PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DAN FOSFOR DALAM PEMBUATAN BISKUIT
ADRIANUS ORIAS WILLEM KAYA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Patin (Pangasius sp) sebagai Sumber Kalsium dan Fosfor dalam Pembuatan Biskuit” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi telah dinyatakan secara jelas dan menyebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini
Bogor, Januari 2008
Adrianus Orias Willem Kaya NRP C351050091
ABSTRACT ADRIANUS ORIAS WILLEM KAYA. Utilization of Patin Fishbone Powder as Calcium and Phosphorus Sources in Making of Biscuit. Supervised by JOKO SANTOSO and ELLA SALAMAH. The utilization of fisheries resources in fisheries processing industries has not been conducted yet optimally, mainly to utilize their waste such as bone, viscera, and skin. Patin fishbone is a main waste product from patin filleting industry. From the viewpoint of foodstuffs, it’s contains a high number of mineral especially Ca and P. These experiments were carried out to study the effect of fishbone powder producing methods i.e. dry and wet methods in correlation to their physicochemical characteristics including the solubility of Ca and P. The physicochemical characteristics of patin fishbone powder were not affected significantly by producing method; however, dry method produced higher percent solubility of Ca and P than wet method. Based on organoleptic test through scoring test, adding 2% (formula A) and 4% (formula B) of patin fishbone powder into biscuit products gave the high average values of appearance, color, flavor, texture and taste; and they also had the higher values of appearance and color in comparison to commercial product. The physicochemical characteristics of biscuit formula A and B were almost same to the commercial product. The highest percent solubility of Ca and P were found in biscuit formula A and control (without adding patin fishbone powder) with values were 95.06% and 74.24% respectively. Consuming 7 pieces of biscuit formula A will contribute Ca and P requirements are 9.01% and 8.34% respectively, whereas biscuit formula B are 14.92% and 18.43%; with assumption all of Ca and P can be absorbed well by human body. Key words: biscuit, calcium, fishbone powder, mineral solubility, phosphorus
RINGKASAN ADRIANUS ORIAS WILLEM KAYA. Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Patin (Pangasius sp) sebagai Sumber Kalsium dan Fosfor dalam Pembuatan Biskuit. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan ELLA SALAMAH. Pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam industri pengolahan belum dilakukan secara optimal, utamanya dalam memanfaatkan limbah yang dihasilkan seperti tulang, jeroan dan kulit. Tulang patin merupakan limbah utama yang dihasilkan industri pemfiletan ikan patin. Dari sudut pandang bahan bagan, limbah tersebut mempunyai kandungan mineral tinggi terutama Ca dan P. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh metode pembuatan tepung tulang ikan patin yaitu metode kering dan basah dalam kaitannya dengan karakteristik fisikokimianya termasuk kelarutan Ca dan P. Karakteristik fisiko-kimia tepung tulang ikan patin tidak dipengaruhi secara nyata oleh metode pembuatannya, tetapi metode kering menghasilkan persen kelarutan Ca dan P lebih tinggi dibandingkan metode basah. Berdasarkan uji organoleptik dengan uji skoring, penambahan 2% (formula A) dan 4% (formula B) tepung tulang ikan patin kedalam produk biskuit memberikan nilai rata-rata tinggi terhadap parameter penampakan, warna, aroma, tekstur dan rasa; dan juga mempunyai nilai penampakan dan warna lebih tinggi dibandingkan dengan produk komersial. Karakteristik fisiko-kimia biskuit formula A dan B menyerupai produk komersial. Persen kelarutan Ca dan P tertinggi diperoleh pada formula A dan kontrol (tanpa penambahan tepung tulang ikan patin) dengan nilai berturut-turut sebesar 95,06% dan 74,24%. Mengkonsumsi 7 keping biskuit formula A dapat menyumbangkan kebutuhan Ca dan P masing-masing sebesar 9,01% dan 8,4%; sedangkan biskuit formula B sebesar 14,92% dan 18,43% dengan asumsi semua Ca dan P dapat diserap dengan baik oleh tubuh. Kata kunci: biskuit, kalsium, tepung tulang ikan, kelarutan mineral, fosfor
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan Karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan Kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DAN FOSFOR DALAM PEMBUATAN BISKUIT
ADRIANUS ORIAS WILLEM KAYA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas anugerahNya sehingga penulisan tesis dengan judul ”Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Patin (Pangasius sp) sebagai Sumber Kalsium dan Fosfor dalam Pembuatan Biskuit” dapat terselesaikan. Ucapan
terima
kasih
yang tak terhingga penulis sampaikan secara
khusus kepada Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing dan Dra. Ella Salamah, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing atas segala kebijaksanaan dan kesabaran serta masukan mulai dari rencana judul penelitian hingga penulisan tesis ini. Penyusunan tesis ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Rektor Universitas Pattimura yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB. 2. Pemda Propinsi Maluku atas bantuan dana bagi penulis untuk kelancaran proses penelitian. 3. Yayasan Satyabhakti Widya atas bantuan dana yang sangat membantu penulis dalam proses penelitian. 4. Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (DAMANDIRI) atas bantuan dana bagi pelaksanaan penulisan tesis. 5. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc, selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan guna penyempurnaan tesis ini. 6. Papa (alm) dan mama tercinta, serta semua kakakku (Nane dan Bung John, Yanni, Heri dan Bung Hengki) dan ketiga keponakanku (Econ, Papit, Ece): terima kasih atas semua doa dan bantuan yang tak putus-putusnya bagi penulis. 7. Teman-teman S2 THP angkatan ’05 atas semangat dan kebersamaan yang terjalin erat selama ini. 8. Teman-teman dari Ambon (B’Mon, U’Ola, Ibu Linda, Nona, Degen, Edi, Max ”Perwira 12 crew”,Thya dan B’Charles ”Agape Crew”) untuk segala bantuan dan dukungan dalam proses perkuliahan sampai penulisan tesis ini.
9. Teman-teman penghuni Perwira No.12 yang penuh dengan suasana kekeluargaan meskipun dari latar belakang yang berbeda namun tetap kompak. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini. Oleh karena itu saran dan kritik untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang memerlukannya. Bogor, Januari 2008
Adrianus Orias Willem Kaya
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ·······················································································
xi
DAFTAR GAMBAR ··················································································
xii
DAFTAR LAMPIRAN ··············································································
xii
1. PENDAHULUAN····················································································
1
1.1 Latar Belakang ··················································································
1
1.2 Perumusan Masalah············································································
3
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian···························································
4
1.4 Hipotesis ····························································································
5
1.5 Kerangka Pemikiran ···········································································
5
2. TINJAUAN PUSTAKA···········································································
8
2.1 Ikan Patin ···························································································
8
2.2 Tulang Ikan ························································································
9
2.3 Tepung Tulang Ikan ···········································································
10
2.4 Kalsium ······························································································
11
2.4.1 Peranan kalsium pada manusia ·················································· 2.4.2 Sumber kalsium········································································· 2.4.3 Kebutuhan kalsium···································································· 2.4.4 Asupan kalsium ········································································· 2.4.5 Penyerapan kalsium···································································
12 13 14 16 17
2.5 Fosfor ····························································································· 2.6 Biskuit ·····························································································
21 22
2.6.1 Klasifikasi biskuit······································································ 2.6.2 Bahan-bahan pembuat biskuit····················································
23 24
3. METODOLOGI ·······················································································
29
3.1 Waktu dan Tempat ·············································································
29
3.2 Bahan dan Alat···················································································
29
3.3 Tahapan Penelitian ·············································································
30
3.3.1 Penelitian pendahuluan ···························································· 3.3.2 Penelitian lanjutan ··································································· 3.3.3 Prosedur analisis ······································································
30 31 34
3.3.3.1 3.3.3.2
Uji organoleptik (Soekarto 1985)······························· Derajat putih (Faridah et al. 2006) ·····························
34 34
3.3.3.3 3.3.3.4 3.3.3.5 3.3.3.6 3.3.3.7 3.3.3.8 3.3.3.9 3.3.3.10 3.3.3.11 3.3.3.12 3.3.3.13
Daya serap air (Fardiaz et al. 1992) ··························· Densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992) ······· Uji kekerasan (Rangganan 1986) ······························· Kadar air (SNI 1992)·················································· Kadar abu (SNI 1992) ················································ Kadar lemak (SNI 1992) ············································ Kadar protein (SNI 1992)··········································· Kadar kalsium ( Reitz et al. 1987)······························ Kadar fosfor (Anggraeni 2003) ·································· Nilai pH (Apriyantono et al. 1989) ···························· Mineral terlarut (modifikasi Santoso 2003)················
35 35 35 36 36 37 37 38 39 39 40
3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ········································
41
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ·······························································
43
4.1 Penelitian Pendahuluan···································································
43
4.1.1 Karakteristik fisik tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)····· 4.1.2 Karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ··· 4.1.3 Solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ·········································································
43 46
4.2 Penelitian Lanjutan ············································································
51
4.2.1 Organoleptik ············································································
51
4.2.1.1 Penampakan···································································· 4.2.1.2 Warna ············································································· 4.2.1.3 Aroma ············································································ 4.2.1.4 Tekstur ············································································ 4.2.1.5 Rasa ················································································
52 53 55 56 57
4.2.2 Uji perbandingan pasangan······················································
58
4.2.3 Karakteristik fisik biskuit·························································
59
4.2.4 Karakteristik kimia biskuit·······················································
61
4.2.4.1 Kadar air ········································································· 4.2.4.2 Kadar abu········································································ 4.2.4.3 Kadar lemak···································································· 4.2.4.4 Kadar protein ·································································· 4.2.4.5 Kadar kalsium································································· 4.2.4.6 Kadar fosfor ···································································· 4.2.4.7 Nilai pH ·········································································· 4.2.4.8 Karbohidrat by difference················································
61 62 63 63 64 65 65 66
4.2.5 Solubilitas kalsium dan fosfor biskuit······································
66
4.2.6 Informasi nilai gizi biskuit ·······················································
69
5. SIMPULAN DAN SARAN·····································································
70
5.1 Simpulan···························································································· 5.2 Saran ·····························································································
70 70
49
DAFTAR PUSTAKA··················································································
71
LAMPIRAN ·····························································································
78
DAFTAR TABEL Halaman 1. Kebutuhan kalsium dan fosfor dalam tubuh manusia ····························
15
2. Syarat mutu biskuit SNI 01-2973 tahun 1992········································
23
3. Klasifikasi biskuit menurut Manley (1983) ···········································
24
4. Karakteristik fisik tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)···················
43
5. Karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)·················
46
6. Solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) pada berbagai nilai pH···········································································
49
7. Rataan hasil uji organoleptik biskuit tepung tulang ikan patin···············
52
8. Karakteristik fisik biskuit tepung tulang ikan patin dan biskuit komersial ····························································································
60
9. Karakteristik kimia biskuit tepung tulang ikan patin dan biskuit komersial ·····························································································
61
10. Solubilitas kalsium dan fosfor biskuit····················································
67
11. Informasi nilai gizi biskuit formulasi dan komersial······························
69
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) sebagai sumber kalsium dan fosfor dalam pembuatan biskuit ······································································
7
2. Prosedur pembuatan tepung tulang ikan patin (modifikasi metode Tanuwidjaya 2002)··············································································
32
3. Prosedur pembuatan biskuit (modifikasi metode Soedarno 1998) ·······
33
4a. Grafik solubilitas kalsium tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)·····
50
4b. Grafik solubilitas fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ·······
50
5. Histogram nilai penampakan biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ·····················································································
53
6. Histogram nilai warna biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ·····················································································
54
7. Histogram nilai aroma biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp ) ····················································································
55
8. Histogram nilai tekstur biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ·····················································································
56
9. Histogram nilai rasa biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)··
58
10. Histogram nilai perbandingan pasangan biskuit A dan B ····················
59
11a. Grafik solubilitas kalsium biskuit pada berbagai nilai pH····················
67
11b. Grafik solubilitas fosfor biskuit pada berbagai nilai pH·······················
68
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Lembar penilaian organoleptik ······························································
78
2. Lembar penilaian organoleptik biskuit tulang ikan patin terbaik dengan biskuit komersial (biskuit yang ada di pasaran ·············
79
3. Analisis ragam derajat putih tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)···
80
4. Uji T daya serap air tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ················
80
5. Analisis ragam densitas kamba tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)
80
6. Uji T kadar air tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)························
81
7. Uji T kadar abu tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ······················
81
8. Analisis ragam kadar kalsium tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)
82
9. Analisis ragam kadar fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ···
82
10. Analisis ragam nilai pH tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)··········
82
11. Analisis ragam kadar protein tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)··
83
12. Analisis ragam kadar lemak tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ···
83
13. Data uji organoleptik penampakan biskuit·············································
84
14. Data uji organoleptik warna biskuit·······················································
85
15. Data uji organoleptik aroma biskuit·······················································
86
16. Data uji organoleptik tekstur biskuit······················································
87
17. Data uji organoleptik rasa biskuit ··························································
88
18. Data uji perbandingan pasangan biskuit A·············································
89
19. Data uji perbandingan pasangan biskuit B·············································
90
20. Hasil uji Kruskal Wallis terhadap penampakan biskuit··························
91
21. Hasil uji Kruskal Wallis terhadap warna biskuit ····································
91
22. Hasil uji Kruskal Wallis terhadap aroma biskuit dan uji lanjut Multiple Comparison ····························································································
92
23. Hasil uji Kruskal Wallis terhadap tekstur biskuit dan uji lanjut Multiple Comparison ···························································································
93
24. Hasil uji Kruskal Wallis terhadap rasa biskuit dan uji lanjut Multiple Comparison ···························································································
94
25. Analisis ragam kadar air biskuit dan uji lanjut Tukey····························
95
26. Analisis ragam kadar abu biskuit dan uji lanjut Tukey ··························
96
27. Analisis ragam kadar protein biskuit dan uji lanjut Tukey·····················
97
28. Analisis ragam kadar lemak biskuit dan uji lanjut Tukey ······················
98
29. Analisis ragam nilai pH biskuit dan uji lanjut Tukey·····························
99
30. Analisis ragam kadar kalsium biskuit dan uji lanjut Tukey ···················
100
31. Analisis ragam kadar fosfor biskuit dan uji lanjut Tukey ······················
101
32. Analisis ragam karbohidrat by difference biskuit dan uji lanjut Tukey ··
102
33. Analisis ragam nilai berat biskuit ··························································
103
34. Analisis ragam nilai ketebalan biskuit ···················································
103
35. Analisis ragam nilai diameter biskuit·····················································
103
36. Analisis ragam nilai kekerasan biskuit dan uji lanjut Tukey··················
104
37. Perhitungan nilai kalori per 100 g biskuit ··············································
105
38. Tepung tulang ikan patin ·······································································
106
39. Biskuit hasil formulasi dengan penambahan tepung tulang ikan patin···
107
40. Tulang ikan patin utuh···········································································
108
41. Tulang ikan patin yang sudah mengalami pengecilan ukuran················
108
42. Tulang ikan patin siap olah menjadi tepung ··········································
109
43. Perhitungan kadar kalsium dan fosfor pada biskuit A····························
109
44. Perhitungan kadar protein dan lemak pada biskuit A·····························
110
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pengolahan sumberdaya perikanan terutama ikan belum optimal dilakukan sampai dengan pemanfaatan limbah hasil perikanan, seperti kepala, tulang, sisik, dan kulit. Seiring dengan berkembangnya industri perikanan, limbah yang dihasilkan dari produksi perusahaan juga meningkat. Dalam usaha pengolahan ikan hampir selalu dihasilkan limbah berupa padatan (tulang, kepala) dan cairan yang secara langsung maupun tidak akan memberikan dampak kurang baik terhadap lingkungan karena menimbulkan pencemaran. Limbah padat yang berasal dari usaha industri perikanan maupun pengolahan rumah tangga cukup besar, salah satunya adalah tulang ikan. Limbah perikanan yang berasal dari tulang ikan patin sebagai salah satu contoh masih belum diolah dan dimanfaatkan secara maksimal. Masalah limbah ini harus ditangani dan diatasi dengan baik dan terencana sehingga dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan serta menghindari terjadinya pencemaran lingkungan. Proses penanganan limbah industri perikanan yang umum dilakukan adalah pengolahan menjadi pakan ternak, penimbunan dan pembakaran. Salah satu unit usaha perikanan yang menghasilkan limbah tulang ikan adalah Unit Usaha Fillet Ikan Patin IPB. Unit usaha ini setiap minggunya mengolah 3 ton ikan patin untuk dijadikan fillet ikan dan menghasilkan 300 kg tulang ikan sebagai salah satu limbahnya (10% dari total berat ikan). Proses penanganan limbah ikan yang dihasilkan oleh unit usaha ini adalah dengan cara penguburan, pembakaran dan diambil oleh masyarakat sekitar untuk dikonsumsi karena pada tulang ikan patin tersebut masih terdapat sisa daging yang dapat dimasak atau digoreng 1. Salah satu bentuk pengolahan tulang ikan patin yang dilakukan adalah penepungan. Pengolahan tulang ikan patin menjadi tepung tulang telah dilakukan oleh Tanuwidjaya (2002) dan Mulia (2004). Tepung tulang ikan adalah suatu 1
Komunikasi pribadi dengan Kepala Unit Usaha Fillet Ikan Patin IPB bulan Oktober 2006
produk padat kering yang dihasilkan dengan cara mengeluarkan sebagian besar cairan atau seluruh lemak yang terkandung pada tulang ikan (Kaup et al. 1991). Aplikasi pemanfaatan tepung tulang ikan patin dalam bentuk produk pangan telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya : pemanfaatan tepung tulang ikan patin untuk meningkatkan kandungan kalsium susu kacang hijau (Nurdiani 2003); pemanfaatan tepung tulang ikan patin sebagai bahan tambahan kerupuk (Tabakaka 2004); kajian potensi limbah tulang ikan patin sebagai alternatif sumber kalsium dalam produk mi kering (Mulia
2004) dan studi
pembuatan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin (Asni 2004). Tepung tulang ikan patin dengan kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi dapat merupakan sumber alternatif pemenuhan kebutuhan akan kalsium dan fosfor bagi tubuh. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin dalam bahan pangan sangatlah dimungkinkan, namun yang harus diteliti lebih mendalam adalah sampai sejauh mana tepung tulang ikan patin tersebut mampu dicerna dan diserap oleh tubuh. Solubilitas tepung tulang ikan patin sangat mutlak diketahui baik dalam bentuk tepung maupun yang telah ditambahkan kedalam bahan pangan. Hal ini dikarenakan seberapa besarpun kandungan mineral yaitu kalsium dan fosfor yang dimiliki oleh bahan pangan tetapi apabila mineral tersebut tidak dapat diserap dengan baik oleh tubuh sangatlah tidak memiliki fungsi apapun bagi tubuh manusia. Mineral akan bersifat bioavailable (jumlah zat dari nutrisi bahan pangan yang dapat digunakan sepenuhnya oleh tubuh) apabila mineral tersebut dalam bentuk mineral terlarut, namun tidak semua mineral terlarut bersifat bioavailable. Kondisi mineral terlarut diperlukan untuk memudahkan dalam penyerapan mineral di dalam tubuh (O’Dell 1984; Watzke 1998; Clydesdale 1988; Newman dan Jagoe 1994 ). Kalsium pada ikan terutama pada tulang membentuk kompleks dengan fosfor dalam bentuk apatit atau trifosfat (Lovell 1989). Bentuk kompleks ini terdapat pada abu tulang yang dapat diserap dengan baik oleh tubuh yaitu sekitar 60-70% (Lutwak 1982). Salah satu dampak dari defisiensi kalsium yang sekarang ini banyak terjadi adalah osteoporosis. Osteoporosis atau yang lebih dikenal dengan nama tulang
keropos merupakan suatu penyakit rapuh tulang yang ditandai dengan hilangnya kepadatan tulang setelah mencapai usia tua. Pada anak-anak defisiensi kalsium dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tulang/rickets. Kekurangan kalsium juga dapat menyebabkan osteomalasia, apalagi di Indonesia yang konsumsi kalsiumnya masih sangat rendah, diperburuk dengan pencegahan osteoporosis yang belum intensif. Untuk mencegah kekurangan kalsium perlu konsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup. Sumber kalsium yang populer saat ini adalah susu dan produk turunannya seperti keju dan suplemen kalsium. Sangat
disayangkan
produk-produk
tersebut
masih
mahal
jangkauan daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia
dan
diluar
(Almatsier 2002).
Tulang ikan patin yang telah diolah menjadi tepung memiliki kandungan mineral tinggi terutama kalsium dan fosfor. Hal tersebut dapat menjadi sumber alternatif pemanfaatan limbah hasil perikanan kususnya tulang ikan sebagai sumber kalsium dan fosfor. Pengolahan tulang ikan patin menjadi tepung dengan kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi dapat diterapkan kedalam salah satu bentuk produk pangan yang mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Pemilihan bentuk diversifikasi produk yang dipilih adalah biskuit dikarenakan produk ini sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia untuk semua golongan umur dan tingkat sosial masyarakat. Selain itu biskuit umumnya merupakan bahan pangan yang relatif murah harganya sehingga banyak disukai dan dikonsumsi oleh masyarakat dari berbagai kalangan
1.2. Perumusan Masalah Pemanfaatan limbah tulang ikan patin belum dilakukan secara optimal dan bertanggung jawab. Hal tersebut bertolak belakang dengan kenyataan bahwa tulang ikan patin yang telah diolah menjadi tepung tulang memiliki kandungan nilai gizi (mineral) yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber pangan bagi manusia. Kandungan mineral khususnya kalsium dan fosfor yang tinggi yaitu 264,53 mg/g bk dan 88,38 mg/g bk dapat menjadi salah satu sumber mineral yang murah jika dibandingkan dengan sumber kalsium lainnya seperti susu dan produk turunannya yang memiliki harga yang sangat mahal serta berada diluar jangkauan daya beli sebagian besar masyarakat. Potensi yang
bernilai tinggi tersebut dapat membantu masyarakat kecil dan golongan ekonomi lemah dalam hal pemenuhan kebutuhan akan kalsium dan fosfor bagi tubuh sehingga dapat menurunkan dan mengurangi jumlah penderita osteoporosis maupun osteomalasia. Disisi lain penanganan limbah perikanan yang tepat dan berhasil guna dapat meningkatkan pendapatan nelayan/pembudidaya serta menyelamatkan lingkungan akibat tidak tertanganinya dengan baik limbah perikanan yang dapat merusak lingkungan. Dengan demikian dirasa perlu untuk dilakukan penelitian pemanfaatan limbah tulang ikan patin yang diolah menjadi tepung tulang dan diaplikasikan kedalam bentuk produk pangan yaitu biskuit. Informasi tentang solubilitas/kelarutan kalsium dan fosfor yang berasal dari tepung tulang ikan patin belum ada sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan solubilitas terbaik dari kalsium dan fosfor dengan perlakuan beberapa nilai pH yang berbeda serta aplikasinya dalam produk pangan yaitu biskuit.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Membuat tepung tulang ikan dengan metode basah dan kering serta menganalisis karakteristik fisika dan kimia tepung tulang ikan patin. 2. Mempelajari solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin pada kondisi pH yang berbeda. 3. Membuat biskuit kaya kalsium melalui penambahan tepung tulang ikan patin dan mengetahui karakteristik organoleptik, fisika dan kimia. 4. Mempelajari solubilitas kalsium dan fosfor pada biskuit yang ditambah dengan tepung tulang ikan patin. Manfaat penelitian ini adalah sebagai sumber informasi pemanfaatan limbah hasil perikanan yang memiliki nilai gizi tinggi khususnya kalsium dan fosfor yang dapat ditambahkan kedalam produk pangan yaitu biskuit dalam kaitannya dengan nilai kelarutan kedua mineral tersebut sehingga dapat dimanfaatkan dengan baik oleh tubuh.
1.4. Hipotesis 1. Tepung tulang ikan patin memiliki kandungan mineral tinggi terutama kalsium dan fosfor. 2. Pembuatan tepung tulang ikan patin dengan dua metode yang berbeda yaitu metode basah dan kering akan berpengaruh terhadap karakteristik fisiko kimianya termasuk solubilitas kalsium dan fosfor. 3. Biskuit yang ditambah dengan tepung tulang ikan patin mempunyai kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi. 4. Solubilitas kalsium dan fosfor dalam biskuit yang ditambah dengan tepung tulang ikan patin dipengaruhi oleh adanya interaksi dengan zat gizi lainnya.
1.5. Kerangka Pemikiran Tulang ikan patin merupakan salah satu limbah hasil perikanan yang belum mendapat perhatian dan penanganan yang optimal. Kenyataan tersebut bertolak belakang dengan potensi yang dimiliki oleh tulang ikan patin yaitu kandungan mineral khususnya kalsium dan fosfor yang tinggi. Tulang ikan memiliki proporsi 10% dari total susunan tubuh ikan merupakan salah satu limbah pengolahan ikan yang memiliki kadar kalsium dan fosfor dalam jumlah tinggi. Tulang ikan banyak mengandung kalsium dalam bentuk kalsium fosfat sebanyak 14% dari total susunan tulang (Subasinghe 1996). Unsur utama dari tulang ikan adalah kalsium, fosfor dan karbonat, sedangkan yang terdapat dalam jumlah kecil yaitu magnesium, sodium, stronsium, fitat, klorida, hidroksida dan sulfat (Halver 1989). Persentase berat kalsium pada ikan secara umum adalah 0,11% dengan rasio kalsium dan fosfor adalah 1,6 : 0,7 (Lovell 1989). Penyerapan kalsium yang terdapat dalam makanan dipengaruhi oleh konsentrasi kalsium yang ada dalam makanan dan adanya faktor pendorong dan/atau penghambat terhadap penyerapan kalsium (Miller 1989 dalam Fennema 1996). Pengolahan tulang ikan patin menjadi tepung dan kemudian ditambahkan ke
dalam
produk
meminimalkan
pangan
pembuangan
dapat limbah
mengurangi hasil
pencemaran
perikanan
yang
lingkungan, tidak
dapat
dimanfaatkan/diolah, dan meningkatkan nilai tambah. Selain itu tingginya kandungan zat gizi khususnya kalsium dan fosfor dapat membantu dan mencegah
penyakit osteoporosis dan osteomalasia. Metode pengolahan tulang ikan patin menjadi tepung tulang ikan patin melalui proses perebusan dengan menggunakan autoclave (metode basah) menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar kalsium dan fosfor yang tinggi. Kenyataan tersebut memberikan suatu kemungkinan apakah dengan menggunakan metode pengovenan (metode kering) dan metode perebusan dengan menggunakan autoclave (metode basah) dapat memberikan pengaruh terhadap karakteristik fisik, kimia termasuk solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin yang dihasilkan. Salah satu produk pangan yang sangat digemari oleh sebagian besar masyarakat adalah biskuit. Pembuatan biskuit yang ditambahkan dengan tepung tulang ikan patin akan memiliki kandungan nilai gizi yang tinggi serta kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi pula, sehingga dapat dijadikan alternatif baru pemenuhan kebutuhan akan kalsium dan fosfor. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Limbah tulang ikan patin
Tinggi kandungan kalsium dan fosfor
Metode basah (perebusan dengan autoclave)
Metode kering (pengovenan)
Tepung tulang ikan patin
Biskuit kaya kalsium dan fosfor
-
Meningkatkan nilai tambah (added value) tulang ikan patin Sumber alternatif pemenuhan kebutuhan akan kalsium dan fosfor Sumber kalsium untuk mencegah osteoporosis dan osteomalasia Mencegah serta mengurangi pencemaran lingkungan Meminimalkan pembuangan limbah hasil perikanan
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) sebagai sumber kalsium dan fosfor dalam pembuatan biskuit.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Patin Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi, dengan rasa daging yang enak. Ikan patin memiliki banyak kelebihan daripada ikan air tawar lainnya, diantaranya ikan patin termasuk salah satu ikan yang rakus terhadap makanan, dalam enam bulan ikan patin sudah bisa mencapai panjang 35-40 cm, tempat pemeliharan ikan patin tidak memerlukan air yang mengalir, bahkan di perairan yang kandungan oksigennya rendah ikan patin masih dapat hidup dan berkembang. Ikan patin banyak ditemukan di sungai dan danau karena ikan ini merupakan ikan yang hidup di perairan umum (Khairuman dan Suhendra 2002). Klasifikasi ikan patin (Pangasius sp) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Filum
: Chordata
Subfilum : Vertebrata Subkelas : Teleostei Ordo
: Ostariophysi
Famili
: Pangasidea
Genus
: Pangasius
Spesies : Pangasius sp Ikan patin memiliki badan yang memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya dapat mencapai 120 cm. Ikan patin tidak memiliki sisik, kepala relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala agak sebelah bawah. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba (Susanto dan Amri 1997). Ikan patin cukup potensial dibubidayakan di berbagai media pemeliharaan yang
berbeda
meliputi
dua
seperti
kolam, keramba, dan jala apung. Budidaya ikan ini
kegiatan
yakni
pembenihan dan pembesaran. Kegiatan
pembenihan merupakan upaya untuk menghasilkan benih pada ukuran tertentu. Pembesaran merupakan kegiatan untuk menghasilkan ikan yang siap
dikonsumsi, meskipun ukuran ikan yang dikonsumsi biasanya berbeda sesuai dengan kebutuhan pasar (Susanto dan Amri 1997). Pemanenan ikan patin dilakukan apabila ikan patin telah berumur minimal 6 bulan dengan berat berkisar 1-2,5 kg, dimana pada umur ini biasanya sudah mencapai ukuran siap dikonsumsi. Selama pemanenan berlangsung diusahakan agar ikan tidak rusak atau mengalami luka memar apalagi mati. Apabila panen dilakukan dengan tidak hati-hati maka mutu ikan menjadi menurun dan harga jual menjadi rendah. Oleh karena itu pada saat ikan diangkut ke pasar harus tetap dalam keadaan hidup atau dalam kondisi segar (Susanto dan Amri 1997).
2.2. Tulang Ikan Tulang ikan yang memiliki proporsi 10% dari total susunan tubuh ikan merupakan salah satu limbah pengolahan ikan yang memiliki kadar kalsium dalam jumlah tinggi. Tulang ikan banyak mengandung kalsium dalam bentuk kalsium fosfat sebanyak 14% dari total susunan tulang (Subasinghe 1996). Beberapa mineral pada ikan merupakan unsur pokok dari jaringan keras seperti tulang, sirip dan sisik (Lovell 1989). Kandungan mineral ikan bergantung pada spesies, jenis kelamin, siklus biologis dan bagian tubuh yang dianalisis (Navarro 1991 dalam Martinez et al. 1998). Kandungan mineral juga bergantung pada faktor ekologis seperti musim, tempat pengembangan, ketersediaan jumlah nutrisi, suhu dan salinitas air (Martinez et al. 1998). Unsur utama dari tulang ikan adalah kalsium, fosfor dan karbonat, sedangkan yang terdapat dalam jumlah kecil yaitu magnesium, sodium, stronsium, fitat, klorida, hidroksida dan sulfat (Halver 1989). Persentase berat kalsium pada ikan secara umum adalah 0,1-1% dengan rasio kalsium dan fosfor adalah 1,6 : 0,7 (Lovell 1989). Tulang merupakan jaringan pengikat yang sangat khusus bentuknya. Tulang dibentuk dalam dua proses yang terpisah, yaitu pembentukan matriks dan penempatan mineral kedalam matriks tersebut. Tiga jenis komponen seluler terlibat didalamnya dengan fungsi yang berbeda-beda yaitu osteoblast dalam pembentukan tulang, osteocyte dalam pemeliharaan tulang, dan osteoclast dalam penyerapan kembali tulang. Osteoblast membentuk kolagen tempat mineral-
mineral melekat. Mineral utama di dalam tulang adalah kalsium dan fosfor, sedangkan mineral lain terdapat dalam jumlah kecil yaitu natrium, magnesium dan flour (Winarno 2002). Tulang mengandung kurang lebih 36% kalsium, 17% fosfor dan 0,9% magnesium (Maynard dan Loosli 1956).
2.3. Tepung Tulang Ikan Tepung tulang merupakan sumber kalsium dan fosfor yang baik. Tepung tulang dapat diperoleh melalui tiga proses (Anggorodi 1985) yaitu : 1. Pengukusan. Tulang dikukus kemudian dikeringkan dan digiling untuk menghasilkan tepung tulang. 2. Pemasakan dengan uap di bawah tekanan. Tulang dimasak dengan tekanan kemudian diarangkan dalam bejana tertutup sehingga didapat tulang dalam bentuk remah dan dapat digiling menjadi tepung. 3. Abu tulang yang diperoleh dari pembakaran tulang. Protein tepung tulang yang diperoleh dengan pengukusan mutunya lebih rendah karena kandungan gelatinnya tinggi (Anggorodi 1985). Tepung tulang yang diperoleh dengan cara pemasakan dengan tekanan dan pengeringan (steam bone meal) rata-rata mengandung 30,14% kalsium dan 14,53% fosfor. Tepung tulang yang diperoleh dengan cara pengukusan akan kehilangan protein. Selain itu kandungan fosfor serta kalsiumnya rendah. Komposisi tepung tulang ini terdiri dari 26% protein, 5% lemak, 22,96% kalsium dan 10,25% fosfor (Morisson 1958). Protein pada tulang ikan sebagian besar terdiri dari kolagen. Kolagen adalah protein yang banyak terdapat pada jaringan tubuh, dapat ditemukan pada kulit, jaringan pengikat dan tulang serta merupakan protein struktural tubuh. Kolagen merupakan protein dari golongan protein fibril/skleroprotein yang struktur molekulnya berbentuk serabut. Protein ini tidak larut dalam pelarutpelarut encer, baik larutan garam, asam, basa ataupun alkohol (Winarno 1985). Secara nutrisi kolagen bukanlah protein yang baik. Komposisi asam amino kolagen tidak ideal (terlalu banyak Pro, Gly, Ala), selain itu kolagen pada kondisi alami sulit dicerna oleh tripsin dan kemotripsin. Kolagen menjadi lebih mudah dicerna dalam bentuk yang sudah terdenaturasi (Alais dan Linden 1991).
2.4. Kalsium Mineral merupakan bagian dari unsur pembentukan tubuh yang memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Disamping itu mineral berperan dalam berbagai tahap metabolisme, terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas enzim. Mineral digolongkan kedalam mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari, sedangkan mineral mikro dibutuhkan kurang dari 100 mg sehari (Almatsier 2002). Sumber kalsium baik pada manusia maupun hewan adalah makanan yang telah mengalami pencernaan di dalam saluran makanan. Suatu keadaan yang bersifat asam adalah sangat diperlukan agar kalsium dapat dengan baik diserap oleh usus. Absorpsi kalsium terjadi di bagian atas dari usus halus, karena di tempat inilah keadaannya lebih bersifat asam daripada bagian lainnya dari usus (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Di dalam darah kalsium berada dalam tiga bentuk, yaitu : (1) kalsium yang terikat dengan protein (protein bound calcium atau nondiffusible calcium). Dalam keadaan ini kalsium sebagian besar berikatan dengan albumin dan sebagian kecil lagi berikatan dengan globulin. (2) Dalam bentuk ion (Ca++), dan (3) Kalsium kompleks yaitu yang berikatan dengan fosfat, bikarbonat atau sitrat (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Tubuh manusia mengandung lebih banyak kalsium daripada mineral lain. Diperkirakan 2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1,0-1,4 kg terdiri dari kalsium (Winarno 2002). Dari jumlah ini 99% berada dalam jaringan keras yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit {(3Ca3(PO4)2.Ca(OH)2}. Kalsium tulang berada dalam keadaan seimbang dengan kalsium plasma pada konsentrasi kurang lebih 2,25-2,60 mmol/l atau setara dengan 9-10,4 mg/100 ml (Almatsier 2002).
2.4.1. Peranan kalsium pada manusia (a) Pembentukan tulang dan gigi Kalsium di dalam tulang memiliki dua fungsi yaitu : 1) sebagai bagian integral dari struktur tulang ; 2) sebagai tempat menyimpan asupan kalsium darah. Pada tahap pertumbuhan janin manusia dibentuk, matriks sebagai cikal bakal tulang tumbuh. Matriks yang merupakan sepertiga bagian dari tulang terdiri atas serabut yang terbuat dari protein kolagen yang diselubungi oleh bahan gelatin. Segera setelah bayi manusia lahir, matriks mulai menguat melalui proses kalsifikasi, yaitu terbentuknya kristal mineral. Kristal ini terdiri atas kalsium fosfat atau kombinasi fosfat dan kalsium hidroksida yang dinamakan hidroksiapatit {(3Ca3(PO4)2.Ca(OH)2}. Kalsium dan fosfor merupakan mineral utama dalam ikatan ini, sehingga keduanya harus berada dalam jumlah yang cukup di dalam cairan yang mengelilingi matriks tulang. Batang tulang yang merupakan bagian matriks, mengandung kalsium fosfat, magnesium, seng, natrium karbonat dan flour disamping hidroksiapatit (Almatsier 2002). Selama pertumbuhan, proses kalsifikasi berlangsung terus dengan cepat. Pada ujung tulang panjang ada bagian yang berpori yang dinamakan trabekula, yang menyediakan kalsium siap pakai guna mempertahankan konsentrasi kalsium normal dalam darah. Selama kehidupan, tulang senantiasa mengalami perubahan, baik dalam bentuk maupun kepadatan, sesuai dengan usia dan perubahan berat badan (Almatsier 2002). Kalsifikasi gigi susu (gigi tidak tetap yang kemudian diganti) terjadi pada minggu kedua puluh tahap janin dan selesai sebelum gigi keluar. Gigi permanen mulai mengalami kalsifikasi saat anak berumur delapan tahun hingga sepuluh tahun. Gigi lengkap pada usia dewasa hanya mengandung 1% jumlah kalsium tubuh (Almatsier 2002). (b) Mengatur pembekuan darah Bila terjadi luka, ion kalsium di dalam darah merangsang pembekuan fosfolipidatromboplastin dari platelet darah yang terluka. Tromboplastin ini mengkatalisis perubahan protrombin, bagian darah normal, menjadi trombin. Trombin kemudian membantu fibrinogen, bagian lain dari darah, menjadi fibrin yang merupakan gumpalan darah (Almatsier 2002).
(c) Katalisator reaksi biologis Kalsium berfungsi sebagai katalisator berbagai reaksi biologis, seperti absorpsi vitamin B12, tindakan enzim pemecah lemak, lipase pankreas, ekskresi insulin oleh pankreas, pembentukan dan pemecahan asetilkolin, yaitu bahan yang diperlukan dalam pemindahan (transmisi) suatu rangsangan dari suatu serabut saraf ke serabut saraf lain. Kalsium yang diperlukan untuk mengkatalisis reaksireaksi ini diambil dari persediaan kalsium dalam tubuh (Almatsier 2002). (d) Kontraksi otot Pada waktu otot berkontraksi, kalsium berperan dalam interaksi protein di dalam otot, yaitu aktin dan miosin. Bila kalsium darah kurang dari normal, otot tidak bisa mengendur sesudah kontraksi. Tubuh akan kaku dan dapat menimbulkan kejang (Almatsier 2002) Beberapa fungsi kalsium lain adalah meningkatkan fungsi transpor membran sel, kemungkinan dengan bertindak sebagai stabilisator membran, dan transmisi ion melalui membran organel sel (Almatsier 2002).
2.4.2. Sumber kalsium Sumber kalsium utama adalah susu dan hasil olahan susu seperti keju. Ikan yang dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering merupakan sumber kalsium yang baik. Serealia seperti kacang-kacangan dan hasil olahan kacang-kacangan seperti tahu, tempe dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan makanan ini banyak mengandung zat yang dapat menghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat dan oksalat (Almatsier 2002). Tepung ikan yang dibuat dari keseluruhan tubuh ikan termasuk tulangnya, memiliki kandungan kalsium yang sangat tinggi. Meskipun tepung ikan ini bisa dijadikan sumber kalsium dan protein bagi negara yang tidak mampu menyediakan susu, kemungkinan penyebarannya pada bahan pangan di Amerika masih kecil dikarenakan masih terdapat masalah sehubungan dengan flavour dan kualitas selama penyimpanan (Guthrie 1975). Bahan pangan dengan kandungan air relatif rendah, kacang almond dan biji-bijian memiliki kandungan kalsium yang baik dalam porsi 100 g. Kelemahan
dari produk ini adalah orang jarang mengkonsumsi bahan pangan ini dikarenakan kontribusi kalori yang tinggi, yang terdapat dalam program diet (Guthrie 1975). Sumber kalsium yang biasa digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok (Kaup et al. 1991) yaitu : 1. Tepung tulang, mono-kalsium dan di-kalsium fosfat yang ketersediaannya paling tinggi diantara sumber kalsium lainnya. 2. Ground limestone (batuan kapur yang biasanya mengandung magnesium dan bersifat agak asam), deflourined fosfat (garam kalsium fosfat yang masih mengandung flour yang bersifat racun bila kadarnya berlebihan) dan kalsium karbonat. Kelompok ini merupakan sumber kalsium yang ketersediaannya sedang. 3. Hay, yaitu kalsium yang berikatan dengan mineral lain yang sukar larut. Sumber ini memiliki ketersediaan kalsium yang rendah. Kebanyakan kalsium dalam bahan nabati tidak dapat digunakan dengan baik karena berikatan dengan oksalat membentuk garam dan bersifat tidak larut dengan air (Linder 1992). Kalsium pada ikan terutama pada tulang membentuk kompleks dengan fosfor dalam bentuk apatit atau trikalsiumfosfat (Lovell 1989). Bentuk ini terdapat pada abu tulang yang dapat diserap dengan baik oleh tubuh yaitu berkisar 60-70% (Lutwak 1982).
2.4.3. Kebutuhan kalsium Keperluan kalsium dalam tubuh manusia berbeda menurut usia dan jenis kelamin. Kebutuhan kalsium dan fosfor dalam tubuh orang Indonesia per hari yang ditetapkan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi (2004) disajikan pada Tabel 1. Kalsium pada tubuh terdapat paling banyak di tulang dengan jumlah lebih dari 99%. Kebutuhan tubuh akan kalsium dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung kalsium (Karyadi dan Muhilal 1996). Kebutuhan ini akan berbeda bagi setiap orang. Di Amerika kebutuhan kalsium bagi orang dewasa adalah 800 mg per kapita per hari (Hardinsyah dan Martianto 1992). Untuk orang yang hidup di daerah tropis dapat mempertahankan status kalsiumnya dengan hanya mengkonsumsi 200-400 mg per kapita per hari.
Hal ini disebabkan oleh adanya sinar matahari yang dapat membantu pembentukan vitamin D yang selanjutnya membantu peningkatan metabolisme kalsium (Muchtadi et al. 1993). Tabel 1 Kebutuhan kalsium dan fosfor dalam tubuh manusia Kelompok umur Kebutuhan Ca (mg)/hari Bayi (bulan) 200 0-6 400 7-11 Anak (tahun) 500 1-3 500 4-6 600 7-9 Pria (tahun) 1000 10-12 1000 13-15 1000 16-18 800 19-29 800 30-49 800 50-64 800 65 + Wanita (tahun) 1000 10-12 1000 13-15 1000 16-18 800 19-29 800 30-49 800 50-64 800 65+ 1000 Hamil +150 Trimester 1 +150 Trimester 2 +150 Trimester 3 1000 Menyusui +150 6 bulan pertama +150 6 bulan kedua Sumber : Widyakarya Pangan dan Gizi (2004).
Kebutuhan P (mg)/hari
400 400 400 1000 1000 1000 600 600 600 600 1000 1000 1000 1000 600 600 600 1000 +0 +0 1000 +0 +0 +0
Status kalsium ditentukan oleh kombinasi faktor usia, jenis kelamin, dan faktor hormonal. Interaksi kompleks dari faktor tersebut menentukan jumlah kalsium tersedia yang dapat diserap, kapasitas intestin untuk menyerap, dan jumlah kalsium yang hilang dalam urin, kelenjar keringat maupun feses. Faktor utama yang menentukan status kalsium adalah faktor nutrisi seperti laktosa dan oksalat. Faktor ini menentukan ketersediaan, fungsi tiroid dan paratiroid yang
bekerja melalui vitamin D, hormon lain dan metabolisme fosfor (Miller 1989 dalam Miller 1996 dalam Fennema 1996). Kekurangan kalsium akan menyebabkan kadar kalsium darah menurun. Kondisi dimana kadar kalsium berada dibawah kisaran normal (9-10 mg/100 ml) disebut hipokalsemia. Hipokalsemia dapat menyebabkan tetani atau kejang. Kepekaan serabut saraf dan pusat saraf terhadap rangsangan meningkat, sehingga terjadi kejang otot misalnya pada kaki (Almatsier 2002). Konsumsi kalsium sebaiknya tidak melebihi 2500 mg sehari. Kondisi kebalikan dari hipokalsemia adalah hiperkalsemia. Hiperkalsemia ini dapat menyebabkan hiperkalsiuria
yaitu kondisi dimana kadar kalsium dalam urin
melebihi 300 mg/hari. Kelebihan kalsium dapat menimbulkan batu ginjal atau gangguan ginjal, disamping itu dapat menyebabkan konstipasi (susah buang air besar). Kelebihan kalsium jarang terjadi akibat konsumsi makanan alami dan biasanya terjadi bila mengkonsumsi suplemen kalsium berupa tablet atau bentuk lain (Almatsier 2002).
2.4.4. Asupan kalsium Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa penyerapan kalsium meningkat saat asupan kalsium diturunkan dari dosis tinggi atau cukup menjadi rendah, sehingga terjadi kenaikan penyerapan kalsium. Almatsier (2002) menambahkan bahwa penyerapan akan meningkat bila kalsium dikonsumsi menurun. Semakin rendah persediaan kalsium dalam tubuh semakin efisien absorpsi kalsium. Peningkatan kebutuhan terjadi pada masa pertumbuhan, kehamilan, menyusui, defisiensi kalsium dan tingkat aktivitas fisik yang meningkatkan densitas tulang. Hal ini dapat terjadi karena jumlah kalsium terserap tergantung pada interaksi dengan komponen bahan pangan lainnya, dan pada faktor psikologis seperti hormon regulator kalsium dan tingkatan umur. Kemampuan absorpsi lebih tinggi pada masa pertumbuhan, dan menurun pada proses penuaan. Kemampuan absorpsi pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan pada semua golongan usia (Allen dan Wood 1994).
Asupan kalsium tidak cukup dan penyerapan kalsium oleh tubuh yang rendah hanyalah dua dari beberapa faktor resiko bagi osteoporosis dan penyakit lainnya (Blaney et al. 1996). Aktivitas fisik berpengaruh terhadap asupan kalsium. Laktosa meningkatkan absorpsi bila tersedia cukup enzim laktase. Sebaliknya bila terdapat defisiensi laktase, laktosa mencegah absorpsi kalsium, akan tetapi di luar kehamilan, diragukan apakah laktosa masih dapat meningkatkan waktu transit makanan melalui saluran percernaan, dengan demikian memberi waktu lebih banyak untuk absorpsi kalsium (Almatsier 2002). Sumber kalsium menjadi berpengaruh terhadap bioavailabilitas karena menentukan dengan apa kalsium harus berikatan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Purac Biochem tahun 1995 mengenai bioavailabilitas 11 produk makanan berbeda, membuktikan bahwa kalsium laktat adalah salah satu sumber kalsium dengan bioavailabilitas terbaik diantara semua produk yang dicobakan (Van Mosevelde 1997).
2.4.5. Penyerapan kalsium Saat
tubuh
sangat membutuhkan kalsium dan berada pada kondisi
optimal, 30-50% kalsium yang dapat dikonsumsi dapat diabsorpsi tubuh, sedangkan pada kondisi normal, penyerapan sebesar 20-30% dianggap baik, dan
kadang-kadang
penyerapannya
hanya
mencapai
10%.
Pada
masa
pertumbuhan anak, penyerapan dapat mencapai 75% dari makanan kalsium. Sebelum penyerapan natrium, vitamin D dan satu atau dua protein pengikat kalsium harus tersedia (Guthrie 1975). Penyerapan
kalsium dapat terjadi dalam dua jalur transportasi di
sepanjang usus. Pertama cara aktif, mudah jenuh dan dengan proses transeluler yang terjadi terutama pada duodenum dan proksimal yeyenum. Kedua cara pasif, tidak mudah jenuh, jalur paraseluler yang terjadi di sepanjang usus halus (Allen dan Wood 1994). Cara pertama diatur oleh vitamin D dan melibatkan protein pengikat kalsium (calbinding) yang tergantung pada vitamin D (CaBP). Kalsium dipompa keluar enterosit menuju darah oleh adenosin trifosfat (ATP) (Allen dan Wood 1994). Untuk penyerapan kalsium dengan cara ini, diperlukan tiga tahap yang
berkesinambungan, dan kesemuanya diatur oleh vitamin D. Untuk itu harus ada : 1) asupan dari pinggir bulu-bulu halus; 2) gerakan intraseluler; 3) keluaran pada membran basolateral. Calbindin berperan sebagai protein transpor untuk membawa kalsium melewati sitoplasma enterosit ke basal membran. Kalsium yang dipompakan dari enterosit ke cairan ekstraseluler membutuhkan ATP dan vitamin D yang mengatur Ca2+, Mg2+, ATPase, enzim penghidrolisis ATP dan melepaskan energi untuk memompa Ca2+ keluar sel, seiring dengan itu magnesiumnya bergerak masuk (Groff dan Gropper 2001). Penyerapan kalsium secara aktif dipengaruhi oleh kondisi psikologis individu, yaitu status kalsium dan vitamin D, usia, kehamilan dan laktasi (Allen dan Wood 1994). Cara kedua tidak bergantung pada pengaturan oleh vitamin D. Jumlah kalsium yang terserap dengan cara ini tergantung sekali pada jumlah dan nilai kalsium makanan, yaitu di atas 3 mmol atau setara dengan 120 mg/100 ml kemungkinan akan terserap dengan cara ini (Allen dan Wood 1994). Usus besar juga merupakan lokasi yang memungkinkan terjadinya penyerapan kalsium dikarenakan bakteri kolon melepaskan ikatan kalsium dari beberapa serat terfermentasi (fermentable fibers) seperti pektin. Jumlah kalsium yang diserap lewat kolon sekitar 4% setiap hari (Groff dan Gropper 2001). Dalam makanan yang mengandung sedikit kalsium, persentase penyerapan kalsium akan meningkat menjadi 60 kali selama masa pertumbuhan, namun pada orang dewasa yang mengkonsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup, penyerapannya akan menurun sebesar 10%. Secara normal penyerapan kalsium berkisar 30% (Allen dan Wood 1994).
2.4.5.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan kalsium Bioavailabilitas atau ketersediaan biologis adalah ukuran kuantitatif dari penggunaan nutrisi pada kondisi tertentu untuk menunjang struktur normal organisme serta proses-proses fisiknya (Fox et al. 1981 dalam Fox 1988). Agar nutrisi bahan pangan dapat digunakan tubuh, maka nutrisi tersebut harus dapat diserap oleh tubuh terlebih dahulu. Dalam keadaan normal sebanyak 30-50% kalsium yang dikonsumsi diabsorpsi tubuh. Hal ini dikarenakan penyerapan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah :
(1) Zat organik Adanya zat organik yang dapat bergabung dengan kalsium dan membentuk garam yang tidak larut. Contoh dari senyawa tersebut adalah asam oksalat dan asam fitat. Asam oksalat dan kalsium membentuk garam yang tidak dapat larut, yaitu kalsium oksalat (Winarno 2002), sehingga mengendap di dalam rongga usus dan tidak dapat diserap ke dalam mukosa (Sediaoetama 2006). Asam fitat terdapat dalam bekatul gandum, sedangkan asam oksalat banyak ditemukan dalam bit yang masih hijau, bayam, rhubab dan coklat, akan tetapi berdasarkan penelitian in vivo adanya asam oksalat pada bayam tidak jelas menurunkan keseimbangan kalsium dalam tubuh (Winarno 2002). (2) Vitamin D Absorpsi kalsium di dalam usus maupun reabsorbsinya di dalam tubuli ginjal dipengaruhi oleh vitamin D, sedangkan absorpsi kalsium mempengaruhi pula absorpsi fosfor (Sediaoetama 2006). Vitamin D dalam bentuk aktif 1,25(OH)D3 meningkatkan absorpsi pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein pengikat kalsium. Absorpsi kalsium paling baik terjadi dalam keadaan asam. Asam klorida yang dikeluarkan lambung membantu absorpsi dengan cara menurunkan pH di bagian atas duodenum. Asam amino tertentu meningkatkan keasaman saluran cerna dengan demikian membantu proses absorpsi (Almatsier 2002). (3) Serat makanan Serat makanan merupakan komponen tanaman yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia, termasuk didalamnya komponen dinding sel tumbuhan (selulosa, hemiselulosa, pektin, pentosan dan lignin) dan polisakarida intraseluler seperti gum dan musilage (Trowell 1976 dalam Spiller 2001). Selanjutnya menurut Harland dan Oberleas (2001) serat bersama-sama dengan fitat dan oksalat mengurangi penyerapan kalsium. Serat makanan membatasi bioavailabilitas mineral dengan cara mengikat, mengencerkan dan menjerat mineral dalam serat makanan atau memperpendek waktu transit nutrisi dalam usus (Iodarine at al. 1996). Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Urbano dan Goni (2002) mendukung pernyataan
bahwa jumlah serat tidak berpengaruh terlalu besar pada penyerapan mineral jika dibandingkan dengan jenisnya. Berdasarkan jenis kelarutannya, serat dibagi menjadi 2 yaitu serat larut air dan serat tidak larut air. Serat larut air dapat mengikat air dan menciptakan larutan menyebabkan
viskous
dalam
saluran
pencernaan
sehingga
perlambatan pengosongan perut dari makanan, menghalangi
percampuran makanan dengan enzim, mengurangi fungsi enzim, mengurangi tingkat difusi nutrisi sehingga melalui mekanisme ini kalsium sulit terserap mukosa usus (Groff dan Gropper 2001). Serat tidak larut air menurut Slavin (1985) dalam Blaney et al. (1996) menghalangi lebih banyak kalsium daripada serat larut, menurunkan waktu transit bahan pangan selama di usus halus sehingga mengurangi waktu penyerapan kalsium. Selanjutnya
serat tidak larut air secara otomatis akan mengurangi
kesempatan kerja enzim (Groff dan Gropper 2001). (4) Protein Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa protein bersama-sama dengan lemak, dikategorikan sebagai bahan pangan yang memiliki pengaruh pada bioavailabilitas kalsium. Sumber protein juga mempengaruhi penyerapan kalsium. Kasein dan produk susu meningkatkan kelarutan in vivo sehubungan dengan adanya gugus fosfoserin dalam molekulnya (Berrocal et al. 1989 dalam Blaney et al. 1996). Protein
makanan
juga
dapat
berpengaruh
negatif terhadap
ketersediaan biologis mineral jika mineral terperangkap dalam protein atau kompleks peptida yang resisten terhadap proteolisis. Situasinya serupa dengan kompleks mineral protein-fitat yang tidak tercerna dengan baik, sehingga penyerapan mineral menurun (Erdman et al. 1980 dalam Greger 1999). Bagaimanapun juga, protein berperan penting dalam penyerapan kalsium ke dalam mukosa usus karena transpor kalsium melalui sel usus dapat terjadi melalui difusi atau dengan calbindin (protein pengikat kalsium). Calbindin berperan sebagai protein transpor untuk mengantarkan kalsium sitoplasma enterosit ke membran basal. Proses ini membutuhkan ATP (Groff dan Gropper 2001) dan kekurangan protein menyebabkan gangguan pada absorpsi dan transportasi zat-zat gizi (Almatsier 2002).
(5) Nilai pH dan kelarutan Kalsium membutuhkan pH asam agar dapat berada dalam keadaan larut. Kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air dan tidak mengendap karena unsur makanan lain seperti oksalat (Almatsier 2002). Anggorodi (1985) mengatakan bahwa pH usus juga berpengaruh terhadap proses absorpsi kalsium dalam tubuh. Fosfor sulit diserap pada pH di atas 6,5 dan baik diserap pada pH di bawah 6,0 dimana nilai pH tersebut dapat dikontrol dengan cara tidak terlalu banyak memberikan kalsium. Kelarutan merupakan salah satu syarat dalam penyerapan kalsium. Menurut Allen dan Wood (1994) kelarutan kalsium meningkat dalam lingkungan asam pada perut, tetapi ion terlarut akan bergabung kembali kemudian berpresipitasi dalam yeyenum dan ileum dimana pH-nya mendekati netral. Peningkatan penyerapan mineral terjadi pada suasana asam dan akan menurun sejalan dengan penurunan nilai pH dan sebaliknya (Yoshie et al. 1997; Torre et al. 1995).
2.5. Fosfor Fosfor banyak sekali ditemukan baik di hewan maupun tanaman. Unsur ini dijumpai di dalam semua sel tubuh, dalam cairan tubuh dan dalam hampir semua makanan. Dari segi fisiologi, fosfor memegang peranan di dalam proses
kontraksi
otot, pada
sekretosis. Disamping
itu
pembentukan tulang (osifikasi) dan fosfor
memegang
peranan
aktivitas
penting dalam
pembentukan fosfat yang sangat diperlukan dalam transformasi energi (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Penyebaran fosfor di dalam tubuh dilakukan dengan bantuan peredaran darah dan cairan antar sel (intercellular fluid). Bentuk fosfor yang diserap oleh usus beragam bergantung kepada makanan yang digunakan. Bentuk fosfor yang diserap melalui usus terdiri dari ikatan atau senyawa fosfat anorganik dan fosfat organik. Senyawa-senyawa fosfat ini dibebaskan dari makanan setelah mengalami hidrolisis selama proses pencernaan terjadi (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Dalam proses absorpsi fosfor dan kalsium saling berpengaruh erat sekali. Menurut Sediaoetama (2006), untuk absorpsi kalsium yang baik diperlukan
perbandingan Ca:P dalam hidangan 1:1 sampai 1:3. Selanjutnya menurut Guthrie (1975) batasan bagi rasio perbandingan Ca:P adalah dibawah 1:2. Perbandingan Ca:P lebih besar dari 1:3 akan menghambat penyerapan kalsium, sehingga hidangan yang demikian akan menimbulkan penyakit defisiensi kalsium yaitu rakhitis (Sediaoetama 2006). Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa baik jumlah fosfor bahan pangan maupun rasio Ca:P tidak mempengaruhi penyerapan kalsium pada orang dewasa atau bayi dengan berat di bawah normal. Hal tersebut serupa dengan pernyataan dari Almatsier (2002), bahwa bukti nyata terhadap anggapan adanya pengaruh rasio Ca:P ini belum ada sampai sekarang, dan pada umumnya rasio kalsium : fosfor dalam makanan antara 1:1 dan 1:2.
2.6. Biskuit Biskuit adalah kue manis berukuran kecil yang terbuat dari tepung terigu. Menurut Standar Nasional Indonesia (1992), biskuit adalah produk pangan kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan. Sedangkan menurut Charley (1982) biskuit yang bermutu baik adalah biskuit yang memiliki kulit berwarna coklat keemasan dengan tanpa adanya noda-noda coklat, bentuknya simetris serta bagian atasnya rata dan halus. Persyaratan mutu biskuit menurut Standar Nasional Indonesia tahun 1992 (SNI 01-2973-1992) seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Syarat mutu biskuit (SNI 01-2973-1992) tahun 1992 Kriteria uji (Parameter) Kadar air (% b/b) Kadar protein (% b/b) Kadar abu (% b/b) Bahan tambahan makanan - Pewarna dan pemanis buatan Kadar cemaran logam - tembaga (mg/kg) - timbal (mg/kg) - seng (mg/kg) - merkuri (mg/kg) Cemaran mikroba - TPC (koloni/g) - Coliform (APM/g) - E coli (APM/g) - Kapang (koloni/g)
Syarat mutu Maksimum 5,0 Minimum 9,0 Maksimum 1,5 Tidak boleh ada Maksimum 10,0 Maksimum 1,0 Maksimum 40,0 Maksimum 0,05 Maksimum 1,0x106 Maksimum 20,0 <3 Maksimum 1,0x102
2.6.1. Klasifikasi biskuit Belum ada klasifikasi yang jelas untuk biskuit, bahkan terkadang dijumpai saling tumpang tindih antar bentuk yang satu dengan lainnya. Hingga saat ini biskuit diklasifikasikan berdasarkan beberapa sifat yaitu : (1) tekstur dan kekerasan, (2) perubahan bentuk akibat pemanggangan, (3) ekstensibilitas adonan dan (4) pembentukan produk (Manley 1983). Berdasarkan ekstensibilitas adonannya, biskuit dapat digolongkan menjadi tiga yaitu adonan lunak, adonan keras dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak, gluten tidak mengembang karena adanya efek dari shortening dan efek pelunakan dari gula. Contoh biskuit dari adonan lunak adalah biskuit buah, biskuit krim dan biskuit jahe. Untuk adonan keras dijumpai pengembangan gluten sampai batas tertentu untuk penambahan air. Pada adonan fermentasi, gluten akan mengembang penuh karena air yang ditambahkan memungkinkan kondisi tersebut. Contoh biskuit yang dibuat dari adonan fermentasi adalah biskuit cracker (Booth 1990). Menurut Faridi dan Faubion (1990), crackers umumnya hanya mengandung sedikit gula dan lemak. Pada biskuit fermentasi ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu asin (saltine) dan snack. Klasifikasi lain adalah berdasarkan pembentukan biskuit. Menurut Faridi dan Faubion (1990) ; Booth (1990), biskuit dapat dibuat dan dibentuk dengan tiga
cara yaitu rotary molded, wire-cut dan pembentukan lembaran (sheeting). Perbedaan ketiga cara ini adalah kandungan gula dalam adonan sehingga akan mempengaruhi karakteristik sewaktu proses pembentukan. Menurut Standar Nasional Indonesia tahun 1992 (SNI 01-2973-1992), biskuit dapat diklasifikasikan menjadi biskuit keras, cracker, cookies dan wafer. Biskuit keras dibentuk dari adonan keras dan memiliki tekstur padat. Cracker adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui fermentasi dan memiliki tekstur yang berlapis-lapis. Jenis yang ketiga adalah cookies merupakan jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak. Wafer adalah biskuit dari adonan dengan sifat yang sangat renyah dan memiliki tekstur yang berongga. Klasifikasi beberapa jenis biskuit menurut Manley (1983) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Klasifikasi biskuit menurut Manley (1983) Klasifikasi
Cracker
Kadar air adonan (%) Kadar air biskuit (%) Suhu adonan (oC) Komponen penting Waktu pemanggangan (menit)
30 1-2 30-38 Tepung
Adonan keras 22 1-2 40-42 Tepung
3
5,5
Adonan lunak HF HS 9 15 2-3 2-3 20 21 Lemak Lemak dan gula 15-25
7
Ket : HF = kandungan lemak tinggi; HS = kandungan gula tinggi
2.6.2. Bahan-bahan pembuat biskuit Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit dibedakan menjadi bahan pengikat (binding materials) dan bahan pelembut (tederizing materials) (Matz dan Matz 1978). Bahan pengikat terdiri dari tepung, air, susu, telur. Bahan pelembut terdiri dari gula, shortening, baking powder, telur. (a) Tepung terigu Untuk mendapatkan biskuit yang baik, maka tepung terigu tipe lunak yang
mempunyai kadar protein sekitar 8% dan kadar gluten yang tidak
terlalu banyak adalah yang paling sesuai (Vail et al. 1978). Tepung terigu dalam
pembuatan
biskuit
berfungsi
sebagai pembentuk tekstur, mengikat
bahan-bahan lain dan mendistribusikannya secara merata sebagai pembentuk citarasa (Matz dan Matz 1978).
Komposisi gandum bervariasi tergantung jenisnya. Hal ini juga berpengaruh pada kekuatan glutennya. Kekuatan tepung lebih tergantung pada mutu daripada jumlah gluten. Tepung yang kuat adalah tepung yang menghasilkan tepung yang sukar meregang dan mempunyai sifat dapat menahan gas yang
baik. Umumnya
jenis
tepung ini cocok untuk
pembuatan roti, sedangkan tepung yang lemah cocok untuk pembuatan kue dan biskuit (Gaman dan Sherrington 1990). Menurut Astawan (1999) berdasarkan kandungan gluten (protein) tepung terigu yang beredar dipasaran dapat dibedakan menjadi 3 macam sebagai berikut : 1. Hard flour. Tepung ini berkualitas paling baik. Kandungan proteinnya 12-13%. Tepung ini digunakan untuk pembuatan roti dan mi berkualitas tinggi. Contohnya adalah terigu ”Cakra Kembar”. 2. Medium hard flour. Tepung jenis ini mengandung protein 9,5-11%. Tepung ini banyak digunakan untuk pembuatan roti, mi dan macam-macam kue serta biskuit. Contohnya, terigu ”Segitiga Biru”. 3. Soft flour. Terigu ini mengandung protein sebesar 7-8,5%. Penggunaannya cocok sebagai pembuatan kue dan biskuit. Contohnya, terigu ”Kunci Biru”. (b) Telur Penggunaan telur dalam pembuatan biskuit terutama berfungsi sebagai pengemulsi yang dapat membantu mempertahankan kestabilan adonan. Selain itu telur juga berperan meningkatkan dan menguatkan flavour, warna dan kelembutan (Matz dan Matz 1978). Menurut Whiteley (1971), adanya albumin telur membantu pembentukan struktur adonan selama pemanggangan biskuit, karena membantu memerangkap udara saat adonan dikocok sehingga udara dapat menyebar merata diseluruh adonan. Selain itu telur dapat meningkatkan kerenyahan (crispy) biskuit. (c) Gula Gula berfungsi sebagai pemberi rasa manis biskuit, pelunakan gluten, berperan membentuk flavor dan warna coklat pada biskuit lewat reaksi pencoklatan nonenzimatis selama proses pemanggangan, memperbaiki tekstur dan mempengaruhi pengembangan biskuit (Matz dan Matz 1978).
(d) Lemak Lemak biasa digunakan untuk memberikan efek shortening sehingga memperbaiki struktur fisik seperti volume pengembangan, tekstur dan kelembutan serta memberi flavor (Matz 1993). Lemak berfungsi untuk memperbaiki kualitas penerimaan (melezatkan dan menambah nilai gizi), melembutkan, membantu pengembangan, membantu penyebaran dan memberikan flavor. Lemak dapat melembutkan, membuat renyah dengan cara melapisi molekul pati dan gluten dalam tepung serta memutuskan ikatannya, lemak juga dapat membatasi daya serap air (Kaplan 1971) Margarin merupakan pengganti mentega dengan rupa, bau dan konsistensi, rasa, dan nilai gizi yang hampir sama. Margarin juga mengandung emulsi air dalam minyak, dengan persyaratan mengandung tidak kurang 80% lemak. Margarin terbuat dari minyak atau lemak nabati, dan bahan tambahan seperti susu bubuk skim atau lemak hewani, air, garam, esens, pewarna dan zat antitengik. Umumnya margarin memiliki kandungan lemak yang sedikit tetapi kandungan airnya sangat banyak (Anonim 2000). Karena minyak nabati umumnya dalam bentuk cair, maka harus dihidrogenasi lebih dulu menjadi lemak padat, yang berarti margarin harus bersifat plastis, padat pada suhu ruang, agak keras pada suhu rendah dan segera dapat mencair dalam mulut (Winarno 2002). (e) Susu Penggunaan susu dalam pembuatan produk biskuit berfungsi untuk membentuk flavour, mengikat air, sebagai bahan pengisi, membentuk tekstur yang baik dan porous, meningkatkan nilai gizi terutama kadar protein biskuit. Selain itu susu juga dapat memberikan pengaruh terhadap pembentukan warna coklat pada permukaan biskuit dan memperkuat gluten karena kandungan kalsiumnya (Anonim 1981). Muchtadi dan Sugiyono (1989) menyatakan bahwa susu adalah suatu emulsi lemak dalam air yang mengandung garam-garam mineral, gula dan protein. Salah satu keuntungan penambahan susu didalam mixed food berfungsi sebagai penguat protein dan lemak, juga mengandung karbohidrat, vitamin (terutama vitamin A dan niasin) serta mineral (kalsium dan fosfor). Penggunaan susu untuk
pembuatan biskuit berperan sebagai bahan pengisi untuk mengikat kandungan gizi yang dihasilkan (Buckle et al. 1987). (f) Bahan pengembang Bahan
pengembang
yang
umumnya
digunakan dalam pembuatan
produk biskuit adalah baking powder dan amonium bikarbonat. Fungsi baking powder dalam adonan adalah untuk melepaskan gas hingga jenuh dengan gas CO2 lalu dengan teratur melepaskan gas selama pemanggangan agar adonan mengembang sempurna, menjaga penyusutan dan untuk menyeragamkan remah. Baking powder adalah bahan peragi hasil reaksi antara asam dan sodium bikarbonat. Asam yang biasanya digunakan adalah tartarat, folat dan sulfat (Anonim 1981). Winarno (2002) menyatakan bahwa bahan pengembang adalah senyawa kimia yang apabila terurai akan menghasilkan gas dalam adonan. (g) Air Air digunakan sebagai media dan katalis reaksi yang terjadi dalam adonan, selain itu air juga membentuk dan mempengaruhi tekstur produk (Sunaryo 1985). Matz dan Matz (1978) menyatakan bahwa air dalam pembuatan produk biskuit berfungsi sebagai bahan pembantu dalam pembuatan gluten, sehingga membentuk sifat kenyal dari gluten disamping juga untuk melarutkan gluten, garam serta bahan-bahan lain agar bisa bercampur. Apabila jumlah air yang ditambahkan terlalu banyak maka adonan akan menjadi keras, sedangkan jika air yang ditambahkan sedikit, warna produk akan menjadi kecoklatan, bau agak gosong dan tekstur mudah hancur. Air memungkinkan terbentuknya gluten gandum yang mengandung protein dalam bentuk glutenin dan gliadin, jika ditambahkan air maka akan membentuk gluten, air juga berperan mengontrol kepadatan adonan. Selain itu, air juga mengontrol suhu adonan, pemanasan atau pendinginan adonan. Air dalam adonan melarutkan garam, menahan dan menyebarkan bahan-bahan secara seragam. Air membasahi serta mengembangkan pati sehingga dapat dicerna dan memungkinkan terjadinya kegiatan enzim (Almond 1989). (h) Flavor Flavor didefinisikan sebagai komponen yang memiliki karakteristik yang dapat menimbulkan efek sensoris. Flavor dirasakan terutama oleh indera perasa
dan indera penciuman dan secara umum oleh berbagai reseptor yang ada di dalam mulut. Flavor sintetik dibuat dari bahan organik dan bahan kimia yang telah diisolasi dari sumber-sumber alami. Keuntungan menggunakan flavor sintetik adalah lebih ekonomis, konsentrasi rendah, penyimpanan yang mudah, lebih stabil dan lebih tahan lama (Phillips 1981 diacu dalam Mahani 1999).
3. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Nopember 2006 sampai dengan Maret 2007. Pelaksanaan penelitian berlangsung di beberapa laboratorium yaitu Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan dan Unit Poduksi Hasil Perikanan untuk kegiatan preparasi, perebusan tulang, pembuatan biskuit. Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk analisis kadar air dan kadar abu tepung tulang ikan patin. Pilot Plan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB untuk proses penepungan. Laboratorium Pengolahan Pangan Fakultas Teknologi Pertanian untuk analisis derajat putih, daya serap air, densitas kamba tepung tulang ikan patin, kekerasan biskuit. Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak Fakultas Peternakan IPB untuk analisis kadar Ca, P, pH, solubilitas Ca dan P. Laboratorium Kimia Terpadu Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB untuk analisis proksimat biskuit. Laboratorium Organoleptik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk pengujian organoleptik biskuit
3.2. Bahan dan Alat 3.2.1. Bahan yang digunakan Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tepung adalah tulang ikan patin yang diperoleh dari Unit Usaha Fillet Ikan Patin Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung terigu ”Kunci Biru”, margarin ”Blue Band”, susu bubuk ”Frisian Flag”, baking powder ”Pesawat Angkasa”, telur, air, vanili. Bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk analisis fisika dan kimia biskuit yang ditambah dengan tepung tulang ikan patin dan tepung tulang ikan patin terdiri atas : H2SO4, alkohol, NaOH, Na2S2O3, HCl, HNO3, HClO4, akuades, tablet kjeltab, buffer pH 7 dan pH 4, KH2PO4 (standar fosfor), larutan Ca 1000 ppm (standar Ca).
3.2.2. Alat yang digunakan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pembuat tepung tulang ikan patin, alat untuk pembuatan biskuit dan alat analisis fisik-kimia. Alatalat yang digunakan untuk membuat tepung tulang ikan patin adalah baskom, timbangan, ember, pisau, panci, kompor, oven, autoclave, disc mill, ayakan, pengering drum. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah oven, talenan, cetakan, timbangan, baskom, loyang, mixer. Alat-alat yang digunakan untuk analisis fisika dan kimia adalah oven, neraca analitik, labu takar, labu Kjeldhal, penangas air, homogenizer merk Nissei AM-3, Atomic Absorption Spectrophotometer merk Shimadzu AA-680, Rheoner merk RE 3350 Yamaden, cawan porselin, kertas saring, Whiteness meter merk Kett Electric C-100-3, gelas ukur, gelas piala, pipet, erlenmeyer, pH meter, alat soxhlet, kapas bebas lemak, tabung reaksi dan sentrifuse.
3.3. Tahapan Penelitian Penelitian ini dibagi dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung tulang ikan patin dan evaluasi sifat fisik-kimia tepung tulang ikan patin yang dihasilkan. Penelitian lanjutan yaitu pembuatan biskuit yang ditambah dengan tepung tulang ikan patin dengan lima formulasi yang berbeda. Terhadap kelima formulasi yang dihasilkan, dilakukan analisis yang meliputi uji organoleptik (skoring dan perbandingan pasangan dengan produk komersial), analisis fisik dan kimia.
3.3.1. Penelitian pendahuluan Limbah tulang ikan patin yang diperoleh dari Unit Usaha Fillet Ikan Patin FPIK IPB ditimbang berat awal (masih dalam bentuk tulang ikan patin) dan berat akhir (setelah menjadi tepung tulang ikan patin) dengan maksud untuk mendapatkan rendemen. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan tepung tulang ikan patin yang mengacu pada metode Tanuwidjaya (2002) dengan modifikasi. Terhadap tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dilakukan analisis fisik yang terdiri dari derajat putih, densitas kamba, daya serap air dan karakteristik kimia
yang terdiri dari kadar air, abu, nilai pH, kalsium, fosfor, solubilitas kalsium dan solubilitas fosfor. Tepung tulang ikan patin yang mempunyai solubilitas tertinggi dipilih untuk digunakan pada pembuatan biskuit. Proses
pembuatan
tepung
tulang ikan patin dapat dilihat pada Gambar 2.
3.3.2. Penelitian lanjutan Pembuatan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin dilakukan setelah diperoleh tepung tulang ikan patin dengan nilai solubilitas Ca dan P yang tertinggi. Terhadap biskuit hasil formulasi dilakukan uji organoleptik yaitu uji skoring. Dua biskuit dengan nilai tertinggi hasil pengujian organoleptik selanjutnya dilakukan uji perbandingan pasangan dengan biskuit komersial. Dua biskuit dengan nilai tertinggi, biskuit kontrol dan biskuit komersial juga dilakukan analisis karakteristik fisik yaitu pengukuran berat, tebal, diameter, kekerasan dan karakteristik kimia yaitu kadar air, abu, protein, lemak, kadar kalsium, kadar fosfor, solubilitas kalsium, solubilitas fosfor, nilai pH. Pembuatan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin dilakukan sesuai urutan sebagai berikut : margarin dan tepung gula dikocok selama 10 menit kemudian ditambahkan kuning telur dan dikocok lagi selama 2 menit. Setelah itu ditambahkan tepung terigu, susu, vanili, baking powder, air, tepung tulang ikan patin dengan konsentrasi masing-masing : 0%, 2%, 4%, 6%, 8% dan diaduk selama 2-3 menit sampai terbentuk adonan. Adonan yang terbentuk dicetak dengan menggunakan cetakan kue dan dipanggang pada suhu 150 oC selama 12 menit. Setelah selesai biskuit diangkat dan didinginkan kemudian dikemas dalam toples. Proses pembuatan biskuit yang ditambahkan dengan tepung tulang ikan patin dapat dilihat pada Gambar 3.
Tulang ikan patin
Pencucian dengan air
Perebusan pada suhu 100 oC selama 2 jam secara berulang-ulang*
Pencucian dan pengecilan ukuran*
Metode basah (perebusan dengan autoclave/presto) pada suhu 121 oC selama 1 jam
Metode kering (pengovenan) pada suhu 105 oC selama 1,5 jam*
Penggilingan kasar
Pengeringan dengan menggunakan drum drier
Penggilingan sampai halus
Pengayakan dengan ayakan ukuran 100 mesh
Tepung tulang ikan patin
Keterangan : * bagian yang dimodifikasi Gambar 2 Prosedur pembuatan tepung tulang ikan patin (modifikasi metode Tanuwidjaya 2002).
Margarin, tepung gula
Pengocokan I (10 menit) *
Penambahan kuning telur
Pengocokan II (2 menit)
Penambahan tepung terigu, tepung tulang ikan patin (0%,2%,4%,6%,8%), susu, vanili, baking powder, air *
Pengadukan (2-3 menit) hingga terbentuk adonan *
Pencetakan
Pemanggangan (suhu 150 oC, selama 12 menit) *
Biskuit
Keterangan : * bagian yang dimodifikasi Gambar 3 Prosedur pembuatan biskuit (modifikasi metode Soedarno 1998).
3.3.3 Prosedur analisis Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi karakteristik fisik tepung tulang ikan patin yang terdiri atas derajat putih, densitas kamba, daya serap air dan karakteristik kimia yang terdiri dari kadar air, abu, nilai pH, kalsium, fosfor, solubilitas kalsium, solubilitas fosfor. Biskuit yang ditambah dengan tepung tulang ikan patin dilakukan analisis organoleptik yaitu uji skoring dan uji perbandingan pasangan, fisik yaitu pengukuran berat, tebal, diameter, kekerasan dan kimia yang terdiri dari kadar air, abu, protein, lemak, nilai pH, kadar kalsium, kadar fosfor, solubilitas kalsium, solubilitas fosfor. 3.3.3.1 Uji organoleptik (Soekarto 1985) Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji mutu dengan menggunakan uji skoring. Uji ini berfungsi untuk menilai suatu sifat organoleptik yang spesifik. Pada uji skoring diberikan penilaian terhadap mutu sensorik dalam suatu jenjang mutu. Tujuan uji skoring adalah pemberian suatu nilai atau skor tertentu terhadap suatu karakteristik mutu. Pemberian skor dapat dikaitkan dengan skala yang jumlah skalanya tergantung pada tingkat kelas yang dikehendaki. Pengujian organoleptik meliputi : penampakan, warna, aroma, rasa dan tekstur dengan nilai berkisar dari 1 sampai dengan 7. Lembar penilaian organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 1. Biskuit yang terpilih sebagai biskuit yang mempunyai skor tertinggi berdasarkan hasil uji skoring selanjutnya dilakukan uji perbandingan pasangan untuk dibandingkan dengan produk sejenis yang sudah dikomersialkan. Pada uji perbandingan pasangan panelis melakukan penilaian melalui formulir isian dengan memberikan nilai berdasarkan skala kelebihan, yaitu lebih baik atau lebih buruk. Penilaian uji perbandingan pasangan ini berupa angka skala yaitu -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3. Lembar uji perbandingan pasangan dapat dilihat pada Lampiran 2. 3.3.3.2 Derajat putih (Faridah et al. 2006) Alat yang digunakan adalah whiteness meter. Prinsip pengukuran alat ini adalah melalui pengukuran indeks refleksi dari permukaan sampel dengan sensor foto dioda. Semakin putih sampel, maka cahaya yang dipantulkan semakin banyak.
Contoh sebanyak 3 g ditempatkan dalam satu wadah tertentu. Suhu sampel diseimbangkan dengan meletakkan wadah sampel diatas tester. Kemudian wadah berisi sampel berserta cawan berisi standar (berupa serbuk BaSO4) dimasukkan ke tempat pengukuran dan alat akan menampilkan nilai derajat putih dan nomor urutan pengukuran. Derajat putih sampel Derajat putih (%) =
110
x 100%
3.3.3.3 Daya serap air metode gravimetri (Fardiaz et al. 1992). Sebanyak 1 g contoh ditimbang kemudian dimasukkan kedalam tabung sentrifuse. Selanjutnya ditambahkan 10 ml air dan dikocok menggunakan fortex mixer. Kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3500 rpm selama 30 menit. Selanjutnya volume supernatan diukur dengan menggunakan gelas ukur 10 ml. Daya serap air dapat dihitung dengan menggunakan rumus : (volume air awal – volume supernatan) Daya serap air (%) =
berat kering contoh (g)
x 100%
3.3.3.4 Densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992) Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menggunakan gelas ukur. Bahan-bahan yang akan diukur ditimbang sebanyak 10 g, kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml dan dibaca volumenya. Densitas kamba dapat dihitung dengan menggunakan rumus : berat bahan (g) Densitas kamba (g/ml) =
volume bahan (ml)
3.3.3.5 Uji kekerasan (Rangganan 1986). Kekerasan merupakan gaya yang dibutuhkan untuk menekan suatu bahan atau produk sehingga terjadi perubahan bentuk yang diinginkan. Pengukuran kekerasan dilakukan dengan menggunakan Rheoner RE 3305 dengan jarak 400X 0,01 mm, sensitifitas 0,2 V, kecepatan 1 mm/s. Sampel ditimbang beratnya dan dimasukkan kedalam suatu wadah yang berbentuk empat persegi panjang (plate yang berlubang dibagian bawahnya).
Kemudian sejumlah mata pisau dengan diberi beban 50 kg dimasukkan kedalam sehingga terjadi penekanan, pemotongan terhadap sampel. Selanjutnya pisau naik ke atas dan wadah yang berisi sampel dapat dibuka. Pembacaan nilai kekerasan dapat dilakukan dengan melihat grafik yang terbentuk yaitu dengan membagi peak yang terbentuk dalam kertas grafik dengan milimeter penurunan awal pengujian dan berat sampel. Kekerasan berhubungan dengan kerenyahan biskuit, yaitu mudah tidaknya biskuit menjadi remuk (pecah). 3.3.3.6 Kadar air (SNI 1992) Cawan kosong dikeringkan pada suhu 100-102 oC selama 15 menit, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Contoh sejumlah 5 g dimasukkan dalam cawan yang sudah dikeringkan dan diketahui beratnya. Kemudian cawan dan sampel dikeringkan dalam oven bersuhu 100-102 oC selama 6 jam. Cawan didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap. Kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kadar air (%) =
A− B x 100% C
Dimana A = Berat cawan + sampel awal B = Berat cawan + sampel setelah dikeringkan C = Berat sampel 3.3.3.7 Kadar abu (SNI 1992) Ditimbang dengan teliti 2-3 g contoh, kemudian dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui bobotnya. Sampel diarangkan hingga tak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 550 oC selama 4 jam. Setelah itu didinginkan dan ditimbang hingga bobot tetap. Kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kadar abu (%) =
A− B x 100% C
Dimana A = Berat cawan + sampel setelah diabukan B = Berat cawan C = Berat sampel
3.3.3.8 Kadar lemak (SNI 1992) Ditimbang dengan teliti + 5 g contoh, kemudian dibungkus dengan kertas saring halus bebas lemak dan diikat dengan benang. Contoh dimasukkan ke dalam labu soxhlet. Labu lemak yang telah dioven 103 oC selama 3 jam, ditimbang. Kemudian dilakukan ekstraksi dengan soxhlet (dipasang alat kondensor di atasnya dan labu lemak di bawahnya). Pelarut dietil eter dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya dan dilakukan refluks minimal selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu soxhlet berwarna jernih, lalu dilakukan destilasi pelarut yang ada didalam labu lemak, pelarutnya ditampung. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 5 jam, kemudian dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator. Labu beserta lemaknya ditimbang setelah dingin. Kadar lemak sampel dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut : Kadar lemak (%) =
B−A x 100% C
Dimana A = Berat labu lemak B = Berat labu lemak beserta lemak C = Berat sampel 3.3.3.9 Kadar protein (SNI 1992) Ditimbang dengan teliti 1-2 g contoh. Kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal dan ditambahkan 10 g campuran selen (Kjeltab) serta 30 ml H2SO4 pekat teknis. Setelah itu dipanaskan di ruang asam hingga warna cairan menjadi hijau jernih dan didinginkan. Sampel diencerkan dengan 250-300 ml akuades dan dipindahkan ke tabung destilasi yang telah diberi batu didih. Setelah itu ditambahkan dengan 12 ml NaOH 30% dan segera disambung dengan alat destilasi dan didestilasikan hingga 2/3 dari cairan tersebut menjadi destilat. Hasil destilasi ditampung dengan gelas erlenmeyer 125 ml yang telah berisi 10 ml larutan H3BO3 dan 2-3 tetes indikator campuran metil merah dan metil biru. Hasil dari destilasi ini dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N. Blanko juga dikerjakan seperti prosedur di atas.
Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus : (ml HCl sampel-ml blanko) x N HCl x 14,007 x 6,25 Kadar protein (%) = x 100% Berat sampel (mg) 3.3.3.10 Kadar kalsium metode AAS-wet digestion (Reitz et al. 1987) Pembuatan larutan standar: Terhadap larutan stok Ca 1000 ppm, dibuat deret standar 2, 4, 8 ppm dengan memipet 0,2; 0,4; 0,8 larutan stok Ca 1000 ppm, masing-masing ke dalam labu ukur 100 ml. Lalu ditambahkan larutan Cl3La.7H2O (lantan) sebanyak 1 ml ke dalam masing-masing labu takar dan ditambahkan akuades sampai volume tepat 100 ml. Penetapan sampel: Pengabuan basah (wet digestio) menggunakan HNO3 65%, H2SO4 96-98%, HClO4 60% dan HCl 37%. Sebanyak 1 g sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer 150 ml dan diberi HNO3 5 ml, kemudian didiamkan selama 1 jam. Sampel selanjutnya dipanskan selama 4 jam di atas hot plate, dan didinginkan. Setelah itu ditambahkan H2SO4 (pa = pro analisis) sebanyak 0,4 ml dan dipanaskan kembali selama 30 menit. Sampel diangkat dari hot plate dan diberi larutan HClO4:HNO3 (2:1) sebanyak 3 ml, kemudian dipanaskan selama 15 menit hingga sampel menjadi bening. Sampel ditambahkan dengan 2 ml akuades dan 0,6 ml HCl (pa), setelah bening dipanaskan hingga larut dan didinginkan. Sampel diencerkan sampai volume tertentu (aliquot 100 ml), kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman No. 42. Aliqout diambil sebanyak 1 ml, dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan akuades 4 ml serta lantan 0,05 ml selanjutnya divortex, disentrifuse dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit dan filtrat dibaca dengan nyala atomisasi AAS pada panjang gelombang (λ) 422,7 nm. Hasil absorbansinya dibandingkan dengan standar Ca yang telah diketahui. Perhitungannya : ( ml aliqout/1000) x FP x (ppm sampel – ppm blanko) Ca = FP = faktor pengenceran Ca(mg/100) = % Ca x 1000
mg sampel
x 100%
3.3.3.11 Kadar fosfor, metode Taussky (Anggraeni 2003) Preparasi larutan: Sebanyak 10 g amonium molibdat diencerkan dengan 60 ml akuades dalam labu takar, kemudian ditambahkan 28 ml H2SO4 pekat secara bertahap dan diencerkan dalam akuades hingga 100 ml untuk menghasilkan larutan amonium molibdat ((NH4)6MnO24.4H2O) 10% (Larutan A). Sesaat sebelum dianalisis, larutan A diambil sebanyak 10 ml dan ditambahkan dengan 60 ml akuades dan 5 gram FeSO4.7H2O dalam labu takar dan diencerkan hingga 100 ml untuk menghasilkan larutan B. Pembuatan larutan standar: Sebanyak 4,394 g KH2PO4 dilarutkan dalam akuades sampai 1000 ml agar didapatkan konsentrasi P sebesar 1000 ppm.
Sebanyak 10 ml larutan tersebut
kemudian diencerkan dengan penambahan akuades 400 ml sehingga didapatkan konsebtrasi sebesar 25 ppm. Kemudian dibuat konsentrasi larutan standar P = 2, 3, 4 dan 5 ppm masing-masing sebanyak 5 ml dengan mengambil larutan standar 25 ppm berturut-turut sebanyak 0,4; 0,6; 0,8 dan 1,0 ml. Masing-masing volume tersebut ditambahkan 2 ml larutan B dan akuades hingga 5 ml, kemudian dibaca dalam spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm. Penetapan sampel: Larutan sampel ditambahkan 2 ml larutan B, lalu dipipet ke dalam kuvet sebanyak 3 ml dan dibaca pada panjang gelombang 660 nm. Nilai absorbansi larutan standar 2, 3, 4 dan 5 ppm diukur dan diregresikan sehingga didapat persamaan y = a + bx. Kemudian nilai absorbansi sampel (y) dimasukkan untuk mendapatkan nilai konsentrasi sampel (x) 3.3.3.12 Nilai pH (Apriyantono et al. 1989) Sampel sebanyak 2 g dihancurkan dengan blender lalu didispersikan kedalam 20 ml akuades dan diaduk selama 2 menit. Alat pH meter dikalibrasi dengan menggunakan buffer pH standar (pH 4 dan pH 7). Setelah itu elektroda yang telah dibersihkan dicelupkan kedalam sampel yang akan diperiksa. Nilai pH merupakan hasil pembacaan jarum penunjuk pada pH meter selama 1 menit atau sampai angka digital tidak berubah.
3.3.3.13 Mineral terlarut (modifikasi Santoso 2003) Sebanyak 10 g sampel ditambahkan larutan dengan berbagai tingkatan nilai pH (2, 4, 6) sebanyak 40 ml dan dihomogenkan dengan menggunakan mixer pada kecepatan 5000-10000 rpm selama 2 menit. Kemudian sampel tersebut diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 37 oC selama 2 jam. Selanjutnya sampel disentrifuse pada kecepatan 10000 rpm, 2 oC selama 10 menit. Hasil sentrifuse selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman no. 42. Hasil saringan tersebut selanjutnya diukur dengan menggunakan Atomic
Absorption Spectrophotometer (AAS) pada panjang gelombang 422,7 nm untuk mengetahui berapa banyak kalsium yang terlarut dan 660 nm untuk fosfor yang terlarut menggunakan spektrofotometer, kemudian dihitung sebagai persentase terhadap total kalsium dan fosfor.
3.4. Rancangan percobaan dan analisis data Rancangan percobaan yang digunakan untuk menghitung data hasil penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktor tunggal yaitu penambahan tepung tulang ikan patin dengan tiga kali ulangan (Steel dan Torrie 1993). Model matematika rancangan tersebut adalah sebagai berikut : Yij = μ + Ai + εij Dimana : Yij
= Respons percobaan karena pengaruh perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin taraf ke-i, ulangan ke-j
μ
= Pengaruh rata-rata
Ai
= Pengaruh perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin taraf ke-i
εij
= Pengaruh kesalahan percobaan karena pengaruh perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin taraf ke-i dan ulangan ke-j
i
= 1,2,3
j
= 1,2,3
Apabila hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji Tukey yang bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana saja yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter yang diukur atau dianalisis dengan menggunakan rumus sebagai berikut : W = qα (P,Fe)Sŷ Dimana : q = (Ŷmaks – Ŷmin)/ Sŷ
P = t adalah banyaknya perlakuan Fe = derajat bebas galat Sŷ = s
n
Hasil uji organoleptik diolah dengan uji statistik nonparametrik, yaitu
Kruskal Wallis yang bertujuan untuk mengetahui apakah antara perlakuan berbeda
nyata dalam ranking (Steel dan Torrie 1993). Model matematika uji tersebut adalah sebagai berikut :
H=
12 n(n + 1)
Rj
∑ ni - 3(n+1)
T = (t-1) t (t+1) Pembagi = 1H’ =
T (n − 1)n(n + 1)
H pembagi
Keterangan : n = total pengamatan ni = banyaknya pengamatan pada perlakuan ke-i Rj = jumlah ranking dalam perlakuan ke-j T = banyaknya pengamatan seri dalam kelompok (perlakuan) H’ = terkoreksi.
Apabila hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan adanya pengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji Multiple Comparison yang bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana saja yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter yang diukur atau dianalisis dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Ri - Rj × Z ∝ / k (k − 1)
N ( N + 1) ⎛ 1 1 ⎞ ⎜ + ⎟⎟ 12 ⎝ ni nj ⎠
Keterangan : Ri = rata-rata ranking dalam perlakuan ke-i Rj = rata-rata ranking dalam perlakuan ke-j
N = banyaknya data K = banyaknya perlakuan ni = jumlah data perlakuan ke-i
n j = jumlah data perlakuan ke-j
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan tepung tulang ikan patin yang bahan bakunya diperoleh dari Unit Usaha Fillet Ikan Patin IPB dengan menggunakan dua metode pembuatan yaitu metode kering dan metode basah, kemudian tepung yang dihasilkan dari kedua metode tersebut dianalisis karakteristik fisik dan kimia serta solubilitas Ca dan P. Metode pembuatan tepung yang menghasilkan nilai tertinggi terhadap solubilitas kalsium dan fosfor dipilih untuk digunakan dalam proses pembuatan biskuit.
4.1.1. Karakteristik fisik tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)
Analisis fisik yang dilakukan terhadap tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) yang dihasilkan dalam penelitian ini meliputi rendemen, derajat putih, daya serap air dan densitas kamba sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Karakteristik fisik tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)
Karakteristik Rendeman (%) Derajat putih (%) Daya serap air (%) Densitas kamba (g/ml)
Metode Pembuatan Metode kering Metode basah 81,73 91,83 a 62,82 + 0,27 62,31 + 0,50a 48,54 + 0,73a 62,77 + 1,42b a 0,80 + 0,01 0,79 + 0,02a
Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Rendemen merupakan hasil persentase antara produk akhir (tepung tulang ikan patin) yang dihasilkan dengan produk awal (tulang ikan patin). Rendemen sangat penting diketahui untuk mendapat gambaran suatu produk dapat dimanfaatkan dengan baik atau untuk mengetahui nilai ekonomis dari produk tersebut. Semakin tinggi rendemen suatu produk dapat dikatakan bahwa produk tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi pula. Rendemen tepung tulang ikan patin yang diperoleh dari hasil penelitian ini untuk metode kering sebesar 81,73%; sedangkan untuk metode basah sebesar 91,83%. Dari hasil tersebut ternyata metode basah mempunyai rendemen yang lebih besar. Hal tersebut dikarenakan pada saat pembuatan tepung dengan metode basah sampel tulang sudah
mengalami proses pelunakan sehingga pada saat diolah menjadi tepung tidak banyak bagian yang terbuang dan menghasilkan tepung yang lebih banyak, sedangkan untuk metode kering tulang dalam keadaan keras sehingga pada saat akan diolah menjadi tepung banyak bagian yang terbuang dan pada saat diayak akan menghasilkan tepung dalam jumlah lebih kecil. Rendemen tepung tulang ikan patin sangat dipengaruhi oleh kualitas filleting ikan patin tersebut. Kualitas
filleting ini menunjukkan sedikit banyaknya sisa daging yang menempel pada tulang. Semakin baik kualitas filleting ikan, semakin sedikit daging yang tertinggal dan semakin tinggi rendemen tepung tulang ikan tersebut begitu juga sebaliknya. Derajat putih suatu bahan merupakan daya memantulkan cahaya dari bahan tersebut terhadap cahaya yang mengenai permukaan (BPPIS 1989). Semakin tinggi derajat putih tepung berarti semakin banyak pula cahaya yang dipantulkan di dalam Whiteness-meter (Faridah et al. 2006). Selanjutnya dikatakan oleh Desrosier (1988), pengeringan bahan pangan akan mengubah sifatsifat fisik dan kimia bahan pangan tersebut dan diduga dapat mengubah kemampuannya memantulkan, menyebarkan, menyerap dan meneruskan sinar, sehingga mengubah warna bahan pangan. Pengukuran nilai derajat putih tepung tulang ikan yang dihasilkan dari metode kering dan basah berturut-turut adalah 62,82% dan 62,31% dibandingkan dengan barium sulfat (BaSO4). Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak berpengaruh nyata terhadap nilai derajat putih (Lampiran 3). Derajat putih tepung tulang ikan patin masih kecil, dikarenakan dalam pembuatan tepung tulang ikan patin tidak menggunakan bahan-bahan tambahan (pemutih) untuk memutihkan tepung tulang ikan patin. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa tepung yang dijual secara komersial biasanya menggunakan pemutih karena konsumen sangat menyukai warna tepung yang putih. Desrosier (1988) mengatakan bahwa warna bahan pangan bergantung pada kenampakan bahan pangan tersebut dan kemampuan dari bahan pangan untuk memantulkan, menyebarkan, menyerap atau meneruskan sinar tampak. Pengeringan bahan pangan akan mengubah sifat-sifat fisik dan kimianya dan diduga mengubah kemampuannya memantulkan,
menyebar, menyerap dan meneruskan sinar sehingga mengubah warna bahan pangan. Tepung tulang ikan merupakan produk dengan kadar air yang rendah, oleh sebab itu analisis daya serap air perlu diketahui terhadap tepung tulang ikan yang dihasilkan. Daya serap air adalah nilai rata-rata penyerapan air. Penyerapan air dapat berhubungan dengan tekstur tepung tulang yang dihasilkan. Daya serap air tergantung pada jumlah dan keadaan alami komponen hidrofilik protein, disamping itu tergantung juga pada pH dan denaturasi protein (Lin dan Zayes 1987). Beberapa denaturasi menyebabkan pembalikan sisi hidrofobik ke bagian luar sehingga menurunkan daya serap air (Lehninger 1984). Hasil analisis daya serap air tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah berturut-turut adalah 48,54% dan 62,77%. Metode kering menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan nilai daya serap air lebih rendah dan berbeda nyata dengan metode basah (Lampiran 4). Daya serap air yang berbeda menunjukkan bahwa tingkat denaturasi protein yang terjadi pada kedua metode berbeda pula, yaitu pembalikan sisi gugus hidrofilik ke bagian dalam dan hidrofobik ke bagian luar dari metode kering lebih besar dari metode basah. Densitas kamba (bulk density) merupakan sifat fisik bahan pangan yang dipengaruhi oleh ukuran bahan dan kadar air. Densitas kamba dinyatakan dalam satuan g/ml. Nilai densitas kamba yaitu jumlah rongga yang terdapat diantara partikel-partikel bahan. Dalam volume yang sama, tepung yang memiliki densitas kamba yang lebih tinggi memiliki berat yang lebih tinggi daripada tepung yang memiliki densitas kamba yang rendah (Wirakartakusumah et al. 1992). Hasil analisis densitas kamba tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah adalah 0,80 g/ml dan 0,79 g/ml. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada volume 1 ml, berat tepung berturut-turut adalah 0,80 g dan 0,79 g. Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak berpengaruh nyata terhadap densitas kamba (Lampiran 5). Pengetahuan tentang densitas kamba berguna bagi keperluan penyimpanan dan transportasi. Semakin besar nilai densitas kamba suatu tepung maka semakin kecil ruangan penyimpanan atau pengemasan dan biaya transportasi. Nilai densitas kamba dipengaruhi oleh ukuran partikel, kekerasan permukaan dan metode pengukuran. Kecenderungan nilai densitas
kamba tepung berbanding terbalik dengan kadar air, yaitu semakin rendah kadar air menyebabkan semakin tinggi kekambaan tepung atau semakin rendah densitas kambanya. Wirakartakusumah et al. (1992) menyatakan bahwa suatu bahan pangan bersifat kamba jika nilai densitas kambanya kecil, berarti untuk berat yang ringan dibutuhkan ruang (volume) besar.
4.1.2. Karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)
Analisis kimia yang dilakukan terhadap tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) yang dihasilkan dalam penelitian ini meliputi kadar air, abu, kalsium, fosfor, nilai pH sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)
Tepung tulang ikan patin Parameter Air (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat Abu (%) Kalsium(mg/g bk) Fosfor (mg/g bk) pH
Metode Kering 6,53b 22,23a 2,73a 56,38a 264,53a 88,38a 7,56a
Metode Basah 4,95a 20,53a 2,09a 58,15b 244,02a 71,96a 7,88b
Tepung tulang ikan produksi ISA, 2002
3,6 34,2 5,6 23,5 33,1 11,9% 11,6% -
Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Air merupakan komponen penting yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk berkembang biak dalam produk pangan. Hal ini merupakan salah satu sebab mengapa didalam pengolahan pangan, air sering dikeluarkan atau dikurangi dengan cara penguapan atau pengeringan. Nilai aktivitas air (aw) merupakan salah satu faktor yang ikut berperan dalam
pertumbuhan
mikroorganisme.
Masing-masing
mikroorganisme
membutuhkan jumlah air yang berbeda untuk pertumbuhannya. Pada nilai aw tinggi (0,91) bakteri umumnya tumbuh dan berkembang biak; khamir dapat tumbuh dan berkembang biak pada nilai aw 0,87-0,91; sedangkan jamur lebih rendah yaitu 0,80-0,87 (Purnomo 1995). Hasil analisis kadar air tepung tulang ikan patin yang dihasilkan melalui metode kering dan basah berturut-turut adalah 6,53% dan 4,95%. Hasil yang diperoleh tersebut ternyata masih lebih tinggi dari
standar kadar air yang ditetapkan oleh International of Seafood Alaska [ISA] 2002 yaitu 3,4% serta hasil penelitian oleh Mulia (2004) yaitu sebesar 3,6%. Metode basah menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan nilai kadar air yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan metode kering (Lampiran 6). Perbedaan kadar air tersebut dipengaruhi oleh metode pembuatan tepung tulang ikan serta metode pengeringan tepung (Winarno dan Fardiaz 1973). Kandungan abu dari suatu bahan pangan menunjukkan residu bahan anorganik yang tersisa setelah bahan organik dalam makanan didestruksi. Kandungan mineral ditentukan dengan menetapkan kandungan abu dari bahan tersebut. Abu sisa pembakaran itu dianggap sebagai mineral dari bahan pangan (Sulaeman et al. 1995). Hasil analisis kadar abu tepung tulang ikan patin yang dihasilkan melalui dari metode kering dan basah berturut-turut adalah 56,38% dan 58,15%. Nilai kadar abu yang diperoleh tersebut masih lebih tinggi dari standar nilai kadar abu yang dikeluarkan oleh ISA yaitu 33,1%. Metode kering menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar abu yang lebih kecil dan berbeda nyata dengan metode basah (Lampiran 7). Kadar abu merupakan gambaran kasar dari kandungan mineral. Kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan kadar mineral meskipun kadar abu merupakan gambaran kasar dari kandungan mineral (Apriyantono et al. 1989). Tepung tulang ikan dapat digunakan sebagai sumber kalsium dan fosfor karena mengandung kalsium 24-30% dan fosfor 12-15%, jumlah tersebut jauh lebih besar daripada kandungan kalsium dan fosfor pada tepung ikan. Tepung tulang yang kaya akan kalsium dan fosfor ini tentunya tepung tulang yang sudah diolah, terutama harus bebas hama yang berarti sudah disterilisasikan (Rasyaf 1990). Hasil analisis kadar kalsium tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah memiliki nilai berturut-turut sebesar 264,53 mg/g bk dan 244,02 mg/g bk. Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan kalsium (Lampiran 8). Kandungan mineral juga bergantung pada faktor ekologis seperti musim, tempat pembesaran, jumlah nutrisi tersedia, suhu dan salinitas (Martinez et al. 1998). Dari hasil yang diperoleh ternyata metode kering menghasilkan kadar kalsium yang relatif lebih tinggi dari metode basah. Penggunaan suhu, waktu dan metode yang berbeda akan
menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar kalsium yang berbeda pula. Dari hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa tepung tulang ikan dari sumber yang sama tetapi dengan cara pengolahan/pembuatan yang berbeda akan menghasilkan kadar kalsium yang berbeda pula, walaupun dalam penelitian ini metode pembuatan tidak berpengaruh nyata. Protein yang terdapat dalam tepung tulang ikan patin adalah protein kolagen yang akan terdenaturasi akibat pemanasan pada saat proses pembuatan tepung menjadi gelatin yang mudah larut. Kelarutan dan keberadaan dari gelatin ini akan meningkatkan kelarutan dan keberadaan kalsium dari tepung tulang ikan patin. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat dari Yoshie et al. (1997) yang mengatakan bahwa ketersediaan dan kelarutan protein ternyata mempengaruhi ketersediaan dan kelarutan mineral. Halver (1989) mengatakan bahwa fosfor merupakan salah satu unsur utama pembentukan tulang ikan. Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak setelah kalsium (sekitar 22% dari total mineral) dimana 85% diantaranya terdapat pada tulang (Muchtadi et al.1993).
Hasil analisis kadar fosfor tepung tulang
ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah adalah 88,38 mg/g bk dan 71,96 mg/g bk. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa metode kering juga menghasilkan fosfor dengan kadar lebih tinggi daripada metode basah. Dengan demikian penggunaan suhu, waktu dan metode yang berbeda akan menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar fosfor yang berbeda pula. Rasio antara Ca:P untuk metode kering adalah 3:1, sedangkan untuk metode basah adalah 3,4:1. Dalam proses absorpsi, Ca dan P saling berpengaruh erat sekali. Untuk absorpsi Ca yang baik, diperlukan perbandingan Ca:P di dalam rongga usus (di dalam hidangan) 1:1 sampai 1:3. Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak berpengaruh nyata terhadap kadar fosfor (Lampiran 9). Perbandingan Ca:P lebih besar dari 1:3 akan menghambat penyerapan Ca, sehingga hidangan yang demikian akan mengakibatkan penyakit defisiensi Ca, yaitu rakhitis. Hidangan yang mudah menimbulkan penyakit rakhitis ini disebut hidangan rakhitogenik (Sediaoetama 2006). Nilai pH sangat memegang peranan penting dalam proses penyerapan zat gizi dalam tubuh. Nilai pH suatu bahan pangan akan mempengaruhi proses penanganan dan pengolahan bahan pangan tersebut. Almatsier (2002) menyatakan
bahwa, kalsium membutuhkan pH asam agar dapat berada dalam keadaan terlarut karena kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air. Hasil analisis nilai pH tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah memiliki berturut-turut sebesar 7,56 dan 7,88. Metode kering menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan nilai pH yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan metode basah (Lampiran 10). Menurut Labuza (1977) dalam Hardman (1989) ikatan protein terbesar adalah ikatan hidrogen antara grup C-O dan NH atau ikatan peptida. Pada pH kurang dari pH isoelektrik (<5,2-5,4) kemungkinan terlalu banyak muatan positif dan jika pH lebih besar dari pH isoelektrik terlalu banyak muatan negatif. Perubahan nilai pH/kekuatan ion dapat mengubah distribusi muatan diantara rantai sisi asam amino yang akan meningkatkan atau mengurangi interaksi protein.
4.1.3. Solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)
Persen solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin yang dihasilkan melalui dua metode pembuatan tepung tulang ikan patin yang berbeda sebagaimana disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) pada berbagai nilai pH
Nilai pH 2 4 6
%Ca Metode kering Metode basah 1,25 1,07 0,29 0,39 0,31 0,38
%P Metode kering Metode basah 0,18 0,11 0,10 0,08 0,09 0,08
Secara umum persen solubilitas kalsium meningkat seiring dengan menurunnya nilai pH. Pada pH 2, persen solubilitas kalsium memiliki nilai tertinggi yaitu untuk metode kering sebesar 1,25% dan metode basah 1,07%. Persen solubilitas kalsium akan menurun seiring dengan meningkatnya nilai pH atau derajat keasaman menjadi rendah (Gambar 4a).
Solubilitas Ca (%)
1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 2
4
6
Tingkatan nilai pH Metode kering
Metode basah
Gambar 4a Grafik solubilitas kalsium tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Persen solubilitas fosfor tepung tulang ikan patin memperlihatkan pola yang sama dengan solubilitas kalsium yaitu persen solubilitas fosfor meningkat seiring dengan menurunnya nilai pH. Pada pH 2, persen solubilitas fosfor memiliki nilai tertinggi yaitu untuk metode kering sebesar 0,18% dan metode basah 0,11%. Persen solubilitas fosfor akan menurun seiring dengan meningkatnya nilai pH atau derajat keasaman menjadi rendah (Gambar 4b).
Solubilitas P (%)
0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 2
4
6
Tingkatan nilai pH Metode kering
Metode basah
Gambar 4b Grafik solubilitas fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)
Solubilitas Ca dan P kedua tepung tulang ikan meningkat secara nyata seiring dengan meningkatnya derajat keasaman (pH rendah), dimana persen solubilitas tertinggi dihasilkan pada pH 2. Tepung tulang ikan patin yang dibuat dengan menggunakan metode kering mempunyai persen solubilitas Ca dan P lebih tinggi dibandingkan dengan metode basah pada tingkatan nilai pH 2. Kondisi diatas sejalan dengan hasil penelitian Yoshie et al. (1997); Santoso et al. (2006) yang masing-masing mempelajari solubilitas mineral
seafood dan seaweeds dalam berbagai kondisi keasaman. Hasilnya juga menunjukkan bahwa solubilitas mineral (Ca, Mg, Fe, Zn) tertinggi terjadi pada suasana asam dan akan menurun sejalan dengan penurunan derajad keasaman/ peningkatan nilai pH dan sebaliknya, demikian pula persen penyerapannya. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Muchtadi et al. (1989) tingkat keasaman (pH) usus halus berpengaruh langsung terhadap penyerapan Ca dan P. Meningkatnya keasaman lambung akan meningkatkan kelarutan garam kalsium di dalam usus halus dan meningkatkan absorbsinya. Pada pH alkali, penyerapan akan menurun karena terbentuknya kompleks kalsium fosfat
4.2. Penelitian Lanjutan
Pada penelitian lanjutan dilakuan pembuatan biskuit yang ditambahkan dengan tepung tulang ikan patin yang dibuat dengan metode kering karena memiliki nilai solubilitas kalsium dan fosfor yang tinggi. Formulasi biskuit yang dibuat dalam penelitian ini terdiri dari 5 (lima) yaitu : 0%, 2%, 4%, 6% dan 8%. Biskuit yang dihasilkan kemudian dilakukan pengujian organoleptik dengan menggunakan uji skoring untuk mendapatkan 2 (dua) formulasi terbaik yang selanjutnya dilakukan uji perbandingan pasangan dengan produk komersial (Biskuat susu), analisis fisik dan kimia serta analisis solubilitas kalsium dan fosfor.
4.2.1 Organoleptik
Soekarto (1985) menyatakan bahwa uji organoleptik terhadap suatu makanan adalah penilaian dengan menggunakan alat indera yaitu indera penglihatan, pencicip, pembau dan pendengar. Dengan uji ini dapat diketahui
penerimaan terhadap suatu produk. Hasil uji organoleptik terhadap 5 (lima) formulasi biskuit yang dihasilkan sebagaimana disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Rataan hasil uji organoleptik biskuit tepung tulang ikan patin Biskuit
Parameter
K
A
B
C
D
Penampakan
5,77
5,93
5,56
5,23
5,50
Warna
5,83
5,93
5,56
5,33
5,45
Aroma
5,50
6,63
6,27
5,57
5,63
Tekstur
5,73
6,76
5,96
5,17
5,13
Rasa
5,57
6,63
5,60
5,63
5,57
Keterangan : K : kontrol (tanpa penambahan tepung tulang ikan patin) A : Penambahan tepung tulang ikan patin 2% B : Penambahan tepung tulang ikan patin 4% C : Penambahan tepung tulang ikan patin 6% D : Penambahan tepung tulang ikan patin 8%
4.2.1.1. Penampakan
Penampakan merupakan parameter organoleptik yang penting karena sifat sensoris yang pertama kali dilihat oleh konsumen. Pada umumnya konsumen memilih makanan yang memiliki penampakan menarik (Soekarto 1985). Penampakan suatu produk pangan akan menjadi daya tarik yang kuat bagi konsumen sebelum konsumen melihat parameter lainnya seperti rasa, aroma dan tekstur. Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap penampakan biskuit penambahan tepung tulang ikan patin yang dihasilkan berkisar antara 5,23 sampai 5,93 (agak rapih sampai mendekati rapih). Nilai penampakan tertinggi dari biskuit yang diuji, dicapai oleh biskuit A dengan nilai rata-rata 5,93 sedangkan nilai terendah dicapai oleh biskuit C dengan nilai rata-rata 5,23 (Gambar 5).
7.00
Penampakan
6.00
5.77(a)
5.93(a)
5.56(a)
5.23(a)
5.50(a)
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 K
A
B
C
D
Tingkat penambahan tepung
Keterangan :- Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7 - Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)
Gambar 5 Histogram nilai penampakan biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp). Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap tingkat penilaian panelis terhadap penampakan biskuit yang dihasilkan (Lampiran 20). Hal tersebut disebabkan karena bentuk dari biskuit yang dihasilkan seragam sehingga meskipun tingkat penambahan tepung tulang ikan patin semakin besar tidak akan berpengaruh terhadap adonan sehingga pada saat pencetakan biskuit tidak mengalami kesukaran.
4.2.1.2. Warna
Warna penting bagi banyak makanan, baik bagi makanan yang tidak diproses maupun bagi yang dimanufaktur. Bersama-sama dengan bau, rasa dan tekstur, warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan. Selain itu, warna dapat memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan seperti pencoklatan dan pengkaramelan (de Man 1997). Sukarni dan Kusno (1980) menyatakan bahwa warna merupakan sifat sensoris pertama yang dapat dilihat langsung oleh panelis. Warna bahan yang menyimpang dari normal atau tidak sesuai dengan selera, maka bahan tersebut tidak dipilih untuk dikonsumsi, walaupun nilai gizi dan faktor lainnya normal.
Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap warna biskuit penambahan tepung tulang ikan yang dihasilkan berkisar antara 5,33 sampai 5,93 (kuning sampai mendekati kuning kecoklatan). Nilai biskuit yang tertinggi untuk warna dicapai oleh biskuit A dengan nilai rata-rata 5,93 sedangkan nilai terendah dicapai oleh biskuit C dengan rata-rata nilai 5,33 (Gambar 6). 7.00 6.00
5.83(a)
5.93(a)
5.56(a)
5.33(a)
5.43(a)
C
D
Warna
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 K
A
B
Tingkat penambahan tepung
Keterangan : - Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7 - Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)
Gambar 6 Histogram nilai warna biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp). Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat penilaian panelis terhadap warna biskuit yang dihasilkan (Lampiran 21). Hal tersebut disebabkan karena warna dari biskuit yang dihasilkan hampir seragam yaitu berwarna kuning sampai kuning kecoklatan, meskipun tingkat penambahan tepung tulang ikan patin semakin besar tidak akan berpengaruh terhadap adonan sehingga biskuit yang dihasilkan setelah pemanggangan tidak mengalami perbedaan yang terlalu besar terhadap warna. Warna coklat pada biskuit yang dihasilkan setelah pemanggangan merupakan reaksi pencoklatan nonenzimatis atau reaksi Maillard. Reaksi pencoklatan dapat didefinisikan sebagai urutan peristiwa yang dimulai dengan reaksi gugus amino pada asam amino, peptida, atau protein dengan gugus hidroksil glikosidik pada gula, yang diakhiri dengan pembentukan polimer nitrogen berwarna coklat atau melanoidin (de Man 1997).
4.2.1.3. Aroma
Aroma makanan dapat menentukan kelezatan dari makanan itu sendiri. Dalam banyak hal, aroma menjadi daya tarik tersendiri dalam menentukan rasa enak dari produk makanan itu sendiri (Soekarto 1985). Winarno (2002) menyatakan bahwa aroma lebih banyak dipengaruhi oleh panca indera penciuman. Pada umumnya bau yang dapat diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan campuran empat macam bau yaitu harum, asam, tengik dan hangus. Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap aroma biskuit penambahan tepung tulang ikan yang dihasilkan berkisar antara 5,50 sampai 6,63 (agak harum sampai harum). Nilai tertinggi biskuit untuk aroma dicapai oleh biskuit A dengan nilai rata-rata 6,63 sedangkan nilai terendah dicapai oleh biskuit K dengan nilai rata-rata 5,50 (Gambar 7). 6.63(b)
7.00 6.00
6.27(b)
5.50(a)
5.57(a)
5.63(a)
C
D
Aroma
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 K
A
B
Tingkat penambahan tepung
Keterangan : - Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7 - Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 7 Histogram nilai aroma biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp). Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin memberikan pengaruh yang berbeda nyata tingkat penilaian panelis terhadap aroma biskuit yang dihasilkan. Biskuit formulasi A dan B mempunyai nilai rata-rata aroma yang tinggi dan berbeda nyata dengan formulasi lainnya (Lampiran 22). Aroma biskuit yang dihasilkan lebih banyak dipengaruhi oleh adanya susu, margarin, telur serta vanili yang ditambahkan
dalam adonan namun dengan penambahan tepung tulang ikan patin ke dalam formulasi biskuit mempengaruhi penilaian panelis terhadap aroma biskuit. Hal tersebut disebabkan karena penambahan tepung tulang ikan patin tidak memberikan bau amis yang berasal dari tulang kepada aroma dari biskuit yang dihasilkan sehingga sangat disukai oleh panelis.
4.2.1.4. Tekstur
Tekstur merupakan segi penting dari mutu makanan, kadang-kadang lebih penting daripada bau, rasa dan warna. Tekstur penting pada makanan lunak dan makanan renyah. Ciri yang paling penting diacu ialah kekerasan, kekohesifan dan kandungan air (de Man 1997). Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap tekstur biskuit penambahan tepung tulang ikan yang dihasilkan berkisar antara 5,17 sampai 6,76 (agak renyah sampai renyah). Nilai tertinggi biskuit untuk aroma dicapai oleh biskuit A dengan nilai rata-rata 6,76 sedangkan nilai terendah dicapai oleh biskuit D dengan nilai rata-rata 5,13 (Gambar 8). 8.00 6.76(b)
7.00
Tekstur
6.00
5.96(a)
5.73(a)
5.17(a)
5.13(a)
C
D
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 K
A
B
Tingkat penambahan tepung
Keterangan : - Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7 - Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 8 Histogram nilai tekstur biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp).
Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin memberikan pengaruh yang berbeda nyata untuk tingkat penilaian panelis terhadap tekstur biskuit yang dihasilkan. Biskuit formulasi A mempunyai rata-rata tekstur yang tinggi dan berbeda nyata dengan formulasi lainnya (Lampiran 23). Hal tersebut disebabkan karena penambahan tepung tulang ikan patinnya semakin banyak menghasilkan tekstur biskuit yang semakin keras, hal ini juga berhubungan dengan kandungan kalsium dan fosfor yang besar dalam tepung tulang ikan patin sehingga tekstur biskuit juga akan berubah sesuai dengan banyaknya penambahan konsentrasi tepung. Meskipun demikian tekstur biskuit yang ditambah dengan tepung tulang ikan masih dapat diterima oleh panelis dan tidak berbeda nyata dengan kontrol.
4.2.1.5. Rasa
Rasa dinilai dengan adanya tanggapan rangsangan kimiawi oleh indera pencicip (lidah), dimana akhirnya kesatuan interaksi antara sifat-sifat aroma, rasa dan tekstur merupakan keseluruhan rasa atau flavour makanan yang dinilai (Nasution 1980). Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap rasa biskuit penambahan tepung tulang ikan yang dihasilkan berkisar antara 5,57 sampai 6,63 (agak enak sampai enak). Nilai tertinggi untuk aroma dicapai oleh biskuit A dengan nilai rata-rata 6,63 sedangkan nilai terendah dicapai oleh formulasi biskuit kontrol dan D dengan nilai rata-rata 5,57 (Gambar 9).
6.63(b)
7.00 6.00
5.57(a)
5.60(a)
5.63(a)
5.57(a)
B
C
D
Rasa
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 K
A
Tingkat penambahan tepung
Keterangan :- Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7 - Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 9 Histogram nilai rasa biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp). Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin memberikan pengaruh yang berbeda nyata untuk tingkat penilaian panelis terhadap rasa biskuit yang dihasilkan. Biskuit formulasi A mempunyai rata-rata rasa yang tinggi dan berbeda nyata dengan formulasi lainnya (Lampiran 24). Penambahan tepung tulang ikan patin ternyata mempengaruhi rasa dari biskuit yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan karena kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi dari tepung tulang ikan patin mengakibatkan after taste yaitu sedikit terasa berkapur, namun secara keseluruhan rasa biskuit yang dihasilkan masih dapat diterima oleh panelis.
4.2.2. Uji perbandingan pasangan
Uji perbandingan pasangan dilakukan untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan produk baru apabila dibandingkan dengan produk komersial (Rahayu 2001). Uji perbandingan pasangan dilakukan terhadap 2 (dua) formulasi terbaik yang diperoleh dari uji organoleptik yaitu biskuit formulasi A dan B. Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan dari biskuit yang dibuat dengan biskuit komersial. Biskuit komersial yang dijadikan pembanding adalah Biskuat Susu, yang diproduksi oleh PT. Danone Biscuits Indonesia.
Hasil uji perbandingan pasangan memperlihatkan bahwa dari segi penampakan biskuit formulasi A dan B memiliki nilai 1,00 yang berarti biskuit formulasi memiliki penampakan agak lebih rapih dibandingkan dengan biskuit komersial. Demikian pula untuk warna biskuit formulasi A dan B memiliki nilai 2,00 yang menunjukkan bahwa biskuit formulasi memiliki warna lebih cerah dari biskuit komersial. Kerenyahan biskuit formulasi A dan B memiliki nilai -0,87 dan -0,70 yang menunjukkan bahwa biskuit formulasi agak kurang renyah dibandingkan dengan biskuit komersial. Biskuit formulasi A dan B memiliki nilai rasa yaitu 0,20 dan 0,40 menunjukkan bahwa biskuit formulasi memiliki rasa yang relatif sama dengan biskuit komersial (Gambar 10)
Nilai rata-rata perbandingan pasangan
3.00 2.00 2.00 2.00 1.00 1.00 1.00
0.20
0.40
0.00 -1.00
Penampakan
Warna
Kerenyahan -0.87-0.70
Rasa
-2.00 -3.00 Biskuit A
Biskuit B
Gambar 10 Histogram nilai perbandingan pasangan biskuit A dan B Berdasarkan hasil uji perbandingan pasangan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa biskuit formulasi memiliki keunggulan dalam penampakan dan warna, kelemahan dalam kerenyahan sedangkan untuk rasa memiliki kesamaan dengan biskuit komersial.
4.2.3. Karakteristik fisik biskuit
Karakeristik fisik yang dianalisis pada penelitian ini meliputi berat, ketebalan, diameter dan kekerasan biskuit. Pengujian tersebut dilakukan terhadap biskuit K, dua formulasi biskuit terbaik A dan B serta biskuit komersial. Hasil analisis karakteristik fisik sebagaimana disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Karakteristik fisik biskuit tepung tulang ikan patin dan biskuit komersial
Parameter Komersial Berat (g) 4,00 + 0,00a Tebal (mm) 2,00 + 0,00a Diameter (cm) 4,00 + 0,00b Kekerasan (gf) 1129,2 + 56,4a
Karakteristik Fisik Biskuit K A b 5,00 + 0,00 5,00 + 0,00b 4,00 + 0,00 b 4,00 + 0,00 b a 3,70 + 0,00 3,70 + 0,00a 1319 + 22,1b 1362 + 83,6b
B 5,00 + 0,00b 4,00 + 0,00 b 3,70 + 0,00a 1440 + 14,63b
Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Pengukuran berat, ketebalan dan diameter biskuit formulasi dibandingkan dengan biskuit komersial menunjukkan bahwa biskuit formulasi memiliki nilai berat dan ketebalan yang lebih besar sedangkan untuk diameter memiliki nilai lebih kecil dibandingkan dengan biskuit komersial (Lampiran 34, 35, 36). Perbedaan berat, tebal dan diameter biskuit formulasi dengan biskuit komersial disebabkan karena pembuatan biskuit formulasi dilakukan secara manual khususnya pada waktu pencetakan dibandingkan dengan biskuit komersial yang menggunakan mesin. Pengukuran kekerasan biskuit dilakukan dengan menggunakan alat
Rheoner dengan satuan gram force (gf). Analisis kekerasan biskuit dengan menggunakan Rheoner terhadap ketiga biskuit hasil penelitian serta biskuit komersial berkisar antara 1129,16 sampai 1440,28 gf. Nilai rata-rata kekerasan biskuit tertinggi dicapai oleh biskuit B dengan nilai 1440,28 gf, sedangkan nilai terendah dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai 1129.16 gf. Tingkat kekerasan biskuit berhubungan erat dengan kadar protein tepung terigu dan tepung tulang ikan patin serta kalsium dan fosfor. Tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung cap ”Kunci Biru” dengan kadar protein 8%, sedangkan kadar protein tulang ikan patin 22,23%. Matz (1968) menyatakan bahwa tingkat kekerasan biskuit dipengaruhi oleh kadar protein tepung terigu yang digunakan. Analisis ragam terhadap kekerasan biskuit menunjukan bahwa biskuit komersial mepunyai nilai lebih kecil
berbeda nyata dengan biskuit
formulasi (Lampiran 37). Kandungan mineral terbanyak dalam tepung tulang ikan patin adalah kalsium dan fosfor. Hal tersebut mengakibatkan formulasi biskuit yang ditambahkan dengan tepung tulang ikan patin memiliki nilai kekerasan yang
tinggi. Semakin besar konsentrasi tepung tulang ikan yang ditambahkan maka semakin besar nilai kekerasan yang diperoleh/ tekstur biskuit semakin keras. Ketebalan juga turut berperan terhadap nilai kekerasan biskuit. Semakin tebal biskuit, semakin besar gaya/daya yang diperlukan untuk mengakibatkan hancur/pecah tekstur pada waktu pengujian.
4.2.4. Karakteristik kimia biskuit
Karakteristik kimia yang dianalisis pada penelitian ini meliputi kadar air, abu, protein, lemak, nilai pH. Pengujian tersebut dilakukan terhadap biskuit formulasi K, A, B serta biskuit komersial. Hasil analisis karakteristik kimia sebagaimana disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Karakteristik kimia biskuit tepung tulang ikan patin dan biskuit komersial
Parameter Kadar air (%) Abu (%) Lemak (%) Protein (%) Kalsium (mg/g bk) Fosfor (mg/g bk) pH Karbohidrat by difference (%)
Komersial 2,64 + 0,07a 1,77 + 0,08b 15,96 + 0,44a 6,52 + 0,12a 3,50 + 0,10c 0,65 + 0,05a 7,70 + 0,09b 73,11 + 0,45b
Karakteristik Kimia Biskuit K A 4,53 + 0,07c 3,58 + 0,27b 1,06 + 0,12a 1,54 + 0,13b 20,13 + 0,35b 20,22 + 0,97b b 7,70 + 0,07 7,72 + 0,09b 0,92 + 0,07a 2,13 + 0,09b a 0,43 + 0,04 1,48 + 0,09b 6,37 + 0,02a 6,45 + 0,02a a 66,57 + 0,51 66,92 + 1,30a
B 3,92 + 0,05b 2,09 + 0,07c 19,95 + 0,23b 8,06 + 0,19bc 3,54 + 0,20c 3,29 + 0,07c 6,44 + 0,03a 65,96 + 0,43a
Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
4.2.4.1. Kadar air
Air merupakan kandungan penting dalam makanan. Air dapat berupa komponen intrasel dan/ ekstrasel, sebagai medium pendispersi atau pelarut dalam berbagai produk, sebagai fase terdispersi dalam beberapa produk yang diemulsi seperti mentega dan margarin (de Man 1997). Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena dapat mempengaruhi tekstur, penampakan dan citarasa makanan. Kandungan air dalam bahan pangan juga ikut menentukan daya terima, kesegaran dan daya tahan produk.
Hasil analisis kadar air biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 2,64% sampai 4,53%. Kadar air tertinggi dicapai oleh biskuit K dengan nilai 4,53% sedangkan kadar air terendah dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai sebesar 2,64%. Kadar air maksimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 5%. Dengan demikian kadar air biskuit A dan B memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-2973-1992. Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit komersial memiliki nilai kadar air yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan ketiga biskuit hasil penelitian (Lampiran 25). Penambahan tepung tulang ikan patin ternyata tidak menyebabkan peningkatan kadar air tetapi menyebabkan terjadinya penurunan kadar air. Hal tersebut mungkin disebabkan karena tepung tulang ikan patin merupakan produk padat kering dengan kadar air yang rendah sehingga pada saat ditambahkan ke dalam adonan tepung tulang ikan patin menyerap air yang ada dalam adonan. Selain itu nilai kadar air juga dipengaruhi oleh suhu dan lama waktu pemanggangan dalam oven, jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan serta tingkat kadar air bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit.
4.2.4.2. Kadar abu
Abu merupakan ukuran dari komponen anorganik yang ada dalam suatu bahan makanan. Kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan bahan mineral karena ada beberapa mineral yang hilang selama pembakaran dan penguapan (Sulaeman
et al. 1985). Hasil analisis kadar abu biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 1,06% sampai 2,09%. Kadar abu tertinggi dicapai oleh biskuit B dengan nilai 2,09% sedangkan kadar abu terendah dicapai oleh biskuit K dengan nilai sebesar 1,06%. Kadar abu maksimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 1,5%. Dengan demikian kadar abu biskuit A memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-2973-1992. Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit B menghasilkan nilai kadar abu yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan biskuit A, K dan biskuit komersial (Lampiran 26). Tepung tulang ikan patin mengandung mineral
khususnya kalsium dan fosfor yang tinggi sehingga memberikan sumbangan yang besar bagi peningkatan nilai kadar abu biskuit.
4.2.4.3. Kadar lemak
Lemak adalah sekelompok ikatan organik yang terdiri atas unsur-unsur C, H dan O yang mempunyai sifat dapat larut dalam zat-zat pelarut tertentu (zat pelarut lemak), seperti petroleum benzene, ether. Lemak di dalam makanan yang memegang peranan penting ialah lemak netral (glycerin) (Sediaoetama 2006). Lemak memiliki efek shortening pada makanan yang dipanggang seperti biskuit, kue kering dan roti sehingga menjadi lebih lezat dan renyah. Lemak akan memecah struktur kemudian melapisi pati dan gluten, sehingga dihasilkan biskuit yang renyah (Gaman dan Sherrington 1992). Matz (1978) menyatakan bahwa lemak dapat memperbaiki struktur fisik seperti pengembangan, kelembutan tekstur dan aroma. Hasil analisis kadar lemak biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 15,96% sampai 20,22%. Kadar lemak tertinggi dicapai oleh biskuit A dengan nilai 20,22% sedangkan kadar lemak terendah dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai sebesar 15,96%. Kadar lemak minimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 9,5%. Dengan demikian kadar lemak biskuit hasil penelitian dan biskuit komersial memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-2973-1992. Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit A menghasilkan nilai lemak yang lebih tinggi dan bersama dengan biskuit B dan K berbeda nyata dengan biskuit komersial (Lampiran 27). Tingginya kadar lemak disebabkan karena bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit mengandung kadar lemak yang cukup tinggi seperti margarin.
4.2.4.4. Kadar Protein
Protein merupakan zat gizi yang sangat penting, karena yang paling erat hubungannya dengan proses-proses kehidupan (Sediaoetama 2006). Pada umumnya kadar protein dalam bahan pangan menentukan mutu bahan pangan tersebut (Winarno 2002).
Hasil analisis kadar protein biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 6,52% sampai 8,06%. Kadar protein tertinggi dicapai oleh biskuit B dengan nilai 8,06% sedangkan kadar protein terendah dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai sebesar 6,52%. Kadar protein minimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 9%. Dengan demikian kadar protein biskuit formulasi dan biskuit komersial belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-2973-1992. Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit B menghasilkan nilai kadar protein yang lebih tinggi dan bersama dengan biskuit A, K berbeda nyata terhadap biskuit komersial (Lampiran 28). Hasil analisis protein tepung tulang ikan patin yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah sebesar 22,23%. Tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan biskuit formulasi tepung tulang ikan patin adalah tepung terigu merk Kunci Biru dengan kadar protein 8%. Tepung terigu merk kunci biru tergolong soft flour dengan kadar protein berkisar antara 7-8,5% (Astawan 1999). Peningkatan kadar protein biskuit formulasi disebabkan adanya sumbangan protein dari tepung tulang ikan patin dan susu.
4.2.4.5. Kadar Kalsium
Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh. Lebih dari 99% kalsium ada di dalam tulang dan gigi, yaitu bersama-sama dengan fosfor
membentuk
kristal
larut
yang
disebut
kalsium
hidroksiapatit
(Ca3(PO4)2)3.Ca(OH)2 (Muchtadi et al. 1993). Hasil analisis kadar kalsium biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 0,92 mg/g bk sampai 3,54 mg/g bk. Kadar kalsium tertinggi dicapai oleh biskuit B dengan nilai 3,54 mg/g bk sedangkan kadar kalsium terendah dicapai oleh biskuit K dengan nilai sebesar 0,92 mg/g bk. Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit B mengandung kalsium yang lebih tinggi dan bersama dengan biskuit komersial berbeda nyata terhadap biskuit A dan K (Lampiran 29). Tingginya kadar kalsium disebabkan karena adanya bahan yang mengandung kalsium yang cukup tinggi yaitu susu, tepung terigu (2%) serta tepung tulang ikan patin itu sendiri. Semakin tinggi penambahan
konsentrasi tepung tulang ikan patin maka semakin besar kadar kalsium yang dimiliki oleh biskuit formulasi.
4.2.4.6. Kadar fosfor
Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak setelah kalsium (sekitar 22% dari total mineral), dimana 85% diantaranya terdapat dalam tulang. Fosfor terdapat pada hampir semua bahan pangan sehingga jarang menimbulkan masalah (Muchtadi et al. 1993). Hasil analisis kadar fosfor biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 0,43 mg/g bk sampai 3,29 mg/g bk. Kadar fosfor tertinggi dicapai oleh biskuit B dengan nilai 3,29 mg/g bk sedangkan kadar fosfor terendah dicapai oleh biskuit K dengan nilai sebesar 0,43 mg/g bk. Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit B mengandung forfor yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan biskuit A, K dan biskuit komersial (Lampiran 30). Penambahan tepung tulang ikan patin yang mengandung kadar fosfor yang tinggi mengakibatkan kadar fosfor biskuit formulasi juga meningkat.
4.2.4.7. Nilai pH
Derajat keasaman (pH) merupakan salah faktor penting dalam penentuan mutu bahan pangan. Purnawijayanti (2001) menyatakan bahwa, derajat keasaman (pH) yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri perusak dan patogen adalah lebih dari 4,6 sampai dengan pH netral (7). Hasil analisis nilai pH biskuit komersial dan biskuit formulasi berkisar antara
6,37 sampai 7,70. Nilai pH
tertinggi dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai 7,70 sedangkan nilai pH terendah dicapai oleh biskuit K dengan nilai 6,37. Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit komersial menghasilkan nilai pH yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan ketiga biskuit hasil penelitian (Lampiran 31). Penambahan tepung tulang ikan patin ternyata menyebabkan peningkatan nilai pH biskuit yang dihasilkan, namun masih berada pada kisaran nilai pH asam sehingga dengan kisaran nilai tersebut dapat membantu proses
kelarutan kalsium dan fosfor yang sangat membutuhkan suasana asam untuk proses kelarutan dan penyerapannya.
4.2.4.8. Karbohidrat by difference
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Karbohidrat juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur; sedangkan dalam tubuh, karbohidrat berguna untuk mencegah timbulnya ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral, dan berguna untuk membantu metabolisma lemak dan protein (Winarno 2002). Hasil perhitungan kadar karbohidrat biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 65,96% sampai 73,11%. Kadar karbohidrat tertinggi dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai 73,11% sedangkan kadar karbohidrat terendah dicapai oleh biskuit B dengan nilai sebesar 65,96%. Kadar karbohidrat minimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI 012973-1992 adalah 70%. Dengan demikian kadar protein biskuit formulasi belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-2973-1992. Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit komersial memiliki nilai kadar karbohidrat yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan ketiga biskuit hasil penelitian
(Lampiran 32). Peningkatan konsentrasi tepung tulang ikan patin
ternyata tidak sejalan dengan peningkatan nilai karbohidrat. Hal tersebut dikarenakan tepung tulang ikan patin lebih banyak mengandung mineral khususnya kalsium dan fosfor dan karbohidrat yang rendah.
4.2.5 Solubilitas kalsium dan fosfor biskuit
Hasil analisis solubilitas kalsium dan fosfor biskuit tulang ikan patin dan biskuit komersial disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Hasil analisis solubilitas kalsium dan fosfor biskuit tulang ikan patin dan biskuit komersial
Nilai pH 2 4 6
%Ca K 76,68 30,07 32,07
A 95,06 27,65 33,22
%P
B 88,96 17,59 20,22
Komersial 73,23 2,54 4,00
K 74,24 49,75 50,12
A 20,73 19,84 20,25
B 41,47 19,84 8,56
Komersial 23,25 20,86 16,24
Persen solubilitas kalsium biskuit meningkat seiring dengan menurunnya nilai pH. Pada pH 2, persen solubilitas kalsium memiliki nilai tertinggi yaitu untuk biskuit K sebesar 76,68%, biskuit A 95,06%, biskuit B 88,96% dan biskuit komersial 73,23%. Persen solubilitas kalsium akan menurun seiring dengan peningkatan nilai pH atau derajat keasaman menurun (Gambar 11a).
Solubilitas Ca (%)
100 80 60 40 20 0 2
4
6
Tingkatan nilai pH A
B
kontrol
komersial
Gambar 11a Grafik solubilitas kalsium biskuit pada berbagai nilai pH Kalsium membutuhkan pH asam agar dapat berada dalam keadaan terlarut. Kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air dan tidak mengendap karena unsur makanan lain seperti oksalat (Almatsier 2002). Kelarutan merupakan salah satu syarat dalam penyerapan kalsium. Menurut Allen dan Wood (1994) kelarutan kalsium meningkat dalam lingkungan asam pada perut, tetapi ion terlarut akan bergabung kembali kemudian berpresipitasi dalam yeyenum dan ileum dimana pH-nya mendekati netral. Hasil analisis nilai pH tepung tulang ikan patin berkisar pada nilai 6 sehingga memudahkan proses penyerapan kalsium. Kalsium pada ikan terutama pada tulang membentuk
kompleks dengan fosfor dalam bentuk apatit atau trikalsiumfosfat (Lovell 1989). Bentuk ini terdapat pada abu tulang yang dapat diserap dengan baik oleh tubuh yaitu berkisar 60-70% (Lutwak 1982). Persen solubilitas fosfor biskuit memiliki pola yang sama dengan persen kalsium biskuit yaitu meningkatnya persen solubilitas fosfor seiring dengan penurunan nilai pH. Pada pH 2, persen solubilitas fosfor memiliki nilai tertinggi yaitu untuk biskuit K sebesar 74,24%, biskuit A 20,73%, biskuit B 41,47% dan biskuit komersial 23,25%. Pada umumnya persen solubilitas fosfor akan menurun seiring dengan peningkatan nilai pH atau derajat keasaman rendah (Gambar 11 b). Fosfor dapat diabsorpsi secara efisien sebagai fosfor bebas di dalam usus setelah
Solubilitas P (%)
dihidrolisis dan dilepas dari makanan (Almatsier 2002). 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2
4
6
Tingkatan nilai pH A
B
kontrol
komersial
Gambar 11b Grafik solubilitas fosfor biskuit pada berbagai nilai pH Tingginya solubilitas kalsium dan fosfor biskuit dibandingkan dengan tepung disebabkan karena adanya interaksi zat gizi terutama dengan protein yang berasal dari susu dan telur. Ketersediaan dan kelarutan protein ternyata mempengaruhi ketersediaan dan kelarutan mineral (Yoshie et al. 1997). Sumber protein juga mempengaruhi penyerapan Ca. Kasein dan produk susu meningkatkan kelarutan in vivo sehubungan dengan adanya gugus fosfoserin dalam molekulnya (Berrocal et al. 1989 dalam Blaney et al. 1996). Protein berperan penting dalam penyerapan Ca ke dalam mukosa usus karena transpor kalsium melalui sel usus dapat terjadi melalui difusi atau dengan calbinding
(protein pengikat kalsium). Calbinding berperan sebagai protein transport untuk mengantarkan kalsium sitoplasma enterosit ke membran basal (Groff dan Gropper 2001)
4.2.6 Informasi nilai gizi biskuit
Nilai gizi biskuit formulasi berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) ratarata yang dianjurkan untuk per orang per hari untuk usia 19-29 tahun, berdasarkan diet sebesar 2000 kkal. Informasi nilai gizi biskuit sebagaimana disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Informasi nilai gizi biskuit formulasi dan komersial Biskuit Komersial Takaran saji (7 keping) : 35 g Energi : 462,16 kkal Gizi Ca 87,92 mg/100 g bk P 17,64 mg/100 g bk Protein 1,68 g/100 g bk Lemak 4,20 g/100 g bk
Biskuit A Takaran saji (7 keping) : 35 g Energi : 479,38 kkal Gizi Ca 72,10 mg/100 g bk P 50,05 mg/100 g bk Protein 2,45 g/100 g bk Lemak 7,00 g/100 g bk
%AKG 10,99% 2,94% 2,80% 4,94%
Biskuit Kontrol Takaran saji (7 keping) : 35 g Energi : 478,10 kkal Gizi Ca 30,08 mg/100 g bk P 14,35 mg/100 g bk Protein 2,45 g/100 g bk Lemak 6,65 g/100 g bk
%AKG 3,89% 2,93% 4,08% 7,82%
%AKG 9,01% 8,43% 4,08% 8,23%
Biskuit B Takaran saji (7 keping) : 35 g Energi : 475,63 kkal Gizi Ca 119,35 mg/100 g bk P 110,95 mg/100 g bk Protein 2,80 g/100 g bk Lemak 6,65 g/100 g bk
%AKG 14,92% 18,49% 4,76% 7,82%
Apabila seluruh zat gizi dapat diserap dengan baik oleh tubuh, konsumsi 7 keping (35 g) biskuit formulasi menyumbang kebutuhan kalsium sebesar 9,01% dan fosfor sebesar 8,43% (biskuit A), kalsium sebesar 14,92% dan fosfor sebesar 18,49% (biskuit B). Persentase didasarkan pada AKG zat gizi dengan nilai energi diet sebesar 2000 kkal.
5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Tepung tulang ikan patin yang dibuat dengan metode kering menghasilkan nilai sebagai berikut : daya serap air 48,54%, densitas kamba 0,80 g/ml, derajat putih 62,82%, kadar air 6,53%, abu 56,38%, pH 7,56, kalsium 264,53 mg/g bk, fosfor 88 mg/g bk, solubilitas kalsium dan fosfor pada pH 2 sebesar 1,25% dan 0,18%. Hasil uji perbandingan pasangan biskuit formulasi terbaik dengan produk biskuit komersial (biskuat), biskuit formulasi memiliki nilai mutu yang lebih baik dari segi penampakan dan warna, rasa tidak berbeda dengan biskuit komersial sedangkan kelemahan yang dimiliki oleh biskuit formulasi adalah kerenyahan. Hasil analisis fisik dan kimia serta solubilitas kalsium dan fosfor biskuit formulasi terbaik ( A dan B) berdasarkan hasil pengujian organoleptik adalah sebagai berikut : berat 5 g, tebal 4 mm, diameter 3,7 cm, kekerasan 1391,67 gf dan 1440,28 gf; kadar air 3,58% dan 3,92%; abu 1,54% dan 2,09%; lemak 20,22% dan 19,95%; protein 7,72% dan 8,07%; karbohidrat 66,92% dan 65,96%; Ca 2,13 mg/g bk dan 3,54 mg/g bk; P 1,48 mg/g bk dan 3,29 mg/g bk; pH 6,45 dan pH 6,44; solubilitas kalsium dan fosfor terbaik pada nilai pH 2 dengan nilai berturut-turut 95,06% dan 88,96% untuk kalsium dan 20,73% dan 41,47% untuk fosfor.
5.2 Saran
a. Perlu dilakukan penelitian untuk mempelajari bioavailibilitas mineral kalsium dan fosfor secara in-vitro dengan menggunakan teknik multienzim atau in-vivo dengan hewan percobaan. b. Perlu
dilakukan
penelitian
untuk
mempelajari
pengaruh
metode
penepungan dan pengolahan ke dalam bentuk produk pangan terhadap kandungan Ca dan P dalam bentuk ion. c. Perlu dilakukan aplikasi penambahan tepung tulang ikan patin ke dalam bentuk produk lain seperti kerupuk dan keripik.
DAFTAR PUSTAKA
Alais C, Linden G. 1991. Food Biochemistry. London: Ellis Harwood. Allen LH, Wood JR. 1994. Calsium and Phosporus. Dalam Modern Nutrition in Health and Disease ed. 8 vol 1. Shils EM, Olsen JA, Shilke M (eds). Lea & Febringer. USA. Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Almond N. 1989. Biscuits, Cookies and Crackers. London: Apllied Science Publishers. Anggorodi R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: PT Gramedia. Anggraeni D. 2003. Analisa Mineral Plasma Darah. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Anonim 1981. Pedoman Pembuatan Roti dan Kue. Jakarta: Penerbit Djambatan. Anonim 1992. Pengolahan Limbah. Pertemuan Teknis Pembinaan Mutu Hasil Perikanan dan Latihan Penerapan HACCP. Jakarata: Ditjen Perikanan. Anonim 2000. Perbedaan antara Margarine dan Mentega. www.clickwok.com [5 April 2007]. Anwar F. 1990. Mempelajari sifat fisik, organoleptik dan nilai gizi protein makanan bayi dari campuran tepung beras konsentrat protein jagung dan tepung tempe [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarwati, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Asni Y. 2004. Studi pembuatan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin (Pangasius hipothalmus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Astawan M. 1999. Membuat Mi dan Bihun. Jakarta: Penebar Swadaya. Blaney S, Zee JA, Mongeau R, Marin J. 1996. Combined effect of various tiped of dietary fiber and protein on in vitro calsium availability. J. Agric. Food Chem. 44 : 3587-3590. Booth RG. 1990. Snack Food. New York: Van Nostrand Reinhold.
[BPPIS] Badan Penelitian Pengembangan Industri Surabaya 1989. Pembuatan Prototipe Alat Uji Derajat Putih tepung Tapioka. Surabaya. Buckle KA, Edward RA, Fleet GH, Wootton N. 1987. Food Science. Edisi Kedua. Penerjemah: Purnomo H, Adiono. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). Charley H. 1982. Food Science. 2nd ed. New York: Jhon Wiley and Sons. Clydesdale FM. 1988. Minerals : Their chemistry and fate in food. Dalam Smith KT. (ed). Trace Mineral in Foods. New York: Marcel Dekker Inc. de Man JM. 1997. Principles of Food Chemistry. Edisi kedua. Penerjemah: Padmawinata K. Bandung : Penerbit Institut Teknologi Bandung. Desrosier NW. 1988. The Technology of Food Preservation. Penerjemah: Muljohardjo M. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press) Faridah DN, Kusumaningrum HD, Wulandari N, Indrasti D. 2006. Modul Praktikum Analisis Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Intitut Pertanian Bogor. Faridi H, Faubion JM. 1990. Dough Rheology and Baked Product Texture. New York: Nostrand Reinhold. Fardiaz D, Andarwulan N, Wijaya H, Puspitasri LN. 1992. Petunjuk Laboratorium: Teknik Analisis Sifat Kimia dan Fungsional Komponen Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Fox MRS. 1988. Nutrient Interaction. New York: Marcel Dekker Inc. Gaman PM, Sherrington KB. 1990. The Science of Food: An Introduction of Food Science, Nutrition and Microbiology. 3rd ed. Oxford: Pergamon Press. Greger JL. 1999. Nondigestable carbohydrates and mineral bioavailability. Am. J. Clin. Nutr : 0022-3166:1434S-1456S. Groff JL, Gropper SS. 2001. Advanced Nutrition and Human Metabolism. Belmont:Wadsworth/Thomson Learning. Guthrie HA. 1975. Introductory Nutrition. Saint Louis: Mosby Company. Halver JE. 1989. Fish Nutrition. New York: Academic Press, Inc. Hardinsyah, Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Hardman TM. 1989. Water and Food Quality. London: Elsevier Apllied Science.
Harland FB, Oberleas D. 2001. Effect of dietary fiber and phytat in the homeostatis and bioavailability of mineral. Di dalam: Spiller AG, editors. Handbooks of Dietary Fiber in Human Nutrition 3rd Edition. USA: Library of Congress. Iodarine A, Khan MJ, Weber CW. 1996. In vitro binding capasity of wheat bran, rice bran and oat fiber for Ca, Mg, Cu and Zn alone and in different combination. J Agric. Food Chem. 44: 2067-2072. [ISA] International Seafood of Alaska. 2002. Analysis of Fish Meal. www.kodiak.com [5 April 2007]. Kaup SM, Greger JL, Lee K. 1991. Nutritional evaluation with animal model of cottage cheese fortified with calcium and guar gum. J. Food Sci. 56(3) : 692-695. Kaplan A. 1971. Element of Food Production and Baking. New York: ITT Educational Service Inc. Karyadi D, Muhilal. 1996. Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Khairuman, Suhendra. 2002. Budidaya Patin Secara Intensif. Jakarta: Agro Media Pustaka. Lehninger AL. 1984. Principles of Biochemistry. Penerjemah: Thenawidjaja M. Jakarta: Penerbit Erlangga. Lin CS, Zayas JF. 1987. Functionality of defatted corn germ proteins in a model system: Fat binding capacity and water retention. J. Food Sci. 52:13081311. Linder MC. 1982. Nutritional Biochemistry and Metabolism. Penerjemah : Parakkasi A. Jakarta: UI Press. Lovell T. 1989. Nutrition and Feeding on Fish. New York: AVI Book Publishing by Van Nostrand Reinhold. Lutwak L. 1982. Dietary calcium: Source, interaction with other nutrients and relationship to dental, bone and kidney disease. Dalam Beittz DC, Nansen RC (eds). Animal Products in Human Nutrition. New York:Academic Press. Mahani. 1999. Pembuatan cookies yang diperkaya dengan kalsium [skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Manley DJR. 1983. Technology of Biscuits, Crackers and Cookies. Chichester: Ellis Horwood Limited.
Martinez I, Santaella M, Ros G, Periago MJ. 1998. Content and in Vitro availibility of Fe, Zn and P in homogenized fish-base weaning food after bone addition. Food Chem. 63: 299-305. Matz SA, Matz TD. 1978. Cookies and Crackers Technology. Westport Connecticut: The AVI Publishing Company Inc. Matz SA. 1993. Snack Food Technology. 3rd (edition). Mc Allen, Texas: PanTech International, Inc. Maynard LA, Loosli JK. 1956. Animal Nutrition. 4th (edition). New York: Mc Graw Hill Book Company. Miller DD. 1989. Calsium in the diet: Food source, recommended intake, and nutritional bioavailability. Di dalam : Fennema OR (eds). Food Chemistry. 3th Edition. New York: Cornell University. Morrison, FB. 1958. Feed and Feeding. Nineth Edition. Washington DC: The Morrison Research Council, National Academy of Science. Muchtadi TR, Sugiyono. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1993. Metabolisma Zat Gizi. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Mulia. 2004. Kajian potensi limbah tulang ikan patin (Pangasius sp) sebagai altnernatif sumber kalsium dalam pembuatan mi kering [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nasution A. 1980. Metode Penilaian Cita Rasa I. Bogor: Departemen Ilmu Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Newman MC, Jagoe CH. 1994. Ligands and the Bioavailibility of Metals in Aquatic Environments. Boca Raton : CRC Press, Lewis Publishers. Nurdiani R. 2003. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sutchi) untuk meningkatkan kandungan kalsium susu kacang hijau [skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. O’Dell BL. 1984. Bioavailability of trace elements. Nutr Rev.42:301-308. Piliang WG, Djojosoebagio S. 2006. Fisiologi Nutrisi,Volume II. Bogor: IPB Press. Purnawijayanti HA. 2001. Sanitasi, Higiene dan Keselamatan Kerja dalam Pengolahan Makanan. Yogyakarta: Kanisius.
Purnomo H 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. Jakarata: Penerbit Universitas indonesia (UI Press). Rahayu WP. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Bogor: Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rangganan S. 1986. Hand Book of Analysis and Quality Control for Fruit and Vegetable Product. New Delhi: Tata Mc Graw Hill Publ. Co. Ltd. Rasyaf M. 1990. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Reitz LL, Smith WH, Plumlee MP. 1987. A Simple Wet Oxidation Procedure for Biological Materials. West Lafayette: Animal Science Department. Purdue University. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta: Bina Cipta. Santoso J. 2003. Studies on nutritional components and antioksidants activity in several Indonesian seaweeds [disertasi]. Tokyo: Laboratory Chemistry of Food and Nutrition, Department of Food Science and Technology, Tokyo University of Fisheries. Santoso J, Gunji S, Yoshie-Stark Y, Suzuki T. 2006. Mineral content of Indonesian seaweeds and mineral solubility affected by basic cooking. Food Sci. Tech. Res. 12: 59-66. Sediaoetama AD. 2006. Ilmu Gizi: untuk Mahasiswa dan Profesi, Jilid I. Jakarta: Dian Rakyat. [SNI] Standar Nasional Indonesia 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit. SNI 01-29731992. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional. Soedarno YE. 1998. Substitusi parsial tepung terigu dengan tepung asia dan tepung kecamba kacang hijau dalam pembuatan cookies [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Spiller AG. 2001. Definition of Dietary Fiber. Di Dalam: Spiller AG, (ed). Handbooks of Dietary Fiber in Human Nutrition 3rd Edition. USA: Library of Congress. Steel RD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrik. Penerjemah : Sumantri B. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Subasinghe S. 1996. Inovative and value-added tuna product and markets. Infofish International. Number 1/96. January/February.
Sukarni M, Kusno SR. 1980. Metode Penilaian Citarasa II. Bogor: Departemen Ilmu Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sulaeman A, Anwar F, Rimbawan dan Marliyati SA. 1995. Metode Penetapan Zat Gizi. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sunaryo E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Susanto H, Amri K. 1997. Budidaya Ikan Patin. Jakarta: Penebar Swadaya. Tabakaka R. 2004. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) sebagai bahan tambahan kerupuk [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tanuwidjaya N. 2002. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius pangasius Ham Buch) dalam pembuatan mi kering [skripsi]. Karawaci: Universitas Pelita Harapan. Torre M, Rodriquez RA, Calixto-Saura F. 1995. Interaction of Fe (II) and Fe (III) with high dietary fibre materials: A phsycochemical approach. Food Chem. 5: 23-31. Urbano MG, Goni I. 2002. Bioavailability of nutrition in rats fed on edible seaweeds, nori (Porphyra tenera) and wakame (Undaria pinnatifida) as a source of dietary fiber. Food Chem.76: 281-286. Van
Mosevelde B. 1997. Culinary Curies: Calsium www.foodproductiondesign.com [ 15 Desember 2006].
Fortification.
Vail GE, Philips JA, Rust LO, Griswold RM, Justin M. 1978. Foods. 7th (eds). Boston: Houngthon Mifflin Company. Watzke HJ. 1988. Impact of processing on bioavailability examples of minerals in foods. Trends Food Sci. Tech. 8:320-327. Whiteley PR. 1971. Biscuit Manufactory. London: Applied Science Publishing. Widya Karya Pangan dan Gizi. 2004. Risalah Widya Karya Pangan dan Gizi IV. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Winarno FG, Fardiaz S. 1973. Dasar Teknologi Pangan. Bogor: Fakultas Teknologi dan Mekanisasi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Winarno FG. 1985. Limbah Pertanian. Jakarta: Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan.
Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Wirakartakusumah MA, Abdullah K, Syarif AM. 1992. Sifat Fisik Bahan Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Yoshie Y, Suzuki T, Clydesdale FM. 1997. Iron solubility from seafoods with added iron and organic acid under stimulated gastrointestinal conditional. J. Food Quality. 20: 235-246.
Lampiran 1 Lembar penilaian organoleptik Nama panelis : Jenis produk : Biskuit Tgl penilaian : Instruksi : Saudara dimohonkan untuk memberikan penilaian terhadap kelima macam sampel biskuit yang ada sesuai dengan tingkat kesukaan saudara. Isilah nilai tingkat kesukaan pada kolom yang disediakan. Penilaian : Dengan skala 1-7 A. Penampakan 7 : Sangat rapih 6 : Rapih 5 : Agak rapih 4 : Biasa 3 : Agak kurang rapih 2 : Tidak rapih 1 : Sangat tidak rapih C. Rasa 7 : Sangat enak 6 : Enak 5 : Agak Enak 4 : Biasa 3 : Agak kurang Enak 2 : Tidak enak 1 : Sangat tidak enak
B. Warna 7 : Coklat 6 : Kuning kecoklatan 5 : Kuning 4 : Agak kekuningan 3 : Agak hangus 2 : Hangus 1 : Sangat hangus D. Aroma 7 : Sangat harum 6 : Harum 5 : Agak harum 4 : Biasa 3 : Agak kurang harum 2 : Tidak harum 1 : Sangat tidak harum
Parameter 351 Penampakan Warna Rasa Aroma Tekstur Komentar panelis :
287
E. Tekstur 7 : Sangat Renyah 6 : Renyah 5 : Agak Renyah 4 : Biasa 3 : Agak keras 2 : Keras 1 : Sangat keras
Kode sampel 425
571
735
Lampiran 2 Lembar isian uji organoleptik biskuit tulang ikan patin terbaik dengan biskuit komersial (biskuit yang ada di pasaran). Nama Panelis
:
Hari/tanggal
:
Produk
: Biskuit
Instruksi
: Bandingkan Warna, Kerenyahan, Aroma dan Penampakan produk yang disajikan terhadap produk pembanding, berilah tanda X (silang) pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian saudara.
Kode produk
:
Kode pembanding : Warna Sangat lebih cerah
Kerenyahan Sangat lebih renyah
Lebih cerah
Lebih renyah
Agak lebih cerah
Agak lebih renyah
Tidak berbeda
Tidak berbeda
Agak kurang cerah
Agak kurang renyah
Kurang cerah
Kurang renyah
Sangat kurang cerah
Sangat kurang renyah
Rasa Sangat lebih enak
Penampakan Sangat lebih rapih
Lebih enak
Lebih rapih
Agak lebih enak
Agak lebih rapih
Tidak berbeda
Tidak berbeda
Agak kurang enak
Agak kurang rapih
Kurang enak
Kurang rapih
Sangat kurang enak
Sangat kurang rapih
Komentar panelis :
Lampiran 3 Analisis ragam derajat putih tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Source of Variation Between Group Within Group Total
SS
df
MS
F
Sig
0,395
1
0,395
2,44
0,193
0,649
4
0,162
1,044
5
Lampiran 4 Uji T daya serap air tepung tulang ikan patin (Pangsius sp) Group Statistics kriteria kering basah
daya_serap_air
N 3 3
Mean .485367 .627667
Std. Deviation .0073460 .0142339
Std. Error Mean .0042412 .0082179
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F daya_serap_ Equal varianc assumed Equal varianc not assumed
2.075
Sig.
t-test for Equality of Means
t
95% Confidence Interval of the Difference Mean Std. Error Sig. (2-tailed)Difference Difference Lower Upper
df
.223 -15.387
4
.000 .1423000 .0092478 1679761 1166239
-15.387
2.995
.001 .1423000 .0092478 1717595 1128405
Karena pada Levene’s Test for Equality of Variances nilai Sig. > 0.05. artinya asumsi kehomogenan ragam terpenuhi, sehingga kita pakai Equal variances assumed. Pada t-test for Equality of Means nilai Sig. < 0.05 kesimpulannya tolak H0 artinya Metode kering dan basah berbeda nyata pada taraf Alpha 5%. Lampiran 5 Analisis ragam densitas kamba tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Source of Variation Between Group Within Group Total
SS
df
MS
F
Sig
0,000000
1
0,000000
0,00
1,000
0,000733
4
0,000183
0,000733
5
Lampiran 6 Uji T kadar air tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Group Statistics
kadar_air
kriteria kering basah
N 3 3
Mean .065333 .049467
Std. Deviation .0004619 .0023438
Std. Error Mean .0002667 .0013532
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F kadar_ai Equal varianc assumed Equal varianc not assumed
7.817
Sig.
t-test for Equality of Means
t
.049
95% Confidence Interval of the Difference Mean Std. Error Sig. (2-tailed)Difference Difference Lower Upper
df
11.504
4
.000 .0158667 .0013792 0120374 0196960
11.504
2.155
.006 .0158667 .0013792 0103235 0214099
Karena pada Levene’s Test for Equality of Variances nilai Sig. < 0.05. artinya asumsi kehomogenan ragam tidak terpenuhi, sehingga kita pakai Equal variances not assumed. Pada t-test for Equality of Means nilai Sig. < 0.05 kesimpulannya tolak H0 artinya Metode kering dan basah berbeda nyata pada taraf Alpha 5%. Lampiran 7 Analisis ragam kadar abu tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Group Statistics
kadar_abu
kriteria kering basah
N 3 3
Mean .563833 .581467
Std. Deviation .0024007 .0053725
Std. Error Mean .0013860 .0031018
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F kadar_abu Equal variance assumed Equal variance not assumed
2.700
Sig. .176
t-test for Equality of Means
t
Mean Std. Error Sig. (2-tailed) Difference Difference
df
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
-5.190
4
.007 -.0176333 .0033974 0270660 0082007
-5.190
2.768
.017 -.0176333 .0033974 0289763 0062904
Karena pada Levene’s Test for Equality of Variances nilai Sig. > 0.05. artinya asumsi kehomogenan ragam terpenuhi, sehingga kita pakai Equal variances assumed. Pada t-test for Equality of Means nilai Sig. < 0.05 kesimpulannya tolak H0 artinya Metode kering dan basah berbeda nyata pada taraf Alpha 5%.
Lampiran 8 Analisis ragam kadar kalsium tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Source of Variation Between Group Within Group Total
SS
df
MS
F
Sig
631
1
631
0,70
0,451
3617
4
904
4248
5
Lampiran 9 Analisis ragam kadar fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Source of Variation Between Group Within Group Total
SS
df
MS
F
Sig
162,9
1
162,9
2,01
0,229
324,1
4
81,0
486,9
5
Lampiran 10 Analisis ragam nilai pH tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Group Statistics
pH
kriteria kering basah
N
Mean .075633 .078767
3 3
Std. Deviation .0010970 .0005132
Std. Error Mean .0006333 .0002963
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
pH
F Equal variance 3.571 assumed Equal variance not assumed
Sig. .132
t-test for Equality of Means
t
95% Confidence Interval of the Difference Mean Std. Error Sig. (2-tailed)Difference Difference Lower Upper
df
-4.481
4
.011 .0031333 .0006992 0050746 0011920
-4.481
2.835
.023 .0031333 .0006992 0054334 0008332
Karena pada Levene’s Test for Equality of Variances nilai Sig. > 0.05. artinya asumsi kehomogenan ragam terpenuhi, sehingga kita pakai Equal variances assumed. Pada t-test for Equality of Means nilai Sig. < 0.05 kesimpulannya tolak H0 artinya Metode kering dan basah berbeda nyata pada taraf Alpha 5%.
Lampiran 11 Analisis ragam (Pangasius sp)
kadar
protein
tepung
tulang
ikan
patin
Source of Variation Between Group Within Group Total
SS
df
MS
F
Sig
2,907
1
2,907
6,75
0,122
0,861
2
0,431
3,768
3
Lampiran 12 Analisis ragam kadar lemak tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Source of Variation Between Group Within Group Total
SS
df
MS
F
Sig
0,4032
1
0,4032
7,31
0,114
0,1103
2
0,0551
0,5135
3
Lampiran 13 Data uji organoleptik penampakan biskuit Biskuit K A B C 1 6 6 6 3 2 5 5 5 5 3 6 7 7 6 4 6 6 6 5 5 7 7 6 5 6 7 7 7 7 7 6 7 7 6 8 6 6 5 5 9 6 7 5 4 10 6 7 6 6 11 6 6 6 7 12 6 5 6 5 13 7 6 6 7 14 5 7 5 6 15 7 5 5 6 16 5 6 6 6 17 7 6 4 4 18 4 7 6 6 19 4 6 6 4 20 5 5 5 5 21 5 6 4 4 22 6 4 6 3 23 6 4 6 4 24 6 7 7 7 25 6 7 5 5 26 4 5 7 4 27 6 5 5 7 28 6 5 4 3 29 4 5 5 6 30 7 6 6 6 K = Kontrol / tidak ada penambahan tepung tulang ikan patin (0%) A = Penambahan tepung tulang ikan patin 2% B = Penambahan tepung tulang ikan patin 4% C = Penambahan tepung tulang ikan patin 6% D = Penambahan tepung tulang ikan patin 8% Panelis
D 4 5 6 6 6 7 6 4 5 6 7 5 6 7 5 6 4 7 4 6 3 4 6 7 4 6 6 5 6 6
Lampiran 14 Data uji organoleptik warna biskuit Biskuit K A B C 1 6 6 6 4 2 5 6 6 7 3 6 6 6 7 4 6 6 7 3 5 7 7 6 6 6 7 7 6 7 7 6 7 7 6 8 6 6 6 6 9 7 6 5 4 10 6 7 7 6 11 7 7 6 7 12 5 4 6 5 13 4 7 6 5 14 7 7 5 6 15 5 6 6 5 16 7 6 6 6 17 5 6 5 4 18 7 7 5 6 19 4 6 6 4 20 4 4 5 5 21 5 6 3 4 22 6 5 5 5 23 5 5 6 5 24 6 7 7 7 25 6 7 5 5 26 6 4 7 3 27 6 5 5 7 28 6 5 4 3 29 5 4 4 6 30 7 6 6 6 K = Kontrol / tidak ada penambahan tepung tulang ikan patin (0%) A = Penambahan tepung tulang ikan patin 2% B = Penambahan tepung tulang ikan patin 4% C = Penambahan tepung tulang ikan patin 6% D = Penambahan tepung tulang ikan patin 8% Panelis
D 4 6 5 6 6 7 6 4 5 6 7 4 6 7 5 6 4 7 4 6 4 5 5 6 4 5 6 5 6 6
Lampiran 15 Data uji organoleptik aroma biskuit Biskuit K A B C 1 7 7 7 4 2 5 6 7 7 3 6 7 6 5 4 4 7 6 4 5 6 6 6 6 6 7 5 6 6 7 7 7 7 7 8 6 6 6 6 9 4 6 6 5 10 6 6 6 6 11 6 6 7 6 12 4 7 5 4 13 4 6 7 6 14 5 6 7 7 15 4 7 6 6 16 6 7 7 6 17 6 6 6 5 18 7 7 7 6 19 5 7 6 4 20 5 6 6 4 21 3 7 6 6 22 5 7 6 5 23 6 6 6 6 24 6 5 6 7 25 6 7 6 6 26 6 6 6 4 27 7 6 6 6 28 5 6 6 6 29 4 6 6 5 30 7 7 7 6 K = Kontrol / tidak ada penambahan tepung tulang ikan patin (0%) A = Penambahan tepung tulang ikan patin 2% B = Penambahan tepung tulang ikan patin 4% C = Penambahan tepung tulang ikan patin 6% D = Penambahan tepung tulang ikan patin 8% Panelis
D 4 5 5 6 7 7 7 5 4 6 6 6 7 7 6 7 5 6 3 4 4 5 6 7 6 4 6 6 5 7
Lampiran 16 Data uji organoleptik tekstur biskuit Biskuit K A B C 1 7 7 6 2 2 7 7 6 7 3 7 7 7 6 4 6 7 6 2 5 6 7 6 4 6 6 7 6 6 7 6 6 7 7 8 6 7 6 5 9 6 6 6 5 10 6 7 6 6 11 7 7 6 7 12 5 7 6 2 13 7 6 6 5 14 7 7 7 7 15 4 7 6 6 16 6 7 6 7 17 6 6 5 5 18 7 7 5 6 19 4 7 6 5 20 6 7 6 4 21 4 7 6 6 22 6 7 6 5 23 5 7 6 6 24 5 7 6 7 25 5 6 6 3 26 3 7 7 6 27 6 6 5 4 28 6 7 6 5 29 5 7 6 4 30 5 7 6 5 K = Kontrol / tidak ada penambahan tepung tulang ikan patin (0%) A = Penambahan tepung tulang ikan patin 2% B = Penambahan tepung tulang ikan patin 4% C = Penambahan tepung tulang ikan patin 6% D = Penambahan tepung tulang ikan patin 8% Panelis
D 3 6 6 3 3 7 7 4 5 6 7 3 6 7 6 6 5 6 4 4 4 6 5 6 4 6 5 3 5 6
Lampiran 17 Data uji organoleptik rasa biskuit Biskuit K A B C 1 6 7 7 4 2 7 7 7 7 3 7 7 6 6 4 3 7 5 5 5 7 7 6 6 6 7 6 6 6 7 6 7 6 7 8 7 6 5 6 9 4 7 5 5 10 7 6 6 6 11 7 7 6 7 12 5 4 6 3 13 7 7 6 6 14 7 7 7 6 15 4 7 6 4 16 6 7 7 6 17 6 7 6 6 18 7 7 6 5 19 3 7 7 5 20 5 7 6 7 21 7 7 6 6 22 6 7 6 5 23 4 7 5 6 24 4 6 6 7 25 6 7 6 6 26 3 6 7 5 27 6 7 6 6 28 5 6 6 4 29 4 7 6 5 30 4 4 6 6 K = Kontrol / tidak ada penambahan tepung tulang ikan patin (0%) A = Penambahan tepung tulang ikan patin 2% B = Penambahan tepung tulang ikan patin 4% C = Penambahan tepung tulang ikan patin 6% D = Penambahan tepung tulang ikan patin 8% Panelis
D 4 7 5 6 6 6 7 4 6 5 6 3 7 7 4 6 7 5 4 7 4 6 5 5 6 6 6 5 6 6
Lampiran 18 Data uji perbandingan pasangan biskuit A Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Penampakan 1 2 -1 2 -1 2 -1 2 0 1 3 2 1 1 -1 0 2 2 1 1 -1 1 2 2 0 -1 2 1 1 0
Parameter Warna Kerenyahan 3 -1 2 -1 -1 0 3 -1 2 -1 2 -1 2 -1 3 -1 2 -2 2 -2 2 -1 1 -1 3 -1 2 -2 2 0 1 0 1 -1 2 1 2 -1 3 -1 -1 -1 2 1 1 -1 2 -2 0 -1 0 -2 2 1 2 -2 0 -1 2 0
Rasa 1 1 -1 -1 -1 1 1 1 -1 -1 1 1 2 0 0 0 1 1 1 1 -1 0 1 -1 0 0 0 -1 -1 0
Lampiran 19 Data uji perbandingan pasangan biskuit B Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Penampakan 0 2 -1 2 -1 2 1 2 -1 1 3 1 1 2 1 0 2 1 1 2 0 2 2 1 1 -1 1 1 1 0
Parameter Warna Kerenyahan 1 -2 2 -2 1 0 3 -2 1 -1 3 -1 2 -1 2 1 1 -1 1 -1 2 -1 1 -1 2 1 3 -1 1 1 2 -1 2 -1 1 2 2 -1 3 -2 0 0 3 -1 1 -1 1 -1 1 -1 0 -2 2 1 1 -1 1 -1 1 -1
Rasa 1 0 1 -1 -1 2 0 2 -1 1 2 1 1 1 1 0 2 2 0 1 -1 -1 2 -1 0 0 0 -1 -1 -1
Lampiran 20 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap penampakan biskuit Rank Penampakan
Perlakuan 0% 2% 4% 6% 8% Total
N 30 30 30 30 30 150
Mean Rank 80.83 87.17 75.53 62.52 71.45
Test statistics ab Penampakan 6.068 4 .193
Chi-square df Asymp.Sig a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable : Perlakuan
Lampiran 21 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap warna biskuit Rank Warna
Perlakuan 0% 2% 4% 6% 8% Total
N 30 30 30 30 30 150
Mean Rank 82.23 87.47 75.68 65.75 66.37
Test statistics ab Chi-square df Asymp.Sig a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable : Perlakuan
Warna 6.375 4 .173
Lampiran 22 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap aroma biskuit dan uji lanjut multiple comparison Rank Aroma
Perlakuan 0% 2% 4% 6% 8% Total
N 30 30 30 30 30 150
Mean Rank 59,48 106,93 68,40 59,47 65,22
Test statistics ab Chi-square df Asymp.Sig a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable : Perlakuan
Aroma 31,022 4 .000
Multiple Comparisons Dependent Variable: aroma Tukey HSD Mean (I) Konsentrasi tepung (J) Konsentrasi tepung Difference Std. Error tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) 0% 2% -1,133* ,236 4% -,767* ,236 6% -,067 ,236 8% -,133 ,236 2% 0% 1,133* ,236 4% ,367 ,236 6% 1,067* ,236 8% 1,000* ,236 4% 0% ,767* ,236 2% -,367 ,236 6% ,700* ,236 8% ,633 ,236 6% 0% ,067 ,236 2% -1,067* ,236 4% -,700* ,236 8% -,067 ,236 8% 0% ,133 ,236 2% -1,000* ,236 4% -,633 ,236 6% ,067 ,236 *. The mean difference is significant at the .05 level.
95% Confidence Interval Sig. Lower Bound Upper Bound ,000 -1,78 -,48 ,012 -1,42 -,12 ,999 -,72 ,58 ,980 -,78 ,52 ,000 ,48 1,78 ,528 -,28 1,02 ,000 ,42 1,72 ,000 ,35 1,65 ,012 ,12 1,42 ,528 -1,02 ,28 ,028 ,05 1,35 ,061 -,02 1,28 ,999 -,58 ,72 ,000 -1,72 -,42 ,028 -1,35 -,05 ,999 -,72 ,58 ,980 -,52 ,78 ,000 -1,65 -,35 ,061 -1,28 ,02 ,999 -,58 ,72
Lampiran 23 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap tekstur biskuit dan uji lanjut multiple comparison Rank Aroma
Perlakuan 0% 2% 4% 6% 8% Total
N 30 30 30 30 30 150
Mean Rank 71.28 116.13 78.37 57.40 54.32
Test statistics ab Chi-square df Asymp.Sig a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable : Perlakuan
Aroma 43.308 4 .000
Multiple Comparisons Dependent Variable: tekstur Tukey HSD Mean (I) Konsentrasi tepung (J) Konsentrasi tepung Difference Std. Error tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) 0% 2% -1,033* ,273 4% -,300 ,273 6% ,567 ,273 8% ,600 ,273 2% 0% 1,033* ,273 4% ,733 ,273 6% 1,600* ,273 8% 1,633* ,273 4% 0% ,300 ,273 2% -,733 ,273 6% ,867* ,273 8% ,900* ,273 6% 0% -,567 ,273 2% -1,600* ,273 4% -,867* ,273 8% ,033 ,273 8% 0% -,600 ,273 2% -1,633* ,273 4% -,900* ,273 6% -,033 ,273 *. The mean difference is significant at the .05 level.
95% Confidence Interval Sig. Lower Bound Upper Bound ,002 -1,79 -,28 ,806 -1,05 ,45 ,236 -,19 1,32 ,186 -,15 1,35 ,002 ,28 1,79 ,061 -,02 1,49 ,000 ,85 2,35 ,000 ,88 2,39 ,806 -,45 1,05 ,061 -1,49 ,02 ,015 ,11 1,62 ,011 ,15 1,65 ,236 -1,32 ,19 ,000 -2,35 -,85 ,015 -1,62 -,11 1,000 -,72 ,79 ,186 -1,35 ,15 ,000 -2,39 -,88 ,011 -1,65 -,15 1,000 -,79 ,72
Lampiran 24 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap rasa biskuit dan uji lanjut multiple comparison Rank Aroma
Perlakuan 0% 2% 4% 6% 8% Total
N 30 30 30 30 30 150
Mean Rank 68.72 107.57 76.60 62.65 61.97
Test statistics ab Chi-square df Asymp.Sig a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable : Perlakuan
Aroma 25.298 4 .000
Multiple Comparisons Dependent Variable: rasa Tukey HSD Mean (I) Konsentrasi tepung (J) Konsentrasi tepung Difference Std. Error tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) 0% 2% -1,067* ,260 4% -,500 ,260 6% -,067 ,260 8% ,000 ,260 2% 0% 1,067* ,260 4% ,567 ,260 6% 1,000* ,260 8% 1,067* ,260 4% 0% ,500 ,260 2% -,567 ,260 6% ,433 ,260 8% ,500 ,260 6% 0% ,067 ,260 2% -1,000* ,260 4% -,433 ,260 8% ,067 ,260 8% 0% ,000 ,260 2% -1,067* ,260 4% -,500 ,260 6% -,067 ,260 *. The mean difference is significant at the .05 level.
95% Confidence Interval Sig. Lower Bound Upper Bound ,001 -1,78 -,35 ,308 -1,22 ,22 ,999 -,78 ,65 1,000 -,72 ,72 ,001 ,35 1,78 ,192 -,15 1,28 ,002 ,28 1,72 ,001 ,35 1,78 ,308 -,22 1,22 ,192 -1,28 ,15 ,456 -,28 1,15 ,308 -,22 1,22 ,999 -,65 ,78 ,002 -1,72 -,28 ,456 -1,15 ,28 ,999 -,65 ,78 1,000 -,72 ,72 ,001 -1,78 -,35 ,308 -1,22 ,22 ,999 -,78 ,65
Lampiran 25 Analisis ragam kadar air biskuit dan uji lanjut Tukey Source of Variation Between Group Within Group Total
SS
df
MS
F
Sig
5,6355
3
1,8785
88,71
0,000
0,1694
8
0,0212
5,8049
11
Multiple Comparisons Dependent Variable: air Tukey HSD
(I) konsentrasi tepung tulang ikan patin biskuat
2%
0%
4%
(J) konsentrasi tepung tulang ikan patin 2% 0% 4% biskuat 0% 4% biskuat 2% 4% biskuat 2% 0%
Mean Difference (I-J) Std. Error -.95000* .11881 -1.89333* .11881 -1.28667* .11881 .95000* .11881 -.94333* .11881 -.33667 .11881 1.89333* .11881 .94333* .11881 .60667* .11881 1.28667* .11881 .33667 .11881 -.60667* .11881
Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .084 .000 .000 .004 .000 .084 .004
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -1.3305 -.5695 -2.2738 -1.5129 -1.6671 -.9062 .5695 1.3305 -1.3238 -.5629 -.7171 .0438 1.5129 2.2738 .5629 1.3238 .2262 .9871 .9062 1.6671 -.0438 .7171 -.9871 -.2262
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K) 2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A) 4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)
Lampiran 26 Analisis ragam kadar abu biskuit dan uji lanjut Tukey Source of Variation Between Group Within Group Total
SS
df
MS
F
Sig
5,6355
3
1,8785
88,71
0,000
0,1694
8
0,0212
5,8049
11
Multiple Comparisons Dependent Variable: abu Tukey HSD
(I) konsentrasi tepung tulang ikan patin biskuat
2%
0%
4%
(J) konsentrasi tepung tulang ikan patin 2% 0% 4% biskuat 0% 4% biskuat 2% 4% biskuat 2% 0%
Mean Difference (I-J) Std. Error .22667 .08907 .70667* .08907 -.32333* .08907 -.22667 .08907 .48000* .08907 -.55000* .08907 -.70667* .08907 -.48000* .08907 -1.03000* .08907 .32333* .08907 .55000* .08907 1.03000* .08907
Sig. .126 .000 .028 .126 .003 .001 .000 .003 .000 .028 .001 .000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.0586 .5119 .4214 .9919 -.6086 -.0381 -.5119 .0586 .1948 .7652 -.8352 -.2648 -.9919 -.4214 -.7652 -.1948 -1.3152 -.7448 .0381 .6086 .2648 .8352 .7448 1.3152
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K) 2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A) 4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)
Lampiran 27 Analisis ragam kadar protein biskuit dan uji lanjut Tukey Source of Variation Between Group Within Group Total
SS
df
MS
F
Sig
3,9960
3
1,3320
46,68
0,000
0,2283
8
0,0285
4,2234
11
Multiple Comparisons Dependent Variable: protein Tukey HSD
(I) konsentrasi tepung tulang ikan patin biskuat
2%
0%
4%
(J) konsentrasi tepung tulang ikan patin 2% 0% 4% biskuat 0% 4% biskuat 2% 4% biskuat 2% 0%
Mean Difference (I-J) Std. Error -1.18000* .13792 -1.12000* .13792 -1.54000* .13792 1.18000* .13792 .06000 .13792 -.36000 .13792 1.12000* .13792 -.06000 .13792 -.42000 .13792 1.54000* .13792 .36000 .13792 .42000 .13792
Sig. .000 .000 .000 .000 .971 .115 .000 .971 .062 .000 .115 .062
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -1.6217 -.7383 -1.5617 -.6783 -1.9817 -1.0983 .7383 1.6217 -.3817 .5017 -.8017 .0817 .6783 1.5617 -.5017 .3817 -.8617 .0217 1.0983 1.9817 -.0817 .8017 -.0217 .8617
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K) 2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A) 4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)
Lampiran 28 Analisis ragam kadar lemak biskuit dan uji lanjut Tukey Source of Variation Between Group Within Group Total
SS
df
MS
F
Sig
38,046
3
12,682
49,54
0,000
2,048
8
0,256
40,094
11
Multiple Comparisons Dependent Variable: lemak Tukey HSD
(I) konsentrasi tepung tulang ikan patin biskuat
2%
0%
4%
(J) konsentrasi tepung tulang ikan patin 2% 0% 4% biskuat 0% 4% biskuat 2% 4% biskuat 2% 0%
Mean Difference (I-J) Std. Error -4.14333* .41310 -4.18667* .41310 -3.99667* .41310 4.14333* .41310 -.04333 .41310 .14667 .41310 4.18667* .41310 .04333 .41310 .19000 .41310 3.99667* .41310 -.14667 .41310 -.19000 .41310
Sig. .000 .000 .000 .000 1.000 .984 .000 1.000 .966 .000 .984 .966
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -5.4662 -2.8204 -5.5096 -2.8638 -5.3196 -2.6738 2.8204 5.4662 -1.3662 1.2796 -1.1762 1.4696 2.8638 5.5096 -1.2796 1.3662 -1.1329 1.5129 2.6738 5.3196 -1.4696 1.1762 -1.5129 1.1329
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K) 2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A) 4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)
Lampiran 29 Analisis ragam nilai pH biskuit dan uji lanjut Tukey Source of Variation Between Group Within Group Total
SS
df
MS
F
Sig
3,72447
3
1,24149
435,61
0,000
0,02880
8
0,00285
3,74727
11
Multiple Comparisons Dependent Variable: pH Tukey HSD
(I) konsentrasi tepung tulang ikan patin biskuat
2%
0%
4%
(J) konsentrasi tepung tulang ikan patin 2% 0% 4% biskuat 0% 4% biskuat 2% 4% biskuat 2% 0%
Mean Difference (I-J) 1.34000* 1.42667* 1.35333* -1.34000* .08667 .01333 -1.42667* -.08667 -.07333 -1.35333* -.01333 .07333
Std. Error .07223 .07223 .07223 .07223 .07223 .07223 .07223 .07223 .07223 .07223 .07223 .07223
Sig. .000 .000 .000 .000 .644 .998 .000 .644 .746 .000 .998 .746
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 1.1087 1.5713 1.1954 1.6580 1.1220 1.5846 -1.5713 -1.1087 -.1446 .3180 -.2180 .2446 -1.6580 -1.1954 -.3180 .1446 -.3046 .1580 -1.5846 -1.1220 -.2446 .2180 -.1580 .3046
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K) 2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A) 4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)
Lampiran 30 Analisis ragam kadar kalsium biskuit dan uji lanjut Tukey Source of Variation Between Group Within Group Total
SS
df
MS
F
Sig
14,1638
3
4,7213
277,45
0,000
0,1361
8
0,0170
14,2999
11
Multiple Comparisons Dependent Variable: kalsium Tukey HSD
(I) konsentrasi tepung tulang ikan patin biskuat
2%
0%
4%
(J) konsentrasi tepung tulang ikan patin 2% 0% 4% biskuat 0% 4% biskuat 2% 4% biskuat 2% 0%
Mean Difference (I-J) 1.36333* 2.58000* -.04667 -1.36333* 1.21667* -1.41000* -2.58000* -1.21667* -2.62667* .04667 1.41000* 2.62667*
Std. Error .10651 .10651 .10651 .10651 .10651 .10651 .10651 .10651 .10651 .10651 .10651 .10651
Sig. .000 .000 .970 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .970 .000 .000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 1.0222 1.7044 2.2389 2.9211 -.3878 .2944 -1.7044 -1.0222 .8756 1.5578 -1.7511 -1.0689 -2.9211 -2.2389 -1.5578 -.8756 -2.9678 -2.2856 -.2944 .3878 1.0689 1.7511 2.2856 2.9678
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K) 2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A) 4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)
Lampiran 31 Analisis ragam kadar fosfor biskuit dan uji lanjut Tukey Source of Variation Between Group Within Group Total
SS
df
MS
F
Sig
15,1414
3
5,0471
197,41
0,000
0,2045
8
0,0256
15,3459
11
Multiple Comparisons Dependent Variable: fosfor Tukey HSD
(I) konsentrasi tepung tulang ikan patin biskuat
2%
0%
4%
(J) konsentrasi tepung tulang ikan patin 2% 0% 4% biskuat 0% 4% biskuat 2% 4% biskuat 2% 0%
Mean Difference (I-J) -.82667* .21667 -2.63667* .82667* 1.04333* -1.81000* -.21667 -1.04333* -2.85333* 2.63667* 1.81000* 2.85333*
Std. Error .13055 .13055 .13055 .13055 .13055 .13055 .13055 .13055 .13055 .13055 .13055 .13055
Sig. .001 .402 .000 .001 .000 .000 .402 .000 .000 .000 .000 .000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -1.2447 -.4086 -.2014 .6347 -3.0547 -2.2186 .4086 1.2447 .6253 1.4614 -2.2281 -1.3919 -.6347 .2014 -1.4614 -.6253 -3.2714 -2.4353 2.2186 3.0547 1.3919 2.2281 2.4353 3.2714
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K) 2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A) 4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)
Lampiran 32 Analisis ragam kadar karbohidrat by difference biskuit dan uji lanjut Tukey Source of Variation Between Group Within Group Total
SS
df
MS
F
Sig
100,176
3
33,392
56,32
0,000
4,743
8
0,593
104,920
11
Multiple Comparisons Dependent Variable: karbohidrat Tukey HSD
(I) biskuit kontrol
A
B
komersil
(J) biskuit A B komersil kontrol B komersil kontrol A komersil kontrol A B
Mean Difference Std. Error (I-J) -.35000 .62872 .60667 .62872 -6.54000* .62872 .35000 .62872 .95667 .62872 -6.19000* .62872 -.60667 .62872 -.95667 .62872 -7.14667* .62872 6.54000* .62872 6.19000* .62872 7.14667* .62872
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Sig. .942 .772 .000 .942 .469 .000 .772 .469 .000 .000 .000 .000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -2.3634 1.6634 -1.4067 2.6200 -8.5534 -4.5266 -1.6634 2.3634 -1.0567 2.9700 -8.2034 -4.1766 -2.6200 1.4067 -2.9700 1.0567 -9.1600 -5.1333 4.5266 8.5534 4.1766 8.2034 5.1333 9.1600
Lampiran 33 Analisis ragam berat biskuit Source of Variation Between Group Within Group Total
SS
df
MS
F
Sig
2,250000
3
0,750000
0,00
0,00
0,000000
8
0,000000
2,250000
11
Lampiran 34 Analisis ragam ketebalan biskuit Source of Variation Between Group Within Group Total
SS
df
MS
F
Sig
9,000000
3
3,000000
0,00
0,00
0,000000
8
0,000000
9,000000
11
Lampiran 35 Analisis ragam diameter biskuit Source of Variation Between Group Within Group Total
SS
df
MS
F
Sig
0,2025000
3
0,0675000
0,00
0,00
0,0000000
8
0,0000000
0,2025000
11
Lampiran 36 Analisis ragam kekerasan biskuit dan uji lanjut Tukey Source of Variation Between Group Within Group Total
SS
df
MS
F
Sig
172058
3
57353
21,10
0,000
21747
8
2718
193805
11
Multiple Comparisons Dependent Variable: kekerasan Tukey HSD
(I) konsentrasi tepung tulang ikan patin biskuat
2%
0%
4%
(J) konsentrasi tepung tulang ikan patin 2% 0% 4% biskuat 0% 4% biskuat 2% 4% biskuat 2% 0%
Mean Difference (I-J) -262.50333* -233.33667* -311.11667* 262.50333* 29.16667 -48.61333 233.33667* -29.16667 -77.78000 311.11667* 48.61333 77.78000
Std. Error 42.57051 42.57051 42.57051 42.57051 42.57051 42.57051 42.57051 42.57051 42.57051 42.57051 42.57051 42.57051
Sig. .001 .003 .000 .001 .900 .676 .003 .900 .329 .000 .676 .329
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -398.8291 -126.1776 -369.6624 -97.0109 -447.4424 -174.7909 126.1776 398.8291 -107.1591 165.4924 -184.9391 87.7124 97.0109 369.6624 -165.4924 107.1591 -214.1058 58.5458 174.7909 447.4424 -87.7124 184.9391 -58.5458 214.1058
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K) 2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A) 4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)
Lampiran 37 Perhitungan nilai kalori per 100 g biskuit 1. Biskuit komersial Nilai kalori = 9 × 15,96 ÷ 4 × 6.52 ÷ 4 × 73.11 = 462,16 kal
2. Biskuit K Nilai kalori = 9 × 20,14 ÷ 4 × 7,64 ÷ 4 × 66,57 = 478,10 kal
3. Biskuit A Nilai kalori = 9 × 20,10 ÷ 4 × 7,70 ÷ 4 × 66,92 = 479,38 kal
4. Biskuit B Nilai kalori = 9 × 19,95 ÷ 4 × 8,06 ÷ 4 × 65,96 = 475,63 kal
Dengan demikian nilai kalori kedua formulasi biskuit sesuai dengan standar nilai kalori biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 yaitu sebesar minimum 400 kal/100 g.
Lampiran 38 Tepung tulang ikan patin
METODE BASAH
METODE KERING
Lampiran 39 Biskuit hasil formulasi dengan penambahan tepung tulang ikan
Biskuit K
Biskuit A
Biskuit B
Biskuit C
Biskuit D
Lampiran 40 Tulang ikan patin utuh
Lampiran 41 Tulang ikan patin yang sudah mengalami pengecilan ukuran
Lampiran 42 Tulang ikan patin siap diolah menjadi tepung
Lampiran 43 Perhitungan kadar kalsium dan fosfor pada biskuit A Kadar kalsium dalam biskuit A = 2,13 mg / 213 mg/100 g bk Kadar air = 3,58% 100 g berat kering = g berat basah – (3,58%bb) Berat basah = 103,58 g Kalsium dalam biskuit A = 213 mg/100 g bk = 213 mg/ 103,58 g biskuit = 2,06 mg/ g biskuit Kadar kalsium biskuit per takaran saji (35 g) = 2,06 mg/ g biskuit x 35 g = 72,10 mg % AKG = (72,10 / 800 mg) x 100% = 9,01%
Kadar fosfor dalam biskuit A = 1,48 mg / 148 mg/100 g bk Kadar air = 3,58% 100 g berat kering = g berat basah – (3,58%bb) Berat basah = 103,58 g Fosfor dalam biskuit A = 148 mg/100 g bk = 148 mg/ 103,58 g biskuit = 1,43 mg/ g biskuit Kadar fosfor biskuit per takaran saji (35 g) = 1,43 mg/ g biskuit x 35 g = 50,05 mg % AKG = (50,05 / 600 mg) x 100% = 8,34% Lampiran 44 Perhitungan kadar protein dan lemak pada biskuit A Kadar protein dalam biskuit A = 7,72% = 7,72 g/100 g biskuit Kadar air = 3,58% 100 g berat kering = g berat basah – (3,58%bb) Berat basah = 103,58 g Protein dalam biskuit A = 7,72 g/100 g bk = 7,72 g/ 103,58 g biskuit = 0,07 g/ g biskuit Kadar protein biskuit per takaran saji (35 g) = 0,07 g/ g biskuit x 35 g = 2,45 g % AKG = (2,45 g/60 g) x 100% = 4,08% Kadar lemak dalam biskuit A = 20,22% = 20,22 g/ 100 g biskuit Kadar air = 3,58% 100 g berat kering = g berat basah – (3,58%bb) Berat basah = 103,58 g
Lemak dalam biskuit A = 20,22 g/100 g bk = 20,22 g/ 103,58 g biskuit = 0,20 g/ g biskuit Kadar kalsium biskuit per takaran saji (35 g) = 0,20 g/ g biskuit x 35 g = 7,00 g % AKG = (7,77 g/85 g) x 100% = 8,23%