PENGENDALIAN MUTU PADA PROSES PRODUKSI TUNA LOIN (Thunnus sp.) MENGGUNAKAN METODE SIX SIGMA
Oleh : DYHART PUTRI MENTARI C34070019
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN DYHART PUTRI MENTARI. C34070019. Pengendalian Mutu pada Proses Produksi Tuna Loin (Thunnus sp.) Menggunakan Metode Six Sigma. Dibimbing oleh. HERU SUMARYANTO dan JOKO SANTOSO. Tuna merupakan ikan laut yang memiliki nilai komersial tinggi dalam perdagangan nasional maupun internasional. Salah satu produk olahan tuna yang memiliki nilai komersial tinggi adalah tuna loin. Upaya peningkatan ekspor tuna harus didukung oleh peningkatan kuantitas, kualitas, dan nilai tambah tuna. Perusahaan yang ingin bertahan harus dapat menghasilkan produk bermutu sesuai keinginan pembeli. Dalam menjaga mutu produk yang dihasilkan diperlukan teknik pengdalian mutu dan perbaikan yang terus menerus (quality improvement). Teknik pengendalian dan peningkatan mutu dapat dianalisis dengan menggunakan metode six sigma. Metode six sigma merupakan terobosan baru dalam manajemen peningkatan kualitas untuk menghasilkan peningkatan kualitas menuju tingkat kegagalan nol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kestabilan produksi tuna loin melalui rata-rata berat tuna segar, tuna loin, dan rendemen yang dihasilkan melalui peta kendali mutu serta kemampuan proses dalam menghasilkan produk tuna loin. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yang diawali dengan pemahaman proses produksi tuna loin, pengendalian mutu tuna segar dan loin, perancangan metode DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, dan Control), serta metode analisa data meliputi penentuan nilai rata-rata proses (𝑥), standar deviasi (s), batas spesifikasi atas (USL) dan batas spesifikasi bawah (LSL), nilai DPMO dan nilai sigma, nilai standar deviasi maksimal (Smaks), batas kontrol atas (UCL) dan batas kontrol bawah (LCL), serta nilai kapabilitas proses (Cpm) dengan menggunakan software Ms.Excell 2007 dan Minitab15. Peta kendali mutu pada hasil tahap penerimaan tuna segar dan produksi tuna loin menunjukkan titik kesebelas berada diluar batas kendali atas. Peta kendali mutu rendemen menunjukkan titik kesembilan berada diluar batas kendali atas dan terdapat pelarian panjang 4 titik secara berurutan. Hal ini mengindikasikan ketidaknormalan dalam proses produksi. Nilai kapabilias proses tuna segar, tuna loin, dan rendemen menunjukkan 1,00> Cpm >1,99, sehingga keadaan proses produksi loin berada dalam keadaan tidak mampu sampai cukup mampu untuk menghasilkan produk sesuai spesifikasi. Keadaaan proses produksi yang tak terkendali dipengaruhi oleh variasi penyebab khusus, seperti bahan baku, manusia, lingkungan, peralatan, dan metode. Proses perbaikan dilakukan dengan menggunakan siklus Deming (PDSA) dan perbaikan terus menerus, serta pengendalian agar proses tetap terjaga.
PENGENDALIAN MUTU PADA PROSES PRODUKSI TUNA LOIN (Thunnus sp.) MENGGUNAKAN METODE SIX SIGMA
Oleh : DYHART PUTRI MENTARI C34070019
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul
: Pengendalian Mutu pada Proses Produksi (Thunnus Sp.) Menggunakan Metode Six Sigma
Nama
: Dyhart Putri Mentari
NRP
: C34061419
Departemen
: Teknologi Hasil Perairan
Tuna
Loin
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Ir. Heru Sumaryanto, M. Si NIP. 196104091989031003
Dr. Ir. Joko Santoso, M. Si NIP. 196709221992031003
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., Mphil. NIP. 19580511 198503 1 002
Tanggal Lulus :
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Pengendalian Mutu pada Proses Produksi Tuna Loin (Thunnus sp.) menggunakan Metode Six Sigma” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi atau kutipan yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2011
Dyhart Putri Mentari C34070019
14
KATA PENGANTAR Penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyusun skripsi dengan judul “Pengendalian Mutu pada Proses Produksi Tuna Loin (Thunnus sp.) menggunakan Metode Six Sigma”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Bapak Ir. Heru Sumaryanto, M. Si, selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan dalam penyusunan skripsi, arahan dan nasihat kepada penulis.
2.
Alm. Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS, selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan dalam penyusunan skripsi.
3.
Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M. Si, selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan dalam penyusunan skripsi.
4.
Dr. Ir. Ruddy Suwandi MS, MPhil selaku ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.
5.
Bapak Dr. Agoes M. Jacoeb, Dipl. Biol selaku Ketua Komisi Pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan.
6.
Pimpinan, seluruh staff dan pegawai PT Madidihang Freshindo yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk melaksanakan penelitian.
7.
Pak Fajar selaku QA dan Mbak Rizki selaku pembimbing lapang dan teman yang telah banyak memberikan informasi, ilmu, bimbingan dan canda tawa kepada Penulis.
8.
Papi, Mami, serta adik-adikku (Randi, Richard, Dianda, Diana, Dianita, dan Reyhandika) atas kasih sayang, dukungan, semangat, dan doa yang selalu menyertai penulis.
9.
Ibu, Ita, Kak Dian, Fifi, Netti, dan Vera atas segala dukungan kepada penulis. Tak lupa Mira, Della, Naini, Tian, Rizki, dan Auril atas doanya.
15
10.
Nanang Kurnia atas perhatian, semangat, keceriaan, dukungan, dan saran yang diberikan bagi penulis.
11.
Teman–teman THP 44 (Gian, Ikma, Nisa, Tiza, Rika, Fitri, Salman, Adi), 43, 45, dan kosan Mega 1 (Icha, Resty, Putri, Wike, Kak tika)yang telah memberikan semangat dan informasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
12.
Semua Pihak yang telah membantu penulis dalam melaksanakan praktek lapang yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Juni 2011
Dyhart Putri Mentari C34070019
16
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Mei 1989. Penulis merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara dari pasangan H. Doddy Assaputra, SE dan Alm. Etty Suharti. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di TK Gembira tahun (1994-1995) kemudian SD Gembira Bekasi tahun (1995-1999) dan SD Cikuya II Tangerang tahun (1999-2001), selanjutnya penulis melanjutkan pendidikannya di SLTP 252 Jakarta Timur tahun (2001-2004). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMAN 71 Jakarta Timur tahun (2004-2007). Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dengan Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama SMA penulis meraih penghargaan sebagai siswa BTP (Bersih Transparan Profesional) tahun 2005/2006 dan 2006/2007, serta merupakan wakil peserta Olimpiade Kimia tahun 2007 pada tingkat Jakarta Timur. Masa perkuliahan, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (Himasilkan) sebagai anggota divisi PSDM periode 2008-2009. Penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah Ekologi Perairan tahun ajaran 2009/2010 serta berbagai kepanitiaan kegiatan kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor. Selain itu, penulis juga pernah meraih medali perunggu di bidang PKM-K pada Pimnas XXII di Universitas Brawijaya Malang, serta meraih juara 2 pada Banking Goes to Campus Business Plan Competition yang diadakan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul “Pengendalian Mutu pada Proses Produksi Tuna Loin (Thunnus sp.) Menggunakan Metode Six Sigma”.
17
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ix DAFTAR TABEL ................................................................................................. x DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xi 1 PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1 1.2 Tujuan ............................................................................................................ 3 1.3 Batasan Masalah............................................................................................. 3 1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 3 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 4 2.1 Deskrpsi Ikan Tuna ........................................................................................ 4 2.2 Komposisi Nilai Gizi Ikan Tuna .................................................................... 5 2.3 Tuna Loin ....................................................................................................... 6 2.4 Definisi Mutu ................................................................................................. 8 2.5 Pengendalian Mutu......................................................................................... 9 2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mutu .................................................... 10 2.7 Six sigma ...................................................................................................... 12 2.7.1 Metrik dan Pengukuran ....................................................................... 14 2.7.2 Dasar Statistik Six sigma ..................................................................... 14 2.7.3 Pemecahan masalah dengan six sigma ................................................ 16 2.8 Statistical Process Control (SPC) ................................................................ 17 2.8.1 Metrik SPC .......................................................................................... 19 2.8.2 Lembar Pemeriksaan ........................................................................... 20 2.8.3 Grafik Kendali ..................................................................................... 20 2.8.4 Diagram Sebab Akibat ........................................................................ 24 2.8.5 Kapabilitas proses ............................................................................... 26 2.9 Peranan Statistika dalam Pengendalian Mutu .............................................. 28 3 METODOLOGI ............................................................................................... 30 3.1 Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 30 3.2 Metode Pengumpulan Data .......................................................................... 30 3.3 Tahapan Penelitian ....................................................................................... 31 3.4 Metode Analisis Data ................................................................................... 35 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 39
18
4.1 Proses Produksi Tuna Loin .......................................................................... 39 4.2 Pengendalian Mutu...................................................................................... 40 4.2.1 Karakteristik bahan baku tuna ............................................................. 41 4.2.2 Kriteria peyimpangan bahan baku tuna............................................... 41 4.2.3 Karakteristik Mutu Tuna Loin dan Standar Penerimaan..................... 42 4.2.4 Jenis dan Penyebab Penyimpangan Tuna Loin ................................... 42 4.3 Perancangan Metode DMAIC ...................................................................... 43 4.3.1 Define (perumusan masalah) ............................................................... 43 4.3.2 Measure (Pengukuran) ........................................................................ 45 4.3.2.1 Pengendalian mutu terhadap rata-rata berat tuna segar ......... 45 4.3.2.2 Pengendalian mutu terhadap berat rata-rata tuna loin ........... 48 4.3.2.3 Pengendalian mutu terhadap rata-rata rendemen tuna loin ... 50 4.3.3 Analyze (Analisa data)......................................................................... 52 4.3.3.1 Diagram sebab-akibat tahap penerimaan tuna segar ............. 52 4.3.3.2 Diagram sebab-akibat tahap produksi tuna loin .................... 55 4.3.3.3 Diagram sebab-akibat proses terhadap rendemen loin .......... 56 4.3.4 Improve (Peningkatan/perbaikan) ..................................................... 59 4.3.5 Control (Pengendalian) ...................................................................... 60 5 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 62 5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 62 5.2 Saran ............................................................................................................. 62 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 63
19
DAFTAR GAMBAR
No
Teks
Halaman
1.
Ikan Tuna (Thunnus sp.)
5
2.
Konsep six sigma dan perbaikan proses
13
3.
Kurva pergeseran sigma untuk mengurangi variasi
15
4.
Lembar pemeriksaan item cacat
20
5.
Diagram alir penggunaan peta-peta kontrol
21
6.
Grafik kendali secara umum
24
7.
Diagram sebab-akibat
25
8.
Kurva indeks kapabilitas proses
27
9.
Diagram alir proses produksi tuna loin
32
10.
Diagram alir pembuatan grafik kendali proses secara statistik
34
11.
Peta SIPOC dalam pembuatan produksi tuna loin
44
12.
Peta kendali (X-bar) berat tuna bulan Januari-Maret 2011 di PT Y
46
13.
Peta kendali (X-bar) berat loin bulan Januari-Maret 2011 di PT Y
48
14.
Peta kendali (X-bar) rendemen bulan Januari-Maret 2011 di PT Y
50
15.
Diagram sebab-akibat variasi tahap penerimaan tuna
53
16.
Cacat dalam pada daging tuna segar Big eye
53
17.
Diagram sebab-akibat variasi dalam produksi loin
55
18.
Diagram sebab-akibat proses produksi terhadap rendemen loin
57
20
DAFTAR TABEL
No
Teks
Halaman
1. Komposisi gizi beberapa jenis tuna (Thunnus sp.) per 100 gr daging
6
2. Jumlah cacat pergeseran proses dari titik tengah serta tingkat kualitasnya
15
3. Hubungan antara Cp dan kapabilitas proses
28
4. Kriteria penyimpangan bahan baku
42
5. Karakteristik mutu tuna loin dan standar penerimaan
42
6. Jenis dan penyebab penyimpangan tuna loin
43
7. Evaluasi rata-rata penerimaan tuna bulan Januari-Maret 2011 di PT Y
47
8. Evaluasi rata-rata berat tuna loin bulan Januari-Maret 2011 di PT Y
49
9. Hasil evaluasi rata-rata rendemen tuna Januari-Maret 2011 di PT Y
51
10. Hubungan antara silkus Deming (PDSA) dan proses perbaikan
60
21
DAFTAR LAMPIRAN
No
Halaman
1. Gambar proses produksi pembuatan loin
68
2. Data berat rata-rata penerimaan tuna segar, tuna loin, dan rendemen
69
3. Tabel peluang nilai z untuk sebaran normal baku dengan =0 dan =1
70
4. Contoh perhitungan evaluasi tahap produksi loin
72
5. Tabel konversi nilai DPMO ke nilai sigma
74
1
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Ikan merupakan salah satu sumber protein yang banyak dikonsumsi
masyarakat, mudah didapat, dan harganya murah. Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan yang besar, salah satunya berasal dari perikanan laut. Hal ini terlihat dari peningkatan volume produksi perikanan laut pada tahun 2004 sampai 2008 dari 4.320.241 ton hingga 4.701.933 ton dengan persentase kenaikan rata-rata yang terjadi mencapai 2,16% (KKP 2010). Selain itu, Indonesia merupakan negara yang berpotensi besar sebagai penghasil tuna. Peluang pasar ikan tuna cukup besar, baik ekspor maupun pasar lokal. Sasaran ekspor tuna yang terbesar adalah Jepang. Menurut Direktur Sumber Daya Ikan, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Agus Apun Budhiman, produksi ikan tuna dan cakalang pada tahun 2009 mencapai 541.303 ton dan mengalami peningkatan sebanyak 5,94% pada tahun 2010 sebesar 577.430 ton (Alamsy 2011). Biasanya tuna yang diekspor merupakan tuna yang masih segar untuk diolah menjadi sashimi atau sushi (Mateo et al. 2006). Upaya peningkatan ekspor tuna harus didukung oleh peningkatan kuantitas, kualitas, dan nilai tambah tuna. Umumnya perusahaan tuna ekspor memiliki beberapa tantangan dalam menjalankan usahanya, antara lain (i) persaingan dengan perusahaan sejenis, terutama perusahaan asing, (ii) tuntutan harus terpenuhinya standar mutu produk yang telah ditetapkan untuk pasar ekspor, (iii) kemampuan mengekspor dengan kuantitas yang sesuai permintaan pembeli. Sehingga perusahaan yang ingin bertahan harus dapat menghasilkan produk bermutu yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan konsumen. Dalam menjaga mutu produk
yang
dihasilkan,
diperlukan
perbaikan
yang
terus
menerus
(quality improvement). Pengendalian mutu dilakukan untuk menghasilkan mutu produk yang konsisten sesuai dengan tuntutan kebutuhan konsumen. Teknik pengendalian dan peningkatan mutu produk dapat dianalisis menggunakan metode six sigma (Ariani 1999). Six sigma merupakan suatu terobosan baru dalam bidang manajemen kualitas untuk menghasilkan peningkatan kualitas menuju tingkat kegagalan nol.
2
Prinsip-prinsip pengendalian dan peningkatan kualitas dengan metode six sigma sudah dibuktikan terlebih dahulu oleh perusahaan Motorola selama kurang lebih 10 tahun, serta implementasinya telah mampu mencapai tingkat kualitas 3,4 DPMO (defects per million opportunities atau kegagalan per sejuta kesempatan)
(Gaspersz
2003).
Six
sigma
memiliki
prinsip
DMAIC
(Define, Measure, Analyze, Improve, and Control) sebagai suatu sistem manajemen yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja perusahaan, serta menghilangkan faktor-faktor yang dapat menghambat peningkatan efektivitas suatu sistem produksi. Penerapan teknik pengendalian mutu six sigma memiliki terobosan yang menambah nilai kepada perusahaan dan pelanggan melalui pendekatan masalah yang sistematis (Byrne et al. 2007). Konsep six sigma didasari oleh kepuasan pelanggan apabila mereka menerima nilai yang diharapkan. Sebagai ilustrasi, apabila produk (barang/jasa) diproses pada tingkat kualitas six sigma, maka perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan persejuta kesempatan (DPMO) atau mengharapkan bahwa 99,99966 persen dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk itu. Six sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja pada sistem industri serta dipandang sebagai pengendalian proses industri berfokus pada pelanggan dengan memperhatikan kapabilitas proses (Evans dan Lindsay 2007). Menurut Saulina (2009), pengendalian mutu dengan metode six sigma telah dilakukan di perusahaan proses pembekuan udang. Konsep six sigma dilakukan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi pengendalian mutu pada proses pembekuan udang. Hasil pengendalian mutu memperoleh nilai kapabilitas proses (Cpm > 2), sehingga keadaan proses produksi berada dalam keadaan mampu untuk menghasilkan produk sesuai spesifikasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penerapan metode six sigma pada industri tuna loin untuk mengetahui efektivitas dan konsistensi penerapan sistem pengendalian mutu. Pengkajian dilakukan pada data rata-rata berat tuna segar dan tuna loin serta melihat pengaruh besarnya rendemen yang dihasilkan dengan memperhatikan kemampuan prosesnya. Hal ini berkaitan dengan kestabilan produksi tuna loin, ketidaksesuaian mutu produk (wholesomeness) dan penipuan ekonomi (economic fraud) terhadap pelanggan.
3
1.2
Tujuan Penelitian analisis pengendalian mutu pada proses produksi tuna loin
(Thunnus sp.) menggunakan metode six sigma adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui kestabilan produksi tuna loin melalui rata-rata berat tuna segar, tuna loin, dan rendemen yang dihasilkan melalui peta kendali mutu. 2. Mengetahui kemampuan proses dalam menghasilkan produk tuna loin melalui pengukuran kapabilitas proses. 1.3
Batasan Masalah Fokus kajian analisis pengendalian mutu dilakukan terhadap rata-rata
berat tuna segar, tuna loin serta rendemen yang diperoleh selama produksi tuna loin pada bulan Januari sampai dengan Maret 2011 di PT Y. Kajian ini dilakukan mulai tahap penerimaan bahan baku, pemotongan kepala, sirip, dan ekor, pembuatan loin, pembuangan daging gelap, kulit dan perapihan, serta penimbangan berat tuna loin sesuai keinginan pembeli. 1.4
Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain:
1.
Penulis Meningkatkan kemampuan penulis dalam mengidentifikasi masalah,
menganalisis, dan menemukan solusi yang terkait dengan pengendalian mutu pada proses produksi tuna loin menggunakan konsep analisis six sigma yang terintegrasi dengan Statistical Process Control (SPC). 2.
Perusahaan Penelitian ini dapat memberikan evaluasi dan masukan mengenai
pengendalian mutu pada proses produksi tuna loin selama bulan Januari sampai dengan Maret 2011. 3.
Ilmu Pengetahuan Penelitian
perkembangan
ini
ilmu
diharapkan pengetahuan
dapat dan
menjadi referensi
sumber penelitian,
ilmiah
bagi
khususnya
pengendalian mutu menggunakan six sigma. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan penelitian selanjutnya.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Deskrpsi Ikan Tuna Tuna adalah ikan laut yang terdiri dari beberapa famili Scombridae,
terutama genus Thunnus. Tuna merupakan ikan perenang handal (pernah diukur mencapai 77 km/jam). Daging yang dimiliki berwarna merah muda sampai merah tua. Hal ini karena otot tuna lebih banyak mengandung myoglobin dari pada ikan lainnya
(Mc Afee et al. 2009). Beberapa spesies tuna yang lebih besar, seperti
tuna sirip biru (bluefin tuna), dapat menaikkan suhu darahnya di atas suhu air dengan aktivitas ototnya. Hal ini menyebabkan mereka dapat hidup di air yang lebih
dingin
dan
dapat
bertahan
dalam
kondisi
yang
beragam
(Lennert-cody 2008). Tuna adalah ikan yang memiliki nilai komersial tinggi. Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik kecil berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya. Sebagian besar mempunyai sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap (Burhanuddin et al. 1984). Klasifikasi ikan tuna (Saanin 1984) adalah sebagai berikut : Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Teleostei
Subkelas
: Actinopterygi
Ordo
: Perciformes
Subordo
: Scombridei
Family
: Scombridae
Genus
: Thunnus
Spesies
: Thunnus obesus (bigeye, tuna mata besar) Thunnus alalunga (albacore, tuna albacore) Thunnus tonggol (longtail, tuna ekor panjang) Thunnus albacore (yellowfin, madidihang) Thunnus macoyii (southern bluefin, tuna sirip biru selatan) Thunnus thynnus (northern bluefin, tuna sirip biru utara) Thunnus atlanticus (blackfin, tuna sirip hitam)
5
Gambar 1. Ikan tuna (Thunnus sp.) Sumber: Anonim (2010)
Ikan tuna yang terdapat di perairan Indonesia terdiri dari beberapa jenis, untuk memudahkannya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu tuna kecil yang diwakili oleh skipjack dan tuna besar yang meliputi madidihang, tuna mata besar, tuna albacore, tuna sirip biru dan tuna abu-abu. Beberapa jenis tuna yang merupakan komoditi ekspor adalah madidihang, tuna mata besar, albacore, tuna sirip biru, dan cakalang. Tuna terdapat di perairan laut mana saja, terutama yang mempunyai kadar garam tinggi. Di Samudra Hindia penyebaran meluas dari 30° lintang selatan ke utara dan dari timur Australia hingga benua Afrika dan di nusantara selain di kedua lautan yang mengelilingi negara kepulauan juga terdapat di laut yang dalam diantaranya laut Bali, laut Flores, laut Arafuru serta laut Banda (Stansby 1963). 2.2.
Komposisi Nilai Gizi Ikan Tuna Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan
lemak yang rendah serta mengandung protein antara 22,6-26,2 g/100 g daging, lemak antara 0,2-2,7 g/100 g daging. Ikan tuna mengandung mineral (kalsium, fosfor, besi, sodium), vitamin A (retinol), dan vitamin B (thiamin, riboflavin, dan niasin) (Department of Health Education and Walfare 1972). Secara umum bagian tuna yang dapat dimakan (edible portion) berkisar antara 50-60 % dari tubuh ikan (Stansby 1963). Kadar protein daging putih ikan tuna lebih tinggi daripada daging merah, namun kadar lemak daging putih lebih rendah daripada daging merah. Daging merah kaya akan lemak, suplai oksigen,
6
dan mioglobin, sehingga memungkinkan untuk berenang pada kecepatan tetap (Kawamura 2003). Menurut Roy et al. (2009), mioglobin dan hemoglobin yang terkandung dalam daging merah bersifat prooksidan serta kaya akan lemak sehingga menyebabkan mudahnya terjadi ketengikan. Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi gizi beberapa jenis Tuna (Thunnus sp.) per 100 gram daging
Sumber : Departemen of Health, Education an Welfare 1972
2.3
Tuna Loin Tuna loin adalah produk yang dibuat dari tuna segar yang mengalami
perlakuan penyiangan, pembelahan membujur menjadi 4 bagian (loin), pembuangan daging gelap (dark meat), pembuangan lemak, pembuangan kulit, perapihan dan pembekuan cepat serta suhu pusatnya maksimum -18°C (BSN 2006). Cara penanganan dan pengolahan ikan tuna loin berdasarkan ketentuan SNI 7530.3:2009 meliputi: 1.
Penerimaan bahan baku Penerimaan bahan baku bertujuan untuk mendapatkan bahan baku yang
bebas dari kontaminasi bakteri patogen Bahan baku tuna yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik dan uji histamin untuk mengetahui mutunya. Penanganan dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter dengan suhu produk
7
0–4,4
o
C. Bahan baku diidentifikasi dan diberi kode untuk kemudahan
penelusuran dan dipertahankan sampai tahapan produk akhir. 2.
Penyiangan Penyiangan bertujuan untuk mendapatkan ikan yang bersih, tanpa
kepala, dan isi perut serta mereduksi kontaminasi bakteri patogen. Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk 0–4,4 oC. 3.
Pencucian Pencucian bertujuan untuk menghilangkan sisa kotoran dan darah yang
menempel di tubuh ikan agar bebas dari kontaminasi bakteri patogen. Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara cepat, cermat, dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk 0–4,4 oC. 4.
Pembuatan loin Pembuatan loin bertujuan untuk mendapatkan bentuk loin sesuai dengan
ukuran yang ditentukan. Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 0–4,4 oC. 5.
Pembuangan kulit dan perapihan Pembuangan kulit dan perapihan bertujuan untuk mendapatkan loin
yang rapi dan bebas dari tulang, daging gelap (dark meat), dan kulit serta terhindar dari kontaminasi bakteri patogen. Tulang, daging gelap (dark meat), dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pembuangan kulit dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 0–4,4 oC. 6.
Sortasi mutu Sortasi mutu bertujuan untuk mendapatkan loin dengan mutu sesuai
spesifikasi. Sortasi mutu dilakukan dengan mengelompokkan produk sesuai spesifikasi secara hati-hati cepat, cermat, dan saniter dengan suhu pusat produk 0–4,4 oC.
8
7.
Pembungkusan (wrapping) Pembungkusan (wrapping) bertujuan untuk mendapatkan loin dalam
kemasan yang sempurna dan terhindar dari kontaminasi bakteri patogen. Loin yang sudah rapi selanjutnya dikemas dalam plastik vacuum dan tidak vacuum secara individual, dengan cepat, cermat, dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk 0–4,4 oC. 8.
Penimbangan Penimbangan bertujuan untuk mendapatkan berat loin yang sesuai
dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen. Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi, dengan cepat, cermat, dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk 0–4,4 oC. 9.
Pengepakan Pengepakan dilakukan untuk melindungi produk dari kontaminasi dan
kerusakan selama transportasi serta penyimpanan sesuai dengan label. Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat,dan saniter. 2.4
Definisi Mutu Pesatnya perkembangan pasar-pasar jenis baru,terutama pasar perikanan
baik yang belum pernah ada sebelumnya sampai yang sudah ada menambah ketatnya persaingan dalam dunia perdagangan. Persaingan tersebut terlihat dari volume, keragaman, serta mutu produk yang dihasilkan oleh tiap produsen. Oleh karena itu, banyak produsen yang berusaha meningkatkan serta mengendalikan mutu produk yang dihasilkan. Mutu merupakan sesuatu yang diputuskan oleh pelanggan serta didasarkan oleh pengalaman aktual pelanggan terhadap produk atau jasa, dan diukur berdasarkan persyaratan pelanggan yang cenderung bersifat subyektif. Oleh karena itu, mutu produk dan jasa dapat didefinisikan sebagai keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa, pembikinan, dan pemeliharaan yang membuat produk dan jasa digunakan untuk memenuhi harapan-harapan pelanggan (Feingenbaum 1989).
9
Menurut Montgomery (1990), ada dua segi umum tentang mutu, yaitu rancangan mutu dan kecocokan mutu. Semua barang dan jasa dihasilkan dalam berbagai tingkat mutu. Variasi dalam tingkat mutu memang disengaja, sehingga teknik ini disebut dengan istilah rancangan mutu. Kecocokan mutu merupakan seberapa baik suatu produk sesuai dengan spesifikasi dan kelonggaran yang diisyaratkan oleh rancangan tersebut. Kecocokan mutu dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk pemilihan proses pembuatan, latihan dan pengawasan angkatan kerja, jenis sistem jaminan mutu (pengendalian proses, uji, aktivitas pemeriksaan, dan lain-lain) yang digunakan untuk memantau seberapa jauh jaminan mutu diikuti beserta motivasi angkatan kerja untuk mencapai mutu. Tiap produk yang dihasilkan mempunyai sejumlah unsur yang secara bersama-sama menggambarkan kecocokan penggunaannya. Ciri-ciri mutu terdiri dari beberapa sifat berikut (Gasperz 1998): 1. Fisik: panjang, berat, dan diameter. 2. Sensori (berkaitan dengan panca indera): rasa, penampilan, warna, bentuk, model, dan lain-lain. 3. Orientasi
waktu:
keandalan,
kemampuan
pelayanan,
kemudahan
pemeliharaan, ketepatan waktu penyerahan produk. 4. Orientasi biaya: berkaitan dengan dimensi biaya yang menggambarkan harga dari suatu produk yang harus dibayarkan oleh konsumen. 2.5
Pengendalian Mutu Pengendalian mutu adalah aktivitas keteknikan dan manajemen sehingga
ciri-ciri kualitas produk dapat diukur, dibandingkan dengan spesifikasi atau persyaratannya, serta pengambilan tindakan yang sesuai jika terdapat perbedaan antara penampilan sebenarnya dengan standarnya (Montgomery 1990). Prosedur
untuk
mencapai
sasaran
mutu
diistilahkan
dengan
pengendalian mutu. Menurut Feigenbaum (1989), secara umum ada empat langkah dalam penerapan pengendalian mutu, yaitu: 1. Menetapkan standar, yaitu menentukan standar mutu, standar mutu prestasi kerja, standar mutu keamanan, dan standar mutu keterandalan yang diperlukan produk.
10
2. Menilai kesesuaian, yaitu membandingkan kesesuaian dari produk dan jasa yang dihasikan terhadap suatu standar. 3. Mengambil tindakan korektif bila perlu, yaitu mengkoreksi masalah dan penyebabnya melalui faktor-faktor yang mencakup pemasaran, rekayasa, produksi, dan pemeliharaan yang mempengaruhi kepuasan pemakai. 4. Merencanakan perbaikan, yaitu mengembangkan suatu upaya yang kontinu tuntuk
memperbaiki
standar-standar
biaya,
prestasi,
keamanan,
dan
keterandalan. Tujuan utama pengendalian mutu adalah menjaga kepuasan pelanggan. Identifikasi semua kebutuhan pelanggan merupakan suatu hal yang mendasar bagi kendali mutu efektif. Keuntungan yang didapat dari pengendalian mutu adalah sebagai berikut (Feigenbaum 1989): 1. Meningkatkan mutu dan desain produk. 2. Meningkatkan aliran produksi. 3. Meningkatkan moral tenaga kerja dan kesadaran mengenai mutu 4. Meningkatkan pelayanan produk. 5. Memperluas pangsa pasar. 2.6
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mutu Menurut Montgomery (1990) pertumbuhan persaingan yang nyata
mengenai mutu produk dipengaruhi oleh Sembilan bidang dasar “9M”sebagai berikut : 1. Market (Pasar), jumlah produk baru dan lebih baik yang ditawarkan di pasar terus bertumbuh pada laju yang eksplosif. Kebanyakan produk ini adalah hasil perkembangan teknologi baru, sehingga konsumen meminta dan memperoleh produk yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan. Akibatnya, bisnis harus lebih fleksibel dan mampu berubah arah dengan cepat. 2. Money (Uang), meningkatnya persaingan di dalam banyak bidang bersamaan dengan fluktuasi ekonomi dunia telah menurunkan batas (margin) laba. Akan tetapi, kebutuhan mekanisasi telah mendorong pengeluaran biaya yang besar untuk proses dan perlengkapan yang baru. Selain itu, biaya-biaya mutu yang dikaitkan dengan pemeliharaan dan perbaikan mutu telah mencapai ketinggian yang tak terduga. Hal ini membuat fokus perhatian manajer pada bidang
11
biaya-mutu sebagai salah satu “titik lunak” tempat biaya operasi dan kerugian dapat diturunkan untuk memperbaiki laba. 3. Management (Manajemen), tanggung jawab mutu telah didistribusikan antara beberapa kelompok khusus, seperti terdapatnya bagian pemasaran, produksi, dan kendali mutu. Sehingga mutu pelayanan produk sampai kepada konsumen menjadi bagian yang semakin penting dari “paket produk” total. Hal ini telah manambah
beban
manajemen
puncak,
khususnya
dipandang
dari
bertambahnya kesulitan dalam mengalokasikan tanggung jawab yang tepat untuk mengkoreksi penyimpangan dari standar mutu. 4. Men (Manusia), pertumbuhan yang cepat dalam pengetahuan teknis dan penciptaan seluruh bidang baru telah menciptakan permintaan yang besar akan pekerja dengan pengetahuan khusus. Meskipun spesialisasi memiliki keuntungan, kerugiannya adalah memecah tanggung jawab mutu produk kedalam beberapa bagian. Oleh karena itu, banyak aspek sistem operasi bisnis telah menjadi fokus manajemen modern. 5. Motivation (Motivasi), meningkatkan kerumitan dalam membawa mutu produk kedalam pasar telah memperbesar makna kontribusi setiap karyawan terhadap mutu. Hal ini membimbing kearah kebutuhan yang tidak pernah ada sebelumnya, sehingga tercipta kesadaran akan pendidikan dan komunikasi mutu. 6. Materials (Bahan), disebabkan oleh biaya produksi dan persyaratan mutu, sehingga para ahli memilih bahan dengan batasan yang lebih ketat daripada sebelumnya dan bahan yang terdapat menjadi lebih beraneka ragam. 7. Machines and Mechanization (Mesin dan mekanisasi), merupakan upaya penurunan biaya dan volume produksi untuk memuaskan pelanggan dalam pasar yang bersaing ketat. Mutu yang baik menjadi sebuah faktor yang kritis dalam memelihara waktu kerja mesin agar dapat dimanfaatkan sepenuhnya. 8. Modern information methods (Metode informasi modern), memberikan kemampuan untuk manajemen informasi yang lebih bermanfaat, lebih akurat, tepat waktu, dan bersifat ramalan dengan mendasari keputusan yang membimbing masa depan.
12
9. Mounting product requirements (Persyaratan proses produksi), meyakinkan bahwa tidak ada faktor-faktor yang diketahui ataupun tidak yang memasuki proses untuk menurunkan keterandalan komponen atau sistem. 2.7
Six sigma Six sigma merupakan metode peningkatan proses bisnis yang bertujuan
utnuk menemukan dan mengurangi faktor-faktor penyebab kecacatan dan kesalahan, mengurangi
waktu siklus dan biaya operasi, meningkatkan
produktivitas, memenuhi kebutuhan pelanggan dengan lebih baik, mencapai tingkat pendayagunaan aset yang lebih tinggi, serta mendapatkan imbalan hasil atas investasi yang lebih baik dari segi produksi maupun pelayanan. Metode ini disusun berdasarkan sebuah metodologi penyelesaian masalah sederhana-DMAIC, yang merupakan singkatan dari Define (merumuskan), Measure (mengukur), Analyze (menganalisis), Improve (meningkatkan/memperbaiki), dan Control (mengendalikan) yang menggabungkan bermacam-macam perangkat statistik serta perbaikan proses lainnya (Gimenez 2005). Motorola adalah perusahaan yang pertama menggunakan konsep six sigma sebagai metode untuk mengukur kualitas produk dan jasa. Istilah six sigma (sigma enam) berasal dari ukuran statistik yang berarti tingkat kesalahan atau cacat sejumlah 3,4 atau lebih kecil per satu juta kejadian. Salah satu tujuan jangka panjang penerapan six sigma adalah dapat melakukan semua proses penting apapun wilayah fungsionalnya pada tingkat kemampuan sigma enam, sehingga dapat meningkatkan kinerja bisnis dari segi kualitas produktivitas dan biaya profitabilitas (Gaspersz 2003). Gambaran konsep six sigma dapat dilihat pada Gambar 2.
13
Proses Bisnis yang Sudah ada
Pemasok
Input
Proses Produksi dan Jasa
Output
Pelanggan
Metodologi Six Sigma
Kinerja Bisnis yang Meningkat
Kualitas Produktivitas
Biaya Profitabilitas
Gambar 2. Konsep six sigma dan perbaikan proses Sumber: Evans dan Lindsay (2007)
Menurut Evans dan Lindsay (2007), inti dari filosofi six sigma bertumpu pada beberapa konsep penting, yaitu: 1. Selalu berpikir dalam kerangka proses bisnis utama serta kebutuhan pelanggan, dengan tetap fokus pada tujuan strategis perusahaan. 2. Memusatkan perhatian pada para pendukung perusahaan yang bertanggung jawab menyukseskan proyek-proyek penting, mendukung kerja kelompok, membantu mengatasi hambatan untuk berubah, dan menggalang sumber daya. 3. Menekankan sistem pengukuran yang bisa dikuantifikasi, seperti cacat per satu juta kemungkinan (dpmo) yang bisa diterapkan disetiap bagian perusahaan. 4. Memastikan bahwa sistem pengukuran yang tepat teridentifikasi di awal setiap proses serta memastikan bahwa sistem tersebut berfokus pada penerapan bisnis, sehingga dapat memberikan sistem insentif dan akuntabilitas. 5. Menyediakan pelatihan menyeluruh yang diikuti dengan penugasan tim proyek untuk meningkatkan profitabilitas, mengurangi aktivitas yang tak bernilai tambah, serta mencapai pengurangan waktu siklus. 6. Menciptakan ahli-ahli peningkatan proses berkualifikasi tinggi yang dapat menerapkan alat-alat untuk dapat meningkatkan kinerja serta dapat memimpin tim. 7. Mencanangkan tujuan jangka panjang untuk perbaikan.
14
2.7.1
Metrik dan Pengukuran Metrik adalah cara untuk mengukur karakter tertentu yang dapat
diverifikasi, dinyatakan baik secara numerik (misal persentasi kecacatan) ataupun kualitatif (misal tingkat kepuasan). Penggunaan metrik penting dalam penerapan six sigma karena memberikan keputusan berdasarkan fakta. Dalam terminologi six sigma, cacat (defect) atau ketidaksesuaian (nonconformance) merupakan suatu kekeliruan atau kesalahan yang diterima pelanggan (Evans dan Lindsay 2007). Metrik dpmo merupakan cara pengukuran yang biasa diterapkan dalam six sigma, sebagai tingkat kecacatan per juta kemungkinan (defects per million opportunities-dpmo): Dpmo = (Jumlah cacat yang ditemukan/kemungkinan kesalahan) x 1.000.000 2.7.2
Dasar Statistik Six sigma Tingkatan kualitas sigma enam adalah tingkat yang setara dengan variasi
sejumlah proses sejumlah setengah dari yang ditoleransi oleh tahap desain dan dalam waktu yang sama memberi kesempatan agar rata-rata produksi bergeser 1,5 deviasi standar dari target. Pergeseran kurva tersebut menandakan bahwa tidak ada proses yang dapat dipertahankan pada tahap sempurna (Gaspersz 2003). Wilayah dibawah ekor kurva yang bergeser diluar wilayah sigma enam hanya berukuran seluas 0,0000034 atau 3,4 per satu juta. Hal ini menandakan ratarata suatu proses dapat dikontrol agar bergeser paling banyak 1,5 deviasi standar dari target. Sehingga diharapkan cacat yang terjadi hanya 3,4 per satu juta kejadian. Jika rata-rata tersebut dapat dijaga tepat sesuai target, maka kemungkinan terjadinya cacat diluar sigma enam kearah dua ekor hanya satu per satu miliar kejadian. Jika pergeseran terjadi kedua arah, maka kemungkinan cacat pada tingkatan sigma enam paling banyak hanya 6,8 per satu juta kejadian, dan jika pergeseran terjadi pada target distribusi, maka jumlah cacat hanya dua per satu miliar (Evans dan Lindsay 2007). Jumlah cacat (per satu juta) dan beberapa pergeseran proses dari titik tengah serta tingkat kualitasnya (satu ekor saja) dapat dilihat pada Tabel 2.
15
Tabel 2. Jumlah cacat (per satu juta) dan beberapa pergeseran proses dari titik tengah serta tingkat kualitasnya (satu ekor saja) Tingkat Kualitas Pergeseran
3-sigma
3,5-sigma
4-sigma
4,5-sigma
5-sigma
5,5-sigma
6-sigma
0
1350
233
32
3,4
0,29
0,017
0,001
0,25-sigma
3577
666
99
12,8
1,02
0,1056
0,0063
0,5-sigma
6440
1382
236
32
3,4
0,71
0,019
0,75-sigma
12288
3011
665
88,5
11
1,02
0,1
1-sigma
22832
6433
1350
233
32
3,4
0,39
1,25-sigma
40111
12201
3000
577
88,5
10,7
1
1,5-sigma
66803
22800
6200
1350
233
32
3,4
1,75-sigma
105601
40100
12200
3000
577
88,4
11
2-sigma
158700
66800
22800
6200
1300
233
32
Sumber: Takadimalla (1994) diacu dalam Evans dan Lindsay (2007)
Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkatan kualitas dengan jumlah cacat 3,4 per satu juta kesempatan dapat dicapai melalui berbagai cara, yaitu dengan pergeseran sigma dari target sebanyak 0,5 dan kualitas 5-sigma, pergeseran sigma dari target sebanyak 1 dan kualitas 5,5-sigma, serta pergeseran sigma dari target sebanyak 1,5 dan kualitas 6-sigma. Pengendalian sebuah proses agar sesuai dengan target merupakan pilihan yang lebih murah dibandingkan mengurangi variabilitas proses (Kwak et al. 2003). Kurva pergeseran sigma untuk mengurangi variasi dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Kurva pergeseran sigma untuk mengurangi variasi Sumber: Kapadia (2010)
Tingkatan sigma dapat dihitung dengan Ms.Excel menggunakan formula sebagai berikut: =NORMSINV(1-dpmo/1.000.000)+Shift
16
Meskipun demikian tidak semua proses harus beroperasi pada tingkatan sigma enam. Tingkatan yang tepat bergantung seberapa penting suatu proses secara strategis serta biaya perbaikan jika dibandingkan dengan keuntungan yang dihasilkan (Goffnet 2004). Menurut Gaspersz (2003), ada 6 aspek yang perlu diperhatikan dalam penerapan konsep six sigma di bidang manufaktur, yaitu: 1. Identifikasi karakteristik produk yang sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. 2. Klasifikasikan semua karakteristik kualitas sebagai CTQ (Critical to Quality) individual 3. Tentukan apakah setiap CTQ dapat dikendalikan melalui pengendalian material, mesin, proses kerja, dan lain-lain. 4. Menentukan nilai USL (upper specific limit- nilai batas spesifikasi atas) dan LSL (lower specific limit- nilai batas spesifikasi bawah) dari setiap CTQ. 5. Menentukan nilai maksimum standar deviasi untuk setiap CTQ. 6. Mengubah desain produk/proses sedemikian rupa agar mampu mencapai nilai target six sigma (Cp > 2). 2.7.3
Pemecahan masalah dengan six sigma Pemecahan masalah (problem solving) merupakan aktivitas yang
melibatkan perubahan aktivitas suatu keadaan yang sedang berlangsung agar berlangsung sebagaimana seharusnya. Perbaikan kinerja bisnis dan kualitas yang sukses bergantung pada kemampuan perusahaan untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah. Kemampuan dari landasan filosofi six sigma adalah perbaikan terobosan yang menambah nilai kepada perusahaan dan pelanggan melalui pendekatan masalah yang sistematis (Cheng 2010). Hal ini diterapkan dalam lima tahap metodologi DMAIC (Evans dan Lindsay 2007), yaitu: 1. Define (Perumusan), mengumpulkan dan mengorganisasikan informasi, menganalisis data dan asumsi yang mendasari data tersebut, serta menelaah masalah untuk mendapatkan perspektif baru agar memperoleh definisi masalah yang dapat diperbaiki. 2. Measure (Pengukuran), bagaimana cara mengukur proses internal yang mempengaruhi CTQ (quality to control). Hal ini membutuhkan pemahaman
17
akan hubungan sebab akibat antara kinerja proses dan nilai pelanggan. Metodologi ini menggunakan istilah fungsi dalam ilmu matematika yang menggambarkan hubungan sebagai berikut: Y = f (X) dimana: Y= variabel respon yang penting (CTQ) X= variabel input penting yang mempengaruhi Y 3. Analyze (Analisis), fase analisis dari metode DMAIC berfokus pada pertanyaan mengapa cacat, kesalahan, atau variasi yang berlebihan terjadi. Setelah variabel yang terkumpul dan diukur, dilakukan eksperimen untuk memverifikasi hubungan yang telah dihipotesiskan sebelumnya, yaitu apakah faktor X benar-benar mempengaruhi faktor Y. Eksperimen dilakukan dengan cara memformulasikan beberapa hipotesis untuk menyelidiki data yang dikumpulkan atau melakukan percobaan lain, sehingga dapat disimpulkan secara beralasan serta dapat didukung secara statistik sebagai akar permasalahan yang sebenarnya. 4. Improve (Peningkatan), setelah akar permasalahan dapat dipahami selanjutnya dilakukan pengumpulan ide untuk menghilangkan atau memecahkan masalah serta memperbaiki kinerja variabel X sehingga memperbaiki CTQ. Seperangkat ide yang telah diajukan, perlu dilakukan evaluasi dan ide yang paling menjanjikan yang dipilih. 5. Control (Pengendalian), berfokus pada bagaimana menjaga perbaikan agar terus berlangsung. Bentuk pengendalian dapat dilakukan dengan membuat daftar periksa (checklist) atau pemeriksaan berkala untuk meyakinkan bahwa prosedur yang benar telah diikuti, atau penerapan diagram pengendalian proses statistik untuk memonitor kinerja cara pengukuran yang terpenting. 2.8
Statistical Process Control (SPC) Statistika merupakan metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan
penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna. Metode statistik memberikan cara-cara pokok dalam pengambilan sampel produk, pengujian serta evaluasinya, dan informasi dalam data digunakan untuk mengendalikan dan meningkatkan proses pembuatan (Montgomery 1990).
18
Penggunaan ilmu statistika dalam pengawasan proses produksi, pengendalian mutu produksi, dan sistem manajemen mutu memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan teknik manajemen yang hanya mengandalkan pemikiran tim manajerial perusahaan. Beberapa kelebihan penggunaan statistika dalam pengendalian mutu (Urdhwareshe 2000), antara lain: 1. Sebagai alat yang telah terbukti untuk dapat meningkatkan produktivitas. 2. Sebagai alat efektif untuk mencegah penyimpangan. 3. Dapat mencegah penyesuaian yang tidak perlu. 4. Memberikan informasi bagi operator untuk membuat suatu perubahan pada proses yang dapat meningkatkan produktivitas. Statistical process control (SPC) merupakan metode statistika yang memisahkan variasi yang dihasilkan sebab khusus dari variasi alamiah untuk menghilangkan sebab khusus, mengusahakan dan mempertahankan konsistensi dalam proses, serta memantapkan proses perbaikan (Goetsch dan David 2003). Dalam proses produksi, variabilitas merupakan ketidakseragaman dalam proses operasional sehingga menimbulkan perbedaan mutu produk (barang atau jasa) yang dihasilkan. Hal ini dihasilkan oleh pengaruh kumulatif dari banyak sebabsebab kecil yang pada dasarnya tidak terkendali (Montgomery 1990). Macam-macam variabilitas terkadang dapat timbul dari hasil suatu proses. Menurut Gaspersz (2002), terdapat dua sumber penyebab timbulnya variasi yang diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Variasi penyebab khusus (special-causes variation) adalah kejadian-kejadian diluar sistem industri yang mempengaruhi variasi dalam sistem industri tersebut. Penyebab khusus dapat bersumber dari faktor-faktor, seperti: manusia, peralatan, material, lingkungan, metode kerja, dll. Penyebab khusus ini mengambil pola non acak (nonrandom pattern) yang dapat diidentifikasi, sebab tidak selalu aktif dalam proses tetapi memiliki pengaruh lebih kuat pada proses sehingga menyebabkan variasi. Dalam pengendalian proses statistik menggunakan peta kontrol (control chart), jenis variasi ini sering ditandai dengan titik-titik pengamatan yang melewati batas pengendalian yang didefinisikan (defined control limit).
19
2. Variasi penyebab umum (Common-cause variation) adalah faktor-faktor didalam sistem industri atau yang melekat pada proses industri sehingga menimbulkan variasi dalam sistem tersebut. Penyebab umum disebut juga penyebab acak (random causes) atau penyebab sistem (system cause). Penyebab ini selalu melekat pada sistem, maka untuk menghilangkannya dilakukan penelusuran pada elemen-elemen dalam sistem dan hanya pihak manajemen industri yang dapat memperbaikinya. Dalam pengendalian proses statistik menggunakan peta kontrol (control chart), jenis variasi ini sering ditandai dengan titik-titik pengamatan yang berada dalam pengendalian yang didefinisikan (defined control limit). 2.8.1
Metrik SPC Metrik SPC merupakan indikator yang digunakan dalam perhitungan
SPC (statistical process control), terbagi menjadi dua kategori, yaitu data atribut dan variabel. Data atribut (atribute) adalah karakteristik kinerja yang ada atau tidak ada dalam produk atau jasa yang menjadi pusat perhatian. Data atribut bersifat tersendiri dan dapat memberitahu apakah suatu karakteristik mematuhi spesifikasi atau tidak. Pengukuran atribut diekspresikan dalam proporsi atau tingkat, misalnya proporsi ketidakpatuhan dalam sekelompok barang, jumlah cacat
per
unit,
atau
tingkat
kesalahan
pada
setiap
kesempatan
(Committee E-11 on Quality and Statistic 2002). Tipe kategori yang kedua disebut data variabel (variable). Data variabel bersifat kontinu (misalnya panjang atau berat). Pengukuran varibel berkenaan dengan derajat ketidakpatuhan terhadap spesifikasi. Pengukuran variabel biasanya diekspresikan dengan angka-angka statistik, seperti rata-rata dan deviasi standar. Mengumpulkan data atribut biasanya lebih mudah daripada mengumpulkan data variabel. Karena pemeriksaan dapat dilakukan dengan lebih cepat melalui inspeksi atau perhitungan sederhana, sedangkan data variabel membutuhkan penggunaan alat pengukuran. Dalam pengertian statistik inspeksi atribut kurang efisien dibandingkan dengan inspeksi variabel, karena tidak memberikan informasi yang sama banyak. Hal ini dikarenakan, inspeksi atribut membutuhkan sampel yang lebih besar daripada inspeksi variabel untuk mendapatkan informasi statistik yang sama banyaknya (Evans dan Lindsay 2007).
20
2.8.2
Lembar Pemeriksaan Dasar
pengendalian
mutu
secara
statistik
adalah
pemanfaatan
sepenuhnya setiap teknik dan data yang dihasilkan dengan teknik ini. Statistik menyatakan data, data merefleksikan fakta, sehingga bila pengendalian tergantung pada data, data tersebut harus benar. Data harus dikumpulkan secara hati-hati dan teliti, serta tujuan pengumpulan data pun harus jelas. Lembar pemeriksaan mempunyai
banyak
tujuan,
tetapi
yang terutama
adalah
memudahkan
pengumpulan data dalam bentuk yang mudah digunakan dan dianalisis secara otomatis. Adapun fungsi dari lembar pemeriksaan yaitu, pemeriksaan distribusi proses produksi, pemeriksaan item cacat, pemeriksaan lokasi cacat, pemeriksaan penyebab cacat, pemeriksaan konfirmasi pemeriksaan, dan lain-lain (Ishikawa 1988). Lembar pemeriksaan dirancang dalam bentuk yang komunikatif agar mudah dipahami, sehingga dapat menunjukkan lokasi penyimpangan. Contoh lembar pemeriksaan dapat dilihat pada Gambar 4. Lembar pemeriksaan Produk:
Tanggal:
Tahap manufakturing:
Pabrik: Seksi:
Tipe rusak
Nama: Pemeriksa:
Jumlah total diperiksa
Lot no: Order no:
Catatan: Tipe
Pemeriksaan
Sub total
Goresan permukaan Tidak Lengkap Tidak jadi Lain-lain Total Total rusak
Gambar 4. Lembar pemeriksaan item cacat Sumber: Ishikawa (1988)
2.8.3
Grafik Kendali Grafik kendali pertama kali diperkenalkan oleh W. A Shewhart dari Bell
Telephone laboratories, Amerika Serikat dengan tujuan untuk menghilangkan ragam tidak normal melalui pemisahan ragam yang disebabkan oleh penyebab
21
khusus dan penyebab umum. Grafik kendali digunakan untuk mengetahui apakah suatu proses berada dalam keadaan terkendali secara statistik dan menentukan kapabilitas proses, yang selanjutnya digunakan untuk mengendalikan proses secara terus-menerus (Gasperz 2001). Selain itu, grafik kendali juga digunakan untuk menetapkan karakteristik mutu secara kontinu, menetapkan mutu proses, menetapkan saat mulai dan berakhirnya proses, dan menghilangkan penyebab dari penolakan produk atau mutu marginal produk. Keuntungan menggunakan grafik kendali, yaitu memonitor setiap waktu, membedakan ragam yang disebabkan oleh penyebab khusus dan penyebab umum, mengkaji efektivitas perubahan dalam usaha untuk meningkatkan proses, serta memberikan informasi mengenai proses dalam periode tertentu. Diagram alir penggunaan grafik kendali dapat dilihat pada Gambar 5. Tentukan karakteristik mutu sesuai keinginan pelanggan
TIDAK
TIDAK Apakah data atribut berbentuk proporsi atau presentase?
Apakah data peubah?
YA
Apakah proses homogeny atau proses batch seperti industri
YA
Apakah data atribut berbentuk banyaknya ketidaksesuaian?
YA
TIDAK
YA
Apakah ukuran contoh konstan?
YA
Apakah ukuran contoh konstan?
TIDAK
YA
Gunakan peta control individual: X-MR
TIDAK
YA Gunakan peta kontrol X-Bar*
Gunakan peta kontrol p atau np*
Gunakan peta kontrol p*
Gunakan peta kontrol c dan u*
Gambar 5. Diagram alir penggunaan grafik kendali Sumber: Ishikawa (1988)
Keterangan : * = Jenis-jenis grafik kendali
Gunakan peta kontrol u*
22
Menurut Ishikawa (1988), langkah-langkah dasar yang harus diambil dalam menggunakan grafik kendali proses produksi adalah sebagai berikut: 1. Pilih item apa yang akan dikendalikan. Tentukan permasalahan apa yang berkaitan dan apa tujuannya, serta data apa yang diperlukan. 2. Tentukan peta kendali apa yang digunakan. Tentukan apabila peta 𝑥-R, p, pn, u, atau c yang cocok. 3. Buatlah peta kendali untuk analisis proses. Ambilah data untuk selang waktu tertentu atau gunakan data dalam pembuatan peta. Bila terdapat titik yang abnormal, selidiki penyebabnya dan ambillah tindakan. 4. Susunlah peta kendali untuk pengendalian proses. Apabila telah dilakukan tindakan yang berhubungan dengan penyebab perubahan mutu dan proses produksi dikendalikan. Lihatlah apakah produk memenuhi standar untuk keadaan ini. Dengan dasar kesimpulan ini, standarkan metode kerja. Perluas garis kendali di peta pada situasi stabil dan lanjutkan menggambar data harian. 5. Kendalikan proses produksi. Bila metode yang distandarkan tetap dijaga, peta kendali harus menunjukkan keadaan terkendali. Jika ketidaknormalan muncul pada peta, selidiki penyebabnya segera dan lakukan tindakan yang tepat. 6. Hitung kembali garis kendali. Bila peralatan atau garis kerja diubah, garis kendali harus dihitung kembali. Apabila pengendalian selama proses produksi dilakukan dengan lancar, tingkatan mutu pada peta kendali akan lebih baik. Berikut ini aturan yang harus diamati dalam menghitung kembali garis kendali, yaitu: i.
Data pada titik-titik yang menunjukkan ketidaknormalan dan penyebab yang telah ditemukan dan dibetulkan, harus tidak dimasukkan dalam penghitungannya kembali.
ii.
Data pada titik-titik tidak normal yang penyebabnya tidak ditemukan atau tidak ada tindakan yang diambil, harus dimasukkan. Menurut Montgomery (1990), berdasarkan sifat atribut dan peubah dari
parameter mutu yang diukur, terdapat dua macam grafik pengendalian proses yaitu grafik pengendalian atribut dan grafik pengendalian peubah. Grafik pengendalian peubah digunakan secara luas serta merupakan prosedur pengendali yang lebih efisien dan memberikan informasi tentang penampilan proses yang
23
lebih banyak daripada grafik pengendali sifat. Data peubah menunjukkan karakteristik mutu yang mempunyai dimensi kontinu yang dapat mengambil nilainilai kontinu dalam kemungkinan yang tidak terbatas, seperti panjang, kecepatan, bobot, volume, dan sebagainya. Data atribut hanya memiliki dua nilai yang berkaitan dengan YA atau TIDAK, seperti sesuai atau tidak sesuai, berhasil atau gagal, lulus atau tidak lulus, dan sebagainya (Gasperz 1998). Grafik kendali X-bar (rataan ) dan R (range) digunakan untuk memantau proses yng mempunyai karakteristik berdimensi kontinu, sehingga peta control Xbar dan R sering disebut sebagai peta kontrol untuk data peubah. Peta kontrol Xbar menjelaskan mengenai perubahan-perubahan yang terjadi dalam ukuran titik pusat (central tendency) atau rataan suatu proses. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti peralatan yang dipakai, peningkatan suhu secara gradual, perbedaan metode yang digunakan dalam shift, material baru, tenaga kerja baru yang belum dilatih, dan lain-lain. Peta kontrol R (range) menjelaskan mengenai perubahan-perubahan telah terjadi dalam ukuran ragam, sehingga berkaitan dengan perubahan homogenitas produk yang dihasilkan melalui suatu proses. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti bagian peralatan yang hilang, minyak pelumas bensin yang tidak mengalir dengan baik, kelelahan pekerja, dan lain-lain (Gasperz 2001) Pembuatan peta kontrol individual X dan MR (Moving Range) diterapkan pada peta proses yang menghasilkan produk relatif homogen, misalnya cairan kimia, kandungan mineral dari air dan makanan. Selain itu, dapat pula diterapkan pada kasus inspeksi 100% untuk proses produksi yang sangat lama (Gasperz 2001). Peta kontrol p digunakan untuk mengukur proporsi ketidaksesuaian (penyimpangan) dari item-item dalam kelompok yang sedang diinspeksi. Sehingga peta kontrol p digunakan untuk mengendalikan proporsi dari item-item yang tidak memenuhi syarat spesifikasi mutu atau produk cacat yang dihasilkan dari suatu proses. Proses yang tidak memenuhi syarat diidentifikasikan sebagai rasio banyaknya item yang tidak memenuhi syarat dalam suatu kelompok terhadap total banyaknya item dalam kelompok tersebut. Karakteristik mutu dari item diperiksa dan diuji secara simultan oleh pemeriksa. Jika item tersebut tidak
24
memenuhi standar pada satu atau lebih karakteristik mutu, maka item tersebut digolongkan tidak memennuhi syarat spesifikasi atau cacat. Peta kontrol c didasarkan pada titik spesifik yang tidak memenuhi syarat dalam suatu produk, sehingga suatu produk dapat saja dianggap memenuhi syarat meskipun mengandung satu atau beberapa titik spesifik cacat (Gasperz 2001). Menurut Gasperz (1998), pada dasarnya setiap grafik kendali memiliki karakteristik, seperti: 1. Sumbu x yang melambangkan nomor contoh 2. Sumbu y yang melambangkan mutu luaran 3. Garis tengah (GT) 4. Sepasang batas pengendali, dimana satu batas pengendali ditempatkan diatas garis tengah yang dikenal sebagai batas pengendali atas (BPA) serta satu batas pengendali ditempatkan dibawah garis tengah yang dikenal dengan batas pengendali bawah (BPB). Grafik kendali secara umum dapat dilihat pada
Karakteristik
Gambar 6.
Nomor Contoh Gambar 6. Grafik kendali secara umum Sumber: Kapadia (2010)
2.8.4
Diagram Sebab Akibat Penyebab yang terjadi dalam permasalahan mutu hampir tidak terhitung.
Diagram sebab-akibat merupakan diagram yang dapat mengilustrasikan dengan jelas bermacam-macam penyebab yang mempengaruhi mutu produk melalui pemilihan dan mengembangkan penyebab-penyebabnya. Pengendalian mutu yang ingin kita perbaiki dan dikendalikan secara jelas disajikan dengan angka-angka yang menunjukkan panjang, kekerasan, persentase cacat, dsb yang disebut dengan karakteristik mutu. Sedangkan komposisi kimia, diameter, pekerja, dst yang menyebabkan penyebaran disebut faktor. Diagram sebab akibat berguna untuk
25
membantu kita dalam memilih penyebab penyebaran dan mengorganisasikan hubungannya (Oakland 2003). Menurut Ishikawa (1988) secara garis besar langkah-langkah pembuatan diagram sebab-akibat adalah sebagai berikut: 1. Tentukan karakteristik mutu (gerakan tidak tetap selama putaran mesin). Karakteristik ini yang akan kita perbaiki dan kendalikan, sehingga harus ditentukan penyebabnya. 2. Tulislah karakteristik mutu pada sisi kanan. Gambarlah panah besar dari sisi kiri ke sisi kanan dan tempatkan pernyataan masalah dalam kotak. 3. Tulislah faktor utama yang mungkin mempengaruhi masalah kualitas, mengarahkan panah cabang ke panah utama. Faktor penyebab yang mempunyai kemungkinan, seperti manusia, mesin, material, metode kerja, dan lingkungan. Setiap faktor akan membentuk sebuah cabang. 4. Tulislah faktor rinci yang dapat dianggap sebagai penyebab kepada setiap item cabang seperti menyerupai ranting. Setiap rantingnya dapat ditulis faktor yang lebih rinci dengan membuat cabang yang lebih kecil. Penentuan faktor rinci dari setiap faktor utama memiliki pengaruh nyata terhadap karakteristik kualitas. Faktor-faktor rinci tersebut dapat dikembangkan melalui metode brainstorming. 5. Pastikan bahwa semua item yang mungkin menjadi penyebab telah masuk kedalam diagram. Pencatatan informasi yang perlu didalam diagram sebab akibat, seperti judul, nama produk, dan proses. diagram sebab-akibat ditunjukkan pada Gambar 7. Material
Mesin
Lingkungan
Karakteristik Mutu Manusia
Material
Gambar 7. Diagram sebab-akibat Sumber: Ishikawa (1988)
26
2.8.5
Kapabilitas proses Kapabilitas proses merupakan kemampuan proses dalam menghasilkan
produk yang diinginkan. Kapabilitas proses berkaitan dengan variasi alami sehingga menggambarkan performansi terbaik dari proses tersebut. Pemahaman terhadap kapabilitas suatu proses dapat digunakan untuk memprediksi secara kuantitatif, seberapa baik suatu proses dapat memenuhi spesifikasi, serta menentukan kebutuhan peralatan yang digunakan dalam proses pengendalian (Oakland 2003). Menurut Evans dan Lindsay (2007), enam tahapan yang dibutuhkan dalam studi kapabilitas proses adalah sebagai berikut: 1. Memilih mesin atau segmen yang representatif dari suatu proses. 2. Menentukan kondisi proses. 3. Memilih operator yang representatif. 4. Menyediakan bahan baku bertingkat standar dengan jumlah yang cukup. 5. Menentukan alat ukur atau metode pengukuran yang harus digunakan. 6. Mempersiapkan metode untuk mencatat pengukuran dan kondisi, secara berurutan untuk semua unit produksi. Analisis kapabilitas proses merupakan bagian penting dari keseluruhan program
pengendalian
mutu.
Manfaat
dari
analisis
kapabilitas
proses
(Montgomery 1990) adalah: a. Menduga seberapa baik proses akan memenuhi toleransi. b. Membantu pengembang atau perancang produk dalam memilih atau mengubah proses. c. Membantu dalam pembentukan selang antara penarikan contoh untuk pengawasan proses. d. Menentukan persyaratan penampilan bagi alat baru. e. Memilih diantara pemasok yang bersaing. f. Merencanakan urutan proses produksi bilamana ada pengaruh interaksi proses dengan toleransi. g. Mengurangi keragaman dalam proses produksi. Hubungan antara variasi dan spesifikasi alami diukur menggunakan indeks kapabilitas proses sehingga sering disebut sebagai indeks potensial proses
27
(Cpm). Indeks kapabilitas proses merupakan variasi natural suatu proses dengan spesifikasi
desain dalam tolak ukur yang kuantitatif (Evans dan Lindsay 2007).
Dalam bahasa numeriknya, rumusnya adalah: Cpm = (USL – LSL) 6𝝈 Dimana, USL
= upper specification limit
LSL
= lower specification limit
𝝈
= standar deviasi proses
Penilaian yang digunakan untuk indeks kapabilitas proses (Cpm) (Gaspersz 2003), yaitu: Cpm ≥ 2,0
: keadaan proses industri berada dalam keadaan stabil dan mampu, artinya proses mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.
1 > Cpm ≥ 1,99 : keadaan industri proses berada dalam keadaan stabil dan tidak mampu, artinya proses berada dalam keadaan tidak mampu sampai cukup mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. Cpm < 1,0
: keadaan proses industri berada dalam keadaan tidak mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. Persyaratan penggunaan rumus ini, yaitu distribusi proses harus
menyebar normal dengan nilai target (T) yang berarti rata-rata proses ( ) harus tepat berada ditengah
nilai USL dan LSL. Kurva indeks kapabilitas proses
ditunjukkan pada Gambar 9. C =1
C < 1
C > 1
p
p
Lower Spec
U pper Spec
Lower Spec
p
Upper Lower Spec Spec
Upper Spec
Gambar 8. Kurva indeks kapabilitas proses Sumber: O‟neill (2002)
Jika persyaratan ini sudah dipenuhi maka, dapat digunakan tabel nilai kapabilitas proses yang ditunjukkan pada Tabel 3.
28
Tabel 3. Hubungan antara Cpm dan kapabilitas proses Cpm 0,33 0,5 0,67 0,83 1,00 1,17 1,33 1,5 1,67 1,83 2,00 2,17 2,33
Kapabilitas Proses 1,0 sigma 1,5 sigma 2,0 sigma 2,5 sigma 3,0 sigma 3,5 sigma 4,0 sigma 4,5 sigma 5,0 sigma 5,5 sigma 6,0 sigma 6,5 sigma 7,0 sigma Sumber: Gaspersz (2007)
Menurut Evans dan Lindsay (2007), Cpm dengan nilai 1,00 mensyaratkan bahwa proses berada ditengah rata-rata kisaran toleransi untuk mencegah adanya unit yang diproduksi diluar batas. Mencapai unit produksi yang berada dalam spesifikasi Cpm = 1,33 lebih mudah dicapai, dan lebih mudah lagi jika Cpm bernilai 2,00. Beberapa pengalaman praktisi menyarankan batas bawah yang aman berada pada nilai Cpm sebesar 1,5. Karena nilai diatas Cpm = 1,5 akan menjamin bahwa semua unit yang diproduksi oleh suatu proses terkendali akan berada dalam batas spesifikasi. 2.9
Peranan Statistika dalam Pengendalian Mutu Statistika dalam pengendalian mutu adalah suatu sistem yang
dikembangkan untuk menjaga agar hasil produksi memiliki mutu yang seragam pada tingkat biaya minimum dan merupakan bantuan untuk mencapai efisiensi perusahaan. Pengendalian mutu yang dilakukan oleh suatu manajemen yang terintegrasi dan membentuk suatu pengendalian mutu terpadu (total quality control) dapat meningkatkan mutu dan hasil kerja. Peningkatan mutu dapat memberikan kepuasan pada konsumen serta dapat meningkatkan produktivitas sumberdaya manusia dan perusahaan (Mutiara dan Kuswadi 2004). Dalam pengendalian mutu, statistika digunakan sebagai bagian dari pola kendali mutu terpadu, tetapi bukan merupakan pola itu sendiri. Metode statistik memiliki pengaruh mendalam pada keseluruhan bidang kendali mutu. Hal ini
29
terlihat dari empat perangkat statistik yang digunakan secara terpisah atau dalam gabungan pekerjaan kendali mutu (Feingenbaum 1989): 1. Distribusi frekuensi, digunakan sebagai gambaran dari mutu sampel untuk memperlihatkan secara sekilas rata-rata mutu, bentangan mutu, dan pembandingan mutu dengan persyaratan spesifikasi. Perangkat ini digunakan pada analisis mutu dari proses atau produk tertentu. 2. Bagan kendali, metode grafis untuk mengevaluasi apakah sebuah proses berada dalam „kendali statis‟. Jika kurva grafis mendekati atau melebihi batas, maka beberapa perubahan diusulkan dalam proses tersebut. Perangkat ini digunakan untuk mempertahankan kendali pada sebuah proses setelah distribusi frekuensi menunjukkan bahwa proses berada dalam kendali. 3. Tabel penarikan sampel, serangkaian prosedur spesifik yang terdiri atas rencana penarikan sampel penerimaan yang berkaitan dengan ukuran lot, ukuran sampel, dan kriteria penerimaan, atau banyaknya pemeriksaan 100%. Perangkat ini digunakan jika diinginkan penjaminan atas mutu bahan yang diproduksi ataupun diterima. 4. Metode-metode khusus, menyertakan teknik-teknik seperti analisis toleransi, korelasi, dan analisis varians. Metode ini digunakan untuk kendali mutu industri, diluar dari bentuk umum statistika. Perangkat ini digunakan untuk analisis khusus tentang rancangan kerekayasaan dan gangguan proses.
30
3
3.1
METODOLOGI
Kerangka Pemikiran Tunamerupakan komoditas komersial tinggi dalam perdagangan
internasional. Salah satu bentuk olahan tuna adalah tuna loin, tuna steak, dan tuna saku. Tuna loin merupakan produk setengah jadi yang banyak digunakan oleh perusahaan untuk diolah lebih lanjut menjadi produk akhir, salah satunya adalah sashimi. Kualitas produk tuna loin yang dihasilkan merupakan hal penting bagi perusahaan agar memiliki daya saing. Pengendalian mutu dilakukan untuk menghasilkan mutu produk yang konsisten sesuai dengan kebutuhan konsumen. Penelitian mengenai pengendalian mutu pada proses produksi tuna loin menggunakan konsep pemecahan masalah DMAIC-Six sigma. Konsep ini memiliki fokus pada efektivitas dan konsistensi penerapan sistem pengendalian mutu pada produksi tuna loin terhadap data rata-rata berat tuna segar dan tuna loin serta
melihat
pengaruh
besarnya
rendemen
yang
dihasilkan
dengan
memperhatikan kemampuan prosesnya. Hal ini berkaitan dengan kestabilan produksi tuna loin, ketidaksesuaian mutu produk (wholesomeness) dan penipuan ekonomi (economic fraud) terhadap pelanggan. Pengukuran nilai kapabilitas proses dilakukan untuk mengetahui kemampuan dalam menghasilkan produk loin sesuai dengan spesifikasi. Pengendalian mutu pada proses produksi tuna loin juga membuat peta kendali (control chart) dan mencari penyebab terjadinya kesalahan menggunakan diagram sebab akibat (fish bone chart). Sehingga perusahaan dapat melaksanakan proses dengan lebih efektif dan efisien. Penerapan teknik pengendalian mutu six sigma memiliki perbaikan terobosan yang menambah nilai kepada perusahaan dan pelanggan melalui pendekatan masalah yang sistematis. 3.2
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dari data primer dan data sekunder. Data
primer merupakan data yang diambil secara langsung dengan pengambilan contoh dari PT Y selama proses produksi pada bulan Januari-Maret 2011. Data sekunder merupakan data hasil studi literatur. Karakteristik contoh yang diukur meliputi
31
warna, bentuk, aroma, konsistensi, dan penyusutan. Pengambilan data pada tahapan proses yang menjadi kajian adalah: (1)
Tahapan penerimaan bahan baku Tahapan ini dilakukan dengan mengidentifikasi kriteria cacat (defect)
dan mengetahui rata-rata berat tuna segar yang diterima untuk produksi loin. Berat tuna yang diterima memiliki karakterisasi mutu tuna segar sesuai spesifikasi. (2)
Tahapan proses produksi loin Tahapan proses produksi loin meliputi pembuatan fillet, pembuatan loin,
pembuangan daging gelap, dan perapihan dilakukan untuk mengetahui rata-rata berat loin yang dihasilkan serta mengetahui karakteristik cacat dalam produksi loin. (3)
Tahapan perhitungan rendemen Perhitungan rendemen dilakukan untuk mengetahui banyaknya bagian
yang dapat termanfatkan. Hal ini dilakukan dengan perbandingan antara berat loin yang dihasilkan dengan berat tuna utuh. Rendemen yang dihasilkan dapat menjadi tolak ukur profit yang dicapai perusahaan. 3.3
Tahapan Penelitian Tahapan Penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
(1)
Pemahaman mengenai proses produksi. Pemahaman mengenai proses produksi sangat penting karena semua hal
yang terjadi di ruang produksi berkaitan dengan proses produksi tersebut. Pemahaman dapat dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan. Diagram alir proses pembuatan tuna loin segar dapat dilihat pada Gambar 9.
32
Penerimaan bahan baku dan sortasi (Receiving raw material) and sorting Pendinginan (Chilling) Pemotongan kepala (Deheading) Pembentukan loin (Loining) Pembuangan danging Gelap (dark meat)
Pendeteksi logam (Metal detecting) Pembungkusan dan Penyimpanan dingin (Chilling and storage) Pengemasan dan pelabelan (Packing and labelling) Pemasukan dalam kontainer (Stuffing)
Pemisahan kulit dan perapihan bentuk (Skinning and Trimming) Penimbangan (Weighing) Pemeriksaan (Checking)
Gambar 9. Diagram alir proses pembuatan tuna loin Sumber: PT Y (2)
Pengendalian mutu, Pengendalian mutu bertujuan untuk menjaga kepuasan pelanggan
dengan meminimalkan tingkat kesalahan yang terjadi saat proses produksi. Pengendalian mutu pada proses tuna loin melihat beberapa faktor, yaitu karakteristik bahan baku tuna, kriteria kepenyimpangan bahan baku tuna, karakteristik mutu tuna loin yang dihasilkan dan standar penerimaan, serta jenis dan penyebab kepenyimpangan tuna loin.
33
(3) a.
Perancangan metode DMAIC Define (Pendefinisian masalah), dilakukan dengan mengidentifikasi masalah dalam proses produksi yang meliputi jumlah cacat dan penipuan ekonomi terkait dengan ukuran dan karakteristik mutu yang tidak sesuai permintaan pembeli, sehingga akan mempengaruhi nilai kapabilitas proses pembuatan loin.
b.
Measure (Pengukuran), dilakukan dengan pengukuran mutu produk secara statistik (SPC), meliputi pengumpulan data melalui lembar pemeriksaan, pengambilan sampel, perhitungan statistik (metrik spc, diagram garis dan diagram kendali, serta kapabilitas proses). Proses pengolahan data dilakukan dengan software Ms.Excell 2007 dan Minitab15. Menurut Stapenhurst (2005), tahapan yang dilakukan dalam membuat grafik kendali untuk mengendalikan proses statistik dapat dilihat pada Gambar 10.
1. Persiapan - Memilih data variabel atau atribut yang akan diukur - Menentukan dasar, ukuran, dan frekuensi pengambilan sampel - Membuat diagram pengendalian 2. Pengumpulan data - Mencatat data - Menghitung nilai statistik yang relevan (rata-rata, jangkauan, proporsi,dsb) - Memplot nilai statistik dalam diagram 3. Menentukan batasan pengendalian percobaan - Menggambar garis tengah (rata-rata proses) pada diagram - Menghitung batasan pengendalian atas dan bawah 4. Analisis dan interpretasi - Meneliti kemungkinan adanya kurangnya pengendalian dari diagram - Mengeliminasi titik-titik yang berada diluar pengendalian - Menghitung ulang batasan pengendalian jika dibutuhkan 5. Menggunakan diagram sebagai alat pemecahan masalah - Meneruskan pengumpulan dan pembuatan plot data - Mengidentifikasi situasi yang berada diluar pengendalian dan mengambil tindakan korektif
34
6. Menentukan kapabilitas proses menggunakan data diagram pengendalian Identifikasi Luaran
Identifikasi karakteristik mutu
Identifikasi Spesifikasi Luaran Identifikasi langkah-langkah dalam proses Pengumpulan Data
Solusi Masalah
Identifikasi jeni
TIDAK
s data Penentuan jenis grafik kendali
Identifikasi batas-batas pengendali
YA
Apakah grafik kendali menunjukkan proses terkendali secara statistik? Perbaikan
TIDAK
Proses
Menentukan kapabilitas proses
Apakah proses kapabel?
TIDAK
YA Grafik kendali dapat digunakan untuk mengendalikan proses statistik secara terus-menerus
Gambar 10. Diagram alir pembuatan grafik kendali (Stapenhurst 2005)
c. Analyze (Analisis), dilakukan identifikasi masalah dengan pembuatan diagram sebab akibat (fishbone diagram) serta kapabilitas proses dengan memfokuskan pada faktor-faktor penyebab masalah yang sering terjadi, seperti mesin,
35
manusia, metode, manajerial, dan manajemen. Penggunaan diagram sebabakibat yang mengacu pada Larson (2003) terdiri dari tahapan sebagi berikut: 1. Dapatkan masalah yang sering terjadi dan ungkapkan masalah tersebut sebagai suatu pertanyaan masalah dan temukan sekumpulan penyebab yang mungkin mengakibatkan masalah tersebut. 2. Gambarkan diagram dengan pernyataan mengenai masalah untuk ditempatkan pada sisi kanan (membentuk kepala ikan) dan kategori utama (bahan baku, metode, manusia, mesin, pengukuran, dan lingkungan) ditempatkan pada cabang utama membentuk tulang-tulang besar dari ikan. Kategori utama dapat diubah sesuai kebutuhan. 3. Untuk setiap penyebab yang mungkin, tanyakan “mengapa”, untuk menemukan akar penyebab, kemudian tulis akar penyebab pada cabangcabang yang sesuai dengan kategori utama (membentuk tulang-tulang kecil ikan). 4. Interpretasi diagram sebab-akibat tersebut dengan melihat penyebab-penyebab yang muncul. d. Improve
(Peningkatan),
bertujuan
untuk
mengeliminasi
cacat
serta
mengoptimalkan kualitas proses. Peningkatan dilakukan dengan menerapkan diagram kaizen blitz yang menunjukkan hubungan antara siklus Deming (PDSA) dan proses perbaikan yang terus menerus. e. Control (Kontrol), terhadap perbaikan yang sudah dilakukan. Tahap ini dilakukan untuk memastikan agar proses perbaikan proses produksi tuna loin tetap terjaga. Tahap ini memerlukan pengawasan proses dan hasilnya, serta tindakan korektif jika diperlukan untuk mengatasi masalah dan membawa proses tersebut kembali ke dalam kinerja yang stabil. Penerapan sistem pengendalian memiliki tiga komponen, yaitu penetapan standar dan tujuan, cara untuk mengukur keberhasilan, dan perbandingan antara hasil sebenarnya dengan hasil standar, serta umpan balik untuk melakukan tindakan korektif. 3.4
Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan adalah pengukuran dari metode six
sigma Motorolla yang telah banyak digunakan dalam industri di dunia untuk meningkatkan mutu. Peningkatan mutu yang dimaksud adalah menuju tingkat
36
kegagalan proses nol atau menghasilkan produk gagal sebesar 0 (zero defect) pada satu juta kali kesempatan produksi produk. Di bidang perikanan, metode ini dapat diterapkan pada suatu produk atau proses yang dikategorikan defect apabila tidak memenuhi standar mutu dan karakteristik mutu yang telah ditetapkan oleh perusahaan dan merupakan spesifikasi ekspektasi pelanggan. Alat yang digunakan adalah statistika pengendalian proses (statistical process control atau SPC). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Office Excell 2007 dan Minitab 15. Proses analisa data dilakukan melalui tahapan berikut (Gasperz 2002): (1)
Penentuan nilai rata-rata (𝑥) dan nilai standar deviasi (s) proses serta nilai batas spesifik atas dan batas spesifik bawah, dengan persyaratan sebagai berikut:
a. Rata-rata proses (𝑥)
=
b. Standar deviasi proses (s)
=
jumlah keseluruhan data banyaknya data (x−𝑥 )2 n
Keterangan : x : nilai sampel 𝑥 : nilai rata-rata c. Nilai batas spesifik atas (upper specific limit - USL), merupukan nilai batas maksimal yang besarnya ditentukan oleh pembeli. d. Nilai batas spesifik bawah (lower specific limit - LSL), merupakan nilai batas minimal yang besarnya ditentukan oleh pembeli. (2)
Penentuan nilai DPMO (Defect per Million Oportunities) dan nilai sigma
a. Nilai DPMO merupakan ukuran kegagalan yang menunjukkan peluang kegagalan per sejuta kali kesempatan produksi. Nilai ini diperoleh dengan menggunakan persamaan: DPMO USL
= P [z ≥ (USL - X)/ s] x 1.000.000
DPMO LSL
= P [z≤ (LSL - X)/ s] x 1.000.000
DPMO
= DPMO USL + DPMO LSL
Nilai peluang kegagalan untuk distribusi normal baku (z), diperoleh dari Tabel distribusi normal kumulatif. Sementara nilai sig sigma diperoleh dari Tabel konversi nilai DPMO ke nilai sigma.
37
(3)
Penentuan nilai standar deviasi maksimal (Smaks) Standar deviasi maksimum (Smaks) merupakan nilai batas toleransi
terhadap nilai standar deviasi proses. Nilai standar deviasi maksimum diperoleh dengan menggunakan persamaan: 1
Smaks = 2 x sigma 𝑥 (USL − LSL) Bila proses tersebut hanya memiliki satu batas spesifik, batas spesifik atas (USL) atau batas spesifik bawah (LSL) saja, maka persamaan yang digunakan: Hanya memiliki batas spesifik atas (USL): 1
Smaks = sigma 𝑥 (USL − X) Hanya memiliki batas spesifik bawah (LSL): 1
Smaks = sigma 𝑥 (x − 𝐿𝑆𝐿) (4)
Penentuan nilai batas kontrol atas (upper control limit atau UCL) dan batas kontrol bawah (lower control limit atau LCL).
a. Nilai batas kontrol atas (UCL) merupakan persamaan yang digunakan untuk mengevaluasi proses tersebut. UCL = T + (1,5 x Smaks) Dengan: T Smaks
: nilai target yang ditentukan pembeli : standar deviasi maksimum proses
Namun jika nilai target tidak ditemukan oleh pelanggan, maka nilai T diganti dengan nilai rata-rata proses (𝑥), jika nilai 𝑥 berada dibawah nilai batas spesifik atas yang ditetapkan (𝑥
: nilai rata-rata proses : standar deviasi maksimum proses
b. Nilai batas kontrol bawah (LCL) merupakan persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai batas bawah dari suatu proses yang dimanfaatkan untuk mengevaluasi proses tersebut. LCL = T – (1,5 x Smaks) Dengan: T Smaks
: nilai target yang ditentukan pembeli : standar deviasi maksimum proses
38
Namun jika nilai target (T) tidak ditentukan oleh pelanggan, maka nilai T diganti dengan rata-rata proses (𝑥) dengan syarat nilai 𝑥 berada diatas nilai batas spesifik bawah yang ditetapkan ( 𝑥>LSL), sehingga persamaannya menjadi: = 𝑥 – (1,5 x Smaks)
LCL Dengan: 𝑥 Smaks (5)
: nilai rata-rata proses : standar deviasi maksimum proses
Penentuan nilai kapabilitas proses Kapabilitas proses (Cpm) merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang
menunjukkan proses mampu menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. Perhitungan kapabilitas proses hanya dilakukan untuk proses yang stabil. Cpm = (USL – LSL) 6𝝈 Dimana, USL
= upper specification limit
LSL
= lower specification limit
𝝈
= standar deviasi proses
Namun jika proses hanya memiliki satu batas spesifik (SL), maka digunakan persamaan sebagai berikut: Cpm Cpm ≥ 2,0
=
(USL −𝑥 ) 3σ
dan
( 𝑥 −LSL ) 3σ
: keadaan proses industri berada dalam keadaan stabil dan mampu, artinya proses mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.
1 > Cpm ≥ 1,99
: keadaan industri proses berada dalam keadaan stabil dan tidak mampu, artinya proses berada dalam keadaan tidak mampu sampai cukup mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.
Cpm < 1,0
: keadaan proses industri berada dalam keadaan tidak mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.
39
4
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Produksi Tuna Loin Produksi tuna loin yang dihasilkan merupakan produk segar (fresh loin),
yang berarti loin dihasilkan tanpa melalui proses pembekuan. Jenis tuna yang digunakan berasal dari jenis yellow fin (T. albacores), Bigeye (T. obesus), dan blue fin (T. macoyii). Tuna ditangkap dari perairan Samudera Hindia, ZEE (Zona
Ekonomi
Eksklusif)
dengan
menggunakan
pancing.
Untuk
mempertahankan mutu tuna, proses pembuangan insang, isi perut, sirip punggung, dan sirip ekor dilakukan setelah ikan ditangkap dan segera disimpan dalam palka kapal dengan sistem Refrigerated Sea Water (RSW) (Sabater et al. 1993). Tuna yang akan diolah menjadi loin diambil dari tempat-tempat transit ikan dengan tetap menggunakan sistem rantai dingin untuk menjaga suhu tubuh ikan ≤ 3oC. Untuk pembuatan loin dengan kualitas sashimi, maka tuna yang akan diproses memiliki grade A. Proses pemeriksaan mutu tuna dilakukan ditempat transit oleh checker berpengalaman dengan menggunakan alat couring tube. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendapatkan mutu bahan baku tuna loin yang sesuai standar SNI 7530.2:2009, meliputi kenampakan, bau, dan tekstur. Untuk pemeriksaan kandungan histamin dan logam berat dilakukan secara berkala tiap bulan di Laboratorium LPPMHP daerah Pluit Jakarta Utara. Pemindahan tuna dari tempat transit ke Unit Pengolahan Ikan (UPI) dilakukan secara cepat menggunakan mobil untuk mencegah terjadinya peningkatan suhu tubuh ikan. Di tempat pengolahan, tuna segera disimpan dalam box chilling berinsulasi yang didinginkan dengan menggunakan es curai dan garam. Sebelum proses produksi loin, meja, dan peralatan yang akan digunakan disiram dengan menggunakan air dingin dan akohol untuk meminimalisir kontaminasi bakteri. Proses pengolahan tuna menjadi bentuk loin diawali dengan pemotongan kepala menggunakan pisau berbahan stainless steel yang sudah diasah telebih dahulu. Loin yang dihasilkan terdiri menjadi 4 atau 8 potong sesuai permintaan buyer. Setelah menjadi bentuk loin, dilakukan pemisahan daging gelap, daging perut (sesuai pesanan) dan lemak yang terdapat di daging. Produk skin on ataupun
40
skinless pada loin dihasilkan sesuai permintaan buyer. Produk loin yang dihasilkan diperiksa mutunya apakah dapat memenuhi kualitas ekspor atau tidak. Produk yang tidak memenuhi kualitas ekspor akan dipasarkan secara lokal. Setelah dilakukan pemeriksaan mutu loin, loin ditimbang untuk dicatat beratnya kemudian diselimuti dengan tissue untuk disimpan dalam ruang penyimpanan dingin (chilling storage), selain untuk menunggu waktu pengiriman, penyimpanan loin ini dapat membuat warna merah pada daging lebih terlihat sehingga dapat memperbaiki penampakan (Springer et al. 2003). Ruangan penyimpanan loin berada pada suhu -0,1oC. Produk yang akan dikirim dikemas dalam kondisi baik dan dilakukan dengan cepat. Untuk kemasan ekspor, loin dimasukkan dalam kotak Styrofoam yang dilapisi dengan foam sheet dan plastik polyetilen. Untuk mencegah peningkatan suhu > 3 oC, maka didalam kotak styrofoam diletakkan jelly ice atau dry ice sebagai bahan pendingin. Jenis transportasi yang digunakan adalah mobil box dan pesawat terbang. 4.2
Pengendalian Mutu Pengendalian mutu adalah aktivitas keteknikan dan manajemen sehingga
ciri-ciri kualitas produk dapat diukur, dibandingkan dengan spesifikasi atau persyaratannya, sehingga pengambilan tindakan yang sesuai jika terdapat perbedaan antara penampilan sebenarnya dengan standarnya (Montgomery 1990). Tujuan utama dari pengendalian mutu adalah menjaga kepuasan pelanggan dengan meminimalkan tingkat kesalahan yang terjadi saat proses produksi (Oakland 2003). Jumlah tuna loin yang diproduksi bergantung pada jumlah pasokan dan pemintaan pesanan oleh pembeli. Kapasitas produksi tuna loin rata-rata sebesar 2000 kg per bulan dan rendemen ikan tuna sampai menjadi skin on berkisar antara 65-70%. Proses fillet pada produksi tuna dilakukan oleh tenaga yang memiliki keahlian khusus, karena kesalahan dalam melakukan fillet loin dapat mempengaruhi rendemen tuna. Hal ini juga menjadi titik kritis bagi usaha pengolahan tuna loin. Mutu produk tuna loin ditentukan antara lain: kesegaran dan tingkat kecerahan warna daging, tekstur daging, ada tidaknya yake (seperti daging terbakar) pada daging, kekenyalan dan elastisitas tekstur daging, kekompakan jaringan daging, dan rendemen yang dihasilkan. Pengendalian mutu pada proses
41
tuna loin melihat beberapa faktor, yaitu karakteristik bahan baku tuna, kriteria penyimpangan bahan baku tuna, karakteristik mutu tuna loin yang dihasilkan dan standar penerimaan, serta jenis dan penyebab penyimpangan tuna loin. 4.2.1
Karakteristik bahan baku tuna Karakteristik bahan baku tuna yang digunakan dalam pembuatan loin
berada pada grade A dengan kualitas sashimi. Grade tersebut dapat berubah mengikuti kondisi pasar dan musim. Terkadang grade rendah dapat meningkat menjadi grade diatasnya saat produksi tuna turun, atau mutu produk tuna loin yang masuk ke pasar lelang dunia kurang bagus. Ketidakpastian standar mutu dan grade merupakan faktor kritis yang harus diperhatikan dalam usaha pengolahan tuna (PPP dan UMKM 2009). Bahan baku tuna yang digunakan sesuai dengan ketentuan SNI: 7530.2:2009, yaitu bahan baku yang digunakan adalah tuna madidihang (T. albacores), tuna mata besar (T. obesus), tuna sirip biru (T. maccoyii), dan tuna albacore (T. alalunga). Bentuk bahan baku yang digunakan berupa ikan tuna segar yang sudah disiangi dan berasal dari perairan yang tidak tercemar. Mutu bahan baku yang digunakan bersih, bebas dari bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. Secara organoleptik, bahan baku tuna yang digunakan mempunyai karakteristik sebagai berikut: kenampakan mata cerah dan cemerlang, berbau segar, serta tekstur elastis, kompak, dan padat. Apabila menunggu proses lebih lanjut, maka bahan baku tuna segar harus disimpan dalam wadah yang baik, saniter, dan higienis serta tetap dapat mempertahankan suhunya dengan menggunakan es curai yang ditambahkan garam sehingga suhu pusat bahan baku mencapai suhu < 3 oC. 4.2.2
Kriteria peyimpangan bahan baku tuna Kriteria penyimpangan bahan baku tuna dilakukan secara langsung di
tempat transit ikan. Kriteria tersebut diuji secara organoleptik sesuai dengan spesifikasi perusahaan. Ikan yang tidak sesuai dengan spesifikasi tidak diterima
42
dan akan ditukar dengan ikan yang memenuhi spesifikasi. Adapun kriteria penyimpangannya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kriteria penyimpangan bahan baku No
Jenis penyimpangan
Kriteria Penyimpangan
1
Kenampakan
Mata merah, kurang cerah dan kurang cemerlang
2
Bau
Terdapat bau yang kurang segar sampai timbul bau amis
3
Tekstur
Tidak elastis, lembek, dan kurang kompak
4
Suhu pusat
Lebih dari 3 oC
Sumber: PT Y
4.2.3
Karakteristik Mutu Tuna Loin dan Standar Penerimaan Mutu tuna loin yang dihasilkan harus sesuai dengan standar penerimaan
perusahaan. Jumlah loin yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi pelanggan. Tuna loin yang dikirim ekspor lebih memiliki persyaratan mutu yang ketat dibandingkan tuna loin yang dikirim lokal. Berikut ini merupakan karakteristik mutu dan standar penerimaan tuna loin yang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Karakteristik mutu tuna loin dan standar penerimaan No
Karakteristik mutu
Standar penerimaan
1
Kesegaran/kecerahan warna daging
Daging berwarna merah cerah, serat daging merekat kuat, bentuk potongan daging rapi, tidak terikut tulang/kulit, dan tidak ada daging merah
2
Bau
Sangat segar, spesifik jenis
3
Daging/tekstur
Elastis, padat dan kompak, tidak ada daging seperti terbakar (yake)
4
Warna
Tidak ada pelangi
5
Rendemen
65-70% dari tuna utuh
Sumber: PT Y
4.2.4
Jenis dan Penyebab Penyimpangan Tuna Loin Jenis penyimpangan yang sering terjadi pada tuna loin adalah
terdapatnya warna pelangi. Walaupun hanya terdapat sedikit warna pelangi, tetapi loin tersebut tidak dapat dikirim ekspor, apalagi pengiriman ke negara Jepang.
43
Berikut ini adalah macam-macam jenis kepenyimpangan tuna loin dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jenis dan penyebab penyimpangan tuna loin No
Jenis Penyimpangan
Penyebab Penyimpangan
1
Warna pelangi
Kenaikan suhu tubuh ikan (> 3 oC)
2
Bercak darah di daging
Pecahnya pembuluh darah saat penangkapan ikan yang karena stress atau terjadi benturan
3
Warna daging terbakar (yake)
3
Kerusakan bentuk saat Kemasan plastik PE terlalu kecil pengemasan
4
Penyusutan loin
5
Kandungan Histamin Aktivitas enzimatis oleh bakteri yang yang melebihi batas mengandung enzim histidin dekarboksilase standar negara ekspor Terjadi peningkatan suhu saat penyimpanan ikan
berat
seperti Temperatur suhu tinggi, produksi asam laktat atau tingginya aktivitas proteolitik
total Pemotongan dan penimbangan loin yang kurang benar, timbangan bekerja tidak baik
Sumber: PT Y
4.3
Perancangan Metode DMAIC Metode DMAIC merupakan metode penyelesaian masalah sederhana
yang merupakan singkatan dari Define (merumuskan), Measure (mengukur), Analyze (menganalisis), Improve (meningkatkan/memperbaiki), dan Control (mengendalikan) yang menggabungkan bermacam-macam perangkat statistik serta perbaikan proses lainnya. Metode ini digunakan dalam konsep six sigma sebagai metode peningkatan bisnis yang bertujuan untuk menemukan dan mengurangi faktor-faktor penyebab kecacatan atau kesalahan, mengurangi waktu siklus dan biaya operasi, meningkatkan produktivitas, memenuhi kebutuhan pelanggan dengan lebih baik, mencapai tingkat pendayagunaan aset yang lebih tinggi, serta mendapat imbalan hasil atas investasi yang lebih baik dari segi produksi maupun pelayanan (Evans dan Lindsay 2007). 4.3.1
Define (perumusan masalah) Define atau perumusan masalah dilakukan sebagai sasaran peningkatan
proses yang konsisten dengan permintaan pelanggan dan strategi perusahaan
44
(Cheng 2010). Sasaran peningkatan proses pada penelitian ini adalah pengendalian mutu pada proses produksi tuna loin terkait dengan rendemen yang dihasilkan melalui pengukuran kapabilitas proses. Pendefinisian masalah ini dilakukan dengan menggunakan peta proses tingkat tinggi: SIPOC (Suppliers, Inputs, Process, Outputs, dan Customers). Peta SIPOC memberikan garis besar elemen-elemen penting dalam suatu proses (Oakland 2003). Peta proses SIPOC dalam produksi tuna loin dapat dilihat pada Gambar 11.
S
P
I
Nelayan Tempat Transit Ikan
Tuna (yellow fin, big eye, dan blue fin) Es curai Pisau Karyawan Timbangan Plastik PE
O
C
Organoleptik tuna loin Rendemen Estetika bentuk tuna
Komoditas ekspor Jepang, Korea, Eropa, Australia, Amerika Komoditas lokal
Gambar 11. Peta SIPOC dalam produksi tuna loin Berdasarkan peta SIPOC diketahui bahwa pemasok ikan tuna yang diterima berasal dari nelayan kemudian sortasi mutu ditempat transit ikan. Kendala yang dihadapi dari supplier meliputi pasokan ikan yang tidak tentu, mutu dan grade ikan yang diperoleh, GMP dan SSOP yang diterapkan pemasok dalam menangani ikan serta sistem pendinginan yang digunakan untuk mempertahankan kesegaran ikan. Input merupakan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh suatu proses untuk menghasilkan output. Mutu dan berat tuna yang akan diproses berpengaruh terhadap kualitas loin dan berat total loin yang dihasilkan. Es curai yang ditambahkan garam merupakan bahan pendingin yang digunakan untuk mendinginkan tuna dalam bak berinsulasi saat menunggu waktu proses pembuatan
45
loin. Ketajaman pisau dan keahlian pekerja dalam melakukan pemotongan dan pembuatan fillet loin akan mempengaruhi nilai rendemen yang akan dihasilkan. Timbangan yang akurat dan selalu dikalibrasi sebelum proses penimbangan akan menunjukkan nilai berat yang lebih teliti, sehingga dapat mencegah terjadinya penipuan ekonomi bagi pelanggan. Plastik yang memiliki ukuran lebih kecil dari ukuran loin akan membuat bentuk loin menjadi tidak sempurna sehingga dapat mengurangi estetika dari bentuk loin yang dihasilkan. Loin yang dihasilkan merupakan komoditas ekspor dan lokal sesuai permintaan pelanggan. Akan tetapi, jika ada loin yang tidak memenuhi permintaan ekspor maka loin tersebut akan dijadikan komoditi lokal. Umumnya persyaratan mutu yang harus dipenuhi untuk dilakukan pengiriman ekspor lebih banyak daripada pengiriman lokal. 4.3.2
Measure (Pengukuran) Measure (pengukuran) berfokus pada kinerja proses yang dipilih untuk
diperbaiki saat ini, serta pengumpulan semua data yang dibutuhkan untuk analisis (Gimenez 2005). Hasil pengukuran dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik Statistical Process Control (SPC), yang meliputi peta kendali (control chart) dan kapabilitas proses (Goffnet 2004). Pengukuran pengendalian mutu proses produksi tuna loin dilakukan pada rata-rata berat tuna segar, rata-rata berat tuna loin, serta rata-rata rendemen yang dihasilkan. 4.3.2.1 Pengendalian mutu terhadap rata-rata berat tuna segar Proses produksi tuna loin segar dilakukan sesuai dengan jumlah yang dipesan oleh pelanggan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi terjadinya penumpukan bahan baku dan penurunan mutu loin yang dihasilkan karena bahan baku tuna yang diproduksi tidak segar. Tuna segar yang digunakan untuk produksi loin harus berasal dari grade A atau grade yang dapat dimakan mentah (sashimi). Hasil analisis pengendalian mutu tuna segar dapat ditunjukkan pada Gambar 12 berikut.
46
Diagram pengendali X-tuna utuh Jan-Mar 2011 140 1
Individual Value
120
UCL=114.6
100
80 _ X=66.2
60
40
20
LCL=17.7 1
4
7
10
13
16
19
22
25
28
Observation
Gambar 12. Peta kendali rata-rata (X-bar) berat tuna segar selama bulan Januari sampai dengan Maret 2011 di PT Y Berdasarkan peta kendali pada Gambar 12, nilai rata-rata berat tuna segar yang digunakan untuk produksi loin sebesar 66,2 kg dan nilai batas kontrol atas (UCL) sebesar 114.6 kg (𝑥
LSL). Secara umum dapat dilihat bahwa kondisi bahan baku masih sesuai dengan kondisi bahan baku yang diharapkan perusahaan. Pola penyebaran yang tak random (non random pattern) memiliki pengaruh kuat sehingga menyebabkan variasi. Hal ini ditunjukkan dengan terdapat satu titik yang berada di luar batas pengendali atas, hal ini menunjukkan adanya proses yang tidak terkendali (Montgomery 1990). Pola seperti ini dihasilkan akibat variasi penyebab khusus (special cause effect) yang dapat bersumber dari faktor-faktor, seperti: manusia, peralatan, material, lingkungan, dan metode kerja (Gaspersz 2002). Penerimaan bahan baku berada di luar kendali penetapan rata-rata bahan baku yang diterima, sehingga perlu dilakukan tindakan evaluasi mengenai standar bahan baku yang akan diterima. Untuk mengetahui kemampuan proses dalam penerimaan bahan baku, maka dilakukan pengukuran terhadap indeks kapabilitas proses. Hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.
47
Tabel 7. Hasil evaluasi rata-rata penerimaan tuna segar pada bulan Januari-Maret 2011 di PT Y No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Statistika Jumlah data Rata-rata proses Standar deviasi proses Nilai minimum Nilai maksimum Lower specific limit (LSL) Standar deviasi maksimum proses (Smaks) Upper control limit (UCL) Lower control limit (LCL) Kapabilitas proses (Cpm) Defect per million opportunities (DPMO) Sigma
Nilai 30 66,1557 16,146 41 127 25 5,66212 114.6 17.7 1,06 5000 4,075829
Berdasarkan hasil perhitungan statistik dari rata-rata berat tuna segar yang diterima menunjukkan bahwa berat maksimum tuna yang diterima sebesar 127 kg, sedangkan berat minimum yang diterima sebesar 41 kg. Nilai standar deviasi proses sebesar 16.146 telah melebihi nilai batas toleransi standar deviasi maksimum proses (Smaks) sebesar 5,662. Hal ini dikarenakan nilai variasi berat tuna yang diterima telah melewati batas antara berat rata-rata dengan batas spesifikasi minimal nilai standar berat penerimaan tuna. Kapabilitas proses (Cpm) yang diukur dari proses penerimaan tuna sebesar 1,06 (1 > Cpm ≥ 1,99) pada tingkat sigma 4.08 sehingga didapat nilai DPMO (defect per million opportunities) atau peluang kegagalan per satu juta kali kesempatan sebesar 5000 yang berarti tiap satu juta kali kesempatan produksi diperkirakan akan terdapat 5000 kemungkinan bahwa rata-rata berat tuna segar yang diterima tidak mampu memenuhi berat rata-rata spesifikasi bawah sebesar 25 kg. Berat rata-rata tuna yang diterima berada pada tingkat kualitas + 4 sigma, maka nilai kapabilitas proses sebesar 1,06 menunjukkan bahwa keadaan proses penerimaan bahan baku tuna segar berada stabil dan tidak mampu, artinya proses berada dalam keadaan tidak mampu sampai cukup mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.
48
4.3.2.2
Pengendalian mutu terhadap berat rata-rata tuna loin Tuna loin diproduksi sesuai dengan jumlah total loin dari permintaan
pelanggan. Karena keadaannya harus segar, maka diusahakan setelah proses, loin tersebut segera dikirim. Namun, terkadang loin disimpan semalam dalam ruang pendingin, kemudian baru dikirim. Berat tuna segar yang akan dipotong mempengaruhi jumlah total loin yang akan dihasilkan. Sehingga jika tuna loin yang dipotong belum mencukupi permintaan pelanggan, maka perusahaan akan membeli lagi di tempat transit ikan. Potongan dan berat loin yang dihasilkan sesuai dengan jumlah total loin permintaan pelanggan. Hasil analisis pengendalian mutu tuna loin dapat dilihat pada Gambar 13 berikut. Diagram Pengendali X-tuna loin bulan Jan-Mar 2011 90
1
80
UCL=77.03
70
X-tuna loin
60 50
_ X=43.53
40 30 20 10
LCL=10.03
0 1
4
7
10
13 16 19 Observation
22
25
28
Gambar 13. Peta kendali rata-rata (X-bar) berat tuna loin selama bulan JanuariMaret 2011 di PT Y Berdasarkan peta kendali pada Gambar 13, nilai rata-rata berat tuna loin yang dihasilkan adalah 43,53 kg dan nilai batas kontrol atas (UCL) sebesar 77,03 (𝑥
49
Tabel 8. Hasil evaluasi rata-rata berat tuna loin selama bulan Januari-Maret 2011 di PT Y No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Statistika Jumlah data Rata-rata proses Standar deviasi Nilai minimum Nilai maksimum Upper specific limit (USL) Lower specific limit (LSL) Standar deviasi maksimum proses (Smaks) Upper control limit (UCL) Lower control limit (LCL) Kapabilitas proses (Cpm) Defect per million opportunities (DPMO) Sigma
Nilai 30 43.5265 11.1667 24.86 83.5 90 15 9,20058 77.03 10.03 1,12 5000 4,07583
Berdasarkan hasil perhitungan statistik, rata-rata berat tuna loin yang dihasilkan menunjukkan bahwa berat maksimum loin yang diterima sebesar 83,5 kg, sedangkan berat minimum yang diterima sebesar 24,86 kg. Nilai standar deviasi proses sebesar 11,17 telah melebihi nilai batas toleransi standar deviasi maksimum proses (Smaks) sebesar 9,2. Hal ini menunjukkan nilai variasi potongan tuna loin yang dihasilkan melebihi jangkauan spesifikasi batas atas dan bawah yang ditetapkan. Kapabilitas proses (Cpm) yang diukur dari proses produksi loin sebesar 1,12 (1 > Cpm ≥ 1,99) pada tingkat sigma 4,08 sehingga didapat nilai DPMO (defect per million opportunities) atau peluang kegagalan per sejuta kali kesempatan sebesar 5000. Hal ini berarti tiap satu juta kali kesempatan produksi diperkirakan akan terdapat 5000 kemungkinan bahwa rata-rata berat tuna loin yang dihasilkan tidak mampu memenuhi berat rata-rata spesifikasi atas sebesar 90 kg. Berat rata-rata loin yang dihasilkan masih berada pada tingkat kualitas + 4 sigma, maka nilai kapabilitas proses sebesar 1,12 menunjukkan bahwa keadaan proses pembuatan loin berada dalam keadaan tidak mampu sampai cukup mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.
50
4.3.2.3
Pengendalian mutu terhadap rata-rata rendemen tuna loin Rendemen tuna loin sebagai hasil produksi loin dihitung berdasarkan
ratio antara total berat tuna loin yang dihasilkan dengan berat tuna utuh. Tuna segar yang dimanfaatkan untuk dijadikan loin bekisar antara 60-65%. Bagian yang tak termanfaatkan seperti; sirip, insang, dan jeroan sudah dibuang saat penanganan diatas kapal, sedangkan kepala, tulang, dan daging gelap dikumpulkan untuk dijual kembali. Besarnya rendemen tuna yang dihasilkan dapat menjadi tolak ukur dari segi profit oleh perusahaan. Semakin besar bagian yang dapat termanfaatkan maka semakin besar ukuran berat loin yang dihasilkan. Hasil pengukuran pengendalian mutu terhadap rata-rata rendemen tuna loin dapat dilihat pada Gambar 14 berikut. Diagram Pengendali X-rendemen tuna loin bulan Jan-Mar 2011 1
90
UCL=81.84
X-rendemen
80
70 7
_ X=65.75 7 7
60
7
50
LCL=49.65 1
4
7
10
13
16
19
22
25
28
Observation
Gambar 14. Peta kendali rata-rata (X-bar) rendemen tuna selama bulan JanuariMaret 2011 di PT Y Berdasarkan peta kendali pada Gambar 14, nilai rata-rata redemen tuna loin yang dihasilkan adalah 65,75% dan nilai batas kontrol atas (UCL) sebesar 81,84% (𝑥
adanya
ketidaknormalan
dalam
proses
produksi
(Ishikawa 1988). Pola seperti ini dihasilkan akibat variasi penyebab khusus (special cause effect) yang dapat bersumber dari faktor-faktor, seperti: manusia, peralatan, material, lingkungan, dan metode kerja (Gaspersz 2002). Hasil rendemen tuna loin yang menunjukkan adanya perubahan titik-titk dalam proses produksi, sehingga perlu dilakukan tindakan evaluasi terhadap
51
proses produksi loin. Untuk mengetahui kemampuan proses yang berkaitan dengan banyaknya rendemen yang dihasilkan, maka dilakukan pengukuran terhadap indeks kapabilitas proses. Hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil evaluasi rata-rata rendemen tuna di PT Y selama bulan JanuariMaret 2011 di PT Y No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Statistika Jumlah data Rata-rata proses Standar deviasi Nilai minimum Nilai maksimum Upper specific limit (USL) Lower specific limit (LSL) Standar deviasi maksimum proses (Smaks) Upper control limit (UCL) Lower control limit (LCL) Kapabilitas proses (Cpm) Defect per million opportunities (DPMO) Sigma
Nilai 30 65.747 5.364091 59.01 91.91 85 50 4,00 81.84 49.65 1,087 2000 4,37
Berdasarkan hasil perhitungan statistik, rata-rata rendemen tuna loin yang dihasilkan menunjukkan rendemen maksimum yang dihasilkan sebesar 91,91%, sedangkan rendemen minimum yang dihasilkan sebesar 59,01%. Nilai standar deviasi proses sebesar 5,36 telah melebihi nilai batas toleransi standar deviasi maksimum proses (Smaks) sebesar 4,00. Hal ini menunjukkan nilai variasi rendemen melebihi jangkauan spesifikasi batas atas dan bawah yang ditetapkan. Karena ukuran dan berat tuna segar yang diproses menjadi loin memiliki kisaran berat yang cukup jauh, sehingga menghasilkan variasi berat tuna loin yang berbeda-beda serta nilai rendemen yang lebih beragam. Kapabilitas proses (Cpm) yang diukur dari rendemen tuna yang dihasilkan sebesar 1,087 (1 > Cpm ≥ 1,99) pada tingkat sigma 4,37 sehingga didapat nilai DPMO (defect per million opportunities) atau peluang kegagalan per sejuta kali kesempatan sebesar 2000. Hal ini berarti tiap satu juta kali kesempatan produksi diperkirakan akan terdapat 2000 kemungkinan bahwa rata-rata rendemen tuna loin yang dihasilkan tidak mampu memenuhi nilai rendemen spesifikasi atas
52
sebesar 85%. Rendemen tuna yang dihaslkan masih berada pada tingkat kualitas + 4 sigma, maka nilai kapabilitas proses sebesar 1,087 menunjukkan bahwa keadaan proses produksi tuna terkait dengan rendemen yang dihasilkan berada dalam keadaan tidak mampu untuk menghasilkan rendemen tuna sesuai dengan ekspektasi perusahaan. 4.3.3
Analyze (Analisa data) Tahap analyze menganalisis hubungan sebab-akibat dari berbagai faktor
yang perlu dipelajari untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang perlu dikendalikan pada tahap selanjutnya (Kwak dan Anbari 2006). Agar dapat mempermudah usaha perbaikan kualitas pada produk, maka digunakan diagram ishikawa (sebab-akibat) untuk mengetahui lebih lanjut penyebab penyimpangan yang terjadi (Ishikawa 1988). 4.3.3.1
Diagram sebab-akibat tahap penerimaan tuna segar Analisis tahap penerimaan tuna segar berkaitan dengan nilai variasi
berat tuna yang akan diproses dalam pembuatan loin. Hasil grafik kendali mutu pada tahap penerimaan tuna segar menunjukkan adanya nilai berat tuna yang berada diluar batas kendali sehingga mengindikasikan adanya nilai yang memiliki berat cukup jauh dibandingkan berat rata-rata spesifikasi atas, yaitu sebesar 97,8 kg. Hasil pengukuran evaluasi rata-rata tuna menunjukkan nilai kapabilitas proses penerimaan tuna sebesar 1,12 (1 > Cpm ≥ 1,99) yang berarti keadaan proses penerimaan bahan baku tuna berada dalam keadaan tidak mampu sampai cukup mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. Hal ini dikarenakan proses penerimaan bahan baku memiliki variasi berat yang cukup tinggi. Hal ini terlihat dari standar deviasi yang dihasilkan, sehingga perlu ditemukan sebab-sebab tak terduga untuk membawa proses dalam keadaan terkendali (Montgomery 1990). Faktor penyebab variasi pengendalian mutu pada tahap penerimaan tuna segar digolongkan ke dalam tiga faktor utama, yaitu material, manusia, dan lingkungan. Diagram sebab-akibat pada tahap penerimaan tuna segar dapat dilihat pada Gambar 15.
53
Gambar 15. Diagram sebab-akibat variasi tahap penerimaan tuna (1)
Material (bahan baku tuna) Bahan baku kan tuna yang digunakan PT Y adalah berupa ikan tuna
segar yang dibeli dari transit ikan. Tuna yang akan diterima terlebih dahulu dilakukan pengecekan secara organoleptik oleh checker berpengalaman meliputi, kenampakan, bak, tekstur daging, dan suhu pusat. Pengecekan dilakukan dengan menggunakan alat couring tube yang ditusukkan pada bagian belakang sirip dada dan pangkal ekor sebelah kiri dan kanan. Akan tetapi, setelah dilakukan proses fillet tuna, ditemukan bagian cacat dalam pada tubuh tuna, sehingga bagian daging tuna yang akan dibuat loin menjadi berkurang. Contoh cacat dalam daging tuna dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Cacat dalam pada daging tuna segar Big eye Jumlah berat total tuna yang diterima untuk digunakan dalam proses produksi sesuai dengan permintaan pesanan loin oleh pelanggan. Perkiraan jumlah total berat tuna yang akan diterima untuk memenuhi pesanan loin pelanggan
54
sebesar 30% dari total berat tuna. Akan tetapi, karena pasokan tuna tidak menentu, maka berat tuna yang digunakan untuk produksi loin beragam. Hasil tangkapan yang tidak menentu selain dipengaruhi oleh musim, terdapat 10 hari siklus produksi tuna terendah dalam 1 bulan (Babula dan Corey 2004). Hal ini diduga karena telah terjadi overfishing. Salah satu penyebab terjadinya overfishing adalah jumlah armada kapal penangkap tuna. Dalam mengatasi masalah overfishing, Dinas Kelautan Perikanan telah melakukan upaya seperti pembuatan peraturan tentang penangkapan ikan dengan alat tertentu, mengatur pembatasan nelayan dan pengawasan
kegiatannya,
serta
memperluas
areal
penangkapan
(Tim PPP dan UMKM 2009). (2)
Manusia Penanganan
tuna
yang
kasar
saat
dilakukannya
penangkapan,
pembongkaran, dan sortasi mutu dapat menyebabkan terjadinya kerusakan fisik berupa luka dalam atau pecahnya pembuluh darah pada daging tuna, sehingga kurang
baik
untuk
dijadikan
loin
tuna
dengan
kualitas
ekspor
(Sabater et al. 1994). Pemilihan bahan baku tuna dilakukan ditempat transit ikan oleh Checker berpengalaman, akan tetapi diperlukan ketelitian QC dalam memilih bahan baku untuk mencegah ketidaksesuaian mutu tuna ditempat transit dengan setelah dilakukan fillet. (3)
Lingkungan Lingkungan tempat penyimpanan maupun tempat transit ikan sambil
menunggu proses pengecekan haruslah berada dalam keadaan dingin untuk menjaga suhu tubuh ikan < 3 oC (KKP 2008). Suhu lingkungan yang tinggi akan memberikan pengaruh terhadap timbulnya warna pelangi pada daging tuna, sehingga loin yang dihasilkan tidak dapat memenuhi kualitas ekspor (Mateo et al. 2006). Selain itu, tuna yang ditangkap dengan pancing long line yang berasal di laut dalam (kedalaman > 3000 m) lebih lama mengalami kemunduran mutu dibandingkan dengan tuna yang ditangkap dengan pancing purseine gear yang berasal di kolom perairan (kedalaman < 3000 m) (Lennert-Cody et al. 2008).
55
4.3.3.2
Diagram sebab-akibat tahap produksi tuna loin Analisis tahap produksi tuna loin berkaitan dengan nilai variasi berat
tuna loin yang dihasilkan. Hasil grafik kendali mutu menunjukkan adanya nilai berat loin yang berada diluar batas kendali sehingga mengindikasikan adanya nilai yang memliki berat cukup jauh dibandingkan berat rata-rata kendali atas, yaitu 77,03 kg. Hasil pengukuran evaluasi rata-rata tuna loin menunjukkan nilai kapabilitas proses produksi loin sebesar 1,12 (1,00> Cpm >1,99) yang berarti keadaan proses produksi loin berada dalam keadaan tidak mampu sampai cukup mampu untuk menghasilkan produk sesuai ekspektasi perusahaan. Hal ini dikarenakan proses produksi loin tidak stabil, sehingga perlu ditemukan sebabsebab tak terduga untuk membawa proses dalam keadaan terkendali (Montgomery 1990). Faktor penyebab variasi pengendalian mutu pada tahap produksi tuna loin digolongkan ke dalam empat faktor utama, yaitu material, manusia, peralatan dan permintaan pelanggan. Diagram sebab-akibat pada tahap produksi tuna loin dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Diagram sebab-akibat variasi dalam produksi loin (1)
Material Potongan bentuk loin tuna dilakukan setelah proses fillet. Mutu tuna
loin yang dihasilkan untuk kualitas ekspor merupakan grade A, yaitu warna daging merah bening, tidak terdapat warna pelangi, tekstur daging kenyal, serta bila daging berwarna terang bila terkena cahaya. Loin yang tidak memenuhi mutu grade A menjadi produk lokal. Kualitas bahan baku tuna mempengaruhi mutu
56
loin yang dihasilkan. Penggunaan es untuk pendinginan tuna sebelum produksi juga mempengaruhi warna dan tekstur tuna loin (KKP 2008). (2)
Manusia Proses pemotongan fillet tuna hingga menjadi bentuk loin dilakukan
oleh pekerja yang berpengalaman dan dilakukan dengan cepat dan hati-hati. Pemotongan fillet tuna yang rapi akan menghasilkan fillet daging yang lebih baik untuk proses pembuatan loin, sehingga loin yang dihasilkan akan memiliki berat yang lebih besar. Potongan loin yang dihasilkan mengalami perapihan bentuk dan pembuangan daging merah untuk menghasilkan loin dengan mutu yang baik. (3)
Peralatan Peralatan yang digunakan untuk proses fillet tuna adalah pisau khusus
fillet berbahan stainless steel. Pisau yang digunakan untuk loin berbeda dengan pisau fillet. Saat sebelum pemotongan fillet dan loin, pisau diasah terlebih dulu agar menjadi tajam dan mendapatkan hasil potongan fillet yang baik. Potongan fillet yang baik akan menghasilkan potongan loin dengan berat maksimal. 4.3.3.3
Diagram sebab-akibat pengaruh proses produksi terhadap rendemen loin Analisis pengaruh proses produksi terhadap rendemen loin yang
dihasilkan berkaitan dengan banyaknya penyusutan berat dalam produksi loin. Rendemen loin yang dihasilkan dapat digunakan sebagai tolak-ukur profit oleh perusahaan. Hasil grafik kendali mutu menunjukkan adanya nilai rendemen yang berada diluar batas atas kendali mutu serta terdapat pelarian panjang 4 titik yang secara berurutan pada satu sisi saja dari garis pusat, sehingga diindikasikan terdapat ketidaknormalan dalam proses produksi. Hasil pengukuran evaluasi ratarata rendemen tuna menunjukkan nilai kapabilitas proses sebesar 1,08 (1,00> Cpm >1,00) yang berarti keadaan proses produksi loin terkait dengan rendemen yang dihasilkan tidak mampu sampai cukup mampu untuk menghasilkan produk sesuai ekspektasi perusahaan. Ketidakstabilan proses yang terjadi perlu ditemukan sebab-sebab tak terduga untuk membawa proses dalam keadaan terkendali (Montgomery 1990). Faktor penyebab variasi pengendalian mutu pada produksi tuna loin dengan rendemen yang dihasilkan digolongkan ke dalam empat faktor utama,
57
yaitu
material, manusia, peralatan, dan metode kerja. Diagram sebab-akibat
pengaruh proses produksi terhadap rendemen loin yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 18.
1. Material
Gambar 18. Diagram sebab-akibat pengaruh proses produksi terhadap rendemen loin (1)
Material Berat bahan baku tuna segar mempengaruhi hasil rendemen loin.
Semakin besar berat tuna yang akan diproduksi maka semakin banyak berat daging yang dihasilkan dalam bentuk potongan loin. Akan tetapi, loin yang dihasilkan harus mengalami tahap perapihan dan pembuangan daging gelap, sehingga mempengaruhi berat akhir loin. Selain itu, cacat yake atau BTS (Born Tuna Syndrome) yang disebabkan oleh suhu temperatur tinggi, produksi asam laktat atau tingginya aktivitas proteolitik membuat rendemen tuna menjadi rendah karenan ada bagian yag terbuang (Mateo et al. 2006). (2)
Manusia Keterampilan dan ketelitian dalam menghasilkan fillet tuna yang baik
akan mempengaruhi berat pada akhir potongan loin. Sehingga diperlukan keahlian dan orang yang berpengalaman melakukan pemotongan fillet tuna, pembuangan daging gelap dan perapihan loin. Ketelitian QC penerimaan bahan baku sampai tahap penerimaan akhir loin juga dapat mempengaruhi berat akhir loin. (3)
Peralatan Pisau khusus fillet dan potong loin berbahan stainless steel cukup efektif
untuk memotong tuna segar menjadi bentuk loin. Akan tetapi ketajaman mata pisau harus sering diasah untuk mempermudah proses pembuatan loin. Pisau yang
58
tumpul akan menghasilkan potongan loin yang kurang sempurna, sehingga dapat mengurangi rendemen loin. Selain itu, timbangan yang digunakan perlu dikalibrasi sebelum proses penimbangan dan kalibrasi rutin tahunan untuk menghindari kesalahan pengukuran berat loin yang dihasilkan. (4)
Metode kerja Tahapan produksi yang mempengaruhi hasil rendemen tuna loin adalah
tahap fillet, pembuangan daging gelap dan perapihan. Pada tahap fillet dilakukan secara cepat dan rapi agar tidak banyak daging tuna yang masih melekat pada ruas-ruas tulang. Tahap pembuangan daging gelap dilakukan untuk mengurangi kadar histamin pada daging dan memperlambat proses kemunduran mutu karena mengandung
lemak
jenuh
yang
dapat
mengakibatkan
kolesterol
(Wolmarans et al. 1991). Selain itu, pembuangan daging gelap harus dilakukan untuk mencegah rasa pahit pada daging loin kualitas sashimi (Mateo et al. 2006). Pembuangan daging merah memerlukan ketelitian dan keterampilan agar daging yang bukan daging gelap tidak ikut terbuang.Pada tahap perapihan loin diusahakan agar tidak terlalu banyak daging yang terbuang, sehingga diperlukan ketelitian dalam prosesnya. 4.3.3.4 Kapabilitas proses Kapabilitas proses merupakan kemampuan proses dalam menghasilkan produk yang diinginkan. Kapabilitas proses berkenaan dengan keseragaman dalam proses produksi. Variabilitas yang muncul dalam proses adalah ukuran keseragaman pada proses tersebut (Montgomery 1990). Pemahaman terhadap studi kapabilitas proses memungkinkan untuk memprediksi secara kuantitatif seberapa baik suatu proses dapat memenuhi spesifikasi serta menentukan pengendalian yang harus dibutuhkan (Evans dan Lindsay 2007). Hasil kapabilitas proses, tingkatan sigma, serta nilai DPMO (defect per million opportunities) yang diukur secara berturut-turut pada tahap penerimaan bahan baku, produksi tuna loin, dan nilai rendemen yang dihasilkan adalah 1,06 pada tingkat sigma 4,07, dan DPMO 5000; 1,12 pada tingkat sigma 4,07, dan DPMO 5000; serta 1,09 pada tingkat sigma 4,37, dan DPMO 2000. Nilai DPMO pada tahap penerimaan bahan baku, produksi tuna loin, serta nilai rendemen yang dihasilkan berada pada tingkat kualitas + 4 sigma. Nilai ini
59
menunjukkan bahwa pergeseran nilai target (nilai rata-rata) sebesar 1,5-sigma (1,5 x maksimum standar deviasi) (Gaspersz 2002). Jika suatu perusahaan beroperasi pada tingkat kualitas 4 sigma, maka nilai DPMO tidak lebih dari 6210. Nilai ini dapat dilihat pada Tabel 10. Metode pendekatan 6 sigma merupakan konsep pengendalian yang baik unuk digunakan pada perusahaan yang masih beroperasi pada tingkat kualitas 3 sigma (Kwak dan Anbari 2006). Nilai kapabilitas proses pada produksi tuna loin (1,00> Cpm > 1,99) menunjukkan keadaan tidak mampu sampai cukup mampu dalam menghasilkan produk sesuai ekspektasi dikarenakan besarnya variasi data yang terjadi sehingga bias penyebaran data lebih besar. Proses yang tidak dapat memenuhi persyaratan spesifikasi tetapi berada dalam keadaan terkendali menunjukkan perbandingan antara kapabilitas proses dengan batas toleransi. Pada umumnya keadaan proses industri berada dalam keadaan tak terkendali ketika pertama kali dilakukan pengukuran dengan diagram kendali, sehingga variasi penyebab khusus yang menyebabkan proses menjadi tidak terkendali harus ditemukan dan diperbaiki (Oakland 2003). 4.3.4
Improve (Peningkatan/perbaikan) Proses peningkatan kualitas atau perbaikan kualitas memerlukan
komitmen untuk perbaikan yang seimbang antara aspek manusia (motivasi) dan aspek
teknologi
(teknik)
yang
dilakukan
secara
terus
menerus
(quality improvement) (Cheng 2010). Program perbaikan kualitas dapat dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah berikut. 1.
Memilih dan menetapkan program perbaikan kualitas
2.
Mengemukakan alasan mengapa memilih program tersebut
3.
Melakukan analisis situasi melalui pengamatan situasional
4.
Melakukan pengumpulan data selama beberapa waktu
5.
Melakukan analisis data
6.
Menetapkan rencana perbaikan melalui penetapan sasaran perbaikan kualitas
7.
Melaksanakan program perbaikan selama waktu tertentu
8.
Melakukan studi penilaian terhadap program perbaikan kualitas
60
9.
Mengambil tindakan korektif atas penyimpangan yang terjadi atau standarisasi terhadap aktivitas yang sesuai Pada tahap improvement dilakukan langkah strategi perbaikan kualitas
pada faktor-faktor yang menjadi penyebab masalah pengendalian mutu pada proses produksi tuna loin di PT Y menggunakan diagram kaizen blitz yang dapat dilihat pada Tabel 10 yang menunjukkan hubungan antara siklus Deming (PDSA) dan proses perbaikan yang terus menerus. Tabel 10. Hubungan antara siklus Deming (PDSA) dan proses perbaikan yang terus-menerus Siklus Deming (PDSA)
Transformasi kualitas
Merencanakan (Plan,P)
Definisi proses Menilai situasi sekarang Analisis penyebab
Melaksanakan (Do, D) Mencoba teori perbaikan Mempelajari (Study, S) Memeriksa hasil Bertindak (Act, A) Standarisasi perbaikan
Rencana perbaikan terus-menerus 4.3.5
Control (Pengendalian) Control atau pengendalian merupakan langkah terakhir dalam proses
DMAIC six sigma, dan merupakan aktivitas untuk memastikan agar proses perbaikan proses produksi tuna loin tetap terjaga. Tahap ini memerlukan pengawasan proses dan hasilnya, serta tindakan korektif jika diperlukan utnuk mengatasi masalah dan membawa proses tersebut kembali ke dalam kinerja yang stabil. Penerapan sistem pengendalian memiliki tiga komponen, yaitu
61
(1)
Standar dan tujuan Menetapkan standar dan tujuan yang harus dicapai dapat dilihat dari
karakteristik kualitas yang diukur, seperti pencapaian target penerimaan bahan baku tuna segar, berat loin, serta banyaknya rendemen yang dihasilkan. (2)
Cara untuk mengukur keberhasilan Pengukuran memberikan informasi mengenai apa yang sesungguhnya
telah dicapai. pekerja, supervisor, atau manajer memeriksa apakah berat penerimaan tuna, berat loin, serta banyaknya rendemen yang dihasilkan telah memenuhi tujuan atau standar yang ditetapkan. Jika tidak, maka perlu dilakukan perbaikan. Sebagai contoh, manajer produksi dapat memeriksa beberapa hasil produksi pertama untuk menentukan apakah hasil telah sesuai dengan spesifikasi. Proses pemeriksaan dapat dilihat dari data bahan baku tuna, berat loin, dan rendemen selama proses produksi. (3)
Perbandingan antara hasil sebenarnya dengan hasil standar, serta umpan balik untuk melakukan tindakan korektif. Tindakan korektif jangka pendek biasanya dilakukan oleh para pelaku
proses yang bertanggung jawab langsung dalam melakukan proses produksi, sedangkan tindakan korektif jangka panjang merupakan tanggung jawab manajemen (Oakland 2003). Tanggung jawab pengendalian dapat ditentukan melalui pemeriksaan tiga komponen sistem pengendalian. Para pelaku proses harus memiliki cara untuk mengetahui apa yang diharapkan melalui instruksi dan spesifikasi yang jelas, mereka harus memiliki cara untuk mengetahui kinerja yang biasa dilakukan melalui inspeksi dan pengukuran, dan mereka harus memiliki cara untuk melakukan proses perbaikan (Evans dan Lindsay 2007).
62
5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Peta kendali mutu pada tahap penerimaan bahan baku tuna segar dan pembuatan loin menunjukkan titik berada diluar kendali. Hal ini dikarenakan berat yang dihasilkan berada diluar batas kendali atas. Peta kendali rendemen loin menunjukkan bahwa titik di luar batas pengendali atas dan terdapat pelarian panjang 4 titik yang mengindikasikan adanya ketidaknormalan dalam proses produksi. Nilai kemampuan proses produksi (kapabilitas proses) penerimaan tuna segar, produksi loin, dan rendemen menunjukkan bahwa 1,00> Cpm >1,99 sehingga keadaan proses produksi loin berada dalam keadaan tidak mampu sampai cukup mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan spesifikasi. Hal ini dikarenakan proses produksi tidak stabil karena dipengaruhi oleh faktor-faktor penyebab khusus, seperti material, manusia, lingkungan, perlatan, permintaan pelanggan, dan metode kerja. Perbaikan proses dengan siklus Deming (PDSA) dilakukan secara terus menerus, serta control untuk memastikan agar proses tetap terjaga. 5.2 Saran Teknik pengendalian mutu pada produksi tuna loin dengan metode six sigma memerlukan keterlibatan aktif pada tim manajemen. Batas toleransi antara spesifikasi berat produk dengan batas kendali pada peta kendali mutu dilakukan sebagai acuan berat produk untuk mengurangi variasi dan peningkatan nilai kapabilitas proses.
63
DAFTAR PUSTAKA
Alamsy IE. 2011. Ikan tuna indonesia laris manis, LSM asing berubah. http://republika.co.id [18 Juni 2011] Anonim 2010. Ikan tuna. http://fishbase.com [2 Oktober 2010] Ariani DW. 1999. Manajemen Kualitas Pendekatan Sisi Kualitatif. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Babula RA, Corey RL. US canned tuna supply and demand. J. Food and Agrbusiness Marketing. 16(2):145-164 [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. Standar mutu ikan tuna loin beku. http://www.bsn.go.id [25 Novenmber 2010] Burhanuddin et.al. 1984. Suku Scombridae Tinjauan Mengenai Ikan Tuna, Cakalang, dan Tongkol. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI Byrne G, Lubowe D, Blitz A. 2007. Driving Operational Innovation Using Lean Six Sigma. USA: IBM Global Business Services Cheng KM. 2010. Application of the six sigma process to service quality improvement in fitness clubs: a managerial prosepective. J. Management. 27(3): 528-540 Cutting CL. 1965. Smoking. Di dalam: Borgstorm G, editor. Fish as Food. Volume III. New York: Academy Press. Committee E-11 on Quality and Statistic. 2002. Manual on Presentation of Data and Control Chart Analysis. West Conshohocken: ASTM International. Department of Health, Education, and Walfare. 1972. Food Composition Table for use in East Asia. USA: Food and Agriculture Organization of the United Nations Evans JR, Lindsay WM. 2007. Pengantar Six sigma, penerjemah Fitriati AR, editor. Jakarta: Salemba Empat-Setyaningsih N. Terjemahan dari An Introduction to Six sigma and Process Improvement Feingenbaum AV. 1989. Kendali Mutu Terpadu, penerjemah; Jakarta: ErlanggaKandahjaya H. Terjemahan dari: Total Quality Control 3rd Edition Gasperz, V.1998. Statistical Process Control: Penerapan teknik-teknik statistikal dan Manajemen BIsnis Total. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
64
________. 2001. Metode Analisis Untuk peningkatan Kualitas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama ________. 2003. Total Quality Management. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama ________. 2007. Lean Six sigma for Manufacturing and Services Industries. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Gimenez LM. 2005. Mastering Statistical Process Control: A Handbook for Perfomance Improvement Using Cases. USA: Elsevier ButterworthHeinemann Goffnett SP. 2004. Understanding six sigma: implications for industry and education. J. Industrial Technology. 20: 1-10 Ishikawa. 1988. Teknik Penuntun Pengendalian Mutu. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa Kawamura G, Masuma S, Tezuka N, Koiso M, Jinbo T, Namba K. Morphogenesis of sense organs in the bluefin tuna Thunnus orientalis. Di dalam Browman HJ, Skitftesvik AB, editor. The Big Fish Bang. Proceedings of the 26th Annual larva Fish Conference, 2003. Norway: The Institute of Marine Research. Hlm 123-135. Kapadia. 2010. Measurring your process capability.http://symponytech.com [20 November 2010] [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2008. Bantuan Teknis untuk Industri Ikan dan Udang Skala Kecil dan Menengah di Indonesia: Teknik Pasca Panen dan Produk Perikanan. Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan serta Japan International Cooperation Agency. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Statistik Kelautan dan Perikanan 2008. Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan Kwak YH, Anbari FT. 2006. Obstacle and future of six sigma approach. J. Technovation. 26:708-715 Larson A.2003. Demistifying Six sigma. New York: Amacom Lee SS, Dugger JC, Chen JC. 1999. Kaizen: an essential tools for inclusion for industrial technology. 16(1): 1-7 Lennert-Cody CE, Roberts JJ, Stephenson RJ. 2008. Effects of gear charachteristic on the presence of bigeye tuna (Thunnus obesus) in the cathces of the purse-seine fishery of the eastern Pacific Ocean. J. Marine Sciences. 65:970-978
65
Mateo A, Soto F, Vilarejo JA, Roca-Dorda J, Gandara FD, Garcia A. 2006. Quality analysis of tuna meat using an automated color inspection system. J. Agricultural Enginering. 35:1-13 Mc Afee AJ. 2009. Red meat consumption: An overview of the risks and benefits. J. Meat Science 84:1-13. Montgomery DC. 1990. Pengantar Pengendalian Kualitas Statistik, penerjemah; Soejoeti Z, editor. Yogyakarta: Gajah Mada University Press-Subanar. Terjemahan dari Introduction to Statistical Quality Control Mutiara E, Kuswadi. 2004. DELTA: Delapan Langkah dan Tujuh Alat Statistik untuk Peningkatan Mutu Berbasis Komputer. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Oakland JS. 2003. Statistical Process Control. Oxford: Butterworth Heinemann O‟neill. 2002. Process capability. http://www.sixsigma.com [20 November 2010] Roy BC, Ando M, Kawasaki K, Tsukamasa Y. Comparison of lipid and fatty acid compositions in different flesh cuts of farmed fed, farmed fast and wild pacific bluefin tuna (Thunnus orientalis). Di dalam Allan G, Booth M, Mair G, Clarke S, Bisways A, editor. Sustainable Aquaculture of the Bluefin and Yellowfin Tuna Closing the Life Cycle for Commercial Production. Proceedings of the 2nd Global COE program Symposium of Kinki University, 2009. Japan: Kinki University global COE Program. Hlm 50-54. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I dan II. Jakarta: Bina Cipta Sabater EIL, Jerez JJR, Jerez, Herrero MH, Sagues ARS, Moras MAT, Ventura. 1993. Sensory quality and histamine formation during controlled decomposition of tuna (Thunnus thynnus). J. Food Protection. 29(2): 167-174 Sabater EIL, Jerez JJR, Jerez, Sagues ARS, Moras MAT, Ventura. 1994. Bacteriological quality of tuna fish (Thunnus thynnus) destined for canning: effect of tuna handling on presence of histidine decarboxylase bacteria and histamine level. J.Food Protection. 57(4): 318-323 Saulina HS. 2009. Pengendalian mutu pada proses pembekuan udang menggunakan statistical process control (SPC) studi kasus di PT Lola Mina Jakarta Utara [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Springer MP, Carr MA, Ramsey CB, Miller MF. 2003. Accelerated chilling of carcasses to improve pork quality. J. Animal Science. 81:1464-1472
66
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2009. Tuna loin segar-bagian 3: penanganan dan pengolahan. Badan Standardisasi Nasional 7530.3:2009 Standsby, EM. 1963. Industry Fishery Technology. New York: Reinhold Publishing Coperation. Stapenhurst T. 2005. Mastering Statistical Process Control: A Handbook for Perfomance Improvement Using Cases. USA: Elsevier ButterworthHeinemann Tim Penelitian dan pengembangan perkreditan dan UMKM. 2009. Usaha Pengolahan Tuna Loin. Jakarta: Bank Indonesia. Urdwareshe H. 2000. The six sigma approach. J. Quality and Productivity. 1:1-5. Wolmarans P, Benade AJS, Kotze TJW, Daubitzer AK, Marais MP, Laubscher R. 1991. Plasma lipoprotein response to subtituting fish for red meat in the diet. J. Clinical Nutrition. 53:1171-1176
67
68
Lampiran 1. Gambar proses produksi pembuatan tuna loin.
Ikan tuna utuh
Setelah proses fillet dan pemotongan loin
Penimbangan loin tuna
Penyusunan es dan loin
Pendinginan tuna
Daging merah
Loin tampak samping
Persiapan Pemotongan
Bentuk potongan loin
Penyusunan dalam box
Kemasan dalam box pengiriman
69
Lampiran 2. Data berat rata-rata penerimaan tuna segar, tuna loin, dan rendemen tuna yang dihasilkan. No
Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
3-Jan-11 6-Jan 9-Jan 12-Jan 15-Jan 18-Jan 19-Jan 20-Jan 22-Jan 25-Jan 27-Jan 30-Jan 6-Feb 9-Feb 15-Feb 16-Feb 19-Feb 22-Feb 26-Feb 27-Feb 1-Mar 2-Mar 5-Mar 8-Mar 10-Mar 12-Mar 17-Mar 20-Mar 22-Mar 24-Mar
Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata tuna utuh (kg) tuna loin(kg) %penyusutan %rendemen 66.6 43.51 34.6 65.4 49.29 31.11 37.42 62.58 69.25 44.93 35.19 64.81 63.38 41.63 34.12 65.88 64 40.31 37.02 62.98 64 42.52 33.56 66.44 57.33 37.55 34.68 65.32 74.29 49.08 33.89 66.11 67 61.58 8.09 91.91 66.8 42.82 35.59 64.41 127 83.5 34.25 65.75 88 58.1 33.98 66.02 58 40.73 29.78 70.22 66.2 43.89 33.99 66.01 44.8 28.7 35.38 64.62 79 51.89 34.32 65.68 73 48.25 33.9 66.1 41 24.86 39.97 60.63 74 45.66 38.3 61.7 48 32 33.33 66.67 74 48.67 34.51 65.49 56 37.01 33.91 66.09 63 41.2 34.6 65.4 62.4 41.01 34.39 65.61 80 51.98 35.03 64.97 62 39.2 36.77 63.23 55.33 35.84 35.19 64.81 84 49.57 40.99 59.01 51 33.655 34.01 65.99 56 35.04 37.43 62.57
70
Lampiran 3. Tabel peluang lebih kecil dari nilai z untuk sebaran Normal Baku dengan =0 dan =1. Nilai Z
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
0.09
-3.4
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
-3.3
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
-3.2
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
-3.1
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
-3.0
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
-2.9
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.001
0.001
0.001
-2.8
0.003
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
-2.7
0.003
0.003
0.003
0.003
0.003
0.003
0.003
0.003
0.003
0.003
-2.6
0.005
0.005
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
-2.5
0.006
0.006
0.006
0.006
0.006
0.005
0.005
0.005
0.005
0.005
-2.4
0.008
0.008
0.008
0.008
0.007
0.007
0.007
0.007
0.007
0.006
-2.3
0.011
0.010
0.010
0.010
0.010
0.009
0.009
0.009
0.009
0.008
-2.2
0.014
0.014
0.013
0.013
0.013
0.012
0.012
0.012
0.011
0.011
-2.1
0.018
0.017
0.017
0.017
0.016
0.016
0.015
0.015
0.015
0.014
-2.0
0.023
0.022
0.022
0.021
0.021
0.020
0.020
0.019
0.019
0.018
-1.9
0.029
0.028
0.027
0.027
0.026
0.026
0.025
0.024
0.024
0.023
-1.8
0.036
0.035
0.034
0.034
0.033
0.032
0.031
0.031
0.030
0.029
-1.7
0.045
0.044
0.043
0.042
0.041
0.040
0.039
0.038
0.038
0.037
-1.6
0.055
0.054
0.053
0.052
0.051
0.049
0.048
0.047
0.046
0.046
-1.5
0.067
0.066
0.064
0.063
0.062
0.061
0.059
0.058
0.057
0.056
-1.4
0.081
0.079
0.078
0.076
0.075
0.074
0.072
0.071
0.069
0.068
-1.3
0.097
0.095
0.093
0.092
0.090
0.089
0.087
0.085
0.084
0.082
-1.2
0.115
0.113
0.111
0.109
0.107
0.106
0.104
0.102
0.100
0.099
-1.1
0.136
0.133
0.131
0.129
0.127
0.125
0.123
0.121
0.119
0.117
-1.0
0.159
0.156
0.154
0.152
0.149
0.147
0.145
0.142
0.140
0.138
-0.9
0.184
0.181
0.179
0.176
0.174
0.171
0.169
0.166
0.164
0.161
-0.8
0.212
0.209
0.206
0.203
0.200
0.198
0.195
0.192
0.189
0.187
-0.7
0.242
0.239
0.236
0.233
0.230
0.227
0.224
0.221
0.218
0.215
-0.6
0.274
0.271
0.268
0.264
0.261
0.258
0.255
0.251
0.248
0.245
-0.5
0.309
0.305
0.302
0.298
0.295
0.291
0.288
0.284
0.281
0.278
-0.4
0.345
0.341
0.337
0.334
0.330
0.326
0.323
0.319
0.316
0.312
-0.3
0.382
0.378
0.374
0.371
0.367
0.363
0.359
0.356
0.352
0.348
-0.2
0.421
0.417
0.413
0.409
0.405
0.401
0.397
0.394
0.390
0.386
-0.1
0.460
0.456
0.452
0.448
0.444
0.440
0.436
0.433
0.429
0.425
-0.0
0.500
0.496
0.492
0.488
0.484
0.480
0.476
0.472
0.468
0.464
0.0
0.500
0.504
0.508
0.512
0.516
0.520
0.524
0.528
0.532
0.536
0.1
0.540
0.544
0.548
0.552
0.556
0.560
0.564
0.567
0.571
0.575
Nilai Z
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
0.09
0.2
0.579
0.583
0.587
0.591
0.595
0.599
0.603
0.606
0.610
0.614
0.3
0.618
0.622
0.626
0.629
0.633
0.637
0.641
0.644
0.648
0.652
0.4
0.655
0.659
0.663
0.666
0.670
0.674
0.677
0.681
0.684
0.688
0.5
0.691
0.695
0.698
0.702
0.705
0.709
0.712
0.716
0.719
0.722
0.6
0.726
0.729
0.732
0.736
0.739
0.742
0.745
0.749
0.752
0.755
0.7
0.758
0.761
0.764
0.767
0.770
0.773
0.776
0.779
0.782
0.785
0.8
0.788
0.791
0.794
0.797
0.800
0.802
0.805
0.808
0.811
0.813
0.9
0.816
0.819
0.821
0.824
0.826
0.829
0.831
0.834
0.836
0.839
71
1.0
0.841
0.844
0.846
0.848
0.851
0.853
0.855
0.858
0.860
1.1
0.864
0.867
0.869
0.871
0.873
0.875
0.877
0.879
0.881
0.883
1.2
0.885
0.887
0.889
0.891
0.893
0.894
0.896
0.898
0.900
0.901
1.3
0.903
0.905
0.907
0.908
0.910
0.911
0.913
0.915
0.916
0.918
1.4
0.919
0.921
0.922
0.924
0.925
0.926
0.928
0.929
0.931
0.932
1.5
0.933
0.934
0.936
0.937
0.938
0.939
0.941
0.942
0.943
0.944
1.6
0.945
0.946
0.947
0.948
0.949
0.951
0.952
0.953
0.954
0.954
1.7
0.955
0.956
0.957
0.958
0.959
0.960
0.961
0.962
0.962
0.963
1.8
0.964
0.965
0.966
0.966
0.967
0.968
0.969
0.969
0.970
0.971
1.9
0.971
0.972
0.973
0.973
0.974
0.974
0.975
0.976
0.976
0.977
2.0
0.977
0.978
0.978
0.979
0.979
0.980
0.980
0.981
0.981
0.982
2.1
0.982
0.983
0.983
0.983
0.984
0.984
0.985
0.985
0.985
0.986
2.2
0.986
0.986
0.987
0.987
0.987
0.988
0.988
0.988
0.989
0.989
2.3
0.989
0.990
0.990
0.990
0.990
0.991
0.991
0.991
0.991
0.992
2.4
0.992
0.992
0.992
0.992
0.993
0.993
0.993
0.993
0.993
0.994
2.5
0.994
0.994
0.994
0.994
0.994
0.995
0.995
0.995
0.995
0.995
2.6
0.995
0.995
0.996
0.996
0.996
0.996
0.996
0.996
0.996
0.996
2.7
0.997
0.997
0.997
0.997
0.997
0.997
0.997
0.997
0.997
0.997
2.8
0.997
0.998
0.998
0.998
0.998
0.998
0.998
0.998
0.998
0.998
2.9
0.998
0.998
0.998
0.998
0.998
0.998
0.998
0.999
0.999
0.999
3.0
0.999
0.999
0.999
0.999
0.999
0.999
0.999
0.999
0.999
0.999
3.1
0.999
0.999
0.999
0.999
0.999
0.999
0.999
0.999
0.999
0.999
3.2
0.999
0.999
0.999
0.999
0.999
0.999
0.999
0.999
0.999
0.999
3.3
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
3.4
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
Keterangan: kolom (1) merupakan nilai z sampai desimal pertama baris (1) merupakan nilai z pada desimal kedua Sumber: Microsoft Excel 97 dengan menggunakan fungsi normsdist(z)
0.862
72
Lampiran 4. Contoh perhitungan evaluasi tahap produksi loin 1. Hasil evaluasi rata-rata berat produksi loin selama bulan Januari-Maret 2011 di PT Y. Jumlah data Batas spesifik bawah (lower specific limit- LSL)
: 30 data : 25
Rata-rata proses (𝑥)
: Banyak
Jumlah data data
: 43,5 kg Standar deviasi proses
:
x− x
2
𝑛 −1
: 11,2 Penentuan nilai DPMO (defect per million opportunities) dan nilai sigma. DPMO LSL
= P[z < (LSL- 𝑥)/ s] x 1.000.000 = P[z < (15-66,2)/ 16,1] x 1.000.000 = 5000
Berdasarkan tabel konversi nilai DPMO ke nilai sigma (Lampiran 5) atau menggunakan Ms. Excel 2007: =Normsdist (z) diperoleh nilai sigma sebesar 4,07 Penentuan nilai standar deviasi maksimal (Smaks) Karena proses hanya memiliki satu batas spesifik bawah (LSL), maka persamaan yang digunakan adalah Smaks
1
= 𝑠𝑖𝑔𝑚𝑎 x [(USL- LSL)] 1
= 3,125 x [( 90– 15)] = 9,2 Penentuan nilai batas kontrol atas (upper control limit- UCL) dan batas kontrol bawah (lower control lomit- LCL) Nilai batas kontrol atas (UCL) UCL
= 𝑥 + (1,5 x Smaks) = 77,03
73
Nilai batas kontrol bawah (LCL) LCL
= 𝑥 - (1,5 x Smaks) = 10,03
Penentuan nilai kapabilitas proses (Cpm) Cpm
= =
( USL − LSL ) 3𝑠 ( 90−15) 3 𝑥 11,2
= 1,12
74
Lampiran 5. Tabel konversi nilai DPMO (defect per million opportunities) ke nilai sigma
Sumber: Goffnet 2004