapat diselesaikan dalam waktu 40 hari pada saat musim hujan dan sekitar 80 hari pada saat musim panas. Oleh karena itu satu pasang Burung Walet mampu menyelesaikan sekitar 6-10 sarang pertahun (Mardiastuti, 1998).
16 2.4.1 Produksi Sarang Burung Walet di Habitat Asli Sebelum adanya kegiatan budidaya Burung Walet di dalam gedung, Burung Walet menempati gua dan tebing sebagai tempat membuat sarang.
Produksi
sarang Burung Walet yang dipanen dari gua memiliki kualitas yang kurang baik (Marhiyanto, 1996). Menurut Adiwibawa (2000) sarang yang berasal dari gua memiliki kualitas yang rendah karena sarang yang dipanen memiliki serat-serat yang kasar, telapak sarang tidak rata, terkontaminasi kotoran binatang pengganggu atau kotoran dari rontokan dinding gua dan memiliki bentuk yang tidak utuh.
2.4.2 Produksi Sarang Burung Walet di Habitat Buatan Produksi sarang Burung Walet yang dibudidayakan di gedung atau habitat buatan bergantung pada kebijakan pengelola gedung walet tersebut. Alaminya Burung Walet mampu memproduksi sarang hingga mencapai usia 5 tahun. Dengan asumsi panen 4 kali pertahun, maka sepasang Burung Walet diperkirakan berproduksi 20 sarang seumur hidupnya (Nazaruddin dan Widodo, 2008). Sarang Burung Walet yang dihasilkan dari gedung umumnya memiliki kualitas yang lebih baik daripada sarang yang dihasilkan dari gua (Adiwibawa, 2000). Sarang yang dihasilkan dari gedung Walet umumnya memiliki bentuk yang sempurna, ukuran dan warna sarang yang seragam, bersih dari kotoran binatang pengganggu dan memiliki kadar air yang cukup (Nazaruddin dan Widodo, 2008).