PENAMBAHAN ASAM FORMIAT UNTUK MENINGKATKAN PALATABILITAS FORMULA PAKAN PENGGANTI PADA TRENGGILING JAWA (Manis javanica)
AANG HASANUDIN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Penambahan Asam Formiat untuk Meningkatkan Palatabilitas Formula Pakan Pengganti pada Trenggiling Jawa (Manis javanica)” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor,Oktober 2016 Aang Hasanudin NIM B04120057
ABSTRAK AANG HASANUDIN. Penambahan Asam Formiat untuk Meningkatkan Palatabilitas Formula Pakan Pengganti pada Trenggiling Jawa (Manis javanica). Dibimbing oleh CHAIRUN NISA’dan DEWI APRI ASTUTI. Trenggiling Jawa (Manis javanica) merupakan salah satu fauna unik yang ada di Indonesia. Populasi satwa ini di Indonesia diduga semakin menurun dan hampir punah, sehingga memerlukan perhatian untuk menjaga kelestariannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati pengaruh penambahan asam formiat pada pakan terhadap peningkatan daya suka (palatabilitas), menganalisis konsumsi nutrien dan tingkat kecernaan pakan, serta pengaruhnya terhadap pertambahan bobot badan trenggiling. Penelititan ini menggunakan empat ekor trenggiling Jawa yang terdiri dari dua ekor betina dan dua ekor jantan. Formula pakan untuk empat ekor trenggiling terdiri dari 182 g (18%) kroto, 190 g (20%) telur ayam rebus, 248 g (31%) daging ayam mentah, 67 g (10%) ulat Hongkong, 53 g (20%) pelet ikan koi, 3 g (1%) tepung jangkrik, 149 ml air dan suplemen yang terdiri atas 0.2 g kalsium, 0.025 g vitamin B kompleks, 0.006 g vitamin K, dan asam formiat 1 ml dalam 1000gr (1 0/00) formula pakan. Semua bahan terlebih dahulu diblender, kecuali kroto dan ulat Hongkong yang ditambahkan utuh sesaat sebelum diberikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan asam formiat dapat meningkatkan palatabilitas. Hal ini ditunjukkan dengan pakan yang diberikan selama penelitian selalu dikonsumsi habis. Pemberian pakan pada penelitian ini sejumlah 4%-5% BB dapat memenuhi kebutuhan energi hidup pokok trenggiling dan berpengaruh terhadap kenaikan bobot badan rata-rata sebesar 10.12 g perhari. Kata kunci: trenggiling Jawa (Manis javanica), Asam formiat, adaptasi, pertambahan bobot badan.
ABSTRACT AANG HASANUDIN. The addition of formic acid to Improve palatability Feeding Formula Substitutes on Javan pangolin (Manis javanica). Supervised by CHAIRUN NISA’and DEWI APRI ASTUTI. Javan pangolin (Manis javanica) is one of the unique mammal found in Indonesia. The population of the Javan pangolin is declining due to relentlessly hunted and almost extinct. This condition requires attention on its conservation. The study aims to examine the effect of adding formic acid into feed formula to increase palatability, to analyze the nutrient consumption and digestibility of the feed and its effect on body weight gain of the pangolin. Four Javan pangolin, 2 females and 2 males were used in this study the feed formula for these four pangolins consisted of 182 g (18%) kroto, 190 g (20%), 248 g (31%) chicken meat, 67 g (10%) meal worms, 53 g (20%) koi fish pellet, 3 g (1%) cricket powder, ±150 ml water, and supplements consisted of 0.2 g calcium, 0.025 g vitamin B complex, 0.006 g vitamin K and 1 ml formic acid in 1000 gr (10/00) feed formula. All ingredients were blended, except for kroto and meal worms that were added whole before meal. The results showed that the addition of formic acid increasing the palatability, indicated with the feed given always all consumed. The feed given in this study is 4-5% body weight and is enough to fulfill the energy need of pangolin and increase the body weight by the average of 10.12 g per day. Key words: Javan pangolin (Manis javanica), formic acid, adaptation, body weight gain. .
PENAMBAHAN ASAM FORMIAT UNTUK MENINGKATKAN PALATABILITAS FORMULA PAKAN PENGGANTI PADA TRENGGILING JAWA (Manis javanica)
AANG HASANUDIN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, karunia dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Judul penelitian yang dipilih adalah Penambahan Asam Formiat untuk Meningkatkan Palatabilitas Formula Pakan Pengganti pada Trenggiling Jawa (Manis javanica). Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh Chairun Nisa’, MSi, PAVet dan Prof Dr Ir Dewi Apri Astuti, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, dorongan, nasehat serta segala kemudahan yang diperoleh penulis mulai dari penelitian sampai penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada dosen pembimbing akademik yaitu Prof. Dr. Drh. Hj. Mirnawati B. Sudarwanto dan Drh. Srihadi Agungpriyono MSc. Ph.D, PAVet selaku Dekan, kepada Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Drh. Agus Setiyono, MS. Ph.D, APVet. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kementrian Riset, Teknologi & Pendidikan Tinggi yang telah mendanai penelitian, serta Pusat Studi Biofarmaka Tropika, Drh Okta Ulismandanu dan teh Yati yang telah membantu dan memberi dukungan perlakuan selama penelitian. Ungkapan terima kasih sebesar-besarnya juga disampaikan kepada keluarga terutama ibu, bapak, kakak dan adik serta seluruh keluarga besar atas segala doa, kasih sayang, dan dorongan moral tanpa keluhan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan Ari Nugraha, dan Astrocyte 49 atas segala kebersamaan. Penulis menyadari adanya kekurangan dan keterbatasan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, segala kritik dan saran untuk menyempurnakan skripsi ini sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk pembaca dan yang berkepentingan. Bogor, Oktober 2016 Aang Hasanudin
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Trenggiling Jawa (Manis javanica) Sistem Pencernaan Trenggiling Asam Formiat Pakan Trenggiling Konsumsi dan Koefisien Cerna Bahan Pakan METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Formula Pakan Pengganti Adaptasi Pakan Pengganti Tingkat Konsumsi Kecernaan Pakan 1. Kecernaan Bahan Kering 2. Kecernaan Protein Kasar 3. Kecernaan Lemak Kasar 4. Kecernaan Serat Kasar Pengukuran Bobot Badan Pengumpulan Feses dan Preparasi Sampel untuk Analisis Proksimat Parameter yang Diamati Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Adaptasi Trenggiling terhadap Pakan Pengganti Pertambahan Bobot Badan Trenggiling Konsumsi Pakan dan Kecernaan Zat Makanan SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
xii xii 1 1 1 2 2 2 3 3 4 4 5 5 5 5 5 6 6 6 6 7 7 7 7 8 8 8 9 9 10 13 15 15 15 16 17
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5.
Susunan formula pakan pengganti Kandungan zat makanan formula pakan pengganti (% BK) Rataan jumlah pakan, konsumsi pakan selama masa adaptasi Pertambahan bobot badan trenggiling Kandungan bahan pakan yang dikonsumsi dan tingkat kecernaan pakan
6 6 8 9 12
DAFTAR GAMBAR 1. Karakteristik morfologi trenggiling Jawa (Manis javanica) 2. Tampilan Formula pakan pengganti 3. Grafik pertambahan bobot badan trenggiling Jawa (Manis javanica) setiap minggu
2 5 10
PENDAHULUAN Latar Belakang Trenggiling merupakan hewan pemakan semut atau disebut anteater (Feldhamer et al. 1999). Trenggiling Jawa (Manis javanica) merupakan salah satu spesies trenggiling Asia yang terdapat di Indonesia. Populasi trenggiling Jawa diduga semakin menurun sebagai dampak dari maraknya perburuan dan perdagangan liar. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat Cina percaya bahwa daging dan sisik trenggiling berkhasiat sebagai obat. Sisik trenggiling dipercaya berkhasiat untuk menyembuhkan keracunan, inflamasi, skabies, reumatik, dan anti kanker (Bräutigam et al. 1994). Oleh karena itu untuk mencegah kepunahan trenggiling, harus dilakukan upaya salah satunya penangkaran upaya konservasi ex situ yang dapat dilakukan penangkaran. Trenggiling merupakan mamalia yang unik karena morfologi tubuhnya yang ditutupi oleh sisik-sisik keras mirip reptil, tidak memiliki gigi (toothless) seperti unggas dan menggulung tubuhnya pada saat tidur atau terancam (Breen 2003). Selain itu trenggiling memiliki daya penciuman yang lebih baik dibandingkan dengan penglihatannya (Robinson 2005). Hal tersebut sangat berhubungan dengan aktivitasnya yang lebih banyak dilakukan pada malam hari (nokturnal), serta aktif menemukan sarang semut atau rayap dengan menggunakan daya penciumannya. Semut dan rayap merupakan pakan alami trenggiling pada habitatnya, sehingga menjadi kendala pada upaya penangkaran untuk konservasi ex situ. Beberapa kebun binatang, seperti Taipei zoo dan Singapore zoo, serta penelitian yang telah dilakukan Nisa’ et al (2015) dan Maulida (2015), telah berhasil mengadaptasikan trenggiling pada pemeliharaan di dalam kandang dengan pemberian pakan yang diformulasi khusus. Formula pakan disusun dengan memperhatikan kandungan nutrisi pakan alami, dalam hal ini digunakan kroto sebagai acuan. Kroto merupakan campuran semut dan telur yang dihasilkannya, terutama semut rangrang (Oecophylla smaragdina). Kroto memiliki kandungan protein yang tinggi mencapai 49.35%, serta lemak dan serat kasar masing-masing 14.45% dan 8.05% (Ninasari 2014). Sayangnya kroto merupakan jenis pakan yang harganya relatif mahal dan ketersediaannya di alam dipengaruhi oleh musim. Pada saat kesulitan mendapatkan kroto akibat ketersediannya yang menurun dipasaran, dilakukan pengurangan jumlah kroto yang diberikan. Hal ini mengakibatkan penurunan palatabilitas trenggiling terhadap pakan yang diberikan, sehingga berdampak pada penurunan bobot badan. Salah satu dugaan terhadap penurunan palatabilitas adalah berkurangnya aroma asam semut (asam formiat) pada formula pakan akibat pengurangan jumlah kroto tersebut. Telah diketahui bahwa asam formiat yang terkandung di dalam semut mengeluarkan aroma khas yang dideteksi oleh trenggiling menggunakan organ penciumannya. Oleh karena itu penting dilakukan penelitian tentang penambahan asam formiat ke dalam formula pakan trenggiling untuk meningkatkan daya palatabilitas.
2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membuat formula pakan trenggiling dengan penambahan asam formiat serta mengamati pengaruhnya terhadap peningkatan daya suka (palatabilitas), tingkat kecernaan pakan dan tingkat konsumsi nutrien, dan pertambahan bobot badan trenggiling. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya informasi biologi mengenai pakan trenggiling yang dapat digunakan sebagai data dasar untuk membuat formula pakan pengganti, sehingga dapat menjaga kontinyuitas ketersediaan pakan pada penangkaran trenggiling dalam upaya mendukung konservasi ex situ.
TINJAUAN PUSTAKA Trenggiling Jawa (Manis javanica) Trenggiling merupakan spesies mamalia unik karena memiliki sisik pada bagian dorsal tubuh sehingga mirip reptil, tidak memiliki gigi (toothless) mirip unggas dan memiliki lidah yang panjang yang dapat dijulurkan untuk mengambil makanan (Gambar 1). Trenggiling merupakan hewan insektivora dengan jenis pakan yang spesifik, yaitu semut dan rayap. Lidah trenggiling dapat menjulur panjang untuk mencari semut atau rayap langsung dari sarangnya (Grzimek 1975). Selain itu trenggiling memiliki kemampuan organ penciuman yang lebih baik dibandingkan organ penglihatannya, hal ini berhubungan dengan aktivitasnya yang lebih aktif di malam hari (nokturnal) untuk mencari makan (Robinson 2005), terutama semut yang diketahui mengeluarkan aroma khas karena kandungan asam formiat (asam semut). Dalam klasifikasi trenggiling termasuk kedalam ordo Pholidota, famili Manidae, dan genus Manis. Terdapat delapan spesies trenggiling di dunia yang terdistribusi di hutan-hutan tropis Asia dan Afrika. Tiga spesies trenggiling Asia yaitu, Manis javanica, M. crassicaudata, dan M. pentadactyla; sedangkan empat spesies trenggiling Afrika yaitu M. gigantea, M. temminckii, M. tricuspis, dan M. tetradactyla (Gaubert dan Antunes 2005). Menurut Corbet dan Hill (1992) penyebaran trenggiling di Indonesia meliputi pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Kepulauan Riau, Pulau Lingga, Bangka, Belitung, Nias, Pagai, Natuna, Karimutu, Bali, dan Lombok. .
Gambar 1 Karakteristik morfologi trenggiling Jawa (Manis javanica)
3 Sistem Pencernaan Trenggiling Trenggiling merupakan hewan insektivora sehingga mempunyai saluran pencernaan yang sederhana. Lidah trenggiling berbentuk vermiform, dapat menjulur panjang karena tidak memiliki frenulum yang mengikat lidah ke dasar mulut, serta lengket oleh sekreta kelenjar ludah untuk menangkap semut dan rayap. Permukaan dorsalnya memiliki sulcus medianus dan terdapat tiga tipe papilla yaitu papilla filliformis, papilla fungiformis, dan papilla sirkumvallata yang terdapat putik pengecap di bagian lateral intraepitel (Sari 2007). Keunikan lain dari saluran pencernaan trenggiling adalah pada lambungnya. Hampir seluruh permukaan mukosa lambung trenggiling dilapisi oleh epitel pipih banyak lapis dan mengalami keratinisasi cukup tebal. Struktur ini diduga sebagai adaptasi terhadap jenis pakan kasar atau keras serta kerikil halus yang ikut tertelan pada saat trenggiling menjerat semut atau rayap dari sarangnya. Struktur epitel berkeratin ini akan melindungi mukosa lambung trenggiling dari gesekan mekanis dengan eksoskeleton semut atau batu kerikil yang tertelan. Batubatu kerikil ini diduga turut berperan dalam proses pencernaan trenggiling di lambung, karena tidak adanya gigi. Lambung trenggiling memiliki kelenjar yang terdiri atas kelenjar mukus, kelenjar ‘oxyntic’ dan kelenjar pilorus. Kelenjar mukus tersususn oleh sel-sel mukus dan sel-sel endokrin. Kelenjar ‘oxyntic’ tersusun oleh sel-sel mukus yang menyusun epitel permukaan sel-sel leher, sel-sel parietal, selsel utama dan sel-sel endokrin. Kelenjar ini menyalurkan sekretanya ke lumen lambung (Nisa’ 2005; Nisa’ et al. 2010). Asam Formiat Asam Formiat adalah asam karboksilat yang paling sederhana, berupa cairan yang tidak berwarna dan larut air. Asam ini bila bereaksi dengan basa atau alkali akan membentuk garam dan merupakan pereduksi yang kuat. Asam ini juga disebut asam metanoat (Yonas 1993). Rumus asam formiat adalah HCOOH mempunyai bau yang sangat tajam dan secara alami dihasilkan oleh semut, sehingga disebut juga asam semut. Asam semut mempunyai titik didih pada 76 cmHg 101 0C, titik leburnya 8 0C dengan berat molekul 46 (Widyasari 2006). Asam formiat sangat berguna di bidang industri, pertanian, dan sebagai zat additif dalam produksi pakan hewan. Penggunaan asam formiat dalam bidang produksi pakan hewan adalah pembuatan silase (Luck & Jager 1996). Pada pembuatan silase asam formiat berguna dalam penurunan pH pakan sehingga mendukung pertumbuhan bakteri fermentasi dan meningkatkan nilai gizi. Selain berperan dalam pembuatan silase, asam formiat juga mempunyai efek yang sangat baik bagi pencernaan hewan pemakan serangga atau anteater. Asam formiat berperan membantu asam hidroklorida (HCl) yang dihasilkan oleh lambung dalam proses pencernaan makanan (Luck & Jager 1996).
4 Pakan Trenggiling Trenggiling termasuk mamalia pemakan semut sehingga sering disebut anteater (Feldhamer et al. 1999). Pakan utama dari trenggiling adalah semut (Ordo Hymenoptera) dan rayap (Ordo Isoptera). Pada pemeliharaan trenggiling di kandang, pakan yang biasa diberikan adalah kroto. Kandungan protein, lemak, BETN, dan abu kroto dalam bahan segar secara berturut-turut yaitu 11.10, 3.25, 5.23, dan 1.1 ( Ninasari 2014). Namun, ketersediaan kroto di pasar tidak kontinyu dan dipengaruhi oleh musim. Saat musim hujan, mortalitas semut rangrang tinggi karena tidak ada ketersediaan pakan di sekitar sarang, aktivitas mencari makan rendah, dan kelembaban tinggi (Wojtusiak dan Godznska 1993). Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam upaya konservasi ex situ. Oleh karena itu beberapa kebun binatang berupaya untuk membuat formulasi pakan pengganti untuk konservasi ex situ trenggiling, diantaranya Singapore Zoo dan Taipei Zoo. Singapore Zoo membuat formula pakan yang mengadopsi dari Taipei Zoo yang terdiri dari 10 butir telur ayam rebus (± 625 g), 1000 g larva ulat hidup, 1000 g daging cincang mentah, 10 sendok makan insectivore powder. Semua bahan diblender dengan penambahan air sebanyak 800 ml yang dilakukan bertahap sampai diperoleh pakan dengan kosistensi tertentu dan ditambahkan terakhir kroto sebanyak 750 g serta suplemen diantaranya 1 sendok teh kalsium powder, 2 sendok makan kitin powder, 1 tablet vitamin B dan vitamin K. Formula pakan tersebut dibuat untuk delapan ekor trenggiling yang diberikan setiap dua hari sekali (Vijayan et al. 2008). Konsumsi dan Koefisien Cerna Bahan Pakan Konsumsi pakan merupakan faktor penting dalam menentukan kebutuhan untuk hidup pokok dan produktivitas dari suatu hewan. Jumlah konsumsi pakan menentukan jumlah zat-zat makanan tersedia bagi hewan dan selanjutnya akan mempengaruhi produktivitas hewan tersebut. Menentukan konsumsi pakan pada hewan sangat komplek, karena banyak faktor yang terkait seperti kapasitas tampung organ pencernaan, bobot badan, bentuk dan kandungan zat-zat makanan dalam pakan, kebutuhan akan zat-zat nutrisi, status fisiologi hewan dan genotip hewan. Semakin baik kualitas bahan pakan, semakin tinggi konsumsi pakan dari seekor hewan (Tarigan 2009). Kecernaan adalah bagian zat makanan yang tidak dieksresikan dalam feses. Menurut Anggorodi (1990), pada dasarnya tingkat kecernaan adalah suatu upaya untuk mengetahui banyaknya zat makanan yang diserap oleh saluran pencernaan. Menurut McDonald et al. (2002) kecernaan adalah bagian dalam pakan yang tidak dieksresikan dalam feses dimana bagian tersebut diasumsikan diserap oleh tubuh hewan, biasanya dinyatakan dalam bahan kering dan apabila dinyatakan dalam presentase disebut koefisien cerna. Peterson (2005) menyatakan bahwa tinggi rendahnya daya cerna dipengaruhi oleh jenis hewan, umur hewan, jenis bahan pakan dan susunan kimianya.
5 METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di kandang pemeliharaan trenggiling di Laboratorium Konservasi Ex situ Satwa Liar, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB, yang berlokasi di kampus IPB Dramaga. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat IPB. Pengambilan data lapangan dilakukan dari bulan April 2016 sampai Juni 2016. Bahan dan Alat Penelitian ini menggunakan empat ekor trenggiling terdiri dari dua ekor jantan J1 ( BB awal 5535 g) dan J2 ( BB awal 4320 g), serta dua ekor B1 (BB awal 5350 g) dan B2 (BB awal 2005 g). Trenggiling dipelihara di dalam kandang secara terpisah. Kandang dibangun dengan desain khusus, yang berukuran 3x2x2m3, dilengkapi dengan enrichment berupa kotak kayu tempat bersembunyi/istirahat, peralatan pakan dan minum, batang pohon untuk memanjat, dan kamera Closed Circuit Television (CCTV). Bahan-bahan untuk formula pakan terdiri dari kroto, telur ayam rebus, daging ayam mentah, ulat Hongkong, pelet ikan koi, tepung jangkrik, kalsium powder, vitamin B kompleks, vitamin K, dan air. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan (pegas dan dudukan), kamera digital, blender, lemari pendingin, dan neraca digital. Metode Penelitian Adaptasi penambahan asam formiat pada Formula Pakan Pengganti Bahan pakan diformulasi untuk empat ekor trenggiling, mengacu pada Maulida (2015) dengan melakukan sedikit modifikasi dan penambahan asam formiat (Tabel 1). Asam formiat ditambahkan sebanyak 1ml dalam 1000 gr (10/00) formula pakan. Kandungan zat nutrisi pada pakan pengganti ditampilkan pada tabel 2. Kandungan zat nutrisinya dianalisis sesaat sebelum dilakukan formulasi pakan, untuk mengetahui kandungan nutrisi (Tabel 2). Semua bahan terlebih dahulu diblender dengan penambahan asam formiat yang dilarutkan dalam air secara bertahap sampai diperoleh konsistensi tertentu, kecuali kroto dan ulat Hongkong yang ditambahkan utuh sesaat sebelum diberikan (Gambar 2).
Gambar 2 Tampilan formula pakan pengganti dengan tekstur yang lunak, serta kroto dan ulat Hongkong yang ditambahkan utuh sesaat sebelum diberikan.
6 Tabel 1 Susunan formula pakan pengganti (100% BK) Bahan Kroto Telur ayam Daging ayam Ulat Hongkong Pelet Tepung jangkrik Kalsium Vitamin B kompleks Vitamin K
Jumlah (g) 182 190 248 67 53 3 0.2 0.025 0.006
(%) 18 20 31 10 20 1 -
Total
100
Tabel 2 Kandungan zat nutrisi formula pakan pengganti* (% BK) Zat-zat Makanan
(%)
Kadar Air % 73,57 Abu % 4.05 Lemak % 37.23 Protein % 44.15 Serat Kasar % 6.43 Total 100 *) Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (IPB).
Pemberian Pakan Pemberian pakan dilakukan setiap sore hari, saat trenggiling mulai melakukan aktivitas. Pakan yang diberikan dalam keadaan segar dihitung berdasarkan 4-5% dari bobot badan trenggiling, dengan asumsi dapat memenuhi kebutuhan energi trenggiling. Adaptasi dilakukan sampai pakan yang dikonsumsi habis sebelum dilakukan pengambilan data. Pengamatan dilakukan terhadap waktu yang diperlukan trenggiling untuk beradaptasi dengan pakan yang ditambahkan asam formiat. Jenis-jenis Perlakuan 1. Perlakuan pemberian pakan tanpa pemberian asam formiat (P-F) Perlakuan ini dilakukan dengan pemberian pakan tanpa pemberian asam formiat. Pemberian pakan tanpa asam formiat yaitu dengan tidak mencampurkan pakan dengan asam formiat dan perlakuan ini dilakukan pada masa adaptasi. 2. Perlakuan pemberian pakan dengan pemberian asam formiat (P+F) Perlakuan ini dilakukan dengan pemberian pakan dan ditambahkan asam formiat. Konsentrasi asam formiat yang diberikan yaitu 1 0/00 dicampurkan pada pakan.
7 Konsumsi Pakan dan Konsumsi Zat Makanan Konsumsi pakan (g/ekor/hari) diperoleh dengan cara mengurangi jumlah pakan yang diberikan dengan pakan sisa setiap hari. Konsumsi BK pakan diperoleh dengan mengalikan konsumsi (g/ekor/hari) dengan persentase BK pakan. Konsumsi zat makanan (g/ekor/hari) diperoleh dengan cara mengalikan konsumsi BK pakan (g/ekor/hari) dengan persentase kandungan zat makanan. Koleksi Feses dan Preparasi Sampel untuk Analisis Proksimat Koleksi feses dilakukan dengan metode koleksi feses total. Feses dikoleksi setiap hari selama 24 jam dari masing-masing individu kemudian ditimbang. Preparasi sampel untuk analisis proksimat meliputi pencampuran seluruh feses selama 30 hari untuk masing-masing individu sehingga ada empat sampel feses, kemudian diambil sebanyak 20 g dari keseluruhan feses yang sudah tercampur merata. Kecernaan Nutrien (BK, LK, SK, PK, BETN) Kecernaaan nutrien didapatkan dengan cara mengurangi konsumsi nutrien dengan nutrien feses lalu dibagi dengan konsumsi nutrien yang kemudian dikalikan seratus persen. Konsumsi nutrien dan nutrien feses didasarkan pada hasil analisis proksimat selama periode penelitian. Koefisien cerna nutrien dihitung dengan menggunakan rumus : 𝐾𝑒𝑐𝑒𝑟𝑛𝑎𝑎𝑛 𝑛𝑢𝑡𝑟𝑖𝑒𝑛 % =
Konsumsi nutrien − nutrien feses 𝑥 100% Konsumsi nutrien
Pengukuran Bobot Badan Pengukuran dilakukan dengan cara menimbang bobot badan trenggiling yang dilakukan setiap minggu untuk melihat perkembangannya. Penimbangan pertama dilakukan sebelum perlakuan sebagai data bobot badan awal, sehingga akan diperoleh data untuk mengetahui pemberian formula pakan pengganti memiliki pengaruh baik atau tidak terhadap pertumbuhan tenggiling. Pertambahan bobot badan dihitung dengan menghitung selisih bobot badan akhir dengan bobot badan awal. Feed Convertion Ratio (FCR) Rasio konversi pakan atau FCR adalah jumlah pakan yang dikonsumsi untuk mendapatkan bobot badan tertentu. FCR diperoleh dari perbandingan jumlah pakan yang dikonsumsi dengan penambahan bobot badan trenggiling. Parameter yang Diamati dan Analisis Data Parameter yang diamati pada penelitian ini diantaranya adalah; waktu adaptasi trenggiling terhadap pemberian formula pakan pengganti, jumlah konsumsi nutrien, tingkat kecernaan pakan serta pengaruhnya terhadap pertambahan bobot badan trenggiling. Seluruh data akan dianalisis secara deskriptif dan hasil akan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar.
8 HASIL DAN PEMBAHASAN Adaptasi trenggiling terhadap penambahan asam formiat dalam formula Pakan Pengganti Dari hasil pengamatan sebelum dan sesudah penambahan asam formiat diketahui mempengaruhi konsumsi pakan ( Tabel 3). Tabel 3 Rataan jumlah pakan dan tingkat konsumsi pakan pengganti yang ditambahkan asam formiat selama masa adaptasi. Hewan Pemberian
J1
J2
B1
B2
P-F* Hari ke- (g/ekor/hari) 1 2 3
Rataan
PP
266
266
266
266 ± 0
266
266
266
266
266 ± 0
SS
100
140
164
134.7 ± 32.3
55
98
0
0
38.3 ± 4.5
KS
166
126
102
131.3 ± 32.3
211
168
266
266
227.8 ± 4.5
% KS
62.4
47.4
38.3
49.4 ± 12.2
79.3
63.2
100
100
85.6 ± 17.9
KBK
43.87
33.3
26.9
34.7 ± 8.5
55,7
44.4
70.3
70.3
55.8 ± 16.2
PP
241
241
241
241 ± 0
241
241
241
241
241 ± 0
SS
100
130
42
90.7 ± 44.7
0
0
0
0
0
KS
141
111
199
150.3 ± 44.7
241
241
241
241
241 ± 0
% KS
58.5
46.1
82.6
62.4 ± 18.5
100
100
100
100
100 ± 0
KBK
37.3
29.3
52.6
39.7 ± 11,8
63.7
63.7
63.7
63.7
63.7 ± 0
PP
265
265
265
265 ± 0
265
265
265
265
265 ± 0
SS
150
206
82
146 ± 62
0
0
0
0
0
KS
115
59
183
119 ± 62
265
265
265
265
265 ± 0
% KS
43.4
22.3
69.05
44.9 ± 23.2
100
100
100
100
100 ± 0
KBK
30.4
15.6
48.36
31.5 ± 15.4
70.0
70.0
70.0
70.0
70.0 ± 0
PP
120
120
120
120 ± 0
120
120
120
120
120 ± 0
SS
20
42
21
27.7 ± 12.4
0
0
0
0
0
KS
100
78
99
92.3 ± 12.4
120
120
120
120
120 ± 0
% KS
83.3
65
82.5
76.9 ± 10.3
100
100
100
100
100 ± 0
KBK
26.4
20.6
26.2
24.4 ± 3.3
31.7
31.7
31.7
31.7
31.7 ± 0
Parameter
P+F* Hari ke- (g/ekor/hari) 1 2 3 4
Rataan
Keterangan: pemberian pakan tanpa asam formiat (P-F), pemberian pakan ditambah asam formiat (P+F), Pemberian Pakan (PP), Sisa (SS), Konsumsi BK (KBK), Konsumsi Segar (KS), persentasi Kosumsi Segar (%KS).
9 Pada awal penelitian, trenggiling yang diberikan formula pakan tanpa ditambah asam formiat memperlihatkan penurunan tingkat konsumsi pakan. Hal ini diduga karena trenggiling mengalami penurunan palatabilitas akibat jumlah kroto dalam pakan dikurangi. Setelah penambahan asam formiat pada pakan menunjukan peningkatan palatabilitas sejak hari pertama pemberian, ditunjukan dengan pakan yang diberikan langsung habis dikonsumsi, kecuali pada trenggiling jantan 1 (J1) pakan baru habis pada hari ke tiga (Tabel 3). Hal ini diduga karena trenggiling menyukai aroma asam formiat yang terkandung dalam pakan. Asam formiat merupakan suatu zat yang disintesa oleh semut pada bagian acidopere yang terletak di apex gaster semut (Grimaldi & Agosti 2000). Konsentrasi asam formiat yang dipakai dalam penelitian ini adalah 10/00. Menurut Canibe et al (2005) penambahan asam formiat 1.8% pada pakan babi menyebabkan penurunan jumlah bakteri anaerob, kamir, dan enterobacteria patogen di saluran pencernaan, serta penambahan asam formiat juga dapat menghasilkan babi yang sehat tanpa pemberian antibiotik. Trenggiling J1 mulai menghabiskan pakan pada hari ke tiga pemberian asam formiat diduga akibat mengalami penurunan daya penciuman karena mengalami hipersekresi mukus atau lendir dari hidungnya. Setelah diberikan tambahan multivitamin dan sekresi lendir berkurang, trenggiling mulai menunjukan peningkatan nafsu makan dan pakan yang diberikan habis dikonsumsi. Konsumsi bahan kering trenggiling yang tidak diberi asam formiat berkisar antara 0.6-1.17% dari bobot badan, sedangkan konsumsi trenggiling dengan penambahan asam formiat dalam pakan berkisar antara 1.009-1.3% dari bobot badan. Penambahan asam formiat mengakibatkan peningkatan konsumsi pakan. Hal ini sesuai Cesari et al (2008) bahwa dengan penambahan asam formiat pada pakan kelinci menyebabkan konsumsi pakan meningkat sehingga terjadi penambahan bobot badan dan meningkatnya feed conversion rate. Menurut Church dan Pond (1988) konsumsi pakan dipengaruhi oleh palatabilitas yang tergantung pada beberapa hal antara lain penampilan dan bentuk pakan bau, rasa dan tekstur pakan. Pertambahan Bobot Badan Trenggiling Tingkat pertumbuhan hewan merupakan manifestasi dari pemanfaatan pakan oleh tubuh hewan yang sangat bergantung pada kualitas pakannya. Pertambahan bobot badan setiap trenggiling selama penelitian dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4 Pertambahan bobot badan trenggiling pengaruh asam formiat Trenggiling Peubah
Jantan
Betina
Rataan
J1
J2
B1
B2
BB Awal (g/ekor)
5535
4320
5350
2005
4302.5 ± 1622.2
BB akhir (g/ekor)
5960
4985
6050
2400
4848.75 ± 1702,2
PBB (g/ekor/hari)
7.8
12.3
12.9
7.3
10.12 ± 2.9
FCR
2.2
2.1
2.08
2.5
2.2 ± 0.19
Keterangan: BB: bobot badan, PBB: pertambahan bobot badan, FCR: feed convertion ratio
10 Bobot badan awal merupakan hasil penimbangan trenggiling yang pertama kali sebelum perlakuan. Pertambahan bobot badan dihitung dengan menghitung selisih bobot badan akhir dengan bobot badan awal. Pertambahan bobot badan trenggiling setiap minggunya bervariasi, dari minggu pertama penelitian sampai minggu terakhir penelitian (Gambar 3). Rataan pertambahan bobot badan trenggiling J1, J2, B1 dan B2 selama penelitian masing-masing adalah 7.87, 12.3, 12.93, dan 7.3 g/ekor/hari. Pertambahan bobot badan
7000 6000 5000 J1
4000
J2
3000
B1
2000
B2
1000 0 m1
m2
m3
m4
m5
m6
m7
m8
Gambar 3 grafik pertambahan bobot badan mingguan pada trenggiling Jawa (Manis javanica). Tabel 4 menunjukan bahwa pertambahan bobot badan harian trenggiling B2 lebih rendah dibandingkan trenggiling lainnya yaitu 7.3 g per hari. pertambahan bobot badan yang rendah ini diduga karena selama penelitian trenggiling B2 menunjukan perilaku yang lebih aktif dibandingkan dengan trenggiling lainnya. Hal ini sesuai dengan Krisna (2006) yang mengemukakan bahwa pertambahan bobot badan, dipengaruhi aktivitas hewan. Selain itu pertumbuhan bobot badan yang rendah juga dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat kecernaan pakan, sehingga pakan yang dikonsumsi tidak semua diserap tubuh melainkan sebagian terbuang sebagai feses (Maulida 2015) atau akibat adanya penyakit. Pertambahan bobot badan harian tertinggi pada penelitian ini adalah trenggiling B1 sebesar 12.93 g/ekor/hari, hal ini dapat disebabkan oleh aktivitas trenggiling B1 yang cenderung lebih pasif daripada trenggiling lain sehingga pakan yang dikonsumsi dipakai untuk pertumbuhan bobot badan. Rata-rata pertambahan bobot badan pada penelitian ini yaitu sebesar (10.12), hasil rataan ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian sebelumnya dengan tidak menambahkan asam formiat yang menghasilkan nilai rata-rata (7.04) (Maulida 2015). Laju penambahan bobot badan trenggiling yang tinggi diduga disebabkan oleh pakan yang baik, serta tingkat palatabilitas pakan yang meningkat dengan penambahan asam formiat. Menurut Cesari et al (2008) penambahan asam formiat pada pakan kelinci berakibat pada penambahan bobot badan dan meningkatkan feed conversion rate, dan menurut Robinson (2005) trenggiling memilih pakan lebih mengutamakan menggunakan indra penciuman yang tajam dibandingkan dengan indra penglihatan.
11 Laju pertumbuhan yang tinggi dengan pakan yang baik akan mempengaruhi nilai konversi pakan, semakin rendah nilai konversi pakan maka pakan semakin dapat dimanfaatkan dengan efisien. Rasio konversi pakan paling rendah dalam penelitian ini adalah trenggiling B1 yaitu sebesar (2,08) dibandingkan dengan nilai konversi trenggiling lain, ini sesuai dengan Pond et al (1995) yaitu semakin baik kualitas pakan yang dikonsumsi hewan, diikuti dengan pertambahan bobot badan yang tinggi maka nilai konversi pakan akan semakin rendah dan semakin efisien pakan yang digunakan. Berdasarkan pengelompokan jenis kelamin pada Tabel 5 menunjukan bahwa pertambahan bobot badan pada trenggiling betina lebih tinggi daripada trenggiling jantan. Hal ini diduga karena adanya faktor kerja hormon seksual. Pada hewan betina, hormon yang lebih mendominasi adalah estrogen dibandingkan dengan testosteron. Estrogen pada hewan betina berperan penting dalam perkembangan formasi tulang dan pertumbuhan organ reproduksi (Campion et al. 1989). Selain berperan dalam perkembangan organ reproduksi, estrogen pada hewan betina juga berperan dalam mempengaruhi nafsu makan, bobot badan, dan mengatur akumulasi lemak subkutan (Krotkiewski et al. 1983). Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis hewan, jenis kelamin, umur keseimbangan zat-zat nutrien dalam pakan, metabolisme tubuh, keberadaan parasit dalam tubuh, serta status kesehatan hewan (NRC 1985; Church dan Pond 1988). Konsumsi Pakan dan Kecernaan Zat Makanan Konsumsi merupakan jumlah pakan yang dimakan oleh hewan dan kandungan zat nutriennya digunakan untuk kebutuhan hidup dan produktivitas dari suatu hewan (Tillman et al. 1998). Palatabilitas pakan tergantung pada beberapa hal yaitu penampilan dan bentuk pakan, bau, rasa, tekstur dan temperatur lingkungan (Pond et al 1995). Konsumsi pakan pengganti dalam penelitian ini dihitung berdasarkan bahan kering yang dikonsumsi trenggiling. Kecernaan pakan adalah bagian dari pakan yang tidak diekskresikan dalam feses dan diasumsikan diserap oleh tubuh hewan, dan biasanya dinyatakan dalam bahan kering dan sebagai suatu koefisien atau persentase (Mcdonald et al.1988). Menurut Ranjhan dan Pathak (1979) faktor yang mempengaruhi kecernaan pakan adalah umur hewan, jumlah pakan, pengolahan pakan, konsumsi pakan, dan rasio komposisi. Nilai kecernaan bahan kering lemak, protein, dan serat kasar dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai kecernaan bahan kering pakan rata-rata pada penelitian ini sebesar 80.17%. Nilai koefisien cerna bahan kering pakan menunjukan tingkat kecernaan pakan pada alat pencernaan dan besarnya nutrien suatu pakan bagi hewan,. Kecernaan bahan kering pada penelitian ini memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan nilai penelitian sebelumnya yang menghasilkan nilai rata-rata sebesar 69.20% (Maulida 2015). Hal ini sejalan dengan pendapat Church (1979) bahwa kecernaan bahan kering akan meningkat dengan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu bobot badan, umur, individu hewan, jenis pakan, dan faktor lingkungan.
12 Tabel 5 Konsumsi dan kecernaan nutrien yang diberi asam formiat pada pakan trenggiling Jawa (Manis javanica) Peubah
Trenggiling/Jenis Kelamin
Rataan
J1
J2
B1
B2
Bahan kering
72.89 ± 1.2
66.24 ± 3.1
72.58 ± 2.6
33.90 ± 1.4
61.40 ± 18.5
Lemak
7.17 ± 0.11
6.52 ± 0.3
7.14 ± 0.2
3.34 ± 0.13
6.04 ± 1.83
Protein
8.50 ± 0.13
7.73 ± 0.36
8.47 ± 0.3
3.96 ± 0.16
7.17 ± 2.16
Serat kasar
1.24 ± 0.02
1.12 ± 0.05
1.23 ± 0.04
0.58 ± 0.02
1.04 ± 0.3
BETN
1.56 ± 0.02
1.42 ± 0.06
1.57 ± 0.05
0.73 ± 0.03
1.32 ± 0.39
Bahan kering
9.42 ± 2.7
15.73 ± 2.7
10.25 ± 2.6
9.64 ± 2.8
11.26 ± 3.00
Lemak
0.35 ± 0.1
0.47 ± 0.08
0.20 ± 0.05
0.19 ± 0.05
0.30 ± 0.12
Protein
0.82 ± 0.2
0.88 ± 0.15
0.92 ± 0.2
0.63 ± 0.18
0.81 ± 0.11
Serat kasar
0.23 ± 0.06
0.12 ± 0.02
0.21 ± 0.05
0.39 ± 0.1
0.24 ± 0. 12
BETN
0.77 ± 0.2
0.70 ± 0.12
0.07 ± 0.01
0.24 ± 0.07
0.44 ± 0.3
Bahan kering
63.43 ± 3.2
50.51 ± 4.1
62.33 ± 4.3
24.25 ± 3.5
50.13 ± 18.2
Lemak
6.82 ± 0.17
6.05 ± 0.31
6.94 ± 0.2
3.15 ± 0.16
5.74 ± 1.77
Protein
7.68 ± 0.3
6.85 ± 0.4
7.55 ± 0.4
3.33 ± 0.3
6.35 ± 2.04
Serat kasar
1.01 ± 0.07
1.00 ± 0.05
1.02 ± 0.08
0.18 ± 0.1
0.8 ± 0.4
BETN
0.79 ± 0.2
0.72 ± 0.13
1.51 ± 0.06
0.49 ± 0.08
0.88 ± 0.43
Bahan kering
87.02 ± 3.5
76.25 ± 4.1
85.88 ± 3.6
71.53 ± 8.4
80.17 ± 7.52
Lemak
95.12 ± 1.3
92.79 ± 1.24
97.20 ± 0.7
94.31 ± 1.7
94.86 ± 1.84
Protein
90.35 ± 2.6
88.62 ± 1.9
89.14 ± 2.7
84.09 ± 4.7
88.05 ± 2.74
Serat kasar
81.45 ± 5.1
89.64 ± 1.8
82.60 ± 4.4
31.25 ± 20.2
71.24 ± 26.90
BETN
50.64 ± 13.5
50.70 ± 8.6
95.86 ± 1.08
67.12 ± 9.7
66.08 ± 21.31
Konsumsi (g)
Feses (g)
Tercerna (g)
Koefisien Cerna (%)
Keterangan: BETN: Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
Hasil tingkat kecernaan trenggiling terhadap pakan pada penelitian ini menunjukan kemampuan hewan dalam mencerna zat nutrien cukup tinggi pada lemak dan protein, hal ini terlihat dari nilai koefisien rata-rata cerna lemak sebesar 94.86%. Tingginya nilai kecernaan lemak menunjukan bahwa hampir seluruh lemak dalam pakan mampu diserap oleh trenggiling. Pencernaan lemak terjadi disaluran pencernaan, terutama dalam usus halus. Pencernaan lemak dilakukan oleh enzim lipase yang terdapat di dalam getah pankreas. Lemak akan diubah oleh lipase menjadi asam lemak dan 2-monogliserida yang dimanfaatkan oleh tubuh (Guyton dan Hall 2006). Lemak berfungsi sebagai pelindung organ vital seperti jantung, berfungsi sebagai insulator mempertahankan suhu tubuh, sebagai cadangan energi tubuh, sebagai pelarut vitamin, dan berfungsi sebagai proses penyusunan membran sel dalam tubuh (Irianto 2004). Protein adalah zat yang diperlukan untuk pertumbuhan sel dan pembentukan jaringan tubuh. Protein akan dipecah oleh tubuh menjadi struktur yang lebih sederhana yaitu asam amino (Devi 2010). Dari Tabel 5 rataan nilai koefisien cerna protein sebesar 88.05%. Nilai kecernaan protein pada penelitian sudah mencukupi kebutuhan tubuh trenggiling, hal ini sesuai dengan Kane et al. (2006) bahwa nilai
13 koefisien cerna protein pada hewan karnivora seperti kucing berkisar antara 8790%. Nilai kecernaan protein pada trenggiling dapat dianalogikan dengan nilai kecernaan protein karnivora karena sifat trenggiling sebagai hewan insektivora dan kucing sebagai karnivora bersama-sama dibentuk dari ferae (Beck et al. 2006). Penambahan asam formiat pada pakan berpengaruh terhadap koefisien cerna protein. Sesuai dengan pendapat Partanen dan Mroz (1999) bahwa asam formiat yang ditambahkan pada pakan babi berperan menurunkan ph asam lambung, meningkatkan pencernaan protein, meningkatkan aktivitas enzim proteolitik lambung serta menstimulasi pankreas untuk mengeluarkan sekretanya. Dari hasil analisis proksimat, serat kasar pada formula pakan penelitian ini sebesar 6.43% yang diduga terdiri dari kitin yang berasal dari eksoskeleton kroto, tepung jangkrik dan ulat Hongkong, serta hemiselulosa yang berasal dari pelet ikan koi. Kitin hanya dapat dipecah oleh enzim kitinase. Enzim kitinase dihasilkan oleh sel sel yang ditemukan pada daerah Kelenjar oxcyntic, meskipun hasilnya perlu dipelajari lebih lanjut (Nisa’ 2005). Tingkat kecernaan serat kasar lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kecernaan protein dan tingkat kecernaan lemak. Menurut Lin et al (2015) trenggiling dapat mencerna serat kasar sebesar 13%-28%. Sedangkan pada penelitian ini nilai koefisisen cerna serat kasar cukup besar yaitu 71.24%. Menurut Krisna (2006), trenggiling kurang mampu dalam mencerna serat kesar. Tingginya serat kasar pada penelitian ini diduga karena adanya penambahan pelet ikan koi, dan ulat Hongkong dalam pakan yang memiliki kandungan serat kasar hemiselulosa. Hemiselulosa memiliki struktur kimia yang lebih sederhana dibandingkan dengan kitin, sehingga relatif lebih mudah untuk dihidrolisis. Menurut Suparjo (2008), hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa dan arabinosa. Keberadaan asam klorida (HCl) diduga berperan penting dalam memecah hemiselulosa. Asam klorida (HCl) di dalam lambung trenggiling dihasilkan oleh sel-sel parietal pada daerah kelenjar oxyntic, dan ditemukan dalam jumlah banyak (Nisa’ et al. 2010). Menurut Tillman et al. (1998), menyatakan bahwa dalam saluran pencernaan hewan golongan non ruminansia, fungsi hemiselulosa dan selulosa tidak spesifik, tetapi penting dalam meningkatkan gerak peristaltik pada pencernaan.
14 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penambahan asam formiat dalam formula pakan pengganti dapat diadaptasi dengan baik oleh trenggiling dan dapat meningkatkan daya suka (palatabilitas), konsumsi pakan, kecernaan nutrien, dan memberikan efek positif terhadap ratarata kenaikan bobot badan perharinya sebesar 10.12 gram perhari Saran Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan subsitusi bahan yang harganya mahal ke bahan alternatif lain yang lebih ekonomis namun memiliki nilai gizi yang relatif sama, misalnya mengganti daging ayam dengan ikan teri segar. Selain itu perlu dibedakan konsumsi pakan dan kecernaan nutrien antara jantan dengan betina, serta mengubah sumber kitin dari tepung jangkrik yang susah didapatkan dengan limbah kulit udang. DAFTAR PUSTAKA Anggorodi R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan ketiga. Jakarta: PT Gramedia. Beck R, Bininda E, Olaf R, Cardillo, Marcel, Liu, Fu Guo, Purvis, Andy. 2006. A higher-level MRP supertree of placental mammals. BMC Evolutionary Biology. 6 (1): 93-101. Bräutigam A, Howes J, Humphreys T, and Hutton J. 1994. Recent information on the status and utilization of African pangolin. Traffic Bull. 15: 15-22. Breen K. 2003. Manis javanica [Internet]. [diunduh pada tanggal 13 April 2016]. Tersedia pada:http://animaldiversity.org/accounts/Manis-javanica/. Campion DR, Harusman GJ, Martin RJ. 1989. Animal Growth Regulation. New York (US): Plenum Pr. Canibe N, Højberg O, Højsgaard S, Jensen B. 2005. Feed physical form and formic acid addition to the feed affect the gastrointestinal ecology and growth performance of growing pigs. J. Anim. Sci. 83:1287-1302. Cesari V, Toschi I, Pisoni AM, Grilli G, Cesari N. 2008. Effect of dietary acidification on growth performance and caecal characteristics in rabbits. in: Proceedings of the Ninth World Rabbit Congress. 583–587 Church DC. 1979. Digestive Physiology and Nutrition of Ruminants. 2nd Ed. O & B Books. Corvallis, Oregon. USA. Church DC, and Pond W . 1988. Basic Animal and Feeding. John Willey and Son, New York. Devi N. 2010. Nutrition and Food. Jakarta (ID): PT Kompas Media Nusantara. Feldhamer GA, Drickamer CL, Vessey SH, JF Merritt. 1999. Adaptation, Diversity, and Ecology Mamalogy. Boston: The McGraw Hill Companies. 85(252). Gaubert P, and Antunes A. 2005. Assessing the taxonomic status of the Palawan pangolin Manis culionensis (Pholidota) using discrete morphological characters. J Mammal.86(6): 341-350.
15 Grimaldi D, and Agosti D. 2000. A formicine in New Jersey Cretaceous amber (Hymenoptera: Formicidae) and early evolution of the ants. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United State of America 97 (25): 13678– 13683. Grzimek B. 1975. Animal Life Encyclopedia. Vol II. Mammals II. New York (US): Van Nostrand Reinhold Co. Guyton AC, and Hall EJ. 2006. Medical Physiology. 11th Ed. Philadelpia (US). Saunders Company. Irianto K. 2004. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia. Bandung : Yrama Widya. Kane E, Morris J, Rogers Q. `1981. Acceptability and digestibility by adult cats of diets made with various sources and levels of fat. J. Anim. Sci. 53 (6) 15161523. Krisna R. 2006. Kandungan nutrisi pakan trenggiling (Manis javanica) dan kaitan terhadap pertumbuhannya [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Krotkiewski M, Bjorntorp P, Sjostrom L, Smith U. 1983. Impact of obesity on metabolism in men and women. Importance of regional adipose tissue distribution, J. Clin. Invest. 72 (3) 1150–1162. Luck E, and Jager M. 1996. Antimicrobial Food Additives. Germain: Springer. Lin MF, Chang CY, Yang CW, Dierenfeld ES. 2015. Aspects of digestive anatomy, feed intake and digestion in the Chinese pangolin (Manis pentadactyla) at Taipei zoo. Zoo Biol. 34 (3): 262-70. Maulida S. 2015. Adaptasi trenggiling Jawa (Manis javanica) terhadap pemberian formula pakan pengganti. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Maynard LA, and Loosli JK. 1969. Animal Nutrition. McGaw Hill Book Company. P. 346-354. McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JED, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition.6thEd. Gosport (UK): Ashford Colour Pr. Ltd. Ninasari RA. 2014. Komposisi nutrisi dan tanin dalam beberapa bahan pakan alami burung kicau. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nisa’ C. 2005. Morphological studies of the stomach of Malayan Pangolin Manis javanica. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nisa’ C, Agungpriyono S, Katimura N, Sasaki M, Yamada J, Sigit K. 2010. Morphological features of the stomach of Malayan Pangolin, Manis javanica. Anat. Histol. Embryol.39 (2010): 432 – 439. Nisa’ C, Masyud B, Purwakusumah ED. 2015. Formulasi Pakan Trenggiling (Manis Javanica) Sebagai Substitusi Pakan Alami untuk Menunjang Konservasi Ex situ [laporan penelitian strategis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. [NRC] National Research Council. 1985. Nutrient Requirements of Sheep. 11th Ed. Philadelphia (US): Lea and Febiger. p: 235-239. Partanen KH, and Mroz Z. 1999. Organic acid for performance enhancement in pig diets. Nutr Res Reviews 12:1-30. Peterson PR. 2005. Forage for goat Production. Blacksburg. Dept. Virginia Tech University. Pond WG, Church DC, Pond KR. 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding 4th Ed. John Wiley and Sons. New York (US). Ranjhan SK and Pathak NN. 1979. Management and Feeding of Buffaloes. VIkas Publishing House PVT LTD. New Delhi. p : 133-135.
16 Robinson PT. 2005. Zoo and Wild Animal Medicine.Ed ke-5.London (GB): Saunders. Roth MY, and Page ST. 2011. A Role For Dihydrosterone Treatment In Older Men. Asian J of Andrology. 13:199-200. Sari RM. 2007. Kajian morfologi lidah trenggiling (Manis javanica). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suparjo. 2008. Degradasi Komponen Lignoselulosa oleh Kapang Pelapuk Putih. [internet]. [diunduh pada tanggal 12 agustus 2016]. Tersedia pada :http://jajo66. Wordpress.com Tarigan A. 2009. Produktivitas dan pemanfaatan Indigofera sp sebagai pakan ternak kambing pada interval dan intensitas pemotongan yang berbeda [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tillman AD, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo S. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Vijayan M, Yeong C, Ling D. 2008. Captive management of Malayan pangolins Manis javanica in the Night Safari. In: Pantel S, Chin SY (Eds) Proceedings of the Workshop on Trade and Conservation of Pangolins Native to South and Southeast Asia. TRAFFIC Southeast Asia, Singapore Zoo, Singapore, 119– 129. Widyasari R. 2006. Pengujian Asam Semut dan Cuka Kayu dalam Pengendalian Tungau (Varroa destructor) pada Lebah Madu (Apis mellifera). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Wojtusiak J, and Godznska EZ. 1993. Factors influencing the responses to nest damage in the Africa weaver ant, Oecophylla longinoda (Latrille). Acta Neurobiola Exp 53(2): 401-408. Yonas Y. 1993. Pembuatan Silase Kepala Udang dengan penambahan Asam Formiat dan Asam Propionat. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
17
RIWAYAT HIDUP Aang Hasanudin dilahirkan di Majalengka pada tanggal 18 Juni 1993 dari pasangan Bapak H Enur Daenuri dan Ibu Hj Iing. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 2 Sindang Majalengka pada tahun 2006 dan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Talaga Majalengka pada Tahun 2009. Selanjutnya penulis pada tahun 2012 menyelesaikan pendidikan lanjutan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Talaga Majalengka dan pada tahun yang sama penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) . Selama masa perkuliahan, penulis aktif menjadi anggota Himpunan Profesi Ruminansia Fakultas Kedokteran Hewan, Badan eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.