KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAPASAN TRENGGILING (Manis javanica) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKHEA DAN PARU-PARU
ASEP YAYAN RUHYANA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
ABSTRAK Asep Yayan Ruhyana (B04103120). 2007. Kajian Morfologi Saluran Pernapasan Trenggiling (Manis javanica) Dengan Tinjauan Khusus Pada Trakhea Dan Paru-paru. Skripsi. Penelitian. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Di bawah bimbingan Chairun Nisa’ sebagai pembimbing pertama dan Srihadi Agungpriyono sebagai pembimbing kedua. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran morfologi saluran pernapasan trenggiling (Manis javanica) khususnya pada trakhea dan paru-paru secara makroskopis maupun mikroskopis. Untuk mengetahui struktur umum digunakan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE), sedangkan untuk mengetahui distribusi sel goblet dan kandungan karbohidrat netral dan karbohidrat asam yang dihasilkannya digunakan pewarnaan Acian Blue (AB) pH 2,5 dan Periodic Acid Schiff (PAS). Trakhea M. javanica bercabang menjadi bronkhi principalis kiri dan kanan. Trakhea memiliki panjang rata-rata 4,1 cm yang terdiri atas cincin tulang rawan hialin terbuka berjumlah 24 buah dan diameter rata-rata 0,53 cm. Paru-paru bagian kiri oleh fissura interlobaris terbagi menjadi tiga lobi, yaitu lobus apicalis, lobus cardiaca dan lobus diaphragmatica. Sedangkan bagian kanan terbagi menjadi empat lobi yaitu lobus apicalis, lobus cardiaca, lobus accessorius dan lobus diaphragmatica. Pada lobus apicalis kanan terbagi lagi menjadi lobus apicalis cranialis dan caudalis, serta lobus accessorius kanan juga terbagi menjadi lobus accessorius cranialis dan caudalis. Dengan pewarnaan PAS, sel goblet ditemukan sampai bronkhioli terminalis dengan jumlah sel yang semakin berkurang. Sedangkan dengan pewarnaan AB pH 2,5, kandungan karbohidrat asam pada mukus hanya terdapat pada trakhea. Hal menarik yang ditemukan pada parenkhim paru-paru yaitu alveoli pada M. javanica berukuran kecil dan rapat, sehingga memiliki luas permukaan respirasi yang besar. Selain itu banyak ditemukan cabang-cabang pembuluh darah di sekitar alveoli. Dengan luas permukaan respirasi yang besar serta jumlah percabangan pembuluh darah yang banyak diduga bahwa paru-paru M. javanica mampu mengikat oksigen lebih banyak.
KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAPASAN TRENGGILING (Manis javanica) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKHEA DAN PARU-PARU
ASEP YAYAN RUHYANA
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Hewan Pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Penelitian
: Kajian Morfologi Saluran Pernafasan Trenggiling (Manis javanica) dengan Tinjauan Khusus pada Trakea dan Paru-paru
Nama Mahasiswa
: Asep Yayan Ruhyana
Nomor Pokok
: B04103120
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr.drh. Chairun Nisa’, MSi
Dr.drh. Srihadi Agungpriyono
NIP : 131 841 722
NIP : 131 664 403
Mengetahui, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Dr,drh. I Wayan Teguh Wibawan, MSi NIP : 131 129 090
Katakanlah : “…kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (Q.S. AL-Kahfi : 109)
Karya kecil ini ku persembahkan untuk tersayang : Ayah, Ibu, Rina, Ineu dan Sabrina
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Drh. Chairun Nisa’, MSi. selaku pembimbing pertama yang telah memberikan bimbingan, dorongan, nasehat serta segala kemudahan yang diperoleh penulis mulai dari penelitian sampai penulisan skripsi ini, dan kepada Dr. Drh. Srihadi Agungpriyono selaku pembimbing kedua, atas segala bimbingan dan sarannya selama penulisan skripsi ini, serta Prof. Dr. Drh. Koeswinarning Sigit, MS. sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran, kritik dan penilaian terhadap skripsi ini. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada seluruh staf dan pegawai Bagian Anatomi, Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, atas segala bantuan yang telah diberikan, karena tanpa bantuan itu semua penelitian ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga kepada teman-teman sepenelitian, angkatan Gymnolaemata, atas segala bantuan dan semangat yang telah diberikan kepada penulis. Akhirnya ucapan terima kasih dan penghargaan yang tiada terhingga ditujukan kepada Ayah, Ibu, Ineu, Rina dan Sabrina yang telah dengan tulus berdoa, memberikan dukungan moral dan material selama menyelesaikan pendidikan ini. Hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri atas segala nikmat yang telah diberikan. Penulis yakin skripsi ini tiada luput dari segala keterbatasan, oleh karena itu penulis sangat berterima kasih dan menghargai saran-saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.
Bogor, September 2007 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis adalah putera pertama dari tiga bersaudara, di lahirkan di Bandung pada tanggal 19 Desember 1985 dari pasangan bapak A. Suhrian dan ibu Eulis Komanah. Penulis mulai masuk sekolah pada tahun 1991 di Sekolah Dasar Negeri Coblong dan lulus pada tahun 1997. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Pangalengan dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2003, penulis tamat belajar di Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Pangalengan. Melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2003, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI..........................................................................................
vii
DAFTAR TABEL………………………………………...…………...
viii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………...…..
ix
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………….
x
I.
PENDAHULUAN.......................................................................
1
I. 1. Latar Belakang......................................................................
1
I. 2. Tujuan Penelitian..................................................................
2
I. 3. Manfaat Penelitian................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA..............................................................
3
II.
II.
1.
3
Pernapasan
4
II. 2. a. Rongga hidung, Faring dan Laring........................
4
II. 2. b. Trakhea..................................................................
5
II. 2. c. Paru-paru (pulmonum)...........................................
6
Trenggiling.......................................................................... II.
2.
Sitem
Mamalia.................................................
II. 3. Mekanisme dan Otot-otot yang Terlibat dalam Proses Pernapasan
10
Mamalia........................................................ III.
MATERI
DAN
13
III. 1. Bahan dan Alat Penelitian..................................................
13
III. 2. Metode Penelitian...............................................................
13
III. 2. a. Pengamatan Makroskopis.....................................
13
III. 2. b. Pengamatan Mikroskopis.....................................
14
IV.
HASIL PENELITIAN................................................................
15
V.
PEMBAHASAN..........................................................................
24
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN...................................................
28
VII. DAFTAR PUSTAKA.................................................................
30
VIII. LAMPIRAN................................................................................
33
METODE..........................................................
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman Judul
1.
Data ukuran panjang, diameter dan jumlah cincin trakhea M. javanica................................................................................
2.
Data ukuran panjang, lebar dan tebal paru-paru kanan M. javanica................................................................................
3.
15
18
Data ukuran panjang, lebar dan tebal pada paru-paru kiri M. javanica................................................................................
18
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman Judul
1.
Bentuk
dan
struktur
alveoli
9
kucing......................................... 2.
Trakhea dan paru-paru M. javanica setelah difiksasi dalam larutan Bouin...........................................................................
15
3.
Struktur umum trakhea M. javanica........................................
16
4.
Morfologi paru-paru M. javanica............................................
17
5.
Bentuk dan penyebaran tulang rawan pada bronkhi M. javanica..............................................................................
19
6.
Struktur umum bronkhi M. javanica.......................................
19
7.
Struktur umum bronkhioli M. javanica...................................
20
8.
Struktur umum bronkhioli terminalis dan percabangannya pada M. javanica.....................................................................
9.
Distribusi sel-sel goblet pada saluran pernapasan khususnya trakhea dan paru-paru M. javanica..........................................
10.
21
21
Hasil pewarnaan AB pH 2,5 pada substansi mukus trakhea M. javanica..............................................................................
22
11.
Bentuk dan struktur alveoli M. javanica.................................
22
12.
Dinding alveoli M. javanica....................................................
23
13.
Gambaran skematis morfologi berbagai cincin trakhea..........
25
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman Judul
1.
Prosedur pewarnaan Hemtoksilin-Eosin (HE)..........................
34
2.
Prosedur pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS).....................
35
3.
Prosedur pewarnaan Alcian Blue (AB)………………………
36
I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang kaya akan sumber daya alam yang berupa aneka ragam flora dan fauna. Kekayaan tersebut harus dilindungi dan dilestarikan agar tidak terjadi kepunahan. Salah satu dari kekayaan fauna yang dimiliki indonesia adalah trenggiling (Manis javanica). Satwa ini termasuk hewan langka yang dilindungi, dan menurut konvensi internasional yang mengatur perdagangan spesies satwa dan tumbuhan yang terancam punah (CITES), masuk dalam Apendix II yang artinya dilarang diperdagangkan. Populasi hewan ini diduga terus berkurang. Beberapa faktor yang menjadi penyebab menurunnya populasi hewan ini terutama adalah perburuan liar dan kerusakan habitat. Maraknya perburuan liar trenggiling terutama disebabkan karena sisik dan daging hewan ini dipercaya memiliki khasiat obat, khususnya oleh komunitas masyarakat Cina. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk menjaga kelestarian satwa ini perlu terus dilakukan. Trenggiling hidup di hutan tropis dataran rendah dan merupakan spesies yang unik diantara mamalia, karena sisik yang menutupi seluruh bagian atas tubuhnya yang membuatnya lebih mirip reptilia, memiliki ekor yang dapat dipergunakan untuk berpegangan serta tidak mempunyai gigi. Trenggiling memiliki cakar yang panjang pada setiap jarinya dan lidah yang menjulur hampir sama panjang dengan tubuhnya yang memungkinkan satwa ini mengambil semut dan rayap langsung dari sarangnya. Panjang tubuh trenggiling bisa mencapai 65 cm, berat tubuhnya bisa mencapai 10 kg dan penjuluran lidahnya bisa mencapai 56 cm (Attenborough, 2007). Trenggiling selalu menggulung tubuhnya pada saat merasa terancam dan pada umumnya menggali atau membuat lubang di tanah atau di pohon untuk membuat sarang tempat tinggalnya. Karena berbagai kebiasaannya yang unik, trenggiling diduga me miliki system pernapasan yang menarik untuk diteliti, terutama selama menggulung maupun menggali dan tinggal di lubang yang cukup dalam di tanah. Oleh karena itu, struktur morfologi saluran pernapasan trenggiling dijadikan sebagai bahan kajian dalam penelitian ini, untuk menduga fungsi dan mekanisme pernapasannya.
I. 2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran morfologi saluran pernapasan khususnya pada trakhea dan paru-paru trenggiling secara makroskopis maupun mikroskopis.
I. 3. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dasar mengenai morfologi saluran pernapasan trenggiling (M. javanica) sebagai salah satu satwa langka yang dimiliki Indonesia yang akan berguna bagi penelitian-penelitian lebih lanjut, serta memperkaya data biologi satwa liar Indonesia khususnya trenggiling (M. javanica).
II. TINJAUAN PUSTAKA II. 1.Trenggiling Di Indonesia, trenggiling merupakan salah satu hewan mamalia yang dilindungi. Trenggiling tersebar di perbatasan Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan beberapa pulau kecil seperti kepulauan Riau, Pulau Lingga, Bangka, Belitung, Nias, Pagai, Pulau Natuna, Karimata, Bali dan Lombok (Corbet dan Hill, 1992). Nama trenggiling berasal dari kata "gulling" yang berarti suatu aktivitas menggulungkan tubuh (Lekagul dan McNeely, 1977; Rahm, 1990). Tubuh trenggiling ditutupi sisik tanduk. Oleh karena itu, trenggiling terlihat lebih seperti reptil dari pada mamalia (Stone, 1990; Nowak, 1997). Trenggiling temasuk ke dalam ordo Pholidota (hewan bersisik) yang hanya memiliki satu famili yaitu Manidae dan satu genus Manis (Lekagul dan McNeely, 1977; Voughan, 1978; Corbet dan Hill, 1992; Rahm, 1990; Nowak, 1997). Sebelumnya trenggiling ini diklasifikasikan ke dalam ordo Edentata yang didasarkan dari gabungan morfologi dan kurangnya gigi. Bagaimanapun, persamaan antara trenggiling dan edentata adalah hasil dari kesamaan adaptasi dari kebiasaan makan dan tidak menunjukan adanya hubungan kekerabatan (Lekagul dan McNeely, 1977; Rahm, 1990; Stone, 1990; Stevens dan Hume, 1995; Nowak, 1997). Sejauh ini diketahui terdapat tujuh spesies trenggiling yaitu tiga spesies hidup di hutan-hutan tropis Asia (Manis crassicaudata, M. pentadactyla dan M. javanica) dan empat spesies hidup di hutan-hutan tropis Afrika (M. tricupis, M. tetradactyla, M. gigantea dan M. temmincki) (Rahm, 1990). Meskipun menurut Gaubert dan Antunes (2005), terdapat satu spesies lagi yang terdapat di Palawan, Filipina dan dinamakan M. culionensis. Sebelumnya spesies ini dianggap sebagai spesies M. javanica, tetapi dari ciri-ciri morfologi maupun DNAnya memiliki banyak perbedaan dengan M. javanica. Kebanyakan trenggiling adalah nokturnal dan terestrial kecuali M. tetradactyla yaitu diurnal dan arboreal. Trenggiling memakan semut dan rayap tertentu dengan menggali sarang yang ada dibawah atau permukaan tanah maupun di atas pohon dengan menggunakan cakar dari kaki depan (Rahm, 1990).
II. 2. Sitem Pernapasan Mamalia Organ pernapasan merupakan organ yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan oksigen di dalam tubuh. Organ pernapasan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian penyalur udara dan bagian yang berperan sebagai tempat pertukaran gas. Bagian penyalur udara terdiri dari hidung, faring, laring, trakhea, bronkhi dan bronkhioli. Sedangkan bagian pertukaran gas terdiri dari bronkhiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveoli (Hare, 1975; Plopper dan Adams, 1993; Junqueira et al., 1997). Struktur saluran udara ini berperan dalam mengatur jalannya udara, dengan cara menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk serta menyingkirkan benda-benda asing yang masuk (Plopper dan Adams, 1993; Bergman et al., 1996).
II. 2. a. Rongga hidung, Faring dan Laring Rongga hidung (cavum nasi) adalah bagian terdepan dari saluran pernapasan. Rongga hidung bersifat bilateral simetri dengan septum di tengahnya. Strukturnya cukup kompleks karena dapat membentuk sinus paranasales serta konkha (conchae) dengan susunan berbeda tergantung pada jenis hewannya. Kerangka rongga hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh selaput lendir, dengan demikian mekanisme pernapasan dapat berjalan lancar tanpa adanya gangguan kolaps dari dindingnya (Hare, 1975; Frandson, 1992). Faring merupakan kantong yang bersifat musculo-membraneus
yang
selain menjadi bagian dari traktus digestorius, juga menjadi bagian dari traktus respiratorius. Faring dari segi fungsi serta morfologi dibagi menjadi nasofaring (pars respiratoria) dan orofaring (pars digestoria). Kecuali palatum molle dan dinding dorsal, di mana selaput lendir langsung melekat pada tulang tengkorak, dinding faring terdiri dari mukosa, fasia faringea interna, otot kerangka, fasia faringea eksterna dan adventisia. Nasofaring yang dilalui udara pernapasan terletak di ventral, sedangkan orofaring yang dilalui bolus makanan terletak di dorsal. Karena faring merupakan satu saluran bersama, maka mekanisme bernapas dan menelan berlangsung secara berganti-ganti (Frandson, 1992). Dinding laring atau kepala kerongkongan terdiri dari mukosa, submukosa, tulang rawan sebagai kerangka, ligamen dan jaringan fibrosa, serta otot. Sebagian
besar selaput lendir laring adalah selaput lendir berkelenjar dengan epitel silindris banyak baris bersilia, kecuali daeah vestibulum pada tepi plika vokalis, permukaan epiglotis dan plika ariepiglotis dilapisi epitel pipih banyak lapis. Putik pengecap sering terdapat pada epitelium mukosa epiglotis pada laring ruminansia, babi dan karnivora (Frandson, 1992).
II. 2. b.Trakhea Trakhea adalah suatu saluran yang fleksibel yang terdiri dari suatu tabung yang tidak dapat mengempis, tersusun atas tulang-tulang rawan dan diselaputi oleh selaput lendir (Hare, 1975; Frandson, 1992). Trakhea dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu pars cervicalis dan pars thoracalis. Trakhea pars cervicalis adalah bagian dari trakhea yang terletak di sepanjang leher. Pada pangkal leher, esofagus terletak di dorsal trakhea, kemudian pada pertengahan sampai ujung leher, esofagus terletak di sebelah kiri trakhea. Trakhea pars thoracalis adalah trakea yang terletak di dalam rongga dada. Pada daerah ini, esofagus kembali terletak di dorsal trakhea dan trakhea bercabang membentuk bronkhi prinsipalis kiri dan kanan. Tempat percabangan itu disebut bifurkasio trakhea. Pada pemamah biak dan babi terdapat pula bronkhus trakhealis (eparterialis), untuk lobus apikalis kanan (Hare, 1975). Gambaran histologi dinding trakhea tersusun atas empat lapisan utama yaitu lapis mukosa, submukosa, musculo-cartilogenous dan adventisia (Hare, 1975; Carola et al., 1976; Plopper dan Adams, 1993; Ross et al., 1995; Bergman et al., 1996; Junqueira et al., 1997). Mukosa dari trakheobronkhi terdiri dari epitel silindris banyak baris bersilia, dengan sel goblet diantaranya dan dibawahnya terdapat lamina propria yang relatif tipis (Hare, 1975; Carola et al., 1976; Plopper dan Adams, 1993; Ross et al., 1995; Bergman et al., 1996; Junqueira et al., 1997). Sel goblet merupakan tipe sel sekretori utama pada mamalia domestik (Plopper dan Adams, 1993). Lapis submukosa kaya akan kelenjar mukus dengan jaringan ikat elastik yang padat (Hare, 1975; Carola et al., 1976; Plopper dan Adams, 1993; Ross et al., 1995; Bergman et al., 1996; Junqueira et al., 1997). Kelenjar dan sel goblet ini berfungsi menghaslkan mukus yang berperan dalam melembabkan dan
membersihkan udara dengan mengikat partikel-partikel asing yang kemudian didorong menuju faring dengan aktivitas silia (Hare, 1975; Spence dan Mason, 1987). Selanjutnya mukus bersama partikel-partikel asing dikeluarkan melalui suatu gerak refleks yang disebut refleks batuk (Guyton, 1994). Lapisan musculo-cartilogenous tersusun atas tulang rawan dan muskulus trakhealis (Hare, 1975; Carola et al., 1976; Ploper dan Adams, 1993; Ross et al., 1995; Bergman et al., 1996; Junqueira et al., 1997). Tulang rawan hialin merupakan komponen utama trakhea. Pada sebagian besar mamalia, tulang rawan berbentuk cincin utuh
atau tersusun dalam spiral (Montagna, 1963). Bentuk
cincin tulang rawan yang utuh ditemukan juga pada unggas (Plopper dan Adams, 1993). Susunan tulang rawan ini adalah untuk menunjang fungsi trakhea agar tidak kolaps pada saat paru-paru mengembang dan menjamin hubungan langsung udara ke paru-paru (Breazile, 1971; Spence dan Mason, 1987; Guyton, 1994; Junqueira et al., 1997). Sedang untuk mengakomodasi peningkatan jumlah udara ke paru-paru pada saat diperlukan, maka selain memiliki struktur tulang rawan berbentuk cincin terbuka, juga memiliki selaput mukosa yang membentuk lipatanlipatan longitudinal dan jaringan ikat elastik pada submukosa (Hare, 1975). Muskulus trakhealis merupakan sekelompok otot polos dengan arah serabut memanjang secara transversal diantara ujung bebas tulang rawan bagian dorsal. Pada sebagian besar mamalia, otot polos ini menempel pada jaringan ikat perikhondrium di bagian dalam cincin (Hare, 1975; Plopper dan Adams, 1993). Lapis adventisia merupakan jaringan ikat yang menyatu dengan lapis musculocartilogenous dan jaringan ikat yang mengelilingi bagian luar trakhea (Hare, 1975).
II. 2. c. Paru-paru (pulmonum) Paru-paru merupakan organ yang ringan, lunak, berongga, dan elastik. Paru-paru yang sehat selalu me ngandung udara, terapung dalam air dan mengalami krepitasi bila diremas (Hare, 1975; O'Rahilly dan Gardner, 1995). Pada umumnya mamalia kecuali kuda, paru-paru terbagi secara sempurna menjadi lobus-lobus oleh fissura interlobaris (Hare, 1975; Hildebrand, 1998; Frandson, 1992). Pada sapi, domba dan babi paru-paru sebelah kanan terbagi
menjadi empat lobus, yaitu lobus apicalis (cranialis), lobus medialis (cardiaca), lobus acessorius (intermedius) dan lobus diphragmatica (caudalis) (Hare, 1975; Frandson, 1992). Sementara paru-paru kiri terbagi menjadi tiga lobus, dengan tidak adanya lobus acessorius (intermedius) (Frandson, 1992). Sedang me nurut Hare (1995), lobulasi paru-paru kiri pada semua hewan domestik hanya memiliki dua lobus yaitu lobus apicalis (cranialis) dan lobus diaphragmatica (caudalis). Hal ini disebabkan karena pembagian lobus apicalis pada paru-paru kiri hanya secara eksternal terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kranial dan kaudal, akan tetapi cabang bronkhus yang memasuki kedua lobus ini hanya satu yang berasal dari bronkhus primer. Pada karnivora dan ruminansia, pembagian lobus oleh fissura interlobaris sangat jelas (Hare, 1975). Lobulasi yang jelas ini diduga memungkinkan bagi paru-paru untuk mengembang secara efektif selama inspirasi, mengikuti pembesaran rongga dada akibat gerakan kostae ke latero-kranial dan kontraksi otot diafragma. Variasi lobulasi paru-paru dan kedalaman fissura interlobaris diduga dipengaruhi oleh perkembangan paru-paru pada saat embrional dan oleh faktor-faktor lain seperti bentuk rongga dada (Bressou, 1946; Rouviere dan Cordier, 1946; Serova, 1950 dalam Hare, 1975), laju pertumbuhan hewan (Bressou, 1946 dalam Hare, 1975), ukuran dan bentuk organ serta unsur lain yang terdapat pada rongga dada (Hare, 1975). Seluruh permukaan organ paru-paru, jantung dan dinding dalam rongga dada dilapisi oleh selaput pleura yang merupakan selaput serosa yang licin, terang tembus dan basah oleh cairan serous yang dihasilkannya. Cairan ini berfungsi sebagai pelumas untuk mengurang gesekan antara paru-paru dengan dinding rongga dada dan organ-organ lain didalamnya terutama jantung (Frandson, 1992). Secara mikroskopis paru-paru dapat dibagi menjadi saluran udara intrapulmonum, parenkhim dan pleura. Saluran udara intrapulmonum (bronkhi dan bronkhioli) menyusun ±6% bagian dari paru-paru. Parenkhim atau daerah pertukaran gas menyusun ±85% paru-paru. Sedang sisanya ±9-10% disusun oleh pleura, jaringan syaraf dan pembuluh darah intrapulmonum (Plopper dan Adams, 1993).
1). Saluran udara intrapulmonum (bronkhi dan bronkhioli) Secara umum gambaran histologis bronkhi mirip dengan trakhea. Akan tetapi pada bronkhi gambaran susunan dan bentuk sel-sel epitel, kelenjar, tulang rawan dan otot polos mengalami perubahan mulai dari bagian proksimal sampai ke bagian distal. Epitel silindris banyak baris bersilia yang terdiri dari sel sekretori, sel bersilia dan sel basal semakin rendah pada bagian distal. Kelenjarkelenjar submukosa di daerah proksimal bronkhi lebih sedikit dan berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan trakhea. Pada bronkhi, tulang rawan tidak lagi utuh tetapi berbentuk lempengan-lempengan dengan otot polos tersebar diantaranya. Pada cabang bronkhi bagian distal, otot-otot bronkial berbentuk cincin yang melingkari lumen (Carola et al., 1976; Plopper dan Adams, 1993; Ross et al., 1995; Bergman et al., 1996; Junqueira et al., 1997). Bronkhus primer sebagian besar bersifat ekstrapulmonar. Gambaran histologinya mirip trakhea, hanya ukurannya yang lebih kecil dan bentuk tulang rawannya seperti tapal kuda. Muskulus trakhealis nantinya secara bertahap akan meluas dan menjadi laminae muskularis mukosa (Dellmann, 1971). Pada awal bronkhus sekunder, mukosa mulai menunjukan lipatan memanjang dan epitelium masih bersifat silindris banyak baris bersilia, hanya saja semakin mendekati akhir bronkhus sekunder epitelium berubah menjadi silindris sebaris bersilia dan lipatan mukosa semakin tinggi. Jumlah sel goblet ikut berkurang secara bertahap. Otot polos semakin lengkap membentuk cincin melingkari lumen bronkhus. Tulang rawan penunjang pada awal bronkhus sekunder mulai pecah-pecah, dan pada akhirnya tinggal pulau-pulau tulang rawan kecil-kecil. Sedangkan pada bronkhus tersier, tulang rawan penunjang tinggal sisa-sisa pulau kecil yang terserak dalam pulau jaringan ikat mengitari lumen (Dellmann, 1971). Dinding bronkhioli terdiri atas lapis mukosa, lapis muskularis dan sedikit jaringan ikat tanpa adanya kelenjar dan tulang rawan. Sel epitel berbentuk silindris yang tersusun atas sel bersilia dan sel Clara (Plopper dan Adams, 1993; Bergman et al., 1996). Saluran udara yang paling distal dan langsung berhubungan dengan alveoli disebut sebagai bronkhioli terminalis (Plopper dan Adams, 1993). Baik pada manusia maupun hewan, lapisan epitel bronkhioli
tersusun atas sel Clara atau sel epitel bronkhiolar yang tidak bersilia dan berfungsi sebagai sel sekretori (Plopper dan Adams, 1993; Bergman et al., 1996). Bronkhioli terminalis kemudian bercabang membentuk bronkhioli respiratorius, dan mulai di percabangan inilah pertukaran gas terjadi (Plopper dan Adams, 1993).
2). Parenkhim Parenkhim paru-paru merupakan daerah tempat terjadinya pertukaran gas, yang terdiri atas bronkhioli respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris dan alveoli (Plopper dan Adams, 1993). Dinding bronkhioli respiratorius mempunyai lubang-lubang yang langsung berhubungan dengan duktus alveolaris dan berakhir di alveoli. Dua atau lebih alveoli bergabung membentuk sakus alveolaris (Plopper dan Adams, 1993; Bergman et al., 1996). Alveoli pada beberapa mamalia kecil bentuknya lebih kecil dan rapat, sehingga memperbesar luas permukaan respirasi (Walker, 1987).
bb a c
Gambar 1. Bentuk dan struktur alveoli kucing. a. alveolus; b. pembuluh darah; c. bronkhiolus; kerapatan dan bentuk alveolus (tanda panah). (sumber: Wagner dan Hossler, 2006) Unit dasar untuk pertukaran di dalam parenkhim paru-paru adalah alveolus. Dinding alveoli terdiri dari sel tipe I, sel tipe II dan makrofag (Carola et al., 1976; Wheater, 1982; Plopper dan Adams, 1993; Ross et al., 1995; Bergman et al., 1996). Sel tipe I merupakan sel pipih dengan inti terletak ditengah dan
memiliki bentuk seperti telur mata sapi. Sel tipe I merupakan blood air barrier yang berfungsi untuk mencegah cairan jaringan masuk ke dalam alveolus (Junqueira et al., 1997). Sel tipe II merupakan sel yang berbentuk kubus dengan inti di tengah (Plopper dan Adams, 1993; Ross et al., 1995). Sel ini merupakan sel sekretori yang diduga menghasilkan fosfolipid bersifat seperti detergen yang disebut surfaktan. Sekresi ini membantu alveoli agar tidak kolaps selama ekspirasi dengan cara mengurangi tegangan permukaannya (Carola et al., 1976; Wheater et al., 1995; Bergman et al., 1996). Menurut Plopper dan Adams (1993), pada sebagian besar dinding alveoli hewan yang pernah diteliti, sel tipe I menutupi hampir 97% dari permukaan (septum) dan sisanya oleh sel tipe II. Sedang pada manusia sekitar 95% permukaan septum di tutupi oleh sel tipe I dan sisanya oleh sel tipe II (Ross et al., 1995). Sel lainnya yang ditemukan pada septum interalveolar adalah sel makrofag. Sel ini kadang-kadang ditemukan bebas di dalam alveoli. Fungsi dari sel ini adalah memfagosit mikroorganisme dan partikel-partikel asing yang telah menembus alveolus (Carola et al., 1976; Plopper dan Adams, 1993; Ross et al., 1995; Bergman et al., 1996). Menurut Plopper dan Adams (1993), sel ini melapisi parenkhim paru-paru sekitar 2-9%.
II. 3. Mekanisme dan Otot-otot yang Terlibat dalam Proses Pernapasan Mamalia Inspirasi adalah proses dihisapnya udara masuk ke dalam alat pernapasan. Inspirasi merupakan proses aktif, yang berarti menggunakan energi dan melibatkan otot-otot inspirasi yang berkontraksi untuk memperbesar volume ruang dada (Colville dan Bassert, 2002; Cunningham, 2002). Tekanan intrapleura di bagian basis paru pada awal inspirasi akan turun dari nilai normal sekitar -2,5 mm Hg (relatif terhadap tekanan atmosfer) menjadi -6 mm Hg, sehingga jaringan paru semakin teregang. Tekanan di dalam saluran udara menjadi sedikit lebih negatif, dan udara mengalir ke dalam paru. Pada akhir inspirasi, daya elastisitas paru mulai menarik dinding dada kembali ke kedudukan ekspirasi, sampai
tercapai keseimbangan kembali antara daya elastisitas jaringan paru dan dinding dada. Tekanan di dalam saluran udara menjadi sedikit lebih positif, dan udara mengalir meninggalkan paru. Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan proses pasif yang tidak memerlukan kontraksi otot untuk menurunkan volume intratorakal. Tetapi pada kuda, ekspirasi merupakan proses aktif. Kebiasaan beraktivitas yang tinggi, menyebabkan adanya perbedaan dalam pengaturan pernapasan pada kuda (Cunningham, 2002). Ekspirasi terjadi karena tingginya tekanan udara yang disebabkan karena kontraksi rongga toraks dan daya elastisitas paru. Pada inspirasi kuat, tekanan intra pleura menurun dan menimbulkan pengembangan jaringan paru yang lebih besar. Apabila ventilasi meningkat, derajat pengempisan jaringan paru juga ditingkatkan melalui kontraksi aktif otot-otot ekspirasi yang menurunkan volume intratorakal (Ganong, 2001; Cunningham, 2002). Gerakan diafragma menyebabkan perubahan volume intratorakal sebesar 75% selama inspirasi tenang. Otot diafragma melekat di sekeliling bagian kaudal rongga toraks, membentuk kubah ke arah ruang dada. Pada saat inspirasi, otot diafragma berkontraksi sehingga menyebabkan pembesaran ruang toraks. Otot inspirasi penting lainnya adalah muskulus interkostalis eksternus, yang berorigo pada margo kaudalis os costae dan berinsersio pada margo kranial os costae yang selanjutnya secara miring ke arah kaudoventral (Cunningham, 2002). Tulangtulang rusuk (ossa costae) bersendi pada tulang vertebrae torakalis, sehingga ketika otot interkostalis eksternus berkontraksi, tulang-tulang rusuk akan terangkat ke atas dan ke depan. Gerakan ini akan memperbesar volume rongga dada. Terangkatnya tulang-tulang rusuk juga dibantu oleh otot-otot bahu, leher, dan dada yang bertaut ke tulang rusuk tersebut (Colville dan Bassert, 2002). Muskulus abdominal dan muskulus interkostalis internus adalah otot-otot ekspirasi. Kontraksi dari otot-otot abdominal akan meningkatkan tekanan abdominal yang menyebabkan relaksasi dari diafragma dan mengurangi ukuran dari toraks (Cunningham, 2002). Apabila otot ekspirasi berkontraksi, volume intratoraks menurun dan terjadi ekspirasi paksa. Kemampuan ini dimiliki oleh otot-otot interkostalis internus karena otot-otot ini berjalan miring ke arah kranioventral dari os costae bagian belakang ke os costae yang di depannya,
sehingga pada waktu berkontraksi akan menarik rongga dada ke kaudal. Kontraksi otot dinding abdomen anterior juga ikut membantu proses ekspirasi dengan cara menarik tulang-tulang rusuk ke kaudal dan ke dalam serta dengan meningkatkan tekanan intra-abdominal yang akan mendorong organ-organ abdomen ke anterior sehingga diafragma kembali ke posisi semula (Ganong, 2001; Colville dan Bassert, 2002).
III. MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Riset Anatomi, Bagian Anatomi, Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
III. 1. Bahan dan Alat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sampel organ yang berasal dari empat ekor trenggiling (M. javanica) yang telah digunakan dalam penelitian disertasi Nisa’ (2005) yang telah difiksasi di dalam larutan bouin dan disimpan dalam alkohol 70%. Bahan kimia yang digunakan dalam penilitian ini adalah alkohol 70%, 80%, 90%, 95%,100%, xylol, parafin p.a (56-580C), zat-zat warna hematoksilineosin (HE), alcian blue (AB) pH 2,5, periodic acid Schiff (PAS) dan larutan resin (Entelan®, Merck). Peralatan
yang
digunakan
ialah
peralatan
bedah,
perlengkapan
labolatorium histologi, mikroskop dan peralatan fotografi.
III. 2. Metode Penelitian III. 2. a. Pengamatan Makroskopis Organ paru-paru trenggiling yang sudah disimpan dalam alkohol 70% diamati bentuk dan dilakukan pengukuran panjang, lebar dan ketebalan tiap-tiap lobus dari paru-paru kanan dan kiri. Pada organ trakhea, diukur panjang keseluruhan serta dihitung jumlah cincin tulang rawan dan diukur diameternya. Panjang paru-paru diukur berdasarkan sumbu memanjang dari keseluruhan lobus paru-paru. Lebar paru-paru diukur pada bagian yang paling lebar dari masingmasing lobus paru-paru. Tebal paru-paru adalah bagian yang paling tebal dari keseluruhan lobus paru-paru. Setelah pengukuran selesai, maka dilakukan pemotretan secara keseluruhan dari organ paru-paru tersebut.
III. 2. b. Pengamatan Mikroskopis Untuk melakukan pengamatan mikroskopis potongan organ diproses secara standar histologi sampai menjadi blok jaringan. Organ paru-paru dari masing-masing lobus dipotong sebesar kira-kira 1x0,5 cm, begitu juga organ trakhea. Potongan organ didehidrasi untuk menarik air dari jaringan menggunakan larutan alkohol konsentrasi bertingkat 70% (24 jam), 80% (24 jam), 90% (12 jam), 95% (12 jam), absolut I (6 jam), absolut II (6 jam), absolut III (6 jam). Kemudian dilakukan penjernihan (clearing) dengan menggunakan xylol. Pengulangan sebanyak 3x (xylol I, II, dan III) masing-masing selama 30 menit sampai 2 jam diharapkan akan menyempurnakan proses penjernihan dan mengisi bagian-bagian jaringan atau sel. Setelah itu dilakukan proses infiltrasi dengan parafin cair I, II dan III di dalam inkubator parafin yang dimaksudkan untuk penyempurnaan proses infiltrasi. Setelah infiltrasi sempurna, selanjutnya dilakukan penanaman (embedding) jaringan untuk dijadikan blok parafin. Blok parafin dilekatkan pada potongan kayu dan disayat dengan mikrotom rotary dengan ketebalan 5 µm. Pemotongan awal (trimming) dilakukan sampai sayatan mencapai jaringan secara utuh. Hasil sayatan kemudian dilekatkan pada gelas obyek bersih yang sudah dipersiapkan dan direndam dalam alkohol 70%. Hasil sayatan diberi label, diletakkan dalam slide plate dan diinkubasi di dalam inkubator 37-400C selama satu malam, dan selanjutnya dilakukan pewarnaan HE untuk mengamati struktur umum trakhea dan paru-paru serta pewarnaan AB pH 2,5 dan PAS untuk mengamati distribusi sel goblet dan kandungan karbohidrat netral dan asam pada mukus yang dihasilkannya. Pengamatan struktur umum trakhea meliputi pengamatan bentuk tulang rawan, otot polos, epitel, kelenjar dan macam-macam sel yang terdapat pada mukosa, lamina propria dan submukosa trakhea dan bronkhus. Sedangkan pengamatan struktur umum paru-paru meliputi pengamatan bentuk tulang rawan pada bronkhus primer, bronkhus sekunder, bronkhus tersier dan bronkhiolus, otot polos, epitel dan kelenjar serta macam-macam sel yang terdapat pada dinding alveolus. Setelah pengamatan selesai, maka dilakukan pemotretan.
IV. HASIL PENELITIAN
Trakhea Pada pengamatan secara makroskopis terlihat trakhea bercabang menjadi dua yaitu bronkhi prinsipalis kiri dan bronkhi prinsipalis kanan, dan untuk selanjutnya masuk ke paru-paru (Gambar 2).
a b
b
Gambar 2. Trakhea dan paru-paru M. javanica setelah difiksasi dalam larutan bouin. a. trakhea; b. bronkhi prinsipalis kiri dan kanan (Bar = 1 cm) Tabel 1. Data ukuran panjang, diameter dan jumlah cincin trakhea M. javanica No
1 2 3 4
Jenis Kelamin ? ? ? ? Rata-rata
Berat badan (gr) 3200 3730 2900 2200 3146
Panjang (cm) 4,5 4,1 3,5 4,3 4,1
Trakhea Diameter Jumlah cincin (cm) (buah) 0,6 24 0,5 24 0,4 24 0,6 24 0,53 24
Catatan : - Diameter trakhea diukur pada pertengahan panjang trakhea - Panjang trakhea diukur dari pangkal sampai bifurcatio trakhealis (percabangan trakhea) Dari Tabel 1 dapat diketahui trakhea M. javanica memiliki panjang berkisar antara
3,5-4,5 cm (rata-rata 4,1 cm) yang tersusun atas cincin tulang
rawan terbuka yang berjumlah 24 buah dan diameter berkisar antara 0,4-0,6 cm (rata-rata 0,53 cm).
Gambaran histologi trakhea M. javanica terdiri dari lapis mukosa, submukosa, musculo-cartilagenous dan adventisia. Lapis mukosa terdiri dari epitel silindris semi banyak baris (pseudostratified) bersilia dengan sel goblet diantaranya dan dibawahnya terdapat lamina propria yang tipis. Lapis submukosa terdiri dari jaringan ikat longgar dan kelenjar submukosa yang hanya ditemukan pada pars cervicalis bagian proksimal. Lapis musculo-cartilagenous tersusun atas tulang rawan hialin yang berbentuk cincin terbuka, ujung-ujungnya yang bebas dihubungkan satu sama lain oleh muskulus trakhealis. Pada bagian proksimal otot ini menempel pada permukaan luar dari ujung cincin tulang rawan sebaliknya pada bagian distal trakhea menempel pada permukaan dalam dari ujung tulang rawan. Lapis adventisia mengelilingi keseluruhan bagian luar trakhea (Gambar 3).
c’’
c’
c b d a
A
e
f
B
C
Gambar 3. Struktur umum trakhea M. javanica yang berbentuk cincin terbuka (A) dengan cincin tulang rawan (a) dan muskulus trakhealis yang melekat pada permukaan dalam (b), dinding trakhea (B dan C) disusun oleh lapis mukosa (c) yang terdiri dari epitel silindris semi banyak baris bersilia (c’), silia (tanda panah) dan sel-sel goblet (c”) diantaranya; lapis submukosa (d) yang terdiri dari jaringan ikat longgar dan beberapa kelenjar submukosa (e) terutama pada pangkal trakhea; lapis musculo cartilagenous (a dan b); serta lapis adventisia (f) (Pewarnaan HE, bar A= 500 µm, bar B= 50 µm, bar C= 20 µm) Paru-Paru Hasil pengamatan makroskopis menunjukan bahwa paru-paru M. javanica terdiri dari sepasang paru-paru, kanan dan kiri. Lobulasi dari masing-masing bagian paru-paru terlihat sangat jelas. Paru-paru M. javanica
bagian kiri oleh
fissura interlobaris terbagi menjadi tiga lobus, yaitu lobus apicalis, lobus cardiaca dan lobus diaphragmatica. Sedangkan bagian kanan terbagi menjadi
empat lobus yaitu lobus apicalis, lobus cardiaca, lobus accessorius dan lobus diaphragmatica. Pada lobus apicalis kanan terbagi lagi menjadi lobus apicalis cranialis dan caudalis, serta lobus accessorius kanan juga terbagi menjadi lobus accessorius cranialis dan caudalis (Gambar 4).
B
A a
a
d
g g
d
j
h
j
c
b
c e
i f
f
Gambar
4. Morfologi paru-paru M. javanica. A. tampak dorsal; B. tampak ventral; a. trakhea; b. bifurkasio trakhealis; c. bronkhi prinsipalis kiri dan kanan; d. lobus apikalis kiri; e. lobus medialis kiri; f. lobus diaphragmatika kiri; g. lobus apikalis kanan; h. lobus medialis kanan; i. lobus accessorius kanan; j. lobus diaphragmatika kanan (Bar = 1 cm).
Panjang paru-paru kiri dan kanan hampir sama, tetapi paru-paru kanan terlihat lebih tebal dan lebar karena adanya lobus accessorius dan pembagian lobus yang lebih banyak serta paru-paru kiri tampak lebih tipis karena adanya impressio cardiaca (Tabel 2). Hasil pengamatan mikroskopis menunjukan bahwa gambaran bronkhus prinsipalis mirip dengan trakhea dengan tulang rawan berbentuk tapal kuda, sedangkan pada bronkhus primer, bronkhus sekunder dan bronkhus tersier bentuk tulang rawan berupa lempengan-lempengan dan ukuran dari masing-masing bronkhus berbeda-beda (Gambar 5).
A
B
C
D
Gambar 5. Bentuk dan penyebaran tulang rawan pada bronkhi M. javanica. A. bronkhi prinsipalis; B. bronkhus primer; C. bronkhus sekunder; D. bronkhus tersier; tulang rawan (tanda panah). (Pewarnaan HE, bar A=100 µm, bar B= 50 µm, bar C= 50 µm, bar D= 50 µm) Bronkhi M. javanica tersusun atas lapis mukosa, lapis submukosa dan lapis musculo-cartilagenous. Lapis mukosa terdiri dari epitel kubus semi banyak baris bersilia dan adanya sedikit sel goblet (Gambar 6).
A
d
B
C
b’
a’’ a’
c” c’ c”’
Gambar 6. Struktur umum bronkhi M. javanica. a. Lapis mukosa yang terdiri dari epitel kubus semi banyak baris bersilia (a’) dengan sel goblet diantaranya (a”), silia (tanda panah); lapis submukosa (b’); lapis musculo-cartilagenous yang terdiri dari tulang rawan (c’), otot polos (c”) dan kelenjar (c”’); d. pembuluh darah. (Pewarnaan HE, bar A= 100 µm, B= 50 µm, bar C= 20 µm)
Bronkhioli M. javanica disusun oleh lapis mukosa, lapis muskularis dan sedikit jaringan ikat. Epitel yang melapisinya adalah kubus semi banyak baris dengan jumlah silia dan sel goblet yang semakin berkurang pada bagian distal dengan penyebaran yang tidak merata. Lapis muskularis terdiri dari beberapa lapis otot polos yang mengelilingi lumen bronkhioli (Gambar 7). Cabang akhir dari bagian penyalur udara pernapasan adalah bronkhioli terminalis.
A
B c c a’ a”
b
Gambar 7. Struktur umum bronkioli M. javanica. a. lapis mukosa yang terdiri dari epitel kubus bersilia (a’) dengan sel goblet diantaranya (a”), silia (tanda panah); b. lapis muskularis yan terdiri dari beberapa lapis otot polos; c. alveolus. (Pewarnaan HE, bar A= 50 µm, B= 20 µm) Secara umum gambaran histologis bronkhioli terminalis mirip dengan bronkhioli. Pada bronkhioli terminalis silia masih ditemukan, tetapi jumlah sel goblet lebih sedikit dibandingkan pada bronkhioli dengan penyebaran yang juga tidak merata. Selain itu, otot polos yang mengelilingi lumen bronkhioli terminalis lebih tipis (Gambar 8). Bronkhioli terminalis kemudian bercabang menjadi bronkhioli respiratorius. Dinding bronkhioli respiratorius trenggiling mempunyai banyak lubang yang langsung berhubungan dengan duktus alveolaris dan berakhir di alveoli. Dua atau lebih alveoli bergabung membentuk sakus alveolaris (Gambar 8).
B
A
d e
e
c b
f”
a
f’ g
Gambar 8. Struktur umum bronkhioli terminalis dan percabangannya pada M. javanica. A. percabangan bronkhioli terminalis; B. struktur umum bronkhioli terminalis; a. bronkhiolus terminalis; b. bronkhiolus respiratorius; c. duktus alveolaris; d.sakus alveolaris; e. alveolus; f. lapis mukosa yang terdiri dari epitel kubus bersilia (f’) dengan sel goblet diantaranya (f’’); silia (tanda panah); g. lapis muskularis. (Pewarnaan HE, bar A= 100 µm, bar B= 20 µm) Hasil pengamatan sel goblet pada saluran pernapasan trenggiling khususnya trakhea dan paru-paru menunjukan bahwa sel goblet berdistribusi sampai bronkhioli terminalis (Gambar 9).
A
C
B
D
Gambar 9. Distribusi sel-sel goblet (tanda panah) pada saluran pernapasan khususnya trakhea dan paru-paru M. javanica. A. trakhea; B. bronkhus; C. bronkhiolus; D. bronkhiolus terminalis. (Pewarnaan PAS, bar A=B=C=D= 30 µm)
Pada pewarnaan AB pH 2,5, mukosa pada trakhea trenggiling memberikan hasil yang positif (Gambar 10). Sedangkan pada paru-paru, mukosa tidak memberikan hasil yang positif.
Gambar 10. Hasil pewarnaan AB pH 2,5 pada substansi mukus trakhea M. javanica. Warna biru menunjukan hasil yang positif pada pewarnaan AB (tanda panah) (bar= 30 µm) Hal menarik yang ditemukan pada parenkhim paru-paru yaitu alveoli pada M. javanica berukuran kecil dan rapat. Selain itu disekitar alveoli M. javanica cabang-cabang pembuluh darah ditemukan dalam jumlah lebih banyak (Gambar 11).
c
b
b
b a
Gambar 11. Bentuk dan struktur dari alveoli M. javanica. a. alveolus; b. pembuluh darah; c. bronkhiolus; kerapatan dan bentuk alveolus (tanda panah). (Pewarnaan HE, bar A= 100 µm)
Seperti pada umumnya mamalia, pada dinding alveoli M. javanica ditemukan adanya sel pneumosit tipe I (sel tipe I), sel pneumosit tipe II (sel tipe II), sel makrofag, pembuluh darah kapiler dan jaringan ikat. Sel tipe I berbentuk pipih dengan inti besar dan sitoplasma sangat sedikit. Sel tipe II lebih besar dari pada sel tipe I, dengan inti dan sitoplasma yang jelas. Sel makrofag berbentuk bulat dan besar dengan inti yang jelas, terletak pada permukaan septum interalveolar atau bebas didalam alveolus (Gambar 12).
d
b
a
c
Gambar 12.
Dinding alveoli M. javanica terdiri atas sel-sel: a. sel tipe I; b. sel tipe II; c. sel makrofag; d. alveolus. (Pewarnaan HE, bar= 20 µm)
V. PEMBAHASAN
Trakhea Hasil Pengamatan memperlihatkan bahwa trakhea trenggiling bercabang menjadi bronkhi prinsipalis kiri dan bronkhi prinsipalis kanan seperti pada umumnya mamalia (Hare, 1975). Trakhea trenggiling memiliki panjang rata-rata 4,1 cm yang tersusun atas cincin tulang rawan terbuka yang berjumlah 24 buah dan diameter rata-rata 0,53 cm. Menurut Hare (1975) panjang dan jumlah cincin trakhea bervariasi menurut spesiesnya. Pada kuda dan ruminansia 48-60 buah, anjing 42-46 buah, kucing 38-43 buah dan babi 32-36 buah. Jadi trenggiling ini memiliki jumlah cincin yang relatif sedikit dibandingkan mamalia lainnya. Hal ini disebabkan karena M. javanica memiliki leher yang pendek. Gambaran mikroskopis trakhea trenggiling berbeda dengan mamalia lain pada umumnya, tetapi ada kemiripan dengan karnivora. Pada trakhea M. javanica lapis mukosa dilapisi oleh epitel silindris semi banyak baris bersilia, sedangkan pada karnivora dan mamalia pada umumnya dilapisi oleh epitel silindris banyak baris bersilia (Hare, 1975; Carola et al., 1976; Plopper dan Adams, 1993; Ross et al., 1995; Bergman et al., 1996; Junqueira et al., 1997). Gambaran yang sama adalah ditemukan adanya sel-sel goblet yang tersebar diantara sel-sel epitel bersilia. Selain itu kelenjar submukosa
pada trakhea M. javanica hanya
ditemukan pada pars cervicalis bagian proksimal, sedangkan pada kebanyakan mamalia kelenjar ini ditemukan di sepanjang trakhea (Hare, 1975; Carola et al., 1976; Plopper dan Adams, 1993; Ross et al., 1995; Bergman et al., 1996; Junqueira et al., 1997). Ditemukannya kelenjar submukosa yang terbatas pada pangkal trakhea diduga bahwa mukus hanya dihasilkan oleh sel goblet saja. Mukus yang dihasilkan pada trakhea mengandung karbohidrat yang bersifat netral maupun asam. Ditemukannya sel-sel goblet yang menghasilkan karbohidrat asam terbatas pada trakhea, menunjukan bahwa fungsi karbohidrat ini sangat penting di daerah trakhea. Meskipun peranan karbohidrat asam pada saluran pernapasan belum diketahui secara pasti, akan tetapi pada saluran pencernaan karbohidrat asam ini diduga berperan penting dalam proteksi, seperti mengeliminir infeksi parasit maupun mikroba (Suprasert et al., 1999).
Lapis musculo-cartilagenous tersusun atas tulang rawan hialin yang berbentuk cincin terbuka, ujung-ujungnya yang bebas dihubungkan satu sama lain oleh muskulus trakhealis. Pada bagian proksimal otot ini melekat pada permukaan luar dari ujung cincin tulang rawan, sebaliknya pada bagian distal trakhea melekat pada permukaan dalam dari ujung tulang rawan. Gambaran ini mirip dengan karnivora. Sedang pada kuda, babi dan domba ujung-ujung cincin tulang rawan yang bebas saling tumpang tindih dan dihubungkan satu sama lain oleh muskulus trakhealis yang menempel pada permukaan bagian dalam dari tulang rawan (Hare, 1975) (Gambar 13). Dengan melekatnya muskulus trakhealis pada permukaan bagian luar dari cincin tulang rawan diduga menyebabkan udara yang dihisap akan lebih lancar. Sebaliknya perlekatan muskulus trakhealis pada permukaan bagian dalam dari cincin tulang rawan pada ujung trakhea, diduga berperan untuk menahan persediaan udara pada saat menggulung, menggali atau bersembunyi disarang di bawah tanah. b
b
A
a
b
b
b
a a Gambar
13.
Gambaran skematis morfologi berbagai cincin trakhea. A. M. javanica; B. karnivora; C. domba; D. babi; E. kuda; a. cincin trakhea; b. muskulus trakhealis (A merupakan modifikasi dari hasil penelitian; B, C, D dan E modifikasi dari sumber : Hare, 1975, perbandingan ukuran diabaikan)
Paru-paru Hasil pengamatan secara makroskopis memperlihatkan bahwa paru-paru trenggiling dipisahkan oleh fissura interlobaris menjadi tiga lobus di kiri dan empat lobus di kanan. Akan tetapi pada setiap lobus kanan, terbagi lagi menjadi
beberapa lobus. Pembagian lobulasi paru-paru oleh fissura interlobaris terlihat jelas. Hal ini memungkinkan paru-paru untuk mengembang secara maksimal. Pembagian lobulasi yang jelas ini mirip dengan paru-paru anjing, kucing dan ruminansia (Hare, 1975) . Hasil pengamatan mikroskopis menunjukan bahwa bagian penyalur udara intrapulmonum M. javanica mulai dari bronkhi sampai bronkhioli terminalis secara umum mirip dengan mamalia lain pada umumnya. Akan tetapi ada perbedaan bentuk dan susunan dari epitel serta distribusi silia dan sel goblet. Bentuk dan susunan epitel pada mamalia lain adalah silindris banyak baris (Hare, 1975), sedangkan pada M. javanica adalah kubus semi banyak baris. Pada mamalia lain, silia hanya sampai pada bronkhi (Hare, 1975), sedangkan pada M. javanica sampai pada bronkhioli terminalis, ini diduga bahwa silia pada bronkhiolus terminalis pada M. javanica peranannya masih sangat diperlukan dalam proses fisiologis pernapasan. Seperti pada umumnya mamalia, daerah pertukaran gas M. javanica terdiri dari epitel pipih dan selapis otot polos, sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran gas oksigen dan karbondioksida (Plopper dan Adams, 1993; Ross et al., 1995; Bergman et al., 1996; Junqueira et al., 1997). Hal menarik yang ditemukan pada parenkhim paru-paru yaitu alveoli pada M. javanica berukuran kecil dan rapat. Hal ini menunjukan bahwa luas permukaan respirasi pada trenggiling diduga lebih besar. Ukuran dan kerapatan pada alveoli ini mirip pada kelelawar pemakan serangga (Scotophilus kuhlii) (Setiadi, 2000) maupun kucing (Wagner dan Hossler, 2006). Walker (1987) menyatakan bahwa alveoli pada beberapa mamalia kecil bentuknya lebih kecil dan rapat, sehingga memperbesar luas permukaan respirasi. Luas permukaan respirasi yang besar akan memungkinkan pertukaran gas yang juga lebih banyak. Seperti halnya ma malia lain, pada dinding alveol trenggiling ditemukan adanya sel pneumosit tipe I (sel tipe I), sel pneumosit tipe II (sel tipe II), sel makrofag, pembuluh darah kapiler dan jaringan ikat. Menurut Plopper dan Adams (1993), sel tipe I merupakan blood air barrier yang berfungsi untuk mencegah masuknya cairan jaringan ke dalam alveoli (Junqueira et al., 1997). Sedang sel tipe II merupakan sel sekretori yang diduga menghasilkan phospolipid bersifat
seperti detergen yang disebut surfaktan. Sekresi ini membantu alveoli agar tidak kolaps selama ekspirasi dengan cara mengurangi tegangan permukaannya (Carola et al., 1976; Wheater et al., 1982; Ross et al., 1995; Bergman et al., 1996). Sel lainnya yang ditemukan pada dinding alveoli dan bebas di dalam alveoli disebut makrofag (sel debu). Sel ini berperan dalam me makan dan menghancurkan mikroorganisme dan partikel-partikel asing yang telah menembus alveoli. Oleh karena itu jumlah sel ini berubah-ubah sesuai kondisi hewan (Carola et al., 1978; Plopper dan Adams, 1993; Ross et al., 1995; Bergman et al., 1996). Menurut Plopper dan Adams (1993), pada sebagian besar hewan sel tipe I menutupi hampir 97% dari permukaan septum, dan sisanya oleh sel tipe II. Sedang pada manusia sekitar 95% permukaan septum ditutupi oleh sel tipe I dan sisanya oleh sel tipe II (Ross et al., 1995).
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Trakhea M. javanica tersusun oleh cincin-cincin tulang rawan hialin yang berbentuk cincin terbuka, ujung-ujungnya yang bebas dihubungkan satu sama lain oleh muskulus trakhealis. Pada bagian proksimal, otot ini melekat pada permukaan luar dari ujung cincin tulang rawan. Sebaliknya pada bagian distal trakhea menempel pada permukaan dalam dari ujung tulang rawan. Gambaran ini mirip dengan karnivora tetapi berbeda dengan mamalia lainnya. Paru-paru M. javanica memiliki lobulasi yang sangat jelas. Paru-paru bagian kiri oleh fissura interlobaris terbagi menjadi tiga lobus, yaitu lobus apicalis, lobus medialis dan lobus diaphragmatica. Sedangkan bagian kanan terbagi menjadi empat lobus yaitu lobus apicalis, lobus medialis, lobus accessorius dan lobus diaphragmatica. Pada lobus apicalis kanan terbagi lagi menjadi lobus apicalis cranialis dan caudalis, serta lobus accessorius kanan juga terbagi menjadi lobus accessorius cranialis dan caudalis. Secara umum gambaran histologis bagian penyalur udara mulai dari trakhea sampai bronkhioli terminalis mirip dengan mamalia pada umumnya, kecuali pada bentuk dan susunan epitel serta distribusi kelenjar submukosa dan sel goblet. Trakhea M. javanica dilapisi oleh epitel silindris semi banyak baris bersilia dengan sel-sel goblet terdapat di antaranya dan ditemukan mulai dari trakhea sampai bronkhioli terminalis. Kelenjar submukosa trakhea M. javanica hanya ditemukan pada pars cervicalis bagian proksimal. Gambaran histologi pada bagian pertukaran gas paru-paru M. javanica secara umum mirip dengan mamalia pada umumnya. Tetapi hal menarik yang ditemukan pada parenkhim paru-paru yaitu alveoli M. javanica berukuran kecil dan rapat, sehingga memiliki luas permukaan respirasi yang besar. Selain itu banyak ditemukan cabang-cabang pembuluh darah di sekitar alveoli. Dengan luas permukaan respirasi yang besar serta jumlah percabangan pembuluh darah yang banyak menunjukkan bahwa paru-paru M. javanica mampu mengikat oksigen lebih banyak. Sebagai saran perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sel-sel endokrin atau sel lain yang terdapat pada saluran pernapasan, jaringan ikat yang
menyusun perenkhim paru-paru dengan memakai pewarnan khusus, serta otot-otot yang membantu dalam proses respirasi secara lebih spesifik untuk mengetahui fungsi fisiologis dan proses pengaturan pernapasan pada trenggiling (Manis javanica) dengan lebih baik.
VII. DAFTAR PUSTAKA Attenborough, D. 2007. Ecology Asia. http://en.wikipedia.org/wiki/pangolin. [4 Agustus 2007] Bergman, RA, AK Afifi dan PM Heider. 1996. Histology. WB Saunders Company, Philadelphia. Breazile, JE. 1971. Text Book of Veterinary Physiology. Lea & Febiger, Philadelphia. Carola, R, JP Harley dan CR Noback. 1976. Human Anatomy and Physiology. Mc. Graw-Hill Publishing Company, USA. Colville, T dan Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy & Phisiology For Veterinary Technicians. Mosby, Inc., USA. Corbet, GB dan JE Hill. 1992. The Mammal of Indomalayan Region : A Systematic Review. Natural History Musuem Publications, Oxford Univercity Press, New York. Cunningham, JG. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. 3rd ed. WB Saunders Company, Philadelphia. Dellmann, HD.1971. Veterinary Histology. An Outline Text-Atlas, Lea & Fiebiger, Philadelphia. Frandson, RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed. Ke-4. Penerjemah B Srigandono dan K Praseno. Gajah Mada Univercity Press, Yogyakarta. Gaubert, P dan A Antunes. 2005. Assesing the Taxonomic Status of the Palawan Pangolin Manis culionensis (Pholidota) Using Discrete Morphological Characters. Jurnal of Mammalogy, 86 (6): 1068-1074. Ganong, WF. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. 20. Alih bahasa HMD Widjajakusumah. EGC, Jakarta. Guyton, AC. 1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Bagian II. Ed. Ke-7. Alih bahasa LMA KA Tengadi, M Mawi, B Rahardja dan R Tandean. EGC, Jakarta. Hare, WCD. 1975. General Respiratory System, pp. 133-523 dalam Getty, R (Eds.). The Anatomy of the Domestic Animal. 5th ed. WB Sanders Company, philadelpia.
Hildebrand, M and Goslow GE. 2001. Analysis of Vertebrate Structure. 5th ed. WH Freeman and Company, San Fransisco. Junqueira, CL, J Carniero dan RO Kelley. 1997. Histologi Dasar. Ed. Ke-8. Alih bahasa J Tambayong. EGC, Jakarta. Kiernan, JA. 1990. Histological & Histochemical Methods: Theory & Practice. 2nd Ed. Pergamon Press, Oxford. Lekagul, B dan JA McNeely. 1977. Mammals of Thailand. Association for the Concervation of Wildlife, Sahakarnbhat co., Bangkok. Montagna, W. 1963. Comparative Anatomy. New York-john Wiley & Sons, Inc., London. Nisa’ C. 2005. Morphological Studies of The Stomach of Malayan Pangolin (Manis javanica) [disertasi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Nowak, RM. 1997. Order pholidota. dalam Walker’s Mammal of the world, 6th ed. Vol. II, The Jons Hopkins Univercity Press, Baltimore and London, pp. 1239-1242. O’Rahilly, R dan G Gardner. 1995. Anatomi Kajian Ranah Tubuh Manusia. Jilid I. Ed. Ke-5. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Plopper, CG dan DR Adams. 1993. Respiratory System, pp. 136-152 dalam Dellmann, HD (Eds.). Textbook of Veterinary Histology. 4th ed. Lea & Febiger, Philadelphia. Rahm, U. 1990. Modern Pangolin. dalam Parker, S. P. (Eds.). Grizmek’s Encyclopedia of Mammal. Vol. 2. McGraw-Hill Publishing Company, New York. pp. 630-641. Ross, MH, LJ Romrell dan GI Kaye. 1995. Histology a Text and Atlas. 3rd ed. A Waverly Company, Tokyo. Setiadi, H. 2000. Morfologi Saluran Pernapasan Kelelawar Pemakan Serangga (Scotophilus kuhlii) dengan Tinjauan Khusus pada Trakhea dan Paruparu [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Spence, AP dan EBV Mason. 1987. Human Anatomy and Physiology. 3rd ed. The Bejamin/Cummings Publishing Company, Inc., California. Steven, CE, and ID Hume. 1995. Comparative Physiology of the Vertebrate Digestive System, ed. 2nd. Cambridge Univercity Press, New York.
Stone, RD. 1990. Pangolin. dalam Gould, E, G McKay. Encyclopedia of Animal Mammal. Gallery Book, New York. Suprasert, A, U Pongchairerk, P Pongket, and T Nishida. 1999. Lectin Histochemical Characterization of Glycoconjugates Present in Abomasal Epithelium of the Goat. Kasetsart J. (Nat. Sci) 33: 234-242 Vaughan, TA. 1978. Mammalogy. W. B. Saunder Company, Philadelphia. Wagner,
RC and FE Hossler. 2006. Mammalian Histology-B408. http://www.udel.edu/Biology/Wags/histopage/histopage.htm. [4 Agustus 2007]
Walker, WF. 1987. Fungsional Anatomy of the Vertebrates. Saunder College Publishing, Philadelphia Wheater, PR, HG Bukitt dan VG Daniels. 1982. Functional Histology. The English Language Book Society and Churchill Livingstone, London.
Lampiran 1 Prosedur pewarnaan hematoksilin-eosin (HE)
1. Proses penghilangan parafin (deparafinisasi), diikuti dengan proses rehidrasi dalam alcohol bertingkat 100%-70% masing-masing 1-3 menit. 2. Pembilasan dengan air mengalir selama 15 menit diikuti dengan pembilasan dengan akuades selam 5 menit. 3. Perendaman dalam larutan hematoksilin selama 5-7 menit. 4. Pembilasan dengan air mengalir selama 30-60 menit diikuti dengan pembilasan menggunakan akuades selama 5 menit. 5. Perendaman dalam larutan eosin selama 30 menit. 6. Pembilasan dengan akuades selama 1 menit. 7. Pengeluaran air dari jaringan (dehidrasi) dengan alcohol bertingkat 70%100%, proses penjernihan jaringan (clearing) dengan larutan silol. 8. Penutupan gelas objek (mounting) dengan gelas penutup (cover glass).
Lampiran 2 Prosedur pewarnaan periodic acid Schiff (PAS)
1. Proses penghilangan parafin (deparafinisasi) diikuti dengan proses rehidrasi dalam alcohol bertingkat 100%-70% masing-masing 1-3 menit. 2. Pembilasan denganair mengalir selama 15 menit diikuti dengan pembilasan menggunakan akuades 5 menit. 3. Perendaman dalam larutan 1% periodic acid selam 10 menit. 4. Pembilasan dengan akuades 3x masing-masing 5 menit. 5. Perendaman dalam larutan reagens Schiff selama 15-30 menit. 6. Perendaman dalam campuranlarutan : q
10% sodium bisulfat 10 ml
q
1 N HCl
10 ml
q
DW (Aguadest)
200 cc
7. Pembilasan dengan air mengalir selama 10 menit diikuti dengan pembilasan
menggunakan akuades 5-10 menit.
8. Pembilasan dengan larutan hematoksilin beberapa detik. 9. Pengeluaran air dari jaringan (dehidrasi) dengan alcohol bertingkat 70%100%, proses penjernihan jaringan (clearing) dengan larutan silol. 10. Penutupan gelas objek (mounting) dengan gelas penutup (cover glass).
LAMPIRAN 3
Pewarnaan Acian Blue (AB) pH. 2,5
1. Proses penghilangan parafin (deparafinisasi), diikuti dengan proses rehidrasi dalam alcohol bertingkat 100%-70% masing-masing 1-3 menit. 2. Pembilasan dengan air mengalir selama 15 menit diikuti dengan pembilasan dengan akuades selam 5 menit. 3. Penurunan pH dengan asam asetat 3% selama 5 menit 4. Perendaman dalam AB pH 2,5 selama 30 menit 5. Pencucian dengan 3% asam asetat sebanyak 3 kali selama masing-masing 5 menit 6. Perendaman dalam DW (aquades) 3 kali selama masin-masing 5 menit 7. Counterstrain (nuclear pastred) 8. Perendaman dalam aquades masing-masing 2 kali selama 5 menit 9. Pengeluaran air dari jaringan (dehidrasi) dengan alcohol bertingkat 70%100%, proses penjernihan jaringan (clearing) dengan larutan silol. 10. Penutupan gelas objek (mounting) dengan gelas penutup (cover glass).