PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DENGAN METODE HIDROLISIS PROTEIN
Oleh : Muhammad Nabil C03400041
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
RINGKASAN MUHAMMAD NABIL. C03400041. Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tuna (Thunnus sp.) sebagai Sumber Kalsium dengan Metode Hidrolisis Protein. Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan ELLA SALAMAH Tulang ikan tuna merupakan limbah hasil pengolahan ikan yang kaya akan kandungan kalsium, fosfor dan selenium. Pemanfaatan tulang tuna sebagai sumber kalsium pangan merupakan salah satu upaya dalam rangka memenuhi kebutuhan kalsium pangan sekaligus menambah nilai ekonomis limbah tulang ikan tuna. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan tepung tulang ikan tuna berkalsium tinggi serta mempelajari pengaruh waktu autoklafing dan frekuensi perebusan pada proses hidrolisis protein dalam pembuatan tepung tulang. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial yang terdiri atas dua faktor, yaitu faktor waktu autoklafing (1, 2 dan 3 jam) dan frekuensi perebusan (1, 2 dan 3 kali). Periode waktu dan suhu perebusan yang digunakan adalah 30 menit pada suhu 100 oC. Perlakuan waktu autoklafing dan frekuensi perebusan berpengaruh terhadap penurunan rendemen, kadar air, lemak, protein dan pH tepung tulang ikan, sedangkan kadar abu, derajat putih, kalsium dan fosfor tepung cenderung meningkat akibat adanya perlakuan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan waktu autoklafing berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar air, abu, lemak, protein, derajat putih dan rendemen. Perlakuan perebusan hanya berpengaruh nyata pada rendemen, kadar abu dan derajat putih. Pengaruh interaksi kedua perlakuan hanya berbeda nyata pada rendemen, kadar abu dan derajat putih. Tepung tulang ikan yang dihasilkan dalam penelitian ini mengandung kadar air sebesar 5,60 - 8,30 %, abu 77,54 – 84,22 % bb, protein 0,48 – 1,29 % bb dan lemak 1,7 - 4,13 % bb. Kadar kalsium dan fosfor yang dihasilkan berturutturut sebesar 23,72 – 39,24 % dan 11,34 – 14,25 %. Rendemen yang dihasilkan sebesar 13,28 – 28,85 %. Nilai beberapa parameter fisik tepung tulang yang dihasilkan yaitu derajat putih 59,3 – 74,8 %, densitas kamba 7,42 – 9,42 g/ml, pH 7,03 – 7,22 dan daya serap air 14 – 14,7 %. Kemudahan melarut tepung sangat rendah, yaitu antara 0 – 4,45 % pada menit ke 15, sedangkan pada menit ke 180 nilai kelarutan yang diperoleh mencapai 8, 56 - 36,67 %. Nilai bioavailabilitas kalsium secara in vitro yang dihasilkan tepung tulang ikan sebesar 0,86 %. Nilai penyerapan ini diperoleh dari hasil pengukuran pada tepung dengan kadar kalsium tertinggi (39,24 %) yaitu tepung A3P2 dengan perlakuan waktu autoklafing 3 jam dan perebusan 2 kali.
PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DENGAN METODE HIDROLISIS PROTEIN
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh : Muhammad Nabil C03400041
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
Judul
: PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DENGAN METODE HIDROLISIS PROTEIN
Nama
: Muhammad Nabil
NRP
: C03400041
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Wini Trilaksani, M.Sc. NIP. 131 578 851
Dra. Ella Salamah, M.Si. NIP. 131 788 597
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031
Tanggal Lulus : 26 Oktober 2005
RIWAYAT HIDUP
A
Penulis dilahirkan di Pekalongan pada tanggal 25 Mei 1982, sebagai anak ketiga dari sebelas orang bersaudara pasangan Muhammad Chuzaini dan Nur Chasanah. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri Kedungwuni VI Pekalongan pada tahun 1988 - 1994.
Penulis melanjutkan sekolah di
SLTP Negeri 1 Wonopringgo Pekalongan dan lulus pada
tahun 1997. Kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah di SMU Negeri 1 Kedungwuni Pekalongan dan lulus pada tahun 2000. Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2000 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa IPB penulis pernah aktif di beberapa organisasi mahasiswa seperti DPM TPB, BEM FPIK, Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) sebagai ketua umum periode 2003/2004, BEM KM IPB, serta Ikatan Mahasiswa Pekalongan Batang di Bogor (IMAPEKA) sebagai ketua umum. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Avertebrata Air, Ikhtiologi dan Biokimia Hasil Perikanan. Penulis pernah magang di PT. Maya Food Industry dan pernah meraih medali perak untuk juara poster terbaik dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional ke XVII di Bandung. Penulis dinyatakan lulus dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dengan hasil penelitian (skripsi) berjudul “Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tuna (Thunnus sp.) sebagai
Sumber Kalsium
Metode Hidrolisis Protein” pada tanggal 26 Oktober 2005.
dengan
KATA PENGANTAR Segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas anugerah, rahmat, dan hidayah yang telah diberikan-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tuna (Thunnus sp.) sebagai Sumber Kalsium dengan Metode Hidrolisis Protein”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1.
Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing dan Ibu Dra. Ella Salamah, M.Si. selaku anggota komisi pembimbing yang telah bersedia membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
2.
Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si. dan Ibu Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si. sebagai dosen penguji atas masukan dan kritik yang membangun untuk perbaikan skripsi ini.
3.
Bapak dan Ibu M.Chuzaini tercinta atas doa, kasih sayang, dorongan dan semangat yang diberikan.
4.
Kakak dan adik-adik serta seluruh keluargaku, kalian adalah semangat yang mengobarkan perjuanganku.
5.
Bapak Gandi dan Ibu Emma sebagai staf laboratorium Teknologi Hasil Perikanan yang telah banyak membantu penulis selama penelitian.
6.
Sahabat-sahabatku Mahardiyan, Rhea, Henny, Yanne, Nano, Ismail, Hazil, Slamet, Dina, Leni, Citra, Nila, Sri Rahayu, Darma, Pai, Diki, Netto, Kacong, Venol dan Adit. Yakinlah kesuksesan pasti jadi milik kita.
7.
Teman-teman AHP dan THP’37, 38, 39, 40 dan 41 tetap bersemangat dalam menuntut ilmu, jangan sia-siakan waktumu. Akhir kata penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak dan
menjadi amal bagi penulis. Amin Bogor,
Oktober 2005
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
ix
1. PENDAHULUAN......................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2. Tujuan .................................................................................................
3
2. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................
4
2.1. Ikan Tuna (Thunnus sp.) ......................................................................
4
2.2. Limbah Perikanan................................................................................
5
2.3. Tulang Ikan .........................................................................................
6
2.4. Kalsium............................................................................................... 2.4.1. Peranan kalsium ......................................................................... 2.4.2. Kebutuhan kalsium..................................................................... 2.4.3. Sumber kalsium.......................................................................... 2.4.4. Metabolisme kalsium.................................................................. 2.4.5. Faktor yang mempengaruhi penyerapan kalsium ........................ 2.4.5.1. Fosfor............................................................................ 2.4.5.2. Vitamin D ..................................................................... 2.4.5.3. Protein........................................................................... 2.4.5.4. Nilai pH dan kelarutan................................................... 2.4.5.5. Zat organik .................................................................... 2.4.5.6. Serat makanan ............................................................... 2.4.5.7. Faktor lain ..................................................................... 2.4.6. Proses pemisahan kalsium .......................................................... 2.4.6.1. Hidrolisis....................................................................... 2.4.6.2. Pemasakan .................................................................... 2.4.6.3. Pengeringan...................................................................
7 7 8 9 10 11 11 12 12 13 13 13 14 14 18 19 20
2.5. Bioavailabilitas Kalsium.....................................................................
21
2.6. Osteoporosis.......................................................................................
22
3. METODOLOGI .........................................................................................
24
3.1. Waktu dan Tempat .............................................................................
24
3.2. Bahan dan Alat ...................................................................................
24
3.3. Metode Penelitian...............................................................................
25
3.3.1. Alur proses pemisahan kalsium ikan .......................................... 3.2.2. Perlakuan...................................................................................
25 27
3.4. Metode Analisis................................................................................... 3.4.1. Rendemen (AOAC 1995) ........................................................ 3.4.2. Kadar air (AOAC 1995) .......................................................... 3.4.3. Kadar protein (AOAC 1995).................................................... 3.4.4. Kadar lemak (AOAC 1995) ..................................................... 3.4.5. Kadar abu (AOAC 1995)......................................................... 3.4.6. Kadar kalsium (Apriyantono et al. 1989)................................. 3.4.7. Kadar fosfor (Apriyantono et al. 1989) .................................... 3.4.8. Derajat keasaman (pH) (AOAC 1995) ..................................... 3.4.9. Daya serap air (Fardiaz et al. 1992) ......................................... 3.4.10. Densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992)..................... 3.4.11. Derajat putih (Kett Whiteness Electric Laboratory 1981 diacu dalam Mulia 2004) ........................................................ 3.4.12. Kemudahan melarut (Pedroza-Isleas et al. 2000 diacu dalam Beatrice 2001)......................................................................... 3.4.13. Bioavailabilitas kalsium (Roig et al. 1999)..............................
27 27 27 28 28 29 29 30 31 31 31
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data..............................................
34
4. HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................
35
4.1. Rendemen .........................................................................................
35
4.2. Analisis Proksimat............................................................................. 4.2.1. Kadar air ................................................................................. 4.2.2. Kadar abu................................................................................ 4.2.3. Kadar protein .......................................................................... 4.2.4. Kadar lemak ...........................................................................
36 37 39 41 44
4.3. Kadar Kalsium ..................................................................................
48
4.4. Kadar Fosfor .....................................................................................
49
4.5. Derajat Keasaman (pH) .....................................................................
50
4.6. Daya Serap Air..................................................................................
51
4.7. Densitas Kamba ................................................................................
52
4.8. Derajat Putih .....................................................................................
54
4.9. Kemudahan Melarut..........................................................................
56
4.10. Bioavailabilitas Kalsium ...................................................................
58
5. KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................
60
5.1. Kesimpulan ..........................................................................................
60
5.2. Saran ....................................................................................................
60
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
61
LAMPIRAN .................................................................................................
67
32 32 32
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Komposisi kimia tulang ikan tuna ....................................................……
6
2.
Angka kecukupan rata-rata kalsium (mg/hari)…....……………………..
8
3.
Kandungan zat gizi tepung tulang ikan produksi ISA.........................….
10
4.
Data nilai kemudahan melarut (%) tepung tulang ikan tuna................…. 57
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Ikan yellow fin tuna (Thunnus albacores).........................................…...
4
2.
Alur proses pembuatan tepung tulang ikan metode Elfauziah (2003).....
16
3.
Alur proses pembuatan tepung tulang ikan Metode Mulia (2004)..........
17
4.
Mekanisme reaksi hidrolisis.....................................................................
18
5.
Alur proses pembuatan tepung tulang ikan tuna......................................
26
6.
Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap rendemen .......................................................… ......
35
7.
Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap kadar air ..................................................................
37
8.
Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap kadar abu ................................................................
39
9.
Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap kadar protein ..........................................................
42
10.
Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap kadar lemak..............................................................
45
11.
Reaksi antara trigliserida dengan NaOH.................................................
47
12.
Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap kadar kalsium...........................................................
48
13.
Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap kadar fosfor ...........................................................
49
14.
Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap nilai pH ...................................................................
51
15.
Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap nilai daya serap air.................................................
52
16.
Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap densitas kamba........................................................
53
17.
Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap derajat putih...........................................................
55
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Data rendemen tepung tulang ikan tuna (%) ....................................……
68
2.
Analisis ragam rendemen tepung tulang ikan tuna (%).....................……
68
3.
Uji lanjut BNJ lama waktu autoklafing terhadap rendemen..................... 68
4.
Data kadar air (% bb) tepung tulang ikan tuna..................................……
69
5.
Analisis ragam kadar air......................................................................….
69
6.
Uji lanjut BNJ lama waktu autoklafing terhadap kadar air......................
69
7.
Data kadar abu (% bb) tepung tulang ikan tuna................................……
70
8.
Analisis ragam kadar abu....................................................................….
70
9.
Uji lanjut BNJ lama waktu autoklafing terhadap kadar abu .................... 70
10.
Uji lanjut BNJ frekuensi perebusan terhadap kadar abu..........................
71
11.
Data kadar protein (% bb) tepung tulang ikan tuna..........................……
73
12.
Analisis ragam kadar protein..............................................................….
73
13.
Uji lanjut BNJ lama waktu autoklafing terhadap kadar protein..............
73
14.
Uji lanjut BNJ frekuensi perebusan terhadap kadar protein....................
74
15.
Data kadar lemak (% bb) tepung tulang ikan tuna............................……
74
16.
Analisis ragam kadar lemak.................................................................….
74
17.
Uji lanjut BNJ lama waktu autoklafing terhadap kadar lemak................. 75
18.
Uji lanjut BNJ frekuensi perebusan terhadap kadar lemak....................... 75
19.
Data kadar kalsium (%) tepung tulang ikan tuna..............................……
75
20.
Analisis ragam kadar kalsium..............................................................….
76
21.
Data kadar fosfor (%) tepung tulang ikan tuna.................................……
76
22.
Analisis ragam kadar fosfor................................................................….
76
23.
Data nilai pH tepung tulang ikan tuna...............................................……
77
24.
Analisis ragam nilai pH.......................................................................….
77
25.
Data nilai daya serap air (%) tepung tulang ikan tuna......................……
77
26.
Analisis ragam daya serap air..............................................................….
77
27.
Data densitas kamba (g/ml) tepung tulang ikan tuna............................…
78
28.
Analisis ragam densitas kamba..............................................................…. 78
29.
Data nilai derajat putih (%) tepung tulang ikan tuna.............................…
78
30.
Analisis ragam derajat putih...............................................................….
78
31.
Uji lanjut BNJ lama waktu autoklafing terhadap derajat putih................
79
32.
Uji lanjut BNJ frekuensi perebusan terhadap derajat putih......................
79
33.
Whitenesmeter (alat pengukur derajat putih pada tepung ).................….
81
34.
Alat destilasi protein metode Kjeldahl...............................................….
81
35.
Tulang ikan tuna setelah dibersihkan..................................................….
82
36.
Proses hidrolisis dengan larutan NaOH..............................................….
82
37.
Tepung tulang ikan tuna......................................................................….
83
38.
Tepung tulang ikan masing-masing perlakuan....................................….
83
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mineral merupakan bagian dari unsur pembentuk tubuh yang memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan (Almatsier 2002). Unsur mineral esensial didefinisikan sebagai unsur penting yang dibutuhkan dalam kehidupan dan jika unsur tersebut dihilangkan dapat menyebabkan kerusakan fungsi fisiologis suatu organisme. Beberapa mineral seperti kalsium dan fosfor terdapat dalam jumlah yang relatif besar dalam tubuh. Kalsium merupakan unsur terbanyak kelima dan kation terbanyak di dalam tubuh manusia, yaitu sekitar 1,5-2 % dari keseluruhan berat tubuh. Lebih dari 99 % kalsium terdapat pada tulang dalam bentuk hidroksiapatit. Kalsium dibutuhkan untuk proses pembentukan dan perawatan jaringan rangka tubuh serta beberapa kegiatan penting dalam tubuh seperti pembekuan darah, kontraksi otot, menjaga keseimbangan hormon dan katalisator pada reaksi biologis. Salah satu dampak dari defisiensi kalsium yang sekarang ini banyak terjadi adalah osteoporosis. Osteoporosis atau yang dikenal dengan nama tulang keropos merupakan suatu penyakit rapuh tulang yang ditandai dengan hilangnya kepadatan tulang setelah mencapai usia tua.
Pada anak-anak defisiensi kalsium dapat
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tulang/rickets.
Kekurangan kalsium
dapat juga menyebabkan osteomalasia (Almatsier 2002). Orang Asia, khususnya Indonesia pada kenyataannya lebih mudah terserang osteoporosis karena tulang orang Asia umumnya lebih kecil dari tulang bangsa lain, terutama bangsa Eropa dan Amerika. Pada tahun 2050 diperkirakan sekitar 51 % penduduk dunia terserang osteoporosis, kemungkinan besar mereka yang tinggal di Asia (Anonymous 2002). Apalagi di Indonesia yang konsumsi kalsiumnya masih sangat rendah, diperburuk dengan pencegahan dan pengobatan osteoporosis yang belum intensif. Untuk mencegah kekurangan kalsium perlu konsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup. Sumber kalsium yang populer saat ini adalah susu dan suplemen kalsium, akan tetapi sangat disayangkan keduanya cenderung masih
diluar jangkauan daya beli masyarakat Indonesia pada umumnya (Anonymous 2001).
Oleh karena itu dibutuhkan alternatif sumber kalsium yang mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bentuk makanan atau minuman kaya kalsium yang murah dan melimpah. Kalsium yang berasal dari hewan seperti limbah tulang ikan sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia.
Padahal tulang ikan
menurut Basmal et al. (2000) mengandung trikalsium fosfat yang sangat ideal untuk tubuh manusia. Menurut laporan terakhir dari Departemen Kelautan dan Perikanan (2000), produksi perikanan Indonesia mencapai 5,3 juta ton dalam tahun 2000. Sekitar 20-30 % dari total jumlah ini adalah limbah. Ini berarti bahwa dalam tahun 2000, dihasilkan sebanyak 1,06-1,6 juta ton limbah ikan. Tulang merupakan salah satu bentuk limbah yang dihasilkan dari industri pengolahan ikan yang memiliki kandungan kalsium terbanyak dalam tubuh ikan. Dari sudut pandang pangan dan gizi, tulang ikan sangat kaya akan kalsium yang dibutuhkan manusia, karena unsur utama dari tulang ikan adalah kalsium, fosfor dan karbonat (Helve 1989 diacu dalam Lestari 2001). Dengan demikian limbah tulang ikan mempunyai potensi yang besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku tepung tulang ikan yang kaya kalsium. Ikan tuna merupakan salah satu komoditas perikanan Indonesia yang potensial, terbesar kedua setelah udang (Ilyas dan Suparno 1985). Peningkatan nilai produksi ikan tuna dari tahun ke tahun menunjukkan nilai yang cukup tajam. Tahun 1990 volume produksi masih 88.661 ton, tetapi tahun 1998 meningkat drastis mencapai 168.122 ton. Setahun berikutnya volume produksi menurun menjadi 151.231 ton. Setelah itu, tahun 2000 naik lagi menjadi 153.241 ton, dan pada tahun 2001 166.630 ton (Departemen Kelautan dan Perikanan 2001). Peningkatan volume produksi ini akan meningkatkan volume limbah hasil industri pengolahan tuna tersebut. Pemanfaatan limbah tulang ikan tuna sebagai sumber kalsium merupakan alternatif pemanfaatan limbah yang tepat dalam rangka menyediakan sumber pangan kaya kalsium sekaligus mengurangi dampak buruk akibat pencemaran limbah pada industri pengolahan tuna.
1.2. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Memanfaatkan limbah tulang ikan tuna dalam pembuatan tepung tulang berkalsium tinggi. 2. Mempelajari pengaruh lamanya proses autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap karakteristik tepung tulang ikan tuna.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tuna Menurut Saanin (1968), klasifikasi dan identifikasi ikan tuna adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Teleostei Subkelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Subordo : Scombroideae Famili : Scombroidae Genus : Thunnus Spesies : Thunnus alalunga (albacores) Genus ini terdiri atas beberapa spesies antara lain Thunnus albacores yang paling banyak didapati di perairan Indonesia. Jenis ini dikenal dengan sebutan madidihang atau yellow fin tuna. Badan memanjang, bulat seperti cerutu dan termasuk jenis ikan buas dan bersifat predator. Panjang tubuh dapat mencapai 195 cm, namun umumnya 50-150 cm. Hidup bergerombol kecil (schooling) pada waktu mencari makan. Ikan yellow fin tuna (Thunnus albacores) yang terlihat pada Gambar 1, termasuk dalam famili Scombroidae yang tergolong ikan perenang cepat, memiliki dua sirip punggung. Sirip depan biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang, pada bagian punggung berwarna biru kehitaman dan berwarna keputih-putihan pada bagian perut (Ditjenkan 1983).
Gambar 1. Ikan yellow fin tuna (Thunnus albacores)
Ikan tuna memiliki kecepatan renang mencapai 50 km/jam. Kemampuan renang ikan ini merupakan salah satu faktor yang meyebabkan penyebarannya dapat meliputi skala ruang (wilayah geografis) yang cukup luas, termasuk diantaranya beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas samudera (Diniah et al. 2001). 2.2. Limbah Perikanan Limbah merupakan suatu hasil samping yang kurang berharga bahkan merupakan suatu masalah di dalam suatu industri. Menurut Moeljanto (1979) limbah perikanan adalah ikan yang terbuang, tercecer dan sisa olahan yang pada suatu saat di tempat tertentu belum dapat dimanfaatkan secara ekonomis. Jenis limbah dan hasil samping dapat dikelompokkan secara umum menjadi 4 kelompok (Moeljanto 1979) yaitu : (1) hasil samping pada penangkapan suatu spesies atau sumber daya misalnya ikan rucah pada penangkapan udang dan ikan cucut pada penangkapan tuna; (2) sisa pengolahan seperti bagian kepala, tulang, sisik, sirip, isi perut dan daging merah; (3) surplus dari tangkapan (glut); (4) sisa distribusi. Limbah pengolahan tuna dihasilkan pada pengolahan pengalengan, pembekuan atau pengolahan tradisional. Umumnya industri pengolahan tuna menghasilkan limbah industri yang cukup besar pada beberapa pusat pengolahan, karena tuna termasuk komoditas penting setelah udang (Ilyas dan Suparno 1985). Limbah tersebut berupa limbah padat, minyak, air sisa pemasakan dan lain-lain. Tulang tuna dapat dijadikan sumber kalsium untuk keperluan pengayaan (enrichment) sebagai salah satu upaya fortifikasi zat gizi dalam makanan. Pemanfaatan limbah ini ditujukan untuk mendapatkan hasil guna dan daya guna sebesar mungkin tanpa mengganggu kelestarian lingkungan. 2.3. Tulang Ikan Tulang ikan merupakan salah satu limbah hasil pengolahan perikanan yang dapat dimanfaatkan sebagai tepung untuk bahan pangan. Pemanfaatan tepung
tulang ikan dapat dilakukan dalam bentuk pengayaan (enrichment) sebagai salah satu upaya fortifikasi zat gizi dalam makanan. Di Jepang pemanfaatan tulang ikan dilakukan untuk memproduksi kalsium dalam bentuk tepung tulang yang dapat dikonsumsi manusia. Tulang ikan banyak mengandung kalsium dalam bentuk kalsium fosfat sebanyak 14 % dari total susunan tulang.
Bentuk kompleks
kalsium fosfat ini terdapat pada tulang dan dapat diserap oleh tubuh dengan baik sekitar 60-70 % (Subangsihe 1996). Tulang dibentuk dalam dua proses yang terpisah, yaitu pembentukan matriks dan penempatan mineral ke dalam matriks tersebut. Tiga jenis komponen seluler terlibat didalamnya dengan fungsi yang berbeda-beda yaitu osteoblas dalam pembentukan tulang, osteosit dalam pemeliharaan tulang dan osteoklas dalam penyerapan kembali tulang. Osteoblas membentuk kolagen tempat mineralmineral melekat. Mineral utama di dalam tulang adalah kalsium dan fosfor, sedangkan mineral lain dalam jumlah kecil adalah natrium, magnesium, dan fluor (Winarno 1997). Komposisi kimia tulang ikan tuna dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia tulang ikan tuna No.
Parameter
Berat Kering
Berat Basah
1
Air
-
56,11 %
2
Abu
39,19 %
17,20 %
3
Protein
52,54 %
7,56 %
4
Lemak
23,06 %
3,32 %
Sumber : Lestari (2001)
Unsur utama yang menyusun tulang ikan adalah kalsium, fosfat dan karbonat, sedangkan yang terdapat dalam jumlah kecil yaitu magnesium, sodium, stronsium, sitrat, fluorida, hidroksida dan sulfat (Lovell 1989).
Kandungan
mineral pada ikan bergantung pada spesies, jenis kelamin, siklus biologis, dan bagian tubuh ikan yang dianalisis. Kandungan mineral juga tergantung pada faktor ekologis seperti musim, tempat pengembangan, jumlah nutrisi yang tersedia, suhu dan salinitas air (Navarro 1991 diacu dalam Martinez et al.1998). 2.4. Kalsium Kira-kira 2 % dari seluruh bobot tubuh orang dewasa terdiri dari kalsium. Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh. Lebih
dari 99 % kalsium ada di dalam tulang dan gigi, yaitu bersama-sama dengan fosfat membentuk
kristal
tidak
larut
yang
disebut
kalsium
hidroksiapatit
(Ca3(PO4)2)3.Ca(OH)2 (Muchtadi et al. 1993). Jumlah kalsium dalam plasma darah kurang lebih 10 mg/100 ml dengan jumlah lebih kecil di dalam sel-sel, sedangkan jumlah fosfor kurang lebih 4 mg/100 ml, lebih banyak terdapat dalam sel (Sediaoetama 2000). Hidroksiapatit merupakan suatu struktur kristal yang terdiri atas kalsium fosfat dan disusun di sekeliling matriks organik berupa protein kolagen untuk memberikan kekuatan dan kekakuan tulang. Di samping itu juga terdapat ion-ion lain, seperti fluor, magnesium, seng dan natrium. Melalui matriks dan diantara struktur kristal terdapat pembuluh darah dan limfe, syaraf dan sumsum tulang. Melalui pembuluh darah ini ion-ion mineral berdifusi ke dalam cairan ekstraseluler, mengelilingi kristal dan memungkinkan pengendapan mineral baru atau penyerapan kembali mineral dari tulang (Almatsier 2002). Kalsium dan fosfat dibutuhkan dalam jumlah yang besar dalam tubuh, yaitu sekitar 99 % kalsium dan 80-90 % fosfat dalam tulang dan gigi, dan sekitar 1 % terdapat dalam jaringan lunak dan cairan tubuh ekstraselular (Martin 1965). Sisa kalsium tubuh yang ada dalam intra dan ekstraselular memegang peranan yang sangat vital dalam mengatur fungsi sel dan impuls syaraf (Linder 1992). 2.4.1. Peranan kalsium Kalsium memegang peranan yang sangat penting di dalam tubuh (Muchtadi et al. 1993) diantaranya, yaitu : (1) sebagai komponen utama pembentuk tulang dan gigi serta memelihara ketegaran kerangka tubuh; (2) mengatur proses pembekuan darah; (3) sebagai intracelular regulator atau messenger, yaitu membantu regulasi aktivitas otot-otot kerangka, jantung dan jaringan lain; (4) sebagai bagian dari enzim, yaitu lipase, suksinat dehidrogenase, adenosine trifosfatase dan beberapa enzim proteolitik tertentu; (5) kontraksi dan relaksasi otot. Tanpa kalsium semua otot akan kehilangan kemampuannya untuk berkontraksi; (6) membantu penyerapan vitamin B12 dan asam amino;
(7) mengirimkan isyarat saraf ke jaringan-jaringan tubuh; (8) penyimpanan dan pelepasan neurotransmiter; (9) penyimpanan dan pelepasan hormon; (10) pengaturan sekresi gastrin dan menjaga keseimbangan osmotik. 2.4.2. Kebutuhan kalsium Kebutuhan mineral esensial untuk manusia bervariasi dari beberapa mikrogram perhari sampai sekitar 1 g/hari. Jika masukan mineral tersebut rendah untuk waktu-waktu tertentu, maka dapat menyebabkan defisiensi. Sebaliknya, jika masukan terlalu besar dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi tubuh seperti konstipasi dan gangguan fungsi ginjal (Miller 1996). Tabel 2 menunjukkan kebutuhan
kalsium
tubuh
rata-rata
orang
Indonesia
per
hari
yang
direkomendasikan dalam Widya Karya Pangan dan Gizi (1998). Diperkirakan kebutuhan kalsium untuk orang dewasa sekitar 800 mg/hari dan kebutuhan yang lebih tinggi yaitu sekitar 1200 mg/hari digunakan untuk wanita hamil dan menyusui (Miller 1996). Tabel 2. Angka kecukupan rata-rata kalsium (mg/hari) Golongan umur (tahun) 1-9 10-15 16-19 Pria 20-45 45-59 >60 Wanita 20-45 46-59 >60 Hamil Menyusui
Sumber : Widya Karya Pangan dan Gizi (1998)
Kebutuhan Ca (mg/hari) 500 700 600 500 800 500 500 600 500 +400 +400
Status kalsium ditentukan oleh kombinasi faktor usia, jenis kelamin dan faktor hormonal. Interaksi kompleks dari faktor tersebut menentukan jumlah kalsium tersedia yang dapat diserap, kapasitas intestin untuk menyerap, dan jumlah kalsium yang hilang dalam urin, kelenjar keringat maupun feses. Faktor
utama yang menentukan status kalsium adalah faktor nutrisi seperti laktosa dan oksalat. Faktor ini menentukan ketersediaan, fungsi tiroid dan paratiroid yang bekerja melalui vitamin D, hormon lain dan metabolisme fosfor (Miller 1996). Kekurangan kalsium akan menyebabkan kadar kalsium darah menurun. Kondisi dimana kadar kalsium berada dibawah kisaran normal (9-10 mg/100 ml) disebut hipokalsemia. Hipokalsemia dapat menyebabkan tetani atau kejang. Kepekaan serabut saraf dan pusat saraf terhadap rangsangan meningkat, sehingga terjadi kejang otot misalnya pada kaki (Almatsier 2001). Konsumsi kalsium sebaiknya tidak melebihi 2500 mg sehari. Kondisi kebalikan dari hipokalsemia adalah hiperkalsemia. Hiperkalsemia ini dapat menyebabkan hiperkalsiuria yaitu kondisi dimana kadar kalsium di dalam urin melebihi 300 mg/hari. Kelebihan kalsium dapat menimbulkan batu ginjal atau gangguan ginjal. Disamping itu dapat menyebabkan konstipasi (susah buang air besar). Kelebihan kalsium jarang terjadi akibat konsumsi makanan alami dan biasanya terjadi bila mengkonsumsi suplemen kalsium berupa tablet atau bentuk lain (Almatsier 2001). 2.4.3. Sumber kalsium Sumber kalsium utama adalah susu dan hasil susu, seperti keju dan yogurt. Ikan yang dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering merupakan sumber kalsium yang baik. Serealia seperti kacang-kacangan dan hasil kacang-kacangan, tahu, tempe, dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan makanan ini banyak mengandung serat, fitat dan oksalat yang dapat menghambat penyerapan kalsium (Almatsier 2002). Sumber kalsium yang biasa digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok (Kaup et al.1991) yaitu : (1) tepung tulang mono-kalsium dan di-kalsium fosfat yang ketersediaannya paling tinggi diantara sumber-sumber kalsium lainnya; (2) ground limestone (batuan kapur yang biasanya mengandung magnesium dan bersifat agak asam), deflourined phosphate (garam kalium fosfat yang masih mengandung fluor yang bersifat racun bila kadarnya berlebihan) dan kalsium karbonat. Kelompok ini merupakan sumber kalsium yang ketersediaannya sedang;
(3) hay yaitu kalsium yang berikatan dengan mineral lain yang sukar larut. Sumber ini memiliki ketersediaan kalsium yang rendah. Kebanyakan kalsium dari bahan nabati tidak dapat digunakan dengan baik karena berikatan dengan oksalat yang dapat membentuk garam yang tidak larut dalam air (Linder 1992). Kalsium yang dapat diserap oleh tubuh adalah kalsium dalam bentuk senyawa kalsium klorida, kalsium glukorat, kalsium karbonat dan kalsium fosfat. Kalsium fosfat merupakan sumber mineral yang memiliki nilai biologis yang sangat baik sebagai sumber kalsium dan fosfor (Kaup et al.1991). Suatu perusahaan di Amerika, International Seafood of Alaska (ISA) memproduksi tepung tulang ikan dengan harapan mengandung mineral seperti kalsium dan fosfor yang tinggi dan dapat digunakan sebagai bahan alam untuk mengatasi penyakit osteoporosis pada wanita. Kandungan gizi tepung tulang ikan produksi ISA tersebut disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan zat gizi tepung tulang ikan produksi ISA Zat Gizi
Jumlah (%)
Air
3,6
Lemak
5,6
Karbohidrat
23,5
Protein
34,2
Abu
33,1
Kalsium
11,9
Sumber: Rans (2002)
2.4.4. Metabolisme kalsium Selama pencernaan, kalsium dan fosfor terpisah pada makanan yang dimakan dan terserap melalui dinding usus halus ke dalam aliran darah yang membawa mineral tersebut ke bagian-bagian tubuh yang memerlukan mineral. Kalsium diabsorbsi melalui duodenum dan jejunum proksimal oleh protein pengikat kalsium yang disintesis sebagai respon terhadap kerja 1,25dihidroksikolekalsiferol (1,25-dihidroksivitamin D3). Mineral ini tidak seluruhnya terserap oleh tubuh, sisanya dikeluarkan melalui feses dan urin (Martin 1965). Menurut Heaney (2001), setiap hari sejumlah 100-200 mg kalsium diekskresikan melalui urin, 100-120 mg melalui feses dan 16-24 mg melalui keringat.
Dalam makanan yang mengandung sedikit kalsium, presentase penyerapan kalsium akan meningkat menjadi 60 % selama masa pertumbuhan, namun pada orang dewasa yang mengkonsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup, penyerapannya akan menurun sebesar 10 %. Secara normal, penyerapan kalsium berkisar pada 30 %. Secara umum efisiensi penyerapan kalsium bervariasi secara berkebalikan dengan asupan kalsium. Semakin rendah kandungan kalsium produk, penyerapannya justru semakin tinggi (Allen dan Wood 1994). Almatsier (2002) menyatakan bahwa kemampuan absorbsi lebih tinggi pada masa pertumbuhan, dan menurun pada proses menua. Kemampuan absorbsi pada laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan pada semua golongan usia. Kemampuan ini akan menurun dengan semakin meningkatnya umur, tingginya pemasukan fosfat dan kalsium, atau rendahnya masukan vitamin D (McDowell 1992). 2.4.5. Faktor yang mempengaruhi penyerapan kalsium Dalam keadaan normal sebanyak 30-35 % kalsium yang dikonsumsi akan diabsorbsi oleh tubuh. Beberapa faktor penting yang mempengaruhi tingkat penyerapan kalsium dalam tubuh adalah fosfor, vitamin D, protein, nilai pH dan kelarutan, zat organik, serat makanan dan faktor lain. 2.4.5.1. Fosfor Kalsium dan fosfor saling berpengaruh erat dalam proses absorbsi kalsium. Menurut Sediaoetama (2000) untuk absorbsi Ca yang baik diperlukan perbandingan Ca:P dalam rongga usus 1:1 sampai 1:3. Guthrie (1975) menyebutkan batasan bagi rasio perbandingan Ca:P adalah dibawah 1:2. Perbandingan Ca:P yang lebih besar dari 1:3 akan menghambat penyerapan Ca, sehingga hidangan yang demikian akan menimbulkan penyakit defisiensi Ca, yaitu rakhitis (Sediaoetama 2000). Pada umumnya rasio Ca:P dalam makanan antara 1:1 dan 1:2. Hal tersebut didasarkan karena abu tulang mengandung sekitar 2 bagian kalsium dan 1 bagian fosfor (Anggorodi 1985). 2.4.5.2. Vitamin D Proses penyerapan kalsium dipengaruhi oleh usia, masukan fosfat, kalsium, dan vitamin D (McDowell 1992). Kalsium diabsorbsi dari usus melalui
pengangkutan aktif, yaitu melalui suatu perbedaan konsentrasi dengan suatu proses yang membutuhkan energi. Vitamin D dalam bentuk 1,25-(OH)2D dibutuhkan untuk pengangkutan aktif kalsium tersebut. Protein pengikat kalsium diinduksi oleh vitamin D, demikian juga ATPase yang diaktifkan oleh kalsium, mungkin terlibat dalam modulasi vitamin D terhadap absorbsi kalsium. Beberapa faktor dalam makanan dapat menurunkan atau meningkatkan absorbsi kalsium di dalam usus. Faktor dalam makanan yang meningkatkan absorbsi kalsium antara lain beberapa asam amino seperti lisin dan arginin, laktosa dan vitamin D. Bahan makanan yang mengandung banyak oksalat dan fitat, berbagai bentuk serat makanan dan lemak jenuh, dilaporkan dapat menurunkan absorbsi kalsium (Schuette dan Linkswiler 1988). 2.4.5.3. Protein Protein berperan penting dalam penyerapan kalsium ke dalam mukosa usus karena transportasi kalsium melalui sel usus dapat terjadi melalui difusi yang menggunakan jasa protein pengikat kalsium yang mengantarkan kalsium sitoplasma eritrosit ke membran basal. Proses ini membutuhkan ATP (Groff dan Gropper 1990) dan kekurangan protein menyebabkan gangguan pada absorbsi dan transportasi zat-zat gizi (Almatsier 2002). Protein yang mendorong penyerapan kalsium berupa asam amino yaitu lisin dan arginin (Harland dan Oberleas 2001). Protein makanan dapat berpengaruh negatif terhadap ketersediaan biologis mineral jika mineral terperangkap dalam protein atau kompleks peptida yang resisten terhadap proteolisis. Situasinya serupa dengan kompleks mineral proteinfitat yang tidak tercerna dengan baik, sehingga penyerapan mineral menurun (Erdman et al. 1980 diacu dalam Greger 1988). Protein pada tulang ikan sebagian besar terdiri atas kolagen yang sulit dicerna enzim pepsin dan pankreatin menjadi asam-asam amino.
Menurut
Winarno (1997) kolagen adalah protein dari golongan protein fibriler atau skleroprotein, yang struktur molekulnya berbentuk serabut. Jenis protein ini merupakan komponen utama dari tendon, ligamen, tulang dan tulang rawan (Soeparno 1992).
Secara nutrisi protein ini bukanlah protein yang baik. Selain komposisi asam aminonya tidak ideal (terlalu banyak Pro, Gly, Ala), kolagen pada kondisi alami juga sulit dicerna oleh tripsin dan kemotripsin (Alais dan Linden 1991). 2.4.5.4. Nilai pH dan kelarutan Kalsium membutuhkan pH 6 agar dapat berada dalam keadaan terlarut. Kalsium hanya bisa diabsorbsi bila terdapat dalam bentuk larut air dan tidak mengendap karena unsur makanan lain seperti oksalat (Almatsier 2002). Kelarutan merupakan salah satu syarat dalam penyerapan kalsium. Menurut Allen dan Wood (1994) kelarutan kalsium meningkat dalam lingkungan asam pada perut, tetapi ion terlarut akan bergabung kembali kemudian berpresipitasi dalam jejunum dan ileum, dimana pH-nya mendekati netral. Menurut Anggorodi (1995) pH kandungan usus juga berpengaruh terhadap proses absorbsi kalsium dalam tubuh. Fosfor sulit diserap pada pH di atas 6,5 dan baik diserap pada pH di bawah 6,0 dimana nilai pH tersebut dapat dikontrol dengan cara tidak terlalu banyak memberikan kalsium. 2.4.5.5. Zat organik Adanya zat organik seperti asam oksalat dan asam fitat dalam bahan dapat bergabung dengan kalsium membentuk garam yang tidak larut. Asam oksalat dan kalsium membentuk garam yang tidak larut, yaitu kalsium oksalat (Winarno 1997) sehingga mengendap di dalam rongga usus dan tidak dapat diserap ke dalam mukosa (Sediaoetama 2000). 2.4.5.6. Serat makanan Serat makanan merupakan komponen tanaman yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia, termasuk didalamnya komponen dinding sel tumbuhan (selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin) dan polisakarida intraseluler seperti gum dan mucilage (Trowell 1976 diacu dalam Spiller 2001). Pengaruh dari serat makanan terhadap ketersediaan biologis kalsium masih diperdebatkan karena hasil penelitian in vivo yang tidak konsisten (Kelsay et al. 1979 dan Wishker et al. 1991 diacu dalam Boccia et al. 1998). Harland dan Oberleas (2001) menyatakan bahwa serat bersama-sama dengan fitat dan oksalat mengurangi penyerapan kalsium.
Berdasarkan jenis kelarutannya, serat dibagi menjadi 2 yaitu serat larut air dan serat tidak larut air. Serat larut dapat mengikat air dan menciptakan larutan viskos
dalam
saluran
pencernaan
sehingga
menyebabkan
perlambatan
pengosongan perut dari makanan, menghalangi percampuran makanan dengan enzim, mengurangi tingkat difusi nutrisi sehingga melalui mekanisme ini kalsium sulit terserap mukosa usus (Groff dan Gropper 1990). Serat tidak larut, menurut Slavin (1985) diacu dalam Blaney et al. (1996) menghalangi lebih banyak kalsium daripada serat larut karena menurunkan waktu transit bahan pangan selama di usus halus sehingga mengurangi waktu penyerapan kalsium. Selanjutnya, serat tidak larut akan secara otomatis mengurangi kesempatan kerja enzim (Groff dan Gropper 1990). 2.4.5.7. Faktor lain Beberapa faktor lain yang mempengaruhi penyerapan kalsium dalam tubuh adalah aktifitas fisik yang berpengaruh baik terhadap absorbsi kalsium. Laktosa meningkatkan absorbsi bila tersedia cukup enzim laktase. Sebaliknya, bila terdapat defisiensi laktase, laktosa mencegah absorbsi kalsium. Akan tetapi di luar kehamilan diragukan apakah laktosa masih dapat meningkatkan penyerapan kalsium (Allen dan Wood 1994). Lemak meningkatkan waktu transit makanan melalui saluran pencernaan, dengan demikian memberi waktu lebih banyak untuk absorbsi kalsium (Almatsier 2002). Tetapi Allen dan Wood (1994) pernah menuliskan bahwa lemak tidak mempengaruhi penyerapan kalsium. 2.4.6. Proses pemisahan kalsium Ada beberapa metode yang digunakan untuk memperoleh tepung kalsium tulang (Anggorodi 1985), yaitu: (1) pengukusan. Tulang dikukus kemudian dikeringkan dan digiling untuk menghasilkan tepung tulang; (2) pemasakan dengan uap di bawah tekanan. Tulang dimasak dengan tekanan kemudian diarangkan dalam bejana tertutup sehingga didapat tulang dalam bentuk remah dan dapat digiling menjadi tepung; (3) abu tulang yang diperoleh dari pembakaran tulang. Proses pemisahan kalsium ikan juga dapat dilakukan dengan teknik deproteinasi melalui tahapan sebagai berikut : (1) pemotongan tulang menjadi
potongan-potongan kecil, (2) pencucian, (3) pengecilan ukuran (kira-kira 8-12 mm), (4) pencucian, (5) penghilangan protein tahap pertama, (6) pencucian, (7) penghilangan protein tahap kedua, (8) pencucian, (9) pemanasan, (10) pencucian, (11) pengeringan, (12) pemanasan dan pengeringan, (13) penghancuran 40 mesh, (14) penggilingan 300-3000 mesh, (15) penyortiran dan (16) penimbangan dan pengepakan (Sada 1984). Prinsip penghilangan protein dari suatu bahan dapat dilakukan dengan cara hidrolisis menggunakan pelarut tertentu.
Protein akan terhidrolisis apabila
dicampurkan dengan asam atau alkali kuat atau enzim proteolitik melalui proses pemecahan protein secara bertahap menjadi molekul-molekul peptida yang sederhana dan asam-asam amino (Kirk dan Othmer 1964). Penggunaan larutan yang bersifat basa lebih menguntungkan daripada larutan yang bersifat asam. Kelarutan dan hasil ekstraksi lebih tinggi pada daerah alkalin daripada daerah asam. Hal ini disebabkan karena jumlah gugus bermuatan negatif lebih banyak daripada jumlah gugus bermuatan positif, dengan demikian reaksi antara protein dan NaOH membentuk ester semakin sempurna sehingga protein yang dapat dihilangkan semakin besar Cheftel et al. (1985). Efektifitas proses dengan larutan basa tergantung pada konsentrasi larutan basa dan suhu yang digunakan. Semakin kuat konsentrasi basa dan tingginya suhu yang digunakan, proses deproteinasi makin sempurna. Hidrolisis protein pada suasana basa biasanya dilakukan pada suhu antara 40-50 oC selama 12 sampai 24 jam (Karmas 1982). Penghilangan protein pada kulit krustasea umumnya menggunakan larutan NaOH dengan konsentrasi 2-3 % dengan suhu 63-65 oC dalam waktu 1-2 jam. Teknik ini merupakan dasar untuk menghilangkan protein pada tulang ikan. Pada pH dan kekuatan ionik yang konstan, diketahui bahwa kelarutan protein meningkat pada kisaran suhu 40-50 oC. Pada kisaran tersebut, gerakan molekuler yang terjadi cukup untuk merusak ikatan-ikatan yang berperan untuk menstabilkan struktur sekunder dan tersier (Cheftel et al. 1985). Pemisahan kalsium dapat dilakukan juga melalui proses pembakaran, tetapi dapat menimbulkan polusi terhadap lingkungan akibat gas pembakaran. Selain itu
bahan organik yang terkandung dalam bahan tidak dapat dimanfaatkan kembali, karena hilang akibat proses pembakaran (Mann 1967). Beberapa penelitian tentang pemanfaatan tulang ikan tuna sebagai sumber kalsium sudah banyak dilakukan, diantaranya adalah penelitian Mulia (2004) dan Elfauziah (2003). Elfauziah (2003) menggunakan larutan alkali (NaOH) untuk menghidrolisis protein tulang ikan. Hasil penelitian Elfauziah menunjukkan bahwa penggunakan berbagai konsentrasi NaOH dan besarnya suhu ekstraksi tulang tuna, menghasilkan nilai kalsium tertinggi pada konsentrasi NaOH 1,5 N, suhu 60 oC selama 2 jam dengan perbandingan volume larutan NaOH dan berat tulang sebesar 5:2. Prosedur pembuatan tepung tulang ikan Elfauziah (2003) disajikan pada Gambar 2. Tulang ikan Perebusan 100 oC, 30 menit Pembersihan Pengukusan 3 jam Pengecilan ukuran Ekstraksi NaOH 60 oC, 3 jam Penetralan dengan pencucian Pengeringan 121 oC, 30 menit Penepungan Tepung tulang ikan Gambar 2. Alur proses pembuatan tepung tulang ikan metode Elfauziah (2003). Mulia (2004) menggunakan metode hidrolisis murni untuk menghilangkan protein yang terdapat pada tulang ikan dengan proses perebusan dan autoklafing.
Proses pembuatan tepung tulang ikan menurut Mulia (2004) dapat dilihat pada Gambar 3.
Tulang ikan Pembersihan Perebusan 100 oC, 30 menit Pembersihan Perebusan 4 jam Autoklafing 121 oC, 1 jam Pengepresan manual Pengeringan dengan Drum dryer 100 oC, tekanan 1 bar
Pemblenderan Pengayakan 100 mesh Pengeringan dengan Oven 105 oC 90 menit Tepung tulang ikan Gambar 3. Alur proses pembuatan tepung tulang ikan metode Mulia (2004).
2.4.6.1. Hidrolisis Menurut Kirk dan Othmer (1953) kata hidrolisis pada umumnya berhubungan dengan reaksi yang meliputi air dan dua atau lebih komponen produk. Pada hidrolisis, sebuah ikatan antara dua atom dipecah. Istilah hidrolisis kadang-kadang berkembang pada reaksi pemecahan banyak ikatan menjadi satu ikatan. Reaksi hidrolisis dapat dibagi dalam beberapa tipe, yaitu: (1) hidrolisis murni, hanya dengan air yang digunakan untuk proses hidrolisis; (2) hidrolisis dengan larutan asam; (3) hidrolisis dengan larutan alkali; (4) hidrolisis dengan peleburan alkali yang menggunakan air atau tanpa air pada temperatur tinggi; (5) hidrolisis dengan enzim sebagai katalisator. Hidrolisis protein terjadi bila protein dipanaskan dengan asam, alkali kuat, atau dengan penggunaan enzim yang akan disertai dengan pembebasan asam amino penyusun model protein (Kirk dan Othmer 1953). Semua protein akan menghasilkan asam-asam amino bila dihidrolisis. Tetapi ada beberapa protein yang disamping menghasilkan asam amino juga menghasilkan molekul-molekul protein yang masih berikatan (West dan Todd 1964). Turunan pertama dari protein adalah protean, meta protein dan protein terkoagulasi. Turunan keduanya adalah proteosa, pepton dan peptida (polipeptida) selanjutnya polipeptida ini dipecah lagi menjadi peptida-peptida sederhana dan akhirnya menjadi asam amino (Wertheim dan Jeskey 1956). Hidrolisis bisa terjadi dengan pemutusan gugus karboksil suatu asam amino dari asam amino yang lain (Gambar 4). H O
H
O
H
O
H – N – C – C – N – C – C – N – C – C – OH H
R1
H R2
H
R3
H2 O
HO
HO
HO
H-N-C-C-OH H-N-C-C-OH H-N-C-C-OH H R1
H R2
Ikatan peptida Gambar 4. Mekanisme reaksi hidrolisis (Hart dan Schuetz 1961).
H R3
Ikatan peptida pada protein dapat dihidrolisis dengan perebusan dalam asam atau basa kuat untuk menghasilkan komponen asam amino dalam bentuk bebas. Ikatan ini dapat juga dihidrolisis dengan enzim tertentu seperti tripsin dan kimotripsin (Lehninger 1993).
Bahan kimia yang umum digunakan untuk
menghidrolisis protein adalah HCl, NaOH, Ba(OH)2 (West dan Todd 1964). 2.4.6.2. Pemasakan Perebusan adalah pemanasan di dalam air mendidih pada suhu 100 oC selama beberapa menit. Banyak spora bakteri yang tahan panas, masih hidup setelah perebusan beberapa jam (Fardiaz et al. 1992). Perebusan adalah cara termudah dan termurah untuk proses lanjutan, akan tetapi tidak menambah jumlah zat gizi produk pada suatu tingkat yang berarti (Zaitsev et al. 1969). Pemasakan bertujuan untuk mengurangi air dan lemak yang berlebihan, menginaktifasi enzim-enzim yang dapat menyebabkan perubahan warna, menghilangkan udara dari jaringan dan mengurangi populasi bakteri (Winarno dan Fardiaz 1973). Selama proses pengolahan, bahan makanan terpengaruh dalam banyak hal termasuk perubahan protein, lemak dan karbohidrat yang dapat menyebabkan perubahan baik positif maupun negatif terhadap kualitas dan status gizinya (Dogerskog 1977 diacu dalam Nurhayati 1994). Pada ikan yang mengalami perebusan akan terjadi hidrolisis kolagen dan koagulasi protein, albumin dan globulin akan mengalami denaturasi. Akibat dari koagulasi protein dan pembongkaran sel selama perebusan, daging akan melepaskan lemak dan air, substansi nitrogen, serta garam dan vitamin yang larut dalam air (Zaitzev et al. 1969). Pemanasan akan menyebabkan kehilangan aktivitas enzim, terjadinya perubahan jumlah dan distribusi sulfhidril, formasi ikatan silang disulfida, interaksi dengan komponen lain, agregasi, hilang sebagian akibat dehidrasi, koagulasi, perubahan warna serta pemendekan sarkomer. Lemak juga akan mengalami hidrolisis atau autoksidasi sebagian serta ada yang berinteraksi dengan protein. Selain itu pemanasan juga akan menyebabkan kenaikan pH 0,3 – 0,5 satuan. Pada suhu 100 oC, protein akan terkoagulasi dan air dalam daging akan keluar (Zaitsev et al. 1969)
Suhu pemasakan tergantung pada jenis bahan mentah dan kesegarannya. Suhu pemasakan optimum antara 80-98 oC (Saleh et al. 1985). Menurut Lund (1988), pemasakan pendahuluan dengan menggunakan uap panas akan menyebabkan zat gizi yang hilang lebih sedikit jika dibandingkan dengan menggunakan air panas. 2.4.6.3. Pengeringan Kualitas bahan makanan dalam keadaan biasa berhubungan dengan kadar air dari bahan makanan tersebut. Selain kadar air, kualitas bahan makanan juga dipengaruhi oleh temperatur, adanya oksigen, jamur, insekta dan lamanya penyimpanan. Pengeringan adalah proses pengeluaran atau pembuangan bahan cair dari suatu bahan yang mencakup pengeringan, pemanggangan, penguapan dan lain-lain. Hasil akhir pengeringan merupakan bahan yang bebas dari air (cairan) atau mengandung air dalam jumlah yang rendah (Hall 1979).
Proses
pengeringan didasarkan pada terjadinya penguapan air (pengisapan air oleh udara) sebagai akibat perbedaan kandungan uap air antara udara dan produk yang dikeringkan (Moeljanto 1992). Prinsip pengeringan adalah mengurangi kandungan air atau menurunkan derajat kebasahan bahan makanan sehingga pada proses ini biasanya tidak hanya kadar air yang hilang. Melalui cara pengeringan ini biasanya kadar air dapat turun dan hilang sampai 60-70 %. Diusahakan untuk penyimpanan, kadar air bahan makanan adalah 10 % untuk menghindari kemungkinan tumbuhnya jamur yang akan mempengaruhi susunan atau nilai gizi bahan makanan (Winarno 1997). Proses pengeringan ini dapat dilakukan secara alami (menggunakan sinar matahari) maupun dengan menggunakan alat pengering buatan.
Pengeringan
dengan sinar matahari merupakan metode pengeringan tradisional yang hingga saat ini masih banyak dilakukan di negara-negara berkembang. Pengeringan dengan sinar matahari sangat tergantung pada keadaan cuaca yang sering tidak menguntungkan, khususnya pada musin hujan (Suharto 1991). Keuntungan pengeringan dengan sinar matahari adalah sebagai berikut (Buckle et al. 1987): (1) menghasilkan bobot yang ringan karena hampir semua kadar air makanan dapat dikeluarkan dengan dehidrasi;
(2) kebanyakan produk yang dikeringkan membutuhkan tempat lebih sedikit daripada aslinya karena menghasilkan kemampatan yang baik; (3) kestabilan dalam suhu penyimpanan pada suhu kamar. Kerugian menggunakan sinar matahari adalah intensitas sinar yang tidak tetap sepanjang hari dengan disertai kenaikan suhu yang tidak dapat diatur menyebabkan waktu penjemuran sukar untuk ditentukan dengan tepat serta kebersihannya sukar dikontrol (Ilyas dan Suparno1985). Proses pengeringan dengan sinar matahari relatif berjalan lambat, sehingga memungkinkan ketengikan akan lebih cepat terjadi (Moeljanto 1992). Selain itu pengeringan dengan cara ini akan menyebabkan hilangnya flavor yang mudah menguap, perubahan struktur serta terjadinya kerusakan mikrobiologi bila kecepatan pengeringan awal berjalan lambat (Buckle et al. 1987). Pengeringan dengan cara pemanasan disamping menurunkan kadar air, juga mengurangi bau ataupun enzim-enzim yang kadang-kadang mempengaruhi daya suka ataupun daya guna dari bahan makanan tersebut. Pengeringan yang kurang sempurna akan memungkinkan pertumbuhan jamur, kapang atau mikroorganisme lainnya (Winarno 1997). Salah satu reaksi kimia yang terjadi selama proses pemanasan saat pengeringan tepung tulang ikan adalah oksidasi lemak yang menghasilkan senyawa-senyawa antara lain aldehida dan keton yang bisa bereaksi antara satu dengan yang lain membentuk polimer lipid. Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan lemak dan biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Tingkat selanjutnya adalah terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi keton serta asam-asam lemak bebas (Ketaren 1986). 2.5. Bioavailabilitas (ketersediaan biologis) kalsium Bioavailabilitas adalah proporsi zat gizi dari makanan yang tersedia untuk menjalankan fungsi metabolisme dalam tubuh pada kondisi normal (O’dell 1997). Lebih lanjut diuraikan bahwa bioavailabilitas mineral digunakan untuk menjelaskan proses fisikokimia dan fisiologis yang mempengaruhi penyerapan fraksional mineral dalam tubuh sehingga mineral tersebut dapat digunakan oleh tubuh untuk menjalankan fungsi metabolisme.
Pengukuran bioavailabilitas kalsium: Pada prinsipnya, bioavailabilitas kalsium dapat diukur dengan menggunakan metode in vivo dan in vitro. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam mengukur bioavailabilitas atau penyerapan mineral.
Menurut Heaney
(2001), ada enam pendekatan yang umum digunakan untuk mengetahui bioavailabilitas kalsium, yaitu keseimbangan kalsium tubuh, konsentrasi kalsium dalam serum, konsentrasi kalsium dalam urin, konsentrasi kalsium dalam tubuh (menggunakan radioisotop), biomarker (konsentrasi hormon paratiroid/PTH) dan metode lain. Metode in vitro, yaitu mengkondisikan proses seperti keadaan pencernaan sebenarnya yang terjadi di dalam tubuh. Prinsip pengukuran bioavailabilitas kalsium metode in vitro adalah dengan teknik dialisis yang menggunakan kantung dialisis. Dialisis digunakan untuk memisahkan molekul-molekul besar dari molekul-molekul kecil. Metode pemisahan ini didasarkan atas sifat membran semipermeabel yang meloloskan molekul-molekul kecil akan tetapi menahan yang besar. Kecepatan dialisis dipengaruhi oleh membran yang meliputi bahan, preparasi dan permeabilitas; kemudian pelarut meliputi pelarut cair dan larutan makromolekul serta faktor kondisi fisik yang meliputi suhu dan tekanan. Metode in vitro dapat digunakan untuk mendeteksi faktor yang mempengaruhi penyerapan kalsium dalam usus, namun tidak dapat mengukur bioavailabilitas secara tepat dibandingkan dengan metode in vivo. Gueguen dan Pointillart (2000) diacu dalam Heaney (2001) 2.6. Osteoporosis Kadar mineral tulang mencapai puncaknya diawal masa dewasa, kemudian secara perlahan menurun bersama umur. Penurunan tersebut tidak dapat dihindarkan walaupun tingkat penurunan dapat diperlambat. Kegagalan pertumbuhan tulang yang berkaitan dengan usia adalah fenomena yang umum terjadi pada manusia dan berawal pada usia 40 tahunan pada wanita dan sekitar 60 tahunan pada pria (Schuete dan Linkswiller 1988). Tingkat penurunan terlalu cepat pada wanita setelah menopause dan dapat menyebabkan osteoporosis yang merupakan problema utama bagi wanita tua.
Osteomalasia dan osteoporosis keduanya menunjukkan kadar mineral dan kepadatan tulang menurun, tanpa atau dengan diikuti oleh penurunan bahan organik tulang. Bahan organik tulang adalah kolagen, osteoblas, osteoklas, dan tenunan pengikat. Osteomalasia biasanya terjadi pada umur muda, misalnya pada defisiensi kalsium pada saat kehamilan. Defisiensi kalsium ini disebabkan karena susunan zat pada tulang tidak memilki konsentrasi kalsium dan fosfat yang cukup untuk proses pengerasan tulang, sehingga tulang menjadi lebih lunak. Osteoporosis didefinisikan sebagai suatu kegagalan pertumbuhan tulang yang dapat mengakibatkan satu atau lebih patah tulang dengan gejala trauma minimal (Schuete dan Linkswiller 1988). Beberapa hal umum yang merupakan ciri-ciri khas populasi yang dapat menderita osteoporosis (Schuete dan Linkswiller 1988), yaitu: (1) kegagalan pertumbuhan tulang yang menyebabkan osteoporosis, sebagian dapat disebabkan oleh defisiensi relatif esterogen karena peningkatanresorbsi tulang selama pembentukannya; (2) penderita osteoporosis pada umumnya menunjukkan tingkat pergantian tulang yang lebih tinggi, yang mempertajam perbedaan antara resorbsi dan pembentukan; (3) penderita osteoporosis mungkin kurang mampu melakukan absorbsi kalsium yang disebabkan berkurangnya pengubahan 25-OH-D menjadi 1,35-(OH)2D; bila dibandingkan dengan orang-orang lanjut usia lainnya; (4) penderita osteoporosis mungkin kurang mampu mempertahankan kalsium tubuh dengan cara mengurangi kehilangan kalsium dalam urin bila masukan kalsium berkurang; (5) aktifitas fisik yang rendah dapat mempercepat proses kegagalan pertumbuhan tulang. Secara umum, penelitian epidemiologis tidak menunjukkan suatu hubungan antara jumlah kalsium di dalam makanan dan kasus osteoporosis. Walaupun demikian, masukan kalsium yang tidak memadai tetap dipercaya sebagai salah satu faktor yang dapat menyebabkan osteoporosis (Schuete dan Linkswiller 1988).
3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Maret 2005 di Laboratorium Penanganan dan Pengolahan Hasil Perikanan, Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Departemen Ilmu dan Nutrisi Makanan Ternak, Pilot Plan Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi IPB, Laboratorium Pengolahan GMSK serta Laboratorium Pengolahan Pangan, Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. 3.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah tulang ikan tuna dari PT. Indomaguro Tunas Unggul Jakarta. Limbah tersebut berupa tulang belakang ikan tanpa kepala, sirip dan ekor. Panjang tulang ikan berkisar 75-85 cm dengan lebar 20-25 cm. Dalam penelitian ini, berat total tulang ikan yang digunakan sebanyak 15 kg. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah akuades, NaOH 1,5 N, H2SO4 pekat, asam borat 5 %, NaOH pekat, HCl 0,1 N, indikator tashiro, kertas saring Whatman 40, indikator fenolftalin, etil eter, asam nitrat pekat, lanthanum klorida 10 %, pereaksi vanadat-molibdat, larutan fosfat standar, HNO3 10 %, HCl 37 %, suspensi pepsin, pankreatin (Sigma p-1750), ekstrak bile (Sigma B-8631), NaHCO3 0,1 M, kantung dialisis Spectrapor I 6000-8000 MWCO (molecular weight cut off) dan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis proksimat. Alat yang digunakan adalah wadah untuk mencuci bahan, pisau, alat pemasak, neraca, penyaring, ayakan (100 mesh), pengaduk, tabung erlenmeyer 250 ml, penangas air bergoyang, botol gelas, AAS spektrofotometer, whitenessmeter, sentrifuse, autoklaf, alat soxhlet, alat destilasi uap, alat pengukur pH, labu Kjeldahl, hot plate, tungku pengabuan dan peralatan gelas untuk analisis.
3.3. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu pembuatan tepung tulang ikan tuna dan analisis kandungan zat gizi serta sifat fisik tepung tulang yang dihasilkan. Analisis yang dilakukan terhadap tepung tulang meliputi kadar air, abu, lemak, protein, kalsium, fosfor, pH, daya serap air, densitas kamba, kemudahan
melarut,
bioavailabilitas
hanya
derajat
putih,
dilakukan
rendemen
pada
contoh
dan
bioavailabilitas.
dengan
perlakuan
Uji yang
menghasilkan kadar kalsium paling tinggi. 3.3.1. Alur proses pemisahan kalsium tulang ikan Metode pemisahan kalsium dalam penelitian ini, merupakan modifikasi dari beberapa metode yang sebelumnya pernah dilakukan, yaitu kombinasi antara metode Elfauziah (2003) dan Mulia (2004). Pembuatan tepung tulang ikan tuna dimulai dengan membersihkan tulang ikan. Tulang ikan dicuci dan dibersihkan untuk menghilangkan kotoran. Bagian sirip ekor, sirip punggung, sirip anal dan finlet yang masih melekat pada tulang dihilangkan. Tulang ikan tersebut kemudian dipotong-potong untuk mendapatkan ukuran yang lebih kecil. Tulang kemudian direbus dalam panci aluminium selama 30 menit pada suhu 80 oC. Pemasakan awal ini dilakukan untuk mempermudah pembersihan tulang dari daging, darah dan lemak yang menempel pada tulang.
Proses
selanjutnya tulang ikan dimasukkan ke dalam autoklaf selama 1-3 jam pada suhu 121 oC dengan tekanan uap absolut sebesar 1 atm. Fungsi dari proses ini adalah untuk mensterilkan tulang dari mikroba dan menghilangkan lemak yang terdapat pada tulang. Selain itu protein akan terdenaturasi dan menggumpal. Pemanasan ini juga bertujuan untuk mengempukkan tulang ikan sehingga mempermudah proses selanjutnya. Tahap berikutnya dilakukan perebusan kembali tulang pada suhu 100 oC selama 30 menit. Tahap ini merupakan bagian dari perlakuan dimana tulang ikan direbus dengan frekuensi perebusan yang berbeda, yaitu 1, 2 dan 3 kali. Setiap ulangan perebusan dilakukan penggantian air dan penghitungan waktu dimulai pada saat air mendidih. Pemasakan ini secara efektif menghilangkan lemak yang terdapat dalam tulang.
Proses hidrolisis berlanjut dengan perendaman tulang ikan ke dalam larutan NaOH 1,5 N selama 2 jam pada suhu 60 oC. Setelah tulang dicuci dan dinetralkan dengan air, tahap terakhir pada proses pembuatan tepung kalsium tulang ikan ini adalah pengeringan dan penepungan. Proses pengeringan dilakukan selama tiga hari menggunakan sinar matahari. Tepung tulang yang telah kering dihaluskan menggunakan mortar dan disaring menggunakan penyaring tepung. Alur proses pembuatan tepung tulang ikan tuna yang digunakan dalam penelitian ini secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 5. Tulang Ikan Tuna Perebusan (80 oC, 30 menit) Pencucian Autoklafing (121 oC, 1 atm)
Perlakuan lamanya autoklafing : 1, 2, 3 jam
Pengecilan ukuran (5-10 cm) Perebusan (100 o C, 30 menit)
Perlakuan frekuensi perebusan: 1, 2, 3 kali
Ekstraksi basa NaOH (1,5 N, 60 oC, 2 jam) Pencucian dengan air Pengeringan dan penepungan Tepung tulang ikan
Gambar 5. Alur proses pembuatan tepung tulang ikan tuna (modifikasi Elfauziah (2003) dan Mulia (2004))
3.3.2. Perlakuan Perlakuan yang diberikan terdiri atas dua faktor, faktor pertama adalah lamanya proses autoklafing yang terdiri 3 taraf yaitu 1 (A1), 2 (A2) dan 3 (A3) jam. Faktor kedua adalah frekuensi perebusan yang terdiri atas 3 taraf yaitu 1 (P1), 2 (P2) dan 3 (P3) kali perebusan. Dalam penelitian ini data perlakuan masing-masing diambil tiga kali ulangan. 3.4. Metode Analisis Beberapa parameter yang diamati pada tepung tulang ikan meliputi kadar air, abu, lemak, protein, kalsium, fosfor, pH, daya serap air, densitas kamba, kemudahan melarut, derajat putih, rendemen dan bioavailabilitas kalsium. 3.4.1. Pengukuran rendemen (AOAC 1995) Rendemen adalah persentase bahan baku utama yang menjadi produk akhir, atau perbandingan produk akhir dengan bahan baku utama dapat dinyatakan dalam desimal atau persen. Perhitungannya adalah sebagai berikut: Rendemen =
b x 100 % a
Keterangan: Berat bahan baku awal = a gram Berat produk akhir = b gram
3.4.2. Kadar air (AOAC 1995) Cawan kosong yang bersih dikeringkan dalam oven (105 oC) selama 1 jam dan didinginkan dalam desikator (cawan alumunium 10 menit dan cawan porselin 30 menit), kemudian ditimbang. Contoh sebanyak 5 g dimasukkan dalam cawan dan dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 4–5 jam, kemudian ditimbang setelah didinginkan dalam desikator. Contoh dan cawan kemudian dimasukkan kembali dalam oven selama 1 jam pada suhu yang sama secara berulang-ulang sampai beratnya konstan, dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator. Presentase kadar air (berat basah) dapat dihitung dengan rumus: Kadar air =
B1 − B2 x 100 % B
Keterangan: B = Berat sampel (gram) B1 = Berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan B2 = Berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan
3.4.3. Kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC 1995) Contoh (0,1 g) dimasukkan
ke dalam tabung mikro Kjeldahl 30 ml,
kemudian ditambahkan H2SO4 (2,5 ml) dan tablet Kjeldahl. Contoh dididihkan selama (1-1,5 jam) sampai cairan jernih kemudian didinginkan. Isi labu dituangkan ke dalam alat destilasi, labu dibilas 5-6 kali dengan akuades (20 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40 % sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (cairan metil merah dan metilen blue) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah. Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Perhitungan: % N =
( ml HCl − ml blanko) x normalitas HCl x 14,007 x 100 % mg contoh
% Protein = % N x 6,25 3.4.4. Kadar lemak metode soxhlet (AOAC 1995) Metode yang digunakan dalam analisis lemak adalah metode ekstraksi soxhlet. Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Contoh sebanyak 5 g dalam bentuk tepung dibungkus dalam kertas saring, kemudian kertas saring yang berisi contoh tersebut dimasukkan dalam labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi, dan pelarut ditampung kembali. Kemudian labu lemak berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 150 oC hingga mencapai berat yang tetap, kemudian didinginkan dalam desikator 20-30 menit. Selanjutnya labu beserta lemak didalamnya ditimbang dan berat lemak dapat diketahui. % Lemak =
Berat Lemak (g) x 100 % Berat Contoh (g)
3.4.5. Kadar abu (AOAC 1995) Cawan kosong dipanaskan dalam oven kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit. Contoh ditimbang kurang lebih 5 g dan diletakkan dalam cawan, kemudian dibakar dalam kompor listrik sampai tidak berasap. Cawan kemudian dimasukkan ke dalam tanur. Pengabuan dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama pada suhu sekitar 450 oC dan tahap kedua dilakukan pada suhu 550 oC selama 5 jam. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator, setelah dingin kemudian cawan ditimbang. Presentase dari kadar abu dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: % Abu =
Bobot Abu (g) x 100 % Bobot Sampel (g)
3.4.6. Kadar kalsium (Apriyantono et al. 1989) Penetapan kadar kalsium dilakukan dengan mengukur contoh yang sudah di destruksi secara basah pada Atomic Absorbtion Spectrophotometer (AAS) dengan menggunakan panjang gelombang 420 nm. Contoh didestruksi dengan campuran asam kemudian dipisahkan dari residunya. Analisis kadar kalsium contoh dilakukan dengan menimbang 0,1 gram contoh halus yang kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml dan ditambahkan 10-13 ml campuran asam yang terdiri dari HNO3, HClO4 dan HCl (perbandingan 6 : 6 : 1), larutan didestruksi sampai berwarna jernih kemudian didinginkan. Setelah dingin, campuran hasil destruksi disaring dengan kertas saring Whatman. Pada saat penyaringan, labu Kjeldahl dan corong dibilas dengan air bebas ion sebanyak 4 kali. Volume hasil penyaringan ditera hingga 100 ml dan siap diukur pada AAS dengan panjang gelombang 420 nm. Larutan stok standar kalsium 1000 ppm dibuat dengan cara menimbang 2,497 g CaCO3 kemudian dilarutkan dengan asam nitrat 1:4 sampai 1 liter. Larutan standar dibuat dari larutan stok 1000 ppm. Seri larutan standar yang digunakan adalah 0, 2, 5, 10 dan 20 ppm dengan volume 100 ml. Larutan standar tersebut kemudian diukur absorbansinya dengan AAS. Berdasarkan nilai absorbansi yang dihasilkan AAS pada seri larutan standar, diperoleh hubungan antara konsentrasi dengan absorban melalui persamaan garis lurus y = a + bx (y sebagai absorban dan x sebagai konsentrasi).
Perhitungan kadar kalsium ditetapkan dengan rumus sebagai berikut: ppm Ca = % Ca =
(absorban contoh − absorban blanko) x ml aliquot x faktor pengenceran bobot contoh (g)
ppm Ca x 100 % 1000000
3.4.7. Kadar fosfor (Apriyantono et al. 1989) Pembuatan larutan fosfat standar dan kurva standar : sebanyak 3,834 g potasium dihidrogen fosfat (KH2PO3) dilarutkan dalam akuades dan diencerkan sampai volume 1 liter. Kemudian sebanyak 25 ml dari larutan tersebut dimasukkan dalam labu takar 250 ml dan diencerkan sampai tanda tera (1 ml = 0,2 mg P2O5). Masing-masing sebanyak 0; 2,5; 5; 10; 20; 30; 40 dan 50 ml larutan fosfat standar dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Kemudian larutan pada masingmasing labu takar diencerkan sampai volume 100 ml dengan akuades. Larutan didiamkan
selama
10
menit
dan
diukur
absorbansinya
menggunakan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 400 nm. Masing-masing labu takar mengandung 0; 0,5; 1; 2; 4; 6; 8 dan 10 mg P2O5 / 100 ml. Kurva standar dibuat antara absorbansi dengan mg P2O5./100 ml. Contoh ditimbang sebanyak 5 g dalam gelas piala 150 ml. Ke dalam gelas tersebut ditambahkan 20 ml asam nitrat pekat. Kemudian dididihkan selama 5 menit. Selanjutnya didinginkan dan ditambahkan 5 ml asam sulfat pekat. Larutan dipanaskan dan disempurnakan (digestion) dengan penambahan HNO3 setetes demi setetes sampai larutan tidak berwarna, kemudian dilanjutkan dengan pemanasan hingga timbul asap putih dan didinginkan. Ke dalam gelas piala ditambahkan 15 ml akuades dan dididihkan kembali selama 10 menit. Setelah dingin dipindahkan ke dalam labu takar 250 ml. Gelas piala dibilas sampai bersih dan air bilasan dimasukkan ke dalam labu takar. Selanjutnya larutan dalam labu takar diencerkan sampai tanda tera dengan akuades. Sebanyak 10 ml larutan contoh dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Kemudian di dalam labu takar ditambahkan 40 ml akuades dan 25 ml pereaksi vanadatmolibdat dan diencerkan sampai tanda tera. Larutan didiamkan 10 menit,
kemudiaan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 400 nm. Nilai absorbansi dibandingkan dengan standar fosfor yang telah diketahui konsentrasinya. Fosfor dalam contoh (P2O5 ) (% bb) =
C x 2,5 x 100 % W
Fosfor dalam contoh (P2O5 ) (% bk) =
Fosfor dalam contoh (P2O5 ) (% bb) x 100 % 100 - kadar air
Keterangan: C = Konsentrasi fosfor dalam contoh (mg/100 ml) yang terbaca dari kurva standar W = Berat contoh yang digunakan 3.4.8. Analisis derajat keasaman metode pH meter (AOAC 1995) Contoh dihaluskan, ditimbang sebanyak 1 g dalam gelas piala. Kemudian ditambahkan 10 ml akuades pH 7 dan dilakukan pengadukan. Contoh dalam wadah diukur pH nya dengan menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi dengan larutan buffer pH 4 dan larutan buffer pH 7. Nilai pH diperoleh berdasarkan hasil pembacaan pada pH meter sampai angka digital yang menunjukkan nilai konstan. 3.4.9. Analisis daya serap air metode gravimetri (Fardiaz et al. 1992) Sebanyak 1 g contoh ditimbang kemudian dimasukkan kedalam tabung sentrifuse. Selanjutnya ditambahkan 10 ml air dan dikocok menggunakan forter mixer. Kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3500 rpm selama 30 menit. Selanjutnya volume supernatant diukur dengan menggunakan gelas ukur 10 ml. Daya serap air ini dihitung sebagai berikut : % Daya serap air =
(volume air awal - volume supernatan) x 100 % berat kering contoh
3.4.10. Analisis densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992) Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menggunakan gelas ukur. Bahan-bahan yang akan diukur ditimbang sebanyak 10 g, kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml dan dibaca volumenya. Densitas kamba (g/ml) =
berat bahan (g) volume bahan (ml)
3.4.11. Analisis derajat putih (Kett Whiteness Electric Laboratory 1981 diacu dalam Mulia 2004) Contoh berupa tepung tulang ikan dimasukkan kedalam cawan whiteness meter hingga padat dan penuh. Kemudian cawan berisi contoh beserta cawan berisi standar (berupa white plate atau serbuk BaSO4) dimasukkan kedalam sistem Kett Whiteness meter. Derajat putih diukur dengan membandingkan warna sampel dengan warna kontrol yang ditunjukkan oleh jarum meter pada monitor. 3.4.12. Analisis kemudahan melarut (Pedroza-Isleas et al. 2000 diacu dalam Beatrice 2001) Enam buah tabung reaksi disiapkan. Setelah itu ke dalam masing-masing tabung dimasukkan 0,3 g contoh tepung dan ditambahkan 25 ml air. Selanjutnya keenam tabung reaksi dipanaskan dalam penangas air pada suhu 28 ± 1 oC selama 15, 30, 60, 120, 180 dan 240 menit dan disaring dengan pompa vakum (kertas saring Whatmann nomor 40). Filtrat yang diperoleh kemudian dikeringkan pada suhu 60 oC sampai tercapai berat konstan. Sebagai blanko digunakan 25 ml air. Kemudahan melarut dinyatakan dalam presentase berat bahan terlarut terhadap berat bahan awal yang dihitung berdasarkan persamaan berikut: Kemudahan melarut (%) =
berat bahan terlarut x 100 % berat bahan awal
3.4.13. Analisis bioavailabilitas Ca secara in vitro dengan metode dialisis (Roig et al. 1999 diacu dalam Mulia 2004) Sejumlah contoh (setara 2 g protein) ditimbang kemudian dihomogenisasi. Nilai pH contoh diatur menjadi 2 dengan menambahkan HCl 6 N. Jumlah HCl yang ditambahkan dihitung. Mula-mula pH contoh diatur menjadi 2,0 dengan menambah HCl 6 N pada sampel dan 80 g air bebas ion yang ditempatkan dalam tabung erlenmeyer berukuran 250 ml. Sebanyak 40 g aliquot contoh dipindahkan ke dalam botol gelas untuk penentuan keasaman titrasi, 40 g aliquot contoh ke dalam botol gelas yang lain untuk penentuan persen kalsium yang terdialisis dan 10 g untuk penentuan kadar kalsium total dengan menggunakan AAS. Sebanyak 3 g larutan suspensi pepsin ditambahkan masing-masing ke dalam botol gelas dan volumenya ditepatkan menjadi 100 ml dengan air. Keduanya kemudian ditutup dengan plastik yang berlubang untuk mengeluarkan gas. Contoh
diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 37 oC dengan kecepatan 5 (120 stroke/menit) selama 2 jam.
Selanjutnya botol-botol tersebut disimpan
dalam freezer untuk digunakan pada hari berikutnya. Sebelum digunakan contoh harus dicairkan terlebih dahulu.
Sebanyak 5 g campuran pankreatin bile
ditambahkan ke dalam botol gelas yang telah berisi 40 g aliquot contoh yang digunakan untuk penentuan asam tertitrasi. Larutan ini kemudian dititrasi dengan 0,5 NaOH sampai diperoleh pH 7,5. Nilai pH ini dicek setelah 30 menit. Sebanyak 40 g aliquot contoh dipindahkan ke dalam botol gelas yang berukuran 250 ml. Selanjutnya NaHCO3 dengan konsentrasi yang diperoleh dari hasil titrasi dengan NaOH di atas (jumlah NaHCO3 ekivalen dengan jumlah NaOH yang digunakan untuk titrasi) dimasukkan ke dalam kantung dialisis bersama 25 g air. Botol gelas yang digunakan untuk penentuan persen yang tersedia ditempatkan dalam penangas air yang bergoyang pada suhu 37 oC hingga mencair. Kemudian kantung dialisis dimasukkan ke dalam setiap botol gelas dengan kedudukan sedemikian rupa sehingga kantung dialisis terendam ke dalam larutan sampel, ditutup dengan plastik yang telah disiapkan. Inkubasi dilakukan sampai pH 5 selama 30 menit. Setelah itu ditambahkan 5 g campuran pankreatin bile ke dalam setiap botol gelas tadi dan inkubasi dilanjutkan selama 2 jam. Setelah cukup waktu, kantung dialisis diangkat dan dibilas dengan mencelupkannya ke dalam air bebas ion.
Salah satu ujungnya dipotong
menggunakan gunting dan isinya (dialisat) dituang ke dalam gelas ukur untuk dihitung volumenya dan dianalisis kandungan kalsium yang tersedia dengan menggunakan AAS. Perhitungan % Bioavailabilitas Ca =
mg Ca dialisat x 100 % mg Ca contoh
Total Ca tersedia (mg/100 g) =Total Ca contoh (mg/100 g) x (% bioavailabilitas)
3.5. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 faktor yaitu: 1. Faktor pertama adalah waktu proses autoklafing dengan 3 taraf perlakuan yaitu 1 (A1), 2 (A2) dan 3 (A3) jam. 2. Faktor kedua adalah frekuensi perebusan yang terdiri atas 3 taraf perlakuan yaitu 1 (P1), 2 (P2) dan 3 (P3) kali ekstraksi. Model rancangan yang digunakan adalah (Steel dan Torrie 1993):
Y ijk = ì + Ai + Pj + (AP)
ij
+ åijk
Keterangan: Yijk : nilai pengamatan pada suatu percobaan ke-k yang diperoleh kombinasi perlakuan (taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor P) ì : nilai tengah populasi Ai : pengaruh perlakuan faktor A taraf ke-i (i = 1,2,3) Pj : pengaruh perlakuan faktor P taraf ke-j (j = 1,2,3) (AP)ij: pengaruh interaksi perlakuan faktor A taraf ke-i dan perlakuan faktor P taraf ke-j åijk : galat dari satuan percobaan ke-k dengan kombinasi perlakuan ij. Sebelum dilakukan analisis ragam, data terlebih dahulu dianalisis kenormalan (normality test) dan kehomogonen (homogenity test) dari data yang dihasilkan. Jika hasil analisis ragam menunjukkan hasil yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ). Formula uji BNJ menurut Steel dan Torrie (1993) adalah: KTG r
Sy =
ù = q
á
(p, f e ) S y
keterangan : qá : ditentukan dalam tabel p : jumlah perlakuan fe : derajat bebas galat KTG : nilai kuadrat tengah galat R : jumlah ulangan
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Rendemen Rendemen merupakan suatu parameter yang paling penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu proses produk atau bahan. Perhitungan rendemen berdasarkan presentase perbandingan antara berat akhir dengan berat awal proses. Semakin besar rendemennya maka semakin tinggi pula nilai ekonomis produk tersebut, begitu pula nilai efektivitas dari produk tersebut (Amiarso 2003). Berdasarkan hasil penelitian, nilai rata-rata rendemen tepung tulang ikan yang diperoleh berkisar antara 13,28–28,85 % (Gambar 6). Nilai rendemen ini tidak jauh berbeda dengan nilai rendemen tepung tulang ikan Elfauziah (2003) yaitu sebesar 28,96 %. Rendemen terendah diperoleh pada tepung tulang ikan A3P3, yaitu dengan perlakuan lama waktu autoklafing 3 jam dan perebusan 3 kali, sedangkan rendemen tertinggi diperoleh pada tepung A1P1 dengan perlakuan lamanya autoklafing 1 jam dan perebusan sebanyak 1 kali.
R e n d e m e n (% )
35 30
2 8 ,8 5
2 7 ,3
2 6 ,5 7
25
2 3 ,9 9
2 0 ,9 9
2 1 ,2
20
1 8 ,7
1 5 ,7 2
15
1 3 ,2 8
10 5 0 A1P1
A1P2
A1P3
A2P1
A2P2
A2P3
A3P1
A3P2
A3P3
K o mb ina si P e rla k ua n
Gambar 6. Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap rendemen Keterangan: A1P1: Autoklafing 1 jam perebusan 1 kali A1P2: Autoklafing 1 jam perebusan 2 kali A1P3: Autoklafing 1 jam perebusan 3 kali A2P1: Autoklafing 2 jam perebusan 1 kali A2P2: Autoklafing 2 jam perebusan 2 kali
A2P3: Autoklafing 2 jam perebusan 3 kali A3P1: Autoklafing 3 jam perebusan 1 kali A3P2: Autoklafing 3 jam perebusan 2 kali A3P3: Autoklafing 3 jam perebusan 3 kali
Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa peningkatan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan akan cenderung menurunkan rendemen. Hal ini diduga karena semakin banyak komponen nonmineral (air, protein, dan lemak) dalam bahan akan larut dengan semakin lamanya waktu yang digunakan. Hasil analisis ragam (Lampiran 2) yang dilakukan terhadap rendemen menunjukkan bahwa perlakuan lamanya waktu autoklafing memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil rendemen, yaitu menurunkan rendemen tepung kalsium. Perlakuan frekuensi perebusan dan interaksi antara kedua perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah rendemen yang dihasilkan. Hasil Uji lanjut BNJ lamanya waktu autoklafing terhadap nilai rendemen (Lampiran 3) yang dilakukan menunjukkan bahwa waktu autoklafing satu jam menghasilkan nilai rendemen yang berbeda nyata dengan nilai rendemen pada perlakuan lama waktu autoklafing tiga jam, sedangkan untuk waktu autoklafing dua jam tidak berbeda nyata. Hal ini berarti antara waktu autoklafing satu jam dengan dua jam menghasilkan rendemen yang relatif sama dalam proses pembuatan tepung tulang ikan tuna. Semakin lama proses hidrolisis yang dilakukan, semakin besar kesempatan untuk melarutkan komponen nonmineral yang terdapat dalam bahan pangan sehingga akan menurunkan rendemen yang diperoleh. Rendahnya nilai rendemen yang diperoleh juga dipengaruhi oleh adanya proses pengeringan yang dilakukan dalam proses pembuatan tepung tulang ikan. Hal lain yang menyebabkan rendahnya nilai rendemen adalah banyaknya bagian tepung yang terbuang pada saat proses pencucian setelah perendaman NaOH. Hidrolisis NaOH mempengaruhi struktur jaringan tulang menjadi rapuh dan hancur, sehingga komponen organik tulang banyak yang larut dan ikut terbuang pada saat penetralan basa dengan pencucian akuades. Menurut Murtiningrum (1997), rendemen yang tertinggi belum tentu akan menghasilkan kadar kalsium tertinggi, tetapi ditentukan juga oleh faktor-faktor lain seperti rendahnya kandungan protein dalam bahan. 4.2. Analisis Proksimat Analisis proksimat yang dilakukan pada tepung tulang ikan meliputi analisis kadar air, abu, protein dan lemak.
4.2.1. Kadar air Jumlah kandungan air pada bahan terutama bahan-bahan hasil pertanian akan mempengaruhi daya tahan bahan tersebut dari serangan mikroba (Winarno 1995). Air merupakan komponen penting yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk berkembangbiak dalam produk olahan. Hal ini merupakan salah satu sebab mengapa di dalam pengolahan pangan, air sering dikeluarkan atau dikurangi dengan cara penguapan atau pengeringan. Batas kadar air minimal bagi mikroba untuk dapat tumbuh adalah 14-15 % (Fardiaz 1992). Berdasarkan hasil penelitian, nilai rata-rata kadar air tepung tulang ikan yang diperoleh berkisar antara 5,60-8,30 % (Gambar 7). Kadar air terendah diperoleh pada tepung A2P3 dengan perlakuan lama waktu autoklafing 2 jam dan perebusan 3 kali, sedangkan kadar air tertinggi diperoleh pada tepung A1P2, yaitu perlakuan waktu autoklafing 1 jam dan perebusan 2 kali. 9 8
8,3 7,42
8,03
K a d a r A ir (% )
7,33
6,99
7
6,2
6
5,64
5,6
6,09
5 4 3 2 1 0 A 1P 1
A 1P 2
A 1P 3
A 2P 1
A 2P 2
A 2P 3
A 3P 1
A 3P 2
A 3P 3
K o m b ina si P e rla k ua n
Gambar 7. Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap kadar air Keterangan: Simbol-simbol A1P1, A1P2, A1P3, A2P1, A2P2, A2P3, A3P1, A3P2, A3P3 pada sumbu x merujuk keterangan pada Gambar 6
Tepung tulang ikan tuna yang dihasilkan mengandung kadar air yang lebih tinggi dari nilai tepung tulang produksi ISA 2002 dan Mulia 2004, yaitu berturutturut sebesar 3,4 % dan 3,6 %. Perbedaan kadar air yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh metode pembuatan tepung dan teknik pengeringan tepung. Kadar air tepung tulang ikan tuna masih berada pada kisaran standar yang ditetapkan SNI. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3158-1992),
tepung tulang memiliki kadar air maksimal 8 %. Produk dengan kadar air yang rendah akan mempunyai daya awet yang lebih lama. Hasil analisis ragam (Lampiran 5) yang dilakukan terhadap kadar air menunjukkan bahwa perlakuan lamanya waktu autoklafing memberikan pengaruh nyata dalam menurunkan kadar air tepung tulang ikan. Perlakuan frekuensi perebusan dan interaksi kedua faktor menunjukkan pengaruh tidak berbeda nyata. Hasil uji lanjut BNJ lamanya waktu autoklafing terhadap kadar air (Lampiran 6) menunjukkan bahwa waktu autoklafing 2 dan 3 jam menurunkan kadar air secara nyata dengan kadar air perlakuan waktu autoklafing 1 jam, tetapi perlakuan waktu autoklafing 3 jam tidak menurunkan kadar air secara nyata dengan kadar air perlakuan waktu autoklafing 2 jam. Hal ini berarti bahwa dalam penurunan kadar air, perlakuan waktu autoklafing 2 jam lebih baik daripada waktu autoklafing 1 jam dan 3 jam, karena menghasilkan nilai kadar air yang lebih rendah dari perlakuan waktu autoklafing 1 jam dengan waktu yang lebih singkat dari perlakuan autoklafing 3 jam. Penurunan kadar air juga disebabkan karena proses hidrolisis dalam penelitian ini dilakukan beberapa tahap dimulai dari proses autoklafing, perebusan dan ekstraksi protein menggunakan larutan NaOH. Proses pemasakan dengan autoklafing menggunakan suhu dan tekanan lebih tinggi dari pada perebusan biasa. Sebagian ikan dalam proses pemanasan mengeluarkan cairan. Jumlah cairan yang dikeluarkan sangat bervariasi pada tiap-tiap jenis ikan dan dari jenis metode pemasakannya. Pembebasan air dalam proses pemasakan berbanding lurus dengan temperatur dan lamanya pemasakan (Zaitsev et al. 1969). Hal lain yang mempengaruhi rendahnya nilai kadar air tepung kalsium tulang ikan adalah adanya proses pengeringan yang dilakukan dalam pembuatan tepung tulang ikan. Proses pengeringan dalam penelitian ini dilakukan dengan sinar matahari. Pengeringan dengan sinar matahari memerlukan waktu yang lama karena suhu, kelembaban udara dan kecepatan aliran udara tidak dapat diatur (Winarno dan Fardiaz 1973). Berbeda dengan proses pengeringan dengan alat pengering buatan yang lebih terkontrol dan memberikan keseragaman suhu yang sama.
4.2.2. Kadar abu Analisis kadar abu bertujuan untuk menentukan kadar abu total dan kandungan masing-masing mineral yang terdapat dalam tepung tulang ikan. Kandungan abu dalam bahan pangan menunjukkan jumlah bahan anorganik yang tersisa setelah bahan organik didestruksi (Sulaiman et al. 1995). Kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan jumlah mineral meskipun kadar abu merupakan gambaran kasar dari kandungan mineral (Apriantono et al. 1989). Hasil pengukuran kadar abu yang diperoleh pada beberapa tingkat waktu autoklafing dan frekuensi perebusan dapat dilihat pada Gambar 8. Nilai rata-rata kadar abu yang dihasilkan pada penelitian ini antara 77,54-84,22 (% bb). Nilai ini lebih tinggi dibandingkan kadar abu yang diperoleh pada tepung tulang produksi ISA 2002, Elfauziah (2003) dan Mulia (2004). Kadar abu tepung tulang ikan produksi ISA 2002 hanya sebesar 33,0 %, sedangkan pada penelitian tepung tulang ikan Elfauziah (2003) dan Mulia (2004) sebesar 79,14 % dan 63,5 %. Kandungan abu yang tinggi dalam tepung tulang disebabkan karena komponen utama penyusun tulang adalah mineral. Tulang mengandung sel-sel hidup dan matriks intraseluler dalam bentuk garam mineral. Kadar abu tertinggi dalam penelitian ini diperoleh pada tepung A3P3 dengan perlakuan lama waktu autoklafing 3 jam dan perebusan 3 kali, sedangkan nilai kadar abu terendah diperoleh pada tepung A1P1 dengan perlakuan 1 jam
K a d a r A b u (% b b )
autoklafing dan perebusan sebanyak 1 kali. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
7 7 .5 4
7 7 .7 8
8 1 .2 8
8 1 .2
8 1 .1 4
8 1 .1 3
7 9 .8 8
8 2 .3 6
8 4 .2 2
A1P 1
A1P 2
A1P 3
A2P 1
A2P 2
A2P 3
A3P 1
A3P 2
A3P 3
K o mb ina si p e rla k ua n
Gambar 8. Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap kadar abu Keterangan: Simbol-simbol A1P1, A1P2, A1P3, A2P1, A2P2, A2P3, A3P1, A3P2, A3P3 pada sumbu x merujuk keterangan pada Gambar 6
Hasil analisis ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa lama waktu autoklafing, frekuensi perebusan dan interaksi kedua faktor memberikan pengaruh berbeda nyata yaitu meningkatkan kadar abu tepung kalsium tulang. Tahap perebusan dan autoklafing yang dilakukan dalam pembuatan tepung tulang ikan merupakan
proses
hidrolisis
yang
berfungsi
untuk
mengurangi
dan
menghilangkan kandungan protein dan bahan-bahan lain dalam tulang. Sebagaimana pernyataan Zaitsev et al. (1969)
yang menyebutkan bahwa
perebusan pada ikan akan menyebabkan terjadinya hidrolisis kolagen, koagulasi protein, pelepasan lemak dan air, substansi nitrogen, garam dan vitamin yang larut dalam air dari daging akibat dari koagulasi dan pembongkaran sel selama perebusan. Hasil uji lanjut BNJ waktu autoklafing terhadap kadar abu (Lampiran 9) menunjukkan bahwa waktu autoklafing 2 dan 3 jam meningkatkan kadar abu secara nyata dengan kadar abu perlakuan waktu autoklafing 1 jam, tetapi perlakuan waktu autoklafing 3 jam tidak meningkatkan kadar abu secara nyata dengan kadar air perlakuan waktu autoklafing 2 jam. Hal ini berarti bahwa dalam peningkatan kadar abu, perlakuan waktu autoklafing 2 jam lebih baik daripada waktu autoklafing 1 jam dan 3 jam, karena menghasilkan nilai kadar abu yang lebih tinggi dari perlakuan waktu autoklafing 1 jam dengan waktu yang lebih singkat (2 jam) dari perlakuan autoklafing 3 jam. Pada uji lanjut BNJ frekuensi perebusan terhadap kadar abu (Lampiran 10) menunjukkan bahwa perlakuan perebusan 3 kali menghasilkan peningkatan nilai kadar abu yang berbeda nyata dengan perlakuan perebusan 1 kali, sedangkan perebusan 2 kali menunjukkan nilai peningkatan kadar abu yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan perebusan 1 dan 3 kali. Pada uji lanjut BNJ interaksi waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap kadar abu menunjukkan bahwa interaksi perlakuan A1P1 (waktu autoklafing 1 jam, perebusan 1 kali) dan perlakuan A1P2 (waktu autoklafing 1 jam, perebusan 2 kali) berbeda nyata dengan A3P2 (waktu autoklafing 3 jam, perebusan 2 kali) dan A3P3 (waktu autoklafing 3 jam, perebusan 3 kali), sedangkan perlakuan A3P1 (waktu autoklafing 3 jam, perebusan 1 kali) berbeda nyata dengan perlakuan A3P3 (waktu autoklafing 3 jam, perebusan 3 kali).
Peningkatan waktu dan frekuensi hidrolisis cenderung akan meningkatkan kadar abu. Meningkatnya kadar abu ini disebabkan karena semakin lama waktu hidrolisis yang digunakan maka kontak antara larutan pengekstrak dengan bahan akan semakin lama pula. Sehingga kesempatan untuk melarutkan komponen nonmineral dalam bahan semakin besar. Semakin rendah komponen non mineral yang terkandung dalam bahan akan semakin meningkatkan persen abu relatif terhadap bahan. 4.2.3. Kadar protein Protein merupakan suatu zat makanan yang penting bagi tubuh karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno 1997). Dalam pembuatan tepung tulang ikan, kadar protein dihilangkan semaksimal mungkin dengan proses hidrolisis protein. Penghilangan protein ini dimaksudkan untuk meningkatkan kadar mineral/abu yang terkandung dalam tepung. Nilai rata-rata kadar protein tepung tulang ikan yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar antara 0,48-1,29 % (Gambar 9). Kadar protein tepung tulang ikan yang diperoleh sangat rendah, jauh di bawah kadar protein tepung tulang ikan produksi ISA 2002, Elfauziah (2003) dan Mulia (2004), yaitu berturut-turut sebesar 34,20; 16,9 dan 11,08 %. Kadar protein terendah diperoleh pada tepung A3P3 dengan perlakuan lama waktu autoklafing
3 jam dan
perebusan 3 kali, sedangkan kadar protein tertinggi diperoleh pada tepung kalsium A1P1, yaitu perlakuan lama waktu autoklafing 1 jam dan perebusan 1 kali. Rendahnya kadar protein yang dimiliki tepung tulang ikan dalam penelitian ini disebabkan adanya proses hidrolisis protein yang dilakukan secara berulang selama proses pembuatan tepung tulang ikan. Proses hidrolisis protein terjadi pada tahap perebusan, autoklafing dan ekstraksi dengan NaOH. Damayanthi (1994) menyatakan bahwa protein sangat peka terhadap panas dan akan mengalami perubahan struktur kimia (denaturasi) akibat adanya pemanasan.
K a d a r P ro te in (% b b )
1 ,4
1 ,2 9 1 ,1
1 ,2
1 ,0 6
1 0 ,7 3
0 ,7 2
0 ,8
0 ,7 6 0 ,6
0 ,6
0 ,5 1
0 ,4 8
A3P2
A3P3
0 ,4 0 ,2 0 A1P1
A1P2
A1P3
A2P1
A2P2
A2P3
A3P1
K o mb ina si P e rla k ua n
Gambar 9. Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap kadar protein Keterangan: Simbol-simbol A1P1, A1P2, A1P3, A2P1, A2P2, A2P3, A3P1, A3P2, A3P3 pada sumbu x merujuk keterangan pada Gambar 6
Hasil analisis ragam kadar protein (Lampiran 12) menunjukkan bahwa perlakuan lama waktu autoklafing dan frekuensi perebusan memberikan pengaruh yang nyata dalam menurunkan kadar protein tepung tulang ikan. Sebaliknya interaksi kedua perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Uji lanjut BNJ lamanya waktu autoklafing terhadap kadar protein menunjukkan bahwa perlakuan waktu autoklafing 3 jam menurunkan kadar protein secara nyata dengan kadar protein pada perlakuan lama waktu autoklafing 1 jam. Perlakuan waktu autoklafing 2 jam tidak berbeda nyata dengan perlakuan autoklafing 1 jam maupun 3 jam dalam menurunkan kadar protein tepung tulang ikan (Lampiran 13). Berdasarkan hasil uji lanjut BNJ terhadap waktu autoklafing, dapat dilihat bahwa waktu autoklafing 1 jam lebih baik daripada dua perlakuan waktu autoklafing yang lain dalam menurunkan kadar protein, karena dalam waktu yang lebih singkat (1 jam) menghasilkan nilai kadar protein yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan waktu autoklafing 2 jam. Proses autoklafing menggunakan suhu dan tekanan lebih tinggi daripada proses perebusan selama proses hidrolisis. Perbedaan ini menyebabkan kerusakan protein yang ditimbulkan pada proses autoklafing lebih besar daripada proses perebusan biasa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Harrow dan Mazur (1961) bahwa semakin tinggi suhu hidrolisis, semakin banyak molekul protein menjadi tidak stabil. Pemanasan yang tinggi akan mempengaruhi ikatan-ikatan kovalen
protein sehingga menyebabkan terjadinya degradasi pada molekul-molekul protein. Hasil degradasi dari molekul tersebut banyak menghasilkan turunan protein yang larut dalam air (Winarno 1986). Selain itu semakin tinggi suhu dan tekanan yang digunakan selama proses pemasakan akan membuat bahan baku yang digunakan semakin lunak dan hancur, ini disebabkan oleh semakin banyaknya protein yang terhidrolisis sehingga ikatan sekunder protein rapuh. Kondisi ini memudahkan protein yang tertinggal atau belum larut pada proses hidrolisis akan ikut terbuang pada saat pencucian. Peningkatan waktu autoklafing akan menurunkan kadar protein tepung tulang ikan. Menurunnya kadar protein ini disebabkan karena semakin lama waktu hidrolisis, semakin banyak molekul protein yang terhidrolisis karena kontak antara larutan pengekstrak dengan bahan akan semakin lama pula, sehingga kesempatan untuk melarutkan komponen non mineral dalam bahan semakin besar. Uji lanjut BNJ frekuensi perebusan terhadap kadar protein (Lampiran 14) menunjukkan bahwa perlakuan perebusan 3 kali menghasilkan penurunan kadar protein yang berbeda nyata dengan perlakuan perebusan 1 dan 2 kali, sedangkan perebusan 1 kali tidak berbeda nyata dengan perebusan 2 kali dalam menurunkan kadar protein. Menurunnya kadar protein pada proses perebusan disebabkan karena larutnya golongan protein yang mudah larut air ke dalam air perebusan setelah terjadinya proses koagulasi dan denaturasi beberapa protein seperti albumin dan globulin. Perebusan juga dapat melarutkan kolagen yang merupakan jenis protein jaringan pengikat dan bersifat tidak larut dalam air. Apabila kolagen tersebut dipanaskan maka akan berubah menjadi gelatin yang bersifat larut dalam air dan keluar dari tulang ikan bersama cairan (Alais dan Linden 1991). Penggunaan NaOH pada proses pemisahan kalsium dalam penelitian ini juga merupakan bagian dari proses yang bertujuan untuk menghilangkan protein dari tepung kalsium tulang ikan. Kirk dan Othmer (1953) menyatakan bahwa protein akan terhidrolisis apabila dicampurkan dengan asam, alkali kuat atau enzim kuat atau enzim proteolitik dan juga pemanasan (perebusan). Sebagai larutan yang bersifat basa NaOH berpengaruh terhadap kelarutan dan tingkat hidrolisis protein. Hal ini disebabkan karena sifat-sifat protein sangat dipengaruhi oleh perubahan pH, dimana perubahan ini mungkin bersifat positif mungkin pula bersifat negatif.
Protein merupakan polimer alam yang tersusun dari berbagai asam amino melalui ikatan peptida. Pada suatu titik di pH tertentu yang dikenal sebagai titik isoelektrik, asam amino akan bersifat dipolar dan mempunyai muatan bersih nol. Sebagai akibatnya asam amino tersebut tidak dapat bergerak ke arah elektroda positif maupun negatif (West dan Todd 1964). Menurut Cheftel et al. (1985), kelarutan dan hasil ekstraksi lebih tinggi pada daerah alkalin daripada daerah asam. Hal ini disebabkan karena jumlah gugus bermuatan negatif lebih banyak daripada jumlah gugus bermuatan positif, dengan demikian reaksi antara protein dan NaOH membentuk ester semakin sempurna sehingga protein yang dapat dihilangkan semakin besar. 4.2.4. Kadar lemak Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia, selain itu minyak dan lemak merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein (Winarno 1997). Namun untuk tepung tulang ikan, kadar lemak yang lebih rendah lebih diharapkan. Kadar lemak yang rendah membuat mutu relatif lebih stabil dan tidak mudah rusak. Kadar lemak yang tinggi dapat menyebabkan tepung mempunyai citarasa ikan (fish taste) dan menyebabkan terjadinya oxydative rancidity sebagai akibat oksidasi lemak (Almatsier 2002). Berdasarkan hasil penelitian, nilai rata-rata kadar lemak yang diperoleh pada beberapa tingkat waktu autoklafing dan frekuensi perebusan berkisar 1,70 – 4,13 (% bb). Nilai ini berada di bawah kisaran standar kadar lemak yang ditetapkan SNI, begitu juga dengan kadar lemak yang diperoleh tepung tulang produksi ISA 2002, Elfauziah (2003) dan Mulia (2004). Standar Nasional Indonesia kadar lemak untuk tepung tulang ikan ditetapkan sebesar 3 – 6 (% bb) masing-masing untuk mutu I dan II, sedangkan kadar lemak tepung tulang ikan produksi ISA sebesar 5,6 %, Elfauziah sebesar 9,78 % dan Mulia sebesar 1,4 %. Rata-rata kadar lemak tertinggi dalam penelitian ini diperoleh pada tepung A1P1 dengan perlakuan lama waktu autoklafing 1 jam dan perebusan 1 kali, sedangkan kadar lemak terendah diperoleh pada tepung A3P3 dengan perlakuan lama waktu autoklafing 3 jam dan perebusan 3 kali.
Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat adanya kecenderungan penurunan kadar lemak seiring dengan bertambahnya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan. Selama proses pembuatan tepung terjadi beberapa tahap pemanasan dimulai dari pemasakan pendahuluan, pemasakan dengan autoklaf dan perebusan tulang setelah proses autoklafing. Pemanasan dan perebusan akan mempengaruhi kandungan lemak dalam bahan dan mengurangi lemak yang berlebihan. Dogerskog (1977) diacu dalam Nurhayati (1994) menyatakan bahwa selama proses perebusan atau pengolahan, bahan makanan terpengaruh dalam banyak hal termasuk perubahan protein, lemak dan karbohidrat yang dapat menyebabkan
K a d a r L e m a k (% b b )
perubahan baik positif maupun negatif terhadap kualitas dan status gizinya. 4,5
4,13
4,12
4
3,87
3,84
3,5
3,11
3
3,05
2,99
3,22
2,5 1,7
2 1,5 1 0,5 0 A 1P 1
A 1P 2
A 1P 3
A 2P 1
A 2P 2
A 2P 3
A 3P 1
A 3P 2
A 3P 3
K o m b ina si P e rla k ua n
Gambar 10. Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap kadar lemak Keterangan: Simbol-simbol A1P1, A1P2, A1P3, A2P1, A2P2, A2P3, A3P1, A3P2, A3P3 pada sumbu x merujuk keterangan pada Gambar 6
Hasil analisis ragam yang dilakukan terhadap kadar lemak (Lampiran 16) menunjukkan bahwa perlakuan lama waktu autoklafing dan frekuensi perebusan memberikan pengaruh yang nyata dalam menurunkan kadar lemak tepung tulang ikan, sedangkan interaksi kedua perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Penggunaan suhu dan tekanan tinggi dalam proses pemasakan dengan autoklafing dan perebusan diduga merupakan penyebab terjadinya penurunan kadar lemak pada tepung tulang ikan. Sebagaimana yang dinyatakan Winarno (1986) bahwa pemanasan pada suhu tinggi akan mempercepat gerakangerakan molekul lemak sehingga jarak antara molekul menjadi besar, dengan demikian akan memudahkan pengeluaran lemak dari bahan.
Perubahan kimia yang terjadi dalam molekul lemak akibat pemanasan tergantung dari empat faktor, yaitu: (1) lamanya pemanasan, (2) suhu, (3) adanya akselerator, misalnya oksigen atau hasil-hasil proses oksidasi, dan (4) komposisi campuran asam lemak serta posisi asam lemak yang terikat dalam molekul trigliserida. Waktu pemanasan merupakan salah satu parameter penting dalam mempengaruhi penurunan kadar lemak. Semakin lama waktu autoklafing yang digunakan maka nilai kadar lemak semakin menurun. Hal ini disebabkan karena molekul lemak yang terhidrolisis dan keluar dari tulang ikan akan semakin banyak, sehingga kandungan lemak dalam bahan semakin rendah (Ketaren 1986). Uji lanjut BNJ lamanya waktu autoklafing terhadap kadar lemak (Lampiran 17) menunjukkan bahwa waktu autoklafing 3 jam menurunkan kadar lemak secara nyata dibandingkan kadar lemak perlakuan waktu autoklafing 1 jam, sedangkan perlakuan waktu autoklafing 2 jam memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap penurunan kadar lemak dengan perlakuan waktu autoklafing 1 dan 3 jam. Berdasarkan hasil uji tersebut, dapat dilihat bahwa waktu autoklafing 1 jam lebih baik daripada dua perlakuan waktu autoklafing yang lain dalam menurunkan kadar lemak, karena dalam waktu yang lebih singkat (1 jam) menghasilkan nilai kadar lemak yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan waktu autoklafing 2 jam, sedangkan antara waktu autoklafing 2 jam dan 3 jam memiliki nilai penurunan lemak yang tidak berbeda nyata. Pemanasan dengan autoklafing disamping berperan dalam proses pengeluaran lemak dari tulang ikan juga bertujuan untuk mengempukkan tekstur tulang. Uji lanjut BNJ frekuensi perebusan terhadap kadar lemak (Lampiran 18) menunjukkan bahwa perlakuan perebusan 3 kali menghasilkan penurunan kadar lemak yang berbeda nyata dengan perlakuan perebusan 1 dan 2 kali, sedangkan perebusan 1 kali tidak berbeda nyata dengan perebusan 2 kali dalam menurunkan kadar lemak. Menurut Tanikawa 1971 diacu dalam Murtiningrum 1997, perebusan bertujuan untuk menghentikan kegiatan enzim dan mengurangi kadar lemak dari suatu bahan. Proses perebusan dalam pembuatan tepung tulang ikan tuna menyebabkan terjadinya pembebasan lemak dan air dari tulang ikan. Besarnya lemak yang
dibebaskan berbanding lurus dengan temperatur dan lamanya perebusan yang digunakan (Zaitsev et al. 1969). Disamping lemak sederhana berupa trigliserida dari asam lemak, daging ikan juga mengandung lemak kompleks berupa fosfatid (fosfolipid) dan sterol. Lemak jenis ini dapat terhidrolisis apabila dipanaskan dalam larutan alkali (Merindol 1969). Larutan NaOH yang digunakan dalam penelitian ini juga berperan dalam menurunkan kadar lemak pada tepung tulang ikan. Reaksi antara NaOH dengan lemak terjadi karena dalam larutan alkali gliserida akan mengalami hidrolisis menghasilkan gliserol dan garam logam alkali dari asam lemak berantai panjang yang disebut sabun (Gambar 11), sehingga ketersediaan lemak dalam bahan menurun. Proses ini dikenal dengan saponifikasi yang dapat berpengaruh terhadap kadar lemak CH2OOC.C17H35 CH2OOC.C17H35 + 3 NaOH
CH2OH 3 C17H35COONa + CHOH
CH2OOC.C17H35 gliserol tristearat
CH2OH natrium stearat (sabun)
gliserol
Gambar 11. Reaksi antara trigliserida dan NaOH (saponifikasi) (Harrow dan Mazur 1961). Asam lemak dari hasil hidrolisis jika bereaksi dengan alkali akan membentuk sabun, terbentuknya sabun menyebabkan bahan terasa licin pada saat dipegang serta menyebabkan bahan bersifat basa (Ketaren 1986), sehingga pada proses selanjutnya diperlukan pencucian untuk menetralkan bahan. Pencucian dilakukan sampai air cucian mencapai pH netral. Natrium stearat yang terbentuk dan asam lemak yang terhidrolisis akhirnya ikut terbuang dalam pencucian karena lemak yang awalnya sulit larut dengan air (hidrofobik) akhirnya menjadi mudah larut dalam air (hidrofilik).
4.3. Kadar Kalsium Kalsium terdapat dalam berbagai bentuk diantaranya adalah kalsium fosfat, kalsium sitrat dan kalsium asetat. Pada ikan kira-kira sebanyak 99 % kalsium terdapat pada jaringan tubuh, kerangka dan sirip. Penentuan kadar kalsium ini menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometric (AAS). Hasil pengukuran kadar kalsium tepung tulang ikan tuna pada beberapa tingkat perlakuan waktu autoklafing dan frekuensi perebusan dapat dilihat pada Gambar 12 . Nilai kadar kadar kalsium yang dihasilkan antara 23,72 - 39,24 %. Nilai ini masih berada dalam kisaran nilai kadar kalsium yang ditetapkan SNI untuk tepung tulang, yaitu sebesar 30 % (mutu I) dan 20 % (mutu II). Kadar kalsium tertinggi dan terendah dalam penelitian ini, berturut-turut diperoleh pada tepung tulang A2P3 dan A1P2. Nilai kadar kalsium beberapa tepung hasil penelitian sebelumnya, diantaranya 11,90 % (ISA 2002), 25,6 % (Mulia 2004) dan 31 % (Elfauziah 2004). 45
3 9 ,2 4
K ad ar K alsiu m (% )
40 35 30
2 8 ,9 7
3 2 ,1 3
3 5 ,4 2 3 1 ,7 7
2 8 ,3 4 2 4 ,4 2
25
2 9 ,5 9
2 3 ,7 2
20 15 10 5 0 A1 P 1
A1 P 2
A1 P 3
A2 P 1
A2 P 2
A2 P 3
A3 P 1
A3 P 2
A3 P 3
K o mb inasi p erlak uan
Gambar 12. Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap kadar kalsium Keterangan: Simbol-simbol A1P1, A1P2, A1P3, A2P1, A2P2, A2P3, A3P1, A3P2, A3P3 pada sumbu x merujuk keterangan pada Gambar 6
Perbedaan kandungan kalsium pada tepung tulang ikan, dipengaruhi oleh perbedaan jenis ikan yang digunakan. Navarro (1991) diacu dalam Martinez et al. (1998) menyebutkan bahwa kandungan mineral pada ikan bergantung pada spesies, jenis kelamin, siklus biologis dan bagian tubuh yang dianalisis. Lebih lanjut Martinez et al. (1998) menyatakan bahwa faktor ekologis seperti musim,
tempat pembesaran, jumlah nutrisi tersedia, suhu dan salinitas air juga dapat mempengaruhi kandungan mineral dalam tubuh ikan. Hasil analisis ragam yang dilakukan terhadap kadar kalsium menunjukkan bahwa perlakuan lama waktu autoklafing dan frekuensi perebusan serta interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap kadar kalsium (Lampiran 20). Hal ini menunjukkan bahwa unsur mineral relatif stabil dengan adanya proses perebusan, sebagai mana yang disampaikan Mc Cance et al. (1936) diacu dalam Haris dan Karmas (1989) bahwa proses pemanggangan, penggorengan, sangrai dan pengukusan tidak berpengaruh penting pada kadar kalsium. 4.4. Fosfor Fosfor merupakan salah satu unsur utama pembentuk tulang ikan. Beberapa ilmuwan menduga ketersediaan fosfor dalam bahan pangan dapat mempengaruhi kandungan kalsium sehinga kandungan fosfor patut ditinjau dalam kaitannya dengan ketersediaan kalsium. Hasil pengukuran kadar fosfor tepung tulang ikan tuna pada beberapa tingkat perlakuan waktu autoklafing dan frekuensi perebusan dapat dilihat pada Gambar 13 .
K a d a r F o s fo r (% )
16 14
1 4 ,2 5 1 2 ,3
1 2 ,8 3
1 2 ,7 1
1 3 ,6 6
1 2 ,5 9
1 2 ,5 2
1 2 ,8 9
A3 P 1
A3 P 2
A3 P 3
1 1 ,3 4
12 10 8 6 4 2 0 A1 P 1
A1 P 2
A1 P 3
A2 P 1
A2 P 2
A2 P 3
K o m b ina si P e rla k ua n
Gambar 13. Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap kadar fosfor Keterangan: Simbol-simbol A1P1, A1P2, A1P3, A2P1, A2P2, A2P3, A3P1, A3P2, A3P3 pada sumbu x merujuk keterangan pada Gambar 6
Hasil analisis ragam yang dilakukan terhadap kadar fosfor (Lampiran 22) menunjukkan bahwa perlakuan waktu autoklafing dan frekuensi perebusan serta interaksi antar kedua perlakuan memberikan pengaruh tidak berbeda nyata. Sama halnya dengan kadar kalsium, kadar fosfor juga tidak dipengaruhi oleh perlakuan
waktu autoklafing dan frekuensi perebusan. Fosfor, sebagaimana mineral yang lain bersifat stabil terhadap proses perebusan, hal ini sejalan dengan pernyataan Bender (1978) bahwa unsur mineral relatif stabil dengan adanya proses perebusan. Nilai rata-rata kadar fosfor yang diperoleh berkisar antara 11,34 – 14,25 %. Nilai terendah dan tertinggi masing-masing diperoleh pada tepung tulang A2P1 dan A2P3 dengan perlakuan waktu autoklafing 2 jam serta perebusan 1 dan 3 kali. Kalsium dan fosfor saling berpengaruh erat dalam proses absorbsi kalsium. Hasil pengukuran kadar fosfor di atas memperlihatkan fluktuasi nilai fosfor pada tiap perlakuan. Nilai kadar fosfor yang dihasilkan sejalan dengan besarnya kadar kalsium tepung tulang ikan, dengan perbandingan mendekati 1:2. Perbandingan komposisi kalsium dan fosfor yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 1:1,9 sampai 1:2,9. Proses absorbsi Ca yang baik memerlukan perbandingan Ca:P dalam rongga usus (didalam hidangan) 1:1 sampai 1:3. Perbandingan yang lebih besar dari 1:3 akan menghambat penyerapan Ca Sediaoetama (2000). 4.5. Derajat Keasaman (pH) Proses penyerapan kalsium dalam tubuh dipengaruhi oleh
nilai pH.
Besarnya nilai pH suatu bahan pangan juga akan mempengaruhi penanganan dan pengolahan bahan makanan tersebut. Nilai pH yang diperoleh dalam penelitian ini diupayakan untuk mencapai pH netral. Menurut Almatsier (2002), kalsium membutuhkan pH 6 agar berada dalam keadaan terlarut karena kalsium hanya bisa diabsorbsi bila terdapat dalam bentuk larut air. Penggunaan larutan NaOH pada proses hidrolisis protein dalam penelitian ini menyebabkan nilai pH tepung tulang menjadi tinggi. Proses penetralan dengan pencucian berulang menggunakan akuades menurunkan kembali pH tepung tulang menjadi netral. Rata-rata nilai pH yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 7,03- 7,22. Nilai pH tiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 14. Nilai pH terendah diperoleh pada tepung A3P1 dengan perlakuan 3 jam autoklafing dan perebusan 1 kali. Nilai tertinggi diperoleh tepung A1P3 dengan perlakuan 1 jam autoklafing dan 3 kali perebusan.
9 8
7,14
7,06
7,22
7,15
7,14
7,13
7,03
7,11
7,07
A 1P 1
A 1P 2
A 1P 3
A 2P 1
A 2P 2
A 2P 3
A 3P 1
A 3P 2
A 3P 3
N ila i p H
7 6 5 4 3 2 1 0
K o m b ina s i P e rla k ua n
Gambar 14. Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap nilai pH Keterangan: Simbol-simbol A1P1, A1P2, A1P3, A2P1, A2P2, A2P3, A3P1, A3P2, A3P3 pada sumbu x merujuk keterangan pada Gambar 6
Hasil analisis ragam yang dilakukan terhadap nilai pH (Lampiran 24) menunjukkan bahwa perlakuan waktu autoklafing dan frekuensi perebusan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai pH. Hal ini disebabkan selama proses perebusan dan pemasakan dengan autoklafing digunakan air sebagai media penghidrolisis, sedangkan air memiliki pH netral. Proses pemasakan yang dilakukan selama pembuatan tepung tulang ikan hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap perubahan nilai pH. Zaitsev et al. (1969) menyatakan bahwa pemanasan dalam pengolahan akan menyebabkan perubahan fisik pada bahan, salah satunya berupa kenaikan pH sebesar 0,3 – 0,5 satuan. 4.6. Daya Serap Air Tepung tulang ikan adalah produk dengan kadar air yang rendah, oleh karena itu harus diketahui nilai daya serap air dari tepung tulang ikan yang dibuat. Daya serap air adalah nilai rata-rata penyerapan air. Nilai daya serap air cenderung meningkat, sejalan dengan semakin rendahnya kadar air bahan baku. Besarnya nilai daya serap air dari tepung kalsium tulang ikan yang dibuat dapat dilihat pada Gambar 15. Penyerapan air dapat dihubungkan dengan tekstur tepung tulang ikan yang dihasilkan, Pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata hasil pengukuran daya serap air untuk tiap perlakuan bervariasi. Daya serap air paling tinggi diperoleh pada tepung tulang A1P2 dengan perlakuan 1 jam autoklafing dan
perebusan 2 kali, sedangkan nilai paling rendah diperoleh pada tepung tulang A2P2 dengan perlakuan 2 jam autoklafing dan perebusan 2 kali.
D ay a S er ap A ir ( % )
16
14.3
14.7
14.4
14.4
14
14.5
14.2
14.6
14.5
A1 P 1
A1 P 2
A1 P 3
A2 P 1
A2 P 2
A2 P 3
A3 P 1
A3 P 2
A3 P 3
14 12 10 8 6 4 2 0
Ko m b in as i P er lak u an
Gambar 15. Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap nilai daya serap air Keterangan: Simbol-simbol A1P1, A1P2, A1P3, A2P1, A2P2, A2P3, A3P1, A3P2, A3P3 pada sumbu x merujuk keterangan pada Gambar 6
Hasil analisis ragam yang dilakukan terhadap daya serap air (Lampiran 26) menunjukkan bahwa perlakuan lama waktu autoklafing dan frekuensi perebusan yang dilakukan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan daya serap air tepung tulang ikan. Beberapa faktor yang mempengaruhi daya serap air suatu bahan pangan adalah porositas, polaritas dan komposisi kimia bahan. Porositas bahan ditunjukkan dengan nilai densitas kamba bahan tersebut, semakin besar porositas bahan maka semakin kecil densitas kambanya (Munarso 1989). Tepung tulang ikan sebagian besar tersusun atas mineral (kalsium dan fosfor) yang memiliki nilai porositas yang kecil, hal ini ditunjukkan dengan besarnya nilai densitas kamba yang diperoleh. Nilai prositas dan densitas kamba ini mempengaruhi rendahnya daya serap air tepung tulang ikan yang dihasilkan. 4.7. Densitas Kamba Densitas kamba merupakan salah satu parameter fisik yang menunjukkan porositas dari bahan-bahan tepung dan biji-bijian. Nilai densitas kamba, yaitu jumlah rongga yang terdapat diantara partikel-partikel bahan. Densitas kamba tepung tulang ikan diukur dengan menimbang berat sampel pada volume tertentu. Menurut Syarief dan Irawati (1988) densitas kamba penting diketahui bagi bahan hasil pertanian yang akan disimpan. Densitas kamba digunakan dalam
merencanakan suatu gudang penyimpanan, volume alat pengolahan/sarana transportasi dan mengkonversi harga satuan. Nilai densitas kamba dari tepung tulang ikan dapat dilihat pada Gambar 16. Nilai rata-rata densitas kamba tepung tulang ikan berkisar antara 0,75 g/ml sampai 0,94 g/ml. Densitas kamba tepung tulang ikan sebesar 0,94 g/ml menunjukkan bahwa pada volume 1 ml, berat tepung adalah 0,94 g. Nilai densitas kamba terendah diperoleh pada tepung kalsium tulang ikan A3P1 dengan perlakuan lama waktu autoklafing 3 jam dan perebusan 1 kali, sedangkan densitas kamba tertertinggi diperoleh pada tepung tulang ikan dengan perlakuan 3 jam autoklafing dan 3 kali perebusan (A3P3). Besar kecilnya densitas kamba bahan hasil pertanian
D e n sita s K a m b a (g ra m /1 0 m l)
dipengaruhi oleh kandungan kadar airnya (Wirakartakusumah et al. 1992).
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
7 ,9 2
A1P1
8 ,4 2
A1P2
9 ,1 2
A1P3
8 ,8
A2P1
9 ,4 2 8 ,2 8
8 ,1 4
A2P2
A2P3
7 ,4 2
A3P1
8 ,3 4
A3P2
A3P3
K o mb ina si P e rla k ua n
Gambar 16. Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap densitas kamba Keterangan: Simbol-simbol A1P1, A1P2, A1P3, A2P1, A2P2, A2P3, A3P1, A3P2, A3P3 pada sumbu x merujuk keterangan pada Gambar 6
Hasil analisis ragam yang dilakukan terhadap densitas kamba menunjukkan bahwa perlakuan lama waktu autoklafing dan frekuensi perebusan serta interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai densitas kamba (Lampiran 28). Nilai densitas kamba dipengaruhi oleh ukuran partikel, kekasaran permukaan dan metode pengukuran. Kecenderungan densitas kamba tepung berbanding terbalik dengan kecenderungan kadar air, yaitu semakin rendah kadar air menyebabkan semakin tingginya kekambaan tepung atau semakin rendah densitas kambanya. Semakin halus ukuran partikelnya, maka produk akan
semakin kurang kamba karena semakin sedikit udara yang terkurung diantara partikel-partikel. Suatu bahan pangan bersifat kamba jika nilai densitas kambanya kecil, berarti untuk berat yang ringan dibutuhkan ruang (volume) besar (Anwar 1990). Produk tepung-tepungan yang diharapkan adalah yang mempunyai densitas kamba kecil. Tepung tulang ikan A3P1 dengan perlakuan lama waktu autoklafing 3 jam dan perebusan 1 kali memiliki densitas kamba yang rendah sehingga membutuhkan kemasan dan ruang penyimpanan yang lebih besar dibandingkan tepung tulang ikan A3P3 dengan perlakuan lama waktu autoklafing 3 jam dan perebusan 1 kali untuk setiap massa yang sama. 4.8. Derajat Putih Tekstur dan warna selalu memegang peranan yang penting dalam sifat-sifat organoleptik secara keseluruhan.
Warna produk makanan laut merupakan
karakteristik pertama yang dicatat untuk konsumsi dan secara langsung berhubungan dengan penerimaan/penolakan terhadap suatu produk (Simpson 1982 diacu dalam Nurhayati 1994). Pengukuran derajat putih sangat penting untuk dilakukan terhadap jenis tepung-tepungan karena derajat putih merupakan salah satu faktor yang menunjukkan nilai mutu dari tepung tersebut. Metode pengukuran derajat putih menggunakan bahan pembanding berupa bubuk Na2CO3 yang memiliki nilai derajat putih 100 %. Nilai derajat putih tepung tulang ikan tuna yang diperoleh dari perlakuan lama waktu autoklafing dan frekuensi perebusan disajikan pada Gambar 17. Nilai derajat putih tepung tulang ikan tuna yang dihasilkan dari berbagai perlakuan autoklafing dan perebusan bervariasi antar perlakuan. Derajat putih paling tinggi diperoleh tepung tulang ikan A3P3 dengan perlakuan lamanya waktu autoklafing 3 jam dan perebusan 3 kali, sedangkan derajat putih paling rendah diperoleh pada tepung A1P1 dengan perlakuan waktu autoklafing 1 jam dan perebusan 1 kali. Kecenderungan data derajat putih yang dihasilkan, meningkat sejalan dengan bertambahnya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan yang dilakukan. Tepung tulang ikan tuna yang dihasilkan memiliki derajat putih relatif kecil jika merujuk pada angka derajat putih tepung terigu yang berada pada kisaran 80-90.
7 4 ,8
80
D e ra ja t P u tih
70 60
5 9 ,3
6 1 ,7
6 4 ,2
6 1 ,8
6 2 ,7
6 4 ,7
6 4 ,3
6 6 ,5
A1P1
A1P2
A1P3
A2P1
A2P2
A2P3
A3P1
A3P2
50 40 30 20 10 0 A3P3
K o mb ina si P e rla k ua n
Gambar 17. Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap derajat putih Keterangan: Simbol-simbol A1P1, A1P2, A1P3, A2P1, A2P2, A2P3, A3P1, A3P2, A3P3 pada sumbu x merujuk keterangan pada Gambar 6
Berdasarkan analisis ragam terhadap derajat putih tepung tulang ikan tuna (Lampiran 30), menunjukkan bahwa perlakuan lama waktu autoklafing dan frekuensi perebusan serta interaksi dua faktor yang dilakukan memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan nilai derajat putih tepung tulang ikan tuna. Hal ini disebabkan banyaknya bahan organik yang terhidrolisis dan terlarut selama proses pembuatan tepung tulang. Semakin tinggi suhu hidrolisis yang digunakan, semakin banyak bahan organik yang terhidrolisis akibatnya derajat putih tepung semakin tinggi. Lemak dapat meyebabkan oksidasi yang menghasilkan warna coklat pada tepung (Moeljanto 1992). Proses oksidasi ini berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan lemak yang biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Selanjutnya asam-asam lemak akan terurai disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehida dan keton serta asam-asam lemak bebas. Uji lanjut BNJ waktu autoklafing terhadap nilai derajat putih (Lampiran 31) menunjukkan bahwa waktu autoklafing 3 jam meningkatkan nilai derajat putih secara nyata dengan perlakuan waktu autoklafing 1 jam dan 2 jam. Perlakuan lama waktu autoklafing 2 jam memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap peningkatan nilai derajat putih dengan perlakuan waktu autoklafing 1 jam. Berdasarkan hasil uji tersebut, dapat dilihat bahwa waktu autoklafing 3 jam lebih
baik daripada 1 dan 2 jam dalam meningkatkan nilai derajat putih, karena memiliki nilai peningkatan derajat putih yang paling tinggi secara nyata. Hasil uji lanjut BNJ frekuensi perebusan terhadap nilai derajat putih (Lampiran 32) menunjukkan bahwa perlakuan perebusan 3 kali menghasilkan peningkatan nilai derajat putih yang berbeda nyata dengan perlakuan perebusan 1 dan 2 kali, sedangkan perebusan 1 kali tidak berbeda nyata dengan perebusan 2 kali dalam meningkatkan nilai derajat putih. Pada uji lanjut BNJ interaksi waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap nilai derajat putih menunjukkan bahwa perlakuan A3P3 (waktu autoklafing 3 jam, perebusan 3 kali) berbeda nyata dengan semua perlakuan yang lain dalam meningkatkan nilai derajat putih. Proses hidrolisis dalam penelitian ini juga menggunakan larutan basa NaOH. Penggunaan larutan basa menurut Jhonson dan Patterson (1974) lebih menguntungkan dibandingkan dengan asam. Penggunaan basa sebagai bahan penghidrolisis menghasilkan fraksi larut dan fraksi tidak larut dengan warna yang lebih putih. Kelemahan penggunaan asam adalah terbentuknya zat berwarna kehitaman atau hitam kecoklatan yang dinamakan humin atau melanin yang terbentuk dari kandungan inti indol triptofan dengan aldehida yang berasal dari karbohidrat yang terdapat pada bahan. 4.9. Kemudahan Melarut Jumlah padatan tidak larut air pada tepung tulang ikan dapat diketahui melalui kemudahan melarut tepung tulang tersebut. Pengukuran dilakukan dengan melarutkan tepung dalam sejumlah air selama selang waktu tertentu dan diukur jumlah bahan yang terlarut secara gravimetri dengan menggunakan kertas saring Whatman 40. Tujuan dari pengukuran ini adalah untuk mengetahui tingkat kelarutan tepung tulang ikan di dalam air. Tepung tulang ikan dengan kemudahan melarut yang cepat dapat berarti bahwa jumlah padatan tidak larut dalam tepung relatif sedikit. Sebaliknya apabila kemudahan melarut tepung lambat, berarti jumlah padatan tidak larut dalam tepung tersebut relatif banyak. Pengujian kemudahan melarut tepung kalsium tulang ikan juga dibutuhkan untuk mengetahui seberapa cepat tepung larut dalam air tanpa diaduk. Kelarutan dapat juga dipengaruhi oleh lamanya waktu melarutkan, yaitu semakin lama
waktu melarutkan, maka berat bahan yang tertinggal dalam kertas saring lebih sedikit sehingga bahan yang terlarut semakin banyak. Berdasarkan hasil pengujian (Tabel 4) diketahui bahwa kemudahan melarut tepung tulang ikan yang dihasilkan relatif kecil yaitu antara 0 - 6,67 %, tepung tulang ikan larut dalam air dalam kurun waktu 15 menit tanpa pengadukan. Data tersebut juga memperlihatkan kenaikan nilai kelarutan tepung tulang ikan sejalan dengan lamanya waktu pelarutan. Nilai kelarutan terbesar pada 15 menit pertama terdapat pada tepung tulang A2P2 dengan perlakuan waktu autoklafing 2 jam dan perebusan 2 kali, sedangkan nilai kelarutan terkecil pada tepung A2P1, A3P1 dan A3P3.
Nilai kelarutan terkecil setelah 180 menit waktu pelarutan diperoleh
tepung A3P1, yaitu sebesar 8,56 % sedangkan untuk nilai terbesar diperoleh pada tepung A2P1 dengan nilai kelarutan 36,67 %. Persen kelarutan dari masingmasing tepung tersebut secara umum meningkat dengan semakin lamanya waktu pelarutan, akan tetapi ada beberapa tepung yang nilainya menurun yang diduga karena bentuk dan ukuran partikel tepung yang berbeda-beda/ tidak seragam antara satu dengan yang lain. Tabel 4. Data nilai kemudahan melarut (%) tepung tulang ikan tuna Waktu (menit) 15 30 60 90 120 180
A1P1 A1P2 3,02 2,78 12,21 5,04 12,26 11,38 12,67 13,39 14,11 18,19 26,67 26,11
A1P3 5,27 12,98 15,27 17,02 18,81 20,95
Kemudahan Melarut (%) A2P1 A2P2 A2P3 A3P1 0 6,67 4,45 0 6,67 6,71 5,76 1,33 6,67 13,32 12,22 6,67 26,67 13,32 13,36 6,67 33,33 20,31 19,10 6,68 36,67 33,33 29,20 8,56
A3P2 1,39 3,19 9,03 10,03 12,44 17,34
A3P3 0 6,36 13,33 20,21 26,67 33,33
Keterangan: A1P1, A1P2, A1P3, A2P1, A2P2, A2P3, A3P1, A3P2, A3P3 merujuk keterangan pada Gambar 6
Kelarutan tepung juga dipengaruhi oleh kadar air bahan yang dilarutkan, semakin rendah kadar air bahan maka waktu melarut kembali di dalam air akan semakin cepat. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Master (1979) bahwa kadar air produk berhubungan dengan kelarutan. Semakin tinggi kadar air produk bubuk, semakin sulit produk tersebut dilarutkan dalam air. Karena produk cenderung membentuk butiran lebih besar tetapi tidak porous.
4.10. Ketersediaan In Vitro Kalsium (Bioavailabilitas kalsium) Pengukuran bioavailabilitas kalsium digunakan untuk menjelaskan proses fisikokimia dan fisiologis yang mempengaruhi penyerapan fraksional kalsium dalam tubuh sehingga mineral tersebut dapat digunakan oleh tubuh untuk menjalankan
fungsi
metabolisme.
Dalam
penelitian
ini
pengukuran
bioavailabilitas hanya dilakukan pada tepung yang memiliki kadar kalsium paling tinggi (39,24 %), yaitu tepung tulang A2P3 dengan perlakuan 2 jam lama waktu autoklafing dan 3 kali perebusan. Pengukuran bioavailabilitas dalam penelitian ini menggunakan metode in vitro, dimana penyerapan kalsium diukur dengan teknik dialisis menggunakan kantung dialisis semipermeabel yang dikondisikan seperti keadaan pencernaan sebenarnya seperti yang terjadi di dalam tubuh. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, persentase penyerapan tepung kalsium tulang ikan yang diperoleh sebesar 0,86 % atau 337,46 mg/100 g tepung tulang ikan. Keragaman penyerapan kalsium erat kaitannya dengan level kalsium yang dikonsumsi. Pada tulang ikan, dimana level kalsiumnya sangat tinggi yaitu sebesar 39,24 % (39,24 g/100 g bahan) memiliki persentase penyerapan sangat rendah hanya sebesar 0,86 %. Nilai penyerapan ini akan meningkat sejalan dengan penurunan level kalsium yang dalam hal ini dianggap sama dengan asupan kalsium. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian in vivo bahwa efisiensi (fraksi penyerapan) penyerapan kalsium bervariasi secara berkebalikan dengan asupan kalsium (Allen dan Wood 1994). Jika merujuk pada kebutuhan harian kalsium yang harus dipenuhi orang dewasa sekitar 800 mg/hari, nilai penyerapan kalsium yang diperoleh masih sangat kecil. Berdasarkan data dari Guthrie (1975), bioavailabilitas kalsium tepung tulang ikan 0,86 % masuk kategori sangat buruk, karena masih berada di bawah penyerapan tidak optimum sekalipun (10 %). Level penyerapan optimum menurut Guthrie (1975) adalah sebesar 40 %, sedangkan kategori cukup baik jika level penyerapan kalsium dalam tubuh mencapai 20-30 %. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa penggunaan tepung tulang ikan tuna sebagai sumber kalsium dalam tubuh tidak optimal dengan pemanfaatan tepung tulang secara langsung. Penggunaan tepung tulang ikan
diduga akan menghasilkan penyerapan kalsium lebih besar, jika tepung difortifikasi ke dalam bahan makanan yang lain. Hasil penelitian Mulia (2004) menunjukkan bahwa fortifikasi tepung tulang ikan sebanyak 10 dan 20 % ke dalam produk mi akan meningkatkan persentase penyerapan kalsium dalam tubuh. Mi dengan fortifikasi tepung tulang sebanyak 20 % memiliki nilai bioavailabilitas 17,69 %, sedangkan mi dengan penambahan tepung tulang 10 % memiliki persen penyerapan kalsium lebih besar yaitu sebanyak 37,11 %. Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa penyerapan kalsium meningkat saat asupan kalsium diturunkan dari dosis tinggi atau cukup menjadi rendah sehingga terjadi kenaikan penyerapan kalsium. Semakin rendah kandungan kalsium produk, penyerapannya akan semakin tinggi.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Perlakuan
lama waktu
autoklafing
(1, 2 dan 3 jam) dan frekuensi
perebusan (1, 2 dan 3 kali) cenderung akan menurunkan rendemen, kadar air, lemak, protein dan pH tepung tulang ikan. Sebaliknya kadar abu, derajat putih, kalsium dan fosfor pada tepung cenderung meningkat akibat perlakuan tersebut. Tepung tulang ikan yang dihasilkan mengandung kadar air 5,60 - 8,30 % , abu 77,54 – 84,22 % bb, protein 0,48 – 1,29 % bb, lemak 1,7 – 4,13 % bb, kalsium 23,72 – 39,24 %, fosfor 11,34 – 14,25 dan nilai pH
7,03 – 7,22.
Rendemen yang dihasilkan dalam pembuatan tepung tulang ikan 13,28 – 28,85 %. Nilai beberapa parameter fisik tepung tulang yang dihasilkan yaitu derajat putih sebesar 59,3 – 74,8 %, densitas kamba 7,42 – 9,42 g/ml dan daya serap air 14 – 14,7 %. Nilai kelarutan tepung sangat rendah, yaitu antara 0 – 4,45 % (g/ml) pada menit ke 15, sedangkan pada menit ke 180 nilai kelarutan yang diperoleh mencapai 8,56 - 36,67 % (g/ml). Hasil uji kecernaan kalsium tepung tulang ikan yang dilakukan dengan metode in vitro didapatkan bahwa nilai kecernaan kalsium sangat rendah yaitu sebesar 0,86 %. 5.2 Saran Disarankan penggunaan tepung kalsium tulang ikan dengan cara melakukan fortifikasi ke dalam bahan makanan yang lain. Untuk menghasilkan penampakan dan tekstur yang lebih baik perlu dicoba teknik pengeringan menggunakan alat pengering mekanik.
DAFTAR PUSTAKA Alais C, Linden G. 1991. Food Biochemistry. 1991. London: Ellis Harwood. Allen LH, Wood JR. 1994. Calcium and phospor. Di dalam: Shils EM Olson JA, Shike M, editors. Modern Nutrition in Health and Diseases. Ed.8 Vol. 1. Lea dan Febringer. USA Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Amiarso. 2003. Pengaruh penambahan daging ikan kambing-kambing (Abalistes steilatus) terhadap mutu kerupuk gemblong khas Kuningan Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Anggorodi R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Anggorodi HR. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. Anonymous. 2001. Tepung terigu. http:/www.bogasari.com [14 Februari 2004]. Anonymous. 2002. Wanita Indonesia rentan osteoporosis akibat rendahnya konsumsi susu. http:/www.mediaindonesia.co.id. [14 Februari 2004]. Anwar F. 1990. Mempelajari sifat fisik, organoleptik dan nilai gizi protein makanan bayi dari campuran tepung beras konsentrat protein jagung dan tepung tempe [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. [AOAC] Association of Official Analytical and Chemists. 1995. Official Methods of Analysis the 16th ed. Virginia: Inc. Arlington.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarwati, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Basmal J, Suprapto RH, Murtiningrum. 2000. Penelitian ekstraksi kalsium dari tulang ikan cakalang (Katsuwonus pelamis L). Jurnal Penelitian Perikanan 6 (1): 45-53. Beatrice MI. 2001. Mempelajari proses pembuatan tepung madu dengan menggunakan pengering semprot dan sifat fisika kimia tepung yang dihasilkan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB.
Bender AE. 1978. Food Processing and Nutrition. London: Academic Press. Blaney S, Zee JA, Mongeau R, Marin J. 1996. Combined effects of various types of dietary fiber and protein on in vitro calcium availability. J. Agric. Food. Chem. 44: 3587-3590. Boccia L, Lucarini GM, Di Lulo G, Del Puppo E, Ferrari A. 1998. Dialysable, soluble and fermentable calcium from beans (Phaseolus vulgaris L.) as model for in vitro assessment of the potential calcium availability. Food Chem. 61:167-171. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wotton M. 1987. Food Science. Di dalam: Purnomo H, Adiono, Penerjemah. Ilmu Pangan. Jakarta: UI Press. Cheftel JC, Cug JL, Lorient D. 1985. Amino acid, peptides and proteins. Di dalam Fennema OR, editor. Food Chemistry 2nd edition Revised and Expanded. New York: Marcel Dekker Inc. Damayanthi E. 1994. Pengaruh Pengolahan terhadap Zat Gizi Bahan Pangan. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Kesehatan Keluarga. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2000. Laporan Tahunan Produksi Ikan Indonesia. Jakarta. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001. Laporan Tahunan Produksi Ikan Indonesia. Jakarta. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 1992. Kumpulan Penelitian Hasil Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta: Balai Pengembangan Perikanan Laut, Departemen Perikanan. Diniah, Yamin MA, Purwati S, Parwinia, Effendy S, Hatta M, Sabri M, Rusyadi, Ahmad F. 2001. Pemanfaatan sumberdaya tuna cakalang secara terpadu. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. [Ditjenkan] Direktorat Jenderal Perikanan. 1983. Buku Petunjuk Teknis Pengalengan Ikan Seri I Ikan Tuna. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan. Elfauziah R. 2003. Pemisahan kalsium dari tulang kepala ikan patin (Pangasius sp.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Fardiaz D, Andarwulan N, Wijaya H, Puspitasari LN. 1992. Petunjuk Laboratorium: Teknik Analisis Sifat Kimia dan Fungsional Komponen Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB.
Greger JL. 1988. Nondigestable carbohydrates and mineral bioavailability. J. Clin. Nutr. (supplement): 1434-1456. Groff JL, Gropper SS. 1990. Advanced Nutrition and Human Metabolism. Australia: Wadsworth. Guthrie HA. 1975. Introductory Nutrition. United State of America: Mosby Company. Hall CW. 1979. Dictionary of Drying. New York: Marcel Dekker Inc. Haris RS, Karmas E. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Achmadi S, Penerjemah; Bandung: Penerbit ITB. Harland FB, Oberleas D. 2001. Effects of dietary fiber and phytat on the homeostatis and bioavailability of minerals. Di dalam: Spiller dan A Gene, editors. Handbooks of Dietary Fiber in Human Nutrition. 3rd Edition. USA: Library of Congress. Harrow B, Mazur A. 1961. Text Book of Biochemistry WB. London: Sanders Co. Heaney RP. 2001. Factor influencing the measurement of bioavailability, taking calcium as a model. J. Nutr. 131: 1344-1348. Ilyas S, Suparno. 1985. Penelitian dan pengembangan limbah pertanian. Di dalam: FG Winarno, Boediman AFS, Toga Silitonga dan Soewardi B, (editors). Limbah Pertanian. Jakarta: Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan. Johnson AH, Patterson MS. 1984. Encyclopedia of Food Technology Vol II. Connecticut: The AVI Publishing Co. Inc. Karmas E. 1982. Meat, Poultry and Seafood Technology. New Jersey: Noyes Data Coorporation, Park Ride. Kaup SM, Greger JL, Lee K. 1991. Nutritional evaluation with animal model of cottage cheese fortified with calcium and guar gum. J. Food Sci. 56 (3): 692-695. Ketaren S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Kirk RE, Othmer DF. 1953. Encyclopedia of Chemichal Technology. Vol. II. New York: The International Science Encyclopedia Inc. Kirk RE, Othmer DF. 1964. Encylopedia of Chemical Technology Vol. 4. New York: John Willey and Sons, Inc.
Lehninger AL. 1993. Dasar Biokimia I. Thenawijaya M, penerjemah; Jakarta: Penerbit Erlangga. Lestari S. 2001. Pemanfaatan tulang ikan tuna (limbah) untuk pembuatan tepung tulang [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.
Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian secara Klinis. Jakarta: UI Press. Lovell T. 1989. Nutrition and Feeding of Van Nostrand Reinhold.
Fish. An AVI Book. New York:
Lund D. 1988. Heat processing. Di dalam: Karmas E, Haris RS, editors. Nutritional Evaluation of Food Processing. 3th Ed. New York: Van Nostrand Reinhold. Mann I. 1967. Processing and Utilization of Animal by Products. Italy: Food and Agriculture Organization of the United Nations. Martin EA. 1965. Nutrition in Action. United State of America. Martinez I, Santaella M, Ros G, Periago MJ. 1998. Content and in vitro availability of Fe, Zn, Mg and P in homogenized fish-base weaning foods after bone addition. Food Chem. 63: 299-305. Master K. 1979. Spray Drying Handbook. New York: John Willey and Sons. McDowell LR. 1992. Minerals in Animal and Human Nutrition. San Diego: Academic Press. Merindol AD. 1969. Fish Curring and Processing. Moscow: MIR Publisher. Miller DD. 1996. Chapter Milk (Mineral). Di dalam: Owen C, Fennema OR, editors. Food Chemistry. 3th Edition. New York: Cornell University. Moeljanto R. 1979. Pemanfaatan Limbah Perikanan. Jakarta: Lembaga Penelitian Teknologi Perikanan. Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Penebar Swadaya. Muchtadi D, Palupi NS, Astawan. 1993. Metabolisme Zat Gizi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Mulia. 2004. Kajian potensi limbah tulang ikan patin (Pangasius sp) sebagai alternatif sumber kalsium dalam produk mi kering [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Murtiningrum. 1997. Ekstraksi kalsium dari tulang ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis L) dengan teknik deproteinasi [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Nurhayati T. 1994. Pengaruh asam dan bleaching terhadap mutu tepung ikan (fish flour) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan, IPB. O’ dell BL. 1997. Mineral ion interaction as assessed by bioavailability and ion chanel function. Di dalam: BL O’ dell, RA Sunds, editors. Handbook of Nutritionally Essential Mineral Elements. New York: Marcel Dekker. Rans. 2002. Fish Powders. http://www.kodiak.com [15 Maret 2005]. Roig MJ, Alegria A, Barbera R, Farre R, Lagarda MJ. 1999. Calcium dialysability as an estimation of bioavailability in human milk, cow milk and infant formulas. Food Chem. 64: 403-409. Saanin H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I. Bandung: Bina Tjipta. Sada. 1984. Fish calcium. Infofish Marketing Digest. No I/84. Saleh M, Erlina MD, Haq N, Sari A, Sarnianto P. 1985. Pengolahan tepung ikan dengan cara semi konvensional. Prosiding Lokakarya Tepung Ikan. Bali. Denpasar 5-7 November 1985. Schuette SA, Linkswiler HM. 1988. Kalsium. Di dalam: Olson RE, Broquist HP, Chichester CO, Darby WJ, Kolbye AC dan Stalvey RM. Pengetahuan Gizi Mutakhir : Mineral. Nasution AH, Karyadi D, Nasoetion A, Kusharto CM, Sjarief H, Komarulloh IK, Muhilal, Azwar NR, Megawangi R, Kusno R, Suharjo, penerjemah; Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Sediaoetama AD. 2000. Ilmu Gizi: untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid I. Jakarta: Dian Rakyat. Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: UGM Press. Spiller AG. 2001. Definition of Dietary Fiber. Di dalam: Spiller A Gene, editors. Handbooks of Dietary Fiber in Human Nutrition 3rd Edition. USA: Library of Congress. Steel RGD, Torrie JH. 1993. Principles and Procedures of Statistics. Di dalam Sumantri B, penerjemah. Prinsip dan Prosedur Statistika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Subasinghe S. 1996. Innovative and value-added tuna products and markets. Infofish International Number I/96. January/February. Suharto. 1991. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta: Bhinneka Cipta. Sulaeman A, Anwar F, Rimbawan, Marliyati SA. 1995. Metode Penetapan Zat Gizi. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Kesehatan Keluarga. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Syarief R, Irawati A. 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. Jakarta: Medyatama Sarana Perkasa. Wertheim E, Jeskey H. 1956. Introductory Organic Chemistry with Certain Chapters of Biochemistry. New York: Mc Graw Hill Book Co. Inc. West ES, Todd WC. 1964. Text Book of Biochemistry. New York: The Mac Millan Co. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. 1998. Rísalah Widya Karya Pangan dan Gizi IV. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Hlm 877. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Winarno FG, Fardiaz S. 1973. Dasar Teknologi Pangan. Bogor: Fakultas Teknologi dan Mekanisasi Pertanian, IPB. Wirakartakusumah MA, Abdullah K, Syarif AM. 1992. Sifat Fisik Bahan Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Zaitsev V, Kizevetter I, Lagunov L, Maharova T, Minder D, Podsevalov V. 1969. Fish Curing and Processing. Translated from Rusian by A DE Merindol. Moscow: Mir Publishing.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data rendemen tepung tulang ikan tuna (%) Ulangan 1 2 3 Rataan
A1P1 20,57 36,47 29,52 28,85
Rendemen tepung tulang ikan (%) A1P3 A2P1 A2P2 A2P3 A3P1 18,44 17,71 16,25 16,81 15,75 27,9 24,66 20,99 21,2 19,37 33,36 29,6 25,73 25,59 20,98 20,99 23,99 26,57 21,2 15,72
A1P2 20,54 27,97 33,4 27,30
A3P2 14,45 16,39 16,33 18,70
A3P3 11,5 13,95 14,4 13,28
Lampiran 2. Analisis ragam rendemen tepung tulang ikan tuna (%) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: RENDEMEN Source Corrected Model Intercept AUTOKLAF PEREBUSA AUTOKLAF * PEREBUSA Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 682,861a 12885,164 613,704 58,521 10,636 500,892 14068,917 1183,753
df 8 1 2 2 4 18 27 26
Mean Square 85,358 12885,164 306,852 29,260 2,659 27,827
F 3,067 463,040 11,027 1,051 ,096
Sig. ,023 ,000 ,001 ,370 ,983
a. R Squared = ,577 (Adjusted R Squared = ,389)
Lampiran 3. Uji lanjut BNJ lama waktu autoklafing terhadap rendemen Multiple Comparisons Dependent Variable: RENDEMEN Mean Difference (I) AUTOKLAF (J) AUTOKLAF (I-J) Std. Error Tukey HSD 1 jam 2 jam 5,5144 2,48674 3 jam 11,6722* 2,48674 2 jam 1 jam -5,5144 2,48674 3 jam 6,1578 2,48674 3 jam 1 jam -11,6722* 2,48674 2 jam -6,1578 2,48674 Based on observed means. *. The mean difference is significant at the ,05 level.
95% Confidence Interval Sig. Lower Bound Upper Bound ,095 -,8321 11,8610 ,001 5,3257 18,0188 ,095 -11,8610 ,8321 ,058 -,1888 12,5043 ,001 -18,0188 -5,3257 ,058 -12,5043 ,1888
Lampiran 4. Data kadar air (% bb) tepung tulang ikan tuna Ulangan 1 2 3 Rataan
A1P1 8,83 6,76 6,67 7,42
A1P2 8,93 7,98 7,99 8,3
Kadar air tepung tulang ikan (%) A1P3 A2P1 A2P2 A2P3 A3P1 7,08 6,54 5,34 5,22 6,6 8,81 7,37 6,48 6,01 7,78 8,21 7,07 6,77 5,58 7,6 8,03 6,99 6,2 5,60 7,33
A3P2 4,02 6,81 6,10 5,64
A3P3 6,45 5,33 6,49 6,09
Lampiran 5. Analisis ragam kadar air Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: AIR Source Corrected Model Intercept AUTOKLAF PEREBUSA AUTOKLAF * PEREBUSA Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 24.270a 1265.127 15.567 2.261 6.442 12.814 1302.211 37.084
df
8 1 2 2 4 18 27 26
Mean Square 3.034 1265.127 7.783 1.131 1.610 .712
F 4.261 1777.114 10.933 1.588 2.262
Sig. .005 .000 .001 .232 .103
a. R Squared = .654 (Adjusted R Squared = .501)
Lampiran 6. Uji lanjut BNJ lama waktu autoklafing terhadap kadar air Multiple Comparisons Dependent Variable: AIR Mean Difference (I) AUTOKLAF (J) AUTOKLAF (I-J) Std. Error Tukey HSD1jam 2jam 1.65333* .397744 3jam 1.56444* .397744 2jam 1jam -1.65333* .397744 3jam -.08889 .397744 3jam 1jam -1.56444* .397744 2jam .08889 .397744 Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
95% Confidence Interval Sig. Lower BoundUpper Bound .002 .63823 2.66844 .003 .54934 2.57955 .002 -2.66844 -.63823 .973 -1.10400 .92622 .003 -2.57955 -.54934 .973 -.92622 1.10400
Lampiran 7. Data kadar abu (% bb) tepung tulang ikan tuna Ulanga n 1 2 3 Rataan
A1P 1 77,58 77,36 77,67 77,54
Kadar abu tepung tulang ikan (%) A2P A2P A2P A1P2 A1P3 1 2 3 A3P1 79,26 81,92 80,63 81,95 83,07 80,51 77,04 80,01 81,95 79,96 80,01 80,59 77,05 81,91 81,02 81,51 80,32 78,53 77,78 81,28 81,20 81,14 81,13 79,88
A3P 2 83,04 82,17 81,86 82,36
A3P 3 83,55 85,22 83,88 84,22
Lampiran 8. Analisis ragam kadar abu Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: ABU Source Corrected Model Intercept AUTOKLAF PEREBUSA AUTOKLAF * PEREBUSA Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 105.796a 175945.385 51.042 33.334 21.420 19.557 176070.737 125.352
df
8 1 2 2 4 18 27 26
Mean Square 13.224 175945.385 25.521 16.667 5.355 1.086
F 12.172 161939.4 23.489 15.340 4.929
Sig. .000 .000 .000 .000 .007
a. R Squared = .844 (Adjusted R Squared = .775)
Lampiran 9. Uji lanjut BNJ lama waktu autoklafing terhadap kadar abu Multiple Comparisons Dependent Variable: ABU Mean Difference (I) AUTOKLAF(J) AUTOKLAF (I-J) Std. Error Tukey HSD 1jam 2jam -2.2911* .49137 3jam -3.2833* .49137 2jam 1jam 2.2911* .49137 3jam -.9922 .49137 3jam 1jam 3.2833* .49137 2jam .9922 .49137 Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
95% Confidence Interval Sig. Lower BoundUpper Bound .001 -3.5452 -1.0371 .000 -4.5374 -2.0293 .001 1.0371 3.5452 .136 -2.2463 .2618 .000 2.0293 4.5374 .136 -.2618 2.2463
Lampiran 10. Uji lanjut BNJ frekuensi perebusan terhadap kadar abu Multiple Comparisons Dependent Variable: ABU Mean Difference (I) PEREBUSA(J) PEREBUSA (I-J) Std. Error Tukey HSD1kali 2kali -.8889 .49137 3kali -2.6722* .49137 2kali 1kali .8889 .49137 3kali -1.7833* .49137 3kali 1kali 2.6722* .49137 2kali 1.7833* .49137 Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Sig. .195 .000 .195 .005 .000 .005
95% Confidence Interval Lower BoundUpper Bound -2.1429 .3652 -3.9263 -1.4182 -.3652 2.1429 -3.0374 -.5293 1.4182 3.9263 .5293 3.0374
Multiple Comparisons Dependent Variable: ABU Tukey HSD
(I) INTERAKS 1jam,1kali
1jam,2kali
1jam,3kali
2jam,1kali
2jam,2kali
2jam,3kali
3jam,1kali
3jam,2kali
3jam,3kali
(J) INTERAKS 1jam,2kali 1jam,3kali 2jam,1kali 2jam,2kali 2jam,3kali 3jam,1kali 3jam,2kali 3jam,3kali 1jam,1kali 1jam,3kali 2jam,1kali 2jam,2kali 2jam,3kali 3jam,1kali 3jam,2kali 3jam,3kali 1jam,1kali 1jam,2kali 2jam,1kali 2jam,2kali 2jam,3kali 3jam,1kali 3jam,2kali 3jam,3kali 1jam,1kali 1jam,2kali 1jam,3kali 2jam,2kali 2jam,3kali 3jam,1kali 3jam,2kali 3jam,3kali 1jam,1kali 1jam,2kali 1jam,3kali 2jam,1kali 2jam,3kali 3jam,1kali 3jam,2kali 3jam,3kali 1jam,1kali 1jam,2kali 1jam,3kali 2jam,1kali 2jam,2kali 3jam,1kali 3jam,2kali 3jam,3kali 1jam,1kali 1jam,2kali 1jam,3kali 2jam,1kali 2jam,2kali 2jam,3kali 3jam,2kali 3jam,3kali 1jam,1kali 1jam,2kali 1jam,3kali 2jam,1kali 2jam,2kali 2jam,3kali 3jam,1kali 3jam,3kali 1jam,1kali 1jam,2kali 1jam,3kali 2jam,1kali 2jam,2kali 2jam,3kali 3jam,1kali 3jam,2kali
Mean Difference (I-J) -.2467 -3.7433* -3.6633* -3.6033* -3.5967* -2.3400 -4.8200* -6.6800* .2467 -3.4967* -3.4167* -3.3567* -3.3500* -2.0933 -4.5733* -6.4333* 3.7433* 3.4967* .0800 .1400 .1467 1.4033 -1.0767 -2.9367 3.6633* 3.4167* -.0800 .0600 .0667 1.3233 -1.1567 -3.0167* 3.6033* 3.3567* -.1400 -.0600 .0067 1.2633 -1.2167 -3.0767* 3.5967* 3.3500* -.1467 -.0667 -.0067 1.2567 -1.2233 -3.0833* 2.3400 2.0933 -1.4033 -1.3233 -1.2633 -1.2567 -2.4800 -4.3400* 4.8200* 4.5733* 1.0767 1.1567 1.2167 1.2233 2.4800 -1.8600 6.6800* 6.4333* 2.9367 3.0167* 3.0767* 3.0833* 4.3400* 1.8600
Std. Error .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107 .85107
Sig. 1.000 .008 .010 .011 .012 .198 .001 .000 1.000 .015 .018 .021 .021 .312 .001 .000 .008 .015 1.000 1.000 1.000 .767 .929 .055 .010 .018 1.000 1.000 1.000 .816 .899 .046 .011 .021 1.000 1.000 1.000 .849 .872 .040 .012 .021 1.000 1.000 1.000 .852 .869 .040 .198 .312 .767 .816 .849 .852 .150 .002 .001 .001 .929 .899 .872 .869 .150 .453 .000 .000 .055 .046 .040 .040 .002 .453
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -3.2287 2.7354 -6.7254 -.7613 -6.6454 -.6813 -6.5854 -.6213 -6.5787 -.6146 -5.3220 .6420 -7.8020 -1.8380 -9.6620 -3.6980 -2.7354 3.2287 -6.4787 -.5146 -6.3987 -.4346 -6.3387 -.3746 -6.3320 -.3680 -5.0754 .8887 -7.5554 -1.5913 -9.4154 -3.4513 .7613 6.7254 .5146 6.4787 -2.9020 3.0620 -2.8420 3.1220 -2.8354 3.1287 -1.5787 4.3854 -4.0587 1.9054 -5.9187 .0454 .6813 6.6454 .4346 6.3987 -3.0620 2.9020 -2.9220 3.0420 -2.9154 3.0487 -1.6587 4.3054 -4.1387 1.8254 -5.9987 -.0346 .6213 6.5854 .3746 6.3387 -3.1220 2.8420 -3.0420 2.9220 -2.9754 2.9887 -1.7187 4.2454 -4.1987 1.7654 -6.0587 -.0946 .6146 6.5787 .3680 6.3320 -3.1287 2.8354 -3.0487 2.9154 -2.9887 2.9754 -1.7254 4.2387 -4.2054 1.7587 -6.0654 -.1013 -.6420 5.3220 -.8887 5.0754 -4.3854 1.5787 -4.3054 1.6587 -4.2454 1.7187 -4.2387 1.7254 -5.4620 .5020 -7.3220 -1.3580 1.8380 7.8020 1.5913 7.5554 -1.9054 4.0587 -1.8254 4.1387 -1.7654 4.1987 -1.7587 4.2054 -.5020 5.4620 -4.8420 1.1220 3.6980 9.6620 3.4513 9.4154 -.0454 5.9187 .0346 5.9987 .0946 6.0587 .1013 6.0654 1.3580 7.3220 -1.1220 4.8420
Lampiran 11. Data kadar protein (% bb) tepung tulang ikan tuna Ulangan 1 2 3 Rataan
A1P1 1,48 1,14 1,24 1,29
Kadar protein tepung tulang ikan (%) A1P3 A2P1 A2P2 A2P3 A3P1 0,72 1,05 0,86 1,01 0,65 0,86 0,98 0,91 0,92 0,73 0,58 1,14 0,42 0,34 0,42 0,60 1,10 0,73 0,51 0,72
A1P2 0,94 1,01 1,36 1,06
A3P2 0,51 0,59 0,42 0,76
A3P3 0,52 0,52 0,40 0,48
Lampiran 12. Analisis ragam kadar protein Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: PROTEIN Source Corrected Model Intercept AUTOKLAF PEREBUSA AUTOKLAF * PEREBUSA Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 1.909a 17.473 1.186 .495 .228 .700 20.081 2.609
df 8 1 2 2 4 18 27 26
Mean Square .239 17.473 .593 .247 5.702E-02 3.890E-02
F 6.133 449.208 15.241 6.361 1.466
Sig. .001 .000 .000 .008 .254
a. R Squared = .732 (Adjusted R Squared = .612)
Lampiran 13. Uji lanjut BNJ lama waktu autoklafing terhadap kadar protein Multiple Comparisons Dependent Variable: PROTEIN Mean Difference (I) AUTOKLAF(J) AUTOKLAF (I-J) Std. Error Tukey HSD 1jam 2jam .1889 .09297 3jam .5078* .09297 2jam 1jam -.1889 .09297 3jam .3189* .09297 3jam 1jam -.5078* .09297 2jam -.3189* .09297 Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
95% Confidence Interval Sig. Lower Bound Upper Bound .133 -.0484 .4262 .000 .2705 .7451 .133 -.4262 .0484 .008 .0816 .5562 .000 -.7451 -.2705 .008 -.5562 -.0816
Lampiran 14. Uji lanjut BNJ frekuensi perebusan terhadap kadar protein Multiple Comparisons PROTEIN Dependent Variable: Derajat Putih
Mean Difference (I) Perebusan (J) Perebusan (I-J) Std. Error Tukey HSD 1 kali 2 kali -1.7333 .88243 3 kali -6.0111* .88243 2 kali 1 kali 1.7333 .88243 3 kali -4.2778* .88243 3 kali 1 kali 6.0111* .88243 2 kali 4.2778* .88243
95% Confidence Interval Sig. Lower Bound Upper Bound .150 -3.9854 .5188 .000 -8.2632 -3.7590 .150 -.5188 3.9854 .000 -6.5299 -2.0257 .000 3.7590 8.2632 .000 2.0257 6.5299
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Lampiran 15. Data kadar lemak (% bb) tepung tulang ikan tuna Ulangan 1 2 3 Rataan
A1P1 4,55 4,50 3,33 4,13
A1P2 4,12 4,23 4,01 4,12
Kadar lemak tepung tulang ikan (%) A1P3 A2P1 A2P2 A2P3 A3P1 3,75 4,13 3,11 3,51 2,81 3,89 4,21 3,07 3,87 2,77 3,97 3,17 3,15 1,77 3,40 3,87 3,84 3,11 3,05 2,99
A3P2 2,97 3,12 3,56 3,22
A3P3 1,70 1,69 1,71 1,70
Lampiran 16. Analisis ragam kadar lemak Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: LEMAK Source Corrected Model Intercept AUTOKLAF PEREBUSA AUTOKLAF * PEREBUSA Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 14.150a 300.467 8.848 3.019 2.283 4.635 319.252 18.785
df
8 1 2 2 4 18 27 26
a. R Squared = .753 (Adjusted R Squared = .644)
Mean Square 1.769 300.467 4.424 1.509 .571 .257
F 6.869 1166.895 17.181 5.862 2.216
Lampiran 11 Uji lanjut BNJ waktu autoklafing terhadap kadar lemak
Sig. .000 .000 .000 .011 .108
Lampiran 17. Uji lanjut BNJ waktu autoklafing terhadap kadar lemak Multiple Comparisons Dependent Variable: LEMAK Mean Difference (I) AUTOKLAF(J) AUTOKLAF (I-J) Std. Error Tukey HSD 1jam 2jam .7067* .23921 3jam 1.4022* .23921 2jam 1jam -.7067* .23921 3jam .6956* .23921 3jam 1jam -1.4022* .23921 2jam -.6956* .23921
Sig. .022 .000 .022 .024 .000 .024
95% Confidence Interval Lower BoundUpper Bound .0962 1.3172 .7917 2.0127 -1.3172 -.0962 .0851 1.3061 -2.0127 -.7917 -1.3061 -.0851
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Lampiran 18. Uji lanjut BNJ frekuensi perebusan terhadap kadar lemak Multiple Comparisons Dependent Variable: ABU LEMAK Mean Difference (I) PEREBUSA(J) PEREBUSA (I-J) Std. Error Tukey HSD1kali 2kali -.8889 .49137 3kali -2.6722* .49137 2kali 1kali .8889 .49137 3kali -1.7833* .49137 3kali 1kali 2.6722* .49137 2kali 1.7833* .49137
95% Confidence Interval Sig. Lower BoundUpper Bound .195 -2.1429 .3652 .000 -3.9263 -1.4182 .195 -.3652 2.1429 .005 -3.0374 -.5293 .000 1.4182 3.9263 .005 .5293 3.0374
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Lampiran 19. Data kadar kalsium (%) tepung tulang ikan tuna Ulangan 1 2 Rataan
Kadar kalsium tepung kalsium tulang ikan (%) A1P1 A1P2 28,23 38,95 29,7 25,3 28,97 32,13
A1P3 38,76 26,08 35,42
A2P1 22,08 26,76 24,42
A2P2 24,37 32,3 28,34
A2P3 A3P1 36,82 23,96 41,66 23,48 39,24 23,72
A3P2 34,41 29,13 31,77
A3P3 27,83 31,55 29,59
Lampiran 20. Analisis ragam kadar kalsium Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: KALSIUM Type III Sum Source of Squares Corrected Model 346,689a Intercept 16282,304 AUTOKLAF 26,251 PEREBUSA 199,947 AUTOKLAF * PEREBUSA 120,492 Error 249,713 Total 16878,707 Corrected Total 596,402
df
8 1 2 2 4 9 18 17
Mean Square 43,336 16282,304 13,125 99,973 30,123 27,746
F 1,562 586,837 ,473 3,603 1,086
Sig. ,260 ,000 ,638 ,071 ,419
a. R Squared = ,581 (Adjusted R Squared = ,209)
Lampiran 21. Data kadar fosfor (%) tepung tulang ikan tuna Ulanga n 1 2 Rataan
A1P 1 10,83 13,77 12,3
Kadar fosfor tepung kalsium tulang ikan (%) A2P A2P A2P A3P A3P A1P2 A1P3 1 2 3 A3P1 2 3 12,72 15,6 9,54 12,29 15,2 12,09 11,88 12,69 12,93 12,89 13,13 13,08 12,12 13,08 13,15 13,09 12,83 14,25 11,34 12,71 13,66 12,59 12,52 12,89
Lampiran 22. Analisis ragam kadar fosfor
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Fosfor Type III Sum of Squares 10.741a 2940.934 7.080 1.079 2.581 20.892 2972.566 31.633
Source Corrected Model Intercept PEREBUSA AUTOKLAF PEREBUSA * AUTOKLAF Error Total Corrected Total
df 8 1 2 2 4 9 18 17
Mean Square 1.343 2940.934 3.540 .540 .645 2.321
F .578 1266.934 1.525 .232 .278
Sig. .774 .000 .269 .797 .885
a. R Squared = .340 (Adjusted R Squared = -.248)
Lampiran 23. Data nilai pH tepung tulang ikan tuna Ulangan 1 2 3 Rataan
A1P1 6,65 7,55 7,23 7,14
A1P2 6,64 7,42 7,12 7,06
Nilai pH tepung tulang ikan A1P3 A2P1 A2P2 A2P3 A3P1 6,77 6,63 6,62 6,68 6,14 7,70 7,51 7,46 7,58 7,68 7,20 7,32 7,35 7,13 7,27 7,22 7,15 7,14 7,13 7,03
A3P2 6,63 7,59 7,12 7,11
A3P3 6,51 7,59 7,11 7,07
Lampiran 24. Analisis ragam nilai pH Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: pH Type III Sum Source of Squares Corrected Model 8.161E-02a Intercept 1368.179 AUTOKLAF 3.034E-02 PEREBUSA 6.941E-03 AUTOKLAF * PEREBUSA 4.433E-02 Error 4.729 Total 1372.989 Corrected Total 4.810
df
8 1 2 2 4 18 27 26
Mean Square 1.020E-02 1368.179 1.517E-02 3.470E-03 1.108E-02 .263
F .039 5208.217 .058 .013 .042
a. R Squared = .017 (Adjusted R Squared = -.420)
Lampiran 25. Data nilai daya serap air (%) tepung tulang ikan tuna Ulanga
Nilai daya serap air (%) tepung tulang ikan
Sig. 1.000 .000 .944 .987 .996
n 1 2 3 Rataan
A1P 1 14,5 14,2 14,3 14,3
A1P2 14,6 14,7 14,7 14,7
A1P3 14,4 14,4 14,4 14,4
A2P 1 14,4 14,4 14,3 14,4
A2P 2 14 14 14 14
A2P 3 14,4 14,4 14,6 14,5
A3P1 14,3 14,2 14,2 14,2
A3P 2 14,5 14,6 14,6 14,6
A3P 3 14,4 14,6 14,4 14,5
Lampiran 26. Analisis ragam daya serap air Tests of Between-Subjects Effects
Daya serap air Dependent Variable: pH Type III Sum Source of Squares df Mean Square F Corrected Model 8.161E-02a 8 1.020E-02 .039 Intercept 1368.179 1 1368.179 5208.217 AUTOKLAF 3.034E-02 2 1.517E-02 .058 PEREBUSA 6.941E-03 2 3.470E-03 .013 AUTOKLAF * PEREBUSA 4.433E-02 4 1.108E-02 .042 Error 4.729 18 .263 Total 1372.989(g/ml) tepung 27 tulang ikan tuna Lampiran 27. Data densitas kamba Corrected Total 4.810 26
Densitas kamba tepung tulang ikan (g/ml ) a. R Squared = .017 (Adjusted R Squared = -.420) Ulangan A1P1 A1P2 A1P3 A2P1 A2P2 A2P3 A3P1 1 0,79 0,84 0,91 0,88 0,83 0,81 0,74 2 0,80 0,82 0,90 0,87 0,85 0,86 0,75 3 0,79 0,86 0,92 0,86 0,84 0,81 0,75 Rataan 0,79 0,84 0,91 0,87 0,84 0,84 0,75
A3P2 0,83 0,87 0,82 0,84
Sig. 1.000 .000 .944 .987 .996
A3P3 0,94 0,94 0,95 0,94
Lampiran 28. Analisis ragam densitas kamba Tests of Between-Subjects Effects DENSITAS KAMBA Dependent Variable: Densitas Kamba
Source Corrected Model Intercept PEREBUSA AUTOKLAF PEREBUSA * AUTOKLAF Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 10.741a 2940.934 7.080 1.079 2.581 20.892 2972.566 31.633
df 8 1 2 2 4 9 18 17
Mean Square 1.343 2940.934 3.540 .540 .645 2.321
F .578 1266.934 1.525 .232 .278
Sig. .774 .000 .269 .797 .885
a. R Squared = .340 (Adjusted R Squared = .248)
Lampiran 29. Data nilai derajat putih (%) tepung tulang ikan tuna Ulangan
Derajat putih tepung tulang ikan (%) A1P1
A1P2
A1P3
A2P1 A2P2 A2P3
A3P1
A3P2 A3P3
1 2 3 Rataan
59,9 60,0 58,5 59,3
60,5 62,5 62,0 61,7
62,5 65,5 64,5 64,2
58,5 63,0 64,0 61,8
61,0 64,5 62,5 62,7
62,0 66,0 66,0 64,7
63,5 65,5 64,0 64,3
66,0 67,0 66,5 66,5
78,0 74,5 72,0 74,8
Lampiran 30. Analisis ragam derajat putih Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Derajat Putih Source Corrected Model Intercept AUTOKLAF PEREBUSA AUTOKLAF * PEREBUSA Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 464.292a 112184.895 234.001 172.312 57.979 63.073 112712.260 527.365
df
8 1 2 2 4 18 27 26
Mean Square 58.036 112184.895 117.000 86.156 14.495 3.504
F 16.563 32015.560 33.390 24.587 4.137
Sig. .000 .000 .000 .000 .015
a. R Squared = .880 (Adjusted R Squared = .827)
Lampiran 31. Uji lanjut BNJ waktu autoklafing terhadap derajat putih Multiple Comparisons Dependent Variable: Derajat Putih Mean Difference (I) Autoklaf (J) Autoklaf (I-J) Std. Error Tukey HSD 1 jam 2 jam -1.2889 .88243 3 jam -6.7889* .88243 2 jam 1 jam 1.2889 .88243 3 jam -5.5000* .88243 3 jam 1 jam 6.7889* .88243 2 jam 5.5000* .88243
95% Confidence Interval Sig. Lower Bound Upper Bound .333 -3.5410 .9632 .000 -9.0410 -4.5368 .333 -.9632 3.5410 .000 -7.7521 -3.2479 .000 4.5368 9.0410 .000 3.2479 7.7521
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Lampiran 32. Uji lanjut BNJ frekuensi perebusan terhadap derajat putih Multiple Comparisons Dependent Variable: Derajat Putih Mean Difference (I) Perebusan (J) Perebusan (I-J) Std. Error Tukey HSD 1 kali 2 kali -1.7333 .88243 3 kali -6.0111* .88243 2 kali 1 kali 1.7333 .88243 3 kali -4.2778* .88243 3 kali 1 kali 6.0111* .88243 2 kali 4.2778* .88243 Based on observed means.
95% Confidence Interval Sig. Lower Bound Upper Bound .150 -3.9854 .5188 .000 -8.2632 -3.7590 .150 -.5188 3.9854 .000 -6.5299 -2.0257 .000 3.7590 8.2632 .000 2.0257 6.5299
Multiple Comparisons Dependent Variable: Derajat Putih
Tukey HSD
(I) interaksi 1 jam, 1 kali
1 jam, 2 kali
1 jam, 3 kali
2 jam, 1 kali
2 jam, 2 kali
2 jam, 3 kali
(J) interaksi 1 jam, 2 kali 1 jam, 3 kali 2 jam, 1 kali 2 jam, 2 kali 2 jam, 3 kali 3 jam, 1 kali 3 jam, 2 kali 3 jam, 3 kali 1 jam, 1 kali 1 jam, 3 kali 2 jam, 1 kali 2 jam, 2 kali 2 jam, 3 kali 3 jam, 1 kali 3 jam, 2 kali 3 jam, 3 kali 1 jam, 1 kali 1 jam, 2 kali 2 jam, 1 kali 2 jam, 2 kali 2 jam, 3 kali 3 jam, 1 kali 3 jam, 2 kali 3 jam, 3 kali 1 jam, 1 kali 1 jam, 2 kali 1 jam, 3 kali 2 jam, 2 kali 2 jam, 3 kali 3 jam, 1 kali 3 jam, 2 kali 3 jam, 3 kali 1 jam, 1 kali 1 jam, 2 kali 1 jam, 3 kali 2 jam, 1 kali 2 jam, 3 kali 3 jam, 1 kali 3 jam, 2 kali 3 jam, 3 kali 1 jam, 1 kali 1 jam, 2 kali 1 jam, 3 kali 2 jam, 1 kali 2 jam, 2 kali 3 jam, 1 kali
Mean Difference (I-J) -2.2000 -4.7000 -2.3667 -3.2000 -5.2000 -4.8667 -7.0333* -15.3667* 2.2000 -2.5000 -.1667 -1.0000 -3.0000 -2.6667 -4.8333 -13.1667* 4.7000 2.5000 2.3333 1.5000 -.5000 -.1667 -2.3333 -10.6667* 2.3667 .1667 -2.3333 -.8333 -2.8333 -2.5000 -4.6667 -13.0000* 3.2000 1.0000 -1.5000 .8333 -2.0000 -1.6667 -3.8333 -12.1667* 5.2000 3.0000 .5000 2.8333 2.0000 .3333
Std. Error 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841 1.52841
Sig.
.868 .112 .819 .506 .061 .092 .005 .000 .868 .775 1.000 .999 .584 .714 .096 .000 .112 .775 .829 .983 1.000 1.000 .829 .000 .819 1.000 .829 1.000 .650 .775 .117 .000 .506 .999 .983 1.000 .916 .968 .290 .000 .061 .584 1.000 .650 .916 1.000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -7.5554 3.1554 -10.0554 .6554 -7.7220 2.9887 -8.5554 2.1554 -10.5554 .1554 -10.2220 .4887 -12.3887 -1.6780 -20.7220 -10.0113 -3.1554 7.5554 -7.8554 2.8554 -5.5220 5.1887 -6.3554 4.3554 -8.3554 2.3554 -8.0220 2.6887 -10.1887 .5220 -18.5220 -7.8113 -.6554 10.0554 -2.8554 7.8554 -3.0220 7.6887 -3.8554 6.8554 -5.8554 4.8554 -5.5220 5.1887 -7.6887 3.0220 -16.0220 -5.3113 -2.9887 7.7220 -5.1887 5.5220 -7.6887 3.0220 -6.1887 4.5220 -8.1887 2.5220 -7.8554 2.8554 -10.0220 .6887 -18.3554 -7.6446 -2.1554 8.5554 -4.3554 6.3554 -6.8554 3.8554 -4.5220 6.1887 -7.3554 3.3554 -7.0220 3.6887 -9.1887 1.5220 -17.5220 -6.8113 -.1554 10.5554 -2.3554 8.3554 -4.8554 5.8554 -2.5220 8.1887 -3.3554 7.3554 -5.0220 5.6887
Lampiran 33. Whitenesmeter (alat pengukur derajat putih pada tepung )
Lampiran 34. Alat destilasi protein metode Kjeldahl
. Lampiran 35. Tulang ikan tuna setelah dibersihkan
Lampiran 36. Proses hidrolisis dengan larutan NaOH
Lampiran 37. Tepung tulang ikan tuna.
Lampiran 38. Tepung tulang ikan masing-masing perlakuan.