AUTENTIKASI IKAN TUNA (Thunnus sp) DENGAN METODE BERBASIS PCR-SEQUENCING
Oleh : NANANG KURNIA C34061419
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
RINGKASAN NANANG KURNIA. C34061419. Autentikasi Ikan Tuna (Thunnus sp) Dengan Metode Berbasis PCR-Sequencing. Dibimbing oleh ASADATUN ABDULLAH dan NURJANAH. Ikan tuna merupakan salah satu komoditas perikanan yang rawan pemalsuan berupa substitusi dengan daging ikan dari spesies yang mirip namun memiliki harga yang lebih rendah. Konsumen sebagai pembeli akan mengalami kerugian (economical fraud) dari pemalsuan sehingga diperlukan suatu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut. Autentikasi dengan metode berbasis DNA dapat menjadi salah satu cara mengatasi permasalahan pemalsuan bahan baku daging ikan tuna. Metode berbasis DNA memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode berbasis protein diantaranya dapat mendeteksi keaslian suatu produk walaupun telah mengalami proses pengolahan berupa panas dan spesifik untuk setiap organisme. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Ekstraksi DNA ikan tuna yang diperoleh dari perusahaan eksportir tuna dan pasar modern (2) Identifikasi spesies berbasis DNA dengan primer spesifik dengan gen target cyt b (3) Karakterisasi DNA ikan tuna hasil autentikasi. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yang diawali dengan karakterisasi ikan tuna, ekstraksi DNA menggunakan metode CTAB dan kit vivantis, Proses amplifikasi dengan PCR, elektroforesis, dan penentuan urutan nukleotida. Sampel yang diuji berhasil diekstraksi dan teramplifikasi dengan ukuran yang sesuai yaitu 750 pasang basa. Hasil PCR sequencing menggunakan gen target cyt b berhasil mengidentifikasi bahan baku ikan tuna. Urutan nukleotida hasil PCR sequencing yang telah dicocokkan ke bank data menunjukkan tidak ada pemalsuan berupa subsitusi dengan speises lain. Tingkat homologi merupakan persentase kesamaan spesies yang diuji dengan data yang tersedia di bank data. Spesies yellow fin (Thunnus albacores), albacore (Thunnus alalunga), big eye (Thunnus obesus), dan blue fin (Thunnus macoyyi) memiliki tingkat homologi berturut-turut adalah 99%, 99%, 99%, 100%.
AUTENTIKASI IKAN TUNA (Thunnus sp) DENGAN METODE BERBASIS PCR-SEQUENCING
Oleh : NANANG KURNIA C34061419
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul
: AUTENTIKASI IKAN TUNA (Thunnus sp) DENGAN METODE BERBASIS PCR-SEQUENCING
Nama
: Nanang Kurnia
NRP
: C34061419
Departemen
: Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Asadatun Abdullah S.Pi, M.S.M, M.Si NIP. 198304052005012001
Ir. Nurjanah MS. NIP. 19591013198601202
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP: 195805111985031002
Tanggal Lulus : .....................................
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Autentikasi Ikan Tuna (Thunnus sp) Dengan Metode Berbasis PCR-Sequencing” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi atau kutipan yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2010
Nanang Kurnia C34061419
i
KATA PENGANTAR Penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyusun skripsi dengan judul “Autentikasi Ikan Tuna (Thunnus sp) Dengan Metode Berbasis PCR-Sequencing”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Asadatun Abdullah S.Pi, M.S.M, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan dalam penyusunan skripsi serta memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut serta dalam program Hibah Kompetitif Sesuai Prioritas Nasional 2009. 2.
Ibu Ir. Nurjanah MS. selaku dosen pembimbing skripsi yang memberikan arahan dan masukan serta nasihat kehidupan kepada penulis.
3.
Bapak Dr. Ruddy Suwandi MS, M.Phil selaku ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan sekaligus sebagai dosen pembimbing akademik.
4.
Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl. –Biol. selaku ketua program studi strata satu (S1) Departemen Teknologi Hasil Perairan serta sebagai dosen penguji yang memberikan masukan dan nasehat kepada penulis.
5.
Ibuku atas doa, dukungan moril maupun materil yang diberikan pada penulis semoga selalu dalam lindungan Allah SWT.
6.
Mas Kun atas segala nasihat dan bimbingannya dengan penuh kesabaran mengajarkan tentang hidup kepada penulis. Terima kasih tak terhingga dan tak pernah bisa dibalas dengan suatu apapun.
7.
Dian, Fifi, Netti, Vera atas segala dukungan kepada penulis. Tak lupa Ita, Mira, Naini, Rizki, Tian, Della, Auril atas doa kalian semua.
8.
Team DNA yaitu nanda, Fery, Fathu yang memberikan masukan serta semangat kepada penulis begitu juga canda tawa dan hal-hal aneh yang berlangsung selama penelitian serta Pak Roni dan Mba Wiwid atas masukan dan saran kepada penulis.
ii
9.
Teman kosan Bu Darjo khususnya lantai satu atas kebersamaan dan canda tawa selama penulis menyusun skripsi terutama Mas Deden atas masukan dan saran kepada penulis.
10. Teman THP 42, 43, dan 44 atas kerjasama dan keakraban yang telah diberikan. Meta atas saran, nasihat dan canda tawa serta Mba Nal atas segala saran kepada penulis, sarfat dan Mas Pur atas hiburan yang diberikan kepada penuls. 11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan. Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Juni 2010
Nanang Kurnia C34061419
iii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Februari 1987. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan Aman Harjono dan Masnun Rahmat sari. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di Madrasah
Ibtidaiyah
Alfalah
klender
(1994-2000),
selanjutnya penulis melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah Alfalah Klender (2000-2003). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMAN 59 Jakarta Timur (2003-2006). Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (Himasilkan) sebagai anggota divisi peduli pangan periode 2009-2010. Penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah avertebrata air tahun ajaran 2008/2009 dan 2009/2010. Serta aktif dalam kepanitiaan berbagai kegiatan kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti Seminar ISO 22000 yang diadakan di Institut Pertanian Bogor. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Autentikasi Ikan Tuna (Thunnus sp) Dengan Metode Berbasis PCR-Sequencing” dibawah bimbingan Asadatun Abdullah, S.Pi, M.S.M, M.Si, dan Ir. Nurjanah, MS.
iv
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................viii 1 PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1 1.2 Tujuan .................................................................................................................. 2 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 3 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tuna (Thunnus sp) .............................................. 3 2.2 DNA .................................................................................................................... 5 2.2.1 Ekstraksi DNA ........................................................................................ 6 2.3 Autentikasi Produk Makanan .............................................................................. 8 2.4 Sitokrom b pada Mitokondria ............................................................................. 9 2.5 PCR (Polymerase Chain Reaction) .................................................................. 10 2.6 Elektroforesis .................................................................................................... 13 2.7 PCR sequencing ................................................................................................ 14 3 METODOLOGI ....................................................................................................... 16 3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................................ 16 3.2 Bahan dan Alat .................................................................................................. 16 3.3 Preparasi Bahan Baku ....................................................................................... 17 3.4 Ekstraksi DNA .................................................................................................. 19 3.4.1 Metode CTAB ....................................................................................... 19 3.5.2 Metode kit Vivantis ............................................................................... 20 3.6 Metode PCR ...................................................................................................... 21 3.7 Elektroforesis ..................................................................................................... 23 3.8 Analisis Produk PCR ........................................................................................ 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................ 24 4.1 Preparasi dan Karakteristik Bahan Baku .......................................................... 24 4.2 Ekstraksi DNA .................................................................................................. 25 4.3 Amplifikasi Gen Sitokrom b ............................................................................. 27 4.4 Penentuan Urutan Nukleotida Gen Sitokrom b ................................................ 30 5 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 32
v
5.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 32 5.2 Saran................................................................................................................... 32 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 33 LAMPIRAN ................................................................................................................... 35
vi
DAFTAR TABEL
1 Marker molekuler dengan tingkat identifikasi ............................................................ 13 2 Konsentrasi agarosa dengan ukuran DNA yang akan di ukur ..................................... 14 3 Jenis dan asal bahan baku ikan tuna............................................................................. 18 4 Karakteristik Ikan tuna yang digunakan pada penelitian ............................................. 25 5 Hasil sekuensing spesies ikan tuna .............................................................................. 31
vii
DAFTAR GAMBAR
1. Ikan tuna ........................................................................................................................ 5 2. Stuktur DNA ................................................................................................................. 6 3. Gen pada Mitokondria ................................................................................................ 10 4. Siklus PCR .................................................................................................................. 11 5. Diagram alir proses preparasi bahan baku .................................................................. 18 6 Diagram alir autentikasi DNA ikan tuna ...................................................................... 21 7. Siklus PCR .................................................................................................................. 22 8. Elektroforegram DNA genom ..................................................................................... 27 9. Elektroforegram produk PCR ..................................................................................... 29
viii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Daging ikan tuna ......................................................................................................... 36 2. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ................................................................... 37 3. Diagram alir metode ekstraksi dengan CTAB 2% ...................................................... 39 4. Diagram alir metode ekstraksi dengan Kit Vivantis ................................................... 40
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Produk perikanan mengalami permintaan yang cukup tinggi dari dalam dan luar negeri baik dalam bentuk segar maupun olahan. Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan meningkatnya taraf pendapatan serta pendidikan, masyarakat semakin peduli kesehatan dan selektif terhadap makanan, memerlukan suatu sistem jaminan keamanan pangan. Salah satu masalah dalam jaminan keamanan pangan adalah adanya pemalsuan. Produk perikanan yang dikemas rawan mengalami pemalsuan berupa substitusi dengan daging ikan dari spesies yang mirip namun memiliki harga yang lebih rendah. Konsumen sebagai pembeli akan mengalami kerugian (economical fraud) dari pemalsuan sehingga diperlukan suatu cara untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu produk yang menjadi primadona baik untuk konsumsi maupun ekspor adalah ikan tuna, yang permintaan ekspornya dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Menurut data Ditjen Perikanan dalam Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) 2009 volume ekspor mulai tahun 2005 sampai 2009 terus mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2005 sebesar 121.136 ton pada tahun 2009 menjadi 134.673 ton. Autentikasi atau pengujian keaslian produk dengan metode berbasis DNA dapat menjadi salah satu cara mengatasi masalah pemalsuan bahan baku daging ikan tuna. Ikan tuna yang diautentikasi merupakan ikan tuna yang memiliki nilai ekspor tinggi. Metode berbasis DNA memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode berbasis protein diantaranya dapat mendeteksi keaslian suatu produk walaupun telah mengalami proses pengolahan berupa panas (Less 2003). Proses pengujian keaslian juga bisa digunakan untuk menilai bahan baku yang belum mengalami proses pengolahan yaitu bahan baku dalam bentuk segar yang akan dikemas sebagai produk olahan. DNA merupakan salah satu makromolekul yang mempunyai peranan sangat penting pada jasad hidup dan merupakan pembawa informasi genetik yang diturunkan kepada keturunannya. Metode berbasis DNA dapat digunakan untuk mengetahui keaslian suatu produk sehingga pemalsuan yang merugikan
2
konsumen dapat dihindari. Pada penelitian ini digunakan metode autentikasi ikan tuna dengan menggunakan metode PCR-sequencing.
1.2 Tujuan 1. Ekstraksi DNA ikan tuna yang diperoleh dari perusahaan eksportir tuna dan pasar modern. 2. Identifikasi spesies berbasis DNA dengan gen target cyt b. 3. Karakterisasi produk PCR gen cyt b hasil autentikasi.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tuna (Thunnus sp) Ikan tuna merupakan ikan perenang cepat yang berada di epipelagis ( > 500 m) yang dapat berenang sejauh 55 km setiap hari. Persebaran ikan tuna di laut tergantung kepada habitatnya. Daging ikan tuna berwarna merah muda sampai merah tua, karena otot ikan tuna lebih banyak mengandung myoglobin dari pada ikan lainnya. Beberapa spesies tuna yang lebih besar, seperti tuna sirip biru (Bluefin Tuna), dapat menaikkan suhu darahnya di atas suhu air dengan aktivitas ototnya. Hal ini menyebabkan mereka dapat hidup di air yang lebih dingin dan dapat bertahan dalam kondisi yang beragam (FAO 1983). Deskripsi ikan tuna secara umum adalah kepala simetris, bergaris rusuk lengkap, bersisik lingkaran (cycloid), rangka terdiri dari tulang sejati dan bertutup insang, badan berbentuk cerutu, jari-jari lemah sirip ekor bercabang pada pangkalnya, sirip-sirip kecil di belakang sirip punggung dan memiliki sirip dubur. Tulang rahang atas depan dan tulang-tulang hidung tidak membentuk cula, sirip punggung dua, yang pertama berjari-jari mengeras, dan yang kedua mempunyai bagian yang berjari-jari keras serta bagian yang berjari-jari lemah kadang-kadang berlembaran seperti sirip-sirip kecil di belakang sirip dubur (Saanin 1984). Ikan tuna merupakan ikan pelagis yang hidup tidak jauh dari permukaan air. Ikan pelagis dapat ditemukan mulai dari permukaan air hingga kedalaman 200 meter. Hasil tangkapan ikan menunjukkan bahwa ikan pelagis lebih banyak yang tertangkap oleh nelayan dibandingkan ikan demersal dengan perbandingan 3 untuk ikan pelagis dan 1 untuk ikan demersal. Ikan tuna merupakan ikan pelagis yang memiliki tubuh streamlime berfungsi membantu dalam pergerakan, berbentuk cerutu, dan dilengkapi dengan finlet diantara ekor sampai sirip dorsal. Finlet berfungsi mengurangi turbulensi dan mengurangi aliran air sehingga menghasilkan gerakan yang cepat. Sirip dapat ditekuk untuk mengurangi gesekan terhadap air sehingga memudahkan dalam pergerakan. Kecepatan ikan pelagis ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu cruising speed, maximum sustainable speed, dan top speed. Cruising speed digunakan untuk melakukan perjalanan pendek, maximum sustainable speed digunakan dalam beberapa waktu, sedangkan
4
top speed digunakan dalam jangka waktu yang pendek. Ikan tuna dapat berenang dengan kecepatan 64-80 km/jam. Ikan tuna ditangkap dengan menggunakan purse seine, lampara nets, troll line, handlines, dan harpoons (Flick dan Martin 1990). Ikan pelagis merupakan ikan perenang cepat dimana ada perbedaan ikan perenang cepat dengan perenang lambat yaitu pada otot. Otot ikan dibagi menjadi dua jenis yaitu, otot merah dan otot putih dimana otot merah banyak mengandung lemak dan mengandung mioglobin yang berfungsi membawa oksigen ke dalam darah. Otot merah memungkinkan ikan pelagis berenang dengan kecepatan konstan untuk mencari makan maupun untuk memijah atau bermigrasi (Flick dan Martin 1990). Klasifikasi ikan tuna menurut FAO (1983) adalah sebagai berikut: Phylum
: Chordata
Class
: Teleostei
Ordo
: Perciformes
Family
: Scombridae
Genus
: Thunnus
Species
: Thunnus obesus T. alalunga T. maccoyii T. albacares
(a)
(b)
5
Yellow fin
Albacore
(c) Gambar 1. Ikan tuna Sumber: PT Samudra Besar Ket :
a) Blue fin b) Big eye c) Albacore dan Yellow fin (kiri ke kanan)
2.2 DNA Struktur DNA berupa utas ganda tersusun oleh dua rantai polinukleotida yang berpilin. Kedua rantai mempunyai orientasi yang berlawanan (antiparalel). Kedua rantai tersebut berikatan dengan adanya ikatan hidrogen antara adenin (A) dengan timin (T), dan antara guanin (G) dengan sitosin (C). Ikatan antara adenin (A) dengan timin (T) berupa dua ikatan hidrogen sedangkan antara guanin (G) dengan sitosin (C) berupa tiga ikatan hidrogen. Spesifitas pasangan basa semacam ini disebut sebagai komplementaritas. DNA merupakan suatu molekul yang berperan penting dalam kehidupan, membawa semua informasi tentang kehidupan didalam kromosom. DNA umumnya terdiri atas rantai yang saling berpilin sehingga menjadi double helix (Watson et al. 1987). Kedua rantai berikatan dengan adanya ikatan hidrogen antara basa adenin dengan timin, dan antara guanin dengan sitosin. Pada struktur DNA gula deoksiribosa dan fosfat berada dibagian luar molekul sedangkan basa purin dan pirimidin terletak dibagian dalam untaian.
6
Gambar 2. Stuktur DNA Sumber: National library of medicine (2009) DNA merupakan senyawa yang sangat penting karena DNA membawa informasi biologis yang menentukan struktur protein, sehingga dapat dikatakan bahwa DNA merupakan molekul utama untuk kehidupan (Hardjosubroto 2001). DNA memiliki dua lekukan yaitu lekukan besar (major groove) dan lekukan kecil (minor groove). Kedua lekukan ini berperan sebagai tempat molekul protein tertentu (Yuwono 2005a). DNA merupakan unsur kimia yang stabil, menyandikan agar sel tumbuh dan membelah sehingga akan menyebabkan diferensiasi sel telur yang telah dibuahi menjadi sejumlah besar sel khusus yang diperlukan dalam berbagai fungsi kehidupan. 2.2.1 Ekstraksi DNA Proses ekstraksi DNA dilakukan untuk memperoleh DNA yang murni tanpa bahan pengotor berupa protein maupun RNA. Ekstraksi dilakukan dengan menambahkan beberapa pelarut ataupun nitrogen cair untuk melisis jaringan. Proses
ekstraksi
merupakan
tahap
krusial
untuk
memperoleh
DNA
(Dwiyitno 2008). Hasil ekstraksi akan digunakan sebagai DNA cetakan yang akan diperbanyak dengan metode enzimatis yaitu melalui proses PCR. Pada ekstraksi DNA ditambahkan larutan buffer dalam jumlah sedikit berfungsi sebagai detergen
7
untuk melepaskan atau mengikat DNA. Deterjen juga menghambat aktivitas nuklease pada saat preparasi. Purifikasi bertujuan untuk memisahkan DNA dari komponen lain seperti RNA dan protein. Protein didegradasi menggunakan enzim proteolitik yang dicampur lalu dikocok dengan fenol atau kloroform (Karp 1984). Proses ekstraksi dapat dilakukan dengan menggunakan metode CTAB maupun dengan kit komersial yaitu Vivantis. Proses ekstraksi DNA untuk melisis sel, dan kemudian mendegradasi protein dan melarutkan komponen selular lain sehingga akan diperoleh DNA. Perusahaan yang memproduksi kit menyediakan larutan yang dapat langsung digunakan dan ditambahkan dalam proses ekstraksi DNA (Baker 2000). DNA genom dapat diekstraksi dengan berbagai cara. Pada prinsipnya, sel harus dipecah terlebih dahulu menggunakan beberapa cara, baik fisik maupun kimiawi, termasuk penggunaan enzim tertentu. Pemecahan sel secara fisik dapat dilakukan misalnya dengan alat sonikator yaitu dengan menggunakan frekuensi ultratinggi (Yuwono 2006c). Pemecahan sel juga dapat dilakukan dengan menggunakan enzim lisozim yang dapat memecah dinding sel. Senyawa lain yang sering digunakan untuk memecah sel untuk ekstraksi DNA genom adalah CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromida) selain itu juga dapat menggunakan kit komersial (Muladno 2002). Pada ekstraksi DNA ikan tuna digunakan kit komersial yaitu Vivantis. Metode
yang
umum
digunakan
untuk
ekstraksi
jaringan
hewan
menggunakan proteinase K dan sodium dodesil sulfat untuk mendegradasi protein serta fenol atau kloroform untuk melarutkan komponen seluler dan penambahan alkohol untuk presipitasi DNA. Metode CTAB juga umum digunakan baik dalam proses ekstraksi DNA tanaman maupun ekstraksi DNA hewan. Metode ekstraksi DNA tanaman memerlukan penggerusan sebab tanaman memiliki dinding sel sedangkan pada ekstraksi DNA hewan tidak perlu dilakukan penggerusan namun umumnya baik ekstraksi DNA tanaman maupun hewan dilakukan penggerusan terlebih dahulu untuk memastikan jaringan mengalami lisis. Proses ekstraksi DNA dapat dilakukan lebih cepat dengan menggunakan kit komersial dan hanya memerlukan beberapa langkah untuk melakukan ekstraksi DNA (Less 2003).
8
2.3 Autentikasi Produk Makanan Autentikasi produk makanan sangat penting dalam pelabelan dan jaminan produk. Autentikasi dibutuhkan untuk menghindari kompetisi perdagangan yang tidak adil dan menjamin bahwa konsumen membeli produk yang sesuai dengan yang tertera pada label (Ram et al. 1996). Proses pengujian keaslian suatu produk makanan dapat mendeteksi hingga tingkat spesies. Pencegahan terhadap mislabeling atau pemalsuan dilakukan karena alasan ekonomi, kesehatan dan kepercayaan agama. Proses autentikasi dapat dilakukan dengan berbasis DNA menggunakan PCR dengan gen target DNA mitokondria. Hal ini disebabkan karena DNA mitokondria relatif sensitif terhadap terjadinya mutasi. Proses autentikasi dengan metode PCR membutuhkan primer yang spesifik agar primer dapat menempel secara tepat pada DNA cetakan (Less 2003). Autentikasi perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya substitusi spesies, mendeteksi adanya kecurangan dalam perdagangan, serta sebagai syarat dalam pelabelan makanan (Gill 2007). Jepang dan Eropa telah menerapkan suatu proses autentikasi terhadap produk yang akan beredar di pasar sehingga konsumen tidak dirugikan dengan adanya kecurangan dalam pelabelan. Metode konvensional untuk mengidentifikasi spesies menggunakan immunoassay sedangkan metode yang ada sekarang dapat menggunakan metode DNA sequencing untuk mengidentifikasi atau mendeteksi suatu spesies (Less 2003). Metode DNA memiliki kelebihan antara lain : 1. Pengujian DNA dapat diprediksi dan pengukuran tidak tergantung pada jenis spesies, serta pengujian DNA berlaku secara umum. 2. DNA stabil dan dapat digunakan untuk menguji sampel yang telah dipanaskan pada suhu 120 0C. 3. Keragaman DNA mengikuti perbedaan antar spesies sehingga setiap spesies memiliki DNA yang spesifik. Autentikasi berbasis protein tidak dapat dilakukan jika bahan baku telah mengalami proses pemanasan oleh karena itu metode berbasis DNA lebih baik serta lebih disukai dibandingkan metode berbasis protein karena tahan terhadap panas serta terdapat pada semua jenis jaringan. Beberapa metode berbasis protein
9
yang digunakan antara lain isoelektrik SDS-PAGE, teknik kromatografi, immunodifusi, dan ELISA. Metode berbasis DNA yang digunakan dalam proses autentikasi antara lain adalah PCR-Sequencing, multiplex PCR, RAPD, PCR-RFLP, PCR-SSCP, DNA hibridisasi, real time PCR dan PCR lab-on-chip. Metode DNA dapat dilakukan pada bahan baku segar maupun olahan baik berupa pengolahan panas maupun pembekuan dimana DNA dalam bahan baku masih dapat diekstraksi dan dideteksi (Gill 2007). Autentikasi berbasis DNA merupakan suatu proses dimana fragmen DNA yang diisolasi lalu di PCR dan dipisahkan menggunakan gel elektroforesis (Bossier 1999). Metode berbasis DNA menggunakan PCR memiliki kelebihan yaitu sangat sensitif dan dapat digunakan untuk berbagai jenis sampel mulai dari DNA tumbuhan sampai hewan tingkat tinggi. Metode berbasis DNA ini diawali dengan menghancurkan atau melisis jaringan untuk mendapatkan DNA. Selain itu metode PCR membutuhkan bahan dalam jumlah yang sedikit (Less 2003).
2.4 Sitokrom b pada Mitokondria Mitokondria merupakan suatu organel yang terdapat dalam sel, bagian dari genom yang terletak pada sitoplasma. Mitokondria juga memiliki DNA seperti yang terdapat pada inti sel yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan pada inti sel (Gil 2007). Gen cyt b digunakan untuk identifikasi spesies vertebrata yang mengandung informasi spesies yang spesifik dan dapat digunakan untuk identifikasi filogenetik (Parson et al. 2000). Mitokondria merupakan suatu organel khas yang memiliki sejumlah ciri yang tidak dimiliki organel lain yaitu memiliki materi genetiknya sendiri (Gray 1999 dalam Wulandari 2005) Penggunaan cyt b sebagai gen target dengan alasan yaitu hanya memiliki satu alel sehingga tidak mengakibatkan ambiguitas sequence, jumlah DNA yang terdapat pada mitokondria lebih banyak dibandingkan pada inti sehingga lebih efektif dalam proses amplifikasi, serta tingkat mutasi yang terjadi pada mitokondria lebih tinggi dibandingkan pada inti (Unseld et al. 1995). Jenis marker molekuler yang digunakan dengan tingkat identifikasi dapat dilihat pada Tabel 1.
10
Gambar 3. Gen pada Mitokondria Sumber: Baker (2005)
2.5 PCR (Polymerase Chain Reaction) Reaksi berantai polimerase (PCR) merupakan suatu proses amplifikasi secara enzimatik yang spesifik untuk menggandakan DNA (Chen dan Janes 2000). Reaksi berantai polimerase (PCR) juga dapat diartikan sebagai suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini juga sering digunakan untuk memisahkan gen-gen beruntai tunggal dari sekelompok komponen sekuen genom yang banyak digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetik. Pada awal perkembangannya metode ini hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul DNA,
tetapi
kemudian
dikembangkan
lebih
lanjut
sehingga
dapat
melipatgandakan dan melakukan kuantitas molekul mRNA (Yuwono 2006b). Metode PCR sangat sensitif. Sensitifitas tersebut membuatnya dapat digunakan untuk melipatgandakan satu molekul DNA sehingga dapat diperoleh pelipatgandaan suatu fragmen DNA. Hal ini menunjukkan bahwa pelipatgandaan suatu fragmen DNA dapat dilakukan secara cepat. Kelebihan metode PCR adalah bahwa reaksi ini dapat dilakukan dengan menggunakan komponen dalam jumlah sedikit (Yuwono 2006b).
11
Gambar 4. Siklus PCR Sumber : Vierstraete (1999) Proses PCR membutuhkan tiga syarat dasar dalam siklus PCR yaitu: DNA cetakan, penempelan sepasang primer oligonukeotida pada DNA cetakan utas tunggal, dan pemanjangan secara enzimatik untuk menghasilkan salinan (copy) DNA untuk proses siklus berikutnya. Pemilihan DNA polimerase tergantung pada kebutuhan. Ada beberapa macam enzim yang secara komersial dijual dapat dipilih dari kemampuan terhadap panas, prosesivitas, dan ketepatan penempelan. DNA polimerase yang umum digunakan adalah Taq DNA polimerase. DNA polimerase membutuhkan ion magnesium sebagai kofaktor dan katalis untuk reaksi pemanjangan pada suhu 72 0C. Komponen dNTPs terdiri dari dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP yang berperan
sebagai pasangan basa untuk pemanjangan
primer dan menyalin urutan target (Chen dan Janes 2000). Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan denaturasi DNA template (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan terpisah menjadi rantai tunggal (single stranded). Denaturasi DNA dilakukan dengan menggunakan panas pada suhu 95 0C selama 1-2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 55 0C sehingga primer akan ‘menempel’ (annealing) pada cetakan yang terpisah menjadi rantai tunggal. Proses denaturasi terjadi secara cepat pada suhu (94-96) 0C. Penempelan primer tergantung pada suhu melting (T m ). Secara umum, program software komputer dapat digunakan untuk memprediksi T m berdasarkan urutan primer. Penempelan yang paling baik ditentukan oleh optimasi. Proses pemanjangan secara umum terjadi pada suhu 72 0C (Chen dan Janes 2000)
12
Primer yang digunakan sebaiknya berukuran paling pendek 16 basa dan biasanya berkisar antara 18-24 basa, walaupun PCR masih dapat memberikan hasil yang baik dengan menggunakan primer berukuran 32 basa. Primer yang diberikan pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan penempelan pada sekuens DNA yang salah sehingga hasil PCR yang didapatkan tidak seperti yang diharapkan. Jika primer dengan konsentrasi yang rendah, proses PCR tidak dapat berjalan secara efisien, karena hasil amplifikasi yang diperoleh akan sangat sedikit. Primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen primer. Suhu 55 0C yang digunakan untuk penempelan primer pada dasarnya merupakan kompromi. Amplifikasi akan lebih efisien jika dilakukan pada suhu yang lebih rendah (37 0C), tetapi biasanya akan terjadi mispriming yaitu penempelan primer pada tempat yang salah (Yuwono 2006b). Suhu annealing merupakan langkah yang kritis pada proses amplifikasi. Jika suhu annealing terlalu rendah akan menghasilkan amplifikasi yang tidak spesifik sedangkan jika temperatur terlalu tinggi maka tidak terjadi amplifikasi (Karusanagar et al. 1999) Pada tahap ekstensi (pemanjangan) enzim Taq polimerase memulai aktivitas memperpanjang DNA primer dari ujung 3’. Kecepatan penyusunan nukleotida oleh enzim tersebut pada suhu 72 0C diperkirakan antara 35 sampai 45 nukleotida per detik. Pada akhir siklus PCR, waktu yang digunakan diperpanjang sampai lima menit sehingga seluruh produk PCR diharapkan berbentuk DNA utas ganda (Muladno 2002). Proses denaturasi, penempelan, ekstensi merupakan satu siklus. Suhu denaturasi dan ekstensi bersifat permanen, masing-masing pada 95 0C dan 72 0C, sedangkan suhu penempelan primer bergantung pada panjang-pendeknya primer (Muladno 2002). Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan dalam PCR antara lain deoksiribonukleotida triphosphat (dNTP), oligonukleotida primer, DNA cetakan, komposisi larutan buffer, jumlah siklus reaksi, enzim yang digunakan, dan faktor teknis dan non teknis. Keunggulan metode PCR adalah kemampuannya dalam melipatgandakan suatu fragmen DNA sehingga dapat mencapai 109 kali lipat. Kontaminasi fragmen DNA dalam jumlah sangat sedikit sekalipun dapat
13
menyebabkan terjadinya kesalahan yaitu produk amplifikasi yang tidak diinginkan (Yuwono 2006b).
Tabel 1 Marker molekuler dengan tingkat identifikasi Kingdo m
Filum
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
A. DNA inti SSU LSU 5.8S IGS ITS Rhodopsin B. DNA mitokondri a 1. RNA ribosom 12SrRNA 16SrRNA 2. Protein 3. Coding gen ND 1 ND 2 CO I CO II Sitokrom b Control Region Sumber : Dwiyitno (2008)
2.6 Elektroforesis Elektroforesis merupakan suatu teknik pemisahan molekuler berdasarkan ukurannya, dengan menggunakan medan listrik yang dialirkan pada suatu medium yang mengandung sampel yang akan dipisahkan. Teknik ini dapat digunakan dengan memanfaatkan muatan listrik yang ada pada makromolekul, misalnya DNA yang bermuatan negatif. Jika molekul yang bermuatan negatif dilewatkan melalui suatu medium, misalnya gel agarosa, kemudian dialiri arus listrik dari satu kutub ke kutub yang berlawanan muatannya, maka molekul tersebut akan
14
bergerak dari kutub negatif
ke kutub positif. Teknik elektroforesis dapat
digunakan untuk analisis DNA, RNA, maupun protein. Elektroforesis dilakukan dengan melihat ukuran melalui gel agarosa, yaitu suatu bahan semi-padat berupa polisakarida yang dilarutkan dalam suatu buffer (Yuwono 2005a). Pada Tabel 2 dapat dilihat konsentrasi agarosa yang digunakan dengan DNA yang akan diukur (Muladno 2002) Tabel 2 Konsentrasi agarosa dengan ukuran DNA yang akan di ukur Konsentrasi agarosa dalam gel (%) 0,3 0,6 0,7 0,9 1,2 1,5 2,0 Sumber : Muladno (2002)
Ukuran DNA yang dapat dianalisis (kb) 5-60 1-20 0,8-10 0,5-7 0,4-6 0,2-3 0,1-2
DNA yang telah dimasukkan ke dalam gel akan bermigrasi. Suatu gel merupakan suatu jaring-jaring kompleks. Molekul-molekul DNA bergerak melalui gel dengan kecepatan yang berbeda tergantung ukurannya. Molekul DNA yang kecil dapat dengan mudah melewati gel karena bergerak lebih cepat dibandingkan molekul yang lebih besar. Gel agarosa digunakan untuk memisahkan fragmen-fragmen DNA yang ukurannya mulai dari ratusan sampai sekitar 20.000 pasangan basa sedangkan poliakrilamida untuk fragmen-fragmen DNA yang lebih kecil (Old dan Primose 1989).
2.7 PCR sequencing PCR merupakan suatu proses melipatgandakan suatu DNA sehingga menjadi ribuan salinan. PCR sequencing merupakan suatu metode berbasis PCR yang bertujuan menentukan urutan nukleotida. Pada dasarnya, ada dua metode yang telah dikembangkan untuk sekuensing DNA, yaitu metode Maxam-Gilbert dan metode Sanger. Metode Maxam-Gilbert melibatkan proses degradasi kimiawi terhadap fragmen DNA yang akan disekuens sedangkan metode Sanger tidak menggunakan pendekatan degradasi fragmen DNA secara kimiawi tetapi
15
menggunakan pendekatan sintesis molekul DNA baru dan pemberhentian sintesis tersebut pada basa tertentu (Muladno 2002). Metode Sanger diawali dengan proses PCR yang dibagi tiga bagian yaitu denaturasi, annealing, dan elongasi. Komponen
lain
yang
ditambahkan
adalah
ddNTP
(dideoxynucleoside
triphosphate). Komponen ddNTP terdiri dari komponen dideoxyadenosine, dideoxycytidine, dideoxyguanidine, dan dideoxythymidine triphosphate. Jika salah satu dari komponen ddNTP bereaksi dengan salah satu komponen dNTP maka sintesis DNA tidak dapat terjadi (Barnum 2005). PCR sekuensing merupakan metode untuk mengetahui urutan basa nukleotida. Beberapa metode lain yang berbasis PCR yaitu multiplex PCR, RAPD, PCR-RFLP, PCR-SSCP, real time PCR dan PCR lab-on-chip (Gill 2007).
3
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan selama bulan Januari hingga April 2010 bertempat di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Penelitian 1 dan Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Laboratorium Terpadu dan Ruang Steril, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada preparasi bahan baku antara lain nitrogen cair sedangkan alat yang digunakan adalah talenan, plastik, aluminium foil, kertas label lalu tempat penyimpanan dingin (freezer). Alat yang digunakan pada ekstraksi DNA menggunakan metode CTAB antara lain mortar dan penggerus steril, wadah es batu, ice maker, microtube 1,5 ml, water bath, pipet mikro, pipette tips, sentrifuse, dan vortex. Bahan yang digunakan pada ekstraksi DNA menggunakan metode CTAB adalah ikan tuna (Thunnus sp), es batu, nitrogen cair, larutan Buffer TE, larutan lisis, kloroform, larutan presipitasi, larutan NaCl 1,2 M, etanol dingin, dan Aquabidestilata. Bahan baku berupa tuna steak (Thunnus obesus, T. alalunga, T. macoyyi, T. albacores) berasal dari PT. Samudra Besar Bali dan PT. Lautan Bahari Sejahtera Muara Baru serta berasal pasar swalayan Bogor dalam bentuk steak. Tuna steak beku merupakan produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan bahan baku, pencucian, penyiangan, pembuatan loin, pengkulitan dan perapihan, sortir mutu, pembungkusan (wrapping), pembekuan, pembentukan steak, penggelasan atau tanpa pengelasan, penimbangan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan. Tuna Steak yang berasal pasar swalayan Bogor dalam keadaan beku dimana pembekuan bertujuan untuk menghambat kemunduran mutu pada produk yang disebabkan oleh mikroorganisme, proses kimiawi dan fisik, sehingga dapat memperpanjang daya simpan dan mempertahankan mutu produk. Pembekuan dan penyimpanan beku
17
(cold storaging) adalah cara terbaik untuk penyimpanan jangka panjang (Ilyas 1993). Bahan yang digunakan pada ekstraksi DNA menggunakan metode kit (Vivantis) antara lain ikan tuna (Thunnus sp), buffer STL, OB protease, buffer BL, buffer equlibration, buffer HB, DNA wash buffer, dan buffer elution sedangkan alat yang digunakan antara lain microtube 1,5 ml, vortek, water bath, sentrifuse, colum, dan collection tube. Alat yang digunakan pada proses PCR antara lain pipet mikro, wadah es batu, ice maker, pipette tips, marker pen, tabung PCR 50 µl sedangkan Bahan yang digunakan adalah es batu, aquabidestilata (ddH 2 O), primer forward dan primer reverse, DNA hasil ekstraksi, dan larutan mix (PCR kit commercial). Alat yang digunakan pada pembuatan gel agarosa antara lain gelas ukur, labu ukur, timbangan digital, microwave, cetakan agar, electrophoresis comb, dan alumunium foil. Bahan yang digunakan adalah bubuk Agarosa dan larutan Buffer TBE 1x. Alat yang digunakan pada elektroforesis antara lain casting tray, pisau bedah, seperangkat alat katoda-anoda, alat sinar UV. Bahan yang digunakan adalah gel agarosa, larutan buffer TBE, loading dye, DNA marker, ethidium bromida, aquades. 3.2 Pengumpulan Bahan Baku Bahan yang digunakan pada penelitan ini menggunakan ikan tuna yang diperoleh dari perusahaan ekportir ikan tuna maupun dari pasar swalayan di daerah Bogor. Bahan yang digunakan dan asal bahan baku dapat dilihat pada Tabel 3. 3.3 Preparasi Bahan Baku Bahan baku disiapkan dengan cara dibuat fillet dan skinless. Setelah sampel dipreparasi lalu dimasukkan dalam plastik dan disimpan dalam freezer jika tidak langsung dilakukan ekstraksi DNA. Bahan baku diberi nitrogen cair lalu digerus hingga halus. Bahan baku yang diproses menggunakan kit Vivantis, tidak perlu menggunakan nitrogen cair, sebab dalam kit sudah terkandung larutan untuk melisis jaringan. Namun ada kit yang tidak menyediakan larutan untuk melisis
18
dinding sel maka perlu penambahan nitrogen cair ataupun menggunakan sonikator. Bahan baku dipreparasi dengan memperhatikan sanitasi dan higiene. Tuna Steak dipotong menjadi beberapa bagian kecil dengan pisau yang telah diberi alkohol, disimpan dalam lemari pendingin (– 20 0C) agar aktivitas enzimatis dan mikrobiologi diperlambat. Ketika preparasi bahan baku tempat preparasi diberi alkohol serta menggunakan sarung tangan (glove) agar DNase tidak bercampur dan merusak DNA ikan tuna. Bahan baku yang berasal dari Muara Baru juga dikirim dengan menggunakan es dan dipreparasi menggunakan pisau yang telah diberi alkohol dan saat preparasi menggunakan sarung tangan (glove). Bahan baku berupa steak yang berasal dari pasar swalayan Bogor berupa tuna steak beku. Diagram alir preparasi bahan baku dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Diagram alir proses preparasi bahan baku Tabel 3 Jenis dan asal bahan baku ikan tuna Bahan baku
Asal bahan baku
Yellow fin
PT Samudera Besar Bali PT Lautan Bahari Sejahtera
Albacore
PT Samudera Besar Bali
Big eye
PT Samudera Besar Bali PT Lautan Bahari Sejahtera
Blue fin
PT Samudera Besar Bali
Tuna steak
Pasar swalayan Bogor
dan
dan
19
3.4 Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA dapat dilakukan dengan menggunakan metode manual (CTAB) dan kit komersial yaitu Fermentas, Qiagen, dan Vivantis. Sampel ikan tuna diekstraksi dengan metode CTAB dan kit Vivantis. Metode ekstraksi dengan CTAB maupun menggunakan kit untuk membuang protein dan komponen lainnya. Proteinase berfungsi untuk mendegradasi protein seluler dan membuang protein (Baker 2000), selain itu penambahan kloroform berfungsi untuk membersihkan protein dan polisakarida dari larutan, dengan hilangnya protein dan senyawa pengotor lainnya seperti lemak dan RNA maka DNA dapat diekstraksi secara utuh (Muladno 2002). Ikan tuna yang berasal dari Bali serta tuna steak yang berasal dari pasar swalayan Bogor diektraksi menggunakan CTAB sedangkan Ikan tuna yang berasal dari Muara Baru diisiolasi dengan menggunakan kit Vivantis. Dinding sel juga dapat dipecah dengan penggerusan menggunakan bufer ekstraksi diikuti dengan penghangatan pada suhu 65 °C. Detergen seperti sodium dodesil sulfat (SDS),
sarkosil,
dan
CTAB
dapat
digunakan
untuk
proses
lisis
(Subandiyah 2006 dalam Ardiana 2009). 3.4.1 Metode CTAB Ekstraksi DNA menggunakan CTAB diawali dengan melisis dinding sel menggunakan nitrogen cair yang selanjutnya dilakukan penambahan larutan CTAB 500 µl. Sampel yang digunakan sebanyak 0,1-0,5 gram. Kemudian ditambahkan 14 µl proteinase K dan diinkubasi pada suhu 55 0C selama dua jam kemudian disentrifuse selama sepuluh menit pada 13000 rpm (rotation per minute). Sampel yang telah disentrifuse diberi 500 µl PCI, dikocok sekitar lima menit agar larutan tercampur, kemudian disentrifuse selama lima menit pada 13000 rpm. Larutan PCI kemudian dibuang, ditambah 400 µl kloroform isoamilalkohol dan disentrifuse selama lima menit pada 13000 rpm. Bagian yang mengandung kloroform isoamilalkohol dibuang, ditambah 600 µl isopropanol dan dipresipitasi pada suhu 4 0C selama satu malam, disentrifus selama sepuluh menit pada 13000 rpm. Bagian yang mengandung isopropanol dibuang, ditambah 500 µl etanol 70 % kemudian disentrifuse selama sepuluh menit pada 13000 rpm. Bagian
20
yang mengandung etanol dibuang dan selanjutnya dikeringkan kurang lebih selama satu jam, ditambahkan 100 µl Tris EDTA dan disimpan pada suhu 4 0C. 3.5.2 Metode kit Vivantis Bahan baku yang diekstraksi dengan menggunakan kit Vivantis diawali dengan penimbangan bahan yang telah dipreparasi sebanyak 20 mg, dimasukkan kedalam microtube 1,5 ml, ditambahkan buffer STL sebanyak 250 µl, kemudian ditambahkan OB protease sebanyak 25 µl dan di kocok serta diinkubasi pada suhu 60 0C selama tiga puluh menit. Sampel yang telah diinkubasi ditambahkan buffer BL sebanyak 250 µl, di kocok, ditambahkan etanol absolut sebanyak 250 µl lalu di kocok. Langkah selanjutnya sampel dipindahkan kedalam kolom yang dipasang dengan collection tube, ditambahkan buffer equibration dan disentrifuse pada 13000 rpm selama dua puluh detik, kemudian bahan baku dipindahkan kedalam kolom yang telah dipasang collection tube sebanyak 600 µl, disentrifuse pada 8000 rpm selama satu menit, kemudian collection tube dilepaskan. Sampel lalu ditambah buffer HB sebanyak 500 µl dan sentrifuse pada 8000 rpm selama satu menit lalu collection tube dilepaskan. Bahan baku yang telah disentrifuse dipasang dengan collection tube yang baru kemudian kedalam bahan baku ditambahkan dengan DNA wash buffer sebanyak 750 µl dan disentrifuse pada 8000 rpm selama satu menit lalu lepaskan collection tube kemudian sentrifuse pada 13000 rpm selama dua menit untuk menghilangkan etanol lalu kolom ditempatkan ke dalam microtube kemudian ditambahkan buffer elution sebanyak 500 µl dimana sebelumnya buffer elution telah dipanaskan pada suhu 70 0C lalu disentrifuse pada 8000 rpm selama satu menit lalu DNA disimpan pada suhu 4-20 0C. Bahan baku yang telah diekstraksi dengan menggunakan CTAB ataupun dengan kit Vivantis ditempatkan dalam tabung PCR lalu dilakukan proses amplifikasi dengan kondisi optimum serta melalui beberapa siklus antara 25-35 siklus. Produk hasil PCR selanjutnya dilakukan visualisasi dengan elektroforesis dan dilihat dibawah sinar UV, jika hasil elekroforesis berhasil maka ditandai dengan adanya pita DNA yang spesifik lalu dilakukan PCR sequencing untuk penentuan urutan nukleotida. Proses analisis produk PCR berupa sequencing dilakukan oleh lembaga yang berkompeten (Macrogen) yang hasilnya dicocokan dengan bank data (http://www.ncbi.nlm.nih.gov). Hasil berupa urutan nukleotida
21
akan dicocokan dengan data yang tersedia sehingga akan diketahui spesies yang diuji. Diagram alir proses autenikasi DNA dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Diagram alir autentikasi DNA ikan tuna
3.6 Metode PCR Sampel yang telah diekstraksi dipersiapkan untuk PCR sebanyak 2 µl. Bahan untuk PCR adalah ddH 2 O, DNA polimerase, primer, DNA, dan dNTP dicampur dalam tabung PCR. ddH 2 O berfungsi untuk melarutkan komponen PCR agar bercampur setelah itu primer baik forward maupun reverse masing-masing 1,5 µl yang berfungsi untuk proses penggandaan pada PCR, primer yang telah dimasukkan dalam tabung PCR kemudian ditambahkan DNA sebanyak 2 µl dan yang terakhir adalah mix, terdiri dari dNTP yang berfungsi agar pada proses PCR dapat membuat untai baru serta Taq polimerase. Komponen yang berada pada
22
tabung PCR dimasukkan ke thermocycler yang sebelumnya harus diatur suhu dan siklus yang akan digunakan. Proses PCR secara garis besar dibagi menjadi lima bagian mulai dari pre denaturation, denaturation, annealing, extension, post ekstension dan preservation. Pada tahap pre denaturation dimana suhu untuk persiapan denaturasi pada 94
0
C selama lima menit kemudian masuk pada tahap
denaturation pada suhu 94 0C selama 40 detik. Pada tahap denaturasi DNA cetakan yang awalnya untai ganda didenaturasi menjadi untai tunggal agar primer dapat menempel (annealing). Kemudian pada suhu 50-55 0C merupakan suhu penempelan (annealing) pada DNA untai tunggal, primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan DNA cetakan untai tunggal pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen primer. Primer yang telah menempel pada daerah sekuens kemudian suhu dinaikkan menjadi 72 0C selama 80 detik untuk proses persiapan polimerasi. Proses polimerasi pada suhu 72 0C selama 7 menit agar pada suhu ini DNA polimerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA baru sehingga pada hasil akhir akan terdapat jutaan salinan DNA. Setelah proses polimerase suhu diturunkan menjadi 4 0C, dimana pada suhu ini DNA disimpan. Siklus PCR dapat dilihat pada Gambar 7. Proses PCR akan menghasilkan jutaan salinan DNA dimana saat proses pengerjaan PCR dilakukan dengan memperhatikan kontaminasi. Volume yang digunakan dalam PCR yaitu 25 µl. Keberhasilan proses PCR dapat dilakukan dengan optimasi dimana diperlukan suhu penempelan (annealing) yang tepat agar primer dapat menempel pada DNA untai tunggal, tanpa adanya optimasi maka kemungkinan berhasil pun akan semakin kecil.
Gambar 7. Siklus PCR
23
3.7 Elektroforesis Elektroforesis bertujuan untuk melihat pita DNA dibawah sinar UV. Elekroforesis merupakan suatu metoda standar yang digunakan untuk memisahkan, mengidentifikasi dan memurnikan fragmen DNA. Teknik ini sederhana, cepat terbentuk, dan mampu memisahkan campuran potongan DNA sesuai dengan ukurannya secara akurat. Elekroforesis dilakukan dengan menggunakan gel agarosa 2 % dengan melarutkan buffer TBE 1x sampai volume 100 ml lalu penambahan ethidium bromida 5 µl pada gel agarosa lalu dipanaskan menggunakan microwave dan dituang kedalam cetakan. Hasil amplifikasi PCR dimasukkan sebanyak 5 µl ke dalam gel agarosa. Setelah sampel dimasukkan ke dalam gel agarosa, alat elektroforesis di setting pada 100 volt, 400 mA selama satu jam. Pita DNA dapat dilihat jika gel agarosa ditambahkan pewarna yang berflouresence seperti ethidium bromida. Fungsi gel agarosa adalah untuk mellihat pita DNA hasil proses PCR maupun DNA genom dengan bantuan sinar UV (Subandiyah 2006 dalam Adriana 2009). Pada proses elektroforesis digunakan DNA ladder 100 base pair (bp) yang berfungsi sebagai penanda untuk mengetahui ukuran DNA. Molekul DNA akan bergerak dari kutub negatif ke kutub positif sebab DNA bermuatan negatif. Penggunaan etidium bromida bertujuan untuk membantu visualisasi karena etidium bromida dapat memendarkan sinar UV. Hasil elektroforesis akan divisualisasi menggunakan sinar UV, pita yang terlihat pada gel merupakan molekul DNA yang bergerak sepanjang gel setelah dielektoforesis. Hasil elektroforesis DNA genom akan divisualisasi untuk melihat pita yang ada. 3.8 Analisis Produk PCR Amplifikasi gen target menggunakan gen sitokrom b menghasilkan 750 pasang basa. Analisis produk PCR dilakukan penentuan urutan nukleotida dengan metode Sanger yang didasarkan pada pendekatan sintesis molekul DNA baru dan pemberhentian sintesis tersebut pada basa tertentu. Hasil sekuensing berupa grafik yang menyatakan kandungan adenin, timin, guanin, dan sitosin yang terdapat pada fragmen DNA yang telah dilabel. Hasil sekuensing berupa urutan nukleotida akan dicocokkan
ke
bank
data
(http://www.ncbi.nih.nlm/gov).
dengan
menggunakan
metode
BLAST
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Preparasi dan Karakteristik Bahan Baku Produk tuna steak dikemas dengan plastik dalam keadaan vakum. Pengemasan dengan bahan pengemas yang cocok sangat bermanfaat untuk mencegah kemunduran mutu. Pengemasan digunakan untuk melindungi bahan dari proses pengeringan. Daya simpan maksimum produk perikanan dapat dicapai bila menggunakan bahan mentah yang benar-benar segar, menggunakan bahan pengemasan yang cocok dan benar-benar melekat pada produk yang dibekukan. Selama pembekuan secara umum produk akan mengalami tiga jenis kerusakan (loss), yaitu kerusakan karena aspek mekanis, hal ini disebabkan oleh produk yang menempel atau terjatuh dari rak atau conveyor, Kemunduran mutu, Pengeringan (dehydration), yaitu berkurangnya kadar air selama produk dibekukan dan disimpan beku. Hal ini dapat ditunjukkan oleh adanya salju di atas produk beku atau memutihnya permukaan produk beku itu. Produk tuna steak yang berasal dari pasar swalayan Bogor dalam keadaan yang masih memiliki ciri-ciri produk segar yang ditandai dengan warna daging yang cerah serta setelah melalui proses thawing tekstur tuna steak masih padat dan elastis jika ditekan dengan jari. Pembekuan pada tuna steak untuk menghambat kemunduran mutu pada produk yang disebabkan oleh mikroorganisme, proses kimiawi dan fisik, sehingga dapat memperpanjang daya simpan dan mempertahankan mutu produk. Karakteristik steak ikan tuna meliputi tekstur dan warna. Ikan tuna merupakan ikan yang berlemak tinggi sehingga perlu penanganan hati-hati agar diperoleh bahan baku yang segar. Proses penanganan yang baik dan benar meliputi quick, cold, clean, dan carefully harus diterapkan dari awal ikan ditangkap hingga proses pengolahan. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan bahan baku yang masih memiliki kriteria ikan segar ketika ikan telah ditangkap maupun melalui proses pengolahan. Karakteristik Ikan tuna dengan sumber pembanding Standar Nasional Indonesia (SNI) dapat dilihat pada Tabel 4.
25
Tabel 4 Karakteristik Ikan tuna yang digunakan pada penelitian Sampel
Warna
Tekstur
SNI
Yellow fin (BL 1) Albacore (BL 2)
Daging berwarna merah muda pucat Daging berwarna putih dengan guratan merah muda Daging berwarna merah muda pucat Daging berwarna merah kehitaman Daging berwarna merah muda pucat Daging berwarna merah muda pucat Warna daging krem, cerah dan mengkilap Warna daging krem, sangat cerah dan sangat mengkilap
Elastis, padat, kurang kompak, Elastis, kurang padat, dan kurang kompak
7530.1-2009
Nilai organoleptik 7
7530.1-2009
7
7530.1-2009
7
7530.1-2009
7
7530.1-2009
9
7530.1-2009
9
01-4485.2006
8
01-4485.2006
8
Bige eye (BL 3) Blue fin (BL4) Bige eye (MB 1) Yellow fin (MB 5) Tuna steak (G3) Tuna steak (E1)
Elastis, padat, kurang kompak Elastis, padat, kurang kompak Elastis, padat dan kompak Elastis, padat dan kompak Tekstur kompak, padat dan elastis Tekstur kompak, padat dan elastis
4.2 Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA pada dasarnya untuk melisis jaringan dan mendapatkan DNA yang berkualitas, terpisah dengan komponen lain. Proses ekstraksi dilakukan untuk memperoleh DNA yang berkualitas dimana DNA yang diekstraksi sudah terpisah dengan komponen lain sehingga jika divisualisasi menghasilkan pita yang jelas. Secara garis besar proses ekstraksi DNA terdiri dari tiga tahapan yaitu perusakan dinding sel (lisis), Pemisahan DNA dari bahan lain, dan permurnian DNA (Nicholl 1993 dan Surzycki 2000 dalam Ardiana 2009). Proses ekstraksi DNA dapat menggunakan beberapa cara antara lain dengan CTAB ataupun menggunakan kit komersial. Pada penelitian ini digunakan metode CTAB dan menggunakan kit Vivantis. Bahan baku berupa tuna steak yang diekstraksi menggunakan CTAB dan kit Vivantis. Ekstraksi DNA menggunakan CTAB memerlukan nitrogen cair untuk melisis jaringan atau sel sebab metode CTAB merupakan metode manual dimana larutan dibuat sendiri. Metode CTAB
26
memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan menggunakan kit komersial. Jaringan daging yang telah diberi nitrogen cair serta penggerusan yang bertujuan untuk melisis jaringan lalu diberi larutan CTAB untuk mengikat DNA. Pemberian larutan proteinase K untuk mendegradasi protein serta kloroform berfungsi untuk membersihkan protein dan polisakarida dari larutan, dengan hilangnya protein dan senyawa pengotor lainnya seperti lemak, RNA maka DNA dapat diekstraksi secara utuh. RNase juga dapat digunakan dalam ekstraksi DNA dimana RNase merupakan enzim yang berfungsi untuk membuang RNA pada proses ekstraksi DNA. RNase bekerja optimum pada suhu 37-45 0C (Dwiyitno 2008). Hasil ekstraksi yang bertujuan mendapatkan DNA dapat dilihat menggunakan gel elektroforesis di bawah sinar UV dengan adanya pita. Hal ini bertujuan dimana hasil ekstraksi akan digunakan sebagai DNA cetakan pada proses PCR (Muladno 2002). Penggunaan proteinase K akan optimum seiring dengan meningkatnya pH. Semakin tinggi pH maka proteinase K akan optimal, begitu sebaliknya. Suhu optimum proteinase K adalah 55-65 0C. Proteinase merupakan suatu endolitik proteinase yang dapat memutus ikatan peptida pada sisi karboksilik dari gugus alifatik, aromatik, dan hidrofobik dari asam amino. Penambahan larutan isopropanol maupun etanol untuk mengkondensasi atau mengendapkan DNA sehingga pada proses akhir ekstraksi DNA diperoleh DNA dalam bentuk pelet yang terdapat pada tabung microtube. Proses ekstraksi DNA merupakan suatu langkah awal utama untuk mendapatkan DNA dimana jika jumlah DNA hasil ekstraksi tidak mencukupi atau tidak terekstraksi maka akan menjadi faktor penghambat pada proses PCR. Ekstraksi DNA juga bertujuan untuk melarutkan komponen selular yang selanjutnya diperoleh DNA. Ekstraksi DNA secara umum menggunakan beberapa larutan seperti pelarut organik serta deterjen untuk mengikat DNA seperti larutan CTAB (Merente et al.1998 dalam Dwiyitno 2008). CTAB (cetyltrimety ammonium bromide) merupakan surfaktan pada proses ekstraksi
DNA
yang
diikuti
dengan
penambahan
Elektroforegram DNA genom dapat dilihat pada Gambar 8.
fenol-kloroform.
27
Gambar 8. Elektroforegram DNA genom
Ket : 1 = Yellow fin 2 = Albacore 3 = Big eye 4 = Blue fin 5 = Big eye
6 = Yellow fin 7 = Steak tuna pasar swalayan Bogor 8 = Steak tuna pasar swalayan Bogor 9 = Marker
4.3 Amplifikasi Gen Sitokrom b Amplifikasi dilakukan menggunakan proses PCR yaitu suatu reaksi berantai Polimerase. Proses amplifikasi suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan denaturasi DNA template (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda akan terpisah menjadi rantai tunggal. Secara umum proses PCR dibagi menjadi tiga bagian yaitu denaturasi, annealing, dan elongasi. Proses amplifikasi dapat dilaksanakan jika telah dilakukan proses optimasi PCR dimana proses annealing (penempelan) dapat menempel pada suhu tertentu sehingga proses PCR dapat dilakukan. Amplifikasi dilakukan sebanyak 35 siklus untuk mendapatkan salinan DNA. Amplifikasi gen cyt b menggunakan primer dengan target 750 pasang basa. Primer forward dan reverse akan menempel pada suhu 50-55 0C pada DNA utas tunggal dimana pada saat penempelan proses denaturasi yang mencapai suhu 94 0
C diturunkan suhunya agar primer dapat menempel. Primer yang telah menempel
akan membuat DNA baru dengan bantuan DNA polimerase dan dNTP. Hasil produk PCR akan divisualisasi menggunakan gel elektroforesis dibawah sinar UV. Gel agarosa 2 % digunakan dalam penelitian ini dengan spesifikasi 100 V,
28
400 mA selama satu jam. Produk PCR yang telah dimasukkan ke dalam sumur (well) akan bergerak secara horizontal ke kutub positif. Proses pengujian keaslian dengan metode berbasis DNA menggunakan PCR dimana proses pelipatgandaan salinan DNA terjadi secara in vitro. PCR merupakan suatu metode yang sensitif oleh karena itu agar tidak mendapatkan hasil yang false positive proses dilakukan dengan memperhatikan kebersihan untuk mencegah kontaminan (Glick dan Pasternak 1998). Tahap penentuan suhu annealing (penempelan) dilakukan agar primer dapat menempel pada DNA utas tunggal yang sebelumnya telah di denaturasi dimana suhu PCR berubah-ubah pada setiap tahap yaitu pada tahap denaturasi, annealing, dan elongasi (Glick dan Pasternak 1998). Suhu annealing merupakan langkah yang kritis pada proses amplifikasi. Jika suhu annealing terlalu rendah akan menghasilkan amplifikasi yang tidak spesifik sedangkan jika temperatur terlalu tinggi maka proses amplifikasi tidak akan terjadi (Karusanagar et al. 1999). Hasil elektroforesis produk PCR yang dilakukan dengan 35 siklus pada suhu penempelan (annealing) 50-55 0C menghasilkan fragmen DNA yang berukuran 750 pasang basa pada semua sampel tuna steak (Thunnus sp). Fragmen DNA yang berukuran 750 pasang basa dengan menggunakan primer fish cyt bf dan cyt b 1-5r berhasil mengamplifikasi DNA target sebesar 750 pasang basa. Hasil amplifikasi dapat dilihat pada Gambar 8. Hasil elektroforesis produk PCR memiliki ketebalan yang berbeda-beda, pada lajur ketujuh menghasilkan pita yang paling tebal dibandingkan yang lain. Ketebalan pita disebabkan konsentrasi DNA yang terdapat pada lajur tujuh cukup tinggi dibandingkan yang lain yaitu pada DNA yellow fin tuna. Pita yang tipis disebabkan karena konsentrasi DNA sangat sedikit yaitu pada lajur keempat. Adanya perbedaan ketebalan pita yang dihasilkan karena pada proses ekstraksi konsentrasi DNA yang diperoleh berbeda pada setiap sampel yang digunakan. Bayangan yang terbentuk dibawah gen target diduga terbentuknya primer dimer yang disebabkan primer yang saling menempel satu sama lain.
29 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
750 bp 500 bp
Gambar 9. Elektroforegram produk PCR Ket : 1= kontrol (-) 2= Yellow fin 3 = Albacore 4 = Big eye 5 = Blue fin
6 = Big eye 7 = Yellow fin 8 = Steak tuna pasar swalayan Bogor 9 = Steak tuna pasar swalayan Bogor 10= Marker
Hasil elektroforegram pada produk PCR dibawah sinar UV memiliki kecepatan yang berbeda-beda. Kecepatan migrasi DNA didalam agarosa ditentukan oleh beberapa faktor antara lain ukuran molekul DNA, konsentrasi agarosa, konformasi DNA, voltase yang digunakan, adanya ethidium bromida dalam gel serta komposisi larutan buffer. Semakin besar ukuran DNA maka bergerak lebih lambat dibandingkan dengan molekul berukuran kecil. Migrasi DNA di dalam gel akan dipengaruhi oleh konsentrasi gel, gel dengan konsentrasi yang rendah akan menyebabkan migrasi DNA dalam gel bergerak lebih cepat dibanding migrasi DNA pada konsentrasi tinggi. Bentuk DNA akan menyebabkan migrasi dengan kecepatan berbeda. Molekul DNA yang bertumpuk akan bermigrasi lebih cepat dibandingkan molekul DNA linier. Kecepatan migrasi DNA sebanding dengan tingginya voltase yang digunakan,
umumnya voltase yang digunakan 40-100 volt tergantung pada
panjang gel dan hasil resolusi yang diinginkan (Baker 2000). Ethidium bromida dalam gel akan menyebabkan migrasi DNA berkurang sebesar 15 %. Jika tidak ada larutan buffer dalam larutan, maka aliran listrik akan sangat minimal dan migrasi DNA sangat lambat, dengan larutan buffer yang memiliki kekuatan ion tinggi akan meningkatkan panas sehingga aliran listrik menjadi maksimal.
30
Penggunaan DNA yang berasal dari mitokondria memiliki beberapa alasan seperti jumlah yang lebih banyak dibandingkan pada inti sel. Penggunaan cyt b didasarkan karena dapat digunakan untuk identifikasi spesies vertebrata yang mengandung informasi spesies yang spesifik dan dapat digunakan untuk filogenetik (Parson et al. 2000). Selain itu laju mutasi pada mitokondria 5-10 kali lebih cepat dibandingkan pada inti. Hal ini dikarenakan mtDNA tidak memiliki mekanisme DNA repair yang efisien, tidak memiliki protein histon, dan terletak berdekatan dengan membran dalam mitokondria tempat berlangsungnya reaksi fosforilasi oksidatif yang menghasilkan radikal oksigen sebagai produk samping. Penggunaan gen cyt b yang terdapat pada mitokondria efektif untuk identifikasi spesies dan analisis filogenetik (Biswas et al. 2005)
4.4 Penentuan Urutan Nukleotida Gen Sitokrom b Proses sekuensing merupakan suatu metode untuk memperoleh urutan nukleotida dari suatu spesies. Proses sekuensing merupakan modifikasi dari replikasi DNA dimana proses ini menyediakan informasi untuk identifikasi spesies (Dwiyitno 2008). Metode sekuensing yang digunakan adalah metode Sanger. Prinsip metode Sanger berdasarkan pendekatan sintesis molekul DNA baru dan pemberhentian sintesis tersebut pada basa tertentu. Proses sekuensing diawali dengan proses PCR yang dibagi tiga bagian yaitu denaturasi, annealing, dan
elongasi.
Komponen
lain
yang
ditambahkan
adalah
ddNTP
(dideoxynucleoside triphosphate). Komponen ddNTP terdiri dari komponen dideoxyadenosine, dideoxycytidine, dideoxyguanidine, dan dideoxythymidine triphosphate. Komponen ddNTP yang bereaksi dengan salah satu komponen dNTP maka sintesis DNA tidak dapat terjadi. Sebagai contoh jika komponen ddNTP yaitu ddATP bereaksi dengan kompoenn dNTP yaitu dATP maka sintesis DNA akan berhenti karena tidak memiliki 3-OH yang mengakibatkan tidak terbentuknya DNA baru (Barnum 2005). Proses sintesis DNA akan berhenti dan berlangsung secara acak dimana proses pemberhentian (kode stop) tidak bisa diatur sehingga akan menghasilkan panjang yang berbeda. Analisis autentikasi produk hasil perikanan menggunakan gen target DNA mitokondria relatif mudah
31
dilakukan dilaboratorium dan dibandingkan dengan bank data (Bossier 1999). Hasil sekuensing DNA ikan tuna dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil sekuensing spesies ikan tuna No
Kode sampel
1 2 3 4 5 6 7
BL1 (Thunnus albacares) BL2 (Thunnus alalunga) BL3 (Thunnus obesus) BL4 (Thunnus thynnus) MB1 (Thunnus obesus) MB5 (Thunnus albacares) G3 (Thunnus sp.)
Spesies hasil pencocokan blast Thunnus albacores Thunnus alalunga Thunnus obesus Thunnus macoyyi Thunnus obesus Thunnus albacores Thunnus albacores
Nomor akses NCBI DQ080284.1 GU256526.1 DQ080280.1 EF141183.1 DQ080280.1 DQ080287.1 DQ080287.1
Homologi 99% 99% 100% 99% 99% 99% 99%
Hasil sekuensing berupa urutan nukleotida dibandingkan dengan bank data (www.ncbi.nlm.nih.gov) menggunakan metode BLAST. Berdasarkan data hasil sekuensing pada Tabel 5 tidak terjadi pemalsuan bahan baku. Hal ini dapat dilihat sampel yang digunakan dengan hasil sekuensing menggunakan metode BLAST telah sesuai. Ikan tuna dengan spesies yellow fin (Thunnus albacores), albacore (Thunnus alalunga), big eye (Thunnus obesus), dan blue fin (Thunnus macoyyi) dengan menggunakan gen target cyt b berhasil diidentifikasi. Hasil sekuensing selain berupa urutan nukleotida juga dapat melihat tingkat homologi spesies yang diuji. Tingkat homologi merupakan persentase kesamaan spesies yang diuji dengan data yang tersedia di bank data. Spesies yellow fin (Thunnus albacares), albacore (Thunnus alalunga), big eye (Thunnus obesus), dan blue fin (Thunnus macoyyi) memiliki tingkat homologi berturut-turut adalah 99%, 99%, 99%, 100%. Perbedaan pada tingkat homologi ini disebabkan adanya ketidaksamaan dengan bank data yaitu sebesar 1%. Hal ini juga bisa disebabkan karena adanya perbedaan urutan nukleotida pada spesies. Metode sekuensing selain menghasilkan data berupa urutan nukleotida juga dapat menghasilkan dendogram yaitu suatu diagram yang menunjukkan hubungan kekerabatan
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Pengujian berbasis DNA dapat dilakukan pada bahan baku yang telah mengalami proses penghilangan ciri morfologi seperti sirip. Karakteristik daging yang digunakan dalam keadaan segar dengan memperhatikan warna dan tekstur. Hasil pengujian sampel ikan tuna didapatkan fragmen DNA dengan ukuran 750 pasang basa (pb) menggunakan primer fish cyt bf cyt 1-5 r berhasil mengamplifikasi dengan gen target cyt b. Hasil sekuensing berupa urutan nukleotida menunjukkan tuna steak yang berasal dari perusahaan maupun tuna steak yang berasal dari pasar swalayan Bogor tidak ada pemalsuan atau substitusi bahan baku dengan jenis spesies lain. Hasil sekuensing yang dicocokkan ke bank data memiliki tingkat homologi rata-rata yang masih dapat diterima.
5.2 Saran Pada penelitian selanjutnya pengujian keaslian (autentikasi) berbasis DNA perlu dilakukan terhadap komoditas lain yang bernilai ekonomis tinggi untuk menghindari pemalsuan berupa substitusi dari jenis yang kurang ekonomis sehingga merugikan konsumen. Selain itu menggunakan metode PCR multiplex untuk pengujian PCR pada beberapa spesies sekaligus serta menggunakan real time PCR untuk mendapatkan hasil aktual serta cepat. Menggunakan metode RFLP untuk menghemat biaya serta mendapatkan fingerprint DNA ikan tuna. DNA barcoding untuk mendapatkan primer cocktail terbaik.
DAFTAR PUSTAKA Ardiana DW. 2009. Teknik isolasi DNA genom tanaman pepaya dan jeruk menggunakan modifikasi buffer CTAB. Buletin Teknik Pertanian 14:1216 [BSN] Badan Standar Nasional. 2006. Tuna steak Jakarta: Dewan SNI
beku. SNI 7530.1:2009.
[BSN] Badan Standar Nasional. 2009. Tuna loin segar. SNI 01-4485.1-2006. Jakarta: Dewan SNI [BRKP]Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 2009. Potret dan Strategi Pengembangan Perikanan Tuna, Udang dan Rumput Laut. Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan Barnum SR. 2005. Biotechnology an Introduction. USA: Thompson Learning. Baker JA. 2000. Molecular Methods in Ecology. Blackwell Science: Australia Biswas SK, Li Wang, Yokoyama K, Nishimura K. 2005. Molecular phylogenetics of the genus Trichosporon inferred from mitochondrial cytochrome b gene sequences. J Clinical Biology 43:5171-5178 Bossier P. 1999. Authentication of seafood products by DNA patterns. J Food Science 64:189-193 Chen BY, Janes HW. 2000. PCR Cloning Protocol. New Jersey: Humana Press Dwiyitno. 2008. The optimization and validation of a polymerase chain reaction protocol for fish and seafood authenticity based on the cytochrome b gene. [Tesis]. Belgium: Catholic University of Applied Science (KaHo) Sint Lieven [FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nation. 1983. An Annotated and Illustrated Catalogue of Tunas, Mackerel, Bonitos, Untied Nations Development Programme Food and Agriculture Organization of the United Nations and Related Species Know to Date. Rome: FAO Flick GJ, Martin RE. 1990. The Seafood Industry. New York: Van Nostrand Reinhold Gil L.A. 2007. PCR-based methods for fish and fishery products authentication. J Food science and Technology 18:558-566 Glick BR, Pasternak JJ. 1998. Molecular Biotechnology Primciple and applications of Recombinant DNA. Washington: ASM Press Hardjosubroto W. 2001. Genetika Hewan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Ilyas 1993. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid I. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Perkembangan Perikanan. Karp G. 1984. Cell Biology. Singapore: Kin Keong Printing
34
Karusanagar I, Karusanagar I, Reilly A. 1999. Aquaculture and Biotechnology. USA: Science Publisher. Less M. 2003. Food Authenticity and Traaceability. England: Woodhead Publishing Limited Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Penebar Swadaya Muladno. 2002. Teknologi Rekayasa Genetika. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda National library of medicine. 2009. What is DNA. http://ghr.nlm.nih.gov [04 April 2010] Old RW, Primose SB. 1989. Prinsip-Prinsip Manipulasi Gen Suatu Pengantar Rekayasa Genetika. London: Blackwell Scientific Publications. Parson W, Pegoraro K, Niederstatter H, Foger M. 2000. Spesies identification by means of the cytochrome b gene J Legal Med 114:23-28. Ram JL, Ram ML, Baidoun F. 1996. Authentication of canned tuna and bonito by sequence and restriction of polymerase chain reaction product of mitochondrial DNA. J Agric. Food Chem 44:2460-2467 Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I dan II. Jakarta: Bina Cipta. Unseld M, Beyerman B, Brandt P, Hiesel R. 1995. Identification of the species origin of highly processed meat product by mitochondial DNA sequence. J Genome resc 4:241-243 Vierstraete A. 1999. Mengenal PCR (Polymerase Chain Reaction). http:// sciencebiotech.net [04 April 2010] Wirdateti T. 1999. Kekerabatan kukang Nycticebus coucang di Indonesia dengan menggunakan penanda control region DNA mitokondria (mtDNA) melalui teknik PCR-RFLP [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wulandari DT. 2005. Evolusi Mitokondria dan Pemanfaatannya dalam Penelusuran Kekerabatan dan Evolusi Organisme. http:// coffe-cat.net [30 April 2010] Yuwono T. 2005a. Biologi Molekuler. Yogyakarta: Erlangga Yuwono T. 2006b. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Yogyakarta: CV Andi Yuwono T. 2006c. Bioteknologi Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
LAMPIRAN
36
Lampiran 1. Daging ikan tuna
Thunnus macoyyi
Thunnus alalunga
Thunnus albacores
Thunnus obesus
Tuna Steak (Thunnus sp.)
37
Lampiran 2. Alat-alat yang digunakan pada penelitian
Thermocycler
Elektroforesis
Microwave
Timbangan digital
Sentrifuse Water bath
38
Autoklaf
Microtube 1.5 ml
Pipette tips
39
Lampiran 3. Diagram alir metode ekstraksi dengan CTAB 2%
40
Lampiran 4. Diagram alir metode ekstraksi dengan Kit Vivantis