1
KAJIAN KETERKAITAN SISTEM PELAKSANAAN PROGRAM HIGIENE DALAM MEREDUKSI RISIKO BAHAYA HISTAMIN PADA PROSES PRODUKSI TUNA LOIN BEKU
MINAL FITRANI C34060598
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
2
RINGKASAN MINAL FITRANI. Kajian Keterkaitan Sistem Pelaksanaan Program Higiene dalam Mereduksi Risiko Bahaya Histamin pada Proses Produksi Tuna Loin Beku. Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan BAMBANG RIYANTO. Peningkatan ekspor tuna Indonesia yang besar ternyata masih memiliki permasalahan akan tingginya kadar histamin dari produk yang ada. Histamin merupakan bahaya potensial penyebab keracunan yang terdapat pada ikan-ikan scombroidae, seperti tuna. Secara teoritis, histamin merupakan hasil bentukan dari proses dekarboksilasi histidin oleh mikroorganisme, terutama mikroorganisme yang berasal dari kontaminasi lingkungan, seperti saat penanganan (handling) yang tidak higienis. US-FDA telah menentukan standar kadar histamin pada produk tuna, yaitu sebesar 20 mg per 100 g, dimana nilai ini merupakan indikasi dari proses penanganan ikan yang tidak higienis. Higiene adalah semua kondisi dan tindakan yang dibutuhkan untuk memastikan dan menjamin dihasilkannya produk yang aman pada setiap tahapan pada rantai proses pengolahan. Akan tetapi, masih banyak industri pengolahan tuna yang belum serius dalam menerapkan peraturan higiene sebagai pondasi dari sistem keamanan pangannya, sehingga dibutuhkan informasi mengenai keterkaitan ketidaksesuaian pelaksanaan sistem higiene terhadap risiko bahaya yang dapat ditimbulkannya. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari sistem higiene pada proses produksi tuna loin beku dan melakukan kajian keterkaitan pelaksanaan program higiene terhadap risiko bahaya histamin. Kajian ini dilakukan dengan penilaian kesesuaian pelaksanaan program higiene, pengujian produk tuna loin beku dan verifikasi dengan analisis statistik menggunakan statistical process control (SPC) pada temuan ketidaksesuaian pelaksanaan program higiene selama proses produksi tuna loin beku. Ketidaksesuaian aspek higiene yang ditemukan dan diduga dapat menyebabkan kenaikan jumlah histamin pada produk tuna loin beku adalah mutu dan suhu bahan baku; penyimpangan suhu dan waktu proses (tahap penerimaan bahan baku, pemberian gas CO, pemvakuman, pengepakan, dan penyimpanan beku) serta aspek personal (pihak manajemen dan karyawan). Analisis histamin dan analisis mikrobiologis menunjukkan kadar histamin, jumlah bakteri TPC, dan bakteri penghasil histamin (BPH) meningkat selama pengolahan. Rataan kadar histamin pada tahap penerimaan bahan baku, tahap pembentukan loin, dan produk akhir berturut-turut yaitu: 1,17 ppm, 3,67 ppm, dan 10,26 ppm. Jumlah TPC yaitu 1,4 x 104 Koloni/g, 2,4 x 104 Koloni/g, dan 7,2 x 104 Koloni/g, serta jumlah BPH yaitu: 4,8 x 103 Koloni/g, 5,1 x 103 Koloni/g dan 3,1 x 104 Koloni /g. Analisis statistical proses control pada bahan baku menunjukkan kadar histamin stabil dengan nilai rataan 1,51 ppm dengan standar deviasi 0,53; suhu bahan baku stabil, yaitu ≤ 3oC dengan nilai rataan 1,39oC dengan standar deviasi 0,17. Adapun aspek penyimpangan suhu dan waktu proses menunjukkan ketidaksesuaian pelaksanaan program higiene menghasilkan kapabilitas proses yang rendah (tingkat kesalahan tinggi), sehingga berpotensi mempertinggi risiko histamin selama proses produksi tuna loin beku.
3
KAJIAN KETERKAITAN SISTEM PELAKSANAAN PROGRAM HIGIENE DALAM MEREDUKSI RISIKO BAHAYA HISTAMIN PADA PROSES PRODUKSI TUNA LOIN BEKU
MINAL FITRANI C34060598
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
4
Judul
: Kajian Keterkaitan Sistem Pelaksanaan Program Higiene dalam Mereduksi Risiko Bahaya Histamin pada Proses Produksi Tuna Loin Beku
Nama
: Minal Fitrani
NIM
: C34060598
Menyetujui,
Pembimbing 1,
Pembimbing II,
(Ir. Wini Trilaksani, M.Sc ) NIP : 19610128 198601 2 001
(Bambang Riyanto S.Pi, M.Si) NIP : 19690603 199802 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen:
(Dr. Ir Ruddy Suwandi, MS, M.Phil) NIP : 1958 0511 198503 1 002
Tanggal Lulus,…………………………...
5
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Kajian Keterkaitan Sistem Pelaksanaan Program Higiene dalam Mereduksi Risiko Bahaya Histamin pada Proses Produksi Tuna Loin Beku adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011 Minal Fitrani
6
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunianya
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi dengan
judul
Kajian
Keterkaitan Sistem Pelaksanaan Program Higiene dalam Mereduksi Risiko Bahaya Histamin pada Proses Produksi Tuna Loin Beku. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi, terutama kepada: 1. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Bambang Riyanto, S. Pi, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis. 2. Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS selaku dosen penguji, atas segala pertanyaan serta kritik dan saran yang membangun. 3. Ir. Djoko Poernomo selaku dosen pembimbing akademik, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis. 4. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan. 5. Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol sebagai Ketua Komisi Pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan. 6. Ibu Wahyuni sebagai kepala UPT BPMPHPK DKI Jakarta dan Ibu Devi sebagai Kepala Teknis Laboratorium UPT BPMPHPK DKI Jakarta. 7. Bapak Hendra Sugandhi sebagai direktur utama PT LNJ atas izin penelitian yang diberikan serta Bapak Nur Hadipitoyo sebagai Manajer Umum PT LNJ atas bantuan, bimbingan dan kerjasamanya. 8. Bundaku tersayang, Bapak, Mas Abi, Mbak Lia dan Dede Nurul serta keluarga atas kasih sayang tiada tara, doa tanpa henti, bantuan moril dan materil serta semangat pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Teman-teman satu bimbingan: partner setiaku Patmawati, Wahyu, Ibnu, Ozi, especially teman-teman seperjuangan di Muara Baru: Anggi dan Rizal atas kebersamaan, dukungan dan semangat yang diberikan. 10. Teman-teman tersayang: Rzers (Dwi, Nurma, Nurul, Erika, Ana, Lana, Ely, Ika, Laras, Chacha, Yuyun), Cikuik, Nanda, Era, Pipit, Memey, Cece, Hilda, Ratna, Rida, Aci, Icha.
vi
7
11. Yayan Sofyan, Mbak Nana, Mbak Uppy, Mas Danuri, Mas Wisman, Pipit dan seluruh karyawan PT LNJ atas perhatian, canda tawa, bantuan dan kerjasamanya. 12. Karyawan UPT BPMPHPK: Ibu Yuli, Ibu Ellis, Anita, Diah, Mita, Sidik, Pak Kur, Kak Kukuh, Pak Woko atas bantuan yang diberikan. 13. Keluarga besar Departemen Teknologi Hasil Perairan, staff , dosen dan Tata Usaha (TU), serta teman-teman THP 41, 42, 43, 44, dan 45 yang telah memberikan dorongan dan semangat. 14. Terakhir, kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.
Bogor, Maret 2011 Minal Fitrani
vii
8
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palas, Lampung Selatan pada tanggal 16 Mei 1988, sebagai anak kedua dari pasangan Ponijo dan Suarni, S.Pd. Penulis menempuh pendidikan formal di SMA Al-Kautsar Bandar Lampung (tahun 2003-2006). Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan pada tahun 2007 diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan diantaranya Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN)
sebagai anggota divisi
sosial kemasyarakatan periode
2008-2009 dan 2009-2010, OMDA Kemala (Keluaga Mahasiswa Lampung) sebagai pengurus, serta aktif dalam kepanitiaan berbagai kegiatan kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor. Penulis juga aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Diversifikasi dan Pengembangan Produk Hasil Perairan 2009/2010, Teknologi Pemanfaatan Hasil Samping dan Limbah 2009/2010 dan Teknologi Produk Tradisional Hasil Perairan 2009/2010. Pelatihan yang pernah penulis ikuti yaitu pelatihan Good Laboratory Practices (GLP) yang diadakan oleh HIMASILKAN dan pelatihan ISO 22000 yang diadakan di Institut Pertanian Bogor. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan, penulis melaksanakan penelitian dengan judul Kajian Keterkaitan Sistem Pelaksanaan Program Higiene dalam Mereduksi Risiko Bahaya Histamin pada Proses Produksi Tuna Loin Beku dibawah bimbingan Ir. Wini Trilaksani, M. Sc dan Bambang Riyanto, S. Pi, M.Si.
viii
9
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xiii
1 PENDAHULUAN..............................................................................
1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2 Tujuan ...........................................................................................
3
2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
4
2.1 Tuna Loin ......................................................................................
4
2.2 Histamin ........................................................................................
7
2.3 Higiene ..........................................................................................
11
3 METODOLOGI .................................................................................
17
3.1 Waktu dan tempat .......................................................................
17
3.2 Alat dan Bahan ...........................................................................
17
3.3 Prosedur Penelitian .....................................................................
17
3.4 Prosedur Pengujian .....................................................................
20
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................
29
4.1 Mempelajari, Mendeskripsikan dan Memverifikasi Proses Pembuatan Tuna Loin Beku di PT X ...........................................
30
4.2 Mempelajari Sistem Pelaksanaan, Memverifikasi Program Higiene pada Proses Produksi Tuna Loin Beku, dan Melakukan Penilaian Pelaksanaan Program Higiene PT X ............................ 4.2.1 Produksi bahan baku ....................................................... 4.2.2 Desain dan fasilitas .......................................................... 4.2.3 Prosedur pengendalian..................................................... 4.2.4 Sanitasi............................................................................ 4.2.5 Personal ..........................................................................
35 35 35 44 52 53
4.3 Kajian Keterkaitan Sistem Pelaksanaan Program Higiene dengan Mutu Produk Tuna Loin Beku ..................................................... 4.3.1 Mutu produk tuna loin beku............................................. 4.3.2 Ketidaksesuaian pelaksanaan program higiene yang berpotensi meningkatkan pembentukan histamin ............. 5 KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................
ix
54 54 59 71
10
5.1 Kesimpulan.................................................................................
72
5.2 Saran ..........................................................................................
72
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
73
LAMPIRAN ...........................................................................................
79
x
11
DAFTAR TABEL
No. 1
Halaman Komposisi Gizi Beberapa Jenis Ikan Tuna (Thunnus sp.) per 100 gram daging ikan .......................................................................................
6
Konsentrasi asam amino bebas pada yellowfin tuna loin pada penyimpanan 1.0±0.3oC ....................................................................
7
3
Bakteri penghasil histamin yang terdapat pada ikan laut ....................
9
4
Analisis statistika kendali proses pada beberapa alur proses yang mengandung ketidaksesuaian dalam pelaksanaan program higiene ....
62
Uji tingkat kepercayaan karyawan pada kinerja manajemen puncak dalam sistem higiene .........................................................................
68
2
5
xi
12
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1
Ikan tuna (Thunnus sp) ...................................................................
4
2
Alur kajian keterkaitan pelaksanaan program higiene dengan risiko bahaya histamin ....................................................................
28
3
Diagram alur proses produksi tuna loin pada PT X ........................
34
4
Kemasan dan label yang digunakan PT X .......................................
49
5
Contoh kode batch tahap pembelian-penimbangan akhir .................
51
6
Contoh kode produksi pengemasan- stuffing pada master carton .....
52
7
TPC pada ikan tuna selama proses produksi ....................................
55
8
Jumlah bakteri penghasil histamin pada tuna loin selama proses produksi..........................................................................................
55
9
Jumlah bakteri total dan bakteri penghasil histamin.........................
56
10
Kadar histamin produk tuna loin selama pengolahan ......................
58
11
Variasi resiko histamin berdasarkan bagian tubuh yang dijadikan sampel pada tuna ...........................................................
59
12
Fluktuasi suhu ikan tuna bahan baku loin ........................................
60
13
Fluktuasi kadar histamin ikan tuna bahan baku loin ........................
60
14
Diagram sebab akibat penyebab variasi kadar histamine tuna loin beku ........................................................................................
67
Hasil pengisian kuisioner oleh karyawan PT X ..............................
69
15
xii
13
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1
Format tabel observasi kegiatan proses pembuatan tuna loin beku ..
80
2
Tabel observasi kegiatan proses pembuatan tuna loin beku ............
81
3
Format tabel program higiene pada proses produksi tuna loin PT X
83
4
Tabel program higiene pada proses produksi tuna loin PT X ...........
84
5
Format Tabel Penilaian Kesesuaian program higiene pada proses produksi tuna loin beku di PT X ..........................................
87
Tabel Penilaian Kesesuaian program higiene pada proses produksi tuna loin beku di PT X ......................................................
88
7
Kuisioner karyawan (Modifikasi Aarnisalo et.al 2006) ...................
101
8
Kuisioner tentang kepercayaan karyawan terhadap manajemen puncak (Brown 1999) ...................................................
103
9
Form harvest vessel receiving record .............................................
104
10
Layout pekerja di PT X ..................................................................
105
11
Chilling temperature monitoring control ........................................
106
12
Frezzing monitoring report ............................................................
107
13
Cold storage temperature report ....................................................
108
14
Alur pembuangan limbah padat ......................................................
109
15
Hasil pengujian histamine bahan baku PT X ...................................
110
16
Hasil pengujian TPC bahan baku PT X ...........................................
111
17
Daily record of raw material receiving ..........................................
113
18
Dailly Report of packing and labelling ...........................................
114
19
Dailly Report of sanitation inspection ............................................
115
20
Hasil pengujian air PT X .................................................................
116
21
Analisis statistik suhu bahan baku ...................................................
117
22
Analisis statistik histamin bahan baku .............................................
117
23
Analisis statistik alur proses penerimaan bahan baku ......................
118
24
Analisis statistik alur proses pemberian gas CO ..............................
119
25
Analisis statistik alur proses pemvakuman ......................................
120
26
Analisis statistik alur proses pengepakan ........................................
121
27
Analisis statistik suhu penyimpanan beku ......................................
122
28
Tabel konversi nilai DPMO ke nilai Sigma ....................................
123
29
Data analisis TPC ..........................................................................
126
6
xiii
14
30
Data analisis bakteri penghasil histamin .........................................
126
31
Data pengujian histamin .................................................................
126
32
Dokementasi kegiatan penelitian ....................................................
130
xiv
15
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tuna merupakan komoditas ekspor terbesar ke-2 Indonesia setelah udang dengan nilai ekspor mencapai US$ 243 juta pada tahun 2009 (KKP 2010). Data ekspor dan impor KKP tahun 2010 menunjukkan bahwa produksi tuna Indonesia naik yaitu dari 203.269 ton pada tahun 2009 menjadi 207.010 ton pada tahun 2010 atau mengalami peningkatan sebesar 1,84% (KKP 2011). Produksi dan pasar tuna Indonesia yang besar tersebut, ternyata masih memiliki kendala, diantaranya adalah penolakan oleh negara importir akibat kadar histamin yang melampaui batas. Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) Uni Eropa tahun 2007 mencatat bahwa terdapat 22 kasus ekspor tuna dari Indonesia dengan kadar histamin yang melebihi ambang batas (EC 2007). Food and Drugs Administration (FDA) Amerika Serikat juga melaporkan bahwa telah terjadi kasus penolakan ikan tuna asal Indonesia, dengan 13 kasus pada tahun 2007 dan 7 kasus pada tahun 2008, yang disebabkan oleh kadar histamin yang melebihi ambang batas (FDA 2009). Histamin merupakan bahaya potensial penyebab keracunan yang terdapat pada ikan-ikan scombroid, seperti tuna. Keracunan dapat terjadi dalam beberapa menit atau beberapa jam setelah mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin tinggi (Emborg et al. 2008). Pembentukan histamin terjadi dari proses dekarboksilasi histidin oleh mikroorganisme, baik yang terdapat dalam tubuh ikan maupun mikroorganisme dari lingkungan (Rawles et al. 1996). Kontaminasi khususnya oleh bakteri penghasil histamin jenis psikrofilik dapat mempertinggi risiko keracunan histamin. Hal ini karena bakteri psikrofilik masih dapat mendekarboksilasi histidin menjadi histamin, walaupun penyimpanan dilakukan pada suhu chilling (Dalgaard dan Emborg 2008). Selain itu enzim histidin dekarboksilase yang telah terbentuk oleh kontaminan, dapat terus membentuk histamin walaupun ikan disimpan pada suhu beku dan sel bakteri telah injury (Baranowski et al. 1990). Kontaminasi yang menyebabkan terbentuknya histamin terutama disebabkan oleh adanya penanganan yang tidak higiene (FDA 1998). Kaitan antara higiene dengan histamin ini diperkuat oleh Hui dan Taylor (1983) yang menyatakan
162
bahwa histamin merupakan parameter yang menggambarkan penerapan higiene yang kurang baik pada penanganan bahan baku dan proses produksi tuna. Selain itu, United States-Food and Drugs Assosciation (US-FDA) telah mengeluarkan standar kadar histamin pada tuna 20 mg per 100 g yang menunjukkan adanya indikasi yang tidak higienis pada beberapa tahap penanganan pasca tangkap tuna (FDA 2001). Higiene adalah semua kondisi dan tindakan yang dibutuhkan untuk memastikan dan menjamin dihasilkannya produk yang aman pada setiap tahapan pada rantai proses (CAC 2003). Higiene pangan memiliki tujuan untuk mengeliminasi dan meminimalisasi kontaminasi pada pangan (Johns 1991). Penerapan higiene yang tidak baik, tidak hanya berakibat pada peningkatan histamin tetapi juga menimbulkan berbagai permasalahan. RASFF melaporkan bahwa 70,45% dari total notifikasi pada produk perikanan terjadi karena adanya ketidaksesuaian pada pelaksanaan sistem higiene (EC 2010). Di Italia, 74% infeksi Salmonella disebabkan karena kondisi lingkungan yang tidak higiene (Jones 1998). Wallace et al. (2011) mencatat berbagai insiden besar karena makanan sejak 1989-2009, dan dari 15 kasus yang tercatat terdapat 4 kasus yang timbul karena praktek higiene yang tidak baik. Masalah-masalah keamanan pangan yang ditimbulkan karena praktek higene yang tidak baik, khususnya histamin dalam industri tuna perlu dikendalikan dengan suatu sistem manajemen keamanan pangan yang efektif (Huss et al. 2004). Sistem manajemen keamanan pangan berbasis science yang direkomendasikan oleh Codex Allimentarius Commission (CAC) adalah Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) (Wallace et al. 2011). HACCP merupakan salah satu sistem manajemen keamanan pangan dengan pendekatan sistematik yang mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya-bahaya untuk memastikan jaminan keamanan pangan (CAC 2003). Berdasarkan laporan Keener (1999), Wallace dan Williams (2001), Paniselo & Quantick (2001), dan Wallace et al. (2011) bahwa penerapan HACCP banyak mengalami kegagalan. Kajian Paniselo & Quantick (2001) memperlihatkan gambaran umum adanya 5 hambatan teknis yang menjadi penyebab kegagalan HACCP, yaitu persepsi yang salah terhadap pengawasan (kontrol), ukuran
17 3
perusahaan, jenis produk, dan syarat atau standar keamanan pangan oleh konsumen/buyer. Persepsi yang salah terhadap pengawasan (kontrol) oleh perusahaan merupakan hambatan teknis utama dalam penerapan HACCP. Hal ini berhubungan dengan komitmen manajemen, yang berarti bahwa pihak manajemen kurang serius dalam menegakkan dan mengawasi aspek mendasar penerapan HACCP (Keener 1999, Paniselo & Quantick 2001). Aspek mendasar yang dimaksud adalah sistem higiene, dimana sistem tersebut merupakan suatu Pre Requisite Programe (PRP) atau pondasi dasar dari HACCP (Wallace dan Williams 2001, Wallace et al. 2011). Ketidakseriusan dalam penerapan sistem higiene yang mengakibatkan kegagalan dalam implementasi HACCP akan menyulitkan pengendalian bahaya histamin. Hal ini sering tidak disadari oleh pihak manajemen, sehingga dibutuhkan suatu informasi mengenai keterkaitan ketidaksesuaian pelaksanaan sistem higiene terhadap risiko bahaya yang dapat ditimbulkan. Oleh karena itu, pengkajian mengenai keterkaitan antara program higiene yang dilaksanakan pada produksi tuna loin beku dengan risiko bahaya histamin menjadi penting untuk dilakukan. 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari sistem higiene perusahaan pada proses produksi tuna loin beku dan melakukan kajian keterkaitan pelaksanaan program higiene terhadap risiko bahaya histamin.
18
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuna Loin Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scombroidae, tubuhnya seperti cerutu, mempunyai dua sirip pungung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung hipural. Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap (Graham dan Dickson 2001). Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan tuna sebagai berikut : Phylum
:
Chordata
Sub phylum
:
Vertebrata Thunnus
Class
:
Teleostei
Sub Class
:
Actinopterygii
Ordo
:
Perciformes
Sub ordo
:
Scombroidae
Genus
:
Thunnus
Species
:
Thunnus alalunga (Albacore) Thunnus albacores (Yellowfin Tuna) Thunnus macoyii (Southtern Bluefin Tuna) Thunnus obesus (Big Eye Tuna) Thunnus tongkol (Longtail Tuna )
Adapun bentuk tubuh ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Ikan tuna (Thunnus sp.). Sumber: Schultz (2000)
19 5
Tuna loin mentah beku adalah produk yang dibuat dari tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan penyiangan, pembelahan membujur menjadi 4 bagian (loin), pembuangan daging gelap (dark meat), pembuangan lemak, pembuangan kulit, perapihan, dan pembekuan cepat dengan suhu pusatnya maksimum -18oC (BSN 2006a). Cara penanganan dan pengolahan ikan tuna loin yang terdapat dalam SNI 01-4104.3-2006 meliputi: (1)
Penerimaan Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hatihati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C.
(2)
Penyiangan atau tanpa penyiangan Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C.
(3)
Pencucian 1 (khusus yang menggunakan bahan baku segar). Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C.
(4)
Pemotongan daging (pembuatan loin) Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,4 °C.
(5)
Pengulitan dan Perapihan Tulang, daging merah dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pengulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu produk 4,4 °C.
(6)
Sortasi mutu Sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin keberadaam tulang, duri, daging merah dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C.
20 6
(7)
Pembungkusan Loin yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual vakum dan tidak vakum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C.
(8)
Pembekuan Loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku seperti ABF hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal –18 °C dalam waktu maksimal 4 jam.
(9)
Penimbangan Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18 °C.
(10)
Pengepakan Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter.
Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan lemak yang rendah. Kandungan proximat pada berbagai spesies tuna dapat dilihata pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi Gizi Beberapa Jenis Ikan Tuna (Thunnus sp.) per 100 gram daging ikan. Komposisi
Bluefin
Skipjack
Yellowfin
Satuan
Energi
121,0
131,0
105,0
Kal
Protein
22,6
26,2
24,1
G
Lemak
2,7
2,1
0,2
G
Abu
1,2
1,3
1,2
Mg
Calsium
8,0
80,0
9,0
Mg
190,0
220,0
220,0
Mg
2,7
4,0
1,1
Mg
Sodium
90,0
52,0
78,0
Mg
Retinol
10,0
10,0
5,0
Μg
Thiamin
0,1
0,03
0,1
Mg
0,06
0,15
0,1
Mg
Niasin 10,0 Sumber: Williams (1986)
18,0
12,2
Mg
Phosphor Besi
Riboflavin
21 7
Adapun konsentrasi asam amino bebas pada yellowfin tuna loin pada penyimpanan 1,0 ± 0,3oC dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Konsentrasi asam amino bebas pada yellowfin tuna loin pada penyimpanan 1,0 ± 0,3oC. Asam amino
Konsentrasi (mg/kg)
Asam amino
Konsentrasi (mg/kg) 154 ± 49
Alanin
178 ± 39
Lisin
Arginin
28 ± 10
Metionin
43 ± 15
Asam aspartat
11 ± 6
Penilalanin
52 ± 14
Sistin
54 ± 16
Prolin
35 ± 9
Glisin
109 ± 23
Serin
49 ± 14
Tirosin
79 ± 20
Valin
78 ± 18
Histidin
13,97 ± 1540
Isoleusin
46 ± 12
Leusin 57 ± 14 Sumber: Emborg te al. (2005)
2.2
Histamin
Histamin adalah senyawa yang terdapat dalam daging ikan dari famili Scombroidae atau ikan lain yang membusuk dan di dalam dagingnya terdapat kadar histidin yang tinggi. Histamin di dalam daging ikan di produksi oleh enzim pemecah histidin yaitu histidine dekarboksilase melalui proses dekarboksilasi (pemotongan gugus karboksil). Enzim pemecah karboksil dapat berasal dari tubuh ikan sendiri, namun sebagian besar enzim tersebut dihasilkan oleh mikroba yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain yang mengkontaminasi (Keer et al. 2002). Kimata (1961) pada mulanya menduga bahwa pembentukan histamin disebabkan karena proses autolisis, namun ternyata peranan proses autolisis terhadap pembentukan histamin sangat kecil dan diabaikan jumlahnya, jika dibandingkan jumlah histamin yang terbentuk karena proses dekarboksilasi oleh bakteri. Lebih lanjut dapat diketahui bahwa histamin mulai terbentuk pada saat jumlah ammonia dan amino nitrogen pada ikan sudah banyak terbentuk akibat proses kemunduran mutu. Selama proses kemunduran mutu, bakteri memproduksi enzim dekarboksilase yang akan mengubah histidin bebas pada daging ikan menjadi histamin dan amin biogenik lain seperti putresin (dari ornitin), kadaverin (dari lisin), dan spermidin dan spermin (dari arginin) (Lehane dan Olley 2000). Toksisitas histamin
22 8
bertambah ketika ada amin biogenik lain yang ikut dikonsumsi seperti putresin dan kadverin (Rossi et al., 2002). Berdasarkan penelitian Kerr et al. (2002), diketahui bahwa pada suhu 17 oC, histamin dan kadaverin berkembang lebih cepat dibandingkan biogenik amin lainnya, sedangkan diantaranya keduanya, histamin mengalami peningkatan yang lebih signifikan dibandingkan kadaverin. Pada penyimpanan suhu 4oC, peningkatan biogenik amin hanya terjadi pada kadaverin dan pada suhu penyimpanan 0oC histamin dan kadaverin tidak terbentuk hingga penyimpanan hari keempat. Hasil penelitian Kerr et al. (2002) ini menyimpulkan bahwa terbentuknya biogenik amin dapat dihambat dengan penyimpanan pada suhu 0 oC atau lebih rendah. Laporan-laporan tentang suhu optimum dan batas suhu terendah untuk pembentukan histamin sangat bervariasi. Kim et al. (1999) melaporkan bahwa suhu optimum pembentukan histamin adalah pada suhu 25oC. Adapun Yoguchi et al. (1990) menyampaikan bahwa penyimpanan pada suhu 25 oC selama 24 jam dapat meningkatkan kandungan histamin hingga 120 mg/100 g. Mengingat suhu optimum bakteri pembentuk histamin adalah 20-25oC, maka perlakuan penundaan dengan suhu rendah, sangat efektif untuk menekan pertumbuhan bakteri tersebut. Akan tetapi, Baranowski et al. (1990) menyampaikan bahwa pada suhu 2oC Klebsiella pneumonia tidak dapat tumbuh, tetapi pada suhu 4 oC masih dapat menghasilkan histamin walaupun dalam jumlah yang sedikit. Bakteri pembentuk histamin kebanyakan dari family Enterobacteriaceae yang jenisnya sangat banyak, namun yang paling berperan dalam dekarboksilasi histidin adalah Morganella morganii, Klebsiella pneumonia, dan Hafnia alvei. Bakteri ini dapat ditemukan pada hampir semua jenis ikan, kemungkinan besar hasil kontaminasi pasca panen. Bakteri penghasil histamin ini tumbuh baik pada suhu 10oC, tetapi dapat juga tumbuh pada 5 oC (Kim et al 2003). Oleh karena itu, Food and Drug Administration (FDA) menetapkan bahwa batas kritis suhu untuk pertumbuhan histamin adalah 4,4oC (FDA 2009). Macam-macam bakteri penghasil histamin yang terdapat pada ikan laut dan spesifikasinya dapat dilihat pada Tabel 3. Hampir semua bakteri ini memiliki spesifikasi gram negatif dan
239
bersifat fakultatif anaerobik sehingga mampu tumbuh pada kondisi aerobik dan anaerobik. Tabel 3 Bakteri penghasil histamin yang terdapat pada ikan laut Bakteri
Spesifikasi
Hafnia sp.
Gram-negatif, Fakultatif anaerobik (Hafnia alvei)
Klebsiella sp.
Gram-negatif, Fakultatif anaerobik (Klebsiella pneumonia)
Escherichia coli
Gram-negatif, Fakultatif anaerobik
Clostridium sp.
Gram-negatif, Fakultatif anaerobik (Clostridium perferingens)
Lactobacillus sp.
Gram-positif, Fakultatif anaerobik (Lactobacillus 30a)
Enterobacter spp.
Gram-negatif, Fakultatif anaerobik (Enterobacter aerogenes)
Proteus sp.
Gram-negatif, Fakultatif anaerobik (Proteus morganii)
Sumber: Martin et al. (1982)
Bakteri-bakteri tersebut merupakan bakteri yang bersifat mesofilik. Selain bakteri-bakteri mesofilik, terdapat pula bakteri penghasil histamin yang bersifat psikrotrofik, yaitu bakteri yang dapat tumbuh pada suhu 0 oC dan memiliki temperatur
optimum
20-30oC.
Bakteri
tersebut
adalah
Morganella
psychrotolerans dan Photobacterium phosphoreum. Bakteri psikrotrofik akan lebih cepat menghasilkan histamin pada suhu 17-23oC dibandingkan pada suhu 6-7oC dan 35oC. Sebaliknya, bakteri mesofilik lebih cepat menghasilkan histamin pada
suhu
35oC
dibandingkan
pada
suhu
17-23oC
dan
6-7oC
(Dalgaard et al. 2008). Banyak bakteri dari seafood yang memiliki kemampuan untuk memproduksi histamin dalam jumlah yang kecil (Taylor et al., 1978; Kim et al., 2003). Sebaliknya pada kondisi tertentu terdapat beberapa spesies bakteri yang sangat kuat dalam memproduksi histamin. Bakteri tersebut disebut sebagai bakteri prolific, yaitu bakteri yang mampu memproduksi histamin lebih dari 1000 mg/kg medium. Bakteri ini termasuk dalam golongan bakteri mesofilik dan bakteri psikrotoleran (Emborg dan Dalgaard 2008). Morganella psychrotolerans dan Photobacterium phosphoreum adalah bakteri psikrotoleran yang sangat kuat dalam memproduksi histamin. Usus pada beberapa ikan mengandung P. phosphoreum dalam konsentrasi yang tinggi, biasanya mencapai 106±108 koloni/g. Selain itu pada insang dan perut ikan juga ditemukan bakteri produser histamin yang kuat dalam konsentrasi yang
24
10
tinggi, sehingga disarankan dalam praktek higiene dilakukan prosedur pembuangan isi perut dan insang serta pencucian yang efektif untuk mencegah resiko pembentukan histamin (Dagaard dan Emborg 2008). Secara fisiologis histamin dalam dosis rendah diperlukan sebagai fungsi normal sistem tubuh. Memakan makanan yang mengandung sedikit histamin akan memberikan efek yang kecil bagi manusia, namun jika mengandung banyak histamin maka akan bersifat toksik. Sistem intestinal dari manusia mengandung enzim diamine oxidase (DAO) dan Histamin N-methyl transferase (HMT) dimana akan mendegradasi histamin menjadi produk yang tidak berbahaya. Akan tetapi jika dosis histamin yang dikonsumsi besar maka kemampuan dari DAO dan HMT untuk menghancurkan histamin akan menyebabkan efek toksik dari histamin pada jaringan tubuh. Gejala keracunan histamin adalah gatal-gatal, diare, demam, sakit kepala, dan tekanan darah turun (Keer et al., 2002). Food and Drug Administration (FDA) menetapkan bahwa untuk ikan tuna dan ikan sejenisnya, 5 mg histamin/100 gram daging ikan merupakan jumlah yang harus diwaspadai dan sebagai indikator terjadinya dekomposisi, sedangkan 50 mg histamin/100 gram daging ikan merupakan jumlah yang membahayakan atau dapat menimbulkan keracunan. Oleh karena itu, jika ditemukan ikan dengan kandungan 5 mg histamin/100 gram daging ikan pada satu unit, maka terdapat kemungkinan pada unit yang lain, kadar histamin dapat mencapai lebih dari 50 mg/100 gram (FDA, 2001). Berbagai upaya penanganan dilakukan untuk menghambat pembentukan histamin pada daging ikan. Upaya tersebut diantaranya dengan berproduksi dan menyimpan ikan pada suhu rendah. Penelitian mengenai pengaruh suhu penyimpanan terhadap histamin telah banyak dilakukan, demikian pula dengan jenis kemasan yang digunakan. Emborg et al. (2004) menyatakan bahwa penyimpanan pada suhu chilling dengan kemasan vakum masih dapat meningkatkan kadar histamin, untuk itu penyimpanan suhu beku lebih dianjurkan. Namun, penyimpanan pada suhu chilling tetap dapat dilakukan dengan mengkombinasikan pengemasan dengan modified atmosphere packaging (MAP). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Emborg et al. (2004) diketahui bahwa penggunaan MAP dengan komposisi ~40% CO2/~60% O2 dan penyimpanan pada
25
11
suhu 2oC mampu mereduksi pertumbuhan bakteri penghasil histamin, termasuk bakteri psikotrofik seperti M. morganii dan P. phosphoreum. 2.3
Higiene
Higiene adalah ilmu yang mempelajari cara memelihara atau mempromosikan kesehatan. Higiene mengacu pada penerapan dan pemeliharaan kesehatan manusia. Praktek-praktek higiene berkonsentrasi pada memanipulasi dan mengontrol lingkungan untuk kepentingan kesehatan masyarakat luas. Hal ini dikaitkan dengan pemukiman, suplai air, kepedulian personal dan makanan. Higiene juga dihubungkan pada isu-isu seperti kontrol mikroorganisme, kebersihan lingkungan, sanitasi, higiene personal dan kontrol terhadap infeksi serta pengaturan pelayanan kesehatan (Tepstra 2003). Food higiene memiliki tujuan untuk mengeliminasi dan meminimalisasi kontaminasi pada pangan (Johns 1991). Sistem higiene di perusahaan perlu dirancang sedemikian rupa sehingga perusahaan memiliki acuan dalam penerapannya. Rancangan sistem higiene harus dibuat dengan baik untuk mencegah terjadi kontaminasi pada bahan pangan yang dapat membahayakan konsumen. Regulasi-regulasi higiene dibuat untuk memperoleh kepercayaan konsumen serta menghasilkan produk yang aman untuk dikonsusmsi oleh konsumen. Regulasi-regulasi tersebut berlaku nasional maupun internasional dan dijadikan sebagai acuan atau persyaratan dalam merancang sistem higiene berbagai perusahaan pangan (Lelieveld et al. 2003). Higiene pada produk perikanan adalah semua kondisi dan tindakan yang dibutuhkan untuk memastikan dan menjamin dihasilkannya produk yang aman pada setiap tahapan pada rantai proses (CAC 1997). Penerapan higiene oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak pada industri perikanan memiliki beberapa tujuan yaitu: (1) Menyediakan makanan yang aman dan cocok untuk dikonsumsi (2) Memastikan bahwa konsumen mendapat informasi dan mudah dimengerti dari pelabelan produk agar mereka dapat melindungi makanannya dari kontaminasi
dan
pertumbuhan
bakteri
patogen
dengan
penyimpanan, penanganan dan pengolahan yang tepat dan (3) Meningkatkan kepercayaan dalam pasar internasional
melakukan
26 12
Standar higiene dalam suatu perusahaan umumnya dituangkan dalam Good Hygienic Practices (GHP) atau Good Manufacturing Practices (GMP). Pengertian dari GMP adalah suatu pedoman untuk semua tindakan dengan memperhatikan kondisi dan ukuran yang diperlukan untuk menjamin keamanan selama proses pengolahan makanan, dengan kata lain, GHP/GMP merupakan suatu konsep sistem modern untuk mengontrol keamanan makanan dari peralatan pengolahan dan pekerja dengan memperhatikan kondisi lingkungan yang mengacu pada sistem kontrol bahaya yang sistematis (Henrik et al. 2004). Higiene, pada umumnya di setiap negara dituangkan dalam suatu peraturan sebagai panduan untuk industri-industri di negara tersebut. Sebagai contoh, FDA Amerika Serikat, pada tahun 1969 untuk pertama kalinya memperkenalkan GMP, yang di dalamnya mengatur masalah sanitasi dalam hubungannya untuk menghasilkan produk yang aman (Marriott dan Robert 2006). Dalam perkembangannya, FDA berkorelasi dengan World Health Organization (WHO) membentuk suatu badan yang lebih berkonsentrasi pada masalah higiene yaitu Codex Alimentarius Commission (CAC). Regulasi higiene yang dibuat oleh CAC, dituangkan CAC/RCP 1-1969 Rev. 4 2003: Food Hygiene Basic Text. Peraturan ini merupakan acuan utama dalam penanganan bahan pangan secara higienis yang diterima secara internasional. Adapun prinsip pengawasan higiene ditetapkan pada titik utama diantaranya adalah: produksi primer, unit produksi: desain dan fasilitas, Prosedur pengendalian, perawatan dan sanitasi, kebersihan karyawan, transportasi, informasi produk dan consumer awareness serta pelatihan. (1) Produksi primer Higiene produksi primer berdasarkan CAC (2003), mengkaji mengenai empat hal yaitu: higiene lingkungan pengambilan bahan baku, higiene produksi bahan baku, higiene penanganan, persiapan dan transportasi bahan baku serta pembersihan, pemeliharaan dan personal higiene pada produksi primer.
CAC
(2003) section III menyatakan bahwa lingkungan penghasil bahan baku sebaiknya tidak menjadi sumber cemaran. Pada higiene produksi bahan baku yang menjadi perhatian utama adalah pengendalian kontaminasi dari udara, tanah, air, pakan, pestisida dan kesehatan hewan yang menjadi bahan baku. Pada higiene
27 13
penanganan, persiapan dan transportasi bahan baku, yang harus diperhatikan adalah pembersihan dari material yang bersifat sebagai cemaran. Pencegahan agar produk tidak rusak adalah dengan mempertahankan suhu dingin dan menjaga kelembabannya. Pada aspek pembersihan, pemeliharaan dan personal higiene, dinyatakan bahwa pembersihan selama proses produksi bahan baku harus dilaksanakan secara efektif dan efisien dan aspek higiene personal pun harus tetap terjaga. (2) Unit produksi: desain dan fasilitas CAC (2003) section IV menyatakan bahwa lokasi perusahaan harus berada jauh dari kegiatan industri lain yang dapat menyebabkan kontaminasi pada produk makanan. Ruangan unit produksi memiliki desain internal, tata letak dan konstruksi bangunan perusahaan pengolahan makanan harus memungkin aspek higiene dapat dijalankan dengan baik sehingga makanan dapat terlindung dari kontaminasi silang selama proses produksi. Konstruksi bangunan harus dibangun dengan bahan yang kuat dan mudah dibersihkan dengan desinfektan. Pada aspek fasilitas, dinyatakan bahwa saluran pembuangan limbah harus dirancang sedemikian rupa dan memiliki penutup agar tidak mengkontaminasi produk atau mencemari air. Fasilitas untuk proses pencucian peralatan harus lengkap. Air panas dan air steril harus tersedia dalam jumlah yang memadai. Fasilitas higiene karyawan harus dipenuhi diantaranya tempat cuci tangan yang dilengkapi dengan disinfektan dan pengering sekali pakai, kamar mandi dengan jumlah yang mencukupi bagi seluruh karyawan. Selain itu fasilitas pengolahan spesifik (pemanasan, pendinginan, pembekuan) untuk proses produksi harus tersedia dengan baik. (3) Prosedur pengendalian CAC (2003) section V membahas mengenai aspek kunci sistem pengendalian higiene, persyaratan bahan baku, kemasan, dan air. Aspek kunci sistem pengendalian higiene yaitu memastikan bahwa suhu produk selalu dipertahankan tetap dingin. Pengendalian terhadap cemaran baik secara mikrobiologi, kimia dan fisika. Pencegahan kontaminasi silang baik yang berasal dari peralatan maupun pekerja. Pekerja yang akan masuk ruang produksi harus memakai pakai kerja yang lengkap. Akses masuk ruang produksi harus dibatasi dan dipantau. Bila
28 14
perlu, perusahaan dilengkapai alat pendeteksi logam. Aspek higiene persyaratan bahan baku dinyatakan bahwa bahan baku yang diterima harus bebas dari parasit, mikroorganisme berbahaya, pestisida atau bahan lain yang tidak dapat diuraikan. Lebih baik lagi apabila bahan baku yang diterima melalui pengujian di laboratorium terlebih dahulu. Desain dan bahan pengemas yang digunakan harus dapat melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan bentuk. Kemasan tahan lama, terbuat dari bahan yang aman dan tidak menimbulkan bahaya. Air yang digunakan untuk penanganan dan proses produksi adalah air dengan standar air minum (potable water). Dilakukan monitoring secara rutin terhadap kualitas air. (4) Perawatan dan sanitasi CAC (2003) section VI membahas mengenai prosedur sanitasi, pengendalian binatang pengerat dan
penanganan limbah. Pencucian peralatan harus dapat
menghilangkan residu dan kotoran yang mungkin menjadi sumber kontaminasi. Metode pencucian peralatan maupun bahan baku harus sesuai dengan sifat bahan tersebut. Metode pencucian dapat dilakukan dengan beberapa kombinasi yaitu secara fisika, vakum, atau metode lainnya yang tidak menggunakan air. Dapat pula dilakukan pencucian secara kimia dengan deterjen, alkalis mupun asam. Sistem pengendalian hama dilakukan dengan mengkondisikan bangunan sehingga hama tidak dapat masuk ke dalam ruang produksi melalui celah-celah maupun saluran pembuangan limbah. Bahan baku maupun bahan produk jadi disimpan di tempat yang tertutup dan selalu dalam kondisi bersih sehingga hama tidak tertarik untuk datang. Pemberantasan hama dapat dilakukan secara kimia, fisika maupun biologi tanpa menimbulkan efek terhadap produk. Pada aspek pengelolaan limbah, perusahaan harus memiliki prosedur penanganan limbah yang tepat. Limbah padat maupun cair tidak boleh menumpuk di dalam ruang proses penanganan, ruang penyimpanan dan tempat kerja lainnya. (5) Higiene karyawan CAC (2003) section VII menyatakan bahwa kondisi kesehatan karyawan harus diperhatikan. Para pekerja yang sedang sakit tidak diperbolehkan memasuki area produksi agar tidak mencemari produk. Pekerja yang sakit wajib melaporkan penyakitnya pada pihak manajemen perusahaan. Pada saat bekerja, karyawan harus menggunakan pakaian pelindung yang lengkap yang terdiri dari seragam,
29 15
penutup kepala, alas kaki. Karyawan harus mencuci tangan sebelum dan setelah memasuki ruang proses, setelah melakukan penanganan pada bahan mentah serta setelah dari toilet. Selama dalam ruang proses karyawan tidak diperbolehkan menggunakan perhiasan seperti kalung, cincin, jam tangan atau benda lainnya yang dapat jatuh ke dalam makanan. Aktivitas yang tidak boleh dilakukan karyawan selama berada di ruang proses adalah merokok, meludah, mengunyah permen karet, bersin atau batuk yang dapat menyebabkan kontaminasi pada produk. Pengunjung yang datang harus memakai pakaian pelindung yang disediakan jika ingin memasuki ruang proses atau mengikuti kegiatan produksi. (6) Transportasi CAC (2003) section VIII menyatakan bahwa tipe kontainer atau wadah yang digunakan selama proses transportasi harus disesuaikan dengan jenis dan sifat alami dari makanan dan kondisi selama proses transportasi. Adapun wadah pengangkutan yang digunakan harus di desain dan memiliki konstruksi yang tidak menyebabkan terjadinya kontaminasi makanan dan mudah dibersihkan dengan desinfektan. Selain itu peti kemas harus dapat mempertahankan suhu, kelembaban,
dan
kondisi
lainnya
yang
dapat
mencegah
pertumbuhan
mikroorganisme. (7) Informasi produk dan consumer awareness CAC (2003) section IX menyatakan bahwa kemasan harus dilengkapi dengan label dan instruksi penanganan yang jelas agar selama penanganan, persiapan dan penyimpanan produk oleh konsumen dapat dilakukan dengan benar dan aman. (8) Pelatihan CAC (2003) section X menyatakan bahwa para pekerja yang terlibat dalam proses pengolahan harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam bidang higiene. Kegiatan yang harus diadakan untuk meningkatkan pengetahuan higiene karyawan adalah dengan memberi penjelasan mengenai sifat alami bahan makanan, cara penanganan, pengemasan dan pencegahan dari kontaminasi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pengadaan pelatihan higiene terhadap karyawan secara berkala. Prinsip pengawasan higiene produk perikanan di Indonesia dituangkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan No.
30 16
011/DJ-P2HP/2007 tentang pedoman teknis penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan. Peraturan ini merupakan turunan dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER/01/MEN/2007 tentang pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan (direvisi menjadi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER/019/MEN/2010 tentang pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan) serta Keputusan Menteri No. KEP/01/MEN/2007 tentang persyaratan jaminan mutu dan kemanan hasil perikanan pada proses produksi, pengolahan dan distribusi.
31
3 METODOLOGI 3.1
Waktu dan tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-Oktober 2010 bertempat di PT X (Muara Baru) dan Laboratorium fisik, kimia dan mikrobiologi UPT Balai Pengujian Mutu Produk Hasil Perikanan dan Kelautan (BPMPHPK) DKI Jakarta, Pluit, Jakarta Utara. 3.2
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk analisis histamin adalah spektrofluorometer fluorosence Varian Cary Eclipse FL0811M007 (dengan lampu pancar xenon bertekanan tinggi sebagai sumber energi eksitasi), labu erlenmeyer, gelas ukur, pisau, homogenizer (blender), water bath, labu ukur, kertas saring, glass wool, pipet volumetrik, pipet tetes, buret berukuran 25 ml (sebagai kolom resin 20 cm x 0.8 cm, reservoar 2 cm x 5 cm), timbangan analitik dan buret. Alat yang digunakan untuk analisis Total Plate Count (TPC) dan bakteri penghasil histamin yaitu ruang laminar, pipet volumetrik, blender, plastik steril, cawan petri, inkubator, autoklaf, talenan, water bath, dan stopwatch. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan laut jenis tuna yellow fin (Thunnus albacores) yang merupakan sampel produk loin pada bahan baku, produk dalam proses dan produk akhir yang di produksi di PT X. Bahan-bahan lainnya meliputi methanol, resin penukar ion (dowex1-x800-100mesh), aquades, HCl, NaOH, H3PO4, larutan Butterfield’s Phospate Buffered, ortoptalatdikarboksilaldehide (OPT), Plate Count Agar (PCA), TTC (2,3,5 Triphenyltetrazoliumchloride), media modifikasi Niven (0,1% trypton, 0,3% yeast extract, 1,8% L-histidin monohydrochlorid monohydrat, 0,1% CaCO3, 0,5% NaCl, 2,5% agar, dan 0,003% phenol red). 3.3
Prosedur penelitian Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu :
(1) Mempelajari, mendeskripsikan dan memverifikasi proses pembuatan tuna loin beku.
32 18
(2) Mempelajari sistem pelaksanaan, memverifikasi dan melakukan penilaian pelaksanaan program higiene pada proses produksi tuna loin yang dilakukan di PT X. (3) Kajian keterkaitan sistem pelaksanaan program higiene dengan mutu produk tuna loin beku yang meliputi analisis histamin, mikrobiologi, kuesioner, dan statistical process control (SPC). Secara lengkap masing-masing tahapan tersebut adalah : (1) Mempelajari, mendeskripsikan dan memverifikasi proses pembuatan tuna loin beku. 1)
Mempelajari tahapan proses pembuatan tuna loin beku. Tahapan ini meliputi kegiatan observasi pelaksanaan proses pembuatan tuna loin beku. Observasi dilakukan dengan cara melihat dan mengikuti kegiatan produksi tuna loin beku di PT X. Hasil observasi dituangkan dalam bentuk tabel yang berisi: nama tahapan kegiatan dan aktivitas yang dilakukan (format dapat dilihat pada Lampiran 1). Acuan pelaksanaan ini adalah SNI 01-4104-3.2006 mengenai Proses Produksi Tuna Loin Beku (BSN 2006).
2)
Penyusunan deskripsi kegiatan pada masing-masing tahapan pelaksanaan proses pembuatan tuna loin beku (format dapat dilihat pada Lampiran 2).
3)
Pembuatan diagram alur proses pembuatan tuna loin beku.
4)
Verifikasi dan presentasi proses pembuatan tuna loin di PT X. Verifikasi dan presentasi dilakukan dengan konsultasi dan diskusi kepada QC dan manajer umum PT X.
(2) Mempelajari sistem pelaksanaan, memverifikasi program higiene pada proses produksi tuna loin yang dilakukan di PT X, dan melakukan penilaian pelaksanaan program higiene. 1)
Mempelajari sistem pelaksanaan program higiene pada proses produksi tuna loin PT X. Tujuan tahapan ini adalah memperoleh gambaran sistem pelaksanaan program higiene yang berjalan. Gambaran tersebut selanjutnya dituangkan dalam tabel deskrispi sistem pelaksanaan program higiene, yang meliputi aspek higiene dan kegiatan program higiene (format dapat dilihat pada Lampiran 3). Adapun hasil observasi kegiatan program hygiene dapat dilihat pada Lampiran 4. Acuan
33 19
pelaksanaan kegiatan ini adalah aspek higiene dalam food hygiene basic text CAC (2003). 2)
Penilaian kesesuaian sistem pelaksanaan program higiene. Penilaian ini mengacu pada buku dan litertur sebagai berikut : -
Acuan utama: Recommended International Code of Practice General Principles of Food Hygiene Sec. III, IV, V, VI, VII (CAC 2003)
-
Acuan pendukung: KEP.011.P2HP.2007 tentang Pedoman Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. hygienic design dan personal hygiene dalam buku Hygiene in Food Processing oleh Leliveld et al. (2003) yang diterbitkan oleh CRC Press di Washington DC Aspek-aspek sanitasi dalam industri pangan dalam buku Principles of Food Sanitation 5th edition oleh Marriott dan Gravani (2006) yang diterbitkan oleh Springer Science dan Business Media, Inc. di New York
Bentuk penilaian kesuaian ini dituangkan dalam bagan penilai yang berisi : Aspek higiene, referensi/acuan, isi acuan, kondisi yang ada di PT X, dan letak ketidasesuaian dengan acuan yang ada, penyebab bahaya histamin yang muncul karena ketidaksesuaian, objek pengujian dan teknik pengujian (format dapat dilihat pada Lampiran 5). 3)
Verifikasi dan presentasi program higiene proses pembuatan tuna loin di PT X. Verifikasi dan presentasi dilakukan dengan konsultasi dan diskusi kepada manajer umum dan QC PT X.
(3) Kajian keterkaitan sistem pelaksanaan program higiene dengan mutu produk tuna loin beku. 1)
Melakukan
beberapa
pengujian
untuk
menganalisis
kaitan
ketidaksesuaian pelaksanaan higiene dengan risiko bahaya histamin. Pengujian tersebut meliputi pengujian histamine, mikrobiologi, dan kuesioner.
34 20
2)
Melakukan
analisis
statistical
process
control
(SPC)
pada
ketidaksesuaian pelaksanaan program higiene. Kegiatan ini bertujuan untuk memverifikasi pengaruh ketidaksesuaian pelaksanaan program higiene terhadap risiko histamin yang dapat timbul. Diagram alur kajian keterkaitan pelaksanaan program higiene dengan risiko bahaya histamine dapat dilihat pada Gambar 2. 3.4
Prosedur Pengujian
Prosedur pengujian pada penelitian ini meliputi: (1) Observasi langsung, (2) Kuesioner, (3) Analisis cycle time dengan Statistical Process control, (4) Uji total bakteri (Total Plate Count), (5) Uji total bakteri penghasil histamin, (6) Analisis kadar histamin. (1) Observasi langsung Pengumpulan data dengan observasi langsung atau dengan pengamatan langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut (Hadi 1993). Pada penelitian ini dilakukan observasi langsung pada aspek-aspek proses produksi tuna loin yang mengacu BSN (2006a) dan higiene berdasarkan acuan Recommended International Code of Practice General Principles of Food Higiene Sec. II, III, IV, V dan VI (CAC 2003). Prosedur ini dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung pada kondisi sistem higiene perusahaan yang ingin diketahui. Hasil pengamatan tersebut kemudian dicatat dalam formulir isian observasi kondisi higiene PT X (Format formulir isian dapat dilihat pada Lampiran 4). (2) Kuesioner Alat lain untuk mengumpulkan data adalah daftar pertanyaan, yang secara umum sering disebut kuesioner (Hadi 1993). Kuesioner dibuat berdasarkan literatur dan informasi yang dibutuhkan. Pada penelitian ini digunakan kuesioner format pasti dengan dua tipe yaitu check-off questions dan opinion/choice questions.
Kuesioner
mengenai
higiene
karyawan
(Modifikasi
Aarnisalo et al. 2006) (Lampiran 6) menggunakan tipe check-off questions, artinya responden melakukan pengisian kuesioner berdasarkan pilihan yang sudah ada. Sedangkan kuesioner tentang kepercayaan karyawan terhadap manajemen
35 21
puncak (Brown 1999) (Lampiran 7) menggunakan tipe opinion/choice questions artinya responden melakukan penilaian berdasarkan opininya. Kuesioner disebarkan pada 30 orang responden dengan ketentuan pengisian sesuai dengan instruksi yang ada pada kuesioner. Responden tersebut merupakan karyawan PT X yang terdiri dari karyawan proses, laboratorium dan administrasi. (3) Analisis cycle time dengan statistical process control (SPC) Metode pengambilan contoh cycle time sebanyak 40 kali dilakukan dengan mengukur waktu siklus atau waktu efektif (satuan seperseratus detik) yang digunakan oleh karyawan untuk mengolah sebuah bahan mentah atau setengah jadi dari unit proses sebelumnya menjadi bahan jadi atau setengah jadi untuk diteruskan ke unit proses selanjutnya sesuai dengan job description yang ditentukan oleh manajer produksi. Analisis cycle time dilakukan dengan menggunakan statistik pengendalian proses (Statistical Process Control) yang terintegrasi dengan konsep Six Sigma (Gaspersz 2007) diawali dengan menghitung batas spesifik atas (upper spesific limit) dan batas spesifik bawah (lower spesific limit). Langkah-langkah untuk menghitung batas spesifik atas dan batas spesifik bawah meliputi : 1) Mengetahui selang
target
ekspor,
2)
Menghitung
kecepatan
lintasan
maksimum,
3) Menghitung kecepatan lintasan minimum. 1) Mengetahui selang target ekspor (maksimum dan minimum) yang harus dicapai oleh perusahaan dalam kurun waktu tertentu, misalnya satu bulan, sesuai dengan kesepakatan dengan importir. Dalam hal ini selang target ekspor merupakan selang kapasitas produksi (maksimum dan minimum), karena perusahaan menerapkan strategi make to order dalam memenuhi permintaan konsumen. Strategi make to order hanya mempunyai desain produk dan beberapa material standar dalam sistem inventori, dari produkproduk yang telah dibuat sebelumnya. Aktivitas produksi bersifat khusus yang hanya disesuaikan dengan setiap pesanan dari pelanggan (Gaspersz 2001). Misalnya target ekspor dalam satu bulan 10-30 ton (dari kebijakan perusahaan) 2) Menghitung kecepatan lintasan maksimum dari proses produksi tuna loin dari kapasitas produksi minimum selama satu bulan, yaitu dengan cara membagi
36 22
total waktu proses pada satu unit proses dengan total produksi maksimum selama satu bulan. Dalam perhitungan pengendalian proses statistik nilai ini dipakai sebagai batas spesifik atas (upper spesific limit). Misalnya : USL = waktu proses dalam satu bulan/kapasitas produksi minimum (kilogram) USL = (30*7*60*60)/10000 USL = 756000/10000 kilogram USL = 75.60 detik/kg Ada 10 bagian alur proses besar sehingga ditentukan USL tiap-tiap alur proses adalah 7.56 detik/kg 3) Menghitung kecepatan lintasan minimum dari proses produksi tuna loin dari kapasitas produksi maksimum selama satu bulan, yaitu dengan cara membagi total waktu proses pada satu unit proses dengan total produksi minimum selama satu bulan. Dalam perhitungan pengendalian proses statistik nilai ini dipakai sebagai batas spesifik bawah (lower spesific limit). Misalnya : LSL = waktu proses dalam satu bulan/kapasitas produksi minimum (kilogram) LSL = (30*7*60*60)/30000 LSL = 252000 detik/30000 kilogram LSL = 25.2 detik/kg Ada 10 bagian alur proses besar sehingga ditentukan USL tiap-tiap alur proses adalah 2.52 detik/kg. Setelah diperoleh batas spesifik atas dan batas spesifik bawah, selanjutnya dilakukan analisis statistika pengendalian proses (Statistical Process Control) dari data cycle time dengan Microsoft Office Excel 2007 dan Minitab 14. Tahapan proses analisis data cycle time menggunakan pengendalian proses statistik adalah : 1) Penentuan nilai rata-rata (X-bar) dan nilai standar deviasi (s) proses serta nilai batas spesifikasi atas dan atau nilai batas spesifikasi bawah dengan persamaan sebagai berikut :
37 23
Rata-rata proses (X-bar) =
Standar deviasi proses (s) =
jumlah _ keseluruhan _ data banyak _ data
(x
X)
( n 1)
2) Penentuan nilai DPMO (Defect per Million Opportunities) dan nilai Sigma Nilai DPMO, merupakan ukuran kegagalan, yang menunjukkan peluang kegagalan per sejuta kali kesempatan produksi. Nilai ini diperoleh dengan menggunakan persamaan : DPMO USL = P[z≥(USL-Xbar)/s]x1000000 DPMO LSL = P[z≤(LSL-Xbar)/s]x1000000 Nilai peluang kegagalan untuk distribusi normal baku (z), diperoleh dari Tabel Distribusi Normal Kumulatif. Sementara nilai sigma diperoleh dari Tabel Konversi Nilai DPMO ke Nilai Sigma berdasarkan Konsep Motorola (Gaspersz 2002). 3) Penentuan nilai standar deviasi maksimal (S maks) dan uji hipotesis variasi proses terhadap nilai standar maksimum. Standar deviasi maksimum (Smaks) merupakan nilai batas toleransi maksimum terhadap nilai standar deviasi proses. Nilai standar deviasi maksimum diperoleh dengan menggunakan persamaan : Smaks =
1 x(USL LSL) 2 xsigma
Bila proses tersebut hanya memiliki satu batas spesifikasi, batas spesifikasi atas (upper specific limit-USL) atau batas spesifiksi bawah (lower specific limit-LSL) saja, maka persamaan yang digunakan adalah : a) Hanya memiliki batas spesifikasi atas (USL) : Smaks =
1 x(USL sigma
Xbar)
b) Hanya memiliki batas spesifikasi bawah (LSL) : Smaks =
1 x( LSL sigma
Xbar)
38 24
4) Penentuan nilai kapabilitas proses Kapabilitas proses (Cpm), merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan proses mampu menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. Penghitungan kapabilitas proses hanya dilakukan untuk proses yang stabil. Cpm =
(USL
LSL)
6 ( Xbar T ) 2
S2
Namun, jika proses hanya memiliki satu batas spesifikasi (SL), maka digunakan persamaan sebagai berikut : Cpm
=
( SL Xbar ) 3 S2
Dengan : SL
: nilai batas spesifikasi
X-bar
: nilai rata-rata proses
S
: nilai standar deviasi proses
Jika : Cpm ≥ 2,0
: keadaan proses industri berada dalam keadaan stabil dan mampu, artinya proses mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan. 1≤ Cpm<1,99 : keadaan proses industri berada dalam keadaan stabil dan tidak mampu, artinya proses berada dalam keadaan tidak mampu sampai cukup mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan. Cpm<1,0 : keadaan proses industri berada dalam keadaan tidak mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan. (4) Uji total bakteri (Total Plate Count) (SNI 01-2332.3-2006) Pertama-tama ditimbang sampel sebanyak 25 gram secara aseptik, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik yang sudah disterilkan, setelah itu ditambahkan sebanyak 225 ml larutan garam 0.85%. Pembuatan larutan contoh dengan cara mencampurkan 25 gram sampel dan dimasukan ke dalam botol yang berisi 225 ml larutan garam 0.85% steril, kemudian dihancurkan hingga larutan homogen, dari campuran tersebut diambil 1 ml dan dimasukkan dalam botol
39 25
berisi 9 ml larutan garam 0.85% steril hingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, kemudian dikocok agar homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian, biasanya hingga pengenceran 10 -5. Sebanyak 1 ml larutan contoh dari pengenceran 10-2 sampai 10-5 dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan pipet steril. Media nutrien agar (dengan suhu ruang, ±30.5 oC) ditambahkan TTC sebanyak 1% kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 0.5 ml dan digoyangkan sampai permukaan agar merata dan didiamkan beberapa saat hingga mengeras. Cawan petri yang elah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik. Suhu inkubator yang digunakan adalah sekitar 32oC dan diinkubasi selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang terbentuk di cawan petri. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo untuk meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 25-250 koloni. (5) Uji total bakteri penghasil histamin (Modifikasi Niven 1981) Prinsip dari metode ini adalah Enterobactericeae akan merubah histidin menjadi histamin melalui proses dekarboksilasi yang akan menaikkan pH dan mengakibatkan perubahan warna pada media. Larutan Niven agar disiapkan dengan cara mencampur semua bahan, yaitu 0.1% trypton, 0.2% yeast ekstrak, 0.1%L-histidin, 0.1% CaCO3, 2% NaCl, 2.5% agar, 0.01% phenol red, kemudian dimasukka ke dalam labu Erlenmeyer dan diencerkan dengan aquades kemudian dipanaskan hingga mendidih dan diatur pH 6-6,1 lalu disterilkan pada suhu 121oC selama 2 jam. Sampel diencerkan sampai 10 -5. Sebanyak 1 ml larutan sampel dari setiap pengenceran dimasukkan ke dalam cawan petri, lalu niven agar cair (dengan suhu ruang ±30.3oC) dituangkan keatasnya, ditunggu sampai membeku kemudian diinkubasi pada suhu 35 oC selama 2-3 hari. Dihitung jumlah koloni merah muda dengan latar belakang kuning dan orange.
40 26
(6) Analisis kadar histamin (SNI 2354.10: 2009) Prinsip penentuan histamin adalah zat histamin dalam contoh dikonversikan ke dalam bentuk -OH, kemudian diisolasi dengan resin penukar ion dan diubah ke bentuk derivatnya
dengan ortoptalatdikarboksilaldehide (OPT) dan diukur
secaara fluorometer. Hasil yang diperoleh dalam ekivalen histamin level. Prosedur kerja analisis histamin terdiri atas tiga tahap yaitu 1) Tahap ekstraksi, 2) Tahap clean up atau elusi, dan 3) Tahap pembentukan. 1) Tahap ekstraksi Sepuluh gram sampel ditimbang lalu ditambahkan dengan methanol sebanyak 50 ml kemudian dihomogenkan dengan menggunakan homogenaizer (blender) kurang lebih 1-2 menit, setelah homogen maka sampel tersebut dipanaskan dalam water bath pada suhu 60 0C selama 15 menit, kemudian didinginkan pada suhu ruang. Selanjutnya setelah dingin sampel tersebut dimasukkan ke dalam labu ukur 100ml dan ditambahkan methanol sampai tanda tera lalu dikocok homogen. Setelah itu, larutan sampel disaring menggunakan kertas saring dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. 2) Tahap clean up atau tahap elusi Pertama-tama disiapkan kolom kromatografi (panjang 20 cm dan diameter 7 mm) kemudian ke dalam kolom tersebut dimasukkan glass wool secukupnya (tingginya 1 cm). selanjutnya masukkan resin penukar ion (dowex1-x800-100mesh) ke dalam kolom sampai tingginya kurang lebih 8 cm (diusahakan resin tidak sampai kering dengan cara dibilas dengan aquades karena akan mempengaruhi daya kerja penukar ion tersebut). Selanjutnya sampel dilewatkan ke dalam kolom sebanyak 1 ml dan ditampung hasilnya dalam labu ukur 50 ml yang telah berisi 5 ml HCl 1 N. 3) Tahap pembentukan Ke dalam masing-masing tabung reaksi dipipet sebanyak 10 ml HCl 0,1 N kemudian ditambahkan 5 ml sampel (hasil elusi), 5 ml standar histamin (sebagai larutan standar), dan 5 ml HCl 0,1 N (sebagai blanko). Setelah itu, ditambahkan 3 ml NaOH 1 N lalu dihomogenkan dan dibiarkan selama 5 menit. Kemudian ditambahkan lagi ortoptalatdikarboksilaldehide (OPT) 1 % sebanyak 1 ml lalu dihomogenkan dan didiamkan selama 4 menit. Selanjutnya ditambahkan 3 ml
41 27
H3PO4 3,57 N lalu dihomogenkan. Setelah selesai, sampel siap untuk dibaca menggunakan spektroflorometer pada panjang gelombang eksistasi 350 nm dan panjang gelombang emisi 444 nm. Rumus perhitungan kadar histamin (ppm) adalah sebagai berikut :
Keterangan : IU : Absorben sampel A : Intercept B : Slope
Fp : Faktor pengencer
Mempelajari, mendeskripsikan & memverifikasi proses pembuatan tuna loin beku
Observasi dengan mengikuti alur proses produksi Pembuatan deskripsi masing-masing tahapan proses
42 Diagram alir proses produksi
Penyususnan diagram alir
Mempelajari sistem pelaksanaan, memverifikasi dan melakukan penilaian pelaksanaan program higiene
Mendeskripsikan sistem pelaksanaan program higiene Penilaian kesesuaian dengan acuan
Pelaksanaan program hygiene
Temuan ketidaksesuaian
Objek analisis
Raw material Pengujian produk Kajian keterkaitan sistem pelaksanaan program higiene dengan risiko bahaya histamin
In process product Pengujian objek analisis
Perkembangan histamin tuna loin selama proses produksi
End product Analisis cycle time/stability process dengan SPC
Analisis personal dengan kuesioner
Kapabilitas proses
Keterkaitan pelaksanaan program higiene dengan perkembangan histamine selama proses produksi
Kompetensi dan pengetahuan mengenai higiene
Gambar 2 Alur kajian keterkaitan pelaksanaan program higiene dengan risiko bahaya histamin.
28
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Mempelajari, Mendeskripsikan dan Memverifikasi Proses Pembuatan Tuna Loin Beku di PT X PT X merupakan perusahaan yang memproduksi tuna loin beku dengan tujuan ekspor utama Amerika Serikat. Bahan baku yang digunakan merupakan jenis yellow fin dan big eye tuna yang berasal dari transit di kawasan industri Muara Baru, Jakarta. Bahan baku yang diterima sudah dibuang isi perut dan insangnya. Berdasarkan pengamatan, proses pengolahan tuna loin beku di PT X terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut : (1) penerimaan bahan baku, (2) pencucian I, (3) penyimpanan sementara, (4) pencucian II, (5) penimbangan I, (6) pembuangan kepala dan sirip, (7) pembentukan loin, (8) pembuangan kulit (skinning), daging gelap dan duri, (9) penimbangan II, (10) pembungkusan sementara, (11) pemberian gas co, (12) pendinginan (chilling), (13) sortasi mutu, (14) perapihan (retouching), (15) penimbangan iii, (16) pembungkusan, (17) pemvakuman, (18) penyusunan, (19) pembekuan, (20) penimbangan IV, (21) pengemasan dalam master carton dan (22) penyimpanan beku. Deskripsi masing-masing tahapan tersebut adalah : (1) Penerimaan bahan baku di perusahaan Ikan tuna yang telah sampai pada bagian penerimaan diperiksa kembali oleh checker. Pengecekan tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa kualitas ikan tuna yang akan diolah dalam keadaan baik. Pengecekan dilakukan pada mutu dan suhu tuna. Suhu ikan tuna yang akan diolah menjadi tuna loin harus ≤ 3 oC. Pengecekan mutu dilakukan dengan pemeriksaan tekstur, warna dan bau (aroma) dari daging ikan tuna. Daging ikan tuna yang diperiksa diambil dengan coring tube dari bagian dekat insang. (2) Pencucian I Pencucian I dilakukan pada saat ikan dimasukkan ke dalam ruang penerimaan. Pencucian I dimaksudkan untuk membersihkan kulit ikan dari kotoran yang menempel. Pencucian I dilakukan dengan menggunakan air mengalir dengan cara dibasuh pada permukaan kulit ikan tanpa menggunakan spon pembersih. Proses pencucian dilakukan pada tempat yang dibuat khusus dengan selokan dibawahnya sehingga air cucian dapat mengalir dengan baik. Air yang digunakan untuk
80 30
mencuci adalah air bersih dengan kualitas air minum. Proses ini dilakukan dalam waktu yang singkat yaitu kurang dari satu menit. (3) Penyimpanan sementara Penyimpanan sementara bertujuan untuk mempertahankan mutu ikan dengan cara menjaga suhu ikan agar tetap berada pada kisaran suhu 0-5oC. Proses ini dilakukan dengan memasukan ikan ke dalam bak penampungan besar berisi air yang ditambahkan es curai dalam jumlah yang besar. Suhu pada bak tersebut diperkirakan 0oC. Bak penampungan yang digunakan berukuran besar dengan volume 3 x 3 x 1,5 m dengan kapasitas ± 90-450 ekor ikan (ukuran ikan berkisar antara 30-150 kg). Ikan dimasukkan ke dalam bak penampungan tanpa penyusunan. Lamanya penyimpanan sementara tergantung pada lamanya kesiapan dari proses pengolahan selanjutnya dan juga waktu kedatangan ikan. Ikan yang datang mendekati waktu istirahat akan disimpan dalam bak penyimpanan sementara sampai waktu istirahat selesai dan proses pengolahan dilanjutkan kembali. Waktu istirahat karyawan di perusahaan adalah sekitar 45 menit yaitu dari pukul 12.00-12.45 WIB. (4) Pencucian II Pencucian II dilakukan dengan tujuan menghilangkan kotoran yang masih tersisa pada bagian permukaan kulit setelah proses penyimpanan sementara. Air yang digunakan untuk mencuci adalah air bersih dengan kualitas air minum. (5) Penimbangan I Penimbangan I dilakukan sebelum proses cutting. Tahap ini dilakukan untuk kepentingan rekaman dan pencocokan dengan berat yang tertera pada label. Waktu proses pada tahap ini tergolong cepat yaitu kurang dari 30 detik. (6) Pembuangan kepala dan sirip Pembuangan kepala dan sirip dilakukan untuk menghilangkan bagian tubuh yang tidak dibutuhkan. Proses dilakukan oleh pekerja secara manual dengan menggunakan pisau. Proses ini membuang bagian kepala sampai batas operculum dan seluruh sirip ikan (sirip dorsal, pektoral, dan sentral). Waktu proses ini sekitar satu menit. Pemotongan dilakukan di atas meja yang permukaannya halus. Meja tersebut dibersihkan dengan air mengalir setelah melakukan pemotongan 3-5 ekor ikan.
31 81
(7) Pembentukan loin Pembentukan loin dimulai dengan membelah daging ikan menjadi dua bagian sepanjang bagian gurat sisi (linear lateralis, LL). Selanjutnya, dilakukan pemfiletan dari bagian perut sampai pangkal ekor dan dari bagian punggung sampai pangkal ekor, sehingga didapatkan dua bagian yang terlepas dari tulang. Selanjutnya dilakukan proses yang sama pada sisi lainnya, sehingga dari satu ekor ikan akan diperoleh empat loin. (8) Pembuangan kulit (skinning I), daging gelap dan duri Pembuangan kulit (skinning) dilakukan untuk mendapatkan produk yang sesuai dengan spesifikasi. Pada tahap ini dilakukan pemisahan daging gelap dan duri-duri kecil yang masih menempel pada daging ikan. Proses pengerjaan pada tahapan ini dilakukan di atas meja yang dilapisi dengan talenan yang permukaanya mudah dibersihkan. Keseluruhan proses proses pembuangan kulit (skinning), daging gelap, dan duri membutuhkan waktu sekitar dua menit. (9) Penimbangan II Penimbangan II dilakukan untuk mengetahui berat loin yang dihasilkan. Proses penimbangan dilakukan secara manual dengan timbangan digital. Bagian timbangan yang kontak dengan daging ikan terbuat dari logam dengan permukaan yang halus. Hasil penimbangan II dicatat dalam formulir penimbangan untuk mengetahui rendemen daging ikan tuna. Setelah proses penimbangan selesai, permukaan timbangan dibasuh menggunakan air untuk memperkecil risiko kontaminasi. (10) Pembungkusan sementara Pembungkusan sementara dilakukan dengan plastik LDPE (Low Density Polyetilen) polos. Loin yang telah dibungkus kemudian diletakkan dalam keranjang plastik dan ditimbun dengan flake ice secukupnya. Suhu ruang selama pembungkusan sementara ± 20oC. (11) Pemberian gas CO Penanganan dan pengolahan tuna loin berdasarkan SNI 01-4104.3-2006 tidak mencantumkan proses pemberian gas CO, akan tetapi bahan baku bermutu tinggi susah diperoleh. Selain itu, PT X tetap melakukan proses ini karena tidak ada larangan dari negara tujuan ekspornya (Amerika). Pemberian gas CO (karbon
82 32
monoksida) dilakukan pada semua grade loin kecuali loin SON (skin on). Pemberian gas CO 20-40 psi dilakukan menggunakan selang yang terhubung dengan satu set jarum suntik yang terdiri dari 15 jarum. Jumlah penyuntikan pada daging disesuaikan dengan size loin. Suhu ruang maupun suhu ikan tidak dicatat dalam proses ini. (12) Pendinginan (chilling) Loin yang yang telah di smoke dibungkus dengan plastik dan disusun dalam keranjang. Masing-masing keranjang berisi 3 loin dan diberi label yang berisi no batch, hari proses cutting dan jenis loin. Loin-loin tersebut kemudian disimpan dalam chill room yang bersuhu sekitar 0-1oC selama 48 jam. Pintu chill room dilengkapi dengan plastik curtain transparan untuk mengurangi masuknya suhu tinggi dari luar ketika pintu dibuka. (13) Sortasi mutu Sortasi secara organoleptik dilakukan berdasarkan warna dan tekstur setelah penyimpanan pada suhu chilling selama 48 jam. Loin wild, ID-on, SON disortasi ulang sebelum diproses menjadi loin atau produk lainnya. Loin dengan grade A diproses menjadi saku, grade B menjadi loin ID-on, grade C atau size yang terlalu kecil menjadi steak sedangkan daging sisa potongan diproses menjadi cubes dan ground meat. Loin yang mempunyai mutu organoleptik di bawah standar dipisahkan dan diberi gas CO ulang. Suhu ruang selama sortasi sekitar 20 oC dicatat dalam record daily temperature. (14) Perapihan (retouching) Perapihan dilakukan untuk membuang daging yang rusak, sisa-sisa daging gelap, sisa kulit, serta sisa duri yang masih menempel pada produk sehingga diperoleh loin yang sesuai dengan spesifikasi. Daging yang telah dirapihkan diseka menggunakan spon yang telah disemprot dengan alkohol dengan tujuan mengurangi resiko kontaminasi pada produk, terutama kontaminasi mikroba. Waktu proses pada tahap ini sekitar empat menit. (15) Penimbangan III Penimbangan III dilakukan untuk mengetahui berat produk tuna loin sebelum pembungkusan. Proses ini untuk keperluan dokumentasi dan mengetahui
83
33
rendemen akhir produk. Pada proses ini dilakukan secara manual menggunakan timbangan digital. (16) Pembungkusan Pembungkusan dilakukan untuk melindungi produk terhadap kontaminasi dari lingkungan luar. Kemasan yang digunakan adalah plastik polyethylene berlabel. Pembungkusan dengan plastik dilakukan secara manual dengan waktu yang cukup singkat yaitu sekitar 5 detik. (17) Pemvakuman Pemvakuman dilakukan untuk membuat suasana hampa udara pada produk. Pemvakuman dilakukan menggunakan mesin vakum yang dioperasikan oleh pekerja. (18) Penyusunan Produk yang telah dibungkus dan divakum disusun dalam keranjang plastik untuk dibekukan. Penyusunan bertujuan agar produk memiliki bentuk yang baik pada saat beku sehingga memudahkan penyusunan dalam master carton. Pada setiap keranjang diberi no batch kemudian diangkut ke Air blast freezer. Waktu proses pada tahap ini sekitar lima menit per lima keranjang. (19) Pembekuan Pembekuan dilakukan untuk menghambat kebusukan dan penurunan mutu ikan sehingga kualitas daging dapat terjaga. Proses pembekuan dilakukan dengan menggunakan air blast freezer pada suhu -20oC selama sekitar 8 jam. Ruang pembekuan memiliki luas yang cukup dan monitor suhu yang dapat dilihat dengan mudah. Pemeriksaan produk hasil pembekuan dilakukan oleh petugas Quality Control (QC). (20) Penimbangan IV Penimbangan IV dilakukan untuk mengetahui berat loin setelah pembekuan. Penimbangan dilakukan secara manual untuk memperoleh berat akhir produk untuk keperluaan pengemasan. (21) Pengemasan dengan menggunakan master carton dan pelabelan Pengemasan dengan master carton dimaksudkan untuk melindungi produk dari kerusakan fisik selama distribusi. Pengemasan dilakukan secara manual oleh pekerja. Pada proses ini juga dilakukan pemberian label pada master carton.
84 34
Pelabelan tersebut dimaksudkan untuk memberi informasi tentang spesifikasi produk. Pengemasan dan pelabelan dilakukan oleh pekerja bagian pengepakan dan diawasi dan dicek oleh QC. (22) Penyimpanan beku Penyimpanan beku dilakukan untuk menunggu waktu ekspor atau pengiriman produk. Penyimpanan produk dilakukan dalam cold storage dengan suhu dibawah -18oC. Penyusunan produk dalam cold storage dilakukan dengan rapi agar tidak terjadi kerusakan fisik pada produk. PT X tidak menerapkan sistem first in first out (FIFO). Pihak perusahaan tidak menerapkan hal ini karena terbatasnya luas cold storage sehingga menyulitkan pihak perusahaan menerapkan sistem tersebut. Diagram alur proses produksi tuna loin beku selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3. Penerimaan bahan baku Pencucian I Penyimpanan sementara
Pendinginan (chilling) Sortasi mutu Perapihan (retouching)
Pencucian II Penimbangan III Penimbangan I Pembuangan kepala dan sirip Pembentukan loin Pembuangan kulit (skinning), daging gelap dan duri
Penimbangan II
Pembungkusan Pemvakuman Penyusunan Pembekuan Penimbangan IV
Pembungkusan sementara
Pengemasan dalam master karton
Pemberian gas CO
Penyimpanan
Gambar 3 Diagram alur proses produksi tuna loin pada PT X.
35 85
4.2 Mempelajari Sistem Pelaksanaan, Memverifikasi Program Higiene pada Proses Produksi Tuna Loin Beku, dan Melakukan Penilaian Pelaksanaan Program Higiene PT X Penilaian sistem higiene perusahaan, pelaksanan penelitian mengacu pada CAC (2003). Adapun aspek higiene yang dipelajari adalah: produksi bahan baku, desain dan fasilitas, prosedur pengendalian, sanitasi dan higiene karyawan. 4.2.1 Produksi bahan baku CAC (2003) pada section III menyatakan lingkungan penghasil bahan baku sebaiknya tidak menjadi sumber kontaminasi pada produk. Sistem pengadaan bahan baku PT X adalah dari transit Y di kawasan Perum Perikanan Samudera Nizam Zachman, Muara Baru. Dokumen yang memuat informasi mengenai produksi bahan baku pada PT X dituangkan dalam harvest vessel receiveing record (Lampiran 9). Berdasarkan hasil observasi langsung, diketahui bahwa lokasi sumber bahan baku PT X memiliki lingkungan serta ruang proses dengan tingkat higiene yang rendah. Lantai ruang proses kotor dan air lelehan es cenderung menggenang, ruang proses tidak terpisah dari lingkungan luar serta standar higiene karyawan yang rendah. Karyawan pada transit ini tidak menggunakan seragam lengkap, memiliki kebiasaan merokok, meludah dan bercakap-cakap pada ruang pengolahan. Kondisi asal bahan baku yang kurang baik ini berpotensi untuk menghasilkan bahan baku dengan kualitas yang buruk. Perusahaan melakukan antisipasi agar tidak memperoleh bahan baku yang buruk yaitu mengandung mikroorganisme dan histamin yang tinggi dengan melakukan analisis sensori dan melakukan pengukuran suhu bahan baku saat bahan baku diterima. 4.2.2 Desain dan Fasilitas Desain internal dan layout yang baik dari suatu perusahaan akan sangat mendukung penerapan sistem higiene yang baik untuk melindungi produk, terutama dari kontaminasi
silang
selama
proses produksi berlangsung
(CAC 2003). Desain perusahaan semestinya dibuat sedemikian rupa sehingga dapat memisahkan area bersih dan area kotor (Lelieveld et al. 2003). Desain tersebut kemudian didukung dengan penyediaan fasilitas yang sesuai dengan
86 36
standar higiene yang berlaku. Standar tersebut secara umum diantaranya aman (tidak mengandung bahan kimia berbahaya), mudah dibersihkan, tahan lama, tidak korosif dan memiliki permukaan yang halus. (1) Lokasi perusahaan Pada saat akan menentukan lokasi perusahaan, pihak manajemen harus memperhatikan potensi kontaminasi dari lingkungan yang mungkin terjadi. Berdasarkan CAC (2003) perusahaan harus terletak jauh dari lingkungan tercemar dan kegiatan industri yang dapat menjadi ancaman kontaminasi yang serius; daerah rawan hama; dan daerah dimana limbah baik padat maupun cair tidak dapat dibersihkan secara efektif. Keberadaan sumber air dan pembuangan limbah juga perlu dipertimbangkan (Marriot dan Gravani 2006). PT X berada di kompleks Perum Perikanan samudera Jakarta (PPSJ) Nizam Zachman. Jarak PT X dengan perusahaan lain berada pada jarak yang cukup sehingga resiko gangguan yang berasal dari bau lingkungan luar dapat dihindarkan. Berdasarkan penilaian kesesuaian dengan acuan (Dirjen P2HP 2007, Mariot dan Gravani 2006, CAC 2003, Leliveld et al. 2003), area unit pengolahan memadai untuk melakukan penanganan tuna loin dalam kondisi saniter dan higienis dan area bersih terpisah dari area kotor. (2) Desain dan layout Desain dan tata ruang unit pengolahan merupakan salah satu area paling kritis dalam mencegah terjadinya kontaminasi (Marriot & Gravani 2006). Menurut CAC (2003) desain interior perusahaan pengolahan makanan harus tahan lama, mudah dibersihkan, serta kedap air. Prinsip utama yang harus dipenuhi dalam membuat desain interior adalah harus dapat meminimalisasi kemungkinan kontaminasi internal dan mencegah akumulasi kontaminasi eksternal. Bangunan PT. PT X terdiri dari tiga lantai (denah dapat dilihat pada Lampiran 10). Pada Lantai 1 terdapat pos satpam, tempat penyimpanan tas dan sepatu, tempat parkir, ruang penerimaan bahan baku, dan ruang produksi. Pada lantai 2, terdapat ruang mekanik, musholla, ruang penyimpan styrofoam, ruang istirahat karyawan, ruang administrasi, laboratorium, ruang ganti karyawan, dan dapur. Pada lantai 3, terdapat gudang penyimpanan bahan pengemas, ruang penyimpanan bahan kimia, binatu, dan kamar istirahat (mess karyawan).
37 87
Ruang produksi terdiri dari ruang produksi 1 dan ruang produksi 2 yang dihubungkan dengan anteroom. Antara ruang produksi 1 dan 2 juga terdapat ruang cold storage. Pada ruang produksi 1 terdapat ruang Air Blast Freezer (ABF) 1 dan chilling room 1. Pada ruang produksi 2 terdapat ruang ABF 2, chilling room 2, tempat pembuatan ice flake dan ruang smoking. Di sisi samping ruang produksi terdapat selokan yang mengalirkan limbah cair ke luar unit pengolahan. 1) Ruang penerimaan Ruang penerimaan bahan baku di UPI PT X terpisah dengan ruang produksi. Pemisah kedua ruangan ini adalah pintu yang diberi plastik curtain. Ruang penerimaan digunakan untuk melakukan prosedur penerimaan bahan baku, proses cutting dan fileting. Lantai, dinding, dan langit-langit ruang penerimaan bahan baku PT X terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan. Pada ruangan ini juga tersedia air bersih dalam jumlah yang cukup. Lantai didesain dengan kemiringan yang cukup sehingga limbah cair dapat mengalir dengan baik ke saluran pembuangan pada sudut ruangan. Selain itu, ruang penerimaan bahan baku tertutup dari lingkungan luar. Untuk mencegah masuknya serangga (lalat), PT X memasang lampu anti serangga pada pintu masuk ikan dan pintu masuk karyawan. Berdasarkan penilaian kesesuaian dengan acuan (Lampiran 6) (Dirjen P2HP 2007, Mariot dan Gravani 2006, CAC 2003, Leliveld et al. 2003) ruang penerimaan bahan baku PT X memenuhi persyaratan higiene. 2) Ruang penanganan dan pengolahan Ruang penanganan dan pengolahan adalah ruangan utama pada industri pengolahan pangan. Banyak hal yang harus diperhatikan dalam menata ruangan ini. Konstruksi bangunan, tata letak peralatan, dan pemilihan bahan untuk alat-alat yang kontak dengan bahan baku harus direncanakan dan dipilih sesuai dengan kegunaannya (Lelieveld et al. 2003). Kondisi ruang penanganan dan pengolahan di unit pengolahan ini yaitu tertutup dari lingkungan luar; komponen ruangan (lantai, dinding, dan langit-langit) terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan bersih dan diperbaiki; tersedia air bersih dalam jumlah cukup; saluran limbah mengalir dengan baik; dan di pintu masuk di pasang lampu anti serangga.
88 38
Berdasarkan penilaian kesesuaian dengan acuan (Lampiran 6) (Dirjen P2HP 2007, Mariot dan Gravani 2006, CAC 2003, Leliveld et al. 2003) ruang penanganan dan pengolahan PT X memadai untuk melaksanakan proses produksi secara higienis. 3) Lantai Lantai di unit pengolahan PT X adalah ubin keramik berukuran 30x30 cm yang berwarna putih. Ubin ini kedap air dan tidak korosif. Kemiringan lantai di area pengolahan masih cukup untuk mengalirkan air dari proses pengolahan karena tidak terlihat air menggenang di lantai ruang produksi. Berdasarkan penilaian kesesuaian dengan acuan (Lampiran 6) (Dirjen P2HP 2007, Mariot dan Gravani 2006, CAC 2003, Leliveld et al. 2003) kondisi lantai memenuhi persyaratan. 4) Dinding Dinding bangunan PT X adalah tembok beton. Tinggi dinding dari lantai hingga langit-langit di ruang pengolahan ± 4 meter. Ketinggian ini cukup untuk terlaksananya proses produksi yang higienis. Dinding bagian dalam di ruang pengolahan dilapisi dengan ubin keramik hingga ketinggian 1.5 meter dan sisanya dicat berwarna putih. Pelapisan dinding dengan ubin keramik membuat dinding bagian dalam kedap air, mudah dibersihkan dan tahan lama. Pertemuan antara dinding dan lantai juga tidak membentuk sudut sehingga dapat mencegah akumulasi atau penumpukan debu dan kotoran. Berdasarkan penilaian kesesuaian dengan acuan (Lampiran 6) (Dirjen P2HP 2007, Mariot dan Gravani 2006, CAC 2003, Leliveld et al. 2003) kondisi dinding memenuhi persyaratan. 5) Langit-langit Langit-langit bangunan UPI PT X berwarna putih terang, terlihat bersih dan halus. Berdasarkan pengamatan, tidak dijumpai pipa-pipa yang menonjol pada langit-langit unit pengolahan. Pemeliharaan langit-langit dilakukan dengan pembersihan yang teratur dan pengecekan kondisi langit-langit. Hal ini merupakan tindakan yang tepat karena adanya celah pada langit-langit dapat menjadi tempat akumulasi debu dan kotoran maupun rembesan air yang dapat jatuh mengenai produk yang sedang diproses (Wierenga & Holah 2003; Winarno & Surono 2004). Kondisi langit-langit bangunan di PT X memenuhi persyaratan acuan (Dirjen P2HP 2007, Mariot dan Gravani 2006, CAC 2003, Leliveld et al. 2003) pada penilaian kesesuaian higiene desain dan layout (Lampiran 6).
89 39
6) Pintu Pintu utama menuju ruang produksi terbuat dari bahan stainless steel yang cukup kuat dan mudah dibersihkan. Pada pintu tersebut dipasang tombol pembuka/penutup otomatis. Tirai dari plastik curtain dipasang pada pintu untuk mencegah masuknya debu dari lingkungan luar secara berlebihan. Plastik curtain yang digunakan sebagai tirai pintu bersifat relatif tahan lama, tahan korosi, permukaannya halus serta mudah dicuci. Alat penangkal serangga dan lalat dipasang pada setiap pintu ruang pengolahan yang berhubungan dengan lingkungan luar. Kondisi pintu tersebut sesuai dengan acuan (Dirjen P2HP 2007, Mariot dan Gravani 2006, CAC 2003, Leliveld et al. 2003) yang digunakan pada tahap penilaian kesesuaian higiene pada aspek desain dan layout (Lampiran 6). 7) Ventilasi Menurut Cramer (2006), ventilasi yang dibangun harus dapat berrfungsi untuk membuang asap, uap atau bau tidak sedap dari UPI dan membawa udara segar. Ventilasi juga berfungsi memberikan kenyamanan kepada pekerja. Sistem sirkulasi udara pada PT X menggunakan blower dan air conditioner (AC). Blower berfungsi mengalirkan udara ke luar ruangan sedangkan AC berfungsi mengalirkan udara pada ruangan. PT X tidak melakukan proses produksi yang menghasilkan asap maupun uap panas sehingga penggunaan blower dan air conditioner (AC) pada ruang proses dapat dikatakan sesuai. 8) Penerangan Penerangan ruang proses menggunakan lampu TL (tube lamp) 40 watt. Wierenga dan Holah (2003) menyatakan bahwa lampu harus dilindungi dengan pelapis, biasanya polikarbonat, untuk melindungi kaca dan memuatnya bila pecah. Dalam hal ini, PT X menyusun lampu dalam rumah-rumahan yang masingmasing terdiri dari dua lampu TL.
Setiap rumah-rumahan lampu dilindungi
dengan plastik mika transparan. Plastik mika berfungsi untuk memudahkan pembersihan dan melindungi lampu. Kekuatan cahaya lampu minimum untuk pengolahan adalah 500-600 lux (Wierenga & Holah 2003). Fasilitas penerangan di ruang proses PT X tidak diukur menggunakan alat khusus sehingga tidak diketahui secara pasti intensitasnya. Namun, berdasarkan pengamatan intensitas penerangan sudah
90 40
memadai untuk mendukung berlangsungnya proses pengolahan yang higienis. Kondisi penerangan sesuai persyaratan pada acuan (Dirjen P2HP 2007, Mariot dan Gravani 2006, CAC 2003, Leliveld et al. 2003) yang digunakan pada tahap penilaian kesesuaian higiene pada aspek desain dan layout (Lampiran 6). (3) Peralatan Perlengkapan dan peralatan yang kontak dengan bahan baku atau produk tuna loin diantaranya meja produksi, talenan, pisau, keranjang, timbangan, spons, dan nampan. Meja produksi, pisau dan nampan terbuat dari bahan stainless steel, sedangkan keranjang, dan talenan dari bahan plastik yang keras. Peralatan yang digunakan tersebut bersifat tahan karat, kedap air, dan permukaannya relatif halus sehingga mudah dibersihkan. Peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk menangani produk di unit pengolahan ini tidak digunakan untuk melakukan hal yang lain. Setelah digunakan, peralatan dikumpulkan dan dibawa menuju ruang pencucian untuk dibersihkan dan didisinfeksi. Ruang pencucian berada di ruang yang terpisah dari ruang pengolahan. Saluran pembuangan air di tempat pencucian juga cukup baik, terlihat dari tidak adanya air yang tergenang. (4) Fasilitas Keputusan untuk menambah investasi fasilitas dalam proses produksi selalu berorientasi pada profit yang akan diperoleh perusahaan. Berinvestasi untuk fasilitas higiene sangat penting untuk dilakukan karena akan menjadi pondasi yang kuat bagi kegiatan produksi perusahaan terutama untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan aman untuk dikonsumsi. Untuk itu diperlukan suatu rancangan higiene yang bagaimanapun juga harus cocok dan mendukung persyaratan-persyaratan lainnya (Lelieveld et al 2003). 1) Suplai air dan es Air dalam industri pangan digunakan sebagai bahan baku proses dan pencucian alat. Air sebagai bahan baku dan bahan pembantu dalam proses produksi dapat meningkatkan potensi kontaminasi. Oleh karena itu, semua air yang kontak dengan produk harus berkualitas air minum (potable water) dan bebas dari bakteri patogen (Lelieveld et al. 2003; Winarno & Surono 2004).
91 41
Pasokan air bersih PT X diperoleh dari Perusahaan Air Minum (PAM) Muara Baru. Air bersih tersebut belum memenuhi standar air minum untuk keperluan proses produksi. Air dengan kualitas air minum diperoleh dengan melakukan proses filtrasi, ozonisasi dan penyinaran utraviolet (UV). Pengawasan kualitas air dan es dilakukan setiap satu minggu sekali. Sampel air diambil dari keran yang ada pada ruang produksi dan sampel es diambil dari mesin flake ice. Sampel air dan es diambil secara aseptik masing-masing sebanyak dua sampel. Sampel tersebut kemudian dianalisis kualitasnya di laboratorium internal PT X (contoh hasil pengujian air dapat dilihat pada Lampiran 20) Upaya pengendalian dan pengawasan distribusi air dilakukan oleh mekanis. Upaya tersebut dilakukan dengan pemberian nomor pada setiap outlet dan keran air. Penomoran tersebut bertujuan untuk menandai keran mana saja yang mengeluarkan air yang berkualitas air minum, tidak berkualitas air minum dan air hangat. Prosedur ini sesuai dengan acuan (Dirjen P2HP 2007, Mariot dan Gravani 2006, CAC 2003, Leliveld et al. 2003) yang digunakan pada tahap penilaian kesesuaian fasilitas air dan es (Lampiran 6). 2) Fasilitas pencucian tangan dan disinfeksi Fasilitas pencucian tangan dan foot bath di PT X terdapat di pintu masuk menuju ruang produksi. Hanya terdapat satu pintu masuk menuju ruang produksi yang juga digunakan sebagai pintu keluar. Fasilitas foot bath di unit pengolahan ini berupa bak dengan kedalaman ±40 cm dan berisi air yang mengandung klorin 200 ppm. Fasilitas pencuci tangan dioperasikan menggunakan sensor atau tidak dioperasikan dengan tangan. Setiap fasilitas pencuci tangan dilengkapi dengan sabun sebagai desinfektan. Berdasarkan wawancara dengan manajer pabrik, sabun yang digunakan telah sesuai dengan persyaratan yang dibuat oleh Dinas Perikanan setempat. Fasilitas pencucian tangan dan disinfeksi telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. 3) Ruang ganti, kamar mandi dan toilet Ruang ganti karyawan digunakan untuk tempat mengganti baju yang dikenakan dari luar dengan baju khusus (seragam) untuk bekerja. Ruang ganti tersebut berada di ruangan dan bangunan yang terpisah dari unit produksi. Ruang
92 42
ganti untuk karyawan pria dan wanita dibedakan namun letaknya berdampingan. Ruang ganti karyawan dilengkapi dengan loker untuk menyimpan barang-barang pekerja. Dinding dan lantai ruang ganti terbuat dari ubin keramik berwarna putih yang mudah dibersihkan. Jumlah toilet di unit pengolahan ini empat buah yang terdiri dari dua toilet untuk karyawan proses, satu toilet untuk karyawan administrasi dan tamu, serta satu toilet dilantai tiga untuk karyawan binatu dan sanitasi. Jumlah toilet atau jamban untuk 50 – 100 karyawan adalah tiga jamban (Winarno dan Surono 2004). Jumlah karyawan proses pada PT X adalah 87 orang yang terdiri dari 77 orang dan 10 orang karyawan administrasi. Berdasarkan hal tersebut empat toilet yang ada dapat mencukupi bagi 87 karyawan. Jenis jamban yang digunakan pada toilet adalah tipe leher angsa, sesuai dengan spesifikasi toilet menurut Winarno dan Surono (2004). Toilet yang diperuntukkan bagi karyawan administrasi, supervisor, dan manajer berada di tempat terpisah dan relatif bersih. Demikian pula kondisi toilet yang diperuntukkan bagi pekerja. Toilet dilengkapi dengan fasilitas cuci tangan. Fasilitas ruang ganti, kamar mandi dan toilet di PT X telah memenuhi persyaratan. 4) Ruang pendinginan dan gudang beku Permukaan lantai, dinding, dan langit-langit ruang pendingin dan ruang pembekuan terbuat dari bahan plat stainless steel. Bahan ini bersifat kedap air sehingga mudah dicuci dan didisinfeksi pada saat tidak beroperasi. Selain itu, relatif tahan lama dan dapat mencegah akumulasi kotoran, jamur, dan pengelupasan. Pada ruang pendinginan dan gudang beku terdapat alat sensor suhu yang dimonitor oleh petugas setiap dua jam sekali. Pihak PT X melakukan perekaman pada kegiatan kontrol dan monitoring suhu ruang pendingin (chilling room) dengan chilling temperature monitoring kontrol (Lampiran 11), ruang pembekuan dengan frezzing monitoring report (Lampiran 12) dan gudang (cold storage) dengan cold storage temperature report (Lampiran 13). Tirai udara dipasang pada pintu gudang beku, ruang pembeku dan ruang pendingin sedangkan pada anteroom tidak dipasang tirai udara.
93 43
Kapasitas ruang pendingin (chilling room) dan pembeku (air blast freezing) yang dimiliki oleh PT X memadai untuk menampung produk. Menurut pihak perusahaan gudang beku (cold storage) mempunyai kapasitas terbatas dan kurang memadai sehingga menyulitkan pihak perusahaan untuk menerapkan sistem FIFO (first in first out). Tidak diterapkannya sistem FIFO dalam penyimpanan produk merupakan suatu penyimpangan waktu dan suhu yang dapat menjadi penyebab bahaya histamin. Oleh karena itu, sistem ini harus segera diperbaiki. 5) Sistem pembuangan limbah Penanganan limbah dan sampah merupakan salah satu permasalahan penting pada industri pangan. Permasalahan utama limbah dari industri pengolahan pangan adalah bahan organik yang terkandung di dalamnya. Bahan organik yang sangat banyak dalam limbah industri pengolahan pangan merupakan sumber makanan bagi mikroba sehingga mikroba dapat tumbuh dengan cepat. Hal ini dapat menyebabkan ketersediaan oksigen yang terlarut dalam air menjadi berkurang.
Penurunan
membahayakan
jumlah oksigen terlarut
organisme
akuatik
yang
secara signifikan dapat ada
di
dalamnya
(Marriot & Gravani 2006). Penanganan limbah cair di PT X diantaranya dilakukan dengan membuat sistem penampungan limbah secara bertingkat. Limbah cair dari pengolahan dialirkan ke luar unit pengolahan dengan selokan pada pojok ruangan. Limbah cair ini disaring kemudian dialirkan menuju tangki penampungan pada Unit Pengolahan Limbah (UPL) di kompleks Perum Perikanan Samudera Jakarta (PPSJ) Muara Baru, Jakarta Utara. Limbah ikan dari proses cuting seluruhnya dibeli oleh pengumpul untuk dimanfaatkan, sehingga tidak ada bagian ikan yang dibuang. Limbah padat selain ikan (plastik, spons, gloves, dll.) ditempatkan dalam wadah fiber yang memiliki tutup. Limbah padat dan kering ditempatkan pada wadah yang berbeda. Setiap hari, petugas sanitasi mengumpulkan limbah-limbah padat dengan trash bag kemudian limbah tersebut akan diangkut oleh petugas kebersihan Muara Baru (Alur pembuangan limbah padat dapat dilihat pada Lampiran 14).
94 44
6) Pengawasan binatang pengerat (pest kontrol) Prosedur pengendalian binatang pengganggu dilakukan dengan memasang perangkap di sekitar bangunan unit pengolahan dan lampu insectkill di setiap pintu masuk menuju ruang produksi. Selain itu, perusahaan juga melakukan fogging setiap bulan. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa perusahaan mengontrak suatu instansi untuk penanganan binatang pengganggu. Instansi tersebut membuat peta penyebaran
pemasangan
perangkap
untuk
memudahkan
pengontrolan.
Pengontrolan dilakukan dua kali seminggu pada sore hari setelah proses produksi selesai. Fogging merupakan prosedur disinfeksi ruangan menggunakan bahan kimia yang didispersikan. Berdasarkan wawancara dengan supervisor sanitasi unit pengolahan, fogging dilakukan setiap satu bulan sekali. Prosedur ini dilakukan pada saat tidak ada proses produksi dan biasanya dilakukan pada sore hari. Fogging efektif untuk menurunkan populasi mikroba di udara hingga 2-3 log dalam 30-60 menit. Alat fogging yang paling efektif adalah kompresor udara yang dapat menghasilkan partikel berukuran 10-20 mikron. Untuk disinfeksi permukaan, fogging hanya efektif jika bahan kimia dapat mengendap di permukaan alat (Holah 2003). 4.2.3 Prosedur pengendalian Prosedur pengendalian adalah upaya untuk menjamin bahwa proses produksi yang berlangsung senantiasa berada pada kondisi yang terkontrol. Pengendalian proses adalah upaya menjamin bahwa proses sesuai dengan standar yang diadopsi agar menghasilkan produk yang sesuai permintaan. Pada penerapan sistem manajemen keamanan pangan, prosedur pengendalian diarahkan kepada prinsip keamanan, penekanan risiko dan dampak yang merugikan (Wallace et al. 2011). (1) Kontrol terhadap bahaya Pelaku industri pangan harus menerapkan suatu sistem kontrol terhadap bahaya keamanan pangan (dalam hal ini HACCP). Kontrol terhadap bahaya diterapkan dengan melakukan identifikasi bahaya pada seluruh alur proses sehingga perusahaan dapat merancang sistem higiene yang tepat untuk mencegah timbulnya risiko bahaya tersebut (CAC 2003).
95 45
Upaya PT X dalam menerapkan HACCP sebagai sistem kontrol terhadap bahaya, dimulai dengan melakukan identifikasi bahaya pada setiap alur proses produksi tuna loin beku oleh Tim HACCP perusahaan. Berdasarkan identifikasi tersebut, PT X menetapkan penerimaan bahan baku dan proses packing sebagai tahapan yang memiliki bahaya potensial. Bahaya potensial pada penerimaan bahan baku adalah dekomposisi dan kadar histamin bahan baku yang timbul karena penyalahgunaan waktu. Upaya pencegahan yang dilakukan adalah pemeriksaaan suhu dan kesegaran ikan/ uji organoleptik saat kedatangan ikan; dan menolak bahan baku jika ditemukan dekomposisi. Berdasarkan penelitian Kanoko (2000) pada tahap penerimaan bahan baku di Hawaiian fishery, dari 583 ekor ikan pelagis (scombroid) yang disortasi berdasarkan bau (odor), 464 (79.58%) ekor ikan diterima. Setelah dianalisis, dari 464 yang diterima tersebut hanya 14 ekor (11%) yang kadar histaminnya melebihi 5 mg/100 gram (standar Amerika). Dari hasil tersebut dinyatakan bahwa analisis sensori efektif diterapkan pada tahap sortasi bahan baku untuk mencegah risiko histamin. Oleh karena itu, pada tahap penerimaan bahan baku sebaiknya perusahaan menempatkan karyawan yang terlatih melakukan uji sensori dan QC (Quality control) harus lebih teliti dan memperketat pengawasan. Pengemasan memiliki potensi bahaya mikrobiologi (TPC) akibat kebocoran kemasan dan peningkatan histamin akibat penyimpangan suhu dan waktu. Upaya pencegahan kedua bahaya potensial tersebut adalah dengan pemeriksaan setiap 30 menit. Berdasarkan penilaian kesesuaian dengan acuan (CAC 2003), ketidaksesuaian pada tahap ini yaitu tidak semua tahapan proses dicantumkan dalam identifikasi bahaya. Tahapan tersebut adalah pemberian gas CO dan penyimpanan pada suhu 0-1oC (chilling) selama 48 jam setelah pemberian gas CO. Sebaiknya perusahaan memperbaiki
prosedur
lamanya
proses
penyimpanan
tersebut
dengan
penyimpanan yang lebih singkat. Upaya ini dapat dilakukan untuk memperkecil peluang terbentuknya enzim histidine dekarboksilase oleh bakteri psikrotrofik.
96 46
(2) Aspek kunci dalam pengendalian sistem higiene CAC (2003) section V menyatakan bahwa aspek kunci sistem pengendalian higiene sangat penting untuk dilakukan. Pengendalian tersebut dilakukan dengan beberapa upaya yaitu memastikan bahwa suhu produk selalu dipertahankan dalam suhu dingin, pengendalian terhadap cemaran baik secara mikrobilogi, kimia maupun fisika, dan pencegahan kontaminasi silang baik yang berasal dari pekerja maupun peralatan. 1) Waktu dan suhu Pengendalian suhu ikan selama proses produksi tuna loin beku dilakukan dengan pemberian es curai. Berdasarkan pengamatan, karyawan pada beberapa tahap proses kurang cepat menangani ikan.
Kecepatan waktu proses pada
beberapa tahap penting produksi tuna loin perlu dianalisis. Hal ini mengingat penyimpangan waktu proses dapat menurunkan suhu ikan, terutama apabila pada proses tersebut ikan tidak kontak langsung dengan es. 2) Tahapan proses spesifik Tahapan proses spesifik merupakan tahapan khusus atau perlakuan khusus pada produk yang berkontribusi pada higiene pangan. Tahapan tersebut diantaranya pendinginan (chilling), proses termal, iradiasi, pengeringan, penambahan bahan kimia dan pengemasan vakum atau modified atmosphere packaging (CAC 2003). Tahapan proses spesifik yang ada pada PT X adalah pendinginan (chilling) dan pengemasan vakum. Proses chilling dilakukan setelah proses smooking dengan CO selama 48 jam (2 hari) agar warna merah pada daging terbentuk dengan baik dan merata. Suhu pada proses ini adalah 0-1oC. Kenaikan suhu ruang chilling dapat terjadi apabila aktivitas buka tutup pintu ruangan ini relatif sering dilakukan. Menurut Emborg dan Dalgaard (2008), pada proses penyimpanan suhu chilling
pembentukan
histamin oleh bakteri psikrotrofik dapat terus berlangsung meskipun kecil. Fluktuasi suhu dapat terjadi akibat buka tutup ruang chilling terutama pada saat bahan baku yang diterima dalam jumlah banyak. Oleh karena itu, monitoring terhadap suhu ruang chilling perlu ditingkatkan. Proses pemvakuman bertujuan untuk menghampakan udara sehingga menghambat pertumbuhan bakteri aerobik. Pengecekan dilakukan untuk
97 47
memastikan bahwa semua loin tervakum dengan baik (tidak ada celah udara). Ketidaksesuaian pada tahap ini adalah tidak adanya kegiatan perekaman atau monitoring. 3) Pencegahan kontaminasi silang Kontaminasi pada produk, khususnya bakteri sangat berpengaruh pada peningkatan histamin pada tuna loin. Kontaminasi silang dicegah dengan menerapkan cara produksi makanan yang baik (CPMB) dan prosedur sanitasi. (3) Persyaratan bahan baku Bahan baku yang digunakan PT X adalah bahan baku dengan grade B. Hasil pengujian kadar histamin (Lampiran 15) dan TPC (Lampiran 16) oleh laboratorium internal menunjukkan bahan baku yang masuk dalam rantai proses merupakan bahan baku dengan kualitas baik. Data mengenai bahan baku dicatat dalam form Daily record of raw material receiving (Lampiran 17). PT X melakukan sortasi bahan baku dengan pengukuran suhu dan analisis sensori. Penolakan dilakukan jika suhu pusat ikan melebihi 4.4 oC dan ditemukan dekomposisi. Selain itu, analisis histamin dan mikrobiologi dilakukan pada setiap batch bahan baku yang diterima. Dengan kata lain, hasil analisis sensori dan pengukuran suhu tidak dijadikan sebagai dasar dilakukannya analisis histamin dan mikrobiologi. Menurut pihak PT X, apabila setelah analisis diketahui bahwa suatu batch bahan baku memiliki kadar histamin dan jumlah mikrobiologi yang tinggi (melampaui ambang batas), maka produk akhir dari batch tersebut tidak diekspor melainkan dialihkan ke pasar lokal. Penerimaan bahan baku merupakan titik kendali kritis (CCP) pada proses produksi tuna. Kadar biogenik amin khususnya histamin yang telah terbentuk pada bahan baku, akan berpengaruh pada kadar histamin produk akhir. Hal ini karena histamin tidak dapat didegradasi dengan proses pengolahan (Tsai 2006). Tindakan preventif yang paling efektif adalah penerapan praktek higiene yang baik selama penanganan pasca tangkap dan transportasi, khususnya dengan memelihara suhu ikan dibawah 4,4oC (FDA 2009). Kecepatan perkembangan histamine dipengaruhi oleh jenis bakteri yang banyak mengkontaminasi tuna. Jenis bakteri yang mendominasi ditentukan oleh iklim perairan lokasi penangkapan ikan. Berdasarkan informasi dari PT X, bahan baku yang diterima
98 48
berasal dari lokasi penangkapan 572-573 yaitu daerah Samudera Hindia dan Laut Jawa dimana perairan tersebut merupakan perairan dengan iklim tropis. Berdasarkan Emborg et al. (2008) bakteri yang lebih banyak mengkontaminasi ikan yang berasal dari perairan tropis adalah jenis bakteri mesofilik. Sehingga lebih tepat untuk menjaga suhu ikan dibawah 4,4oC (4) Pengemasan dan pelabelan Produk tuna loin beku menggunakan polyethylene sebagai kemasan primer (inner carton) dan karton tebal berlapis lilin sebagai kemasan sekunder (master carton/MC). Pemilihan bahan pengemas harus diperhatikan, karena bahan pengemas dapat menjadi sumber kontaminasi bagi produk (Lelieveld 2003). Metode pengemasan loin yang digunakan adalah pengemasan vakum. Wei et al. (1990) menyatakan bahwa pengemasan vakum tidak berfungsi dalam menghambat aktivitas enzim dalam pembentukan histamin. Jika perusahaan menginginkan kemasannnya memiliki fungsi untuk menghambat pembentukan histamin, disarankan untuk menggunakan Modified atmospher packaging (MAP) (Reddy et al. 1992). Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan Emborg et al. (2004) diketahui bahwa penggunanaan MAP dengan komposisi ~40% CO2/~60% O2 dan penyimpanan 2oC mampu mereduksi pertumbuhan bakteri penghasil histamin termasuk bakteri psikotrofik seperti M. morganii dan P. phosphoreum. Label pada kemasan primer tuna loin yang diproduksi PT X berisi jenis produk dan nutrition fact, sedangkan pada master carton terdiri dari jenis produk, berat bersih, nutrition fact tuna, kode produksi, informasi penyimpanan, nomor registrasi, size produk, logo, data tanggal produksi, dan bar code. Selain itu, pada master carton juga tertulis kalimat yang menunjukkan produk tersebut berasal dari Indonesia. Berdasarkan PP No.69/1999 tentang Pelabelan dan Periklanan Pangan, label pangan sekurang-kurangnya mencantumkan nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih atau isi bersih serta tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa. Pemilihan bahan kemasan dan konten dalam pelabelan yang dilakukan oleh PT X telah sesuai dengan PP No.69/1999 tentang Pelabelan dan Periklanan Pangan dan peraturan dirjen P2HP (2007). Pencatatan dilakukan dalam Dailly Report of
99 49
Packing and Labelling (Lampiran 18). Kemasan dan Label yang digunakan pada PT X dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Kemasan dan label yang digunakan PT X. (5) Air Air dalam industri pangan digunakan sebagai bahan baku proses produksi dan untuk pembersihan (wang et al. 2003). Air sebagai bahan baku dan bahan pembantu dalam proses produksi dapat meningkatkan potensi kontaminasi. Oleh karena itu, semua air yang ditujukan untuk pengolahan pangan harus bebas dari bakteri patogen (Lelieveld 2003; Winarno & Surono 2004). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa air yang digunakan oleh PT X dalam proses produksinya adalah air dengan kualitas air minum dan dilakukan pengecekan kualitas air setiap satu minggu sekali. Hasil pengecekan air PT X dapat dilihat pada Lampiran 20. (6) Manajemen dan supervisi Kontrol sistem higiene sangat bergantung pada kemampuan manajerial pihak manajemen dan supervisi. Pihak tersebut merupakan perancang sistem higiene yang diterapkan oleh perusahaan. Untuk itu suatu perusahaan harus mempunyai pihak manajemen yang kompeten dibidang higiene (CAC 1997). Berdasarkan pengamatan, secara umum sistem higiene yang berjalan cukup teratur. Hal ini menggambarkan kompetensi pihak manajemen dan supervisi PT X dalam merancang dan mengawasi sistem higiene. Data yang dapat digunakan untuk memverifikasi hal ini adalah data penilaian pelaksana sistem (karyawan) terhadap pembuat sistem (manajemen puncak) dalam suatu perusahaan (Brown 1999).
100 50
(7) Dokumen dan rekaman Dokumen merupakan bagian penting yang tidak boleh dilupakan oleh perusahaan. Rekaman terhadap seluruh aspek dimulai dari penerimaan bahan baku hingga proses stuffing sangat diperlukan. Dokumen dari suatu perusahaan akan menggambarkan kredibilitas dan efektivitas sistem kontrol keamanan pangan yang dilakukan oleh perusahaan (CAC 1997). Sistem perekaman produksi tuna loin dilakukan secara berkelanjutan dan berurutan di setiap proses, mulai dari penerimaan bahan baku sampai dengan pengiriman produk akhir. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, pemberian gas CO (karbon monoksida) dan pemvakuman tuna loin tidak direkam oleh pihak PT X. Pemberian gas CO dilakukan dalam kemasan plastik dengan penanda batch di suatu ruangan khusus. Pada perlakuan ini, karyawan hanya melakukan pengaturan pada tekanan gas tanpa memperhatikan mutu daging dan memperhitungkan volume atau kuantitas gas. Akibatnya, sering ditemukan loin yang tidak memenuhi standar/kriteria warna daging yang ditetapkan sehingga harus dilakukan pemberian ulang gas CO. Kualitas organoleptik (warna daging) tuna yang terbentuk merupakan kunci keberhasilan pemberian gas CO. Tingginya potensi kegagalan akibat standard operational procedur (SOP) yang kurang lengkap serta waktu tunggu proses yang lama, menyebabkan kegiatan perekaman sangat dibutuhkan. Rekaman tersebut meliputi waktu proses, kode batch loin, suhu ruang, tekanan gas dan volume gas yang dipakai, jenis, ukuran dan kualitas loin. Pemvakuman dilakukan dengan mengelompokkan produk sejenis dan batch yang sama dalam mesin vakum. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan sekali proses sekitar 41.40 detik. Adakalanya hasil pemvakuman tidak sempurna, beberapa buah kemasan seringkali tidak tervakum dengan baik (masih ditemukan ruang udara bebas di dalam kemasan). Kegagalan dalam penvakuman dapat diakibatkan oleh kemampuan alat yang menurun dan penvakuman bersamaan pada jenis produk yang berbeda. Oleh karena itu dibutuhkan suatu kegiatan perekaman mengenai informasi tentang waktu proses, kode batch, suhu ruang, efisiensi alat, dan jenis produk yang akan divakum. Rekaman yang lengkap akan
101 51
memudahkan dalam melakukan penelusuran (traceback) apabila suatu saat dilakukan penarikan produk (withdrawl atau recall). (8) Prosedur penarikan Sistem mampu telusur (traceability) internal yang dilaksanakan oleh PT X terintegrasi dalam prinsip HACCP keenam yaitu record keeping. Prinsip dasar sistem traceability adalah kemampuan untuk mengidentifikasi produk sepanjang rantai pemasok (supply chain) atau produsen (Frederiksen dan Gram 2003). Secara teknis, traceability
adalah sistem perekaman (record keeping) yang
menunjukkan alur produk dari pemasok, produsen sampai ke konsumen akhir (Nimmo Bell and Company Ltd 2007). Salah satu kunci sukses dalam penerapan traceability adalah pemberian kode identifikasi (batch). Kode produk merupakan pembawa data atau informasi dari suatu produk sepanjang proses produksi. Ketika kode produk dibaca oleh database
maka
akan
ditemukan
sejumlah
informasi
tentang
proses
(Derrick dan Dillon 2004). Pengkodean di PT X dibagi menjadi dua, yaitu pengkodean tahap pembelian (purchasing) sampai tahap penimbangan akhir dan pengkodean tahap pengemasan sampai stuffing. Pengkodean pada tahap pembelian sampai penimbangan akhir menggunakan selembar kertas atau plastik pembungkus produk. Kode batch terdiri dari huruf dan angka. Digit pertama merupakan kode tempat perusahaan produksi, digit ke-2 sampai ke-4 merupakan nomor urut penerimaan bahan baku dimulai dari 001-999, digit ke-5 merupakan kode asal supplier bahan baku. Contoh kode batch tahap pembelian-penimbangan akhir dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Contoh kode batch tahap pembelian-penimbangan akhir. Pada tahap pengemasan-stuffing kode batch sebelumnya dari tahap pembelian-penimbangan diterjemahkan menjadi kode produksi. Kombinasi huruf dan angka sebanyak 5 digit diubah menjadi huruf seluruhnya. Digit ke-2, ke-3 dan
102 52
ke-4 yang semula angka diubah menjadi huruf dengan metode penyandian yang hanya diketahui oleh pihak perusahaan. Kode produksi dicetak pada kedua sisi master carton sebagai kode identifikasi proses tuna loin. Contoh kode produksi tahap pengemasan-stuffing dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Contoh kode produksi pengemasan- stuffing pada master carton. Kode yang diterapkan di PT X cukup singkat, mudah dibaca dan mempunyai ciri khusus. Akan tetapi, kode tersebut tidak menunjukkan jenis produk yang lebih spesifik. Satu kode yang sama dipakai untuk beberapa macam produk. Hal ini akan menyulitkan pihak tim traceability apabila suatu saat dilakukan proses recall product khususnya saat terkena masalah histamin. 4.2.4 Sanitasi Aspek utama yang dibahas dalam kegiatan sanitasi dimulai dari sanitasi alat, ruang produksi dan sanitasi pekerja. Peralatan pencucian harus dibersihkan secara teratur, sehingga tujuan pencucian betul-betul tercapai. Peralatan dan tempat pencucian yang kotor akan menjadi sumber kontaminasi dan dapat menimbulkan masalah dikemudian hari. Pembersihan peralatan di PT X dilakukan segera setelah proses produksi. Peralatan dibersihkan menggunakan sabun/deterjen (tidak diketahui jenisnya), lalu pembilasan menggunakan air panas. Pengecekan kembali kebersihan peralatan setelah pembersihan tidak dilakukan. Namun sebelum memulai kembali proses produksi, peralatan didisenfeksi dengan alkohol 70%. Ruang pengolahan dibersihkan setiap hari setelah proses produksi selesai. Dinding, langit-langit, lantai dibersihkan dengan deterjen dan dibilas dengan air. Kondisi ruang pengolahan bersih dan kondusif. Inspeksi terhadap kondisi sanitasi
103 53
harian perusahaan dicatat dalam Dailly Report of Sanitation Inspection (Lampiran 19). Berdasarkan pengamatan, program sanitasi berjalan dengan efektif dan terkontrol. 4.2.5 Personal Standar higiene personal merupakan tulang punggung dari semua pendekatan pada praktek berproduksi makanan yang baik dan benar (Hall 1999). Personal hygiene berkaitan dengan kebersihan badan dan kesehatan karyawan. Menurut CAC (2003) karyawan yang sakit dan kotor dapat mencemari produk dengan mudah, oleh karena itu fasilitas higiene personal harus tersedia untuk memastikan bahwa hygiene personal dapat terkontrol. Penerapan hygiene karyawan PT X dimulai sebelum karyawan masuk ruang produksi. Karyawan wajib mengenakan pakaian kerja, sepatu boot, sarung tangan, apron, penutup kepala, masker, dan mencuci kaki dalam bak cuci kaki yang mengandung klorin 200 ppm. Karyawan tidak diperkenankan memakai perhiasan di tangan termasuk jam tangan. Karyawan dengan kuku yang panjang juga tidak diperkenankan masuk sebelum memotong kukunya. Karyawan yang sakit, khususnya infeksi saluran pernafasan, sakit mata, sakit kulit yang berat dan mudah menular tidak diperkenankan masuk ke ruang proses. Berdasarkan pengamatan, kebiasaan kurang baik ketika bekerja seperti membetulkan topi, masker, dan memegang bagian tubuh yang lain yang tidak mendukung hygiene pekerja sering terjadi. Selain itu, kebiasaan karyawan seperti menggaruk kulit, menggosok hidung, menyentuh atau meraba pakaian secara tidak disadari masih sering dilakukan. Hal ini merupakan sesuatu yang berbahaya bagi produk karena memiliki andil besar dalam perpindahan kontaminan dari pekerja ke produk. Kebiasaan bercakap-cakap selama bekerja, bersin, dan batuk juga merupakan sumber kontaminasi yang dapat dihindari dengan pemakaian masker.
104 54
4.3
Kajian Keterkaitan Sistem Pelaksanaan Program Higiene dengan Mutu Produk Tuna Loin Beku
4.3.1 Mutu produk tuna loin beku Mutu produk akhir sangat dipengaruhi oleh sejauh mana spesifikasi bahan baku dan spesifikasi proses telah terpenuhi. Mutu produk akhir yang ingin dicapai berpedoman pada spesifikasi yang telah ditetapkan pada peraturan-peraturan dan standar yang dikeluarkan oleh pemerintah dan upaya memenuhi keinginan konsumen (Wallace et al. 2011). Mutu produk tuna loin beku dipengaruhi oleh mutu bahan baku dan sistem higiene yang diterapkan selama proses produksi berlangsung. Kriteria mutu tersebut diantaranya adalah total mikroorganisme dan histamin pada produk. (1) Mikrobiologi Rataan jumlah bakteri pada tahap penerimaan bahan baku, tahap pembentukan loin dan produk akhir adalah 1,4 x 104 Koloni/g, 2,4 x 104 Koloni/g dan 7,2 x 104 Koloni/g. Kenaikan jumlah bakteri selama proses pengolahan dapat dilihat pada Gambar 7. Jumlah bakteri masih dibawah Angka Lempeng Total (ALT) yang dipersyaratkan SNI 01-4104-2006 dengan persyaratan 5 x 105 Koloni/g. Berdasarkan data yang diperoleh, maka produk tuna loin yang diproduksi oleh PT X masih memenuhi persyaratan. Meningkatnya jumlah bakteri pada tahapan proses pengolahan menunjukkan adanya proses penyimpangan dalam penerapan higiene. Keberadaan bakteri penghasil enzim histidine dekarboksilase pada ikan merupakan penyebab terjadinya peningkatan kadar histamin pada ikan. Jenis bakeri yang mampu memproduksi histamin dari histidin dalam jumlah tinggi yaitu Proteus morganii (big eye, skipjack), Enterobacter aerogenes (skipjack), Clostridium perferingens (skipjack) (Keer et al. 2002).
Log TPC (Koloni/g)
105 55
5 4.8 4.6 4.4 4.2 4 3.8 3.6
4.85 4.38
4.14
1
2
Tahapan proses
3
1= bahan baku 2= loin setelah penyimpanan suhu chilling 3= produk akhir
Gambar 7 TPC pada ikan tuna selama proses produksi. Hasil analisis jumlah bakteri penghasil histamin dengan menggunakan Niven’s agar menunjukkan nilai yang semakin meningkat (Gambar 8). Rataan jumlah bakteri penghasil histamin pada tahap penerimaan bahan baku, tahap pembentukan loin, dan produk akhir adalah 4.8 x 103 koloni/g, 5.1 x 103 koloni/g dan 3.1 x 104 koloni/g.
Log TPC (Koloni/g)
5 4 3
4.49 3.68
3.7
1
2
2 1 0 1= bahan baku 2= loin setelah penyimpanan suhu chilling 3= produk akhir
3
Tahapan Proses
Gambar 8 Jumlah bakteri penghasil histamin pada tuna loin selama proses produksi. Jumlah bakteri penghasil histamin bukan merupakan syarat untuk menentukan mutu produk. Bakteri penghasil histamin dianalisis untuk melihat adanya risiko kenaikan kadar histamin pada produk. Bakteri penghasil histamin akan dapat menimbulkan keracunan atau bahkan kematian apabila telah menghasilkan enzim histidin dekarboksilase. Jumlah bakteri pembentuk histamin dalam sampel ikan tuna selanjutnya dibandingkan dengan nilai TPC untuk mengetahui besarnya potensi pembentukan histamin akibat aktivitas bakteri penghasil enzim histidin
106 56
dekarboksilase. Histogram perbandingan nilai rataan log jumlah bakteri
Log Bakteri (Koloni/g)
pembentuk histamin dan nilai rataan log TPC dapat dilihat pada Gambar 9. 6 5 4 3
4.14
4.85
4.38
4.49
3.7
3.68
2 1 0 RW
IP
Tahapan Proses
EP
RW = bahan baku IP = loin setelah penyimpanan suhu chilling EP = produk akhir
= TPC = BPH
Gambar 9 Jumlah bakteri total dan bakteri penghasil histamin. Berdasarkan Gambar 9 dapat diketahui bahwa jumlah bakteri pembentuk histamin pada proses pengolahan tuna loin beku lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai TPC, yaitu rataan masing-masing pada bahan baku 88,9%, pada produk dalam proses 84,5% dan pada produk akhir 92,5%. Hal ini disebabkan tidak semua jenis bakteri yang terdapat pada daging ikan mampu menghasilkan enzim histidin dekarboksilase yang dapat mengubah asam amino histidin menjadi histamin. Penggunaan suhu rendah (<10 oC) selama penyimpanan dan penanganan merupakan cara yang efektif untuk mengontrol pertumbuhan bakteri pembentuk histamin. Pada suhu 0oC sampai 10oC bakteri histamin jenis psikofilik masih dapat tumbuh namun kadar histamin yang terbentuk sedikit (Taylor et al. 1991 diacu dalam Lehane dan Olley 2000). Histamin dapat terakumulasi di dalam daging ikan karena adanya kesalahan penanganan bahan baku sebelum dan sesudah pembekuan. Enzim yang terdapat pada ikan sebelum pembekuan dapat meneruskan pembentukan histamin di dalam daging ikan walaupun sel bakteri telah rusak selama penyimpanan beku (Keer et al. 2002). Histamin yang telah terbentuk
tidak
dapat
didegradasi
walaupun
dengan
pembekuan
(Ababouch dan Gram 2004). Penanganan yang baik pada saat pengolahan akan menghambat pertumbuhan bakteri penghasil histamin pada produk. Penanganan yang berlangsung pada PT X
107 57
berlangsung dengan alur yang baik namun waktu penanganan belum cukup cepat. Tahapan proses yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah bakteri penghasil histamin diantaranya adalah tahap penerimaan bahan baku, apabila ikan tidak ditangani secara baik (Tsai 2006). Selain penanganan yang baik dan penggunaan suhu rendah, hal lain yang perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi bakteri adalah dengan melakukan kegiatan penyekaan (swabbing) pada peralatan. Penyekaan dilakukan dengan menggunakan spon yang diberi desinfektan (alkohol 70%) pada permukaan peralatan yang kontak dengan ikan seperti meja, pisau, nampan, dan talenan. Untuk memonitoring bahwa kegiatan ini berjalan efektif dalam mencegah kontaminasi silang adalah dengan melakukan uji swabbing. FDA (2011) menyatakan bahwa uji swabbing merupakan suatu uji untuk memvalidasi efektivitas kegiatan sanitasi pada peralatan produksi. Pengujian dilakukan dengan menyeka permukaan peralatan dengan kapas steril kemudian melakukan perhitungan jumlah bakteri. Prosedur pengujian tersebut secara lengkap tertuang dalam FDA:Validation of cleaning procedure. Pengujian ini sebaiknya dilakukan secara kontinyu oleh laboratorium internal perusahaan minimal satu minggu sekali. Penyekaan peralatan dengan alkohol 70% telah dilakukan di PT X, namun kegiatan validasi dengan pengujian swabbing belum dilakukan secara rutin. (2) Histamin Analisis histamin dilakukan dengan 3 tahap yaitu tahap ekstraksi, tahap clean up dan tahap pembentukan berdasarkan SNI 2354.10:2009. Hasil analisis kadar histamin menunjukkan bahwa rataan nilai kadar histamin mengalami peningkatan selama proses pengolahan. Berdasarkan data yang diperoleh rataan kadar histamin pada tahap penerimaan bahan baku adalah sebesar 1,17 ppm, tahap pembentukan loin 3,67 ppm, dan produk akhir setelah pembekuan 10,26 ppm. Peningkatan kadar histamin pada proses pengolahan tuna loin di PT X dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan data kadar histamin yang diperoleh, menunjukkan bahwa produk tuna loin yang diproduksi oleh PT X masih layak untuk dikonsumsi. Batas histamin menurut SNI-01-4104-2006 adalah 10 ppm. Peningkatan kadar histamin pada proses pengolahan tuna loin pada PT X dapat disebabkan oleh ketidaksesuaian atau penyimpangan dalam pelaksanaan program
108 58
higiene. Penyimpangan tersebut diantaranya yaitu penanganan yang kurang baik dan peningkatan suhu proses karena waktu proses yang tidak sesuai pada beberapa tahapan proses. Peningkatan kadar histamin pada produk saat pembentukan loin (IP) dan produk akhir (EP) cukup tinggi, hal ini dapat terjadi karena penyimpangan waktu pemberian gas CO dan penyimpanan dalam suhu chilling selama 48 jam setelah diberi perlakuan pemberian gas CO. Penyimpanan dalam suhu chilling masih memungkinkan bakteri psikotrofik penghasil histamin masih dapat tumbuh dan menghasilkan histamin walaupun dalam jumlah yang kecil
Histamin (ppm)
(Lehane dan Olley 2000). 12 10 8 6 4 2 0
10.26
3.67 1.168 1
1= bahan baku 2= loin setelah penyimpanan suhu chilling 3= produk akhir
2
3 Tahapan proses
Gambar 10 Kadar histamin produk tuna loin selama pengolahan. Kenaikan kadar histamin yang tinggi sebanding dengan jumlah peningkatan jumlah bakteri, khususnya bakteri penghasil. Kenaikan tersebut disebabkan oleh jumlah bakteri awal yang tinggi dan kontaminasi selama penanganan dan pengolahan. Secara alami di dalam tubuh ikan memang mengandung bakteri, Bagian tersebut yaitu bagian perut dan insang. Oleh karena itu, kenaikan jumlah histamin akibat aktivitas bakteri pada bagian tubuh ikan dapat berbeda-beda. Berdasarkan Frank et al. (1981) (Gambar 11) bagian daging tuna yang paling banyak berpotensi menghasilkan HFP (Histamin Fish Poisoning) adalah daging pada bagian dekat perut dan insang. Perut dan insang merupakan bagian yang paling banyak mengandung bakteri. Oleh karena itu daging pada dekat bagian tersebut berpotensi tinggi menghasilkan histamin lebih cepat dibandingkan bagian lainnya (Hui dan Taylor 1983).
109 59
Gambar 11 Variasi risiko histamin berdasarkan bagian tubuh yang dijadikan sampel pada tuna (Frank et al. 1981) 4.3.2 Ketidaksesuaian pelaksanaan program higiene yang berpotensi meningkatkan pembentukan histamin Berdasarkan hasil penilaian kesesuaian (Lampiran 6), temuan ketidaksesuaian pelaksanaan program higiene yang berpotensi menyebabkan kenaikan jumlah histamin pada produk tuna loin beku adalah: mutu dan suhu bahan baku; penyimpangan waktu proses (tahap penerimaan bahan baku, pemberian gas CO, pemvakuman, pengepakkan, dan penyimpanan beku) dan aspek personal (pihak manajemen dan karyawan). Dilakukan analisis lebih lanjut terhadap aspek-aspek tersebut sebagai data verifikasi. (1) Mutu dan suhu bahan baku
Histamin dapat terakumulasi di dalam daging ikan karena adanya kesalahan penanganan bahan baku sebelum dan sesudah pembekuan. Enzim histidin dekarboksilase yang terbentuk sebelum pembekuan pada ikan dapat meneruskan pembentukan histamin di dalam daging ikan tanpa memperhatikan sel bakteri yang injury selama penyimpangan beku (Baranowski et al, 1990). Enzim lebih stabil dibandingkan bakteri pada suhu beku (FDA 1998). Oleh karena itu, mutu bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tuna loin beku harus memiliki kualitas organoleptik, suhu, serta kandungan mikroorganisme dan histamin yang rendah. Pada saat penerimaan dilakukan pengecekan suhu dan organoleptik oleh QC. Ikan tuna yang mutunya kurang baik dengan bau dan tekstur yang lembek akan diuji kandungan histaminnya. Dilakukan analisis statistik terhadap data histamin (Lampiran 21) dan suhu bahan baku (Lampiran 22) yang diperoleh dari perusahaan.
110 60
Berdasarkan Gambar 12 dapat dilihat bahwa, suhu bahan baku yang diterima berada dibawah 2oC. Kondisi ini sangat baik mengingat standar penerimaan bahan
Suhu(oC)
baku PT X adalah ≤ 3oC. 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Xbar Maks Min UCL
Days
Gambar 12 Fluktuasi suhu ikan tuna bahan baku loin. Pengukuran
kadar
histamin
oleh
laboratorium
internal
perusahaan
menggunakan Veratox histamine assay kit. Menurut produsen kit ini Neogen Corporation (2007), kit ini mengacu pada metode pengukuran histamin enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) dan metode fluormetrik AOAC 977.13. Berdasarkan penelitian oleh produsen, kit ini memiliki korelasi 99,3% jika dibandingkan dengan metode fluorometrik AOAC 977.13 (Neogen Corporation 2007). Data histamin hasil pengukuran perusahaan internal yang dianalisis selama bulan januari-september 2010 dapat dilihat pada Gambar 13.
Histamin (ppm)
10.00
5.00
0.00 1
6 Jan Jun
11 Feb Jul
16 Mar Ags
21 Apr Sep
Days
26 May UCL
Gambar 13 Fluktuasi kadar histamin ikan tuna bahan baku loin. Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat bahwa, histamin bahan baku yang diterima berada dibawah batas kendali atas. Kondisi ini menandakan bahwa mutu
111 61
bahan baku baik. Rataan kadar histamine bahan baku adalah 1,51 ppm dengan standar deviasi 0,53. Hasil tersebut juga tidak berbeda jauh dengan hasil pengukuran histamin bahan baku yang dilakukan di BPMPHPK DKI Jakarta (Gambar 10) yaitu 1,17 ppm. Kenaikan kadar histamin yang mencapai 10,26 ppm pada produk akhir (Gambar 10) diduga disebabkan karena penyimpangan suhu dan waktu selama proses penanganan dan pengolahan. Dikatakan demikian karena berdasarkan hasil pengujian dan data dari perusahaan, kadar histamin bahan baku rendah. Menurut Baranowski et al. (1990), histamin dapat terakumulasi karena adanya kesalahan penanganan bahan baku sebelum pembekuan. Hal ini karena enzim histidin dekarboksilase yang telah terbentuk sebelum pembekuan dapat meneruskan pembentukan histamine di dalam daging tanpa memperhatikan sel bakteri yang injury selama penyimpanan beku. (2) Penyimpangan waktu dan suhu pada beberapa alur proses produksi Kinerja
proses
pada
tahapan
produksi
dapat
dilakukan
dengan
membandingkan kondisi pada saat sekarang dengan target yang ditetapkan. Pengukuran tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik Statistical Process Control (SPC), peta kendali (control chart) beserta analisis kapabilitas proses (Gasperz 2001). Dalam Statistical Process Control (SPC) analisis yang dapat dilakukan adalah analisis time cycle. Keseimbangan lintasan (line balancing) berhubungan erat dengan proses produksi di suatu industri atau perusahaan. Dalam suatu perusahaan, tiap unit proses atau stasiun kerja membutuhkan waktu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, yang disebut cycle time atau waktu proses. Untuk dapat memenuhi permintaan konsumen akan produk sesuai dengan waktu yang dijadwalkan, perusahaan dituntut untuk meningkatkan efisiensi kerja pada tiap unit proses, diantaranya dengan melakukan produksi dengan cycle time yang sama dengan atau mendekati rataan kecepatan lintasan. Kecepatan lintasan dihitung dengan cara membagi total waktu proses pada satu unit dengan total produksi dalam satu kurun waktu yang telah ditentukan. Apabila cycle time pada suatu unit proses lebih besar (lebih lambat) daripada kecepatan lintasan maka akan terjadi waktu tunggu bagi unit proses yang lain atau idle time. Sebaliknya apabila cycle time
112 62
pada suatu unit proses lebih kecil (lebih cepat) daripada kecepatan lintasan maka akan menyebabkan produk menumpuk atau bottleneck (Gaspersz 2007). Sejumlah pekerjaan di PT X telah dibagi dalam unit-unit proses atau stasiun kerja. Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 22) kecepatan lintasan proses produksi tuna loin di PT X agar dapat memenuhi target ekspor sebesar 10-30 ton tiap bulan adalah 2,52-7,56 detik. Dengan kata lain perusahaan mengharapkan tiap unit proses mempunyai cycle time maksimum sebesar 7,56 detik dan cycle time minimum sebesar 2,52 detik. Perhitungan dan analisis cycle time dilakukan hanya pada unit proses yang berperan penting dalam kelancaran alur proses, apabila mengalami kegagalan atau kurang sempurna dalam unit proses tersebut maka dapat mengakibatkan terjadinya kerja ulang atau reworking pada unit proses selanjutnya. Disamping itu unit proses dengan selang waktu besar atau mempunyai waktu tunggu (idle time) tinggi dan tidak sesuai perlu dihitungan dan dianalisis. Berdasarkan analisis kesesuaian pelaksanaan program higiene (Lampiran 6), unit proses tersebut meliputi: 1. Penerimaan bahan baku, 2. Pemberian gas CO, 3. Pemvakuman, dan 4. Pengepakan. Hasil perhitungan statistik terhadap beberapa proses tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Analisis statistika kendali proses pada beberapa alur proses yang mengandung ketidaksesuaian dalam pelaksanaan program higiene. No.
1
Keterangan PBB 7,56
PCO 12
Nilai PVK 40,4
2,52
10
39
2,52
-29
5,04
11
39,7
5,04
-24,5
PPK 7,56
PBK -20
3
Upper Spesification Limit (USL) Lower Spesification Limit (LSL) Target
4
Rataan proses
6,40
11.45
39,83
8,85
-22,80
5
Standar deviasi proses
1,52
0,99
0,51
2,44
1,74
6
1,12
0,49
0,49
2,02
0.75
7
Standar deviasi maksimum (Smaks) DPMO
225000
300000
50000
600000
0
8
Kapabilitas proses (Cpm)
0,5
0,5
0,93
0,2
2
9
Sigma
2,25
2,03
3,14
2,02
6
2
Keterangan: PBB: Penerimaan bahan baku, PCO: Pemberian gas CO, PVK: Pemvakuman, PPK: Pengepakan, PBK: Pembekuan
113 63
Penerimaan bahan baku merupakan tahap awal pada proses produksi tuna loin beku. Pada tahap ini, aktivitas yang dilakukan adalah pembongkaran dari mobil pengangkut, pengukuran suhu ikan dan analisis sensori, dan pencucian 1. Salah satu prinsip penting yang harus dipenuhi dalam pengolahan atau proses produksi tuna loin dan hasil perikanan lainnya adalah cepat (quick), disamping aman dan bersih. Selama proses pengolahan, waktu proses merupakan salah satu faktor yang dapat mempertahankan kesegaran bahan baku. Apabila proses pengolahan tidak segera dilakukan dan waktu yang lama maka akan terjadi kenaikan suhu ikan dengan signifikan yang selanjutnya dapat memacu pertumbuhan bakteri atau terbentuknya histamin pada loin. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa data cycle time penerimaan bahan baku selama bulan Agustus-september memiliki nilai rataan 6,4 detik, nilai batas spesifikasi atas (upper specification limit-USL) sebesar 7,56 detik sedangkan nilai batas spesifikasi bawah sebesar (lower specification limit-LSL) 2,52 detik. Nilai DPMO sebesar 225000 yang berarti setiap satu juta kesempatan produksi terdapat 225000 kali peluang kegagalan memenuhi spesifikasi cycle time. Nilai DPMO yang tinggi disebabkan oleh sempitnya range spesifikasi yang ditentukan oleh perusahaan, selain itu juga standar kerja yang kurang tepat dalam proses penerimaan bahan baku. Pemberian gas CO pada proses produksi dilakukan untuk memberikan wana yang merah pada loin. Ketidaksesuaian pelaksaan program higiene pada tahap ini adalah tidak ada perekaman dari staf quality control (QC) maupun dari staf lainnya selama proses berlangsung. Pemberian gas CO dilakukan pada daging dalam kemasan plastik dengan penanda batch di suatu ruang khusus yang terpisah dengan ruang lainnya. Pada tahap ini pengaturan CO hanya diterapkan pada tekanan gas saja tanpa memperhitungkan volume atau kuantitasnya maupun waktu pemberian gas CO. Hal ini akan menyebabkan kemungkinan kegagalan proses sangat besar. Standar waktu pemberian gas CO berdasarkan Cardinal et al. (2006) adalah 12 menit. Waktu pemberian gas CO yang tidak diatur dapat menyebabkan proses terlalu lama sehingga idle time menuju proses selanjutnya menjadi panjang. Sebaliknya, apabila proses terlalu singkat, pemberian gas CO dimungkinkan tidak
114
64
sempurna sehingga warna yang terbentuk tidak memenuhi standar. Kedua kemungkinan ini, akan mempertinggi risiko kenaikan histamin. Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa rataan data cycle time pemberian gas CO adalah 11,45 menit. Nilai batas spesifikasi atas (upper specification limit-USL) sebesar 12 menit. Nilai DPMO sebesar 300000 yang berarti setiap satu juta kesempatan produksi terdapat 300000 kali peluang kegagalan memenuhi spesifikasi cycle time. Nilai DPMO yang tinggi disebabkan oleh standar kerja yang kurang tepat dalam proses pemberian gas CO. Proses pemvakuman adalah proses yang dilakukan untuk membuat suasana hampa udara pada produk. Ketidaksesuaian pelaksaan program higiene pada tahap pemvakuman tuna loin adalah tidak ada perekaman dari staf quality control (QC) maupun dari staf lainnya. Berdasarkan pengamatan pada
setting alat
pemvakuman, lamanya proses pemvakuman adalah 40,4 detik yang terdiri dari 37 detik pemvakuman plastik dan 3,4 detik sealing. Pada tahap ini terjadi fluktuasi waktu proses. Hal ini akan menyebabkan kemungkinan kegagalan proses sangat besar. Kegagalan tersebut diantaranya proses yang terlalu lama akan menyebabkan plastik pembungkus loin sobek sedangkan waktu yang terlalu singkat akan menyebabkan kemasan tidak tervakum secara sempurna. Kedua kemungkinan ini akan mempertinggi resiko peningkatan kadar histamin apabila tidak dilakukan upaya perbaikan. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa rata-rata data cycle time proses pemvakuman adalah 39,83 detik. Nilai batas spesifikasi atas (upper specification limit-USL) sebesar 40,4 detik. Nilai DPMO sebesar 50000 yang berarti setiap satu juta kesempatan produksi terdapat 50000 kali peluang kegagalan memenuhi spesifikasi cycle time. Pengepakan merupakan salah satu titik kritis pada proses produksi tuna loin beku. Penyimpangan waktu dalam proses ini dapat mengakibatkan terjadinya dekontaminasi. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa data cycle time pengepakan selama bulan Agustus-september memiliki nilai rataan 8,85 detik. nilai batas spesifikasi atas (upper specification limit-USL) 7,56 detik sedangkan nilai batas spesifikasi bawah (lower specification limit-LSL) 2,52 detik. Nilai DPMO sebesar 600000 yang berarti setiap satu juta kesempatan produksi terdapat 600000 kali peluang kegagalan memenuhi spesifikasi cycle time. Nilai DPMO
115 65
yang tinggi disebabkan oleh sempitnya range spesifikasi yang ditentukan oleh perusahaan, selain itu juga standar kerja yang kurang tepat dalam proses pengepakan. Penyimpanan beku adalah tahap akhir proses produksi seblum dilakukan proses stuffing. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa data cycle temperature penyimpanan beku selama bulan Agustus-september memiliki nilai rataan -22,80oC. Nilai batas spesifikasi atas (upper specification limit-USL) sebesar -20oC sedangkan nilai batas spesifikasi bawah (lower specification limitLSL) -29oC. Pada proses penyimpanan beku nilai DPMO PT X sebesar 0. Hal ini berarti setiap satu juta kesempatan produksi tidak terdapat kegagalan memenuhi spesifikasi batas atas (suhu minimum) penyimpanan beku yaitu -20oC. Kondisi ini sangat baik mengingat tempat penyimpanan beku (cold storage) adalah tempat penyimpanan bagi produk akhir loin dalam waktu tertentu sampai saat proses stuffing. Kondisi cold storage khususnya fluktuasi suhu dapat mempengaruhi kualitas ikan tuna. Menurut Undeland (2001), suhu cold storage yang sering berfluktuasi dapat menjadi salah satu faktor utama turunnya mutu dari ikan. Jika fluktuasi suhu terjadi dibawah -20oC maka kecepatan pembusukkan ikan sangat kecil. Fluktuasi cold storage dapat menyebabkan dekomposisi produk dan mutu produk yang dihasilkan akan turun. Kim et al. (2002) menyatakan, TMAO dapat dipecah menjadi DMA dan FA pada saat penyimpanan beku oleh enzim dalam daging ikan, tetapi enzim tersebut dapat dihambat pada suhu kurang dari -29oC. Menurut Taylor dan Speckhard (1983), bakteri pembentuk histamin masih ditemukan pada 3 dari 10 ikan tuna yang disimpan pada suhu -15 oC. Maka kondisi suhu cold storage sangat penting untuk dijaga ≤-200C agar bakteri pembentuk histamin tidak dapat tumbuh dengan cepat. Kebersihan cold storage sebaiknya juga diperhatikan agar tidak terjadi dekontaminasi mikroba pada produk tuna loin beku. Ketidaksesuain pada tahap penyimpanan beku pada PT X adalah tidak diterapkannya sistem FIFO. Hal ini akan sangat besar pengaruhnya terhadap kandungan histamin produk tuna loin beku. Ben-Gigirey et al. (1999) menyatakan bahwa bakteri jenis S.maltophilia yang diisolasi dari tuna albacore selama penyimpanan pada suhu -25oC dalam waktu 6 bulan, kadar histaminnya
116 66
meningkat dengan pesat sebesar 5 ppm. Bakteri jenis ini merupakan produsen kadaverin yang kuat, sehingga pada saat produk mengalami thawing efek sinergis kadaverin dan histamin dapat menimbulkan keracunan histamin. Sedangkan menurut Lakmisha et al. (2008) ikan yang disimpan selama 2 bulan pada suhu 18oC kandungan histaminnya dapat mencapai 20,8 ppm. Maka sebaiknya perusahaan menggunakan sistem FIFO agar risiko peningkatan kadar histamin pada produk akhir dapat dihindari. Hasil analisis kapabilitas proses penerimaan bahan baku, pemberian gas CO, pemvakuman dan pengepakan rendah (<1) yaitu 0,5; 0,5; 0,93 dan 0.2 dengan nilai sigma 2,25; 2,03; 3,14 dan 2,02. Hal ini menandakan bahwa pada tahapantahapan tersebut PT X belum mampu memenuhi spesifikasi target pada tingkat kegagalan 0. Menurut Gaspersz (1998) kapabilitas proses merupakan kemampuan dari proses untuk menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi. Jika proses memiliki kapabilitas yang baik, proses itu akan menghasilkan produk yang berada di batas-batas spesifikasi. Sebaliknya apabila proses memiliki kapabilitas yang jelek, proses akan menghasilkan banyak produk yang berada di luar batas spesifikasi sehingga menimbulkan kerugian karena banyak produk yang ditolak. Kapabilitas proses yang rendah pada beberapa tahapan pengolahan tuna loin akan berakibat fatal dan mengakibatkan meningkatnya kadar histamin selama pengolahan. Namun, apabila dibandingkan dengan hasil pengukuran kadar histamin dari laboratorium internal perusahaan (Gambar 13), dapat dilihat bahwa kapabilitas proses yang rendah ini tidak mempengaruhi kenaikan histamin secara signifikan. Berdasarkan Kusuma (2002), kapabilitas industri di dunia terutama di negara berkembang memang belum mampu memenuhi standar tingkat kegagalan 0 (6 sigma). Di Indonesia kapabilitas proses pada berbagai industri, rata-rata belum mampu mencapai nilai ≥ 2. Meskipun demikian, pihak PT X sebaiknya segera melakukan tindakan perbaikan agar dikemudian hari tidak berakibat pada kenaikan kadar histamin secara signifikan. Beberapa tindakan perbaikan yang dapat dilakukan dengan membuat standar kerja dan memperketat kontrol serta perekaman pada tahapan-tahapan ini.
117 67
(3) Personal Kegagalan dalam implementasi HACCP yang tinggi seringkali disebabkan oleh aspek
personal,
dalam
hal
ini
pihak
manajemen
dan
karyawan
(Wallace et al. 2011). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dahyar (2009) yaitu faktor penyebab variasi kadar histamin tuna loin beku digolongkan ke dalam lima faktor utama, yaitu bahan baku, cold storage bahan baku, ruang anteroom, manusia dan manajemen. Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam diagram sebab akibat (Gambar 14).
Gambar 14 Diagram sebab akibat variasi kadar histamin tuna loin beku. (Dahyar 2009) Menurut Taylor (2004) seharusnya manajer produksi memberikan contoh dan membimbing karyawan dalam menerapkan HACCP. Manajer produksi juga sebaiknya mengecek apakah CCP selalu dimonitor dan pelaksanaan HACCP sudah sesuai dengan pedoman yang dibuat perusahaan. Manajemen puncak harusnya memotivasi kesadaran pekerja tentang pentingnya HACCP dan mengulang pelatihan jika diperlukan untuk karyawan terutama pada QC. Tanpa kepemimpinan yang baik maka program HACCP tidak akan berjalan sesuai harapan. Untuk itu seorang manajer harus memiliki kompetensi yang memadai untuk dapat menciptakan suatu sistem higiene yang efektif di perusahaannya. Analisis kompetensi manajemen PT X dalam sistem higiene dilakukan berdasarkan penilaian karyawan. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa pihak manajemen memiliki kompetensi pada bidang higiene. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengisian kuisioner ≥ 75% karyawan menjawab sangat setuju bahwa pihak manajemen khususnya manajer memiliki kemampuan yang memadai pada bidang higiene.
118 68
Manajemen yang terlatih dan memiliki kemampuan yang memadai dalam higiene akan mampu menciptakan sistem yang baik untuk menghasilkan produk yang aman bagi konsumen (Egan et al 2007). Demikian pula di PT X, kemampuan manajemen pada bidang higiene sudah baik ini dan diharapkan mampu mereduksi risiko bahaya histamin maupun bahaya potensial lainnya. Tabel 5 Uji tingkat kepercayaan karyawan pada kinerja manajemen puncak dalam sistem higiene
1
2
3
4
5
Pernyataan Saya mampu memenuhi kebutuhan dan sumberdaya manusia yang dibutuhkan di perusahaan Manager saya memiliki kualitas dan kepemimpinan yang baik dan memadai Manager saya memiliki kemampuan dan kualitas untuk mengembangkan tujuan perusahaan Manager saya memiliki fokus dan kemampuan memadai pada bidang higiene Manager saya telah terlatih dalam standar higiene yang tinggi
Tidak setuju (%) 0
Kurang setuju (%) 0
Cukup setuju (%) 10,71
Setuju (%) 67,85
Sangat setuju (%) 21,42
0
0
7,14
10,71
82,14
0
3,57
7,14
17,85
75
0
0
3,57
17,85
75
0
0
3,57
21,42
75
6
Saya melihat manager saya menerapkan higiene setiap hari
0
0
7,14
32,14
60,71
7
Manager saya kompeten pada bidangnya
0
0
10,71
7,14
82,14
Hal lain yang dapat menyebabkan variasi kadar histamin dalam bahan baku tuna adalah pekerja. Misalnya, saat penerimaan bahan baku, pekerja menangani ikan dengan kasar dan tidak mencuci tangannya terlebih dahulu sebelum bekerja. Menurut Yamanaka et al. (1982) penanganan yang salah pada ikan tuna sebelum dibekukan dapat menjadi pemicu peningkatan kadar histamin, walaupun ikan dibekukan sampai suhu -50oC. Kemudian Tao et al. (2009) menyatakan bahwa kadar histamin pada ikan juga dipengaruhi oleh waktu dan teknik penanganan. Kesalahan penanganan oleh pekerja sebagian besar
karena kurangnya
pengetahuan karyawan mengenai higiene. Berdasarkan kuesioner (Lampiran 7) yang di isi oleh para karyawan (Gambar 15) dapat dilihat bahwa pengetahuan higiene karyawan PT X sudah tergolong baik, namun masih ada diantara karyawan yang sama sekali tidak
119
69
mengetahui apa itu higiene sehingga perlu diadakan suatu training agar seluruh karyawan mengetahui tentang higiene secara mendetail. Pengetahuan yang baik tentang higiene juga akan menaikkan kepedulian karyawan terhadap keselamatan dan kesehatan konsumen berkaitan dengan tingginya resiko histamin akibat praktek higiene yang tidak baik sehingga para karyawan akan lebih berhati-hati
80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
74%
Persentase
Persentase
dalam bekerja.
22% 4% tahu
pernah sama dengar sekali tapi tidak tidak tahu tahu
90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
78%
18% 4%
peduli
Tingkat pengetahuan
biasa saja
tidak peduli
Tingkat kepedulian
a. Tingkat pengetahuan higiene karyawan
b. Tingkat kepedulian karyawan terhadap kesehatan konsumen
70% 60%
59%
Persentase
50% 40%
33%
30% 20% 8%
10% 0% tahu
pernah sama sekali dengar tapi tidak tahu tidak tahu
Tingkat pengetahuan
c. Tingkat pengetahuan karyawan tentang histamin Gambar 16 Hasil pengisian kuisioner oleh karyawan PT X.
120 70
Selain pemberian pelatihan, hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan karyawan tentang higiene adalah dengan pembuatan petunjuk kerja dalam bentuk gambar yang mudah diingat dan dipahami. Petunjuk berupa gambar contoh penanganan ikan yang baik, serta gambar mengenai berbagai mutu tuna loin beku, baik gambar tuna loin beku yang mutunya dapat diterima maupun gambar tuna loin beku yang mutunya tidak dapat diterima agar QC dan semua pekerja dapat memahami. Petunjuk gambar akan lebih mudah dimengerti dibandingkan dengan petunjuk berupa tulisan, selain itu pekerja juga akan lebih tertarik untuk melihatnya daripada hanya membaca suatu tulisan (Gaspersz 2006).
121
5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Pelaksanaan higiene pada PT X telah berjalan dengan baik, namun masih ditemukan beberapa ketidaksesuaian yaitu pada mutu dan suhu bahan baku; penyimpangan suhu dan waktu proses (tahap penerimaan bahan baku, pemberian gas CO, pemvakuman, pengepakan, dan penyimpanan beku) serta aspek personal (pihak manajemen dan karyawan). Ketidaksesuaian dalam pelaksanaan program higiene menghasilkan kapabilitas proses yang rendah (tingkat kesalahan tinggi). Kapabilitas proses yang rendah berpotensi mempertinggi risiko histamin selama proses pengolahan tuna loin beku. 5.2 Saran PT X perlu melakukan perbaikan pada sistem higienenya. Upaya yang dapat dilakukan adalah memperketat kontrol dan pengawasan, pembuatan, petunjuk kerja berupa gambar-gambar dan pelatihan karyawan secara rutin. Kajian lain yang perlu dilakukan adalah pengujian swabbing berdasarkan FDA: Validation of cleaning procedure sehingga diketahui berapa besar pengaruh kontaminasi silang dari peralatan dan perlengkapan terhadap produk.
122
DAFTAR PUSTAKA Aarnisalo K, K Tallayaara, G Wirtanen, R Maijala, L Raaska. 2006. The hygienic working practices of maintenance personnel and equipment hygiene in the finnish food industry. Food Control 17:1001-1011. Ababouch L, Gram L. 2004. Production of biogenic amines. Assessment and management of seafood safety and quality. Rome: Food and agriculture Organization of The United nations. Baranowski J, Frank H, Brust P, Chongsiriwatana M, Premaratne R. 1990. Decomposition and histamine content in Mahimahi (Coryphaena hippurus). Journal of Food Protection 53:217–222. Ben-Gigirey B, Sousa JM, Villa T, Velazquez JB. 1999. Histamine and cadaverine production by bacteria isolated forom fresh and frozen albacore. Journal of Food Protection 62:933-939. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006a. Tuna Loin Beku- bagian 1: Spesifikasi. SNI 01-4104.1-2006. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006 b. Standar Mutu Tuna Loin Beku. SNI 01-4104.3-2006. http://www.bsn.go.id [23 April 2010]. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006 c. Cara UjiMikrobiologi Bagian 3: Penentuan Angka Lempeng total (ALT) Produk Perikanan. SNI 01.2332.3.2006. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. Metode Pengujian Kimia Produk Perikanan, Penentuan Kadar Histamin dengan Spektofulorometri dan Kromatogarfi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) pada Produk Perikanan. SNI 2354.10:2009. Jakarta: BSN. Brown R. 1999. Management kontrols. Di dalam: Chesworth N (eds). Food hygiene auditing. Maryland: Aspen Publishers Inc. Burton GRW. 1996. Microbiology for the health sciences (4th ed.). New York: Lippencott. [CAC] Codex Allimentarious Comission. 2003. CAC/RCP 1-1969 Rev. 4. Recommended International Code of Practice General Principles of Food Hygiene. Rome: CAC [CAC] Codex Allimentarious Comission]. 1997. Food Hygiene Basic Text Ed ke-2. Rome: CAC. Cardinal M, Cornet J, Se´rot T, Baron R. 2006. Effects of the smoking process on odour characteristics of smoked herring (Clupea harengus) and relationships with phenolic compound content. Journal of Food Chemistry 96:137–146 Dalgaard P, Emborg J, A Kjolby, ND Sorensen, NZ Ballin. 2008. Histamine and biogenic amines : formation and importance. in seafood dalam T Borresen (ed.), Improving Seafood Products for the Customer. North America: Woodhead Publishing Limited and CRC Press LLC.
123 73
Dahyar MA. 2009. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dengan metode analisis Lean Six Sigma pada industri pengolahan tuna loin beku. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. [Ditjen PPHP] Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. 2007. Peraturan No. PER.011/DJ-P2HP/2007 tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. [EC] European Comission. 2007. Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) Annual Report 2007. Luxemburg. [EC] European Comission. 2010. Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) Annual Report 2009. Luxemburg Egan M.B, M.M Raats, SM. Grubb, A. Eves, M.L. Lumbers, M.S. Dean, M.R. adams. 2007. A review of food safety and food hygiene training studies in commercial sector. Journal of Food Control 18:1180-1190. Emborg J dan Dalgaard P. 2005. Formation of Histamine and Biogenic Amines in Cold-Smoked Tuna: An Investigation of Psychrotolerant Bacteria from Samples Implicated in Cases of Histamine Fish Poisoning. Journal of Food Protection 69:897–906 Emborg J dan Dalgaard P. 2008. Growth, inactivation and histamine formation of Morganella psychrotolerans and Morganella morganii — development and evaluation of predictive models. International Journal of Food Microbiology 128:234–243 Emborg J, Laursen B.G, Dalgaard P. 2005. Significant histamine formation in tuna (Thunnus albacares) at 2C—effect of vacuum- and modified atmosphere-packaging on psychrotolerant bacteria. International Journal of Food Microbiology 101:263– 279. [FDA] Food and Drug Administration. 2011. FDA Swab Cleaning Procedures. www.fda.gov [1 April 2011]. [FDA] Food and Drug Administration. www.fda.gov [21 April 2010].
2009. FDA Import Refusal Report.
[FDA] Food and Drug Administration. 2001.fish and Fisheries Product Hazard and Kontrol Guidance. Ed ke-3. Washington DC: USA. [FDA] Food and Drug Administration. 1998. Procedure for The Safe and Sanitary Processing and Importing of Fish and Fisheries Product. Departement of Health and Human Service. USA. Frank H.A., Yoshinaga, D.H. And Nip, W.K. (1981) Histamin formation and honeycombing during decomposition of skipjack tuna (Katsuwonus pelamis), at elevated temperatures. Marine Fisheries Review 43:9-14. Fredericksen M, Gram L. 2003. Traceability. Dalam Huss H, Ababouch L, Gram L, (eds). Assessment and Management of Seafood Safety and Quality. Food Agricultural Organization. Rome.
124 74
Gaspersz V. 2001. Metode Analisis untuk Peningkatan Kualitas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gaspersz V. 2002. Pedoman Implementasi Six Sigma. PT Gramedia. Jakarta. Gaspersz Vt. 2006. Lean Six Sigma for Manufacturing and Service Industries, Strategi Dramatik Reduksi Cacat/Kesalahan, Biaya, Inventori, dan Lead Time dalam Waktu Kurang dari 6 Bulan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.. Gaspersz V. 2007. Lean Six Sigma for Manufacturing and Service Industries, Strategi Dramatik Reduksi Cacat/Kesalahan, Biaya, Inventori, dan Lead Time dalam Waktu Kurang dari 6 Bulan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gordon-Davis, L. 1998. The hospitality industry handbook on hygiene and safety: for South African students and practitioners. Kenwyn: Juta. Hadi S. 1993. Metode Riset. Yogyakarta: Andi Offset Hall J. 1999. Personal hygiene standard. Di dalam: Chesworth N (eds). Food Hygiene auditing. Maryland: Aspen Publishers Inc. Henrik HH, Dilson M, Derrick S. 2004. A Guide Seafood Hygiene Management. Eurofish: the Norwegian Ministry of Fisheris and Coastae Affairs and the Swiss Import Promotion Programe Howes M., McEwen, S., Griffiths, M., & Harris, L. 1996. Food handler certificationby home study: Measuring changes in knowledge and behaviour. Dairy, Food and Environmental Sanitation 16:737–744. Hui JY, Taylor, SL (1983) High pressure liquid chromatographic determination of putrefactive amines in foods. Journal of AOAC International 66:853–7. Huss HH, Ababouch L, Gram L. 2003. Assesment and Management of Seafood Safety and Quality. Rome, Italy: Food and Agriculture Organization of the United Nations. Hwang D. F., Chang, S. H., Shiau, C. Y., & Cheng, C. C. (1995). Biogenic amines in the flesh of sailfish (Istiophorus platypterus) responsible for scombroid poisoning. Journal of Food Science 60:926–928. Johns N. 1991. Managing Food Hygiene. London: The Macmillan Press Ltd. Jones MV. 1998. Application of HACCP to identify hygiene risks in the home. International Biodeterioration & Biodegradation 41:191-199. Kanoko J. 2000. Development of a HACCP-based strategy for the control of histamine for the fresh tuna industry [A report by PacMar, Inc. pursuant to National Oceanographic and Atmospheric Administration]. Honolulu (Hawaii): PacMar. 2000 Jul 31. NOAA Award No. NA86FD0067. 48 p. Keener L. 1999. Is HACCP enough for ensuring food safety?.Washington: International Product Safety Consultants.
125 75
Kerr M, Lawicki P, Aguirre S, Rayner C. 2002. Effect of Storage Condition on Histamin Formation in Fresh and Canned Tuna. Werribee: Public Health Division of Victoria Government Kim S.H., Barros-Vela´zquez, J., Ben-Gigirey, B., Eun, J.-B., Jun, S.H., Wei, C., An, H., 2003. Identification of the main bacteria contributing to histamine formation in seafood to ensure product safety. Food Science and Biotechnology 12:451– 460. Kim S, An H, Price R. 1999. Histamin Formation and Spoilage of Albacore Harvested on The U.S. Northwest Coast. Journal of Food Science. Kim SH, Price RJ, Morrisey MT, Field KG, Wei CI, An I. 2002. Histaminestorage temperatures. production by Morganella morganii in mackerel,albacore, mahi-mahi, and salmon at various Journal of Food Science 67:1522-1529. Kimata M. 1961. The Histamine Problem dalam Fish as Food Vol 1. New York: Acad Press. [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2010. Pemerintah Tingkatkan Ekspor Tuna ke Jepang . http://kkp.go.id. [11 Januari 2011] [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2011. Produksi tuna Indonesia 2010 naik 1.48 persen. http://kkp.go.id. [11 Januari 2011] Kusuma H. 2002. Manajemen Produksi, Perencanaan dan Pengendalian Produksi. Jakarta: Penerbit Andi. Lakmisha IP, Ravishankar CN, Ninan G, Mohan CO, Gopal TKS. 2008. Effect of freezing time on the quality of indianmackerel (Rastrelliger kanagurta) during frozen storage. Journal of Food Science 7:345-353. Lehane L., Olley, J. 2000. Histamin fish poisoning revisited. International Journal of Food Microbiology 58:1-37 Lelieveld HLM, Mostert MA, Holah J, White B. 2003. Hygiene in Food Processing. Washington DC; CRC press. Lopez-Sabater EI, Rodriguez-Jerez JJ, Roig-Sagues AX, Mora-Ventura MAT. 1994b. Bacteriological quality of tuna fish (Thunnus thynnus) destined for canning: effect of tuna handling on presence of histidine decarboxylase bacteria and histidine level. J Food Prot 57(4):318-23.Hui, JY and Marriott NG., Gravani RB. 2006. Principles of Food Sanitation Fifth Edition. New York: Springer Sciene and Bussiness Media Inc. Martin RE, Flick GJ, Hebard CE, Ward DR. 1982. Chemistry and Biochemistry of Marine Food Products. United States: The AVI Publishing Company, Inc. Neogen Corporation 2007. Veratox Histamine Testing Solutions. Science and Technology. Dominican Republic: Punta Cana.
Seafood
Nimmo Bell Company Ltd. 2006. Traceability: a Platform for Product Knowledge and Value. A Report for New Zealand Trade and Enterprise. New Zealand.
126 76
Niven CF, Jeffery JR, Corlett Jr DA, 1981. Differential planting medium for quantitative detection of histamine-producing bacteria. Appl. and Env Microbiol. No 41 : 321-322. Panisello PJ., Quantick PC. 2001. Technical barriers to Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Food Control (12) 165-173. Rawles D. D., Flick, G. J., & Martin, R. E. (1996). Biogenic amines in fish and shellfish. Advances in Food and Nutrition Research 39:329–365. Reddy NR, Armstrong DJ, Rhodehamel EJ, Kautter DA. 1992. Shelf-life extension and safety concerns about fresh fishery products packaged under modified atmospheres: a review. Journal of Food Safety 12:87-118. Rossi S., Lee C, Ellis PC, Pivarnik LF. 2002. Biogenic amine formation in bigeye tuna steak and skipjack tuna. Journal of Food Chemistry and Toxicology (67): 2056-2060. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan 1,2. Bogor: Binacipta. 508p Schultz K.2000. Field Guide to Saltwater Fish. Fishing Editor of Field and Steram USA. Tang LC, Goh TN, Yam HS, Yoap T. 2006. Six Sigma Advance Tools for Black Belts and Master Black Belts .New Jersey: John Wiley and Sons. Tao ZH, Sato M, Yamaguchi T, Nakano T. 2009. Formation and diffusion of histamine in the muscle of tuna fish. Journal of Food Control 20: 923-926. Taylor EA, Taylor JZ. 2004. Using qualitative psychology to investigate HACCP implementation barriers. International Journal of Environmental Health Research 14(1): 53 – 63. Taylor, SL. 1983. High pressure liquid chromatographic determination of putrefactive amines in foods. Journal of AOAC International 66:853–7. Taylor SL, Guthertz LS, Leatherwood M, Tillman F, Lieber ER. 1978. Histamine production by food-borne bacterial species. Journal of Food Safety 1:173-87. Taylor SL, Speckhard MW. 1983. Inhibition of bacterial histamine production by sorbate and other antimicrobial agents. Journal of Food Protection 47:508-11. Tepstra MJ. 2003. The validity of domestic hygiene indicators in the scope of social technological changes. International Biodeterioration & Biodegradation 51: 233-238. Tsai Y. H., Kung, H. F., Lee, T. M., Lin, G. T., & Hwang, D. F. 2004. Histamine related hygienic qualities and bacteria found in popular commercial scombroid fish fillets in Taiwan. Journal of Food Protection 67:407–412. Undeland I. 2001. Lipid oxidation in fatty fish during processing and storage, dalam Bremner A, Safety and Quality Issues in fish Procesing, New York: CRC Press.
127 77
Wallace C. dan Williams T. 2001. Pre-requisite: help or hindrance HACCP?. Food Control 12:235-240. Wallace CA, Sperber WH, Mortimore SE. 2011. Food Safety for the 21st Century: Managing HACCP and Food Safety Throughout the Global Supply Chain. United Kingdom: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication Wang H., Gesulado-Liceaga, A.M., and Li-Chain, E.C.Y., 2003. Biochemical and physiochemical characteristics of muscle and natural actomyosin isolated from young Atlantic salmon (Salmo salar) fillets stored at 0 and 4◦C, Journal of Food Science 68-784. Wei, C.I., Chen, C.M., Koburger, J.A., Otwell, W.S., and Marshall, M.R. 1990. Bacterial growth and histamine production on vacuum packaged tuna. Journal of Food Science 55:59-63. Williams S.C.(1986). Marketing Tuna in Japan. Queensland Fishing Industry Training Council Inc. Australia Winarno FG, Surono. 2002. HACCP dan Penerapannya dalam Industri Pangan. Bogor: M-Brio Press. Wirenga G, Holah JT. 2003. Hygienic Plant Design. Di dalam: Lelieveld HLM, Mostert MA, Holah J, White B, editor. Hygiene In Food Processing. North America: Woodhead Publishing Limited and CRC Press LLC. Yamanaka H, Shiomi K, Kikuchi T, Okozumi M. 1982. A pungent compound produce in the meat of frozen yellowfin tuna and marlin. Japanese society of Scientific fisheries 48:685-689. Yoguchi, R., Okuzumi, M., Fujii, T. (1990) Seasonal variation in number of halophilic histamine-forming bacteria on marine fish. Nippon Suisan Gakkaishi 56:1473-1479
128
LAMPIRAN
129 79
Lampiran 1 Format tabel observasi kegiatan proses pembuatan tuna loin beku Nama tahapan kegiatan Penerimaan bahan baku Pencucian I Penyimpanan sementara Pencucian II Penimbangan I Pembuangan sirip dan kepala Pembentukan loin Pembuangan kulit, daging gelap dan duri Penimbangan II Pembungkusan sementara Pemberian gas CO Pendinginan (chilling) Sortasi mutu Perapihan (retouching) Penimbangan III Pembungkusan Pemvakuman Penyusunan Pembekuan Penimbangan IV Pengemasan dalam master carton (mc) Penyimpanan
Aktivitas yang dilakukan
130 80
Lampiran 2 Tabel observasi kegiatan proses pembuatan tuna loin beku Nama tahapan kegiatan Penerimaan bahan baku
Pencucian I Penyimpanan sementara
Pencucian II Penimbangan I
Pembuangan sirip dan kepala
Pembentukan loin Pembuangan kulit, daging gelap dan duri
Penimbangan II Pembungkusan sementara
Pemberian gas CO
Pendinginan (chilling)
Sortasi mutu
Perapihan (retouching)
Penimbangan III
Pembungkusan
Aktivitas yang dilakukan Pemeriksaan suhu, tekstur dan organoleptik bahan baku dan suhu oleh checker Pencucian kulit dari kotoran yang menempel dengan air mengalir Penyimpanan ikan dalam bak besar berisi es curai Lama penyimpanan sementara tergantung pada lamanya kesiapan dari proses pengolahan selanjutnya dan juga waktu kedatangan ikan Pencucian dari kotoran setelah ikan diangkat dari bak penyimpanan semetara Penimbangan bobot ikan sebelum proses cutting Pencatatan bobot ikan Pembuangan sirip Pembuangan kepala dampai batas operculum Pembersihan meja pemotongan Pemfiletan menjadi 4 bagian Pembuangan kulit Pemisahan daging gelap Pembuangan sisa-sisa duri Penimbangan bobot loin Pencatatan dalam form Pembungkusan dalam plastik LDPE polos Peletakan dalam keranjang Penimbungan dengan flekes ice Pemberian gas CO pada tekanan 20-40 Psi Jumlah penyuntikan disesuaikan dengan size loin Penyusunan loin dalam keranjang Penyimpanan dalam chill room suhu 01oC selama 48 jam Sortasi berdasarkan warna dan tekstur Loin dengan grade A diproses menjadi saku, grade B menjadi loin ID-on, grade C atau size yang terlalu kecil menjadi steak sedangkan daging sisa potongan diproses menjadi cubes dan ground meat. Loin dengan mutu dibawah standar dipisahkan untuk dismoke ulang Perapihan dari daging gelap, sisa-sisa daging gelap, sisa kulit, dan sisa duri Penyekaan daging dengan spon Penimbangan berat akhir loin sebelum pembungkusan Untuk mengetahui rendemen produk Pencatatan dalam form (dokumentasi) Pemasukan dalam plastik polietilen
131 81
Pemvakuman Penyusunan
Pembekuan Penimbangan IV Pengemasan dalam master carton (mc) Penyimpanan
berlabel Pemvakuman produk yang telah dikemas dengan mesin vakum Penyususnan dalam keranjang Pemberian no batch Pengangkutan ke Air Blast Freezer Pembekuan dalam ABF, suhu -20oC selama 8 jam Penimbangan bobot ikan setelah pembekuan Penyusunan dalam mc Pemberian label Penyusunan dalam cold storage Penyimpanan produk dalam cold storage pada suhu -18oC
132 82
Lampiran 3 Format tabel program higiene pada proses produksi tuna loin PT X Aspek higiene (CAC 2003) 1. 2.
Produksi bahan baku Desain dan fasilitas (1) Lokasi perusahaan (2) Desain dan layout 1) Ruang penerimaan bahan baku 2) Ruang penanganan dan pengolahan 3) Lantai 4) Dinding 5) langit-langit 6) pintu 7) ventilasi 8) Penerangan (3) Peralatan (4) Fasilitas 1) Suplai air dan es 2) Fasilitas pencucian tangan dan disinfeksi 3) Ruang ganti, kamar mandi dan toilet 4) Ruang pendinginan dan gudang beku 5) Sistem pembuangan limbah 6) Pengawasan binatang pengerat (pest kontrol) 3. Prosedur pengendalian (1) Kontrol terhadap bahaya (2) Aspek kunci kontrol sistem higiene (3) Persyaratan bahan baku (4) Pengemasan dan pelabelan (5) Air (6) Manajemen dan supervisi (7) Dokumen dan rekaman (8) Prosedur penarikan 4. Sanitasi 5. Higiene personal
Kegiatan program higiene
133 83
Lampiran 4 Tabel program higiene pada proses produksi tuna loin PT X 1. 2.
Aspek higiene Produksi bahan baku Desain dan fasilitas (1) Lokasi perusahaan
(2) Desain dan layout 1) Ruang penerimaan bahan baku
2) Ruang penanganan dan pengolahan
3) Lantai
4) Dinding
5) langit-langit
6) pintu
7) ventilasi 8) Penerangan
(3) Peralatan
Kegiatan program higiene Pencatatan asal bahan baku Penentuan lokasi perusahaan dengan kriteia berada pada daerah yang diizinkan Berada pada jarak yang cukup dengan industri lain Penempatan ruang penerimaan bahan baku terpisah dari ruang produksi Mengkondisikan ruang penerimaan sehingga mudah dibersihkan dan diperbaiki Penyediaan air bersih dalam jumlah cukup Mengkondisikan ruang penerimaan tertutup dari lingkungan luar Pencegahan masuknya serangga dengan memasang lampu anti serangga di pintu ruang penerimaan Membuat saluran pembuangan limbah pada pojok ruangan Mengkondisikan ruangan sehingga mudah dibersihkan dan diperbaiki Penyediaan air bersih dalam jumlah yang cukup Menempatkan saluran pembuangan pada di pojok ruangan dan mengkondisikan agar mampu mengalirkan air limbah dengan baik Mencegah masuknya serangga dengan memasang lampu anti serangga di pintu ruang penanganan dan pengolahan Pemilihan bahan keramik untuk lantai agar mudah dibersihkan Mendesain kemiringan lantai agar cukup untuk mengalirkan air sehingga tidak terjadi genangan Membersihkan lantai setiap hari sebelum dan sesudah proses produksi Pemilihan bahan beton yang tahan lama, melapisi bagian dalam dengan keramik agar mudah dibersihkan Mendesain tinggi dinding dari lantai hingga langit-langit di ruang pengolahan kira-kira 4 meter Membersihkan dinding setiap hari setelah proses produksi selesai Menggunakan material yang berwarna putih terang Mendesain langit-langit sehingga kondisi langit-langit halus dan tanpa sambungan, tidak retak, tidak bercelah, tidak ada tonjolan maupun pipa, kedap air serta mudah dibersihkan Pintu terbuat dari stainless steel dengan permukaan yang halus Memasang tombol pembuka dan penutup otomatis Melengkapi pintu dengan tirai dari plastik curtain Menggunakan blower dan AC Menggunakan lampu TL (tube lamp) 40 watt dengan jumlah yang disesuaikan dengan besar ruangan sehingga intensitas cahaya cukup dan memadai untuk berlangsungnya proses pengolahan Penyusunan lampu (dua lampu dalam satu rumah-rumahan) Menggunakan perlengkapan dan peralatan yang tahan karat, kedap air, dan permukaannya relatif halus sehingga mudah dibersihkan. Mencuci dan mendisinfeksi peralatan setiap sebelum dan
134 84
sesudah digunakan (4) Fasilitas 1) Suplai air dan es 2) Fasilitas pencucian tangan dan disinfeksi
3) Ruang ganti, kamar mandi dan toilet
4) Ruang pendinginan dan gudang beku
5) Sistem pembuangan limbah
6) Pengawasan binatang pengerat (pest kontrol)
3.
Prosedur pengendalian (1) Kontrol terhadap bahaya
(2) Aspek kunci sistem higiene
(3) Persyaratan bahan baku
(4) Pengemasan dan pelabelan
(5) Air
Menyediakan air dan es yang berkualitas air minum dalam jumlah yang cukup Menggunakan keran yang dioperasikan dengan sensor Menyediakan sabun cuci tangan Membuat fasilitas foot bath berupa bak dengan kedalaman ±40 cm dan mengandung klorin 200 ppm Menempatkan ruang ganti pekerja pada lantai yang berbeda dari unit produksi Menyediakan loker pada ruang ganti untuk menyimpan barang-barang pekerja Menyediakan toilet dengan jumlah yang memadai untuk seluruh karyawan Menempatkan toilet pada lantai dan bangunan yang terpisah dari ruang pengolahan produk Menyediakan fasilitas cuci tangan pada toilet Menggunakan plat stainless steel sebagai material pembangun lantai, dinding dan langit-langit ruang pendingin dan ruang pembeku sehingga mudah dibersihkan Melakukan monitoring suhu ruang pendinginan dan gudang beku Menyaring limbah cair sebrlum dialirkan ke laut Memasang ozonator pada saluran limbah supaya limbah cair tidak menimbulkan bau Mengumpulakan dan mengemas limbah padat dengan trash bag, kemudian limbah tersebut akan diangkut oleh petugas kebersihan Muara Baru Memasang perangkap tikus di sekitar bangunan unit pengolahan dan lampu insectkill di setiap pintu masuk menuju ruang produksi Melakukan fogging setiap bulan Melakukan identifikasi bahaya pada tahapan proses yang untuk mengetahui tahapan yang berpeluang menjadi penyebab bahaya potensial histamin. Identifikasi bahaya dituangkan dalam Tabel identifikasi bahaya Melakukan kontrol terhadap tahapan proses tersebut Memonitoring suhu ruang proses dan air, cold storage, chilling room, ABF Mempertahankan suhu ikan tetap dingin selama proses produksi Tahapan proses spesifik yang ada yaitu pendinginan, penambahan bahan kimia (gas CO) dan pengemasan vakum Mencegah kontaminasi silang Pengukuran suhu dan tekstur bahan baku Pengujian mikrobiologi dan histamin bahan baku Melakukan pencatatan (dokumentasi) Menggunakan bahan pengemas yang aman Penyimpanan bahan pengemas dengan kondisi yang bersih Memberi label pada kemasan Melakukan treatment sehingga dihasilkan air dengan
135 85
(6) Manajemen dan supervisi
(7) Dokumen dan rekaman (8) Prosedur penarikan
4.
Sanitasi
5.
Higiene personal
kualitas air minum Pengujian kulitas air satu minggu sekali Manajer membuat berbagai aturan dan prosedur yang harus dipatuhi oleh karyawan Melakukan pengontrolan sistem Mengikuti pelatihan manajemen mutu Pencatatan secara berkelanjutan dan berurutan di setiap proses, mulai dari penerimaan bahan baku sampai dengan pengiriman produk akhir. Memiliki dan memelihara bukti-bukti telusur Perusahaan melakukan pengkodean pada setiap batch bahan baku yang mengandung informasi produk Pencucian alat dengan detergen dan pembilasan dengan air hangat setiap setelah proses produksi berlangsung Disinfeksi alat sebelum dan sesudah bekerja Pembersihan ruangan setelah selesai produksi Menyimpan bahan pembersih pada ruang penyimpan bahan kimia yang terpisaah dari unit proses produksi Karyawan yang sakit tidak diperkenankan bekerja Karyawan menggunakan seragam kerja secara lengkap Karyawan diwajibkan mencuci tangan sebelum memasuki ruang produksi dan setelah menggunakan toilet Karyawan makan dan minum hanya di ruang makan istirahat yang disediakan. Menyediakan pakaian pelindung bagi pengunjung yang ingin masuk dalam ruang proses
136
Lampiran 5 Format tabel penilaian kesesuaian program higiene pada proses produksi tuna loin beku di PT X Aspek higiene (CAC 2003)
Referensi/ acuan
Isi Acuan
Kondisi di PT X
Letak ketidaksesuaian
penyebab bahaya histamin yang muncul karena ketidaksesuaian
objek pengujian
teknik pengujian
1. 2.
Produksi bahan baku Desain dan fasilitas (1) Lokasi perusahaan (2) Desain dan layout 1) Ruang penerimaan bahan baku 2) Ruang penanganan dan pengolahan 3) Lantai 4) Dinding 5) langit-langit 6) pintu 7) ventilasi 8) Penerangan (3) Peralatan (4) Fasilitas 1) Suplai air dan es 2) Fasilitas pencucian tangan dan disinfeksi 3) Ruang ganti, kamar mandi dan toilet 4) Ruang pendinginan dan gudang beku 5) Sistem pembuangan limbah 6) Pengawasan binatang pengerat (pest kontrol) 3. Prosedur pengendalian (1) Kontrol terhadap bahaya (2) Aspek kunci kontrol sistem higiene (3) Persyaratan bahan baku (4) Pengemasan dan pelabelan (5) Air (6) Manajemen dan supervisi (7) Dokumen dan rekaman (8) Prosedur penarikan 4. Sanitasi 5. Higiene personal
87
137 Lampiran 6 Tabel penilaian kesesuaian program higiene pada proses produksi tuna loin beku di PT X Aspek higiene (CAC 2003)
Referensi/ acuan
1.
Produksi bahan baku
Codex Allimentarius commission Recommended International Code of Practice General Principles of Food Hygiene Sec. III Hygiene in Food Processing Principles of Food Sanitation 5th Edition
2.
Desain dan fasilitas
Codex Allimentarius commission Recommended International Code of Practice General Principles of Food Hygiene Sec. IV Hygiene in Food Processing KEP.011.P2HP.2007 tentang Pedoman Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Principles of Food Sanitation 5th Edition
(1) Lokasi perusaha an
Isi Acuan
Kondisi di PT X
lingkungan penghasil bahan baku tidak menjadi sumber kontaminasi (CAC 2003) Bahan baku tidak boleh ditangani di lingkungan yang berpotensi untuk menghasilkan pencemaran (Lelieveld et al 2003) Pengendalian pencemaran dari udara, tanah, air, pakan, pestisida, atau bahan lainnya, pemantauan terhadap lingkungan dan higiene bahan baku serta melindungi makanan dari kontaminasi lainnya (Mariot dan Bravani 2006)
Kondisi transit X yang menjadi pemasok bahan baku memiliki kondisi higiene yang kurang baik (karyawan tidak menggunakan seragam, merokok di ruang proses, air yang digunakan tidak berkualitas air minum) dan berpotensi menyebabkan kontaminasi
Lokasi perusahaan harus terhindar dari pencemaran Jauh dari kegiatan industri lainnya dan bebas dari hama (Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003) Area UPI memadai untuk melakukan pekerjaan dalam kondisi saniter dan higienis (Dirjen P2HP
PT LNJ berada di kompleks Perum Perikanan samudera Jakarta (PPSJ) Nizam Zachman. Jarak PT LNJ dengan perusahaan lain yang menghasilkan limbah dengan bau yang tidak
Letak ketidaksesuai an Kondisi higiene transit X kurang baik
penyebab bahaya histamin yang muncul karena ketidaksesuaian Kontaminasi mikrobiologi dari lingkungan Kontaminasi mikrobiologi dari karyawan Kontaminasi mikrobiologi dari air
objek pengujian
teknik pengujian
Bahan baku loin
Analisis mikrobiologi dan analisis histamin
88
138
(2) Desain dan layout 1) Ruang penerimaa n bahan baku
2)
Ruang penangana n dan pengolaha n
3)
Lantai
4) Dinding
2007) Area UPI terdapat di daerah industri yang telah disetujui(Dirjen P2HP 2007) Area bersih terpisah dari area kotor(Dirjen P2HP 2007) Lay out dapat mencegah kontaminasi (Dirjen P2HP 2007)
sedap berada pada jarak yang cukup sehingga resiko gangguan yang berasal dari bau lingkungan luar dapat dihindarkan
Desain dan tata letak harus memungkinkan sanitasi dan higiene tetap terjaga dan tidak ada kontaminasi silang (CAC 2003) Konstruksi bangunan perusahaan harus dibangun dengan bahan yang kuat agar dapat bertahan lama dan mudah dibersihkan dan didesinfektan (CAC 2003) Tersedia air bersih dalam jumlah yang cukup (Dirjen P2HP 2007) Saluran pembuangan tepat dan bersih (Dirjen P2HP 2007) Ruang penerimaan tertutup dari lingkungan luar (Dirjen P2HP 2007) Desain dan tata letak harus memungkinkan sanitasi dan higiene tetap terjaga dan tidak ada kontaminasi silang (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003) Konstruksi bangunan perusahaan harus dibangun dengan bahan yang kuat agar dapat bertahan lama dan mudah dibersihkan dan didesinfektan (Dirjen P2HP 2007) Terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan didisnfeksi (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Terbuat dari bahan yang kedap air, tidak beracun, tidak menyerap, tidak licin da tidak retak (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 )
Ruang penerimaan ditempatkan terpisah dari ruang produksi Kontruksi bangunan kuat dan mudah dibersihkan Tersedia air dalam jumlah yang cukup Terdapat saluran pembuangan limbah pada pojok ruangan dilengkapi dengan penutup Tertutup dari lingkungan luar Ruang penanganan dan pengolahan memiliki konstruksi yang kuat, mudah dibersihkan dan memadai untuk melakukan proses produksi secara saniter
Permukaan bagian dalam kedap air dan tidak menyerap (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 )
Dinding terbuat dari beton, bagian dalam dilapisi ubin berwarna
Menggunakan bahan keramik berwarna putih, permukaannya halus, tidak licin, mudah dibersihkan dan kedap air
89
139
5) langitlangit
6) pintu
7) ventilasi
8) Penerang an
Permukaan dinding halus, tanpa retak, celah atau lubang serta mudah dibersihkan dan didesinfeksi (Dirjen P2HP 2007) Permukaan tahan lama dan kedap air (Dirjen P2HP 2007) Bebas dari penonjolan dan seluruh pipa dan kabel ditutup dengan baik (Dirjen P2HP 2007) Pertemuan antara lantai dan dinding serta dinding dan dinding mudah dibersihkan (Dirjen P2HP 2007) Bebas dari retak dan celah (Dirjen P2HP 2007) Permukaannya halus dan mudah dicuci dan berwarna terang untuk menjamin kebersihannya (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Dirancang untuk mencegah akumulasi kotoran, mengurangi kondensasi dan pertumbuhan jamur dan pengelupasan (Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) ketinggian minimal 3 meter (Dirjen P2HP 2007) Tidak adan penonjolan pipa-pipa dan kabel (Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Terbuat dari bahan yang tahan lama, dan tahan korosi serta menutup secara otomatis (Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Mudah dibersihkan dan dalam kondisi baik serta dilengkapi dengan alat pencegah lalat (Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Ventilasi mencukupi (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Memungkinkan untuk menyaring uap air (Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Tidak memungkinkan terjadinya kondensasi (Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Penerangan ruang pengolahan dan ruang inspeksi memadai (CAC 2003, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 )
putih setinggi 1,5 meter. Permukaan dinding halus, tanpa retak, celah atau lubang serta mudah dibersihkan dan didesinfeksi Pertemuan antara dinding dengan lantai dan dinding dengan dinding tidak membentuk sudut Langit-langit berwarna putih terang Langit-langit terbuat dari material yang permukaannya halus, tidak mengelupas, mudah dicuci Tidak terlihat adanya penonjolan pipa-pipa dan kabel
Pintu terbuat dari bahan stainless steel yang tahan korosi dan dilengkapi dengan tombol pembuka/penutup otomatis Pintu mudah dibersihkan Sistem sirkulasi udara menggunakan blower dan AC
Lampu yang digunakan yaitu lampu TL (tube lamp) 40 watt dengan
6.
90
140 Lampu menggunakan pelindung dan aman (Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Lampu dilapisi, (biasanya polikarbonat) untuk melindungi kaca dan memuatnya bila pecah Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Intensitas cahaya minimum 500-600 lux (Leliveld et al. 2003)
(3) Peralatan
(4) Fasilitas 1) Suplai air dan es
Terbuat dari bahan yang tahan karat, kedap air dengan permukaan yang halus (CAC 2003, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan didesinfeksi (Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Selalu terjaga dalam kondisi yang bersih (Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 )
Tersedia air dengan kualitas air minum (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Pasokan dan tekanan air cukup (Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Adanya penandaan yang jelas antar pipa-pipa air minum dan bukan air minum (Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Mempunyai peta distribusi air dengan outlet dan keran yang diberi nomor seri (Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Tersedia dan dilakukan prosedur pengambilan sampel air sesuai SNI (Dirjen P2HP 2007 ) Jumlah tangki penyimpanan air mencukupi (Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Tersedia jadwal dan prosedur pembersihan tangki air (Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Tersedia air panas dalam jumlah yang cukup (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et
jumlah yang disesuaikan dengan besar ruangan sehingga intensitas cahaya cukup dan memadai untuk berlangsungnya proses pengolahan Lampu dilindungi oleh plastic mika transparan yang mudah dibersihkan Meja produksi, pisau dan nampan terbuat dari bahan stainless steel Keranjang, dan tanenan dari bahan plastik yang keras Peralatan yang digunakan tahan karat, kedap air, dan permukaannya relatif halus sehingga mudah dibersihkan Pasokan air memadai Tersedia air dengan kualitas air minum dalam jumlah yang cukup Keran-keran diberi nomor Dilakukan pengjian kualitas air berdasarkan SNI dengan pengmbilan sampel secara aseptic Jumlah tangki untuk menyimpan air cukup Jadwal pembersihan tangki dilakukan satu bulan sekali Tersedia air panas
7.
8.
91
141
2)
Fasilitas pencucia n tangan dan disinfeksi
3) Ruang ganti, kamar mandi dan toilet
al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Semua pintu masuk ke area pengolahan dilengkapi dengan bak cuci kaki dengan ukuran yang sesuai (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Bak cuci kaki menggunakan air bersih dan desinfektan (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Semua pintu masuk ke ruang pengolahan dilengkapi dengan fasilitas cuci tangan dan desinfeksi yang cukup (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Kran air tidak dioperasikan dengan tangan (Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Menggunakan sabun dan desinfektan yang disetujui (Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Fasilitas cuci tangan dilengkapi dengan pengering sekali pakai (Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Fasilitas pencucian peralatan harus tersedia dan sesuai kebutuhan (Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Tersedia ruang ganti dengan jumlah yang cukup (CAC 2003, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Tersedia loker untuk menyimpan barang karyawan (CAC 2003, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Dinding dan lantai ruang ganti halus, kedap air dan mudah dibersihkan (CAC 2003, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Tersedia toilet dengan jumlah yang cukup dan dilengkapi dengan sabun dan desinfektan dan pengering sekali pakai (CAC 2003, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Pintu toilet tidak berhubungan langsung dengan ruang penanganan dan pengolahan ikan (CAC 2003, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Toilet dilengkapi dengan sistem menyiram air
fasilitas foot bath berupa bak dengan kedalaman ±40 cm dan mengandung klorin 200 ppm Tersedia fasilitas cuci tangan pada pintu masuk Keran dioperasikan menggunakan sensor Tersedia sabun cuci tangan Tersedia pengering sekali pakai Pencucian dan disinfeksi peralatan dilakukan setiap sebelum dan sesudah proses produksi
9.
Tersedia ruang ganti, ruang ganti pria dan wanita dibedakan Tersedia loker yang mencukupi untuk karyawan Jumlah toilet memadai Toilet berada di lantai yang berbeda dengan unit produksi Tersedia fasilitas cuci tangan di toilet dengan kran yang dioperasikan dengan sensor.
10.
92
142
4) Ruang pendingi nan dan gudang beku
(water flushing system) dan masih berfungsi (CAC 2003, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Tersedia fasilitas cuci tangan di toilet dengan kran yang tidak dioperasikan dengan tangan (Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Permukaan lantai, dinding, dan langit-langit ruang pendingin dan gudang pembeku terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, kedap air, tahan lama, tidak retak, tidak mengelupas, mampu mencegah akumulasi kotoran dan kondensasi. (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Kapasitas pendinginan memadai untuk menjamin suhu produk pada suhu es meleleh (melting ice) (CAC 2003, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Dilengkapi dengan alat pencatat suhu (untuk unit refrigerasi) (CAC 2003, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Kapasitas alat pembeku dan gudang beku memadai (CAC 2003, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Mampu menyimpan ikan dengan suhu ikan pada minimal – 18˚ C (Dirjen P2HP 2007 ) Dilengkapi dengan alat pencatat suhu yang mudah dibaca ( Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Penyimpanan produk menggunakan pallet untuk mencegah kontaminasi (Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Penyimpanan produk dengan metode FIFO (Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Dilengkapi tirai udara pada pintu masuk anteroom dan gudang beku (Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Mempunyai fasilitas anteroom (Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Lantai, dinding, dan langit-langit ruang pendingin dan ruang pembeku terbuat dari bahan yang tahan lama, kedap air sehingga mudah dibersihkan dan didisinfeksi (Leliveld et al.
Permukaan lantai, dinding, dan langit-langit ruang pendingin dan ruang pembeku terbuat dari bahan plat stainless steel yang cukup mudah dibersihkan pada saat tidak beroperasi Kapasitas ruang pendingin memadai Kapasitas alat pembeku memadai Kapasitas gudang beku tidak memadai Tidak menerapkan sistem first in first out (FIFO) Tedapat alat sensor suhu ruang pendinginan dan gudang beku Penyimpanan produk menggunakan pallet Mempunyai fasilitas anteroom Ruang pendinginan dan pembekuan dilengkapi dengan tirai udara
Perusaan tidak menerapkan sistem FIFO pada penyimpanan beku
Penyimpangan waktu dan suhu karena tidak diterapkan metode FIFO pada gudang beku
Produk akhir loin
Analisis mikrobiolog i dan analisis histamin
93
143
5) Sistem pembuan gan limbah
6) Pengawa san binatang pengerat (pest kontrol)
2003, Dirjen P2HP 2007 ) Limbah cair dari aktivitas produksi dan pembersihan dapat mengalir dengan baik (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Dilakukan pengolahan limbah sebelum dibuang ke lingkungan (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Area pembuangan limbah terpisah (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Tempat limbah tahan karat dan dilengkapi dengan tutup Limbah di pindahkan minimal sekali dalam sehari (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Wadah dan tempat penyimpanan limbah segera dibersihkan setelah digunakan (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 )
Perusahaan harus memiliki PCO (Pest Control Operator) (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003) Fasilitas pencegah binatang pengerat tersedia dengan jumlah yang cukup (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Tersedia prosedur dan frekuensi pest control serta bahan kimia yang disetujui (CAC 2003,
Limbah cair dari pengolahan mangalir menuju saluran air pada pojok ruangan yang diberi ozon supaya limbah tersebut tidak menimbulkan bau Limbah cair disaring kemudian mengalir menuju tangki penampungan pada Unit Pengolahan Limbah (UPL) di kompleks Perum Perikanan Samudera Jakarta (PPSJ) Muara Baru, Jakarta Utara Limbah tuna ditempatkan dalam wadah fiber dan segera dipindahkan dan tidak terakumulasi di ruang proses Seluruh limbah tuna dibeli oleh pengumpul Limbah padat selain limbah ikan ditempatkan pada wadah yang memiliki tutup, tahan karat, mudah dibersihkan. Limbah padat selain ikan dipisahkan antara sampah kering dan sampah basah. Terdapat perangkap binatang pengerat di sekitar bangunan unit pengolahan lampu insectkill dipasang di setiap pintu masuk menuju ruang produksi dilakukan fogging satu bulan sekali
11.
12.
94
144
3.
Prosedur pengendal ian
(1) Kontrol terhadap bahaya
Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Tersedia peta penempatan perangkap dan umpan (verifikasi harus dilakukan) (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Tersedia prosedur pembuangan binatang pengganggu yang mati (Dirjen P2HP 2007 ).
Tersedia peta penempatan perangkap binatang pengganggu PCO adalah instansi eksternal yang dikontrak untuk melakukan pembasmian hama dan pengontrolan pada perangkap hama.
Mengidentifikasi beberapa tahapan proses yang mungkin menjadi titik kritis bagi keaman produk (CAC 2003) pangan yang dihasilkan Melakukan kontrol yang efektif pada tahapantahapan tersebut (CAC 2003) Memonitoring efektivitas kontrol yang dilakukan (CAC 2003) Meninjau prosedur pengontrolan secara periodik dan apabila terjadi perubahan dalam proses produksi (CAC 2003)
Perusahaan melakukan identifikasi tahapan proses yang berpeluang menimbulakan bahaya potensial dengan melakukan analisis bahaya pada setiap alur proses, Penerimaan bahan baku dan pengemasan merupakan tahapan proses yang menjadi titk kritis
Codex Allimentarius commission Recommended International Code of Practice General Principles of Food Hygiene Sec. V Hygiene in Food Processing KEP.011.P2HP.2007 tentang Pedoman Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Principles of Food Sanitation 5th Edition Proses pemberian gas CO dan penyimpana n dalam suhu chilling selama 48 jam setelah pemberian gas CO tidak dicantumka n dalam table analisis bahaya
Penyimpangan waktu dan suhu pada proses chilling
Loin dalam proses (setelah proses chilling)
Analisis mikrobiolog i dan analisis histamin
95
145
(2) Aspek kunci kontrol sistem higiene
(3) Persyarata n bahan baku
(4) Pengemas an dan pelabelan
(5) Air
Kontrol terhadap waktu dan temperatur (CAC 2003) Menambahkan atau memodifikasi tahapan proses dengan tahapan proses spesifik yang berkontribusi pada higiene pangan seperti pendinginan, pemanasan, iradiasi, pengeringan, penambahan bahan kimia, penggunaan kemasan vakum atau Modified Atmosphere Packaging (MAP) (CAC 2003) Analisis mikrobiologi maupun analisis spesifik lainnya untuk memastikan keamanan dan kelayakan produk pangan yang dihasilkan (CAC 2003) Pencegahan kontaminasi silang (CAC 2003, Dirjen P2HP 2007 ).
Kontrol terhadap suhu dilakukan pada suhu ruang, cold storage, chilling room, ABF Perusahaan mempertahankan suhu ikan tetap dingin selama proses selalu Tahapan proses spesifik yang ada yaitu pendinginan, penambahan bahan kimia (gas CO) dan pengemasan vakum
Bahan baku yang diterima harus terbebas dari parasit, mikroorganisme patogen, pestisida maupun bahan beracun lainnya, dan senyawa hasil dekomposisi yang tidak dapat direduksi atau melebihi ambang batas penerimaan (CAC 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Sortasi terhadap bahan baku sebelum memasuki proses produksi dan pengujian laboratorium (CAC 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Mendesain kemasan dan memilih bahan kemasan yang aman, melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan serta dapat menampung labelan yang dibutuhkan (CAC 2003, Dirjen P2HP 2007 ) Bahan kemasan atau gas yang digunakan tidak beracun atau berbahaya bagi keamanan pangan dan cocok dengan pangan pada kondisi penyimpanan spesifik yang digunakan (Dirjen P2HP 2007 )
Pemeriksaaan suhu dan kesegaran ikan/ uji organoleptik saat kedatangan ikan Ikan ditolak jika ditemukan dekomposisi Pengujian histamine dan mikrobiologi bahan baku
Air yang kotak dengan produk harus air yang
(tidak dianalisis) Kecepatan waktu proses terutama saat ikan tidak kontak dengan es belum dianalisis Proses pemberian gas CO kurang pengawasan dan tidak dilakukan perekaman
Penyimpangan waktu dan suhu pada proses penyimpanan beku
Produk akhir loin SPC untuk suhu cold storage
Analisis mikrobiolog i dan analisis histamine Analisis kecepatan waktu proses
Pengemasan dilakukan dengan polyethylene sebagai kemasan primer (inner carton) dan karton tebal berlapis lilin sebagai kemasan sekunder (master carton/MC). Setiap MC diberi label Penyimpanan bahan pengemas dilakukan pada ruangan tersendiri Air yang digunakan
96
146
(6) Manajeme n dan supervisi
(7) Dokumen dan rekaman
(8) Prosedur penarika n
berkualitas air minum (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Air untuk proses produksi harus terhindar dari kontaminasi (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Es yang digunakan harus berasal dari air yang tidak terkontamminasi (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Memiliki kompetensi sesuai persyaratan dan mampu membangun, menerapkan, mengembangkan serta merawat sistem manajemen lebih baik sehingga performa kinerjapun semakin meningkat (CAC 2003, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Manajer dan supervisor harus memiliki pengetahuan yang memadai tetang prinsipprinsip dan praktek higiene pada proses produksi pangan sehingga mampu menilai potensi bahaya, membuat tindakan preventif dan koreksi yang tepat serta memastikan sistem monitoring dan pengawasan yang efektif benar-benar diterpakan (CAC 2003, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Pencatatan dan dokumentasi harus diterapkan secara berkelanjutan dan berurutan di setiap proses, mulai dari penerimaan bahan baku sampai dengan distribusi. (CAC 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Kelengkapan dokumen dari suatu perusahaan akan menggambarkan kredibilitas dan efektivitas sistem kontrol keamanan pangan yang dilakukan oleh perusahaan (CAC 2003, Dirjen P2HP 2007) .
selama proses adalah air dengan kualitas air minum
Pencatatan secara berkelanjutan dan berurutan di setiap proses, mulai dari penerimaan bahan baku sampai dengan pengiriman produk akhir
Tidak dilakukan perekaman pada tahap pemberian gas CO (karbon monoksida) dan pemvakuma n
Perusahaan harus memiliki bukti perekaman (dokumen) dari tahap supplier yang berisi informasi-informasi tentang metode penangkapan dan penanganan ikan selama di
Perusahaan memiliki bukti perekaman (dokumen) dari tahap supplier yang berisi
Kode tersebut tidak menunjukk
Manajer membuat berbagai aturan dan prosedur yang harus dipatuhi oleh karyawan Melakukan pengontrolan sistem Mengikuti pelatihan manajemen mutu
Penyimpangan waktu dan suhu karena tidak ada perekaman pada pemberian gas CO (karbon monoksida) dan pemvakuman
SPC pada analisis cycle time pada pemberia n gas CO (karbon monoksi da) dan pemvaku man
Analisis kecepatan waktu proses
97
147
4.
Sanitasi
Codex Allimentarius commission Recommended International Code of Practice General Principles of Food Hygiene Sec. VI Hygiene in Food Processing KEP.011.P2HP.2007 tentang Pedoman Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Principles of Food Sanitation 5th Edition
kapal dan transit. (CAC Dirjen P2HP 2007 ). Produk harus dapat ditelusuri (trace) dari kode yang digunakan pada setiap batch dan jenis produk (CAC Dirjen P2HP 2007 ).
informasi-informasi tentang metode penangkapan dan penanganan ikan selama di kapal dan transit yaitu dokumen Harvest vessel receiving record Perusahaan melakukan pengkodean pada setiap batch bahan baku yang mengandung informasi produk
Pencucian peralatan harus dapat membersihkan residu dan kotoran yang mungkin menjadi sumber kontaminasi, Pencucian dengan bahan kimia harus dilakukan dengan prosedur yang sesuai dan hati-hati. Bahan pembersih disimpan terpisah dengan bahan makanan (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Pencucian dapat dilakukan dengan kombinasi beberapa metode fisika seperti pemanasan, pembersihan vakum, aliran bergolak, atau dengan metode kimia dapat dilakukan dengan penggunaan deterjen, alakali maupun asam (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Program sanitasi harus dilaksanakan agar lingkungan bebas dari hama. Pelaksanaan pembersihan dan penggunaan disinfektan harus
Pencucian pada peralatan dilakukan setelah proses produksi selesai Peralatan didisinfeksi sebelum memulai proses produksi Bahan pembersih yang digunakan disimpan pada ruang penyimpan bahan kimia yang terpisaah dari unit proses produksi Pencucian dilakukan dengan deterjen Program sanitasi berjalan dengan baik dan terkontrol
an jenis produk yang lebih spesifik. Satu kode yang sama dipakai untuk beberapa macam produk. Hal ini akan menyulitka n pihak tim traceability apabila suatu saat dilakukan proses recall product khususnya saat terkena masalah histamin 13.
98
148
5.
Higiene personal
Codex Allimentarius commission Recommended International Code of Practice General Principles of Food Hygiene Sec. VII Hygiene in Food Processing KEP.011.P2HP.2007 tentang Pedoman Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
dapat membersihkan seluruh bagian peralatan (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Bangunan harus didesain sedemikian rupa dan dan seluruh akses masuk ruangan harus selalu tertutup sehingga hama tidak dapat masuk (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Bahan baku maupun produk yang sudah jadi harus disimpan dalam wadah maupun ruangan tertutup agar hama tidak dapat masuk (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Pembasmian hama dapat dilakukan dengan metode fisika, kimia, maupun biologi yang tidak mempengaruhi keamanan produk (Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Tidak ada penumpukan limbah baik itu limbah padat maupun cair di dalam maupun di luar area perusahaan (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Harus ada kegiatan monitoring dan dokumentasi (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Karyawan memiliki kesadaran higiene yang tinggi dan menerapkan higiene pada praktekpraktek produksi karena memiliki wawasan yang memadai tentang pentingnya higiene dalam menunjang keamanan pangan (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Karyawan yang sedang sakit tidak diperkenankan berpartisipasi dalam proses produksi (CAC 2003, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Karyawan yang sakit harus melaporkan penyakitnya. Adapun beberpa penyakit yang harus dilaporkan adalah diare, muntah, demam, sakit tenggorokan disertai demam (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ).
Karyawan menerapkan higiene dalam bekerja Karyawan yang sedang sakit tidak diperkenankan berpartisipasi dalam proses produksi, namun dialihkan pada proses lain yang tidak kontak dengan produk Karyawan menggunakan seragam lengkap Karyawan mencuci tangan sebelum memasuki ruang proses Karyawan diinspeksi kuku dan perhiasan sebelum memasuki ruang
Kebiasaan kurang baik ketika bekerja seperti membetulk an topi, masker, dan memegang bagian tubuh yang lain yang tidak mendukung hygiene pekerja sering terjadi
Personal
Analisis pengetah uan higiene karyawa n dengan kuisioner
Personal
99
149 Karyawan harus menggunakan pakaian pelindung yang lengkap dari kepala hingga alas kaki (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Karyawan wajib mencuci tangan setelah menangani produk, setelah dari toilet, setelah melakukan penanganan bahan mentah atau material lainnya (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Karyawan tidak boleh menggunakan perhiasan seperti kalung, cincin, jam tangan atau benda lainnya yang dapat jatuh ke dalam makanan (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Karyawan proses tidak boleh makan, mengunyah, meludah, merokok taupun batuk dan bersin di atas makanan yang tidak berpelindung (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ). Pengunjung yang datang ke perusahaan harus menggunakan pakain pelindung yang disediakan perusahaan jika ingin memasuki ruang proses atau mengikuti kegiatan produksi (CAC 2003, Mariot dan gravani 2006, Leliveld et al. 2003, Dirjen P2HP 2007 ).
proses Karyawan hanya diperbolehkan makan dan minum di ruang istirahat Tersedia pakaian pelindung bagi pengunjung yang ingin masuk dalam ruang proses
Kebiasaan bercakapcakap selama bekerja sering terjadi Pengetahua n karyawan tentang higiene kurang diperhatika n Pengecekan kesehatan karyawan belum teratur dan berkelanjut an
100
150 101
Lampiran 7 Kuesioner karyawan (Modifikasi Aarnisalo et.al 2006)
151 102
152 103
Lampiran 8 Kuisioner tentang kepercayaan karyawan terhadap manajemen puncak (Brown 1999)
153 104
Lampiran 9 Form harvest vessel receiving record
154 105
Lampiran 10 Layout pekerja di PT X
155 106
Lampiran 11 Chilling temperature monitoring control
156 107
Lampiran 12 Frezzing monitoring report
157 108
Lampiran 13 Cold storage temperature report
158 109
Lampiran 14 Layout pembuangan limbah padat
159 110
Lampiran 15 Hasil pengujian histamine bahan baku PT X Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Ags
Sep
UCL
Maks
Min
1
0.20
0.70
0.30
0.20
0.50
0.20
0.40
0.20
0.10
10.00
6.00
0.00
2
0.60
1.60
0.60
2.60
0.60
0.10
0.20
0.70
0.10
10.00
6.00
0.00
3
0.20
2.30
0.10
2.10
0.10
0.30
0.40
0.40
0.70
10.00
6.00
0.00
4
2.00
0.90
0.40
2.20
0.50
0.10
0.30
1.00
0.10
10.00
6.00
0.00
5
0.40
1.60
0.10
1.60
0.40
0.20
0.20
0.20
0.60
10.00
6.00
0.00
6
2.90
0.80
0.70
2.10
0.30
0.40
0.20
0.40
0.30
10.00
6.00
0.00
7
0.70
2.40
0.50
0.30
0.30
0.30
0.90
0.20
0.40
10.00
6.00
0.00
8
0.50
0.70
0.90
0.60
0.50
0.20
0.60
0.10
0.50
10.00
6.00
0.00
9
0.70
1.20
1.50
0.40
0.50
0.30
0.90
0.20
0.90
10.00
6.00
0.00
10
0.20
0.30
2.50
0.10
0.30
0.30
0.80
0.10
0.50
10.00
6.00
0.00
11
0.60
0.20
2.30
0.40
0.40
0.10
0.10
0.90
0.00
10.00
6.00
0.00
12
0.30
4.20
0.40
2.10
0.20
0.30
0.50
0.10
0.10
10.00
6.00
0.00
13
0.90
1.20
0.60
1.40
0.50
0.30
0.30
1.50
0.50
10.00
6.00
0.00
14
0.70
1.20
0.50
2.10
0.40
0.20
0.20
0.10
0.90
10.00
6.00
0.00
15
3.40
2.30
0.10
2.30
0.50
0.30
0.20
0.30
1.40
10.00
6.00
0.00
16
0.40
0.80
0.50
0.10
0.30
0.40
0.10
0.20
0.00
10.00
6.00
0.00
17
0.70
0.90
0.90
0.40
0.30
0.20
0.50
0.30
0.80
10.00
6.00
0.00
18
0.10
1.10
1.40
0.70
0.30
0.40
0.10
0.10
0.10
10.00
6.00
0.00
19
0.40
0.80
2.30
0.20
0.40
0.30
0.50
0.10
6.00
10.00
6.00
0.00
20
0.70
0.50
0.60
0.60
0.20
0.10
0.10
0.10
0.10
10.00
6.00
0.00
21
0.30
3.80
3.20
1.20
0.50
0.20
0.90
0.60
0.40
10.00
6.00
0.00
22
0.20
0.70
0.10
0.70
0.40
0.40
0.60
0.40
0.10
10.00
6.00
0.00
23
0.30
1.20
0.40
0.40
0.50
0.40
1.00
0.10
0.30
10.00
6.00
0.00
24
0.60
2.30
0.50
0.60
0.40
0.20
0.80
0.40
0.20
10.00
6.00
0.00
25
0.40
3.70
0.90
1.10
0.30
0.20
0.20
0.20
1.30
10.00
6.00
0.00
26
0.70
1.60
0.50
1.60
0.30
0.30
0.40
0.10
0.20
10.00
6.00
0.00
27
1.60
1.40
0.10
0.30
0.30
0.20
1.30
0.20
0.50
10.00
6.00
0.00
28
1.70
1.10
0.70
0.40
0.40
0.10
0.30
0.10
0.40
10.00
6.00
0.00
29
2.70
2.30
0.50
0.50
0.40
0.30
0.30
0.90
0.20
10.00
6.00
0.00
30
0.30
3.20
0.30
0.20
0.30
0.30
0.20
0.10
1.60
10.00
6.00
0.00
160
Lampiran 16 Hasil pengujian TPC perusahaan selama bulan Agustus 2010
111
161
112
162 113
Lampiran 17 Daily record of raw material receiving
163 114
Lampiran 18 Dailly Report of Packing and Labelling
164 115
Lampiran 19 Dailly Report of Sanitation Inspection
165
Lampiran 20 Hasil pengujian air PT X
116
166 117
Lampiran 21 Analisis Statistik histamine bahan baku Descriptive Statistics N 270
VAR00012 Valid N (listwise)
Minimum 1.00
Maximum 6.00
Mean 1.5093
Std. Deviation .53275
UCL 10.00
270
Lampiran 22 Analisis Statistik suhu bahan baku Descriptive Statistics N
Minimum
Maximum
Sum
Mean
Std. Deviation
VAR00010
16
1.09
1.68
22.29
1.393125
0.1670017
Valid N (listwise)
16
UCL 3
167 118
Lampiran 23 Analisis statistik alur proses penerimaan bahan baku Descriptive Statistics
PBB Valid N (listwise)
N 40 40
Minimum 4.64
LB
Maximum 10.35
Target
Mean 6.4085
Std. Deviation 1.52618
UB W ithin Ov erall
Process Data LB 2.52 Target 5.04 UB 7.56 Sample Mean 6.4 Sample N 40 StDev(Within) 1.52 StDev(Overall) 1.52618 Observed Performance PPM < LB 0.00 PPM > UB 225000.00 PPM Total 225000.00 3.2
(using 95.0% confidence)
4.8
6.4
8.0
9.6
Second
Analisis kapabilitas proses 1 DPMO Proses (PPM total) Konversi DPMO 2 kedalam Nilai Sigma Hitung Kemampuan 3 Proses dalam Ukuran Nilai Sigma
225000 - (Lihat Tabel Konversi Nilai Sigma) % Keberhasilan =1000000225000 = 77.5% Smaks =
Penentuan nilai 4 standar deviasi maksimal (Smaks)
Hitung Kapabilitas 5 Proses yang Ada
Smaks =
Cpm=
2.25 Sigma 2.25 (arti rendah dan tidak kompetitif)
1 x(USL LSL) 2 xsigma 1 x(7.56 2 x 2.25
2.52)
(USL LSL) 6 ( Xbar T ) 2
S2
1.12 0,5 Cpm<1,0 keadaan proses industri berada dalam keadaan tidak mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan.
168 119
Lampiran 24 Analisis statistik alur proses pemberian gas CO Descriptive Statistics
PCO Valid N (listwise)
N 40 40
Minimum 8.21
Maximum 13.44
Mean 11.4503
Std. Deviation .99761
LBTarget UB Process Data LB 10 Target 11 UB 12 Sample Mean 11.45 Sample N 40 StDev(Within) 0.99 StDev(Overall) 0.997606
W ithin Ov erall
Observed Performance PPM < LB 50000.00 PPM > UB 250000.00 PPM Total 300000.00 8
9
10
11
12
13
Second
(using 95.0% confidence)
Analisis kapabilitas proses DPMO Proses (PPM total) Konversi DPMO 2 kedalam Nilai Sigma
300000
1
Hitung Kemampuan 3 Proses dalam Ukuran Nilai Sigma
- (Lihat Tabel Konversi Nilai Sigma) % Keberhasilan =1000000300000 = 70% Smaks =
Penentuan nilai 4 standar deviasi maksimal (Smaks)
5
Hitung Kapabilitas Proses yang Ada
Smaks =
Cpm=
1 x(USL LSL) 2 xsigma
2.03 Sigma 2.03 (arti rendah dan tidak kompetitif)
0.49
1 x(12 10) 2 x2.03
(USL LSL) 6 ( Xbar T ) 2
S2
0,5 Cpm<1,0 keadaan proses industri berada dalam keadaan tidak mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan.
169 120
Lampiran 25 Analisis statistik alur proses Tahap pemvakuman Descriptive Statistics
PVK Valid N (listwise)
N 40 40
Minimum 39.05
Maximum 40.70
LB
Target
Mean 39.8333
Std. Deviation .51896
UB W ithin Ov erall
Process Data LB 39 Target 39.7 UB 40.4 Sample Mean 39.83 Sample N 40 StDev(Within) 0.51 StDev(Overall) 0.518955 Observed Performance PPM < LB 0.00 PPM > UB 50000.00 PPM Total 50000.00 (using 95.0% confidence)
38.8
39.2 39.6 40.0
40.4 40.8
Second
Analisis kapabilitas proses 1 DPMO Proses (PPM total) Konversi DPMO 2 kedalam Nilai Sigma Hitung Kemampuan 3 Proses dalam Ukuran Nilai Sigma
50000 - (Lihat Tabel Konversi Nilai Sigma) % Keberhasilan =100000050000 = 95% Smaks =
Penentuan nilai 4 standar deviasi maksimal (Smaks)
Hitung Kapabilitas 5 Proses yang Ada
Smaks =
Cpm=
1 x(USL LSL) 2 xsigma 1 x(40.4 2 x3.14
3.14 Sigma 3.14 (arti rendah dan tidak kompetitif)
0.49
39)
(USL LSL) 6 ( Xbar T ) 2
S2
0,93 Cpm<1,0 keadaan proses industri berada dalam keadaan tidak mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan.
170 121
Lampiran 26 Analisis statistik alur proses pengepakan Descriptive Statistics
PPK Valid N (listwise)
N 40 40
Minimum 5.09
Maximum 12.00
Mean 8.8525
Std. Deviation 2.44243
LB Target UB Within Ov erall
Process Data LB 2.52 Target 5.04 UB 7.56 Sample Mean 8.85 Sample N 40 StDev(Within) 2.44 StDev(Overall) 2.44243 Observed Performance PPM < LB 0.00 PPM > UB 600000.00 PPM Total 600000.00 4
(using 95.0% confidence)
6
8
10
12
14
Second
Analisis kapabilitas proses 1 DPMO Proses (PPM total) Konversi DPMO 2 kedalam Nilai Sigma Hitung Kemampuan 3 Proses dalam Ukuran Nilai Sigma
600000 - (Lihat Tabel Konversi Nilai Sigma) % Keberhasilan =1000000600000 = 40% Smaks =
Penentuan nilai 4 standar deviasi maksimal (Smaks)
5
Hitung Kapabilitas Proses yang Ada
Smaks =
Cpm=
1 x(USL LSL) 2 xsigma 1 x(7.56 2 x1.25
1.25 Sigma 1.25 (arti rendah dan tidak kompetitif)
2.02
2.52)
(USL LSL) 6 ( Xbar T ) 2
S2
0,2 Cpm<1,0 keadaan proses industri berada dalam keadaan tidak mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan.
171 122
Lampiran 27 Analisis statistik alur proses penyimpanan beku Descriptive Statistics
PBK Valid N (listwise)
N 240 240
Minimum -27.00
LB
Maximum -20.00
Mean -22.8083
Target
Std. Deviation 1.78462
UB
Process Data LB -29 Target -24.5 UB -20 Sample Mean -22 Sample N 240 StDev(Within) 1.78 StDev(Overall) 1.78462
W ithin Ov erall
Observed Performance PPM < LB 0.00 PPM > UB 0.00 PPM Total 0.00 (using 95.0% confidence)
-28
-26
-24
-22
-20
-18
C
Analisis kapabilitas proses 1 DPMO Proses (PPM total) Konversi DPMO 2 kedalam Nilai Sigma Hitung Kemampuan 3 Proses dalam Ukuran Nilai Sigma
0 - (Lihat Tabel Konversi Nilai Sigma) % Keberhasilan =1000000- 0 = 100% Smaks =
Penentuan nilai 4 standar deviasi maksimal (Smaks)
5
Hitung Kapabilitas Proses yang Ada
Smaks =
Cpm=
1 x(USL LSL) 2 xsigma 1 x(( 20) 2 x6
6 Sigma 1.25 (arti rendah dan tidak kompetitif) 0.75
( 29)
(USL LSL) 6 ( Xbar T ) 2
S2
2 Cpm ≥ 2.0 keadaan proses industri berada dalam keadaan mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan standar suhu penyimpanan beku.
172 123
Lampiran 28. Tabel konversi nilai DPMO ke nilai Sigma Sigma
DPMO
Sigma
DPMO
Sigma
DPMO
Sigma
DPMO
Sigma
DPMO
Sigma
DPMO
0,00
933.193
1,02
684.386
2,04
294.598
3,06
59.380
4,08
4.940
5,10
159
0,01
931.888
1,03
680.822
2,05
291.160
3,07
58.208
4,09
4.799
5,11
153
0,02
930.563
1,04
677.242
2,06
287.740
3,08
57.053
4,10
4.661
5,12
147
0,03
929.219
1,05
673.645
2,07
284.339
3,09
55.917
4,11
4.527
5,13
142
0,04
927.855
1,06
670.031
2,08
280.957
3,10
54.799
4,12
4.397
5,14
136
0,05
926.471
1,07
666.402
2,09
277.595
3,11
53.699
4,13
4.269
5,15
131
0,06
925.066
1,08
662.757
2,10
274.253
3,12
52.616
4,14
4.145
5,16
126
0,07
923.641
1,09
659.097
2,11
270.931
3,13
51.551
4,15
4.025
5,17
121
0,08
922.196
1,10
655.422
2,12
267.629
3,14
50.503
4,16
3.907
5,18
117
0,09
920.730
1,11
651.732
2,13
264.347
3,15
49.471
4,17
3.793
5,19
112
0,10
919.243
1,12
648.027
2,14
261.086
3,16
48.457
4,18
3.681
5,20
108
0,11
917.736
1,13
644.309
2,15
257.846
3,17
47.460
4,19
3.573
5,21
104
0,12
916.207
1,14
640.576
2,16
254.627
3,18
46.479
4,20
3.467
5,22
100
0,13
914.656
1,15
636.831
2,17
251.429
3,19
45.514
4,21
3.364
5,23
96
0,14
913.085
1,16
633.072
2,18
248.252
3,20
44.565
4,22
3.264
5,24
92
0,15
911.492
1,17
629.300
2,19
245.097
3,21
43.633
4,23
3.167
5,25
88
0,16
909.877
1,18
625.516
2,20
241.964
3,22
42.716
4,24
3.072
5,26
85
0,17
908.241
1,19
621.719
2,21
238.852
3,23
41.815
4,25
2.980
5,27
82
0,18
906.582
1,20
617.911
2,22
235.762
3,24
40.929
4,26
2.890
5,28
78
0,19
904.902
1,21
614.092
2,23
232.695
3,25
40.059
4,27
2.803
5,29
75
0,20
903.199
1,22
610.261
2,24
229.650
3,26
39.204
4,28
2.718
5,30
72
0,21
901.475
1,23
606.402
2,25
226.627
3,27
38.364
4,29
2.635
5,31
70
0,22
899.727
1,24
602.568
2,26
223.627
3,28
37.538
4,30
2.555
5,32
67
0,23
897.958
1,25
598.706
2,27
220.650
3,29
36.727
4,31
2.477
5,33
64
0,24
896.165
1,26
594.835
2,28
217.695
3,30
35.930
4,32
2.401
5,34
62
0,25
894.350
1,27
590.954
2,29
214.764
3,31
35.148
4,33
2.327
5,35
59
0,26
892.512
1,28
587.064
2,30
211.855
3,32
34.379
4,34
2.256
5,36
57
0,27
890.651
1,29
583.166
2,31
208.907
3,33
33.625
4,35
2.186
5,37
54
0,28
888.767
1,30
579.260
2,32
206.108
3,34
32.884
4,36
2.118
5,38
52
0,29
886.860
1,31
575.345
2,33
203.269
3,35
32.157
4,37
2.052
5,39
50
0,30
884.930
1,32
571.424
2,34
200.454
3,36
31.443
4,38
1.988
5,40
48
0,31
882.977
1,33
567.495
2,35
197.662
3,37
30.742
4,39
1.926
5,41
46
0,32
881.000
1,34
563.559
2,36
194.894
3,38
30.054
4,40
1.866
5,42
44
0,33
878.999
1,35
559.618
2,37
192.150
3,39
29.379
4,41
1.807
5,43
42
124 173 Sigma
DPMO
Sigma
DPMO
Sigma
DPMO
Sigma
DPMO
Sigma
0,35
874.928
1,37
551.717
2,39
186.733
3,41
28.067
4,43
0,36
872.857
1,38
547.758
2,40
184.060
3,42
27.429
0,37
870.762
1,39
543.795
2,41
181.411
3,43
0,38
868.643
1,40
539.828
2,42
178.786
0,39
866.500
1,41
535.856
2,43
0,40
864.334
1,42
531.881
0,41
862.143
1,43
0,42
859.929
0,43
DPMO
Sigma
DPMO
1.695
5,45
39
4,44
1.641
5,46
37
26.803
4,45
1.589
5,47
36
3,44
26.190
4,46
1.538
5,48
34
176.186
3,45
25.588
4,47
1.489
5,49
33
2,44
173.609
3,46
24.996
4,48
1.441
5,50
32
527.903
2,45
171.056
3,47
24.419
4,49
1.395
5,51
30
1,44
523.922
2,46
168.528
3,48
23.852
4,50
1.350
5,52
29
857.690
1,45
519.939
2,47
166.023
3,49
23.295
4,51
1.306
5,53
28
0,44
855.428
1,46
515.953
2,48
163.543
3,50
22.750
4,52
1.264
5,54
27
0,45
853.141
1,47
511.967
2,49
161.087
3,51
22.216
4,53
1.223
5,55
26
0,46
850.830
1,48
507.978
2,50
158.655
3,52
21.692
4,54
1.183
5,56
25
0,47
848.495
1,49
503.989
2,51
156.248
3,53
21.178
4,55
1.144
5,57
24
0,48
846.136
1,50
500.000
2,52
153.864
3,54
20.675
4,56
1.107
5,58
23
0,49
843.752
1,51
496.011
2,53
151.505
3,55
20.182
4,57
1.070
5,59
22
0,50
841.345
1,52
492.022
2,54
149.170
3,56
19.699
4,58
1.035
5,60
21
0,51
838.913
1,53
488.033
2,55
146.859
3,57
19.226
4,59
1.001
5,61
20
0,52
836.457
1,54
484.047
2,56
144.572
3,58
18.763
4,60
968
5,62
19
0,53
833.977
1,55
480.061
2,57
142.310
3,59
18.309
4,61
936
5,63
18
0,54
831.472
1,56
476.078
2,58
140.071
3,60
17.864
4,62
904
5,64
17
0,55
828.944
1,57
472.097
2,59
137.857
3,61
17.429
4,63
874
5,65
17
0,56
826.391
1,58
468.118
2,60
135.666
3,62
17.003
4,64
845
5,66
16
0,57
823.814
1,59
464.144
2,61
133.500
3,63
16.586
4,65
816
5,67
15
0,58
821.214
1,60
460.172
2,62
131.357
3,64
16.177
4,66
789
5,68
15
0,59
818.589
1,61
456.205
2,63
129.238
3,65
25.778
4,67
762
5,69
14
0,60
815.940
1,62
452.242
2,64
127.143
3,66
15.386
4,68
736
5,70
13
0,61
813.267
1,63
448.283
2,65
125.072
3,67
15.003
4,69
711
5,71
13
0,62
810.570
1,64
444.330
2,66
123.024
3,68
14.629
4,70
687
5,72
12
0,63
807.850
1,65
440.382
2,67
121.004
3,69
14.262
4,71
664
5,73
12
0,64
805.106
1,66
436.444
2,68
119.000
3,70
13.903
4,72
641
5,74
11
0,65
802.338
1,67
432.505
2,69
117.023
3,71
13.553
4,73
619
5,75
11
0,66
799.546
1,68
428.576
2,70
115.070
3,72
13.209
4,74
598
5,76
10
0,67
796.731
1,69
424.655
2,71
113.140
3,73
12.874
4,75
577
5,77
10
0,68
793.892
1,70
420.740
2,72
111.233
3,74
12.545
4,76
557
5,78
9
0,69
791.030
1,71
416.834
2,73
109.349
3,75
12.224
4,77
538
5,79
9
174 125
Sigma
DPMO
Sigma
DPMO
Sigma
DPMO
Sigma
DPMO
Sigma
DPMO
Sigma
DPMO
0,70
788.145
1,72
412.936
2,74
107.488
3,76
11.911
4,78
519
5,80
9
0,71
785.236
1,73
409.046
2,75
105.650
3,77
11.604
4,79
501
5,81
8
0,72
782.305
1,74
405.165
2,76
103.835
3,78
11.304
4,80
483
5,82
8
0,73
779.350
1,75
401.294
2,77
102.042
3,79
11.011
4,81
467
5,83
7
0,74
776.373
1,76
397.432
2,78
100.273
3,80
10.724
4,82
450
5,84
7
0,75
773.373
1,77
393.580
2,79
98.525
3,81
10.444
4,83
434
5,85
7
0,76
770.350
1,78
389.730
2,80
96.801
3,82
10.170
4,84
419
5,86
7
0,77
767.305
1,79
385.908
2,81
95.098
3,83
9.903
4,85
404
5,87
6
0,78
764.238
1,80
382.089
2,82
93.418
3,84
9.642
4,86
390
5,88
6
0,79
761.148
1,81
378.284
2,83
91.759
3,85
9.387
4,87
376
5,89
6
0,80
758.036
1,82
374.484
2,84
90.123
3,86
9.137
4,88
362
5,90
5
0,81
754.903
1,83
370.700
2,85
88.508
3,87
8.894
4,89
350
5,91
5
0,82
751.748
1,84
366.928
2,86
86.915
3,88
8.656
4,90
337
5,92
5
0,83
748.571
1,85
363.169
2,87
85.344
3,89
8.424
4,91
325
5,93
5
0,84
745.373
1,86
359.424
2,88
83.793
3,90
8.198
4,92
313
5,94
5
0,85
742.154
1,87
355.691
2,89
82.264
3,91
7.676
4,93
302
5,95
4
0,86
738.914
1,88
351.973
2,90
80.757
3,92
7.760
4,94
291
5,96
4
0,87
735.653
1,89
348.268
2,91
79.270
3,93
7.549
4,95
280
5,97
4
0,88
732.371
1,90
344.578
2,92
77.804
3,94
7.344
4,96
270
5,98
4
0,89
729.069
1,91
340.903
2,93
76.359
3,95
7.143
4,97
260
5,99
4
0,90
725.747
1,92
337.245
2,94
74.934
3,96
6.947
4,98
251
6,00
3
0,91 0,92
722.405 719.043
1,93 1,94
333.598 329.969
2,95 2,96
73.529 72.145
3,97 3,98
6.756 6.569
4,99 5,00
242 233
0,93
715.661
1,95
326.355
2,97
70.781
3,99
6.387
5,01
224
0,94
712.260
1,96
322.758
2,98
69.437
4,00
6.210
5,02
216
0,95
708.840
1,97
319.178
2,99
68.112
4,01
6.037
5,03
208
0,96
705.402
1,98
315.614
3,00
66.807
4,02
5.868
5,04
200
0,97
701.944
1,99
312.067
3,01
65.522
4,03
5.703
5,05
193
0,98
698.468
2,00
308.538
3,02
64.256
4,04
5.543
5,06
185
0,99
694.974
2,01
305.026
3,03
63.008
4,05
5.386
5,07
179
1,00
691.462
2,02
301.532
3,04
61.780
4,06
5.234
5,08
172
1,01
687.933
2,03
298.056
3,05
60.571
4,07
5.085
5,09
165
175 126
Lampiran 29 Data analisis TPC Log TPC Sampel 1 2 3 Raw Material 4.43 3.96 3.711 In Process product 4.09 4.62 4.26 In Process product 4.81 5.05 5.15
Rata-rata(Log TPC) 4.14 4.38 4.85
Lampiran 30 Data analisis bakteri penghasil histamin Log TPC Rata-rata(Log Sampel 1 2 3 TPC) Raw Material 3.57 3.89 3.46 3.68 In Process product 3.7 3.78 3.63 3.7 End product 4.17 4.54 4.62 4.49 Lampiran 31 Data pengujian histamin Kadar histamin Sampel 1 2 3 Raw Material 1.30899414 1.098492 1.097316 In Process product 1.01746373 5.1921888 4.81705 End product 7.33354689 7.0688019 16.39269
Rata-rata(ppm) 1.168267 3.675567 10.26501
176 127
177 128
129 178
179 130
Lampiran 32 Dokementasi kegiatan penelitian
1. Kegiatan produksi PT X
2. Sistem higiene PT X a. Karyawan
b. Ruang proses
180 131
c. Penanganan limbah
d. Sanitasi
3. Pengujian produk di laboratorium