ANALISIS DAN DESAIN SISTEM INFORMASI UNTUK PENERAPAN DOKUMENTASI PROGRAM TRACEABILITY PADA RANTAI DISTRIBUSI PRODUK TUNA LOIN BEKU
ACHMAD RIZAL C34063302
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN
ACHMAD RIZAL. C34063302. Analisis dan Desain Sistem Informasi untuk Penerapan Dokumentasi Program Traceability pada Rantai Distribusi Produk Tuna Loin Beku. Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan BAMBANG RIYANTO. Dinamika perubahan gaya hidup manusia dalam mengkonsumsi pangan saat ini, memungkinkan dilakukannya transportasi bahan pangan dalam jumlah yang sangat besar ke bagian dunia manapun dan memungkinkan penyebaran penyakit karena mengkonsumsi bahan pangan (foodborne disease). Penolakan negaranegara importir terkait tingginya kadar histamin pada tuna, merupakan contoh kasus besar dalam perdagangan perikanan dunia saat ini. Konsep traceability telah disarankan sebagai salah satu sistem manajemen risiko dalam menjamin mutu dan keamanan pangan global dengan fokus utama dalam memudahkan pelacakan produk. Akan tetapi, dalam implementasinya belum terdapat metodologi spesifik yang dapat diacu oleh seluruh organisasi pangan, sehingga kajian mengenai sistem informasi untuk mendukung penerapan dokumentasi dalam program traceability pada industri perikanan menjadi sangat penting untuk dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat kerangka sistem informasi berbasis data elektronik untuk mendukung penerapan dokumentasi program traceability pada suatu industri pengolahan selama tahapan pendistribusian ikan tuna loin beku. Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi tiga tahapan utama. Langkah pertama adalah mempelajari, mendeskripsikan dan memverifikasi jaringan distribusi penanganan tuna. Langkah kedua berupa analisis praktek implementasi sistem traceability dan asesmen traceability pada jaringan distribusi penanganan tuna. Adapun langkah ketiga yaitu analisis dan desain sistem informasi traceability perusahaan (PT X) yang meliputi identifikasi kebutuhan sistem, pengembangan model traceability internal, pengembangan model untuk pertukaran informasi antar aktor yang terlibat dalam rantai distribusi tuna, dan terakhir adalah disain basis data. Aktor-aktor yang terlibat dalam rantai distribusi tuna antara lain kapal penangkap, transit, PT X, distributor dan retailer dimana dari masing-masing aktor yang terlibat, penting untuk diterapkannya sistem rekaman sebagai alat pemantauan dan sistem pengkodean sebagai alat identifikasi. Hasil analisis dan desain sistem informasi traceability menunjukkan bahwa dari masing-masing aktor yang terlibat dalam rantai distribusi tuna loin beku, memiliki hubungan yang saling terkait dalam penyediaan informasi traceability. Sebuah model untuk implementasi sistem traceability secara internal juga dikembangkan untuk unit pengolah ikan, sedangkan dalam pemodelan pertukaran informasi terlihat bahwa tidak semua informasi yang ada pada salah satu aktor diteruskan ke aktor lainnya dalam rantai distribusi. Sebagian informasi akan disimpan sebagai informasi internal aktor. Terakhir desain basis data yang dilakukan baru mencakup desain basis data untuk produk akhir yang terdiri dari 6 entitas utama yang saling berhubungan. Entitas-entitas tersebut diantaranya adalah kapal penangkapan tuna, supplier, bahan baku, produk, perusahaan, dan pelanggan.
ANALISIS DAN DESAIN SISTEM INFORMASI UNTUK PENERAPAN DOKUMENTASI PROGRAM TRACEABILITY PADA RANTAI DISTRIBUSI PRODUK TUNA LOIN BEKU
ACHMAD RIZAL C34063302
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
30
Judul
: Analisis dan Desain Sistem Informasi untuk Penerapan Dokumentasi Program Traceability pada Rantai Distribusi Produk Tuna Loin Beku
Nama
: Achmad Rizal
NRP
: C34063302
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Ir. Wini Trilaksani, M.Sc) NIP. 19610128 198601 2 001
(Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si) NIP. 19690631 199802 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil) NIP. 195805111985031002
Tanggal Lulus:……………………
30
PERYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul ”Analisis dan Desain
Sistem
Informasi
untuk
Penerapan
Dokumentasi
Program
Traceability pada Rantai Distribusi Produk Tuna Loin Beku” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada pihak manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2011
Achmad Rizal C34063302
30
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada : 1.
Ibu Ir. Wini Trilaksani S.Pi, M.Si dan Bapak Bambang Riyanto S.Pi, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
2.
Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim M.Sc selaku dosen penguji atas masukan dan pengarahannya untuk perbaikan skripsi ini.
3.
Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol sebagai Ketua Komisi Pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan.
4.
Bapak
Firman
Ardiansyah
yang
sangat
membantu
penulis
dalam
pengumpulan ide, penyusunan dan perbaikan untuk penyempurnaan penulisan skripsi ini. 5.
Bapak Hendra Sugandhi sebagai direktur utama PT X atas izin penelitian yang diberikan serta Bapak Nur Hadipitoyo sebagai Manajer Umum PT X atas bantuan, bimbingan dan kerjasamanya.
6.
Mama, Papa, Kak Agus, Hendra dan seluruh keluarga untuk dukungan yang diberikan baik dukungan moral maupun materiil yang telah diberikan pada penulis tanpa batas.
7.
Teman–teman THP 43 (Lovely Generation-LG 43), kakak dan adik kelas atas semangat kebersamaannya.
8.
Pajar and the genk (Bapak dan Ibu Kos (pak Sondhy dan Bu Yana), Boby, Wahyu, Puguh,Anjar, Ozzy, Alvin, Qori, Kiki, Samsul, Faruk, Irvan) yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
9.
My ”i26r” member (Aisha Putri Hapsari), terima kasih untuk semua spirit dan dorongan yang tiada hentinya kepada penulis selama berada di THP.
31
10. Teman-teman satu bimbingan: Wahyu, Ibnu, Ozi, Patmawati especially teman-teman seperjuangan di Muara Baru: Anggi dan Minal atas kebersamaan, dukungan dan semangat yang diberikan. 11. Mas Yayan, Mbak Nana, Mbak Uppy, Mbak Khom, Pak Eko, Mas Danuri, Mas Wisman, Pipit dan seluruh karyawan PT X atas perhatian, canda tawa, bantuan dan kerjasamanya. 12. IMulai Team - IndoTrace (Agus ‟Alay‟, Hendra ‟Jeki‟, Wiwik dan Anes) atas kebersamaannya dan motivasi yang sangat membantu penyelesaian skripsi ini. 13. Terakhir, kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Mei 2011
Penulis
32
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ampenan pada tanggal 07 Maret 1988 dari ayah bernama Jamaludin dan ibu bernama Nurhayati. Penulis
merupakan
anak
kedua
dari tiga
bersaudara. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di TK Yappi Raudhatul Jannah (tahun 1993-1994) dan SD Negeri 9 Ampenan (tahun 1994-2000), kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Mataram (tahun 2000-2003). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 5 Mataram (2003-2006). Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan diantaranya paduan suara FPIK (Endeavour) suara Tenor periode 2007-2008, sebagai Ketua Fisheries Processing Club (FPC) dua periode 2007-2008 dan periode 2008-2009. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan seperti staff Penanggung Jawab Keluarga MPKMB 2007, Ketua Bina Desa Fisheries Processing Club (FPC) 2008 dan Ketua SANITASI 2009. Penulis juga selalu mengikuti pelatihan-pelatihan seperti pelatihan ISO 22000:2005 on Fish and Fisheries Industries, pelatihan keamanan pangan dan lain sebagainya. Penulis juga memiliki keahlian menyelam jenjang One Star Scuba Diver bersertifikasi internasional. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor penulis melakukan penelitian yang berjudul ”Analisis dan Desain Sistem Informasi untuk Penerapan Dokumentasi Program Traceability pada Rantai Distribusi Produk Tuna Loin Beku”.
33
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................
xi
1
PENDAHULUAN ........................................................................................
1
1.1
Latar Belakang ......................................................................................
1
1.2
Tujuan ..................................................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
6
2.1
2
3
Tuna
..................................................................................................
6
2.1.1 2.1.2 2.1.3
Deskripsi dan klasifikasi ikan tuna (Thunnus sp.) .................... Tuna loin ................................................................................... Mutu dan kemunduran mutu ikan .............................................
6 8 11
2.2
Traceability ...........................................................................................
13
2.3
Sistem Informasi ...................................................................................
18
METODE PENELITIAN............................................................................
20
3.1
Tempat dan Waktu Penelitian...............................................................
20
3.2
Tahapan Penelitian ...............................................................................
20
3.2.1
Mempelajari, mendeskripsikan dan memverifikasi jaringan distribusi penanganan tuna yang memiliki kaitan dengan PT X .......................................................................... 3.2.2 Analisis dan asesmen terhadap praktek implementasi sistem traceability pada jaringan distribusi penanganan tuna yang berkaitan dengan PT X ............................................................. 3.2.2.1 Analisis praktek implementasi sistem traceability ...... 3.2.2.2 Asesmen praktek implementasi sistem traceability .... 3.2.3 Analisis dan desain atau perancangan sistem informasi untuk mendukung penerapan traceability pada rantai distribusi tuna loin beku ........................................................... 3.2.3.1 Identifikasi kebutuhan sistem ...................................... 3.2.3.2 Pengembangan model traceability internal ................. 3.2.3.3 Model pertukaran informasi traceability ..................... 3.2.3.4 Desain basis data ......................................................... 4
20
21 21 22
23 24 25 27 28
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................
30
4.1
Rantai Distribusi Ikan Tuna ..................................................................
30
4.2
Analisis Praktek Implementasi Sistem Traceability .............................
31
4.2.1
31
Analisis prosedur perekaman....................................................
34
4.2.2 4.2.3
Analisis manajemen perekaman ............................................... Analisis sistem pengkodean......................................................
4.3
5
Analisis dan Desain Sistem Informasi pada Rantai Distribusi Tuna ..................................................................................... 4.3.1 Identifikasi kebutuhan sistem ................................................... 4.3.2 Traceability internal ................................................................. 4.3.3 Pertukaran informasi traceability pada rantai distribusi tuna ........................................................................... 4.3.4 Desain basis data ...................................................................... 4.3.5 Arsitektur umum implementasi sistem informasi Traceability .............................................................. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................
36 38 41 41 45 52 59 63 65
5.1 Kesimpulan ..............................................................................................
65
5.2 Saran
..................................................................................................
65
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
66
GLOSSARY .........................................................................................................
71
LAMPIRAN .........................................................................................................
74
viii
35
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
1
Komposisi gizi beberapa ikan tuna per 100 gram daging .............................
8
2
Karakteristik kesegaran ikan secara organoleptik berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-4104.1-2006) ...................................................
11
3
Tahapan aktivitas penangkapan tuna di kapal dan penanganan di transit .....
32
4
Proses produksi tuna loin beku dan formulir rekaman yang digunakan .......
33
5
Entitas utama yang terdapat dalam basis data ...............................................
60
36
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
1
Ikan tuna (Thunnus sp) ...............................................................................
7
2
Skema traceability decision tree ................................................................
17
3
Model dasar sistem informasi ....................................................................
19
4
Skema traceability decision tree ................................................................
23
5
Tahapan perancangan sistem informasi .....................................................
24
6
Model use case diagram dan bagian-bagiannya ........................................
25
7
Model umum IDEFO .................................................................................
26
8
Penguraian model IDEFO (pengembangan sistem traceability internal tuna)............................................................................................................
27
9
Tipe interaksi pada sequence diagram .......................................................
28
10
Model sequence diagram yang digunakan pada penelitian .......................
28
11
Tahapan perancangan basis data ................................................................
29
12
Rantai distribusi ikan tuna ..........................................................................
30
13
Contoh kode produksi tahap pembelian-penimbangan akhir .....................
39
14
Contoh kode produksi pengemasan-stuffing pada master carton ..............
40
15
Use case diagram untuk sistem traceability pada rantai distribusi tuna beku ............................................................................................................
42
Teknik IDEFO untuk pengembangan traceability internal pada Unit Pengolahan Ikan (UPI) ...............................................................................
47
Teknik IDEFO untuk pengembangan dan penerapan sistem traceability pada UPI ................................................................................
51
18
Lokasi pengidentifikasian produk sistem traceability ...............................
52
19
Pertukaran informasi antar aktor yang terlibat pada rantai distribusi
16 17
tuna .............................................................................................................
55
Sequence diagram untuk pertukaran informasi ketika informasi tambahan mengenai produk yang diduga berbahaya diminta ....................
58
21
Entity relationship diagram dari basis data traceability ............................
62
22
Arsitektur umum implementasi sistem informasi traceability ...................
63
23
Contoh dokumen XML untuk pertukaran informasi ..................................
64
20
37
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1
Halaman
Log book penangkapan ikan dengan alat tangkap rawai tuna dan pancing ulur ................................................................................................
74
Tabel observasi kegiatan proses pembuatan tuna loin beku (data verifikasi) ...................................................................................................
75
3
Record of harvest vessel .............................................................................
77
4
Record of raw material receiving ..............................................................
78
5
Record of daily temperature.......................................................................
79
6
Chilling temperature report .......................................................................
80
7
Report of inspection product after trimming before freezing ....................
81
8
Freezing monitoring report ........................................................................
82
9
Daily report of packing and labelling ........................................................
83
10
Cold storage temperature report ...............................................................
84
11
Report of stuffing ........................................................................................
85
12
Hasil asesmen sistem traceability ..............................................................
86
2
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Isu mutakhir tentang permasalahan baru keamanan pangan dunia (new global food safety), saat ini sudah mulai mengarah kepada hambatan-hambatan teknis dalam perdagangan bebas (technical barrier to trade -TBT) (Wallace et al. 2011). Perkembangan penerapan yang cepat akan konsep sanitary and phytosanytary (SPS), telah menuntut akan adanya jaminan keamanan pangan, keteramanan akan kandungan zat gizi tertentu serta kelayakan dan standardisasi pengujian akan produk pangan yang dikonsumsi. Selain itu, perdagangan pangan dunia (global food trading) juga mengarah kepada dinamika perubahan gaya hidup manusia dalam mengkonsumsi pangan dari belahan dunia lainnya (Caswell 2000; Veen 2005; Thow et al. 2010; Wallace et al. 2011). Perubahan ini memungkinkan transportasi bahan pangan dalam jumlah yang sangat besar ke bagian dunia manapun dan memungkinkan timbulnya penyebaran penyakit karena mengkonsumsi bahan pangan (foodborne disease). Produk perikanan tuna juga tidak terlepas dari permasalahan global bahaya keamanan pangan tersebut. Penolakan negara-negara importir terkait dengan masalah tingginya kadar histamin, mewarnai peningkatan ekspor komoditas ini. Selama kurun waktu tahun 2006 sampai dengan tahun 2007 memperlihatkan data, bahwa dari total 30 kasus penolakan tuna di Uni Eropa bagi Indonesia, 11 kasus diantaranya disebabkan oleh kandungan histamin yang melebihi standar ambang batas 10 mg/100 gram daging atau 100 ppm (EC 2007). Food and Drugs Administration Amerika Serikat juga telah melaporkan bahwa telah terjadi 13 kasus penolakan tuna asal Indonesia tahun 2007 dan 7 kasus penolakan tuna selama tahun 2008, akibat kadar histamin yang melebihi ambang batas (FDA 2009). Selanjutnya Emborg et al. (2005) menyampaikan bahwa histamin saat ini merupakan masalah besar di dunia, dimana lebih dari 50 % semua kasus keracunan di Amerika dan Inggris disebabkan oleh faktor ini. Histamine fish poisoning merupakan gejala keracunan yang disebabkan mengkonsumsi ikan yang mutunya sudah rusak (spoiled) atau terkontaminasi bakteri. Umumnya kadar histamin telah melebihi ≥50 mg/100 g (Lehane dan
2
Olley 2000). Secara teoritis, histamin merupakan hasil dekarboksilasi histidin bebas oleh enzim histidin dekarboksilase dengan suhu optimum berkisar 25 oC (Keer et al. 2002). Ikan berdaging gelap, seperti dari famili scombroidae, umumnya memiliki kandungan histidin bebas yang tinggi. Kajian Lehane dan Olley (2000) menunjukkan bahwa kandungan histidin bervariasi mulai dari 1 g/kg pada ikan herring sampai 15 g/kg pada tuna. Selama proses kemunduran mutu, histidin bebas akan diubah menjadi histamin oleh bakteri penghasil histamin. Kajian Tao et al. (2009) tentang kandungan histamin pada Thunnus obesus menunjukkan bahwa terdapat dua jenis bakteri penghasil histamin, yaitu jenis Morganella morgani dengan suhu optimum 25 oC dan Photobacterium phosphoreum dengan suhu optimum 20 oC, sedangkan Lehane dan Olley (2000) menyatakan bahwa bakteri yang diduga dapat menghasilkan histamin pada level toksik untuk suhu diatas 7-10 oC adalah family Enterobacteriaceae seperti Enterobacter spp., Morganella morganii, Proteus spp. dan Raoultella spp. Sebagaimana umumnya produk perikanan yang sangat mudah rusak (highly perishable), ikan tuna juga memerlukan teknik penanganan rantai dingin yang cepat dan penanggulangan timbulnya risiko bahaya histamin pada level toksik (Keer et al. 2002). Kajian Guizaini et al. (2005) pada yellowfin tuna menunjukkan bahwa ikan yang disimpan pada suhu 0 oC
selama 17 hari,
memiliki kadar histamin yang lebih rendah dari standar FDA (5 mg/100 g) dibandingkan dengan ikan yang disimpan pada 8 oC selama 4 hari dan 40 oC selama 1 hari. Hal ini menunjukkan akan pentingnya penanganan tuna secara baik untuk mencegah timbulnya histamin. Masalah kesalahan penanganan saat di atas kapal misalnya, akan memberikan gangguan yang sangat besar pada proses produksi hilir (perdagangan retail) atau hingga ketika ikan tersebut dikonsumsi. Salah satu konsep dan instrumentasi mutu dan keamanan pangan yang disarankan untuk mendukung dan penjamin mutu makanan adalah pemberian informasi lengkap mengenai posisi suatu produk dan jalur distribusi yang ditempuh, sehingga memudahkan upaya pelacakan produk. Konsep ini disebut traceability system (Raspor 2005). Kajian McMeekin (2006) menunjukkan bahwa perhatian utama traceability dilandaskan pada kebutuhan untuk menarik produk
3
pangan dari pasar (recall procedures), terutama terhadap produk yang diduga memiliki potensi bahaya terhadap kesehatan manusia. Thakur dan Donnelly (2010) juga menyampaikan hal yang sama, dimana traceability dianggap sebagai alat manajemen risiko bagi suatu organisasi bisnis pangan untuk menarik kembali suatu produk yang diidentifikasi tidak aman. Masalah penarikan produk akan keamanan pangan ini telah memaksa timbulnya regulasi mengenai traceability, khususnya di negara Amerika dan Uni Eropa, bahkan pada General Food Law Regulation Uni Eropa (EC No. 178, artikel 18) telah diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2005. Regulasi-regulasi tersebut memperlihatkan elemen-elemen penting, termasuk aturan traceability dan penarikan produk berbahaya (recall procedures) yang terdapat di pasaran. ISO 22005 (2007) sebagai ketentuan standar yang dipakai secara luas di dunia, menyampaikan bahwa dalam suatu sistem traceability, organisasi minimal harus mampu mengidentifikasi siapa pemasoknya dan kepada siapa produk tersebut didistribusikan, dalam prinsip satu langkah ke depan (one step forward) dan satu langkah ke belakang (one step backward). ISO 22000 (2005) juga menyebutkan bahwa setiap organisasi atau industri harus membuat dan melaksanakan sistem traceability yang dapat mengidentifikasi unit produk dan kode batch produk yang menghubungkan rekaman bahan baku, proses dan distribusi. Namun, Folinas et al. (2006) menyampaikan bahwa dalam implementasinya belum ada metodologi mengenai traceability yang spesifik yang dapat diikuti oleh seluruh organisasi pangan. Suatu organisasi pangan bebas memilih mekanisme yang cocok untuk memastikan sistem traceability telah efisien untuk produk mereka. Folinas et al. (2006) selanjutnya menyampaikan bahwa secara teoritis, efisiensi dari suatu sistem traceability sangat tergantung dari kemampuan mengumpulkan informasi mengenai mutu dan keamanan dari suatu produk. Kajian Larsen (2003) memperlihatkan bahwa terdapat beberapa metode pengumpulan informasi untuk mendukung traceability, yaitu mulai dari media dokumen kertas hingga yang lebih kompleks berbasis teknologi informasi. Kajian Senneset et al. (2007) juga menunjukkan bahwa pengembangan sistem
4
traceability berbasis teknologi informasi di Food Standard Agency Inggris lebih efektif jika dibandingkan dengan sistem traceability berbasis dokumen kertas. Penerapanan traceability di industri perikanan, berdasarkan Larsen (2003) memperlihatkan praktek pendistribusian ikan pada industri perikanan seperti distribusi ikan segar sering mengalami pengemasan ulang (repacking) beberapa kali. Label baru diberikan setiap kali pengemasan ulang oleh pelaku atau organisasi yang berbeda. Hal ini menunjukkan kerumitan dalam penanganan informasi dalam rantai distribusi ikan tersebut. Guna mempermudah penanganan informasi, Larsen (2003) menyampaikan bahwa telah dibuat suatu ketentuan standar
traceability,
misalnya
yang
tercantum
dalam
tracefish
(http://www.tracefish.org). Konsep implementasi standar ini menggunakan sistem elektronik untuk mencapai tahapan penelusuran dari rantai distribusi (chain traceability) yang ada. Selanjutnya Folinas et al. (2007) menyampaikan bahwa standar tracefish menggunakan basis bahasa XML (extensible markup language), untuk memfasilitasi pertukaran informasi yang berhubungan dengan sistem traceability secara elektronik (electronic exchange) antara berbagai pihak atau organisasi dalam suatu rantai distribusi. Tracefish sendiri mengembangkan dua standar traceability produk perikanan yaitu standar untuk distribusi ikan hasil budidaya (farmed fish distribution chain) dan ikan hasil tangkapan (captured fish distribution chain). Akan tetapi hingga saat ini belum ada sistem traceability yang dibangun secara efektif di perusahaan eksportir perikanan Indonesia. Indonesia menghajatkan diterapkannya sistem ketertelusuran (traceability) bagi para pelaku usaha perikanan pada setiap mata rantai nilai produk perikanan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010 Bab II pasal 3 huruf C (KKP 2010). Pada peraturan ini tidak tertera metode spesifik untuk pelaksanaan sistem traceability. Melihat permasalahan tersebut, maka kajian mengenai sistem informasi untuk mendukung penerapan traceability, terutama dokumentasi pada industri perikanan sangat penting untuk dilakukan. Kajian tersebut nantinya diharapkan dapat dikembangkan dalam aplikasi perangkat lunak sistem traceability yang dapat diterapkan dalam suatu organisasi perikanan, terutama perdagangan tuna Indonesia di dunia.
5
1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisis dalam pembuatan kerangka sistem informasi berbasis data elektronik untuk mendukung penerapan dokumentasi program traceability internal perusahaan pengolahan pada rantai distribusi ikan tuna loin beku (tuna supply chain).
6
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuna Ikan tuna merupakan salah satu primadona komoditas ekspor produk perikanan Indonesia. Dalam statistik perikanan Indonesia, istilah tuna digunakan sebagai nama grup dari beberapa jenis ikan yang terdiri dari jenis tuna besar (Thunnus spp, seperti yellowfin tuna, big eye, southern bluefin tuna, dan albacore), dan jenis ikan mirip tuna (tuna-like species) seperti marlins, sailfish, dan swordfish. Skipjack tuna sering digolongkan sebagai cakalang, sedangkan istilah tongkol umumnya digunakan untuk jenis eastern little tuna (Euthynus spp.), frigate and bullet tuna (Auxis spp) dan longtail tuna (Thunnus tonggol) (Purnomo dan Suryawati 2007) 2.1.1
Deskripsi dan klasifikasi ikan tuna (Thunnus sp.) Klasifikasi ikan tuna (Thunnus sp.) menurut Collete dan Nauen (1983)
adalah sebagai berikut: Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Superclass
: Gnathostomata
Class
: Osteichthyes
Subclass
: Actinopterygii
Infraclass
: Teleostei
Superorder
: Acanthopterygii
Order
: Perciformes
Suborder
: Scombroidei
Family
: Scombridae
Subfamily
: Thunnini
Genus
: Thunnus (8 species) Katsuwonus (1 species) Euthynnus (3 species) Auxis (2 species) Ikan tuna termasuk famili Scombridae, tubuh ikan tuna berbentuk tegak,
memanjang dan fusiform (streamline) dengan dua buah sirip dorsal terpisah yang
7
memiliki satu jari-jari keras pada jari-jari pertamanya dan sirip kaudal berbentuk bulan sabit. Sirip ventral berukuran lebih kecil atau sama dengan sirip pektoral, serta terletak menjorok kebelakang dari dasar sirip pektoral. Seluruh ikan scombroids memiliki finlet dibelakang sirip dorsal dan sirip anal, serta sepasang caudal peduncle keel di tengah pangkal ekornya. Sirip dorsal pertama dan sirip anal pertama dapat melipat kedalam lipatan, sedangkan sirip pektoral dan sirip ventral menekan kedalam tubuh pada saat berenang dengan cepat. Ikan ini memiliki empat lekuk/lengkung insang pada setiap sisinya dan filamen insangnya mengeras sebagai “gill rays” (Collette dan Nauen 1983). Adapun bentuk tubuh spesies ikan tuna disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Ikan tuna (Thunnus Sp). Sumber : http://www.dkp.go.id
Ikan tuna merupakan ikan yang memiliki kemampuan berenang cepat dan melakukan migrasi sepanjang hidupnya (Shomura et al. 1991) sehingga dapat ditemukan di beberapa perairan, bahkan spesies tertentu dapat ditemukan hampir di seluruh perairan dunia. Kebiasaan ikan tuna untuk bermigrasi didukung oleh sistem metabolisme tuna yang dapat mengatur jumlah panas yang ada di dalam tubuh untuk mencapai kondisi biologis yang efektif (FAO 2010). Kemampuan metabolisme tuna untuk mengatur jumlah panas didalam tubuhnya dilakukan dengan Rete mirabile yang dapat memindahkan panas dari pembuluh darah vena ke pembuluh darah arteri untuk mengurangi pendinginan permukaan tubuh dan menjaga otot tetap hangat sehingga tuna mampu berenang lebih cepat dengan energi yang lebih sedikit (Block & Stevens 2001).
8
Tuna terdapat di berbagai perairan, terutama yang mempunyai kadar garam tinggi. Di Samudra Hindia penyebarannya meluas dari 30 o LS ke utara dan dari timur Australia hingga pantai Amerika. Di Samudra Atlantik meluas dari pantai Amerika hingga benua Afrika dan di Nusantara selain di kedua lautan tersebut terdapat di laut yang dalam diantaranya Laut Bali, Laut Flores, Laut Sawu, dan Laut Arafuru serta Laut Banda (Simonangkir 1993). Kajian mengenai komposisi kimia dan nilai gizi pada beberapa ikan tuna telah banyak dilakukan. Komposisi kimia dan nilai gizi antara tuna bluefin, yellowfin dan skipjack berdasarkan kajian Oehlenschlager dan Rehbein (2009) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi gizi beberapa ikan tuna per 100 gram daging Komposisi Kadar air Protein Total lemak Abu Energi Kalsium Magnesium Fosfor Potasium Sodium Seng Tembaga Selenium Iodin 20:5 (n-3) 22:6 (n-3) Kolesterol
Satuan gr gr gr gr kkal mg mg mg mg mg mg mg µg µg
gr gr mg
Bluefin 68 23 5 1,2 144 8 50 254 252 39 0,6 0,09 0,02 36 0,283 0,890 38
Spesies Tuna Yellowfin 71 23 15 1,3 168 16 50 191 444 37 0,52 0,06 0,02 36 0,037 0,181 45
skipjack 71 22 1 1,3 103 29 4 222 407 37 0,82 0,09 0,02 36 0,071 0,185 47
Sumber: Oehlenschlager dan Rehbein (2009)
2.1.2
Tuna loin Tuna Loin beku adalah produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku
tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan, penyiangan atau tanpa penyiangan, pencucian, pembuatan loin, pengulitan dan perapihan, sortasi mutu, pembungkusan (wrapping), pembekuan, penimbangan, pengepakan, pelabelan, dan penyimpanan (Badan Standardisasi Nasional 2006).
9
Penanganan dan pengolahan ikan Tuna Loin berdasarkan ketentuan SNI 014104.3-2006 meliputi: 1)
Penerimaan Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hatihati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar) atau -180C (untuk bahan baku tuna beku).
2)
Penyiangan atau tanpa penyiangan Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar) atau -180C (untuk bahan baku tuna beku).
3)
Pencucian 1 (khusus yang menggunakan bahan baku segar). Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar) atau -180C (untuk bahan baku tuna beku).
4)
Pembuatan loin Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar) atau -180C (untuk bahan baku tuna beku).
5)
Pengulitan dan perapihan Tulang, daging merah dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pengulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu produk 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar) atau -18 0C (untuk bahan baku tuna beku).
6)
Sortasi mutu Sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat tulang, duri, daging merah dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan
10
secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar). 7)
Pembungkusan Loin yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual vakum dan tidak vakum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar).
8)
Pembekuan Loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku (freezer) hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal –18 °C dalam waktu maksimal 4 jam (untuk bahan baku tuna segar). Loin dengan bahan baku tuna beku dibekukan dengan cara disusun dalam pan pembeku, lalu dibekukan dengan freezer hingga suhu pusat ikan mencapai –18 °C secara tepat.
9)
Penimbangan Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18 °C.
10)
Pengepakan Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter.
11)
Pengemasan Produk akhir dikemas dengan cepat, cermat secara saniter dan higienis, pengemasan dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya kontaminasi dari luar terhadap produk.
12)
Pelabelan dan pemberian kode Setiap kemasan produk tuna loin beku yang akan diperdagangkan agar diberi tanda dengan benar dan mudah dibaca, mencantumkan bahasa yang dipersyaratkan disertai keterangan jenis produk; berat bersih produk; nama dan alamat lengkap unit pengolahan secara
lengkap; bila ada bahan
11
tambahan lain diberi keterangan bahan tersebut; tanggal, bulan, dan tahun produksi; dan tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa. 13)
Penyimpanan Penyimpanan tuna loin beku dalam gudang beku (cold storage) dengan suhu maksimal -25 oC dengan fluktuasi suhu ±2 oC. Penataan produk dalam gudang beku diatur sedemikian supa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat merata dan memudahkan pembongkaran.
2.1.3
Mutu dan kemunduran mutu ikan The International Organization for Standarization 9000:2000 (ISO
9000:2000) mendefinisikan mutu sebagai derajat dari serangkaian karakteristik produk dan jasa yang memenuhi kebutuhan atau harapan yang dinyatakan. Dalam bidang perikanan mutu identik dengan kesegaran ikan. Kesegaran ikan berkaitan dengan semua total karakteristik produk yang baru dipanen dengan ciri tidak rusak, tidak menunjukkan tanda pembusukan, tetap memiliki sifat karakteristik spesies hidup baik dalam bentuk utuh, fillet atau potongan (Bremner dan Sakaguchi 2000). Bahan baku yang baik dan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-4104.2-2006) harus memiliki karakteristik kesegaran secara organoleptik seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik kesegaran ikan secara organoleptik berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-4104.2-2006) Indikator Karakteristik Rupa
Bersih
Kenampakan
Mata cerah, cemerlang
Bau
Segar
Tekstur
Elastis, padat dan kompak
Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2006)
Untuk mempertahankan mutu ikan segar, bahan baku harus secepatnya diolah. Apabila terpaksa harus menunggu proses lanjutan maka ikan harus disimpan dengan penyimpanan dingin atau penampungan dengan suhu produk maksimal 5 oC, saniter dan higienis (SNI 01-2729.3-2006).
12
Kemunduran mutu ikan didasarkan tiga mekanisme yaitu proses autolisis oleh enzim, oksidasi, dan pertumbuhan mikroba (Ghaly et al. 2010). Perubahan utama yang terjadi pada kemunduran mutu ikan adalah kerusakan dari protein dan lemak (Mahmoud et al. 2006). Huss (1995) menyatakan bahwa pada penurunan kualitas ikan selama penyimpanan, pembusukan periode penyimpanan awal didominasi oleh proses autolisis dan digantikan oleh perubahan akibat aktivitas bakteri pada periode selanjutnya. Menurut Haard (1992) pada daging ikan terdapat beberapa enzim protease seperti katepsin, tripsin, kemotripsin, dan peptidase yang bekerja pada otot selama postmortem. Perubahan pada daging ikan sebagai hasil reaksi ini dapat menguntungkan kondisi untuk perkembangbiakan bakteri. Setelah ikan mati, pasokan oksigen ke jaringan otot akan terganggu karena darah tidak lagi dipompa oleh jantung dan tidak disirkulasikan melalui insang. Karena tidak ada oksigen yang tersedia untuk respirasi normal, produksi energi dari nutrisi sangat dibatasi. Glikogen (karbohidrat yang disimpan) atau lemak akan teroksidasi oleh enzim pada jaringan dalam serangkaian reaksi yang akhirnya menghasilkan karbon dioksida (CO2), air dan senyawa kaya energi organik adenosin trifosfat (ATP). Jenis respirasi berlangsung dalam dua tahap: secara anaerob dan aerob yang tergantung pada kandungan oksigen (O2) yang tersedia dalam sistem peredaran darah (Huss 1995). Autolisis pada prinsipnya adalah reaksi enzimatik, yang berlangsung di jaringan ikan. Enzim dan reaksi kimia dalam otot ikan yang terkait tidak langsung terhenti setelah kematian ikan. Kelanjutan aktivitas enzim memulai proses lainnya seperti rigor mortis, yang merupakan dasar untuk pembusukan autolisis pada ikan (Huss 1995). Tahap rigor mortis pada ikan ditandai dengan penurunan pH dikarenakan pemecahan glikogen menjadi asam laktat (Green 2011). Degradasi nukleotida pada daging ikan setelah mati telah diteliti selama puluhan tahun dan dianggap sebagai salah satu indeks utama untuk menilai kesegaran ikan. Setelah ikan mati, ATP akan terdegradasi oleh enzim endogenous yang menyebabkan pembentukan berturut-turut adenosin-5'-difosfat (ADP), adenosin-5'-monophosphate (AMP), inosin-5'-monophosphate (IMP), inosin (Ino atau HxR) dan hipoksantin (Hx) yang degradasi ke xanthine (X) dan uric acid (U). Degradasi ATP sampai IMP sangat cepat, tetapi degradasi IMP relatif lambat,
13
IMP dominan terakumulasi dalam otot ikan. Reaksi ini diyakini sebagai proses autolisis. Degradasi ATP sampai IMP secara umum dikaitkan dengan enzim yang terdapat pada daging ikan sedangkan perubahan IMP menjadi Ino dan HX dikaitkan dengan pertumbuhan bakteri (Surette et al. 1988). Selama proses kemunduran mutu pada ikan tuna, segera setelah ikan mati dan selama proses autolisis akan terbentuk histamin dari hasil dekarboksilasi histidin bebas oleh enzim histidin dekarboksilase dengan suhu optimum berkisar 25 oC (Keer et al. 2002). Enzim pemecah karboksil dapat berasal dari tubuh ikan sendiri, namun sebagian besar enzim tersebut dihasilkan oleh mikroba yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain yang mengkontaminasi (Keer et al. 2002). Kimata (1961) pada mulanya menduga bahwa pembentukan histamin disebabkan karena proses autolisis, namun ternyata peranan proses autolisis terhadap pembentukan histamin sangat kecil dan diabaikan jumlahnya, jika dibandingkan jumlah histamin yang terbentuk karena proses dekarboksilasi oleh bakteri. Bakteri pembentuk histamin kebanyakan dari famili Enterobacteriaceae yang jenisnya sangat banyak, namun yang paling berperan dalam dekarboksilasi histidin adalah Morganella morganii, Klebsiella pneumonia, dan Hafnia alvei. Bakteri ini dapat ditemukan pada hampir semua jenis ikan, kemungkinan besar hasil kontaminasi pasca panen. Bakteri penghasil histamin ini tumbuh baik pada suhu 10 oC, tetapi dapat juga tumbuh pada 5 oC. Oleh karena itu, Food and Drug Administration (FDA) menetapkan bahwa batas kritis suhu untuk pertumbuhan histamin adalah 4,4 oC. Bakteri penghasil histamin ini memproduksi enzim dekarboksilase yang akan mengubah histidin bebas pada daging ikan menjadi histamin dan amin biogenik lain seperti putresin (dari ornitin), kadaverin (dari lisin), dan spermidin dan spermin (dari arginin) (Lehane dan Olley 2000). Toksisitas histamin bertambah ketika ada amin biogenik lain yang ikut dikonsumsi seperti putresin dan kadaverin (Rossi et al. 2002). 2.2 Traceability Codex Alimentarius (CAC/GL 60-2006) menyatakan bahwa traceability adalah kemampuan untuk mengikuti pergerakan dari makanan selama tahap proses produksi dan distribusi. The International Organization for Standarization
14
9000:2000 (ISO 9000:2000) mendefinisikan traceability sebagai kemampuan untuk menelusuri sejarah, aplikasi, atau lokasi dari hal dibawah pertimbangan, dan catatan yang dapat menghubungkan produk dengan asal bahan dan sejarah proses produk, serta distribusi produk. General Food Law Regulation 178/2002 Uni Eropa pada artikel 3 nomor 15 mendefinisikan traceability sebagai kemampuan menelusuri makanan atau pakan atau bahan baku produksi makanan atau pakan, dalam setiap tahap proses produksi dan distribusi. Masalah keamanan pangan pada masa perdagangan global saat ini telah memaksa timbulnya regulasi mengenai traceability (Senneset dan Foras 2007). Berbagai regulasi tentang sistem jaminan keamanan pangan dan traceability telah tersedia di berbagai negara. Uni Eropa General Food Law Regulation (EC 178, klausul 18) telah diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2005. Regulasi ini mencakup elemen penting seperti aturan traceability dan penarikan produk berbahaya (Recall Procedures) yang terdapat di pasaran. Aturan ini menyatakan bahwa traceability didefinisikan sebagai kemampuan untuk menelusuri produk, pakan, bahan yang digunakan untuk konsumsi melalui semua tahapan produksi, pengolahan dan distribusi produk (Official Journal of the European Communities 2002). Amerika sejak peristiwa 11 September telah pula mengeluarkan The US Public Health Security and Bioterrorism Preparedness and Response Act pada tahun 2002. Regulasi ini memberikan kekuasaan bagi FDA (Food and Drugs Administration) melakukan perlindungan terhadap keamanan pangan nasional dengan melakukan berbagai langkah, salah satu diantaranya adalah pembuatan dan pemeliharaan rekaman (record keeping) untuk kepentingan traceability (Thakur dan Hurburgh 2009). ISO 22005 (2007) sebagai ketentuan standar yang dipakai secara luas di dunia, menyampaikan bahwa dalam suatu sistem traceability, organisasi minimal harus mampu mengidentifikasi siapa pemasoknya dan kepada siapa produk tersebut didistribusikan, dalam prinsip satu langkah ke depan (one step forward) dan satu langkah ke belakang (one step backward). ISO 22000 (2005) juga menyebutkan bahwa setiap organisasi atau industri harus membuat dan melaksanakan sistem traceability yang dapat mengidentifikasi unit produk dan
15
kode batch produk yang menghubungkan rekaman bahan baku, proses dan distribusi. Penerapan traceability dalam industri pengolahan dapat dijelaskan melalui beberapa tahap, yakni analisis sistem, asesmen traceability, prosedur penarikan produk, dan dokumentasi dan perekaman (Derrick dan Dillon 2004). Berikut adalah penjelasan tiap-tiap tahapan: A. Analisis sistem Analisis sistem merupakan langkah pertama dalam mengembangkan sistem traceability yaitu melakukan analisis prosedur-prosedur yang ada dalam industri pengolahan ikan untuk menetapkan elemen apa yang telah ada dan dan memastikan langkah kunci dalam pengembangan sistem telah teridentifikasi. Secara umum menganalisis sistem produksi yang diterapkan perusahaan sebagai langkah kunci dalam penerapan sistem traceability. Analisis tersebut (Derrick dan Dillon 2004) terdiri atas: 1) Membuat tim manajemen Tindakan awal dalam pengembangan sistem traceability adalah membuat tim manajemen. Penting bagi perusahaan menunjuk seseorang yang memiliki kemampuan untuk memimpin tim, memiliki pengetahuan mengenai traceability, dan memiliki posisi penting dalam kegiatan produksi. 2) Membuat diagram tahapan proses produksi. Tahapan proses produksi yang dimaksud dimulai dari tahap pengadaan bahan baku (raw material) hingga pemuatan produk akhir di dalam kontainer. 3) Membuat prosedur identifikasi Prosedur identifikasi disusun berpatokan pada diagram alir proses produksi yang telah dibuat. Pembuatan prosedur identifikasi bertujuan untuk menentukan format alat-alat dokumentasi serta menetukan pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap rekaman tersebut. 4) Melakukan perekaman pada setiap tahapan proses produksi. Perekaman pada tiap tahap proses bertujuan mengidentifikasi dan merekam setiap hal yang berhubungan dengan produk baik pekerja, lingkungan, bahan tambahan pada produk, dan hal-hal lain yang diperlukan.
16
5) Verifikasi Verifikasi merupakan bagian penting dalam sistem perekaman terutama sebagai alat konfirmasi dengan manajemen tingkat atas. B. Asesmen traceability Asesmen
traceability
merupakan
sebuah
kegiatan
menentukan
kemampuan suatu prosedur dan perekaman mendukung penerapan sistem traceability di unit pengolahan. Asesmen traceability di unit pengolahan dilakukan dengan menggunakan traceability decision tree. Traceability decission tree diawali dengan menjawab pertanyaan pada masing-masing proses produksi secara berurutan (Derrick dan Dillon 2004) yang meliputi : 1) Identifikasi prosedur dan rekaman perusahaan yang menyangkut traceability. Apabila dokumen dalam tiap proses yang dibutuhkan untuk menjamin traceability tidak ada, maka prosedur harus dimodifikasi. 2) Identifikasi apakah kode pengenal batch yang dicatat berdasarkan hubungan data proses dengan masing-masing batch. 3) Identifikasi apakah kode pengenal batch dipindahkan dengan produk ke tahap selanjutnya. Apabila jawaban semua pertanyaan tersebut adalah tidak, maka perlu dilakukan perubahan rekaman atau prosedur untuk memperbaiki pelaksanaan traceabiliy selama di dalam industri. Diagram alir metode traceability decision tree dapat dilihat pada Gambar 2.
17 Q1 Tindakan yang diperlukan : Membuat rekaman pada tahap ini
Apakah pada tahap ini dibuat rekaman ?
ya Q1a ya tidak
Apakah rekaman diperlukan untuk menelusuri produk ?
Q2 Apakah kode batch diikutsertakan dalam rekaman ?
tidak
Tindakan yang diperlukan : Memodifikasi rekaman termasuk kode batch
tidak
Tindakan yang diperlukan : Mengembangkan metode termasuk kode batch
ya
Q3
Apakah kode batch pada produk diikutsertakan pada tahapan proses selanjutnya ?
ya Lanjut ke tahap selanjutnya
Gambar 2 Skema traceability decision tree (Derrick dan Dillon 2004). C. Prosedur penarikan produk (recall) Prosedur penarikan produk (recall) akan terlihat manfaatnya pada saat suatu produk diketahui mengandung bahaya oleh pihak yang bersangkutan yaitu penjual atau pembeli. Jika demikian, maka produk akan ditarik dari peredaran maupun dari tahapan proses produksinya. Adapun prosedur recall produk terdiri atas: 1) Membuat tim manajemen recall produk 2) Membuat file produk yang dikomplain 3) Mencatat pihak yang melaporkan komplain 4) Menelusuri rantai produk 5) Menelusuri rekaman persediaan dan distribusi produk 6) Membuat tata cara penarikan produk yang memungkinkan 7) Mencatat penarikan produk 8) Evaluasi dan merancang penarikan produk yang lebih efektif 9) Uji coba rencana penarikan
tidak
18
D. Dokumentasi dan perekaman Setelah semua tahapan penerapan sistem traceability dilakukan, kegiatan selanjutnya adalah mendokumentasikan serangkaian kegiatan yang telah dilakukan sebagai arsip apabila kelak dibutuhkan perusahaan. Rekaman mutu mewakili bukti bahwa prosedur mutu yang diharuskan telah diterapkan pada produk dan jasa yang ditentukan. Rekaman harus dalam keadaan sah, mudah diidentifikasi, dan mudah ditemukan. Pembentukan divisi pada perusahaan yang spesifik menangani masalah traceability sangat direkomendasikan. 2.3 Sistem Informasi Sistem adalah seperangkat unsur-unsur yang terdiri dari manusia, alat, konsep dan prosedur yang dihimpun menjadi satu untuk maksud dan tujuan bersama (Davis 1992). Sedangkan menurut Dengen dan Hatta (2009) sistem adalah sekumpulan elemen yang dalam sebuah jaringan yang bekerja secara teratur dalam satu kesatuan yang bulat dan terpadu untuk mencapai sebuah tujuan atau sasaran tertentu. Suatu sistem dapat terdiri dari sistem-sistem bagian (subsistem). Misalnya, sistem komputer terdiri dari subsistem perangkat keras dan perangkat lunak. Masing-masing subsistem dapat terdiri dari subsistem yang lebih kecil lagi. Subsistem-subsistem tersebut saling berinteraksi dan berhubungan membentuk satu kesatuan sehingga tujuan atau sasaran sistem tersebut dapat tercapai (Amirin 2003). Model umum sebuah sistem terdiri dari masukan, pengolah, penyimpanan dan keluaran. Hal ini tentu saja sangat sederhana karena sebuah sistem mungkin memiliki beberapa masukan dan keluaran. Informasi merupakan data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat dalam mengambil keputusan saat ini atau mendatang (Davis 1992). Sedangkan sistem informasi adalah kumpulan atau susunan yang terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak serta tenaga pelaksananya yang bekerja dalam sebuah proses berurutan dan secara bersama-sama saling mendukung untuk menghasilkan suatu produk (Dengen dan Hatta 2009). Model dasar sebuah sistem informasi dapat dilihat pada Gambar 3.
19 Penyimpanan
Data
Informasi
Pengolahan
Gambar 3 Model dasar sistem informasi (Davis 1992). Sistem informasi memiliki perhatian khusus terhadap pengumpulan, penyimpanan, analisis dan mendapatkan kembali (retrieval) data. Dalam konteks manajemen keamanan pangan hal-hal tersebut sangat penting untuk mendukung pengambilan keputusan dalam kerangka waktu yang singkat dan berpotensi memungkinkan pengambilan keputusan yang harus dibuat secara real time (McMeekin et al. 2006). Saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan telah mendorong timbulnya ketertarikan pada sistem elektronik bagi chain traceability. Salah satu contohnya ketertarikan akan sistem yang mampu memfasilitasi komunikasi antara sistem bisnis dan bekerja secara terintegrasi sebagai bagian dari manajemen produksi. Dalam hal ini, sistem traceability berperan sebagai perlindungan merk dagang (brand protection) melalui penyediaan informasi seperti asal bahan mentah yang digunakan, rekaman sepanjang proses produksi (processing hystory) dan informasi terkait lainnya (McMeekin et al. 2006). Dengan menggunakan sistem elektronik untuk melakukan traceability sepanjang rantai distribusi (chain traceability), informasi hanya akan dimasukkan sekali tidak ditulis setiap kali bahan mentah diproses, dikemas atau dikemas ulang. Hal ini dapat mengurangi kesalahan dan penghematan waktu pada beberapa tahapan dalam rantai distribusi (Frederiksen et al. 2002; Larsen 2003). Info-Fisk project (Frederiksen et al. 2002), melakukan kajian pada rantai distribusi ikan segar dan mendemonstrasikan bahwa sistem berbasis internet (internet-based)
mampu
menyediakan
kemampuan
traceability
secara
keseluruhan sejak penangkapan, pengumpul, pelelangan, grosir dan penjualan terakhir pada supermarket. Sistem ini menggunakan barcode sebagai media identifikasi produk dan XML (Extensible Markup Language) untuk transfer informasi berbasis internet antar operator bisnis.
20
3 METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di perusahaan pengolahan ikan tuna PT X, yang terletak pada kawasan Pelabuhan Perikanan Samudra Muara Baru, Jakarta Utara. Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah bulan Agustus-September 2010. 3.2 Tahapan Penelitian Penelitian ini mencakup evaluasi sistem dokumentasi rantai distribusi penanganan tuna yang memiliki kaitan dengan PT X dan dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu: 1. Mempelajari,
mendeskripsikan
dan
memverifikasi
jaringan
distribusi
penanganan ikan tuna yang memiliki kaitan dengan PT X, sebagai mata rantai industri pengolahan tuna loin. 2. Melakukan analisis dan asesmen terhadap praktek implementasi sistem dokumentasi program traceability pada jaringan distribusi penanganan tuna yang memiliki kaitan dengan PT X. Pelaksanaan penerapan dokumentasi program traceability meliputi prosedur perekaman, manajemen perekaman dan sistem pengkodean. Adapun asesmen yang dilakukan menggunakan traceability decission tree, untuk memastikan keperluan tahapan terhadap proses ketelusuran. 3. Analisis dan desain pengembangan sistem informasi dalam jaringan rantai distribusi
tuna
untuk
pelaksanaan
penerapan
dokumentasi
program
traceability. Kegiatan pelaksanaan pengembangan sistem informasi yang dilakukan meliputi identifikasi kebutuhan sistem, pengembangan model traceability internal, pengembangan model untuk pertukaran informasi antar aktor (pihak-pihak) yang terlibat dalam rantai distribusi tuna, dan terakhir adalah desain basis data. Secara lengkap masing-masing tahapan tersebut adalah : 3.2.1 Mempelajari, mendeskripsikan dan memverifikasi jaringan distribusi penanganan tuna yang memiliki kaitan dengan PT X. 1)
Mempelajari jaringan rantai distribusi tuna yang berkaitan dengan PT X mulai dari penangkapan hingga ekspor.
21
2)
Pembuatan jaringan rantai distribusi tuna.
3)
Verifikasi dan presentasi jaringan rantai distribusi tuna di PT X. Verifikasi dan presentasi dilakukan dengan konsultasi dan diskusi kepada QC dan manajer umum PT X.
3.2.2 Analisis dan asesmen terhadap praktek implementasi sistem dokumentasi program traceability pada jaringan distribusi penanganan tuna yang berkaitan dengan PT X Analisis sistem merupakan langkah pertama dalam mengembangkan sistem dokumentasi program traceability yaitu melakukan analisis prosedur-prosedur yang ada dalam industri pengolahan ikan tuna untuk menetapkan elemen apa yang telah ada dan memastikan langkah kunci dalam pengembangan sistem telah teridentifikasi. Sedangkan asesmen traceability merupakan sebuah kegiatan menentukan kemampuan suatu prosedur dan perekaman mendukung penerapan sistem traceability di unit pengolahan. 3.2.2.1 Analisis praktek implementasi sistem traceability Analisis sistem traceability yang dilakukan menggunakan data primer maupun data sekunder berupa prosedur-prosedur yang diperoleh di industri penanganan dan pengolahan tuna. Inventarisasi data primer dilakukan secara langsung di lapangan melalui wawancara dan observasi. Sedangkan data sekunder melalui studi pustaka, analisis dokumen, serta informasi dari instansi terkait. Data yang diperoleh di evaluasi kesesuaiannya dengan mengacu pada standar aturan yang berlaku di Uni Eropa (EC No. 178/2002) maupun Amerika (Bioterrorism Act 2002) sebagai negara tujuan ekspor, selain itu juga mengacu kepada standar internasional, Codex Alimentarius Commission (CAC/GL 60-2006) mengenai prinsip traceability sebagai alat untuk inspeksi makanan dan sistem sertifikasi dan The International for Standarization seperti sistem manajemen keamanan pangan ISO 22000. Analisis sistem traceability menurut Derrick dan Dillon (2004) meliputi : 1) Analisis prosedur perekaman proses produksi Analisis prosedur perekaman disusun berpatokan pada diagram alir proses produksi tuna loin beku masing-masing aktor. Pada tahap ini, semua informasi yang berkaitan dengan produk sepanjang proses produksi dipastikan telah didokumentasikan.
22
2) Analisis manajemen perekaman Analisis manajemen perekaman dilakukan meliputi semua ruang lingkup traceability yaitu Supplier traceability, Process traceability dan Customer traceability. 3) Analisis sistem pengkodean Analisis sitem pengkodean dilakukan untuk melihat bagaimana perusahaan memberikan kode identifikasi pada suatu produk dan menjaga keutuhan kode bersama dengan informasi yang terkandung di dalamnya sepanjang proses produksi. Masing-masing analisis diatas dilakukan di seluruh tahap penanganan dan pengolahan yang terjadi di rantai distribusi tuna loin. 3.2.2.2 Asesmen praktek implementasi sistem traceability Tahap selanjutnya adalah melakukan asesmen terhadap praktek implementasi sistem dokumentasi program traceability. Asesmen sistem dokumentasi program traceability adalah penentuan kemampuan prosedur perekaman dan kegiatan perekaman di unit pengolahan yang mampu mendukung penerapan sistem traceability. Metode yang digunakan mengacu pada konsep traceability decision tree (Derrick dan Dillon 2004). Traceability Decision Tree diawali dengan pertanyaan pada masing-masing proses produksi secara berurutan yang meliputi : 4) Identifikasi prosedur dan dokumen perusahaan yang menyangkut traceability. Apabila dokumen dalam tiap proses yang dibutuhkan untuk menjamin traceability tidak ada, maka prosedur harus diganti. 5) Identifikasi apakah kode pengenal suatu batch (batch identification codes) yang dicatat berdasarkan hubungan data proses dengan masing-masing batch. 6) Identifikasi apakah kode pengenal suatu batch (batch identification codes) dipindahkan dengan produk ke tahap selanjutnya. Apabila jawaban semua pertanyaan tersebut adalah tidak, maka perlu dilakukan perubahan prosedur pencatatan untuk memperbaiki pelaksanaan traceabiliy selama di dalam industri. Diagram alir metode traceability decision tree dapat dilihat pada Gambar 4.
23
Q1 Tindakan yang diperlukan : Membuat rekaman pada tahap ini
Apakah pada tahap ini dibuat rekaman ?
ya Q1a ya tidak
Apakah rekaman diperlukan untuk menelusuri produk ?
Q2 Apakah kode nomor lot diikutsertakan dalam rekaman ?
tidak
Tindakan yang diperlukan : Memodifikasi rekaman termasuk nomor lot
Q3 Apakah kode nomor lot pada produk diikutsertakan pada tahapan proses selanjutnya ?
tidak
Tindakan yang diperlukan : Mengembangkan metode termasuk kode nomor lot
Melanjutkan ke tahap selanjutnya
Gambar 4 Skema Traceability Decision Tree (Derrick dan Dillon 2004). 3.2.3 Analisis dan desain atau perancangan sistem informasi untuk mendukung penerapan traceability pada rantai distribusi tuna loin beku Konsep desain atau perancangan sistem informasi berbasis teknologi informasi mengacu pada Thakur dan Hurburgh (2009). Tahapan perancangan sistem informasi dilakukan untuk memberikan gambaran tentang Unit Pengolahan Ikan, dalam hal ini PT X dan kaitannya dengan supplier (pemasok) maupun konsumennya (buyer). Tahapan ini dilaksanakan dalam 4 (empat) aktivitas atau kegiatan yaitu identifikasi kebutuhan sistem, pengembangan model traceability internal, desain model untuk pertukaran informasi antar aktor (pihak-pihak) yang terlibat dalam rantai distribusi tuna, dan terakhir adalah desain basis data. Skematis tahapan pelaksanaan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.
tidak
24
Identifikasi kebutuhan sistem
Pengembangan model traceability internal
Desain model untuk pertukaran informasi antara aktor yang terlibat dalam sistem
Desain basis data Gambar 5 Tahapan perancangan sistem informasi (mengacu Thakur dan Hurburgh 2009). 3.2.3.1 Identifikasi kebutuhan sistem Identifikasi kebutuhan sistem merupakan langkah pertama dari analisis dan desain sistem informasi untuk mendukung implementasi dokumentasi program traceability pada rantai distribusi ikan tuna. Tahapan identifikasi kebutuhan sistem bertujuan memenuhi dan menyelaraskan antara berbagai kebutuhan dari seluruh aktor yang terlibat. Pelaksanaan identifikasi kebutuhan sistem meliputi penentuan dari pihakpihak (aktor) yang terlibat dalam rantai distribusi tuna. Batasan terhadap pihakpihak (aktor) dalam penelitian ini adalah aktor yang terkait dengan PT X, baik pihak supplier maupun pihak yang menerima produk akhir hasil produksi dari perusahaan. Secara umum aktor-aktor yang terlibat dengan PT X adalah kapal penangkap ikan, tempat pendaratan ikan (transit), unit pengolah ikan (PT X), grosir (wholesalers), dan retailer. Selanjutnya dari aktor-aktor yang terlibat dibuat interaksinya dalam bentuk gambar model sistem traceability dari rantai distribusi tuna. Gambar model tersebut menggunakan model diagram use case yang mengacu pada Lee dan Xue (1999). Diagram use case ini membantu menjelaskan mengenai hubungan antara aktor dengan setiap use case dalam sistem traceability rantai distribusi tuna yang ada (Gambar 6).
25
Sistem traceability rantai distribusi tuna
Use case Aktor
Use case
Aktor
Aktor Use case
Aktor Use case Aktor
Keterangan: Sistem
Aktor
Garis penghubung
Use case
Batasan sistem
Gambar 6 Model use case diagram dan bagian-bagiannya. 3.2.3.2 Pengembangan model traceability internal Langkah selanjutnya adalah pengembangan model traceability internal. Traceability internal memiliki peranan yang sangat penting dalam traceability secara keseluruhan (chain traceability). Traceability internal dikembangkan sebagai dasar bagi pengembangan pertukaran informasi pada chain traceability tuna. Traceability internal yang baik akan memudahkan dalam pelacakan produk secara keseluruhan dalam suatu rantai distribusi. Pengembangan
model
traceability
internal
dikembangkan
dengan
menggunakan teknik Integrated Definition Modelling (IDEF0) yang mengacu IDEF0 (1993). Teknik Integrated Definition Modelling (IDEF0) menerangkan mengenai masukan (input), keluaran (output), kontrol (control) dan mekanisme (mechanisms) dari suatu proses (Gambar 7). Model ini dapat disusun secara
26
hierarki dalam bentuk struktur pohon (tree stucture), yaitu berupa sub proses-sub proses dari proses utama (parent process). Kontrol
Masukan
NAMA PROSES
Keluaran
Mekanisme
Gambar 7 Model umum IDEF0. Langkah pertama dari teknik IDEF0 adalah mengidentifikasi fungsi (proses) utama. Proses utama pada penelitian ini adalah pengembangan sistem traceability internal pada UPI (Unit Pengolahan Ikan) tuna. Setelah mengetahui proses utama maka dilakukan pendefinisian input (sesuatu yang dapat digunakan dari suatu proses untuk menghasilkan suatu output), kontrol (kondisi atau prinsip atau batasan yang dibutuhkan sehingga suatu proses dapat menghasilkan output), mekanisme (bagaimana suatu proses direalisasikan) dan output (data atau obyek yang dihasilkan dari suatu proses) dari proses utama tersebut. Input dan kontrol dipilih secara teoritis mengacu pada standar ISO 22005 : 2007, sedangkan mekanisme dan untuk mencapai output yang diinginkan mengacu pada Thakur dan Humburgh (2009). Input pada penelitian ini adalah regulasi, karakteristik produk dan harapan konsumen dengan acuan standar ISO 22005 : 2007. Mekanisme yang digunakan adalah standar industri, personal dan prosedur-prosedur yang ada, sedangkan output yang ingin dihasilkan adalah dokumentasi proses produksi, sertifikat yang divalidasi, jaminan kualitas keamanan pangan, kepuasan konsumen dan pemenuhan regulasi yang berlaku. Langkah selanjutnya dari teknik IDEF0 ini adalah menguraikan proses utama menjadi sub proses-sub proses. Penguraian proses utama ini dibagi menjadi 5 tahap dimana output dari suatu tahapan merupakan input bagi tahapan yang lain (Thakur dan Humburgh 2009). Kelima tahapan tersebut adalah untuk melihat rencana sistem traceability, penerapan traceability, evaluasi pelaksanaan sistem, validasi sistem dan perawatan sistem (Gambar 8).
27
Kontrol
Menentukan Rencana Sistem Traceability
Penerapan /Implementasi Traceability
Masukan
Evaluasi Pelaksanaan Sistem
Keluaran Validasi Sistem
Perawatan Sistem
Mekanis me
Gambar 8 Penguraian model IDEF0 (pengembangan sistem traceability internal tuna). 3.2.3.3 Model pertukaran informasi traceability Model pertukaran informasi pada rantai distribusi tuna (tuna supply chain) dibuat untuk menggambarkan informasi apa saja yang harus disimpan dan dipertukarkan
dalam
rantai
distribusi.
Langkah
yang
dilakukan
untuk
memodelkan pertukaran informasi dibagi menjadi tiga bagian yang mengacu pada Thakur dan Hurburgh (2009). Langkah pertama adalah memodelkan aliran produk tuna dan aliran informasinya yang terlihat dari gambar rantai distribusi tuna beku. Dari gambar tersebut akan terlihat aktivitas-aktivitas yang terjadi pada suatu produk tuna dan informasi-informasi yang sebaiknya diteruskan oleh masing-masing aktor sepanjang jalur distribusinya. Langkah selanjutnya adalah menggambarkan pertukaran informasi ketika salah satu aktor meminta informasi tambahan terhadap suatu produk yang diduga berbahaya menggunakan sequence diagram mengacu pada Pender (2002). Sequence diagram mengilustrasikan bagaimana suatu obyek berinteraksi dengan obyek lainnya (interaksi antar obyek). Tipe interaksi pada sequence diagram dapat dilihat pada Gambar 9, sedangkan model sequence diagram yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10.
28
Pesan yang membutuhkan tanggapan
Tanggapan dari suatu pesan
Gambar 9 Tipe interaksi pada sequence diagram. Sumber: Pender 2002
Aktor
Aktor
Kirim data produk
Aktor
Aktor
Kirim data produk Kirim data produk Pesan tambahan Pesan tambahan
Pesan tambahan Tanggapan pesan tambahan Tanggapan pesan tambahan Tanggapan pesan tambahan
Gambar 10 Model sequence diagram yang digunakan pada penelitian. Langkah terakhir adalah memfasilitasi bagaimana suatu data/informasi dipertukarkan antar aktor dalam suatu rantai distribusi. Hal ini dapat dilakukan menggunakan XML (Extensible Markup Language) (Folinas et al. 2007). XML merupakan bahasa yang digunakan untuk memfasilitasi pertukaran informasi yang berhubungan dengan sistem traceability secara elektronik (electronic exchange) antara berbagai pihak atau organisasi dalam suatu rantai distribusi. 3.2.3.4 Desain basis data Penggunaan basis data pada sistem traceability perusahaan bertujuan untuk mengurangi adanya program data dependence, duplikasi data dan keterbatasan berbagi informasi yang direpresentasikan menggunakan entity relationship diagram (ERD). ERD merupakan suatu diagram yang dapat menunjukkan cara data dan informasi akan disimpan di dalam basis data beserta hubungan antar data. Bagian yang digunakan untuk membangun suatu entity relationship diagram adalah entitas (entity), atribut, dan hubungan/relasi antar entitas (relationship) mengacu pada Hoffer et al. (2002). Tahapan-tahapan dalam dalam melakukan desain basis data dapat dilihat dari Gambar 11.
29
Tahap I: Koleksi & analisis persyaratan
Tahap II: Rancangan konseptual
Persyaratan Data
Rancangan skema eksternal & konseptual (terlepas dari DBMS)
Persyaratan Proses
E-R model Definisi entitas
Rancangan Transaksi Data
Tahap III: Pemilihan DBMS
Tahap IV: Rancangan logikal
Tahap V: Rancangan fisik
Tahap VI: Implementasi
Rancangan skema eksternal & konseptual (sesuai dengan DBMS terpilih)
Rancangan program aplikasi Definisi: tabel, index, view, jalur, akses, format penyimpanan
Rancangan skema internal (sesuai dengan DBMS terpilih)
Penyusunan program aplikasi
Pembangunan Basis Data
Operasional program aplikasi
Gambar 11 Tahapan perancangan basis data (Elmasri dan Navathe 1994). Langkah yang digunakan pada penelitian ini hanya sampai pada tahap 2. Persyaratan data (tahap 1) berisikan data-data yang dibutuhkan untuk pengembangan basis data yaitu sesuai dengan data-data proses produksi tuna beku di perusahaan. Rancangan konseptual basis data (tahap 2) menghasilkan skema konseptual dari basis data yang bebas dari DBMS (database management system) tertentu. Dalam hal ini digunakan pemodelan ERD (Entity Relationship Diagram) menggunakan program microsoft office visio 2007.
30
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Rantai Distribusi Ikan Tuna Rantai produksi perikanan khususnya untuk ikan hasil tangkapan bisa sangat panjang dan melibatkan banyak pihak. Secara umum, rantai distribusi ikan hasil tangkapan melibatkan berbagai aktor (pihak) antara lain kapal penangkap ikan, tempat pendaratan ikan (vessel landing businesses) dan tempat pelelangan ikan, unit pengolah, perusahaan pengangkutan, grosir (wholesalers), dan retailer (CEN 14660:2003). Dalam suatu rantai distribusi ikan beberapa pihak atau seluruh pihak dalam standar tersebut dapat terlibat. Rantai distribusi tuna (tuna supply chain) di PT X di mulai dari hasil tangkapan tuna oleh nelayan didistribusikan untuk dibongkar muat di pelabuhan (transit). Pada bagian transit ikan tuna yang masuk disortir secara organoleptik oleh checker untuk dibedakan berdasarkan mutunya, yaitu: ikan tuna dengan mutu A, B, C, dan D. Hasil sortir mutu ikan tuna sebagian akan diekspor langsung ke Jepang, sedangkan bagian lainnya akan dijual kepada Unit Pengolahan Ikan (UPI) dan pasar lokal. Rantai distribusi tuna ini dapat dilihat pada Gambar 12. Transportasi
Kapal
Distributor
Retailer
Transit UPI
Transportasi
Distributor Retailer
Pasar Lokal
Gambar 12 Rantai distribusi ikan tuna. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 12. Kapal penangkap ikan melakukan penangkapan ikan tuna yang kemudian didaratkan dan dijual ke pihak transit. Pihak transit melakukan penjualan ikan tuna yang masuk ke berbagai pihak mulai dari melakukan kegiatan ekspor secara langsung maupun melakukan penjualan kepada pihak UPI (PT X) dan pasar lokal. Ikan tuna segar dengan mutu A dan B di ekspor utuh (whole) ke Jepang menggunakan pesawat terbang sebagai alat transportasinya, ikan tuna ini nantinya akan digunakan sebagai bahan baku
31
untuk pembuatan sushi dan sashimi. Untuk ikan tuna dengan mutu C dan D, dijual kepada pihak UPI yang tersebar di muara baru dengan spesifikasi ukuran (size) 16 up (16-19 kg), 20 up (20-29 kg) dan 30 up (lebih dari 30 kg) untuk diolah menjadi produk diversifikasi tuna. Produk hasil diversifikasi tuna kemudian di transportasikan menggunakan kapal untuk di ekspor ke pihak importir (grosir), untuk selanjutnya didistribusikan kepada konsumen akhir oleh pihak retailer. Selanjutnya, ikan tuna yang tidak masuk spesifikasi untuk ekspor maupun spesifikasi UPI, akan dijual oleh pihak transit ke pasar lokal. 4.2 Analisis Praktek Implementasi Sistem Traceability Analisis traceability dilakukan pada aktor yang terlibat dalam rantai distribusi tuna loin beku yang berkaitan dengan PT X meliputi analisis prosedur perekaman, analisis manajemen perekaman dan analisis sistem pengkodean. Aktor yang terlibat antara lain Kapal Penangkap Tuna, Transit, PT X, dan Wholesaler (Distributor) dan Retailer. Namun untuk tahap analisis ini hanya dibatasi hingga pihak wholesaler saja. 4.2.1 Analisis prosedur perekaman Analisis prosedur perekaman dilakukan pada tiap-tiap aktor (pihak) yang terlibat dan bertujuan untuk memastikan semua informasi yang berkaitan dengan produk
sepanjang
penanganan
dan
proses
produksi
dipastikan
telah
didokumentasikan.
1) Kapal penangkap tuna dan transit Analisis prosedur perekaman proses penangkapan ikan tuna diawali dari penangkapan hingga bongkar muat dan penanganan ikan di darat. Tahap analisis dapat dilihat pada Tabel 3.
32
Tabel 3 Tahapan aktivitas penangkapan tuna di kapal dan penanganan di transit. No Nama tahapan kegiatan 1 Penangkapan* 2 Penanganan di kapal*
3
Bongkar muat dan penanganan di darat**
Aktivitas meliputi Kegiatan penangkapan Teknik mematikan tuna Pembuangan darah Pembuangan insang dan isi perut Pencucian Penyimpanan (on-board storage) Pembongkaran Pengangkutan atau pemindahan Penanganan: - Pemeriksaan dan sortasi - Pembersihan - Pengemasan - Pengangkutan dan pengiriman
Sumber: * Blanc et al. (2005) ** SNI 01-2729.3-2006
Tabel 3 menunjukkan aktivitas-aktivitas yang secara umum terjadi selama kegiatan penangkapan hingga penanganan di darat pada kapal penangkap ikan dan tempat transit ikan. Kegiatan perekaman juga sebaiknya meliputi aktivitasaktivitas tersebut. Secara umum rekaman selama penangkapan dapat dilihat pada log book penangkapan ikan tuna menggunakan alat tangkap rawai tuna dan pancing ulur (Lampiran 1), sedangkan rekaman untuk pihak transit disesuaikan dengan
aktivitas
selama
bongkar
muat
dan
penanganan
hingga
ikan
didistribusikan ke aktor selanjutnya. Deskripsi detail dari informasi yang dibutuhkan dapat dilihat pada standar tracefish CEN 14460 (2003).
2) PT X Analisis prosedur perekanan proses produksi tuna loin beku dilakukan pada setiap tahap proses produksi di PT X. Tahap analisis dimulai dari tahap pembelian hingga tahap pengisian (stuffing) dimana aktivitas yang dilakukan selama proses produksi dapat dilihat pada Lampiran 2 sedangkan rekaman dapat dilihat pada Tabel 4.
33
Tabel 4 Proses produksi tuna loin beku dan formulir rekaman yang digunakan. No Nama tahapan kegiatan 1 Pembelian (purchasing) 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Penerimaan bahan baku Pencucian I Penyimpanan sementara Pencucian II Penimbangan I Pemotongan kepala Pembentukan loin (loining) Pembuangan kulit, daging gelap dan duri Penimbangan II Pembungkusan sementara Pemberian gas CO Pendinginan (chilling) Sortasi mutu Perapihan (retouching) Penimbangan III Pembungkusan Pemvakuman Penyusunan Pembekuan Penimbangan IV Pengemasan dalam master carton dan pelabelan Penyimpanan Pengisian (stuffing)
Rekaman Tally sheet of purchasing, Record of harvest vessel Report of raw material receiving Record of daily temperature Record of daily temperature Record of daily temperature Record of daily temperature Record of daily temperature Record of daily temperature Record of daily temperature Record of daily temperature Record of daily temperature Chilling temperature report Record of daily temperature Report of inspection product after trimming before freezing Record of daily temperature Record of daily temperature Record of daily temperature Record of daily temperature Freezing monitoring report Record of daily temperature Daily report of packing and labelling Cold storage temperature report Report of stuffing
Pembelian (purchasing) Selama proses pembelian staf bagian produksi PT X mencatat pembelian dalam tally sheet tentang no batch, size, tanggal pembelian, nama kapal, nomor transit, dan nama supplier. Pada proses pembelian juga didapat informasiinformasi tentang penangkapan dan penanganan ikan tuna selama di kapal maupun di transit yang dicatat oleh staf produksi PT X dalam record of harvest vessel (Lampiran 3) yang meliputi tanggal pembelian, berangkat dan berlabuh kapal, area penangkapan, metode penangkapan, pendinginan dan penanganan, uji organoleptik, penyortiran, nama penyortir dan pengirim.
34
Penerimaan bahan baku Pada tahap penerimaan ikan tuna didapatkan rekaman yang berisi informasi mengenai suhu pusat ikan, berat ikan, tanggal penerimaan, kode pemasok, nomor batch, uji organoleptik (bau, tekstur dan warna) yang dicatat dalam record of raw material receiving oleh quality control (QC). Record of raw material receiving dapat dilihat pada Lampiran 4. Pencucian I Selama proses pencucian I dilakukan pencatatan suhu ruang yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Penyimpanan sementara Selama proses penyimpanan sementara dilakukan pencatatan suhu ruang yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Pencucian II Selama proses pencucian II dilakukan pencatatan suhu ruang yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Penimbangan I Selama proses penimbangan I dilakukan pencatatanhasil penimbangan yang dicatat dalam telly sheet of weighting. Pemotongan kepala Selama proses pemotongan kepala dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Pembentukan loin (loining) Selama proses pembentukan loin dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Pembuangan kulit, daging gelap dan duri Selama proses pembuangan kulit, daging gelap dan duri dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Penimbangan II Selama proses penimbangan II dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).
35
Pembungkusan sementara Selama proses pembungkusan sementara dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Pemberian gas CO Pada proses pemberian gas CO, pencatatan baik suhu ruang maupun suhu ikan tidak dilakukan. Pendinginan (chilling) Selama
proses
pendinginan
dilakukan
pencatatan
suhu
chilling
(sekitar -4 oC hingga 0oC) yang dicatat dalam chilling temperature report (Lampiran 6). Sortasi mutu Selama
proses
sortasi
mutu
dilakukan
pencatatan
suhu
ruang
(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Perapihan (retouching) Selama proses perapihan dilakukan pencatatan terhadaphasil pemeriksaan loin terhadap benda asing, misalkan tulang, kulit, daging merah atau pengotor lain, yang dicatat dalam report of inspection product after trimming before freezing (Lampiran 7). Sedangkan suhu ruang selama perapihan sekitar 20oC dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Penimbangan III Selama proses penimbangan III dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Pembungkusan Selama
proses
pembungkusan
dilakukan
pencatatan
suhu
ruang
o
(sekitar 20 C) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Pemvakuman Selama
proses
pemvakuman
dilakukan
pencatatan
suhu
ruang
(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Penyusunan Selama proses penyusunan dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20 oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).
36
Pembekuan Selama proses pembekuan dilakukan pencatatan alat Air Blast Freezer (ABF) (-40oC) yang dicatat dalam freezing monitoring report (Lampiran 8). Penimbangan IV Selama proses penimbangan IV dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Pengemasan dalam master carton dan pelabelan Selama proses pengemasan dan pelabelan dilakukan perekaman yang meliputi jenis produk, no batch, kualitas kemasan vakum, berat bersih, kualitas pengemasan dan label. Perekaman ini dicatat dalam daily report of packing and labelling (Lampiran 9). Penyimpanan Selama proses penyimpanan dilakukan pencatatan suhu cold storage yaitu sekitar -20 oC dipantau oleh staf QC 1 jam sekali dalam cold storage temperature report (Lampiran 10). Pengisian (stuffing) Selama proses pengisian dilakukan pencatatan suhu dalam kontainer yaitu sekitar -20 oC dipantau setiap jam oleh staf QC, kode produksi, jenis dan jumlah produk dalam report of stuffing (Lampiran 11).
3) Wholesaler Analisis prosedur perekaman bagi aktor wholesaler dilakukan berdasarkan standar tracefish (CEN 14460:2003). Prosedur perekaman meliputi identitas wholesaler, kemudian identitas, sumber dan control suhu dari tiap unit produk yang diterima, sejarah proses produksi unit produk dan tujuan dari unit produk dipasarkan. 4.2.2 Analisis manajemen perekaman Menurut Notermans dan Beumer (2003) dalam Derrick dan Dillon (2004) perekaman dilakukan pada semua ruang lingkup traceability, yaitu Supplier traceability, Process traceability dan Customer traceability. Kajian Larsen (2003) memperlihatkan bahwa terdapat beberapa metode untuk melakukan perekaman
37
yaitu mulai dari media dokumen kertas hingga yang lebih kompleks berbasis teknologi informasi. Sistem perekaman produk tuna loin yang dihasilkan oleh PT X berdasarkan ruang lingkup telah terbagi menjadi tiga, yaitu Supplier traceability yang dilakukan oleh pihak transit PT Samudra Agung Permai, Process traceability oleh PT X dan Customer traceability oleh importir dari Amerika. Perekaman di tahap supplier berisi informasi-informasi tentang metode penangkapan dan penanganan ikan selama di kapal dan transit. Rekaman tersebut dicatat dalam record of harvest vessel (Lampiran 3) oleh staf produksi PT X, yang meliputi tanggal pembelian, berangkat dan berlabuh kapal, area penangkapan, metode penangkapan, pendinginan dan penanganan, uji organoleptik, penyortiran, nama penyortir dan pengirim. Informasi suhu setiap ikan dalam satuan derajat celcius ketika pendaratan ikan dari kapal tertera dalam record of harvest vessel, akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak dilakukan perekaman suhu ketika di transit karena asumsi supplier ikan masih dalam keadaan setengah beku dengan suhu sekitar 0 oC akibat pendinginan RSW (Refrigerated Sea Water) di dalam palka kapal dan waktu penanganan di transit tidak memakan waktu lama (30-45 menit) serta suhu ruang transit yang rendah (sekitar 20oC). Suhu yang tertera dalam record of harvest vessel dalam kenyataannya adalah suhu pusat ikan ketika sampai di perusahaan. Meskipun pendaratan ikan dari kapal tidak membutuhkan waktu yang lama dan kondisi ikan relatif dalam keadaan setengah beku akan tetapi rekaman suhu ikan selama di transit dan selama di palka kapal tetap dibutuhkan untuk menjamin kualitas ikan tuna mulai dari proses penangkapan sampai pendaratan di transit. Sistem perekaman produksi tuna loin beku di PT X dilakukan secara berurutan pada setiap tahapan proses, mulai dari pembelian sampai dengan pengisian produk akhir untuk di ekspor. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terdapat tahapan produksi penting yang tidak dilakukan perekaman oleh pihak perusahaan, yaitu pemberian gas CO (karbon monoksida). Hal ini dapat dilihat dari asesmen sistem traceability tuna loin pada Lampiran 12. Pada tahap pemberian gas CO bahan baku tuna loin tidak ada perekaman dari staf quality control maupun dari staf lainnya. Pemberian gas CO dilakukan
38
pada daging dalam kemasan plastik dengan penanda batch di suatu ruang khusus yang terpisah dengan ruang lainnya. Gas CO yang diberikan hanya diatur tekanan gas saja tanpa memperhitungkan volume atau kuantitasnya, selain itu juga tidak memperhatikan mutu daging yang akan diberi gas CO atau antara mutu daging yang berbeda-beda cenderung mendapat pemberian gas dengan volume yang sama. Akibat proses yang kurang tepat tersebut, setelah pemberian gas CO dan pendinginan terkadang masih ditemukan beberapa produk yang tidak memenuhi standar kriteria warna daging yang ditetapkan sehingga harus dilakukan pemberian ulang gas CO. Adanya ruang proses khusus, perlakuan gas CO dan terkadang waktu tunggu proses yang lama dari tahapan ini serta potensi kegagalan proses akibat standard operational procedur (SOP) yang kurang lengkap maka diperlukan rekaman tersendiri yang berbeda dengan rekaman dari tahap proses sebelumnya atau sesudahnya. Rekaman yang lengkap pada proses pemberian gas CO akan memudahkan dalam melakukan penelusuran (traceback) apabila suatu saat dilakukan penarikan produk (withdrawl atau recall). Rekaman proses pemberian gas CO seharusnya meliputi waktu proses, kode batch loin, suhu ruang, tekanan gas dan volume gas yang dipakai, jenis, ukuran dan kualitas loin. Tahapan terakhir untuk melakukan perekaman secara internal oleh perusahaan adalah ketika produk telah siap untuk di ekspor yaitu dilakukan pada proses stuffing atau pengisian kontainer. Perekaman ini dicatat di report of stuffing (Lampiran 11), yang meliputi suhu kontainer, kode produksi, jenis dan jumlah produk. Perekaman selanjutnya adalah customer traceability yang dilakukan oleh pihak pengimpor, yaitu pada waktu produk telah sampai di port of entry negara pengimpor. Pihak pengimpor menginformasikan tentang kondisi produk kepada pengekspor setelah dilakukan proses pengiriman produk melalui jalur laut dengan estimasi waktu pengiriman selama 1-2 bulan. 4.2.3 Analisis sistem pengkodean Salah satu kunci sukses dalam penerapan sistem traceability adalah pemberian kode identifikasi (batch) pada suatu produk dan menjaga keutuhan kode bersama dengan informasi yang terkandung di dalamnya sepanjang proses produksi (Derrick dan Dillon 2004). Sistem pengkodean untuk traceability produksi tuna pada pihak Transit menggunakan plastik warna-warni yang
39
diikatkan pada ekor ikan tuna. Masing-masing warna pada plastik mewakili tingkat mutu, dimana tingkat mutu telah disortir terlebih dahulu oleh checker. Ikan tuna dengan mutu A diberi plastik berwarna merah, mutu B diberi plastik berwarna biru, mutu C plastik berwarna kuning dan terakhir mutu D diberi plastik berwarna hitam. Sistem pengkodean untuk traceability produksi tuna loin beku di PT X menggunakan dokumen kertas (paper based) dimana kode bacth diikutsertakan bersama produk sepanjang proses produksi. Cara ini lebih praktis digunakan karena perusahaan dapat mengubah kode setiap hari atau setiap shift (Morrison 2003) Pengkodean di PT X dibagi menjadi dua, yaitu pengkodean tahap pembelian sampai tahap penimbangan akhir (penimbangan IV) dan pengkodean tahap pengemasan sampai pemuatan (stuffing). Pengkodean pada tahap pembelian-penimbangan akhir menggunakan selembar kertas atau plastik pembungkus produk yang dituliskan kode produk. Kode produk terdiri dari 2 huruf dan 3 angka dimana kode ini akan berubah menjadi kode produksi pada pengkodean tahap pengemasan sampai stuffing. Digit pertama merupakan kode tempat perusahaan produksi, digit ke-2 sampai ke-4 merupakan nomor urut penerimaan bahan baku yang dimulai dari 001 sampai 999, digit ke-5 merupakan kode asal supplier bahan baku. Contoh kode produksi tahap pembelian-penimbangan akhir dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Contoh kode produksi tahap pembelian-penimbangan akhir. Pada tahap pengemasan-stuffing kode produksi dari tahap pembelianpenimbangan diterjemahkan menjadi kode produksi. Kombinasi huruf dan angka sebanyak 5 digit diubah menjadi huruf seluruhnya. Digit ke-2, ke-3 dan ke-4 yang semula angka diubah menjadi huruf dengan metode penyandian yaitu SEA PRODUCT dimana S=0, E=1, A=2, P=3, R=4, O=5, D=6, U=7, C=8, dan T=9. Kode produksi dicetak pada kedua sisi master carton sebagai kode identifikasi proses tuna loin. Contoh kode produksi tahap pengemasan-stuffing dapat dilihat pada Gambar 14.
40
Gambar 14 Contoh kode produksi pengemasan-stuffing pada master carton. Kode yang diterapkan di PT X cukup singkat, mudah dibaca dan mempunyai ciri khusus akan tetapi kode tersebut tidak dapat menunjukkan jenis produk yang lebih spesifik. Satu kode yang sama dipakai untuk beberapa macam produk hasil perikanan yang dihasilkan oleh perusahaan. Sehingga tidak ada perbedaan antara kode tuna loin dengan kode produk lain, misalnya tuna steak. Hal ini dapat menyulitkan pihak tim traceability apabila suatu saat dilakukan proses recall product. Apabila dalam suatu proses dengan sumber bahan baku yang sama dihasilkan bermacam-macam produk maka seharusnya dilakukan pengkodean khusus ketika proses bahan baku mengalami pemisahan (splitting). Kode yang sama pada produk yang berbeda mengakibatkan perusahaan tidak dapat mengidentifikasi atau menelusuri rekaman produksi dengan tepat. Hal ini terjadi karena masing-masing produk mempunyai tahap proses dan waktu produksi berbeda. Kode baru yang lebih spesifik atau tambahan pada kode sebelumnya (kode bahan baku) seharusnya diberikan pada masing-masing produk yang dihasilkan perusahaan. Pengkodean pada pihak wholesaler dilakukan menggunakan label kertas dengan barcode yang ditempelkan pada kotak pengemas produk. Pengemasan ulang dilakukan di pihak ini dimana barcode ditempelkan pada produk yang dikemas ulang setelah dibeli dari PT X. Sistem pengkodean hanya diketahui oleh pihak wholesaler dimana pengkodean dimaksudkan untuk memudahkan penjualan produk. Pengkodean yang lebih spesifik untuk mengidentifikasi produk dapat dilakukan menggunakan EAN.UCC sistem (Europan Article Numbering system) yaitu GS1 identification number yang telah digunakan di seluruh dunia sebagai standar sistem pengkodean. Sistem ini dapat menggunakan berbagai macam
41
media seperti barcode maupun RFID (Radio Frequency Identification) (GS1 2011). Perbedaan antara paper based system dengan barcode system atau RFID adalah ketepatan dan kemudahan manajemen data. Paper based system memindahkan kode bacth bersamaan dengan produk sepanjang proses produksi sedangkan barcode dan RFID dapat menghubungkan masing-masing kode bacth (dalam suatu basis data) pada tiap proses, tempat ikan atau rekaman dengan cara mengidentifikasi barcode atau RFID (Derrick dan Dillon 2004). 4.3 Analisis dan Desain Sistem Informasi pada Rantai Distribusi Tuna Tahapan analisis dan desain sistem informasi dilakukan untuk memberikan gambaran tentang Unit Pengolahan Ikan yaitu PT X dan kaitannya dengan supplier (pemasok) maupun konsumennya (buyer) yang terdiri dari empat tahap. 4.3.1 Identifikasi kebutuhan sistem Identifikasi kebutuhan sistem dilakukan untuk menganalisis kebutuhan informasi pengguna terhadap sistem yang akan dikembangkan yang kemudian menentukan informasi apa saja yang yang akan disampaikan pada sistem (O‟Brien dan Marakas 2006). Regattieri et al. (2007) juga mengatakan bahwa syarat dasar melakukan desain sistem traceability adalah menentukan informasi yang dibutuhkan untuk melakukan suatu penelusuran. Kategori informasi yang sebaiknya disimpan oleh tiap-tiap aktor yang terlibat dalam suatu rantai distribusi meliputi; informasi tentang produk, informasi proses dan informasi mengenai kualitas produk (Thakur dan Donnelley 2010). Identifikasi kebutuhan sistem dilakukan menggunakan use case diagram untuk menggambarkan fungsionalitas yang diharapkan dari sebuah sistem dalam hal ini adalah sistem traceability. Hal yang ditekankan adalah “apa” yang diperbuat sistem, dan bukan “bagaimana”. Sebuah use case merepresentasikan sebuah interaksi antara aktor dengan sistem (Dharwiyanti dan Wahono 2003). Use case diagram rantai distribusi tuna dapat dilihat pada Gambar 15.
42
Sistem traceability rantai distribusi tuna beku Dokumen Cara Penanganan Ikan
Sertifikat Hasil Tangkapan Kapal Pemenuhan Regulasi Keamanan Pangan
Dokumen proses produksi (Processing Practices)
Transit Ikan
UPI/PT X Sertifikasi HACCP
Sertifikasi Produk (Health Certificate)
Retailer
Dokumen Jalur Distribusi Produk
Wholesaler
Gambar 15 Use case diagram untuk sistem traceability pada rantai distribusi tuna loin beku (Modifikasi Thakur dan Hurburgh 2009). Gambar 15. Menunjukkan use case diagram untuk sistem traceability pada rantai distribusi tuna yang terlibat dengan PT X. Berdasarkan gambar tersebut didefinisikan beberapa aktor seperti kapal penangkap ikan, transit ikan, UPI (PT X), grosir (wholesaler) dan retailer yang terlibat pada system traceability rantai distribusi tuna beku. Informasi apa saja yang dibutuhkan untuk melakukan suatu penelusuran digambarkan dalam sebuah use case (dilambangkan dengan bentuk elips), diantaranya: Dokumen Cara Penanganan Ikan : Para pihak yang terlibat dalam sistem (aktor) harus mendokumentasikan segala sesuatu kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas penanganan ikan, baik sejak penangkapan, penyimpanan maupun proses produksi. Persayaratan-persyaratan dalam penanganan ikan di bagian produksi perikanan tangkap, produksi kapal penangkap dan
43
pengangkut ikan, tempat pendaratan ikan, unit pengolahan ikan dan lain-lain terkait dengan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan tertera dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2007 tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi. Contoh: informasi mengenai apakah ikan tuna segera disiangi setelah ikan ditangkap, bagaimana suhu ikan dan suhu ruangan selama penyimpanan, metode penyimpanan ikan, dan lainlain. Sertifikat Hasil Tangkapan : Sertifikat hasil tangkapan merupakan persyaratan bagi produk perikanan hasil tangkapan dari laut (termasuk produk olahan) yang dapat masuk pasar Uni Eropa (UE). Sertifikat ini merupakan landasan awal untuk melakukan traceability dan juga merupakan upaya menegakkan peraturan/ketentuan penanggulangan illegal, unreported and unregulated fishing (IUU Fishing) yang diatur oleh Komisi Eropa bagi negara-negara yang akan melakukan ekspor hasil tangkapan laut (termasuk produk olahan) ke pasar Uni Eropa dan diterapkan oleh Indonesia. Sertifikat ini membuktikan bahwa produk perikanan yang akan diekspor merupakan hasil tangkapan dari kegiatan yang memenuhi ketentuan pengelolaan/konservasi perikanan (KKP 2009). Aturan mengenai sertifikat hasil tangkapan tertera dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.28/MEN/2009. Contoh: informasi/data yang diperlukan untuk mengisi/melengkapi sertifikat, diisi pada log book yang diwajibkan Kementrian Kelautan dan Perikanan yang tertera
dalam
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
PER.18/MEN/2010 tentang Log Book Penangkapan Ikan. Memenuhi Regulasi Keamanan Pangan : Adalah menjadi hak importir untuk menetapkan persyaratan mutu bagi produk yang diimpor ke negaranya untuk menjamin
dan
melindungi
keselamatan
dan
kepuasan
konsumen
(Purnomo 2007). Mengaplikasikan sistem traceability berarti mengharuskan para aktor yang terlibat dalam sistem untuk menunjukkan bahwa produk atau proses yang dikenakan pada produk tuna telah memenuhi persyaratan mutu sesuai dengan regulasi yang berlaku terutama regulasi mengenai masalah keamanan pangan. Contoh: Pihak transit harus memenuhi persyaratan mutu
44
UPI (PT X) sebelum dapat menjual ikan tuna, sedangkan suatu UPI harus mampu menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan mutu dan keamanan pangan yang berlaku di negara tujuan ekspor, dan menunjukkan bahwa kondisi saat melakukan proses produksi (GMP, SSOP) telah memenuhi regulasi yang berlaku. Dokumen Proses Produksi (Processing Practice) : Unit Pengolahan Ikan (UPI) khususnya PT X harus mendokumentasikan segala proses yang dikenakan kepada tuna, mulai dari penerimaan bahan baku hingga pemuatan untuk ekspor. Proses yang dilalui suatu produk berbeda-beda tergantung pada jenis produk akhirnya (end product). Contoh: tahapan proses tuna saku, tahapan proses pembuatan tuna loin, suhu pembekuan tuna, jenis kemasan, bahan tambahan yang digunakan pada tuna seperti CO (carbon monoxide), dan lain-lain. Sertifikasi HACCP : Unit Pengolahan Ikan (UPI) khususnya PT X dengan menerapkan sistem manajemen HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) maka telah menerapkan sistem perekaman (record keeping) yang merupakan salah satu dasar dari sistem traceability sebenarnya telah ada dalam konsep HACCP yaitu pada prinsip ketujuh : penyimpanan catatan dan dokumentasi. Sertifikat penerapan HACCP berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010 dapat diberikan kepada UPI apabila telah terdapat Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) yang diperoleh
dengan
menerapkan
Cara
Pengolahan
yang
Baik
(Good
Manufacturing Practices/GMP) dan memenuhi persyaratan Prosedur Operasi Sanitasi Standar (Standard Sanitation Operating Procedure/SSOP) dan telah menerapkan konsepsi HACCP yang terdiri dari tujuh prinsip. Sertifikasi Produk (Health Certificate) : Sebelum dapat melakukan ekspor, pihak UPI harus mempunyai sertifikat mengenai produk yang akan diekspor yaituhealth certificate. Health certificate merupakan surat keterangan yang dikeluarkan oleh LPPMHP (Lembaga Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perairan) yang menerangkan bahwa suatu hasil perikanan telah ditangani dan diolah sejak pra-panen hingga siap didistribusikan dengan caracara yang memenuhi persyaratan sanitasi sehingga aman dikonsumsi manusia.
45
Health certificate dapat diberikan apabila UPI konsisten dalam memenuhi persyaratan penerapan HACCP. Dokumen Jalur Distribusi Produk : ketika diperlukan, suatu sistem traceability harus mampu menyediakan informasi mengenai jalur distribusi mana saja yang dilalui oleh suatu produk sebelum sampai ke tangan konsumen akhir minimal satu langkah ke belakang dan satu langkah ke depan (one step backward, one step forward). Raspor (2005) menyatakan suatu sistem traceability mampu memberikan informasi mengenai posisi suatu produk dan jalur distribusi yang ditempuh yang dapat memudahkan upaya pelacakan produk. Sebagai contoh adalah ketika suatu produk tuna terdeteksi mempunyai potensi gangguan keamanan pangan, maka sangat penting untuk mengetahui berada dimanakah produk yang diduga mempunyai gangguan keamanan pangan tersebut langsung pada saat dibutuhkan. 4.3.2 Traceability internal Traceability internal mempunyai peran yang sangat penting dalam mendukung traceability tuna secara keseluruhan (chain traceability) (Thakur dan Hurburgh 2009). Oleh karena itu pengembangan traceability internal pada industri pengolahan tuna penting karena jika terjadi masalah pangan selama jalur distribusinya maka traceability internal dapat digunakan untuk mencari penyebabnya. Traceability internal disini dikembangkan secara teoritis untuk memberikan suatu acuan yang baku dalam pengembangan traceability internal pada dalam suatu organisasi khususnya pada industri pengolahan tuna loin beku menggunakan teknik yang disebut Integrated Definition Modelling (IDEF0). Berdasarkan
standar
ISO
22005:2007,
suatu
sistem
traceability
dipengaruhi oleh regulasi, karakterisasi produk, dan harapan konsumen. Di Indonesia produk hukum yang mengatur tentang traceability produk perikanan yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan yaitu pada Bab II pasal 3 huruf C. Lebih lanjut ISO 22000:2005 yang merupakan sistem manajemen keamanan pangan bagi organisasi dalam rantai produksi pangan pada klausul 7.9 juga mempersyaratkan adanya sistem mampu telusur (traceability system).
46
Ikan tuna sebagaimana ikan pada umumnya merupakan bahan pangan yang dikategorikan highly perishable yaitu bahan pangan yang sangat mudah busuk dan membutuhkan penanganan yang baik dalam rantai distribusinya (Venugopal 2006). Teknik penanganan bahan baku tuna segar dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 oC, sedangkan penanganan bahan baku tuna beku sama seperti halnya tuna segar namun dilakukan dengan menjaga suhu pusat produk maksimal -18 oC (SNI 014103.3-2006). Hal lain yang mempengaruhi sistem traceability adalah harapan konsumen terhadap suatu produk. Sebagai contoh jika konsumen mengharapkan adanya jaminan terhadap produk tuna yang dikonsumsi merupakan ikan yang bebas dari bahaya keamanan pangan, maka produsen akan berusaha untuk mencapai harapan konsumen tersebut. Dari berbagai penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa regulasi, karakterisasi produk, dan harapan konsumen merupakan masukan bagi teknik IDEF0 pengembangan sistem traceability pada tuna. Suatu sistem traceability dikembangkan untuk memenuhi regulasi yang berlaku (Thakur dan Hurburgh 2009). Sistem traceability produk perikanan Indonesia dilakukan untuk memenuhi PER.19/MEN/2010 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan, sedangkan dalam penerapannya dibutuhkan suatu standar yang digunakan sebagai batasan untuk menghasilkan keluaran yang tepat yaitu standar Codex Alimentarius Commission (CAC/RPC 11969, Rev. 4-2003) mengenai prinsip umum untuk higiene pangan (General Principles of Food Hygiene). Standar ini dipilih karena merupakan standar internasional dari negara Amerika yang menjadi tujuan ekspor PT X dimana pemilihan standar sebaiknya disesuaikan dengan negara tujuan ekspor atau menggunakan standar yang lebih ketat persyaratannya untuk alasan kesehatan. Oleh karena itu, standar CAC/RPC 1-1969, Rev. 4-2003 dikategorikan sebagai kontrol (control) bagi model ini. Berbagai mekanisme (mechanism) diperlukan untuk mengembangkan sistem traceability, diantaranya standar industri, personal (pihak yang terlibat), dan prosedur-prosedur yang ada. Keluaran (output) dari model ini akan tergantung dari jenis produk akhir tuna yang dihasilkan dan aktor yang terlibat didalamnya. Secara umum, output yang dapat dihasilkan dalam
47
sistem traceability internal ini adalah adanya berbagai macam dokumentasi seperti dokumentasi proses produksi, sertifikat-sertifikat yang telah divalidasi, dan pemenuhan terhadap regulasi sebagai jaminan kualitas dan keamanan pangan. Model pada sistem ini harus dapat membuktikan klaim terhadap suatu produk, misalnya klaim terhadap ikan tuna yang digunakan dalam proses produksi ditangkap dari daerah penangkapan yang tidak melanggar undang-undang illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing. Selain itu sistem traceability yang dibuat juga harus menyediakan suatu tolak ukur untuk kepuasan konsumen. Teknik IDEF0 (Integrated Definition Modelling) untuk pengembangan sistem internal traceability pada suatu Unit Pengolahan Ikan (UPI) dapat dilihat pada Gambar 16. Pemenuhan Regulasi
Kebutuhan Regulasi
PENGEMBANGAN SISTEM TRACEABILITY INTERNAL TUNA A0
Karakteristik Produk Harapan Konsumen
Standar Industri
Personal
Dokumentasi Proses Produksi Sertifikat yang divalidasi Jaminan Kualitas dan Keamanan Pangan Kepuasan Konsumen
Prosedur
Gambar 16 Teknik IDEF0 untuk pengembangan traceability internal pada Unit Pengolahan Ikan (UPI). Berdasarkan Gambar 16. maka dibuatlah detail dari teknik tersebut untuk menunjukkan langkah-langkah yang dilakukan terkait dengan pengembangan traceability internal pada UPI dalam hal ini PT X yang melakukan pengolahan ikan tuna beku. Model ini digambarkan lebih detail (didekomposisi) untuk memudahkan pemahaman mengenai rangkaian pengembangan traceability internal pada UPI dan ditujukan untuk mendapatkan sertifikasi sistem manajemen keamanan pangan (food safety management system certificate) seperti ISO 22000 oleh Thakur dan Humburgh (2009) dengan tahapan sebagai berikut : 1) Menentukan
rencana
sistem
traceability
:
langkah
pertama
untuk
pengembangan sistem traceability internal adalah menentukan rencana traceability. Masukan (input) bagi tahapan ini adalah kebutuhan akan regulasi,
48
karakteristik produk dan harapan konsumen. Kebutuhan akan regulasi ditujukan untuk memenuhi CAC/RPC 1-1969, Rev. 4-2003 yang merupakan regulasi Amerika Serikat karena negara tujuan ekspor PT X. Karakteristik hasil perikanan yang highly perishable mempengaruhi rencana traceability dimana penggunaan bahan-bahan seperti air atau es harus ada jaminan bahwa air berasal dari air dengan kualitas air minum sehingga ikan tidak mudah rusak. Penggunaan kemasan yang khusus bagi produk pangan (food grade) dan peralatan yang digunakan juga perlu diperhatikan mengingat ikan merupakan bahan pangan yang mudah busuk. Hal terakhir yang mempengaruhi suatu sistem traceability adalah harapan konsumen dimana produsen akan senantiasa berusaha memenuhi harapan dari konsumennya. Rencana sistem traceability ditentukan berdasarkan keperluan-keperluan tersebut. Selain masukan, diperlukan juga suatu standar bagi sistem ini dimana standar CAC/RPC 1-1969, Rev. 4-2003 dapat digunakan sebagai kontrol (control). Berbagai mekanisme (mechanism) diperlukan untuk menentukan sistem traceability, diantaranya standar industri, personal (pihak yang terlibat), dan prosedur-prosedur yang ada. Personal yang terlibat dalam sistem ini harus merupakan tim yang memiliki pengetahuan dan pengalaman multi disiplin, dan merupakan orang-orang yang berasal dari berbagai departemen yang ada pada suatu Unit Pengolahan Ikan (UPI). Selain itu, menurut Derrick dan Dillon (2004) penting bagi suatu UPI menunjuk seseorang yang memiliki kemampuan untuk memimpin tim, memiliki pengetahuan mengenai traceability, dan memiliki posisi penting dalam kegiatan produksi. Rencana sistem traceability harus didefinisikan secara jelas dalam format yang tetap dan termasuk di dalamnya mengenai informasi yang dibutuhkan untuk dicatat dan informasi yang akan dibagi kepada aktor lain yang terlibat (dalam rantai distribusi produk). Selain itu dalam sistem ini juga perlu didefinisikan parameter yang tepat untuk mengukur kesuksesan sistem. Keluaran (output) pada tahapan ini adalah terbentuknya manual sistem traceability yang mendefinisikan prosedur untuk penerapan rencana sistem traceability dimana secara umum prosedur meliputi dokumentasi proses produksi dan informasi
49
terkait proses produksi, termasuk perawatan dokumen dan verifikasi (ISO 22005:2007). 2) Penerapan rencana traceability : Keluaran pada tahapan 1 merupakan masukan bagi tahapan ini. Manual sistem traceability yang telah dibuat digunakan untuk diterapkan pada tahapan ini. Tahapan ini memiliki kontrol dan mekanisme yang sama dengan yang ada pada tahap 1. Pada sistem informasi yang dikembangkan, dilakukan desain basis data traceability perusahaan yang direpresentasikan menggunakan entity relationship diagram (ERD). ERD merupakan suatu diagram yang dapat menunjukkan bagaimana data dan informasi akan disimpan di dalam basis data beserta hubungan antar data. Bagian yang digunakan untuk membangun suatu entity relationship diagram adalah entitas (entity), atribut, dan hubungan (relationship). Pengguna (user) dalam hal ini pihak UPI dapat mendesain entitas yang berkaitan dengan aktifitas ikan tuna (per batch) baik kualitas maupun proses yang dikenakan. Entity relationship diagram ini menghubungkan berbagai macam data mulai dari kedatangan bahan baku tuna, proses produksi per batch, dan hasil akhir dari tiap batch yang keluar dari ruang penyimpanan (storage) UPI. Setelah selesai membuat ERD dilanjutkan dengan penerjemahan desain basis data (database) pada sistem yang telah dibuat kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk perintah-perintah yang dimengerti komputer dengan mempergunakan suatu bahasa pemrograman dan penyimpanan ke dalam database tergantung dari keperluan pengguna. Hanya terdapat satu basis data terpusat untuk menyimpan semua informasi yang dibutuhkan. Salah satu bahasa yang dapat digunakan untuk merepresentasikan data adalah XML (Extensible Markup Language). XML dipilih karena dalam industri perikanan terdapat suatu standar yang disebut “tracefish” yang dapat digunakan untuk mencapai sistem traceability secara menyeluruh pada suatu rantai distribusi dimana standar ini menurut Larsen (2003) merupakan suatu konsep yang menggunakan sistem elektronik untuk mencapai penelusuran rantai distribusi (chain traceability). Selanjutnya Folinas et al. (2007) menyatakan bahwa tracefish menggunakan XML (extensible markup language) untuk memfasilitasi pertukaran informasi yang berhubungan dengan sistem traceability secara elektronik (electronic
50
exchange) antara berbagai pihak atau organisasi dalam suatu rantai distribusi. Setelah tahap ini selesai, sebuah laporan penerapan traceability akan dihasilkan. Laporan ini akan terdiri dari deskripsi detail sistem database dan penggunaannya. 3) Evaluasi pelaksanaan sistem : pelaksanaan sistem traceability akan dievaluasi pada tahap ini. Evaluasi yang dilakukan mencakup evaluasi efisiensi penggunaan database untuk kecepatan reaksi terhadap kasus keamanan pangan. Laporan pelaksanaan sistem manajemen keamanan pangan seperti HACCP atau ISO 22000 dan laporan hasil audit merupakan keluaran dari tahapan ini. Tahapan ini memiliki kontrol dan mekanisme yang sama dengan tahap sebelumnya. 4) Validasi sistem: validasi dibutuhkan untuk memastikan bahwa pelaksanaan sistem sesuai dengan rencana traceability yang telah dibentuk. Laporan pelaksanaan dan laporan hasil audit dari tahap 3 digunakan sebagai dasar untuk pemvalidasian sistem traceability menggunakan standar CAC/RPC 1-1969, Rev. 4-2003 sebagai kontrol dan mekanisme yang sama dengan tahapantahapan sebelumnya. Setelah sistem traceability divalidasi, pemenuhan CAC/RPC 1-1969, Rev. 4-2003 dapat dicapai. Dokumentasi lainnya seperti dokumentasi proses produksi, sistem manajemen keamanan pangan, dan validasi sistem (sertifikat) dapat dicapai. Bukti dari kepuasan konsumen juga merupakan keluaran yang diharapkan dari proses pengembangan sistem traceability internal ini. 5) Perawatan sistem: Perawatan dari sistem traceability merupakan tahapan yang sangat penting dari keseluruhan proses. Perawatan dibutuhkan untuk menjaga agar sistem tetap berjalan dan juga untuk melakukan perbaikan terus-menerus. Tahapan ini merupakan proses yang terus-menerus dilakukan (siklus berulang) dan rencana sistem traceability sebaiknya dimodifikasi berdasarkan perubahan regulasi yang ada, permintaan konsumen dan faktor lainnya yang dapat menyebabkan perubahan pada proses bisnis. Tahapan selanjutnya akan dimodifikasi ulang setiap adanya perubahan rencana sistem traceability. Keseluruhan tahapan pengembangan traceability internal ini dapat dilihat pada Gambar 17.
32
Pemenuhan Regulasi (CAC/RCP 1-1969,Rev. 4-2003) CAC/RCP 1-1969,Rev. 4-2003 (Kebutuhan Regulasi) Highly Perishable (Karakterisasi Produk) Jenis Produk Akhir (Harapan Konsumen)
Menentukan Rencana Sistem Traceability 1
Manual Traceability
Penerapan Traceability 2
Laporan Penerapan traceability
Evaluasi Pelaksanaan Sistem 3
Laporan Penerapan Sistem Manajemen Keamanan Pangan Laporan Audit
Dokumentasi Proses Produksi
Validasi Sistem 4
Sertifikat yang divalidasi Jaminan kualitas dan keamanan pangan Kepuasan Konsumen
Perawatan Sistem 5
Standar Industri
Personal
Prosedur
51
Gambar 17 Teknik IDEF0 untuk pengembangan dan penerapan sistem traceability internal pada UPI (Modifikasi Thakur dan Hurburgh 2009).
52
4.3.3 Pertukaran informasi traceability pada rantai distribusi tuna Peraturan pangan Uni Eropa yaitu General Food Law (EC No. 178, artikel 18) menyebutkan perlunya sistem traceability pada rantai distribusi pangan (food supply chain) untuk mencapai kemampuan pelacakan secara utuh (Official Journal of the Europan Communities 2002). Setiap aktor yang terlibat di dalamnya harus menyimpan dan memelihara informasi yang berkaitan dengan dari mana suatu bahan pangan berasal dan tetap menelusuri (mengikuti) jalur dan perubahan bentuk yang dialami suatu produk sepanjang proses produksi dan kemudian mentransfer informasi tersebut ke aktor selanjutnya dalam rantai distribusinya (Thakur dan Humburgh 2009). Berbagi informasi (share) antar aktor dalam rantai distribusi produk penting dilakukan untuk mencapai sistem traceability yang efektif (Derrick dan Dillon 2004). Untuk memahami hal tersebut maka dibuatlah suatu gambaran yang menunjukkan bagaimana suatu produk diidentifikasi, struktur datanya, data carrier yang digunakan, dimana saja lokasi pengumpulan data (data capture point) dan bagaimana data/informasi dipertukarkan antar aktor dalam rantai distribusi tuna loin beku. Sebelum mencapai traceability pada keseluruhan rantai distribusi (chain traceability) penting untuk memahami lokasi-lokasi pengidentifikasian unit produk pada traceability internal dan hubungannya dengan chain traceability. Lokasi pengidentifikasian produk pada chain traceability mengacu pada Senneset et al. (2007) dan dapat dilihat pada Gambar 18. Lokasi pengidentifikasian produk pada chain traceability
Lokasi pengidentifikasian produk pada chain traceability
Aliran Produk (tuna loin beku)
UPI (PT X) TRANSIT
IMPORTIR Penerimaan
Proses
Stuffing
Aliran Informasi
Lokasi pengidentifikasian produk pada traceability internal
Gambar 18 Lokasi pengidentifikasian produk sistem traceability (Modifikasi Senneset et al. 2007).
53
Tahapan yang penting untuk dilakukan pengidentifikasian produk dan perekaman secara internal di PT X adalah pada tahap penerimaan bahan baku dan pengisian (stuffing) karena kedua tahapan ini merupakan tahapan yang menjadi penghubung informasi antara supplier (transit)dengan perusahaan dan perusahaan dengan pihak importir. Pada tahap penerimaan bahan baku merupakan awal dari pengumpulan informasi dari supplier mengenai bahan baku atau bahan tambahan yang digunakan, sedangkan pada tahap stuffing merupakan tahapan dimana informasi baru ditambahkan setelah proses produksi selesai dilaksanakan. Senneset et al. (2007) menyatakan penting bagi suatu organisasi menetapkan identitas untuk melakukan penelusuran dimana identitas tersebut direkam pada tahapan penerimaan dan pada saat suatu produk akan didistribusikan ke pihak selanjutnya setelah proses produksi selesai dilaksanakan. Penerapanan traceability di industri perikanan, berdasarkan Larsen (2003) memperlihatkan praktek pendistribusian ikan pada industri perikanan seperti distribusi ikan segar sering mengalami pengemasan ulang (repacking) beberapa kali. Label baru diberikan setiap kali pengemasan ulang oleh pelaku atau organisasi yang berbeda. Praktek pendistribusian ikan tuna beku (frozen tuna) dari satu aktor ke aktor lainnya juga mengalami berbagai macam aktivitas termasuk pengemasan ulang diantaranya: Pergerakan: Ikan tuna bergerak dari satu pihak ke pihak lain dalam rantai distribusi sebelum akhirnya sampai ke konsumen akhir. Sebagai contoh adalah nelayan menjual tuna ke pihak transit dan kemudian pihak transit menjualnya ke PT X. Penyortiran: Ikan selama distribusi mengalami aktivitas penyortiran untuk pembedaan berdasarkan mutu. Contohnya ketika ikan yang disortir secara organoleptik di transit oleh checker menjadi 4 tingkat grade (mutu), yaitu: ikan tuna dengan grade A, B, C, dan D. Penyimpanan (storage): Ikan tuna sejak penangkapan disimpan dalam periode tertentu oleh tiap-tiap aktor sebelum akhirnya sampai ke tangan konsumen akhir. Ikan yang disimpan dalam periode tertentu sebelum dikonsumsi dapat mempengaruhi kondisi fisik, kimia maupun biologinya. Sebagai contoh menurut Keer et al. (2002) ikan tuna yang disimpan pada suhu rendah oleh
54
retailer yaitu hanya menutup ikan menggunakan es atau secara sederhana ikan hanya diletakkan di atas es untuk mencegah kebusukan, dalam jangga waktu yang lama hal ini akan menyebabkan pertumbuhan bakteri yang memicu terbentuknya histamin pada tuna. Perubahan bentuk: Sepanjang rantai distribusi, ikan tuna tidak hanya di ekspor dalam bentuk utuh segar melainkan juga di ekspor dalam bentuk yang bermacam-macam seperti loin, steak, cubes dan ground meat. Pengemasan ulang: Ikan tuna beku hasil diversifikasi pihak UPI (PT X) diekspor ke Amerika tidak langsung ditujukan ke konsumen akhir melainkan dijual ke pihak wholesaler (grosir) yang akan melakukan pengemasan ulang sebelum didistribusikan kembali ke pihak retailer yang meneruskan ke konsumen akhir. Aktivitas-aktivitas yang terjadi pada ikan tuna sepanjang rantai distribusi tersebut penting untuk direkam. Thakur dan Humburgh (2009) juga menyatakan mendokumentasikan aktivitas yang terjadi pada suatu produk dan transfer informasi kepada pihak selanjutnya pada rantai distribusi penting dilakukan. Untuk memahami hal tersebut maka dibuatlah suatu gambaran yang menunjukkan informasi apa saja yang harus didokumentasikan dan dibagi (transfer informasi) kepada pihak-pihak (aktor) yang terlibat dalam rantai distribusi tuna (tuna supply chain) yang dapat dilihat pada Gambar 19.
56
Nama kapal1 ID kapal1 ID produk1 No registrasi kapal Metode penangkapan Spesies & berat ikan Cara penanganan diatas kapal Area dan tanggal penangkapan1 Tanggal dan waktu pengiriman Identitas transit1
Bukti pembelian Identitas UPI3 Identitas transit2 Tanggal dan waktu penerimaan ID berkaitan dengan produk Quality control check Metode pendinginan Jenis, jumlah dan berat ikan Suhu ikan selama pengangkutan Nama produk Berat bersih Tahapan proses
ID produk1 Nama kapal1 Id kapal1 Control check Area dan tanggal penangkapan1 Tanggal dan waktu penerimaan Identitas transit2 Jumlah, spesies dan berat ikan Waktu dan tanggal pengiriman Identitas UPI3
Transportasi
Kapal
Tipe kemasan Suhu selama pengolahan dan penyimpanan Hasil uji mutu produk Berat bersih produk Tanggal produksi Kode produksi No registrasiUPI Waktu dan tanggal pengiriman Suhu selama penyimpanan dan transportasi Identitas tujuan ekspo (distributor)4
Distributor
Identitas UPI3 Identitas distributor4 Nama produk3 ID berkaitan dengan produk Identitas pengiriman Spesies ikan Jenis pengolahan Jenis dan jumlah kemasan Berat bersih Pengecekaan suhu Tanggal kadaluarsa
Retailer
Transit UPI
Transportasi
Distributor Retailer
Pasar Lokal
55
Gambar 19 Pertukaran informasi antar aktor yang terlibat pada rantai distribusi tuna (Modifikasi Thakur dan Hurburgh 2009).
56
Gambar 19. menunjukkan bahwa tidak semua informasi pada tiap-tiap aktor dibagi kepada aktor selanjutnya dalam jalur distribusi. Angka-angka 1, 2, dan 3 (superscript) menunjukkan informasi apa saja yang dibagi oleh tiap-tiap aktor dalam rantai distribusi tuna. Ketika suatu informasi mengenai bacth tuna didapatkan, informasi tersebut dapat digunakan untuk melacak ke belakang hingga asal ikan. Sebaliknya setelah ikan tuna selesai di proses, informasi kepada siapa bacth dari ikan tersebut dikirim dapat digunakan untuk mengikuti jalur distribusinya bahkan hingga ke pihak retailer. Informasi-informasi pada Gambar 19. untuk pihak Kapal Penangkap berasal dari log book penangkapan ikan tuna menggunakan alat tangkap rawai tuna dan pancing ulur (Lampiran 1). Untuk pihak Transit dan Distributor (wholesaler) informasi berasal dari standar Tracefish (CEN 14660:2003), sedangkan informasi pada pihak UPI berasal dari PT X sebagai perusahaan pengolah ikan tuna loin beku. Informasi-informasi yang sebaiknya didokumentasikan oleh tiap-tiap aktor dalam rantai distribusi untuk mencapai ketertelusuran (traceability) produk perikanan dapat dilihat dalam standar Tracefish (CEN 14660:2003) dimana pada standar ini terdapat tiga kategori informasi yaitu kategori Shall, Should dan May. Kategori shall merupakan kategori informasi yang berkaitan dengan data pokok untuk sistem traceability. Data pada kategori ini dibutuhkan untuk melakukan penelusuran mengenai sejarah, aplikasi maupun lokasi dari suatu produk dalam prinsip satu langkah ke belakang dan satu langkah ke depan sehingga mampu untuk memfasilitasi penarikan produk. Kategori should dan may merupakan kategori informasi pendukung untuk mendeskripsikan dan menyediakan informasi pendukung mengenai produk yang akan dilacak. Perbedaannya adalah kategori should merupakan kategori informasi yang dibutuhkan untuk mendapatkan suatu sertifikasi (misal sertifikasi GMP) sedangkan kategori may tidak. Selain gambaran mengenai informasi yang harus didokumentasikan dan dibagi oleh tiap aktor dalam rantai distribusi tuna loin, sebuah sequence diagram dikembangkan untuk menggambarkan pertukaran informasi ketika salah satu aktor meminta informasi tambahan terhadap suatu produk olahan tuna pada aktor sebelumnya. Menurut Thakur dan Humburgh (2009) tujuan utama dari sequence
57
diagram adalah untuk mendefinisikan rangkaian peristiwa yang menghasilkan suatu output yang diinginkan. Sequence diagram pada tuna supply chain dapat dilihat pada Gambar 20.
56
Kapal
Transit
UPI/PT X
Distributor
Retailer
Kirim data tuna Kirim data tuna Kirim data produk
Pengguna informasi Kirim data produk Minta informasi tambahan Minta informasi tambahan
Minta informasi tambahan Minta informasi tambahan Mengembalikan informasi tambahan Mengembalikan informasi tambahan Mengembalikan informasi tambahan Mengembalikan informasi tambahan
Gambar 20 Sequence diagram untuk pertukaran informasi ketika informasi tambahan mengenai produk yang diduga berbahaya diminta (Modifikasi Thakur dan Hurburgh 2009).
58
59
Gambar 20. menunjukkan rangkaian dari pertukaran suatu informasi. Ketika suatu produk didistribusikan dari satu aktor ke aktor lain, informasi (data) yang berkaitan dengan produk juga diikutsertakan. Namun pada kasus khusus yaitu berkaitan dengan masalah keamanan pangan, maka lembaga berwenang akan meminta informasi tambahan mengenai produk yang diduga berbahaya. Ketika hal ini terjadi, aktor dalam suatu rantai distribusi harus mampu menyediakan informasi yang dibutuhkan secara cepat (real time). Sebagai contoh Thakur dan Humburgh (2009) menyebutkan bahwa di Amerika Serikat, suatu perusahaan memiliki waktu 24 jam untuk menyediakan informasi yang diperlukan sejak informasi tambahan mengenai produk yang diduga berbahaya diminta. 4.3.4 Desain basis data Desain basis data traceability direpresentasikan menggunakan entity relationship diagram (ERD). Seperti halnya cetak biru yang merupakan kunci untuk memahami dan membuat desain sebuah bangunan, entity relationship diagram merupakan kunci untuk memahami dan membuat desain sebuah database (Toledo dan Cushman 2007). ERD yang dihasilkan pada tahap ini masih merupakan suatu bentuk konseptual, sehingga perlu disusun dan diterjemahkan ke dalam bentuk fisik agar dapat digunakan. Desain basis data yang dilakukan baru mencakup informasi mengenai produk akhir (end product) yang terdiri dari 6 entitas (obyek) utama yang saling berhubungan. Entitas-entitas tersebut diantaranya adalah tabel kapal penangkapan tuna, tabel supplier, tabel bahan baku, tabel produk, tabel perusahaan, dan tabel pelanggan. Deskripsi dari tiap-tiap tabel tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.
60
Tabel 5. Entitas utama yang terdapat dalam basis data Entitas Kapal penangkapan tuna
Supplier Bahan baku Produk
Perusahaan Pelanggan
Keterangan Berisi informasi berkaitan dengan seluruh aktivitas penangkapan ikan tuna. Contoh: nama kapal, metode penangkapan, lokasi penangkapan, dll. Berisi informasi tentang identitas supplier dan aktivitas pembelian ikan. Berisi informasi tentang seluruh bahan baku yang digunakan untuk proses produksi. Berisi informasi tentang segala sesuatu yang mendeskripsikan tentang produk akhir dari suatu proses produksi (end product). Berisi informasi tentang perusahaan sebagai tempat dilakukannya proses produksi tuna. Berisi informasi tentang pelanggan yang membeli produk dari perusahaan.
Entitas utama pada Tabel 5. juga merupakan entitas dari sistem informasi dalam penelitian ini dimana terdapat hubungan (relasi) antara entitas-entitas tersebut. Entitas adalah obyek-obyek bermakna yang bagi organisasi merupakan informasi yang perlu untuk diketahui (Thakur dan Humburgh 2009). Hasil dari penghubungan entitas tersebut akan menjadi suatu entity relationship diagram yang disajikan pada Gambar 21. Gambar 21. menjelaskan hubungan keterkaitan antara entitas yang ada. Pada gambar tersebut primary key dan atribut digambarkan dimana primary key merupakan identitas (ID) yang bersifat unique bagi setiap entitas. Primary key dilambangkan dengan tulisan dengan garis bawah. Entitas produk memiliki hubungan terhadap entitas perusahaan dimana setiap produk yang dihasilkan berasal dari satu perusahaan saja yaitu PT X, sedangkan satu perusahaan dapat menghasilkan banyak produk tuna yang memiliki banyak ID. Entitas perusahaan memiliki hubungan dengan entitas pelanggan dimana satu perusahaan dapat mempunyai banyak pelanggan dan begitu pula setiap pelanggan dapat mempunyai banyak perusahaan sebagai tempat membeli produk. Entitas perusahaan memiliki hubungan dengan entitas supplier dimana satu perusahaan dapat mempunyai banyak supplier dan begitu pula setiap supplier dapat mempunyai banyak perusahaan sebagai tempat menjual bahan baku.
61
Entitas produk memiliki hubungan dengan entitas supplier dimana setiap produk yang dihasilkan berasal dari bahan baku dengan banyak supplier, sedangkan setiap supplier dapat mempunyai bahan baku yang banyak yang menghasilkan banyak produk. Entitas produk juga memiliki hubungan dengan entitas bahan baku dimana setiap produk yang dihasilkan menggunakan banyak bahan baku dan setiap bahan baku yang digunakan menghasilkan banyak produk. Entitas bahan baku selain memiliki hubungan dengan entitas produk juga memiliki hubungan dengan entitas supplier yaitu setiap bahan baku mempunyai banyak supplier dan sebaliknya setiap supplier mempunyai bahan baku yang banyak untuk dihasilkan berbagai macam produk. Terakhir adalah entitas supplier memilili hubungan dengan entitas kapal dimana setiap ikan yang ada pada supplier dikirim dari berbagai kapal penangkap tuna, sedangkan setiap kapal penangkap tuna dapat mengirim ikan hasil tangkapannya kepada banyak supplier.
47
jumlah
berat tanggal penerimaan no urut penerimaan
spesies Id_bahan baku
menggunakan
Bahan baku
mempunyai
jenis produk
Id_kapal
FDA registration berat bersih
nama kapal
Produk
Tanggal produksi
Supplier
mengirim
nama produk nama supplier
Id_produk
metode penangkapan
Kapal
lokasi penangkapan tanggal penangkapan
Id_supplier
mempunyai
tanggal pendaratan
menghasilkan
Id_pelanggan
Id_perusahaan
Perusahaan nama perusahaan
mempunyai
Pelanggan
nama pelanggan
62
Gambar 21 Entity relationship diagram dari basis data traceability.
63
4.3.5 Arsitektur umum implementasi sistem informasi traceability Arsitektur umum implementasi sistem digunakan untuk memudahkan pemahaman mengenai bagaimana suatu organisasi dalam rantai distribusi produk menyimpan
data/informasi
secara
internal
dan
melakukan
pertukaran
data/informasi antar aktor. Arsitektur ini merupakan modifikasi dari Karlsen et al. (2011) yang membuat arsitektur implementasi traceability elektonik pada rantai distribusi ikan segar yang dapat dilihat pada Gambar 22.
Traceability internal
Chain Traceability
Pertukaran Informasi Menggunakan XML
Database Traceability
Database Traceability
Update data
Update data
Sistem Informasi A
Sistem Informasi B
Kapal Penangkap Tuna
Transit
UPI
Importir
Aliran produk
Aliran informasi
Pengguna sistem (aktor)
Gambar 22 Arsitektur umum implementasi sistem informasi traceability (Modifikasi Karlsen et al. 2011) Gambar 22 menunjukkan bahwa aktor kapal penangkap tuna dan transit belum memiliki sistem informasi tersendiri sehingga informasi terkait traceability yang terdapat pada masing-masing aktor (pihak) tersebut akan di transfer secara manual menggunakan dokumen kertas hingga ke pihak UPI. Pihak UPI sendiri memiliki suatu sistem informasi yang sama sekali berbeda dengan sistem informasi yang terdapat pada pihak Importir. Pertukaran informasi secara elektonik akan sulit dilakukan karena perbedaan sistem informasi tersebut, sedangkan
pertukaran
informasi
traceability
berbasis
dokumen
kertas
membutuhkan waktu yang relatif lama (time consuming) untuk melakukan
64
penelusuran produk dan peluang eror yang cukup tinggi karena pencatatan berulang
dalam
penggabungan
dokumen
pada
prakteknya
menyulitkan
traceability berbasis dokumen kertas (Derrick dan Dillon 2004; Senneset et al. 2007). Kesuksesan pertukaran informasi produk perikanan dapat dilakukan jika perbedaan sistem informasi antar aktor dalam rantai distribusi dapat bekerja bersama (interoperable) (Sebestyen et al. 2008 dalam Karlsen et al. 2011). Standar untuk mendeskripsikan pertukaran informasi antara sistem perangkat lunak (software system) berguna untuk dapat mengefisienkan komunikasi (Folinas et al. 2006). Peningkatan popularitas XML (Extensible Markup Language) saat ini untuk melakukan pertukaran informasi antar sistem informasi yang berbeda telah memudahkan para pelaku bisnis untuk menggunakan teknologi ini (Sidik dan Pohan 2010; Thakur dan Hurburgh 2009). Dengan XML, data dapat dipertukarkan antara sistem yang berbeda (not compatible). Dalam kenyataan yang sebenarnya sistem komputer dan basis data menyimpan data dalam format yang berbeda satu sama lain. Mengkonversi data ke XML dapal mengurangi kompleksitas dan membuat data dapat dibaca oleh berbagai tipe aplikasi (Sidik dan Pohan 2010; Karlsen et al. 2011). Perbedaan sistem informasi pada pihak UPI dan Importir dapat dijembatani menggunakan XML sehingga memudahkan pertukaran informasi secara elektronik. Salah satu contoh dokumen XML yang dapat digunakan untuk melakukan pertukaran informasi dapat dilihat pada Gambar 23. TraceabilityDocument Document ID="001" Creator= "rizal">
Frozen Tuna Loin K183Q Yellowfin tuna <ScientificName>Thunnus albacares
Captured FAO Catch Area No. 57 (Indian Ocean) <Size>5/8 Lbs/Pc
40 Lbs <ManufactureCode>149281816446
10 2010 Refrigerated
Gambar 23 Contoh dokumen XML untuk pertukaran informasi (Modifikasi Tracefish 2003)
65
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Kajian rantai distribusi penanganan tuna menunjukkan bahwa aktor yang terlibat antara lain kapal penangkap, transit, PT X, distributor dan retailer. Dari masing-masing aktor yang terlibat, sistem rekaman sebagai alat pemantauan dan sistem pengkodean sebagai alat identifikasi penting untuk diterapkan. Penerapan sistem dokumentasi program traceability di PT X menunjukkan bahwa sistem rekaman sebagai hasil pemantauan dan sistem pengkodean sebagai alat identifikasi telah diterapkan, akan tetapi masih belum optimal. Sistem rekaman dan pengkodean belum mampu merekam dan menelusuri seluruh tahap pengolahan tuna loin terutama pada tahap pemberian gas CO. Hasil analisis dan desain sistem informasi dokumentasi program traceability menunjukkan bahwa dari tiap-tiap aktor yang terlibat dalam rantai distribusi tuna loin beku memiliki hubungan yang saling terkait dalam penyediaan informasi dokumentasi program traceability dan ditampilkan dalam sebuah use case. Sebuah model untuk implementasi sistem dokumentasi program traceability secara internal juga dikembangkan untuk unit pengolah ikan menggunakan IDEF0 (Integrated Definition Modelling) terdiri dari input, kontrol, mekanisme dan output. Dalam pemodelan pertukaran informasi, terlihat bahwa tidak semua informasi yang ada pada salah satu aktor diteruskan ke aktor lainnya dalam rantai distribusi, sebagian informasi akan disimpan sebagai informasi internal aktor. Terakhir desain basis data yang dilakukan dalam suatu bentuk konseptual dimana baru mencakup desain basis data untuk produk akhir (end product) yang terdiri dari 6 entitas utama yang saling berhubungan. Entitas-entitas tersebut diantaranya adalah kapal penangkapan tuna, supplier, bahan baku, produk, perusahaan, dan pelanggan. 5.2 Saran Tingkat efiktivitas dan efisiensi dari implementasi sistem informasi berbasis teknologi informasi untuk mendukung pelaksanaan sistem dokumentasi program traceability pada suatu perusahaan pengolah ikan sangat penting dikembangkan.
66
DAFTAR PUSTAKA
Amirin TM. 2003. Pokok-Pokok Teori Sistem. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Blanc M, Desurmont A, Beverly S. 2005. Onboard Handling of Sashimi-Grade Tuna. New Zealand: Secretariat of The Pacific Community P 1-22. Block B, Stevens. 2001. Tuna: Physiology, Ecology, and Evolution Vol. 19. California: Academic Press P 468. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01-2729.3-2006. Ikan SegarBagian 3: Penanganan dan Pengolahan. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01-4104.1-2006. Tuna Loin Beku-Bagian 1: Spesifikasi. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01-4104.2-2006. Tuna Loin Beku-Bagian 2: Persyaratan Bahan Baku. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01-4104.3-2006. Tuna Loin Beku-Bagian 3: Penanganan dan Pengolahan. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Bremner HA, M Sakaguchi. 2000. A critical look at whether „freshness‟ can be determined. Journal of Aquatic Food Product Technology 9 (3): 5–25. Caswell JA. 2000. Economic approaches to measuring the significance of food safety in international trade. Journal of Food Microbiology 62 (3): 261266. [CAC] Codex Allimentarious Comission. 2006. CAC/GL 60-2006. Principles for Traceability/Product Tracing as a Tool Within a Food Inspection and Certification System. Rome: CAC. CEN 14660. 2003. CEN Workshop Agreement. Traceability of Fisheriy Products - Spesification of the Information To Be Recorded In Captured Fish Distribution Chains. Europan Committe for Standardization. Collette BB, Nauen CE. 1983. FAO species catalogue. Vol. 2. Scombrids of the world. An annotated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos and related species known to date. FAO Fish.Synop., (125) Vol. 2: 137 p. Committee on the Guidelines for Introduction of Food Traceability Systems. 2003. Guidelines for Introduction of Food Traceability Systems. Japan.
67
Davis GB. 1992. Sistem Informasi Manajemen-Bagian 2. Widyahartono B, penerjemah. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo. Dengen N, Hatta HR. 2009. Perancangan sistem informasi terpadu pemerintah daerah kabupaten Paser. Jurnal informatika Mulawarman 4 (1): 47-54. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Potensi dan Pemberdayaan Ikan Tuna. http://www.dkp.go.id [17 Agustus 2010]. Derrick S, Dillon M. 2004. A Guide to Traceability within The Fish Industri. Eurofish, Humber Institute Food and Fisheries, SIPPO. Ekici K, Alisarli M. 2008. Histamine formation and microbiological changes in endemic Chalcalburnus tarichi Pallas 1811 (Inci Kefali) stored at 4 °C. Arch Med Vet 40 (1): 95-98. Elmasri R, Navathe SB. 1994. Fundamentals of Database System-Second Edition. California: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. Emborg J, Laursen G, Dalgaard P. 2005. Significant histamine formation in tuna (Thunnus albacore) at 2 oC-effect of vacuum-and modified atmospherepackaging on psychrotolerant bacteria. Journal of food microbiology 101 (3): 263-279. [FDA] Food and Drug Administration. 2009. FDA Import Refusal Report. http://www.fda.gov [21 April 2010]. [FSAI] Food Safety Authority of Ireland. 2002. Guidance Note 10 Product Recall and Traceability. Ireland. Folinas D, Manikas, I, Manos, B. 2006. Traceability data management for food chains. British Food Journal 108 (8): 622–633. Frederiksen M, Osterberg C, Silberg S, Larsen E, Bremner A. 2002. Info-Fisk. development and validation of an internet base traceability system in a Danish domestic fresh fish chain. Journal of Aquatic Product Technology 11 (2): 13-34. Ghaly AE, Dave D, Budge S, Brooks MS. 2010. Fish Spoilage Mechanisms and Preservation Techniques: Review. American Journal of Applied Sciences 7 (7): 859-877. Green DP. 2011. Sensory evaluation of fish freshness and eating qualities. Di dalam: Alasalvar C, F Shahidi, K Miyashita, U Wanasundara, editor. Handbook of Seafood Quality, Safety and Health Applications. USA: Blackwell Publishing Ltd. Pp. 29 – 38. GS1 US. 2011. The GS1 US Point of View: How GS1 Standards Support Product Tracing, Critical Tracking Events, and Key Data Elements. United States.
68
Guzaini N, AL-Busaidy M.A, Al-Belushi I.M, Mothershaw A, Rahman M.S. 2005. The effect of storage temperature on histamine production and the freshness of yellowfin tuna (Thunnus albacares). Food Research International 35 (2): 215-222. Haard NF. 1992. A review of proteolytic enzymes from marine organisms and their applications in the food industry. Journal Aquatic Food Product Technology 1 (1): 17. Huss H H. 1995. Quality and Quality changes in fresh fish. Rome: FAO Fisheries Technical Paper, No. 348. Hoffer JA, Prescott MB, McFadden FR. 2002. Modern Database Management 6th Edition. United States of America: Prentice Hall. IDEFO Funcion Modelling Method. 1993. Integrated Definition Methods, IDEF Family of Methods. Knowledge Based Systems, Inc. http://www.idef.com/idef0.html [07 Maret 2011]. [ISO 9000:2000] The International for Standarization 9000:2000. 2000. Quality Management System – Fundamentals and Vocabularry. The International for Standarization. Switzerland. [ISO 22000:2005] The International for Standarization 22000:2005. 2005. SystemRequirements for any Organization in the Food Chain. The International for Standarization. Switzerland.. The International for Standarization. Switzerland. [ISO 22005:2007] The International for Standarization 22005:2007. 2007. Traceability in the Feed and Food Chain-General Priciples and Basic Requierements for System Design and Implementation. The International for Standarization. Switzerland. Junaedi F. 2005. Panduan Lengkap Pemrograman HTML. Yogyakarta: PD. Anindya. Karlsen KM, Sorensen CF, Foras F, Olsen P. 2011. Critical criteria when implementing electronic chain traceability in a fish supply chain. Food Control (22): 1339-1347. Keer M, Lawicki P, Aguirre S, Rayner C. 2002. Effect of Storage Conditions on Histamine Formation in Fresh and Canned Tuna. Werribee: Public Health Division of Victoria Government. Kimata M. 1961. The Histamine Problem dalam Fish as Food Vol 1. New York: Acad Press. [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2009. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2009. Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan.
69
[KKP]
Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2010. Peraturan No. PER. 19/MEN/2010 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Larsen E. (2003) Traceability in fish processing. Di dalam: M. Lees (Ed.) Food Authenticity and Traceability. United Kingdom: Woodhead Publishing Limited. pp. 507–517. Lee J, Xue NL. 1999. Analyzing user requirements by use case: a goal driven approach. IEE Software 16 (4): 92-101. Lehane L, Olley J. 2000. Histamine fish poisoning revisited. Journal of Food Microbiology 58 (1-2): 1–37. Mahmoud BSM, K Yamazaki, K Miyashita, II Shin, T Suzuki. 2006. A new technology of fish preservation by combined treatment with electrolysed NaCl solutions and essential oil compounds. Journal Food Chemistry 99 (4): 656-662. McMeekin TA, Baranyi J, Bowman J, Dalgaard P, Kirk M, Ross T, Schmid S, Zwietering M.H. 2006. Information system in food safety management. International Journal of Food Microbiology 112 (3): 181-194. Morrison C. 2003. Traceability in food processing: an introduction. Di dalam: M. Lees (Ed.) Food Authenticity and Traceability. United Kingdom: Woodhead Publishing Limited. pp. 459–472. Official Journal of the European Communities, 2002. Regulation (EC) No. 178/2002 of the European Parliament and the Council of 28 January 2002. O‟Brien JA, Marakas GM. 2006. Management Information System-Seventh Edition. Boston: McGraw-Hill. Pender TA. 2002. UML Weekend Crash Course. United Stated of America: Willey Publishing. Purnomo AH. 2007. Permasalahan makro di sector perikanan dan alternatif kebijakannya. Di dalam: BBRSEKP Potret dan Strategi Pengembangan Perikanan Tuna, Udang dan Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Badan Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan Perikanan. Purnomo AH, Suryawati SH. 2007. Penawaran komoditas perikanan Indonesia: trend produksi, sentra produksi dan teknologi pengolahannya. Di dalam: BBRSEKP Potret dan Strategi Pengembangan Perikanan Tuna, Udang dan Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Badan Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan Perikanan. Raspor P. 2005. Bio-markers: Traceability in food safety issues. Acta Biochimica Polonica 52 (3): 659-664.
70
Regattieri A, Gamberi M, Manzini R. 2007. Traceability of food products: general framework and experimental evidence. Journal of Food Engineering 81 (2): 347-356. Rehbein H, Oehlenschlager J. 2009. Fishery Products-Quality, Safety and Authenticity. United Kingdom: Willey Blackwell. Rossi S, Lee C, Ellis PC, Pivarnik LF. 2002. Biogenic amine formation in bigeye tuna steak and skipjack tuna. Journal of Food Chemistry and Toxicology (67): 2056-2060. Senneset G, Foras E, Fremme KM. 2007. Challenges regarding implementation of electronic chain traceability. British Food Journal 109 (10): 805-818. Shomura RS, Majkowski J, Langi S. 1991. Interaction of Pacific Tuna Fisheries Volume 2 Paper on Biology and Fisheries. Rome: FAO: 439p. Sidik B, Pohan HI. 2010. Pemrograman Web dengan HTML - Revisi Ketiga. Bandung: Informatika. Surette M, Gill TA, LeBlanc PJ. 1988. Biochemical basis of postmortem nucleotide catabolism in cod (Gadus morhua) and its relationship to spoilage. Journal Agriculture Food Chemistry 36 (1): 19–22. Thakur M, Donnelly KAM. 2010. Modelling traceability information in soybean value chain. Journal of Food Engineering 99 (1): 98-105. Thakur M, Hurburgh CR. 2009. Framework for implementing traceability system in the bulk grain supply chain. Journal of Food Enginering 95 (4): 617629. Thow AN, Swinburn B, Colagiuri S, Diligolevu M, Quested C, Vivili P, Leeder S. 2010. Trade and food policy: case studies from three Pasific Island countries. Food Policy 35 (6): 556-564. Toledo RAM, Cushman PK. 2007. Dasar-Dasar Database Relasional. Astranto S, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Veen TWSV. 2005. International trade and food safety in developing countries. Food Control 16 (6): 491-496. Venugopal V. 2006. Seafood Processing, Adding Value Through Quick Freezing, Retortable Packaging, and Cook-Chilling. United States of America: CRC Press. Wallace CA, Sperber WH, Mortimore SE. 2011. Food Safety for the 21st Century: Managing HACCP and Food Safety Throughout the Global Supply Chain. United Kingdom: Willey-Blackwell.
71
GLOSSARY
B Basis data: Kumpulan informasi yang disimpan dalam komputer secara sistematik dapat diperiksa menggunakan suatu program komputer untuk memperoleh informasi dari basis data tersebut. Batch/Lot Kumpulan dari unit atau banyak unit yang diproduksi dan/atau diproses atau dikemas dalam keadaan yang sama. D Data Informasi yang didokumentasikan. Database Management System: Kumpulan program yang digunakan untuk membuat dan mengelola basis data. Desain Data Konseptual: Model data yang menyediakan konsep bagaimana user (pengguna informasi) melihat suatu data. E Entitas: Obyek-obyek yang dilibatkan dalam sebuah basis data Entity Relationship Diagram: Suatu diagram yang dapat menunjukkan cara data dan informasi akan disimpan di dalam basis data beserta hubungan antar data. I Informasi Data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat dalam mengambil keputusan saat ini atau mendatang. Input Sesuatu yang dapat digunakan dari suatu proses untuk menghasilkan suatu output.
72
K Kontrol Kondisi atau prinsip atau batasan yang dibutuhkan sehingga suatu proses dapat menghasilkan output. M Mekanisme Bagaimana suatu proses direalisasikan. O Output Data atau obyek yang dihasilkan dari suatu proses. P Primary Key: Identitas (ID) yang bersifat unique Proses: Suatu kumpulan yang saling berhubungan atau aktivitas yang saling berinteraksi untuk mengubah suatu input menjadi output. S Sistem Sekumpulan elemen yang dalam sebuah jaringan yang bekerja secara teratur dalam satu kesatuan yang bulat dan terpadu untuk mencapai sebuah tujuan atau sasaran tertentu. Sistem Informasi Kumpulan atau susunan yang terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak serta tenaga pelaksananya yang bekerja dalam sebuah proses berurutan dan secara bersama-sama saling mendukung untuk menghasilkan suatu produk.
73
T Traceability Kemampuan untuk menelusuri sejarah, aplikasi, atau lokasi dari hal dibawah pertimbangan, dan catatan yang dapat menghubungkan produk dengan asal bahan dan sejarah proses produk, serta distribusi produk. Traceability Decission Tree Metode untuk memastikan traceability dari setiap proses produksi pada suatu perusahaan telah berjalan. U Use Case: Suatu kegiatan yang dilakukan dan dapat diukur. Use Case Diagram: Suatu diagram yang menggambarkan skenario tentang apa yang terjadi ketika seseorang/organisasi berinteraksi dengan sistem. X XML (Extensible Markup Language) Merupakan bahasa sebagaimana HTML yang di desain untuk mendeskripsikan data dimana tag dalam XML didefinisikan sendiri. Dokumen XML dapat digunakan untuk pertukaran data antar organisasi.
74
LAMPIRAN
59
Lampiran 1 Log book penangkapan ikan dengan alat tangkap rawai tuna dan pancing ulur.
74
75
Lampiran 2 Tabel observasi kegiatan proses pembuatan tuna loin beku (data verivikasi) Nama tahapan kegiatan Aktivitas yang dilakukan Pembelian (purchasing) Penyortiran ikan berdasarkan mutu Pembuangan sirip Pemeriksaan mutu dan suhu oleh checker Penerimaan bahan baku Pemeriksaan mutu dan suhu oleh checker Pencucian I Pencucian kulit dari kotoran yang menempel dengan air mengalir Penyimpanan sementara Penyimpanan ikan dalam bak besar berisi es curai Lama penyimpanan sementara tergantung pada lamanya kesiapan dari proses pengolahan selanjutnya dan juga waktu kedatangan ikan Pencucian II Pencucian dari kotoran setelah ikan diangkat dari bak penyimpanan semetara Penimbangan I Penimbangan bobot ikan sebelum proses cutting Pencatatan bobot ikan Pemotongan kepala Pembuangan kepala dampai batas operculum Pembersihan meja pemotongan Pembentukan loin (loining) Pemfiletan menjadi 4 bagian Pembuangan kulit, daging gelap dan Pembuangan kulit duri Pemisahan daging gelap Pembuangan sisa-sisa duri Penimbangan II Penimbangan bobot loin Pencatatan dalam form Pembungkusan sementara Pembungkusan dalam plastik LDPE polos Peletakan dalam keranjang Penimbungan dengan flekes ice Pemberian gas CO Pemberian gas CO pada tekanan 20-40 Psi Jumlah penyuntikan disesuaikan dengan size loin Pendinginan (chilling) Penyusunan loin dalam keranjang Penyimpanan dalam chill room suhu 0-1oC selama 48 jam Sortasi mutu Sortasi berdasarkan warna dan tekstur Loin dengan grade A diproses
76
Perapihan (retouching)
Penimbangan III
Pembungkusan Pemvakuman Penyusunan
Pembekuan Penimbangan IV Pengemasan dalam master carton dan pelabelan Penyimpanan
Pengisian (stuffing)
menjadi saku, grade B menjadi loin ID-on, grade C atau size yang terlalu kecil menjadi steak sedangkan daging sisa potongan diproses menjadi cubes dan ground meat. Loin dengan mutu dibawah standar dipisahkan untuk di smoke ulang Perapihan dari daging gelap, sisasisa daging gelap, sisa kulit, dan sisa duri Penyekaan daging dengan spon Penimbangan berat akhir loin sebelum pembungkusan Untuk mengetahui rendemen produk Pencatatan dalam form (dokumentasi) Pemasukan dalam plastik polietilen berlabel Pemvakuman produk yang telah dikemas dengan mesin vakum Penyususnan dalam keranjang Pemberian no batch Pengangkutan ke Air Blast Freezer Pembekuan dalam ABF, suhu 20oC selama 8 jam Penimbangan bobot ikan setelah pembekuan Penyusunan dalam master carton Pemberian label Penyusunan dalam cold storage Penyimpanan produk dalam cold storage pada suhu -18oC Pemindahan produk dari cold storage ke dalam kontainer pengangkut
77
Lampiran 3 Record of harvest vessel
78
Lampiran 4 Record of raw material receiving
79
Lampiran 5 Record of daily temperature
80
Lampiran 6 Chilling temperature report
81
Lampiran 7 Report of inspection product after trimming before freezing
82
Lampiran 8 Freezing monitoring report
83
Lampiran 9 Daily report of packing and labelling
84
Lampiran 10 Cold storage temperature report
85
Lampiran 11 Report of stuffing
Lampiran 12 Hasil asesmen sistem traceability Tahapan Pertanyaan 1: Pertanyaan 2: Proses Apakah pada Apakah kode tahapan ini dibuat nomor lot rekaman? diikutsertakan dalam rekaman?
Pertanyaan 3: Apakah kode nomor lot pada produk diikutsertakan pada tahapan proses selanjutnya?
86
Pembelian
Ya: Identitas perekaman?
Ya: Lanjutkan ke pertanyaan 3?
Ya: Identitas perekaman?
Tidak: Tindakan yang mendukung? Ya Tally sheet of purchasing, Record of harvest vessel
Tidak: Tindakan yang mendukung? Ya
Tidak: Tindakan yang mendukung? Ya Bagian pembelian memberi kode batch pada tiap pembelian ikan lalu diteruskan kebagian penerimaan Ya Tiap penerimaan diberi kode batch Ya Tiap pencucian I diberi kode batch Ya Ikan disimpan terpisah sesuai dengan kode batch masingmasing Ya Tiap pencucian II diberi kode batch Ya Tiap penimbangan I diberi kode batch Ya Tiap pemotongan kepala diberi kode batch
Penerimaan bahan baku
Ya
Report of Ya raw material receiving Record of Ya daily temperature
Pencucian 1
Ya
Penyimpanan sementara
Ya
Record of Ya daily temperature
Pencucian II
Ya
Record of Ya daily temperature
Penimbangan I
Ya
Record of Ya daily temperature
Pemotongan kepala
Ya
Record of Ya daily temperature
Pembentukan loin
Ya
Record of Ya daily temperature
Ya
Tiap pembentukan loin diberi kode batch
87
Tahapan Proses
Pertanyaan 1: Apakah pada tahapan ini dibuat rekaman?
Pertanyaan 2: Apakah kode nomor lot diikutsertakan dalam rekaman? Ya: Lanjutkan ke pertanyaan 3? Tidak: Tindakan yang mendukung? Ya
Pertanyaan 3: Apakah kode nomor lot pada produk diikutsertakan pada tahapan proses selanjutnya? Ya: Identitas Ya: Identitas perekaman? perekaman? Tidak: Tindakan Tidak: Tindakan yang yang mendukung? mendukung? Pembuangan Ya Record of Ya Tiap kulit, daging daily pembuangan gelap dan duri temperature kulit, daging gelap dan duri diberi kode bacth Penimbangan Ya Record of Ya Ya Tiap II daily penimbangan temperature II diberi kode batch Pembungkusan Ya Record of Ya Tiap sementara daily pembungkusan temperature sementara diberi kode batch Pemberian gas Tidak Pemberian Tidak Pemberian Tidak Pemberian gas CO gas CO gas CO CO dilakukan dilakukan dilakukan tiap kode tiap kode tiap kode batch yang batch yang batch sama sama yang sama Pendinginan Ya Chilling Ya Ya Tiap temperature pendinginan report diberi kode batch Sortasi mutu Ya Record of Ya Ya Tiap sortasi daily mutu diberi temperature kode batch Perapihan Ya Report of Ya Ya Tiap perapihan inspection diberi kode product batch after trimming before freezing Penimbangan Ya Record of Ya Ya Tiap III daily penimbangan temperature III diberi kode batch
88
Pembungkusan Ya
Tahapan Proses
Pemvakuman
Record of Ya daily temperature
Pertanyaan 1: Apakah pada tahapan ini dibuat rekaman? Ya: Identitas perekaman? Tidak: Tindakan yang mendukung? Ya Record of daily temperature
Pertanyaan 2: Apakah kode nomor lot diikutsertakan dalam rekaman? Ya: Lanjutkan ke pertanyaan 3? Tidak: Tindakan yang mendukung? Ya
Penyusunan
Ya
Record of Ya daily temperature
Pembekuan
Ya
Freezing monitoring report
Penimbangan IV
Ya
Record of Ya daily temperature
Pengemasan dalam master carton dan pelabelan
Ya
Daily report of packing and labelling
Penyimpanan
Ya
Pengisian
Ya
Cold Ya storage temperature report Report of Ya stuffing
Ya
Ya
Ya
Tiap pembungkusan diberi kode batch Pertanyaan 3: Apakah kode nomor lot pada produk diikutsertakan pada tahapan proses selanjutnya? Ya: Identitas perekaman? Tidak: Tindakan yang mendukung? Ya Tiap pemvakuman diberi kode batch Ya Tiap penyusunan diberi kode batch Ya Tiap pembekuan diberi kode batch Ya Tiap penimbangan IV diberi kode batch Ya Tiap pengemasan dalam master carton dan pelabelan diberi kode bacth Ya
Ya
Tiap penyimpanan diberi kode batch Tiap pengisian diberi kode batch